ekspose hasil-hasil penelitian bpk manokwari tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal...

235
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - i

Upload: ngothuy

Post on 07-Mar-2019

246 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - i

Page 2: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)
Page 3: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - i

PROSIDING

EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BPK MANOKWARI TAHUN 2013

“PERAN PENELITIAN INTEGRATIF DALAM PEMBANGUNAN

KEHUTANAN DI TANAH PAPUA”

Manokwari, 23 Oktober 2013

Editor:

Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Dr. Henry S. Innah

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Manokwari, 2013

Page 4: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

ii – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 5: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - iii

PROSIDING

EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN KEHUTANAN BPK MANOKWARI

TAHUN 2013

“PERAN PENELITIAN INTEGRATIF DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN

DI TANAH PAPUA”

Manokwari, 23 Oktober 2013

Terbit Tahun 2014 Penanggung Jawab: Ir. Harisetijono, M.Sc (Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari) Editor: Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Dr. Henry S. Innah Sekretariat: Ir. Edwin Lodewiyk Yoroh (Kepala Seksi Data Informasi dan Sarana Prasarana Penelitian) Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng Muthmainnah Syarifuddin, S.Hut Melky Benyamin Panie, S.Hut Wahyuni Munasri, A.Md

Diterbitkan dan dicetak oleh: Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Kementerian Kehutanan

Jl. Inamberi Susweni PO BOX 159 Manokwari 98313-Provinsi Papua Barat Telepon : 0986-213437, 213440, Fax : 0986-213441

Website : http://www.balithutmanokwari.com

Dicetak dengan Pembiayaan DIPA BPK Manokwari Tahun 2014

Page 6: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

iv – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 7: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya Balai Penelitian Kehutanan Manokwari (BPKM) telah berhasil

menyelenggarakan kegiatan Ekpose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 23 Oktober 2013

di Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari sebagai salah satu Unit Pelaksana

Tugas (UPT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan mempunyai tugas pokok

melaksanakan penelitian dan menyebarluaskan hasil penelitian di wilayah kerjanya

sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.

Untuk menyebarluaskan hasil penelitian, maka pada tahun 2013 BPK Manokwari

melaksanakan Ekpose dengan tema “PERAN PENELITIAN INTEGRATIF DALAM

PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI TANAH PAPUA”. Dalam ekpose tersebut dipaparkan

makalah utama dan makalah penunjang. Melalui ekpose hasil-hasil penelitian ini

diharapkan tercipta sinergitas program dan tukar menukar informasi antar stakeholders

khususnya di wilayah kerja BPK Manokwari yang meliputi Provinsi Papua dan Papua

Barat.

Penerbitan prosiding ini tidak terlepas dari bantuan dan kerjasama semua pihak.

Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada semua pihak atas partisipasi, saran dan pemikiran yang diberikan.

Semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Manokwari, 27 Desember 2013

Kepala Balai,

Ir. Harisetijono, M.Sc NIP. 19610329 198703 1 001

Page 8: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

vi – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 9: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - vii

DAFTAR ISI

Kata pengantar v

Daftar Isi vii

Daftar Lampiran ix

Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat xi

Rumusan Eskpose xv

Makalah Utama:

1. Pengelolaan hutan dalam kontribusi Pendapatan Asli Daerah dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan di Papua

1

2. Pemanfaatan kayu Papua kurang dikenal melalui pendekatan sifat dasar kayu 11

3. Pertumbuhan sagu (Metroxylon Spp) di demplot Koyani-Manokwari 19

4. Status pemanfatan dan pengelolaan Labi-labi Moncong Babi di Papua 25

5. Penentuan rotasi pemangkasan tunas pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi sub sp. cajuputi Powell)

41

6. Kuantifikasi empulur sagu untuk bioetanol di beberapa wilayah sebaran 61

Makalah Penunjang

1. Optimalisasi pemanfaatan nipah di Papua melalui produk-produk ekonomis 77

2. Ekosistem mangrove: peranan, permasalahan dan pendekatan bagi konservasi berkelanjutan

85

3. Faktor dan stakeholder penting dalam membentuk kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) model di Tanah Papua

97

4. “Dari celah eksistensi Masyarakat Adat”, Belajar di Teluk Bruyadori - Papua 113

5. Penafsiran kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di Distrik Menyambow, Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari, Papua Barat

121

6. Habitat, populasi dan pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi di Asmat 139

7. Distribusi jenis-jenis pohon endemik di daerah Teminabuan – Ayamaru 153

Slide Presentase Keynote Speechs

1. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat (Kebutuhan Penelitian Kehutanan (Research Needs) di Tanah Papua)

163

2. Deputi V UP4B (Hutan, Sumberdaya Alam, dan Lingkungan dalam upaya P4B) 171

3. Kabag Program dan Kerja Sama Badan Litbang Kehutanan (Kebijakan Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Sebagai Kerangka Penelitian Integratif)

185

Page 10: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

viii – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 11: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - ix

DAFTAR LAMPIRAN

Notulensi 207

Jadwal Acara 211

Susunan Panitia 213

Daftar Peserta 214

Page 12: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

x – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 13: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - xi

SAMBUTAN KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA BARAT

PADA ACARA PEMBUKAAN EKSPOSE HASIL-HASIL

PENELITIAN BPK MANOKWARI TANGGAL 23 OKTOBER 2013

DI SWISSBELL HOTEL MANOKWARI

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera Untuk Kita Semua.

Yang saya hormati :

Kepala Badan Litbang Kehutanan atau yang mewakili Rektor Universitas Negeri Papua Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat Kepala Dinas Kehutanan dan Kepala SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota se Provinsi Papua

dan Papua Barat Para Kepala UPT Kementerian Kehutanan Provinsi Papua dan Papua Barat; Para Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi kemasyarakatan di Papua

Barat; Tokoh Masyarakat, akademisi, insan pers, stakeholders, mitra usaha, peserta ekspose

dan hadirin yang berbahagia. Pada kesempatan yang berbahagia ini, marilah kita panjatkan syukur kehadirat

Tuhan YME karena atas berkat rahmat dan ridho-Nya, kita semua masih dikaruniai kekuatan lahir dan batin, tuntunan dan perlindungan, utamanya kesehatan dan kesempatan, sehingga kita dapat bersama-sama hadir dalam acara “Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari Tahun 2013“ .

Kami menyambut baik dan gembira dilaksanakannya Ekspose Hasil-Hasil Penelitian ini, yang tentu mengacu pada Penelitian Integratif Badan Litbang Kehutanan. Harapan kami, kegiatan ini perlu untuk terus dikembangkan, dengan diiringi doa dan harapan, semoga mendapat karunia dan berkat dari Tuhan YME, sehingga pada akhirnya akan diperoleh manfaat dan sumbangsih dalam pembangunan kehutanan di Tanah Papua.

Hadirin yang saya hormati,

Pemilihan tema ekspose kali ini yaitu “Peran Penelitian Integratif Dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua“ sangat relevan dengan upaya pemerintah untuk mengatasi fenomena degradasi sumberdaya hutan yang semakin memprihatinkan, akibat maraknya kerusakan hutan dimana-mana. Tentu, dukungan IPTEK Kehutanan tidak dapat disangsikan lagi memiliki posisi yang sangat strategis.

Selama empat dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi sumbangsih devisa yang signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional, menyediakan lapangan kerja dan tempat dimana lebih dari 15 juta orang menggantungkan hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan yang diikuti maraknya penebangan liar, telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi dan sosial antara lain meningkatnya laju degradasi hutan. Dari catatan Greenpeace tanggal 15 Februari 2013, sekitar 300 ribu hektar hutan Papua rusak tiap tahun, dan perkebunan kelapa sawit berskala raksasa menyumbang kerusakan terbesar. Permasalahan ini bila tidak diatasi, bukan mustahil hutan Papua bakal musnah beberapa tahun kemudian.

Page 14: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

xii – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Lebih dari itu, dengan mengacu pada data Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, paling tidak isu lingkungan di Tanah Papua mencakup: degradasi hutan dan lahan, sistem pengelolaan Sumber Daya yang belum optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming) isu lingkungan global ke dalam pola pembangunan nasional dan daerah, harmonisasi peraturan perundangan lingkungan hidup, dan kesadaran masyarakat yang rendah dalam pemeliharaan lingkungan. Dengan demikian maka, persoalan lingkungan di Tanah Papua sudah barang tentu kompleks.

Disisi yang lain, Tanah Papua memiliki kekayaan alam dan biodiversitas yang menakjubkan, sekaligus keragaman budaya atau kelompok etnis yang tinggi. Potensi ini memberikan harapan dan tantangan yang sangat menarik dalam pembangunan kehutanan Papua ke depan. Hadirin yang saya hormati,

Guna tetap menjaga serta meningkatkan keberlanjutan pembangunan kehutanan, dalam kurun 2010-2014 Kementerian Kehutanan menetapkan 8 (delapan) kebijakan prioritas pembangunan sektor kehutanan, meliputi: a. Pemantapan Kawasan Hutan. b. Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan Daya Dukung DAS. c. Pengamanan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan. d. Konservasi Keanekaragaman Hayati. e. Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. f. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. g. Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan. h. Penguatan Kelembagaan Kehutanan.

Delapan kebijakan prioritas ini kemudian dituangkan ke dalam 7 program, yang terdiri dari 4 jenis program teknis kehutanan dan 3 jenis program dukungan administratif. Salah satu Program tersebut adalah Program Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan Hadirin yang saya hormati,

Apabila memperhatikan Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan tahun 2010-2025, terdapat 5 tema utama penelitian kehutanan yaitu: Lansekap hutan, Pengelolaan hutan (baik Hutan alam, Hutan Tanaman, Pengelolaan DAS, Biodiversitas, dan Hasil Hutan Bukan Kayu), Perubahan iklim, Pengolahan hasil hutan, dan Kebijakan. Lima Tema utama penelitian ini kemudian diturunkan kedalam 25 Rencana Penelitian Integratif Badan Litbang Kehutanan. Rencana Penelitian Kehutanan atau RPI merupakan Rencana aksi kegiatan penelitian yang berlaku selama lima tahun yang dikoordinir oleh Seorang Peneliti dari Pusat Litbang Kehutanan. RPI merupakan disain penelitian yang kompak yang diharapkan memperhatikan pula isu-isu lokal.

Sehubungan dengan itu, maka Ekspose hasil-hasil penelitian kali ini tentu bertujuan untuk :

memperkenalkan, menyebarluaskan dan mempromosikan hasil-hasil penelitian (BPK) Manokwari kepada pengguna;

mendekatkan IPTEK hasil litbang kehutanan kepada para pengguna dengan harapan agar IPTEK yang dihasilkan dapat diketahui, diterapkan secara berdaya guna dan berhasil guna bagi para pemangku kepentingan; serta

mendorong terjalinnya interaksi dan kerjasama kemitraan, baik antar komunitas IPTEK, maupun dengan pengambil kebijakan, kalangan dunia usaha, dan kelompok masyarakat, memberikan kontribusi dalam menjawab kebutuhan IPTEK kehutanan dan

Page 15: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - xiii

dalam upaya penyelesaian masalah-masalah kehutanan yang ada, serta mendorong percepatan pencapaian tujuan pembangunan kehutanan daerah.

Kegiatan Ekspose ini diharapkan akan mempererat sinergitas dalam upaya pelestarian hutan dan harapan kedepan tidak terbatas pada kegiatan ekspose saja, tapi dapat dilanjutkan dengan kerjasama dibidang lainnya sehingga dapat bersinergi, yang hasilnya dapat disumbangsihkan untuk kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua. Hadirin yang saya hormati,

Kami sangat berharap agar ada tindak lanjut yang lebih operasional setelah selesainya ekspose ini, sehingga ada dukungan yang kongkrit terhadap pelaksanaan program pembangunan sektor Kehutanan di Papua.

Selanjutnya kami berharap pula agar semua yang hadir di sini dapat berperan aktif dalam Ekspose selama satu hari ini, baik dalam hal menyerap informasi hasil-hasil penelitian maupun dalam memberikan umpan balik.

Saya juga sangat senang dan berterimakasih kepada semua pihak, khususnya Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat yang berpatisipasi memberikan materi pada ekspose kali ini. Kesempatan ini adalah penting, karena dapat pula membuka wawasan kita semua, agar implementasi IPTEK kehutanan menjadi lebih efektif dilaksanakan di Tanah Papua. Hadirin yang berbahagia,

Akhirnya, sambutan ini saya sudahi sampai disini, dengan diiringi penghargaan dan ucapan terima kasih atas perhatian dan partisipasi kita sekalian.

Untuk itu, pada kesempatan ini pula, dengan mengucapkan dengan menucapkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, saya nyatakan Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Tahun 2013 dibuka dengan resmi………

Selamat mengikuti ekspose, semoga Tuhan YME melimpahkan rahmat dan taufikya kepada kita semua, Amin.

Sekian dan terima kasih.

KEPALA DINAS KEHUTANAN PROV PAPUA BARAT

Page 16: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

xiv – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 17: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - xv

RUMUSAN EKSPOSE HASIL PENELITIAN

BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI Manokwari, 23 Oktober 2013

Setelah mendengar dan memperhatikan arahan Sekretaris Badan Litbang

Kehutanan dan pemaparan para narasumber, kemudian dilanjutkan diskusi yang

berkembang dalam Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Tahun 2013,

dihasilkan rumusan sebagai berikut :

1. Hasil-hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan diperlukan untuk menunjang

Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua. Litbang Kehutanan

merupakan salah satu pilar utama untuk menghasilkan rekomendasi terkait

pembangunan kehutanan, yang mengakomodasi Isu Global dan Lokal di Papua,

sehingga Litbang yang terintegratif dan didukung semua stakeholder akan lebih

berhasil guna.

2. Agar percepatan pembangunan di Tanah Papua benar-benar menghasilkan

peningkatan kesejahteraan rakyat Papua dalam jangka panjang, maka upaya-upaya

percepatan pembangunan tersebut, khususnya yang memanfaatkan sumberdaya

alam dan sumberdaya hutan, haruslah diawasi secara ketat sehingga tidak

memberikan dampak negatif yang signifikan bagi lingkungan dan membawa manfaat

langsung bagi masyarakat setempat dan pemerintah daerah. Litbang Kehutanan

dapat berfungsi secara signifikan dalam memberikan masukan terkait pelaksanaan

pengawasan dimaksud.

3. Walaupun penelitian dan pengembangan merupakan komponen penting dalam

menciptakan kegiatan-kegiatan pembangunan yang lebih inovatif, lebih hemat

sumberdaya dan lebih mampu memberikan hasil yang lebih besar, alokasi anggaran

pemerintah untuk keperluan litbang masih sangat kecil. Untuk itu, kegiatan

penelitian kedepan, khususnya di Tanah Papua, harus lebih integratif, yang dicirikan

dengan hal-hal berikut ini:

Mendukung program-program prioritas pemerintah daerah;

Memanfaatkan peluang-peluang sumberdana setempat – baik yang berasal dari

pemerintah daerah maupun dengan swasta;

Bermitra dengan para stakeholder strategis dengan terus membangun

komunikasi dan jaringan kerjasama yang lebih baik dan efektif.

4. Badan Litbang Kehutanan perlu untuk memetakan penelitian ke dalam 3 kelompok:

yaitu penelitian dasar, penelitian yang bersifat urgen/perlu dan yang sudah siap

diimplementasi sebagai suatu paket IPTEK. Selain itu, perlu pula dilakukan

penelitian-penelitian yang mengevaluasi efektivitas regulasi dan yang mampu

meningkatkan efektivitas kebijakan publik agar program-program pembangunan

kehutanan di Papua dapat memberikan hasil yang lebih baik dan bersifat jangka

panjang – baik bagi masyarakat adat, investor maupun pemerintah daerah.

5. Buku IPTEK yang diluncurkan, merupakan bagian dari rekonstruksi etnologi

masyarakat Papua yang telah diramu dengan ilmu pengetahuan modern sehingga

buku ini bisa menjadi referensi bagi para ilmuwan dan praktisi, sekaligus dapat

Page 18: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

xvi – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan oleh pemerintah, khususnya sektor

kehutanan.

6. Isu antara hutan dan kemiskinan harus disikapi dengan pendekatan perbaikan

regulasi dan terobosan pemberdayaan ekonomi untuk masyarakay sekitar hutan.

Pendekatan dengan pengarusutamaan KPH adalah salah satu strategi

7. Akses masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan harus dibangun secara

bersamaan, dari aspek kebijakan yang berpihak kepada masyarakat dan perubahan

pola pikir masyarakat adat sendiri melalui pendampingan yang efektif.

8. Potensi sumberdaya alam hutan di Papua sangat tinggi, sehingga pengelolaan harus

komprehensif dengan melibatkan masyarakat adat mulai dari perencanaan sampai

kepada evaluasi

9. Kontribusi Sektor kehutanan jangan hanya dilihat dari PSDH dan DR saja, tetapi

dapat dilihat dari aspek lain seperti PBB. Dengan demikian kontribusi dari

pengusahaan hutan lebih realistis.

10. Perlu kewenangan yang jelas dari instansi pemerintah yang menangani sagu.

Dengan demikian kinerja program dengan instansi terkait pengelolaan sagu akan

semakin optimal.

11. Pengelolaan HHBK seperti Labi-labi mocong babi dapat dilakukan dengan

pendekatan kuota dengan memperhatikan kelestarian polulasi, keberpihakan pada

masyarakat lokal, dan potensi pemasukan daerah. Teknik Penangkaran labi-labi,

juga dapat menjadi perhatian selanjutnya.

12. Model yang dapat diperhatikan terkait rotasi pemangkasan tunas optimum kayu

putih, adalah 7 bulan dihitung dari saat pemangkasan sebelumnya, untuk kayu putih

di Jawa. Untuk itu perlu penelitian model pemangkasan untuk kayu putih yang ada

di Papua.

13. Empulur sagu yang berpotensi menghasilkan bioethanol perlu dikembangkan dengan

lebih komprehensif. Untuk itu perlu diketahui potensi bioethanol menurut jenis-jenis

sagu.

Manokwari, 23 Oktober 2013

TIM PERUMUS

Ketua: Dr. Agus Sumule

Anggota:

1. Ir. Max J. Tokede, MS

2. Ir. Thomas Nifinluri, M.Sc

3. Manerep Siregar, SP, MSi

4. Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP

5. Dr. Henry S. Innah

Page 19: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 1

PENGELOLAAN HUTAN DALAM KONTRIBUSI PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN KEMISKINAN MASYARAKAT

SEKITAR HUTAN DI PAPUA

Relawan Kuswandi1) dan Harisetijono1)

1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia

RINGKASAN

Pengelolaan hutan di Tanah Papua yang telah berlangsung lebih dari tiga dekade diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah dan peningkatan taraf hidup bagi masyarakat sekitar hutan. Apakah peran pengelolaan hutan terhadap peningkatan perekonomian daerah dan masyaratakat sekitar hutan sudah sesuai dengan harapan? Kenyataannya tingkat masyarakat miskin terbesar terdapat di sekitar hutan. Kontribusi pengelolaan hutan (sektor kehutanan) terhadap penerimaan daerah dan masyarakat sekitar hutan pada tulisan ini dibatasi pada kewajiban yang harus dipenuhi oleh HPH/IUPHHK yaitu PSDH dan DR untuk penerimaan daerah dan kompensasi hak ulayat sesuai dengan SK Gubernur Papua No. 184 Tahun 2004 tentang standar kompensasi hak ulayat. Besarnya kontribusi pengelolaan hutan terhadap penerimaan daerah untuk Provinsi Papua dari tahun 2007 – 2011 sebesar Rp. 229.660.929.823.00 untuk PSDH, sedangkan untuk DR sebesar Rp. 137.444.525.513.00 dan $ 3.723.685.18 Sedangkan untuk Provinsi Papua Barat dari tahun 2009 – 2011 sebesar Rp. 156.045.483.677.00 untuk PSDH dan DR sebesar Rp. 82.288.218.408,00. Dalam penggunaan dana tersebut tidak semuanya ditujukan untuk pembangunan sektor kehutanan. Kontribusi pengelolaan hutan terhadap perekonomian daerah yang tidak dapat dihitung dengan bentuk dana adalah pembukaan daerah terisolir dalam bentuk jaringan jalan yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Berdasarkan data, rata-rata besarnya kontribusi pengelolaan hutan terhadap masyarakat sekitar hutan dalam bentuk kompensasi hak ulayat untuk Provinsi Papua sejak tahun 2007 – 2011 sebesar Rp. 15.582.387.814,00 dan untuk Provinsi Papua Barat dari tahun 2009 – 2011 sebesar Rp. 21.575.526.600,00. Dana tersebut belum termasuk bantuan langsung yang diberikan oleh unit pengelola kepada masyarakat sekitar hutan. Namun besarnya dana yang diterima masyarakat sekitar hutan tidak serta merta meningkatkan perekonomian (taraf hidup) masyarakat sekitar hutan. Tingkat kemiskinan masyarakat masih didominasi oleh masyarakat sekitar hutan. Dengan demikian ada yang salah dalam pengelolaannya. Oleh sebab itu mari kita pikirkan bersama bagaimana cara memanfaatkan atau mengelolaa sumber daya yang ada bagi kepentingan masyarakat sekitar hutan.

I. PENDAHULUAN

Pengelolaan hutan di Tanah Papua telah berlangsung selama tiga dekade

dimana dalam pelaksanaannya telah mengalami pasang surut baik dalam jumlah

unit pengelolaan maupun produksinya. Usaha pemanfaatan hasil hutan tersebut

bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi serta produktivitas

sumber daya hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hasil hutan untuk

pembangunan masyarakat, 1 industri dan ekspor, meningkatkan pendapatan dan

Page 20: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

2 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

devisa, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang dan

mendorong pembangunan daerah serta pembangunan 2 sektor lainnya, dengan

tetap memperhatikan asas kelestarian. Namun apakah peran pengelolaan hutan

terhadap peningkatan perekonomian daerah dan masyaratakat sekitar hutan

sudah sesuai dengan harapan? Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan masyarakat

sekitar hutan yang cukup tinggi yaitu sebesar 37% (Statistik Papua, 2012).

Peran atau kontribusi usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHHK) terhadap

pembangunan daerah dapat berupa kontribusi langsung dalam bentuk

Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan yang tidak langsung antara lain adalah

terbukanya isolasi daerah dan lapangan kerja. Dalam konteks kajian ini

kontribusi IUPHHK terhadap PAD hanya dibatasi pada Provisi Sumber Daya Hutan

(PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), walaupun banyak kewajiban lain sesuai

dengan perundangan yang berlaku. Sedangkan untuk peningkatan perekonomian

masyarakat hanya pada besaran dana kompensasi yang dibayarkan oleh IUPHHK

kepada masyarakat pemilik hak ulayat yang notabene bermukim di sekitar hutan.

Tujuan dari makalah ini adalah melihat besarnya kontribusi atau peran

IUPHHK dalam peningkatan perekonomian daerah dan pengaruhnya terhadap

masyarakat sekitar hutan.

II. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN DI PAPUA

Pengelolaan hutan di Papua yang telah berlangsung sampai saat ini

mengalami pasang surut baik dalam jumlah unit pengelolaan maupun

produksinya. Berdasarkan data sampai saat ini telah terjadi penurunan jumlah

IUPHHK yang masih aktif secara signifikan. Di Provinsi Papua dari 25 IUPHHK

yang memiliki ijin hanya 15 IUPHHK yang masih aktif (BP2HP XVII, 2010),

sedang di Papua Barat IUPHHK yang masih aktif sebanyak 16 dari 26 IUPHHK

(BP2HP XVIII, 2012). Demikian pula produksi kayu bulat mengalami penurunan

yang cukup signifikan dimana rata-rata presentase produksi kayu bulat berkisar

antara 36.2% - 60% dari kuota Jatah Produksi Tahunan (JPT) Provinsi Papua

dan Papua Barat. Target dan Realisasi produksi kayu bulat dari tahun 2007 –

2012 untuk provinsi Papua dan Papua Barat dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 21: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 3

Tabel 1. Target dan realisasi produksi kayu bulat Provinsi Papua dan Papua Barat dari tahun 2007-2012

Tahun

Provinsi Papua Provinsi Papua Barat

Target

(m3)* Realisasi (m3)

Presentase

(%)

Target

(m3)*

Realisasi

(m3)

Presentase

(%)

2007 1.421.000 519.834,51 36.6 1.511.351 -**

2008 1.230.000 563.448,23 45.8 1.435.000 247.207,67 17.2

2009 1.225.000 815.233,31 66.5 1.200.000 682.050,33 56.8

2010 1.225.000 1.010.412,01 82.5 1.225.000 546.435,44 44.6

2011 1.225.000 767.723,15 62.7 1.260.000 555.560,89 44.1

2012 1.225.000 -** 1.200.000 332.597,16 27.7

Rata-rata 1.258.500 735.330,24 60.0 1.305.225.2 472.770,30 36.2

*) Kuota JPT Nasional; **) data tidak tersedia

Sumber : SK Dirjen BPK (2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011); PB2HP wil. 17 (2010); BP2HP wil 18 (2012)

Dari Tabel 1 diatas menunjukan bahwa realisasi produksi kayu bulat masih

rendah bila dibandingkan dengan kuota JPT, dimana rata-rata persentase

realisasi produksi kayu bulat sebesar 60% untuk provinsi Papua dan 36.2%

untuk Provinsi Papua Barat. Rendahnya realisasi produksi kayu bulat diduga

disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :

a. Potensi tegakan tidak sesuai dengan JPT/AAC (Annual Allowable Cut) yang

diberikan pada setiap IUPHHK sehingga berdampak pada besarnya realisasi

tebangan.

b. Tidak semua IUPHHK yang aktif melakukan penebangan semua jenis kayu

sesuai dengan JPT yang diberikan. Pada beberapa IUPHHK hanya menebang

satu jenis saja yaitu merbau (Intsia sp).

c. Penentuan kuota JPT nasional tidak berdasarkan pada IUPHHK yang aktif

melakukan kegiatan tetapi berdasarkan pada IUPHHK yang memperoleh ijin

konsesi.

d. Adanya larangan ekspor log antar pulau sehingga berdampak pada IUPHHK

yang belum mempunyai pengolahan kayu.

e. Adanya kendala dalam proses perpanjangan IUPHHK sehingga terjadinya

stagnasi dalam kegiatannya sambil menunggu keluarnya ijin perpanjangan.

f. Adanya konflik antara IUPHHK dengan masyarakat pemilik hak ulayat dan 3

faktor internal (manajemen) pada IUPHHK yang bersangkutan.

Jenis merbau merupakan jenis yang paling banyak di produksi oleh

IUPHHK terutama di Provinsi Papua Barat. Rata-rata persentase produksi kayu

bulat jenis merbau dibandingkan dengan jenis lainnya dapat dilihat pada tabel 2

berikut ini.

Page 22: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

4 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Tabel 2. Rata-rata persentase produksi kayu bulat jenis merbau dibandingkan dengan jenis lainnya di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Tahun Provinsi Papua Provinsi Papua Barat

Merbau Jenis Lainnya Persentase Merbau Jenis Lainnya Persentase

2007 172.676,59 347.157,92 49.74

2008 164.998,94 398.449,29 41.41

2009 230.412,87 584.820,44 39.40 548.289,77 133.760,56 409.90

2010 291.244,75 719.167,26 40.50 294.790,54 251.644,90 117.15

2011 138.764,09 628.959,06 22.06 241.350,06 314.210,83 76.81

Rata-rata 199.619,45 535.710,79 37.26 361.476,79 233.205,43 155.00

Sumber : BP2HP wil 17 (2010); Dinas Kehutanan Prov. Papua Barat (2011)

Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat produksi jenis merbau sangat

tinggi terutama di Provinsi Papua Barat. Rata-rata persentase produksi jenis

merbau dibandingkan dengan jenis lainnya sebesar 37.26% di Provinsi Papua,

sedangkan di Papua Barat sebesar 155%. Tingginya produksi jenis merbau akan

berakibat pada kelestarian jenis tersebut apabila tidak dilakukan tindakan

silvikultur seperti pengayaan pada areal bekas tebangan.

III. KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN TERHADAP PENERIMAAN ASLI DAERAH

Dampak dari pemanfaatan hasil hutan sebagai implementasi dari

pengelolaan hutan bagi daerah diharapkan mampu meningkatkan pendapatan

dan devisa, menunjang dan mendorong pembangunan baik sektor kehutanan

maupun sektor lainnya. Berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku,

terdapat 6 macam pungutan yang dikenakan kepada pengusaha IUPHHK dari

sektor kehutanan sebagai sumber pendapatan baik pemerintah daerah maupun

pemerintah pusat. Namun dalam konteks ini hanya dibatasi pada pungutan PSDH

dan DR sebagai sumber pendapatan dalam rangka menunjang pembangunan.

PSDH adalah nilai hasil hutan yang menjadi bagian pemerintah sebagai

pemilik sumberdaya. Nilai ini ditentukan harga jual dan jumlah/volume hasil

hutan yang dijual. Dana Reboisasi (DR), pada awalnya bernama Dana Jaminan

Reboisasi (DJR). Pungutan ini dikenakan terhadap setiap m3 kayu yang diambil

oleh HPH/IUPHHK sebagai dana jaminan reboisasi. Namun perkembangan

selanjutnya pada tahun 1989 pungutan berubah menjadi Dana Reboisasi (DR),

dengan ketentuan HPH/IUPHHK wajib melakukan penanaman pengayaan di

areal HPH/IUPHHK dan tetap membayar DR. Dana Reboisasi berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 merupakan dana untuk reboisasi

dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari

Page 23: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 5

Pemegang IUPHHK. Namun dalam implementasinya, dana tersebut tidak

digunakan untuk pembangunan sektor kehutanan.

Besaran pembagian PSDH dan DR antara pemerintah pusat dan daerah

ditentukan berdasarkan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah. Bagi

Pemerintah Daerah (Papua dan Papua Barat) dengan besarnya kuota JPT

seharusnya sektor kehutanan dapat menjadi salah satu tumpuan sumber

pendapatan daerah. Namun kenyataannya kontribusi sektor kehutanan terhadap

PAD masih sangat kecil yaitu sebesar 6.7 % (Pawitno, 2003). Kecilnya

kontribusi sektor kehutanan terhadap PAD disebabkan perhitungannya hanya

pada industri hulu (log) sedangkan produk hasil industri hilir tidak masuk dalam

sektor kehutanan tapi dalam sektor industri.

Berdasarkan persentase bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemda

selama kurun waktu 2007 – 2012, maka besarnya penerimaan PSDH dan DR

sebagai PAD dari sub sektor kehutanan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat

dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Penerimaan PSDH dan DR sebagai PAD dari sub sektor kehutanan Provinsi Papua dan Papua Barat dari tahun 2007 – 2012.

Tahun Provinsi Papua Provinsi Papua Barat

PSDH DR Jumlah PSDH DR Jumlah

2007 38,705,268,084 26,469,096,314 65,174,364,398

2008 36,453,202,628 23,761,052,544 60,214,255,172

2009 44,755,181,724 38,079,043,679 82,834,225,403 69,860,495,270 31,274,406,504 101,134,901,774

2010 61,592,224,957 43,413,984,448 105,006,209,405 46,860,007,728 26,062,261,092 72,922,268,820

2011 48,155,052,430 35,510,829,937 83,665,882,367 39,324,980,678 24,891,550,812 64,216,531,490

2012 40,229,273,309 18,763,050,680 58,992,323,989

Rata-

rata 45,932,185,965 33,446,801,384 79,378,987,349 49,068,689,246 25,247,817,272 74,316,506,518

Sumber : Dinas Kehutanan dan Konservasi Prov. Papua (2011); BP2HP wil 18 (2012)

Besarnya penerimaan PSDH dan DR tergantung dari realisasi produksi

kayu bulat masing-masing IUPHHK. Rata-rata persentase produksi kayu bulat

sebesar 60% untuk Provinsi Papua sedang Provinsi Papua Barat sebesar 36%.

Oleh sebab itu penerimaan PAD masih dapat ditingkatkan apabila realisasi

produksi sesuai dengan kuota JPT yang telah ditentukan.

Kontribusi pengelolaan hutan sebetulnya tidak hanya pada penerimaan

PAD saja tetapi masih banyak kontribusinya dalam peningkatan perekonomian

daerah. Penyediaan lapangan pekerjaan dan pembukaan daerah terpencil

dengan adanya transportasi baik darat dan laut merupakan kontribusi yang tidak

kalah pentingnya dalam pembangunan daerah. Fakta menunjukkan bahwa

Page 24: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

6 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

banyak jalan bekas IUPHHK dijadikan jalan penghubung untuk membuka isolasi

daerah.

IV. KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN

Di Papua peran HPH/IUPHHK untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sekitar areal kerja dilakukan dengan program pembinaan

masyarakat desa (PMDH). Namun sejak dikeluarkannya SK Gubernur Papua

No.50 tahun 2001 dan di perbaharui dengan SK Gubernur Papua No. 184 Tahun

2004 tentang standar kompensasi dimana pengusaha hutan diwajibkan

membayar kompensasi hak ulayat atas hilangnya sumber pangan masyarakat,

maka terdapat dua kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang ijin

HPH/IUPHHK. Satuan biaya kompensasi dikelompokkan menurut jenis kayu,

yaitu Rp. 100.000/m3 untuk kayu indah, Rp. 50.000/m3 untuk kayu merbau, Rp.

10.000/m3 kayu non merbau dan Rp. 3.000/m3 kayu bakau. Pemberian

kompensasi dilakukan berdasarkan hasil tebangan pada RKT berjalan dimana

masyarakat tersebut merupakan pemilik hak ulayat pada RKT tersebut.

Dengan adanya dua kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang ijin

HPH/HTI maka, pihak perusahaan merasakan tingginya beban yang harus di

keluarkan, belum lagi harga yang tak terduga akibat tidak konsistennya

masyarakat adat dalam pembagian kompensasi hak ulayat. Oleh karena itu

sejak dicabutnya SK Menhut No. 523/Kpts-II/1997 dan diberlakukannya Kepmen

4795/Kpts-II/2002 dan 177/Kpts-II/2003 maka, beban perusahaan berkurang

yang pada akhirnya memberi pengaruh pada bentuk pembinaan masyarakat

sudah semakin tidak tampak karena seluruh biaya pemberdayaan telah

tergabung dalam satuan kompensasi. Namun demikian, bantuan lain masih tetap

diberikan oleh pengelola IUPHHK dalam bentuk program SFCM.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa jauhkah penerimaan

masyarakat dari kompensasi hak ulayat terhadap peningkatan perekonomian

masyarakat? Apakah semakin meningkat atau kembali seperti kondisi semula

setelah tidak menerima kompensasi hak ulayat?

Besarnya kompensasi yang diterima oleh masyarakat pemilik hak ulayat

dalam kurun waktu 2007 – 2011 di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dilihat

pada tabel 4.

Page 25: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 7

Tabel 4. Besarnya pembayaran kompensasi hak ulayat oleh IUPHHK di Provinsi Papua dan Papua Barat sejak dalam kurun waktu 2007 – 2011.

Tahun Provinsi Papua (Rp) Provinsi Papua Barat (Rp)

2007 12.999.542.500

2008 12.469.200.400

2009 17.575.861.400 28.910.832.500

2010 21.998.000.000 20.605.236.000

2011 12.869.334.770 15.210.511.300

Jumlah 77,911,939,070 64,726,579,800

Rata-rata 15.582.387.814 21.575.526.600

Berdasarkan Tabel 4 nampak adanya perbedaan pembayaran kompensasi

hak ulayat oleh masyarakat pemilik di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hal ini

disebabkan terdapat perbedaan produksi kayu bulat yang menjadi acuan dalam

besarnya pembayaran kompensasi hak ulayat dimana produksi kayu bulat di

Provinsi Papua Barat didominasi oleh jenis merbau yang merupakan jenis dengan

nilai kompensasi kedua tertinggi setelah jenis kayu mewah.

Dari hasil perhitungan penerimaan kompensasi hak ulayat tersebut,

sebetulnya pendapatan masyarakat tersebut cukup besar belum termasuk

pendapatan lain dari aktivitas mata pencaharian yang dilakukannya sehari-hari.

Dari beberapa informasi, besarnya penerimaan kompensasi berkisar setiap

pemilik hak ulayat antara Rp. 300.000.000,00 sampai diatas 1 milyar rupiah.

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masyarakat sekitar hutan di beberapa

areal HPH/IUPHHK menyebutkan bahwa tingkat pendapatan masyarakat sekitar

hutan berkisar antara Rp. 894.850,- - Rp. 4.883.500,- /tahun atau Rp. 74.570,- -

Rp. 406.598,-/bulan (Irma Yeni, 2006). Rendahnya pendapatan penduduk

tersebut tidak serta merta membuat mereka tidak dapat hidup. Hal ini

disebabkan perhitungan pendapatan hanya pada uang tunai yang di terima tiap

bulannya melalui penjualan hasil usaha tani maupun jasa yang dikeluarkan.

Sedangkan hasil usaha tani yang dimakan langsung, dan jasa yang digunakan

tetapi tidak mendapatkan uang tunai tidak di hitung. Selain itu penerimaan dari

kompensasi hak ulayat tidak termasuk dalam komponen penerimaan. Oleh

karena itu walaupun jumlah pendapatan rendah, namun penduduk di desa

contoh mampu mencukupi kebutuhan bulanannya selama hasil kebunnya dapat

dimakan (tidak musim kemarau).

Apabila pendapatan dari kompensasi hak ulayat digunakan sebagai modal

usaha untuk peningkatan perekonomian masyarakat, maka pendapatan

Page 26: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

8 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

masyarakat sekitar hutan pemilik hak ulayat akan semakin tinggi. Alternaif lain

yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan menginvestasikan sebagian

penerimaan kompensasi dalam bentuk tabungan atau di investasikan sebagai

saham pada HPH/IUPHHK yang beroperasi pada areal hak ulayatnya. Diharapkan

dengan adanya investasi tersebut masyarakat pemilik hak ulayat tidak hanya

mendapatkan nilai tambah dari keuntungan yang diperoleh oleh pihak

HPH/IUPHHK setiap tahunnya, tetapi dapat terlibat langsung dalam pengelolaan

hutan sebagai pemilik saham atau pemilik modal.

Penerimaan yang diperoleh dari kompensasi hak ulayat umumnya

digunakan untuk kebutuhan konsumtif sehingga tingkat perokonomian

masyarakat tidak berubah. Padahal pembayaran kompensasi dilakukan tidak

untuk selama masa konsesi tetapi setiap tahun tergantung sesuai kepemilikan

hak ulayat dimana tebangan dilakukan. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa

90% penerimaan kompensasi dimanfaatan untuk kebutuhan sehari-hari atau

bersifat konsumtif. Sedangkan pemanfaatan dalam upaya peningkatan

perekonomiannya hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat pada

beberapa wilayah yang dekat dengan daerah perkotaan (Irma Yeni, 2006). Oleh

sebab itu persepsi keberadaan HPH/IUPHHK terhadap peningkatan

perekonomian masyarakat sekitar hutan selalu negatif.

Kurangnya kesadaran masyarakat dalam peningkatan perekonomian

disebabkan beberapa kendala sebagai berikut :

1. Rendahnya fasilitas pendidikan pada kampung yang berada di sekitar hutan

alam produksi secara langsung memberi dampak pada rendahnya tingkat

pendidikan penduduk kampung tersebut. Sehingga membutuhkan waktu

yang lama agar dapat memacu kemandirian penduduk setempat.

2. Letak kampung yang terisolasi secara geografis membuat perekonomian

penduduk menjadi lemah, sebagai akibat tidak terbukanya pasar dan biaya

transportasi yang cukup tinggi.

3. Sifat komunalisme masyarakat yang tinggi, sehingga kurang mengenal uang.

4. Sifat masyarakat yang fitalis dan bergantung sepenuhnya pada alam.

5. Budaya meramu dan budaya cepat puas, menyebabkan penduduk hanya

melakukan kegiatan ekonominya untuk kebutuhan makan saja.

6. Rendahnya pengetahuan terhadap manajemen pengelolaan keuangan

keluarga sehingga pemanfaatan dana kompensasi hanya terbatas untuk

pemenuhan kebutuhan konsumtif.

Page 27: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 9

7. Kurangnya peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

Oleh sebab itu maka perlu adanya terobosan untuk peningkatan

perekonomian masyarakat sekitar hutan terutama dalam pengelolaan dana

kompensasi hak ulayat. Peran pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat

(LSM) sangat penting dalam rangka pemanfaatan sumber dana dari kompensasi

sumberdaya hutan yang berkeadilan dalam rangka peningkatan perekonomian

masyarakat sekitar hutan. Jangan sampai konotasi negative pengelolaan

kehutanan “Hutan habis, masyarakat sekitar hutan tetap miskin” akan tetap

menjadi isu yang merugikan bagi pengelolaan hutan selanjutnya.

V. PENUTUP

Pengelolaan hutan di Papua yang telah berlangsung selama ini berperan

dalam peningkatan perekonomian bagi pemerintah dan masyarakat. Kontribusi

terhadap penerimaan PAD melalui PSDH dan DR tergantung dari produksi kayu

yang dihasilkan oleh IUPHHK. Namun dalam implementasinya, dana tersebut

tidak digunakan seluruhnya untuk pembangunan sektor kehutanan. Selain itu

kontribusi pengelolaan hutan terhadap perekonomian daerah yang tidak dapat

dihitung dengan bentuk dana adalah pembukaan daerah terisolir dalam bentuk

jaringan jalan yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan

masyarakat.

Kompensasi hak ulayat atas pengelolaan sumber daya hutan yang harus

dibayarkan oleh pemegang HPH/IUPHHK kepada pemilik ulayat seyogyanya

dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar hutan sebagai pemilik hak

ulayat. Namun kenyataaannya hanya memberikan manfaat sesaat dan tidak

untuk selanjutnya. Untuk itu perlu adanya peran pemerintah daerah dalam

membina masyarakat sekitar hutan, khususnya dalam bentuk aturan dan

kebijakan tetang pemanfaatan kompensasi hak ulayat. Akankah kompensasi

hanya akan menjadi sekedar pelepas dahaga sesaat bagi masyarakat sekitar

hutan yang notabene kaya potensi sumberdaya hutan? Jangan menjadikan

slogan HPH/IUPHHK pergi atau kompensasi habis, masyarakat pemilik hak ulayat

gigit jari.

Page 28: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

10 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

DAFTAR PUSTAKA

Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XVII. 2010. Statistik Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVII Jayapura. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVII Jayapura.

Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XVIII. 2012. Statistik Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVIII Manokwari. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVIII Manokwari.

Irma Yeni, 2006. Kajian Pola-Pola Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Papua. Laporan Kegiatan. BPK-Papua dan Maluku, Manokwari. (Tidak diterbitkan)

Pawitno 2003. Kontribusi Subsektor Kehutanan terhadap Pendapatan Daerah di Papua. [skripsi]. Manokwari : Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua Manokwari.

Page 29: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 11

PEMANFAATAN KAYU PAPUA KURANG DIKENAL MELALUI PENDEKATAN SIFAT DASAR KAYU

Freddy Jontara Hutapea1) dan Marinus Rumawak1)

1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia

RINGKASAN

Kayu merupakan sumber daya alam yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Kebutuhan akan kayu cenderung semakin meningkat dan menyebabkan ketersediaan kayu yang selama ini telah dikenal luas dalam dunia perdagangan semakin berkurang. Solusi yang ditawarkan untuk menjawab persoalan ini adalah melalui pemanfaatan kayu yang kurang dikenal. Papua dengan luasan hutan dan keanekaragaman yang sangat tinggi memiliki peluang yang cukup tinggi untuk menyediakan kayu tersebut. Persoalan lain yang timbul adalah minimnya data dan informasi mengenai sifat dasar kayu kurang dikenal tersebut. Oleh karena itu, penelitian terhadap sifat dasar jenis kayu kurang dikenal mutlak sangat dibutuhkan. Hasil pengujian terhadap sifat dasar empat jenis kayu Papua, menunjukkan bahwa Litsea ledermannii dapat digunakan sebagai bahan baku untuk konstruksi sedang, kayu lapis, papan, dinding, rangka pintu dan jendela, alat olahraga, serta moulding. Diospyros pilosanthera dapat digunakan sebagai bahan baku meubel, patung ukiran, kerajinan tangan serta vinir mewah. Tetrameles nudiflora dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan panel kayu dan kerajinan, dan juga sebagai bahan baku pulp. Rhus taitensis dapat digunakan sebagai bahan baku untuk konstruksi ringan, pertukangan, kayu lapis, dan juga sebagai bahan baku pulp.

Kata Kunci: Sifat dasar, kayu kurang dikenal, Litsea ledermannii, Diospyros

pilosanthera, Litsea ledermannii, Rhus taitensis.

I. PENDAHULUAN

Kayu merupakan sumber daya alam yang memegang peranan penting

dalam kehidupan manusia. Di Indonesia terdapat sekitar 4.000 jenis kayu, dan

400 jenis diantaranya merupakan jenis yang telah dimanfaatkan (Anonim, 1952

dalam Sihati dkk, 2004), dan 260 jenis diantaranya telah ditetapkan sebagai kayu

perdagangan (Wikipedia, 2013).

Selama ini penggunaan kayu lebih cenderung kepada jenis komersil dan

kebutuhan akan kayu tersebut terus meningkat setiap tahunnya dimana saat ini

mencapai ± 50 juta m3/tahun (Suara Rakyat, 2013), sehingga menyebabkan

terjadinya eksploitasi yang berlebihan yang tidak diimbangi dengan permudaan.

Saat ini hutan sudah tidak mampu lagi menyuplai kebutuhan kayu tersebut.

Salah satu solusi yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan ini

adalah dengan pemanfaatan jenis kayu yang kurang dikenal (lesser known

Page 30: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

12 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

species). Papua dengan luasan hutan mencapai ± 30 juta hektar (Greenpeace

Indonesia, 2011) dan dengan kekayaan tumbuhan berkayu tingkat pohon yang

tinggi (2.323 spesies) (Whitemore, Tantra, dan Sutisna, 1997 dalam Lekitoo,

2012) diharapkan dapat menjadi salah satu wilayah yang dapat menjawab

tantangan tersebut.

Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan jenis yang kurang dikenal ini,

terutama jenis kayu yang berasal dari Papua adalah minimnya informasi

mengenai sifat dasar dari kayu-kayu tersebut, sehingga pemanfaatannya sering

tidak optimal karena sering dicampurkannya jenis kayu yang mempunyai kualitas

rendah dengan kayu yang mempunyai kualitas baik dalam berbagai tujuan

(Muslich dkk, 2011). Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu usaha terlebih

dahulu untuk mengumpulkan dan meneliti sifat dasar dari berbagai jenis kayu di

Papua sebelum dimanfaatkan.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pentingnya

sifat dasar dalam upaya optimalisasi kayu-kayu yang selama ini kurang dikenal

dalam dunia perdagangan.

II. SIFAT DASAR KAYU

Sifat dasar kayu memegang peranan yang cukup penting dalam kegiatan

optimalisasi jenis kayu yang selama ini belum termanfaatkan. Frank Lloyd Wright

pernah mengatakan bahwa kita bisa memanfaatkan kayu secara bijaksana

apabila kita mengerti tentang kayu.

Kayu memiliki beberapa sifat sekaligus yang tidak dapat ditiru oleh bahan-

bahan lain (Dumanauw, 1990). Setiap jenis pohon memiliki sifat yang berbeda-

beda, oleh sebab itu jenis kayu yang dihasilkan juga memiliki sifat yang berbeda

pula (Pandit dan Ramdan, 2002). Perbedaan ini dapat terjadi antar jenis pohon

atau dalam jenis yang sama dan bahkan dapat terjadi perbedaan sifat dalam

satu batang pohon yang sama (Pandit dan Ramdan, 2002).

