eritoderma

8
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Salah satu kelainan kulit yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi kulit adalah eritroderma (Munyao dkk, 2007). Eritroderma, disebut juga sebagai dermatitis eksfoliatif, diperkenalkan pertama kali oleh Hebra pada 1868, merupakan kelainan kulit inflamasi yang ditandai kulit eritem generalisata dan skuama yang luas melibatkan 90% luas permukaan kulit. Eritroderma dan dermatitis eksfoliatif merupakan satu perjalanan klinis, yakni tahap awal berupa kulit eritem generalisata yang kemudian diikuti dengan pengelupapasan kulit (Yuan dkk, 2010). Pada penelitian ini selanjutnya akan menggunakan terminologi eritroderma. Eritroderma bukan merupakan kasus yang sering ditemukan, namun masalah yang ditimbulkannya cukup parah (Mapar dkk, 2011). Eritroderma dapat berakibat fatal, maka diperlukan penatalaksanaan yang baik karena dapat mengganggu metabolisme tubuh dengan berbagai komplikasinya, oleh karena itu perlu mengidentifikasi penyakit yang mendasari dan memberikan terapi kausatif secara adekuat (Pal dan Haroon, 1998; Okoduwa dkk, 2009). Studi pendahuluan yang pernah dilakukan melaporkan bahwa di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito periode 2008-2012 dijumpai 92 kasus eritroderma, dengan prevalensi 16,4-19,4%, rerata usia 49,16 tahun dengan rasio

Upload: muhammad-najib-abd

Post on 11-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

eritroderma

TRANSCRIPT

Page 1: eritoderma

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari

lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta

merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Salah satu kelainan kulit yang dapat

menyebabkan terganggunya fungsi kulit adalah eritroderma (Munyao dkk, 2007).

Eritroderma, disebut juga sebagai dermatitis eksfoliatif, diperkenalkan

pertama kali oleh Hebra pada 1868, merupakan kelainan kulit inflamasi yang

ditandai kulit eritem generalisata dan skuama yang luas melibatkan 90% luas

permukaan kulit. Eritroderma dan dermatitis eksfoliatif merupakan satu

perjalanan klinis, yakni tahap awal berupa kulit eritem generalisata yang

kemudian diikuti dengan pengelupapasan kulit (Yuan dkk, 2010). Pada penelitian

ini selanjutnya akan menggunakan terminologi eritroderma.

Eritroderma bukan merupakan kasus yang sering ditemukan, namun

masalah yang ditimbulkannya cukup parah (Mapar dkk, 2011). Eritroderma dapat

berakibat fatal, maka diperlukan penatalaksanaan yang baik karena dapat

mengganggu metabolisme tubuh dengan berbagai komplikasinya, oleh karena itu

perlu mengidentifikasi penyakit yang mendasari dan memberikan terapi kausatif

secara adekuat (Pal dan Haroon, 1998; Okoduwa dkk, 2009).

Studi pendahuluan yang pernah dilakukan melaporkan bahwa di Rumah

Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito periode 2008-2012 dijumpai 92 kasus

eritroderma, dengan prevalensi 16,4-19,4%, rerata usia 49,16 tahun dengan rasio

Page 2: eritoderma

2

laki-laki dan perempuan 1,6:1 (Damayanti dkk, 2013). Diagnosis yang ditegakkan

lebih awal, cepat dan akurat serta penatalaksanaan yang tepat sangat

mempengaruhi prognosis penderita (Mapar dkk, 2011).

Eritroderma dapat disebabkan oleh berbagai penyakit kulit yang telah

diderita sebelumnya. Faktor penyebab dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok

yaitu perluasan penyakit kulit sebelumnya (dermatosis primer), reaksi obat,

keganasan, dan idiopatik. Pemeriksaan histopatologi dapat mengidentifikasi kausa

eritroderma hingga 50% kasus, khususnya jika menggunakan biopsi multipel

(Vasconcellos dkk, 1995; Karakayli dkk, 1999).

Gambaran klinis yang menyertai eritroderma bervariasi. Beberapa studi

menyebutkan bahwa gejala pruritus merupakan manifestasi klinis tersering pada

eritroderma (Rym dkk, 2005; Jowkar dkk, 2006; Khaled dkk, 2010; Li dan Zheng,

2012). Gejala klinis tersering lainnya seperti kulit berskuama, limfadenopati,

kelainan kuku, demam, edema, dan hepato-splenomegali yang bervariasi dan

memiliki frekuensi berbeda di tiap wilayah (Pal dan Haroon, 1998; Sudho dkk,

2003; Rym dkk, 2005; Jowkar dkk, 2006; Yuan dkk, 2010; Kalsy dan Puri, 2013).

