elok yang bener pkl.docx
DESCRIPTION
mmmTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produksi susu di Indonesia masih sangat rendah. Di Jawa Timur, susu
sapi perah yang dihasilkan hanya sebesar 6-10 liter per ekor sapi per hari,
padahal idealnya menghasilkan 15-20 liter per ekor sapi per hari (Prasetya,
2006). Sapi perah sangat efisien dalam mengubah makanan ternak berupa
konsentrat dan hijauan menjadi susu yang sangat bermanfaat bagi kesehatan.
Tingkat konsumsi susu per kapita per tahun masyarakat Indonesia masih
sangat minim. Bahkan dibandingkan dengan konsumsi susu negara tetangga,
Indonesia masih tertinggal. Konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya 11
liter/kapita/tahun, sedangkan Malaysia dan Filiphina mencapai 22
liter/kapita/tahun (Suhendra, 2012).
Faktor kelebihan Sapi perah Friesian Hosltein (FH) adalah
memiliki mutu genetik yang tinggi yang diperoleh dari induknya dan
memiliki kemampuan daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan tropis
seperti di Indonesia sehingga sapi perah jenis Friesian Hosltein (FH)
banyak diternakan sebagai penghasil susu. (sitasi, tahun)
Faktor utama produksi ternak apapun jenisnya adalah makanan.
Produk ternak baik berupa daging atau susu merupakan
manifestasi dari makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang
bersangkutan. Sapi perah akan mempunyai produksi susu yang
tinggi jika pemberian makanannya baik. Kesalahan dan
kekurangan pemberian makanan ini akan mengakibatkan
ternak yang berproduksi tinggi tidak akan memproduksi susu
sesuai kemampuannya bahkan akan menganggu kesehatan
ternak. (sitasi, ,tahun mana).
Daerah Rembangan-Jember merupakan sentra peternakan sapi perah
yang relatif paling banyak di Kabupaten Jember. Susu yang dihasilkan oleh
peternak sapi perah skala kecil di daerah ini sebagian besar akan disetorkan
1
ke koperasi besar, seterusnya susu akan dikirim ke pabrik maupun dijual lagi
kepada konsumen dalam bentuk susu segar. Daerah ini juga memiliki kasus
penyakit metabolik yang tingkat kejadian nya mencapai 40% disebabkan
karena manajemen kandang yang masih tradisional dan kurangnya nutrisi
oleh pakan.
Sebagian besar kejadian penyakit metabolik pada sapi perah seperti
milk fever, ketosis, retensi plasenta, left displacement abomasum terjadi
dalam dua minggu pertama laktasi. Upaya untuk pencegahan dan pengobatan
penyakit pada sapi perah yang paling utama adalah sanitasi dan desinfeksi
karena sanitasi merupakan ujung tombak yang tidak bisa diabaikan dalam
usaha peternakan. Program PKL akan dilaksanakan di UPT Kesehatan hewan
dan ikan, di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Hal ini dikarenakan di UPT
Kesehatan hewan dan ikan mempunyai kasus penyakit metabolik yang cukup
tinggi yang diperkirakan mempengaruhi jumlah produksi susu. Sehigga bisa
berpengaruh dalam produksi susu sapi di wilayah Jawa Timur. Hal inilah
yang mendasari program PKL dilaksanakan di UPT tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat kejadian penyakit metabolic yang terdapat pada
peternakan di UPT Kesehatan hewan dan ikan kabupaten Jember ?
2. Apa saja dan bagaimana penanganan penyakit metabolik pada peternakan
sapi perah di UPT Kesehatan hewan dan ikan kabupaten Jember ?
1.3 Tujuan
Mengetahui tingkat kejadian dan manajemen penanganan penyakit
metabolik pada peternakan sapi perah di UPT Kesehatan hewan dan ikan di
Kabupaten Jember.
1.4 Manfaat
Melalui Praktek Kerja Lapang ini diharapkan dapat memberikan
manfaat antara lain:
2
1. Bagi mahasiswa dapat menambah pengetahuan, kemampuan dan
keterampilan melalui pengalaman kerja di lapang dalam penanganan
kasus penyakit metabolik di UPT Kesehatan hewan.
2. Bagi peternak sapi perah di UPT Kesehatan hewan akan mengetahui
tentang penanganan penyakit metabolik yang muncul dalam peternakan
Sapi Perah di UPT Kesehatan hewan dan ikan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Perah
Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae, sub famili Bovinae,
genus Bos. Sapi perah yang dikembangkan di berbagai belahan dunia adalah
jenis Bos taurus (sapi Eropa) yang berasal dari daerah sub tropis dan Bos
indicus (sapi berponok di Asia) yang berasal dari daerah tropis, serta hasil
persilangan keturunan Bos taurus dan Bos indicus. Sapi yang berasal dari Bos
taurus yang banyak dikembangkan ada lima bangsa yaitu Holstein, Brown
Swiss, Ayshire, Guernsey dan Jersey. Bangsa yang umum dikembangkan di
Indonesia adalah bangsa Friesian Hosltein (FH). Sapi FH berasal dari propinsi
Friesland negeri Belanda. Bangsa sapi ini adalah bangsa sapi perah yang
tertua, terkenal dan tersebar hampir di seluruh dunia. Bangsa sapi FH murni
memiliki warna bulu Black and White (hitam dan putih) atau merah dan putih
(Red Holstein) dengan batas-batas warna yang jelas,seperti pada dahi
umumnya terdapat warna putih berbentuk segitiga dan bulu kipas ekor, bagian
perut serta kaki dari teracak sampai lutut (knee atau hock) berwarna putih.
Selain itu, sapi FH memiliki tanduk yang pendek dan mengarah kedepan.
Mempunyai sifat jinak, tidak tahan panas, tetapi sapi ini mudah menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan dan lambat dewasa (Blakely dan Bade, 1991).
Karakteristik sapi FH adalah memiliki berat induk 675 kg, warna bulu
hitam dan putih, temperamen tenang, kemampuan merumputnya sedang,
masak kelamin lambat, kadar lemak susu 3.5-3.7 %, dengan warna lemak
kuning membentuk butiran-butiran (glubola) sehingga aman untuk konsumsi
susu segar, bahan kering tanpa lemak 8.5 %, rata-rata produksi susu per tahun
5750- 6250 kg dan berat lahir anak 42 kg (Blakely dan Bade, 1991).
2.2 Nutrisi Pada Sapi Perah
Komposisi susu terdiri atas: protein, lemak, karbohidrat, mineral,
vitamin dan air. Komponen penyusun susu masing-masing individu sangat
bervariasi tergantung spesies hewan (Boland 2000, Phillips 2002, Schmidt et
4
al. 1988). Perbedaan tersebut dapat terjadi akibat pengaruh spesies, bangsa,
kondisi kesehatan, kondisi nutrisi, tingkat laktasi dan umur yang berbeda.
Susu merupakan bahan pangan yang memiliki komponen spesifik seperti
lemak susu, kasein (protein susu), dan laktosa (karbohidrat susu)
(Sitasi mu mana, tahun)
2.3 Penyakit Metabolik
Penyakit metabolik adalah penyakit medis yang berkaitan dengan
produksi energi di dalam sel manusia (atau hewan). Kebanyakan penyakit
metabolik adalah penyakit genetik atau penyakit keturunan, meski sebagian
di antaranya disebabkan makanan, racun, infeksi, dan sebagainya. Penyakit
metabolik genetik dikenal juga dengan sebutan gangguan metabolisme sejak
lahir. Adapun penyakit metabolik yang terkenal dan umum dijumpai di
Indonesia antara lain : Ketosis, Milk fever, Grass tetany, Retensi plasenta,
dan left displacemet abomasum.
2.3.1 Milk fever
Milk fever dan hipokalsemia subklinis (total kalsium darah 2,0 mmol/l)
adalah penyakit penting akibat gangguan makromineral pada sapi-sapi
periode periparturien. Kejadian milk fever biasanya sekitar 5-10%, namun
beberapa penulis pernah menyatakan insidensi rate milk fever bisa mencapai
34% bahkan lebih. Di Irlandia kejadian milk fever bisa mencapai 50%, di
New Zealand sebesar 33% (Mulligan et al., 2006). Namun dari semua
laporan yang pernah ada, belum pernah dilaporkan prevalensi hipokalsemia
subklinis.(Akoso, 1996)
Milk fever adalah penyakit yang terjadi akibat ketidakmampuan seekor
sapi beradaptasi terhadap perubahan konsentrasi kalsium di dalam tubuhnya.
Kalsium adalah makromineral yang sangat penting di dalam tubuh. Kalsium
berperan dalam proses pembentukan tulang, kontraksi otot, pembekuan darah
dan lain-lain. Bila seekor sapi kehilangan kalsium akibat proses pemerahan,
maka kalsium darah harus segera tergantikan. Ketidakmampuan sapi
menanggapi kebutuhan tersebut menyebabkan konsentrasi kalsium darahnya
5
turun dan menyebabkan gangguan peran fungsi kalsium termasuk kontraksi
otot. Pada umumnya sapi penderita mempunyai konsentrasi kalsium darah
kurang dari 7 mg/dl. Implikasi menurunnya peran fungsi kalsium mempunyai
dampak yang luas terhadap sistem kekebalan dan penyakit-penyakit lain pada
sapi periode periparturien. Pengobatan Milk fever dapat dilakukan dengan
menyuntikan preparat Ca (boroglukonat calcicus) : 50 -100 ml pada kambing.
Sapi : 10 kali (separo secara iv dan separo secara sc). Pencegahan dapat
dilakukan 30 hr menjelang kelahiran : Ca diturunkan, setelah melahirkan Ca
ditingkatkan pemberian (Ahira, 2005).
2.3.2 Ketosis Ketosis adalah kelainan yang umumnya menggangu sapi perah pada
minggu-minggu pertama sesudah melahirkan. Gejala ketosis yang tampak
adalah menurunnya napsu makan, menurunnya kegiatan rumen, adanya
konstipasi, rendahnya produksi susu dan hilangnya bobot badan. Menurut
Luick et al, (1967) ketosis akan menurunkan kandungan lemak susu, laktosa
dan casein. Pada ruminansia ketogenesis terutama terjadi di hati dan usus,
sedangkan pada non-ruminansia hanya terjadi di hati saja ( Hardjosubroto,
2001).