Sifat yang dimaksud adalah sifat yang berhubungan dengan sifat anatomi,

sifat fisik, sifat mekanik dan sifat kimia (Dumanauw, 1990). Dalam

perkembangannya, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan

dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) Badan Litbang Kehutanan Kementerian

Kehutanan melalui Rencana Penelitian Integratif (RPI) 2010-2014, sifat dasar

yang diteliti berkembang dan mencakup berbagai sifat seperti: sifat Anatomi,

sifat fisis dan mekanis, sifat pengerjaan dan pemesinan, sifat keawetan kayu

Page 31: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 13

(terhadap rayap tanah, rayap kayu kering, jamur, dan marine borer), sifat

keterawetan kayu, sifat pengkaratan kayu, sifat kimia dan nilai kalor, sifat

pengolahan untuk pulp dan kertas, dan sifat venir dan kayu lapis.

Imam wahyudi dalam diskusi litbang anatomi kayu Indonesia di Bogor

pada tanggal 3-4 Juni 2013 mengatakan bahwa beberapa persyaratan bahan

baku kayu untuk tujuan penggunaan tertentu adalah sebagai berikut:

a. Kayu untuk pertukangan adalah kayu yang mampu memikul beban

(struktural); secara umum diperlukan kayu dengan BJ yang cukup tinggi

(>0,70); memiliki keawetan alami yang baik (kelas awet II); berserat lurus;

corak, warna, dan tekstur tidak menjadi pertimbangan. Sortimen gergajian

dengan BJ lebih rendah ditujukan untuk penggunaan lain yang tidak

mementingkan kekuatan. Jenis kayu yang biasa digunakan adalah keruing,

kapur (kamper), bangkirai, ulin, merbau, meranti batu, puspa, rasamala,

pasang, nyatoh, medang, sengon, dan lain sebagainya.

b. Kayu untuk bahan baku kayu lapis dan kayu lamina membutuhkan kayu yang

mudah dikupas atau disayat untuk dijadikan vinir; pada umumnya kayu

dengan BJ 0,50-0,75 lebih disukai; memiliki kelas awet yang cukup awet

(awet III); bentuk batang yang silindris hingga sedikit taper; tidak memiliki

banyak mata kayu dan bagian kayu reaksi; berserat lurus dan memiliki

kerekatan yang baik (tidak berminyak). Kayu-kayu yang memiliki mutu yang

lebih rendah( banyak mata kayu, batang taper, bengkok, dan lain sebagainya)

dapat dijadikan sebagai bahan baku papan partikel. Jenis-jenis kayu yang

biasa digunakan adalah berbagai jenis meranti (Shorea spp), kapur (kamper),

medang, merbau, terentang, sengon, jabon, dan lain sebagainya.

c. Kayu untuk bahan baku pulp dan kertas adalah kayu-kayu yang berserat

panjang, nilai bilangan runklenya rendah (< 0,25), berkadar lignin rendah,

ekstraktif rendah, tapi memiliki kandungan serat yang cukup (BJ 0,55-0,65

lebih disukai). Beberapa jenis kayu yang biasa digunakan adalah pinus,

agathis, jamuju, mangium, sengon, bakau, gmelina, perupuk, dan kayu-kayu

lain yang berwarna terang.

d. Kayu untuk bahan baku meubel dan furniture adalah kayu yang memiliki corak

menarik (dekoratif); bertekstur sedang-halus; kekuatan dan kekerasannya

sedang (BJ 0,55-0,75 lebih disukai); keawetan alami yang cukup tinggi (kelas

awet II-III); sifat keterakatan dan finishing-nya baik (tidak banyak

mengandung minyak) dan stabil. Jenis-jenis kayu yang biasa digunakan

Page 32: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

14 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

adalah: jati, mahoni, pasang, ramin, merbau, karet, sungkai, mindi, suren,

saninten, agathis, dan lain sebagainya.

e. Kayu untuk bahan baku patung atau barang kerajinan adalah kayu yang

memiliki corak yang menarik (dekoratif); bertekstur sangat halus-halus; awet

(kelas awet II lebih disukai); kekuatan dan kekerasannya sedang (BJ 0,55-

0,75) dan stabil. Persyaratan kayu sebagai bahan baku patung dan barang

kerajinan adalah sama dengan persyaratan kayu untuk meubel dan furniture.

Jenis-jenis kayu yang biasa digunakan adalah jati, mahoni, eboni, suren,

sonokeling, sonokembang, pulai, jelutung, ramin, dan lain sebagainya.

f. Kayu untuk sumber energi termasuk kayu bakar adalah kayu-kayu yang

memiliki heating value yang tinggi seperti lamtoro dan kaliandra, dan lain

sebagainya.

III. SIFAT DASAR BEBERAPA KAYU PAPUA

1. Litsea ledermannii Teschner.

Kayu ini memiliki kayu teras yang berwarna coklat muda kekuningan dan

kayu gubal berwarna putih jerami, dengan corak polos kadang pada bidang

tangensial beralur bergantian warna gelap dan muda. Kayu ini memiliki tekstur

yang agak agak halus dan merata, arah serat yang lurus hingga berpadu,

permukaan kayunya mengkilap, kesan rabanya licin, dengan tingkat kekerasan

yang agak keras. Kayu ini tidak memiliki bau yang khas. Kayu ini memiliki lingkar

tumbuh yang tidak jelas, dengan pembuluh baur, dengan diameter pembuluh

100-200 mikron, dan ditemukan adanya sel minyak yang bergabung dengan jari-

jari dan parenkim aksial (Rulliaty dkk, 2010).

L. ledermannii merupakan kayu ringan (Dumanauw, 1990) dengan berat

jenis 0,50 (0,45-0,58), dan kelas kuat III-IV (Oey, 1990). Kayu ini memiliki kelas

awet V terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) dan rayap

kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light), dan kelas awet IV untuk

penggerek laut. Sifat pemesinan kayu ini berada pada kelas II untuk

pengetaman, pembentukan, dan pengampelasan, sedangkan pemboran dan

pembubutan tergolong kelas III. Sifat keterawetan kayu ini termasuk dalam

kriteria sedang dengan tingkat penetrasi yang mencapai 83% dan retensi bahan

pengawet sebesar 6,75 Kg/m3. Analisis sifat kimia menunjukkan bahwa kayu ini

memiliki kadar holoselulosa sebesar 52,67%, pentosan 17,71%, lignin 28,73%,

Page 33: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 15

kadar air 11,96%, silika 0,138%, dan abu 1,43%. Kadar zat ekstraktif terlarut

dalam air dingin 6,19%, dalam air panas 7,78%, dalam NaOH 1% 24,70%, dan

alkohol benzene 6,22% (Rulliaty dkk, 2010).

2. Diospyros pilosanthera Blanco.

Kayu ini memiliki kayu teras yang berwarna hitam keunguan yang mudah

dibedakan dengan kayu gubalnya dengan tebal 10-15 cm dan berwarna merah

muda agak kecoklatan. Kayu ini memiliki corak yang sedikit beralur pada bidang

tangensial karena perbedaan warna kayu teras dan kayu gubal, tekstur yang

halus dan merata, dengan arah serat yang berpadu, agak mengkilap, licin, keras,

dan tidak memiliki bau khusus. Kayu ini memiliki lingkar tumbuh yang tidak jelas,

dengan pembuluh semi tata lingkar yang terkadang tidak jelas dan nampak baur,

diameter pembuluh sekitar 50-100 mikron. Kayu ini memiliki saluran interseluler

traumatik (Rulliaty dkk, 2011).

D. pilosanthera merupakan kayu berat (Dumanauw,1990) dengan berat

jenis 0,85, dan kelas kuat II (Oey, 1990). Kayu ini memiliki kelas awet I terhadap

rayap tanah C. Curvignathus, rayap kayu kering C. Cynocephalus, dan penggerek

laut. Qualitas pemesinan kayu ini yang meliputi pengetaman, pembentukan,

pengampelasan, pemboran, dan pembubutan tergolong sangat baik (kelas I).

Sifat keterawetan kayu ini tergolong kayu yang susah untuk diawetkan (penetrasi

55%, dan retensi 3,7 Kg/m3. Analisis sifat kimia menunjukkan bahwa kayu ini

memiliki kadar holoselulosa sekitar 53,57%, lignin 32,53%, pentosan 16,08%,

kadar air 11,32%, kadar silika 0,207% dan abu 0,55%. Kadar zat ekstraktif

terlarut dalam air dingin 2,13%, dalam air panas 5,51%, dalam NaOH 1%

16,12%, dan dalam alkohol benzene 3,62% (Rulliaty dkk, 2011).

3. Tetrameles nudiflora R. Br

Kayu ini memiliki warna putih krem (kuning muda) dimana perbedaan

antara kayu gubal dan kayu teras tidak jelas, lingkaran tahun tidak jelas, dengan

tekstur yang agak kasar, dan tingkat kekerasan yang agak lunak, arah serat yang

lurus, dan kayu agak kusam. Kayu ini memiliki lingkar tumbuh yang tidak jelas,

dengan pembuluh baur, soliter, dan berganda radial. Panjang rata-rata serat

1600 mikron, diameter 42,50 mikron, dan tebal dinding 7,64 mikron (Hutapea

dkk, 2012).

T. nudiflora merupakan kayu ringan (Dumanauw, 1990) dengan berat

jenis 0,28 dan kelas kuat V. Kayu ini memiliki kelas awet V terhadap rayap tanah

Page 34: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

16 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

C. curvignathus dan kelas awet IV terhadap rayap kayu kering C. Cynocephalus

dan binatang laut. Sifat pemesinan kayu ini yang meliputi pengetaman,

pembentukan, pemboran, dan pembubutan berada pada kelas III sedangkan

pengampelasan berada pada kelas II. Kayu ini merupakan kayu yang mudah

untuk diawetkan (penetrasi 100%, retensi 18,16 Kg/m3). Analisis sifat kimia

menunjukkan bahwa kayu ini memiliki kadar selulosa 54,05%, lignin 29,36%,

pentosan 12,15%, kadar abu 1,78%, silika 0,080%, kelarutan dalam air dingin

1,73%, dalam air panas 4,15%, dalam NaOH 1% 11,21%, dalam alkohol

benzene 5,87% (Hutapea dkk, 2012).

4. Rhus taitensis Guill

Kayu ini memiliki warna yang coklat kemerahan dimana perbedaan antara

kayu gubal dan kayu terasnya jelas, dengan tekstur yang agak kasar, permukaan

kayu agak mengkilap, kayunya agak keras dan memiliki serat yang

bergelombang. Kayu ini memiliki lingkar tumbuh yang jelas, dengan pembuluh

baur, soliter. Panjang rata-rata serat 1.440 mikron, diameter 26,45 mikron, tebal

dinding 6,78 mikron, dan ditemukan adanya Kristal prismatik dalam parenkim

aksial berbilik (Hutapea dkk, 2012).

R. taitensis merupakan kayu yang tergolong agak berat (Dumanauw,

1990) dengan berat jenis 0,67 dan kelas kuat III (Oey, 1990). Kayu ini memiliki

kelas awet IV terhadap rayap tanah C. curvignathus dan binatang laut dan kelas

awet II terhadap rayap kayu kering C. cynocephalus. Sifat pemesinan kayu ini

yang meliputi pengetaman, pembentukan, pengampelasan, pemboran, dan

pembubutan berada pada kelas II. Kayu ini memiliki keleas keterawetan yang

sedang (penetrasi 70,9%, retensi 4,28 Kg/m3). Analisis sifat kimia menunjukkan

bahwa kayu ini memiliki kadar selulosa 50,03%, lignin 22,44%, pentosan

16,27%, kadar abu 0,83%, kadar silika 0,221%, kelarutan dalam air dingin

5,65%, dalam air panas 7,12%, dalam NaOH 1% 21,37%, dan dalam alkohol

benzene 6,01 % (Hutapea dkk, 2012).

Page 35: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 17

IV. REKOMENDASI PEMANFAATAN KAYU

Berdasarkan tinjauan terhadap beberapa sifat dasar kayu penting yang

diperoleh dari pengujian terhadap kayu-kayu diatas, maka rekomendasi terhadap

penggunaan kayu-kayu tersebut adalah sebagai berikut:

1. L. ledermannii dapat digunakan untuk konstruksi sedang, kayu lapis, papan

dinding, rangka pintu dan jendela, alat olahraga, serta moulding (Rulliaty

dkk, 2011).

2. D. pilosanthera dapat digunakan untuk meubel, patung ukiran, kerajinan

tangan serta vinir mewah (Rulliaty dkk, 2011).

3. T. nudiflora dapat digunakan sebagai bahan pembuatan panel kayu dan

kerajinan, dan juga sebagai bahan baku pulp (Hutapea dkk, 2012).

4. R. taitensis dapat digunakan sebagai bahan konstruksi yang tidak terlalu

berat, bahan baku kayu lapis, pertukangan, dan bahan baku pulp (Hutapea

dkk, 2012).

V. KESIMPULAN

Papua memliki potensi yang sangat besar dalam hal penyediaan kayu

karena Papua memiliki keragaman jenis yang sangat tinggi. Sifat dasar kayu

memiliki peran yang sangat besar dalam rangka pemanfaatan kayu ke arah yang

lebih optimal, sesuai dengan sifat yang dimilikinya. Dari tinjauan terhadap sifat

dasarnya, keempat jenis kayu dapat digunakan untuk berbagai tujuan tertentu

seperti konstruksi ringan, bahan baku meubel dan kerajinan, alat olahraga, dan

lain-lain. Penelitian pengembangan terhadap jenis-jenis kayu ini tidak menutup

kemungkinan akan menambah manfaat kayu ini.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan banyak terimakasih terhadap Pusat Penelitian dan

Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah)

Bogor, Drs. Moch. Muslich, M.Sc, Dra. Sri Rulliaty, M.Sc, Andianto, Nurwati

Hadjib, Abdurrachman, Eliazer Ergor (Alm), Balai Penelitian Kehutanan

Manokwari yang mendanai kegiatan penelitian ini, dan juga kepada segenap

teknisi/laboran, dan juga peneliti/pakar yang banyak memberi masukan dalam

menyelesaikan kegiatan penelitian sifat dasar kayu Papua ini.

Page 36: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

18 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

DAFTAR PUSTAKA

Dumanauw, J. F. 1990. Mengenal Kayu. Kanisius. Semarang.

Greenpeace Indonesia. 2011. Hutan Surga Papua yang Semakin Terancam. http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-surga-papua-yang-semakin-terancam/blog/36462/. Diakses tanggal 10 September 2013.

Hutapea, F.J.,M. Rumawak, dan E. Ergor. 2012. Sifat Dasar Dua Jenis Kayu Papua. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Tidak diterbitkan.

Lekitoo, K. 2012. Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora di Tanah Papua. Prosiding Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian tanggal 23-24 Oktober 2012 di Manado. Hlm 155-178. Balai Penelitian Kehutanan Manado.

Muslich, M., N. Hadjib, dan S. Rulliaty. 2011. Manfaat Pohon Ki Kendal (Ehretia acuminatissima R. Br). Buletin Hasil Hutan 17(1): 1-7. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

Oey, D.S. 1990. Berat Jenis Dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia Dan Pengertian Beratnya Kayu Untuk Keperluan Praktek. Pengumuman. Nr.13. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Pandit, I.K.N. dan H. Ramdan. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu Sebagai Bahan Baku. Yayasan Penerbit. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rulliaty, S. dkk. 2011. Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Papua. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan.

Sihati, S., Djarwanto. & Hudiansyah. 2004. Ketahanan Lima Jenis Kayu Terhadap Beberapa Jamur Perusak Kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22(4): 239-246.

Suara Rakyat. 2013. Hutan dan Pembangunan Peradaban. http://www.suratrakyat.com/article/F0B7q7tGw3KI____hutan-dan-pembangunan-peradaban. Diakses tanggal 10 September 2013.

Wikipedia. 2013. Daftar Kayu di Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kayu_di_Indonesia. Diakses tanggal 10 September 2013.

Page 37: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 19

PERTUMBUHAN SAGU (Metroxylon Spp) DI DEMPLOT KOYANI-MANOKWARI

Batseba A. Suripatty1)

1) Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia

Ringkasan

Budidaya yang meliputi pemilihan, pengambilan dan persiapan anakan, penanaman dan pemeliharaan serta panen sangat penting dalam menjamin kesinambungan bahan baku khususnya industri pengolahan sagu untuk biofuel. Pengembangan sagu berskala industri sebaiknya tanpa merugikan masyarakat di sekitar hutan yang memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan. Pembudidaya sagu yang baik memberikan jaminan keberhasilan tanaman sagu sebagai pemasok bahan baku industri pengolahan sagu. Dengan demikian kebutuhan tepung sagu baik kuantitas maupun kualitasnya dimasa yang akan datang tidak mengandalkan dari tegakan alam. Tujuan penelitian adalah mendapatkan teknik budidaya beberapa varietas sagu dari beberapaa lokasi untuk cadangan bahan baku biofuel. Penelitian dilakukan bulan Juli 2013 di SP 6, Prafi Distrik Masni Kabupaten Manokwari. Jumlah pelepah anakan sagu (Metroxylon sp) yang paling tinggi adalah jenis sagu sub spesies Antar 8, Noiin. Tinggi anakan sagu (Metroxylon sp) yang sangat tinggi adalah jenis Makbon dan Hawar adalah 172 cm. Keliling anakan sagu (Metroxylon sp) keliling yang sangat tinggi adalah sub spesies Hawar adalah 51 cm.

Kata kunci : Demplot, Metroxylon spp, potensial, biofuel

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sagu (Metroxylon spp) yang tumbuh di tempat berawa dapat mencapai

tinggi rata-rata 12,5 meter (Herman, 1984), demikian juga hasil tepung basah

(kg /batang) untuk setiap jenis sagu cukup pada beberapa provinsi bervariasi

dari 300 kg/batang – 700 kg/batang (Soekarto dan Wijandi, 1983).

Budidaya yang meliputi pemilihan, pengambilan dan persiapan anakan,

penanaman dan pemeliharaan serta panen sangat penting dalam menjamin

kesinambungan bahan baku khususnya industri pengolahan sagu untuk biofuel.

Pengembangan sagu berskala industri sebaiknya tanpa merugikan masyarakat di

sekitar hutan yang memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan.

Pembudidaya sagu yang baik memberikan jaminan keberhasilan tanaman

sagu sebagai pemasok bahan baku industri pengolahan sagu. Dengan demikian

kebutuhan tepung sagu baik kuantitas maupun kualitasnya dimasa yang akan

datang tidak mengandalkan dari tegakan alam.

Page 38: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

20 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Budidaya sagu untuk tujuan peneyediaan bahan baku biofuel memerlukan

tindakan silvikultur yang tepat agar kuantitas dan kualitas tepung sagu untuk

biofuel dapat tercapai. Salah satu komponen utama dalam peningkatan kualitas

tepung sagu untuk biofuel adalah karbohidrat (KH), artinya tindakan silvikultur

dalam rangka meningkatkan kadar KH sagu melalui pemupukan dan

pemeliharaan pohon induk sangat diperlukan.

Sehubungan dengan itu, maka penelitian budidaya sagu melalui demplot

budidaya sagu merupakan langkah yang penting untuk meningkatkan

produktivitas kawasan hutan sagu di Papua dan Papua Barat.

B. Tujuan

Tujuan penelitian adalah mendapatkan pertumbuhan beberapa varietas

sagu untuk cadangan bahan baku biofuel.

II. METODOLOGI

a. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian dilakukan bulan Juli 2013 di Satuan Pemukiman (SP) 6

Koyani Distrik Masni Kabupaten Manokwari. Pengukuran dilakukan terhadap

tanaman sagu yang berumur 4 tahun.

b. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah tanaman sagu sub spesies Antar, Hawar,

Noiin, Huwor, Makbom, dan di Yeriran (menggunakan bahasa daerah

Sereweng). Alat yang digunakan mistar ukur, kaliper dan alat tulis.

c. Prosedur Penelitian

Tanaman sagu yang ada yaitu sub spesies Antar, Hawar, Noiin, Huwor,

Makbom, dan di Yeriran berumur 3 tahun 7 bulan, yang ditanam secara jalur

dengan jarak tanam adalah 8 m x 8 m. Pengukuran sagu sub spesies Antar,

Hawar, Noiin, Huwor, Makbom, dan di Yeriran yaitu dengan mengukur tinggi,

diameter jumlah pelepah masing-masing sagu sub spesies, data tersebut di

susun secara tabulasi kemudian dirata-ratakan.

d. Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), sagu sub

spesies terdiri dari 6 sub spesies terdiri dari 4 jalur, setiap jalur terdiri dari 10

tanaman, jalur pengamatan merupakan ulangan sehinga dibutuhkan 240

anakan.

Page 39: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 21

e. Analisa Data

Analisis data menggunakan Analisis Ragam (ANOVA). Untuk mengetahui

pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan Uji BNJ. Variabel yang diukur adalah

pertambahan tinggi, diameter dan jumlah pelepah yang disusun secara tabulasi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Hasil

1. Tinggi

Tinggi rata-rata sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor,

Makbom dan Yeriran. berdasarkan jenis seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Tinggi sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor,

Makbom dan Yeriran

Dari Gambar 1 diatas nampak bahwa tinggi anakan sagu sub spesies

yang sangat tinggi berturut-turut adalah jenis Antar adalah 6.5 m, Hawar dan

Huwor masing-masing adalah 5,5 m, Noiin dan Makbom masing-masing adalah

4 m, Yeriran adalah 5 m.

2. Diameter

Diameter rata-rata sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor,

Makbom dan Yeriran seperti pada Gambar 2.

6.5

5.5

4

5.5

4

5

0

1

2

3

4

5

6

7

Antar Hawar Noiin Huwor Makbom Yeriran

Tinggi

Page 40: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

22 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Gambar 2. Diameter sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor,

Makbom dan Yeriran

Sagu sub spesies sangat tinggi berturut-turut adalah sagu sub spesies

jenis Antar adalah 60 cm, Hawar dan Huwor masing-masing adalah 55 cm,

Noiin 45 cm, Makbom adalah 44 cm dan Yeriran adalah 47 cm.

3. Jumlah Pelepah

Jumlah pelepah rata-rata sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin,

Huwor, Makbom dan Yeriran seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Jumlah pelepah sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor,

Makbom dan Yeriran (Metroxylon spp).

Dari Gambar 3 diatas nampak bahwa sagu sub spesies yang jumlah

pelepah paling tinggi berturut-turut adalah sagu sub spesies jenis Antar adalah

19, Hawar dan Huwor masing-masing adalah 12, Noiin adalah dan Makbom

masing-masing adalah 11, dan Yeriran adalah 14 .

60 55

45 55

44 47

0

20

40

60

80

Antar Hawar Noiin Huwor Makbom Yeriran

Diameter

19 12

12 11 11

14

0

5

10

15

20

Antar Hawar Huwor Noiin Makbom Yeriran

Jumlah Pelepah

Page 41: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 23

b. Pembahasan

Dari hasil secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa sagu sub spesies

yang ditanam berumur 3 tahun 7 bulan memberikan hasil rata-rata yaitu untuk

pertumbuhan tinggi sagu sub spesies terlihat bahwa jenis Antar lebih tinggi yaitu

6,5 m, dari sub spesies Hawar dan Huwor masing-masing adalah 5,5 m, Yeriran

5 m dan Noiin dan Makbom adalah 4 m. Hasil pertumbuhan diameter sagu sub

spesies terlihat bahwa jenis Antar adalah 60 cm, Hawar dan Huwor adalah

masing-masing adalah 55 cm, lebih tinggi dari sagu sub spesies Noiin 45 cm,

Makbom 44 cm dan Yeriran 47 cm. Sedangkan untuk pertumbuhan jumlah

pelepah sagu sub spesies terlihat bahwa jenis Antar lebih tinggi yaitu 6,5 m, dari

sub spesies Hawar dan Huwor masing-masing adalah 5,5 m, Yeriran 5 m dan

Noiin dan Makbom adalah 4 m.

Variabel pengamatan seperti tinggi, diameter dan jumlah pelepah untuk

masing-masing sagu sub spesies masih cukup tinggi namun hasilnya juga

berbeda. Variabel tinggi masih memberikan hasil yang lebih besar dari diameter

untuk semua jenis sagu sub spesies yang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat

Baker (1950) bahwa pada awal pertumbuhan, pertambahan tinggi lebih cepat

dari pada pertambahan diameter. Selain itu untuk umur semai, pancang dan

tiang pertumbuhan tinggi suatu jenis tanaman lebih cepat dari pada diameter.

Selain itu diameter batang tanaman ditentukan oleh sifat atau bentuk kerapatan

tegakan, sifat genetis, jarak antara tanaman, umur tanaman, pemeliharaan

lingkungan dan sistim pengelolaan.

Pertumbuhan tinggi dan diameter pohon tergantung pula pada faktor-

faktor seperti lokasi, unsur hara tanah, umur tanaman, kelembaban tanah,

intensitas cahaya, tajuk, dan sifat dari pohon itu sendiri serta kemampuan

melakukan fotosintesa. Hal ini diduga karena, anakan yang digunakan sudah

siap untuk dipindahkan kelapangan dan pada saat penanaman terjadi musim

hujan sehingga ketersediaan air tanah yang ada sangat mendukung

pertumbuhan sagu untuk dapat bertahan hidup. Selain itu jenis tanah yang ada

pada lokasi penanaman termasuk lembab sampai berawa sehingga pada saat

musim hujan tanah tergenang air. Hal lain juga yang mendukung pertumbuhan

sagu tersebut dapat tumbuh juga dengan baik karena lokasi penanaman dalam

keadaan terbuka, sehingga proses fotosintesa dapat berjalan dengan baik. Hal

Page 42: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

24 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

lain juga yang mendukung pertumbuhan sagu dengan baik adalah cara

penanaman yang benar jadi bibit sudah siap baru dipindahkan ke lapangan.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

a. Kesimpulan

Pertumbuhan sagu sub spesies Antar pada demplot yang ada memberikan

hasil pertumbuhan yang sangat tinggi untuk tingggi, diameter dan jumlah

pelepah, karena pemeliharaan yang secara rutin dan memberikan ruang tumbuh

untuk tanaman sagu (Metroxylon sp) tersebut.

b. Rekomendasi

Perlu pemeliharaan yang rutin sehingga tidak memberikan pertumbuhan

kepada gulma yang akan tumbuh mengganggu tanaman sagu sub spesies Antar,

Hawar, Noiin, Huwor, Makbom dan Yeriran yang ada di demplot .

DAFTAR PUSTAKA

Baker, F. S. 1950. Principles of Silvikulture, Mc Graw Hill Book Company Inc., NeW York.

Herman, D. 1984. Mengenal lebih dekat sagu sebagai sumber bahan pangan. Majalah kehutanan Indonesia No.2.

Herlina E., Rumbino A. Dan Manusawai J. (2001). Teknik Pembibitan dan Penanaman Sagu (Metroxylon sagu) Oleh Penduduk Air Besar dan Desa Kanantare kecamatan Fak-fak Kabupaten fak-fak. Fakultas Kehutanan. UNIPA, Manokwari

Snedecor, G. W. Dan G.W. Cochran. 1983. Statistical methods Oxford dan IBH Publishing Co., Calcuta Bombay, New delhi

Soekarto, S. T dan S. Wijandi. 1983. Prospek Pengembangan Sagu sebagai Sumber Pangan di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Rostiwati T., N. Mindawati, M. Suharti dan Pratiwi. 1989. Teknik Penanaman Sagu. Puslitbang Bogor.

Page 43: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 25

STATUS PEMANFATAN DAN PENGELOLAAN LABI-LABI MONCONG BABI DI PAPUA

Richard Gatot Nugroho Triantoro1), Yohannes Wibisono1), Titiek Setyawati2), Mirza Dikari Kusrini3), Lilik Budi Prasetyo3)

1)Balai Penelitian Kehutanan ManokwariJl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia

Email : [email protected]

2)Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Konservasi Alam

Jl. Gunung Batu, Bogor, Indonesia

3)Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata Fakultas Kehutanan,

Institut Pertanian Bogor Jl. Raya Darmaga, Bogor, Indonesia

PENDAHULUAN

Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) merupakan salah satu

jenis kura-kura air tawar yang sebarannya di Indonesia hanya mencakup wilayah

Papua bagian Selatan. Bentuk hidungnya yang menyerupai hidung babi

menjadikan satwa ini mempunyai keunikan tersendiri. Di Indonesia, jenis labi-

labi moncong babi dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.

327/Kpts/Um/5/1978, dikuatkan pula oleh PP No. 7 Tahun 1999 (Noerdjito dan

Maryanto, 2001), dan belum diberikan kuota pemanfaatan walau masuk dalam

Apendiks 2 CITES (Dirjen PHKA, 2007, 2008; Kemenhut, 2010, 2011, 2012).

Sebagai satwa dengan keunikan tersendiri, permintaan untuk pasar

perdagangan sangat tinggi karena nilai ekonominya cukup tinggi. Selain

dipasarkan sebagai hewan peliharaan (pet), daging labi-labi juga dikonsumsi dan

digunakan sebagai obat serta bahan kosmetik. Dampak tingginya permintaan

pasar perdagangan dan tanpa didukung oleh upaya pengembangbiakan melalui

penangkaran, mengakibatkan eksploitasi labi-labi moncong babi dari alam terus

terjadi tanpa mempertimbangkan lagi status perlindungan, proses pemanenan,

dan intensitas pemanenan. Pemanenan labi-labi moncong babi dari alam untuk

konsumsi perdagangan terus terjadi setiap tahun di musim peneluran, dan

perdagangan ilegalnya juga ditemui pada tempat penjualan satwa di dalam dan

luar negeri seperti di Jakarta (Shepherd dan Nijman, 2007; Daniel, 2011) dan

Singapura (Goh dan O‟Riordan, 2007).

Pemanenan dan perdagangan ilegal memberikan tekanan dan ancaman

terhadap populasi labi-labi moncong babi di alam. Tekanan dan ancaman

Page 44: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

26 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

menjadi lebih kompleks dengan adanya pemekaran wilayah. Khususnya di Papua

Barat (Indonesia) dan Papua New Guinea, tekanan pada labi-labi moncong babi

telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena pertumbuhan

populasi manusia, kecenderungan yang lebih besar bagi pembangunan desa-

desa di tepi sungai setelah penghentian perang suku dan pengenalan teknologi

baru (Alvarenga, 2010).

Upaya melindungi satwa warisan dunia ini dari kepunahan, harus

dilakukan dengan cepat dengan mengedepankan peran masyarakat lokal di

sekitarnya sebagai mitra. Pemanenan telur dan induk sebagai dampak ikutannya

yang dilakukan intensif dalam beberapa tahun terakhir, dapat menyebabkan

penurunan populasi yang apabila tidak diantisipasi berujung pada kepunahan

jenis di alam. Oleh karenanya perlu dilakukan pengelolaan yang dapat

mengakomodir berbagai pihak agar fungsi perlindungan, pengawetan, dan

pemanfaatan dapat berjalan bersama, dan menghindari terjadinya konflik.

STATUS PEMANFAATAN

Kabupaten Asmat merupakan pemekaran kabupaten dari Kabupaten

Merauke di Papua bagian Selatan. Populasi labi-labi moncong babi di wilayah ini

cukup baik yang indikatornya terlihat dari adanya pemanenan telur labi-labi

moncong babi (secara illegal) di musim peneluran secara berkesinambungan.

Setiap tahun telur labi-labi moncong babi di wilayah Asmat di eksploitasi dan

intensitas pemanenan semakin tinggi dalam 5 tahun terakhir ini. Hasil

pengamatan Triantoro (2012) menunjukkan bahwa intensitas pemanenan telur

sangat tinggi (100%), yakni seluruh sarang yang ditemui dibongkar dan seluruh

telur dalam sarang alami diambil. Total telur yang di panen dalam satu musim

peneluran (3-4 bulan/tahun) oleh para pengumpul sulit diperoleh karena adanya

keterbatasan dalam hal keterbukaan informasi. Pengambilan data langsung di

lapangan juga mengalami keterbatasan dalam hal lamanya waktu di lapangan,

tidak adanya pemukiman di sepanjang sungai, keterbatasan pendidikan pada

masyarakat lokal, dan aksesibilitas ke seluruh pasir peneluran. Terlepas dari

kendala yang dihadapi, jumlah telur yang diperoleh dari beberapa pengumpul di

setiap musim peneluran tergambar pada tabel 1 di bawah ini.

Page 45: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 27

Tabel 1. Total pemanenan telur labi-labi moncong babi dari beberapa pengumpul pada beberapa sungai di Kabupaten Asmat

Lokasi Tahun Panen

Jumlah Pengumpul

Jumlah Telur

Jumlah Sarang Lama pengumpulan

Sungai Vriendschap

2010 6 20.650 1.032 2 – 5 bulan 2 minggu

2011 5 26.550 1.327 2 – 4 bulan 2 minggu

2012 1 5.800 400 Minggu ke 3 Agustus s/d 10 November

Sungai Catarina

2011 2 5.300 265 2 – 5 bulan 1 minggu

2012 1 2.200 110 3 bulan 1 minggu

Sungai Jerep 2011 1 1.050 53 1 bulan

2012 1 320 16 s/d 15 November

Sebagai pembanding, jumlah sarang yang berhasil terdata tahun 2009

selama 1 bulan 4 hari sebanyak 14.400 butir telur dari 720 sarang (Triantoro dan

Rumawak, 2010) dan tahun 2011 selama 18 hari sebanyak 2.780 butir telur dari

132 sarang (Triantoro, 2012). Perbedaan antara hasil pendataan langsung

dengan hasil pemanenan telur oleh pengumpul, terlihat sangat jauh berbeda.

Perbedaan disebabkan oleh : 1) pengumpul mengumpulkan telur dalam rentang

musim peneluran (3 - 4 bulan), 2) pengumpul mendapat setoran dari

pengumpul lain, dan 3) pengumpul mempunyai ketersediaan sarana prasarana

untuk mengakses seluruh wilayah lokasi peneluran. Jumlah telur dan sarang

yang dapat dipanen setiap harinya di musim peneluran, disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kepadatan jumlah telur dan sarang harian dalam rentang waktu pemanenan di Sungai Vriendschap, Kabupaten Asmat

Pengumpul

Tahun 2010

Σ Hari Σ (telur/sarang)/hari

Σ telur 20650 164 125.9 (butir)

Σ sarang 1032 164 6.3 (sarang)

Tahun 2011

Σ telur 26550 134 198.1 (butir)

Σ sarang 1327 134 9.9 (sarang)

Tahun 2012

Σ telur 5800 54 107.4 (butir)

Σ sarang 400 54 7.4 (sarang)

Pendataan langsung

Tahun 2009

Σ telur 14400 34 423.5 (butir)

Σ sarang 720 34 21.2 (sarang)

Tahun 2011

Σ telur 2780 18 154.4 (butir)

Σ sarang 132 18 7.3 (sarang)

Kepadatan sarang harian terlihat cukup baik (Tabel 2) dengan

diperolehnya sarang setiap harinya. Hasil penelitian Triantoro (2012)

menemukan bahwa kepadatan sarang yakni 0,23/ha untuk setiap luasan pasir

tanpa adanya vegetasi, sedangkan pada pasir bervegetasi diperoleh kepadatan

Page 46: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

28 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

sarang 2,76/ha. Selanjutnya pada setiap 1 Km panjang pasir diperoleh

kepadatan sarang 0,75 sarang/Km pada pasir tanpa adanya vegetasi, sedangkan

pada pasir bervegetasi diperoleh kepadatan sarang sebesar 9 sarang/Km.

SEBARAN SARANG DAN NILAI EKONOMI LABI-LABI MONCONG BABI

Pola sebaran sarang labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap adalah

mengelompok (aggregate dispersion) dimana pemilihan habitat bersarang berada

pada pasir peneluran di wilayah adat Obokain (Triantoro, 2012). Sebaran

kelompok terjadi ketika individu cenderung tertarik ke (atau lebih mungkin

bertahan dalam) bagian tertentu dari lingkungan, atau ketika kehadiran satu

individu menarik atau memunculkan lainnya mendekat ke lingkungan tersebut

(Begon et al., 2006). Sarang yang berkelompok terjadi sebagai akibat dari

komunikasi sosial diantara induk betina yang melakukan aktifitas peneluran.

Keberhasilan induk sebelumnya dalam bersarang dapat menarik induk lainnya

untuk bersarang pula. Interaksi sosial diantara individu-individu mungkin

menjadi gambaran biasa dari kehidupan, terutama bagi individu yang hidup

dalam kelompok atau menduduki wilayah yang berbatasan atau dapat terjadi

sekali sehari, seminggu sekali, dan bahkan hanya setahun sekali selama musim

reproduksi pada kepadatan spesies rendah (Vitt dan Caldwell, 2009). Tingkah

laku bersarang labi-labi moncong babi yang bersifat mengelompok pada satu sisi

menjadi salah satu faktor penentu bagi peletakan dan keberhasilan persarangan,

sementara di sisi lain dapat memudahkan hilangnya sarang akibat pemanenan

oleh manusia dan rusaknya sarang akibat pemangsaan satwa lainnya seperti babi

hutan (Sus sp.) dan biawak (Varanus sp.). Pola sebaran sarang yang

mengelompok, secara tidak langsung turut memberikan kemudahan bagi

manusia untuk memanen telur-telur karena waktu yang dibutuhkan lebih cepat

dan biaya operasional lebih kecil.

Reptil besar sangat rentan terhadap pemusnahan oleh manusia karena

dapat digunakan sebagai makanan, memiliki kulit yang berharga, relatif mudah

untuk diburu, dan memiliki sejarah kehidupan yang membuat sulit masyarakat

untuk mempertahankan pemanenan terhadap satwa besar terus-menerus (Vitt

dan Caldwell, 2009). Intensitas pemanfaatan telur labi-labi moncong babi yang

sangat tinggi di Sungai Vriendschap menjadi ancaman tersendiri bagi pelestarian

populasinya di alam. Di Sungai Kikori (PNG), intensitas pemanfaatan yang

sangat tinggi menyebabkan penurunan kualitas telur dalam rentang tahun 2003

Page 47: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 29

– 2006 (Georges et al., 2008b) dan penurunan populasi secara substansial dalam

tiga dekade terakhir yang terindikasi dari kombinasi permintaan dan harga pasar,

tingkat pemanenan yang sangat tinggi oleh manusia, dan penurunan yang nyata

dalam ukuran induk betina yang dipanen (Eisemberg et al., 2011).

Nilai ekonomi yang dihasilkan dari perdagangan labi-labi moncong babi

sangat tinggi bagi masyarakat lokal belum mengenyam pendidikan. Dampaknya

adalah masyarakat belum berhenti melakukan pemanenan sebelum populasi di

alam habis atau permintaan pasar terhadap jenis ini menurun. Kemungkinan

kedua sulit untuk diharapkan karena permintaan pasar tidak pernah berhenti

sebelum sumberdaya habis, sementara melarang masyarakat lokal untuk tidak

melakukan pemanenan sumberdaya yang telah memberi mereka nilai ekonomi

secara langsung, hanya menciptakan konflik-konflik baru. Ketika sumberdaya

yang dieksploitasi mulai berkurang, harga ikut meningkat dan menciptakan

insentif besar untuk eksploitasi berlebihan, menyebabkan sumberdaya menjadi

langka dan bahkan punah (Indrawan et al., 2007). Gambaran nilai ekonomi yang

beredar di lokasi pemanenan dapat dilihat dari perhitungan sederhana jumlah

telur yang dapat dihasilkan dalam satu musim peneluran. Hasil penelitian selama

18 hari tahun 2012 (Triantoro, 2012), diperoleh jumlah sarang sebanyak 132

sarang, jumlah telur rata-rata tiap sarang adalah 20 butir, harga jual rata-rata

tukik di Vriendschap adalah Rp 17.500 dan harga jual rata-rata tukik di luar

Vriendschap adalah Rp 40.000. Dengan asumsi 1) setiap 18 hari (3 minggu)

jumlah sarang yang dipanen adalah tetap sebanyak 132 sarang, 2) puncak

musim peneluran selama 3 (tiga) bulan (12 minggu) antara September dan

November (jumlah 528 sarang), 3) dari 528 sarang diperoleh 10.560 butir telur,

dan 4) semua telur menetas menjadi tukik. Berdasarkan asumsi tersebut maka

nilai ekonomi yang beredar di wilayah Vriendschap sebanyak Rp 184.800.000 dan

di luar wilayah Vriendschap sebanyak 422.400.000. Nilai asumsi tersebut dapat

berubah sejalan dengan banyaknya telur atau sarang yang dapat di panen setiap

tahunnya, naiknya harga jual tukik dan keberhasilan tetas tukik.

PENGELOLAAN LABI-LABI MONCONG BABI DI SUNGAI VRIENDSCHAP

Habitat merupakan fungsi penting bagi satwa liar sebagai tempat

perlindungan, mencari makan, melakukan perkawinan, aktifitas bertelur dan

pergerakan dalam mendukung tumbuh dan berkembangnya populasi. Populasi

yang baik ditandai dengan stabilnya populasi di alam bahkan cenderung

Page 48: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

30 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

meningkat sampai batas kemampuan daya dukung habitatnya. Semakin tinggi

populasi semakin tinggi pula persaingan dalam memperoleh fungsi dari habitat

sehingga menimbulkan persaingan dalam satu jenis atau antar jenis. Untuk

mengatur keseimbangan habitat dan populasi satwa liar di alam, dibutuhkan

pengelolaan terhadap kawasan dengan baik. Sistem pengelolaan yang

terencana, tersusun dan termonitoring dengan baik dapat mendukung konservasi

satwa liar di alam. Pasal 5 Undang-undang (UU) No. 5 tahun 1990 menjelaskan

kegiatan konservasi dilakukan melalui kegiatan 1) perlindungan sistem

penyangga kehidupan, 2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa beserta ekosistemnya, dan 3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya

alam hayati dan ekosistemnya.

Kawasan Vriendschap adalah suatu wilayah yang terdiri dari Sungai

Vriendschap sebagai sungai utama serta alur-alur sungai dan rawa yang sangat

banyak. Panjang Sungai Vriendschap ± 110 km yang dimulai dari bagian hulu

(pertemuan dengan muara Sungai Baliem dan Sungai Seng) sampai ke bagian

hilir atau muara yang bertemu dengan muara Sungai Catarina. Aksesibilitas ke

wilayah Sungai Vriendschap cukup terbuka yang dapat dijangkau dari Kabupaten

Asmat dan Yahukimo, namun frekuensinya lebih tinggi dari Kabupaten Asmat.

Wilayah ini bukan merupakan kawasan konservasi tetapi didalamnya terdapat

beberapa jenis reptil yang mempunyai nilai ekonomi dan sebagai sumber

makanan bagi masyarakat lokal, diantaranya Buaya (Crocodilus cf

novaeguineae), Kura-kura Dada Merah (Emydura subglobosa), Labi-labi Irian

(Pelochelys bibroni) dan Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta)

(Triantoro dan Rumawak, 2010). Diantara keempat jenis tersebut, buaya dan

labi-labi moncong babi merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan peraturan

perundangan di Indonesia. Keduanya dilindungi berdasarkan SK Mentan No.

327/Kpts/Um/5/1978 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999

(Noerdjito dan Maryanto, 2001).

Beberapa tahun terakhir ini, Sungai Vriendschap menjadi suatu tempat

tujuan perburuan satwa liar dari jenis labi-labi moncong babi dengan intensitas

pemanfaatan sangat tinggi (100%) (Triantoro, 2012). Tingkat eksploitasi

(perburuan) yang sangat tinggi (di Indonesia dan PNG) sebagai sumber pakan

dan sebagai pemasok bagi industri hewan peliharaan internasional dilaporkan

pula oleh Georges et al. (2008a) dan IUCN (2010). Pemanfaatan berlebihan

tanpa memperhitungkan umur produksi induk dan laju pertumbuhan di alam

Page 49: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 31

dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi dan mempercepat

kepunahan jenis. Kemusnahan jenis adalah suatu peristiwa alami tetapi

pelanggaran yang dilakukan oleh manusia seringkali mempercepat proses

kepunahan jenis (Alikodra 2010). Eksploitasi telur dan penjualan tukik labi-labi

moncong babi saat ini bertolak belakang dengan kuota pengambilan tumbuhan

alam dan penangkapan satwa liar yang termasuk Appendix CITES tahun 2007

dan 2008 (Dirjen PHKA 2007, 2008) dan kuota ekspor Appendix II dari jenis

tumbuhan dan satwa liar asal Indonesia tahun 2010 – 2012 (Kemenhut 2010,

2011, 2012), terutama ijin penangkapan dari alam dan ekspor perdagangan labi-

labi moncong babi yang sampai saat ini belum diberikan. Dapat disimpulkan

bahwa penangkapan dan perdagangan terhadap labi-labi moncong babi bersifat

illegal. Beberapa penangkapan dalam upaya menggagalkan perdagangan illegal

(penyelundupan) satwa ini telah dilakukan seperti yang tertera pada Tabel 3

berikut.

Tabel 3 Kasus-kasus penggagalan perdagangan illegal labi-labi moncong babi di Indonesia

No Penangkapan

Instansi Sumber Tanggal Jumlah (ekor)

1. 14-03-2005 7.275 BKSDA Jawa Timur Tempointeraktif.com (2005)

2. 12-02-2009 12.247 SPORC dan KSDA wilayah Timika Sawabi-Kompas.com (2009);

Kemenhut-Dephut.go.id

3. 09-03-2010 464 Stasiun Karantina Ikan Merauke MeraukePos.com (2010)

4. 06-01-2011 744 KSDA wilayah Merauke Suara Pembaharuan (2011)

5. 25-01-2011 500 Polrestabes Surabaya Arifin-Okezone.com (2011)

6. 26-01-2012 1.495 KSDA wilayah Merauke USS-BBKSDA Papua (2012)

7. 06-02-2012 690 KSDA wilayah Merauke USS-BBKSDA Papua (2012)

8. 06-03-2012 1.882 KSDA wilayah Jayapura USS-BBKSDA Papua (2012)

Membendung maraknya pemanfaatan illegal labi-labi moncong babi di

alam, dibutuhkan komitmen yang kuat dalam pelaksanaannya karena luasnya

wilayah Sungai Vriendschap dengan banyaknya alur atau anak sungai. Upaya

yang sudah dilakukan sampai sejauh ini oleh Balai Besar Konservasi Sumber

Daya Alam (BBKSDA) Papua selaku institusi pengelola, masih berupa patroli

pengamanan di musim peneluran. Patroli yang dilakukan belum memberikan

hasil optimal terhadap berkurangnya pemanenan maupun perdagangan illegal.

Beberapa faktor yang mempengaruhi belum optimalnya patroli pengamanan

meliputi :

1. Patroli tidak dapat dilakukan secara terus menerus. Celah diantara waktu

patroli pertama dengan jadwal patrol berikutnya dapat dimanfaatkan oleh

para pencari telur.

Page 50: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

32 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

2. Patroli dilakukan menggunakan speed boat. Kemampuan speed boat untuk

kegiatan patroli di Sungai Vriendschap tidak optimal karena hanya dapat

memasuki Sungai Vriendschap dengan mesin 40 PK dalam kondisi permukaan

air sungai meningkat akibat hujan (banjir) dan tidak dapat menjangkau alur-

alur sungai yang sangat banyak.

3. Patroli hanya dapat dilakukan pada sungai utama. Informasi kegiatan patroli

biasanya sudah diketahui oleh para pencari telur sehingga sebelum tim

patroli sampai di lokasi, para pencari sudah pergi meninggalkan lokasi

perburuan.

4. Patroli membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya yang dibutuhkan untuk

sekali melakukan patroli ke wilayah Vriendschap cukup tinggi (biaya bahan

bakar minyak dan biaya operasional di lokasi). Apabila dalam sebulan

dilakukan patroli 2 (dua) kali maka selama 4 (empat) bulan (musim

peneluran) dibutuhkan minimal 8 (delapan) kali kegiatan patroli rutin.

