edisi vii agustus 2014

155
Alamat Redaksi Jl. DI. Panjaitan Km 3 Paduraksa Pemalang Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52113 Email : [email protected] Evaluasi Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter Miswanto Nilai Pendidikan Karakter Dalam Tradisi Lokal Bani Sudardi Pendidikan Multikultural Sebagai Wahana Pembentukan Karakter Ida Zahara Adibah Menumbuhkan Keberanian Berpendapat Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair Endang Puji Lestari Dyah Kunthi Talibrata, Representasi Pembentukan Karakter Wanita Jawa Hartini Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Media Pembelajaran Multimedia Interaktif Endang Sri Mureiningsih Model Pengembangan Kurikulum Dan Strategi Pembelajaran Berbasis Sosiologi Kritis, Kreativitas, Dan Mentalitas Mustofa Kamal Peran Penerjemahan Teks-Teks Asing Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa Sri Mulyati Kepemimpinan Dan Pendidikan Islam Puji Khamdani Potensi Dan Peran Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Mu’ammar

Upload: puji-dar

Post on 26-Dec-2015

157 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

JURNAL MADANIYAH EDISI VII TEMA PENDIDIKAN KARAKTER

TRANSCRIPT

Page 1: Edisi Vii Agustus 2014

Alamat Redaksi

Jl. DI. Panjaitan Km 3 Paduraksa Pemalang Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52113

Email : [email protected]

Evaluasi Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter

Miswanto

Nilai Pendidikan Karakter Dalam Tradisi Lokal

Bani Sudardi

Pendidikan Multikultural Sebagai Wahana Pembentukan Karakter

Ida Zahara Adibah

Menumbuhkan Keberanian Berpendapat

Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair

Endang Puji Lestari

Dyah Kunthi Talibrata, Representasi Pembentukan Karakter Wanita Jawa

Hartini

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

Melalui Media Pembelajaran Multimedia Interaktif

Endang Sri Mureiningsih

Model Pengembangan Kurikulum Dan Strategi Pembelajaran Berbasis Sosiologi

Kritis, Kreativitas, Dan Mentalitas

Mustofa Kamal

Peran Penerjemahan Teks-Teks Asing Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa

Sri Mulyati

Kepemimpinan Dan Pendidikan Islam

Puji Khamdani

Potensi Dan Peran Pesantren Sebagai Pusat Peradaban

Mu’ammar

Page 2: Edisi Vii Agustus 2014

ISSN 2086-3462

9 7 7 2 0 8 6 3 4 6 2 6 6

Visi

Sebagai sarana Komunikasi dan Publikasi

Karya Ilmiah Ilmu Pendidikan dan Ke-Islaman

Misi

1. Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi di Bidang pendidikan melalui penelitian dan pengabdian yang megacu pada Pola Induk Pengembangan Ilmiah (PIP) STIT Pemalang

2. Menyebarluaskan hasil-hasil penelitian dan pengabdian di bidang Pendidikan Islam melalui publikasi jurnal ilmiah dan pertemuan-pertemuan ilmiah

3. Menerapkan hasil-hasil penelitian melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat untuk memberikan kontribusi pada pengembangan Pendidikan Islam

Alamat Redaksi Jl. DI. Panjaitan Km 3 Paduraksa Pemalang

Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52113 Email : [email protected]

Penerbit : STIT Pers

Pimpinan Redaksi

Puji Dwi Darmoko

Sekretaris Redaksi

Nur Topik

Penyunting

Mustofa Kamal

Khaerudin

Rahmat Kamal

Hafied Hasan

Purnama rozak

Isa Agus Amsori

Desain Grafis

Patriyanto

Sirkulasi

Krisdian Linanti

Page 3: Edisi Vii Agustus 2014

i

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................... i

Salam Redaksi .......................................................................................... ii

Evaluasi Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter

Miswanto ................................................................................................ 151

Nilai Pendidikan Karakter Dalam Tradisi Lokal

Bani Sudardi ............................................................................................. 165

Pendidikan Multikultural Sebagai Wahana Pembentukan Karakter

Ida Zahara Adibah .................................................................................... 175

Menumbuhkan Keberanian Berpendapat Melalui Model Pembelajaran

Kooperatif Think Pair Share

Endang Puji Lestari ................................................................................... 191

Dyah Kunthi Talibrata Sebagai Representasi Profil Wanita Jawa Sejati

Hartini ....................................................................................................... 205

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

Melalui Media Pembelajaran Multimedia Interaktif

Endang Sri Mureiningsih .......................................................................... 214

Model Pengembangan Kurikulum Dan Strategi Pembelajaran Berbasis

Sosiologi Kritis, Kreativitas, Dan Mentalitas

Mustofa Kamal ......................................................................................... 230

Penerjemahan Teks-Teks Asing Dan Sumbangannya Terhadap

Pembentukan Karakter Bangsa

Sri Mulyati ................................................................................................ 251

Kepemimpinan Dan Pendidikan Islam

Puji Khamdani ......................................................................................... 259

Pilar-Pilar Peradaban Pesantren; Potret Potensi Dan Peran Pesantren

Sebagai Pusat Peradaban

Mu’ammar ............................................................................................... 277

Pedoman Penulisan Artikel di Jurnal Ilmiah Madaniyah

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 4: Edisi Vii Agustus 2014

ii

SALAM REDAKSI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi Robbil A’lamiin, puji syukur kehadirat Allah SWT, kali ini

Jurnah Ilmiah “MADANIYAH” STIT Pemalang dapat hadir kembali di hadapan

sidang Pembaca. Setelah mengalami pergulatan yang cukup panjang akan

sulitnya mencari artikel berkaitan dengan tema tentang “Pendidikan Karakter”

akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, jurnal Ilmiah “MADANIYAH”

edisi VII Agustus 2014 ini dapat terbit.

Diharapkan melalui berbagai pemikiran dalam jurnal ini dapat menambah

wawasan dan pengetahuan bagaimana suatu idealisme membangun sebuah

Karakter tidak hanya bertumpu pada Dunia Pendidikan melainkan dari berbagai

aspek disiplin ilmu.

Mewujudkan harapan ini bukanlah suatu pekerjaan yang ringan dan harus

melibatkan seluruh “stake holder” yang berkomitmen tinggi dalam ikut sertanya

membangun bangsa.

Semoga ke depan Jurnal Ilmiah “Madaniyah” ini semakin berkualitas

melalui kajian dan penelitian untuk bisa menambah khasanah pengetahuan.

Akhirnya kami berharap kritik dan saran guna perbaikan penerbitan yang akan

datang.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Redaksi

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 5: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

151

EVALUASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS KARAKTER

Miswanto1

Abstrak

Makalah ini menjelaskan tentang Evaluasi Pendidikan Agama Islam

Berbasis Karakter. Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan

keputusan-keputusan pendidikan, baik yang menyangkut perencanaan,

pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan, baik yang menyangkut

perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Dalam konteks ini, penilaian

dalam pendidikan Agama Islam bertujuan agar keputusan-keputusan yang

berkaitan dengan pendidikan Agama Islam benar-benar sesuai dengan niai-nilai

Islami sehingga tujuan pendidikan Agama Islam yang dicanangkan dapat

tercapai secara maksimal. Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam mengaku

pada sistem evaluasi yang digariskan oleh Allah SWT, dalam Alquran dan

dijabarkan dalam Sunah, yang dilakukan Rasulullah SAW dalam proses

pembinaan risalah Islamiyah.

Kata kunci: evaluasi, prinsip evaluasi, pendidikan karakter.

A. Pendahuluan

Pendidikan di negara kita hingga sekarang masih menyisakan banyak

persoalan, baik dari segi kurikulum, manajemen, maupun para pelaku dan

pengguna pendidikan. SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita

pendidikan yang diharapkan. Masih banyak ditemukan kasus-kasus seperti siswa

melakukan kecurangan ketika sedang menghadapi ujian, bersikap malas dan

senang bermain dan hura-hura, senang tawuran antar sesama siswa, melakukan

pergaulan bebas, hingga terlibat narkoba dan tindak kriminal lainnya. Di sisi lain,

masih ditemukan pula guru yang melakukan kecurangan-kecurangan dalam

sertifikasi dan dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN). Atas dasar inilah,

maka pendidikan kita perlu direkonstruksi ulang agar dapat menghasilkan

lulusan yang lebih berkualitas dan siap menghadapi “dunia” masa depan yang

penuh dengan problema dan tantangan serta dapat menghasilkan lulusan yang

memiliki karakter mulia, yakni: memiliki kepandaian sekaligus kecerdasan,

memiliki kreativitas tinggi sekaligus sopan dan santun dalam berkomunikasi,

serta memiliki kejujuran dan kedisiplinan sekaligus memiliki tanggung jawab

1 Miswanto, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang Jawa Tengah

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 6: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

152

yang tinggi. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi

pembentukan karakter (character building) sehingga para peserta didik dan para

lulusannya dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dengan baik dan

berhasil tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia.

Untuk membangun manusia yang memiliki nilai-nilai karakter yang agung

seperti dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional tersebut, dibutuhkan

system pendidikan yang memiliki materi yang lengkap (kaffah), serta ditopang

oleh pengelolaan dan pelaksanaan yang benar. Terkait dengan ini pendidikan

Islam memiliki tujuan yang seiring dengan tujuan pendidikan nasional. Secara

umum pendidikan Islam mengemban misi utama memanusiakan manusia, yakni

menjadikan manusia mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya

sehingga berfungsi maksimal sesuai dengan aturan-aturan yang digariskan oleh

Allah Swt. Dan Rasulullah saw. yang pada akhirnya akan terwujud manusia yang

utuh (insan kamil). Sistem ajaran Islam dikelompokkan menjadi tiga bagian,

yaitu bagian aqidah (keyakinan), bagian syari’ah (aturan-aturan hukum tentang

ibadah dan muamalah), dan bagian akhlak (karakter). Ketiga bagian ini tidak

bisa dipisahkan, tetapi harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang saling

mempengaruhi. Aqidah merupakan fondasi yang menjadi tumpuan untuk

terwujudnya syari’ah dan akhlak. Sementara itu, syari’ah merupakan bentuk

bangunan yang hanya bisa terwujud bila dilandasi oleh aqidah yang benar dan

akan mengarah pada pencapaian akhlak (karakter) yang seutuhnya. Dengan

demikian, akhlak (karakter) sebenarnya merupakan hasil atau akibat terwujudnya

bangunan syari’ah yang benar dilandasi oleh fondasi aqidah yang kokoh. Tanpa

aqidah dan syari’ah, mustahil akan terwujud akhlak (karakter) yang sebenarnya.

Karakter (character) dapat diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang

yang melekat dan dapat diidentifikasi pada prilaku individu yang bersifat unik,

dalam arti secara khusus ciri-ciri ini membedakan antara satu individu dengan

yang lainnya. Oleh karena ciri-ciri itudapat diidentifikasi pada perilaku individu

dan bersifat unik, maka karakter sangat dekat dengan kepribadian inidividu.

Meskipun karakter setiap individu ini bersifat unik, namun sejumlah karakter

umum yang menjadi stereotype dari sekelompok masyarakat, atau bahkan suatu

bangsa dapat diidentifikasi sebagai karakter suatu komunitas tertentu atau

bahkan dapat pula dipandang sebagai karakter suatu bangsa. Mengingat karakter

itu ada yang baik dan ada yang tidak baik, kita harus berupaya membangun

karaker baik (good character). Sebagaimana kepribadian, ada dua faktor penting

yang berpengaruh terhadap karakter, yakni faktor endogenus (faktor hereditas

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 7: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

153

atau genetic) dan faktor eksogenus (pengaruh pendidikan dan/atau lingkungan).

Namun, para ahli memandang bahwa faktor pendidikan dapat memberi

kontribusi yang cukup signifikan terhadap pembentukan karakter sesuai dengan

arah yang diharapkan (sesuai tujuan), yakni nilai-nilai baik yang bersumber dari

ajaran-ajaran agama maupun tradisi kearifan lokal dan nasional.2

Dalam pendidikan Islam penanaman karakter sangat perlu, dan dalam

karakter memerlukan tujuan yang merupakan sasaran ideal yang hendak dicapai.

Dengan demikian kurikulum yang telah dirancang, disusun dan diproses dengan

maksimal diupayakan untuk mencapai tujuan tersebut. Tentu saja terkait dengan

hal ini pendidikan Islam mempunyai tugas yang berat, salah satunya adalah

mengembangkan potensi fitrah manusia. Berbicara pendidikan karakter kita tidak

bisa mengabaikan lembaga pendidikan pesantren yang sudah lama menerapkan

karakter pada santrinya sejak dulu secara terstruktur dan istiqomah.

Untuk mengetahui kapasitas, kualitas, peserta didik perlu diadakan

evaluasi. Dalam evaluasi perlu adanya teknik, dan sasaran untuk menuju

keberhasilan dalam proses belajar mengajar dan pendidikan secara

keseluruhan. Evaluasi yang baik haruslah didasarkan atas tujuan yang

ditetapkan berdasarkan perencanaan sebelumnya dan kemudian benar-benar

diusahakan oleh guru untuk peserta didik. Betapapun baiknya, evaluasi

apabila tidak didasarkan atas tujuan yang telah ditetapkan, tidak akan tercapai

sasarannya.

Dari uraian di atas, permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian evaluasi dalam pendidikan karakter ?

2. Bagaimana tujuan dan fungsi evaluasi dalam pendidikan karakter ?

3. Apa sajakah prinsip-prinsip evaluasi dalam pendidikan karakter ?

4. Bagaimana sistem evaluasi dalam pendidikan karakter ?

5. Apa saja sasaran evaluasi dalam pendidikan karakter ?

B. Pembahasan

1. Pengertian Evaluasi dalam pendidikan karakter

Menurut bahasa evaluasi berasal dari bahasa Inggris, “evaluation”,

yang berarti penilaian atau penaksiran.3 Sedangkan menurut pengertian

istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui

2 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi ( Jakarta:

PT Kompas Media Nusantara, 2002), hal. 173. 3 Suharsimi Arikunto. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hal.3.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 8: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

154

keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan intrumen dan hasilnya

dibandingkan dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan. Dengan demikian

secara sederhana dapat disimpulkan bahwa evaluasi pendidikan adalah

penilaian untuk mengetahui proses pendidikan dan komponen-komponennya

dengan instrumen yang terukur.4 Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 21 dijelaskan

bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan

penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada

setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk per

tanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.5

Sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai

dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui

karyanya yang sangat memukau, The Retrun of Character Education.

Sebuah buku yang menyadarkan dunia Barat secara khusus di mana tempat

Lickona hidup, dan seluruh dunia pendidikan secara umum, bahwa

pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Inilah awal kebangkitan

pendidikan karakter. Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan

Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan

(knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan

kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu

seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian maka

pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku

manusia menuju standar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan untuk

menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah.

Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi

prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang

mencakup perkembangan sosial siswa.

Pembentukan dan pendidikan karakter merupakan upaya yang harus

melibatkan semua pihak rumah tangga dan keluarga sekolah dan lingkungan

sekolah. Pendidikan karakter melalui sekolah merupakan usaha mulia yang

mendesak untuk dilakukan. Bahkan kalau berbicara tentang masa depan,

4 Menurut Wand dan Brown ( 1957) mendefinisikan evaluasi sebagai “ refer to the act proccess to

determining the value of something”. Wand Edwin and General W. Brown, Essential of educational

Evaluation ( New York: 1979, vol 27), 867. Evaluasi mengacu kepada suatu proses untuk menentukan nilai

suatu yang dievaluasi. Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum berbasis KBK.

( Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2005),hal.181 5 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 9: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

155

sekolah bertanggung jawab bukan hanya mencetak peserta didik yang

unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam karakter

dan kepribadian.

Usaha pembentukan dan pendidikan karakter melalui sekolah, menurut

Azyumardi Azra bisa dilakukan setidaknya melalui pendekatan sebagai

berikut:

1) Menerapkan pendekatan modelling atau axemplary atau uswatun

hasanah, yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah

untuk menghidupkan dan menegakkkan nilai-nilai akhlak dan moral yang

benar melalui suri tauladan

2) Menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus

menerus tentang berbagai nilai yang baik dan nilai yang buruk.

3) Menerapkan pendidikan berdasarkan karakter ( character based

education). Hal ini bisa dilaksanakan dengan memaksukkan pendidikan

karakter ke dalam setiap pelajaran yang ada. Atau melakukan reorientasi

baru baik dari segi isi dan pendekatan terhadap mata pelajaran yang

relevan atau berkaitan seperti mata pelajaran pendidikan agama dan

PPKN, bisa pula mencakup seluruh mata pelajaran umum dan muatan

local.6

Jika dikaitkan antara evaluasi dengan pendidikan karakter hingga

menjadi suatu term evaluasi berbasis pendidikan karakter maka evaluasi

berbasis pendidikan karakter adalah penilaian untuk mengetahui proses

pendidikan dan komponen-komponennyadengan instrumen yang terukur dan

berlandaskan ketercapaian karakter yang diinginkan. Dalam pendidikan

karakter, evaluasi sangat penting dilakukan karena untuk mengukur sejauh

mana keberhasilan dalam proses pembelajaran tersebut.

Pendidikan karakter menanamkan nilai-nilai yang sangat sinkron

dengan pendidikan agama islam dan secara tidak langsung maka untuk

proses evaluasinya bisa digunakan evaluasi dalam wacana pendidikan Islam.

Term atau istilah evaluasi dalam wacana pendidikan Islam tidak diperoleh

padanan katanya yang pasti, tetapi terdapat term atau istilah-istilah tertentu

yang mengarah pada makna evaluasi.7 Term-term tersebut adalah:

6 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi ( Jakarta:

PT Kompas Media Nusantara, 2002 ),hal. 187-186. 7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,( Jakarta: Kalam Mulia, 2004),hal. 198.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 10: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

156

1) Al-Hisab, memiliki makna mengitung, menafsirkan dan mengira. Hal ini

dapat dilihat dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah, 2 : 284.Begitu

pula dalam QS. Al-Ghasyiyah (88) Ayat 26.

2) Al-Bala’ , memiliki makna cobaan dan ujian. Terdapat dalam firman

Allah SWT(QS. Al-Mulk, 67: 2).

3) Al-Hukm, memiliki makna putusan atau vonis.Misalnya dalam firman

Allah SWT, ( Q.S An-Naml: 78 )

4) Al-Qadha, memiliki arti putusan. Misalnya dalam firman Allah SWT(

Q.S Thaha: 72)

5) Al-Nazhr, memiliki arti melihat. Misalnya dalam firman Allah SWT Q.S

Al-Naml: 27)

6) Al-Imtihan, berarti ujian yang juga berasal dari kata mihnah. Bahkan

dalam Alquran terdapat surat yang menyatakan wanita-wanita yang diuji

dengan menggunakan kata imtihan, yaitu surat al-Mumtahanah. Firman

Allah Swt. yang berkaitan dengan kata imtihan ini terdapat pada surat al-

Mumtahanah (60) ayat 10.

7) Al-ikhtibar, memiliki makna ujian atau cobaan/al-bala’. Orang Arab

sering menggunakan kata ujian atau bala’ dengan sebutan ikhtibar.

Bahkan di lembaga pendidikan bahasa Arab menggunakan istilah

evaluasi dengan istilah ikhtibar.

Beberapa term tersebut di atas dapat dijadikan petunjuk arti evaluasi

secara langsung atau hanya sekedar alat atau proses di dalam evaluasi. Hal

ini didasarkan asumsi bahwa Alquran dan Hadis merupakan asas maupun

prinsip pendidikan Islam, sementara untuk operasionalnya tergantung pada

ijtihad umat. Term evaluasi pada taraf berikutnya lebih diorientasikan pada

makna “penafsiran atau memberi putusan terhadap pendidikan”. Setiap

tindakan pendidikan didasarkan atas rencana, tujuan, bahan, alat dan

lingkungan pendidikan tertentu. Berdasarkan komponen ini, maka peran

penilaian dibutuhkan guna mengetahui sejauh mana keberhasilan pendidikan

tercapai. Dari pengertian ini, proses pelaksanaan penilaian lebih ditekankan

pada akhir tindakan pendidikan. Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan

untuk menetapkan keputusan-keputusan pendidikan, baik yang menyangkut

perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan, baik yang

menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Dalam konteks

ini, penilaian dalam pendidikan Islam bertujuan agar keputusan-keputusan

yang berkaitan dengan pendidikan Islam benar-benar sesuai dengan niai-

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 11: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

157

nilai Islami sehingga tujuan pendidikan Islam yang dicanangkan dapat

tercapai secara maksimal.8

Selanjutnya jenis evaluasi dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Jenis evaluasi berdasarkan tujuan dibedakan atas lima jenis evaluasi,

yaitu:

a. Evaluasi diagnostik, adalah evaluasi yang di tujukan untuk menelaah

kelemahan-kelemahan siswa beserta faktor-faktor penyebabnya.

b. Evaluasi selektif adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk

memilih siwa yang paling tepat sesuai dengan kriteria program

kegiatan tertentu.

c. Evaluasi penempatan adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk

menempatkan siswa dalam program pendidikan tertentu yang sesuai

dengan karakteristik siswa.

d. Evaluasi formatif adalah adalah evaluasi yang dilaksanakan untuk

memperbaiki dan meningkatkan proses belajar dan mengajar.

Sebagaiman dikemukakan oleh Frederich G. Knikr, “ formative

evaluation looks at the process of Learning and teaching while the

instruction disain is being develop and materials produced”.

e. Evaluasi sumatif adalah adalah evaluasi yang dilakukan untuk

menentukan hasil dan kemajuan belajar siswa. Penilaian ini

dilaksanakan terhadap program/ desain yang telah diimplementasikan.

2) Jenis evaluasi berdasarkan sasaran

a. Evaluasi konteks yang ditujukan untuk mengukur konteks program

baik mengenai rasional tujuan, latar belakang program, maupun

kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam perencanaan

b. Evaluasi input, evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui input baik

sumber daya maupun strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.

c. Evaluasi proses, evaluasi yang ditujukan untuk melihat proses

pelaksanaan, baik mengenai kalancaran proses, kesesuaian dengan

rencana, faktor pendukung dan faktor hambatan yang muncul dalam

proses pelaksanaan, dan sejenisnya.

d. Evaluasi hasil atau produk, evaluasi yang diarahkan untuk melihat

hasil program yang dicapai sebagai dasar untuk menentukan keputusan

akhir, diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan atau dihentikan

8 Ngalim Purwanto. Evaluasi Pengajaran.( Bandung: Remaja Karya, 1955),hal.12.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 12: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

158

e. Evaluasi outcome atau lulusan, evaluasi yang diarahkan untuk melihat

hasil belajar siswa lebih lanjut, yakni evaluasi lulusan setelah terjun ke

masyarakat.

3) Jenis evalusi berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran:

a. Evaluasi program pembelajaran, yang mencakup terhadap tujuan

pembelajaran, isi program pembelajaran, strategi belajar mengajar,

aspek-aspek program pembelajaran yang lain.

b. Evaluasi proses pembelajaran, yang mencakup kesesuaian antara

peoses pembelajaran dengan garis-garis besar program pembelajaran

yang di tetapkan, kemampuan guru dalam melaksanakan proses

pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti proses

pembelajaran.

c. Evaluasi hasil pembelajaran, mencakup tingkat penguasaan

b) siswa terhadap tujuan pembelajaran yang ditetapkan, baik umum

maupun khusus, ditinjau dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik.

4) Jenis evaluasi berdasarkan objek dan subjek evaluasi

Berdasarkan Objek antara lain:

a. Evaluasi input, evaluasi terhadap siswa mencakup kemampuan

kepribadian, sikap, keyakinan.

b. Evaluasi transformasi, evaluasi terhadap unsur-unsur transformasi

proses pembelajaran antara lain materi, media, metode dan lain-lain.

c. Evaluasi output, evaluasi terhadap lulusan yang mengacu pada

ketercapaian hasil pembelajaran.

Berdasarkan subjek :

a. Evaluasi internal, evaluasi yang dilakukan oleh orang dalam sekolah

sebagai evaluator, misalnya guru.

b. Evaluasi eksternal, evaluasi yang dilakukan oleh orang luar sekolah

sebagai evaluator, misalnya orangtua, masyarakat.

2. Tujuan dan Fungsi Evaluasi dalam Pendidikan karakter

Secara rasional filosofis, pendidikan Islam bertugas untuk membentuk al-

Insan al-Kamil atau manusia paripurna. Karena itu evaluasi pendidikan Islam,

hendaknya diarahkan pada dua dimensi, yaitu: dimensi dialektikal horizontal dan

dimensi ketundukan vertical.9 Tujuan evaluasi pendidikan adalah mengetahui

9 Abdul al-Aziz, dkk. Dalam Hasan Langgulung, Pendidikan dan peradaban Islam, al-Hasan. ( Jakarta:

Indonesia, 1985), 3

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 13: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

159

kadar pemahaman anak didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan

mengajak anak didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan.

Selain itu, program evaluasi bertujuan mengetahui siapa di antara peserta didik

yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat, kelas maupun tamat. Tujuan

evaluasi bukan anak didik saja, tetapi bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu

sejauh mana pendidik bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk

mencapai tujuan pendidikan Islam.Dalam pendidikan Islam, tujuan evaluasi

ditekankan pada penguasaan sikap, keterampilan dan pengetahuan-pemahaman

yang berorientasi pada pencapaian al-insan al-kamil.10

Penekanan ini bertujuan

untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang secara garis besar meliputi

empat hal, yaitu:

1) Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya

2) Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat

3) Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam

sekitar; dan

4) Sikap dan pandangan terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah SWT,

anggota masyarakat serta khalifah-Nya.

Dari keempat dasar tersebut di atas, dapat dijabarkan dalam beberapa

klasifikasi kemampuan teknis, yaitu:

a. Sejauh mana loyalitas dan pengabdiannya kepada Allah Swt. dengan

indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan keimanan

dan ketakwaan kepada Allah Swt.

b. Sejauh mana peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai agamanya dan

kegiatan hidup bermasyarakat, seperti akhlak yang mulia dan disiplin

c. Bagaimana peserta didik berusaha mengelola dan memelihara, serta

menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, apakah ia merusak ataukah

memberi makna bagi kehidupannya dan masyarakat dimana ia berada

d. Bagaimana dan sejauh mana ia memandang diri sendiri sebagai hamba Allah

Swt. dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang beraneka ragam

budaya, suku dan agama.

Secara filosofis fungsi evaluasi selain menilai dan mengukur juga

memotivasi serta memacu peserta didik agar lebih bersungguh-sungguh dan

sukses dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan Islam. Secara praktis

fungsi evaluasi adalah (a) secara psikologis, peserta didik perlu mengetahui

10 Omaar Mohammad al-Toumu M. Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Alih bahasa Dr. Hasan

Langgulung ( Jakarta: Cet. I, Bulan Bintang, 1979), hal.339

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 14: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

160

prestasi belajarnya, sehingga ia merasakan kepuasan dan ketenangan, (b)

secara sosiologis, untuk mengetahui apakah peserta didik sudah cukup

mampu untuk terjun ke masyarakat. Mampu dalam arti dapat berkomunikasi

dan beradaptasi dengan seluruh lapisan masyarakat dengan segala

karakteristiknya, (c) secara didaktis-metodis, evaluasi berfungsi untuk

membantu guru dalam menempatkan peserta didik pada kelompok tertentu

sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing, (d) untuk

mengetahui kedudukan peserta didik di antara teman-temannya, apakah ia

termasuk anak yang pandai, sedang atau kurang, (e) untuk mengetahui taraf

kesiapan peserta didik dalam menempuh program pendidikannya, (f) untuk

membantu guru dalam memberikan bimbingan dan seleksi, baik dalam rangka

menentukan jenis pendidikan, jurusan maupun kenaikan tingkat/kelas, (g)

secara administratif, evaluasi berfungsi untuk memberikan laporan tentang

kemajuan peserta didik kepada pemerintah, pimpinan/kepala sekolah,

guru/instruktur, termasuk peserta didik itu sendiri.11

Fungsi evaluasi pendidikan islam adalah sebagai umpan balik ( feed

back ) terhadap kegiatan pendidikan. Umpan balik ini berguna untuk:

1. Ishlah yaitu perbaikan terhadap semua komponen-komponen pendidikan,

termasuk perilaku, wawasan dan kebiasaan-kebiasaan.

2. Tazkiyah yaitu penyucian terhadap semua komponen-komponen

pendidikan.

3. Tajdid yaitu memodernisasi semua kegiatan pendidikan

4. Al-Dakhil yaitu masukan sebagai laporan bagi orang tua murid berupa

rapor, ijazah, piagam dan sebagainya.

3. Prinsip-prinsip Evaluasi dalam Pendidikan karakter

Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam evaluasi pendidikan

Islam, yaitu: prinsip kontinuitas, prinsip menyeluruh, prinsip obyektivitas, dan

prinsip mengacu pada tujuan.

1) Prinsip Kesinambungan (kontinuitas)

Bila aktivitas pendidikan Islam dipandang sebagai suatu proses untuk

mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka evaluasi pendidikannya pun harus

dilakukan secara kontinu. Prinsip ini selaras dengan istiqamah dalam Islam,

yaitu setiap umat Islam hendaknya tetap tegak beriman kepada Allah Swt.,

11 Suharsimi Arikunto. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hal. 10.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 15: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

161

yang diwujudkan dengan senantiasa mempelajari Islam, mengamalkannya,

serta tetap membela tegaknya agama Islam, sungguhpun terdapat berbagai

tantangan yang senantiasa dihadapinya.

Dalam ajaran Islam, sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena

dengan berpegang pada prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang

menjadi valid dan stabil, sebagaimana diisyaratkan Alquran dalam Surah Al-

Ahqaf (46) Ayat 13-14.

2) Prinsip Menyeluruh (komprehensif)

Prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian, ketajaman

hafalan, pemahaman ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggung jawab

dan sebagainya, sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran Surat Al-Zalzalah

(99) Ayat 7-8.

3) Prinsip objektivitas.

Objektif dalam arti bahwa evaluasi itu dilaksanakan dengan sebaik-

baiknya, berdasarkan fakta dan data yang ada tanpa dipengaruhi oleh unsur-

unsur subjektivitas dari evaluator. Allah SWT. memerintahkan agar

seseorang berlaku adil dalam mengevaluasi. Jangan karena kebencian

menjadikan ketidakobjektifan evaluasi yang dilakukan (QS. Al-Maidah, 5:

8), Prinsip ini hanya dapat ditetapkan bila penyelenggara pendidikan

mempunyai sifat siddiq, jujur, ikhlas, ta’awun, ramah, dan lainnya.

4) Prinsip mengacu kepada tujuan.

Setiap aktivitas manusia sudah pasti mempunyai tujuan tertentu,

karena aktivitas yang tidak mempunyai tujuan berarti merupakan atau

pekerjaan sia-sia.

4. Sistem Evaluasi dalam Pendidikan karakter

Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam mengacu pada sistem evaluasi

yang digariskan oleh Allah SWT, dalam Alquran dan dijabarkan dalam Sunah,

yang dilakukan Rasulullah SAW dalam proses pembinaan risalah Islamiyah.

Secara umum sistem evaluasi pendidikan Islam sebagai berikut:

1) Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai

macam problema kehidupan yang dihadapi (QS. Al-Baqarah, 2: 155).

2) Untuk mengetahui sejauhmana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu

yang telah diaplikasikan Rasulullah SAW. kepada umatnya (QS. Al-Naml,

27: 40).

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 16: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

162

3) Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan

seseorang, seperti pengevaluasian Allah SWT. terhadap nabi Ibrahim as.

yang menyembelih Ismail as. putra yang dicintainya (QS. Al-Shaaffat, 37:

103-107).

4) Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dan pelajaran yang telah

diberikan kepadanya, seperti pengevaluasian terhadap nabi Adam as. tentang

asma` yang diajarkan Allah SWT. kepadanya di hadapan para malaikat (QS.

Al-Baqarah, 2: 31).

5) Memberikan semacam tabsyir (berita gembira) bagi yang beraktivitas baik,

dan memberikan semacam ‘iqab (siksa) bagi mereka yang beraktivitas buruk

(QS. Al-Zalzalah, 99: 7-8).

6) Allah SWT. dalam mengevaluasi hamba-Nya, tanpa memandang formalitas

(penampilan), tetapi memandang subtansi di balik tindakan hamba-hamba

tersebut (QS. Al Hajj, 22: 37).

7) Allah SWT. memerintahkan agar berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu,

jangan karena kebencian menjadikan ketidakobjektifan evaluasi yang

dilakukan (QS. Al-Maidah, 5: 8).

5. Sasaran Evaluasi dalam Pendidikan karakter

Langkah yang harus ditempuh seorang pendidik dalam mengevaluasi

adalah menetapkan apa yang menjadi sasaran evaluasi tersebut. Sasaran evaluasi

sangat penting untuk diketahui supaya memudahkan pendidik dalam menyusun

alat-alat evaluasinya. Pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi, yaitu: 12

1) Segi tingkah laku, artinya segi-segi yang menyangkut sikap, minat,

perhatian, keterampilan peserta didik sebagai akibat dari proses belajar

mengajar

2) Segi pengetahuan, artinya penguasaan pelajaran yang diberikan oleh guru

dalam proses belajar mengajar

3) Segi yang menyangkut proses belajar mengajar yaitu bahwa proses belajar

mengajar perlu diberi penilaian secara obyektif dari guru. Sebab baik

tidaknya proses belajar mengajar akan menentukan baik tidaknya hasil

belajar yang dicapai oleh peserta didik.

C. Kesimpulan

12 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan anak didik dalam interaksi edukatif Suatu Pendekatan Teoritis

Psikologis. ( Jakarta: PT rieneka Cipta, 2005), hal.248

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 17: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

163

Evaluasi dalam pendidikan karakter adalah penilaian untuk mengetahui

proses pendidikan dan komponen-komponennya dengan instrumen yang terukur

dan berlandaskan ketercapaian karakter yang diinginkan.Tujuan evaluasi

pendidikan adalah mengetahui kadar pemahaman anak didik terhadap materi

pelajaran, melatih keberanian dan mengajak anak didik untuk mengingat kembali

materi yang telah diberikan. Program evaluasi bertujuan mengetahui siapa di

antara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat, kelas

maupun tamat. Tujuan evaluasi bukan anak didik saja, tetapi bertujuan

mengevaluasi pendidik, yaitu sejauh mana pendidik bersungguh-sungguh dalam

menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Ada beberapa

prinsip yang harus diperhatikan dalam evaluasi pendidikan Islam, yaitu: prinsip

kontinuitas, prinsip menyeluruh, prinsip obyektivitas, dan prinsip mengacu pada

tujuan. Dalam implementasi evaluasi dalam pendidikan karakter memang tidak

semudah membalik tangan, namun itu semua adalah tantangan bagi dunia

pendidikan sekarang dan masa mendatang. Jika dalam pembelajaran guru belum

mampu mengevaluasi siswa dalam evaluasi pendidikan karakter maka harus ada

korelasi positif dengan lingkungan sekitar misal keluarga dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi Arikunto. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT

Bumi Aksara, 2003.

Al-Aziz, Abdul dkk. Dalam Hasan Langgulung, Pendidikan dan peradaban

Islam, al-Hasan. Jakarta: Indonesia, 1985.

Azra, Azyumardi. Catatan tentang Evaluasi atas arah pendidikan serta

fungsionalisasi Pemikiran Pendidikan di Indonesia. Makalah pada Diskusi

Ahli ” Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”. Jakarta:

Yayasan Fase Baru Indonesia, 25 0ktober 1999.

-----------, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan

Demokratisasi . Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 18: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

164

Jamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak didik dalam interaksi edukatif- Suatu

Pendekatan Teoretis Psikologis. Jakarta: PT Rieneka Cipta, 2005.

Purwanto,Ngalin. Evaluasi Pengajaran.Bandung: Remaja Karya, 1955.

Ramayulis, Teknik Evaluasi Pendidikan agama Islam di Madrasah, Makalah,

Fak. Tarbiyah IAIN Batusangkar,1996.

-----------, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2004.

Soeharto, Karti. Teknologi Pembelajaran, Pendekatan sistem, konsepsi dan

model, SAP, evaluasi, sumber belajar dan Media. Surabaya : SIC

advertising, 2003.

Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wand Edwin and General W. Brown, Essential of educational Evaluation. New

York: 1979, vol 27.

Syaibany, Omaar Mohammad al-Toumu M. Falsafah Pendidikan Islam, Alih

bahasa Dr. Hasan Langgulung, Jakarta: Cet. I, Bulan Bintang, 1979.

Samani, M. & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter.Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya. 2011

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 19: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

165

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TRADISI LOKAL

Bani Sudardi 1

Abstract

Local traditions contain character educations for their owner. Every people has

specific in character education. Cheater education has to uncover from culture

elements; language, literature works, customs, and so on. In this era we see our

nation take away their character educations that they have get them for centuries

to take care of their identities. The put foreign culture (pop, trend), but in the

next time it show us many problems have to be solved.

Keywords: Pendidikan karakter, tradisi lokal, identitas

A. Pendahuluan

Apa yang kita rasakan, apa yang terjadi, apa yang menjadi impian kita di

masa depan, tidaklah lepas dari masa lampau. Manusia hadir sebagai akumulasi

sejarah kebudayaan yang tidak pernah berhenti pada titik nol. Kebudayaan

manusia selalu bergulir, mengalir, menuju suatu tatanan-tatanan baru dan setiap

kali tatatan itu mencapai stabilitas, maka itu bermakna akan adanya tatanan baru

yang akan menggeser di waktu kemudian.

Kebudayaan manusia harus selalu siap untuk diuji, direvisi, diganti

sehingga melahirkan wujud baru sebagai hasil dari transformasi. Di dalam proses

perubahan kebudayaan unsur-unsur lama akan selalu ada bagian yang resisten.

Bagian yang resisten tersebut merupakan bagian yang sudah “mendarah daging

dalam kebudayaan”.

Sebagai ilustrasi, kalau kita mengkaji peta sejarah kebudayaan Jawa,

maka akan tampak bahwa di dalam setiap kurun sejarah akan selalu saja ada

unsur-unsur resisten yang berterima, meskipun hadir dalam kondisi yang baru,

meskipun unsur tersebut seringkali merupakan sesuatu yang kontradiktif.

Hal ini bisa kita lacak dari sejarah, misalnya munculnya Majapahit tetap

menonjolkan sisa-sisa Singasari. Raja Majapahit, Raden Wijaya, tidak lain

adalah pembawa bendera Singasari. Ketika Majapahit runtuh dan muncul

1 Bani Sudardi, FSSR Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 20: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

166

kerajaan Demak, maka penguasa Demak yang didukung oleh para wali tidak lain

adalah ”putra Majapahit”. Konon Raden Patah adalah putra Raja Majapahit.

Dalam bangunan, Masjid Demak pun masih mengadopsi arsitektur Majapahit

dengan masjid atap tumpang. Konon, menurut cerita rakyat, Kraton Majapahit

pun diboyong ke Demak dan dipasang di depan Masjid Demak dan satu umpak

saka tertinggal di Grobogan yang kemudian disebut sebagai watu bobot.

Hal lain yang menunjukan resistensi unsur Hindu di masa Islam adalah

bangunan menara di Masjid Kudus. Menara tersebut sama bentuknya dengan

bangunan Hindu Bali dewasa ini. Dalam hal tingkah laku, masyarakat Kudus

sampai saat ini (sebagian) masih pantang menyembelih sapi, bahkan untuk

korban Idul Adha sekalipun dan menggantinya dengan kerbau. Padahal sapi

adalah binatang yang dihalalkan dalam Islam dan menjadi salah satu nama surat,

yakni Surat Al-Baqarah (Sapi Betina).

Ilustrasi yang disampaikan di atas mengandung suatu pesan-pesan

tersirat dan tersurat bahwa manusia hidup ini di dalam ”keberlanjutan”.

Eksistensi kita ada tidak berawal dari Suwung atau kosong, tetapi kita hadir

dalam keadaan sudah memiliki Sangu (bekal) yang diberikan pendahulu-

pendahulu kita. Sangu tersebut adalah suatu hasil pergumulan yang dahsyat

sepanjang masa yang boleh jadi merupakan suatu kearifan yang sudah teruji.

Salah satu wujud Sangu adalah hal-hal yang tertuang dalam bahasa dan bahasa

itu sendiri. Di unsur-unsur budaya tersebut ada suatu pendidikan karakter yang

akan diuraikan berikut ini.

B. Bahasa

Bahasa adalah karunia yang diberikan kepada manusia yang memiliki

peran yang luar biasa dalam perkembangan kebudayaan. Boleh jadi, bahasa

inilah yang secara naluri membedakan manusia dari jenis mamalia. Bahasa inilah

yang boleh jadi yang merupakan pembeda antara hewan dan manusia. Kenapa?

Secara fisik, manusia dengan hewan tidaklah jauh berbeda, bahkan dengan

beberapa jenis simpanse, manusia memiliki kedekatan struktur. Namun, di muka

bumi hanyalah manusia yang secara kodrati memiliki bahasa. Hewan di

manapun berada tidak mengembangkan bahasa, tetapi jenis manusia di manapun

berada ternyata memiliki kemampuan bahasa, meskipun manusia tersebut

terisolir dari kebudayaan luar.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 21: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

167

Dengan bahasa manusia mampu berkomunikasi, menyimpan informasi,

mengekspresikan diri, memprediksi masa depan, atau dengan kata lain bisa

menciptakan ”manajemen kehidupan” yang lebih teratur. Kalau saya boleh sebut,

bahasa inilah Sangu/ bekal manusia dalam berbudaya. Bahasa mengekspresikan

gagasan-gagasan yang dimiliki suatu bangsa sesuatu dengan gagasan-gagasan

berdasarkan pengalaman sejarah suatu bangsa. Lewat bahasa ini pendidikan

karakter paling utama disampaikan.

