strukturalisme levi strauss

28
1 TEORI-TEORI ANALISIS SASTRA LISAN: STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS Oleh Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum 1 Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia 1. Latar Belakang Claude Lévi-Strauss (1908-2009) adalah seorang ahli antropologi dan etnografi terkemuka Prancis yang dikenal sebagai ―bapak antropologi modern‖. Pandangannya yang utama adalah struktur pemikiran manusia purba ( savage mind) sama dengan struktur pemikiran manusia modern (civilized mind) karena sifat dasar manusia sebenarnya sama. Pemikiran ini dituangkannya dalam bukunya yang terkenal Tristes Tropiques yang menempatkan Levi-Strauss sebagai salah satu tokoh terpenting aliran strukturalis. Gagasannya diterima di lingkungan ilmu-ilmu humaniora dan filsafat. Levi-Strauss memberikan perhatian khusus pada mitos, yang menurutnya memiliki kualitas logis dan bukan estetis, psikologis, ataupun religious. Dia menganggap mitos sebagai bahasa, sebuah narasi yang sudah dituturkan untuk diketahui. Menghadapi mitos, para ilmuwan seolah-olah memasuki sebuah dunia yang kontradiktif. Di satu pihak, tampak bahwa segala sesuatu dapat saja terjadi. Tidak ada logika, tidak ada kontinuitas. Sifat-sifat apapun dapat diberikan kepada subjek tertentu, segala macam relasi dimungkinkan. Hal yang mengherankan adalah bahwa ciri arbitrer ini muncul dalam semua mitos dari berbagai wilayah di dunia. Hakikat mitos, menurut Levi-Strauss (1958: 94), adalah sebuah upaya untuk mencari pemecahan terhadap kontradiksi-kontradiksi empiris yang dihadapi dan yang tidak terpahami oleh nalar manusia. Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat. Teori dan metode kajian struktural Levi-Strauss tidak banyak dimanfaatkan oleh kalangan akademisi di Indonesia, sebagian karena cara kerjanya yang cukup rumit. Ilmuwan Indonesia yang sangat intens memperkenalkan dan menggunakan teori dan metode struktural Levi-Strauss dalam melakukan kajian terhadap mitos dan karya-karya sastra Indonesia adalah Ahimsa-Putra (2006). Selain memperkenalkan konsep-konsep teoretisnya, 1 Tulisan ini merupakan Bab VI dalam buku Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan, Disertai dengan Contoh Penerapannya. (Penerbit Lamalera: Yogyakarta, 2011: 159- 193).

Upload: kazeseiko

Post on 21-Oct-2015

407 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Strukturalisme Levi Strauss

1

TEORI-TEORI ANALISIS SASTRA LISAN:

STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS

Oleh Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum1

Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia

1. Latar Belakang

Claude Lévi-Strauss (1908-2009) adalah seorang ahli antropologi dan

etnografi terkemuka Prancis yang dikenal sebagai ―bapak antropologi modern‖.

Pandangannya yang utama adalah struktur pemikiran manusia purba (savage

mind) sama dengan struktur pemikiran manusia modern (civilized mind) karena

sifat dasar manusia sebenarnya sama. Pemikiran ini dituangkannya dalam

bukunya yang terkenal Tristes Tropiques yang menempatkan Levi-Strauss sebagai

salah satu tokoh terpenting aliran strukturalis. Gagasannya diterima di lingkungan

ilmu-ilmu humaniora dan filsafat.

Levi-Strauss memberikan perhatian khusus pada mitos, yang menurutnya

memiliki kualitas logis dan bukan estetis, psikologis, ataupun religious. Dia

menganggap mitos sebagai bahasa, sebuah narasi yang sudah dituturkan untuk

diketahui. Menghadapi mitos, para ilmuwan seolah-olah memasuki sebuah dunia

yang kontradiktif. Di satu pihak, tampak bahwa segala sesuatu dapat saja terjadi.

Tidak ada logika, tidak ada kontinuitas. Sifat-sifat apapun dapat diberikan kepada

subjek tertentu, segala macam relasi dimungkinkan. Hal yang mengherankan

adalah bahwa ciri arbitrer ini muncul dalam semua mitos dari berbagai wilayah di

dunia. Hakikat mitos, menurut Levi-Strauss (1958: 94), adalah sebuah upaya

untuk mencari pemecahan terhadap kontradiksi-kontradiksi empiris yang dihadapi

dan yang tidak terpahami oleh nalar manusia. Pada dasarnya mitos merupakan

pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat.

Teori dan metode kajian struktural Levi-Strauss tidak banyak

dimanfaatkan oleh kalangan akademisi di Indonesia, sebagian karena cara

kerjanya yang cukup rumit. Ilmuwan Indonesia yang sangat intens

memperkenalkan dan menggunakan teori dan metode struktural Levi-Strauss

dalam melakukan kajian terhadap mitos dan karya-karya sastra Indonesia adalah

Ahimsa-Putra (2006). Selain memperkenalkan konsep-konsep teoretisnya,

1 Tulisan ini merupakan Bab VI dalam buku Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan

Pendekatan, Disertai dengan Contoh Penerapannya. (Penerbit Lamalera: Yogyakarta, 2011: 159-

193).

Page 2: Strukturalisme Levi Strauss

2

Ahimsa-Putra menerapkan model kajian struktural Levi-Strauss untuk

menganalisis karya sastra dan dongeng-dongeng dari wilayah nusantara, antara

lain terhadap dongeng masyarakat Bajo berjudul ‘Pitoto Si Muhamma‘, karya-

karya sastra Umar Kayam Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi, dan Mitos

Sawerigading dan Dewi Sri.

Dalam mengkaji dongeng masyarakat Bajo, Ahimsa-Putra (2006: 99-180)

sampai pada kesimpulan bahwa dongeng Pitoto‘ Muhamma‘ benar-benar

mencerminkan konflik batin orang Bajo yang terus-menerus mendua dan tak

pernah terpecahkan: di satu pihak mereka adalah orang laut yang meyakini

superioritas laut, tetapi di pihak lain mereka juga sangat tergantung pada

kehidupan darat dan menyaksikan superioritas darat. Dalam kenyataannya,

mereka tidak sepenuhnya dapat hidup hanya dari hasil laut saja. Laut dan darat

masing-masing memiliki kekuatan dan orang Bajo sesungguhnya membutuhkan

keduanya. Dongeng Pitoto‘ Muhamma‘ dapat dikatakan merupakan sebuah upaya

simbolisasi orang Bajo untuk memahami kontradiksi-kontradiksi empiris: mereka

sebagai orang yang hidup dari mengumpulkan hasil laut tetapi sekaligus

tergantung pada hasil bumi dari darat. Pertanyaan tentang kontradiksi-kontradiksi

ini tidak pernah terjawab dengan tuntas. Karena itulah dongeng ini memberi

jawaban tentang konflik batin ini, yakni: bagi orang Bajo, aktivitas yang

terpenting adalah mengembara dan mengunjungi sesama orang Bajo. Dalam

aktivitas mengembara inilah mereka menemukan identitas mereka. Dongeng ini

menjawab konflik batin itu: pertanyaan tentang superioritas – inferioritas menjadi

kurang relevan. Mereka tetap memilih menjadi pengembara.

Kajian Shri Ahimsa-Putra lainnya berjudul ‖Sri Sumarah, Bawuk, dan

Para Priyayi: Sebuah Analisis Struktural-Hermeneutik‖ (dari buku Strukturalisme

Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra). Analisis Ahimsa-Putra menyimpulkan

empat hal sebagai berikut. (1) Tema cerita-cerita ‗dongeng‘ Umar Kayam yang

dikaji di atas adalah: kisah tentang keluarga-keluarga priyayi Jawa yang beberapa

anggotanya terlibat PKI. (2) Karya-karya tersebut berhasil memberi jawaban

terhadap kebimbangan Umar Kayam tentang siapa yang ‗harus dan tidak harus‘

jatuh ke dalam lubang nasib mereka. Dalam hal ini, penjelasan itu ditunjukkan

dalam dua struktur, yaitu ‘struktur sejarah kehidupan‘ dan ‘struktur segi tiga

tegak‘. Dalam kedua struktur inilah terkuak adanya prinsip-prinsip nalar Jawa di

Page 3: Strukturalisme Levi Strauss

3

seputar harmoni, kesinambungan, dan kesatuan. (3) Kebebasan Umar Kayam

sebagai pengarang ternyata ‘dibatasi‘ oleh sebuah struktur nalar ‘nirsadar‘. (4)

Nilai Jawa sak madya, tokoh mitis (mythical figure) Semar, sosok Umar Kayam,

dan tokoh-tokoh etnografis Tun, Bawuk, Hari merupakan perwujudan prinsip

nalar Jawa yang selalu berusaha menyeimbangkan dan menyatukan elemen-

elemen yang selalu berlawanan.

Tirto Suwondo (2003) menerapkan studi struktural Levi-Strauss untuk

memahami pola pikir Jawa melalui mitos Dewi Sri dalam tulisan berjudul

‖Pemahaman Pola Berpikir Jawa Melalui Mitos Dewi Sri: Studi Struktural-

Antropologis Menurut Levi-Strauss.‖ Suwondo menyimpulkan bahwa mitos

Dewi Sri merupakan alat pembenaran konsep hidup Jawa yang bersifat melingkar

yang berpusat pada satu titik, yaitu pada sangkan paraning dumadi, suwung

awang-uwung. Suwondo tidak sampai menemukan ‘logika‘ di balik Dewi Sri

yang mencerminkan nalar manusia Jawa dalam memecahkan sebuah persoalan.

Logika mitos Dewi Sri dikemukakan oleh Ahimsa-Putra (2006: 436-438), bahwa

mitos ini menerangkan tentang larangan incest atau kawin antara saudara

sekandung.