Ketosis merupakan suatu kekacauan metabolisme yang dapat di
timbulkan oleh tingginya 1emak dan rendahnya karbohidrat dalam ransum 7
(Bergman, 1970). Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hibbet (1980) yang
menyatakan bahwa ketosis pada sapi perah yang berproduksi tinggi dapat
diakibatkan oleh karena rendahnya karbohidrat dan rendahnya precursor
glukoneogenik dalam ransum.Terapi bisa dilakukan dengan pemberian
larutan glukosa 50% 500 ml IV : untuk meningkatkan kadar glukosa dalam
darah, mengurangi proses glukoneogenesis, pemberian hormone insulin
yang mempunyai kerja antiketogenik yang bagus, pemberian senyawa-
senyawa pembentuk glukosa secara oral seperti asam laktat 200-250 gr per
hari, gliserol 450 gram diberikan 2 kali sehari, asam propionat 200-250 gram
per hari, dan propilen glikol 240-300 gram diberikan 2 kali sehari tetapi
pemberian propilen glikol tidak efektif dibandingkan pemberian glycerol,
6
pemberian vitamin (vit. B12), tiroksin, dan kloralhidrat (untuk sapi yang
mengalami gejala syaraf), pemberian asam nikotinat 15-30 gram pada
pertama serta pemberian vitamin A dan E diperuntukkan bagi sapi gemuk
(Hardjosubroto, 2001).
2.3.3 Grass tetany
Grass Tetany adalah suatu penyakit metabolik pada ternak sapi baik
sapi perah maupun sapi potong, terutama pada kebuntingan tua atau sedang
pada puncak laktasi. Grass tetany ditandai oleh hipokalsemia beserta
hipomagnesia ataupun hipomagnesia tersendiri. Penyebabnya adalah
konsumsi rumput secara berlebih, terutama rumput muda pada lahan yang
terpupuk dengan baik. Hipomagnesia juga dapat menyerang sapi yang
hanya diam saja dikandang dan diberi makanan dengan kadar magnesium
yang rendah (Chris, 2008).
Terapi bisa dilakukan dengan pemberian 750 sampai 1500 ml 20
persen cairan gluconas calcius secara intra vena, dan juga subcutan. Hewan
yang menderita harus segera dipindahkan dari lahan rumput tempat sapi
biasa makan. Setelah dipindahkan maka sapi diberi makan campuran yang
mengandung kalsium fosfat dalam ransumnya (Chris, 2008).
2.4. Manajemen kesehatan ternak sapi perah
Sistem peternakan sapi perah yang ada di Indonesia masih merupakan
jenis peternakan rakyat yang hanya berskala kecil dan masih merujuk pada
sistem pemeliharaan yang konvensional. Keberhasilan usaha peternakan
sapi perah sangat tergantung dari keterpaduan langkah terutama di bidang
pembibitan (Breeding), pakan, (feeding), dan tata laksana (management).
Ketiga bidang tersebut kelihatannya belum dapat dilaksanakan dengan baik.
Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan ketrampilan peternak serta
masih melekatnya budaya pola berfikir jangka pendek tanpa
memperhatikan kelangsungan usaha sapi perah jangka panjang. Oleh
karena itu, dibutuhkan peningkatan pengetahuan dan pemahaman peternak
tentang manajemen sapi perah yang baik sehingga akan berdampak pada
7
peningkatan produksi dan ekonomi (Adijaya, 2011). Adapun hal-hal yang
harus diperhatikan dalam manajemen kesehatan ternak antara lain :
a. Pemberian pakan
Pemberian pakan yang kurang dari segi kualitatif maupun kuantitatif
dapat menyebabkan penyakit ternak bersifat langsung akan
menyebabkan penyakit defisiensi dan tidak langsung akan
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh.
b. Isolasi atau karantina
Dapat membantu pencegahan penularan suatu penyakit tertentu.
c. Vaksinasi
Dapat membantu mencegah penularan atau tertular penyakit tertentu.
d. Pengobatan
Perlu dihindari pemakaian dengan dosis berlebihan.
e. Diagnosa
Perlu diketahui riwayat ternak, tanda-tanda penyakit, serta
pemeriksaan/bedah bangkai.
f. Lingkungan
Tindakan kebersihan atau higienis, dijaga agar kandang selalu kering,
tidak dingin, cukup sinar matahari.
G. Pemusnahan hewan pembawa penyakit
8
BAB III
METODE KEGIATAN
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan akan dilaksanakan di UPT
Kesehatan Hewan dan Ikan Kabupaten Jember, Jawa Timur. Pelaksanaan
PKL direncanakan akan dilaksanakan selama 5 minggu dimulai dari bulan
Februari 2013- Maret 2013. Kegiatan yang akan dilaksanakan pada praktek
kerja lapangan ini adalah mengenai Manajemen Penanganan penyakit
metabolik pada sapi perah.
3.2 Sasaran
Sasaran dari PKL ini adalah sapi FH .
3.3 Metode Kegiatan Praktek Kerja Lapang
Metode yang digunakan dalam Kegiatan Praktek Kerja lapang ini
adalah dengan survei melalui pengumpulan data primer dan data
sekunder.Pengumpulan data primer yang akan digunakan dalam kegiatan ini
yaitu melalui :
a. Observasi Partisipatori
Kegiatan observasi ini dilakukan secara langsung di lapangan. Hal-
hal yang akan diobservasi antara lain meliputi identifikasi dan
penanganan penyakit metabolik di lapangan. Partisipasi merupakan
metode pengembangan data dengan ikut aktif dalam kegiatan yang
berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap semua
aspek yang berkaitan dengan kegiatan pelaksanaan penanganan penyakit
metabolik.
b. Wawancara
Wawancara langsung dan diskusi dengan pemilik, pekerja dan
dokter hewan pada peternakan tersebut. Kegiatan ini akan dilakukan
dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan hal-hal yang
akan diamati kepada pihak-pihak yang bekerja sesuai dengan bidang
pekerjaan masing-masing seperti keeper (petugas kandang yang
9
menangani sapi) dokter hewan di lapangan dan semua pihak yang terkait
dengan penanganan penyakit di UPT Kesehatan Hewan kabupaten Jember.
Pertanyaan yang akan diajukan meliputi : UPT Kesehatan Hewan dan Ikan
kebupaten Jember setempat, prosedur identifikasi dan penanganan
penyakit, manajemen kandang, sanitasi kandang, sanitasi ternak, dan
sanitasi lingkungan dengan Kuisioner.
Sumber data lainnya adalah dari data sekunder yakni, bersumber
dari data laporan kegiatan ,data dari instansi terkait termasuk data dari
UPT kesehatan hewan dan ikan Kab.Jember, jurnal, buku, penelusuran
internet dan sumber-sumber lain menunjang.
c. Recording
Recording angka mortalitas, morbiditas dan pemberian pengobatan
yang dilakukan.
3.4 Parameter Kegiatan
1. Diagnosa Penyakit
2. Pemilihan Obat
3. Rute Pemberian Obat
4. Ketepatan Dosis Obat Yang Digunakan
5. Penggunaan Kombinasi Obat
3.5 Peserta Kegiatan
Peserta yang akan mengikuti Praktek Kerja Lapang di UPT Kesehatan
Hewan, Jember, Jawa Timur adalah:
Nama Mahasiswa : Elok Ari Widiyanti
Jurusan : Pendidikan Dokter Hewan
Universitas : Brawijaya
NIM : 0911313004
Nomor Telepon : 081996973900
Email : [email protected]
10
3.6 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
NO KEGIATAN Minggu Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 Penulisan proposal Praktek
Kerja Lapang dan
bimbingan pembuatan
proposal Praktek Kerja
Lapang
2 Pengesahan proposal
Praktek Kerja Lapang oleh
pembimbing dan pimpinan
instansi
3 Pelaksanaan PKL
4 Penyusunan laporan PKL
5 Revisi Laporan PKL
6 Presentasi hasil PKL
11
BAB IV
PELAKSANAAN KEGIATAN
4.1 Aktifitas Praktek Kerja Lapang
Tabel 4.1 Aktifitas PKL di peternakan ayam UD. Jatinom Indah Farm
No Waktu Aktifitas
1. Minggu ke-1 1. Penyerahan proposal kepada pemilik peternakan
UD. Jatinom Indah Farm
2. Pengenalan dan pengarahan tempat PKL
2. Minggu ke- 2 1. Aktifitas kandang meliputi :
a. Membersihkan Kandang
b. Mengambil telur di dalam kandang.
c. Meratakan pakan didalam tempat pakan.
d. Membersihkan tempat minum pada ayam
layer.
e. Pengobatan ayam sakit.
f. Recording angka morbidatas dan mortalitas
penyakit infeksius coryza.
g. Pemberian algen dan vigosin
h. Pemusnahan ayam yang mati.
2. Diskusi dengan pembimbing lapangan
3. Pengumpulan data dan referensi
3 Minggu ke-3 1. Aktifitas kandang meliputi
a. Membersihkan kandang.
b. Mengambil telur di dalam kandang.
c. Meratakan pakan di dalam tempat pakan
d. Membersihkan tempat minum pada ayam
layer.
e. Pemindahan ayam grower ke fase layer
f. Recording angka morbiditas dan mortalitas
penyakit infeksius coryza.
12
g. Pemberian Probiotik
h. Pemusnahan ayam mati
i. Pengobatan ayam sakit.
j. Nekropsi
2. Diskusi dengan pembimbing lapangan
4 Minggu ke-4 1. Aktifitas kandang meliputi
a. Membersihkan kandang
b. Membersihkan tempat minum
c. Meratakan pakan di dalam tempat pakan.
d. Pengambilan telur didalam kandang.
e. Pengobatan ayam sakit
f. Pemberian ALBENDAZOLE
g. Vaksiansi ND IB Kandang A
h. Recording angka mortalitas dan morbiditas
penyakit infeksius coryza.
i. Pemusnahan ayam yang mati.
2. Diskusi dengan pembimbing lapangan
5 Minggu ke-5 1. Aktifitas kandang meliputi
a. Membersihkan kandang
b. Membersihkan tempat minum
c. Meratakan pakan di dalam tempat pakan.
d. Pengambilan telur didalam kandang.
e. Pengobatan ayam sakit
f. Pemberian ALBENDAZOLE
g. Vaksiansi ND IB Kandang B
h. Recording angka mortalitas dan morbiditas
penyakit infeksius Coryza
i. Pemberian vitamin
j. Pemusnahan ayam yang mati.
2. Diskusi dengan pembimbing lapangan
6 Minggu ke-6 1. Aktifitas Kandang Meliputi
13
a. Membersihakan kandang
b. Membersihkan tempat minum
c. Meratakan pakan di dalam tempat pakan.
d. Pengambilan telur di dalam kandang.
d. Pengobatan ayam sakit.
e. Vaksinasi Fowl Pox, Coryza Kandang B
f. Pemberian Vitamin
g. Recording angka mortalitas dan morbiditas
penyakit infekius coryza.
h. Nekropsi
2. Diskusi dengan pembimbing lapangan
3. Pemberian terima kasih kepada pimpinan
perusahaan UD.Jatinom Indah Farm
14
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Profil Perusahaan
Usaha peternakan UD. Jatinom Indah terletak di Desa Jatinom,
Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Kantor pusat UD. Jatinom Indah
berlokasi di Jl. Kesatrian, Desa Jatinom, Kecamatan Kanigoro Blitar.
Telepon: (0342) 801405 , Fax (0342) 801405 , Kode Pos 666171 .
Populasi pada peternakan ini memiliki 52.000 ekor ayam petelur,
yang terbagi dua kandang A dan B dengan pemeliharaan umur yang
berbeda. Pada kandang A terdiri dari 13 kandang yang dipelihara mulai
umur 19 minggu dan kandang B yang dipelihara mulai umur 17 minggu.
Pemeliharaan ayam petelur dilakukan sampai ayam berumur 90 minggu.
Pada peternakan ini memiliki pekerja sebanyak 33 orang yang
terdiri atas 30 anak kandang, satu orang penanggung jawab peternakan,
dan satu orang administrasi,serta satu orang keswan dan satu orang dokter
hewan.
5.2 Keadaan Umum Lokasi Peternakan
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan dilaksanakan peternakan ayam
petelur periode layer di UD. Jatinom Indah. Peternakan ini yang berlokasi
di Desa Jatinom, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar dengan jarak ± 2
km dari jalan raya sehingga dapat memberikan kemudahan bagi peternak
dalam proses transportasi baik pengadaan pakan, pemasaran maupun
kebutuhan lainnya. Suryandani dan Santoso (2003) menyatakan bahwa
lokasi peternakan sebaiknya berada pada lokasi yang tidak terlalu ramai
15
agar ayam dalam periode produksi tidak mudah mengalami stress, namun
lokasi peternakan juga tidak jauh dari jalan,baik untuk menjalankan proses
input maupun output dan alur transportasi.
Sekeliling peternakan ini diberikan pagar tembok dengan
ketinggian 3 m, untuk menjaga keamanan di dalam peternakan. Bangunan
lainnya yaitu kantor, untuk menjalankan semua kegiatan administrasi,
yang didalamnya juga terdapat ruangan untuk menyimpan vitamin dan
segala jenis obat-obatan,tempat tinggal untuk menginap beberapa
karyawan, gudang penyimpanan pakan,gudang penyimpanan telur,serta
area sanitasi yang berlaku untuk semua karyawan.
Strain ayam petelur yang dipelihara pada peternakan ini adalah Hy
Line. Hyline Brown memiliki daya hidup yang tinggi , periode bertelur
relatif lama, ukuran telur sedang sehingga disukai oleh peternak.
Kemampuan hidup strain Hyline Brown bisa mencapai 96-98 persen,
periode bertelur bisa mencapai 80 minggu dengan jumlah telur mencapai
355 butir perekor (Prambudi,2007).
Jarak antar kandang adalah 2- 2,5 m. Suhu kandang berubah ubah
sesuai dengan kondisi lingkungan dan musim yang terjadi pada waktu
tersebut. Selama kegiatan PKL berlangsung terjadi pergantian musim dari
musim kemarau menjadi musim penghujan. Pada musim kemarau suhu
pada pagi hari berkisar 26 – 31 0C, siang berkisar 36- 380C dan sore
berkisar 31 – 32 0C, sedangkan pada musim penghujan suhu pada pagi hari
berkisar 26- 28 0C, siang berkisar 30- 32 0C, dan sore hari berkisar 25- 26 0C (Mulyantini,2010). Iklim kandang yang cocok untuk beternak ayam
petelur meliputi persyaratan temperatur berkisar antara 32,2–35 derajat C,
kelembaban berkisar antara 60–70% ( Cahyono dan Bambang,1995).
Sarana yang tersedia pada peternakan ini sudah dijangkau oleh
jaringan listrik sehingga kebutuhan listrik dapat terpenuhi. Air yang
digunakan berasal dari air sumur yang digali di lokasi dekat kandang yang
ditampung dalam tandon. Sarana lain yang mendukung yaitu sudah
tersedianya alat transportasi yang berupa truck yang digunakan untuk
16
mengangkut persedian pakan dari gudang pakan ke kandang dan sebagai
pengangkut telur dari kadang menuju gudang telur dan memasarkan
produksi telur.
Kondisi kandang ini sesuai dengan Hal ini telah sesuai yang
dikemukakan Sudaryani dan Santoso, 2003, syarat-syarat lokasi kandang
adalah tersedianya sumber air, bebas keluar masuknya udara kekandang,
jaringan listrik dan telpon.
Pada peternakan ini pembersihan limbah kotoran ayam (excreta)
dilakukan pada saat ayam afkir. Pengambilan limbah tersebut dilakukan
pembeli yang menggunakan sebagi pupuk, hal ini dimaksudkan agar
kebersihan disekitar kandang tetap terjaga dan tidak menimbulkan bau
yang berlebihan. Membiarkan kotoran dalam kandang terlalu lama akan
membuat produksi amonia kian tinggi. Cara lain adalah menurunkan pH
kotoran dengan penambahan asam seperti asam sulfat, asam nitrat, asa,
klorida/HCl. Tujuannya adalah untuk menghambat populasi bakteri
penghasil enzim urease (Krista dan Harianto,2010).
Pengangkutan limbah kotoran ayam yang baik sebaiknya dilakukan
berpatokan pada kondisi kotoran. Kotoran yang kondisinya kering bisa
dibersihkan hingga 2-3 minggu sekali, namun jika kotoran ayam basah
atau becek sebaiknya sesegera mungkin dikeluarkan dari bawah kandang,
karena baunya lebih menyengat dan menjadi media penularan penyakit
(Krista dan Harianto, 2010).
Pada peternakan ini tidak diberikan kapur halus atau pasir yang
berfungsi untuk mengurangi bau pada kotoran ayam. Kapur halus atau
pasir yang kering dalam jumlah yang disesuaikan dengan luas area
peternakan dapat mengurangi bau amoniak pada kandang (Setyono, 1994).
Teknik ini hanya dapat dilakukan untuk peternakan ayam dengan sistem
kandang battery, karena kandang battery terdapat celah yang cukup luas
dibawah kandang. Penggunaan kapur halus atau pasir kering perlu dibuat
lubang di bawah kandang dengan ukuran dalamnya kurang lebih 20 cm,
dengan panjang dan lebar sesuai dengan panjang dan lebar
17
kandang,sehingga di bawah kandang akan terdapat lubang sepanjang
kandangnya,lubang tersebut dengan kapur halus atau menggunakan pasir
yang kering, bisa juga dengan mencampur kapur dan pasir dengan
perbandingan 1:1 hingga seluruh seluruh lubang terisi dengan kapur dan
pasir tersebut, karena di bawah kandang seluruhnya ada lubang yang berisi
kapur atau pasir, maka tiap kotoran yang jatuh akan jatuh pada tumpukan
tersebut sehingga kotoran itu akan lebih cepat mengering. Kotoran yang
bercampur dengan kapur halus ataupun pasir kering ini akan lebih cepat
proses pengeringannya dibandingkan yang tidak tercampur dengan kapur
atau pasir. Keringnya kotoran tersebut maka bau kotoran akan hilang atau
tidak begitu menyengat, karena kotoran ayam yang kering baunya akan
hilang atau minimal berkurang (Setyono, 1994).
Penggantian kapur halus atau pasir tersebut tiap 1-2 bulan sekali,
tergantung banyaknya kotoran yang telah jatuh. Tumpukan kapur atau
pasir yang telah bercampur dengan kotoran ayam yang mengering tersebut
dikumpulkan pada tempat khusus, karena campuran tersebut bisa dibuat
pupuk kandang setelah kapur atau pasirnya dipisahkan (Setyono, 1994).
5.2.1 Kandang dan Perlengkapannya
Peternakan ayam petelur ini berdiri diatas lahan seluas ± 2 Ha yang
terdiri atas 26 kandang, 1 gudang pakan , 1 gudang penyimpanan telur, 1
tempat ruang kantor, 2 tempat tinggal. Jarak antar bangunan kandang 2 m.
Di sekitar kandang juga terdapat tanaman yang ditanam untuk melindungi
ayam dari pengaruh angin langsung dan sekaligus sebagai peneduh dari
pengaruh sinar matahari. Di sekeliling kandang terdapat saluran air
sehingga pada musim penghujan atau pada saat pengurasan tempat minum
dan tandon di sekitar lingkungan kandang tidak becek. Jarak kandang
dengan gudang pakan, gudang penyimpanan telur dan kantor saling
berdekatan, sehingga memudahkan segala aktivitas.
Tiap kandang memiliki kapasitas 1900- 1920 ekor. Kandang layer
ini dibuat lebih tinggi dari permukaan tanah, sehingga kotoran ayam jatuh
kebawah dan kontaminasi amonia yang ditimbulkan oleh excreta dapat
18
dieliminasi. Pemilihan lokasi kandang dalam suatu usaha peternakan harus
memperhatikan beberapa hal yaitu semua bangunan harus ditempatkan
pada tanah yang lebih tinggi dan tidak merupakan sasaran banjir. Model
kandang layer menggunakan sitem battery dengan susunan double deck
stair step yang terbuat dari bahan kawat yang berukuran 30 cm x 41 cm x
36 cm yang diisi minimal 2 ekor dan 3 ekor maksimal per kotak. Sistem
kandang Battery disusun secara double deck stair step, tujuannya agar
kotoran dapat langsung jatuh kelantai sehingga mengurangi terjadinya
penularan penyakit melalui kotoran (Williamson dan Payne ,1993).