Pendidikan karakter tampak dalam makna kemerdekaan. Sebagai

ilustrasi, bagi bangsa yang belum pernah dijajah, bisa jadi kata merdeka tidak

memiliki makna yang demikian menggetarkan hati. Tetapi bagi bangsa yang

pernah dijajah, sebagaimana bangsa Indonesia, kata merdeka memiliki makna

yang sangat dalam yang mampu menggetarkan hati, menggerakkan tenaga, dan

mempersatukan bangsa. Pekikakan Bung Karna, Bung Tomo, yang berteriak

”Merdeka” akan disambut menggema penuh makna, bahkan sampai menitikan

air mata Namun, mungkin makna tersebut akan jauh berbeda nuansa batinnya

bagi generasi muda dewasa ini yang menyaksikan makna pekik merdeka hanya

dari buku sejarah atau cerita perjuangan.Meskipun demikian, makan tersebut

patut ditransformasikan kepada generasi muda untuk mewarisi nilai-nilai

perjuangan yang harus ditranformasikan menjadi merdeka secara ekonomi,

merdeka secara politik, merdeka secara sistem, merdeka secara teknologi,

merdeka informasi, merdeka kesehatan, merdeka kekayaan, merdeka pengelollan

hutan, migas, merdeka modal kita. Sudahkah kita betul-betul merdeka. Masihkah

kita perlu memekik merdeka? Di dalam bahasa ada suatu pendidikan karakter

yang luar biasa yang dapat dimanfaatkan untuk membangun karakter bangsa.

C. Mencari Identitas

Pendidikan karakter yang sangat penting ialah memahami identitas diri.

Salah satu ciri kehidupan manusia yang membedakan dengan binatang ialah

dalam hal rumah. Bagi binatang, rumah ini sering disebut sarang. Secara fisik,

rumah binatang relatif sama sepanjang masa. Seekor burung manyar akan

membuat rumahnya sama dengan rumah yan telah diciptakan induknya ketika

dia belum menetas dan itu dikerjakan tanpa ”kursus” hanya berdasar naluri yang

dibawanya.

Tapi bagi manusia, kemampuan naluriah seperti itu tampaknya justru

meluntur. Untuk membuat rumah manusia mewarisi kemampuan yang dipelajari.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 22: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

168

Manusia ternyata mampu mengimitasi berbagai bentuk rumah yang ia lihat dan

manusia mampu mengkreasi. Fungsi rumah tidak hanya sebagai sarang tetapi

telah berkembang ke tataran spiritual. Dalam budaya Jawa, sebutan rumah ada 3,

yaitu omah, dalem, dan griya. Omah berari tempat, daem bermakna sebagai

tempat berteduh, sedangkan griya dari kata ”giri raya”, gunung besar yang

bermakna bahwa rumah adalah kayangan, tempat dewa bersemayam yang

memiliki makna bahwa rumah adalah imitasi kediaman para dewa yang damai,

kecukupan, dan sejahtera2.

Uraian di atas hanya ingin menfokuskan bahwa bagi seseorang, identitas

pribadi atau sosial bukan lagi pada aspek lahiriah, tetapi sudah ke aspek spiritual,

sebagaimana memaknai rumah yang bukan lagi berhenti pada arti tinggal, tetapi

sudah masuk ke tataran metafisis bahwa rumah adalah ibarat tempat tinggal

Dewa Syiwa dan penghuninya mengidentifikasikan sebagai Dewa Syiwa itu

sendiri.

Mengenai pentingnya rumah sebagai pusat pendidikan karakter dan pusat

identitas ini, dalam tunttunan agama Islam disebutkan ”rumahku surgaku”.

Artinya, dalam pendidikan karakter suatu tempat mukim adalah hal yang prinsip.

Hal ini diungkapkan dalam bahasa Jawa ”ora kabur kanginan”, yang bermakna

ada kepastian mukim.

D. Melacak Identitas Spiritual

Identitas dalam pendidikan karakter tidak berhenti pada aspek mukim,

rumah, atau tempat tinggal. Namun, pemahaman aspek historis sangat penting.

Masalah ini saya sebut sebagai Melacak identitas. Identitas spiritual manusia

memang perlu dilacak. Pelacakan mau tidak mau memang dititikberatkan pada

karya-karya tertulis, di antaranya naskah klasik. Kenapa naskah klasik? Karena

naskah klasik memerlukan penanganan khusus untuk memahaminya. Naskah

klasik sering sudah tidak dikenal oleh masyarakatnya. Untuk membaca dan

mengkajinya perlu waktu bersuntuk-suntuk, sementara masyarakat pemiliknya

kadangkala sudah tidak memperhatikan lagi. Sebagai contoh, naskah klasik Jawa

yang jumlahnya ribuan eksemplar mungkin sudah tidak dikenal lagi generasi

muda Jawa dewasa ini, bahkan kemungkinan besar mayoritas generasi muda

2 Sulistyono, Bambang F. Arti Rumah Bagi Keluarga: Tinjauan

Arsitektural. Haluan Sastra Budaya No. 55 Tahun XXVII Nopember 2009,

hal, 1.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 23: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

169

Jawa tidak memahami dengan baik tulisan Jawa (ha na ca ra ka). Ironisnya,

seringkali orang-orang asing yang jauh dari negeri seberang yang lahir dari

kebudayaan yang amat berbeda merelakan hidupnya untuk mempelajari naskah-

naskah klasik kita, bahkan selanjutnya mereka menjadi guru-guru kita dalam

menggali khasanah budaya masa lampau. Di sini kita memerlukan suatu

renaisans budaya untuk menghargai karya-karya tertulis kita.

Pertanyaan yang mudah sekali muncul: Untuk apa naskah-naskah klasik

dipelajari? Mempelajari naskah klasik memiliki relevansi secara teoretis dan

praktis. Secara teoretis, naskah klasik menyimpan berbagai informasi yang

berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kandungan

informasi yang dibawanya seperti sastra, sejarah, pengobatan, adat istiadat,

agama, dan sebagainya3. Di naskah klasik juga tersedia bahan-bahan bagi tujuan

praktis seperti menyusun gambaran masa lampau untuk kepentingan persatuan,

mencari nilai-nilai luhur masa lalu, membangun kebudayaan, mencari inspirasi,

dan sebagainya.

Beberapa konsep yang sekarang kita kenal betul sebenarnya bersumber

dari teks-teks klasik seperti bhineka tunggal ika, Pancasila, nusantara, adigang-

adigung adiguna, tirakatan, dan sebagainya. Pengetahuan sejarah Indonesia

masa lampau juga kita peroleh dengan agak lengkap berkat naskah-naskah

klasik, misalnya tentang petualangan Ken Arok yang fantastis (Pararaton),

kebesaran Majapahit (Negarakrtagama), masuknya Islam ke Aceh (Hikayat

Raja-Raja Pasai), hubungan Jawa dan Kalimantan (Hikayat Banjar), ajaran

Hamzah Fansuri dan Seh Siti Jenar, dan lain-lain. Artinya, kekayaan tertulis

tersebut sangat berharga sebagai penyedia data bagi penyusunan strategi

kebudayaan.

E. Strategi Kebudayaan

Strategi kebudayaan adalah suatu usaha manusia untuk menemukan

jawaban-jawaban tepat dan sikap yang paling dapat dipertanggungjawabkan

mengenai pertanyaan-pertanyaan besar yang berkaitan dengan kelangsungan

hidup manusia4. Strategi kebudayaan bersifat abstrak yang menjiwai berbagai

3 Soeratna, Siti Chamamah. Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan Transformasi

Produk Budaya. Pidato Pembukaan Kuliah 3 September 2003. Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada 4 Peursen, C.A. van.. Strategi Kebudayaan. (Yogyakarta: Yayasan Kanisus. 1976),

hlm. 19.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 24: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

170

aktivitas keseharian. Strategi kebudayaan merupakan suatuh hal yang dinamis

seiring tantangan-tantangan budaya yang muncul di masyarakat.

Strategi kebudayaan tampak dalam berbagai bentuk hasil budaya. Cerita

kancil di Jawa adalah suatu bentuk pendidikan karakter. Tokoh yang dikenal

suka menipu lawan-lawannnya adalah cerminan strategi budaya masyarakat

Jawa. Cerita tersebut merupakan bentuk sikap budaya orang Jawa yang tidak

suka open conflict. Cerita ini berbeda dengan cerita kancil Melayu berjudul

Hikayat Pelanduk Jenaka yang di dalamnya kancil tampak dinamis, bahkan

bergelar Syah Alim Dirimba yang berhasil merajai hewan-hewan di belantara5.

Cerita kancil mengandung aspek pendidikan karakte ryang kental. Cerita

kancil yang suka menipu merefleksikan strategi kebudayaan orang Jawa yang

tidak suka konflik terbuka dan tidak berterus terang. Di dalam budaya Jawa,

menipu memiliki tingkat-tingkat hirarkis.

a. Menipu yang mulia yang disebur dora sembada (menipu untuk membela

kebaikan dan kebenaran).

b. Menipu yang dianggap biasa dan dapat membawa keberuntungan yang

dikenal goroh nguripi. Perbuatan ini adalah perbuatan pedagang dalam

membujuk pembelinya yang juga sering menggunakan kata-kata tipuan.

c. Menipu untuk menjaga kesopanan yang dikenal ulas-ulas. Misalnya

sebenarnya lapar, tetapi menyatakan kenyang, menyatakan nggih (ya), tetapi

sebenarnya tidak, dan sebagainya

d. Menipu yang tidak merugikan orang lain, tetapi tidak disenangi. Contoh

tindakan ini ialah umuk, yaitu menceritakan sesuatu yang tidak sesuai

dengan kenyataan. Umuk merupakan refleksi untuk menutupi kekurangan

pribadi seperti tercermin dalam ungkapan ”timbang mati ngantuk luwung

mati umuk” (daripada mati mengantuk lebih baik mati sombong”.

e. Menipu yang merugikan orang lain yang disebut apus-apus atau apus krama.

Tindakan ini adalah tindakan menipu yang menurut budaya Jawa dianggap

perbuatan yang tidak dapat dimaafkan.

Demikian contoh kecil pendidikan karakter melalui strategi kebudayaan

yang diambil dari budaya Jawa. Bagi orang yang belum memahami budaya

Jawa, perbuatan ”menipu” seperti itu mungkin dianggap perbuatan yang sangat

5 Dipodjojo, Asdi S. Sang Kancil: Tokoh Tjerita Binatang Indonesia. (Djakarta: Gunung

Agung.,1966)

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 25: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

171

menjengkelkan, tetapi bagi orang Jawa dianggap sesuatu yang biasa, wajar,

bahkan termasuk kesopanan.

Sementara itu, pelanduk (kancil Melayu) yang bergelar Syah Alim

Dirimba tidak lain merupakan refleksi strategi budaya Melayu yang condong ke

falsafah Islam seperti tercermindalam pepatah ”adat bersendikan syarak, syarak

bersendikan kitabullah”. Artinya, adat Melayu berdasarkan pada syariat Islam,

sementara syariat bersandar pada Al-Qur’an (Kitabullah). Karena itu, pelanduk

Melayu fasih pula mensitir ayat-ayat Al-Qur’an. Kearifan-kearifan tersebut perlu

digali dan dikaji. Bentuk kajian yang mula-mula memang harus dilacak dari

dunia tulis menulis yang terdapat di dalam tradisi Indonesia.

F. Menggali Nilai-nilai Karakter Bangsa dalam Budaya Lokal

Perkembangan budaya Indonesia dewasa ini tidaklah menggembirakan.

Kita melihat bahwa wakil-wakil rakyat kita sering tidaklah santun dalam

bersikap, tidaklah hormat dalam berbicara, nilai-nilai etika yang luhur dalam

budaya seolah-olah Sebagai ilustrasi, majelis kekuasaan tertinggi bangsa

Indonesia adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Sesuai namanya,

unsur musyawarah hendaknya menjadi semangat. Hal ini sesuai dengan

semangat luhur bangsa kita seperti dalam pepatah ” bulat air di pembuluh, bulat

kata di mufakat”. Untuk bisa mencapai mufakat, harus terbentuk internalisasi

diri atau pengendapan rohaniah seperti terungkap dalam pepatah Jawa ”bisa

rumangsa, ora rumangsa bisa” (mampu berintstropeksi dan tidak menonjolkan

diri”. Capaian mufakat merupakan sesuatu yang sangat bernilai daripada model

voting, misalnya, karena mufakat lebih terasa ”nguwongke” (menghargai) dan

sangat sesuai dengan prinsip ”kemanusiaan yang adil dan beradap”.

Kemampuan mencapai mufakat merupakan cerminan dari ”kelonggaran hati dan

kebesaran jiwa”. Orang yang berpikiran picik dan mementingkan diri sendiri

tentu tidak akan mampu membangun esensi kemufakatan, yaitu terbentuknya

harmoni baru yang menyejukan. Salahkah kalau nilai ini kita terapkan? Kenapa

kita mencaci maki saudara-saudar kita sendiri di depan publik demi suatu

popularitas?

Krisis yang saat ini juga dihadapi bangsa Indonesia adalah krisis

kepemimpinan. Yang menjadi pusat perhatian kita hanyalah pada bagaimana

”memilih pemimpin” dan tidak menyinggung ”pemimpin yang bagaimana yang

dipilih”. Karya-karya agung bangsa kita memberikan konsep pemimpin yang

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 26: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

172

seharusnya ”hambeg adil paramarta, bérbudi bawalekasana, bau denda

nyakrawati” yang adil, murah hati, penyayang, taat menjalankan aturan, dan

mampu menyelesaikan masalah”. Karena itu, gelaran raja Jawa adalah ”senapati

ing alaga, amirul mukminin, kalifatuloh, sayidin panatagama” (panglima dalam

peperangan. pimpinan orang beriman, penguasa kerajaan, pemimpin

keagamaan”. Sementara itu, Sejarah Melayu menyatakan bahwa pemimpin

adalah zilzullah fil alam (bayangan Allah di dunia). Sejarah Melayu

menggambarkan bahwa seorang pemimpin hendaknya berkasih sayang dengan

bawahannya. Sekali pemimpin berbuat aniaya pada bawahannya, maka itu

sebagai tanda awal kehancurannya.

Danang Sutawijaya adalah seorang hamba Sultan Pajang. Karena

kecerdasan otak dan kehalusan budinya, ia diangkat menjadi anak angkat Sultan

Pajang. Babad Tanah Jawi menggambarkan kegigihan Danang Sutawijaya yang

masih anak-anak dengan gagah berani melawan Harya Penangsang yang sakti.

Dengan cara tersebut Danang Sutawijaya berhasil memenangkan sayembara

memperoleh Alas Mentaok (Hutan Mentaok) yang angker kemudian bergelar

Panembahan Senopati. Dengan sabar ia membangun hutan menjadi perdikan dan

dengan sabar ia membangun hubungan baik dengan penguasa di sekitarnya

sehingga banyak penguasa takluk bukan karena perang, ”hamung kayungyun

marganing kautaman” (tertarik kebaikannya).

Kisah tersebut merupakan gambaran yang patut dicontoh bahwa dalam

mencapai cita-cita kesabaran memang perlu. Panembahan Senapati membangun

Mataram dengan penuh kesabaran, tetapi pada saat-saat diperlukan ia mampu

bertindak gesit yang digambarkan sebagai ”cukat trengginas kadya srikatan

nyamber walang”.

Kalau sementara ini dikatakan bahwa Panembahan Senapati mengawini

Ratu Kidul bahwa yang patut dicatat adalah kronologi kisah yang disebutkan

bahwa Ratu Kidul merasa kalah wibawa dengan Panembahan Senapati lalu Ratu

Kidul mengabdi kepadanya. Serat Wedhatama menyebutkan ”pamrihe mung

ameminta, supangate teki teki, nora ketang teken janggut suku jaja” (maksudnya

hanya meminta, manfaat laku prihatin, meskipun dengan susah payah).

G. Penutup

Di zaman ini seringkali kita menyaksikan bangsa kita membuang

pendidikan karakter miliknya yang sudah berabad-abad terbukti mampu

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 27: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

173

mempertahankan jati dirnya dan mengambil hal-hal dari luar yang baru, yang

pop, ngetrend, namun dalam aplikasi ternyata lebih banyak menimbulkan

masalah.

Saat ini adalah saat kita harus menghargai budaya kita sendiri untuk

membentuk karakter manusia Indonesia. Saat kita membangkitkan budaya kita

yang tertidur untuk membangun masa depan kita yang lebih cemerlang dan

berjati diri. Ilmu dan teknologi boleh kita kuasai, tetapi jati diri harus tetap kita

pertahankan dengan aneka kekayaan budaya yang bernilai.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:

Balai Pustaka Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Terjemahan S. Gunawan. Jakarta: Bhratara. Casparis, J.D. 1975. De. Indonesia Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the

Beginnings to C. A.D. 1500 . Leiden: E.J. Brill. Dipodjojo, Asdi S. 1966. Sang Kancil: Tokoh Tjerita Binatang Indonesia.

Djakarta: Gunung Agung. Hussein, Ismail. 1974. The Study of Traditional Malay Literature with A Selected

Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian

Pelajaran Malaysia. Jusuf, Jumsari. 1984. Aspek Humor dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 28: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

174

Khadiz, Antar Venus. 2003. “Jepang dalam Percaturan Bisnis Global: Suatu

Pendekatan Komunikasi Antar Budaya”. dalam Deddy Mulyana dkk.

Komuniasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Peursen, C.A. van. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisus. Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar : A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus

Nijhoff. Reynolds, L.D. dan N.G. Wilson . 1974. Scribes and Scholars : A Guide to the

Transmission of Greek and Latin Literature. London: Oxford University Press. Situmorang, T.D. dan Teeuw, A. 1952. Sedjarah Melaju. Jakarta: Penerbit

Djambatan. Soeratna, Siti Chamamah. 2003. Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan

Transformasi Produk Budaya. Pidato Pembukaan Kuliah 3 September

2003. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Sudardi, Bani. 2003. Penggarapan Naskah. Surakarta: BPSI.

Sulistyono, Bambang F. Arti Rumah Bagi Keluarga: Tinjauan Arsitektural.

Haluan Sastra Budaya No. 55 Tahun XXVII Nopember 2009. Weddha Tama Jinarwa. Surakarta: Cendrawasih.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 29: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

175

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI WAHANA

PEMBENTUKAN KARAKTER

Ida Zahara Adibah1

[email protected]

Abstrak

Multikulturalisme di PT UNDARIS tidak hanya sebatas pada ragam budaya,

melainkan ragam pada berbagai aspek terutama berkaitan dengan pendidikan

yang dikembangkan oleh dosen agama sebagai pendidik di perguruan tinggi.

Multikulturalisme secara praktis yang dimaksud adalah kemampuan dosen

maupun mahasiswa dalam mengadaptasikan dirinya pada lingkungan yang

didalamnya terdapat berbagai ragam budaya, daerah dan agama. Unsur

terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, yang didalamnya

terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan

pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang

akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi

prilakunya. Kesadaran adanya perbedaan keyakinan semakin lama dipahami

sebagai suatu keniscayaan, apalagi didorong oleh kondisi bahwa perbedaan itu

menjadi sebuah keindahan yang di sadari oleh dosen dan sivitas UNDARIS.

Komitmen untuk memiliki kemampuan menangkap perbedaan adalah salah satu

wahana pembentukan karakter.

Kata Kunci: Multikulturalisme, Karakter ,Dialog, Pendidikan Agama Islam,

A. Pendahuluan

Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sangat majemuk.

Kemajemukan bangsa Indonesia secara umum dapat dilihat dari sudut horisontal

seperti terdiri dari beragam suku dan ras, yang mumpunyai budaya, bahasa, nilai

dan agama atau keyakinan berbeda-beda. Sementara dari sudut vertikal,

kemajemukan bangsa indonesia dapat di amati dari tingkat perbedaan

pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.2

1 Ida Zahara Adibah, Universitas Darul Ulum Islamic Centre (Undaris) Semarang

2 Usman Pelly dan Asih Menanti, Teori-teori Sosial Budaya. (Jakarta: Dirjen Dikti

Depdikbud, 1994), hlm. 68.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 30: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

176

Karena faktor kemajemukan itulah sering terjadi tragedi sosial dan konflik antara

kelompok masyarakat yang mengobarkan sentimen primordialisme identitas

lokal masing-masing. Konflik antar etnis seperti tragedi kemanusiaan di Sambas,

Sampit, konflik antar agama seperti di Maluku, Poso dan Ambon, lepasnya

Timor-Timur, dan gejolak sosial yang tiada henti di Aceh dan Papua menjadi

betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikulturalisme dinegara kita.

Salah satu persoalan yang cukup mendasar dalam sikap keberagamaan

adalah menghilangkan isu perbedaan yang berakibat pada munculnya sebuah

konflik. Hal ini di karenakan ketika keberagamaan diupayakan untuk

dipersatukan bukanlah kedamaian yang dijadikan tujuan akhir, melainkan

munculnya masalah baru, hal ini disebabkan oleh adanya persepsi yang dijadikan

landasan berfikir tidak ”ketemu”. Sebagai contoh adalah menghilangkan

perbedaan dalam keberagamaan dan upaya “menyatukan agama melalui faham

pluralisme”. Dalam pandangan MUI, pluralisme adalah haram hukumnya karena

mengajarkan semua agama adalah sama dan setiap pemeluk agama tidak boleh

mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedang agama yang lain

salah, hal ini memunculkan konsekwensi, bahwa kebenaran agama menjadi

relatif.3

Pemahaman dan penafsiran terhadap agama yang bersifat eksklusif

cenderung akan memunculkan klaim kebenaran tunggal. Klaim demikian itu

pada akhirnya memunculkan sikap tidak mengakui suatu kebenaran yang ada

pada budaya dan agama lain. Padahal pada masyarakat yang multikultural, yang

diperlukan adalah sikap adanya pengakuan dan penghargaan dalam merespons

keberagamaan. Pada sisi yang lain juga sering terjadi klaim kebenaran pada

sebuah ajaran dalam satu agama. Klaim kebenaran ini sering memunculkan

polemik pada tataran ulama maupun agamawan dan memicu perpecahan pada

tataran akar rumput yang sebenarnya hanya “mengamini” apa yang telah menjadi

fatwa dari yang ditokohkan.

Kita harus sadar, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian

jati diri bangsa Indonesia sangat penting, bahkan sangat mutlak dan mendesak

adanya. Hal ini cukup beralasan. Mengapa mutlak diperlukan ? karena adanya

krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini

3 Rofiq, Ahmad, Regulasi Konflik Agama Dalam Semangat Multikulturalisme, Makalah

Seminar yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang,

Tanggal 1 September 2005.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 31: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

177

belum ada solusi secara tegas dan jelas, lebih banyak berupa wacana yang

seolah-olah bangsa ini diajak dalam dunia mimpi.

Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan nasional

pada saat yang sama, tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan peran

pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas pada

transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan agama di Indonesia memikul

beban yang lebih berat. Pendidikan agama bukan hanya merupakan sarana

transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi sebagai pembudayaan yang

tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan

watak (nation and character building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi

nation building atau dalam bahasa lebih populer menuju rekonstruksi negara dan

bangsa yang lebih maju dan beradab.

UNDARIS adalah sebuah Perguruan Tinggi Swasta yang terletak di

Kabupaten Semarang Jawa Tengah Kabupaten Semarang adalah sebuah Wilayah

yang mayoritas beragama Islam, juga mayoritas dalam sebuah kultur budaya,

yaitu Islam Jawa. Sehingga tradisi Slametan, Tahlilan, Kenduren masih suka

dilaksanakan. Pada masyarakat pedesaan Mayoritas menggunakan bendera NU

sebagai organisasi dan faham keagamaanya. Sedangkan masyarakat yang hidup

di perkotaan cenderung beragam, ada yang berfaham Muhammadiyah, PKS ,

Hisbut Tahrir dan Abangan. Tetapi ada persoalan yang mengganjal, Sebagai

perguruan tinggi Undaris mempunyai peran yang strategis dalam mencetak

lulusan yang mempunyai kesadaran multikultur. Mahasiswa sebagai agen of

change yang di lahirkan dari perguruan tinggi harus memiliki karakter yang

bisa membawa bangsa Indonesia keluar dari konflik berkepanjangan. Persoalan

Pemilihan Kepala Daerah sering kali menggunakan cara-cara yang tidak

berakhlakul karimah. Agama seringkali digunakan oleh tokoh-tokoh agama

maupun pimpinan partai politik untuk di jadikan benturan dan tameng untuk

menggolkan masing-masing pasangan calon. Hal demikian menimbulkan friksi

baik dalam sesama pemeluk Agama maupun dengan agama lain. Kondisi yang

demikian bisa menimbulkan perpecahan dikalangan intern dan antar umat

beragama.

Untuk mengatasi persoalan di atas Undaris mencoba untuk menawarkan

solusi, yaitu dengan kajian yang mendalam dalam berbagai aspek sosial, budaya,

politik maupun aspek pendidikan. Salah satu kajian pada proses pembelajaran

agama di UNDARIS merupakan tawaran untuk bersikap egalilter dengan

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 32: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

178

menggunakan metode dialog. Untuk itulah penulis mencoba memaparkan hasil

kajian tentang bagaimana proses pembelajaran di UNDARIS.

B. Kerangka Teori

Pendidikan multikultural merupakan pendidikan tentang keragaman

kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan

masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.4 Menurut Paul

Suparna5, Multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara

sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender,

bahasa, ataupun agama. Kesediaan dan sikap saling menghargai nilai, menerima

budaya, keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri.

Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk mengharapkan

orang lain menjadi seperti dirinya. Sikap saling mempengaruhi ini apabila tidak

di letakkan dalam standar saling menghormati dan menghargai maka yang terjadi

adalah konflik , pertengkaran, dan perpecahan.

Faktor pembentuk multikulturalisme atau keragaman kebudayaan itu

sendiri antara lain karena pertama, faktor kekuasaan dalam kerangka persaingan

dan perebutan hegemoni dan dominasi sebagai ekspesi politik, kedua, faham

keagamaan, baik dalam bentuk madzab fiqih maupun orde sufi. Faham-faham

keagamaan lebih memainkan peranan sentral dalam memberikan rasa spiritual,

ketiga, ciri-ciri demografis dan geografis yang menyebabkan sebagian

masyarakat muslim terisolasi dalam jangka waktu lama atau menyerah pada

kondisi-kondisi alamiah tertentu atau sebaliknya pada sebagian lain sangat

terbuka.6 Faktor ini secara jelas juga nampak pada gagasan dialog antar agama

yang selama ini lebih bersifat elitis-struktural sebagai hasil dari kolaborasi kaum

Agama formal besar dengan pemerintah orde baru dan dilihat dari sisi

pendidikan, agama-agama yang diberikan disekolah-sekolah selama ini dari

tingkatan Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT) adalah pendidikan

agama yang berwatak komunalistik7.

4 Azyumardi, Azra, Pendidikan Agama Membangun Multikultura Indonesia, Dalam

Zakiyuddin Baidhowy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005) 5 Paul Suparno, Pendidikan Multikultural, Kompas, 7 Januari 2003.

6 Zakiyuddin Baidhowy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. (Jakarta,

Erlangga), 2003. 7 Nurkholik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama Mempuperkan Agama

Kebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan. (Yogyakarta, Ar-Ruzz 2003).

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 33: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

179

Dalam pendidikan multikultural terdapat lima dimensi yang saling

berkaitan, yaitu; (1) content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan

kelompok untuk mengiliutrasikan konsep mendasar, generalisasi teori dalam

mata pelajaran atau disiplin ilmu; (2) the knowledge constraction process,

membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata

pelajaran; (3) Anegrity paedagogy, menyesuaikan metode pelajaran dengan cara

belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam

baik dari segi ras, budaya maupun sosial; (4) prejudice reduction,

mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran

mereka; dan (5) melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berinteraksi

dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya

menciptakan budaya akademik8, dengan demikian pendidikan multikultur ini

haruslah melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam

setiap interaksi yang dilakukan diantara para guru , murid, dan keluarga serta

keseluruhan suasana belajar mengajar. Karena jenis pendidikan ini merupakan

pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat,

pendidikan multikultural mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi dalam

berkeadilan sosial.

Pendidikan multikultural akan tercipta bila semua pihak semua pihak

senantiasa menjungjung tinggi nilai- nilai, keyakinan, heterogenitas, dan

keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Sikap mau menghargai

keragaman ini memerlukan pengorbanan yang tinggi. Membangun pendidikan

karakter merupakan upaya yang harus dilakukan oleh semua pihak. Baik

lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan

karakter tersebut ,tidak akan berhasil selama lingkungan pendidikan tidak ada

kesinambungan dan keharmonisan. Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak

semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu

penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Pemberian

penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman yang melanggar,

menumbuhkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan

mencegah berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan

pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan

kedalam setiap pelajaran yang ada disamping mata pelajaran khusus untuk

8 Zakiyuddin Baidhowy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. (Jakarta:

Erlangga), 2003.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 34: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

180

mendidik karakter, seperti; Pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan

sebagainya.

Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, yang

didalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya,

merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem

kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa

mempengaruhi prilakunya. Tentang pikiran,9 mengatakan bahwa di dalam diri

manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda. Untuk

membedakan ciri tersebut, maka pikiran sadar disebut pikiran objektif dan

pikiran bawah sadar atau pikiran subyektif. Semakin banyak informasi yang

diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk,

maka semakin jelas tindakan, kebiasaan, karakter unik dari masing-masing

individu.

1. Kerangka operasional konsep

1) Pendidikan multikultural

Ada empat konsep yang dijadikan pedoman dalam tulisan ini, yaitu

konsep umum tentang pendidikan multikuluralisme, konsep Agama,

konsep multikulturalisme dan konsep pembentukan karakter. Pendidikan

multikultural merupakan strategi pembelajaran yang menjadikan latar

belakang budaya siswa yang beraneka ragam digunakan sebagai usaha

untuk meningkatkan pembelajaran siswa dikelas dan lingkungan sekolah.

Kondisi yang demikian itu dirancang untuk menunjang dan memperluas

konsep-konsep budaya, perbedaan, kesamaan,dan demokrasi. 10

Dengan

demikian pendidikan multikultural adalah sebagai sebuah sistem

pendidikan yang komplek yang memasukkan ide-ide dalam upaya

mempromosikan pluralisme budaya dan agama serta persamaan sosial.

Pendidikan ini tidak hanya mengacu pada terjadinya proses transformasi

pengetahuan semata dari dosen ke mahasiswa, tetapi lebih luas adalah

sebuah sistem pendidikan yang benar-benar mempunyai visi dan misi

pada upaya memberikan pemahaman tentang pluralisme budaya dan

persamaan sosial melalui materi kuliah yang tidak bias, kurikulum

9 Joseph Murphy D.R.S., Rahasia Kekuatan Pikiran Bawah Sadar, (Jakarta, Spektrum,

2002). 10

Donna M. Collmeck dan Philip C. Chinn, Multicultural Education In A Pluralistik

Society, 1998

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 35: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

181

inklusif, metode pembelajaran yang persuasif dan akomodatif, dilengkapi

dengan sarana dan prasarana yang kondusif

Ismail Faruqi menyebutkan, sebagaimana dikutip oleh sangkot,11

bahwa setidaknya ada empat (4) isu pokok yang dipandang sebagai

landasan normative pendidikan islam multikultural khususnya di bidang

keagamaan, yaitu ; 1) kesatuan dalam aspek ketuhanan dan wahyu, 2)

kesatuan kenabian, 3) tidak ada paksaan dalam beragama, dan 4)

pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Semua yang demikian disebut

normatif karena karena sudah merupakan ketetapan Tuhan. Masing-

masing klasifikasi didukung oleh teks (wahyu), kendati satu ayat dapat

saja berfungsi untuk justifikasi yang lain.

2) Konsep Agama

Konsep agama yang dikedepankan dalam penelitian ini agama

diartikan sebagai suatu sistem kepercayaan, acuan normatif yang

dijadikan pedoman hidup, meliputi perintah, larangan, dan petunjuk bagi

manusia dalam menjalani hidup kesehariannya dalam rangka

mendapatkan kebahagiaan lahir batin, dunia akhirat. Dalam konteks

sosial, agama dapat dijadikan sebagai perekat bagi kehidupan masyarakat

dalam kebersamaan persatuan dan kesatuan. Namun dalam kondisi dan

suasana tertentu agama bisa juga menjadi sumber munculnya konflik,

keretakan dan mala petaka. Menurut Mukti Ali, yang dikutip Anshori

bahwa tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional dari pada

membicarakan agama.12

Dalam rangka memberikan pemahaman kepada mahasiswa, tentang

nilai-nilai ajaran agama itu, membutuhkan adanya sistem pendidikan

yang mampu menjangkau tercapainya tatanan implementasi

kebersamaan, persatuan, kesatuan, dan saling menghormati antar

pemeluk agama dalam kehidupan sehari-hari. Agama didefinisikan lebih

kepada substansi ajaran yang secara langsung berhubungan dengan

materi kuliah dan kondisi interaksi sosial para mahasiswa.

11

Sangkot, “Landasan Normatif Pendidikan Agama Islam” dalam http://www.sangkot.

wordpress.com//2007/11/09 12

Endang S. Anshari, Ilmu Filsafat Dan Agama. (Surabaya: Bina Ilmu, 1990).

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 36: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

182

3) Multikultulturalisme

Multikulturalisme diartikan dengan masyarakat yang mempunyai

ras, agama, bahasa, atau tradisi yang beragam. Sedangkan kata

“multikulturalisme” berarti keberagaman budaya, yang diartikan sebagai

gerakan sosial intelektual yang mempromosikan nilai-nilai keberagaman

sebagai prinsip inti dan menuntut adanya perlakuan yang sama terhadap

sesama kelompok budaya.13

Dengan demikian multikulturalisme

merupakan kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai

kesatuan tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnis maupun agama.

Kesadaran multikultural akan dapat berkembang dengan baik

apabila dilatihkan dan didikkan pada generasi muda dan mahasiswa lewat

pendidikan, salah satunya lewat dialog. Dengan pendidikan, sikap saling

menghargai terhadap perbedaan akan berkembang bila generasi muda

dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan

budaya lain bahkan melatihnya dalam hidup sehingga akan terbentuk

karakter yang baik.

4) Konsep pembentukan karakter.

Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan

menurut para ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan

kebiasaan yang mengarahkan tindakan seseorang atau individu. Karena

itu jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui,

maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap

untuk kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata

karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya

didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi

pemikiran karena sudah tertanam dalam pikiran,dan keduanya dapat

disebut kebiasaan yang baik atau akhlakul karimah. Untuk mewujudkan

pembentukan karakter yang efektif, Character Education Quality

Standards merekomendasikan 11 prinsip; 1) Mempromosikan nilai-nilai

dasar etika sebagai basis karakter, 2) mengidentifikasi karakter secara

komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan prilaku, 3)

Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk

membangun karakter, 4) Menciptakan komunikasi sekolah yang memiliki

kepedulian, 5) Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan

13

Robert R. Becker, The Social Work Dictionary, (Washington, NASW Pers, 2003).

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 37: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

183

prilaku yang baik, 6) Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang

bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, 7)

Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari para siswa, 8)

memfungsikan seluruh staf akademika sebagai komunitas moral yang

berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia kepada nilai

dasar yang sama. 9) adanya pembagian kepemimpinan moral dan

dukungan luas dalam membangun inisiatif karakter, 10) Memfungsikan

keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membengun

karakter, 11) mengevaluasi karakter perguruan tinggi, fungsi staff

akademika sebagai pelaku karakter dan manifestasi karakter positif

dalam kehidupan mahasiswa.

Berangkat dari pemahaman diatas, maka yang dimaksud dengan

pendekatan multikutural sebagai wahana pembentukan karakter adalah

melalui sebuah dialog dalam pembelajaran. Dalam penelitian ini adalah

bagaimana implementasi pendidikan agama di perguruan tinggi dengan

wawasan multikultural pada perguruan tinggi UNDARIS UNGARAN.

Implementasi pendidikan tersebut terkait dengan materi keragaman

budaya dan agama di PT, metode pembelajaran yang di aplikasikan dosen

dalam kegiatan perkuliahan di kelas, sarana dan prasarana pendukungnya

serta lingkungan sosial.

C. Dinamika Pembelajaran Perkuliahan di UNDARIS UNGARAN

Universitas Darul Ulum Islamic Centre Sudirman GUPPI UNDARIS

terletak diwilayah Kabupaten Semarang. UNDARIS berdiri sejak tahun 1992

dengan pendiri K.H. M. Mansyur dan DR. KH. Mustain Romli. UNDARIS

merupakan salah satu Perguruan Tinggi Swasta di bawah Departemen

Pendidikan Nasional berdasarkan ijin KOPERTIS Wilayah V1 No. 1884/ K/

Kop. V1/ X1/ 1992, tertanggal 4 Nopember 1992. UNDARIS memiliki enam

fakultas yaitu : Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Fakultas Agama Islam, Fakultas Peternakan dan Fakultas Ekonomi.

Sebagai Perguruan Tinggi yang mempunyai Motto Perguruan Tinggi Berbasis

Keislaman dan Kewirausahaan, UNDARIS senantiasa Mengembangkan

penyelenggaraan pendidikan dengan penuh komitmen, peran dan Tanggung

jawab. Tanggung Jawab tersebut dalam Bidang pengajaran, Penelitian dan

Pengabdian Masyarakat dengan bertumpu pada kebebasan yang bertanggung

jawab dan berlandaskan pada kaidah moral Pancasila serta kaidah Islam. Visi

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 38: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

184

UNDARIS adalah menjadi lembaga pendidikan tinggi yang unggul dalam

penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang berbasis kemasyarakatan

dan pengamalan iman dan taqwa. Misi UNDARIS adalah memajukan dan

mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang mendorong prestasi

setinggi –tingginya, dengan berorientasi pada nilai-nilai keislaman, otonomi

daerah, penjaminan mutu, dan pengelolaan secara terpadu.

Sebagai Perguruan Tinggi Islam, ternyata menarik sejumlah minat

mahasiswa Non Muslim untuk masuk di UNDARIS. Jumlah mahasiswa non

muslim yaitu Kristen dan Katolik sejumlah 5 %. Adapun Kurikulum yang

diterapkan di UNDARIS, mata kuliah Agama Islam Wajib di tempuh oleh setiap

mahasiswa pada masing-masing Program Studi. Walaupun demikian mahasiswa

non muslim di beri kebebasan untuk tidak mengikuti mata kuliah Agama.

D. Model pembelajaran mata kuliah Agama

Metode mengajar yang penulis lakukan dalam proses perkuliahan adalah

dengan menggunakan metode diskusi. Hal ini dilakukan sebagai langkah untuk

mengajak siswa mendiskusikan beberapa pokok masalah yang terkandung dalam

materi pelajaran. Hal ini sangat mendudukung mahasiswa bagaimana mereka

bisa berfikir yang sistematis, meskipun dalam penejaman materi kuliah atau bab-

bab tertentu penulis memberikan indoktrinasi, apabila pendapat dari mahasiswa

bertentangan dengan konsep dasar materi agama.

Penggunaan metode diskusi dilakukan dengan alasan pembelajaran di

perguruan tinggi lebih pas menggunakan metode dialog dengan mengedepankan

rasa menghargai dan tidak menjatuhkan teman yang lain. Model pembelajaran

ini lebih pas “dimainkan” logika dengan diskusi bukan dengan dalil-dalil,

meskipun dalil-dalil naqli sangat penting, akan tetapi ketika mahasiswa diajak

untuk berfikir dan berdiskusi akan lebih mengena dan membekas. Diskusi dalam

model pembelajaran materi agama memang lebih disukai oleh mahasiswa,

mengingat mahasiswa dengan latar budaya dan tingkat pemahaman agama yang

beragam sehingga memunculkan sikap yang berbeda dalam prilaku

keberagamaan mereka. Ada beberapa metode pembelajaran materi agama sesuai

silabus yang diberikan kepada mahasiswa, yaitu ceramah, diskusi, problem

solving, dan presentasi makalah. Metode ceramah biasa digunakan sebagai

pembuka atau materi-materi yang bersifat deskripsi, seperti materi keimanan.

Metode diskusi sering digunakan kepada mahasiswa ketika pembehasan yang

mengandung penafsiran. sebagai contoh berkaitan dengan masalah khilafiyah.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 39: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

185

Sebagai contoh membicarakan tentang hukum memperingati Maulid Nabi

Muhammad SAW sebagai hari besar Islam ada mahasiswa yang mempunyai

pendapat bahwa itu bid’ah, tetapi ada sebagian mahasiswa yang lain mengatakan

bahwa itu melaksanakan tradisi para ulama dahulu. Pada awalnya diskusi

berjalan baik, akan tetapi setelah melalui perdebatan yang panas dan karakter

mahasiswa sifatnya emosional, maka akhirnya saling menyerang dan

menjatuhkan sesuai tingkat pemahaman mereka terhadap topik yang dibicarakan.

Proses diskusi itu pada akhirnya mahasiswa saling menghargai pendapat dan

argumentasi dari teman lainya, walaupun di Kabupaten Semarang mayoritas

masyarakat muslim masih melaksanakan peringatan Maulid Nabi Muahammad

SAW. Metode problem solving di gunakan untuk menjawab persoalan-

persoalan yang terjadi di lingkungan tempat tinggal mahasiswa, seperti

perjudian, narkoba, pelecehan seksual, pencurian yang dilakukan anak dibawah

umur dan sebagainya. Model itu diterapkan agar mahasiswa mempunyai

kepekaan terhadap kejahatan yang timbul dari latar belakang sosial yang

berbeda, budaya, tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan yang berbeda.

Permasalahan pelanggaran norma itu kalau tidak segera di cari model

pencegahanya, maka akan menjadi penyakit sosial yang menimbulkan

disintegrasi bangsa.

E. Pemahaman Materi Agama dalam Proses P embelajaran

Pemahaman tentang Materi Agama dalam pelaksanaan pembelajaran di

kelas secara umum sebenarnya berjalan cukup baik dan sesuai dengan

kurikulum, hanya saja dalam beberapa sisi terdapat perbedaan pemahaman yang

perlu didiskusikan untuk mengajak para mahasiswa tentang adanya perbedaan

dalam beberapa aspek ajaran dalam Agama. Hal seperti ini tidak saja terjadi

antara sesama mahasiswa, akan tetapi pandangan dari dosen dan mahasiswa yang

berbeda.

Dalam pembelajaran Agama Islam yang sering memunculkan pemahaman

yang berbeda antara guru dan siswa antara lain masalah Tahlil, Maulid Nabi,

penentuan Puasa dan Hari raya, Hubungan dengan Agama Non Muslim.

Permasalahan diatas menjadi sangat penting untuk didiskusikan dalam rangka

proses pembelajaran yang berorientasi pada wawasan pemahaman itu sendiri,

sehingga sikap saling menyalahkan dan menyerang kelompok lain yang akan

menimbulkan destruktif akan terkurangi.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 40: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

186

1. Tahlil.

Kegiatan Tahlil yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sepertinya

sudah mendarah daging dan sulit untuk dihentikan. Kegiatan tahlil dianggap

masyarakat sebagai bentuk ibadah yang wajib dilakukan baik dalam

pengajian-pengajian, yasinan, kenduri, dan upacara kematian dalam bentuk

tiga hari, tujuh hari sampai seratus hari. Tahlil selalu ada perbedaan baik

yang setuju kegiatan itu dilakukan untuk mendoakan arwah yang sudah

meninggal dan yang tidak setuju kegiatan tahlil dilakukan dengan alasan

bahwa setiap orang yang sudah meninggal terputuslah amalnya kecuali; ilmu

yang bermanfaat yang pernah dilakukan, sodaqoh atau amal jariyah, dan doa

anak yang sholeh. Di UNDARIS, pembicaraan masalah kegiatan tahlil hanya

pada tataran pengetahuan dan diserahkan kepada mahasiswa sesuai dengan

pemahaman yang dianutnya. Pada tataran dialog mahasiswa diuntungkan

dengan lembaga amalan Islam yang merupakan Unit Kegiatan bidang

Kerokhanian dalam organisasi BEM.

2. Maulid Nabi Muhammad SAW

Pemahaman terhadap pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW

terdapat perbedaan dalam prakteknya. Perbedaan yang terjadi pada lembaga

pendidikan di UNDARIS ini pada awalnya hanya sebuah wacana untuk

memperluas wawasan mahasiswa, karena diakui bahwa realitas dimasyarakat

kita secara umum melaksanakan Maulid Nabi Muhammad SAW pada satu

sisi dan tidak setuju dengan perayaan tersebut pada sisi yang lain. Untuk

mempertajam wawasan ini agar mahasiswa tidak terjebak pada pemahaman

yang sempit maka didiskusikan, dan sebagai seorang dosen penulis mencoba

menghilangkan pandangan bahwa yang tidak setuju maupun yang setuju

tidak mengklaim bahwa pendapatnya yang paling benar. Penulis

menginginkan adanya perubahan kerangka berfikir dalam menilai kebenaran

yang masih bersifat nisbi atau tidak absolut.

3. Penentuan Puasa Ramadhan dan Hari Raya

Menyambut bulan ramadhan adalah sebuah kegiatan yang ditunggu oleh

masyarakat muslim di Indonesia bahkan di dunia. Masyarakat awan maupun

intelektual tidak mungkin bisa menentukan sendiri kapan datangnya bulan

puasa, kapan berakhirnya sehingga bisa mengakhiri puasanya atau datangnya

hari raya. Pada sebagian Negara–negara Timur Tengah. Penentuan puasa dan

hari raya di lakukan oleh pemerintah. Sementara di Negara Eropa dan Asia

penentuan hari raya dan puasa oleh mufti, organisasi keagamaan, atau fatwa

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 41: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

187

MUI. Persoalannya adalah terjadinya perbedaan dalam mengawali puasa dan

mengakhirinya. Perbedaan tersebut terletak dalam metode pengambilan

penetapan hukum kapan dimulainya bulan puasa. Sebagian menggunakan

metode hisab yaitu perhitungan, sebagian yang lain menggunakan metode

rukyat yaitu melihat bulan secara langsung. Dalam menyikapi perbedaan ini

mahasiswa penulis ajak untuk membaca literatur yang memadai, kemudian

saya ajak untuk berdialog. Masing masing mahasiswa baik yang sepakat

dengan metode rukyat maupun hisab ataupun yang tidak setuju, mempunyai

kerangka berfikir bahwa masing-masing metode tersebut dapat dipersatukan

yaitu dengan metode hisab rukyat.

4. Pemahaman Antara Agama Islam dan Non Islam Dalam Proses Pembelajaran

Pada tataran praktis maupun dalam realitas sosial, Agama bukan sesuatu

yang perlu diperdebatkan melainkan dihayati dan dihidupi. Menurut Endang

S. Anshari, bahwa agama adalah sesuatu pengalaman batini dan bersifat

subyektif dan sangat individualis sehingga tidak ada seorangpun yang bicara

begitu bersemangat dan lebih emosional lebih dari pada membicarakan

agama.14

Namun demikian, pada tataran proses pembelajaran pada

mahasiswa, maka agama terutama ajaran-ajaranya menjadi “menarik” untuk

didiskusikan. Inilah yang menurut sebagian mahasiswa perlu ada perubahan

kerangka pola pikir untuk menilai sebuah kebenaran agama. Kebenaran

agama adalah sesuatu yang mutlak bagi pemeluknya, akan tetapi ketika

berbicara tentang ajaran agama maka memunculkan pemahaman-pemahaman

yang kadang berbeda. Kita menyadari bahwa dalam satu agama terdapat

beberapa ajaran yang bersifat subyektif dan sikap subjektif inilah yang selalu

menjadi perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan patut disyukuri

sehingga tidak ada satu alasanpun untuk menyatukan perbedaan tersebut.

Proses pembelajaran agama yang terkait dengan pemahaman dalam ajaran

agama Islam apapun yang termasuk dalam kurikulum tetap disampaikan.

Sedangkan diluar agama Islam dosen tidak mengajarkan secara langsung.

Penulis hanya menekankan untuk bersikap mau hidup berdampingan dan

menghargai agama lain. Bagi mahasiswa perlu tekankan bahwa selama proses

pembelajaran sebagai bagian dari menjaga keyakinan diri sendiri itulah yang

ditekankan. Selain pembelajaran yang tidak lepas dari kurikulum yang ada.

14

Endang S. Anshari. Ilmu Filsafat Dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990).

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 42: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

188

F. Multikulturalisme sebagai wahana Pembentukan Karakter

Multikulturalisme di PT UNDARIS tidak hanya sebatas pada ragam

budaya, melainkan ragam pada berbagai aspek terutama berkaitan dengan

pendidikan yang dikembangkan oleh dosen agama sebagai pendidik di perguruan

tinggi. Multikulturalisme secara praktis yang dimaksud adalah kemampuan

dosen maupun mahasiswa dalam mengadaptasikan dirinya pada lingkungan yang

didalamnya terdapat berbagai ragam budaya, daerah dan agama.

Kesadaran adanya perbedaan keyakinan semakin lama dipahami sebagai

suatu keniscayaan, apalagi didorong oleh kondisi bahwa perbedaan itu menjadi

sebuah keindahan yang di sadari oleh dosen dan sivitas UNDARIS. Komitmen

untuk memiliki kemampuan menangkap perbedaan adalah salah satu wahana

pembentukan karakter. Keberhasilan Pembentukan Karakter Peserta didik di

mulai dari keteladanan guru dalam membumikan nilai-nilai multikultural dalam

kehidupan sehari- hari sangat diperlukan demi keberhasilan penerapan

pendidikan multikultural itu. Satu hal lagi yang sering terlewatkan ketika

mendiskusikan konsep pendidikan multikulturalisme, yaitu eksistensi pendidik

harus diakui memegang peran yang sangat dominan dalam keberhasilan

implementasi pendidikan multikultural ini. Khususnya dosen agama lebih

menjelaskan kepada siswa sesuai dengan kurikulum yang ada dan apabila sampai

pada batas keyakinan agama lain hanya sebatas pengetahuan.

Pendidikan karakter tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi sebuah

perjalanan tanpa akhir, petualangan tanpa batas. Indonesia Heritage Foundation

merumuskan sembilan karakter dasar yang menjadi tujuan pembentukan

karakter yaitu : 1) Cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, 2) Tanggung

jawab, disiplin dan mandiri, 3) Jujur, 4) Hormat dan santun, 5) Kasih sayang,

peduli, dan kerja sama, 6) Percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang

menyerah, 7) Keadilan dan kepemimpinan, 8) Baik dan rendah hati, 9) Toleransi,

cinta damai dan persatuan.

G. Simpulan

Secara umum pemahaman agama dalam pelaksanaan pembelajaran agama

di UNDARIS berjalan cukup baik dan sesuai kurikulum. Begitu juga hubungan

antara dosen maupun mahasiswa yang berbeda agama sangat kondusif, baik

interaksi di dalam kelas maupun di luar kelas.

Proses pembelajaran agama yang terkait dengan pemahaman dalam ajaran

agama Islam apapun yang termasuk dalam kurikulum tetap disampaikan,

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 43: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

189

sedangkan diluar agama Islam, dosen tidak menyampaikan atau memberi

pemahaman tentang ajaran-ajarannya secara langsung. Pemahaman agama yang

disampaikan kepada mahasiswa antara yang Islam dan Non Islam hanya sebatas

keberadaan di luar agama Islam yang berkembang. Hal ini dilakukan karena

Mata kuliah Agama yang di sampaikan kepada Mahasiswa bersifat umum, bukan

mata kuliah khusus yang dimasukkan dalam kurikulum program studi pada

Fakultas Agama Islam, seperti mata kuliah Perbandingan Agama.

Multikulturalisme di UNDARIS terbentuk karena segenap civitas

akademika dalam hal ini dosen dan mahasiswa memiliki kemampuan dalam

mengadaptasikan dirinya pada lingkungannya yang didalamnya terdapat

berbagai budaya, pemahaman agama, daerah yang berbeda. Pandangan tentang

pendidikan multikulturalisme terutama bagi dosen maupun mahasiswa yang

beragama Islam terbentuk karena adanya perbedaan, baik secara mendasar

(berkaitan dengan ketauhidan dan keimanan) maupun berkaitan dengan furu’iyah

(cabang-cabang suatu ajaran) dari sebuah faham keagamaan, baik dalam bentuk

madzhab fiqih, maupun tingkat pemahaman terhadap ajaran yang berbeda.

Pembentukan karakter lewat pendidikan multikultural membentu

mahasiswa mengerti, menerima dan menghargai orang yang dari suku, budaya,

nilai, agama yang berbeda. Untuk itu, mahasiswa perlu diajak melihat nilai

budaya lain, sehingga mengerti secara mendalam, dan akhirnya dapat

menghargainya.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 44: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

190

DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi, Azra, 2005. Pendidikan Agama Membangun Multikultura Indonesia,

dalam Zakiyuddin Baidhowy, Pendidikan Agama Berwawasan

Multikultural, Erlangga, Jakarta.

Ahmad Rofiq, Regulasi Konflik Agama Dalam Semangat Multikulturalisme,

Makalah Seminar yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan

Pengembangan Agama Semarang, Tanggal 1 September 2005.

Donna M. Collmeck dan Philip C. Chinn, 1998.Multicultural Education In A

Pluralistik Society.

Endang S. Anshari, , 1990. Ilmu Filsafat Dan Agama, Bina Ilmu, Surabaya.

Joseph Murphy D.R.S., Rahasia Kekuatan Pikiran Bawah Sadar, (Jakarta,

Spektrum, 2002).

Mu’nim A. Sirry, Agama, Demokrasi, dan Multikulturalisme, Kompas, 1 Mei

2003.

Nurkholik Ridwan, 2003. Detik-Detik Pembongkaran Agama Mempuperkan

Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan, Ar-Ruzz,

Yogyakarta.

Paul Suparno, Pendidikan Multikultural, Kompas, 7 Januari 2003

Robert R. Becker, The Social Work Dictionary, Washington, NASW Pers, 2003.

Sangkot, “Landasan Normatif Pendidikan Agama Islam” dalam

http://www.sangkot.wordpress.com//2007/11/09

Usman Pelly dan Asih Menanti, Teori-teori Sosial Budaya (Jakarta: Dirjen Dikti

Depdikbud, 1994

Zaliyuddin Baidhowy, 2005.Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural,

Erlangga, Jakarta.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 45: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

191

MENUMBUHKAN KEBERANIAN BERPENDAPAT

MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF THINK PAIR SHARE

Endang Puji Lestari1

[email protected]

Abstract

This research is to get courage on the arguments and to increase the result of the

students learning in studying the opinion of freedom expression material to the

seventh grade students H Junior High School Students 3 Taman Pemalang on

the second semester in the academic year 2011/2012 through “think pair share”

learning model . This research was conducted in to two cycles. The subjects of

the research is the seventh grade students H SMP Negeri 3 Taman Pemalang, it

is about 40 students. The data was collected by using a test. The test includes

written test and non-test techniques such as observation , questionnaires and

interview. The data were obtained and analyzed with descriptive comparative

analysis. It is intended to compare between the first conditions and the result is

achieved by the target. The result analysis shows that the courage opinion

students in the learning process increasingly from pre-cycle ( 10 % ) , the first

cycle ( 22.5 % ) and the second cycle ( 55 % ) . The result student learning also

increase from pre-cycle ( 40 % ) , the first cycle ( 57.5 % ) and the second cycle (

87.5 % ) . The above results show that the learning model think pair share is

able to get courage on the argument and to increase the result student learning

is higher 2.5 % than a pre-determined limit is completed 85 %.

Key words: the courage of the argument, civic education lesson, think pair share

A. Pendahuluan

Dalam kurikulum KTSP TAHUN 2006 dijelaskan bahwa Pendidikan di

Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara

yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan NKRI.

Tujuan Mata Pelajaran PKn diantaranya adalah agar peserta didik

memiliki kemampuan berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam

menanggapi isu kewarganegaraan. Oleh karena itu ruang lingkup mata pelajaran

PKn antara lain menyangkut aspek-aspek sebagai kebutuhan warga negara yang

salah satunya adalah kemerdekaan mengeluarkan pendapat.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, jumlah siswa yang berani

mengemukakan pendapat ataupun mengajukan pertanyaan pada saat proses

1 Endang Puji Lestari, SMP N 3 Taman Pemalang

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 46: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

192

belajar mengajar cenderung sedikit ( rata-rata 10 % ). Siswa hanya mau

menyampaikan pendapat jika ditunjuk bahkan harus dipaksa oleh guru. Padahal

keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar sangat penting untuk

mengembangkan kreatifitas siswa. Hal ini mungkin disebabkan karena dalam

pembelajaran, siswa diposisikan sebagai obyek, sedangkan guru memposisikan

diri sebagai subyek pembelajaran. Akibatnya guru lebih aktif dan dominan dalam

proses pembelajaran. Selain itu, metode pembelajaran yang sering digunakan

oleh peneliti dalam pembelajaran adalah ceramah diselingi tanya jawab,

pemberian tugas dan diskusi. Seringnya menggunakan metode ceramah yang

diselingi tanya jawab, pemberian tugas, dan diskusi yang kurang terarah dalam

pembelajaran mengakibatkan siswa kurang aktif.

Pembelajaran satu arah yang dikembangkan guru selain membosankan

dan kurang efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran juga berakibat kurang

aktifnya siswa dalam mengikuti pembelajaran, kurang berani mengemukakan

pendapat dan mengambil keputusan, malas bertanya dan menjawab pertanyaan,

kurang serius dalam mengikuti pelajaran, kurang berminat dan termotivasi dalam

belajar, serta kurang menghargai dan bekerjasama dengan guru maupun siswa

yang lain.

Apabila kenyataan pembelajaran yang demikian itu terus berlangsung

tanpa adanya usaha perbaikan, jelas akan merugikan guru maupun siswa.

Kerugian itu meliputi 1) kurangnya interaksi antara guru dengan siswa maupun

antara siswa dengan siswa, 2) proses pembelajaran membosankan bagi siswa

sehingga siswa kurang termotivasi untuk mengikuti pelajaran, 3) siswa kurang

memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat maupun mengajukan

pertanyaan di depan kelas, 4) siswa kurang bisa menerapkan sikap-sikap positif

dari materi pelajaran yang dipelajari dalam sikap perilaku sehari-hari, 5) secara

klasikal dengan KKM 75 hanya tercapai 40% ,berarti masih kurang 45% dari

ketuntasan klasikal yang telah ditetapkan yaitu 85%.

Sebagai solusi untuk memperbaiki pembelajaran tersebut maka dapat

digunakan model pembelajaran kooperatif think pair share.

Fogarty dan Robin2 menyatakan bahwa teknik belajar mengajar think pair share

mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut:

1. Mudah dilaksanakan dalam kelas yang besar,

2. Memberikan waktu kepada siswa untuk merefleksikan isi materi pelajaran,

2 Fogarty dan Robin.(1996). Think/Pair/Share. [online]. Tersedia: www.Broward

kl2.fl.us/Ci/Whatsnew/strategies and such/ strategies/thinkpairshare.html [2 November 2009]

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 47: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

193

3. Memberikan waktu kepada siswa untuk melatih mengeluarkan pendapat

sebelum berbagi dengan kelompok kecil atau kelas secara keseluruhan.

Dengan teknik belajar mengajar think pair share yang disebutkan Fogarty

dan Robin siswa dilatih untuk banyak berfikir dan saling tukar pendapat baik

dengan teman sebangku ataupun dengan teman sekelas sehingga dapat

menumbuhkan keberanian siswa untuk menyampaikan pendapat .

Page Smith3 mengatakan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan

yang dirancang untuk menghasilkan manusia sejati, harus memasukkan ajaran

untuk berani. Tanpa keberanian, kita tidak dapat berkreasi. Menurut Munandar,4

salah satu ciri orang yang kreatif yaitu bebas dalam menyampaikan pendapat.

Jadi keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat di depan kelas merupakan

bentuk kreativitas siswa dalam proses belajar mengajar.

Berdasar latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan

permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Apakah melalui model pembelajaran kooperatif think pair share dapat

menumbuhkan keberanian berpendapat dalam pembelajaran materi

kemerdekaan mengemukakan pendapat pada siswa kelas VII H SMP Negeri 3

Taman Pemalang Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012 ?

2. Apakah melalui model pembelajaran kooperatif think pair share dapat

meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran materi kemerdekaan

mengemukakan pendapat pada siswa Kelas VII H SMP Negeri 3 Taman

Pemalang Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012 ?

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menumbuhkan keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat dalam

pembelajaran materi kemerdekaan mengemukakan pendapat pada siswa kelas

VII H SMP Negeri 3 Taman Pemalang semester II tahun pelajaran 2011/2012

melalui model pembelajaran think pair share;

2. Meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran materi kemerdekaan

mengemukakan pendapat pada siswa Kelas VII H SMP Negeri 3 Taman

Pemalang Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012.

3 Meier, Dave..The Accelerated Learning Handbook. (Bandung: PT MizanPustaka, 2005),

hlm 308. 4 Idrus, Muhammad.. Laporan Penelitian Kreativitas Siswa SLTPN 2 dan SLTPN 4

Kotamadya Yogyakarta. (Yogyakarta :Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta.2000), hlm. 11.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 48: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

194

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :

1. Kegiatan belajar mengajar lebih menyenangkan sehingga siswa akan lebih

termotivasi untuk mengikuti pelajaran;

2. Siswa memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat pada saat

berlangsungnya proses belajar mengajar sehingga siswa terbiasa berpikir

kreatif;

3. Meningkatnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran kemerdekaan

mengemukakan pendapat pada siswa Kelas VII H SMP Negeri 3 Taman

Pemalang Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012;

4. guru berkesempatan untuk mengembangkan berbagai teknik pembelajaran

yang efektif dan menyenangkan sehingga guru dapat meningkatkan

kemampuan mengajarnya dan secara tidak langsung dapat meningkatkan

mutu sekolah.

B. Metode Penelitian

1. Setting Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada kelas VII H SMP Negeri 3 Taman

pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan semester II tahun

pelajaran 2011/2012. Kompetensi dasar yang akan diteliti yaitu

Mengaktualisasikan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas

dan bertanggung jawab. Kondisi siswa kelas ini secara akademik memiliki

kemampuan baik.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April,Mei ,Juni, dan Juli 2012,

dengan perincian sebagai berikut:

1) Tahap persiapan, minggu ke 1 sampai ke 2 bulan April

2) Tahap pelaksanaan, minggu ke 3 bulan April, sampai minggu ke 1 bulan

Juni

3) Tahap penyusunan laporan, minggu ke 2 bulan Juni sampai minggu ke 4

bulan Juli

3. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah siswa kelas VII H SMP Negeri 3 Taman

dengan jumlah 40 siswa yang terdiri dari 16 laki-laki dan 24 perempuan.

Kemampuan akademik siswa dan latar belakang sosial ekonomi siswa

heterogen.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 49: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

195

Kelas VII H dijadikan subyek penelitian dengan pertimbangan bahwa di

kelas tersebut keaktifan siswanya lebih rendah daripada kelas yang lain dan

siswa kurang berani mengemukakan pendapat di depan umum (kelas).

4. Teknik dan Alat Pengumpul Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini ada dua macam yaitu :

1) Teknik tes

Teknik penilaian dengan teknik tes adalah untuk mengetahui :

a. Tingkat kemampuan awal siswa

b. Hasil belajar siswa

c. Pertumbuhan dan perkembangan prestasi siswa

Tes yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 2 cara, yaitu :

a. Tes tertulis

Tes tertulis yang digunakan adalah soal tes bentuk pilihan ganda.

b. Tes perbuatan atau unjuk kerja

Tes perbuatan atau unjuk kerja merupakan tes yang dilaksanakan

dengan jawaban menggunakan perbuatan, tindakan, atau unjuk kerja, dan

ini berfungsi sebagai penilaian terhadap kemampuan kinerja.

2) Teknik bukan tes

Teknik bukan tes digunakan untuk mengumpulkan data yang

diambil dari hasil observasi lembar pengamatan, angket siswa dan

wawancara terhadap pelaksanaan model pembelajaran think pair share.

Alat yang digunakan berupa panduan observasi, daftar pertanyaan atau

angket yang disusun dalam bentuk chek list atau skala penilaian dan

panduan wawancara terhadap siswa.

5. Validitas Data

Peneliti menggunakan teknik triangulasi sebagai teknik untuk mengecek

keabsahan data. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam

membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian.5

Dengan menggunakan metode triangulasi yakni penggabungan dua metode

dalam satu penelitian diharapkan mendapatkan hasil yang lebih baik apabila

dibandingkan dengan menggunakan satu metode saja dalam suatu penelitian.

5 Moloeng, lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung :Remaja Rosdakarya. 2004),

hlm. 330

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 50: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

196

Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda6 yaitu

wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan untuk

mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data.

Denzin7 (dalam Moloeng, 2004), membedakan empat macam triangulasi

diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan

teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti

hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber.

Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda

dalam penelitian kualitatif.8

Dalam mengecek keabsahan atau validitas data menggunakan teknik

triangulasi. data atau informasi dari satu pihak harus dichek kebenarannya

dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain. Cara ini bisa mencegah

terjadinya subyektifitas pengambilan data.

6. Analisis Data

1) Persentase aktivitas siswa = N

n X 100%

n : jumlah siswa yang melakukan aktivitas

N : jumlah seluruh siswa

2) Hasil belajar siswa

∑ X

Rata-rata hasil belajar siswa (X) = ____

N

∑X: jumlah nilai seluruh siswa

N : jumlah seluruh siswa

3) Persentase aktivitas guru = N

n X 100%

n : jumlah skor aspek kinerja guru

N : jumlah skor maksimal

6 Nasution, Prof. Dr. S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. (Bandung : Tarsito.

2003), hlm. 115 7 Moloeng, lexy J. MetodePenelitianKualitatif. (Bandung :Remaja Rosdakarya, 2004.)

8 Ibid, hlm. 331

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 51: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

197

C. Hasil Penelitian

Sebagaimana telah disinggung pada latar belakang diatas, bahwa jumlah

siswa yang berani mengemukakan pendapat ataupun mengajukan pertanyaan

pada saat proses belajar mengajar sangat minim. Menurut pengamatan peneliti,

jumlah siswa yang berani mengemukakan pendapat ataupun mengajukan

pertanyaan pada saat proses belajar mengajar cenderung sedikit ( rata-rata

10 % ).

Setelah guru menerapkan model pembelajaran think pair share dapat

diketahui keberhasilan pembelajaran dibandingkan dengan proses pembelajaran

sebelumnya yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1

Perbandingan Hasil Pelaksanaan Tindakan Kompetensi Mengaktualisasikan

Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat Secara Bebas dan Bertanggung jawab

melalui Model Pembelajaran Think Pair Share

No Indikator Kondisi Awal Siklus I Siklus II

1 Aktivitas siswa

a. Keberanian

mengemukakan pendapat

Tercapai

10 %

(4 siswa)

Tercapai

22,5 %

(9 siswa)

Tercapai

55 %

(22 siswa)

b. Keberanian menanggapi

pendapat teman

Tercapai

5 %

(2 siswa)

Tercapai

17,5 %

(7 siswa)

Tercapai

42,5 %

(17 siswa)

c. Keberanian menanggapi

pendapat guru

Tercapai

2,5 %

(1 siswa)

Tercapai

12,5 %

(5 siswa)

Tercapai

32,5 %

(13 siswa)

2 Hasil belajar siswa (KKM 75)

a. Prosentase ketuntasan Tercapai

40 %

(16 siswa)

Tercapai

57,5 %

(23 siswa)

Tercapai

87,5 %

(35 siswa)

b. Rata-rata 66,38 72,25 79,50

c. Nilai tertinggi 85 95 100

d. Nilai terendah 40 45 55

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 52: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

198

Dari data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa pada kondisi awal,

jumlah siswa yang berani berpendapat hanya berjumlah 4 siswa (10 %), siswa

yang menanggapi pendapat teman 2 siswa (5 %), dan siswa yang menanggapi

pendapat guru hanya 1 siswa (2,5 %). Pada pelaksanaan tindakan siklus I, jumlah

siswa yang berani berpendapat meningkat menjadi 9 siswa (22,5 %), siswa yang

menanggapi pendapat teman bertambah menjadi 7 siswa (17,5 %), dan siswa

yang menanggapi pendapat guru berjumlah 5 siswa (12,5 %). Sedangkan pada

pelaksanaan tindakan siklus II, jumlah siswa yang berani berpendapat meningkat

menjadi 22 siswa (55 %), siswa yang menanggapi pendapat teman bertambah

menjadi 17 siswa (42,5 %), dan siswa yang menanggapi pendapat guru

berjumlah 13 siswa (32,5 %).

Sedangkan untuk hasil belajar siswa diketahui bahwa pada kondisi

awal,nilai rata-rata hasil tes adalah 66,38 dan ketuntasan mencapai 40 %. Pada

pelaksanaan tindakan siklus I, nilai rata-rata hasil tes adalah 72,25 dan

ketuntasannya mencapai 57,5 %. Sedangkan pada pelaksanaan tindakan siklus II,

nilai rata-rata hasil tes adalah 79,50 dan ketuntasannya mencapai 87,5 %. Berarti

lebih tinggi 2,5 % dari batas ketuntasan klasikal 85 %.

Hasil pengamatan dan wawancara tentang minat siswa terhadap

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran think pair share pada

siklus I adalah bahwa dari lima belas pernyataan 10 siswa (25 %) menunjukan

minat tinggi dan 23 siswa (57,5 %) menunjukan minat sedang. Sehingga jumlah

siswa yang menunjukan minat sedang atau tinggi sebanyak 33 siswa (82,5 %)

dan sisanya 7 siswa (17,5 %) masih menunjukan minat yang kurang terhadap

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran think pair share.

Sedangkan hasil pengamatan wawancara tentang minat siswa terhadap

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran think pair share pada

siklus II adalah bahwa dari lima belas pernyataan 13 siswa (32,5 %) menunjukan

minat tinggi dan 24 siswa (60 %) menunjukan minat sedang. Sehingga jumlah

siswa yang menunjukan minat sedang atau tinggi sebanyak 37 siswa (92,5 %)

dan sisanya 3 siswa (7,5 %) masih menunjukan minat kurang terhadap

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran think pair share.

Dengan demikian penerapan model pembelajaran think pair share pada

pembelajaran mengaktualisasikan kemerdekaan mengemukakan pendapat di

kelas VII H semester II SMP Negeri 3 Taman tahun pelajaran 2011/2012

dipandang berhasil mencapai indikator keberhasilan penelitian,sehingga

hipotesis tindakan dapat dibuktikan.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 53: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

199

D. Pembahasan

Sebagaimana telah disinggung pada latar belakang diatas, bahwa jumlah

siswa yang berani mengemukakan pendapat ataupun mengajukan pertanyaan

pada saat proses belajar mengajar sangat minim. Menurut pengamatan peneliti,

jumlah siswa yang berani mengemukakan pendapat ataupun mengajukan

pertanyaan pada saat proses belajar mengajar cenderung sedikit ( rata-rata

10 % ). Siswa hanya mau menyampaikan pendapat jika ditunjuk bahkan harus

dipaksa oleh guru. Padahal keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar sangat

penting untuk mengembangkan kreatifitas siswa. Hal ini mungkin disebabkan

karena dalam pembelajaran, siswa diposisikan sebagai obyek, sedangkan guru

memposisikan diri sebagai subyek pembelajaran. Akibatnya guru lebih aktif dan

dominan dalam proses pembelajaran. Selain itu, seringnya menggunakan metode

ceramah yang diselingi tanya jawab, pemberian tugas, dan diskusi yang kurang

terarah dalam pembelajaran mengakibatkan siswa kurang aktif.

Pembelajaran satu arah yang dikembangkan guru selain membosankan dan

kurang efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran juga berakibat kurang

aktifnya siswa dalam mengikuti pembelajaran, kurang berani mengemukakan

pendapat dan mengambil keputusan, malas bertanya dan menjawab pertanyaan,

kurang serius dalam mengikuti pelajaran, kurang berminat dan termotivasi dalam

belajar, serta kurang menghargai dan bekerjasama dengan guru maupun siswa

yang lain.

Sebagai solusi untuk memperbaiki pembelajaran tersebut maka dapat

digunakan model pembelajaran kooperatif think pair share. Hasil penelitian

tindakan kelas pada siklus pertama menunjukan adanya peningkatan aktivitas

dan hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan motivasi yang

meningkat akibat pembelajaran yang lebih menarik setelah menerapkan model

pembelajaran think pair share.

Upaya penerapan model pembelajaran think pair share berangsur-angsur

telah menunjukan perubahan kearah yang lebih baik dari sebelumnya,walaupun

terjadinya peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa pada siklus I tersebut

belum optimal.

Hasil diskusi peneliti dengan observer mengenai jalannya proses belajar

mengajar yang telah berlangsung pada siklus I ditemukan beberapa kekurangan

antara lain : (1) Pembentukan kelompok belajar belum dilakukan dengan

benar,masih berdasarkan tempat duduk (siswa berpasangan dengan teman

sebangkunya); (2) Penjelasan guru tentang penerapan model pembelajaran think

pair share masih kurang, hal ini berakibat pada canggungnya siswa baik dalam

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 54: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

200

menyampaikan pendapatnya kepada pasangannya maupun ketika maju ke depan

kelas; (3) Bimbingan guru kepada siswa untuk melakukan presentasi yang benar

masih kurang, begitu pula bimbingan guru dalam memandu siswa untuk

menyimpulkan hasil diskusi.

Berdasarkan hasil refleksi pelaksanaan proses belajar mengajar dengan

menerapkan model pembelajaran think pair share,ada beberapa perbaikan yang

akan dilaksanakan pada siklus II yang bertujuan agar hasil yang diperoleh pada

siklus II lebih baik dibanding hasil pada siklus I, sehingga indikator keberhasilan

penelitian dapat dicapai. Perbaikan-perbaikan tersebut yaitu : (1) Mendorong

siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya di depan kelas; (2) Mendorong

siswa untuk berani menanggapi pendapat teman; (3) Mendorong siswa untuk

berani menanggapi pendapat guru; (4) Meningkatkan bimbingan kepada siswa

untuk belajar menyimpulkan hasil diskusi; (5) Mengarahkan siswa untuk

mencatat materi esensial hasil diskusi; (6) Pembentukan kelompok belajar

dilakukan secara acak berstrata, bukan dengan teman sebangkunya tapi

dikelompokkan sesuai dengan kemampuan siswa sehingga siswa yang pandai

dan punya keberanian bisa membantu pasangannya; (7) Menjelaskan kembali

secara lebih detail tentang penerapan model pembelajaran think pair share dalam

PBM.

Dari tabel aktivitas belajar siswa pada siklus II dapat diketahui bahwa

aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran semakin meningkat hingga

mencapai 55 % dalam hal keberanian menyampaikan pendapat, 42 % dalam hal

keberanian menanggapi pendapat teman, dan 32,5 % dalam hal keberanian

menanggapi pendapat guru. Dengan demikian maka indikator keberhasilan telah

tercapai. Sedangkan untuk hasil belajar siswa, pada tes belajar akhir siklus II

diperoleh data bahwa nilai rata-rata yang berhasil dicapai siswa 79,50 dengan

demikian indikator keberhasilan yang ditargetkan telah dapat dicapai yaitu ≥ 75.

Selain itu ,dari jumlah 40 siswa kelas VII H, yang berhasil mencapai Kriteria

Ketuntasan Belajar Minimal (KKM) sebanyak 35 siswa atau 87,5 %. Hal ini

berarti hanya 5 siswa atau 12,5% siswa saja yang belum dapat mencapai KKM.

Dengan begitu ketuntasan belajar secara klasikal juga telah dapat dicapai.

Dari hasil diskusi guru dengan observer tentang jalannya proses belajar

mengajar yang berlangsung pada siklus II sudah lebih baik dari siklus pertama.

Guru dalam menyajikan materi telah melakukan perbaikan-perbaikan

sebagaimana direkomendasikan siklus pertama yaitu : (1) Pembentukan

kelompok telah dilakukan secara acak berstrata; (2) Penjelasan tentang

penerapan model pembelajaran think pair share sudah dilakukan semaksimal

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 55: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

201

mungkin sehingga seluruh siswa benar-benar telah memahaminya; (3)

Bimbingan guru kepada siswa untuk melakukan presentasi dengan benar sudah

diberikan.

Selain itu, model pembelajaran think pair share dilaksanakan dengan

langkah-langkah yang sudah disuplemen dan disesuaikan dengan kemampuan

dan tingkat keberanian siswa yaitu :

1. Tahap 1 : Pendahuluan

Awal pembelajaran dimulai dengan penggalian apersepsi sekaligus

memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pembelajaran. Pada tahap ini,

guru juga menjelaskan kompetensi yang harus dicapai siswa, menjelaskan

secara lebih detail tentang model pembelajaran think pair share, aturan main

serta menginformasikan batasan waktu untuk setiap tahap kegiatan.

2. Tahap 2 : Think (berpikir secara individual)

Pada tahap ini, siswa diberi batasan waktu (“think time”) oleh guru

untuk memikirkan jawabannya secara individual terhadap pertanyaan yang

diberikan.

Siswa boleh menuliskan jawabannya terlebih dahulu pada buku siswa

masing-masing untuk kemudian dipelajari sebelum mereka menyampaikan

pendapat mereka kepada pasangannya.

3. Tahap 3 : Pair (berpasangan)

Pada tahap ini, guru mengelompokkan siswa secara berpasangan. Guru

menentukan bahwa pasangan setiap siswa adalah teman yang sudah ditunjuk

oleh guru dengan mempertimbangkan kemampuan siswa. Hal ini

dimaksudkan agar siswa yang pintar dan mempunyai keberanian dapat

membantu temannya yang masih takut atau malu untuk menyampaikan

pendapatnya di depan kelas. Kemudian, siswa mulai bekerja dengan

pasangannya untuk mendiskusikan mengenai jawaban atas permasalahan yang

telah diberikan oleh guru. Setiap siswa memiliki kesempatan untuk

mendiskusikan berbagai kemungkinan jawaban secara bersama.

4. Tahap 4 : Share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau seluruh kelas)

Pada tahap ini, siswa dapat mempresentasikan jawaban secara

perseorangan kepada kelas sebagai keseluruhan kelompok.Untuk siswa yang

sudah memiliki keberanian dapat menyampaikan pendapatnya di depan kelas,

untuk siswa yang kurang berani bisa ditemani oleh pasangannya, dan untuk

siswa yang sama sekali tidak berani maju kedepan kelas bisa menyampaikan

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 56: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

202

pendapatnya dari tempat duduknya. Setiap anggota dari kelompok dapat

memperoleh nilai dari hasil pemikiran mereka.

5. Tahap 5 : Penghargaan

Siswa mendapat penghargaan berupa nilai baik secara individu maupun

kelompok. Nilai individu berdasarkan hasil jawaban pada tahap think,

sedangkan nilai kelompok berdasarkan jawaban pada tahap pair dan share,

terutama pada saat presentasi memberikan penjelasan terhadap seluruh kelas.

Dengan adanya penghargaan maka siswa yang menyampaikan pendapat

ataupun bertanya pada saat proses belajar mengajar akan mendapatkan

kepuasan dan termotivasi untuk melakukan hal serupa. Selain itu juga dapat

memotivasi siswa lain untuk melakukan hal yang sama apabila guru dapat

meningkatkan dan memelihara motivasi siswa dengan cara memberikan

penghargaan atau penguatan berupa pujian,pemberian kesempatan, atau

berupa nilai. Pemberian penghargaan dapat memacu semangat siswa untuk

bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum mendapatkan

penghargaan akan termotivasi untuk mengejar siswa yang sudah mendapatkan

penghargaan.

Jika dihubungkan dengan sebuah model pembelajaran, maka ketrampilan

guru dalam memberikan penguatan / penghargaan ini adalah sebuah model

quantum yang salah satu prinsipnya adalah mengakui setiap usaha dan

merayakannya.9

Dalam kurikulum 2004 SMP Pedoman Umum Pengembangan Silabus

Berbasis Kompetensi siswa SMP10

dijelaskan tentang karakteristik siswa,

dalam perkembangan aspek kognitif, sebagai berikut :

Pada masa remaja awal (usia SMP) sudah mencapai tahap operasi

formal. Pada usia ini secara mental anak telah dapat berpikir logis

tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain, berpikir

operasi formal lebih bersifat hipotesis dan abstrak serta sistematis

dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada berpikir konkrit.

Implikasi pendidikan atau bimbingan pada periode berpikir operasi

formal ini adalah perlunya dipersiapkan program pendidikan atau bimbingan

yang memfasilitasi perkembangan kemampuan berpikir siswa.

9 DePotter, Bobbi, dkk.. Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas.

(Bandung : Kaifa. 2002), hlm. 200. 10

Depdiknas. Kurikulum 2004 SMP PedomanUmumPengembanganSilabus

BerbasisKompetensisiswaSMP. (Jakarta :Depdiknas. 2004), hlm. 160-161.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 57: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

203

Upaya yang dapat dilakukan antara lain : (1) Penggunaan metode

mengajar yang mendorong anak untuk aktif bertanya, mengemukakan

gagasan, atau mengujicobakan suatu materi; (2) Melakukan dialog, diskusi

atau curah pendapat dengan siswa tentang masalah-masalah sosial, baik itu

menyangkut sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, maupun kewarganegaraan.

Dengan demikian penggunaan model pembelajaran kooperatif think pair

share merupakan pilihan yang tepat untuk menumbuhkan keberanian siswa

dalam menyampaikan pendapat pada saat proses belajar mengajar pada

khususnya dan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya.

E. Simpulan Dan Saran

1. Simpulan.

Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian pada bab sebelumnya

dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran think pair share

dapat menumbuhkan keberanian berpendapat dan meningkatkan hasil

belajar siswa dalam pembelajaran materi kemerdekaan mengemukakan

pendapat pada siswa Kelas VII H SMP Negeri 3 Taman Pemalang Semester

II Tahun Pelajaran 2011/2012.

Simpulan tersebut didasarkan kepada hasil pengamatan terhadap

aktivitas siswa dan hasil tes pra siklus,siklus I dan II ,pengamatan terhadap

aktivitas guru dan hasil refleksi serta hasil analisa angket siswa..

Hasil refleksi siklus II menunjukan adanya peningkatan yang lebih

baik. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peningkatan aktivitas dan hasil

belajar siswa. Dari hasil yang dicapai pada akhir siklus II ini menunjukan

bahwa indikator keberhasilan penelitian telah berhasil dicapai sehingga

penelitian berakhir sampai siklus II.

2. Saran.

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas pada kelas VII H SMP Negeri

3 Taman Kabupaten Pemalang, maka diajukan beberapa saran sebagai beikut: (1)

Hendaknya bapak / ibu guru , khususnya guru mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan yang belum mencoba menerapkan model pembelajaran think

pair share supaya menerapkan metode tersebut agar tercipta pembelajaran yang

lebih menarik, menyenangkan dan melatih keberanian siswa; (2) Untuk

mencapai hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan, perlu memperhatikan

aktivitas siswa dan kesesuaian mengajar guru dengan RPP; (3) Pada sekolah

diharapkan dapat menyediakan fasilitas secukupnya bagi mata pelajaran

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 58: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

204

Pendidikan Kewarganegaraan khususnya dan mata pelajaran yang lain pada

umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.

Jakarta: BSNP DEPDIKNAS.

Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 SMP Pedoman UmumPengembangan Silabus

Berbasis Kompetensi siswa SMP .Jakarta :Depdiknas

Meier, Dave.2005.The Accelerated Learning Handbook. Bandung: PT Mizan

Pustaka

Idrus, Muhammad. 2000. LaporanPenelitianKreativitasSiswa SLTPN 2 dan

SLTPN 4 Kotamadya Yogyakarta. Yogyakarta : Lembaga Penelitian

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Moloeng, lexy J. 2004. MetodePenelitianKualitatif. Bandung : Remaja

Rosdakarya

Nasution, Prof. Dr. S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung :

Tarsito.

