etika dan filsafat komunikasi

14
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Persoalan Fenomena trend ‘follow’ media memang sangat diraskan sebagian masyarakat, ada yang begitu semangat untuk terus mengikuti berita terbaru pada media cetak berupa koran, majalah, dan lainnya yang memiliki informasi-informasi sesuai kebutuhan pembaca. Ada pula sebagian dari masyarakat yang menelan begitu saja apa yang diberitakan oleh pers tertulis, radio, televisi atau internet. Tidak sedikit orang yang tidak membaca sama sekali koran atau majalah. Lalu satu-satunya informasi yang diperoleh adalah dari televisi. 1 Saat ini di Indonesia sudah mengudara sebelas stasiun telvisi, satu TVRI dan sepuluh stasiun tv swasta. 2 Di fokuskan pada dua perubahan paling signifikan dalam kebijakan pertelevisian: transmisi satelit untuk siaran nasional sejak akhir 1970-an, dan satu dekade kemudian, privatisasi televisi. Dua hal tersebut berkaitan dengan pemerintahan di Asia yang seringkali melegitimasi kebijakan kebudayaan nasional mereka melalui kritiknya atas imperialisme kebudayaan Barat atau AS. Dalam perspektif ini, dipandang adanya ‘Westoxification’ atau dominasi kebudayaan Barat terhadap bangsa-bangsa Asia melalui satelit AS yang memfasilitasi (pengiriman) program televisi dari dan ke seluruh dunia. Bukan hanya budaya AS saja, malahan adanya 1 Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 145 2 Askurifal Baksin, Jurnalistik Televisi, Teori Dan Praktik, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009, hal.15 Nama : Anna Melya NIM : 13071047 Prodi : Ilmu Komunikasi

Upload: elvira

Post on 18-Jan-2016

38 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Etika Dan Filsafat Komunikasi

TRANSCRIPT

Page 1: Etika Dan Filsafat Komunikasi

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Persoalan

Fenomena trend ‘follow’ media memang sangat diraskan sebagian masyarakat, ada yang

begitu semangat untuk terus mengikuti berita terbaru pada media cetak berupa koran, majalah,

dan lainnya yang memiliki informasi-informasi sesuai kebutuhan pembaca. Ada pula sebagian

dari masyarakat yang menelan begitu saja apa yang diberitakan oleh pers tertulis, radio, televisi

atau internet. Tidak sedikit orang yang tidak membaca sama sekali koran atau majalah. Lalu

satu-satunya informasi yang diperoleh adalah dari televisi.1 Saat ini di Indonesia sudah

mengudara sebelas stasiun telvisi, satu TVRI dan sepuluh stasiun tv swasta.2

Di fokuskan pada dua perubahan paling signifikan dalam kebijakan pertelevisian:

transmisi satelit untuk siaran nasional sejak akhir 1970-an, dan satu dekade kemudian, privatisasi

televisi. Dua hal tersebut berkaitan dengan pemerintahan di Asia yang seringkali melegitimasi

kebijakan kebudayaan nasional mereka melalui kritiknya atas imperialisme kebudayaan Barat

atau AS. Dalam perspektif ini, dipandang adanya ‘Westoxification’ atau dominasi kebudayaan

Barat terhadap bangsa-bangsa Asia melalui satelit AS yang memfasilitasi (pengiriman) program

televisi dari dan ke seluruh dunia. Bukan hanya budaya AS saja, malahan adanya diversifikasi

pasar kebudayaan seperti India, Hongkong, Jepang, Brazil sebagai eksportir program televisi

yang signifikan. Munculnya wacana tentang masalah yang bakal dihadapi televisi Indonesia

bagaimana megelola ledakan diversitas (keanekaragaman). Untuk pembahasan privatisasi

televisi sejak 1980-an, sepanjang dekade adanya beberapa alasan teknologi maupun alasan

ideologi pasar bebas yang dominan, televisi publik banyak memberi jalan pada berbagai bentuk

siaran yang amat komersial.

2. Rumusan Persoalan

1) Bagaimana pertelevisian Indonesia mengelola ledakan diversitas budaya asing dari para

negara eksportir budaya tersebut?

