epilipsi

40
TUGAS FARMAKOTERAPI II EPILEPSI A. Pendahuluan `Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat yang timbul spontan dan berulang dengan episode singkat (disebut bangkitan berulang atau recurrent seizure); dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan ini biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik atau psikik dan selalu disertai gambaran letupan EEG (abnormal dan eksesif). Untuk penyakit epilepsi, gambaran EEG bersifat diagnostik. Berdasarkan gambaran EEG, epilepsi dapat dinamakan distrimia serebral yang bersifat paroksismal. Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif. Terjadi disuatu fokus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptik yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptik. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi.

Upload: yane-dila-keswara

Post on 27-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

TUGAS FARMAKOTERAPI II

EPILEPSI

A. Pendahuluan

`Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau

penyakit susunan saraf pusat yang timbul spontan dan berulang dengan

episode singkat (disebut bangkitan berulang atau recurrent seizure);

dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan ini

biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan

sensorik atau psikik dan selalu disertai gambaran letupan EEG (abnormal

dan eksesif). Untuk penyakit epilepsi, gambaran EEG bersifat diagnostik.

Berdasarkan gambaran EEG, epilepsi dapat dinamakan distrimia serebral

yang bersifat paroksismal.

Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan

dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif. Terjadi

disuatu fokus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal.

Fokus ini merupakan neuron epileptik yang sensitif terhadap rangsang

disebut neuron epileptik. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan

epilepsi.

Letupan depolarisasi dapat terjadi didaerah korteks. Penjalaran

yang terbatas didaerah korteks akan menimbulkan bangkitan parsial

misalnya epilepsi fokal jackson; Letupan depolarisasi tersebut dapat

menjalar ke area yang lebih luas dan menimbulkan konvulsi umum

(epilepsi umum;generalized epilepsi).

B. Epidemiologi

Seperti halnya insidensi, angka prevalensi epilepsi dari berbagai

penelitian berkisar 1,5–31/1000 penduduk. Estimasi prevalensi seumur

hidup dari epilepsi (pasien yang pernah mengalami epilepsi dalam suatu

saat sepanjang hidupnya) berbeda di berbagai negara. Adapun rata-rata

prevalensi epilepsi aktif (serangan dalam 2 tahun sebelumnya) yang

dilaporkan oleh banyak studi di seluruh dunia berkisar 4-6/1000. Berapa

banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data

hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara

berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang

epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0%, yang berarti berjumlah 1,5-2 juta

orang.

C. Etiologi

Separuh dari kasus epilepsi disebabkan oleh cedera otak seperti

gegar otak berat atau infeksi (meningitis/encefalitis). Juga infark otak dan

perdarahan otak(beroerte), kekurangan oksigen selama persalinan serta

abses atau tumor dapat menimbulkan cacat dan epilepsi. Epilepsi

adakalanya juga dapat dicetuskan oleh obat seperti petidin, asam

nelidiksat, klorpromazin, imipramin dan MAO-blocker. Begitu pula akibat

penyalahgunaan alkohol dan drugs. Faktor provokasi lainnya adalah bila

penggunaan obat antikonvulsi dan tranquillizers dihentikan secara tiba-

tiba. Kadang-kadang serangan dapat dipicu oleh rangsangan-rangsangan

sensoris khas seperti kilatan cahaya dengan frekuensi tertentu (disco) atau

juga oleh layar televisi yang berkilat-kilat serta musik keras yang

berdentum-dentum. Faktor-faktor lain yang dapat memicu serangan adalah

alkalosis, hipoglikemia, hipokalsemia, haid dan kehamilan serta hormon

kortison dan ACTH. Hanya sekitar 20% dari kasus epilepsi tidak diketahui

penyebabnya, tetapi keturunan (faktor herediter) memegang peranan.

D. Klasifikasi bangkitan epilepsi.

Pemilihan obat untuk terapi masing-masing bentuk epilepsi

tergantung dari bentuk bangkitan epilepsi secara klinis dan kelainan

EEGnya. Tidak ada satupun klasifikasi epilepsi yang dapat memuaskan

dan diterima oleh semua ahli penyakit saraf. Klasifikasi epilepsi secara

internasional tidak banyak membantu sebagai pedoman untuk pembahasan

obat epilepsi. Untuk maksud ini digunakan klasifikasi yang lazim dipakai

di klinik dan berkaitan erat dengan efektifitas obat epilepsi. Pada

dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 gololngan yaitu :

I. Bangkitan umum primer (epilepsi umum) terdiri dari :

1. Bangkitan tonik-klonik (epilepsi grand mal)

2. Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)

3. Bangkitan lena yang tidak khas (Atypical absence), bangkitan

tonik, bangkitan klonik, bangkitan atonik, bangkitan infantil

(spasme infantil).

II. Bangkitan parsial atau fokal atau lokal (epilepsi parsial atau fokal)

1. Bangkitan parsial sederhana.

a. Berasal dari lobus motor frontal: (tonik, klonik, tonik-klonik,

Jacsonian’s)

b. Berasal dari somatosensoris (visual, auditorik, olfaktorius,

gustatorius, vertiginosa).

c. Autonom.

d. Psikis murni.

2. Bangkitan parsial kompleks, misalnya epilepsi psikomotor

(epilepsi lobus lobus temporalis).

3. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum.

III. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II). Yaitu kejang

status epileptikus.

Bangkitan umum tonik-klonik (grand mal)

Merupakan jenis bangkitan yang paling dramatis. Terjadi pada 10% populasi

epilepsi. Terdiri atas 3 fase: fase tonik, fase klonik dan fase pasca kejang

Terapi sama dengan terapi pada bangkitan parsial.

Bangkitan lena (petit-mal)/absence

Bangkitan lena terjadi secara mendadak dan juga hilang secara mendadak

(10%-45 detik). Manifestasi klinis; berupa kesadaran menurun sementara,

namun kendali atas postur tubuh masih baik (pasien tidak jatuh); biasanya

disertai automatisme(gerakan-gerakan berulang), maka berkedip gerakan-

gerakan ekstremitas berulang, gerakan mengunyah. Terjadi sejak masa kanak-

kanak (4-8tahun). Remisi spontan 60-70% pasien pada masa remaja.

Seringkali disertai oleh bangkitan umum sekunder.

Bangkitan lena atipikal

Manifestasi klinisnya berupa perubahan postural terjadi lebih lambat dan lebih lama, biasanya disertai retardasi mental. Lebih refrakter terhadap terapi.

Bangkitan mioklonik (Bangkitan klonik)

Berupa kontraksi otot sebagian/seluruh tubuh yang terjadi secara cepat dan mendadak. Mioklonik dapat terlihat terlihat pada berbagai jenis bangkitan seperti; bangkitan umum tonik-klonik, bangkitan parsial, bangkitan umum type absence dan spasme infantil.

Bangkitan atonik

Klinis: tiba-tiba kehilangan tonus otot postural sehingga seringkali jatuh tiba-tiba. Sering terjadi pada anak-anak.

