efektifitas penggunaan terapi musik

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Sri Astuti Suparmanto (1994), prevalensi asma pada anak Indonesia cukup tinggi. Meski demikian pemerintah belum memiliki data yang rinci untuk tiap wilayah.Hanya memiliki data pada anak sekolah di beberapa kota besar seperti Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Denpasar. Prevalensi pada anak SD berkisar antara 3,7%-16,4% sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8%. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1996, penyakit-penyakit yang menyebabkan sesak napas seperti bronchitis, emfisema dan asma merupakan penyebab kematian ke-7 di Indonesia. WHO memperkirakan antara 100-150 juta penduduk di dunia penyandang asma dan diperkirakan jumlahnya terus bertambah sekitar 180.000 setiap tahunnya. Asma terdapat dan tersebar di seluruh tempat di dunia dengan kekerapan bervariasi. Kekerapan yang paling tinggi ditemukan di negara-negara Anglo-Saxon yakni 17- 20%. Di Indonesia belum ada survei nasional, tetapi penelitian yang dilakukan oleh beberapa institusi menunjukkan kekerapan antara 2-7% (Van, 2004). Selama terjadi serangan asma, perubahan dalam paru-paru secara tiba-tiba menjadi jauh lebih buruk, di mana ujung saluran napas mengecil, dan aliran udara yang melaluinya

Upload: yusi-yukiss-finie

Post on 03-Jan-2016

107 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Musik sendiri merupakan salah satu cabang kesenian yang dibutuhkan secara universal. Selain berfungsi untuk memberikan kenikmatan estetis dan memberikan hiburan atau relaksasi, music juga digunakan sebagai media ekspersi diri, memelihara kontinuitas budaya, dan sebagai media pendidikan serta pembelajaran. Namun, lebih dari itu, music juga sering digunakan sebagai media terapeutik (penyembuhan).

TRANSCRIPT

Page 1: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Sri Astuti Suparmanto (1994), prevalensi asma pada anak Indonesia cukup

tinggi. Meski demikian pemerintah belum memiliki data yang rinci untuk tiap wilayah.Hanya

memiliki data pada anak sekolah di beberapa kota besar seperti Medan, Palembang, Jakarta,

Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Denpasar. Prevalensi pada anak SD berkisar antara

3,7%-16,4% sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8%. Berdasarkan Survei Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) tahun 1996, penyakit-penyakit yang menyebabkan sesak napas

seperti bronchitis, emfisema dan asma merupakan penyebab kematian ke-7 di Indonesia.

WHO memperkirakan antara 100-150 juta penduduk di dunia penyandang asma dan

diperkirakan jumlahnya terus bertambah sekitar 180.000 setiap tahunnya. Asma terdapat dan

tersebar di seluruh tempat di dunia dengan kekerapan bervariasi. Kekerapan yang paling

tinggi ditemukan di negara-negara Anglo-Saxon yakni 17-20%. Di Indonesia belum ada

survei nasional, tetapi penelitian yang dilakukan oleh beberapa institusi menunjukkan

kekerapan antara 2-7% (Van, 2004).

Selama terjadi serangan asma, perubahan dalam paru-paru secara tiba-tiba menjadi

jauh lebih buruk, di mana ujung saluran napas mengecil, dan aliran udara yang melaluinya

menjadi sangat jauh berkurang sehingga bernapas menjdi sangat sulit. Perubahan saluran

napas yang terjadi pada asma menyebabkan dibutuhkan usaha yang jauh lebih keras untuk

memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru, yang selanjutnya akan membuat orang

dengan asma tersebut menjadi sesak napas/kesulitan bernapas, sesak dada, mengeluarkan

bunyi wheezing, ataupun batuk. Akhir-akhir ini pun dilaporkan adanya peningkatan

prevalensi morbiditas dan moratitas asma di seluruh dunia terutama di daerah perkotaan dan

industri. Disebabkan penderita asma ringan dan periodik tidak menyadari mengidap asma

dan menduganya sebagai penyakit pernapasan lain atau batuk biasa. Gangguan batuk dan

sesak dialami bila ada rangsangan seperti angin malam yang dingin, flu atau iritasi bahan

polutif seperti rokok atau asap hingga diduganya semata-mata terjadi akibat rangsangan

Page 2: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

tersebut. Pemikiran timbul bila napas telah berbunyi atau mengi dan mengganggu kegiatan

sehari-hari. Padahal pada saat tersebut mungkin telah terdapat gangguan lanjut berupa

emfisema yang merupakan gangguan faal paru hingga perlu menggunakan obat asma secara

kontinyu.

Prevalensi yang tinggi menunjukkan bahwa pengelolaan asma belum berhasil.

