donna, kelinci ajaib: sebuah trilogi

25
Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 1 ©Made Hery Santosa TRILOGI DONNA, KELINCI AJAIB Story | Made Hery Santosa Trilogi ini berisi tiga cerita mini yang saya tulis dalam bahasa Indonesia. Inti cerita berpusat pada Donna, seekor kelinci ajaib yang bisa berubah menjadi seorang kakek tua semacam penyihir bijaksana. Ia tampak diam namun sebenarnya menuntun tokoh cerita lainnya. Cerita ini hanya fiksi belaka dengan menekankan pada aspek-aspek filosofis yang dibungkus oleh atribut magis. Kesamaan nama, tempat atau ide cerita hanya kebetulan belaka. Karena saya masih belajar menulis, setiap masukan konstruktif akan saya terima dengan senang hati :). Selamat membaca dan berimaginasi! ©mhsantosa (2013) I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.

Upload: made-hery-santosa

Post on 28-Mar-2016

240 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Trilogi ini berisi tiga cerita mini yang saya tulis dalam bahasa Indonesia. Inti cerita berpusat pada Donna, seekor kelinci ajaib yang bisa berubah menjadi seorang kakek tua semacam penyihir bijaksana. Ia tampak diam namun sebenarnya menuntun tokoh cerita lainnya. Cerita ini hanya fiksi belaka dengan menekankan pada aspek-aspek filosofis yang dibungkus oleh atribut magis. Kesamaan nama, tempat atau ide cerita hanya kebetulan belaka. Karena saya masih belajar menulis, setiap masukan konstruktif akan saya terima dengan senang hati :). Selamat membaca dan berimaginasi!

TRANSCRIPT

Page 1: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 1 ©Made Hery Santosa

TRILOGI DONNA, KELINCI AJAIB Story | Made Hery Santosa

Trilogi ini berisi tiga cerita mini yang saya tulis dalam bahasa Indonesia.

Inti cerita berpusat pada Donna, seekor kelinci ajaib yang bisa berubah

menjadi seorang kakek tua semacam penyihir bijaksana. Ia tampak diam

namun sebenarnya menuntun tokoh cerita lainnya. Cerita ini hanya fiksi

belaka dengan menekankan pada aspek-aspek filosofis yang dibungkus

oleh atribut magis. Kesamaan nama, tempat atau ide cerita hanya

kebetulan belaka. Karena saya masih belajar menulis, setiap masukan

konstruktif akan saya terima dengan senang hati :). Selamat membaca dan

berimaginasi!

©mhsantosa (2013)

I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.

Page 2: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 2 ©Made Hery Santosa

BAGIAN I

KELINCI AJAIB DAN GADIS KECIL

Hari masih pagi. Ikan-ikan di kolam besar tampak riang melompat-lompat.

Taman disamping kolam berkilau ketika rumput yang berembun

mendapat sinar matahari pagi. Seorang gadis kecil tampak asik menunjuk-

nunjuk, mencoba mendekati sesuatu di bawah pohon mangga.

Wajahnya riang ketika didekatkan pada Donna. Ia tampak sedikit takut-

takut ketika mencoba menyentuh mahluk lucu ini. Donna, demikian

dipanggilnya, adalah seekor kelinci gemuk berwarna coklat yang dibiarkan

bebas di taman kecil ini. Ia biasanya senang berlari ke balik pohon-pohon

kayu manis bertinggi selutut untuk bisa dengan bebas makan rumput

atau wortel yang diberikan padanya. Donna sangat ramah pada setiap

orang. Ia sangat suka dielus-elus oleh tangan-tangan halus dan mungil ini.

Sambil tetap asik menyantap rumput melimpah di depannya, Donna

sesekali melirik tangan mungil yang mengelusnya. Siapa pemilik tangan

Page 3: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 3 ©Made Hery Santosa

halus ini? Ia mendapati senyuman riang ditujukan padanya. Gigi tonggos

Donna terlihat setelah ia tahu pemilik senyum riang ini.

Tiba-tiba saja Donna berlari menuju semak di sebelah kolam ikan dan

menghilang. Pemilik tangan mungil ini merasa kehilangan. Donna ternyata

masuk ke semacam lubang panjang dan berlari kecil menuju ujung lubang

tersebut dimana seberkas cahaya terang tampak. Ada matahari yang

menyinari tempat di ujung lubang ini. Ketika Donna sampai di ujung

lubang, iapun tiba-tiba berubah menjadi tinggi, dengan janggut panjang,

bertopi lancip dan jubah membalut seorang kakek yang menumpukan

satu tangannya pada tongkat kayu Oak tua.

Sungguh senang hati kakek, yang tadinya adalah Donna, ini. Ia seperti

menemukan sesuatu yang penting.

“Ya!” katanya. “Ya! Gadis kecil itu!”

Ia kemudian bergegas menuju pohon besar di ujung jalan setapak yang

ada di tengah hutan ini. Sesampainya di bawah pohon itu, ia

mengetukkan ujung tongkatnya tiga kali.

“Remnitalis,” suara beratnya mengiringi.

Akar-akar pohon itu, tiba-tiba bergerak dan membuka, seakan-akan

memberi jalan untuk bisa dimasuki. Memang benar, itu adalah pintu

rumah dari si kakek. Ia kemudian bergegas masuk, langsung menuju

lemari yang penuh berisi buku-buku tebal. Kakek ini menuju sisi kanan

atas lemari ini.

