eka hardiyanti_1420420033_papua,kita semua bersaudara_pai&multikulturalisme.pdf

Upload: hudri-abu-kayyisa

Post on 07-Jul-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 Eka Hardiyanti_1420420033_Papua,Kita Semua Bersaudara_PAI&Multikulturalisme.pdf

    1/10

    PAPUA, KITA SEMUA BERSAUDARA

    Tugas Ujian Semester

    PAI DAN MULTIKULTURALISME

    Dosen Pengampu : Dr. Muqowim, M.Ag.

    Disusun Oleh :

    NAMA : Eka Hardiyanti

    NIM : 1520420033

    KONSENTRASI GURU KELAS MADRASAH IBTIDAIYAH

    JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDA’IYAH (PGMI)

    MAGISTER FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

    YOGYAKARTA2015

  • 8/18/2019 Eka Hardiyanti_1420420033_Papua,Kita Semua Bersaudara_PAI&Multikulturalisme.pdf

    2/10

    1

    A. Sejarah Singkat Masyarakat Papua

    Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang masing-masing

    berbeda. Tribal arts yang indah dan telah terkenal di dunia dibuat oleh suku Asmat, Ka moro,

    Dani, dan Sentani. Sumber berbagai kearifan lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaanlingkungan yang lebih baik diantaranya dapat ditemukan di suku Aitinyo, Arfak, Asmat,

    Agast, Aya maru, Mandacan, Biak, Arni, Sentani, dan lain-lain.

    Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis

    keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat

    berpenduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi

    oleh alam laut, hutan dan pegunungan.

    Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafah masyarakat yang sangat unik, misalnya

    seperti yang ditunjukan oleh budaya suku Komoro di Kabupaten Mimika, yang membuat

    genderang dengan menggunakan darah. Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya yang gemar

    melakukan perang-perangan, yang dalam bahasa Dani disebut Win. Budaya ini merupakan

    warisan turun-temurun dan di jadikan festival budaya lembah Baliem. Ada juga rumah

    tradisional Honai, yang di dalamnya terdapat mummy yang diawetkan dengan ramuan

    tradisional. Terdapat tiga mummy di Wamena; Mummy Aikima berusia 350 tahun, mummy

    Jiwika 300 tahun, dan mummy Pumo berusia 250 tahun.

    Di suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi, sejenis kayu yang

    dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian. Sasi ditanam 40 hari setelah

    hari kematian seseorang dan akan dicabut kembali setelah 1.000 hari. Budaya suku Asmat

    dengan ukiran dan souvenir dari Asmat terkenal hingga ke mancanegara. Ukiran asmat

    mempunyai empat makna dan fungsi, masing-masing: Melambangkan kehadiran roh nenek

    moyang; Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia; Sebagai suatu lambang kepercayaan

    dengan motif manusia, hewan, tetumbuhan dan benda-benda lain; Sebagai lambang

    keindahan dan gambaran ingatan kepada nenek moyang.

    Budaya suku Imeko di kabupaten Sorong Selatan menampilkan tarian adat Imeko

    dengan budaya suku Maybrat dengan tarian adat memperingati hari tertentu seperti panen

    tebu, memasuki rumah baru dan lainnya. Keagamaan merupakan salah satu aspek yang

    sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat

    beragama di sana dapat dijadikan contoh bagi daerah lain, mayoritas penduduknya beragama

    Kristen, namun demikian sejalan dengan semakin lancarnya transportasi dari dan ke Papua,

  • 8/18/2019 Eka Hardiyanti_1420420033_Papua,Kita Semua Bersaudara_PAI&Multikulturalisme.pdf

    3/10

    2

    jumlah orang dengan agama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Banyak

    misionaris yang melakukan misi keagamaan di pedalaman-pedalaman Papua.

    Mereka memainkan peran penting dalam membantu masyarakat, baik melalui sekolah

    misionaris, balai pengobatan maupun pendidikan langsung dalam bidang pertanian, pengajaran bahasa Indonesia maupun pengetahuan praktis lainnya. Misionaris juga

    merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang

    belum terjangkau oleh penerbangan reguler.

    B. Hasil Pengamatan

    Papua. Anarkis, brutal, menakutkan dan semua hal buruk yang tersandang di balik

    nama mereka. Sejak pertama kali kedatanganku ke kota pelajar ini, belum ada citra baik yang

    terdengar tentang mereka. Mulai dari pembacokan yang dilakukan mahasiswa Papua di

    simpang lampu merah dekat kampusku, ulah nakal mahasiswa Papua di lampu merah yang

    melanggar aturan lalu lintas, hingga penyerbuan sekelompok mahasiswa Papua ke mahasiswa

    pribumi. Sederet cerita menyeramkan itu cukup membuat pikiran negatif dan rasa takutku

    bersemayam kian kuat. Rasanya tidak ingin sama sekali terlibat dan berurusan dengan orang-

    orang Papua.