DePotter, Bobbi, dkk. 2002. Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-

Ruang Kelas.Bandung : Kaifa

Hermawan, Hendy. 2010. Teori Belajar dan Motivasi. Bandung : CV CiptaPraya

Fogarty dan Robin.(1996). Think/Pair/Share. [online]. Tersedia: www.Broward

kl2.fl.us/Ci/Whatsnew/strategies and such/ strategies/thinkpairshare.html

[2 November 2009]

http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH01b9/55f8dc7e.dir/d

oc.p df 20.06.2010_13.35

http://blog.elearning.unesa.ac.id/tag/skripsi-ptk-upaya-peningkatan-prestasi-belajarpkn-melalui-metode-pembelajaran-think-pair-share-tps

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 59: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

205

Dyah Kunthi Talibrata Sebagai Representasi Profil

Wanita Jawa Sejati Hartini

1

Abstrak

Masyarakat Jawa di dalam cerita pewayangan memiliki seorang tokoh

wanita yang patut diteladani yaitu bernama Dyah Ayu Kunthi. Perjalanan

hidup Dyah Ayu Kunthi Talibrata sangat menyedihkan, akan tetapi dia

mampu menunjukkan harga diri dan membuat semua wanita akhirnya

mengagumi sifat-sifatnya. Dyah Ayu Kunthi, adalah anak seorang raja

yang memiliki sifat-sifat kewanitaan yang baik dan dapat dijadikan

tauladan bagi para wanita sehingga sebutan-sebutan negatif misalnya

wanita hanya sebagai kanca wingking „teman di belakang‟, kanca turu

„teman tidur‟ yang sama sekali dianggap tidak berperan dalam keluarga

bisa dihilangkan.

Kata kunci: Teladan, Kunthi, Wanita Jawa

A. Pendahuluan

Di dalam masyarakat Jawa sekarang ini berkembang pendapat yang

negatif terhadap wanita, yaitu adanya sebutan terhadap wanita sebagai “Kanca

Wingking”, “Suwarga Nunut Neraka Katut”, bahkan ada yang menganggap

“Satru Munggwing Cangklakan” bagi orang tuanya. Akan tetapi sebenarnya

masyarakat Jawa di dalam cerita pewayangan memiliki seorang tokoh wanita

yang patut diteladani yaitu bernama Dyah Ayu Kunthi. Ia adalah anak seorang

raja yang memiliki sifat-sifat kewanitaan yang baik dan dapat dijadikan tauladan

bagi para wanita, tetapi memiliki riwayat hidup yang tidak dikehendaki oleh

semua wanita.

Dyah Ayu Kunthi Talibrata diceritakan mengandung dan berputera

sebelum menikah, setelah menikah dengan Prabu Pandhu Dewanata (Raja

Astina) berputera tiga yakni Puntadewa, Werkudara dan Janaka. Setelah Prabu

Pandhu tiada Kunthi pun menjadi janda. Berbagai cobaan hidup menimpa dia

1 Hartini , Sastra Daerah FSSR UNS Surakarta

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 60: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

206

bersama anak-anaknya, semua itu dilaluinya dengan tabah dan penuh kesabaran

dan pada akhirnya memperoleh kebahagiaan beserta keluarganya.

Karakter tokoh Dyah Ayu Kunthi Talibrata dalam cerita wayang,

merupakan obsesi pengarang cerita untuk mengaktualisasikan profil wanita Jawa

sejati yang diidolakan, sebab Kunthi memiliki karakter yang baik dan bisa

diteladani. Perjalanan hidup Dyah Ayu Kunthi Talibrata sangat menyedihkan,

akan tetapi dia mampu menunjukkan harga diri dan membuat semua wanita

akhirnya mengagumi sifat-sifatnya. Karakter tokoh Dyah Ayu Kunthi Talibrata

memang merupakan obsesi seorang pengarang agar dapat dicontoh khususnya

pada profil wanita Jawa modern. Tulisan ini juga bertujuan agar masyarakat

tidak menganggap rendah harkat martabat seorang wanita. Di dalam sejarah

Jawa, masyarakat Jawa kalau mau menyimak sebenarnya sudah memiliki tokoh

wanita Jawa yaitu Dyah Ayu Kunthi yang patut diteladani. Sehingga sebutan-

sebutan negatif misalnya kanca wingking „teman di belakang‟, kanca turu „teman

tidur‟ bisa dihilangkan.

B. Landasan Teori

Manusia adalah makhluk sosial, termasuk wanita Jawa. Wanita sebagai

makhluk sosial memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial.

Adapun lingkungan sosial yaitu suatu lingkungan masyarakat yang di dalamnya

terdapat interaksi antar individu masyarakat tertentu. Keberadaan lingkungan

sosial berpengaruh terhadap individu dalam masyarakat.2

Peran Wanita Jawa dalam masyarakat sebagai proses langkah kehidupan

sosial, dapat diambil contoh Ratu Kalinyamat putri dari Sultan Trenggana yang

menikah dengan Pangeran Hadiri. Setelah Sultan Tranggana wafat, maka daerah

kekuasaan Pangeran Hadiri bertambah luas, meliputi Kalinyamat, Jepara, Pati,

Juwana, dan Rembang. Daerah kekuasaannya tersebut dekat dengan kota

pelabuhan, oleh karena itu daerah kekuasaan Ratu Kalinyamat dan Pangeran

Hadiri menjadi kerajaan yang kaya raya.3.

Dalam keluarga, wanita sebagai anggota keluarga sangat berperan dalam

keluarganya. Seorang wanita sebagai ibu rumah tangga, ia salah satu anggota

keluarga yang paling banyak mempunyai kewajiban mengurusi keluarga, yang

terkadang mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, atau menambah

2 Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. (Yogyakarta: Andi Offset., 1990), hlm. 27.

3 Hayati, Chusnul. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara Abad XVI. (Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 57-58

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 61: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

207

pendapatan keluarga guna memperbaiki ataupun menegakkan ekonomi keluarga,

dan dapat menambah kesejahteraan keluarga.4

Teks-teks Jawa yang berbentuk tulisan juga banyak memuat berbagai

aspek kehidupan masa lalu orang Jawa, seperti teks-teks yang menampilkan

kehidupan wanita Jawa. Wanita Jawa adalah wanita yang berbahasa Jawa, yang

berakar pada kebudayaan dan cara berpikir orang Jawa. Naskah Jawa yang

berbentuk babad dan teks-teks ajaran menampilkan potensi wanita Jawa yang

hidup pada kurun waktu teks tersebut diciptakan. Potensi tersebut bermanfaat

baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat.5

Kenyataannya dalam kehidupan masyarakat terlihat banyak ketimpangan

wanita yang disebabkan berbagai kendala. Wanita mempunyai banyak tugas di

rumah, sehingga ada anggapan wanita itu lemah. Dalam perjalanan, kelemahan

wanita dapat terhapus dengan kelebihan dan potensi yang ada dalam diri wanita.6

Ibu merupakan guru yang pertama dan yang paling utama bagi seorang anak.

Karena ibu mempunyai banyak kesempatan dalam mendidik anak, hal ini masuk

akal karena ibu mengandung anaknya selama sembilan bulan, melahirkan

kemudian memberi susu dan mengasuhnya sampai dewasa. Dalam waktu itulah

seseorang dapat memberi perhatian, ajaran, memberi contoh-contoh yang dapat

dimengerti oleh anaknya.7

Wanita mempunyai banyak tugas di rumah, sehingga ada anggapan wanita

itu lemah. Dalam perjalanan, kelemahan wanita dapat terhapus dengan kelebihan

dan potensi yang ada dalam diri wanita. Sekarang wanita tidak hanya berperan

ganda, melainkan memiliki tiga peran yaitu normatif, substantif, dan prestatif.

Wanita-wanita tersebut tercermin dalam teks-teks Jawa. Adapun yang dimaksud

dengan wanita normatif, substantif, dan prestatif adalah sebagai berikut.

1. Wanita Normatif

Kata normatif berarti aturan, ukuran ketentuan, atau kaidah-kaidah yang

baku sebagai tolok ukur untuk menilai baik buruknya sesuatu.8 Dalam

hubungannya dengan potensi wanita, maka normatif di sini mempunyai makna

kegiatan wanita yang sesuai dengan ukuran dan keadaan wanita apa adanya.

4 Partini. Peluang Pegawai Wanita untuk Menduduki Jabatan Struktural Suatu Studi pada

Pegawai Negeri Sipil, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. (Disertasi. Universitas Gadjah

Mada. 1990), hlm. 60. 5 Sudarsono. Nilai Anak dan Wanita dalam Masyarakat Jawa. (Yogyakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Nusantara, Bagian Jawa. 1986), hlm. 30. 6 Istanti, 2008: 23.

7 Munandar. Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia. (Universitas Indonesia Press,

1986), hlm. 45. 8 Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2003

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 62: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

208

Keberadaan wanita dalam kehidupan keluarga sangat dominan, ketika suami

bekerja mencari nafkah, istri mengerjakan pekerjaan rumah. Meskipun ukuran

dan aturan mengurus anak dan mendampingi suami dalam keluarga tidak secara

tertulis, namun sudah membaku dan lazim dilakukan oleh wanita dalam

keluarga.

2. Wanita Substantif

Makna substantif adalah berdiri sendiri, mandiri.9. Makna dalam kamus

tersebut dapat diinterpretasikan bahwa wanita dalam hidup bermasyarakat.

Sebagai contoh wanita Jawa memiliki kegiatan rewangan dalam hajatan suatu

keluarga, kegiatan arisan, kegiatan posyandu, PKK, dan lain-lain yang sifatnya

positif.

3. Wanita Prestatif

Makna dari prestatif tersebut adalah hasil yang diperoleh dari sesuatu

yang dilakukan, misalnya prestasi dalam memegang ekonomi keluarga, dan

prestasi dalam mengelola administrasi organisasi.10

. Makna dalam kamus

tersebut dapat diinterpretasikan bahwa seorang wanita di samping mengurus

keluarga, juga mengikuti kegiatan sosial yang bermanfaat. Wanita dapat

melakukan kegiatan yang sejajar dengan pria, yaitu wanita dapat berkarier,

mengembangkan prestasi kerja, berwiraswasta dan sebagainya. Bertanggung

jawab pada dirinya sendiri atas segala sesuatu yang dilakukan dalam hidupnya

sesuai dengan norma-norma kehidupan yang berlaku di mana wanita tersebut

berada. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut wanita Jawa memiliki

potensi normatif, substantif, dan prestatif

C. Makna Filosofis Cerita Dewi Kunthi Talibrata

Dewi Kunthi Talibrata atau Dewi Prita adalah putri yang berasal dari

negara Mandura. Ia anak kedua dari empat bersaudara, kakaknya adalah Prabu

Basudewa raja Mandura. Adiknya adalah Raden Arya Prabu dan bungsunya

adalah Raden Ugrasena.

Dewi Kunthi menjadi permaisuri dari raja Hastinapura yang bergelar

Prabu Pandhu Dewanata. Prabu Pandhu Dewanata dapat meminang Dewi Kunthi

karena berhasil mengikuti sayembara di negara Mandura.

9 Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer tahun 1991

10 Ibid.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 63: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

209

Adanya sayembara itu dikarenakan banyaknya raja/satriya yang melamar

Dewi Kunthi sehingga Prabu Kunthiboja ayah Dewi Kunthi berinisiatif

mengadakan sayembara itu. Setelah Dewi Kunthi melihat raja/satriya yang

mengikuti sayembara itu dan melihat dengan cermat akhirnya menjatuhkan

pilihan ke seorang satriya yang tampan yaitu satriya dari negara Hastinapura

yang bernama Raden Pandhu Dewanata.

Ada beberapa masalah yang harus dihadapi Raden Pandhu Dewanata

setelah memenangkan sayembara dan menerima Dewi Kunthi, di antaranya ada

beberapa raja/satriya yang tidak menerima kekalahan itu. Tersebutlah Prabu

Gendararaja dari negara Plasajenar menantang Raden Pandhu Dewanata untuk

mengadu kesaktian dengan taruhan, apabila Raden Pandhu kalah maka Dewi

Kunthi Talibrata menjadi milik Prabu Gendararaja. Akan tetapi apabila Raden

Pandhu menang, maka adik dari Prabu Gendararaja yang bernama Dewi Gendari

menjadi milik Raden Pandhu Dewanata. Peperangan itu akhirnya terjadi dan

dimenangkan Raden Pandhu Dewanata, otomatis Dewi Gendari menjadi milik

Raden Pandhu Dewanata dan dibawa pulang ke Hastinapura bersama-sama

dengan Dewi Kunthi Talibrata.

Ada lagi seorang satriya yang tidak menerima apabila Dewi Kunthi

menjadi milik Raden Pandhu Dewanata yaitu Raden Narasoma dari negara

Madras atau dikenal dengan negara Mandaraka. Raden Narasoma juga

menantang Raden Pandhu Dewanata dengan perjanjian apabila Raden Narasoma

menang Dewi Kunthi Talibrata menjadi milik Raden Narasoma namun apabila

terjadi sebaliknya Dewi Madrim adik dari Raden narasoma menjadi milik Raden

Pandhu Dewanata. Peperangan terjadi dan dimenangkan oleh Raden Pandhu

Dewanata. Dewi Madrim juga diboyong ke Hastinapura bersama-sama dengan

Dewi Kunthi Talibrta dan Dewi Gendari. Sesampainya di negara Hastinapura,

Dewi Gendari diperisteri oleh Raden Destarata kakak Raden Pandhu Dewanata,

sedangkan Dewi Kunthi Talibrata dan Dewi Madrim diperistri Raden Pandhu

Dewanata.

Dewi Gendari di dalam hati tidak menerima kejadian itu, jauh di lubuk

hatinya ia juga ingin diperisteri oleh Prabu Pandhu Dewanata yang lebih tampan

dibandingkan Raden Destarata yang cacat matanya atau buta, namun karena

tidak berdaya ia hanya menerima keadaan tersebut, tetapi hatinya bertekad nanti

apabila mempunyai keturunan akan dipengaruhi untuk selalu bermusuhan

dengan anak-anak Raden Pandhu Dewanata, maka kejadian berikutnya Dewi

Gendari mempunyai anak dengan jumlah seratus terkenal dengan nama Kurawa

sedang Raden Pandhu Dewanata mempunyai anak lima laki-laki semua yang

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 64: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

210

terkenal dengan istilah Pandhawa. Pandhawa dan Kurawa lah yang nanti akan

melakukan peperangan besar yang disebut dengan Baratayuda Jayabinangun.

Dari perkawinanya dengan Raden Pandhu Dewanata Dewi Kunthi

Talibrata mempunyai tiga anak yaitu Raden Puntadewa, Raden Bima/Bratasena

dan Raden Arjuna/Janaka. Dewi Madrim mempunyai anak kembar yakni Raden

Nakula dan Raden Sadewa. Ketika Raden Pandhu Dewanata meninggal, Dewi

Madrim mengikuti suaminya sebagai perwujudan darma bakti kepada suami

dengan jalan ikut mati dengan terjun di api pembasmian. Tinggallah Dewi

Kunthi Talibrata yang merawat tiga anak dan dua anaknya Dewi Madrim. Para

Pandhawa masih sangat muda usianya ketika itu sehingga Dewi Kunthi Talibrata

sangat berat untuk merawat dan mnendidik anak-anaknya agar jadi anak anak

yang berbakti kepada agama, orang tua dan berguna bagi bangsa.

Perlu juga diketahui bahwa Dewi Kunthi Talibrata sebelum menikah

dengan Raden Pandhu Dewanata, sudah mempunyai satu anak yang bernama

Raden Karna/ Raden Suryaputra. Raden Karna lahir di luar nikah karena

kecerobohan Dewi Kunthi Talibrata ketika masih muda. Pada waktu itu Dewi

Kunthi Talibrata menjadi murid Resi Druwasa pujangga negara Mandura dan

diberi kesaktian bisa mendatangkan dewa-dewa. Resi Druwasa memberi pesan

bahwa ajian itu tidak boleh digunakan ketika sedang sendirian di dalam kamar

atau sedang mandi, tetapi Dewi Kunthi Talibrata melanggarnya. Ketika sedang

mandi, ia mencoba ajian tersebut maka Batara Surya atau sang dewa matahari

yang pada waktu itu sedang melalang buana, datang ke tempat Dewi Kunthi

Talibrata. Timbulah hasrat birahi Batara Surya dan terjadilah hubungan intim

sehingga lahirlah satriya yang tampan dan sakti mandraguna dengan nama Raden

Karna. Atas petunjuk resi Druwasa, demi menyelamatkan nama negara dan

orang tua, Dewi Kunthi Talibrata harus rela berpisah dengan Karna maka Raden

Karna dibuang ke sungai. Dewi Kunthi Talibrata sangat menyesal dan merasa

berdosa sehingga untuk menebus dosa itu, pada awal perang perang Baratayuda

Jayabinangun Dewi Kunthi Talibrata menemui Raden Karna untuk meminta

maaf dan memohon kepada Raden Karna untuk bergabung dengan Pandhawa

karena mereka sebenarnya adalah saudara satu ibu lain ayah. Tetapi Raden Karna

teguh memegang pendiriannya untuk tetap bergabung dengan Kurawa.

Dewi Kunthi Talibrata sangat tekun dan gigih di dalam merawat dan

mendidik Pandhawa, baik ketika masih di keraton Hastina maupun ketika

Pandhawa sedang mengalami kesusahan, yaitu ketika tidak jadi menerima negara

Hastina karena tempat perayaannya pada waktu itu terbakar (dalam

lakon/ceritera Bale Sigala-gala). Setelah kejadian tersebut Dewi Kunthi

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 65: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

211

Talibrata yang seorang diri membimbing anak-anaknya dengan hidup di hutan

sampai pada kisah Raden Puntadewa/Yudhistira mendapatkan jodoh Dewi

Drupadi atau Dewi Kresna.

Pelajaran yang juga selalu diberikan pada anak-anaknya ialah selalu

menghargai dan mengingat jasa orang lain, contohnya ketika Raden Bratasena

mempunyai masalah dengan raja Jin Amarta karena dianggap mengganggu

kerajaan jin (lakon/ceritera Babad Wanamarta). Waktu itu Raden Bratasena

menjadi tawanan musuh yang akhirnya dapat ditolong oleh seorang raseksi

(seorang raksasa putri) dari negara Pringgadani yang bernama Dewi Arimbi.

Dewi Arimbi sebelum menolong mempunyai permintaan apabila dapat

menolong Raden Bratasena ingin sekali diperistri Raden Bratasena, namun

Raden Bratasena setelah melihat wajah Dewi Arimbi yang mengerikan tidak

mau. Dewi Kunthi melihat peristiwa tersebut segera memberi wejangan kepada

Raden Bratasena dan setelah menerima petuah-petuah dari sang ibu, akhirnya

Dewi Arimbi diperistri oleh Raden Bratasena. Buah perkawinan mereka adalah

seorang satriya yang gagah perkasa yaitu raja negara Pringgadani yang bernama

Raden Harya Gatutkaca.

Petuah lainnya yang mencolok adalah Dewi Kunthi berusaha mencegah

perang besar Baratayuda Jayabinangun terjadi, karena peperangan itu dilakukan

oleh sesama saudara. Menurut Dewi Kunthi Talibrata peperangan itu hanya akan

menyisakan kesusahan dan penderitaan yang sangat panjang yang nantinya

banyak orang-orang tidak berdosa akan ikut menanggung kejamnya perang yang

maha dahsyat. Dengan berpendapat demikian, Dewi Kunthi Talibrata kemudian

pergi ke Hastinapura sebagai duta/utusan Pandhawa untuk membicarakan

berbagai persoalan dengan Kurawa, yang mempunyai tujuan segala sesuatu

seyogyanya dibahas dengan kepala dingin berdasarkan cinta damai dan rasa

kasih sayang tidak harus melalui kekerasan (lakon/ceritrea Kunthi Duta). Tapi

dewa berkehendak lain, bahwa perang Baratayuda Jayabinangun harus terjadi.

Di dalam cerita wayang, para tokoh Pandhawa sering dijadikan acuan

pedoman hidup karena tingkah lakunya yang sering menegakan kebenaran dan

keadilan, sering kali tokoh Pandhawa diperbincangkan di berbagai kalangan,

bahkan ada yang menjadikannya sebagai pedoman hidup. Begitu termasyurnya

nama Pandhawa, begitu dieluk-elukannya Pandhawa karena budi pekertinya, itu

semua pasti tidak lepas dari andil dan peran sang ibu yang nyata-nyata berhasil

di dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi anak yang sangat berbakti

kepada agama, orang tua dan berguna bagi nusa dan bangsa.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 66: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

212

“Wanita” dalam bahasa Jawa dikenal sebagai akronim (Jarwa Dhosok)

dari dua kata “wani” dan “ditata” yang artinya berani diatur. Maksudnya bahwa

wanita itu dalam budayanya banyak terikat oleh aturan tata susila yang harus

ditaati. Dalam pandangan Jawa, wanita sesuai dengan kodratnya memiliki

keterbatasan-keterbatasan tertentu bila dibanding pria. Cara berpakaian misalnya,

wanita Jawa tidak sebebas pria Jawa yang biasa bertelanjang dada seenaknya

ketika mengalami kegerahan di muka umum. Begitu pula di dalam berlaku dan

bertutur, wanita Jawa tidak dianggap pantas apabila melakukannya secara kasar,

seperti layaknya seorang pria. Hal tersebut bukanlah perlakuan deskriminatif

terhadap pria maupun wanita, akan tetapi lebih cenderung pada pelaksanaan

etika pergaulan di dalam kehidupan bersama masyarakat Jawa, di mana kaum

pria berkewajiban melindungi wanita. Disamping itu wanita juga harus dapat

menjaga martabatnya sendiri.

Berbagai pergelaran wayang sering menyatakan bahwa, wanita itu ibarat

bunga yang harum semerbak baunya. Menandakan banyak kandungan madunya

sehingga tak mengherankan jika banyak kumbang yang ingin menghisap

madunya. Maka bilamana sang bunga tidak bisa menjaga martabatnya dan tidak

kuat menjaga dirinya sendiri, bukan tidak mungkin madunya akan banyak

diserap oleh kumbang dan akhirnya bunga itu menjadi layu.

Penghargaan yang tinggi diberikan kepada wanita yang telah menjadi ibu

yang tersirat dalam tulisan “surga berada di bawah telapak kaki ibu”. Artinya

seorang ibu memiliki peranan dalam kehidupan berumah tangga yang sangat

mulia, di mana baik buruknya sebuah rumah tangga selesainya pekerjaan,

pendidikan seorang anak dan sebagainya, itu semua tergantung dari kemampuan

sang ibu di dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, kiranya tidaklah

berlebihan manakala ada upaya untuk mewujudkan sebuah gagasan idealistis

tentang profil wanita Jawa sejati dalam bentuk item-item, sebagai tolak ukur

karakteristiknya yang digali dari sumber budaya masyarakat Jawa berupa cerita

wayang.

D. Kesimpulan

Setiap wanita sesuai kodratnya sebagai wanita pasti mendambakan

menjadi ibu, begitu pula setiap ibu akan mendambakan anak dari buah

perkawinan yang sah, di mana dikemudian hari diharapkan dapat hidup bahagia,

berguna bagi nusa dan bangsa.

Gambaran tersebut di atas telah diekspresikan dalam cerita wayang, di

mana seorang tokoh wanitanya memiliki peranan penting yaitu bernama Dyah

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 67: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

213

Ayu Kunthi, adalah anak seorang raja yang memiliki sifat-sifat kewanitaan yang

baik dan dapat dijadikan tauladan bagi para wanita, tetapi memiliki riwayat

hidup yang tidak dikehendaki oleh semua wanita.

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan rangsangan bagi kaum wanita

untuk lebih bergairah dalam menjalani hidup, dengan lebih kreatif dan inovatif

untuk membentuk pribadi yang diharapkan. Pada kenyataannya wanita telah

berada di tengah masyarakat, dan mereka telah menunjukkan kemampuan untuk

dapat hidup berdampingan dengan baik dan harmonis dengan kaum wanita

lainnya maupun dengan kaum pria. Pada dasarnya wanita harus diajak, dibina

serta dipromosikan keberadaannya dalam hal yang lebih positif.

DAFTAR PUSTAKA

Hayati, Chusnul. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara Abad XVI. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional.

Munandar, 1986. Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia: Universitas

Indonesia Press.

Partini. 1999. “Peluang Pegawai Wanita untuk Menduduki Jabatan Struktural

Suatu Studi pada Pegawai Negeri Sipil, Pemerintah Daerah Istimewa

Yogyakarta”. Disertasi. Universitas Gadjah Mada.

Sudarsono. 1986. Nilai Anak dan Wanita dalam Masyarakat Jawa Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Nusantara, Bagian Jawa. Yogyakarta.

Salim, Peter dan Yenny Salim. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer.

Jakarta, Modern English Press.

Walgito, Bimo. 1989. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 68: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

214

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

MELALUI MEDIA PEMBELAJARAN MULTIMEDIA INTERAKTIF

Endang Sri Mureiningsih1

[email protected]

Abstrak

Pengajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan

kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki

kehidupan bermasyarakat yang dinamis, dengan demikian diharapkan pengajaran

IPS dapat membekali para siswa untuk menjadi warga negara yang demokratis

dan bertanggung jawab. Kurang tepatnya metode pembelajaran mengakibatkan

hasil belajar yang diperoleh siswa tidak seperti yang diharapkan. Oleh karena itu

perlu dicari metode pembeajaran yang menarik agar siswa lebih mudah

memahami materi mata pelajaran IPS yang selalu dinamis dan berkembang,

salaha satunya adalah dengan menggunakan media. Permasalahan penelitian ini

adalah apakah dengan menggunakan sarana media multimedia interaktif dapat

meningkatkan hasil belajar siswa tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan

media multimedia interaktif pada kelas VII A semester I SMP Negeri 2

Ampelgading Kabupaten Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014? Penelitian ini

menggunakan 2 siklus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan

motivasi belajar dari rendah menjadi agak tinggi, dan peningkatan hasil belajar

sebesar 47,43% dari rata-rata hasil tes pra siklus 66,05 ketuntasan 47,37%, siklus I

meningkat menjadi 72,36 dengan ketuntasan 78,95% sedangkan tes siklus II rata-

rata 81,08 ketuntasan 94,74% maka ada peningkatan.

Kata kunci: hasil belajar, media pembelajaran multimedia interaktif, keragaman

bentuk muka bumi.

A. Pendahuluan

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan Ilmu Pengetahuan yang

terintegrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, geografi,

ekonomi dan sosiologi ditambah dengan selalu berkembang, terdiri atas berbagai

disiplin ilmu seperti sejarah, geografi, ekonomi dan sosiologi.

Pengajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman

dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki

kehidupan bermasyarakat yang dinamis, dengan demikian diharapkan pengajaran

1 Endang Sri Mureiningsih, SMP N 2 Ampelgading Pemalang

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 69: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

215

IPS dapat membekali para siswa untuk menjadi warga negara yang demokratis

dan bertanggung jawab.

Didalam pengajaran IPS di SMP kurang tepatnya dalam memilih metode

sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa tidak seperti yang diharapkan selain

itu mata pelajaran IPS juga selalu berkembang

Kondisi umum dalam pelaksanaan pembelajaran IPS di SMP Negeri 2

Ampelgading Kabupaten Pemalang khususnya pada kelas VII A masih kurang

dari yang diharapkan, hal ini terbukti dari hasil belajar siswa masih di bawah batas

KKM yang hendak dicapai yaitu 70.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, data yang diperoleh berdasarkan hasil

yang dicapai tes tahun lalu untuk materi tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi

terdapat 52,63% siswa yang belum terpenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)

mencapai tingkat ketuntasan 70 dengan jumlah siswa 38 siswa, ketidaktuntasan

tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Penyebab kurangnya hasil belajar untuk

mata pelajaran IPS khususnya untuk materi tentang Keragaman Bentuk Muka

Bumi adalah kurang aktifnya siswa dalam ikut berperan dalam proses

pembelajaran, kurang tepatnya guru dalam memilih metode pembelajaran

sehingga kurang menyenangkan siswa atau masih menggunakan cara

konvensional, sarana prasarana, penggunaan media pembelajaran dan masih

banyak lagi penyebab lainnya.

Di dalam proses pembelajaran pada kompetensi dasar tentang Keragaman

Bentuk Muka Bumi muncul beberapa permasalahan : masalah yang utama adalah

hasil dari pencapaian target kurang seperti yang diharapkan dengan kata lain

masih di bawah KKM. Kurangnya hasil belajar yang masih di bawah target

pencapaian diakibatkan oleh beberapa hal, misalnya dalam proses pembelajaran

siswa masih kurang aktif berperan dalam proses pembelajaran, kurang tepatnya

guru dalam memilih metode pembelajaran sehingga kurang menyenangkan siswa

atau masih menggunakan cara konvensional, sarana prasarana, penggunaan media

pembelajaran.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah dengan

menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif dapat meningkatkan

hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi

pada siswa kelas VII A semester I SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten

Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014 ?

Sejalan dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui sejauh mana meningkatnya keaktifan, sekaligus hasil belajar siswa

pada materi Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan menggunakan media

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 70: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

216

pembelajaran multimedia interaktif siswa kelas VII A semester I SMP Negeri 2

Ampelgading Kabupaten Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014.

Tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya bagi

peneliti sendiri dan dunia pendidikan pada umumnya : adapun manfaat yang

diperoleh adalah manfaat teoritis (1) mendapat teori baru tentang meningkatnya

hasil belajar IPS tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan menggunakan

media pembelajaran multimedia interaktif, (2) hasil penelitian ini dapat dijadikan

sebagai dasar pijakan untuk mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya

yang sejenis dan manfaat langsung (1) bagi siswa dengan pembelajaran melalui

media pembelajaran multimedia interaktif dapat meningkatkan keaktifan dan hasil

belajar siswa serta dalam proses pembelajaran pun menyenangkan dan tidak

membosankan, (2) bagi guru, dapat digunakan sebagai acuan atau masukan bahwa

dalam pembelajaran tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan

menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif dapat meningkatkan

keaktifan dan hasil belajar siswa serta meningkatkan kemampuan mengajar

berpikir kreatif dan inovatif, (3) bagi sekolah, sebagai bahan masukan kepada

sekolah dalam menentukan kebijakan sekolah agar dapat mengoptimalkan para

pendidik dalam menggunakan metode pengajaran yang sesuai guna meningkatkan

hasil belajar siswa.

B. Landasan Teoritis Dan Hipotesis Tindakan

Dalam penelitian tersebut sebagai bahan landasan teori adalah berkaitan

dengan kompetensi yang dimiliki siswa, dan model pembelajaran dengan media

pembelajaran multimedia interaktif.

1. Kajian Teori

Kompetensi dipandang sebagai hasil sebuah proses belajar. Secara umum

belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku individu dan hasil

interaksi dengan lingkungannnya. Proses yang disengaja dan direncanakan

akan terjadi perubahan perilaku disebut sebagai proses belajar. Gagne dan

Briggs dalam Nurgiyantoro2, mengklasifikasikan kompetensi menjadi lima

yaitu (1) ketrampilan intelektual, (2) strategi kognitif, (3) informasi verbal, (4)

ketrampilan motor, dan (5) sikap.

2Nurgiyantoro. Penilaian dan Pengajaran Bahasa dan Sastra. (Yogyakarta. BPFE.

Yogyakarta. 2001), hlm. 22.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 71: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

217

Pengertian ini dipertegas pula oleh Mulyasa3 bahwa kompetensi adalah

pengetahuan, ketrampilan, kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang

telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga dapat melakukan perilaku-

perilaku kognitif, afektif dan psikomotor dengan sebaik-baiknya.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas disimpulkan bahwa

kompetensi merupakan hasil belajar yang meliputi pengetahuan, ketrampilan

yang dikuasai seseorang sehingga dapat melakukan perilaku kognitif, afektif,

dan psikomotor.

2. Belajar

Belajar adalah kegiatan fisik atau badaniah, jadi hasil yang dicapai

berupa perubahan-perubahan dalam fisik, seperti dapat berlari, mengendarai

sepeda motor dan lain-lain. Belajar merupakan suatu proses yang ditandai

dengan adanya perubahan diri sendiri seseorang4. Belajar dapat diartikan

setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi

sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman5. Hilgard dan Bawen

menyatakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku

seseorang terhadap situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat

dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau

keadaan-keadaan sesaat seseorang6.

Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui dan disimpulkan ciri

khusus pengertian belajar yaitu sebagai tanda seseorang yang telah

melakukan proses belajar adalah terjadinya perubahan tingkah laku pada diri

seseorang tersebut sedangkan perubahan yang terjadi akibat proses

kematangan seseorang tidak dianggap sebagai hasil belajar.

3. Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia

menerima pengalaman belajar. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk

dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal

3 Mulyasa, E.. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan

Implemantasi. (Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2006), hlm. 38 4 Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. (Jakarta : Rajawali Press.

1990). Hlm, 28 5 M. Ngalim Purwanto & Djeniah Alim. Metodologi Pengajaran Bahasa Indonesia di

Sekolah Dasar. (Jakarta : PT. Rosda Jaya Putra. 1997), Hlm, 84. 6 Ibid, hlm, 84.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 72: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

218

ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dengan diiringi oleh

perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi.

Di bawah ini telah disampaikan tentang pengertian hasil belajar dari

para ahli :

Hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu

sisi siswa dan sisi guru, dari sisi siswa hasil belajar merupakan

tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan

pada saat sebelum belajar, tingkat perkembangan mental tersebut

terwujud pada jenis-jenis anak kognitif, afektif dan psikomotor.

Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikan

nya bahan pelajaran.

4. Media

Dalam kegiatan belajar mengajar kita mengenal berbagai media

pengajaran. Media pengajaran ini merupakan alat bantu dalam kegiatan

belajar mengajar yang dapat mempermudah guru dalam menyampaikan

materi pelajaran. Sedangkan arti dari media pembelajaran adalah sesuatu

yang dapat digunakan untuk menyalurkan isi pelajaran agar dapat dilihat,

dibaca atau didengar oleh siswa.

5. Multimedia

Multimedia merupakan suatu sistem penyampaian dengan

menggunakan berbagai jenis bahan belajar yang membentuk suatu unit atau

paket. Multimedia merupakan kombinasi dari data teks, audio, gambar,

animasi, video dan interaksi7.

6. Multimedia Interaktif

Pengertian multimedia interaktif secara etimologis berasal dari kata

multi (bahasa latin, nouns) yang berarti banyak, bermacam-macam dan

medium (bahasa latin) yang berarti sesuatu yang dipakai untuk

menyampaikan atau membawa sesuatu. Kata medium dalam American

Heritage Electronic Dictionary

juga diartikan sebagai alat untuk

mendistribusikan dan mempresentasikan informasi8.

7 Zeembry, Pengertian Multimedia Interaktif. 2008.

8 Rachmat, Antonius dan Alphone Roswanto. Chapter 1 “ Pengantar Multimedia (materi

kuliah “Multimedia” IM 2023) semester Genap 2005/2006.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 73: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

219

Multimedia menurut beberapa ahli :

a. Multimedia menurut Turban adalah Kombinasi dari paling sedikit dua

media input atau output. Media ini dapat berupa audio (suara, musik)

animasi, video teks, grafik dan gambar9.

b. Multimedia menurut Linda Robin adalah Alat yang dapat menciptakan

presentasi yang dinamis dan interaksi yang mengkombinasikan teks,

grafik, animasi, audio dan video10

c. Multimedia menurut Hofstetter dalam Suyanto11

dikatakan bahwa

Multimedia dalam konteks komputer adalah Pemanfaatan komputer

untuk membuat dan menggabungkan teks, grafik, audio, video dengan

menggunakan tool yang memungkinkan pemakai berinteraksi, berkreasi

dan berkomunikasi.

d. Zeembry mengemukakan bahwa Multimedia merupakan kombinasi dari

data teks, audio, gambar, animasi, video dan interaksi, yang menyimpan

dan menampilkan data-data multimedia 12

.

Berdasrkan pendapat-pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

multimedia merupakan perpaduan antara berbagai media (format file) yang

berupa teks, gambar (vektor atau bitmap), grafik, sound, animasi, video,

interaksi yang telah dikemas menjadi file digital (komputerisasi), digunakan

untuk menyampaikan pesan kepada publik.

7. Kerangka Berpikir

Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan disiplin ilmu yang lain yang

bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan

analisis terhadap kondisi sosial masyarakat yang dinamis sehingga

membekali siswa untuk dapat menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

8. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teoritik dan kerangka berpikir di atas dapat diajukan

rumusan hipotesis sebagai berikut : (1) ada peningkatan hasil belajar siswa

khusus kompetensi dasar tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan

menggunakan media pembelajaran multimediamedia interaktif pada siswa

9 Turban., dkk. Aplikasi Multimedia Interaktif. (Yogyakarta: Paradigma, 2002).

10 Robin,Linda. Pengantar multimegia untuk media pembelajaran. 2001.

11 Suyanto, M., Multimedia. Yogyakarta, Andi Ofs t. 2005.

12 Zeembry, Pengertian Multimedia Interaktif. 2008.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 74: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

220

kelas VII A semester I SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten Pemalang

Tahun Pelajaran 2013/2014, (2) ada peningkatan kompetensi siswa dalam

mengikuti pembelajaran khusus kompetensi dasar tentang Keragaman Bentuk

Muka Bumi dengan menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif

pada siswa kelas VII A semester I SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten

Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014.

C. Metode Penelitian

Penelitian tindakan kelas dilaksanakan di kelas VII A semester I SMP

Negeri 2 Ampelgading Kabupaten Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014. Subyek

penelitian adalah siswa kelas VII A dengan jumlah siswa 38, laki-laki 24 siswa,

perempuan 14 siswa.

1. Desain Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan dalam dua siklus, setiap

siklus diakhiri dengan tes, untuk mengetahui perkembangan hasil belajar siswa.

Setiap siklus terdiri atas empat tahapan yaitu (a) tahap perencanaan, (b) tahap

tindakan, (c) tahap pengamatan dan (d) tahap refleksi.

Siklus I Siklus II

Bagan 1. Siklus Pelaksanaan Tindakan Kelas

Keterangan :

P : Perencanaan

T : Tindakan

O : Observasi

R : Refleksi

a. Siklus I

1) Tahap Perencanaan

Kegi atan yang direncanakan pada siklus I meliputi : (1) peneliti

menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) ; (2) menyusun

lembar observasi untuk mengamati kegiatan siswa dan guru selama proses

P

O

R T

P

O

R T

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 75: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

221

kegiatan belajar berlangsung ; (3) guru mempersiapkan media dan alat

bantu lain yang sesuai dengan materi tentang Keragaman Bentuk Muka

Bumi digunakan dalam proses belajar mengajar; (4) menyusun alat

evaluasi yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa

dalam memahami konsep dan makna dari materi tentang Keragaman

Bentuk Muka Bumi; (5) menetapkan seorang guru (peneliti) untuk

mengajar dan seorang guru lain sebagai pengamat.; (6) menyusun skenario

pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran multimedia

interaktif; (7) merancang membentuk kelompok siswa; (8) merencanakan

pelaksanaan tindakan pembelajaran dengan menggunakan media

pembelajaran multimedia interaktif.

2) Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan pembelajaran pada materi pokok Keragaman

Bentuk Muka Bumi disajikan 2 jam pertemuan atau 2 x 40 menit. Pada

tahap kegiatan ini meliputi : pendahuluan, kegiatan inti dan penutup.

3) Tahap Pengamatan

Pada tahap ini guru peneliti dan seorang guru lain sebagai pengamat

(observer) terlibat secara aktif melakukan pengamatan menggunakan

instrumen pengamatan guru dan siswa. Hasil pembelajaran pada siklus I

nanti digunakan sebagai bahan perbandingan pada siklus II, apakah pada

siklus II mengalami peningkatan atau tidak baik keaktifannya ataupun

pada hasil.

4) Refleksi

Hasil data yang diperoleh pada tahap pengamatan dikumpulkan yang

kemudian dianalisis. Hasil analisis digunakan untuk mengetahui apakah

pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran multimedia

interaktif pada pokok materi Keragaman Bentuk Muka Bumi dapat

meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Hasil analisis data

dijadikan sebagai bahan acuan untuk perencanaan kegiatan pada siklus

berikutnya.

b. Siklus II

1) Tahap Perencanaan

Kegiatan yang direncanakan pada siklus II meliputi : melakukan

perbaikan-perbaikan pada siklus I, terutama pada alokasi waktu yang

kurang tepat dan memberikan motivasi kepada siswa.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 76: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

222

2) Tahap Pelaksanaan

Perbaikan dilakukan didalam proses KBM, dan diakhiri dengan tes

untuk mengukur kompetensi terhadap materi yang telah dikuasai.

3) Tahap Pengamatan

Pada tahap ini guru peneliti dan seorang guru lain sebagai pengamat

melakukan pengamatan untuk dibandingkan dengan siklus I.

4) Refleksi

Hasil data yang diperoleh pada tahap pengamatan dikumpulkan yang

kemudian dianalisis. Hasil analisis digunakan untuk mengetahui apakah

pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran multimedia

interaktif pada materi tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dapat

meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Hasil analisis data

dijadikan sebagai bahan acuan untuk perencanaan pada siklus berikutnya.

2. Teknik Pengambilan dan Analisis Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi,

observasi dan tes. Sedangkan alat pengumpulan yang digunakan untuk

mengumpulkan data adalah lembar observasi, soal-soal tes. Sumber data diperoleh

dari siswa dan guru dengan mengamati aktifitas siswa dan guru selama proses

pembelajaran dengan media pembelajaran multimedia interaktif berlangsung, nilai

ulangan dari tes dan informasi dari sesama guru.

D. Hasil Penelitian

Hasil penelitian tindakan kelas ini diperoleh dari tindakan pra siklus (pre

tes), siklus I dan siklus II. Hasil tes tindakan siklus I dan siklus II tentang

Keragaman Bentuk Muka Bumi sedangkan hasil non tes berupa perubahan

perilaku yang diperoleh melalui catatan harian guru, catatan harian siswa,

wawancara dan dokumentasi foto.

1. Hasil Penelitian Kondisi Awal atau Pra Siklus

Kondisi awal hasil belajar dan aktifitas belajar siswa kelas VII A pada

Keragaman Bentuk Muka Bumi untuk mata pelajaran IPS, dari jumlah 38

siswa yang memperoleh nilai tuntas hanya 18 siswa atau 47,37%.