Berbagai faktor menjadi sebab dari keadaan yaitu berbagai kekurangan dalam hal

pengetahuan tentang asma, kelaziman melakukan diagnosis yang lengkap atau evaluasi pre

terapi, sistimatika dan pelaksanaan pengelolaan, upaya pencegahan dan penyuluhan dalam

pengelolaan asma. Mengingat hal tersebut pengelolaan asma yang terbaik haruslah dilakukan

pada saat dini dengan berbagai tindakan pencegahan agar penderita tidak mengalami

serangan asma. Untuk meningkatkan pengelolaan asma yang baik hal-hal tersebut harus

dipahami dan dicarikan pemecahannya (Zul Dahlan, 2005).

Musik sendiri merupakan salah satu cabang kesenian yang dibutuhkan secara

universal. Selain berfungsi untuk memberikan kenikmatan estetis dan memberikan hiburan

atau relaksasi, music juga digunakan sebagai media ekspersi diri, memelihara kontinuitas

budaya, dan sebagai media pendidikan serta pembelajaran. Namun, lebih dari itu, music juga

sering digunakan sebagai media terapeutik (penyembuhan).

Keberadaan music sebagai media terapi pada masyarakat merupakan satu fenomena

yang menarik untuk dikaji. Karena asma merupakan kondisi jangka panjang, atau kronis,

asma memerlukan penanganan yang bersifat kontinu. Walaupun asma tidak dapat

disembuhkan, terdapat beberapa terapi asma efektif yang membantu untuk mengontrol

gejala. Untuk itulah saya melakukan analisis terhadap beberapa jurnal untuk mengetahui

efektifitas terappi music terhadap orang dengan asma.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana efektifitas penggunaan terapi music pada orang asma?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui efektifitas penggunaan terapi music pada orang asma

Page 3: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari makalah yang kami susun adalah:

1. Bagi masyarakat

Masyarakat mendapatkan gambaran tentang bagaimana efektifitas terapi music terhadap

orang dengan asma dan gangguan pernapasan lainnya.

2. Bagi penulis

Meningkatkan kemampuan untuk menganalisis, mengidentifikasi, dan mengembangkan

berbagai teori khususnya tentang terapi musik.

3. Bagi institusi pendidikan

Dapat dijadikan sumber referensi untuk penatalaksanaan asma dan gangguan penapasan

lain dengan menggunakan terapi musik.

Page 4: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pengertian Asma

Berikut merupakan beberapa define menurut sumber-sumber terkait:

a. Menurut Jan Tamboyang (2000), asma adalah obstruksi jalan nafas akut, episodic yang

diakibatkan oleh rangsangan yang tidak menimbulkan respons pada orang sehat. Asma

telah didefinisikan sebagai gangguan yang dikarakteristikkan oleh paroksisme rekurens

mengi dan dispnea yang tidak disertai oleh penyakit jantung atau penyakit lain.

b. Menurut Smeltzer dan Bare (2002), asma adalah penyakit jalan nafas obstruksi

intermittean, reversible dimana trakea dan bronki berespon dalam secara hiperaktif

terhadap stimuli tertentu.

c. Asma adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan dengan adanya respons yang

berlebihan dari trakea dan bronki terhadap rangsangan dan bermanifestasi dengan

penyebaran penyempitan saluran nafas yang beratnya dapat berubah secara spontan atau

sebagai hasil dari terapi. Secara klinik, asma bronchial ini ditandai dengan serangan

spasme bronkus hebat dengan batuk, mengi, dan dispnea (Sfat Pengajar Departemen

Farmakologi FK Universitas Sriwijaya, 2009).

d. Menurut Patrick Davey (2005), asma merupakan keadaan inflamasi kronis yang

menyebabkan obstruksi saluran pernafasan reversible dan gejala berupa batuk, mengi,

dada terasa terikat, dan sesak nafas.

e. Menurut Ngastiyah (2005), asma pada anak adalah gangguan pernafasan yang disertai

berbagai gejala hambatan aliran udara dalam saluran nafas paru berupa tarikan nafas

pendek, dan serangan batuk berulang. Asma merupakan penyakit keturunan yang

penyebabnya masih belum jelas.

Jadi dapat disimpulkan bahwa asma merupakan terjadinya obstruksi atau

penyempitan pada saluran napas yang berespons berlebihan pada rangsangan tertentu disertai

gejala yang berbeda-beda pada setiap orangnya dengan etiologi yang masih belum dapat

dipastikan.

Page 5: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

2.2 Epidemiologi

Menurut Patrick Davey (2005), Asma adalah penyebab tunggal terpenting untuk

morbiditas penyakit pernafasan dan menyebabkan 2000 kematian/tahun. Prevalensinya,

sekarang sekitar 10-15%, semakin meningkat di masyarakat Barat. Insidensi mengi tertinggi

pada anak-anak (satu dari tiga anak mengalami mengi dan satu dati tujuh anak sekolah

terdiagnosis asma).