3. Tujuan penulisan

1 Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 1452 Askurifal Baksin, Jurnalistik Televisi, Teori Dan Praktik, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009, hal.15

Nama : Anna Melya

NIM : 13071047

Prodi : Ilmu Komunikasi (Pagi)

Page 2: Etika Dan Filsafat Komunikasi

1) Mengetahui muatan pertelevisian Indonesia dalam mengelola ledakan diversitas budaya

asing dari para negara eksportir budaya.

B. KAJIAN PERSOALAN

1. Menelevisikan Indonesia

Pada 1963, struktur organisasi jangka panjang stasiun televisi itu terbentuk. Yayasan

TVRI bertanggungjawab pada Departemen Penerangan untuk isi program di TVRI. Dan untuk

pendanaan yayasan memutuskan saat itu juga agar TVRI mendapatkan income melalui iuran

kepemilikan pesawat televisi dan dari siaran iklan. Inilah bentuk kekuatan media yang pertama

kali diputuskan di Indonesia. Pada awal Orba, TVRI mulai menerima subsidi tahunan dari

pemerintah. Namun pada 1971, dengan rekonstruksi ekonomi yang hendak dilakukan Orba,

penghasilan dari iklan mengungguli semua sumber pendanaan.

2. Televisi Swasta, Visi Nasional

Di Indonesia masa TV-bayar (pay-television) di Jakarta, dimulai pada 1988 oleh televisi

swasta. Pada April tahun berikutnya, transmisinya bertambah menjadi 18 jam sehari.

Disfungsinya monopoli televisi oleh pemerintah merupakan trend internasional pada 1980-an.

Dalam lingkup tersebut, televisi swasta baru merupakan penyesuaian kebijakan dengan

mediascape yang sedang berubah, dalam kerangka kontrol kebudayaan wilayah-wilayah

perbatasan oleh pusat. Meskipun pemerintah kehilangan sebagian kontrol, rezim Soeharto tetap

memiliki monopoli atas siaran televisi di Indonesia. Menurut Wanandi (2014: 106) “ Ia tidak

mempertimbangkan secara cermat kemungkinan para pejabat itu punya konflik kepentingan

dan berakibat dianggap bersalah di mata masyarakat dan elite politik. Sikap ini tidak berubah

sepanjang hidupnya”.3 Penilaian ini menunjukkan ketidakadilan yang dilakukan Soeharto di

sepanjang pemerintahannya sebagai Presiden Indonesia.

3. Persoalan Keluarga

Tidak berhenti pada pada pemerintahannya saja, Soeharto juga menempatkan Bambang

Trihatmojo sebagai pemilik stasiun swasta pertama RCTI. Seperti falsafah Soeharto: keluarga

harus dinomorsatukan di atas apa pun. “Kepentingan bisnis keluarga selalu mendapat

pengecualian melalui izin khusus” (Wanandi, 2014: 125).4 Pada 1990, stasiun ini diizinkan

3 Setyo Wibowo, Khrematokrasi: Berdaulatnya Uang, Kaca Benggala: Basis, Nomor 05-06, Tahun Ke-63, 2014, hal. 64 Ibidem

Page 3: Etika Dan Filsafat Komunikasi

menyiarkan acara ‘free to air’ (tanpa pungut bayaran/ iuran). Televisi dengan cepat menjadi

gerakan Bimantara yang paling nyata ke bisnis di bidang perangkat keras komunikasi serta

perangkat lunaknya. Televisi swasta ke dua Surya Citra Televisi (SCTV), pada 1989

mengudara dari Surabaya, ibukota Jawa Timur dan kota terbesar ke dua di Indonesia. Televisi

swasta ke tiga, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) mulai beroperasi pada Desember 1990,

dengan jam siaran menjadi 8 jam sehari, dengan hanya 38% bermuatan pendidikan. Siti

Hardiyanti Rukamana (Tutut) memiliki sebagaian besar saham TPI. Dalam waktu 1 tahun

siaran, penghasilan iklan TPI telah mengalahkan RCTI.

