eksistensialisme
TRANSCRIPT
Makalah
PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN EKSISTENSIALISME
diajukan untuk memenuhi salah satu tugasmata kuliah Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. H. Azis Mahfuddin, M.Pd.
oleh:Salimin KartijoLukman HakimPepen Permana
PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUMSEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA2008
1
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadirat Illahi Rabbi karena atas kehendak-Nya kami bisa
menyusun makalah Pendidikan dalam Pandangan Eksistensialisme ini.
Eksistensialisme adalah satu dari sekian aliran besar dalam filsafat yang mewarnai
pandangan hidup manusia dan melandasi perkembangan dunia pendidikan dan kurikulum.
Melalui makalah singkat ini kami akan mencoba menguraikan apa itu eksistensialisme dan
bagaimana wujud pendidikan dalam lingkup eksistensialisme.
Makalah ini terbagi menjadi tiga bagian utama. Di bagian pendahuluan kami memaparkan
latar belakang dan maksud tujuan penyusunan makalah ini. Selanjutnya pada bab II kami
coba ulas filsafat eksistensialisme dan pandangannya terhadap dunia pendidikan, yang kami
peroleh dari berbagai literatur. Bab terkahir adalah uraian singkat tentang apa yang bisa
kami simpulkan dari berbagai informasi tentang eksistensialisme ini, dan sedikit saran
bagaimana kita menyikapi filsafat ini.
Kami sadar sepenuhnya penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, masih terdapat
banyak kekurangan di sana sini. Untuk itu segala macam kritik dan saran yang bersifat
membangun dari berbagai pihak kami terima dengan lapang dada dan tangan terbuka.
Tak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berjasa membantu kami dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini, khususnya kepada
dosen pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan, Dr. H. Azis Mahfuddin, M.Pd., yang telah
memberikan secercah pengetahuan tentang dunia berpikir mendalam.
Akhir kata kami hanya bisa berharap bahwa makalah ini bisa memberikan kontribusi yang
bermanfaat bagi dunia akademis kami khususnya, dan bagi pengetahuan semua pihak yang
membaca pada umumnya.
Bandung, November 2008
Tim Penyusun
i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan................................................................................................. 4
D. Prosedur Pemecahan Masalah............................................................................ 4
E. Sistematika Uraian............................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Filsafat Eksistensialisme..................................................................................... 5
1. Lahirnya Eksistensialisme............................................................................... 5
2. Tokoh-tokoh Eksistensialisme......................................................................... 6
3. Hakekat Eksistensialisme................................................................................ 9
B. Pendidikan Dalam Pandangan Eksistensialisme.................................................. 13
1. Tujuan Pendidikan ......................................................................................... 13
2. Pendidikan dan Sekolah ................................................................................. 14
3. Peranan Pendidik/Guru ................................................................................. 15
4. Tugas Anak Didik ............................................................................................ 15
5. Kurikulum....................................................................................................... 16
6. Materi Pembelajaran...................................................................................... 18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 21
B. Saran.................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................. 24
ii
Daftar Tabel
Tabel 1 Gambaran Umum Filsafat Eksistensialisme............................................................. 18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan manusia, dan
perkembangan seluruh aspek kehidupan manusia. Itulah sebabnya mengapa pendidikan
memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan berkaitan
langsung dengan pembentukkan manusia. Dalam arti luas pendidikan dapat diartikan sebagai
proses pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan
sikap, maupun keterampilan.
Tujuan pendidikan harus memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima
kepada setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam
kehidupan yang lebih baik. Pendidikan juga harus mampu memberi kesempatan bagi seluruh
warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi. Selain itu
pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya
kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi juga harus memperhatikan pemahaman
akan saling ketergantungan antara manusia.
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi
mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta
proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan,
siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi
pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang
mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang cukup sentral dalm
seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan.
Mengingat kurikulum memiliki peran penting dalam pendidikan dan perkembangan
kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang
kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Salah satu
dari sekian aspek penting yang melandasi pengembangan kurikulum adalah landasan
filosofis.
1
2
Filsafat secara harfiah berarti cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat
sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi
individu. Dengan demikian setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis
akan memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang
dianggapnya baik.
Dalam mengambil keputusan tentang setiap aspek kurikulum haruslah memiliki dasar yang
kuat. Filsafat adalah cara berpikir sedalam-dalamnya sampai pada akarnya tentang hakekat
sesuatu. Maka dari itu, sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memiliki peran yang
sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Para pengembang kurikulum harus
mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi.
Filsafat sebagai landasan pengembangan kurikulum menjawab pertanyaan-pertanyaan
pokok seperti: (1) Hendak dibawa ke mana siswa yang dididik itu?; (2) Masyarakat yang
bagaimana yang harus diciptakan melalui usaha pendidikan itu; (3) Apa hakikat pengetahuan
yang harus diketahui dan dikaji siswa?; (4) Norma-norma atau sistem nilai yang bagaimana
yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus?; dan (5) Bagaimana
sebaiknya proses pendidikan itu berlangsung?.
Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum, yakni:
1. Menentukan arah dan tujuan pendidikan.
Filsafat sebagai suatu pandangan hidup atau sistem nilai dapat menentukan mau
dibawa ke mana siswa yang kita didik itu.
2. Menentukan isi atau materi.
Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan, filsafat berfungsi dalam
menentukan isi atau materi yang harus diterima anak didik.
3. Menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan.
Sebagai sistem nilai, filsafat dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan
pembelajaran.
4. Menentukan tolak ukur keberhasilan.
Melalui filsafat dapat ditentukan indikator-indikator berhasilnya suatu proses
pendidikan.
Filsafat sebagai sistem nilai harus menjadi landasan dalam menentukan tujuan pendidikan.
Dengan kata lain, pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatu
3
masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai. Manusia macam
apa yang kita harapkan sebagai akhir dari proses pendidikan? Akan dibawa ke mana anak
didik itu? Apa yang harus dikuasai oleh mereka? Merupakan pertanyaan-pertanyaan yang
erat kaitannya dengan filsafat sebagai sistem nilai.
Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat
mempertahan, mengembangkan dan dapat hidup dalam sistem nilai masyarakatnya itu
sendiri, oleh sebab itu proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem nilai
masyarakat.
Seperti telah disebutkan sebelumnya filsafat memegang peran yang esensial dalam
pengembangan kurikulum. Sama halnya dengan filsafat pendidikan, kita mengenal beberapa
aliran dalam filsafat. Dalam pengembangan pun senantiasa berpijak pada aliran-aliran filsafat
tersebut yang nantinya akan mewarnai konsep dan implementasi kurikulum yang
dikembangkan. Terdapat beberapa perbedaan mengenai filsafat, menurut Wina Sanjaya
(2008) ada empat aliran utama dalam filsafat, yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, dan
eksistensialisme. Aliran tersebut mengkaji tentang cabang filsafat, seperti metafisika (hakikat
dunia kenyataan), epistemologi (hakikat pengetahuan), dan aksiologi (nilai-nilai). Setiap
aliran memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai cabang-cabang filsafat itu.
Berdasarkan uraian di atas bisa dipahami bahwa penentuan kurikulum dan tujuan
pendidikan tidak dapat terlepas dari dasar atau landasan filosofis, yang didalamnya terdapat
sumber nilai, makna kehidupan, aturan hidup, tujuan pendidikan serta pandangan terhadap
peserta didik. Dari ke empat aliran filsafat yang telah disebutkan sebelumnya, yang akan
dipaparkan dalam makalah ini adalah mengenai aliran filsafat eksistensialisme. Dalam
makalah ini akan dicoba dikaji bagaimana aliran eksistensialisme dalam memandang
pendidikan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapatlah dirumuskan suatu pokok masalah yaitu
”Pendidikan dalam Pandangan Eksistensialisme”. Yang kemudian rumusan masalah tersebut
dibuat dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat eksistensialisme?
2. Bagaimana eksistensialisme memandang pendidikan?
4
C. TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memeroleh suatu gambaran secara teoritis tentang
pandangan filsafat eksistensialisme terhadap pendidikan.
Adapun tujuan khusus penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan :
1. Hakikat filsafat eksistensialisme.
2. Pandangan eksistensialisme terhadap pendidikan
D. PROSEDUR PEMECAHAN MASALAH
Prosedur pemecahan masalah yang digunakan dalam menjawab rumusan masalah dalam
makalah ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif melalui kajian literatur atau
artikel yang berkaitan dengan aliran filsafat eksistensialisme.
E. SISTEMATIKA URAIAN
Makalah ini terdiri dari :
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN yang meliputi:
a. Latar Belakang Masalah
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Penulisan
d. Prosedur Pemecahan Masalah
e. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN yang mencakup:
a. Sejarah Munculnya Eksistensialisme
b. Hakikat Eksistensialisme
c. Pendidikan dalam Pandangan Eksistensialisme
BAB III PENUTUP yang berisi:
a. Kesimpulan
b. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A. FILSAFAT EKSISTENSIALISME
1. Lahirnya Eksistensialisme
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena
ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti
protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia.
Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan
suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat
tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan
terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas
teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang
bereksistensi.
Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang muncul di Jerman setelah perang dunia I
dan berkembang di Perancis setelah perang dunia II. Bermula dari reaksi terhadap
esensialisme Hegel, yang memandang bahwa konstruksi dipahami sebagai suatu lintasan dari
sesuatu yang tidak eksis (No existence, not being) kepada ‘sesuatu yang eksis’. Kierkegaard
menentang pandangan tersebut dengan menyatakan tentang kebenaran subjektif, yaitu
suatu bentuk penegasan keunikan dan sesuatu yang konkrit dan nyata sebagai sesuatu yang
berlawanan dengan yang abstrak. Konsep tersebut merupakan perlawanan terhadap usaha
untuk mengkonstruksi gambaran tentang dunia dengan memakai konsep kecukupan intelek
pada dirinya sendiri. Apa pun yang eksis menjadi sesuatu yang dihadapi secara yakin sebagai
sesuatu yang lebih aktual dibanding dengan sesuatu yang dipikirkan.
Eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan materialisme. Paham
materialisme ini memandang bahwa pada akhirnya manusia itu adalah benda, layaknya batu
atau kayu, meski tidak secara eksplisit. Materialisme menganggap hakekat manusia itu
hanyalah sesuatu yang material, betul-betul materi. Materialisme menganggap bahwa dari
segi keberadaannya manusia sama saja dengan benda-benda lainnya, sementara
eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda lain itu tidaklah sama.
Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi manusia itu mengalami
beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia menyadari dirinya ada di dunia.
5
6
Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai subjek, artinya sebagai yang menyadari,
sedangkan benda-benda yang disadarinya adalah objek.
Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Idealisme dan materialisme
adalah dua pandangan filsafat tentang hakekat yang ekstrem. Materialisme menganggap
manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek, dan hal ini dilebih-lebihkan pula
oleh paham idealisme yang menganggap tidak ada benda lain selain pikiran. Idealisme
memandang manusia hanya sebagai subjek, dan materialisme memandangnya sebagai
objek. Maka muncullah eksistensialisme sebagai jalan keluar dari kedua paham tersebut,
yang menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek. Manusia sebagai tema sentral
dalam pemikiran.
Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara umum, terutama dunia
Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada umumnya tidak menentu akibat perang. Di
mana-mana terjadi krisis nilai. Manusia menjadi orang yang gelisah, merasa eksistensinya
terancam oleh ulahnya sendiri. Manusia melupakan individualitasnya. Dari sanalah para
filosof berpikir dan mengharap adanya pegangan yang dapat mengeluarkan manusia dari
krisis tersebut. Dari proses itulah lahir eksistensialisme.
Kierkegaard seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme yang terkenal
abad 19 berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup sesungguhnya jika ia
menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan merenungkan
hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki keterbatasan untuk
melakukan itu. Jean-Paul Sartre filsuf lain dari Eksistensialisme berpendapat eksistensi
mendahului esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di
dalam dunia. Tidak ada natur manusia, karena itu tidak ada Tuhan yang memiliki tentang
konsepsi itu. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu
apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri.
2. Tokoh-tokoh Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme berkembang dengan para tokohnya seperti Heidegger, Sartre,
Kierkegaard, Karl Jaspers, Nietzsche dan lain-lain.
a. Soren Aabye Kiekegaard
Sejak pertengahan abad 18 sebelum Perang Dunia I Soren Kierkegaard, seorang penulis
berkebangsaan Denmark, telah mengerjakan tema-tema pokok eksistensialisme melalui
7
berbagai penemuan dan interpretasi yang mendalam terhadap pemikiran Schelling dan
Marx. Namun baru setelah berakhir Perang Dunia II eksistensialisme berkembang pesat
terutama dalam sudut pandang filsafat manusia sebagai filsafat yang membicarakan
eksistensi manusia sebagai tema utamanya.
Kierkegaard adalah seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme
yang terkenal abad 19. Kierkegaard berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti
hidup sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak
terbatas dan merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya
memiliki keterbatasan untuk melakukan itu.
Karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial, tujuan filsafat Kierkegaard adalah untuk
menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang individu?”. Kiergaard
menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut, yakni manusia (aku) bisa menjadi
individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam
kehidupan.
Inti pemikiran Kierkegaard adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi
senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan,
dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari
manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap
kemungkinan.
b. Friedrich Nietzsche
Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman. Tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab
pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul?”. Jawabannya adalah
manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri
secara jujur dan berani.
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan
untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia
super (Übermensch) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan
kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita
orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
8
c. Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan
obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya
sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
d. Martin Heidegger
Martin Hiedegger merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang
mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis.
Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian
dari “being”. Heidegger berpendapat bahwa “Das Wesen des Daseins liegt in seiner
Existenz”, adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya. Di dalam realitas nyata
being (sein) tidak sama sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai
ada dan di dalam ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai
pengada. Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis
tentang “being” biasa disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein). Dasein adalah
tersusun dari da dan sein. “Da” disana (there), “sein” berarti berada (to be/being).
Artinya manusia sadar dengan tempatnya.
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala
sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan
benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan
manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada
setiap tindakan dan tujuan mereka.
e. Jean Paul Sartre
Jean-Paul Sartre filsuf lain dari eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului
esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam
dunia. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu
apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut Sartre adanya
manusia itu bukanlah “etre” melainkan “a etre”. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi
dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-
hentinya.
9
Satre berkeyakinan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling
menegasikan terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga
objek bagi yang lain. Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk
memasukkan orang lain ke dalam pusat ”dunia”-nya. Mengikuti Nietzsche, Sartre
mengutuk setiap bentuk objektivikasi dan impersonalisasi. Tak ada standar baik dan
buruk kecuali kebebasan itu sendiri.
Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai
kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi
adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
Sepanjang sejarah eksistensialisme, kebebasan ala Sartre ini boleh dibilang paling
ekstrim dan radikal. Dalam sejarah perkembangan filsafat, agaknya tidak ada pendirian
tentang kebebasan yang ekstrim dan radikal seperti Sartre.
3. Hakekat Eksistensialisme
Eksistensialisme berarti filsafat mengenai aku, dan bagaimana aku hidup. Dengan demikian,
eksistensialisme adalah filsafat subyektif mengenai diri. Hal ini terlihat pada ide-ide dari tiga
eksistensialis terbesar Eropa: Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger (1889-1976)
dan Jean-Paul Sartre (1905-1980).
Eksistensialisme Kierkegaard tercapai karena menemukan diri di hadapan Tuhan. Bagi
Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang sangat berpengaruh, diri terkait
dengan ‘pengada otentik’, atau kecerdasan identitas.
Sementara bagi Sartre, diri serupa dengan konsep Descartes, tetapi dengan meniadakan
Tuhan. Diri bagi Sartre adalah pengakuan atas Tuhan. Karena, dalam menciptakan manusia
yang kita inginkan, tak ada satupun dari tindakan-tindakan kita yang tidak sekaligus
menciptakan gambaran tentang manusia sebagaimana ia seharusnya.
Dalil diataslah, menurut Sartre lagi, yang menggambarkan diri kita sebagai ‘Tuhan kecil’ yang
berada atau menyatu dalam diri kita, sekaligus yang ‘memiliki kebebasan kita’ seperti sebuah
kebajikan metafisik (Being & Nothingness, 1943:42)
10
Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan “sistensi” yang
berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri
sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Eksistensialisme merupakan suatu aliran
dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai
suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan
kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkrit.
Eksistensialisme didefinisikan sebagai usaha untuk memfilsafatkan sesuatu dari sudut
pandang pelakunya, di bandingkan cara tradisonal, yaitu dari sudut penelitinya.
Eksistensialisme memberi perhatian terhadap masalah-masalah kehidupan manusia modern.
Eksistensialisme menekankan tema eksistensi pribadi yang dibandingkan dengan eksistensi
manusia secara umum, kemustahilan hidup dan pertanyaan untuk arti dan jaminan
kebebasan manusia, pilihan dan kehendak, pribadi yang terisolasi, kegelisahan, rasa takut
yang berlebihan dan kematian.
Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada
manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang harus bereksistensi,
mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat
renungan eksistensialisme adalah manusia konkrit.
Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi
diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang
sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang
konkrit.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana
yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang
benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran
bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang
menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat.
Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan
lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah
melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan
11
sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah
bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.
Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre,
yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk
bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang
paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana
kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme
mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan
adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu
adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain daripada yang
lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia,
tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari
eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan
tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau
tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan
sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi
dokter atas keinginan orangtua, atau keinginan sendiri.
Waini Rasyidin (2007:24) mengungkapkan bahwa teori eksistensialisme menomorsatukan
hak kebebasan individu menjadi diri sendiri yang bersifat terbuka terhadap segala
kemungkinan yang selalu baru.
Jika dibandingkan dengan penerapannya dalam filsafat pendidikan, eksistensialisme tampak
lebih berpengaruh sebagai sistem filsafat, kecuali di Inggris dan dalam bidang pendidikan
profesional tertentu di universitas-universitas di Eropa Barat dan Amerika Utara. Inti aliran
eksistensialisme adalaha filsafat hidup yang lebih menghormati hak hidup manusia sebagai
individu. Atas dasar asas individualisme, eksistensialisme berpendapat bahwa tidak ada
unsur hakiki di alam semesta yang bersifat universal. Hakekat kenyataan tergantung pada
persepsi individu yang bersangkutan.
Parkay (1998) membagi dua aliran pemikiran eksistensialisme, yakni bersifat theistik
(bertuhan) dan atheistik. Aliran theistik menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu
kerinduan akan suatu wujud yang sempurna, yakni Tuhan. Kerinduan ini tidak membuktikan
12
keberadaan Tuhan, manusia dapat bebas memilih untuk tinggal dalam kehidupan mereka
seakan-akan ada Tuhan. Sementara aliran atheistik berpendapat bahwa pendirian theistik
merendahkan kondisi manusia. Ateistik berpendapat bahwa manusia harus memiliki suatu
fantasi agar dapat tinggal dalam kehidupan tanggung jawab moral. Pendirian tersebut
membebaskan manusia dari tanggung jawab untuk berhubungan dengan kebebasan pilihan
sempurna yang dimiliki.
Menurut eksistensialisme, terdapat dua jenis filsafat tradisional, yakni filsafat spekulatif dan
skeptis. Filsafat spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang
pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah
ada dalam diri individu. Dengan kata lain pengalaman tidak banyak berpengaruh pada diri
individu. Filsafat skeptik berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu,
tidak ada sesuatu pun yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka menganggap bahwa
konsep metafisika adalah sementara.
Eksistensialisme menolak kedua pandangan tersebut dengan berpendapat bahwa manusia
dapat menemukan kebenaran yang fundamental berargumentasi, bahwa yang nyata adalah
yang kita alami. Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas,
kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada di luar kondisi
manusia.
Paham eksistensialisme terdiri dari berbagai pandangan yang berbeda-beda. Meski berbeda
pandangan-pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan
tersebut dapat digolongkan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut di
antaranya:
1. Motif pokok eksistensialisme adalah apa yang disebut “eksistensi”, yaitu cara
manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada
manusia. Dengan kata lain bersifat humanis.
2. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan
dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
3. Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang
masih dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia
sekitarnya, terlebih lagi terhadap sesama manusia.
4. Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang
eksistensial.
13
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomologi, suatu
pandangan yang menggambarkan penampakkan benda-benda dan peristiwa-peristiwa
sebagaimana benda-benda tersebut tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran
manusia. Pengetahuan manusia tergantung pemahamannya tentang realitas, tergantung
pada interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan
sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karis siswa, melainkan untuk dapat dijadikan
alat perkembangan dan alat pemenuhan diri.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai menekankan kebebasan dalam tindakan.
Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan berupa suatu
potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun
menentukan pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang tersulit. Berbuat akan menghasilkan
akibat, dan seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan
tidak akan pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan akan pilihan-
pilihan selanjutnya.
B. PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN EKSISTENSIALISME
Karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia, dan pendidikan itu
sendiri hanya bisa dilakukan oleh manusia, maka tampaklah jelas bahwa terdapat hubungan
antara eksistensialisme dengan pendidikan. Pendidikan dan eksistensialisme bersinggungan
satu sama lain dalam masalah-masalah yang sama, yakni manusia.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, filsafat eksistensialisme dapat ditinjau dari berbagai
implikasinya, yaitu terhadap 1) Tujuan Pendidikan, 2) Pendidikan dan Sekolah, 3) Peranan
Pendidik/Guru, 4) Tugas Anak Didik, 5) Kurikulum, dan 6) Materi Pembelajaran.
1. Tujuan Pendidikan
Menurut eksistensialisme setiap orang itu adalah individu sendiri-sendiri yang tak akan
mampu berkomunikasi murni dengan individu lainnya, oleh sebab itu tujuan pendidikan
dalam pandangan eksistensialisme adalah menumpuk kemampuan individu menjadi diri
sendiri yang sebaik-baiknya walaupun tak mungkin terbina hubungan murni dalam
komunikasi sesama manusia (Rasyidin, 2007:24), dan untuk mendorong setiap individu agar
mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri, serta memberikan bekal
pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. Para kaum
eksistensialis memercayai bahwa ilmu pengetahuan yang paling utama adalah pengetahuan
14
tentang kondisi manusia. Oleh sebab itu, pendidikan harus mengembangkan kesadaran
dalam memilih.
2. Pendidikan dan Sekolah
Seperti halnya perenialisme dan essensialisme, yang merupakan filsafat klasik,
eksistensialisme memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara,
mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan
peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah
ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah
disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar
dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima
informasi dan tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik menjadi sumber bagi
pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan
memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan
proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.
Sementara Kneller (1971:79) mengungkapkan bahwa pendidikan seharusnya menyediakan
suatu wawasan di mana manusia menjadi paling peduli terhadap kondisi manusia dan
mengalami berbagai macam hal, seperti penderitaan, konflik, penyesalan dan kematian,
sehingga akan diperoleh pengalaman dari hal-hal tersebut. Manusia harus bisa memahami
semua itu dan mengatasinya dengan bijak. Pendidikan adalah upaya untuk mentransformasi,
mengubah, dan mengembangkan baik pribadi siswa sebagai anggota masyarakat atau
masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pengajaran lebih menekankan pada pemecahan
masalah, baik masalah pribadi maupun sosial (Sukmadinata, 2007). Pendidikan berpusat
pada usaha mengembangkan persepsi dan perasaan individu untuk memperlancar respon
pribadi terhadap situasi hidup (Kaber, 1988: 42).
Sekolah sebagai lembaga sosial harus melayani pendidikan umum untuk semua anak.
Sekolah sepatutnya menjadi suatu alat untuk merealisasikan kedisiplinan seseorang, bukan
orang tertentu, tapi semua orang; membiarkan seseorang berkembang memikirkan
kebenaran untuk dirinya, bukan kebenaran yang abstrak tapi yang hakiki (Kneller, 1971:78).
Nasution (2006:25) mengemukakan bahwa sekolah yang berdasarkan eksistensialisme
mendidik anak agar menentukan pilihan dan keputusan sendiri dengan menolak otoritas
orang lain. Sekolah ini menolak segala kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dan
15
sebagainya dari pihak luar. Siswa diharuskan mencari identitasnya dan kurikulumnya sendiri.
Dengan sendirinya mereka tidak dipersiapkan untuk menempuh ujian nasional.
3. Peranan Pendidik/Guru
Seorang guru yang eksistensialis akan mendorong siswa-siswanya untuk bertanggung jawab
dan dapat mengatasi dampak dari semua tindakan yang dilakukan mereka. Berani berbuat
berarti berani menerima konsekuensinya. Siswa harus menerima bahwa konsekuensi
tersebut adalah pilihannya. Namun di waktu yang sama sang murid tidak boleh menerima
begitu saja sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah. Kebebasan itu tidak akan ada habisnya,
dan setiap konsekuensi membutuhkan pemikiran selanjutnya (Kneller, 1971: 74-75).
Selanjutnya Kneller (1971:81) mengemukakan beberapa peranan guru dalam pandangan
eksistensialisme:
a. Guru berperan melindungi dan memelihara kebebasan akademik.
b. Guru tidak memaksakan interpretasi atau mengabaikan pengetahuan lama siswa.
c. Dalam menyampaikan materi guru mengemukakannya dengan pandangan beragam.
d. Guru harus membaca secara mendalam dan menyusun materi secara tepat sebelum
pembelajaran dimulai sebagai bahan diskusi.
e. Guru harus jujur.
f. Guru menjadikan materi pelajaran sebagai bagian dari pengalamannya, sehingga
guru akan dapat menyajikannya sebagai bagian yang muncul dari dalam dirinya.
Tugas guru memiliki peranan tidak langsung (non directive role), yakni guru banyak
mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tanpa mengingatkan apa yang harus dilakukan
siswa (Nasution, 2006:26). Sebagai seorang profesional guru merupakan sumber, fasilitator,
bukan orang yang menurunkan serangkaian nilai dan kepentingan tertentu (Kaber, 1988:42).
4. Tugas Anak Didik
Menurut filsafat eksistensialisme, orang akan terus menerus membuat pilihan, dan pada
akhirnya menegaskan diri sendiri. Kita adalah diri yang kita pilih, yang tercipta dengan
membentuk identitas diri sendiri. Karenanya, esensi yang kita buat adalah hasil pilihan kita,
yang tentu saja akan bervariasi pada setiap orang. Dalam eksistensialisme para siswa
disarankan untuk bebas memilih apa yang mereka pelajari dan bagaimana memelajarinya.
Siswa harus bebas berpikir dan mengambil keputusan sendiri secara bertanggungjawab.
16
Dalam eksistensialisme siswa dipandang sebagai mahluk rasional dengan pilihan bebas dan
tanggungjawab atau pilihan suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pendidikan. Siswa
harus aktif dalam mencari pengetahuan, dengan tidak menutup pikiran dan hatinya, dan
dengan selalu mencari kebenaran secara mendalam dari sesuatu yang sudah dimiliki (Kneller,
1971:83). Anak didik juga sebagai partner dalam belajar dan guru pun dapat belajar dari
mereka (Kaber, 1988:42). Siswa pun harus mampu belajar secara berkelompok dalam
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi (Sukmadinata, 2007).
5. Kurikulum
Karena setiap individu dipandang memiliki kebutuhan dan dan perhatian yang spesifik
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dirinya, maka dalam menentukan kurikulum tidak
ada kurikulum yang pasti dan yang ditentukan berlaku secara umum. Eksistenliasisme
menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu memiliki kontribusi pada pencarian
individu akan makna, dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut
“kebangkitan yang luas”. .
Pengembangan kurikulum yang berlandaskan eksistensialisme akan menekankan pada
individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna dan untuk memahami
kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Kurikulum eksistensialis akan
mencakup pengalaman-pengalaman dan subjek-subjek yang mengantarkan mereka pada
kebebasan individu dan pilihan pribadi. Eksistensialisme mengutamakan kurikulum liberal,
yang merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan–aturan.
Oleh karena itu di sekolah harus diajarkan pendidikan sosial untuk mengajar respek rasa
hormat terhadap kebebasan untuk semua.
Omstein (2009:38) berpendapat bahwa paham rekonstruktivisme juga memiliki tautan pada
aliran eksistensialisme. Oleh sebab itu pengembangan kurikulum yang berlandasan filosofis
rekronstruksionisme tidak lepas juga dari pengaruh filsafat eksistensialisme, di mana dalam
kurikulum ini sangat menekankan pada peradaban manusia masa depan. Di samping
menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme
lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini
akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan
sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
17
Eksistensialisme juga merupakan sumber lahirnya kurikulum humanistik yang
dilatarbelakangi oleh teori pendidikan pribadi. Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi
bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan
dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan,
sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai
pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori pendidikan pribadi ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan
romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya- Francis Parker dan John Dewey
- memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran
berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya.
Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat
refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih
merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai
dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari
pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu
dalam keadaan fitrah,– memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis,
yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi
kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum
humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual
(kurikulum subjek akademis).
Kurikulum humanis ini berorientasi ke masa sekarang, dan menganggap bahwa setiap anak
memiliki potensi tersendiri. Kurikulum ini memandang bahwa pendidikan itu adalah untuk
kepentingan jangka panjang, apa yang kita tanamkan hari ini akan kita rasakan manfaatnya
di waktu yang akan datang. Peran guru adalah sebagai psikolog, bidan, motivator, atau
fasilitator.
Berikut beberapa karakteristik kurikulum humanis:
a. siswa adalah subjek, dan memiliki peran utama,
b. isi/bahan pelajaran disesuaikan dengan minat/kebutuhan siswa,
c. menekankan pada keutuhan pribadi,
18
d. cara penyampaian materi dengan metode discovery, inkuiri, dan penekanan
masalah.
Berikut gambaran umum filsafat eksistensialisme dalam melandasi kurikulum:
Tabel 1Gambaran Umum Filsafat Eksistensialisme
Filsafat RealitaPengetahua
n Nilai Peran GuruPenekanan
Pembelajaran
Penekanan pada
kurikulumEksistensialisme
Subjektif
Pengetahuan untuk pilihan pribadi
Bebas dipilih; berdasarkan pada persepsi individual
Untuk menanamkan pilihan pribadi dan definisi diri individu
Pengetahuan dan prinsip-prinsip kondisi manusia; perilaku memilih
Pilihan dalam mata pelajaran, subjek-subjek elektif, emosional, estetis, dan filosofis
Sumber : Curiculum Foundation, Principles, issues (2009:56)
6. Materi Pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori
pendidikan dikembangkan. Dalam pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik
(perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal
yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam
bentuk:
a. Teori;
Seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan,
yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi
hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan
meramalkan gejala tersebut.
b. Konsep;
Suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan,
merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
c. Generalisasi;
Kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis,
pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
19
d. Prinsip;
Ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan
antara beberapa konsep.
e. Prosedur;
Seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan
peserta didik.
f. Fakta;
Sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari
terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
g. Istilah;
Kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
h. Contoh/ilustrasi;
Hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau
pendapat.
i. Definisi;
Penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis
besarnya.
j. Preposisi;
Cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai
tujuan kurikulum.
Dalam proses pembelajaran guru dan murid akan bertemu bersama-sama sebagai subjek
karena ilmu pengetahuan yang diberikan guru bukan lagi hanya sebagai sesuatu yang
disampaikan akan tetapi sebagai aspek atas kondisinya sendiri. Contoh materi pelajaran yang
dipelajari adalah ilmu alam, sejarah, sastra, filsafat, atau seni. Sementara menurut Rasyidin
(2007:25) ilmu yang paling bermanfaat dipelajari adalah ilmu yang berkaitan dengan ekspresi
pikiran, perasaan dan keinginan, yakni ilmu humaniora. Nasution (2006:25) menyatakan
bahwa dari semua mata pelajaran, mungkin ilmu-ilmu sosial yang paling menarik bagi siswa.
Pendidikan moral tidak diajarkan, juga tidak ditetapkan aturan-aturan yang harus dipatuhi
siswa.
Konsep belajar dan mengajar dalam pandangan eksistensialisme kembali menganut pada
teori ‘dialog’ Martin Burber. Dialog yaitu percakapan antara beberapa di mana setiap orang
menyampaikan materi kepada yang lainnya, sementara menurut Burber adalah percakapan
20
antara Aku dan Engkau, yang merupakan pendidikan yang bersandar pada kepercayaan antar
individu, kepercayaan yang harus guru peroleh melalu integritas dan keterampilannya.
Proses belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan melainkan ditawarkan, demi
membentuk hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog. Maka pengetahuan
yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu
sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi
dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan
kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi
miliknya sendiri.
Sebenarnya dalam eksistensialisme tidak terdapat pemikiran yang mendalam tentang
metode pembelajaran, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada cara unik
demi mencapai kebahagian dan karakter individu yang baik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu
selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang
sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.
Eksistensialisme mengutamakan individu sebagai faktor dalam menentukan apa yang baik
dan benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan ditentukan masing-masing
secara bebas, namun dengan pertimbangan jangan menyinggung perasaaan orang lain.
Tujuan hidup adalah menyempurnakan diri, dan merealisasikan diri.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada
eksistensi. Eksistensi adalah cara manuisa berada manusia. Cara berada manusia berbeda
dengan cara beradanya dengan benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi tidak
didasari kesadaran akan dirinya sendiri, juga tidak terdapat komunikasi antara yang satu
dengan lainnya. Tidak demikan halnya dengan manusia. Manusia berada bersama dengan
manusia lainnya sama sederajat. Benda-benda materi akan bermakna karena manusia.
Penekanan dari Eksistensialisme adalah bahwa seseorang dapat menilai dan menentukan
sesuatu oleh tindakannya dan pilihannya sendiri dan tidak bergantung dari standard moral
yang berlaku baik secara tertulis ataupun secara lisan. Dalam hal ini “pilihan” menjadi
evaluasi tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.
Secara metafisika atau hakekat kenyataan pandangan eksistensialisme ini dapat disimpulkan
bahwa eksistensialisme ini menganggap bahwa pribadi manusia itu tak sempurna, dan dapat
diperbaiki melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip dan standar pengembangan
kepribadian. Sementara secara epistemologi atau hakekat pengetahuan menekankan pada
kebebasan individu untuk memilih. Dari sudut pandang logika atau hakekat penalaran
eksistensialisme mencari pemahaman tentang kebutuhan dan dorongan internal melaui
analisis dan introspeksi diri. Kemudian dalam pandangan aksiologi hakekat hakekat nilai,
paham ini memandang bahwa standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas
untuk dipilih dan diambil.
21
22
Lebih lanjut dalam pandangan hakekat kebaikan atau etika, eksistensialisme menekankan
adanya untutan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti yang lain, dan dalam
lingkup hakekat keindahan atau estetika, eksistensialisme percaya bahwa keindahan
ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya. Terakhir dari sudut pandang
tujuan hidup, eksistensialisme menekankan adanya penyempurnaan diri melalui pilihan
standar secara bebas oleh tiap individu demi mencari kesempurnaan hidup.
Sangat menghargai kebebasan dan keberadaan individu merupakan salah satu kelebihan dari
filsafat eksistensialisme. Selain itu kelebihan yang lainnya adalah adanya anggapan bahwa
hidup ini adalah sebuah perjuangan, tidak mengenal kata pasrah dan menerima apa adanya
sehingga hidup ini harus selalu diperbaiki. Faktor penting untuk perbaikan adalah tanggung
jawab. Dengan demikian gaya hidup yang dianut eksistensialisme adalah serius, dinamis,
penuh usaha, dan optimis menuju masa depan.
Akan tetapi dari kelebihan yang ada, sudah tentu eksistensialisme juga memiliki beberapa
kelemahan, di antaranya: 1) eksistensialisme mengingkari fakta bahwa manusia harus hidup
bersosialisasi dengan manusia lainnya dalam hubungan bermasyarakat; 2) standar moralitas
(benar atau salahnya) perilaku seseorang dalam masyarakat, bukan ditentukan oleh pribadi
seseorang, melainkan oleh norma, aturan atau hukum yang menjadi kesepakatan di dalam
masyarakat itu; 3) eksistensialisme mengabaikan nilai-nilai moralitas secara objektif; 4)
terlalu terjerumus dalam pendirian yang individualistis; dan 5) menganggap bahwa
kebebasan itu tanpa batas.
B. SARAN
Filsafat sangat penting dipertimbangkan dalam mengambil keputusan tentang setiap aspek
kurikulum. Maka sudah selayaknya seorang pendidik dalam berperilaku di dalam kelas atau
di luar kelas harus didasarkan apa yang dipercayai, yang diyakini sebagai baik dan benar.
Pendidik yang baik patut memahami apa itu hakikat manusia, khususnya hakikat siswa
beserta sifat-sifatnya; apa itu sumber kebenaran dan nilai-nilai yang dijadikan pegangan
hidup; tentang apa yang baik; tentang apa itu hidup yang baik; apakah peranan sekolah
dalam masyarakat; apa peran guru dalam proses belajar; dan sebagainya. Untuk dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentu saja seorang pendidik disarankan untuk
memahami dan mendalami filsafat.
23
Dari sekian banyaknya aliran filsafat beserta turunannya, hendaknya hal tersebut tidak
memojokkan kita untuk fanatik terhadap salah satu aliran saja. Masing-masing aliran filsafat
pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri, dan hal tersebut perlu disikapi dengan
bijak oleh para pendidik atau juga pengembang kurikulum, yakni bahwa masing-masing
aliran filsafat bisa saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, dalam praktek
pengembangan kurikulum ataupun dalam pembelajaran, alangkah lebih baik jika penerapan
aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan
mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan.
24
DAFTAR PUSTAKA
____________. (2006). Eksistensialisme. [online]. Tersedia: http://id. wikipedia.org/wiki/
Eksistensialisme. [5 November 2008]
____________. (2008). Eksistensialisme. [online]. Tersedia: http://filsufgaul.wordpress.com/
2008/ 02/04/eksistensialisme/. [11 November 2008]
Kneller, F. George. (1971). Introduction to the Philosophy of Education, New York : John Wiley
& Sons, Inc.
Lubis, Askolan. (2008, 27 Februari). Mengintip ”Kebebasan” Manusia lewat Sartre. Sinar
Harapan [online]. Halaman 1. Tersedia: http://www.sinarharapan.co.id/berita/
0202/27/fea01.html. 13 November 2008.
Nasution, S. (2006). Asas-asas Kurikulum, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ornstein, A.C. (2009). Curriculum Foundation, Principles, Issues. USA: Pearson.
Sanjaya, Wina, Dr., M.Pd. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana.
Sudrajat, Akhmad. (2008). Komponen-komponen Kurikulum. [online]. Tersedia: http://
akhmadsudrajat.wordpress.com/kumpulan-makalah-2/2008/01/22/komponen-
komponen-kurikulum/. [20 Oktober 2008]
Sudrajat, Akhmad. (2008). Landasan Kurikulum. [online]. Tersedia: http://
akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/22/landasan-kurikulum/. [20 Oktober
2008]
Sudrajat, Akhmad. (2008). Teori Pendidikan dan Kurikulum. [online]. Tersedia: http://
akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/teori-pendidikan-dan-kurikulum/.
[20 Oktober 2008]
Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr., (2006). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wibowo, Arif. (2008). Eksistensialisme. [online]. Tersedia: http://staff.blog.ui.edu
/arif51/2008/07/01/eksistensialisme/. [20 Oktober 2008]