“Barrimu Sesethi,” ia terus berguman dan matanya mencari-cari di

tumpukan buku-buku itu.

“Aha!” serunya.

Page 4: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 4 ©Made Hery Santosa

Ia kemudian menarik sebuah buku tebal bersampul kecoklatan yang agak

lusuh dan sedikit berdebu itu dari lemari buku. Ia menaruhnya di meja dan

mulai membuka halaman demi halaman buku itu. Mulutnya berguman

Barrimu Sesethi terus menerus.

Diluar sana, mata bulat gadis kecil itu terus mencari-cari Donna setelah ia

pergi menghilang. Iapun duduk di kebun ini diatas rerumputan hijau

sambil bermain. Tangan-tangan mungilnya mengambil daun-daun kering,

mencabuti rumput, ‘memanggil-manggil’ ayam dengan melambaikan

tangannya. Donna masih belum kelihatan lagi.

Kakek itu berhenti pada halaman 515 dan terpaku pada satu bagian yang

telah dilingkari dengan tinta tebal. Barrimu Sesethi, begitu tulisannya.

Ia membaca kalimat yag ditandai pada halaman itu.

“Barrimu Sesethi adalah campuran elemen. Elemen api yang panas

membara dan mematikan namun membuat abu kesuburan. Elemen air

yang tenang namun bisa menghanyutkan. Elemen udara yang sejuk

namun bisa menghancurkan. Elemen tanah yang subur namun bisa

mematikan.”

Cuma itu. Ia mencari-cari lagi, membolak balik halaman tersebut. Ia tidak

menemukan apapun. Si kakek tampak lelah. Ia tidak sadar memejamkan

matanya dan tertidur.

“Halo gadis kecil,” sapanya.

Gadis kecil itu hanya melambai-lambai, tersenyum riang.

“Aku menemukan Barrimu Sesethi untukmu.”

Gadis kecil itu mendekat, berusaha mengelus-elus bulu lembutnya. Mata

mereka saling tatap.

Page 5: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 5 ©Made Hery Santosa

Kakek itu tiba-tiba terbangun dari tidurnya yang tak disengaja. Badannya

terguncang sedikit.

“Aku harus mencari gadis itu lagi.”

Ia menutup buku tebal itu. Tak sengaja, matanya melihat sobekan kecil di

ujung sampul depan buku itu. Ia meneliti sebentar. Dituntun instingnya, ia

merobek sampul itu, dan raut mukanya langsung berubah. Ada potongan

kain lusuh yang tampaknya terbuat dari kulit kambing. Ia menarik kain itu.

Ada semacam gambar di bagian tengah kain itu. Lingkaran berisi tulisan

aneh di sekelilingnya.

“Ommi. Linous. Crosui. Canasi. Ki.”

“Apa ini?”

Ia membalik kain lusuh itu. Ada semacam potongan-potongan gambar.

Seperti puzzle. Semuanya tampak bagai mata bulat besar, ada rahang

bergigi banyak, ada bulu halus kuning, ada warna emas berkilat, ada

logam bulat terukir penuh pendar.

Kakek itu mencoba memutar-mutar potongan kain itu. Membolak-

baliknya.

“Apa arti semua ini? Apa makna kata-kata dan potongan-potongan

gambar ini?” batinnya.

Ia bergegas menuju pintu akan keluar. Akar-akar itu langsung

membukakan jalan baginya untuk keluar. Sambil membawa potongan

kain lusuh itu, kakek berjalan pelan dan sebentar-sebentar bergumam.

“Ommi. Linous. Crosui. Canasi. Ki.”

“Potongan gambar-gambar,” lanjutnya.

Page 6: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 6 ©Made Hery Santosa

Ia terus melangkah di jalan setapak menuju lubang penuh cahaya tadi.

“Mungkinkah?”

“Erat hubungannya.”

Ujung lubang sudah dekat. Ia bersiap. Sesampainya diujung lubang itu,

cahaya terang langsung menerpa tubuhnya. Seketika itu, tubuhnya

menyusut, berubah kecoklatan dengan kaki empat, telinga panjang dan

dua gigi depan tonggos.

Donna kemudian berlari kencang menuju ujung lubang satunya lagi. Ia

harus cepat. Hari sudah sore. Ia tahu, gadis kecil itu biasanya kembali

bermain di bawah pohon mangga di taman dekat kolam itu sebelum

kembali esok hari. Namun, ia harus bertemu dengannya hari ini, segera.

Ia sampai pada ujung lubang yang menuju taman di sebelah kolam ikan

ini. Pepohonan kayu manis masih berdiri tegak berjejer. Donna keluar dan

melihat gadis kecil riang itu sedang bermain dengan asik. Ia mengambil

daun-daun kering, rumput-rumput hijau, dan tanah coklat subur.

Gadis itu melihat Donna. Ia langsung menunjuk-nunjuk. Donna tahu, ia

mendekatinya. Gadis kecil itu bergerak dan berusaha mengelus bulu

lembutnya. Donna sangat menikmati elusan sayang gadis kecil ini. Ia

berusaha menatap mata gadis ini.

“Aku kembali padamu, gadis kecil.”