Pada 1993, deregulasi lebih lanjut memungkinkan televisi swasta melakukan siaran ke

seluruh Indonesia malalui satelit Palapa, sehingga dapat diterima dengan antena parabola di

seluruh negeri dan di luar negeri. Menurut B. Libois (1994: 95) “Seberapa efektif hak untuk

menolak informasi atau gagasan ditentukan oleh dukungan regulasi. Regulasi tidak bisa dibuat

tanpa mempertimbangkan hierarkisasi hak. Untuk kepentingan ini harus ada interpretasi dalam

kerangka suatu regulasi media yang mendasarkan pada prioritas hak individu”.5 Ini berarti ke

tiga saluran swasta tersebut wajib memprioritaskan hak konsumen (pemirsa, pembaca, dan

pendengar) dalam melebarkan siaran ke seluruh Indonesia maupun luar negeri.

Dua stasiun terakhir muncul, Anteve (1993) dan Indosiar (1995) yang langsung menjadi

jaringan nasional begitu diluncurkan. Indosiar adalah bagian dari Salim Group yang dipimpin

Lim Sioe Liong, sahabat lama Presiden Soeharto. Anteve (Cakrawala Andalas Televisi)

sebagian dimiliki Bakrie Group (yang sudah ada sebelum Orba).

4. Pasar

Sejak peluncuran Palapa, penghasilan dari iklan berkembang pesat. Namun muncul kritik

atas kebudayaan konsumerisme, terutama dari kelompok Islam. Pada 1977, sebagai bagian dari

upaya melonggarkan opini/ kritik tersebut, siaran iklan dibatasi hanya pada malam hari. Ini

agak memengaruhi pendapatan TVRI. Namun pada 5 Januari 1981, tanpa isyarat sebelumnya,

Presiden menyerukan dihentikannya iklan di TVRI. Para agen periklanan mengubah perhatian

mereka dari media siaran ke berbagai jenis narrowcasting, penjualan door-to-door, menjual

barang-barang melalui promosi film dan industri video. Dana tambahan dari pemerintah tak

dapat menutupi kebutuhan TVRI yang terus berkembang di pertengahan 1980-an itu, terutama

karena tumbuhnya kesadaran akan perlunya program-program yang lebih inovatif untuk

5 Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 146

Page 4: Etika Dan Filsafat Komunikasi

memerluas dan memertahankan pemirsa. Pada akhir 1987 pemerintah mengumumkan

keputusannya untuk mencoba sebuah saluran swasta yang didanai iklan.

5. Di Luar Batas

Pada petengahan 1980-an Indonesia memiliki angka kenaikan tertinggi di kalangan

negara-negara Asia, dengan perkiraan 25.000 antena pada akhir dekade itu. Tak dapat

dibayangkan akan jumlah orang yang mempunyai akses ke siaran non-nasional melalui antena.

Bahkan tanpa alat parabola, penduduk di pantai timur Sumatera Utara dan Kalimantan Barat

menerima spillover (luberan) siaran dari Singapura dan Malaysia. Tak ada perkiraan yang pasti

atas proposisi yang mempunyai akses ke siaran ini.

Dalam konteks yang berhubungan dengan luberan televisi Malaysia, diskusi

memfokuskan pada komitmen untuk melakukan privatisasi televisi. Masalahnya adalah

perubahan-perubahan dalam teknologi televisi global yang telah membuka peluang lokal yang

kecil melalui Straubhaar ‘kedekatan kultural’. Masalah kontrol batas siaran televisi bagi

Indonesia selain dari perbedaan besar antara Timur dan Barat, tetapi juga dari kedekatan dan

kesamaan-kesamaannya dengan negara tetangga yang berdekatan.

Dirjen RTF menyampaikan perintah politis atas mana kebijakan privatisasi televisi

didasarkan. Sebulan kemudian, Menpen menyetujui secara prinsip bahwa sebuah ‘Siaran

Saluran Terbatas’, yang memerlukan alat penerima decoder, akan diizinkan di ibukota. Surat

Keputusan Deppen menyatakan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dan

terbatasnya dana pembangunan, memerlukan peninjauan kembali pada siaran televisi yang

sudah ada sejak lama. Pengenalan dan perluasan jaringan swasta dilihat-bagi banyak orang-

sebagai opsi terbaik bagi pertahanan budaya nasional, yang tak dapat dilakukan dengan

sumber-sumber terbatas televisi pemerintah.