Spasme Infantil

Terjadi pada usia 4-8 bulan. Manifestasi klinisnya berupa kontraksi leher, batang tubuh dan ekstremitas yang simetris bilateral; ada fragmentasi serangan kejang/terputus. Faktor pencetus: infeksi, kernikterus, tbc, hiperglikemia, hipoglikemia, kelainan metabolisme. Sebagian besar tidak responsif terhadap terapi, dan retardasi mental tidak dapat dicegah dengan terapi.

Bangkitan parsial sederhana.

Dapat menyebabkan gejala-gejala motorik, sensorik, otonom dan psikis tergantung korteks serebri yang aktivasi, namun kesadaran tidak terganggu, penyebaran cetusan listrik abnormal minimal, pasien masih sadar.

Bangkitan parsial kompleks (epilepsi lobus temporalis)

Penyebaran cetusan listrik yang abnormal lebih banyak. Biasanya terjadi dari lobus temporal karena lobus ini rentan terhadap hipoxia/infeksi. Klinis: ada tanda peringatan/” aura” yang disertai oleh perubahan kesadaran; diikuti oleh “automatisme, yakni gerakan otomatis yang tidak disadari seperti menjilat bibir, menelan, menggaruk, berjalan, yang biasanya berlangsung selama 30-

120 detik. Kemudian, biasanya pasien kembali normal yang disertai kelelahan selama beberapa jam.

Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum.

Biasanya terjadi pada bangkitan parsial sederhana.

BangkitanlainnyaKejang demam pada neonatus

Adalah kejang pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun tanpa disertai kalainan neurologis, bersifat umum dan singkat (<15menit), terjadi bersamaan dengan demam, hanya terjadi 1x dalam waktu 24 jam. Anak-anak dengan infeksi susunan saraf pusat atau kejang tanpa demam sebelumnya tidak dapat disebut menderita kejang demam.

Status epileptikus

Yaitu suatu bangkitan yang terjadi berulang-ulang. Pasien belum sadar setelah episode pertama, serangan berikutnya sudah dimulai. Merupakan suatukegawat daruratan. Ada berbagai jenis status epileptikus, tapi yang sering terjadi adalah jenis epileptikus umum, tonik-klonik (grand mal). Dapat disebabkanoleh penghentian terapi yang mendadak, terapi yang tidak memadai, penyakit-penyakit dalam otak (ensenfalitis, tumor dalam otak kelainan serebrovaskular), keracunan alkohol, kehamilan.

E. PATOFISIOLOGI

Pada fokus epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang timbul kadang-kadang, secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat; letupan ini menjadi bangkitan umum bila neuron normal disekitarnya terkena pengaruhnya letupan tersebut. Konsep ini masih tetap dianut dengan beberapa perubahan kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal yang menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi memang dapat dibuktikan.

Patofisiologi bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron disekitarnya, kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Tidak ada gejala klinis yang tampak, abnormalitas EEG tetap terekam pada periode antar kejang. Kemudian, cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus subkorteks. Gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi misalnya saliva, midriasis, takikardi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke fokus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktifitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Secara klinis terjadi fase tonik-klonik umum. Secara klinis terjadi fase tonik-klonik berulang kali dan akhirnya timbul “kelelahan” neuron pada fokus epilepsi dan menimbulkan paralisis dan kelelahan pascaepilepsi.

Patofisiologi bangkitan parsial meliputi dua fase, yakni fase inisiasi dan fase propagasi.

1. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan Na+ serta hiperpolarisasi/ hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau kanal ion K+.

2. Fase propagasi. Dalam keadaan normal, penyebaran depolarisasi akan dihambat oleh neuron-neuron inhibisi disekitarnya yang mengadakan hiperpolarisasi. Namun pada fase propagasi terjadi peningkatan K+

intrasel(yang mendepolarisasi neuron disekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir presinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmiter), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca++

sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-neuron disekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsi umum/epilepsi sekunder.

KADAR ANTI EPILEPSI DALAM PLASMA Penatapan kadar antiepilepsi yang merupakan kegiatan Theurapetic

Drug Monitoring berperan penting dalan idividualisasi antiepilepsi, kaena

berbagai faktor obat yang diminum menghasilkan kadaryang berbeda antar individu.perbedaan faktor genetik dan fisiologik akan mempengaruhi absorpsi, distribusi, biotranformasi maupun ekskresi obat. Pengukuran kadar obat akan membantu dokter untuk mengetahui/mendeteksi : 1. Kepatuah pasien 2. Apakah kada terapi sudah dicapai dengan dosis yang diberikan 3. Apakah peningkatan dosis masih dapat dilakukan pada bangkitan yang belum terkendali tanpa menimbulkan efek toksik 4. Besarnya dosis untuk penyesuaian bila terjadi interaksi obat, perubahan keadaan fifiologi maupun penyakit. Manfaat penetapan kadar epilepsi dalam darah pasien sudah jelas, yaitu 80% pasien dapat dikendalikan kejangnya dengan antiepilepsi yang tersedia saat ini, bila obat yang diberikan memberikan kadar terapi optima. Denganmemantau kadar antiepilepsi maka dapat diberikan dosis secara individual, agar efek toksis dan kegagalan terapi dapat dihindarkan. Fenition merupakan salah satu entiepilepsi yang kadarnya dalam darah sangat perlu dipantau. Pada dosis terapi, biotranformasi fenition mungkin sudah mengalami kejenuhan sehingga dengan perubahan dosis yang kecil dapat menimbulkan perubahan kadar yang drastis. Meskipu ndemikian, kadar terapi tidak boleh menjadi acuan keberhasilan terapi,. Monitoring kadar obat dapat memberi panduan penyesuaian dosis tetapi keputusan ahir tetap berdasarkan obsrvasi klinisnya. Jadi tidak perlu menigkatkan dosis yang ternyata dibawah dosis terapi bila terjadi serangan.

E. Penatalaksanaan.

Pada prinsipnya, obat anti epilepsi bekerja untuk menghambat proses inihiasi dan penyebaran kejang, namun umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung bersifat membatasi proses penyebaran kejang daripada mencegah proses inihiasi. Dengan secara umu ada 2 mekanisme kerja, yakni: peningkatan inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi konduksi ion: Na+ , Ca2+ , K+ dan Cl- atau aktivitas neuroranmitor, meliputi :

1. Inhibusi kanal Na+ pada membran sel akson Contoh : fenitoin dan karbamazepin (pada dosis terapi), fenobarbital dan acam valproat(dosis tinggi), lamotrigin, topiramat, zonisamid

2. Inhibisi kalan Ca2+ tipe T pada neuron talamu (yang berperan sebagai pace-maker untuk membangkitkan cetusan listrik umum di korteks) Contoh: etosuksimid, asam valproat dan clonazepam.

3. Peningkatan inhibisi GABA.

a. Langsung pada klompleks GABA dan klompleks Cl-. Contoh: benzodiazepin, barbiturat.

b. Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake dan metabolisme GABA Contoh: tiagabin, vigabatrin, asam valproat, gabapentin.

