epistemologi.docx
DESCRIPTION
epistemologi.docxTRANSCRIPT
A. Pengertian Epistemologi
Secara etimologi, kata “epistemology” berasal dari bahsa yunani “episteme” dan
“logos”. “Episteme” berarti pengetahuan dan “logos” berarti perkataan, ilmu, pikiran, teori,
uraian atau alasan. Episteme dalam bahasa yunani berasal dari kata kerja “epistamai”, artinya
mendudukan, menempatkan atau meletakkan. Maka, harfiyah episteme berarti pengetahuan
sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya. Selain
kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam bahasa yunani juga dipakai kata “gnosis”,
maka istilah “epistemology” dalam sejarah juga pernah dipakai kata “gnoseologi”. Sebagai
kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar- dasar teoritis
pengetahuan, epistemology kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
Secara terminology, P. Hardono hadi menyatakan bahwa epistemlogi adalah cabang filasat
yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-
pengandaiannya dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki. Kemudian menurut D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemology
sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkanya sebagai
penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti dari pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup
membedakan adalah pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat pengetahuan,
sedang pengertian yang kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda
dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan,
sedangkan hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga
menghasilkan pengertian yang sebenarnya . pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya
melahirkan dua aliran yang saling berlawanan yaitu realisme dan idealisme.
Selanjutnya, pengertian epistemology yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut,
diungkapkan oleh Dagobert D. Runes. Dia menyatakan bahwa epistemology adalah cabang
filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode an validitas pengetahuan. Sementara
itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemology sebagai “ilmu yang membahas
tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Kendati ada
sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan
pemaparan yang relative lebih mudah dipahami.
Epistemology pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional utuk menimbang dan
menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri lingkungan
sosial dan alam sekitarnya . maka epistemology adalah suatu disiplin yang bersifat evaluaitf,
normative dan kritis. Evalutif berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan,
sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya atau
memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normative berarti
menentukan norma atau tolok ukur dan dalam hal ini tolak ukur kenalaran bagi kebenaran
pengetahuan. Epistemology sebagai cabanng ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi
deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi tetapi perlu
membuat penentuan mana yang betul dan mana yang salah berdasarkan norma empiric.
Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil
kegiatan manusia mengetahui. Yang dipertanyakan adalah baik asumsi-asumsi cara kerja atau
pendekatan yang diambil maupun kesimpulan yang ditarik dalam berbagai kegiatan kognitif
manusia.
B. Ruang Lingkup Epistemlogi
Bertolak dari pengertian-pengertian tersebut, kiranya kita perlu memerinci aspek-aspek yang
menjadi cakupannya dan ruang lingkupnya. Sebenarnya masing-masing definisi di atas telah
memberi pemahaman tentang ruang lingkup epistemology sekaligus, karena definisi-definisi
itu tampaknya lebih didasarkan pada rincian aspek-aspek yang tercakup dalam lingkup
epistemology dari pada aspek-aspek lainnya, seperti proses maupun tujuan. Akan tetapi, ada
baiknya dikemukakan pernyataan-pernyataan lain yang mencoba menguraikan ruang lingkup
epistemology, sebab pernyataan-pernyataan ini akan membantu pemahaman secara makin
komprehensif dan utuh mengenai ruang lingkup pembahasan epistemology.
M. Arifin merinci ruang lingkup epistemology, meliputi hakikat, sumber dan validitas
pengetahuan. Mudllor Achmad merinci menjadi enam aspek yaitu hakikat, unsure, macam,
tumpuan, batas dan sasaran pengetahuan. Bahkan A.M. Saefuddin menyebutkan bahwa
epistemology mencakup pertanyaan yang harus dijawab; apakah ilmu itu; dari mana asalnya;
apa sumbernya; apa hakikatnya; bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar; apa
kebenaran itu; mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui dan
sampai di manakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah
pokok yakni masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
Mengingat epistemology mencakup aspek yang begitu luas, sampai Gallagher secara ekstrim
menarik kesimpulan bahwa epistemology sama luasnya dengan filsafat. Dalam pembahasan-
pembahasan epistemology, Paul Suparno menilai epistemology banyak membicarakan
mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya
justru diabaikan dalam pembahasan epistemology. M. Amin Abdullah menilai bahwa
seringkali kajian epistemology lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau
sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis.
Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan wilayah pembahasan
epistemology itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemology
sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan
ontology dan aksiologi secara sistemik, seseorang cenderung menyederhanakan pemahaman,
sehingga memakai epistemology sebagai metode pemikiran, ontology sebagai objek
pemikiran, sedang aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan
nilai, baik yang bercorak positif maupun negative. Padahal sebenarnya metode pengetahuan
itu hanya salah satu bagian dari cakupan pembahasan epistemology. Akan tetapi,
penyederhanaan makna epistemology itu berfungsi memudahkan pemahaman seseorang,
terutama pada tahap pemula ntuk menggali sistematika filsafat, khususnya bidang
epistemology.
C. Objek dan Tujuan Epistemology
Objek epistemology menurut Jujun S. Suriasumantri yakni berupa “segenap proses yang
terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan”. Proses untuk memperoleh
pengetahuan inilah yang menjadisasaran ilmu pengetahuan dan sekaligus berfungsi
mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang
harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir,
sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya mengenai tujuan epistemology, Jacques Martain mengatakan, “tujuan
epistemology bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu,
tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini
menunjukkan, bahwa tjuan epistemology bukan untk memperoleh penngetahuan kendatipun
keadaan ini tidak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan
epistemology adalah lebih penting dari itu yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan.
D. Macam-macam Epistemology
Berdasarkan metode pendekatan yang diambil terhadap gejala pengetahuan epistemology
dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Epistemology metafisis
Epistemology metafisis dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang
bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Misalnya tentang keyakinan plato
meyakini tentang bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunia ide-ide,
sedangkan kenyataan sebagaimana kita alami adalah kenyataan yang fana dan gambaran kabur
saja dari kenyataan dalam dunia ide-ide.
2. Epistemology skeptic
Epistemology skeptic pernah dikerjakan oleh decrates, kita perlu membuktikan dulu apa yang
dapat kita ketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan
menganggap sebagai tidak nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan
mennganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat
diragukan.
3. Epistemology kritis
Epistemology kritis tidak memprioritaskan metafisika atau epistemology tertentu, melainkan
berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun asumsi,
prosedur dan kesimpulan pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam kehidupan, lalu
kita coba tanggapi secara kritis asumsi, prosedur dan kesimpulan tersebut.
Sedangkan berdasarkan titik tolak pendekatannya secara umum epistemology dapat dibagi
menjadi dua :
1. Epistemology individual
Dalam epistemology individual dibahas mengenai kajian tentang bagaimana struktur pikiran
manusia sebagai individu bekerja dalam proses mengetahui.
2. Epistemology sosial
Epistemology sosial adalah kajian filosofis tentang pengetahuan sebagai data sosiologis.
Sehingga dalam hal ini hubungan sosial, kepentingan sosial dan lembaga sosial dipandang
sebagai factor – factor yang amat menentukan dalam proses, cara maupun perolehan
pengetahuan.
A.M.W. Pranaka mengemukakan bahwa ada tiga alasan mengapa epistemology perlu
dipelajari, yakni :
1. Berdasarkan pertimbangan strategis, kajian epistemology perlu karena pengetahuan
sendiri merupakan hal yang secara strategis penting bagi hidup manusia.
2. Berdasarkan pertimbangan kebudayaan, penjelasan yang pokok adalah kenyataan bahwa
pengetahuan merupakan salah satu unsure dasar kebudayaan. Itu disebabkan berkat
pengetahuannya manusia dapat mengolah dan mendayagunakan alam lingkungannya.
3. Berdasarkan pertimbangan pendidikan, epistemology perlu dipelajari karena manfaatnya
untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membant peserta didik
mengembangkan pandangan hidup , sikap hidup dan ketrampilan hidup, tidak dapat lepas dari
penguasaan pengetahuan.
F. Pengaruh Epistemology
Bagi Karl R. Popper, epistemology adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori
pengetahuan ilmiah, epistemology berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur
yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Dengan demikian epistemology
dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah. Akhirnya,
epistemology bisa menentukan cara kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu
pengetahuan yang kebenarannya terandalkan.
Epistemology juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori
yang ada. Penguasaan epistemology, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan sangat
membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang
diajukan orang lain maupun dirinya sendiri. Ini menunjukkan bahwa epistemology bisa
mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik eksternal) dan
pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemology senantiasa mendorong
dinamika berfikir secara korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan
relative mudah dicapai, bila para ilmuan memperkuat penguasaannya.
Secara global epistemology berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban sudah
tentu dibentuk oleh teori pengetahuan. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan
tekhnologi.
G. Sekilas Tentang Metode Epistemology Pendidikan Islam
Metode epistemology pendidikan islam ini adalah metode-metode dalam epistemology
pendidikan islam atau metode-metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
tentang pendidikan islam. Metode epistemology pendidikan islam akan diupayakan sedapat
mungkin memiliki sandaran teologis, inspirasi pesan-pesan islam atau pengalaman para
ilmuan muslim. Dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat al-qur’an, hadits nabi dan
penalaran sendiri. Untuk sementara didapatkan lima macam metode yang secara efektif untu
membangun pengetahuan tentang pendidikan islam, yaitu :
1. Metode rasional (manhaj ‘aqli)
2. Metode intuitif (manhaj zawqi)
3. Metode dialogis (manhaj jadali)
4. Metode komparatif (manhaj muqarani)
5. Metode kritik (manhaj naqdi)
Masing-masing metode ini memiliki cara kerja atau mekanisme kerja yang berbeda-beda
dalam memperoleh pengetahuan tentang pendidikan. Perbedaan mekanisme kerja ini sebagai
khazanah teknis yang harus dipertahankan.
Adapun mengenai pembahasan lebih lanjut mengenai kelima metode di atas dapat dikaji pada
pertemuan berikutnya.