etika dan filsafat komunikasi
DESCRIPTION
Etika Dan Filsafat KomunikasiTRANSCRIPT
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Persoalan
Fenomena trend ‘follow’ media memang sangat diraskan sebagian masyarakat, ada yang
begitu semangat untuk terus mengikuti berita terbaru pada media cetak berupa koran, majalah,
dan lainnya yang memiliki informasi-informasi sesuai kebutuhan pembaca. Ada pula sebagian
dari masyarakat yang menelan begitu saja apa yang diberitakan oleh pers tertulis, radio, televisi
atau internet. Tidak sedikit orang yang tidak membaca sama sekali koran atau majalah. Lalu
satu-satunya informasi yang diperoleh adalah dari televisi.1 Saat ini di Indonesia sudah
mengudara sebelas stasiun telvisi, satu TVRI dan sepuluh stasiun tv swasta.2
Di fokuskan pada dua perubahan paling signifikan dalam kebijakan pertelevisian:
transmisi satelit untuk siaran nasional sejak akhir 1970-an, dan satu dekade kemudian, privatisasi
televisi. Dua hal tersebut berkaitan dengan pemerintahan di Asia yang seringkali melegitimasi
kebijakan kebudayaan nasional mereka melalui kritiknya atas imperialisme kebudayaan Barat
atau AS. Dalam perspektif ini, dipandang adanya ‘Westoxification’ atau dominasi kebudayaan
Barat terhadap bangsa-bangsa Asia melalui satelit AS yang memfasilitasi (pengiriman) program
televisi dari dan ke seluruh dunia. Bukan hanya budaya AS saja, malahan adanya diversifikasi
pasar kebudayaan seperti India, Hongkong, Jepang, Brazil sebagai eksportir program televisi
yang signifikan. Munculnya wacana tentang masalah yang bakal dihadapi televisi Indonesia
bagaimana megelola ledakan diversitas (keanekaragaman). Untuk pembahasan privatisasi
televisi sejak 1980-an, sepanjang dekade adanya beberapa alasan teknologi maupun alasan
ideologi pasar bebas yang dominan, televisi publik banyak memberi jalan pada berbagai bentuk
siaran yang amat komersial.
2. Rumusan Persoalan
1) Bagaimana pertelevisian Indonesia mengelola ledakan diversitas budaya asing dari para
negara eksportir budaya tersebut?
3. Tujuan penulisan
1 Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 1452 Askurifal Baksin, Jurnalistik Televisi, Teori Dan Praktik, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009, hal.15
Nama : Anna Melya
NIM : 13071047
Prodi : Ilmu Komunikasi (Pagi)
1) Mengetahui muatan pertelevisian Indonesia dalam mengelola ledakan diversitas budaya
asing dari para negara eksportir budaya.
B. KAJIAN PERSOALAN
1. Menelevisikan Indonesia
Pada 1963, struktur organisasi jangka panjang stasiun televisi itu terbentuk. Yayasan
TVRI bertanggungjawab pada Departemen Penerangan untuk isi program di TVRI. Dan untuk
pendanaan yayasan memutuskan saat itu juga agar TVRI mendapatkan income melalui iuran
kepemilikan pesawat televisi dan dari siaran iklan. Inilah bentuk kekuatan media yang pertama
kali diputuskan di Indonesia. Pada awal Orba, TVRI mulai menerima subsidi tahunan dari
pemerintah. Namun pada 1971, dengan rekonstruksi ekonomi yang hendak dilakukan Orba,
penghasilan dari iklan mengungguli semua sumber pendanaan.
2. Televisi Swasta, Visi Nasional
Di Indonesia masa TV-bayar (pay-television) di Jakarta, dimulai pada 1988 oleh televisi
swasta. Pada April tahun berikutnya, transmisinya bertambah menjadi 18 jam sehari.
Disfungsinya monopoli televisi oleh pemerintah merupakan trend internasional pada 1980-an.
Dalam lingkup tersebut, televisi swasta baru merupakan penyesuaian kebijakan dengan
mediascape yang sedang berubah, dalam kerangka kontrol kebudayaan wilayah-wilayah
perbatasan oleh pusat. Meskipun pemerintah kehilangan sebagian kontrol, rezim Soeharto tetap
memiliki monopoli atas siaran televisi di Indonesia. Menurut Wanandi (2014: 106) “ Ia tidak
mempertimbangkan secara cermat kemungkinan para pejabat itu punya konflik kepentingan
dan berakibat dianggap bersalah di mata masyarakat dan elite politik. Sikap ini tidak berubah
sepanjang hidupnya”.3 Penilaian ini menunjukkan ketidakadilan yang dilakukan Soeharto di
sepanjang pemerintahannya sebagai Presiden Indonesia.