Masalah epidemiologi pada penyakit asma saat ini adalah mengenai morbiditas dan

mortalitas asma yang relative tinggi. Di dunia meliputi Inggris sekitar 2,5 juta penderita asma

bronkiale yang perlu pengobatan dan pengawasan rutin, 10% anak-anak dan 7% dewasa

(Crockett A, 1997). Di Amerika serikat diperkirakan 9,5 juta penduduk menderita asma, di

Jerman 9 juta penduduk, cemas yang berhubungan dengan sulit bernafas dilaporkan sebagai

diiagnosa yang sering ditangani (50%-74%) (Carpenito, 2000).

Fatality rate asma adalah 2,5 per 100.000, dengan factor kontribusi berupa terapi yang

tidak sempurna dan terlambatnya memulai pengobatan dengan bronkodilator dan adrenal

kortikosteroid. Di Indonesia, menurut survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1985-1986

melaporkan bahwa penyakit Asma, Emfisema, dan Bronkopneumonia merupakan penyakit

dengan morbiditas kedua setelah ISPA (infeksi saluran pernapasan atas), sedangkan BPS

(Biro Pusat Statistik) Jakarta menyatakan bahwa Indikator Kesejahteraan Rakyat 1985-1986

maka pneumonia, PPOM, Asma (0,5%) menempati urutan ketiga dari urutan mortilitas

penyakit di Indonesia (Sfat Pengajar Departemen Farmakologi FK Universitas Sriwijaya,

2009).

2.3 Patofisiologi (Price dan Wilson, 2005; Baratawidjaja, et al, 2006; Bernstein, 2003; Eapen, et

al, 2002; Gotzsche, et al, 2000; dan National Institutes of Health, 2007)

Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya ‘terengah-engah’ atau serangan

napas pendek. Sekarang ini, asma hanya ditujukan pada keadaan yang menunjukkan respons

abnormal saluran napas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan

saluran napas yang meluas. Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor,

antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma

Page 6: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis

didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri

dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan

untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut

atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada

interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang

menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen

kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel

ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang

dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu

akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang

kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan

inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera

yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons

terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos

bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan

selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti

eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam

patogenesis asma.

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,

makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal

menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast

dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen

masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel

bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi

tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut

dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen

vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,

neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang

menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi

lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.

Page 7: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus

tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya

hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus

tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,

maupun inhalasi zat nonspesifik.

2.4 Etiologi

Walaupun prevalensi kejadian asma pada populasi tidak kecil, etiologi asma belum

dapat ditetapkan dengan pasti. Tampaknya terdapat hubungan antara asma dengan alergi.

Pada sebagian besar penderita asma, ditemukan riwayat alergi, selain itu serangan asmanya

juga sering dipicu oleh pemajanan terhadap allergen. Pada pasien yang mempunyai

komponen alergi, jika ditelusuri ternyata sering terdapat riwayat asma atau alergi pada

keluarganya. Hal ini menimbulkan pendapat bahwa terdapat factor genetic yang

menyebabkan seseorang menderita asma. Factor genetic yang diturunkan adalah

kecenderungan memproduksi antibody jenis IgE yang berlebihan. Seseorang yang

mempunyai predisposisi memproduksi IgE berlebihan disebut mempunyai sifat atopik,

sedangkan keadaannya disebut atopi. Namun, ada penderita asma yang tidak atopic dan juga

serangan asmanya tidak dipicu oleh pemajanan terhadap allergen. Pada penderita ini, jenis

asmanya disebut idiosinkratik; biasanya serangan asmanya didahului oleh infeksi saluran

pernapasan bagian atas (R. Darmanto Djojodibroto, 2009).

Menurut Mary E. Muscari (2005), etiologi asma diantaranya:

a. Asma biasanya terjadi akibat trakea dan bronkus yang hiperresponsif terhadap iritans.

Alergi mempengaruhi keberadaan maupun tingkat keparahan asma, dan atopi atau

predisposisi genetic untuk perkembangan respons IgE-mediated terhadap allergen udara

yang umum merupakan factor predisposisi terkuat untuk berkembangnya asma

b. Iritans umum antara lain:

- Pajanan allergen (pada orang yang tersensitisasi). Allergen yang umum antara lain:

Debu

Jamur

Bulu binatang

- Infeksi virus

Page 8: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

- Iritans, antara lain:

Polusi udara

Asap

Parfum

Sabun deterjen

- Jenis makanan tertentu (terutana zat yang ditambahkan dalam makanan)

- Perubahan cepat suhu ruangan

- Olahraga

- Stress psikologis

Menurut Behrman, dkk (2000), asma merupakan gangguan kompleks yang

melibatkan factor autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai

tingkat pada berbagai individu. Asma dapat disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor adenilat

siklase adrenergic-β, dengan penurunan respons adrenergic. Laporan penurunan jumlah

reseptor adrenergic-β pada leukosit penderita asma dapat member dasar structural

hiporesponsivitas terhadap agonis-β. Cara lain, bertambahnya aktivitas kolinergik pada jalan

nafas diusulkan sebagai defek pada asma, kemungkinan diakibatkan oleh beberapa kelainan

pada reseptor iritan, baik intrinsic ataupun didapat; yang pada penderita asma agaknya

mempunyai nilai ambang yang rendah dalam responsnya terhadap rangsangan, daripada

individu normal. Tidak ada teori yang cocok dengan semua data. Pada penderita-penderita

perseorangan biasanya sejumlah factor turut membantu aktivitas proses asmatis pada

berbagai tingkat.