Posisi bangunan kandang di peternakan ini yaitu membujur ke arah
timur – barat , karena cahaya matahari dapat masuk dalam kandang pada
waktu pagi hari dan terhindar dari panas matahari pada siang hari. Sesuai
dengan pernyataan Williamson dan Payne (1993) bahwa jika kondisi
memungkinkan sebaiknya semua bangunan kandang mengahadap kearah
yang sama dan lebih baik mengahadap kearah timur – barat. Kondisi
peternakan ayam yang membujur ke arah timur-barat sangat baik karena
kandang mendapat cukup sinar matahari pagi secara langsung dan bila
siang hari ayam terhindar dari panas matahari yang menyengat
(Mulyantini, 2010).
Atap kandang monitor yang terbuat dari seng, jarak antara atap
dengan lantai kandang adalah 3,5 m. Murtidjo (2002) menyatakan bahwa
tipe atap kandang berebentuk monitor dapat menciptakan sirkulasi udara
yang baik. Penggunaan bahan atap kandang dipilih yang dapat mengurangi
panas matahari misalnya bahan genting dari tanah, atau seng yang dilapisi
foam sehingga tidak terlalu panas. Penggunaan atap berbahan seng
bertujuan untuk menjaga keamanan kandang dari gangguan benda – benda
yang jatuh diatas kandang, jadi atap tidak mudah rusak.
Kandang terbuat dari beton dan kayu dengan ukuran- ukuran
sebagai berikut : panjang 4,9 m, lebar 3,9 m, tinggi 3,9 m. Menurut
sudarmono (2003) untuk mendapatkan lintasan udara yang baik dan lancar,
ukuran kandang harus diselaraskan, misalnya ukuran lebar 6 m – 7 m dan
19
tinggi 2,5 m – 3 m cukup memadai, sedangkan jarak antar battery di
lokasi peternakan 50 cm , lebar jalan battery 64 cm, tempat kotoran 39 m x
2,1 m, jarak antar kandang 4 m dan tinggi tembok luar 2,5 m. Menurut
wahyudi (2007) kebaikan dari tipe kandang battery ini adalah seleksi dan
culling mudah dilakukan , kemungkinan kanibal dapat dicegah, kebersihan
telur dapat terjaga dan recording dapat dilakukan dengan baik.
Kekurangan dari tipe ini dalah biaya pembuatan kandang cukup besar.
Gambar 5.1 Bentuk atap kandang desain “atap monitor”, peternakan
ayam UD. Jatinom Indah Farm
Tempat pakan berbentuk paralon panjang setengah lingkaran dengan
diameter 5 inchi. Jarak antar tempat pakan dan minum 40 cm, sedangkan
tempat minum berbentuk nipple dengan ukuran diameter 0,5 inchi, tatakan
nipple ukuran 10 cm x 11 cm. Tempat minum tiap kandang dilengkapi
dengan satu tangki primer isi 200 liter dan dua tangki sekunder isi 20 -25
liter . Menurut Martono (2002) wadah minum kandang layer berbentuk
nipple yaitu apabila ayam menekan nipple tersebut keatas secara otomatis
air akan mengalir kebawah . Keuntungan dari nipple ini adalah jumlah
konsumsi air minum bisa diperkirakan , air minum lebih bersih, perawatan
lebih mudah karena tidak perlu membersihkan dan kemungkinan tertular
penyakit lewat air minum bisa ditekan.
Wadah pakan terbuat dari pipa paralon yang diiris setengah
lingkaran atau membujur membentuk huruf “U” dengan ukuran diameter
20
15 cm dengan tujuan supaya lebih mudah dalam pengisian, murah dan
tidak mudah rusak.
(a) (b)
Gambar 5.2 : (a) Paralon tempat makan menggunakan paralon
berukuran 5 inch.
(b) Nipple sebagai tempat minum.
5.2.2 Pakan dan Minum
Pemberian pakan pada ayam periode layer dilokasi peternakan ini
diberikan secara ad libitum dengan frekuensi pemberian dua kali sehari
yaitu pukul 06.00 WIB sebanyak 30 % dan pukul 15.00 WIB sebanyak
70% dari jatah pakan. Saat pemberian pakan dilakukan penggorekan pakan
4-6 kali sehari tergantung dari umur ayam. Hal ini bertujuan untuk
memaksimalkan dalam konsumsi pakan dan mencegah pakan berjamur.
Pakan yang diberikan di produksi sendiri campuran dari berbagai bahan
pakan dalam bentuk mash.
Pada ayam petelur pada umur 5,5-6 bulan pemberian pakan
disarankan kira-kira 17%, Pada awal bertelur supaya diberi feed suplement
atau extra vitamin (Murtidjo,2002). Pemberian pakan dilakukan dua kali
sehari dilakukan sesuai dengan jadwal pada suatu peternakan dan jadwal
pemberian pakan harus bersifat tetap sesuai jadwal. Pemberian pakan
harus besih dan segar setiap hari (Suryandani dan Santosa,2004).
Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari secara bertahap, karena
tempat pakan yang tersedia hanya berdiamer 5 inch dan tidak cukup untuk
menampung semua pakan yang diberikan karena mengakibatkan pakan
banyak tertumpah. Pemberian pakan yang baik diberikan sebanyak 3/4 dari
Batas ketinggian tempat pakan. Pemberian pakan yang terlalu penuh dapat
21
mengakibatkan pakan mudah tumpah dan ini adalah pemborosan dan
pembengkakan biaya pakan (Soedarmono,2007).
Tabel 5. 2 Program pemberian pakan pada semua periode di lokasi
PKL
No Umur Jenis Pakan Ayam Petelur
1 1 – 35 hari 511
2 36 -70 hari Starter
3 71 – 112 hari Grower
4 13 minggu- produksi 5 % Pre layer
5 50 % puncak produksi Pre peak
6 35 minggu L.18 – L.19
7 60 minggu L 17
Untuk menambah nafsu makan, peternak juga menabahkan jamu ke
dalam pakan yang merupakan racikan sendiri. Komposisi jamu tersebut
terdiri atas kunir, kencur, temulawak, temu ireng,jahe, kunci, tetes dan EM
4. Pemberian jamu ini dua kali sehari yaitu pagi hari dan siang hari, karena
jika diberikan pada sore hari di khawatirkan pakan akan cepat busuk dan
berjamur.
Pakan yang diberikan harus fresh setiap hari. Pakan yang berbau
dan berjamur akan menurunkan kadar vitamin, menimbulkan penyakit dan
berbau tidak enak menyebabkan nafsu makan berkurang (Winkel, 1997).
5.3 Penyakit Infeksius Coryza
Penyakit yang banyak ditemukan pada saat pelaksanaan PKL adalah
penyakit infeksius coryza . Penyakit coryza adalah penyakit pada unggas
yang disebabkan oleh bakteri Haemophillus paragallinarum. Penyakit
coryza dapat menyerang berbagai umur unggas terutama menyerang anak
ayam, penyakit ini biasanya menyerang pada saat musim pancaroba dan
banyak ditemukan di daerah tropis (Fadilah dan Roni, 2004). Pernyataan
tersebut dapat dibenarkan karena penyakit coryza yang ditemukan pada
saat pelaksanaan PKL ini adalah pada saat musim pancaroba yaitu bulan
22
November – Desember pada saat pergantian musim penghujan ke musim
panas. Pada saat musim pancaroba terjadi perubahan cuaca yang tidak
menentu sehingga mempengaruhi kesehatan ayam. Penyakit coryza pada
peternakan ini mempunyai angka morbiditas yang rendah yaitu 10,16 %
dan angka mortalitas yang rendah yaitu 1,25% data tersebut dapat dilihat
pada Lampiran 2. Menurut MIAO et al (2000) penyakit coryza
mempunyai angka morbiditas yang bervariasi yaitu 1-30%, sedangkan
pada mortalitas yang ditimbulkan oleh penyakit ini mencapai 30 % dalam
satu populasi ayam dan bila terjadi pada ayam petelur, produksi telur turun
hingga 10 – 40 %.
Penyakit Coryza yang disebabkan oleh bakteri Haemophillus
paragallinarum dapat menular melalui kontak langsung dengan ayam yang
sakit juga dapat melalui udara, debu, pakan, air minum, petugas kandang,
peralatan yang digunakan, tingginya kadar amonia di dalam kandang.
Bakteri Haemophillus paragallinarum penyebab penyakit coryza hanya
dapat bertahan diluar induk semang tidak lebih dari lebih dari 12 jam
(Fadilah dan Roni, 2004). Pada peternakan ini kadar amonia di dalam
peternakan sangat tinggi, debu dan udara yang tidak bersih dapat
terjadinya penularan penyakit coryza maupun infeksi penyakit lain yang
ditularkan melalui aerosol (Fadilah dan Roni,2004).
Efek debu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
tergantung dari solubility, komposisi kimia debu, konsentrasi debu, dan
ukuran partikel debu. Efek yang dapat ditimbulkan oleh debu antara lain
adalah gangguan kenyamanan pada pernafasan, peradangan saluran
pernafasan, alergi, meningkatkan sekresi cairan di hidung, nafas menjadi
berat, serta penurunan kapasitas ventilasi paru. Debu dari peternakan
unggas pada umumnya meliputi partikel tanah, sisa pakan,kotoran kering,
bakteri dan jamur.(Casey et al.,2006).
Kelembaban udara memegang peran dalam proses metabolisme
mikroorganisme yang secara tidak langsung berpengaruh pada suplai
oksigen. Apabila kelembapan udara lebih besar dari 60 % hara akan
23
tercuci, volume udara berkurang,akibatnya aktivitas mikroorganisme akan
menurun dan akan terjadi fermentas anaerobik yang menimbulkan bau
tidak sedap. Amonia yang terhirup akan mengiritasi saluran pernapasan
ayam, dan menyapu silia di mukosanya. Sel-sel yang ada di permukaan
saluran pernapasan menjadi rusak, produksi lendir menjadi berlebih,
gerakan silia terganggu bahkan tidak berfungsi. Amonia juga
mengakibatkan iritasi pada konjungtiva mata, sehingga mekanisme awal
pertahanan tubuh menjadi terganggu. Jika organ pernapasan sudah rusak,
maka bibit penyakit yang terbawa udara akan mudah sekali menempel di
saluran pernapasan karena sistem pertahanan mekanik tidak berfungsi
optimal (Medion,2012).
Penyakit coryza yang menyerang ayam pada perternakan ini
memiliki ciri – ciri sebagai berikut yaitu sekitar mata bengkak, jengger
layu, tampak lelah, nafsu makan turun, produksi telur turun, terdapat
eksudat kental pada bagian nasal,bagian hidung tampak berkerak dan
kotor. Menurut Fadilah dan Roni (2004), penyakit coryza pada ayam yang
terkena penyakit coryza secara klinis telah terinfeksi menunjukkan gejala
sebagai berikut : pengeluaran cairan air mata,ayam terlihat mengantuk
dengan sayapnya turun, keluar lendir dari hidung,bersin, kental berwarna
kekuningan dan berbau khas, pembengkakan didaerah sinus infra orbital
terdapat kerak dihidung, nafsu makan ayam mengorok dan sukar bernapas
pertumbuhan menjadi lambat, inkubasi 1 – 7 hari penyakit berlangsung 2 –
4 minggu.
Pada kasus akut dijumpai konjungtivitis berat dan peradangan
pada pinggir kelopak mata. Pada kasus kronis dijumpai sinusitis yang
bersifat serosa sampai kaseosa. Dari hasil pengamatan penyakit coryza
yang menyerang pada peternakan ini banyak penyakit coryza yang bersifat
akut dengan ciri ciri peradangan pada pinggir kelopak mata.
24
(a) (b)
Gambar 5.3 : (a) Kasus coryza yang bersifat kronis ditandai dengan
konjungtivitis berat dan peradangan pada pinggir
kelopak mata, sinusitis yang bersifat serosa sampai
kaseosa.
(b) Kasus coryza yang bersifat akut ditandai dengan
lelehan Hidung ,kebengkakan sinus, odema pada
bagian facial.
Diagnosa yang tepat pada penyakit coryza. Bakteri Haemophillus
paragallinarum dapat diisolasi dari swab sinus ayam yang menderita
penyakit akut. Isolasi laboratorium dapat dilakukan dengan mendiagnosis
penyakit ini adalah dengan cara serologik dengan uji gel agar presipitation
(AGP), Uji hemaglutinasi (HA) dan uji fluorescent antibody (FA) (Fadilah
dan Roni,2004). Pada peternakan ini tidak dilakukan diagnosa secara
laboratorium untuk menentukan penyakit yang terjadi, hanya dilihat dari
gejala klinis dan hasil nekropsi.
Pada PKL ini dilakukan nekropsi untuk mengetahui perubahan
pathologi yang terjadi pada ayam yang terinfeksi coryza. Ayam yang
terinfeksi penyakit coryza ini mengalami perubahan pathologi pada
bagian sinus infra orbital dan sinus supra orbital. kataralis akut pada
membran mukosa cavum nasal dan sinus. Terdapat konjungtivitis kataralis
dan edema subkutan pada daerah facialis dan pial. Pada penyakit ini jarang
terjadi adanya peradangan pada paru dan kantong udara .Satu atau kedua
belah sinus infraorbital akan berisi cairan kental (Fadilah dan Roni, 2004).
Menurut Medion (2007) Perubahan yang terjadi antara lain trakea
25
mengalami peradangan akut yang berisi lendir encer sampai purulent dari
hidung dan sinus infraorbitalis, paru-paru kongesti, pneumonia, air
sacculitis, oedema subkutan dan radang selaput lendir mata.
Gambar 5.5 Hasil Nekropsi Penyakit Infeksius Coryza , terjadinya
peradangan pada sinus infraorbitalis berisi cairan
kental (Sumber info medion , 2007).
Dari hasil nekropsi terjadinya infeksi lainnya seperti penyakit ND
dan ILT Penyakit ND ini akan menyebabkan peradangan pada bagian
proventrikulus, dan infeksi penyakit ILT terlihat adanya peradangan pada
bagian trachea. Komplikasi pada penyakit coryza atau coryza dapat
menyebabkan derajat keparahan dan kematian penyakit.
Perubahan pasca mati pada penyakit ILT terdapat lesi utama
terfokus pada trachea dan mata eksudat mukoid sampai dengan
mukopurulent,hemorhagie, pendarahan pada trachea, odema, kongesti dan
hemorhaghie epitel konjunctiva dan sinus infra orbital (Soedomo,2007).
Perubahan pasca mati pada unggas penderita ND, meliputi
ptechiae, berupa bintik-bintik perdarahan pada proventrikulus dan seca
tonsil, eksudat dan peradangan pada saluran pernapasan serta nekrosis
pada usus (Soedomo,2007).
Diagnosa banding dari penyakit coryza atau coryza adalah CRD,
dan SHS, ILT ,Fowl Pox , kolera dan defisiensi vitamin A (Medion, 2007).
Penyakit CRD biasanya akan menyerang seluruh kelompok ayam
meskipun tingkat keparahannya berbeda – beda.Yahya (1991) menyatakan
bahwa tanpa komplikasi, kelompok ayam yang terserang CRD tidak
menunjukkan gejala klinik yang jelas. Gejala klinik yang biasanya terlihat
adalah ingus katar keluar dari lubang hidung, batuk, dan bersuara waktu
26
bernafas, terkadang muka ayam yang terserang CRD akan bengkak akibat
adanya penimbunan eksudat dalam sinus infraorbitalis. Jika dilakukan
bedah bangkai dapat ditemukan kelainan pada saluran pernafasan yaitu,
rongga dan sinus hidung mengandung eksudat katar, kantong hawa
mengandung eksudat katar dan pada kasus yang akut akan terjadi
penebalan dan berwarna keruh (cloudy swelling) pada kantong hawa.
Gejala CRD juga di kuatkan dari sumber lain yaitu, medion (2011) tentang
perubahan patologi pada bedah bangkai dengan ditemukan peradangan
pada saluran pernapasan bagian atas (laring, trakea, bronkus), paru-paru
berwarna kecoklatan, kantung udara tampak adanya lesi yang khas (keruh
dan menebal) serta pembentukan jaringan fibrin pada selaput hati
(perihepatitis) dan selaput jantung (pericarditis) dan perkejuan di organ
dalam (komplikasi colibacillosis).
Gejala yang paling awal adalah bersin, yang diikuti oleh
kemerahan konjungtiva dan kebengkakan kelenjar air mata dalam waktu
24 jam , selanjutnya akan ikuti edema subkutan di daerah kepala dalam
waktu 12 – 24 jam . Pembengkakan ini biasanya mulai terlihat pada daerah
cavum nasi atau sinus nasalis biasanya hanya terlihat kemerahan pada
mukosa dengan eksudah yang sedikit, kecuali jika telah diikuti infeksi
sekunder oleh bakteri maka dapat ditemukan adanya eksudat
mukopurolen. Mukosa palatum durum biasaya kemerahan dan kerap kali
disertai oleh pethicae,choanae biasanya melebar. Lesi pada jaringan lain
umumnya bersifat ringan dan dapat di temukan pada saluran pernafasan,
terutama laring, trakea, dan paru- paru serta ovarium. Perubahan patologi
pada jaringan – jaringan tersebut dapat bersifat parah jika terjadi infeksi
sekunder dengan bakteri / virus.
Mukosa cavum nasi,choanae dan saluran pernafasan bagian atas
dapat mengalami kongesti, pendarahan petheciae, ataupun nekrosis.
Terlihat juga kemerahan dan kebengkakan pada conjungtiva. Jika terdapat
infeksi sekunder oleh bakteri, maka akan terlihat adanya eksudat
mukopurulen di daerah sinus, sinusitis jarang ditemukan pada stadium
27
akut. Daerah bagian dorsal kepala, facial, atau intramandibular dan pial
dapat mengalami kebengkakan akibat adanya edema subkutan atau
timbunan cairan mukopurulen sampai purulen. Jika ayam dapat bertahan
dari periode akut, maka kebengkakan di daerah kepala akan berkurang,
tetapi jaringan yang membengkak akan mengerah, terutama jaringa
intramandibular dan pial. Meluasnya infeksi dari cavum nasi dan
konjungtiva ke jaringan subkutan di daerah kepala mungkin disebabkan
oleh adanya kegagalan pada sistem kekebalan mukosa,akibat kerusakan
pada conjunctival assocaited lymphoid tissue (CALT) (Tabbu, 2000).
Penyakit ILT, memiliki dua bentuk gejala klinis yaitu berat dan
ringan. Bentuk ringan disebut juga bentuk enzootik dan di tandai oleh
adanya kelesuan, mata berair, gagguan pernafasan yang ringan,
konjungtiva kemerahan, kebengkakan sinus infra orbital, leleran dari
hidung yang terus menerus dan penurunan prosuksi telur. Pada ILT akut
perubahan pathologi anatomi ditandai oleh adanya mukus yang berlebihan
dengan atau tanpa sejumlah kecil eksudat difteritik di dalam jaringan
orofaring. Paru – paru dan kantong udara jarang terkena , paru dapat
mengalami kongesti dan kantung udara dapat menebal dan tertutup oleh
eksudat kaseus.
ILT bentuk berat disebut juga epizootik. Ayam yang sakit akan
menunjukan kesulitan bernafas (dyspnoea) disertai oleh suara ngorok yang
serak, batuk, sumbatan pada trakea akibat adanya eksudat tertentu akan
menyebabkan ayam bernafas dengan mulut terbuka sambil menjulurkan
leher. Pada sejumlah ayam dapat ditemukan adanya leleran kental
bercampr darah dari hidung atau mulut dan kemerahan konjungtiva yang
disertai adanya cairan berbusa pada mata. Pada ayam yang mengalami
gangguan pernafasan yang berat, dapat diamati adanya sianosis di daerah
fasial dan balung. Pada perubahan pathologi anatomi ditandai oleh adanya
eksudat kaseus, selaput difterik, mukus dan perdarahan di dalam trakhea,
yang sering menyumbat daerah laring dan siring, trakhea sangat kongestif
dan sianotik (Tabbu,2000).