2. Teori dan Konsep Analisis Struktural

Strukturalisme adalah sebuah pendekatan yang mulai dikenal dan

dikembangkan di Prancis pada tahun 1950-an dari pemikiran linguis Ferdinand de

Saussure.2 Menurut Saussure, prinsip dasar strukturalisme adalah bahwa alam

semesta terjadi dari relasi (forma) dan bukan benda (substansial). Di bidang

antropologi dua tokoh strukturalis yang paling berpengaruh adalah Claude Lévi-

Strauss (1908-2009) dan Roland Barthes3 (1915 –1980).

2 Ferdinand de Saussure (1857 –1913) dikenal sebagai peletak dasar linguistik dan semiotik

modern. Menurut dia, studi bahasa perlu membedakan antara langue (sistem bahasa, tata bahasa,

sintaksis, dll) dari parole (penggunaan bahasa oleh individu-individu). Tujuan linguistik adalah

mencari sistem (langue) atau struktur dari kenyataan yang konkret (parole). Ajaran ini menjadi

dasar pendekatan strukturalis. Pemikirannya amat mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu

humaniora dan sosial. Kata bukanlah simbol mengenai sesuatu hal melainkan tanda yang terdiri dari: penanda (kata) dan petanda (konsep, makna, pemikiran). Kata ‗merah‘ menandakan ‗stop‘.

Hubungan penanda dan petanda bersifat arbitrer atau mana suka. 3 Roland Barthes adalah filsuf, kritikus sastra, dan semiolog Prancis yang paling eksplisit

mempraktikkansemiologi Ferdinand de Saussure, bahkan mengembangkan semiologi itu menjadi

metode untuk menganalisis kebudayaan.

Page 4: Strukturalisme Levi Strauss

4

Perjumpaan Levi-Strauss dengan Roman Jakobson menentukan karir

akademisnya, terutama dengan diperkenalkannya linguistik modern. Beberapa

prinsip linguistik modern Levi-Strauss dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure.

Saussure menganggap fenomena-fenomena umum bahasa (langage) selalu

memiliki dua sisi, yaitu parole (speech, language use) dan langue (sistem bahasa

umum dari suatu kelompok bahasa) (Bertens, 1985).

Yang menjadi objek studi linguistik adalah langue, sistem bahasa umum

yang melebihi bahasa individual (parole). Parole tidak menjadi objek studi

linguistik. Langue harus dianggap sebuah institusi bersistem, arbitrer, sesuai

dengan sistem bahasa tertentu. Dari paham sistem langue itu, Saussure

menekankan pengkajian sinkronis sebelum memasuki pengkajian diakronis.

Sinkronis harus dilepaskan dari persepektif historis, lepas dari subjek yang

berbicara, jadi a-historis. Sinkronis berarti meneliti bahasa pada waktu tertentu

tanpa menghiraukan perkembangan awalnya. Sebelum Saussure, ahli-ahli bahasa

selalu memperhatikan proses evolusi bahasa-bahasa tertentu, etimologi, perubahan

fonetis dengan sudut pandang historis-komparatif. Bagi Saussure, linguistik harus

mengesampingkan unsur-unsur ekstra-linguistik dan historis. Inilah awal

munculnya pendekatan strukturalisme. Strukturalisme adalah ―penelitian terhadap

pola-pola pemikiran yang mendasari berbagai bentuk aktivitas manusia‖

(Wikipedia, 2010).

Strukturalisme kemudian menjadi model atau paradigma, kunci untuk

membuka ilmu-ilmu manusia lainnya seperti antropologi, psikologi, ekonomi,

sosiologi. Karena semua manusia berbakat simbolik. Kebudayaan tak lain adalah

sistem-sistem simbolik. Selain Mazhab Jenewa (Saussure), pandangan serupa

telah dibuat oleh Mazhab Praha (Roman Jakobson) yang memandang sastra

bersifat otonom, terlepas dari pengarang atau lingkungan sosialnya. Mereka hanya

meneliti relasi-relasi instrinsik karya sastra. Bagi Madzab Praha, segala sesuatu

adalah bentuk, sehingga aliran mereka pun dinamakan Formalisme Rusia. N.

Trubertzkoy menerapakan prinsip-prinsip fonologi modern. Berkat Roman

Jakobson dan N. Trubertzkoy itulah ilmu-ilmu kemanusiaan dipelajari secara

sangat objektif, seperti halnya ilmu-ilmu alam. Ilmu bahasa tampil sebagai ilmu

kemanusiaan yang paling maju.

Page 5: Strukturalisme Levi Strauss

5

Bagi Levi-Strauss, linguistik adalah satu-satunya ilmu sosial yang pantas

menggunakan nama ilmu (Bertens, 1985: 387). Bagi Levi-Strauss, ada 3 ciri

fonologi yang dapat dimanfaatkan dalam ilmu antropologi. (1) Semua bahasa

merupakan sistem tanda, maka unsur-unsur fonem bahasa juga merupakan satu

sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi. (2) Sistem itu harus

dipelajari secara sinkronis sebelum orang menyelami masalah-masalah diakronis.

(3) Hukum-hukum linguistik (misalnya tata bahasa) memperlihatkan suatu taraf

ketaksadaran (unconscious) padahal diterangkan secara sadar. Sistem bahasa

dibentuk oleh ‘psike manusiawi‘ yang tidak sadar.

Strukturalisme bagi Lévi-Strauss adalah sebuah epistemologi baru dalam

ilmu-ilmu sosial-budaya. Oleh karena itu strukturalisme Lévi-Strauss tidak hanya

penting bagi dan dalam antropologi, tetapi juga penting bagi ilmu-ilmu sosial-

budaya lain. Tidak mengherankan, setelah kemunculan strukturalisme ini

pandangan-pandangan antropologi kemudian mempengaruhi cabang-cabang ilmu

sosial-budaya yang lain seperti sosiologi, sastra, dan filsafat (Ahimsa-Putra,

2010). Melalui karyanya Structural Anthropology (1958) strukturalisme kemudian

dikenal oleh lebih banyak orang, oleh lebih banyak ilmuwan. Dia memandang

kebudayaan sebagai sebuah sistem komunikasi simbolik yang dapat dikaji dengan

menggunakan metode-metode yang digunakan dalam mengkaji novel, wacana

politik, olah raga, dan film.

Levi-Strauss memberikan sebuah ilustrasi yang menarik tentang cara kerja

kajian struktural (1958). Dia membayangkan bahwa pada suatu saat ahli-ahli

arkeologi datang dari sebuah planet lain ketika semua manusia sudah tidak ada

lagi di muka bumi ini. Mereka memeriksa perpustakaan kita. Sekalipun mula-

mula mereka tidak mengerti tulisan kita, yakinlah bahwa melalui penelitian tahap

demi tahap, melalui metode trial and error, mereka akhirnya dapat membaca dan

mengartikan tulisan kita. Mereka dapat menemukan bahwa alfabet yang kita

gunakan dalam mencetak buku itu harus dibaca dari kiri ke kanan dan dari atas ke

bawah. Mereka pasti segera menemukan kategori-kategori yang membentuk pola-

pola umum, yang barangkali dianggap sebagai not-not orkestra dalam bidang

musik. Pola-pola notasi itu berulang pada interval tertentu. Setelah menemukan

sebuah ‘harmoni‘, untuk menemukan maknanya, mereka pun akan membacanya

secara diakronik mengikuti satu aksis yakni halaman demi halaman dan dari kiri

Page 6: Strukturalisme Levi Strauss

6

ke kanan, juga secara sinkronik menurut aksis lainnya, bahwa sebuah notasi yang

ditulis secara vertikal membentuk satu kesatuan unsur pokok, yakni satu ikatan

relasi.

3. Cara Kerja Penelitian

Analisis struktural Lévi-Strauss banyak memanfaatkan data etnografi.

Analisis serta interpretasi dilakukan atas informasi etnografis mengenai berbagai

hal dengan begitu rinci dan rumit. Oleh karena itu pula analisis struktural yang

dikerjakan Lévi-Strauss termasuk yang tidak mudah dipahami oleh orang-orang

antropologi. Kesulitan memahami ini bertambah besar lagi ketika Lévi-Strauss

menggunakan bahasa yang juga relatif sulit dipahami. Lévi-Strauss termasuk ahli

antropologi yang mampu menggunakan daya retorika yang bagus tetapi tidak

mudah dipahami (Ahimsa-Putra, 2010).

Dalam melakukan kajian terhadap mitos, Levi-Strauss memiliki metode

dan pandangan yang berbeda. Berikut ini dikemukakan mitos Oedipus sebagai

ilustrasi untuk memahami metode dan pendekatan Levi-Strauss. Oedipus adalah

seorang raja mistis dari Thebes, Yunani. Dia memenuhi sebuah ramalan bahwa

dia akan membunuh ayahnya dan mengawini ibunya, dan dengan demikian

membawa malapetaka bagi kerajaan dan keluarganya. Mitos ini digunakan oleh

Sigmud Freud untuk menyebut sebuah gejala psikologis manusia yang disebut

Oedipus kompleks.

Kisah Mitos Oedipus4

Oedipus adalah anak dari raja Laius dan ratu Jocasta. Karena keduanya

tidak segera mendapatkan anak, mereka mendatangi Peramal Apollo di Delfi.

Sang peramal mengingatkan bahwa jika mereka mendapatkan seorang anak laki-

laki, putra itu akan membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Ketika Jocasta

melahirkan seorang anak laki-laki, Laius memerintahkan pengawalnya untuk

mengikat kaki Oedipus dan memakunya untuk menghindari terwujudnya ramalan

tersebut. Nama Oedipus muncul dari peristiwa ini, yaitu ―kaki bengkak‖. Laius

menyuruh seorang pelayan untuk membuang anak itu ke kaki gunung terdekat dan

membiarkannya mati. Akan tetapi sang pelayan merasa kasihan pada bayi

Oedipus dan menyerahkannya kepada seorang penggembala dari Korinth. Sang

4 Diolah dari berbagai sumber, dengan sumber utama dari ―http://en.wikipedia.org/wiki/

oedipus‖ yang diunduh tanggal 23 Juni 2010

Page 7: Strukturalisme Levi Strauss

7

gembala memberikan anak itu untuk dipelihara raja Korinth, Polybus dan ratu

Merope, yang mengadopsi bayi itu karena mereka tidak memiliki anak.

