ekspose hasil-hasil penelitian bpk manokwari tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal...
TRANSCRIPT
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - i
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - i
PROSIDING
EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BPK MANOKWARI TAHUN 2013
“PERAN PENELITIAN INTEGRATIF DALAM PEMBANGUNAN
KEHUTANAN DI TANAH PAPUA”
Manokwari, 23 Oktober 2013
Editor:
Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Dr. Henry S. Innah
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Manokwari, 2013
ii – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - iii
PROSIDING
EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN KEHUTANAN BPK MANOKWARI
TAHUN 2013
“PERAN PENELITIAN INTEGRATIF DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN
DI TANAH PAPUA”
Manokwari, 23 Oktober 2013
Terbit Tahun 2014 Penanggung Jawab: Ir. Harisetijono, M.Sc (Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari) Editor: Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Dr. Henry S. Innah Sekretariat: Ir. Edwin Lodewiyk Yoroh (Kepala Seksi Data Informasi dan Sarana Prasarana Penelitian) Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng Muthmainnah Syarifuddin, S.Hut Melky Benyamin Panie, S.Hut Wahyuni Munasri, A.Md
Diterbitkan dan dicetak oleh: Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Kementerian Kehutanan
Jl. Inamberi Susweni PO BOX 159 Manokwari 98313-Provinsi Papua Barat Telepon : 0986-213437, 213440, Fax : 0986-213441
Website : http://www.balithutmanokwari.com
Dicetak dengan Pembiayaan DIPA BPK Manokwari Tahun 2014
iv – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya Balai Penelitian Kehutanan Manokwari (BPKM) telah berhasil
menyelenggarakan kegiatan Ekpose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 23 Oktober 2013
di Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari sebagai salah satu Unit Pelaksana
Tugas (UPT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan mempunyai tugas pokok
melaksanakan penelitian dan menyebarluaskan hasil penelitian di wilayah kerjanya
sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.
Untuk menyebarluaskan hasil penelitian, maka pada tahun 2013 BPK Manokwari
melaksanakan Ekpose dengan tema “PERAN PENELITIAN INTEGRATIF DALAM
PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI TANAH PAPUA”. Dalam ekpose tersebut dipaparkan
makalah utama dan makalah penunjang. Melalui ekpose hasil-hasil penelitian ini
diharapkan tercipta sinergitas program dan tukar menukar informasi antar stakeholders
khususnya di wilayah kerja BPK Manokwari yang meliputi Provinsi Papua dan Papua
Barat.
Penerbitan prosiding ini tidak terlepas dari bantuan dan kerjasama semua pihak.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak atas partisipasi, saran dan pemikiran yang diberikan.
Semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Manokwari, 27 Desember 2013
Kepala Balai,
Ir. Harisetijono, M.Sc NIP. 19610329 198703 1 001
vi – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - vii
DAFTAR ISI
Kata pengantar v
Daftar Isi vii
Daftar Lampiran ix
Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat xi
Rumusan Eskpose xv
Makalah Utama:
1. Pengelolaan hutan dalam kontribusi Pendapatan Asli Daerah dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan di Papua
1
2. Pemanfaatan kayu Papua kurang dikenal melalui pendekatan sifat dasar kayu 11
3. Pertumbuhan sagu (Metroxylon Spp) di demplot Koyani-Manokwari 19
4. Status pemanfatan dan pengelolaan Labi-labi Moncong Babi di Papua 25
5. Penentuan rotasi pemangkasan tunas pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi sub sp. cajuputi Powell)
41
6. Kuantifikasi empulur sagu untuk bioetanol di beberapa wilayah sebaran 61
Makalah Penunjang
1. Optimalisasi pemanfaatan nipah di Papua melalui produk-produk ekonomis 77
2. Ekosistem mangrove: peranan, permasalahan dan pendekatan bagi konservasi berkelanjutan
85
3. Faktor dan stakeholder penting dalam membentuk kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) model di Tanah Papua
97
4. “Dari celah eksistensi Masyarakat Adat”, Belajar di Teluk Bruyadori - Papua 113
5. Penafsiran kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di Distrik Menyambow, Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari, Papua Barat
121
6. Habitat, populasi dan pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi di Asmat 139
7. Distribusi jenis-jenis pohon endemik di daerah Teminabuan – Ayamaru 153
Slide Presentase Keynote Speechs
1. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat (Kebutuhan Penelitian Kehutanan (Research Needs) di Tanah Papua)
163
2. Deputi V UP4B (Hutan, Sumberdaya Alam, dan Lingkungan dalam upaya P4B) 171
3. Kabag Program dan Kerja Sama Badan Litbang Kehutanan (Kebijakan Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Sebagai Kerangka Penelitian Integratif)
185
viii – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - ix
DAFTAR LAMPIRAN
Notulensi 207
Jadwal Acara 211
Susunan Panitia 213
Daftar Peserta 214
x – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - xi
SAMBUTAN KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA BARAT
PADA ACARA PEMBUKAAN EKSPOSE HASIL-HASIL
PENELITIAN BPK MANOKWARI TANGGAL 23 OKTOBER 2013
DI SWISSBELL HOTEL MANOKWARI
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera Untuk Kita Semua.
Yang saya hormati :
Kepala Badan Litbang Kehutanan atau yang mewakili Rektor Universitas Negeri Papua Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat Kepala Dinas Kehutanan dan Kepala SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota se Provinsi Papua
dan Papua Barat Para Kepala UPT Kementerian Kehutanan Provinsi Papua dan Papua Barat; Para Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi kemasyarakatan di Papua
Barat; Tokoh Masyarakat, akademisi, insan pers, stakeholders, mitra usaha, peserta ekspose
dan hadirin yang berbahagia. Pada kesempatan yang berbahagia ini, marilah kita panjatkan syukur kehadirat
Tuhan YME karena atas berkat rahmat dan ridho-Nya, kita semua masih dikaruniai kekuatan lahir dan batin, tuntunan dan perlindungan, utamanya kesehatan dan kesempatan, sehingga kita dapat bersama-sama hadir dalam acara “Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari Tahun 2013“ .
Kami menyambut baik dan gembira dilaksanakannya Ekspose Hasil-Hasil Penelitian ini, yang tentu mengacu pada Penelitian Integratif Badan Litbang Kehutanan. Harapan kami, kegiatan ini perlu untuk terus dikembangkan, dengan diiringi doa dan harapan, semoga mendapat karunia dan berkat dari Tuhan YME, sehingga pada akhirnya akan diperoleh manfaat dan sumbangsih dalam pembangunan kehutanan di Tanah Papua.
Hadirin yang saya hormati,
Pemilihan tema ekspose kali ini yaitu “Peran Penelitian Integratif Dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua“ sangat relevan dengan upaya pemerintah untuk mengatasi fenomena degradasi sumberdaya hutan yang semakin memprihatinkan, akibat maraknya kerusakan hutan dimana-mana. Tentu, dukungan IPTEK Kehutanan tidak dapat disangsikan lagi memiliki posisi yang sangat strategis.
Selama empat dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi sumbangsih devisa yang signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional, menyediakan lapangan kerja dan tempat dimana lebih dari 15 juta orang menggantungkan hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan yang diikuti maraknya penebangan liar, telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi dan sosial antara lain meningkatnya laju degradasi hutan. Dari catatan Greenpeace tanggal 15 Februari 2013, sekitar 300 ribu hektar hutan Papua rusak tiap tahun, dan perkebunan kelapa sawit berskala raksasa menyumbang kerusakan terbesar. Permasalahan ini bila tidak diatasi, bukan mustahil hutan Papua bakal musnah beberapa tahun kemudian.
xii – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Lebih dari itu, dengan mengacu pada data Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, paling tidak isu lingkungan di Tanah Papua mencakup: degradasi hutan dan lahan, sistem pengelolaan Sumber Daya yang belum optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming) isu lingkungan global ke dalam pola pembangunan nasional dan daerah, harmonisasi peraturan perundangan lingkungan hidup, dan kesadaran masyarakat yang rendah dalam pemeliharaan lingkungan. Dengan demikian maka, persoalan lingkungan di Tanah Papua sudah barang tentu kompleks.
Disisi yang lain, Tanah Papua memiliki kekayaan alam dan biodiversitas yang menakjubkan, sekaligus keragaman budaya atau kelompok etnis yang tinggi. Potensi ini memberikan harapan dan tantangan yang sangat menarik dalam pembangunan kehutanan Papua ke depan. Hadirin yang saya hormati,
Guna tetap menjaga serta meningkatkan keberlanjutan pembangunan kehutanan, dalam kurun 2010-2014 Kementerian Kehutanan menetapkan 8 (delapan) kebijakan prioritas pembangunan sektor kehutanan, meliputi: a. Pemantapan Kawasan Hutan. b. Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan Daya Dukung DAS. c. Pengamanan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan. d. Konservasi Keanekaragaman Hayati. e. Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. f. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. g. Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan. h. Penguatan Kelembagaan Kehutanan.
Delapan kebijakan prioritas ini kemudian dituangkan ke dalam 7 program, yang terdiri dari 4 jenis program teknis kehutanan dan 3 jenis program dukungan administratif. Salah satu Program tersebut adalah Program Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan Hadirin yang saya hormati,
Apabila memperhatikan Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan tahun 2010-2025, terdapat 5 tema utama penelitian kehutanan yaitu: Lansekap hutan, Pengelolaan hutan (baik Hutan alam, Hutan Tanaman, Pengelolaan DAS, Biodiversitas, dan Hasil Hutan Bukan Kayu), Perubahan iklim, Pengolahan hasil hutan, dan Kebijakan. Lima Tema utama penelitian ini kemudian diturunkan kedalam 25 Rencana Penelitian Integratif Badan Litbang Kehutanan. Rencana Penelitian Kehutanan atau RPI merupakan Rencana aksi kegiatan penelitian yang berlaku selama lima tahun yang dikoordinir oleh Seorang Peneliti dari Pusat Litbang Kehutanan. RPI merupakan disain penelitian yang kompak yang diharapkan memperhatikan pula isu-isu lokal.
Sehubungan dengan itu, maka Ekspose hasil-hasil penelitian kali ini tentu bertujuan untuk :
memperkenalkan, menyebarluaskan dan mempromosikan hasil-hasil penelitian (BPK) Manokwari kepada pengguna;
mendekatkan IPTEK hasil litbang kehutanan kepada para pengguna dengan harapan agar IPTEK yang dihasilkan dapat diketahui, diterapkan secara berdaya guna dan berhasil guna bagi para pemangku kepentingan; serta
mendorong terjalinnya interaksi dan kerjasama kemitraan, baik antar komunitas IPTEK, maupun dengan pengambil kebijakan, kalangan dunia usaha, dan kelompok masyarakat, memberikan kontribusi dalam menjawab kebutuhan IPTEK kehutanan dan
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - xiii
dalam upaya penyelesaian masalah-masalah kehutanan yang ada, serta mendorong percepatan pencapaian tujuan pembangunan kehutanan daerah.
Kegiatan Ekspose ini diharapkan akan mempererat sinergitas dalam upaya pelestarian hutan dan harapan kedepan tidak terbatas pada kegiatan ekspose saja, tapi dapat dilanjutkan dengan kerjasama dibidang lainnya sehingga dapat bersinergi, yang hasilnya dapat disumbangsihkan untuk kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua. Hadirin yang saya hormati,
Kami sangat berharap agar ada tindak lanjut yang lebih operasional setelah selesainya ekspose ini, sehingga ada dukungan yang kongkrit terhadap pelaksanaan program pembangunan sektor Kehutanan di Papua.
Selanjutnya kami berharap pula agar semua yang hadir di sini dapat berperan aktif dalam Ekspose selama satu hari ini, baik dalam hal menyerap informasi hasil-hasil penelitian maupun dalam memberikan umpan balik.
Saya juga sangat senang dan berterimakasih kepada semua pihak, khususnya Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat yang berpatisipasi memberikan materi pada ekspose kali ini. Kesempatan ini adalah penting, karena dapat pula membuka wawasan kita semua, agar implementasi IPTEK kehutanan menjadi lebih efektif dilaksanakan di Tanah Papua. Hadirin yang berbahagia,
Akhirnya, sambutan ini saya sudahi sampai disini, dengan diiringi penghargaan dan ucapan terima kasih atas perhatian dan partisipasi kita sekalian.
Untuk itu, pada kesempatan ini pula, dengan mengucapkan dengan menucapkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, saya nyatakan Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Tahun 2013 dibuka dengan resmi………
Selamat mengikuti ekspose, semoga Tuhan YME melimpahkan rahmat dan taufikya kepada kita semua, Amin.
Sekian dan terima kasih.
KEPALA DINAS KEHUTANAN PROV PAPUA BARAT
xiv – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - xv
RUMUSAN EKSPOSE HASIL PENELITIAN
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI Manokwari, 23 Oktober 2013
Setelah mendengar dan memperhatikan arahan Sekretaris Badan Litbang
Kehutanan dan pemaparan para narasumber, kemudian dilanjutkan diskusi yang
berkembang dalam Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Tahun 2013,
dihasilkan rumusan sebagai berikut :
1. Hasil-hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan diperlukan untuk menunjang
Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua. Litbang Kehutanan
merupakan salah satu pilar utama untuk menghasilkan rekomendasi terkait
pembangunan kehutanan, yang mengakomodasi Isu Global dan Lokal di Papua,
sehingga Litbang yang terintegratif dan didukung semua stakeholder akan lebih
berhasil guna.
2. Agar percepatan pembangunan di Tanah Papua benar-benar menghasilkan
peningkatan kesejahteraan rakyat Papua dalam jangka panjang, maka upaya-upaya
percepatan pembangunan tersebut, khususnya yang memanfaatkan sumberdaya
alam dan sumberdaya hutan, haruslah diawasi secara ketat sehingga tidak
memberikan dampak negatif yang signifikan bagi lingkungan dan membawa manfaat
langsung bagi masyarakat setempat dan pemerintah daerah. Litbang Kehutanan
dapat berfungsi secara signifikan dalam memberikan masukan terkait pelaksanaan
pengawasan dimaksud.
3. Walaupun penelitian dan pengembangan merupakan komponen penting dalam
menciptakan kegiatan-kegiatan pembangunan yang lebih inovatif, lebih hemat
sumberdaya dan lebih mampu memberikan hasil yang lebih besar, alokasi anggaran
pemerintah untuk keperluan litbang masih sangat kecil. Untuk itu, kegiatan
penelitian kedepan, khususnya di Tanah Papua, harus lebih integratif, yang dicirikan
dengan hal-hal berikut ini:
Mendukung program-program prioritas pemerintah daerah;
Memanfaatkan peluang-peluang sumberdana setempat – baik yang berasal dari
pemerintah daerah maupun dengan swasta;
Bermitra dengan para stakeholder strategis dengan terus membangun
komunikasi dan jaringan kerjasama yang lebih baik dan efektif.
4. Badan Litbang Kehutanan perlu untuk memetakan penelitian ke dalam 3 kelompok:
yaitu penelitian dasar, penelitian yang bersifat urgen/perlu dan yang sudah siap
diimplementasi sebagai suatu paket IPTEK. Selain itu, perlu pula dilakukan
penelitian-penelitian yang mengevaluasi efektivitas regulasi dan yang mampu
meningkatkan efektivitas kebijakan publik agar program-program pembangunan
kehutanan di Papua dapat memberikan hasil yang lebih baik dan bersifat jangka
panjang – baik bagi masyarakat adat, investor maupun pemerintah daerah.
5. Buku IPTEK yang diluncurkan, merupakan bagian dari rekonstruksi etnologi
masyarakat Papua yang telah diramu dengan ilmu pengetahuan modern sehingga
buku ini bisa menjadi referensi bagi para ilmuwan dan praktisi, sekaligus dapat
xvi – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan oleh pemerintah, khususnya sektor
kehutanan.
6. Isu antara hutan dan kemiskinan harus disikapi dengan pendekatan perbaikan
regulasi dan terobosan pemberdayaan ekonomi untuk masyarakay sekitar hutan.
Pendekatan dengan pengarusutamaan KPH adalah salah satu strategi
7. Akses masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan harus dibangun secara
bersamaan, dari aspek kebijakan yang berpihak kepada masyarakat dan perubahan
pola pikir masyarakat adat sendiri melalui pendampingan yang efektif.
8. Potensi sumberdaya alam hutan di Papua sangat tinggi, sehingga pengelolaan harus
komprehensif dengan melibatkan masyarakat adat mulai dari perencanaan sampai
kepada evaluasi
9. Kontribusi Sektor kehutanan jangan hanya dilihat dari PSDH dan DR saja, tetapi
dapat dilihat dari aspek lain seperti PBB. Dengan demikian kontribusi dari
pengusahaan hutan lebih realistis.
10. Perlu kewenangan yang jelas dari instansi pemerintah yang menangani sagu.
Dengan demikian kinerja program dengan instansi terkait pengelolaan sagu akan
semakin optimal.
11. Pengelolaan HHBK seperti Labi-labi mocong babi dapat dilakukan dengan
pendekatan kuota dengan memperhatikan kelestarian polulasi, keberpihakan pada
masyarakat lokal, dan potensi pemasukan daerah. Teknik Penangkaran labi-labi,
juga dapat menjadi perhatian selanjutnya.
12. Model yang dapat diperhatikan terkait rotasi pemangkasan tunas optimum kayu
putih, adalah 7 bulan dihitung dari saat pemangkasan sebelumnya, untuk kayu putih
di Jawa. Untuk itu perlu penelitian model pemangkasan untuk kayu putih yang ada
di Papua.
13. Empulur sagu yang berpotensi menghasilkan bioethanol perlu dikembangkan dengan
lebih komprehensif. Untuk itu perlu diketahui potensi bioethanol menurut jenis-jenis
sagu.
Manokwari, 23 Oktober 2013
TIM PERUMUS
Ketua: Dr. Agus Sumule
Anggota:
1. Ir. Max J. Tokede, MS
2. Ir. Thomas Nifinluri, M.Sc
3. Manerep Siregar, SP, MSi
4. Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP
5. Dr. Henry S. Innah
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 1
PENGELOLAAN HUTAN DALAM KONTRIBUSI PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN KEMISKINAN MASYARAKAT
SEKITAR HUTAN DI PAPUA
Relawan Kuswandi1) dan Harisetijono1)
1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia
RINGKASAN
Pengelolaan hutan di Tanah Papua yang telah berlangsung lebih dari tiga dekade diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah dan peningkatan taraf hidup bagi masyarakat sekitar hutan. Apakah peran pengelolaan hutan terhadap peningkatan perekonomian daerah dan masyaratakat sekitar hutan sudah sesuai dengan harapan? Kenyataannya tingkat masyarakat miskin terbesar terdapat di sekitar hutan. Kontribusi pengelolaan hutan (sektor kehutanan) terhadap penerimaan daerah dan masyarakat sekitar hutan pada tulisan ini dibatasi pada kewajiban yang harus dipenuhi oleh HPH/IUPHHK yaitu PSDH dan DR untuk penerimaan daerah dan kompensasi hak ulayat sesuai dengan SK Gubernur Papua No. 184 Tahun 2004 tentang standar kompensasi hak ulayat. Besarnya kontribusi pengelolaan hutan terhadap penerimaan daerah untuk Provinsi Papua dari tahun 2007 – 2011 sebesar Rp. 229.660.929.823.00 untuk PSDH, sedangkan untuk DR sebesar Rp. 137.444.525.513.00 dan $ 3.723.685.18 Sedangkan untuk Provinsi Papua Barat dari tahun 2009 – 2011 sebesar Rp. 156.045.483.677.00 untuk PSDH dan DR sebesar Rp. 82.288.218.408,00. Dalam penggunaan dana tersebut tidak semuanya ditujukan untuk pembangunan sektor kehutanan. Kontribusi pengelolaan hutan terhadap perekonomian daerah yang tidak dapat dihitung dengan bentuk dana adalah pembukaan daerah terisolir dalam bentuk jaringan jalan yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Berdasarkan data, rata-rata besarnya kontribusi pengelolaan hutan terhadap masyarakat sekitar hutan dalam bentuk kompensasi hak ulayat untuk Provinsi Papua sejak tahun 2007 – 2011 sebesar Rp. 15.582.387.814,00 dan untuk Provinsi Papua Barat dari tahun 2009 – 2011 sebesar Rp. 21.575.526.600,00. Dana tersebut belum termasuk bantuan langsung yang diberikan oleh unit pengelola kepada masyarakat sekitar hutan. Namun besarnya dana yang diterima masyarakat sekitar hutan tidak serta merta meningkatkan perekonomian (taraf hidup) masyarakat sekitar hutan. Tingkat kemiskinan masyarakat masih didominasi oleh masyarakat sekitar hutan. Dengan demikian ada yang salah dalam pengelolaannya. Oleh sebab itu mari kita pikirkan bersama bagaimana cara memanfaatkan atau mengelolaa sumber daya yang ada bagi kepentingan masyarakat sekitar hutan.
I. PENDAHULUAN
Pengelolaan hutan di Tanah Papua telah berlangsung selama tiga dekade
dimana dalam pelaksanaannya telah mengalami pasang surut baik dalam jumlah
unit pengelolaan maupun produksinya. Usaha pemanfaatan hasil hutan tersebut
bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi serta produktivitas
sumber daya hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hasil hutan untuk
pembangunan masyarakat, 1 industri dan ekspor, meningkatkan pendapatan dan
2 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
devisa, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang dan
mendorong pembangunan daerah serta pembangunan 2 sektor lainnya, dengan
tetap memperhatikan asas kelestarian. Namun apakah peran pengelolaan hutan
terhadap peningkatan perekonomian daerah dan masyaratakat sekitar hutan
sudah sesuai dengan harapan? Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan masyarakat
sekitar hutan yang cukup tinggi yaitu sebesar 37% (Statistik Papua, 2012).
Peran atau kontribusi usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHHK) terhadap
pembangunan daerah dapat berupa kontribusi langsung dalam bentuk
Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan yang tidak langsung antara lain adalah
terbukanya isolasi daerah dan lapangan kerja. Dalam konteks kajian ini
kontribusi IUPHHK terhadap PAD hanya dibatasi pada Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), walaupun banyak kewajiban lain sesuai
dengan perundangan yang berlaku. Sedangkan untuk peningkatan perekonomian
masyarakat hanya pada besaran dana kompensasi yang dibayarkan oleh IUPHHK
kepada masyarakat pemilik hak ulayat yang notabene bermukim di sekitar hutan.
Tujuan dari makalah ini adalah melihat besarnya kontribusi atau peran
IUPHHK dalam peningkatan perekonomian daerah dan pengaruhnya terhadap
masyarakat sekitar hutan.
II. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN DI PAPUA
Pengelolaan hutan di Papua yang telah berlangsung sampai saat ini
mengalami pasang surut baik dalam jumlah unit pengelolaan maupun
produksinya. Berdasarkan data sampai saat ini telah terjadi penurunan jumlah
IUPHHK yang masih aktif secara signifikan. Di Provinsi Papua dari 25 IUPHHK
yang memiliki ijin hanya 15 IUPHHK yang masih aktif (BP2HP XVII, 2010),
sedang di Papua Barat IUPHHK yang masih aktif sebanyak 16 dari 26 IUPHHK
(BP2HP XVIII, 2012). Demikian pula produksi kayu bulat mengalami penurunan
yang cukup signifikan dimana rata-rata presentase produksi kayu bulat berkisar
antara 36.2% - 60% dari kuota Jatah Produksi Tahunan (JPT) Provinsi Papua
dan Papua Barat. Target dan Realisasi produksi kayu bulat dari tahun 2007 –
2012 untuk provinsi Papua dan Papua Barat dapat dilihat pada Tabel 1.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 3
Tabel 1. Target dan realisasi produksi kayu bulat Provinsi Papua dan Papua Barat dari tahun 2007-2012
Tahun
Provinsi Papua Provinsi Papua Barat
Target
(m3)* Realisasi (m3)
Presentase
(%)
Target
(m3)*
Realisasi
(m3)
Presentase
(%)
2007 1.421.000 519.834,51 36.6 1.511.351 -**
2008 1.230.000 563.448,23 45.8 1.435.000 247.207,67 17.2
2009 1.225.000 815.233,31 66.5 1.200.000 682.050,33 56.8
2010 1.225.000 1.010.412,01 82.5 1.225.000 546.435,44 44.6
2011 1.225.000 767.723,15 62.7 1.260.000 555.560,89 44.1
2012 1.225.000 -** 1.200.000 332.597,16 27.7
Rata-rata 1.258.500 735.330,24 60.0 1.305.225.2 472.770,30 36.2
*) Kuota JPT Nasional; **) data tidak tersedia
Sumber : SK Dirjen BPK (2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011); PB2HP wil. 17 (2010); BP2HP wil 18 (2012)
Dari Tabel 1 diatas menunjukan bahwa realisasi produksi kayu bulat masih
rendah bila dibandingkan dengan kuota JPT, dimana rata-rata persentase
realisasi produksi kayu bulat sebesar 60% untuk provinsi Papua dan 36.2%
untuk Provinsi Papua Barat. Rendahnya realisasi produksi kayu bulat diduga
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
a. Potensi tegakan tidak sesuai dengan JPT/AAC (Annual Allowable Cut) yang
diberikan pada setiap IUPHHK sehingga berdampak pada besarnya realisasi
tebangan.
b. Tidak semua IUPHHK yang aktif melakukan penebangan semua jenis kayu
sesuai dengan JPT yang diberikan. Pada beberapa IUPHHK hanya menebang
satu jenis saja yaitu merbau (Intsia sp).
c. Penentuan kuota JPT nasional tidak berdasarkan pada IUPHHK yang aktif
melakukan kegiatan tetapi berdasarkan pada IUPHHK yang memperoleh ijin
konsesi.
d. Adanya larangan ekspor log antar pulau sehingga berdampak pada IUPHHK
yang belum mempunyai pengolahan kayu.
e. Adanya kendala dalam proses perpanjangan IUPHHK sehingga terjadinya
stagnasi dalam kegiatannya sambil menunggu keluarnya ijin perpanjangan.
f. Adanya konflik antara IUPHHK dengan masyarakat pemilik hak ulayat dan 3
faktor internal (manajemen) pada IUPHHK yang bersangkutan.
Jenis merbau merupakan jenis yang paling banyak di produksi oleh
IUPHHK terutama di Provinsi Papua Barat. Rata-rata persentase produksi kayu
bulat jenis merbau dibandingkan dengan jenis lainnya dapat dilihat pada tabel 2
berikut ini.
4 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Tabel 2. Rata-rata persentase produksi kayu bulat jenis merbau dibandingkan dengan jenis lainnya di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Tahun Provinsi Papua Provinsi Papua Barat
Merbau Jenis Lainnya Persentase Merbau Jenis Lainnya Persentase
2007 172.676,59 347.157,92 49.74
2008 164.998,94 398.449,29 41.41
2009 230.412,87 584.820,44 39.40 548.289,77 133.760,56 409.90
2010 291.244,75 719.167,26 40.50 294.790,54 251.644,90 117.15
2011 138.764,09 628.959,06 22.06 241.350,06 314.210,83 76.81
Rata-rata 199.619,45 535.710,79 37.26 361.476,79 233.205,43 155.00
Sumber : BP2HP wil 17 (2010); Dinas Kehutanan Prov. Papua Barat (2011)
Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat produksi jenis merbau sangat
tinggi terutama di Provinsi Papua Barat. Rata-rata persentase produksi jenis
merbau dibandingkan dengan jenis lainnya sebesar 37.26% di Provinsi Papua,
sedangkan di Papua Barat sebesar 155%. Tingginya produksi jenis merbau akan
berakibat pada kelestarian jenis tersebut apabila tidak dilakukan tindakan
silvikultur seperti pengayaan pada areal bekas tebangan.
III. KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN TERHADAP PENERIMAAN ASLI DAERAH
Dampak dari pemanfaatan hasil hutan sebagai implementasi dari
pengelolaan hutan bagi daerah diharapkan mampu meningkatkan pendapatan
dan devisa, menunjang dan mendorong pembangunan baik sektor kehutanan
maupun sektor lainnya. Berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku,
terdapat 6 macam pungutan yang dikenakan kepada pengusaha IUPHHK dari
sektor kehutanan sebagai sumber pendapatan baik pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat. Namun dalam konteks ini hanya dibatasi pada pungutan PSDH
dan DR sebagai sumber pendapatan dalam rangka menunjang pembangunan.
PSDH adalah nilai hasil hutan yang menjadi bagian pemerintah sebagai
pemilik sumberdaya. Nilai ini ditentukan harga jual dan jumlah/volume hasil
hutan yang dijual. Dana Reboisasi (DR), pada awalnya bernama Dana Jaminan
Reboisasi (DJR). Pungutan ini dikenakan terhadap setiap m3 kayu yang diambil
oleh HPH/IUPHHK sebagai dana jaminan reboisasi. Namun perkembangan
selanjutnya pada tahun 1989 pungutan berubah menjadi Dana Reboisasi (DR),
dengan ketentuan HPH/IUPHHK wajib melakukan penanaman pengayaan di
areal HPH/IUPHHK dan tetap membayar DR. Dana Reboisasi berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 merupakan dana untuk reboisasi
dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 5
Pemegang IUPHHK. Namun dalam implementasinya, dana tersebut tidak
digunakan untuk pembangunan sektor kehutanan.
Besaran pembagian PSDH dan DR antara pemerintah pusat dan daerah
ditentukan berdasarkan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah. Bagi
Pemerintah Daerah (Papua dan Papua Barat) dengan besarnya kuota JPT
seharusnya sektor kehutanan dapat menjadi salah satu tumpuan sumber
pendapatan daerah. Namun kenyataannya kontribusi sektor kehutanan terhadap
PAD masih sangat kecil yaitu sebesar 6.7 % (Pawitno, 2003). Kecilnya
kontribusi sektor kehutanan terhadap PAD disebabkan perhitungannya hanya
pada industri hulu (log) sedangkan produk hasil industri hilir tidak masuk dalam
sektor kehutanan tapi dalam sektor industri.
Berdasarkan persentase bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemda
selama kurun waktu 2007 – 2012, maka besarnya penerimaan PSDH dan DR
sebagai PAD dari sub sektor kehutanan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Penerimaan PSDH dan DR sebagai PAD dari sub sektor kehutanan Provinsi Papua dan Papua Barat dari tahun 2007 – 2012.
Tahun Provinsi Papua Provinsi Papua Barat
PSDH DR Jumlah PSDH DR Jumlah
2007 38,705,268,084 26,469,096,314 65,174,364,398
2008 36,453,202,628 23,761,052,544 60,214,255,172
2009 44,755,181,724 38,079,043,679 82,834,225,403 69,860,495,270 31,274,406,504 101,134,901,774
2010 61,592,224,957 43,413,984,448 105,006,209,405 46,860,007,728 26,062,261,092 72,922,268,820
2011 48,155,052,430 35,510,829,937 83,665,882,367 39,324,980,678 24,891,550,812 64,216,531,490
2012 40,229,273,309 18,763,050,680 58,992,323,989
Rata-
rata 45,932,185,965 33,446,801,384 79,378,987,349 49,068,689,246 25,247,817,272 74,316,506,518
Sumber : Dinas Kehutanan dan Konservasi Prov. Papua (2011); BP2HP wil 18 (2012)
Besarnya penerimaan PSDH dan DR tergantung dari realisasi produksi
kayu bulat masing-masing IUPHHK. Rata-rata persentase produksi kayu bulat
sebesar 60% untuk Provinsi Papua sedang Provinsi Papua Barat sebesar 36%.
Oleh sebab itu penerimaan PAD masih dapat ditingkatkan apabila realisasi
produksi sesuai dengan kuota JPT yang telah ditentukan.
Kontribusi pengelolaan hutan sebetulnya tidak hanya pada penerimaan
PAD saja tetapi masih banyak kontribusinya dalam peningkatan perekonomian
daerah. Penyediaan lapangan pekerjaan dan pembukaan daerah terpencil
dengan adanya transportasi baik darat dan laut merupakan kontribusi yang tidak
kalah pentingnya dalam pembangunan daerah. Fakta menunjukkan bahwa
6 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
banyak jalan bekas IUPHHK dijadikan jalan penghubung untuk membuka isolasi
daerah.
IV. KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
Di Papua peran HPH/IUPHHK untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar areal kerja dilakukan dengan program pembinaan
masyarakat desa (PMDH). Namun sejak dikeluarkannya SK Gubernur Papua
No.50 tahun 2001 dan di perbaharui dengan SK Gubernur Papua No. 184 Tahun
2004 tentang standar kompensasi dimana pengusaha hutan diwajibkan
membayar kompensasi hak ulayat atas hilangnya sumber pangan masyarakat,
maka terdapat dua kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang ijin
HPH/IUPHHK. Satuan biaya kompensasi dikelompokkan menurut jenis kayu,
yaitu Rp. 100.000/m3 untuk kayu indah, Rp. 50.000/m3 untuk kayu merbau, Rp.
10.000/m3 kayu non merbau dan Rp. 3.000/m3 kayu bakau. Pemberian
kompensasi dilakukan berdasarkan hasil tebangan pada RKT berjalan dimana
masyarakat tersebut merupakan pemilik hak ulayat pada RKT tersebut.
Dengan adanya dua kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang ijin
HPH/HTI maka, pihak perusahaan merasakan tingginya beban yang harus di
keluarkan, belum lagi harga yang tak terduga akibat tidak konsistennya
masyarakat adat dalam pembagian kompensasi hak ulayat. Oleh karena itu
sejak dicabutnya SK Menhut No. 523/Kpts-II/1997 dan diberlakukannya Kepmen
4795/Kpts-II/2002 dan 177/Kpts-II/2003 maka, beban perusahaan berkurang
yang pada akhirnya memberi pengaruh pada bentuk pembinaan masyarakat
sudah semakin tidak tampak karena seluruh biaya pemberdayaan telah
tergabung dalam satuan kompensasi. Namun demikian, bantuan lain masih tetap
diberikan oleh pengelola IUPHHK dalam bentuk program SFCM.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa jauhkah penerimaan
masyarakat dari kompensasi hak ulayat terhadap peningkatan perekonomian
masyarakat? Apakah semakin meningkat atau kembali seperti kondisi semula
setelah tidak menerima kompensasi hak ulayat?
Besarnya kompensasi yang diterima oleh masyarakat pemilik hak ulayat
dalam kurun waktu 2007 – 2011 di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dilihat
pada tabel 4.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 7
Tabel 4. Besarnya pembayaran kompensasi hak ulayat oleh IUPHHK di Provinsi Papua dan Papua Barat sejak dalam kurun waktu 2007 – 2011.
Tahun Provinsi Papua (Rp) Provinsi Papua Barat (Rp)
2007 12.999.542.500
2008 12.469.200.400
2009 17.575.861.400 28.910.832.500
2010 21.998.000.000 20.605.236.000
2011 12.869.334.770 15.210.511.300
Jumlah 77,911,939,070 64,726,579,800
Rata-rata 15.582.387.814 21.575.526.600
Berdasarkan Tabel 4 nampak adanya perbedaan pembayaran kompensasi
hak ulayat oleh masyarakat pemilik di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hal ini
disebabkan terdapat perbedaan produksi kayu bulat yang menjadi acuan dalam
besarnya pembayaran kompensasi hak ulayat dimana produksi kayu bulat di
Provinsi Papua Barat didominasi oleh jenis merbau yang merupakan jenis dengan
nilai kompensasi kedua tertinggi setelah jenis kayu mewah.
Dari hasil perhitungan penerimaan kompensasi hak ulayat tersebut,
sebetulnya pendapatan masyarakat tersebut cukup besar belum termasuk
pendapatan lain dari aktivitas mata pencaharian yang dilakukannya sehari-hari.
Dari beberapa informasi, besarnya penerimaan kompensasi berkisar setiap
pemilik hak ulayat antara Rp. 300.000.000,00 sampai diatas 1 milyar rupiah.
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masyarakat sekitar hutan di beberapa
areal HPH/IUPHHK menyebutkan bahwa tingkat pendapatan masyarakat sekitar
hutan berkisar antara Rp. 894.850,- - Rp. 4.883.500,- /tahun atau Rp. 74.570,- -
Rp. 406.598,-/bulan (Irma Yeni, 2006). Rendahnya pendapatan penduduk
tersebut tidak serta merta membuat mereka tidak dapat hidup. Hal ini
disebabkan perhitungan pendapatan hanya pada uang tunai yang di terima tiap
bulannya melalui penjualan hasil usaha tani maupun jasa yang dikeluarkan.
Sedangkan hasil usaha tani yang dimakan langsung, dan jasa yang digunakan
tetapi tidak mendapatkan uang tunai tidak di hitung. Selain itu penerimaan dari
kompensasi hak ulayat tidak termasuk dalam komponen penerimaan. Oleh
karena itu walaupun jumlah pendapatan rendah, namun penduduk di desa
contoh mampu mencukupi kebutuhan bulanannya selama hasil kebunnya dapat
dimakan (tidak musim kemarau).
Apabila pendapatan dari kompensasi hak ulayat digunakan sebagai modal
usaha untuk peningkatan perekonomian masyarakat, maka pendapatan
8 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
masyarakat sekitar hutan pemilik hak ulayat akan semakin tinggi. Alternaif lain
yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan menginvestasikan sebagian
penerimaan kompensasi dalam bentuk tabungan atau di investasikan sebagai
saham pada HPH/IUPHHK yang beroperasi pada areal hak ulayatnya. Diharapkan
dengan adanya investasi tersebut masyarakat pemilik hak ulayat tidak hanya
mendapatkan nilai tambah dari keuntungan yang diperoleh oleh pihak
HPH/IUPHHK setiap tahunnya, tetapi dapat terlibat langsung dalam pengelolaan
hutan sebagai pemilik saham atau pemilik modal.
Penerimaan yang diperoleh dari kompensasi hak ulayat umumnya
digunakan untuk kebutuhan konsumtif sehingga tingkat perokonomian
masyarakat tidak berubah. Padahal pembayaran kompensasi dilakukan tidak
untuk selama masa konsesi tetapi setiap tahun tergantung sesuai kepemilikan
hak ulayat dimana tebangan dilakukan. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa
90% penerimaan kompensasi dimanfaatan untuk kebutuhan sehari-hari atau
bersifat konsumtif. Sedangkan pemanfaatan dalam upaya peningkatan
perekonomiannya hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat pada
beberapa wilayah yang dekat dengan daerah perkotaan (Irma Yeni, 2006). Oleh
sebab itu persepsi keberadaan HPH/IUPHHK terhadap peningkatan
perekonomian masyarakat sekitar hutan selalu negatif.
Kurangnya kesadaran masyarakat dalam peningkatan perekonomian
disebabkan beberapa kendala sebagai berikut :
1. Rendahnya fasilitas pendidikan pada kampung yang berada di sekitar hutan
alam produksi secara langsung memberi dampak pada rendahnya tingkat
pendidikan penduduk kampung tersebut. Sehingga membutuhkan waktu
yang lama agar dapat memacu kemandirian penduduk setempat.
2. Letak kampung yang terisolasi secara geografis membuat perekonomian
penduduk menjadi lemah, sebagai akibat tidak terbukanya pasar dan biaya
transportasi yang cukup tinggi.
3. Sifat komunalisme masyarakat yang tinggi, sehingga kurang mengenal uang.
4. Sifat masyarakat yang fitalis dan bergantung sepenuhnya pada alam.
5. Budaya meramu dan budaya cepat puas, menyebabkan penduduk hanya
melakukan kegiatan ekonominya untuk kebutuhan makan saja.
6. Rendahnya pengetahuan terhadap manajemen pengelolaan keuangan
keluarga sehingga pemanfaatan dana kompensasi hanya terbatas untuk
pemenuhan kebutuhan konsumtif.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 9
7. Kurangnya peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Oleh sebab itu maka perlu adanya terobosan untuk peningkatan
perekonomian masyarakat sekitar hutan terutama dalam pengelolaan dana
kompensasi hak ulayat. Peran pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) sangat penting dalam rangka pemanfaatan sumber dana dari kompensasi
sumberdaya hutan yang berkeadilan dalam rangka peningkatan perekonomian
masyarakat sekitar hutan. Jangan sampai konotasi negative pengelolaan
kehutanan “Hutan habis, masyarakat sekitar hutan tetap miskin” akan tetap
menjadi isu yang merugikan bagi pengelolaan hutan selanjutnya.
V. PENUTUP
Pengelolaan hutan di Papua yang telah berlangsung selama ini berperan
dalam peningkatan perekonomian bagi pemerintah dan masyarakat. Kontribusi
terhadap penerimaan PAD melalui PSDH dan DR tergantung dari produksi kayu
yang dihasilkan oleh IUPHHK. Namun dalam implementasinya, dana tersebut
tidak digunakan seluruhnya untuk pembangunan sektor kehutanan. Selain itu
kontribusi pengelolaan hutan terhadap perekonomian daerah yang tidak dapat
dihitung dengan bentuk dana adalah pembukaan daerah terisolir dalam bentuk
jaringan jalan yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan
masyarakat.
Kompensasi hak ulayat atas pengelolaan sumber daya hutan yang harus
dibayarkan oleh pemegang HPH/IUPHHK kepada pemilik ulayat seyogyanya
dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar hutan sebagai pemilik hak
ulayat. Namun kenyataaannya hanya memberikan manfaat sesaat dan tidak
untuk selanjutnya. Untuk itu perlu adanya peran pemerintah daerah dalam
membina masyarakat sekitar hutan, khususnya dalam bentuk aturan dan
kebijakan tetang pemanfaatan kompensasi hak ulayat. Akankah kompensasi
hanya akan menjadi sekedar pelepas dahaga sesaat bagi masyarakat sekitar
hutan yang notabene kaya potensi sumberdaya hutan? Jangan menjadikan
slogan HPH/IUPHHK pergi atau kompensasi habis, masyarakat pemilik hak ulayat
gigit jari.
10 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XVII. 2010. Statistik Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVII Jayapura. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVII Jayapura.
Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XVIII. 2012. Statistik Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVIII Manokwari. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVIII Manokwari.
Irma Yeni, 2006. Kajian Pola-Pola Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Papua. Laporan Kegiatan. BPK-Papua dan Maluku, Manokwari. (Tidak diterbitkan)
Pawitno 2003. Kontribusi Subsektor Kehutanan terhadap Pendapatan Daerah di Papua. [skripsi]. Manokwari : Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua Manokwari.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 11
PEMANFAATAN KAYU PAPUA KURANG DIKENAL MELALUI PENDEKATAN SIFAT DASAR KAYU
Freddy Jontara Hutapea1) dan Marinus Rumawak1)
1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia
RINGKASAN
Kayu merupakan sumber daya alam yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Kebutuhan akan kayu cenderung semakin meningkat dan menyebabkan ketersediaan kayu yang selama ini telah dikenal luas dalam dunia perdagangan semakin berkurang. Solusi yang ditawarkan untuk menjawab persoalan ini adalah melalui pemanfaatan kayu yang kurang dikenal. Papua dengan luasan hutan dan keanekaragaman yang sangat tinggi memiliki peluang yang cukup tinggi untuk menyediakan kayu tersebut. Persoalan lain yang timbul adalah minimnya data dan informasi mengenai sifat dasar kayu kurang dikenal tersebut. Oleh karena itu, penelitian terhadap sifat dasar jenis kayu kurang dikenal mutlak sangat dibutuhkan. Hasil pengujian terhadap sifat dasar empat jenis kayu Papua, menunjukkan bahwa Litsea ledermannii dapat digunakan sebagai bahan baku untuk konstruksi sedang, kayu lapis, papan, dinding, rangka pintu dan jendela, alat olahraga, serta moulding. Diospyros pilosanthera dapat digunakan sebagai bahan baku meubel, patung ukiran, kerajinan tangan serta vinir mewah. Tetrameles nudiflora dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan panel kayu dan kerajinan, dan juga sebagai bahan baku pulp. Rhus taitensis dapat digunakan sebagai bahan baku untuk konstruksi ringan, pertukangan, kayu lapis, dan juga sebagai bahan baku pulp.
Kata Kunci: Sifat dasar, kayu kurang dikenal, Litsea ledermannii, Diospyros
pilosanthera, Litsea ledermannii, Rhus taitensis.
I. PENDAHULUAN
Kayu merupakan sumber daya alam yang memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia. Di Indonesia terdapat sekitar 4.000 jenis kayu, dan
400 jenis diantaranya merupakan jenis yang telah dimanfaatkan (Anonim, 1952
dalam Sihati dkk, 2004), dan 260 jenis diantaranya telah ditetapkan sebagai kayu
perdagangan (Wikipedia, 2013).
Selama ini penggunaan kayu lebih cenderung kepada jenis komersil dan
kebutuhan akan kayu tersebut terus meningkat setiap tahunnya dimana saat ini
mencapai ± 50 juta m3/tahun (Suara Rakyat, 2013), sehingga menyebabkan
terjadinya eksploitasi yang berlebihan yang tidak diimbangi dengan permudaan.
Saat ini hutan sudah tidak mampu lagi menyuplai kebutuhan kayu tersebut.
Salah satu solusi yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan ini
adalah dengan pemanfaatan jenis kayu yang kurang dikenal (lesser known
12 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
species). Papua dengan luasan hutan mencapai ± 30 juta hektar (Greenpeace
Indonesia, 2011) dan dengan kekayaan tumbuhan berkayu tingkat pohon yang
tinggi (2.323 spesies) (Whitemore, Tantra, dan Sutisna, 1997 dalam Lekitoo,
2012) diharapkan dapat menjadi salah satu wilayah yang dapat menjawab
tantangan tersebut.
Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan jenis yang kurang dikenal ini,
terutama jenis kayu yang berasal dari Papua adalah minimnya informasi
mengenai sifat dasar dari kayu-kayu tersebut, sehingga pemanfaatannya sering
tidak optimal karena sering dicampurkannya jenis kayu yang mempunyai kualitas
rendah dengan kayu yang mempunyai kualitas baik dalam berbagai tujuan
(Muslich dkk, 2011). Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu usaha terlebih
dahulu untuk mengumpulkan dan meneliti sifat dasar dari berbagai jenis kayu di
Papua sebelum dimanfaatkan.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pentingnya
sifat dasar dalam upaya optimalisasi kayu-kayu yang selama ini kurang dikenal
dalam dunia perdagangan.
II. SIFAT DASAR KAYU
Sifat dasar kayu memegang peranan yang cukup penting dalam kegiatan
optimalisasi jenis kayu yang selama ini belum termanfaatkan. Frank Lloyd Wright
pernah mengatakan bahwa kita bisa memanfaatkan kayu secara bijaksana
apabila kita mengerti tentang kayu.
Kayu memiliki beberapa sifat sekaligus yang tidak dapat ditiru oleh bahan-
bahan lain (Dumanauw, 1990). Setiap jenis pohon memiliki sifat yang berbeda-
beda, oleh sebab itu jenis kayu yang dihasilkan juga memiliki sifat yang berbeda
pula (Pandit dan Ramdan, 2002). Perbedaan ini dapat terjadi antar jenis pohon
atau dalam jenis yang sama dan bahkan dapat terjadi perbedaan sifat dalam
satu batang pohon yang sama (Pandit dan Ramdan, 2002).