Gadis itu, karena belum bisa berbicara, tampak mengangguk dan

tersenyum.

“Apa engkau pernah mendengar Barrimu Sesethi? tanyanya.

Gadis itu menggeleng. Ia tetap mengelus-elus Donna.

Page 7: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 7 ©Made Hery Santosa

“Barrimu Sesethi adalah kumpulan elemen dasar di bumi ini. Ada api, air,

udara, dan tanah. Masing-masing memiliki kebaikan dan keburukan.” kata

Donna.

Mata mereka tetap saling tatap.

Gadis kecil itu tampak belum sepenuhnya paham, namun mengangguk.

“Di dalam elemen-elemen itu, ada unsur-unsur dasar sifat bernama Ommi,

Linous, Crosui, Canasi, dan Ki,” lanjutnya.

Gadis itu kelihatan tambah tidak mengerti. Ia menggeleng-geleng

kepalanya.

“Dengarlah gadis riang, elemen-elemen itu penting sekali dipahami.

Unsur-unsur dasar selanjutnya yang menuntun hidup. Ommi adalah

burung hantu, lambang kebijaksanaan, juga gelap malam.”

Gadis kecil itu mulai menyimak.

“Linous adalah singa, lambang kekuatan, penghormatan, juga kekuasaan,”

lanjutnya.

Gadis itu menatap mata Donna dan tersenyum.

“Crosui adalah buaya, lambang dari pemangsa, tipu daya, namun kuat dan

cekatan.”

Donna mendekatkan tubuhnya lagi sehingga gadis kecil itu kini bisa

memegang telinga panjangnya.

“Canasi, Donna melanjutkan, adalah burung kenari, lambang ceria, riang,

namun bisa kecil dan lemah.”

Donna menggeliat-geliat ketika tangan mungil gadis itu berusaha

memeluknya.

Page 8: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 8 ©Made Hery Santosa

“Dan Ki, adalah energi, lambang pengikat semua elemen dan unsur

tersebut. Ia selalu berpendar menetralisir keekstreman.”

Donna kemudian melanjutkan, “Aku paham, engkau belum paham. Tidak

apa-apa, gadis kecil. Engkau bisa menemuiku setiap saat.”

Gadis kecil itu menatap mata Donna sekali lagi dan mengangguk.

“Lihat, ibumu sudah datang menjemput. Ketika engkau sudah besar,

engkau bisa bercerita tentang percakapan kita ini.”

Sumber Gambar

Sumber Tulisan

Page 9: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 9 ©Made Hery Santosa

BAGIAN II

ARANES DAN TELUR NAGA

Rambut panjang yang sudah memutih itu menutupi punggung

bungkuknya. Ia sedang duduk di atas kayu jati yang tampaknya sudah

cukup tua. Tongkat kayu coklat kehitaman yang terbuat dari Oak

tergeletak di samping kiri tempat duduknya. Ia tampak asyik melihat

koleksi buku-bukunya.

“Siapa dia?” batin Aranes. Ia duduk di lantai kayu di bawah, membelakangi

orang tadi.

“Selamat malam,” sapa Aranes, dengan sedikit takut. Dari belakang, orang

tua ini kelihatan tak ramah.

“Ada apa Aranes?” orang itu membalas sapaannya. Aranes terkejut.

“Darimana ia tahu namaku?” batinnya.

Page 10: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 10 ©Made Hery Santosa

“Mmm, begini… Saya datang kesini, ingin…”

“Aku sudah tahu,” suara renta itu berat, seakan menyambar Aranes.

Aranes lagi-lagi terkejut. Bagaimana kakek tua ini tahu pikirannya.

“Namun, sebelumnya ijinkan aku menceritakan hal ini,” lanjut kakek itu.

***

Donna sibuk memakan rumput hijau yang melimpah di kebun ini. Lama ia

tak melihat gadis kecil yang ia temui lalu. Kemana gerangan gadis mungil

itu? Sakitkah? Selesaikah ia mengunjungi arena bermain ini? Batinnya

terus bertanya-tanya sambil tetap asyik mengunyah rumput lezat

dihadapannya (Sebagai rujukan, tolong dibaca cerita “Donna, Kelinci Ajaib

sebelumnya).

Ia ingat, beberapa hari lalu ia bertemu dengan seorang pemuda berambut

hitam keabuan, bertelinga sedikit runcing. Pemuda itu menghampiri ketika

ia sedang duduk menghadapi rak buku-buku yang merupakan sumber

pengetahuannya selama ini. Pemuda itu tampak lelah namun matanya

tetap penuh nyala semangat.

Aranes, demikian namanya, duduk bersila di balik punggungnya. Ia agak

sedikit gemetar. Tangannya meremas-remas ujung baju perang yang

terbuat dari kulit bison tebal.

Janggut kakek melambai sebentar karena tiupan angin. Musim gugur kali

ini terasa lebih dingin dari sebelumnya, namun perapian hangat selalu

melakukan tugasnya dengan baik.

***

“Aranes, ada dua buah telur naga yang berwarna kebiruan dihadapanmu.

Telur-telur ini merupakan jenis naga dari pegunungan berapi Naria yang

Page 11: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 11 ©Made Hery Santosa

penuh bebatuan panas. Jika engkau disuruh memilih, telur manakah yang

paling baik?” tanya sang kakek.