6. Perubahan Pemrograman

Ketika televisi swasta pertama telah mengudara pada 1990, Surat Keputusan Menpen No

111 mencoba menetapkan peraturan pelaksanaan dan pemrograman lembaga televisi yang

bermunculan. Meniru regulasi di industri film program televisi dituntut mendukung UUD 1945

dan ideologi Pancasila, serta menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan pertentangan SARA.

Selanjutnya, semua program diwajibkan ‘mendukung upaya pembangunan nasional sesuai

dengan kebijaksanaan Pemerintah, baik dalam maupun ke luar negeri’, dan acara harus

Page 5: Etika Dan Filsafat Komunikasi

disajikan ‘dengan penuh sopan santun dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar’. Secara

ringkas kewajiban para penyelenggara program, sebagai berikut.

Menghindari ‘semua kemungkinan untuk menjadi saluran penyebaran ideologi atau

kebudayaan asing yang dapat melemahkan karakter nasional dan pertanahan nasional.

‘Bahasa Siaran’ menyatakan bahwa ‘Bahasa Indonesia yang baku’ harus merupakan

bahasa pengantar utama siaran.

7. Muatan Asing

Meskipun Surat Keputusan Menteri menyatkan secara umum bahwa televisi Indonesia

harus ‘memprioritaskan’ produksi dalam negeri, televisi swasta diperkenalkan tanpa

persyaratan khusus tentang muatan dalam negeri. RCTI mulai siaran dengan hampir 90%

program impor (yang 10% merelay dari TVRI), dengan cepat mendapat julukan Rajawali Citra

Televisi Impor (bukannya Indonesia). Namun proporsi program asing di televisi swasta

berkurang dengan cepat. Pada 1996, sebagian besar stasiun mengaku menyiarkan 35-40%

materi lokal. Indosiar dengan koneksi Cinanya, dan belum ada setahun mengudara dapat

menampilkan 45% materi dalam negeri. Sebagian besar dari RCTI, materinya memang dari AS.

Namun besarnya dominasi impor AS segera mendapat tantangan. Kalkulasi muatan asing ini,

bagaimananpun tidak memerhitungkan iklan yang pembuatannya paling mahal dan mutu

produksi sangat tinggi (high product in values). Ini menyita sampai 20% jam tayang di semua

televisi swasta. Berkaitan dengan ini, regulasi yang sering diabaikan bahwa secara hukum

semua iklan di televisi harus diproduksi di dalam negeri, menggunakan latar belakang

Indonesia dan artis Indonesia.

Sistem pemerintah mulai runtuh saat terjadi ledakan besar materi audio visual di tahun

1990-an. Disebutkan dalam Surat Keputusan No111, usaha pertama mengatur muatan/ isi

televisi swasta, adalah meniru sistem sensor film. Pada 1993, Lembaga Sensor Film tugas

besarnya mereview, rata-rata, sekitar 18 jam siaran dari setiap televisi swasta (tak termasuk

kira-kira 2 jam relay TVRI) tujuh hari seminggu, dan setiap tahun sekitar 300 film dan video.

8. Muatan Lokal

Menurut sekelompok sarjana Australia “Televisi tetap merupakan medium hybrid

(hibrida/ cangkokan) yang megah, dengan banyaknya kemungkinan program atas hal-hal lokal

yang tak dapat dihindari dan sudah mendasar, yang tak dapat diterjemahkan”, dalam penelitian

televisi nasional di era satelit. Apakah kasus Indonesia cocok dengan generalisasi ini,

Page 6: Etika Dan Filsafat Komunikasi

tergantung pada bagaimana kita menggolongkan ‘lokal’ dalam program negeri. Kegagalan

TVRI mempertahankan pemirsanya sampai batas tertentu, bukti bahwa program ‘nasional’ tak

dapat bersaing dengan program impor. Ada indikasi, bagaimanapun, bahwa bila program dalam

negeri melanggar pola nasional yang dipaksakan pemerintah, program itu justru disukai

pemirsa.

