eksistensialisme

13
BAB 11 EKSISTENSIALISME Pendahuluan Pada abad ini terdapat bermacam-macam aliran filsafat yang berdiri sendiri-sendiri yang berkembang dan terdapat diberbagai negara. Salah satu aliran filsafat yang cukup mencolok adalah aliran eksistensialis yang mencakup berbagai gaya dan keyakinan. Walaupun bermacam gaya, tetap mempunyai karakteristik yang konstan seperti ditunjukkan oleh asal kata filsafat tersebut yaitu menaruh minat pada eksistensi manusia, khususnya tentang kebebasan dan penolakan membicarakan manusia secara abstrak atau membicarakan alam atau dunia secara umum. Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi (sisto = berasal menempatkan). 1. SOREN KIERKEGAARD (1813 – 1855) Pada abad ke 19 terdapat seorang filsuf Dermark bernama Soren Kierkegaard (1813–1855) yang dianggap sebagai pendiri aliran eksistensialis modern. Aliran ini timbul untuk memprotes terhadap rasionalisme Yunani atau tradisi klasik dari filsafat, khususnya pandangan yang spekulatif tentang manusia seperti pandangan Plato dan Hegel yang mengatakan bahwa jiwa individual atau si pemikir, hilang dalam universal yang abstrak atau dalam aku universal. Soren Kierkegaard yang dipandang sebagai bapak aliran eksistensialisme, meskipun ia sendiri tidak pernah bermimpi tentang aliran tersebut. Akan tetapi memang cara dan suasana pikiran Kierkegaard sudah eksistensialistis. Eksistensi, ketakutan, hidup, mati, harapan dan putus asa dan lain-lain sudah terbayangkan dalam benak Kierkegaard yang kelak akan menjadi pokok pikiran aliran eksistensialis kemudian. Untuk mengerti hubungan antara Kierkegaard dan aliran eksistensialis sekarang, harus kita kutip dari alam pikirannya. Menurut Kierkegaard bentuk kehidupan manusia itu ada tiga macam:

Upload: dahi-sugianto

Post on 06-Aug-2015

38 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: EKSISTENSIALISME

BAB 11EKSISTENSIALISME

Pendahuluan Pada abad ini terdapat bermacam-macam aliran filsafat yang berdiri sendiri-

sendiri yang berkembang dan terdapat diberbagai negara. Salah satu aliran filsafat yang cukup mencolok adalah aliran eksistensialis yang mencakup berbagai gaya dan keyakinan. Walaupun bermacam gaya, tetap mempunyai karakteristik yang konstan seperti ditunjukkan oleh asal kata filsafat tersebut yaitu menaruh minat pada eksistensi manusia, khususnya tentang kebebasan dan penolakan membicarakan manusia secara abstrak atau membicarakan alam atau dunia secara umum. Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi (sisto = berasal menempatkan).

1. SOREN KIERKEGAARD (1813 – 1855)Pada abad ke 19 terdapat seorang filsuf Dermark bernama Soren Kierkegaard

(1813–1855) yang dianggap sebagai pendiri aliran eksistensialis modern. Aliran ini timbul untuk memprotes terhadap rasionalisme Yunani atau tradisi klasik dari filsafat, khususnya pandangan yang spekulatif tentang manusia seperti pandangan Plato dan Hegel yang mengatakan bahwa jiwa individual atau si pemikir, hilang dalam universal yang abstrak atau dalam aku universal.

Soren Kierkegaard yang dipandang sebagai bapak aliran eksistensialisme, meskipun ia sendiri tidak pernah bermimpi tentang aliran tersebut. Akan tetapi memang cara dan suasana pikiran Kierkegaard sudah eksistensialistis. Eksistensi, ketakutan, hidup, mati, harapan dan putus asa dan lain-lain sudah terbayangkan dalam benak Kierkegaard yang kelak akan menjadi pokok pikiran aliran eksistensialis kemudian. Untuk mengerti hubungan antara Kierkegaard dan aliran eksistensialis sekarang, harus kita kutip dari alam pikirannya.

Menurut Kierkegaard bentuk kehidupan manusia itu ada tiga macam:a) Bentuk estetik yaitu bentuk kehidupan manusia yang pikirannya hanya

diarahkan ke hal-hal dirinya sendiri.b) Bentuk etis (susila) yaitu di mana manusia memusatkan pikirannya kedalam

dirinya sendiri. Tujuannya adalah untuk memperbaiki diri dan perbuatannya. Bagaimanakah atau apakah normanya?Normanya adalah pikiran-pikiran yang niskala atau umum dengan demikian maka dalam bentuk hidup ini orang masih ada dalam alam kabur, masih belum lepas dri alam estetik. Dengan kata lain, Kierkegaard hendak mengatakan bahwa bentuk atau cara kehidupan yang disebut susila itu belum cukup.

c) Bentuk ketiga disebut religi (keagamaan). Dalam bentuk ini manusia menyerah sama sekali kepada Kristus (Kierkegaard sebagai seorang Kristen yang taat). Dengan demikian manusia menyerahkan diri dan mengikat diri sama sekali kepada Tuhan. Hanya dengan demikianlah manusia berdiri di depan Tuhan dan hanya dengan berdiri di depan Tuhanlah manusia mempunyai eksistensi yang autentik atau sewajarnya.

2. FRIEDRICH NIETZSCHE (1844 -1900)Pada abad ke-19 ini ada figur lain yang mendorong bentuk eksistensialis ini,

walaupun mereka tidak mau disebut kaum eksistensialis. Salah seorang yang tidak bisa dilepaskan dari aliran eksistensialis adalah Friedrich Nietzsche. Baik Kierkegaard

Page 2: EKSISTENSIALISME

maupun Nietzsche menentang pemikiran rasionalis abad ke 19 dan sangat memperhatikan kepada kedudukan manusia yang sulit.

Dari segi lain terdapat perbedaan yang tajam, yaitu Nietzsche menyerang agama Kristen dan mengatakan “Tuhan telah mati”. Ia mengatakan bahwa agama Kristen adalah mush akal dan problemnya adalah bagaimana caranya hidup sebagai seorang atheis. Tekanannya adalah kepada kehidupan insting dan kekuasaan yang menurutnya telah diubah oleh kebudayaan yang hanya ingin menyenangkan orang banyak. Ia mengakui, keinginan untuk berkuasa sebagai pendorong manusia yang pokok. Ia mengatakan harus ada perubahan nilai-nilai (transvalution of all values). Tapi tidak menciptakan daftar nilai-nilai baru. Dengan transvalution, ia hanya ingin mengumumkan perang atas nama kejujuran dan ketepatan nilai-nilai yang sekarang sudah diterima.

Sumbangan pokok Nietzsche adalah menghadapkan manusia kepada akibat-akibat kehidupan di dunia dimana ak ada nilai dan tujuan yang tetap. Pandangan nihilis ini tercermin dalam sastra dan seni yang melukiskan rasa putus asa dan tidak adanya arti dalam dunia sekarang. Nietzsche adalah salah seorang yang melihat bahaya dalam abad teknik dan industri yang telah tidak mengindahkan tuntutan nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan, walaupun demikian pandangan Niezsche telah membawakan bahaya-bahaya baru yang besar pula.

Selama abad ke 19, aliran eksistensialis tetap tinggal sebagai bagian dari filsafat “underground”, tetapi setelah perang dunia pertama aliran ini menggebrak aliran rasionalisme dari kebudayaan barat dan menemukan lingkungannya. Hasil kerja Kierkegaard diterjemahkan kedalam bahasa Jerman dan pada tahun 30an ke dalam bahasa Inggris yang memperoleh responden yang luas dan diperdalam oleh pemikiran-pemikiran kreatif lain yang menggali dengan tema yang sama. Sedang pada abad ke 20 ini terdapat beebrapa tokoh eksistensialis yaitu Martin Hiedegger.

3. MARTIN HIEDEGGERMasalah “berada” hanya dapat dijawab melalui ontologi yaitu jika masalah ini

dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu.Harus dibedakan “berada” (sein) dan “yang berada” (seinde). Ungkapan “yang berada” (seinde) hanya berlaku bagi benda-benda yang bukan manusia dan bila dipandang terpisah dari segala yang lain, hanya berdiri sendiri. Benda itu hanya berarti jika dihubungkan dengan manusia, jika manusia “memeliharanya”.

Manusia memang juga berdiri sendiri, akan tetapi ia mengambil tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya. Ia tidak termasuk “yang berada” tetapi ia “berada”. Keberadaan manusia ini disebut “desein” berada disana, di tempat. Berada berarti menempati atau mengambil tempat. Untuk itu manusia harus keluar dari dirinya dan berdiri ditengah-tengah segala “yang berada”. “Dasein” manusia disebut juga eksistensi.

4. KARL JASPERS (1883 – 1969)Karl Jaspers memulai karirinya dari kedokteran dan psikiatri lalu ke filsafat,

adalah orang yang telah menyusun suatu sistem yang paling rapi dari pada pemikir eksistensialis lainnya. Jaspers membagi filsafatnya atas:

a) Filsafat yang berorientasi dunia (Weltorientierung). Menurut Jasper bahwa tidak mungkin orang menyusun suatu pandangan dunia yang serasi. Ternyata di dalam suatu pandangan dunia yang serasi. Ternyata, di dalam dunia ini

Page 3: EKSISTENSIALISME

terdapat empat alam kenyataan yang tidak dapat dipersatukan yaitu : materi (benda), hidup, jiwa dan roh.Orang gagal dalam usahanya untuk menjelaskan “dasein” atau dunia obyektif ini. Kegagalan ini disebabkan karena orang memisahkan subyek dan obyek, yang menyelidiki dan yang diselidiki. Jika orang ingin berhasil dalam menjelaskan dunia, ia harus berusaha menerobos atau mentransendir pemisahan itu, sehingga obyek-obyek itu dapat dipahami menurut sumber masing-masing (“das umgreifende”).

b) Filsafat yang menjelaskan eksistensi (existenzerhellung).Eksistensi tidak dapat dijadikan obyek. Menurut Jasper, eksistensi adalah apa yang di dalam mite disebut jiwa, yaitu titik pangkal darimana kita berpikir dan berbuat. Tetapi eksitensi bukanlah subyektivitas, sebab dalam kenyataannya eksistensi terdiri dari pendobrakan lingkaran di mana subyek dan obyek berada.Eksistensi berada di luar pembedaan antara subyek dan obyek, dan tidak dapat diuraikan dengan pengertian-pengertian dalam suatu sistem tertutup. Eksistensi hanya dapat diterangi dengan mempergunakan kategori-kategori sendiri, yaitu: kebebasan, komunikasi dan sejarah.

c) Filsafat transendensi (“Transzwndenz”).Yang dimaksud dengan transendensi adalah yang merangkumi segala sesuatu, baik dunia maupun eksistensi. Akan tetapi transendensi bukanlah sesuatu yang konkrit, sebab hakekatnya tersembunyi bagi kita, sehingga kita memikirkannya tidak dapat. Bagaimanakah kita dapat mengetahuinya? Bukan karena berpikir, tetapi karena membaca. Segala yang berada di dunia simbol transendensi atau tulisan sandi (shiffre) transendensi yang mewakili transendensi. Simbol di sini tidak boleh diatikan sebagai lambang (simbol yang memberi tafsiran), sebab di sini apa yang ditunjukan simbol itu bukanlah sesuatu yang pada prinsipnya langsung dapat dikenal (tanpa simbol) dan dapat diobyektivisasi, tetapi di dalam simbol ini yang dibaca adalah kehadiran dari yang tidak hadir dan tidak dapat dikenal sebagai obyek. Simbol disini adalah simbol yang dapat dilihat.Di dalam simbol atau tulisan sandi itu orang mendapat penjelasan bagaimana transendensi. Sekalipun demikian simbol-simbol itu tidak dapat diberi interpretasi yang tepat. Oramg masih dapat memberikan interpretasi yang bermacam-macam. Oleh karena itu transendensi tidak dapat dipahami oleh setiap orang. Yang dapat benar-benar dapat membaca tulisan sandi (chiffre) itu hanya eksistensi yang benar-benar “ada”. Interprestasi yang benar didalam kegiatan kita, yang hanya dapat kita pahami sendiri dan tidak dapat dijelaskan kepada orang lain.Menikmati alam yang indah atau menikmati hasil seni, mengalami pengalaman keagamaan, dan lain-lainnya, semua ini dapat membuka mata kita bagi transendensi. Chiffre ini terlebih-lebih tamak dalam situasi perbatasan misalnya kematian, penderitaan dan lain-lain.

5. GABRIEL MARCEL (1889 – 1973)Konsep pokok yang terdapat dalam filsafat Marcel adalah konsep partisipasi,

transendensi dan wujud (being).Pangkal pikiran Marcel adalah hal “berbeda”. Menurutnya, sudah pasti bahwa “berada” itu ada. Sebab dalam kenyataanya kita berkata “aku berada”. Aku sadar, bahwa aku ada, jadi jelas bahwa “berada” itu ada, dan tidak dapat dikesampingkan.

Page 4: EKSISTENSIALISME

Manusia tidak dapat hidup sendirian, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia adalah makhluk yang mempunyai kebebasan yang bersifat otonom. Otonomi inilah yang menjadikan manusia dapat mentransendir dirinya sendiri, dapat mengadakan pemilihan.

Cinta kasih merupakan hal yang sesuai dengan eksistensi manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya. Penjalanan hidup manusai ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang “tidak ada”. Perjuangan hidup manusia sebenarnya terjadi diperbatasan antara “berada” dan “tidak berada”. Dengan cinta kasih dan kesetiaan memberi harapan guna mengatasi kematian, harapan itulah yang menerobos kematian.

Ajaran tentang harapan ini adalah puncak ajaran Marcel, yang berbeda dengan Heidegger. Sartre dan juga Jaspers yang juga mengajukan transendensi. Harapan ini menunjukkan kepada adanya “Engkau yang Tertinggi” (Toi Supreme) yang tidak dapat dijadikan obyek manusia. “Engkau Tertinggi” inilah Allah, yang hanya dapat ditemukan di dalama penyerahan, seperti halnya dengan kita menemukan “engkau” atau sesama kita dalam penyerahan dan dalam cinta kita serta dalam keterbukaan dan partisipasi dalam “berada” yang sejati.

6. JEAN PAUL SARTRE (1905 – 1980) Jean Paul Sartre lahir di Paris, dan olehnyalah filsafat eksistensialisme

menjadi tersebar luas, karena kecakapannya yang luar biasa sebagai sastrawan. Ia menyajikan filsafatnya dalam bentuk roman dan pentas dalam bahasa yang mampu menampakkan maksudnya, dengan demikian filsafat eksktensialisme dihubungkan dengan hidup yang konkrit ini. Hasil karya filsafatnya yang utama adalah “Being and Nothingness” (1943). Dalam diri (L’entre-en-soi) dan “ber-ada-untuk-diri” (L’entre-pour-soi).

a) Berada dalam diri (L’entre-en-soi) adalah semacam berada an sich, berada itu sendiri. Filsafatnya berpangkal dari realitas yang ada, karna realitas yang ada itulah yang kita hadapi, kita tangkap, kita mengerti. Ada banyak yang berada, contoh: pohon, batu, binatang, manusia dan sebagainya. “Berada” disini mewujudkan ciri segala benda jasmaniah, materi.

b) “Berada-untuk-diri (L’entre-pour-soi)” ialah berada yang dengan sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia.Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggungjawab atas fakta bahwa ia ada, misalnya ia bertanggungjawab atas fakta, bahwa ia seorang pegawai, atau seorang pedagang, atau seorang pencuri dan sebagainya.Manusia adalah “berada-untuk-diri (L’entre-pour-soi)”. Oleh karena itu maka manusia terwujud karena “berada” itu meniadakan diri (se neantise). Manusia sebagai manusia, sebagai L’entre-pour-soi terdiri dari peniadaan. Ada dua peniadaan yaitu:

1) peniadaan lahiriah (negation externe)2) peniadaan batiniah (Negation interne)

Bahwa meja bukanlah kursi, hal ini tidak menyipatkan meja, artinya bahwa meja bukanlah kursi, tidak ditentukan dari dalam inilah yang disebut negation externe. Akan tetapi bahwa aku bukan orang yang berbakat seni, atau aku bukan seroang usahawan, dan lainnya, ini menunjukkan suatu negativitas yang menyipatkan diriku dari dalam, dengan konsekuensi akulah yang bertangungjawab atas diriku.

Page 5: EKSISTENSIALISME

Hal yang “tidak ada” tidak mungkin berasal dari “berada-dalam-riri” (L’entre-en-soi), sebab “berada-dalam-diri” adalah penuh, padat, tertutup. Yang “tidak ada” ini berasal dari manusia. Manusia mengandung di dalamnya hal yang “tidak ada”. Di sini terdapat perbedaan dengan Heidegger. Menurut Sartre “eksistensi yang murni” adalah hal yang nyata. Eksistensi manusia adalah “ketiadaan”. Peniadaan ini terjadi terus menerus, dan ini mengakibatkan manusia berbuat, dan tiap perbuatan adalah perpindahan, dari semula menuju ke apa yang didepannya, ini adalah meniadakan masa lampau dan berusaha mencapai yang ‘belum ada” atau yang pada waktu itu “tidak ada”.Pada hakekatnya menurut Sartre : “berada-untuk-diri” sama dengan kebebasan.

FILSAFAT ILMU MENURUT EKSISTENSIALISMEDalam uraian ini khusus mengkaji tentang filsafat ilmu menurut pandangan

eksistensialisme. Kajian ini akan difokuskan pada beberapa aspek, yaitu : esensi ilmu, obyek ilmu, tujuan ilmu, fungsi ilmu, metode ilmu dan nilai ilmu.1. ESENSI ILMU

Pandangan eksistensialisme terhadap esensi ilmu ialah ilmu yang mempelajari “kebenaran manusia”, apa adanya manusia, bagaimana manusia berada, dimana berada, untuk apa ia berada. Dalam hal ini, kita memandang manusia baik sebagai obyek maupun sebagai subyek. Jadi eksistensi itu merupakan cap yang khusus bagi manusia dan eksistensi itu hanya ada pada manusia, bahwa diluar manusia tidak ada eksistensi. Eksistensialis percaya bahwa tidak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Eksistensialisme menekankan pada pengakuan individu yang memiliki kekhususan sendiri, kebebasan dan pertanggung jawabannya.

2. OBYEK ILMUObyek ilmu pengetahuan itu terbagi dua, yaitu obyek formal dan obyek

material. Obyek formal adalah subyek material yang disyaratkan oleh suatu ilmu, sehingga dapat membedakan ilmu yang satu dengan yang lainnya jika mempunyai ibyek material yang sama. Obyek material ialah seluruh lapangan atau badan yang dijadikan obyek penyelidikan suatu ilmu. Obyek formal itu adalah mencari keterangan dan terbatas sejauh terjangkau pembuktian peelitian, percobaan dan pengalaman. Obyek formal filsafat yaitu mencari keterangan yang sedalam-dalamnya atau sampai ke akar-akarnya.Adapun obyek formal ilmu menurut pandangan eksistensialisme adalah sebagai berikut:

a) Tata budaya, sebagai perwujudan martabat dari potensi manusia sebagai makhluk utama. EksiStensi budaya ini tercermin dalam sistem nilai, sistem kelembagaan hidup. Eksistensi budaya merupakan produk antar hubungan timbal balik antara potensi internal manusia dengan sumber daya dan lingkungan hidup.

b) Manusia sebagai subyek yang mandiri selalu dengan motivasi luhur untuk melakasanakan potensi-potensi martabatnya demi keyakinan dan cita-citanya. Hal ini dapat menjamin keharmonisan dan kelestarian antar eksistensi manusia sesamanya.

c) Manusia sebagai pribadi yang unik mempunyai kemampuan untuk menyadari tentang hakekat keberadaan manusia.

3. TUJUAN ILMU

Page 6: EKSISTENSIALISME

Berdasarkan obyek ilmu tersebut di atas, maka menurut pandangan ekssitensialisme, maka tujuan ilmu adalah sebagai berikut:

a) Untuk mewujudkan martabat dan potensi manusiab) Untuk mengetahui, membina dan mengembangkan potensi manusia agar

terbina keberadaan dan kepribadian manusia.c) Untuk mengetahui kepribadian manusia yang unik agar dapat menyadari

hakekat dan keberadaan manusia.

4. FUNGSI ILMUFungsi ilmu menurut pandangan eksistensialis adalah sebagai berikut:

a) Pengkajian tentang martabat dan potensi manusiab) Pengkajian tentang pemahaman, pembinaan dan pengembangan potensi

manusia.c) Pengkajian tentang kepribadian manusia yang unik.5. METODA ILMU

Menurut pandangan eksistensialisme bahwa metoda keilmuan yang dipakai adalah sebagai berikut:

a) Behavioral science approachb) Humanistic approachc) Hollistic approah(1) Induktif

- Deskriptif- Inferensial

(2) Deduktif- Deskriptif- Inferensial

6. NILAI ILMUNilai ilmu menurut pandangan eksistensialisme adalah sebagai berikut:

a) Nilai hukum moral yang mengikat manusia.b) Nilai psikologi spiritual yang mengisi watak dan kepribadian manusia.c) Nilai rohaniah spiritual sebagai motivasi luhur yang dapat menunjang manusia

untuk melakukan kebajikand) Nilai yang mampu menciptakan komunikasi sambung rasa antara sesama

manusia.

Bahan Diskusi 1. Eksistensialisme telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu,

terutama dalam membuka jalan terhadap kebutuan yang ditimbulkan oleh faham materialisme yang mengatakan bahwa : “manusia itu pada hakekatnya adalah barang material belaka, yang walaupun bentuknya lebih unggul, tetapi manusia itu adalah resultante dari proses-proses kimiawi”. Bagi eksistensialis, manusia itu tidak hanya sekeedar material atau kesadaran, tetapi daripada itu.

2. Eksistensialisme mengakui bahwa ilmu telah banyak mengungkap hal-hal penting dan menakjubkan tentang manusia. Tetapi dari sekian banyak temuan tentang manusai dengan ilmu yang semakin cangih, eksistensialis semakin yakin bahwa ilmu tidak akan pernah berhasil merumuskan “wholeness” manusia iru secara tuntas. Bagi eksistensialis manusia itu terlalu kompleks, penuh misteri, selamanya selalu dalam proses berkembang dan sulit diprediksi.

Page 7: EKSISTENSIALISME

3. Eksistensialisme mengakui bahwa setiap individu memiliki keunikan masing-masing dan menganggap kebebasan sebagai sesuatu yang azasi bagi setiap individu dalam penentuan eksistensi diri sendiri. Karenanya eksistensialis mengajukan terhadap: gerakan totaliser, fasis dan komunis yang cenderung mengabaikan individu dalam kolektivisme dan massa.

4. Eksistensialisme meyakini eksistesi manusia itu sebagai sesuatu yang realistik, sesuatu yang harus bisa ditemui, dialami dan terlibat didalamnya. Untuk itu maka manusia menggunakan perassan (feeling), emosi dan “soul”nya. Karena itu, eksistensialis menentang: Plato dan Hegel yang memiliki pandangan spekulatif terhadap manusia : Usaha-usaha yang mengadakan rumusan generalisasi atau abstraksi manusia.

5. Pandangan Terhadap Agama. Nietzsche dan Sartre mengikari adanya Tuhan, dan mereka menganggap bahwa bantuan yang datang dari luar diri (misalnya dari Tuhan), adalah sesuatu yang bertentang dengan eksistensi manusia. Sedangkan bagi Kierkegaard, setiap orang akan mengalami kekhawatiran didalam hidupnya, dan pada titik kritis kekhawatiran tertentu seseorang itu akan meninggalkan akal dan memeluk keyakinan-keyakinan percaya kepada Tuhan ini dialami dan dirasakan secara nyata oleh orang itu didalam hidupnya. Tetapi didalam keyakinan terhadap Tuhan ini oleh Kierkeggard ditekankan agar jangan hanya sebagai kebiasaan atau tradisi tanpa penjiwaan, dan jangan dipakai menindas kebebasan individu atau membatasi seseorang itu berhubungan dengan Tuhannya.

6. Eksistensialis tidak mengakui adanya sisitem nilai yang mengikat. Eksitensialis menginginkan adanya sisitem nilai yang bebas dan berkembang. Tetapi mereka juga sadar bahwa seseorang bereksistensi hanya kalau berada di dalam lingkungan masyarakat sosialnya yang tentunya menghadapi sistem nilai atau norma hidup masyarakatnya. Perwujudan dari kebebasan sistem nilai yang diharapkan oleh eksistensialis adalah penemuan sistem nilai baru yang memungkinkan manusia itu berkembang sesuai dengan eksistensinya, jangan sampai sistem nilai yang ada membatasi perkembangan eksistensi manusia itu sendiri.

Catatan Akhir 1. Pengaruh yang sangat menonjol eksistensialisme terhadap pendidikan modern

dewasa ini adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan eksitensial pada setiap individu siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap kebebasan siswa dalam menentukan pilihannya.

2. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan yang menyajikan program menurut kelompok seperti program pendidikan formal di sekolah dewasa ini, karena bagi eksistensialis program kelompok semacam itu berarti telah mengikari eksistensi siswa sebagai individu.

3. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan profesi, misalnya pendidikan kejuruan atau pendidikan spesialis di pendidikan tinggi. Eksistensialis menganggap pendidikan profesi mempunyai sasaran utama pada pencarian obyektivitas, logika dan intelektualitas, dan kurang mengenai sasaran emosi, estetika dan moral yang merupakan kepentingan pokok eksistensialisme.

4. Eksistensialisme mengingatkan bahwa ilmu hendaknya tidak menjadi sasaran atau tujuan pendidikan, tetapi ilmu itu harus ditempatkan secara proposional, hanya sebagai alat dalam pengembangan eksistensi manusia.

5. Beberapa kelemahan eksistensialisme dalam implikasinya terhadap pendidikan adalah:

Page 8: EKSISTENSIALISME

5.1. Dalam kenyataan hidup manusia, kebebasan mutlak itu tidak ada. Manusia itu “exist” karena berhubungan dengan manusia lain, sehingga “eksistensi manusia” itu sendiri adalah produk dari hubungan bermasyarakatnya, yang tentunya memakai sistem nilai sosial masyarakatnya.

5.2. Eksistensialis terlalu berleih-lebihan menentang hal yang “berbau ilmiah”, sehingga tidak bisa melihat “prinsip-prinsp yang secara ilmiah dapat diterima”. Padahal telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa sebagian eksitensi manusia itu dapat dijelaskan secara ilmiah.

5.3. Masyarakat akan selalu menuntut pendidikan terlibat dalam proses sosialisasi, yang berarti menyiapkan siswa dengan bekal untuk mencari nafkah dan membekali anak dengan tata nilai dan norma yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

5.4. Tidak semua prinsip yang dimiliki oleh eksistensialisme cocok untuk diterapkan dalam pendidikan kita di Indonesia. Tetapi hal-hal yang perlu diterima dari prindip eksistensialisme adalah bahwa setiap individu memiliki keunikan sendiri-sendiri, setiap individu memiliki potensi yang berbeda, setiap individu memerlukan kebebasan yang bertanggungjawab, sehingga dalam setiap proses pendidikan hendaknya eksistensi individu diperhatikan.

Bahan Bacaan

Driyarkara, 1981, Percikan Filsafat, jakarta : PT. Pembangunan

Editor???, tahun ???, Encyclopedia of Americana, tempat??? : penerbit ???

Graff, Orin et.al1966, Philosophic Theory & Practice in Educational Administration, California : Woodworth Publishing Company, Inc.

Hadiwijono, Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta : Kanisius

Schrader, George Alfred, 1967, Existential Philosophers : Kierkegaard to Merleau-Ponty, New York : McGraw-Hill Book Company

Titus, Harold H. Dkk, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, H.M. Rosyidi (terj.), Jakarta : Bulan Bintang

Editor???, tahun ???, Encyclopedia of Philosophy Vol. 3-4, tempat??? : penerbit ???