2.5 Tanda dan Gejala

Menurut Smletzer dan Bare (2002), Tiga gejala umum asma adalah batuk, dyspnea,

dan mengi. Pada beberapa keadaan, batuk mungkin merupakan satu-satunya gejala. Serangan

asma seringkali terjadi pada malam hari. Penyebabnya tidak dimengerti dengan jelas, tetapi

mungkin berhubungan dengan variasi sirkadian, yang mempengaruhi ambang reseptor jalan

nafas. Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada,

disertai dengan pernafasan lambat, mengi, laborious. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang

dibandingkan inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan otot-

otot aksesori pernafasan. Jalan nafas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Batuk pada

Page 9: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

awalnya susah dan kering tetapi segera menjadi lebih kuat. Sputum, yang terdiri atas sedikit

mucus mengandung masa gelatinosa bulat, kecil yang dibatukan dengan susah payah. Tanda

selanjutnya termasuk sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat, dan gejala-gejala retensi

karbondioksida, termasuk berkeringat, takikardia, dan pelebaran tekanan nadi.

Beberapa tanda peringatan awal mungkin dideteksi hanya oleh yang bersangkutan.

Sedang tanda peringatan awal yang lain lebih mungkin terlihat oleh orang lain. Tapi yang

paling bisa diandalkan sebagai tanda peringatan awal adalah penurunan dari angka prestasi

penggunaan “Peak Flow Meter”. Beberapa contoh tanda peringatan awal adalah perubahan

dalam pola pernapasan, bersin-bersin, perubahan suasana hati (moodiness) hidung mampat

atau hidung ngocor, batuk, gatal-gatal pada tenggorokan, merasa capai, lingkaran hitam di

bawah mata, susah tidur, turunnya toleransi tubuh terhadap kegiatan olahraga,

kecenderungan penurunan prestasi dalam penggunaan Peak Flow Meter. Hal-hal di atas

menunjukkan bahwa perubahan telah terjadi pada saluran pernapasan, dan aliran udara

terhambat. Penderita asma mengalami beberapa atau semua gejala di atas pada suatu

serangan. Tindakan penanganan harus dilakukan untuk mengatasi gelaja-gejala tersebut agar

tidak menjadi lebih buruk (Vitahealth, 2006).

2.6 Komplikasi

Menurut Smletzer dan Bare (2002), komplikasi asma dapat mencangkuo status

asmatikus, fraktur iga, pnemonia dan atelektasis. Obstruksi jalan napas, terutama episode

asmatik akut, sering mengakibatkan hipoksemia membutuhkan pemberian oksigen dan

pemantaun gas darah arteri. Cairan diberikan karena individu dengan asma mengalami

dehidrasi akibat diaforesis dan kehilangan cairan tidak kasat mata dengan hiperventilasi.

2.7 Pengobatan

Menurut Smletzer dan Bare (2002), terdapat lima kategori pengobatan yang

digunakan dalam mengobati asma, yaitu sebagai berikut:

a. Agonis beta

Agonis beta adalah medikasi awal yang digunakan dalam mengobati asma karena agen

ini mendilatasi otot otot polos bronkial. Agens adrenergik juga meningkatkan gerakan

siliaris, menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan menguatkan efek bronkodilatasi

Page 10: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

dan kortikosteroid. Agens adrenergik yang paling umum digunakan adalah epinefrin,

albuterol, metaprterol, isoproterol, isoetharine dan terbutaline. Obat obat tersebut

biasanya diberikan secara pareteral atau melalui inhalasi. Jalur inhalasi adalah jalur

pilihan karena cara ini mempengaruhi bronkiolus secara langsung dan mempunyai efek

samping yang lebih sedikit.

b. Metilsalin

Metilsalin seperti aminofilin dan teofilin, digunakan karena mempunyai efek

bronkodilatasi. Agen ini merilekskan otot otot bronkus, meningkatkan gerakan mukus

dalam jalan nafas, dan meningkatkan kontraksi diafragma. Aminofilin diberikan secara

intavena. Teofilin diberikan per oral. Metilsalin tidak diberikan dalam selatan akut karena

awitannya lebih lambat dibanding agonis beta. Ada beberapa faktor yang mengganggu

metabolisme metilsalin, terutama teofilin, termasuk merokok, gagal jantung, penyakit

hepar kronis, kontraseptif oral, eritromisin dan simetidin. Harus sangat hati hati ketika

memberikan medikasi ini secara intravena,. Jika obat ini diberikan secara cepat dapat

terjadi takikardi atau disritmia jantung.

c. Antikolinergik

Antikolinergik seperti atropin tidak pernah dalam riwayatnya digunakan untuk

pengobatan rutin asma karena efek samping sistemikny, seperti kekeringan pada mulut,

penglihatan mengabur, berkemih, anyang anyangan, palpitasi dan flusing. Bagaimanapun

deprovat amonium kuartenari, seperti atropin metilnitrat dan ipratropium bromida telah

menunjukan efek bronkodilator yang sangat baik dengan efek samping sistemik minimal.