C. SUDUT PANDANG TEORI

1. Alasan Regulasi Publik: Ketika Informasi selalu Interpretasi

Memang prioritas itu tidak bisa dimutlakkan.6 Hal ini terbukti saat meniru regulasi di

industri film program televisi dituntut mendukung UUD 1945 dan ideologi Pancasila, serta

menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan pertentangan SARA. Ini menuntut supaya setiap

program televisi menghindari ‘semua kemungkinan untuk menjadi saluran penyebaran ideologi

atau kebudayaan asing yang dapat melemahkan karakter nasional dan pertanahan nasional.

Dalam hal ini peran wartawan dituntut untuk menghormati pluralitas sehingga mangantar pada

pemahaman kritis dan mendidik.

Sejak kemunculannya dua stasiun televisi RCTI dan SCTV dibatasi hanya untuk wilayah

Jakarta dan Surabaya saja. TPI yang pada awalnya dapat menggunakan fasilitas TVRI, dan

dapat melakukan siaran secara nasional. Tetapi dengan adanya deregulasi lebih lanjut pada

1993 memungkinkan televisi swasta melakukan siaran ke seluruh Indonesia malalui satelit

Palapa, sehingga dapat diterima dengan antena parabola di seluruh negeri dan di luar negeri.

Otomatis, ke tiga saluran swasta (RCTI, SCTV, dan TPI) tersebut wajib memprioritaskan hak

konsumen tanpa merasa dipaksa dalam melebarkan siaran ke seluruh Indonesia maupun luar

negeri.

Apakah regulasi publik terhadap media selalu mempunyai konotasi negataif? Harus

diakui bahwa regulasi media dalam situasi tertentu sangat diperlukan,7 ini dikarenakan:

1) Regulasi media membantu konsumen (pemirsa, pembaca dan pendengar) mendapat

informasi sesuai dengan tuntutan kualitas tertentu.

2) Di satu sisi, regulasi publik menjaga aturan pasar agar lebih adil dengan melawan

konsentrasi ekonomi pada media tertentu saja.

3) Menjamin pluralisme yang merupakan bagian integral dari demokrasi.

6 Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 1477 Ibid., hal. 148

Page 7: Etika Dan Filsafat Komunikasi

Keuntungan dari regulasi di Indonesia berupa: peluncuran sebuah satelit siaran domestik

Palapa, diikuti pada 1983 dengan Satelit Palapa B 2 dengan dasar teknologi Amerika, sehingga

dapat diterima dengan antena parabola di seluruh negeri dan di luar negeri. Efek dari adanya

satelit Palapa adalah konsumerisme dalam bentuk iklan. Sehingga Presiden menyerukan

dihentikannya iklan khususnya di TVRI. Sayangnya dalam hal ini peran regulasi banyak

menimbulkan permasalahan baru. Saya merasa, regulasi bagi Indonesia selalu di konotasikan

negatif buktinya di saat kampanye 1997 adanya ketidaksesuaian yang sama dalam liputan

pemilu oleh semua stasiun. Misalnya, Anteve memberikan waktu 5,58 menit untuk Golkar dan

tak semenitpun untuk partai yang lain seperti yang dialami PDI. Ini merusak prinsip pluralitas8

yang menghargai kesamaan individu dan memungkinkan partisipasi yang sama dalam proses

demokrasi.

2. Regulasi Publik dan Pluralisme: Memperkuat Deontologi Profesi

Menurut B. Libois (1994: 88) regulasi untuk menjamin pluralisme ini memiliki beragam

bentuk: (a) Bisa dalam rangka menghindari dominasi suatu bidang terhadap yang lain dengan

mengusulkan pengorganisasian distribusi atau alokasi program. (b) Menjamin pembedaan

lingkup riil dengan kekhasan ekspresinya untuk tetap mendapatkan akses yang cukup

representatif ke ruang publik. (c) Memungkinkan definisi politik menurut tatanan prioritas

sehingga ruang publik menjadi tempat berlangsungnya penentuan hierarkisasi nilai oleh

masyarakat. (d) Memungkinkan untuk mempertahankan adanya pemisahan berbagai ranah dan

menentukan bagian atau hak masing-masing.