Aranes diam. Ia merasa tidak tahu banyak tentang naga atau telurnya.

“Ayo, gunakan akal yang paling baik,” suara kakek tua itu menyentak

hening Aranes.

“Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu,” sahut Aranes, kebingungan.

“Jawablah. Aku tahu engkau bisa,” kakek itu membalas kebingungan

Aranes.

Aranes kemudian ingat. Dulu, ibunya sering memberitahu cara

mengetahui telur yang baik dan tidak. Ia bisa mengangkat dan merasakan

telur yang ringan dan berat. Jika ringan, itu tandanya telur tersebut tidak

baik; tentu saja tidak akan mungkin menetas.

Ia kemudian berkata, “Bolehkah aku mengangkat telur-telur ini?”

“Tentu saja,” sahut sang kakek.

Aranes kemudian mengangkat telur-telur naga itu. Ia rasakan yang mana

yang lebih ringan. Setelah beberapa lama, ia merasa kedua telur itu tidak

ada yang lebih ringan daripada yang lain.

“Bagaimana, sudahkah engkau tahu jawabannya?” tanya kakek itu.

“Belum,” sahut Aranes.

Aranes kebingungan kembali. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba,

ia ingat cara lain untuk mengetahui telur yang baik.

“Bolehkah aku merendamnya di wadah berisi air?”

“Tentu saja boleh,” kakek itu menjawab, sedikit tersenyum.

Page 12: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 12 ©Made Hery Santosa

Aranes kemudian langsung mencari wadah dan mengisinya dengan air. Ia

mengambil satu telur dan mencelupnya di wadah berisi air tersebut. Telur

tersebut tidak mengambang. Ia lalu mengambil telur kedua dan

mencelupnya di wadah tadi. Telur kedua ini juga tidak mengambang.

Artinya, kedua telur itu baik. Aranes tampak bingung lagi.

Ia kemudian ingat beberapa fragmen mengenai naga yang ia pernah baca

atau tonton.

Ia pernah membaca cerita Eragon dimana Saphira, naga kebiruan yang

perkasa yang menjadi tunggangan Eragon di medan perang. Ia adalah

naga yang lahir dari telur – pada awalnya hanya dikira batu besar

berwarna biru -yang ditemukan secara tidak sengaja oleh Eragon.

Pertemanan keduanya mengalami pasang surut namun menjadi bumbu

penguat persahabatan mereka.

Aranes juga pernah melihat naga, paling tidak bagaimana ia

dipersepsikan, di beberapa film. Di film Lord of the Rings, naga ini

ditunggangi oleh para Nazgul – dulunya sembilan raja penerima cincin

simbol kekuatan, namun kemudian dibutakan oleh ketamakan akan

kekuasaan itu sendiri. Witch-king of Angmar juga menunggangi salah satu

naga yang menyerang raja Theodon ketika perang. Naga dan

penunggangnya kemudian bisa dibunuh oleh Eowyn, keponakan raja

Theodon dengan bantuan Merry, teman Frodo, Sam dan Pippin, seorang

Hobbit. Naga ini juga terus menerus mencari Frodo yang bersama Sam

sedang berjuang menuju gunung api Mordor.

Ada juga fragmen mengenai naga yang berkelebat di benak Aranes. Naga

bijak penuntun jalan Merlin dalam usahanya membantu Arthur muda

menjadi raja dalam serial Merlin. Naga itu bersuara tidak berat dan selalu

ingin Merlin berjanji melepaskannya setelah memberi petunjuk. Naga

dipercaya telah hidup ribuan tahun sehingga bisa memberi gambaran

akan situasi tertentu yang manusia belum pernah temui sebelumnya.

Page 13: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 13 ©Made Hery Santosa

Ia juga ingat akan sebuah fragmen tentang naga Ukrainian Ironbelly yang

berkulit pucat, mungkin karena tidak pernah terkena sinar matahari, dari

cerita Harry Potter and the Deathly Hallows yang diikat di kedalaman bank

Gringotts untuk mencegah penyusupan. Naga tersebut kemudian malah

menjadi jalan keluar Harry Potter dan teman-temannya dari penjagaan

super ketat bank di dunia sihir tersebut.

Yang paling berhubungan dengan situasinya saat ini adalah fragmen

tentang naga jenis Hungarian Horntail yang harus dilawan oleh Harry

Potter dalam film Harry Potter and the Goblet of Fire. Ketika itu, Harry

Potter harus berjuang keras menghadapi naga ganas tersebut dalam

usahanya merebut telurnya karena telur tersebut adalah kunci ke

pertandingan selanjutnya.

Semua fragmen itu berdatangan satu-persatu dalam benaknya. Satu

fragmen terakhir tadi seaakan menuntunnya pada sebuah jawaban. Ia

tahu, ia harus memutuskan, menjawab pertanyaan kakek tua ini.

“Baiklah,” kata Aranes, “Aku memilih telur ini.”

Ia menunjuk telur di sebelah kanannya. Kalau diteliti, tidak ada ciri yang

cukup signifikan berbeda dari telur yang satu lagi.

“Mengapa telur ini?” tanya sang kakek.

“Oh, aku hanya memilih secara acak. Aku pilih telur di sebelah kananku ini

karena aku yakin ia lebih baik dari yang satunya lagi,” lanjutnya.