28
Fowl Pox atau cacar basah terlihat gejala klinis mula-mula berupa
papula kecil berwarna kelabu di daerah kulit yang tidak berbulu, pada
bagian kepala dan kaki. Beberapa radang bergabung membentuk radang
yang besar dan akhirnya membentuk keropeng besar. Apabila keropeng
dikelupas akan terjadi perdarahan dilapisan bawahnya. Pada tipe cacar
basah akan terlihat bercak berwarna kuning pada selaput lendir mulut,
lubang hidung dan faring, sering menyebabkan penyumbatan saluran
udara yang mengakibatkan penderita tercekik (Quinn et al ,2003).
Defisiensi vitamin A akan terlihat gejala klinis meliputi ayam
terlihat emasiasi, kelemahan, bulu berdiri, daya tetas telur menurun,
defisiensi vitamin A dapat mengeluarkan eksudat cair dari hidung dan
mata, jika kasus defisiensi berlanjut maka dapat ditemukan adanya
material berwarna putih menyerupai susu dan berkumpul didalam kelopak
mata. Pada perubahan pathologi lesi awal defisiensi vitamin A dapat
dijumpai pada faring terutama pada kelenjar mukus dan salurannya. Lesi
yang terlihat meliputi keratinisasi epitel yang menimbulkan sumbatan pada
saluran kelenjar mukus sehingga kelenjar tersebut akan mengalami
distensi akibat adanya sekresi dan material nekrotik. Pada rongga hidung,
mulut, oesofagus, faring, dan kerap kali pada tembolok dapat ditemukan
adanya pustula kecil berwarna putih (Tabbu, 2000).
Gejala klinis penyakit kolera pada kolera akut dijumpai kematian
yang tiba-tiba. Ayam yang menderita kolera nafsu makannya turun,
depresi, kebiruan, mengeluarkan cairan kental dari mulut atau hidung,
diare putih berair atau hijau mengental. Pada kasus yang kronis dijumpai
pembengkakan persendian, cuping, telapak kaki atau selaput sendi.
Eksudat biasanya mengkeju dan bisa terkumpul didalam selaput selaput
mata atau sinus infraorbitalis. Perubahan pasca mati yaitu penyakitnya
sangat akut, mungkin tidak ditemukan lesi. Pada kasus akut terdapat
seluruh permukaan hatinya bergaris-garis. Pada kasus kronik mungkin
ditemukan beberapa peradangan terbatas pada persedian, selaput sendi,
29
cuping, kantung selaput mata, sinus infraorbitalis, selaput lendir rongga
hidung, telinga tengah atau pada tulang cranial (Quinn et al ,2003).
5.4 Pengobatan penyakit infeksius coryza
Pengobatan penyakit infeksius coryza pada peternakan ini
menggunakan oxytetracyline hydrochloride dengan dosis 0,5mg/Kg BB.
Penyamaan dosis pada setiap ayam dengan tujuan untuk memudahkan dan
mengefisienkan waktu pengobatan. Pengulangan pemberian oxytetracyline
dilakukan tiga hari sekali sampai ayam sehat kembali. Oxytetracyline
adalah antibiotik golongan tetracyline , struktur kimia dari oxytetracyline
memiliki gugus R1 –H , R2 –CH3,- OH , R3 –OH,-H (Anonimus, 2007).
Farmakodinamik golongan oxytetracyline menghambat sintesis
protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam
masuknya antibiotik kedalam ribosom bakteri gram negatif, pertama
secara difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua melalui sistem transpor
aktif. Setelah masuk antibiotik berikatan secara reversible dengan ribosom
30S dan mencegah ikatan tRNA-aminoasil pada kompleks mRNA
ribosom, hal tersebut mencegah perpanjangan rantai peptida yang sedang
tumbuh dan berakibat terhentinya sintesis protein. Efek antimikroba dari
golongan tetracyline termasuk antibiotik yang bersifat bacteriostatic hanya
mikroba yang cepat membelah yang dapat dipengaruhi obat ini
(Alexandria, 2000).
Spektrum golongan tetracyline memperlihatkan spektrum
antibakteri yang luas meliputi bakteri gram positif- negatif, aerobik dan
anerobik selain itu juga aktif terhadap mycoplasma, ricketsia, clamydia,
dan protozoa tertentu (Alexandria, 2000).
Farmakokinetik dari antibiotik golongan tetracyline absorbsi
berkisar antara 30-80% tetracyline diserap lewat saluran cerna. Absorbsi
sebagian besar di lambung dan usus halus bagian atas. Faktor yang dapat
mengahambat penyerapan tetracyline seperti adanya makanan
dilambung,pH tinggi, pembentukan kelat (kompleks tetracyline dengan zat
lain yang sukar diserap seperti kation Ca2+ , Mg2+, Fe2+,Al3+ yang terdapat
30
dalam susu dan antasida, oleh sebab itu sebaiknya tetracyline digunakan
sebelum atau dua jam setelah makan (Alexandria,2000). Pada peternakan
ini pengobatan yang dilakukan menggunakan antibiotik oxytetracyline
dilakukan dua jam setelah makan agar absorbsi antibiotika terserap dengan
baik (Alexandria, 2000).
Distribusi dalam plasma semua jenis tetracyline terikat oleh protein
plasma dalam jumlah bervariasi. Metabolisme obat golongan ini tidak
dimetabolisme secara berarti di hati. Eksresi golongan tettracyline
dieksresi melalui urine berdasarkan filtrasi glomerulus dan sebagian besar
obat yang dieksresikan kedalam lumen usus ini mengalami sirkulasi
enterohepatic maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu yang
lama selama pengobatan dihentikan. Pada peternakan ini pengobatan
dilakukan dengan pengulangan tiga kali sehari menggunakan
oxytetracyline karena obat ini bersifat long acting dan masih terdapat
dalam darah untuk waktu yang lama selama pengobatan dihentikan. Efek
samping penggunaan antibiotika oxytetracyline jika digunakan dalam
jangka waktu yang sangat lama adalah mengakibatkan penurunan kadar
vitamin B di dalam tubuh dengan cara mengganggu penyerapan vitamin B
di usus , gangguan tersebut juga menggangu aktifitas bakteri flora normal
yang hidup di dalam usus sehingga menyebabkan gangguan pencernaan
seperti diare (Alexandria, 2000).
Sel menjadi resisten terhadap tetracyline melalui dua mekanisme
efflux dan ribosomal protection. Pada efflux,gen resisten mengkode
membran protein dengan memompa tetracyline keluar dari sel. Pada
mekanisme ribosomal protection,gen resisten mengkode protein yang
berikatan dengan ribosom dan mencegah tetracyline berikatan dengan
ribosom (Alexandria, 2000).
Menurut Fadilah dan Roni (2004). Beberapa obat yang sering
digunakan adalah streptomycin, spectinomycin, sulfadimethoxine, dan
tylosin tartrate. Pada peternakan ini hanya menggunakan oxytetracyline
hidrocloride dibandingakan dengan antibiotik yang lainnya.
31
Aminoglycosida adalah grup antibiotik yang efektif melawan
bakteri. Golongan aminoglycosida adalah amilkacin ,gentamicin,
kanamycin, neomycin, netilmicin, paromomycine, treptomycine, dan
tobtramycine. Golongan bakteri aminoglycosida bekerja mengikat 30S
ribosomal subunit bakteri yang menyebabkan terjadinya kesalahan
membaca t-RNA, dan menyebabkan bakteri tidak bisa mensintesi protein
untuk pertumbuhan (Kaztung, 2001).
Aminoglycosida sangat berguna pada infeksi yang disebabkan
bakteri aerobik, gram negatif, seperti pseudomonas, actinobacter dan
enterobacter. Aminoglycosida bersifat ototoxicity dan renal toxicity,
aminoglycoside diberikan berdasarkan berat badan (Kaztung, 2001).
Farmakodinamik yaitu ada atau tidak adanya PAE yang dapat
menekan pertumbuhan bakteri setelah menggunakan atibiotik. ß-lactams
memproduksi produce PAE hanya untuk melawa bakteri gram positive.
Ada beberapa agen yang mengambat atau merusak protein atau sintesis
asam nukleat seperti macrolides, fluoroquinolones, dan aminoglycosides
yang dapat memproduksi PAE untuk melawan bakteri gram negative.
Penggunaan antibiotik tidak ada yang menggunakan oral,umumnya
menggunakan intravena, dan beberapa digunakan secara topikal (Kaztung,
2001).
Menurut fadhilah dan roni (2004) beberapa obat yang sering
digunakan pada penyakit infeksius coryza adalah preparat sulfa golongan
sulfonamide yaitu sulfadimethoxine atau sulfathiazole. Pada peternakan ini
tidak menggunakan sulfonamides karena sulfonamides bersifat board
spectrum yang menghambat bakteri gram positif dan negatif dan protozoa
tetapi aktifitas obat kurang kuat dibandingkan dengan antibiotika lainnya
(Anonimus,2007). Menurut pengalaman lapangan di peternakan ini
penggunaaan preparat sulfa akan menyebabkan banyak terjadinya
kalsifikasi telur yang menyebabkan telur berwarna putih. Pemberian
preparat sulfa yang diberikan terus menerus akan mengakibatkan
32
terjadinya kerusakan ginjal, karena pemberian dilakukan terus menerus
karena terjadi penguaraian di ginjal teralalu berat.
Penggunaan preparat sulfa dapat mengakibatkan terjadinya
kalsifikasi pada telur ayam dan cangkang telur yang tipis karena
penggunaan preparat sulfa mengakibatkan tingginya ion kalsium dan ion
karbonat. Ion karbonat masuk kedalam enzim carbonic anhydraze dalam
kadar konsentrasi yang tinggi didalam lapisan sel shell gland. Asam
karbonat kemudian di dehydrat menjadi gas karbon dioksida
mempengaruhi carbonic anhydraze,ion karbonat didifusikan atau dipompa
melalui sel membran kedalam shell gland. Terjadinya gabungan ion
kalsium unuk membentuk calcite lattice pada pembentukan kristal didalam
cangkang telur, keterlibatan carbonic anhydraze pada pembentukan
cangkang telur akibat penggunaan preparat sulfa sangat berpengaruh
mengahambat enzim dan mengakibatkan terjadinya cangkang telur yang
tipis (Taylor, 1970).
