eksperimen,rd akbar, kelas b, kelompok f 3
TRANSCRIPT
FAKULTAS PSIKOLOGI UNISBA
BAGIAN UMUM DAN EKSPERIMEN
LAPORAN PENELITIAN TRUE EKSPERIMEN
PENGARUH METODE MULTISENSORI TERHADAP
KEMAMPUAN MEMBACA HURUF ABJAD PADA ANAK
TAMAN KANAK - KANAK
Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Praktikum
Psikologi Eksperimen II
Semester Ganjil Tahun Akademik 2010-2011
Dosen Pembimbing: Oki Mardiawan M.Psi
Disusun oleh :
Kelompok F
Rd Akbar Fajri (10050009097)
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
FAKULTAS PSIKOLOGI
BAGIAN UMUM DAN EKSPERIMEN
2011
FAKULTAS PSIKOLOGI UNISBA
BAGIAN UMUM DAN EKSPERIMEN
LAPORAN PENELITIAN TRUE EKSPERIMEN
PENGARUH METODE MULTISENSORI TERHADAP
KEMAMPUAN MEMBACA HURUF ABJAD PADA ANAK
TAMAN KANAK - KANAK
Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Praktikum
Psikologi Eksperimen II
Semester Ganjil Tahun Akademik 2010-2011
Dosen Pembimbing: Oki Mardiawan M.Psi
Disusun oleh :
Kelompok F
Rd Akbar Fajri (10050009097)
Menyetujui Dosen Pembimbing
(Oki Mardiawan M.Psi)
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
FAKULTAS PSIKOLOGI
BAGIAN UMUM DAN EKSPERIMEN
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan jaman, produsen semakin kreatif dalam
memasarkan produknya, diantaranya dengan memanfaatkan iklan, yang salah
satunya berfungsi untuk meningkatkan penjualan produk. Dalam hal ini tidak
terkecuali juga untuk produsen rokok. Para produsen rokok berlomba-lomba
untuk membuat iklan rokok yang mampu menarik minat konsumen untuk loyal
pada produknya.
Jika dicermati dalam setiap iklan rokok tersebut dapat ditemukan sebuah
peringatan bahwa merokok yang pasti ada dalam iklan rokok (rokok merk
apapun). Peringatan tersebut berbunyi : “Merokok dapat menyebabkan kanker,
serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Hal ini menarik
untuk dicermati, mengingat bahwa salaj satu tujuan iklan dibuat adalah
meningkatkan penjualan, tapi justru ada peringatan yang bertentangan
didalamnya, yang seharusnya justru dapat menekan penjualan rokok.
Kenyataan saat ini adalah begitu banyak perokok yang mengetahui iklan
bahaya merokok pada kemasan rokok itu sendiri. Setiap orang yang merokok,
baik laki-laki ataupun perempuan, pastinya mereka mengetahui dampak dan
bahaya dari merokok. Mereka semua tidak bodoh, saat ini dengan mudah
mengakses bahaya-bahaya dari merokok, di majalah dan koran pun terpampang
artikel-artikel tentang racun-racun yang terdapat dalam sebatang rokok. Bahkan
dalam kemasan di seluruh jenis rokok di Indonesia selalu dicantumkan peringatan
tentang dampak bahaya dan keburukannya.
Tetapi mengapa orang-orang tersebut masih tetap mempertahankan
kebiasaan buruknya? Bukankah mempertahankan perbuatan yang sudah diketahui
sebagai perbuatan buruk, tetapi masih tetap dilakukan adalah perbuatan orang
yang bodoh? Akhirnya, kembali lagi kepada masing-masing individu. Setiap
individu mempunyai pikiran hidyp adalah pilihan. Namun juga idak dapat
dipungkiri bahwa kepuasan yang tinggi merupakan suatu hubungan emosional
yang sangat kuat (emotional affinity) dengan suatu merk, yang pada gilirannya
akan menciptakan loyalitas pelanggan yang tinggi (high costumer loyality)
(Kotler, 1997).
Sejauh ini peringatan dalam bungkus rokok yang mencantumkan bahaya
merokok tidak cukup efektif. Belum lagi misalnya istilah low, light, mild, dan
lain-lain yang justru menyesatkan. Karena sebenarnya tidak ada penurunan kadar
tar dan nikotin dengan cara ini. Istilah hanya member kesan rokok”aman”
sehingga si perokok cenderung merasa “boleh” merokok dan tidak mungkin akan
mengonsymsi rokok lebih banyak lagi karena merasa mengisap rokok “ringan”
(Kompas, 2004).
Tidak adanya peraturan yang jelas dari pemerintah bagaikan lapangan tak
terbatas bagi produsendalam melakukan aksi produksi dari promosi rokok
(Kompas, 2003).