3. Persoalan Keluarga
Tidak berhenti pada pada pemerintahannya saja, Soeharto juga menempatkan Bambang
Trihatmojo sebagai pemilik stasiun swasta pertama RCTI. Seperti falsafah Soeharto: keluarga
harus dinomorsatukan di atas apa pun. “Kepentingan bisnis keluarga selalu mendapat
pengecualian melalui izin khusus” (Wanandi, 2014: 125).4 Pada 1990, stasiun ini diizinkan
3 Setyo Wibowo, Khrematokrasi: Berdaulatnya Uang, Kaca Benggala: Basis, Nomor 05-06, Tahun Ke-63, 2014, hal. 64 Ibidem
menyiarkan acara ‘free to air’ (tanpa pungut bayaran/ iuran). Televisi dengan cepat menjadi
gerakan Bimantara yang paling nyata ke bisnis di bidang perangkat keras komunikasi serta
perangkat lunaknya. Televisi swasta ke dua Surya Citra Televisi (SCTV), pada 1989
mengudara dari Surabaya, ibukota Jawa Timur dan kota terbesar ke dua di Indonesia. Televisi
swasta ke tiga, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) mulai beroperasi pada Desember 1990,
dengan jam siaran menjadi 8 jam sehari, dengan hanya 38% bermuatan pendidikan. Siti
Hardiyanti Rukamana (Tutut) memiliki sebagaian besar saham TPI. Dalam waktu 1 tahun
siaran, penghasilan iklan TPI telah mengalahkan RCTI.
Pada 1993, deregulasi lebih lanjut memungkinkan televisi swasta melakukan siaran ke
seluruh Indonesia malalui satelit Palapa, sehingga dapat diterima dengan antena parabola di
seluruh negeri dan di luar negeri. Menurut B. Libois (1994: 95) “Seberapa efektif hak untuk
menolak informasi atau gagasan ditentukan oleh dukungan regulasi. Regulasi tidak bisa dibuat
tanpa mempertimbangkan hierarkisasi hak. Untuk kepentingan ini harus ada interpretasi dalam
kerangka suatu regulasi media yang mendasarkan pada prioritas hak individu”.5 Ini berarti ke
tiga saluran swasta tersebut wajib memprioritaskan hak konsumen (pemirsa, pembaca, dan
pendengar) dalam melebarkan siaran ke seluruh Indonesia maupun luar negeri.
Dua stasiun terakhir muncul, Anteve (1993) dan Indosiar (1995) yang langsung menjadi
jaringan nasional begitu diluncurkan. Indosiar adalah bagian dari Salim Group yang dipimpin
Lim Sioe Liong, sahabat lama Presiden Soeharto. Anteve (Cakrawala Andalas Televisi)
sebagian dimiliki Bakrie Group (yang sudah ada sebelum Orba).
4. Pasar
Sejak peluncuran Palapa, penghasilan dari iklan berkembang pesat. Namun muncul kritik
atas kebudayaan konsumerisme, terutama dari kelompok Islam. Pada 1977, sebagai bagian dari
upaya melonggarkan opini/ kritik tersebut, siaran iklan dibatasi hanya pada malam hari. Ini
agak memengaruhi pendapatan TVRI. Namun pada 5 Januari 1981, tanpa isyarat sebelumnya,
Presiden menyerukan dihentikannya iklan di TVRI. Para agen periklanan mengubah perhatian
mereka dari media siaran ke berbagai jenis narrowcasting, penjualan door-to-door, menjual
barang-barang melalui promosi film dan industri video. Dana tambahan dari pemerintah tak
dapat menutupi kebutuhan TVRI yang terus berkembang di pertengahan 1980-an itu, terutama
karena tumbuhnya kesadaran akan perlunya program-program yang lebih inovatif untuk
5 Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 146
memerluas dan memertahankan pemirsa. Pada akhir 1987 pemerintah mengumumkan
keputusannya untuk mencoba sebuah saluran swasta yang didanai iklan.
5. Di Luar Batas
Pada petengahan 1980-an Indonesia memiliki angka kenaikan tertinggi di kalangan
negara-negara Asia, dengan perkiraan 25.000 antena pada akhir dekade itu. Tak dapat
dibayangkan akan jumlah orang yang mempunyai akses ke siaran non-nasional melalui antena.
Bahkan tanpa alat parabola, penduduk di pantai timur Sumatera Utara dan Kalimantan Barat
menerima spillover (luberan) siaran dari Singapura dan Malaysia. Tak ada perkiraan yang pasti
atas proposisi yang mempunyai akses ke siaran ini.
Dalam konteks yang berhubungan dengan luberan televisi Malaysia, diskusi
memfokuskan pada komitmen untuk melakukan privatisasi televisi. Masalahnya adalah
perubahan-perubahan dalam teknologi televisi global yang telah membuka peluang lokal yang
kecil melalui Straubhaar ‘kedekatan kultural’. Masalah kontrol batas siaran televisi bagi
Indonesia selain dari perbedaan besar antara Timur dan Barat, tetapi juga dari kedekatan dan
kesamaan-kesamaannya dengan negara tetangga yang berdekatan.
Dirjen RTF menyampaikan perintah politis atas mana kebijakan privatisasi televisi
didasarkan. Sebulan kemudian, Menpen menyetujui secara prinsip bahwa sebuah ‘Siaran
Saluran Terbatas’, yang memerlukan alat penerima decoder, akan diizinkan di ibukota. Surat
Keputusan Deppen menyatakan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dan
terbatasnya dana pembangunan, memerlukan peninjauan kembali pada siaran televisi yang
sudah ada sejak lama. Pengenalan dan perluasan jaringan swasta dilihat-bagi banyak orang-
sebagai opsi terbaik bagi pertahanan budaya nasional, yang tak dapat dilakukan dengan
sumber-sumber terbatas televisi pemerintah.
6. Perubahan Pemrograman
Ketika televisi swasta pertama telah mengudara pada 1990, Surat Keputusan Menpen No
111 mencoba menetapkan peraturan pelaksanaan dan pemrograman lembaga televisi yang
bermunculan. Meniru regulasi di industri film program televisi dituntut mendukung UUD 1945
dan ideologi Pancasila, serta menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan pertentangan SARA.
Selanjutnya, semua program diwajibkan ‘mendukung upaya pembangunan nasional sesuai
dengan kebijaksanaan Pemerintah, baik dalam maupun ke luar negeri’, dan acara harus
disajikan ‘dengan penuh sopan santun dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar’. Secara
ringkas kewajiban para penyelenggara program, sebagai berikut.
Menghindari ‘semua kemungkinan untuk menjadi saluran penyebaran ideologi atau
kebudayaan asing yang dapat melemahkan karakter nasional dan pertanahan nasional.
‘Bahasa Siaran’ menyatakan bahwa ‘Bahasa Indonesia yang baku’ harus merupakan
bahasa pengantar utama siaran.
7. Muatan Asing
Meskipun Surat Keputusan Menteri menyatkan secara umum bahwa televisi Indonesia
harus ‘memprioritaskan’ produksi dalam negeri, televisi swasta diperkenalkan tanpa
persyaratan khusus tentang muatan dalam negeri. RCTI mulai siaran dengan hampir 90%
program impor (yang 10% merelay dari TVRI), dengan cepat mendapat julukan Rajawali Citra
Televisi Impor (bukannya Indonesia). Namun proporsi program asing di televisi swasta
berkurang dengan cepat. Pada 1996, sebagian besar stasiun mengaku menyiarkan 35-40%
materi lokal. Indosiar dengan koneksi Cinanya, dan belum ada setahun mengudara dapat
menampilkan 45% materi dalam negeri. Sebagian besar dari RCTI, materinya memang dari AS.
Namun besarnya dominasi impor AS segera mendapat tantangan. Kalkulasi muatan asing ini,
bagaimananpun tidak memerhitungkan iklan yang pembuatannya paling mahal dan mutu
produksi sangat tinggi (high product in values). Ini menyita sampai 20% jam tayang di semua
televisi swasta. Berkaitan dengan ini, regulasi yang sering diabaikan bahwa secara hukum
semua iklan di televisi harus diproduksi di dalam negeri, menggunakan latar belakang
Indonesia dan artis Indonesia.
Sistem pemerintah mulai runtuh saat terjadi ledakan besar materi audio visual di tahun
1990-an. Disebutkan dalam Surat Keputusan No111, usaha pertama mengatur muatan/ isi
televisi swasta, adalah meniru sistem sensor film. Pada 1993, Lembaga Sensor Film tugas
besarnya mereview, rata-rata, sekitar 18 jam siaran dari setiap televisi swasta (tak termasuk
kira-kira 2 jam relay TVRI) tujuh hari seminggu, dan setiap tahun sekitar 300 film dan video.
8. Muatan Lokal
Menurut sekelompok sarjana Australia “Televisi tetap merupakan medium hybrid
(hibrida/ cangkokan) yang megah, dengan banyaknya kemungkinan program atas hal-hal lokal
yang tak dapat dihindari dan sudah mendasar, yang tak dapat diterjemahkan”, dalam penelitian
televisi nasional di era satelit. Apakah kasus Indonesia cocok dengan generalisasi ini,
tergantung pada bagaimana kita menggolongkan ‘lokal’ dalam program negeri. Kegagalan
TVRI mempertahankan pemirsanya sampai batas tertentu, bukti bahwa program ‘nasional’ tak
dapat bersaing dengan program impor. Ada indikasi, bagaimanapun, bahwa bila program dalam
negeri melanggar pola nasional yang dipaksakan pemerintah, program itu justru disukai
pemirsa.
C. SUDUT PANDANG TEORI
1. Alasan Regulasi Publik: Ketika Informasi selalu Interpretasi
Memang prioritas itu tidak bisa dimutlakkan.6 Hal ini terbukti saat meniru regulasi di
industri film program televisi dituntut mendukung UUD 1945 dan ideologi Pancasila, serta
menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan pertentangan SARA. Ini menuntut supaya setiap
program televisi menghindari ‘semua kemungkinan untuk menjadi saluran penyebaran ideologi
atau kebudayaan asing yang dapat melemahkan karakter nasional dan pertanahan nasional.
Dalam hal ini peran wartawan dituntut untuk menghormati pluralitas sehingga mangantar pada
pemahaman kritis dan mendidik.
Sejak kemunculannya dua stasiun televisi RCTI dan SCTV dibatasi hanya untuk wilayah
Jakarta dan Surabaya saja. TPI yang pada awalnya dapat menggunakan fasilitas TVRI, dan
dapat melakukan siaran secara nasional. Tetapi dengan adanya deregulasi lebih lanjut pada
1993 memungkinkan televisi swasta melakukan siaran ke seluruh Indonesia malalui satelit
Palapa, sehingga dapat diterima dengan antena parabola di seluruh negeri dan di luar negeri.
Otomatis, ke tiga saluran swasta (RCTI, SCTV, dan TPI) tersebut wajib memprioritaskan hak
konsumen tanpa merasa dipaksa dalam melebarkan siaran ke seluruh Indonesia maupun luar
negeri.
Apakah regulasi publik terhadap media selalu mempunyai konotasi negataif? Harus
diakui bahwa regulasi media dalam situasi tertentu sangat diperlukan,7 ini dikarenakan:
1) Regulasi media membantu konsumen (pemirsa, pembaca dan pendengar) mendapat
informasi sesuai dengan tuntutan kualitas tertentu.
2) Di satu sisi, regulasi publik menjaga aturan pasar agar lebih adil dengan melawan
konsentrasi ekonomi pada media tertentu saja.
3) Menjamin pluralisme yang merupakan bagian integral dari demokrasi.
6 Haryatmoko, Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 1477 Ibid., hal. 148
Keuntungan dari regulasi di Indonesia berupa: peluncuran sebuah satelit siaran domestik
Palapa, diikuti pada 1983 dengan Satelit Palapa B 2 dengan dasar teknologi Amerika, sehingga
dapat diterima dengan antena parabola di seluruh negeri dan di luar negeri. Efek dari adanya
satelit Palapa adalah konsumerisme dalam bentuk iklan. Sehingga Presiden menyerukan
dihentikannya iklan khususnya di TVRI. Sayangnya dalam hal ini peran regulasi banyak
menimbulkan permasalahan baru. Saya merasa, regulasi bagi Indonesia selalu di konotasikan
negatif buktinya di saat kampanye 1997 adanya ketidaksesuaian yang sama dalam liputan
pemilu oleh semua stasiun. Misalnya, Anteve memberikan waktu 5,58 menit untuk Golkar dan
tak semenitpun untuk partai yang lain seperti yang dialami PDI. Ini merusak prinsip pluralitas8
yang menghargai kesamaan individu dan memungkinkan partisipasi yang sama dalam proses
demokrasi.