“Hmmm, menarik sekali. Apa alasanmu?” tanya kakek itu, untuk kali kedua.

“Aku tahu jika aku memilihnya, aku akan bertanggung jawab terhadapnya

dan memberikan yang terbaik untuk pilihan itu. Pilihan itu akan selalu ada,

kadang tidak ada yang baik atau yang buruk. Namun ketika kita sudah

memilih, itu berarti kita sudah memberanikan diri menjatuhkan pilihan

Page 14: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 14 ©Made Hery Santosa

pada suatu hal termasuk menghadapi resikonya. Yakinlah dan jalani yang

terbaik. Rawatlah pilihan itu,” tutur Aranes panjang lebar.

“Menarik, menarik sekali anak muda!” mata kakek itu sedikit bersinar.

“Nah, karena engkau sudah memilih telur di sebelah kananmu, engkau

boleh membawa dan merawatnya, dengan penuh hati-hati dan tanggung

jawab, seperti yang engkau katakan sebelumnya,” kata kakek itu.

Seperti penggalan kisah di fragmen terakhir diatas tadi. Harry Potter

mengambil sendiri pilihannya – melalui undian, kebetulan itu pilihan

terakhir – dan melakukan tugasnya untuk mengambil telur naga terganas

itu, dengan baik.

“Jika telur yang kau pilih ini kelak bisa memberimu jawaban atas hidupmu,

kembalilah padaku. Saat itu, aku akan memberi pilihan lagi,” kata kakek itu

kembali.

Sumber Gambar

Sumber Tulisan

Page 15: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 15 ©Made Hery Santosa

BAGIAN III

KISAH TEROPONG GALILEO, PALANTIR, BUKU DAN

PEDANG DI UNIVERSITAS LEIDEN

Hari sudah gelap. Musim dingin kali ini terasa lebih dingin dari

sebelumnya dan matahari jauh lebih cepat terggelam. Aku mematikan

lampu dan menutup pintu kantorku. Seperti biasa, aku adalah orang

terakhir yang pulang dari kantor ini. Caroline, temanku yang cantik, sudah

lebih dulu pulang.

Aku menyusuri anak tangga menuju lantai 2. Udara dingin langsung

menampar pipi kering ini. Untung, aku selalu menyiapkan syal dan topi

kupluk serta selop tangan tebal sebagai antisipasi cuaca dingin ini.

Sepanjang jalan, hanya suara angin yang aku dengar. Kutengadahkan

kepalaku, bintang sepertinya enggan. Bulan purnama kali inipun tersaput

kabut.

Ketika melewati jalan setapak di gedung Pusat Penelitian Bio-Research,

mataku tak sengaja melihat 2 cahaya berpendar di kejauhan. Kadang

berkedip. Semakin dekat, aku sadar, ia hanya seekor binatang. Namun,

aku masih ragu, apa ia wallaby, sejenis kangguru tapi lebih kecil, atau

kelinci yang besar. Tampak dua kuping lebar dan tinggi menjulang. Ia

berhenti, sambil mengunyah, ia menatapku.

Page 16: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 16 ©Made Hery Santosa

Aku seperti mengenalnya. Kelinci coklat ini tampak seperti Donna, kelinci

yang pernah aku ceritakan sebelumnya (untuk lebih jelasnya, silahkan

baca cerita ‘Kelinci Ajaib’ dan ‘Telur Naga’). Kali ini, ia seperti nyata.

“Engkau nyata,” kataku.

Ia tampak mengangguk. Aku tidak yakin. Tapi, kepalanya naik turun.

Mulutnya terus mengunyah sesuatu, mungkin rumput.

***

“Dimana ini?” aku bertanya-tanya.

Mataku menatap sekeliling rumah yang temaram ini. Kubuka mataku lebih

lebar lagi. Aku terbaring di lantai beralaskan karpet krem. Lantainya kayu

berwarna coklat. Dindingnya seperti dari kayu juga. Ada rak berisi banyak

buku tebal di kiri ruangan ini. Perapian di sebelah kananku memberi

hangat yang membuat nyaman tubuhku. Di depan perapian, aku melihat

seseorang duduk di kursi goyang, membelakangiku.

“Halo,” kataku. “Aku ada dimana?” aku memberanikan diri untuk bertanya.

Orang itu diam saja. Namun ayunan kursi goyangnya berhenti.

“Mengapa aku ada disini?” tanyaku lagi.

Ia tampak melipat buku yang dibacanya kemudian ia bangkit dari kursi itu.

Aku tersentak! Tampak wajah keriput berjanggut panjang. Ia tampak

menyeramkan di ruangan yang temaram ini. Tongkat kayunya menjulang

dihadapanku.

“Bangun,” katanya. Suaranya pelan, terdengar berat.

Aku bangkit dari tidurku, dan duduk di karpet krem sambil memeluk

lututku.

Page 17: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 17 ©Made Hery Santosa

“Ah!” Aku terkejut. “Kenapa kakiku?”

Kakiku, kini bengkok, berjumlah empat. Aku benar-benar tidak menyadari

hal ini sebelumnya.

“Kenapa kakiku? Kau apakan kakiku?” tanyaku, setengah menuduh.