Hal – hal yang telah dipaparkan diatas, mendasari penulis untuk meneliti
pengaruh peringatan bahaya merokok pada kemasan rokok terhadap perilaku
merokok sendiri. Penelitian tersbeut akan dilihat dari intensitas perokok membaca
tayangan peringatan iklan rokok dari tingkat pemahaman perokok terhadap isi
peringatan tersebut.
Bicara rokok memang banyak yang memperdebatkan masalah efeknya
bagi kesehatan. Banyak pihak-pihak yang mencoba untuk melakukan
pendidikan terhadap bahaya rokok, bahkan berupaya melawan keberadaan
industri rokok tersebut. Tidak sekedar mengganggu masalah kesehatan,
ada penelitian yang mengatakan rokok penyebab kemiskinan sosial.
Dalam hal ini pemerintah memberikan batasan iklan rokok dengan
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2000 tentang
Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Dalam PP ini, pengaturan mengenai
iklan diatur secara khusus dalam bagian Iklan dan Promosi, pada pasal 18
menyebutkan materi iklan rokok dilarang untuk ; Pertama, iklan rokok
dilarang menyarankan atau merangsang orang untuk merokok. Kedua,
menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok tidak memberikan
manfaat bagi kesehatan. Ketiga, memajang orang lagi menghisap rokok.
Keempat, mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok
(menampilkan batang dan bungkus rokok). Kelima, iklan rokok harus
mencantumkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan, yaitu
“Merokok dapat menyebabkan kanker, jantung, impotensi dan gangguan
kehamilan dan janin”.
Batasan-batasan peraturan terhadap iklan rokok ini bukannya menurunkan
kegiatan iklan rokok, melainkan menjadikan tantangan bagi produsen dan
periklanan rokok untuk menjadi lebih kreatif dalam mengkemas pesan.
Mereka mengkemas pesan iklan tersebut dengan berbagai macam tema
yang sangat popular di mata masyarakat Indonesia. Mulai dari
persahabatan, kejantanan, kesuksesan, kenikmatan, kebebasan,
kedewasaan, solidaritas, hingga kritik sosial. Dan tidak jarang, penonton
yang melihat iklan rokok menjadi tertawa dan terkesan. Respon positif pun
terbetuk
Dalam portal online Kompas 27 Agustus 2008, menjelaskan pendapat Liza
Marielly Djaprie M,Si dalam diskusi bertajuk 'Iklan Rokok : Menjual
Gaya Hidup yang membahayakan Hidup' di Jakarta, bahwa iklan-iklan
rokok semakin lihai menjerat konsumen. Tidak jarang, hal-hal positif
diselipkan dan disalahgunakan untuk menanamkan persepsi tentang
merokok yang sebenarnya menjerumuskan. Iklan-iklan yang
menyalahgunakan hal positif itu misalnya yang memakai ilustrasi
solidaritas dan keakraban teman. Kesannya, merokok seakan-akan dapat
mengakrabkan, dengan merokok seakan-akan ada norma-norma positif
yang terbentuk. Hal itu jelas akan memberikan pengaruh besar dan
menjerumuskan mereka yang menontonnya apalagi kalangan anak-anak
dan remaja. Yang kemudian muncul adalah persepsi yang makin kuat
bahwa merokok dapat memberikan hal yang positif.
Lebih jauh Liza menambahkan, iklan-iklan rokok di dunia termasuk di
Indonesia pada umumnya masih menerapkan metode yang disebut
subliminal adveritising. Metode ini dilakukan dengan cara mengenalkan
individu pada suatu merek rokok sedangkan individunya sendiri tak sadar
kalau ia sedang dikenalkan pada rokok tersebut. Menurutnya, iklan model
ini memang sangat efektif dalam mempengaruhi persepsi konsumen
terutama kalangan anak-anak, remaja dan dewasa muda.
Pada artikel Kompas online lainnya pada 27 Januari 2009, menyebutkan
bahwa riset yang dikembangkan Komnas Anak bersama dengan Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof DR Hamka pada tahun
2007, sekitar 99,7 persen remaja yang merokok melihat iklan rokok di
televisi, 86,7 persen melihat iklan rokok di media luar ruang, 76,2 persen
melihat iklan rokok di koran dan majalah, serta 81 persen pernah
mengikuti kegiatan yang disponsori industri rokok. Sementara itu, 46,3
persen remaja berpendapat iklan rokok berpengaruh besar terhadap
keputusan untuk mulai merokok dan 41,5 persen berpendapat keterlibatan
dalam kegiatan yang disponsori rokok memiliki pengaruh untuk mulai
merokok.