Sulfonamide merupakan preparat kemoterapi yang bersifat long
acting tidak berbau berwarna putih dan berbetuk bubuk dan sangat sedikit
larut dalam air dan alkohol. Penyimpanan sulfadimethoxine untuk injeksi
sebaiknya disimpan pada suhu ruangan (15-30°C). Pada penggunaan untuk
unggas sulfadimethoxine diberikan dengan menambahkan ke dalam
minuman untuk mengobati coccidiosis, fowl cholera dan infeksius coryza
(Kaztung,2001).
Golongan sulfonamide sangat cepat untuk diabsorbsi, bersifat long
acting sistemik .Kombinasi sulfonamide dan trimethoprim yang bersifat
bakterisidal. Efektif mengobati coccidiosis, fowl cholera, infectious coryza
dan colibacillosis pada unggas (Kaztung,2001).
Kombinasi sulfadimethoxine dan trimethoprim dengan rasio
kombinasi 5:1 untuk menghasilan efek sinergis yang maksimal broad
spektrum. Aktifitas board spectrum yang tinggi, dan sedikit efek samping,
dan sedikit terjadi resistensi. Puncak kadar di dalam darah 1-4 jam dan
kadar ikatan protein yang tinggi sulfadimethoxine memiliki kelibihan
33
dibandingkan preparat sulfa lain seperti sulfadiazine. Dosis dan
administrasi obat diberikan melalui air minum pada siang hari dan
diberikan air biasa pada malam hari. Diberikan dengan dosis 0,1 mg/BB
diberikan melalui air minum selama 3 sampai 5 hari. Jangan diberikan
pada hewan yang sedang bunting maupun pada unggas yang sedang dalam
masa produksi bertelur (Van Empel et al, 1996).
Jenis sulfonamide yaitu sulfadimethoxine, sulfaqumnline ,sulfamet
hazine dan sulfadimethoxine merupaka preparat yang paling aman dan
pilihan terbaik diantara preparat sulfa yang lainnya. Sulfaqumnline dan
sulmethazine toxisitasnya lebih tinggi dan administrasi obat bersifat
intermittent (Van Empel et al, 1996).
5.5 Tindakan Saat Terserang Penyakit Infeksius coryza
Pada peternakan ini tindakan utama yang dilakukan saat ayam
terserang penyakit infeksius coryza, jika ayam mengalami kematian
bangkai segera dibuang dan dibakar. Pada ayam yang sakit tidak
dilakukan isolasi atau pemindahan ayam pada kandang khusus. Pada
peternakan ini pemberian obat menggunakan antibiotik berspektrum luas
dengan tujuan membunuh kuman akibat infeksi sekunder yang lain.
Dilakukan revaksinasi pada ayam petelur dengan tujuan booster pada
penyakit viral tertentu agar ayam tahan terhadap penyakit,
mempertahankan titer antibody . Pada peternakan ini dilakukan pemberian
vitamin pada saat sebelum dan setelah vaksinasi untuk menghindari ayam
stress saat dilakukan vaksinasi.
Pemberian vitamin juga dilakukan pada peternakan ini sebagai obat
yang bersifat supportif .Pemberian vitamin berfungsi untuk membantu
meningkatkan kondisi tubuh ayam dan mengganti sel tubuh yang rusak
oleh bakteri penyebab korisa (Medion,2011).
Menurut Medion (2011) beberapa tindakan yang perlu dilakukan saat
suatu peternakan terserang coryza yaitu :
1.Isolasi ayam yang sakit
34
2.Buang bangkai ayam segera dan sejauh mungkin dari lingkungan
kandang
3. Revaksinasi (jika belum parah) pada ayam petelur
4. Pemberian obat
Pada peternakan ini penyakit yang ditangani sudah di diagnosa secara
baik oleh tenaga dokter hewan, pada pemberian dosis diberikan pada kadar
dosis 0,5mg/Kg BB dan tidak sesuai dengan peraturan pengobatan yang
terdapat didalam aturan pakai obat. Penggunaan dosis yang berlebih
tersebut karena untuk mencapai MIC (minimal inhibit concentration), agar
kadar obat tersebut bertahan dalam darah dengan kadar yang cukup.
Penggunaan dosis yang berlebihan ini memiliki resiko yaitu terjadinya
resistensi antibiotik yang digunakan, oleh karena itu perlu dilakuakan
rotasi penggunaan antibiotik (Medion,2011).
35
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
1. Angka morbiditas penyakit coryza pada peternakan ini rendah yaitu
10,16 %, angka mortalitas penyakit coryza pada peternakan ini rendah
yaitu 1,20%.
2. Tingginya angka morbiditas dari penyakit infeksius coryza disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain kadar amonia yang sangat tinggi di
dalam peternakan, tidak ada sterilisasi peralatan kandang yang
digunakan untuk aktifitas kandang serta tidak dilakukannya isolasi ayam
sakit pada kandang yang berbeda.
3. Penyakit coryza yang banyak terjadi pada peternakan ini terdapat
beberapa ayam yang terinfeksi sekunder dari penyakit lain, seperti ND
dan ILT.
4. Penggunaan antibiotika spektum luas pada peternakan ini menggunakan
antibiotik broad spectrum yaitu oxytetracyline yang termasuk kedalam
golongan antibiotika tetracyline.
5. Dosis yang diberikan pada peternakan ini tidak sesui dengan perintah
pemberian dosis yang terdapat pada obat, pemberian dosis ditingkatkan
menjadi 0,5mg/Kg BB agar mencapai MIC (minimal inhibit
concentration) didalam darah.
6.2 Saran
1. Pembuatan sistem pencatatan yang lebih rapi mengenai recording yang
terjadi selama pemeliharaan pemeliharaan fase layer di peternakan ayam
UD. Jatinom Indah yang meliputi pencatatan jumlah populasi setiap
kandang, jumlah kematian setiap kandang, jumlah pakan yang diberikan,
penyemprotan kandang untuk sanitasi dan biosekuriti, serta pemberian
vaksin dan pengobatan dengan tujuan untuk menekan angka kejadian
penyakit,rekam medis.
36
2. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium secara berkala sebagai
penentuan diagnosa penyakit secara tepat untuk pencegahan dan
pengobatan yang tepat pada suatu penyakit.
3. Perlu dilakukan uji resistensi antibiotika untuk mengetahui antibiotik
yang tepat untuk digunakan.
4. Pengurangan kadar amonia didalam kandang dapat dilakukan dengan
menggunakan kapur halus atau menggunakan pasir kering dengan
perbandingan 1:1 pada lubang yang dibuat dibawah kandang sepanjang
kandang, maka kotoran ayam yang jatuh akan cepat mengering dan
mengurangi bau di dalam kandang.
37
DAFTAR PUSTAKA
Alexandria, 2000. Effect Of The Use Antimicrobials In Food Producing Animals On Pathogen Load Systematic Review. Center for veterinary Medicine.Rockville, 39:200-230
Anonymous. 2007. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Bambang Krista dan Bagus Harianto,2010 Buku Pintar Beternak dan Berbisnis Ayam Kampung. Jakarta Selatan : PT Agro Media Pustaka
Buys S. Ornithobacterium rhinotracheale an emerging disease in South Africa. Aerosol of the World Veterinary Poultry Association, 1996, 8:10.
Charlton B, Channings-Santagio S, Bickford A, Cardona C, Chin R, Cooper G, Doural R, Jeffret J, Meteyer C,Shivaprassad H and walker R (1993). Preliminary pleomorphic gram negative rod associated with avian respiratory disease. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation. 1993, 5:47-51.
Cahyono, B.1995. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging (Broiler). Yogyakarta: Pustaka Nusatama.
Fadilah dan Roni. 2004. Kunci Sukses Beternak Ayam Broiler di Daerah Tropis. Jakarta: Agromedia Pustaka
Fadilah, R.I dan Polana, A. 2008. Beternak Unggas Bebas Flu Burung. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Info Medion. 2011. Saat Awal Menjadi Penentu. http//:www.Info.medion.co.id [2 November 2011]
Info Medion. 2009. Penyakit Pernapasan yang Tak Pernah Tuntas. . http//:www.Info.medion.co.id [2 November 2012]
Info Medion. 2007. Cara Jitu Atasi Korisa. http//:www.Info.medion.co.id [2Desember 2012]
Katzung, B. G., 2001, Basic and Clinical Pharmacology, 8th Edition, Mc Graw- Hill CompaniesInc. USA.
Lohman. 2011. Layer Manajement Guide. Germany. Lohmann Tierzucht Gmbh
38
North, M. O. 1978. Commercial Chicken Production Manual. Second Edition. Avi Publishing company. Inc. Westport. Connecticut.
MIAO, D, P, Zhang, Y, Gong, T, Yamaguchi, Y, Iritani and P,J, BLACKALL,2000,The development and application of blocking ELISA kit for diagnostic of infectious coryza. Avian Patholol, 29:219-225
Mulyantini, N.G.A. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Murtidjo, B.A.2002. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisus. Yogyakarta
Pramudyati, Y.S dan Effendy, J. 2009. Beternak Ayam Ras Pedaging (Broiler). Sumatera Selatan: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
Primasetra, A. 2010. Peluang Usaha Untuk Ibu Rumah Tangga Modal 1 Juta. Yogyakarta. Pustaka Grhatama.
Priyatno, A.M. 2002. Membuat Kandang Ayam. Jakarta: Penebar Swadaya.
Quinn W, et al., 2003. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. United Kingdom: Blackwell Publishing.
Rasyaf, M. 1995. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging. Bogor: Gramedia Pustaka Utama.
Rasyaf, M. 2003. Beternak Ayam Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Petelur. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rusianto, N. 2008. Management Beternak ayam Petelur. Surabaya: Privo Sakurazy Medtecindo
Sudarmono, A.S. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI).
Soedomo, R.2007. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE,Yogyakarta.
