etika kristen

10
BAB XIII ETIKA KAPITA SELEKTA 1. Korupsi Kata Latin corruptus, (corrupt) menimbulkan serangkaian gambaran kejahatan; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan. Ada nada moral pada kata tersebut (Klitgaard, 2005). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri , yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut: - perbuatan melawan hukum ; - penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; - memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; - merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya: 1

Upload: leonardosibarani

Post on 15-Sep-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

etika kristen

TRANSCRIPT

BAB XIII

ETIKA KAPITA SELEKTA

1. Korupsi Kata Latin corruptus, (corrupt) menimbulkan serangkaian gambaran kejahatan; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan. Ada nada moral pada kata tersebut (Klitgaard, 2005). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:

perbuatan melawanhukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya: memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara); menerima gratifikasi (bagipegawai negeri/penyelenggara negara).Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalahkleptokrasi, yang arti harafiahnyapemerintahan oleh para pencuri,dimanapura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politikada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Sementara itu, salah satu definisi korupsi menurut kamus lengkap Websters Third New International Dictionary (dalam Klitgaard, 2005) adalah ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas.Selain itu, Klitgaard (2005) mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.Kemudian, Philip (dalam Saidi, dkk, 2006) menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga pengertian luas yang dapat digunakan untuk berbagai pembahasan tentang korupsi, yaitu :Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-centered corruption), yang didefinisikan tindakan pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kedua, pengertian korupsi yang dikaitkan dampaknya dengan kepentingan umum (public interest-centered). Jenis korupsi ini bisa terjadi jika pemegang kekuasaan atau pejabat publik, yang menerima imbalan tertentu, sehingga merusak kepentingan publik. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) dengan menggunakan teori pilihan publik, sosial dan ekonomi di dalam kerangka analisa politik. Dalam konteks ini korupsi dianggap lembaga ekstra legal yang digunakan individu atau kelompok untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi.

Atas dasar ketiga pengertian korupsi diatas, maka Leiken (dalam Saidi, dkk, 2006) merumuskan pengertian korupsi, yakni korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik untuk mendapatkan keuntungan (material) pribadi atau kemanfaatan politik.Sedangkan tindak pidana korupsi menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.Selain itu, tindak pidana korupsi menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.Kemudian dalam Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.

Selanjutnya, Pope (dalam Saidi, dkk, 2006) menegaskan bahwa :

Korupsi dapat terjadi jika ada kesempatan dan keinginan dalam waktu bersamaan. Kesempatan (structural) dan keinginan (cultural) sangat memegang penjelasan kunci bagaimana korupsi itu bisa terjadi. Jika masalah peluang lebih berkaitan dengan ada-tidaknya kontrol, maka masalah keinginan lebih berkaitan dengan integritas moralitas yang dimiilki aktor. Keduanya, tidak bisa saling menafikan. Jika ada kesempatan tetapi tidak ada keinginan, maka korupsi tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika ada keinginan tetapi tidak ada kesempatan maka korupsi juga tidak akan terjadi.

Sedangkan tipologi korupsi menurut Alatas (dalam Saidi, dkk, 2006) ialah :1. Korupsi transaktif yaitu korupsi yang terjadi dalam bentuk suap antara pemberi dan penerima dalam bentuk saling menguntungkan (simbiose mutualistik).2. Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang terjadi akibat pungutan paksa dari pejabat atas jasa yang diberikan, sedangkan pihak luar terpaksa harus memberi karena terpaksa.3. Korupsi invensif yaitu pemberian hadiah atau jasa sebagai upaya investasi guna memperoleh kemudahan di masa yang akan datang.4. Korupsi nepotistik yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi kerabat dekat.5. Korupsi otogentik yaitu korupsi yang terjadi jika seorang penjabat menjual informasi rahasia kepada para peserta tender dengan imbalan tertentu.6. Korupsi suportif yaitu korupsi yang dilakukan secara jamaah dalam satu bagian dengan tujuan untuk melindungi dan mempertahankan praktik korupsi yang dilakukan secara kolektif.

Apakah Korupsi Melanggar Etika? Dalam konteks teori kekuasaan, dikatakan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang lain ke arah tujuan dari pihak pertama (Laswell dan Kaplan dalam Budiardjo, 2009). Dalam hal ini, ditinjau dari tujuan kekuasaan anggota DPR RI hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan negara Republik Indonesia yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan kecerdasan rakyat Indonesia. Oleh karena anggota DPR RI adalah wakil dari rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, maka teori kekuasaan diatas bersesuaian dengan teori perwakilan dimana menurut Fatwa (2004) bahwa:Perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat. Dengan demikian, yang bekepentingan terhadap lembaga perwakilan ini adalah rakyat, karena rakyat merupakan pihak yang diwakili atau selaku pihak yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk mewakili opini, sikap, dan kepentingannya kepada lembaga perwakilan didalam proses politik dan pemerintahan.

Selain itu, anggota DPR RI adalah juga sebagai politikus, maka menurut konsep etika politik yang dijelaskan oleh Haryatmoko (2003) bahwa politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya, serta memiliki keutamaan-keutamaan moral.Terkait dengan etika, maka etika (ethos) merupakan hakekat konsep nilai-nilai baik, buruk, apa yang seharusnya, yang benar atau yang salah, dan prinsip-prinsip umum yang dapat memberikan alasan tertentu dalam penggunaan penilaian terhadap sesuatu hal. Dengan mengambil contoh istilah perikemanusiaan, maka perikemanusiaan merupakan merupakan batas antara ada dan tidak ada perikemanusiaan, dan batas tersebut disebut ethos. Kata asal etika itu berarti pagar untuk membatasi gerak ternak agar supaya ternak tidak berkeliaran, dan tetap berada dalam lingkungan pagar tersebut. Lebih lanjut, ethos berarti batas, atau membatasi gerakan dan perbuatan, dan karena yang mampu melakukan perbuatan itu adalah manusia, maka ethos dimaksudkan sebagai batas perbuatan manusia. Dengan demikian, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang boleh dilakukan, atau perbuatan yang seharusnya, ataupun perbuatan yang sebaiknya dilakukan, yang berada dalam lingkungan batas tersebut. Jadi perbuatan seperti itu yang digolongkan sebagai perbuatan yang baik, perbuatan yang etik karena dilakukan dalam ethos (Suryaningrat dalam Garna, 2001).Sementara itu, apakah korupsi merupakan perbuatan yang baik?. Korupsi ditinjau dari asal katanya yakni corruptus, (corrupt) adalah perbuatan yang menimbulkan serangkaian gambaran kejahatan; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan (Klitgaard, 2005). Kemudian, definisi korupsi adalah sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi (Klitgaard, 2005).Selain itu tindakan korupsi adalah pertama, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Kedua, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).Dengan demikian, berdasarkan penjelasan, dan kaitan antara berbagai teori-teori diatas, serta peraturan perundangan yang ada, maka jelas kiranya bahwa KORUPSI (dengan mengacu pada kasus korupsi anggota DPR RI) ADALAH PERBUATAN atau TINDAKAN YANG MELANGGAR ETIKA.

1