Kemudian artikel lainnya lagi pada Kompas online 27 Agustus 2008
menyebutkan bahwa fenomena kuatnya pengaruh iklan terhadap perilaku
merokok khususnya kalangan remaja juga telah diperlihatkan hasil survey
yang dilakukan Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KUIS) pada akhir 2007
lalu. Dalam survey terhadap 3040 wanita dengan kelompok usia 13 - 25,
16 - 19, dan 20 - 25 tahun di Jakarta dan Sumatera Barat tampak bahwa
hampir 50 persen partisipan mengaku melihat hal-hal yang mempengaruhi
keputusan merokok dalam satu bulan terakhir. Tercatat 92 persen remaja
putri melihat iklan rokok melalui tayangan televisi, sedangkan 70,63
persen melalui poster. Sebanyak 70 persen wanita muda kerap melihat
promosi rokok pada pentas acara musik, olahraga dan kegiatan sosial
lainnya.
***
Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa sikap terhadap iklan sangat
berpengaruh pada sikap terhadap produk dan perilaku. Dengan kata lain
iklan rokok berupaya untuk menyerap konsumen dari kalangan pemula,
yaitu dengan membangun persepsi terhadap rokok dari atribut-atribut
masing-masing pesan iklan yang beragam dari setiap merek rokok.
Sehingga mereka terpengaruh untuk berperilaku merokok.
Dari dasar teori perilaku konsumen dan periklanan serta informasi di atas,
menjadikan rujukan penelitian saya untuk mencari hubungan antara iklan
rokok dengan perilaku merokok. Saya menggunakan metode analisis
kuantitatif untuk penelitian ini dengan responden mahasiswa dari kampus
saya sendiri yaitu Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dengan
populasi sampel mahasiswa laki-laki yang merokok. Dan merek rokok
yang akan saya teliti ada 3 macam, yaitu A Mild, Sampoerna Hijau, dan
Djarum Super. Merek-merek tersebut memiliki tema dan konsep iklan
yang masing-masing berbeda. Seperti A Mild yang memiliki konsep kritis
terhadap permasalahan sosial, Sampoerna Hijau yang mengankat konsep
persahabatan, dan Djarum Super yang mengangkat konsep jiwa petualang.
Dari beberapa konsep tersebut, saya mencoba untuk mencari perilaku
merokok apakah mereka merokok berdasarkan dari konsep iklan rokok
tersebut, yaitu perasaan persahabatan, jiwa petualang dan sikap kritis.
Kemudian mencari sikapnya (dengan metode teori sikapnya Fisbein)
terhadap iklan dari masing merek tersebut. Kemudian antara sikapnya
terhadap iklan rokok dan perilaku merokoknya dikorelasikan. Bila nanti
hasil penelitiannya berkorelasi positif, maka iklan rokok sangat
mempengaruhi mereka untuk berperilaku merokok.
Hingga tulisan ini diterbitkan, saya memang belum meneyelesaikan skripsi
saya, baru sampai batas pengesahan proposal dan persiapan kuesioner,
sehingga belum bisa menjelaskan hasil dari penelitian ini. Insya Allah
kalau ada waktu dan kesempatan, hasilnya bisa saya tuliskan di blog ini
kedepannya.
1.2 Identfikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas metode ini mampu membangkitkan minat dan
motivasi anak, serta memberi kesempatan bagi anak untuk banyak berlatih.
Melihat prinsip – prinsip penerapan metode multisensori yang memberi dampak
positif pada proses membaca huruf, maka ingin diketahui pengaruhnya terhadap
kemampuan membaca huruf pada anak – anak di taman kanak – kanak.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental. Untuk
menguji hipotesis penelitian, sebelumnya akan dilakukan pengidentifikasian
variabel – variabel yang diambil dalam penelitian ini. Adapun variabel – variabel
yang terdapat dalam penelitianini adalah sebagai berikut.
1. Dependent Variable : kemampuan membaca huruf.
2. Independent Variable : pemberian perlakuan (diberi dan tidak diberi metode
multisensori).
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh metode
multisensori terhadap kemampuan membaca huruf pada anak-anak di taman
kanak-kanak. Apakah terdapat perbedaan dalam kemampuan membaca huruf pada
kelompok eksperimen yang diberi perlakuan berupa metode multisensori jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan referensi di bidang psikologi
perkembangan, terutama perkembangan pada masa awal anak – anak; dan
psikologi pendidikan, terutama bagi pendidikan anak usia dini.
Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi siswa Taman Kanak – kanak, untuk
meningkatkan kemampuan membaca huruf. Para guru khususnya dan para praktisi
pendidikan pada umumnya, sebagai referensi bahwa dalam mengajar membaca,
penting untuk memperhatikan anak secara spesifik berdasarkan kemampuan dan
tipe belajar mereka. Para guru khususnya dan para praktisi pendidikan pada
umumnya, dalam memberikan informasi tentang metode membaca lain yang
dapat dilakukan sebagai alternatif untuk memperbaiki proses membaca pada anak.