Dominasi program impor yang terjadi pada saluran televisi swasta, mungkin sedikit

didomestikasi oleh sensor resmi maupun tak resmi, sistem pemerintah mulai runtuh saat terjadi

ledakan besar materi audio visual di tahun 1990-an. Dan pengorganisasian yang diusulkan

adalah Lembaga Sensor Film (LSF). Kehadiran saluran televisi dengan pembawaan yang

berbeda seperti pada televisi swasta ke tiga, TPI dengan memungkinnya menggunakan fasilitas

TVRI membuat TPI dapat melakukan siaran secara nasional, sementara dua saluran televisi

swasta yang lain, RCTI dan SCTV pada awalnya dibatasi hanya untuk wilayah Jakarta dan

Surabaya saja. Sehingga pada 1993, deregulasi lebih lanjut memungkinkan televisi swasta

melakukan siaran ke seluruh Indonesia malalui satelit Palapa, sehingga dapat diterima dengan

antena parabola di seluruh negeri dan di luar negeri. Jaringan swasta sebagai tempat

8 Ibid., hal. 149

Page 8: Etika Dan Filsafat Komunikasi

berlangsungnya penentuan hierarkisasi nilai oleh masyarakat. Dalam hal ini peran televisi

swasta merupakan upaya menarik kembali khalayak nasional ke ruang media nasional, dengan

jenis televisi yang lain yang selama itu dapat disajikan oleh televisi pemerintah.

Mempertahankan adanya pemisahan yang diakibatkan adanya luberan televisi Malaysia,

diskusi memfokuskan pada komitmen untuk melakukan privatisasi televisi.

BAB III

REFLEKSI PRIBADI

Muatan industri pertelevisian Indonesia dimulai dari tuntutan untuk memiliki karakter

menjaga dan mendukung UUD 1945 dan ideologi Pancasila, serta menjauhi hal-hal yang dapat

menimbulkan pertentangan SARA. Kewaspadaan ini timbul karena adanya kemungkinan untuk

menjadi saluran penyebaran ideologi atau kebudayaan asing yang dapat melemahkan karakter

nasional. Batasan-batasan diterapkan terhadap setiap stasiun televisi baru yang bermunculan,

seperti stasiun televisi RCTI dan SCTV dibatasi hanya untuk wilayah Jakarta dan Surabaya saja

pada waktu itu. Serta batasan-batasan mulai dari pembawaan setiap program di televisi yang

harus relay TVRI. Tindakan pemerintah tersebut dapat dikategorikan sebagai penanggulangan

dari meledaknya inovasi program-program yang banyak diselipi budaya asing.

Regulasi tentang batasan-batasan terhadap program-program asing di Indonesia menurut

saya kurang terjaga karena pada saat ini banyak sekali program-program asing contohnya pada

jam belajar anak-anak disusupi oleh program kartun dari Jepang ataupun dari Amerika yang

dapat mengalihkan perhatian anak-anak untuk belajar.

Kemajuan dan keberagaman program acara televisi memang menjadi hal urgen di negara

kita. Program acara yang sudah ada harus dikembangkan secara baik agar televisi yang kini

hampir dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi

juga sarana pendidikan dan penegakan moral.

Kekhawatiran para pejabat pemerintahan pada waktu itu, sekarang kita rasakan pada era

global ini. Dampak yang paling terasa adalah iklan. Iklan memang merupakan sumber

penghasilan pertelevisian yang utama namun banyaknya iklan yang tidak mendidik dan iklan-

iklan komersial yang begitu banyaknya sehingga menimbulkan konsumerisme yang tinggi dalam

masyarakat.

Page 9: Etika Dan Filsafat Komunikasi

DAFTAR PUSTAKA

Baksin, Askurifal. Jurnalistik Televisi, Teori Dan Praktik. 2009. Bandung: Simbiosa Rekatama

Media

Haryatmoko. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. 2007.

Yogyakarta: Kanisius.

Hill, David .T. Media, Kebudayaan, dan Politik di Indonesia. (terj)

Wibowo, Setyo. Khrematokrasi: Berdaulatnya Uang. 2014. Nomor 05-06, Tahun Ke-63.Kaca

Benggala: Basis.