endofit
DESCRIPTION
Endofit Sebagai Immunomodulator Dan Immunosupresant-1TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pencarian sumber senyawa bioaktif terus menerus dilakukan seiring
dengan makin banyaknya penyakit-penyakit baru yang bermunculan, mulai dari
penyakit infeksi, kanker, dan beberapa penyakit berbahaya lainnya. Senyawa
bioaktif dapat diperoleh dari
beberapa sumber, diantaranya dari tumbuhan, hewan, mikroba dan organisme laut.
Salah satu sumber senyawa bioaktif yang berasal dari mikroba adalah mikroba
endofit. Mikroba endofit dapat menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif yang
sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obat. Mikroba endofit memiliki
potensi yang besar dalam pencarian sumber-sumber obat baru. Hal ini karena
mikroba merupakan organisme yang mudah ditumbuhkan, memiliki siklus hidup
yang pendek dan dapat menghasilkan jumlah senyawa bioaktif dalam jumlah
besar dengan metode fermentasi.
Mikroba endofit merupakan mikroorganisme yang tumbuh dalam jaringan
tumbuhan dan dapat dijumpai pada bagian akar, daun serta batang tumbuhan.
Mikroba endofit dapat menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif yang dapat
berperan sebagai antimikrobia, anti malaria, antikanker, dan juga dapat digunakan
dalam dunia pertanian dan industri. Mikroba endofit memiliki prospek yang baik
dalam penemuan sumber-sumber senyawa bioaktif yang dalam perkembangan
lebih lanjut dapat dijadikan sebagai sumber penemuan obat untuk berbagai macam
penyakit.
Beberapa metabolit endofit menunjukkan aktivitas antibakteri, antifungi,
hormon pertumbuhan tanaman, insektisida, imunosupresan dan lain-lain. Aktivitas
antimikroba metabolit endofit dihasilkan sebagai mekanisme pertahanan diri
terhadap serangan bakteri dan jamur patogen bagi inangnya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. MIKROBA ENDOFIT
I.1 DEFINISI MIKROBA ENDOFIT
Mikroba endofit dapat ditemukan hampir di semua tumbuhan di muka
bumi ini, dan merupakan mikroba yang tumbuh di dalam jaringan
tumbuhan. Mikroba endofit dapat diisolasi dari akar, batang dan daun suatu
tumbuhan. Bakteri dan fungi adalah jenis mikroba yang umum ditemukan
sebagai mikroba endofit, akan tetapi yang banyak diisolasi adalah golongan
fungi.
Hubungan antara mikroba endofit dan inangnya dapat berbentuk
simbiosis mutualisma sampai hubungan yang patogenik. Hubungan
simbiosis mutualisme ditandai dengan hubungan yang saling
menguntungkan antara mikroba endofit dan tumbuhan inangnya. Mikroba
endofit dapat melindungi tumbuhan inang dari serangan patogen dengan
senyawa yang dikeluarkan oleh mikroba endofit. Senyawa yang dikeluarkan
mikroba endofit berupa senyawa metabolit sekunder yang merupakan
senyawa bioaktif dan dapat berfungsi untuk membunuh patogen. Tumbuhan
inang menyediakan nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroba endofit untuk
melengkapi siklus hidupnya.
2
Gambar. Isolat Fungi Endofit
Menurut Worang (2003), Asosiasi Jamur endofit dengan tumbuhan
inangnya dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu mutualisme
konstitutif dan induktif. Mutualisme konstitutif merupakan asosiasi yang
erat antara Jamur dengan tumbuhan terutama rumput-rumputan. Pada
kelompok ini Jamur endofit menginfeksi ovula (benih) inang, dan
penyebarannya melalui benih serta organ penyerbukan inang. Mutualisme
induktif adalah asosiasi antara Jamur dengan tumbuhan inang, yang
penyebarannya terjadi secara bebas melalui air dan udara. Ditinjau dari sisi
taksonomi dan ekologi, Jamur ini merupakan organisme yang sangat
heterogen.
Purwanto (2000), menambahkan bahwasannya mikroorganisme endofit
akan mengeluarkan suatu metabolit sekunder yang merupakan senyawa
antibiotik itu sendiri. Metabolit sekunder merupakan senyawa yang
disintesis oleh suatu mikroba, tidak untuk memenuhi kebutuhan primernya
(tumbuh dan berkembang) melainkan untuk mempertahankan eksistensinya
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh mikroorganisme endofit merupakan senyawa antibiotik yang
mampu melindungi tanaman dari serangan hama insekta, mikroba patogen,
atau hewan pemangsanya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agen
biokontrol.
Metabolit sekunder yang dihasilkanakan lebih aktif dan spesifik jika
diisolasi dari mikroba yang hidup pada biotop yang spesifik. Mikroba
endofit terutama yang hidup di lingkungan yang spesifik atau bahkan di
lingkungan yang tidak umum sering digunakan sebagai sumber penemuan
senyawa bioaktif baru. Beberapa tumbuhan dapat menurunkan senyawa
bioaktif yang dikandungnya kepada mikroba endofit yang tumbuh dalam
jaringannya, sehingga mikroba endofit tersebut dapat menghasilkan
senyawa yang sama dengan inangnya. Sebagai contoh adalah senyawa taxol,
sebagai senyawaantikanker yang dihasilkan oleh tumbuhan Taxus brevifolia.
Pada tahun 1993, senyawa ini ternyata dapat diisolasi dari Taxomyces
3
andreanae, fungi endofit yang tumbuh pada tumbuhan T. brevifolia. Contoh
lain adalah senyawa Oleandrin sebagai senyawa antikanker, selain
dihasilkan oleh tanaman Nerium indicum, ternyata juga dihasilkan oleh
fungi endofit yang diisolasi dari daun Nerium indicum (Prihatiningtias,
unpublished). Menurut Tan & Zou (2000), mikrobaendofit memang dapat
menghasilkan senyawa bioaktif yang karakternya mirip atau sama dengan
inangnya. Hal ini disebabkan adanya pertukaran genetik yang terjadi antara
inang dan mikroba endofit secara evolusioner.