1.5 Kerangka Pemikiran
Populasi
Siswa yang belum diajarkan membaca huruf abjad
Random
Control GroupEksperimental Group
Treatment
1.6 Hipotesis Penelitian
Penelitian ini bermaksud mengetahui sejauh mana pengaruh metode
multisensori terhadap kemampuan membaca huruf abjad anak Taman Kanak –
kanak. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: ada perbedaan skor kemampuan
membaca huruf abjad pada subjek yang mendapat metode multisensori. Dimana
subjek yang mendapatkan pengajaran metode multisensori akan mendapat yang
lebih tinggi daripada subjek yang tidak mendapat pengajaran membaca huruf
abjad menggunakan metode multisensori.
Post Test
BAB IITINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian Metode Multisensori
Multisensori terdiri dari dua kata yaitu multi dan sensori. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1999, h. 671), kata “multi” artinya banyak atau lebih dari
satu atau dua, sedangkan “sensori” (KBBI, 1999, h. 916) artinya panca indera.
Maka gabungan kedua kata ini berarti lebih dari satu panca indera. Yusuf (2003,
h. 95) menyatakan, pendekatan multisensori mendasarkan pada asumsi bahwa
anak akan dapat belajar dengan baik apabila materi pengajaran disajikan dalam
berbagai modalitas alat indera. Modalitas yang dipakai adalah visual, auditoris,
kinestetik, dan taktil, atau disingkat dengan VAKT. Pendekatan membaca
multisensori meliputi kegiatan menelusuri (perabaan), mendengarkan (auditoris),
menulis (gerakan), dan melihat (visual). Untuk itu, pelaksanaan metode ini
membutuhkan alat bantu (media) seperti kartu huruf, cat, pasir, huruf timbul, dan
alat bantu lain yang sifatnya dapat diraba (konkret).
2.2 Tahapan Belajar Membaca Menggunakan Metode Multisensori
Terdapat 2 metode multisensori, yaitu yang dikembangkan oleh Fernald
dan Gillingham. Perbedaan keduanya adalah, pada metode Fernald, anak belajar
kata sebagai pola yang utuh sehingga akan memperkuat ingatan dan visualisasi;
sedangkan metode Gillingham menekankan pada teknik meniru bentuk huruf satu
per satu secara individual. Metode Gillingham – Stillman merupakan suatu
metode yang terstruktur dan berorientasi pada kaitan bunyi dan huruf, di mana
setiap huruf dipelajari secara multisensoris. Metode ini digunakan untuk tingkat
yang lebih tinggi dan bersifat sintesis, di mana kata diurai menjadi unit yang lebih
kecil untuk dipelajari, lalu digabungkan kembali menjadi kata yang utuh (Myers,
1976, h. 279). Langkah – langkah pelaksanaan metode ini adalah sebagai berikut
(Yusuf, 2003, h. 95):
a. Memberikan latihan asosiasi. Asosiasi pertama terdiri atas dua gabungan, yaitu
asosiasi simbol visual dengan nama-nama huruf dan asosiasi rasa organ bicara
dalam memproduksikan nama atau bunyi huruf yang didengar anak sama dengan
yang diucapkannya. Hal ini dilakaukan dengan cara sebagai berikut.
1) Guru membagikan kartu huruf dan mengucapkannya. Setelah itu anak
mengulangi atau menirukan apa yang diucapkan oleh guru.
2) Setelah nama huruf dikuasai oleh anak, guru mengucapkan bunyi huruf
dan anak mengikutinya. Selanjutnya guru menanyakan kepada anak, “Apa bunyi
huruf ini?“
b. Guru mengucapkan/melafalkan bunyi huruf, bagian kartu yang bertuliskan
huruf tidak diperlihatkan kepada anak (menghadap guru). Kemudian guru
memperlihatkannya dan menanyakan kepada anak tentang nama huruf tersebut,
kemudian anak menjawabnya.
c. Guru menuliskan huruf yang dipelajari, menerangkan, dan menjelaskannya.
Anak memahami bunyi, bentuk, dan cara membuat huruf dengan cara menelusuri
huruf yang dibuat oleh gurur, kemudian menyalin menulis huruf berdasarkan
memorinya. Dalam metode VAKT ini bila anak telah menguasai beberapa hururf,
kemudia anak merangkaikan menjadi sebuah kata depan pola KVK, Misalnya pal,
bas, sas, tol, dan sebagainya.
d. Guru meminta anak menuliskan huruf yang sudah dipelajari.
Metode ini dikembangkan oleh Gillingham dan Stillman. Asumsi yang
mendasari metode ini adalah bahwa dalm pengajaran membaca,menulis, dan
mengeja, kata dipandang sebagai satu rangkaian huruf-huruf. Secara umum,
metode VKAT ini ada kesamaannya dengan metode sintesis pada pengajaran
membaca huruf abjad. Pada metode ini anak mempelajari huruf huruf dengan
mendengar bunyi huruf, menunjuk dengan tangan atau menelusuri dengan jari
tangan kemudian menuliskan huruf dengan masukan indra visual, auditif, dan
taktil secara padu.