5. Hukuman sulit diberlakukan kepada para pencari telur lokal; yang secara adat

merupakan pemilik ulayat. Pencari telur didominasi oleh penduduk lokal

walau terdapat pula penduduk bukan lokal. Para pencari telur telah

mengetahui bahwa jenis Labi-labi moncong babi merupakan jenis yang

dilindungi dan sanksi dapat diberikan apabila ditemukan

memperdagangkannya. Pemanfaatan telur yang kemudian dijual dalam

bentuk tukik telah memberikan nilai ekonomi langsung kepada masyarakat

lokal. Pelarangan pemanfaatan saat ini tanpa adanya solusi hanya

memberikan antipati terhadap petugas dan menciptakan konflik dengan

institusi terkait.

6. Banyaknya akses jalur bagi para pencari, pengumpul dan pedagang. Tim

patroli mengalami kesulitan dalam menutup ruang gerak pencari, pengumpul

dan pedagang telur atau tukik karena banyaknya alur sungai yang dapat

digunakan untuk bersembunyi atau membawa hasil pemanenan.

Kegiatan patroli dilakukan untuk menjaga satwa liar yang dilindungi

berdasarkan peraturan perundangan di Indonesia dari pemanfaatan yang tidak

bertanggungjawab. Petugas mempunyai persepsi bahwa pemanfaatan satwa

dilindungi adalah melanggar hukum dan perlu dilakukan tindakan sanksi secara

bertahap. Namun keefektifan kegiatan patroli ke depannya dapat

dipertimbangkan kembali karena setelah menggunakan biaya yang tinggi,

pembinaan dan sanksi yang diberikan kepada para pencari telur masih sulit

Page 51: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 33

dilakukan. Keterbatasan penindakan dapat disebabkan 3 prinsip yaitu : 1)

wilayah Sungai Vriendschap bukan merupakan wilayah konservasi, 2) labi-labi

moncong babi sudah sejak lama telah dimanfaatkan sebagai sumber makanan

bagi masyarakat lokal, dan 3) hak masyarakat lokal atas pemanfaatan di wilayah

adat mereka. Sanksi dapat diberikan apabila dasar pengenaan sanksi jelas

dimana masyarakat dapat memanfaatkan sumberdaya mereka tetapi melanggar

aturan yang telah disepakati bersama. Biaya yang hendaknya digunakan untuk

patroli dapat di kelola untuk mendapatkan pengelolaan yang berpihak kepada

masyarakat lokal, dengan memperhatikan fungsi perlindungan, pengawetan dan

pemanfaatan sumber daya alam.

Secara budaya, masyarakat lokal telah memanfaatkan labi-labi moncong

babi sebagai sumber makanan. Pemanfaatan yang bersifat tradisional (sub

sistence) juga mempunyai pengaruh sangat kecil bagi penurunan populasi di

alam. Akan tetapi tingginya permintaan pasar perdagangan satwa dan nilai

ekonomi dari satwa liar khususnya labi-labi moncong babi, telah merubah pola

pemanfaatan masyarakat lokal dari sub sistence menjadi intensif terutama

terhadap telur-telurnya. Keseluruhan telur pada semua sarang yang ditemukan

dipanen dan tidak dikonsumsi karena lebih bernilai ekonomi apabila ditetaskan

dan dijual dalam bentuk tukik, sementara induk dimanfaatkan sebagai sumber

pakan selama berada di lokasi pencarian.

Mengantisipasi tingkat pemanenan yang tinggi di alam dan perdagangan

ilegal terhadap telur maupun tukik, maka alternatif pengelolaan ke depannya

dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu:

1. Pengelolaan Berbasis Kawasan

Pengelolaan kawasan dapat dilakukan dengan menetapkan seluruh atau

sebagian wilayah di Sungai Vriendschap sebagai kawasan konservasi. Sistem

pengelolaan yang menetapkan seluruh wilayah sebagai kawasan konservasi

rentan terhadap konflik antara institusi pengelola sumber daya alam dengan

masyarakat lokal karena masyarakat sebagai pemegang wilayah ulayat

mempunyai kesempatan yang kecil untuk mendapatkan insentif dari

keberadaan satwa bernilai ekonomi. Sistem pengelolaan yang menetapkan

sebagian wilayah sebagai kawasan konservasi juga dapat memicu konflik

antara masyarakat lokal dengan institusi, dan diantara masyarakat lokal itu

sendiri, karena masyarakat yang wilayahnya menjadi kawasan konservasi

lebih sulit mendapatkan insentif dibandingkan yang tidak digunakan sebagai

Page 52: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

34 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

kawasan konservasi. Konsekuensi pengelolaan berbasis kawasan juga

memberikan tugas dan tanggungjawab bagi institusi pengelola untuk selalu

berada di wilayah pemanenan selama musim peneluran. Dibutuhkan personil

yang cukup, sarana prasarana, dan biaya operasional tinggi untuk menutup

ruang gerak para pencari telur dari alur-alur sungai yang begitu banyak.

2. Pengelolaan Berbasis Jenis

Pengelolaan berbasis jenis adalah memberikan ruang dan peluang insentif

bagi masyarakat lokal untuk memanfaatkan jenis satwa liar sebagai sumber

ekonomi dengan kesadaran atas pemanfaatan yang berkelanjutan karena

masyarakat lokal diberikan kewenangan untuk memanfaatkan jenis satwa liar

di wilayah adatnya secara legal dan terkontrol (terbatas). Syarat yang harus

diikuti dalam memperoleh ijin memperdagangkan satwa liar yang dilindungi

adalah berasal diambil dari garis keturunan kedua (F2). Kondisi tersebut sulit

dilakukan mengingat labi-labi sendiri merupakan kelompok reptil yang dalam

tahapan perkembangan hidup membutuhkan waktu yang lama dalam

mencapai usia matang reproduksi, apalagi sampai mendapatkan garis

keturunan kedua. Upaya penangkaran dapat dilakukan, namun hasilnya

belum dapat diperdagangkan dalam waktu yang dekat. Mengantisipasi

tingginya intensitas pemanfaatan dari alam dan kekuatiran terjadinya

penurunan populasi secara drastis di alam, maka upaya pengelolaan dalam

bentuk pemanfaatan telur dari alam dan memperdagangkan tukik (anakan

kura-kura atau labi-labi) menjadi solusinya saat ini. Pemanfaatan dapat

dilakukan dengan sistem “kuota” pemanfaatan telur kepada seluruh

masyarakat lokal secara merata untuk memberikan rasa keadilan. Bantuan

pihak pengelola dalam memberikan penyuluhan dan pemahaman konservasi

kepada masyarakat lokal (edukasi) sangat dibutuhkan di awal pembentukan

pola pemanfaatan terkait pembatasan panen, pemanfaatan berkelanjutan,

perlindungan jenis dipanen dan jenis lainnya yang dilindungi dan terancam di

alam, dan adanya kemungkinan penghentian pemanenan akibat penurunan

populasi. Monitoring dan pengawasan perdagangan secara ketat pada

pengumpul dan monitoring populasi di alam perlu diwujudkan dan

dilaksanakan dengan tanggungjawab untuk menjamin kestabilan populasi di

alam. Para pakar di bidangnya dapat dimintai bantuan dan pendapatnya

Page 53: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 35

terkait peningkatan dan penurunan populasi, kondisi fisik habitat hidup dan

peneluran, kesehatan, dan metode untuk mengatasi permasalahan.

Pengelolaan merupakan jembatan yang menghubungkan perbedaan

persepsi antara masyarakat lokal dengan institusi pengelola. Terkait pengelolaan

terhadap labi-labi moncong babi, pengelolaan jenis lebih memungkinkan

dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan di atas. Konsekuensi dari

pengelolaan jenis (pemanfaatan) adalah monitoring pemanenan dari alam harus

berjalan dan terkontrol dengan baik, bukan sekedar retorika di atas kertas.

Luasnya kawasan, minimnya tenaga dan keterbatasan biaya, tidak dapat

dijadikan dasar sebagai alasan pemanenan dan perdagangan illegal di lokasi

pemanenan maupun di lokasi pengumpulan terus terjadi. Pengelolaan untuk

menjamin kelangsungan hidup jenis langka dan terancam adalah tugas utama

yang umum dari pelestarian alam, dan pelestarian populasi jenis mungkin

menghendaki strategi yang berbeda dari strategi yang cocok bagi perlindungan

ekosistem (MacKinnon et al., 1993). Pemberian kuota terhadap pemanfaatan

telur atau tukik merupakan tindakan pemberdayaan dan memberikan asas

manfaat bagi masyarakat lokal atau adat dan negara. Masyarakat lokal harus

mendapat “prioritas utama” dalam pemanfaatan sumberdaya alamnya dengan

bertindak sebagai mitra institusi pengelola. Jumlah kuota yang diberikan belum

dapat diakomodir, namun sisi positif yang diharapkan dengan adanya pemberian

kuota adalah:

1. Masyarakat lokal mendapat insentif kesejahteraan secara legal

2. Telur tidak dipanen seluruhnya dari sarang alami atau sebagian hasil tetasan

(tukik) dapat dilepas kembali ke alam

3. Menyelamatkan sarang atau telur dari kerusakan akibat faktor alam dan

pemangsa alami

4. Monitoring pemanenan maupun penjualan dapat lebih mudah pada

masyarakat lokal yang menjadi pengumpul resmi

5. Monitoring perburuan dan perdagangan dari alam harus dilaksanakan setiap

tahun pada pengumpul, dan monitoring populasi di alam harus di lakukan

pada tahun keempat (3 tahun sejak pemanenan pertama), dan selanjutnya

setiap 2 (dua) tahun sekali. Monitoring harus dilakukan secara ketat untuk

mengetahui apakah populasi meningkat, menurun atau stabil.

6. Perdagangan illegal dapat di tekan atau diminimalkan

7. Negara dan pemerintah daerah mendapat devisa dari penjualan satwa liar

Page 54: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

36 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

8. Meminimalkan konflik, membangun kemitraan dan sinergisitas antara institusi

pengelola dengan masyarakat lokal

Labi-labi moncong babi merupakan satwa yang dilindungi namun bukan

berarti pemberian kuota tidak dapat diberikan. Khusus kasus di Papua, jenis

buaya muara (Crocodylus novaeguineae) yang dilindungi diperbolehkan kuota

tangkap dan ekspor untuk pemanfaatan kulitnya dan Crocodylus porosus yang

diperbolehkan kuota tangkap untuk pembesaran (Dirjen PHKA, 2007, 2008;

Kemenhut, 2010, 2011), sedangkan kuota ekspor untuk kulit C. porosus

diperbolehkan kembali pada tahun 2012 (Kemenhut, 2012). Indonesia sendiri

termasuk Negara yang belum mengembangkan secara profesional potensi-

potensi satwa liarnya, baik untuk diekspor, rekreasi berburu, ataupun untuk

atraksi-atraksi di taman nasional (Alikodra, 2010). Suatu jenis tumbuhan dan

satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi

kriteria 1) mempunyai populasi yang kecil, 2) adanya penurunan yang tajam

pada jumlah individu di alam, 3) daerah penyebaran yang endemik (PP No 7

Tahun 1999), dan 4) tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan (UU No. 5

Tahun 1990).

Pemberian kuota merupakan salah satu sistem pengelolaan satwa liar

yang bertujuan memanfaatkan sumberdaya alam sebagai 1) sumber

pemberdayaan ekonomi bagi perseorangan atau badan usaha milik bersama dan

2) sebagai sumber devisa bagi Negara, dengan mempertimbangkan kelestarian

jenis di alam. Pasal 2, 3 dan 23 dari UU no.41 tahun 1999 menjelaskan bahwa

peyelenggaraan dan pemanfaatan kehutanan harus berasaskan manfaat dan

lestari dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Kuota

terhadap labi-labi moncong babi harus diimbangi dengan pengelolaan yang baik

dari Dirjen PHKA (BBKSDA Papua) sebagai mandat pengelolaan terhadap satwa

dan tumbuhan dilindungi dari alam. Insentif yang diperoleh masyarakat dari

sumberdaya alam yang dimiliki, secara tidak langsung memberikan fungsi

pengawetan terhadap labi-labi moncong babi dan pengawasan di habitat alami

dapat dilakukan secara sadar dan sukarela karena adanya rasa memiliki. Tugas

BBKSDA Papua juga secara tidak langsung menjadi lebih mudah dalam

mengontrol pemanfaatan di lapangan dan monitoring populasi. Tercapainya

kerjasama pengelolaan sumberdaya alam antara institusi pengelola dengan

masyarakat lokal merupakan tindakan nyata terhadap UU No. 41 Tahun 1999

pasal 60 dimana 1) pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan

Page 55: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 37

pengawasan kehutanan, dan 2) masyarakat dan atau perorangan berperan serta

dalam pengawasan kehutanan.

Paradigma pengelolaan dengan melarang pemanfaatan sudah saatnya

diubah menjadi mitra dengan masyarakat demi kesejahteraan, terutama

masyarakat yang terpencil dan mempunyai tanggungjawab bersama terhadap

satwa liar atau ekosistemnya. Secara umum, hubungan terbaik antara penduduk

asli dan pengelola terjadi apabila penduduk asli melihat bahwa kawasan yang

dilindungi membantu memelihara budaya mereka dan memberi manfaat nyata

(misalnya kesempatan kerja dan penghasilan) (MacKinnon, 1993). Konvensi

Ramsar (2008) menegaskan pula pentingnya manajemen pengelolaan terkait

mata pencaharian masyarakat pada wilayah lahan basah yang mencakup :

1. Tindakan untuk memelihara manfaat yang diberikan oleh lahan basah untuk

pembangunan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat, terutama yang

tidak mampu.

2. Penggunaan secara bijak manajemen dan pengembalian lahan basah harus

membantu terciptanya peluang untuk meningkatkan mata pencaharian

masyarakat, khususnya masyarakat yang bergantung pada lahan basah,

masyarakat pinggiran dan rentan.

3. Manajemen lahan basah yang berkesinambungan harus didukung oleh

pengetahuan lokal (indigeneous) dan tradisional, tanggapan dari identitas

alami yang berhubungan dengan lahan basah, pengurusan yang dilakukan

melalui insentif ekonomis dan diversifikasi berdasarkan dukungan untuk mata

pencaharian.

Mengelola spesies agar dapat terus dimanfaatkan dan sekaligus menjaga

populasinya di alam tidaklah semudah membalikkan tangan, sedikit kesalahan

mungkin menciptakan peluang percepatan penurunan populasi. Pelaksanan

monitoring yang ketat dalam komersialisasi satwa liar menjadi kunci kelestarian

populasi spesies di alam. Monitoring yang dilakukan sebatas retorika di atas

kertas ikut mendukung satwa liar menuju penurunan populasi di alam dan

mempercepat jurang menuju kepunahan. Komersialisasi satwa liar memiliki

potensi efek samping negatif dan fokus pada satu kelompok spesies telah

mengakibatkan pengabaian spesies terancam punah, terutama yang memiliki

distribusi kecil dan demografi kurang fleksibel, seperti Crocodylus sinensis dan

Crocodylus mindorensis (Vitt dan Caldwell, 2009). Selanjutnya, komersialisasi

satu kelompok spesies menciptakan pasar untuk semua jenis dan menjadi

ancaman serius bagi spesies langka.

Page 56: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

38 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

KESIMPULAN

Menyikapi kondisi labi-labi moncong babi saat ini, terlihat adanya benturan

dua kepentingan antara status perlindungan dan pemanfaatan (illegal) yang

sangat tinggi. Pengelolaan yang dapat dilakukan saat ini untuk mencegah

pemanfaatan telur secara illegal adalah dengan memberikan ruang bagi

pemanfaatan terbatas (kuota) terhadap telur (tukik) labi-labi moncong babi.

Pemberian kuota harus mempertimbangkan status populasi, keberpihakan

kepada masyarakat ulayat, dan hilangnya pemasukan daerah dan Negara dari

sumberdaya alam akibat perdagangan liar. Masyarakat lokal harus diberikan

informasi, hak utama sebagai pemasuk dari alam untuk kepentingan

perdagangan, dan mitra konservasi di alam. Monitoring pemanfaatan harus

dilakukan secara ketat setiap tahun dan monitoring populasi di alam wajib

dilaksanakan setelah 3 tahun pertama, dan setiap 2 tahun berikutnya dengan

mengikutsertakan pakar di bidangnya. Pemasuk dari alam dan pengumpul besar

(nantinya), mempunyai kewajiban bersama melepaskan sebagian tukik hasil

tetasan ke alam untuk kelangsungan generasi labi-labi moncong babi di alam.

Pemasok atau pengumpul besar juga mempunyai kewajiban melakukan

penangkaran agar mengurangi tingkat ketergantungan ke depannya terhadap

sumberdaya dari alam.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor. PT. Penerbit IPB Press.

Alvarenga CCED. 2010. Nesting Ecology, Harvest and Conservation of the Pig-nosed Turtle (Carettochelys insculpta) in the Kikori Region, Papua New Guinea [disertasi]. Canberra : Institute for Applied Ecology University of Canberra Australia.

[Anonim]. 9 Maret 2010. 464 Kura-kura Moncong Babi Disita di Bandara Mopah. MeraukePos.com

[Anonim]. 6 Januari 2011. Penyelundupan 744 Kura-kura Moncong Babi Digagalkan. Suara Pembaruan.com

Arifin N. 25 Januari 2011. Polisi Gagalkan Penyelundupan Kura-Kura Moncong Babi. Okezone.com

Begon M, Towsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individuals to Ecosystem. 4th edition. United Kingdom. Blackwell Publising.

[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode

Page 57: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 39

Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1. Departemen Kehutanan.

[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1. Departemen Kehutanan.

Eisemberg CC, Rose M, Yaru B, Georges A. 2011. Demonstrating Decline of an Iconic Species Under Sustained Indigenous Harvest – The Pig-nosed Turtle (Carettochelys insculpta) in Papua New Guinea. Biological Conservation 144 : 2282 – 2288.

Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam : Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA, Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No. 5, pp. 009.1 – 009.17.

Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b. Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta. Wildlife Research 35 : 700 – 711.

Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Ed ke-2 (revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. <www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].

[Kemenhut]. 6 Maret 2009. SPORC dan Polisi Timika Sita 12.247 Ekor Kura-Kura Moncong Babi, SPORC Anoa Sulawesi Tangkap 31 Penangkap Ikan di TN Bunaken [Siaran Pers]. Dephut.go.id

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February 2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January 2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to 31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan.

Konvensi Ramsar. 2008. Deklarasi Changwon Untuk Kesejahteraan Manusia dan Lahan Basah. Korea.

MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsel J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH, alih bahasa. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Managing Protected Areas in the Tropics.

Page 58: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

40 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Noerdjito M, Maryanto, I. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Cibinong. Puslit Biologi – LIPI, The Nature Conservancy dan USAID.

[PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 : Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta.

Raharjo IJ. 14 Maret 2005. Penyelundupan Kura-kura Papua Digagalkan. Tempointeraktif.com

Sawabi IGN. 10 Maret 2009. 12.247 Kura-kura Moncong Babi Disita. Kompas.com

Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Triantoro 2012. Ekologi Peneluran Dan Intensitas Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886) Di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

[UU] Undang-undang Republik Nomor 5 Tahun 1990 : Tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.

[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 : Tentang Kehutanan. Jakarta.

[USS] Unit Sidik SPORC. 2012. Unit Register Kasus SPORC Brigade Kanguru Provinsi Papua Bulan Juli 2012 [laporan]. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. Kementerian Kehutanan.

Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic Press.

Page 59: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 41

PENENTUAN ROTASI PEMANGKASAN TUNAS PADA HUTAN TANAMAN KAYU PUTIH

(Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell)

Pudja Mardi Utomo1)

1) Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia

RINGKASAN

Penelitian tentang model pertumbuhan dan hasil beberapa jenis tegakan hutan tanaman sudah banyak dilakukan. Namun, hingga saat ini belum ada studi di Indonesia yang menggunakan model pertumbuhan dan hasil atau model produksi daun kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) sistem pemanenan pangkas tunas. Padahal informasi seperti itu sangat dibutuhkan oleh pengelola hutan khususnya kelas perusahaan kayu putih dalam menentukan rotasi pemangkasan yang tepat untuk meningkatkan produktivitasnya. Mengingat sampai saat ini masih kekurangan pasokan minyak kayu putih dimana Indonesia masih mengimpor 2/3 kebutuhan nasional minyak kayu putih. Tujuan penelitian adalah mengetahui model produksi daun kayu putih atau bentuk persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih dalam satu periode pemangkasan dan memperoleh jangka waktu untuk satu siklus (rotasi) optimum pemanenan daun berdasarkan persamaan tersebut. Cara pengambilan data adalah survey, yaitu: pengamatan langsung di lapangan melalui pengukuran plot-plot ukur sementara (PUS). PUS dengan ukuran (25 x 25) m diletakkan tersebar merata pada Petak KU II pada umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan, sehingga diperlukan plot ukur untuk pembuatan model dalam satu daur panen dibuat sebanyak 36 buah. Model produksi daun kayu putih terbaik dalam satu daur panen adalah Morgan-Mercer-Flodin (MMF). Persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih yang dipungut dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam satu rotasi panen berbentuk sigmoid, dengan bentuk penduga persamaan sebagai berikut:

Y = (-1,9398*43,1035+115,5357*A2,1950) / (43,1035+A2,1950) (R2 = 98%).

Berdasarkan persamaan matematika untuk kurva produksi daun tersebut tersebut di atas, dapat diketahui bahwa rotasi pemangkasan tunas adalah 7 bulan dihitung dari saat pemangkasan sebelumnya. Kata kunci : Persamaan matematik daun, kayu putih, rotasi

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) salah satu jenis dari famili

Myrtaceae dan tergolong keluarga Melaleuca, yang menghasilkan minyak atsiri

yang dikenal sebagai minyak kayu putih. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan

nama Gelam, tetapi nama tersebut jarang digunakan. Jenis ini merupakan

sumber bahan baku industri minyak kayu putih di Indonesia. Hutan tanaman

jenis ini yang terpusat di Pulau Jawa sudah diketahui dan dibudidayakan secara

Page 60: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

42 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

komersial dan mempunyai luasan lebih dari 24.000 ha, dengan produksi minyak

tahunan mencapai 300 ton (Rimbawanto, et al.. 2009).

Tanaman kayu putih yang ada di P. Jawa, yaitu Melaleuca cajuputi subsp.

cajuputi diduga berasal dari benih yang didatangkan oleh penjajah Belanda dari

Pulau Buru pada abad 18 (Gunn, et al. 1996). Minyak kayu putih yang didapat

hasil penyulingan dari jenis tanaman tersebut dikelola oleh Perum Perhutani.

Selain itu di luar Jawa juga terdapat industri rumah tangga penyulingan yang

berada di Maluku yang diusahakan oleh rakyat dan menggantungkan sumber

daunnya pada tegakan alam yang tersebar di P. Buru, P. Seram, P. Ambon , P.

Aru dan P. Tanimbar.

Potensi tanaman kayu putih di Jawa cukup besar, diperkirakan Perum

Perhutani mengelola sekitar 24.000 ha jenis ini dan memiliki 10 pabrik

pengolahan minyak kayu putih (PMKP). Kapasitas terpasang pabrik total

kesepuluh PMKP tersebut sebesar 53.760 ton daun kayu putih per tahun.

Tanaman jenis ini di Pulau Jawa sudah dibudidayakan secara komersial dengan

produksi minyak mencapai 300 ton/tahun (Rimbawanto, et al. 2009).

Potensi dan kapasitas pabrik yang besar ini belum bisa dimanfaatkan

dengan maksimal`dimana Indonesia hingga saat ini masih kekurangan pasokan

minyak kayu putih. Indonesia masih mengimpor 2/3 kebutuhan nasional minyak

kayu putih karena Perum Perhutani hanya mampu menyediakan kurang dari

sepertiganya saja (Perum Perhutani, 2010). Dilihat dari segi kualitas tegakan

tanaman kayu putih dan rendemen minyak juga masih rendah. Untuk mencapai

tujuan tersebut antara lain dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu rekayasa

genetika dalam pembuatan tanaman, manipulasi tempat tumbuh dan rekayasa

pengelolaan hutan.

Rekayasa genetika atau pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperoleh

bibit tanaman kayu putih unggul, yaitu tanaman yang mempunyai produksi daun

tinggi, kadar sineol tinggi, rendemen minyak kayu putih tinggi dan keunggulan

lainnya. Melalui rangkaian kegiatan pemuliaan yang dilakukan oleh Balai Besar

Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta dan CSIRO

Forestry and Forest Product Australia sejak tahun 1995 telah diperoleh hasil yang

cukup memuaskan. Hasil seleksi famili dari uji keturunan yang dilakukan

mendapatkan rendemen minyak sebesar 2% yang lebih tinggi dibandingkan

dengan tegakan biasa antara 0,6-1,0% (Susanto et al., 2003).

Page 61: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 43

Cara kedua adalah melalui manipulasi tempat tumbuh tanaman kayu

putih, seperti pengolahan tanah, pemupukan, perlindungan terhadap gulma,

penambahan bahan organik sekaligus pemulsaan dengan afval daun kayu putih

dari pabrik, tumpangsari dan sebagainya. Sambil menunggu hasil kedua cara di

atas, cara ketiga, yaitu meningkatkan produktivitas hutan secara keseluruhan

melalui rekayasa pengelolaan hutan kayu putih. Guna mencapai tujuan

pengusahaan yang ditetapkan, diperlukan strategi pengelolaan yang baik, yakni

strategi pengelolaan yang memadukan pengetahuan biologi jenis yang

diusahakan dengan pertimbangan ekonomi dan teknik pengelolaan yang lazim

dilakukan pada hutan tanaman. Penentuan strategi pengelolaan tegakan hutan

yang demikian itu dipermudah dengan adanya konsep-konsep tujuan

pengusahaan hutan produksi yang dapat dikuantifikasikan, diprediksi dan

diterjemahkan dalam struktur tegakan hutan.

Fenomena dinamika pertumbuhan tegakan selalu dihadapi pihak pengelola

dalam pengelolaan tegakan. Dinamika pertumbuhan tegakan tidak selalu

memenuhi harapan-harapan pengusahaan. Praktek-praktek pengelolaan tegakan

di Indonesia selama ini masih dikategorikan belum intensif. Beragamnya

kegunaan jenis pohon menyebabkan beragamnya pula tujuan pengusahaan.

Pengaturan tegakan hutan yang diusahakan untuk menyediakan bahan baku

kertas tidak seketat jika ditujukan untuk penyediaan bahan baku industri kayu

pertukangan. Demikian juga dengan pengaturan tegakan hutan untuk

penyediaan bahan baku minyak atsiri hanya diarahkan untuk mencapai volume

biomassa daun yang maksimum, sedangkan ukuran pohon tidak menjadi faktor

pertimbangan utama. Dengan demikian dalam praktek pengelolaan tegakan

perlu memperhatikan tujuan pengusahaan dan melibatkan kegiatan pengaturan

dinamika pertumbuhan tegakan.

Penelitian tentang model pertumbuhan dan hasil beberapa jenis tegakan

hutan tanaman sudah banyak dilakukan. Namun, hingga saat ini belum ada

studi di Indonesia yang menggunakan model pertumbuhan dan hasil atau model

produksi daun kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) sistem pemanenan

pangkas tunas. Padahal informasi seperti itu sangat dibutuhkan oleh pengelola

hutan khususnya kelas perusahaan kayu putih.

Selama ini praktek pengelolaan hutan tanaman kayu putih di Jawa

dilakukan dengan sistem pangkas tunas, dimana pohon kayu putih pada semua

kelas umur dipangkas tunasnya setelah berumur 6 bulan ke atas dengan asumsi

Page 62: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

44 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

pada umur tersebut kualitas dan rendemen minyak kayu putih sudah layak.

Pengaturan hasilnya belum memperhatikan model pertumbuhan dan hasil tunas,

secara umum hanya berdasarkan luas total tanaman kayu putih dibagi 10, yang

merupakan jumlah bulan dalam setahun dikurangi 2 bulan untuk perbaikan dan

perawatan alat penyulingan. Konsep pengaturan hasil berdasarkan pendugaan

hasil sebaiknya dilakukan berdasarkan pada data dan informasi akhir dari

sumberdaya serta pendugaan nilai maksimum pemanenan lestari (Vanclay, 1995)

Permasalahan yang ada dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan

khususnya pada hutan tanaman kayu putih adalah belum ditemukan cara yang

tepat terutama kaitannya dengan pengaturan hasil. Salah satu hal penting dalam

menyusun pengaturan hasil adalah informasi pertumbuhan dan hasil yang dapat

digunakan untuk bahan pertimbangan dalam meningkatkan produktivitas daun

kayu putih.

Sehubungan dengan informasi tentang pertumbuhan dan hasil tanaman

kayu putih belum tersedia, maka perlu dilakukan pembuatan model produksi

daun kayu putih. Melalui cara tersebut diharapkan diperoleh produktivitas daun

kayu putih tinggi dan kualitas minyak kayu putih yang baik.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian

Tujuan umum adalah mengetahui model produksi daun kayu putih sistem

pangkas tunas pada hutan tanaman kayu putih. Sedangkan tujuan khusus

adalah:

1. Mengetahui bentuk persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun

tegakan kayu putih dalam satu periode pemangkasan.

2. Memperoleh jangka waktu untuk satu siklus (rotasi) optimum pemanenan

daun berdasarkan persamaan tersebut.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah:

1. Pada aspek pengelolaan hutan, akan berperan pada bentuk pengelolaan

hutan yang sesuai dengan karakteristik pertumbuhan tanaman kayu putih.

Page 63: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 45

2. Membantu Perum Perhutani dalam menentukan saat yang tepat dalam

memanen dan saat tepat mengganti tanaman baru serta menjamin

terwujudnya produksi daun kayu putih secara berkelanjutan.

METODOLOGI

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Bagian Kesatuan Hutan (BKPH) Sukun,

Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa

Timur. BKPH Sukun termasuk Bagian Hutan Ponorogo Timur, Kesatuan

Pemangkuan Hutan Madiun merupakan Kelas Perusahaan Kayu Putih terletak di

sebelah Barat Daya Gunung Wilis. Secara administratif termasuk wilayah

Kecamatan Pulung, Siman, Mlarak dan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi

Jawa Timur. Pengambilan data tegakan sampai dengan analisis minyak kayu

putih dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Desember 2011. Peta lokasi

penelitian dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Ponorogo, Jawa Timur

BKPH Sukun

Ponorogo

Page 64: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

46 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

B. Jenis dan Cara pengumpulan Data

Jenis Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data

primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan melalui

pengukuran plot-plot ukur yang dibuat pada areal kerja BKPH Sukun, KPH

Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Data sekunder berupa keadaan

umum daerah penelitian dan data pendukung lainnya dari kantor lingkup Perum

Perhutani. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil pengukuran

pohon-pohon dalam plot-plot ukur sementara (PUS) pada Petak kerja BKPH

Sukun.

Data pengukuran produksi daun kayu putih satu kali pemanenan tunas

diperoleh dari hasil pengukuran pohon-pohon dalam plot-plot ukur sementara

(PUS) yang mempunyai umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan dan

diletakkan tersebar pada Petak 5a dan Petak 6 BKPH Sukun. Pada masing-masing

umur tunas dibuat 3 PUS berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 25 m x 25 m.

Seluruh pohon dalam PUS diukur dan dicatat berat biomassanya. Petak 5a dan 6

merupakan petak tegakan tanaman kayu putih KU II tahun tanam 2006 dengan

luas masing-masing 83,7 ha dan 44,0 ha.

Cara Pengumpulan Data

Pengambilan data pohon contoh untuk pembuatan model produksi daun

adalah hasil pengukuran PUS pada petak tanaman kayu putih kelompok umur

(KU) II dan mempunyai umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan. Tegakan

tanaman pada KU II dipilih sebagai lokasi penempatan plot-plot contoh dengan

alasan antara lain kerapatan tegakan > 95% dan kondisi lahan relatif seragam.

Hal ini bisa meminimalisir keragaman akibat perbedaan tempat tumbuh. PUS

diletakkan menyebar ke seluruh petak sesuai dengan umur tunasnya. Pada

masing-masing umur tunas tegakan tanaman kayu putih dibuat 3 PUS. Pada

penelitian ini umur tunas yang diamati adalah umur 1 s.d 12 bulan, maka

banyaknya PUS untuk pembuatan model produksi daun dalam satu daur

pemanenan adalah 36 buah atau setiap umur tunas diulang 3 kali, Pohon yang

ada dalam PUS seluruhnya diukur untuk memperoleh data yang representatif.

Data yang diperoleh dari PUS berupa biomassa (Semua bagian pohon yang

Page 65: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 47

dipangkas) dan berat DKP (Campuran antara daun dan ranting dengan diameter

<0,5 cm) semua pohon.

Analisis Data

Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis terhadap model regresi

non-linear yang diperoleh untuk model produksi daun pada satu daur panen dan

regresi linear pada satu daur silvikultur.

Model yang sering digunakan dalam fenomena-fenomena biologi antara

lain: fungsi Logistic, Gompertz, Von-Bartalanffy, Negative exponential,

Monomolekuler, Log-logistic, Richard‟s, Weibull, Chapman-Richards, Morgan-

Mercer-Flodin, Polinomial, Kuadratik dan lain-lain, maka model yang akan diuji di

dalam penelitian adalah beberapa model baik yang berasimtot maupun yang

tidak berasimtot. Kurva dibuat berdasarkan metode kurva panduan (guide

curve) yang dianalaisis berdasarkan regresi non linier dan regresi linear.

Sehubungan teori model khusus untuk kayu putih belum ada, maka pada

penelitian ini digunakan beberapa model persamaan di atas, yang merupakan

persamaan regresi non-linear, dimana lazimnya pertumbuhan benda-benda hidup

adalah non-linear. Alasan penggunaan model-model persamaan ini adalah model

ini cocok digunakan untuk mengukur sebuah fenomena pertumbuhan yang

berbentuk sigmoid sepanjang waktu pertumbuhan (fase lengkap pertumbuhan).

Model-model ini cocok digunakan karena pada penelitian ini diamati dan diukur

tegakan tanaman kayu putih dalam rentang waktu yang lengkap. Dimana untuk

model produksi daun dalam satu periode panen diukur umur tunas 1 bulan

sampai dengan umur tunas 12 bulan.

Dalam penelitian ini pembentukan model pertumbuhan tegakan dilakukan

dengan menggunakan beberapa model yang cocok untuk organisma tingkat

tinggi yang mempunyai fase pertumbuhan lengkap dan dipilih model terbaik.

Tahapan prosedur analisis adalah seperti yang dilakukan Suhendang (1990),

sebagai berikut:

1. Eksplorasi data

2. Pembentukan model fungsi hasil tegakan

3. Pemilihan model fungsi hasil tegakan

4. Uji keabsahan model.

Page 66: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

48 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan tegakan merupakan proses pertambahan dari suatu besaran

tegakan dalam periode tertentu. Besaran pertumbuhan tegakan atau riap dalam

penelitian ini dilihat dari parameter produksi tunas. Pertumbuhan dan hasil

dapat mengandung dua arti apabila dilihat dari periode waktu yang dipakai

dalam perhitungannya, yaitu tingkat dan laju. Pertumbuhan dan hasil dalam arti

total menunjukan jumlah sampai periode waktu tertentu, sedangkan dalam arti

laju menunjukan jumlah untuk setiap periode waktu tertentu, biasanya

dinyatakan untuk setiap tahun. Laju pertumbuhan tegakan kayu putih disebut

sebagai riap tegakan dalam memproduksi tunas dalam bentuk biomassa setiap

tahun (kg/ha/tahun), sedangkan banyaknya biomassa maksimal yang dapat

dipanen per periode (tahun) disebut sebagai hasil. Oleh karena itu, dinamika

pertumbuhan tegakan kayu putih dapat diduga dengan menggunakan suatu

model matematis hubungan antara parameter pertumbuhan berupa produksi

biomassa dan umurnya. Model matematis yang dibangun akan dapat digunakan

untuk memproyeksikan hasil tegakan pada periode panen optimal dan saat

kapan pengantian tanaman dilakukan.

Model matematis tersebut dapat digambarkan dalam bentuk kurva, yaitu

kurva pertumbuhan dan kurva laju pertumbuhan (riap) produksi biomassa. Kurva

pertumbuhan produksi biomassa adalah kurva model matematik yang

menggambarkan pertumbuhan tunas dalam tegakan kayu putih ditinjau dari

aspek perkembangan dimensi produksi biomassa pohon-pohon dalam tegakan

mulai bertunas sampai saat dipanen. Kurva laju pertumbuhan merupakan hasil

turunan pertama kurva pertumbuhan. Untuk membangun model pertumbuhan di

atas maka dilakukan pengukuran pada PUS berdasarkan umur tunas untuk model

produkasi dalam satu daur panen.

Hasil Pengukuran

Hasil pengukuran dimensi tegakan berupa produksi biomassa dan DKP di

lapangan pada plot-plot ukur sementara (PUS) setiap umur tunas disajikan pada

Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada umur tunas 1 sampai dengan 3 bulan

biomassa seluruhnya berupa DKP karena cabang dan ranting ukurannya masih <

0,5 cm. Berat per pohon merupakan hasil pembagian dari berat per plot ukur

Page 67: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 49

dibagi dengan jumlah pohon dalam plot. Berat per hektar diperoleh dari konversi

berat per plot ke hektar, dimana dari luas plot 625 m2 atau 0,0625 ha.

Dari hasil pengukuran PUS umur tunas 4 sampai dengan 12 bulan baik laju

produksi biomassa maupun produksi DKP mempunyai kecenderungan laju yang

sama. Pada umur tunas 4 bulan mempunyai laju pertumbuhan tercepat, dimana

dari 1785 kg/ha menjadi 4061 k/ha dan selanjutnya laju bersifat linear sampai

umur 9 bulan dan umur tunas 10 sampai 12 bulan laju mulai stabil.

Demikian pula yang terjadi pada produksi biomassa per pohon juga terus

meningkat seiring dengan bertambahnya umur tunas, walaupun terjadi

penurunan pada umur tunas 12 bulan. Berbeda dengan produksi DKP, produksi

cabang meningkat tajam mulai terjadi pada umur tunas 7 bulan, yaitu dari 1008

kg/ha menjadi 1992 kg/ha dan terjadi peningkatan lagi pada umur tunas 10

bulan.

Tabel 1. Hasil pengukuran biomassa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu

putih umur tunas 1 s/d 12 bulan

Umur

tunas

(bulan)

Jumlah

PUS

Jumlah

pohon

per hektar

Kerapatan

(%)

Berat per hektar

(kg/ha)

Total biomassa

Cabang DKP

1 3 1.578 0,99 132,91 0,00 132,91

2 3 1.589 0,99 561,44 0,00 561,44 3 3 1.584 0,99 1.785,28 0,00 1.785,28

4 3 1.584 0.99 4.395,52 334,24 4.061,28 5 3 1.595 1,00 5.290,03 874,35 4.415,68

6 3 1.584 0,99 5.740,80 1.008,37 4.732,43

7 3 1.578 0,99 7.312,75 1.992,37 5.319,25 8 3 1.589 0,99 7.720,80 2.253,01 5.467,79

9 3 1.584 0,99 8.177,28 2.608,11 5.569,17 10 3 1.573 0,98 9.501,07 3.659,84 5.841,23

11 3 1.589 0,99 10.132,11 3.722,29 6.409,81

12 3 1.584 0,99 9.389,55 3.681,39 5.708,16

Model produksi daun

Data biomassa untuk menyusun model produksi daun kayu putih dalam

satu rotasi pangkas dibagi dalam 12 umur tunas dan masing-masing umur tunas

dibuat plot ukur sebanyak 3 buah. Ukuran plot ukur adalah 25m x 25m,

diperoleh dari hasil kajian penentuan luas optimum plot ukur sebelum dilakukan

penelitian. Penentuan luas optimum plot ukur dilakukan dengan membuat petak

contoh masing-masing seluas 1 hektar pada tegakan tanaman kayu putih KU II,

KU III dan KU V. Penentuan letak plot ukur dan pengumpulan data dilakukan di

Page 68: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

50 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

areal yang mempunyai karakteristik yang sama untuk mengurangi terjadinya

keragaman akibat faktor tempat tumbuh, umur tegakan dan varietas tanaman.

Rekapitulasi rata-rata hasil pengukuran biomassa pada plot ukur tanaman kayu

umur tunas 1 bulan s/d 12 bulan, perhitungan berat biomassa per pohon dan per

hektar untuk penentuan model produksi daun dalam satu kali panen yang

dilakukan di tegakan tanaman kayu putih BKPH Sukun disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi hasil pengukuran biomassa tunas kayu putih di BKPH Sukun

No

Umur Tunas (bulan)

Berat Biomassa Per Plot Ukur (kg)

Berat Biomassa Per Pohon (kg)

Berat Biomassa Per Hektar (kg)

Biomassa Cabang DKP Biomassa Cabang DKP Biomassa Cabang DKP

1 1 8,31 0 8,31 0,08 0 0,08 132,91 0 132,91

2 2 35,09 0 35,09 0,35 0 0,35 561,44 0 561,44

3 3 111,58 0 111,58 1,13 0 1,13 1.785,28 0 1.785,28

4 4 274,72 20,89 253,83 2,78 0,21 2,57 4.395,52 334,24 4.061,28

5 5 330,63 54,65 275,98 3,32 0,55 2,77 5.290,02 874,35 4.415,68

6 6 358,80 63,02 295,78 3,62 0,64 2,99 5.740,80 1.008,37 4.732,43

7 7 457,05 124,52 332,45 4,63 1,26 3,37 7.312,74 1.992,37 5.319,25

8 8 482,55 140,81 341,74 4,86 1,42 3,44 7.720,80 2.253,01 5.467,79

9 9 511,08 163,01 348,07 5,16 1,65 3,52 8.177,28 2.608,11 5.569,17

10 10 593,82 228,74 365,08 6,04 2,33 3,71 9.501,06 3.659,84 5.841,23

11 11 633,26 232,64 400,61 6,37 2,34 4,03 10.132,11 3.722,29 6.409,81

12 12 586,85 230,09 356,76 5,93 2,32 3,60 9.389,54 3.681,39 5.708,16

Pemilihan model persamaan

Berdasarkan hasil eksplorasi dan penelaahan model-model persamaan

matematis untuk fenomena biologi dan organisme tingkat tinggi dari berbagai

pustaka diperoleh beberapa persamaan yang cocok untuk menyusun model

persamaan produksi daun sistem pemanenan pangkas tunas. Model tersebut

adalah model Gompertz, Logistic, Log-logistic, Morgan-Mercer-Flodin dan

Chapman-Richards. Dari kelima model tersebut ternyata dua model yang dipilih

pada tulisan ini juga cocok digunakan untuk menggukur sebuah fenomena

pertumbuhan yang menunjukan sebuah bentuk sigmoid sepanjang waktu. Model

tersebut adalah logistik dan model MMF (Moran-Mercer-Flodin). Alasan

persamaan ini dipilih adalah kedua persamaan ini cocok digunakan untuk

fenomena-fenomena biologi dengan pertumbuhan berbentuk sigmoid, tepat

untuk makhluk hidup tingkat tinggi yang mempunyai fase (stage) yang lengkap,

Page 69: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 51

yaitu mulai fase muda (juvenile stage), fase dewasa (adolescent stage), fase

masak (mature stage) sampai fase tua (senescent stage).

Karakteristik dari kurva pertumbuhan pada umumnya mempunyai titik

belok dan asimtot, model ini mampu mengistimasi parameter asimtot, parameter

akselerasi pertumbuhan dan parameter bentuk dari pertumbuhan. Sehubungan

model produksi daun kayu putih sampai saat ini belum ada dan pertumbuhan

tunas sendiri termasuk pada fase mana, maka penggunaan kedua model ini

untuk penyusunan model produksi daun kayu putih sistem pemanenan tunas

adalah tepat.

Dari hasil pengukuran biomassa dan DKP yang telah direkap pada Tabel 2

dan dimasukkan pada model yang dipilih diperoleh nilai-nilai konstanta yang

disajikan pada Tabel 3, sedangkan persamaan yang diperoleh adalah persamaan

Model Logistik dan persamaan Model Morgan-Mercer-Flodin.

Tabel 3. Nilai konstanta, Se dan R2 persamaan model MMF dan Logistik

Persamaan a b c d Se R2

Model Logistik 9527.0257 21.9574 0.61251 - 0,69 0,97

Model MMF -1.9398 43.1035 115.5357 2.1950 0,53 0,98

Uji statistik dan pemilihan model terbaik

Hasil uji keterandalan model berdasarkan pada besarnya koefisien

determinasi (R2), koefisien determinasi terkoreksi (R2Adj), Biass, khi-kuadrat,

RMSE, Se dan S2. Dari tabel di atas terlihat bahwa persamaan model MMF dan

Logistik memberikan arti bahwa model persamaan yang dihasilkan di atas handal

dan dapat digunakan untuk menggambarkan kurva produksi daun kayu putih.

Dilihat dari nilai-nilai yang tidak berbeda,maka kedua model ini dapat digunakan.

Namun demikian pada tulisan ini hanya akan dipakai salah satu model saja, yaitu

model MMF.

Kurva produksi daun

Hasil persamaan matematis di atas setelah dilukis dalam bentuk kurva

disajikan pada Gambar 2. Pada kedua gambar tersebut terlihat bahwa model

MMF kurvanya ada kecenderungan naik walapun tidak tajam, berdasarkan

Page 70: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

52 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

kecenderungan ini, model MMF cocok digunakan pada penyusunan model

produksi. Keadaan ini sesuai dengan keadaan di lapangan dan sifat biologi,

dimana tanaman kayu putih masih punya potensi meningkat pada umur tunas

setelah 12 bulan.

Selanjutnya hubungan antar umur tegakan dan produksi biomassa

maupun DKP dimodelkan dengan model pertumbuhan non linear Morgan-Mercer-

Flodin. Model ini cocok digunakan untuk menggukur sebuah fenomena

pertumbuhan yang menunjukan sebuah bentuk sigmoid sepanjang waktu.

Gambar 2. Kurva hubungan antara produksi biomassa dan umur tunas model

Morgan-Mercer-Flodin

Kurva laju pertumbuhan

Kurva Curent Monthly Increment (CMI) merupakan turunan pertama dari

kurva pertumbuhan. CMI menunjukkan pertumbuhan tanaman atau tunas setiap

bulan, sedangkan MMI menunjukkan pertumbuhan rata-rata dalam waktu

tertentu, yang dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur.

Akumulasi pertumbuhan, CMI dan MMI digambarkan dalam bentuk grafik untuk

menentukan daur tanaman. Daur tanaman sebaiknya ditentukan pada saat

kurva MMI bertemu atau berpotongan dengan CMI.

Pada Tabel 4 dan Gambar 3 CMI biomassa tinggi terjadi pada umur tunas

4 bulan yaitu, 1426,71 kg/ha/bulan. MMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat

selanjutnya riap turun landai dengan bertambahnya umur. MMI pada

Page 71: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 53

pertumbuhan tunas kayu putih setelah umur 5 bulan sangat stabil. Namun

demikian, dari tabel tersebut diketahui pertumbuhan berat biomassa per hektar

kumulatif tunas meningkat dengan bertambahnya umur tunas. Hasil perhitungan

riap bulanan berjalan dan riap rata-rata bulanan baik biomassa maupun DKP

dapat dilihat pada di bawah ini.

Hal yang sama CMI DKP tinggi terjadi pada umur 4 bulan (1567,18

kg/ha/bulan). CMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat secara eksponensial

dan selanjutnya riap turun secara tajam sampai umur 7 bulan. Pada umur tunas

8 bulan CMI turun landai dengan bertambahnya umur. MMI pada tunas kayu

putih mulai umur 5 bulan pertumbuhan menurun secara linear, seperti yang telah

dibahas di sebelumnya mulai umur 6 bulan produksi DKP stabil tetapi produksi

cabang dan ranting masih meningkat walaupun tidak tajam.

Tabel 4. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) tanaman kayu putih berdasarkan model MMF.

Umur tunas (bulan)

Berat data lapangan

Berat data model

Riap

bulan berjalan (CMI) bata-rata bulanan

(MMI)

Total biomassa

(kg) Cabang

(kg) DKP (kg)

Total biomass

a (kg)

DKP (kg)

Total biomass

a (kg)

DKP (kg)

Total biomass

a (kg)

DKP (kg)

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 132,96 0 132,96 75,17 75,17 75,00 75,17 75,17 50,34 2 560,8 0 560,80 927,25 927,25 852,08 545,54 463,63 297,94 3 1.785,28 0 1.785,28 2.205,25 2.205,25 1.278,00 1.437,85 735,08 677,91 4 4.395,52 328,16 4.067,36 3.631,96 3.631,96 1.426,71 1.567,18 907,99 900,23 5 5.290,08 808,96 4.481,12 4.987,85 4.987,85 1.355,89 1.019,10 997,57 924,00 6 5.740,80 639,84 5.100,96 6.163,28 6.163,28 1.175,43 544,06 1.027,21 860,68 7 7.255,20 1.951,84 5.303,36 7.132,26 7.132,26 968,98 283,15 1.018,89 778,18 8 7652,8 2.336,96 5.315,84 7.911,39 7.911,39 779,13 152,78 988,92 700,00 9 7.834,88 2.411,84 5.423,04 8.531,83 8.531,83 620,44 86,74 947,98 631,86 10 9.444,48 3.613,44 5.831,04 9.025,50 9.025,50 493,67 51,77 902,55 573,85 11 10.132,16 3.722,24 6.409,92 9.419,94 9.419,94 394,44 32,32 856,36 524,62 12 9.389,6 3.681,44 5.708,16 9.737,27 9.737,27 317,33 20,99 811,44 482,65

Page 72: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

54 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Gambar 3a. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI)

biomassa

Gambar 3b. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) DKP

tanaman kayu putih berdasarkan model MMF.

Penentuan daur optimum produksi daun dalam satu daur panen

Pada kasus ini kurva CMI biomassa berpotongan dengan kurva MMI terjadi

pada umur tunas 7 bulan, sehingga penentuan titik umur tunas optimum bisa

ditentukan berdasarkan perpotongan kurva sampai akhir daur panen. Lebih

Page 73: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 55

lanjut, apabila berdasarkan produksi DKP, maka periode optimum menjadi lebih

lebar menjadi 7 bulan. Oleh karena itu, untuk menentukan daur optimum

diperlukan parameter lain seperti: kadar minyak (rendemen), kualitas minyak

(kadar sineol) atau parameter lain yang terkait dengan industri minyak kayu

putih.

Gambar 4a. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode

optimum produksi total biomassa

Page 74: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

56 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Gambar 4b. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode

optimum produksi DKP

Dari Tabel 4. dan Gambar 4a di atas dapat diketahui bahwa rata-rata

produksi daun segar terus meningkat dari umur tunas 1 bulan s/d umur tunas 11

bulan kemudian menurun pada umur tunas 12 bulan. Pertumbuhan dengan

peningkatan tajam terjadi sampai umur tunas 4 bulan, umur tunas 7 s/d 11

bulan produksi stabil, yaitu: 7313 s/d 10.132 kg/ha dan pada umur tunas 12

bulan menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa umur tunas 7 bulan dapat

dilakukan mulai pemangkasan karena produksi daun mulai stabil. Produksi

biomassa baik pada tegakan maupun individu pohon meningkat seiring dengan

meningkatnya umur tunas. Namun demikian pada umur tunas 12 bulan terjadi

penurunan produksi biomassa.

Penurunan pada umur 12 bulan merupakan fenomena alami yang terjadi

pada pertumbuhan tunas kayu putih, dimana pada umur tersebut terjadi

pemangkasan tunas alami (natural pruning) dan perontokan daun tua. Keadaan

ini ditunjang pada saat pengambilan data terjadi puncak musim kemarau. Untuk

mengetahui berapa besar biomassa yang hilang karena rontok dan saat kapan

terjadinya hal terjebut perlu kajian lebih lanjut. Pertanyaan lain adalah apakah

setelah tunas berumur 12 bulan atau lebih terjadi kecenderungan penurunan

atau justru terjadi kenaikan produksi perlu penelitian lebih lanjut. Namun

demikian, berdasarkan pengamatan dari sisa tanaman kayu putih yang tidak

Page 75: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 57

sempat dipangkas pada periode sebelumnya, produksi biomassa menunjukkan

kencenderungan naik pada umur tunas 24 bulan dan 36 bulan.

Apabila perhitungan didasarkan pada kurva pertumbuhan tunas kayu

putih, CMI dan MMI produksi DKP, maka umur tunas optimum adalah 5 bulan

karena pada umur tersebut terjadi perpotongan kurva CMI dan MMI maksimum.

CMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat secara eksponensial dan selanjutnya

riap turun secara linear sampai umur 8 bulan. Pada umur tunas 9 bulan CMI

turun mendekati nol dengan bertambahnya umur. MMI pada tunas kayu putih

mulai umur 5 bulan pertumbuhan mendatar sampai umur 12 bulan.

Dari uraian di atas, berdasarkan kurva produksi total biomassa saat

pemangkasan berikutnya adalah 7 bulan dari pemangkasan sebelumnya. Sedang

berdasarkan kurva produksi DKP saat pemangkasan optimum adalah 5 bulan.

Namun demikian, pada umur tersebut berdasarkan pengalaman di lapangan

daun masih muda dan dikawatirkan rendemen dan kadar sineolnya masih

rendah. Selain itu, sampai umur tunas 8 bulan masih terjadi peningkatan

walaupun tidak tajam. Oleh karena itu, berdasarkan kurva ini umur pemangkasan

tunas sebaiknya dilakukan pada umur tunas 9 bulan karena pada bulan

berikutnya laju pertumbuhan sampai umur tunas 12 bulan mendekati nol.

Setelah saat pemangkasan optimum diketahui, langkah selanjutnya adalah

menentukan saat kapan umur tunas mempunyai rendemen dan kualitas minyak

yang tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih

yang dipungut dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam satu rotasi

panen berbentuk sigmoid, dengan bentuk penduga persamaan sebagai

berikut:

Y = (-1,9398*43,1035+115,5357*A2,1950) / (43,1035+A2,1950) (R2 = 98%).

2. Berdasarkan persamaan matematika untuk kurva produksi daun tersebut

pada angka 1, dapat diketahui bahwa rotasi pemangkasan tunas adalah 7

bulan dihitung dari saat pemangkasan sebelumnya.

Page 76: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

58 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Saran

Ketelitian dan ketepatan persamaan untuk penduga model pertumbuhan

daun kayu putih sangat tergantung kepada ketelitian dan kecukupan data yang

dipergunakan untuk menduga model tersebut. Untuk mendapatkan data dengan

kualitas seperti itu, diperlukan adanya petak ukur permanen- PUP (permanent

sample plot-PSP). Untuk keperluan ini, maka disarankan pada lokasi penelitian

perlu dibuat PUP untuk memperoleh data pertumbuhan tegakan dari waktu ke

waktu, sehingga akan dapat diperoleh data pertumbuhan yang teliti dan lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

Alder, D. 1980. Forest Volume Estimation and Yield Prediction. FAO. Rome.

Bettinger P, Boston K, Siry J.P, Grebner D.L. 2009. Forest Management and Planning. Academic Press – Elsevier.

Brophy, J.J, Doran, J.C. 1996. Essential oils of tropical asteromyrtus in Melaleuca species: In search of interesting oils with commercial potential, ACIAR Monograph No. 40.

Budiadi, Y. Kanazawa, H.T. Ishii, MS Sabarnurnin, P.Suryanto. 2005. Productivity of Kayu Putih (Melaleuca leucadendron LINN) tree plantation managed in non-timber forest production system in Java, Indonesia. Agroforestry System (2005) 64: 143-155.

Colbert J.J, M. Schuckers , D. Fekedulegn. 2003. Comparing model for growth and management of forest tracts. CAB International. Modeling Forest Systems. 335- 346.

Craven, L.A. , Barlow, B.A. 1997. New taxa and new combination in Melaleuca (Myrtaceae). Novon. 7(2): 113-119.

Daniel, T.W., J.A. Helm , F.S. Baker. 1979. Principles of Silviculture. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York.

Davis, T.W. 1966. Forest Management: Regulation and Valuation. McGraw-Hill Book Company, New York. 519p

Davis, L.S., K.N. Johnson, P.S. Bettinger, T.E. Howard.. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic, and Social Value: Fourth Edition. . McGraw-Hill Book Company, New York.

Davis, L.S., K.N. Johnson. 1987. Forest Management. Third Edition. McGraw-Hill Book Company, New York.

Doran, J.C. 1999. Cajuput Oil. In Southwell, I , Lowe, R.(eds.) Tea Tree: the Genus Melaleuca (Medical and Aromatic Plant: Industrial Profiles). Harwood Academic Publisher, pp 221-233.

Doran, J.C, Turbull, J.W. 1997. Australian Trees and Shrubs: Species for Land Rehabilitation and Farm Planting in the Tropic. ACIAR Monograph No. 24. Australian Centre for International Agriculturean Research. Canberra.

Draper N.R., H. Smith, 1981. Applied Regression Analisys. Jhon Wiley and Sons, New York.

Page 77: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 59

Fekedulegn, D., Mairitin, P Mac S, Jim J.C. 1999. Parameter estimation of nonlinear growth models in forestry. Silva Fennica 33 (4) 327-336

Fries, J. 1974. Growth model for tree and stand simulation. IUFRO Working Party S4, 01 – 4. Proceedings of Meeting 1973. Skogshogskolan Royak College of Forestry, Stockholm.

Gunn, B., McDonald, M, Lea D. 1996. Seed and Leaf Colelections of Melalleuca cajuputil Powell in Indonesia and Nothern Australia. Australian Tree Seed Centre, CSIRO Forest and Forest Product, Canberra, ACT.

Kasmudjo. 1992. Hasil minyak kayu putih harus diambil secara bertahap. Duta Rimba 17 (14). Jakarta.

Khamis, A., Z. Ismail,K. Haron, A.T. Muhammed. 2005. Nonlinear growth models for modeling oil palm yield growth. Journal of Mathematics and Statistics 1 (3): 225-233

Morgan, P.H, L.P. Mercer, N.W. Flodin. 1975. General model for nutrional response of higher organisms, Proc.Nat.Acad.Sci. USA. 72:4327-4331.

[Perum Perhutani]. 2010. Cayuput Oil. http://www.perhutaniproducts.com [2 Pebruari 2010]

Prodan, M. 1968. Forest Biometrics, Translation in Engilsh by S.H. Gardier. Pergamon Press, Oxford.

Ricards, F.J. 1959. A flexible growth fuction for empirical use. Journal of Experimental Botany 10: 290-300.

Rimbawanto, A, NK Kartikawati, L. Baskorowati, M, Susanto, Prastyono. 2009. Status terkini pemuliaan Melaleuca cajuputi. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Hal. 148-157. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. . Yogyakarta.

Suhendang, E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus Merkusii Jungh. Et De Vriese di Pulau Jawa. Disertasi Doktor pada. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.

Susanto, M. A. Rimbawanto, Prastyono, N.K. Kartikawati. 2008. Peningkatan genetika pada pemuliaan Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2(2): 231- 241. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Susanto, M, J.C. Doran, R. Arnold, A. Rimbawanto. 2003. Genetic variation in growth and oil characteristcs of Melaleuca cajuputi subsp. cajupti and Potential for Genetic Improvement. Journal of Tropical Forest Science 15(3): 469-482.

Vanclay, J.K. 1994. Growth model for tropical forest. CAB International, Wilingford, UK. 380p.

Vanclay, J.K. 1995. Growth model for tropical forest: A synthesis of models and methods, Forest Science 41 (1): 7 – 42.

Wiroatmodjo, P. 1984. Model perhitungan pertumbuhan dan hasil kayu bulat tanaman Pinus merkusii di Jawa. Disertasi Doktor pada Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.

Page 78: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

60 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 79: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 61

KUANTIFIKASI EMPULUR SAGU UNTUK BIOETANOL DI BEBERAPA WILAYAH SEBARAN

Batseba A. Suripatty1)

1) Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia

RINGKASAN

Sagu (Metroxylon spp) sebagai salah satu tumbuhan asli Indonesia penghasil karbohidrat yang cukup tinggi dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Sagu dapat dimanfaatkan sebagai energy mix atau sebagai pencampur premium dan pertamax (E..) atau dalam kondisi mesin tertentu dapat digunakan secara penuh (E100). Tempat tumbuh dan keragaman genetik sagu sangat bervariasi. Sagu tumbuh di lahan gambut, rawa, payau atau lahan yang sering tergenang air dan variasi genetik sagu di Papua merupakan yang terbesar di dunia. Variasi genetik jenis ini berasal dari banyaknya jenis dan tipe sagu, penampilan morfologi, produktivitas pati, kandungan bahan kimia serta percepatan waktu produksi sagu. Secara alami ke lima jenis sagu (molat, tuni, ihur, makanaru dan duri rotan) yang selama ini dikenal baik oleh masyarakat sekitar hutan sagu maupun para pakar sagu tersebar pada satu hamparan sehingga memungkinkan terjadinya penyerbukan antar jenis (inter species). Oleh karena itu dikenal banyak sekali jenis dan tipe sagu berdasarkan kombinasi sifat-sifat dari kelima sagu tersebut. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (BALITKA), Manado juga telah berhasil mengidentifikasi ± 20 tipe sagu di desa Kehiran, Sentani, Irian Jaya yang diberi nama berdasarkan nama setempat, dan dari tipe-tipe sagu tersebut terdapat enam tipe sagu yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber karbohidrat ditinjau dari produksi patinya. Salah satu tipe yang memiliki karakter spesifik yang empulurnya dapat langsung dimakan tanpa harus diolah patinya adalah Rondo (berduri) dengan produksi pati 127,0 kg per pohon. Apabila mengacu pada target pemenuhan bioetanol dari periode 2005 – 2025 yang meningkat dari tahun ke tahun (ESDM, 2008), maka variasi keragaman genetik yang berimplikasi pada keragaman kandungan patinya, merupakan peluang untuk melakukan seleksi jenis/tipe melalui program pemuliaan tanaman agar dapat dihasilkan tanaman sagu berproduktivitas pati tinggi dengan daur yang pendek. Bioetanol dari sagu dapat diolah dari bahan baku empulur (pati dan serat). Oleh karena itu untuk tujuan tersebut di atas, maka diperlukan data dasar secara ilmiah tentang potensi produksi empulur sagu Masak Tebang (MT) per luasan lahan produktif, dominasi dan karakteristik jenis/tipe sagu pada satu aksesi, variasi/keragaman empulur dalam satu tipe sagu (intra species) dan dikaitkan dengan variasi rendemen, kandungan pati dan serat untuk etanol. Kata kunci: bioetanol, empulur , sagu (Metroxylon spp), pati, produksi, variasi

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sagu (Metroxylon spp.) secara alami tersebar hampir di setiap pulau atau

kepulauan di Indonesia dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan

sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera.

Tempat tumbuh dan keragaman genetik sagu sangat bervariasi. Berdasarkan

Page 80: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

62 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

hasil eksplorasi dan identifikasi jenis-jenis sagu di desa Kehiran, Jayapura, Irian

Jaya ditemukan 20 jenis sagu (nama lokal), dan dari 20 jenis sagu ini 9 sagu

merupakan sagu yang berduri sedang 11 lainnya merupakan sagu tidak berduri

(Allorerung et al., 1994). Hasil eksplorasi plasma nutfah sagu di Pulau Seram,

Maluku diperoleh 5 jenis sagu yaitu tuni, ihur, makanaro, duri rotan dan molat

(Miftahorrachman et al., 1996). Hasil survai yang dilakukan oleh Widjono et al

(2000), telah diketahui 61 jenis dan tipe sagu yang tersebar di Jayapura (35

jenis), Manokwari (14 jenis), Merauke (3 jenis) dan Sorong (9 jenis) dari sagu

berduri dan sagu tidak berduri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP),

Papua telah mengoleksi 74 aksesi (lokasi koleksi sagu) dari 42 jenis dan tipe

sagu yang berasal dari Kabupaten Jayapura, Merauke, Manokwari dan Sorong

yang telah tumbuh dan beradaptasi dengan baik.

Berdasarkan lokasi sebaran alaminya setiap pohon sagu menghasilkan

rendemen pati sagu yang berbeda. Efisiensi produksi akan lebih tinggi pada

lahan-lahan yang tidak tergenang. Hal ini sesuai pula dengan berat kering pati

pada satu contoh yang berasal dari lahan tidak tergenang 13,89 gram, lahan

tergenang sementara 9,59 gram dan lahan tergenang tetap 10,93 gram, namun

kadar pati pada lahan tergenang tetap lebih rendah (79,17%) dari kedua lahan

lainnya (Sitaniapessy, 1996). Sementara dari hasil survai Balai Penelitian Kelapa

dan Palma Lain (BALITKA) mengidentifikasi produktivitas pati per pohon dari

beberapa tipe sagu yaitu Osonghulu (sagu tidak berduri) dengan produksi pati

per pohon sebesar 207,5 kg; Ebesung (sagu berduri) 207,0 kg, Yebha (tidak

berduri) 191,5 kg; Polo (tidak berduri) 176 kg; Wanni (tidak berduri) 160,5 kg;

dan Yaghalobe (berduri) 155,5 kg.

Populasi tanaman sagu di Indonesia diperkirakan terbesar didunia, luas

areal sagu potensial sekitar 1,2 juta ha dan 90% diantaranya tumbuh di Provinsi

Papua dan Maluku. Namun dari luasan hutan sagu alam tersebut, hanya 40 %

merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7

ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 KL/ha/tahun.

Walaupun sagu merupakan komoditas pangan masyarakat lokal di Papua,

yang dalam posisi ini sering dipertentangkan apabila digunakan sebagai bahan

baku energi alternatif, namun karena berdasarkan perkiraan potensi produksi

sagu tersebut jauh lebih besar dibanding konsumsi pati sagu sebagai bahan

pangan dalam negeri (hanya 210 ton per tahun atau 4-5 % dari potensi produksi

Page 81: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 63

sagu), maka pemanfaatan sagu untuk pengembangan bioetanol tidak akan

menjadi masalah (Sumaryono , 2007) .

Produksi sagu yang utama adalah karbohidrat dalam bentuk polisakarida

yaitu pati disamping bahan lain yang berbentuk serat dari empulur batang sagu.

Secara teoritis pati dapat di hidrolisa untuk menghasilkan gula sederhana atau

glukosa secara sempurna, maka konversi pati ke glukosa bobot/bobot akan

melebihi 100% (106 – 109%). Molekul pati yang terhidrolisa akan bereaksi

dengan air pada rantai C yang terlepas hingga berat molekulnya bertambah.

Perkembangan menunjukkan upaya untuk menghidrolisa serat dan bahan

berkayu sebagai bahan baku penghasil bioetanol atau bentuk lain dari energi

yang terbaharukan terus berkembang. Pembuatan etanol dicanangkan pada dua

macam bahan baku yaitu pati sagu dan serat sagu. Pemisahan pati dan serat

dilakukan melalui tahapan: 1) Pemisahan empulur dari kulit batang, 2)

Pemarutan empulur, 3) Pemisahan pati sagu dan serat dengan saringan berputar

dan aliran air.

Empulur batang sagu segar terdiri dari pati, serat dan air, dengan

perbandingan sebagai berikut, pati 27 – 31%, serat 20 – 24% dan air 45-53%.

Secara teoritis tidak hanya pati yang dapat dihidrolisa untuk menghasilkan

glukosa, selulosa dan hemiselulosa juga dapat dihidrolisa untuk menghasilkan

gula pereduksi. Untuk bioetanol berbasis empulur (pati dan serat) sagu,

dilakukan proses melalui langkah a) Hidrolisa bahan menjadi oligosacharida; b)

Hidrolisa oligosacharida menjadi gula; c) konversi gula menjadi etanol; d)

pemurnian etanol (penghilangan kadar air) sampai mencapai produk bioetanol.

Setelah penebangan, batang sagu dipotong berupa tual dengan panjang

sekitar 1,2 m. belahan tual diparut atau digiling melalui press ulir agar terjadi

campuran pati dan serat sehalus mungkin tapi masih mudah melakukan

pemisahan antara pati dan serat. Bagian pati akan mengendap di bagian bawah

air, yang selanjutnya langsung diproses dijadikan oligosacharida. Bagian serat

yang tersisa pada saringan dikumpulkan dan langsung diproses dijadikan

oligosacharida. Pada kegiatan ini tidak diperlukan proses pengeringan baik untuk

pati sagu maupun pengeringan bagian serat, sehingga tahapan kegiatannya lebih

singkat dan menghemat dari segi tenaga, waktu dan biaya.

Proses produksi bioetanol dari pati sagu melalui dua tahap utama, yaitu,

proses hidrolisa pati menjadi gula dan proses fermentasi gula untuk

menghasilkan alkohol atau bioetanol. Untuk mendapatkan kualitas etanol yang

Page 82: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

64 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

diharapkan, dilakukan beberapa tahapan proses lanjutan, sehingga bioetanol

yang dihasilkan dapat digunakan baik sebagai bahan bakar maupun sebagai

bahan kimia untuk berbagai keperluan.

Dibandingkan dengan granula pati jagung, granula pati beras, maka

granula pati gandum dan pati sagu sangat resisten terhadap aktivitas enzim

glukoamilase yang dihasilkan Rhizopus sp. dan Penicillin brunneum. Untuk

meningkatkan respon granula pati sagu terhadap reaksi enzim, pada granula pati

sagu yang dihasilkan, sebelum proses pengering diberikan perlakukan

peningkatan suhu di bawah suhu gelatinisasi, yaitu hingga suhu 60oC pada pH

2.0 selama 1-2jam. Perlakuan ini efektif dalam meningkatkan kemampuan enzim

glukoamilase untuk menghidrolisa pati sagu menjadi glukosa, granula pati dapat

terhidrolisa sempurna setelah 48 jam reaksi enzim (Haska and Ohta, 1991).

Meskipun identifikasi tingkat keragaman genetik melalui genetika

molekuler juga sudah mulai dilakukan di Indonesia dan Thailand (Ehara et al.,

1996; Boonsermsuk et al., 1996), namun penajaman keragaman genetis tersebut

perlu dilakukan untuk tujuan sagu sebagai penyedia bioetanol di kawasan hutan

Papua di masa datang. Identifikasi potensi dan keragaman empulur di dalam

jenis/tipe (intra species) atau di antara jenis/tipe sagu (inter species) tersebut

berupa data karakteristik morfologis, fisiologis, genetis, terkait dengan

kuantifikasi potensi dan keragaman kuantitas dan kualitas empulurnya pada

beberapa aksesi di kawasan hutan alam sagu potensial Papua.

B. Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari kegiatan ini adalah:

1. Mendapatkan data karakteristik morfologis, fisiologis, genetis, terkait dengan

kuantifikasi potensi pohon (BMT dan MT) dan keragaman kuantitas serta

kualitas empulurnya pada beberapa aksesi di kawasan hutan alam sagu

potensial Papua

2. Membuat rekomendasi pengembangan sagu tentang Pembangunan Hutan

Tanaman Sagu di Papua dan Papua Barat

Page 83: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 65

II. METODOLOGI

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di kampung Sereweng, Distrik POM, Kabupaten Yapen

Utara Provinsi Papua. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Maret – Desember

tahun 2012.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah

Penduduk desa /responden yang memiliki hutan sagu di Jayapura Sereweng

(Yapen Utara) Provinsi Papua.

Hutan sagu, kamera, chain saw, parang, mesin parut, kain, air, timbangan,

tally sheet.

C. Prosedur Kerja

1. Eksplorasi Keragaman Rendemen Empulur dalam satu jenis/tipe sagu (inter

species) di Kawasan Hutan Sagu Sereweng Distrik POM, Kabupaten Yapen

Utara.

Penelitian ini menggunakan metode survei berdasarkan luasan populasi

pohon sagu dengan sifat/morfologi duri yang dominan. Eksplorasi

keragaman kandungan empulur dalam satu jenisi/tipe sagu dilakukan

dengan tahapan sebagai berikut:

- Pendekatan dengan masyarakat lokal di sekitar hutan sagu.

- Seleksi jenis/tipe berdasarkan sifat = sifat/karakter morfologi duri

dilakukan terhadap jenis sagu asal aksesi tersebut (Sereweng).

- Pemilihan pohon model berdasarkan morfologi duri tersebut ditunjang juga

oleh informasi masyarakat lokal tentang kedekatan ciri-ciri (panjang, jarak

antar duri dan warna) duri di antara ke 10 jenis/tipe di atas.

- Pengambilan sampel pohon model yang mewakili kandungan empulur

sagu dilakukan pada 3 – 4 pohon sagu Masak Tebang (MT) per tipe sagu

(inter species) pada setiap aksesi

- Pemisahan pati dengan serat dilakukan secara tradisional dan kemudian

dilakukan pencatatan terhadap kuantitas (bobot pati, bobot serat,

Page 84: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

66 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

rendemen pati) dan kualitas (warna dan kekerasan pati serta periode

fermentasi).

- Setelah dilakukan pencatatan terhadap kuantitas dan kualitas empulur,

sampel pati dan empulur tersebut dikemas dengan daun sagu segar untuk

keperluan analisa bioetanol di laboratorium.

2. Indentifikasi Kualitas Empulur Jenis/Tipe Sagu Sebagai Bahan Baku

Bioetanol dari Kawasan Hutan Sagu di kampung Sereweng, Distrik Pom,

kabupaten Yapen Utara

Analisis kandungan empulur (pati dan serat) sampel pohon dalam

satu jenis/tipe sagu pada aksesi yang ada. Sampel sagu diambil dalam

batang pohon di bagi 5 (lima) bagian, setiap bagian dipotong melingkar

batang dengan ukuran masing-masing 15 cm dan ditimbang. Setiap bagian

diambil 1/8 untuk di timbang, kemudian empulur di blender dan disaring,

kemudian pati diambil dan dimasukkan ke dalam botol untuk kemudian

dikirim ke Bogor dan selanjutnya dianalisa.

Produksi sagu yang utama adalah karbohidrat dalam bentuk

polisakarida yaitu pati disamping bahan lain yang berbentuk serat dari

empulur batang sagu. Secara teoritis pati dapat dihidrolisa untuk

menghasilkan gula sederhana atau glukosa secara sempurna, maka konversi

pati ke glukosa bobot/bobot akan melebihi 100% (106 – 109%). Molekul

pati yang terhidrolisa akan bereaksi dengan air pada rantai C yang terlepas

hingga berat molekulnya bertambah.

Pembuatan etanol dari sagu menggunakan cara hidrolisis asam

(Demirbas. 2005). Dalam metode hidrolisis asam, bahan baku dilarutkan

dalam larutan asam (1% and 3%) dengan rasio larutan asam dan bahan

baku 12 : 1 dan 15 : 1, dan suhu 150 dan 180oC. Selanjutnya, ethanol yang

dihasilkan dipisahkan dari campuran tersebut. Ethanol yang dihasilkan

dihitung rendemen dan sifat-sifatnya.

D. Analisa Data

1. Eksplorasi Keragaman Rendemen Empulur dalam satu jenis/tipe sagu (inter

species) dilakukan pengumpulan secara tabulasi dan diolah data analisa

varian.

Page 85: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 67

2. Analisa kualitas sebagai bahan baku etanol dilakukan pengumpulan data

secara tabulasi dan diolah menggunakan analisa varian.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Hasil

1. Eksplorasi Keragaman Rendemen Empulur dalam satu jenis/tipe sagu (inter

species) di Kawasan Hutan Sagu Sereweng Distrik POM, Kabupaten Yapen

Utara

72

81

99

55

78 68

24 35

26

0

20

40

60

80

100

120

P T U P T U P T U

Beratempulur

Berat Ampas Berat Tepung

Sagu sub spesies Kuraw

69 75

97

58

79 70

23 32 28

0

20

40

60

80

100

120

P T U P T U P T U

Beratempulur

Berat Ampas Berat Tepung

Sagu sub spesies Hawar

40

77

63

37

82

63

12

24 25

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

P T U P T U P T U

Beratempulur

Berat Ampas Berat Tepung

Sagu sub spesies Makbom

Page 86: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

68 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Untuk sagu sub spesies Kuraw mempunyai diamater pangkal 50 cm,

tengah 55 cm dan ujung 65 cm, dengan tinggi 9 meter, mempunyai total berat

empulur 230 kg, berat ampas 193 kg dan berat tepung 61 kg.

Untuk sagu sub spesies Hawar mempunyai diameter pangkal pohon 40

cm, tengah 50 cm, dan bagian ujung 60 cm. Dengan tinggi 9,6 meter,

mempunyai total berat empulur 201 kg, berat ampas 204 kg, berat tepung 37,5

kg.

Untuk sagu sub spesies makbom diamater pangkal pohon 50 cm, tengah

55 cm, dan ujung 65 cm. Dengan tinggi 9 meter, mempunyai total berat empulur

188,5, berat ampas 172 kg dan berat tepung 58 kg.

Dari grafik di atas telihat bahwa berat empulur, berat ampas dan berat

tepung untuk sagu sub spesies Kuraw, Hawar dan Makbom untuk masing-

masing bagian pangkal, tengah dan ujung terdapat perbedaan.

2. Indentifikasi Kualitas Empulur Jenis/Tipe Sagu Sebagai Bahan Baku Bioetanol

dari Kawasan Hutan Sagu di kampung Sereweng, Distrik Pom, kabupaten

Yapen Utara

Sagu sub spesies Kuraw

9,1 8,3 7,9

9,0

7,3

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

I II III IV V

Kadar air

0.7

0,2

0,5

0,4

0,3

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

I II III IV V

Kadar abu

0.7

0,2

0,5

0,4

0,3

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

I II III IV V

Kadar Serat Kasar

90,2 90,2

91,5

90,5

92,5

89

89.5

90

90.5

91

91.5

92

92.5

93

I II III IV V

Karbohidrat

98,6

92,2

99,3 99,2 99,4

88

90

92

94

96

98

100

I II III IV V

Kadar Pati

26,1

32.4

23,9 26,2

20,1

0

5

10

15

20

25

30

35

I II III IV V

Amilosa

Page 87: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 69

Untuk sampel pertama terlihat berat tepung 122,1 gram mempunyai

kadar air 9,12 %, kadar abu 0,70 %, kadar serat kasar 1,44 %, kadar lemak dan

kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,18 %, Kadar Pati 98,56 %, amilosa

26,11 % dan Amilopektin 72,45 %.

Untuk sampel ke dua terlihat berat tepung 278,0 gram mempunyai kadar

air 8,32 %, kadar abu 0,35 %, kadar serat kasar 0,73%, kadar lemak dan kadar

protein tidak terdeksi, karbohidrat 91,33 %, Kadar Pati 99,27 %, amilosa 23,95

% dan Amilopektin 75,32 %.

Untuk sampel ke tiga terlihat berat tepung 294,3 gram mempunyai kadar

air 7,99 %, kadar abu 0,52 %, kadar serat kasar 1,13%, kadar lemak dan kadar

protein tidak terdeksi, karbohidrat 91,49 %, Kadar Pati 98,87 %, amilosa 19,01

% dan Amilopektin 79,87 %.

Untuk sampel ke empat terlihat berat tepung 204,1 gram mempunyai

kadar air 7,99 %, kadar abu 0,52 %, kadar serat kasar 1,13%, kadar lemak dan

kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 91,49 %, Kadar Pati 98,87 %, amilosa

19,01 % dan Amilopektin 79,87 %.

Untuk sampel ke lima terlihat berat tepung 261,5 gram mempunyai kadar

air 7,28 %, kadar abu 0,26 %, kadar serat kasar 0,64 %, kadar lemak dan kadar

protein tidak terdeksi, karbohidrat 92,46 %, Kadar Pati 99,36 %, amilosa 20,16

% dan Amilopektin 79,19 %.

74.7

5 72.9

1

75.3

2

72.9

1

79.1

9

69

70

71

72

73

74

75

76

77

78

79

80

I II III IV V

Amilopektin

Page 88: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

70 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Sagu sub spesies Hawar

Untuk sampel pertama terlihat berat tepung 132,9 gram mempunyai

kadar air 10,27 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,72 %, kadar lemak

dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 89,51 %, Kadar Pati 99,28 %,

amilosa 27,32 % dan Amilopektin 71,96 %.

Untuk sampel kedua terlihat berat tepung 148,8 gram mempunyai kadar

air 7,51 %, kadar abu 0,25 %, kadar serat kasar 0,93 %, kadar lemak dan kadar

10,3

7,5

9,7 9,0

11,7

0

2

4

6

8

10

12

14

I II III IV V

Kadar air

0,25 0,26

0,16

0,43

0,22

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

0.5

I II III IV V

Kadar abu

0,7

0,9

0.39

0,8

0.41

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

I II III IV V

Kadar Serat Kasar

89,5

92,2

90,2 90,5

88.1

86

87

88

89

90

91

92

93

I II III IV V

Karbohidrat

99,2

99,1

99,6

99,1

99,5

98.8

98.9

99

99.1

99.2

99.3

99.4

99.5

99.6

99.7

I II III IV V

Kadar Pati

27,3

32.4

18,8

26,2 24,8

0

5

10

15

20

25

30

35

I II III IV V

Amilose

71,9 66,7

80,8

72,9 74,7

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

I II III IV V

Amilopektin

Page 89: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 71

protein tidak terdeksi, karbohidrat 92,24 %, Kadar Pati 99,07 %, amilosa 32,40

% dan Amilopektin 66,67 %.

Untuk sampel ketiga terlihat berat tepung 368,6 gram mempunyai kadar

air 9,66 %, kadar abu 0,16 %, kadar serat kasar 0,39 %, kadar lemak dan kadar

protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,18 %, Kadar Pati 99,61 %, amilosa 18,79

% dan Amilopektin 80,82 %.

Untuk sampel keempat terlihat berat tepung 253,5 gram mempunyai

kadar air 9,04 %, kadar abu 0,43 %, kadar serat kasar 0,84 %, kadar lemak dan

kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,53 %, Kadar Pati 99,16 %, amilosa

26,25 % dan Amilopektin 72,91 %.

Untuk sampel kelima terlihat berat tepung 480,2 gram mempunyai kadar

air 11,68 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,41 %, kadar lemak dan

kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 88,10 %, Kadar Pati 99,59 %, amilosa

24,81 % dan Amilopektin 74,78 %.

Sagu sub spesies Makbom

9,6 9,4

8.8

8,9

10,1

8

8.5

9

9.5

10

10.5

I II III IV V

Kadar air

0,2

0,1

0,3 0,2

0,2

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

I II III IV V

Kadar Abu

0,9

0,4

1,1

0.8

0,9

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

I II III IV V

Kadar Serat Kasar

Page 90: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

72 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Untuk sampel pertama terlihat berat tepung 265,8 gram mempunyai

kadar air 9,65 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,98 %, kadar lemak dan

kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,13 %, Kadar Pati 99,02 %, amilosa

99,02 % dan Amilopektin 74,75 %.

Untuk sampel kedua terlihat berat tepung 313,5 gram mempunyai kadar

air 9,42 %, kadar abu 0,12 %, kadar serat kasar 0,47 %, kadar lemak dan kadar

protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,46 %, Kadar Pati 99,53 %, amilosa 28,29

% dan Amilopektin 71,24 %.

Untuk sampel ketiga terlihat berat tepung 400,8 gram mempunyai kadar

air 8,80 %, kadar abu 0,28 %, kadar serat kasar 1,06 %, kadar lemak dan kadar

protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,92 %, Kadar Pati 98,94 %, amilosa 12,32

% dan Amilopektin 86,62 %.

Untuk sampel keempat terlihat berat tepung 390,0 gram mempunyai

kadar air 8,97 %, kadar abu 0,25 %, kadar serat kasar 0,80 %, kadar lemak dan

kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,78 %, Kadar Pati 99,20 %, amilosa

29,19 % dan Amilopektin 70,01 %.

Untuk sampel kelima terlihat rata-rat berat tepung 387,0 gram

mempunyai kadar air 10,11 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,93 %,

90,1

90,4

90,9

90,7

89,6

89

89.5

90

90.5

91

91.5

I II III IV V

Karbohidrat

99,0

99,5

98,9

99.2

99,0

98.6

98.8

99

99.2

99.4

99.6

I II III IV V

Kadar pati

24,7

28,6

12,3

29, 9

23.3

0

5

10

15

20

25

30

35

I II III IV V

Amilose

74,7 71,

2

86,6

70,0

75,7

0

20

40

60

80

100

I II III IV V

Amilopektin

Page 91: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 73

kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 89,67 %, Kadar Pati

99,07 %, amilosa 23,30 % dan Amilopektin 75,77 %.

b. Pembahasan

Dari hasil analisis yang diperoleh terlihat bahwa kadar air untuk jenis sagu

Kuraw lebih rendah dari sagu Hawar dan sagu Makbon, kadar lemak dan kadar

protein tidak terdeksi, sedangkan untuk analisa kadar abu, kadar serat kasar,

karbohidrat, kadar pati, kadar amilose dan kadar amilopektin mempunyai hasil

yang hampir sama antara sagu sub spesies Kuraw, sagu sub spesies Hawar dan

sagu sub spesies Makbom. Perbandingan komposisi kadar amilosa dan

amilopektin akan mempengaruhi sifat pati. Semakin tinggi kadar amilosa maka

pati bersifat kurang kering, kurang lekat dan mudah menyerap air (higroskopis).

Data yang ada juga menunjukan bahwa walaupun pengambilan sampel

satu sampai lima dari satu jenis pohon, terlihat juga bahwa masih terdapat

perbedaan antara masing-masing sampel. Sampel karbohidrat yang ada untuk

masing-masing jenis sagu yang dianalisa menunjukan hasil persentase yang

cukup tinggi yaitu untuk sagu sub spesies Kuraw diatas 90 %, sedangkan untuk

sagu sub Hawar dan Makbom diatas 80 %, sehingga dapat dikatakan jenis sagu

yang dianalisa dapat juga dijadikan sebagai bahan cadangan bioetanol, karena

nilai karbohidrat dan pati sangat tinggi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

1. Produksi sagu yang terbanyak adalah pada jenis sagu Noiin pada bagian

ujung.

2. Jenis sagu yang dianalisa mempunyai nilai karbohidrat dan pati yang sangat

tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan penghasil bioetanol.

b. Saran

Untuk mendapatkan data mengenai jenis sagu yang lain maka perlu

tambahan dana untuk melakukan kegiatan penelitian ini kedepan, karena sagu

yang digunakan sebagai sampel penelitian harus dibeli untuk diolah dan

dilakukan analisa lanjutan.

Page 92: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

74 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

DAFTAR PUSTAKA

Allorerung, D. 1993. Sumberdaya sagu dalam pembangunan daerah Irian jaya. Warta Litbang Pertanian. Bogor. Hlm. 4 - 7.

Boonsermsuk, S., T. Anay, K. Hasegawa and S. Hisajima . 1996. Trial and determination of molecular biological variation of sago palm (Mtroxylon spp) in Thailand. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. Hlm. 7 – 25.

Demirbas, A., 2005. Bioethanol from Cellulosic Materials:A Renewable Motor Fuel from Biomass. Energy Sources, 21:'iTl-'i'yi, 2005

Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, 2008. Kemajuan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN). Dep. ESDM. Jakarta.

Ehara, T. Hattory, S. Susanto, H.M.H. Bintoro, J. Wattimena and I.P. Siwa. 1996. Rapd

Haska, N. and Ohta, Y. 1991. Pretreatment effects on hydrolysis of sago starch granules by raw starch-digesting amylase from Penicillium brunneum. In Towards Greater Advancement of the Sago Industry in the „90s. Proceeding of the Fourth International Sago Symposium held August 6-9, 1990. Kuching, Sarawak, Malaysia. pp. 166-172.

Miftahorrahman., H. Novarianto. dan D. Allolerung. 1996. Identificatin of sago species and rehabilitation to increase productivity of sago (Metroxylon sp) in Irian Jaya. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. pp. 79 – 95.

Rostiwai, T., Y Lisnawati., S. Bustomi., B. Leksono., D. Wahyono., S. Pradjadinata., R. Bogidarmanti., D. Djaenudin., E. Sumadiwangsa. dan N. Haska. 2009. Sagu (Metroxylon spp) sebagai sumber energi bioetanol potensial. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. (in press).

Sitaniapessy, P. M. 1996. Sagu: suatu tinjauan ekologi. Prosiding Simposium Nasional Sagu III, Pekanbaru, 27 – 28 Februari 1996. Riau. Hlm.57 – 69.

Sumaryono. 2007. Tanaman sagu sebagai sumber energi alternative. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, vol. 29, no. 4. Hlm. 3 – 4.

Wiyono, B. dan T. Silitonga. 1988. Potensi sagu dan turuannnya sebagai bahan baku industri. Jurnal Penelitian dan Pengembangan kehutanan, vol. IV, no. 1. Hlm. 1 - 8.

Jong, F. S. 1995. Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation in Sarawak, Malaysia. Thesis. 135 pp.

Page 93: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 75

MAKALAH PENUNJANG

Page 94: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

76 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 95: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 77

OPTIMALISASI PEMANFAATAN NIPAH DI PAPUA MELALUI PRODUK-PRODUK EKONOMIS

Freddy Jontara Hutapea1)

1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia

RINGKASAN

Nipah (Nypa fruticans) merupakan salah satu sumber daya potensial untuk dikembangkan di tanah Papua. Sejak dahulu masyarakat telah berinteraksi dengan nipah yang berada disekitar mereka. Situasi yang terlihat dimasyarakat adalah keberadaan hutan nipah disekitar mereka belum mampu mengangkat taraf hidup atau perekonomian mereka. Saat ini nipah dimanfaatkan hanya sebagai bahan baku pembuatan minuman lokal “bobo”, yang memiliki benturan terhadap peraturan daerah yang melarang peredaran minuman keras. Minimnya pengatahuan untuk mengolah nipah menjadi produk-produk ekonomis menjadi penghalang dalam optimalisasi pemanfaatan nipah di masyarakat. Melalui studi literatur yang dilakukan, nipah dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol, gula nipah, sumber bahan pangan, serta produk-produk lainnya seperti kerajinan tangan. Peran serta pemerintah dalam upaya optimalisasi nipah ini mutlak diperlukan seperti penyediaan modal, pembinaan terhadap masyarakat, dan membantu penyediaan pasar. Kata kunci: Nipah, sumber daya, potensial, masyarakat, pemerintah

I. PENDAHULUAN

Nipah merupakan salah satu jenis tumbuhan yang terdapat di hutan

mangrove. Pada umumnya kehidupan nipah terdapat pada zona terakhir dari

pembagian zonasi mangrove (Macnae & Kalk, 1962 dalam Moeljopawiro, 1996).

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang mempunyai potensi ganda

yaitu potensi ekologis dan ekonomis. Potensi ekologis ditekankan kepada

kemampuannya dalam mendukung eksistensi lingkungan yang berguna untuk

menunjang kelestarian biota akuatik (Odum & Heald, 1972 dalam Moeljopawiro,

1996), sedangkan potensi ekonomis ditunjukkan dengan kemampuannya dalam

menghasilkan produk yang langsung dapat diukur dengan materi. Salah satu

produk dari hutan mangrove yang memiliki aspek ekonomis adalah nipah. Hasil

seminar yang dilakukan oleh BPDAS Remu Ransiki Manokwari menempatkan

nipah menjadi salah satu HHBK andalan Papua Barat.

Berbagai literatur mengatakan bahwa nipah sudah dimanfaatkan sejak

dahulu. Daun nipah yang telah tua banyak dimanfaatkan secara tradisional untuk

membuat atap, daun muda digunakan membuat dinding rumah, dan lain

sebagainya, namun fakta yang ditemukan dilapangan menunjukkan bahwa

Page 96: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

78 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

aktivitas masyarakat di Papua dalam memanfaatkan nipah masih sangat

terbatas. Masyarakat di tiga tempat yang ditemukan di lapangan (Tandia, Serui,

dan Bintuni) mengelola nipah hanya pada pembuatan minuman lokal, yang

secara hukum tidak aman bagi masyarakat karena adanya perda yang melarang

peredaran minuman keras. Pengetahuan masyarakat untuk mengembangkan dan

mengelola nipah menjadi produk lain juga masih sangat minim.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai produk-

produk ekonomis yang dapat dikembangkan dari nipah sehingga dapat

diterapkan dalam masyarakat Papua dan Papua Barat.

II. DESKRIPSI NIPAH

Nipah adalah salah satu pohon anggota famili arecaceae (palem) yang

umumnya tumbuh di daerah rawa yang berarir payau atau daerah pasang surut

di daerah pantai. Batang nipah banyak menjalar di tanah, membentuk rimpang

yang terendam oleh lumpur, hanya roset daunnya yang muncul di atas tanah,

sehingga nipah terlihat seolah-olah tidak memiliki batang. Nipah memiliki akar

serabut yang dapat memiliki panjang hingga 13 m. Daun-daun majemuk

menyirip khas palma muncul dari rimpang nipah, tegak atau hampir tegak,

menjulang hingga 9 m di atas tanah. Panjang tangkainya berkisar antara 1-1,5

m, dengan kulit yang mengkilap dan keras. Tangkai nipah berwarna hijau pada

yang muda dan berangsur menjadi cokelat sampai cokelat tua sesuai

perkembangan umurnya. Bagian dalam nipah lunak seperti gabus. Anak daun

berbentuk pita memanjang dan meruncing di bagian ujung, memiliki tulang daun

yang di sebut lidi (seperti pada daun kelapa). Panjang anak daun dapat

mencapai 100 cm dan lebar daun berkisar antara 4-7 cm. Daun nipah yang

sudah tua memiliki daun berwarna hijau, sedangkan yang masih muda berwarna

kuning, menyerupai janur kelapa. Tiap ental anak daun mencapai 25-100 helai.

(Wikipedia, 2011).

Sistematika nipah adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arecaceae Famili : Arecaceae (Palmae) Genus : Nypah Species : Nypa fruticans Wurmb. (Baharuddin dan Taskirawati, 2009).

Page 97: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 79

Nipah banyak dikenal dengan nama lain seperti: daon, daonan, nipah,

bhunjok, lipa, buyuk (Sunda, Jawa, Bali), bhunyok (Madura), bobo (Manado,

Ternate, Tidore), boboro (Halmahera), palean, palenei, pelene, pulene, puleanu,

pulenu, puleno, pureno, parinan, parenga (Seram, Ambon, dan sekitarnya)

(Wikipedia, 2011).

III. PRODUK POTENSIAL DARI NIPAH

Nipah merupakan produk yang sangat potensial untuk dikembangkan di

Indonesia serta Papua Barat dan Papua tentunya. Baharuddin dan Taskirawati

(2009) mengatakan bahwa luas hutan nipah di Indonesia diperkirakan sekitar

700.000 Ha atau 10% dari luas daerah pasang surut yang luasnya sekitar 7 juta

ha, dengan populasi nipah yang diperkirakan sekitar 8.000 pohon/ha.

Sebagai salah satu HHBK andalan Papua Barat, tentunya HHBK ini

diharapkan dapat mengangkat taraf perekonomian masyarakat melalui

pengembangan nipah menjadi produk-produk yang ekonomis.

Beberapa produk yang dapat dikembangkan dari nipah yang bermanfaat

secara ekonomis adalah sebagai berikut:

1. Bioetanol

Isu pengembangan bahan bakar nabati seperti bioetanol menjadi

pendorong pengembangan tanaman nipah untuk menghasilkan bioetanol. Nipah

merupakan tanaman yang sangat potensial untuk dijadikan penghasil bioetanol

karena dapat menghasilkan 5-7 kali lebih banyak energi dibandingkan tanaman

lain. Bioetanol dari nipah dihasilkan dengan cara merombak gula yang terdapat

pada nira nipah menjadi etanol melalui proses fermentasi. Baharuddin dan

Taskirawati (2009) mengatakan kandungan alkohol dalam nira dapat mencapai

6-7%. Wikipedia (2011) mengatakan bahwa etanol yang dapat dihasilkan oleh

nipah adalah sekitar 11.000 liter/ha/tahun, jauh lebih unggul bila dibandingkan

kelapa sawit 5.000 liter/ha/tahun.

Beberapa daerah di Indonesia telah mengembangkan bioetanol dari nipah

ini. Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir telah mengembangkan bioetanol dari

nipah ini untuk pemberdayaan masyarakat setempat. Melalui pembelajaran

otodidak dan konsultasi dari berbagai pihak Bapermas telah berhasil

mengembangkan teknologi tepat guna untuk memproduksi bioetanol dari nipah

(Gambar 1). Bapermas menganggarkan 50 juta rupiah pada tahun 2010 untuk

Page 98: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

80 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

menstimulasi pemuda-pemuda setempat yang banyak putus sekolah dan

menganggur untuk memproduksi nira nipah. Selanjutnya nira nipah yang

dihasilkan ditampung (dibeli) oleh pemda.

Contoh kasus ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan perekonomian

masyarakat, dan dapat menyerap tenaga kerja yang akan mengurangi angka

pengangguran. Pemerintah Papua dan Papua Barat bisa mengikuti langkah yang

dilakukan oleh pemerintah daerah Rokan Hilir, agar masyarakat dapat merasakan

manfaat nipah yang ada ditengah-tengah mereka.

Gambar 1. Peralatan produksi bioetanol nipah Bapermas Rokan Hilir.

2. Gula Nipah

Komponen utama yang terdapat dalam nira selain air adalah karbohidrat

dalam bentuk sukrosa, sedangkan komponen lainnya adalah protein, lemak,

vitamin, dan mineral, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil. Komposisi tersebut

menyebabkan nira dapat menghasilkan beberapa produk seperti aneka macam

pemanis, minuman ringan (tuak, anggur, nata), asam cuka, dan alkohol

(Baharuddin dan Taskirawati, 2009).

Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Perkebunan Gula Indonesia

melaporkan bahwa dari sekitar 0,5-1,5 liter/hari/malai mempunyai rendemen

gula merah sebesar 15%. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, nira segar

memiliki komposisi: Brix 15-17%; sukrosa 13-15%; gula reduksi 0,2-0,5% dan

abu 0,3-0,7 % (Al Rasyid, 2001 dalam Daryono dkk, 2010). Sementara itu,

Page 99: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 81

Purseglove (1972) dalam Islamy (2012) mengatakan bahwa nipah dapat disadap

tiap hari selama 2-3 bulan dengan kadar gula yang tinggi (17%).

Hasil penelitian Johnson (1975) dalam Moeljopawiro (1996) menunjukkan

bahwa potensi gula merah di Malaysia yang dapat dihasilkan dari nipah adalah

sebesar 20,3 ton/ha/tahun, sedangkan di Sumatera mencapai 22,4 ton/ha/tahun.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa nipah memiliki potensi yang sangat

besar untuk dikembangkan, dan beberapa daerah di Indonesia telah mulai

mengembangkan nipah sebagai bahan baku gula di Indonesia.

Pemkab Kepulauan Meranti telah menargetkan swasembada gula melalui

kebun nipah seluas 35.000 ha, dan hal ini optimis dapat diwujudkan setelah

penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemkab dengan

pihak investor PT. First Flower. Mereka memberdayakan masyarakat melalui

optimalisasi peran masyarakat dalam mengelola perkebunan, yang diikuti dengan

pembinaan dari perusahaan melalui pengelolaan perkebunan, dan memberikan

pembibitan unggul (HalloRiau, 2013).

3. Bahan Pangan lainnya

Nipah juga memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan sebagai

bahan pangan. Subandono dkk (2011) mengatakan bahwa kadar karbohidrat

yang terdapat dalam nipah adalah 56,4 gr/100 gr (cukup tinggi) sehingga

berpotensi sebagai pengganti makanan pokok (beras, jagung, dan sagu).

Salah satu produk pangan yang dapat dihasilkan oleh nipah adalah tepung

nipah. Tepung nipah dapat dihasilkan dengan cara mengolah buah nipah yang

sudah tua. Proses pembuatan tepung nipah meliputi pemisahan daging dari

tempurung, pembersihan kulit ari, penumbukan (diblender), pengeringan, dan

pengayakan. Kadar lemak (nabati) kasar tepung nipah paling rendah (0,08%)

dibandingkan dengan beras, jagung, dan lain-lain. Serat kasar yang dikandung

tepung nipah cukup baik (22,1%) setara dengan bungkil kelapa (22,3%).

Kandungan beta-N, Kalsium (Ca), Posfor (P) dan karbohidrat cukup baik. Tepung

nipah mengandung serat yang cukup tinggi dengan kandungan lemak dan kalori

yang rendah yang berpotensi untuk dijadikan sebagai makanan bagi orang diet

(Subandono dkk, 2011).

Beberapa bahan pangan lain yang dapat dikembangkan dari nipah adalah

nata, manisan, makanan kaleng (Daryono dkk, 2010), minuman es buah nipah,

kolak buah nipah (Mrabawani, 2010), dan lain sebagainya

Page 100: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

82 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

IV. PRODUK LAINNYA

Selain pengembangan nipah untuk bioetanol, gula nipah, dan bahan

pangan, nipah juga merupakan sumberdaya yang potensial untuk dikembangkan

menjadi produk lain seperti kerajinan tangan.

Beberapa masyarakat yang tinggal berdekatan dengan nipah

memanfaatkan nipah untuk menambah penghasilan mereka melalui kerajinan

tangan. Seperti misalnya, Maya warga Samarinda, memanfaatkan nipah dengan

menganyam daunnya dan menjualnya Rp. 700,00/lembar. Dalam satu hari Maya

dapat menghasilkan 100 lembar anyaman daun nipah. Kehidupannya bergantung

pada anyaman nipah ini (Anggiat, 2011). Demikian juga dengan Musnaini, warga

Palembang, yang membuat kerajinan tangan dari nipah berupa kerajinan tampah

dan keranjang berbahan dasar lidi dan daun nipah. Hasil dari kerajinan tangan ini

dapat mencukupi kebutuhannya beserta lima orang anaknya (Tribun Sumsel,

2012).

V. PERAN PEMERINTAH

Peran pemerintah setempat dalam rangka meningkatkan taraf hidup

masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di sekitar

masyarakat sangat dibutuhkan. Beberapa peran yang mutlak sangat diperlukan

adalah: pembinaan masyarakat, pemberian modal pinjaman lunak kepada

masyarakat, dan menyediakan pasar.

VI. KESIMPULAN

Nipah merupakan sumber daya yang potensial untuk dikembangkan

menjadi produk-produk ekonomis seperti bioetanol, gula nipah, sumber pangan

seperti tepung nipah, dan menjadi barang kerajinan.

Page 101: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 83

DAFTAR PUSTAKA

Anggiat, R. 2011. Pengerajin Anyaman Daun Nipah. http://www.sapos.co.id/ index.php/berita/detail/rubrik/18/18025. Diakses tanggal 26 Februari 2013.

Baharuddin, I. Taskirawati. 2009. Hasil Hutan Bukan Kayu. Buku Ajar. Universitas Hasanuddin. Tidak diterbitkan.

Daryono, H., A. Subiakto., & T. E. Komar. 2010. Pengembangan Sumber Benih Unggul Nipah (Nypa fruticans Wurmb.) Penghasil Nira yang Produktif Sebagai Sumber Bioetanol. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Tidak diterbitkan.

HalloRiau. 2013. Meranti Targetkan Swasembada Gula Nipah. http:// www.halloriau.com/read-meranti-23683-2012-04-27-meranti-targetkan-swasembada-gula-nipah.html. Diakses tanggal 22 Februari 2013.

Islamy, R. A. 2012. Pembuatan Gula dari Nira Pohon Nipah (Nypa fruticans) Secara Tradisional. http://dhariyan.blogspot.com/2012/10/pembuatan-gula-dari-nira-pohon-nipah.html. Diakses tanggal 22 Februari 2013.

Moeljopawiro, S., E. Poedjirahajoe, & R. Pratiwi. 1996. Manfaat dan Potensi Nipah (Nypa fruticans Wurmb.) di Daerah Sungsang, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional dalam Rangka Lustrum VIII Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, tanggal 18-20 September 1995 di Yogyakarta. Hlm. 347-353. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta.

Mrabawani. 2010. Nipah Juga Bermanfaat. http://titanih.multiply.com/ journal/item/8?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. Diakses tanggal 26 Februari 2013.

Subandono, E., N. M. Heryanto & E. Karlina.2011. Potensi Nipah (Nypa fruticans (Thunb.) Wurmb.) sebagai Sumber Pangan dari Hutan Mangrove. Buletin Plasma Nuftah, 17(1): 54-60. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.

Tribun Sumsel. 2012. Dua Puluh Tahun Berjualan Keranjang Nipah. http://sumsel.tribunnews.com/2012/06/13/dua-puluh-tahun-berjualan-keranjang-nipah. Diakses tanggal 26 Februari 2013.

Wikipedia. 2011. Nipah. http://id.wikipedia.org/wiki/Nipah. Diakses tanggal 12 Mei 2011.

Page 102: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

84 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 103: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 85

EKOSISTEM MANGROVE: PERANAN, PERMASALAHAN DAN PENDEKATAN BAGI KONSERVASI BERKELANJUTAN

Hadi Warsito1)

1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia

I. PENDAHULUAN

Ekosistem hutan mangrove dikenal sebagai ekosistem yang paling dinamis

dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Hal ini secara

ekologis adalah logis, karena dua ekosistem yang secara fisik berbeda,

berinteraksi secara kompleks sebagai pencirinya dan secara alami selalu

dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena itu ekosistem hutan

mangrove mempunyai arti dan fungsi yang strategis baik ditinjau dari segi

ekologis maupun sosial ekonomi dan budaya.

Ekosistem hutan bakau di Indonesia tersebar di 22 provinsi dengan

pemusatan lokasi di Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan

Sumatera Selatan Luas hutan mangrove di Papua menurun dari angka 2.943.000

hektar pada tahun 1982 menjadi 1.382.000 hektar pada tahun 1993. Luas hutan

mangrove secara keseluruhan di Indonesia pada tahun 1982 adalah 5.209.543

hektar dan pada tahun 1993 menjadi 2.496.185 hektar (Mulyana, 1999).

Peranan mangrove sangat penting, baik secara ekonomi dan ekologi

sebagai sumber daya alam dan perlindungan dengan lingkungan dan antara

aspek tersebut tidak dapat dipisahkan tanpa menyebabkan bahaya ke suatu

areal. Mangrove adalah sumber bahan bakar kayu, tiang dan atap. Formasi

mangrove berkontribusi pada jaring makanan laut meliputi produksi serasahnya,

dan beberapa jenis komersial penting dari fauna laut diketahui menghabiskan

paling tidak sebagian dari siklus hidupnya di mangrove. Oleh karena itu,

mangrove tidak hanya dianggap sebagai hutan, tetapi juga sebagai penghasil

makanan dalam bentuk kepiting, ikan dan udang. Banyak dari organisme ini

kemudian ditangkap jauh dari daerah mangrove, dan ini merupakan masalah

khusus bagi pengelolaan lahan (Christensen, 2003).

Hilangnya/rusaknya mangrove ini menimbulkan berbagai permasalahan

terutama abrasi yang terjadi hampir di seluruh Pantai Utara Jawa, Pantai Timur

maupun Barat Sumatera dan pantai Sulawesi Selatan. Abrasi ini mengakibatkan

Page 104: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

86 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

beberapa desa terpaksa direlokasi ke daerah yang lebih aman dan juga

menyebabkan lahan usaha masyarakat seperti tambak ikan banyak yang hilang

menjadi lautan. Selain itu, faktor penting lainnya yang adalah adanya aktifitas

manusia yang berada sekitar kawasan mangrove yang dapat mengakibatkan

kerusakan (Supriharyono, 2007).

Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang memberikan

banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi

serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi

ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama

perikanan laut.

Untuk konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai, Pemerintah RI

telah menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990 dalam Anwar dan Gunawan

(2006). Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang

mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai,

sedangkan kawasan hutan mangrove adalah kawasan pesisir laut yang

merupakan habitat hutan mangrove yang berfungsi memberikan perlindungan

kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau adalah

selebar 100 m dari pasang tertinggi kearah daratan.

II. PERANAN MANGROVE

Fungsi ekosistem mangrove mencakup fungsi fisik (menjaga garis pantai

agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut/abrasi, intrusi air laut,

mempercepat perluasan lahan, dan mengolah bahan limbah), fungsi biologis

(tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air, tempat

bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota) dan fungsi

ekonomi (sumber bahan bakar, pertambakan, tempat pembuatan garam, bahan

bangunan dll. Sementara itu, Kusmana (1997) menyatakan bahwa hutan

mangrove berfungsi sebagai:

1) Penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat;

2) Pengolah limbah organik;

3) Tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut;

4) Habitat berbagai jenis margasatwa;

5) Penghasil kayu dan non kayu;

6) Potensi ekoturisme.

Page 105: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 87

Naamin (1990) dalam Anwar dan Gunawan (2006) , makanan, obat-

obatan & minuman, gula alkohol, asam cuka, perikanan, pertanian, pakan

ternak, pupuk, produksi kertas & tanin dll. Menurut Wada (1999) dalam

Kuswandi dkk. (2002), bahwa 80% dari ikan komersial yang tertangkap di

perairan lepas/dan pantai ternyata mempunyai hubungan erat dengan rantai

makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove. Hal ini membuktikan bahwa

kawasan mangrove telah menjadi kawasan tempat breeding & nurturing bagi

ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi

sebagai habitat satwa liar, penahan angin laut, penahan sedimen yang terangkut

dari bagian hulu dan sumber nutrisi biota laut.

Siklus dekomposer dari tumbuhan mangrove dapat menghasilkan subtrat

yang menjadi rantai dalam penyediaan sumber pakan yang akhirnya diperlukan

oleh satwa. Mann (1982), melaporkan bahwa daun-daun mangrove mempunyai

kadar protein hanya sekitar 6,1%, namun dalam kurun waktu sekitar 12 bulan,

kandungan proteinnya dapat mencapai 22%. Proses penguraian akan lebih cepat

bila serasah daun tersebut jatuh ke air, dalam kurun waktu enam bulan

kandungan proteinnya dapat meningkat dari 5% menjadi 21% (Odum dan

Health, 1975).

Proses dekomposer tersebut mempengaruhi keberadaan jenis hewan-

hewan pemakan detritus pada umumnya didominasi oleh invertebrata, terutama

crustacea dan beberapa spesies ikan yang disinyalir sebagai destrivorus

(pemakan destritus). Macne (1968), hewan yang hidup diperairan mangrove

dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu burrowing spesies (hidupnya

meliang) dan epifauna (di atas subrat). Hewan peliang didominasi oleh

crustacea, bivalva dan satu genus ikan, sedangkan untuk epifauna meliputi

gastropoda dan beberapa kepiting, terutama dari genera Sesarma dan Uca yang

paling melimpah.

Daya dukung hutan mangrove bukan hanya sebagai tempat berlindung

dan berkembang biak, namun ketersediaan sumber pakan dari jenis–jenis

destrivorus yang relatif mudah diperoleh dari kawasan hutan mangrove karena

cukup melimpah keberadaanya. Suburnya dalam ekosistem hutan mangrove

sering menjadi tempat pemijahan (spawing ground), pengasuhan (nursery

ground) dan mencari makan (feeding ground) dari beberapa jenis ikan atau

hewan–hewan air tertentu. Sehingga di dalam hutan mangrove terdapat

sejumlah hewan-hewan air, disamping hewan-hewan seperti kepiting, moluska

Page 106: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

88 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

dan invertebrata lainnya yang hidup dikawasan tersebut. Demikian pula pada

jenis udang-udangan dan ikan yang keberadaanya di hutan mangrove

dipengaruhi oleh arus pasang surut. Kemelimpahan sumber pakan yang ada di

hutan mangrove ini, yang dapat membuat beberapa jenis burung menjadikan

kawasan hutan mangrove sebagai sumber pakan atau mencari makan (feeding

ground), sehingga keberadaan hutan mangrove sangat diperlukan dan dapat

mendukung kelangsungan hidup beberapa jenis burung yang dikawasan hutan

mangrove tersebut.

Kebijakan pemerintah dalam menggalakkan komoditi ekspor udang, telah

turut andil dalam merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah

kawasan hutan. Empang parit yang semula digarap oleh penggarap tambak

petani setempat, berangsur beralih “kepemilikannya” ke pemilik modal, serta

merubah menjadi tambak intensif yang tidak berhutan lagi (Bratamihardja,

1991). Ketentuan jalur hijau dengan lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan

pasang tertinggi dan terendah tahunan (Keppres No. 32/1990) berangsur

terabaikan. Padahal, hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) dalam Dit.

Bina Pesisir (2004) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan

kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin meningkatnya

luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat dengan

membentuk persamaan Y = 0,06 + 0,15 X; Y merupakan produksi tangkapan

dalam ton/th, sedangkan X merupakan luasan mangrove dalam ha.

Venkataramani (2004) dalam Gunawan dan C. Anwar (2005) menyatakan

bahwa hutan mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok alami. Dibuktikan di

desa Moawo (Nias) penduduk selamat dari terjangan tsunami karena daerah ini

terdapat hutan mangrove yang lebarnya 200-300 m dan dengan kerapatan

pohon berdiameter > 20 cm sangat lebat. Hutan mangrove mengurangi dampak

tsunami melalui dua cara, yaitu: kecepatan air berkurang karena pergesekan

dengan hutan mangrove yang lebat, dan volume air dari gelombang tsunami

yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air tersebar ke banyak saluran

(kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.

Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove

memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan

peranannya dalam ekosistem Sumber Daya Alam (SDA), yaitu :

a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas

yang terbatas pula.

Page 107: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 89

b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda

dengan peran ekosistem hutan lainnya.

c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.

Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan

dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam

keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama

pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :

a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem

mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip

kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan.

b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.

c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang

kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, khususnya peranan

mangrove dalam Sumber Daya Alam (SDA), peranan lain yang bersifat umum

dalam ekosistem mangrove dapat dicontohkan dalam pemanfaatan mangrove,

baik langsung maupun tidak langsung antara lain:

A. Arang dan Kayu Bakar

Arang mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari

Jepang dan arang onshyu dari Cina. Pengusahaan arang mangrove di Indonesia

sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, antara lain di Aceh, Riau, dan

Kalimantan Barat. Pada tahun 1998 produksi arang mangrove sekitar 330.000

ton yang sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang dan Taiwan

melalui Singapura. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10 ton,

sedangkan harga lokal antara Rp 400,- - Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor arang

mangrove tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$ 13.000.000

(Inoue et al., 1999). Jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R. Mucronata,

dan B. gymnorrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan

panas yang tinggi dan awet. Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 13.000,-

/m3 yang cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan tiga orang

anak. Kayu bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang

50 cm cukup untuk sekali memasak untuk 5 orang. Kayu bakar menjadi sangat

penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan

bakar minyak melambung tinggi (Inoue et al ., 1999)

Page 108: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

90 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

B. Bahan Bangunan

Kayu mangrove seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza

sangat cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena

batangnya lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun. Pada tahun 1990-an

dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1 m, satu tiang mencapai

harga Rp 7.000,- sampai Rp 9.000,-. Kayu ini diperoleh dari hasil penjarangan

(Inoue et al., 1999).

C. Bahan Baku

Chip jenis Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada

tahun 1998 jumlah produksi chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang

sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksinya tersebar di

Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga chip di pasar internasional

kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999).

D. Tanin

Tanin merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata,

dan Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak kulit pada industri

sepatu, tas, dan lain-lain. Tanin juga dapat digunakan sebagai bahan baku

pembuatan lem untuk kayu lapis. Di Jepang tanin mangrove digunakan sebagai

bahan pencelup dengan harga 2-10 ribu yen (Inoue et al., 1999).

E. Nipah

Nipah (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi

masyarakat sekitar hutan mangrove. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah

yang dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue et al., 1999). Pembuatan atap

nipah memberikan sumbangan ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga

nelayan dan merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan anak-anaknya di

waktu senggang. Menurut hasil penelitian Gunawan (2000) hutan mangrove di

Luwu Timur menopang kehidupan 1.475 keluarga pengrajin atap nipah dengan

hasil 460 ton pada tahun 1999.

Page 109: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 91

F. Obat-obatan

Beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air

rebusan R. apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit R. mucronata

dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal

dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus

illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes (Inoue et al., 1999).

G. Perikanan dan Rehabilitasi Mangrove

Sudah diulas di depan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan

mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, namun

dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian

480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Dari sini

tampak bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas

perikanan pada perairan bebas. Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan

lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery

atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisisr.

Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove,

terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit

ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, dimana ikan

dan udang sebagai pengganti tanaman palawija, dengan jangka waktu 3-5 tahun

masa kontrak (Wirjodarmodjo dan Hamzah, 1984). Semula, empang parit ini

hanya berupa parit selebar 4 m yang disisihkan dari tepi areal kegiatan reboisasi

hutan mangrove, sehingga keluasannya mencapai 10-15% dari total area

garapan. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir kontrak,

tajuk tanaman sudah saling menutup (Wirdarmodjo dan Hamzah, 1984; Perum

Perhutani Jawa Barat, 1984). Sejak tahun 1990 dibuat sistem pola terpisah

(komplangan) dengan 20% areal untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk

hutan dengan pasang surut bebas. Dari sistem silvofishery semacam ini dengan

pemeliharaan bandeng dan udang liar dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp

5.122.000,-/ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun (Perum Perhutani, 1995).

Dalam membandingkan pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi

Selatan, pola komplangan menunjukkan perbandingan relatif lebih baik daripada

pola empang parit, baik dalam hal produktivitas perairan maupun pertumbuhan

mutlak, kelangsungan hidup maupun biomassa bandeng yang dipelihara pada

Page 110: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

92 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

masing-masing pola (Sumedi dan Mulyadhi, 1996). Selisih pertumbuhan

mutlaknya hanya 9,6 g sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3. Hasil ini berbeda

dengan penelitian Poedjirahajoe (2000) yang mengemukakan bahwa justru pola

empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1

kg lebih berat dibandingkan dengan pola komplangan. Namun demikian, kedua

sistem ini turut membantu dalam meningkatkan income petani petambak.

Masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove dengan sistem ini cukup

besar. Data dari KPH Purwakarta menunjukkan bahwa dari luas areal mangrove

seluas 14.535 ha dapat melibatkan sebanyak 4.342 KK dalam kegiatan

silvofoshery (Perhutani Purwakarta, 2005). Data dari Badan Litbang Pertanian

(1986) dalam Anwar (2005) menggambarkan bahwa kontribusi dari usaha

budidaya tambak dengan luas total 208.000 ha dapat menghasilkan 129.279 ton

ikan dan udang yang apabila ditaksir, nilainya melebihi dari Rp 138 milyar.

Kegiatan ini pun dilaporkan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 117.034 KK

yang sudah barang tentu dapat memberikan penghasilan yang lebih baik bagi

petani kecil.

III. PERMASALAHAN

Dalam rangka pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove, dibutuhkan

peran serta semua pihak yang terkait, apakah itu dinas pemerintah, lembaga

perguruan tinggi, masyarakat lokal, LSM, pencinta alam dan lain-lain. Namun

yang perlu diperhatikan adalah keberpihakan berbagai pihak tersebut kepada

masyarakat yang selama ini terpinggirkan dalam menentukan kebijakan terhadap

hutan mangrove tersebut. Padahal dalam realitanya, masyarakat yang lebih

dahulu terkena dampak langsung dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di

kawasan hutan mangrove. Untuk itu perlu kiranya menjadikan masyarakat

sebagai penggerak utama atau berpartisipasi aktif dalam hal pelestarian dan

pengelolaan hutan mangrove. Namun itu bukan hal yang mudah dilakukan,

karena sebelumnya harus ditanamkan terlebih dahulu kepada masyarakat akan

pentingnya keberadaan hutan mangrove yang ada di sekitar mereka.

Umumnya masyarakat selama ini tidak melakukan kegiatan rehabilitasi

atau penanaman mangrove adalah karena :

a. Tidak mengetahui cara menanam

b. Lokasi yang jauh

c. Tidak mempunyai bibit

Page 111: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 93

d. Beranggapan akan tumbuh sendiri, dan lain-lain.

Yang perlu dilakukan adalah bagaimana merubah perilaku manusia dalam

rangka pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove itu sendiri. Perilaku manusia

yang negatif dalam kehidupan sehari-hari akan sangat berpengaruh terhadap

kelestarian dari sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Jadi sekarang yang

perlu ditumbuh kembangkan adalah bagaimana membentuk perilaku masyarakat

menjadi positif dan akrab dengan lingkungannya serta aktif menjaga nilai

kelestarian alam tersebut. Dan kenyataannya sekarang adalah bagaimana

menggabungkan antara kelestarian hutan mangrove tersebut dengan kondisi

sosial ekonomi masyarakat. Jadi setiap yang diambil dalam pelestarian dan

pengelolaan hutan mangrove, maka diharapkan agar juga dapat mengatasi atau

menyentuh terhadap masalah sosial ekonomi masyarakat yang ada.

IV. PENDEKATAN KONSERVASI

Beberapa pendekatan yang diperlukan dalam kegiatan konservasi sumber

daya alam mengenai ekosistem mangrove yang dapat dilakukan. Setidaknya ada

dua hal yang kemungkinan dapat dilakukan dan mesti diperhatikan dalam usaha

pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove, yaitu:

1. Kualitas Sumberdaya Manusia

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir pantai

adalah dikarenakan masih rendahnya tingkat pendidikan. Namun dalam hal

pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove ini, maka perlu dilakukan upaya

peningkatan kualitas SDM yang berupa:

a. Pelatihan dengan materi tentang; Manfaat dan fungsi hutan mangrove,

Pengenalan jenis-jenis tumbuhan mangrove, Kegunaan masing-masing jenis,

Teknik pemilihan bibit, Teknik pembibitan, Teknik penanaman dan Teknik

pemeliharaan.

b. Penyuluhan tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pengelolaan sumberdaya hutan mangrove di Indonesia.

c. Pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dalam rangka

menjalankan program pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove dengan

melibatkan partisipasi aktif masyarakat didalamnya.

Page 112: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

94 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

d. Mengembangkan mata pencaharian alternatif agar anggota masyarakat yang

menggantungkan hidupnya dari keberadaan hutan mangrove dapat beralih

sehingga tekanan terhadap mangrove dapat dikurangi, misalnya dengan

menjalankan kegiatan pengolahan hasil perikanan atau pertanian. Dalam hal

ini perlu kerjasama yang erat antara dinas terkait dengan LSM yang ada.

2. Peningkatan Peran Serta Masyarakat Melalui Pengelolaan yang

Berbasis Masyarakat

Strategi penting yang sedang berkembang saat ini dalam rangka

pengelolaan sumberdaya alam adalah dengan pengelolaan berbasis masyarakat.

Dimana strategi ini mengandung arti, bahwa masyarakatlah yang terlibat

langsung dalam mengelola sumberdaya alamnya. Mengelola disini berarti

masyarakat ikut memikirkan, merencanakan, melaksanakan, mengawasi/

memonitor dan mengevaluasi segala sesuatunya.

Namun untuk melaksanakan atau menerapkan strategi ini bukan hal yang

mudah, karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi didalamnya, yaitu :

a. Masyarakat harus diberikan hak dan kewajiban resmi.

b. Pengakuan atas hukum adat dan hak ulayat.

c. Pembatasan yang jelas terhadap obyek pengelolaan.

d. Ide dan persepsi masyarakat harus menyatu.

e. Disesuaikan dengan kemampuan masyarakat.

Ada beberapa jenis kegiatan dilapangan yang diharapkan dapat

dilaksanakan bersama masyarakat berupa:

a. Pemilihan/pengumpulan benih atau buah

b. Pengumpulan media tanah

c. Pengisian media tanah kedalam wadah polybag

d. Pembuatan bedeng persemaian dan penyemaian

e. Pengadaan ajir dan pagar berkawat

f. Pengajiran dan penanaman bibit

g. Pemagaran dan pemasangan papan tanda

h. Pemeliharaan dan penyulaman.

Kegiatan-kegiatan yang melibatkan secara langsung masyarakat,

diharapkan dapat sebagai pendekatan yang dapat menyadarkan masyarakat

akan pentingnya sumberdaya alam yang dimiliki. Sebagaimana ekosistem

Page 113: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 95

mangrove yang berada dengan dengan mereka selalu terjaga dan lestari dalam

pengelolaanya.

V. KESIMPULAN

1. Ekosistem hutan mangrove dikenal sebagai ekosistem yang paling dinamis

dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya.

2. Peranan mangrove sangat penting, baik secara ekonomi dan ekologi sebagai

sumber daya alam dan perlindungan dengan lingkungan dan antara aspek

tersebut tidak dapat dipisahkan tanpa menyebabkan bahaya ke suatu areal.

3. Untuk itu perlu kiranya menjadikan masyarakat sebagai penggerak utama

atau berpartisipasi aktif dalam hal pelestarian dan pengelolaan hutan

mangrove.

4. Strategi penting yang sedang berkembang saat ini dalam rangka pengelolaan

sumberdaya alam adalah dengan pengelolaan berbasis masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, C. 2005. Wanamina, Alternatif Pengelolaan Kawasan Mangrove Berbasis Masyarakat. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pemanfaatan Jasa Hutan dan Non Kayu Berbasis Masyarakat sebagai Solusi Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan, Cisarua, 12 Desember 2003: 21-26. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007

Bratamihardja, H. M. 1991. Pengelolaan Hutan Payau di Pantai Utara Pulau Jawa. Prosidings Seminar IV, Ekosistem Mangrove, Bandar Lampung, 7-9 Agustus 1990: 59-63. Program MAB Indonesia – LIPI. Jakarta

Christensen Bo. Mangroves what are they worth. http://www.fao.org/documents/ show_cdr.asp.htm download 20 September 2011.

Direktorat Jenderal Bina Pesisir. 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Ditjen Pesisir dan Pulau Kecil, DKP. Jakarta

Gunawan, H. 2000. Desentralisasi : Ancaman dan Harapan Bagi Masyarakat Adat (Studi Kasus Masyarakat Adat Cerekang di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan). CIFOR. Bogor.

Gunawan, H. dan C. Anwar. 2005. Kajian Pemanfaatan Mangrove dengan Pendekatan Silvofishery . Laporan Tahunan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor (tidak diterbitkan).

Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi , K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan JICA. Jakarta.

Kusmana, C. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove. Bogor Jurusan Mangemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

Page 114: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

96 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Kuswandi, R.; R. Bawole; E. Batorinding. 2002. Dampak Eksploitasi Mangrove Terhadap Kualitas Ekosistem Perairan Estuari pada Areal HPH PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (BUMWI) di Babo, Manokwari. Buletin Penelitian Kehutanan, Visi dan Misi BPK Manokwari. Vol.VII.No.1.Tahun 2000. Manokwari

Mulyana, R., 1999, Kajian Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Pesisir: Studi Kasus Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta, Tesis Magister Program Studi Pembangunan ITB, Bandung

Odum, W.E., and E.J. Heald. 1975. The respon of mangrove to man-induced environmental stress., pp: 52-62. In Furguson wood, E.J and R.E. Johannes (eds.) Tropical marine pollution. Amsterdam

Perhutani Purwakarta. 2005. Renstra Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove KPH Purwakarta, Perhutani KPH Purwakarta, Purwakarta.

Poedjirahajoe, E. 2000. Pengaruh Pola Sylvofishery terhadap Pertambahan Berat Ikan Bandeng (Canos canos Forskal) di Kawasan Mangrove Pantai Utara Kabupaten Brebes. Jurnal Konservasi Kehutanan, Vol. 2, Agustus 2000: 109-124, UGM, Yogyakarta.

Sumedi, N. dan D. Mulyadhi. 1996. Kajian Sylvofishery pada Hutan Mangrove di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Bulletin Penelitian Kehutanan No. 1 th 1996. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, Makassar.

Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Wirjodarmodjo, H. dan Z. Hamzah. 1982. Beberapa Pengalaman Perum Perhutani dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Prosiding Seminar II: Ekosistem Mangrove: 29-40. LIPI, Balai Penelitian Hutan, Perum Perhutani, Biotrop, Dit. Bina Program Kehutanan, Jakarta.

Page 115: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 97

FAKTOR DAN STAKEHOLDER PENTING DALAM MEMBENTUK KELEMBAGAAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) MODEL

DI TANAH PAPUA

Irma Yeny1), Baharinawati1), Yoel Tandirerung1)

1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia

RINGKASAN

Prasyarat pembangunan KPH merupakan indikator keberhasilan pembangunan

KPH. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan pembentukan kelembagaan organisasi KPHP Model di Papua? Berdasarkan faktor-faktor tersebut dan kepentingan stakholders, siapa aktor yang paling berperan dalam pembentukan kelembagaan KPH di Papua. Penelitian bertujuan menganalisa faktor keberhasilan pembangunan KPH di Papua. Sasaran adalah teridentifikasinya: 1) Faktor-faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan kelembagaan KPH Model di Papua. 2)Parapihak (stakeholders) penting dalam pembentukan kelembagaan KPH Model di Papua. Metode yang dilakukan adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Pegumpulan data dilakukan melalui fokus grup diskusi (FGD) dan wawancara dengan responden kunci (Key Respondent Interview) dengan menggunakan acuan daftar pertanyaan. Luaran adalah faktor-faktor penting dan faktor dalam merancang kelembagaan unit KPHP Model di tingkat tapak menuju tata kelola hutan yang lebih baik. Data dan informasi yang terkumpul selanjutnya diolah secara kualitatif deskriptif. Dari hasil penelitian diketahui faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan Kelembagaan KPHP Model diketahui terdapat 3 unsur utama yaitu : 1) Kebijakan, 2) Sumberdaya manusia, 3) Pendanaan. Berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh, maka stakeholder yang berperan merupakan kelompok sponsor yaitu pejabat pada top organisasi yang bertanggungjawab memimpin jalannya perubahan; menjamin komitmen publik dan politik dan memecahkan masalah dalam pembangunan/penyempurnaan kelembagaan.

Kata kunci: Kelembagaan KPH Model, parapihak

I. PENDAHULUAN

A. Latarbelakang

Hutan Papua merupakan salah satu the Global Tropical Wilderness Areas

selain hutan tropis Amazone dan Hutan Tropis Kongo, juga the larger tropical

rain forest ecosistem paling lengkap dan sangat unik terbentang dari pesisir

pantai sampai alpin. Hutan Papua termasuk the world tropical bioderversity

hotspots karena memiliki tingkat keanekaragaman hayati endemik sangat tinggi.

Hutan Papua juga menjadi benteng terakhir hutan tropis Indonesia dalam

mengendalikan perubahan lingkungan dan iklim Indonesia dan bahkan dunia dan

Page 116: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

98 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

juga menjadi paru-paru oksigen terakhir bagi kehidupan makluk hidup dimuka

bumi ini.

Saat ini hutan Papua sudah mengalami degradasi lahan mencapai 0,13

juta hektar per tahun. Degradasi disebabkan oleh 3 (tiga) faktor yaitu

pembalakan legal, konversi ke penggunaan non hutan dan pembalakan illegal.

Pembalakan legal merupakan ancaman terbesar lajunya degradasi di Papua.

Pietsau Amafnini (2009), menyatakan bahwa persoalan yang dihadapi

masyarakat adat Papua selama ini merupakan efek dari hadirnya perusahaan-

perusahaan yang hanya mengejar keuntungan, tetapi tidak memperhatikan

kelestarian hasil. Kondisi ini jika terus berlangsung maka akan terjadi kerusakan

hutan seperti yang terjadi di pulau-pulau besar di Indonesia.

Untuk memastikan agar pengelolaan hutan di Papua tidak mengulang

sejarah kehancuran hutan alam sebagaimana wilayah-wilayah lain di Indonesia

(Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan) maka pembangunan KPH menjadi program

prioritas pembanguanan kehutanan di Papua (Kayoi, 2008).

Dalam mengimplementasikan prioritas program tersebut pada wilayah

Papua telah ditetapkan 56 (lima puluh enam) unit kesatuan pengelolaan hutan

(KPH) yang terdiri dari 31 unit KPHP dan 25 unit KPHL yang tersebar di wilayah

25 administrasi pemerintah kabupaten/kota. Sementara Provinsi Papua Barat

telah ditetapkan 21 (dua puluh satu) unit kesatuan pengelolaan hutan (KPH)

yang terdiri dari 16 unit KPHP dan 5 unit KPHL yang tersebar di 10 wilayah

adminstrasi pemerintah/kota. Dalam perkembangan lebih lanjut dan sejalan

dengan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah telah ditetapkan 1 (satu)

unit KPH model pada setiap wilayah provinsi. KPH model yang telah disepakati

adalah unit KPH Kepulauan Yapen sebagai KPH Model Provinsi Papua dan unit

KPH sorong sebagai KPH Model di Provinsi Papua Barat. Dengan telah

ditetapkan 72 unit KPH dan 2 KPHP Model di Papua maka pembangunan KPH

selayaknya sudah mulai dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual

organisasi KPH di tingkat tapak. Pembangunan kelembagaan KPH tersebut harus

dibangun sesuai dengan kemampuan unit kelola untuk melaksanakan

pengelolaan hutan yang berbasis sumberdaya hutan, termasuk mengembangkan

kepentingan para pihak, mengembangkan investasi, penyediaan informasi lebih

lengkap tentang sumberdaya alam dan permasalahannya sebagai landasan

penetapan manajemen pengelolaan, serta terlaksananya implementasi peraturan

perundangan.

Page 117: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 99

Berdasarkan prasyarat tersebut maka kemampuan dan tingkat

kepentingan pengelola hutan dalam menyusun suatu bentuk kelembagaan KPH

Model perlu diamati lebih mendalam. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan faktor

dan stakeholder penting berdasarkan tingkat kemampuan dan kepentingan yang

harus dipertimbangkan dalam pembentukan kelembagaan KPH Model di Papua.

B. Tujuan penelitian

Penelitian bertujuan menganalisa faktor prioritas keberhasilan

pembangunan KPH Model di Papua. Sasaran adalah teridentifikasinya :

1. Faktor-faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan

kelembagaan KPH Model di Papua.

2. Parapihak (stakeholders) penting dalam pembentukan kelembagaan KPH

Model di Papua.

II. METODOLOGI

A. Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-september 2010 bertempat pada

Provinsi Papua (KPHP Model Yapen) dan Papua Barat (KPHP Model Sorong).

Gambar 1. Lokasi Penelitian

KPHP Model

Kepulauan Yapen,

Kab. Yapen

Waropen

(105.866,09 Ha)

KPHP Model

Sorong, Kab.

Sorong

(222.014,25

Ha)

Page 118: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

100 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

B. Metode Penelitian

Metode yang dilakukan adalah metode deskriptif dengan teknik survei.

Data primer diperoleh melalui fokus grup diskusi (FGD) dan wawancara dengan

responden kunci (Key Respondent Interview) dengan menggunakan acuan daftar

pertanyaan terkait faktor-faktor penentu keberhasilan dan parapihak

(stakeholders) yang perlu dipertimbangkan dalam kelembagaan KPH.

Kelembagaan yang ingin didekati dalam penelitian ini adalah analisis

kelembagaan dari sudut organisasi tanpa melihat secara spesifik tentang aturan

main dalam kelembagaan.

Responden merupakan orang yang dianggap memahami konsep

pembangunan KPH di Papua dan merupakan keterwakilan dari instansi terkait

(BPKH, Dinas Kehutanan Provinsi/kabupaten dan tokoh masyarakat yang berada

pada unit KPH, LSM dan pakar). Data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen

berupa rancangan dan rencana aksi pembanguanan KPH Region Papua. Data

sekunder dikumpulkan meliputi kondisi hutan dan sosial ekonomi masyarakat

pada wilayah unit KPH serta rancangan pembangunan KPH Model (rancangan

pengelolaan kawasan dan implementasinya).

C. Analisis Data

Data dianalisis berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Untuk

tujuan pertama yaitu faktor-faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam

pembangunan kelembagaan KPH Model maka dilakukan analisis deskriptif

sedangkan untuk tujuan stakeholder penting dilakukan analisis stakeholder

berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder pada kegiatan

pembentukan kelembagaan KPH Model di Papua.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Pembentukan KPH di Papua dalam proses pembentukan kelembagaan

pengelola unit KPH. Sebagai wujud riil pengelolaan di tingkat tapak saat ini

sedang dipersiapkan kelembagaan maupun kebijakan KPHP Model di Papua dan

Papua Barat.

Berdasarkan kemampuan dan tingkat kepentingan pengelola hutan di

Papua terdapat faktor-faktor yang menjadi prioritas dalam pembangunan

Page 119: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 101

kelembagaan KPH di Papua maka sub bab berikutnya akan mendeskripsikan

faktor prioritas pembangunan kelembagaan KPHP Model dan para pihak yang

berperan dalam pembentukan kelembagaan.

1. Faktor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam

pembangunan kelembagaan KPH di Papua.

Hasil diskusi dengan responden menunjukkan bahwa terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembentukan kelembagaan KPH di

Papua antara lain :

a. Kebijakan

Secara umum kebijakan merupakan cara dan tindakan pemerintah untuk

mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan

pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan

maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrumen tertentu

(Tony Djogo, 2003). Salah satu persoalan yang mendasar dari upaya

pembentukan kelembagaan KPHP Model adalah sangat terbatas dasar hukum

yang dapat menjalankan perencanaan dan strategi yang telah disusun dalam

dokumen rancangbangun KPHP Model.

Dalam membentuk kelembagaan KPH ditingkat provinsi maupun

kabupaten dibutuhkan dasar hukum baik dalam bentuk peraturan daerah

maupun peraturan gubernur/peraturan bupati. Kebijakan pendukung yang telah

ada saat ini untuk pembentukan kelembagaan KPH Model yaitu peraturan bupati

Sorong No. 31 tahun 2008 tentang pembentukan susunan organisasi dan tata

kerja dinas daerah di kabupaten Sorong dan Peraturan bupati Sorong No. 431

tahun 2008 tentang penjabaran uraian dan fungsi dihut kabupaten Sorong.

Peraturan bupati nomor 4 tahun 2008 tentang pembentukan organisasi, setda

dan sekwan DPRD, Dinas-dinas dan lembaga teknis daerah kabupaten kepulauan

Yapen.

Didalam Peraturan bupati menyebutkan susunan organisasi dinas-dinas

lembaga teknis daerah dapat mengakomodir UPTD yang dipimpin oleh seorang

kepala yang berada dibawah kepala dinas atau setara dengan eselon III.

Sebagai tindak lanjut dari Peraturan bupati tersebut saat ini sedang di

proses Peraturan Bupati tentang kelembagaan KPH Model Yapen dan Sorong

Page 120: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

102 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

dalam bentuk UPTD oleh bagian Hukum dan organisasi pada pemerintah daerah

setempat sehingga masih membutuhkan waktu dalam penerbitan payung hukum

kelembagaan yang menjadi dasar pelaksanaan pengelolaan KPH.

b. Sumberdaya Manusia

Organisasi KPH tidak terlepas dari suatu manajemen yang dikelola oleh

sumberdaya manusia yang profesional. Permasalahan lainnya dalam membentuk

organisasi KPHP Model sebagai bagian dari kelembagaan adalah kebutuhan

sumberdaya manusia. Berdasarkan struktur organisasi pada KPH Model yang

telah dituangkan dalam dokumen rancang bangun KPHP Model maka kebutuhan

sumberdaya manusia berdasarkan kompetensinya tertuang dalam tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan SDM berdasarkan Kopetensi serta ketersediaannya pada Dinas Kehutanan di tingkat Kabupaten.

No

Jabatan

Kualifikasi

Kebutuhan

Ketersediaan

Dinhut

Sorong

Dinhut

Yapen

1. KKPH Pangkat Min III d Pendidikan Kehutanan

Min 10 thn berkompetensi

di bid. Kehutanan

1 2 1

2. Ka.Bag T.U Pangkat Min III c

Pendidikan S1

Ekonomi/Manaj/D3 Tata usaha

Min 8 thn berkompetensi di bid. Tata usaha

1 3 1

3. Kasubbag

Keuangan/

Perencanaan Umum/ Keuangan

Pangkat Min III b

Pendidikan S1

Ekonomi/Manaj/D3 Tata usaha

Min 6 thn berkompetensi di bid. Tata usaha

3 3 3

4. KBKPH Pangkat Min III b

Pendidikan S1 Kehutanan Min 6 thn berkompetensi

di bid. Kehutanan

1 s/d 3 9 1

5. Kepala seksi

(pemantapan dan peredaran

HH/perlindungan dan pengamanan

hutan/penataan

dan pembinaan hutan/pemberday

aan masyarakat

Pangkat Min III b

Pendidikan S1 kehutanan Min 6 thn berkompetensi

di bid. kehutanan

1 s/d 4 0 0

Page 121: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 103

No

Jabatan

Kualifikasi

Kebutuhan

Ketersediaan

Dinhut Sorong

Dinhut Yapen

6. kepala resort Pangkat Min III a

Pendidikan S1 Kehutanan/D3 Kehutanan

Min 4 thn berkompetensi

di bid. kehutanan

1 s/d 3 8 4

7. Mandor SKMA/SLTA

pengalaman kerja 3 tahun

memiliki kompetensi di bidangnya

4 2

8. Kepala Kelompok

Kerja

membantu mandor

9. kelompok kerja tenaga non skill tenaga kontrak atau

tenaga kerja masyarakat lokal binaan KPH

Tabel 1. menunjukkan kebutuhan dan ketersediaan SDM sesuai dengan

kompetensi yang disusun dalam rancang bangun KPH Model maka dinas

kehutanan kabupaten Sorong mempunyai surplus sumberdaya manusia

sementara dinas kehutanan Kabupaten Kepulauan Yapen masih kekurangan

sumberdaya manusia sesuai kompetensi. Untuk mengatasi hal tersebut

responden mengharapkan dapat dilakukan perbantuan sumberdaya manusia dari

Dinas Kehutanan Provinsi setempat maupun dengan peningkatan kapasitas SDM

melalui pelatihan sehingga dapat mengatasi permasalahan kompetensi SDM yang

ada.

c. Pedanaan

Prinsip penyusunan organisasi perangkat daerah mempertimbangkan (1)

Kewenangan pemerintah yang dimiliki daerah (2) Karakteristik potensi dan

kebutuhan daerah (3) Kemampuan keuangan daerah (4) Ketersediaan sumber

daya manusia (5) Pengembangan pola kerja sama antar daerah (Publik.

PustakaNet, 2008). Terkait dengan pembentukan kelembagaan KPHP model

sebagai perangkat daerah (UPTD) maka kemampuan keuangan daerah juga

merupakan masalah yang harus dipertimbangkan dalam menjalankan organisasi

tersebut.

Dalam menjalankan pemerintahan daerah, sumber dana yang digunakan

meliputi pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan

yang sah. Dalam hal ini potensi daerah diharapkan mampu menyokong

Page 122: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

104 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

ketersediaan pendapatan dearah. Sementara disisi lain UU No. 22/1999 tentang

pemerintahan daerah mengamanatkan sebagian kewenangan publik di serahkan

kepada pemerintah daerah. Impilkasi dari undang-undang tersebut adalah

peningkatan kebutuhan anggaran dalam menjalankan fungsi-fungsi yang

diberikan. Kondisi ini menyebabkan anggaran pendapatan daerah lebih kecil dari

fungsi dan beban tugas yang diamanatkan dalam Undang-undang tersebut.

Berdasarkan statistik Kabupaten Kepulauan Yapen penggunaan anggaran

pendapatan daerah mencapai 80 % untuk kebutuhan rutin berupa belanja tidak

langsung. Kondisi ini menyebabkan banyak program pembangunan di daerah

termasuk pembentukan KPH belum memperoleh dukungan dana yang optimal

sehingga terkesan lambat. Hal tersebut diperberat lagi dengan kurangnya

partisipasi dunia usaha dalam mendukung pengelolaan hutan.

2. Para Pihak yang perlu dipertimbangkan dalam kelembagaan KPH

Dalam dokumen rancang bangun KPHP Model Yapen telah disusun

pembagian peran dalam merealisasikan rencana aksi pembentukan KPH Model.

Berdasarkan analisis terhadap kekuatan,kelemahan,peluang dan ancaman maka

telah ditetapkan 20 strategi yang dapat diambil sebagai alternatif untuk

pencapaian tujuan pembangunan KPH Model Kepulauan Yapen. Dari ke dua

puluh strategi tersebut terdapat 11 (sebelas) strategi yang dianggap prioritas

dalam pencapaian tujuan pembangunan KPH Model antara lain:

a. Menjaga komitmen Dinas Kehutanan, dan dukungan masyarakat setempat.

b. Membangun komitmen antara para pihak untuk membangun kesepahaman

yang berkaitan dengan upaya-upaya pembangunan KPH

c. Meningkatkan kerjasama antara dinas kehutanan dengan masyarakat dan

mengakomodir keinginan masyarakat kedalam kebijakan pengelolaan hutan.

d. Mensosialisasikan Peraturan perundangan kepada para pihak yang berkaitan

dengan KPH, pengelolaan hutan bersama masyarakat dan kawasan hutan.

e. Melakukan pembinaan terhadap staf dinas kehutanan yang berkaitan dengan

pengelolaan kawasan hutan.

f. Mengalokasikan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pada unit KPH.

g. Membentuk kelembagaan masyarakat dan pemerintah, serta mengumpulkan

data tentang kebutuhan, presepsi serta sosial budaya masyarakat.

h. Melakukan kegiatan Tataguna lahan di dalam unit KPH

Page 123: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 105

i. Melakukan kegiatan pemetaan partisipatif terhadap kepemilikan lahan

masyarakat dan kawasan hutan.

j. Melakukan pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan seluruh

stakeholder.

k. Melakukan penataan batas dan rekonstruksi kawasan hutan

Beberapa pihak yang berkepentingan serta strategi yang harus dilakukan

tertuang dalam Tabel 2.

Tabel 2. Pembagian Peran Rencana Aksi Pembentukan KPH Model Yapen.

No. Pihak Berkepentingan Peran 1. Departemen Kehutanan strategi : 2,4,5,7

2. Gubernur Provinsi Papua Strategi : 2

3. Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen Strategi : 2,3,4,7,11

4. Dishut Kabupaten Yapen Strategi : 10,11

5. Bappeda Kabupaten Kep. Yapen Strategi : 1,2,3,4,5,6,7,8,9

6. BPKH Wilayah II Papua Strategi : 2,3,4,10

7. BPDAS Memberamo Papua Strategi : 2,3,4,6,7

8. Dinas Kehutanan Provinsi Papua Strategi : 2,4,6,10

9. Dinas Pariwisata Kab.Kep Yapen Strategi : 2,3,4,6,10,11

10. BPKD Kabupaten Kepulan Yapen Strategi : 2,5

11. Dinas Pertanian/perkebunan Strategi : 2,5,10

12. Dinas Perikanan Kab. Kepulauan Yapen Strategi : 2, 10

13. Dinas Kimpraswil Strategi : 2,10

14. Distrik-distrik Strategi : 1,2,3,10,11

15. Masyarakat kampung Strategi : 1,2,3,8,9,10

16. NGO, Tokoh Masyarakat Strategi : 1,2,3,8,9, 10

17. Akademisi/Pakar bidang kehutanan Strategi : 2,3,4,10

18. Disperindag, Koperasi dan badan usaha lainnya Strategi : 2,10 Sumber : Dokumen Rancang bangun KPH Model Yapen

Pembagian peran dan strategi pada Tabel 2. menunjukkan bahwa

stakeholder yang sangat berperan dalam strategi nomor tujuh yaitu membentuk

kelembagaan masyarakat dan pemerintah serta mengumpulkan data tentang

kebutuhan, persepsi serta sosial budaya masyarakat adalah Kementerian

kehutanan, Bupati kepulauan Yapen, BAPPEDA Kepulauan Yapen, BPDAS

Memberamo. Berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh maka stakeholder

tersebut merupakan kelompok sponsor yaitu pejabat pada top organisasi yang

bertanggungjawab memimpin jalannya perubahan; menjamin komitmen publik

dan politik dan memecahkan masalah dalam pembangunan/penyempurnaan

kelembagaan. Dalam dokumen rancang bangun peran masing-masing

stakeholder dalam pembentukan kelembagaan belum disebutkan secara jelas

Page 124: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

106 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

sehingga sampai saat ini stakeholder yang telah banyak mengambil peran adalah

Dinas Kehutanan Kepulaun Yapen.

Pada dokumen rancang bangun KPH Model Sorong menyebutkan

kebijakan strategis dalam rangka pembangunan KPHP Model Register sorong

antara lain :

1. Pembentukan kelembagaan KPHP Model

2. Pemantapan kawasan KPHP Model

3. Pemantapan Rancangan pengelolaan kawasan KPHP Model

4. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung kegiatan KPHP Model

5. Pengembangan sumberdaya manusia.

Terkait dengan strategi kebijakan pembentukan kelembagaan KPHP Model

salah satu program yang harus dilakukan adalah legislasi UPTD sebagai institusi

pengelola KPHP Model Register II Sorong. Program ini meliputi kegiatan pokok

yaitu :

1. Menyusun struktur organisasi KPH Model Register II Sorong,

2. Menetapkan personalia pada unit-unit organisasi.

3. Merumuskan Tupoksi masing-masing unit organisasi

4. Penerbitan Perbup tentang Kelembagaan UPTD KPHP Register II Sorong.

Berdasarkan pembagian peran yang dilakukan pada dokumen rancang

bangun serta sejalan dengan kebijakan strategis dan program tersebut maka

pihak yang paling berperan dalam pembentukan kelembagaan KPHP Model

Sorong adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong bersama biro hukum dan

kelembagaan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong.

B. Pembahasan

Kelembagaan merupakan suatu tatanan dan pola hubungan antara

anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat

menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang

diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor

pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal

untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan

mencapai tujuan bersama (Tony djogo, 2003).

Page 125: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 107

Dari hasil penelitian diketahui faktor-faktor pembatas yang harus

dipertimbangkan dalam pembangunan Kelembagaan KPHP Model diketahui

terdapat 3 unsur utama yaitu :

1. Kebijakan

2. Sumberdaya manusia

3. Pendanaan

Berdasarkan faktor tersebut maka diperlukan cara dan tindakan untuk

mengakomodir faktor prioritas dalam pembangunan kelembagaan KPHP Model

tersebut. Salah satu faktor yang mendasar dari upaya pembentukan

kelembagaan KPHP Model adalah sangat terbatas payung hukum yang dapat

menjalankan perencanaan dan strategi yang telah disusun dalam dokumen

rancangbangun KPHP Model.

PP No. 41 Tahun 2007, pasal 14 ayat 6 menyebutkan dinas daerah dapat

membentuk unit pelayanan teknis daerah untuk melaksanakan sebagian kegiatan

teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah

kerja satu atau beberapa kecamatan. Struktur organisasi yang dapat dibentuk

adalah seperti Gambar 2.

Gambar 2. Struktur organisasi UPTD berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007.

Tugas dan tanggungjawab Kepala UPTD/KKPH adalah menyusun dan

melaksanakan program/kegiatan terkait pengelolaan hutan. Mekanisme kerja

kepala KPH adalah bertanggungjawab terhadap kepala dinas. Sehingga

dibutuhkan KKPH minimal III d atau eselon III/IVa. KKPH dibantu beberapa staf

yang jumlah dan kompetensinya disesuaikan dengan kebutuhan, dengan

kualifikasi memiliki kemampuan dan pengusaan keilmuan di bidang kehutanan.

Adanya dasar hukum pendukung baik dalam bentuk PP No. 41 Tahun

2007 maupun Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah, maka setiap daerah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya

sendiri sesuai dengan kondisi wilayahnya masing. Dampak diberlakukannya

Kepala Dinas

Kabid. A Kabid. B Kabid. C UPTD/KKPH

Page 126: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

108 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 serta Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun

2000, tentang Otonomi dan Kewenangan Daerah, cukup luas terhadap

penataan kelembagaan maupun penataan personil, dimana kewenangan

sepenuhnya diberikan kepada daerah. Sesuai dengan kewenangannya untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Berdasarkan kewenangan tersebut

maka diperlukan kinerja pemerintah daerah dalam penyusunan norma, standar,

prosedur dan ktriteria kelembagaan KPHP Model.

Faktor kedua yang harus dipertimbangkan adalah sumberdaya manusia.

Organisasi yang merupakan bagian dari kelembagaan terdiri dari berbagai

elemen yang salah satunya adalah sumber daya manusia sebagai sumberdaya

organisasi. Terkait dengan sumberdaya organisasi perlu diingat bahwa semua itu

tidaklah tersedia secara berlimpah. Ada keterbatasan yang mengakibatkan

pemanfaatannya harus dilakukan secara cermat. Proses manajemen yang baik

harus bisa memanfaatkan keterbatasan tersebut demi tercapainya tujuan

organisasi (Pujangkoro, 2004).

Jika mengacu pada standar kompetensi struktur KPH yang dibutuhkan

maka diperlukan upaya dalam mencukupi kebutuhan sumberdaya manusia dalam

struktur organisasi yang telah direncanakan. Yudhi (2008) menyebutkan

terdapat dua cara penyediaan SDM yaitu secara internal dan eksternal.

Persediaan/supply internal bisa berasal dari karyawan yang telah ada yang dapat

dipromosikan, ditransfer, atau didemosi untuk mengisi lowongan. Supply

eksternal berasal dari luar atau mereka yang tidak sedang bekerja di organisasi

tersebut dan siap direkrut oleh organisasi yang membutuhkan. Lebih lanjut

dikatakan kebutuhan organisasi harus di bandingkan dengan penyediaan tenaga

kerja yang ada. Tidak hanya sekedar menghitung jumlah karyawan. Harus

dilakukan audit tenaga kerja yang sudah ada untuk mengetahui kemampuan

pekerja yang ada. Informasi ini menjadi dasar estimasi tentatif mengenai

lowongan-lowongan yang dapat diisi oleh karyawan yang ada.

Pada kebutuhan kompetensi (pendidikan, lama bekerja dan

pangkat/golongan) maka terlihat keterbatasan sdm pada dinas kehutanan di

tingkat kabupaten. Agar dapat me-manage sdm yang ada, maka unsur lama

bekerja dan pangkat dan golongan sebaiknya tidak menjadi prasyarat utama

dalam memenuhi kebutuhan sdm pada struktur organisasi KPH namun

pertimbangan kemampuan pekerja meliputi usaha dan tanggungjawab menjadi

Page 127: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 109

dasar estimasi tentatif mengisi lowongan yang dapat diisi oleh sdm yang telah

ada. Struktur organisasi KPH Model di Papua telah disusun dalam rancang

bangun KPHP model seperti Gambar 3.

Gambar 3. Struktur Organisasi KPHP Model berdasarkan dokumen rancang

bangun KPHP Model Sorong.

Berdasarkan Gambar 3. maka untuk struktur organisasi KPHP Model

Sorong yang terdiri dari 3 (tiga) DAS merupakan yaitu DAS Beraur, DAS

Warsamson, DAS Karabra sehingga dibutuhkan 4 (empat) orang sumberdaya

manusia dibidang ekonomi/manajemen/tata usaha. Sumberdaya manusia

tersebut akan mendukung kepala tata usaha. Selanjutnya SDM yang memiliki

kemampuan pengelolaan hutan khususnya budidaya, manajemen dan konservasi

hutan baik sarjana maupun diploma dibutuhkan lebih dari dua puluh satu orang

yang menempati jabatan mulai dari KBKPH, Kepala seksi dan kepala resort.

Sedangkan untuk struktur organisasi KPHP Model Yapen yang memiliki 1

(satu) DAS yaitu DAS Yapen dalam dibutuhkan 4 (empat) orang sumberdaya

manusia dibidang ekonomi/manajemen/tata usaha dan membutuhkan SDM yang

memiliki kemampuan pengelolaan hutan khususnya budidaya, manajemen dan

konservasi hutan baik sarjana maupun diploma dibutuhkan lebih dari delapan

Page 128: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

110 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

orang yang menempati jabatan mulai dari KBKPH, Kepala seksi dan kepala

resort.

Untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia tersebut dapat di

peroleh melalui pembukaan lapangan kerja bagi lulusan fakultas kehutanan unipa

dan sekolah menengah atas kejuruan kehutanan yang berada di Kabupaten

Manokwari. Ketersedian sumberdaya manusia tersebut terlihat dari setiap

tahunnya Unipa menghasilkan 92 alumni kehutanan. Sedangkan di SMK

Kehutanan dapat menyediakan sdm kehutanan sekitar 30 alumni tiap tahunnya.

Namun untuk memenuhi kebutuhan tenaga berdasarkan pangkat dan

pengalaman kerja maka ketersediaan SDM teknis pada dinas kehutanan provinsi

dan kabupaten diharapkan mampu mengisinya.

Faktor ketiga yaitu keterbatasan sumber pembiayaan daerah juga menjadi

salah satu faktor lambatnya pembangunan KPH di Papua. Implikasi finansial dari

desentralisasi pengelolaan hutan adalah pada peningkatan kebutuhan anggaran

untuk bisa menjalankan fungsi-fungsi yang diberikan tersebut. Untuk itu, UU

No.25/1999 berupaya mengatur agar dalam menjalankan program desentralisasi

juga tercapai keseimbangan yang memadai antara beban fungsi dan sumberdaya

finansial yang dimiliki daerah. Lewat pengaturan keseimbangan fiskal yang baru

maka akan terjadi perimbangan keuangan yang baru, baik dalam dimensi vertikal

(antar tingkatan pemerintahan) maupun horizontal (antar pemerintah daerah di

tingkat yang sama). Dalam konteks inilah maka peran dana perimbangan

(khususnya Dana Alokasi Umum - DAU) menjadi sangat sentral dalam upaya

menyeimbangkan perbedaan potensi dan kebutuhan antar daerah (dimensi

horizontal) dan menyeimbangkan perbedaan sumberdaya dan beban fungsi antar

tingkat pemerintahan (dimensi vertikal). Sejalan dengan hal tersebut maka perlu

diatur sumber pendanaan dan mekanismenya dalam menjalankan unit KPHP

Model di Papua.

Di lain pihak saat ini telah disusun strategi untuk segera mewudkan pra

kondisi dan pengorganisasiaan kawasan sehingga diperoleh kemantapan status

dan batas kawasan terbabas dari konflik, disamping membentuk institusi

pengelola yang memiliki legitimasi hukum. Strategi tersebut antara lain :

1. Percepatan legislasi UPTD sebagai institusi pengelola KPHP Model Register II

kabupaten sorong.

2. Sosialisasi intensif kepada stakeholder tentang model pengelolaan hutan

dengan wadah KPH.

Page 129: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 111

3. Memprioritaskan kegiatan pada unit-unit kelola potensial yang ada pada areal

kerja KPHP model.

4. Mengintensifkan pengembangan SDM pengelola KPHP.

5. Optimalisasi pembentukan unit-unit usaha jasa lingkungan dan hutan

kemasyarakatan.

6. Optimalisasi usaha produksi kayu dan non kayu.

7. Optimaslisasi implementasi TPII/SILIN dalam peningkatan produktivitas LOA

8. Mengupayakan sumber-sumber pembiyaan di luar APBN dan APBD

Strategi yang disusun tersebut selain membutuhkan sumber dana juga

menuntut peran para pihak untuk menjalankannya. Karsudi (2010)

menyebutkan, berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh maka terdapat 3

kelompok yaitu :

1. Kelompok sponsor yaitu, pejabat pada top organisasi yang bertanggungjawab

memimpin jalannya perubahan; menjamin komitmen publik dan politik dan

memecahkan masalah-masalah dalam pembangunan atau penyempurnaan

kelembagaan.

2. Kelompok pelaku perubahan yaitu, individu (atau kelompok) yang mengelola

implementasi program-program perubahan.

3. Partisipan perubahan yaitu, setiap orang atau kelompok yang dipengaruhi

secara positif (diuntungkan) maupun secara negatif (dirugikan) oleh

perubahan dengan tingkat keterlibatan yang sangat bervariasi tergantung dari

interest, kedekatan lokasi dan sebagainya.

Pada tahap pembentukan kelembagaan pengelola di tingkat tapak (KPHP

Model) maka saat ini peran kelompok sponsor di daearah seperti Dinas

kehutanan kabupaten setempat, dinas kehutanan provinsi setempat, BPKH dan

Bupati dan Gubernur sangat penting untuk mendorong keberhasilan pengelolaan

hutan di Papua.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian diketahui kelembagaan KPH Model di Papua

telah dirancang sesuai dengan kapasitas sumberdaya di tingkat tapak dan telah

mempertimbangkan berbagai faktor kebutuhan entitas lokal dan faktor prioritas

keberhasilan pembangunan KPH di Papua.

Dalam menerjemahkan faktor-faktor tersebut maka hasil analisis peran

menunjukkan pada tahap pembentukan kelembagaan pengelola di tingkat tapak

Page 130: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

112 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

(KPHP Model) peran kelompok sponsor di daearah seperti Dinas kehutanan

Kabupaten setempat, dinas kehutanan provinsi setempat, BPKH dan Bupati dan

Gubernur sangat penting untuk mendorong keberhasilan pengelolaan hutan di

Papua.

Berdasarkan kesimpulan tersebut maka penyempurnaan konsep

kelembagaan KPH di Papua mengacu pada hal-hal tersebut :

1. Factor kunci keberhasilan pembangunan KPH di Papua bertumpu pada

kebijakan, sumberdaya manusia dan pendanaan. Kebijakan merupakan faktor

utama yang berpengaruh dalam pencapain tujuan KPH baik di Provinsi Papua

dan Papua Barat, maka untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan

Kebijakan yang kelembagaan secara utuh yaitu sumberdaya manusia, aturan

dan pendanaan sebagai upaya melengkapi peraturan perundangan terkait

pembangunan KPH di Papua dan Papua Barat.

2. Struktur organisasi KPH Model di Papua telah dirancang sesuai dengan

kepentingan pengelolaan hutan. Namun kapasitas (kompetensi dan

ketersediaan) sumberdaya di tingkat tapak masih perlu ditingkatkan sehingga

mampu memenuhi kebutuhan SDM pada setiap struktur organisasi KPH yang

dibentuk.

DAFTAR PUSTAKA

Karsudi, 2010. Strategi Pengembangan Ekowisata dalam Kerangka Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua.

Kayoi, 2008. Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua. Materi Eskpose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Tidak diterbitkan.

Pietsau Amafnini, 2009. Kerusakan Hutan di Papua. Blog Pitsau. Akses pebruari 2010.

Pujangkoro, S.A 2004. Analisis Jabatan (Job Analysis). e-USU Depository. Universitas Sumatera Utara .

Pustaka Net, 2008. Analisis pembentukan Kelembagaan perangkat daerah. Suatu Studi Kasus pada Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral di Provinsi Bengkulu. Tesis Administrasi Publik. PustakaNet.wordpress.com. akses 10 November 2010.

Tony Djogo, Sunaryo, Didik Suharjito dan Martua SiraitTony Djogo, 2003. Bahan ajar Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Word Agroforestry Centre (ICRAF).

Yudhi, 2008. Perencanaan Sumberdaya Manusia. Blog Yudhi.akses 10 Nov 2010.

Page 131: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 113

“DARI CELAH EKSISTENSI MASYARAKAT ADAT”, BELAJAR DI TELUK BRUYADORI - PAPUA

Henry S. Innah1), Sarah Yuliana1), dan Laban Mandibodibo1)

1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia

PENDAHULUAN

Ruang penelitian sangat terbuka lebar ketika obyek penelitian mengambil

tempat di Tanah Papua. Ruang tersebut semakin mengasyikkan ketika subjek

penelitian yang merupakan masyarakat adat Papua diketahui memiliki diversitas

yang tinggi. Jika merujuk pada tulisan Lewis (2009), dikemukakan bahwa jumlah

bahasa di Papua adalah 276. Ini dapat menjadi suatu indikator bahwa kelompok

masyarakat adat di Papua memiliki keunikan dan keragaman budayanya masing-

masing. Dengan julukan sebagai wilayah dengan formasi ekosistem terlengkap di

dunia, Tanah Papua dihuni oleh suku-suku yang menyebar dan menempati

ekosistemnya mulai dari pantai hingga dataran tingginya.

Lahan atau tanah, merupakan „mama‟ atau ibu kandung bagi masyarakat

asli Papua. Konsep lahan juga mencakup sumber daya yang terkandung di dalam

dan di atas tanah. Dengan demikian, apabila diterjemahkan lebih detil, maka

lahan kemudian mencakup hutan, tanah pertanian, penggembalaan, perairan,

tambang dan mineral, dan dapat menjadi sumber untuk penghidupan

masyarakat.

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah, bagaimana seyogyanya

eksistensi masyarakat adat dengan lahannya dipahami? Dan bagaimana

seyogyanya regulasi menjangkau keinginan masyarakat adat terkait penggunaan

lahannya?. Kondisi ini menjadi penting sejak Keputusan Mahkamah Konstitusi

nomor: MK 35/PUU-X/20121, keberadaan hutan adat akhirnya diakui dan mesti

dikeluarkan dari hutan negara. Keputusan MK ini, telah membuahkan banyak

pekerjaan rumah, yang berarah pada pengakuan hak masyarakat adat, tidak

terkecuali yang ada di Tanah Papua. Keputusan MK juga telah menghapuskan

hak negara atas kawasan hutan adat, yang sesungguhnya merupakan counter

1 http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2013/05/putusan_sidang_35%20PUU%202012-Kehutanan-telah%20ucap%2016%20Mei%202013.pdf

Page 132: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

114 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

atas hegemoni melalui UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sebenarnya -secara

hukum, hak masyarakat adat di Papua atas lahan dan hutannya, telah diakui

dan dieksplisitkan dengan tegas melalui UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus

bagi Provinsi Papua. Tulisan ini mencoba mengungkapkan kondisi yang terjadi di

Teluk Bruyadori di Pulau Numfor Papua.

SEJAUH MEMANDANG

Dalam Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua tahun 20092, ditegaskan

kembali oleh AMAN3 bahwa Masyarakat Adat adalah:

Sekelompok masyarakat yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat

Berdasarkan kondisi ekosistem yang ada, melalui Forum Kerja Sama

Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, telah ditetapkan 7 Wilayah Adat Papua

antara lain: (1) Mamta meliputi pantai utara, (2) Saireri meliputi wilayah

kepulauan di bagian utara dan daratan tengah, (3) Domberay meliputi Kepala

Burung, (4) Bomberay meliputi sebagian Kepala Burung dan Bagian Barat, (5)

La-Pago meliputi Pegunungan Tengah Bagian Timur, (6) Me-Pago meliputi

Pegunungan Tengah sampai wilayah Enarotali , dan (7) Ha-Anim meliputi bagian

selatan (Gambar 1).

Gambar 1. Wilayah Adat Papua

2 http://mrpapua.wordpress.com/2009/11/11/kelompok-kerja-adat-mrp-lokakarya-land-tenure-dan-hutan-papua-hotel-sentani-indah-17-18-juli-2009/ accessed 5 September 2011 3 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

Page 133: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 115

Tujuh Wilayah Adat yang dikemukakan ini akan lebih menarik lagi apabila

dapat dirinci ke dalam wilayah-wilayah terkecil menurut kelompok yang eksis.

Untuk memudahkan, penulis akan fokus pada Etnis Byak yang bermukim di

Kabupaten Biak – Numfor dan Kabupaten Supiori. Pada wilayah ini ada Dewan

Adat Biak (Kankain-Kakara Biak/KKB) yang berkedudukan di Kota Biak,

merupakan representasi dari eksistensi masyarakat adat Biak secara keseluruhan.

Secara tegas, KKB ada untuk mengawal hak dasar masyarakat adat Papua secara

umum dan masyarakat Biak secara khusus (struktur lihat Gambar 2).

Gambar 2. Struktur Pemerintahan Adat yang eksis di Biak

Wilayah pemerintahan adat terkecil di Biak adalah mnu/kampung. Di tiap

wilayah (Numfor dan Biak), beberapa mnu berada dalam suatu lembaga sup fyor

atau sup Mnuk, yang mana sub fyor/sub Mnuk ini berfungsi sebagai tempat

penyelesaikan persengketaan apabila di tingkat mnu tidak mampu lagi di

selesaikan. Pimpinan (mananwir) Sup fyor dan Bar, biasanya dipilih dari

mananwir (kepala) mnu yang dianggap mampu oleh masyarakat atau beberapa

mananwir mnu. Kemampuan menguasai adat setempat adalah syarat utama dari

penentuan menjadi mananwir sup fyor (Sumiarni et al. 2008).

Di dalam wilayah pemerintahan mnu, terdapat beberapa keret utama yang

mendiami wilayah Mnu dimaksud. Keret-keret ini biasanya terdiri dari keret kecil

(sim) yang biasa diibaratkan dengan buah jeruk yang memiliki ruas/ruangan

masing-masing. Pada waktu lalu, dengan adanya rumah adat Biak (Runsram),

Page 134: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

116 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

maka akan jelas terlihat bahwa di setiap kamar rumah tersebut, akan terdapat

sub keret yang merupakan keluarga-keluarga hasil ikatan perkawinan dengan

keret lainnya. Keret memilki wilayah/lahan untuk dikelola bersama seluruh

anggota keluarganya.

Pada waktu lampau, keret-keret utama memiliki wilayah territorial yang

cukup luas, namun seiring dengan perkembangan penduduk dan kebutuhan

lahan, maka pembagian-pembagian lahan kepada anggota keluarga merupakan

hal yang tidak dapat dihindari. Bahkan, potensi pendudukan lahan oleh keret

lain dengan berbagai alasan kerap terjadi, sehingga tidak jarang menimbulkan

konflik. Saat ini, beberapa keret harus memperjelas eksistensi mereka pada

lahan-lahan tertentu dengan pemancangan papan nama batas hak ulayat. Bagian

ini kemudian memperjelas gambaran bahwa kelembagaan masyarakat adat

terkecil di Biak-Numfor yang berperan penting dalam distribusi dan pemanfaatan

lahan adalah kelompok Keret. Selanjutnya adalah memastikan siapa saja yang

ditunjuk oleh anggota kelompok keret sebagai pemimpin kelompok. Istilah lokal

ialah mananwir/manseren. Komunikasi dengan keret memiliki legitimasi ketika

dilakukan dengan pemimpin-pemimpin keret (Innah et al. 2013).

MEMBONGKAR SEJARAH

Menelusuri kelompok masyarakat adat dan wilayah teritorinya, hanya

dapat dilakukan dengan baik ketika memperoleh informasi langsung dari

kelompok masyarakat adat sendiri. Ceritera para tokoh adat atau pemimpin-

pemimpin lokal yang representatif dapat dirangkai untuk menemukenali struktur

kelembagaan dan wilayah teritori, disamping kunjungan lapangan yang tidak

dapat dianggap sepele.

Sebagai contoh kasus, dalam suatu kunjungan penelitian ke wilayah Teluk

Bruyadori – Pulau Numfor, terungkap bahwa berdirinya kampung Bawey melalui

proses sejarah panjang. Kampung Bawei pada awalnya dimiliki oleh tiga marga

besar yaitu Mambraku-Mambrasar, Rumaseb, dan Wanma yang merupakan

orang Byak. Sebelumnya, Kampung Bawei lama di temukan oleh Mambrasar

yang merupakan orang asli di Pulau Biak. Keluarga Mambrasar menyeberangi

laut dan berlayar ke Pulau Numfor, dan tiba pertama kali di wilayah Yemberuwo

(saat ini merupakan lokasi Bandara Pulau Numfor-Biak). Karena berselisih

dengan penduduk yang lebih dahulu mendiami daerah Yemberuwo, Keluarga

Mambrasar kemudian pindah ke daerah di sebelah timur yang disebut Andei.

Page 135: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 117

Wilayah Andei telah lebih dahulu didiami oleh Marga Baransano. Karena ada

sedikit perselisihan, keluarga Mambrasar kemudian berpindah ke Syoribo

(sebelah barat Andei). Pada saat kaum keluarga Mambrasar memasuki hutan

sekitar Syoribo untuk berladang, Mambrasar memutuskan untuk mendayung

perahu ke daerah timur hingga selatan, hingga menjumpai Teluk yang sangat

indah. Setelah mengintari Teluk tersebut (Teluk Bruyadori), Mambrasar melihar

melimpahnya buah Aibon (Bruguiera sp.) yang juga merupakan makanan orang

Biak di sekitar Teluk. Mambrasar kemudian menemukan lokasi (Kampung Lama

Bawei) sebagai tempat yang sangat cocok bagi keluarga Mambrasar untuk

bermukim. Keluarga Mambrasar berhasil menempati lokasi dimaksud, dan

terhindar dari musibah kelaparan yang melanda Pulau Numfor pada masa

tersebut. Dari Bawei, keluarga-keluarga Mambrasar menyebar dan menempati

beberapa tempat yang saat ini telah menjadi kampung-kampung di sekitar Teluk

Bruyadori.

Gambar 3. Marga sekitar Kampung Bawei Pulau Numfor – Biak

(dimodifikasi dari Galis, 1970)

Karena wilayah Kampung Lama semakin padat dengan penduduk,

diputuskan untuk pindah ke sebelah daratan (Kampung Bawei Baru), walaupun

Page 136: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

118 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

beberapa rumah berlabuh dan bekas-bekas rumah masih jelas terlihat. Seiring

dengan perkembangan penduduk dan pemekaran Distrik, Kampung Bawei

memperoleh kesempatan untuk menikmati kegiatan pembangunan sarana

pemukiman melalui program-program Rencana Strategis Pembangunan Kampung

(RESPEK).

Menurut adat, batas Kampung Bawei sebagai berikut: Sebelah utara:

Kampung Manggari (aliran sungai dengan kamumi (mata air); Sebelah timur:

Kampung Dafi; Sebelah Selatan: Kampung Sandaw (Aliran sungai dengan

kamumi (mata air) sebagai batas alam); Sebelah Barat: Numfor Barat

(pertengahan Pulau Numfor/titik tertinggi). Secara administratif, Kampung Bawei

resmi dibentuk seiring dengan pemekaran 3 kecamatan Baru di wilayah Distrik

Numfor Timur yaitu Distrik Poiru, Distrik Bruyadori, dan Distrik Orkeri pada

tanggal 5 Maret 2009 (lihat BPS 2010)

Struktur pemerintahan apabila disandingkan dengan struktur

pemerintahan adat menunjukkan terjadinya komunikasi intens antara para

pejabat kepala kampung. Pihak Gereja tidak terlepas dari struktur yang ada,

karena masyatakat Kampung Bawei memahami serta mengakui bahwa “tiga

tungku” yang terdiri dari pemerintah, adat, dan gereja perlu berjalan beriringan

untuk memperkuat eksistensi kelembagaan yang ada (Gambar 4).

KEPALA KAMPUNG BAWEI:

YANCE SADA

KEPALA DISTRIK POIRU:

ANGGRIS MANSBAWAR

SEKKAM BAWEI:

ARIUS BINUWASEBDUSUN I:

MATHIAS YEMBISE

DUSUN 2:

FESTUS MAYOR

DUSUN 3:

YUNUS RAYAR

DUSUN 4:

TERA RUMASEB

MANANWIR MNU:

ABERATUS MAYOR

KELOMPOK

MARGA I:MAMBRAKU

MAMBRASAR

KELOMPOK

MARGA 2:RUMASEB

KELOMPOK

MARGA 3:WANMA

RUMBIAK

Data Primer: 2012

KELOMPOK

MARGA 6:BINNUASEF

MAYOR

KELOMPOK

MARGA 5:RAYAR

KAPISA

MANGSOMBRAP

OPUR

SADA

RUMBINDOS

KELOMPOK

MARGA 4:SANADI

ORISU

DIMARA

MIRINO

BOKORPIOPER

SUKAN

YEMBISE

Gereja Kristen Injili (GKI) +

GPKI

Jemaat Kampung Bawey

Gambar 4. Struktur “tiga tungku” di Kampung Bawei Pulau Numfor – Biak

Page 137: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 119

LANGKAH PENENTU

Marga-marga besar memiliki batas wilayah/teritori yang disepakati

menurut kesepakatan setempat dan diketahui oleh pemerintah setempat.

Legitimasi pemerintah setempat tinggi karena dijabat oleh warga setempat, ini

merupakan salah satu kunci sinergi yang sementara berjalan di Bawei. Kesamaan

identitas dalam aparat lembaga pemerintahan dan adat dapat menjadi faktor

peningkat sinergitas yang ada. Identitas kolektif patut diperhatikan, karena

merupakan suatu pertautan antara individu dan sistem budayanya, atau

bagaimana perasaan individu terlibat dengan individu lain dalam kelompok yang

sama dalam suatu upaya terkait perubahan sosial (lihat Ashmore et al. 2004,

Eccles 2009).

Pertanyan-pertanyaan berikut misalnya: bagaimana pembangunan fasilitas

umum dapat dilakukan, bagaimana pemanfaatan hutan atau teluk sebagai

sumber daya milik bersama dan seterusnya, maka jawaban kemudian dengan

mudah akan diperoleh ketika dapat menempatkan para “mananwir” sebagai

tokoh kunci dan difasilitasi oleh “pemerintah” dan “lembaga gereja”. Alokasi

pemanfaatan lahan sudah bisa diketahui apabila para “mananwir” bersepakat.

Kembali kepada persoalan awal, bagaimana eksistensi masyarakat adat

dan lahannya serta bagaimana eksistensi regulasi berpadu? Dari uraian di atas,

dengan jelas kita akan menemukan bahwa semua lahan di Numfor telah dibagi

habis ke dalam wilayah teritori marga setempat. Oleh karena itu sepertinya tidak

ada celah untuk mengatakan hutan milik negara menurut perspektif masyarakat.

Selanjutnya, fasilitasi aktor lokal oleh pemerintah diperlukan agar aktor lokal

dapat mensinergikan diri dengan regulasi yang ada. Aktor-aktor yang merupakan

mananwir keret mesti memiliki visi bersama untuk pengelolaan sumber daya

hutan dan lahan mereka.

PENUTUP

Dari proses dan ceritera sejarah memperlihatkan bagaimana kepemilikan

lahan bersifat dinamis, serta terkait erat dengan tekanan penduduk dan peluang-

peluang ekonomi. Perubahan ini tidak mesti selalu dikumandangkan, namun

termanifestasi dalam praktek sehari-hari. Efek kebijakan dan regulasi nasional

terkait pemanfaatan lahan dan hutan dapat saja memberikan legitimasi untuk

melakukan proses-proses pemindahtanganan lahan secara administratif/legal

Page 138: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

120 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

formal, tentu saja dengan mengakui eksistensi masyarakat adat setempat. Oleh

sebab itu sistem kepemilikan lahan masyarakat adat yang selalu ter-updated

akan membantu proses perubahan dan menguatkan kebijakan dan aturan

tentang lahan yang berbasis kearifan setempat.

DAFTAR BACAAN:

Ashmore RD, Deaux K, McLaughlin-Volpe T. 2004. An organizing framework for collective identity: articulation and significance of multidimensionality. Psychological Bulletin 130(1):80–114. http://dx.doi.org/10.1037/00332909.130.1.80.

[BPS] Badan Pusat Statistik Biak-Numfor. 2010. Biak Numfor Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Biak Numfor.

Eccles J. 2009. Who am I and what am I going to do with my life? Personal and collective identities as motivators of action. Educational psychologist. http://dx.doi.org/10.1080/00461520902832368.

Galis KW. 1970. Land Tenure in The Biak-Numfor Area. In Ploeg A. (eds). Land tenure in West Irian. New Research Unit-ANU: 1-12 Guinea Research Unit, The Australian National University, Number 38

Innah HS, Suharjito D, Dharmawan AH, Darusman D. 2013. Collective Action Typologies and Reforestation in Indigenous Community of Biak-Papua. Journal Manajemen Hutan Tropika XIX (1):11-23. DOI: 10.7226/jtfm.19.1.11

Lewis MP. 2009. Ethnologue: Languages of the World, Sixteenth edition. Dallas, Tex.: SIL International. Online version: http://www.ethnologue.com/.

Mansoben J. 2003. Sistem politik tradisional etnis Byak: Kajian tentang pemerintahan tradisional. Jurnal Antropologi Papua 1(3):1-31.

Roembiak MDE. 2002. Status penggunaan dan pemilikan tanah dalam pengetahuan budaya dan hukum adat orang Byak. Jurnal Antropologi Papua 1(2):17-23.

Sumiarni E, Sundari E, Retnowati A, Hartono Y. 2008. Eksistensi Hukum Adat Byak-Numfor Provinsi Papua. Laporan Penelitian Tim Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pemda Papua dan Pemda Biak Numfor.

Page 139: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 121

PENAFSIRAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DI DISTRIK MENYAMBOW, PEGUNUNGAN

ARFAK KABUPATEN MANOKWARI, PAPUA BARAT

Susan T. Salosa1)

1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia

RINGKASAN

Perubahan iklim secara global (global climate change) turut berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di dunia. Ada komunitas yang tahan terhadap perubahan iklim dan ada pula yang rentan terhadap perubahan iklim. Tingkat kerentanan (Vulnerability) ini ditafsir berdasarkan kombinasi fungsi dari exposure, sensitivity dan adaptive capacity terhadap perubahan iklim. Penelitian dilakukan pada ekosistem pegunungan yang berlokasi di kampung Apui dan Memangker distrik Menyambow, daerah pegunungan Arfak. Kondisi kampung berada di ketinggian di atas 1500 mdpl dan pemukiman yang berada pada daerah lereng menunjukkan fenomena alam dan sosial yang khas pegunungan Arfak. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif dengan teknik wawancara semi struktural guna menggali informasi sosial, ekonomi dan budaya dalam upaya untuk menafsirkan kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim yang terjadi. Termasuk juga pengumpulan data mengenai kondisi biofisik wilayah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bila terjadi perubahan iklim yang ekstrim di wilayah pegunungan Arfak seperti peningkatan suhu dan peningkatan curah hujan maka masyarakat setempat cukup rentan karena tingkat sensitifitasnya adalah agak sensitif ke sensitif dari segi sosial, ekonomi maupun biofisik yang ada. Kehidupan yang umumnya bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama akan terpengaruh. Kondisi pemukiman dan kebun di daerah yang miring tentu akan rentan terhadap erosi, tanah longsor maupun banjir. Kata kunci: Perubahan iklim, Kerentanan (Vulnerability), pegunungan Arfak

I. LATAR BELAKANG

Perubahan iklim (climate change) dan emisi karbon secara global berakibat

pada perubahan suhu pada permukaan bumi. Isu perubahan iklim sebenarnya

bukan isu yang baru, akan tetapi menjadi sangat terkenal ketika terjadi bencana

alam secara besar-besaran melanda seluruh bagian bumi ini. Perubahan suhu

secara umum naik 0,7°C selama beberapa abad terakhir dan dapat berubah

menjadi 1,4 dan 5,8°C dalam jangka waktu 100 tahun ke depan (Locateli, 2010),

tetapi pada daerah yang mempunyai empat musim, musim salju menjadi terasa

lebih dingin. Perubahan iklim dapat menyebabkan timbulnya perubahan pada

sumber-sumber daya di alam yang bergantung pada iklim seperti sistem

hidrologi, pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup (Strange & Thorsen,

2008). Selain itu, ketersediaan air akan juga mengalami perubahan oleh karena

Page 140: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

122 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

kondisi cuaca yang berubah. Perubahan musim berpengaruh pada prediksi waktu

tanam, juga perubahan prediksi waktu untuk melaut bagi nelayan. Adanya

perubahan iklim, menjadikan berbagai sumber pangan potensial mengalami

perubahan dalam proses perkembangbiakan sehingga berpengaruh produksi

(Handoko dkk, 2008). Kondisi ini tampak pada beberapa pangan strategis seperti

padi, jagung, kacang kedelei, tebu dll yang telah menurun hasil produksinya.

Dampak perubahan iklim akan berbeda dari satu tempat ke tempat

lainnya. Dengan demikian, tingkat kerentanan makhluk hidup termasuk

masyarakat yang hidup di sekitar hutan, juga berbeda menurut wilayah.

Perubahan iklim merupakan perubahan yang konsisten, bergerak perlahan

namun pasti dan tidak dapat dihindari. Masyarakat desa umumnya bergantung

pada sumber-sumber daya alam seperti memancing, beternak, sumber

pendapatan, makanan, obat-obatan, penggunaan beberapa jenis tumbuhan

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Carmenza et al, 2005). Diduga bahwa

masyarakat desa dan masyarakat miskin merupakan masyarakat yang rentan

terhadap perubahan iklim karena banyak aktifitas yang dilakukan di luar rumah

yang beresiko terjadi banjir, kebakaran hutan dan lain-lain. Juga, banyak unsur

penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh

iklim, bagaimana keadaan hakiki mereka ketika perubahan iklim ini berdampak

pada ketersediaan jenis pangan atau ketersediaan air atau unsur penting lainnya.

Bagaimana mereka dapat bertahan terhadap perubahan ini bahkan dapat

beradaptasi dalam mempertahankan kehidupan mereka.

Rumusan Masalah

Papua dengan luas 40.803.132Ha, 79,21% diantaranya yakni 32.317.594

Ha adalah hutan. Hutan yang ada mengalami degradasi dan deforestasi yang

diperkirakan mencapai 143.680 Ha/tahun atau 0.14 juta Ha/tahun (Kapissa,

2008). Penurunan kuantita dan kualitas hutan ini umumnya terjadi karena

eksploitasi hutan yang berlebihan sehingga dengan pelarangan ekspor kayu bulat

ke luar negeri dan tata guna lahan yang baik diharapkan dapat menghentikan

pengrusakkan lebih lanjut.

Tingkat degradasi hutan yang tinggi mempengaruhi kondisi iklim secara

global. Perubahan iklim global ini mulai terasa secara lokal dengan meningkatnya

suhu udara dan menurunnya debit air. Di Papua, gejala perubahan cuaca ini

Page 141: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 123

telah ditunjukkan dengan mulai berkurangnya salju abadi di puncak gunung Jaya

Wijaya sejak beberapa tahun lalu (Alidia dkk, 2008).

Penelitian tahun 2010 akan dilakukan pada daerah Manokwari, Provinsi

Papua Barat. Daerah pegunungan Arfak seperti Menyambow dan Anggi mulai

mengalami perubahan suhu secara mikro seperti yang disampaikan oleh

masyarakat. Perubahan ini diperkirakan terjadi karena pembukaan hutan akibat

pembuatan jalan dan persiapan untuk daerah pemekaran. Penilaian akan

dilakukan terhadap tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim. Isu

pokok yang akan dipelajari lebih lanjut dalam penelitian ini yakni perubahan iklim

dan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim menurut

pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya. Tingkat adaptasi masyarakat

tercermin dari pola hidup mereka. Dan bagaimana masyarakat menyikapi

perubahan iklim yang terjadi dengan dan/ tanpa pengetahuan mengenai

perubahan iklim global. Kesiapan pihak pemerintah daerah dalam menanggapi

perubahan iklim, apakah telah terakomodir di dalam perundangan-perundangan

di daerah.

Hipotesis

Objektif dari penelitian ini dituangkan dalam bentuk hipotesis sebagai

berikut:

a. Masyarakat rentan terhadap perubahan iklim.

b. Ada upaya penyesuaian terhadap perubahan iklim yang terjadi

Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari perjalanan penelitian ini adalah

terkumpulnya data dan informasi mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya

untuk menafsirkan tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim.

II. METODE PENELITIAN

a. Lokasi Penelitian

Penelitian bertempat di daerah pegunungan Arfak, kampung Apui dan

kampung Memangker, distrik Menyambow. Kedua kampung ini dipilih karena

berada pada ketinggian di atas 1500 mdpl sesuai prasyarat untuk penelitian

ekosistem pegunungan. Penelitian berlangsung dari bulan Mei - November 2010.

Page 142: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

124 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Gambar 1. Peta lokasi Penelitian (Laksono, 2001)

b. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah qiusioner, alat

tulis menulis, alat perekam (tape recorder), dan alat dokumentasi (kamera) serta

bahan penunjang penelitian lainnya.

c. Proses Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode survei, pengamatan langsung di

lapangan dan dengan menggunakan teknik wawancara. Wawancara dilakukan

dengan menggunakan pertanyaan terbuka (open-ended question) dan

pertanyaan semi terstruktur khusus untuk warga masyarakat.

Responden penelitian adalah informan kunci yang meliputi kepala suku,

tokoh adat dan tokoh masyarakat, serta kepala keluarga. Wawancara dengan

informan kunci dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan

umum masyarakat, pola interaksi masyarakat dengan hutan termasuk introduksi

dan pemikiran dari luar yang telah masuk dan mempengaruhi kehidupan.

Sedangkan wawancara dengan para kepala keluarga meliputi aspek-aspek di

bawah ini :

a. Aspek sosioekonomi: pendapatan rumah tangga, jejaring sosial dan akses ke

informasi

Page 143: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 125

b. Biofisik: kondisi topografi wilayah, kondisi lingkungan dan tutupan lahan.

Aspek-aspek tersebut di atas dapat dirinci sebagai berikut:

1. Exposure:

- Data curah hujan dari Badan Meteorologi dan Geofisika untuk jangka

waktu 10 (sepuluh) tahun

- Debit air pada sungai yang terbesar atau danau

2. Sensitivity

- Aspek sosioekonomi seperti jumlah Penduduk, mata pencaharian,

pendapatan rumah tangga.

- Sumber air: ketersediaan air bersih, udara bersih.

- Sumber pangan: ketersediaan sumber pangan yang bergizi

- Riwayat bencana baik secara ekosistem maupun dalam masyarakat: data

mengenai erosi, banjir, kelaparan atau penyakit.

3. Adaptive Capacity

- Pengetahuan lokal masyarakat dalam memanfaatkan hutan dan menjaga

kelestariannya: alternatif-alternatif yang dipilih untuk beradaptasi dengan

perubahan iklim.

Dari wawancara akan tampak tingkat kerentanan yang terjadi diantara

masyarakat, bila ada beberapa faktor kerentanan yang menonjol, maka akan

dilanjutkan dengan fokus diskusi untuk mendapatkan faktor kerentanan yang

paling utama.

d. Analisis Data

Tingkat kerentanan (vulnerability) itu dinilai menurut fungsi sebagai

berikut:

V=f(E,S,AC)

V= Vulnerability

E= Exposure

S= Sensitivity

AC=Adaptive Capacity

Data yang dikumpulkan kemudian akan dianalisis secara tabulasi.

Page 144: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

126 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Di kawasan pegunungan Arfak terdapat tiga suku yakni suku

Hatam/Moule, Soughb dan Meyakh. Wilayah kampung lain yang juga merupakan

Suku Hatam adalah Kampung Mbenti, Anggra, Apui, Demaisi, dan Memangker.

Masyarakat Hatam yang terdiri dari beberapa kampung ini dipimpin oleh seorang

kepala suku. Susunan kepemimpinan dalammasyarakat pegunungan Arfak

adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Susunan Kepemimpinan dalam masyarakat Arfak (Hastanti & Yeny,

2010)

Kawasan pegunungan Arfak tidak terlepas dari kegiatan pembangunan

yang saat ini sedang berlangsung. Sejalan dengan pemekaran wilayah yang

terjadi di Papua barat, di distrik Menyambow dibangun sarana fisik, seperti jalan

raya. Kampung-kampung yang berada jauh dari jalan kemudian pindah ke

daerah tepi jalan. Kecamatan Menyambow telah dimekarkan menjadi 50

kampung. Jumlah kampung ini sangat tinggi dibandingkan 28 distrik lainnya.

Perbandingan jumlah kampung beberapa distrik di wilayah kabupaten Manokwari

dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Andigpoy/Adhesut

(Kepala Suku)

Pinjoinding/Sutkoiji

(Penasehat)

Nekei

(Hakim)

Pinjoindig/Lusutmos

(perantara)

Page 145: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 127

Grafik 1. Jumlah kampung pada beberapa distrik di wilayah

kabupaten Manokwari

Sedangkan jumlah penduduk pada beberapa distrik di wilayah

pegunungan Arfak dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Grafik 2. Jumlah penduduk beberapa distrik di kabupaten Manokwari

tahun 2007 (BPS, 2008)

Distrik Menyambow memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi bila

dibandingkan dengan distrik-distrik lainnya. Namun jumlah ini sesungguhnya

menurun dari jumlah penduduk periode tahun 2003 dan 2004 yakni 10.815 jiwa

dan 11.417 jiwa.

a. Kehidupan Masyarakat di distrik Menyambow

Masyarakat Menyambow adalah masyarakat Hatam yang tersebar pada

beberapa kampung ini dipimpin oleh seorang kepala suku besar Hatam. Namun

di tiap-tiap wilayah kampung terdapat satu orang kepala urusan adat atau orang

yang dituakan untuk mengambil keputusan yang menyangkut adat.

Suku Hatam dikenal dengan pola kehidupan masyarakat pegunungan yang

hidup dengan bertani, meramu dan berburu. Mereka juga hidup pada rumah

0

10

20

30

40

50

60

Jumlah kampung/distrik

Sururei

Anggi

Taige

Menyambouw

Catubouw

Testega

Anggi Gida

Hingk

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

Jumlah Penduduk/distrik(2007)

Sururei

Anggi

Taige

Menyambouw

Catubouw

Testega

Anggi Gida

Hingk

Page 146: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

128 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

dengan model panggung yang disebut juga rumah kaki seribu. Rumah ini terdiri

dari tujuh dasar atau lantai yakni dari bawah ke atas; ninghimma, ngimabaha,

siraga, bitaua, buhmnewa, tindangan dan ijcowa. Tujuh lantai ini melambangkan

legenda asal-usul orang Arfak. Ada dua ruang utama dalam rumah kaki seribu

yakni ruang perempuan (ngimsi) dan ruang laki-laki (ngimdi).

Dalam masyarakat, perbedaan kepemilikan barang antara anggota

masyarakat yang petani saja dengan yang lainnya adalah dalam bentuk rumah

dan kepemilikan barang elektronik. Rata-rata masyarakat Hatam menghuni

rumah kaki seribu. Namun beberapa keluarga memiliki rumah permanen (beton)

dan rumah papan serta peralatan elektronik seperti televisi, genset, radio, hp dll.

Hubungan kekerabatan yang sangat dekat serta jumlah pasangan muda

yang menikah di usia yang sangat muda mengakibatkan pasangan-pasangan ini

umumnya masih hidup bersama dengan orang tua. Ada juga keluarga lain yang

masih memiliki hubungan darah namun telah menjanda/menduda atau melajang

yang hidup bersama kerabat. Dengan demikian dalam satu rumah dapat terdiri

dari dua keluarga atau lebih.

b. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan dan hutan menurut masyarakat adat Arfak, Konsep igya ser hanjob:

Igya ser hanjob berasal dari bahasa hatam, igya berarti berdiri, ser artinya

menjaga dan hanjob berarti batas. Jadi igya ser hanjob artinya berdiri menjaga

batas. Batas di sini bukan saja berarti batas kawasan, tetapi batas dalam segala

aspek kehidupan masyarakat pegunungan Arfak. Dalam bahasa Moule, igya ser

hanjob juga berarti mastogow hanjob.

a. Bahamti

Bahamti dicirikan dengan pohon-pohon yang berukuran besar dan

berlumut. Kawasan ini merupakan hutan primer yang tidak boleh ditebang oleh

manusia. Dengan demikian aktifitas berkebun tidak boleh ada di kawasan ini.

Akan tetapi untuk alasan tertentu seperti kekurangan bahan dinding rumah yang

sudah tidak ditemui di kawasan lain, dapat diambil di tempat ini dengan ijin dari

andigpoy.

b. Nimahamti

Nimahamti adalah kawasan penyangga karena terdapat pada areal yang

sangat berat topografinya. Masyarakat diperbolehkan untuk berburu dan meramu

Page 147: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 129

di tempat ini juga mereka dapat mengumpulkan rotan (Calamus sp) dan

kulit kayu, akan tetapi tidak bisa untuk berkebun mengingat kondisi yang terjal

serta suhunya yang sangat dingin. Kawasan ini sangat lembab dan lumutnya pun

sangat tebal. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan masih sangat terbatas dan

tergantung ijin dari Andigpoy. Pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut

memperoleh sanksi yang diputuskan oleh nekei melalui sidang adat.

c. Susti

Susti merupakan kawasan yang dapat dimanfaatkan secara bebas baik

untuk berkebun, berburu dan meramu. Kawasan ini umumnya adalah kawasan

kebun berpindah (gilir balik) yang dibiarkan menjadi hutan kembali (hutan

sekunder). Semua anggota masyarakat dapat memanfaatkan kawasan ini

termasuk perempuan dan anak-anak.

Untuk orang-orang yang berpindah tempat tinggal (merantau) ke kota

untuk sekolah atau kerja, kepemilikan atas lahan pertanian di kampung dapat

tetap bertahan bila ada kerabat atau keluarga yang menjaga tanah tersebut di

kampung. Namun bila sama sekali tidak ada keluarga dekat yang menjaga dan

perantauan di atas 5 (lima) tahun maka dipandang bahwa orang tersebut telah

pindah dan lahan di kampung dapat dipakai oleh orang lain.

c. Kegiatan berkebun

Lahan pertanian yang diusahakan adalah lahan yang berada dalam batas

wilayah adat dan batas marga, klan atau keluarga. Masyarakat tidak

diperkenankan untuk berada atau melewati batas tanah miliknya. Sistem

pengolahan tanah adalah sistem berpindah dari satu tempat ke tempat lain

dalam batas wilayah tanahnya. Tanah tersebut diolah setelah dibiarkan selama

beberapa tahun untuk tumbuh kembali. Menurut Professor San Afri Awang

(pers.comm.), sistem perladangan seperti ini lebih tepat disebut sebagai sistem

perladangan bergilir karena masyarakat menurut kearifan tradisionalnya

berladang pada lokasi dan tempat yang telah disepakati pada waktu tertentu

secara bergantian. Sistem rotasi pertanian dilakukan oleh masyarakat bervariasi

dari satu hingga tiga tahun yakni di daerah reshim, mukti, ampiabei, dan hubim.

Dalam sistem pengolahan hutan, sistem kepemilikkan sangat

mempengaruhi kegiatan yakni kepemilikan dalam adat, kampung, marga, klan

dll. Pelanggaran terhadap batas wilayah akan ditandai dengan pembayaran

denda. Ini termasuk pelanggaran batas saat berburu, tidak boleh melewati batas

Page 148: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

130 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

yang sudah ditetapkan. Denda yang diberikan adalah berupa kain timor, babi,

dan uang. Dan jumlahnya ditentukan oleh pihak yang menuntut.

Urutan kegiatan berkebun dimulai dari kegiatan pembersihan semak

belukar dan tumbuhan bawah, diikuti dengan pemotongan dahan-dahan pohon

yang rendah dan selanjutnya pohon-pohon dimatikan dengan peneresan

sehingga dapat dijadikan kayu bakar. Kegiatan penebangan lebih banyak

dilakukan oleh kaum pria sedangkan kaum wanita mengambil bagian saat

membakar dan menanam. Setiap jenis tanaman memiliki musim tanam yang

berbeda misalnya untuk kebun kentang, penebangan akan dimulai pada bulan

mei dan akan dibakar yang dilanjutkan dengan penanaman. Penentuan musim

tanam biasanya didasarkan pada peredaran matahari seperti terbitnya matahari

di gunung kalinggut untuk musim kemarau dan musim hujan bila matahari terbit

di gunung iwom. Namun sejalan dengan adanya perubahan dalam musim hujan

dan panas maka masyarakat biasanya mulai membakar kebun setelah panas

yang cukup lama, misalnya 2 (dua) minggu. Pemanenan disesuaikan dengan

tingkat kebutuhan dan kesediaan dana untuk membayar angkutan untuk ke

pasar. Sementara itu kegiatan pemanenan hasil hutan tidak dilakukan sesering

ke kebun karena yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat adalah dari

kebun. Masyarakat berkebun di wilayah susti. Para wanita mengunjungi hutan

pada musim-musim tertentu, seperti musim buah dan musim jamur. Sedangkan

di luar musim-musim tersebut, hutan lebih banyak dikunjungi oleh para pria

untuk tujuan mengambil kayu, bahan obat dan berburu.

d. Perubahan Iklim di Menyambow

Masyarakat telah merasakan bahwa suhu udara di Menyambow sudah

berubah menjadi lebih hangat. Mereka menduga bahwa perubahan iklim mikro

itu terjadi sebagai akibat dari pembuatan jalan ke distrik-distrik terpencil.

Namun bila diamati dengan baik, di pegunungan Arfak belum ada imigrasi

bahkan di beberapa kampung tampak bahwa nama kepala keluarga tercantum

pada daftar warga kampung, namun keluarga tersebut bermukim di kota.

Penggunaan lahan masih tetap berdasarkan keluarga yang ada dan wilayah susti

dapat dikatakan relatif masih memadai untuk pertanian. Jadi ekologi masih relatif

utuh kecuali bagian jalan dan pemukiman maka diduga bahwa perubahan yang

terjadi saat ini merupakan efek dari perubahan iklim global (global climate

change). Perubahan yang tetap terjadi walaupun kondisi daerah tersebut relatif

Page 149: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 131

aman. Minimnya data mengenai kondisi udara, suhu, curah hujan di lokasi

penelitian menimbulkan kesulitan dalam menentukan penyebab kondisi ini secara

pasti.

e. Tafsiran kerentanan terhadap perubahan iklim

Indikator kerentanan masyarakat pegunungan Arfak terhadap perubahan

iklim ditunjukkan oleh faktor-faktor yang sensitif terhadap perubahan iklim yakni

sosial dan budaya, ekonomi, ekologi, dan hidrologi. Yang kemudian dinyatakan

dengan nilai sangat sensitif (4), sensitif (3), kurang sensitif (2), tidak sensitif (1).

Indikator-indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Indikator Sensitifitas Masyarakat terhadap Perubahan Iklim di Pegunungan Arfak

Kriteria Aspek-aspek Kategori nilai

I. Sosial dan budaya

- Kepadatan penduduk 1

- Pendidikan 3

- Pengetahuan adaptif 2

- Kelembagaan 2

- Budaya 4

Total 12

Rata-rata 2,4 (agak sensitif)

II. Ekonomi - Mata pencaharian 3

- Pendapatan 4

- Sumber-sumber ekonomi

4

- Jumlah tanggungan 4

Total 15

Rata-rata 3,75 (Sensitif

sampai sangat

sensitif)

III. Ekologi - Degradasi hutan 2

- Deforestasi 2

Page 150: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

132 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Kriteria Aspek-aspek Kategori nilai

- Tumbuhan introduksi 3

Total 8

Rata-rata 2,67 (kurang sensitif

sampai sensitif)

IV. Hidrologi - Berkurangnya sumber-sumber air

1

- Berkurangnya debit air 1

- Air bersih 2

Total 4

Rata-rata 1,33 (tidak sensitif)

TOTAL I,II,III,IV 10,15

RATA-RATA I,II,III,IV 2,5 (kurang

sensitif sampai

sensitif)

Dari tabel di atas tampak bahwa secara keseluruhan daerah pegunungan

Arfak ada dalam kategori antara kurang sensitif dan sensitif. Faktor ekonomi ada

dalam kategori sensitif sampai sangat sensitif karena mata pencaharian

masyarakat umumnya bertani dengan jenis yang relatif sama. Pendapatan dari

hasil pertanian pun masih sangat rendah.

Kehidupan masyarakat di pegunungan Arfak hidup umumnya dari

pertanian dengan menanam tanaman yang sesuai hidup pada suhu yang rendah

yakni antara 14-22°C seperti tanaman daun bawang, kol, sawi, strawberry, labu,

markisa, tomat dan ubi-ubian. Itu adalah sumber kehidupan mereka. Keberadaan

uang kontan (cash) hanya dapat diperoleh bila masyarakat dapat menjual ke

pasar. Namun hasil yang diperoleh hampir sebesar ongkos angkutan yang

dipakai ke pasar. Barang-barang umumnya dijual dengan kiloan dalam karung

karena masyarakat menghendaki uang kontan secepatnya untuk membayar

ongkos angkutan.

Pendapatan rumah tangga dapat dikatakan rendah hanya dapat digunakan

untuk membeli sembilan bahan pokok (sembako) dalam jumlah yang minim.

Tidak ada pendapatan lain kecuali PNS dan guru jemaat (pelayan di gereja) yang

masih memiliki tambahan penghasilan.

Page 151: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 133

Adanya ketergantungan yang erat terhadap pertanian tentu saja akan

rentan bila terjadi perubahan iklim yang ekstrim mempengaruhi kehidupan

tumbuhan yang ada. Sampai saat ini hasil pertanian masih memadai dan cukup

dikonsumsi serta dijual. Namun bila terjadi panas yang ekstrim dan

mempengaruhi tanaman yang ditanam di kebun maka tentu saja ini akan

berakibat terhadap pendapatan dan kehidupan masyarakat. Perlu dipikirkan

mengenai alternatif tanaman yang tahan kepada suhu yang lebih tinggi karena

jenis-jenis yang ada masih merupakan jenis tanaman pada suhu tinggi serta jenis

yang sesuai dengan biofisik setempat. Jenis ubi-ubian seperti singkong dan ubi

jalar serta pisang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berbuah yakni

selama 5 bulan dan 12 bulan.

Adanya kehadiran jenis-jenis tumbuhan lain di kebun dan lahan pertanian

mereka yang sebelumnya tidak ada seperti rumput kota, tanaman sejenis sirih

hutan (amuan - Piper sp.), bunga ungu (lepsau mbre). Tumbuhan-tumbuhan ini

dapat tumbuh dengan cepat dan akarnya kuat sehingga menyulitkan dalam

pembersihan.

Masyarakat banyak yang merantau ke kota untuk bersekolah terutama

generasi muda. BPS, 2008, menyebutkan bahwa penduduk Menyambow tampak

menurun yakni 2003 (10.815 jiwa), 2004 (11.417 jiwa), 2005 (5.566 jiwa), 2006

(6.021 jiwa), dan 2007 (6.367 jiwa) diduga karena ada urbanisasi dan

pembentukan distrik baru. Banyak juga yang pindah ke daerah Warmare, Prafi

kampung Umbui. Ketika tinggal lama di kota, ada yang kembali ke kampung

namun ada pula yang tidak atau jarang kembali dengan alasan tidak tahan

dengan udara dingin. Mereka lebih betah di kota karena lebih ramai, dekat ke

pasar untuk menjual hasil kebun dan tidak dingin. Sementara itu, masyarakat di

Menyambow mengatakan bahwa suhu sekarang ini lebih hangat dari suhu udara

sebelumnya. Diperkirakan bahwa tahun 1990-an, suhu udara di malam hari

adalah sekitar 10°C.

Dengan akses jalan yang baik maka daerah yang sebelumnya hanya dapat

dicapai dengan jalan kaki selama ± 6 (enam) jam dari Warmare, kini dapat

ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam. Daerah pegunungan Arfak terutama

distrik Menyambow merupakan distrik dengan jumlah kampung terbanyak yakni

103 kampung. Daerah ini direncanakan akan menjadi daerah dengan fokus

pengembangan pertanian. Sementara itu, kebutuhan akan pembangunan akan

mendorong perluasan daerah susti untuk pembangunan dengan menebang

Page 152: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

134 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

bahamti. Kampung yang berada di daerah lereng-lereng yang terjal tentu akan

menyulitkan dalam pengembangan wilayah.

Dari penelitian, diperoleh informasi bahwa kondisi di pegunungan mulai

tampak perubahan karena pembangunan. Jaringan jalan ke daerah yang

terpencil mulai dibangun yang ditandai dengan pembukaan jalan dan pengerasan

jalan. Pembukaan jalan dan pemukiman secara langsung berakibat pada

penebangan pohon dan pembukaan lahan. Jalan yang dibuat untuk

menghubungkan kabupaten Manokwari dengan distrik-distrik di pegunungan

Arfak seperti distrik Menyambow dan distrik Anggi. Pada saat sekarang ini

masyarakat yang menempati desa dan membangun rumah belum padat namun

bila jumlah penduduk dan pemukiman bertambah maka akan berakibat pada

berkurangnya bahamti, kerusakan pada ekologi dan longsornya tanah.

Masyarakat di Menyambow menyatakan bahwa keadaan sekarang daerah

Menyambow sudah mulai berubah lebih maju. Jalan yang ada telah

menghantarkan kendaraan datang ke wilayah yang selama ini hanya dapat

dijangkau dengan jalan kaki. Masyarakat dapat melihat kendaraan yang lalu

lalang tepat di depan rumah mereka.

Perkembangan yang ada di daerah Menyambow dirasakan turut

berpengaruh kepada perubahan alam dan temperatur di daerah tersebut. Suhu

udara sekarang di Menyambow dalam sehari berkisar antara 14-23°C, dirasakan

lebih hangat dibandingkan dengan sebelumnya yakni sekitar tahun 1990-an4

yang diperkirakan ± 10°C di waktu malam. Masyarakat sebelumnya memerlukan

kayu bakar yang banyak untuk membakar tungku perapian yang berfungsi

sebagai penghangat di dalam rumah ketika tidur namun sekarang tidak demikian

lagi. Kayu bakar hanya diambil tiga hari sekali untuk penghangat. Masyarakat

mulai mendirikan rumah permanen dan semi permanen dan rumah kaki seribu

berubah menjadi dapur. Konstruksi rumah kaki seribu dengan dua tungku api di

sisi kiri kanan rumah, dengan jendela yang sangat kecil memungkinkan rumah

menjadi hangat karena udara panas yang berasal dari perapian di dalam rumah

tidak keluar sehingga dalam menghangatkan penghuni rumah. Namun karena

udara sudah tidak sedingin dulu maka kebutuhan akan penghangat dari tungku

api sudah mulai berkurang. Di beberapa rumah, tungku api berada di luar rumah

4 Informasi lisan dari sopir angkutan umum ke wilayah pegunungan Arfak

Page 153: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 135

ataupun di dapur, bukan di dalam rumah induk. Selain itu ada masyarakat mau

mengikuti kemajuan yang ada yakni kebutuhan akan rumah tembok yang selama

ini hanya ada di kota. Masyarakat juga diberikan bantuan rumah batu sebagai

bantuan sosial bagi anggota masyarakat.

Masyarakat menyatakan tentang kehadiran dari nyamuk. Masyarakat

katakan bahwa “nyamuk datang dibawa oleh mobil ranger5”. Nyamuk dikatakan

adalah binatang dari kota, yang sebelumnya tidak ada di Menyambow. Nyamuk

cocok hidup pada daerah yang panas karena nyamuk memiliki reseptor panas

yang sangat baik. Selain itu, nyamuk yang berasal dari hutan menjadi kuat

sayap-sayapnya ketika hutan dibuka dan mereka terkena panas langsung (Media

Indonesia, 2010). Di Manokwari, penyakit Malaria klinis, menduduki peringkat

tertinggi 34.628 atau sekitar 25% dari jenis-jenis penyakit yang dilaporkan lebih

banyak diderita masyarakat (BPS, 2008). Di Menyambow, setelah diadakan

pemeriksaan cepat menggunakan rapid diagnostic test (RDT) tampak bahwa

penderita malaria positif cukup tinggi dibandingkan malaria klinis. Pihak Dinas

Kesehatan kabupaten Manokwari baik sendiri maupun bekerja sama dengan

Global Fund dan UNICEF telah memberikan pengobatan maupun bantuan

kelambu6.

Untuk akses ke informasi, gelombang radio (RRI) relatif dapat diterima

dengan baik di distrik Menyambow. Jaringan telekomunikasi lainnya seperti sinyal

telkomsel, hanya dapat diterima di tempat-tempat tertentu di distrik

Menyambow.

Jumlah hari hujan di tahun 2000-2009 bervariasi dalam satu bulan yaitu

antara 4-26 hari. Pada tahun 2006-2010, jumlah hari hujan menurun pada bulan

juli hingga November. Rata-rata hujan per bulan dalam 10 tahun menunjukkan

bahwa curah hujan tinggi pada bulan Januari hingga Maret sedangkan curah

hujan mulai menurun pada bulan April hingga November (Badan Meteorologi dan

Geofisika Kabupaten Manokwari, 2010). Masyarakat mulai menebang dan

membakar kebun pada saat curah hujan rendah yakni pada bulan Mei-Juni dan

mulai menanam setelah itu.

Suhu rata-rata udara di Manokwari berkisar antara 26-28°C. Temperatur

udara di Menyambow pun pada saat ini juga mulai berubah yakni menjadi lebih

5 Mobil semi truck yang biasa beroperasi pada medan yang berat di Papua 6 Informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari

Page 154: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

136 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

hangat. Tentu saja kondisi ini tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim global

mengingat tidak terlalu banyak perubahan pada kondisi alam di sana kecuali

hutan yang dibuka untuk jalan. Kelembaban udara berkisar antara 74-88%.

Kelembaban relatif lebih rendah pada bulan April-Juli 2009. Pada bulan-bulan

tersebut memang telah terjadi penurunan dalam jumlah hari hujan dan intensitas

air hujan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat mengurangi tingkat

sensitifitas masyarakat terhadap perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Sensitifitas Masyarakat terhadap Perubahan Iklim

Sensitifitas Tindakan

- Sosial

- Diperlukan penyuluhan mengenai perubahan iklim dan cara mengantisipasi sesuai dengan kondisi wilayah

Penyuluhan tentang penggunaan bahan yang hemat energi

- SKPD yang bertugas: Bapedalda, Dinas Kehutanan, Pertanian dan Kesehatan.

- Ekonomi

Mengajarkan alternatif sumber pendapatan yang lain misalnya dari pengembangan buah-buahan, dan bunga-bunga. Daerah ini banyak ditumbuhi jenis-jenis buah-buahan dan bunga-bunga yang tidak tumbuh di daerah lain di Papua seperti strawberry, markisa, gladiol, kana, dll. berdagang dll

- Dinas Pertanian, Dinas Koperasi - Urbanisasi

- Perlu perencanaan wilayah yang sesuai, - penciptaan lapangan pekerjaan - ada pasar transit (pasar antar kampung/distrik)

- Degradasi Hutan - Perlu perencanaan tata ruang dan wilayah yang jelas - Deforestasi - Perlu perencanaan tata ruang dan wilayah yang jelas

- Jenis baru Jenis tanaman lain yang sebelumnya tidak ditemui di pegunungan Arfak

- Perlu identifikasi jenis lokal dan konservasi terhadap jenis lokal

- Kehilangan jenis tumbuhan

- Perlu identifikasi jenis lokal dan konservasi terhadap jenis lokal

- Satwa berkurang - Perlu ada larangan perburuan satwa menggunakan senjata mesin

- Hidrologi - Melindungi sumber-sumber air - Melindungi hutan agar debit air tetap terjaga - Mengurangi pembukaan lahan di dekat sumber air (mata air) agar air tidak bercampur dengan tanah dan tidak jernih.

Page 155: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 137

Tabel 2 menunjukkan bahwa masyarakat di pegunungan Arfak rentan

terhadap perubahan iklim sehingga diperlukan upaya adaptasi. Adaptasi

dilakukan secara perlahan-lahan mulai dari pembuatan rumah yang sesuai

dengan kondisi udara sekarang ini, penggunaan kayu bakar yang mulai dalam

jumlah yang terbatas, penggunaan kelambu dan obat nyamuk dll.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. Distrik Menyambow merupakan distrik yang masuk dalam kategori kurang

sensitif ke sensitif. Faktor-faktor yang sensitif adalah kondisi sosial ekonomi

masyarakat dan ekologi. Ekonomi masyarakat yang relatif lemah. Masyarakat

umumnya hanya petani yang menggantungkan hidup dari bertani. Jumlah

pendapatan per bulannya tidak menentu. Kondisi Biofisik dan ekologinya

sensitif karena berpotensi untuk penebangan dan pemekaran wilayah.

Pemukiman dan tempat berkebun yang berlokasi di tempat yang miring dan

berbahaya, sangat rentan terhadap erosi dan banjir.

2. Upaya adaptasi yang dilakukan berjalan perlahan-lahan sebagai respon

terhadap perubahan yang terjadi.

B. Rekomendasi:

1. Perlunya pemerintah memberi penjelasan atau penyuluhan mengenai

perubahan iklim global dan pengaruhnya.

2. Pemerintah dan parapihak bekerja sama untuk menggali potensi lain yang

terdapat di pegunungan Arfak serta memberikan pelatihan seperti latihan

pertukangan, menjahit dll. Para pria bisa membangun rumah kaki seribu,

membuat peralatan makan seperti piring dan alu, tentu saja mereka punya

kemampuan pertukangan sedikit, sedangkan para wanita biasa menjahit tikar,

membuat noken dari kulit kayu atau benang sehingga dapat dikembangkan

lebih lanjut. Dengan demikian masyarakat dapat memiliki alternatif pekerjaan

yang lain.

3. Perlu perencanaan tata ruang dan wilayah yang tepat untuk memberikan

ruang bagi pengembangan wilayah pemukiman dan lahan berusaha/bertani

bagi masyarakat.

Page 156: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

138 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2008. Perubahan Iklim, Sebab, Dampak dan Tanggapan pada Pertanian Asia. Issue paper: Analisa, Advokasi dan Tindakan! API (Alliansi Petani Indonesia). Asian Farmers‟ Association for Sustainaible Rural Development. Vol 1, No. 1. Oktober 2008.

Anonimous. 2010. Upaya Departemen Kehutanan dalam Adaptasi Perubahan Iklim.Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan.

Aliadi, A. Dkk. 2008. Perubahan Iklim, Hutan dan REDD: Peluang atau Tantangan. CSO Network on Forestry Governance and Climate Change, The Partnership for Governance Reform. Bogor.

Hastanti, B. W., & Yeny, I. Strategi Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Arfak menurut Kearifan Lokal Masyarakat Arfak di Manokwari, Papua Barat. Info Sosial Ekonomi Vol. 9. No. 1, Maret th. 2009, 19-36.

BPS. 2008. Kabupaten Manokwari Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari.

Gleick, P. H. 1989. Climate Change, Hydrology, and Water Resources, Rev. Geophys., 27(3), 329–344.

Hamlet, A. F., & Lettenmaier D. P. 1999. Effects of climate change on hydrology and water resources in the Columbia River basin. Journal of the American Water Resources Association ISSN 1093-474X . CODEN JWRAF5. 1999, vol. 35, no 6 (372 p.) (34 ref.), pp. 1597-1623

Handoko, I., Sugiarto, Y., & Syaukat, Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah Kebijakan Independen dalam Bidang Perdagangan dan Pembangunan. Seameo Biotrop for Kemitraan (Partnership). Bogor.

Kapissa, N. 2008. Balai Pementapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua: Integrasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Dalam Kebijakan Pengelolaan Hutan berkelanjutan di Papua. Makalah Dalam Seminar Forum Komunikasi Multi Pihak di Tanah Papua-Swiss_Bellhotel, 28 Juli 2008. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.

Kayoi, M. 2008. Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat: Strategi dan Kebijakan Pembangunan Kehutanan di Papua Barat. Makalah Dalam Seminar Forum Komunikasi Multi Pihak di Tanah Papua-Swiss_Belhotel, 28 Juli 2008. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.

Laksono, P. M. Dkk. 2001. Igya Ser Hanjob Masyarakat Arfak dan Konsep Konservasi. Studi Antropologi Ekologi di Pegunungan Arfak, Irian Jaya. Pusat studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Yayasan Bina Lestari Bumi Cenderawasih dan Yayasan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta.

Media Indonesia. 2010. Hutan Terbuka, Nyamuk Malaria Masuk Kota

Partnership. 2008. Supporting Indonesia in Climate Change Mitigation & Adaptasi. Bogor.

(http://www.beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_papua&id=7998&sub=Artikel&page=1). Februari 2010.

Page 157: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 139

HABITAT, POPULASI DAN PEMANFAATAN LABI-LABI MONCONG BABI DI ASMAT

Richard Gatot Nugroho Triantoro1)

1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia Email: [email protected]

ABSTRAK

Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta Ramsay) merupakan spesies dengan penyebaran terbatas yaitu meliputi Papua bagian Selatan (Indonesia), Papua New Guinea bagian Selatan dan Australia bagian Utara. Satwa ini mempunyai nilai ekonomi tinggi dan secara budaya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai sumber pakan. Perburuan telur dan perdagangan illegal yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir dapat menyebabkan populasinya menurun dengan cepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui habitat, populasi dan pemanfaatan labi-labi moncong babi di alam menggunakan metode survei dengan teknik observasi. Hasil penelitian didapatkan populasi jejak sebanyak 1059 ekor dan populasi sarang sebanyak 720 buah. Habitat perkembangan hidup meliputi rawa permanen dan sungai, sedangkan habitat peneluran dilakukan di pasir. Induk dan telur dimanfaatkan sebagai sumber pakan oleh masyarakat lokal. Tercatat 24 kelompok pemburu telur di sepanjang sungai Vriendschap. Asumsi setiap kelompok dapat memanen minimal 7 ember (7 x 800 butir = 5.600 butir) maka telur yang di panen dari sungai Vriendschap sebanyak 134.400 butir. Tidak ditemukan kearifan pada masyarakat lokal bagi konservasi labi-labi moncong babi. Kata kunci : Labi-Labi Moncong Babi, Habitat, Populasi, Pemanfaatan.

PENDAHULUAN

Labi-labi moncong babi sering pula disebut kura-kura moncong babi

merupakan salah satu jenis reptil yang hidup di air tawar. Dalam dunia ilmiah

dikenal dengan nama Carettochelys insculpta Ramsay (1886). Penyebaran

hewan ini di dunia meliputi Papua bagian Selatan (Indonesia), Papua New Guinea

bagian Selatan dan Australia bagian Utara. Sebagian besar aktifitas hidupnya

dihabiskan di air baik itu untuk bermain, mencari makan, beristirahat dan kawin,

sementara aktifitas bertelur dilakukan di pasir.

Di Indonesia, labi-labi mocong babi dilindungi berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula

dengan PP No. 7 Tahun 1999 (Noerdjito dan Maryanto, 2001). Berdasarkan red

data book IUCN, labi-labi mocong babi digolongkan dalam kelompok vurnerable

yang artinya jenis yang terancam kepunahan akibat sebaran populasinya yang

terbatas, sementara dalam CITES (Convention International Trade in Endangerd

Page 158: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

140 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Species of Wild Flora and Fauna) masuk dalam Appendiks II (ATTWG, 2000).

Walaupun sudah dimasukkan dalam Appendiks II CITES, namun kuota

perdagangan terhadap reptil ini di Indonesia belum ada disebabkan statusnya

masih dilindungi. Dari kuota pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan

Satwa Liar yang termasuk Appendix CITES untuk periode tahun 2007 – 2008

(Dirjen PHKA 2007, 2008) dan periode 2009 – 2012 (Kemenhut 2010, 2011,

2012), belum ditemukan adanya kuota perdagangan untuk jenis labi-labi mocong

babi.

Pada budaya masyarakat lokal di Selatan Papua, labi-labi mocong babi

telah lama dimanfaatkan sebagai sumber pakan hewani. Induknya ditangkap

dan dimanfaatkan dagingnya sedangkan telurnya diambil dari sarang peneluran

untuk kemudian dikonsumsi. Dari sisi perdagangan, labi-labi merupakan salah

satu jenis hewan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selain dipasarkan

sebagai hewan peliharaan (pet), labi-labi juga dipasarkan untuk dikonsumsi

dagingnya karena mengandung gizi yang tinggi dan dimungkinkan dapat

digunakan sebagai obat, bahan baku industri dan kosmetik. Tahun 1999, harga

jual labi-labi dari jenis Trionyx sinensis Taiwanese, berumur satu tahun adalah 12

dolar AS per ekor, sedangkan tahun 2001 harga beli untuk ukuran yang sama

sudah mencapai 20 dolar AS (Thaiholland, 2001 dalam Amri dan Khairuman,

2002). Harga tukik labi-labi mocong babi tahun 1999 sekitar Rp 10.000 -15.000

per tukik di Senggo dan Atsy, di mana telur diinkubasi, sekitar Rp 30.000 per

tukik setelah transportasi sampai Merauke, dan Rp 60,000-70,000 di Surabaya

(Maturbongs, 1999). Harga tersebut cenderung semakin meningkat seiring

permintaan pasar yang semakin tinggi namun tidak dapat dipenuhi dari usaha

penangkaran. Tingginya permintaan labi-labi atau kura-kura menyebabkan para

petani atau penangkar kewalahan untuk memenuhinya yang berdampak pada

tingginya perburuan dari alam dan perdagangan illegal. Samedi dan Iskandar

(2000) mencatat perdagangan ilegal Carettochelys insculpta dari Merauke dan

Timika, Papua, ke Makasar (Ujung Pandang) (Sulawesi), Jakarta dan Surabaya

(Jawa) dan Denpasar (Bali), dan seterusnya diekspor ke China dan Singapura.

Akibat tingginya perburuan dapat mengakibatkan penurunan populasi secara

cepat di alam dan berakibat hilangnya spesies. Kemungkinan kearah hilangnya

spesies bisa saja menjadi kenyataan yang tergambarkan dari suatu lokakarya di

Pnom Penh pada awal bulan Desember 1999, disimpulkan bahwa 60% kura-kura

Page 159: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 141

air tawar Asia kini terancam punah, 15 jenis di Indonesia kini berada dalam

keadaan kritis (Iskandar, 2000).

Akibat perburuan telur yang berlebihan dan adanya perdagangan liar

terhadap tukik, timbul kekuatiran terjadinya penurunan populasi labi-labi

moncong babi secara cepat di alam (Papua-Indonesia), sementara disisi lain

informasi habitat dan populasinya di alam belum banyak diketahui. Oleh sebab

itu penelitian ini sangat penting dilakukan yang bertujuan untuk mengetahui

habitat dan populasi labi-labi moncong babi di alam dan pemanfaatannya pada

masyarakat lokal.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi pengamatan peneluran dilakukan pada Sungai Vriendschap yang

meliputi wilayah Obokain, Indama, dan Sumo. Jenis tumbuhan didata pada

muara sungai Vriendschap, rawa terdapat pasir peneluran, rawa tanpa pasir

peneluran, dan muara sungai Baliem (hulu Sungai Vriendschap). Pendataan

peneluran dilakukan dalam rentang waktu 15 Oktober – 19 November 2009,

sedangkan pendataan jenis vegetasi dilakukan 26 Juli - 2 Agustus 2010. Lokasi

penelitian di Sungai Vriendschap disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi penelitian labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap,

Asmat

Sungai Vriendschap

Yahukimo

Asmat

Timika

Page 160: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

142 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

B. Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi meteran (3 m),

termometer batang, digital caliper, timbangan (5 kg), timbangan gantung (per)

(22 kg), kamera digital, tallysheet dan alat tulis menulis.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode survei dengan teknik

observasi. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah jejak dan sarang, habitat,

dan pemanfaatan induk maupun telur pada masyarakat lokal. Pendataan jejak

dan sarang dimulai pada jam 05.00, sedangkan pendataan habitat dilakukan

setelah pendataan jejak dan sarang. Pemanfaatan induk dan telur labi-labi

moncong babi dilakukan dalam bentuk Forum Discussion Group (FDG) dengan

masyarakat setempat di waktu senggang (sore hari)

D. Analisa Data

Data yang diperoleh kemudian di analisis secara deskriptif. Hasil analisis

disampaikan dalam bentuk tabel maupun grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Populasi Sarang

Populasi jejak labi-labi yang naik ke pasir selama 4 (empat) minggu (15

Oktober – 19 November 2009) adalah sebanyak 1059 ekor dengan rata-rata jejak

per hari adalah 38 ekor, sedangkan populasi sarang labi-labi sebanyak 720 ekor

dengan rata-rata jumlah sarang per hari adalah 26 sarang. Pengamatan pada

minggu 1 (15 – 21 Oktober 2009) diperoleh jumlah jejak sebanyak 72 ekor dan

jumlah sarang sebanyak 6 sarang. Pada minggu ke 2, 3 dan 4, diperoleh

masing-masing jumlah jejak labi-labi sebanyak 312, 300 dan 375 sedangkan

jumlah sarang diperoleh masing-masing sebanyak 227, 235 dan 252. Adapun

jumlah jejak dan sarang labi-labi moncong babi dalam kurun waktu 4 (empat)

minggu disajikan pada gambar 2.

Page 161: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 143

Gambar 2. Jumlah jejak dan sarang labi-labi moncong babi dalam kurun waktu

4 minggu di Sungai Vriendschap, Asmat

Selama 4 (empat) minggu terlihat bahwa jumlah sarang cukup tinggi.

Populasi tersebut hanya menggambarkan populasi pada area Obokain, Indama

dan Sumo, namun tidak menggambarkan populasi pada wilayah Bor (sungai) dan

Bor (rawa). Jumlah jejak dan sarang labi-labi moncong babi pada minggu

pertama terlihat sangat berbeda dengan jejak dan sarang pada minggu kedua,

ketiga dan keempat. Pada minggu pertama labi-labi yang ingin bersarang masih

dipengaruhi kondisi sungai yang banjir dan pasir yang basah akibat luapan

sungai atau terkena hujan. Proses turunnya permukaan sungai dan keringnya

pasir terjadi berangsur-angsur sehingga proses peneluran (sarang) meningkat

pada minggu kedua sampai ke empat. Peningkatan jumlah persarangan dari

minggu pertama ke minggu kedua, selain akibat membaiknya cuaca (minim

hujan), diduga dipengaruhi pula oleh keberadaan jumlah kelompok pengumpul.

Pada akhir minggu pertama, beberapa kelompok sudah meninggalkan tepian

sungai karena kehabisan persediaan bahan makanan dan kondisi cuaca yang

tidak berangsur cerah. Kondisi tersebut menyebabkan gangguan terhadap

aktifitas peneluran labi-labi dan ancaman keberadaan sarang menjadi berkurang

yang berdampak pada meningkatnya jumlah sarang.

2. Habitat

Habitat hidup labi-labi moncong babi di sungai Vriendschap meliputi rawa

dan sungai utama Vriendschap termasuk hulu, cabang atau anak sungai. Induk

0

50

100

150

200

250

300

350

400

15-22 oct 09 22-29 oct 09 30 oct - 8 nov 09 10-19 nov 09

jejak

sarang

227

72 6

312 300

235

375

252

Page 162: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

144 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

labi-labi moncong babi juga ditemukan pada daerah muara sungai yang tidak

didapati pasir peneluran. Di Papua New Guinea, labi-labi moncong babi

mendiami sungai (termasuk muara dan sungai delta), laguna rumput, rawa,

danau, dan cekungan berair dari dataran rendah dibagian selatan (Georges et

al., 2008a). Rawa merupakan habitat yang ideal bagi perkembangan hidup

karena tidak berarus, bening dan terdapat sumber makanan yang cukup,

sementara sungai lebih cocok bagi labi-labi dewasa karena mempunyai arus yang

cukup kuat. Habitat rawa permanen dan sungai dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan : (1) rawa di Vriendschap; (2) sungai Vriendschap

Gambar 2. Rawa dan sungai sebagai habitat hidup labi-labi moncong babi

Selain labi-labi moncong babi yang melakukan aktifitas hidupnya di rawa,

jenis reptil lain yang terdapat didalamnya meliputi labi-labi Irian (Pelochelys

bibroni), kura-kura dada merah (Emydura subglobosa) dan ular karung

(Acrochordus arafurae), sedangkan pada sungai terdapat buaya muara

(Crocodylus porosus) dan labi-labi Irian (Pelochelys bibroni). Adapun jenis reptil

lainnya dapat disajikan pada Gambar 3 dibawah ini.

Keterangan : 1. Acrochordus arafurae; 2. Emydura subglobosa; 3. Pelochelys

bibroni; 4. Crocodylus porosus

1 2

1 2 3

4

Page 163: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 145

Gambar 3. Jenis reptil lain yang hidup bersama labi-labi moncong babi di rawa

dan Sungai Vriendschap.

Pasir peneluran labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap terdiri atas

pasir halus sampai pasir kasar yang bercampur dengan bebatuan kecil. Secara

umum habitat bertelur labi-labi moncong babi adalah tempat berpasir yang

terdapat pada tepi sungai maupun rawa. Pasir terlihat sangat lebar dan luas

pada saat sungai mulai surut. Pada beberapa pasir peneluran, permukaan pasir

saat masih basah tertutup oleh lapisan liat tipis. Jejak labi-labi moncong babi

saat sedang bergerak mencari tempat bertelur berbentuk seperti jejak traktor

yang kosong pada bagian tengah dan bagian luar seperti di aduk. Pergerakan di

pasir tidak selalu diakhiri dengan membuat sarang karena apabila tidak merasa

nyaman membuat sarang maka labi-labi akan berputar-putar saja dan kembali ke

sungai. Adapun pasir peneluran dan jejak labi-labi moncong babi dapat dilihat

pada Gambar 4.

Gambar 4. Pasir peneluran dan jejak labi-labi moncong babi

Jenis vegetasi yang terdapat di sekitar muara sungai Baliem dan hulu

sungai Vriendschap meliputi Casuarina rumphiana, Duabanga moluccana Blume,

Anthocephalus chinensis, Campnosperma auriculata, Ficus globosa, Ficus

variegata, Premna corymbosa, Dysoxylum mollissimum, Timonius timons,

Canarium indicum, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol.,

Calamus sp. Blume dan Koorthalsia sp. Vegetasi pada rawa peneluran meliputi

Intsia bijuga ok., Heritiera littoralis, Campnosperma auriculata, Trevesia sundaica

Miquel, Hibiscus tiliaceus L., Elaeocarpus sphaericus K., Gymnacranthera

paniculata, Myristica fatua Houtt, Schefflera lucescens, Alstonia sp., Pandanus

polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol. dan Freycinetia funicularis Mar,

Page 164: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

146 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

sedangkan jenis vegetasi permanen sebagai tempat perkembangan hidup

meliputi Alstonia cf macrophylla, Myristica fatua, Gymnacranthera paniculata,

Hibiscus tiliaceus, Campnosperma auriculata, Gluta renghas, Evodia gonwichii,

Anthocephalus cadamba, Canarium indicum, Artocarpus elasticus, Artocarpus

communis, Ficus benjamina, Intsia bijuga OK., Cryptocaria sp, Sterculia

parkinsonii, Sterculia shilinglawii, Inocarpus sp., Heritiera littoralis, Syzygium

verstegii, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol., Freycinetia

funicularis Mar., Hydriastele costata, Rophaloblaste ladermanii dan Caryota

rumphiana.

3. Pemanfaatan (Etnozoologi)

Pemanfaatan labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap terbagi atas 2

golongan yaitu masyarakat lokal (asli Papua) dan masyarakat dari luar (non

lokal). Pemanfaatan oleh masyarakat lokal cukup tinggi karena pemanfaatan

selain dilakukan terhadap telurnya, juga dilakukan terhadap induknya. Tingkat

eksploitasi di Indonesia dan PNG sangat tinggi sebagai sumber pakan dan

sebagai pemasuk bagi industri hewan peliharaan internasional akibat dari

permintaan penggemar satwa terhadap penampilan satwa unik ini (Georges et al.

2008a). Pemanfaatan telur labi-labi moncong babi oleh masyarakat lokal sebagai

bahan makanan, juga di jual kepada pencari telur dari luar (masyarakat non

lokal). Cara menjualnya adalah dengan sistem barter dimana 1 set perahu

beserta mesin katintingnya ditukar dengan telur sebanyak 7 ember (berisi ± 800

butir). Apabila masyarakat lokal telah menerima barteran maka masyarakat non

lokal dapat mengambil telur langsung di alam atau telur dikumpulkan oleh

masyarakat lokal dan diserahkan kepada masyarakat non lokal.

Pemanenan induk biasanya dilakukan di musim peneluran saat labi-labi

naik untuk bertelur (masih ditepi pasir), di atas pasir sebelum bertelur atau di

atas pasir sehabis bertelur. Hal ini menyebabkan pemanfaatan induk labi-labi

saat musim peneluran sangatlah tinggi. Pengambilan induk labi-labi dari alam

tidak ada batasan sama sekali dimana seberapa banyak individu atau induk yang

dijumpai semuanya diambil. Pemanenan induk oleh masyarakat lokal ini

merupakan dampak dari intensitas pemanenan telur labi-labi moncong babi yang

tinggi di alam. Tanpa disadari perlahan tetapi pasti populasi labi-labi moncong

babi akan turun dengan cepat dalam beberapa tahun kedepan. Di Sungai Kikori

(PNG), terdapat penurunan kualitas telur dalam rentang tahun 2003 – 2006

Page 165: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 147

akibat intensitas pemanfaatan yang sangat tinggi (Georges et al. 2008b).

Indrawan et al. (2007) menyampaikan bahwa pemanfaatan berlebihan terhadap

spesies tumbuhan dan satwa seringkali menunjukkan pola dimana penduduk

lokal dikerahkan untuk mendapatkan dan menjual sumber daya, dan ketika

sumber daya yang dieksploitasi mulai berkurang, harga ikut meningkat dan

menciptakan insentif besar untuk eksploitasi berlebihan, sumber daya tersebut

menjadi langka dan bahkan punah.

Sebelum masyarakat lokal ikut mencari telur labi-labi untuk dijual, budaya

pemanfaatan terhadap telur dan daging sudah ada namun dalam kapasitas

terbatas (seperlunya). Namun saat ini dengan waktu berhari-hari di lokasi

pengumpulan (Vriendschap) dan kebutuhan akan ketersediaan bahan makanan

harus terus ada, maka peningkatan konsumsi daging labi-labi moncong babi akan

ikut meningkat pula sementara konsumsi telur berkurang (dijual). Pada

pengumpul masyarakat non lokal, pemanfaatan hanya berupa telur labi-labi

moncong babi yang rusak. Konsumsi daging labi-labi moncong babi oleh

masyarakat non lokal juga dilakukan tetapi dalam jumlah terbatas (saat

menginginkan adanya variasi makanan). Lamanya pengumpulan telur di lokasi

(pencapaian target) sulit ditentukan karena semua bergantung kepada kondisi

cuaca. Apabila cuaca cerah dalam beberapa hari berturut-turut maka sungai

mulai surut, pasir muncul, dan induk dapat bertelur sehingga target

pengumpulan telur bisa lebih cepat, tetapi apabila sungai banjir maka para

pencari akan menunggu di lokasi sampai sungai surut atau bahan makanan

sudah tidak mencukupi untuk bertahan. Pemanenan telur dan sisa-sisa kerapas

induk yang dikonsumsi disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Sisa-sisa kerapas induk dan ember penampungan telur labi-labi

moncong babi

Page 166: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

148 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Tingginya nilai ekonomi dari labi-labi moncong babi terlihat dari tingginya

pemanenan telur saat pengamatan tahun 2009 yang terdiri atas 24 kelompok

masyarakat (lokal dan non lokal) di sepanjang sungai Vriendschap yang mencari

telur (Triantoro, 2009). Triantoro (2009) mendapati nilai jual tukik di Distrik Atsy

(Asmat) mencapai Rp 25.000 – 30.000 per ekor, sementara di Singapura (Goh

dan O‟Riordan, 2007) mendapati harga jual labi-labi moncong babi mencapai 100

$ Singapura untuk labi-labi moncong babi dengan ukuran kerapas 5 – 10 cm.

Apabila diasumsikan setiap kelompok dapat memanen minimal 7 ember (7 x 800

butir = 5.600 butir) maka untuk tahun 2009 telur yang di panen dari tiga wilayah

di sungai Vriendschap lebih dari 134.400 butir (24 kelompok x 5.600 butir). Hasil

pemanenan telur dari alam ditetaskan oleh pengumpul dan dijual keluar Papua.