Agen ini diberikan melalui inhalasi. Antikolinergik secara khusus mungkin bermanfaat

terhadap asmatik yang bukan kandidat untuk agonis beta dan metilsalin karena penyakit

jantung yang mendasari.

d. Kortikosteroid

Kortikosteroid penting dalam pengobatan asma. Medikasi ini mungkin diberikan secara

intavena, oral atau melalui inhalasi. Mekanisme kerjanya belum jelas. Bagaimanapun,

medikasi ini diduga mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor. Kortikosteroid

mungkin diberikan untuk serangan asmatik akut yang tidak membrikan respons terhadap

terapi bronkodilator. Kortikosteroid telah terbukti efektif dalam pengobatan asma dan

PPOM. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya efek

Page 11: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

samping yang serius termasuk ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati

serenoid dan katarak.

Kortikosteroid yang dihirup mungkin efektif dalam mengobati pasien dengan asma

tergantung steroid. Keuntungan utama dari metode pemberian ini adalah mengurangi efek

kortikosteroid pada sistem tubuh lainnya. Iritasi tenggorok, batuk, mulut kering,suara

parau dan infeksi jamur pada mulut dan tenggorok dapat terjadi. Pasien diinstruksikan

untuk membilas mulut dan berkumur segera setelah menghirup kortikosteroid untuk

mengurangi insiden infeksi jamur. Pasien diinstruksikan untuk melaporkan insiden

kemerahan atau bercak keputihan dalam mulut. Penurakaran kortikosteroid sistemik

menjadi hirup membuat pasien beresiko terhadap insufiensi adrenal. Oleh karena itu,

prosesnya harus dilakukan secara bertahap dan dibawah supervisi yang ketat.

e. Inhibitor sel mast

Natrium klomorin, suatu inhibitor sel mast, adalah bagian integral dari pengobatan asma.

Medikasi ini diberikan melalui inhalasi. Medikasi ini mencegah pelepasan mediator

kimiawi analilaktik, dengan demikian mengakibatkan bronkodilatasi dan penurunan

inflamasi jalan nafas. Natrium kromolin sangat bermanfaat diberikan antar serangan atau

sementara asma dalam remisi. Obat ini dapat mengakibatkan pengurangan penggunaan

medikasi lain dan perbaikan menyeluruh dalam gejala.

2.8 Pencegahan

Menurut Smletzer dan Bare (2002), pasien dengan asma kambuhan harus menjalani

pemeriksaan mengidentifikasi substansi yang mencetuskan terjadinya serangan. Penyebab

yang mungkin saja bantal, kasur, pakaian jenis tertentu, hewan peliharaan, kuda, detergen,

sabun, makanan tertentu, jamur dan serbuk sari. Jika serangan berkaitan dengan musim,

maka serbuk sari dapat menjadi dugaan kuat. Upaya harus dibuat untuk menghindari agen

penyebab kapan saja memungkinkan.

Page 12: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Efektifitas

Berdasarkan jurnal Music Therapy to Manage Asthma oleh Robert Eley dan Don

Gorman (2008), menyebutkan bahwa music dapat meningkatkan fungsi pernapasan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas pengajaran bermain Didgeridoo (alat music

tiup khas Aborigin) dan bernyanyi untuk orang Aborigin. Memainkan alat music tiup mirip

dengan bernyanyi, dalam arti bahwa keduanya membutuhkan mekanisme fisiologis untuk

mengontrol pernapasan dan melatih otot-otot perut untuk membantu diafragma saat bernapas.

Penggunaan alat music tiup dalam hal ini lebih bermakna hasilnya daripada bukan alat music

tiup. The Louis Armstrong Department of Music Therapy, dalam jurnalnya menyebutkan

bahwa dibandingkan dengan 10 anak dengan asma yang memainkan instrument non-tiup,

delapan remaja asm ayang bermain dengan alat music tiup menunjukkan gejala asma yang

lebih sedikit, memiliki peningkatan rasa kesejahteraan, dan kurang rentan terhadap

perubahan emosional.

Robert dan Don menggunakan Aborigin sebagai populasi, dengan intervensi bermain

Didgeridoo bagi laki-laki dan bernyanyi untuk yang perempuan. Hal ini dikarenakan

bukanlah suatu yang lazim bagi perempuan Aborigin untuk bermain Didgeridoo, jadi

bernyanyi adalah alternative yang dirasa cukup tepat. Latihan ini dilakukan setiap minggu

selama 6 bulan. Partisipasinya ditargetkan pada anak-anak SMP, SMA, dan dewasa.

Intervensi pada anak-anak SMP dan SMA berlangsung di sekolah mereka, dan pelajaran bagi

yang dewasa diadakan di tempat pelayanan medis local. Dalam penelitiannya, status

pernapasan dan kualitas hidup mereka ditentukan melalui penilaian klinis dan kuisioner.

Puncak aliran inspirasi dicatat dua kali sehari oleh para peserta dengan menggunakan Peak

Flow Meter. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi pernapasan meningkat

secara signifikan pada anak-anak tersebut. Hal ini disebabkan , pada saat bernyanyi atau

bermain alat music tiup, tubuh akan melepaskan endorphin pada mood dan terjadi

Page 13: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

peningkatan aliran udara dan oksigenasi dari darah yang berhubungan dengan pergerakan

kepala dan leher.

Signe Dalgaard-Nielsen (2013) dalam jurnalnya yang berjudul Music Therapy at a

Respiratory Medicine Clinic : An Inquiry into the Experiences of Patients and Staff

menyatakan bahwa untuk pasien dengan penyakit paru-paru setiap harinya dapat menjadi

perjuangan hanya untuk bernapas dan mereka sering menderita dyspnea, perasaan tidak

mampu bernapas cukup untuk bertahan hidup atau untuk mengurus tugas sehari-hari.

Oksigen dan bernapas sangat penting untuk kelangsungan hidup kita, maka tidak

mengherankan bahwa perasaan dyspnea/sesak/sulit bernapas dapat menyebabkan kecemasan

dan kepanikan. Nielsen melakukan penelitian terhadap pasien yang berada dalam bangsal

rumah sakit. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengeksplorasi apakah dan

bagaimana terapi musik selama rawat inap dapat membantu pasien dengan gangguan paru-

paru berhubungan dengan aspek psikologisnya dan bagaimana pasien dan staf menanggapi

kehadiran terapi intern musik di bangsal. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,

peneliti melakukan penyelidikan hermeneutik menggunakan metode kualitatif seperti kajian

literatur, studi wawancara menggunakan analisis tematik, dan analisis deskriptif dari survei

kuesioner. Data dalam penelitian ini terdiri dari dua survei kuesioner, untuk staf dan masing-

masing pasien, yang dilakukan selama bulan, serta dua studi wawancara, termasuk

wawancara dengan dua pasien yang menerima terapi musik individu selama rawat inap

mereka , dan tiga anggota staf dari klinik medis pernapasan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi musik selama rawat inap dapat membantu

beberapa pasien dengan penyakit paru-paru untuk mengatasi stres emosional memiliki

penyakit yang serius, untuk mengurangi rasa sakit, menangani informasi yang diberikan oleh

staf medis, dan melalui relaksasi mendapatkan perasaan untuk dapat bernapas lebih bebas.

Kedua pasien yang diwawancarai terapi musik mengatakan bahwa terapi music membantu

mereka, dan merasa bahwa dengan terapi musik memiliki dampak positif pada suasana di

bangsal. Melalui survei kuesioner itu menunjukkan bahwa banyak pasien dan staf berpikir

terapi musik lingkungan menjadi pengalaman yang menyenangkan. Studi ini memberikan

bantalan bahwa pengobatan psikodinamik, seperti terapi musik, mungkin memiliki tempat di

bangsal medis.

Page 14: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

Menurut David Aldridge, dalam jurnalnya yang berjudul Music Therapy Research: A

Review of References in the Medical Literature, menyebutkan bahwa pengaruh musik pada

jantung dan tekanan darah telah menjadi tema favorit sepanjang sejarah. Berbagai kelompok

kompetensi musik menanggapi dalam kaitannya dengan volume, melodi, ritme, pitch dan

jenis musik. Minat musik merupakan faktor penting yang mempengaruhi respon. Melody

menghasilkan efek yang paling ditandai dalam kelompok musik. Volume menghasilkan efek

yang paling jelas dalam kelompok moderat musik. Secara umum, mendengarkan musik

disertai dengan naiknya tekanan darah pendengarnya. Jika musik menghasilkan efek

fisiologis dan psikologis, pada orang sehat sebagai pendengar maka dapat diasumsikan

bahwa orang dengan berbagai penyakit merespon musik dengan cara tertentu. Sebuah

hipotesis tertentu, yang belum dibuktikan secara empiris, adalah bahwa orang dengan

penyakit yang dikenal menanggapi musik dengan cara yang dimediasi oleh penyakit itu. Oleh

karena itu, kita mungkin menemukan bahwa parameter musik bermain improvisasi dibatasi

oleh penyakit. Juga, dalam hal terapi musik, jika musik yang diketahui mempengaruhi

parameter fisiologis seperti denyut jantung atau tekanan darah, maka mungkin musik dapat

digunakan terapi untuk pasien yang memiliki masalah dengan penyakit jantung atau

hipertensi.