4. Penurunan eksitasi glutamat, yakni melalui:

a. Blok reseptor NMDA, misal lamotrigin

b. Blok reseptor AMPA, misal fenobarbital, topiramat.

Ada 16 obat anti epilepsi, dan obat-obat tersebut digolongkan dalam 5 golongan kimiawi, yaitu Hidantoin, Barbiturat, Oksazolidindion, Suksimid,dan Asetil urea. Karbamazepin dan Asam Valproat memegang peranan penting dalam pengobatan epilepsi; Karbamazepin untuk bangkitan parsial sederhana ataupun komplek, sedangkan asam valproat terutama untuk bangkitan lena maupun bangkitan kombinasi lena dengan bangkitan tonik-klonik.

1. Golongan HidantoinDalam golongan hidantoin di kenal tiga senyawa antikonvulsi:

Fenitoin (difenilhidantoin, mefenitoin dan etotoin dengan fenitoin sebagai prototipe.

Kini juga telah tersedia fosfenitoin, yakni bentuk fenitoin yang lebih mudah larut dan dipakai untuk penggunan parenteral. Fenitoin yang semula merupakan obat utama untuk hampir jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena, sekarang telah bergeser untuk obat yang profil keamananya lebih baik yaitu valproat dan lamotrigin.

Farmakodinamik Fenitoin, Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas deserebrasi. Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung. Fenitoin mempengaruhi berbagai sistem fisiologik; dalam hal ini, khususnya kondukstan Na+, K+, Ca+ neuron, potensial membran dan neurotranmitor noreprineprin, asetilkolin, dan GABA.

Pengaruh terhadap konduktans Na+ juga terjadi dengan karbamazepin, lamotrigin dan valproat.

Farmakokinetik, Adsorbsi fenitoin yang diberikan secara peroral berlangsung lambat, sesekali tidak lengkap; 10% dari dosis oral diekskresi bersama tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3-12 jam. Bila dosis muat (loading dose) perlu diberikan, 600-800 mg, dalam dosis terbagi antara 8-12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai dalam waktu 24 jam. Pemberian Fentoin secara IM, menyebabkan fenitoin mengendap di tempat suntikan sehingga absorbsi erotik. Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah.

Interaksi fenitoin, kadar fenitoin dalam plasma akan meninggi bila diberikan bersama kloramfenikol, disfiram, INH, simetidin, dikumarol dan beberapa sulfonamid tertentu, karena obat-obat tersebut menghambat biotransformasi fenitoin. Sedangkan sulfisoksazol, fenilbutazon, salisilat, dan asam valproat akan mempengaruhi ikatan protein plasma fenitoin sehingga meninggikan kadar obat bebas dalam plasma. Teofilin menurunkan kadar fenitoin bila diberikan bersamaan, diduga karena teofilin meningkatkan biotransformasi fenitoin dan mengurangi absorbsinya.

Interaksi fenitoin dengan fenobarbital dan karbamazepin kompleks. Fenitoin akan menurun kadarnya karena fenobarbital akan menginduksi enzim mikrozom hati, tetapi kadang-kadang kadar fenitoin dapat meningkat akibat inhibisi kompetitif dalam metabolisme. Hal yang sama berlaku untuk kombinasi fenitoin dengan karbamazepin. Karena itu terapi kombinasi harus dilakukan secara hati-hati sebaiknya diikuti dengan pengukuran kadar obat dalam plasma.

Intoksikasi dan efek samping, Bila timbul gejala hepatotoksisitas berupa ikterus atau hepatitis, anemia megaloblastik (antara lain akibat defisiensi folat) atau kelainan darah jenis lain, pengobatan perlu dihentikan.

Fenitoin bersifat teratogenik. Kemungkinan melahirkan bayi dengan cacat kongenintal meningkat 3 kali, Bila ibunya mendapatkan terapi fenitoin selama trisemester pertama kehamilan

Indikasi Fenitoin di indikasikan terutama untuk bangkitan tonik-klonik dan bangkitan parsial atau fokal. Banyak ahli penyakit syaraf di Indonesia masih menyukai penggunaan fenobarbital karena fenitoin memiliki batas keamanan yang sempit; efek samping dan efek toksik, sekalipun ringan, sifatnya cukup mengganggu terutama pada anak. Fenitoin juga bermanfaat terhadap bangkitan parsial kompleks. Indikasi lain fenitoin ialah untuk neuralgia trigeminal, dan aritmia jantung.

Dosis, untuk pemberian oral dosis awal untuk dewasa 300mg, dilanjutkan denagn dosis pemeliharaan antara 300-400 mg, maksimum 600 mg, sehari. Anak diatas 6 tahun, dosis awal sama dengan dosis dewasa; sedangkan untuk anak dibawah 6 tahun, dosis awal 1/3 dosis dewasa; dosis pemeliharaan ialah 4-8 mg/kg/BB sehari, maximum 300mg. Dosis awal dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Dosis pemeliharaan dapat diberikan sebagai dosis tunggal harian tanpa mengurangi efektivitasnya, karena waktu paruh fenitoin cukup panjang. Tetapi pemberian dengan dosis terbagi akan menghasilkan fluktuasi kadar fenitoin dalam darah yang minimal.

Pasien yang baru pertama kali mendapat fenitoin, tidak segera memperoleh efek, karena adanya tenggang waktu (time lag). Oleh karena itu, terapi secara periodik umpamanya pada bangkitan yang berkaitan dengan haid, seyogyanya tidak menunggu sampai datangnya aura. Untuk mengganti terapi epilepsi dari fenobarbital menjadi fenitoin, penghentian fenobarbital juga harus berangsur-angsur, sebab penghentian secara tiba-tiba dapat menyebabkan bangkitan berupa status epileptikus yang berbahaya.

2. GOLONGAN BARBITURAT Di samping sebagai hipnotik-sedatif, golongan barbiturat efektif

sebagai obat antikonvulsi dan yang biasabya dugunakan adalah barbiturat kerja lama (long acting barbiturates). Di sini dibicarakan efek anti epilepsi prototip barbiturat yaitu fenobarbital dan firmidon yang struktur kimianya mirip dengan barbiturat.

Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan difokus epilepsi. Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria sehingga mengurangi pembentukan fosfat bernergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu untuk sintesis neurotransmitor misalnya Ach dan untuk repolarisasi membran sel neuron setelah depolarisasi.

FENOBARBITAL Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil barbiturat merupakan senyawa

organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanyamembatasi penjalaran aktivitas dan menaikan ambang rangsang. Fenorbital masih merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif,murah. Efek sedatif dalam hal ini dianggap sebagai efek samping. Dapat diatasi dengan pemberian stimulan sentral tanpa mengurangi efek konvulsinya.

Fenorbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang demam pada anak. Dosis dewasa yang biasa yang biasa digunakan ialah dua kali 120-250 mg sehari. Dosis anak ialah 30-100 mg sehari. Untuk kejang demam yang berulang pada anak dapat diberikan dosis muat (loading dose)6-8 mg/kgBB dan ditambah dengan dosis pemeliharaan 3-4 mg/kgBB. Untuk mengendalikan epilepsidisarankan kadar plasma optimal, berkisar antara 10-40 µg/mL. Kadar plasma diatas 40 µg/mLsering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian pemberian fenobarbital harus secara bertahan guna mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi bangkitan kembali atau malahan bangkitan status epileptikus.

Penggunaan fenobarbital menyebabkan berbagai efek samping seperti sedasi, psikosis akut dan agitasi sehingga yang lebih sering dipakai adalah turunan fenobarbital seperti metabarbital atau mefobarbital.

Interaksi fenobarbital dengan obat lain umunya terjadi karena fenobarbital meningkatkan aktifitas enzim mikrosom hati. Kombinasi dengan asam valparoat akan menyebabkan kadar fenobarbital meningkat 40%. PRIMIDON

Primidon 2-deoksifenobarbital bersifat antikonvulsi mirip fenobarbital. Primidon lebih efektif dari pada fenobital, terutama tertama untuk terapi kejang parsial dan kejang umum tonik klonik. Dulu primidon adalah obat pilihan utama untuk kejang parsial kompleks, tetapi kini, karbamazapin dan fenitoin ternyata lebih baik dari pada primidon. Potensi antikonvulsi lebih lemah sebab oksigenkarbonil bagian urea diganti dengan hidrogen primidon dalam badan sebagian mengalami oksidasi menjadi fenobarbital sebagian mengalami dekarbiksilasi oksidarif pada atom C2 menjadi fenilatil melonamid (FEMA) yang tetap aktif,

Efek samping pada SSP berupa kantuk, ataksia, pusing, sakit kepala, dan mual. Efek samping ini biasanya tidak berbahaya dan menghialang dengan sendirinya walaupun pengobatan diteruskan. Kelainan kulit yang lebih jarang terjadi berupa ruam morbiliform, pitting edema. Selain itu dapat terjadi anoreksia, impotensi, dan aktifitas spikotik, terutama pada pasien epilepsi psikomotor. Tidak dilaporkan gangguan hati dan ginjal oleh primidon. Leukopemia dan anemia megaloblastik pernah dilaporkan.

Hyperaktivitas dapat terjadi dan dapat dikuarangi dengan dosis awal rendah. Dosis dewasa dimulai dengan 3 kali 50 mg sehari; kemudian dinaikan sampai 0,75-1,5 g sehari untuk 3 kali pemberian.

Primidon efektif untuk semua bentuk bangkitan atau epilepsi, kecuali bangkitan lena. Efeksinya baik untuk tonik klonik yang teralh

refrakter terhadap terapi yang lazim, dan lebih efektif lagi dalam kombinasi dengan fenitoin. Untuk bangkitan parsial kompleks dan bangkitan akinetik minor (suatu varian bangkitan lena), primidon merupakan obat terpilih; sedangkan terhadap bangkitan lena sendiri efeknya ridak memuaskan.

Fenitoin dilaporkan meningkatkan konversi primidon menjadi fenobarbital, sebaliknya Inh menghambat konversi primidon menjadi fenobarbital dan FEMA.

3. GOLONGAN OKSAZOLODINDION TRIMETADION Trimetadion (3,5,5 trimetiloksazolidin 2,4 dion), merupakan obat entiepilepsi tipe advence, namun setelah etosuksimid dipakai secara luas pada tahun 1960, trimetadion sudah jarang digunakan.

4. GOLONGAN SUKSINIMID Antiepilepsi golongan suksinimid yang digunakan di klinik adalah

etosuksimid, metsuksimid, dan fensuksimid. Metsuksimid bersifat lebih toksis, etosiksimid paling efektif paling efektif bila dibandingkan dengan metsuksimid dan fensuksimid. Berdasarkan penelitian pada hewan, terungkap bahwa spektrum anti konvulsi etosuksimid sama dengan terimetadion. Sifat yang menonjol dair etosuksimud trimetadion ialah mencega bangkitan konvulsi pentilentetrazol. Etosuksimid, dengan sifat anti petilemtrazol terkuat, merupakan obat yang paling selektif terhadap bangkitan lena.

ETOSUKSIMID Etosuksimid diaborpsi lengkap melaui saluran cerna. Setelah dosis

tunggal oral, diperlukan waktu antara 1-7 jam untuk mencapai kadar puncak dalam plasma. Distribusi merata kesegala jaringan , dan kadar cairan seredrospinal sama dengan kadar plasma. Efek samping yang sering tibul ialah mual, sakit kepala, kantuk dan ruam kulit. Gejala yang lebih berat berupa agranulositosis dan pansitopenia. Efek samping ini dapat diatasi dengan menberikan dosis rendah pada awalnya dan meningkatkan dosis secara perlahan. Dibandingkan dengan trimetadion, etosuksimid lebih jarang menimbulkan diskrasia darah, dan nefrotoksisitas belum pernah dilaporkan; sehingga etosuksimid umunya lebih disukai dari pada trimetadion.

Seperti trimetadion, pada pengobatan dengan etosuksimid dapat pula diperlukan pengobatan untuk mengatasi bangkitan tonik-klonik. Komponen bangkitan tonik-klonik dapat munculakibat pengobatan etosuksimid sehingga penobatan tambahan diperlukan.

Etosuksimid merupakan obat terpilih untuk bangkitan lena tetapi tidak tersedia di Indonesia. Terhadap bangkitan lena pada anak, efektivitas etosuksimid sama dengan trimetadion; 50-70% pasien dapat dikendalikan bangkitnya. Obat ini juga efektif pada bangkitan mioklonik dan bangkitan akinetik. Etosuksimid tidak efektif untuk bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik-klonik umum atau pasien kejang dengan kerusakan organik otak yang berat.

5. KARBAMAZEPIN Karbamazepin pertama-tama digunakan utnuk pengobatan

terigeminal neuralgia, kemudian ternyata bahwa obat ini efektif terhadap bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik-klonik. Saat ini, karbamazepin merupakan antiepilepsi untam diamerika serikat untuk mengatasi berbagai bangiktan lena. Selain mengurangi kejang, efeknya nyata pada perbaikan psikis yaitu perbaikan pkewaspadaan dan perasaan, sehingga dipakai juga untuk mengobati kelainan psikiatirik seperti maniabipolar. Perbaikan psikis diduga berdasarkan pengarunya terhadapa amigdala karena memberikanhasil yang sama dengan amidalatopi bilateral.

Karbamazepin memperlihatkan efek analgesik selektif misalnya tabesdorsalis dan neuropati lainnya yang sukar di atasi analgesik biasa. Atas pertimbangan untung-rugi karbamazepin tidak dianjurkanutnuk mengatasi nyeri ringan yang dapat diatasi dengan analgesik biasa.

