eksistensialisme dalam kumpulan...

112
EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPEN RATU SEKOP KARYA IKSAKA BANU DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh TRI WIBOWO NIM : 1113013000045 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

Upload: dokhanh

Post on 10-Mar-2019

256 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPEN

RATU SEKOP KARYA IKSAKA BANU DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

INDONESIA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

TRI WIBOWO

NIM : 1113013000045

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018

Page 2: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop
Page 3: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop
Page 4: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop
Page 5: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

i

ABSTRAK

Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen

Ratu Sekop Karya Iksaka Banu Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti M.Hum.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mendeskripsikan unsur instrinsik dalam

kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu, 2) Mendekripsikan eksistensialisme

dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu, 3) Mendeskripsikan

implikasi konsep eksistensialisme dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka

Banu terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif dengan menggunakan ilmu

sastra dan pendekatan filsafat. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa Drama-Eksistensial kerap ditemui di kehidupan

masyarakat manapun dalam berbagai macam bentuk. Maka dapat dikatakan, Dasein,

meski sebagai Adaan yang mengada-dengan-yang-lain (Being-with-others), tak

seorangpun dapat menjemput/menggantikan kematiannya untuk/demi orang lain.

Selanjutnya, terdapat tiga macam Mengada yang dapat ditemui Dasein di dalam

dunianya. Ketiga macam Mengada itu adalah alat-alat, benda-benda yang bukan alat-

alat, dan yang terakhir adalah sesama manusia atau orang-orang lain. Analisis

kumpulan cerpen Ratu Sekop dapat memenuhi standar kompetensi pada pembelajaran

sastra melalui pemahaman mengenai keterkaitan unsur-unsur pembangun cerpen

dengan kehidupan sehari-hari. Melalui analisis struktur cerpen, siswa dilatih untuk

meningkatkan kepekaan dalam menemukan unsur instrinsik dan konsep

eksistensialisme yang terkandung di dalam cerpen.

Kata kunci: Eksistensialisme, Kumpulan Cerpen Ratu Sekop, Iksaka Banu, Implikasi

terhadap Pembelajaran.

Page 6: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

ii

ABSTRACT

Tri Wibowo 1113013000045, “Existentialism in Set of Short Stories

entitled Ratu Sekop written by Iksaka Banu and Its Implication towards Learning

Indonesian Language and Literature Education in The Senior High School”,

Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiya and

Teaching Sciences, Syarif Hidayatullah State Islamic University.

The purpose of this research are: 1) To describe intrinsic elements in the

Ratu Sekop short stories written by Iksaka Banu, 2) To describe existentialism in the

Ratu Sekop short stories written by Iksaka Banu, 3) To describe the implications of

existentialism concept in Ratu Sekop short stories written by Iksaka Banu towards the

Indonesian Language and Literature learning process in the school. Methods that is

used in this research paper is descriptive-qualitative, using the literature and

philosophy approaches. Based on the research, the result shows that Existential-

Drama is most likely found in any social condition and in any kind of form. Let us

say that, Dasein, as the Being that Being-with-others, no one could ever replace its

death for someone else. Next, there are three types of Being that Dasein will meet in

its life. Types of Being are ready-at-hand, presence-at-hand, and the mitdasein of the

others. The analysis of Ratu Sekop set of short stories would fulfill the competency

standards in learning literature through the understanding of the linkages between

short stories building-elements with its relations in daily life. Through the structural

short story analysis, students are trained to increase the sensitivity in finding intrinsic

elements and existentialism’s concept contained in the short stories.

Key words: Existentialism, Ratu Sekop set of Short Stories, Iksaka Banu,

Implications towards Learning

Page 7: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil „alamin, puji syukur ke hadirat Allah yang telah

memberikan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga,

para sahabat, dan pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Eksistensialisme dalam

Kumpulan Cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu dan Implikasinya Terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.” Penulis banyak memerlukan

bantuan, saran, masukan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat bantuan

mereka skripsi yang disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar

sarjana pendidikan (S.Pd.) ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya,

penulis menyampaikan terima kasih pada:

1. Ayah dan Umi tercinta, Mulyono dan Upit Supiati yang senantiasa

memberikan doa setiap saat, memberikan dorongan moral dan moril.

Kakak Pertama, Kakak Kedua, dan Adik Pertama, serta semua keluarga

yang selalu mendoakan keberhasilan penulis.

2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, sekaligus dosen penasehat akademik.

4. Novi Diah Haryanti, M. Hum., dosen pembimbing skripsi, yang telah

memberi bimbingan, semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian ini dengan baik.

5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu

pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan.

6. Akhmad Zakky M.Hum., guru spiritual yang tak pernah jemu menuntun

penulis dalam menempuh jalan sunyi.

Page 8: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

iv

7. Rosidah Irysad M.Hum., Momskih sejagad yang tak hentinya memberi

dukungan serta visi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Roby Kurniawan dan Roni Agustinus, duet maut MarjinKiri yang

senantiasa memberikan inspirasi kepada penulis dan ide awal ini bermula

hingga tersusunnya skripsi ini.

9. Teman-teman PBSI angkatan 2013. Khususnya kepada Rizky Adhitya,

Dedi Santosa, Annisa Aulia, Anisa Rahayu, Melda Hollidazia,

Agtasiaferdan, Windy Mulya Jayanti, Nurul Azizah, Maulida Rahmah dan

lain-lain, senantiasa membantu juga memberikan semangat kepada

penulis.

10. Teman-teman Majelis Kantiniyah. Khususnya kepada Irfan Nawawi,

Daniel Adepi, Mulya Aziz, Akbar Fatriyana, Yanti Bephra, Irsyad

Zulfahmi, Fajar Setio, Hilman, Fahri dan lain-lain, senantiasa menjadi

rumah paling ramah bagi kepulangan penulis.

11. Teman-teman Rusabesi. Khususnya kepada Gita Irawan, R.E Sutanto,

Imam Budiman, Zaki Setiawan, Fena Basafiana, Adam dan lain-lain,

senantiasa menjadi sabar bagi pembelajar bebal seperti penulis.

12. Teman-teman Sokbuku. Khususnya kepada Aliffaiz, Shafira, Dwi

Platomo, Chendy, Fajar, Alya, Gusti, Ryan, Gugun Guntoro, dan Idris

yang senantiasa memberikan masukan dan energi positif selama penulis

mengerjakan skripsi ini.

13. Terakhir terima kasih atas semua pihak yang telah memberikan motivasi,

doa, semangat yang tidak pernah putus diberikan kepada penulis. Semoga

Allah membalas kebaikan Anda semua. Penulis mengharapkan saran dan

kritik yang membangun dalam pembuatan penelitian ini. Semoga

penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Jakarta, 24 Oktober 2018

Penulis

Page 9: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...................................................................................................... i

ABSTRACT .................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 7

C. Batasan Masalah ............................................................................ 7

D. Rumusan Masalah ......................................................................... 7

E. Tujuan Penelitian........................................................................... 8

F. Manfaat Penelitian......................................................................... 8

G. Metode Penelitian .......................................................................... 9

1. Objek Penelitian ....................................................................... 10

2. Sumber Data ............................................................................. 10

3. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 10

4. Teknik Analisis Data ................................................................ 11

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Cerpen ......................................................................... 12

B. Unsur Intrinsik Cerpen .................................................................. 14

1. Tema ......................................................................................... 15

2. Tokoh dan Penokohan .............................................................. 15

3. Alur ......................................................................................... 17

4. Latar ......................................................................................... 17

5. Sudut Pandang ......................................................................... 18

6. Amanat ..................................................................................... 19

7. Gaya Bahasa ............................................................................. 19

C. Eksistensialisme Martin Heidegger ............................................... 20

1. Drama Eksistensial Keseharian Dasein .................................... 22

2. Drama Eksistensi Kemewaktuan Dasein ................................. 25

D. Implikasi Pembelajaran Sastra ...................................................... 30

E. Penelitian yang Relevan ................................................................ 34

Page 10: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

vi

BAB III PROFIL IKSAKA BANU DAN SINOPSIS CERPEN

A. Biografi Singkat Iksaka Banu .............................................................. 37

B. Ratu Sekop: Iksaka Banu, Marjin Kiri, dan Martin Heidegger............ 38

C. Sinopsis Cerpen Listrik ........................................................................ 41

D. Sinopsis Cerpen Belati ......................................................................... 43

E. Sinopsis Cerpen Istana Gotik ............................................................... 44

BAB IV HASIL ANALISIS

A. Analisis Unsur Intrinsik ....................................................................... 46

1. Tema ........................................................................................ 46

2. Latar ......................................................................................... 50

3. Tokoh dan Penokohan .............................................................. 54

4. Sudut Pandang .......................................................................... 63

5. Alur .......................................................................................... 64

6. Gaya Bahasa ............................................................................. 70

7. Amanat ..................................................................................... 72

B. Analisis Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop Karya

Iksaka Banu .......................................................................................... 73

1. Keseharian Dasein dalam Listrik ............................................. 74

2. Keseharian Dasein dalam Belati ............................................... 77

3. Keseharian Dasein dalam IG .................................................... 81

C. Implikasi Terhadapn Pembelajaran Sastra di Sekolah ......................... 84

BAB V PENUTUP

A. Simpulan........................................................................................ 87

B. Saran .............................................................................................. 88

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

LEMBAR UJI REFERENSI

RIWAYAT PENULIS

Page 11: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Silabus

Lampiran 2 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Lampiran 3 : Lembar Uji Referensi

Page 12: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cerita pendek (cerpen) memiliki sifatnya yang khas dari novel yang

juga masuk ke dalam jenis prosa. Kelebihan cerpen yang khas adalah

kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak—jadi, secara implisit—

dari sekadar apa yang diceritakan.1 Meski demikian, keduanya dapat dianalisis

dengan pendekatan yang lebih kurang sama. Cerpen sebagai bagian dari karya

fiksi juga merupakan cerminan suatu perjalanan hidup yang bersentuhan

dengan kehidupan manusia sebagai potret realitas yang diwujudkan melalui

rangkaian bahasa yang menarik. Selain itu, cerpen juga menawarkan sebuah

miniatur dunia yang berisi model kehidupan yang dibangun melalui berbagai

unsur intrinsik, di antaranya adalah unsur penokohan.

Gambaran mengenai gerak tokoh dalam fiksi, secara sengaja

diciptakan oleh pengarang dengan tujuan atau misi tertentu yang hendak

dicapai dan disampaikan. Penokohan dalam cakupan definisi yang memuat

tokoh, watak, dan segala emosi yang dikandung dalam fiksi dipandang

sebagai aspek isi suatu karya. Di samping aspek bentuk, penokohan kemudian

juga menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan sebagai karya

fiksi. Melalui penokohan itu pula, pembaca tidak hanya mendapat gambaran

mengenai gerak tokoh, melainkan juga akan membangkitkan atau

menumbuhkan sikap bagi pembaca berdasarkan pesan yang disampaikan

pengarang.

Dalam upaya memahami karya sastra secara komprehensif, seluruh

situasi yang berhubungan dengan karya sastra itu haruslah diperhatikan dalam

1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

2005, h. 11.

Page 13: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

2

konkretisasi atau pemaknaan karya sastra.2 Sejalan dengan itu, ikhtiar

memahami manusia secara menyeluruh tidak dapat dicapai dengan cara

mengisolasi atau melepaskannya dari lingkungan, kehidupan sosial serta

budaya. Artinya, memahami manusia sebagai keberadaannya di dunia

bersama manusia lain erat kaitannya dengan berbagai hal yang ada di

lingkungannya, atau dalam pertanyaan reflektif yang khas eksistensial,

manusia adalah adaan yang berada sebagai keberadaan di dunia, yang

sekaligus mempertanyakan ada di antara cara berada ada-adaan yang lain.

Dengan demikian, “Drama Eksistensial” sebagai keberadaan manusia di

dunia, menjadi alasan bagi peneliti untuk melihat sejauh mana penokohan

sosok Heideggerian di dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop.3

Suguhan kecemasan, aroma gelap, dan muram: gerak eksistensial,

keterlemparan dan kejatuhan—sebagai drama berada-bersama. Manusia yang

mengada harus memikul nasib tertentu, antara ingin mengenal Ada-nya tapi

sekaligus harus selalu berkubang di dalam keseharian bersama manusia lain

yang mengasingkannya, maka sebagai upaya mencari jawab atas tegangan

tersebut, pendekatan eksistensialisme dimaksudkan untuk mengambil peran

dalam memandang realitas secara baru dengan berangkat dari keunikan

eksistensi manusia yang satu tehadap manusia lain.

Sebagai induk semua disiplin ilmu pengetahuan, tidak bisa dimungkiri

bahwa filsafat telah memberi pengaruh besar terhadap kehidupan manusia.

Demikian pula sastra, melalui bahasa sebagai mediumnya adalah salah satu

disiplin ilmu yang senantiasa mengejawantahkan filsafat. Praktisnya, beberapa

filsuf adalah sastrawan. Sebagaimana Heidegger yang kerap menyebut

„bahasa puitis‟ sebagai medium yang tepat untuk menyampaikan gagasan

2 Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 108 3 Iksaka Banu. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017).

Page 14: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

3

eksistensialnya. Demikian pula Sartre, Nietzche, dan Camus yang banyak

menuangkan gagasannya ke dalam bentuk karya-karya sastra.

Budi Darma menyampaikan bahwa ada keterkaitan antara filsafat dan

sastra.

Kadang-kadang filsafat dan sastra menjadi satu. Filsafat dapat

diucapkan lewat sastra, sementara sastra itu sendiri sekaligus

dapat bertindak sebagai filsafat. Sesudah Perang Dunia II,

misalnya Albert Camus dan Jean Paul Sartre adalah filsuf

eksistensialisme yang sekaligus adalah sastrawan. Novel-novel

mereka adalah pengucapan filsafat dan sekaligus juga filsafat.4

Di Indonesia, semangat eksistensialisme mulai dirasakan justru dari

puisi. Di antara ciri pokok eksistensialisme adalah individualisme dan atau

kebebasan individual—yang dalam prototipe sastra Indonesia dapat dilihat

dari karya-karya Chairil Anwar. Salah satu potongan lariknya yang terkenal

mengatakan bahwa“…hidup hanya menunda kekalahan…”

Baru kemudian istilah eksistensialisme kian mewarnai Indonesia

modern. Dalam hal ini nama-nama seperti Iwan Simatupang (Merahnya

Merah 1968, Ziarah 1968, Kering 1972, dan Kooong 1975), Budi Darma

(Orang-Orang Bloomington 1981, Olenka 1983, Ny. Talis 1996, dan Raflus

1998), dan Putu Wijaya (Telegram 1973, Stasiun 1977, Sobat 1981, Lho

1982, dan Gres 1982) sebagai punggawa eksistensialis dalam bidang prosa.

Hingga penghujung tahun 2016 sampai awal 2017, nama-nama seperti

Mahfud Ikhwan, Kedung Darma Romansa, Nunuk Y. Kusmiana, Dea

Anugrah, dan Pepi Al-Bayqunnie cukup intensif dalam mengisi khazanah

kesusasteraan Indonesia melalui masing-masing karya mereka.5 Demikian

pula Ratu Sekop karya Iksaka Banu yang justru muncul dengan tawaran yang

sama sekali berbeda dengan semangat zaman. Bahkan Ratu Sekop, cukup

4 Budi Darma, Sastra Indonesia Mutakhir dalam Aminuddin (Ed.), Sekitar Masalah Sastra,

(Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990), h. 131-141. 5 Lihat pengumuman nominasi 5 Besar The 17

th Kusala Sastra Khatulistiwa.

Page 15: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

4

berbeda bila dibandingkan dengan karya Banu sebelumnya seperti Semua

untuk Hindia dan Sang Raja yang cenderung disebut sebagai sastra sejarah.

Strategi bercerita dalam skena noir dan absurd-gelap yang dibawanya, Ratu

Sekop seakan mengajak pembaca untuk kembali kepada karya-karya sastra di

akhir tahun 70an hingga awal tahun 80an.

Usaha sejak awal dalam konkretisasi atau pemaknaan karya sastra

dengan melihat sosok Heideggerian di dalam Ratu Sekop, yang sarat akan

perenungan filosofis, khususnya filsafat eksistensialime, maka melakukan

pemilihan judul-judul dari keseluruhan kumpulan cerpen akhirnya ditimbang

perlu untuk membatasi wilayah penelitian. Judul-judul seperti; (a) Listrik; (b)

Belati; dan (c) Istana Gotik dinilai cukup representatif dalam memunculkan

pola-pola khas eksistensial Heidegger tersebut.

Bentuk-bentuk seperti kejatuhan, faktisitas, kecemasan, juga kematian

kerap menjadi corak dalam ketiga pilihan judul cerpen di atas. Gambaran

penokohan juga sekaligus menampilkan sturuktur dasar manusia; yang-

terlempar ke dunia, berada-dalam-dunia, dan menuju-kematian. Mengingat

dunia, manusia mesti selalu berada di ruang tertentu dan dalam konteks

sejarah tertentu, untuk itu eksistensi manusia ada dalam waktu, Budi

Hardiman menyebutnya sebagai mewaktu, atau manusia tidak sekadar pasif

berada dalam lingkaran waktu, tetapi juga aktif mewaktu.6 Dengan demikian,

manusia sebagai makhluk yang menyejarah inheren dalam pemikiran Martin

Heidegger tentang manusia.

Sosok Heideggerian juga memiliki watak sosial dan komunal. Dalam

pengertian bahwa manusia (das man) selalu berada dalam ruang tegang antara

yang-personal dan yang-sosial; antara keheningan dan keramaian; dan antara

yang-otentik dan yang-inotentik. Penokohan dalam karya Banu menjadi

semacam representasi yang baik bagi sosok Heideggerian—manusia (dasein)

6 F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: KPG, 2016), h. 121.

Page 16: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

5

yang hendak melawan represi struktural dengan disertai gejolak yang sifatnya

personal. Sampai di sini, penelitian dengan pembacaan Heideggerian atas

karya Banu dapat dilakukan.

Selain uraian di atas, alasan lain peneliti menggunakan kumpulan

cerpen Ratu Sekop dalam penelitian adalah untuk mengajak pembaca yang

berperan sebagai pendidik untuk coba mengajarkan peserta didik dengan

menggunakan karya sastra terbaru dalam pembelajaran sastra di kelas. Di

samping membuka cakrawala peserta didik terhadap khazanah sastra

termutakhir, pendidik dapat mengeksplorasi secara lebih leluasa dalam

mengupayakan pembelajaran sastra di tengah perkembangan yang serba pesat

seperti sekarang ini. Cerpen sebagai salah satu karya sastra, implikasinya

diharapkan mampu membantu dalam pembentukan nilai-nilai karakter

sebagaimana yang terdapat dalam amanat kurikulum 2013.

Di sisi lain, eksistensialisme sebagai pengkajian filosofis terhadap

pendidikan mutlak diperlukan. Peserta didik yang dipandang sebagai hakikat

yang utuh diharapkan mampu menentukan bagaimana semestinya pendidikan

itu dilaksanakan. Setiap peserta didik dipandang sebagai makhluk yang unik

dan atas dasar itu pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya masing-

masing. Sebagaimana tujuan pendidikan yang mendorong setiap individu agar

mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap

individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik, sehingga dalam

menentukan kurikulum tidak ada yang dapat diberlakukan secara umum.

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menemukan cara serta

tindakan-tindakan nyata yang dapat membantu dalam pembentukan karakter

generasi muda yang berilmu, berbudaya, dan memiliki sifat sosial yang tinggi,

sehingga pembentukan karakter melalui pendidikan tidak hanya dibentuk di

lembaga pendidikan, melainkan pula melalui karya sastra seseorang dapat

mengambil atau meniru karakter dan sifat positif dari kegiatan yang dilakukan

sehari-hari, termasuk salah satunya dari kegiatan membaca karya sastra.

Page 17: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

6

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis akan

melakukan penelitian mengenai penokohan dalam kumpulan cerpen Ratu

Sekop dengan judul EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN

CERPEN RATU SEKOP KARYA IKSAKA BANU SERTA

IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN

SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH.

Page 18: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

7

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasikan masalah

sebagai berikut:

1. Belum ada ada penelitian yang menggunakan kumpulan cerpen Ratu

Sekop sebagai objek penelitian.

2. Belum ada penelitian yang menganalisis eksistensialisme dalam

kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu.

3. Kurangnya pemahaman eksistensialisme sebagai upaya menciptakan

konkretisasi sastra dalam memberikan makna karya sastra.

4. Kurangnya pembahasan eksistensialisme yang diimplikasikan terhadap

pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.

5. Kesulitan menciptakan proses timbal balik antara pendidik dan peserta

didik dalam kegiatan belajar mengajar.

C. Batasan Masalah

Dalam suatu penelitian diperlukan pembatasan masalah agar

pembahasan dalam penelitian tersebut tidak meluas. Adapun pembatasan

masalah dalam penelitian ini adalah eksistensialisme dalam kumpulan cerpen

Ratu Sekop karya Iksaka Banu serta bagaimana implikasinya terhadap

pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Eksistensialisme sastra difokuskan

pada pembahasan yang meliputi tiga cerpen dalam kumpulan cerpen Ratu

Sekop; (a) Listrik; (b) Belati; dan (c) Istana Gotik.

D. Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan

sebagai berikut:

1. Bagaimana unsur instrinsik yang terdapat dalam Ratu Sekop karya

Iksaka Banu?

Page 19: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

8

2. Bagaimana eksistensialisme dalam Ratu Sekop karya Iksaka Banu?

3. Bagaimana implikasi eksistensialisme dalam Ratu Sekop karya Iksaka

Banu terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini ada dua tujuan yang ingin dicapai, yaitu:

1. Mendeskripsikan unsur instrinsik dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop

karya Iksaka Banu.

2. Mendekripsikan eksistensialisme dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop

karya Iksaka Banu.

3. Mendeskripsikan implikasi konsep eksistensialisme dalam kumpulan

cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu terhadap pembelajaran bahasa

dan sastra Indonesia di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang bisa diambil dari hasil analisis ini ada dua macam, yaitu

manfaat praktis dan manfaat teoretis. Berikut pemaparan mengenai manfaat

praktis dan teoritis penelitian.

1. Manfaat teoretis: manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini

adalah dapat menambah khazanah keilmuan dalam pengajaran bidang

Bahasa dan sastra, khususnya untuk pembelajaran sastra tentang

konsep eksistensialisme pada karya-karya sastra.

2. Manfaat praktis: hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa

pihak, yaitu:

a. Bagi Guru: hasil penelitian ini dapat membantu guru sebagai

sumber penyampaian materi dalam pembelajaran sastra yang

menarik, kreatif dan inovatif.

b. Bagi pembaca: dari hasil penelitian ini diharapkan pembaca

dapat lebih memahami isi dalam karya sastra khususnya

Page 20: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

9

kumpulan cerpen Ratu Sekop dan dapat mengambil manfaat

darinya. Selain itu, diharapkan pembaca semakin jeli dalam

memilih buku bacaan untuk dijadikan bahan pembelajaran.

c. Bagi peneliti lain: hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan inspirasi maupun menjadi bahan pijakan sebagai

penelitian yang relevan untuk melakukan penelitian yang lebih

baik dan mendalam.

G. Metode Penelitian

Untuk memudahkan memperoleh data dan kesimpulan secara objektif

seputar konsep eksistensialisme dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop, maka

langkah yang ditempuh penulis adalah mengadakan studi kepustakaan yang

mengidentifikasi pemilihan dan perumusan masalah dan menyelidiki variabel-

variabel yang relevan melalui telaah kepustakaan.

Metode berasal dari kata methodos, bahasa Latin, sedangkan methodos

itu sendiri berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju,

melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam

pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk

memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan masalah,

sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami.7

Dalam mengkaji kumpulan cerpen Ratu Sekop akan digunakan metode

deskriptif kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data

alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.8 Dalam

penelitian karya sastra akan melibatkan pengarang, lingkungan sosial dimana

pengarang berada, dan juga unsur-unsur kebudayaan pada umumnya.

Metode deskriptif adalah proses pemecahan masalah yang diselidiki

7 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), hlm. 34 8Ibid. h. 47

Page 21: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

10

dengan menggambarkan atau menuliskan keadaan subjek atau non-objek

penelitian. Metode deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan apa

yang menjadi masalah, menganalisis, dan menafsirkan data yang ada. Strategi

yang didapatkan berupa analisis isi yaitu dengan mengkaji isi berdasarkan

data yang didapatkan. Metode analisis isi yang digunakan dalam menelaah isi

dari suatu dokumen yaitu kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu

dengan memilih tiga cerpen yang diklasifikasikan berdasarkan keperluan

penelitian Eksistensialisme. Adapun ketiga cerpen tersebut yaitu; (a) Listrik;

(b) Belati; dan (c) Istana Gotik.

1. Objek Penelitian

Objek penelitian dalam skripsi ini adalah tiga cerpen pilihan; (a)

Listrik; (b) Belati; dan (c) Istana Gotik dalam kumpulan cerpen Ratu

Sekop karya Iksaka Banu serta implikasinya dalam pembelajaran bahasa

dan sastra Indonesia di SMA.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu data

primer dan data sekunder. Data primer penelitian ini bersumber pada

kumpulan cerpen Ratu Sekop dan cerita-cerita lainnya karya Iksaka Banu

yang diterbitkan oleh Marjin Kiri, 2017, xii+189 halaman. Sedangkan

sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku dan karya

tulis ilmiah yang berkaitan dengan objek penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka adalah teknik

penelitian yang menggunakan sumber-sumber data tertulis untuk

memperoleh data. Teknik simak dalam penelitian ini berarti peneliti

sebagai instrumen melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan

teliti terhadap sumber data primer. Hasil penyimakan tersebut dicatat

sebagai sumber data.

Page 22: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

11

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode

kualitatif deskriptif. Tahap-tahap analisis ini adalah sebagai berikut:

a. Menganalisis unsur-unsur intrinsik berupa alur, penokohan, latar dan

tema serta keterkaitan hubungan antarunsur intrinsik tersebut.

b. Menganalisis struktur cerpen dengan teori strukturalisme dan

kemudian dianalisis lebih mendalam dengan teori eksistensialisme

Martin Heidegger untuk memaparkan eksistensi tokoh cerpen Listrik;

Belati; dan Istana Gotik. Langkah-langkah tersebut meliputi

identifikasi, klasifikasi, dan deskripsi data mengenai proses dan

momen eksistensial tokoh utama.

c. Membuat simpulan yang berkaitan dengan struktur cerpen dan wujud

eksistensi tokoh serta mengimplikasikannya terhadap pembelajaran

melalui materi dan kurikulum di sekolah.

Page 23: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Cerpen

Cerita pendek merupakan salah satu bentuk karya sastra fiksi. Cerita

pendek sesuai dengan namanya, memperlihatkan sifat yang serba pendek, baik

peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku dan jumlah kata yang

digunakan.1 Dengan sifatnya yang pendek maka segala unsur yang

membangun cerpen harus mampu didayagunakan secara maksimal agar

mampu menyampaikan ide cerita secara tepat.

Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis, dan satu efek untuk

pembacanya. Kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang

jauh lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya yang sangat

dibatasi. Dengan pembatasan ini, sebuah masalah akan tergambarkan jauh

lebih jelas dan jauh lebih mengesankan bagi pembaca.

Kesan yang ditinggalkan oleh sebuah cerita pendek harus tajam dan

dalam sehingga sekali membacanya kita tak akan mudah lupa. Hal ini sejalan

dengan perkataan Edgar Allan Poe yang mengatakan bahwa cerpen adalah

sebuah cerita yang selesai baca sekali duduk.2 Sementara, Abrams menyebut

cerpen sebagai “the prose tale” yakni "…as a narrative which can be read at

one sitting of from half an hour to two hours, and is limited to "a certain

unique or single effect" to which every detail is subordinate.3

1 Endah Tri Priyatni. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. (Jakarta: Bumi Aksara,

2010), h. 126. 2 Burhan Nurgiyantoro. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,

2005), h. 10. 3 M. H. Abrams. A Glossary of Literary Terms. (Boston: Heinle & Heinle, 1999), h. 286.

Page 24: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

13

Cerita pendek, selain kependekannya ditunjukkan oleh jumlah kata

yang digunakan, ternyata peristiwa dan isi cerita yang disajikan juga sangat

pendek. Peristiwa yang disajikan memang singkat, tetapi mengandung kesan

yang dalam. Isi cerita memang pendek karena mengutamakan kepadatan ide.

Karena peristiwa dan isi cerita dalam cerpen singkat, pelaku-pelaku dalam

cerpen pun relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan roman/novel. Di

Indonesia ukuran cerpen biasanya terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman

folio ketik. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek sebuah cerpen

memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan di antara para

pengarang dan para ahli.4

Cerpen adalah suatu cerita yang melukiskan suatu peristiwa (kejadian)

apa saja yang menyangkut persoalan jiwa.5 Selanjutnya, Rosidi memberi

pengertian cerpen sebagai cerita yang pendek dan merupakan kebulatan ide.6

Dalam kesingkatan dan kepadatannya itu, sebuah cerita pendek adalah

lengkap, bulat dan singkat. Semua bagian dari sebuah cerpen mesti terikat

pada suatu kesatuan jiwa: pendek, padat, dan lengkap. Tak ada bagian-bagian

yang boleh lebih atau bisa dibuang.

Cerita pendek juga merupakan suatu karangan prosa yang berisi

sebuah peristiwa kehidupan manusia pelaku/tokoh dalam cerita tersebut.7

Dalam karangan terdapat pula peristiwa lain tetapi peristiwa tersebut tidak

dikembangkan sehingga kehadirannya hanya sekadar sebagai peristiwa pokok

agar cerita tampak wajar. Ini berarti cerita dikonsentrasikan pada satu

peristiwa yang menjadi pokok cerita.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, mengidentifikasi bahwa

cerpen-cerpen Iksaka Banu merupakan karya sastra fiksi dengan cerita singkat

4 Nurgiyantoro. Op Cit. h. 10.

5 Z. F. Zulfahnur, dkk. Teori Sastra. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h.

62. 6 Purba, Op.cit, h. 50-51.

7 Suroto. Apresiasi Sastra Indonesia. (Jakarta: Erlangga, 1989), h. 18.

Page 25: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

14

yang memiliki kebulatan ide dan bertitik berat pada satu masalah sehingga

mampu memberi kesan tunggal dan mudah diingat. Kependekan isi cerpen

dapat memungkinkan pembaca untuk menyelesaikan bacaannya dalam sekali

duduk/baca.

.

B. Unsur Intrinsik Cerpen

Unsur-unsur pembangun di dalam cerpen secara umum dapat

dikatakan sama seperti halnya yang terdapat dalam novel, meski intensitas

(juga kuantitas) dalam hal pengoperasian unsur-unsur cerita tersebut ditemui

beberapa perbedaan. Namun demikian, unsur-unsur intrinsik seperti tema,

tokoh, penokohan, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa masih

dapat ditemui di dalam cerpen.

Selanjutnya, elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian

imajinatif dari sebuah cerita. Sebagaimana yang telah dirangkum oleh Stanton

menjadi struktur faktual. Sementara apa yang disebut sebagai struktur faktual,

hanyalah salah satu cara bagaimana detil-detil cerita diorganisasikan. Di

samping detil tersebut juga membentuk berbagai pola yang pada gilirannya

akan mengemban tema.8

1. Tema

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ dalam

pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu

diingat.9 Pengarang adalah pencerita, tetapi agar tidak menjadi sekadar

anekdot, cerita rekaannya harus memiliki maksud.10

Inilah yang

dinamakan tema.

8 Robert Stanton. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 23.

9 Ibid. hlm. 36.

10 Ibid. hlm. 38.

Page 26: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

15

Tema adalah gagasan sentral dalam suatu karya sastra. Dalam cerpen,

tema menjadi hal yang tunggal. Hal itu berkaitan dengan keadaan plot

yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas11

Tema sebagai makna pokok

sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal

inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna

keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan

“tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.12

2. Tokoh dan Penokohan

Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan

sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku

yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu

mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh.13

Sementara, tokoh menurut Budianta adalah individu rekaan yang

mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam

cerita.14

Selain tokoh utama yang dinamakan “protagonis”, ada pula

tokoh-tokoh lainnya dan yang juga penting adalah lawan dari tokoh

protagonis yaitu tokoh “antagonis”. Tokoh antagonis ialah tokoh yang

diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama (protagonis). Konflik di

antara mereka itulah yang menjadi inti dan menggerakan cerita.

Tokoh utama dalam karya fiksi adalah tokoh yang paling banyak

diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat

menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir

sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang

mempengaruhi perkembangan plot. Tokoh utama dalam sebuah cerpen

cenderung lebih terbatas ketimbang novel. Berkenaan data-data jati diri

11

Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 13. 12

Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 68. 13

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra (tt.p: Sinar Baru, t.t.), hlm. 79. 14

Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra,(Magelang: IndonesiaTera, 2006), hlm. 86

Page 27: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

16

tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan, sehingga pembaca

harus merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh

itu.15

Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya

lewat (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2)

gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan

kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana

perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya

sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat

bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat bagaimana tokoh

lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain

itu memberikan reaksi terhadapnya, dan (9) melihat bagaimana tokoh itu

dalam mereaksi tokoh yang lainnya.16

3. Alur

Secara umum alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam

sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang

terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang

menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak

dapat diabaikan karena akan berpengaruh kepada keseluruhan karya.

Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran

atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-

kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi

variabel pengubah dalam dirinya.17

15

Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 13 16

Aminuddin, Op.cit., hlm. 81 17

Stanton, Op.cit., hlm. 26

Page 28: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

17

4. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam

cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang

berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari,

bulan, tahun), cuaca, atau satu periode sejarah.18

Wellek dan Waren mengatakan bahwa latar adalah lingkungan yang

dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora, atau ekspresi tokohnya.

Sedangkan Abrams mengatakan bahwa Latar atau setting yang disebut

juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan

waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang

diceritakan. Sedangkan Stanton mengelompokan latar, bersama dengan

tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan

dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika

membaca cerita fiksi. atau, ketiga hal inilah yang secara konkret dan

langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita

kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan itu perlu pijakan, dimana dan

kapan.19

5. Sudut Pandang

Dalam sebuah cerita, pengarang adalah „kamera‟. Pandangannya

mengenai seorang karakter biasanya hadir lewat teknik, nada, atau sarana-

sarana sastra, dan tidak melalui komentar eksplisit.20

Sudut pandang atau

point of view merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan

pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan

berbagai peristiwa yang membentuk sebuah cerita dalam karya fiksi.

18

Ibid. hlm. 35 19

Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 216 20

Stanton, Op.cit., hlm. 57

Page 29: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

18

Pengarang sebagai orang di luar cerita saja atau pengarang juga akan turut

serta dalam cerita yang dibuatnya.

Sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama. Meski demikian,

perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa

sangat tidak terbatas.

a. Pada „orang pertama-utama‟, sang karakter utama bercerita dengan

kata-katanya sendiri.

b. Pada „orang pertama-sampingan‟, cerita dituturkan oleh satu karakter

bukan utama (sampingan).

c. Pada „orang ketiga-terbatas‟, pengarang mengacu pada semua

karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya

menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan

oleh satu orang karakter saja.

d. Pada „orang ketiga-tidak terbatas‟, pengarang mengacu pada setiap

karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga

dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir

atau saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir.21

6. Amanat

Amanat merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang

kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah

karya, makna yang disarankan lewat cerita.22

Cara yang tepat dalam menentukan amanat sebuah karya sastra ialah

dengan melihat rentetan peristiwa yang terjadi di dalam karya sastra

karena amanat di dalam sebuah cerita kadang-kadang dapat diketahui

secara implisit, yakni berupa suatu ajaran atau petunjuk lansung kepada

pembaca. Dengan demikian, amanat itu telah dinyatakan dengan jelas

21

Ibid. hlm. 52 22

Nurgiyantoro, Op.cit., hlm. 320

Page 30: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

19

oleh pengarangnya. Kemungkinan lain, amanat di dalam sebuah cerita itu

tidak dapat diketahui secara jelas. Biasanya prilaku para tokoh merupakan

sumber utama yang dapat menentukan amanat sebuah cerita.

7. Gaya Bahasa

Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan

bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar

yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan

tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai

aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor,

kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. 23

Campuran dari

berbagai aspek di astas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya.

Istilah gaya bahasa berasal dari kata “plassein” (Latin) yaitu

membentuk; dalam bahasa Inggris disebut “style” adalah ragam, cara,

kebiasaan, dalam menulis berbicara.24

Henry Guntur Tarigan menyitir

dari buku Gorys Keraf yang berjudul “Diksi dan Gaya Bahasa” bahwa

gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara

khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai

bahasa). Gorys Keraf telah membahas jenis-jenis gaya bahasa yang

berbagai macam menjadi empat kelompok yaitu gaya bahasa

perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya

bahasa perulangan.25

23

Ibid. hlm. 61 24

Zulfahnur, dkk., Teori Sastra (Jakarta: DEPDIKBUD Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar

dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III), hlm. 38 25

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 2009), hlm. 5

Page 31: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

20

C. Eksistensialisme Martin Heidegger

Hardiman dalam Mistik Keseharian26

menyebut bahwa Heidegger,

dengan Sein und Zeit, sedang mempraktikkan fenomenologi dengan mengajak

pembaca melihat berbagai hal secara mendalam, seolah-olah baru pertama

kali melihat, dan bersikap sebagaimana pemula. Bagaimanapun, dalam istilah

Maurice Natanson, fenomenologi adalah science of beginnings.

Fenemonologi Heidegger mengambil jalan berbeda dari gurunya.

Pergeseran yang sangat radikal mengalihkan pemahaman sebelumnya atas

fenemenologi Husserl yang dipandang masih mengandung unsur-unsur

idealisme. Fenomenologi ontologis, demikian kritik Heidegger, menyebut

bahwa konsep intensionalitas Husserl, pertama, mengabaikan dunia dan

malah berpusat pada kesadaran sang aku sebagai titik dalam membangun

pemahaman terhadap dunia.

Melalui radikalisasi tersebut, Heidegger mengembalikan dunia kepada

posisi sentral sebagai titik tolak filsafatnya. Intensionalitas kemudian, kedua,

bukan sekadar kesadaran yang terarah akan sesuatu, melainkan kesadaran

dalam/sebagai sesuatu. Artinya manusia tidak saja serta merta menyadari

sesuatu, melainkan sesuatu dalam kesadaran itu turut membentuk dunia

manusia. Sampai di sini, Heidegger menganggap Husserl masih terjebak

dalam idealism meski diungkapkan dengan cara-cara fenomenologi. Menurut

Heidegger, Husserl dinilai telah membangun pembedaan antara subjek

(pengetahu) dengan objek (diketahui). Persis idealisme Cartesian, menurut

Heidegger, relasi Husserl dibangun.

Di mata Heidegger, manusia bukanlah makhluk di balik sejarah yang

tanpa tersentuh denyut kehidupan, sehingga dalam menangkap objek-objek

kehidupan (realitas faktual) dalam aktivitas manusia—yang dari padanya juga

manusia menjadi objek dunianya. Manusia tidak mampu membersihkan

26

F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: KPG, 2016).

Page 32: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

21

dugaanya terhadap sesuatu. Kritik ini tertuju, ketiga, kepada imajinasi

fenomena murni Husserl yang mengandaikan manusia mampu bermekanisme

untuk menunda praanggapan dan prasangka terhadap objek yang teramati

dalam kesadarannya.

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang senantiasa mengalami

persitegangan antara dirinya sebagai subjek dan manusia itu sendiri sebagai

objek dunianya. Artinya, ia merupakan makhluk yang dibentuk dunianya

sekaligus membentuk dunianya. Dengan dialektis semacam ini, keempat,

manusia tidak bisa dinyatakan bebas dari pengaruh lingkungan, demikian pula

sebaliknya.

Singkatnya, menjadi hal yang niscaya mengatakan bahwa tidak ada

kesadaran yang perawan,27

sebab kesadaran senantiasa disituasikan oleh apa

kesadaran itu dibentuk. Artinya, bukan kesadaran yang utama—karena tetap

penting, melainkan situasi yang meliputi kesadaran itu sendiri yang utama.

27

F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: KPG, 2016), h. 33.

Page 33: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

22

1. Drama Eksistensial Keseharian Dasein

Sebagai anak zaman, yang besar dan tumbuh di era pencerahan,

filsafat Heidegger justru melampaui Rene Descartes dengan memperlihatkan

bagaimana subjek dan kesadaran bukanlah satu-satunya cara realitas

memperlihatkan dirinya. Pasase Cogito ergo sum, mengandaikan bahwa

kesadaran adalah segala-segalanya. Pertanyaan-pertanyaan mengenai Ada

sebagai seluruh totalitas yang meliputi segala seluruh, kerap diabaikan dari

refleksi.

Namun bagaimanakah Ada itu dapat terpahami, sementara manusia

merupakan adaan yang mengalami Ada? Sejauh itulah, Ada kemudian hanya

mampu dipersoalkan oleh adaan yang mengalami ada. Manusia. Heidegger

mengawali refleksi filosofisnya dari manusia sebagai jalan masuk

mengungkap Ada. Manusia adalah „Ada-di-sana‟. Dasein telah Ada-dalam-

dunia (In-der-Welt-sein/ Being-in-the-World) begitu saja. “Ada-dalam-dunia”

ini adalah konsep kunci pemikiran Heidegger terkait manusia. “Ada-dalam-

dunia,” demstensikian kata Heidegger “sebagai konstitusi fundamental dari

manusia (Dasein),”28

Dasein telah menerima keberadaan dunia sebelum keberadaan

manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia dengan segala apa yang

dimilikinya hanyalah makhluk yang tanpa disadari sudah terliputi Ada

sebelum ia memahaminya. Dalam ungkapan Heidegger, yang dikutip Budi

Hardiman, “Atas dasar ada-di-dalam-dunia secara bersama ini, dunia sudah

selalu merupakan dunia yang kumukimi bersama dengan orang-orang lain.

Dunia Dasein adalah dunia-bersama (Mitwelt). Ada-di-dalam adalah ada-

28

Heidegger, Martin, Being and Time. [pen. Joan Stambaugh]. (New York: State University of

New York Press, 1996), h. 49

Page 34: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

23

bersama (Mitsein) orang-orang lain.29

Kondisi yang demikian, Heidegger,

menyebutnya sebagai faktisitas manusia.

Heidegger menyebutkan bahwa sifat dasar Dasein secara eksistensial

adalah ‘ada-di dalam-dunia’. Lalu, apa yang ditemui Dasein di dalam

dunianya? Heidegger menyebut ada tiga macam Mengada yang dapat ditemui

Dasein di dalam dunianya. Ketiga macam Mengada itu adalah alat-alat,

benda-benda yang bukan alat-alat, dan yang terakhir adalah sesama manusia

atau orang-orang lain.

Mengada

(Seind)

Istilah sehari-

hari

Cara

Mengada

(Seinart)

Sikap Dasein

sehari-hari

Zuhandenes Alat-alat Untuk sesuatu

(Um-zu)

Mengurus/menangani

(Besorgen)

Vorhandenes

Benda-benda

yang bukan alat-

alat

Tersedia

begitu saja

Tanpa minat

menangani

MitDasein

Sesama manusia

atau orang-

orang lain

Ada-bersama

(Mitsein)

Merawat/memelihara

(Fürsorge)

Heidegger biasa menyebut alat-alat dengan istilah Zuhandenes, yang

berarti „siap-untuk-tangan‟ (Um-zu).30

Artinya, perlakuan dari seorang Dasein

terhadap keberadaan alat itu selalu „untuk sesuatu yang lain‟ dengan

mengurusinya atau menanganinya (Besorgen). Semisal, bahasa dan simbol

„untuk‟ komunikasi, listrik „untuk‟ menghidupkan alat-alat elektronik, televisi

„untuk‟ menampilkan gambar, belati „untuk‟ memotong, dan pistol „untuk‟

menembak.

29

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 69. 30

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 65.

Page 35: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

24

Sedangkan benda-benda alamiah yang bukan alat-alat oleh Heidegger

biasa disebut dengan Vorhandenes, yang berarti „tersedia-di-depan-tangan‟.31

Artinya, perlakuan dari seorang Dasein terhadap benda-benda yang bukan alat

itu selalu „tanpa minat menanganinya‟, karena benda-benda itu tidak terlibat

dengan kita dan tampak asing serta tak ada gunanya. Semisal, rongsokan.

Meski demikian, Zuhandenes bisa juga menjadi Vorhandenes apabila sudah

tidak dipedulikan lagi atau mengalami kerusakan sehingga tidak bisa lagi

difungsikan. Begitupun juga sebaliknya.

Mengada ketiga yang dapat ditemui Dasein dalam dunianya adalah

orang lain. Heidegger sering menyebutnya sebagai MitDasein, atau sesama

manusia yang ‘bersama-ada-di sana’.32

Artinya, sebagai sesama manusia

yang telah „ada-bersama‟ (Mitsein), maka perlakuan dari seorang Dasein

terhadap Mengada yang satu ini dengan sikap merawat atau memelihara

(Fürsorge). Hal ini menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya adalah

makluk sosial yang membutuh kan orang lain. Nah, persis pada titik inilah

pandangan yang menganggap bahwa Heidegger itu sebagai seorang yang

individualis dapat segera terpatahkan. Heidegger menulis, “dunia Dasein

adalah dunia-bersama”.

On the basis of this like-with being-in-the-world, the world is always

already the one that I share with the others. The world of Dasein is a

with-world. Being-in is being-with others. The innerworldly being-in-

itself of other is Mitda-sein.33

31

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 69. 32

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 68. 33

“Atas dasar ada-di-dalam-dunia secara bersama ini, dunia sudah selalu merupakan dunia yang

kumukimi bersama dengan orang-orang lain. Dunia Dasein adalah dunia-bersama (Mitwelt). Ada-di-

dalam-dirinya-sendiri adalah ada-bersama (Mitsein) dengan orang-orang lain (Mitdasein). Heidegger,

Martin, Being and Time. [pen. Joan Stambaugh]. (New York: State University of New York Press,

1996), p. 118. h. 111-112.

Page 36: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

25

Berdasarkan distingsi tersebut, Dasein sebagai pengada yang

menanyakan Ada-nya dari Mengada-mengada lain, akan menunjukkan bahwa

caranya bersikap terhadap masing-masing Mengada itu memang harus

berbeda. Di dalam pertemuan Dasein dengan masing-masing Mengada inilah

yang kemudian disebut sebagai Keseharian.

Dunia yang terpahami dalam Dasein adalah dunia yang sudah selalu

dipahami berdasarkan struktur ontologis Dasein yang mendiaminya, bahwa

manusia ada dalam dunia tidak sama dengan cara mengada benda-benda. Bila

suatu benda dikatakan ada dalam sebuah tas, maka hal ini mengandaikan

hubungan spasial. Sementara Dasein adalah manusia yang dikatakan ada

dalam suatu tempat, sebagaimana dunia seniman, dunia sastrawan, dunia

pelukis, dunia artis hingga dunia olahraga dan lain-lain. Sebagaimana sejarah

selalu sudah ada kebiasaan, tradisi, produk kultural seperti gaya hidup,

hukum, adat istiadat, dan segala macamnya Dengan demikian,

mengindikasikan dunia yang ditempati manusia tidak pernah netral.

Sampai di sini, Heidegger sudah cukup mengafirmasi sebuah tesis

bahwa manusia adalah makhluk yang menyejarah. Manusia tidak pernah bisa

keluar dari konteks sejarahnya. Sebab secara konstitutif, struktur ontologis

manusia adalah “Ada-dalam-dunia” (Being-in-the-World). Manusia itu

terlempar ke dunia dan selalu sudah menemui dirinya berada dalam ruang

sejarah yang memuat “roh objektif” tertentu.

2. Drama Eksistensi Kemewaktuan Dasein

Eksistensi manusia ada dalam waktu dan meminjam bahasa Budi

Hardiman yang menyebutnya sebagai mewaktu. Manusia tidak sekadar pasif

berada dalam lingkaran waktu, tetapi juga aktif mewaktu.34

Dalam

kemewaktuan itulah, manusia adalah waktu. Waktu dalam hal ini bukan lagi

34

Ibid. h. 121.

Page 37: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

26

waktu objektif yang dapat dihitung dengan hitungan detik, menit, jam, hari,

minggu, bulan, dan tahun, melainkan waktu subjektif yang ada dalam diri

manusia. Dan pemikiran tentang ada dalam pertautannya dengan waktu baru

saja menjadi filsafat yang khas Heidegger.

Heidegger berusaha mengatasi konsep waktu yang diobjektifkan—

atau dalam bahasanya sendiri “vulgar concept of time“: waktu yang di luar

sana, di luar diri kita; waktu yang bisa dihitung dengan angka; kalendar;

selular; arloji; jam pasir; sebatang kretek; dan lain sebagainya. Bagi

Heidegger, waktu objektif tersebut bersumber dari waktu primordial, yakni

waktu yang ada dalam subjektivitas manusia. Waktu primordial itu lebih

otentik dari waktu objektif.

Berdasarkan lazimya konsep waktu, ada tiga titik yang menjadi

penanda atas perjalanan waktu: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ketiga

titik tersebut hadir secara kronologis: masa lalu adalah apa yang telah ada

sebelum masa kini; masa depan adalah apa akan ada setelah masa kini; dan

masa kini adalah saat di mana kita bereksistensi. Namun pemahaman

Heidegger tentang waktu tidaklah demikian, dalam arti konsep waktu vulgar,

apa yang disebut kemewaktuan adalah kehadiran masa lalu, masa kini, dan

masa depan secara serempak dalam satu kejadian. Masa lalu tidak mesti lebih

dulu dari masa kini dan masa depan; begitu juga masa depan tidak mesti lebih

belakangan dari masa kini dan masa lalu. Manusia mengalami ketiga dimensi

waktu tersebut secara sekaligus bukan muncul setelah yang lain.

Untuk lebih mudah, waktu yang dipikirkan Heidegger tidak berada di

luar sana. Sebagaimana ketika kita menanya kepada orang sekitar dalam

keseharian, maka mereka akan menunjuk zuhandenes (alat-alat), piranti-

piranti pengukur waktu (dari waktu yang vulgar tadi). Menurut Hardiman,

Heidegger membagi dua macam waktu; konsep waktu yang vulgar sebagai

keberadaan di-dalam-waktu (Innerzeitigkeit); dan zeitlichkeit sebagai waktu

Page 38: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

27

yang cocok untuk Dasein. Dengan kata lain, meminjam istilah Hardiman,

adalah kemewaktuan.35

Dasein tidak sekadar pasif ada di dalam waktu, melainkan aktif

mewaktu. Kalaupun semua pengukur waktu lenyap dan sirna, dengan hanya

mengandaikan keadaan waktu yang vakum maka Dasein sebagai manusia

tanpa waktu objektif tetap mengarahkan diri ke masa depan. Dasein akhirnya

adalah waktu itu sendiri. Membuka diri terhadap kemungkinan yang datang

menghampirinya; kematian. Dasein adalah berada menuju kematian. Dan

dalam menuju kematian itu, Dasein berhadapan dengan kemungkinannya

sendiri yang paling khas miliknya. Tak seorangpun dapat menggantikan dan

menjemput kematiannya untuk orang lain. Kematian sudah menyongsong

Dasein sejak keterlemparannya (faktis), atau dengan kata lain bahwa kematian

sudah ada sejak permulaan. Karena begitu seorang manusia lahir, ia sudah

terlalu tua untuk mati.36

Selanjutnya, kita mesti merekonstruksi pemahaman Heidegger

terhadap „skema‟ kehidupan manusia. Pertama, di masa lalu, manusia

terlempar ke dunia yang sudah penuh dengan konteks sejarah. Di dunia itu

manusia selalu sudah bertemu dengan pengada-pengada lainnya. Ini semacam

takdir bagi manusia. Heidegger menyebut hal ini sebagai faktisitas. Kedua, di

masa kini, manusia larut dalam kesehariannya bersama pengada-pengada yang

lainnya, semisal benda-benda, alat, atau manusia lainnya. Hal ini oleh

Heidegger disebut sebagai momen kejatuhan. Ketiga, dalam keterkaitannya

dengan masa lalu dan masa kini, manusia selalu mengarahkan dirinya pada

kemungkinan-kemungkinannya di masa depan, untuk itu Heidegger memberi

prioritas bagi masa depan (zukunft) di antara momen yang lain.

Pada titik inilah pemahaman Heidegger tentang historisitas manusia

memiliki pemaknaan yang bercorak eksistensialis sehingga manusia tetap

35

Ibid. h. 113. 36

Ibid. h. 104.

Page 39: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

28

menemukan kebebasannya di tengah determinasi sejarah (faktisitas). Sebab,

meskipun historisitas dipahami sebagai semacam takdir, manusia untuk

mewarisi sejarahnya, namun pada saat yang sama manusia selalu

mengarahkan dirinya pada kemungkinan-kemungkinannya di masa depan. Di

situlah, dalam keterarahan manusia pada masa depan, eksistensialitas manusia

muncul, membuat ruang tegang antara apa yang faktis di masa lampau dan

yang timbul-tenggelam dalam keseharian dengan keterbukaan pada berbagai

kemungkinan di masa depan.

Ektasis Waktu Waktu Otentik Waktu Inotentik

Masa depan

(Zukunft)

Antisipasi

(Vorlaufen)

Menunggu-nunggu

(Gewärtigen)

Masa kini

(Gegenwart)

Momen visi

(Augenblick)

Kehadiran

(Gegenwärtigen)

Masa lalu

(Gewesenheit)

Mengambil

kembali

(Wiederholung)

Kelupaan

(Vergessen)

Dalam ruang tegang tersebut, Heidegger membedakan antara masa

depan (Zukunft) otentik dan inotentik. Masa depan ontentik, oleh Heidegger,

disebut sebagai „antisipasi‟. Artinya, dalam masa depan yang otentik, manusia

menghadapi kemungkinan-kemungkinannya dengan sikap antisipasi.

Karenanya, Heidegger juga menyebutkan bahwa masa depan otentik itu “is

revealed in resoluteness“—ada dalam keteguhan hati. Dalam antisipasi,

Dasein, mengambil dirinya kembali dalam kemungkinan yang paling khas

miliknya. Sementara masa depan inotentik memiliki karakter menunggu-

Page 40: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

29

nunggu (awaiting). Artinya, kemungkinan-kemungkinan di masa depan tidak

diantisipasi, melainkan ditunggu: manusia pasif.

Sementara masa depan yang otentik adalah keterbukaan terhadap

kemungkinannya sendiri, masa kini (Gegenwart) adalah bukan keterbukaan

saat ini atau sekarang, sebab masa kini dalam definisi waktu yang demikian

termasuk konsep vulgar tentang waktu, untuk itu Heidegger menyebut masa

kini yang otentik sebagai momen kebulatan tekad, momen visi (keputusan),

atau keterpesonaan akan apa yang dijumpai dalam situasi keadaan-keadaan

dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa di tangani.37

Dan masa kini yang

inotentik adalah kehadiran. Larut dalam keseharian dan menenggelamkan diri

tanpa kebulatan tekad. Kemudian kehilangan tiap momen visi.

Kemudian masa lalu (Gewesenheit) yang otentik disebut-sebut

Heidegger sebagai Wiederholung, pengambilan kembali. Ketika Dasein

membuka diri, terhadap kemungkinan di depan dan membulatkan tekadnya,

Dasein kembali ke situasi keterlemparannya. Dan dalam antisipasi, Dasein,

mengambil dirinya kembali dalam kemungkinan yang paling khas miliknya.

Jadi masa lalu yang otentik adalah pengambilan kembali atas keterlemparan

sebagai suasana hati yang muncul kembali pada titik yang sama dengan

antisipasi dan momen visi dari kebulatan tekad, untuk itu melupakan (atau

kelupaan akan) keterlemparannya adalah masa lalu yang inotentik. Bahwa

orang yang melupakan sejarah juga akan kehilangan dimensi masa silam. Lari

dari „kenyataan‟. Mengutuk diri dan larut dalam keseharian.

Atas dasar itu kesatuan dari masa depan, masa kini, dan lampau yang

inotentik pada gilirannya akan berupa; sikap menunggu-nunggu (masa depan

inotentik) yang menghasilkan kelupaan (masa lalu inotentik) seperti juga

kehadiran (masa kini inotentik) ke dalam keseharian dan kesibukan praktis

sehari-hari.

37

Ibid. h. 121.

Page 41: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

30

Pada titik itulah manusia dalam historisitasnya dituntut untuk selalu

memunculkan eksistensialitasnya; mengarahkan dirinya pada kemungkinan-

kemungkinan yang datang menghampirinya; dan sekaligus melakukan

antisipasi atas semua kemungkinannya. Maka, manusia otentik bukanlah apa

yang oleh Heidegger disebut das Man: manusia impersonal yang tenggelam

dalam rutinitas kesehariannya dan begitu saja hidup sebagaimana manusia-

manusia lainnya; melainkan manusia yang dapat merasa cemas dengan

Adanya, sehingga selalu melakukan antisipasi dan membuka diri terhadap

segala kemungkinan yang ada di depannya.

D. Implikasi Pembelajaran Sastra

Sastra pada hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik.

lewat karya sastra pembacanya selain mendapatkan hiburan juga mendapatkan

pembelajaran dari sebuah karya sastra, untuk itu sastra mempunyai implikasi

dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran di sekolah.

Setiap guru hendaknya senantiasa menyadari bahwa setiap peserta

didik atau siswa adalah juga manusia dengan kepribadiannya yang khas,

kemampuan, masalah, dan kadar perkembangannya masing-masing, untuk itu

penting untuk memandang bahwa pembelajaran merupakan proses

pengembangan siswa dalam visi memanusiakan manusia. Dan memahami

manusia secara menyeluruh berarti juga memahami manusia sebagai

keberadaan di dunia bersama manusia lain beserta keterkaitannya dengan

berbagai hal yang ada di lingkungannya.38

Sejalan dengan itu, pokok materi pembelajaran sastra di sekolah

terdapat dalam pelajaran bahasa Indonesia. Secara umum, pembelajaran sastra

yaitu terkait dengan kegiatan apresiasi terhadap karya. Apresiasi berarti

menghayati amanat dan sekaligus cara pengungkapanya dan atas dasar itu

38

Fuad Hassan, Psikologi Kita dan Eksistensialisme, (Depok: Komunitas Bambu, 2014). h. viii.

Page 42: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

31

kemudian menghargainya.39

Dan jika pembelajaran sastra dilakukan dengan

cara yang tepat, dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk

memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di

dalam masyarakat.40

Sastra pada hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik.

lewat karya sastra pembacanya selain mendapatkan hiburan juga mendapatkan

pembelajaran dari sebuah karya sastra, untuk itu sastra mempunyai implikasi

dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran di sekolah.

Rahmanto berpendapat seseorang yang telah banyak mendalami

berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk

menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab di

banding pelajaran-pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra mempunyai

kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian

kemungkinan hidup manusia.”41

Rahmanto beranggapan bahwa pengajaran

sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan

berbagai kualitas kepribadian anak didik sehingga ia akan mampu

menghadapi masalah-masalah hidup dengan pemahaman, wawasan, toleransi

dan rasa simpati yang lebih mendalam.

Sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan

berbahasa. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa,

yaitu: (1) menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, mengikut

sertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa

berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah keterampilan

menyimak, bicara dan menulis. B. Rahmanto menjelaskan sebagai berikut:

39

Sapardi Djoko Damono, Sastra di Sekolah, Susastra Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya. Vol. 3,

2007. h. 10 40

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 15 41

Ibid., h. 24.

Page 43: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

32

“Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam

praktik. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi

bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan

kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis dan

diintegrasikan.”42

Pada pembelajaran sastra, siswa juga diarahkan untuk melatih

keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan

guru, teman atau lewat rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara

dengan ikut berperan dalam suatu drama atau saat membacakan puisi di depan

teman-temannya. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca

dengan membacakan puisi atau prosa. Siswa pun mendapat keterampilan

menulis ketika diajak untuk menuliskan pengalamannya atau diajak

menciptakan puisi.

Sastra memberi wawasan kebudayaan. sastra tidak seperti ilmu

pengetahuan lain. Sastra tidak memberikan pengetahuan dalam bentuk jadi

seperti ilmu pengetahuan pada umunya. Jika ilmu pengetahuan lainnya

didasarkan atas perbedaan logika, perbedaan sudut pandang dalam

memecahkan problematika atas hal keilmuan tersebut, maka dalam sastra

karya lahir dalam perbedaan cara pandang sastrawan dalam memecahkan

problematika kehidupan manusia, tetapi perbedaan tersebut didasarkan atas

perbedaan aspek-aspek estetis. Dalam hal ini Nyoman Kutha Ratna

memberikan contoh, ia menyatakan bahwa, “dalam karya besar bentuk dan isi

memperoleh maknanya secara proporsional sebab karya besar merupakan

indikator perkembangan suatu kebudayaan tertentu.”43

Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak

langsung sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang

menyangkut dengan aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas

42

Ibid.,h.38. 43

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta:

PustakaPelajar, 2010), h.515

Page 44: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

33

kenyataan bahwa secara historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya

semangat kebangsaan. Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat

kesimpulan atas pendapat-pendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu

kesimpulannya sebagai berikut:

“Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap-

lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau

kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia

harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak

hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil daru

pengaruh timbale balik yang rumit dari faktor-faktor sosial

dan cultural, dan sastra itu sendiri merupakan objek kultural

yang rumit.”44

Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra

memuat bagaimana semangat zaman yang menggambarkan perkembangan

sosial masyarakat atau kebudayaan yang berlaku pada saat itu, sehingga

dengan pembelajaran sastra siswa mampu melihat kedaan zamannya secara

lebih peka. Masalah-masalah yang muncul dalam karya sastra sejalan dengan

masalah yang ada dalam dunia nyata, atau dengan kata lain, bahwa lewat

pembelajaran sastra siswa dapat lebih cermat dengan keadaan sosial

sekelilingnya.

Sastra menunjang pembentukan watak. Perilaku seseorang pada

dasarnya mengacu pada faktor-faktor kepribadiannya yang paling dalam. Tak

ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia secara

pasti. Bagaimanapun pendidikan hanya dapat berusaha membina dan

membentuk, akan tetapi pendidikan tidak menjamin secara mutlak bagaimana

watak manusia yang dididiknya.

Sastra sebagai media pendidikan yang memuat pembelajaran moral

diharapkan dapat menjadi tuntunan kearah pembetukan etika, sebagaimana

44

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas, (Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), h. 4.

Page 45: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

34

ungkapan Nyoman Kutha Ratna bahwa “memahami karya sastra pada

gilirannya merupakan pemahaman terhadap nasihat dan peraturan, larangan

dan anjuran, kebenaran yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang harus

ditolak, dan sebagainya.”45

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra dapat memberi

pembelajaran bagi siswa. Pembelajaran itu sendiri tidak hanya mengenai

wawasan saja, akan tetapi, juga memberikan pembentukan karakter siswa,

pendidikan moral serta etika. Pembelajaran dalam sastra sendiri tidaklah

bersifat jadi. Pembelajaran yang didapat siswa didapat ketika mereka

membaca dan juga memahami isi dari sebuah karya sastra.

E. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan digunakan untuk membandingkan penelitian

yang satu dengan yang lainnya dan untuk menghindari duplikasi dalam

penelitian ini, diperlukan beberapa penelitian yang relevan untuk mengetahui

tinjauan hasil penelitian sebelumnya. Penelitian yang relevan terhadap

penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: Penelitian yang pertama

Skripsi Semua untuk Hindia oleh Dyandra Chairartun Hisan, mahasiswa

Universitas Airlangga. Penelitian ini mengungkapkan konstruksi penjajah dan

jajahan, serta menjelaskan makna penjajahan yang terbangun dalam cerpen-

cerpen pada kumpulan Semua untuk Hindia.

Pergeseran makna akan penjajah menjadi hasil temuan dalam

penelitian ini. Penjajahan dihadirkan sebagai penjajah yang baik dan

membantu agar tidak terjadi perang. Sementara jajahan yang dianggap lemah

dan inferior dalam pandangan umum, hadir sebagai jajahan pribumi yang

senantiasa melakukan perlawanan demi membela kedaulatan bangsa.

45

Kutha Ratna,Op.cit., h. 438

Page 46: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

35

Penelitian kedua adalah Tesis yang dilakukan Zoë Mclaughlin dengan

judul It’s Light Has Already Faded: The May 1998 Riots in Analogy and

Allegory Universitas Michigan. Penelitian ini melakukan kerja sastra

bandingan mengenai Kerusuhan Mei 1998, dengan Pakarena karya Khrisna

Pabichara dan Bintang Jatuh dari salah satu judul cerpen Iksaka Banu dalam

kumpulan Semua Untuk Hindia.

Menurut penelitian Mclaughlin, Iksaka Banu melalui cerpen Bintang

Jatuh menggunakan kisah kiasan pembantaian di Batavia pada tahun 1740

sebagai alegori untuk mempertanyakan siapa dalang di balik Kerusuhan Mei

1998. Selain penggambaran mengenai posisi etnis Tionghoa yang mengalami

kekerasan di masa orde baru, dalam pertautannya dengan kisah pada masa

kolonial, Bintang Jatuh menurut Mclaughlin juga melambangkan lengsernya

Soeharto dari tahta kepresidenan.

Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Engkin

Suwandana yang berjudul Eksistensialisme dan Absurdisme dalam Drama

Karya Putu Wijaya. Suwandana mendapat hasil penelitian menunjukkan

bahwa eksistensialisme dalam drama Aduh, Edan, Dag Dig Dug karya Putu

Wijaya, tampak Pada segi kebebasan, kecemasan, kegagalan, kesia-siaan, dan

kematian.Tiga konsep absurdisme dalam drama Aduh, Edan, Dag Dig Dug

karya Putu Wijaya tampak melalui bunuh diri filosofis, sifat simbolik, tragedi

dan komedi.

Penelitian keempat, terdapat skripsi akademika Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah yang melacak jejak-jejak eksistensialisme dalam

sajak-sajak Chairil Anwar yang menyoroti kehidupan, Tuhan-agama, dan

kematian. Penelitian dilakukan oleh Radi Aditama Sanjaya alumni Fakultas

Ushuluddin, dengan judul Eksistensialisme Chairil Anwar dalam Sajak-Sajak

Aku Ini Binatang Jalang.

Penelitian pertama dan kedua mengkaji salah satu karya sastra Iksaka

Banu, yaitu Semua Untuk Hindia. Penelitian ketiga dan keempat, mengkaji

Page 47: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

36

tentang isu filsafat eksistensialisme dalam penerapannya sebagai analisis

karya sastra. Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada, peneliti

belum menemukan penelitian dengan mengambil objek kajian kumpulan

cerpen Ratu Sekop, maupun Eksistensialisme dalam kumpulan cerpen Ratu

Sekop Karya Iksaka Banu serta Implikasinya terhadap pembelajaran bahasa

dan sastra Indonesia di SMA.

Page 48: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

37

BAB III

PROFIL IKSAKA BANU DAN SINOPSIS CERPEN

A. Biografi Singkat Iksaka Banu

Iksaka Banu lahir di Yogyakarta, 7 Oktober 1964. Namanya dikenal

melalui karya-karyanya berupa komik dan prosa yang dipublikasikan ke

berbagai media massa. ia merupakan salah satu penerima Penghargaan

Kusala Sastra Khatulistiwa melalui karyanya yang berjudul Semua untuk

Hindia pada tahun 2014.

Banu menempuh pendidikan desain grafis di Institut Teknologi

Bandung dan bekerja sepenuhnya sebagai pengarah seni di beberapa biro

periklanan sejak 1990, sebelum memutuskan menjadi pekerja lepas pada

tahun 2006. Bahkan sebelum giat di dunia periklanan dan mengisi desain-

desain sampul buku bagi Yayasan Obor Indonesia. Pada awal 1974,

cerpennya Dikejar Setan dimuat di rubrik anak-anak harian Kompas. Tahun

berikutnya, Mengapa Harimau Berani Kepada Manusia adalah judul

cerpennya yang dimuat di majalah Kawanku. Kemudian sekitar delapan

cerpennya terbit di rubrik Arena Anak-Anak dalam harian Angkatan

Bersenjata sepanjang tahun 1974-1975.

Banu remaja, tepatnya kelas II SMP, ia menjadi pengisi tetap pada

halaman komik berwarna Samba si Kelinci Perkasa di majalah anak-anak

Ananda. Meski hanya selama setahun ia mengisi di sana, gairah menggambar

juga melukis tetap berlanjut hingga Banu dewasa yang menempuh

perkuliahan di Fakultas Seni Rupa dan Desain.

Baru kemudian sejak tahun 2006, tepatnya selepas sang Ibu wafat,

Banu kembali ke dunia tulis menulis sampai sekarang. Karya-karya tulisnya

Page 49: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

38

banyak dimuat di majalah Matra, Femina, Horison, dan Koran Tempo. Selain

kumpulan cerita Ratu Sekop, Semua untuk Hindia telah diterjemahkan dengan

judul All for Hindia, Sang Raja, A Shooting Star & Other Stories, dan The

Golden Shackle.

B. Ratu Sekop: Iksaka Banu, Marjin Kiri, dan Martin Heidegger

Usaha penulis sejak awal untuk melihat persinggungan antara Ratu

Sekop dengan Heidegger mungkin akan dianggap sedikit janggal. Dalam

silang-sengkarut aliran di jagat filsafat, Heidegger sering dianggap sebagai

seorang eksistensialis—setidaknya seperti yang diklaim oleh Sartre. Di antara

ciri pokok eksistensialisme adalah individualisme dan/atau kebebasan

individual—yang dalam sastra Indonesia prototipenya dapat kita lihat dalam

karya-karya Chairil Anwar dalam puisi-puisinya, Iwan Simatupang

(Merahnya Merah 1968, Ziarah 1968, Kering 1972, dan Kooong 1975) dan

Budi Darma (Orang-Orang Bloomington 1981, Olenka 1983, Ny. Talis 1996,

dan Raflus 1998) sebagai punggawa garis depan dalam bidang prosa.

Sementara itu, melalui keterampilan Banu (Ratu Sekop), nuansa kartun

dan komikal yang nyaris selalu hadir dengan tokoh yang selalu elastis

dijadikan untuk sesuatu yang menyulut, menghidupkan, mengagetkan,

mencubit, menarik perhatian, mengganggu, dan meneror orang (pembaca)

agar berhenti sejenak dan berpikir bahwa „Ia‟ juga manusia biasa seperti yang

lain. Ratu Sekop, bentuk-bentuk seperti kegagalan, kebebasan, kecemasan,

kesia-siaan, dan kematian juga kerap mewarnai di hampir keseluruhan

kumpulan cerpen yang sarat akan bunuh diri filosofis, sifat simbolik, juga

tragedi dan komedi.

Membaca cerita pendek Iksaka Banu yang terkumpul dalam buku Ratu

Sekop ini ibarat sedang menonton sajian sebuah film dalam imajinasi

penonton (pembacanya). Penggambaran dan detil-detil cerita yang

disampaikan lewat sudut pandang orang pertama utama menjadi semacam

Page 50: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

39

formula bagi penulis. Latar cerita yang dekat dengan dunia seni rupa seperti

enggan melepaskan diri dari penulis yang sudah akrab dengan dunia tersebut

sejak usia dini bahkan dalam menempuh pendidikan tinggi sebelum kemudian

bekerja untuk itu. Bayangan tentang masa depan, pula menjadi hal yang

paling sering dicita-citakan manusia. Seperti robot hewan, mobil terbang,

gedung tinggi dengan asap yang selalu mengepul, lampu-lampu neon terang

menjadi sekelumit pemikiran yang identik sebagaimana kehidupan kaum

urban yang kerap mengunggulkan modernitas.

Penggambaran realisme urban juga sempat disampaikan Benny Arnas

dalam ulasannya tentang Ratu Sekop, bahwa Paradoksitas Realisme Urban

ialah sebuah potret yang ambisius dan obsesif. Irasionalitas yang ditampilkan

pun kian menguatkan paradoksitas urban, bahwa urbanitas ternyata tidak

berbanding lurus dengan rasionalitas—yang bagi masyarakat pascamodern,

rasionalitas kerap menjadi pedang yang akan menebas hal-hal yang keluar

dari daya nalar. Sebagaimana pembelahan yang menjebak Husserl dalam

dualisme dan menjadi kritik Heidegger seperti yang telah penulis singgung di

atas.

Tentu saja, mengingat Ratu Sekop dalam persinggungannya dengan

penerbit Marjin Kiri tidak bisa dilupakan begitu saja. Artinya, penerbit kecil

yang dalam skena publisitasnya kerap menerbitkan buku-buku „kiri‟yang

berpusar di jalur-jalur progresif; Marxisme; Anarkisme; dan lain

sebagainya—baik fiksi ataupun non-fiksi. Bahwa bagaimanapun, Ratu Sekop

dan Marjin Kiri dalam semangatnya yang kental dengan realisme sosialis.

Daripada humanisme universal dengan wataknya yang abstrak-universal—

yang dapat menjadi kedok persembunyian lawan yang mesti dilawan dan terus

disuarakan.

Realisme sosialis memiliki afinitas pada apa yang disebut „humanisme

proletar‟. Humanisme yang konkret yang sepenuhnya hanya berpihak kepada

kaum proletar, kaum lemah, kaum tertindas, dan kaum kelaparan, untuk

Page 51: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

40

mendapatkan keadilan melawan kaum penghisap dan pemilik modal, maka

dalam hal ini humanisme yang dijunjung realisme sosialis adalah humanisme

yang berwatak sosial dan komunal. Realisme sosialis berpandangan bahwa

karya sastra memiliki tanggung jawab sosial untuk melawan ketidakadilan.

Dalam posisi itu, kecocokan Heidegger dalam karya Banu sangat

mungkin dipertanyakan. Benarkah Banu yang dalam persinggungannya

dengan semangat Marjin Kiri disinyalir sebagai sosok ala realisme sosialis

(atau progresif) dalam karya-karyanya justru menampilkan sosok yang

berwatak eksistensialis dan khas individualis?

Pertanyaan itu mesti penulis jawab sebelum lebih jauh menganalisis

„manusia Dasein‟ dalam cerpen-cerpen Ratu Sekop. Setidaknya ada dua

alasan yang memungkinkan pembacaan Heideggerian atas karya Banu ini

memadai. Pertama, dari sisi kepengarangan Banu. Seperti bisa kita lihat dari

daftar karya-karya yang diterbitkan, seperti Semua untuk Hindia—sebuah

kumpulan cerpen yang bertema sejarah kolonial. Selanjutnya Sang Raja,

sebuah novel sejarah yang menceritakan perjalanan seorang pengusaha rokok

kretek klobot di tengah represi zaman kolonial. Sesuai dengan misi realisme

sosialis, manusia yang ditampilkan dalam karya-karya Banu tentu bukan

sekadar manusia secara individual, melainkan manusia dengan segenap

persoalannya di bawah struktur sosial-politik-ekonomi tertentu. Terakhir,

adalah karyanya Ratu Sekop.

Namun, penulis kira, dengan manampilkan manusia yang menghadapi

persoalan struktural, disadari atau tidak, Banu sekaligus juga telah

memunculkan manusia yang memiliki kemelut personal-individual. Dengan

kata lain, soal-soal personal-individual tetap inheren dengan Heidegger dalam

sosok manusia yang ditampilkan Banu, maka pada titik itu pembacaan

Heideggerian atas karya Ratu Sekop tetap dimungkinkan—dan karenanya bisa

tetap memadai.

Page 52: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

41

Selanjutnya, dari sisi isu Heideggerian. Sekalipun sering dicap sebagai

filsuf eksistensialis, namun Heidegger tidak memahami manusia sebagai

sosok yang egois dan individualis. Hal ini yang membedakan Heidegger

(sebagai eksistensial ontologis) dengan filsuf eksistensialis lainnya, seperti

Sartre semisal. Sartre, dalam naskah drama No Exit (Huis Clos, 1994),

memandang perjumpaan manusia dengan manusia lain selalu dalam kondisi

tegang, konfliktual—kesadaran subjek yang saling mengobjekkan, maka

orang lain pun, bagi Sartre, adalah neraka. Namun, bagi Heidegger, relasi

manusia (Dasein) dengan manusia lain (Mitdasein) terjalin lewat laku

Füsorgen atau Concern (merawat/memelihara). Artinya, perjumpaan manusia

dengan sesamanya di dunia tidak dengan saling mengobjekkan sebagaimana

dalam pertemuan manusia dengan alat (Zuhandenes), tetapi dengan saling

memelihara dan saling menjaga, sebab manusia selalu butuh kepada manusia

lainnya—hidup di dalam dunia secara bersama.

Dengan pemahaman tersebut, manusia Dasein juga memiliki watak

sosial dan komunal. Manusia Heideggerian selalu berada dalam ruang tegang

antara yang-personal dan yang-sosial; antara keheningan dan keramaian; dan

antara yang-otentik dan yang-inotentik. Manusia dalam Ratu Sekop adalah

representasi sempurna dari manusia Heideggerian—manusia yang hendak

melawan represi struktural dengan disertai gejolak yang sifatnya personal.

C. Sinopsis Cerpen Listrik

Tokoh dalam Listrik adalah seorang pengarah kreatif di salah satu biro

iklan yang melegenda. Dengan latar krisis moneter, ancaman-ancaman yang

mengganggu kelangsungan hidup seseorang bisa saja sewaktu-waktu. Salah

satunya ialah kehilangan pekerjaan di tengah persaingan yang sangat massif.

Dan tentu saja, imbasnya tidak lain mengganggu stabilitas ekonomi sebuah

keluarga, yang bahkan hanya terdiri atas suami dan istri saja.

Page 53: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

42

Sementara kegagalan demi kegagalan dalam membuat iklan yang

sesuai dengan „keinginan‟ klien juga bukanlah hal yang baik. Terlebih bagi

pekerja kreatif yang tengah berhadapan dengan teror PHK dari Pimpinan

perusahaan, pemecatan atasnama efisiensi tenaga kerja, tentu saja, dapat

mengancam kelangsungan hidup aku kapan saja.

Sepulang kerja, aku tiba ke rumah dan mandi. Berharap guyuran air

mampu melenyapkan kepenatan, lamunan aku sebentar terhenti oleh suara

piring pecah dan kelontang alumunium. Ternyata di dapur, Istrinya sudah

terduduk lemas akibat tersengat arus listrik rice cooker.

Berkat insiden tersebut, Istrinya justru memiliki kemampuan membaca

pikiran orang lain di hadapannya. Artinya, segala rahasia dan hal-hal pribadi

yang terdapat dalam benak aku (sang suami) juga dapat diketahui Istrinya

dengan mudah.

Sebentar kerumitan pun terjadi di antara keduanya, masalah teratasi

sejak aku mendadak ingat sesuatu dan menerima kemungkinan untuk

menghargai keajaiban yang dimiliki Istrinya. Bahwa bekerja sebagai pengarah

kreatif di dunia periklanan, Istrinya adalah jawaban yang tepat untuk

senantiasa mengetahui apa yang ada di benak klien.

Kali ini, Istrinya ikut dalam pertemuan lanjutan dengan calon klien.

Tentu saja, spionase dengan membaca pikiran termasuk rencana besar mereka.

Tetapi alang kepalang, rencana itupun tidak cukup menghindarkan aku dari

suatu kegagalan. Kemesuman pimpinan klien, yang mestinya menjadi target

utama spionase, justru membuat jengah Istrinya. Dan mengalihkan pembacaan

kepada aku, suaminya, yang terpesona oleh keseksian Brand Manager.

Kecemburuan sang Istri dan kenakalan aku kemudian menggenapkan

kegagalan.

Bayangan PHK kembali menyeruak. Mendapat pekerjaan baru pun

bukan hal yang mudah bagi orang-orang pecatan di masa krisis moneter.

Hingga satu keajaiban kembali terjadi, tepatnya di ruang makan, kali ini steker

Page 54: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

43

dari rice cooker itu menyengat tubuh aku. Tetapi bukan lagi membaca pikiran

sebagaimana kemampuan sang Istri, melainkan kini tubuh aku menjadi

transparan.

Setelah Istri yang mampu membaca pikiran, dan kini tubuh aku yang

menyusul menjadi transparan, apa yang terjadi selanjutnya? Hanya akhir

cerita yang terbuka sukses menutup Listrik. Seakan pembaca memang

dibiarkan menentukan sendiri cerita itu mesti diakhiri

D. Sinopsis Cerpen Belati

Tokoh dalam Belati adalah seorang pelukis yang tengah menghadapi

tudingan dan giringan opini miring atas dirinya. Armin Kelana. Kemudian

memutuskan untuk bunuh diri dengan plot yang sudah ia rancang sedemikian

heroik. Bahkan ia tengah menyiapkan masterpiece, selagi darah mengucur

sebagai cat kanvas, dari nadi yang ia potong dengan Belatinya.

Dalam perundungan hidup untuk masa depan dan penenentuan nasib

yang kerap diremehkan, maka membuat misi suci demi terobosan bagi

lukisannya adalah cara paling memungkinkan untuk melawan dan menepis

semua labelisasi terhadapnya.

Kemudian kejutan muncul ketika seorang tamu datang mengetuk

pintu. Kelana membuka pintu. Tetapi nahas, tamu tadi terkena serangan

jantung di kamarnya. Refleks, Kelana menahan tubuh tamu yang limbung.

Dan jambiya yang sengaja tidak disimpan, karena rencana yang akan

digunakan untuk mewujudkan impiannya, malah menusuk dada sang tamu

bernama Pak Kadiyoso. Akhirnya, kematian Pak Kadiyoso terus menggiring

Kelana kepada kematian-kematian lain.

Meski rangkaian kematian demi kematian rahasia sempat menunda

rencana Kelana, misi suci tidak berhenti begitu saja. Ia lalu memutuskan

untuk melakukan percobaan yang kedua. Meski kemudian, sebuah ketukan

Page 55: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

44

pintu harus kembali menunda rencana Kelana. Kali ini Pak Damhuri, bertamu

untuk menanyakan ke mana Pak Kadiyoso pergi. Dan dengan pertimbangan

dari seluruh isi pembicaraan yang disampaikan Pak Damhuri, Kelana merasa

dicurigai. Dan untuk memastikan bahwa perbuatannya tidak ketahuan, Kelana

perlahan-lahan menarik ke atas belatinya dari balik saku kimono.

Meski demikian, apa yang terjadi selanjutnya? Sebagaimana cerita

lainnya, Belati ditutup dengan akhir cerita yang terbuka. Lagi-lagi, pembaca

seakan memang dibiarkan menentukan sendiri bagaimana cerita itu mesti

diakhiri.

E. Sinopsis Cerpen Istana Gotik

Tokoh dalam Istana Gotik ini diceritakan adalah seorang centeng yang

tengah yang tengah menyongsong kematiannya sendiri, yakni ketika rasa

dingin mulai menjalar ke seluruh tubuhnya dan akan mati menuju hidup abadi

bersama Nona Miranda, kembang Istana Gotik yang berada di pangkuannya.

Willem, seorang centeng pensiunan KNIL yang kini bekerja di salah

satu rumah bordil kelas atas bernama Istana Gotik. Sedang tugasnya adalah

menjaga keselamatan Nona Miranda dari segala ancaman dan melakukan

pengawasan dari ulah pelanggan mabuk yang membahayakan nyawa Miranda,

termasuk nyawanya sendiri.

Hingga, Tuan Dorsten, seorang yang menjadi sumber kecemburuan

Willem, begitu leluasa membawa Nona Miranda ke mana saja tanpa

pengawasannya. Kemudian cerita mencapai klimaksnya, ketika pertemuan

tidak sengaja pada suatu pagi di sebuah bengkel auto. Willem melihat sekilas

ke pipi kiri Nona Miranda yang penuh dengan rona lebam.

Kekhawatiran Willem selama ini menjadi jelas setelah menerima surat

keempat yang dikirimkan Nona Miranda melalui kurir seorang Bocah Bisu.

Tiga kali Bocah bisu itu datang, membuat bara api di dalam hati Willem

semakin membesar tiap kali membacanya. Hingga tiba surat keempat, lengkap

Page 56: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

45

bersama ikatan lonceng kecil yang menjadi penanda sebuah bahaya besar:

“Ayah, aku ingin pulang.”

Selanjutnya, cerita ini berakhir dengan kematian Nona Miranda.

Disusul dengan refleksi tokoh Willem yang sedang sekarat menjelang ajalnya

sendiri. Tentang ia yang begitu menginginkan kematian, bayangan lantai

dansa dalam alunan musik swing jazz serta percakapan sebuah kehidupan

yang abadi.

Lalu bagaimana dengan nasib Willem dan Istana Gotik itu? Akhir

cerita yang terbuka, kembali menutup Istana Gotik. Pembaca seakan kembali

dibiarkan menentukan sendiri bagaimana cerita itu mesti diakhiri.

Page 57: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

46

BAB IV

HASIL ANALISIS

A. Analisis Unsur Intrinsik

Buku kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu memuat 13

cerita. Tetapi dalam pembahasan ini, penulis hanya akan menganalis 3 cerpen,

yaitu Listrik, Belati, dan Istana Gotik (selanjutnya disingkat IG).

1. Tema

Tema dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop mayoritas terkait

pembahasan eksistensialisme, khususnya refleksi tokoh-tokoh terhadap

kematiannya sendiri—yang bersifat filosofis maupun simbolis. Berbeda

dengan gerak eksistensial entitas-entitas lain, manusia adalah adaan yang

berada sebagai keberadaan di dunia yang sekaligus mempertanyakan ada di

antara cara berada ada-adaan yang lain.

Selain tema kematian, kumpulan cerpen Ratu Sekop juga

menampilkan tokoh-tokoh yang selalu diliputi kegagalan, kebebasan, dan

kesia-siaan dalam serangkaian keterlemparan dan kejatuhan sebagai drama

berada-bersama. Tokoh-tokoh yang dalam menghayati adanya dalam sebuah

lingkungan-sekitar (umwelt)—selanjutnya disebut sebagai Dasein, selalu

mengada mengada-dengan-yang-lain (Being-with-others atau Mitsein),

mengada-berdampingan-dengan-benda-benda (Being-alongside-things atau

Sein-bei), dan mengada-pada-dirinya (Being-one‟s-self atau Selbstein).

Contoh kematian dalam cerpen Listrik dialami oleh tokoh Suami yang

bersifat simbolis, yakni tubuhnya yang sebentar hilang sebentar muncul,

berubah menjadi transparan seperti es batu setelah menyentuh steker penanak

nasi.

Page 58: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

47

“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain

yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat

jelas seluruh tubuhku.”1

Kematian simbolis yang ditunjukkan dalam cerpen Listrik terlihat dari

kutipan “aku sendiri masih bisa melihat jelas seluruh tubuhku”, sementara

bagi orang lain termasuk istrinya tidak mampu melihat tubuhnya kecuali

kelebat yang transparan. Artinya, Suami sebagai adaan yang merasakan

keberadaannya, tidak dirasakan lagi kehadirannya di hadapan orang lain.

Contoh kematian dalam cerpen Belati dialami oleh tokoh Armin

Kelana yang bersifat filosofis, yakni ketika ia tengah mempersiapkan

kematiannya sendiri, dengan sebilah belati yang akan digunakan untuk

memotong urat nadinya sendiri.

Kalau semua lancar, maka menit-menit di antara saat pemotongan nadi

sampai datangnya malaikat maut akan kupakai untuk menyapukan

warna merah yang berasal dari darahku ke atas lukisan tadi sebanyak-

banyaknya. Setelah itu, aku percaya kebenaran akan hadir. Setelah itu,

aku percaya tidak akan ada lagi yang meremehkanku.2

Kematian filosofis yang ditunjukkan dalam cerpen Belati terlihat

ketika Tokoh dalam cerita ini, Armin Kelana, memutuskan untuk bunuh diri

dengan plot yang sudah ia rancang sedemikian heroic, bahkan ia tengah

menyiapkan masterpiece selagi darah mengucur sebagai cat kanvas, dari nadi

yang ia potong dengan sebilah belati.

Contoh kematian dalam cerpen IG dialami oleh tokoh Centeng yang

tengah menyongsong kematiannya sendiri, yakni ketika rasa dingin mulai

menjalar ke seluruh tubuhnya dan akan mati menuju hidup abadi bersama

Nona Miranda, kembang Istana Gotik di pangkuan.

1 Iksaka Banu. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017), h.

58 2 Ibid., h. 60

Page 59: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

48

Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin

pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi

tentu aku akan tahu. Belum pernah aku begitu menginginkan

kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku

membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami

berpelukan. Saling bercakap tentang kehidupan abadi.3

Menyongsong kematian yang ditunjukkan dalam cerpen IG ini

sebetulnya sangat dekat dan akrab sekali dengan keberadaan Tokoh dalam

cerita ini, Willem, seorang centeng pensiunan KNIL yang kini bekerja di salah

satu rumah bordil kelas atas bernama Istana Gotik. Sedang tugasnya adalah

menjaga keselamatan Nona Miranda dari segala ancaman dan melakukan

pengawasan dari ulah pelanggan mabuk yang membahayakan nyawa

Miranda, termasuk nyawanya sendiri.

Beberapa macam kematian yang diangkat dalam kumpulan cerpen

Ratu Sekop menggambarkan bahwa kematian dalam berbagai bentuk sering

ditemui di kehidupan masyarakat manapun. Meski demikian, Dasein sebagai

Adaan yang mengada-dengan-yang-lain (Being-with-others), tak seorangpun

dapat menjemput kematiannya untuk orang lain. Kematian adalah momen

paling otentik dan eksistensial bagi Dasein.4

Cerpen IG misalnya, seorang centeng boleh saja merasa telah

mewakili kematiannya demi Istana Gotik. Atau bunuh diri Armin Kelana

dalam Belati yang coba mendedikasikan kematiannya demi karya seni secara

filosofis, kegagalan dan banyak kematian orang lain juga akhirnya tidak bisa

mewakili dirinya. Atau lihat pula kematian simbolik yang dialami kedua

tokoh dalam Listrik, pasangan suami-istri yang akhirnya mesti mengalami

kematiannya masing-masing dan tetap menghadapi kematiannya sendiri

3 Ibid., h. 171

4 F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: KPG, 2016), h. 103.

Page 60: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

49

seorang diri bukan mewakili kematian yang lain, bahkan demi pasangannya

sendiri.

Tentu saja, bagi Heidegger, kematian bukanlah kematian fisik

melainkan kemungkinan untuk mati. Dengan kata lain, kematian dimengerti

secara eksistensial. Sebagaimana seorang manusia lahir, ia sudah terlalu tua

untuk mati.5

Death (Tod) is not organic death, “perishing” (Verenden) that state of

any biological being in which it loses all organic functionality, nor

“demise” (Ableben) that event which concludes a human being‟s life,

and which, for example, is commemorated and legally ascertained. But

death is “dying” (Sterben), is dying, that is, not the event of death,

organic of the conclusion of life, but that way in which Dasein is

toward its death (Sein zum Tode).6

Atas dasar menyongsong sejak awal sampai akhir, di sini kematian

sebagaimana juga kelahiran, mendapat pengertian eksistensial. Pada skema

yang lebih sederhana, Heidegger ingin mengatakan, (faktisitas) manusia

terlempar di dunia ini, terbenam dalam kesehariannya, dan akhirnya mati.7

Meski demikian, kematian yang dimengerti sebagai kemungkinan

untuk mati tidaklah pasti kapan dan bagaimana terjadi, maka kecemasan akan

kematian (Angst vor dem Tode) inilah yang muncul dalam momen

eksistensial. Lalu ketidakpastian akan membawa sikap Dasman yang

cenderung menenang-nenangkan diri dengan anggapan bahwa kematian pasti

menimpa setiap orang; atau sikap Dasein yang cenderung membuka diri

terhadap kemungkinan yang paling mungkin dari dirinya, yaitu kematiannya.

5 “As soon as man comes to life, he is at once enough to die.” Heidegger, Martin, Being and

Time. [pen. John Macquarrie and Edward Robinson]. (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1962), h. 289. 6 Heidegger, Martin, Being and Time. [pen. Joan Stambaugh]. (New York: State University of

New York Press, 1996), h. 223-224; dan h. 229. 7 F. Budi Hardiman, Op cit., h. 99.

Page 61: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

50

Seorang centeng dalam cerpen IG, boleh saja seakan tampak tidak

cemas atas kematiannya. Tapi membuka lemari senjata, menyiapkan sepasang

Browning M1903 berikut empat klip magasin dan sabuk kulit berisi enam

bilah pisau lempar8 adalah sikap (Vorlaufen) dari antisipasi Dasein yang

menyadari keterlemparan dari kecemasan eksistensialnya untuk mengambil

keputusan penting yang menentukan kemungkinan arah hidup.

Centeng yang seolah dihadapkan pada kemungkinannya sendiri dan

harus „melompat‟ ke dalam kemungkinan tersebut. Sikap berani menghadapi

kemungkinan yang paling khas ini tak lain daripada sikap membuka diri

terhadap kematiannya sendiri. Inilah pengalaman kebebasan eksistensial yang

menurut Heidegger tak lain daripada „kebebasan menuju kematian‟ (Freiheit

zum Tode).9

2. Latar

Latar merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk

membentuk suatu cerita. Biasanya latar yang dimunculkan dalam cerita akan

mampu membawa pembaca untuk merasakan kejadian-kejadian yang dialami

oleh tokoh di dalam cerita, bahkan Stanton mengelompokan latar, bersama

dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang

dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca

cerita fiksi.10

Latar sebagai „seluruh milieu dari sebuah cerita‟, seperti tata cara,

kebiasaan, cara hidup, latar belakang alam dan lingkungan sekitar. Hudson

membedakan dua jenis latar, (a) sosial; dan (b) materiel, latar-latar itu dikenal

sebagai ruang atau „tempat‟ tokoh-tokoh melandaskan laku dan alasan

8 Iksaka Banu, Op cit., h. 169.

9 F. Budi Hardiman, Op cit., h. 108.

10 Burhan Nurgiyantoro. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,

2005), h. 216.

Page 62: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

51

psikologis pertumbuhan tokoh.11

Untuk memahami ketiga latar cerpen dari

kumpulan cerpen Ratu Sekop dapat ditilik dari segi latar „materiel‟, yakni

„dunia desain‟ (cerpen Listrik), „dunia seni‟ (cerpen Belati), dan „dunia

centeng‟ (cerpen IG). Sementara, latar sosial yaitu kerutinan kehidupan umum

tokoh-tokoh yang menghayati adanya dalam sebuah lingkungan-sekitar

(umwelt) atau dunia yang sudah selalu dipahami berdasarkan struktur

ontologis Dasein yang mendiaminya. Serta nilai sosialnya yang mengalami

perbenturan atau kritiknya dengan „nilai pribadi‟ tokoh yang tumbuh

menggejala secara eksistensial.

Pada cerpen Listrik, „dunia desain‟ menjadi latar yang membentuk

cerita, sehingga memunculkan seorang pengarah kreatif sebagai tokoh yang

sejak memikirkan sesuatu, cenderung mengganti kalimat sulit dengan

potongan film dan gambar sebagai peristiwa bahasanya.

Terkutuklah krisis moneter ini. Bagi biro iklan sekecil tempatku

bekerja, imbasnya adalah sebulan sekali kami harus bertempur

beberapa biro iklan lain untuk memperebutkan klien baru, atau satu

persatu kami akan didepak ke luar oleh pemimpin perusahaan atas

nama efisiensi.12

Latar sebagai „dunia‟ keterlemparan Dasein, menunjukkan bahwa

sejak awal tokoh sudah harus menyerahkan diri ke dalam kehidupan untuk

senantiasa „memahami‟13

dan menjalaninya. Dengan kata lain, „dunia

designer‟ ini pula yang membuat tokoh untuk memahami keterlemparannya.

Dengan mengambil keputusan terhadap kemungkinannya sendiri, sebagai

rancangan atas proyeksi hidupnya yang berorientasi ke masa depan.

11

Dami N. Toda. Novel Baru Iwan Simatupang. (Jakarta Pusat: PT. Dunia Pustaka, 1984), h. 41 12

Iksaka Banu, Op cit., h. 44. 13

“Pada ranah ontologis ini memahami bukan sekadar aktivitas kognitif, melainkan cara manusia

berada di dalam dunia ini. Dalam tinjauan ontologis ini memahami merupakan ciri eksistensial kita

sebagai Dasein.” lihat Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher

sampai Derrida. (Yogyakarta: PT. Kanisius. 2015) h. 112.

Page 63: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

52

“Aku tidak begitu yakin. Semua muncul dan lenyap dengan sangat

cepat. Tapi kurasa gabungan keduanya. Tampaknya kau cenderung

mengganti kalimat sulit dengan sepotong foto atau suatu adegan film

untuk membuatnya menjadi sebuah kalimat lengkap...”14

Tokoh Suami sebagai seorang pengarah seni, sudah terlibat begitu saja

bersama praktik-praktik seni dalam hidup yang dijalaninya, sehingga

„memahami‟ sebuah desain tidak berarti sekadar „pengetahuan‟ tentang seni

desain, melainkan kemampuan atau kepiawaiannya dalam mengerjakan

desain. Atau sebagai cara bereksistensi, desain mendahului dan

memungkinkan pemahaman tokoh Suami ini tentang bagaimana membuat

kerangka bentuk, menyusun pola atau corak.

Begitupun yang terdapat dalam cerpen Belati, „dunia seni‟ menjadi

latar yang menggejala bagi Armin Kelana sebagai seorang pelukis, bahkan

sebelum ia mempersiapkan kematiannya.

Masih terbayang judul artikel sebuah surat kabar ternama ibukota yang

mengulas pameran terakhirku dua tahun silam: Armin Kelana,

gagalnya kebangkitan ulang aliran abstrak ekspresionis Indonesia.

Atau judul sebuah majalah terkemuka: Armin Kelana dan “action

painting” Indonesia, sampai di sini saja! Atau paragraf pertama jurnal

seni lainnya: Dunia pernah setengah hati menerima Jackson Pollock,

pelukis yang menetes-neteskan adonan cat ke atas kanvas. Alangkah

malangnnya orang labil yang mencoba menjadi pengikutnya atas

nama sensasi.15

Latar ini pula yang menjelaskan bahwa Kelana hidup dalam dunia

yang dibentuknya sekaligus membentuk dirinya; pelukis, politikus seni, surat

kabar, pelukis terdahulu, kritikus, kolektor, promotor, istri, tetangga hingga

penghuni apartemen. Artinya, keterlemparan ke dunia inilah yang membuat

Dasein memiliki seluruh makna dan pemaknaan.

14

Iksaka Banu, Op cit., h. 49. 15

Iksaka Banu, Op cit., h. 60-61.

Page 64: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

53

Kuikat surat wasiatku dengan pita merah, lalu kuletakkan dekat

sepasang lilin wangi di samping lukisanku. Isi suratku pendek saja:

“Kepada dunia seni. Kupesembahkan lukisan terbaruku. Tercipta dari

segenap jiwa ragaku. Nikmatilah selagi aku tiada. Salam, Armin.”16

Melalui latar ini pula, Kelana merasakan adanya momen

keterlemparan. Ia cemas dengan keberadaannya, menyesali keterlemparannya

dan mengutuk dunianya. Meski demikian, alih-alih sebuah perlawanan

struktural dalam lingkup komunal, justru yang tampak menonjol dalam

momen itu justru sebuah tegangan eksistensial yang amat personal.

Kemudian cerpen IG, judul yang juga menjadi sebuah nama dari

lokalisasi yang melatari cerita ini. Sebuah rumah bordil kelas atas yang

berlanggam hias gotik. Berikut gadis-gadis molek dan dan beberapa kamar

dengan ranjang beraroma cendana. Meski demikian, justru bukan „lokalisasi

pelacuran‟ yang menjadi latar pembentuk cerita. Melainkan „dunia centeng‟

yang menggejala dalam diri seorang Willem atau Bang Willie sebagai seorang

penjaga Nona Miranda dari para lelaki mabuk dan pelanggan-pelanggan yang

mengancam keselamatannya.

Cara kerjaku ringkas. Kuwajibkan pasangan Nona Miranda bertatap

wajah denganku terlebih dahulu, setelah itu barulah aku siaga di luar

kamar. Semacam peringatan agar mereka tidak macam-macam. Jarang

yang tak bergidik melihat ukuran tubuh dan bekas luka di wajahku.17

Latar ini pula yang menjelaskan bahwa Bang Willie hidup dalam dunia

yang dibentuknya sekaligus membentuk dirinya, yaitu kerutinan kehidupan

umum tokoh-tokoh yang menghayati adanya dalam sebuah lingkungan-sekitar

16

Iksaka Banu, Op cit., h. 62. 17

Iksaka Banu, Op cit., h. 162.

Page 65: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

54

(umwelt) atau dunia yang sudah selalu dipahami berdasarkan struktur

ontologis Dasein yang mendiaminya.

Kubuka lemari senjata. Sepasang Browning M1903 berikut empat klip

magasinnya berpindah ke saku celanaku. Kukaitkan pula di dada,

sabuk kulit berisi enam bilah pisau lempar. Di muka garasi, sambil

memacu auto, kuserukan tujuan kepergianku kepada tiga centeng lain,

agar disampaikan kepada Babah Sun.18

Latar akhirnya, baik „dunia desain, lukis atau centeng‟, dikenali

Dasein sebagai ruang atau „tempat‟, dunia yang bagi tokoh untuk

melandaskan laku dan alasan pertumbuhannya untuk memahami

keberadaanya secara eksistensial. Dengan kata lain, sebagai pra-reflektif atau

pra-pemahaman,19

yaitu keterbukaan manusia terhadap dunianya.

Akhirnya, sebagai cara bereksistensi, tokoh terlibat begitu saja dalam

praktik-praktik yang menumbuhkan pemahamannya yang pra-reflektif sebagai

seorang seniman. Atau sebagai totalitas keterlibatan kita dalam praktik-praktik

hidup yang kita jalani, dan hal itu “bungkam‟, yaitu non-tematis, pra-

predikatif, non-verbal.20

3. Tokoh dan Penokohan

Tokoh dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop digambarkan selalu

mengalami bentuk-bentuk seperti kejatuhan, faktisitas, kecemasan, juga

kematian. Gambaran penokohan juga sekaligus menampilkan sturuktur dasar

manusia; yang-terlempar ke dunia, berada-dalam-dunia, dan menuju-

18

Iksaka Banu, Op cit., h. 169. 19

“Interpretation is not the acknowledgment of what has been understood, but rather the of

possibilities projected in understanding.” Heidegger, Martin, Being and Time. [pen. John Macquarrie

and Edward Robinson]. (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1962), h. 139. 20

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida.

(Yogyakarta: PT. Kanisius. 2015) h. 114-115.

Page 66: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

55

kematian. Sebagai makhluk penanya Ada-nya, tokoh pula yang memunculkan

kecemasan (angst) eksistensial.

Pada momen ini, kecemasan membuat dasar-dasar keseharian tokoh-

tokoh menjadi transparan. Atau dengan kata lain, kecemasan menelanjangi

Dasein sebagai Ada yang terlempar dan menuju kematian, sekaligus memberi

tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensialnya, sehingga kumpulan

cerpen Ratu Sekop kerap menampilkan tokoh-tokoh yang selalu diliputi

kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian keterlemparan dan

kejatuhan sebagai drama berada-bersama.

Pada cerpen Listrik, Suami adalah tokoh sentral yang selalu diliputi

kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian yang-terlempar ke

dunia; berada-dalam-dunia; dan menuju-kematian. Ia yang juga sekaligus

tokoh aku dalam cerpen ini, baru saja mengalami ketersituasiannya

menghadapi krisis moneter juga ancaman PHK.

Seakan tidak diizinkan untuk „melamunkan‟ apa yang baru saja terjadi,

sebab peristiwa lain menyusul dengan ditandai jeritan sang Istri.

Kubuka pintu dapur dan kujumpai ia terduduk lemas di lantai di antara

kepingan piring. Mukanya putih, badannya menggigil. Tiga jari tangan

kanannya tampak sedikit melepuh keputih-putihan. Di atas meja, dari

pantat rice cooker tua kami yang terserak isinya, seutas kabel dengan

kepala steker yang telah pecah plastiknya tampak menjulur ke

bawah.21

Atas peristiwa tersebut, Sita, istri dari tokoh Suami itu memiliki

keajaiban membaca pikiran. Meski sempat terjadi kebuntuan karena

perselisihan yang alot di antara keduanya, kemahiran tokoh Istri kemudian

diakomodasi pada ketersituasian tokoh Suami yang terancam kehilangan

pekerjaannya di biro iklan.

21

Iksaka Banu, Op cit., h. 46.

Page 67: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

56

Menit-menit berlalu. Untuk sementara perhatian kami berdua beralih

kepada acara iklan di layar televisi. Iklan! Mendadak aku teringat

nasihat pimpinan perusahaan untuk senantiasa mengetahui apa yang

ada di benak para klien. Bukankah ini saat yang tepat?22

„Ada‟ Dasein tak pernah mencapai keseluruhannya,„menjadi‟ karena

terus-menerus mengada yang merupakan suatu „kebeluman terus-menerus‟.

Dalam arti inilah, Heidegger lalu menyebut bahwa Dasein adalah

kemungkinan itu sendiri (Seinkönnen), ada Dasein tak lain daripada sesuatu

yang ia tentukan sendiri.23

“Teganya kau!” aku meremas rambut, “Biar kuberi tahu: taka da

namanya lain kali! Itu adalah pertemuan terakhir dengan mereka. Dan

kami belum berhasil menemukan ke mana sesungguhnya arah

marketing mereka! Padahal aku hidup dengan seorang ahli pembaca

pikiran satu-satunya di dunia! Yah, apa boleh buat, pembaca pikiran

ini rupanya selalu curiga kepada suaminya. Ia tak tahu, sebentar lagi

suaminya akan hidup menjadi gelandangan di jalanan tanpa pekerjaan.

Mengapa aku harus mengalami ini semua?”24

Bayangan hidup menjadi gelandangan, Suami sebagai tokoh dari

drama eksistensial Dasein tetap tak bisa menghindari kemungkinannya sendiri

dan akan senantiasa mengalami kegagalan demi kegagalannya yang lain.

Seperti satu peristiwa lain di bagian penutup cerpen Listrik. Tubuh Suami

tersentak hebat akibat arus listrik yang berasal dari steker rice cooker,

membuatnya kini tampak transparan seperti es batu.

22

Iksaka Banu, Op cit., h. 54. 23

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 58. 24

Iksaka Banu, Op cit., h. 56.

Page 68: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

57

“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain

yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat

jelas seluruh tubuhku.”25

Hingga akhirnya, Suami sebagai Dasein seakan menemui suatu nadir

ontologisnya: mencapai totalitas Ada-nya. Metafora „transparan‟ yang terjadi

pada tubuh Suami, meski bukan secara fisik, melainkan secara simbolis adalah

kematian Dasein. Artinya, persis di titik itulah Suami kehilangan kontak Ada-

nya dan berhenti sebagai berada-di-dalam-dunia.

Sementara pada cerpen Belati, Armin Kelana adalah tokoh sentral

yang selalu diliputi kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian

yang-terlempar ke dunia; berada-dalam-dunia; dan menuju-kematian. Ia yang

juga sekaligus tokoh aku dalam cerpen ini, baru saja mengalami

ketersituasiannya menghadapi tuaian para kritikus yang membentuk opini-

opini sesat; labelisasi; tudingan demi tuduhan yang kerap meremehkan.

Sebulan penuh aku melawan. Namun akhirnya semua jumpa pers serta

jasa public relations yang mahal itu terbukti tak cukup ampuh

memulihkan namaku. Pameran-pameranku tetap jeblok. Kolektorku

kebingungan. Promotorku patah arang. Utang-utangku tak terbayar.

Rumah mewahku lenyap. Istriku kabur.”26

Antara keinginan untuk melawan atau menerima begitu saja

perundungan hidup dan penenentuan nasib, kondisi itulah yang membuat

Kelana menjadi Dasein. Kelana yang merasa cemas terhadap keber-Ada-

annya, bahwa kecemasan menyendirikan Dasein pada berada-di-dalam-dunia-

nya yang tak dapat dipertukarkan dengan orang lain.27

25

Iksaka Banu, Op cit., h. 58. 26

Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 27

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 91.

Page 69: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

58

Orang-orang public relations mengatakan, semua akan pulih seperti

sedia kala apabila aku mau melukis dengan gaya lama. Kupikir usul

itu tolol sekali. Kupecat mereka semua.”28

Berdasarkan kutipan tersebut, Kelana sampai pada kebulatan tekad

atau momen visi (pengambilan keputusan), atau dalam Mistik Keseharian,

keterpesonaan akan apa yang dijumpai dalam situasi keadaan-keadaan dan

kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditangani.29

Lalu di luar itu, apakah Kelana berarti adalah seorang eksistensialis

yang sangat egois dan individualis? Jawabannya: iya dan tidak. Jawaban iya,

sejauh Kelana dipahami hanya sebagai sosok personal, terlepas dari kaitan

struktural. Ini semakin dipertegas dengan pernyataan setelah itu aku berhenti

melukis, lalu menyepi di sebuah apartemen kecil. Jawaban menjadi tidak,

sejauh Kelana hanya benci apartemen, tapi tidak pernah benci penghuninya

dan dipahami tidak hanya sebagai sosok personal, melainkan juga sebagai

representasi dari sebuah kelas dalam struktur sosial.

Walau menjengkelkan, aku tak keberatan menerima mereka. Terutama

semenjak istriku minggat. Beberapa dari mereka bahkan pernah

menjadi mode lukisanku. Aku benci apartemen (karena rumah

mewahku lenyap .pen), tapi tidak pernah benci penghuninya.30

Kelana akhirnya hanyalah representasi kelas bawah (pelukis), yakni

kelas yang tertindas (leh Politikus Seni, Surat Kabar, Pelukis terdahulu,

Kritikus, Kolektor, dan Promotor, Kelana adalah personifikasi sempurna dari

kehendak perlawanan masyarakat urban—yang tak mendapatkan apa-apa di

tengah modernitas.

28

Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 29

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 91. 30

Iksaka Banu, Op cit., h. 64.

Page 70: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

59

Kubayangkan wajah mereka besok pagi, melihat tubuhku terbaring di

depan sebuah pernyataan seni paling orisinil abad ini: lukisan

darah!”31

Kembali pada eksistensialitas tokoh Kelana dalam drama sebagai

Dasein, proyek „misi suci‟ tokoh Kelana bukan pula sebuah bentuk

perlawanan frontal terhadap realitas historis. Alih-alih larut dalam keseharian

dan mengutuk dalam kejatuhan (Verfallen), sebuah tegangan eksistensial atas

segala penyesalan yang amat personal. Kelana justru kerap melakukan banyak

upaya seperti apa yang oleh Heidegger disebut sebagai “proyeksi masa

depan”, yakni melalui Misi suci ini, Kelana telah mengantisipasi masa

depannya dengan keteguhan hati (resoluteness). Sebuah hari pembalasan

yang dapat ditelusuri dari pemecatan public relations, lalu menyiapkan sebuah

misi suci atas kematiannya sendiri sebagai maha karya berdarah.

Semua telah kutata rapi. Sebidang kanvas berisi lukisan setengah jadi

berukuran dua kali tiga meter dengan warna dominan putih, sehelai

kimono yang kukenakan saat ini—juga berwarna putih—serta sebilah

belati yang sebentar lagi akan kugunakan untuk memotong urat

nadiku. darah!”32

Kelana telah memutuskan untuk bunuh diri dengan plot yang sudah ia

rancang sedemikian heroik, sebagaimana manifestasi atas kekagumannya

terhadap Yukio Mishima, seorang penulis terhormat Jepang yang melakukan

seppuku dan petikan opera Turandot karya Pucini yang telah ia putar sebagai

lagu pengiring atas kematiannya. Walau demikian, Kelana, tetaplah Dasein

yang tak bisa menghindari kemungkinannya sendiri dan akan senantiasa

mengalami kegagalan demi kegagalannya yang lain. Seperti satu peristiwa

31

Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 32

Iksaka Banu, Op cit., h. 61.

Page 71: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

60

mengejutkan, saat nahas seorang tamu mengetuk pintu dan gagal jantung di

kamarnya.

Tanpa meletakkan belati, kubuka pintu dengan kasar. Kujumpai wajah

Pak Kadiyoso, penghuni kamar 403.33

Ia mencengkram dadanya, lalu doyong ke depan. Dengan cepat,

kuayunkan kedua tangan untuk menahan tubuhnya. Terdengar suara

“crepp!” … Jambiya-ku! Jambiya-ku menggantung di dada Pak

Kadiyoso seperti cula badak.34

Kematian Pak Kadiyoso, akhirnya terus menggiring Kelana kepada

pembunuhan berantai dan kematian-kematian lain. Satu sisi, tragedi ini

semakin menjauhkan misi suci seorang Kelana yang ingin bunuh diri sebagai

manifestasinya menjemput kematiannya sendiri. Di sisi yang sama sekali lain,

tragedi ini justru semakin mempertegas struktur dasar Kelana sebagai Dasein

yang sejak awal keterlemparannya di dunia, Dasein sudah terlalu tua untuk

mati.35

Artinya, kematian demi kematian orang lain yang melibatkan Kelana,

semakin menyingkap keber-Ada-annya pada kemungkinannya sebagai Dasein

untuk mati. Sebab bagi Dasein, kematian itu penting untuk kehidupan dan

merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu

sendiri.36

Demikianlah Sorge seorang Kelana, sebuah struktur dasar dari seorang

Dasein. Keseluruhan „Ada‟ yang serentak memuat tiga hal: antisipasi (masa

depan atau eksistensial), terlempar di dunia (masa lalu atau faktisitas) dan

larut dalam keseharian (masa kini atau kejatuhan).

Pada cerpen IG, Bang Willie atau Willem adalah tokoh sentral yang

selalu diliputi kegagalan, kebebasan, dan kesia-siaan dalam serangkaian yang-

33

Iksaka Banu, Op cit., h. 63. 34

Iksaka Banu, Op cit., h. 64. 35

“As soon as man comes to life, he is at once enough to die.” Heidegger, Martin, Being and

Time. [pen. John Macquarrie and Edward Robinson]. (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1962), h. 289. 36

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 100.

Page 72: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

61

terlempar ke dunia; berada-dalam-dunia; dan menuju-kematian. Ia yang juga

sekaligus tokoh aku dalam cerpen ini, baru saja mengalami ketersituasiannya

menghadapi suara hatinya sendiri sebagai pria tua yang terbakar api cemburu.

Sebab melihat Nona Miranda pergi bersama Tuan Dorsten tanpa

pengawalannya.

“Saya mau berdua saja, Tak ada centeng,” katanya. Aku membuka

mulut, siap menolak. Tapi injakan kaki Babah Sun membuatku diam.

Ya, demi masa depan, Babah perlu koneksi kakap seperti Tuan

Dorsten. Dan senyum itu, belum pernah kulihat senyum semacam itu

di bibirnya. Tampaknya gadisku menyukai bedebah itu. Bedebah? Ah,

suara hati pria tua yang terbakar cemburukah ini?37

Selanjutnya, seakan bayangan Nona Miranda baru saja akan terhapus

dari benak Willem sejak kepergian itu. Luka hati yang semula terbebat waktu,

kembali melempar Willem pada ketersituasiannya yang lain. Ia bertukar

pandang dengan Nona Miranda di sebuah bengkel auto pada suatu pagi.

Saat menyadari tatapanku, dengan gugup ia menutup muka. Hanya

sekilas, tapi tak mungkin aku salah lihat: pada pipi kiri, melebar

sampai keliling mata, rona lebam tertera jelas.38

Atas peristiwa tersebut, seorang Bocah bisu, datang ke Istana Gotik

dengan membawa gulungan kertas Nona Miranda. Tiga kali Bocah bisu itu

datang, membuat bara api di dalam hati Willem semakin membesar tiap kali

membacanya. Hingga tiba surat keempat, lengkap bersama ikatan lonceng

kecil yang menjadi penanda sebuah bahaya besar: “Ayah, aku ingin pulang.”

Kubuka lemari senjata. Sepasang Browning 1903 berikut empat klip

magasinnya berpindah ke saku celanaku. Kuikatkan pula di dada,

37

Iksaka Banu, Op cit., h. 167. 38

Iksaka Banu, Op cit., h. 168.

Page 73: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

62

sabuk kulit berisi enam bilah pisau lempar. Di muka garasi, sambil

memacu auto, kuserukan tujuan kepergianku kepada tiga centeng lain,

agar disampaikan kepada Babah Sun.39

Pada momen ini, kecemasan membuat dasar-dasar keseharian Willem

menjadi transparan. Dengan kata lain, kecemasan menelanjangi Dasein

sebagai Ada yang terlempar dan menuju kematian, sekaligus memberi

tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensialnya. Mengantisipasi

kematian terjadi manakala kita menyadari keterlemparan dalam kecemasan

eksistensial, yaitu saat krisis untuk mengambil keputusan penting yang

menentukan arah hidup.40

Pekerjaan? Kulirik Nona Miranda. Kutangkap sebuah gelengan kecil,

nyaris tak terlihat. Jantungku berdebar. Ini soal hidup dan mati. Nona

Miranda harus hidup, aku boleh mati. Celah kesempatan hanya

berbilang detik.41

Kutipan tersebut, Willem sampai pada kebulatan tekad atau momen

visi (pengambilan keputusan), atau dalam Mistik Keseharian, keterpesonaan

akan apa yang dijumpai dalam situasi keadaan-keadaan dan kemungkinan-

kemungkinan yang bisa ditangani.42

Tiba-tiba terdengar letusan keras. Sesungguhnya aku sudah punya

firasat, tapi tak pernah membayangkan Bahwa hal itu akan terjadi.

Nona Miranda. Gadisku yang gagah berani. Rubuh bersimbah darah,

menjadi perisai penahan peluru yang dilepaskan si durjana untukku.

Anjing!.43

39

Iksaka Banu, Op cit., h. 169. 40

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 107. 41

Iksaka Banu, Op cit., h. 170. 42

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 91. 43

Iksaka Banu, Op cit., h. 171.

Page 74: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

63

Dalam ruang tegang tersebut, Heidegger membedakan antara masa

depan otentik dan inotentik. Masa depan ontentik, oleh Heidegger, disebut

sebagai „antisipasi‟. Artinya, dalam masa depan yang otentik, manusia

menghadapi kemungkinan-kemungkinannya dengan sikap antisipasi.

Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin

pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi

tentu aku akan tahu. Belum pernah aku begitu menginginkan

kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku

membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami

berpelukan. Saling bercakap tentang kehidupan abadi..44

Pada titik itulah Dasein, sebagai manusia otentik dalam historisitasnya

dituntut untuk selalu memunculkan eksistensialitasnya; mengarahkan dirinya

menyongsong kematian sebagai kemungkinan-kemungkinan yang datang

menghampirinya; dan sekaligus mengambil keputusan eksistensial sebagai

antisipasi atas semua kemungkinan yang akan datang. Sikap berani

menghadapi kemungkinan ini yang paling khas ini tak lain daripada sikap

membuka diri terhadap kematian sendiri.

Dengan demikian, inilah pengalaman kebebasan eksistensial yang

menurut Heidegger tak lain daripada „kebebasan menuju kematian‟ (Freiheit

zum Tode).45

4. Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan pada tiga cerpen Ratu Sekop adalah

seragam, yakni dengan melalui sudur pandang orang pertama pelaku utama.

Baik dalam cerpen Listrik, Belati, maupun IG, pengarang menempatkan diri

sebagai orang yang secara langsung. Artinya pengarang menjadi Aku, yaitu

tokoh yang menceritakan kesadaran dirinya sendiri serta mengalami segala

44

Iksaka Banu, Op cit., h. 170. 45

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 108.

Page 75: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

64

peristiwa secara langsung dan menceritakan kembali kepada pembaca.

Peristiwa yang diketahui, didengar, dilihat, dialami, dirasakan, serta sikap dan

tindakannya terhadap tokoh lain, sehingga membuat pembaca bersimpati

kepada para tokoh Aku di masing-masing cerpen tersebut. Meski tak bisa

dimungkiri, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas

terhadap apa yang terjadi. Sebab pembaca hanya menerima apa yang

diceritakan oleh Aku sebagai konsekuensi dari penggunaan jenis sudut

pandang ini.

5. Alur

Alur merupakan suatu rangkaian penting di dalam sebuah cerita yang

terbagi menjadi tiga bagian. Pertama diawali oleh pengenalan seluruh tokoh

cerita dengan bagaimana cerita itu dimuai. Bagian kedua, biasanya muncul

berbagai macam konflik dalam cerita dan berakhir pada puncak atau klimaks

cerita tersebut. Selanjutnya pada bagian ketiga, merupakan bagian

penyelesaian dari keseluruhan cerita. Dalam cerpen Listrik dan Belati, Iksaka

Banu menggunakan alur maju dan hanya pada cerpen IG yang menggunakan

alur sorot balik.

Pada Listrik, alur dalam cerpen ini menggunakan alur maju. Cerita

diawali dengan kepulangan Suami dari kantor biro iklan tempatnya bekerja

dan baru saja memasukkan mobilnya ke dalam garasi.

Persis pukul sepuluh malam ketika aku selesai memasukkan mobil ke

dalam garasi. Sambil mematikan kunci kontak, kutarik napas dalam-

dalam. Terkutuklah krisis moneter ini. Bagi biro iklan sekecil

tempatku bekerja, imbasnya adalah sebulan sekali kami harus

bertempur beberapa biro iklan lain untuk memperebutkan klien baru,

atau satu persatu kami akan didepak ke luar oleh pemimpin

perusahaan atas nama efisiensi.46

46

Iksaka Banu, Op cit., h. 44.

Page 76: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

65

Pada cerpen ini, pengarang memulai cerita dengan mendeskripsikan

sebuah latar penting dari seluruh rangkaian cerita. Dunia desain dan rumah

yang menjadi tempat bagi tokoh, sekaligus tempat tumbuhnya berbagai

macam masalah yang sedang dan akan terjadi. Selain itu, pengarang juga

melanjutkan dengan pengenalan tokoh-tokoh lain seperti istrinya dan bos

tempatnya bekerja.

Setelah penggambaran seluruh milieu dari sebuah cerita, pengarang

memunculkan peristiwa penting yang menjadi alasan pemberian judul pada

cerpen ini. Sebuah konflik yang terjadi ketika tokoh Suami sedang menunggu

persiapan makan malam di meja makan. Terdengar jeritan yang disusul suara

piring pecah dan kelontang aluminium dari arah dapur. Arus listrik dari steker

rice cooker telah menyetrum tubuh istrinya.

Kubuka pintu dapur dan kujumpai ia terduduk lemas di lantai di antara

kepingan piring. Mukanya putih, badannya menggigil. Tiga jari tangan

kanannya tampak sedikit melepuh keputih-putihan. Di atas meja, dari

pantat rice cooker tua kami yang terserak isinya, seutas kabel dengan

kepala steker yang telah pecah plastiknya tampak menjulur ke

bawah.47

Atas peristiwa tersebut, Sita, istri dari tokoh Suami itu memiliki

keajaiban membaca pikiran. Kemudian cerita mencapai klimaksnya, ketika

peristiwa arus listrik kembali terulang. Kali ini, giliran Suami yang menjadi

korban dan sekaligus membuat tubuhnya terlihat transparan akibat sengatan

arus listrik.

“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain

yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat

jelas seluruh tubuhku.”48

47

Iksaka Banu, Op cit., h. 46. 48

Iksaka Banu. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017),

h. 58

Page 77: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

66

Selanjutnya, cerita ini diselesaikan dengan percakapan terakhir antara

suami-istri yang masing-masing memiliki pengalaman dan konsekuensi akibat

tersengat listrik. Kemudian pengarang menutup cerita dengan humor gelap

dari tokoh Aku yang mengomentari jingle iklan yang menurutnya jelek sekali,

“Aku tak mau diam-diam kau menyelinap mengintip si brand

manager mandi,” “Aku juga tak mau kau membaca pikiranku.

Mengorek-ngorek masa laluku.” Sunyi sesaat. “Yang, apakah Santi

juga jarang orgasme?” Aku tak ingin menjawab. Dari pesawat televisi,

untuk kesekian kalinya terdengar jingle iklan deterjen yang kabarnya

baru naik daun itu. Menurutku, jingle itu jelek sekali. 49

Selanjutnya pada Belati, Iksaka Banu masih menggunakan pola yang

sama. Cerita diawali dengan narasi tokoh aku, Armin Kelana, seorang pelukis

yang baru saja selesai mempersiapkan aksi bunuh diri.

Semua telah kutata rapi. Sebidang kanvas berisi lukisan setengah jadi

berukuran dua kali tiga meter dengan warna dominan putih, sehelai

kimono yang kukenakan saat ini—juga berwarna putih—serta sebilah

belati yang sebentar lagi akan kugunakan untuk memotong urat

nadiku. darah!”

Kalau semua lancar, maka menit-menit di antara saat pemotongan nadi

sampai datangnya malaikat maut akan kupakai untuk menyapukan

warna merah yang berasal dari darahku ke atas lukisan tadi sebanyak-

banyaknya. Setelah itu, aku percaya kebenaran akan hadir. Setelah itu,

aku percaya tidak akan ada lagi yang meremehkanku.50

Pada cerpen ini, pengarang memulai cerita dengan mendeskripsikan

sebuah latar penting dari seluruh rangkaian cerita. Dunia seni dan apartemen

yang menjadi tempat bagi tokoh, sekaligus tempat tumbuhnya berbagai

macam masalah yang sedang dan akan terjadi. Selain itu, pengarang juga

49

Iksaka Banu. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017),

h. 58 50

Iksaka Banu, Op cit., h. 61.

Page 78: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

67

melanjutkan dengan pengenalan tokoh-tokoh lain dan seluruh milieu dari

sebuah cerita, seperti pelukis lain, politikus seni, surat kabar, pelukis

terdahulu, kritikus, kolektor, promotor, istri, tetangga hingga penghuni

apartemen

Setelah penggambaran seluruh milieu dari sebuah cerita, pengarang

memunculkan peristiwa penting yang membuat tokohnya menghadapi sebuah

konflik. Peristiwa itu terjadi ketika seorang tamu mengetuk pintu kamar

Kelana dan gagal jantung di kamarnya.

Tanpa meletakkan belati, kubuka pintu dengan kasar. Kujumpai wajah

Pak Kadiyoso, penghuni kamar 403.51

Ia mencengkram dadanya, lalu doyong ke depan. Dengan cepat,

kuayunkan kedua tangan untuk menahan tubuhnya. Terdengar suara

“crepp!” … Jambiya-ku! Jambiya-ku menggantung di dada Pak

Kadiyoso seperti cula badak.52

Tamu itu bernama Pak Kadiyoso, terbunuh secara tidak sengaja oleh

Jambiya yang sebelumnya dipersiapkan Kelana untuk memotong urat nadinya

sendiri. Atas peristiwa tersebut, cerita kemudian mencapai klimaksnya.

Kematian Pak Kadiyoso, justru terus menggiring Kelana kepada pembunuhan

berantai dan kematian-kematian lain. Seperti pembunuhan terhadap Pak

Buyung dan seorang Hansip Desa.

Kucabut Jambiya dari dada Pak Kadiyoso, lalu kusabetkan ke leher

Pak Buyung. Selama tiga menit berikutnya, kudengar pergumulan

hebat antara Pak Buyung dengan utusan Tuhan yang berusaha menarik

nyawanya. Setelah itu, sunyi.53

Selanjutnya, cerita ini diselesaikan dengan pembunuhan terakhir yang

dilakukan Kelana di depan kamarnya. Kali ini korban tersebut Pak Armin,

51

Iksaka Banu, Op cit., h. 63. 52

Iksaka Banu, Op cit., h. 64. 53

Iksaka Banu, Op cit., h. 68.

Page 79: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

68

yang pada mulanya hendak mengklarifikasi dan bertanya bahwa apakah

seseorang yang sempat ia lihat sedang memegang jeriken bensin dan berdiri di

samping mobil yang mirip dengan milik Pak Kadiyoso di puncak adalah

Kelana.

Aku tak menjawab. Di daerah puncak? Tadi malam? Pasti jip itu!

Sorot lampu itu! Tapi benarkah dia mengetahui apa yang terjadi tadi

malam? Harus kuyakinkan! Dari saku kimono, perlahan-lahan kutarik

belati ke atas.54

Berbeda dengan dua cerpen sebelumnya, Iksaka Banu kali ini

menggunakan alur sorot balik pada cerpen IG. Pengarang justru memulainya

dengan mendeskripsikan situasi tokoh Willie sedang menjelang kematiannya.

Derit rem, disusul empat bantingan pintu auto. Pasti Babah Sun dan

teman-teman. Terlambat. Syaraf tubuh bagian bawahku mulai enggan

mematuhi perintah otak. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Aku

akan mati. Mereka akan menjumpai tubuhku berkubang darah.

menyusul si durjana.55

Kemudian cerita mengalami sorot balik, pengarang mulai

mendeskripsikan asal-usul tokoh Aku serta pertemuannya dengan tokoh-tokoh

lain dan seluruh milieu dari sebuah cerita. Dunia centeng dan Istana Gotik

yang menjadi tempat bagi tokoh, sekaligus tempat tumbuhnya berbagai

macam masalah yang sedang dan akan terjadi. Seperti, lokalisasi, germo,

pelacur, para lelaki hidung belang, dan para centeng.

Nona Miranda. Istana Gotik. Ya, semua bermula tiga tahun lalu,

setelah Babah Sun kuselamatkan dari keroyokan para sinyo mabuk di

54

Iksaka Banu, Op cit., h. 72. 55

Iksaka Banu, Op cit., h. 159.

Page 80: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

69

sekitar Kali Besar. Mendengar aku butuh pekerjaan, Babah

membawaku ke Istana Gotik menjadi karyawannya.56

Setelah penggambaran seluruh milieu dari sebuah cerita, pengarang

memunculkan peristiwa penting yang membuat tokohnya menghadapi sebuah

konflik. Peristiwa itu terjadi ketika Nona Miranda mulai bercerita bahwa ia

baru saja dilamar salah satu lelaki yang juga diketahui Willie.

“Dia melamarku, Ayah,” katanya seraya menunjukkan sehelai surat.

Seperti yang kukatakan, taka da pria di sekitar Nona Miranda yajng

tak kuketahui. Justru karena itulah aku meerasa remuk. Kutatap sekali

lagi nama pengirim surat itu. Andreas Maurits Dorsten. Pengusaha

besar. Tokoh penting Volksraad. Rajin menyerukan kesetaraan derajat.

Anak-anak muda, bahkan pribumi, mencintainya.57

Atas peristiwa tersebut, Tuan Dorsten, seorang yang menjadi sumber

kecemburuan Willie bisa lebih leluasa membawa Nona Miranda ke mana saja

tanpa pengawasannya. Hingga cerita mencapai klimaksnya, ketika pertemuan

tidak sengaja pada suatu pagi di sebuah bengkel auto. Willie melihat sekilas

ke pipi kiri Nona Miranda yang penuh dengan rona lebam. Kekhawatiran

Willie selama ini menjadi jelas setelah menerima surat keempat yang

dikirimkan Nona Miranda melalui kurir seorang Bocah Bisu.

Surat itu diikatkan pada sebuah lonceng kecil. Benda yang akrab di

Istana Gotik pada masa lalu. Benda yang kebisuannya menjadi

penanda bahwa Nona Miranda berada dalam bahaya besar. Tanpa pikir

panjang, aku bersiap..58

Selanjutnya, cerita ini diselesaikan dengan kematian Nona Miranda.

Kemudian pengarang menutupnya dengan refleksi tokoh Willie yang sedang

56

Iksaka Banu, Op cit., h. 160. 57

Iksaka Banu, Op cit., h. 165-166. 58

Iksaka Banu, Op cit., h. 169.

Page 81: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

70

sekarat menjelang ajalnya sendiri. Tentang ia yang begitu menginginkan

kematian, bayangan lantai dansa dalam alunan music swing jazz serta

percakapan sebuah kehidupan yang abadi.

Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin

pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi

tentu aku akan tahu. Berlum pernah aku begitu menginginkan

kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku

membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami

berpelukan tentang kehidupan abadi.59

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan suatu cara yang digunakan oleh pengarang

dalam memilih dan menggunakan bahasa di dalam sebuah cerita untuk

memperoleh efek tertentu. salah satu tujuannya ialah untuk menciptakan rasa

simpati seorang pembaca dan memberikan nilai estetika. Gaya penceritaan

yang digunakan dalam Belati, Listrik, dan IG cenderung menggunakan bahasa

sehari-hari. Tidak terlewat pula, pengarang menggunakan ungkapan-ungkapan

filosofis melalui para tokohnya untuk menebalkan imaji bagi pembaca dalam

memahami motif di balik keputusan dan sikap-sikap yang diambil para

tokohnya.

Seperti majas perbandingan (asosiasi dan personifikasi) yang terdapat

dalam cerpen Listrik berikut ini.

Ia tidak menolak. Pegangan tangannya yang belum mantap

menyebabkan giginya terantuk berkali-kalli ke bibir gelas,

menimbulkan suara serupa hiasan gantung yang tertiup angin.60

Bagaikan sebuah mikrofon ia menyerukan apa yang ada di benakku,

“Padahal aku hanya ingin tahu, bisa sejujur apakah hati seorang

manusia.61

59

Iksaka Banu, Op cit., h. 169. 60

Iksaka Banu, Op cit., h. 47. 61

Iksaka Banu, Op cit., h. 53.

Page 82: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

71

Berikutnya dapat ditemui pula majas alusio dan hiperbola dalam

cerpen Belati.

Selama tiga menit berikutnya, kudengar pergumulan hebat antara Pak

Buyung dengan utusan Tuhan yang berusaha menarik nyawanya.

Setelah itu, sunyi.62

Cepat bagai kilat kusarangkan belati tadi ke leher serta ulu hatinya. Ia

mati tanpa banyak mengeluh.63

Kemudian terdapat pula penggunaan majas ironi dalam cerpen IG.

Seperti kukatakan, taka da pria di sekitar Nona Miranda yang tak

kuketahui. Justru karena itulah aku merasa remuk.64

Tampaknya gadisku menyukai bedebah itu. Bedebah? Ah, suara hati

pria tua yang terbakar cemburukah ini?65

Terakhir, pengarang juga menggunakan ungkapan-ungkapan filosofis

dalam tiga cerpennya, Listrik, Belati, dan IG. Berikut secara berurutan.

Apa dosaku sehingga hak yang paling pribadi dariku dijarah orang,

meskipun orang itu adalah istriku sendiri?”66

“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain

yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat

jelas seluruh tubuhku.”67

“Kepada dunia seni. Kupesembahkan lukisan terbaruku. Tercipta dari

segenap jiwa ragaku. Nikmatilah selagi aku tiada. Salam, Armin.”68

Tubuhku terasa segar dan ringan. Astaga… perlukah rasa segar

menjelang kematian?”69

Oh, mulut lebar itu. Cocok menjadi rumah kata-kata manis yang sering

ia tebar. Kata-kata yang telah membuat Miranda hanyut menjadi gadis

bodoh.70

Belum pernah aku begitu menginginkan kematian. Tapi itu nanti. Kini,

sambil menunggu saat itu datang, aku membayangkan lantai dansa.

62

Iksaka Banu, Op cit., h. 68. 63

Iksaka Banu, Op cit., h. 70. 64

Iksaka Banu, Op cit., h. 167. 65

Iksaka Banu, Op cit., h. 167. 66

.Iksaka Banu, Op cit., h. 58. 67

.Iksaka Banu, Op cit., h. 58. 68

Iksaka Banu, Op cit., h. 62. 69

Iksaka Banu, Op cit., h. 71. 70

Iksaka Banu, Op cit., h. 159.

Page 83: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

72

Swing jazz. Musik mengalun, kami berpelukan. Saling bercakap

tentang kehidupan abadi.71

7. Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak

disampaikan pengarang keada pembaca melalui karyanya. Secara garis besar,

amanat yang terdapat dalam Listrik, Belati, dan IG bisa ditelusuri dengan

nuansa kartun dan komikal yang nyaris selalu hadir melalui tokoh-tokoh yang

selalu elastis. Bahwa tokoh yang selalu dihadapi dengan berbagai

kemungkinannya sendiri di masa depannya digambarkan untuk senantiasa

menarik perhatian, mengganggu, dan meneror orang (pembaca) agar berhenti

sejenak dan berpikir bahwa „Ia‟ juga manusia biasa seperti yang lain.

Bentuk-bentuk seperti kegagalan, kebebasan, kecemasan, kesia-siaan,

dan kematian yang kerap mewarnai di hampir keseluruhan cerita adalah

kehidupan itu sendiri. Sebagaimana kehidupan, memikirkan tentang kematian

sama pentingnya dengan memikirkan kehidupan. Sebab tidak ada yang lain,

bagi Dasein, selain bahwa kematian itu penting untuk kehidupan dan

merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri.

71

Iksaka Banu, Op cit., h. 171

Page 84: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

73

B. Analisis Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop Karya

Iksaka Banu

Heidegger menyebutkan bahwa sifat dasar Dasein secara eksistensial

adalah „ada-di dalam-dunia‟. Lalu, apa yang ditemui Dasein di dalam

dunianya? Heidegger menyebut ada tiga macam Mengada yang dapat ditemui

Dasein di dalam dunianya. Ketiga macam Mengada itu adalah alat-alat,

benda-benda yang bukan alat-alat, dan yang terakhir adalah sesama manusia

atau orang-orang lain.

Dasein sebagai pengada yang menanyakan Ada-nya dari Mengada-

mengada lain, akan menunjukkan bahwa caranya bersikap terhadap masing-

masing Mengada itu memang harus berbeda. Di dalam pertemuan Dasein

dengan masing-masing Mengada inilah yang kemudian disebut sebagai

Keseharian.

Sampai di sini, Dasein mengalami suatu hal, oleh Budi Hardiman

disebut „dramatis‟. Sebab di satu pihak Dasein dituntut untuk menyingkap

dan mengenal Ada-nya, yang tidak dapat dilakukan saat berhubungan dengan

Mengada-mengada lain dalam kesehariannya. Sementara di pihak lain,

Dasein juga dirasa musykil untuk keluar dari kolam kesehariannya, karena

secara eksistensial sifat dasarnya adalah „ada-di dalam-dunia‟. „Ada-di

dalam-dunia‟ adalah faktisitas bagi dirinya.

Atas dasar Drama-Eksistensial inilah, analisis dimaksudkan sebagai

kajian terhadap pilihan cerpen (Listrik, Belati, dan IG) dalam kumpulan Ratu

Sekop. Berikut ini merupakan penjabaran terkait „Keseharian‟ yang terdapat

dalam cerpen Listrik, Belati, dan IG.

Page 85: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

74

1. Keseharian Dasein dalam Listrik

Sejak Dasein dapat menyadari keterlemparannya dan berusaha untuk

memahaminya, maka Dasein membedakan dirinya dengan Mengada-

mengada lain yang juga „ada begitu saja‟ dan tidak pernah mempersoalkan

faktisitasnya. Di saat Suami, sebagai aku dan tokoh utama, dalam cerpen ini

mulai menanyakan Ada-nya, maka pada saat itulah berarti Ia berhubungan

dengan Ada-nya. „Dunia-desain‟ telah membuatnya sebagai pengarah kreatif

(Besorgen) selalu berinteraksi dengan pertukaran simbol atau bahasa (Um-zu)

sebagai alat-alatnya (Zuhandenes). Ini terlihat ketika Sita, istri dari tokoh aku,

menguji kemampuannya membaca pikiran.

“Aku tidak begitu yakin. Semua muncul dan lenyap dengan sangat

cepat. Tapi kurasa gabungan keduanya. Tampaknya kau cenderung

mengganti kalimat sulit dengan sepotong foto atau suatu adegan film

untuk membuatnya menjadi sebuah kalimat lengkap. Kadangkala

mereka tumpang tindih. Dan ya, gambarnya berwarna meski di

sekelilingnya hitam, seperti meliha layar dalam sebuah bioskop yang

ruangannya mulai digelapkan.”72

Barangkali, Sita tidak akan pernah memiliki kemampuan membaca

pikiran, seandainya peristiwa tersengat listrik tidak terjadi. Peristiwa

tersengat listik juga boleh jadi tidak pernah ada, seandainya rice-cooker tidak

semata dianggap sebagai urusan domestik yang melulu hanya ditangani oleh

seorang istri. Sampai di sini bisa dikatakan, bahwa rice-cooker sekadar

benda-benda yang bukan alat-alat (Vorhandes) bagi Suami yang tak berminat

untuk menangani.

“Mungkin aku memang selalu ceroboh,” seperti membaca pikiranku,

samar-samar kudengar ia berbisik serak. “Tapi minggu lalu kamuu

sendiri yang berjanji mau mengganti ujung steker itu, bukan?”73

72

Iksaka Banu, Op cit., h. 49. 73

Iksaka Banu, Op cit., h. 47.

Page 86: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

75

“Jangan terlalu absurd membesarkan jumlah, Sayang. Memangnya

kecelakaan seperti apalagi yang bisa menimpaku. Juga please jangan

tunda mengganti kabelnya. Aku bisa, dan mau belajar berhati-hati, tapi

bagaimana kalau ada saudara atau tamu ikut memasak dengan barang

itu?” terdengar lagi suaranya. Kali ini nadanya agak tertekan.74

Selain itu, sikap terhadap „steker rice-cooker‟ sebagai benda yang

tidak pernah ditangani (Vorhandenes) bisa saja menjadi Zuhandenes,

seandainya Istri tidak menunggu-nunggu (Awaiting) Suami untuk mengganti

ujung stekernya. Atau dengan kata lain, sikap menunggu-menunggu Sita,

dalam pembahasan Heidegger mengenai ekstasis waktu, merupakan masa

depan yang inotentik.75

Atau dalam kondisi yang sama sekali lain, di akhir cerpen ini terdapat

sebuah cermin yang pada mulanya mungkin saja hanya Vorhandenes. Tetapi

setelah peristiwa serupa menimpa tubuh Suami dan membuatnya transparan

akibat tersengat listrik. Cermin akhirnya menjadi Zuhandenes dan akrab

dengan keberadaannya.

“Di depan cermin,” aku menjawab lirih “Hanya cermin dan orang lain

yang melihatku transparan seperti ini. Aku sendiri masih bisa melihat

jelas seluruh tubuhku.”76

Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa dunia Dasein adalah

dunia-bersama (Mitwelt), dunia sudah selalu merupakan dunia yang

dimukimi bersama dengan orang-orang lain, maka selain Suami, atau tokoh

aku sebagai Dasein, terdapat pula tokoh-tokoh lain sebagai pola hubungan

terhadap Mengada-mengada lain. Tentu saja, sebagai Dasein, perlakuan

terhadap Mengada yang satu ini dalam keseharian hidup-bersama yaitu

dengan sikap merawat atau memelihara (Fürsorge).

74

Iksaka Banu, Op cit., h. 47. 75

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 130. 76

Iksaka Banu, Op cit., h. 58.

Page 87: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

76

Sambil berhati-hati menyingkirkan pecahan kaca, kubantu ia berdiri,

lalu perlahan-lahan kubimbing menuju meja makan. Merasakan betapa

keras gigilan badannya, kusimpulkan bahwa arus listrik yang sempat

berpindah ke tubuh istriku cukup besar.77

…seluruh tim kreatif sudah sampai pada batas ketahanan fisik dan

mental. Seperti juga aku.78

Meski demikian, lihatlah bagaimana Suami sebagai Dasein, yang

tidak melulu mampu mempertahankan sikap (Fürsorge) terhadap Bos,

Pimpinan Klien, Brand Manager.

Ketika secara sinis pimpinan menerangkan kemungkinan tuduhan

nepotisme, kutanggapi bahwa istriku bersedia dibayar rendah untuk

proyek pitching ini. Dasar kapitalis. Ia langsung setuju.79

Istriku duduk persis di seberang tempat duduk pimpinan mereka:

seorang pria tua berkumis tebal, berbadan gempal, dan sangat irit

senyum.80

“Kau. Karena kulihat kau terus menatap brand manager mereka.

Mengagumi aura kecerdasan dari matanya, serta dengan beraninya

memperbandingkannya dengan aku. Kau patut tahu satu hal. Orang

dengan tubuh seksi seperti aku belum tentu IQ-nya rendah.81

Drama-eksistensial dalam keseharian seorang Dasein niscaya tetap

terjadi. Drama itu tak lain adalah paradoks yang ganjil antara penyingkapan

dan ketersembuyian Ada Dasein itu sendiri. Menyembul dan membenamkan

diri dalam keseharian, menemukan Ada-nya ke dalam momen penarikan diri

dan raib di tengah-tengah anonimitas keseharian sebagai berada-di-dalam-

dunia. Sebab berada-bersama, menurut Heidegger, yaitu solidaritas, juga

77

Iksaka Banu, Op cit., h. 46. 78

Iksaka Banu, Op cit., h. 44. 79

Iksaka Banu, Op cit., h. 55. 80

Iksaka Banu, Op cit., h. 55. 81

Iksaka Banu, Op cit., h. 56.

Page 88: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

77

merupakan momen eksistensial yang sama pentingnya dengan penarikan

diri.82

2. Keseharian Dasein dalam Belati

Sejak Dasein dapat menyadari keterlemparannya dan berusaha untuk

memahaminya, maka Dasein membedakan dirinya dengan Mengada-

mengada lain yang juga „ada begitu saja‟ dan tidak pernah mempersoalkan

faktisitasnya. Di saat Armin Kelana, sebagai aku dan tokoh utama, dalam

cerpen ini mulai menanyakan Ada-nya, maka pada saat itulah berarti Ia

berhubungan dengan Ada-nya. „Dunia-seni‟ telah membuatnya sebagai

pelukis (Besorgen) selalu berinteraksi dengan kanvas, adonan cat, kuas, dan

media cetak (Um-zu) sebagai alat-alatnya (Zuhandenes). Ini terlihat pada

deskripsi tentang persiapan kematian seorang Kelana, setelah menganggapi

para kritikus yang mengulas pameran dua tahun silamnya di berbagai media

cetak.

Perihnya hati ini! Sempat kugelar jumpa pers untuk menangkis semua

kritik tadi. Kukatakan kepada mereka bahwa aku tak butuh sensasi.

Aku sudah sukses. Aku sudah melukis selama dua puluh lima tahun.

Ini cuma soal mengubah gaya lukis! Dan Jackson Pollock? Meski

memang mirip, aku punya gaya sendiri. Oh betapa aku benci

kritikus!83

Kutebar pandangan terakhir kali ke sekeliling ruangan. Biasanya aku

melukis di sanggarku, di Kemang. Tetapi untuk mahakarya ini, kurasa

apartemen lebih cocok. Apartemen mewakili gaya hidup urban. Sangat

mekanis. Sangat bisnis. Sangat semu. Persis seperti hati para kritikus

laknat itu. Ya Tuhan, sungguh efek gestalt yang sempurna. Pemilihan

simbol yang rapi dan terpadu. Yang pada akhirnya, kuharap akan

menjeritkan pesan tunggal: “Mampuslah kalian semua, para

munafik!”84

82

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 75. 83

Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 84

Iksaka Banu, Op cit., h. 60-61.

Page 89: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

78

Hingga tiba Kelana pada benda tajam yang kelak akan digunakannya

untuk memotong urat nadi. Sebuah kesibukan yang kemudian melarutkan

kesehariannya mengurus Jambiya, sebuah pisau lengkung peninggalan

Kakek, yang pada mulanya sekadar benda-benda yang bukan alat-alat

(Vorhandes). Hal ini terlihat sebelum peristiwa nahas yang menimpa Pak

Kadiyoso akibat tidak akrabnya Kelana dalam „menggenggam‟ Jambiya.

Tanpa meletakkan belati, kubuka pintu dengan kasar. Kujumpai wajah

Pak Kadiyoso, penghuni kamar 403.85

Ia mencengkram dadanya, lalu doyong ke depan. Dengan cepat,

kuayunkan kedua tangan untuk menahan tubuhnya. Terdengar suara

“crepp!” … Jambiya-ku! Jambiya-ku menggantung di dada Pak

Kadiyoso seperti cula badak.86

Apa lagi yang harus kulakukan? Apakah sebaiknya kulanjutkan acara

sakralku dengan belati itu? Rasanya tak mungkin. Kalau belati kutarik,

darahnya pasti muncrat ke segala penjuru.87

Selain itu, tidak ditemukannya bukti teks atas kedekatan Kelana

dalam menggunakan benda tajam tersebut, sebagai seorang pelukis dan

dirinya di dalam „Dunia-seni‟. Sekalipun ia begitu mengagumi seorang

penulis-samurai yang melakukan seppukku, tidak ada deskripsi yang

menjelaskan latar belakang Kelana sebagaimana keakraban Yukio Mishima

dengan benda tajam semacam itu.

Belati sebagai metafora benda yang tidak pernah ditangani

(Vorhandenes), seketika menjadi Zuhandenes setelah peristiwa nahas

menimpa Pak Buyung. Kelana menggunakan belati itu untuk membunuh dan

menjadi penentu nadir ontologis orang lain. Demikian pembunuhan demi

pembunuhan yang terjadi selanjutnya, motif belati kini menjadi benda yang

85

Iksaka Banu, Op cit., h. 63. 86

Iksaka Banu, Op cit., h. 64. 87

Iksaka Banu, Op cit., h. 64.

Page 90: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

79

sangat akrab bagi keberadaannya, seperti yang dialami Pak Hansip juga Pak

Damhuri.

Kucabut Jambiya dari dada Pak Kadiyoso, lalu kusabetkan ke leher

Pak Buyung. Selama tiga menit berikutnya, kudengar pergumulan

hebat antara Pak Buyung dengan utusan Tuhan yang berusaha menarik

nyawanya. Setelah itu, sunyi.88

Kuraih jambiya di dasbor depan. Tubuh hansip terlalu tambun.

Sebentar sudah terkejar. Cepat bagai kilat kusarangkan belati tadi ke

leher serta ulu hatinya. Ia mati tanpa banyak mengeluh.89

Kumasukkan belati ke dalam saku kimono, lantas kubuka pintu. Pak

Damhuri. Penghuni kamar 400 … Dari saku kimono, perlahan-lahan

kutarik belati ke atas.90

Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa dunia Dasein adalah

dunia-bersama (Mitwelt), dunia sudah selalu merupakan dunia yang

dimukimi bersama dengan orang-orang lain, maka selain Suami atau tokoh

aku sebagai Dasein, terdapat pula tokoh-tokoh lain sebagai pola hubungan

terhadap Mengada-mengada lain. Tentu saja, sebagai Dasein, perlakuan

terhadap Mengada yang satu ini dalam keseharian hidup-bersama yaitu

dengan sikap merawat atau memelihara (Fürsorge).

Walau menjengkelkan, aku tak keberatan menerima mereka. Terutama

semenjak istriku minggat. Beberapa dari mereka bahkan pernah

menjadi model lukisanku. Aku benci apartemen, tapi tidak pernah

benci penghuninya.91

Meski demikian, lihatlah bagaimana Kelana sebagai Dasein, yang

tidak melulu mampu mempertahankan sikap (Fürsorge) terhadap kritikus,

88

Iksaka Banu, Op cit., h. 68. 89

Iksaka Banu, Op cit., h. 70. 90

Iksaka Banu, Op cit., h. 72. 91

Iksaka Banu, Op cit., h. 64.

Page 91: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

80

politikus seni, surat kabar, pelukis terdahulu, kolektor, promotor, juga istri

yang lebih dulu minggat meninggalkannya.

Masih terbayang judul artikel sebuah surat kabar ternama ibukota yang

mengulas pameran terakhirku dua tahun silam: Armin Kelana,

gagalnya kebangkitan ulang aliran abstrak ekspresionis Indonesia.

Atau judul sebuah majalah terkemuka: Armin Kelana dan “action

painting” Indonesia, sampai di sini saja! Atau paragraf pertama jurnal

seni lainnya: Dunia pernah setengah hati menerima Jackson Pollock,

pelukis yang menetes-neteskan adonan cat ke atas kanvas. Alangkah

malangnnya orang labil yang mencoba menjadi pengikutnya atas

nama sensasi.92

Kupikir usul itu tolol sekali. Kupecat mereka semua. Setelah itu aku

berhenti melukis, lalu menyepi di sebuah apartemen kecil.93

Kuikat surat wasiatku dengan pita merah, lalu kuletakkan dekat

sepasang lilin wangi di samping lukisanku. Isi suratku pendek saja:

“Kepada dunia seni. Kupesembahkan lukisan terbaruku. Tercipta dari

segenap jiwa ragaku. Nikmatilah selagi aku tiada. Salam, Armin.”94

Drama-eksistensial dalam keseharian seorang Dasein niscaya tetap

terjadi. Drama itu tak lain adalah paradoks yang ganjil antara penyingkapan

dan ketersembuyian Ada Dasein itu sendiri. Menyembul dan membenamkan

diri dalam keseharian, menemukan Ada-nya ke dalam momen penarikan diri

dan raib di tengah-tengah anonimitas keseharian sebagai berada-di-dalam-

dunia. Sebab berada-bersama, menurut Heidegger, yaitu solidaritas, juga

merupakan momen eksistensial yang sama pentingnya dengan penarikan

diri.95

92

Iksaka Banu, Op cit., h. 60-61. 93

Iksaka Banu, Op cit., h. 61. 94

Iksaka Banu, Op cit., h. 62. 95

F. Budi Hardiman, Op cit., h. 75.

Page 92: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

81

3. Keseharian Dasein dalam IG

Sejak Dasein dapat menyadari keterlemparannya dan berusaha untuk

memahaminya, maka Dasein membedakan dirinya dengan Mengada-

mengada lain yang juga „ada begitu saja‟ dan tidak pernah mempersoalkan

faktisitasnya. Di saat Willem, sebagai aku dan tokoh utama, dalam cerpen ini

mulai menanyakan Ada-nya, maka pada saat itulah berarti Ia berhubungan

dengan Ada-nya. „Dunia-centeng‟ telah membuatnya sebagai penjaga

keselamatan Nona Miranda (Besorgen) selalu berinteraksi dengan perangkat

senjata bahkan tubuhnya sendiri (Um-zu) sebagai alat-alatnya (Zuhandenes)

untuk memertahankan diri di iklim kekerasan yang senantiasa menjadi

dunianya. Ini terlihat ketika Willem, menunjukkan pertama kali tugasnya

dalam melindungi keselamatan Nona Miranda dari para lelaki mabuk dan

pelanggan-pelanggan yang mengancam keselamatannya.

Kudekati pria itu. Meski pandai bermain drama, cahaya matanya

bukanlah milik seorang petarung. Tak bakal ia menarik pelatuk.

Kugemur lututnya dengan tendangan. Disusul tinju kananku yang

terayun sepenuh tenaga. Kurasa butuh waktu lama baginya kembali ke

dunia panggung. Hidungnya remuk, dua gigi depannya tanggal.96

Kubuka lemari senjata. Sepasang Browning M1903 berikut empat klip

magasinnya berpindah ke saku celanaku. Kukaitkan pula di dada,

sabuk kulit berisi enam bilah pisau lempar. Di muka garasi, sambil

memacu auto, kuserukan tujuan kepergianku kepada tiga centeng lain,

agar disampaikan kepada Babah Sun.97

Selanjutnya, perhatikanlah rutinitas Willem dalam alunan

kesehariannya sebagai tokoh yang selalu mengurusi bisnis. Ia seakan patah

dari alunan itu dan terhempas ke dalam dirinya sendiri, misalnya saat ia

berhadapan dengan Swing Jazz di lantai dansa (Vorhandes) bersama Nona

Miranda sebagai benda-benda dari produk kultural.

96

Iksaka Banu, Op cit., h. 162. 97

Iksaka Banu, Op cit., h. 169.

Page 93: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

82

“Ah, dengar iramanya. Abang tidak terpanggil?” gadis itu menarik-

narik tanganku. Dengan enggan, kuikuti langkahnya. Sesaat kemudian,

di tengah irama yang meliuk dan menyentak, dapat kurasakan betapa

berwarna sesungguhnya hidup ini. Cinta, harapan, serta

keberuntungan. Satu persatu hinggap padaku, lalu pergi. Kadang

kembali, kadang lama sekali baru kembali. Dan perempuan kecil ini,

betapa pandai ia berdamai dengan ombak-ombak kehidupan tadi.

Sepandai gerakan tubuhnya. Berputar, mengerutkan badan dan

melemparkan diri. Seolah akulah dan bukan dia yang mahir

berdansa.98

Seperti pola pada cerpen-cerpen sebelumnya, sikap Willem

sebelumnya terhadap „lantai dansa dan swing jazz‟ sebagai benda-benda yang

tidak pernah ditangani (Vorhandenes) kemudian menjadi Zuhandenes pula.

Hal ini terlihat ketika Willem menjelang kematiannya sendiri, lantai dansa

dan swing jazz menjadi suatu hal yang Ia akrabi bahkan menghadirkan hal itu

ke dalam realitasnya yang sedang absen.

Sambil bersandar di tembok, kupeluk erat ia di pangkuanku. Ia ingin

pulang. Ingin bahagia. Bahagiakah ia sekarang di sana? Sebentar lagi

tentu aku akan tahu. Berlum pernah aku begitu menginginkan

kematian. Tapi itu nanti. Kini, sambil menunggu saat itu datang, aku

membayangkan lantai dansa. Swing jazz. Musik mengalun, kami

berpelukan tentang kehidupan abadi.99

Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa dunia Dasein adalah

dunia-bersama (Mitwelt), dunia sudah selalu merupakan dunia yang

dimukimi bersama dengan orang-orang lain, maka selain Willem atau tokoh

aku sebagai Dasein, terdapat pula tokoh-tokoh lain sebagai pola hubungan

terhadap Mengada-mengada lain. Tentu saja, sebagai Dasein, perlakuan

98

Iksaka Banu, Op cit., h. 164-165. 99

Iksaka Banu, Op cit., h. 169.

Page 94: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

83

terhadap Mengada yang satu ini dalam keseharian hidup-bersama yaitu

dengan sikap merawat atau memelihara (Fürsorge).

Nona Miranda. Istana Gotik. Ya, semua bermula tiga tahun lalu,

setelah Babah Sun kuselamatkan dari keroyokan para sinyo mabuk di

sekitar Kali Besar. Mendengar aku butuh pekerjaan, Babah

membawaku ke Istana Gotik menjadi karyawannya.100

Meski demikian, drama-eksistensial dalam keseharian seorang

Dasein niscaya tetap terjadi. Drama itu tak lain daripada paradoks yang ganjil

antara penyingkapan dan ketersembuyian Ada Dasein itu sendiri. Menyembul

dan membenamkan diri dalam keseharian, menemukan Ada-nya dan raib di

tengah-tengah anonimitas keseharian sebagai berada-di-dalam-dunia.

Malam itu kukabarkan kepadanya seluruh perjalanan hidupku:

Sebatang kara. Kemiskinan yang menggila. Dikhianati istri tercinta.

Menjadi tentara. Dan akhirnya, belajar meniadakan nurani dengan

menembak orang tua, wanita, dan bayi di Bali pada tahun 1906.

Kubisikkan semua. Tepat di muara telinganya.101

Atau, lihatlah bagaimana hubungan Willem dengan „dunia centeng‟.

Kesehariannya yang terpaut jarak, peraturan, dan nasib yang membentuknya,

sebagai Dasein, yang tidak mesti memperlihatkan bagaimana seharusnya

bersikap terhadap Mengada-mengada lain.

Kudekati pria itu. Meski pandai bermain drama, cahaya matanya

bukanlah milik seorang petarung. Tak bakal ia menarik pelatuk.

Kugemur lututnya dengan tendangan. Disusul tinju kananku yang

terayun sepenuh tenaga. Kurasa butuh waktu lama baginya kembali ke

dunia panggung. Hidungnya remuk, dua gigi depannya tanggal.102

100

Iksaka Banu, Op cit., h. 160. 101

Iksaka Banu, Op cit., h. 160. 102

Iksaka Banu, Op cit., h. 162.

Page 95: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

84

Kuangkat kedua tangan sambil melompat. Laras Browning kembarku

menyentak-nyentak. Selongsong timah berdenting-denting memukul

lantai. Dua centeng terdorong ke belakang dengan isi kepala

berhamburan. Satu peluru lari menembus lengan si durjana, membuat

senapannya terlempar.103

Saat itulah kuraih pisau dari sabuk. Kubiarkan memangsa dadanya.104

Kuayunkan kepalan tangan. Centeng itu menjerit. Lengan kanannya

terputar ke belakang karena bonggol bahunya lepas. Lalu, satu

bacokan pisau pada leher mengakhiri deritanya.105

Dengan satu terkaman, kutarik senapan si durjana. Kudorong belati ke

dadanya, lalu kuraih mulutnya. Kupaksa ia menganga, sampai

terdengar bunyi sobekan daging dan gelinjang kematian. Setelah itu

kuburu tubuh Nona Miranda.106

Singkatnya, sikap Willem sekaligus menguak struktur „untuk‟ sebagai

ontologi cara mengada alat-alat. Bahwa dari cara berada, terdapat distingsi

antara sikap Fürsorge yang merawat orang lain dengan sikap Zuhandenes

yang seakan‟memanipulasi‟ alat-alat sebagai kekuatan untuk menaklukan

MitDasein.

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah

Menanamkan pembelajaran sastra di sekolah secara serius menjadi

suatu keharusan bagi para pengajar. Mengingat tidak dapat dipungkiri bahwa

keterampilan bersastra dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan

kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pengajaran sastra di sekolah memiliki

peluang besar untuk meningkatkan apresiasi dan keakraban siswa pada sastra.

Peluang tersebut sejauh ini belum termanfaatkan di antaranya karena tidak

terdapat hubungan antara teori yang diajarkan dengan kemampuan apresiasi

siswa.107

Jadi dapat dikatakan harusnya pembelajaran sastra tidak hanya

103

Iksaka Banu, Op cit., h. 170. 104

Iksaka Banu, Op cit., h. 170. 105

Iksaka Banu, Op cit., h. 171. 106

Iksaka Banu, Op cit., h. 171. 107

Agus R. Sardjono, Sastra dalam Empat Orba, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001),

h. 209.

Page 96: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

85

menghafal tentang teori-teori sastra, namun dengan praktik seperti membaca

dan menikmati karya sastra secara langsung, kemudian memberi apresiasi

terhadap karya sastra yang dibaca.

Dari aktivitas membaca, siswa mampu menafsirkan dan memperoleh

pengetahuan baru (kognitif). Segi apresiasi, respon dari siswa dapat diketahui

adakah ketertarikan atau tidak setelah membaca karya sastra tersebut

(afektif). Adanya penyerapan pesan setelah membaca karya sastra sehingga

dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa (psikomotor).

Tujuan pembelajaran sastra di SMA adalah dikuasainya kompetensi

sastra pada siswa, yaitu kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra

melalui kegiatan mendengarkan, menyimak, membaca, dan melisankan hasil

sastra; mendiskusikan, memahami, dan menggunakan pengertian teknis

konvensi kesusastraan dan sejarah sastra, untuk menjelaskan, meresensi,

menilai, dan menganalisis hasil sastra; dan mampu memerankan drama, serta

menulis puisi, cerpen, novel, dan drama.

Melalui kajian ilmiah yang dilakukan terhadap tiga cerpen dalam

kumpulan Ratu Sekop dan Cerita-cerita Lainnya karya Iksaka Banu,

implikasinya pada pembelajaran sastra di sekolah adalah agar para siswa

dapat memahami serta menganalisis unsur intrinsik dalam cerpen-cerpen

tersebut. Melalui unsur intrinsik, siswa dapat mengetahui unsur apa saja yang

ada di dalam kedua cerpen tersebut. Hal ini sesuai dengan indikator

pencapaian kompetensi, yakni siswa mampu menemukan unsur intrinsik

cerpen berupa tema, latar, tokoh dan penokohannya.

Dapat dikatakan, jika pembelajaran sastra dikaitkan dengan kajian

yang telah dilakukan terhadap tiga cerpen dalam kumpulan Ratu Sekop dan

Cerita-cerita Lainnya maka siswa dapat mengetahui bagaimana unsur-unsur

intrinsik dalam cerpen-cerpen tersebut. Selain itu, cerpen juga menawarkan

sebuah miniatur dunia yang berisi model kehidupan yang dibangun melalui

Page 97: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

86

berbagai unsur intrinsik, seperti unsur penokohan di dalamnya. Kemudian

siswa dapat melihat hubungan eksistensialisme dengan karya tersebut.

Disesuaikan dengan indikator maka selanjutnya siswa dapat

mendiskusikan unsur-unsur intrinsik yang mereka temukan dari kumpulan

cerpen tersebut. Melalui metode diskusi dapat mendorong siswa untuk

memanfaatkan informasi, pemikiran dan gagasannya, sehingga siswa mampu

menyelesaikan tugas mereka. Hasil yang akan didapatkan oleh siswa ialah

gambaran mengenai gerak tokoh dalam cerpen tersebut. Kemudian

mempresentasikan hasil diskusinya, dengan metode ini siswa akan semakin

berani mengemukakan pendapat, saran, dan kritik terhadap hasil yang didapat

oleh mereka.

Tidak hanya pihak guru yang aktif mengajar tetapi siswa diharapkan

setelah membaca dan memahami cerpen tersebut diharapkan dapat lebih

mendalam lagi dalam memahami karya sastra tidak hanya terpaku pada unsur

intrinsik saja, melainkan unsur di luar karya sastra seperti pemikiran

pengarang juga berpengaruh penting terhadap lahirnya sebuah karya sastra.

Dari karya juga siswa dapat mengetahui ajaran-ajaran hidup yang

disampaikan di dalam cerpen, seperti muatan filosofi yang akan bermanfaat

di kehidupan mereka, sehingga siswa mampu mengaplikasikannya ke dalam

masyarakat, seperti siswa dapat meneladani sikap dari sosok tokoh Aku dalam

ikhtiar memahami manusia secara menyeluruh dan tidak dapat dicapai

dengan cara mengisolasi atau melepaskannya dari lingkungan, kehidupan

sosial serta budaya. Atau dalam pertanyaan reflektif yang khas eksistensial,

siswa dapat memahami bahwa manusia adalah Adaan yang berada sebagai

keberadaan di dunia, yang sekaligus mempertanyakan Ada di antara cara

berada Ada-adaan yang lain.

Page 98: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

87

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil temuan penelitian dan pembahasan mengenai eksistensialisme pada

tiga cerpen dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Unsur-unsur instrinsik pada tiga cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut

meliputi: tema, alur (plot), penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.

Tema dari tiga cerpen yang dijadikan objek dalam skripsi ini, secara garis besar

terkait pembahasan eksistensialisme. Khususnya refleksi dari tokoh utama

terhadap kematiannya sendiri yang bersifat simbolis maupun filosofis. Tema

kematian simbolis dialami Suami dalam Listrik dengan tubuhnya yang berubah

menjadi transparan seperti es batu setelah menyentuh steker penanak nasi.

Sementara tema kematian filosofis dapat ditemui dalam Belati, yakni ketika

Armin Kelana sebagai tokoh utama yang mempersiapkan kematiannya dengan

memotong urat nadi selagi menyiapkan rancangan masterpiece lukisannya.

Selain itu, bentuk kematian yang sama sekali lain terjadi di Istana Gotik.

Seorang centeng bernama Willem, tokoh yang tengah menyongsong

kematiannya sendiri dalam keputusannya untuk pergi menyusul keselamatan

Nona Miranda.

2. Berdasarkan beberapa macam kematian yang diangkat di tiga cerpen dalam

kumpulan cerpen Ratu Sekop, menggambarkan bahwa Drama-Eksistensial

kerap ditemui di kehidupan masyarakat manapun dalam berbagai macam

bentuk. Dapat dikatakan, Dasein, meski sebagai Adaan yang mengada-dengan-

yang-lain (Being-with-others), tak seorangpun dapat menjemput/menggantikan

kematiannya untuk/demi orang lain. Atas dasar itu, kematian adalah momen

paling otentik dan eksistensial bagi masing-masing tokoh utama di tiga cerpen

tersebut sebagai Dasein. Selanjutnya adalah ulasan mengenai masing-masing

tokoh yang bermukim di dunia dan bergerak dalam keseharian yang

menjelaskan bahwa terdapat tiga macam Mengada yang dapat ditemui Dasein

di dalam dunianya. Ketiga macam Mengada itu adalah alat-alat, benda-benda

Page 99: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

88

yang bukan alat-alat, dan yang terakhir adalah sesama manusia atau orang-

orang lain.

3. Implikasi pembelajaran sastra atas penelitian mengenai “Eksistensialisme

dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop Karya Iksaka Banu” memiliki

keterkaitan dengan pembelajaran sastra di sekolah. Berdasarkan kajian

terhadap tiga cerpen yang terpilih, kumpulan cerpen tersebut dapat menjadi

salah satu bahan ajar pembelajaran sastra pada tingkat SMA/MA dalam aspek

membaca dengan kompetensi membaca kritis. Pemahaman mengenai unsur-

unsur pembangun cerpen, dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk

memahami struktur cerpen secara lebih teliti. Melalui analisis struktur cerpen,

siswa dilatih untuk meningkatkan kepekaan dalam menemukan unsur

instrinsik dan juga nilai-nilai eksistensialisme yang terkandung di dalam

cerpen.

B. Saran

Berdasarkan hasil temuan penelitian dan pembahasan, simpulan dan implikasi yang

telah diuraikan, ada beberapa saran yang diajukan penulis, yaitu:

1. Guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah semestinya

meningkatkan minat baca peserta didiknya terhadap karya sastra yang

bermutu dan memberi tugas kepada peserta didiknya untuk membaca dan

memahami karya sastra yang dibacanya.

2. Diharapkan konsep eksistensialisme yang terkandung di dalam karya ini dapat

diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah, sehingga setelah siswa

membaca dan memahami cerpen ini, siswa dapat menerapkannya terhadap

karya sastra lain.

3. Bagi pembaca umum diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah

wawasan pembaca, dan menambah khazanah penelitian terhadap karya sastra.

Page 100: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. A Glossary of Literary Terms. Boston: Heinle & Heinle. 1999.

Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. 2013.

________. Sekitar Masalah Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. 1990.

Banu, Iksaka. Ratu Sekop dan Cerita-Cerita Lainnya. Tangerang Selatan: Marjin

Kiri. 2017.

Budianta, Melani Dkk. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera. 2006.

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas. Jakarta:

Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan

Dan Kebudayaan. 1978.

Endraswara, Suwardi. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Caps. 2011.

Hassan, Fuad. Psikologi Kita dan Eksistensialisme. Depok: Komunitas Bambu.

2014.

Hardiman, F. Budi. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: KPG. 2016.

________. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleimacher sampai Derrida.

Yogyakarta: PT. Kanisius. 2015.

Heidegger, Martin. Being and Time (penerjemah: Joan Stambaugh) New York:

State University of New York Press. 1996.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press. 2005.

Pradopo, Rahmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan

Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.

Priyantni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta:

Bumi Aksara. 2010.

Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. 1988.

Page 101: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 2007.

________. Sastra Dan Cultural Studies: Representasi Fiksi Dan Fakta.

Yogyakarta: Pustakapelajar. 2010.

Sardjono, Agus R. Sastra Dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang

Budaya. 2001.

Sayuti, Suminto A. Berkenalan Dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

2000.

Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

Suroto. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga. 1989.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 2009.

________. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 1985.

Teeuw, A. Membaca Dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. 1983.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Edisi Iv. Jakarta: Balai Pustaka. 2008.

Toda, Dami N. Novel Baru Iwan Simatupang. Jakarta Pusat: PT. Dunia Pustaka.

1984.

Zulfahnur, Z. F. dkk. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. 1996.

--------------------------------

Damono, Sapardi Djoko. Sastra di Sekolah. Jakarta: Susastra Jurnal Ilmu Sastra

dan Budaya, Vol. 3. 2007.

Arnas, Benny. Parade Realitas Urban yang Paradoks.

https://jurnalruang.com/read/1515996843-parade-realitas-urban-yang-paradoks#

Page 102: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

LAMPIRAN I

SILABUS

Sekolah : SMA/MA....

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas : XII

Semester : 1

Standar Kompetensi : Membaca

Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen

Kompetensi

Dasar

Materi Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Indikator

Pencapaian

Kompetensi

Penilaian Alokasi

Waktu

Sumber

/Bahan/

Alat

Menganalisis

unsur-unsur

intrinsik dan

ekstrinsik

cerpen

1. Cerpen

2. Unsur-unsur intrinsik

(tema, tokoh,

perwatakan, latar, sudut

pandang, alur, amanat,

dan gaya bahasa)

3. Unsur ekstrinsik agama,

sejarah, sosial, politik,

budaya)

1. Cerpen

2. Mengidentifikasi unsur

intrinsik cerpen yang

telah dibaca

3. Mengaitkan cerpen

dengan kejadian di

luar karya (unsur

ekstrinsik)

Menganalisis

unsur-unsur

ekstrinsik dan

intrinsik

Mengaitkan

unsur intrinsik

dan ekstrinsik

ke dalam

kehidupan.

Jenis Tagihan:

1. Tugas individu

2. Tugas kelompok

3. Ulangan Bentuk

Instrumen:

4. Uraian bebas

5. Pilihan ganda

6. Jawaban singkat

2 X 40

menit

Kumpulan Cerpen Ratu Sekop Karya Iksaka Banu.

Page 103: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

LAMPIRAN II

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

SEKOLAH : SMAN 5 Kota Tangerang Selatan

MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia

KELAS/SEMESTER : XI/Genap

ALOKASI WAKTU : 4 X 40 Menit

A. STANDAR KOMPETENSI :

Membaca: Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen

B. KOMPETENSI DASAR :

Menganalisis unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik cerpen

C. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI :

No Indikator Pencapaian

Kompetensi

Nilai Budaya Dan

Karakter Bangsa

Kewirausahaan/

Ekonomi Kreatif

1 Mampu menemukan unsur

instrinsik yang berupa tema

dan amanat, latar, tokoh dan

watak penokohan, alur,

gaya bahasa, dan sudut

pandang.

1. Bersahabat/

komunikatif

2. Kreatif

1. Kepemimpinan

2. Keorisinilan

2 Mendiskusikan unsur-unsur

instrinsik (tema, tokoh,

penokohan, alur, sudut

pandang, latar, dan amanat)

cerpen yang dibaca.

D. TUJUAN PEMBELAJARAN :

Siswa dapat:

1. Mampu menemukan unsur intrinsik yang berupa tema, latar, tokoh dan

penokohan.

2. Mendiskusikan unsur-unsur instrinsik (tema, tokoh, penokohan, alur, sudut

pandang, latar, dan amanat) cerpen yang dibaca.

E. MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN :

1. Inkuiri

2. Demonstrasi

3. Diskusi

F. Media, Alat dan Sumber Belajar

Media : Buku paket Bahasa Indonesia kelas XI semester I

Page 104: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

Alat : Gawai Pembaca Berkas dan Akun Surat Elektronik

Sumber : Kumpulan cerpen Ratu Sekop karya Iksaka Banu, Teori

Pengkajian Fiksi, Artikel dan Jurnal.

G. Strategi Pembelajaran

Tatap Muka Terstruktur Mandiri

Menjelaskan pengertian

unsur intrinsik dan

ekstrinsik

Membaca cerpen

Menemukan unsur

intrinsik yang berupa

tema, latar, tokoh, dan

penokohan

Siswa dapat

mendeskripsikan dan

menemukan unsur

intrinsik (tema, latar,

tokoh, dan penokohan)

dan mengaitkannya

dengan kejadian di luar

cerpen

H. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN :

Pertemuan Pertama

No. Kegiatan Belajar

Nilai

Budaya

Dan

Karakter

Bangsa

Alokasi

Waktu

1. Kegiatan Awal

Apersepsi :

Guru memberi salam dan berdoa

Guru mengecek kehadiran siswa

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

Guru meninjau ulang materi sebelumnya

Guru memotivasi siswa

Guru menunjukkan urgensi pembelajaran hari

ini

Bersahabat/

komunikatif

2. Kegiatan Inti :

Eksplorasi

Guru berinteraksi dengan siswa tentang unsur

intrinsik

Siswa menyebutkan unsur intrinsik cerpen

(tema, latar, tokoh, dan penokohan)

Elaborasi

Siswa mengamati kutipan cerpen yang

Kreatif

Page 105: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

disediakan guru

Konfirmasi

Menjelaskan tema dan amanat, latar, tokoh dan

penokohan, alur, gaya bahasa, dan sudut

pandang

Menyimpulkan tentang materi yang telah

disampaikan

3. Kegiatan Akhir

Refleksi

Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini

Penugasan

Bersahabat/

komunikatif

Pertemuan Kedua

No. Kegiatan Belajar

Nilai

Budaya

Dan

Karakter

Bangsa

Alokasi

Waktu

1. Kegiatan Awal

Apersepsi :

Guru memberi salam dan berdoa

Guru mengecek kehadiran siswa

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

Guru meninjau ulang materi sebelumnya

Guru memotivasi siswa

Guru menunjukkan urgensi pembelajaran hari

ini

Bersahabat/

komunikatif

2. Kegiatan Inti :

Eksplorasi

Guru bertanya jawab dengan siswa tentang

unsur intrinsik cerpen

Elaborasi

Mendiskusikan unsur-unsur instrinsik (tema,

tokoh, penokohan, alur, sudut pandang, latar,

dan amanat) cerpen yang dibaca.

Konfirmasi

Siswa menyimpulkan tentang materi yang telah

disampaikan

Kreatif

3. Kegiatan Akhir

Refleksi

Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini

Penugasan

Bersahabat/

komunikatif

I. PENILAIAN

Page 106: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

1. Teknik

Tes (PG, Isian, dan Uraian)

Penugasan menjelaskan unsur instrinsik dan ekstrinsik

2. Bentuk Instrumen Soal

a. Apa pengertian unsur intrinsik dan ekstrinsik?

b. Sebut dan jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan cerpen cerpen

Ratu Sekop?

c. Sebut dan jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan cerpen Ratu

Sekop?

d. Sebutkan persamaan apa saja yang terdapat dalam kumpulan cerpen Ratu

Sekop?

J. FORMAT PENILAIAN

M

e

n

g

e

t

a

h

u

i

:

Tangerang Selatan, .............

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

__________________ __________________

UNSUR PENILAIAN

No Unsur Intrinsik SKOR Unsur Ekstrinsik SKOR

1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

1 Menganalisis dengan

cermat dan tepat

Menganalisis dengan

cermat dan tepat

2 Menemukan unsur-unsur

dengan bukti yang tepat

Menemukan unsur-unsur

dengan bukti yang tepat

3 Mendeskripsikan hasil

analisis dengan tepat

Mendeskripsikan hasil

analisis dengan tepat

4 Amanat yang bisa

diambil dari unsur

intrinsik

Amanat yang bisa diambil

dari unsur ekstrinsik

Perolehan Nilai = Total

skor x 5

Perolehan Nilai = Total

skor x 5

Page 107: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop
Page 108: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop
Page 109: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop
Page 110: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop
Page 111: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop
Page 112: EKSISTENSIALISME DALAM KUMPULAN CERPENrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42877/1/TRI...Tri Wibowo 1113013000045, “Eksistensialisme dalam Kumpulan Cerpen Ratu Sekop

RIWAYAT PENULIS

Tri Wibowo: lahir di Jakarta, besar di Parung,

Bogor. Saat ini tinggal di Ciputat. Aktif sebagai

oknum pegiat sastra dan kebudayaan Majelis

Kantiniyah serta Rusabesi. Biasa dijumpai melalui

laman twitter juga instagram: @uwowh. Atau

melalui pos elektronik: [email protected] dan

whatsapp 08988443481.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri

Mekarwangi Parung (Bogor) pada tahun 2006, lalu

melanjutkan ke SMP Negeri 01 Parung (Bogor) dan lulus tahun 2009, lalu penulis

menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 01 Parung (Bogor) pada tahun 2012.

Kemudian penulis melanjutkan program S1 di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2013 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.