II.1.2 ISOLASI MIKROBA ENDOFIT
Isolasi merupakan cara untuk memisahkan suatu mikroorganisme dari
lingkungannya, sehingga diperoleh biakan yang sudah tidak tercampur
dengan biakan lain atau disebut biakan murni. Sebelum dilakukan isolasi,
diperlukan perlakuan-perlakuan awal (pretreatments) untuk keberhasilan
proses isolasi tersebut. Pretreatments yang dilakukan tergantung dari
karakteristik substrat atau inang tempat kapang endofit berada. Metode
surface sterilization digunakan sebagai perlakuan awal (pretreatment) untuk
mengisolasi kapang endofit yang berasal dari organ tumbuhan yang masih
dalam keadaan segar.
Metode tersebut bertujuan menghilangkan mikroorganisme epifit yang
berada di permukaan tumbuhan, sehingga koloni yang diperoleh merupakan
koloni endofit yang berasal dari dalam jaringan. Disinfektan adalah senyawa
kimia yang digunakan dalam proses disinfeksi, yaitu proses mengurangi
mikroorganisme kapang untuk mengetahui identitas dari kapang tersebut.
Pengamatan karakter morfologi dilakukan secara mikroskopik dan
makroskopik.
Pada umumnya jamur endofit diisolasi dari organ tumbuhan yang
masih segar dan telah disterilkan permukaannya. Untuk sterilisasi
permukaan organ tumbuhan yang umum digunakan adalah dengan cara
merendamnya dalam alkohol (70%-95%). Namun, kemampuan alkohol
untuk mensterilkan permukaan organ tumbuhan tersebut memiliki spektrum
4
yang sempit dan sangat terbatas, sehingga perlu dikombinasikan dengan
bahan kimia lainnya. Bahan kimia yang sering dikombinasikan biasanya
adalah natrium hipoklorit (NaOCl). Medium tumbuh untuk proses isolasi
jamur akan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis jamur yang akan
diisolasi. Agusta et al (2006), telah mengisolasi jamur endofit dari tanaman
teh dengan menggunakan medium corn meal malt agar (CMMA) dengan
antibiotik kloramfenikol dan telah dilaporkan terdapat 6 jenis jamur endofit
yang diperoleh. Sedangkan pada proses isolasi dengan menggunakan
medium agar dan tanpa penambahan antibiotik diperoleh 2 jenis jamur yang
berbeda. Pada medium agar, khamir atau yeast juga memperlihatkan
pertumbuhan yang sangat lambat sehingga dapat digunakan untuk purifikasi
isolat jamur yang tercampur dengan khamir.
Berikut ini merupakan contoh tahapan isolasi jamur endofit yang dilakukan
oleh Agusta et al,( 2006) dari ranting muda tanaman teh :
1. Organ tumbuhan tertentu (ranting) dicuci bersih dengan air dan
kemudian dipotong-potong dengan ukuran panjang tertentu.
2. Dilakukan sterilisasi terhadap ranting yang telah dipotong dengan
merendamnya dalam etanol 75% selama 1 menit, dalam larutan natrium
hipoklorit selama 0.5 menit dan direndam kembali dengan etanol 75%
selama 0.5 menit.
3. Ranting yang telah disterilisasikan selanjutnya dibelah dengan
menggunakan pemotong steril.
4. Potongan ranting kemudian diletakan diatas medium CMMA yang
mengandung kloramfenikol (0.5 mg/ ml)
5. Koloni-koloni yang telah tumbuh selanjutnya dipisahkan dengan
menginokulasikannya ke dalam medium PDA (Potato Dextro Agar).
Ada beberapa ketentuan untuk dapat mengisolasi mikroba endofit yang
mampu menghasilkan senyawa bioaktif yang potensial, diantaranya yaitu:
5
1. Tumbuhan inang fungi endofit merupakan tumbuhan yang tumbuh pada
lingkungan yang khas.
2. Tumbuhan tersebut memiliki sejarah ethnobotani yang berhubungan erat
3. dengan penggunaan spesifik tumbuhan tersebut oleh penduduk asli suatu
daerah.
4. Tumbuhan inang merupakan tumbuhan endemik pada suatu daerah.
Tumbuhan inang fungi endofit tumbuh pada daerah yang memiliki
biodiversitas yang tinggi. Dengan demikian, usaha penemuan mikroba
endofit yang spesifik sebagai penghasil antibiotik tidak dapat dilakukan
secara random. Tumbuhan sebagai inang fungi endofit harus memiliki
proses seleksi tertentu berdasarkan pengaruh lingkungannya, umur dan
sejarah tumbuhan inang, serta berdasarkan penggunaan tumbuhan inang
secara etnobotani.
II. SISTEM IMMUNITAS
Imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik
lagi perlindungan terhadap infeksi. Sel dan molekul yang bertanggung
jawab atas imunitas disebut sistem imun dan respon komponennya secara
bersama dan terkordinasi disebut respon imun (Kresno, 2001). Pengertian
lain dari imunitas yaitu resistensi penyakit terutama penyakit infeksi.
Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi
terhadap infeksi disebut sistem imun dan reaksi yang dikordinasi sel-sel dan
molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imun.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya
terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan
hidup (Baratawidjaja, 2004).
Sistem imun dirancang untuk melindungi inang (host) dari patogen-
patogen penginvasi dan untuk menghilangkan penyakit. Perlindungan dari
infeksi dan penyakit diberikan oleh dua komponen utama yaitu sistem imun
bawaan dan sistem imun adaptif (Katzung, 2004). Sistem imun alamiah 6
dikenal juga dengan sistem imun non spesifik dan sistem imun adaptif
dikenal juga dengan sitem imun spesifik. Disebut pertahanan non spesifik
karena mekanismenya tidak menunjukan spesifitas terhadap bahan asing
dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial dan
jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi (Baratawidjaya, 2004).
