eksistensialisme, feminisme, strukturalisme,

10
Ujian Tengah Semester Dinamika Pemikiran Prancis Semester Genap 2010 Oleh: Abellia Anggi Wardani, 0706164744 1. Jelaskan konsep “la mauvaise foi” menurut pemikiran eksistensialisme Jean Paul Sartre. Hubungkan dengan konsep Sartre tentang kebebasan, kecemasan, Tuhan, dan eksistensi manusia. Eksistensialisme Sartre sebenarnya memiliki inti yang sederhana, yaitu mengajarkan manusia untuk menyadari bahwa manusia telah ‘dikutuk untuk bebas’. Pernyataan tersebut erat kaitannya dengan kebebasan yang dijunjung tinggi oleh Sartre, terutama dengan teori tentang tiga modus ‘ada’ pada manusia, yaitu être en soi, être pour soi, dan être pour les autres. Untuk mengetahui bahwa manusia tersebut ‘ada’, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyadari. Tataran ‘menyadari keberadaan’ dapat digolongkan pada modus yang pertama, yaitu ‘être en soi’ . Setelah menyadari bahwa manusia itu ada, selanjutnya adalah menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu otonomi untuk menjadi subyek sehingga nantinya tercipta konsep ‘bebas’. Adapun modus yang paling dekat dengan konsep kebebasan pada manusia adalah être pour soi. Dalam konsep ini diperkenalkan ciri khas manusia yang mempunyai aktivitas ‘menidak’ yang kemudian menyebabkan lahirnya konsep ketiadaan. Masih menurut Sartre, aktivitas ‘menidak’ yang juga memuat konsep ketiadaan adalah sama dengan kebebasan. Ketika kita mampu untuk mengatakan ‘tidak’

Upload: abellia-anggi-wardani

Post on 19-Jun-2015

532 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Eksistensialisme, feminisme, strukturalisme,

Ujian Tengah Semester

Dinamika Pemikiran Prancis

Semester Genap 2010

Oleh: Abellia Anggi Wardani, 0706164744

1. Jelaskan konsep “la mauvaise foi” menurut pemikiran eksistensialisme Jean

Paul Sartre. Hubungkan dengan konsep Sartre tentang kebebasan, kecemasan,

Tuhan, dan eksistensi manusia.

Eksistensialisme Sartre sebenarnya memiliki inti yang sederhana, yaitu

mengajarkan manusia untuk menyadari bahwa manusia telah ‘dikutuk untuk bebas’.

Pernyataan tersebut erat kaitannya dengan kebebasan yang dijunjung tinggi oleh Sartre,

terutama dengan teori tentang tiga modus ‘ada’ pada manusia, yaitu être en soi, être pour

soi, dan être pour les autres.

Untuk mengetahui bahwa manusia tersebut ‘ada’, langkah pertama yang harus

dilakukan adalah menyadari. Tataran ‘menyadari keberadaan’ dapat digolongkan pada

modus yang pertama, yaitu ‘être en soi’ . Setelah menyadari bahwa manusia itu ada,

selanjutnya adalah menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu otonomi untuk menjadi

subyek sehingga nantinya tercipta konsep ‘bebas’. Adapun modus yang paling dekat

dengan konsep kebebasan pada manusia adalah être pour soi. Dalam konsep ini

diperkenalkan ciri khas manusia yang mempunyai aktivitas ‘menidak’ yang kemudian

menyebabkan lahirnya konsep ketiadaan. Masih menurut Sartre, aktivitas ‘menidak’ yang

juga memuat konsep ketiadaan adalah sama dengan kebebasan. Ketika kita mampu untuk

mengatakan ‘tidak’ berarti kita telah berperan sebagai seorang subyek, yang memiliki

kebebasan untuk memilih. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia itu ‘ada’

sejauh ia bertindak terhadap sesuatu bagi dirinya sendiri dan apa yang dia lakukan untuk

dirinya sendiri adalah lahir dari kebebasan dan kesadarannya sebagai individu yang

menyadari sesuatu yang berarti bagi dirinya.