2.3 Pengertian Kemampuan Membaca Huruf Abjad
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999, h. 623), “kemampuan”
berarti kesanggupan atau kecakapan. “Membaca” berarti melihat serta memahami
isi dari apa yang tertulis, atau mengeja dan melafalkan apa yang tertulis. (KBBI,
1999, h. 72). “Huruf Abjad” berarti tanda aksara dalam tata tulis yg merupakan
anggota abjad yg melambangkan bunyi bahasa(KBBI Online).
Menurut Depdikbud tahun 1986 (dalam Ayriza, 2005, h. 85), Chaer (2003,
h. 204), serta Purwanto dan Alim (1997, h. 35), huruf konsonan yang harus dapat
dilafalkan dengan benar untuk membaca permulaan adalah b, d, k, l, m, p, s, dan t.
Huruf – huruf ini, ditambah dengan huruf – huruf vokal akan digunakan sebagai
indikator kemampuan membaca permulaan, sehingga menjadi a, b, d, e, i, k, l, m,
o, p, s, t, dan u. Jadi anak sebelum pada tahap membaca permulaan haruslah
memahami dahulu huruf vocal dan huruf konsonan terlebih dahulu.
Pengenalan huruf tidak dapat dipisahkan dari keterampilan analsisi data.
Anak tidak cukup hanya mampu menganalisis huruf saja, tapi juga mampu
mengenal huruf tersebut. Selain pengenalan tanda kontekstual, pengenalan huruf
dan asosiasi huruf/ symbol-simbol bunyi pun ditekankan dalam pengembangan
perbendaharaan suatu kata.
2.4 Pemahaman terhadap Lafal
Unsur bahasa yang terkecil berupa lambang bunyi ujaran disebut fonem. Ilmu
yang mempelajari fonem disebut fonologi atau fonemik . Fonemdihasilkan oleh
alat ucap manusia yang dikenal dengan artikulasi . Dalambentuk tertulisnya
disebut huruf. Lambang-lambang ujaran ini di dalambahasa Indonesia terbagi dua,
yaitu vokal dan konsonan . Cara mengucapkanlambang-lambang bunyi ini disebut
dengan lafal. Jadi lafal adalah caraseseorang atau sekelompok penutur bahasa
dalam mengucapkan lambang-lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat
ucapnya.Fonem vokal di dalam bahasa Indonesia secara umum dilafalkanmenjadi
delapan bunyi ujaran walaupun penulisannya hanya lima ( a, i , u,e, o ).
Misalnya,
Fonem
/a/ dilafalkan [a]
/i/ dilafalkan [i]
/u/ dilafalkan [u]
/e/ dilafalkan [e]
/o/ dilafalkan [o]
Tabel 1.
Contoh Pemakaian Kata
[e] <sate>
[e] <pesan>
[e] <nenek>
[o] <orang>
[o] <pohon>
Tabel 2.
Saat mengucapkannya bibir lebih majudan bundar.Variasi lafal fonerm / e / dan /
o / ini memang tak begitu dirasakan, cenderung tersamar karena pengucapannya
tidak mengubah arti kecuali pada kata-kata tertentu yang termasuk jenis homonim.
Tidak ada pedoman khusus yang mengatur ucapan atau lafal ini seperti bagaimana
diaturnya sistem tata tulis atau ejaan dalam Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) yang harus dipatuhi setiap pemakai bahasa tulis bahasa Indonesia sebagai
ukuran bakunya. Lafal sering dipengaruhi oleh bahasa daerah mengingat pemakai
bahasa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki bahasa
daerahnya masing-masing. Bahasa daerah ini merupakan bahasa Ibu yang sulit
untuk dihilangkan sehingga saat menggunakan bahasa Indonesia sering dalam
pengucapan diwarnai oleh unsur bahasa daerahnya. Contoh: kata <apa>
diucapkan oleh orang Betawi menjadi <ape>, <p h n> diucapkan <pu’un>. Pada
bahasa Tapanuli (Batak), pengucapan e umumnya menjadi ε, seperti kata
<benar> menjadi <bεnar>, atau pada bahasa daerah Bali dan Aceh pengucapan
huruf t dan d terasa kental sekali, misalnya ucapan kata teman seperti terdengar
deman, di Jawa khusunya daerah Jawa Tengah pengucapan huruf b sering
diiringi dengan bunyi /m / misalnya, <Bali> menjadi [mBali], <besok> menjadi
{mbesok] dan sebagainya. Selain itu pelafalan kata juga dipengaruhi oleh bahasa
sehari-hari yang tidak baku. Perhatikan contoh di bawah ini.
Tabel 3.