Pertahanan non spesifik meliputi kulit dan membran mukosa, sel-sel fagosit,
komplemen, lisozim, interferon, semua mekanisme pertahanan ini
merupakan bawaan (innate), berperan sebagai garis pertahanan pertama dan
menghambat kebanyakan patogen potensial sebelum menjadi infeksi
(Wahab, 2002).
Mekanisme pertahanan spesifik meliputi sistem produksi antibodi oleh
sel B dan sistem imunitas seluler oleh sel T. Sistem pertahanan ini bersifat
adaptif atau didapat yaitu menghasilkan reaksi spesifik pada setiap agen
infeksi yang dikenali karena telah terjadi pemajanan terhadap mikroba atau
determinan antigenik tersebut sebelumnya. Sistem pertahanan ini sangat
efektif dalam memberantas infeksi serta, mengingat agen infeksi tertentu
sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit dikemudian hari (Wahab,
2002). Sistem imun spesifik mempunyai memampuan untuk mengenal
benda yang dianggap asing bagi dirinya. Disebut spesifik karena sistem
pertahanan ini hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal
sebelumnya (Baratawidjaya, 2004).
Respon imun sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk
mengenali molekul asing (antigen) yang terdapat pada patogen potensial dan
kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber
antigen bersangkutan. Proses pengenalan antigen dilakukan oleh unsur
utama sistem imun yaitu limfosit yang kemudian diikuti oleh fase efektor
yang melibatkan berbagai jenis sel (Kresno, 2001). Respon imun ditengahi
oleh berbagai sel dan molekul larut yang diseksresi oleh sel-sel tersebut.
Sel-sel utama yang terlibat dalan reaksi imun adalah limfosit (Sel B, sel T,
sel NK), fagosit (neutrofi, eosinofil, monosit, dan makrofag), sel asesori
(basofil, sel mast, dan trombosit), sel-sel jaringan, dan lin-lain. Bahan larut
7
yang disekresi dapat berupa antibodi, komplemen, mediator radang, dan
sitokin (Wahab, 2002).
Fagositosis dan Makrofag
Fagositosis merupakan salah satu pertahanan seluler non spesifik,
berfungsi untuk menangkap dan menghancurkan mikroorganisme dan benda
asing lain yang menginvansi tubuh sedangkan antibodi termasuk komponen
imun humoral spesifik (Baratawidjaja, 2004). Proses fagositosis adalah
bagiasn dari proses imun non spesifik dan memainkan peran pada
pertemuan pertama hospes dengan benda asing. Fagisitosis yaitu suatu
proses ingesti partikel oleh sel, fagositosis yang berperan dalam proses
penelanan dan makan partikel-partikel atau cairan dari lingkungannya dan
kelompok-kelompok sel khusus yang melaksanakan fungsi-fungsi tersebut
disebut disebut sebagai sel fagositik. Proses fagositosis merupakan prinsip
dari mekanisme penghancuran bakteri ekstraseluler yang patogen.
Fagositosis berarti proses penangkapan substansi yang masuk kedalam
tubuh dan dianggap asing oleh oleh sel-sel fagosit (Sunaryo,2006).
Sel mononuclear (makrofag) berasal dari promosit sumsum tulang
yang berdiferensiasi menjadi monosit darah dan tinggal di jaringan menjadi
makrofag yang matang. Fungsi makrofag dalam sel fagositosis meliputi
aktivitas membunuh, menghancurkan dan mengeliminasi antigen dari tubuh,
makrofag berfungsi pula sebagai Antigen Precenting Cell (APC) yang
menghancurkan antigen dan komponen antigen yang dihancurkan akan
berinteraksi dengan sistem imun spesifik. Makrofag dapat hidup lama,
mempunyai beberapa granul dan melepas berbagai bahan diantaranya
lisozim, komplemen, interferon, dan sitokin yang semuanya memberikan
kontribusi dalam pertahanan non spesifik dan spesifik. Makrofag sangat
dikhususkan untuk melaksanakan fungsi penelanan dan penghancuran
semua benda-benda berupa partikel dengan proses endositosis. Proses
fagositosis kadang-kadang dipermudah oleh antibodi karena partikel-
partikel yang diselimuti antibodi ditelan secara lebih efisien, komplemen
8
suatu seri protein serum dalam reaksi berurutan dapat juga terlibat sebagai
penguat fagositosis (Sunaryo,2006).
Gambar. Proses fagositosis (Roitt, 1994).
III. IMMUNOSUPRESANT
II.1 DEFINISI IMMUNOSUPRESANT
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan
respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit
autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari
kelompok ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker.
Respon imun pada mahkluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan
manusia, terdapat dua sistem pertahanan (imunitas), yaitu imunitas
nonsepesifik (innate immunity) dan imunitas spesifik (adaptive imunity).
1. Imunitas nonspesifik
9
Merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen
fisik berupa keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti
asam lambung, lisozim, komploment ; dan komponen seluler nonspesifik
seperti netrofil dan makrofag. Netrofil dan makrofag melakukan
fagositosis terhadap benda asing dan memproduksi berbagai mediator
untuk menarik sel-sel inflamasi lain di daerah infeksi. Selanjutnya benda
asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi
2. Imunitas spesifik
Memiliki karakterisasi khusus antara lain kemampuannya untuk
bereaksi secara spesifik dengan antigen tertentu; kemampuan
membedakan antigen asing dengan antigen sendiri (nonself terhadap
self); dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat dan lebih efesien
terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respon imun spesifik
ini terdiri dari dua sistem imun , yaitu imunitas seluler dan imunitas
humoral. Imunitas seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan imunitas
humoral melibatkan limposit B dan sel plasma yang berfungsi
memproduksi antibodi.
Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok
sel yang disebut sebagai antigen presenting sel.
Indikasi imunosupresan :
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplanatasi
organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada neonatus.
Prinsip umum terapi imunosupresan
Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi yang
optimal adalah sebagai berikut:
1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan
dengan respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup:
pengolahan antigen oleh APC, sintesis limfokin, proliferasi dan
10
diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan yang paling sensitif
terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel memori,
maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen
yang berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun
terhadap suatu antigen berbeda dengan dosis untuk antigen lain.
