eksistensialisme

42
Makalah PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN EKSISTENSIALISME diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Dosen Pengampu: Dr. H. Azis Mahfuddin, M.Pd. oleh: Salimin Kartijo Lukman Hakim Pepen Permana PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM 1

Upload: penze

Post on 11-Jun-2015

7.727 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Eksistensialisme

Makalah

PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN EKSISTENSIALISME

diajukan untuk memenuhi salah satu tugasmata kuliah Filsafat Pendidikan

Dosen Pengampu: Dr. H. Azis Mahfuddin, M.Pd.

oleh:Salimin KartijoLukman HakimPepen Permana

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUMSEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA2008

1

Page 2: Eksistensialisme

Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadirat Illahi Rabbi karena atas kehendak-Nya kami bisa

menyusun makalah Pendidikan dalam Pandangan Eksistensialisme ini.

Eksistensialisme adalah satu dari sekian aliran besar dalam filsafat yang mewarnai

pandangan hidup manusia dan melandasi perkembangan dunia pendidikan dan kurikulum.

Melalui makalah singkat ini kami akan mencoba menguraikan apa itu eksistensialisme dan

bagaimana wujud pendidikan dalam lingkup eksistensialisme.

Makalah ini terbagi menjadi tiga bagian utama. Di bagian pendahuluan kami memaparkan

latar belakang dan maksud tujuan penyusunan makalah ini. Selanjutnya pada bab II kami

coba ulas filsafat eksistensialisme dan pandangannya terhadap dunia pendidikan, yang kami

peroleh dari berbagai literatur. Bab terkahir adalah uraian singkat tentang apa yang bisa

kami simpulkan dari berbagai informasi tentang eksistensialisme ini, dan sedikit saran

bagaimana kita menyikapi filsafat ini.

Kami sadar sepenuhnya penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, masih terdapat

banyak kekurangan di sana sini. Untuk itu segala macam kritik dan saran yang bersifat

membangun dari berbagai pihak kami terima dengan lapang dada dan tangan terbuka.

Tak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah

berjasa membantu kami dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini, khususnya kepada

dosen pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan, Dr. H. Azis Mahfuddin, M.Pd., yang telah

memberikan secercah pengetahuan tentang dunia berpikir mendalam.

Akhir kata kami hanya bisa berharap bahwa makalah ini bisa memberikan kontribusi yang

bermanfaat bagi dunia akademis kami khususnya, dan bagi pengetahuan semua pihak yang

membaca pada umumnya.

Bandung, November 2008

Tim Penyusun

i

Page 3: Eksistensialisme

Daftar Isi

KATA PENGANTAR................................................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii

DAFTAR TABEL...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah....................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................... 3

C. Tujuan Penulisan................................................................................................. 4

D. Prosedur Pemecahan Masalah............................................................................ 4

E. Sistematika Uraian............................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Filsafat Eksistensialisme..................................................................................... 5

1. Lahirnya Eksistensialisme............................................................................... 5

2. Tokoh-tokoh Eksistensialisme......................................................................... 6

3. Hakekat Eksistensialisme................................................................................ 9

B. Pendidikan Dalam Pandangan Eksistensialisme.................................................. 13

1. Tujuan Pendidikan ......................................................................................... 13

2. Pendidikan dan Sekolah ................................................................................. 14

3. Peranan Pendidik/Guru ................................................................................. 15

4. Tugas Anak Didik ............................................................................................ 15

5. Kurikulum....................................................................................................... 16

6. Materi Pembelajaran...................................................................................... 18

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 21

B. Saran.................................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................. 24

ii

Page 4: Eksistensialisme

Daftar Tabel

Tabel 1 Gambaran Umum Filsafat Eksistensialisme............................................................. 18

iii

Page 5: Eksistensialisme

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan manusia, dan

perkembangan seluruh aspek kehidupan manusia. Itulah sebabnya mengapa pendidikan

memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan berkaitan

langsung dengan pembentukkan manusia. Dalam arti luas pendidikan dapat diartikan sebagai

proses pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan

sikap, maupun keterampilan.

Tujuan pendidikan harus memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima

kepada setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam

kehidupan yang lebih baik. Pendidikan juga harus mampu memberi kesempatan bagi seluruh

warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi. Selain itu

pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya

kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi juga harus memperhatikan pemahaman

akan saling ketergantungan antara manusia.

Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi

mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta

proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan,

siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi

pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang

mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis.

Kurikulum sebagai rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang cukup sentral dalm

seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan.

Mengingat kurikulum memiliki peran penting dalam pendidikan dan perkembangan

kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang

kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Salah satu

dari sekian aspek penting yang melandasi pengembangan kurikulum adalah landasan

filosofis.

1

Page 6: Eksistensialisme

2

Filsafat secara harfiah berarti cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat

sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi

individu. Dengan demikian setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis

akan memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang

dianggapnya baik.

Dalam mengambil keputusan tentang setiap aspek kurikulum haruslah memiliki dasar yang

kuat. Filsafat adalah cara berpikir sedalam-dalamnya sampai pada akarnya tentang hakekat

sesuatu. Maka dari itu, sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memiliki peran yang

sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Para pengembang kurikulum harus

mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi.