Efek samping karbamazepin cukup sering terjadi. Seperempat dari jumlah pasien yang diobati mengalami efek samping. Efek samping yang terjadi detelah pemberian obat jangka lama berupa pusing, vertigo, ataksia, diplopia dan penglihatan kabur. Frekuansi bankitan dapat meningkat akibat dosis berlebih efek samping lainnya dapat berupa mual, muntah, diskrasia darah yangberat (anemia aplastik, agranulositosis) dan reaksi alergi berupa dermattis, eosinifilia, limpfadenopati, dan splenomegali. Steven johnson relatif sering dilaporkan terjadi dengan obat ini sehingga pasien harus diperingatkan agar segera kembali ke dokter bila timbul vesikeldikuli stelah minum obat ini. Umunya penghentian obat dan kortikosteroid dapat mengatasi efek samping ini. Gejala intoksikasi akut karbamazepin dapat berupa stupor atau koma, pasien iritabel kejang dan depresi napas. Efek samping jangka panjang berupa retensi air yang apat menjadi masalah bagi pasien usia lanjut dengan gangguan jantung. Pada hewan, obat ini dilaporkan bersipat teratogenik dan karsinogenik. Pada manusia kedua efek ini perlu diselidiki lebih lanjut.

Karna potensinya untuk menimbulkan efek samping sangat luas, maka pada pengobatan dengan karbamazepin dianjurkan pemerikasaan ilai basal dari darah dan melakukan pemeriksaan ulang selama pengobatan.

Karbamazepin menurunkan kadar asam valproat, fenobarbital dan fenitoin. Febarbital dan fenitoin dapat meningkatkan metabolisme karbamazepin, dan biotranformasi karbamazepin dapat dihambat oleh eritromisin. Konversi primidon menjadi fenobarbital ditingkatkan oleh karbamazepin, sedangkan pemberian karbamazepin bersama asam valproat akan menurunkan kadar asam valproat. FOSOLOGI Dosis anak dibawah 6 tahun, 100 mg sehari: 6-12 tahun 2 kali 100 mg sehari. Dosis dewasa : dosis awal 2 kali 200 mg sehari pertama, selanjutnya dosis ditingkatkan secara bertahap. Dosisi pemeliharaan berkisar antara 800-1200 mg sehari untuk dewasa atau 20-30 mg/kgBB untuk anak. Dengan dosis ini umunya tercapai dalam terapi dalam serum 6-8 µg/mL.

6. GOLONGAN BENZODIAZEPIN Disamping sebagai antiansietas, sebagian golongan obat

bezodiazepin bermanfaat sebagai antikonvulsi, khususnya untuk epilepsi. Diazepan dapat dianggap sebagai prototip bezodiazepin.

Khasiat bezodiazepin lebih nyat aterhadap konvulsi pentilentetrazol dari pada konvulsi ranjatan listrik maksimal. Diazepam IV merupakan obat terpilih untuk status epileptikus; dipihak lain peranan pemberian peroral dalam terapi epilepsi belum dapat di simpulkan secara konklusif. DIAZEPAM

Diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat unutk terapi bengkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim. diazepam Efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi dalam 1 detik.

Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa, disuntukan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5mg/penit diazepam IV secara lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu 15-20 menit sampai beberapa jam dosis maksimal 20-30 mg. Sdangkan pada anak-anak dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,15-0,3 mg/kgBB selama 2 menit dan dosis maksimal 5-10 mg. Diazepam dapat mengendalikan 80-90% pasien bangkitan rekuren. Pemberian per rektal dengan dosis 0,5 atau 1 mg/kgBB diazepam untuk bayi dan anak dibawah

11 tahun dapat menghasilkan kadar 500µg/mL dalam waktu 2-6 menit. Bagi anak yang lebih besar dan orang dewasa pemberian rektal tidak bermanfaat untuk mengatasi keadaan kejang akut, karena kadar puncak lambat tercapai dan kadar plasmanya rendah. Walaupun diazepam telah sering digunakan untuk mengatasi konvulsi rekuren, belum dapat dipastikan kelebihan manfaatnya dibandingkan obat lain, seperti barbiturat atau anestetik umum; untuk ini masih diperlukan suatu uji terkendali perbandingan efektivitas.

Efek samping berat dan berbahaya dan menyertai penggunaan diazepam IV ialah obstruksi saluran napas oleh lidah, akibat relaksasi otot. Disamping ini dapat terjadi depresi nafas sampai henti nafas, hipotensi, henti jantung dan kantuk. KLONAZEPAM

Klonazepam merupakan benzodiazetin dengan masa kerja panjang. Penggunaanya tersenidri atau sebagai tambahan bersaam antiepilepsi lain, untuk terapi bangkitan mioklonik, bangkitan akinetik, dan spasme infantil. Klonazepam efektif untuk terapi tambahan semua tipe kejang, kecuali kejang klonik. Karena etosuksimid tidak tersedia di indonesia Klonazepam merupakan pilihan untuk terapi bangkitan lena. Manfat terhadap status epileptikus telah terbukti, tapi pilihan utama dalam hal ini masih tetap diazepam. Efek samping yang tersering ialah kantuk, ataksia dan gangguan kepribadian. Dosis awal 1,5, mg sehari, dibagi untuk 3 kali pembagian jika diperlukan dosis naikan 0,5-1 mg tiap 3 hari; tetapi tidak melebihi 20 mg sehari. Dosis sampai 10 tahun atau BB 30 kg, adalah 0,01-0,03 mg/kgBB sehari diberikan terbagi setiap 3 hari. Proses pemeliharaan yang lazim: 0,1-0,2 mg/kgBB sehari toleransi dapat terjadi terhadap efek antiepilepsinya, sehingga efeknya ilang walau pun diberikan dosis besar, biasanya terjadi setelah 1-6 bulan pengobatan.

NITRAZEPAM Nitrazepam dapat di manfaatkan untuk mengendalikan hipsaripnia

spasme infantil dan bangkitan mio klonik. Namun kurang efektif bila di bandingkan dengan klonazepam. Malahan ada yang bependapat nitrazepam paling efektif terhadap bangkitan mioklonik. Dosis yang biasa digunakan 1mg/kgBB sehari. Dengan dosis ini dapat dikendalikan 50% dari pasien spasme infantil. Nitrazepam secara spesifik bermanfaat untuk terapi jenis bangkitan tersebut di atas, ACTH atau prednison dan kortikosteroid lain tetapi hasilnya kurang memuaskan. Tetapi sebaliknya obat ini dapat mencetuskan ( triggered ) bangkitan yonik-klonik, sehingga

diperlukan tambahan anti konpulsi lain. Bangkitan lena juga dapat bertambah berat bila diberikan nitrazepam.

Selain pencetusan bangkitan tonik-klinik atau memberatnya bangkitan lena, efeksamping yang paling mengganggu adalah hipersekresi lendir saluran nafas. Gangguan terhadap SSP terutama berupa gejala letargi dan ataksia.