“Bukan aku yang membuat kakimu begitu,” sahut kakek itu.

“Lalu, mengapa ia menjadi seperti ini?” tanyaku. “Sebelumnya tidak

begini!” aku histeris.

“Aku tidak tahu. Yang aku tahu, engkau memilihnya sendiri” sahutnya.

Aku tak mengerti. Baru saja aku melihat seekor kelinci di pelataran parkir

di jalan setapak menuju rumahku. Kini, aku berada di rumah kayu

temaram ini.

“Dengar, aku tidak memilih apa-apa,” kataku. “Jadi, jangan membuat-buat

sesuatu yang aku tidak lakukan,” kataku lagi.

“Dengar anak muda, aku tidak membuat-buat cerita,” katanya.

“Sekarang,coba engkau berjalan ke arah rak buku itu,” lanjutnya.

Aku mencoba bangkit. Tertatih-tatih aku mencoba berjalan. Aku

terhenyak. Aku tidak lagi berjalan tegak namun merangkak.

“Ya Tuhan, kenapa ini?” benakku berkecamuk.

Perlahan, aku bisa mencapai rak buku yang dimaksud.

“Sekarang, coba ambil buku tebal nomor dua dari kiri di rak paling bawah.

Buku itu bersampul kulit rusa berwarna coklat,” kata kakek tua itu.

Aku mencoba mencari-cari buku yang dimaksud. Mataku tertumbuk pada

satu buku berwarna coklat tua. Aku tahu, buku itu yang dimaksud. Aku

Page 18: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 18 ©Made Hery Santosa

kemudian menarik perlahan buku tebal itu. Namun, seiring tarikanku,

sebuah gulungan perkamen ikut keluar. Warnanya coklat lusuh. Sekilas,

aku melihat beberapa figur dan lingkaran.

“Apa ini?” aku mengeryitkan alis.

“Sudah kau temukan bukunya?” tanya kakek itu.

“Su, sudah,” kataku agak tersentak karena ia mengagetkanku.

“Bawa kesini,” katanya lagi. Aku menyelipkan gulungan perkamen itu di

lengan baju panjangku, kemudian merangkat ke dekatnya.

Aku kemudian merangkak lagi, menuju kakek tua itu. Aku sodorkan buku

tua itu kepadanya. Aku menunggu. Ternyata kakek tua itu hanya diam dan

duduk kembali di kursi goyangnya. Sambil menghadap perapian, ia

berguman sambil mebaca buku yang aku berikan. Akupun terdiam, tak

tahu harus bagaimana. Dalam diam, aku mulai terusik oleh perkamen

yang aku lihat tadi. Perlahan, aku merangkak menuju rak buku di dekatku.

Kakek itu hanya menoleh sebentar, kemudian asyik membaca sambil

berguman.

Hening aku rasakan. Hanya guman kakek itu sesekali aku dengar.

Beberapa waktu kemudian, aku tidak lagi mendengar gumannya. Hanya

dengkur halus memenuhi ruang temaram ini. Aku sedari tadi hanya

memeluk kedua kakiku dengan tanganku, well, kini menjadi kakiku. Aku

tidak berani juga tidak tahu harus berbuat apa ketika kakek itu masih

terjaga. Sekarang ia tertidur, aku memberanikan diri untuk membaca

perkamen yang aku ambil tadi. Sambil menikmati hangat perapian di

ruangan ini, aku perlahan mengeluarkan gulungan perkamen tadi. Aku

mencoba membuka gulungan tersebut. Pelan-pelan.

Perlahan, melihat beberapa garis, motif dan figur, semacam lambang. Ada

tiga lambang yang ukurannya lebih besar dari garis dan motif lainnya. Aku

Page 19: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 19 ©Made Hery Santosa

merunduk, memperhatikan lambang tersebut, agar lebih seksama, satu-

persatu.

Lambang pertama dari perkamen ini seperti pipa lonjong berukuran

sekitar 30 sentimeter. Ujung satu dengan ujung lainnya berbeda ukuran,

kecil dan lebih besar sepersekian sentimeter. Aku melihatnya seperti

teropong sederhana. Sama sederhananya dengan teropong pertama

buatan Galileo Galilei ketika mencoba mengamati Jupiter dan bulannya.

Saat itu, di tahun 1909-1010, ia berhasil memperbesar objek angkasa

sampai 30 kali dari aslinya. Tiap hari, ia mengamati fenomena astronomi,

termasuk Jupiter. Ia kemudian menemukan tiga benda bulat lainnya suatu

malam, yang kemudian disebut satelit atau bulan. Di malam lainnya, ia

menemukan empat. Begitu seterusnya. Ia kemudian sadar, bahwa benda-

benda bulat kecil ini mengelilingi Jupiter yang lebih besar dari mereka. Ia

menemukan kalau benda-benda kecil itu tertarik oleh sesuatu yang tidak

kelihatan untuk tetap mengelilingi Jupiter. Akan ada suatu waktu, mereka

tertutup oleh penglihatan (seperti fenomena gerhana). Itulah sebabnya

kadang ia melihat hanya tiga bulan saja. Hal ini tentu saja hal biasa saat

ini, namun ketika Galileo menemukannya, itu penemuan luar biasa.