Menurut EYD, huruf vokal dan konsonan didaftarkan dalam urutan abjad,
dari a sampai z dengan lafal atau pengucapannya. Secara umum setiap pelajar
dapat melafalkan abjad dengan benar, namun ada pelafalan beberapa huruf yang
perlu mendapatkan perhatian khusus karena sering dipengaruhi oleh lafal bahasa
asing atau bahasa Inggris. Contoh:
huruf c dilafalkan ce bukan se,
huruf g dilafalkan ge bukan ji
Telur Telor
Kursi Korsi
Lubang Lobang
Kantung Kantong
senin Senen
rabu rebo
kamis Kemis
kerbau kebo
huruf q dilafalkan ki bukan kyu
huruf v dilafalkan fe bukan fi
huruf x dilafalkan eks bukan ek
huruf y dilafalkan ye bukan ey
Tabel 4.
Jadi Seharusnya:
Pengucapan MTQ adalah [em te ki] bukan [em te kyu]
Pengucapan TV adalah [te fe] bukan [ti fi]
Pengucapan exit adalah [eksit] bukan [ekit]
Tabel 5.
Dalam bahasa Indonesia ada gabungan ocal yang diikuti oleh bunyi
konsonan w atau y yang disebut dengan diftong.
Contoh:
Gabungan ocal /ai/ menimbulkan bunyi konsonan luncuran [ay] pada kata:
sungai menjadi sungay
gulai menjadi gulay
pantai menjadi pantay
Gabungan vokal /au/ menimbulkan bunyi konsonan luncuran [aw] pada kata
harimau menjadi harimaw
limau menjadi limaw
kalau menjadi kalaw
Gabungan vokal / oi / menimbulkan bunyi konsonan luncuran [oy] pada kata
koboi menjadi koboy
amboi menjadi amboy
sepoi menjadi sepoy
Tabel 6.
Tetapi, ada kata-kata yang menggunakan unsur gabungan tersebut di atas
tetap dibaca sesuai lafal kedua vokalnya.
Contoh:
Dinamai tetap dibaca Dinamai
Bermain tetap dibaca Bermain
Mau tetap dibaca Mau
Daun tetap dibaca Daun
Koin tetap dibaca Koin
Heroin tetap dibaca Heroin
Tabel 7.
Ada juga dalam tata bahasa Indonesia, gabungan konsonan yang dilafalkan
dengan satu bunyi, seperti fonem /kh/, / sy/, ny/, /ng/ dan /nk/. Meskipun ditulis
dengan dua huruf, tetapi dilafalkan satu bunyi, contoh: khusus , syarat, nyanyi,
hangus, bank. Lafal dan fonem merupakan unsur segmental di dalam bahasa
Indonesia. Selain unsur ini, ada pula unsur lain yang fungsinya berkaitan dengan
unsur suprasegmental, yaitu tekanan, intonasi, dan jeda
2.7 Kemampuan membaca huruf abjad pada anak taman kanak – kanak
Menurut Biechler dan Snowman,Yang dimaksud dengan anak pada taman
kanak-kanak adalah mereka yang berusia antara 4-6 tahun . mereka biasanya
mengikuti. Menurut teori erik erison yang membicarakan perkembangan
kepribadian seseorang dengan titik berat pada perkembnagan psikososial tahapan
0-1 tahun, berada pada tahapan oral sensorik dengan krisis emosi antara 'trust
versus mistrust', tahapan 3-6 tahun, mereka berada dalam tahapan dengan krisis
'autonomy versus shame & doubt' (2-3 tahun),'initiative versus guilt (4-5 tahun)
dan tahap usia 6-11 tahun mengalami krisis 'industry versus inferiority'.
Perkembangan dari tahapan sensorimotor (0-2 tahun), Praoperasional (2-7 tahun),
operasional konkret (7-12 tahun), dan operasional formal (12-15 tahun), maka
perkembangan kognitif anak masa prasekolah berada pada tahap praoperasional.
Sementara anak tumbuh dan berkembang, produk bahasa mereka
meningkat dengan kuantitas, keluasan dan kerumitan. Memperlajari
perkembangan bahasa biasanya ditujukan pada rangkaian dan percepatan
perkembangan dan factor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa sejak
usia bayi dan dalam kehidupan selanjutnya. Dalam perkembangan bahasa
terdapat 3 butir yang perlu diperhatikan , yaitu:
(1.)Perbedaan antara bahasa dan kemampuan bicara.
Bahasa biasanya dipahami sebagai system tatabahasa yang rumit dan
bersifat senatik, sedangkan kemampuan bicara terdiri ungkapan dalam
bentuk kata-kata. Walupun bahasa dan kemampuan berbicara sangat dekat
hubungannya, kedua berbeda.
(2.)Terdapat dua daerah pertumbuhan bahasa yaitu bahasa yang bersifat
reseptif dan pernyataan ekspresif. Bahasa pengertian ( misalnya
mengdengarkan dan membaca) menunjukan kemampuan anak untuk
memahami dan berlaku terhadap komunikasi yang ditujukan kepada anak
tersebut.