Ketika beranjak dewasa, Oedipus diberitahu oleh seorang pemabuk bahwa

Polybus bukanlah ayahnya yang sebenarnya. Ketika Oedipus menanyakan hal ini

kepada Polybus, dia membantah dan mengatakan bahwa Oedipus memang anak

kandung mereka. Untuk membuktikan kebenaran cerita sang pemabuk, Oedipus

bertanya pada peramal Apollo di Delfi. Sang peramal tidak mengungkap identitas

Oedipus yang sebenarnya, tetapi menyampaikan bahwa Oedipus sudah

ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Demi menghindari

takdir tersebut, Oedipus memutuskan untuk tidak akan kembali ke rumahnya di

Korintus. Bagi Oedipus, Polybus dan Merope, adalah orang tuanya. Karena

berdekatan dengan Delfi, Oedipus memutuskan pergi ke Thebes.

Dalam perjalanannya ke Thebes, dia tiba di sebuah simpang tiga di Davlia,

di mana dia bertemu dengan kereta kuda yang dikendarai oleh raja Laius. Laius

memerintahkan Oedipus minggir dari jalan agar keretanya dapat lewat, tetapi

Oedipus tidak mau menurutinya. Oedipus tidak mengenal Laius saat itu.

Keduanya terlibat dalam perkelahian dan berakhir dengan kematian Laius di

tangan Oedipus. Seperti ramalan Apollo, Oedipus membunuh ayahnya.

Oedipus meneruskan perjalanannya ke Thebes. Di tengah jalan dia

dihentikan oleh Sphinx. Sphinx memang menghentikan semua orang yang lewat

di jalan itu sambil memberikan mereka sebuah teka teki. Siapapun yang tidak

dapat menjawab dengan benar akan dimakan oleh Sphinx. Jika mereka berhasil,

mereka dapat melanjutkan perjalanannya. Teka-tekinya adalah ―Makhluk apakah

yang berjalan dengan empat kaki di pagi hari, dua kaki di siang hari, dan tiga kaki

di sore hari?‖ Oedipus menjawab, ―Manusia. Saat balita, manusia merangkak

yaitu berjalan dengan empat kaki dan tangannya, saat dewasa berjalan dengan dua

kakinya, dan saat tua berjalan dengan tongkatnya.‖ Setelah mendengar jawaban

Oedipus sebagai sebuah jawaban yang benar, Sphinx bunuh diri dan

membebaskan Thebes dari ancaman kematian.

Sebagai ungkapan syukur karena berhasil membunuh Sphinx, penduduk

Thebes mengangkat Oedipus menjadi raja dan juga menghadiahkan janda raja

Laius, Jocasta sebagai istrinya. Perkawinan Oedipus ini memenuhi sebagian

ramalan Apollo. Dari perkawinan itu, mereka dikaruniai empat orang anak, dua

laki-laki, Poliniles dan Eteokles dan dua perempuan, Antigone dan Ismene.

Penduduk Thebes yakin bahwa raja mereka Laius terbunuh ketika mencari

jawaban atas teka-teki Sphinx. Mereka benar-benar tidak mengetahui bahwa

pembunuh yang sebenarnya adalah Oedipus.

Beberapa tahun setelah perkawinan Oedipus dan Jakosta, sebuah wabah

penyakit ketidaksuburan menyerang kota Thebes. Tanaman tidak menghasilkan

tuaian dan para perempuan tidak dapat melahirkan anak. Oedipus berjanji akan

segera mengakhiri bencana itu. Diutuskan Kreon, saudara Jocasta, untuk menemui

peramal Apollo di Delfi meminta petunjuk. Apollo mengatakan bahwa si

pembunuh Raja Laius harus ditemukan dan dibunuh atau diasingkan. Oedipus

mencoba mencari identitas si pembunuh. Atas saran Kreon, Oedipus menemui

seorang peramal buta bernama Tiresias. Tiresias mengingatkan Oedipus agar

usahanya untuk mencari pembunuh Laius tidak diteruskan. Karena didesak dan

disudutkan oleh Oedipus, Tiresias terpaksa mengatakan dua hal. Pertama,

pembunuh Raja Laius adalah Oedipus sendiri. Kedua, Oedipus seharusnya merasa

malu karena tidak mengetahui siapakah orang tuanya yang sebenarnya.

Page 8: Strukturalisme Levi Strauss

8

Mendengar tuturan Tiresias, Oedipus mempersalahkan Kreon. Mereka pun

bertengkar dengan hebatnya. Jocasta mencoba melerai dan menenangkan

Oedipus. Jocasta mencoba menenangkan hati Oedipus dengan menceritakan

mengenai Laius dan sebab-sebab kematiannya. Akan tetapi cerita Jocasta justru

membuat Oedipus menjadi semakin gelisah bahwa dialah yang membunuh Laius

dan membawa malapetaka berupa wabah penyakit ini ke kota Thebes. Pada saat

yang menegangkan ini, datang seorang pesuruh dari Korintus yang mengabarkan

bahwa Raja Polibus, yang dianggap oleh Oedipus sebagai ayahnya, telah wafat.

Oedipus mengkhawatirkan keadaan ibunya. Akan tetapi, untuk menghilangkan

kecemasan itu, sang utusan mengungkap bahwa Oedipus sebenarnya hanyalah

anak angkat dari Polibus. Jocasta akhirnya menyadari identitas Oedipus yang

sebenarnya dan memintanya untuk menghentikan upayanya mencari pembunuh

Laius. Oedipus salah paham terhadap motivasi permintaan Jocasta. Dia mengira

Jocasta merasa malu terhadap Oedipus karena dia adalah anak dari seorang budak.

Jocasta kemudian lari ke istana dan menggantung diri. Oedipus ingin

membuktikan kebenaran cerita utusan tadi. Dia pun menanyakan kepada sang

gembala yang diminta membuang bayi Oedipus. Dari gembala itulah Oedipus

mengetahui bahwa dia memang diadopsi sebagai anak oleh Polybus dan Merope

dan bahwa dia memang anak dari Laius dan Jocasta.

Dalam kesedihan yang amat mendalam, Oedipus teringat bahwa dia

memang membunuh ayahnya sendiri, Raja Laius, di sebuah pertigaan di Davlia,

dan menikahi ibunya sendiri Jocasta. Oedipus bergegas mencari Jocasta tetapi dia

mendapati istri sekaligus ibunya itu sudah tewas bunuh diri. Oedipus mengambil

dua buah peniti dari pakaian Jocasta dan menusuk kedua matanya hingga menjadi

buta. Oedipus meminta Creon menjaga kedua putrinya karena kedua anak laki-

lakinya sudah beranjak dewasa. Akan tetapi putrinya, Antigone, memandu

ayahnya yang buta melalui negaranya sampai meninggalnya di Kolonus, sebuah

wilayah yang dilindungi oleh Raja Theseus dari Athena.

Mitos sebagai Alat Logika

Bagi Levi-Strauss, dengan berpikir manusia membuat struktur terhadap

realitas. Berpikir adalah melakukan klasifikasi. Karena peraturan-peraturan yang

dilakukan dalam klasifikasi itu tidak disadari, maka subjek (manusia individu)

tidak berperan. ‖Pemikiran tidak berasal dari suatu subjek‖ (une pensee sans

sujet). Ini adalah sebuah revolusi cara pandang terhadap manusia yang berlaku

pada waktu itu, yang diterima filsafat Barat, yakni cogito ergo sum, dari Descartes

sampai Sartre (Bertens, 1985: 389).

Pendekatan dan cara kerja penelitian Levi-Strauss dikemukakan dalam

bukunya Mythologiques. Sepintas lalu mitos tampak aneh, tidak memiliki arti,

tetapi bagi Levi-Strauss, mitos memiliki tata bahasa tertentu. Mitos bahkan

merupakan sebuah alat logika untuk menjelaskan berbagai kontradiksi yang

dialami umat manusia. Mitos merupakan hasil kreativitas kejiwaan manusia yang

bebas. Psike manusia ini taat pada hukum-hukum atau struktur-struktur tak sadar

Page 9: Strukturalisme Levi Strauss

9

dalam cara kerjanya. Dalam interpretasinya, Levi-Strauss memperlihatkan bahwa

mitos terdiri dari (1) relasi-relasi serta oposisi-oposisi dan relasi-relasi, dan (2)

dengan cara itulah pemikiran primitif (savage mind) berhasil menciptakan

orde/keteraturan dalam dunianya.

Dalam menafsirkan setiap mitos, Levi-Strauss memfokuskan diri untuk

menemukan unsur-unsur dasar yang disebutnya unsur-unsur pokok (gross

constituent units). Bagaimana kita dapat mengidentifikasi dan menemukan unsur-

unsur pokok itu? Unsur-unsur pokok tidak mungkin ditemukan pada tataran

morfem, fonem, ataupun semantik, melainkan pada tataran yang lebih tinggi yaitu

kalimat (sentence level). Metode yang disarankan untuk mencari unsur pokok

pada tataran kalimat ini bersifat tentatif, dengan prinsip trial and error, mencoba-

coba.

Unsur-unsur pokok itu disebutnya sebagai mytheme. Contoh mytheme

dalam mitos Oedipus: (1) Oedipus membunuh ayahnya; (2) Oedipus mengawini

ibunya. Cara melakukan interpretasinya adalah: mengaitkan relasi-relasi dan

oposisi-oposisi antara unsur-unsur elementer tersebut. Levi-Strauss menekankan

bahwa sebuah mitos tidak hanya boleh dibaca seperti kita membaca buku, dari kiri

ke kanan, tetapi sekaligus juga dari atas ke bawah, seperti kita membaca partitur

not balok pada musik.