Sifat yang dimaksud adalah sifat yang berhubungan dengan sifat anatomi,
sifat fisik, sifat mekanik dan sifat kimia (Dumanauw, 1990). Dalam
perkembangannya, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan
dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) Badan Litbang Kehutanan Kementerian
Kehutanan melalui Rencana Penelitian Integratif (RPI) 2010-2014, sifat dasar
yang diteliti berkembang dan mencakup berbagai sifat seperti: sifat Anatomi,
sifat fisis dan mekanis, sifat pengerjaan dan pemesinan, sifat keawetan kayu
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 13
(terhadap rayap tanah, rayap kayu kering, jamur, dan marine borer), sifat
keterawetan kayu, sifat pengkaratan kayu, sifat kimia dan nilai kalor, sifat
pengolahan untuk pulp dan kertas, dan sifat venir dan kayu lapis.
Imam wahyudi dalam diskusi litbang anatomi kayu Indonesia di Bogor
pada tanggal 3-4 Juni 2013 mengatakan bahwa beberapa persyaratan bahan
baku kayu untuk tujuan penggunaan tertentu adalah sebagai berikut:
a. Kayu untuk pertukangan adalah kayu yang mampu memikul beban
(struktural); secara umum diperlukan kayu dengan BJ yang cukup tinggi
(>0,70); memiliki keawetan alami yang baik (kelas awet II); berserat lurus;
corak, warna, dan tekstur tidak menjadi pertimbangan. Sortimen gergajian
dengan BJ lebih rendah ditujukan untuk penggunaan lain yang tidak
mementingkan kekuatan. Jenis kayu yang biasa digunakan adalah keruing,
kapur (kamper), bangkirai, ulin, merbau, meranti batu, puspa, rasamala,
pasang, nyatoh, medang, sengon, dan lain sebagainya.
b. Kayu untuk bahan baku kayu lapis dan kayu lamina membutuhkan kayu yang
mudah dikupas atau disayat untuk dijadikan vinir; pada umumnya kayu
dengan BJ 0,50-0,75 lebih disukai; memiliki kelas awet yang cukup awet
(awet III); bentuk batang yang silindris hingga sedikit taper; tidak memiliki
banyak mata kayu dan bagian kayu reaksi; berserat lurus dan memiliki
kerekatan yang baik (tidak berminyak). Kayu-kayu yang memiliki mutu yang
lebih rendah( banyak mata kayu, batang taper, bengkok, dan lain sebagainya)
dapat dijadikan sebagai bahan baku papan partikel. Jenis-jenis kayu yang
biasa digunakan adalah berbagai jenis meranti (Shorea spp), kapur (kamper),
medang, merbau, terentang, sengon, jabon, dan lain sebagainya.
c. Kayu untuk bahan baku pulp dan kertas adalah kayu-kayu yang berserat
panjang, nilai bilangan runklenya rendah (< 0,25), berkadar lignin rendah,
ekstraktif rendah, tapi memiliki kandungan serat yang cukup (BJ 0,55-0,65
lebih disukai). Beberapa jenis kayu yang biasa digunakan adalah pinus,
agathis, jamuju, mangium, sengon, bakau, gmelina, perupuk, dan kayu-kayu
lain yang berwarna terang.
d. Kayu untuk bahan baku meubel dan furniture adalah kayu yang memiliki corak
menarik (dekoratif); bertekstur sedang-halus; kekuatan dan kekerasannya
sedang (BJ 0,55-0,75 lebih disukai); keawetan alami yang cukup tinggi (kelas
awet II-III); sifat keterakatan dan finishing-nya baik (tidak banyak
mengandung minyak) dan stabil. Jenis-jenis kayu yang biasa digunakan
14 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
adalah: jati, mahoni, pasang, ramin, merbau, karet, sungkai, mindi, suren,
saninten, agathis, dan lain sebagainya.
e. Kayu untuk bahan baku patung atau barang kerajinan adalah kayu yang
memiliki corak yang menarik (dekoratif); bertekstur sangat halus-halus; awet
(kelas awet II lebih disukai); kekuatan dan kekerasannya sedang (BJ 0,55-
0,75) dan stabil. Persyaratan kayu sebagai bahan baku patung dan barang
kerajinan adalah sama dengan persyaratan kayu untuk meubel dan furniture.
Jenis-jenis kayu yang biasa digunakan adalah jati, mahoni, eboni, suren,
sonokeling, sonokembang, pulai, jelutung, ramin, dan lain sebagainya.
f. Kayu untuk sumber energi termasuk kayu bakar adalah kayu-kayu yang
memiliki heating value yang tinggi seperti lamtoro dan kaliandra, dan lain
sebagainya.
III. SIFAT DASAR BEBERAPA KAYU PAPUA
1. Litsea ledermannii Teschner.
Kayu ini memiliki kayu teras yang berwarna coklat muda kekuningan dan
kayu gubal berwarna putih jerami, dengan corak polos kadang pada bidang
tangensial beralur bergantian warna gelap dan muda. Kayu ini memiliki tekstur
yang agak agak halus dan merata, arah serat yang lurus hingga berpadu,
permukaan kayunya mengkilap, kesan rabanya licin, dengan tingkat kekerasan
yang agak keras. Kayu ini tidak memiliki bau yang khas. Kayu ini memiliki lingkar
tumbuh yang tidak jelas, dengan pembuluh baur, dengan diameter pembuluh
100-200 mikron, dan ditemukan adanya sel minyak yang bergabung dengan jari-
jari dan parenkim aksial (Rulliaty dkk, 2010).
L. ledermannii merupakan kayu ringan (Dumanauw, 1990) dengan berat
jenis 0,50 (0,45-0,58), dan kelas kuat III-IV (Oey, 1990). Kayu ini memiliki kelas
awet V terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) dan rayap
kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light), dan kelas awet IV untuk
penggerek laut. Sifat pemesinan kayu ini berada pada kelas II untuk
pengetaman, pembentukan, dan pengampelasan, sedangkan pemboran dan
pembubutan tergolong kelas III. Sifat keterawetan kayu ini termasuk dalam
kriteria sedang dengan tingkat penetrasi yang mencapai 83% dan retensi bahan
pengawet sebesar 6,75 Kg/m3. Analisis sifat kimia menunjukkan bahwa kayu ini
memiliki kadar holoselulosa sebesar 52,67%, pentosan 17,71%, lignin 28,73%,
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 15
kadar air 11,96%, silika 0,138%, dan abu 1,43%. Kadar zat ekstraktif terlarut
dalam air dingin 6,19%, dalam air panas 7,78%, dalam NaOH 1% 24,70%, dan
alkohol benzene 6,22% (Rulliaty dkk, 2010).
2. Diospyros pilosanthera Blanco.
Kayu ini memiliki kayu teras yang berwarna hitam keunguan yang mudah
dibedakan dengan kayu gubalnya dengan tebal 10-15 cm dan berwarna merah
muda agak kecoklatan. Kayu ini memiliki corak yang sedikit beralur pada bidang
tangensial karena perbedaan warna kayu teras dan kayu gubal, tekstur yang
halus dan merata, dengan arah serat yang berpadu, agak mengkilap, licin, keras,
dan tidak memiliki bau khusus. Kayu ini memiliki lingkar tumbuh yang tidak jelas,
dengan pembuluh semi tata lingkar yang terkadang tidak jelas dan nampak baur,
diameter pembuluh sekitar 50-100 mikron. Kayu ini memiliki saluran interseluler
traumatik (Rulliaty dkk, 2011).
D. pilosanthera merupakan kayu berat (Dumanauw,1990) dengan berat
jenis 0,85, dan kelas kuat II (Oey, 1990). Kayu ini memiliki kelas awet I terhadap
rayap tanah C. Curvignathus, rayap kayu kering C. Cynocephalus, dan penggerek
laut. Qualitas pemesinan kayu ini yang meliputi pengetaman, pembentukan,
pengampelasan, pemboran, dan pembubutan tergolong sangat baik (kelas I).
Sifat keterawetan kayu ini tergolong kayu yang susah untuk diawetkan (penetrasi
55%, dan retensi 3,7 Kg/m3. Analisis sifat kimia menunjukkan bahwa kayu ini
memiliki kadar holoselulosa sekitar 53,57%, lignin 32,53%, pentosan 16,08%,
kadar air 11,32%, kadar silika 0,207% dan abu 0,55%. Kadar zat ekstraktif
terlarut dalam air dingin 2,13%, dalam air panas 5,51%, dalam NaOH 1%
16,12%, dan dalam alkohol benzene 3,62% (Rulliaty dkk, 2011).
3. Tetrameles nudiflora R. Br
Kayu ini memiliki warna putih krem (kuning muda) dimana perbedaan
antara kayu gubal dan kayu teras tidak jelas, lingkaran tahun tidak jelas, dengan
tekstur yang agak kasar, dan tingkat kekerasan yang agak lunak, arah serat yang
lurus, dan kayu agak kusam. Kayu ini memiliki lingkar tumbuh yang tidak jelas,
dengan pembuluh baur, soliter, dan berganda radial. Panjang rata-rata serat
1600 mikron, diameter 42,50 mikron, dan tebal dinding 7,64 mikron (Hutapea
dkk, 2012).
T. nudiflora merupakan kayu ringan (Dumanauw, 1990) dengan berat
jenis 0,28 dan kelas kuat V. Kayu ini memiliki kelas awet V terhadap rayap tanah
16 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
C. curvignathus dan kelas awet IV terhadap rayap kayu kering C. Cynocephalus
dan binatang laut. Sifat pemesinan kayu ini yang meliputi pengetaman,
pembentukan, pemboran, dan pembubutan berada pada kelas III sedangkan
pengampelasan berada pada kelas II. Kayu ini merupakan kayu yang mudah
untuk diawetkan (penetrasi 100%, retensi 18,16 Kg/m3). Analisis sifat kimia
menunjukkan bahwa kayu ini memiliki kadar selulosa 54,05%, lignin 29,36%,
pentosan 12,15%, kadar abu 1,78%, silika 0,080%, kelarutan dalam air dingin
1,73%, dalam air panas 4,15%, dalam NaOH 1% 11,21%, dalam alkohol
benzene 5,87% (Hutapea dkk, 2012).
4. Rhus taitensis Guill
Kayu ini memiliki warna yang coklat kemerahan dimana perbedaan antara
kayu gubal dan kayu terasnya jelas, dengan tekstur yang agak kasar, permukaan
kayu agak mengkilap, kayunya agak keras dan memiliki serat yang
bergelombang. Kayu ini memiliki lingkar tumbuh yang jelas, dengan pembuluh
baur, soliter. Panjang rata-rata serat 1.440 mikron, diameter 26,45 mikron, tebal
dinding 6,78 mikron, dan ditemukan adanya Kristal prismatik dalam parenkim
aksial berbilik (Hutapea dkk, 2012).
R. taitensis merupakan kayu yang tergolong agak berat (Dumanauw,
1990) dengan berat jenis 0,67 dan kelas kuat III (Oey, 1990). Kayu ini memiliki
kelas awet IV terhadap rayap tanah C. curvignathus dan binatang laut dan kelas
awet II terhadap rayap kayu kering C. cynocephalus. Sifat pemesinan kayu ini
yang meliputi pengetaman, pembentukan, pengampelasan, pemboran, dan
pembubutan berada pada kelas II. Kayu ini memiliki keleas keterawetan yang
sedang (penetrasi 70,9%, retensi 4,28 Kg/m3). Analisis sifat kimia menunjukkan
bahwa kayu ini memiliki kadar selulosa 50,03%, lignin 22,44%, pentosan
16,27%, kadar abu 0,83%, kadar silika 0,221%, kelarutan dalam air dingin
5,65%, dalam air panas 7,12%, dalam NaOH 1% 21,37%, dan dalam alkohol
benzene 6,01 % (Hutapea dkk, 2012).
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 17
IV. REKOMENDASI PEMANFAATAN KAYU
Berdasarkan tinjauan terhadap beberapa sifat dasar kayu penting yang
diperoleh dari pengujian terhadap kayu-kayu diatas, maka rekomendasi terhadap
penggunaan kayu-kayu tersebut adalah sebagai berikut:
1. L. ledermannii dapat digunakan untuk konstruksi sedang, kayu lapis, papan
dinding, rangka pintu dan jendela, alat olahraga, serta moulding (Rulliaty
dkk, 2011).
2. D. pilosanthera dapat digunakan untuk meubel, patung ukiran, kerajinan
tangan serta vinir mewah (Rulliaty dkk, 2011).
3. T. nudiflora dapat digunakan sebagai bahan pembuatan panel kayu dan
kerajinan, dan juga sebagai bahan baku pulp (Hutapea dkk, 2012).
4. R. taitensis dapat digunakan sebagai bahan konstruksi yang tidak terlalu
berat, bahan baku kayu lapis, pertukangan, dan bahan baku pulp (Hutapea
dkk, 2012).
V. KESIMPULAN
Papua memliki potensi yang sangat besar dalam hal penyediaan kayu
karena Papua memiliki keragaman jenis yang sangat tinggi. Sifat dasar kayu
memiliki peran yang sangat besar dalam rangka pemanfaatan kayu ke arah yang
lebih optimal, sesuai dengan sifat yang dimilikinya. Dari tinjauan terhadap sifat
dasarnya, keempat jenis kayu dapat digunakan untuk berbagai tujuan tertentu
seperti konstruksi ringan, bahan baku meubel dan kerajinan, alat olahraga, dan
lain-lain. Penelitian pengembangan terhadap jenis-jenis kayu ini tidak menutup
kemungkinan akan menambah manfaat kayu ini.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan banyak terimakasih terhadap Pusat Penelitian dan
Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah)
Bogor, Drs. Moch. Muslich, M.Sc, Dra. Sri Rulliaty, M.Sc, Andianto, Nurwati
Hadjib, Abdurrachman, Eliazer Ergor (Alm), Balai Penelitian Kehutanan
Manokwari yang mendanai kegiatan penelitian ini, dan juga kepada segenap
teknisi/laboran, dan juga peneliti/pakar yang banyak memberi masukan dalam
menyelesaikan kegiatan penelitian sifat dasar kayu Papua ini.
18 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
DAFTAR PUSTAKA
Dumanauw, J. F. 1990. Mengenal Kayu. Kanisius. Semarang.
Greenpeace Indonesia. 2011. Hutan Surga Papua yang Semakin Terancam. http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-surga-papua-yang-semakin-terancam/blog/36462/. Diakses tanggal 10 September 2013.
Hutapea, F.J.,M. Rumawak, dan E. Ergor. 2012. Sifat Dasar Dua Jenis Kayu Papua. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Tidak diterbitkan.
Lekitoo, K. 2012. Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora di Tanah Papua. Prosiding Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian tanggal 23-24 Oktober 2012 di Manado. Hlm 155-178. Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Muslich, M., N. Hadjib, dan S. Rulliaty. 2011. Manfaat Pohon Ki Kendal (Ehretia acuminatissima R. Br). Buletin Hasil Hutan 17(1): 1-7. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.
Oey, D.S. 1990. Berat Jenis Dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia Dan Pengertian Beratnya Kayu Untuk Keperluan Praktek. Pengumuman. Nr.13. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Pandit, I.K.N. dan H. Ramdan. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu Sebagai Bahan Baku. Yayasan Penerbit. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rulliaty, S. dkk. 2011. Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Papua. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan.
Sihati, S., Djarwanto. & Hudiansyah. 2004. Ketahanan Lima Jenis Kayu Terhadap Beberapa Jamur Perusak Kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22(4): 239-246.
Suara Rakyat. 2013. Hutan dan Pembangunan Peradaban. http://www.suratrakyat.com/article/F0B7q7tGw3KI____hutan-dan-pembangunan-peradaban. Diakses tanggal 10 September 2013.
Wikipedia. 2013. Daftar Kayu di Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kayu_di_Indonesia. Diakses tanggal 10 September 2013.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 19
PERTUMBUHAN SAGU (Metroxylon Spp) DI DEMPLOT KOYANI-MANOKWARI
Batseba A. Suripatty1)
1) Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia
Ringkasan
Budidaya yang meliputi pemilihan, pengambilan dan persiapan anakan, penanaman dan pemeliharaan serta panen sangat penting dalam menjamin kesinambungan bahan baku khususnya industri pengolahan sagu untuk biofuel. Pengembangan sagu berskala industri sebaiknya tanpa merugikan masyarakat di sekitar hutan yang memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan. Pembudidaya sagu yang baik memberikan jaminan keberhasilan tanaman sagu sebagai pemasok bahan baku industri pengolahan sagu. Dengan demikian kebutuhan tepung sagu baik kuantitas maupun kualitasnya dimasa yang akan datang tidak mengandalkan dari tegakan alam. Tujuan penelitian adalah mendapatkan teknik budidaya beberapa varietas sagu dari beberapaa lokasi untuk cadangan bahan baku biofuel. Penelitian dilakukan bulan Juli 2013 di SP 6, Prafi Distrik Masni Kabupaten Manokwari. Jumlah pelepah anakan sagu (Metroxylon sp) yang paling tinggi adalah jenis sagu sub spesies Antar 8, Noiin. Tinggi anakan sagu (Metroxylon sp) yang sangat tinggi adalah jenis Makbon dan Hawar adalah 172 cm. Keliling anakan sagu (Metroxylon sp) keliling yang sangat tinggi adalah sub spesies Hawar adalah 51 cm.
Kata kunci : Demplot, Metroxylon spp, potensial, biofuel
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sagu (Metroxylon spp) yang tumbuh di tempat berawa dapat mencapai
tinggi rata-rata 12,5 meter (Herman, 1984), demikian juga hasil tepung basah
(kg /batang) untuk setiap jenis sagu cukup pada beberapa provinsi bervariasi
dari 300 kg/batang – 700 kg/batang (Soekarto dan Wijandi, 1983).
Budidaya yang meliputi pemilihan, pengambilan dan persiapan anakan,
penanaman dan pemeliharaan serta panen sangat penting dalam menjamin
kesinambungan bahan baku khususnya industri pengolahan sagu untuk biofuel.
Pengembangan sagu berskala industri sebaiknya tanpa merugikan masyarakat di
sekitar hutan yang memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan.
Pembudidaya sagu yang baik memberikan jaminan keberhasilan tanaman
sagu sebagai pemasok bahan baku industri pengolahan sagu. Dengan demikian
kebutuhan tepung sagu baik kuantitas maupun kualitasnya dimasa yang akan
datang tidak mengandalkan dari tegakan alam.
20 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Budidaya sagu untuk tujuan peneyediaan bahan baku biofuel memerlukan
tindakan silvikultur yang tepat agar kuantitas dan kualitas tepung sagu untuk
biofuel dapat tercapai. Salah satu komponen utama dalam peningkatan kualitas
tepung sagu untuk biofuel adalah karbohidrat (KH), artinya tindakan silvikultur
dalam rangka meningkatkan kadar KH sagu melalui pemupukan dan
pemeliharaan pohon induk sangat diperlukan.
Sehubungan dengan itu, maka penelitian budidaya sagu melalui demplot
budidaya sagu merupakan langkah yang penting untuk meningkatkan
produktivitas kawasan hutan sagu di Papua dan Papua Barat.
B. Tujuan
Tujuan penelitian adalah mendapatkan pertumbuhan beberapa varietas
sagu untuk cadangan bahan baku biofuel.
II. METODOLOGI
a. Waktu dan Lokasi Penelitian
Waktu penelitian dilakukan bulan Juli 2013 di Satuan Pemukiman (SP) 6
Koyani Distrik Masni Kabupaten Manokwari. Pengukuran dilakukan terhadap
tanaman sagu yang berumur 4 tahun.
b. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah tanaman sagu sub spesies Antar, Hawar,
Noiin, Huwor, Makbom, dan di Yeriran (menggunakan bahasa daerah
Sereweng). Alat yang digunakan mistar ukur, kaliper dan alat tulis.
c. Prosedur Penelitian
Tanaman sagu yang ada yaitu sub spesies Antar, Hawar, Noiin, Huwor,
Makbom, dan di Yeriran berumur 3 tahun 7 bulan, yang ditanam secara jalur
dengan jarak tanam adalah 8 m x 8 m. Pengukuran sagu sub spesies Antar,
Hawar, Noiin, Huwor, Makbom, dan di Yeriran yaitu dengan mengukur tinggi,
diameter jumlah pelepah masing-masing sagu sub spesies, data tersebut di
susun secara tabulasi kemudian dirata-ratakan.
d. Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), sagu sub
spesies terdiri dari 6 sub spesies terdiri dari 4 jalur, setiap jalur terdiri dari 10
tanaman, jalur pengamatan merupakan ulangan sehinga dibutuhkan 240
anakan.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 21
e. Analisa Data
Analisis data menggunakan Analisis Ragam (ANOVA). Untuk mengetahui
pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan Uji BNJ. Variabel yang diukur adalah
pertambahan tinggi, diameter dan jumlah pelepah yang disusun secara tabulasi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil
1. Tinggi
Tinggi rata-rata sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor,
Makbom dan Yeriran. berdasarkan jenis seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Tinggi sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor,
Makbom dan Yeriran
Dari Gambar 1 diatas nampak bahwa tinggi anakan sagu sub spesies
yang sangat tinggi berturut-turut adalah jenis Antar adalah 6.5 m, Hawar dan
Huwor masing-masing adalah 5,5 m, Noiin dan Makbom masing-masing adalah
4 m, Yeriran adalah 5 m.
2. Diameter
Diameter rata-rata sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor,
Makbom dan Yeriran seperti pada Gambar 2.
6.5
5.5
4
5.5
4
5
0
1
2
3
4
5
6
7
Antar Hawar Noiin Huwor Makbom Yeriran
Tinggi
22 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Gambar 2. Diameter sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor,
Makbom dan Yeriran
Sagu sub spesies sangat tinggi berturut-turut adalah sagu sub spesies
jenis Antar adalah 60 cm, Hawar dan Huwor masing-masing adalah 55 cm,
Noiin 45 cm, Makbom adalah 44 cm dan Yeriran adalah 47 cm.
3. Jumlah Pelepah
Jumlah pelepah rata-rata sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin,
Huwor, Makbom dan Yeriran seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Jumlah pelepah sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor,
Makbom dan Yeriran (Metroxylon spp).
Dari Gambar 3 diatas nampak bahwa sagu sub spesies yang jumlah
pelepah paling tinggi berturut-turut adalah sagu sub spesies jenis Antar adalah
19, Hawar dan Huwor masing-masing adalah 12, Noiin adalah dan Makbom
masing-masing adalah 11, dan Yeriran adalah 14 .
60 55
45 55
44 47
0
20
40
60
80
Antar Hawar Noiin Huwor Makbom Yeriran
Diameter
19 12
12 11 11
14
0
5
10
15
20
Antar Hawar Huwor Noiin Makbom Yeriran
Jumlah Pelepah
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 23
b. Pembahasan
Dari hasil secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa sagu sub spesies
yang ditanam berumur 3 tahun 7 bulan memberikan hasil rata-rata yaitu untuk
pertumbuhan tinggi sagu sub spesies terlihat bahwa jenis Antar lebih tinggi yaitu
6,5 m, dari sub spesies Hawar dan Huwor masing-masing adalah 5,5 m, Yeriran
5 m dan Noiin dan Makbom adalah 4 m. Hasil pertumbuhan diameter sagu sub
spesies terlihat bahwa jenis Antar adalah 60 cm, Hawar dan Huwor adalah
masing-masing adalah 55 cm, lebih tinggi dari sagu sub spesies Noiin 45 cm,
Makbom 44 cm dan Yeriran 47 cm. Sedangkan untuk pertumbuhan jumlah
pelepah sagu sub spesies terlihat bahwa jenis Antar lebih tinggi yaitu 6,5 m, dari
sub spesies Hawar dan Huwor masing-masing adalah 5,5 m, Yeriran 5 m dan
Noiin dan Makbom adalah 4 m.
Variabel pengamatan seperti tinggi, diameter dan jumlah pelepah untuk
masing-masing sagu sub spesies masih cukup tinggi namun hasilnya juga
berbeda. Variabel tinggi masih memberikan hasil yang lebih besar dari diameter
untuk semua jenis sagu sub spesies yang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat
Baker (1950) bahwa pada awal pertumbuhan, pertambahan tinggi lebih cepat
dari pada pertambahan diameter. Selain itu untuk umur semai, pancang dan
tiang pertumbuhan tinggi suatu jenis tanaman lebih cepat dari pada diameter.
Selain itu diameter batang tanaman ditentukan oleh sifat atau bentuk kerapatan
tegakan, sifat genetis, jarak antara tanaman, umur tanaman, pemeliharaan
lingkungan dan sistim pengelolaan.
Pertumbuhan tinggi dan diameter pohon tergantung pula pada faktor-
faktor seperti lokasi, unsur hara tanah, umur tanaman, kelembaban tanah,
intensitas cahaya, tajuk, dan sifat dari pohon itu sendiri serta kemampuan
melakukan fotosintesa. Hal ini diduga karena, anakan yang digunakan sudah
siap untuk dipindahkan kelapangan dan pada saat penanaman terjadi musim
hujan sehingga ketersediaan air tanah yang ada sangat mendukung
pertumbuhan sagu untuk dapat bertahan hidup. Selain itu jenis tanah yang ada
pada lokasi penanaman termasuk lembab sampai berawa sehingga pada saat
musim hujan tanah tergenang air. Hal lain juga yang mendukung pertumbuhan
sagu tersebut dapat tumbuh juga dengan baik karena lokasi penanaman dalam
keadaan terbuka, sehingga proses fotosintesa dapat berjalan dengan baik. Hal
24 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
lain juga yang mendukung pertumbuhan sagu dengan baik adalah cara
penanaman yang benar jadi bibit sudah siap baru dipindahkan ke lapangan.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
a. Kesimpulan
Pertumbuhan sagu sub spesies Antar pada demplot yang ada memberikan
hasil pertumbuhan yang sangat tinggi untuk tingggi, diameter dan jumlah
pelepah, karena pemeliharaan yang secara rutin dan memberikan ruang tumbuh
untuk tanaman sagu (Metroxylon sp) tersebut.
b. Rekomendasi
Perlu pemeliharaan yang rutin sehingga tidak memberikan pertumbuhan
kepada gulma yang akan tumbuh mengganggu tanaman sagu sub spesies Antar,
Hawar, Noiin, Huwor, Makbom dan Yeriran yang ada di demplot .
DAFTAR PUSTAKA
Baker, F. S. 1950. Principles of Silvikulture, Mc Graw Hill Book Company Inc., NeW York.
Herman, D. 1984. Mengenal lebih dekat sagu sebagai sumber bahan pangan. Majalah kehutanan Indonesia No.2.
Herlina E., Rumbino A. Dan Manusawai J. (2001). Teknik Pembibitan dan Penanaman Sagu (Metroxylon sagu) Oleh Penduduk Air Besar dan Desa Kanantare kecamatan Fak-fak Kabupaten fak-fak. Fakultas Kehutanan. UNIPA, Manokwari
Snedecor, G. W. Dan G.W. Cochran. 1983. Statistical methods Oxford dan IBH Publishing Co., Calcuta Bombay, New delhi
Soekarto, S. T dan S. Wijandi. 1983. Prospek Pengembangan Sagu sebagai Sumber Pangan di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Rostiwati T., N. Mindawati, M. Suharti dan Pratiwi. 1989. Teknik Penanaman Sagu. Puslitbang Bogor.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 25
STATUS PEMANFATAN DAN PENGELOLAAN LABI-LABI MONCONG BABI DI PAPUA
Richard Gatot Nugroho Triantoro1), Yohannes Wibisono1), Titiek Setyawati2), Mirza Dikari Kusrini3), Lilik Budi Prasetyo3)
1)Balai Penelitian Kehutanan ManokwariJl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
Email : [email protected]
2)Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Konservasi Alam
Jl. Gunung Batu, Bogor, Indonesia
3)Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor Jl. Raya Darmaga, Bogor, Indonesia
PENDAHULUAN
Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) merupakan salah satu
jenis kura-kura air tawar yang sebarannya di Indonesia hanya mencakup wilayah
Papua bagian Selatan. Bentuk hidungnya yang menyerupai hidung babi
menjadikan satwa ini mempunyai keunikan tersendiri. Di Indonesia, jenis labi-
labi moncong babi dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
327/Kpts/Um/5/1978, dikuatkan pula oleh PP No. 7 Tahun 1999 (Noerdjito dan
Maryanto, 2001), dan belum diberikan kuota pemanfaatan walau masuk dalam
Apendiks 2 CITES (Dirjen PHKA, 2007, 2008; Kemenhut, 2010, 2011, 2012).
Sebagai satwa dengan keunikan tersendiri, permintaan untuk pasar
perdagangan sangat tinggi karena nilai ekonominya cukup tinggi. Selain
dipasarkan sebagai hewan peliharaan (pet), daging labi-labi juga dikonsumsi dan
digunakan sebagai obat serta bahan kosmetik. Dampak tingginya permintaan
pasar perdagangan dan tanpa didukung oleh upaya pengembangbiakan melalui
penangkaran, mengakibatkan eksploitasi labi-labi moncong babi dari alam terus
terjadi tanpa mempertimbangkan lagi status perlindungan, proses pemanenan,
dan intensitas pemanenan. Pemanenan labi-labi moncong babi dari alam untuk
konsumsi perdagangan terus terjadi setiap tahun di musim peneluran, dan
perdagangan ilegalnya juga ditemui pada tempat penjualan satwa di dalam dan
luar negeri seperti di Jakarta (Shepherd dan Nijman, 2007; Daniel, 2011) dan
Singapura (Goh dan O‟Riordan, 2007).
Pemanenan dan perdagangan ilegal memberikan tekanan dan ancaman
terhadap populasi labi-labi moncong babi di alam. Tekanan dan ancaman
26 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
menjadi lebih kompleks dengan adanya pemekaran wilayah. Khususnya di Papua
Barat (Indonesia) dan Papua New Guinea, tekanan pada labi-labi moncong babi
telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena pertumbuhan
populasi manusia, kecenderungan yang lebih besar bagi pembangunan desa-
desa di tepi sungai setelah penghentian perang suku dan pengenalan teknologi
baru (Alvarenga, 2010).
Upaya melindungi satwa warisan dunia ini dari kepunahan, harus
dilakukan dengan cepat dengan mengedepankan peran masyarakat lokal di
sekitarnya sebagai mitra. Pemanenan telur dan induk sebagai dampak ikutannya
yang dilakukan intensif dalam beberapa tahun terakhir, dapat menyebabkan
penurunan populasi yang apabila tidak diantisipasi berujung pada kepunahan
jenis di alam. Oleh karenanya perlu dilakukan pengelolaan yang dapat
mengakomodir berbagai pihak agar fungsi perlindungan, pengawetan, dan
pemanfaatan dapat berjalan bersama, dan menghindari terjadinya konflik.
STATUS PEMANFAATAN
Kabupaten Asmat merupakan pemekaran kabupaten dari Kabupaten
Merauke di Papua bagian Selatan. Populasi labi-labi moncong babi di wilayah ini
cukup baik yang indikatornya terlihat dari adanya pemanenan telur labi-labi
moncong babi (secara illegal) di musim peneluran secara berkesinambungan.
Setiap tahun telur labi-labi moncong babi di wilayah Asmat di eksploitasi dan
intensitas pemanenan semakin tinggi dalam 5 tahun terakhir ini. Hasil
pengamatan Triantoro (2012) menunjukkan bahwa intensitas pemanenan telur
sangat tinggi (100%), yakni seluruh sarang yang ditemui dibongkar dan seluruh
telur dalam sarang alami diambil. Total telur yang di panen dalam satu musim
peneluran (3-4 bulan/tahun) oleh para pengumpul sulit diperoleh karena adanya
keterbatasan dalam hal keterbukaan informasi. Pengambilan data langsung di
lapangan juga mengalami keterbatasan dalam hal lamanya waktu di lapangan,
tidak adanya pemukiman di sepanjang sungai, keterbatasan pendidikan pada
masyarakat lokal, dan aksesibilitas ke seluruh pasir peneluran. Terlepas dari
kendala yang dihadapi, jumlah telur yang diperoleh dari beberapa pengumpul di
setiap musim peneluran tergambar pada tabel 1 di bawah ini.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 27
Tabel 1. Total pemanenan telur labi-labi moncong babi dari beberapa pengumpul pada beberapa sungai di Kabupaten Asmat
Lokasi Tahun Panen
Jumlah Pengumpul
Jumlah Telur
Jumlah Sarang Lama pengumpulan
Sungai Vriendschap
2010 6 20.650 1.032 2 – 5 bulan 2 minggu
2011 5 26.550 1.327 2 – 4 bulan 2 minggu
2012 1 5.800 400 Minggu ke 3 Agustus s/d 10 November
Sungai Catarina
2011 2 5.300 265 2 – 5 bulan 1 minggu
2012 1 2.200 110 3 bulan 1 minggu
Sungai Jerep 2011 1 1.050 53 1 bulan
2012 1 320 16 s/d 15 November
Sebagai pembanding, jumlah sarang yang berhasil terdata tahun 2009
selama 1 bulan 4 hari sebanyak 14.400 butir telur dari 720 sarang (Triantoro dan
Rumawak, 2010) dan tahun 2011 selama 18 hari sebanyak 2.780 butir telur dari
132 sarang (Triantoro, 2012). Perbedaan antara hasil pendataan langsung
dengan hasil pemanenan telur oleh pengumpul, terlihat sangat jauh berbeda.
Perbedaan disebabkan oleh : 1) pengumpul mengumpulkan telur dalam rentang
musim peneluran (3 - 4 bulan), 2) pengumpul mendapat setoran dari
pengumpul lain, dan 3) pengumpul mempunyai ketersediaan sarana prasarana
untuk mengakses seluruh wilayah lokasi peneluran. Jumlah telur dan sarang
yang dapat dipanen setiap harinya di musim peneluran, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kepadatan jumlah telur dan sarang harian dalam rentang waktu pemanenan di Sungai Vriendschap, Kabupaten Asmat
Pengumpul
Tahun 2010
Σ Hari Σ (telur/sarang)/hari
Σ telur 20650 164 125.9 (butir)
Σ sarang 1032 164 6.3 (sarang)
Tahun 2011
Σ telur 26550 134 198.1 (butir)
Σ sarang 1327 134 9.9 (sarang)
Tahun 2012
Σ telur 5800 54 107.4 (butir)
Σ sarang 400 54 7.4 (sarang)
Pendataan langsung
Tahun 2009
Σ telur 14400 34 423.5 (butir)
Σ sarang 720 34 21.2 (sarang)
Tahun 2011
Σ telur 2780 18 154.4 (butir)
Σ sarang 132 18 7.3 (sarang)
Kepadatan sarang harian terlihat cukup baik (Tabel 2) dengan
diperolehnya sarang setiap harinya. Hasil penelitian Triantoro (2012)
menemukan bahwa kepadatan sarang yakni 0,23/ha untuk setiap luasan pasir
tanpa adanya vegetasi, sedangkan pada pasir bervegetasi diperoleh kepadatan
28 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
sarang 2,76/ha. Selanjutnya pada setiap 1 Km panjang pasir diperoleh
kepadatan sarang 0,75 sarang/Km pada pasir tanpa adanya vegetasi, sedangkan
pada pasir bervegetasi diperoleh kepadatan sarang sebesar 9 sarang/Km.
SEBARAN SARANG DAN NILAI EKONOMI LABI-LABI MONCONG BABI
Pola sebaran sarang labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap adalah
mengelompok (aggregate dispersion) dimana pemilihan habitat bersarang berada
pada pasir peneluran di wilayah adat Obokain (Triantoro, 2012). Sebaran
kelompok terjadi ketika individu cenderung tertarik ke (atau lebih mungkin
bertahan dalam) bagian tertentu dari lingkungan, atau ketika kehadiran satu
individu menarik atau memunculkan lainnya mendekat ke lingkungan tersebut
(Begon et al., 2006). Sarang yang berkelompok terjadi sebagai akibat dari
komunikasi sosial diantara induk betina yang melakukan aktifitas peneluran.
Keberhasilan induk sebelumnya dalam bersarang dapat menarik induk lainnya
untuk bersarang pula. Interaksi sosial diantara individu-individu mungkin
menjadi gambaran biasa dari kehidupan, terutama bagi individu yang hidup
dalam kelompok atau menduduki wilayah yang berbatasan atau dapat terjadi
sekali sehari, seminggu sekali, dan bahkan hanya setahun sekali selama musim
reproduksi pada kepadatan spesies rendah (Vitt dan Caldwell, 2009). Tingkah
laku bersarang labi-labi moncong babi yang bersifat mengelompok pada satu sisi
menjadi salah satu faktor penentu bagi peletakan dan keberhasilan persarangan,
sementara di sisi lain dapat memudahkan hilangnya sarang akibat pemanenan
oleh manusia dan rusaknya sarang akibat pemangsaan satwa lainnya seperti babi
hutan (Sus sp.) dan biawak (Varanus sp.). Pola sebaran sarang yang
mengelompok, secara tidak langsung turut memberikan kemudahan bagi
manusia untuk memanen telur-telur karena waktu yang dibutuhkan lebih cepat
dan biaya operasional lebih kecil.
Reptil besar sangat rentan terhadap pemusnahan oleh manusia karena
dapat digunakan sebagai makanan, memiliki kulit yang berharga, relatif mudah
untuk diburu, dan memiliki sejarah kehidupan yang membuat sulit masyarakat
untuk mempertahankan pemanenan terhadap satwa besar terus-menerus (Vitt
dan Caldwell, 2009). Intensitas pemanfaatan telur labi-labi moncong babi yang
sangat tinggi di Sungai Vriendschap menjadi ancaman tersendiri bagi pelestarian
populasinya di alam. Di Sungai Kikori (PNG), intensitas pemanfaatan yang
sangat tinggi menyebabkan penurunan kualitas telur dalam rentang tahun 2003
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 29
– 2006 (Georges et al., 2008b) dan penurunan populasi secara substansial dalam
tiga dekade terakhir yang terindikasi dari kombinasi permintaan dan harga pasar,
tingkat pemanenan yang sangat tinggi oleh manusia, dan penurunan yang nyata
dalam ukuran induk betina yang dipanen (Eisemberg et al., 2011).
Nilai ekonomi yang dihasilkan dari perdagangan labi-labi moncong babi
sangat tinggi bagi masyarakat lokal belum mengenyam pendidikan. Dampaknya
adalah masyarakat belum berhenti melakukan pemanenan sebelum populasi di
alam habis atau permintaan pasar terhadap jenis ini menurun. Kemungkinan
kedua sulit untuk diharapkan karena permintaan pasar tidak pernah berhenti
sebelum sumberdaya habis, sementara melarang masyarakat lokal untuk tidak
melakukan pemanenan sumberdaya yang telah memberi mereka nilai ekonomi
secara langsung, hanya menciptakan konflik-konflik baru. Ketika sumberdaya
yang dieksploitasi mulai berkurang, harga ikut meningkat dan menciptakan
insentif besar untuk eksploitasi berlebihan, menyebabkan sumberdaya menjadi
langka dan bahkan punah (Indrawan et al., 2007). Gambaran nilai ekonomi yang
beredar di lokasi pemanenan dapat dilihat dari perhitungan sederhana jumlah
telur yang dapat dihasilkan dalam satu musim peneluran. Hasil penelitian selama
18 hari tahun 2012 (Triantoro, 2012), diperoleh jumlah sarang sebanyak 132
sarang, jumlah telur rata-rata tiap sarang adalah 20 butir, harga jual rata-rata
tukik di Vriendschap adalah Rp 17.500 dan harga jual rata-rata tukik di luar
Vriendschap adalah Rp 40.000. Dengan asumsi 1) setiap 18 hari (3 minggu)
jumlah sarang yang dipanen adalah tetap sebanyak 132 sarang, 2) puncak
musim peneluran selama 3 (tiga) bulan (12 minggu) antara September dan
November (jumlah 528 sarang), 3) dari 528 sarang diperoleh 10.560 butir telur,
dan 4) semua telur menetas menjadi tukik. Berdasarkan asumsi tersebut maka
nilai ekonomi yang beredar di wilayah Vriendschap sebanyak Rp 184.800.000 dan
di luar wilayah Vriendschap sebanyak 422.400.000. Nilai asumsi tersebut dapat
berubah sejalan dengan banyaknya telur atau sarang yang dapat di panen setiap
tahunnya, naiknya harga jual tukik dan keberhasilan tetas tukik.
PENGELOLAAN LABI-LABI MONCONG BABI DI SUNGAI VRIENDSCHAP
Habitat merupakan fungsi penting bagi satwa liar sebagai tempat
perlindungan, mencari makan, melakukan perkawinan, aktifitas bertelur dan
pergerakan dalam mendukung tumbuh dan berkembangnya populasi. Populasi
yang baik ditandai dengan stabilnya populasi di alam bahkan cenderung
30 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
meningkat sampai batas kemampuan daya dukung habitatnya. Semakin tinggi
populasi semakin tinggi pula persaingan dalam memperoleh fungsi dari habitat
sehingga menimbulkan persaingan dalam satu jenis atau antar jenis. Untuk
mengatur keseimbangan habitat dan populasi satwa liar di alam, dibutuhkan
pengelolaan terhadap kawasan dengan baik. Sistem pengelolaan yang
terencana, tersusun dan termonitoring dengan baik dapat mendukung konservasi
satwa liar di alam. Pasal 5 Undang-undang (UU) No. 5 tahun 1990 menjelaskan
kegiatan konservasi dilakukan melalui kegiatan 1) perlindungan sistem
penyangga kehidupan, 2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, dan 3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya.
Kawasan Vriendschap adalah suatu wilayah yang terdiri dari Sungai
Vriendschap sebagai sungai utama serta alur-alur sungai dan rawa yang sangat
banyak. Panjang Sungai Vriendschap ± 110 km yang dimulai dari bagian hulu
(pertemuan dengan muara Sungai Baliem dan Sungai Seng) sampai ke bagian
hilir atau muara yang bertemu dengan muara Sungai Catarina. Aksesibilitas ke
wilayah Sungai Vriendschap cukup terbuka yang dapat dijangkau dari Kabupaten
Asmat dan Yahukimo, namun frekuensinya lebih tinggi dari Kabupaten Asmat.
Wilayah ini bukan merupakan kawasan konservasi tetapi didalamnya terdapat
beberapa jenis reptil yang mempunyai nilai ekonomi dan sebagai sumber
makanan bagi masyarakat lokal, diantaranya Buaya (Crocodilus cf
novaeguineae), Kura-kura Dada Merah (Emydura subglobosa), Labi-labi Irian
(Pelochelys bibroni) dan Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta)
(Triantoro dan Rumawak, 2010). Diantara keempat jenis tersebut, buaya dan
labi-labi moncong babi merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan peraturan
perundangan di Indonesia. Keduanya dilindungi berdasarkan SK Mentan No.
327/Kpts/Um/5/1978 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999
(Noerdjito dan Maryanto, 2001).
Beberapa tahun terakhir ini, Sungai Vriendschap menjadi suatu tempat
tujuan perburuan satwa liar dari jenis labi-labi moncong babi dengan intensitas
pemanfaatan sangat tinggi (100%) (Triantoro, 2012). Tingkat eksploitasi
(perburuan) yang sangat tinggi (di Indonesia dan PNG) sebagai sumber pakan
dan sebagai pemasok bagi industri hewan peliharaan internasional dilaporkan
pula oleh Georges et al. (2008a) dan IUCN (2010). Pemanfaatan berlebihan
tanpa memperhitungkan umur produksi induk dan laju pertumbuhan di alam
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 31
dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi dan mempercepat
kepunahan jenis. Kemusnahan jenis adalah suatu peristiwa alami tetapi
pelanggaran yang dilakukan oleh manusia seringkali mempercepat proses
kepunahan jenis (Alikodra 2010). Eksploitasi telur dan penjualan tukik labi-labi
moncong babi saat ini bertolak belakang dengan kuota pengambilan tumbuhan
alam dan penangkapan satwa liar yang termasuk Appendix CITES tahun 2007
dan 2008 (Dirjen PHKA 2007, 2008) dan kuota ekspor Appendix II dari jenis
tumbuhan dan satwa liar asal Indonesia tahun 2010 – 2012 (Kemenhut 2010,
2011, 2012), terutama ijin penangkapan dari alam dan ekspor perdagangan labi-
labi moncong babi yang sampai saat ini belum diberikan. Dapat disimpulkan
bahwa penangkapan dan perdagangan terhadap labi-labi moncong babi bersifat
illegal. Beberapa penangkapan dalam upaya menggagalkan perdagangan illegal
(penyelundupan) satwa ini telah dilakukan seperti yang tertera pada Tabel 3
berikut.
Tabel 3 Kasus-kasus penggagalan perdagangan illegal labi-labi moncong babi di Indonesia
No Penangkapan
Instansi Sumber Tanggal Jumlah (ekor)
1. 14-03-2005 7.275 BKSDA Jawa Timur Tempointeraktif.com (2005)
2. 12-02-2009 12.247 SPORC dan KSDA wilayah Timika Sawabi-Kompas.com (2009);
Kemenhut-Dephut.go.id
3. 09-03-2010 464 Stasiun Karantina Ikan Merauke MeraukePos.com (2010)
4. 06-01-2011 744 KSDA wilayah Merauke Suara Pembaharuan (2011)
5. 25-01-2011 500 Polrestabes Surabaya Arifin-Okezone.com (2011)
6. 26-01-2012 1.495 KSDA wilayah Merauke USS-BBKSDA Papua (2012)
7. 06-02-2012 690 KSDA wilayah Merauke USS-BBKSDA Papua (2012)
8. 06-03-2012 1.882 KSDA wilayah Jayapura USS-BBKSDA Papua (2012)
Membendung maraknya pemanfaatan illegal labi-labi moncong babi di
alam, dibutuhkan komitmen yang kuat dalam pelaksanaannya karena luasnya
wilayah Sungai Vriendschap dengan banyaknya alur atau anak sungai. Upaya
yang sudah dilakukan sampai sejauh ini oleh Balai Besar Konservasi Sumber
Daya Alam (BBKSDA) Papua selaku institusi pengelola, masih berupa patroli
pengamanan di musim peneluran. Patroli yang dilakukan belum memberikan
hasil optimal terhadap berkurangnya pemanenan maupun perdagangan illegal.
Beberapa faktor yang mempengaruhi belum optimalnya patroli pengamanan
meliputi :
1. Patroli tidak dapat dilakukan secara terus menerus. Celah diantara waktu
patroli pertama dengan jadwal patrol berikutnya dapat dimanfaatkan oleh
para pencari telur.
32 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
2. Patroli dilakukan menggunakan speed boat. Kemampuan speed boat untuk
kegiatan patroli di Sungai Vriendschap tidak optimal karena hanya dapat
memasuki Sungai Vriendschap dengan mesin 40 PK dalam kondisi permukaan
air sungai meningkat akibat hujan (banjir) dan tidak dapat menjangkau alur-
alur sungai yang sangat banyak.
3. Patroli hanya dapat dilakukan pada sungai utama. Informasi kegiatan patroli
biasanya sudah diketahui oleh para pencari telur sehingga sebelum tim
patroli sampai di lokasi, para pencari sudah pergi meninggalkan lokasi
perburuan.
4. Patroli membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya yang dibutuhkan untuk
sekali melakukan patroli ke wilayah Vriendschap cukup tinggi (biaya bahan
bakar minyak dan biaya operasional di lokasi). Apabila dalam sebulan
dilakukan patroli 2 (dua) kali maka selama 4 (empat) bulan (musim
peneluran) dibutuhkan minimal 8 (delapan) kali kegiatan patroli rutin.
5. Hukuman sulit diberlakukan kepada para pencari telur lokal; yang secara adat
merupakan pemilik ulayat. Pencari telur didominasi oleh penduduk lokal
walau terdapat pula penduduk bukan lokal. Para pencari telur telah
mengetahui bahwa jenis Labi-labi moncong babi merupakan jenis yang
dilindungi dan sanksi dapat diberikan apabila ditemukan
memperdagangkannya. Pemanfaatan telur yang kemudian dijual dalam
bentuk tukik telah memberikan nilai ekonomi langsung kepada masyarakat
lokal. Pelarangan pemanfaatan saat ini tanpa adanya solusi hanya
memberikan antipati terhadap petugas dan menciptakan konflik dengan
institusi terkait.
6. Banyaknya akses jalur bagi para pencari, pengumpul dan pedagang. Tim
patroli mengalami kesulitan dalam menutup ruang gerak pencari, pengumpul
dan pedagang telur atau tukik karena banyaknya alur sungai yang dapat
digunakan untuk bersembunyi atau membawa hasil pemanenan.
Kegiatan patroli dilakukan untuk menjaga satwa liar yang dilindungi
berdasarkan peraturan perundangan di Indonesia dari pemanfaatan yang tidak
bertanggungjawab. Petugas mempunyai persepsi bahwa pemanfaatan satwa
dilindungi adalah melanggar hukum dan perlu dilakukan tindakan sanksi secara
bertahap. Namun keefektifan kegiatan patroli ke depannya dapat
dipertimbangkan kembali karena setelah menggunakan biaya yang tinggi,
pembinaan dan sanksi yang diberikan kepada para pencari telur masih sulit
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 33
dilakukan. Keterbatasan penindakan dapat disebabkan 3 prinsip yaitu : 1)
wilayah Sungai Vriendschap bukan merupakan wilayah konservasi, 2) labi-labi
moncong babi sudah sejak lama telah dimanfaatkan sebagai sumber makanan
bagi masyarakat lokal, dan 3) hak masyarakat lokal atas pemanfaatan di wilayah
adat mereka. Sanksi dapat diberikan apabila dasar pengenaan sanksi jelas
dimana masyarakat dapat memanfaatkan sumberdaya mereka tetapi melanggar
aturan yang telah disepakati bersama. Biaya yang hendaknya digunakan untuk
patroli dapat di kelola untuk mendapatkan pengelolaan yang berpihak kepada
masyarakat lokal, dengan memperhatikan fungsi perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan sumber daya alam.
Secara budaya, masyarakat lokal telah memanfaatkan labi-labi moncong
babi sebagai sumber makanan. Pemanfaatan yang bersifat tradisional (sub
sistence) juga mempunyai pengaruh sangat kecil bagi penurunan populasi di
alam. Akan tetapi tingginya permintaan pasar perdagangan satwa dan nilai
ekonomi dari satwa liar khususnya labi-labi moncong babi, telah merubah pola
pemanfaatan masyarakat lokal dari sub sistence menjadi intensif terutama
terhadap telur-telurnya. Keseluruhan telur pada semua sarang yang ditemukan
dipanen dan tidak dikonsumsi karena lebih bernilai ekonomi apabila ditetaskan
dan dijual dalam bentuk tukik, sementara induk dimanfaatkan sebagai sumber
pakan selama berada di lokasi pencarian.
Mengantisipasi tingkat pemanenan yang tinggi di alam dan perdagangan
ilegal terhadap telur maupun tukik, maka alternatif pengelolaan ke depannya
dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu:
1. Pengelolaan Berbasis Kawasan
Pengelolaan kawasan dapat dilakukan dengan menetapkan seluruh atau
sebagian wilayah di Sungai Vriendschap sebagai kawasan konservasi. Sistem
pengelolaan yang menetapkan seluruh wilayah sebagai kawasan konservasi
rentan terhadap konflik antara institusi pengelola sumber daya alam dengan
masyarakat lokal karena masyarakat sebagai pemegang wilayah ulayat
mempunyai kesempatan yang kecil untuk mendapatkan insentif dari
keberadaan satwa bernilai ekonomi. Sistem pengelolaan yang menetapkan
sebagian wilayah sebagai kawasan konservasi juga dapat memicu konflik
antara masyarakat lokal dengan institusi, dan diantara masyarakat lokal itu
sendiri, karena masyarakat yang wilayahnya menjadi kawasan konservasi
lebih sulit mendapatkan insentif dibandingkan yang tidak digunakan sebagai
34 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
kawasan konservasi. Konsekuensi pengelolaan berbasis kawasan juga
memberikan tugas dan tanggungjawab bagi institusi pengelola untuk selalu
berada di wilayah pemanenan selama musim peneluran. Dibutuhkan personil
yang cukup, sarana prasarana, dan biaya operasional tinggi untuk menutup
ruang gerak para pencari telur dari alur-alur sungai yang begitu banyak.
2. Pengelolaan Berbasis Jenis
Pengelolaan berbasis jenis adalah memberikan ruang dan peluang insentif
bagi masyarakat lokal untuk memanfaatkan jenis satwa liar sebagai sumber
ekonomi dengan kesadaran atas pemanfaatan yang berkelanjutan karena
masyarakat lokal diberikan kewenangan untuk memanfaatkan jenis satwa liar
di wilayah adatnya secara legal dan terkontrol (terbatas). Syarat yang harus
diikuti dalam memperoleh ijin memperdagangkan satwa liar yang dilindungi
adalah berasal diambil dari garis keturunan kedua (F2). Kondisi tersebut sulit
dilakukan mengingat labi-labi sendiri merupakan kelompok reptil yang dalam
tahapan perkembangan hidup membutuhkan waktu yang lama dalam
mencapai usia matang reproduksi, apalagi sampai mendapatkan garis
keturunan kedua. Upaya penangkaran dapat dilakukan, namun hasilnya
belum dapat diperdagangkan dalam waktu yang dekat. Mengantisipasi
tingginya intensitas pemanfaatan dari alam dan kekuatiran terjadinya
penurunan populasi secara drastis di alam, maka upaya pengelolaan dalam
bentuk pemanfaatan telur dari alam dan memperdagangkan tukik (anakan
kura-kura atau labi-labi) menjadi solusinya saat ini. Pemanfaatan dapat
dilakukan dengan sistem “kuota” pemanfaatan telur kepada seluruh
masyarakat lokal secara merata untuk memberikan rasa keadilan. Bantuan
pihak pengelola dalam memberikan penyuluhan dan pemahaman konservasi
kepada masyarakat lokal (edukasi) sangat dibutuhkan di awal pembentukan
pola pemanfaatan terkait pembatasan panen, pemanfaatan berkelanjutan,
perlindungan jenis dipanen dan jenis lainnya yang dilindungi dan terancam di
alam, dan adanya kemungkinan penghentian pemanenan akibat penurunan
populasi. Monitoring dan pengawasan perdagangan secara ketat pada
pengumpul dan monitoring populasi di alam perlu diwujudkan dan
dilaksanakan dengan tanggungjawab untuk menjamin kestabilan populasi di
alam. Para pakar di bidangnya dapat dimintai bantuan dan pendapatnya
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 35
terkait peningkatan dan penurunan populasi, kondisi fisik habitat hidup dan
peneluran, kesehatan, dan metode untuk mengatasi permasalahan.
Pengelolaan merupakan jembatan yang menghubungkan perbedaan
persepsi antara masyarakat lokal dengan institusi pengelola. Terkait pengelolaan
terhadap labi-labi moncong babi, pengelolaan jenis lebih memungkinkan
dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan di atas. Konsekuensi dari
pengelolaan jenis (pemanfaatan) adalah monitoring pemanenan dari alam harus
berjalan dan terkontrol dengan baik, bukan sekedar retorika di atas kertas.
Luasnya kawasan, minimnya tenaga dan keterbatasan biaya, tidak dapat
dijadikan dasar sebagai alasan pemanenan dan perdagangan illegal di lokasi
pemanenan maupun di lokasi pengumpulan terus terjadi. Pengelolaan untuk
menjamin kelangsungan hidup jenis langka dan terancam adalah tugas utama
yang umum dari pelestarian alam, dan pelestarian populasi jenis mungkin
menghendaki strategi yang berbeda dari strategi yang cocok bagi perlindungan
ekosistem (MacKinnon et al., 1993). Pemberian kuota terhadap pemanfaatan
telur atau tukik merupakan tindakan pemberdayaan dan memberikan asas
manfaat bagi masyarakat lokal atau adat dan negara. Masyarakat lokal harus
mendapat “prioritas utama” dalam pemanfaatan sumberdaya alamnya dengan
bertindak sebagai mitra institusi pengelola. Jumlah kuota yang diberikan belum
dapat diakomodir, namun sisi positif yang diharapkan dengan adanya pemberian
kuota adalah:
1. Masyarakat lokal mendapat insentif kesejahteraan secara legal
2. Telur tidak dipanen seluruhnya dari sarang alami atau sebagian hasil tetasan
(tukik) dapat dilepas kembali ke alam
3. Menyelamatkan sarang atau telur dari kerusakan akibat faktor alam dan
pemangsa alami
4. Monitoring pemanenan maupun penjualan dapat lebih mudah pada
masyarakat lokal yang menjadi pengumpul resmi
5. Monitoring perburuan dan perdagangan dari alam harus dilaksanakan setiap
tahun pada pengumpul, dan monitoring populasi di alam harus di lakukan
pada tahun keempat (3 tahun sejak pemanenan pertama), dan selanjutnya
setiap 2 (dua) tahun sekali. Monitoring harus dilakukan secara ketat untuk
mengetahui apakah populasi meningkat, menurun atau stabil.
6. Perdagangan illegal dapat di tekan atau diminimalkan
7. Negara dan pemerintah daerah mendapat devisa dari penjualan satwa liar
36 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
8. Meminimalkan konflik, membangun kemitraan dan sinergisitas antara institusi
pengelola dengan masyarakat lokal
Labi-labi moncong babi merupakan satwa yang dilindungi namun bukan
berarti pemberian kuota tidak dapat diberikan. Khusus kasus di Papua, jenis
buaya muara (Crocodylus novaeguineae) yang dilindungi diperbolehkan kuota
tangkap dan ekspor untuk pemanfaatan kulitnya dan Crocodylus porosus yang
diperbolehkan kuota tangkap untuk pembesaran (Dirjen PHKA, 2007, 2008;
Kemenhut, 2010, 2011), sedangkan kuota ekspor untuk kulit C. porosus
diperbolehkan kembali pada tahun 2012 (Kemenhut, 2012). Indonesia sendiri
termasuk Negara yang belum mengembangkan secara profesional potensi-
potensi satwa liarnya, baik untuk diekspor, rekreasi berburu, ataupun untuk
atraksi-atraksi di taman nasional (Alikodra, 2010). Suatu jenis tumbuhan dan
satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi
kriteria 1) mempunyai populasi yang kecil, 2) adanya penurunan yang tajam
pada jumlah individu di alam, 3) daerah penyebaran yang endemik (PP No 7
Tahun 1999), dan 4) tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan (UU No. 5
Tahun 1990).
Pemberian kuota merupakan salah satu sistem pengelolaan satwa liar
yang bertujuan memanfaatkan sumberdaya alam sebagai 1) sumber
pemberdayaan ekonomi bagi perseorangan atau badan usaha milik bersama dan
2) sebagai sumber devisa bagi Negara, dengan mempertimbangkan kelestarian
jenis di alam. Pasal 2, 3 dan 23 dari UU no.41 tahun 1999 menjelaskan bahwa
peyelenggaraan dan pemanfaatan kehutanan harus berasaskan manfaat dan
lestari dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Kuota
terhadap labi-labi moncong babi harus diimbangi dengan pengelolaan yang baik
dari Dirjen PHKA (BBKSDA Papua) sebagai mandat pengelolaan terhadap satwa
dan tumbuhan dilindungi dari alam. Insentif yang diperoleh masyarakat dari
sumberdaya alam yang dimiliki, secara tidak langsung memberikan fungsi
pengawetan terhadap labi-labi moncong babi dan pengawasan di habitat alami
dapat dilakukan secara sadar dan sukarela karena adanya rasa memiliki. Tugas
BBKSDA Papua juga secara tidak langsung menjadi lebih mudah dalam
mengontrol pemanfaatan di lapangan dan monitoring populasi. Tercapainya
kerjasama pengelolaan sumberdaya alam antara institusi pengelola dengan
masyarakat lokal merupakan tindakan nyata terhadap UU No. 41 Tahun 1999
pasal 60 dimana 1) pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 37
pengawasan kehutanan, dan 2) masyarakat dan atau perorangan berperan serta
dalam pengawasan kehutanan.
Paradigma pengelolaan dengan melarang pemanfaatan sudah saatnya
diubah menjadi mitra dengan masyarakat demi kesejahteraan, terutama
masyarakat yang terpencil dan mempunyai tanggungjawab bersama terhadap
satwa liar atau ekosistemnya. Secara umum, hubungan terbaik antara penduduk
asli dan pengelola terjadi apabila penduduk asli melihat bahwa kawasan yang
dilindungi membantu memelihara budaya mereka dan memberi manfaat nyata
(misalnya kesempatan kerja dan penghasilan) (MacKinnon, 1993). Konvensi
Ramsar (2008) menegaskan pula pentingnya manajemen pengelolaan terkait
mata pencaharian masyarakat pada wilayah lahan basah yang mencakup :
1. Tindakan untuk memelihara manfaat yang diberikan oleh lahan basah untuk
pembangunan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat, terutama yang
tidak mampu.
2. Penggunaan secara bijak manajemen dan pengembalian lahan basah harus
membantu terciptanya peluang untuk meningkatkan mata pencaharian
masyarakat, khususnya masyarakat yang bergantung pada lahan basah,
masyarakat pinggiran dan rentan.
3. Manajemen lahan basah yang berkesinambungan harus didukung oleh
pengetahuan lokal (indigeneous) dan tradisional, tanggapan dari identitas
alami yang berhubungan dengan lahan basah, pengurusan yang dilakukan
melalui insentif ekonomis dan diversifikasi berdasarkan dukungan untuk mata
pencaharian.
Mengelola spesies agar dapat terus dimanfaatkan dan sekaligus menjaga
populasinya di alam tidaklah semudah membalikkan tangan, sedikit kesalahan
mungkin menciptakan peluang percepatan penurunan populasi. Pelaksanan
monitoring yang ketat dalam komersialisasi satwa liar menjadi kunci kelestarian
populasi spesies di alam. Monitoring yang dilakukan sebatas retorika di atas
kertas ikut mendukung satwa liar menuju penurunan populasi di alam dan
mempercepat jurang menuju kepunahan. Komersialisasi satwa liar memiliki
potensi efek samping negatif dan fokus pada satu kelompok spesies telah
mengakibatkan pengabaian spesies terancam punah, terutama yang memiliki
distribusi kecil dan demografi kurang fleksibel, seperti Crocodylus sinensis dan
Crocodylus mindorensis (Vitt dan Caldwell, 2009). Selanjutnya, komersialisasi
satu kelompok spesies menciptakan pasar untuk semua jenis dan menjadi
ancaman serius bagi spesies langka.
38 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
KESIMPULAN
Menyikapi kondisi labi-labi moncong babi saat ini, terlihat adanya benturan
dua kepentingan antara status perlindungan dan pemanfaatan (illegal) yang
sangat tinggi. Pengelolaan yang dapat dilakukan saat ini untuk mencegah
pemanfaatan telur secara illegal adalah dengan memberikan ruang bagi
pemanfaatan terbatas (kuota) terhadap telur (tukik) labi-labi moncong babi.
Pemberian kuota harus mempertimbangkan status populasi, keberpihakan
kepada masyarakat ulayat, dan hilangnya pemasukan daerah dan Negara dari
sumberdaya alam akibat perdagangan liar. Masyarakat lokal harus diberikan
informasi, hak utama sebagai pemasuk dari alam untuk kepentingan
perdagangan, dan mitra konservasi di alam. Monitoring pemanfaatan harus
dilakukan secara ketat setiap tahun dan monitoring populasi di alam wajib
dilaksanakan setelah 3 tahun pertama, dan setiap 2 tahun berikutnya dengan
mengikutsertakan pakar di bidangnya. Pemasuk dari alam dan pengumpul besar
(nantinya), mempunyai kewajiban bersama melepaskan sebagian tukik hasil
tetasan ke alam untuk kelangsungan generasi labi-labi moncong babi di alam.
Pemasok atau pengumpul besar juga mempunyai kewajiban melakukan
penangkaran agar mengurangi tingkat ketergantungan ke depannya terhadap
sumberdaya dari alam.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor. PT. Penerbit IPB Press.
Alvarenga CCED. 2010. Nesting Ecology, Harvest and Conservation of the Pig-nosed Turtle (Carettochelys insculpta) in the Kikori Region, Papua New Guinea [disertasi]. Canberra : Institute for Applied Ecology University of Canberra Australia.
[Anonim]. 9 Maret 2010. 464 Kura-kura Moncong Babi Disita di Bandara Mopah. MeraukePos.com
[Anonim]. 6 Januari 2011. Penyelundupan 744 Kura-kura Moncong Babi Digagalkan. Suara Pembaruan.com
Arifin N. 25 Januari 2011. Polisi Gagalkan Penyelundupan Kura-Kura Moncong Babi. Okezone.com
Begon M, Towsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individuals to Ecosystem. 4th edition. United Kingdom. Blackwell Publising.
[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 39
Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1. Departemen Kehutanan.
[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1. Departemen Kehutanan.
Eisemberg CC, Rose M, Yaru B, Georges A. 2011. Demonstrating Decline of an Iconic Species Under Sustained Indigenous Harvest – The Pig-nosed Turtle (Carettochelys insculpta) in Papua New Guinea. Biological Conservation 144 : 2282 – 2288.
Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam : Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA, Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No. 5, pp. 009.1 – 009.17.
Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b. Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta. Wildlife Research 35 : 700 – 711.
Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Ed ke-2 (revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. <www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].
[Kemenhut]. 6 Maret 2009. SPORC dan Polisi Timika Sita 12.247 Ekor Kura-Kura Moncong Babi, SPORC Anoa Sulawesi Tangkap 31 Penangkap Ikan di TN Bunaken [Siaran Pers]. Dephut.go.id
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February 2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January 2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to 31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.
Konvensi Ramsar. 2008. Deklarasi Changwon Untuk Kesejahteraan Manusia dan Lahan Basah. Korea.
MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsel J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH, alih bahasa. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Managing Protected Areas in the Tropics.
40 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Noerdjito M, Maryanto, I. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Cibinong. Puslit Biologi – LIPI, The Nature Conservancy dan USAID.
[PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 : Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta.
Raharjo IJ. 14 Maret 2005. Penyelundupan Kura-kura Papua Digagalkan. Tempointeraktif.com
Sawabi IGN. 10 Maret 2009. 12.247 Kura-kura Moncong Babi Disita. Kompas.com
Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Triantoro 2012. Ekologi Peneluran Dan Intensitas Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886) Di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
[UU] Undang-undang Republik Nomor 5 Tahun 1990 : Tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.
[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 : Tentang Kehutanan. Jakarta.
[USS] Unit Sidik SPORC. 2012. Unit Register Kasus SPORC Brigade Kanguru Provinsi Papua Bulan Juli 2012 [laporan]. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. Kementerian Kehutanan.
Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic Press.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 41
PENENTUAN ROTASI PEMANGKASAN TUNAS PADA HUTAN TANAMAN KAYU PUTIH
(Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell)
Pudja Mardi Utomo1)
1) Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia
RINGKASAN
Penelitian tentang model pertumbuhan dan hasil beberapa jenis tegakan hutan tanaman sudah banyak dilakukan. Namun, hingga saat ini belum ada studi di Indonesia yang menggunakan model pertumbuhan dan hasil atau model produksi daun kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) sistem pemanenan pangkas tunas. Padahal informasi seperti itu sangat dibutuhkan oleh pengelola hutan khususnya kelas perusahaan kayu putih dalam menentukan rotasi pemangkasan yang tepat untuk meningkatkan produktivitasnya. Mengingat sampai saat ini masih kekurangan pasokan minyak kayu putih dimana Indonesia masih mengimpor 2/3 kebutuhan nasional minyak kayu putih. Tujuan penelitian adalah mengetahui model produksi daun kayu putih atau bentuk persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih dalam satu periode pemangkasan dan memperoleh jangka waktu untuk satu siklus (rotasi) optimum pemanenan daun berdasarkan persamaan tersebut. Cara pengambilan data adalah survey, yaitu: pengamatan langsung di lapangan melalui pengukuran plot-plot ukur sementara (PUS). PUS dengan ukuran (25 x 25) m diletakkan tersebar merata pada Petak KU II pada umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan, sehingga diperlukan plot ukur untuk pembuatan model dalam satu daur panen dibuat sebanyak 36 buah. Model produksi daun kayu putih terbaik dalam satu daur panen adalah Morgan-Mercer-Flodin (MMF). Persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih yang dipungut dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam satu rotasi panen berbentuk sigmoid, dengan bentuk penduga persamaan sebagai berikut:
Y = (-1,9398*43,1035+115,5357*A2,1950) / (43,1035+A2,1950) (R2 = 98%).
Berdasarkan persamaan matematika untuk kurva produksi daun tersebut tersebut di atas, dapat diketahui bahwa rotasi pemangkasan tunas adalah 7 bulan dihitung dari saat pemangkasan sebelumnya. Kata kunci : Persamaan matematik daun, kayu putih, rotasi
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) salah satu jenis dari famili
Myrtaceae dan tergolong keluarga Melaleuca, yang menghasilkan minyak atsiri
yang dikenal sebagai minyak kayu putih. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan
nama Gelam, tetapi nama tersebut jarang digunakan. Jenis ini merupakan
sumber bahan baku industri minyak kayu putih di Indonesia. Hutan tanaman
jenis ini yang terpusat di Pulau Jawa sudah diketahui dan dibudidayakan secara
42 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
komersial dan mempunyai luasan lebih dari 24.000 ha, dengan produksi minyak
tahunan mencapai 300 ton (Rimbawanto, et al.. 2009).
Tanaman kayu putih yang ada di P. Jawa, yaitu Melaleuca cajuputi subsp.
cajuputi diduga berasal dari benih yang didatangkan oleh penjajah Belanda dari
Pulau Buru pada abad 18 (Gunn, et al. 1996). Minyak kayu putih yang didapat
hasil penyulingan dari jenis tanaman tersebut dikelola oleh Perum Perhutani.
Selain itu di luar Jawa juga terdapat industri rumah tangga penyulingan yang
berada di Maluku yang diusahakan oleh rakyat dan menggantungkan sumber
daunnya pada tegakan alam yang tersebar di P. Buru, P. Seram, P. Ambon , P.
Aru dan P. Tanimbar.
Potensi tanaman kayu putih di Jawa cukup besar, diperkirakan Perum
Perhutani mengelola sekitar 24.000 ha jenis ini dan memiliki 10 pabrik
pengolahan minyak kayu putih (PMKP). Kapasitas terpasang pabrik total
kesepuluh PMKP tersebut sebesar 53.760 ton daun kayu putih per tahun.
Tanaman jenis ini di Pulau Jawa sudah dibudidayakan secara komersial dengan
produksi minyak mencapai 300 ton/tahun (Rimbawanto, et al. 2009).
Potensi dan kapasitas pabrik yang besar ini belum bisa dimanfaatkan
dengan maksimal`dimana Indonesia hingga saat ini masih kekurangan pasokan
minyak kayu putih. Indonesia masih mengimpor 2/3 kebutuhan nasional minyak
kayu putih karena Perum Perhutani hanya mampu menyediakan kurang dari
sepertiganya saja (Perum Perhutani, 2010). Dilihat dari segi kualitas tegakan
tanaman kayu putih dan rendemen minyak juga masih rendah. Untuk mencapai
tujuan tersebut antara lain dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu rekayasa
genetika dalam pembuatan tanaman, manipulasi tempat tumbuh dan rekayasa
pengelolaan hutan.
Rekayasa genetika atau pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperoleh
bibit tanaman kayu putih unggul, yaitu tanaman yang mempunyai produksi daun
tinggi, kadar sineol tinggi, rendemen minyak kayu putih tinggi dan keunggulan
lainnya. Melalui rangkaian kegiatan pemuliaan yang dilakukan oleh Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta dan CSIRO
Forestry and Forest Product Australia sejak tahun 1995 telah diperoleh hasil yang
cukup memuaskan. Hasil seleksi famili dari uji keturunan yang dilakukan
mendapatkan rendemen minyak sebesar 2% yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tegakan biasa antara 0,6-1,0% (Susanto et al., 2003).
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 43
Cara kedua adalah melalui manipulasi tempat tumbuh tanaman kayu
putih, seperti pengolahan tanah, pemupukan, perlindungan terhadap gulma,
penambahan bahan organik sekaligus pemulsaan dengan afval daun kayu putih
dari pabrik, tumpangsari dan sebagainya. Sambil menunggu hasil kedua cara di
atas, cara ketiga, yaitu meningkatkan produktivitas hutan secara keseluruhan
melalui rekayasa pengelolaan hutan kayu putih. Guna mencapai tujuan
pengusahaan yang ditetapkan, diperlukan strategi pengelolaan yang baik, yakni
strategi pengelolaan yang memadukan pengetahuan biologi jenis yang
diusahakan dengan pertimbangan ekonomi dan teknik pengelolaan yang lazim
dilakukan pada hutan tanaman. Penentuan strategi pengelolaan tegakan hutan
yang demikian itu dipermudah dengan adanya konsep-konsep tujuan
pengusahaan hutan produksi yang dapat dikuantifikasikan, diprediksi dan
diterjemahkan dalam struktur tegakan hutan.
Fenomena dinamika pertumbuhan tegakan selalu dihadapi pihak pengelola
dalam pengelolaan tegakan. Dinamika pertumbuhan tegakan tidak selalu
memenuhi harapan-harapan pengusahaan. Praktek-praktek pengelolaan tegakan
di Indonesia selama ini masih dikategorikan belum intensif. Beragamnya
kegunaan jenis pohon menyebabkan beragamnya pula tujuan pengusahaan.
Pengaturan tegakan hutan yang diusahakan untuk menyediakan bahan baku
kertas tidak seketat jika ditujukan untuk penyediaan bahan baku industri kayu
pertukangan. Demikian juga dengan pengaturan tegakan hutan untuk
penyediaan bahan baku minyak atsiri hanya diarahkan untuk mencapai volume
biomassa daun yang maksimum, sedangkan ukuran pohon tidak menjadi faktor
pertimbangan utama. Dengan demikian dalam praktek pengelolaan tegakan
perlu memperhatikan tujuan pengusahaan dan melibatkan kegiatan pengaturan
dinamika pertumbuhan tegakan.
Penelitian tentang model pertumbuhan dan hasil beberapa jenis tegakan
hutan tanaman sudah banyak dilakukan. Namun, hingga saat ini belum ada
studi di Indonesia yang menggunakan model pertumbuhan dan hasil atau model
produksi daun kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) sistem pemanenan
pangkas tunas. Padahal informasi seperti itu sangat dibutuhkan oleh pengelola
hutan khususnya kelas perusahaan kayu putih.
Selama ini praktek pengelolaan hutan tanaman kayu putih di Jawa
dilakukan dengan sistem pangkas tunas, dimana pohon kayu putih pada semua
kelas umur dipangkas tunasnya setelah berumur 6 bulan ke atas dengan asumsi
44 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
pada umur tersebut kualitas dan rendemen minyak kayu putih sudah layak.
Pengaturan hasilnya belum memperhatikan model pertumbuhan dan hasil tunas,
secara umum hanya berdasarkan luas total tanaman kayu putih dibagi 10, yang
merupakan jumlah bulan dalam setahun dikurangi 2 bulan untuk perbaikan dan
perawatan alat penyulingan. Konsep pengaturan hasil berdasarkan pendugaan
hasil sebaiknya dilakukan berdasarkan pada data dan informasi akhir dari
sumberdaya serta pendugaan nilai maksimum pemanenan lestari (Vanclay, 1995)
Permasalahan yang ada dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan
khususnya pada hutan tanaman kayu putih adalah belum ditemukan cara yang
tepat terutama kaitannya dengan pengaturan hasil. Salah satu hal penting dalam
menyusun pengaturan hasil adalah informasi pertumbuhan dan hasil yang dapat
digunakan untuk bahan pertimbangan dalam meningkatkan produktivitas daun
kayu putih.
Sehubungan dengan informasi tentang pertumbuhan dan hasil tanaman
kayu putih belum tersedia, maka perlu dilakukan pembuatan model produksi
daun kayu putih. Melalui cara tersebut diharapkan diperoleh produktivitas daun
kayu putih tinggi dan kualitas minyak kayu putih yang baik.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
Tujuan umum adalah mengetahui model produksi daun kayu putih sistem
pangkas tunas pada hutan tanaman kayu putih. Sedangkan tujuan khusus
adalah:
1. Mengetahui bentuk persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun
tegakan kayu putih dalam satu periode pemangkasan.
2. Memperoleh jangka waktu untuk satu siklus (rotasi) optimum pemanenan
daun berdasarkan persamaan tersebut.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah:
1. Pada aspek pengelolaan hutan, akan berperan pada bentuk pengelolaan
hutan yang sesuai dengan karakteristik pertumbuhan tanaman kayu putih.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 45
2. Membantu Perum Perhutani dalam menentukan saat yang tepat dalam
memanen dan saat tepat mengganti tanaman baru serta menjamin
terwujudnya produksi daun kayu putih secara berkelanjutan.
METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Bagian Kesatuan Hutan (BKPH) Sukun,
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa
Timur. BKPH Sukun termasuk Bagian Hutan Ponorogo Timur, Kesatuan
Pemangkuan Hutan Madiun merupakan Kelas Perusahaan Kayu Putih terletak di
sebelah Barat Daya Gunung Wilis. Secara administratif termasuk wilayah
Kecamatan Pulung, Siman, Mlarak dan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi
Jawa Timur. Pengambilan data tegakan sampai dengan analisis minyak kayu
putih dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Desember 2011. Peta lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Ponorogo, Jawa Timur
BKPH Sukun
Ponorogo
46 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
B. Jenis dan Cara pengumpulan Data
Jenis Data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan melalui
pengukuran plot-plot ukur yang dibuat pada areal kerja BKPH Sukun, KPH
Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Data sekunder berupa keadaan
umum daerah penelitian dan data pendukung lainnya dari kantor lingkup Perum
Perhutani. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil pengukuran
pohon-pohon dalam plot-plot ukur sementara (PUS) pada Petak kerja BKPH
Sukun.
Data pengukuran produksi daun kayu putih satu kali pemanenan tunas
diperoleh dari hasil pengukuran pohon-pohon dalam plot-plot ukur sementara
(PUS) yang mempunyai umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan dan
diletakkan tersebar pada Petak 5a dan Petak 6 BKPH Sukun. Pada masing-masing
umur tunas dibuat 3 PUS berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 25 m x 25 m.
Seluruh pohon dalam PUS diukur dan dicatat berat biomassanya. Petak 5a dan 6
merupakan petak tegakan tanaman kayu putih KU II tahun tanam 2006 dengan
luas masing-masing 83,7 ha dan 44,0 ha.
Cara Pengumpulan Data
Pengambilan data pohon contoh untuk pembuatan model produksi daun
adalah hasil pengukuran PUS pada petak tanaman kayu putih kelompok umur
(KU) II dan mempunyai umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan. Tegakan
tanaman pada KU II dipilih sebagai lokasi penempatan plot-plot contoh dengan
alasan antara lain kerapatan tegakan > 95% dan kondisi lahan relatif seragam.
Hal ini bisa meminimalisir keragaman akibat perbedaan tempat tumbuh. PUS
diletakkan menyebar ke seluruh petak sesuai dengan umur tunasnya. Pada
masing-masing umur tunas tegakan tanaman kayu putih dibuat 3 PUS. Pada
penelitian ini umur tunas yang diamati adalah umur 1 s.d 12 bulan, maka
banyaknya PUS untuk pembuatan model produksi daun dalam satu daur
pemanenan adalah 36 buah atau setiap umur tunas diulang 3 kali, Pohon yang
ada dalam PUS seluruhnya diukur untuk memperoleh data yang representatif.
Data yang diperoleh dari PUS berupa biomassa (Semua bagian pohon yang
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 47
dipangkas) dan berat DKP (Campuran antara daun dan ranting dengan diameter
<0,5 cm) semua pohon.
Analisis Data
Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis terhadap model regresi
non-linear yang diperoleh untuk model produksi daun pada satu daur panen dan
regresi linear pada satu daur silvikultur.
Model yang sering digunakan dalam fenomena-fenomena biologi antara
lain: fungsi Logistic, Gompertz, Von-Bartalanffy, Negative exponential,
Monomolekuler, Log-logistic, Richard‟s, Weibull, Chapman-Richards, Morgan-
Mercer-Flodin, Polinomial, Kuadratik dan lain-lain, maka model yang akan diuji di
dalam penelitian adalah beberapa model baik yang berasimtot maupun yang
tidak berasimtot. Kurva dibuat berdasarkan metode kurva panduan (guide
curve) yang dianalaisis berdasarkan regresi non linier dan regresi linear.
Sehubungan teori model khusus untuk kayu putih belum ada, maka pada
penelitian ini digunakan beberapa model persamaan di atas, yang merupakan
persamaan regresi non-linear, dimana lazimnya pertumbuhan benda-benda hidup
adalah non-linear. Alasan penggunaan model-model persamaan ini adalah model
ini cocok digunakan untuk mengukur sebuah fenomena pertumbuhan yang
berbentuk sigmoid sepanjang waktu pertumbuhan (fase lengkap pertumbuhan).
Model-model ini cocok digunakan karena pada penelitian ini diamati dan diukur
tegakan tanaman kayu putih dalam rentang waktu yang lengkap. Dimana untuk
model produksi daun dalam satu periode panen diukur umur tunas 1 bulan
sampai dengan umur tunas 12 bulan.
Dalam penelitian ini pembentukan model pertumbuhan tegakan dilakukan
dengan menggunakan beberapa model yang cocok untuk organisma tingkat
tinggi yang mempunyai fase pertumbuhan lengkap dan dipilih model terbaik.
Tahapan prosedur analisis adalah seperti yang dilakukan Suhendang (1990),
sebagai berikut:
1. Eksplorasi data
2. Pembentukan model fungsi hasil tegakan
3. Pemilihan model fungsi hasil tegakan
4. Uji keabsahan model.
48 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan tegakan merupakan proses pertambahan dari suatu besaran
tegakan dalam periode tertentu. Besaran pertumbuhan tegakan atau riap dalam
penelitian ini dilihat dari parameter produksi tunas. Pertumbuhan dan hasil
dapat mengandung dua arti apabila dilihat dari periode waktu yang dipakai
dalam perhitungannya, yaitu tingkat dan laju. Pertumbuhan dan hasil dalam arti
total menunjukan jumlah sampai periode waktu tertentu, sedangkan dalam arti
laju menunjukan jumlah untuk setiap periode waktu tertentu, biasanya
dinyatakan untuk setiap tahun. Laju pertumbuhan tegakan kayu putih disebut
sebagai riap tegakan dalam memproduksi tunas dalam bentuk biomassa setiap
tahun (kg/ha/tahun), sedangkan banyaknya biomassa maksimal yang dapat
dipanen per periode (tahun) disebut sebagai hasil. Oleh karena itu, dinamika
pertumbuhan tegakan kayu putih dapat diduga dengan menggunakan suatu
model matematis hubungan antara parameter pertumbuhan berupa produksi
biomassa dan umurnya. Model matematis yang dibangun akan dapat digunakan
untuk memproyeksikan hasil tegakan pada periode panen optimal dan saat
kapan pengantian tanaman dilakukan.
Model matematis tersebut dapat digambarkan dalam bentuk kurva, yaitu
kurva pertumbuhan dan kurva laju pertumbuhan (riap) produksi biomassa. Kurva
pertumbuhan produksi biomassa adalah kurva model matematik yang
menggambarkan pertumbuhan tunas dalam tegakan kayu putih ditinjau dari
aspek perkembangan dimensi produksi biomassa pohon-pohon dalam tegakan
mulai bertunas sampai saat dipanen. Kurva laju pertumbuhan merupakan hasil
turunan pertama kurva pertumbuhan. Untuk membangun model pertumbuhan di
atas maka dilakukan pengukuran pada PUS berdasarkan umur tunas untuk model
produkasi dalam satu daur panen.
Hasil Pengukuran
Hasil pengukuran dimensi tegakan berupa produksi biomassa dan DKP di
lapangan pada plot-plot ukur sementara (PUS) setiap umur tunas disajikan pada
Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada umur tunas 1 sampai dengan 3 bulan
biomassa seluruhnya berupa DKP karena cabang dan ranting ukurannya masih <
0,5 cm. Berat per pohon merupakan hasil pembagian dari berat per plot ukur
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 49
dibagi dengan jumlah pohon dalam plot. Berat per hektar diperoleh dari konversi
berat per plot ke hektar, dimana dari luas plot 625 m2 atau 0,0625 ha.
Dari hasil pengukuran PUS umur tunas 4 sampai dengan 12 bulan baik laju
produksi biomassa maupun produksi DKP mempunyai kecenderungan laju yang
sama. Pada umur tunas 4 bulan mempunyai laju pertumbuhan tercepat, dimana
dari 1785 kg/ha menjadi 4061 k/ha dan selanjutnya laju bersifat linear sampai
umur 9 bulan dan umur tunas 10 sampai 12 bulan laju mulai stabil.
Demikian pula yang terjadi pada produksi biomassa per pohon juga terus
meningkat seiring dengan bertambahnya umur tunas, walaupun terjadi
penurunan pada umur tunas 12 bulan. Berbeda dengan produksi DKP, produksi
cabang meningkat tajam mulai terjadi pada umur tunas 7 bulan, yaitu dari 1008
kg/ha menjadi 1992 kg/ha dan terjadi peningkatan lagi pada umur tunas 10
bulan.
Tabel 1. Hasil pengukuran biomassa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu
putih umur tunas 1 s/d 12 bulan
Umur
tunas
(bulan)
Jumlah
PUS
Jumlah
pohon
per hektar
Kerapatan
(%)
Berat per hektar
(kg/ha)
Total biomassa
Cabang DKP
1 3 1.578 0,99 132,91 0,00 132,91
2 3 1.589 0,99 561,44 0,00 561,44 3 3 1.584 0,99 1.785,28 0,00 1.785,28
4 3 1.584 0.99 4.395,52 334,24 4.061,28 5 3 1.595 1,00 5.290,03 874,35 4.415,68
6 3 1.584 0,99 5.740,80 1.008,37 4.732,43
7 3 1.578 0,99 7.312,75 1.992,37 5.319,25 8 3 1.589 0,99 7.720,80 2.253,01 5.467,79
9 3 1.584 0,99 8.177,28 2.608,11 5.569,17 10 3 1.573 0,98 9.501,07 3.659,84 5.841,23
11 3 1.589 0,99 10.132,11 3.722,29 6.409,81
12 3 1.584 0,99 9.389,55 3.681,39 5.708,16
Model produksi daun
Data biomassa untuk menyusun model produksi daun kayu putih dalam
satu rotasi pangkas dibagi dalam 12 umur tunas dan masing-masing umur tunas
dibuat plot ukur sebanyak 3 buah. Ukuran plot ukur adalah 25m x 25m,
diperoleh dari hasil kajian penentuan luas optimum plot ukur sebelum dilakukan
penelitian. Penentuan luas optimum plot ukur dilakukan dengan membuat petak
contoh masing-masing seluas 1 hektar pada tegakan tanaman kayu putih KU II,
KU III dan KU V. Penentuan letak plot ukur dan pengumpulan data dilakukan di
50 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
areal yang mempunyai karakteristik yang sama untuk mengurangi terjadinya
keragaman akibat faktor tempat tumbuh, umur tegakan dan varietas tanaman.
Rekapitulasi rata-rata hasil pengukuran biomassa pada plot ukur tanaman kayu
umur tunas 1 bulan s/d 12 bulan, perhitungan berat biomassa per pohon dan per
hektar untuk penentuan model produksi daun dalam satu kali panen yang
dilakukan di tegakan tanaman kayu putih BKPH Sukun disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekapitulasi hasil pengukuran biomassa tunas kayu putih di BKPH Sukun
No
Umur Tunas (bulan)
Berat Biomassa Per Plot Ukur (kg)
Berat Biomassa Per Pohon (kg)
Berat Biomassa Per Hektar (kg)
Biomassa Cabang DKP Biomassa Cabang DKP Biomassa Cabang DKP
1 1 8,31 0 8,31 0,08 0 0,08 132,91 0 132,91
2 2 35,09 0 35,09 0,35 0 0,35 561,44 0 561,44
3 3 111,58 0 111,58 1,13 0 1,13 1.785,28 0 1.785,28
4 4 274,72 20,89 253,83 2,78 0,21 2,57 4.395,52 334,24 4.061,28
5 5 330,63 54,65 275,98 3,32 0,55 2,77 5.290,02 874,35 4.415,68
6 6 358,80 63,02 295,78 3,62 0,64 2,99 5.740,80 1.008,37 4.732,43
7 7 457,05 124,52 332,45 4,63 1,26 3,37 7.312,74 1.992,37 5.319,25
8 8 482,55 140,81 341,74 4,86 1,42 3,44 7.720,80 2.253,01 5.467,79
9 9 511,08 163,01 348,07 5,16 1,65 3,52 8.177,28 2.608,11 5.569,17
10 10 593,82 228,74 365,08 6,04 2,33 3,71 9.501,06 3.659,84 5.841,23
11 11 633,26 232,64 400,61 6,37 2,34 4,03 10.132,11 3.722,29 6.409,81
12 12 586,85 230,09 356,76 5,93 2,32 3,60 9.389,54 3.681,39 5.708,16
Pemilihan model persamaan
Berdasarkan hasil eksplorasi dan penelaahan model-model persamaan
matematis untuk fenomena biologi dan organisme tingkat tinggi dari berbagai
pustaka diperoleh beberapa persamaan yang cocok untuk menyusun model
persamaan produksi daun sistem pemanenan pangkas tunas. Model tersebut
adalah model Gompertz, Logistic, Log-logistic, Morgan-Mercer-Flodin dan
Chapman-Richards. Dari kelima model tersebut ternyata dua model yang dipilih
pada tulisan ini juga cocok digunakan untuk menggukur sebuah fenomena
pertumbuhan yang menunjukan sebuah bentuk sigmoid sepanjang waktu. Model
tersebut adalah logistik dan model MMF (Moran-Mercer-Flodin). Alasan
persamaan ini dipilih adalah kedua persamaan ini cocok digunakan untuk
fenomena-fenomena biologi dengan pertumbuhan berbentuk sigmoid, tepat
untuk makhluk hidup tingkat tinggi yang mempunyai fase (stage) yang lengkap,
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 51
yaitu mulai fase muda (juvenile stage), fase dewasa (adolescent stage), fase
masak (mature stage) sampai fase tua (senescent stage).
Karakteristik dari kurva pertumbuhan pada umumnya mempunyai titik
belok dan asimtot, model ini mampu mengistimasi parameter asimtot, parameter
akselerasi pertumbuhan dan parameter bentuk dari pertumbuhan. Sehubungan
model produksi daun kayu putih sampai saat ini belum ada dan pertumbuhan
tunas sendiri termasuk pada fase mana, maka penggunaan kedua model ini
untuk penyusunan model produksi daun kayu putih sistem pemanenan tunas
adalah tepat.
Dari hasil pengukuran biomassa dan DKP yang telah direkap pada Tabel 2
dan dimasukkan pada model yang dipilih diperoleh nilai-nilai konstanta yang
disajikan pada Tabel 3, sedangkan persamaan yang diperoleh adalah persamaan
Model Logistik dan persamaan Model Morgan-Mercer-Flodin.
Tabel 3. Nilai konstanta, Se dan R2 persamaan model MMF dan Logistik
Persamaan a b c d Se R2
Model Logistik 9527.0257 21.9574 0.61251 - 0,69 0,97
Model MMF -1.9398 43.1035 115.5357 2.1950 0,53 0,98
Uji statistik dan pemilihan model terbaik
Hasil uji keterandalan model berdasarkan pada besarnya koefisien
determinasi (R2), koefisien determinasi terkoreksi (R2Adj), Biass, khi-kuadrat,
RMSE, Se dan S2. Dari tabel di atas terlihat bahwa persamaan model MMF dan
Logistik memberikan arti bahwa model persamaan yang dihasilkan di atas handal
dan dapat digunakan untuk menggambarkan kurva produksi daun kayu putih.
Dilihat dari nilai-nilai yang tidak berbeda,maka kedua model ini dapat digunakan.
Namun demikian pada tulisan ini hanya akan dipakai salah satu model saja, yaitu
model MMF.
Kurva produksi daun
Hasil persamaan matematis di atas setelah dilukis dalam bentuk kurva
disajikan pada Gambar 2. Pada kedua gambar tersebut terlihat bahwa model
MMF kurvanya ada kecenderungan naik walapun tidak tajam, berdasarkan
52 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
kecenderungan ini, model MMF cocok digunakan pada penyusunan model
produksi. Keadaan ini sesuai dengan keadaan di lapangan dan sifat biologi,
dimana tanaman kayu putih masih punya potensi meningkat pada umur tunas
setelah 12 bulan.
Selanjutnya hubungan antar umur tegakan dan produksi biomassa
maupun DKP dimodelkan dengan model pertumbuhan non linear Morgan-Mercer-
Flodin. Model ini cocok digunakan untuk menggukur sebuah fenomena
pertumbuhan yang menunjukan sebuah bentuk sigmoid sepanjang waktu.
Gambar 2. Kurva hubungan antara produksi biomassa dan umur tunas model
Morgan-Mercer-Flodin
Kurva laju pertumbuhan
Kurva Curent Monthly Increment (CMI) merupakan turunan pertama dari
kurva pertumbuhan. CMI menunjukkan pertumbuhan tanaman atau tunas setiap
bulan, sedangkan MMI menunjukkan pertumbuhan rata-rata dalam waktu
tertentu, yang dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur.
Akumulasi pertumbuhan, CMI dan MMI digambarkan dalam bentuk grafik untuk
menentukan daur tanaman. Daur tanaman sebaiknya ditentukan pada saat
kurva MMI bertemu atau berpotongan dengan CMI.
Pada Tabel 4 dan Gambar 3 CMI biomassa tinggi terjadi pada umur tunas
4 bulan yaitu, 1426,71 kg/ha/bulan. MMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat
selanjutnya riap turun landai dengan bertambahnya umur. MMI pada
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 53
pertumbuhan tunas kayu putih setelah umur 5 bulan sangat stabil. Namun
demikian, dari tabel tersebut diketahui pertumbuhan berat biomassa per hektar
kumulatif tunas meningkat dengan bertambahnya umur tunas. Hasil perhitungan
riap bulanan berjalan dan riap rata-rata bulanan baik biomassa maupun DKP
dapat dilihat pada di bawah ini.
Hal yang sama CMI DKP tinggi terjadi pada umur 4 bulan (1567,18
kg/ha/bulan). CMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat secara eksponensial
dan selanjutnya riap turun secara tajam sampai umur 7 bulan. Pada umur tunas
8 bulan CMI turun landai dengan bertambahnya umur. MMI pada tunas kayu
putih mulai umur 5 bulan pertumbuhan menurun secara linear, seperti yang telah
dibahas di sebelumnya mulai umur 6 bulan produksi DKP stabil tetapi produksi
cabang dan ranting masih meningkat walaupun tidak tajam.
Tabel 4. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) tanaman kayu putih berdasarkan model MMF.
Umur tunas (bulan)
Berat data lapangan
Berat data model
Riap
bulan berjalan (CMI) bata-rata bulanan
(MMI)
Total biomassa
(kg) Cabang
(kg) DKP (kg)
Total biomass
a (kg)
DKP (kg)
Total biomass
a (kg)
DKP (kg)
Total biomass
a (kg)
DKP (kg)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 132,96 0 132,96 75,17 75,17 75,00 75,17 75,17 50,34 2 560,8 0 560,80 927,25 927,25 852,08 545,54 463,63 297,94 3 1.785,28 0 1.785,28 2.205,25 2.205,25 1.278,00 1.437,85 735,08 677,91 4 4.395,52 328,16 4.067,36 3.631,96 3.631,96 1.426,71 1.567,18 907,99 900,23 5 5.290,08 808,96 4.481,12 4.987,85 4.987,85 1.355,89 1.019,10 997,57 924,00 6 5.740,80 639,84 5.100,96 6.163,28 6.163,28 1.175,43 544,06 1.027,21 860,68 7 7.255,20 1.951,84 5.303,36 7.132,26 7.132,26 968,98 283,15 1.018,89 778,18 8 7652,8 2.336,96 5.315,84 7.911,39 7.911,39 779,13 152,78 988,92 700,00 9 7.834,88 2.411,84 5.423,04 8.531,83 8.531,83 620,44 86,74 947,98 631,86 10 9.444,48 3.613,44 5.831,04 9.025,50 9.025,50 493,67 51,77 902,55 573,85 11 10.132,16 3.722,24 6.409,92 9.419,94 9.419,94 394,44 32,32 856,36 524,62 12 9.389,6 3.681,44 5.708,16 9.737,27 9.737,27 317,33 20,99 811,44 482,65
54 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Gambar 3a. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI)
biomassa
Gambar 3b. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) DKP
tanaman kayu putih berdasarkan model MMF.
Penentuan daur optimum produksi daun dalam satu daur panen
Pada kasus ini kurva CMI biomassa berpotongan dengan kurva MMI terjadi
pada umur tunas 7 bulan, sehingga penentuan titik umur tunas optimum bisa
ditentukan berdasarkan perpotongan kurva sampai akhir daur panen. Lebih
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 55
lanjut, apabila berdasarkan produksi DKP, maka periode optimum menjadi lebih
lebar menjadi 7 bulan. Oleh karena itu, untuk menentukan daur optimum
diperlukan parameter lain seperti: kadar minyak (rendemen), kualitas minyak
(kadar sineol) atau parameter lain yang terkait dengan industri minyak kayu
putih.
Gambar 4a. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode
optimum produksi total biomassa
56 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Gambar 4b. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode
optimum produksi DKP
Dari Tabel 4. dan Gambar 4a di atas dapat diketahui bahwa rata-rata
produksi daun segar terus meningkat dari umur tunas 1 bulan s/d umur tunas 11
bulan kemudian menurun pada umur tunas 12 bulan. Pertumbuhan dengan
peningkatan tajam terjadi sampai umur tunas 4 bulan, umur tunas 7 s/d 11
bulan produksi stabil, yaitu: 7313 s/d 10.132 kg/ha dan pada umur tunas 12
bulan menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa umur tunas 7 bulan dapat
dilakukan mulai pemangkasan karena produksi daun mulai stabil. Produksi
biomassa baik pada tegakan maupun individu pohon meningkat seiring dengan
meningkatnya umur tunas. Namun demikian pada umur tunas 12 bulan terjadi
penurunan produksi biomassa.
Penurunan pada umur 12 bulan merupakan fenomena alami yang terjadi
pada pertumbuhan tunas kayu putih, dimana pada umur tersebut terjadi
pemangkasan tunas alami (natural pruning) dan perontokan daun tua. Keadaan
ini ditunjang pada saat pengambilan data terjadi puncak musim kemarau. Untuk
mengetahui berapa besar biomassa yang hilang karena rontok dan saat kapan
terjadinya hal terjebut perlu kajian lebih lanjut. Pertanyaan lain adalah apakah
setelah tunas berumur 12 bulan atau lebih terjadi kecenderungan penurunan
atau justru terjadi kenaikan produksi perlu penelitian lebih lanjut. Namun
demikian, berdasarkan pengamatan dari sisa tanaman kayu putih yang tidak
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 57
sempat dipangkas pada periode sebelumnya, produksi biomassa menunjukkan
kencenderungan naik pada umur tunas 24 bulan dan 36 bulan.
Apabila perhitungan didasarkan pada kurva pertumbuhan tunas kayu
putih, CMI dan MMI produksi DKP, maka umur tunas optimum adalah 5 bulan
karena pada umur tersebut terjadi perpotongan kurva CMI dan MMI maksimum.
CMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat secara eksponensial dan selanjutnya
riap turun secara linear sampai umur 8 bulan. Pada umur tunas 9 bulan CMI
turun mendekati nol dengan bertambahnya umur. MMI pada tunas kayu putih
mulai umur 5 bulan pertumbuhan mendatar sampai umur 12 bulan.
Dari uraian di atas, berdasarkan kurva produksi total biomassa saat
pemangkasan berikutnya adalah 7 bulan dari pemangkasan sebelumnya. Sedang
berdasarkan kurva produksi DKP saat pemangkasan optimum adalah 5 bulan.
Namun demikian, pada umur tersebut berdasarkan pengalaman di lapangan
daun masih muda dan dikawatirkan rendemen dan kadar sineolnya masih
rendah. Selain itu, sampai umur tunas 8 bulan masih terjadi peningkatan
walaupun tidak tajam. Oleh karena itu, berdasarkan kurva ini umur pemangkasan
tunas sebaiknya dilakukan pada umur tunas 9 bulan karena pada bulan
berikutnya laju pertumbuhan sampai umur tunas 12 bulan mendekati nol.
Setelah saat pemangkasan optimum diketahui, langkah selanjutnya adalah
menentukan saat kapan umur tunas mempunyai rendemen dan kualitas minyak
yang tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih
yang dipungut dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam satu rotasi
panen berbentuk sigmoid, dengan bentuk penduga persamaan sebagai
berikut:
Y = (-1,9398*43,1035+115,5357*A2,1950) / (43,1035+A2,1950) (R2 = 98%).
2. Berdasarkan persamaan matematika untuk kurva produksi daun tersebut
pada angka 1, dapat diketahui bahwa rotasi pemangkasan tunas adalah 7
bulan dihitung dari saat pemangkasan sebelumnya.
58 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Saran
Ketelitian dan ketepatan persamaan untuk penduga model pertumbuhan
daun kayu putih sangat tergantung kepada ketelitian dan kecukupan data yang
dipergunakan untuk menduga model tersebut. Untuk mendapatkan data dengan
kualitas seperti itu, diperlukan adanya petak ukur permanen- PUP (permanent
sample plot-PSP). Untuk keperluan ini, maka disarankan pada lokasi penelitian
perlu dibuat PUP untuk memperoleh data pertumbuhan tegakan dari waktu ke
waktu, sehingga akan dapat diperoleh data pertumbuhan yang teliti dan lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Alder, D. 1980. Forest Volume Estimation and Yield Prediction. FAO. Rome.
Bettinger P, Boston K, Siry J.P, Grebner D.L. 2009. Forest Management and Planning. Academic Press – Elsevier.
Brophy, J.J, Doran, J.C. 1996. Essential oils of tropical asteromyrtus in Melaleuca species: In search of interesting oils with commercial potential, ACIAR Monograph No. 40.
Budiadi, Y. Kanazawa, H.T. Ishii, MS Sabarnurnin, P.Suryanto. 2005. Productivity of Kayu Putih (Melaleuca leucadendron LINN) tree plantation managed in non-timber forest production system in Java, Indonesia. Agroforestry System (2005) 64: 143-155.
Colbert J.J, M. Schuckers , D. Fekedulegn. 2003. Comparing model for growth and management of forest tracts. CAB International. Modeling Forest Systems. 335- 346.
Craven, L.A. , Barlow, B.A. 1997. New taxa and new combination in Melaleuca (Myrtaceae). Novon. 7(2): 113-119.
Daniel, T.W., J.A. Helm , F.S. Baker. 1979. Principles of Silviculture. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York.
Davis, T.W. 1966. Forest Management: Regulation and Valuation. McGraw-Hill Book Company, New York. 519p
Davis, L.S., K.N. Johnson, P.S. Bettinger, T.E. Howard.. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic, and Social Value: Fourth Edition. . McGraw-Hill Book Company, New York.
Davis, L.S., K.N. Johnson. 1987. Forest Management. Third Edition. McGraw-Hill Book Company, New York.
Doran, J.C. 1999. Cajuput Oil. In Southwell, I , Lowe, R.(eds.) Tea Tree: the Genus Melaleuca (Medical and Aromatic Plant: Industrial Profiles). Harwood Academic Publisher, pp 221-233.
Doran, J.C, Turbull, J.W. 1997. Australian Trees and Shrubs: Species for Land Rehabilitation and Farm Planting in the Tropic. ACIAR Monograph No. 24. Australian Centre for International Agriculturean Research. Canberra.
Draper N.R., H. Smith, 1981. Applied Regression Analisys. Jhon Wiley and Sons, New York.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 59
Fekedulegn, D., Mairitin, P Mac S, Jim J.C. 1999. Parameter estimation of nonlinear growth models in forestry. Silva Fennica 33 (4) 327-336
Fries, J. 1974. Growth model for tree and stand simulation. IUFRO Working Party S4, 01 – 4. Proceedings of Meeting 1973. Skogshogskolan Royak College of Forestry, Stockholm.
Gunn, B., McDonald, M, Lea D. 1996. Seed and Leaf Colelections of Melalleuca cajuputil Powell in Indonesia and Nothern Australia. Australian Tree Seed Centre, CSIRO Forest and Forest Product, Canberra, ACT.
Kasmudjo. 1992. Hasil minyak kayu putih harus diambil secara bertahap. Duta Rimba 17 (14). Jakarta.
Khamis, A., Z. Ismail,K. Haron, A.T. Muhammed. 2005. Nonlinear growth models for modeling oil palm yield growth. Journal of Mathematics and Statistics 1 (3): 225-233
Morgan, P.H, L.P. Mercer, N.W. Flodin. 1975. General model for nutrional response of higher organisms, Proc.Nat.Acad.Sci. USA. 72:4327-4331.
[Perum Perhutani]. 2010. Cayuput Oil. http://www.perhutaniproducts.com [2 Pebruari 2010]
Prodan, M. 1968. Forest Biometrics, Translation in Engilsh by S.H. Gardier. Pergamon Press, Oxford.
Ricards, F.J. 1959. A flexible growth fuction for empirical use. Journal of Experimental Botany 10: 290-300.
Rimbawanto, A, NK Kartikawati, L. Baskorowati, M, Susanto, Prastyono. 2009. Status terkini pemuliaan Melaleuca cajuputi. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Hal. 148-157. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. . Yogyakarta.
Suhendang, E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus Merkusii Jungh. Et De Vriese di Pulau Jawa. Disertasi Doktor pada. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Susanto, M. A. Rimbawanto, Prastyono, N.K. Kartikawati. 2008. Peningkatan genetika pada pemuliaan Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2(2): 231- 241. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
Susanto, M, J.C. Doran, R. Arnold, A. Rimbawanto. 2003. Genetic variation in growth and oil characteristcs of Melaleuca cajuputi subsp. cajupti and Potential for Genetic Improvement. Journal of Tropical Forest Science 15(3): 469-482.
Vanclay, J.K. 1994. Growth model for tropical forest. CAB International, Wilingford, UK. 380p.
Vanclay, J.K. 1995. Growth model for tropical forest: A synthesis of models and methods, Forest Science 41 (1): 7 – 42.
Wiroatmodjo, P. 1984. Model perhitungan pertumbuhan dan hasil kayu bulat tanaman Pinus merkusii di Jawa. Disertasi Doktor pada Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
60 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 61
KUANTIFIKASI EMPULUR SAGU UNTUK BIOETANOL DI BEBERAPA WILAYAH SEBARAN
Batseba A. Suripatty1)
1) Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia
RINGKASAN
Sagu (Metroxylon spp) sebagai salah satu tumbuhan asli Indonesia penghasil karbohidrat yang cukup tinggi dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Sagu dapat dimanfaatkan sebagai energy mix atau sebagai pencampur premium dan pertamax (E..) atau dalam kondisi mesin tertentu dapat digunakan secara penuh (E100). Tempat tumbuh dan keragaman genetik sagu sangat bervariasi. Sagu tumbuh di lahan gambut, rawa, payau atau lahan yang sering tergenang air dan variasi genetik sagu di Papua merupakan yang terbesar di dunia. Variasi genetik jenis ini berasal dari banyaknya jenis dan tipe sagu, penampilan morfologi, produktivitas pati, kandungan bahan kimia serta percepatan waktu produksi sagu. Secara alami ke lima jenis sagu (molat, tuni, ihur, makanaru dan duri rotan) yang selama ini dikenal baik oleh masyarakat sekitar hutan sagu maupun para pakar sagu tersebar pada satu hamparan sehingga memungkinkan terjadinya penyerbukan antar jenis (inter species). Oleh karena itu dikenal banyak sekali jenis dan tipe sagu berdasarkan kombinasi sifat-sifat dari kelima sagu tersebut. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (BALITKA), Manado juga telah berhasil mengidentifikasi ± 20 tipe sagu di desa Kehiran, Sentani, Irian Jaya yang diberi nama berdasarkan nama setempat, dan dari tipe-tipe sagu tersebut terdapat enam tipe sagu yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber karbohidrat ditinjau dari produksi patinya. Salah satu tipe yang memiliki karakter spesifik yang empulurnya dapat langsung dimakan tanpa harus diolah patinya adalah Rondo (berduri) dengan produksi pati 127,0 kg per pohon. Apabila mengacu pada target pemenuhan bioetanol dari periode 2005 – 2025 yang meningkat dari tahun ke tahun (ESDM, 2008), maka variasi keragaman genetik yang berimplikasi pada keragaman kandungan patinya, merupakan peluang untuk melakukan seleksi jenis/tipe melalui program pemuliaan tanaman agar dapat dihasilkan tanaman sagu berproduktivitas pati tinggi dengan daur yang pendek. Bioetanol dari sagu dapat diolah dari bahan baku empulur (pati dan serat). Oleh karena itu untuk tujuan tersebut di atas, maka diperlukan data dasar secara ilmiah tentang potensi produksi empulur sagu Masak Tebang (MT) per luasan lahan produktif, dominasi dan karakteristik jenis/tipe sagu pada satu aksesi, variasi/keragaman empulur dalam satu tipe sagu (intra species) dan dikaitkan dengan variasi rendemen, kandungan pati dan serat untuk etanol. Kata kunci: bioetanol, empulur , sagu (Metroxylon spp), pati, produksi, variasi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sagu (Metroxylon spp.) secara alami tersebar hampir di setiap pulau atau
kepulauan di Indonesia dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan
sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera.
Tempat tumbuh dan keragaman genetik sagu sangat bervariasi. Berdasarkan
62 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
hasil eksplorasi dan identifikasi jenis-jenis sagu di desa Kehiran, Jayapura, Irian
Jaya ditemukan 20 jenis sagu (nama lokal), dan dari 20 jenis sagu ini 9 sagu
merupakan sagu yang berduri sedang 11 lainnya merupakan sagu tidak berduri
(Allorerung et al., 1994). Hasil eksplorasi plasma nutfah sagu di Pulau Seram,
Maluku diperoleh 5 jenis sagu yaitu tuni, ihur, makanaro, duri rotan dan molat
(Miftahorrachman et al., 1996). Hasil survai yang dilakukan oleh Widjono et al
(2000), telah diketahui 61 jenis dan tipe sagu yang tersebar di Jayapura (35
jenis), Manokwari (14 jenis), Merauke (3 jenis) dan Sorong (9 jenis) dari sagu
berduri dan sagu tidak berduri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP),
Papua telah mengoleksi 74 aksesi (lokasi koleksi sagu) dari 42 jenis dan tipe
sagu yang berasal dari Kabupaten Jayapura, Merauke, Manokwari dan Sorong
yang telah tumbuh dan beradaptasi dengan baik.
Berdasarkan lokasi sebaran alaminya setiap pohon sagu menghasilkan
rendemen pati sagu yang berbeda. Efisiensi produksi akan lebih tinggi pada
lahan-lahan yang tidak tergenang. Hal ini sesuai pula dengan berat kering pati
pada satu contoh yang berasal dari lahan tidak tergenang 13,89 gram, lahan
tergenang sementara 9,59 gram dan lahan tergenang tetap 10,93 gram, namun
kadar pati pada lahan tergenang tetap lebih rendah (79,17%) dari kedua lahan
lainnya (Sitaniapessy, 1996). Sementara dari hasil survai Balai Penelitian Kelapa
dan Palma Lain (BALITKA) mengidentifikasi produktivitas pati per pohon dari
beberapa tipe sagu yaitu Osonghulu (sagu tidak berduri) dengan produksi pati
per pohon sebesar 207,5 kg; Ebesung (sagu berduri) 207,0 kg, Yebha (tidak
berduri) 191,5 kg; Polo (tidak berduri) 176 kg; Wanni (tidak berduri) 160,5 kg;
dan Yaghalobe (berduri) 155,5 kg.
Populasi tanaman sagu di Indonesia diperkirakan terbesar didunia, luas
areal sagu potensial sekitar 1,2 juta ha dan 90% diantaranya tumbuh di Provinsi
Papua dan Maluku. Namun dari luasan hutan sagu alam tersebut, hanya 40 %
merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7
ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 KL/ha/tahun.
Walaupun sagu merupakan komoditas pangan masyarakat lokal di Papua,
yang dalam posisi ini sering dipertentangkan apabila digunakan sebagai bahan
baku energi alternatif, namun karena berdasarkan perkiraan potensi produksi
sagu tersebut jauh lebih besar dibanding konsumsi pati sagu sebagai bahan
pangan dalam negeri (hanya 210 ton per tahun atau 4-5 % dari potensi produksi
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 63
sagu), maka pemanfaatan sagu untuk pengembangan bioetanol tidak akan
menjadi masalah (Sumaryono , 2007) .
Produksi sagu yang utama adalah karbohidrat dalam bentuk polisakarida
yaitu pati disamping bahan lain yang berbentuk serat dari empulur batang sagu.
Secara teoritis pati dapat di hidrolisa untuk menghasilkan gula sederhana atau
glukosa secara sempurna, maka konversi pati ke glukosa bobot/bobot akan
melebihi 100% (106 – 109%). Molekul pati yang terhidrolisa akan bereaksi
dengan air pada rantai C yang terlepas hingga berat molekulnya bertambah.
Perkembangan menunjukkan upaya untuk menghidrolisa serat dan bahan
berkayu sebagai bahan baku penghasil bioetanol atau bentuk lain dari energi
yang terbaharukan terus berkembang. Pembuatan etanol dicanangkan pada dua
macam bahan baku yaitu pati sagu dan serat sagu. Pemisahan pati dan serat
dilakukan melalui tahapan: 1) Pemisahan empulur dari kulit batang, 2)
Pemarutan empulur, 3) Pemisahan pati sagu dan serat dengan saringan berputar
dan aliran air.
Empulur batang sagu segar terdiri dari pati, serat dan air, dengan
perbandingan sebagai berikut, pati 27 – 31%, serat 20 – 24% dan air 45-53%.
Secara teoritis tidak hanya pati yang dapat dihidrolisa untuk menghasilkan
glukosa, selulosa dan hemiselulosa juga dapat dihidrolisa untuk menghasilkan
gula pereduksi. Untuk bioetanol berbasis empulur (pati dan serat) sagu,
dilakukan proses melalui langkah a) Hidrolisa bahan menjadi oligosacharida; b)
Hidrolisa oligosacharida menjadi gula; c) konversi gula menjadi etanol; d)
pemurnian etanol (penghilangan kadar air) sampai mencapai produk bioetanol.
Setelah penebangan, batang sagu dipotong berupa tual dengan panjang
sekitar 1,2 m. belahan tual diparut atau digiling melalui press ulir agar terjadi
campuran pati dan serat sehalus mungkin tapi masih mudah melakukan
pemisahan antara pati dan serat. Bagian pati akan mengendap di bagian bawah
air, yang selanjutnya langsung diproses dijadikan oligosacharida. Bagian serat
yang tersisa pada saringan dikumpulkan dan langsung diproses dijadikan
oligosacharida. Pada kegiatan ini tidak diperlukan proses pengeringan baik untuk
pati sagu maupun pengeringan bagian serat, sehingga tahapan kegiatannya lebih
singkat dan menghemat dari segi tenaga, waktu dan biaya.
Proses produksi bioetanol dari pati sagu melalui dua tahap utama, yaitu,
proses hidrolisa pati menjadi gula dan proses fermentasi gula untuk
menghasilkan alkohol atau bioetanol. Untuk mendapatkan kualitas etanol yang
64 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
diharapkan, dilakukan beberapa tahapan proses lanjutan, sehingga bioetanol
yang dihasilkan dapat digunakan baik sebagai bahan bakar maupun sebagai
bahan kimia untuk berbagai keperluan.
Dibandingkan dengan granula pati jagung, granula pati beras, maka
granula pati gandum dan pati sagu sangat resisten terhadap aktivitas enzim
glukoamilase yang dihasilkan Rhizopus sp. dan Penicillin brunneum. Untuk
meningkatkan respon granula pati sagu terhadap reaksi enzim, pada granula pati
sagu yang dihasilkan, sebelum proses pengering diberikan perlakukan
peningkatan suhu di bawah suhu gelatinisasi, yaitu hingga suhu 60oC pada pH
2.0 selama 1-2jam. Perlakuan ini efektif dalam meningkatkan kemampuan enzim
glukoamilase untuk menghidrolisa pati sagu menjadi glukosa, granula pati dapat
terhidrolisa sempurna setelah 48 jam reaksi enzim (Haska and Ohta, 1991).
Meskipun identifikasi tingkat keragaman genetik melalui genetika
molekuler juga sudah mulai dilakukan di Indonesia dan Thailand (Ehara et al.,
1996; Boonsermsuk et al., 1996), namun penajaman keragaman genetis tersebut
perlu dilakukan untuk tujuan sagu sebagai penyedia bioetanol di kawasan hutan
Papua di masa datang. Identifikasi potensi dan keragaman empulur di dalam
jenis/tipe (intra species) atau di antara jenis/tipe sagu (inter species) tersebut
berupa data karakteristik morfologis, fisiologis, genetis, terkait dengan
kuantifikasi potensi dan keragaman kuantitas dan kualitas empulurnya pada
beberapa aksesi di kawasan hutan alam sagu potensial Papua.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari kegiatan ini adalah:
1. Mendapatkan data karakteristik morfologis, fisiologis, genetis, terkait dengan
kuantifikasi potensi pohon (BMT dan MT) dan keragaman kuantitas serta
kualitas empulurnya pada beberapa aksesi di kawasan hutan alam sagu
potensial Papua
2. Membuat rekomendasi pengembangan sagu tentang Pembangunan Hutan
Tanaman Sagu di Papua dan Papua Barat
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 65
II. METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di kampung Sereweng, Distrik POM, Kabupaten Yapen
Utara Provinsi Papua. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Maret – Desember
tahun 2012.
B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan adalah
Penduduk desa /responden yang memiliki hutan sagu di Jayapura Sereweng
(Yapen Utara) Provinsi Papua.
Hutan sagu, kamera, chain saw, parang, mesin parut, kain, air, timbangan,
tally sheet.
C. Prosedur Kerja
1. Eksplorasi Keragaman Rendemen Empulur dalam satu jenis/tipe sagu (inter
species) di Kawasan Hutan Sagu Sereweng Distrik POM, Kabupaten Yapen
Utara.
Penelitian ini menggunakan metode survei berdasarkan luasan populasi
pohon sagu dengan sifat/morfologi duri yang dominan. Eksplorasi
keragaman kandungan empulur dalam satu jenisi/tipe sagu dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
- Pendekatan dengan masyarakat lokal di sekitar hutan sagu.
- Seleksi jenis/tipe berdasarkan sifat = sifat/karakter morfologi duri
dilakukan terhadap jenis sagu asal aksesi tersebut (Sereweng).
- Pemilihan pohon model berdasarkan morfologi duri tersebut ditunjang juga
oleh informasi masyarakat lokal tentang kedekatan ciri-ciri (panjang, jarak
antar duri dan warna) duri di antara ke 10 jenis/tipe di atas.
- Pengambilan sampel pohon model yang mewakili kandungan empulur
sagu dilakukan pada 3 – 4 pohon sagu Masak Tebang (MT) per tipe sagu
(inter species) pada setiap aksesi
- Pemisahan pati dengan serat dilakukan secara tradisional dan kemudian
dilakukan pencatatan terhadap kuantitas (bobot pati, bobot serat,
66 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
rendemen pati) dan kualitas (warna dan kekerasan pati serta periode
fermentasi).
- Setelah dilakukan pencatatan terhadap kuantitas dan kualitas empulur,
sampel pati dan empulur tersebut dikemas dengan daun sagu segar untuk
keperluan analisa bioetanol di laboratorium.
2. Indentifikasi Kualitas Empulur Jenis/Tipe Sagu Sebagai Bahan Baku
Bioetanol dari Kawasan Hutan Sagu di kampung Sereweng, Distrik Pom,
kabupaten Yapen Utara
Analisis kandungan empulur (pati dan serat) sampel pohon dalam
satu jenis/tipe sagu pada aksesi yang ada. Sampel sagu diambil dalam
batang pohon di bagi 5 (lima) bagian, setiap bagian dipotong melingkar
batang dengan ukuran masing-masing 15 cm dan ditimbang. Setiap bagian
diambil 1/8 untuk di timbang, kemudian empulur di blender dan disaring,
kemudian pati diambil dan dimasukkan ke dalam botol untuk kemudian
dikirim ke Bogor dan selanjutnya dianalisa.
Produksi sagu yang utama adalah karbohidrat dalam bentuk
polisakarida yaitu pati disamping bahan lain yang berbentuk serat dari
empulur batang sagu. Secara teoritis pati dapat dihidrolisa untuk
menghasilkan gula sederhana atau glukosa secara sempurna, maka konversi
pati ke glukosa bobot/bobot akan melebihi 100% (106 – 109%). Molekul
pati yang terhidrolisa akan bereaksi dengan air pada rantai C yang terlepas
hingga berat molekulnya bertambah.
Pembuatan etanol dari sagu menggunakan cara hidrolisis asam
(Demirbas. 2005). Dalam metode hidrolisis asam, bahan baku dilarutkan
dalam larutan asam (1% and 3%) dengan rasio larutan asam dan bahan
baku 12 : 1 dan 15 : 1, dan suhu 150 dan 180oC. Selanjutnya, ethanol yang
dihasilkan dipisahkan dari campuran tersebut. Ethanol yang dihasilkan
dihitung rendemen dan sifat-sifatnya.
D. Analisa Data
1. Eksplorasi Keragaman Rendemen Empulur dalam satu jenis/tipe sagu (inter
species) dilakukan pengumpulan secara tabulasi dan diolah data analisa
varian.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 67
2. Analisa kualitas sebagai bahan baku etanol dilakukan pengumpulan data
secara tabulasi dan diolah menggunakan analisa varian.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil
1. Eksplorasi Keragaman Rendemen Empulur dalam satu jenis/tipe sagu (inter
species) di Kawasan Hutan Sagu Sereweng Distrik POM, Kabupaten Yapen
Utara
72
81
99
55
78 68
24 35
26
0
20
40
60
80
100
120
P T U P T U P T U
Beratempulur
Berat Ampas Berat Tepung
Sagu sub spesies Kuraw
69 75
97
58
79 70
23 32 28
0
20
40
60
80
100
120
P T U P T U P T U
Beratempulur
Berat Ampas Berat Tepung
Sagu sub spesies Hawar
40
77
63
37
82
63
12
24 25
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
P T U P T U P T U
Beratempulur
Berat Ampas Berat Tepung
Sagu sub spesies Makbom
68 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Untuk sagu sub spesies Kuraw mempunyai diamater pangkal 50 cm,
tengah 55 cm dan ujung 65 cm, dengan tinggi 9 meter, mempunyai total berat
empulur 230 kg, berat ampas 193 kg dan berat tepung 61 kg.
Untuk sagu sub spesies Hawar mempunyai diameter pangkal pohon 40
cm, tengah 50 cm, dan bagian ujung 60 cm. Dengan tinggi 9,6 meter,
mempunyai total berat empulur 201 kg, berat ampas 204 kg, berat tepung 37,5
kg.
Untuk sagu sub spesies makbom diamater pangkal pohon 50 cm, tengah
55 cm, dan ujung 65 cm. Dengan tinggi 9 meter, mempunyai total berat empulur
188,5, berat ampas 172 kg dan berat tepung 58 kg.
Dari grafik di atas telihat bahwa berat empulur, berat ampas dan berat
tepung untuk sagu sub spesies Kuraw, Hawar dan Makbom untuk masing-
masing bagian pangkal, tengah dan ujung terdapat perbedaan.
2. Indentifikasi Kualitas Empulur Jenis/Tipe Sagu Sebagai Bahan Baku Bioetanol
dari Kawasan Hutan Sagu di kampung Sereweng, Distrik Pom, kabupaten
Yapen Utara
Sagu sub spesies Kuraw
9,1 8,3 7,9
9,0
7,3
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
I II III IV V
Kadar air
0.7
0,2
0,5
0,4
0,3
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
I II III IV V
Kadar abu
0.7
0,2
0,5
0,4
0,3
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
I II III IV V
Kadar Serat Kasar
90,2 90,2
91,5
90,5
92,5
89
89.5
90
90.5
91
91.5
92
92.5
93
I II III IV V
Karbohidrat
98,6
92,2
99,3 99,2 99,4
88
90
92
94
96
98
100
I II III IV V
Kadar Pati
26,1
32.4
23,9 26,2
20,1
0
5
10
15
20
25
30
35
I II III IV V
Amilosa
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 69
Untuk sampel pertama terlihat berat tepung 122,1 gram mempunyai
kadar air 9,12 %, kadar abu 0,70 %, kadar serat kasar 1,44 %, kadar lemak dan
kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,18 %, Kadar Pati 98,56 %, amilosa
26,11 % dan Amilopektin 72,45 %.
Untuk sampel ke dua terlihat berat tepung 278,0 gram mempunyai kadar
air 8,32 %, kadar abu 0,35 %, kadar serat kasar 0,73%, kadar lemak dan kadar
protein tidak terdeksi, karbohidrat 91,33 %, Kadar Pati 99,27 %, amilosa 23,95
% dan Amilopektin 75,32 %.
Untuk sampel ke tiga terlihat berat tepung 294,3 gram mempunyai kadar
air 7,99 %, kadar abu 0,52 %, kadar serat kasar 1,13%, kadar lemak dan kadar
protein tidak terdeksi, karbohidrat 91,49 %, Kadar Pati 98,87 %, amilosa 19,01
% dan Amilopektin 79,87 %.
Untuk sampel ke empat terlihat berat tepung 204,1 gram mempunyai
kadar air 7,99 %, kadar abu 0,52 %, kadar serat kasar 1,13%, kadar lemak dan
kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 91,49 %, Kadar Pati 98,87 %, amilosa
19,01 % dan Amilopektin 79,87 %.
Untuk sampel ke lima terlihat berat tepung 261,5 gram mempunyai kadar
air 7,28 %, kadar abu 0,26 %, kadar serat kasar 0,64 %, kadar lemak dan kadar
protein tidak terdeksi, karbohidrat 92,46 %, Kadar Pati 99,36 %, amilosa 20,16
% dan Amilopektin 79,19 %.
74.7
5 72.9
1
75.3
2
72.9
1
79.1
9
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
I II III IV V
Amilopektin
70 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Sagu sub spesies Hawar
Untuk sampel pertama terlihat berat tepung 132,9 gram mempunyai
kadar air 10,27 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,72 %, kadar lemak
dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 89,51 %, Kadar Pati 99,28 %,
amilosa 27,32 % dan Amilopektin 71,96 %.
Untuk sampel kedua terlihat berat tepung 148,8 gram mempunyai kadar
air 7,51 %, kadar abu 0,25 %, kadar serat kasar 0,93 %, kadar lemak dan kadar
10,3
7,5
9,7 9,0
11,7
0
2
4
6
8
10
12
14
I II III IV V
Kadar air
0,25 0,26
0,16
0,43
0,22
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
I II III IV V
Kadar abu
0,7
0,9
0.39
0,8
0.41
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
I II III IV V
Kadar Serat Kasar
89,5
92,2
90,2 90,5
88.1
86
87
88
89
90
91
92
93
I II III IV V
Karbohidrat
99,2
99,1
99,6
99,1
99,5
98.8
98.9
99
99.1
99.2
99.3
99.4
99.5
99.6
99.7
I II III IV V
Kadar Pati
27,3
32.4
18,8
26,2 24,8
0
5
10
15
20
25
30
35
I II III IV V
Amilose
71,9 66,7
80,8
72,9 74,7
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
I II III IV V
Amilopektin
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 71
protein tidak terdeksi, karbohidrat 92,24 %, Kadar Pati 99,07 %, amilosa 32,40
% dan Amilopektin 66,67 %.
Untuk sampel ketiga terlihat berat tepung 368,6 gram mempunyai kadar
air 9,66 %, kadar abu 0,16 %, kadar serat kasar 0,39 %, kadar lemak dan kadar
protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,18 %, Kadar Pati 99,61 %, amilosa 18,79
% dan Amilopektin 80,82 %.
Untuk sampel keempat terlihat berat tepung 253,5 gram mempunyai
kadar air 9,04 %, kadar abu 0,43 %, kadar serat kasar 0,84 %, kadar lemak dan
kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,53 %, Kadar Pati 99,16 %, amilosa
26,25 % dan Amilopektin 72,91 %.
Untuk sampel kelima terlihat berat tepung 480,2 gram mempunyai kadar
air 11,68 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,41 %, kadar lemak dan
kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 88,10 %, Kadar Pati 99,59 %, amilosa
24,81 % dan Amilopektin 74,78 %.
Sagu sub spesies Makbom
9,6 9,4
8.8
8,9
10,1
8
8.5
9
9.5
10
10.5
I II III IV V
Kadar air
0,2
0,1
0,3 0,2
0,2
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
I II III IV V
Kadar Abu
0,9
0,4
1,1
0.8
0,9
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
I II III IV V
Kadar Serat Kasar
72 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Untuk sampel pertama terlihat berat tepung 265,8 gram mempunyai
kadar air 9,65 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,98 %, kadar lemak dan
kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,13 %, Kadar Pati 99,02 %, amilosa
99,02 % dan Amilopektin 74,75 %.
Untuk sampel kedua terlihat berat tepung 313,5 gram mempunyai kadar
air 9,42 %, kadar abu 0,12 %, kadar serat kasar 0,47 %, kadar lemak dan kadar
protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,46 %, Kadar Pati 99,53 %, amilosa 28,29
% dan Amilopektin 71,24 %.
Untuk sampel ketiga terlihat berat tepung 400,8 gram mempunyai kadar
air 8,80 %, kadar abu 0,28 %, kadar serat kasar 1,06 %, kadar lemak dan kadar
protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,92 %, Kadar Pati 98,94 %, amilosa 12,32
% dan Amilopektin 86,62 %.
Untuk sampel keempat terlihat berat tepung 390,0 gram mempunyai
kadar air 8,97 %, kadar abu 0,25 %, kadar serat kasar 0,80 %, kadar lemak dan
kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,78 %, Kadar Pati 99,20 %, amilosa
29,19 % dan Amilopektin 70,01 %.
Untuk sampel kelima terlihat rata-rat berat tepung 387,0 gram
mempunyai kadar air 10,11 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,93 %,
90,1
90,4
90,9
90,7
89,6
89
89.5
90
90.5
91
91.5
I II III IV V
Karbohidrat
99,0
99,5
98,9
99.2
99,0
98.6
98.8
99
99.2
99.4
99.6
I II III IV V
Kadar pati
24,7
28,6
12,3
29, 9
23.3
0
5
10
15
20
25
30
35
I II III IV V
Amilose
74,7 71,
2
86,6
70,0
75,7
0
20
40
60
80
100
I II III IV V
Amilopektin
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 73
kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 89,67 %, Kadar Pati
99,07 %, amilosa 23,30 % dan Amilopektin 75,77 %.
b. Pembahasan
Dari hasil analisis yang diperoleh terlihat bahwa kadar air untuk jenis sagu
Kuraw lebih rendah dari sagu Hawar dan sagu Makbon, kadar lemak dan kadar
protein tidak terdeksi, sedangkan untuk analisa kadar abu, kadar serat kasar,
karbohidrat, kadar pati, kadar amilose dan kadar amilopektin mempunyai hasil
yang hampir sama antara sagu sub spesies Kuraw, sagu sub spesies Hawar dan
sagu sub spesies Makbom. Perbandingan komposisi kadar amilosa dan
amilopektin akan mempengaruhi sifat pati. Semakin tinggi kadar amilosa maka
pati bersifat kurang kering, kurang lekat dan mudah menyerap air (higroskopis).
Data yang ada juga menunjukan bahwa walaupun pengambilan sampel
satu sampai lima dari satu jenis pohon, terlihat juga bahwa masih terdapat
perbedaan antara masing-masing sampel. Sampel karbohidrat yang ada untuk
masing-masing jenis sagu yang dianalisa menunjukan hasil persentase yang
cukup tinggi yaitu untuk sagu sub spesies Kuraw diatas 90 %, sedangkan untuk
sagu sub Hawar dan Makbom diatas 80 %, sehingga dapat dikatakan jenis sagu
yang dianalisa dapat juga dijadikan sebagai bahan cadangan bioetanol, karena
nilai karbohidrat dan pati sangat tinggi.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
1. Produksi sagu yang terbanyak adalah pada jenis sagu Noiin pada bagian
ujung.
2. Jenis sagu yang dianalisa mempunyai nilai karbohidrat dan pati yang sangat
tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan penghasil bioetanol.
b. Saran
Untuk mendapatkan data mengenai jenis sagu yang lain maka perlu
tambahan dana untuk melakukan kegiatan penelitian ini kedepan, karena sagu
yang digunakan sebagai sampel penelitian harus dibeli untuk diolah dan
dilakukan analisa lanjutan.
74 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
DAFTAR PUSTAKA
Allorerung, D. 1993. Sumberdaya sagu dalam pembangunan daerah Irian jaya. Warta Litbang Pertanian. Bogor. Hlm. 4 - 7.
Boonsermsuk, S., T. Anay, K. Hasegawa and S. Hisajima . 1996. Trial and determination of molecular biological variation of sago palm (Mtroxylon spp) in Thailand. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. Hlm. 7 – 25.
Demirbas, A., 2005. Bioethanol from Cellulosic Materials:A Renewable Motor Fuel from Biomass. Energy Sources, 21:'iTl-'i'yi, 2005
Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, 2008. Kemajuan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN). Dep. ESDM. Jakarta.
Ehara, T. Hattory, S. Susanto, H.M.H. Bintoro, J. Wattimena and I.P. Siwa. 1996. Rapd
Haska, N. and Ohta, Y. 1991. Pretreatment effects on hydrolysis of sago starch granules by raw starch-digesting amylase from Penicillium brunneum. In Towards Greater Advancement of the Sago Industry in the „90s. Proceeding of the Fourth International Sago Symposium held August 6-9, 1990. Kuching, Sarawak, Malaysia. pp. 166-172.
Miftahorrahman., H. Novarianto. dan D. Allolerung. 1996. Identificatin of sago species and rehabilitation to increase productivity of sago (Metroxylon sp) in Irian Jaya. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. pp. 79 – 95.
Rostiwai, T., Y Lisnawati., S. Bustomi., B. Leksono., D. Wahyono., S. Pradjadinata., R. Bogidarmanti., D. Djaenudin., E. Sumadiwangsa. dan N. Haska. 2009. Sagu (Metroxylon spp) sebagai sumber energi bioetanol potensial. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. (in press).
Sitaniapessy, P. M. 1996. Sagu: suatu tinjauan ekologi. Prosiding Simposium Nasional Sagu III, Pekanbaru, 27 – 28 Februari 1996. Riau. Hlm.57 – 69.
Sumaryono. 2007. Tanaman sagu sebagai sumber energi alternative. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, vol. 29, no. 4. Hlm. 3 – 4.
Wiyono, B. dan T. Silitonga. 1988. Potensi sagu dan turuannnya sebagai bahan baku industri. Jurnal Penelitian dan Pengembangan kehutanan, vol. IV, no. 1. Hlm. 1 - 8.
Jong, F. S. 1995. Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation in Sarawak, Malaysia. Thesis. 135 pp.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 75
MAKALAH PENUNJANG
76 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 77
OPTIMALISASI PEMANFAATAN NIPAH DI PAPUA MELALUI PRODUK-PRODUK EKONOMIS
Freddy Jontara Hutapea1)
1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia
RINGKASAN
Nipah (Nypa fruticans) merupakan salah satu sumber daya potensial untuk dikembangkan di tanah Papua. Sejak dahulu masyarakat telah berinteraksi dengan nipah yang berada disekitar mereka. Situasi yang terlihat dimasyarakat adalah keberadaan hutan nipah disekitar mereka belum mampu mengangkat taraf hidup atau perekonomian mereka. Saat ini nipah dimanfaatkan hanya sebagai bahan baku pembuatan minuman lokal “bobo”, yang memiliki benturan terhadap peraturan daerah yang melarang peredaran minuman keras. Minimnya pengatahuan untuk mengolah nipah menjadi produk-produk ekonomis menjadi penghalang dalam optimalisasi pemanfaatan nipah di masyarakat. Melalui studi literatur yang dilakukan, nipah dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol, gula nipah, sumber bahan pangan, serta produk-produk lainnya seperti kerajinan tangan. Peran serta pemerintah dalam upaya optimalisasi nipah ini mutlak diperlukan seperti penyediaan modal, pembinaan terhadap masyarakat, dan membantu penyediaan pasar. Kata kunci: Nipah, sumber daya, potensial, masyarakat, pemerintah
I. PENDAHULUAN
Nipah merupakan salah satu jenis tumbuhan yang terdapat di hutan
mangrove. Pada umumnya kehidupan nipah terdapat pada zona terakhir dari
pembagian zonasi mangrove (Macnae & Kalk, 1962 dalam Moeljopawiro, 1996).
Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang mempunyai potensi ganda
yaitu potensi ekologis dan ekonomis. Potensi ekologis ditekankan kepada
kemampuannya dalam mendukung eksistensi lingkungan yang berguna untuk
menunjang kelestarian biota akuatik (Odum & Heald, 1972 dalam Moeljopawiro,
1996), sedangkan potensi ekonomis ditunjukkan dengan kemampuannya dalam
menghasilkan produk yang langsung dapat diukur dengan materi. Salah satu
produk dari hutan mangrove yang memiliki aspek ekonomis adalah nipah. Hasil
seminar yang dilakukan oleh BPDAS Remu Ransiki Manokwari menempatkan
nipah menjadi salah satu HHBK andalan Papua Barat.
Berbagai literatur mengatakan bahwa nipah sudah dimanfaatkan sejak
dahulu. Daun nipah yang telah tua banyak dimanfaatkan secara tradisional untuk
membuat atap, daun muda digunakan membuat dinding rumah, dan lain
sebagainya, namun fakta yang ditemukan dilapangan menunjukkan bahwa
78 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
aktivitas masyarakat di Papua dalam memanfaatkan nipah masih sangat
terbatas. Masyarakat di tiga tempat yang ditemukan di lapangan (Tandia, Serui,
dan Bintuni) mengelola nipah hanya pada pembuatan minuman lokal, yang
secara hukum tidak aman bagi masyarakat karena adanya perda yang melarang
peredaran minuman keras. Pengetahuan masyarakat untuk mengembangkan dan
mengelola nipah menjadi produk lain juga masih sangat minim.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai produk-
produk ekonomis yang dapat dikembangkan dari nipah sehingga dapat
diterapkan dalam masyarakat Papua dan Papua Barat.
II. DESKRIPSI NIPAH
Nipah adalah salah satu pohon anggota famili arecaceae (palem) yang
umumnya tumbuh di daerah rawa yang berarir payau atau daerah pasang surut
di daerah pantai. Batang nipah banyak menjalar di tanah, membentuk rimpang
yang terendam oleh lumpur, hanya roset daunnya yang muncul di atas tanah,
sehingga nipah terlihat seolah-olah tidak memiliki batang. Nipah memiliki akar
serabut yang dapat memiliki panjang hingga 13 m. Daun-daun majemuk
menyirip khas palma muncul dari rimpang nipah, tegak atau hampir tegak,
menjulang hingga 9 m di atas tanah. Panjang tangkainya berkisar antara 1-1,5
m, dengan kulit yang mengkilap dan keras. Tangkai nipah berwarna hijau pada
yang muda dan berangsur menjadi cokelat sampai cokelat tua sesuai
perkembangan umurnya. Bagian dalam nipah lunak seperti gabus. Anak daun
berbentuk pita memanjang dan meruncing di bagian ujung, memiliki tulang daun
yang di sebut lidi (seperti pada daun kelapa). Panjang anak daun dapat
mencapai 100 cm dan lebar daun berkisar antara 4-7 cm. Daun nipah yang
sudah tua memiliki daun berwarna hijau, sedangkan yang masih muda berwarna
kuning, menyerupai janur kelapa. Tiap ental anak daun mencapai 25-100 helai.
(Wikipedia, 2011).
Sistematika nipah adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arecaceae Famili : Arecaceae (Palmae) Genus : Nypah Species : Nypa fruticans Wurmb. (Baharuddin dan Taskirawati, 2009).
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 79
Nipah banyak dikenal dengan nama lain seperti: daon, daonan, nipah,
bhunjok, lipa, buyuk (Sunda, Jawa, Bali), bhunyok (Madura), bobo (Manado,
Ternate, Tidore), boboro (Halmahera), palean, palenei, pelene, pulene, puleanu,
pulenu, puleno, pureno, parinan, parenga (Seram, Ambon, dan sekitarnya)
(Wikipedia, 2011).
III. PRODUK POTENSIAL DARI NIPAH
Nipah merupakan produk yang sangat potensial untuk dikembangkan di
Indonesia serta Papua Barat dan Papua tentunya. Baharuddin dan Taskirawati
(2009) mengatakan bahwa luas hutan nipah di Indonesia diperkirakan sekitar
700.000 Ha atau 10% dari luas daerah pasang surut yang luasnya sekitar 7 juta
ha, dengan populasi nipah yang diperkirakan sekitar 8.000 pohon/ha.
Sebagai salah satu HHBK andalan Papua Barat, tentunya HHBK ini
diharapkan dapat mengangkat taraf perekonomian masyarakat melalui
pengembangan nipah menjadi produk-produk yang ekonomis.
Beberapa produk yang dapat dikembangkan dari nipah yang bermanfaat
secara ekonomis adalah sebagai berikut:
1. Bioetanol
Isu pengembangan bahan bakar nabati seperti bioetanol menjadi
pendorong pengembangan tanaman nipah untuk menghasilkan bioetanol. Nipah
merupakan tanaman yang sangat potensial untuk dijadikan penghasil bioetanol
karena dapat menghasilkan 5-7 kali lebih banyak energi dibandingkan tanaman
lain. Bioetanol dari nipah dihasilkan dengan cara merombak gula yang terdapat
pada nira nipah menjadi etanol melalui proses fermentasi. Baharuddin dan
Taskirawati (2009) mengatakan kandungan alkohol dalam nira dapat mencapai
6-7%. Wikipedia (2011) mengatakan bahwa etanol yang dapat dihasilkan oleh
nipah adalah sekitar 11.000 liter/ha/tahun, jauh lebih unggul bila dibandingkan
kelapa sawit 5.000 liter/ha/tahun.
Beberapa daerah di Indonesia telah mengembangkan bioetanol dari nipah
ini. Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir telah mengembangkan bioetanol dari
nipah ini untuk pemberdayaan masyarakat setempat. Melalui pembelajaran
otodidak dan konsultasi dari berbagai pihak Bapermas telah berhasil
mengembangkan teknologi tepat guna untuk memproduksi bioetanol dari nipah
(Gambar 1). Bapermas menganggarkan 50 juta rupiah pada tahun 2010 untuk
80 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
menstimulasi pemuda-pemuda setempat yang banyak putus sekolah dan
menganggur untuk memproduksi nira nipah. Selanjutnya nira nipah yang
dihasilkan ditampung (dibeli) oleh pemda.
Contoh kasus ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan perekonomian
masyarakat, dan dapat menyerap tenaga kerja yang akan mengurangi angka
pengangguran. Pemerintah Papua dan Papua Barat bisa mengikuti langkah yang
dilakukan oleh pemerintah daerah Rokan Hilir, agar masyarakat dapat merasakan
manfaat nipah yang ada ditengah-tengah mereka.
Gambar 1. Peralatan produksi bioetanol nipah Bapermas Rokan Hilir.
2. Gula Nipah
Komponen utama yang terdapat dalam nira selain air adalah karbohidrat
dalam bentuk sukrosa, sedangkan komponen lainnya adalah protein, lemak,
vitamin, dan mineral, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil. Komposisi tersebut
menyebabkan nira dapat menghasilkan beberapa produk seperti aneka macam
pemanis, minuman ringan (tuak, anggur, nata), asam cuka, dan alkohol
(Baharuddin dan Taskirawati, 2009).
Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Perkebunan Gula Indonesia
melaporkan bahwa dari sekitar 0,5-1,5 liter/hari/malai mempunyai rendemen
gula merah sebesar 15%. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, nira segar
memiliki komposisi: Brix 15-17%; sukrosa 13-15%; gula reduksi 0,2-0,5% dan
abu 0,3-0,7 % (Al Rasyid, 2001 dalam Daryono dkk, 2010). Sementara itu,
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 81
Purseglove (1972) dalam Islamy (2012) mengatakan bahwa nipah dapat disadap
tiap hari selama 2-3 bulan dengan kadar gula yang tinggi (17%).
Hasil penelitian Johnson (1975) dalam Moeljopawiro (1996) menunjukkan
bahwa potensi gula merah di Malaysia yang dapat dihasilkan dari nipah adalah
sebesar 20,3 ton/ha/tahun, sedangkan di Sumatera mencapai 22,4 ton/ha/tahun.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa nipah memiliki potensi yang sangat
besar untuk dikembangkan, dan beberapa daerah di Indonesia telah mulai
mengembangkan nipah sebagai bahan baku gula di Indonesia.
Pemkab Kepulauan Meranti telah menargetkan swasembada gula melalui
kebun nipah seluas 35.000 ha, dan hal ini optimis dapat diwujudkan setelah
penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemkab dengan
pihak investor PT. First Flower. Mereka memberdayakan masyarakat melalui
optimalisasi peran masyarakat dalam mengelola perkebunan, yang diikuti dengan
pembinaan dari perusahaan melalui pengelolaan perkebunan, dan memberikan
pembibitan unggul (HalloRiau, 2013).
3. Bahan Pangan lainnya
Nipah juga memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan sebagai
bahan pangan. Subandono dkk (2011) mengatakan bahwa kadar karbohidrat
yang terdapat dalam nipah adalah 56,4 gr/100 gr (cukup tinggi) sehingga
berpotensi sebagai pengganti makanan pokok (beras, jagung, dan sagu).
Salah satu produk pangan yang dapat dihasilkan oleh nipah adalah tepung
nipah. Tepung nipah dapat dihasilkan dengan cara mengolah buah nipah yang
sudah tua. Proses pembuatan tepung nipah meliputi pemisahan daging dari
tempurung, pembersihan kulit ari, penumbukan (diblender), pengeringan, dan
pengayakan. Kadar lemak (nabati) kasar tepung nipah paling rendah (0,08%)
dibandingkan dengan beras, jagung, dan lain-lain. Serat kasar yang dikandung
tepung nipah cukup baik (22,1%) setara dengan bungkil kelapa (22,3%).
Kandungan beta-N, Kalsium (Ca), Posfor (P) dan karbohidrat cukup baik. Tepung
nipah mengandung serat yang cukup tinggi dengan kandungan lemak dan kalori
yang rendah yang berpotensi untuk dijadikan sebagai makanan bagi orang diet
(Subandono dkk, 2011).
Beberapa bahan pangan lain yang dapat dikembangkan dari nipah adalah
nata, manisan, makanan kaleng (Daryono dkk, 2010), minuman es buah nipah,
kolak buah nipah (Mrabawani, 2010), dan lain sebagainya
82 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
IV. PRODUK LAINNYA
Selain pengembangan nipah untuk bioetanol, gula nipah, dan bahan
pangan, nipah juga merupakan sumberdaya yang potensial untuk dikembangkan
menjadi produk lain seperti kerajinan tangan.
Beberapa masyarakat yang tinggal berdekatan dengan nipah
memanfaatkan nipah untuk menambah penghasilan mereka melalui kerajinan
tangan. Seperti misalnya, Maya warga Samarinda, memanfaatkan nipah dengan
menganyam daunnya dan menjualnya Rp. 700,00/lembar. Dalam satu hari Maya
dapat menghasilkan 100 lembar anyaman daun nipah. Kehidupannya bergantung
pada anyaman nipah ini (Anggiat, 2011). Demikian juga dengan Musnaini, warga
Palembang, yang membuat kerajinan tangan dari nipah berupa kerajinan tampah
dan keranjang berbahan dasar lidi dan daun nipah. Hasil dari kerajinan tangan ini
dapat mencukupi kebutuhannya beserta lima orang anaknya (Tribun Sumsel,
2012).
V. PERAN PEMERINTAH
Peran pemerintah setempat dalam rangka meningkatkan taraf hidup
masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di sekitar
masyarakat sangat dibutuhkan. Beberapa peran yang mutlak sangat diperlukan
adalah: pembinaan masyarakat, pemberian modal pinjaman lunak kepada
masyarakat, dan menyediakan pasar.
VI. KESIMPULAN
Nipah merupakan sumber daya yang potensial untuk dikembangkan
menjadi produk-produk ekonomis seperti bioetanol, gula nipah, sumber pangan
seperti tepung nipah, dan menjadi barang kerajinan.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 83
DAFTAR PUSTAKA
Anggiat, R. 2011. Pengerajin Anyaman Daun Nipah. http://www.sapos.co.id/ index.php/berita/detail/rubrik/18/18025. Diakses tanggal 26 Februari 2013.
Baharuddin, I. Taskirawati. 2009. Hasil Hutan Bukan Kayu. Buku Ajar. Universitas Hasanuddin. Tidak diterbitkan.
Daryono, H., A. Subiakto., & T. E. Komar. 2010. Pengembangan Sumber Benih Unggul Nipah (Nypa fruticans Wurmb.) Penghasil Nira yang Produktif Sebagai Sumber Bioetanol. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Tidak diterbitkan.
HalloRiau. 2013. Meranti Targetkan Swasembada Gula Nipah. http:// www.halloriau.com/read-meranti-23683-2012-04-27-meranti-targetkan-swasembada-gula-nipah.html. Diakses tanggal 22 Februari 2013.
Islamy, R. A. 2012. Pembuatan Gula dari Nira Pohon Nipah (Nypa fruticans) Secara Tradisional. http://dhariyan.blogspot.com/2012/10/pembuatan-gula-dari-nira-pohon-nipah.html. Diakses tanggal 22 Februari 2013.
Moeljopawiro, S., E. Poedjirahajoe, & R. Pratiwi. 1996. Manfaat dan Potensi Nipah (Nypa fruticans Wurmb.) di Daerah Sungsang, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional dalam Rangka Lustrum VIII Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, tanggal 18-20 September 1995 di Yogyakarta. Hlm. 347-353. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.
Mrabawani. 2010. Nipah Juga Bermanfaat. http://titanih.multiply.com/ journal/item/8?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. Diakses tanggal 26 Februari 2013.
Subandono, E., N. M. Heryanto & E. Karlina.2011. Potensi Nipah (Nypa fruticans (Thunb.) Wurmb.) sebagai Sumber Pangan dari Hutan Mangrove. Buletin Plasma Nuftah, 17(1): 54-60. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Tribun Sumsel. 2012. Dua Puluh Tahun Berjualan Keranjang Nipah. http://sumsel.tribunnews.com/2012/06/13/dua-puluh-tahun-berjualan-keranjang-nipah. Diakses tanggal 26 Februari 2013.
Wikipedia. 2011. Nipah. http://id.wikipedia.org/wiki/Nipah. Diakses tanggal 12 Mei 2011.
84 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 85
EKOSISTEM MANGROVE: PERANAN, PERMASALAHAN DAN PENDEKATAN BAGI KONSERVASI BERKELANJUTAN
Hadi Warsito1)
1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia
I. PENDAHULUAN
Ekosistem hutan mangrove dikenal sebagai ekosistem yang paling dinamis
dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Hal ini secara
ekologis adalah logis, karena dua ekosistem yang secara fisik berbeda,
berinteraksi secara kompleks sebagai pencirinya dan secara alami selalu
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena itu ekosistem hutan
mangrove mempunyai arti dan fungsi yang strategis baik ditinjau dari segi
ekologis maupun sosial ekonomi dan budaya.
Ekosistem hutan bakau di Indonesia tersebar di 22 provinsi dengan
pemusatan lokasi di Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan
Sumatera Selatan Luas hutan mangrove di Papua menurun dari angka 2.943.000
hektar pada tahun 1982 menjadi 1.382.000 hektar pada tahun 1993. Luas hutan
mangrove secara keseluruhan di Indonesia pada tahun 1982 adalah 5.209.543
hektar dan pada tahun 1993 menjadi 2.496.185 hektar (Mulyana, 1999).
Peranan mangrove sangat penting, baik secara ekonomi dan ekologi
sebagai sumber daya alam dan perlindungan dengan lingkungan dan antara
aspek tersebut tidak dapat dipisahkan tanpa menyebabkan bahaya ke suatu
areal. Mangrove adalah sumber bahan bakar kayu, tiang dan atap. Formasi
mangrove berkontribusi pada jaring makanan laut meliputi produksi serasahnya,
dan beberapa jenis komersial penting dari fauna laut diketahui menghabiskan
paling tidak sebagian dari siklus hidupnya di mangrove. Oleh karena itu,
mangrove tidak hanya dianggap sebagai hutan, tetapi juga sebagai penghasil
makanan dalam bentuk kepiting, ikan dan udang. Banyak dari organisme ini
kemudian ditangkap jauh dari daerah mangrove, dan ini merupakan masalah
khusus bagi pengelolaan lahan (Christensen, 2003).
Hilangnya/rusaknya mangrove ini menimbulkan berbagai permasalahan
terutama abrasi yang terjadi hampir di seluruh Pantai Utara Jawa, Pantai Timur
maupun Barat Sumatera dan pantai Sulawesi Selatan. Abrasi ini mengakibatkan
86 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
beberapa desa terpaksa direlokasi ke daerah yang lebih aman dan juga
menyebabkan lahan usaha masyarakat seperti tambak ikan banyak yang hilang
menjadi lautan. Selain itu, faktor penting lainnya yang adalah adanya aktifitas
manusia yang berada sekitar kawasan mangrove yang dapat mengakibatkan
kerusakan (Supriharyono, 2007).
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang memberikan
banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi
serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi
ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama
perikanan laut.
Untuk konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai, Pemerintah RI
telah menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990 dalam Anwar dan Gunawan
(2006). Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai,
sedangkan kawasan hutan mangrove adalah kawasan pesisir laut yang
merupakan habitat hutan mangrove yang berfungsi memberikan perlindungan
kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau adalah
selebar 100 m dari pasang tertinggi kearah daratan.
II. PERANAN MANGROVE
Fungsi ekosistem mangrove mencakup fungsi fisik (menjaga garis pantai
agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut/abrasi, intrusi air laut,
mempercepat perluasan lahan, dan mengolah bahan limbah), fungsi biologis
(tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air, tempat
bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota) dan fungsi
ekonomi (sumber bahan bakar, pertambakan, tempat pembuatan garam, bahan
bangunan dll. Sementara itu, Kusmana (1997) menyatakan bahwa hutan
mangrove berfungsi sebagai:
1) Penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat;
2) Pengolah limbah organik;
3) Tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut;
4) Habitat berbagai jenis margasatwa;
5) Penghasil kayu dan non kayu;
6) Potensi ekoturisme.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 87
Naamin (1990) dalam Anwar dan Gunawan (2006) , makanan, obat-
obatan & minuman, gula alkohol, asam cuka, perikanan, pertanian, pakan
ternak, pupuk, produksi kertas & tanin dll. Menurut Wada (1999) dalam
Kuswandi dkk. (2002), bahwa 80% dari ikan komersial yang tertangkap di
perairan lepas/dan pantai ternyata mempunyai hubungan erat dengan rantai
makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove. Hal ini membuktikan bahwa
kawasan mangrove telah menjadi kawasan tempat breeding & nurturing bagi
ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi
sebagai habitat satwa liar, penahan angin laut, penahan sedimen yang terangkut
dari bagian hulu dan sumber nutrisi biota laut.
Siklus dekomposer dari tumbuhan mangrove dapat menghasilkan subtrat
yang menjadi rantai dalam penyediaan sumber pakan yang akhirnya diperlukan
oleh satwa. Mann (1982), melaporkan bahwa daun-daun mangrove mempunyai
kadar protein hanya sekitar 6,1%, namun dalam kurun waktu sekitar 12 bulan,
kandungan proteinnya dapat mencapai 22%. Proses penguraian akan lebih cepat
bila serasah daun tersebut jatuh ke air, dalam kurun waktu enam bulan
kandungan proteinnya dapat meningkat dari 5% menjadi 21% (Odum dan
Health, 1975).
Proses dekomposer tersebut mempengaruhi keberadaan jenis hewan-
hewan pemakan detritus pada umumnya didominasi oleh invertebrata, terutama
crustacea dan beberapa spesies ikan yang disinyalir sebagai destrivorus
(pemakan destritus). Macne (1968), hewan yang hidup diperairan mangrove
dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu burrowing spesies (hidupnya
meliang) dan epifauna (di atas subrat). Hewan peliang didominasi oleh
crustacea, bivalva dan satu genus ikan, sedangkan untuk epifauna meliputi
gastropoda dan beberapa kepiting, terutama dari genera Sesarma dan Uca yang
paling melimpah.
Daya dukung hutan mangrove bukan hanya sebagai tempat berlindung
dan berkembang biak, namun ketersediaan sumber pakan dari jenis–jenis
destrivorus yang relatif mudah diperoleh dari kawasan hutan mangrove karena
cukup melimpah keberadaanya. Suburnya dalam ekosistem hutan mangrove
sering menjadi tempat pemijahan (spawing ground), pengasuhan (nursery
ground) dan mencari makan (feeding ground) dari beberapa jenis ikan atau
hewan–hewan air tertentu. Sehingga di dalam hutan mangrove terdapat
sejumlah hewan-hewan air, disamping hewan-hewan seperti kepiting, moluska
88 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
dan invertebrata lainnya yang hidup dikawasan tersebut. Demikian pula pada
jenis udang-udangan dan ikan yang keberadaanya di hutan mangrove
dipengaruhi oleh arus pasang surut. Kemelimpahan sumber pakan yang ada di
hutan mangrove ini, yang dapat membuat beberapa jenis burung menjadikan
kawasan hutan mangrove sebagai sumber pakan atau mencari makan (feeding
ground), sehingga keberadaan hutan mangrove sangat diperlukan dan dapat
mendukung kelangsungan hidup beberapa jenis burung yang dikawasan hutan
mangrove tersebut.
Kebijakan pemerintah dalam menggalakkan komoditi ekspor udang, telah
turut andil dalam merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah
kawasan hutan. Empang parit yang semula digarap oleh penggarap tambak
petani setempat, berangsur beralih “kepemilikannya” ke pemilik modal, serta
merubah menjadi tambak intensif yang tidak berhutan lagi (Bratamihardja,
1991). Ketentuan jalur hijau dengan lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan
pasang tertinggi dan terendah tahunan (Keppres No. 32/1990) berangsur
terabaikan. Padahal, hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) dalam Dit.
Bina Pesisir (2004) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan
kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin meningkatnya
luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat dengan
membentuk persamaan Y = 0,06 + 0,15 X; Y merupakan produksi tangkapan
dalam ton/th, sedangkan X merupakan luasan mangrove dalam ha.
Venkataramani (2004) dalam Gunawan dan C. Anwar (2005) menyatakan
bahwa hutan mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok alami. Dibuktikan di
desa Moawo (Nias) penduduk selamat dari terjangan tsunami karena daerah ini
terdapat hutan mangrove yang lebarnya 200-300 m dan dengan kerapatan
pohon berdiameter > 20 cm sangat lebat. Hutan mangrove mengurangi dampak
tsunami melalui dua cara, yaitu: kecepatan air berkurang karena pergesekan
dengan hutan mangrove yang lebat, dan volume air dari gelombang tsunami
yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air tersebar ke banyak saluran
(kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.
Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove
memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan
peranannya dalam ekosistem Sumber Daya Alam (SDA), yaitu :
a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas
yang terbatas pula.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 89
b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda
dengan peran ekosistem hutan lainnya.
c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.
Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan
dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam
keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama
pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :
a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem
mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip
kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan.
b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.
c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang
kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, khususnya peranan
mangrove dalam Sumber Daya Alam (SDA), peranan lain yang bersifat umum
dalam ekosistem mangrove dapat dicontohkan dalam pemanfaatan mangrove,
baik langsung maupun tidak langsung antara lain:
A. Arang dan Kayu Bakar
Arang mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari
Jepang dan arang onshyu dari Cina. Pengusahaan arang mangrove di Indonesia
sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, antara lain di Aceh, Riau, dan
Kalimantan Barat. Pada tahun 1998 produksi arang mangrove sekitar 330.000
ton yang sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang dan Taiwan
melalui Singapura. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10 ton,
sedangkan harga lokal antara Rp 400,- - Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor arang
mangrove tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$ 13.000.000
(Inoue et al., 1999). Jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R. Mucronata,
dan B. gymnorrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan
panas yang tinggi dan awet. Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 13.000,-
/m3 yang cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan tiga orang
anak. Kayu bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang
50 cm cukup untuk sekali memasak untuk 5 orang. Kayu bakar menjadi sangat
penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan
bakar minyak melambung tinggi (Inoue et al ., 1999)
90 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
B. Bahan Bangunan
Kayu mangrove seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza
sangat cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena
batangnya lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun. Pada tahun 1990-an
dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1 m, satu tiang mencapai
harga Rp 7.000,- sampai Rp 9.000,-. Kayu ini diperoleh dari hasil penjarangan
(Inoue et al., 1999).
C. Bahan Baku
Chip jenis Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada
tahun 1998 jumlah produksi chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang
sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksinya tersebar di
Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga chip di pasar internasional
kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999).
D. Tanin
Tanin merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata,
dan Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak kulit pada industri
sepatu, tas, dan lain-lain. Tanin juga dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan lem untuk kayu lapis. Di Jepang tanin mangrove digunakan sebagai
bahan pencelup dengan harga 2-10 ribu yen (Inoue et al., 1999).
E. Nipah
Nipah (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi
masyarakat sekitar hutan mangrove. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah
yang dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue et al., 1999). Pembuatan atap
nipah memberikan sumbangan ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga
nelayan dan merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan anak-anaknya di
waktu senggang. Menurut hasil penelitian Gunawan (2000) hutan mangrove di
Luwu Timur menopang kehidupan 1.475 keluarga pengrajin atap nipah dengan
hasil 460 ton pada tahun 1999.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 91
F. Obat-obatan
Beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air
rebusan R. apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit R. mucronata
dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal
dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus
illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes (Inoue et al., 1999).
G. Perikanan dan Rehabilitasi Mangrove
Sudah diulas di depan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan
mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, namun
dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian
480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Dari sini
tampak bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas
perikanan pada perairan bebas. Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan
lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery
atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisisr.
Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove,
terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit
ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, dimana ikan
dan udang sebagai pengganti tanaman palawija, dengan jangka waktu 3-5 tahun
masa kontrak (Wirjodarmodjo dan Hamzah, 1984). Semula, empang parit ini
hanya berupa parit selebar 4 m yang disisihkan dari tepi areal kegiatan reboisasi
hutan mangrove, sehingga keluasannya mencapai 10-15% dari total area
garapan. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir kontrak,
tajuk tanaman sudah saling menutup (Wirdarmodjo dan Hamzah, 1984; Perum
Perhutani Jawa Barat, 1984). Sejak tahun 1990 dibuat sistem pola terpisah
(komplangan) dengan 20% areal untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk
hutan dengan pasang surut bebas. Dari sistem silvofishery semacam ini dengan
pemeliharaan bandeng dan udang liar dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp
5.122.000,-/ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun (Perum Perhutani, 1995).
Dalam membandingkan pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi
Selatan, pola komplangan menunjukkan perbandingan relatif lebih baik daripada
pola empang parit, baik dalam hal produktivitas perairan maupun pertumbuhan
mutlak, kelangsungan hidup maupun biomassa bandeng yang dipelihara pada
92 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
masing-masing pola (Sumedi dan Mulyadhi, 1996). Selisih pertumbuhan
mutlaknya hanya 9,6 g sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3. Hasil ini berbeda
dengan penelitian Poedjirahajoe (2000) yang mengemukakan bahwa justru pola
empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1
kg lebih berat dibandingkan dengan pola komplangan. Namun demikian, kedua
sistem ini turut membantu dalam meningkatkan income petani petambak.
Masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove dengan sistem ini cukup
besar. Data dari KPH Purwakarta menunjukkan bahwa dari luas areal mangrove
seluas 14.535 ha dapat melibatkan sebanyak 4.342 KK dalam kegiatan
silvofoshery (Perhutani Purwakarta, 2005). Data dari Badan Litbang Pertanian
(1986) dalam Anwar (2005) menggambarkan bahwa kontribusi dari usaha
budidaya tambak dengan luas total 208.000 ha dapat menghasilkan 129.279 ton
ikan dan udang yang apabila ditaksir, nilainya melebihi dari Rp 138 milyar.
Kegiatan ini pun dilaporkan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 117.034 KK
yang sudah barang tentu dapat memberikan penghasilan yang lebih baik bagi
petani kecil.
III. PERMASALAHAN
Dalam rangka pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove, dibutuhkan
peran serta semua pihak yang terkait, apakah itu dinas pemerintah, lembaga
perguruan tinggi, masyarakat lokal, LSM, pencinta alam dan lain-lain. Namun
yang perlu diperhatikan adalah keberpihakan berbagai pihak tersebut kepada
masyarakat yang selama ini terpinggirkan dalam menentukan kebijakan terhadap
hutan mangrove tersebut. Padahal dalam realitanya, masyarakat yang lebih
dahulu terkena dampak langsung dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di
kawasan hutan mangrove. Untuk itu perlu kiranya menjadikan masyarakat
sebagai penggerak utama atau berpartisipasi aktif dalam hal pelestarian dan
pengelolaan hutan mangrove. Namun itu bukan hal yang mudah dilakukan,
karena sebelumnya harus ditanamkan terlebih dahulu kepada masyarakat akan
pentingnya keberadaan hutan mangrove yang ada di sekitar mereka.
Umumnya masyarakat selama ini tidak melakukan kegiatan rehabilitasi
atau penanaman mangrove adalah karena :
a. Tidak mengetahui cara menanam
b. Lokasi yang jauh
c. Tidak mempunyai bibit
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 93
d. Beranggapan akan tumbuh sendiri, dan lain-lain.
Yang perlu dilakukan adalah bagaimana merubah perilaku manusia dalam
rangka pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove itu sendiri. Perilaku manusia
yang negatif dalam kehidupan sehari-hari akan sangat berpengaruh terhadap
kelestarian dari sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Jadi sekarang yang
perlu ditumbuh kembangkan adalah bagaimana membentuk perilaku masyarakat
menjadi positif dan akrab dengan lingkungannya serta aktif menjaga nilai
kelestarian alam tersebut. Dan kenyataannya sekarang adalah bagaimana
menggabungkan antara kelestarian hutan mangrove tersebut dengan kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Jadi setiap yang diambil dalam pelestarian dan
pengelolaan hutan mangrove, maka diharapkan agar juga dapat mengatasi atau
menyentuh terhadap masalah sosial ekonomi masyarakat yang ada.
IV. PENDEKATAN KONSERVASI
Beberapa pendekatan yang diperlukan dalam kegiatan konservasi sumber
daya alam mengenai ekosistem mangrove yang dapat dilakukan. Setidaknya ada
dua hal yang kemungkinan dapat dilakukan dan mesti diperhatikan dalam usaha
pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove, yaitu:
1. Kualitas Sumberdaya Manusia
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir pantai
adalah dikarenakan masih rendahnya tingkat pendidikan. Namun dalam hal
pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove ini, maka perlu dilakukan upaya
peningkatan kualitas SDM yang berupa:
a. Pelatihan dengan materi tentang; Manfaat dan fungsi hutan mangrove,
Pengenalan jenis-jenis tumbuhan mangrove, Kegunaan masing-masing jenis,
Teknik pemilihan bibit, Teknik pembibitan, Teknik penanaman dan Teknik
pemeliharaan.
b. Penyuluhan tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya hutan mangrove di Indonesia.
c. Pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dalam rangka
menjalankan program pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove dengan
melibatkan partisipasi aktif masyarakat didalamnya.
94 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
d. Mengembangkan mata pencaharian alternatif agar anggota masyarakat yang
menggantungkan hidupnya dari keberadaan hutan mangrove dapat beralih
sehingga tekanan terhadap mangrove dapat dikurangi, misalnya dengan
menjalankan kegiatan pengolahan hasil perikanan atau pertanian. Dalam hal
ini perlu kerjasama yang erat antara dinas terkait dengan LSM yang ada.
2. Peningkatan Peran Serta Masyarakat Melalui Pengelolaan yang
Berbasis Masyarakat
Strategi penting yang sedang berkembang saat ini dalam rangka
pengelolaan sumberdaya alam adalah dengan pengelolaan berbasis masyarakat.
Dimana strategi ini mengandung arti, bahwa masyarakatlah yang terlibat
langsung dalam mengelola sumberdaya alamnya. Mengelola disini berarti
masyarakat ikut memikirkan, merencanakan, melaksanakan, mengawasi/
memonitor dan mengevaluasi segala sesuatunya.
Namun untuk melaksanakan atau menerapkan strategi ini bukan hal yang
mudah, karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi didalamnya, yaitu :
a. Masyarakat harus diberikan hak dan kewajiban resmi.
b. Pengakuan atas hukum adat dan hak ulayat.
c. Pembatasan yang jelas terhadap obyek pengelolaan.
d. Ide dan persepsi masyarakat harus menyatu.
e. Disesuaikan dengan kemampuan masyarakat.
Ada beberapa jenis kegiatan dilapangan yang diharapkan dapat
dilaksanakan bersama masyarakat berupa:
a. Pemilihan/pengumpulan benih atau buah
b. Pengumpulan media tanah
c. Pengisian media tanah kedalam wadah polybag
d. Pembuatan bedeng persemaian dan penyemaian
e. Pengadaan ajir dan pagar berkawat
f. Pengajiran dan penanaman bibit
g. Pemagaran dan pemasangan papan tanda
h. Pemeliharaan dan penyulaman.
Kegiatan-kegiatan yang melibatkan secara langsung masyarakat,
diharapkan dapat sebagai pendekatan yang dapat menyadarkan masyarakat
akan pentingnya sumberdaya alam yang dimiliki. Sebagaimana ekosistem
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 95
mangrove yang berada dengan dengan mereka selalu terjaga dan lestari dalam
pengelolaanya.
V. KESIMPULAN
1. Ekosistem hutan mangrove dikenal sebagai ekosistem yang paling dinamis
dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya.
2. Peranan mangrove sangat penting, baik secara ekonomi dan ekologi sebagai
sumber daya alam dan perlindungan dengan lingkungan dan antara aspek
tersebut tidak dapat dipisahkan tanpa menyebabkan bahaya ke suatu areal.
3. Untuk itu perlu kiranya menjadikan masyarakat sebagai penggerak utama
atau berpartisipasi aktif dalam hal pelestarian dan pengelolaan hutan
mangrove.
4. Strategi penting yang sedang berkembang saat ini dalam rangka pengelolaan
sumberdaya alam adalah dengan pengelolaan berbasis masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C. 2005. Wanamina, Alternatif Pengelolaan Kawasan Mangrove Berbasis Masyarakat. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pemanfaatan Jasa Hutan dan Non Kayu Berbasis Masyarakat sebagai Solusi Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan, Cisarua, 12 Desember 2003: 21-26. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
Bratamihardja, H. M. 1991. Pengelolaan Hutan Payau di Pantai Utara Pulau Jawa. Prosidings Seminar IV, Ekosistem Mangrove, Bandar Lampung, 7-9 Agustus 1990: 59-63. Program MAB Indonesia – LIPI. Jakarta
Christensen Bo. Mangroves what are they worth. http://www.fao.org/documents/ show_cdr.asp.htm download 20 September 2011.
Direktorat Jenderal Bina Pesisir. 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Ditjen Pesisir dan Pulau Kecil, DKP. Jakarta
Gunawan, H. 2000. Desentralisasi : Ancaman dan Harapan Bagi Masyarakat Adat (Studi Kasus Masyarakat Adat Cerekang di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan). CIFOR. Bogor.
Gunawan, H. dan C. Anwar. 2005. Kajian Pemanfaatan Mangrove dengan Pendekatan Silvofishery . Laporan Tahunan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor (tidak diterbitkan).
Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi , K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan JICA. Jakarta.
Kusmana, C. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove. Bogor Jurusan Mangemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
96 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Kuswandi, R.; R. Bawole; E. Batorinding. 2002. Dampak Eksploitasi Mangrove Terhadap Kualitas Ekosistem Perairan Estuari pada Areal HPH PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (BUMWI) di Babo, Manokwari. Buletin Penelitian Kehutanan, Visi dan Misi BPK Manokwari. Vol.VII.No.1.Tahun 2000. Manokwari
Mulyana, R., 1999, Kajian Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Pesisir: Studi Kasus Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta, Tesis Magister Program Studi Pembangunan ITB, Bandung
Odum, W.E., and E.J. Heald. 1975. The respon of mangrove to man-induced environmental stress., pp: 52-62. In Furguson wood, E.J and R.E. Johannes (eds.) Tropical marine pollution. Amsterdam
Perhutani Purwakarta. 2005. Renstra Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove KPH Purwakarta, Perhutani KPH Purwakarta, Purwakarta.
Poedjirahajoe, E. 2000. Pengaruh Pola Sylvofishery terhadap Pertambahan Berat Ikan Bandeng (Canos canos Forskal) di Kawasan Mangrove Pantai Utara Kabupaten Brebes. Jurnal Konservasi Kehutanan, Vol. 2, Agustus 2000: 109-124, UGM, Yogyakarta.
Sumedi, N. dan D. Mulyadhi. 1996. Kajian Sylvofishery pada Hutan Mangrove di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Bulletin Penelitian Kehutanan No. 1 th 1996. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, Makassar.
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Wirjodarmodjo, H. dan Z. Hamzah. 1982. Beberapa Pengalaman Perum Perhutani dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Prosiding Seminar II: Ekosistem Mangrove: 29-40. LIPI, Balai Penelitian Hutan, Perum Perhutani, Biotrop, Dit. Bina Program Kehutanan, Jakarta.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 97
FAKTOR DAN STAKEHOLDER PENTING DALAM MEMBENTUK KELEMBAGAAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) MODEL
DI TANAH PAPUA
Irma Yeny1), Baharinawati1), Yoel Tandirerung1)
1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia
RINGKASAN
Prasyarat pembangunan KPH merupakan indikator keberhasilan pembangunan
KPH. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan pembentukan kelembagaan organisasi KPHP Model di Papua? Berdasarkan faktor-faktor tersebut dan kepentingan stakholders, siapa aktor yang paling berperan dalam pembentukan kelembagaan KPH di Papua. Penelitian bertujuan menganalisa faktor keberhasilan pembangunan KPH di Papua. Sasaran adalah teridentifikasinya: 1) Faktor-faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan kelembagaan KPH Model di Papua. 2)Parapihak (stakeholders) penting dalam pembentukan kelembagaan KPH Model di Papua. Metode yang dilakukan adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Pegumpulan data dilakukan melalui fokus grup diskusi (FGD) dan wawancara dengan responden kunci (Key Respondent Interview) dengan menggunakan acuan daftar pertanyaan. Luaran adalah faktor-faktor penting dan faktor dalam merancang kelembagaan unit KPHP Model di tingkat tapak menuju tata kelola hutan yang lebih baik. Data dan informasi yang terkumpul selanjutnya diolah secara kualitatif deskriptif. Dari hasil penelitian diketahui faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan Kelembagaan KPHP Model diketahui terdapat 3 unsur utama yaitu : 1) Kebijakan, 2) Sumberdaya manusia, 3) Pendanaan. Berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh, maka stakeholder yang berperan merupakan kelompok sponsor yaitu pejabat pada top organisasi yang bertanggungjawab memimpin jalannya perubahan; menjamin komitmen publik dan politik dan memecahkan masalah dalam pembangunan/penyempurnaan kelembagaan.
Kata kunci: Kelembagaan KPH Model, parapihak
I. PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Hutan Papua merupakan salah satu the Global Tropical Wilderness Areas
selain hutan tropis Amazone dan Hutan Tropis Kongo, juga the larger tropical
rain forest ecosistem paling lengkap dan sangat unik terbentang dari pesisir
pantai sampai alpin. Hutan Papua termasuk the world tropical bioderversity
hotspots karena memiliki tingkat keanekaragaman hayati endemik sangat tinggi.
Hutan Papua juga menjadi benteng terakhir hutan tropis Indonesia dalam
mengendalikan perubahan lingkungan dan iklim Indonesia dan bahkan dunia dan
98 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
juga menjadi paru-paru oksigen terakhir bagi kehidupan makluk hidup dimuka
bumi ini.
Saat ini hutan Papua sudah mengalami degradasi lahan mencapai 0,13
juta hektar per tahun. Degradasi disebabkan oleh 3 (tiga) faktor yaitu
pembalakan legal, konversi ke penggunaan non hutan dan pembalakan illegal.
Pembalakan legal merupakan ancaman terbesar lajunya degradasi di Papua.
Pietsau Amafnini (2009), menyatakan bahwa persoalan yang dihadapi
masyarakat adat Papua selama ini merupakan efek dari hadirnya perusahaan-
perusahaan yang hanya mengejar keuntungan, tetapi tidak memperhatikan
kelestarian hasil. Kondisi ini jika terus berlangsung maka akan terjadi kerusakan
hutan seperti yang terjadi di pulau-pulau besar di Indonesia.
Untuk memastikan agar pengelolaan hutan di Papua tidak mengulang
sejarah kehancuran hutan alam sebagaimana wilayah-wilayah lain di Indonesia
(Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan) maka pembangunan KPH menjadi program
prioritas pembanguanan kehutanan di Papua (Kayoi, 2008).
Dalam mengimplementasikan prioritas program tersebut pada wilayah
Papua telah ditetapkan 56 (lima puluh enam) unit kesatuan pengelolaan hutan
(KPH) yang terdiri dari 31 unit KPHP dan 25 unit KPHL yang tersebar di wilayah
25 administrasi pemerintah kabupaten/kota. Sementara Provinsi Papua Barat
telah ditetapkan 21 (dua puluh satu) unit kesatuan pengelolaan hutan (KPH)
yang terdiri dari 16 unit KPHP dan 5 unit KPHL yang tersebar di 10 wilayah
adminstrasi pemerintah/kota. Dalam perkembangan lebih lanjut dan sejalan
dengan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah telah ditetapkan 1 (satu)
unit KPH model pada setiap wilayah provinsi. KPH model yang telah disepakati
adalah unit KPH Kepulauan Yapen sebagai KPH Model Provinsi Papua dan unit
KPH sorong sebagai KPH Model di Provinsi Papua Barat. Dengan telah
ditetapkan 72 unit KPH dan 2 KPHP Model di Papua maka pembangunan KPH
selayaknya sudah mulai dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual
organisasi KPH di tingkat tapak. Pembangunan kelembagaan KPH tersebut harus
dibangun sesuai dengan kemampuan unit kelola untuk melaksanakan
pengelolaan hutan yang berbasis sumberdaya hutan, termasuk mengembangkan
kepentingan para pihak, mengembangkan investasi, penyediaan informasi lebih
lengkap tentang sumberdaya alam dan permasalahannya sebagai landasan
penetapan manajemen pengelolaan, serta terlaksananya implementasi peraturan
perundangan.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 99
Berdasarkan prasyarat tersebut maka kemampuan dan tingkat
kepentingan pengelola hutan dalam menyusun suatu bentuk kelembagaan KPH
Model perlu diamati lebih mendalam. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan faktor
dan stakeholder penting berdasarkan tingkat kemampuan dan kepentingan yang
harus dipertimbangkan dalam pembentukan kelembagaan KPH Model di Papua.
B. Tujuan penelitian
Penelitian bertujuan menganalisa faktor prioritas keberhasilan
pembangunan KPH Model di Papua. Sasaran adalah teridentifikasinya :
1. Faktor-faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan
kelembagaan KPH Model di Papua.
2. Parapihak (stakeholders) penting dalam pembentukan kelembagaan KPH
Model di Papua.
II. METODOLOGI
A. Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-september 2010 bertempat pada
Provinsi Papua (KPHP Model Yapen) dan Papua Barat (KPHP Model Sorong).
Gambar 1. Lokasi Penelitian
KPHP Model
Kepulauan Yapen,
Kab. Yapen
Waropen
(105.866,09 Ha)
KPHP Model
Sorong, Kab.
Sorong
(222.014,25
Ha)
100 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
B. Metode Penelitian
Metode yang dilakukan adalah metode deskriptif dengan teknik survei.
Data primer diperoleh melalui fokus grup diskusi (FGD) dan wawancara dengan
responden kunci (Key Respondent Interview) dengan menggunakan acuan daftar
pertanyaan terkait faktor-faktor penentu keberhasilan dan parapihak
(stakeholders) yang perlu dipertimbangkan dalam kelembagaan KPH.
Kelembagaan yang ingin didekati dalam penelitian ini adalah analisis
kelembagaan dari sudut organisasi tanpa melihat secara spesifik tentang aturan
main dalam kelembagaan.
Responden merupakan orang yang dianggap memahami konsep
pembangunan KPH di Papua dan merupakan keterwakilan dari instansi terkait
(BPKH, Dinas Kehutanan Provinsi/kabupaten dan tokoh masyarakat yang berada
pada unit KPH, LSM dan pakar). Data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen
berupa rancangan dan rencana aksi pembanguanan KPH Region Papua. Data
sekunder dikumpulkan meliputi kondisi hutan dan sosial ekonomi masyarakat
pada wilayah unit KPH serta rancangan pembangunan KPH Model (rancangan
pengelolaan kawasan dan implementasinya).
C. Analisis Data
Data dianalisis berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Untuk
tujuan pertama yaitu faktor-faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam
pembangunan kelembagaan KPH Model maka dilakukan analisis deskriptif
sedangkan untuk tujuan stakeholder penting dilakukan analisis stakeholder
berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder pada kegiatan
pembentukan kelembagaan KPH Model di Papua.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Pembentukan KPH di Papua dalam proses pembentukan kelembagaan
pengelola unit KPH. Sebagai wujud riil pengelolaan di tingkat tapak saat ini
sedang dipersiapkan kelembagaan maupun kebijakan KPHP Model di Papua dan
Papua Barat.
Berdasarkan kemampuan dan tingkat kepentingan pengelola hutan di
Papua terdapat faktor-faktor yang menjadi prioritas dalam pembangunan
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 101
kelembagaan KPH di Papua maka sub bab berikutnya akan mendeskripsikan
faktor prioritas pembangunan kelembagaan KPHP Model dan para pihak yang
berperan dalam pembentukan kelembagaan.
1. Faktor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam
pembangunan kelembagaan KPH di Papua.
Hasil diskusi dengan responden menunjukkan bahwa terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembentukan kelembagaan KPH di
Papua antara lain :
a. Kebijakan
Secara umum kebijakan merupakan cara dan tindakan pemerintah untuk
mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan
pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan
maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrumen tertentu
(Tony Djogo, 2003). Salah satu persoalan yang mendasar dari upaya
pembentukan kelembagaan KPHP Model adalah sangat terbatas dasar hukum
yang dapat menjalankan perencanaan dan strategi yang telah disusun dalam
dokumen rancangbangun KPHP Model.
Dalam membentuk kelembagaan KPH ditingkat provinsi maupun
kabupaten dibutuhkan dasar hukum baik dalam bentuk peraturan daerah
maupun peraturan gubernur/peraturan bupati. Kebijakan pendukung yang telah
ada saat ini untuk pembentukan kelembagaan KPH Model yaitu peraturan bupati
Sorong No. 31 tahun 2008 tentang pembentukan susunan organisasi dan tata
kerja dinas daerah di kabupaten Sorong dan Peraturan bupati Sorong No. 431
tahun 2008 tentang penjabaran uraian dan fungsi dihut kabupaten Sorong.
Peraturan bupati nomor 4 tahun 2008 tentang pembentukan organisasi, setda
dan sekwan DPRD, Dinas-dinas dan lembaga teknis daerah kabupaten kepulauan
Yapen.
Didalam Peraturan bupati menyebutkan susunan organisasi dinas-dinas
lembaga teknis daerah dapat mengakomodir UPTD yang dipimpin oleh seorang
kepala yang berada dibawah kepala dinas atau setara dengan eselon III.
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan bupati tersebut saat ini sedang di
proses Peraturan Bupati tentang kelembagaan KPH Model Yapen dan Sorong
102 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
dalam bentuk UPTD oleh bagian Hukum dan organisasi pada pemerintah daerah
setempat sehingga masih membutuhkan waktu dalam penerbitan payung hukum
kelembagaan yang menjadi dasar pelaksanaan pengelolaan KPH.
b. Sumberdaya Manusia
Organisasi KPH tidak terlepas dari suatu manajemen yang dikelola oleh
sumberdaya manusia yang profesional. Permasalahan lainnya dalam membentuk
organisasi KPHP Model sebagai bagian dari kelembagaan adalah kebutuhan
sumberdaya manusia. Berdasarkan struktur organisasi pada KPH Model yang
telah dituangkan dalam dokumen rancang bangun KPHP Model maka kebutuhan
sumberdaya manusia berdasarkan kompetensinya tertuang dalam tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan SDM berdasarkan Kopetensi serta ketersediaannya pada Dinas Kehutanan di tingkat Kabupaten.
No
Jabatan
Kualifikasi
Kebutuhan
Ketersediaan
Dinhut
Sorong
Dinhut
Yapen
1. KKPH Pangkat Min III d Pendidikan Kehutanan
Min 10 thn berkompetensi
di bid. Kehutanan
1 2 1
2. Ka.Bag T.U Pangkat Min III c
Pendidikan S1
Ekonomi/Manaj/D3 Tata usaha
Min 8 thn berkompetensi di bid. Tata usaha
1 3 1
3. Kasubbag
Keuangan/
Perencanaan Umum/ Keuangan
Pangkat Min III b
Pendidikan S1
Ekonomi/Manaj/D3 Tata usaha
Min 6 thn berkompetensi di bid. Tata usaha
3 3 3
4. KBKPH Pangkat Min III b
Pendidikan S1 Kehutanan Min 6 thn berkompetensi
di bid. Kehutanan
1 s/d 3 9 1
5. Kepala seksi
(pemantapan dan peredaran
HH/perlindungan dan pengamanan
hutan/penataan
dan pembinaan hutan/pemberday
aan masyarakat
Pangkat Min III b
Pendidikan S1 kehutanan Min 6 thn berkompetensi
di bid. kehutanan
1 s/d 4 0 0
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 103
No
Jabatan
Kualifikasi
Kebutuhan
Ketersediaan
Dinhut Sorong
Dinhut Yapen
6. kepala resort Pangkat Min III a
Pendidikan S1 Kehutanan/D3 Kehutanan
Min 4 thn berkompetensi
di bid. kehutanan
1 s/d 3 8 4
7. Mandor SKMA/SLTA
pengalaman kerja 3 tahun
memiliki kompetensi di bidangnya
4 2
8. Kepala Kelompok
Kerja
membantu mandor
9. kelompok kerja tenaga non skill tenaga kontrak atau
tenaga kerja masyarakat lokal binaan KPH
Tabel 1. menunjukkan kebutuhan dan ketersediaan SDM sesuai dengan
kompetensi yang disusun dalam rancang bangun KPH Model maka dinas
kehutanan kabupaten Sorong mempunyai surplus sumberdaya manusia
sementara dinas kehutanan Kabupaten Kepulauan Yapen masih kekurangan
sumberdaya manusia sesuai kompetensi. Untuk mengatasi hal tersebut
responden mengharapkan dapat dilakukan perbantuan sumberdaya manusia dari
Dinas Kehutanan Provinsi setempat maupun dengan peningkatan kapasitas SDM
melalui pelatihan sehingga dapat mengatasi permasalahan kompetensi SDM yang
ada.
c. Pedanaan
Prinsip penyusunan organisasi perangkat daerah mempertimbangkan (1)
Kewenangan pemerintah yang dimiliki daerah (2) Karakteristik potensi dan
kebutuhan daerah (3) Kemampuan keuangan daerah (4) Ketersediaan sumber
daya manusia (5) Pengembangan pola kerja sama antar daerah (Publik.
PustakaNet, 2008). Terkait dengan pembentukan kelembagaan KPHP model
sebagai perangkat daerah (UPTD) maka kemampuan keuangan daerah juga
merupakan masalah yang harus dipertimbangkan dalam menjalankan organisasi
tersebut.
Dalam menjalankan pemerintahan daerah, sumber dana yang digunakan
meliputi pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan
yang sah. Dalam hal ini potensi daerah diharapkan mampu menyokong
104 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
ketersediaan pendapatan dearah. Sementara disisi lain UU No. 22/1999 tentang
pemerintahan daerah mengamanatkan sebagian kewenangan publik di serahkan
kepada pemerintah daerah. Impilkasi dari undang-undang tersebut adalah
peningkatan kebutuhan anggaran dalam menjalankan fungsi-fungsi yang
diberikan. Kondisi ini menyebabkan anggaran pendapatan daerah lebih kecil dari
fungsi dan beban tugas yang diamanatkan dalam Undang-undang tersebut.
Berdasarkan statistik Kabupaten Kepulauan Yapen penggunaan anggaran
pendapatan daerah mencapai 80 % untuk kebutuhan rutin berupa belanja tidak
langsung. Kondisi ini menyebabkan banyak program pembangunan di daerah
termasuk pembentukan KPH belum memperoleh dukungan dana yang optimal
sehingga terkesan lambat. Hal tersebut diperberat lagi dengan kurangnya
partisipasi dunia usaha dalam mendukung pengelolaan hutan.
2. Para Pihak yang perlu dipertimbangkan dalam kelembagaan KPH
Dalam dokumen rancang bangun KPHP Model Yapen telah disusun
pembagian peran dalam merealisasikan rencana aksi pembentukan KPH Model.
Berdasarkan analisis terhadap kekuatan,kelemahan,peluang dan ancaman maka
telah ditetapkan 20 strategi yang dapat diambil sebagai alternatif untuk
pencapaian tujuan pembangunan KPH Model Kepulauan Yapen. Dari ke dua
puluh strategi tersebut terdapat 11 (sebelas) strategi yang dianggap prioritas
dalam pencapaian tujuan pembangunan KPH Model antara lain:
a. Menjaga komitmen Dinas Kehutanan, dan dukungan masyarakat setempat.
b. Membangun komitmen antara para pihak untuk membangun kesepahaman
yang berkaitan dengan upaya-upaya pembangunan KPH
c. Meningkatkan kerjasama antara dinas kehutanan dengan masyarakat dan
mengakomodir keinginan masyarakat kedalam kebijakan pengelolaan hutan.
d. Mensosialisasikan Peraturan perundangan kepada para pihak yang berkaitan
dengan KPH, pengelolaan hutan bersama masyarakat dan kawasan hutan.
e. Melakukan pembinaan terhadap staf dinas kehutanan yang berkaitan dengan
pengelolaan kawasan hutan.
f. Mengalokasikan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pada unit KPH.
g. Membentuk kelembagaan masyarakat dan pemerintah, serta mengumpulkan
data tentang kebutuhan, presepsi serta sosial budaya masyarakat.
h. Melakukan kegiatan Tataguna lahan di dalam unit KPH
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 105
i. Melakukan kegiatan pemetaan partisipatif terhadap kepemilikan lahan
masyarakat dan kawasan hutan.
j. Melakukan pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan seluruh
stakeholder.
k. Melakukan penataan batas dan rekonstruksi kawasan hutan
Beberapa pihak yang berkepentingan serta strategi yang harus dilakukan
tertuang dalam Tabel 2.
Tabel 2. Pembagian Peran Rencana Aksi Pembentukan KPH Model Yapen.
No. Pihak Berkepentingan Peran 1. Departemen Kehutanan strategi : 2,4,5,7
2. Gubernur Provinsi Papua Strategi : 2
3. Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen Strategi : 2,3,4,7,11
4. Dishut Kabupaten Yapen Strategi : 10,11
5. Bappeda Kabupaten Kep. Yapen Strategi : 1,2,3,4,5,6,7,8,9
6. BPKH Wilayah II Papua Strategi : 2,3,4,10
7. BPDAS Memberamo Papua Strategi : 2,3,4,6,7
8. Dinas Kehutanan Provinsi Papua Strategi : 2,4,6,10
9. Dinas Pariwisata Kab.Kep Yapen Strategi : 2,3,4,6,10,11
10. BPKD Kabupaten Kepulan Yapen Strategi : 2,5
11. Dinas Pertanian/perkebunan Strategi : 2,5,10
12. Dinas Perikanan Kab. Kepulauan Yapen Strategi : 2, 10
13. Dinas Kimpraswil Strategi : 2,10
14. Distrik-distrik Strategi : 1,2,3,10,11
15. Masyarakat kampung Strategi : 1,2,3,8,9,10
16. NGO, Tokoh Masyarakat Strategi : 1,2,3,8,9, 10
17. Akademisi/Pakar bidang kehutanan Strategi : 2,3,4,10
18. Disperindag, Koperasi dan badan usaha lainnya Strategi : 2,10 Sumber : Dokumen Rancang bangun KPH Model Yapen
Pembagian peran dan strategi pada Tabel 2. menunjukkan bahwa
stakeholder yang sangat berperan dalam strategi nomor tujuh yaitu membentuk
kelembagaan masyarakat dan pemerintah serta mengumpulkan data tentang
kebutuhan, persepsi serta sosial budaya masyarakat adalah Kementerian
kehutanan, Bupati kepulauan Yapen, BAPPEDA Kepulauan Yapen, BPDAS
Memberamo. Berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh maka stakeholder
tersebut merupakan kelompok sponsor yaitu pejabat pada top organisasi yang
bertanggungjawab memimpin jalannya perubahan; menjamin komitmen publik
dan politik dan memecahkan masalah dalam pembangunan/penyempurnaan
kelembagaan. Dalam dokumen rancang bangun peran masing-masing
stakeholder dalam pembentukan kelembagaan belum disebutkan secara jelas
106 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
sehingga sampai saat ini stakeholder yang telah banyak mengambil peran adalah
Dinas Kehutanan Kepulaun Yapen.
Pada dokumen rancang bangun KPH Model Sorong menyebutkan
kebijakan strategis dalam rangka pembangunan KPHP Model Register sorong
antara lain :
1. Pembentukan kelembagaan KPHP Model
2. Pemantapan kawasan KPHP Model
3. Pemantapan Rancangan pengelolaan kawasan KPHP Model
4. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung kegiatan KPHP Model
5. Pengembangan sumberdaya manusia.
Terkait dengan strategi kebijakan pembentukan kelembagaan KPHP Model
salah satu program yang harus dilakukan adalah legislasi UPTD sebagai institusi
pengelola KPHP Model Register II Sorong. Program ini meliputi kegiatan pokok
yaitu :
1. Menyusun struktur organisasi KPH Model Register II Sorong,
2. Menetapkan personalia pada unit-unit organisasi.
3. Merumuskan Tupoksi masing-masing unit organisasi
4. Penerbitan Perbup tentang Kelembagaan UPTD KPHP Register II Sorong.
Berdasarkan pembagian peran yang dilakukan pada dokumen rancang
bangun serta sejalan dengan kebijakan strategis dan program tersebut maka
pihak yang paling berperan dalam pembentukan kelembagaan KPHP Model
Sorong adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong bersama biro hukum dan
kelembagaan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong.
B. Pembahasan
Kelembagaan merupakan suatu tatanan dan pola hubungan antara
anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat
menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang
diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor
pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal
untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan
mencapai tujuan bersama (Tony djogo, 2003).
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 107
Dari hasil penelitian diketahui faktor-faktor pembatas yang harus
dipertimbangkan dalam pembangunan Kelembagaan KPHP Model diketahui
terdapat 3 unsur utama yaitu :
1. Kebijakan
2. Sumberdaya manusia
3. Pendanaan
Berdasarkan faktor tersebut maka diperlukan cara dan tindakan untuk
mengakomodir faktor prioritas dalam pembangunan kelembagaan KPHP Model
tersebut. Salah satu faktor yang mendasar dari upaya pembentukan
kelembagaan KPHP Model adalah sangat terbatas payung hukum yang dapat
menjalankan perencanaan dan strategi yang telah disusun dalam dokumen
rancangbangun KPHP Model.
PP No. 41 Tahun 2007, pasal 14 ayat 6 menyebutkan dinas daerah dapat
membentuk unit pelayanan teknis daerah untuk melaksanakan sebagian kegiatan
teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah
kerja satu atau beberapa kecamatan. Struktur organisasi yang dapat dibentuk
adalah seperti Gambar 2.
Gambar 2. Struktur organisasi UPTD berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007.
Tugas dan tanggungjawab Kepala UPTD/KKPH adalah menyusun dan
melaksanakan program/kegiatan terkait pengelolaan hutan. Mekanisme kerja
kepala KPH adalah bertanggungjawab terhadap kepala dinas. Sehingga
dibutuhkan KKPH minimal III d atau eselon III/IVa. KKPH dibantu beberapa staf
yang jumlah dan kompetensinya disesuaikan dengan kebutuhan, dengan
kualifikasi memiliki kemampuan dan pengusaan keilmuan di bidang kehutanan.
Adanya dasar hukum pendukung baik dalam bentuk PP No. 41 Tahun
2007 maupun Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah, maka setiap daerah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya
sendiri sesuai dengan kondisi wilayahnya masing. Dampak diberlakukannya
Kepala Dinas
Kabid. A Kabid. B Kabid. C UPTD/KKPH
108 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 serta Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun
2000, tentang Otonomi dan Kewenangan Daerah, cukup luas terhadap
penataan kelembagaan maupun penataan personil, dimana kewenangan
sepenuhnya diberikan kepada daerah. Sesuai dengan kewenangannya untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Berdasarkan kewenangan tersebut
maka diperlukan kinerja pemerintah daerah dalam penyusunan norma, standar,
prosedur dan ktriteria kelembagaan KPHP Model.
Faktor kedua yang harus dipertimbangkan adalah sumberdaya manusia.
Organisasi yang merupakan bagian dari kelembagaan terdiri dari berbagai
elemen yang salah satunya adalah sumber daya manusia sebagai sumberdaya
organisasi. Terkait dengan sumberdaya organisasi perlu diingat bahwa semua itu
tidaklah tersedia secara berlimpah. Ada keterbatasan yang mengakibatkan
pemanfaatannya harus dilakukan secara cermat. Proses manajemen yang baik
harus bisa memanfaatkan keterbatasan tersebut demi tercapainya tujuan
organisasi (Pujangkoro, 2004).
Jika mengacu pada standar kompetensi struktur KPH yang dibutuhkan
maka diperlukan upaya dalam mencukupi kebutuhan sumberdaya manusia dalam
struktur organisasi yang telah direncanakan. Yudhi (2008) menyebutkan
terdapat dua cara penyediaan SDM yaitu secara internal dan eksternal.
Persediaan/supply internal bisa berasal dari karyawan yang telah ada yang dapat
dipromosikan, ditransfer, atau didemosi untuk mengisi lowongan. Supply
eksternal berasal dari luar atau mereka yang tidak sedang bekerja di organisasi
tersebut dan siap direkrut oleh organisasi yang membutuhkan. Lebih lanjut
dikatakan kebutuhan organisasi harus di bandingkan dengan penyediaan tenaga
kerja yang ada. Tidak hanya sekedar menghitung jumlah karyawan. Harus
dilakukan audit tenaga kerja yang sudah ada untuk mengetahui kemampuan
pekerja yang ada. Informasi ini menjadi dasar estimasi tentatif mengenai
lowongan-lowongan yang dapat diisi oleh karyawan yang ada.
Pada kebutuhan kompetensi (pendidikan, lama bekerja dan
pangkat/golongan) maka terlihat keterbatasan sdm pada dinas kehutanan di
tingkat kabupaten. Agar dapat me-manage sdm yang ada, maka unsur lama
bekerja dan pangkat dan golongan sebaiknya tidak menjadi prasyarat utama
dalam memenuhi kebutuhan sdm pada struktur organisasi KPH namun
pertimbangan kemampuan pekerja meliputi usaha dan tanggungjawab menjadi
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 109
dasar estimasi tentatif mengisi lowongan yang dapat diisi oleh sdm yang telah
ada. Struktur organisasi KPH Model di Papua telah disusun dalam rancang
bangun KPHP model seperti Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Organisasi KPHP Model berdasarkan dokumen rancang
bangun KPHP Model Sorong.
Berdasarkan Gambar 3. maka untuk struktur organisasi KPHP Model
Sorong yang terdiri dari 3 (tiga) DAS merupakan yaitu DAS Beraur, DAS
Warsamson, DAS Karabra sehingga dibutuhkan 4 (empat) orang sumberdaya
manusia dibidang ekonomi/manajemen/tata usaha. Sumberdaya manusia
tersebut akan mendukung kepala tata usaha. Selanjutnya SDM yang memiliki
kemampuan pengelolaan hutan khususnya budidaya, manajemen dan konservasi
hutan baik sarjana maupun diploma dibutuhkan lebih dari dua puluh satu orang
yang menempati jabatan mulai dari KBKPH, Kepala seksi dan kepala resort.
Sedangkan untuk struktur organisasi KPHP Model Yapen yang memiliki 1
(satu) DAS yaitu DAS Yapen dalam dibutuhkan 4 (empat) orang sumberdaya
manusia dibidang ekonomi/manajemen/tata usaha dan membutuhkan SDM yang
memiliki kemampuan pengelolaan hutan khususnya budidaya, manajemen dan
konservasi hutan baik sarjana maupun diploma dibutuhkan lebih dari delapan
110 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
orang yang menempati jabatan mulai dari KBKPH, Kepala seksi dan kepala
resort.
Untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia tersebut dapat di
peroleh melalui pembukaan lapangan kerja bagi lulusan fakultas kehutanan unipa
dan sekolah menengah atas kejuruan kehutanan yang berada di Kabupaten
Manokwari. Ketersedian sumberdaya manusia tersebut terlihat dari setiap
tahunnya Unipa menghasilkan 92 alumni kehutanan. Sedangkan di SMK
Kehutanan dapat menyediakan sdm kehutanan sekitar 30 alumni tiap tahunnya.
Namun untuk memenuhi kebutuhan tenaga berdasarkan pangkat dan
pengalaman kerja maka ketersediaan SDM teknis pada dinas kehutanan provinsi
dan kabupaten diharapkan mampu mengisinya.
Faktor ketiga yaitu keterbatasan sumber pembiayaan daerah juga menjadi
salah satu faktor lambatnya pembangunan KPH di Papua. Implikasi finansial dari
desentralisasi pengelolaan hutan adalah pada peningkatan kebutuhan anggaran
untuk bisa menjalankan fungsi-fungsi yang diberikan tersebut. Untuk itu, UU
No.25/1999 berupaya mengatur agar dalam menjalankan program desentralisasi
juga tercapai keseimbangan yang memadai antara beban fungsi dan sumberdaya
finansial yang dimiliki daerah. Lewat pengaturan keseimbangan fiskal yang baru
maka akan terjadi perimbangan keuangan yang baru, baik dalam dimensi vertikal
(antar tingkatan pemerintahan) maupun horizontal (antar pemerintah daerah di
tingkat yang sama). Dalam konteks inilah maka peran dana perimbangan
(khususnya Dana Alokasi Umum - DAU) menjadi sangat sentral dalam upaya
menyeimbangkan perbedaan potensi dan kebutuhan antar daerah (dimensi
horizontal) dan menyeimbangkan perbedaan sumberdaya dan beban fungsi antar
tingkat pemerintahan (dimensi vertikal). Sejalan dengan hal tersebut maka perlu
diatur sumber pendanaan dan mekanismenya dalam menjalankan unit KPHP
Model di Papua.
Di lain pihak saat ini telah disusun strategi untuk segera mewudkan pra
kondisi dan pengorganisasiaan kawasan sehingga diperoleh kemantapan status
dan batas kawasan terbabas dari konflik, disamping membentuk institusi
pengelola yang memiliki legitimasi hukum. Strategi tersebut antara lain :
1. Percepatan legislasi UPTD sebagai institusi pengelola KPHP Model Register II
kabupaten sorong.
2. Sosialisasi intensif kepada stakeholder tentang model pengelolaan hutan
dengan wadah KPH.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 111
3. Memprioritaskan kegiatan pada unit-unit kelola potensial yang ada pada areal
kerja KPHP model.
4. Mengintensifkan pengembangan SDM pengelola KPHP.
5. Optimalisasi pembentukan unit-unit usaha jasa lingkungan dan hutan
kemasyarakatan.
6. Optimalisasi usaha produksi kayu dan non kayu.
7. Optimaslisasi implementasi TPII/SILIN dalam peningkatan produktivitas LOA
8. Mengupayakan sumber-sumber pembiyaan di luar APBN dan APBD
Strategi yang disusun tersebut selain membutuhkan sumber dana juga
menuntut peran para pihak untuk menjalankannya. Karsudi (2010)
menyebutkan, berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh maka terdapat 3
kelompok yaitu :
1. Kelompok sponsor yaitu, pejabat pada top organisasi yang bertanggungjawab
memimpin jalannya perubahan; menjamin komitmen publik dan politik dan
memecahkan masalah-masalah dalam pembangunan atau penyempurnaan
kelembagaan.
2. Kelompok pelaku perubahan yaitu, individu (atau kelompok) yang mengelola
implementasi program-program perubahan.
3. Partisipan perubahan yaitu, setiap orang atau kelompok yang dipengaruhi
secara positif (diuntungkan) maupun secara negatif (dirugikan) oleh
perubahan dengan tingkat keterlibatan yang sangat bervariasi tergantung dari
interest, kedekatan lokasi dan sebagainya.
Pada tahap pembentukan kelembagaan pengelola di tingkat tapak (KPHP
Model) maka saat ini peran kelompok sponsor di daearah seperti Dinas
kehutanan kabupaten setempat, dinas kehutanan provinsi setempat, BPKH dan
Bupati dan Gubernur sangat penting untuk mendorong keberhasilan pengelolaan
hutan di Papua.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian diketahui kelembagaan KPH Model di Papua
telah dirancang sesuai dengan kapasitas sumberdaya di tingkat tapak dan telah
mempertimbangkan berbagai faktor kebutuhan entitas lokal dan faktor prioritas
keberhasilan pembangunan KPH di Papua.
Dalam menerjemahkan faktor-faktor tersebut maka hasil analisis peran
menunjukkan pada tahap pembentukan kelembagaan pengelola di tingkat tapak
112 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
(KPHP Model) peran kelompok sponsor di daearah seperti Dinas kehutanan
Kabupaten setempat, dinas kehutanan provinsi setempat, BPKH dan Bupati dan
Gubernur sangat penting untuk mendorong keberhasilan pengelolaan hutan di
Papua.
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka penyempurnaan konsep
kelembagaan KPH di Papua mengacu pada hal-hal tersebut :
1. Factor kunci keberhasilan pembangunan KPH di Papua bertumpu pada
kebijakan, sumberdaya manusia dan pendanaan. Kebijakan merupakan faktor
utama yang berpengaruh dalam pencapain tujuan KPH baik di Provinsi Papua
dan Papua Barat, maka untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan
Kebijakan yang kelembagaan secara utuh yaitu sumberdaya manusia, aturan
dan pendanaan sebagai upaya melengkapi peraturan perundangan terkait
pembangunan KPH di Papua dan Papua Barat.
2. Struktur organisasi KPH Model di Papua telah dirancang sesuai dengan
kepentingan pengelolaan hutan. Namun kapasitas (kompetensi dan
ketersediaan) sumberdaya di tingkat tapak masih perlu ditingkatkan sehingga
mampu memenuhi kebutuhan SDM pada setiap struktur organisasi KPH yang
dibentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Karsudi, 2010. Strategi Pengembangan Ekowisata dalam Kerangka Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua.
Kayoi, 2008. Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua. Materi Eskpose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Tidak diterbitkan.
Pietsau Amafnini, 2009. Kerusakan Hutan di Papua. Blog Pitsau. Akses pebruari 2010.
Pujangkoro, S.A 2004. Analisis Jabatan (Job Analysis). e-USU Depository. Universitas Sumatera Utara .
Pustaka Net, 2008. Analisis pembentukan Kelembagaan perangkat daerah. Suatu Studi Kasus pada Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral di Provinsi Bengkulu. Tesis Administrasi Publik. PustakaNet.wordpress.com. akses 10 November 2010.
Tony Djogo, Sunaryo, Didik Suharjito dan Martua SiraitTony Djogo, 2003. Bahan ajar Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Word Agroforestry Centre (ICRAF).
Yudhi, 2008. Perencanaan Sumberdaya Manusia. Blog Yudhi.akses 10 Nov 2010.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 113
“DARI CELAH EKSISTENSI MASYARAKAT ADAT”, BELAJAR DI TELUK BRUYADORI - PAPUA
Henry S. Innah1), Sarah Yuliana1), dan Laban Mandibodibo1)
1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia
PENDAHULUAN
Ruang penelitian sangat terbuka lebar ketika obyek penelitian mengambil
tempat di Tanah Papua. Ruang tersebut semakin mengasyikkan ketika subjek
penelitian yang merupakan masyarakat adat Papua diketahui memiliki diversitas
yang tinggi. Jika merujuk pada tulisan Lewis (2009), dikemukakan bahwa jumlah
bahasa di Papua adalah 276. Ini dapat menjadi suatu indikator bahwa kelompok
masyarakat adat di Papua memiliki keunikan dan keragaman budayanya masing-
masing. Dengan julukan sebagai wilayah dengan formasi ekosistem terlengkap di
dunia, Tanah Papua dihuni oleh suku-suku yang menyebar dan menempati
ekosistemnya mulai dari pantai hingga dataran tingginya.
Lahan atau tanah, merupakan „mama‟ atau ibu kandung bagi masyarakat
asli Papua. Konsep lahan juga mencakup sumber daya yang terkandung di dalam
dan di atas tanah. Dengan demikian, apabila diterjemahkan lebih detil, maka
lahan kemudian mencakup hutan, tanah pertanian, penggembalaan, perairan,
tambang dan mineral, dan dapat menjadi sumber untuk penghidupan
masyarakat.
Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah, bagaimana seyogyanya
eksistensi masyarakat adat dengan lahannya dipahami? Dan bagaimana
seyogyanya regulasi menjangkau keinginan masyarakat adat terkait penggunaan
lahannya?. Kondisi ini menjadi penting sejak Keputusan Mahkamah Konstitusi
nomor: MK 35/PUU-X/20121, keberadaan hutan adat akhirnya diakui dan mesti
dikeluarkan dari hutan negara. Keputusan MK ini, telah membuahkan banyak
pekerjaan rumah, yang berarah pada pengakuan hak masyarakat adat, tidak
terkecuali yang ada di Tanah Papua. Keputusan MK juga telah menghapuskan
hak negara atas kawasan hutan adat, yang sesungguhnya merupakan counter
1 http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2013/05/putusan_sidang_35%20PUU%202012-Kehutanan-telah%20ucap%2016%20Mei%202013.pdf
114 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
atas hegemoni melalui UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sebenarnya -secara
hukum, hak masyarakat adat di Papua atas lahan dan hutannya, telah diakui
dan dieksplisitkan dengan tegas melalui UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua. Tulisan ini mencoba mengungkapkan kondisi yang terjadi di
Teluk Bruyadori di Pulau Numfor Papua.
SEJAUH MEMANDANG
Dalam Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua tahun 20092, ditegaskan
kembali oleh AMAN3 bahwa Masyarakat Adat adalah:
Sekelompok masyarakat yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat
Berdasarkan kondisi ekosistem yang ada, melalui Forum Kerja Sama
Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, telah ditetapkan 7 Wilayah Adat Papua
antara lain: (1) Mamta meliputi pantai utara, (2) Saireri meliputi wilayah
kepulauan di bagian utara dan daratan tengah, (3) Domberay meliputi Kepala
Burung, (4) Bomberay meliputi sebagian Kepala Burung dan Bagian Barat, (5)
La-Pago meliputi Pegunungan Tengah Bagian Timur, (6) Me-Pago meliputi
Pegunungan Tengah sampai wilayah Enarotali , dan (7) Ha-Anim meliputi bagian
selatan (Gambar 1).
Gambar 1. Wilayah Adat Papua
2 http://mrpapua.wordpress.com/2009/11/11/kelompok-kerja-adat-mrp-lokakarya-land-tenure-dan-hutan-papua-hotel-sentani-indah-17-18-juli-2009/ accessed 5 September 2011 3 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 115
Tujuh Wilayah Adat yang dikemukakan ini akan lebih menarik lagi apabila
dapat dirinci ke dalam wilayah-wilayah terkecil menurut kelompok yang eksis.
Untuk memudahkan, penulis akan fokus pada Etnis Byak yang bermukim di
Kabupaten Biak – Numfor dan Kabupaten Supiori. Pada wilayah ini ada Dewan
Adat Biak (Kankain-Kakara Biak/KKB) yang berkedudukan di Kota Biak,
merupakan representasi dari eksistensi masyarakat adat Biak secara keseluruhan.
Secara tegas, KKB ada untuk mengawal hak dasar masyarakat adat Papua secara
umum dan masyarakat Biak secara khusus (struktur lihat Gambar 2).
Gambar 2. Struktur Pemerintahan Adat yang eksis di Biak
Wilayah pemerintahan adat terkecil di Biak adalah mnu/kampung. Di tiap
wilayah (Numfor dan Biak), beberapa mnu berada dalam suatu lembaga sup fyor
atau sup Mnuk, yang mana sub fyor/sub Mnuk ini berfungsi sebagai tempat
penyelesaikan persengketaan apabila di tingkat mnu tidak mampu lagi di
selesaikan. Pimpinan (mananwir) Sup fyor dan Bar, biasanya dipilih dari
mananwir (kepala) mnu yang dianggap mampu oleh masyarakat atau beberapa
mananwir mnu. Kemampuan menguasai adat setempat adalah syarat utama dari
penentuan menjadi mananwir sup fyor (Sumiarni et al. 2008).
Di dalam wilayah pemerintahan mnu, terdapat beberapa keret utama yang
mendiami wilayah Mnu dimaksud. Keret-keret ini biasanya terdiri dari keret kecil
(sim) yang biasa diibaratkan dengan buah jeruk yang memiliki ruas/ruangan
masing-masing. Pada waktu lalu, dengan adanya rumah adat Biak (Runsram),
116 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
maka akan jelas terlihat bahwa di setiap kamar rumah tersebut, akan terdapat
sub keret yang merupakan keluarga-keluarga hasil ikatan perkawinan dengan
keret lainnya. Keret memilki wilayah/lahan untuk dikelola bersama seluruh
anggota keluarganya.
Pada waktu lampau, keret-keret utama memiliki wilayah territorial yang
cukup luas, namun seiring dengan perkembangan penduduk dan kebutuhan
lahan, maka pembagian-pembagian lahan kepada anggota keluarga merupakan
hal yang tidak dapat dihindari. Bahkan, potensi pendudukan lahan oleh keret
lain dengan berbagai alasan kerap terjadi, sehingga tidak jarang menimbulkan
konflik. Saat ini, beberapa keret harus memperjelas eksistensi mereka pada
lahan-lahan tertentu dengan pemancangan papan nama batas hak ulayat. Bagian
ini kemudian memperjelas gambaran bahwa kelembagaan masyarakat adat
terkecil di Biak-Numfor yang berperan penting dalam distribusi dan pemanfaatan
lahan adalah kelompok Keret. Selanjutnya adalah memastikan siapa saja yang
ditunjuk oleh anggota kelompok keret sebagai pemimpin kelompok. Istilah lokal
ialah mananwir/manseren. Komunikasi dengan keret memiliki legitimasi ketika
dilakukan dengan pemimpin-pemimpin keret (Innah et al. 2013).
MEMBONGKAR SEJARAH
Menelusuri kelompok masyarakat adat dan wilayah teritorinya, hanya
dapat dilakukan dengan baik ketika memperoleh informasi langsung dari
kelompok masyarakat adat sendiri. Ceritera para tokoh adat atau pemimpin-
pemimpin lokal yang representatif dapat dirangkai untuk menemukenali struktur
kelembagaan dan wilayah teritori, disamping kunjungan lapangan yang tidak
dapat dianggap sepele.
Sebagai contoh kasus, dalam suatu kunjungan penelitian ke wilayah Teluk
Bruyadori – Pulau Numfor, terungkap bahwa berdirinya kampung Bawey melalui
proses sejarah panjang. Kampung Bawei pada awalnya dimiliki oleh tiga marga
besar yaitu Mambraku-Mambrasar, Rumaseb, dan Wanma yang merupakan
orang Byak. Sebelumnya, Kampung Bawei lama di temukan oleh Mambrasar
yang merupakan orang asli di Pulau Biak. Keluarga Mambrasar menyeberangi
laut dan berlayar ke Pulau Numfor, dan tiba pertama kali di wilayah Yemberuwo
(saat ini merupakan lokasi Bandara Pulau Numfor-Biak). Karena berselisih
dengan penduduk yang lebih dahulu mendiami daerah Yemberuwo, Keluarga
Mambrasar kemudian pindah ke daerah di sebelah timur yang disebut Andei.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 117
Wilayah Andei telah lebih dahulu didiami oleh Marga Baransano. Karena ada
sedikit perselisihan, keluarga Mambrasar kemudian berpindah ke Syoribo
(sebelah barat Andei). Pada saat kaum keluarga Mambrasar memasuki hutan
sekitar Syoribo untuk berladang, Mambrasar memutuskan untuk mendayung
perahu ke daerah timur hingga selatan, hingga menjumpai Teluk yang sangat
indah. Setelah mengintari Teluk tersebut (Teluk Bruyadori), Mambrasar melihar
melimpahnya buah Aibon (Bruguiera sp.) yang juga merupakan makanan orang
Biak di sekitar Teluk. Mambrasar kemudian menemukan lokasi (Kampung Lama
Bawei) sebagai tempat yang sangat cocok bagi keluarga Mambrasar untuk
bermukim. Keluarga Mambrasar berhasil menempati lokasi dimaksud, dan
terhindar dari musibah kelaparan yang melanda Pulau Numfor pada masa
tersebut. Dari Bawei, keluarga-keluarga Mambrasar menyebar dan menempati
beberapa tempat yang saat ini telah menjadi kampung-kampung di sekitar Teluk
Bruyadori.
Gambar 3. Marga sekitar Kampung Bawei Pulau Numfor – Biak
(dimodifikasi dari Galis, 1970)
Karena wilayah Kampung Lama semakin padat dengan penduduk,
diputuskan untuk pindah ke sebelah daratan (Kampung Bawei Baru), walaupun
118 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
beberapa rumah berlabuh dan bekas-bekas rumah masih jelas terlihat. Seiring
dengan perkembangan penduduk dan pemekaran Distrik, Kampung Bawei
memperoleh kesempatan untuk menikmati kegiatan pembangunan sarana
pemukiman melalui program-program Rencana Strategis Pembangunan Kampung
(RESPEK).
Menurut adat, batas Kampung Bawei sebagai berikut: Sebelah utara:
Kampung Manggari (aliran sungai dengan kamumi (mata air); Sebelah timur:
Kampung Dafi; Sebelah Selatan: Kampung Sandaw (Aliran sungai dengan
kamumi (mata air) sebagai batas alam); Sebelah Barat: Numfor Barat
(pertengahan Pulau Numfor/titik tertinggi). Secara administratif, Kampung Bawei
resmi dibentuk seiring dengan pemekaran 3 kecamatan Baru di wilayah Distrik
Numfor Timur yaitu Distrik Poiru, Distrik Bruyadori, dan Distrik Orkeri pada
tanggal 5 Maret 2009 (lihat BPS 2010)
Struktur pemerintahan apabila disandingkan dengan struktur
pemerintahan adat menunjukkan terjadinya komunikasi intens antara para
pejabat kepala kampung. Pihak Gereja tidak terlepas dari struktur yang ada,
karena masyatakat Kampung Bawei memahami serta mengakui bahwa “tiga
tungku” yang terdiri dari pemerintah, adat, dan gereja perlu berjalan beriringan
untuk memperkuat eksistensi kelembagaan yang ada (Gambar 4).
KEPALA KAMPUNG BAWEI:
YANCE SADA
KEPALA DISTRIK POIRU:
ANGGRIS MANSBAWAR
SEKKAM BAWEI:
ARIUS BINUWASEBDUSUN I:
MATHIAS YEMBISE
DUSUN 2:
FESTUS MAYOR
DUSUN 3:
YUNUS RAYAR
DUSUN 4:
TERA RUMASEB
MANANWIR MNU:
ABERATUS MAYOR
KELOMPOK
MARGA I:MAMBRAKU
MAMBRASAR
KELOMPOK
MARGA 2:RUMASEB
KELOMPOK
MARGA 3:WANMA
RUMBIAK
Data Primer: 2012
KELOMPOK
MARGA 6:BINNUASEF
MAYOR
KELOMPOK
MARGA 5:RAYAR
KAPISA
MANGSOMBRAP
OPUR
SADA
RUMBINDOS
KELOMPOK
MARGA 4:SANADI
ORISU
DIMARA
MIRINO
BOKORPIOPER
SUKAN
YEMBISE
Gereja Kristen Injili (GKI) +
GPKI
Jemaat Kampung Bawey
Gambar 4. Struktur “tiga tungku” di Kampung Bawei Pulau Numfor – Biak
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 119
LANGKAH PENENTU
Marga-marga besar memiliki batas wilayah/teritori yang disepakati
menurut kesepakatan setempat dan diketahui oleh pemerintah setempat.
Legitimasi pemerintah setempat tinggi karena dijabat oleh warga setempat, ini
merupakan salah satu kunci sinergi yang sementara berjalan di Bawei. Kesamaan
identitas dalam aparat lembaga pemerintahan dan adat dapat menjadi faktor
peningkat sinergitas yang ada. Identitas kolektif patut diperhatikan, karena
merupakan suatu pertautan antara individu dan sistem budayanya, atau
bagaimana perasaan individu terlibat dengan individu lain dalam kelompok yang
sama dalam suatu upaya terkait perubahan sosial (lihat Ashmore et al. 2004,
Eccles 2009).
Pertanyan-pertanyaan berikut misalnya: bagaimana pembangunan fasilitas
umum dapat dilakukan, bagaimana pemanfaatan hutan atau teluk sebagai
sumber daya milik bersama dan seterusnya, maka jawaban kemudian dengan
mudah akan diperoleh ketika dapat menempatkan para “mananwir” sebagai
tokoh kunci dan difasilitasi oleh “pemerintah” dan “lembaga gereja”. Alokasi
pemanfaatan lahan sudah bisa diketahui apabila para “mananwir” bersepakat.
Kembali kepada persoalan awal, bagaimana eksistensi masyarakat adat
dan lahannya serta bagaimana eksistensi regulasi berpadu? Dari uraian di atas,
dengan jelas kita akan menemukan bahwa semua lahan di Numfor telah dibagi
habis ke dalam wilayah teritori marga setempat. Oleh karena itu sepertinya tidak
ada celah untuk mengatakan hutan milik negara menurut perspektif masyarakat.
Selanjutnya, fasilitasi aktor lokal oleh pemerintah diperlukan agar aktor lokal
dapat mensinergikan diri dengan regulasi yang ada. Aktor-aktor yang merupakan
mananwir keret mesti memiliki visi bersama untuk pengelolaan sumber daya
hutan dan lahan mereka.
PENUTUP
Dari proses dan ceritera sejarah memperlihatkan bagaimana kepemilikan
lahan bersifat dinamis, serta terkait erat dengan tekanan penduduk dan peluang-
peluang ekonomi. Perubahan ini tidak mesti selalu dikumandangkan, namun
termanifestasi dalam praktek sehari-hari. Efek kebijakan dan regulasi nasional
terkait pemanfaatan lahan dan hutan dapat saja memberikan legitimasi untuk
melakukan proses-proses pemindahtanganan lahan secara administratif/legal
120 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
formal, tentu saja dengan mengakui eksistensi masyarakat adat setempat. Oleh
sebab itu sistem kepemilikan lahan masyarakat adat yang selalu ter-updated
akan membantu proses perubahan dan menguatkan kebijakan dan aturan
tentang lahan yang berbasis kearifan setempat.
DAFTAR BACAAN:
Ashmore RD, Deaux K, McLaughlin-Volpe T. 2004. An organizing framework for collective identity: articulation and significance of multidimensionality. Psychological Bulletin 130(1):80–114. http://dx.doi.org/10.1037/00332909.130.1.80.
[BPS] Badan Pusat Statistik Biak-Numfor. 2010. Biak Numfor Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Biak Numfor.
Eccles J. 2009. Who am I and what am I going to do with my life? Personal and collective identities as motivators of action. Educational psychologist. http://dx.doi.org/10.1080/00461520902832368.
Galis KW. 1970. Land Tenure in The Biak-Numfor Area. In Ploeg A. (eds). Land tenure in West Irian. New Research Unit-ANU: 1-12 Guinea Research Unit, The Australian National University, Number 38
Innah HS, Suharjito D, Dharmawan AH, Darusman D. 2013. Collective Action Typologies and Reforestation in Indigenous Community of Biak-Papua. Journal Manajemen Hutan Tropika XIX (1):11-23. DOI: 10.7226/jtfm.19.1.11
Lewis MP. 2009. Ethnologue: Languages of the World, Sixteenth edition. Dallas, Tex.: SIL International. Online version: http://www.ethnologue.com/.
Mansoben J. 2003. Sistem politik tradisional etnis Byak: Kajian tentang pemerintahan tradisional. Jurnal Antropologi Papua 1(3):1-31.
Roembiak MDE. 2002. Status penggunaan dan pemilikan tanah dalam pengetahuan budaya dan hukum adat orang Byak. Jurnal Antropologi Papua 1(2):17-23.
Sumiarni E, Sundari E, Retnowati A, Hartono Y. 2008. Eksistensi Hukum Adat Byak-Numfor Provinsi Papua. Laporan Penelitian Tim Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pemda Papua dan Pemda Biak Numfor.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 121
PENAFSIRAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DI DISTRIK MENYAMBOW, PEGUNUNGAN
ARFAK KABUPATEN MANOKWARI, PAPUA BARAT
Susan T. Salosa1)
1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia
RINGKASAN
Perubahan iklim secara global (global climate change) turut berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di dunia. Ada komunitas yang tahan terhadap perubahan iklim dan ada pula yang rentan terhadap perubahan iklim. Tingkat kerentanan (Vulnerability) ini ditafsir berdasarkan kombinasi fungsi dari exposure, sensitivity dan adaptive capacity terhadap perubahan iklim. Penelitian dilakukan pada ekosistem pegunungan yang berlokasi di kampung Apui dan Memangker distrik Menyambow, daerah pegunungan Arfak. Kondisi kampung berada di ketinggian di atas 1500 mdpl dan pemukiman yang berada pada daerah lereng menunjukkan fenomena alam dan sosial yang khas pegunungan Arfak. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif dengan teknik wawancara semi struktural guna menggali informasi sosial, ekonomi dan budaya dalam upaya untuk menafsirkan kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim yang terjadi. Termasuk juga pengumpulan data mengenai kondisi biofisik wilayah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bila terjadi perubahan iklim yang ekstrim di wilayah pegunungan Arfak seperti peningkatan suhu dan peningkatan curah hujan maka masyarakat setempat cukup rentan karena tingkat sensitifitasnya adalah agak sensitif ke sensitif dari segi sosial, ekonomi maupun biofisik yang ada. Kehidupan yang umumnya bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama akan terpengaruh. Kondisi pemukiman dan kebun di daerah yang miring tentu akan rentan terhadap erosi, tanah longsor maupun banjir. Kata kunci: Perubahan iklim, Kerentanan (Vulnerability), pegunungan Arfak
I. LATAR BELAKANG
Perubahan iklim (climate change) dan emisi karbon secara global berakibat
pada perubahan suhu pada permukaan bumi. Isu perubahan iklim sebenarnya
bukan isu yang baru, akan tetapi menjadi sangat terkenal ketika terjadi bencana
alam secara besar-besaran melanda seluruh bagian bumi ini. Perubahan suhu
secara umum naik 0,7°C selama beberapa abad terakhir dan dapat berubah
menjadi 1,4 dan 5,8°C dalam jangka waktu 100 tahun ke depan (Locateli, 2010),
tetapi pada daerah yang mempunyai empat musim, musim salju menjadi terasa
lebih dingin. Perubahan iklim dapat menyebabkan timbulnya perubahan pada
sumber-sumber daya di alam yang bergantung pada iklim seperti sistem
hidrologi, pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup (Strange & Thorsen,
2008). Selain itu, ketersediaan air akan juga mengalami perubahan oleh karena
122 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
kondisi cuaca yang berubah. Perubahan musim berpengaruh pada prediksi waktu
tanam, juga perubahan prediksi waktu untuk melaut bagi nelayan. Adanya
perubahan iklim, menjadikan berbagai sumber pangan potensial mengalami
perubahan dalam proses perkembangbiakan sehingga berpengaruh produksi
(Handoko dkk, 2008). Kondisi ini tampak pada beberapa pangan strategis seperti
padi, jagung, kacang kedelei, tebu dll yang telah menurun hasil produksinya.
Dampak perubahan iklim akan berbeda dari satu tempat ke tempat
lainnya. Dengan demikian, tingkat kerentanan makhluk hidup termasuk
masyarakat yang hidup di sekitar hutan, juga berbeda menurut wilayah.
Perubahan iklim merupakan perubahan yang konsisten, bergerak perlahan
namun pasti dan tidak dapat dihindari. Masyarakat desa umumnya bergantung
pada sumber-sumber daya alam seperti memancing, beternak, sumber
pendapatan, makanan, obat-obatan, penggunaan beberapa jenis tumbuhan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Carmenza et al, 2005). Diduga bahwa
masyarakat desa dan masyarakat miskin merupakan masyarakat yang rentan
terhadap perubahan iklim karena banyak aktifitas yang dilakukan di luar rumah
yang beresiko terjadi banjir, kebakaran hutan dan lain-lain. Juga, banyak unsur
penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh
iklim, bagaimana keadaan hakiki mereka ketika perubahan iklim ini berdampak
pada ketersediaan jenis pangan atau ketersediaan air atau unsur penting lainnya.
Bagaimana mereka dapat bertahan terhadap perubahan ini bahkan dapat
beradaptasi dalam mempertahankan kehidupan mereka.
Rumusan Masalah
Papua dengan luas 40.803.132Ha, 79,21% diantaranya yakni 32.317.594
Ha adalah hutan. Hutan yang ada mengalami degradasi dan deforestasi yang
diperkirakan mencapai 143.680 Ha/tahun atau 0.14 juta Ha/tahun (Kapissa,
2008). Penurunan kuantita dan kualitas hutan ini umumnya terjadi karena
eksploitasi hutan yang berlebihan sehingga dengan pelarangan ekspor kayu bulat
ke luar negeri dan tata guna lahan yang baik diharapkan dapat menghentikan
pengrusakkan lebih lanjut.
Tingkat degradasi hutan yang tinggi mempengaruhi kondisi iklim secara
global. Perubahan iklim global ini mulai terasa secara lokal dengan meningkatnya
suhu udara dan menurunnya debit air. Di Papua, gejala perubahan cuaca ini
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 123
telah ditunjukkan dengan mulai berkurangnya salju abadi di puncak gunung Jaya
Wijaya sejak beberapa tahun lalu (Alidia dkk, 2008).
Penelitian tahun 2010 akan dilakukan pada daerah Manokwari, Provinsi
Papua Barat. Daerah pegunungan Arfak seperti Menyambow dan Anggi mulai
mengalami perubahan suhu secara mikro seperti yang disampaikan oleh
masyarakat. Perubahan ini diperkirakan terjadi karena pembukaan hutan akibat
pembuatan jalan dan persiapan untuk daerah pemekaran. Penilaian akan
dilakukan terhadap tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim. Isu
pokok yang akan dipelajari lebih lanjut dalam penelitian ini yakni perubahan iklim
dan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim menurut
pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya. Tingkat adaptasi masyarakat
tercermin dari pola hidup mereka. Dan bagaimana masyarakat menyikapi
perubahan iklim yang terjadi dengan dan/ tanpa pengetahuan mengenai
perubahan iklim global. Kesiapan pihak pemerintah daerah dalam menanggapi
perubahan iklim, apakah telah terakomodir di dalam perundangan-perundangan
di daerah.
Hipotesis
Objektif dari penelitian ini dituangkan dalam bentuk hipotesis sebagai
berikut:
a. Masyarakat rentan terhadap perubahan iklim.
b. Ada upaya penyesuaian terhadap perubahan iklim yang terjadi
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari perjalanan penelitian ini adalah
terkumpulnya data dan informasi mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya
untuk menafsirkan tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim.
II. METODE PENELITIAN
a. Lokasi Penelitian
Penelitian bertempat di daerah pegunungan Arfak, kampung Apui dan
kampung Memangker, distrik Menyambow. Kedua kampung ini dipilih karena
berada pada ketinggian di atas 1500 mdpl sesuai prasyarat untuk penelitian
ekosistem pegunungan. Penelitian berlangsung dari bulan Mei - November 2010.
124 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Gambar 1. Peta lokasi Penelitian (Laksono, 2001)
b. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah qiusioner, alat
tulis menulis, alat perekam (tape recorder), dan alat dokumentasi (kamera) serta
bahan penunjang penelitian lainnya.
c. Proses Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode survei, pengamatan langsung di
lapangan dan dengan menggunakan teknik wawancara. Wawancara dilakukan
dengan menggunakan pertanyaan terbuka (open-ended question) dan
pertanyaan semi terstruktur khusus untuk warga masyarakat.
Responden penelitian adalah informan kunci yang meliputi kepala suku,
tokoh adat dan tokoh masyarakat, serta kepala keluarga. Wawancara dengan
informan kunci dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan
umum masyarakat, pola interaksi masyarakat dengan hutan termasuk introduksi
dan pemikiran dari luar yang telah masuk dan mempengaruhi kehidupan.
Sedangkan wawancara dengan para kepala keluarga meliputi aspek-aspek di
bawah ini :
a. Aspek sosioekonomi: pendapatan rumah tangga, jejaring sosial dan akses ke
informasi
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 125
b. Biofisik: kondisi topografi wilayah, kondisi lingkungan dan tutupan lahan.
Aspek-aspek tersebut di atas dapat dirinci sebagai berikut:
1. Exposure:
- Data curah hujan dari Badan Meteorologi dan Geofisika untuk jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun
- Debit air pada sungai yang terbesar atau danau
2. Sensitivity
- Aspek sosioekonomi seperti jumlah Penduduk, mata pencaharian,
pendapatan rumah tangga.
- Sumber air: ketersediaan air bersih, udara bersih.
- Sumber pangan: ketersediaan sumber pangan yang bergizi
- Riwayat bencana baik secara ekosistem maupun dalam masyarakat: data
mengenai erosi, banjir, kelaparan atau penyakit.
3. Adaptive Capacity
- Pengetahuan lokal masyarakat dalam memanfaatkan hutan dan menjaga
kelestariannya: alternatif-alternatif yang dipilih untuk beradaptasi dengan
perubahan iklim.
Dari wawancara akan tampak tingkat kerentanan yang terjadi diantara
masyarakat, bila ada beberapa faktor kerentanan yang menonjol, maka akan
dilanjutkan dengan fokus diskusi untuk mendapatkan faktor kerentanan yang
paling utama.
d. Analisis Data
Tingkat kerentanan (vulnerability) itu dinilai menurut fungsi sebagai
berikut:
V=f(E,S,AC)
V= Vulnerability
E= Exposure
S= Sensitivity
AC=Adaptive Capacity
Data yang dikumpulkan kemudian akan dianalisis secara tabulasi.
126 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Di kawasan pegunungan Arfak terdapat tiga suku yakni suku
Hatam/Moule, Soughb dan Meyakh. Wilayah kampung lain yang juga merupakan
Suku Hatam adalah Kampung Mbenti, Anggra, Apui, Demaisi, dan Memangker.
Masyarakat Hatam yang terdiri dari beberapa kampung ini dipimpin oleh seorang
kepala suku. Susunan kepemimpinan dalammasyarakat pegunungan Arfak
adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Susunan Kepemimpinan dalam masyarakat Arfak (Hastanti & Yeny,
2010)
Kawasan pegunungan Arfak tidak terlepas dari kegiatan pembangunan
yang saat ini sedang berlangsung. Sejalan dengan pemekaran wilayah yang
terjadi di Papua barat, di distrik Menyambow dibangun sarana fisik, seperti jalan
raya. Kampung-kampung yang berada jauh dari jalan kemudian pindah ke
daerah tepi jalan. Kecamatan Menyambow telah dimekarkan menjadi 50
kampung. Jumlah kampung ini sangat tinggi dibandingkan 28 distrik lainnya.
Perbandingan jumlah kampung beberapa distrik di wilayah kabupaten Manokwari
dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
Andigpoy/Adhesut
(Kepala Suku)
Pinjoinding/Sutkoiji
(Penasehat)
Nekei
(Hakim)
Pinjoindig/Lusutmos
(perantara)
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 127
Grafik 1. Jumlah kampung pada beberapa distrik di wilayah
kabupaten Manokwari
Sedangkan jumlah penduduk pada beberapa distrik di wilayah
pegunungan Arfak dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
Grafik 2. Jumlah penduduk beberapa distrik di kabupaten Manokwari
tahun 2007 (BPS, 2008)
Distrik Menyambow memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi bila
dibandingkan dengan distrik-distrik lainnya. Namun jumlah ini sesungguhnya
menurun dari jumlah penduduk periode tahun 2003 dan 2004 yakni 10.815 jiwa
dan 11.417 jiwa.
a. Kehidupan Masyarakat di distrik Menyambow
Masyarakat Menyambow adalah masyarakat Hatam yang tersebar pada
beberapa kampung ini dipimpin oleh seorang kepala suku besar Hatam. Namun
di tiap-tiap wilayah kampung terdapat satu orang kepala urusan adat atau orang
yang dituakan untuk mengambil keputusan yang menyangkut adat.
Suku Hatam dikenal dengan pola kehidupan masyarakat pegunungan yang
hidup dengan bertani, meramu dan berburu. Mereka juga hidup pada rumah
0
10
20
30
40
50
60
Jumlah kampung/distrik
Sururei
Anggi
Taige
Menyambouw
Catubouw
Testega
Anggi Gida
Hingk
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
Jumlah Penduduk/distrik(2007)
Sururei
Anggi
Taige
Menyambouw
Catubouw
Testega
Anggi Gida
Hingk
128 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
dengan model panggung yang disebut juga rumah kaki seribu. Rumah ini terdiri
dari tujuh dasar atau lantai yakni dari bawah ke atas; ninghimma, ngimabaha,
siraga, bitaua, buhmnewa, tindangan dan ijcowa. Tujuh lantai ini melambangkan
legenda asal-usul orang Arfak. Ada dua ruang utama dalam rumah kaki seribu
yakni ruang perempuan (ngimsi) dan ruang laki-laki (ngimdi).
Dalam masyarakat, perbedaan kepemilikan barang antara anggota
masyarakat yang petani saja dengan yang lainnya adalah dalam bentuk rumah
dan kepemilikan barang elektronik. Rata-rata masyarakat Hatam menghuni
rumah kaki seribu. Namun beberapa keluarga memiliki rumah permanen (beton)
dan rumah papan serta peralatan elektronik seperti televisi, genset, radio, hp dll.
Hubungan kekerabatan yang sangat dekat serta jumlah pasangan muda
yang menikah di usia yang sangat muda mengakibatkan pasangan-pasangan ini
umumnya masih hidup bersama dengan orang tua. Ada juga keluarga lain yang
masih memiliki hubungan darah namun telah menjanda/menduda atau melajang
yang hidup bersama kerabat. Dengan demikian dalam satu rumah dapat terdiri
dari dua keluarga atau lebih.
b. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan dan hutan menurut masyarakat adat Arfak, Konsep igya ser hanjob:
Igya ser hanjob berasal dari bahasa hatam, igya berarti berdiri, ser artinya
menjaga dan hanjob berarti batas. Jadi igya ser hanjob artinya berdiri menjaga
batas. Batas di sini bukan saja berarti batas kawasan, tetapi batas dalam segala
aspek kehidupan masyarakat pegunungan Arfak. Dalam bahasa Moule, igya ser
hanjob juga berarti mastogow hanjob.
a. Bahamti
Bahamti dicirikan dengan pohon-pohon yang berukuran besar dan
berlumut. Kawasan ini merupakan hutan primer yang tidak boleh ditebang oleh
manusia. Dengan demikian aktifitas berkebun tidak boleh ada di kawasan ini.
Akan tetapi untuk alasan tertentu seperti kekurangan bahan dinding rumah yang
sudah tidak ditemui di kawasan lain, dapat diambil di tempat ini dengan ijin dari
andigpoy.
b. Nimahamti
Nimahamti adalah kawasan penyangga karena terdapat pada areal yang
sangat berat topografinya. Masyarakat diperbolehkan untuk berburu dan meramu
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 129
di tempat ini juga mereka dapat mengumpulkan rotan (Calamus sp) dan
kulit kayu, akan tetapi tidak bisa untuk berkebun mengingat kondisi yang terjal
serta suhunya yang sangat dingin. Kawasan ini sangat lembab dan lumutnya pun
sangat tebal. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan masih sangat terbatas dan
tergantung ijin dari Andigpoy. Pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut
memperoleh sanksi yang diputuskan oleh nekei melalui sidang adat.
c. Susti
Susti merupakan kawasan yang dapat dimanfaatkan secara bebas baik
untuk berkebun, berburu dan meramu. Kawasan ini umumnya adalah kawasan
kebun berpindah (gilir balik) yang dibiarkan menjadi hutan kembali (hutan
sekunder). Semua anggota masyarakat dapat memanfaatkan kawasan ini
termasuk perempuan dan anak-anak.
Untuk orang-orang yang berpindah tempat tinggal (merantau) ke kota
untuk sekolah atau kerja, kepemilikan atas lahan pertanian di kampung dapat
tetap bertahan bila ada kerabat atau keluarga yang menjaga tanah tersebut di
kampung. Namun bila sama sekali tidak ada keluarga dekat yang menjaga dan
perantauan di atas 5 (lima) tahun maka dipandang bahwa orang tersebut telah
pindah dan lahan di kampung dapat dipakai oleh orang lain.
c. Kegiatan berkebun
Lahan pertanian yang diusahakan adalah lahan yang berada dalam batas
wilayah adat dan batas marga, klan atau keluarga. Masyarakat tidak
diperkenankan untuk berada atau melewati batas tanah miliknya. Sistem
pengolahan tanah adalah sistem berpindah dari satu tempat ke tempat lain
dalam batas wilayah tanahnya. Tanah tersebut diolah setelah dibiarkan selama
beberapa tahun untuk tumbuh kembali. Menurut Professor San Afri Awang
(pers.comm.), sistem perladangan seperti ini lebih tepat disebut sebagai sistem
perladangan bergilir karena masyarakat menurut kearifan tradisionalnya
berladang pada lokasi dan tempat yang telah disepakati pada waktu tertentu
secara bergantian. Sistem rotasi pertanian dilakukan oleh masyarakat bervariasi
dari satu hingga tiga tahun yakni di daerah reshim, mukti, ampiabei, dan hubim.
Dalam sistem pengolahan hutan, sistem kepemilikkan sangat
mempengaruhi kegiatan yakni kepemilikan dalam adat, kampung, marga, klan
dll. Pelanggaran terhadap batas wilayah akan ditandai dengan pembayaran
denda. Ini termasuk pelanggaran batas saat berburu, tidak boleh melewati batas
130 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
yang sudah ditetapkan. Denda yang diberikan adalah berupa kain timor, babi,
dan uang. Dan jumlahnya ditentukan oleh pihak yang menuntut.
Urutan kegiatan berkebun dimulai dari kegiatan pembersihan semak
belukar dan tumbuhan bawah, diikuti dengan pemotongan dahan-dahan pohon
yang rendah dan selanjutnya pohon-pohon dimatikan dengan peneresan
sehingga dapat dijadikan kayu bakar. Kegiatan penebangan lebih banyak
dilakukan oleh kaum pria sedangkan kaum wanita mengambil bagian saat
membakar dan menanam. Setiap jenis tanaman memiliki musim tanam yang
berbeda misalnya untuk kebun kentang, penebangan akan dimulai pada bulan
mei dan akan dibakar yang dilanjutkan dengan penanaman. Penentuan musim
tanam biasanya didasarkan pada peredaran matahari seperti terbitnya matahari
di gunung kalinggut untuk musim kemarau dan musim hujan bila matahari terbit
di gunung iwom. Namun sejalan dengan adanya perubahan dalam musim hujan
dan panas maka masyarakat biasanya mulai membakar kebun setelah panas
yang cukup lama, misalnya 2 (dua) minggu. Pemanenan disesuaikan dengan
tingkat kebutuhan dan kesediaan dana untuk membayar angkutan untuk ke
pasar. Sementara itu kegiatan pemanenan hasil hutan tidak dilakukan sesering
ke kebun karena yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat adalah dari
kebun. Masyarakat berkebun di wilayah susti. Para wanita mengunjungi hutan
pada musim-musim tertentu, seperti musim buah dan musim jamur. Sedangkan
di luar musim-musim tersebut, hutan lebih banyak dikunjungi oleh para pria
untuk tujuan mengambil kayu, bahan obat dan berburu.
d. Perubahan Iklim di Menyambow
Masyarakat telah merasakan bahwa suhu udara di Menyambow sudah
berubah menjadi lebih hangat. Mereka menduga bahwa perubahan iklim mikro
itu terjadi sebagai akibat dari pembuatan jalan ke distrik-distrik terpencil.
Namun bila diamati dengan baik, di pegunungan Arfak belum ada imigrasi
bahkan di beberapa kampung tampak bahwa nama kepala keluarga tercantum
pada daftar warga kampung, namun keluarga tersebut bermukim di kota.
Penggunaan lahan masih tetap berdasarkan keluarga yang ada dan wilayah susti
dapat dikatakan relatif masih memadai untuk pertanian. Jadi ekologi masih relatif
utuh kecuali bagian jalan dan pemukiman maka diduga bahwa perubahan yang
terjadi saat ini merupakan efek dari perubahan iklim global (global climate
change). Perubahan yang tetap terjadi walaupun kondisi daerah tersebut relatif
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 131
aman. Minimnya data mengenai kondisi udara, suhu, curah hujan di lokasi
penelitian menimbulkan kesulitan dalam menentukan penyebab kondisi ini secara
pasti.
e. Tafsiran kerentanan terhadap perubahan iklim
Indikator kerentanan masyarakat pegunungan Arfak terhadap perubahan
iklim ditunjukkan oleh faktor-faktor yang sensitif terhadap perubahan iklim yakni
sosial dan budaya, ekonomi, ekologi, dan hidrologi. Yang kemudian dinyatakan
dengan nilai sangat sensitif (4), sensitif (3), kurang sensitif (2), tidak sensitif (1).
Indikator-indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Indikator Sensitifitas Masyarakat terhadap Perubahan Iklim di Pegunungan Arfak
Kriteria Aspek-aspek Kategori nilai
I. Sosial dan budaya
- Kepadatan penduduk 1
- Pendidikan 3
- Pengetahuan adaptif 2
- Kelembagaan 2
- Budaya 4
Total 12
Rata-rata 2,4 (agak sensitif)
II. Ekonomi - Mata pencaharian 3
- Pendapatan 4
- Sumber-sumber ekonomi
4
- Jumlah tanggungan 4
Total 15
Rata-rata 3,75 (Sensitif
sampai sangat
sensitif)
III. Ekologi - Degradasi hutan 2
- Deforestasi 2
132 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Kriteria Aspek-aspek Kategori nilai
- Tumbuhan introduksi 3
Total 8
Rata-rata 2,67 (kurang sensitif
sampai sensitif)
IV. Hidrologi - Berkurangnya sumber-sumber air
1
- Berkurangnya debit air 1
- Air bersih 2
Total 4
Rata-rata 1,33 (tidak sensitif)
TOTAL I,II,III,IV 10,15
RATA-RATA I,II,III,IV 2,5 (kurang
sensitif sampai
sensitif)
Dari tabel di atas tampak bahwa secara keseluruhan daerah pegunungan
Arfak ada dalam kategori antara kurang sensitif dan sensitif. Faktor ekonomi ada
dalam kategori sensitif sampai sangat sensitif karena mata pencaharian
masyarakat umumnya bertani dengan jenis yang relatif sama. Pendapatan dari
hasil pertanian pun masih sangat rendah.
Kehidupan masyarakat di pegunungan Arfak hidup umumnya dari
pertanian dengan menanam tanaman yang sesuai hidup pada suhu yang rendah
yakni antara 14-22°C seperti tanaman daun bawang, kol, sawi, strawberry, labu,
markisa, tomat dan ubi-ubian. Itu adalah sumber kehidupan mereka. Keberadaan
uang kontan (cash) hanya dapat diperoleh bila masyarakat dapat menjual ke
pasar. Namun hasil yang diperoleh hampir sebesar ongkos angkutan yang
dipakai ke pasar. Barang-barang umumnya dijual dengan kiloan dalam karung
karena masyarakat menghendaki uang kontan secepatnya untuk membayar
ongkos angkutan.
Pendapatan rumah tangga dapat dikatakan rendah hanya dapat digunakan
untuk membeli sembilan bahan pokok (sembako) dalam jumlah yang minim.
Tidak ada pendapatan lain kecuali PNS dan guru jemaat (pelayan di gereja) yang
masih memiliki tambahan penghasilan.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 133
Adanya ketergantungan yang erat terhadap pertanian tentu saja akan
rentan bila terjadi perubahan iklim yang ekstrim mempengaruhi kehidupan
tumbuhan yang ada. Sampai saat ini hasil pertanian masih memadai dan cukup
dikonsumsi serta dijual. Namun bila terjadi panas yang ekstrim dan
mempengaruhi tanaman yang ditanam di kebun maka tentu saja ini akan
berakibat terhadap pendapatan dan kehidupan masyarakat. Perlu dipikirkan
mengenai alternatif tanaman yang tahan kepada suhu yang lebih tinggi karena
jenis-jenis yang ada masih merupakan jenis tanaman pada suhu tinggi serta jenis
yang sesuai dengan biofisik setempat. Jenis ubi-ubian seperti singkong dan ubi
jalar serta pisang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berbuah yakni
selama 5 bulan dan 12 bulan.
Adanya kehadiran jenis-jenis tumbuhan lain di kebun dan lahan pertanian
mereka yang sebelumnya tidak ada seperti rumput kota, tanaman sejenis sirih
hutan (amuan - Piper sp.), bunga ungu (lepsau mbre). Tumbuhan-tumbuhan ini
dapat tumbuh dengan cepat dan akarnya kuat sehingga menyulitkan dalam
pembersihan.
Masyarakat banyak yang merantau ke kota untuk bersekolah terutama
generasi muda. BPS, 2008, menyebutkan bahwa penduduk Menyambow tampak
menurun yakni 2003 (10.815 jiwa), 2004 (11.417 jiwa), 2005 (5.566 jiwa), 2006
(6.021 jiwa), dan 2007 (6.367 jiwa) diduga karena ada urbanisasi dan
pembentukan distrik baru. Banyak juga yang pindah ke daerah Warmare, Prafi
kampung Umbui. Ketika tinggal lama di kota, ada yang kembali ke kampung
namun ada pula yang tidak atau jarang kembali dengan alasan tidak tahan
dengan udara dingin. Mereka lebih betah di kota karena lebih ramai, dekat ke
pasar untuk menjual hasil kebun dan tidak dingin. Sementara itu, masyarakat di
Menyambow mengatakan bahwa suhu sekarang ini lebih hangat dari suhu udara
sebelumnya. Diperkirakan bahwa tahun 1990-an, suhu udara di malam hari
adalah sekitar 10°C.
Dengan akses jalan yang baik maka daerah yang sebelumnya hanya dapat
dicapai dengan jalan kaki selama ± 6 (enam) jam dari Warmare, kini dapat
ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam. Daerah pegunungan Arfak terutama
distrik Menyambow merupakan distrik dengan jumlah kampung terbanyak yakni
103 kampung. Daerah ini direncanakan akan menjadi daerah dengan fokus
pengembangan pertanian. Sementara itu, kebutuhan akan pembangunan akan
mendorong perluasan daerah susti untuk pembangunan dengan menebang
134 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
bahamti. Kampung yang berada di daerah lereng-lereng yang terjal tentu akan
menyulitkan dalam pengembangan wilayah.
Dari penelitian, diperoleh informasi bahwa kondisi di pegunungan mulai
tampak perubahan karena pembangunan. Jaringan jalan ke daerah yang
terpencil mulai dibangun yang ditandai dengan pembukaan jalan dan pengerasan
jalan. Pembukaan jalan dan pemukiman secara langsung berakibat pada
penebangan pohon dan pembukaan lahan. Jalan yang dibuat untuk
menghubungkan kabupaten Manokwari dengan distrik-distrik di pegunungan
Arfak seperti distrik Menyambow dan distrik Anggi. Pada saat sekarang ini
masyarakat yang menempati desa dan membangun rumah belum padat namun
bila jumlah penduduk dan pemukiman bertambah maka akan berakibat pada
berkurangnya bahamti, kerusakan pada ekologi dan longsornya tanah.
Masyarakat di Menyambow menyatakan bahwa keadaan sekarang daerah
Menyambow sudah mulai berubah lebih maju. Jalan yang ada telah
menghantarkan kendaraan datang ke wilayah yang selama ini hanya dapat
dijangkau dengan jalan kaki. Masyarakat dapat melihat kendaraan yang lalu
lalang tepat di depan rumah mereka.
Perkembangan yang ada di daerah Menyambow dirasakan turut
berpengaruh kepada perubahan alam dan temperatur di daerah tersebut. Suhu
udara sekarang di Menyambow dalam sehari berkisar antara 14-23°C, dirasakan
lebih hangat dibandingkan dengan sebelumnya yakni sekitar tahun 1990-an4
yang diperkirakan ± 10°C di waktu malam. Masyarakat sebelumnya memerlukan
kayu bakar yang banyak untuk membakar tungku perapian yang berfungsi
sebagai penghangat di dalam rumah ketika tidur namun sekarang tidak demikian
lagi. Kayu bakar hanya diambil tiga hari sekali untuk penghangat. Masyarakat
mulai mendirikan rumah permanen dan semi permanen dan rumah kaki seribu
berubah menjadi dapur. Konstruksi rumah kaki seribu dengan dua tungku api di
sisi kiri kanan rumah, dengan jendela yang sangat kecil memungkinkan rumah
menjadi hangat karena udara panas yang berasal dari perapian di dalam rumah
tidak keluar sehingga dalam menghangatkan penghuni rumah. Namun karena
udara sudah tidak sedingin dulu maka kebutuhan akan penghangat dari tungku
api sudah mulai berkurang. Di beberapa rumah, tungku api berada di luar rumah
4 Informasi lisan dari sopir angkutan umum ke wilayah pegunungan Arfak
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 135
ataupun di dapur, bukan di dalam rumah induk. Selain itu ada masyarakat mau
mengikuti kemajuan yang ada yakni kebutuhan akan rumah tembok yang selama
ini hanya ada di kota. Masyarakat juga diberikan bantuan rumah batu sebagai
bantuan sosial bagi anggota masyarakat.
Masyarakat menyatakan tentang kehadiran dari nyamuk. Masyarakat
katakan bahwa “nyamuk datang dibawa oleh mobil ranger5”. Nyamuk dikatakan
adalah binatang dari kota, yang sebelumnya tidak ada di Menyambow. Nyamuk
cocok hidup pada daerah yang panas karena nyamuk memiliki reseptor panas
yang sangat baik. Selain itu, nyamuk yang berasal dari hutan menjadi kuat
sayap-sayapnya ketika hutan dibuka dan mereka terkena panas langsung (Media
Indonesia, 2010). Di Manokwari, penyakit Malaria klinis, menduduki peringkat
tertinggi 34.628 atau sekitar 25% dari jenis-jenis penyakit yang dilaporkan lebih
banyak diderita masyarakat (BPS, 2008). Di Menyambow, setelah diadakan
pemeriksaan cepat menggunakan rapid diagnostic test (RDT) tampak bahwa
penderita malaria positif cukup tinggi dibandingkan malaria klinis. Pihak Dinas
Kesehatan kabupaten Manokwari baik sendiri maupun bekerja sama dengan
Global Fund dan UNICEF telah memberikan pengobatan maupun bantuan
kelambu6.
Untuk akses ke informasi, gelombang radio (RRI) relatif dapat diterima
dengan baik di distrik Menyambow. Jaringan telekomunikasi lainnya seperti sinyal
telkomsel, hanya dapat diterima di tempat-tempat tertentu di distrik
Menyambow.
Jumlah hari hujan di tahun 2000-2009 bervariasi dalam satu bulan yaitu
antara 4-26 hari. Pada tahun 2006-2010, jumlah hari hujan menurun pada bulan
juli hingga November. Rata-rata hujan per bulan dalam 10 tahun menunjukkan
bahwa curah hujan tinggi pada bulan Januari hingga Maret sedangkan curah
hujan mulai menurun pada bulan April hingga November (Badan Meteorologi dan
Geofisika Kabupaten Manokwari, 2010). Masyarakat mulai menebang dan
membakar kebun pada saat curah hujan rendah yakni pada bulan Mei-Juni dan
mulai menanam setelah itu.
Suhu rata-rata udara di Manokwari berkisar antara 26-28°C. Temperatur
udara di Menyambow pun pada saat ini juga mulai berubah yakni menjadi lebih
5 Mobil semi truck yang biasa beroperasi pada medan yang berat di Papua 6 Informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari
136 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
hangat. Tentu saja kondisi ini tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim global
mengingat tidak terlalu banyak perubahan pada kondisi alam di sana kecuali
hutan yang dibuka untuk jalan. Kelembaban udara berkisar antara 74-88%.
Kelembaban relatif lebih rendah pada bulan April-Juli 2009. Pada bulan-bulan
tersebut memang telah terjadi penurunan dalam jumlah hari hujan dan intensitas
air hujan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat mengurangi tingkat
sensitifitas masyarakat terhadap perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Sensitifitas Masyarakat terhadap Perubahan Iklim
Sensitifitas Tindakan
- Sosial
- Diperlukan penyuluhan mengenai perubahan iklim dan cara mengantisipasi sesuai dengan kondisi wilayah
Penyuluhan tentang penggunaan bahan yang hemat energi
- SKPD yang bertugas: Bapedalda, Dinas Kehutanan, Pertanian dan Kesehatan.
- Ekonomi
Mengajarkan alternatif sumber pendapatan yang lain misalnya dari pengembangan buah-buahan, dan bunga-bunga. Daerah ini banyak ditumbuhi jenis-jenis buah-buahan dan bunga-bunga yang tidak tumbuh di daerah lain di Papua seperti strawberry, markisa, gladiol, kana, dll. berdagang dll
- Dinas Pertanian, Dinas Koperasi - Urbanisasi
- Perlu perencanaan wilayah yang sesuai, - penciptaan lapangan pekerjaan - ada pasar transit (pasar antar kampung/distrik)
- Degradasi Hutan - Perlu perencanaan tata ruang dan wilayah yang jelas - Deforestasi - Perlu perencanaan tata ruang dan wilayah yang jelas
- Jenis baru Jenis tanaman lain yang sebelumnya tidak ditemui di pegunungan Arfak
- Perlu identifikasi jenis lokal dan konservasi terhadap jenis lokal
- Kehilangan jenis tumbuhan
- Perlu identifikasi jenis lokal dan konservasi terhadap jenis lokal
- Satwa berkurang - Perlu ada larangan perburuan satwa menggunakan senjata mesin
- Hidrologi - Melindungi sumber-sumber air - Melindungi hutan agar debit air tetap terjaga - Mengurangi pembukaan lahan di dekat sumber air (mata air) agar air tidak bercampur dengan tanah dan tidak jernih.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 137
Tabel 2 menunjukkan bahwa masyarakat di pegunungan Arfak rentan
terhadap perubahan iklim sehingga diperlukan upaya adaptasi. Adaptasi
dilakukan secara perlahan-lahan mulai dari pembuatan rumah yang sesuai
dengan kondisi udara sekarang ini, penggunaan kayu bakar yang mulai dalam
jumlah yang terbatas, penggunaan kelambu dan obat nyamuk dll.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
1. Distrik Menyambow merupakan distrik yang masuk dalam kategori kurang
sensitif ke sensitif. Faktor-faktor yang sensitif adalah kondisi sosial ekonomi
masyarakat dan ekologi. Ekonomi masyarakat yang relatif lemah. Masyarakat
umumnya hanya petani yang menggantungkan hidup dari bertani. Jumlah
pendapatan per bulannya tidak menentu. Kondisi Biofisik dan ekologinya
sensitif karena berpotensi untuk penebangan dan pemekaran wilayah.
Pemukiman dan tempat berkebun yang berlokasi di tempat yang miring dan
berbahaya, sangat rentan terhadap erosi dan banjir.
2. Upaya adaptasi yang dilakukan berjalan perlahan-lahan sebagai respon
terhadap perubahan yang terjadi.
B. Rekomendasi:
1. Perlunya pemerintah memberi penjelasan atau penyuluhan mengenai
perubahan iklim global dan pengaruhnya.
2. Pemerintah dan parapihak bekerja sama untuk menggali potensi lain yang
terdapat di pegunungan Arfak serta memberikan pelatihan seperti latihan
pertukangan, menjahit dll. Para pria bisa membangun rumah kaki seribu,
membuat peralatan makan seperti piring dan alu, tentu saja mereka punya
kemampuan pertukangan sedikit, sedangkan para wanita biasa menjahit tikar,
membuat noken dari kulit kayu atau benang sehingga dapat dikembangkan
lebih lanjut. Dengan demikian masyarakat dapat memiliki alternatif pekerjaan
yang lain.
3. Perlu perencanaan tata ruang dan wilayah yang tepat untuk memberikan
ruang bagi pengembangan wilayah pemukiman dan lahan berusaha/bertani
bagi masyarakat.
138 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2008. Perubahan Iklim, Sebab, Dampak dan Tanggapan pada Pertanian Asia. Issue paper: Analisa, Advokasi dan Tindakan! API (Alliansi Petani Indonesia). Asian Farmers‟ Association for Sustainaible Rural Development. Vol 1, No. 1. Oktober 2008.
Anonimous. 2010. Upaya Departemen Kehutanan dalam Adaptasi Perubahan Iklim.Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan.
Aliadi, A. Dkk. 2008. Perubahan Iklim, Hutan dan REDD: Peluang atau Tantangan. CSO Network on Forestry Governance and Climate Change, The Partnership for Governance Reform. Bogor.
Hastanti, B. W., & Yeny, I. Strategi Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Arfak menurut Kearifan Lokal Masyarakat Arfak di Manokwari, Papua Barat. Info Sosial Ekonomi Vol. 9. No. 1, Maret th. 2009, 19-36.
BPS. 2008. Kabupaten Manokwari Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari.
Gleick, P. H. 1989. Climate Change, Hydrology, and Water Resources, Rev. Geophys., 27(3), 329–344.
Hamlet, A. F., & Lettenmaier D. P. 1999. Effects of climate change on hydrology and water resources in the Columbia River basin. Journal of the American Water Resources Association ISSN 1093-474X . CODEN JWRAF5. 1999, vol. 35, no 6 (372 p.) (34 ref.), pp. 1597-1623
Handoko, I., Sugiarto, Y., & Syaukat, Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah Kebijakan Independen dalam Bidang Perdagangan dan Pembangunan. Seameo Biotrop for Kemitraan (Partnership). Bogor.
Kapissa, N. 2008. Balai Pementapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua: Integrasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Dalam Kebijakan Pengelolaan Hutan berkelanjutan di Papua. Makalah Dalam Seminar Forum Komunikasi Multi Pihak di Tanah Papua-Swiss_Bellhotel, 28 Juli 2008. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.
Kayoi, M. 2008. Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat: Strategi dan Kebijakan Pembangunan Kehutanan di Papua Barat. Makalah Dalam Seminar Forum Komunikasi Multi Pihak di Tanah Papua-Swiss_Belhotel, 28 Juli 2008. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.
Laksono, P. M. Dkk. 2001. Igya Ser Hanjob Masyarakat Arfak dan Konsep Konservasi. Studi Antropologi Ekologi di Pegunungan Arfak, Irian Jaya. Pusat studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Yayasan Bina Lestari Bumi Cenderawasih dan Yayasan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta.
Media Indonesia. 2010. Hutan Terbuka, Nyamuk Malaria Masuk Kota
Partnership. 2008. Supporting Indonesia in Climate Change Mitigation & Adaptasi. Bogor.
(http://www.beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_papua&id=7998&sub=Artikel&page=1). Februari 2010.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 139
HABITAT, POPULASI DAN PEMANFAATAN LABI-LABI MONCONG BABI DI ASMAT
Richard Gatot Nugroho Triantoro1)
1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia Email: [email protected]
ABSTRAK
Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta Ramsay) merupakan spesies dengan penyebaran terbatas yaitu meliputi Papua bagian Selatan (Indonesia), Papua New Guinea bagian Selatan dan Australia bagian Utara. Satwa ini mempunyai nilai ekonomi tinggi dan secara budaya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai sumber pakan. Perburuan telur dan perdagangan illegal yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir dapat menyebabkan populasinya menurun dengan cepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui habitat, populasi dan pemanfaatan labi-labi moncong babi di alam menggunakan metode survei dengan teknik observasi. Hasil penelitian didapatkan populasi jejak sebanyak 1059 ekor dan populasi sarang sebanyak 720 buah. Habitat perkembangan hidup meliputi rawa permanen dan sungai, sedangkan habitat peneluran dilakukan di pasir. Induk dan telur dimanfaatkan sebagai sumber pakan oleh masyarakat lokal. Tercatat 24 kelompok pemburu telur di sepanjang sungai Vriendschap. Asumsi setiap kelompok dapat memanen minimal 7 ember (7 x 800 butir = 5.600 butir) maka telur yang di panen dari sungai Vriendschap sebanyak 134.400 butir. Tidak ditemukan kearifan pada masyarakat lokal bagi konservasi labi-labi moncong babi. Kata kunci : Labi-Labi Moncong Babi, Habitat, Populasi, Pemanfaatan.
PENDAHULUAN
Labi-labi moncong babi sering pula disebut kura-kura moncong babi
merupakan salah satu jenis reptil yang hidup di air tawar. Dalam dunia ilmiah
dikenal dengan nama Carettochelys insculpta Ramsay (1886). Penyebaran
hewan ini di dunia meliputi Papua bagian Selatan (Indonesia), Papua New Guinea
bagian Selatan dan Australia bagian Utara. Sebagian besar aktifitas hidupnya
dihabiskan di air baik itu untuk bermain, mencari makan, beristirahat dan kawin,
sementara aktifitas bertelur dilakukan di pasir.
Di Indonesia, labi-labi mocong babi dilindungi berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula
dengan PP No. 7 Tahun 1999 (Noerdjito dan Maryanto, 2001). Berdasarkan red
data book IUCN, labi-labi mocong babi digolongkan dalam kelompok vurnerable
yang artinya jenis yang terancam kepunahan akibat sebaran populasinya yang
terbatas, sementara dalam CITES (Convention International Trade in Endangerd
140 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Species of Wild Flora and Fauna) masuk dalam Appendiks II (ATTWG, 2000).
Walaupun sudah dimasukkan dalam Appendiks II CITES, namun kuota
perdagangan terhadap reptil ini di Indonesia belum ada disebabkan statusnya
masih dilindungi. Dari kuota pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan
Satwa Liar yang termasuk Appendix CITES untuk periode tahun 2007 – 2008
(Dirjen PHKA 2007, 2008) dan periode 2009 – 2012 (Kemenhut 2010, 2011,
2012), belum ditemukan adanya kuota perdagangan untuk jenis labi-labi mocong
babi.
Pada budaya masyarakat lokal di Selatan Papua, labi-labi mocong babi
telah lama dimanfaatkan sebagai sumber pakan hewani. Induknya ditangkap
dan dimanfaatkan dagingnya sedangkan telurnya diambil dari sarang peneluran
untuk kemudian dikonsumsi. Dari sisi perdagangan, labi-labi merupakan salah
satu jenis hewan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selain dipasarkan
sebagai hewan peliharaan (pet), labi-labi juga dipasarkan untuk dikonsumsi
dagingnya karena mengandung gizi yang tinggi dan dimungkinkan dapat
digunakan sebagai obat, bahan baku industri dan kosmetik. Tahun 1999, harga
jual labi-labi dari jenis Trionyx sinensis Taiwanese, berumur satu tahun adalah 12
dolar AS per ekor, sedangkan tahun 2001 harga beli untuk ukuran yang sama
sudah mencapai 20 dolar AS (Thaiholland, 2001 dalam Amri dan Khairuman,
2002). Harga tukik labi-labi mocong babi tahun 1999 sekitar Rp 10.000 -15.000
per tukik di Senggo dan Atsy, di mana telur diinkubasi, sekitar Rp 30.000 per
tukik setelah transportasi sampai Merauke, dan Rp 60,000-70,000 di Surabaya
(Maturbongs, 1999). Harga tersebut cenderung semakin meningkat seiring
permintaan pasar yang semakin tinggi namun tidak dapat dipenuhi dari usaha
penangkaran. Tingginya permintaan labi-labi atau kura-kura menyebabkan para
petani atau penangkar kewalahan untuk memenuhinya yang berdampak pada
tingginya perburuan dari alam dan perdagangan illegal. Samedi dan Iskandar
(2000) mencatat perdagangan ilegal Carettochelys insculpta dari Merauke dan
Timika, Papua, ke Makasar (Ujung Pandang) (Sulawesi), Jakarta dan Surabaya
(Jawa) dan Denpasar (Bali), dan seterusnya diekspor ke China dan Singapura.
Akibat tingginya perburuan dapat mengakibatkan penurunan populasi secara
cepat di alam dan berakibat hilangnya spesies. Kemungkinan kearah hilangnya
spesies bisa saja menjadi kenyataan yang tergambarkan dari suatu lokakarya di
Pnom Penh pada awal bulan Desember 1999, disimpulkan bahwa 60% kura-kura
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 141
air tawar Asia kini terancam punah, 15 jenis di Indonesia kini berada dalam
keadaan kritis (Iskandar, 2000).
Akibat perburuan telur yang berlebihan dan adanya perdagangan liar
terhadap tukik, timbul kekuatiran terjadinya penurunan populasi labi-labi
moncong babi secara cepat di alam (Papua-Indonesia), sementara disisi lain
informasi habitat dan populasinya di alam belum banyak diketahui. Oleh sebab
itu penelitian ini sangat penting dilakukan yang bertujuan untuk mengetahui
habitat dan populasi labi-labi moncong babi di alam dan pemanfaatannya pada
masyarakat lokal.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi pengamatan peneluran dilakukan pada Sungai Vriendschap yang
meliputi wilayah Obokain, Indama, dan Sumo. Jenis tumbuhan didata pada
muara sungai Vriendschap, rawa terdapat pasir peneluran, rawa tanpa pasir
peneluran, dan muara sungai Baliem (hulu Sungai Vriendschap). Pendataan
peneluran dilakukan dalam rentang waktu 15 Oktober – 19 November 2009,
sedangkan pendataan jenis vegetasi dilakukan 26 Juli - 2 Agustus 2010. Lokasi
penelitian di Sungai Vriendschap disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi penelitian labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap,
Asmat
Sungai Vriendschap
Yahukimo
Asmat
Timika
142 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
B. Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi meteran (3 m),
termometer batang, digital caliper, timbangan (5 kg), timbangan gantung (per)
(22 kg), kamera digital, tallysheet dan alat tulis menulis.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode survei dengan teknik
observasi. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah jejak dan sarang, habitat,
dan pemanfaatan induk maupun telur pada masyarakat lokal. Pendataan jejak
dan sarang dimulai pada jam 05.00, sedangkan pendataan habitat dilakukan
setelah pendataan jejak dan sarang. Pemanfaatan induk dan telur labi-labi
moncong babi dilakukan dalam bentuk Forum Discussion Group (FDG) dengan
masyarakat setempat di waktu senggang (sore hari)
D. Analisa Data
Data yang diperoleh kemudian di analisis secara deskriptif. Hasil analisis
disampaikan dalam bentuk tabel maupun grafik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Populasi Sarang
Populasi jejak labi-labi yang naik ke pasir selama 4 (empat) minggu (15
Oktober – 19 November 2009) adalah sebanyak 1059 ekor dengan rata-rata jejak
per hari adalah 38 ekor, sedangkan populasi sarang labi-labi sebanyak 720 ekor
dengan rata-rata jumlah sarang per hari adalah 26 sarang. Pengamatan pada
minggu 1 (15 – 21 Oktober 2009) diperoleh jumlah jejak sebanyak 72 ekor dan
jumlah sarang sebanyak 6 sarang. Pada minggu ke 2, 3 dan 4, diperoleh
masing-masing jumlah jejak labi-labi sebanyak 312, 300 dan 375 sedangkan
jumlah sarang diperoleh masing-masing sebanyak 227, 235 dan 252. Adapun
jumlah jejak dan sarang labi-labi moncong babi dalam kurun waktu 4 (empat)
minggu disajikan pada gambar 2.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 143
Gambar 2. Jumlah jejak dan sarang labi-labi moncong babi dalam kurun waktu
4 minggu di Sungai Vriendschap, Asmat
Selama 4 (empat) minggu terlihat bahwa jumlah sarang cukup tinggi.
Populasi tersebut hanya menggambarkan populasi pada area Obokain, Indama
dan Sumo, namun tidak menggambarkan populasi pada wilayah Bor (sungai) dan
Bor (rawa). Jumlah jejak dan sarang labi-labi moncong babi pada minggu
pertama terlihat sangat berbeda dengan jejak dan sarang pada minggu kedua,
ketiga dan keempat. Pada minggu pertama labi-labi yang ingin bersarang masih
dipengaruhi kondisi sungai yang banjir dan pasir yang basah akibat luapan
sungai atau terkena hujan. Proses turunnya permukaan sungai dan keringnya
pasir terjadi berangsur-angsur sehingga proses peneluran (sarang) meningkat
pada minggu kedua sampai ke empat. Peningkatan jumlah persarangan dari
minggu pertama ke minggu kedua, selain akibat membaiknya cuaca (minim
hujan), diduga dipengaruhi pula oleh keberadaan jumlah kelompok pengumpul.
Pada akhir minggu pertama, beberapa kelompok sudah meninggalkan tepian
sungai karena kehabisan persediaan bahan makanan dan kondisi cuaca yang
tidak berangsur cerah. Kondisi tersebut menyebabkan gangguan terhadap
aktifitas peneluran labi-labi dan ancaman keberadaan sarang menjadi berkurang
yang berdampak pada meningkatnya jumlah sarang.
2. Habitat
Habitat hidup labi-labi moncong babi di sungai Vriendschap meliputi rawa
dan sungai utama Vriendschap termasuk hulu, cabang atau anak sungai. Induk
0
50
100
150
200
250
300
350
400
15-22 oct 09 22-29 oct 09 30 oct - 8 nov 09 10-19 nov 09
jejak
sarang
227
72 6
312 300
235
375
252
144 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
labi-labi moncong babi juga ditemukan pada daerah muara sungai yang tidak
didapati pasir peneluran. Di Papua New Guinea, labi-labi moncong babi
mendiami sungai (termasuk muara dan sungai delta), laguna rumput, rawa,
danau, dan cekungan berair dari dataran rendah dibagian selatan (Georges et
al., 2008a). Rawa merupakan habitat yang ideal bagi perkembangan hidup
karena tidak berarus, bening dan terdapat sumber makanan yang cukup,
sementara sungai lebih cocok bagi labi-labi dewasa karena mempunyai arus yang
cukup kuat. Habitat rawa permanen dan sungai dapat dilihat pada Gambar 2.
Keterangan : (1) rawa di Vriendschap; (2) sungai Vriendschap
Gambar 2. Rawa dan sungai sebagai habitat hidup labi-labi moncong babi
Selain labi-labi moncong babi yang melakukan aktifitas hidupnya di rawa,
jenis reptil lain yang terdapat didalamnya meliputi labi-labi Irian (Pelochelys
bibroni), kura-kura dada merah (Emydura subglobosa) dan ular karung
(Acrochordus arafurae), sedangkan pada sungai terdapat buaya muara
(Crocodylus porosus) dan labi-labi Irian (Pelochelys bibroni). Adapun jenis reptil
lainnya dapat disajikan pada Gambar 3 dibawah ini.
Keterangan : 1. Acrochordus arafurae; 2. Emydura subglobosa; 3. Pelochelys
bibroni; 4. Crocodylus porosus
1 2
1 2 3
4
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 145
Gambar 3. Jenis reptil lain yang hidup bersama labi-labi moncong babi di rawa
dan Sungai Vriendschap.
Pasir peneluran labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap terdiri atas
pasir halus sampai pasir kasar yang bercampur dengan bebatuan kecil. Secara
umum habitat bertelur labi-labi moncong babi adalah tempat berpasir yang
terdapat pada tepi sungai maupun rawa. Pasir terlihat sangat lebar dan luas
pada saat sungai mulai surut. Pada beberapa pasir peneluran, permukaan pasir
saat masih basah tertutup oleh lapisan liat tipis. Jejak labi-labi moncong babi
saat sedang bergerak mencari tempat bertelur berbentuk seperti jejak traktor
yang kosong pada bagian tengah dan bagian luar seperti di aduk. Pergerakan di
pasir tidak selalu diakhiri dengan membuat sarang karena apabila tidak merasa
nyaman membuat sarang maka labi-labi akan berputar-putar saja dan kembali ke
sungai. Adapun pasir peneluran dan jejak labi-labi moncong babi dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar 4. Pasir peneluran dan jejak labi-labi moncong babi
Jenis vegetasi yang terdapat di sekitar muara sungai Baliem dan hulu
sungai Vriendschap meliputi Casuarina rumphiana, Duabanga moluccana Blume,
Anthocephalus chinensis, Campnosperma auriculata, Ficus globosa, Ficus
variegata, Premna corymbosa, Dysoxylum mollissimum, Timonius timons,
Canarium indicum, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol.,
Calamus sp. Blume dan Koorthalsia sp. Vegetasi pada rawa peneluran meliputi
Intsia bijuga ok., Heritiera littoralis, Campnosperma auriculata, Trevesia sundaica
Miquel, Hibiscus tiliaceus L., Elaeocarpus sphaericus K., Gymnacranthera
paniculata, Myristica fatua Houtt, Schefflera lucescens, Alstonia sp., Pandanus
polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol. dan Freycinetia funicularis Mar,
146 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
sedangkan jenis vegetasi permanen sebagai tempat perkembangan hidup
meliputi Alstonia cf macrophylla, Myristica fatua, Gymnacranthera paniculata,
Hibiscus tiliaceus, Campnosperma auriculata, Gluta renghas, Evodia gonwichii,
Anthocephalus cadamba, Canarium indicum, Artocarpus elasticus, Artocarpus
communis, Ficus benjamina, Intsia bijuga OK., Cryptocaria sp, Sterculia
parkinsonii, Sterculia shilinglawii, Inocarpus sp., Heritiera littoralis, Syzygium
verstegii, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol., Freycinetia
funicularis Mar., Hydriastele costata, Rophaloblaste ladermanii dan Caryota
rumphiana.
3. Pemanfaatan (Etnozoologi)
Pemanfaatan labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap terbagi atas 2
golongan yaitu masyarakat lokal (asli Papua) dan masyarakat dari luar (non
lokal). Pemanfaatan oleh masyarakat lokal cukup tinggi karena pemanfaatan
selain dilakukan terhadap telurnya, juga dilakukan terhadap induknya. Tingkat
eksploitasi di Indonesia dan PNG sangat tinggi sebagai sumber pakan dan
sebagai pemasuk bagi industri hewan peliharaan internasional akibat dari
permintaan penggemar satwa terhadap penampilan satwa unik ini (Georges et al.
2008a). Pemanfaatan telur labi-labi moncong babi oleh masyarakat lokal sebagai
bahan makanan, juga di jual kepada pencari telur dari luar (masyarakat non
lokal). Cara menjualnya adalah dengan sistem barter dimana 1 set perahu
beserta mesin katintingnya ditukar dengan telur sebanyak 7 ember (berisi ± 800
butir). Apabila masyarakat lokal telah menerima barteran maka masyarakat non
lokal dapat mengambil telur langsung di alam atau telur dikumpulkan oleh
masyarakat lokal dan diserahkan kepada masyarakat non lokal.
Pemanenan induk biasanya dilakukan di musim peneluran saat labi-labi
naik untuk bertelur (masih ditepi pasir), di atas pasir sebelum bertelur atau di
atas pasir sehabis bertelur. Hal ini menyebabkan pemanfaatan induk labi-labi
saat musim peneluran sangatlah tinggi. Pengambilan induk labi-labi dari alam
tidak ada batasan sama sekali dimana seberapa banyak individu atau induk yang
dijumpai semuanya diambil. Pemanenan induk oleh masyarakat lokal ini
merupakan dampak dari intensitas pemanenan telur labi-labi moncong babi yang
tinggi di alam. Tanpa disadari perlahan tetapi pasti populasi labi-labi moncong
babi akan turun dengan cepat dalam beberapa tahun kedepan. Di Sungai Kikori
(PNG), terdapat penurunan kualitas telur dalam rentang tahun 2003 – 2006
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 147
akibat intensitas pemanfaatan yang sangat tinggi (Georges et al. 2008b).
Indrawan et al. (2007) menyampaikan bahwa pemanfaatan berlebihan terhadap
spesies tumbuhan dan satwa seringkali menunjukkan pola dimana penduduk
lokal dikerahkan untuk mendapatkan dan menjual sumber daya, dan ketika
sumber daya yang dieksploitasi mulai berkurang, harga ikut meningkat dan
menciptakan insentif besar untuk eksploitasi berlebihan, sumber daya tersebut
menjadi langka dan bahkan punah.
Sebelum masyarakat lokal ikut mencari telur labi-labi untuk dijual, budaya
pemanfaatan terhadap telur dan daging sudah ada namun dalam kapasitas
terbatas (seperlunya). Namun saat ini dengan waktu berhari-hari di lokasi
pengumpulan (Vriendschap) dan kebutuhan akan ketersediaan bahan makanan
harus terus ada, maka peningkatan konsumsi daging labi-labi moncong babi akan
ikut meningkat pula sementara konsumsi telur berkurang (dijual). Pada
pengumpul masyarakat non lokal, pemanfaatan hanya berupa telur labi-labi
moncong babi yang rusak. Konsumsi daging labi-labi moncong babi oleh
masyarakat non lokal juga dilakukan tetapi dalam jumlah terbatas (saat
menginginkan adanya variasi makanan). Lamanya pengumpulan telur di lokasi
(pencapaian target) sulit ditentukan karena semua bergantung kepada kondisi
cuaca. Apabila cuaca cerah dalam beberapa hari berturut-turut maka sungai
mulai surut, pasir muncul, dan induk dapat bertelur sehingga target
pengumpulan telur bisa lebih cepat, tetapi apabila sungai banjir maka para
pencari akan menunggu di lokasi sampai sungai surut atau bahan makanan
sudah tidak mencukupi untuk bertahan. Pemanenan telur dan sisa-sisa kerapas
induk yang dikonsumsi disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Sisa-sisa kerapas induk dan ember penampungan telur labi-labi
moncong babi
148 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Tingginya nilai ekonomi dari labi-labi moncong babi terlihat dari tingginya
pemanenan telur saat pengamatan tahun 2009 yang terdiri atas 24 kelompok
masyarakat (lokal dan non lokal) di sepanjang sungai Vriendschap yang mencari
telur (Triantoro, 2009). Triantoro (2009) mendapati nilai jual tukik di Distrik Atsy
(Asmat) mencapai Rp 25.000 – 30.000 per ekor, sementara di Singapura (Goh
dan O‟Riordan, 2007) mendapati harga jual labi-labi moncong babi mencapai 100
$ Singapura untuk labi-labi moncong babi dengan ukuran kerapas 5 – 10 cm.
Apabila diasumsikan setiap kelompok dapat memanen minimal 7 ember (7 x 800
butir = 5.600 butir) maka untuk tahun 2009 telur yang di panen dari tiga wilayah
di sungai Vriendschap lebih dari 134.400 butir (24 kelompok x 5.600 butir). Hasil
pemanenan telur dari alam ditetaskan oleh pengumpul dan dijual keluar Papua.
Sementara pemanenan induk labi-labi moncong babi dilakukan dalam jumlah tak
terbatas, apabila yang ditemukan 5 ekor atau 20 ekor atau 50 ekor sekalipun
pasti ditangkap. Konsumsi induk biasanya 1 ekor untuk 1 keluarga tanpa melihat
jumlah anggota keluarga. Induk yang belum di masak akan dikandangkan dan
dimasak saat ingin dimakan.
Awalnya pemanenan telur labi-labi moncong babi mulai muncul sekitar
tahun 1996. Namun pemanenan saat itu hanya dilakukan oleh masyarakat non
lokal dan masyarakat lokal tidak mendapat nilai ekonomi dari keberadaan telur
labi-labi moncong babi. Maturbongs (1999) khusus menyatakan bahwa
masyarakat setempat nyaris tidak memperoleh manfaat dari pemanenan telur.
Pengumpul dari luar mengorganisir penduduk setempat untuk melaksanakan
pemanenan telur, dengan bayaran Rp 10.000 (USD 1,12) per hari, dimana yang
Rp 6.000 dikurangi untuk dua kali makan harian, Rp 1.000 untuk kopi dan Rp
2.000 untuk rokok, meninggalkan laba bersih sebesar Rp 1.000 (USD 0,11) per
hari sebagai upah selama pemanenan sumber daya alam masyarakat.
Masyarakat lokal mulai mendapat nilai ekonomi dari telur labi-labi sejak sekitar
tahun 2001 dengan harga dihitung per butirnya sedangkan nilai barter telur
dengan perahu dimulai tahun 2006 terhadap 1 orang dan kemudian mulai tahun
2008 sampai sekarang diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat.
Dari segi budaya, dahulu labi-labi digunakan sebagai mas kawin dimana
labi-labi merupakan hantaran kepada pihak perempuan dengan jumlahnya sesuai
permintaan pihak perempuan. Saat ini budaya tersebut sudah tidak berlaku
karena semuanya lebih dihargai dengan uang. Legenda masyarakat terhadap
labi-labi moncong babi juga ada dimana dikisahkan labi-labi moncong babi
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 149
merupakan hasil kutukan seorang suami yang marah akibat istrinya berzinah
dengan laki-laki lain. Kutukan kepada kedua manusia itu yang dimunculkan
dalam bentuk labi-labi moncong babi jantan dan betina. Namun legenda ini
sudah hampir hilang dan tidak ada dampaknya sama sekali bagi konservasi labi-
labi moncong babi.
KESIMPULAN
Populasi di Sungai Vriendschap masih baik, namun pemanenan terhadap
telur yang tidak mengindahkan aspek kelestarian dapat berdampak pada
penurunan populasi secara cepat di alam. Status perlindungan yang melekat
pada labi-labi moncong babi juga tidak serta merta membuat satwa ini aman dari
perburuan di alam dan perdagangan. Tidak adanya sistem sasi atau kearifan
lokal pada budaya pada masyarakat Asmat (sekitar Sungai Vriendschap), yang
secara adat berkontribusi dalam menunjang konservasi jenis labi-labi moncong
babi di alam.
PENUTUP
Labi-labi moncong babi merupakan satwa dilindungi namun mempunyai
nilai ekonomi yang tinggi. Disisi lain, labi-labi moncong babi merupakan aset
daerah maupun nasional yang dapat dijadikan sumber daya bagi peningkatan
ekonomi masyarakat dan sumber pendapatan bagi pembangunan. Namun yang
terjadi selama ini adalah pemanfaatannya bersifat illegal dan tidak
memperhitungkan aspek kelestarian di alam. Daerah maupun negara tidak
mendapatkan nilai lebih (keuntungan) atas salah satu aset sumber daya hayati
ini. Pemanfaatan secara lestari dengan mengikuti aturan-aturan yang telah
ditentukan dan kontrol yang kuat terhadap pemanfaatannya kiranya dapat
memberikan nilai lebih bagi pemanfaatan labi-labi moncong babi kedepannya,
regenerasi jenis terus berlangsung dan perdagangan illegal dapat ditekan
seminimal mungkin. Pengelolaannya harus bersifat terpadu dengan melakukan
pendekatan lansekap dimana pengelolaannya tidak dibatasi oleh batas
administrasi wilayah dan melibatkan semua komponen di daerah (Pemda) dan
nasional (Kementerian Kehutanan).
150 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K dan Khairuman, 2002. Labi-labi : Komoditas Perikanan Multimanfaat. PT. AgroMedia Pustaka. Depok.
[ATTWG] Asian Turtle Trade Working Group, 2000. Carettochelys insculpta. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 14 November 2010.
[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1.
[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1.
Georges, A., J. S. Doody, C. Eisemberg, E. A. Alacs dan M. Rose. 2008a. Carettochelys insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoises : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No. 5. Chelonian Research Foundation.
Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b. Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta. Wildlife Research 35 : 700 – 711.
Goh TY, O‟Riordan RM. 2007. Are Tortoises and Freshwater Turtles Still Traded Illegally as Pets in Singapore? Oryx Vol 41 No 1 (Short communication).
Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Ed ke-2 (revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Iskandar, D. T. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. PALMedia Citra. Bandung.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February 2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January 2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to 31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia.
Maturbongs, J. A. 1999. Trade Monitoring of Pig Nosed Turtle (Carettochelys insculpta) from Vriendschap River, District of Suator, Merauke Regency, Irian Jaya. Report, WWF Sahul Bioregion, Jayapura in : Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), page 4-5. Thirdteenth
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 151
Meeting of the Conference of the Parties. Bangkok (Thailand) 2 – 14 October 2004.
Noerdjito, M. dan I. Maryanto. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-Undangan Indonesia. Bidang Zoologi (Museum Zoologicum Bogoriense). Puslit Biologi – LIPI, The Nature Conservancy dan USAID. Cibinong.
Samedi and D. T. Iskandar. 2000. Freshwater Turtle and Tortoise Conservation Utilization in Indonesia. Chelonian Research Monographs, 2:106–111 in : Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), page 4-5. Thirdteenth Meeting of the Conference of the Parties. Bangkok (Thailand) 2 – 14 October 2004.
152 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 153
DISTRIBUSI JENIS-JENIS POHON ENDEMIK DI DAERAH TEMINABUAN – AYAMARU
Batseba A. Suripatty1) dan Luther Rumawak1)
1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,
Indonesia
ABSTRACT
Irian Jaya tropical rain forest has possess more than 600 species of trees, when it kwon only 70 specieses. Those specises has more profit, but still rely on availability of potention on nature did, but not yet seek conservation about it. This research purpose to got information about distributing and habbits of plants (trees) from Teminabuan – Ayamaru endemic species from low land until high land. This research has did on December 2005 in Teminabuan – Ayamaru district, with using descriptive method and research technique. Teminabuan forest until Kambuaya divide by height : Wayahkya – Wersar 0 metre altitude above of sea level has 14 trees species, Keyen 100 metres altitude above of sea level has 56 trees species, Senguwer – Waigo 200 metres altitude above of sea level has 61 trees species, Waigo – Moswaren 300 metres altitude above of sea level has 101 trees species, Moswaren – Athabu 400 metres altitude above of sea level has 45 trees species and Kambufatem – Kambuaya 500 metres altitude above of sea level has 16 trees species. Keywords : Distribution, trees species, endemic
RINGKASAN
Hutan hujan tropis di Irian Jaya memiliki lebih dari 600 jenis pohon, dimana baru dikenal 70 jenis. Jenis-jenis tersebut mempunyai banyak manfaat, tapi masih mengandalkan ketersediaan potensi alam yang ada, sehingga belum banyak diupayakan tentang pelestariannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang jenis-jenis flora jenis pohon (habitat dan penyebaran) dari jenis endemik di Teminabuan – Ayamaru mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2005 di daerah Teminabuan – Ayamaru, menggunakan metode deskriptif dengan teknik survey. Hutan Teminabuan sampai Kambuaya dibagi berdasarkan ketinggian adalah sebagai berikut : Wayahkya – Wersar pada ketinggian 0 meter dari permukaan laut terdapat 14 jenis pohon, Keyen ketinggian 100 meter dari permukaan laut terdapat 56 jenis pohon, Senguwer – Waigo ketinggian 200 meter dari permukaan laut terdapat 61 jenis pohon, Waigo – Moswaren ketinggian 300 meter dari permukaan laut terdapat 101 jenis pohon, Moswaren – Athabu ketinggian 400 meter dari permukaan laut terdapat 45 jenis pohon dan Kambufatem - Kambuaya ketinggian 500 meter dari permukaan laut terdapat 16 jenis pohon. Kata kunci : Distribusi, Jenis pohon, Endemik
154 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan hujan tropis di Irian Jaya memiliki lebih dari 600 jenis pohon,
dimana baru dikenal 70 jenis. Jenis-jenis tersebut mempunyai manfaat ekonomi,
ekologi, ilmu pengetahuan alam, kebudayaan dan kesehatan. Berdasarkan
manfaat tersebut beberapa jenis diantaranya telah dieksploitasi untuk tujuan
kayu bangunan, bahan makanan, obat-obatan, kosmetika, industri rumah
tangga, energi dan lain-lain. Pemanfaatan tersebut masih mengandalkan
ketersediaan potensi alam, sehingga belum banyak diupayakan tentang
pelestariannya.
Pemikiran tentang kelestarian potensi tersebut hendaknya dimulai dengan
mempersiapkan landasan ilmiah yang menyangkut semua aspek. Dengan
demikian rencana pengelolaan dalam jangka panjang menjadi mantap, artinya
tidak mengorbankan salah atau aspek terkait.
Beberapa aspek ilmiah terkait adalah sifat taksonomi, ekologis dan
potensi. Sifat taksonomi berkaitan dengan klasifikasi tumbuhan dalam suku dan
marga, sehingga mempermudah dalam pengenalannya secara dendrologi. Sifat
ekologi berkaitan dengan habitat (tanah, ketinggian dan asosiasi), iklim dam
sebaran. Sedangkan potensi berkaitan dengan jumlah populasi per satuan luas (
m3 atau individu per ha ). Dengan mengetahui sifat ekologi serta potensi akan
mempermudah dalam rencana penataan kawasan pengembangannya serta
penataan eksploitasi dan pelestariannya.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah belum banyaknya informasi
tentang jenis-jenis pohon, khususnya yang endemik Papua. Oleh karena itu
perlu kajian untuk mendapatkan informasi dimaksud dengan diarahkan pada
eksplorasi taksonomi.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang jenis-jenis
flora jenis pohon (habitat dan penyebaran) dari jenis endemik di Teminabuan –
Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan mulai dari dataran rendah sampai dataran
tinggi.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 155
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2005 di daerah Teminabuan
– Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan.
B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah tripleks, tali
plastik, alkohol, kapas, Kompas, Altimeter, gunting, kuas, cutter, pH tanah, dan
alat tulis.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Metode deskriptif dengan teknik survei.
Penentuan titik-titik pengamatan dilakukan secara Purposif (sengaja).
Pengumpulan data taksonomi pohon dilakukan dengan cara membuat jalur
pengamatan kurang lebih 200 meter. Pengamatan pohon berdasarkan
ketinggian tempat, jenis-jenis tersebut kemudian diberi nama latin, famili dan
nama daerah.
III. HASIL PENELITIAN
Dari hasil pengamatan jenis pada berbagai ketinggian diperoleh hasil
seperti pada tabel 1, 2, 3, 4, 5, 6.
A. Lokasi: WAYAHKYA – WERSAR
Ketinggian : 0 meter dari permukaan laut
Tabel 1. Nama jenis pohon (latin dan daerah) dan famili yang ditemukan di Wayahkya-Wersar.
No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah
1. Avicennia marina Avicenniaceae Kaas
2. Avicennia officinalis Avicenniaceae Kado
3. Rhizophora mucronata Rhizophoraceae Hiye
4. Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Tumbot
5. Sonneratia alba Sonneratiaceae Naginom
6. Bruguiera gymnorhiza Rhizophoraceae Geninnin
7. Bruguiera parviflora Rhizophoraceae Mekkai
156 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah
8. Bruguiera sexangula Rhizophoraceae Nggenen
9. Xylocarpus granatum Meliaceae Tfliak
10. Heritiera litolaris Sterculiaceae Kokar
11. Ceriops tagal Rhizophoraceae Tumbot
12. Ceriops decandra Rhizoporaceae Serombegienie
13. Inocarpus fagifer Fabaceae Kado
14. Xylocarpus moluccensis Meliaceae Tfliak
B. Lokasi : KEYEN
Ketinggian : 100 meter dari permukaan laut
Tabel 2. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan famili untuk lokasi Keyen
No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah
1. Baringtonia lanterbachii Lecithydaceae Salah
2. Drypetes globosa Euphorbiaceae Apis
3. Drypetes maritima Ebenaceae Watot
4. Spathiostemon javensis Euphorbiaceae Siosher
6. Pimelodendron amboinicum Euphorbiaceae Yonon
7. Canarium indicum Burseraceae Anye
8. Amoora acuculata Meliaceae Hafta
9. Artocarpus altilis Moraceae Migein
10. Endospermum moluccana Euphorbiaceae Seraida
11. Homalium foetidum Flacourticeae Maja
12. Ficus Glandulifera Moraceae Ndawaan
13. Octomeles sumatrana Datiscaceae Arba
14. Intsia palembanica Fabaceae Ndilen
15. Pometia pinnata Sapindaceae Medak
16. Ficus nodosa Moraceae Daun
17. Litsea firma Lauraceae Barang
18. Sloanea papuana Elaeocarpaceae Bremit
19. Myristica hollrungii Myristicaceae Kaudanan
20. Macaranga mappa Euphorbiaceae Miet
21. Palaquium amboinensis Sapotaceae Asi
22. Timonius grassiflolius Rubiaceae Mai
23. Toona sureni Meliaceae Sir
24. Sizygium versteegii Myrtaceae Kokek Mban
25. Dracontomelum edule Anacardiaceae Lakof
26. Polyalthia foorbesii Annonaceae Bin
27. Pygeum parviflorum Rosaceae Hafrah
28. Celtis latifolia Ulmaceae Kragiet
29. Gymnacranthera paniculata Myristicaceae Janggu
30. Vatica ressak Dipterocarpaceae Sohar
31. Pterygota horsfieldii Sterculiaceae Kuntian
32. Pometia coreaceae Sapindaceae Mgan/Mangaan
33. Eugenia anomala Myrtaceae Mbadon
34. Myristica sulcata Myristicaceae Sanggor
35. Metrosideros nigrovioidis Myrtaceae Kefak
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 157
No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah
36. Flacourtia sp Flacourtiaceae Aroro
37. Elaeocarpus sphaericus Elaeocarpaceae Trafu
38. Ilex ledermani Aguitifoliaceae Syala
39. Antiaris toxicaria Moraceae Maai
40. Haplolobus floribunda Burceraceae Orofok
41. Maniltoa purijuga Caesalpiniaceae Kapak
42. Lansium domesticum Meliaceae Lugun
43. Flindersia amboinensis Rutaceae Wokoitomos
44. Aglaia argentea Meliaceae Alat
45. Hoersfieldia sylvestris Myristicaceae Menggok
46. Ficus benjamina Moraceae Jihin
47. Urandra brasii Icacinaceae Pakek
48. Buchanania macrocarpa Anacardiaceae Korgier
49. Tristania obojata Myrtaceae Samee
50. Campnosperma macrophylla
Anacardiaceae Ketukar
51. Koordersiodendron pinnatum
Anacardiaceae Wossogoh
52. Spondias dulcis Anacardiaceae Heris
53. Chisocheton divergens Meliaceae Anggas
54. Garcinia dulcis Clusiaceae Smo
55. Pterocymbium splendens Sterculiaceae Sielie
56. Teysmaniadendron bogoriense
Verbenaceae Mbriang kofis
C. Lokasi : SENGUWER – WAIGO
Ketinggian : 200 meter dari permukaan laut
Tabel 3. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan famili untuk lokasi Senguwer – Waigo.
No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah
1. Ficus copiosa Moraceae Kemediri
2. Sloanea papuana Elaeocarpaceae Bremit
3. Boerlagiodendron novoguinensis
Acaliaceae Fohoh
4. Toona sureni Meliaceae Sir
5. Pometia pinnata Sapindaceae Medek
6. Litsea tuberculata Lauraceae Barang
7. Aglaia argentea Meliaceae Alet
8. Myristica sulcata Myristicaceae Songgor
9. Artocarpus altilis Moraceae Frak
10. Mallotus philippinnensis Euphorbiaceae Kemakok
11. Celtis latifolia Ulmaceae Kragiek
12. Garcinia dulcis Clusiaceae Smo
13. Tetrameles nudiflora Dastiscaceae Armbau/Tkie
14. Timonius timon Rubiaceae Fangges
15. Canarium indicum Burseraceae Sumgui
158 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah
16. Intsia bijuga Fabaceae Dilen
17. Pygeum parviflorum Rosaceae Sruyam
18. Tristania obojata Myrtaceae Semee
19. Haplolobus floribunda Burseraceae Orofok
20. Pimelodendron amboinicum Euphorbiaceae Yowon
21. Drypetes globosa Euphorbiaceae Wajem
22. Cananga odorata Annonaceae Ngorro
23. Gironniera subaegualis Ulmaceae Kafimmis
24. Eugenia anomala Myrtaceae Mbadan
25. Antiaris toxicaria Moraceae Maai
26. Biscofia javanica Euphorbiaceae Fares
27. Palaquium lobianum Sapotaceae More
28. Callophyllum sp. Clusiaceae Towar
29. Agalia spectabilis Meliaceae Komirin
30. Intsia palembanica Fabaceae Ndilen
31. Pterygota horsfieldii Sterculiaceae Kuntien
32. Canarium rigium Burseraceae Anye
33. Campnosperma macrophylla Anacardiaceae Ketukar
34. Syzigium versteegii Myrtaceae Kokek Mban
35. Octomeles sumatrana Datiscaceae Arba
36. Amora acuculata Meliacea Saa
37. Dracontomellon edule Anacardiaceae Lakof
38. Maniltoa splurijuga Fabaceae Kafak
39. Buchanania macrocarpa Anacardiaceae Kogier
40. Ficus nodosa Moraceae Daun
41. Metrosideros nigrovirisdris Myrtaceae Kefar
42. Elaeocarpus agustifolia Elaeocarpaceae Trafu
43. Gnetum gnemon Gnetaceae Amlas
44. Mastixiodendron pachyclados
Rubiaceae Sara
45. Litsea ledermanii Lauraceae Lodiwab
46. Planchonella amboinensis Sapotaceae Mbuwok
47. Homalium foetida Flacourtiaceae Maja
48. Vatica ressak Dipterocarpaceae Johar
49. Horsfieldia silvestris Myristicaceae Menggok
50. Diospyros maritima Ebenaceae Watot
51. Teysmaniadendron bogoranse
Verbenaceae Mriang Kofik
52. Melia sp. Meliaceae Asi
53. Terminalia auriculata Combretaceae Sara
54. Urandra brasii Icacinaceae Pakek
55. Sterculia macrophylla Sterculiaceae Suwak
56. Praenea papuana Sapotaceae Bon
57. Disoxyllum sp. Meliaceae Wige
58. Palaquium amboinensis Sapotaceae Nat
59. Cyathocalyx asmanthus Dunonaceae Ngaamgon
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 159
D. Lokasi : WAIGO – MOSWAREN
Ketinggian : 300 meter dari permukaan laut
Tabel 4. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan famili lokasi Waigo – Moswaren
No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah
1. Celtis latifolia ulmaceae Muu
2. Spathiostemon javensis Euphorbiaceae Syoh Ser
3. Maniltoa spullrijuga Fabaceae Afak
4. Melia sp. Meliaceae Antas E
5. Palaquium amboinensis Sapotaceae Fuf
6. Flacourtia sp. Flacourtiaceae Ntonros
7. Eugenia anomala Myrtaceae Sajagoog
8. Ilex ledermanii Aquitifoliaceae Ntorros
9. Pongamia sp. Fabaceae Mawe
10. Heritiera sylvatica Sterculiaceae Nat
11. Sloanea papuana Theaceae Gabon
12. Drypetes globosa Euphorbiaceae Hafrah
13. Urandra brasii Icacinaceae Afam
14. Amoora cuculata Meliaceae Asi
15. Pimelodendron amboinicum Euphorbiaceae Afamka
16. Hoersfieldia sylvestris Myristicaceae Kaat
17. Myristica fatua Myristicaceae Sapa
18. Aglaia argentea Meliaceae Taa
19. Inocarpus fagifer Fabaceae Tate
20. Mastixiodendron pachyclados
Rubiaceae Hantoha
21. Canarium indica Burseraceae Kwan
22. Haplolobus floribunda Burseraceae Iji
23. Elmerillia papuana Magnoliaceae Arkek
24. Pygeum parviflora Rosaceae Surwiam
25. Aglaia spectabilis Meliaceae Sohara
26. Artocarpus altilis Moraceae Nawe
27. Pometia pinnata Sapindaceae Sah
28. Myristica holrungii Myristicaceae Akoem
29. Anizoptera polyandra Dipterocarpaceae Afam Meai
30. Cryptocarya palmerensis Lauraceae Sitam
31. Pometia acuminata Sapindaceae Kma
32. Octomeles sumatrana Datiscaceae Armbau
33. Canarium indica Burseraceae Jisnum
34. Litsea tuberculata Lauraceae Barang
35. Dracontomellon edule Anacardiaceae Vuu
36. Buchanania macrocarpa Anacardiaceae Antas II
37. Flindersia amboinensis Flindersiaceae Fohoh
38. Ficus nodasa Moraceae Antiwit
39. Trihadinia philippinensis Flacourtiaceae Wajam
40. Hernandia ovigera Hernandiacea Yomos
41. Beiscmedia philippinensis Lauraceae Krer
42. Tristania obojota Myrtaceae Kosna
160 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah
43. Planchonella kayensis Sapotaceae Sigis
44. Syzigium verstegii Myrtaceae Sayoh
45. Alstonia scholaris Apocynaceae Suwe
46. Pterygota hoersfieldii Sterculiaceae Suwia
47. Gironniera subaegualis Ulmaceae Saragmit
48. Gymnacranthera paniculata Myristicaceae Kaf
49. Litsea firma Lauraceae Wansura
50. Vitex cofassus Verbenaceae Krien
51. Xanthophyllum sp. polygaliaceae Nat
52. Pterocarpus indicus Fabaceae Atapser
53. Praenea unyiato Sapotaceae Asuriam
54. Dacusucarpus wallichianus Podocarpaceae Ara Tkie
55. Sterculia macrophylla Sterculiaceae Swa
56. Spondias dulcis Anacardiaceae Herist
60. Ilex ladermanii Aquitifolinceae Kwenkik
61. Diospyros maritima Ebenaceae Gosafe
62. Caralia brachiata Rhizophoraceae Hamnat
63. Planchonella microcarpus sapotaceae Sigis
64. Polyalthia foorbesii Annonaceae Sokais
65. Myristica hokrugil Myristicaceae Akum
66. Syzigium polyanthum Myrtaceae Akku
67. Mallotus philippinensis Euphorbiaceae Sunnat
68. Toona sureni Meliaceae Rata, Ukyau
69. Endospermum moluccana Euphorbiaceae Hba
70. Glochidion sp. Euphorbiaceae Ntorros
71. Leviera sp. Monimiaceae Woi
72. Maniltoa plurijuga Fabaceae afak
73. Terminalia longespicata Combretaceae Somof
74. Himanthandra sp. Himancendraceae Tamaa
75. Beiscmedia sp. Lauraceae Sim
76. Campnosperma brevipetiolata
Anacardiaceae Rasam
E. Lokasi : MOSWAREN – ATHABU
Ketinggian : 400 meter dari permukaan laut
Tabel 5. Nama jenis pohon (latin dan Daerah ) dan famili untuk lokasi Moswaren - Athabu
No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah
1. Myristica fatua Myristicaceae Sapa
2. Melia exelsa Myristicaceae Antas I
3. Spathiostemon javensis Euphorbiaceae Syohser
4. Ilex ledermanii Aquitifolianceae Kwankek
5. Diospyros maritima Ebenaceae Kalsaff
6. Planchonella kayensis Sapotaceae Sigis
7. Caralia brachiata Rhizophoraceae Nat
8. Planchonella microcarpus Sapotaceae Sigis
9. Polyalthia foorbesii Annonaceae Sokais
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 161
No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah
10. Myristica hokrugil Myristicaceae Akum
11. Horsfieldia sylvestris Myristicaceae Menggok
12. Aglaia argentea Meliaceae Saa
13. Litsea tuberculata Lauraceae Vuu
14. Pimeliodendron amboinicum Euphorbiaceae Afamka
15. Palaquium amboinensis Sapotaceae Nat
16. Pometia pinnata Sapindaceae Sah
17. Aglaia spectabilis Meliaceae Komirin
18. Haplolobus floribunda Bursecaceae Iji
19. Sizygium polyanthum Myrtaceae Akku
20. Syzygium verstegii Myrtaceae Sayoh
21. Amoora cuculata Meliaceae Asi
22. Pometia coreaceae Sapindaceae Kma
23. Malotus philippinnensis Euphorbiaceae Sunnat
24. Draconthomellon edule Anacardiaceae Lakof
25. Canarium indica Burseraceae Ngwam
26. Trichadenia philippinnensis Flacourtiaceae Wajam
27. Toona sureni Meliaceae Sur
28. Endospermum moluccana Euphorbiaceae Hba
29. Tristania obojata Myristicacea Semee
30. Urandra brasii Icacinaceae Afak
31. Glochidion sp. Euphorbiaceae Ntorros
32. Leviera sp. Monimiaceae Woi
33. Maniltoa plurijuga Fabaceae Afak
34. Dacusucarpus wallachianus Podocarpaceae Ara Btion
35. Terminalia longespicata Combretaceae Somof
36. Litsea firma Lauraceae Sur
37. Sterculia Macrophylla Sterculiaceae Swa
38. Spondias dulcis Anacardiaceae Herist
39. Himanthandra sp. Himancendraceae Sirin
40. Beischmedia sp. Lauraceae Sim
41. Campnosperma brevipetiolata
Anacardiaceae Rasam
42. Mastixiodendron pachyclados Rubiaceae Hantoa
43. Gluta renghas Anacardiaceae Ara Hewi
44. Semecarpus papuana Anacardiaceae Fiqum
45. Koordersiodendron pinnatium
Anacardiaceae Mokues
162 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
F. Lokasi : KAMBUFATEM – KAMBUAYA
Ketinggian : 500 meter dari permukaan laut
Tabel 6. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan Famili untuk lokasi Kambufatem – Kambuaya
No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah
1. Tristania obojata Myrtaceae Kosna
2. Euodia elleryana Rutaceae Sitam
3. Lithocarpus rivofilosus Fagaceae Armo
4. Macaranga aleuritoides Euphorbiaceae Syah
5. Octamyrtus sp. Myrtaceae Sesaro
6. Shizomeria katastega Cunoniaceae Sohara
7. Alphitonia sp. Rhamnaeaae Ramboh
8. Leviera sp. Monimiaceae Woi
9. Ficus sp Moraceae Agiar
10. Mallotus sp Euphorbiaceae Wajam
11. Timonius timon Rubiaceae Siejag hftak
11. Rhodamia Myrtaceae Samak
12. Astronia Melastomaceae Fak
13. Glochidion Euphorbiaceae Kasi paran
14. Dionsia sp Verbenaceae Wofuur
IV. KESIMPULAN
1. Daerah-daerah yang terdapat pada lokasi penelitian dari Teminabuan –
Kambuaya dapat dibedakan dengan jelas berdasarkan ketinggian dari
permukaan laut.
2. Pada lokasi penelitian jenis-jenis pohon yang terdapat berbeda dengan jumlah
yang tidak seragam berdasarkan ketinggian.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1976. Mengenal Jenis Kayu Irian Jaya. Dinas Kehutanan Provinsi Irian Jaya. Jayapura.
Ding Hou, 1960. Thymeleaceae. Flora Malesiana I. 6:1-48.
Heyne, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Pengantar Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta.
Petocz, 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya. Pustaka Grafitipers. Jakarta.
Soemono S. Ir. MS., 1988. Mengenal Dunia Tumbuhan. Faperta UNCEN. Manokwari. (tidak diterbitkan).
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 163
Slide Presentase Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat
164 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 165
166 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 167
168 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 169
170 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 171
Slide Presentase Deputi V UP4B
172 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 173
174 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 175
176 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 177
178 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 179
180 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 181
182 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 183
184 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 185
Slide Presentase Kabag Program dan Kerja Sama Badan Litbang Kehutanan
186 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 187
188 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 189
190 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 191
192 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 193
194 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 195
196 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 197
198 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 199
200 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 201
202 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 203
204 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 205
206 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
LAMPIRAN
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 207
NOTULENSI EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BPK MANOKWARI TANGGAL 23 OKTOBER 2013
KEYNOTE SPEECH
Pertanyaan :
1. Pak Max Tokede: Bagaimana kepastian dan jaminan hukum tercapainya
tujuan percepatan pembangunan Papua ?
2. Pak Elim Kalua: Selama 20 pembangunan kehutanan, masyarakat sekitar
hutan dinyatakan tetap dalam kondisi kemiskinan. Bagaimana peran UP4B
dalam hal ini terutama dalam mendorong kinerja pembagunan oleh instansi-
instansi lain, karena walaupun telah masuk investasi besar di Papua, toh
masyarakat Papua tetap miskin.
Jawaban
1. Pak Son Diamar : UP4B telah berusaha mendorong pembangunan berbagai
infrastruktur misalanya jalan, maka digandeng instansi PU, TNI. Bidang
pendidikan pemberian beasiswa kepada putra asli Papua untuk belajar di luar
Papua, melalui instansi Diknas. Bidang ekonomi dengan pemantauan dan
pengendalian para pimpinan instansi agar tidak terjadi pelanggaran.
Sedangkan di bidang politik, usaha perubahan otsus pasal demi pasal
terutama pengaturan pembangunan harus berada di daerah
(Gubernur/Bupaai) sebagai wakil pemerintah pusat.
2. Pak Runaweri : Tanggungjawab pembangunan adalah milik bersama, bukan
pemerintah saja. Tugas pemerintah adalah membuat kebijakan yang memihak
rakyat. Mendorong kepemilikan saham rakyat dalam pengelolaan hutan.
Mempertahankan hutan dari alih fungsi untuk penggunaan lain.
3. Pak Thomas : sebenarnaya tidak ada negara kaya atau negara miskin semua
tergantung pada tata kelolanya.
SESI I
Pertanyaan
1. Pak Agus Sumule : Perlu satu pendekatan untuk mengatasi kemiskinan
masyarakat sekitar hutan yang difasilitasi oleh Kadishut. Diharapkan
pengelolaan kayu lokal diberikan pada masyarakat adat. Berapapun produksi
hasil hutan, jika perkampungan di sekitar hutan kondisi fisiknya tidak berubah,
208 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
maka masyarakat tetap dianggap miskin. Diharapkan perusahaan IUPHHK
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut mengelola hutan,
seperti melalui pembangunan penggergajian, sawmill dan lain-lain untuk
meningkatan kesejahteraan masyarakat. Kekurangan energi terutama listrik
bagaimana bisa bersumber dari hutan, sebagai contoh listrik yang dihasilkan
dari hutan di Korindo.
2. Pak Estiko : Untuk Pak Kuswandi, bagaimana jika analisis ekonomi yang
dipakai bukan hanya berdasarkan sumber dana PSDH dan DR saja, karena
kontribusi IUPHHK untuk negara bukan itu saja masih ada restribusi berupa
pajak dan lain-lain, termasuk bantuan sosial yang diberikan kepada
masyarakat. Untuk Bu Betty, saat ini sagu sedang naik daun. Ijin
pengelolaannya telah dikeluarkan oleh bupati Jayapura, Nabire dan
Mamberamo Raya, namun bagi orang awam sagu tetap dianggap sebagai
komoditas perkebunan.
3. Bu Garsetiasih : Makalah tidak sesuai dengan sasaran. Sasaran yang
seharusnya untuk mengetahui kuantitas dan kualitas, tidak nampak dalam
tulisan, hanya data pertumbuhan yang dimunculkan.
4. Pak Benny Halatu : Pada tahun 1988-1990 belum ada pasar Merbau, Merbau
mulai marak pada tahun 2000an. Banyak sekali persoalan kehutanan seperti
yang dikemukakan UP4B tadi, pembangunan selalu mencari lahan. Sentralisasi
harus diarahkan pada desentralisasi. Masalah kemiskinan harus dicarikan
solusi tanpa menyalahkan masing-masing institusi. Kegagalan TPTI, harus
dicariikan jalan keluarnya, salah satunya melaui KPH, sehingga dapat
menjawab permasalahan pembangunan kehutanan.
Jawaban.
1. Bu Betty : data itu sudah ada dan siap dimasukkan, agar segera dapat dicetak
dalam proseding.
2. Pak Freddy : Papua kaya akan sumber energi, kajian tersebut dapat
berlangsung tergantung pada anggaran yang turun.
3. Pak Kuswandi : restribusi yang lain belum ada datanya, restribusi yang
tersedia datanya adalah ijin pengusahaan, DR dan PSDH, tetapi besarnya
tidak kelihatan. Sebenarnya masyarakat sekitar hutan tidak miskin, hanya
kemampuan mengelola hutan yang belum ada. Pengelola kayu sebagian besar
adalah pendatang, sedangkan pemilik ulayat hanya meminta kompensasi.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 209
Interupsi Pak Max : judulnya luas namun sempit bukan ekonomi daerah tapi
PAD. Kebutuhan yang dibebankan bukan untuk masyarakat melainkan untuk
kebutuhan industri lokal.
Menurut Kadishut : JPT tidak berlaku lagi di pusat, namun di daerah masih
diberlakukan.
Menurut Sekbadan, harus hati-hati menganalisis manfaat ekonomi perusahaan
IUPHHK, karena bila salah analisa bisa membubarkan IUPHHK yang menjadi
andalan ekonomi kehutanan. Prilaku masyarakat juga perlu dikaji, karena
gaya hidup masyarakat menunjukkan kegagalan pengelolaan keuangan.
Selanjutnya swasembada beras bukan swasembada pangan, diharapkan
bukan swasembada beras saja tapi juga swasembada pangan untuk
menunjukkan ketahanan pangan. Kriteria tanah marginal untuk sawah, tapi
dikatakan cocok untuk real estate karena sengaja dikelola salah. Data jenis
kayu selalu berubah sama dengan data banyaknya pulau yang ada di
Indonesia. Diharapkan Kadishut dapat memfasilitasi pembuatan kebun koleksi
jenis.
SESI II
Pertanyaan-pertanyaan
1. Pak Max : untuk penulisan abstraks, penulisan nama Botani harus
memperhatikan kaidah ilmiah. Untuk Bu Betty penulisan abstraks tidak
mencantumkan hasil penelitian, sehingga tulisan seperti proposal, bukan
publikasi atau makalah. Untuk Pak Gatot Pemanenan pada labi-labi moncong
babi dikatakan 100% telur apa hubungannya dengan pengelolaan berbasis
jenis.
2. Bu Mariana Takandjanji : prihatin dengan kondisi labi-labi moncong babi yang
sudah termasuk dalam Apendik II CITES. Pemanfaatan oleh masyarakat
sangat tinggi, sehingga merupakan ancaman serius. Bagaimana BPK
Manokwari menyikapi hal tersebut, sedangkan penangkaran amat sulit
dilakukan karena pertumbuhannya sangat lambat.
3. Pak Luther : Tanggapan untuk Bu Betty, ada kelemahan untuk penyebutan
nama daerah Sagu, karena setiap daerah memiliki nama yang berbeda,
sehingga perlu diperhatikan dalam penyebutan nama daerah. Untuk Pak Pudja
210 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
di Merauke juga tumbuh jenis kayu putih alam yang menarik untuk dikaji. Ada
baiknya dilakukan penelitian juga di Merauke untuk memperbadingkan dengan
kayu putih di Jawa.
Jawaban :
1. Pak Gatot : Maksud pengelolaan berbasis jenis adalah labi-labi yang dikelola
adalah dari tukik dan diistilahkan penangkaran alami dan pelepasan ke alam.
Penangkaran untuk Papua belum ada penangkaran seperti juga rusa yang
hanya dibesarkan bukan ditangkarkan. Masih diperlukan data biologi maupun
ekologi, misalnya labi-labi lebih suka memilih bersarang pada tanah berpasir
dengan vegetasi. Gerakan labi-labi dalam air hanya bisa dipantau dengan
radiometri yang harganya sangat mahal, sementara anggaran penelitian yang
ada sangat terbatas. Dalam sekali bertelur labi-labi menghasilkan telur sekitar
20 butir, dengan persentase pemanfaatan masyarakat lebih besar daripada
telur yang ditetaskan. Apalagi keberhasilan penetasan telur amat sulit, karena
adaptasi yang susah dan banyaknya predator.
2. Pak Pudja : terimakasih tanggapannya, memang terdapat perbedaan antara
spesies kayu putih yang ditanam di Jawa dan kayu putih yang tumbuh alami
di Merauke, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.
3. Bu Betty : Sagu telah ditetapkan nama ilmiahnya yaitu Metroxylon spp,
dengan varietas jenis yang banyak namun masih memakai nama daerah.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 211
JADWAL ACARA
Waktu Kegiatan Metode Keterangan
08.30–09.00 Registrasi peserta OC
09.00–09.30 Pembukaan (MC) : Doa Lagu Indonesia Raya Sambutan sekaligus
Pembukaan Lagu Tanah Papua
Plenary OC Pendoa Dirijen Kadis Kehutanan Prov. Papua Barat Dirigen
09.30–09.40 Laporan Pelaksanaan Ekspose Plenary Ir. Harisetijono, M.Sc
09.40–10.00 Rehat Kopi
10.00–10.45 Keynote Speech 1. Kebutuhan Penelitian
Kehutanan (Reseach Needs) di Tanah Papua (Kepala Dinas Kehutanan Prov. Papua Barat)
2. Hutan, Sumberdaya Alam, dan Lingkungan dalam upaya P4B (Deputi V UNIT Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat / UP4B)
3. Kebijakan Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Sebagai Kerangka Penelitian Integratif (Kepala Bagian Program dan Kerjasama Badan Litbang Kehutanan)
Plenary Moderator : Dr. Agus Sumule
11.00–11.30 Diskusi
11.30–12.00 Soft Launching Buku 1. Buku Rediversifikasi Pangan
Papua Jidil 2 2. Buku Bongkah Aksi Kolektif
untuk Menanam
Paparan Ringkasan
Ir. Max J Tokede, MS
12.00–13.00 ISHOMA
13.00–14.15 THEMA: Sistem Pengelolaan Hutan
Plenary
Moderator : Ir. Thomas Nifinluri, M.Sc
13.00-13.05 Arahan
13.05-13.15 Pengelolaan Hutan dalam Kontribusinya pada Ekonomi Daerah dan Kemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan di Papua (Ir. Relawan Kuswandi, M.Sc)
212 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Waktu Kegiatan Metode Keterangan
13.15-13.25 Pertumbuhan Varietas Sagu (Metroxylon Spp) di Demplot Masni Manokwari (Ir. Batseba Suripatty, MSc)
13.25-13.35 Pemanfaatan Kayu di Papua melalui Pendekatan Sifat Dasar Kayu (Freddy Jontara Hutapea, S.Hut)
13.35-14.15 Diskusi
14.15-15.30 THEMA: Hasil Hutan Bukan Kayu
Plenary
Moderator : Mnerep Siregar, S.Hut, M.Si
14.15-14.20 Arahan
14.20-14.30 Status Pemanfaatan dan Pengelolaan Labi-labi Moncong Babi di Papua (Richard Gatot Nugroho Triantoro, S.Hut, MSi)
14.30-14.40 Penentuan Rotasi Pemangkasan pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MSi)
14.40-14.50 Kajian Empulur Sagu untuk Bioethanol (Ir. Batseba Suripatty, MSc)
14.50-15.30 Diskusi
15.30-15.45 Rehat kopi
15.45-16.00 Pembacaan Rumusan Tim Perumus
16.00-selesai Penutupan
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 213
SUSUNAN PANITIA EKSPOSE HASIL PENELITIAN PADA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI
TAHUN ANGGARAN 2013 SK KPA BPK Manokwari
Nomor: SK. 46 /VIII/BPKM/DIPA/2013
Tanggal: 18 Juli 2013
Penanggung Jawab : Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Ketua : Ir. Edwin Lodewijk Yoroh Sekretaris : Dr. Henry S. Innah, S.Hut, MT Bendahara : Sulastri SEKSI MATERI: Koordinator : Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Anggota : Ir. Relawan Kuswandi, MSc Richard Gatot Nugroho Triantoro, S.Hut, M.Si Susan T. Salosa, S.Hut, MA SEKSI ACARA DAN PERSIDANGAN: Koordinator : Baharinawati WH.,S.Sos.,M.Sc Anggota : Ifa Zanty Wahyuni, S.Hut Gidzon Mandacan Yakob Wamaer SEKSI DOKUMENTASI DAN DEKORASI: Koordinator : Julanda Noya, S.Hut Anggota : Sarah Yuliana, S.Hut., M.App. Sc Melky B Panie, S.Hut SEKSI KONSUMSI: Koordinator : Ir. Regina R. Maai Anggota : Dwi Korani Supatmini SEKSI AKOMODASI DAN TRANSPORTASI: Koordinator : Khuswantoro Akhadi, S.Hut, M.Ap Anggota : Arif Hasan, SE Yan H. Baransano Yakob Lutlutur SEKSI PERLENGKAPAN: Koordinator : Jufri Thaib, SE Anggota : Naris Arifin, SE Laban Mandibodibo Obed Dogopia SEKSI KESEKRETARIATAN: Koordinator : Freddy Jontara H, S.Hut Anggota : Solichin, SH Muthmainnah Syarifuddin, S.Hut Freddy Sutadji Simon Patollong, SE
214 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
DAFTAR PESERTA
KEGIATAN EKPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI
Aston Niu Hotel, Tanggal 29 November 2011
NO NAMA INSTANSI
1 A. Ardi BBTNTC
2 Abdul Solichin PERDU Manokwari
3 Ahmad Syihabi SMK Kehutanan
4 Apner Marar BPK Manokwari
5 Ayati BKSDA
6 B. A. Hallatu Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong
7 Baharinawati Wilhan Hastanti BPK Manokwari
8 Batseba A. Suripatty BPK Manokwari
9 BE. Susanto BP2HP Wilayah XVIII
10 Christian Moai BP2HP Wilayah XVIII
11 Daud Bano Dinas Kehutanan
12 Demianus Aska Masyarakat GM
13 Ditha Aryanti UNIPA
14 Dody Rahmansyah BPK Manokwari
15 Donatus Awujani BBTNTC
16 Donatus Marani UNIPA
17 Dwi Korani BPK Manokwari
18 Edwin Lodewiyk Yoroh BPK Manokwari
19 Eko Suwarno BP2HP Wilayah XVIII
20 Elim Kalua BLK Manokwari
21 Esie Mega Wangi BBTNTC
22 Estiko Tri Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat
23 Ezrom Batorinding BPK Manokwari
24 Ferry Manufandi Yalhimo Manokwari
25 Fitryanti Pakiding UNIPA
26 Frank Lambori BBTNTC
27 Freddy J. Hutapea BPK Manokwari
28 Fredikus Sutaji BPK Manokwari
29 Garsetiasih Puskonser Bogor
30 Gidzon Mandacan BPK Manokwari
31 Harisetijono BPK Manokwari
32 Hendrik Runaweri Kadishut
33 Hendy K. BP2HP Wilayah XVIII
34 Hermadi BBTNTC
35 Indah Maria Ratna N. UNIPA
36 Indun Isyunanjo BP2HP Wilayah XVIII
37 Inseren D. Marisan Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 215
NO NAMA INSTANSI
38 Isak H. Ainusi Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat
39 Ishak Silamba UNIPA
40 J. BakArbessy Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat
41 J.J. Kesaulija Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat
42 Johan A. Rumawak BPK Manokwari
43 Jufri Thaib BPK Manokwari
44 Julanda Noya BPK Manokwari
45 Junus Tambing BPK Manokwari
46 Ketut Arta KASDIM 1703 Manokwari
47 L. Rumawak BPK Manokwari
48 Laban Mandibodibo BPK Manokwari
49 Lidia Tesa BBTNTC
50 M. Ronsumbre Polsek Bandara
51 M. Siregar BBTNTC
52 Mamat R. BPKH
53 Marga T. SMK Kehutanan
54 Maria I. Arim, SP, M.Sc UNIPA
55 Mariana T. Puskonser Bogor
56 Marie Elen Tohitoe, S.Hut SMK Kehutanan
57 Markones Karubaba Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat
58 Max J. Tokede UNIPA
59 Meidy Utomo BKSDA
60 Melky B. Panie BPK Manokwari
61 Moh. Tabakore BPK Manokwari
62 Mohamad Saleh, S.Hut, M.Si BPDAS Remu Ransiki
63 Naris Arifin BPK Manokwari
64 Nithaniel M.H Benu BPK Manokwari
65 Obed Degopia BPK Manokwari
66 Oto Djuari BPKH XVII
67 Pdt. Edy Kirihio Masyarakat GM
68 Pieter Wamaer Zekbet CII-TNC-WME
69 Pudja Mardi Utomo BPK Manokwari
70 Regina Rusmina Maai BPK Manokwari
71 Relawan Kuswandi BPK Manokwari
72 Richard Gatot Nugroho BPK Manokwari
73 Rika Razali BP2HP Wilayah XVIII
74 Rini Purwanti BBTNTC
75 Sahrul BPDAS Remu Ransiki
76 Salmon Kasi BPKH
77 Samsul Rahman BBTNTC
78 Sarah Yuliana BPK Manokwari
79 Sarina Maai BPK Manokwari
216 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
NO NAMA INSTANSI
80 Simon Patollong BPK Manokwari
81 Son Diamar UP4B Deputi V
82 Sulastri BPK Manokwari
83 Sumule UNIPA
84 Sunardi BPK Manokwari
85 Supanto BPK Manokwari
86 Supatmini BPK Manokwari
87 Susan T. Salosa BPK Manokwari
88 Triadi Gumilar BPKH XVII
89 Trijoko Mulyono Setbadan Litbang
90 Wilson Palelingan UNIPA
91 Yacob Wamaer BPK Manokwari
92 Yafet Ayok Dinas Kehutanan
93 Yahya Sayori Dinas Kehutanan Kabupaten Manokwari
94 Yakob Lutlutur BPK Manokwari
95 Yenni Salosa UNIPA
96 Yermias Mandacan Kampung Ayambori
97 Yoel Tandirerung BPK Manokwari
98 Yoslianto BBTNTC
99 Yusup H. Hashari BPKH
100 Yusup Komendi BPK Manokwari
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 217