7. ASAM VALPROAT Valproat ( dipropilasetat, atau 2 propil pentanoat ) terutama untuk

terapi epilepsi tonik-klinik umum, terutama yang primer dan kurang efektif terhadap epilepsi fokal.

Kolerasi antara efektivitas dengan kadar di darah dan di jaringan oat asal buruk. Halini menimbulkan pemikiran apakah metaboliknya yang aktif. Valproat menyebabkan hiper polarisasi potensial istirahat membran neuron, akibat peningkatan daya konduksi membran untuk kalium.efek anti konvulsi valproat bersifat rumit a.l. didasarkan meningkatnya kadar asam gama aminokurdirat ( GABA ) didalam otak.

Perberian valproat per oral cepa di absorpsi da kadar maksimal serum tercapai setelah 1-3 jam. Makanan menghambat absorpsinya dengan masa paruh 8-10 jam, kadaar darah setabil setelah 48 jam terapi. Jika diberikan dalam bentuk amida, depamida, kadar valproat dalam serum sepadan dengan pemberian dalam bentuk asam valproat, tetapi masa paruhnya lebih panjang yaitu 15 jam. Biotansformasi depamida menjadi valproay berlangsung in vivo, tetapi jika di campur dengan plasma in vitro perubahan tidak terjadi. Kira-kira 70% dari dosis valproat di ekresi di urine dalam 24 jam.

Toksisitas valproat berupa gangguan saluran cerna, sistem saraf, hati, ruam kulit, dan alopsia. Gangguan cerna berupa anoreksia, mual, dan muntah terjadi pada 16% kasus. Efek tehadap SSP berupa kantuk, ataksia, dan tremor, menhilang dengan penuruna dosis. Gangguan pada hati berupa peninggian aktivitas enzim-enzim hati, dan sesekali terjadi nekrosisi hati yang sering berakibat fatal. Kira-kira 60 kasus kematian telah dilaporkan akibat penggunaan obat ini. Dari suatu uji klinik terkendali, dosis vlproat 1200 mg sehari, hanya menyebabkan kantu,ataksia, dan mual selintas. Terlalu dini untuk mengatakan bahwa obat ini aman dipakai karena penggunaan masih terbatas.

Valproat efektif tehadap epilepsi umum yakni bangkitan lena yang disertai oleh bangkitan tonik-klinik. Sedangkan terhadap epilepsi fokal lain efektivitas kurang mumuaskan. Terapi dimulai dengan dosis 3 kali 300 mg/hari; jika perlu, setelah 3 hari dosis di naikan menjadi 3 kali 400

mg/hari. Dosis harian lazim, berkisar 0,8-1,4 g. Dosis anak yang disarankan berkisar 20-30 mg/kgBB sehari.

Asam valproat akan meningkatkan kadar fenobarbital sebanyak 40% karena terjadi penhambatan hidroksilasi fenobarbital, dapat menyebabkan stupor sampai koma. Sedangkan interaksinya dengan fenitoin terjadi melalui meklanisme yang lebih kompleks. Penitoin total dalam plasma akan turun, karena biotransformasi yang meningkat dan pergeseran fenitoin dari ikatan protein plasma, sedangkan fenitoin bebas dalam darah mungkin tidak dipengaruhi. Kombinasi asam valproat dengan klonazepam di hubungkan dengan timbullnya statusepileptikus bangkitan lena.

8. ANTIEPILEPSI LAIN FENASEMID

Fenasemid merupakan senyawa turunan fenitoin ( 5-fenil-fenitoid ) mempunyai efektivitas yang rendah bila dibandingka dengan fenitoin. Fenasemid brsifat toksik berupa reaksi idiosimkrasi, hepattitis, nefritis, anemia aplastok; sehingga hanya dipakai untuk kejang parsial yang refrakter. PENGHAMBAT KARBONIIK ANHIDRASE.

Asetazolamid, suatu penghambat karbinik anhidrase sebagai suatu diuretik akan menyebabkan asidosis ringan akibat kehilangan natrium dan kalium. Mekanisme kerja sebagai anti epilepsi tidak bergantung pada efek diuresis atau asidosis metabolik yang dapat ditimbulkan asetazolamin. Mekanisme kerja sebagai anti epilepsi mungkin bergantung pada efek asidosis metabolik ringan pada otak yang dapat ditimbulkan asetazelamid. Pada sel otak asetazolamid berefek mensetabilkan influks Na yang patologik, sefat yang menjadi dasar efek antikonvulsinya. Obat ini berguna untuk mengatasi bangkitan lena dan bangkitan toni-klonik yang bangkitannya berhubungan dengan siklus menstruasi. Efek asetazolamid bersifa sementara karena toleransi cepat terjadi. Dosis dewasa 5-15 mg/kgBB sehari sedangkan untuk anak; 12-25 mg/kgBB sehari.

VIGABATRIN Merupakan inhibitor GABA amino transferase. Mekanisme

kerjanya adalah melalui peningkatan efek GABA vigabatrin di absorpsi dengan cepat yakni 1-3 jam, dengan waktu paruh 6-8 jam, dan volume distribusi 0,8 L/kg tidak ada metabolit yang aktif dan di ekresikan di ginjal. Bersfat toksik sehingga penggunaannya terbatas untuk spasme infantil dan bangkitan farsial yang refrakter tehadap pengibatan lainnya. Dosis oral 500 mg 2 kali sehari, dan agar obat ini efektif, dibutuhkan dosis

total hingga 2-3 g setiap harinya. Efeksamping vigabatrin mrupakan pusing, pertambahan berat badan, agitasi, sikosis dan yang oaling sering adalah berupa gangguan atau defek lapangan penglihatan.

LAMOTRIGIN Pertama kali dikembangkan karena adanya antifolat dari obat anti

kejang tertentu. Merupakan golongan fenil triazin dan inhibitor dihidrofolay reduktase mekanisme kerjanya adalah melalui inaktivasi kanal Na+, Ca+, dan mencegah pelepasan neurotransmiter glutamat dan aspartat. Lamotrigin di absorpsi sempurna 2,5 jam setelah pemberian oral. Volume distribusinya 1-1,4 L/kg. Hanya 55% yang terikat pada protein plasma. Lamotrigin dimetabolisme dengan glukoronidase menjadi 2-N-glukoronida dan di eksresikan melalui urine. Waktu paruhnya 24 jam. Pada pemberian monoterapi, digunakan untuk terapi bangkitan parsial dan dipakai sebagai terapi tambahan untuk pengobatab bangkitan lena dan bangkitan mioklonik. Efek samping lamotrigin antara lain berupaklir kemerahan ( terutama bila dikombinasikan dengan asam paltroat ),pusig, sakit kepala, diplopia, dan somnolen. Penggunaan lamotrigin pada anak-anak harus diwaspadai karena dapat terjadi deratitis yang mengancam jiwa, sehingga pemberian lamotrugin untuk anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun tidak di anjurkan. Lamotrigin mempunyai efek teratogenik, yakni akibat efek anti folat yang dimilikinya. Asam paltroat, dapat meningkatkan waktu paruh lamotrigin, sehingga pada pasien yang menggunakan asam valtroat, dosis lamotrigin haris diturunkan 25mg/hari. Lamotrigin juga meningkatkan dosis karbamazepin.

GABA PENTIN Merupakan suatu analog GABA. Gaba pentin tidak bekerja pada

reseptor GABA, tetepai berperan dalam metabolisme GABA. Waktu paruhnya pendek, yakni 5-8 jam. Tidak di metabolisme dantidak menginduksi enzim-enzim di hati dan tidak terikat pada protein plasma. Digunakan sebagai terapi tambahan untuk kejang parsial dan kejang umum tonik0klonik biasanya dibituhkan dalam dosis tinggi. Juga dipakai untuk mengobati nyeri neuripatik seperti neuralgia pasca herpes. Pemberian gaba pentin untuk anak kurang dari 12 tahun tidak di anjurkan dan pada pasien yang menderita gangguan fungsi ginjal, dosisnya harus disesuaikan. Dosis gaba pentin ( dewasa dan anak> 12 tahun ) adalah 900-1800 mg/hari. Efeksampingnya berupa ataksia, pusing, sakit kepala, somnolen, tremor. Belum ada penelitian tentang keamanan gaba pentin pada wanita hamil, menyusui, anak-anak dan usia lanjut. Tidak ada

interaksi obat yang bermakna dengan gaba pentin, gaba pentin tidak mempengaruhi kadar obat abti epilepsi lainnya.

TOPIRAMATMerupakan turunan monosakarida yang sangat berbeda dengan

sruktur anti konpulsan lainnya. Mekanisme kerjanya adalah melalui blok kanal Na+, inhibi efek GABA. Absorpsinya cukup cepat ( ± 2 jam ), waktu paruhnya 20-30 jam digunakan untuk terapi bangkitan sosial dan bangkitan umum tonik-klonik. Juga digunakan untuk sidroma Lennox-gestaut, sindroma west dan bangkitan lena. Dosis 200-600 mg/hari yang dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan perlahan-lahan. Topiramat sering kali diberikan bersamaan dengan obat anti konpulsan lainnya.

TIAGABINMerupakan turunan asam nipekotik, suati inhibitor GABA

sehingga meningkatkan kadar GABA dalam otak. Tiagabin banyak terikat oleh protein lasma. Waktu paruhnya 5-8 jam dan di metabolisme di hati melalui proses oksidasi CYP 3 A dan di eleminasi melalui urine dan feses. Dipakai sebagai terapi tambahan untuk bangkita parsial dan bangkitan umum tonik-klonik.dosis tiagabin : 16-56 mg/hariterbagi dalam 4 dosis. Efek samping tiagabi n meliputi gugup,pusing tremor, gangguan berpikir, depresi somnole, dan ataksia.

ZONISAMIDMerupakan turunan sulfanomida dan bekerja melalui blok kanal

Na+ dan Ca2+ . hanya sedikit terikat pada protein plasma, waktu paruh 1-3 hari. Digunakan untuk terapi bangkitan parsial dan bangkitan umumtonik-klonik serta spasme infantil dan mioklonus. Dosis dewasa 100 mg/hari sampai dengan 600 mg/hari. Sedangkan dosin anak-anak 4 mh/hari sampai debgan 12 mg/hari. Efek samping zonisamed di antaranya adalah pusing dangangguankognitif.

LEVETIRASETAM Merupakan analog dari pirasetam di indikasikan sebagai obat

tambahan pada bangkitan parsial dan bangkitan tonik-klonik umum sekunder. Mekanisme kerjanya masih belum jelas, pada otak tikus obat ini terikat protein vesikel sinaps NAPZA. Absorpsi lengkap eliminasi 65% melalui ginjal, 24% sebagai metabolit.obat ini tidak merupakan substrat tidak menginduksi CYP sehingga jarang menimbulkan interaksi dengan

obat antiepilepsi lainnya. Efek sampingnya berupa somonole, astenia, pusing.

PRINSIP PEMILIHAN OBAT PADA TERAPI EPILEPSITujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan pasien dari

bangkitan epilepsi, tanpa menggunakan fungsi normal SSP agar pasien dapat menunaikan tugasnya tanpa gangguan. Terapi dapat dijalankan dengan berbagai cara, sebaiknya dengan mempertahankan pedoman berikut:1. Melakukan pengobatan kausal kalau perlu dengan melakukan pembedahan; umpamanya pada tumor serebri.2. Menghindari faktor pencetus suatu bangkitan, umpanya minum

alkohol, emosi, kelelahan fisik maupun mental.3. Penggunaan anti konvulsi/epilepsi

Secara diagnosis harus tepat, pilih obat anti epilepsi tunggal yang efektif yang paling sesuai untuk jenis bangkitannya. Pasien perlu berobat secara teratur. Pasien atau keluarganya sangat dianjurkan untuk membuat catatan mengenai waktu datangnya bangitan. Pemeriksaan neurologik disertai EEG peru dilakukan secara berkala. Disamping itu perlu berbagai pemeriksaan lain untuk mendeteksi timbulnya efek sedini mungkin yang dapat merugikan , antara lain pemeriksaan darah, kimia darah maupun kadar obat dalam darah. Dengan memperhatikan seua itu umumnya pasien dapat terbebas dari semua bangkitan, bahkan dapat tidak memerlukan obat atau dengan perkataan lain pasien dapat dinyatakan sembih. Kemungkinan ini lebih besar pada pasien usia muda.

Untuk mencapai hasil terapi yang optimal perlu diperhatikan hal berikut ini. Pengobatan awal harus dimulai denganobat tunggal. Obat perlu mulai dengan dosis kecil dan dinaikan secara bertahap samapai efek terapi tercapai atau timbul efek sampingyang tidak dapat di toleransi lagi oleh pasien. Interval penyesuaian dosis tergantung dari obat yang digunakan. Sebagai pengguanaan obat kedua sebagai pengganti, bila fasilitas labolatorium memungkinkan sebaiknya kadar obat dalam plasma diukur. Bila kadar obat sudah melebihi kadar terapi tetapi efek terapi belum dicapai atau efek toksik telah mucul maka penggunaan obat pengganti diharuskan obat pertama harus diturunkan secara bertahap untuk menghindarkan status epileptikus. Bila mana dianggap perlu terapi kombinasi masih dibenarkan. Kegagalan terapi epilepsi paling sering disebabkan oleh ketidak patuhan pasien. Dalam menangulangi epilepsi pasien perlu membuat catatan mengenai penyakitnya, kunjungan teratur pada awal pengobatan merupakan suatu keharusan untuk mendeteksi suatu

efek samping maupun efek toksik yang biasanya terjadi pada awal terapi. Pada pengobatan jangka panjang perlu dilakukan pemeriksaan EEG ulangan maupun pemerikasaan neurologis. Pemilihan obat dalam terapi epilepsi berdasarkan pada bentuk bangkitan dan gambaran EEG. Sebaiknya dipilih obat pilahan utama yang sesuai dengan bentuk epilepsinya. Antiepilepsi dan efeksivitasnya belum mapan sebaiknya tidak digunakan dalam praktek umum. Tetapi diserahkan penggunaannya kepada para ahli, guna memastikan nilai manfaat yang sebenarnya.

Untuk mendapatkan efek terapi secepatnya, pada keadaan kejang yang hebat diberikan dosis awal yang tinggi. Tetapi pada umunya terapi dimulai dengan dosis yang rendah untuk menekan kejadian efek samping yang berkaitan dengan besarnya dosis.

Tidak jarang terjadi kegagalan terapi akibat:1. Tidak teatnya diagnosis bentuk epilepsi.2. Tidak tepatnya pilihan obat dan dosis yang digunakan.3. Terlalu sering mengganti obat tanpa memberi waktu cukup untuk

peralihan keadaan penyakit setelah tiap kali tercapai taraf mantap kadar darah dalam darah.

4. Gagal memanfaatkan sepenuhnya kelebihan terapi kombinasi5. Kurang memperhatikan aspek yang berkaitan dengan penyakit dan

pengobatan6. Ketidak patuhan pasien.

Fenitoin dan karbamazepin merupakan obat pilihan utama untuk terapi epilepsi, kecuali terhadap bangkitan lena, fenobarbital masih sering digunakan didasarkan pada batas keamanan obat yang lebar serta harga yang murah dan umunya tersedia dipuskesmas.Valproat semakin banyak digunakan karena efek sampingnya lebihringan kecuali hepatotoksisitasnya yang bersifat idiosinkratik. Obat yang relatif baru umunya memperlihatkan spektrum yang antiepilepsi lebih luas dan keterimaan yang tinggi tetapi kurang dapat diandalkan dibanding yang lama. Selain itu umumnya lebih mahal. Terhadap bangkitan tonik-klonik manfaat fenitoin sedikit melebihi fenobarbital 60-65 % dari pasien dapat dibebaskan dari bangkitannya.

Kombinasi bebrapa obat sesekali perlu dilakukan kombinasi yang paling disukai untuk bangkitan tonik-klonik adalah fenitoin dan fenobarbital yang masing-masing dapat diberikan dengan dosis penuh karena toksisitasnya berbeda. Gejala yang tidak teratasi oleh fonitoin dapat diatasai oleh fenobarbital antara lain aura, disritmia EEG fokal. Respon bangkitan fokal kortikal baik bentuk motorik maupun sensorik terhadap fenitoin umumnya sama seperti bangkitan tonik-klonik. Kombinasi ini

juga dapat menimbulkan kerugian yaitu terjadinya interaksi obat yang membangkitan epilepsi tidak teratasi. Dalam keadaan ini pemantauan kadara obat dalalm darah diperlukan.

Indikasi penghentian obat bila bebas kejang selama 2-3 tahun dan aktifitas paroksimal EEG telah menghilang. Obat perlu dihentikan secara perlahan-lahan dalam waktu beberapa bulan.

Bangkitan fokus lobus temporalis bagian anterior, biasanya berbentuk bangkitan parsial kompleks atau suatu kompleks bangkitan psikik lainnya, dan bersfat lebih refrakter terhadap pengobatan. Fenitoin karbamazepin dan asam valproat yang sama efektif. Dimulai dengan obat tunggal bila gagal bisa dilakukan terapi kombinasi. Fenibarbital jarang sekali efektif. Pembedahan menyingkirkan ujuj (tips) anteriol lobus temporalis diperlukan pada beberapa pasien.

Untuk bangkitan lena etasuksimid adalah obat pilah utama (tetapi tidak tersedia di indonesia) untuk komponen bangkitan tonik-klonik dapat diberikan fenobarbital atau fenitoin. Asam valproat adalah obat untuk bangkitan lena yang disertai bangkitan umu tonik-klonik. Klonazepam juga diindikasikanuntuk gangguan ini.

Serangan diensefalik (bangkitan lena tidak khas dan hipsaritmia) berhasil di obati dengan terapi kombinasi fenitoin dan fenobarbital tetapi diperlukan dosis lebih tinggi. Untuk hipsaritmia yang refrakter dapat ditambahkan ACTH atau adrenokortikosteroid.

Pada status epileptikus diperlukan efek obat yang cepat diazepem merupakan obat pilahan utama fenobarbital juga sangat efektif di samping anestetik yang menguap atau depresan sentrallainnya. Dalam hal ini fenitoin kurang cepat memberikan efek sekalipun deberikan IV. Fenitoin digunakan setelah keadaan dapat dikuasai. Dan biasanya diberikan dosis tinggi serta pemberian jangka panjang.

Pada kejang nonepileptik, terapi terutama ditunjukan pada penyebabnya misalkan demam, infeksi dan gangguan metabolik.

Dua keadaan khusus yang perlu dikemukakan, terkait dengan kejang nonepileptik adalah :1. Defisiensi piridoksin kongenital dengan kejang umum. Mungkin juga

miklonik dan2. Kejang sebagai gejala putus obat antara lain barbiturat, alkohol, sedatif

tertentu lainnya. Untuk kejang akibat putus obat yang pada dasarnya merupakan gejala ketergantungan, substitusi dengan fenobarbital untuk kemudian dikurangi dosisnya secara bertahap dapat membantu mencegah timbulnya kejang. Efektifitas diazepam dalam hal ini masih

perlu dikonfirmasikan lebih lanjut sedangkan fenitoin belum terbukti bermanfaat sekalipun cukup sering dugunakan.

KEJANG DEMAM.Kejang yang terjadi pada 2-4% anak usia 6 bulan – 5 tahun tanpa

disertai kelainan neurologis bersifat umum dan singkat (<15 menit) terjadi bersamaan dengan demam umumnya hanya terjadi 1x 24 jam pengobatan profilaksis secara rutin tidak dianjurkan kecuali disertai gangguan berikut ini :1. Gejala neurologik yang abnormal misalnya srebralpalsi, mental retedasi,

mikrosefali.2. Bila kejang terakhir berlangsung lebih dari 15 menit atau disertai gejala

neurologik3. Bila ada kejang pada orang tuanya atau keluarganya.

4. Anak yang gejala kejang yang rekuren.

5. Bila anak dirawat untuk suatu kegawatan. Fenobarbital atau asam valproat merupakan obat yang tepat pemberian berlangsung 1-2 tahun setelah kejang terakhir. Profilaksis kejang demam lainnya hanya dianjurkan ialah pemberian diazepan per rektal sewaktu demam. Terapi profilaksis baik yang menggunakan diazepan intermiten, fenobarbital maupun ibuprofen tidak terbukti bermanfaat. Hanya 2-3% anak kejang demam akan menderita epilepsi.

DAFTAR PUSTAKA

FKUI, 2009, Farmakologi dan Terapi, 179-196

Tan hoan Tjay, 2007, Obat-obat penting, 415