Temuan hasil laboratorium juga bervariasi pada kasus eritroderma.

Kelainan hasil laboratorium yang sering dijumpai yaitu kenaikan laju enap darah

(LED), leukositosis, eosinofilia, peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)-E, dan

anemia. Terdapat perbedaan frekuensi abnormalitas hasil laboratorium dari

beberapa studi. Anemia dilaporkan memiliki frekuensi tersering pada beberapa

studi (Pal dan Haroon, 1998; Sudho dkk, 2003). Yuan dkk (2010) menyebutkan

bahwa kenaikan C-reactive protein (CRP) merupakan kelainan hasil laboratorium

tersering yang dijumpai pada kasus eritroderma. Sedangkan leukositosis,

eosinofilia, kenaikan LED, dan peningkatan kadar IgE dilaporkan memiliki

Page 3: eritoderma

3

frekuensi tersering pada studi-studi lainnya (Rym dkk, 2005; Jowkar dkk, 2006;

Earlia dkk, 2009; Hulmani dkk, 2014).

Pola etiologi dari eritroderma bervariasi di berbagai negara. Dermatosis

primer merupakan penyebab tersering eritroderma pada dewasa (Pal dan Haroon,

1998; Jowkar dkk, 2006; Yuan dkk, 2010; Li dan Zheng, 2012). Kalsy dan Puri

(2013) melaporkan bahwa erupsi obat merupakan penyebab tersering eritroderma

pada anak. Erupsi obat, keganasan (cutaneous T-cell lymphoma/CTCL), dan

idiopatik memiliki frekuensi bervariasi di beberapa laporan (Rym dkk, 2005;

Jowkar dkk, 2006; Earlia dkk, 2009; Hulmani dkk, 2014). Studi pendahuluan di

RSUP Dr. Sardjito menyebutkan bahwa etiologi yang mendasari kasus-kasus

eritroderma periode 2008-2012 yaitu psoriasis vulgaris (43.48%), dermatitis

kontak alergi (19.57%), erupsi obat (13.04%), psoriasis pustular generalisata

(5.43%), dermatitis seboroik (9.78%), mycoses fungoides (3.26%), dermatitis

kontak iritan (2.17%), dan dermatitis atopik (1.08%) (Damayanti dkk, 2013).

Pendekatan penegakan diagnosis pada kasus eritroderma tergantung pada

riwayat penyakit sebelumnya, seperti riwayat pemakaian obat atau medikasi lain.

Pasien dengan penyakit kulit sebelumnya yang rekalsitran dapat berkembang

menjadi eritroderma. Pada beberapa kasus eritroderma, penyakit yang mendasari

dapat ditegakkan dengan mudah, namun sebaliknya banyak kasus eritroderma

cukup sulit ditegakkan kausanya (Akhyani dkk, 2005; Li dan Zheng, 2012). Nilai

diagnostik dari pemeriksaan histopatologi eritroderma masih sering menjadi

perdebatan. Kesepakatan klinis dan histopatologi pada kasus eritroderma

bervariasi, berkisar antara 20 – 70% (Zip dkk, 1993; Pal dan Haroon, 1998;

Page 4: eritoderma

4

Khaled dkk, 2010; Hulmani dkk, 2014). Tidak semua studi meneliti besarnya

kesepakatan klinis dan histopatologis (Sigurdsson dkk, 1996; Sudho dkk, 2003;

Jowkar dkk, 2006; Earlia dkk, 2009; Yuan dkk, 2010; Kalsy dan Puri, 2013).

B. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana variasi dan frekuensi gejala klinis dan hasil pemeriksaan

laboratorium pada kasus eritroderma di RSUP Dr. Sardjito periode 2009 -

2013?

2. Apa etiologi yang mendasari pada kasus eritroderma di RSUP Dr. Sardjito

periode 2009 - 2013?

3. Bagaimana kesepakatan antara klinis dan histopatologis pada kasus

eritroderma di RSUP Dr. Sardjito periode 2009 - 2013?

4. Apakah terdapat korelasi antara gambaran klinis dan hasil laboratorium

dengan diagnosis etiologi secara kliniko-patologi pada kasus eritroderma di

RSUP Dr. Sardjito periode 2009 - 2013?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui variasi dan frekuensi gejala klinis dan hasil pemeriksaan

laboratorium pada kasus eritroderma di RSUP Dr. Sardjito periode 2009 -

2013.

2. Untuk mengetahui etiologi yang mendasari pada kasus eritroderma di RSUP

Dr. Sardjito periode 2009 – 2013.

Page 5: eritoderma

5

3. Untuk mengetahui seberapa besar kesepakatan antara klinis dan

histopatologis pada kasus eritroderma di RSUP Dr. Sardjito periode 2009 -

2013.

4. Untuk mengetahui korelasi antara gambaran klinis dan hasil laboratorium

dengan diagnosis etiologi secara kliniko-patologi pada kasus eritroderma di

RSUP Dr. Sardjito periode 2009 – 2013.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman peneliti tentang

variasi klinis, hasil laboratorium, gambaran histopatologi sehingga dapat

meningkatkan ketrampilan dalam mendiagnosis etiologi eritroderma.

2. Bagi institusi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi

mengenai variasi gejala klinis, hasil laboratorium, dan gambaran

histopatologi sehingga diharapkan dapat sebagai dasar untuk melakukan

penelitian uji diagnostik untuk mencari penanda gejala klinis, hasil

laboratorium, dan gambaran histopatologi yang mengarah pada diagnosis

etiologi eritroderma.

3. Bagi penderita eritroderma.

Bila terdapat penanda gejala klinis, hasil laboratorium, dan gambaran

histopatologi yang mengarah pada diagnosis etiologi eritroderma maka

pemberian terapi dan perawatan kepada kasus menjadi lebih tepat dan

adekuat.

Page 6: eritoderma

6

E. Keaslian Penelitian

Penulis melakukan penelusuran melalui internet

http://search.ebscohost.com dengan kata kunci ‘erythroderma’, ‘exfoliative

dermatitis’ terdapat 481 artikel, dengan kata kunci ‘erythroderma’, ‘exfoliative

dermatitis’, ‘clinical’, ‘laboratory’, ‘histopathology’ terdapat 8 artikel. Hasil

penelusuran melalui http://www.pubmed.gov dengan kata kunci ‘erythroderma’,

‘exfoliative dermatitis’ pada abstrak mendapatkan 3917 artikel, kata kunci

‘erythroderma’, ‘exfoliative dermatitis’, ‘clinical’, ‘laboratory’, ‘histopathology’

mendapatkan 10 artikel. Sepengetahuan penulis sampai sejauh ini di RSUP Dr.

Sardjito, Yogyakarta, Indonesia belum pernah dilakukan penelitian mengenai

studi klinis, laboratoris, dan histopatologis pada kasus eritroderma.

Tabel 1. Penelitian eritroderma dikaitkan dengan klinis, laboratoris, histopatologis

yang pernah dilaporkan.

Peneliti,

Tahun

Judul

penelitian

Disain

peneliti

an

Hasil

Persamaan dan

Perbedaan

Pal dan

Haroon,

1998

Erythroder-

ma: A

clinio-

etiologic

study of 90

cases

Des-

kriptif,

retros-

pektif

Rasio eritroderma laki-laki dan perempuan

2,8:1, rerata usia 41,6 tahun. Gejala klinis:

kelainan kuku (80%), keterlibatan mukosa

(36,6%), alopesia (30%), pulau kulit sehat

(14,4%), ‘deck chair sign’ (5,5%). Hasil

laboratorium: anemia (72,2%), peningkatan

LED (50%), leukositosis (32,3%), eosinofilia

(17,7%). Etiologi: dermatosis (74,4%)

meliputi psoriasis (37,8%), dermatitis

(12,2%), iktiosis (7,8%), pemfigus foliaseus

(5,6%), obat dan keganasan masing-masing

5,5%. Kesepakatan klinis dan histopatologis

sebesar 27,7%.

Penelitian

dilakukan di

Lahore, Pakistan.

Subyek penelitian

dewasa saja.

Sudho

dkk,

2003

Clinicopa-

thological

study of

exfoliative

dermatitis

Des-

kriptif,

retros-

pektif

Rasio laki-laki dan perempuan 1,5:1, insidensi

tertinggi pada usia 21-30 tahun (24%). Gejala

klinis: skuama (100%), pruritus (80%), eritem

(80%), kelainan kuku (64%), menggigil

(60%). Hasil laboratorium: anemia (20%),

kenaikan LED (20%), hipoproteinemia (12%).