    Rasanya aku sudah hampir putus asa, bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan

    semua informasi tentang budaya dan adat Papua dari sumbernya langsung, sementara

    membayangkan berkomunikasi dengan mereka saja aku sudah takut.

    Tapi kali ini, mata kuliah multikulturalisme mengharuskan aku untuk berinteraksi

    dengan orang-orang Papua. Aku harus bermultikulturalisme dengan mereka.

    “Ini benar -benar beresiko, Ka. Bisa- bisa nanti kamu jadi korbannya.”Ujar Aini

    mengingatkanku.

    “Aku pikir juga begitu.Tapi, aku sudah menyanggupinya tadi.”

    Keraguan menggelayuti hatiku.

    “Kamu jangan nekat Ka, ini bahaya banget!”tegas Aini.

    “Tenang, ini pertemuan terakhir dengan dia, setelah semua data yang dibutuhkan

    berhasil aku dapatkan, aku akan memutus sem ua bentuk komunikasi dengannya.”Aku

    berusaha meyakinkan sahabatku.

  • 8/18/2019 Eka Hardiyanti_1420420033_Papua,Kita Semua Bersaudara_PAI&Multikulturalisme.pdf

    4/10

    3

    Tidak ada pilihan lain, aku harus bisa membuatnya nyaman berada di dekatku, dengan

    begitu dia akan menceritakan semua tentang kehidupannya.

    “Pokoknya, ini pertemuan terakhir saya dan dia, malam ini saya harus mendapatkan

    semua informasi yang saya butuhkan.” Target saya di dalam hati.

    Pukul 19.00 kami bertemu di depan halte UIN. Penampilannya sedikit berbeda

    dibandingkan pertemuan pertama di depan ATM UIN beberapa hari lalu. Dia mengenakan

    kupluk di kepalanya, baju kaos bola, celana jeans panjang, tas ransel, dan sepatu kets. Jauh

    lebih rapi dibandingkan sebelumnya.

    “Saya tidak bawa helm, Bung.”

    “Oh, tidak apa. Kalau malam aman kok.”

    Aman? ya aman, karena mana mau polisi berurusan dengan kalian. Aku membatin.

    Sepeda motor pun melaju, aku takut. Kalian tahu rasanya ketika kaki menginjak pijakan

    bagian belakang sepeda motor yang bergetar. Nah, seperti itu gemetarnya yang dirasakan

    kakiku. Ditambah lagi, ternyata dia mengajakku ke Bukit Bintang. Aku berusaha

    menenangkan diri dengan istighfar sebanyak mungkin.Apalagi belum lama ini kudengar

    bahwa ada mahasiswa yang memukul temannya sendiri karena mabuk. Oh My God ,

    sepertinya aku sedang dalam masalah besar, namun rasa ingin tahu dan keinginan untukmenyelesaikan tugas mata kuliah ini secara jujur membuat aku mengumpulkan segenap

    keberanian.

    Setidaknya, aku pernah ke Bukit Bintang pada malam hari, dan aku tahu jalan ke sana.

    Jadi, kalau mulai terlihat yang tidak beres aku tidak akan tinggal diam. Lalu, aku juga

    mengabari teman yang sudah seperti saudara, memberitahukan bahwa aku sedang pergi

    bersama orang Papua, berdua, ke Bukit bintang dan memintanya untuk menghubungiku jam

    21.00, untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.

    Di seperempat perjalanan, persimpangan lampu merah. Seharusnya jalan menuju

    Wonosari lurus. Tapi tiba-tiba dia membelokkan sepeda motornya ke kiri.

    “Kita mau kemana, Bung? Bukannya harusnya kita kan lurus saja?”Aku mulai curiga

    “Iya, saya hanya memutar saja, supaya tidak perlu menunggu lampu merah kah.”

    “Kenapa kita tidak terobos saja lampu merahnya, tadi kan sepi.”

  • 8/18/2019 Eka Hardiyanti_1420420033_Papua,Kita Semua Bersaudara_PAI&Multikulturalisme.pdf

    5/10

    4

    “Oh, itu tidak boleh kah, saya tidak mau kalau seperti itu. Lebih baik saya memutar

    jalan.”

    Dari sini, aku tahu kalau ternyata berita bahwa orang Papua suka menerobos lampu

    merah tidak sepenuhnya benar.

