eksperimen,rd akbar, kelas b, kelompok f 3

38
FAKULTAS PSIKOLOGI UNISBA BAGIAN UMUM DAN EKSPERIMEN LAPORAN PENELITIAN TRUE EKSPERIMEN PENGARUH METODE MULTISENSORI TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA HURUF ABJAD PADA ANAK TAMAN KANAK - KANAK Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Praktikum Psikologi Eksperimen II Semester Ganjil Tahun Akademik 2010-2011 Dosen Pembimbing: Oki Mardiawan M.Psi Disusun oleh : Kelompok F Rd Akbar Fajri (10050009097)

Upload: akbar-fajri

Post on 04-Jul-2015

514 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

FAKULTAS PSIKOLOGI UNISBA

BAGIAN UMUM DAN EKSPERIMEN

LAPORAN PENELITIAN TRUE EKSPERIMEN

PENGARUH METODE MULTISENSORI TERHADAP

KEMAMPUAN MEMBACA HURUF ABJAD PADA ANAK

TAMAN KANAK - KANAK

Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Praktikum

Psikologi Eksperimen II

Semester Ganjil Tahun Akademik 2010-2011

Dosen Pembimbing: Oki Mardiawan M.Psi

Disusun oleh :

Kelompok F

Rd Akbar Fajri (10050009097)

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

FAKULTAS PSIKOLOGI

BAGIAN UMUM DAN EKSPERIMEN

2011

Page 2: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

FAKULTAS PSIKOLOGI UNISBA

BAGIAN UMUM DAN EKSPERIMEN

LAPORAN PENELITIAN TRUE EKSPERIMEN

PENGARUH METODE MULTISENSORI TERHADAP

KEMAMPUAN MEMBACA HURUF ABJAD PADA ANAK

TAMAN KANAK - KANAK

Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Praktikum

Psikologi Eksperimen II

Semester Ganjil Tahun Akademik 2010-2011

Dosen Pembimbing: Oki Mardiawan M.Psi

Disusun oleh :

Kelompok F

Rd Akbar Fajri (10050009097)

Menyetujui Dosen Pembimbing

(Oki Mardiawan M.Psi)

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

FAKULTAS PSIKOLOGI

BAGIAN UMUM DAN EKSPERIMEN

2011

Page 3: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan jaman, produsen semakin kreatif dalam

memasarkan produknya, diantaranya dengan memanfaatkan iklan, yang salah

satunya berfungsi untuk meningkatkan penjualan produk. Dalam hal ini tidak

terkecuali juga untuk produsen rokok. Para produsen rokok berlomba-lomba

untuk membuat iklan rokok yang mampu menarik minat konsumen untuk loyal

pada produknya.

Jika dicermati dalam setiap iklan rokok tersebut dapat ditemukan sebuah

peringatan bahwa merokok yang pasti ada dalam iklan rokok (rokok merk

apapun). Peringatan tersebut berbunyi : “Merokok dapat menyebabkan kanker,

serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Hal ini menarik

untuk dicermati, mengingat bahwa salaj satu tujuan iklan dibuat adalah

meningkatkan penjualan, tapi justru ada peringatan yang bertentangan

didalamnya, yang seharusnya justru dapat menekan penjualan rokok.

Kenyataan saat ini adalah begitu banyak perokok yang mengetahui iklan

bahaya merokok pada kemasan rokok itu sendiri. Setiap orang yang merokok,

baik laki-laki ataupun perempuan, pastinya mereka mengetahui dampak dan

bahaya dari merokok. Mereka semua tidak bodoh, saat ini dengan mudah

mengakses bahaya-bahaya dari merokok, di majalah dan koran pun terpampang

artikel-artikel tentang racun-racun yang terdapat dalam sebatang rokok. Bahkan

dalam kemasan di seluruh jenis rokok di Indonesia selalu dicantumkan peringatan

tentang dampak bahaya dan keburukannya.

Tetapi mengapa orang-orang tersebut masih tetap mempertahankan

kebiasaan buruknya? Bukankah mempertahankan perbuatan yang sudah diketahui

sebagai perbuatan buruk, tetapi masih tetap dilakukan adalah perbuatan orang

yang bodoh? Akhirnya, kembali lagi kepada masing-masing individu. Setiap

individu mempunyai pikiran hidyp adalah pilihan. Namun juga idak dapat

dipungkiri bahwa kepuasan yang tinggi merupakan suatu hubungan emosional

Page 4: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

yang sangat kuat (emotional affinity) dengan suatu merk, yang pada gilirannya

akan menciptakan loyalitas pelanggan yang tinggi (high costumer loyality)

(Kotler, 1997).

Sejauh ini peringatan dalam bungkus rokok yang mencantumkan bahaya

merokok tidak cukup efektif. Belum lagi misalnya istilah low, light, mild, dan

lain-lain yang justru menyesatkan. Karena sebenarnya tidak ada penurunan kadar

tar dan nikotin dengan cara ini. Istilah hanya member kesan rokok”aman”

sehingga si perokok cenderung merasa “boleh” merokok dan tidak mungkin akan

mengonsymsi rokok lebih banyak lagi karena merasa mengisap rokok “ringan”

(Kompas, 2004).