Pada perjalanannya, kebebasan mutlak manusia membawa beberapa konsekuensi

yang harus dihadapi. Dengan menjadi makhluk yang bebas secara mutlak, otomatis

manusia menjadi satu-satunya yang menentukan kodratnya sendiri, yang berdampak pada

hilangnya konsep Tuhan sebagai dalang kehidupan manusia.1 Pada tahap ini, manusia

1 Hal ini ditekankan oleh Sartre lewat kalimatnya ‘eksistensi mendahului esensi’. Sartre mengatakan bahwa manusia tidak memiliki esensi sebelum eksistensi mereka, karena ia menganggap bahwa Sang Pencipta itu tidak ada.

Page 2: Eksistensialisme, feminisme, strukturalisme,

harus berhadapan dengan kenyataan bahwa manusia tidak hidup sendirian, terdapat pula

manusia-manusia lain yang juga memiliki kebebasaan yang sama. Ketika mulai ada

benturan-benturan kebebasan antar manusia, menyebabkan adanya ancaman terhadap

kebebasan mereka, sehingga manusia menjadi cemas. Hal tersebut memasaksa manusia

untuk menyadari bahwa mereka harus bertanggung jawab atas setiap tindakan mereka.

Namun, ketika kecemasan tersebut tidak berakhir pada keadaan yang membuat manusia

dapat mempertahankan kesubyektivitasannya, manusia akan mulai menyalahkan

sekitarnya atas apa yang ia rasakan. Manusia mulai menyalahkan orang lain,

menyalahkan norma, keadaan, dan semua hal selain diri kita. Hal inilah yang Sartre sebut

dengan ‘mauvaise foi’ (itikad buruk).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi Sartre menekankan pada

kebebasan yang mutlak bagi manusia, dengan tentunya mengesampingkan Tuhan yang

dianggap hanya membatasi kebabasan manusia itu sendiri. Kemudian, Sartre juga

menyebutkan tentang proses dalam mendapatkan suatu kebebasan yang mutlak, dimulai

dengan kesadaran akan dirinya, kemudian dilanjutkan dengan kemampuan untuk memilih

(dalam hal ini, aktivitas ‘menidak’), hingga akhirnya manusia menjadi sosok yang bebas.

Namun proses tersebut belum selesai samapai di situ. Menusia juga tetap dihadapkan

pada kenyataan bahwa mereka tidak hidup sendirian, dan kebebasan mereka pun sering

kali terbentur dengan kebebasan orang lain. Dari situasi tersebut, manusia dituntut untuk

bertanggung jawab atas setiap tindakannya, yang kemudian berdampak pada munculknya

mauvaise foi untuk menyangkal apa yang terjadi ataupun menyalahkan sekitarnya.

2. Jelaskan konsep emansipasi menurut Simone de Beauvoir dalam Le Deuxième

Sexe. Jelaskan pula pengertian ‘Les differences dans l’égalité dan l’égalité dans la

difference’.

Dalam Le Deuxième Sexe, Beauvoir mengkritik tentang budaya patriarki yang

menjadi akar dari penonjolan satu pihak saja (dalam hal ini, laki-laki) dan

mengesampingkan pihak ‘yang lain’ (dalam hal ini, perempuan). Perempuan seringnya

hanya dianggap sebagai ‘tota mulier in utero’ yang artinya, perempuan adalah kandungan.