Sesuatu yang mendukung Copernicus, sesuatu yang juga mengusik

kenyamanan pandangan orang-orang umumnya, utama pihak Gereja

yang memiliki pengaruh kuat akan konsep “Semua yang ada diciptakan

oleh dan atas kehendak Tuhan” (kemudian dikenal dengan konsep

heliosentris versus geosentris).

Namun, bayanganku tentang teropong ini tidaklah sejauh itu. Tidak ada

keterangan apa-apa di atas, bawah, dan sekitar lambang pertama ini. Aku

belum paham. Aku melanjutkan pandanganku ke lambang kedua.

Lambang kedua ini berbentuk lingkaran, seperti iris, satu bagian mata.

Ada satu lingkaran kecil di tengahnya, lebih hitam. Tentu saja ia tidak

berwarna apa-apa, kecuali kecoklatan di perkamen lusuh ini. Tidak seperti

iris yang bisa berwarna hijau, biru, coklat dan lainnya. Itulah sebabnya,

Page 20: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 20 ©Made Hery Santosa

bagian mata dinamai iris, mengambil nama dewi pelangi menurut orang

Yunani kuno. Di bagian luarnya, terdapat beberapa corak berbeda-beda,

kadang bulat, kadang garis.

“Apa ia Palantir?” gumanku.

Palantir adalah batu bulat magis imaginasi Tolkien. Salah satunya,

Orthanc, adalah palantir yang digunakan oleh Saruman dalam karangan

Lord of the Ring: The Two Towers untuk berkomunikasi dengan Sauron.

Sekali lagi, tidak ada keterangan lanjutan dari lambang ini. Hanya itu.

Akupun hanya bisa meraba-raba, menginterpretasi. Akupun terdiam

sesaat. Terdengar dengkur si kakek tua agak keras dari sebelumnya. Ia

menggumankan sesuatu, namun aku tidak begitu jelas mendengarnya.

Aku kemudian lanjut membuka gulungan perkamen ini. Ada lambang lain

diujungnya.

Lambang ketiga ini menyerupai kotak-kotak kecil dalam jaring yang

tergantung. Disampingnya ada benda pipih panjang dengan tangkai ada

di bagian atas. Sama, tergantung juga. Benda-benda ini mirip dengan

kumpulan buku dan pedang tergantung yang pernah aku lihat

sebelumnya di Universitas Leiden, Belanda. Beragam buku dikumpulkan

dan dijadikan satu dengan wadah jaring besar, kemudian digantung di

langit-langit gedung. Disampingnya, sebuah pedang besar tergantung

terbalik. Persis!

Namun, sekali lagi, aku tidak menemukan keterangan apa-apa di sekitar

lambang ini. Aku mencoba membolak-balik perkamen lusuh ini. Mencoba

menemukan sesuatu yang bisa membantuku memahami isi perkamen ini.

Tapi, tidak satu keteranganpun aku bisa temukan. Aku coba mencari di

sela-selanya, berharap sesuatu ada didalamnya, namun perkamen ini tidak

punya celah.

Page 21: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 21 ©Made Hery Santosa

Aku kembali menggulung perkamen itu dan memasukkannya ke kantung

celanaku. Aku memutuskan untuk menyimpannya.

“Apa yang kau baca?” tiba-tiba, suara berat mengagetkanku. Kakek itu

sudah bangun dan matanya tajam menatapku.

“Oh, ti.. tidak aaadaa,” jawabku, gemetar.

Kakek itu bangkit. “Tidak apa-apa, aku melihatmu memegang perkamen

itu.” Ia beringsut, mendekatiku.

Akhirnya, aku mengeluarkan perkamen tadi. Aku menceritakan apa yang

aku lihat dan pikirkan.

“Begitukah yang engkau pikir? tanyanya. Suaranya seperti melembut

sedikit.

“Iya, begitu. Mungkin itu hanya interpretasi dari pengalamanku saja. Bisa

saja kurang tepat. Bagaimana menurutmu, Kek? tanyaku.

“Oh, aku lebih tertarik dengan apa yang engkau artikan dari lambang-

lambang itu. Aku ingin tahu lebih lanjut kenapa,” sahutnya, dengan

senyum lebih manis kali ini.

“Well,” kataku, “aku melihat lambang pertama sebagai teropong karena

bentuknya memang seperti teropong menurutku. Aku menonton kisah

Galileo dalam film dokumenter berjudul ‘Did God create the Universe?’

yang berisi pemikiran Stephen Hawking mengenai terjadinya alam

semesta. Galileo dikisahkan meneropong Jupiter dan menemukan bulan-

bulan tersebut berotasi pada Jupiter. Saat itu, temuannya termasuk

menggegerkan pandangan bahwa bumi itu datar dan semua atas

kehendak Tuhan, minim dasar ilmiah. Hingga ia harus dipenjara dan

menderita karena pandangannya tersebut. Aku pikir, kadang kita harus

Page 22: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 22 ©Made Hery Santosa

melihat, mengindentifikasi sesuatu, agar lebih jelas menggunakan alat

yang tidak biasanya.”

“Menarik sekali!” jerit kakek tua itu. “Aku tidak menyangka engkau

memaknainya demikian. Jauh dari apa yang aku dulu pikirkan dulu,”

sambungnya. “Bagaimana dengan lambang kedua?” tanyanya kemudian.