Dalam tulisannya berjudul ”The Structural Study of Myth” (1958), Levi-

Strauss memperlakukan mitos seperti notasi orkestra dalam seri-seri unilinear, dan

tugas kita adalah menetapkannya kembali dalam posisinya yang benar. Misalnya,

jika kita dihadapkan dengan rangkaian pola-pola seperti ini: 1, 2, 4. 7, 8, 2, 3, 4, 6,

8, 1, 4, 5, 7, 8, 1, 2, 5, 7, 3, 4, 5, 6, 8, dstnya, maka tugas kita adalah

mengklasifikasikan notasi-notasi itu secara bersama-sama dalam sebuah

himpunan, sehingga hasilnya tampak seperti pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Susunan Miteme

1 2 4 7 8

2 3 4 6 8

1 4 5 7 8

1 2 5 7

3 4 5

6 8

Page 10: Strukturalisme Levi Strauss

10

Susunan nomor-nomor itu merupakan unsur-unsur elementer yang mempunyai

dua dimensi: horisontal dan vertikal, sintagmatis dan paradigmatis, diakronis dan

sinkronis.

Dengan rumusan model operasi tersebut, Levi-Strauss mencoba

menerapkannya dengan menganalisis mitos Oedipus. Levi-Strauss menemukan

sebuah model yang ‘harmonis‘ seperti terlihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 2: Analisis Struktur Mitos Oedipus

I II III IV

Menghargai

Hubungan Darah

Meremehkan

Hubungan Darah

Monster Dibunuh Klarifikasi

Kadmos mencari

adiknya Europa

yang diperkosa

Zeus

Kadmos

membunuh naga

Orang-orang

Sparta saling

membunuh

Labdacos (ayah

Laios) = pincang

(lame)

Oedipus

membunuh

ayahnya Laios

Laios (ayah

Oedipus) =

timpang (left-

sided)

Oedipus

membunuh Sphinx

Oedipus menikah

dengan Jocasta

ibunya

Eteocles

membunuh

Polynices

saudaranya

Oedipus = kaki

bengkak (swallen-

foot)

Penyangkalan asal

kebumian

Pengakuan asal

kebumian

Dari tabel di atas, kita dihadapkan pada empat kolom vertikal yang

masing-masingnya memiliki relasi dengan himpunan yang sama. Ketika kita

menceritakan mitos itu, kolom-kolom itu tentu kita abaikan dan kita akan

membacanya dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah. Tetapi bila kita ingin

memahami mitos itu, kita harus mengabaikan separuh dari dimensi diakronik (atas

ke bawah) dan harus membacanya dari kiri ke kanan, kolom demi kolom, masing-

masing kolom dipertimbangkan sebagai satu unit.

Hasil kajian Levi-Strauss terhadap mitos Oedipus memperlihatkan

kesimpulan yang berbeda daripada kajian-kajian sebelumnya. Kajian-kajian

Page 11: Strukturalisme Levi Strauss

11

sebelumnya banyak terfokus pada unsur-unsur seperti kejatuhan Oedipus, jalan

yang ditempuh Oedipus meraih kekuasaan, dan yang paling terkenal adalah

psikoanalisis Freud tentang Oedipus kompleks. Bagi Levi-Strauss, mitos Oedipus

adalah sebuah alat logika untuk mengungkapkan ketidakmampuan manusia

memahami asal-usulnya. Kebudayaan memegang teguh pandangan bahwa umat

manusia berasal dari dalam perut bumi, tetapi kenyataan yang dihadapi

menunjukkan bahwa manusia dilahirkan dari kesatuan laki-laki dan perempuan.

Sekalipun hal ini tidak dapat diungkapkan secara tuntas, mitos Oedipus

memberikan semacam alat logika terhadap masalah eksistensial itu: manusia lahir

dari satu (bumi) atau lahir dari dua (laki-laki dan perempuan)? Manusia lahir dari

sesuatu yang berbeda (bumi) atau dari yang sama (manusia)? Bagaimana mungkin

kita memiliki dua orang pencipta: seorang ayah dan seorang ibu?

Dengan menghubungkan tipe-tipe dalam Tabel 2 di atas, Levi-Strauss

menjelaskan bahwa relasi yang menghargai hubungan darah (kolom 1) dihadirkan

untuk kepentingan relasi yang meremehkan hubungan darah (kolom 2), dan

penyangkalan asal kebumian itulah (kolom 3) sesuatu yang sebenarnya tidak

mungkin dimenangkan. Perhatikan bahwa semua makhluk monster bumi dibunuh:

naga dan Sphinx. Jadi, meskipun pengalaman hidup manusia bertentangan dengan

anggapan, teori, keyakinan ‘asal kebumian‘, kehidupan sosial membenarkan

kosmologi itu. Dengan demikian, mitos Oedipus menegaskan bahwa kosmologi

itulah yang benar (kolom 4): manusia berasal dari bumi, sesuai dengan teori

kosmologi yang diyakini selama ini.

Dengan dasar pandangan dan metode kerja semacam ini, Levi-Strauss

menetapkan tiga landasan analisis struktural terhadap mitos sebagai berikut (lihat

Ahimsa-Putra, 2006: 93). (1) Jika mitos dipandang sebagai sesuatu yang

bermakna, maka maknanya tidak terdapat pada unsur-unsurnya yang berdiri

sendiri, yang terpisah satu sama lain, melainkan pada kombinasi unsur-unsur

tersebut. (2) Sekalipun mitos termasuk dalam kategori ‘bahasa‘, bahasa mitos

bukan sekadar bahasa biasa. Bahasa mitos memiliki ciri-ciri yang berbeda. Jika

bahasa memiliki tiga tahap, yaitu fonem, kata, dan kalimat, maka mitos hanya

mempunyai dua tahap, yaitu: kata dan kalimat, sementara musik juga hanya

memiliki dua tahap, yaitu: nada dan kalimat musikal. (3) Ciri-ciri ini bersifat

Page 12: Strukturalisme Levi Strauss

12

kompleks dan rumit daripada ciri-ciri bahasa, sehingga dapat kita temukan pada

tingkat di atas bahasa.

Bagi Levi-Strauss, mitos memiliki tata bahasanya sendiri. Untuk

mengungkapkan tatabahasa mitos, diperlukan tiga langkah berikut ini (lihat lihat

Ahimsa-Putra, 2006: 94-96).

(1) Mencari Miteme (Mytheme).5 Miteme adalah unsur-unsur terkecil dalam

wacana mitis, yang merupakan satuan-satuan yang bersifat oposisional, relatif,

dan negatif. Sebagaimana pandangan Jakobson, miteme menurut Levi-Strauss

adalah tanda yang tidak bermakna pada dirinya sendiri dan diferensial murni.

Karena itu, dalam menganalisis cerita, makna dari kata yang ada dalam cerita

harus dipisahkan dari makna miteme, yang berupa kalimat atau rangkaian

kata-kata dalam cerita tersebut. Makna miteme sebaiknya tidak dicari hanya

dari satu cerita saja tetapi dari kombinasi cerita-cerita yang ada.

(2) Menyusun Miteme: Sintagmatis dan Paradigmatis. Setelah ditemukan berbagai

miteme –yakni kalimat-kalimat yang menunjukkan relasi-relasi tertentu—

yang ada dalam sebuah atau beberapa mitos, miteme tersebut disusun

sedemikian rupa (Levi-Strauss mengusulkan agar dituliskan pada kartu

indeks) yang diberi nomor sesuai dengan urutannya di dalam cerita. Setiap

nomor (kartu indeks) memperlihatkan suatu subjek yang melakukan fungsi

tertentu, yang disebut ‘relasi‘. Relasi yang sama akan muncul secara diakronis.

Miteme-miteme yang ditemukan harus disusun secara sinkronis dan diakronis,

paradigmatis dan sintagmatis. Unit-unit yang kemudian dianalisis lebih lanjut

adalah kumpulan relasi-relasi. Dengan menyusun miteme secara paradigmatis

dan sintagmatis, akan ditemukan susunan miteme dua dimensi, seperti terlihat

dalam tabel 2 di atas.

4. Penerapan: Analisis Struktural Dongeng Ande-ande Lumut6

5 Istilah „miteme‟ (dalam analisis mitos) diadaptasi oleh Ahimsa-Putra (2006: 263) untuk

dapat digunakan dalam melakukan analisis karya sastra dengan istilah „ceriteme‟. Ahimsa-Putra

mendefinisikan „ceriteme‟ sebagai kata-kata, frase, kalimat, bagian dari alinea atau alinea yang dapat ditempatkan dalam relasi tertentu dengan ceriteme yang lain sehingga dapat menampakkan

makna-makna tertentu. Ceriteme dapat mendeskripsikan suatu pengalaman, sifat-sifat, latar

belakang kehidupan, interaksi, atau hubungan sosial, status sosial ataupun hal-hal lain dari tokoh-

tokoh cerita yang penting artinya bagi analisis cerita. 6 Cerita Ande-ande Lumut yang dikemukakan di sini dikutip dari website: Cerita Rakyat

Nusantara atas izin pengasuh website tersebut.

Page 13: Strukturalisme Levi Strauss

13

Berikut ini teori dan metode kajian struktural Levi-Strauss akan coba

diterapkan dengan mengkaji sebuah dongeng masyarakat Jawa Timur, dongeng

Ande Ande Lumut. Cerita Ande-Ande Lumut yang disajikan di sini diperoleh dari

website: ceritarakyatnusantara.com. Adapun kisah lengkapnya sebagai berikut.

Penomoran menandakan adegan-adegan dalam cerita tersebut.

(1) Alkisah, di daerah Jawa Timur, Indonesia, berdirilah dua buah kerajaan

kembar, yaitu Kerajaan Jenggala yang dipimpin oleh Raja Jayengnegara dan

Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Raja Jayengrana. Menurut cerita,

dahulunya kedua kerajaan tersebut berada dalam satu wilayah yang bernama

Kahuripan. Sesuai dengan pesan Airlangga sebelum meninggal, kedua

kerajaan tersebut harus disatukan kembali melalui suatu ikatan pernikahan

untuk menghindari terjadinya peperangan di antara mereka. Akhirnya, Panji

Asmarabangun (putra Jayengnegara) dinikahkan dengan Sekartaji (Putri

Jayengrana).