2. Hasil Penelitian Siklus I

Ketika diadakan tindakan pada siklus I kompetensi siswa tentang

Keragaman Bentuk Muka Bumi ada peningkatan demikian pula keaktifan

siswa mulai tampak meskipun belum signifikan. Adapun hasil dari siklus I

adalah sebagai berikut.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 77: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

223

Tabel 1

Kompetensi Siswa Siklus I

No. Nilai Jumlah

Siswa Prosentase

1 ≥ 70 30 79

2 < 70 8 21

Jumlah 38 100

Dari data tersebut di atas dapat kita lihat hasil pada tindakan siklus I yang

berkaitan dengan kompetensi jumlah siswa yang mendapat nilai 70 ke atas ada 30

siswa sekitar 79% sedangkan yang mendapat nilai kurang dari 70 sejumlah 8

siswa (21%). Sedangkan data keaktifan siswa yang diperoleh dari siklus I adalah

sebagai berikut :

Tabel 2

Keaktifan Siswa Siklus I

No

. Jumlah

Aspek yang dinilai

Per

hat

ian s

isw

a

Kea

kti

fan

Kem

ampuan

ber

pen

dap

at

Men

yim

pulk

an

1 Jumlah

siswa 20 16 6 8

2 Presentase 53 42 16 21

Dari data yang diperoleh pada siklus I tentang keaktifan siswa dapat kita

lihat pada proses pembelajaran bahwa siswa yang memperhatikan 20 siswa

(53%), siswa yang aktif 16 orang (42%), mampu mengemukakan pendapat 6

orang (16%), dan yang dapat memberikan simpulan 8 orang (21%). Hasil dari

siklus I dijadikan acuan dalam pelaksanaan siklus II.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 78: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

224

3. Hasil Penelitian Siklus II

Setelah diadakan perbaikan-perbaikan kemudian dilakukan tindakan pada

siklus II. Adapun hasil dari siklus II adalah sebagai berikut :

Tabel 3

Kompetensi Siswa Siklus II

No. Nilai Jumlah

Siswa Prosentase

1 ≥ 70 36 95

2 < 70 2 5

Jumlah 38 100

Dari data tabel 3 tentang kompetensi siswa dapat kita lihat perolehan nilai

70 ke atas terdapat 36 orang atau 95%, sedangkan nilai di bawah 70 ada 2 orang

atau 5%. Untuk peran serta siswa dalam proses pembelajaran pada siklus II

diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4

Keaktifan Siswa Siklus II

No

. Jumlah

Aspek yang dinilai

Per

hat

ian s

isw

a

Kea

kti

fan

Kem

ampuan

ber

pen

dap

at

Men

yim

pulk

an

1 Jumlah

siswa 30 24 16 10

2 Presentase 79 63 42 39

Dari data hasil peran serta peserta siswa dalam proses pembelajaran pada

siklus II dapat dilihat untuk perhatian siswa 30 orang atau 79% penuh perhatian

terhadap proses pembelajaran, keaktifan 24 orang atau 63%, kemampuan

menyatakan pendapat 16 orang atau 42%, serta menyimpulkan 10 orang atau

39%.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 79: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

225

0

20

40

60

80

100

120

≥ 70 < 70 Jumlah

Jumlah Siswa

Presentase

0

20

40

60

80

100

120

≥ 70 < 70 Jumlah

Jumlah Siswa

Presentase

E. Pembahasan

Berdasarkan hasil observasi dan tindakan pada siklus I dan siklus II

menunjukkan bahwa pembelajaran dengan media pembelajaran multimedia

interaktif yang berlangsung pada siklus II berdampak positif terutama pada

peningkatan hasil belajar, keaktifan siswa menjadi lebih baik, komunikasi

interaktif antara siswa dan guru terealisir, siswa merasa senang dengan pemberian

tugas dari guru. Meskipun secara keseluruhan tindakan belum sempurna betul

namun paling tidak siklus II dapat menjawab hipotesa di atas, hal ini dapat dilihat

dari perbandingan hasil ketuntasan belajar antara siklus I dengan siklus II.

Pada siklus I pembelajaran tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan

menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif yang diterapkan guru

sudah cukup baik, dimana hasil pembelajaran dari pembelajaran mencapai 79%

siswa telah mencapai batas tuntas secara individual namun secara klasikal batas

ketuntasan belum dapat tercapai, sedangkan pada siklus II hasil dari pembelajaran

mencapai 95% siswa mencapai batas tuntas secara individual; terdapat kenaikan

dalam peningkatan hasil sebesar 16%. Peningkatan hasil belajar siswa pada siklus

I dan siklus II dilihat dalam bentuk grafik berikut :

Grafik 1.

Perbandingan Ketuntasan Hasil Belajar Siklus I dan Siklus II

Kemudian untuk keaktifan dan peran serta siswa dalam proses pembelajaran

pada siklus I dan siklus II bila dibandingkan dapat dilihat pada tabel 5.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 80: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

226

Tabel 5

Perbandingan Aktifitas Siswa pada Siklus I dan Siklus II

No. Aspek

Pengamatan

Siklus

I

Siklus

II

1 Perhatian siswa 20 30

2 Keaktifan siswa 16 24

3 Kemampuan

berpendapat 6 16

4 Menarik

kesimpulan 8 10

Jumlah 50 80

Persentase 33 53

Pada tabel 5 perbandingan aktifitas siswa tampak terdapat adanya

peningkatan peran serta siswa dalam mengikuti proses pembelajaran sekitar 20%,

untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik 2.

Grafik 2

Perbandingan Keaktifan Siswa pada Siklus I dan Siklus II

Dari hasil pembahasan yang berdasarkan data-data tersebut di atas dapat

ditarik kesimpulan bahwa adanya peningkatan kompetensi siswa dan perubahan

sikap perilaku siswa dalam pembelajaran tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi

0102030405060708090

Siklus I

Siklus II

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 81: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

227

dengan menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif, baik dari hasil

maupun keaktifan siswa mengalami peningkatan.

F. Penutup

1. Simpulan

Berdasarkan hasil observasi dan tes penguasaan kompetensi dasar pada tiap

siklus yang telah dikemukakan pada bab terdahulu, maka dapat ditarik simpulan

bahwa dengan pembelajaran tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan

menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif dapat (1) meningkatkan

hasil belajar atau prestasi belajar siswa pada materi tentang Keragaman Bentuk

Muka Bumi dengan media pembelajaran multimedia interaktif untuk kelas VII A

di SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014.

Terbukti adanya peningkatan ketuntasan hasil belajar sebesar 16% dari siklus I ke

siklus II, (2) meningkatkan aktifitas belajar siswa, pada siklus I dan siklus II

keaktifan siswa, menyampaikan pendapat dan menyimpulkan terdapat

peningkatan sebesar 20%.

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas dapat diberikan saran (1) kepada guru-guru

IPS dapat melakukan kegiatan penelitian tindakan kelas untuk dapat memecahkan

masalah-masalah yang dihadapi di kelas untuk dapat meningkatkan prestasi

belajar siswa, (2) melakukan inovasi dalam pembelajaran untuk dapat

meningkatkan keaktifan siswa di sekolah, (3) kepada pengelola sekolah, hasil

penelitian ini hendaknya dapat digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan yang

berkaitan dengan pengembangan profesi guru dan peningkatan kualitas

pembelajaran.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 82: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

228

DAFTAR PUSTAKA

M. Ngalim Purwanto & Djeniah Alim. (1997). Metodologi Pengajaran Bahasa

Indonesia di Sekolah Dasar. Jakarta : PT. Rosda Jaya Putra.

Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan

Implemantasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Nasution. 1990. Didaktik Asas-Asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara

Peraturan Mendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses Pembelajaran

Pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dalam www.depdiknas.go.id

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

dalam www.depdiknas.go.id

Robin,Linda, 2001 Pengantar multimegia untuk media pembelajaran.

Rudi, Susilana dan Riana Cedpi. 2007. Media Pembelajaran. Bandung : CV.

Wacana Prima

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media.

Sardiman AM dkk. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Pengetahuan Sosial.

Jakarta : Depdiknas.

Sasonoharjo dan Yenny Jory Salmon. 2005. Pembangunan Media Pembelajaran.

Lembaga Administrasi Negara.

Slamento. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : PT.

Rineka Press

Sudjana, Nana. 1990. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Jakarta :

Rajawali Press.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabetha

Sukidin, Basrowi dan Sunarto. 2008. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas.

Insan Cendikia.

Sumiati dan Astra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung : CV Wacana Prima.

Suprapti, Wahyu dan Sudarman. 2005. Ragam Metode Belajar. Lembaga

Administrasi Negara.

Suprapto, Eko. 2008. Model-model Pelatihan PTK. Semarang : PT.

Suryosubroto, Sumadi. 1993. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grasindo

Persada.

Susanto. 2000. Problematika Pembelajaran Sejarah Bahan Seminar pada

Seminar Sejarah Nasional Indonesia, di PPG IPS dan PMP Malang.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 83: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

229

Tanggal 25 Nopember 2000. Malang : Depdiknas, Dirjen Pendidikan Dasar

dan Menengah.

Susilo. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.

Suyanto, M., Multimedia. Yogyakarta, Andi Ofset. 2005.

Syah, Muhibibin. 2006. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung

: PT. Remaja Rosda Karya.

Tim Fasilitator PLPG. 2004. Model Pembelajaran. Semarang

Turban., dkk, 2002, Aplikasi Multimedia Interaktif, Paradigma, Yogyakarta.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Wiraatmaja, Rochiati. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung :

Remaja Rosda Karya

Zeembry, 2008. Pengertian Multimedia Interaktif.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 84: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

230

MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN STRATEGI

PEMBELAJARAN BERBASIS SOSIOLOGI KRITIS, KREATIVITAS,

DAN MENTALITAS

Mustofa Kamal1

Abstrak

Pengembangan kurikulum tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung

dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak pihak,

seperti politikus, pengusaha, orangtua peserta didik, serta unsur-unsur

masyarakat lainnya. Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan

pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum

yang akan menjiwai suatu kurikulum. Strategi pembelajaran pada pendidikan

sekolah harus diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis,

inovasi, kreativitas, dan mentalitas. Selain itu, juga mengubah strategi

pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep reproductive view of

learning menjadi constructive view of learning. Stagnasi kurikulum pendidikan

sekolah diawali dari replikasi dan adopsi kurikulum yang tidak sesuai karakter

siswa. Adanya pemasungan kreativitas pada kurikulum tersebut mengakibatkan

terhambatnya daya inovasi, inspirasi, dan imajinasi sekaligus menumpulkan

intuisi dalam pengembangan pendidikan sekolah. Nilai mentalitas, seperti

kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang masih belum nampak di dalam kurikulum

pendidikan sekolah. Model pengembangan kurikulum yang berbasis pada

sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan strategi

pembelajaran yang inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi sebelumnya.

Kebebasan berkreasi dalam pengembangan kurikulum pendidikan menjadikan

kunci lahirnya kreator yang mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakat

dan tuntunan zaman.

Kata kunci : Pengembangan kurikulum, filosofis, kritis, kreatif

A. Latar Belakang

Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di dalamnya

mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi.2 Perencanaan kurikulum adalah

langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat

keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan

1 Mustofa Kamal, STIT Pemalang

2Sudrajat, A. 2009. Prinsip Pengembangan Kurikulum. Dalam http://akhmadsudrajat.

wordpress.com, diakses 22 Agustus2014. hlm. 4.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 85: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

231

digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut

juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke

dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari

pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil

pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan,

dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri.

Pengembangan kurikulum tidak hanya melibatkan orang yang terkait

langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak

orang, seperti politikus, pengusaha, orangtua peserta didik, serta unsur-unsur

masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan. Prinsip-

prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada

dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu

kurikulum.

Kurikulum yang ada pada pendidikan sekolah menurut Hamzah

mengalami stagnasi, statis, dan berorientasi pada materialitas. Stagnasi terlihat

dari adopsi dan replikasi kurikulum pendidikan sekolah. Nuansa hegemoni pada

dunia pendidikan sekolah terasa mengental, bahkan menuju ke arah statusquo

kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah telah mengalami perubahan,

pengurangan, dan penambahan muatan materi, akan tetapi sekolah tidak

melakukan perubahan kurikulum atau mengalami stagnasi kurikulum yang

berkelanjutan.3

Lebih lanjut Hamzah berpendapat kenyamanan karena adanya hegemoni

tersebut membuat pola pikir dan arah nalar para pendidik dan peserta didik

terpasung dalam pendidikan yang menjerumuskan bukannya pendidikan yang

membebaskan.4 Untuk itu, internalisasi sikap, perilaku, dan tindakan kritis pada

kurikulum pendidikan sekolah perlu dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan

melakukan kajian kritis pada setiap adopsi dan replikasi kurikulum yang

digunakan oleh sekolah.

Kestatisan pada kurikulum pendidikan sekolah terlihat dari tidak adanya

kreativitas dalam kurikulum tersebut. Kalau terdapat kreativitas, itu pun

mengarah pada materialitas yang selama ini sudah didoktrinkan oleh beberapa

pendidik kepada peserta didik. Ketiadaan kreativitas ini terbelenggu dengan

adanya pembatasan kurikulum yang semata-mata mengacu pada hal-hal yang

3A. Hamzah, Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Berbasis

Mentalitas,(Bangkalan: Universitas Trunojoyo Press, 2007), hlm. 45 4Ibid, hlm 50.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 86: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

232

bernuansa ekonomi dan hitungan saja. Pengembangan intuisi, imajinasi, dan

inspirasi yang mengarah pada inovasi tidak atau kurang diinternalisasi pada

kurikulum. Begitu pula keterkaitan pendidikan sekolah dengan ilmu-ilmu sosial

lainnya kurang begitu diperhatikan.

Adanya pemasungan kreativitas pada kurikulum tersebut mengakibatkan

terhambatnya daya inovasi, inspirasi, dan imajinasi sekaligus menumpulkan

intuisi dalam pengembangan pendidikan sekolah. Keterjebakan kurikulum

pendidikan sekolah pada stagnasi dan statis menurut Hamzah menjadi dilematis

dengan mengarahkannya kepada materialitas. Nilai mentalitas, seperti kejujuran,

keadilan, kasih, dan sayang masih belum nampak di dalam kurikulum pendidikan

sekolah.

Hal ini dipertegas oleh Topatimasang dan Fakih yang menyatakan

kurikulum pendidikan sekolah cenderung menafikan nilai mentalitas, tetapi

mengutamakan nilai materialitas. Keseimbangan muatan kurikulum pada nilai

materialitas dan mentalitas berjalan berat sebelah. Strategi balanced scorecard

yang diajarkan pada intinya dimuarakan pada kepentingan materialitas bukan

pada keseimbangan antara materialitas dan mentalitas.5 Hal ini dapat

mengakibatkan keluaran dari pendidikan sekolah adalah insan-insan yang

materilitas dan distigma.

Oleh karena itu strategi pembelajaran pada pendidikan sekolah harus

diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, inovasi,

kreativitas, dan mentalitas Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga

diupayakan merasuki kurikulum yang ada pendidikan sekolah. Selain itu, juga

mengubah strategi pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep

reproductive view of learning menjadi constructive view of learning.6 Konsep ini

pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses

belajar mengajar selama ini.

Konsep reproductive view of learning yang selama ini dihasilkan hanya

menghasilkan keluaran yang bersifat mengikut saja tanpa mampu bersikap kritis,

kreatif, dan mempunyai nilai-nilai mental. Ini berbeda dengan konsep

constructive view of learning yang berpegang pada nilai-nilai kritis, kreatif, dan

nuansa mentalitas. Dalam konsep ini agar dihasilkan mutu pendidikan tinggi

5R Topatimasang dan M.Fakih, Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis.

(Yogyakarta: Insist Press, 2007), hlm. 38. 6Agger B, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, (Yogyakarta: Kreasi

Wacana, 2006), hlm. 19.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 87: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

233

akuntansi yang berkualitas, maka anak didik diinternalisasi dengan sikap kritis.

Salah satu diantaranya adalah dengan paradigma dekonstruksi, keluar dari kotak

awal pengetahuan yang membelenggu, serta dijiwai nilai-nilai mentalitas berupa

kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.

B. Pembahasan

1. Landasan Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang menentukan

bagaimana kurikulum akan dapat dilaksanakan. Pengembangan

kurikulum agar dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka

dalam pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan

pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum menurut Dimyati

dan Mudjiono mengacu pada tiga unsur, yaitu 1) nilai dasar yang

merupakan falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya, 2) fakta

empirik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum, baik berdasarkan

penilaian kurikulum, studi, maupun survei lainnya, dan 3) landasan teori

yang menjadi arahan pengembangan dan kerangka penyorotnya.7

Lebih lanjut Dimyati dan Mudjiono mengemukakan landasan

pengembangan kurikulum mencakup:8

a. Landasan Filosofis

Pendidikan ada dan berada dalam kehidupan masyarakat

sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk dilestarikan

diselenggarakan melalui pendidikan. Segala kehendak yang dimiliki

oleh masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah

pada pendidikan. Dengan demikian pandangan dan wawasan yang

ada dalam masyarakat merupakan pandangan dan wawasan dalam

pendidikan atau dapat dikatakan bahwa filsafat yang hidup dalam

masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan

pendidikan.

Filsafat merupakan suatu studi tentang hakikat realitas, hakikat

ilmu pengetahuan, hakikat sistem nilai, hakikat nilai kebaikan,

hakikat keindahan, dan hakikat pikiran. Oleh karena itu landasan

filosofis pengembangan kurikulum adalah hakikat realitas, ilmu

7Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006),

hlm. 268. 8Ibid, hlm. 269-272.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 88: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

234

pengetahuan, sistem nilai, nilai kebaikan, keindahan, dan hakikat

pikiran yang ada dalam masyarakat.

b. Landasan Sosial, Budaya, dan Agama

Realitas sosial, budaya, dan agama yang ada dalam masyarakat

merupakan bahan kajian pengembangan kurikulum untuk digunakan

sebagai landasan pengembangan kurikulum. Kebersamaan individu

dalam masyarakat diikat dan terikat oleh nilai yang menjadi

pegangan hidup dalam interaksi di antara mereka. Nilai-nilai yang

perlu dipertahankan dan dihormati dalam masyarakat mencakup nilai

keagamaan dan sosial budaya. Nilai keagamaan berhubungan dengan

kepercayaan masyarakat terhadap ajaran agama, oleh karena itu

umumnya bersifat langgeng.9

Nilai sosial dan budaya masyarakat bersumber pada hasil karya

akal budi manusia, sehingga dalam menerima, menyebarluaskan,

melestarikan, dan melepaskannya manusia menggunakan akalnya.

Dengan demikian apabila terdapat nilai sosial budaya yang tidak

diterima/tidak sesuai dengan akalnya akan dilepas. Oleh karena itu

nilai sosial dan budaya lebih bersifat sementara jika dibandingkan

dengan agama. Untuk melaksanakan penerimaan, penyebarluasan,

pelestarian, atau penolakan dan pelepasan nilai sosial-budaya-agama,

maka masyarakat menggunakan pendidikan yang dirancang melalui

kurikulum.

c. Landasan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni

Pendidikan merupakan upaya penyiapan peserta didik

menghadapi perubahan yang semaki pesat, termasuk di dalamnya

perubahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks).

Sukmadinata mengemukakan pengembangan ipteks secara langsung

akan menjadi isi/materi pendidikan, sedangkan secara tidak langsung

memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat

dengan kemampuan penyelesaian masalah yang dihadapi sebagai

pengaruh perkembangan ipteks. Selain itu perkembangan ipteks juga

dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah pendidikan.10

9 T. R. Joni, Wawasan Kependidikan Guru,(Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1983), hlm. 5. 10

N. S. Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja

Rosda Karya, 1997), hlm. 57.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 89: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

235

d. Landasan Kebutuhan Masyarakat

Adanya falsafah hidup, perubahan sosial-budaya-agama, dan

perubahan ipteks dalam suatu masyarakat akan merubah pula

kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat dipengaruhi oleh

kondisi dari masyarakat itu sendiri. Adanya perbedaan antara

masyarakat satu dengan yang lainnya sebagian besar disebabkan oleh

kualitas dan kuantitas individu yang menjadi anggota masyarakat.

Pengembangan kurikulum menurut Sumantri juga harus ditekankan

pada pengembangan individual yang mencakup keterkaitannya

dengan lingkungan sosial setempat. Sehingga disimpulkan landasan

pengembangan kurikulum adalah kebutuhan masyarakat yang

dilayani melalui kurikulum yang dikembangkan.11

e. Landasan Perkembangan Masyarakat

Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup,

nilai, ipteks, dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Falsafah

hidup akan mengarahkan perkembangan masyarakat, nilai-nilai

sosial-budaya-agama akan merupakan penyaringan nilai-nilai lain

yang menghambat perkembangan masyarakat. Ipteks mendukung

perkembangan masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan

membantu menetapkan perkembangan yang akan dilaksanakan.

Perkembangan masyarakat akan menuntut tersedianya proses

pendidikan yang sesuai. Untuk menciptakan proses pendidikan yang

sesuai dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan

rancangannya berupa kurikulum yang landasan pengembangannya

berupa perkembangan masyarakat itu sendiri.

2. Prinsip Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum menggunakan prinsip yang telah

berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri

prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu

lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip

yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan

lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang

digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum.

11

M Sumantri, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1988), hlm. 77.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 90: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

236

Sukmadinata mengemukakan prinsip-prinsip pengembangan

kurikulum yang dibagi ke dalam dua macam yaitu prinsip umum dan

prinsip khusus. Prinsip umum pengembangan kurikulum adalah relevansi,

fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip khusus

pengembangan kurikulum adalah berkenaan dengan tujuan pendidikan,

prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan

dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan

pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan

pemilihan kegiatan penilaian.12

Hal senada dikemukakan oleh Hernawan dalam Sudrajat

mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu:13

1. Prinsip relevansi, secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi

di antara komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi, dan

evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen tersebut

memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi

(relevansi epistemologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi

psikologis), serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat

(relevansi sosiologis),

2. Prinsip fleksibilitas, pengembangan kurikulum mengusahakan agar

yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur, dan fleksibel dalam

pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian

berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu

berkembang, serta kemampuan dan latar belakang peserta didik,

3. Prinsip kontinuitas, yakni adanya kesinambungan dalam kurikulum,

baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman belajar

yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan,

baik yang di dalam tingkat kelas, antarjenjang pendidikan, maupun

antara jenjang pendidikan dan jenis pekerjaan,

4. Prinsip efisiensi, yakni mengusahakan agar dalam pengembangan

kurikulum dapat mendayagunakan sumber daya pendidikan yang ada

secara optimal, cermat, dan tepat sehingga hasilnya memadai,

5. Prinsip efektivitas, yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan

kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara

kualitas maupun kuantitas.

12

Ibid, hlm. 86 13

Lihat, Sudrajat, Op. Cit, hlm. 5.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 91: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

237

6. Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) menurut Sudrajat terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus

dipenuhi, yaitu:14

a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan

peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan

berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral

untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk

mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi

peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan,

kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan

lingkungan,

b. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman

karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis

pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat

istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum

meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan

lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam

keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat

antarsubstansi,

c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan

seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu

pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan

oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta

didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat

perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,

d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum

dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan

(stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan

kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan

kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu,

pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir,

14

Ibid, hlm. 15

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 92: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

238

keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan

vokasional merupakan keniscayaan,

e. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum

mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian

keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan

secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan,

f. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses

pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik

yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan

keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan

informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan

yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia

seutuhnya,

g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan

nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional

dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan

sejalan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara

penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum

sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali terabaikan. Karena

prinsip-prinsip itu dapat dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum.

Dalam menyikapi suatu perubahan kurikulum, banyak lebih terfokus

hanya pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum.

Padahal jauh lebih penting adalah perubahan kultural (perilaku) guna

memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan

kurikulum.

3. Inovasi dan Pengembangan Kurikulum

Inovasi dan pengembangan kurikulum dilakukan karena

melaksanakan pengembangan kurikulum bersifat dinamis, selalu berubah,

menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka yang belajar (peserta didik).

Karena masyarakat dan mereka yang belajar mengalami perubahan maka

langkah awal dalam perumusan kurikulum ialah penyelidikan mengenai

situasi (situation analysis) yang dihadapi masyarakat, termasuk situasi

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 93: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

239

lingkungan belajar dalam arti menyeluruh, situasi peserta didik, dan para

calon pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan.

Istilah inovasi mengandung arti tindakan menciptakan sesuatu

yang baru yang membawa perubahan dengan menghasilkan gagasan dan

pendekatan atau metode baru.15

Untuk menghasilkan sesuatu yang baru,

yang diharapkan lebih berdaya guna, harus bertolak dari apa yang ada.

Sulit sekali memulai dan meningkatkan sesuatu dari sesuatu yang belum

ada (ex nihilo). Inilah juga yang dimaksud dengan pengembangan. Oleh

karena itu inovasi dan pengembangan selalu terkait erat.

Dinamika globalisasi mengharuskan pendidikan untuk senantiasa

memikirkan pembaruan dalam banyak aspek termasuk kurikulum. Ferris

mengemukakan aspek yang dibutuhkan dalam upaya pembaruan dan

mengembangkan kualitas pendidikan. Aspek mendasar yang harus

dijadikan pedoman, yakni:16

1. Kepekaan terhadap nilai budaya lokal (cultural appropirateness),

2. Kepedulian terhadap pergumulan dan kebutuhan siswa, (attentiveness

to the church)

3. Merumuskan strategi yang fleksibel, peka terhadap kebutuhan

setempat (flexible strategizing),

4. Menilai keberhasilan dari hasil belajar peserta didik (outcomes

assessment),

5. Menekankan pembentukan dan pertumbuhan iman (spiritual

formation),

6. Mengembangkan kurikulum yang holistik mencakup sisi akademis,

praktis, dan pelatihan spiritualitas (holistic curricularizing),

7. Melengkapi peserta didik untuk melayani (service orientation),

8. Mengembangkan kreativitas guru dalam mengajar, memilih metode

yang tepat (creativity in teaching),

9. Membentuk wawasan berpikir atas kehidupan (worldview),

10. Mempertimbangkan dimensi perkembangan peserta didik

(developmental focus),

11. Memfasilitasi terbentuknya kerja sama (a cooperative spirit).

15Sidjabat, B. S,Pentingnya Inovasi dan Pengembangan Kurikulum dalam Pendidikan

(online), dalam http://www.tiranus.net, diakses 21 Agustus 2014, hlm. 13. 16

R. W. Ferris,Renewal in Theological Education: Stragies for Change, ( New York:

Billy Graham Center, 1990), hlm. 34-35.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 94: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

240

Inovasi dan pengembangan kurikulum dalam pendidikan

merupakan kebutuhan yang terus harus diperhatikan. Diperlukan riset

lapangan dan refleksi pengalaman untuk mengembangkannya. Strategi

yang lebih baik lagi dalam pengembangan ini ialah kebersamaan para

guru dan siswa untuk mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran yang

sudah ditempuh, kemudian bersama-sama berunding mengusulkan

pendapat bagaimana melakukan pembaruan. Usulan tema-tema

perubahan yang perlu dipikirkan oleh pendidikan di masa depan

mencakup: isi yang diajarkan (kurikulum), tekanan misinya pada bidang

layanan para lulusan, struktur organisasi yang mendukung pembelajaran,

dan sumber finansial demi kemandirian lembaga pendidikan sekolah itu

sendiri.

Sistem inovasi pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dari

sehimpunan aktor, kelembagaan, jaringan, hubungan, interaksi dan proses

produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi

dan difusinya (termasuk teknologi dan praktik baik/terbaik), serta proses

pembelajaran. Sistem inovasi sangat penting karena bukan semata

menyangkut kemajuan ipteks (termasuk misalnya melalui pendidikan,

penelitian, pengembangan dan kerekayasaan) tetapi juga bagaimana iptek

dapat didayagunakan secara maksimal bagi kepentingan nasional dalam

pembangunan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian

sebaliknya, perkembangan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya

menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan dan merupakan faktor yang

sangat mempengaruhi arah dan kecepatan pemajuan ipteks.

4. Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Berbasis

Sosiologi Kritis, Kreativitas, dan Mentalitas

Ilmu pengetahuan diawali dengan sarat nilai dan sarat tujuan yang

mulia. Ilmu pengetahuan adalah perjuangan terhadap kebohongan,

pembebasan dari belenggu kebodohan dan ketidaktahuan, keangkuhan

dan keacuhan yang semuanya merupakan kejahatan terhadap hati nurani

manusia sendiri. Begitu pula, pengembangan kurikulum menurut Hamzah

juga penuh dengan daya kritis, muatan kreatif, dan nuansa mentalitas.

Banyaknya ketidakjujuran dalam melakukan pengembangan,

keterpasungan dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan pesanan,

sengaja membiarkan kesalahan pada suatu sistem, serta pola manajemen

yang bertentangan dengan hati nurani bukan salah pada ilmu pendidikan.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 95: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

241

Kesalahan awal terletak pada kurikulum dan strategi pembelajaran yang

selama digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan pada pendidikan.17

Kurikulum pendidikan sekolah merupakan pertautan pengetahuan

dan kepentingan berbagai pihak terkait dengan proses pembelajaran.

Adanya kepentingan menunjukkan adanya politik, dalam hal ini politik

adalah sistem irasional dengan variabel-variabel yang kompleks dan sulit

dimengerti oleh siswa terkadang oleh para guru sehingga sangat sulit

ditebak akan ke mana arah pendidikan sekolah yang ada saat ini. Untuk

itu menurut Sindhunata diperlukan kritik menuju pembebasan para guru

dan siswa dari irasionalitas menjadi rasional serta dari ketidaksadaran

menjadi kesadaran.18

Hal ini dikarenakan institusi pendidikan beserta para civitas

akademik terjebak dan terbuai pada rasionalitas serta ketidaksadaran yang

berkelanjutan. Hal ini terlihat dari pengetahuan yang didapat oleh siswa

lebih banyak dari proses pembelajaran yang lebih banyak satu arah bukan

partisipasi yang bersifat dialektis yang diutamakan. Para guru masih

menganggap dirinya adalah dewa yang mengetahui segala persoalan dan

permasalahan dalam proses pembelajaran. Hal ini yang memadamkan dan

menumpulkan daya kritis siswa sehingga proses penalaran dan

pengasahan dalam perenungan menjadi terabaikan. Padahal pengetahuan

yang diperoleh tidak semata-mata dari proses pembelajaran saja, tetapi

juga dari perenungan ide-ide, pengalaman, dan pengamatan indra.

Bagi para guru yang kurang atau tidak melakukan perenungan

ide-ide, pengalaman, dan pengamatan indra, maka strategi

pembelajarannya hanya bersifat satu arah dan pasif. Proses penajaman

dari materi yang ada tidak tergali secara optimal. Materi yang diajarkan

dianggap sebagai sesuatu yang given (pemberian), untuk itu tidak perlu

sikap kritis terhadap materi tersebut. Akibatnya, kurikulum yang dibuat

dan dijadikan kontrak belajar antara para guru dan siswa juga dianggap

sebagai sesuatu yang given (pemberian). Tumpulnya perenungan ide-ide

akan mematikan daya imajinasi, inspirasi, dan inovasi terhadap sesuatu

untuk menciptakan sesuatu yang baru. Apalagi proses pembelajaran

selama ini juga lebih banyak menggunakan rasio sebagai alat analisis.

17

Lihat, Hamzah, Op. Cit. hlm. 4. 18

Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 39.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 96: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

242

Proses tersebut akan memunculkan replikator-replikator baru

bukan kreator-kreator yang handal dan mumpuni. Hal ini dikarenakan

rasio yang digunakan dalam berpikir dan menganalisis sebetulnya tidak

netral dan historis atau tidak terkait dengan masa lalu. Untuk

membebaskan diri dari akal rasional dengan mengikatkan diri pada hati

nurani. Hal ini dikarenakan suara hati nurani adalah suara kejujuran yang

paling terdalam. Apa yang tidak sesuai dengan hati nurani akan

mengalami gejolak atau penolakan di diri. Dengan adanya hal itu, maka

dalam pembuatan kurikulum serta pelaksanaan dalam proses belajar

mengajar tidak semata-mata bertumpu pada rasionalitas semata, tetapi

juga pada perenungan ide-ide dengan imajinasi dan inspirasi untuk

menciptakan sesuatu yang inovasi dengan berpegang pada kata hati

nurani.

Kritis berkaitan dengan memiliki ketajaman dalam menganalisis

suatu hal atau persoalan dan pengambilan keputusan. Semakin tajam

seseorang menganalisis suatu permasalahan maka akan semakin tajam

pula keputusan yang dibuat oleh orang tersebut. Ennis dalam Hassoubah

menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan

reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa

yang harus dipercayai atau dilakukan.19

Hal senada dikemukakan oleh Johnson dan Lamb yang

menyatakan bahwa critical thinking involveslogical thinking and

reasoning including skills such as comparison, classification, sequencing,

cause/effect, patterning, webbing, analogies, deductive, and inductive

reasoning, forecasting, planning, hypothesizing, and critiquing.20

Berpikir kritis meliputi berpikir logis dan beralasan berkaitan dengan

keterampilan seperti membandingkan, menggolongkan, mengurutkan,

sebab akibat, menyusun, mengaitkan, analogi, proses berpikir deduktif,

dan penyebab induktif, ramalan, rencana, membuat hipotesis, dan

tinjauan kritis.

Pembelajaran yang dilakukan dengan model diskusi kelompok

kecil juga dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir

19Z. I.. Hassoubah, Mengasah Pikiran Kreatif dan Kritis: Disertai Ilustrasi dan Latihan.

(Bandung: Nuansa, 2007), hlm. 87. 20

T. Buzandan B. Buzan,The Mind Map Book, (London: BBC Worldwide Limited, 2003),

hlm. 231.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 97: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

243

kritis. Siswa yang tergabung dalam kelompok kecil akan mendapat

kesempatan mengklarifikasi pemahamannya dan mengevaluasi

pemahaman siswa lain, mengobservasi strategi berpikir dari orang lain

untuk dijadikan panutan, membantu siswa lain yang kurang untuk

membangun pemahaman, meningkatkan motivasi, serta membentuk sikap

yang diperlukan seperti menerima kritik dan menyampaikan kritik dengan

cara yang santun.21

Kurikulum pendidikan sekolah terjebak pada kestatisan yang

berkelanjutan. Kestatisan tersebut tidak dilandasi dengan pikiran, sikap,

dan tindakan yang positif. Untuk keluar dari pikiran, sikap, dan tindakan

yang negatif menuju positif seakan-akan terasa sulit. Hal ini dikarenakan

ketidakpercayaan terhadap orang dan sistem yang ada. Hal ini juga

dikarenakan risiko yang ada terkait dengan perubahan pikiran, sikap, dan

tindakan yang dialami para guru dan keluaran dari institusi sekolah.

Kreativitas adalah proses perubahan yang lebih baik dengan memberi

nilai tambah pada sesuatu dengan kemungkinan adanya risiko. Tanpa

adanya nilai tambah tersebut sesuatu akan berjalan statis.

Kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan mencipta,22

sedangkan kreativitas menurut Campbell dalam ADVY adalah suatu ide

atau pemikiran manusia yang bersifat inovatif, berdaya guna (useful), dan

dapat dimengerti (understandable).23

Aplikasi dari konsep tersebut adalah

seorang siswa harus banyak bertanya, banyak belajar, dan berdedikasi

tinggi untuk memperoleh kemampuan berpikir kreatif yang tinggi.

Melakukan kreativitas dalam pendidikan sekolah terkadang

berbenturan dengan pelanggaran aturan yang ada. Aturan yang selama ini

dibuat dan disimpan dalam kotak tidak boleh dilanggar atau dilakukan

perubahan. Untuk itu, perlu mendesakralisasi aturan tersebut dengan

melakukan perubahan. Untuk merubah aturan tersebut menjadi lebih baik,

maka harus berpegang pada filosofi aturan tersebut serta berpikir di luar

kotak (out of the box).

21

Sudaryanto, Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis (online).

(http://www.fk.undip.ac.id, diakses 21 Agustus 2014), hlm. 13 22

P. Salim,Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,(Jakarta: Modern English Press,

2002), hlm. 776. 23

ADVY, Kreativitas (online). (http://www.advy.ac.id, diakses 21 Agustu 2014).

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 98: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

244

Proses berpikir di luar kotak yang belum banyak diasah oleh para

guru dan siswa. Bahkan tidak hanya berpikir di luar kotak, tetapi juga

merangsang untuk menciptakan kotak baru dengan berpijak pada proses

berpikir di luar kotak. Jika hanya berpikir di luar kotak yang selalu

digunakan dan dihandalkan, maka akan terjadi proses konstruksi yang

destruksi. Proses kreativitas dalam pendidikan sekolah juga dapat dibuat

dengan berpijak pada asumsi yang ada maupun yang diciptakan.

Pendidikan bersandar pada asumsi yang ada, dengan menghilangkan,

mengurangi, atau menambah asumsi-asumsi yang ada akan tumbuh

kreativitas yang berkelanjutan.

Kebuntuan kreativitas terkadang terjebak pada penggunaan

logika, karena logika berpola secara sistematis, teratur, dan mekanis.

Padahal kreativitas identik dengan pola pemikiran yang lateral, acak, dan

dinamis. Hambatan penumbuhan kreativitas pada pendidikan tinggi

akuntansi dikarenakan dominannya penggunaan logika dibandingkan

dengan intuisi dan imajinasi. Tanpa adanya pelatihan dan penumbuhan

intuisi dan imajinasi dalam pendidikan tinggi akuntansi, maka kreativitas

akan berjalan di tempat. Kreativitas juga dapat ditumbuhkan dengan

melakukan kaitan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain yang mampu

membuat nilai tambah dan berdaya guna.

Proses kreativitas dapat dilakukan dengan kaitan yang tak

berkaitan. Dengan kata lain, melampaui dari sesuatu yang dijadikan

pijakan untuk mengaitkan dengan sesuatu yang lain. Dalam proses

mengaitkan tersebut, kreativitas akan semakin tumbuh dengan

kemampuan untuk memilah dan memilih bagian dari sesuatu yang

berdaya guna dan bernilai tambah. Pada pendidikan sekolah proses untuk

menjadi kreativitas kurang diperkenalkan/diajarkan, akibatnya keluaran

dari institusi pendidikan sekolah adalah insan-insan yang statis tanpa

mampu melakukan perubahan yang berarti dengan memberi nilai tambah,

daya guna, dan daya hasil bagi masyarakat.

Kemampuan berpikir kreatif dapat memudahkan siswa dalam

memperdalam ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mempertajam

kemampuan siswa untuk menganalisis permasalahan yang timbul dalam

usahanya mempelajari materi tertentu, sehingga siswa dapat mempelajari

materi yang disajikan di sekolah dengan baik, dan mampu menerapkan

ilmu pengetahuan yang telah didapatkannya. Kemampuan berpikir kreatif

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 99: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

245

dapat diketahui oleh orang lain di sekitar. Guru hendaknya mengetahui

kemampuan berpikir kreatif dari siswanya sehingga dapat mengenali

karakteristik siswanya dan pada akhirnya dapat menerapkan metode

pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa.

Setiap sistem terkandung nilai-nilai tersendiri. Pendidikan sekolah

merupakan sistem maupun subsistem pendidikan tergantung dari sudut

pandang mana melihatnya. Dalam hal ini, pendidikan sekolah sebagai

suatu sistem, semua upaya boleh dilakukan agar sistem dapat berjalan

seoptimal mungkin, yang ditekankan adalah bahwa ada tujuan utama

proses pembelajaran yang paling mulia dengan nilai yang luhur pula yang

merupakan nilai universal yaitu nilai kemanusiaan. Nilai yang

menjadikan para pendidik dan anak didik mempunyai ketangguhan

pribadi, ketangguhan sosial, dan ketangguhan antar manusia dengan

dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.

Nilai yang menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual,

kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual dalam diri para pendidik

dan anak didik. Nilai tersebut dikerahkan sebagai keseluruhan usaha

dalam sistem pendidikan sekolah. Masalahnya dengan pendidikan tinggi

akuntansi yang dituangkan dalam kurikulum selama ini merupakan

sistem yang memiliki tata nilai sendiri yang telah berulang-ulang kali

terjadi dalam sejarah, yaitu nilai-nilai sempit sistem yang menggantikan

nilai luhur pendidikan tinggi akuntansi sehingga tujuannya menjadi

tujuan egois sistem itu sendiri yang mengarah pada materialitas.

Nilai sempit ini terlihat dari ketangguhan pribadi yang

mengungguli ketangguhan sosial dan ketangguhan antar manusia serta

kecerdasan intelektual yang mendominasi kecerdasan emosional dan

kecerdasan spiritual. Sistem tersebut akhirnya hidup dan sadar bahwa ia

mempunyai keinginan sendiri sehingga mengeksploitasi para guru dan

siswa yang merupakan pembuatnya untuk mencapai tujuan-tujuan

egoisnya sendiri, yaitu materialitas.24

Ketika para guru dan siswa mulai

sadar akan hal ini dan mencoba menggantikan sistem tersebut oleh sistem

yang baru yang menawarkan pada pendidikan yang membebaskan, maka

banyak mengalami permasalahan, baik dari sistem yang sudah ada

maupun para pemakai dan pembuat sistem tersebut.

24

Lihat, Hamzah, Op. cit, hlm. 8

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 100: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

246

Permasalahan terbesar khususnya dari pemakai dan pembuat

sistem tersebut, yaitu ketakutan akan berkurangnya atau hilangnya nilai-

nilai yang bersifat materialitas. Bahaya terbesar suatu sistem adalah

dogmatisasi nilai-nilai sempit keyakinan yang seharusnya bersifat

sementara dan elastis bahkan plastis terhadap perkembangan jaman.

Kurikulum pendidikan sekolah yang merupakan turunan dari teori

serta nilai-nilai dari suatu ilmu pengetahuan. Dalam perjalanannya,

pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum telah tumbuh begitu

kuatnya sehingga hegemoni telah mencakup segala sisi dari para guru,

siswa, dan sekolah sebagai institusi pendidikan. Bahayanya terletak dari

dogmatisasi nilai-nilai pendidikan yang diajarkan pada sekolah.