Tidak adanya peraturan yang jelas dari pemerintah bagaikan lapangan tak

terbatas bagi produsendalam melakukan aksi produksi dari promosi rokok

(Kompas, 2003).

Hal – hal yang telah dipaparkan diatas, mendasari penulis untuk meneliti

pengaruh peringatan bahaya merokok pada kemasan rokok terhadap perilaku

merokok sendiri. Penelitian tersbeut akan dilihat dari intensitas perokok membaca

tayangan peringatan iklan rokok dari tingkat pemahaman perokok terhadap isi

peringatan tersebut.

Bicara rokok memang banyak yang memperdebatkan masalah efeknya

bagi kesehatan. Banyak pihak-pihak yang mencoba untuk melakukan

pendidikan terhadap bahaya rokok, bahkan berupaya melawan keberadaan

industri rokok tersebut. Tidak sekedar mengganggu masalah kesehatan,

ada penelitian yang mengatakan rokok penyebab kemiskinan sosial.

Dalam hal ini pemerintah memberikan batasan iklan rokok dengan

mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2000 tentang

Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Dalam PP ini, pengaturan mengenai

iklan diatur secara khusus dalam bagian Iklan dan Promosi, pada pasal 18

menyebutkan materi iklan rokok dilarang untuk ; Pertama, iklan rokok

dilarang menyarankan atau merangsang orang untuk merokok. Kedua,

menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok tidak memberikan

Page 5: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

manfaat bagi kesehatan. Ketiga, memajang orang lagi menghisap rokok.

Keempat, mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok

(menampilkan batang dan bungkus rokok). Kelima, iklan rokok harus

mencantumkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan, yaitu

“Merokok dapat menyebabkan kanker, jantung, impotensi dan gangguan

kehamilan dan janin”.

Batasan-batasan peraturan terhadap iklan rokok ini bukannya menurunkan

kegiatan iklan rokok, melainkan menjadikan tantangan bagi produsen dan

periklanan rokok untuk menjadi lebih kreatif dalam mengkemas pesan.

Mereka mengkemas pesan iklan tersebut dengan berbagai macam tema

yang sangat popular di mata masyarakat Indonesia. Mulai dari

persahabatan, kejantanan, kesuksesan, kenikmatan, kebebasan,

kedewasaan, solidaritas, hingga kritik sosial. Dan tidak jarang, penonton

yang melihat iklan rokok menjadi tertawa dan terkesan. Respon positif pun

terbetuk

Dalam portal online Kompas 27 Agustus 2008, menjelaskan pendapat Liza

Marielly Djaprie M,Si dalam diskusi bertajuk 'Iklan Rokok : Menjual

Gaya Hidup yang membahayakan Hidup' di Jakarta, bahwa iklan-iklan

rokok semakin lihai menjerat konsumen. Tidak jarang, hal-hal positif

diselipkan dan disalahgunakan untuk menanamkan persepsi tentang

merokok yang sebenarnya menjerumuskan. Iklan-iklan yang

menyalahgunakan hal positif itu misalnya yang memakai ilustrasi

solidaritas dan keakraban teman. Kesannya, merokok seakan-akan dapat

mengakrabkan, dengan merokok seakan-akan ada norma-norma positif

yang terbentuk. Hal itu jelas akan memberikan pengaruh besar dan

menjerumuskan mereka yang menontonnya apalagi kalangan anak-anak

dan remaja. Yang kemudian muncul adalah persepsi yang makin kuat

bahwa merokok dapat memberikan hal yang positif.

Page 6: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

Lebih jauh Liza menambahkan, iklan-iklan rokok di dunia termasuk di

Indonesia pada umumnya masih menerapkan metode yang disebut

subliminal adveritising. Metode ini dilakukan dengan cara mengenalkan

individu pada suatu merek rokok sedangkan individunya sendiri tak sadar

kalau ia sedang dikenalkan pada rokok tersebut. Menurutnya, iklan model

ini memang sangat efektif dalam mempengaruhi persepsi konsumen

terutama kalangan anak-anak, remaja dan dewasa muda.

Pada artikel Kompas online lainnya pada 27 Januari 2009, menyebutkan

bahwa riset yang dikembangkan Komnas Anak bersama dengan Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof DR Hamka pada tahun

2007, sekitar 99,7 persen remaja yang merokok melihat iklan rokok di

televisi, 86,7 persen melihat iklan rokok di media luar ruang, 76,2 persen

melihat iklan rokok di koran dan majalah, serta 81 persen pernah

mengikuti kegiatan yang disponsori industri rokok. Sementara itu, 46,3

persen remaja berpendapat iklan rokok berpengaruh besar terhadap

keputusan untuk mulai merokok dan 41,5 persen berpendapat keterlibatan

dalam kegiatan yang disponsori rokok memiliki pengaruh untuk mulai

merokok.

Kemudian artikel lainnya lagi pada Kompas online 27 Agustus 2008

menyebutkan bahwa fenomena kuatnya pengaruh iklan terhadap perilaku

merokok khususnya kalangan remaja juga telah diperlihatkan hasil survey

yang dilakukan Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KUIS) pada akhir 2007

lalu. Dalam survey terhadap 3040 wanita dengan kelompok usia 13 - 25,

16 - 19, dan 20 - 25 tahun di Jakarta dan Sumatera Barat tampak bahwa

hampir 50 persen partisipan mengaku melihat hal-hal yang mempengaruhi

keputusan merokok dalam satu bulan terakhir. Tercatat 92 persen remaja

putri melihat iklan rokok melalui tayangan televisi, sedangkan 70,63

persen melalui poster. Sebanyak 70 persen wanita muda kerap melihat

promosi rokok pada pentas acara musik, olahraga dan kegiatan sosial

Page 7: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

lainnya.

***

Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa sikap terhadap iklan sangat

berpengaruh pada sikap terhadap produk dan perilaku. Dengan kata lain

iklan rokok berupaya untuk menyerap konsumen dari kalangan pemula,

yaitu dengan membangun persepsi terhadap rokok dari atribut-atribut

masing-masing pesan iklan yang beragam dari setiap merek rokok.

Sehingga mereka terpengaruh untuk berperilaku merokok.

Dari dasar teori perilaku konsumen dan periklanan serta informasi di atas,

menjadikan rujukan penelitian saya untuk mencari hubungan antara iklan

rokok dengan perilaku merokok. Saya menggunakan metode analisis

kuantitatif untuk penelitian ini dengan responden mahasiswa dari kampus

saya sendiri yaitu Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dengan

populasi sampel mahasiswa laki-laki yang merokok. Dan merek rokok

yang akan saya teliti ada 3 macam, yaitu A Mild, Sampoerna Hijau, dan

Djarum Super. Merek-merek tersebut memiliki tema dan konsep iklan

yang masing-masing berbeda. Seperti A Mild yang memiliki konsep kritis

terhadap permasalahan sosial, Sampoerna Hijau yang mengankat konsep

persahabatan, dan Djarum Super yang mengangkat konsep jiwa petualang.

Dari beberapa konsep tersebut, saya mencoba untuk mencari perilaku

merokok apakah mereka merokok berdasarkan dari konsep iklan rokok

tersebut, yaitu perasaan persahabatan, jiwa petualang dan sikap kritis.

Kemudian mencari sikapnya (dengan metode teori sikapnya Fisbein)

terhadap iklan dari masing merek tersebut. Kemudian antara sikapnya

terhadap iklan rokok dan perilaku merokoknya dikorelasikan. Bila nanti

hasil penelitiannya berkorelasi positif, maka iklan rokok sangat

mempengaruhi mereka untuk berperilaku merokok.

Hingga tulisan ini diterbitkan, saya memang belum meneyelesaikan skripsi

saya, baru sampai batas pengesahan proposal dan persiapan kuesioner,

Page 8: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

sehingga belum bisa menjelaskan hasil dari penelitian ini. Insya Allah

kalau ada waktu dan kesempatan, hasilnya bisa saya tuliskan di blog ini

kedepannya.

1.2 Identfikasi Masalah

Page 9: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

Berdasarkan uraian di atas metode ini mampu membangkitkan minat dan

motivasi anak, serta memberi kesempatan bagi anak untuk banyak berlatih.

Melihat prinsip – prinsip penerapan metode multisensori yang memberi dampak

positif pada proses membaca huruf, maka ingin diketahui pengaruhnya terhadap

kemampuan membaca huruf pada anak – anak di taman kanak – kanak.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental. Untuk

menguji hipotesis penelitian, sebelumnya akan dilakukan pengidentifikasian

variabel – variabel yang diambil dalam penelitian ini. Adapun variabel – variabel

yang terdapat dalam penelitianini adalah sebagai berikut.

1. Dependent Variable : kemampuan membaca huruf.

2. Independent Variable : pemberian perlakuan (diberi dan tidak diberi metode

multisensori).

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh metode

multisensori terhadap kemampuan membaca huruf pada anak-anak di taman

kanak-kanak. Apakah terdapat perbedaan dalam kemampuan membaca huruf pada

kelompok eksperimen yang diberi perlakuan berupa metode multisensori jika

dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan referensi di bidang psikologi

perkembangan, terutama perkembangan pada masa awal anak – anak; dan

psikologi pendidikan, terutama bagi pendidikan anak usia dini.

Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi siswa Taman Kanak – kanak, untuk

meningkatkan kemampuan membaca huruf. Para guru khususnya dan para praktisi

Page 10: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

pendidikan pada umumnya, sebagai referensi bahwa dalam mengajar membaca,

penting untuk memperhatikan anak secara spesifik berdasarkan kemampuan dan

tipe belajar mereka. Para guru khususnya dan para praktisi pendidikan pada

umumnya, dalam memberikan informasi tentang metode membaca lain yang

dapat dilakukan sebagai alternatif untuk memperbaiki proses membaca pada anak.

1.5 Kerangka Pemikiran

Populasi

Siswa yang belum diajarkan membaca huruf abjad

Random

Control GroupEksperimental Group

Treatment

Page 11: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

1.6 Hipotesis Penelitian

Penelitian ini bermaksud mengetahui sejauh mana pengaruh metode

multisensori terhadap kemampuan membaca huruf abjad anak Taman Kanak –

kanak. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: ada perbedaan skor kemampuan

membaca huruf abjad pada subjek yang mendapat metode multisensori. Dimana

subjek yang mendapatkan pengajaran metode multisensori akan mendapat yang

lebih tinggi daripada subjek yang tidak mendapat pengajaran membaca huruf

abjad menggunakan metode multisensori.

Post Test

Page 12: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

BAB IITINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian Metode Multisensori

Multisensori terdiri dari dua kata yaitu multi dan sensori. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia (1999, h. 671), kata “multi” artinya banyak atau lebih dari

satu atau dua, sedangkan “sensori” (KBBI, 1999, h. 916) artinya panca indera.

Maka gabungan kedua kata ini berarti lebih dari satu panca indera. Yusuf (2003,

h. 95) menyatakan, pendekatan multisensori mendasarkan pada asumsi bahwa

anak akan dapat belajar dengan baik apabila materi pengajaran disajikan dalam

berbagai modalitas alat indera. Modalitas yang dipakai adalah visual, auditoris,

kinestetik, dan taktil, atau disingkat dengan VAKT. Pendekatan membaca

multisensori meliputi kegiatan menelusuri (perabaan), mendengarkan (auditoris),

menulis (gerakan), dan melihat (visual). Untuk itu, pelaksanaan metode ini

membutuhkan alat bantu (media) seperti kartu huruf, cat, pasir, huruf timbul, dan

alat bantu lain yang sifatnya dapat diraba (konkret).

2.2 Tahapan Belajar Membaca Menggunakan Metode Multisensori

Terdapat 2 metode multisensori, yaitu yang dikembangkan oleh Fernald

dan Gillingham. Perbedaan keduanya adalah, pada metode Fernald, anak belajar

kata sebagai pola yang utuh sehingga akan memperkuat ingatan dan visualisasi;

sedangkan metode Gillingham menekankan pada teknik meniru bentuk huruf satu

per satu secara individual. Metode Gillingham – Stillman merupakan suatu

metode yang terstruktur dan berorientasi pada kaitan bunyi dan huruf, di mana

setiap huruf dipelajari secara multisensoris. Metode ini digunakan untuk tingkat

Page 13: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

yang lebih tinggi dan bersifat sintesis, di mana kata diurai menjadi unit yang lebih

kecil untuk dipelajari, lalu digabungkan kembali menjadi kata yang utuh (Myers,

1976, h. 279). Langkah – langkah pelaksanaan metode ini adalah sebagai berikut

(Yusuf, 2003, h. 95):

a. Memberikan latihan asosiasi. Asosiasi pertama terdiri atas dua gabungan, yaitu

asosiasi simbol visual dengan nama-nama huruf dan asosiasi rasa organ bicara

dalam memproduksikan nama atau bunyi huruf yang didengar anak sama dengan

yang diucapkannya. Hal ini dilakaukan dengan cara sebagai berikut.

1) Guru membagikan kartu huruf dan mengucapkannya. Setelah itu anak

mengulangi atau menirukan apa yang diucapkan oleh guru.

2) Setelah nama huruf dikuasai oleh anak, guru mengucapkan bunyi huruf

dan anak mengikutinya. Selanjutnya guru menanyakan kepada anak, “Apa bunyi

huruf ini?“

b. Guru mengucapkan/melafalkan bunyi huruf, bagian kartu yang bertuliskan

huruf tidak diperlihatkan kepada anak (menghadap guru). Kemudian guru

memperlihatkannya dan menanyakan kepada anak tentang nama huruf tersebut,

kemudian anak menjawabnya.

c. Guru menuliskan huruf yang dipelajari, menerangkan, dan menjelaskannya.

Anak memahami bunyi, bentuk, dan cara membuat huruf dengan cara menelusuri

huruf yang dibuat oleh gurur, kemudian menyalin menulis huruf berdasarkan

memorinya. Dalam metode VAKT ini bila anak telah menguasai beberapa hururf,

kemudia anak merangkaikan menjadi sebuah kata depan pola KVK, Misalnya pal,

bas, sas, tol, dan sebagainya.

d. Guru meminta anak menuliskan huruf yang sudah dipelajari.

Metode ini dikembangkan oleh Gillingham dan Stillman. Asumsi yang

mendasari metode ini adalah bahwa dalm pengajaran membaca,menulis, dan

Page 14: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

mengeja, kata dipandang sebagai satu rangkaian huruf-huruf. Secara umum,

metode VKAT ini ada kesamaannya dengan metode sintesis pada pengajaran

membaca huruf abjad. Pada metode ini anak mempelajari huruf huruf dengan

mendengar bunyi huruf, menunjuk dengan tangan atau menelusuri dengan jari

tangan kemudian menuliskan huruf dengan masukan indra visual, auditif, dan

taktil secara padu.

2.3 Pengertian Kemampuan Membaca Huruf Abjad

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999, h. 623), “kemampuan”

berarti kesanggupan atau kecakapan. “Membaca” berarti melihat serta memahami

isi dari apa yang tertulis, atau mengeja dan melafalkan apa yang tertulis. (KBBI,

1999, h. 72). “Huruf Abjad” berarti tanda aksara dalam tata tulis yg merupakan

anggota abjad yg melambangkan bunyi bahasa(KBBI Online).

Menurut Depdikbud tahun 1986 (dalam Ayriza, 2005, h. 85), Chaer (2003,

h. 204), serta Purwanto dan Alim (1997, h. 35), huruf konsonan yang harus dapat

dilafalkan dengan benar untuk membaca permulaan adalah b, d, k, l, m, p, s, dan t.

Huruf – huruf ini, ditambah dengan huruf – huruf vokal akan digunakan sebagai

indikator kemampuan membaca permulaan, sehingga menjadi a, b, d, e, i, k, l, m,

o, p, s, t, dan u. Jadi anak sebelum pada tahap membaca permulaan haruslah

memahami dahulu huruf vocal dan huruf konsonan terlebih dahulu.

Pengenalan huruf tidak dapat dipisahkan dari keterampilan analsisi data.

Anak tidak cukup hanya mampu menganalisis huruf saja, tapi juga mampu

mengenal huruf tersebut. Selain pengenalan tanda kontekstual, pengenalan huruf

dan asosiasi huruf/ symbol-simbol bunyi pun ditekankan dalam pengembangan

perbendaharaan suatu kata.

2.4 Pemahaman terhadap Lafal

Unsur bahasa yang terkecil berupa lambang bunyi ujaran disebut fonem. Ilmu

yang mempelajari fonem disebut fonologi atau fonemik . Fonemdihasilkan oleh

alat ucap manusia yang dikenal dengan artikulasi . Dalambentuk tertulisnya

disebut huruf. Lambang-lambang ujaran ini di dalambahasa Indonesia terbagi dua,

Page 15: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

yaitu vokal dan konsonan . Cara mengucapkanlambang-lambang bunyi ini disebut

dengan lafal. Jadi lafal adalah caraseseorang atau sekelompok penutur bahasa

dalam mengucapkan lambang-lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat

ucapnya.Fonem vokal di dalam bahasa Indonesia secara umum dilafalkanmenjadi

delapan bunyi ujaran walaupun penulisannya hanya lima ( a, i , u,e, o ).

Misalnya,

Fonem

/a/ dilafalkan [a]

/i/ dilafalkan [i]

/u/ dilafalkan [u]

/e/ dilafalkan [e]

/o/ dilafalkan [o]

Tabel 1.

Contoh Pemakaian Kata

[e] <sate>

[e] <pesan>

[e] <nenek>

[o] <orang>

[o] <pohon>

Tabel 2.

Saat mengucapkannya bibir lebih majudan bundar.Variasi lafal fonerm / e / dan /

o / ini memang tak begitu dirasakan, cenderung tersamar karena pengucapannya

tidak mengubah arti kecuali pada kata-kata tertentu yang termasuk jenis homonim.

Tidak ada pedoman khusus yang mengatur ucapan atau lafal ini seperti bagaimana

diaturnya sistem tata tulis atau ejaan dalam Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan

(EYD) yang harus dipatuhi setiap pemakai bahasa tulis bahasa Indonesia sebagai

ukuran bakunya. Lafal sering dipengaruhi oleh bahasa daerah mengingat pemakai

Page 16: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

bahasa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki bahasa

daerahnya masing-masing. Bahasa daerah ini merupakan bahasa Ibu yang sulit

untuk dihilangkan sehingga saat menggunakan bahasa Indonesia sering dalam

pengucapan diwarnai oleh unsur bahasa daerahnya. Contoh: kata <apa>

diucapkan oleh orang Betawi menjadi <ape>, <p h n> diucapkan <pu’un>. Pada

bahasa Tapanuli (Batak), pengucapan e umumnya menjadi ε, seperti kata

<benar> menjadi <bεnar>, atau pada bahasa daerah Bali dan Aceh pengucapan

huruf t dan d terasa kental sekali, misalnya ucapan kata teman seperti terdengar

deman, di Jawa khusunya daerah Jawa Tengah pengucapan huruf b sering

diiringi dengan bunyi /m / misalnya, <Bali> menjadi [mBali], <besok> menjadi

{mbesok] dan sebagainya. Selain itu pelafalan kata juga dipengaruhi oleh bahasa

sehari-hari yang tidak baku. Perhatikan contoh di bawah ini.

Tabel 3.

Menurut EYD, huruf vokal dan konsonan didaftarkan dalam urutan abjad,

dari a sampai z dengan lafal atau pengucapannya. Secara umum setiap pelajar

dapat melafalkan abjad dengan benar, namun ada pelafalan beberapa huruf yang

perlu mendapatkan perhatian khusus karena sering dipengaruhi oleh lafal bahasa

asing atau bahasa Inggris. Contoh:

huruf c dilafalkan ce bukan se,

huruf g dilafalkan ge bukan ji

Telur Telor

Kursi Korsi

Lubang Lobang

Kantung Kantong

senin Senen

rabu rebo

kamis Kemis

kerbau kebo

Page 17: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

huruf q dilafalkan ki bukan kyu

huruf v dilafalkan fe bukan fi

huruf x dilafalkan eks bukan ek

huruf y dilafalkan ye bukan ey

Tabel 4.

Jadi Seharusnya:

Pengucapan MTQ adalah [em te ki] bukan [em te kyu]

Pengucapan TV adalah [te fe] bukan [ti fi]

Pengucapan exit adalah [eksit] bukan [ekit]

Tabel 5.

Dalam bahasa Indonesia ada gabungan ocal yang diikuti oleh bunyi

konsonan w atau y yang disebut dengan diftong.

Contoh:

Gabungan ocal /ai/ menimbulkan bunyi konsonan luncuran [ay] pada kata:

sungai menjadi sungay

gulai menjadi gulay

pantai menjadi pantay

Gabungan vokal /au/ menimbulkan bunyi konsonan luncuran [aw] pada kata

harimau menjadi harimaw

limau menjadi limaw

kalau menjadi kalaw

Gabungan vokal / oi / menimbulkan bunyi konsonan luncuran [oy] pada kata

koboi menjadi koboy

amboi menjadi amboy

sepoi menjadi sepoy

Tabel 6.

Page 18: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

Tetapi, ada kata-kata yang menggunakan unsur gabungan tersebut di atas

tetap dibaca sesuai lafal kedua vokalnya.

Contoh:

Dinamai tetap dibaca Dinamai

Bermain tetap dibaca Bermain

Mau tetap dibaca Mau

Daun tetap dibaca Daun

Koin tetap dibaca Koin

Heroin tetap dibaca Heroin

Tabel 7.

Ada juga dalam tata bahasa Indonesia, gabungan konsonan yang dilafalkan

dengan satu bunyi, seperti fonem /kh/, / sy/, ny/, /ng/ dan /nk/. Meskipun ditulis

dengan dua huruf, tetapi dilafalkan satu bunyi, contoh: khusus , syarat, nyanyi,

hangus, bank. Lafal dan fonem merupakan unsur segmental di dalam bahasa

Indonesia. Selain unsur ini, ada pula unsur lain yang fungsinya berkaitan dengan

unsur suprasegmental, yaitu tekanan, intonasi, dan jeda

2.7 Kemampuan membaca huruf abjad pada anak taman kanak – kanak

Menurut Biechler dan Snowman,Yang dimaksud dengan anak pada taman

kanak-kanak adalah mereka yang berusia antara 4-6 tahun . mereka biasanya

mengikuti. Menurut teori erik erison yang membicarakan perkembangan

kepribadian seseorang dengan titik berat pada perkembnagan psikososial tahapan

0-1 tahun, berada pada tahapan oral sensorik dengan krisis emosi antara 'trust

versus mistrust', tahapan 3-6 tahun, mereka berada dalam tahapan dengan krisis

'autonomy versus shame & doubt' (2-3 tahun),'initiative versus guilt (4-5 tahun)

dan tahap usia 6-11 tahun mengalami krisis 'industry versus inferiority'.

Page 19: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

Perkembangan dari tahapan sensorimotor (0-2 tahun), Praoperasional (2-7 tahun),

operasional konkret (7-12 tahun), dan operasional formal (12-15 tahun), maka

perkembangan kognitif anak masa prasekolah berada pada tahap praoperasional.

Sementara anak tumbuh dan berkembang, produk bahasa mereka

meningkat dengan kuantitas, keluasan dan kerumitan. Memperlajari

perkembangan bahasa biasanya ditujukan pada rangkaian dan percepatan

perkembangan dan factor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa sejak

usia bayi dan dalam kehidupan selanjutnya. Dalam perkembangan bahasa

terdapat 3 butir yang perlu diperhatikan , yaitu:

(1.)Perbedaan antara bahasa dan kemampuan bicara.

Bahasa biasanya dipahami sebagai system tatabahasa yang rumit dan

bersifat senatik, sedangkan kemampuan bicara terdiri ungkapan dalam

bentuk kata-kata. Walupun bahasa dan kemampuan berbicara sangat dekat

hubungannya, kedua berbeda.

(2.)Terdapat dua daerah pertumbuhan bahasa yaitu bahasa yang bersifat

reseptif dan pernyataan ekspresif. Bahasa pengertian ( misalnya

mengdengarkan dan membaca) menunjukan kemampuan anak untuk

memahami dan berlaku terhadap komunikasi yang ditujukan kepada anak

tersebut.