Pernyataan tersebut yang mendorong Beauvoir untuk memperjuangkan hak-hak

perempuan, menurutnya perempuan dapat lebih dari sekedar rahim, yang hanya bertugas

Page 3: Eksistensialisme, feminisme, strukturalisme,

untuk meneruskan keturunan. Masih menurut Beauvoir, yang sebenarnya membentuk

laki-laki dan perempuan adalah pendidikan.2

Kedua konsep ini, yaitu les differences dans l’égalité dan l’égalité dans la

difference, memiliki makna yang berbeda. Untuk konsep pertama, Beauvoir menyatakan

bahwa setiap manusia memang terlahir dalam perbedaan, tetapi bagaimanapun perbedaan

tersebut, mereka tetaplah sama-sama manusia. Adapun konsep kedua, Beauvoir lebih

menekankan pada kedudukan setiap individu, terutama kedudukan antara laki-laki dan

perempuan, ia mengemukakan bahwa peran sebagai individu memang berbeda, tetapi

tidak ada yang lebih rendah ataupun tinggi.

Dari pemikiran Beauvoir tersebut, dapat disimpulkan bahwa, Beauvoir sebagai

salah seorang feminis Prancis tahun 1960an, ingin menyatakan bahwa budaya patriarki

yang selama ini dianut cenderung menempatkan perempuan sebagai subyek.

3. Jelaskan yang Anda ketahui tentang praktik sosial menurut pemikiran Pierre

Bourdieu. Hubungkan dengan konsep-konsep Bourdieu tentang habitus, arena,

dan kapital. Apa pendapat Anda tentang pernyataan Bourdieu bahwa relasi

sosial tidak pernah lepas dari kepentingan?

Praktik sosial merupakan salah satu upaya Bourdieu dalam mengatasi oposisi

klasik fenomenologi versus strukturalisme, di situ Bourdieu memperlakukan kehidupan

sosial sebagai suatu interaksi struktur, disposisi, dan tindakan yang saling mempengaruhi.

Praktik sosial yang dihasilkan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan hasil

produk interaksi antara habitus dan arena.3 Selain itu, konsep lain Bourdieu yang juga

berkaitan dengan habitus dan arena adalah konsep kapital/modal dan konsep strategi.

Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki habitus masing-masing selalu

dihadapkan dan diharuskan melakukan adaptasi pada ketentuan atau aturan-aturan yang

ada di arena sekeliling mereka, sehingga dibutuhkan strategi untuk dapat bertahan dan

mengembangkan kapital dasar yang telah dimiliki sebelumnya.4

Arena dapat diartikan sebagai suatu arena kekuatan-kekuatan yang sifatnya

dinamis dan terdiri dari bermacam-macam potensi.5 Sebuah arena juga berperan dalam

2 Disarikan dari kuliah Dinamika Pemikiran Prancis yang diampu oleh Ibu Suma Riella, pada tanggal 11 Februari 2010.3 Muridan S. Widjojo,”Strukturalisme Konstruktivis: Pierre Bourdieu dan Kajian Sosial Budaya”,Prancis dan Kita: Strukturalisme, Sejarah, Politik, Film, dan Bahasa (Jakarta:Wedatama Widya Sastra, 2003), hlm. 40-41.4 Maria Yoseffina Retta Oktaviani, Musik Rai: Eksistensi dan Identitas Kaum Magribi diPrancis (Depok: FIB UI, 2008), hlm. 12.5 Widjojo op.cit., hlm. 43.

Page 4: Eksistensialisme, feminisme, strukturalisme,

mengidentifikasi pelaku-pelaku serta wilayah-wilayah pertarungan. Dalam wilayah ini,

terdapat kententuan bahwa besaran modal yang dimiliki menentukan posisi-posisi serta

relasi objektif antar pelaku dalam dinamika pertarungan arena tersebut.6 Konsep arena

berkaitan erat dengan konsep habitus, karena ketika posisi-posisi dalam arena berubah,

kecenderungan-kecenderungan yang membentuk habitus pun berubah.7

Habitus merupakan pengetahuan yang terinternalisasi dalam diri individu, namun

tidak selalu dalam bentuk yang pasti karena diperoleh melalui praktek sehari-hari yang

bisa bervariasi dalam batas-batas tertentu.8 Habitus juga berarti sebuah sistem yang terdiri

atas kecenderungan tetap yang berlangsung di dalam diri pelaku sepanjang hidupnya

dalam melakukan praktik sosial di berbagai arena yang berbeda.9 Istilah habitus

memungkinkan Bourdieu untuk menganalisis prilaku para pelaku sosial agar berjalan

beriringan dengan lingkungan sosialnya.10

Konsep kapital bagi Bourdieu mencakup barang-barang material (yang dapat

memiliki nilai simbolis), maupun yang tidak dapat disentuh (tetapi secara budaya

merupakan atribut yang signifikan).11 Kemudian kapital dibedakan lagi menjadi empat

bentuk yaitu kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial, dan kapital simbolik.12

Kapital ekonomi berkaitan dengan alat-alat produksi, materi, dan uang. Kapital budaya

berkaitan dengan keseluruhan kualifikasi intelektual termasuk pengetahuan budaya dan

kompetensi yang dapat diproduksi melalui pendidikan formal atau pun warisan.

Wujudnya dapat berupa kemampuan mengekspresikan diri di depan publik, kepemilikan

atas benda-benda budaya, pengetahuan dan keahlian tertentu, dan kreativitas. Kapital

sosial merupakan relasi sosial yang mengatur hubungan di masyarakat. Kapital simbolik

merupakan penghargaan yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sosialnya sebagai

pelaku sosial.13

6 “Whithin cultural fields, as in all others, actors are assumed to compete for social positions. This competition gives rise to social structure, which, understood here as a social topology, positions actors relative to each other according to the overall amounts and relative combinations of capital available to them”. Helmut K. Anheier, Jurgen Gerhards, Frank P. Romo,”Forms of Capital and Social Structure in Cultural Fields: Examining Bourdieu's Social Topography”,The American Journal of Sociology, Vol. 100, No. 4 (Jan., 1995), hlm. 8607 Widjojo loc.cit., hlm. 42.8 Claudia Strauss, & Naomi Quinn, A Cognitive Theory of Cultural Meaning(Cambrigde: Cambridge University Press, 1997), ditinjau oleh Ezra M. Choesin dalam Antropologi Indonesia Vol 61 2000, hlm. 110.9 Widjojo loc.cit., hlm. 41.10 “the habitus which consists of corporal dispositions and cognitive templates overcomes subject-object dualism by inscribing subjective, bodily actions with objective social force so that the most apparently subjective individual acts take on social meaning”. Anthony King, “Thinking with Bourdieu against Bourdieu: A 'Practical' Critique of the Habitus” Sociological Theory, Vol. 18, No. 3 (Nov., 2000), hlm. 418.11 Widjojo loc.cit., hlm. 44.12 Anheiner loc.cit., hlm. 86013 Widjojo loc.cit., hlm. 44.

Page 5: Eksistensialisme, feminisme, strukturalisme,

Suatu arena selalu menjadi ajang konflik antar individu atau antar kelompok yang

berusaha mempertahankan suatu kepentingan tertentu ataupun untuk mengubah distribusi

bentuk-bentuk kapital yang ada. Arena juga selalu memicu adanya pertarungan atau

persaingan dalam rangka mengubah distribusi kapital dan posisi-posisi di dalamnya agar

terjadi mobilitas sosial. Dalam setiap pertarungan selalu membutuhkan adanya strategi,

yaitu pengerahan segala hal yang dimiliki dalam praktik sosial. Strategi menurut

Bourdieu dapat digolongkan dalam beberapa jenis, yaitu strategi investasi biologis,

strategi suksesif, strategi edukatif, strategi investasi ekonomi, dan strategi investasi

simbolis. 14

Berdasarkan tiang-tiang konseptual yang diterapkan oleh Bourdieu, saya setuju

dengan pendapat Bourdieu yang menyatakan bahwa relasi sosial tidak pernah lepas dari

kepentingan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dalam suatu praktik sosial, akan

selalu ada hubungan dinamis di antara setiap pelaku sosial di dalamnya. Hubungan

dinamis tersebut dapat berupa persaingan dalam memperebutkan suatu kekuasaan

simbolik ataupun kepentingan-kepentingan lain. Persaingan-persaingan tersebut

membawa para pelaku sosial untuk menghadapi suatu arena dimana mereka harus

memberdayakan semua kapital yang dimiliki semaksimal mungkin serta menyusun

strategi agar dapat mencapai tujuan tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa ada banyak

kepentingan yang mungkin berbeda-beda dalam suatu relasi sosial.

4. Jelaskan makna kata ‘struktur’ untuk memahami paradigma strukturalisme.

Uraikan secara singkat perkembangan Strukturalisme Prancis.

Struktur adalah bangun abstrak yang terbentuk oleh sejumlah komponen yang satu

sama lain saling berhubungan. Sifat sebuah struktur adalah (1) merupakan suatu totalitas,

(2) otoregulatif, dan (3) transformatif.15 Sebuah struktur juga merupakan suatu ‘totalitas’,

yang berarti bahwa setiap struktur terdiri atas sejumlah struktur bawahan yang lebih kecil

yang masing-masing membawahkan lagi sejumlah struktur. Ciri utama sebuah struktur

adalah sifatnya yang tidak statis, dan dapat bertransformasi yaitu susunan komponen-

komponennya dapat berubah dalam rangka membentuk sebuah struktur yang baru.16

Sehingga secara garis besar, strukturalisme merupakan upaya untuk mengetahui dan

menemukan sesuatu dalam dunia manusia, mencari objektivitas dan kebenaran sesuai

14 Ibid., hlm. 46.15 Piaget (dalam Benny H. Hoed, ‘Strukturalisme de Saussure di Prancis dan Perkembangannya”, Prancis dan Kita (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2003), hlm. 2)16 Ibid., hlm. 3

Page 6: Eksistensialisme, feminisme, strukturalisme,

dengan kaidah ilmu pengetahuan. Strukturalisme melihat bahwa individu tidak ada

artinya, dan tidak berdaya karena adanya suatu struktur yang sudah terbentuk di alam.

Di Prancis, strukturalisme diawali dengan kemunculan Ferdinand de Saussure

yang mencoba menjelaskan tentang teori pengkajian bahasa yang mandiri, yang

kemudian dikenal dengan nama ‘linguistik’. Penemuan teori ini kemudian menjadi awal

mulai berkembangnya strukturalisme di Prancis. Dalam bidang lain, kita mengenal

Roman Jakobson (1896-1982) yang menjelaskan fungsi bahasa dalam komunikasi dan

pengkajian puisi. Claude Lévi-Strauss (1908) yang menjelaskan tentang bagaimana

menganalisis struktur masyarakat, khususnya dalam analisis tentang kekerabatan. Dalam

bidang psikologi, Jacques Lacan (1901-1981) mengemukakan tentang teori psikoanalisis,

yang menyebutkan bahwa bahasa ‘bawah sadar’ memiliki struktur dan sistemnya sendiri,

yang dalam psikoanalisis harus dipelajari terlepas dari bahasa ‘sadar’. Kemudian pada

bidang sejarah, salah satu tokoh yang paling terkenalnya adalah Fernand Braudel (1902-

1985) yang mengemukakan bahwa berbagai perkembangan dalam masyarakat harus

dikaji tidak hanya dari peristiwanya saja, tetapi juga dari analisis atas struktur masyarakat

tersebut.17

Dapat disimpulkan bahwa strukturalisme berasal dari Prancis dan pertama kali

dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure. Konsep struktur menurut Saussure adalah

hubungan antara komponen-komponen yang membentuk bangun abstrak. Pada

perkembangannya, strukturalisme mulai bervariasi, bukan hanya diterapkan pada bidang

linguistik, tetapi juga bidang-bidang lain, seperti fungsi bahasa, antropologi, sejarah, dan

psikologi.

17 Ibid., hlm. 8-22.