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan
diberikan sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua
penyakit autoimun baru bisa dikenal setelah autoimuitas berkembang,
sehingga relatif sulit di atasi.
II.2. JAMUR ENDOFIT SEBAGAI IMMUNOSUPRESANT
Obat-obatan immunosupresif merupakan obat yang digunakan untuk
pasien yang akan dilakukan tindakan transplantasi organ. Selain itu juga
dapat digunakan untuk mengatasi penyakit autoimun seperti rematoid atritis
dan insulin dependent diabetes. Senyawa subglutinol A dan B yang
dihasilkan oleh endofit Fusarium subglutinant yang diisolasi dari tanaman
T. wilfordii, merupakan senyawa immunosupresif yang sangat poten.
II.2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Jamur Fusarium sp
Jamur Fusarium sp. merupakan jamur yang tersebar luas baik pada
tanaman maupun dalam tanah. Beberapa spesies dari jamur ini dapat
memproduksi mycotoxin dalam biji-bijian yang dapat mempengaruhi
kesehatan manusia dan hewan jika memasuki rantai makanan. Toksin utama
yang diproduksi oleh jamur ini adalah fumonisin dan trichothecenes). Jamur
Fusarium ini juga dapat menyebabkan penyakit pada tanaman, yang disebut
sebagai penyakit layu fusarium. Penyakit layu fusarium adalah penyakit
sistemik yang menyerang tanaman mulai dari perakaran sampai titik
tumbuh.
Ciri-ciri dari Fusarium sp memiliki konidia hyaline yang terdiri dari
dua jenis yaitu makrokonidia berbentuk sabit, umumnya bersekat tiga,
11
berukuran 30 – 40 x 4,5–5,5 μm, mikrokonidia bercel-1, berbentuk bulat
telur atau lonjong, terbentuk secara tunggal atau berangkai-rangkai,
membentuk massa yang berwarna putih atau merah jambu, seperti yang
terlihat pada gambar 2.5 dibawah ini:
Gambar: Foto Mikroskopis Jamur Fusarium oxysporum; A-B foto mikroskopis
makrokonidia; C-D foto mikroskopis mikrokonidia, skala garis 25 μm; EF mikrokonidia
pada miselium, skala garis 50 μm. (Sumber: Leslie and Summerell, 2006)
Klasifikasi
Menurut Anaf (2009), klasifikasi dari cendawan ini adalah sebagai berikut:
Kindom : Fungi
Divisi : Eumycota
SubDivisi : Deuteromycotina
Kelas : Hypomycetes
Ordo : Moniliales
Famili : Tuberculariaceae
Genus : Fusarium
Spesies : Fusarium spp
II.2.2 Metabolit Sekunder dari Fungi Endofit
12
Fungi secara umum melakukan metabolisme primer dan metabolisme
sekunder. Metabolisme primer terdiri dari proses anabolisme dan
katabolisme, memanfaatkan nutrien yang berasal dari lingkungannya untuk
menghasilkan metabolit primer yang dibutuhkan bagi pertumbuhan fungi.
Sebaliknya, senyawa metabolit sekunder yang berasal dari metabolisme
sekunder merupakan senyawa tidak dibutuhkan untuk pertumbuhan
(Kavanagh 2005: 115). Metabolisme sekunder pada fungi secara umum
terjadi pada saat fase pertumbuhan akan segera berakhir dan mulai
memasuki fase stasioner. Metabolisme sekunder pada fungi juga
diasosiasikan dengan proses diferensiasi dan sporulasi. Fase terjadinya
metabolisme sekunder dikenal dengan istilah idiofase (Carlile 2001:516),
sehingga metabolit sekunder disebut juga dengan idiolite (Lengeler dkk.
1999: 627). Menurut Devaraju dan Satish (2011:75), metabolit sekunder
disekresikan oleh fungi secara ekstraselular.
Jalur pembentukan (biosynthesis pathways) metabolit sekunder sangat
beragam, tergantung dari golongan senyawa yang dihasilkan. Terdapat tiga
prekursor utama dalam pembentukan metabolit sekunder, yaitu asam
shikimat, asam amino, dan asetil-CoA. Asam shikimat merupakan prekursor
dari pembentukan berbagai senyawa aromatik, seperti asam amino aromatik,
asam sinamat, dan berbagai polifenol. Asam amino merupakan prekursor
pembentukan senyawa-senyawa alkaloid, dan beberapa antibiotik seperti
penisilin dan sefalosporin. Asetil-CoA merupakan prekursor dari
pembentukan poliasetilen, prostaglandin, antibiotik makrosiklik, polifenol,
dan isoprenoid (terpene, steroid, dan karotenoid) (Mann 1995: 7).
Jalur pembentukan metabolit sekunder pada fungi yang paling umum
ditemukan adalah jalur pembentukan poliketida. Jalur pembentukan
poliketida melibatkan asetil-CoA (asetat) sebagai prekursor. Pada jalur
pembentukan tersebut, asetil-CoA sebagai prekursor mengalami
karboksilasi dan membentuk malonil-CoA, selanjutnya tiga atau lebih
molekul malonil-CoA berkondensasi dengan asetil-CoA dan membentuk
rantai. Rantai tersebut kemudian membentuk struktur cincin (siklik) dan
13
selanjutnya termodifikasi menjadi berbagai produk metabolit sekunder
seperti antibiotik (griseofulvin dari Penicillium griseofulvum), aflatoksin
(dari Aspergillus flavus dan A. parasiticus), dan mikotoksin (patulin dari
Penicillium patulum). Jalur pembentukan lainnya adalah jalur pembentukan
isoprenoid. Jalur pembentukan isoprenoid merupakan jalur biosintesis sterol
yang juga melibatkan asetil-CoA sebagai prekursor. Tiga molekul asetil-
CoA berkondensasi membentuk asam mevalonat. Asam mevalonat
kemudian terkonversi menjadi unit isoprene yang selanjutnya terkondensasi
membentuk rantai. Rantai tersebut mengalami serangkaian proses dan
modifikasi menghasilkan metabolit sekunder, salah satunya adalah
mikotoksin yang dihasilkan oleh Fusarium spp. (Deacon 2006: 133--136).