“Seperti aku ceritakan, lambang kedua itu aku lihat seperti iris, bagian

mata. Dari bentuknya memang tidak mirip sekali, apalagi warna, karena

memang lambang kedua itu tidak berwarna. Tapi aku berimajinasi kalau

itu iris, yang bisa menampung cahaya, yang bisa berwarna berbeda-beda.

Selain iris, palantir juga masuk ke benakku. Lebih pada fungsinya

membantu melihat sesuatu yang jauh, yang tidak selalu tampak,” aku

berbicara panjang lebar mengenai inpterpretasiku terhadap lambang

kedua itu.

“Wow, sampai seperti itukah engkau melihatnya?” ia bertanya. “Aku dulu

melihatnya berbeda sekali,” sambungnya.

Sudah dua kali kakek itu mengatakan “Dulu aku berpikir atau melihatnya

berbeda.” Aku bertanya, “apa engkau pernah melihat perkamen ini

sebelumnya, Kek?”

“Oh iya, beberapa tahun yang lalu. Waktu itu, aku menemukannya di

dalam tongkat Oak yang aku pakai sekarang” katanya. Tapi sudahlah, aku

ingin tahu bagaimana engkau melihat lambang ketiga itu.

“Lambang ketiga itu, mirip sekali dengan apa yang aku pernah lihat

sebelumnya tergantung di salah satu gedung di Universitas Leiden di

Belanda. Buku-buku dimasukkan dalam jaring kuat dan besar kemudian

digantung. Benda pipih panjang itu juga mengingatkanku akan pedang

besar yang tergantung di sebelah buku-buku tersebut. Waktu itu, aku

senang sekali melihatnya, penuh estetika. Begitu akademis kesannya

dalam bangunan kuno berarsitektur Eropa kental. Rasanya itu seperti

Page 23: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 23 ©Made Hery Santosa

tempat pencarian ilmu terindah. Dengan buku-buku (dan sumber lainnya)

aku tahu kita bisa belajar, bisa berkontribusi. Dengan pedang, aku pikir

kita bisa memilah, bisa mengasah, namun bukan membunuh,” tutupku.

“Wah, imaginasimu sungguh liar! Aku dulu tidak melihatnya demikian,” ia

lagi menenekankan hal itu.

Aku terdiam sejenak. “Seperti yang aku bilang sebelumnya, Kek, apa yang

aku lihat bisa saja berbeda dari orang lain. Kakek selalu bilang dulu tidak

seperti itu. Kalau aku boleh tahu, seperti apakah dulu Kakek lihat

lambang-lambang itu?” tanyaku.

“Oh, aku hanya melihatnya sebagai pipa air, bola, dan karung beras serta

besi pengecek kualitas beras,” sahutnya.

“Kenapa begitu, Kek?” tanyaku.

“Ah, sudahlah, aku sudah lupa,” jawabnya, seperti membiarkan

pandangannya terhadap lambang-lambang tersebut lepas, liar, dan penuh

misteri. “Baiklah, aku mau melanjutkan tidurku,” lanjutnya lagi.

Ia berjalan ke dalam ruangan lain dan tak lama aku mendengar dengkur

halusnya. Di sudut ruangan temaram ini, aku memeluk kembali erat kedua

kakiku. Hangat perapian masih baik. Di luar sana, salju turun dengan lebat.

Jalanan pasti tertutup salju tebal esok hari. Tak sadar, akupun tertidur

karena kelelahan.

***

Aku tersentak. Seperti terbangun dari mimpi. Aku masih ada di jalan tadi

melihat kelinci coklat itu di kejauhan. Ia menatapku, lama. Aku tertegun. Ia

kemudian melompat-lompat menjauh, menuju pepohonan di belakang

mobil-mobil yang parkir di tempat parkir nomor 3 ini. Aku sempat melihat

Page 24: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 24 ©Made Hery Santosa

ia melompat-lompat ketika sebuah bus lewat menghalangi pandanganku.

Ia kemudian menghilang.

Sampai sekarang, aku belum mengerti arti lambang-lambang di perkamen

itu. Mungkin saja itu kertas lusuh biasa yang tak bermakna apa-apa. Aku

bisa saja membayangkan lambang-lambang tersebut sebagai teropong,

mata, dan buku pedang saat ini. Namun, aku tidak mau membatasi arti

dan makna dengan berhenti pada interpretasi sebelumnya. Seperti ayah

Hugo dalam film Hugo, berkata “A mystery will always make you happy.”

Aku tahu rasa ingin tahu akan membuatmu terus belajar dan

berimaginasi. Bukankah Einstein berkata “The most important thing is not

to stop questioning. Curiosity has its own reason for existing.”

Sumber Gambar: Teropong Galileo, Palantir, Buku & Pedang: ©Santosa Photography

Sumber Tulisan

Page 25: Donna, Kelinci Ajaib: Sebuah Trilogi

Trilogi Donna, Kelinci Ajaib 25 ©Made Hery Santosa

Rekan pembaca, terima kasih sudah membaca sampai habis. E-Book ini

bisa diunduh dan disebarluaskan dengan sepengetahuan saya. Karena

masih belajar, saya yakin ada banyak kekurangan. Sekali lagi, saya dengan

senang hati menerima masukan konstruktif pembaca sekalian. Selamat

berbagi!