(2) Pada suatu ketika, Kerajaan Jenggala tiba-tiba diserang oleh kerajaan musuh.

Di saat pertempuran sengit berlangsung, Putri Dewi Sekartaji melarikan diri

dan bersembunyi ke sebuah desa yang jauh dari Jenggala. Untuk menjaga

keselamatan jiwanya, ia menyamar sebagai gadis kampung dan mengabdi

kepada seorang janda yang kaya raya bernama Nyai Intan. Nyai Intan

mempunyai tiga orang putri yang cantik dan genit. Mereka adalah Kleting

Abang (sulung), Kleting Ijo, dan Kleting Biru (bungsu). Oleh Nyai Intan,

Dewi Sekartaji diangkat menjadi anak dan diberi nama Kleting Kuning.

(3) Di rumah Nyai Intan, Kleting Kuning selalu disuruh mengerjakan seluruh

pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Ia

sering dibentak oleh Nyai Intan dan diperlakukan tidak senonoh oleh ketiga

kakak angkatnya. Bahkan, ia terkadang diberi makan sehari satu kali oleh ibu

angkatnya.

(4) Sementara itu, di Kerajaan Jenggala, Panji Asmarabangun bersama

pasukannya berhasil memukul mundur pasukan musuh. Namun, ia sangat

sedih karena istrinya telah pergi meninggalkan istana Jenggala dan tidak

ditahui keberadaannya.

(5) Setelah keadaan di Kerajaan Jenggala kembali tenang dan aman, sang

Pangeran memutuskan untuk mencari istrinya. Namun sebelum itu, ia

memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mencari jejak kepergian istrinya.

Suatu sore, ketika ia sedang duduk di pendopo istana, datanglah seorang

pengawalnya untuk menyampaikan laporannya. ―Ampun, Baginda! Hamba

ingin menyampaikan berita gembira untuk Baginda,‖ lapor pengawal itu.

―Apakah kamu telah mengetahui keberadaan istriku?‖ tanya Panji

Asmarabangun dengan tidak sabar. ―Ampun, Baginda! Hamba hanya

menemukan seorang gadis yang mirip dengan istri Baginda di sebuah dusun.

Namun, hamba belum yakin dia itu istri Baginda, karena ia hanya seorang

gadis kampung yang bekerja sebagai pembantu pada seorang janda kaya,‖

jelas pengawal itu.

Page 14: Strukturalisme Levi Strauss

14

(6) Mendengar laporan itu, sang Pangeran pun memutuskan untuk menyamar

menjadi seorang pangeran tampan yang sedang mencari jodoh. Keesokan

harinya, berangkatlah ia bersama beberapa orang pengawalnya ke Desa

Dadapan yang berada di dekat Sungai Bengawan Solo, Lamongan. Desa itu

berseberangan dengan desa tempat tinggal Kleting Kuning.

(7) Di desa itu, Panji Asmarabangun menyamar dengan nama Ande Ande Lumut

dan tinggal di rumah seorang janda tua bernama Mbok Randa. Beberapa hari

kemudian, ia pun memerintahkan para pengawalnya agar pengumuman

sayembara mencari jodoh itu segera disebarkan kepada seluruh pelosok desa.

Dalam waktu singkat, berita tentang pelaksanaan sayembara itu tersebar

hingga ke desa seberang, desa tempat tinggal Kleting Kuning.

(8) Betapa senangnya hati Kleting Abang, Ijo, dan Biru mendengar kabar itu.

Mereka akan berdandan sencantik-cantiknya untuk menaklukkkan hati sang

Pangeran Tampan, Ande Ande Lumut. ―Asyik… Asyik...!!! Kita akan

berdandan secantik-cantiknya. Kalau salah seorang di antara kita menjadi putri

raja, ibu pasti akan senang,‖ kata Kleting Abang.

(9) Pada hari sayembara itu dimulai, Kleting Abang, Ijo, dan Biru pun segera

berdandan dengan sangat mencolok. Mereka mengenakan pakaian yang paling

bagus dan perhiasan yang indah. Saat mereka sedang asyik berdandan, Kleting

Kuning mendekati mereka. ―Wah, kalian cantik sekali!‖ puji Kleting Kuning.

―Hai, Kleting Kuning! Apakah kamu ingin mengikuti sayembara juga?‖ tanya

Kleting Abang. ―Ah, tidak mungkin! Baju pun kamu tak punya. Apakah kamu

mau ikut sayembara dengan baju seperti itu?‖ sahut Kleting Ijo dengan

mencela. ―Benar, kamu tidak pantas ikut sayembara ini! Lebih baik kamu di

rumah mengurus semua pekerjaanmu. Ayo, pergilah ke sungai mencuci semua

pakaian kotor itu!‖ seru Kleting Biru sambil menunjuk ke pakaian ganti

mereka yang sudah kotor.

(10) Kleting Kuning segera mengumpulkan pakaian kotor itu lalu pergi ke

sungai. Sebenarnya, ia pun tidak tertarik untuk mengikuti sayembara itu,

karena ia masih teringat kepada suaminya, Panji Asmarabangun. Ia akan

selalu setia kepada suaminya meskipun belum mendengar kabar tentang

keadaannya apakah masih hidup atau sudah tewas dalam peperangan. Ketika

ia sedang mencuci di sungai, tiba-tiba seekor burung bangau datang

menghampirinya. Anehnya, burung bangau itu dapat berbicara layaknya

manusia dan kedua kakinya mencengkram sebuah cambuk. ―Wahai, Tuan

Putri! Pergilah ke Desa Dedapan mengikuti sayembara itu! Di sana Tuan Putri

akan bertemu dengan Panji Asmarabangun. Bawalah cambuk ini! Jika

sewaktu-waktu Tuan Putri membutuhkan pertolongan, Tuan Putri boleh

menggunakannya,‖ ujar sang burung bangau seraya meletakkan cambuk itu di

atas batu di dekat Kleting Kuning. Belum sempat Kleting Kuning berkata apa-

apa, burung bangau itu sudah terbang ke angkasa dan seketika itu pula

menghilang dari pandangan mata. Tanpa berpikir panjang lagi, Kleting

Kuning pun segera kembali ke rumah dan bersiap-siap berangkat menuju Desa

Dadapan.

(11) Sementara itu, ketiga saudara dan ibu angkatnya telah berangkat terlebih

dahulu. Kini mereka telah sampai di tepi Sungai Bengawan Solo. Mereka

kebingungan, karena harus menyeberangi sungai yang luas dan dalam itu,

sementara tak satu pun perahu yang tampak di tepi sungai. ―Bu, bagaimana

Page 15: Strukturalisme Levi Strauss

15

caranya kita menyeberangi sungai ini?‖ tanya Kleting Ijo kebingungan. ―Iya,

Bu! Apa yang harus kita lakukan?‖ tambah Kleting Biru. ―Hai, coba lihat itu!

Makhluk apa itu?‖ seru Kleting Abang.

(12) Betapa terkejutnya Nyai Intan dan ketiga putrinya ketika mengetahui

bahwa makhluk itu adalah seekor kepiting raksasa yang sedang terapung di

atas permukaan air. Menurut cerita, kepiting raksasa yang bernama Yuyu

Kangkang itu adalah utusan Ande Ande Lumut untuk menguji para peserta

sayembara yang melewati sungai itu. ―Hai, Kepiting Raksasa! Maukah kamu

membantu kami menyeberangi sungai ini?‖ pinta Kleting Abang. Yuyu

Kangkang tertawa lebar. ―Ha... ha... ha...!!! Aku akan membantu kalian, tapi

kalian harus memenuhi satu syarat,‖ ujar Yuyu Kangkang. ―Apakah syaratmu

itu, hai Kepiting Raksasa? Katakanlah!‖ desak Kleting Ijo. ―Apapun syaratmu,

kami akan memenuhinya asalkan kami dapat menyeberangi sungai ini.‖

―Kalian harus menciumku terlebih dahulu sebelum aku mengantar kalian ke

seberang sungai,‖ kata Yuyu Kangkang. Akhirnya, Kleting Abang dan kedua

adiknya menerima persyaratan Yuyu Kangkang. Satu persatu mereka

mencium si Yuyu Kangkang. Setelah itu, Yuyu Kangkang pun mengantar

mereka ke seberang sungai.

(13) Selang beberapa saat kemudian, Kleting Kuning juga tiba di tepi sungai.

Ketika Yuyu Kangkang mengajukan persyaratan yang sama, yaitu meminta

imbalan ciuman, Kleting Kuning menolaknya. Ia tidak ingin menghianati

suaminya. Meski ia tidak mau memenuhi syarat itu, ia tetap memaksa si Yuyu

Kangkang untuk membantunya menyeberangi sungai. Berkali-kali Kleting

Kuning memohon, namun kepiting raksasa itu tetap menolak, kecuali Kleting

Kuning mau memenuhi syarat itu.

(14) Kleting Kuning pun mulai habis kesabarannya. Ia segera memukulkan

cambuknya ke sungai dan seketika itu pula air Sungai Bengawan Solo menjadi

surut. Melihat hal itu, Yuyu Kangkang menjadi ketakutan dan segera

menyeberangkan Kleting Kuning, dan bahkan sekaligus mengantarnya hingga

sampai di Desa Dadapan. Setibanya di rumah Nyai Rondo, Kleting Kuning

bertemu dengan ketiga saudara dan ibu angkatnya.

(15) Tak berapa lama kemudian, sayembara pun dimulai. Secara bergiliran,

Kleting Abang dan kedua adiknya menunjukkan kecantikan dan kemolekan

tubuhnya di hadapan Ande Ande Lumut. Namun, tak seorang pun di antara

mereka yang dipilih oleh Ande Ande Lumut. Melihat hal itu, Nyai Intan pun

berlutut memohon kepada Ande Ande Lumut agar memilih salah satu putrinya

untuk dijadikan permaisuri. ―Ampun, Pangeran! Hamba mohon, terimahlah

salah seorang dari ketiga putriku ini! Kurang cantik apalagi mereka dengan

dandanan yang sebagus itu?‖ iba Nyai Intan. Ande Ande Lumut hanya

tersenyum. ―Memang benar, ketiga putri Nyai cantik semua. Tapi, aku tetap

tidak akan memilih seorang pun dari mereka,‖ kata Ande Ande Lumut tanpa

memberikan alasan.

(16) ―Pengawal! Tolong panggilkan gadis yang berbaju kuning itu kemari!‖

seru Ande Ande Lumut sambil menunjuk ke arah seorang gadis yang duduk

paling belakang. Rupanya, gadis yang ditunjuk oleh Ande Ande Lumut itu

adalah Kleting Kuning. Ketika Kleting Kuning menghadap kepadanya,

pangeran tampan itu bangkit dari singgasananya. ―Aku memilih gadis ini

sebagai permaisuriku,‖ kata Ande Ande Lumut.

Page 16: Strukturalisme Levi Strauss

16

(17) Betapa terkejutnya semua orang yang hadir di tempat itu, terutama Nyai

Intan dan ketiga putrinya. ―Ampun, Pangeran! Kenapa Pangeran lebih

memilih gadis yang tak terurus itu dari pada ketiga putriku yang cantik dan

menarik ini?‖ tanya Nyai Intan ingin tahu. Ande Ande Lumut kembali

tersenyum, lalu berkata: ―Wahai, Nyai Intan! Ketahuilah, aku tidak memilih

seorang pun dari putrimu, karena mereka `bekas` si Yuyu Kangkang. Aku

memilih gadis ini, karena dia lulus ujian, yakni menolak untuk mencium si

Yuyu Kangkang,‖ jelas Ande Ande Lumut. Mendengar penjelasan itu, Nyai

Intan dan ketiga putrinya baru sadar bahwa mereka ditolak oleh Ande Ande

Lumut karena tidak lulus ujian.

(18) Sementara itu, Kleting Kuning masih kebingungan, karena belum

menemukan suaminya. Namun, setelah Ande Ande Lumut membongkar

penyamarannya bahwa dirinya adalah Panji Asmarabangun, barulah Kleting

Kuning sadar. Dengan cambuk sakti pemberian si burung bangau, ia segera

mengubah dirinya menjadi seorang putri yang cantik jelita. Panji

Asmarabangun baru sadar ternyata Klenting Kuning adalah istrinya, Dewi

Sekartaji. Akhirnya, sepasang suami istri yang saling mencintai itu bertemu

kembali dan hidup berhagia. Sebagai ucapan terima kasih kepada Mbok

Randa, Panji Asmarabangun membawanya serta tinggal di istana Jenggala.

Sementara Nyai Intan dan ketiga putrinya kembali ke desanya dengan

perasaan kecewa dan malu.

Demikianlah dongeng Ande Ande Lumut, yang merupakan salah satu

cerita dalam Panji cycle atau daur Panji. Cerita Panji adalah sebuah cerita yang

berasal dari Jawa. Isinya mengenai kepahlawanan dan cinta yang berpusat pada

dua orang tokoh utamanya, yaitu Panji Asmara Bangun (atau Raden Inu

Kertapati) dan Dewi Sekartaji (atau Galuh Candra Kirana). Cerita ini mempunyai

banyak versi, dan telah menyebar di beberapa tempat di Nusantara (Jawa, Bali,

Kalimantan) dan juga di negara-negara lain di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand,

Kamboja, Myanmar, Filipina) (lihat Wikipedia.org/wiki/Cerita_Panji, 2010).

Dongeng-dongeng lainnya seperti Keong Mas dan Golek Kencana juga

merupakan turunan dari cerita ini.

Sebagaimana dilakukan Ahimsa-Putra (2006: 208), langkah analisis

struktural berikutnya adalah membagi cerita tersebut ke dalam episode-episode

(sebuah strategi analisis yang berbeda dari metode Levi-Strauss, yang tidak

membagi dongeng yang dianalisis ke dalam adegan-adegan).

Episode I: Berdirinya dua buah kerajaan kembar di Jawa Timur, yaitu

Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kediri.

Page 17: Strukturalisme Levi Strauss

17

Menurut catatan sejarah, kerajaan kembar Kediri dan Jenggala pada

mulanya merupakan satu kerajaan bernama Kerajaan Kahuripan yang didirikan

oleh Airlangga. Pada tahun 1045, Raja Kahuripan, Airlangga, membagi wilayah

kerajaan itu menjadi dua, yaitu Kediri (yang menempati wilayah Kediri dan

beribukota di Daha) yang diserahkan kepada Jayengrana alias Sri Samarawijaya

dan Jenggala (menempati wilayah Sidoarjo saat ini dan beribukota di Kahuripan)

diserahkan kepada Jayengnegara alias Mapanji Garasakan. Tujuan pembagian

kerajaan tersebut adalah agar kedua anaknya dapat hidup berdampingan dengan

damai.

Pembagian kerajaan sepeninggal Airlangga terkesan sia-sia, karena antara

kedua putranya tetap saja terlibat perang saudara untuk saling menguasai.

Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui namanya hanya tiga orang saja,

namun kerajaan ini mampu bertahan dalam persaingan sampai kurang lebih 90

tahun lamanya. Menurut prasasti Ngantang (1035), Kerajaan Janggala akhirnya

ditaklukkan oleh Sri Jayabaya raja Kediri, dengan semboyannya yang terkenal,

yaitu Panjalu Jayati, atau Kediri Menang. Sejak saat itu Janggala menjadi

bawahan Kadiri. Menurut Kakawin Smaradahana, raja Kediri yang bernama Sri

Kameswara, yang memerintah sekitar tahun 1182-1194, memiliki permaisuri

seorang putri Janggala bernama Kirana. Dalam naskah-naskah tersebut, raja

pertama Janggala bernama Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Airlangga.

Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang

bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu Suryawisesa. Panji

Asmarabangun sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh

Candrakirana dari Kediri.

Kerajaan Kediri amat dominan, bukan hanya atas Kerajaan Jenggala,

melainkan juga terhadap wilayah-wilayah di kawasan Timur Indonesia

(Wikipedia, 2010).7 Pada masa kejayaan Raja Jayabaya (1130 – 1160),

Kesultanan Ternate merupakan salah satu bawahan Kediri. Kerajaan Kediri

terkenal dengan kebangkitan karya sastra klasiknya. Karya-karya sastra klasik

yang muncul pada zaman Kerajaan Kediri antara lain Kakawin Bharatayuddha,

Hariwangsa, dan Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradahana karya Mpu

7 Diunduh dari "http://en.wikipedia.org/wiki/Kediri_historical_kingdom/ tanggal 23 Mei

2010.

Page 18: Strukturalisme Levi Strauss

18

Dharmaja, dan Prelambang Joyoboyo, Lubdhaka dan Wrtasancaya karya Mpu

Tanakung.

Episode II: “Kerajaan Jenggala diserang oleh kerajaan musuh.”

Tidak disebutkan dalam dongeng ini, siapa yang dimaksud dengan

kerajaan musuh itu. Dari catatan sejarah, saling serang justru seringkali terjadi

antara Kerajaan Kediri dan Jenggala. Dongeng ini rupanya tidak tertarik untuk

mengungkap siapa musuh kerajaan Jenggala itu. Hanya saja disebutkan bahwa

sang permaisuri, Putri Dewi Sekartaji, seorang putri yang berasal dari Kerajaan

Kediri, menyelamatkan diri dengan menyamar sebagai Kleting Kuning, salah satu

putri seorang janda di sebuah kampung yang jauh dari Jenggala.

Dapat diduga bahwa Jenggala diserang oleh Kediri, bahkan diduduki dan

dikuasai oleh Kediri.

Episode III: “Dewi Sekartaji menyamar sebagai Kleting Kuning.”

Tujuan penyamaran Dewi Sekartaji adalah menghindari pengejaran

musuh. Penyamaran ini tampak sangat sempurna karena Nyai Intan dan ketiga

anaknya: Kleting Abang, Kleting Ijo, dan Kleting Biru tidak mengetahui

identitasnya sebagai seorang permaisuri raja. Dewi Sekartaji bahkan mendapat

nama Kleting Kuning dan diperlakukan sebagai seorang pelayan (batur).

Penyamaran seorang ratu menjadi pelayan (batur) dalam kebudayaan Jawa

merupakan sebuah fenomena yang lazim. Dalam dunia pewayangan Jawa, sangat

dikenal tokoh Semar yang merupakan sebuah sosok yang ambiguous. Dia adalah

pembantu (batur) tetapi dia juga sekaligus dewa. Kedudukan di tengah (di antara

dua hal yang bertentangan) ini sebenarnya merupakan perwujudan keutamaan

Jawa, yakni nilai sak madya, di tengah-tengah, secukupnya, tidak ekstrim, seperti

Semar itulah. Karena berada di tengah berarti berada pada as, sumbu kehidupan,

sebuah posisi yang tenang, diam, hening, dan abadi (Ahimsa Putra, 2006).

Episode IV: “Pangeran Panji Asmarabangun mencari istrinya.”

Page 19: Strukturalisme Levi Strauss

19

Dikisahkan bahwa Pangeran Asmarabangun berhasil memukul mundur

pasukan musuh. Keberhasilan ini tentu saja menambah kebesaran nama dan

reputasinya sebagai seorang raja yang kuat dan perkasa. Akan tetapi, dia tidak

merasakan kebahagiaan itu. Dia bahkan sangat sedih karena istrinya telah pergi

meninggalkan istana Jenggala dan tidak ditahui keberadaannya. Karena itu

Pangeran Panji Asmarabangun memutuskan untuk mencari istrinya. Dia pun

menyamar sebagai seorang pemuda bernama Ande Ande Lumut yang sedang

mencari pasangan hidup dan tinggal di rumah Mbok Randa.

Episode V: “Kleting Abang, Kleting Ijo, dan Kleting Biru, dan Kleting

Kuning mengikuti sayembara”

Episode ini tampak seperti versi Cinderella. Kleting Abang, Kleting Ijo,

dan Kleting Biru berdandan secantik-cantiknya sementara Kleting Kuning, yang

sebenarnya adalah Dewi Sekartaji, diminta mencuci pakaian kotor di sungai. Jika

di dalam kisah Cinderella ada seorang penolong supranatural berupa seorang

nenek sihir yang baik hati, dalam dongeng Ande Ande Lumut penolong

supranatural itu adalah seekor burung bangau. Burung bangau inilah yang

menyuruh Kleting Kuning mengikuti sayembara dan membekalinya dengan

sebuah cambuk ajaib. Dengan cambuk inilah, Kleting Kuning berhasil melewati

sungai tanpa mencium Yuyu Kangkang.

Episode VI: “Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji kembali ke istana

Jenggala”

Panji Asmarabangun yang menyamar sebagai Ande Ande Lumut berhasil

menemukan kembali istrinya Dewi Sekartaji. Sang Dewi pun terbukti tetap

menjaga kesetiaannya, karena dia tidak tergoda mencium Yuyu Kangkang.

Keduanya pun kembali ke istana Jenggala. Mbok Rondo yang baik hati diajak

untuk tinggal di istana, sementara Nyai Intan dan ketiga anaknya kembali ke

desanya dengan perasaan kecewa dan malu.

Tabel 3: Analisis Struktur Dongeng Ande Ande Lumut

I II III IV

Menghargai

Hubungan Darah

Meremehkan

Hubungan Darah

Musuh dipukul

mundur

Klarifikasi

Pangeran Panji

Asmarabangun

Pangeran Panji

Asmarabangun

Page 20: Strukturalisme Levi Strauss

20

(Jenggala)

menikah dengan

Dewi Sekartaji

(Kediri)

memenangkan

pertempuran

Pasukan musuh

menyerang

Jenggala

Dewi Sekartaji

melarikan diri dan

menyamar

Burung Bangau

memberikan

senjata berupa

cambuk kepada

Dewi Sekartaji

Dewi Sekartaji

mempertahankan

kemurniannya

Yuyu Kangkang

digertak dengan

cambuk sang

bangau

Panji

Asmarabangun

menemukan

istrinya Dewi

Sekartaji

Yuyu Kangkang

Dicium Kleting

Abang, Kt.Ijo, Kt.

Biru

Ande-ande Lumut

mendapatkan

Kleting Kuning

melalui sayembara

Penyangkalan atas

superioritas Kediri

Pengakuan

superioritas

Jenggala atas

Kediri

Dengan struktur dan skema semacam itu, dapat disimpulkan bahwa

dongeng Ande Ande Lumut pada prinsipnya merupakan proyeksi keinginan dari

dua buah kerajaan kembar, Jenggala dan Kediri, untuk hidup rukun dan damai

sesuai dengan keinginan dan harapan Raja Airlangga. Dalam kenyataannya,

Kerajaan Kediri yang sesungguhnya baru didirikan dan beribu kota di Daha,

unggul dalam berbagai hal terhadap Jenggala yang beribukota di Kahuripan. Oleh

karena selalu terjadi pertikaian, peperangan, dan perebutan kekuasaan yang terus-

menerus antara kedua kerajaan kembar itu, Kerajaan Kediri menganeksasi

Kerajaan Jenggala.

Logika di balik dongeng Ande Ande Lumut adalah proyeksi harapan

Kerajaan Jenggala sebagai sebuah kerajaan yang unggul, yang mampu memukul

mundur pasukan musuh. Sementara itu, Pangeran Panji Asmarabangun adalah

seorang raja yang perkasa dan mencintai istrinya Dewi Sekartaji yang berasal dari

Kerajaan Kediri.

Page 21: Strukturalisme Levi Strauss

21

5. Rangkuman

Model analisis struktural Levi-Strauss benar-benar sebuah model analisis

sastra lisan yang sangat menarik, khususnya di bidang kajian mitos dan dongeng.

Dengan dasar analisis model linguistik struktural Roman Jacobson dan Ferdinand

de Saussure yang bertujuan memahami fenomena bahasa secara sintagmatik (dari

kiri ke kanan) dan paradigmatik (dari atas ke bawah), strukturalisme sastra dan

strukturalisme Levi-Strauss (Antropologi) memiliki perbedaan bukan hanya cara

analisis tetapi juga asumsi dasar tentang struktur itu sendiri.

Asumsi dasar analisis strukturalisme sastra adalah: karya sastra dipandang

telah memiliki kebulatan makna instrinsik. Strukturalisme menentang teori

mimetik (yang berpandangan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan), menentang

teori ekspresif (yang menganggap sastra pertama-tama adalah ungkapan perasaan

dan watak pengarang), dan menentang teori-teori resepsi (yang menganggap

makna sastra sangat tergantung pada tanggapan dan horison harapan pembaca).8

Strukturalisme menekankan agar karya sastra dipandang secara otonom. Sastra

harus diteliti secara objektif (yakni aspek instrinsiknya9) karena keindahan sastra

terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek

estetik. Model paradigma strukturalisme sastra adalah: karya sastra merupakan

sebuah artefak (benda seni) yang indah karena penggunaan bahasa yang khas. Apa

yang dianggap sebagai ‗struktur‘ karya sastra adalah: ide, tema, amanat, latar,

watak dan perwatakan, insiden, plot, dan gaya bahasa. Karena itu, analisis struktur

sastra biasanya dilakukan di sekitar hal-hal tersebut. Kelemahan analisis

strukturalisme sastra adalah: karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya

sehingga sastra kehilangan relevansi sosialnya, tercerabut dari sejarah, dan

terpisah dari permasalahan manusia.

Sementara itu, strukturalisme Levi-Strauss mengemukakan sebuah model

analisis yang mencengangkan karena dapat memanfaatkan data-data etnografis

secara leluasa. Dengan demikian, kelemahan strukturalisme sastra tidak berlaku

dalam strukturalisme Levi-Strauss. Model analisis struktural Levi-Strauss perlu

8 Lihat Yoseph Yapi Taum, Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme, Strukturalisme,

Pascastrukturalisme, Sosiologi, Resepsi. Ende: Nusa Indah, 1987: 31-46. 9 Istilah instrinsik digunakan untuk membedakan aspek ekstrinsik. Yang dimaksudkan

dengan aspek ekstrinsik adalah aspek aspek ‗di luar‘ karya sastra, yakni: biografi pengarang,

unsur-unsur isi seperti ideologi, filsafat, sosiologi, agama, psikologi, dll. Aspek-aspek ini

dipandang tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu

melalui sarana bahasa puitik.

Page 22: Strukturalisme Levi Strauss

22

diadopsi oleh para peneliti sastra dalam melakukan studi sastra karena dapat

memberikan hasil yang sangat mencengangkan.

Sebagaimana model-model kajian naratif yang lainnya, model kajian

strukturalisme Levi-Strauss pun memiliki sebuah kelemahan, yakni perumusan

mitheme yang bersifat subjektif dan pembagian kolom-kolom yang tidak mudah

dirunut. Kelemahan ini dapat diatasi dengan menerapkan model kajian ini dengan

menyederhanakan rumus-rumus dan skema-skema yang merenik dan rumit.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Imran T. 1991. Hikayat Meukuta Alam: Suntingan Teks dan

Terjemahan Beserta Telaah Struktur dan Resepsi. Jakarta: PT

Intermasa.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya

Sastra.Yogyakarta: Kepel Press.

____________________, 2010. ―Strukturalisme Levi-Strauss di Indonesia 2009‖.

http://kunci.or.id/public-culture-series/strukturalisme-levi-strauss-di-

indonesia-2009-oleh-heddy-shri-ahimsa-putra/. Diunduh tanggal 16 Maret

2010.

Baroroh-Baried, Siti, Siti Chamamah Soeratno, Sawoe, Sulastin-Sutrisno, Moh.

Syakir. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Depdikbud.

Bascom, William. 1984. "The Forms of Folklore: Prose Narratives" dalam Allan

Dundes (ed.) Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth.

California: University of California Press.

Bertens, K., 1985. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis. Jakarta: Gramedia.

Butcher, S. H., 2010. Aristotle‟s Poetics. Diunduh tanggal 23 April 2010 dari

http://www.leeds.ac.uk/ classics/resources/poetics/poettran.htm

Braginsky, V. Y., 1975. Some Remarks on the Structure of the 'Sya'ir Perahu' By

Hamzah Fansuri dalam KITLV, 131.

Carvalho-Neto, Paulo de. 1985. Concept of Folklore (Terjemahan Jacques M.P.

Wilson). Coral Gables, Florida: University of Miami Press.

Chase, Richard. 1969. "Notes on the Study of Myth" dalam John B. Vickery Myth

and Literature. Lincoln: University of Nebraska Press.

Chavalier, Jean and Alain Gheerbrant, 1982. The Penguin Dictionary of Symbols.

London: Penguin Books Ltd.

Page 23: Strukturalisme Levi Strauss

23

Culler, Jonathan. 1977. The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature,

Deconstruction. London: Routledge & Kegan Paul.

____________. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the

Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.

Jakarta: Depdikbud.

Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-

lain. Jakarta: Grafiti Press.

Dhavamony, Mariasusai, 1997. Fenomenologi Agama. Diterjemahkan oleh

Kelompok Studi Driyarkara. Yogyakarta: Kanisius.

Djamaris, Edward, et.al., 1993. Nilai Budaya Dalam Beberapa Karya Sastra

Nusantara: Sastra Daerah Sumatera. Jakarta : Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa. Depdikbud.

Djawanai, Stephanus A. 1980. A Study of the Ngadha Text Tradition: A Linguistic

Investigation of the Collective Mind of the Ngadha People on the Island of

Flores, Indonesia. Ann Arbor: The University of Michigan (Disertasi).

Dundes, Alan. 1980. Interpretating Folklore. Bloomington & London: Indiana

University Press.

------------ 1984. Sacred Narrative: Reading in the Theory of Myth. Berkeley-Los

Angeles-London:

University of California Press.

Fernandez Ozias, Stephanus, 1991. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara

Timur Dulu dan Kini. Maumere: STFTK Ledalero.

Frenz, Horst. 1990. ―Seni Terjemahan‖ dalam Newton P. Stallhecht dan Horst

Frenz (Eds). Sastera Perbandingan: Kaedah dan Perspektif. Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di

Indonesia 1933 – 1942. Jakarta: Girimukti Pasaka.

Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai

Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: P. T. Djambatan.

Gaster, Theodor H. 1984. "Myth and Story" dalam Sacred Narrative: Readings in

the Theory of Myth. (Alan Dundes, ed.) California: University of

California Press.

Guillen, Claudio. 1971. Literature as System: Essays toward Theory of Literary

History. Princeton University Press.

Page 24: Strukturalisme Levi Strauss

24

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1984. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:

Kanisius.

Heryanto, Ariel. 1988. ―Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan

Indonesia Mutakhir‖ dalam Prisma, nomor 8 Tahun XVII – 1988.

____________. 1989. ―Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di Indonesia‖ dalam

Prisma, nomor 1 Tahun XVIII – 1989.

Hicks, David, 1985. Roh Orang Tetum di Timor Timur. Penerjemah Tim PSH.

Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra

Lisan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.

________________. 1993. ―Yang Tak Abadi adalah Yang Abadi: Transformasi

Cerita Sarahwulan‖ Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta:

FSUI.

____________. 1999. ―Filologi Lisan dalam Kaitan Pembentukan Wacana

Kebudayaan‖ Makalah Seminar Keberagaman Budaya dalam Tradisi

Lisan. Jakarta: ATL.

Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Translated from

Germany by Timothy Bahti. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Geertz, Clifford, 1996. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto, 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:

Kanisius.

Hartoko, Dick. 1991. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius.

Kadarisman, 2010. ―Puitika Linguistik Pasca-Jacobson: Tantangan Menjaring

Makna Simbolik‖. Makalah. Tanpa tahun.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.

Jakarta: Gramedia.

Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Kleden, Ignas. 1987. ―Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan‖ dalam Prisma

Nomor 5 Tahun XVI – 1987.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik (Edisi Ketiga). Jakarta:

Gramedia.

Kuntara Wiryamartana, I. 1991. Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuno

Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa.

Page 25: Strukturalisme Levi Strauss

25

Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Lefevere, Andre. 1977. Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic

Essay on Its Nature, Growth, Relevance, and Transmission.

Aseen/Amsterdam: Van Gorcum.

Levi-Strauss, Claude. 1958. "The Structural Study of Myth" dalam Thomas A.

Sebeok (ed.) Myth: A Symposium. Bloomington: Indiana University

Press.

Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. Harvard University Press.

Luxemburg, Jan van, dkk., 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Mangunwijaya, Y. B., 1986. ―Sastra dan Bentuk Hidup‖ dalam Basis, No.

XXXVIII. Yogyakarta: Andi Offset.

Meij, Dick, van der dan Yvonne van Genugten. 1993. ―Penelitian Awal Mengenai

Sastra Lisan Nusantara: Gambaran Sementara‖ Makalah Seminar Tradisi

Lisan Nusantara. Jakarta: Fakultas Sastra UI dan Yayasan Lontar.

Merriam-Webster Online Dictionary. 2010. Merriam-Webster Online. Diunduh 25

April 2010 dari <http://www.merriam-webster.com/dictionary/rhetorics>

Mukarovsky, Jan. 1978. Structure, Sign, and Function. Diterjemahkan oleh John

Burbank & Peter Steiner. New Haven: Yale University Press.

Muskens, M.P.M., 1979. Partner in National Building: The chatolic Church in

Indonesia. Aachen: Missio Aktuell Verlag

Noerhadi, Toety Herati, 1986. ―Kata Pengantar‖ buku Metodologi Ilmu

Pengetahuan karya A. B. Shah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Parera, ADM, 1994. Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

Phillips, Nigel. 1981. Si Jobang: Sung Narratives Poetry of West Sumatra.

Cambridge: Cambridgre University Press.

Propp, Vladimir. 1975. Morphology of the Folktale. Austin, London: University

of Texas Press.

Pudentia, MPSS. 2002. ―Dinamika Tradisi Lisan Nusantara‖ Makalah Seminar

Nasional Dinamika Budaya Lokal dalam Wacana Global Dies Natalis

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 5 Maret 2002.

Reynolds L.D. and N.G. Wilson. 1975. Scribes and Scholars: A Guide to the

Transmission of Greek and Latin Literature. London: Oxford University

Press.

Page 26: Strukturalisme Levi Strauss

26

Riffaterre, Michael, 1984. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University

Press.

Robson, Stuart. 1988. Principles of Indonesian Philology. Leiden: Foris

Publication.

Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan.

Jakarta: Pustaka Jaya.

Rutherford, Danilyn dan Sam Kapissa. 1996. ―Barang Rampasan dari ‗Sup

Amber‘: Wor Biak sebagai Alat Transformasi‖ dalam Warta ATL Edisi

II/Maret/1996.

Rusyana, Yus. 1993. "Cerita Sangkuriang: Daya Kembara Cerita Lama Lintas

Media, Genre, dan Bahasa dari Zaman ke Zaman" Makalah Seminar

Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: FSUI.

Sebeok, Thomas A. 1968. Style in Language, 2nd

Paperback Printing (First Ed.

1960). Cambridge, Massachusets: The M.I.T Press.

Selden, Raman, 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan

oleh Dr. Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Semi, Atar, 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Diterjemahkan dari buku The

Ethnographic Interview oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara

Wacana.

Soebadio, Haryati. 1991. "Relevansi Pernaskahan dengan Berbagai Bidang

Ilmu" dalam Lembaran Sastra Nomor Khusus: 12/01. Depok: Fakultas

Sastra Univ. Indonesia.

Sudardi, Bani. 2001. “Muatan Tradisi Lisan dalam Kurikulum di Perguruan

Tinggi” Makalah Semiloka Tradisi Lisan: Pembuka Wawasan Pluralitas.

Bogor: Asosiasi Tradisi Lisan.

Sukada, Made, 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika

Analisis Struktur Fiksi. Bandung: Angkasa.

Sulastin-Sutrisno. 1981. Relevansi Studi Filologi: Pidato Pengukuhan Guru

Besar dalam Ilmu Filologi pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.

Yogyakarta: FS-UGM.

Sutrisno, F.X. Mudji., 1993. Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.

Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita.

Suryadi. 1993. ―Ilmu Sastra Lisan di Indonesia: Persoalan Konsep dan Objek

Page 27: Strukturalisme Levi Strauss

27

Penelitian‖ Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: Fakultas

Sastra UI dan Yayasan Lontar.

Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay

World. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

Taufik Abdullah. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi. Jakarta: Gramedia.

Taum, Yoseph Yapi. 1994. "Tradisi dan Transformasi Cerita 'Wato Wele-Lia

Nurat' dalam Cerita Rakyat Flores Timur". Tesis Program Pascasarjana

UGM. Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana UGM.

_________________. 1997. Kisah Wato Wele-Lia Nurat Dalam Tradisi Puisi

Lisan Flores Timur. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan

Asosiasi Tradisi Lisan (ISBN Nomor : 979 - 461 – 256 - 1) .

________________. 1997. Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme,

Strukturalisme, Pascastrukturalisme, Sosiologi, Resepsi. Ende: Nusa

Indah.

_________________. 1999. ―Sastra dan Bahasa Ritual Masyarakat Flores Timur‖

dalam Kaswanti Purwo dan B. Rahmanto (Ed). Memahami Sastra Lisan.

Jakarta:

Teeuw, A. 1978. Sastra Baru Indonesia I. Ende: Nusa Indah.

________. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

_________. "Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan" (dua karangan)

dalam BASIS No. XXXVII-11 dan XXXVIII-12. Yogyakarta: Andi Offset.

________. 1988b. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:

Pustaka Jaya - Giri Mukti Pasaka.

________. 1991. "The Text" dalam J.J. Ras dan S.O. Robson (eds.) Variation,

Transformation andMeaning: Studies on Indonesian Literatures in

Honour of A. Teeuw. Leiden: KITLV Press.

Thompson, Stith. 1966. Motif-Index of Folk Literature: A Classification of

Narrative Elements in Folktales, Ballads, Myths, Fables, Mediaeval

Romances, Exampla, Fabliaux, Jest-Books, and Local Legends. California:

University of California Press.

Thompson, Stith. 1977. The Folktale. California: University of California Press.

Van Luxemburg, Jan, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn. 1986. Pengantar Ilmu

Sastra.Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Van Luxemburg, Jan, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn. 1991. Tentang Sastra.

Page 28: Strukturalisme Levi Strauss

28

Diterjemahkan oleh Akhadiati Ikhram. Jakarta: Intermasa.

Vansina, Jan. 1965. Oral Tradition: A Study in Historical Methodology.

Harmondsworth: Penguin Books.

__________. 1985. Oral Tradition as History. Madison: The University of

Wisconsin Press.

Vatter, Ernst, 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte Bergvolker

Im Tropischen Holland oleh SD Sjah. Ende: Nusa Indah.

Vickery, John B. 1982. "Literature and Myth" dalam Jean-Pierre Barricelli &

Joseph Gibaldi (eds.) Interrelations of Literature. New York: The Modern

Language Association of America.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Whellwright, Philip. 1965. "The Semantic Approach of Myth" dalam Thomas A.

Sebeok (ed.)

Myth: A Symposium. Bloomington and London: Indiana University Press.

Zaimar, Okke K. S., 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang.

Jakarta: Intermasa.

Zeraffa, Michel. 1973. "The Novel as Literary Form and Social institution"

dalam Sociology of Literature and Drama. Elisabeth and Tom Burns

(Eds). Harmondsworth: Penguin Books.