Filsafat sebagai landasan pengembangan kurikulum menjawab pertanyaan-pertanyaan

pokok seperti: (1) Hendak dibawa ke mana siswa yang dididik itu?; (2) Masyarakat yang

bagaimana yang harus diciptakan melalui usaha pendidikan itu; (3) Apa hakikat pengetahuan

yang harus diketahui dan dikaji siswa?; (4) Norma-norma atau sistem nilai yang bagaimana

yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus?; dan (5) Bagaimana

sebaiknya proses pendidikan itu berlangsung?.

Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum, yakni:

1. Menentukan arah dan tujuan pendidikan.

Filsafat sebagai suatu pandangan hidup atau sistem nilai dapat menentukan mau

dibawa ke mana siswa yang kita didik itu.

2. Menentukan isi atau materi.

Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan, filsafat berfungsi dalam

menentukan isi atau materi yang harus diterima anak didik.

3. Menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan.

Sebagai sistem nilai, filsafat dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan

pembelajaran.

4. Menentukan tolak ukur keberhasilan.

Melalui filsafat dapat ditentukan indikator-indikator berhasilnya suatu proses

pendidikan.

Filsafat sebagai sistem nilai harus menjadi landasan dalam menentukan tujuan pendidikan.

Dengan kata lain, pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatu

Page 7: Eksistensialisme

3

masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai. Manusia macam

apa yang kita harapkan sebagai akhir dari proses pendidikan? Akan dibawa ke mana anak

didik itu? Apa yang harus dikuasai oleh mereka? Merupakan pertanyaan-pertanyaan yang

erat kaitannya dengan filsafat sebagai sistem nilai.

Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat

mempertahan, mengembangkan dan dapat hidup dalam sistem nilai masyarakatnya itu

sendiri, oleh sebab itu proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem nilai

masyarakat.

Seperti telah disebutkan sebelumnya filsafat memegang peran yang esensial dalam

pengembangan kurikulum. Sama halnya dengan filsafat pendidikan, kita mengenal beberapa

aliran dalam filsafat. Dalam pengembangan pun senantiasa berpijak pada aliran-aliran filsafat

tersebut yang nantinya akan mewarnai konsep dan implementasi kurikulum yang

dikembangkan. Terdapat beberapa perbedaan mengenai filsafat, menurut Wina Sanjaya

(2008) ada empat aliran utama dalam filsafat, yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, dan

eksistensialisme. Aliran tersebut mengkaji tentang cabang filsafat, seperti metafisika (hakikat

dunia kenyataan), epistemologi (hakikat pengetahuan), dan aksiologi (nilai-nilai). Setiap

aliran memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai cabang-cabang filsafat itu.

Berdasarkan uraian di atas bisa dipahami bahwa penentuan kurikulum dan tujuan

pendidikan tidak dapat terlepas dari dasar atau landasan filosofis, yang didalamnya terdapat

sumber nilai, makna kehidupan, aturan hidup, tujuan pendidikan serta pandangan terhadap

peserta didik. Dari ke empat aliran filsafat yang telah disebutkan sebelumnya, yang akan

dipaparkan dalam makalah ini adalah mengenai aliran filsafat eksistensialisme. Dalam

makalah ini akan dicoba dikaji bagaimana aliran eksistensialisme dalam memandang

pendidikan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapatlah dirumuskan suatu pokok masalah yaitu

”Pendidikan dalam Pandangan Eksistensialisme”. Yang kemudian rumusan masalah tersebut

dibuat dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat eksistensialisme?

2. Bagaimana eksistensialisme memandang pendidikan?

Page 8: Eksistensialisme

4

C. TUJUAN PENULISAN

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memeroleh suatu gambaran secara teoritis tentang

pandangan filsafat eksistensialisme terhadap pendidikan.

Adapun tujuan khusus penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan :

1. Hakikat filsafat eksistensialisme.

2. Pandangan eksistensialisme terhadap pendidikan

D. PROSEDUR PEMECAHAN MASALAH

Prosedur pemecahan masalah yang digunakan dalam menjawab rumusan masalah dalam

makalah ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif melalui kajian literatur atau

artikel yang berkaitan dengan aliran filsafat eksistensialisme.

E. SISTEMATIKA URAIAN

Makalah ini terdiri dari :

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN yang meliputi:

a. Latar Belakang Masalah

b. Rumusan Masalah

c. Tujuan Penulisan

d. Prosedur Pemecahan Masalah

e. Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN yang mencakup:

a. Sejarah Munculnya Eksistensialisme

b. Hakikat Eksistensialisme

c. Pendidikan dalam Pandangan Eksistensialisme

BAB III PENUTUP yang berisi:

a. Kesimpulan

b. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Page 9: Eksistensialisme

BAB II

PEMBAHASAN

A. FILSAFAT EKSISTENSIALISME

1. Lahirnya Eksistensialisme

Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena

ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti

protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia.

Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan

suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat

tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan

terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas

teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang

bereksistensi.

Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang muncul di Jerman setelah perang dunia I

dan berkembang di Perancis setelah perang dunia II. Bermula dari reaksi terhadap

esensialisme Hegel, yang memandang bahwa konstruksi dipahami sebagai suatu lintasan dari

sesuatu yang tidak eksis (No existence, not being) kepada ‘sesuatu yang eksis’. Kierkegaard

menentang pandangan tersebut dengan menyatakan tentang kebenaran subjektif, yaitu

suatu bentuk penegasan keunikan dan sesuatu yang konkrit dan nyata sebagai sesuatu yang

berlawanan dengan yang abstrak. Konsep tersebut merupakan perlawanan terhadap usaha

untuk mengkonstruksi gambaran tentang dunia dengan memakai konsep kecukupan intelek

pada dirinya sendiri. Apa pun yang eksis menjadi sesuatu yang dihadapi secara yakin sebagai

sesuatu yang lebih aktual dibanding dengan sesuatu yang dipikirkan.

Eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan materialisme. Paham

materialisme ini memandang bahwa pada akhirnya manusia itu adalah benda, layaknya batu

atau kayu, meski tidak secara eksplisit. Materialisme menganggap hakekat manusia itu

hanyalah sesuatu yang material, betul-betul materi. Materialisme menganggap bahwa dari

segi keberadaannya manusia sama saja dengan benda-benda lainnya, sementara

eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda lain itu tidaklah sama.

Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi manusia itu mengalami

beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia menyadari dirinya ada di dunia.

5

Page 10: Eksistensialisme

6

Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai subjek, artinya sebagai yang menyadari,

sedangkan benda-benda yang disadarinya adalah objek.

Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Idealisme dan materialisme

adalah dua pandangan filsafat tentang hakekat yang ekstrem. Materialisme menganggap

manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek, dan hal ini dilebih-lebihkan pula

oleh paham idealisme yang menganggap tidak ada benda lain selain pikiran. Idealisme

memandang manusia hanya sebagai subjek, dan materialisme memandangnya sebagai

objek. Maka muncullah eksistensialisme sebagai jalan keluar dari kedua paham tersebut,

yang menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek. Manusia sebagai tema sentral

dalam pemikiran.

Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara umum, terutama dunia

Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada umumnya tidak menentu akibat perang. Di

mana-mana terjadi krisis nilai. Manusia menjadi orang yang gelisah, merasa eksistensinya

terancam oleh ulahnya sendiri. Manusia melupakan individualitasnya. Dari sanalah para

filosof berpikir dan mengharap adanya pegangan yang dapat mengeluarkan manusia dari

krisis tersebut. Dari proses itulah lahir eksistensialisme.

Kierkegaard seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme yang terkenal

abad 19 berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup sesungguhnya jika ia

menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan merenungkan

hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki keterbatasan untuk

melakukan itu. Jean-Paul Sartre filsuf lain dari Eksistensialisme berpendapat eksistensi

mendahului esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di

dalam dunia. Tidak ada natur manusia, karena itu tidak ada Tuhan yang memiliki tentang

konsepsi itu. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu

apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri.

2. Tokoh-tokoh Eksistensialisme

Filsafat eksistensialisme berkembang dengan para tokohnya seperti Heidegger, Sartre,

Kierkegaard, Karl Jaspers, Nietzsche dan lain-lain.

a. Soren Aabye Kiekegaard

Sejak pertengahan abad 18 sebelum Perang Dunia I Soren Kierkegaard, seorang penulis

berkebangsaan Denmark, telah mengerjakan tema-tema pokok eksistensialisme melalui

Page 11: Eksistensialisme

7

berbagai penemuan dan interpretasi yang mendalam terhadap pemikiran Schelling dan

Marx. Namun baru setelah berakhir Perang Dunia II eksistensialisme berkembang pesat

terutama dalam sudut pandang filsafat manusia sebagai filsafat yang membicarakan

eksistensi manusia sebagai tema utamanya.

Kierkegaard adalah seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme

yang terkenal abad 19. Kierkegaard berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti

hidup sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak

terbatas dan merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya

memiliki keterbatasan untuk melakukan itu.

Karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial, tujuan filsafat Kierkegaard adalah untuk

menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang individu?”. Kiergaard

menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut, yakni manusia (aku) bisa menjadi

individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam

kehidupan.

Inti pemikiran Kierkegaard adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi

senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan,

dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari

manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap

kemungkinan.

b. Friedrich Nietzsche

Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman. Tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab

pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul?”. Jawabannya adalah

manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri

secara jujur dan berani.

Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan

untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia

super (Übermensch) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan

kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita

orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

Page 12: Eksistensialisme

8

c. Karl Jaspers

Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.

Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan

obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya

sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.

d. Martin Heidegger

Martin Hiedegger merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang

mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis.

Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian

dari “being”. Heidegger berpendapat bahwa “Das Wesen des Daseins liegt in seiner

Existenz”, adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya. Di dalam realitas nyata

being (sein) tidak sama sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai

ada dan di dalam ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai

pengada. Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis

tentang “being” biasa disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein). Dasein adalah

tersusun dari da dan sein. “Da” disana (there), “sein” berarti berada (to be/being).

Artinya manusia sadar dengan tempatnya.

Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala

sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan

benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan

manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada

setiap tindakan dan tujuan mereka.

e. Jean Paul Sartre

Jean-Paul Sartre filsuf lain dari eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului

esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam

dunia. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu

apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut Sartre adanya

manusia itu bukanlah “etre” melainkan “a etre”. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi

dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-

hentinya.

Page 13: Eksistensialisme

9

Satre berkeyakinan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling

menegasikan terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga

objek bagi yang lain. Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk

memasukkan orang lain ke dalam pusat ”dunia”-nya. Mengikuti Nietzsche, Sartre

mengutuk setiap bentuk objektivikasi dan impersonalisasi. Tak ada standar baik dan

buruk kecuali kebebasan itu sendiri.

Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai

kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi

adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.

Sepanjang sejarah eksistensialisme, kebebasan ala Sartre ini boleh dibilang paling

ekstrim dan radikal. Dalam sejarah perkembangan filsafat, agaknya tidak ada pendirian

tentang kebebasan yang ekstrim dan radikal seperti Sartre.

3. Hakekat Eksistensialisme

Eksistensialisme berarti filsafat mengenai aku, dan bagaimana aku hidup. Dengan demikian,

eksistensialisme adalah filsafat subyektif mengenai diri. Hal ini terlihat pada ide-ide dari tiga

eksistensialis terbesar Eropa: Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger (1889-1976)

dan Jean-Paul Sartre (1905-1980).

Eksistensialisme Kierkegaard tercapai karena menemukan diri di hadapan Tuhan. Bagi

Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang sangat berpengaruh, diri terkait

dengan ‘pengada otentik’, atau kecerdasan identitas.

Sementara bagi Sartre, diri serupa dengan konsep Descartes, tetapi dengan meniadakan

Tuhan. Diri bagi Sartre adalah pengakuan atas Tuhan. Karena, dalam menciptakan manusia

yang kita inginkan, tak ada satupun dari tindakan-tindakan kita yang tidak sekaligus

menciptakan gambaran tentang manusia sebagaimana ia seharusnya.

Dalil diataslah, menurut Sartre lagi, yang menggambarkan diri kita sebagai ‘Tuhan kecil’ yang

berada atau menyatu dalam diri kita, sekaligus yang ‘memiliki kebebasan kita’ seperti sebuah

kebajikan metafisik (Being & Nothingness, 1943:42)

Page 14: Eksistensialisme

10

Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan “sistensi” yang

berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri

sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Eksistensialisme merupakan suatu aliran

dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai

suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan

kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkrit.

Eksistensialisme didefinisikan sebagai usaha untuk memfilsafatkan sesuatu dari sudut

pandang pelakunya, di bandingkan cara tradisonal, yaitu dari sudut penelitinya.

Eksistensialisme memberi perhatian terhadap masalah-masalah kehidupan manusia modern.

Eksistensialisme menekankan tema eksistensi pribadi yang dibandingkan dengan eksistensi

manusia secara umum, kemustahilan hidup dan pertanyaan untuk arti dan jaminan

kebebasan manusia, pilihan dan kehendak, pribadi yang terisolasi, kegelisahan, rasa takut

yang berlebihan dan kematian.

Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada

manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang harus bereksistensi,

mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat

renungan eksistensialisme adalah manusia konkrit.

Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi

diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang

sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang

konkrit.

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang

bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana

yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang

benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran

bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang

menurutnya benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat.

Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan

lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah

melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan

Page 15: Eksistensialisme

11

sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah

bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre,

yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk

bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang

paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana

kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme

mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan

adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu

adalah kebebasan individu lain.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain daripada yang

lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia,

tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari

eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan

tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau

tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan

sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi

dokter atas keinginan orangtua, atau keinginan sendiri.

Waini Rasyidin (2007:24) mengungkapkan bahwa teori eksistensialisme menomorsatukan

hak kebebasan individu menjadi diri sendiri yang bersifat terbuka terhadap segala

kemungkinan yang selalu baru.

Jika dibandingkan dengan penerapannya dalam filsafat pendidikan, eksistensialisme tampak

lebih berpengaruh sebagai sistem filsafat, kecuali di Inggris dan dalam bidang pendidikan

profesional tertentu di universitas-universitas di Eropa Barat dan Amerika Utara. Inti aliran

eksistensialisme adalaha filsafat hidup yang lebih menghormati hak hidup manusia sebagai

individu. Atas dasar asas individualisme, eksistensialisme berpendapat bahwa tidak ada

unsur hakiki di alam semesta yang bersifat universal. Hakekat kenyataan tergantung pada

persepsi individu yang bersangkutan.

Parkay (1998) membagi dua aliran pemikiran eksistensialisme, yakni bersifat theistik

(bertuhan) dan atheistik. Aliran theistik menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu

kerinduan akan suatu wujud yang sempurna, yakni Tuhan. Kerinduan ini tidak membuktikan

Page 16: Eksistensialisme

12

keberadaan Tuhan, manusia dapat bebas memilih untuk tinggal dalam kehidupan mereka

seakan-akan ada Tuhan. Sementara aliran atheistik berpendapat bahwa pendirian theistik

merendahkan kondisi manusia. Ateistik berpendapat bahwa manusia harus memiliki suatu

fantasi agar dapat tinggal dalam kehidupan tanggung jawab moral. Pendirian tersebut

membebaskan manusia dari tanggung jawab untuk berhubungan dengan kebebasan pilihan

sempurna yang dimiliki.

Menurut eksistensialisme, terdapat dua jenis filsafat tradisional, yakni filsafat spekulatif dan

skeptis. Filsafat spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang

pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah

ada dalam diri individu. Dengan kata lain pengalaman tidak banyak berpengaruh pada diri

individu. Filsafat skeptik berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu,

tidak ada sesuatu pun yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka menganggap bahwa

konsep metafisika adalah sementara.