Senyawa-senyawa metabolit sekunder yang berasal dari golongan
alkaloid, flavonoid, terpenoid, anthrakuinon, alifatik, dan senyawa bioaktif
lainnya telah diisolasi dan dikarakterisasi dari fungi endofit (Agusta 2009:
34). Berbagai potensi metabolit sekunder yang dihasilkan oleh fungi dapat
dimanfaatkan pada berbagai bidang, di antaranya bidang kedokteran dan
farmasi (Strobel dan Daisy 2003: 493). Sebagai contoh adalah senyawa
antimikroba, yang sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan
baku obat dari berbagai penyakit (Radji 2005: 114). Hingga saat ini,
pencarian akan senyawa antimikroba baru masih terus dilakukan. Salah satu
penyebabnya adalah berkurangnya efek dari batobatan (antibiotik) yang
telah ada, seiring dengan terus berkembangnya resistensi dari
mikroorganisme penginfeksi (Strobel dan Daisy 2003: 491)
Berbagai penelitian mengenai kapang endofit yang memiliki aktivitas
antimikroba telah dilaporkan. Simarmata dkk. (2007: 90) melaporkan bahwa
beberapa isolat kapang endofit dari tanaman sambung nyawa (Gynura
procumbens) mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme, yaitu
khamir C. albicans, serta bakteri E. coli dan B. subtilis. Rubini dkk. (2005:
27) melaporkan bahwa kapang endofit Gliocladium catenulatum Gilman &
Abbott dari tumbuhan Theobroma cacao L. berperan sebagai agen antifungi
terhadap fungi patogen Crinipellis perniciosa (Stabel) Singer. Kapang
14
endofit juga mampu menghasilkan berbagai metabolit sekunder yang
bersifat bioaktif, antara lain senyawa imunosupresif, senyawa antivirus, dan
senyawa antikanker. Kapang endofit Taxomyces andreanae Strobel, A.
Stierle, D.
Stierle & W.M. Hess dari tumbuhan Taxus brevifolia Nutt, mampu
menghasilkan senyawa paclitaxel, suatu senyawa antikanker. Kapang
endofit Fusarium subglutinans (Wollenw. & Reinking) P.E. Nelson,
Toussoun & Marasas dari tumbuhan Tripterigium wilfordii mampu
menghasilkan senyawa imunosupresif subglutinol A. Senyawa
imunosupresif berpotensi dalam pengobatan penyakitpenyakit autoimun
seperti reumathoid arthritis dan insulin-dependent diabetes (Strobel dan
Daisy 2003: 498, 500). Kapang endofit Cytonaema sp. Mampu
menghasilkan senyawa antivirus cytonic acid A dan B. Senyawa tersebut
merupakan protease inhibitor dan dapat menghambat cytomegalovirus (Guo
dkk. 2000, lihat Radji 2005: 119).
III.2.3 Isolasi Jamur Endofit
Sampel dibersihkan di bawah air mengalir untuk menghilangkan berpegang
tanah ke akar dan kemudian dikeringkan. Daun, batang dan akar yang
dipisahkan dan sebelum sterilisasi, akar dibersihkan dipotong sepanjang 5
cm. Permukaan akar disterilkan dengan 4% sodium hipoklorit selama 5
menit, etanol 70% selama 1 menit dan air suling steril selama 1 menit
sampai 2-3 kali. Potongan akar yang sudah disterilkan dipindahkan dan
dimaserasi dengan alkohol secara terpisah ke dalam suspensi menggunakan
air suling dan pengenceran serial dibuat. Aliquots yang diencerkan
dipindahkan pada medium cawan steril potato dextrose-agar (PDA). Setelah
inkubasi pada 30 oC selama 7-14 hari, isolat dominan jamur diambil dan
dimurnikan. Kemurnian budaya ditentukan dari koloni morfologi.
15
IV. IMMUNOMODULATOR
IV.1 DEFINISI IMMUNOMODULATOR
Imunomodulator berasal dari kata Imuno yang berarti kekebalan dan
Modulator yang berarti pembawa. Imunomodulator adalah suatu agen atau zat
yang dapat mempengaruhi atau menjaga sistem pertahanan tubuh.
Imunomodulator merupakan obat yang bekerja dengan cara melakukan
modulasi pada sistem imun. Pada individu dengan defisiensi sistem imun
imunomodulator bekerja dengan cara merangsang (stimulan), sedangkan pada
individu dengan reaksi imun berlebih, maka imunomodulator bekerja dengan
cara menekan atau mengoptimalkan pertahanan tubuh maka secara tidak
langsung telah mengatasi atau mengurangi berbagai keadaan patologis atau
gangguan kesehatan lainnya akibat tidak optimalnya sistem pertahan tubuh,
diantaranya penyakit infeksi, alergi, kanker, neoplasma jinak atau ganas
(kanker) (Sunaryo dkk, 2007)
Imunomodulator bekerja menurut tiga cara, yaitu:
a. Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun
yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun
seperti imunoglobulin, plasma, transplantasi sumsum tulang, hati.
b. Imunostimulasi yang juga disebut imunopotensiasi adalah cara
memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang
merangsang sistem tersebut. Dengan efek meningkatkan respons imun.
c. Imunosupresan merupakan tindakan untuk memperbaiki fungsi sistem
pertahanan tubuh dengan cara menekan respon imun. Kegunaan di klinik
ternyata pada transplantasi dalam mencegah reaksi penolakan dan pada
berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala
sistemik, seperti autoimun atau auto-inflamasi. (Baratawidjaya,2004).
Menurut WHO, imunomodulator haruslah memenuhi persyaratan berikut:
16
1. Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia.
2. Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat.
3. Tidak bersifat karsinogenik atau ko-karsinogenik.
4. Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak mempunyai efek
samping farmakologik yang merugikan.
5. Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar.
IV.2 ENDOFIT SEBAGAI IMMUNOMODULATOR
Ocimum sanctum Linn. telah digunakan selama ribuan tahun di Ayurveda
karena sifat penyembuhan yang beragam. Ditandai dengan aroma yang kuat
dan rasa astringent, itu dianggap dalam Ayurveda sebagai semacam "obat
mujarab kehidupan" dan diyakini untuk mempromosikan umur panjang. Tulsi
telah diklaim dalam teks-teks klasik untuk memiliki antioksidan, antiasthmatic
dan antitusif, antimalaria, antipiretik, anti-inflamasi, antidiabetes,
antiasthmatic, efek nematicidal, dan merupakan agen imunomodulator yang
baik dengan banyak sifat-sifat lainnya. Penelitian terbaru membuktikan khasiat
tanaman untuk antidiabetes, hipoglikemik, dan antioksidan, hepatoprotektif ,
kardioprotektif, antistress penyembuhan luka, anti ansietas kegiatan. Beberapa
metabolit sekunder yang penting dilaporkan dari Tulsi adalah asam oleanolic,
asam Urosolic, asam Rosmarinic, Eugenol, Carvacrol, linalol dan β-
caryophyllene, Ocimumosides A & B dan Ocimarin. Oleh karena itu
berdasarkan literatur sebelumnya, endofitik dari tanaman obat merupakan
sumber potensial untuk metabolit sekunder dan memiliki aktivitas biologis
yang sama, hal itu dianggap berharga untuk mengisolasi jamur endofit dari
akar Ocimum sanctum Linn. dan mengetahui efek untuk imunomodulator
secara in vitro dan aktivitas terhadap radikal bebas.
Bahan tanaman
Akar Ocimum sanctum Linn. dikumpulkan dari dalam dan di sekitar kawasan
Dharwad, Karnataka, India dan dikonfirmasi oleh Dr GR hegde, Karnatak
17
University, Dharwad (India). Sebuah spesimen voucher telah disimpan di
herbarium departemen pharmacognosy (SETCPD/Ph.cog/herb/19/07/2010).
Isolasi jamur endofit
Sampel dibersihkan di bawah air mengalir untuk menghilangkan berpegang
tanah ke akar dan kemudian dikeringkan. Daun, batang dan akar yang
dipisahkan dan sebelum sterilisasi, akar dibersihkan dipotong sepanjang 5 cm.
Permukaan akar disterilkan dengan 4% sodium hipoklorit selama 5 menit,
etanol 70% selama 1 menit dan air suling steril selama 1 menit sampai 2-3 kali.
Potongan akar yang sudah disterilkan dipindahkan dan dimaserasi dengan
alkohol secara terpisah ke dalam suspensi menggunakan air suling dan
pengenceran serial dibuat. Aliquots yang diencerkan dipindahkan pada medium
cawan steril potato dextrose-agar (PDA). Setelah inkubasi pada 30 oC selama
7-14 hari, isolat dominan jamur diambil dan dimurnikan. Kemurnian budaya
ditentukan dari koloni morfologi.
Aktivitas imunomodulator in vitro
Nitroblue Tetrazolium (NBT) uji
Suspensi leukosit (5x106 / mL) disiapkan di 0.5ml dari PBS (buffer fosfat
salin) plasma diaktifkan. Standar ini telah ditambahkan ke tabung 1 dan ke
tabung lain ada ditambahkan 0,1 mL berbeda konsentrasi (5, 10, 25, 50 dan
100 mg / mL) dari sampel uji; 0,2 mL baru disiapkan larutan NBT 0,15%
ditambahkan ke masing-masing tabung dan diinkubasi pada suhu 37 º C selama
20 menit. Selanjutnya mereka disentrifugasi pada 400 gram selama 3-4 menit
untuk membuang supernatan. Sel-sel tersebut disuspensi dalam volume kecil
larutan PBS. Sebuah film tipis dibuat dengan tetesan pada slide, kering, tetap
dengan pemanasan, kontra diwarnai dengan encer carbol-fuchsin selama 15
detik. Slide dicuci di bawah air keran, dikeringkan dan diamati di bawah
mikroskop dengan pembesaran 100x dengan bantuan minyak imersi; 200
neutrofil dihitung untuk % sel positif NBT yang mengandung butiran biru /
benjolan.
18
Fagositosis membunuh Candida albicans
Persiapan Candida albicans suspensi
The Candida albicans budaya diinkubasi dalam Sabouraud kaldu semalam
dan kemudian disentrifugasi untuk membentuk dasar sel dan supernatan
dibuang. Sel dicuci dengan steril Hank Seimbang Salt Solution (HBSS) dan
disentrifugasi lagi. Ini diulangi 3-4 kali. Tombol Sel akhir dicampur dengan
campuran steril HBSS dan serum manusia dalam proporsi 4:1. Suspensi sel
akhir konsentrasi 1 x108 digunakan untuk percobaan.
Slide Preparation
Darah manusia (0,2 mL) diperoleh dengan metode tusukan jari pada slide
kaca steril dan diinkubasi pada suhu 37 º C selama 25 menit untuk
memungkinkan pembekuan. Bekuan darah telah dihapus dengan sangat
lembut dan geser terkuras perlahan-lahan dengan steril saline normal,
mengurus untuk tidak mencuci neutrofil ditaati \ (Tak terlihat). Slide terdiri
dari neutrofil polimorfonuklear (PMN) adalah banjir dengan konsentrasi
sampel uji dan diinkubasi pada suhu 37 º C selama 15 min. Para PMN
ditutupi dengan Candida albicans suspensi dan
diinkubasi pada suhu 37 º C selama 1 jam. Slide dikeringkan, tetap dengan
metanol dan diwarnai dengan Giemsa stain.
Evaluasi fagositosis
Jumlah rata-rata sel Candida phagocytosed oleh PMN pada slide ditentukan
secara mikroskopis untuk 100 granulosit menggunakan kriteria morfologi.
Jumlah ini diambil sebagai Indeks fagositosis (PI) dan dibandingkan dengan
PI basal kontrol. Prosedur ini diulang untuk konsentrasi yang berbeda (5, 10,
25, 50 dan 100 mg / mL) dari sampel uji. Imunostimulasi dalam% dihitung
19
dengan menggunakan persamaan berikut. Stimulasi (%) = PI (test) - PI
(kontrol) x 100/PI (kontrol)
Assay Candidacidal
Suspensi leukosit (7 × 106/mL) disiapkan dalam 0,25 mL larutan Hank dalam
7 tabung. Sebuah volume 0,25 mL larutan Hank (kontrol) dan 0,25 mL
dikumpulkan serum (standar) ditambahkan ke 1 dan tabung 2 masing-masing,
dan yang lain 5 tabung ditambahkan 0,25 mL berbeda konsentrasi (5, 10, 20,
40, 50, 100 mg / mL) dari sampel uji. 0,25 mL Candida albicans suspensi
ditambahkan ke masing-masing tabung dan diinkubasi pada suhu 37 ° C
dalam penangas air selama 60 menit dengan gemetar setiap 15 menit. Setelah
30 menit, 0,1 mL larutan diambil pada slide kaca dari masing-masing tabung
ke membuat film tipis. Slide diwarnai dengan Giemsa stain dan diamati pada
mikroskop dengan pembesaran 100x. Ini harus menunjukkan bahwa sebagian
besar organisme Candida telah ditelan oleh leukosit. Pada akhir satu jam
inkubasi, 0,25 mL dari 2,5% natrium deoksikolat ditambahkan ke masing-
masing tabung dan dicampur.
Pergerakan Neutrofil dan kemotaksis tes
Suspensi sel neutrofil disiapkan dalam larutan buffer fosfat saline (PBS) pada
sekitar 106 sel / mL. Kompartemen yang lebih rendah dari kemo ruang taktik
untuk pH 7,2 misalnya ruang solusi 1-PBS (kontrol); ruang 2-casin 1 mg / L
(standar); dan ruang 3, 4, 5, 6, 7 dengan konsentrasi yang berbeda (5, 10, 25,
50 dan 100 mg / mL) dari sampel uji. Kompartemen atas (1mL jarum suntik)
diisi dengan suspensi sel neutrofil dan filter basah (Millipore) 3mm ukuran
pori itu tetap di bagian bawah kompartemen atas. Kompartemen atas
ditempatkan ke dalam kompartemen yang lebih rendah dan diinkubasi pada
suhu 37 º C selama 180 menit. Kompartemen atas telah dihapus dan terbalik
untuk mengosongkan cairan. Permukaan bawah filter tetap dengan etanol
70% selama 2 menit dan kemudian diwarnai dengan pewarna Hematoksilin
20
selama 5 menit. Filter tetap diamati di bawah mikroskop menggunakan lensa
100 X dan jumlah sel neutrofil yang mencapai permukaan yang lebih rendah
dihitung.
Hasil dan Diskusi
Dalam akar Ocimum santum Linn. ditemukan berbagai jamur. Empat isolat
jamur murni diperoleh dari akar Ocimum santum Linn. dan ditunjuk-TRF 1,
TRF-2 TRF-3 dan TRF-6. Hasil etil asetat ekstrak jamur mentah TRF-3 dan
TRF-6 ditemukan menjadi 85 mg dan 75 mg per liter medium fermentasi.
Dalam kegiatan imunomodulator vitro Dalam kasus nitroblue tetrazolium
assay, TRF-3 dan TRF-6 telah meningkat secara signifikan pengurangan
interacellular dari NBT pewarna untuk formazan oleh neutrofil yang
tergantung pada metabolisme dorong dihasilkan melalui heksosa monofosfat
shunt aktivasi, yang diperlukan untuk aktivitas anti mikroba. Dosis penurunan
tergantung pada neutrofil diamati dengan penurunan maksimum 89,78%
untuk TRF-3 dan 74,75% untuk TRF-6 masing-masing di NBT assay (Tabel
I).
Fraksi endofit TRF-3 dan TRF-6 telah merangsang fagositosis dan
membunuh Candida albicans. Kedua fraksi jamur merangsang fagositosis
pada 10, 25, 50 dan 100 mg / mL masing-masing. Angka-angka partikel rata-
rata (MPN) yang ditemukan 4, 4-5, dan 7-8 untuk TRF-3 pada konsentrasi 25
21
mg / mL, 50 mg / mL dan 100 mg / mL, sedangkan untuk TRF-6 MPN
ditemukan menjadi 4, 4-5, dan 7-8 untuk 5 pada konsentrasi 10 mg / mL, 25
mg / mL 50 mg / mL dan 100 mg / mL masing-masing bila dibandingkan
dengan standar (pooled serum-4 , 4-5, 4, 5-6, 6) pada konsentrasi belajar.
Hasilnya ditunjukkan pada Tabel II.
Dalam kasus Candidacidal assay, TRF-3 dan TRF-6 telah secara signifikan
menunjukkan peningkatan sel-sel mati, yang, ketika diobati dengan metilen
biru, menyerap warna biru maka bertanggung jawab untuk aktivitas
imunostimulan. Fraksi endofit TRF-3 dan TRF-6 telah menunjukkan aktivitas
candidacidal signifikan terhadap tingkat 38,25% dan 43.00.00% pada 100 mg
/ mL masing-masing dibandingkan dengan standar (31,5%) dan kontrol
normal (18,05%) pada 100 mg / mL (Tabel III).
22
Dalam kasus neutrofil dan kemotaksis assay, fraksi endofit TRF-3 dan TRF-6
telah menunjukkan aktivitas chemotactic sangat signifikan pada semua
konsentrasi. Rata-rata jumlah neutrofil per lapangan untuk TRF-3 dan TRF-6
pada 100 mg / mL ditemukan menjadi 2,57 dan 2,35 masing-masing bila
dibandingkan dengan Casein (2,35). Hasilnya ditunjukkan pada Tabel IV.