(3.)Komunikasi diri atau bicara dalam hati. Anak akan berbicara dengan
dirinya sendiri apabila berkhayal, pada saat merencanakan menyelesaikan
masalah, dan menyerasikan gerakan mereka.
Bahasa terdiri dari berbagai simbol yang dapat terungkap secara lisan maupun
tulisan. Pemerolehan bahasa terjadi pada subtahap pemikiran simbolik tahap
praoperasional tersebut, sehingga menurut Piaget, bahasa merupakan hasil dari
perkembangan intelektual secara keseluruhan dan sebagai bagian dari kerangka
fungsi simbolik. Bahasa berkaitan erat dengan perkembangan kognisi anak,
terutama dalam hal kemampuan berpikir. Lev Vygotsky (Santrock, 2002, h. 241)
mengemukakan hubungan antara bahasa dan pemikiran, bahwa meskipun dua hal
tersebut awalnya berkembang sendiri – sendiri, tetapi pada akhirnya bersatu.
Prinsip yang mempengaruhi penyatuan itu adalah pertama, semua fungsi mental
memiliki asal – usul eksternal atau sosial. Anak – anak harus menggunakan
bahasa dan menggunakannya pada orang lain sebelum berfokus dalam proses mental
mereka sendiri. Kedua, anak – anak harus berkomunikasi secara eksternal
menggunakan bahasa selama periode yang lama sebelum transisi kemampuan bicara
eksternal ke internal berlangsung. Jadi, anak perlu belajar bahasa untuk mengasah
ketrampilan mereka dalam melakukan proses mental seperti berpikir dan
memecahkan masalah, karena bahasa merupakan alat berpikir. Demikian pula dengan
kemampuan membaca huruf abjad adalah hal yang paling dasar dari kemampuan
berbahasa
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Identifikasi Variabel Penelitian
Dependent Variable : kemampuan membaca huruf abjad.
Independent Variable : pemberian perlakuan (diberi dan tidak diberi metode
multisensori).
3.2 Operasional Variabel
Metode multisensori
Metode multisensori merupakan salah satu metode remedial dalam
pengajaran membaca dengan menggunakan cara visual, auditoris, kinestetik, dan
taktil (VAKT) secara bersamaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
membaca permulaan pada anak. Kemampuan membaca permulaan yang akan
dilihat peningkatannya dalam penelitian ini melalui penggunaan metode
multisensori meliputi: kemampuan mengenal bentuk maupun bunyi dari masing –
masing huruf, membaca gabungan huruf dalam sebuah kata sederhana yang terdiri
dari 2 suku kata. Tahapan metode multisensori dalam penelitian ini adalah
pertama, anak diminta memperhatikan tulisan di papan tulis berupa sebuah kata
(perangsangan visual), kemudian anak mengikuti guru (sebagai trainer) dalam
mengucapkan bunyi kata tersebut (perangsangan auditoris). Selanjutnya
digunakan huruf – huruf alfabet timbul yang terbuat dari stereo foam berwarna –
warni agar anak – anak dapat meraba huruf – huruf tersebut untuk merangsang
taktil mereka. Setelah melihat, mendengar dan menelusuri, anak lalu diminta
untuk menuliskan kata yang sama di atas tepung sambil melafalkannya di bawah
bimbingan trainer (perangsangan kinestetik). Setiap hari, di akhir pertemuan anak
akan mempelajari 1 kata sederhana. Pada pertemuan berikutnya, anak
mempelajari kata baru namun sebelumnya di setiap akhir pertemuan diadakan
recall (pemanggilan kembali) terhadap kata yang dipelajari pada pertemuan
sebelumnya. Di akhir penelitian nanti, diharapkan anak akan menguasai 10 kata.
Kemampuan membaca permulaan
Kemampuan menghafal huruf (mengenal bentuk maupun bunyi dari
masing – masing huruf); baik itu huruf vokal ataupun konsonan. Pengenalan huruf
tidak dapat dipisahkan dari keterampilan analsisi data. Anak tidak cukup hanya
mampu menganalisis huruf saja, tapi juga mampu mengenal huruf tersebut.
Selain pengenalan tanda kontekstual, pengenalan huruf dan asosiasi huruf/
symbol-simbol bunyi pun ditekankan dalam pengembangan perbendaharaan suatu
kata. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999, h. 623),
“kemampuan”berarti kesanggupan atau kecakapan. “Membaca” berarti melihat
serta memahami isi dari apa yang tertulis, atau mengeja dan melafalkan apa yang
tertulis. (KBBI, 1999, h. 72). “Huruf Abjad” berarti tanda aksara dalam tata tulis
yg merupakan anggota abjad yg melambangkan bunyi bahasa(KBBI Online).
3.3 Rancangan Eksperimen
Dalam penelitian ini kami menggunakan desain randomized two-group.