Sudaryani, T. dan Santosa, H. 2003. Pembibitan Ayam Ras. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sudaryani, T. dan Santoso, H. 2004. Pembibitan Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya.
Tabbu CR. 2000. Penyakit ayam dan Penanggulangannya penyakit bakterial, Mikal dan Viral Yogyakarta : penerbit Kanisius.
39
T.G. Taylor . 1970. How an Eggshell Is Made,Scientific American Journal. 1970. 222:88-95.
Van Empel P, Van den Bosch H, Loeffen P and Strom P. 1996. Identification and serotyping of Ornithobacterium rhinotracheale. Journal of Clinical Microbiology.1996,35:418-421.
Williamson, G dan W. J. A, Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Troipis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Winkel, P.T. 1997. Biosecurity in Poultry Production: Where are we and where do we go? Prosiding 11th International Congress of the World Poultry Association.
Yahya Y.,1991.Penyakit-penyakit Penting pada Ayam.Medion:Bandung
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1. Kuisioner
1. Bagaimana sistem kandang layer di peternakan ayam UD. Jatinom Indah Farm ?
2. Bagaimana pola pemberian minum layer di peternakan ayam UD. Jatinom Indah Farm ?
3. Apa saja peralatan yang digunakan pada fase layer di peternakan ayam UD. Jatinom Indah Farm ?
4. Bagaimana pola pemberian pakan dan minum pada fase layer di peternakan ayam UD. Jatinom Indah Farm ?
5. Bagaimana pengaturan ventilasi pada fase layer di peternakan ayam UD. Jatinom Indah Farm ?
6. Bagaimana program pengobatan penyakit infeksius coryza di peternakan ayam UD. Jatinom Indah Farm ?
7. Bagaimana cara pemberian obat pada ayam layer yang terinfeksi penyakit infeksius coryza?
8. Bagaimana cara pencegahan penyakit infekius coryza ?9. Apakah ada program pergantian antibiotika yang sering digunakan ?10. Mengapa memilih Oxytetracylin sebagai obat penyakit infeksius coryza ?
42
Lampiran 2
Tabel angka morbiditas dan mortalitas penyakit Infeksius Coryza di
Kandang A.
Kandang 1
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
30 -
Oxytetracyline
0,5 mg/Kg BB
2 Jumat 30 -
3 Sabtu 30 -
4 Minggu 30 2
5 Kamis
22
MINGGU
20 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 18 2
7 Sabtu 18 -
8 Minggu 18 -
9 Kamis
23
MINGGU
20 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 21 -
11 Sabtu 21 -
12 Minggu 19 2
13 Kamis
24
MINGGU
20 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 19 -
15 Sabtu 19 -
16 Minggu 20 -
17 Kamis
25
MINGGU
10 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 12 -
19 Sabtu 10 -
20 Minggu 10 -
43
Kandang 2
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
9 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 7 -
3 Sabtu 2 -
4 Minggu 2 -
5 Kamis
22
MINGGU
5 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 5 1
7 Sabtu 7 -
8 Minggu 3 -
9 Kamis
23
MINGGU
7 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 7 -
11 Sabtu 2 -
12 Minggu 4 2
13 Kamis
24
MINGGU
2 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 4 -
15 Sabtu 4 -
16 Minggu 5 -
17 Kamis
25
MINGGU
2 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 2 -
19 Sabtu 3 1
20 Minggu 2 -
44
Kandang 3
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
5 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 5 -
3 Sabtu 7 -
4 Minggu 7 -
5 Kamis
22
MINGGU
5 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 6 -
7 Sabtu 7 -
8 Minggu 7 -
9 Kamis
23
MINGGU
7 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 7 1
11 Sabtu 8 1
12 Minggu 6 2
13 Kamis
24
MINGGU
2 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 4 -
15 Sabtu 4 -
16 Minggu 5 -
17 Kamis
25
MINGGU
2 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 2 -
19 Sabtu 3 2
20 Minggu 2 -
45
Kandang 4
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
20 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 20 -
3 Sabtu 23 -
4 Minggu 25 -
5 Kamis
22
MINGGU
18
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 17 -
7 Sabtu 18 -
8 Minggu 19 -
9 Kamis
23
MINGGU
7 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 7 1
11 Sabtu 8 1
12 Minggu 6 2
13 Kamis
24
MINGGU
2 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 4 -
15 Sabtu 4 -
16 Minggu 5 -
17 Kamis
25
MINGGU
2 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 2 -
19 Sabtu 3 1
20 Minggu 2 1
46
Kandang 5
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
18 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 19 -
3 Sabtu 19 -
4 Minggu 17 -
5 Kamis
22
MINGGU
15 2
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 15 -
7 Sabtu 15 -
8 Minggu 12 -
9 Kamis
23
MINGGU
13 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 13 1
11 Sabtu 18 1
12 Minggu 30 3
13 Kamis
24
MINGGU
12 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 12 1
15 Sabtu 12 -
16 Minggu 11 -
17 Kamis
25
MINGGU
9 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 8 -
19 Sabtu 8 1
20 Minggu 9 1
47
Kandang 6
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
10 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 9 -
3 Sabtu 9 -
4 Minggu 7 -
5 Kamis
22
MINGGU
18 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 10 -
7 Sabtu 10 -
8 Minggu 10 1
9 Kamis
23
MINGGU
13 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 14 -
11 Sabtu 13 1
12 Minggu 5 2
13 Kamis
24
MINGGU
12 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 12 1
15 Sabtu 12 -
16 Minggu 11 -
17 Kamis
25
MINGGU
2 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 4 -
19 Sabtu 3 2
20 Minggu 2 1
48
Kandang 7
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
18 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 17 1
3 Sabtu 17 1
4 Minggu 13 1
5 Kamis
22
MINGGU
20 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 18 -
7 Sabtu 18 1
8 Minggu 18 -
9 Kamis
23
MINGGU
20 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 21 1
11 Sabtu 21 -
12 Minggu 19 2
13 Kamis
24
MINGGU
20 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 19 -
15 Sabtu 19 -
16 Minggu 20 -
17 Kamis
25
MINGGU
10 2
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 12 -
19 Sabtu 10 -
20 Minggu 10 -
49
Kandang 8
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
10 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 10 -
3 Sabtu 10 -
4 Minggu 13 -
5 Kamis
22
MINGGU
18 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 18 1
7 Sabtu 22 2
8 Minggu 18 -
9 Kamis
23
MINGGU
9 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 9 -
11 Sabtu 9 -
12 Minggu 9 -
13 Kamis
24
MINGGU
10 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 18 -
15 Sabtu 13 1
16 Minggu 13 -
17 Kamis
25
MINGGU
10 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 11 -
19 Sabtu 11 -
20 Minggu 11 -
50
Kandang 9
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
9 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 9 -
3 Sabtu 8 1
4 Minggu 9 -
5 Kamis
22
MINGGU
5 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 5 -
7 Sabtu 4 -
8 Minggu 5 -
9 Kamis
23
MINGGU
5 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 5 -
11 Sabtu 5 -
12 Minggu 5 -
13 Kamis
24
MINGGU
4 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 7 -
15 Sabtu 4 1
16 Minggu 4 2
17 Kamis
25
MINGGU
5 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 6 -
19 Sabtu 6 -
20 Minggu 6 -
51
Kandang 10
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
10 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 10 -
3 Sabtu 10 2
4 Minggu 4 -
5 Kamis
22
MINGGU
9 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 10 -
7 Sabtu 11 3
8 Minggu 11 -
9 Kamis
23
MINGGU
10 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 11 -
11 Sabtu 12 -
12 Minggu 13 -
13 Kamis
24
MINGGU
9 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 9 -
15 Sabtu 9 -
16 Minggu 9 -
17 Kamis
25
MINGGU
10 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 12 -
19 Sabtu 11 -
20 Minggu 11 2
52
Kandang 11
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
5 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 5 -
3 Sabtu 7 2
4 Minggu 6 -
5 Kamis
22
MINGGU
10 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 13 -
7 Sabtu 15 3
8 Minggu 12 -
9 Kamis
23
MINGGU
4 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 4 -
11 Sabtu 4 -
12 Minggu 4 -
13 Kamis
24
MINGGU
2 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 2 -
15 Sabtu 2 -
16 Minggu 2 -
17 Kamis 5 -
53
25
MINGGU
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 3 -
19 Sabtu 4 -
20 Minggu 3 2
Kandang 12
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
3 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 8 -
3 Sabtu 8 -
4 Minggu 8 -
5 Kamis
22
MINGGU
10 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 13 -
7 Sabtu 15 -
8 Minggu 12 1
9 Kamis
23
MINGGU
4 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 3 -
11 Sabtu 4 2
12 Minggu 4 -
13 Kamis
24
MINGGU
5 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 5 -
15 Sabtu 7 -
16 Minggu 7 -
54
17 Kamis
25
MINGGU
3 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 3 1
19 Sabtu 4 -
20 Minggu 3 -
Kandang 13
No Hari Umur Ayam Morbiditas Mortalitas Keterangan
1 Kamis
21
MINGGU
3 1
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
2 Jumat 3 -
3 Sabtu 3 -
4 Minggu 4 -
5 Kamis
22
MINGGU
2 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
6 Jumat 3 -
7 Sabtu 2 -
8 Minggu 3 -
9 Kamis
23
MINGGU
3 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
10 Jumat 3 -
11 Sabtu 5 -
12 Minggu 7 -
13 Kamis 7 2
55
24
MINGGU
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
14 Jumat 9 -
15 Sabtu 9 -
16 Minggu 10 -
17 Kamis
25
MINGGU
3 -
Oxytetracyline
0,5mg/Kg BB
18 Jumat 6 -
19 Sabtu 7 2
20 Minggu 7 -
Lampiran 3. Aktivitas Praktek Kerja Lapang Harian
Pembagian eggtrey
56
Pembersihan kandang menggunakan desinfektan
Pengobatan menggunakan oxytetracycline
Perataan pakan ayam
57
Membersihkan nipple
Vaksinasi SC
Vaksinasi ND,IB,AI
58
Vaksinasi fowl pox
Vaksinasi coryza
Pemindahan ayam dari fase grower ke fase layer
59
Pengemasan telur
Pencampuran pakan
60
61
62
63