(3.)Komunikasi diri atau bicara dalam hati. Anak akan berbicara dengan

dirinya sendiri apabila berkhayal, pada saat merencanakan menyelesaikan

masalah, dan menyerasikan gerakan mereka.

Bahasa terdiri dari berbagai simbol yang dapat terungkap secara lisan maupun

tulisan. Pemerolehan bahasa terjadi pada subtahap pemikiran simbolik tahap

praoperasional tersebut, sehingga menurut Piaget, bahasa merupakan hasil dari

perkembangan intelektual secara keseluruhan dan sebagai bagian dari kerangka

fungsi simbolik. Bahasa berkaitan erat dengan perkembangan kognisi anak,

terutama dalam hal kemampuan berpikir. Lev Vygotsky (Santrock, 2002, h. 241)

mengemukakan hubungan antara bahasa dan pemikiran, bahwa meskipun dua hal

tersebut awalnya berkembang sendiri – sendiri, tetapi pada akhirnya bersatu.

Page 20: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

Prinsip yang mempengaruhi penyatuan itu adalah pertama, semua fungsi mental

memiliki asal – usul eksternal atau sosial. Anak – anak harus menggunakan

bahasa dan menggunakannya pada orang lain sebelum berfokus dalam proses mental

mereka sendiri. Kedua, anak – anak harus berkomunikasi secara eksternal

menggunakan bahasa selama periode yang lama sebelum transisi kemampuan bicara

eksternal ke internal berlangsung. Jadi, anak perlu belajar bahasa untuk mengasah

ketrampilan mereka dalam melakukan proses mental seperti berpikir dan

memecahkan masalah, karena bahasa merupakan alat berpikir. Demikian pula dengan

kemampuan membaca huruf abjad adalah hal yang paling dasar dari kemampuan

berbahasa

Page 21: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Identifikasi Variabel Penelitian

Dependent Variable : kemampuan membaca huruf abjad.

Independent Variable : pemberian perlakuan (diberi dan tidak diberi metode

multisensori).

3.2 Operasional Variabel

Metode multisensori

Metode multisensori merupakan salah satu metode remedial dalam

pengajaran membaca dengan menggunakan cara visual, auditoris, kinestetik, dan

taktil (VAKT) secara bersamaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

membaca permulaan pada anak. Kemampuan membaca permulaan yang akan

dilihat peningkatannya dalam penelitian ini melalui penggunaan metode

multisensori meliputi: kemampuan mengenal bentuk maupun bunyi dari masing –

masing huruf, membaca gabungan huruf dalam sebuah kata sederhana yang terdiri

dari 2 suku kata. Tahapan metode multisensori dalam penelitian ini adalah

pertama, anak diminta memperhatikan tulisan di papan tulis berupa sebuah kata

(perangsangan visual), kemudian anak mengikuti guru (sebagai trainer) dalam

mengucapkan bunyi kata tersebut (perangsangan auditoris). Selanjutnya

digunakan huruf – huruf alfabet timbul yang terbuat dari stereo foam berwarna –

warni agar anak – anak dapat meraba huruf – huruf tersebut untuk merangsang

taktil mereka. Setelah melihat, mendengar dan menelusuri, anak lalu diminta

untuk menuliskan kata yang sama di atas tepung sambil melafalkannya di bawah

bimbingan trainer (perangsangan kinestetik). Setiap hari, di akhir pertemuan anak

akan mempelajari 1 kata sederhana. Pada pertemuan berikutnya, anak

mempelajari kata baru namun sebelumnya di setiap akhir pertemuan diadakan

Page 22: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

recall (pemanggilan kembali) terhadap kata yang dipelajari pada pertemuan

sebelumnya. Di akhir penelitian nanti, diharapkan anak akan menguasai 10 kata.

Kemampuan membaca permulaan

Kemampuan menghafal huruf (mengenal bentuk maupun bunyi dari

masing – masing huruf); baik itu huruf vokal ataupun konsonan. Pengenalan huruf

tidak dapat dipisahkan dari keterampilan analsisi data. Anak tidak cukup hanya

mampu menganalisis huruf saja, tapi juga mampu mengenal huruf tersebut.

Selain pengenalan tanda kontekstual, pengenalan huruf dan asosiasi huruf/

symbol-simbol bunyi pun ditekankan dalam pengembangan perbendaharaan suatu

kata. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999, h. 623),

“kemampuan”berarti kesanggupan atau kecakapan. “Membaca” berarti melihat

serta memahami isi dari apa yang tertulis, atau mengeja dan melafalkan apa yang

tertulis. (KBBI, 1999, h. 72). “Huruf Abjad” berarti tanda aksara dalam tata tulis

yg merupakan anggota abjad yg melambangkan bunyi bahasa(KBBI Online).

3.3 Rancangan Eksperimen

Dalam penelitian ini kami menggunakan desain randomized two-group.

Karena kita akan meneliti dua kelompok dalam satu penelitian, yaitu kelompok

kontrol dan kelompok eksperimen. Yaitu, kelompok yang diberikan metode

multisensory dan kelompok yang tidak diberikan metode multisensory.

Desain :

Assigment GroupBefore

ObservationTreatment

After

Observation

R

Eksperimental - X Y1

Control - Y2

Page 23: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

Keterangan :

- R: Pemilihan subjek dalam eksperimen dilakukan secara random, baik

untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Subyek yang

akan diambil adalah siswa kelas nol kecil TK Bandung

- X: Diberikan treatment untuk kelompok eksperimen yaitu pemberian

metode belajar multisensory.

- Y1: Pengukuran after observation pada Experimental Group (EG), yaitu

melalui pengetesan

- Y2: Pengukuran after observation pada Control Group (CG), yaitu melalui

pengetesan

3.3.1 Alasan menggunakan Randomized Two Group Design :

Karena dengan menggunakan design ini, kami dapat menggunakan teknik

random yaitu teknik yang digunakan untuk penelitian di laboratorium agar

diperoleh pengontrolan yang maksimal. Penelitian ini juga peneliti lakukan di

laboratorium. Selain itu, peneliti juga ingin membandingkan hasil data yang

diperoleh dari experimental group dan control group, sehingga hasil data yang

peneliti peroleh bias diujikan hipotesis pada penelitian ini, yaitu ada pengaruh

pemberian metode belajar multisensory dalam kemampuan membaca permulaan

anak kelas nol kecil pada TK Bandung.

3.3.2 Jalannya Eksperimen

1. Eksperimenter membagi sampel menjadi 2 kelompok.

2. Siswa yang belum mendapatkan materi pengenalan huruf abjad/alfabet.

3. Untuk kelompok I (kelompok yang diberi metode multisensori),

eksperimenter memberikan materi berupa 10 huruf , memakai metode

multisensori kepada eksperimentee. Setelah itu, eksperimenter mengetes

secara langsung.

4. Untuk kelompok II (kelompok yang tidak diberikan metode multisensori),

eksperimenter memberikan materi berupa 10 huruf tanpa memakai

Page 24: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

metode multisensori kepada eksperimentee. Setelah itu, eksperimenter

mengetes secara langsung.

5. Hasil pengerjaannya akan dibandingkan antara kelompok I dan kelompok

II.

3.4 Controlled Variable

Apa Bagaimana Mengapa

Siswa kelas nol

kecil TK Bandung

Keadaan fisik

siswa

Alat ukur

Siswa yang belum pernah mendapat

metode pembelajaran multisensori

Diambil siswa yang tidak memiliki

cacat fisik baik dalam indra

penglihatan dan indra pendengaran

Berupa persoalan yang berkaitan

dengan materi yang telah diberikan.

Persoalan diberikan dalam bentuk

kata-kata

Untuk dapat mengetahui

kemampuan membaca

permulaan dengan

bantuan metode

pembelajaran

multisensori.

Agar hasilnya dapat

terukur dan sesuai dengan

harapan peneliti

Agar memudahkan

peneliti dalam melakukan

pengukuran

3.5 Uncontrolled Variable

Pada penelitian ini yang menjadi Uncontrolled Variabel adalah

kelelahan/kecapean, mood siswa, dan motivasi untuk memperhatikan penjelasan

tentang materi yang diberikan.

3.6 Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal yang berbentuk

pengetesan langsung/lisan yang harus dijawab oleh subjek penelitian.

Page 25: Eksperimen,Rd Akbar, Kelas B, Kelompok F 3

3.7 Populasi dan Sampel

Populasi diambil dari siswa Kelas nol besar di TK Bandung. Berdasarkan

data yang dadapatkan peneliti, siswa Kelas nol besar di TK Bandung berjumlah

25 orang. Berdasarkan skor dibawah rata-rata pada TK tersebut, kemudian setelah

itu dipilih secara random.

3.8 Analisis

Penelitian yang dilakukan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Mempunyai satu independen variabel, yaitu pemberian metode multisensori

2. Mempunyai jumlah treatment condition (tc) dua, yaitu pemberian dua

kondisi yang berbeda pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen

3. Rancangan eksperimen yang digunakan adalah ”Randomized two group

design” karena sampel dipilih secara random dari suatu populasi yang sama

kemudian terbentuklah dua kelompok yang independent, untuk

dibandingkan kemudian sesudah kelompok eksperimen diberikan perlakuan.

4. Pada penelitian ini, uji statistika yang digunakan adalah uji-t berpasangan

(paired t-test) yang merupakan salah satu metode pengujian hipotesis

komparatif dua sampel independen, dimana data yang digunakan berskala

pengukuran interval.

H0: Pemberian metode multisensori tidak berpengaruh dalam

meningkatkan kemampuan membaca permulaan.

H1: Pemberian metode multisensori berpengaruh dalam meningkatkan

kemampuan membaca permulaan.