Etiologi: psoriasis dan eksim tersering.

Penelitian

dilakukan di

India. Subyek

penelitian dewasa

saja. Pada

penelitian tidak

menganalisis data

histopatologis dan

kesepakatannya

dengan klinis.

Page 7: eritoderma

7

Rym

dkk,

2005

Erythroderm

a in adults:

A report of

80 cases

Potong

lintang,

observa

sional

Rasio laki-laki dan perempuan 2,2:1, rerata

usia onset 53,78+18 tahun. Gejala klinis:

pruritus (70%), onikopati (55%), keratoderma

palmoplantar (42,5%), limfadenopati (26,3%).

Hasil laboratorium: leukositosis (36%),

anemia (29%), eosinofilia (26%). Etiologi:

psoriasis (51,25%), obat (11,25%), CTCL

(8,75%), eksim (7,5%). Kesepakatan klinis

dan histopatologis sebesar 74%. Hubunngan

klinis, laboratoris dan etiologi: Onikopati dan

psoriasis (p=2x10-5), keratoderma

palmoplantar dan psoriasis (p= 0,003),

hipertermia dan erupsi obat (p= 0,013),

hipereosinofilia dan psoriasis (p=0,001),

eksim (p= 0,03) dan CTCL (p= 0,009).

Penelitian

dilakukan di

Tunisia. Subyek

penelitian dewasa

saja.

Jowkar

dkk,

2006

Erythroder-

ma: A

clinicopathol

ogical study

of 102 cases

Des-

kriptif,

retros-

pektif

Rasio eritroderma laki-laki dan perempuan

1,9:1, rerata usia 48,6 tahun. Gejala klinis:

pruritus (64,7%), skuama (56,8%), menggigil

(30,3%), onikopati (36,2%), edema pitting

(27,4%), limfadenopati (18,6%). Etiologi:

dermatosis (55,9%), obat (29,4%), idiopatik

(11,8%), keganasan (2,9%). Hasil

laboratorium: leukositosis (29,4%), eosinofilia

(27,45%), peningkatan LED (20,58%).

Kesepakatan klinis dan histopatologis sebesar

66,4%

Penelitian

dilakukan di Iran.

Subyek penelitian

dewasa saja.

Earlia

dkk,

2009

Penderita

eritroderma

di Instalasi

Rawat Inap

Kesehatan

Kulit dan

Kelamin

RSUD Dr.

Soetomo

Surabaya

Tahun 2005-

2007

Des-

kriptif,

retros-

pektif

Jumlah penderita 30 orang (1,2%), rasio laki-

laki dan perempuan 1,7:1, rentang usia

terbanyak > 65 tahun. Gejala klinis:

eritem+skuama+gatal+alopesia (60%),

eritem+kulit ketat dan panas+menggigil

(33,3%), eritem+skuama+gatal+kelainan

kuku+edem tungkai (2,67%). Hasil

laboratorium: leukositosis (23,3%),

hipoalbuminemia (20%), anemia (16,7%),

peningkatan LED (13,3%), eosinofilia (6,7%).

Etiologi: dermatitis seboroik (43,3%), obat

(26,7%), psoriasis (3,3%), dermatitis kronis

(3,3%), pemfigus foliaseus (3,3%).

Penelitian

dilakukan di

Surabaya,

Indonesia. Subyek

penelitian 15

sampai > 65

tahun. Pada

penelitian tidak

menganalisis data

histopatologis dan

kesepakatannya

dengan klinis.

Yuan

dkk,

2010

Erythroder-

ma: A

clinical-

etiological

study of 82

cases

Des-

kriptif,

retros-

pektif

Rasio laki-laki: perempuan 4,7:1. Gejala

klinis: kulit eritem difus (100%), pruritus

(93,9%), demam (37,8%), edem (25,6%),

kelainan kuku (36,6%), hepato-splenomegali

(3,6%), limfadenopati (15,9%), konstipasi

(12,2%). Hasil laboratorium: peningkatan

CRP (75,6%), peningkatan LED (63,4%),

leukositosis (54,9%), eosinofilia (20,7%),

hipoproteinemia (13,4%). Etiologi: dermatosis

(72%), obat (17%), keganasan (4,9%), tidak

diketahui (6,1%). Kesepakatan klinis dan

histopatologis dijumpai pada kasus psoriasis,

mikosis fungoides, sindrom Sezary,

sarkoidosis, dan sindrom hipereosinofilik.