Kegiatan imunomodulasi mengacu pada efek biologis atau farmakologis dari
senyawa pada aspek hormonall atau seluler respon imun. Respon kekebalan
tubuh manusia adalah sistem yang sangat kompleks dan luar biasa canggih
yang melibatkan kedua mekanisme bawaan dan adaptif [28]. Modulasi respon
imun melalui stimulasi atau penekanan dapat membantu dalam
mempertahankan keadaan bebas penyakit. Agen yang mengaktifkan
mekanisme pertahanan sel induk di hadapan sebuah respon kekebalan yang
rusak dapat memberikan terapi suportif terhadap kemoterapi konvensional
[41]. Jamur endofit merupakan sumber yang kaya senyawa organik dengan
aktivitas biologis yang menarik dan tingkat keanekaragaman hayati yang
tinggi. Mereka mewakili sumber ekologi yang relatif belum diselidiki, dan
metabolisme sekunder mereka sangat aktif karena interaksi metabolisme
mereka dengan sel inang mereka [15]. Sebuah usaha telah dilakukan dalam
penelitian ini untuk mengevaluasi radikal bebas dan in vitro aktivitas
imunomodulator dari fraksi jamur endofit (TRF-3 dan TRF-6) dari akar
Ocimum sanctum Linn.
23
Penyelidikan fitokimia awal TRF-3 dan TRF-6 mengungkapkan adanya
glikosida, flavonoid, tanin sebagai metabolit sekunder yang penting. Dalam
penelitian ini, fraksi-fraksi dari TRF-3 dan TRF-6 secara signifikan
meningkatkan fungsi fagositik neutrofil manusia, bila dibandingkan dengan
kontrol menunjukkan kemungkinan efek imunostimulan. Fraksi dari TRF-3
dan TRF-6 telah meningkat secara signifikan gerakan neutrofil chemotactic
yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah sel mencapai permukaan yang
lebih rendah.
Kehadiran senyawa imunostimulan pada tumbuhan tingkat tinggi telah
banyak terakhir ini, tetapi hanya jumlah terbatas produk imunosupresif yang
berasal dari tumbuhan sedikit yang dilaporkan. Produk tersebut, jika
ditoleransi dengan baik oleh pasien, mungkin akan dikembangkan menjadi
coadjuvants alternatif dalam pengobatan gangguan yang disebabkan oleh
respon imun berlebihan atau tidak diinginkan, seperti pada penyakit
autoimun, alergi, glomerulonefritis, hepatitis kronis, dll.
.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Widyati Prihatiningtias, Mae Sri Hartati Wahyuningsih. Prospek Mikroba
Endofit sebagai Sumber Senyawa Bioaktif Prospect Of Endophyre as A
Bioactive Compound Source. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
2. Agusta, A. 2009. Biologi dan kimia jamur endofit. Penerbit ITB, Bandung: vii
+110 hlm.
3. Ando, K., C. Nakashima, J.Y. Park, & M. Otoguro. 2003. Workshop on isolation methods of microbes. Research and Development Center for Biotechnology Indonesia Institute of Science: 44 hlm.
4. Campbell, N.A., J.B. Reece, L.G. Mitchell. 2003. Biologi Jilid 2. Terj. Dari Biology; oleh Manalu, W. Erlangga, Jakarta: xxii + 404 hlm.
5. Deacon, J.W. 2006. Fungal biology. Blackwell publishing, Cornwall: iv + 371 hlm.
6. Gandjar, I., R.A. Samson, K. van den Tweel-Vermeulen, A. Oetari, & I. Santoso. 1999. Pengenalan kapang tropik umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: xiii + 136 hlm.
7. Gandjar, I., W. Sjamsuridzal, A. Oetari. 2006. Mikologi dasar dan terapan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: xi + 236 hlm.
8. Hanson, J.R. 2008. The chemistry of fungi. RSC Publishing, Cambridge: xi + 221 hlm.
9. Hogg, S. 2005. Essential microbiology. John Wiley & Sons Ltd., West Sussex: x + 468 hlm.
10. Kavanagh, K. 2005. Fungi,biology and applications. John Wiley & Sons Ltd., West Sussex: xi + 267 hlm.
11. Muliana, D. 2007. Penapisan isolat kapang dari serasah penghasil senyawa antimikroba terhadap bakteri dan fungi uji. Skripsi S1 Departemen Biologi FMIPA UI, Depok: vii + 107 hlm.
12. Radji, M. 2005. Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembangan obat herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian 2(3): 113--126.
25
13. Rubini, M.R., R.T. Silva-Ribeiro, A.W.V. Pomella, C.S. Maki, W.L. Araujo, D.R. dos Santos, & J.L. Azevedo. 2005. Diversity of endophytic fungal community of cacao (Theobroma cacao L.) and biological control of Crinipellis perniciosa, causal agent of Witches’ Broom Disease. Int. J.Bio. Sci. 1: 24—33.
14. Strobel, G. & B. Daisy. 2003. Bioprospecting for microbial endophytes and their natural products. American Society of Microbiology 67(4): 491--502.
15. Strobel, G. & B. Daisy. 2003. Bioprospecting for microbial endophytes and their natural products. American Society of Microbiology 67(4): 491--502.
16. Strobel, G., R.V. Miller, C. Miller, M. Condron, D.B. Teplow, & W.M. Hess. 1999. Cryptocandin, a potent antimycotic from endophytic fungus Cryptosporipsis quercina. Microbiology 145: 1919—1926
17. Suryanarayanan, T.S., N. Thirunavukkarasu, M.B. Govindarajulu, F. Sasse, R. Jansen, & T.S. Murali. 2009. Fungal Endophytes and Bioprospecting: An appeal for a concerted effort. Fungal Biology Reviews 23 (1--2): 9--19.
18. Tan, R.X. & W.X. Zou. 2001. Endophyte: a rich source of functional metabolites. Nat. Prod. Rep 18: 448--459.
19. Webster, J. & R.W.S. Weber. 2007. Introduction to fungi. 3rd ed. Cambridge University Press, New York: xix + 841 hlm.
20. Yu, H., L. Zhang, L. Li, C. Zheng, L. Guo, W. Li, P. Sun, & L. Qin. 2010. Recent development and future prospects of antimicrobial metabolites produced by endophytes. Microbiol. Res. 165(6): 437--449.
26
27