Sementara pemanenan induk labi-labi moncong babi dilakukan dalam jumlah tak

terbatas, apabila yang ditemukan 5 ekor atau 20 ekor atau 50 ekor sekalipun

pasti ditangkap. Konsumsi induk biasanya 1 ekor untuk 1 keluarga tanpa melihat

jumlah anggota keluarga. Induk yang belum di masak akan dikandangkan dan

dimasak saat ingin dimakan.

Awalnya pemanenan telur labi-labi moncong babi mulai muncul sekitar

tahun 1996. Namun pemanenan saat itu hanya dilakukan oleh masyarakat non

lokal dan masyarakat lokal tidak mendapat nilai ekonomi dari keberadaan telur

labi-labi moncong babi. Maturbongs (1999) khusus menyatakan bahwa

masyarakat setempat nyaris tidak memperoleh manfaat dari pemanenan telur.

Pengumpul dari luar mengorganisir penduduk setempat untuk melaksanakan

pemanenan telur, dengan bayaran Rp 10.000 (USD 1,12) per hari, dimana yang

Rp 6.000 dikurangi untuk dua kali makan harian, Rp 1.000 untuk kopi dan Rp

2.000 untuk rokok, meninggalkan laba bersih sebesar Rp 1.000 (USD 0,11) per

hari sebagai upah selama pemanenan sumber daya alam masyarakat.

Masyarakat lokal mulai mendapat nilai ekonomi dari telur labi-labi sejak sekitar

tahun 2001 dengan harga dihitung per butirnya sedangkan nilai barter telur

dengan perahu dimulai tahun 2006 terhadap 1 orang dan kemudian mulai tahun

2008 sampai sekarang diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat.

Dari segi budaya, dahulu labi-labi digunakan sebagai mas kawin dimana

labi-labi merupakan hantaran kepada pihak perempuan dengan jumlahnya sesuai

permintaan pihak perempuan. Saat ini budaya tersebut sudah tidak berlaku

karena semuanya lebih dihargai dengan uang. Legenda masyarakat terhadap

labi-labi moncong babi juga ada dimana dikisahkan labi-labi moncong babi

Page 167: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 149

merupakan hasil kutukan seorang suami yang marah akibat istrinya berzinah

dengan laki-laki lain. Kutukan kepada kedua manusia itu yang dimunculkan

dalam bentuk labi-labi moncong babi jantan dan betina. Namun legenda ini

sudah hampir hilang dan tidak ada dampaknya sama sekali bagi konservasi labi-

labi moncong babi.

KESIMPULAN

Populasi di Sungai Vriendschap masih baik, namun pemanenan terhadap

telur yang tidak mengindahkan aspek kelestarian dapat berdampak pada

penurunan populasi secara cepat di alam. Status perlindungan yang melekat

pada labi-labi moncong babi juga tidak serta merta membuat satwa ini aman dari

perburuan di alam dan perdagangan. Tidak adanya sistem sasi atau kearifan

lokal pada budaya pada masyarakat Asmat (sekitar Sungai Vriendschap), yang

secara adat berkontribusi dalam menunjang konservasi jenis labi-labi moncong

babi di alam.

PENUTUP

Labi-labi moncong babi merupakan satwa dilindungi namun mempunyai

nilai ekonomi yang tinggi. Disisi lain, labi-labi moncong babi merupakan aset

daerah maupun nasional yang dapat dijadikan sumber daya bagi peningkatan

ekonomi masyarakat dan sumber pendapatan bagi pembangunan. Namun yang

terjadi selama ini adalah pemanfaatannya bersifat illegal dan tidak

memperhitungkan aspek kelestarian di alam. Daerah maupun negara tidak

mendapatkan nilai lebih (keuntungan) atas salah satu aset sumber daya hayati

ini. Pemanfaatan secara lestari dengan mengikuti aturan-aturan yang telah

ditentukan dan kontrol yang kuat terhadap pemanfaatannya kiranya dapat

memberikan nilai lebih bagi pemanfaatan labi-labi moncong babi kedepannya,

regenerasi jenis terus berlangsung dan perdagangan illegal dapat ditekan

seminimal mungkin. Pengelolaannya harus bersifat terpadu dengan melakukan

pendekatan lansekap dimana pengelolaannya tidak dibatasi oleh batas

administrasi wilayah dan melibatkan semua komponen di daerah (Pemda) dan

nasional (Kementerian Kehutanan).

Page 168: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

150 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

DAFTAR PUSTAKA

Amri, K dan Khairuman, 2002. Labi-labi : Komoditas Perikanan Multimanfaat. PT. AgroMedia Pustaka. Depok.

[ATTWG] Asian Turtle Trade Working Group, 2000. Carettochelys insculpta. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 14 November 2010.

[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1.

[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1.

Georges, A., J. S. Doody, C. Eisemberg, E. A. Alacs dan M. Rose. 2008a. Carettochelys insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoises : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No. 5. Chelonian Research Foundation.

Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b. Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta. Wildlife Research 35 : 700 – 711.

Goh TY, O‟Riordan RM. 2007. Are Tortoises and Freshwater Turtles Still Traded Illegally as Pets in Singapore? Oryx Vol 41 No 1 (Short communication).

Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Ed ke-2 (revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Iskandar, D. T. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. PALMedia Citra. Bandung.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February 2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January 2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to 31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia.

Maturbongs, J. A. 1999. Trade Monitoring of Pig Nosed Turtle (Carettochelys insculpta) from Vriendschap River, District of Suator, Merauke Regency, Irian Jaya. Report, WWF Sahul Bioregion, Jayapura in : Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), page 4-5. Thirdteenth

Page 169: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 151

Meeting of the Conference of the Parties. Bangkok (Thailand) 2 – 14 October 2004.

Noerdjito, M. dan I. Maryanto. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-Undangan Indonesia. Bidang Zoologi (Museum Zoologicum Bogoriense). Puslit Biologi – LIPI, The Nature Conservancy dan USAID. Cibinong.

Samedi and D. T. Iskandar. 2000. Freshwater Turtle and Tortoise Conservation Utilization in Indonesia. Chelonian Research Monographs, 2:106–111 in : Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), page 4-5. Thirdteenth Meeting of the Conference of the Parties. Bangkok (Thailand) 2 – 14 October 2004.

Page 170: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

152 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 171: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 153

DISTRIBUSI JENIS-JENIS POHON ENDEMIK DI DAERAH TEMINABUAN – AYAMARU

Batseba A. Suripatty1) dan Luther Rumawak1)

1)Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari,

Indonesia

ABSTRACT

Irian Jaya tropical rain forest has possess more than 600 species of trees, when it kwon only 70 specieses. Those specises has more profit, but still rely on availability of potention on nature did, but not yet seek conservation about it. This research purpose to got information about distributing and habbits of plants (trees) from Teminabuan – Ayamaru endemic species from low land until high land. This research has did on December 2005 in Teminabuan – Ayamaru district, with using descriptive method and research technique. Teminabuan forest until Kambuaya divide by height : Wayahkya – Wersar 0 metre altitude above of sea level has 14 trees species, Keyen 100 metres altitude above of sea level has 56 trees species, Senguwer – Waigo 200 metres altitude above of sea level has 61 trees species, Waigo – Moswaren 300 metres altitude above of sea level has 101 trees species, Moswaren – Athabu 400 metres altitude above of sea level has 45 trees species and Kambufatem – Kambuaya 500 metres altitude above of sea level has 16 trees species. Keywords : Distribution, trees species, endemic

RINGKASAN

Hutan hujan tropis di Irian Jaya memiliki lebih dari 600 jenis pohon, dimana baru dikenal 70 jenis. Jenis-jenis tersebut mempunyai banyak manfaat, tapi masih mengandalkan ketersediaan potensi alam yang ada, sehingga belum banyak diupayakan tentang pelestariannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang jenis-jenis flora jenis pohon (habitat dan penyebaran) dari jenis endemik di Teminabuan – Ayamaru mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2005 di daerah Teminabuan – Ayamaru, menggunakan metode deskriptif dengan teknik survey. Hutan Teminabuan sampai Kambuaya dibagi berdasarkan ketinggian adalah sebagai berikut : Wayahkya – Wersar pada ketinggian 0 meter dari permukaan laut terdapat 14 jenis pohon, Keyen ketinggian 100 meter dari permukaan laut terdapat 56 jenis pohon, Senguwer – Waigo ketinggian 200 meter dari permukaan laut terdapat 61 jenis pohon, Waigo – Moswaren ketinggian 300 meter dari permukaan laut terdapat 101 jenis pohon, Moswaren – Athabu ketinggian 400 meter dari permukaan laut terdapat 45 jenis pohon dan Kambufatem - Kambuaya ketinggian 500 meter dari permukaan laut terdapat 16 jenis pohon. Kata kunci : Distribusi, Jenis pohon, Endemik

Page 172: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

154 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan hujan tropis di Irian Jaya memiliki lebih dari 600 jenis pohon,

dimana baru dikenal 70 jenis. Jenis-jenis tersebut mempunyai manfaat ekonomi,

ekologi, ilmu pengetahuan alam, kebudayaan dan kesehatan. Berdasarkan

manfaat tersebut beberapa jenis diantaranya telah dieksploitasi untuk tujuan

kayu bangunan, bahan makanan, obat-obatan, kosmetika, industri rumah

tangga, energi dan lain-lain. Pemanfaatan tersebut masih mengandalkan

ketersediaan potensi alam, sehingga belum banyak diupayakan tentang

pelestariannya.

Pemikiran tentang kelestarian potensi tersebut hendaknya dimulai dengan

mempersiapkan landasan ilmiah yang menyangkut semua aspek. Dengan

demikian rencana pengelolaan dalam jangka panjang menjadi mantap, artinya

tidak mengorbankan salah atau aspek terkait.

Beberapa aspek ilmiah terkait adalah sifat taksonomi, ekologis dan

potensi. Sifat taksonomi berkaitan dengan klasifikasi tumbuhan dalam suku dan

marga, sehingga mempermudah dalam pengenalannya secara dendrologi. Sifat

ekologi berkaitan dengan habitat (tanah, ketinggian dan asosiasi), iklim dam

sebaran. Sedangkan potensi berkaitan dengan jumlah populasi per satuan luas (

m3 atau individu per ha ). Dengan mengetahui sifat ekologi serta potensi akan

mempermudah dalam rencana penataan kawasan pengembangannya serta

penataan eksploitasi dan pelestariannya.

Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah belum banyaknya informasi

tentang jenis-jenis pohon, khususnya yang endemik Papua. Oleh karena itu

perlu kajian untuk mendapatkan informasi dimaksud dengan diarahkan pada

eksplorasi taksonomi.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang jenis-jenis

flora jenis pohon (habitat dan penyebaran) dari jenis endemik di Teminabuan –

Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan mulai dari dataran rendah sampai dataran

tinggi.

Page 173: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 155

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2005 di daerah Teminabuan

– Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah tripleks, tali

plastik, alkohol, kapas, Kompas, Altimeter, gunting, kuas, cutter, pH tanah, dan

alat tulis.

C. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Metode deskriptif dengan teknik survei.

Penentuan titik-titik pengamatan dilakukan secara Purposif (sengaja).

Pengumpulan data taksonomi pohon dilakukan dengan cara membuat jalur

pengamatan kurang lebih 200 meter. Pengamatan pohon berdasarkan

ketinggian tempat, jenis-jenis tersebut kemudian diberi nama latin, famili dan

nama daerah.

III. HASIL PENELITIAN

Dari hasil pengamatan jenis pada berbagai ketinggian diperoleh hasil

seperti pada tabel 1, 2, 3, 4, 5, 6.

A. Lokasi: WAYAHKYA – WERSAR

Ketinggian : 0 meter dari permukaan laut

Tabel 1. Nama jenis pohon (latin dan daerah) dan famili yang ditemukan di Wayahkya-Wersar.

No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah

1. Avicennia marina Avicenniaceae Kaas

2. Avicennia officinalis Avicenniaceae Kado

3. Rhizophora mucronata Rhizophoraceae Hiye

4. Rhizophora apiculata Rhizophoraceae Tumbot

5. Sonneratia alba Sonneratiaceae Naginom

6. Bruguiera gymnorhiza Rhizophoraceae Geninnin

7. Bruguiera parviflora Rhizophoraceae Mekkai

Page 174: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

156 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah

8. Bruguiera sexangula Rhizophoraceae Nggenen

9. Xylocarpus granatum Meliaceae Tfliak

10. Heritiera litolaris Sterculiaceae Kokar

11. Ceriops tagal Rhizophoraceae Tumbot

12. Ceriops decandra Rhizoporaceae Serombegienie

13. Inocarpus fagifer Fabaceae Kado

14. Xylocarpus moluccensis Meliaceae Tfliak

B. Lokasi : KEYEN

Ketinggian : 100 meter dari permukaan laut

Tabel 2. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan famili untuk lokasi Keyen

No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah

1. Baringtonia lanterbachii Lecithydaceae Salah

2. Drypetes globosa Euphorbiaceae Apis

3. Drypetes maritima Ebenaceae Watot

4. Spathiostemon javensis Euphorbiaceae Siosher

6. Pimelodendron amboinicum Euphorbiaceae Yonon

7. Canarium indicum Burseraceae Anye

8. Amoora acuculata Meliaceae Hafta

9. Artocarpus altilis Moraceae Migein

10. Endospermum moluccana Euphorbiaceae Seraida

11. Homalium foetidum Flacourticeae Maja

12. Ficus Glandulifera Moraceae Ndawaan

13. Octomeles sumatrana Datiscaceae Arba

14. Intsia palembanica Fabaceae Ndilen

15. Pometia pinnata Sapindaceae Medak

16. Ficus nodosa Moraceae Daun

17. Litsea firma Lauraceae Barang

18. Sloanea papuana Elaeocarpaceae Bremit

19. Myristica hollrungii Myristicaceae Kaudanan

20. Macaranga mappa Euphorbiaceae Miet

21. Palaquium amboinensis Sapotaceae Asi

22. Timonius grassiflolius Rubiaceae Mai

23. Toona sureni Meliaceae Sir

24. Sizygium versteegii Myrtaceae Kokek Mban

25. Dracontomelum edule Anacardiaceae Lakof

26. Polyalthia foorbesii Annonaceae Bin

27. Pygeum parviflorum Rosaceae Hafrah

28. Celtis latifolia Ulmaceae Kragiet

29. Gymnacranthera paniculata Myristicaceae Janggu

30. Vatica ressak Dipterocarpaceae Sohar

31. Pterygota horsfieldii Sterculiaceae Kuntian

32. Pometia coreaceae Sapindaceae Mgan/Mangaan

33. Eugenia anomala Myrtaceae Mbadon

34. Myristica sulcata Myristicaceae Sanggor

35. Metrosideros nigrovioidis Myrtaceae Kefak

Page 175: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 157

No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah

36. Flacourtia sp Flacourtiaceae Aroro

37. Elaeocarpus sphaericus Elaeocarpaceae Trafu

38. Ilex ledermani Aguitifoliaceae Syala

39. Antiaris toxicaria Moraceae Maai

40. Haplolobus floribunda Burceraceae Orofok

41. Maniltoa purijuga Caesalpiniaceae Kapak

42. Lansium domesticum Meliaceae Lugun

43. Flindersia amboinensis Rutaceae Wokoitomos

44. Aglaia argentea Meliaceae Alat

45. Hoersfieldia sylvestris Myristicaceae Menggok

46. Ficus benjamina Moraceae Jihin

47. Urandra brasii Icacinaceae Pakek

48. Buchanania macrocarpa Anacardiaceae Korgier

49. Tristania obojata Myrtaceae Samee

50. Campnosperma macrophylla

Anacardiaceae Ketukar

51. Koordersiodendron pinnatum

Anacardiaceae Wossogoh

52. Spondias dulcis Anacardiaceae Heris

53. Chisocheton divergens Meliaceae Anggas

54. Garcinia dulcis Clusiaceae Smo

55. Pterocymbium splendens Sterculiaceae Sielie

56. Teysmaniadendron bogoriense

Verbenaceae Mbriang kofis

C. Lokasi : SENGUWER – WAIGO

Ketinggian : 200 meter dari permukaan laut

Tabel 3. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan famili untuk lokasi Senguwer – Waigo.

No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah

1. Ficus copiosa Moraceae Kemediri

2. Sloanea papuana Elaeocarpaceae Bremit

3. Boerlagiodendron novoguinensis

Acaliaceae Fohoh

4. Toona sureni Meliaceae Sir

5. Pometia pinnata Sapindaceae Medek

6. Litsea tuberculata Lauraceae Barang

7. Aglaia argentea Meliaceae Alet

8. Myristica sulcata Myristicaceae Songgor

9. Artocarpus altilis Moraceae Frak

10. Mallotus philippinnensis Euphorbiaceae Kemakok

11. Celtis latifolia Ulmaceae Kragiek

12. Garcinia dulcis Clusiaceae Smo

13. Tetrameles nudiflora Dastiscaceae Armbau/Tkie

14. Timonius timon Rubiaceae Fangges

15. Canarium indicum Burseraceae Sumgui

Page 176: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

158 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah

16. Intsia bijuga Fabaceae Dilen

17. Pygeum parviflorum Rosaceae Sruyam

18. Tristania obojata Myrtaceae Semee

19. Haplolobus floribunda Burseraceae Orofok

20. Pimelodendron amboinicum Euphorbiaceae Yowon

21. Drypetes globosa Euphorbiaceae Wajem

22. Cananga odorata Annonaceae Ngorro

23. Gironniera subaegualis Ulmaceae Kafimmis

24. Eugenia anomala Myrtaceae Mbadan

25. Antiaris toxicaria Moraceae Maai

26. Biscofia javanica Euphorbiaceae Fares

27. Palaquium lobianum Sapotaceae More

28. Callophyllum sp. Clusiaceae Towar

29. Agalia spectabilis Meliaceae Komirin

30. Intsia palembanica Fabaceae Ndilen

31. Pterygota horsfieldii Sterculiaceae Kuntien

32. Canarium rigium Burseraceae Anye

33. Campnosperma macrophylla Anacardiaceae Ketukar

34. Syzigium versteegii Myrtaceae Kokek Mban

35. Octomeles sumatrana Datiscaceae Arba

36. Amora acuculata Meliacea Saa

37. Dracontomellon edule Anacardiaceae Lakof

38. Maniltoa splurijuga Fabaceae Kafak

39. Buchanania macrocarpa Anacardiaceae Kogier

40. Ficus nodosa Moraceae Daun

41. Metrosideros nigrovirisdris Myrtaceae Kefar

42. Elaeocarpus agustifolia Elaeocarpaceae Trafu

43. Gnetum gnemon Gnetaceae Amlas

44. Mastixiodendron pachyclados

Rubiaceae Sara

45. Litsea ledermanii Lauraceae Lodiwab

46. Planchonella amboinensis Sapotaceae Mbuwok

47. Homalium foetida Flacourtiaceae Maja

48. Vatica ressak Dipterocarpaceae Johar

49. Horsfieldia silvestris Myristicaceae Menggok

50. Diospyros maritima Ebenaceae Watot

51. Teysmaniadendron bogoranse

Verbenaceae Mriang Kofik

52. Melia sp. Meliaceae Asi

53. Terminalia auriculata Combretaceae Sara

54. Urandra brasii Icacinaceae Pakek

55. Sterculia macrophylla Sterculiaceae Suwak

56. Praenea papuana Sapotaceae Bon

57. Disoxyllum sp. Meliaceae Wige

58. Palaquium amboinensis Sapotaceae Nat

59. Cyathocalyx asmanthus Dunonaceae Ngaamgon

Page 177: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 159

D. Lokasi : WAIGO – MOSWAREN

Ketinggian : 300 meter dari permukaan laut

Tabel 4. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan famili lokasi Waigo – Moswaren

No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah

1. Celtis latifolia ulmaceae Muu

2. Spathiostemon javensis Euphorbiaceae Syoh Ser

3. Maniltoa spullrijuga Fabaceae Afak

4. Melia sp. Meliaceae Antas E

5. Palaquium amboinensis Sapotaceae Fuf

6. Flacourtia sp. Flacourtiaceae Ntonros

7. Eugenia anomala Myrtaceae Sajagoog

8. Ilex ledermanii Aquitifoliaceae Ntorros

9. Pongamia sp. Fabaceae Mawe

10. Heritiera sylvatica Sterculiaceae Nat

11. Sloanea papuana Theaceae Gabon

12. Drypetes globosa Euphorbiaceae Hafrah

13. Urandra brasii Icacinaceae Afam

14. Amoora cuculata Meliaceae Asi

15. Pimelodendron amboinicum Euphorbiaceae Afamka

16. Hoersfieldia sylvestris Myristicaceae Kaat

17. Myristica fatua Myristicaceae Sapa

18. Aglaia argentea Meliaceae Taa

19. Inocarpus fagifer Fabaceae Tate

20. Mastixiodendron pachyclados

Rubiaceae Hantoha

21. Canarium indica Burseraceae Kwan

22. Haplolobus floribunda Burseraceae Iji

23. Elmerillia papuana Magnoliaceae Arkek

24. Pygeum parviflora Rosaceae Surwiam

25. Aglaia spectabilis Meliaceae Sohara

26. Artocarpus altilis Moraceae Nawe

27. Pometia pinnata Sapindaceae Sah

28. Myristica holrungii Myristicaceae Akoem

29. Anizoptera polyandra Dipterocarpaceae Afam Meai

30. Cryptocarya palmerensis Lauraceae Sitam

31. Pometia acuminata Sapindaceae Kma

32. Octomeles sumatrana Datiscaceae Armbau

33. Canarium indica Burseraceae Jisnum

34. Litsea tuberculata Lauraceae Barang

35. Dracontomellon edule Anacardiaceae Vuu

36. Buchanania macrocarpa Anacardiaceae Antas II

37. Flindersia amboinensis Flindersiaceae Fohoh

38. Ficus nodasa Moraceae Antiwit

39. Trihadinia philippinensis Flacourtiaceae Wajam

40. Hernandia ovigera Hernandiacea Yomos

41. Beiscmedia philippinensis Lauraceae Krer

42. Tristania obojota Myrtaceae Kosna

Page 178: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

160 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah

43. Planchonella kayensis Sapotaceae Sigis

44. Syzigium verstegii Myrtaceae Sayoh

45. Alstonia scholaris Apocynaceae Suwe

46. Pterygota hoersfieldii Sterculiaceae Suwia

47. Gironniera subaegualis Ulmaceae Saragmit

48. Gymnacranthera paniculata Myristicaceae Kaf

49. Litsea firma Lauraceae Wansura

50. Vitex cofassus Verbenaceae Krien

51. Xanthophyllum sp. polygaliaceae Nat

52. Pterocarpus indicus Fabaceae Atapser

53. Praenea unyiato Sapotaceae Asuriam

54. Dacusucarpus wallichianus Podocarpaceae Ara Tkie

55. Sterculia macrophylla Sterculiaceae Swa

56. Spondias dulcis Anacardiaceae Herist

60. Ilex ladermanii Aquitifolinceae Kwenkik

61. Diospyros maritima Ebenaceae Gosafe

62. Caralia brachiata Rhizophoraceae Hamnat

63. Planchonella microcarpus sapotaceae Sigis

64. Polyalthia foorbesii Annonaceae Sokais

65. Myristica hokrugil Myristicaceae Akum

66. Syzigium polyanthum Myrtaceae Akku

67. Mallotus philippinensis Euphorbiaceae Sunnat

68. Toona sureni Meliaceae Rata, Ukyau

69. Endospermum moluccana Euphorbiaceae Hba

70. Glochidion sp. Euphorbiaceae Ntorros

71. Leviera sp. Monimiaceae Woi

72. Maniltoa plurijuga Fabaceae afak

73. Terminalia longespicata Combretaceae Somof

74. Himanthandra sp. Himancendraceae Tamaa

75. Beiscmedia sp. Lauraceae Sim

76. Campnosperma brevipetiolata

Anacardiaceae Rasam

E. Lokasi : MOSWAREN – ATHABU

Ketinggian : 400 meter dari permukaan laut

Tabel 5. Nama jenis pohon (latin dan Daerah ) dan famili untuk lokasi Moswaren - Athabu

No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah

1. Myristica fatua Myristicaceae Sapa

2. Melia exelsa Myristicaceae Antas I

3. Spathiostemon javensis Euphorbiaceae Syohser

4. Ilex ledermanii Aquitifolianceae Kwankek

5. Diospyros maritima Ebenaceae Kalsaff

6. Planchonella kayensis Sapotaceae Sigis

7. Caralia brachiata Rhizophoraceae Nat

8. Planchonella microcarpus Sapotaceae Sigis

9. Polyalthia foorbesii Annonaceae Sokais

Page 179: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 161

No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah

10. Myristica hokrugil Myristicaceae Akum

11. Horsfieldia sylvestris Myristicaceae Menggok

12. Aglaia argentea Meliaceae Saa

13. Litsea tuberculata Lauraceae Vuu

14. Pimeliodendron amboinicum Euphorbiaceae Afamka

15. Palaquium amboinensis Sapotaceae Nat

16. Pometia pinnata Sapindaceae Sah

17. Aglaia spectabilis Meliaceae Komirin

18. Haplolobus floribunda Bursecaceae Iji

19. Sizygium polyanthum Myrtaceae Akku

20. Syzygium verstegii Myrtaceae Sayoh

21. Amoora cuculata Meliaceae Asi

22. Pometia coreaceae Sapindaceae Kma

23. Malotus philippinnensis Euphorbiaceae Sunnat

24. Draconthomellon edule Anacardiaceae Lakof

25. Canarium indica Burseraceae Ngwam

26. Trichadenia philippinnensis Flacourtiaceae Wajam

27. Toona sureni Meliaceae Sur

28. Endospermum moluccana Euphorbiaceae Hba

29. Tristania obojata Myristicacea Semee

30. Urandra brasii Icacinaceae Afak

31. Glochidion sp. Euphorbiaceae Ntorros

32. Leviera sp. Monimiaceae Woi

33. Maniltoa plurijuga Fabaceae Afak

34. Dacusucarpus wallachianus Podocarpaceae Ara Btion

35. Terminalia longespicata Combretaceae Somof

36. Litsea firma Lauraceae Sur

37. Sterculia Macrophylla Sterculiaceae Swa

38. Spondias dulcis Anacardiaceae Herist

39. Himanthandra sp. Himancendraceae Sirin

40. Beischmedia sp. Lauraceae Sim

41. Campnosperma brevipetiolata

Anacardiaceae Rasam

42. Mastixiodendron pachyclados Rubiaceae Hantoa

43. Gluta renghas Anacardiaceae Ara Hewi

44. Semecarpus papuana Anacardiaceae Fiqum

45. Koordersiodendron pinnatium

Anacardiaceae Mokues

Page 180: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

162 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

F. Lokasi : KAMBUFATEM – KAMBUAYA

Ketinggian : 500 meter dari permukaan laut

Tabel 6. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan Famili untuk lokasi Kambufatem – Kambuaya

No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah

1. Tristania obojata Myrtaceae Kosna

2. Euodia elleryana Rutaceae Sitam

3. Lithocarpus rivofilosus Fagaceae Armo

4. Macaranga aleuritoides Euphorbiaceae Syah

5. Octamyrtus sp. Myrtaceae Sesaro

6. Shizomeria katastega Cunoniaceae Sohara

7. Alphitonia sp. Rhamnaeaae Ramboh

8. Leviera sp. Monimiaceae Woi

9. Ficus sp Moraceae Agiar

10. Mallotus sp Euphorbiaceae Wajam

11. Timonius timon Rubiaceae Siejag hftak

11. Rhodamia Myrtaceae Samak

12. Astronia Melastomaceae Fak

13. Glochidion Euphorbiaceae Kasi paran

14. Dionsia sp Verbenaceae Wofuur

IV. KESIMPULAN

1. Daerah-daerah yang terdapat pada lokasi penelitian dari Teminabuan –

Kambuaya dapat dibedakan dengan jelas berdasarkan ketinggian dari

permukaan laut.

2. Pada lokasi penelitian jenis-jenis pohon yang terdapat berbeda dengan jumlah

yang tidak seragam berdasarkan ketinggian.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1976. Mengenal Jenis Kayu Irian Jaya. Dinas Kehutanan Provinsi Irian Jaya. Jayapura.

Ding Hou, 1960. Thymeleaceae. Flora Malesiana I. 6:1-48.

Heyne, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Pengantar Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta.

Petocz, 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya. Pustaka Grafitipers. Jakarta.

Soemono S. Ir. MS., 1988. Mengenal Dunia Tumbuhan. Faperta UNCEN. Manokwari. (tidak diterbitkan).

Page 181: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 163

Slide Presentase Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat

Page 182: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

164 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 183: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 165

Page 184: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

166 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 185: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 167

Page 186: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

168 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 187: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 169

Page 188: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

170 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 189: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 171

Slide Presentase Deputi V UP4B

Page 190: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

172 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 191: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 173

Page 192: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

174 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 193: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 175

Page 194: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

176 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 195: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 177

Page 196: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

178 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 197: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 179

Page 198: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

180 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 199: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 181

Page 200: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

182 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 201: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 183

Page 202: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

184 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 203: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 185

Slide Presentase Kabag Program dan Kerja Sama Badan Litbang Kehutanan

Page 204: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

186 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 205: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 187

Page 206: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

188 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 207: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 189

Page 208: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

190 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 209: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 191

Page 210: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

192 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 211: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 193

Page 212: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

194 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 213: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 195

Page 214: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

196 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 215: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 197

Page 216: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

198 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 217: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 199

Page 218: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

200 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 219: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 201

Page 220: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

202 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 221: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 203

Page 222: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

204 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Page 223: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 205

Page 224: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

206 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

LAMPIRAN

Page 225: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 207

NOTULENSI EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BPK MANOKWARI TANGGAL 23 OKTOBER 2013

KEYNOTE SPEECH

Pertanyaan :

1. Pak Max Tokede: Bagaimana kepastian dan jaminan hukum tercapainya

tujuan percepatan pembangunan Papua ?

2. Pak Elim Kalua: Selama 20 pembangunan kehutanan, masyarakat sekitar

hutan dinyatakan tetap dalam kondisi kemiskinan. Bagaimana peran UP4B

dalam hal ini terutama dalam mendorong kinerja pembagunan oleh instansi-

instansi lain, karena walaupun telah masuk investasi besar di Papua, toh

masyarakat Papua tetap miskin.

Jawaban

1. Pak Son Diamar : UP4B telah berusaha mendorong pembangunan berbagai

infrastruktur misalanya jalan, maka digandeng instansi PU, TNI. Bidang

pendidikan pemberian beasiswa kepada putra asli Papua untuk belajar di luar

Papua, melalui instansi Diknas. Bidang ekonomi dengan pemantauan dan

pengendalian para pimpinan instansi agar tidak terjadi pelanggaran.

Sedangkan di bidang politik, usaha perubahan otsus pasal demi pasal

terutama pengaturan pembangunan harus berada di daerah

(Gubernur/Bupaai) sebagai wakil pemerintah pusat.

2. Pak Runaweri : Tanggungjawab pembangunan adalah milik bersama, bukan

pemerintah saja. Tugas pemerintah adalah membuat kebijakan yang memihak

rakyat. Mendorong kepemilikan saham rakyat dalam pengelolaan hutan.

Mempertahankan hutan dari alih fungsi untuk penggunaan lain.

3. Pak Thomas : sebenarnaya tidak ada negara kaya atau negara miskin semua

tergantung pada tata kelolanya.

SESI I

Pertanyaan

1. Pak Agus Sumule : Perlu satu pendekatan untuk mengatasi kemiskinan

masyarakat sekitar hutan yang difasilitasi oleh Kadishut. Diharapkan

pengelolaan kayu lokal diberikan pada masyarakat adat. Berapapun produksi

hasil hutan, jika perkampungan di sekitar hutan kondisi fisiknya tidak berubah,

Page 226: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

208 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

maka masyarakat tetap dianggap miskin. Diharapkan perusahaan IUPHHK

memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut mengelola hutan,

seperti melalui pembangunan penggergajian, sawmill dan lain-lain untuk

meningkatan kesejahteraan masyarakat. Kekurangan energi terutama listrik

bagaimana bisa bersumber dari hutan, sebagai contoh listrik yang dihasilkan

dari hutan di Korindo.

2. Pak Estiko : Untuk Pak Kuswandi, bagaimana jika analisis ekonomi yang

dipakai bukan hanya berdasarkan sumber dana PSDH dan DR saja, karena

kontribusi IUPHHK untuk negara bukan itu saja masih ada restribusi berupa

pajak dan lain-lain, termasuk bantuan sosial yang diberikan kepada

masyarakat. Untuk Bu Betty, saat ini sagu sedang naik daun. Ijin

pengelolaannya telah dikeluarkan oleh bupati Jayapura, Nabire dan

Mamberamo Raya, namun bagi orang awam sagu tetap dianggap sebagai

komoditas perkebunan.

3. Bu Garsetiasih : Makalah tidak sesuai dengan sasaran. Sasaran yang

seharusnya untuk mengetahui kuantitas dan kualitas, tidak nampak dalam

tulisan, hanya data pertumbuhan yang dimunculkan.

4. Pak Benny Halatu : Pada tahun 1988-1990 belum ada pasar Merbau, Merbau

mulai marak pada tahun 2000an. Banyak sekali persoalan kehutanan seperti

yang dikemukakan UP4B tadi, pembangunan selalu mencari lahan. Sentralisasi

harus diarahkan pada desentralisasi. Masalah kemiskinan harus dicarikan

solusi tanpa menyalahkan masing-masing institusi. Kegagalan TPTI, harus

dicariikan jalan keluarnya, salah satunya melaui KPH, sehingga dapat

menjawab permasalahan pembangunan kehutanan.

Jawaban.

1. Bu Betty : data itu sudah ada dan siap dimasukkan, agar segera dapat dicetak

dalam proseding.

2. Pak Freddy : Papua kaya akan sumber energi, kajian tersebut dapat

berlangsung tergantung pada anggaran yang turun.

3. Pak Kuswandi : restribusi yang lain belum ada datanya, restribusi yang

tersedia datanya adalah ijin pengusahaan, DR dan PSDH, tetapi besarnya

tidak kelihatan. Sebenarnya masyarakat sekitar hutan tidak miskin, hanya

kemampuan mengelola hutan yang belum ada. Pengelola kayu sebagian besar

adalah pendatang, sedangkan pemilik ulayat hanya meminta kompensasi.

Page 227: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 209

Interupsi Pak Max : judulnya luas namun sempit bukan ekonomi daerah tapi

PAD. Kebutuhan yang dibebankan bukan untuk masyarakat melainkan untuk

kebutuhan industri lokal.

Menurut Kadishut : JPT tidak berlaku lagi di pusat, namun di daerah masih

diberlakukan.

Menurut Sekbadan, harus hati-hati menganalisis manfaat ekonomi perusahaan

IUPHHK, karena bila salah analisa bisa membubarkan IUPHHK yang menjadi

andalan ekonomi kehutanan. Prilaku masyarakat juga perlu dikaji, karena

gaya hidup masyarakat menunjukkan kegagalan pengelolaan keuangan.

Selanjutnya swasembada beras bukan swasembada pangan, diharapkan

bukan swasembada beras saja tapi juga swasembada pangan untuk

menunjukkan ketahanan pangan. Kriteria tanah marginal untuk sawah, tapi

dikatakan cocok untuk real estate karena sengaja dikelola salah. Data jenis

kayu selalu berubah sama dengan data banyaknya pulau yang ada di

Indonesia. Diharapkan Kadishut dapat memfasilitasi pembuatan kebun koleksi

jenis.

SESI II

Pertanyaan-pertanyaan

1. Pak Max : untuk penulisan abstraks, penulisan nama Botani harus

memperhatikan kaidah ilmiah. Untuk Bu Betty penulisan abstraks tidak

mencantumkan hasil penelitian, sehingga tulisan seperti proposal, bukan

publikasi atau makalah. Untuk Pak Gatot Pemanenan pada labi-labi moncong

babi dikatakan 100% telur apa hubungannya dengan pengelolaan berbasis

jenis.

2. Bu Mariana Takandjanji : prihatin dengan kondisi labi-labi moncong babi yang

sudah termasuk dalam Apendik II CITES. Pemanfaatan oleh masyarakat

sangat tinggi, sehingga merupakan ancaman serius. Bagaimana BPK

Manokwari menyikapi hal tersebut, sedangkan penangkaran amat sulit

dilakukan karena pertumbuhannya sangat lambat.

3. Pak Luther : Tanggapan untuk Bu Betty, ada kelemahan untuk penyebutan

nama daerah Sagu, karena setiap daerah memiliki nama yang berbeda,

sehingga perlu diperhatikan dalam penyebutan nama daerah. Untuk Pak Pudja

Page 228: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

210 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

di Merauke juga tumbuh jenis kayu putih alam yang menarik untuk dikaji. Ada

baiknya dilakukan penelitian juga di Merauke untuk memperbadingkan dengan

kayu putih di Jawa.

Jawaban :

1. Pak Gatot : Maksud pengelolaan berbasis jenis adalah labi-labi yang dikelola

adalah dari tukik dan diistilahkan penangkaran alami dan pelepasan ke alam.

Penangkaran untuk Papua belum ada penangkaran seperti juga rusa yang

hanya dibesarkan bukan ditangkarkan. Masih diperlukan data biologi maupun

ekologi, misalnya labi-labi lebih suka memilih bersarang pada tanah berpasir

dengan vegetasi. Gerakan labi-labi dalam air hanya bisa dipantau dengan

radiometri yang harganya sangat mahal, sementara anggaran penelitian yang

ada sangat terbatas. Dalam sekali bertelur labi-labi menghasilkan telur sekitar

20 butir, dengan persentase pemanfaatan masyarakat lebih besar daripada

telur yang ditetaskan. Apalagi keberhasilan penetasan telur amat sulit, karena

adaptasi yang susah dan banyaknya predator.

2. Pak Pudja : terimakasih tanggapannya, memang terdapat perbedaan antara

spesies kayu putih yang ditanam di Jawa dan kayu putih yang tumbuh alami

di Merauke, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.

3. Bu Betty : Sagu telah ditetapkan nama ilmiahnya yaitu Metroxylon spp,

dengan varietas jenis yang banyak namun masih memakai nama daerah.

Page 229: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 211

JADWAL ACARA

Waktu Kegiatan Metode Keterangan

08.30–09.00 Registrasi peserta OC

09.00–09.30 Pembukaan (MC) : Doa Lagu Indonesia Raya Sambutan sekaligus

Pembukaan Lagu Tanah Papua

Plenary OC Pendoa Dirijen Kadis Kehutanan Prov. Papua Barat Dirigen

09.30–09.40 Laporan Pelaksanaan Ekspose Plenary Ir. Harisetijono, M.Sc

09.40–10.00 Rehat Kopi

10.00–10.45 Keynote Speech 1. Kebutuhan Penelitian

Kehutanan (Reseach Needs) di Tanah Papua (Kepala Dinas Kehutanan Prov. Papua Barat)

2. Hutan, Sumberdaya Alam, dan Lingkungan dalam upaya P4B (Deputi V UNIT Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat / UP4B)

3. Kebijakan Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Sebagai Kerangka Penelitian Integratif (Kepala Bagian Program dan Kerjasama Badan Litbang Kehutanan)

Plenary Moderator : Dr. Agus Sumule

11.00–11.30 Diskusi

11.30–12.00 Soft Launching Buku 1. Buku Rediversifikasi Pangan

Papua Jidil 2 2. Buku Bongkah Aksi Kolektif

untuk Menanam

Paparan Ringkasan

Ir. Max J Tokede, MS

12.00–13.00 ISHOMA

13.00–14.15 THEMA: Sistem Pengelolaan Hutan

Plenary

Moderator : Ir. Thomas Nifinluri, M.Sc

13.00-13.05 Arahan

13.05-13.15 Pengelolaan Hutan dalam Kontribusinya pada Ekonomi Daerah dan Kemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan di Papua (Ir. Relawan Kuswandi, M.Sc)

Page 230: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

212 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

Waktu Kegiatan Metode Keterangan

13.15-13.25 Pertumbuhan Varietas Sagu (Metroxylon Spp) di Demplot Masni Manokwari (Ir. Batseba Suripatty, MSc)

13.25-13.35 Pemanfaatan Kayu di Papua melalui Pendekatan Sifat Dasar Kayu (Freddy Jontara Hutapea, S.Hut)

13.35-14.15 Diskusi

14.15-15.30 THEMA: Hasil Hutan Bukan Kayu

Plenary

Moderator : Mnerep Siregar, S.Hut, M.Si

14.15-14.20 Arahan

14.20-14.30 Status Pemanfaatan dan Pengelolaan Labi-labi Moncong Babi di Papua (Richard Gatot Nugroho Triantoro, S.Hut, MSi)

14.30-14.40 Penentuan Rotasi Pemangkasan pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MSi)

14.40-14.50 Kajian Empulur Sagu untuk Bioethanol (Ir. Batseba Suripatty, MSc)

14.50-15.30 Diskusi

15.30-15.45 Rehat kopi

15.45-16.00 Pembacaan Rumusan Tim Perumus

16.00-selesai Penutupan

Page 231: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 213

SUSUNAN PANITIA EKSPOSE HASIL PENELITIAN PADA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI

TAHUN ANGGARAN 2013 SK KPA BPK Manokwari

Nomor: SK. 46 /VIII/BPKM/DIPA/2013

Tanggal: 18 Juli 2013

Penanggung Jawab : Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Ketua : Ir. Edwin Lodewijk Yoroh Sekretaris : Dr. Henry S. Innah, S.Hut, MT Bendahara : Sulastri SEKSI MATERI: Koordinator : Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Anggota : Ir. Relawan Kuswandi, MSc Richard Gatot Nugroho Triantoro, S.Hut, M.Si Susan T. Salosa, S.Hut, MA SEKSI ACARA DAN PERSIDANGAN: Koordinator : Baharinawati WH.,S.Sos.,M.Sc Anggota : Ifa Zanty Wahyuni, S.Hut Gidzon Mandacan Yakob Wamaer SEKSI DOKUMENTASI DAN DEKORASI: Koordinator : Julanda Noya, S.Hut Anggota : Sarah Yuliana, S.Hut., M.App. Sc Melky B Panie, S.Hut SEKSI KONSUMSI: Koordinator : Ir. Regina R. Maai Anggota : Dwi Korani Supatmini SEKSI AKOMODASI DAN TRANSPORTASI: Koordinator : Khuswantoro Akhadi, S.Hut, M.Ap Anggota : Arif Hasan, SE Yan H. Baransano Yakob Lutlutur SEKSI PERLENGKAPAN: Koordinator : Jufri Thaib, SE Anggota : Naris Arifin, SE Laban Mandibodibo Obed Dogopia SEKSI KESEKRETARIATAN: Koordinator : Freddy Jontara H, S.Hut Anggota : Solichin, SH Muthmainnah Syarifuddin, S.Hut Freddy Sutadji Simon Patollong, SE

Page 232: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

214 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

DAFTAR PESERTA

KEGIATAN EKPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN

BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI

Aston Niu Hotel, Tanggal 29 November 2011

NO NAMA INSTANSI

1 A. Ardi BBTNTC

2 Abdul Solichin PERDU Manokwari

3 Ahmad Syihabi SMK Kehutanan

4 Apner Marar BPK Manokwari

5 Ayati BKSDA

6 B. A. Hallatu Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong

7 Baharinawati Wilhan Hastanti BPK Manokwari

8 Batseba A. Suripatty BPK Manokwari

9 BE. Susanto BP2HP Wilayah XVIII

10 Christian Moai BP2HP Wilayah XVIII

11 Daud Bano Dinas Kehutanan

12 Demianus Aska Masyarakat GM

13 Ditha Aryanti UNIPA

14 Dody Rahmansyah BPK Manokwari

15 Donatus Awujani BBTNTC

16 Donatus Marani UNIPA

17 Dwi Korani BPK Manokwari

18 Edwin Lodewiyk Yoroh BPK Manokwari

19 Eko Suwarno BP2HP Wilayah XVIII

20 Elim Kalua BLK Manokwari

21 Esie Mega Wangi BBTNTC

22 Estiko Tri Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat

23 Ezrom Batorinding BPK Manokwari

24 Ferry Manufandi Yalhimo Manokwari

25 Fitryanti Pakiding UNIPA

26 Frank Lambori BBTNTC

27 Freddy J. Hutapea BPK Manokwari

28 Fredikus Sutaji BPK Manokwari

29 Garsetiasih Puskonser Bogor

30 Gidzon Mandacan BPK Manokwari

31 Harisetijono BPK Manokwari

32 Hendrik Runaweri Kadishut

33 Hendy K. BP2HP Wilayah XVIII

34 Hermadi BBTNTC

35 Indah Maria Ratna N. UNIPA

36 Indun Isyunanjo BP2HP Wilayah XVIII

37 Inseren D. Marisan Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat

Page 233: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 215

NO NAMA INSTANSI

38 Isak H. Ainusi Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat

39 Ishak Silamba UNIPA

40 J. BakArbessy Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat

41 J.J. Kesaulija Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat

42 Johan A. Rumawak BPK Manokwari

43 Jufri Thaib BPK Manokwari

44 Julanda Noya BPK Manokwari

45 Junus Tambing BPK Manokwari

46 Ketut Arta KASDIM 1703 Manokwari

47 L. Rumawak BPK Manokwari

48 Laban Mandibodibo BPK Manokwari

49 Lidia Tesa BBTNTC

50 M. Ronsumbre Polsek Bandara

51 M. Siregar BBTNTC

52 Mamat R. BPKH

53 Marga T. SMK Kehutanan

54 Maria I. Arim, SP, M.Sc UNIPA

55 Mariana T. Puskonser Bogor

56 Marie Elen Tohitoe, S.Hut SMK Kehutanan

57 Markones Karubaba Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat

58 Max J. Tokede UNIPA

59 Meidy Utomo BKSDA

60 Melky B. Panie BPK Manokwari

61 Moh. Tabakore BPK Manokwari

62 Mohamad Saleh, S.Hut, M.Si BPDAS Remu Ransiki

63 Naris Arifin BPK Manokwari

64 Nithaniel M.H Benu BPK Manokwari

65 Obed Degopia BPK Manokwari

66 Oto Djuari BPKH XVII

67 Pdt. Edy Kirihio Masyarakat GM

68 Pieter Wamaer Zekbet CII-TNC-WME

69 Pudja Mardi Utomo BPK Manokwari

70 Regina Rusmina Maai BPK Manokwari

71 Relawan Kuswandi BPK Manokwari

72 Richard Gatot Nugroho BPK Manokwari

73 Rika Razali BP2HP Wilayah XVIII

74 Rini Purwanti BBTNTC

75 Sahrul BPDAS Remu Ransiki

76 Salmon Kasi BPKH

77 Samsul Rahman BBTNTC

78 Sarah Yuliana BPK Manokwari

79 Sarina Maai BPK Manokwari

Page 234: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

216 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”

NO NAMA INSTANSI

80 Simon Patollong BPK Manokwari

81 Son Diamar UP4B Deputi V

82 Sulastri BPK Manokwari

83 Sumule UNIPA

84 Sunardi BPK Manokwari

85 Supanto BPK Manokwari

86 Supatmini BPK Manokwari

87 Susan T. Salosa BPK Manokwari

88 Triadi Gumilar BPKH XVII

89 Trijoko Mulyono Setbadan Litbang

90 Wilson Palelingan UNIPA

91 Yacob Wamaer BPK Manokwari

92 Yafet Ayok Dinas Kehutanan

93 Yahya Sayori Dinas Kehutanan Kabupaten Manokwari

94 Yakob Lutlutur BPK Manokwari

95 Yenni Salosa UNIPA

96 Yermias Mandacan Kampung Ayambori

97 Yoel Tandirerung BPK Manokwari

98 Yoslianto BBTNTC

99 Yusup H. Hashari BPKH

100 Yusup Komendi BPK Manokwari

Page 235: Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 · optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming)

Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 217