Kurikulum pendidikan sekolah telah terstruktur sedemikian rupa sehingga

telah mempunyai arogansi dan egoistis untuk menyatakan dirinya sebagai

satu-satunya yang berhak dalam menyatakan kebenaran.

Perspektif ini merupakan proses fabrikasi dan mekanisasi

pendidikan untuk menghasilkan keluaran pendidikan yang harus sesuai

dengan pasar kerja. Para guru dan siswa tidak sadar dibuat seolah-olah

sebagai robot yang menjalankan sistem penyelenggaraan pendidikan.

Dengan kata lain, para guru dan siswa seakan-akan tidak mempunyai hati,

nurani, dan jiwa didiri. Proses pendidikan diarahkan pada pendidikan

yang menjerumuskan bukan pendidikan yang membebaskan, seakan-akan

pasar kerja mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang mendominasi para

guru dan siswa. Untuk itu, perspektif ini harus diubah dengan meletakkan

manusia yang mengontrol dan mengendalikan pasar kerja.

Pendidikan yang membebaskan merupakan upaya untuk

menempatkan para pendidik dan anak didik membuat pasar kerja yang

penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari

kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang, baik antara para guru dan siswa,

antara institusi sekolah dan para civitas akademik, serta antara manusia

satu dan manusia satunya. Pengembangan kurikulum yang berbasis pada

sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan

strategi pembelajaran yang inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi

yang selama ini dilakukan dalam proses pembelajaran.

Strategi pembelajaran yang bertumpu pada teori harus diimbangi

dengan praktik yang ada. Banyak guru pada pendidikan sekolah hanya

berpijak pada teori semata, sehingga setelah selesai teori tersebut

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 101: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

247

diajarkan, maka perlahan-lahan pudar materi yang selama ini tertanam di

benak siswa. Strategi pembelajaran yang inovatif adalah menciptakan

aktivitas agar anak didik dapat terlibat langsung dalam proses pendidikan

sekaligus terlibat dalam keseluruhan proses.

Strategi pembelajaran tersebut tidak hanya bersifat ceramah

semata saja, tetapi juga dengan adanya simulasi, studi kasus, tanya jawab,

curah pendapat, diskusi kelompok, penugasan, demonstrasi, peragaan,

dan studi lapangan. Penggunaan media belajar yang bervariasi dan

menggunakan hasil teknologi dapat meningkatkan siswa untuk ingin

lebih mengetahui. Siswa yang memiliki rasa ingin lebih tahu mempunyai

kecenderungan untuk bertanya tentang suatu materi pelajaran yang

dipelajarinya.

C. Kesimpulan dan Saran

Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di dalamnya

mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah

langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat

keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan

digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut

juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke

dalam tindakan operasional.

Oleh karena itu strategi pembelajaran pada pendidikan sekolah harus

diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, inovasi,

kreativitas, dan mentalitas. Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga

diupayakan merasuki kurikulum yang ada pendidikan sekolah. Selain itu, juga

mengubah strategi pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep

reproductive view of learning menjadi constructive view of learning. Konsep ini

pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses

belajar mengajar selama ini.

Pengembangan kurikulum agar dapat berhasil sesuai dengan yang

diinginkan, maka dalam pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan

pengembangan kurikulum. landasan pengembangan kurikulum mencakup:

landasan filosofis, landasan sosial, budaya, dan agama, landasan ilmu

pengetahuan, teknologi, dan seni, landasan kebutuhan masyarakat, dan landasan

perkembangan masyarakat

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 102: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

248

Prinsip umum pengembangan kurikulum adalah relevansi, fleksibilitas,

kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip khusus pengembangan kurikulum

adalah berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan

isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar,

prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip

berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.

Inovasi dan pengembangan kurikulum dilakukan karena melaksanakan

pengembangan kurikulum bersifat dinamis, selalu berubah, menyesuaikan diri

dengan kebutuhan mereka yang belajar (peserta didik). Masyarakat dan mereka

yang belajar mengalami perubahan maka langkah awal dalam perumusan

kurikulum ialah penyelidikan mengenai situasi (situation analysis) yang dihadapi

masyarakat, termasuk situasi lingkungan belajar dalam arti menyeluruh, situasi

peserta didik, dan para calon pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan.

Inovasi dan pengembangan kurikulum dalam pendidikan merupakan

kebutuhan yang terus harus diperhatikan. Diperlukan riset lapangan dan refleksi

pengalaman untuk mengembangkannya. Strategi yang lebih baik lagi dalam

pengembangan ini ialah kebersamaan para guru dan siswa untuk mengevaluasi

kurikulum dan pembelajaran yang sudah ditempuh, kemudian bersama-sama

berunding mengusulkan pendapat bagaimana melakukan pembaruan.

Mengembangkan kurikulum yang berbasis pada sosiologi kritis,

kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan strategi pembelajaran yang

inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi yang selama ini dilakukan dalam

proses pembelajaran. Pendidikan yang membebaskan merupakan upaya untuk

menempatkan para pendidik dan anak didik membuat pasar kerja yang penuh

dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari kejujuran, keadilan,

kasih, dan sayang, baik antara para guru dan siswa, antara institusi sekolah dan

para civitas akademik, serta antara manusia satu dan manusia satunya.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 103: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

249

DAFTAR PUSTAKA

Agger, B. 2006. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya.

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Buzan, T., dan Buzan, B. 2003. The Mind Map Book. London: BBC Worldwide

Limited.

Dimyati, dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka

Cipta.

Ferris, R. W. 1990. Renewal in Theological Education: Stragies for Change.

New York: Billy Graham Center.

Hamzah, A. 2007. Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi

Pembelajaran Berbasis Mentalitas. Bangkalan: Universitas Trunojoyo.

Hassoubah, Z. I. 2007. Mengasah Pikiran Kreatif dan Kritis: Disertai Ilustrasi

dan Latihan. Bandung: Nuansa.

Joni, T. R. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Munandar, S. C. U. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan

Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Salim, P, dan Salim, Y. 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta:

Modern English Press.

Sindhunata. 2004. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Rajawali Press.

Sukmadinata, N. S. 1997. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.

Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sukmayadi, D. 2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model

Inovasi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan

Indonesia.

Sumantri, M. 1988. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Topatimasang, R., dan Fakih, M. 2007. Pendidikan Popular: Membangun

Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Insist Press.

ADVY, Kreativitas (online). (http://www.advy.ac.id, diakses 21 Agustu 2014).

Sidjabat, B. S. Pentingnya Inovasi dan Pengembangan Kurikulum dalam

Pendidikan (online). (http://www.tiranus.net, diakses 21 Agustus 2014).

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 104: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

250

Sudaryanto. 2007. Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis (online).

(http://www.fk.undip.ac.id, diakses 21 Agustus 2014).

Sudrajat, A. 2009. Prinsip Pengembangan Kurikulum (online).

(http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses 21 Agustus 2014).

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 105: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

251

PENERJEMAHAN TEKS-TEKS ASING DAN SUMBANGANNYA

TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

Sri Mulyati1

Guru SMP 26 Surakarta

Abstrak

Penerjemahan adalah suatu proses budaya dalam alih teknologi, informasi,

dan pengetahuan. Penerjemahan memiliki dampak dalam pembentukan

karakter bangsa. Karea itu, dalam penerjemahan perlu diperhatikan tentang

pilihan, proses, dan penyajian hasilnya. Namun, pada akhirnya harus

disimpulkan bahwa karakter itu suatu pilihan. Bangsa Indonesia memiliki

pilihan untuk membangun karakter berdasarkan ketuhanan sehingga tidak

menginginkan hal-hal yang bertentangan dengan agama tumbuh subur di

negara kita seperti perilaku yang menyimpang dan tata nilai yang tidak

sesuai dengan norma agama dan etika bangsa.

Kata Kunci : pilihan, proses, penyajian hasil, karakter bangsa.

A. Pengantar

Menurut Kemendiknas2 pendidikan karakter adalah upaya penanaman

nilai dan sikap, bukan pengajaran, sehingga memerlukan pola pembelajaran

fungsional. Pendidikan karakter menuntut pelaksanaannya oleh 3 (tiga) pihak

secara sinergis, yaitu: orang tua, satuan/lembaga pendidikan, dan masyarakat.

Materi dan pola pembelajaran disesuaikan dengan pertumbuhan psikologis

peserta didik. Materi pendidikan karakter berbasis kearifan lokal. Materi

pendidikan karakter diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran lain

Penerjemahan merupakan bagian dari suatu kegiatan kebudayaan akibat

dari adanya perbedaan bahasa. Proses penerjemahan tercatat dalam sejarah telah

membangkitkan suatu geliat dan kemajuan budaya. Kaum muslimin

mendapatkan ilmu pengetahuan dan kemajuan berkat kegiatan mereka dalam

mengalihkan teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Gerakan Renaisans abad

tengah Eropa juga ditunjukan dengan usaha menerjemahkan secara gigih tek-teks

masa lampau mereka. Jepang mengalami loncatan kemajuan teknologi dan

ekonomi berkat pendahulu mereka secara gigih menerjemahkan teks-teks Ipteks

ke dalam bahasa Jepang.

1 Sri Mulyati, SMP N 26 Surakarta

2Kemendiknas. 2014. Pendidikan Karakter. http:.kemdiknas.go.id/ download

/Pendidikan%20Karakter.pdf

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 106: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

252

Fenomena di atas menunjukan bahwa penerjemahan adalah suatu

keniscayaan apabila suatu bangsa akan mendapatkan kemajuan. Namun, suatu

hal yang perlu diingat bahwa terjemahan dapat mengancam eksistensi nilai-nilai

budaya bangsa. Artinya, ada proses yang harus dipahami dalam penerjemahan

agar menghasilkan dampak positif bagi kemajuan suatu bangsa.

Penerjemahan memang bukan hal yang asing bagi bangsa Indonesia.

Sejak abad ke-7 teks-teks Mahabharata dan Ramayana sudah diterjemahkan ke

dalam bahasa Jawa Kuna. Sriwijaya konon pernah menjadi pusat penerjemahan

teks-teks agama Budha. Al-Quran dan hadist juga sudah diterjemahkan ke dalam

bahasa di Nusantara, khususnya Melayu sejak abad ke 16 seiring proses

islamisasi di Nusantara.

Artikel kecil ini akan membahas mengenai hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam penerjemahan khususnya dalam rangka membentuk karakter

bangsa yang bermartabat. Hal yang dibahas mengenai pilihan, proses, dan

penyajian hasil.

B. Pilihan Teks

Kegiatan penerjemahan sebenarnya sudah dikenal pada abad kedua

sebelum Masehi3. Meskipun penerjemahan merupakan kegiatan yang sudah

sangat klasik, namun ternyata menerjemahkan itu bukanlah suatu pekerjaan

yang mudah. Tidak setiap orang yang menguasai dua bahasa (bahasa sumber dan

bahasa sasaran) akan dapat menjadi penerjemah yang baik. Menurut Nida (dalam

Soemarno4) selain penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran, seorang

penerjemah yang baik harus menguasai materi teks yang akan diterjemahkan dan

memiliki latar belakang budaya seperti yang dimiliki penulis naskah asli.

Kemampuan menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran dan penguasaan

materi teks sekaligus jarang dimiliki oleh seorang penerjemah. Untuk mengatasi

hal tersebut, seorang penerjemah dapat bekerja dalam suatu tim. Jadi, baik bagi

seorang penerjemah untuk tidak bekerja sendirian.

Pekerjaan tim ini termasuk juga dalam menentukan pilihan teks yang

akan diterjemahkan. Hakikatnya, menerjemahkan adalah memasukan suatu

3 Rusli, Ratna Sayekti dkk.. "Penerjemahan untuk Menjembatani Kesenjangan Antara

Negara Penutur Asli Bahasa Inggris dan Negara Non-Penutur Asli Bahasa Inggris dalam

Rangka Pendidikan Global". (Makalah dalam Konggres Nasional Penerjemahan, 15-16

September 2003 di UNS Surakarta. 2003), Hlm. 45. 4 Soemarno, Thomas. "Hubungan Antara Lama Belajar dalam Bidang Penerjemahan

Kemampuan Berbahasa Inggris dan Tipe-tipe Kesilapan Terjemahan dari Bahasa Inggris ke

dalam Bahasa Indonesia. (Disertasi. IKIP Malang. 1988),.hlm, 5.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 107: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

253

budaya asing ke dalam budaya tujuan penerjemahan. Kasus Jepang sangatlah

menarik. Orang Jepang telah secara selektif memilih teks-teks teknologi untuk

diterjemahkan dan menghindari teks-teks idiologi sehingga transfer teknologi

berjalan sangat baik di Barat, tetapi tradisi dan nilai-nilai asli Jepang sangat

terjadi dan dapat dilestarikan sampai sekarang. Hal ini berbeda dengan di

Indonesia yang transfer budaya asing justru terjadi dalam hal idologi dan

perilaku, sementara dalam hal teknologi kita cenderung menjadi konsumen.

Dalam sebuah artikel di weblog, Trilaksana5 menyatakan keprihatinan

tentang masuknya budaya asing. Di era globalisasi seperti sekarang, banyak

sekali informasi yang kita dapatkan dalam waktu singkat. Dengan fasilitas yang

memadai kita dapat mengetahui informasi yang bermanfaat. Namun tidak semua

informasi itu bermanfaat, melainkan informasi yang kita kira bermanfaat dapat

menjerumuskan kita menjadi pribadi yang buruk. Seperti percampuran budaya

yang kita anggap dapat mempersatukan budaya-budaya padahal budaya yang

dominanlah yang menang. Fenomena penjajahan budaya ini dapat kita saksikan

di televisi kita, contoh kecil, para girlband dan boyband, kebanyakkan dari

mereka meniru atau memiliki kemiripan dengan girlband dan boyband Korea.

Ada juga salah satu idola group dari Jepang yang membuat sister group di

Indonesia. dan ada Iklan kosmetik dengan embel-embel „cantik seperti orang

Korea‟. Sampai acara-acara televisi yang diadaptasi dari budaya barat yang

belum tentu sesuai dengan budaya asli Indonesia. Apakah budaya itu bercampur

dengan budaya Indonesia atau mendominasi sehingga remaja sekarang lebih

senang dengan budaya asing?

Budaya asing itu seakan-akan membaur dengan budaya asli, sehingga

tidak banyak orang yang menyadari bahwa ini adalah serangan terhadap budaya

asli mereka. Budaya asing ini masuk dengan perlahan sehingga kedatangannya

pun tidak langsung terasa. Target utama mereka adalah para remaja yang masih

mencari jati diri mereka. Pada saat itulah mereka menanam budaya asing tersebut

kepada para remaja tersebut. Sangat mudah bagi mereka mengendalikan para

remaja tersebut dengan mengendalikan idola-idola mereka. Tentu saja idola-

idola ini sudah menjadi boneka oleh para elite (penguasa) mereka tinggal

„memainkan‟-nya dan para penggemarnya (remaja) akan mengikutinya.

Masalah buku asing kedudukannya pada hakikatnya sama dengan buku

lokal. Kalau substansi buku tersebut merusak moral, maka kedudukannya juga

5 Trilaksono, Ivanriadi . “ Penjajahan Budaya”. http://www.pidas81.org/ penjajahan-

budaya/2014.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 108: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

254

menjadi negatif. Hanya bedanya, buku asing perlu diterjemahkan sedangkan

buku lokal sudah hadir dalam kebudayaan itu sendiri.

Dalam menerjemahkan perlu dipilih teks-teks yang bermanfaat dan tidak

mengandung suatu hal yang kontradiksi dengan budaya bangsa. Kita harus

memiliki prioritas dalam menerjemahkan. Teks-teks ilmu dan teknologi lebih

bermanfaat diterjemahkan daripada teks-teks tentang dukungan kepada gay,

homoseks, atau pun teknik-teknik yang dapat digunakan untuk kejahatan.

Masalah prioritas tentang teks terjemahan memang selamanya dapat

menjadi suatu perdebatan yang panjang. Intinya, dalam kehidupan ini memang

terdapat tarik menarik yang tidak ada henti terganting kepentingan suatu

kelompok masyarakat.

C. Proses

Penerjemahan bukanlah suatu hal yang simpel. Newmark6 menyatakan

bahwa penerjemahan terdiri dari 4 level:

1. The Textual Level: Memahami isi dari tulisan dalam bahasa sumber

2. The Referential Level: Mencari arti mengenai istilah, kegiatan, peristiwa dsb.

yang terdapat dalam bahasa sumber

3. The Cohesive Level: Menyatukan kalimat-kalimat yang sudah diterjemahkan

ke dalam bahasa sasaran

4. The Level of Naturalness: Memperbaiki struktur bahasa yang sudah

diterjemahkan agar bisa dibaca secara alami oleh pembaca sasaran.

Dalam Kompasiana ditemukan tentang proses penerjemahan yang

dianggap berbahaya, khususnya penerjemahan ayat-ayat Al-Quran. Sebagai

misal, terjemah harfiah yang dinilai keliru, yakni pada Surah Bani Israil ayat 29

yang berbunyi:

“Dan janganlah kamu jadikan tangamu terbelenggu pada

lehermu, dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena

itu kamu menjadi tercela dan menyesal".

Terjemahan tersebut memang sangat mudah dipahami, bahkan dalam

hubungan dengan amaliah ibadah. Bahkan, boleh dikatakan terlalu

membingungkan dan susah diamalkan. Terjemahan tersebut dapat diluruskan

menjadi:

6 Newmark, Peter. A Textbook of Translation. Hertfordshire: Prentice Hall International

(UK) Ltd. 1988.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 109: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

255

“Dan janganlah kamu berlaku kikir, tetapi jangan pula kamu

berlaku boros, karena kelak kamu akan menjadi hina dan

menyesal atas sikapmu yang berlebihan.”

Contoh di atas sekaligus menunjukan bahwa dalam proses penerjemahan,

terdapat suatu hal yang amat terkait dengan pembentukan karakter.

Contoh di atas adalah contoh proses pemahaman teks yang tidak

mengikutkan nilai budaya. Yang perlu diperhatikan juga bahwa setiap teks

memiliki karakteristik tersendiri, yaitu intercultural (lintas budaya) dan

interdisipliner (lintas disiplin). Oleh sebab itu, penerjemah sangat memerlukan

sumbangan dari ilmu-ilmu lain seperti: linguistik (baik struktural maupun

sistematik fungsional), psikolinguistik, sosiolinguistik, ilmu komunikasi, filologi,

leksikografi, dan lain sebagainya. Di samping itu, penerjemahan termasuk ilmu

terapan karena di dalamnya aspek-aspek praktis sangat diperhatikan. Untuk

melaksanakan hal tersebut, penerjemahan tim merupakan pilihan terbaik.

Beraneka informasi dikirim dan diterima dengan kecepatan yang makin

meningkat dari dan ke seluruh penjuru dunia. Komunikasi antar negara ini

sebagian besar dilakukan dalam bahasa Inggris karena sampai sekarang dan

mungkin akan seterusnya bahasa Inggris menjadi bahasa baku dunia dan tidak

ada ancaman besar terhadap bahasa ini.7 Bagaimana dengan negara-negara

nonpenutur bahasa Inggris? Di sinilah penerjemah mulai berperan, karena

melalui penerjemahan tidak akan ada halangan bagi komunikasi tertulis maupun

lisan antarnegara untuk bertukar informasi, misalnya mengenai ilmu

pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, kebudayaan, dan kemasyarakatan.

Jadi, penerjemahan digunakan untuk menjembatani kesenjangan antara negara

penutur asli bahasa Inggris dan negara nonpenutur asli bahasa Inggris. Dengan

kata lain, penerjemahan merupakan salah satu sarana dalam komunikasi global.

Salah menerjemahkan bisa menimbulkan salah interpretasi dan dapat

berpengaruh pada karakter bangsa karena sesuatu yang baik pada suatu bangsa

belum tentu dinilai baik bagi bangsa lain. Proses penerjemahan hendaknya

selektif memilih kosa kata dan selalu mempertmbangkan tata nilai budaya

bangsa. Memang sangat sulit untuk menerjemahkan hal-hal yang secara budaya

bertentangan.

7 Rusli, Ratna Sayekti dkk. "Penerjemahan untuk Menjembatani Kesenjangan Antara

Negara Penutur Asli Bahasa Inggris dan Negara Non-Penutur Asli Bahasa Inggris dalam

Rangka Pendidikan Global". (Makalah dalam Konggres Nasional Penerjemahan, 15-16

September 2003 di UNS Surakarta. 2003).

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 110: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

256

Pada tahun 1990-an ketika Telenovela sedang digandrungi dan didubbing

ke dalam bahasa Indonesia, banyak orang tua Indonesia gelisah karena dalam

telenovela tersebut disampaikan hal-hal yang bertentangan dengan budaya

Indonesia seperti minum-minuman keras, tidak bersama ketika berpacaran,

sampai memiliki anak tanpa nikah. Hal ini lazim di budaya asal telenovela, tetapi

merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima dalam budaya Indonesia.

Penerjemahan teks-teks seperti itu pada hakikatnya perlu dihindari, meskipun

bertentangan dengan selera pasar dan sedang laris.

Kasus yag sama terjadi pada penerjemahan komik Sincan. Komik dari

Jepang yang kemudian juga dimunculkan dalam TV tersebut terdapat perilaku-

perilaku yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, khususnya perilaku sopan

santun dan ketertiban. Komik yang aslinya di Jepang untuk tontonan orang

dewasa, di Indonesia dianggap sebagai komik untuk anak-anak karena berupa

film kartun. Banyak anak yang menonton atau membaca komik tersebut

berperilaku ”aneh-aneh” karena meniru perilaku Sincan yang ”lucu” tetapi norak.

D. Penyajian

Menyajikan penerjemahan memang merupakan hal yang sulit. Perlu

didukung teori penerjemahan untuk mendapatkannya. Dengan adanya teori,

orang dapat mengenal jenis-jenis penerjemahan dan memilih jenis-jenis tersebut

seusai kebutuhannya. Secara teoritis, dikenal beberapa jenis penerjemahan yaitu:

(1) penerjemahan kata demi kata (word-for-word translation); (2) penerjemahan

bebas (free translation); (3) penerjemahan harfiah (literal translation); (4)

penerjemahan dinamik; (5) penerjemahan pragmatik; (6) penerjemahan estetik-

puitik (esthetic-poetic translation); (7) penerjemahan etnografik; (8)

penerjemahan linguistik; (9) penerjemahan komunikatif; dan (10) penerjemahan

semantik.8

Adanya berbagai jenis penerjemahan itu disebabkan oleh:

1. adanya perbedaan sistem bahasa sumber dan bahasa sasaran;

2. adanya perbedaan jenis materi teks yang akan diterjemahkan;

3. adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi;

4. adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan teks.9

8 Soemarno, Thomas. 2001. "Penerjemahan Bebas dalam Aktivitas Sehari-hari" dalam

Jornal Linguistik Bahasa Volume 1 Nomor 1 Mei 2001.hlm, 31.

Nababan, M. Rudolf.. Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan. (Yogyakarta:

Kanisius. 1997), Hlm. 20-34 9 Nababan, M. Rudolf.. Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan. (Yogyakarta:

Kanisius. 1997), Hlm. 20

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 111: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

257

Roger T. Bell10

menjelaskan bahwa ada 5 pengetahuan yang harus

dikuasai oleh seorang penerjemah, yaitu:

(1) bahasa target

(2) pengetahuan tipe teks

(3) pengetahuan bahasa sasaran

(4) pengetahuan tentang area subjek (real-wordl)

(5) pengetahuan kontrastif

Pengetahuan tentang bahasa target jelas membutuhkan pengetahuan

linguistik. Pengetahuan linguistik tersebut dibagi menjadi 3, (1) pengetahuan

semantik, (2) pengetahuan sintaksis, dan (3) pengetahuan pragmatik. Kehilangan

salah satu pengetahuan tersebut menjadikan penerjemah tidak mampu bekerja

dengan baik.11

Salah satu unsur dalam penyajianhasil penerjemahan ialah mengenai

sasaran pembaca. Buku terjemahan tentang seks, sangat tidak layak kalau

disajikan dalam buku untuk anak-anak. Begitu juga buku-buku tentang prostitusi,

menggugurkan kandungan, gay, lesbian, homoseks sangat mempengaruhi

karakter masyarakat kita yang masih berpegang pada norma. Padahal, buku-buku

tentang hal tersebut di Barat merupakan suatu hal yang biasa. Dalam pandagan

Barat, perilaku seks menyimpang seperti gay dan homoseks dianggap sebagai

kecenderungan saja, bukan suatu hal yag perlu dihindari. Beberapa negara Barat

malah sudah melegalkan pengguguran kandungan.

E. Kesimpulan

Pada akhirnya harus disimpulkan bahwa karakter itu suatu pilihan.

Bangsa Indonesia memiliki pilihan untuk membangun karakter berdasarkan

ketuhanan sehingga tidak menginginkan hal-hal yang bertentangan dengan

agama tumbuh subur di negara kita.

Penerjemahan yang merupakan salah satu bentuk alih budaya harus

mempertimbangan hal tersebut sehingga dalam hal pilihan, proses, dan penyajian

hasil penerjemahan harus tetap mempertimbangan sumbangannya terhadap

pembangunan karakter bangsa

10

Bell, Roger T. Translation and Translating: Theory and Practice. (London and New

York: Longman1991), Hlm, 36 11

Ibid, hlm. 37

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 112: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

258

DAFTAR PUSTAKA

Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. London

and New York: Longman.

Kemendiknas. 2014. Pendidikan Karakter. http:.kemdiknas.go.id/

download/Pendidikan%20Karakter.pdf

Nababan, M. Rudolf. 1997. Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan.

Yogyakarta: Kanisius.

Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. Hertfordshire: Prentice Hall

International (UK) Ltd.

Nida, E. A. 1964. Toward A Science of Translating. Leiden: EJ. Brill.

Nida, E. A. 1975. Language Structure and Translation. Stanford: Standford

University Press.

Rusli, Ratna Sayekti dkk. 2003. "Penerjemahan untuk Menjembatani

Kesenjangan Antara Negara Penutur Asli Bahasa Inggris dan Negara

Non-Penutur Asli Bahasa Inggris dalam Rangka Pendidikan Global".

Makalah dalam Konggres Nasional Penerjemahan, 15-16 September

2003 di UNS Surakarta.

Soemarno, Thomas. 1988. "Hubungan Antara Lama Belajar dalam Bidang

Penerjemahan Kemampuan Berbahasa Inggris dan Tipe-tipe Kesilapan

Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Disertasi.

IKIP Malang.

Soemarno, Thomas. 2001. "Penerjemahan Bebas dalam Aktivitas Sehari-hari"

dalam Jornal Linguistik Bahasa Volume 1 Nomor 1 Mei 2001.

Trilaksono, Ivanriadi . 2014. “ Penjajahan Budaya”. http://www.pidas81.org/

penjajahan-budaya/

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 113: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

259

KEPEMIMPINAN DAN PENDIDIKAN ISLAM

Puji Khamdani1

Abstrak

Kepemimpinan merupakan suatu usaha sadar yang dilakukan seseorang

(pemimpin) untuk dapat merealisasikan tujuan organisasi melalui orang lain

dengan cara memberikan motivasi agar orang lain tersebut mau

melaksanakannya, dan untuk itu diperlukan adanya keseimbangan antara

kebutuhan individu para pelaksana. Seorang pemimpin tentunya harus

memahami serta mengerti akan dasar-dasar kepemimpinan untuk dapat menjadi

pemimpin, baik dalam lingkup yang kecil, seperti keluarga, pemimpin diskusi,

dan lain-lain maupun pemimpin dalam lingkup yang besar seperti pemimpin

organisasi, pemimpin agama, pemimpin negara dan sebagainya. Namun ada

beberapa faktor munculnya kepemimpinan: pertama, faktor situasi dan kondisi;

kedua, faktor kemampuan; ketiga, faktor keturunan; keempat, faktor

pengangkatan; kelima, faktor kepentingan. Pendidikan adalah proses bimbingan,

mendidik yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa

guna mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan Islam adalah

pembentukan kepribadian untuk menjadi manusia yang berakhlakul karimah

agar dalam kehidupan sehari-hari mendapatkan kebahagiaan, ketenteraman, serta

dapat mencerminkan perilaku sesuai syari'at Islam yang bersumber pada Al-

Qur'an, Sunnah Rasul dan Ijtihad. Kepemimpinan pendidikan merupakan

kemampuan untuk menggerakkan pelaksanaan pendidikan untuk mencapai

tujuan pendidikan. Pengertian ini sejalan dengan sudut filosofi kepemimpinan

yang pada pokoknya menjunjung tinggi asas kemanusiaan (human relationship).

Kata Kunci: Kepemimpinan dan Pendidikan Islam.

A. Pendahuluan

Pandangan yang mendasari setiap aktifitas pemimpin dalam

kepemimpinannya baik dalam penyusunan perencanaan maupun pelaksanaan di

lembaga, atau tempat yang dipimpinnya. Karena pemimpin sangat dibutuhkan

dalam suatu organisasi kelompok individu sebagai pembimbing, motivator, dan

penggerak yang menyebabkan orang lain bertindak sesuai dengan tujuan yang

akan dicapai.

Seseorang dapat menduduki jabatan pemimpin biasanya disebabkan oleh

berbagai faktor, di antaranya: a) Faktor Situasi dan Kondisi, b) Faktor

1 Puji Khamdani, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 114: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

260

Kemampuan, c) Faktor Keturunan, d) Faktor Pengangkatan (Penunjukan), dan e)

Faktor Kepentingan.

Kepemimpinan (leadership) merupakan pembahasan yang selalu

menarik, karena ia merupakan salah satu faktor penting dan menentukan

keberberhasilan atau gagalnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya2.

Pentingnya hal itu ditandai dengan berlangsungnya berbagai jenis kegiatan

pelatihan (training) kepemimpinan, terutama bagi individu yang dipersiapkan

untuk menjadi pemimpin suatu organisasi atau lembaga. Dan sangat maklum

bahwa setiap organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorang

pimpina tertinggi (pimpinan puncak) dan atau manajer tertinggi (top manajer)

yang harus menjalankan kepemimpinan dan manajemen.

Guru sebagai pemimpin pendidikan bagi murid. Guru dalam Islam adalah

orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik dengan

mengupayakan seluruh potensinya, baik potensi afektif, potensi kognitif, maupun

potensi psikomotorik. Guru juga berarti orang dewasa yang bertanggungjawab

memberikan pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan

rohaninya agar menacapai tingkat kedewasaan, serta mampu berdiri sendiri

dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah.

B. Kepemimpinan

Menurut Griffin dan Ebert, kepemimpinan (leadership) adalah proses

memotivasi orang lain untuk mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan yang

telah ditetapkan.3 Lindsay dan Patrick dalam membahas “Mutu Total dan

Pembangunan Organisasi” mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu

upaya merealisasikan tujuan perusahaan dengan memadukan kebutuhan para

individu untuk terus tumbuh berkembang dengan tujuan organisasi. Perlu

diketahui bahwa para individu merupakan anggota dari perusahaan.4 Peterson at.

all, mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu kreasi yang berkaitan

dengan pemahaman dan penyelesaian atas permasalahan internal dan eksternal

organisasi.5 Kepemimpinan dari segi istilah dapat didefisinikan sebagai proses

mempengaruhi orang lain untuk berbuat guna mewujudkan tujuan-tujuan yang

2 Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES,1999), hlm. 19.

3 Griffin W. Ricky dan Ebert J. Ronald, Business, edisi-5, (New Jersey: Prentice Hall

International Inc, 1999), hlm. 228. 4 Lindsay M. William dan Patrick A. Joseph, Total Quality and Organization

Development, (Florida: St. Lucie Press, 1997), hlm. 4. 5 Peterson W. Marvin, at. all, Planning and Management for a Changing Environment,

(San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1997), hlm. 192.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 115: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

261

sudah di tentukan. Kepemimpinan selalu melibatkan upaya seseorang

(pemimpin) untuk mepengaruhi perilaku seseorang pengikut atau para pengikut

dalam suatu situasi6. Kepemimpinan adalah proses menggerakkan manusia untuk

meraih tujuan. Kepemimpinan memiliki tiga unsur: 1) Adanya tujuan yang

menggerakkan manusia, 2) Adanya sekelompok orang, 3) Adanya pemimpin

yang mengarahkan dan memberikan pengaruh kepada manusia.7

Dari beberapa definisi kepemimpinan di atas dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan merupakan usaha sadar yang dilakukan seseorang (pemimpin)

dalam proses mempengaruhi, memotivasi, dan menyebabkan seseorang atau

kelompok orang untuk berbuat guna mengarah pada tujuan yang sudah

ditentukan.

C. Konsep Dasar Kepemimpinan

Kepemimpinan (leadership) merupakan pembahasan yang selalu

menarik, karena ia merupakan salah satu faktor penting dan menentukan

keberberhasilan atau gagalnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya8.

Pentingnya hal itu ditandai dengan berlangsungnya berbagai jenis kegiatan

pelatihan (training) kepemimpinan, terutama bagi individu yang dipersiapkan

untuk menjadi pemimpin suatu organisasi atau lembaga. Dan sangat maklum

bahwa setiap organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorang

pimpina tertinggi (pimpinan puncak) dan atau manajer tertinggi (top manajer)

yang harus menjalankan kepemimpinan dan manajemen.

Dalam berbagai pustaka, secara etimologi istilah kepemimpinan berasal

dari kata dasar ”pimpin” yang memiliki arti bimbing atau tuntun. Dari kata

pimpin lahirlah kata kerja “memimpin” yang artinya membimbing atau

menuntun9. Sedangkan kata kepemimpinan sendiri berarti kegiatan menuntun,

memandu dan menunjukkan jalan.

Secara terminologi banyak ahli yang memberikan definisi.

Menurut Stogdill, kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan menggerakkan

atau memotivasi sejumlah orang agar secara serentak melakukan kegiatan yang

sama dan terarah pada pencapaian tujuan. Selanjutnya Robert Kreither dan

6 Manullang, Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Pertama, (Yogyakarta: PT.

BPFE, 2001) , hlm. 141. 7 Thariq As – Suwaidan, dkk., Melahirkan Pemimpin Masa Depan, (Jakarta: Gema

Insani, 2005), hlm. 10. 8 Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES,1999), hlm. 19.

9 Pamuji, Kepemimpinan Pemerintah di Indonesi, (Jakarta: Bumi Aksara , 1995), hlm.

5.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 116: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

262

Angelo Kinicki yang dikutip Haidar Imam Bukhori mengatakan bahwa

kepemimpinan adalah upaya mempengaruhi anggota untuk mencapai tujuan

organisasi secara sukarela10

.

Pengertian ini menekankan pada kemampuan pemimpin yang tidak

memaksa dalam menggerakkan anggota organisasi agar melakukan kegiatan

yang terarah pada tujuan organisasi.

Dalam pengertian yang senada Gibson yang dikutip Haidar Imam

Bukhori juga mengatakan kepemimpinan adalah upaya menggunakan berbagai

jenis pengaruh yang bukan paksaan untuk memotivasi anggota organisasi agar

mencapai tujuan tertentu11

. Memotivasi berarti dilakukan sebagai kegiatan

mendorong anggota organisasi untuk melakukan kegiatan tertentu tanpa

memaksa dan mengarah pada tujuan. Kegiatan mendorong merupakan usaha

menumbuhkan motivasi instrinsik, yaitu dorongan yang tumbuh dari dalam diri

anggota organisasi yang berupa kesadaran terhadap peranan dan pentingnya

kegiatan dalam usaha mencapai tujuan organisasi.

Pengertian yang agak berbeda dikemukakan oleh Pondy. Dia menyatakan

bahwa kepemimpinan sebagai kemampuan untuk menjadiakn suatu aktifitas

bermakna, tidak untuk merubah perilaku, namun memberi pemahanan kepada

pihak lain tentang apa yang mereka lakukan12

.

Dari sekian banyak definisi kiranya dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang

yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi13

dengan seorang

pemimpin puncak sebagai figur sentral yang memiliki wewenag dan tanggung

jawab dalam mengefektifkan organisasi tersebut14

. Karenanya kepemimpinan

menurut Stephen P. Robbins selalu terkait dengan kemampuan mempengaruhi

orang lain dan kemampuan mengambil keputusan15

.

D. Pendidikan Islam

Pengertian pendidikan dilihat dari istilah adalah bimbingan atau

pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang

10

Haidar Imam Bukhori, Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi, (Yogyakarta:

Gajah Mada Univesity Press, 2003), hlm. 21. 11

Ibid. 12

Pamuji, op., cit., hlm. 34. 13

E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi,

(Bandung; Rosdakarya, 2002), hlm. 107. 14

Haidar Imam Bukhori, op., cit, hlm. 72. 15

Ibid., hlm. 38.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 117: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

263

dewasa agar ia menjadi dewasa.16

Definisi lain dari pendidikan adalah suatu

proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi

tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.17

Sering ditafsirkan usaha

pendidikan sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan yang

kelak mampu berdiri sendiri dan mengejar cita-citanya. Titik akhir kegiatan

mendidik adalah tercapainya kedewasaan. Pendapat ini dipelopori oleh

Langeveld sebagai anak dari jamannya dan lingkungannya. Beliau dibesarkan

dalam kebudayaan Barat yang menekankan sikap individualisme.18

Pengertian

pendidikan seperti yang lazim dipahami sekarang belum terdapat di zaman Nabi.

Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan

seruan agar dengan berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi contoh, melatih

keterampilan berbuat, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan yang

mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu, telah mencakup

arti pendidikan dalam pengertian sekarang.19

Hasan Langgulung menjelaskan

bahwa pendidikan dapat dilihat dari tiga segi, pertama pendidikan dilihat dari

segi individu artinya individu secara fitri dibekali kemampuan (Abilites) yang

masing-masing individu memiliki derajat kemampuan yang berbeda-beda, maka

pendidikan di sini diartikan sebagai proses untuk mengembangkan dan

menentukan kemampuan-kemampuan (pengembangan potensi) yang tentunya

juga lewat latihan-latihan atau pembinaan-pembinaan yang dapat dan mampu

mengembangkan potensinya itu. Kedua, dilihat dari segi pandangan masyarakat

bahwa manusia memperoleh pengetahuan dengan mencarinya pada alam di luar

pelajar, maka pendidikan di sini diartikan sebagai proses pewaris dan budaya

atau dengan kata lain masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin

disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap

terpelihara. Juga dilihat dari segi pendidikan sebagai proses memberi dan

mengambil antara manusia dan lingkungannya, atau dengan kata lain pendidikan

sebagai proses interaksi (hubungan timbal balik) antara potensi individu dan

budaya.20

Jadi, dari beberapa pengertian tentang pendidikan di atas dapat

16

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 1. 17

Djamaluddin Darwis, Dinamika Pendidikan Islam Sejarah, Ragam dan Kebudayaan,

(Semarang: Rasail, 2006), hlm. 65. 18

I.L. Pasaribu,dkk., Pendidikan Nasional; Tinjauan Pedagogik Teoritis, (Bandung:

Tarsito, 1982), hlm. 9. 19

Zakiah Daradjat, dkk., Op. Cit., hlm. 27. 20

Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, (Jakarta: Al-Husna,

1988), hlm. 57.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 118: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

264

disimpulkan bahwa pendidikan adalah proses bimbingan, mendidik yang

diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa guna mencapai

tujuan dari pendidikan itu sendiri.

1. Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung, bahwa pendidikan

Islam adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan,

mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan

dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di

akherat.21

Pendapat Al-Ghazali itu didukung oleh M. Athiyah Abrasyi

mengatakan pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam (

pendidikan yang dikembangkan oleh kaum muslimin), dan Islam telah

menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa

pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan

sebenarnya dari pendidikan.22

Menurut Ahmad D. Marimba bahwa

pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan

kepribadian anak didik sesuai dengan ajaran Islam, memikirkan,

memutuskan, dan berbuat sesuai dengan ajaran Islam.23

Pengertian

pendidikan Islam tersebut di atas sesuai dengan yang disampaikan oleh

Zuhaiini dkk, pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada

pembentukan kepribadian anak didik sesuai dengan ajaran Islam,

memikirkan, memutuskan, dan berbuat sesuai dengan ajaran Islam.24

Ramayulis berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses

edukatif yang mengarahkan kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.25

Jadi, dari beberapa pengertian tentang pendidikan Islam tersebut di

atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah pembentukan

kepribadian untuk menjadi manusia yang berakhlakul karimah agar dalam

kehidupan sehari-hari mendapatkan kebahagiaan, ketenteraman, serta dapat

mencerminkan perilaku sesuai syari'at Islam.

2. Dasar-dasar Pendidikan Islam

Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang sengaja untuk mencapai

suatu tujuan harus mempunyai landasan. Begitu juga dengan pendidikan

21

Djamaluddin Darwis, Op. Cit., hlm. 22. 22

Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al – Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara,

1991), hlm. 44. 23

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Al-Ma'arif, 1992), hlm. 26. 24

Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 152. 25

Ramayulis, Op C it., hlm. 4.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 119: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

265

islam yang menurut Ahmadi, landasan (dasar) tersebut adalah nilai-nilai

yang luhur yang besifat transendental, universal dan eksternal.26

Dasar-dasar pendidikan Islam bersumber pada Al-Qur'an, Sunnah

Rasul yang dapat dikembangkan dengan Ijtihad.

a. Al-Qur'an

Al-Qur'an sebagai landasan dasar pendidikan Islam yang di

dalamnya terkandung dua prinsip besar yaitu yang berhubungan dengan

masalah keimanan yang disebut aqidah, dan yang berhubungan dengan

amal yang disebut syari'ah.27

Kedudukan Al-Qur'an sebagai sumber pokok pendidikan Islam

dapat dipahami dari ayat Al-Qur'an itu sendiri. Allah berfirman dalam Al-

Qu'an surat An-Nahl ayat 64:

Artinya : “ Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al

-Qur'an) ini melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada

mereka perselisihan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi

kaum yang beriman”. (QS. An-Nahl: 64)28

Sebagai contoh dapat dibaca kisah Lukman mengajari anaknya

dalam surat Lukman ayat 12-19. Cerita itu menggariskan prinsip materi

pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak ibadat, sosial dan ilmu

pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai

sesuatu kegiatan dan amal soleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan

harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu pendidikan islam

harus menggunakan Al-Qur'an sebagai sumber utama dalam merumuskan

berbagai teori tentang pendidikan Islam. Dengan kata lain, pendidikan

Islam harus berlandaskan ayatayat Al-Qur'an yang penafsian dapat

dilakukan berdasarkan ijtihad disesuaikan dengan perubahan dan

26

Achmad, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media,

1992), hlm . 55. 27

Ibid. 28

A. Soenaryo, dkk., Op. Cit., hlm. 273.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 120: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

266

pembaharuan.29

b. Sunnah

Dasar yang kedua selain Al -Qu'an adalah sunnah Rosulullah.

Amalan yang dikerjakan oleh Rosulullah Saw dalam proses perubahan

sikap hidup sehari-hari menjadi sumber utama pen didikan Islam karena

Allah SWT menjadikan Muhammad sebagai teladan bagi umatnya30

.

Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab ayat 21:

Artinya : “Sungguh, telah bagi orang yang mengharap (rahmat)

Allah dan (kedatangan )hari kiamat dan yang banyak mengingat

Allah”. (Qs. Al-Ahzab : 21)31

c. Ijtihad

Ijtihad dibidang pendidikan ternyata semakin perlu sebab ajaran

Islam ang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah adalah bersifat pokok-

pokok dan prinsip-prinsipnya saja. Bila ternyata ada yang agak terperinci,

maka perincian itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan yang prinsip

itu.32

Dari beberapa uraian di atas jelas bahwa dasar pendidikan Islam

tidak hanya bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, namun ijtihad

juga dapat dijadikan sumber dasar pendidikan.

3. Tujuan Pendidikan Islam di Indonesia

Sebelum menjelaskan tujuan pendidikan Islam di Indonesia, perlu

penulis kemukakan terlebih dahulu beberapa tujuan pendidikan, antara lain:

a) Tujuan Umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan

pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan itu

29

Zakiyah Daradjat, dkk., Loc. Cit., hlm. 20. 30

Ibid. 31

A Soenaryo, Op. Cit., hlm. 420. 32

Zakiyah Daradjat, dkk., Op. Cit., hlm. 22.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 121: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

267

meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku,

penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda pada

setiap tingkat umur, kecerdasan, situasi, dan kondisi dengan kerangka yang

sama. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus dapat tergambar pada

pribadi seseorang yang sudah di didik,walaupun dalam ukuran kecildan

mutu pendidikan yang rendah, sesuai dengan tingkat-tingkat tersebut.33

b)

Tujuan Akhir Pendidikan Islam itu dapat di pahami dalam firman Allah

surat Ali Imron ayat 102:

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu

kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa; dan janganlah

kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (menurut ajaran

Islam)”. (QS. Ali Imran : 102)34

Pendidikan Islam di Indonesia haruslah berorientasi pada tujuan

umum pendidikan Islam sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,

akan tetapi disegi lain harus pula berorientasi pada tujuan pendidikan

nasional. Tujuan pendidikan nasional dirumuskan dengan mendasarkannya

kepada pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila, sehingga diharapkan

lembaga pendidikan Islam di Indonesua dapat melahirkan manusia muslim

yang Pancasilais. Pemerintah Indonesia telah menyusun dan merumuskan

tujuan pendidikan yang dapat dijadikan sebagai arah dalam proses

pendidikan pada setiap lembaga pendidikan di Indonesia. Tujuan ini telah

digariskan dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem

pendidikan nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah

mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan

33

Zakiyah Daradjat, dkk., Op. Cit., hlm. 30. 34

A. Soenaryo, Op. Cit., hlm. 63.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 122: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

268

bertanggungjawab.35

Apabila dianalisa secara mendalam, sebenarnya tujuan umum

pendidikan Islam dan tujuan pendidikan nasional Indonesia pada hakekatnya

tidak bertentangan bahkan mempunyai titik persamaan, apabila pendidikan

nasional diletakkan secara proposional dalam rangka pendidikan nasional,

maka pendidikan Islam dapat menciptakan insan yang beriman, bertaqwa

seperti yang dirumuskan di dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tersebut di atas,

dan sekaligus berarti mendidik insan Pancasila dan insan yang beragama.

E. Kepemimpinan Pendidikan

Jika kita berbicara tentang kepemimpinan pendidikan, hendaklah kita

berusaha memahami bahwa dalam pelaksanaan tugas itu ada seorang yang

berfungsi sebagai pemimpin. Ia adalah orang yang dapat bekerjasama dengan

orang lain dan yang dapat bekerja untuk orang lain.

Siapakah yang sebenarnya dapat disebut pemimpin pendidikan? Tiap-tiap

orang yang merasa terpanggil untuk melaksanakan tugas memimpin di dalam

lapangan pendidikan, misalnya orang tua di rumah, guru di sekolah, kepala

kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta pengawas pendidikan di

Kantor Pembinaan Pendidikan dan di daerah pelayanannya, juga pendidik lain.

Kepemimpinan sangat dibutuhkan dalam pembinaan pendidikan.36

Ki Hadjar Dewantara, seorang bapak Taman Siswa, menganggap

pendidikan sebagai daya upaya untuk mewujudkan bertumbuhnya budi pekerti,

kekuatan batin, karakteristik, pikiran (intelek) dan tubuh anak untuk memajukan

kehidupan anak didik selaras dengan dunianya. Apabila pengertian

kepemimpinan dipadukan dengan pengertian pendidikan, maka akan muncul

pengertian kepemimpinan pendidikan. Dirawat dan kawan-kawan memberikan

definisi kepemimpinan pendidikan sebagai satu kemampuan dan proses

mempengaruhi, membimbing, mengkoordinir dan menggerakkan orang-orang

lain yang ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pendidikan dan

pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, agar supaya kegiatan-kegiatan yang

diajukan dapat lebih efisien dan efektif di dalam pencapaian tujuan-tujuan

35

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,

(Semarang: CV. Duta Nursindo, 2003), hlm. 7. 36

Soekarto Indrafachrudi, Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah Yang Baik,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), hlm. 11.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 123: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

269

pendidikan dan.37

1. Fungsi Kepemimpinan Pendidikan

a. Fungsi pemimpin yang bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai,

antara lain terdiri dari: 1) Pemimpin berfungsi memikirkan dan

merumuskan dengan teliti tujuan kelompok serta menjelaskan supaya

anggota dapat bekerjasama mencapai tujuan itu; 2) Pemimpin berfungsi

memberi dorongan kepada anggota-anggota kelompok untuk

menganalisis situasi supaya dapat dirumuskan rencana kegiatan

kepemimpinan yang dapat memberi harapan yang baik; 3) Pemimpin

berfungsi membantu anggota kelompok dalam mengumpulkan

keterangan yang perlu supaya dapat mengadakan pertimbangan yang

sehat,; 4) Pemimpin berfungsi menggunakan kesanggupan dan minat

khusus anggota kelompok; 5) Pemimpin berfungsi memberi dorongan

kepada setiap anggota kelompok untuk melahirkan perasaan dan

pikirannya dan memilih buah pikiran yang baik dan berguna dalam

perencanaan masalah yang dihadapi oleh kelompok; 6) Pemimpin

berfungsi memberi kepecayaan dan menyerahkan tanggungjawab

kepada anggota dalam melaksanakan tugas, sesuai dengan kemampuan

masing-masing demi kepentingan bersama.

b. Fungsi pemimpin yang bertalian dengan penciptaan suasana pekerjaan

yang sehat dan menyenangkan sambil memeliharanya, antara lain: 1)

Memupuk dan memelihara kesediaan kerjasama di dalam kelompok

demi tercapainya tujuan bersama; 2) Menanamkan dan memupuk

perasaan pada anggota masing-masing bahwa mereka termasuk dalam

kelompok dapat dibentuk melalui penghargaan terhadap usaha-usahanya

dan sifat yang ramah tamah, gembira dari pemimpin akan

mempengaruhi anggota-anggota dan mereka pasti akan menirunya; 3)

Meungusahakan suatu tempat pekerjaan yang menyenangkan; 4)

Mempergunakan kelebihan-kelebihan yang terdapat pada pimpinan

untuk memberi sumbangan dalam kelompok menuju pencapaian tujuan

bersama dan pimpinan dapat juga mengembangkan kesanggupan-

kesanggupan anggota masing-masing, maka dengan demikian

pemimpin ini akan diterima dan diakui secara wajar.

Guru sebagai pemimpin pendidikan bagi murid. Guru dalam

37

Hendiyat Soetopo, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, (Malang: Bina

Aksara, , 1984), hlm. 4.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 124: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

270

Islam adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan

anak didik dengan mengupayakan seluruh potensinya, baik potensi

afektif, potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik. Guru juga

berarti orang dewasa yang bertanggungjawab memberikan pertolongan

pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar

menacapai tingkat kedewasaan, serta mampu berdiri sendiri dalam

memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah38

. Allah berfirman dalam surat

Ali Imran ayat 164:

Artinya : “Sesungguhnya Allah telah memberikan karunia

kepada orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara

mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang

membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan

jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-

hikmah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan Nabi itu,

mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata “. ( QS. Ali

Imran: 164 )39

Dari ayat di atas, dapat ditarik kesimpulan yang utama bahwa

tugas Rasulullah selain sebagai Nabi, juga sebagai pendidik (Guru).

Oleh karena itu, fungsi utama guru menurut ayat tersebut adalah:1)

Penyucian, yakni pengembangan, pembersihan dan pengangkatan jiwa

kepada pencipta-Nya, menjauhkan diri dari kejahatan dan menjaga diri

agar tetap berada pada fitrah; 2) Pengajaran, yakni pengalihan berbagai

pengetahuan dan akidah kepada akal dan hati kaum Muslimin agar

mereka merealisasikannya dalam tingkahlaku kehidupan.40

38

Muhammad Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Yogyakarta: Prismasophie,

2004), hal. 156 39

A. Soenaryo, Op. Cit., hlm. 71. 40

Muhammad Nurdin, Op. Cit., hlm. 157.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 125: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

271

Selain fungsi utama guru di atas, ada beberapa fungsi guru yang

akan penulis kemukakan, antara lain: 1) Guru sebagai Pribadi Kunci.

Kita mengetahui bahwa guru merupakan key person dalam kelas. Guru

yang memimpin dan mengarahkan kegiatan belajar para siswanya. Guru

yang paling banyak berhubungan dengan para siswa dibandingkan

dengan personal sekolah lainnya. Di depan mata anak-anak, guru adalah

seseorang memiliki otoritas, bukan saja otoritas dalam bidang akademis,

melainkan juga dalam bidang non akademis. Dalam masyarakat kita “

guru “ dipandang sebagai orang yang harus “ digugu dan ditiru “

(dituruti dan ditiru). Pengaruh guru terhadap para siswanya sangat besar.

Faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati, misalnya

memegang peran penting dalam interaksi sosial,41

2) Guru sebagai

Pengajar dan Pembimbing: a) Guru sebagai Pengajaran. Melalui bidang

pendidikan, guru mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, baik sosial,

budaya, maupun ekonomi. Dalam keseluruhannya proes pendidikan,

guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru

memegang berbagai jenis peranan yang mau tidak mau harus

dilaksanakannya sebagai guru.42

b) Guru sebagai Pembimbing. Peran

guru sebagai pembimbing, seorang guru harus menyelenggarakan

bimbingan kelompok atau individu bekerjasama dengan masyarakat dan

lemabaga-lembaga lainnya untuk membantu memecahkan masalah

siswa.43

2. Tipe-tipe Kepemimpinan Pendidikan

Sesuai dengan situasi sekarang dimana kita berada di tengah-tengah

perjuangan menuju tujuan pendidikan tidak lepas dan sangat membutuhkan

tipe-tipe pemimpin, sebagai pemimpin pendidikan yang official leader. Ada

beberapa pendapat mengenai tipe-tipe kepemimpinan, antara lain: a)

Kepemimpinan Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis

memperlihatkan kekuasaannya, ingin berkuasa. Ia berpendapat bahwa

tanggungjawabnya sebagai pemimpin besar sekali. Hanya dialah yang

bertanggungjawab dalam kepemimpinannya. Maju mundurnya organisasi

yang dipimpinnya sangat bergantung kepadanya. Pada umunya situasi

lingkungan organisasi yang dipimpinnya tidak akan menggembirakan

41

Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: Sinar Baru

Algensindo), hlm. 27. 42

Ibid., hlm. 33. 43

Ibid.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 126: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

272

anggota. Misalkan, di sekolah guru-guru akan bersifat acuh tak acuh atau

memberontak, kecuali guru yang menjadi sahabat atau kesayangannya; b)

Kepemimpinan Pseudo-Demokatis. Seorang pemimpin yang bersifat

pseudo-demokratis sering memakai “topeng“. Ia pura-pura memperlihatkan

sifat demokratis di dalam kepemimpinannya. Ia memberi hak dan kuasa

kepada anggotanya (guru) untuk menetapkan dan memutuskan sesuatu,

tetapi sesungguhnya ia bekerja dengan perhitungan. Ia mengatur siasat agar

kemauannya terwujud kelak. Bagi pemimpin seperti itu berarti memberi

bimbingan dengan lemah-lembut dalam mengejarkan hal-hal yang

dikehendakinya supaya mereka melakukannya; c) Kepemimpinan Laissez-

Faire. Pemimpin pada tipe ini menghendaki supaya kepada bawahannya

diberikan banyak kebebasan. Pemimpin bersikap acuh tak acuh terhadap

tugas dan kewajibannya. Ia beranggapan bahwa dengan memberi kebebasan

kepada guru-guru itu, mereka akan lebih bersemangat dan bergembira dalam

melaksanakan tugas mereka. Ia telah memberi pengertian yang salah dan

kacau, d) Kepemimpinan Demokratis. Macam kepemimpinan yang baik dan

yang sesuai dewasa ini ialah kepemimpinan demokratis. Pemimpin

menghormati dan menghargai pendapat anggotanya. Pemimpin tidak

melaksanakan tugasnya sendiri. Ia berbijaksana di dalam pembagian

pekerjaan dan tanggungjawab. Dapat dikatakan bahwa tanggungjawab

terletak pada pundak dewan guru seluruhnya termasuk pemimpin sekolah.

3. Syarat-syarat Kepribadian Bagi Seorang Pemimpin Pendidikan

Kualifikasi kepribadian guru dipandang sangat penting oleh sebab itu

guru (pendidik) bukan saja melaksanakan pendidikan, ia juga dituntut dapat

memperbaiki pendidikan yang telah terlanjur salah diterima anak sekaligus

mengadakan pendidikan ulang. Kemudian Al-Ghazali mengemukakan

syarat-syarat kepribadian seorang pendidik44

, sebagai berikut: a) Sabar

menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik;

b) Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih; c) Jika duduk harus sopan

dan tunduk, tidak riya' (pamer); d) Tidak takabbur, kecuali terhadap orang

yang dhalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya; e) Bersikap

tawadhu' dalam pertemuan-pertemuan. Kriteria yang di terapkan oleh

Departemen Pendidika Amerika Serikat menyimpulkan bahwa guru-guru

yang baik di gambarkan dengan ciri-ciri sebegai berikut45

: a) Guru yang

44

Zainuddin, dkk, Op. Cit., hlm. 56-57. 45

Oemar Hamalik,Op. Cit., hlm. 38-39.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 127: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

273

waspada secara profesional. Ia berusaha untuk menjadikan masyarakat

sekolah menjadi tempat yang paling baik bagi anak-anak muda; b) Mereka

yakin akan nilai atau manfaat pekerjaannya, sehingga terus memperbaiki dan

meningkatkan mutu pekerjaannya; c) Mereka tidak lekas tersinggung oleh

larangan-larangan dalam hubungannya dengan kebebasan pribadi yang

dikemukakan oleh beberapa orang untuk menggambarkan profesi keguruan;

d) Mereka memiliki seni dalam hubungan-hubungan manusia yang

diperolehnya dari pengamatannya tentang bekerjanya psikologi, biologi, dan

antropologi kultural di dalam kelas; e) Mereka berkeinginan untuk terus

tumbuh. Mereka sadar bahwa pengaruhnya, sumber-sumber manusia dapat

berubah nasibnya.

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Pendidikan

Seorang yang menduduki profesi pemimpin pendidikan, dalam

menjalankan tugas kepemimpinanya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut46

antara lain: 1) Faktor-faktor legal sebagai pengaruh dalam kepemimpinan.

Seseorang yang menduduki jabatan pemimpin pendidikan akan berhadapan

dengan peraturan-peraturan formal dari instansi struktural yang berada di

atasnya. Di Indonesia, falsafah Pancasila, UUD 1945, keputusan Presiden,

keputusan Menteri, dan Undang-Undang lainnya akan mempengaruhi pola

kepemimpinan pendidikan; 2) Kondisi sosial ekonomi dan konsep-konsep

pendidikan sebagai pengaruh dalam kepemimpinan. Faktor ini terdiri atas

dua macam, yaitu: a) Kondisi Sosial-Ekonomi yang memungkinkan

tersedianya sumber-sumber dan fasilitas pendidikan. Bantuan individu

maupun masyarakat terhadap pendidikan dalam hal fasilitas akan membantu

juga memperlancar jalannya pendidikan; b) Konsep tujuan pendidikan para

pemimpin masyarakat dan para warga pada umumnya akan berpengaruh

terhadap pola kepemimpinan; 3) Hakekat dan atau Ciri Sekolah sebagai

Pengaruh Kepemimpinan. Faktor ini berkaitan dengan ciri dan atas hakikat

para staf, para murid dan jenis sekolah akan mempengaruhi kepemimpinan

kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan. Sistem administrasi,

kurikulum yang digunakan dan pendekatan yang digunakan dalam sistem

pendidikan akan berpengaruh juga terhadap sistem kepemimpinan

pendidikan; 4) Kepribadian Pemimpin Pendidikan dan Latihan-latihan

sebagai Faktor yang Mempengarui Kepemimpinan. Tidak dapat ingkari

bahwa individu itu sendiri membawa sesuatu dalam jabatanya. Energinya,

46

Hendiyat Soetopo, Op. Cit., hlm. 16-18.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 128: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

274

logalitas, pandangan hidupnya dan atrobut – atributnya profesional yang

melekat padanya akan berpengaruh terhadap sistem kepimpinan; 5)

Perubahan-perubahan yang Terjadi dalam Teori Pendidikan sebagai Faktor

yang Mempengaruhi Kepemimpinan. Tugas kepemimpinan pendidikan

dipengaruhi oleh berbagi perubahan teori dan metode aktifitas

belajar.Konsep-konsep pertubuhan dan perkembangan anak membawa

implikasi terhadap produser pengajaran di kelas. Hal ini akan berbeda

dengan sepuluh tahun yang lalu atau lebih; 6) Kepribadian dan Training

Kepala Sekolah Mempengaruhi Kepemimpinan. Adalah suatu kenyataan

bahwa individu itu sendiri membawa sesuatu dalam pekerjaan. Tenaganya,

loyalitasnya, dan lain-lain atribut personal maupun profesional akan

merupakan faktor signifikan yang berpengaruh terhadap jenis

kepemimpinannya di sekolah. Oleh sebab itu suatu kewajiban moral dan

tentunya profesional di Indonesia untuk menuntut adanya kualifikasi

profesional untuk para kepala sekolah.

F. KESIMPULAN

Seorang pemimpin tentunya harus memahami serta mengerti akan dasar-

dasar kepemimpinan untuk dapat menjadi pemimpin, baik dalam lingkup yang

kecil, seperti keluarga, pemimpin diskusi, dan lain-lain maupun pemimpin dalam

lingkup yang besar seperti pemimpin organisasi, pemimpin agama, pemimpin

negara dan sebagainya. Namun ada beberapa faktor munculnya kepemimpinan:

pertama, faktor situasi dan kondisi; kedua, faktor kemampuan; ketiga, faktor

keturunan; keempat, faktor pengangkatan; kelima, faktor kepentingan.

Pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian untuk menjadi manusia yang

berakhlakul karimah agar dalam kehidupan sehari-hari mendapatkan

kebahagiaan, ketenteraman, serta dapat mencerminkan perilaku sesuai syari'at

Islam yang bersumber pada Al-Qur'an, Sunnah Rasul dan Ijtihad.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 129: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

275

DAFTAR PUSTAKA

Achmad. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya

Media, 1992.

Bukhori, Haidar Imam. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi.Yogyakarta:

Gajah Mada Univesity Press, 2003), hlm. 21.

Daradjat, Zakiyah, dkk. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Darwis, Djamaluddin. Dinamika Pendidikan Islam Sejarah; Ragam dan

Kebudayaan. Semarang: Rasail, 2006.

Dubrin, Andrew J. The Complete Ideal's Guides Leadership. Jakarta: Prenada

Media, 2005.

E. Mulyasa. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi.

Bandung; Rosdakarya, 2002.

Faqih, Ainur Rohim. Kepemimpinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2001.

Griffin W. Ricky dan Ebert J. Ronald, Business. New Jersey: Prentice Hall

International Inc, 1999.

Hamalik, Oemar. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru

Algensindo, 2001.

I.L. Pasaribu, dkk. Pendidikan Nasional; Tinjauan Pedagogik Teoritis. Bandung:

Tarsito, 1982.

Indrafachrudi, Soekarto. Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah Yang Baik.

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.

Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta: Al-Husna,

1988.

Lindsay M. William dan Patrick A. Joseph. Total Quality and Organization

Development. Florida: St. Lucie Press, 1997.

Manullang. Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Pertama. Yogyakarta: PT.

BPFE, 2001.

Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Islam. Al-Ma'arif, Bandung, 1992.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 130: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

276

Nurdin, Muhammad. Kiat Menjadi Guru Profesional. Yogyakarta:

Prismasophie, 2004.

Pamuji. Kepemimpinan Pemerintah di Indonesi. Jakarta: Bumi Aksara , 1995.

Peterson W. Marvin, at. all. Planning and Management for a Changing

Environment. San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1997.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1998.

Siagian, Sondang P. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: PT Bina Aksara,

1988.

Soetopo, Hendiyat. Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan. Malang: Bina

Aksara, 1984.

Sukamto. Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren. Jakarta: LP3ES,1999.

Suyuti, Achmad. Pelatihan Dasar Kepemimpinan (Leadership) dari Aspek dan

Moral. Pekalongan: Cinta Ilmu, 2002.

Thariq As-Suwaidan, dkk. Melahirkan Pemimpin Masa Depan. Jakarta: Gema

Insani, 2005.

Wirayuda, Moeftie. Dimensi Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: Balai

Pustaka, 1987.

Zainuddin, dkk. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara,

1991.

____________, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 131: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

277

PILAR-PILAR PERADABAN PESANTREN; POTRET POTENSI DAN

PERAN PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN

Mu‟ammar1

Abstrak

Pesantren sejak awal berdirinya hingga sekarang menjadi salah satu pusat studi

Islam yang paling dipercaya umat Islam. Kegiatan pendidikan keagamaan di

Pesantren dinilai komprehensif karena tidak hanya terjadi transfer of

konwoledge, akan tetapi transfer of value’s; tidak hanya mendasarkan pada

pemahaman teori, akan tetapi praktik ibadah sekaligus; tidak hanya

mengandalkan hapalan serangkaian teori keilmuan akan tetapi membiasakan diri

dalam tradisi ritual; tidak hanya secara retoris menggalakkan konsep ‘adalah,

tawassuth, dan tawazun, tetapi juga mengimplementasikannya dalam tataran

praksis kehidupan pesantren. Pesantren mempunyai kekuatan ganda (double

power) yaitu kyai sebagai pemimpin pesantren dan pesantren sendiri sebagai

institusi dan sistem pendidikan. Sebagai salah satu kekayaan budaya umat Islam

Indonesia yang khas, pesantren telah terbukti menjadi barometer pertahanan

moralitas umat Islam dan merupakan lembaga sosial yang mampu melakukan

perubahan masyarakat di lingkungannya ke arah transformasi nilai-nilai

keagamaan dan kebangsaan. Pilar-pilar peradaban pesantren mengejawantah

melalui potensi dan peran yang dimainkan oleh pesantren dalam

mempertahankan eksistensinya dan berperan aktif memanfaatkan potensinya

sebagai lembaga pendidikan untuk kepentingan tafaqquh fiddin.

Kata Kunci : Pesantren, Pilar peradaban, eksitensi pesantren.

A. Pendahuluan

Secara historis, pesantren telah “mendokumentasikan” berbagai peristiwa

sejarah bangsa Indonesia, baik itu sejarah sosial budaya masyarakat Islam,

ekonomi maupun politik bangsa Indonesia. Sejak masa awal penyebaran Islam

Indonesia, pesantren adalah sarana penting bagi kegiatan Islamisasi di Indonesia.

perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara, khususnya di Jawa

yang tidak mungkin terpisahkan dari peranan yang dimainkan pesantren.

Berpusat dari pesantren, perputaran roda ekonomi dan kebijakan politik Islam

1 Muamar, STIK Kendal Jawa Tengah

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 132: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

278

dikendalikan. Di masa Walisongo, tidak sedikit wali-wali di Jawa menguasai

jaringan perdagangan antara pulau Jawa dengan pulau di luar Jawa, seperti

Sunan Giri yang memiliki jaringan perdagangan antara Jawa dengan Kalimantan,

Maluku, Lombok dan sebagainya. Begitu pula dengan perjalanan politik Islam di

Jawa, pesantren mempunyai pengaruh yang kuat bagi pembentukan dan

pengambilan sebagai kebijakan di keraton-keraton. Misalnya, berdirinya

Kerajaan Islam Demak, adalah karena dukungan dan kontrol kuat dari para

ulama, seperti Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan sebagainya. Dari situlah, dapat

disimpulkan bahwa dinamika masyarakat Islam di masa awal dapat ditandai

dengan adanya hubungan yang kuat antara pesantren, pasar, dan keraton.2

Pada mulanya, pesantren menunjukkan suatu komunitas yang dinamis

dan kosmopolit, karena berkembang di tangah-tengah masyarakat urban, seperti

Surabaya (Ampel Delta), Gresik (Giri), Tuban (Sunan Bonang), Demak,

Cirebon, Banten, Aceh (Sumatera), Makasar (di Sulawesi) dan sebagainya.

Kedinamisan pesantren tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan

kakuasaan, tetapi juga dalam keilmuan Islam, membuat Taufik Abdullah

mencatat pesantren sebagai pusat pemikiran keagamaan.3

Kecenderungan kehidupan pesantren yang kosmopolit dan dinamis

berubah setelah kedatangan penjajah Belanda. Dengan dikuasainya kota-kota

perdagangan oleh Belanda membuat pesantren terdorong keluar dari kota-kota di

pesisir dan masuk ke pedalaman yang menutup diri dari kehidupan “duniawi”.

Setelah itu, pesantren hanya memusatkan perhatian dalam masalah-masalah

agama. Semakin kuat penjajahan Belanda yang diikuti dengan upaya

Westernisasi dan modernisasi, menyebabkan pesantren semakin menutup diri.

Namun, pesantren tidak bisa menutup mata terhadap rakyat. Sejak masa kolonial

Belanda, pesantren telah memberikan kontribusi yang besar dalam mengusir

penjajah dari tanah air.4

Motivasi politik melawan kaum kolonial yang ditunjukkan oleh pesantren

misalnya terwujud dalam resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asyari. Kalangan

pesantren dengan semangat jihad yang tinggi ikuit serta memainkan peran politik

penting dalam waktu itu. Gelora jihad oleh KH. Hasyim Asyari ini merupakan

manifestasi tertinggi dari kesadaran dan harga diri di kalangan komunitas

pesantren.5

2 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalimah, 1999) hlm. 183

3 Ibid.,

4 Ibid.,

5 Abdurrahman Mas‟ud, Intelektual Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 50

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 133: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

279

Dari deskripsi di atas, pesantren memainkan peranan penting dalam

perjalanan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang. Dalam konteks inilah

pesantren mempunyai pilar-pilar peradaban yang akan membangun peradaban di

nusantara. Berbagai bidang tersebut selanjutnya akan dielaborasi lebih lanjut,

yang meliputi bidang keilmuan, bidang sosial budaya, bidang ekonomi

kerakyatan, dan bidang politik-kebangsaan.

B. Pilar Peradaban Pesantren: Keilmuan dan Tradisi Pesantren

Pesantren sejak awal berdirinya hingga sekarang menjadi salah satu pusat

studi Islam yang paling dipercaya umat Islam. Kegiatan pendidikan keagamaan

di Pesantren dinilai komprehensif karena tidak hanya terjadi transfer of

konwoledge, akan tetapi transfer of value’s; tidak hanya mendasarkan pada

pemahaman teori, akan tetapi praktik ibadah sekaligus; tidak hanya

mengandalkan hapalan serangkaian teori keilmuan akan tetapi membiasakan diri

dalam tradisi ritual; tidak hanya secara retoris menggalakkan konsep ‘adalah,

tawassuth, dan tawazun, tetapi juga mengimplementasikannya dalam tataran

praksis kehidupan pesantren. Bisa dikatakan bahwa pesantren merupakan

miniatur masyarakat Islam ideal yang jika pengaruhnya sampai pada spektrum

yang lebih luas tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat sesuai dengan

kehidupan pesantren itu sendiri.

Masyarakat di sekitar pesantren cenderung mengikuti pola kehidupan

pesantren. Sebaran alumni pesantren di berbagai belahan nusantara cenderung

berperilaku sesuai dengan tradisi pesantren di mana dulu ia menimba ilmu, dan

ia akan berusaha menrapkan tradisi keilmuan dan ibadah, tata nilai dalam

masyarakat di mana ia tinggal.

Basis keilmuan pesantren yang utama adalah kitab kuning sehingga

pemikiran para ulama yang ada di dalamnya bisa digali, dipahami, diamalkan

dan dilestarikan secara kontinyu dari generasi ke generasi. Proses mata rantai

keilmuan pesantren melalui kitab kuning ini menciptakan tradisi yang unik,

yakni konsep ijazah/sanad yang muttashil (menyambung) dari ulama pesantren

yang mengajarkannya sampai kepada mu’allif (pengarang) kitab tersebut.

Transmisi keilmuan semacam inilah yang menjadi keunggulan pesantren

sehingga bisa dinilai bahwa kemurnian keilmuan pesantren bisa dijaga dan

ditelusuri sampai kepada mu’allif. Dari mu’allif ini kemudian bisa ditelusuri

mata rantai keilmuannya sampai kepada Rasululah Muhammad saw. Melalui

sejumlah kitab riwayat para imam/para ulama dapat diketahui sejumlah riwayat

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 134: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

280

para ulama pengarang kitab tersebut. Hal ini semakin menguatkan keyakinan

kebenaran transmisi keilmuan pesantren.

Tradisi sanad ini memang unik dan menjadi ciri khas pesantren.

Geneologi intelektual pesantren, sebagaimana dalam catatan Zamachsyari

Dlofier dan Abdurahman Mas‟ud, sangat jelas dari tertata rapi dalam dokumen-

dokumen sejarah dan ingatan para ulama pesantren. Baik melalui tulisan dalam

sanad, buku-buku sejarah maupun oral history yang berkembang di dunia

pesantren, mereka dapat menemukan ikatan geneologi keilmuan antarpesantren

yang saling kait mengkait dan bermuara pada sejumlah tokoh besar nusantara

dan ulama terkemuka di haramaian, Makkah dan Madinah.

Pesantren memiliki semangat keilmuan yang tidak bisa dipungkiri.

Implementasi ajaran talabul ‘ilmi bagi masyarakat santri bukan hanya

merupakan ajaran ideal Nabi tentang pendidikan seumur hidup. life –long

education, lebih dari itu ia merupakan pilihan hidup yang harus ditunjukan dalam

kegiatan sehari-hari para santri tanpa henti. Talabul’ilmi dengan demikian,

merupakan misi utama kaum santri yang sangat mewarnai budaya pesantren

sehingga lahirlah santri-santri kelana, wandering santris, di masa lampau.

Talabul’ilmi dalam tradisi pesantren, yang tidak berbeda dengan tradisi keilmuan

di pusat dunia Islam, sungguh memiliki justifikasi keagamaan dan

kesejahterahan yang cukup mengakar. Dengan kata lain, budaya talabul’ilmi

dalam dunia pesantren telah menyejarah, melembaga, dan menjadi bagian dari

ideologi.

Masyarakat luas, khususnya masyarakat tradisional, telah menyaksikan

dan ikut menikmati budaya talabul’ilmi dari pesantren-pesanten salaf. Ini adalah

model pendidikan yang terjangkau oleh setiap penduduk, termasuk oleh warga

negara yang serba berkekurangan sekalipun. Masyarakat juga menikmati

lahirnya alumni-alumni pesantren salaf yang di kemudian hari menjadi

pemimpin-pemimpin informal, kharismatik di tengah-tengah mereka dengan

kelebihan ilmu agama dan moralitas agama pesantren. Integrasi pesantren

dengan masyarakat ini sungguh telah mengakar dan membudidaya dari dulu

sampai sekarang. Ini adalah bagian dari wujud konklusi selama ini, the

pesantren’s tradition has a historical and ideological continuum.6

Jika pada pesantren salaf orientasi keilmuan terbatas pada ilmu-ilmu

agama, pada pesantren modern, budaya keilmuan berjalan seiring dengan

kebutuhan modernitas, tetapi tetap didasari ruh Islamiyah. Ilmu-ilmu umum atau

6 Abdurrahman Mas‟ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama

Media, 2003), hlm. 243

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 135: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

281

sekuler dikenalkan kepada santri justru untuk memperkaya dan memperluas

cakrawala berpikir mereka. Bahasa asing khususnya bahasa Inggris, yang

dijadikan bahasa kedua setelah bahasa Arab, menghabsahkan label modern pada

pesantren yang menamakan diri pesantren modern seperti pesantren Modern

Gontor, Pesantren Assalam, Pesantren Darun Najah, dan sebagainya.7

Pada pesantren semi modern, diajarkan pengetahuan agama yang

bersumber dari kitab kuning dipadu dengan ilmu pengetahuan dari lembaga

sekolah formal baik di bawah naungan Kementerian Agama maupun

Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan pola ini, out put pesantren

diharapkan bisa membekali diri dengan keilmuan agama sekaligus mampu

berkompetisi dalam era global sekaligus melahirkan karya nyata. Di samping itu,

sejumlah program yang dirancang Direktorat Pendidikan Pondok Pesantren dan

Pendidikan Diniyah juga mendukung upaya mulia ini. Dengan memberikan

beasiswa bagi santri berprestasi untuk menempuh pendidikan tinggi diharapkan

mampu melahirkan santri yang handal dan ideal. Dengan demikian, peradaban

masyarakat muslim diharapkan akan lahir dari santri-santri yang berprestasi,

berakhlak, dan memiliki basic keilmuan keagamaan yang mumpuni.

Besarnya harapan lahirnya peradaban dari rahim dunia pesantren

sebenarnya tidak lepas dari sistem pendidikan pesantren yang menerapkan ketiga

aspek pendidikan, baik kognitif, afektif, dan psikomotor. Para santri selain hidup

dalam situasi sosial dan kekeluargaan selama dua puluh empat jam, siang dan

malam, secara terus menerus juga senantiasa dalam suasana pendidikan di bawah

bimbingan langsung kyai atau para ustadz.8

Dari deskripsi di atas, potensi dan peran pesantren dalam pelestarian dan

pengembangan studi keislaman akan terus mengejawantah dan membentuk

manusia berpengathuan, terampil, berakhlak mulia, kreatif, dan senantiasa

memperdalam keilmuan dan menyebarkannya di tengah masyarakat. Dari

sinilah, keilmuan pesantren akan membentuk masyarakat muslim yang

berpengetahuan dan shaleh. Di samping itu, sejumlah alumni pesantren akan

menghasilkan karya-karya berkualitas yang merupakan perpaduan ilmu

pengetahuan dan teknologi, pengetahuan agama, kecerdasan spiritual, dan

pancaran semangat jihad f isa bilillah lil maslahtil ummah.

7 Ibid., hlm. 244

8 Team Direktoral Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, Pola Pembelajaran di

Pesantren, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam), 2003, hlm. 26

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 136: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

282

C. Pilar Peradaban Pesantren: Potensi dan Peran Pesantren dalam Aspek

Sosial-Budaya

Pesantren mempunyai kekuatan ganda (double power) yaitu kyai sebagai

pemimpin pesantren dan pesantren sendiri sebagai institusi dan sistem

pendidikan. Menurut Horikhosi, sebagaimana dikutip Edi Supriyono, yang

mengakari kekuatan kyai atau ulama adalah kredibilitas moral dan kemampuan

mempertahankan pranata sosial yang diinginkan. Tidak semua fungsionaris

Islam adalah ulama yang mempunyai kedudukan, wibawa, dan pengaruh yang

sama. Gelar ulama atau kyai diberikan oleh masyarakat muslim karena ke‟aliman

dan pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat.9 Sedangkan pesantren

sebagai institusi pendidikan agama, merupakan sebuah lembaga yang

representatif dalam mengembangkan ajaran Islam dan mengkonstruk budaya

masyarakat yang melingkupinya.

Ulama sebagai elit santri adalah orang yang memiliki status sosial dengan

kedudukan yang tinggi dalam struktur masyarakat Islam. Berbagai keputusan

tindakan anggota masyarakat seringkali diserahkan dan lebih banyak ditentukan

oleh ulama sebagai referensi tindakan sosial. Karena itu, sikap dan tindakan umat

sebagai lapisan bawah dalam struktur masyarakat Islam adalah fungsi dari sikap

dan tindakan ulama. 10

Struktur hubungan sosial antara elit santri dengan umat muncul dan

tumbuh dari proses hubungan berdasarkan pengalaman keagamaan dan emosi

keagamaan. Sifat hubungan yang demikian merupakan daya perekat dan

pembentuk solidaritas keagamaan sebagai infrastruktur tata kehidupan sosial

umat. Proses interaksi tersebut secara tradisional terpelihara melalui kegiatan

sosialisasi Islam, pengajian, dan khutbah-khutbah. 11

Dalam konteks sosial, tak seorang pun menyangsikan peran sosial

pesantren, khususnya pesantren tradisional. Begitu juga peran kiai sebagai

pemimpin sentral pesantren. Semenjak kelahirannya hingga hari ini, pesantren

tetap diakui memainkan peranan penting dan berarti dalam masyarakat.

Pesantren tidak saja menyediakan ruang pembelajaran yang murah dan

dibutuhkan masyarakat-bawah (grassroots society), sehingga membentuk

karakter sosial yang khas, melainkan juga menjadi “patron” yang setia bagi

masyarakat dalam mengarungi proses perubahan yang terjadi.

9 Edi Supriyono, Pesantren di Tengah Arus Globalisasi, dalam Menggagas Pesantren

Masa Depan, (Yogyakarta : Qirtas, 2003), hlm. 66. 10

Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan dalam

Islam, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hlm. 48 11

Ibid.,

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 137: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

283

Adalah Hiroko Horikoshi, antropolog di bidang modernisasi dari Jepang,

yang dalam penelitiannya tiga dasa warsa lalu di Garut Jawa Barat secara baik

manangkap proses perubahan tersebut. Dengan menampilkan sosok Kiai Yusuf

Tajri dari Cipari, ia berkesimpulan bahwa kiai berperan kreatif dalam perubahan

sosial. Kiai mampu membawakan pandangan hidup tradisional ke arah

modernitas hidup dengan watak emansipatoris.12

Dengan kekuatan “kharisma”

dan pikatan keagamaannya, kiai lewat lembaga pesantrennya tidak saja melayani

pendidikan rakyat, dakwah keagamaan, pendampingan dan pembelaan pada

kaum yang tertindas, tetapi juga menjadi pemain politik (political actor) yang

cantik di atas panggung kekuasaan. Kiai dalam penjelasan demikian adalah

pribadi yang kompleks, tidak saja bergelut pada wilayah keagamaan karena ahli

agama, melainkan juga menjalankan fungsi-fungsi sosial lain sesuai dengan

kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

Dari sinilah pesantren menampilkan satu budaya khas yang berkarakter.

Tiga karakter dasar pesantren, yakni keilmuan, modeling (uswah khasanah), dan

mempertahankan tradisi, tampak jelas pada masing-masing pesentren. Subtansi

budaya pesantren yang tampak dalam tiga aspek itu tetap sama, meskipun

manifestasinya beragam.13

Sebagai salah satu kekayaan budaya umat Islam Indonesia yang khas,

pesantren telah terbukti menjadi barometer pertahanan moralitas umat Islam dan

merupakan lembaga sosial yang mampu melakukan perubahan masyarakat di

lingkungannya ke arah transformasi nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan.

Pesantren juga merupakan lembaga yang mengerti perubahan dan perkembangan

sosial masyarakat Indonesia.14

Termasuk budaya keilmuan pesantren salaf adalah orientasi pembelajaran

yang lebih menekankan pendidikan dari profesionalisme pengajaran. Karena

kecenderungan pembentukan watak yang diutamakan ini, sering institusi

pendidikan yang ada berjalan dengan kesederhanaan dan fleksibilitas yang

tinggi. Seiring dengan fleksibilitas ini, pengajian-pengajian informal, tahlilan,

12

Baca sepenuhnya Hiroko Horikoshi, A Traditional Leader in a Time of Change: The

Kijaji and Ulama in West Java, Disertasi Ph.D dalam bidang antropologi di University of

Illinois, Urbana-Champaign, USA, 1976. Diterjemahkan oleh Umar Basalim dan Andi Muarly

Sunrawa, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987). Dikutip dari Marzuiki Wahid,

Marzuki Wahid, “Metamorfosis Pesantren Pergulatan Tradisi-Pesantren, Kebudayaan-Lokal, dan

Politik-Kekuasaan” dalam A. Mutohar, Ideologi Pendidikan Pesantren, Semarang: Pustaka Rizki

Putra, 2007, hlm. 134 13

Abdurrahman Mas‟ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Op. Cit., hlm. 242 14

Team Direktoral Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, Potensi Ekonomi

Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2004, hlm 2

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 138: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

284

khaul, kenduri, manaqiban, dan pengajian tariqah sangat mewarnai tradisi

pesantren. Disadari atau tidak, beberapa tradisi ini ternyata telah membentuk

budaya nasional, yakni Indonesia yang sarat dengan ritual dan seremoni

keagamaan. Dengan kekayaan percaya keagamaan dari tingkat daerah sampai

nasional, Indonesia telah membedakan diri dengan negara-negara lain yang

berpenduduk mayoritas muslim.15

Pada acara-acara informal yang diselenggarakan pesantren menjadi

media sosialisasi kyai dengan umat. Karenanya, sungguh pun kyai menjadi

bagian dari lapisan elitisme sosial-keagamaan, namun etos populisme dan

kedekatannya dengan masyarakat bawah (grassroot society) sampai saat ini

belum dapat diungguli oleh lembaga yang berlabelkan „rakyat‟ atau „masyarakat‟

sekalipun. Kedekatan ini bisa dilihat, paling tidak, tatkala pesantren mempunyai

hajat, misalnya menyelenggarakan acara Haul seorang Kyai pengasuh pesantren,

atau istighâsah. Hingga sekarang, pada acara seperti itu --yang diadakan setiap

tahun-- pesantren tetap tergolong nomor wâhid dalam hal penyerapan massa,

sebagai bukti kedekatannya dengan masyarakat bawah. Dalam acara haul atau

istighatsah, ratusan ribu warga nahdliyin hadir dengan tertib dan taat, mengikuti

aturan yang diberikan dan perintah Kyai. Walaupun pada sisi lain juga harus

diakui bahwa dalam beberapa hal fungsi sosio-kultural pesantren untuk

masyarakat, dewasa ini, berkurang. Akan tetapi, hal ini lebih diakibatkan oleh

pemaksaan modernitas: spesialisasi dan profesionalisasi, sehingga memaksa

beberapa peran-sosial (social roles) kyai tereduksi.16

Di samping itu, tradisi kesederhaan, kemandirian, etos belajar yang

tinggi, sikap tasamuh, tawazun, dan tawasuth juga berhasil dilahirkan dari rahim

pesantren sehingga kehidupan masyarakat muslim nusantara identik dengan

kedamaian, toleransi, tegaknya nilai-nilai keadilan, dan moderasi. Ketiga sikap

tersebut kemudian melembaga sebagai ciri khas masyarakat muslim nusantara,

sehingga muslim Indonesia dinilai santun, penuh kedamian, toleran, dan

moderat.

Sikap kesederhanaan santri membentuk masyarakat yang tidak serakah

dan hanya mau menikmati rizki yang halal dan berkah. Sikap dan keyakinan ini

melahirkan budaya kerja yang positif karena kehalalan dan keberkahan menjadi

acuan utama. Dengan sikap ini, budaya korupsi sebenarnya bisa diminimalisir.

15

Abdurrahman Mas‟ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Op. Cit.,hlm. 244 16

Marzuki Wahid, “Metamorfosis Pesantren Pergulatan Tradisi-Pesantren, Kebudayaan-

Lokal, dan Politik-Kekuasaan” dalam A. Mutohar, Ideologi Pendidikan Pesantren, Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2007

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 139: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

285

Meski demikian, steorotype keberagamaan santri yang penuh kesederhanaan ini

tidak lepas dari sikap serba pasrah kepada takdir yang dinilai sebagian kalangan

justru kontraproduktif dengan kemajuan dan peningkatan etos kerja dan

pertumbuhan ekonomi. Namun penilaian ini tidak sepenuhnya benar. Mengingat

jika ditelisik lebih jauh sikap pasrah (baca: tawakkal) yang tinggi dari dunia

pesantren harus dimaknai sebagai sikap pasrah setelah adanya ikhtiar. Ajaran

“tangan di atas lebih mulai dari tangan di bawah” (yad al-‘ulya khairun min yad

al-sufla) menjadikan dasar semangat budaya kerja yang beretos tinggi.17

Adapun budaya toleransi dan menghargai perbedaan yang tinggi

merupakan manifestasi dari ajaran Sunni tidak lepas dari pendidikan pesantren.

Santri sejak awal dibekali dengan keberagamaan yang toleran sehingga di tengah

masyarakatnya mampu menyebarkan budaya damai. Budaya damai pesantren

inilah yang harus ditumbuhkembangkan untuk menangkan radikalisme agama

yang melahirkan terorisme. Dalam halaqah nasional tentang “Budaya Damai

Pesantren” yang diselenggarakan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

beberapa bulan yang lalu menunjukkan bahwa pesantren menyimpan potensi luar

biasa serta mampu berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang

menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian. Dengan demikian, segala bentuk

kekerasan, radikalisme agama, dan terorisme dapat dicegah dari budaya damai

pesantren yang selama ini terbukti mengakar kuat dan mempengaruhi kehidupan

masyarakat muslim Indonesia.

D. Pilar Peradaban Pesantren: Peran dan Potensi Pesantren dalam Ranah

Politik Kebangsaan

Masyarakat Islam tradisional-paternalistik di Indonesia memahami kyai

sebagai pribadi yang memiliki kedudukan khusus. Realisasi kekhususan itu

sesungguhnya karena mereka merupakan figur sentral yang dihormati. Apresiasi

ini yang terkait otoritas kyai dalam agama, etika dan fungsi spiritualnya, yaitu

sebagai penjaga keharmonisan umat. Sampai kini, bagi para masyarakat tertentu

di desa maupun kota, masih memandang kiai sebagai individu yang mampu

17

Penting juga dikemukakan di sini hasil analisis Snouck Hurgronje, tiga dasa warsa

lalu, mengenai keberadaan kaum yang sering disebut tradisional. Dia mencatat bahwa: “Islam

tradisional Jawa, oleh sebagian kalangan, dianggap demikian statis dan demikian kuat

terbelenggu oleh pikiran-pikiran ulama abad pertengahan, sebenarnya tidak. Mereka telah

mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental, tetapi perubahan-perubahan tersebut

dilakukan melalui tahapan-tahapan yang rumit dan tersimpan. Lantaran itulah, para pengamat

yang kurang mengenal pola pikiran Islam tradisional tidak bisa melihat perubahan-perubahan

tersebut, walaupun sebenarnya hal itu terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang

mengamatinya secara seksama.” Dikutip dari Marzuki Wahid, ibid., hlm. 132

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 140: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

286

memberi alternatif pemecahan beragam persoalan yang musykil, mulai dari

problematika rumah tangga sampai „restu‟ jabatan politik. Kelebihan seperti ini

membuat masyarakat memposisikan kyai dalam kedudukan sosial dan spiritual

yang begitu strategis. Sebab dalam kehidupan keseharian mereka menjadi marja

(rujukan). Sebagai penjaga agama, kyai merupakan figur panutan umat dalam

menjalankan syariat sehari-hari. Agama bagi masyarakat tradisional adalah apa

yang diajarkan, dilaksanakan, dan diteladankan oleh para kyai/ ulama.18

Posisi dan peran kyai tersebut berimbas juga pada aspek politik, di mana

dalam sejarahnya hingga sekarang, dunia pesantren tidak bisa terlepas dari aspek

politik. Yang membedakannya adalah sejauh mana keterlibatannya dalam

perpolitikan. Sejumlah kyai pesantren terjun langsung ke dalam politik praktis

dan sebagaian lainnya tidak. Namun demikian, bagi kyai pesantren yang tidak

terjun langsung dalam politik praktis, mereka tetap memberikan pendidikan

politik.

Dalam realitas politik, jika pesantren masuk dalam lingkup struktural,

maka harapan yang ingin dicapai adalah ikut andil dalam merumuskan kebijakan

atau mewarnai nuansa politik/kekuasaan. Karenanya, pesantren sebagai salah

satu kelompok kepentingan tidak bisa secara total menjauh dari keterlibatan

dalam politik. Kelompok kepentingan keagamaan seperti pesantren pada

umumnya berada pada titik moderat antara totally unpolitized dan totally

politicized (Rozikin Daman, 2001: 173).

Keterlibatan pesantren dalam politik praktis tidak lepas dari konsep

politik pesantren yang lebih cenderung menganut pemikiran al-Ghazali dan al-

Mawardi. Kecenderungan ini meniscayakan pesantren harus ikut dalam kancah

politik, baik secara kultural maupun struktural. Kaidah yang umumnya dipegangi

adalah nizham al-dunya syart li nizham al-diny (adanya tertib sosial politik

menjadi pra syarat terwujudnya tertib agama).

Kaidah yang juga sering dipakai untuk ikut serta dalam kancah politik

adalah adalah ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajibun (sesuatu yang

sebuah kewajiban tidak sempurna tanpanya, maka sesuatu tersebut menjadi

wajib); ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (apa yang tidak bisa diraih

keseluruhan maka jangan ditinggal semuanya); dar’u al-mafasid muqaddamun

‘ala jalbi al-mashalih (menolak kerusakan-kerusakan didahulukan daripada

menarik kemaslahatan-kemaslahatan); dan idza ta’aaradla dhararani ru’iya

a’dzahuma dlarran bi al-irtikabi akhaffihima (jika ada dua kemadlaratan

18

Abdul Latif Bustami, Kiai Politik; Politik Kiai, (Malang: Pustaka Bayan, 2009), hlm.

18

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 141: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

287

bertemu, maka dipilih yang paling ringan kemadlaratannya); dan tasharruf al-

imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bl al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus

mempertimbangkan/bertalian erat dengan kemaslahatan rakyat).

Karenanya, pesantren yang melibatkan diri dalam politik praktis,

mempunyai alasan kuat. Menurut Abdul Munir Mulkhan, makna politik santri

kaitannya dengan ide dan gagasan perjuangan Islam harus dilihat dari fungsi

sosial pemikiran dan tindakan mereka menciptakan dan mengembangkan

peluang terciptanya kondisi sosial dan budaya dalam merealisasikan nilai-nilai

yang diduga bersumber pada ajaran Islam.19

Senada dengan Mulkhan, Abdul

Latief memaparkan bahwa keterlibatan kyai dalam politik adalah agar bisa

mengendalikan institusi politik yang ada untuk dijadikan kendaraan, bukan

hanya untuk memperjuangkan kepentingan meraih jabatan formal dan kebijakan

politik melainkan untuk memperjuangkan Islam tradisional.20

Keterlibatan kyai pesantren dalam politik, tentu saja melibatkan

masyarakat pesantren baik ustadz, santri, alumni, wali santri, dan masyarakat

sekitar pesantren. Hal ini karena kyai pesantren memang mempunyai

„kekuasaan‟.

Kekuasaan kyai tersebut bukanlah semata-mata kekuasaan politik,

melainkan kemampuan untuk menstruktur tindakan orang lain dalam bidang

tertentu dan senantiasa beredar dari subyek yang satu ke yang lain sehingga

menciptakan medan kharisma. Distribusi kekuasaan itu metrepresentaskan

adanya jaringan kekuasaan politik dan dukungan kekuatan politik. Jaringan itu

hadir dalam organisasi politik formal, kuasa formal dan informal yang

kesemuanya berhubungan secara multipleks.

Bagi kyai pesantren yang terjun langsung dalam politik praktis ada

kalanya „pamornya‟ naik turun. Hal ini tidak lepas dari proses-proses politik

yang mengitarinya. Adanya dugaan money politik, orientasi kekuasaan dan

kekayaan dinilai sebagian masyarakat mulai merambah ke dunia kyai pesantren

yang terlibat dalam politik praktis. Hal ini indikasinya terlihat dalam Pemilu

2009, di mana pilihan politik kyai pesantren belum tentu diikuti oleh umat. Umat

seakan memilah bahwa dalam hal spirtualitas dan pendidikan agama mereka

sami’na wa atha’na kepada kyai. Adapun dalam masalah pilihan politik, mereka

tidak merasa berkewajiban mengikuti pilihan kyai. Apalagi jika politik dipahami

19

Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan dalam

Islam, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hlm. 51 20

Abdul Latif Bustami, Op. Cit., hlm. 18

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 142: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

288

urusan keduniaan (baca: terkait pemerintahan) yang tidak lagi menjadi wilayah

kyai untuk mengarahkannya.

Nampaknya hal ini juga dipengaruhi oleh perubahan kehidupan

masyarakat, yang secara berangsur dan bertahap mengakibatkan pergeseran

fungsi ulama dalam proses sosial Islam. Hubungan masyarakat dan kyai

pesantren dalam ukuran tertentu lebih bersifat fungsional. Menurut Abdul Munir

Mulkhan, pergeseran fungsi ulama juga diakibatkan oleh kenyataan bahwa

pengetahuan tentang Islam, ternyata tidak hanya diperoleh melalui gerakan

sosialisasi Islam tradisional yang dilakukan oleh para ulama (kyai pesantren).

Sejumlah media lain sekarang menjadi referensi pengetahuan keislaman,

sehingga dalam tingkat tertentu, hubungan emosi keagamaan di antara mereka

mulai terbuka dan mencair, bersifat rasional, dan fungsional.21

Namun demikian,

posisi dan fungsi kyai pesantren tetap sentral dan memegang posisi tertinggi

dalam struktur masyarakat muslim Indonesia.

Di samping itu, proses politik yang di dalamnya terjadi „perebutan

kekuasaan‟ dan konflik ikut mempengaruhi citra kyai pesantren. Menurut Bailey,

sebagaimana dikutip Abdul Latif Hasyim, menyatakan bahwa proses-proses

politik pada dasarnya adalah persaingan antara dua kelompok atau lebih untuk

memperebutkan posisi atau kekuasan penentu dalam kebijakan umum mengenai

penguasaan alokasi, pendistribusian dari sumber-sumber daya yang terbatas.22

Tidak jarang persaingan politik praktis yang ikut melibatkan kyai pesantren

menjadikan citra mereka di mata umat menurun. Kyai pesantren yang secara

fungsional, dari sisi politik praktis, tidak seiring dengan pilihan sekelompok

masyarakat tertentu, maka ia akan ditinggalkan. Santri, khususnya yang sudah

mukim di tengah masyarkat, merasa tidak harus „menagamankan‟ kebijakan

kyainya jika ia berada di tengah masyarakat yang secara politik berbeda dengan

pilihan politik kyainya. Berdasarkan pendekatan fungsional tersebut, menurut

Mulkhan, dapat diduga bahwa perilaku politik santri bersifat kondisonal. Karena

itu, perilaku politik santri akan dapat berubah sejalan dengan perubahan kondisi

sosial dan politik yang sedang berkembang.23

Jika ditelisik dari akar tradisi dan ajaran pesantren, perubahan pemikiran

dan sikap (baca: pilihan) politik pesantren sebenarnya bukan sesuatu yang luar

biasa. Perubahan yang ada tidak lepas dari tinjauan fiqih. Kaidah yang sering

dipakai adalah: taghayyur al-ahkam bi taghaur al-amkan wa al-azman

21

Abdul Munir Mulkhan, Op. Cit., hlm. 48 22

Abdul Latif Bustami, Op. Cit., hlm. 18 23

Abdul Munir Mulkhan, Op. Cit., hlm. 51

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 143: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

289

(berubahnya hukum terkait erat dengan perubahan waktu dan tempat); al-hukmu

yaduuru ma’a illatihi wujudan wa adaman (hukum tergantung pada ada tidak

adanya „illat); dan al-mukhafadlatu ‘ala qadim as-shalih wa al-akhdlu bi al-

jadid al-ashlah (memeliharan hal-hal terdahulu yang baik, dan mengambil

sesuatu yang baru yang lebih baik).

Berbagai kaidah fiqhiyyah di atas menyebabkan para kyai pesantren

cenderung fleksibel dalam merespons situasi perpolitikan nasional. Karenanya

antar kyai pesantren seringkali berbeda pandangan dan afiliasi politiknya.

Bahkan dalam satu lokasi pesantren, antar pengasuh berbeda sikap dan afiliasi

politiknya. Inilah yang terkadang menjadi sumber masalah kaitannya dengan

„kiblat‟ politik umat. Pada akhirnya terjadi distorsi „ketaatan‟ politik; terjadi

polarisasi dukungan; dan untuk sementara memanaskan suhu perpolitikan dalam

internal pesantren.

Namun demikian, perubahan di atas adalah perubahan pilihan „baju‟

politik. Hampir semua kalangan pesantren sepakat, bahwa baju politik boleh

berubah dan berbeda. Sementara prinsip-prinsip dasar politik Sunni yang

menjadi ruh dunia pesantren tidak boleh berubah. Spirit dan pendidikan politik

yang ada dalam tradisi pesantren inilah yang akan melahirkan pilar peradaban

dalam ranah politik kenegaraan.

Beberapa spirit dan ruh politik pesantren yang sudah mentradisi dan

dikembangkan selama ini adalah: pertama, hubbul wathan (cinta tanah

air/nasionalisme). Konsekuensi dari pemikiran ini adalah kesadaran bersama

untuk menjaga keutuhan NKRI. Kedua, nashbul imamah (mendirikan

kepemimpinan). Konsekuensinya adalah keikutsertaan dalam proses-proses

politik yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya pasrtisipasi politik dalam

pemilu. Ketiga, mentaati ulil amri. Konsekuensinya adalah ketaatan pada

pemerintah selama tidak menyalahi syari‟at. Keempat, amar ma’ruf nahi

munkar, di antara konsekuensinya adalah kemamuan untuk menjadi bagian dari

pemerintahan. Karena tanpa terlibat di dalamnya kurang bisa efektif, misal

menjadi anggota legislatif.. Kelima, prinsip musyawarah sehingga pesantren

mendukung adanya demokrasi yang dinilai sebagai implementasi konsep

musyawarah. Dari konsep demokrasi inilah lahir sistem politik sebagaimana

dikenal saat ini di Indonesia.

E. Pilar Peradaban Pesantren: Peran dan Potensi Pesantren dalam Ranah

Ekonomi Kerakyatan

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 144: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

290

Disadari atau tidak, dunia pesantren selama ini telah memainkan peranan

penting dalam usaha memperjuangkan dan memajukan perekonomian umat.

Peran ini tentu bisa dilacak dari sejak dulu kala. Hadlratus Syeikh Hasyim

Asy‟ari, tatkala mendirikan pondok pesantren Tebuireng ternyata tidak lepas dari

dari masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat waktu itu. Sebelum didirikan

pondok pesantren Tebuireng, tidak jauh dari lingkungan ini ternyata ada pabrik

gula raksasa milik pemerintah Hindia Belanda yang didirikan tahun 1853. Pada

masa ini gula merupakan sumber devisa negara terpenting dan terbesar bagi

penjajah. Pabrik gula ini merupakan simbol kemajuan teknologi dunia Barat dan

secara langsung mempengaruhi tingkah laku dan pola pikir para santri

Tebuireng.

Mencermati berdirinya pesantren Tebeuireng vis a vis perusahaan asing,

bukanlah tanpa makna, khayalan atau lelucon. KH. Hasyim Asy‟ari tentu

mempunyai alasan-alasan strategis yang tetap berhubungan dengan pemikiran

keagamaan beliau. Paling tidak fenomena ini memperlihatkan kepada kita bahwa

pesantren tidak boleh tunduk dengan hegemoni kekuatan asing atau penjajah,

termasuk keangkuhan dan supremasi kehidupan ekonomi mereka.24

Pada perkembangannya, peran pesantren dalam bidang ekonomi semakin

terlihat yang di antaranya ditandai dengan berdirinya koperasi-koperasi di

sejumlah pesantren. Karenanya, ketika ekonomi kerakyatan menjadi pilar utama

pembangunan ekonomi bangsa di era reformasi ini, peran pesantren tentu makin

dioptimalkan. Yang tidak diharapkan adalah jika situasi ini merupakan kebijakan

pemerintah yang bersifat sesaat, dan lebih-lebih jika tren pendirian koperasi ini

dipahami oleh sebagian komunitas pesantren sebagai ikut-ikutan.25

Menurut Kajian PPIM Jakarta Tahun 1997, menunjukkan adanya tiga tipe

kelembagaan pesantren. Pertama, pendidikan keagamaan (tafaqquh fid ddin).

Pesantren tipe ini hanya melaksanakan pendidikan ilmu-ilmu keagamaan kepada

santrinya. Pendirian pesantren tersebut memang didorong oleh motivasi

penyebaran dan reproduksi khazanah keagamaan. Kedua, tipe pesantren gerakan

sosial-ekonomi. Pesantren ini sejak awal didesain sebagai lembaga yang

bergerak di bidang sosial ekonomi keagamaan. Pesantren seperti tidak hanya

menginginkan santrinya mahir dalam kitab kuning, tetapi juga berkiprah dalam

sosial ekonomi masyarakat. Ketiga, tipe pesantren konvergensi pendidikan

agama dan gerakan sosial ekonomi. Tafaqquh fid ddin telah dimaknai

24

Abdurrahman Mas‟ud, Intelektual Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 235-

236 25

Ibid., hlm. 238

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 145: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

291

sedemikian rupa sehingga keberhasilan pesantren diukur pada sejauhmana santri-

santri menguasai ilmu-ilmu keagamaan dan mampu berkiprah dalam gerakan

sosial ekonomi.

Sejumlah pesantren memberikan pendidikan kepada para santrinya

tentang ketrampilan (vocational) dan materi entrepreneurship. Pesantren ini

selain memberi perhatian penuh dalam proses pendalaman dan penguasaan

agama, juga memiliki sentra-sentra usaha dan melibatkan santri-santrinya dalam

usaha kekaryaan atau skill. Tujuan kekaryaan usaha ini selain untuk

meningkatkan kesejahteraan pondok pesantren, juga untuk memberikan bekal

kepada para santri tentang keahlian atau skill agar setelah lulus dari pondok

mempunyai kemampuan untuk hidup mandiri secara ekonomi.26

Menurut data dari Education Management Information system, dari

sejumlah 14067 pesantren di Indonesia itu terdapat sejumlah pesantren yang

dapat dikategorikan sebagai pesantren yang telah mengembangkan atau berciri

khas ketrampilan. Dari sejumlah itu, sebanyak 1529 pesantren mengembangkan

pertanian dan agribisnis, 404 pesantren mengembangkan ketrampilan

perindustrian, 111 mengembangkan bidang perdagangan, dan 41 pesantren

mengembangkan sektor kelautan dan perikanan.27

Di antara bentuk kekaryaan tersebut ada yang mengarah pada penciptaan

usaha dan peningkatan produksi bagi keberlangsungan pondok dan ada pula yang

secara khusus ditujukan bagi pengembangan keahlian ketrampilan santri-

santrinya antara lain agribisnis, perkebunan, ketrampilan, home industri,

perikanan, jasa angkutan, perikanan, pertanian, peternakan, konveksi busana,

ritel dan lain-lain.28

Aspek ekonomi yang tertulis dalam kitab kuning yang merupakan

rujukan pesantren mengajarkan bahwa kekayaan materi dicari sebagai sarana

untuk menopang hidup, bukan tujuan hidup. Tujuan hidup sejati yang harus

dikejar dengan memanfaatkan kekayaan, adalah ridla Allah. Dengan demikian,

apabila di dalam kitab kuning terdapat pembahasan tentang aktivitas manusia

dalam bidang sosial ekonomi, maka sasaran pembahasannya buka mengenai cara

bagaimana seseorang dengan usaha yang dilakukan dapat memperoleh

keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi bagaimana usaha itu dilakukan dengan

benar, jujur, tidak merugikan orang lain dan diri sendiri. Rizki yang halal dan

26

Team Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, Potensi Ekonomi

Pondok Pesantren, (Jakarta: Direktorat Kelembagaan Agama Islam, 2004), hlm. 15 27

Ibid., hlm. 16 28

Ibid.,

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 146: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

292

berkah sebagai bekal untuk beribadah kepada Allah adalah buah langsung yang

dipetik dari hasil usaha kaum santri.29

Kegiatan-kegiatan ekonomi di dunia pesantren dewasa ini sudah

seharusnya diarahkan pada langkah-langkah strategis ke depan dengan landasan

historis dan ideologis yang jelas. Modal utama pemberdayaan ekonomi umat di

lingkungan pesantren bukanlah modal dari atas (top down), melainkan lebih

mengutamakan potensi dan kekuatan dari dalam. Segala sesuatu yang semata-

mata menyadarkan bantuan dari atas, senantiasa semu dan sesaat. Pengalaman

dan sejarah membuktikan bahwa development from within (membangun dari

dalam) selalu melahirkan partisipasi dinamis dan langgeng dari umat yang

bergerak dan berkembang secara alami karena didasari motivasi instrinsik.

Karenanya tidak mengherankan, sejumlah pesantren yang kegiatan

ekonominya didasatkan pada motivasi instrinsik mampu eksis dan semakin

berkembang pesat. Sejumlah potensi ekonomi pesantren yang diteliti oleh Team

Direktorat Pendidikan Pondok Pesantren dan Pendidikan Diniyyah menunjukkan

bahwa dari 6 (enam) pesantren yang diteliti berhasil mengembangkan

ketrampilan dan ekonomi. Keenam pesantren tersebut adalah Pesantren Sidogiri

Pasuruan, Al-Amin Prenduan, Darussalam Gontor, Al-Ittifaq Bandung,

Darussalam Garut, dan Arrisalah Ciamis. Ketrampilan dan ekonomi dalam yang

telah dikembangkan, meliputi kopontren, perdagangan, industri dan jasa,

agribisnis, perkebunan dan industri, kelautan dan perikanan.

Dari temuan penelitian di atas, maka jelaslah bahwa dunia pesantren

mampu berperan dalam pemberdayaan ekonomi umat dengan menjalankan

sistem ekonomi yang sesuai dengan syari‟at Islam. Hal ini sebagaimana

dipaparkan oleh Abdurrahman Mas‟ud bahwa prime mover (penggerak utama)

pemberdayaan ekonomi umat, termasuk di dalamnya yang dilakukan pesantren,

tidak diragukan lagi adalah Islam itu sendiri sebagaimana dicontohkan oleh

Rasulullah sebagai agama yang membebaskan, memanusiakan manusia,

mendewasakan, mencerahkan, dan memberdayakan kaum yang tidak berdaya

atau kaum lemah. Liberation, empowerment, and intellectualization yang

mengarah pada kecenederungan melekdan kritis pada masyarakat adalah

langkah-langkah pemberdayaan yang memiliki rujukan siratunnabi. Meskipun

sebagai pemimpin negara Madinah, perhatian Nabi Muhammad dan

29

Abdurrahman Mas‟ud, Intelektual Pesantren, Op. Cit., hlm. 238

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 147: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

293

keperpihakannya pada kaum lemah demikian transparan sehingga sikap ini

dalam satu segi nampak sebagai sebuah ideologi.30

Dengan potensi dan peran pesantren yang begitu besar, maka pilar-pilar

peradaban Islam dalam aspek ekonomi bisa terwujud. Implementasi dari fiqih al-

iqtishadiyah (hukum ekonomi Islam) ala pesantren ini menjadi barometer

pemahaman kalangan pesantren terhadap rumusan fiqh sekaligus

emplementasinya dalam realitas perekonomian di tengah masyarakatnya. Last

but not the least, nilai etika religius yang senantiasa mendasari aktivitas

perekonomian di dunia pesantren menjadi tipikal masyarakat. Islam bisa

ditunjukkan dalam spirit yang terkandung di dalamnya sebagai prime mover

ekonomi sekaligus sebagai pengendalinya.

Deskripsi tentang pilar-pilar peradaban pesantren di atas, menunjukkan

bahwa pesantren tetap memainkan peranan penting yang menyejarah dalam

sepanjang perjalanannya. Hal ini harus terus ditingkatkan dengan upaya dari

berbagai pihak. Pesantren terus dituntut dapat mengembangkan peran dan

fungsinya dalam transformasi sosial. Karenanya, Kementerian Agama

merumuskan lima peranan pondok pesantren sebagai berikut: (a) pesantren

berperan sebagai instrumental dan fasilitator pemberdayaan masyarakat. (b)

peranan mobilisasi sosial; (c) peranan peningkatan sumber daya manusia; (d)

sebagai agent of development, maksudnya adalah sebagai agen perubahan sosial

dan melakukan pembebasan masyarakat yang tertindas; (e) sebagai center of

excellence, yakni sebagai pusat pengembangan agama, pendidikan, dan

pengembangan masyarakat.31

Transformasi sosial terus menuntut penyesuaian dari pesantren, sehingga

dalam beberapa hal harus melakukan perubahan. Meskipun demikian, sejumlah

pesantren mengalami hambatan melakukan perubahan sehingga ia tidak bisa

berkiprah lebih lanjut dalam pembentukan perdaban umat. Menurut Nurcholis

Madjid, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi hambatan perubahan

pesantren, yakni: pertama, perubahan pesantren harus dimulai dari dalam, karena

tidak ada yang dapat memimpin perubahan pesantren kecuali “orang dalam”.

Kedua, agar gagasan-gagasan baru itu diterima, diperlukan kepemimpinan yang

legitimate, sah menurut ukuran-ukuran pesantren. Ketiga, perubahan yang terjadi

hendaknya tidak bersifat radikal-revolusioner. Keempat, perubahan pesantren

tidak hanya bermodal kharisma, tetapi juga memerlukan skill dan keahlian.

30

Ibid., hlm. 239 31

Ruhman Basori, The Founding Father Pesantren Modern di Indonesia, (Jakarta:

iNeis, 2006), hlm. 41-42

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 148: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

294

Kelima, mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas program, maka perlu

disusun skala prioritas terutama pada program perombakan kurikulum

pesantren.32

Sedangkan menurut KH. Said Aqil Siradj ada tiga kekurangan pesantren

jika ingin menjadi lembaga alternatif. Pertama, pesantren harus melepaskan diri

dari kesan dan citra kerajaan kecil. Artinya dalam pesantren harus ditumbuhkan

keterbukaan, kebebasan berfikir dan berpendapat, kemandirian, kolektivitas, dan

menerima secara ofensif berbagai gagasan pembaharuan dari luar. Kedua,

independensi dan otonomi pesantren yang selama ini ada perlu diperkuat dan

diarahkan sebagai basis dan pemberdayaan serta penguatan masyarakat untuk

mengimbangi kekuatan negara. Ketiga, kurikulum pesantren harus dirombak.

Metodologi pemikiran harus menjadi fokus utama. Santri harus dikembalikan

kepada literatur (literatur as central of scince). Personifikasi ilmu kepada kyai

atau guru harus dikurangi melalui metode dialogis, kritis untuk mendapatkan

kebenaran ilmiah. Karena itu perpustakaan yang memadai menjadi keniscayaan

dalam pembaharuan. Pelajaran-pelajaran filsafat, logika, estetika, sejarah,

sosiologi, antropologi dan sebagainya, sudah harus dipertimbangkan menjadi

kurikulum pesantren.33

Gagasan pembaharuan di dunia pesantren oleh Nurcholis Madjid dan KH.

Said Aqil Siradj tersebut hendaknya menjadi bahan intropeksis pesantren untuk

menatap masa depannya. Kedua intelektual kenamaan yang lahir dari pesantren

tersebut tentu mengharapkan pesantren tetap menjalankan fungsi utamanya

sebagai lembaga tafaqquh fiddin yang tetap dipercaya umat sekaligus alumninya

mampu mengkremasikan karya nyata sesuai dengan konteks zamannya. Dengan

demikian, pesantren akan tetap eksis dan menjadi pusat perdaban muslim

nusantara, dalam berbagai aspeknya, sesuai dengan ciri khas dan keunikan

masing-masing pesantren.

F. Kesimpulan

Dari pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa

pilar-pilar peradaban pesantren mengejawantah melalui potensi dan peran yang

dimainkan oleh pesantren. Karenanya, dapat disimpulkan hal-hal sebagi berikut:

1. Pesantren mampu mempertahankan eksistensinya dan berperan aktif

memanfaatkan potensinya sebagai lembaga pendidikan untuk kepentingan

tafaqquh fiddin. Tradisi keilmuan pesantren yang terus dijaga melahirkan

32

Ibid., hlm. 43-44 33

Edi Supriyono, OP. Cit., hlm. 65.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 149: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

295

santri yang mempunyai pengetahuan keagamaan sekaligus berakhlak

karimah. Pada pesantren salaf, tradisi keilmuan yang dikembangkan

melahirkan santri yang mumpuni dalam penguasaan materi ilmu-ilmu

keislaman dari sumber terpercaya, yakni kitab kuning yang merupakan karya

ulama abad klasik skolastik. Apalagi dalam proses pendidikannya

disempurnakan dengan sistem ijazah/transmisi keilmuan resmi melalui

sanad yang muttashil sampai kepada mu’allif. Adapun pada santri pesantren

semi modern akan melahirkan santri kosmopolit, yang menguasai kitab

kuning sekaligus berkompenten dalam sejumlah ilmu pengetahuan yang ada

di lembaga pendidikan formal. Ijazah yang didapat pun tidak hanya semata

ijazah pesantren akan tetapi ijazah lembaga pendidikan formal. Sedangkan

alumni pesantren modern lebih bisa melakukan akselerasi penguasaan ilmu

pengetahuan yang dilandasi nilai-nilai religius. Dengan demikian, potensi

pesantren dalam ranah keilmuan mampu menjadi pilar perdaban muslim

nusantara.

2. Pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan yang ideal. Karena di

dalamnya tidak hanya diajarkan materi keagamaan, akan tetapi juga

mempraktikkannya dalam realitas keseharian. Inilah nilai lebih pesantren

yang tidak hanya mencetak ilmuwan atau orang ‘alim, tetapi juga sekaligus

‘amil. Kesadaran tinggi untuk mengamalkan ilmu yang dipelajari dan

dikuasai akan melahirkan hal nyata baik terkait amaliah yang membentuk

kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial; baik yang menyangkut

pengamalan dalam bentuk ubudiyyah vertikal/mahdhah maupun ghairu

mahdhah berupa perilaku dan karya hasil pengembangan ilmu pengetahuan.

Di samping itu, sikap tawasuth, tawazun, dan tasamuh yang diajarkan sejak

dini di pesantren dan dipraktikkan dalam keseharian membentuk budaya

damai pesantren dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sehingga

diharapkan bisa menandingi dan menangkal berkembangnya paham

radikalisme agama di tengah masyarakat.

3. Pesantren juga mempunyai kultur yang unik dan khas. Karenanya, pesantren

dinilai menjadi sub kultur tersendiri yang mampu secara independen lepas

dari kultur masyarakat di sekitarnya. Dan, sebagai lembaga pendidikan

dengan kyai sebagai tokoh sentralnya, pesantren mampu mengejawantahkan

nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sosial masyarakat. Pesantren bahkan

mampu mengkonstruks budaya masyarakat dan terus menjaganya sehingga

sejumlah budaya pesantren yang ada dalam komunitas masyarakat tetap

terjaga dengan baik.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 150: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

296

4. Pesantren mampu menjadi pusat pemikiran politik dalam rangka

memberikan pendidikan politik kepada umat. Pendidikan politik yang

berbasis ajaran agama sehingga berpolitik tidak lepas dari faotsen politik dan

nilai moral agama. Jika pun pesantren harus terlibat dalam ranah politik

praktis, maka semata-mata demi menegakkan ajaran Islam melalui

kekuasaan. Hal ini tidak lepas dari akar kesejarahan pesantren yang lekat

dengan politik melalui hubungan antara para wali, sultan, keraton, dan

rakyat. Juga di masa perjuangan melawan penjajah, pesantren terlibat

sebagai oposisi pemerintah kolonial dan mengangkat senjata melakukan

jihad. Gelora Resolusi Jihad oleh Rais Akbar NU, KH. Hasyim Asya‟ari

menunjukkan betapa pesantren terlibat aktif dalam politik. Dalam konteks

kekinian konsep musyawarah, demokrasi, hubbul wathan minal iman,

ketaatan kepada pemimpin, dan nashbul Imamah menjadi bagian dari prinsip

pesantren demi utuhnya Negara Kesantuan Republik Indonesia.

5. Pesantren menyimpan potensi perekonomian yang jika dikelola secara baik

dapat memberdayakan ekonomi umat. Apalagi dengan ditunjang ajaran dari

kitab-kitab kuning yang menjadi pegangan pesantren. Dari sini pesantren

akan mampu menunjukkan kiprahnya sebagai lembaga pendidikan yang

mampu mengentaskan umat dari kemiskinan, sekaligus menjadi uswah

khasanah pengamalan fiqih al-iqtishadiyah serta berbisnis dengan dilandasi

etika religius.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 151: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

297

Daftar Pustaka

Abdul Latif Bustami, Kiai Politik; Politik Kyai, Membaca Wacana Politik Kaum

Tradisionalis, Malang: Pustaka Bayan, 2009

Abdurrahman Mas‟ud, Intelektual Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2004

Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: Darma Bhakti, 1933 H.

Adeng Mukhtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam, Bandung: Pustaka

Setia, 2004

Ajid Tohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002

Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia,Kesetabilan Peta Kekuatan Politik dan

Pembangunan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007

Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004

David Kaplan, Teori Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001

Eevelin Clark, Bagaimana Para Pemimpin Besar Menggunakan Cerita untuk

Meningkatkan Kesuksesan, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007

Elis Suyono dan Samsul Munir Amin, Biografi KH. Muntaha al-Khafidz,

Wonosobo: Unsiq Press, 2004

Faisal Islamil, Pijar-pijar Islam Permulan Kultur dan Struktur, Yogyakarta:

LESFI, 2002

Ganjar Nugraha Jiwa Praja, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Armico, 1981

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalimah, 1999

Idarah Aliyah, Thariqah Mu’tabarah Nahdliyyah, Semarang: Toha Putra, tt.

Irfan Hielmy, Pesan Moral dari Pesantren,Bandung: Nuansa, 1999

KH. Aziz Masyhuri, al-Fuyudhatur Rabbaniyah fi Maqarrartil Mu’tamarati wal

Musyawarati li Jam’iyyah Ahlith Thariqah Mu’tabarah, Surabaya:

Khalistha, 2006

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 152: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

298

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara, Yogyakarta: LKiS, 2001

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1995

Masykuri Abdillah, Gelombang Demokrasi di Negara-negara Muslim, Yogyarta:

Titian Wacana, 1999.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1982

Moch Marjuki, “Fitrah Pendidikan dalam Konteks Pendidikan Nasional” dalam

Jurnal Studi Islam, Volume 04 No 01, Semarang: Pascasarjana IAIN

Walisongo, 2004

Mochtar Mas‟ud, Negara, kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2003

Moh Nadzir, Metode Penelitian, Jakarta: Galia Indonesia, 1996

Muhammad Sirozi, Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan Antara

Kepentingan Kekuasaan dan Praktek Penyelenggaraan Pendidikan.

Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005.

Mukhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2006

Musytafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta: Citra Karsa

Mandiri, 2002

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000

PK. Purwantana, Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Ramlan Surbakti, Memahani Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 2007

Ridwan Nasir, Format Pendidikan Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006

Rozikin Daman, Membidik NU Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah,

Yogyakarta: Gama Media, 2001

Ruchman Basori, The Founding Father Pesantren Modern di

Indonesia,Banteng: IneIS, 2006

Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Bandung: Sinar Baru Algesindo,

1992

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 153: Edisi Vii Agustus 2014

Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462

299

Saiful Huda, “Pesantren dan Proses Pembangunan Bangsa”, dalam Affian

Hasyim et.all, Menggagas Pesantren Masa Depan, Yogyakarta:

Qirtas, 2003

Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki Putra,

2002

Sukarran, Suatu Studi Ilmu Politik Ideologi, Bandung: Alumni, 1981

Sulton Masyhud dan Muh Khusnurridlo, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta:

Diva Pustaka, 2003

Sutrisno Hadi, Metode Research, Yogyakarta: UGM Press, 1986

KH. Lutfil Hakim Muslih, dkk., Sejarah Seabad Pondok Pesantren Futuhiyyah,

Mranggen: Pesantren Futuhiyyah, 2001

Yususf Qardlawi, Legalitas Politik,Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syari’ah,

Bandung: Pustaka Setia, 2008

Zamachsyari Dlofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai, Jakarta:

LP3ES, 1981.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 154: Edisi Vii Agustus 2014

Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Madaniyah bagi Penulis Redaksi menerim kiriman artikel dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Artikel merupakan karya ilmiah orisinil dan belum dipublikasikan pada media mana pun.

2. Artikel yang dimuat adalah naskah yang berkaitan dengan Pendidikan dan budaya.

3. Artikel merupakan hasil penelitian atau berupa hasil pemikiran yang setara dengan hasil penelitian.

4. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan jumlah minimal 15 dan maksimal 20 halaman. Jarak 1,5 spasi dan dicetak pada kertas jenis A4, dengan font Times New Roman 12. Dengan ketentuan memuat; a. Judul b. Nama penulis c. Identitas penulis d. Abstrak (Indonesia dan Inggris) dan kata kunci e. Bagian pendahuluan

Jika Artikel hasil penelitian, pendahuluan memuat: tinjauan pustaka, konsep penelitian, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan lokasi penelitian.

f. Bagian inti (Pembahasan) g. Bagian penutup (Simpulan) h. Daftar pustaka

5. Kutipan menggunakan Footnote sebagai berikut: Gates, L. Evaluating mathematical knowledge elements. In P. C.

Clarkson (Ed.). Technology in mathematics education. Melbourne: The

University of Melbourne, 1996), P.56

6. Penulisan daftar pustaka ditulis dengan tata cara sebagai berikut : Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,

Bandung : Alfabeta.

7. Kutipan wajib mencantumkan sumbernya pada daftar pustaka 8. Daftar pustaka yang tidak ada kutipannya wajib dihilangkan 9. Setiap naskah artikel akan dinilai terlebih dahulu oleh penyunting

ahli, dan apabila ada hal-hal yang dirasa kurang maka naskah akan dikembalikan kepada penulis untuk diperbaiki.

10. Penulis artikel berhak mendapat 2 eksemplar Jurnal Madaniyah sebagai bukti cetak.

11. Artikel dapat dikirim dalam bentuk soft file ke email : [email protected] atau [email protected]

12. Redaksi tidak berkewajiban mengembalikan naskah yang tidak dimuat.

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping

Page 155: Edisi Vii Agustus 2014

STIT Pers

ISSN 2086-3462

9 7 7 2 0 8 6 3 4 6 2 6 6

Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor

To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping