etbis global
DESCRIPTION
etika bisnis global contoh kasusTRANSCRIPT
KASUS BANK GLOBAL
SEJAK 14 Desember 2004, Bank Indonesia (BI) membekukan kegiatan usaha (BKU)
PT Bank Global Tbk. Sekitar 8.000 nasabah yang tercatat di 13 kantor cabang terpaksa
kerepotan mengurus dananya. Bukan hanya itu, ratusan investor publik pemegang saham juga
menjadi tak jelas investasinya. Belum lagi bank dan pihak lain yang memiliki tagihan. Nasib
ratusan karyawan pun menjadi tak menentu di tengah sulitnya lapangan kerja. Apa jadinya
kalau mereka di-PHK? Jelas, akan menambah deretan panjang pengangguran. Semua itu
tentu akan menambah beban pemerintah dalam memulihkan roda perekonomian, terutama
sektor real.
Menurut Deputi Senior Gubernur BI Dr. Miranda S Goeltom, ada empat alasan yang
melatarbelakangi ditutupnya Bank Global. Pertama, terus memburuknya kondisi keuangan
Bank Global. Karena bank publik ini terbukti memperjualbelikan surat berharga fiktif dan
memberi kredit fiktif. BI menemukan sekitar Rp 30 milyar kredit fiktif dan Rp 400 milyar
obligasi fiktif. Sehingga, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio -- CAR) anjlok di
bawah 8%. Dengan CAR yang terus anjlok, sebuah bank bukan hanya sulit berkembang,
namun juga sulit bertahan.
Kedua, tidak menyetorkan tambahan modal yang diminta BI sejak bank tersebut masuk
pengawasan khusus (special surveillance unit) pada 27 Oktober hingga 13 Desember 2004.
Ketiga, direksi Bank Global tidak menunjukkan iktikad baik untuk patuh pada aturan.
Bahkan, dalam pengawasan BI dan kepolisian ada upaya secara sengaja dari pihak bank
tersebut untuk memusnahkan dan menghilangkan barang bukti. Keempat, direksi, pejabat
eksekutif, dan beberapa karyawan bank publik itu diduga telah melakukan tindak pidana
perbankan dengan merusak dan menghilangkan dokumen-dokumen penting bank.
Terkait dengan itu, ada sejumlah hal yang menarik dicermati dari kasus ini. Pertama,
sebagai perusahaan terbuka, semestinya Bank Global transparan dan menerapkan dengan
seksama asas good corporate governance. Tak boleh ada informasi material yang
disembunyikan. Penurunan CAR dari 44,84 % per September 2004 menjadi minus 39 %
dalam tempo dua bulan menunjukkan ada informasi material yang disembunyikan. Para
investor yang hanya mengandalkan data September 2004 tentu akan terkecoh.
Kedua, seperti dilansir Investor Daily Online (14/12/2004), bahwa kehancuran Bank Global
sangat boleh jadi disebabkan oleh sebuah kolusi antara pengelola Bank Global dengan
Prudence Asset Management (PAM). Bank Global memperdagangkan surat berharga
yang disebut reksadana, di mana para pembelinya adalah nasabah bank itu. Karena
reksadana yang dijual bernama prudence, wajar saja jika orang langsung menghubungkan
dengan PAM. Meski pihak PAM membantah, masyarakat cenderung berpendapat bahwa
reksadana prudence diterbitkan oleh PAM.
Pertanyaannya kemudian, jika PAM bukanlah penerbit reksadana prudence, lantas pihak
manakah yang menerbitkan surat berharga itu? Mengapa PAM tidak menuntut Bank Global
jika memang prudence bukanlah reksadana yang diterbitkannya? Data Bappepam memang
mengungkapkan bahwa PAM yang didirikan 22 April 2003 itu menerbitkan reksadana
prudence dana mantap. Total dana yang dikelola PAM sekitar Rp 11,5 milyar. Kecurigaan
juga diarahkan masyarakat ke pihak manajemen Bank Global, bahwa bank yang 9 %
sahamnya dimiliki PT Permata Prima Jaya dan 11,5 % sahamnya dimiliki PT Intermed
Pharmatama adalah penerbit reksadana fiktif itu. Bisa jadi, reksadana prudence adalah produk
kolusi PAM dan Bank Global.
Ketiga, kasus Bank Global mencoreng citra reksadana, sebuah instrumen pasar modal yang
mengalami pertumbuhan pesat selama dua tahun terakhir. Pada Oktober 2004, Nilai Aktiva
Bersih (NAB) reksadana mencapai Rp 101 trilyun, naik dari posisi Rp 69,5 trilyun per
Desember 2003 lalu. Keempat, kasus Bank Global mencerminkan lemahnya pengawasan BI
dan Bappepam.
Sebenarnya jika mengamati trend laporan keuangan Bank Global selama sepuluh bulan
(Desember 2003-September 2004), masyarakat mestinya sudah dapat menilai. Misalnya dari
sisi aset saja, tiap bulan terus berkurang dari Rp 2,27 trilyun per Desember 2003 menjadi Rp
1,79 trilyun per Juni 2004. Dana pihak ketiga juga menurun, dari Rp 1,37 trilyun menjadi Rp
890,1 milyar dalam periode yang sama. Dalam hal penyaluran kredit yang merupakan ''darah
bank'' untuk menghasilkan pendapatan bunga, Bank Global tidak menunjukkan kenaikan
yang signifikan. Nilai kredit tidak begitu besar hanya Rp 450 milyar per Desember 2003.
Bahkan kualitas kredit pun bukan semakin bagus, justru kian melorot.
Sementara penempatan dana pada instrumen surat berharga cukup besar mencapai Rp 1,1
trilyun per Desember 2003. Anehnya lagi, dalam hal perolehan dana dan permodalan, bank
ini sempat menerbitkan obligasi subdebt sekitar Rp 400 milyar. Tetapi justru dalam
penempatan dana itu kembali ditempatkan pada obligasi. Dari sini jelas terlihat, bisnis
Bank Global bukan layaknya bank yang menyalurkan kredit, tetapi lebih seperti
manajer investasi yang memainkan portofolionya pada instrumen-instrumen surat
berharga. Dengan realitas ini, semestinya nasabah mulai meragukan pengelolaan bank ini
sejak Juni 2004 lalu.
Keroposnya Manajemen
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kasus ini? Lagi-lagi persoalan modal yang rendah,
keroposnya pengelolaan manajemen perbankan kita, kelemahan struktural dalam pengelolaan
usaha bank sebagai lembaga kepercayaan, kurangnya transparansi dan pemahaman nasabah
terhadap laporan keuangan bank bersangkutan, serta kelemahan infrastruktur pengawasan
bank, kerapkali menjadi kendala hampir kebanyakan bank di Indonesia. Mungkin hal ini juga
tidak terlepas dari kondisi perbankan nasional secara menyeluruh. Sudahkah sektor pemicu
krisis ini sehat kembali dan telah berfungsi sebagaimana mestinya?
Sayangnya, lebih dari lima tahun dalam supervisi BPPN (yang telah dilikuidasi) dan BI,
bank-bank besar terutama bank-bank ''pelat merah'' masih sakit. Sampai kini, sektor
perbankan masih harus disusui oleh pemerintah. Memang, krisis telah menciutkan jumlah
bank. Tetapi, pengorbanan masyarakat sungguh luar biasa. Bank telah disuntik obligasi
rekapitalisasi senilai Rp 650 trilyun. Ini belum termasuk dana BLBI senilai Rp 144,5 trilyun.
Kini, apa hasilnya? Dari sekitar Rp 850 trilyun dana masyarakat yang dihimpun di
perbankan, hanya 48% yang disalurkan kembali sebagai kredit. Sisanya menumpuk di BI
dalam bentuk SBI dan obligasi rekapitalisasi yang bunganya dibayar (disubsidi) APBN. Pada
tahun 2004, subsidi bunga obligasi rekapitalisasi itu mencapai sekitar Rp 48 trilyun.
Kwik Kian Gie (2003) pernah menghitung, jika obligasi rekapitalisasi itu ditarik dari bank,
maka 10 bank besar (Mandiri, BNI, BRI, Danamon, BTN, BII, Permata, Lippo, Niaga dan
BCA) akan rugi Rp 37,6 trilyun. Sudah begitu, bank-bank ternyata mudah sekali ''dibobol
maling''. Pertanyaannya, apakah masih ada gunanya pemerintah (harus) memiliki bank? Apa
maknanya Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang digembar-gemborkan BI?
Kita pun menyadari, usaha BI sebagai otoritas perbankan dalam mengangkat citra dunia
perbankan melalui berbagai pola pembinaan dan pengawasan justru seringkali tidak
memperoleh umpan balik yang produktif dari para pelaku, sehingga permasalahan-
permasalahan yang timbul seringkali merupakan dampak dari niat yang kurang baik dari para
pengurus dan pemilik bank itu sendiri.
Sehatnya sebuah bank tidak hanya berpatokan pada aset (modal) semata, tetapi juga harus
memperhitungkan faktor manajemen risiko yang meliputi delapan faktor, yakni risiko kredit,
risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko strategi, risiko
kepatuhan dan risiko reputasi. Tidak sedikit para bankir yang tidak bisa mengelola
manajemen risiko dengan baik, sehingga terjadi pelanggaran prinsip kehati-hatian bank. Yang
terpenting dari kasus-kasus pembekuan bank adalah pembelajaran bagi pemilik maupun
pengurus bank untuk bercermin diri dalam pengelolaan keuangan dan manajemen perbankan
agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada, serta diharuskan menerapkan
prudent banking. Lebih khusus lagi, bagi para nasabah agar tidak gegabah dan senantiasa
berhati-hati jika ingin menempatkan dananya pada lembaga perbankan maupun lembaga
keuangan lainnya.
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/12/23/o2.htm
Kasus Pelanggaran Kode Etik pada Kantor Akuntan Publik Jasa Audit di
PT.Telekomunikasi Indonesia
Pembacaan Putusan terhadap Dugaan Pelanggaran UU No. 5/1999 yang dilakukan oleh KAP
Drs. Hadi Sutanto & Rekan (KAP Pricewaterhouse Coopers)
Tidak lebih dari 8 bulan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan
pemeriksaan dan menyusun putusan terhadap perkara No: 08/KPPU-L/2003 yaitu dugaan
pelanggaran UU No: 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Hadi Sutanto &
Rekan -sekarang bernama KAP Haryanto Sahari & Rekan- yang merupakan member firm
dari Kantor Akuntan Publik Asing Pricewaterhouse Coopers (PwC) yang selanjutnya disebut
Terlapor.
Perkara ini muncul setelah adanya laporan yang pada pokoknya tindakan Terlapor
dengan sengaja memberikan interpretasi yang menyesatkan kepada PT. Telkom, PT.
Telkomsel, dan US SEC mengenai Standar Audit Amerika khususnya AU 543. Tindakan
Terlapor tersebut mengakibatkan rusaknya kualitas audit yang dilakukan oleh KAP Eddy
Pianto atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Telkom tahun Buku 2002 sehingga
menghalangi KAP Eddy Pianto untuk bersaing dengan Terlapor sehubungan dengan
penyediaan layanan audit ke perusahaan-perusahaan besar yang tercatat di lantai bursa (BEJ).
Pada pemeriksaan pendahuluan, Tim Pemeriksa telah mendengar keterangan dari
Pelapor -identitas dirahasiakan sesuai dengan Pasal 38 UU No: 5 Tahun 1999- dan Terlapor;
hasilnya Tim Pemeriksa menemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap Pasal 19 huruf a
dan huruf b UU No: 5 Tahun 1999 sehingga perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan
lanjutan. Pada pemeriksaan lanjutan, Majelis Komisi telah mendengar keterangan para Saksi
di bawah sumpah, Ahli, dan Terlapor, serta memberikan kesempatan kepada Pelapor dan
Terlapor untuk menyampaikan data dan/atau informasi dan/atau tanggapan yang relevan
dengan pemeriksaan, dan Majelis Komisi telah menerima tanggapan tertulis dari Pelapor dan
Terlapor.
Inti permasalahan dari perkara ini adalah Terlapor -yang mengaudit Laporan
Keuangan PT. Telkomsel Tahun Buku 2002- tidak bersedia terasosiasi dengan pekerjaan
audit KAP Eddy Pianto karena Terlapor menghindari risiko yang dapat merugikan jika
terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto. Ketidaksediaan Terlapor karena
keraguan kelayakan hak berpraktek KAP Eddy Pianto dihadapan US SEC serta meminta
kesempatan untuk membaca dan atau me-review seluruh copy Form 20-F PT. Telkom
sebelum diajukan ke US SEC. Untuk itu Terlapor menolak hasil auditnya untuk diacu dalam
pekerjaan audit KAP Eddy Pianto dalam Form 20-F PT. Telkom. KAP Eddy Pianto tetap
mengacu kapada hasil audit Terlapor dan menyelesaikan audit Laporan Keuangan
Konsolidasi PT. Telkom. Sementara itu, untuk tetap tidak terasosiasi dengan pekerjaan audit
KAP Eddy Pianto, Terlapor tidak memberi ijin laporan auditnya dilampirkan dalam Form 20-
F PT. Telkom.
Menurut Majelis Komisi, Terlapor tidak memiliki kewenangan untuk menilai
kualifikasi KAP Eddy Pianto untuk berpraktek di hadapan US SEC. Kewenangan tersebut
sepenuhnya merupakan kewenangan US SEC, untuk itu seharusnya Terlapor meminta
klarifikasi kepada US SEC. Dan hal ini tidak pernah dilakukan oleh Terlapor, akan tetapi
telah melakukan penilaian mengenai kualifikasi KAP Eddy Pianto. Dengan demikian,
tindakan Terlapor tidak berdasar hukum dan tidak wajar.
Terlapor mendasarkan Standar Audit SAS 8-merupakan standar audit yang berlaku di
Amerika Serikat (AS) mengenai informasi lain dalam dokumen yang berisi laporan keuangan
auditan- dalam kewajibannya untuk membaca terlebih dahulu Form 20-F PT. Telkom secara
keseluruhan adalah tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan berlebihan. Karena, SAS 8
hanya mengatur hubungan antara auditor dengan auditan/kliennya, dan tidak mengatur
hubungan antara auditor dengan pihak lain selain auditan/kliennya. PT. Telkom bukanlah
auditan/klien dari Terlapor dan Form 20-F adalah dokumen lain yang diterbitkan oleh PT.
Telkom dalam rangka filing ke US SEC. Form 20-F PT. Telkom, tidak hanya memuat
keterangan-keterangan yang berkaitan dengan auditan/klien dari Terlapor namun juga
memuat keterangan-keterangan yang tidak berkaitan dengan auditan/klien dari Terlapor.
Alasan Terlapor mengenai risiko bila terasosiasi dengan pekerjaan audit KAP Eddy
Pianto dalam rangka filing Form 20-F PT. Telkom yang cacat dapat mengakibatkan Terlapor
dihukum atau ditolak baik secara sementara maupun permanen oleh US SEC didasarkan pada
ketentuan 17 C.F.F § 102 (e) The Commission Rules of Practice adalah tidak tepat. Terlapor
salah menerapkan ketentuan tersebut karena ketentuan tersebut hanya berlaku bagi
profesional yang berpraktek di hadapan US SEC dalam rangka mewakili pihak lain untuk
menyampaikan pemberitahuan, permohonan, laporan, pernyataan pendaftaran, dan dokumen
lain. Sedangkan dalam rangka filing Form 20-F PT. Telkom, Terlapor tidak dalam kapasitas
mewakili pihak manapun untuk berpraktek di hadapan US SEC. Terlapor adalah subyek
hukum badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sehingga tidak terikat oleh
ketentuan yang berlaku di AS tersebut. Sedangkan PwC, LL.P. -PwC berkedudukan di AS-
tidak terasosiasi dengan audit yang dikerjakan oleh Terlapor dan oleh karenanya juga tidak
terasosiasi dengan filing Form 20-F PT. Telkom. Tindakan Terlapor lebih banyak
dipengaruhi oleh afiliasinya (PwC, LL.P.) yang kemudian mencampuradukkan ketentuan
yang berlaku di AS tersebut.
Menurut Terlapor, berdasarkan AU 543, KAP Eddy Pianto harus meminta ijin
kepada Terlapor sebelum mengacu kepada hasil audit atas Laporan Keuangan PT. Telkomsel
Tahun Buku 2002. AU 543 paragraf 7 tidak mengharuskan auditor utama mendapatkan
persetujuan auditor lain apabila auditor utama mengacu pada hasil audit dari auditor lain
tersebut. Persetujuan tersebut diperlukan bila auditor utama menyebutkan nama auditor lain
dan laporannya disajikan bersama laporan auditor utama. KAP Eddy Pianto mengacu hasil
audit Terlapor tanpa menyebutkan nama Terlapor, sehingga penolakan Terlapor agar hasil
auditnya diacu oleh KAP Eddy Pianto adalah tidak berdasar hukum dan tidak wajar.
Berdasarkan AU 543 paragraf 7 terdapat catatan kaki nomor 3 yang pada pokoknya
menyatakan keperluan filing ke US SEC harus merujuk kepada Regulation S-X 205 yaitu bila
auditor utama mengacu kepada pekerjaan auditor lain, maka laporan audit dari auditor lain
tersebut harus disampaikan oleh perusahaan (registrant) ke US SEC dalam rangka filing Form
20-F. Untuk itu PT. Telkom berkewajiban melampirkan laporan audit Terlapor dalam Form
20-F yang disampaikan ke US SEC, dan KAP Eddy Pianto telah mengingatkan PT. Telkom
perihal tersebut, namun PT. Telkom berpendapat tidak memerlukan ijin dari Terlapor untuk
melampirkan laporan audit Terlapor dalam Form 20-F, dan Terlapor juga tidak memberi ijin
laporan auditnya dilampirkan dalam Form 20-F PT. Telkom karena tidak mau terasosiasi
dengan pekerjaan audit KAP Eddy Pianto. Oleh karena itu tindakan Terlapor berupa tidak
memberikan ijin pelampiran sebagai upaya tidak terasosiasi adalah tidak berdasar hukum dan
tidak wajar.
Tindakan Terlapor menyebabkan competitive harm dan consumer harm. Bagi KAP Eddy
Pianto, yaitu menimbulkan pernilaian bahwa KAP Eddy Pianto tidak dapat menyelesaikan
dan tidak mampu melakukan pekerjaan audit terhadap Laporan Keuangan PT. Telkom
tersebut. Penilaian tersebut berakibat menurunkan reputasi KAP second layer pada umumnya
di mata perusahaan pengguna jasa audit first layer, sehingga pilihan perusahaan pengguna
jasa audit first layer tetap terkonsentrasi pada KAP first layer. Bagi PT. Telkom, sebagai
pengguna jasa audit terpaksa harus mengeluarkan tambahan waktu, tenaga, dan biaya yang
seharusnya tidak perlu dikeluarkan bila proses pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan
Konsolidasi PT. Telkom Tahun Buku 2002 berjalan normal/tidak terganggu oleh tindakan
Terlapor. Seluruh tambahan biaya yang dikeluarkan oleh PT. Telkom untuk melaksanakan
audit Laporan Keuangan tersebut menjadi beban PT. Telkom dan merugikan pemegang
saham PT. Telkom. Tidak dapat masuknya KAP Eddy Pianto ke dalam pasar bersangkutan
menyebabkan pilihan bagi perusahaan pengguna jasa audit first layer tidak bertambah,
sehingga menghilangkan potensi harga jasa audit yang lebih bersaing di pasar bersangkutan.
Berdasarkan fakta dan kesimpulan, Majelis Komisi memutuskan menyatakan
Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 19 huruf a dan huruf
b UU No: 5/1999, dan menghukum Terlapor membayar denda sebesar Rp20.000.000.000,-
(dua puluh milyar rupiah).
Pemeriksaan dan penyusunan putusan terhadap perkara tersebut di atas dilakukan
oleh KPPU dengan prinsip independensi-tidak memihak siapapun- semata-mata sebagai
pengemban amanat pengawasan terhadap pelaksanaan UU No: 5/1999 agar terwujudnya
kepastian berusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha dan menjamin persaingan usaha yang
sehat dan efektif.
Jakarta, 24 Juni 2004Komisi Pengawas Persaingan Usaha
KASUS PELANGGARAN ETIKA KAP Hans Tuanakotta and Mustofa
(Deloitte Touche Tohmatsu's affiliate)
Terkait dengan kasus penggelembungan dana yang diduga telah dilakukan oleh KAP
ini dan juga keterlibatannya dengan beberapa perusahaan, sebut saja PT. Kimia Farma yang
juga melibatkan Ludovicus Sensi W rekan KAP Hans Tuanakota Mustofa (HTM) selaku
auditor PT.Kimia Farma.
Seperti diberitakan sebelumnya, KAEF terpaksa melakukan audit ulang laporan
keuangan 2001 setelah akuntan publik perseroan, Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM),
menemukan sejumlah kesalahan pencatatan yang berdampak pada naiknya jumlah laba
bersih. Setelah dilakukan audit ulang, ditemukan kesalahan pencatatan bernilai total Rp
32,558 miliar dengan porsi terbesar di pos pajak.
Menurut auditor dari HTM, Ludovicus Sensi W, restated tersebut dilakukan karena
adanya fundamental error dalam laporan keuangan 2001 Kimia Farma. Dia mengakui
kesalahan pencatatan ditemukan sejak Mei 2001 pada saat pihaknya melakukan audit
sehubungan dengan rencana go public Kimia Farma pada Juli 2001.
Penemuan itu, lanjut Ludovicus, kemudian diinformasikan kepada manajemen perseroan dan
pihak terkait, yakni Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Kementerian Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
“Kami informasikan bahwa ada salah saji secara material dalam laporan keuangan tersebut.
Untung saja manajemen Kimia Farma tidak menolak dilakukan restated, sehingga kami tidak
jadi menarik opini kami,” kata Ludovicus.
Dalam restated laporan keuangan 2001, penjualan bersih turun dari Rp 1,422 triliun menjadi
Rp 1,409 triliun dan beban pokok penjualan naik dari Rp 909,290 miliar menjadi Rp 950,875
miliar. Sementara beban usaha turun dari Rp 339,589 miliar menjadi Rp 331,351 miliar dan
laba usaha turun dari Rp 173,882 miliar menjadi Rp 127,340 miliar.
Selain itu, laba sebelum pajak turun dari Rp 185,154 miliar menjadi Rp 138,612 miliar.
Dengan koreksi beban pajak dari Rp 52,891 miliar menjadi Rp 39,017 miliar, laba bersih
menjadi hanya Rp 99,594 miliar dari sebelumnya Rp 132,263 miliar.
Seperti diketahui, perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih
2001 sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)
menilai, pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi penggelembungan.
Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100
miliar. Sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan
laporan keuangan per 30 Juni 2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik.
Berikut hasil dari pengamatan Bapepam mengenai kasus tersebut:
1. Kasus ini bermula dari ditemukannya hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam rangka retrukturisasi PT Kimia Farma Tbk. (PT KAEF), Sdr. Ludovicus Sensi W
selaku partner dari KAP HTM yang diberikan tugas untuk mengaudit laporan keuangan PT
KAEF untuk masa 5 bulan yang berakhir pada 31 Mei 2002, menemukan dan melaporkan
adanya kesalahan dalam penilaian persediaan barang jadi dan kesalahan pencatatan penjualan
untuk tahun yang berakhir per 31 Desember 2001.
b. Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa
Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di
PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam
laporan keuangan pada semester I tahun 2002.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam, diperoleh bukti sebagai berikut :
a. Terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT KAEF, adapun dampak
kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir
31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 miliar yang merupakan 2,3% dari penjualan dan 24,7%
dari laba bersih PT Kimia Farma Tbk.
b. Kesalahan tersebut terdapat pada unit-unit sebagai berikut:
Unit Industri Bahan Baku
− Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 2,7 miliar.
Unit Logistik Sentral
− Kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar Unit Pedagang
Besar Farmasi (PBF)
− Kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar.
− Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
c. Bahwa kesalahan penyajian tersebut, dilakukan oleh Direksi periode 1998–Juni 2002
dengan cara:
− Membuat 2 (dua) daftar harga persedian (master prices) yang berbeda masing-masing
diterbitkan pada tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan
master prices yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT
KAEF. Master prices per 3 Februari 2002 merupakan masterprices yang telah disesuaikan
nilainya (penggelembungan) dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai persediaan pada unit
distribusi PT KAEF per 31 Desember 2001.
− Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit Bahan Baku.
Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh Akuntan.
d. Berdasarkan uraian tersebut di atas, tindakan yang dilakukan oleh PT KAEF terbukti
melanggar:
− Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan.
e. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, terbukti bahwa Akuntan yang melakukan
audit Laporan Keuangan per 31 Desember 2001 PT KAEF:
− Telah melakukan prosedur audit termasuk prosedur audit sampling yang telah diatur dalam
Standar Profesional Akuntan Publik, dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan
membantu manajemen PT KAEF dalam penggelembungan keuntungan tersebut. Namun
demikian proses audit tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang
dilakukan oleh PT KAEF.
3. Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang-undang
Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun
1995 jo Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal maka PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Dikenakan sanksi
administratif berupa denda yaitu sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
4. Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal maka:
a. Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan
membayar sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara,
karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31
Desember 2001;
b. Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT
Kimia Farma (Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena atas resiko audit yang tidak berhasil mendeteksi
adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk. tersebut,
meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik
(SPAP), dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan.
Analisis:
1. Jenis pelanggaran?
Pelanggaran yang telah dilakukan oleh KAP Hans Tuanakotta and Mustofa (Deloitte
Touche Tohmatsu's affiliate) adalah melanggar prinsip dasar etika profesi akuntan, terutama
integritas, objektivitas, dan perilaku profesional.
2.Siapa yang melakukan pelanggaran?
Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi laporan
keuangan, karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa
(HTM) seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan
laporan fiktif atau tidak. Juga Sdr. Ludovicus Sensi W sebagai rekan kerjanya.
Untuk kasus PT. Kimia Farma, Direksi lama dan pihak manajemen yang melakukan
pelanggaran.
3.Apa akibatnya?
Risiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada
akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko seperti hilangnya kepercayaan publik
dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang
terburuk adalah kemungkinan ditutupnya Kantor Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan
dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan
keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus manipulasi
tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.
4.Apa tindakan Pemerintah terhadap pelanggaran tersebut?
Tindakan pemerintah dilakukan dimulai dari Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) yang
melakukan pemeriksaan laporan keuangan dan menemukan kesalahan yang terjadi. Lalu
ditindaklanjuti oleh BP2AP (Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik) yaitu lembaga non
pemerintah yang dibentuk oleh Ikatan Akuntan Indonesa (IAI) dan pemberian sanksi
administratif berupa denda, peringatan tertulis, pembekuan izin usaha, atau pencabutan izin
usaha.
5. Melanggar UU pasal berapa?
Melanggar UU nomor 5 tahun 2011 tentang akuntan publik (Pasal 55 dan Pasal 56).
Tanggapan:
Menurut saya, dengan adanya kasus seperti ini terutama melibatkan salah satu KAP besar di
Indonesia membuat publik terutama menjadi kesulitan untuk menemukan KAP mana yang
dapat dipercaya. Tentunya semua pihak berharap agar tidak ada lagi kasus seperti ini. Untuk
itu diperlukan kerjasama lagi di antara pihak pemerintah, IAI, maupun akuntan publik sendiri
untuk bersama-sama membangun kepercayaan publik kembali terhadap profesi akuntan.
Sumber:
1. http://www.bumn.go.id/22368/publikasi/berita/kasus-salah-catat-laporan-keuangan-kimia-
farma-usulkan-nilai-dividen-2001-tetap/
2. www.bapepam.go.id
I. KONTROVERSI BANK LIPPO
A. Skandal Laporan Keuangan Ganda Bank Lippo
Kasus PT. Bank Lippo Tbk ini berawal dari laporan keuangan Triwulan III tahun
2002 yang dikeluarkan tanggal 30 September 2002 oleh PT. Bank Lippo Tbk, yaitu terjadi
perbedaan informasi atas Laporan Keuangan yang disampaikan ke public melalui iklan di
sebuah surat kabar nasional pada tanggal 28 November 2002 dengan Laporan Keuangan yang
disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Dalam laporan tersebut dimuat adanya pernyataan manajemen PT. Bank Lippo Tbk
bahwa Laporan Keuangan tersebut disusun berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi yang
telah diaudit oleh KAP Prasetio, Sarwoko, Sandjaja (penanggung jawab Drs. Ruchjat
Kosasih) dengan Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian.
Penyajian laporan tersebut dibuat dalam bentuk komparasi per 30 September 2002
(audited) dan per 30 september 2001 (unaudited). Dicantumkan, Nilai Agunan Yang Diambil
Alih (“AYDA”) per 30 September 2002 sebesar Rp. 2,393 triliun, total aktiva per 30
September 2002 sebesar Rp. 24,185 triliun, Laba tahun berjalan per 30 September 2002
sebesar Rp. 98,77 miliar, dan Rasio Kewajiban Modal Minimum Yang Tersedia (CAR)
sebesar 24,77%.
Pada Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 –tanggal yang sama-
yang disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tanggal 27 Desember 2002, ternyata
disampaikan laporan yang berbeda. Laporan itu mencantumkan Pernyataan manajemen PT.
Bank Lippo Tbk bahwa Laporan Keuangan yang disampaikan adalah Laporan Keuangan
“audited” yang tidak disertai dengan laporan auditor independen yang berisi opini Akuntan
Publik.
Penyajian laporan juga dilakukan dalam bentuk komparasi per 30 September 2002
(audited) dan 30 September 2001 (unaudited). Dicantumkan Nilai Agunan Yang Diambil
Alih Bersih (“AYDA”) per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,42 triliun, total aktiva per 30
September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun, Rugi bersih per 30 September 2002 sebesar Rp.
1,273 triliun, dan Rasio Kecukupan Modal Minimum (CAR) sebesar 4,23%.
Dapat dilihat, bahwa pada tanggal yang sama ditemukan perbedaan. Perbedaan
tersebut baik dalam jumlah AYDA, total aktiva, CAR, bahkan kondisi untung rugi. Atas hal
tersebut, Pada tanggal 6 Januari 2003, Akuntan Publik KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja
menyampaikan Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 kepada
manajemen PT. Bank Lippo.
Dalam laporan tersebut dikemukakan bahwa Laporan Auditor independen yang berisi
opini Akuntan Publik Drs. Ruchjat Kosasih dari KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja dengan
pendapat Wajar Tanpa Pengecualian. Laporan Auditor independen tersebut tertanggal 20
November 2002, kecuali untuk catatan 40a tertanggal 22 November 2002 dan catatan 40c
tertanggal 16 Desember 2002.
Penyajian dalam bentuk komparasi per 30 September 2002, 31 Desember 2001 dan 31
Desember 2000. Total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun, Nilai Agunan
Yang Diambil Alih Bersih (AYDA) per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,42 triliun, Rugi
bersih per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,273 triliun, Rasio Kecukupan Modal sebesar Rp.
4,23%.
B. Saham
Pada periode yang sama sejumlah broker melakukan transaksi jual dalam jumlah sangat
besar. Ironisnya, pada 14 Februari broker yang sama berbalik melakukan transaksi beli dalam
volume signifikan. Praktik semacam itu menguatkan dugaan memang terjadi manipulasi
laporan keuangan serta insider trading.Dengan tujuan, manajemen (khususnya pemilik lama)
bisa masuk dan menguasai saham mayoritas bank itu.
Banyak yang menduga skenario yang mereka inginkan adalah pihak manajemen ingin
menawar saham terbatas (rights issue). Lewat cara itu pemegang saham mayoritas saat ini,
yaitu pemerintah, mau tidak mau harus mengeluarkan banyak uang. Karena jika tidak
dilakukan, kepemilikan sahamnya terdilusi.Ringkas kata, pemilik lama menginginkan
pemerintah merekapitalisasi tahap kedua terhadap bank itu.
C. Bank Lippo Menyokong Dana Kampanye Bill Clinton
Hubungan erat antara grup Lippo dengan Partai Demokrat AS bermula dari tahun 1976 James
Riady, anak Mochtar Riady si bos Lippo, berangkat ke New York untuk bekerja di Irving
Trust Banking Company di tahun 1975. Tak lama, James Riady pindah ke Little Rock,
Arkansas (kota kelahiran Bill Clinton) di tahun 1976.
Di Arkansas, James Riady bersama Jack Steven mendirikan Worthen Bank dengan
modal awal US$ 20 juta. Jack Steven, yang disebut-sebut sebagai Godfathernya Arkansas ini
adalah rekan dekat Mochtar Riady. Melalui Jack Steven inilah, James Riady bisa kenalan
dengan Jimmy Carter, Bill Clinton dan sebagainya.
Pada tahun 1984, James Riady ditunjuk Jack Steven menjadi Direktur Utama Worthen
Bank.James Riady pun lalu menunjuk Hillary Clinton sebagai pengacara Worthen Bank.
Disinilah hubungan James Riady dengan pasutri Clinton merapat
Pada tahun 1990an, Bill Clinton menyatakan kepada James Riady kalau ia berencana
maju ke pemilu presiden AS. James Riady pun memberitakan kabar tersebut kepada ayahnya,
Mochtar Riady.Mochtar Riady pun langsung memerintahkan James Riady partisipasi aktif
dalam kampanye Bill Clinton. Tak cuma James Riady, seluruh anggota dan jaringan yang
dimiliki Lippo Group pun dikerahkan untuk membantu kampanye Bill Clinton
Bentuk sokongan James Riady dan Ted Sioeng pada Bill Clinton – Al Gore adalah
pengumpulan dana kampanye. Fokus dari tim pengumpulan dana kampanye Clinton – Al
Gore yang ditangani James Riady dan Ted Sioeng adalah dari pengusaha-pengusaha Asia.
jumlahnya dana yang dikumpulkan James Riady – Ted Sioeng untuk Clinton – Al Gore
mencapai US$ 7,5 juta.
Secara pribadi dan perusahaan, keluarga Riady dan Lippo Group mendapat jaringan
dan keleluasaan berbisnis di AS . Indonesia pun mendapat ‘Keringanan bea impor’ ke AS
pada masa Bill Clinton. Karena para pengusaha Tionghoa di Indonesia ikut menyetor dana ke
Clinton, maka mereka melobi kemudahan perdagangan, Tak cuma Indonesia, RRC pun
ikutan memperoleh kemudahan impor produk-produk RRC ke AS semasa Clinton.
Hasil kerja #LippoGate inilah yang menjadi salah satu pemicu kenapa para pengusaha
Tionghoa Indonesia mulai eksodus ke pasar global.Sejak tahun 1994, satu per satu para
pengusaha besar memindahkan markas besar usahanya ke luar negeri.Indonesia hanya
menjadi tempat beroperasinya alat-alat produksi, tapi hasil, uang dan keuntungannya semua
dibawa ke Singapura dan Hong Kong.Dampak migrasi dana-dana para pengusaha ini bagi
Indonesia??Rupiah mengalami pelemahan berturut-turut dan menjadi salah satu pemicu krisis
moneter Asia.
Ketika skandal sumbangan Lippo Grup utk kampanye Clinton tsb terbongkar, Partai
Demokrat terpaksa kembalikan hampir US$ 500 ribu. Sementara itu, Muchtar dan James
Riady /Lippo Grup dinyatakan bersalah oleh pengadilan AS atas pelanggaran UU dana
kampanye AS karena terbukti melanggar hukum terkait pemberian sumbangan dana
kampanye Capres PD, Bill Clinton. Keluarga Riady /Lippo Grup dihukum membayar denda
US$ 8.6 juta atau Rp. 86 milyar atas pelanggaran tersebut.
II. PELANGGARAN HUKUM OLEH BANK LIPPO
Di dalam kasus PT. Lippo Bank Tbk tersebut mengandung 3 (tiga) unsur dari pasal 93
Undang-Undang Pasar Modal.Pertama, tindakan tersebut mempengaruhi harga Efek di Bursa
Efek.
Dari fakta menunjukan bahwa tindakan PT. Bank Lippo Tbk dengan memberikan
informasi yang menyesatkan pada laporan keuangan per 30 September 2002 telah
menimbulkan ketidakpastian di masyarakat sehingga mempengaruhi harga Efek di
Bursa.Saham PT. Lippo Bank Tbk pun mengalami fluktuasi yang tajam disebabkan oleh
missleading information tersebut.
Terlihat bahwa akibat laporan keuangan yang diterbitkan tersebut menggerakkan
harga.Bahkan, tidak semata-mata berdampak pada saham PT Bank Lippo, tbk semata, tetapi
juga bursa efek secara keseluruhan.
Kedua, setiap Pihak dilarang dengan cara apapun, membuat pernyataan atau
memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan. Dalam kasus
tersebut ditemukan fakta sebagai berikut bahwa dalam Laporan Keuangan per 30 September
2002 yang diiklankan di media massa pada tanggal 28 November 2002, Manajemen PT.
Bank Lippo Tbk menyatakan bahwa Laporan Keuangan tersebut disusun berdasarkan
Laporan Keuangan Konsolidasi yang telah diaudit oleh KAP Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja
dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian.
Akan tetapi, Hasil pemeriksaan Bapepam menunjukan bahwa laporan keuangan PT.
Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan pada tanggal 28 November 2002
adalah laporan keuangan yang tidak diaudit meskipun angka-angkanya sama seperti yang
tercantum dalam Laporan Auditor Independen. Hal ini menunjukan bahwa pernyataan atau
keterangan yang diberikan oleh pihak manajemen PT. Bank Lippo Tbk dalam laporan
tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan.
Ketiga, pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa
pernyataan atau keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan atau tidak
cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan atau keterangan
tersebut.
Pencantuman kata “audited” pada Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30
September 2002 membawa implikasi pada perhitungan akun-akun didalamnya yang terlihat
baik namun sesungguhnya bukan keadaan yang sebenarnya. Laporan keuangan yang
disampaikan ke publik tanggal 28 November 2002 mencatat total aktiva per 30 September
2002 sebesar Rp. 24,185 triliun, laba tahun berjalan sebesar Rp. 98,77 miliar dan CAR
sebesar 24,77%.
Sekilas dengan membaca laporan ini, Investor melihat bahwa kinerja perusahaan
berjalan dengan bagus. Dengan demikian keputusan-keputusan yang diambil investor akan
menguntungkan perusahaan misalnya Investor melakukan pembelian saham Lippo secara
besar-besaran.
Hal ini tentunya merugikan Investor sebab dengan dasar informasi yang salah maka
keputusan yang diambilnya juga tidak tepat. Keadaan yang sebenarnya adalah sebagaimana
Laporan Keuangan per 30 September yang disampaikan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002
yang sudah diaudit oleh KAP Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja dimana total aktiva per 30
September 2002 sebesar Rp. 22,8 triliun, rugi bersih sebesar Rp. 1,273 triliun dan CAR
sebesar 4,23%.
III. PENJELASAN DARI PIHAK BANK LIPPO
Dari fakta yang telah diuraikan sebelumnya, PT. Bank Lippo Tbk telah dua kali
memberikan penjelasan dan pemaparan kepada publik berkaitan dengan adanya perbedaan
dalam Laporan Keuangan per 30 September 2002 yang disampaikannya.
Pertama, dalam pengumuman penjelasan di Harian Investor tanggal 17 Januari 2003.
PT Bank Lippo Tbk menegaskan bahwa Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30
September 2002 adalah informasi yang akurat dan benar serta mencerminkan kinerja Bank
Lippo yang sesungguhnya yakni CAR 24,77% dan NPL 9,03%.
Kedua, dalam paparan publik di Hotel Aryaduta Jakarta tanggal 11 Februari 2003.
Manajemen PT. Bank Lippo Tbk kembali menegaskan bahwa angka-angka yang disajikan
dalam Laporan Keuangan per 30 September 2002 yang telah dipublikasikan ke media massa
pada 28 November 2002 dalam rangka memenuhi peraturan BI adalah angka-angka yang
akurat dan benar serta telah disajikan sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI).
Sementara itu dilain pihak, Auditor dari laporan keuangan Bank Lippo per 30
September 2002 yakni Ernst & Young and Partner (Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja) dalam
penjelasan tertulisnya kepada Bapepam menyatakan bahwa mengaudit satu laporan. Laporan
keuangan itulah yang disampaikan kepada BEJ tanggal 27 Desember 2002. Dijelaskan bahwa
dalam laporan keuangan hasil audit Ernst & Young and Partner (Prasetyo, Sarwoko dan
Sandjaja) berbeda dengan laporan konsolidasi yang dipublikasikan.
Laporan keuangan yang dipublikasikan tanggal 28 November 2002 menyebutkan
aktiva Bank Lippo sebesar Rp. 24 triliun dan laba bersih sebesar Rp. 28 miliar. Padahal
menurut laporan yang diaudit oleh tim audit dari Ernst & Young and Partner (Prasetyo,
Sarwoko dan Sandjaja) sebagaimana dilaporkan kepada BEJ tanggal 27 Desember 2002
menyebutkan aktiva Rp. 22,8 triliun dan rugi bersih Rp. 1,3 triliun. Dengan demikian terdapat
ketidakcocokan antara keterangan yang diberikan oleh pihak manajemen dengan pihak
auditornya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pihak manajemen PT. Bank Lippo Tbk
tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan atau
keterangannya dalam laporan keuangan per 30 September 2002 yang disampaikan ke publik
tanggal 28 November 2002.Pihak manajemen dalam mempublikasikan laporan keuangan
tersebut terbukti tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak auditor Ernst & Young and
Partner (Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja).
Oleh karena ketiga unsur dalam pasal 93 Undang-undang Pasar Modal telah terpenuhi
maka tindakan pihak manajemen PT. Bank Lippo Tbk dalam memberikan keterangan atau
informasi laporan keuangan per 30 September 2002 yang disampaikan ke publik merupakan
suatu tindakan penyesatan informasi publik (misleading information). Dengan demikian,
memang benar telah terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT. Bank Lippo, Tbk.
IV. PUTUSAN ATAS KASUS LAPORAN GANDA BANK LIPPO
Sanksi BEJ atas Bank Lippo adalah berupa peringatan keras, selain itu BEJ
mewajibkan Bank Lippo menyerahkan laporan kemajuan (progress report) setiap minggu
sekali mulai 24 Februari sampai keluarnya laporan keuangan auditan tahun 2002.
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun memberikan sanksi. Dalam siaran
persnya tanggal 17 Maret 2003 mengumumkan pemberian sanksi administratif kepada
Direksi PT. Bank Lippo Tbk berupa kewajiban menyetor uang ke Kas Negara sejumlah Rp.
2,5 miliar. Sedangkan terhadap PT. Bank Lippo Tbk diwajibkan untuk memberikan
penjelasan kepada pemegang saham perihal kekurang hati-hatian yang telah dilakukan serta
sanksi administratif yang diterima oleh PT. Bank Lippo Tbk dalam Rapat Umum Pemegang
Saham berikutnya.
Pihak yang bertanggung jawab dalam pelanggaran ini adalah Akuntan Publik Drs.
Ruchjat Kosasih dari KAP Prasetyo, Sarwoko dan Sandjaja sebagai penanggung jawab
pemeriksaan atau audit atas laporan keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002.
Atas kelalaian yang dilakukannya Bapepam menjatuhkan sanksi administratif berupa
kewajiban menyetor uang ke Kas Negara sebesar Rp. 3,5 juta.
V. KESIMPULAN
Jadi dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Bank Lippo Tbk. terbukti
melakukan pelanggaran hukum atas Pasal 93 Undang Undang Pasar Modal.Pelanggaran
hukum ini terjadi karena sistem yang ada dalam soal laporan keuangan memang cukup
rumit.Kerumitan ini rentan menghadirkan kelalaian dari pihak pelaku pasar modal.
Dan dalam hal pengenaan sanksi, sanksi nya tidak tepat karena sanksi yang dikenakan
(hanya bersifat administratif) tidak sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 93 Undang-
Undang Pasar Modal yang sangat jelas mencederai asas kepastian hukum dan menyebabkan
ketidakpastian hukum.
KASUS PTKAI TENTANG PENGGELEMBUNGAN DANA
PT KERETA API INDONESIA (PT KAI) terdeteksi adanya kecurangan dalam
penyajian laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan
investor dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode
etik profesi akuntansi. Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun
2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp6,9 Miliar. Padahal apabila
diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan justru menderita kerugian sebesar Rp63 Miliar.
Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan
Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan,
laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap
laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh
Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), sedangkan untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan
akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan Direksi PT KAI untuk disetujui sebelum
disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham, dan Komisaris PT KAI yaitu Hekinus
Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh
akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan
dari laporan keuangan PT KAI tahun 2005 sebagai berikut:
1. Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam
laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005.
Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai
(PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir
tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa
pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standar
Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai
aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun
2005.
2. Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp24 Miliar
yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI
sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pad akhir tahun 2005 masih tersisa
saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp6 Miliar, yang
seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
3. Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai
kumulatif sebesar Rp674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp70 Miliar oleh
manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari
hutang.
4. Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap
kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada
pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara Komisaris dan auditor akuntan
publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata
kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI baru bisa mengakses
laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit
laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan
Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin
praktik.
Kasus PT KAI berawal dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Sebagai akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima umum
sebagai salah satu penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak menguasai prinsip
akuntansi berterima umum bisa menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan.
Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-
pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data
disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa
terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor
menyatakan Laporan Keuangan itu Wajar Tanpa Pengecualian. Tidak ada penyimpangan dari
standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan.
Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh Kantor
Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang melibatkan BPK sebagai
auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan
Publik yang mengaudit Laporan Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
Profesi Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas, dan kejujuran. Kepercayaan
masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan baik oleh para akuntan. Etika
profesi yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal itu penting karena ada keterkaitan kinerja
akuntan dengan kepentingan dari berbagai pihak. Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan.
Pemerintah, kreditor, masyarakat perlu mengetahui kinerja suatu entitas guna mengetahui
prospek ke depan. Yang Jelas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan
harus mendapat perhatian khusus. Tindakan tegas perlu dilakukan.
PEMBAHASAN KASUS
Kasus di atas merupakan Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI yang
dilakukan oleh Manajemen PT KAI dan Ketidakmampuan KAP dalam mengindikasi
terjadinya manipulasi.
Analisis 5 Question Approach:
• Profitable
1. Pihak yang diuntungkan adalah Manajemen PT KAI karena kinerja keuangan
perusahaan seolah-olah baik (laba Rp6.9 M), meskipun pada kenyataannya menderita
kerugian Rp 63 M. Tidak tertutup kemungkinan, pihak manajemen memperoleh bonus dari
“laba semu” tersebut.
2. Pihak lain yang diuntungkan adalah KAP S. Manan & Rekan, dimana
dimungkinkan memperoleh Fee khusus karena memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian.
• Legal
1. PT KAI melanggar Pasal 90 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal “Dalam kegiatan
perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung maupun tidak langsung:
1.Menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
2. Turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
3. Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan
fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang
terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau
menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi
Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek.”
PT KAI dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 107 UU No.8 Tahun 1995 yang
menyatakan: “Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain
atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin,
persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).”
(2) KAP S. Manan & Rekan melanggar Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP)
• Fair
Perbuatan manajemen PT.KAI merugikan publik/masyarakat dan pemerintah.
1) Publik (investor); dirugikan karena memperoleh informasi yang menyesatkan,
sehingga keputusan yang diambil berdasarkan informasi keuagan PT. KAI menjadi tidak
akurat/salah.
2) Pemerintah; dirugikan karena dengan rekayasa keuangan tersebut maka pajak
yang diterima pemerintah lebih kecil.
• Right
1) Hak-hak Publik; dirugikan karena investor memperoleh informasi yang
menyesatkan, sehingga keputusan yang diambil menjadi salah/tidak akurat.
2) Pemerintah; dirugikan karena pajak yang diterima pemerintah menjadi lebih kecil.
• Suistainable Development
1) Rekayasa yang dilakukan manajemen PT KAI bersifat jangka pendek dan bukan
jangka panjang, karena hanya menginginkan keuntungan/laba untuk kepentingan
pribadi/manajemen (motivasi bonus).
3. Prinsip Etika Yang Dilanggar:
Selain akuntan eksternal dan komite audit yang melakukan kesalahan dalam hal
pencatatan laporan keuangan, akuntan internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya
menerapkan 8 prisip etika akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung jawab
profesi, kepentingan publik, integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional,
kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis, prinsip-prinsip etika akuntan yang
dilanggar antara lain :
1) Tanggung jawab profesi ;
Dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap
semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab
karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut
sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan
perusahaan yang sebenarnya.
2) Kepentingan Publik ;
Dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang
berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini
akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja
memanipulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian
namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja
sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar
namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut.
3) Integritas ;
Dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini
akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi
laporan keuangan.
4) Objektifitas ;
Dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak
memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena diduga
telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu
yang berada di PT. KAI.
5) Kompetensi dan kehati-hatian professional ;
Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-
hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan
pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini,
akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan
pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun dalam
laporan keuangan mengalami keuntungan.
6) Perilaku profesional ;
Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras
dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan
profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang
menyebabkan kekeliruan dalam melakukan pencatatanlaporan keuangan, dan hal ini dapat
mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.
7) Standar teknis ;
Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi
standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan
berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima
jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam
kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan
keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api
Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan
keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan
standar akuntansi keuangan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.
4. Sikap Yang Diambil :
1) Manajemen PT KAI
a) Melakukan koreksi atas salah saji atas: pajak pihak ketiga yang dimasukkan
sebagai asset; penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan yang belum
dibebankan; bantuan pemerintah yang seharusnya disajikan sebagai bagian modal perseroan.
b) Meminta maaf kepada stakeholders melalui konferensi pers dan berjanji tidak
mengulangi kembali di masa datang.
2) KAP S. Manan & Rekan & Rekan
a) Melakukan jasa profesional sesuai SPAP, dimana tiap anggota harus berperilaku
konsisten dengan reputasi profesionalnya dengan menjauhi tindakan yang dapat
mendiskreditkan profesioreksi
b) Melakukan koreksi atas opini yang telah dibuat
c) Melakukan konferensi pers dengan mengungkapkan bahwa oknum yang
melakukan kesalahan sehingga menyebabkan opini atas Laporan Keuangan menjadi tidak
seharusnya telah diberikan sanksi dari pihak otorisasi, dan berjanji tidak mengulang kembali
kejadian yang sama di masa yang akan datang.
5. Rekomendasi Agar Kasus Serupa Tidak Terulang.
1) Membangun kultur perusahaan yang baik; dengan mengutamakan integritas,
etika profesi dan kepatuhan pada seluruh aturan, baik internal maupun eksternal,
khususnya tentang otorisasi.
2) Mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan publik.
3) Merekrut manajemen baru yang memiliki integritas dan moral yang baik, serta
memberikan siraman rohani kepada karyawan akan pentingnya integritas yang baik bagi
kelangsungan usaha perusahaan.
4) Memperbaiki sistem pengendalian internal perusahaan.
5) Corporate Governance dilakukan oleh manajemen yang dirancang dalam rangka
mengeliminasi atau setidaknya menekan kemungkinan terjadinya fraud. Corporate
governance meliputi budaya perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan pendelegasian wewenang.
6) Transaction Level Control Process yang dilakukan oleh auditor internal, pada
dasarnya adalah proses yang lebih bersifat preventif dan pengendalian yang bertujuan untuk
memastikan bahwa hanya transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai yang dicatat
dan melindungi perusahaan dari kerugian.
7) Retrospective Examination yang dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan
untuk mendeteksi fraud sebelum menjadi besar dan membahayakan perusahaan.
8) Investigation and Remediation yang dilakukan forensik auditor. Peran auditor
forensik adalah menentukan tindakan yang harus diambil terkait dengan ukuran dan tingkat
kefatalan fraud, tanpa memandang apakah fraud itu hanya berupa pelanggaran kecil terhdaap
kebijakan perusahaan ataukah pelanggaran besar yang berbentuk kecurangna dalam laporan
keuangan atau penyalahgunaan asset.
9) Penyusunan Standar yang jelas mengenai siapa saja yang pantas menjadi apa
baik untuk jabatan fungsional maupun struktural ataupun untuk posisi tertentu yang dianggap
strategis dan kritis. Hal ini harus diiringi dengan sosialisasi dan implementasi (enforcement)
tanpa ada pengecualian yang tidak masuk akal
10) Diadakan tes kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan
tertentu dengan adil dan terbuka. Siapapun yang telah memenuhi syarat mempunyai
kesempatan yang sama dan adil untuk “terpilih”. Terpilih artinya walaupun pejabat lain
diatasnya tidak “berkenan” dengan orang tersebut, tetapi karena ia yang terbaik maka tidak
ada alasan logis untuk menolaknya ataupun memilih yang orang lain. Disinilah peran
profesionalisme dikedepankan
11) Akuntabilitas dan Transparansi setiap “proses bisnis” dalam organisasi agar
memungkinkan monitoring dari setiap pihak sehingga penyimpangan yang dilakukan oknum-
oknum dapat diketahui dan diberikan sangsi tanpa kompromi.
ANALISIS:
Dari kasus studi diatas tentang pelanggaran Etika dalam berbisnis itu merupakan
suatu pelanggaran etika profesi perbankan pada PT KAI pada tahun tersebut yang terjadi
karena kesalahan manipulasi dan terdapat penyimpangan pada laporan keuangan PT KAI
tersebut. pada kasus ini juga terjadi penipuan yang menyesatkan banyak pihak seperti
investor tersebut. seharusnya PT KAI harus bertindak profesional dan jujur sesuai pada asas-
asas etika profesi akuntansi.