2. Regulasi Publik dan Pluralisme: Memperkuat Deontologi Profesi
Menurut B. Libois (1994: 88) regulasi untuk menjamin pluralisme ini memiliki beragam
bentuk: (a) Bisa dalam rangka menghindari dominasi suatu bidang terhadap yang lain dengan
mengusulkan pengorganisasian distribusi atau alokasi program. (b) Menjamin pembedaan
lingkup riil dengan kekhasan ekspresinya untuk tetap mendapatkan akses yang cukup
representatif ke ruang publik. (c) Memungkinkan definisi politik menurut tatanan prioritas
sehingga ruang publik menjadi tempat berlangsungnya penentuan hierarkisasi nilai oleh
masyarakat. (d) Memungkinkan untuk mempertahankan adanya pemisahan berbagai ranah dan
menentukan bagian atau hak masing-masing.
Dominasi program impor yang terjadi pada saluran televisi swasta, mungkin sedikit
didomestikasi oleh sensor resmi maupun tak resmi, sistem pemerintah mulai runtuh saat terjadi
ledakan besar materi audio visual di tahun 1990-an. Dan pengorganisasian yang diusulkan
adalah Lembaga Sensor Film (LSF). Kehadiran saluran televisi dengan pembawaan yang
berbeda seperti pada televisi swasta ke tiga, TPI dengan memungkinnya menggunakan fasilitas
TVRI membuat TPI dapat melakukan siaran secara nasional, sementara dua saluran televisi
swasta yang lain, RCTI dan SCTV pada awalnya dibatasi hanya untuk wilayah Jakarta dan
Surabaya saja. Sehingga pada 1993, deregulasi lebih lanjut memungkinkan televisi swasta
melakukan siaran ke seluruh Indonesia malalui satelit Palapa, sehingga dapat diterima dengan
antena parabola di seluruh negeri dan di luar negeri. Jaringan swasta sebagai tempat
8 Ibid., hal. 149
berlangsungnya penentuan hierarkisasi nilai oleh masyarakat. Dalam hal ini peran televisi
swasta merupakan upaya menarik kembali khalayak nasional ke ruang media nasional, dengan
jenis televisi yang lain yang selama itu dapat disajikan oleh televisi pemerintah.
Mempertahankan adanya pemisahan yang diakibatkan adanya luberan televisi Malaysia,
diskusi memfokuskan pada komitmen untuk melakukan privatisasi televisi.
BAB III
REFLEKSI PRIBADI
Muatan industri pertelevisian Indonesia dimulai dari tuntutan untuk memiliki karakter
menjaga dan mendukung UUD 1945 dan ideologi Pancasila, serta menjauhi hal-hal yang dapat
menimbulkan pertentangan SARA. Kewaspadaan ini timbul karena adanya kemungkinan untuk
menjadi saluran penyebaran ideologi atau kebudayaan asing yang dapat melemahkan karakter
nasional. Batasan-batasan diterapkan terhadap setiap stasiun televisi baru yang bermunculan,
seperti stasiun televisi RCTI dan SCTV dibatasi hanya untuk wilayah Jakarta dan Surabaya saja
pada waktu itu. Serta batasan-batasan mulai dari pembawaan setiap program di televisi yang
harus relay TVRI. Tindakan pemerintah tersebut dapat dikategorikan sebagai penanggulangan
dari meledaknya inovasi program-program yang banyak diselipi budaya asing.
Regulasi tentang batasan-batasan terhadap program-program asing di Indonesia menurut
saya kurang terjaga karena pada saat ini banyak sekali program-program asing contohnya pada
jam belajar anak-anak disusupi oleh program kartun dari Jepang ataupun dari Amerika yang
dapat mengalihkan perhatian anak-anak untuk belajar.
Kemajuan dan keberagaman program acara televisi memang menjadi hal urgen di negara
kita. Program acara yang sudah ada harus dikembangkan secara baik agar televisi yang kini
hampir dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi
juga sarana pendidikan dan penegakan moral.
Kekhawatiran para pejabat pemerintahan pada waktu itu, sekarang kita rasakan pada era
global ini. Dampak yang paling terasa adalah iklan. Iklan memang merupakan sumber
penghasilan pertelevisian yang utama namun banyaknya iklan yang tidak mendidik dan iklan-
iklan komersial yang begitu banyaknya sehingga menimbulkan konsumerisme yang tinggi dalam
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Baksin, Askurifal. Jurnalistik Televisi, Teori Dan Praktik. 2009. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media
Haryatmoko. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. 2007.
Yogyakarta: Kanisius.
Hill, David .T. Media, Kebudayaan, dan Politik di Indonesia. (terj)
Wibowo, Setyo. Khrematokrasi: Berdaulatnya Uang. 2014. Nomor 05-06, Tahun Ke-63.Kaca
Benggala: Basis.