Penelitian

dilakukan di Cina.

Subyek penelitian

dewasa saja. Pada

penelitian tidak

menyebutkan

berapa persen

kesepakatan klinis

dan

histopatologis.

Page 8: eritoderma

8

Khaled

dkk,

2010

Acquired

erythroder-

ma in adults:

A clinical

and

prognostic

study

Potong

lintang,

retros-

pektif

Gejala kilinis: pruritus (56,1%), menggigil

(42,7%), lemah (31,7%), arthralgia (3,65%),

berat badan turun (2,43%). Etiologi: psoriasis

(32,9%), erupsi obat (21,9%), eksim (11%),

mikosis fungoides (4,87%). Kesepakatan

klinis dan histopatologis 77%. Terdapat

hubungan yang signifikan antara onset akut

penyakit dan drug-induced erythroderma (p =

0,002), pachyonychia (12 kasus) dan psoriasis

(p = 0,00001), keratoderma palmoplantar (10

kasus) dan psoriasis

(p = 0,0001), pruritus pada psoriasis (p =

0,0001),dan eksim (p = 0,03), demam dan

drug-induced erythroderma (p = 0,04),

hipereosinofilia dengan drug-induced

erythroderma(p = 0,004) dan psoriasis (p =

0,008).

Penelitian

dilakukan di

Tunisia. Subyek

penelitian dewasa

saja.

Li dan

Zheng,

2012

Erythroder-

ma: A

clinical and

prognostic

study

Des-

kriptif,

retros-

pektif

Rasio laki-laki dan perempuan 3:1, rerata usia

onset 52,57+17,94 tahun. Gejala klinis:

pruritus (87.69%), demam (40%), edem

(37.69%),

menggigil (31.15%), kelainan kuku (29.62%),

lemah (19.23%),

limfadenopati (19.23%), berat badan turun

(14.62%) dan pulau kulit sehat (13.46%).

Etiologi: dermatosis (70.77%), idiopatik

(14.23%), obat (12.69%), keganasan (2.31%).

Kesepakatan klinis dan histopatologis 55,56%.

Penelitian

dilakukan di

Beijing, Cina.

Subyek penelitian

dewasa saja.

Kalsy

dan Puri,

2013

Erythroder-

ma in

children:

Clinico-etiological

study from

Punjab

Des-

kriptif,

retros-

pektif

Rasio laki-laki dan perempuan 2,5:1, rentang

usia 1,5-14 tahun. Gejala klinis: demam

(65%), pruritus (36%), limfadenopati (18%),

edema fasial (6%), edem tungkai (10%). Hasil

laboratorium: anemia ringan,

hipoalbuminemia, ketidakseimbangan

elektrolit. Etiologi: obat (42,8%), psoriasis

dan iktiosis masing-masing (35,7%),

dermatitis atopik (14,3%), skabies Norwegia

(7,1%). Histopatologi: dermatitis spongiotik

psoriasiformis

(64.3%), erupsi obat likenoid (35.7%)

Penelitian

dilakukan di

Punjab, India.

Subyek penelitian

anak-anak saja.

Pada penelitian

tidak

menyebutkan

berapa persen

kesepakatan klinis

dan

histopatologis.

Hulmani

dkk,

2014

Clinico-etiological

study of 30

erythroder-

ma cases

from tertiary

center in

South India

Des-

kriptif,

retros-

pektif

Rasio laki-laki dan perempuan 14:1, rerata

usia onset 52,3 tahun. Gejala klinis: pruritus,

demam, limfadenopati, dan edem. Hasil

laboratorium: hipoproteinemia (63,3%),

eosinofilia (53,3%), kenaikan LED (53,3%),

anemia (50%). Etiologi: psoriasis (33.3%),

eksim (20%), dermatitis atopik (6.6%),

pityriasis rubra pilaris (3.3%) dan obat

(16.6%). Gambaran histopatologi: infiltrat

limfosit perivaskular (83.3%), parakeratosis

(73.3%), akantosis (66.6%), hiperkeratosis

(50%) dan mikroabses Munro (33.3%).

Kesepakatan klinis dan histopatologis sebesar

73.3%

Peneliatian

dilakukan di

Mangalore, India.

Subyek penelitian

dewasa saja.