    Perjalanan dilanjutkan, dia mengemudikan motornya dengan kecepatan kira-kira

    60km/jam. Aku berpura-pura tidak pernah ke Bukit Bintang sebelumnya. Jadilah dia menjadi

    guide , menunjukkan indahnya temaram lampu-lampu yang dilihat dari atas bukit. Aku masih

    berusaha menghilangkan rasa takut. Belum hilang rasa takutku, ternyata dia tidak

    menghentikan dan tidak ada niat sepertinya untuk berhenti di Bukit Bintang.

    “Kita mau kemana ini, Bung? Bukannya di sana tadi itu indah melihat

    pemandangannya?”

    “Kita naik lagi kah, nanti Deka lihat sendiri.”

    Kalian tahu rasanya jantung berdetak dengan cepat setelah menyelesaikan lari

    mengelilingi lapangan bola.Ya, itu yang tengah jantungku rasakan. Aku mengambil pena

    yang sudah kusiapkan di saku tas. Beberapa kilometer lebih tinggi dari puncak orang biasa

    menikmati “bintang di bawah”, tiba -tiba dia memutar motornya dan berkata, “Deka, kamu

    siap- siap kah merasakan sensasinya ya…” “Apa? Dia mau apa?”

    “Deka tidak takut ngebut kah? Deka lihat saja sebelah kiri dan kanan jalan

    kah.”Ujarnya.

    Astaghfirullahal adzim. Kami menuruni jalanan yang curam itu dengan kecepatan

    tinggi dan itu benar-benar menguji adrenalin. Aku terdiam tak mampu teriak lagi, aku

    penyuka tantangan, tapi ketika hal semacam ini dilakukan oleh orang yang baru saja kukenal,

    membuat jantungku bekerja lebih keras memompa darah ke seluruh tubuhku.

    Dia menunjukkan bagian yang tidak pernah aku dan mungkin orang-orang pikirkan

    sebelumnya untuk menikmati “bintang jatuh” dengan cara ini. Meski caranya membuatku

    benar-benar takut, tapi niatnya begitu baik. Lagi-lagi aku telah ber su’udzan dengannya.

    “Bisa kita cari tempat untuk ngobrol?” tawarku ketika aku menyadari bahwa dia tidak

    berhenti di Bukit Bintang.

    “Oh, tentu. Bagaimana kalau di kota saja kah dekat UPN Veteran.”

  • 8/18/2019 Eka Hardiyanti_1420420033_Papua,Kita Semua Bersaudara_PAI&Multikulturalisme.pdf

    6/10

    5

    Duh, dimana lagi itu. Kamu punya rencana apa lagi.

    Aku hanya mengiyakan. Tempat yang dipilihnya tidak begitu buruk, sebuah

    angkringan. Kami ngobrol banyak hal, aku tahu sisi lain darinya. Alasan kenapa dia “masih”

    di semester kelima strata 1 sedangkan dia sebenarnya seusia denganku, yang ternyatasekolahnya (dan anak-anak Timika yang lain juga) sempat terputus selama 2 tahun saat

    konflik antar suku di Timika memanas pada tahun 2007 hingga 2009.

    Aku tahu tentang bagaimana dia dan beberapa temannya harus kesulitan mendapatkan

    kos-kosan ketika tiba di Jogja, bukan karena kos-kosan sudah penuh tapi karena tatapan aneh

    orang-orang di Jogjakarta menatap mereka.

    “Mereka melihat saya dan teman saya seperti hantu yang menakutkan, padahal saya

    sama saja kah seperti mereka dan teman-teman orang Jawa. Saya rasanya sedih, karena ulah

    beberapa orang banyak di antara kami yang seperti dijauhi.”

    “Setelah ditolak oleh beberapa kos -kosan, saya hampir dapat kost-an di daerah

    Kaliurang, hari itu saya dan ibu kost sudah sepakat dengan harga sewa dan semua aturan

    kost. Besoknya saat saya datang mau lunasi pembayaran, tiba-tiba itu ibu mengembalikan

    uang DP yang sudah saya beri dan bilang kalau saya tidak bisa kost di sana karena anak

    pertamanya mau datang.”

    Aku baru tahu tentang bagian yang ini dari hidupnya.

    “Bung, kalau saya per hatikan kebanyakan orang Papua memiliki rambut disebagian

    wajahnya, apa itu punya makna tersendiri bagi kalian?”

    “Rambut?”

    “Itu maksud saya jambang , itu loh, bulu di bagian pipi.”