Eksistensialisme menolak kedua pandangan tersebut dengan berpendapat bahwa manusia

dapat menemukan kebenaran yang fundamental berargumentasi, bahwa yang nyata adalah

yang kita alami. Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas,

kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada di luar kondisi

manusia.

Paham eksistensialisme terdiri dari berbagai pandangan yang berbeda-beda. Meski berbeda

pandangan-pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan

tersebut dapat digolongkan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut di

antaranya:

1. Motif pokok eksistensialisme adalah apa yang disebut “eksistensi”, yaitu cara

manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada

manusia. Dengan kata lain bersifat humanis.

2. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan

dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.

3. Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang

masih dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia

sekitarnya, terlebih lagi terhadap sesama manusia.

4. Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang

eksistensial.

Page 17: Eksistensialisme

13

Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomologi, suatu

pandangan yang menggambarkan penampakkan benda-benda dan peristiwa-peristiwa

sebagaimana benda-benda tersebut tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran

manusia. Pengetahuan manusia tergantung pemahamannya tentang realitas, tergantung

pada interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan

sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karis siswa, melainkan untuk dapat dijadikan

alat perkembangan dan alat pemenuhan diri.

Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai menekankan kebebasan dalam tindakan.

Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan berupa suatu

potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun

menentukan pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang tersulit. Berbuat akan menghasilkan

akibat, dan seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan

tidak akan pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan akan pilihan-

pilihan selanjutnya.

B. PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN EKSISTENSIALISME

Karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia, dan pendidikan itu

sendiri hanya bisa dilakukan oleh manusia, maka tampaklah jelas bahwa terdapat hubungan

antara eksistensialisme dengan pendidikan. Pendidikan dan eksistensialisme bersinggungan

satu sama lain dalam masalah-masalah yang sama, yakni manusia.

Dalam hubungannya dengan pendidikan, filsafat eksistensialisme dapat ditinjau dari berbagai

implikasinya, yaitu terhadap 1) Tujuan Pendidikan, 2) Pendidikan dan Sekolah, 3) Peranan

Pendidik/Guru, 4) Tugas Anak Didik, 5) Kurikulum, dan 6) Materi Pembelajaran.

1. Tujuan Pendidikan

Menurut eksistensialisme setiap orang itu adalah individu sendiri-sendiri yang tak akan

mampu berkomunikasi murni dengan individu lainnya, oleh sebab itu tujuan pendidikan

dalam pandangan eksistensialisme adalah menumpuk kemampuan individu menjadi diri

sendiri yang sebaik-baiknya walaupun tak mungkin terbina hubungan murni dalam

komunikasi sesama manusia (Rasyidin, 2007:24), dan untuk mendorong setiap individu agar

mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri, serta memberikan bekal

pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. Para kaum

eksistensialis memercayai bahwa ilmu pengetahuan yang paling utama adalah pengetahuan

Page 18: Eksistensialisme

14

tentang kondisi manusia. Oleh sebab itu, pendidikan harus mengembangkan kesadaran

dalam memilih.

2. Pendidikan dan Sekolah

Seperti halnya perenialisme dan essensialisme, yang merupakan filsafat klasik,

eksistensialisme memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara,

mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan

peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah

ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah

disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar

dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima

informasi dan tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik menjadi sumber bagi

pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan

memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan

proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.

Sementara Kneller (1971:79) mengungkapkan bahwa pendidikan seharusnya menyediakan

suatu wawasan di mana manusia menjadi paling peduli terhadap kondisi manusia dan

mengalami berbagai macam hal, seperti penderitaan, konflik, penyesalan dan kematian,

sehingga akan diperoleh pengalaman dari hal-hal tersebut. Manusia harus bisa memahami

semua itu dan mengatasinya dengan bijak. Pendidikan adalah upaya untuk mentransformasi,

mengubah, dan mengembangkan baik pribadi siswa sebagai anggota masyarakat atau

masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pengajaran lebih menekankan pada pemecahan

masalah, baik masalah pribadi maupun sosial (Sukmadinata, 2007). Pendidikan berpusat

pada usaha mengembangkan persepsi dan perasaan individu untuk memperlancar respon

pribadi terhadap situasi hidup (Kaber, 1988: 42).

Sekolah sebagai lembaga sosial harus melayani pendidikan umum untuk semua anak.

Sekolah sepatutnya menjadi suatu alat untuk merealisasikan kedisiplinan seseorang, bukan

orang tertentu, tapi semua orang; membiarkan seseorang berkembang memikirkan

kebenaran untuk dirinya, bukan kebenaran yang abstrak tapi yang hakiki (Kneller, 1971:78).

Nasution (2006:25) mengemukakan bahwa sekolah yang berdasarkan eksistensialisme

mendidik anak agar menentukan pilihan dan keputusan sendiri dengan menolak otoritas

orang lain. Sekolah ini menolak segala kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dan

Page 19: Eksistensialisme

15

sebagainya dari pihak luar. Siswa diharuskan mencari identitasnya dan kurikulumnya sendiri.

Dengan sendirinya mereka tidak dipersiapkan untuk menempuh ujian nasional.