Karena kita akan meneliti dua kelompok dalam satu penelitian, yaitu kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen. Yaitu, kelompok yang diberikan metode
multisensory dan kelompok yang tidak diberikan metode multisensory.
Desain :
Assigment GroupBefore
ObservationTreatment
After
Observation
R
Eksperimental - X Y1
Control - Y2
Keterangan :
- R: Pemilihan subjek dalam eksperimen dilakukan secara random, baik
untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Subyek yang
akan diambil adalah siswa kelas nol kecil TK Bandung
- X: Diberikan treatment untuk kelompok eksperimen yaitu pemberian
metode belajar multisensory.
- Y1: Pengukuran after observation pada Experimental Group (EG), yaitu
melalui pengetesan
- Y2: Pengukuran after observation pada Control Group (CG), yaitu melalui
pengetesan
3.3.1 Alasan menggunakan Randomized Two Group Design :
Karena dengan menggunakan design ini, kami dapat menggunakan teknik
random yaitu teknik yang digunakan untuk penelitian di laboratorium agar
diperoleh pengontrolan yang maksimal. Penelitian ini juga peneliti lakukan di
laboratorium. Selain itu, peneliti juga ingin membandingkan hasil data yang
diperoleh dari experimental group dan control group, sehingga hasil data yang
peneliti peroleh bias diujikan hipotesis pada penelitian ini, yaitu ada pengaruh
pemberian metode belajar multisensory dalam kemampuan membaca permulaan
anak kelas nol kecil pada TK Bandung.
3.3.2 Jalannya Eksperimen
1. Eksperimenter membagi sampel menjadi 2 kelompok.
2. Siswa yang belum mendapatkan materi pengenalan huruf abjad/alfabet.
3. Untuk kelompok I (kelompok yang diberi metode multisensori),
eksperimenter memberikan materi berupa 10 huruf , memakai metode
multisensori kepada eksperimentee. Setelah itu, eksperimenter mengetes
secara langsung.
4. Untuk kelompok II (kelompok yang tidak diberikan metode multisensori),
eksperimenter memberikan materi berupa 10 huruf tanpa memakai
metode multisensori kepada eksperimentee. Setelah itu, eksperimenter
mengetes secara langsung.
5. Hasil pengerjaannya akan dibandingkan antara kelompok I dan kelompok
II.
3.4 Controlled Variable
Apa Bagaimana Mengapa
Siswa kelas nol
kecil TK Bandung
Keadaan fisik
siswa
Alat ukur
Siswa yang belum pernah mendapat
metode pembelajaran multisensori
Diambil siswa yang tidak memiliki
cacat fisik baik dalam indra
penglihatan dan indra pendengaran
Berupa persoalan yang berkaitan
dengan materi yang telah diberikan.
Persoalan diberikan dalam bentuk
kata-kata
Untuk dapat mengetahui
kemampuan membaca
permulaan dengan
bantuan metode
pembelajaran
multisensori.
Agar hasilnya dapat
terukur dan sesuai dengan
harapan peneliti
Agar memudahkan
peneliti dalam melakukan
pengukuran
3.5 Uncontrolled Variable
Pada penelitian ini yang menjadi Uncontrolled Variabel adalah
kelelahan/kecapean, mood siswa, dan motivasi untuk memperhatikan penjelasan
tentang materi yang diberikan.
3.6 Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal yang berbentuk
pengetesan langsung/lisan yang harus dijawab oleh subjek penelitian.
3.7 Populasi dan Sampel
Populasi diambil dari siswa Kelas nol besar di TK Bandung. Berdasarkan
data yang dadapatkan peneliti, siswa Kelas nol besar di TK Bandung berjumlah
25 orang. Berdasarkan skor dibawah rata-rata pada TK tersebut, kemudian setelah
itu dipilih secara random.
3.8 Analisis
Penelitian yang dilakukan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mempunyai satu independen variabel, yaitu pemberian metode multisensori
2. Mempunyai jumlah treatment condition (tc) dua, yaitu pemberian dua
kondisi yang berbeda pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen
3. Rancangan eksperimen yang digunakan adalah ”Randomized two group
design” karena sampel dipilih secara random dari suatu populasi yang sama
kemudian terbentuklah dua kelompok yang independent, untuk
dibandingkan kemudian sesudah kelompok eksperimen diberikan perlakuan.
4. Pada penelitian ini, uji statistika yang digunakan adalah uji-t berpasangan
(paired t-test) yang merupakan salah satu metode pengujian hipotesis
komparatif dua sampel independen, dimana data yang digunakan berskala
pengukuran interval.
H0: Pemberian metode multisensori tidak berpengaruh dalam
meningkatkan kemampuan membaca permulaan.
H1: Pemberian metode multisensori berpengaruh dalam meningkatkan
kemampuan membaca permulaan.