    “Oh. Ini, tidak, tidak ada makna apa -apa.Tergantung orang mau dipanjang atau tidak,kalau saya suka dia tumbuh begini.”

    “Ohhh… saya kira punya makna tertentu. Eh ya Bung, kemarin saya dengar berita ada

    mahasiswa Papua pukul teman satu asramanya, kenapa itu ya Bung?”

    “Alah, itu mahasiswa kurang kerjaan, merusak nama Papua saja. Kalau kami di Papua

    itu, minuman keras itu biasa saja. Dia orang itu mabuk, tidak sadar pukul temannya sendiri,

    terus mengamuk.”

  • 8/18/2019 Eka Hardiyanti_1420420033_Papua,Kita Semua Bersaudara_PAI&Multikulturalisme.pdf

    7/10

  • 8/18/2019 Eka Hardiyanti_1420420033_Papua,Kita Semua Bersaudara_PAI&Multikulturalisme.pdf

    8/10

    7

    “Deka dan Aini jangan takut pada kami, wajah saja seram tapi hati kitong tak

    jahat. Kitong senang sekali mendapat keluarga baru, kitong semua saudara, saudara

    seIndonesia raya.”Ujar Eky Mahasiswa Semester 3 dari Merauke.

    Obrolan begitu cair. Aku dilibatkan dalam diskusi mereka mengenai acara Makrabyang akan mereka adakan, bahkan kami diajak untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan

    mereka nanti. Aku bersedia untuk menjadi pengisi acara di acara mereka nanti.

    Sekarang bagiku, mereka bukan lagi objek bahan penelitianku, tapi sekarang aku

    mendapatkan teman baru dari dunia yang selama ini aku takuti, dari suku yang selama ini

    terkenal menakutkan, dari pulau yang selama ini tak pernah kukenal jauh. Malam ini, tidak

    sedikit pun ada rasa takut itu lagi di dalam diriku. Kami bercengkerama layaknya aku

    bercengkerama dengan teman-teman sekelas, begitu hangat dan menyenangkan, ada candadan tawa yang begitu lepas. Malam ini, saya benar-benar membuktikan bahwa saya dan

    mereka bisa bersahabat. Bahwa semua suku yang berbeda dapat bersaudara, dapat bekerja

    sama, dan dapat berteman dengan baik.

    Malam ini aku memahami makna tugas multikulturalisme yang diberikan bukan aku

    mendapatkan sebanyak mungkin informasi budaya dan adat Papua yang sebenarnya bisa saja

    aku dapatkan dengan googling , tapi lebih kepada menghilangkan semua pikiran negatifku

    tentang mahasiswa dan orang-orang Papua yang selama ini ada di pikiranku.

    C. Refleksi Diri

    Indonesia adalah bangsa yang berlatar belakang berbeda, namun kita semua bisa

    menjadi saudara ketika kita menghormati perbedaan yang ada. Ketika multikulturalisme

    dikaitkan dengan pendidikan maka sudah seharusnya, pendidikan multikulturalisme sudah

    diterapkan pada peserta didik sejak dini. Untuk dapat menerapkannya, dibutuhkan guru yangmampu bermultikulturalisme. Pada kaitannya, ketika semua orang menghormati perbedaan,

    maka tidak akan terjadi perpecahan di setiap lapisan masyarakat.

    Jika dihubungkan dengan materi pelajaran yang ada di Madrasah, maka menghargai

    perbedaan bisa dikaitkan dalam pelajaran tematik seperti pada tematik kelas 2 SD/MI, pada

    tema 1 ada materi Hidup Rukun. Lalu, contoh lain pada kelas III SD/MI pada tema 2 di

    dalam kompetensi dasar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ada poin menghargai

    perbedaan. Pada dua contoh materi di atas, maka peran guru kelas madrasah Ibtidaiyahadalah menanamkan nilai-nilai multikulturalisme yang ada.

  • 8/18/2019 Eka Hardiyanti_1420420033_Papua,Kita Semua Bersaudara_PAI&Multikulturalisme.pdf

    9/10

    8

    Bagi guru kelas madrasah ibtidaiyah tersendiri, dengan mengalami langsung

    perbedaan suku dan ras, diharapkan mampu memberikan sumbangsi tersendiri bagi cara pikir

    guru dalam memandang perbedaan yang ada di sekitarnya, sehingga nantinya dapat

    menceritakan perbedaan-perbedaan yang secara nyata telah dialaminya secara langsung.

  • 8/18/2019 Eka Hardiyanti_1420420033_Papua,Kita Semua Bersaudara_PAI&Multikulturalisme.pdf

    10/10

    9

    Lampiran