3. Peranan Pendidik/Guru

Seorang guru yang eksistensialis akan mendorong siswa-siswanya untuk bertanggung jawab

dan dapat mengatasi dampak dari semua tindakan yang dilakukan mereka. Berani berbuat

berarti berani menerima konsekuensinya. Siswa harus menerima bahwa konsekuensi

tersebut adalah pilihannya. Namun di waktu yang sama sang murid tidak boleh menerima

begitu saja sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah. Kebebasan itu tidak akan ada habisnya,

dan setiap konsekuensi membutuhkan pemikiran selanjutnya (Kneller, 1971: 74-75).

Selanjutnya Kneller (1971:81) mengemukakan beberapa peranan guru dalam pandangan

eksistensialisme:

a. Guru berperan melindungi dan memelihara kebebasan akademik.

b. Guru tidak memaksakan interpretasi atau mengabaikan pengetahuan lama siswa.

c. Dalam menyampaikan materi guru mengemukakannya dengan pandangan beragam.

d. Guru harus membaca secara mendalam dan menyusun materi secara tepat sebelum

pembelajaran dimulai sebagai bahan diskusi.

e. Guru harus jujur.

f. Guru menjadikan materi pelajaran sebagai bagian dari pengalamannya, sehingga

guru akan dapat menyajikannya sebagai bagian yang muncul dari dalam dirinya.

Tugas guru memiliki peranan tidak langsung (non directive role), yakni guru banyak

mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tanpa mengingatkan apa yang harus dilakukan

siswa (Nasution, 2006:26). Sebagai seorang profesional guru merupakan sumber, fasilitator,

bukan orang yang menurunkan serangkaian nilai dan kepentingan tertentu (Kaber, 1988:42).

4. Tugas Anak Didik

Menurut filsafat eksistensialisme, orang akan terus menerus membuat pilihan, dan pada

akhirnya menegaskan diri sendiri. Kita adalah diri yang kita pilih, yang tercipta dengan

membentuk identitas diri sendiri. Karenanya, esensi yang kita buat adalah hasil pilihan kita,

yang tentu saja akan bervariasi pada setiap orang. Dalam eksistensialisme para siswa

disarankan untuk bebas memilih apa yang mereka pelajari dan bagaimana memelajarinya.

Siswa harus bebas berpikir dan mengambil keputusan sendiri secara bertanggungjawab.

Page 20: Eksistensialisme

16

Dalam eksistensialisme siswa dipandang sebagai mahluk rasional dengan pilihan bebas dan

tanggungjawab atau pilihan suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pendidikan. Siswa

harus aktif dalam mencari pengetahuan, dengan tidak menutup pikiran dan hatinya, dan

dengan selalu mencari kebenaran secara mendalam dari sesuatu yang sudah dimiliki (Kneller,

1971:83). Anak didik juga sebagai partner dalam belajar dan guru pun dapat belajar dari

mereka (Kaber, 1988:42). Siswa pun harus mampu belajar secara berkelompok dalam

memecahkan masalah-masalah yang dihadapi (Sukmadinata, 2007).

5. Kurikulum

Karena setiap individu dipandang memiliki kebutuhan dan dan perhatian yang spesifik

berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dirinya, maka dalam menentukan kurikulum tidak

ada kurikulum yang pasti dan yang ditentukan berlaku secara umum. Eksistenliasisme

menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu memiliki kontribusi pada pencarian

individu akan makna, dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut

“kebangkitan yang luas”. .

Pengembangan kurikulum yang berlandaskan eksistensialisme akan menekankan pada

individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna dan untuk memahami

kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Kurikulum eksistensialis akan

mencakup pengalaman-pengalaman dan subjek-subjek yang mengantarkan mereka pada

kebebasan individu dan pilihan pribadi. Eksistensialisme mengutamakan kurikulum liberal,

yang merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan–aturan.

Oleh karena itu di sekolah harus diajarkan pendidikan sosial untuk mengajar respek rasa

hormat terhadap kebebasan untuk semua.

Omstein (2009:38) berpendapat bahwa paham rekonstruktivisme juga memiliki tautan pada

aliran eksistensialisme. Oleh sebab itu pengembangan kurikulum yang berlandasan filosofis

rekronstruksionisme tidak lepas juga dari pengaruh filsafat eksistensialisme, di mana dalam

kurikulum ini sangat menekankan pada peradaban manusia masa depan. Di samping

menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme

lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini

akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan

sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.

Page 21: Eksistensialisme

17

Eksistensialisme juga merupakan sumber lahirnya kurikulum humanistik yang

dilatarbelakangi oleh teori pendidikan pribadi. Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi

bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat

mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan

dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan,

sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai

pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.

Teori pendidikan pribadi ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan

romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya- Francis Parker dan John Dewey

- memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran

berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya.

Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat

refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih

merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai

dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari

pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu

dalam keadaan fitrah,– memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.

Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis,

yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi

kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum

humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual

(kurikulum subjek akademis).

Kurikulum humanis ini berorientasi ke masa sekarang, dan menganggap bahwa setiap anak

memiliki potensi tersendiri. Kurikulum ini memandang bahwa pendidikan itu adalah untuk

kepentingan jangka panjang, apa yang kita tanamkan hari ini akan kita rasakan manfaatnya

di waktu yang akan datang. Peran guru adalah sebagai psikolog, bidan, motivator, atau

fasilitator.

Berikut beberapa karakteristik kurikulum humanis:

a. siswa adalah subjek, dan memiliki peran utama,

b. isi/bahan pelajaran disesuaikan dengan minat/kebutuhan siswa,

c. menekankan pada keutuhan pribadi,

Page 22: Eksistensialisme

18

d. cara penyampaian materi dengan metode discovery, inkuiri, dan penekanan

masalah.

Berikut gambaran umum filsafat eksistensialisme dalam melandasi kurikulum:

Tabel 1Gambaran Umum Filsafat Eksistensialisme

Filsafat RealitaPengetahua

n Nilai Peran GuruPenekanan

Pembelajaran

Penekanan pada

kurikulumEksistensialisme

Subjektif

Pengetahuan untuk pilihan pribadi

Bebas dipilih; berdasarkan pada persepsi individual

Untuk menanamkan pilihan pribadi dan definisi diri individu

Pengetahuan dan prinsip-prinsip kondisi manusia; perilaku memilih

Pilihan dalam mata pelajaran, subjek-subjek elektif, emosional, estetis, dan filosofis

Sumber : Curiculum Foundation, Principles, issues (2009:56)

6. Materi Pembelajaran

Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori

pendidikan dikembangkan. Dalam pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik

(perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal

yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam

bentuk:

a. Teori;

Seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan,

yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi

hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan

meramalkan gejala tersebut.

b. Konsep;

Suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan,

merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.

c. Generalisasi;

Kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis,

pendapat atau pembuktian dalam penelitian.

Page 23: Eksistensialisme

19

d. Prinsip;

Ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan

antara beberapa konsep.

e. Prosedur;

Seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan

peserta didik.

f. Fakta;

Sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari

terminologi, orang dan tempat serta kejadian.

g. Istilah;

Kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.

h. Contoh/ilustrasi;

Hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau

pendapat.

i. Definisi;

Penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis

besarnya.

j. Preposisi;

Cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai

tujuan kurikulum.

Dalam proses pembelajaran guru dan murid akan bertemu bersama-sama sebagai subjek

karena ilmu pengetahuan yang diberikan guru bukan lagi hanya sebagai sesuatu yang

disampaikan akan tetapi sebagai aspek atas kondisinya sendiri. Contoh materi pelajaran yang

dipelajari adalah ilmu alam, sejarah, sastra, filsafat, atau seni. Sementara menurut Rasyidin

(2007:25) ilmu yang paling bermanfaat dipelajari adalah ilmu yang berkaitan dengan ekspresi

pikiran, perasaan dan keinginan, yakni ilmu humaniora. Nasution (2006:25) menyatakan

bahwa dari semua mata pelajaran, mungkin ilmu-ilmu sosial yang paling menarik bagi siswa.

Pendidikan moral tidak diajarkan, juga tidak ditetapkan aturan-aturan yang harus dipatuhi

siswa.

Konsep belajar dan mengajar dalam pandangan eksistensialisme kembali menganut pada

teori ‘dialog’ Martin Burber. Dialog yaitu percakapan antara beberapa di mana setiap orang

menyampaikan materi kepada yang lainnya, sementara menurut Burber adalah percakapan

Page 24: Eksistensialisme

20

antara Aku dan Engkau, yang merupakan pendidikan yang bersandar pada kepercayaan antar

individu, kepercayaan yang harus guru peroleh melalu integritas dan keterampilannya.

Proses belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan melainkan ditawarkan, demi

membentuk hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog. Maka pengetahuan

yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu

sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi

dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan

kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi

miliknya sendiri.

Sebenarnya dalam eksistensialisme tidak terdapat pemikiran yang mendalam tentang

metode pembelajaran, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada cara unik

demi mencapai kebahagian dan karakter individu yang baik.

Page 25: Eksistensialisme

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu

selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang

sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.

Eksistensialisme mengutamakan individu sebagai faktor dalam menentukan apa yang baik

dan benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan ditentukan masing-masing

secara bebas, namun dengan pertimbangan jangan menyinggung perasaaan orang lain.

Tujuan hidup adalah menyempurnakan diri, dan merealisasikan diri.

Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada

eksistensi. Eksistensi adalah cara manuisa berada manusia. Cara berada manusia berbeda

dengan cara beradanya dengan benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi tidak

didasari kesadaran akan dirinya sendiri, juga tidak terdapat komunikasi antara yang satu

dengan lainnya. Tidak demikan halnya dengan manusia. Manusia berada bersama dengan

manusia lainnya sama sederajat. Benda-benda materi akan bermakna karena manusia.

Penekanan dari Eksistensialisme adalah bahwa seseorang dapat menilai dan menentukan

sesuatu oleh tindakannya dan pilihannya sendiri dan tidak bergantung dari standard moral

yang berlaku baik secara tertulis ataupun secara lisan. Dalam hal ini “pilihan” menjadi

evaluasi tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.

Secara metafisika atau hakekat kenyataan pandangan eksistensialisme ini dapat disimpulkan

bahwa eksistensialisme ini menganggap bahwa pribadi manusia itu tak sempurna, dan dapat

diperbaiki melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip dan standar pengembangan

kepribadian. Sementara secara epistemologi atau hakekat pengetahuan menekankan pada

kebebasan individu untuk memilih. Dari sudut pandang logika atau hakekat penalaran

eksistensialisme mencari pemahaman tentang kebutuhan dan dorongan internal melaui

analisis dan introspeksi diri. Kemudian dalam pandangan aksiologi hakekat hakekat nilai,

paham ini memandang bahwa standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas

untuk dipilih dan diambil.

21

Page 26: Eksistensialisme

22

Lebih lanjut dalam pandangan hakekat kebaikan atau etika, eksistensialisme menekankan

adanya untutan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti yang lain, dan dalam

lingkup hakekat keindahan atau estetika, eksistensialisme percaya bahwa keindahan

ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya. Terakhir dari sudut pandang

tujuan hidup, eksistensialisme menekankan adanya penyempurnaan diri melalui pilihan

standar secara bebas oleh tiap individu demi mencari kesempurnaan hidup.

Sangat menghargai kebebasan dan keberadaan individu merupakan salah satu kelebihan dari

filsafat eksistensialisme. Selain itu kelebihan yang lainnya adalah adanya anggapan bahwa

hidup ini adalah sebuah perjuangan, tidak mengenal kata pasrah dan menerima apa adanya

sehingga hidup ini harus selalu diperbaiki. Faktor penting untuk perbaikan adalah tanggung

jawab. Dengan demikian gaya hidup yang dianut eksistensialisme adalah serius, dinamis,

penuh usaha, dan optimis menuju masa depan.

Akan tetapi dari kelebihan yang ada, sudah tentu eksistensialisme juga memiliki beberapa

kelemahan, di antaranya: 1) eksistensialisme mengingkari fakta bahwa manusia harus hidup

bersosialisasi dengan manusia lainnya dalam hubungan bermasyarakat; 2) standar moralitas

(benar atau salahnya) perilaku seseorang dalam masyarakat, bukan ditentukan oleh pribadi

seseorang, melainkan oleh norma, aturan atau hukum yang menjadi kesepakatan di dalam

masyarakat itu; 3) eksistensialisme mengabaikan nilai-nilai moralitas secara objektif; 4)

terlalu terjerumus dalam pendirian yang individualistis; dan 5) menganggap bahwa

kebebasan itu tanpa batas.

B. SARAN

Filsafat sangat penting dipertimbangkan dalam mengambil keputusan tentang setiap aspek

kurikulum. Maka sudah selayaknya seorang pendidik dalam berperilaku di dalam kelas atau

di luar kelas harus didasarkan apa yang dipercayai, yang diyakini sebagai baik dan benar.

Pendidik yang baik patut memahami apa itu hakikat manusia, khususnya hakikat siswa

beserta sifat-sifatnya; apa itu sumber kebenaran dan nilai-nilai yang dijadikan pegangan

hidup; tentang apa yang baik; tentang apa itu hidup yang baik; apakah peranan sekolah

dalam masyarakat; apa peran guru dalam proses belajar; dan sebagainya. Untuk dapat

menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentu saja seorang pendidik disarankan untuk

memahami dan mendalami filsafat.

Page 27: Eksistensialisme

23

Dari sekian banyaknya aliran filsafat beserta turunannya, hendaknya hal tersebut tidak

memojokkan kita untuk fanatik terhadap salah satu aliran saja. Masing-masing aliran filsafat

pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri, dan hal tersebut perlu disikapi dengan

bijak oleh para pendidik atau juga pengembang kurikulum, yakni bahwa masing-masing

aliran filsafat bisa saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, dalam praktek

pengembangan kurikulum ataupun dalam pembelajaran, alangkah lebih baik jika penerapan

aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan

mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan.

Page 28: Eksistensialisme

24

DAFTAR PUSTAKA

____________. (2006). Eksistensialisme. [online]. Tersedia: http://id. wikipedia.org/wiki/

Eksistensialisme. [5 November 2008]

____________. (2008). Eksistensialisme. [online]. Tersedia: http://filsufgaul.wordpress.com/

2008/ 02/04/eksistensialisme/. [11 November 2008]

Kneller, F. George. (1971). Introduction to the Philosophy of Education, New York : John Wiley

& Sons, Inc.

Lubis, Askolan. (2008, 27 Februari). Mengintip ”Kebebasan” Manusia lewat Sartre. Sinar

Harapan [online]. Halaman 1. Tersedia: http://www.sinarharapan.co.id/berita/

0202/27/fea01.html. 13 November 2008.

Nasution, S. (2006). Asas-asas Kurikulum, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Ornstein, A.C. (2009). Curriculum Foundation, Principles, Issues. USA: Pearson.

Sanjaya, Wina, Dr., M.Pd. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana.

Sudrajat, Akhmad. (2008). Komponen-komponen Kurikulum. [online]. Tersedia: http://

akhmadsudrajat.wordpress.com/kumpulan-makalah-2/2008/01/22/komponen-

komponen-kurikulum/. [20 Oktober 2008]

Sudrajat, Akhmad. (2008). Landasan Kurikulum. [online]. Tersedia: http://

akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/22/landasan-kurikulum/. [20 Oktober

2008]

Sudrajat, Akhmad. (2008). Teori Pendidikan dan Kurikulum. [online]. Tersedia: http://

akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/teori-pendidikan-dan-kurikulum/.

[20 Oktober 2008]

Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr., (2006). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Wibowo, Arif. (2008). Eksistensialisme. [online]. Tersedia: http://staff.blog.ui.edu

/arif51/2008/07/01/eksistensialisme/. [20 Oktober 2008]