Detak jantung manusia bisa akan bervariasi pada kisaran tertentu dengan entrainment

dari ritme sinus dengan stimulus auditori eksternal yang mungkin bertindak melalui

mekanisme kontrol saraf, dan dihasilkan dari sistem saraf ke pusat jantung otak. Klik

terdengar dimainkan untuk subjek pada waktu yang tepat dalam siklus jantung. Ketika itu

datang dalam kisaran kritis maka denyut jantung dapat meningkat atau menurun hingga 12%

selama periode waktu hingga 3 menit. Perpanjangan dari premis ini, bahwa ritme musik

adalah alat pacu jantung, dalam hal efek yang dirasakan ritme pada pola pernafasan, pola

yang melayani fungsi metabolik dan perilaku. Jalur pernapasan metabolisme berada dalam

formasi reticular dibawah pons dan medula, sedangkan jalur pernapasan terutama berada

dalam struktur otak depan limbik yang menyebabkan vokalisasi dan perilaku yang kompleks.

David juga menyebutkan terdapat hubungan antara hipotalamus dan generator pola

tulang belakang yang mampu bersinkronisasi ketika terdapat kegiatan pernapasan dan

lokomotor. Oleh karena itu, hipotesis Haas adalah bahwa kegiatan musik ritmis eksternal,

dalam hal ini mendengarkan rekaman musik, akan memiliki pengaruh pada pola pernapasan

Page 15: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

sambil menjaga perubahan metabolik dan rangsangan aferen (yaitu tidak ada gerakan

motorik kasar). Dua puluh subjek yang terlibat dalam percobaan ini, empat di antaranya

musisi berpengalaman dan berlatih musisi, enam telah resmi musik pelatihan tetapi tidak lagi

memainkan alat musik dan sisanya sepuluh tidak memiliki pelatihan musik. Data pernapasan

termasuk frekuensi respirasi dan volume aliran udara dikumpulkan bersama denyut jantung

dan CO2 end-tidal. Subyek mendengarkan satu set metronom pada 60b.p.m. Subyek

kemudian secara acak disajikan dengan empat kutipan music. Tidak ada perubahan berarti

dalam denyut jantung selama percobaan, tapi ada perubahan berarti dalam frekuensi

pernapasan dan penurunan yang signifikan dalam koefisien variasi untuk semua parameter

pernapasa. Untuk mata pelajaran non-musik dilatih ada sedikit koordinasi antara pernapasan

dan irama musik, sedangkan untuk musisi terlatih ada kopling pernapasan dan irama. Untuk

penyanyi memiliki strategi paru yang lebih efisien daripada musisi yang tidak terlatih,

bahkan ketika berbicara. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tampaknya penting dalam

sinkronisasi respirasi dan aktivitas motorik lainnya. Ini adalah aspek organisasi peristiwa

perilaku yang tampaknya menjadi aspek penting dari musik dan pusat terapi music.

Hans-Joachim Trappe (2012) dalam jurnalnya Music and Medicine: The Effects of

Music On the Human Being, manambahkan bahwa mendengarkan musik, mungkin tidak

hanya membantu untuk bersantai di akhir hari yang menegangkan. Hal ini juga bisa

menurunkan tekanan, denyut jantung darah dan meningkatkan variabilitas denyut jantung.

Gagasan bahwa musik memiliki efek pada denyut jantung, tekanan darah dan sistem

kardiovaskular telah banyak dilaporkan. Nada minor meningkatkan denyut jantung dan

menurunkan tekanan darah, sedangkan musik "aduk" meningkat tekanan darah dan denyut

jantung. Musik yang cepat menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan laju

pernapasan, dan sensitivitas baroreflex berkurang. Musik lambat, di sisi lain, menyebabkan

penurunan yang signifikan dalam denyut jantung dan frekuensi pernapasan dibandingkan

dengan baseline. Tanggapan secara kualitatif serupa dalam musisi dan nonmusicians dan

tampaknya tidak terpengaruh oleh preferensi musik, meskipun musisi tidak menanggapi

lebih. Dalam beberapa tahun terakhir, musik telah semakin banyak digunakan sebagai alat

terapi dalam pengobatan penyakit yang berbeda. Telah terbukti bahwa terapi musik tidak

hanya mengurangi tekanan darah, denyut jantung dan kecemasan pasien tetapi memiliki efek

yang signifikan pada kejadian masa depan, termasuk reinfarction dan kematian, pada pasien

Page 16: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

sindrom koroner akut yang menjalani revaskularisasi. Dalam hal ini musik juga

mempengaruhi fungsi endotel dan dalam penelitian ini aliran arteri brakialis meningkat 26%

selama fase musik yang membangkitkan sukacita dibandingkan dengan baseline (p <0,002).

Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan Trappe menyebutkan bahwa musik tidak

hanya meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga mempengaruhi perubahan denyut jantung

(HR) dan variabilitas denyut jantung (HRV). Sebuah modulasi lebih besar SDM dan HRV

ditunjukkan selama pertunjukan musik dibandingkan dengan mendengarkan musik. Musik

secara signifikan mengurangi tingkat kecemasan untuk pasien dalam pengaturan pra operasi

dibandingkan dengan midazolam (STAI-X-1 skor 36) (p <0,001). Mendengarkan musik

sambil beristirahat di tempat tidur setelah operasi jantung terbuka menyebabkan perbedaan

yang signifikan dalam tingkat kortisol antara musik (484,4 mmol / l) dan kelompok non-

musik (618,8 mmol / l) (p <0,02).

Page 17: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari berbagai paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi music memberikan

pengaruh yang positif terhadap orang dengan asma dan gangguan respirasi lainnya. Terapi

music ini berpengaruh terhadap tekanan darah, ritme, dan pola napas penggunanya. Sebagai

perawat, diharapkan untuk mengembangkan lebih lanjut proses terapi music, khususnya

dalam pemanfaatan media music sebagai modalitas penanganan orang dengan gangguan

respirasi.

Page 18: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

DAFTAR PUSTAKA

Aldridge, David. Music Therapy Research: A Review of References in the Medical Literature.

Chair of Qualitative Research in Medicine. University Witten Herdecke. Diakses pada

tanggal 27 Juni 2013. Available at http://mustherapy.narod.ru/mtreview.pdf.

Baratawidjaja, K.G., Soebaryo, R.W., et al. 2006. Allergy and Asthma, The scenario in

Indonesia. In: Shaikh WA. Mumbai: Vicas Medical Publishers.

Bernstein, J.A. 2003. Asthma In Handbook of Allergic Disorders. Philadelphia: Lipincott

Williams & Wilkins.

Carpenito, Linda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Kperawatan. Edisi 8. Jakarta:Penerbit buku

kedokteran EGC.

Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Djojodibroto, R. Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Eapen, S.S., dan Busse, W.W. 2002. Asthma in Inflammatory Mechanisms in Allergic Diseases.

USA: Marcel Dekker.

Eley, R., dan Gorman, D. 2008. Music Therapy to Manage Asthma. Volume 23. Aboriginal and

Islander Health Worker Journal. Australia: Centre for Rural and Remote Area Health

University of Southern Queensland. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013. Available at

reseachhttp://eprints.usq.edu.au/3553/3/Eley_Gorman_2007_Pubrversion.pdf.

Gotzsche CP. House Dust Mite Control Measures for Asthma: Systematic Review In European

Journal of Allergy And Chronic Urticaria. Volume 63.

Jan Tambayong. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Page 19: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

Muscari, Mary E. 2005.Panduan Belajar Keperawatan. Pediatrik Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

National Institutes of Health. 2007. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.

Nielson, Signe Dalgaard. 2013. Music Therapy at a Respiratory Medicine Clinic : An Inquiry

into the Experiences of Patients and Staff. Denmark: Master's thesis in music therapy

Department of Communication. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013. Available at

http://projekter.aau.dk/projekter/files/76945629/Forside_speciale.pdf.

Nelson, Behrman, Kliegman & Arvin. 2000. Ilmu kesehatan Anak Nelson. Vol 1 E/15. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Price, S.A., dan Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi

6. Volume 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C.,Bare, Brende G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth. Edisi.8. Volume1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sri Astuti Suparmanto. 1994. Dirjen Pelayanan Medik (Yanmed) Departemen Kesehatan.

Jakarta.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK Universitas Sriwijay. 2009. Kumpulan Kuliah

Farmakologi. Ed.2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

The Louis Armstrong Department of Music Therapy, Beth Israel Medical Center.

http://www.wehealny.org/services/bi_musictherapy/AIP.html.

Trappe, Hans-Joachim. 2012. Music and Medicine: The Effects of Music On the Human Being.

Department of Cardiology and Angiology. University of Bochum. Germany: Applied

Cardiopulmonary Pathophysiology. Diakses pada tanggal 27 Juni 2013. Available at

http://www.applied-cardiopulmonary-pathophysiology.com/fileadmin/downloads/acp-2012-

2_20120517/03_trappe.pdf.

Van. 2004. Penyakit Asma Banyak Diderita oleh Anak-Anak. Jakarta: Sinar Harapan.

Vitahealth. 2006. Asma: Informasi Lengkap untuk Penderita & Keluarganya. Jakarta: Gramedia.

Page 20: Efektifitas Penggunaan Terapi Musik

Zul Dahlan 2005. Masalah Asma di Indonesia dan Penaggulangannya. Bandung: Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran.