edisi vii agustus 2014
DESCRIPTION
JURNAL MADANIYAH EDISI VII TEMA PENDIDIKAN KARAKTERTRANSCRIPT
Alamat Redaksi
Jl. DI. Panjaitan Km 3 Paduraksa Pemalang Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52113
Email : [email protected]
Evaluasi Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter
Miswanto
Nilai Pendidikan Karakter Dalam Tradisi Lokal
Bani Sudardi
Pendidikan Multikultural Sebagai Wahana Pembentukan Karakter
Ida Zahara Adibah
Menumbuhkan Keberanian Berpendapat
Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair
Endang Puji Lestari
Dyah Kunthi Talibrata, Representasi Pembentukan Karakter Wanita Jawa
Hartini
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Melalui Media Pembelajaran Multimedia Interaktif
Endang Sri Mureiningsih
Model Pengembangan Kurikulum Dan Strategi Pembelajaran Berbasis Sosiologi
Kritis, Kreativitas, Dan Mentalitas
Mustofa Kamal
Peran Penerjemahan Teks-Teks Asing Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa
Sri Mulyati
Kepemimpinan Dan Pendidikan Islam
Puji Khamdani
Potensi Dan Peran Pesantren Sebagai Pusat Peradaban
Mu’ammar
ISSN 2086-3462
9 7 7 2 0 8 6 3 4 6 2 6 6
Visi
Sebagai sarana Komunikasi dan Publikasi
Karya Ilmiah Ilmu Pendidikan dan Ke-Islaman
Misi
1. Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi di Bidang pendidikan melalui penelitian dan pengabdian yang megacu pada Pola Induk Pengembangan Ilmiah (PIP) STIT Pemalang
2. Menyebarluaskan hasil-hasil penelitian dan pengabdian di bidang Pendidikan Islam melalui publikasi jurnal ilmiah dan pertemuan-pertemuan ilmiah
3. Menerapkan hasil-hasil penelitian melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat untuk memberikan kontribusi pada pengembangan Pendidikan Islam
Alamat Redaksi Jl. DI. Panjaitan Km 3 Paduraksa Pemalang
Telp. (0284) 323741 Kode Pos 52113 Email : [email protected]
Penerbit : STIT Pers
Pimpinan Redaksi
Puji Dwi Darmoko
Sekretaris Redaksi
Nur Topik
Penyunting
Mustofa Kamal
Khaerudin
Rahmat Kamal
Hafied Hasan
Purnama rozak
Isa Agus Amsori
Desain Grafis
Patriyanto
Sirkulasi
Krisdian Linanti
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................................... i
Salam Redaksi .......................................................................................... ii
Evaluasi Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter
Miswanto ................................................................................................ 151
Nilai Pendidikan Karakter Dalam Tradisi Lokal
Bani Sudardi ............................................................................................. 165
Pendidikan Multikultural Sebagai Wahana Pembentukan Karakter
Ida Zahara Adibah .................................................................................... 175
Menumbuhkan Keberanian Berpendapat Melalui Model Pembelajaran
Kooperatif Think Pair Share
Endang Puji Lestari ................................................................................... 191
Dyah Kunthi Talibrata Sebagai Representasi Profil Wanita Jawa Sejati
Hartini ....................................................................................................... 205
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Melalui Media Pembelajaran Multimedia Interaktif
Endang Sri Mureiningsih .......................................................................... 214
Model Pengembangan Kurikulum Dan Strategi Pembelajaran Berbasis
Sosiologi Kritis, Kreativitas, Dan Mentalitas
Mustofa Kamal ......................................................................................... 230
Penerjemahan Teks-Teks Asing Dan Sumbangannya Terhadap
Pembentukan Karakter Bangsa
Sri Mulyati ................................................................................................ 251
Kepemimpinan Dan Pendidikan Islam
Puji Khamdani ......................................................................................... 259
Pilar-Pilar Peradaban Pesantren; Potret Potensi Dan Peran Pesantren
Sebagai Pusat Peradaban
Mu’ammar ............................................................................................... 277
Pedoman Penulisan Artikel di Jurnal Ilmiah Madaniyah
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
ii
SALAM REDAKSI
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Robbil A’lamiin, puji syukur kehadirat Allah SWT, kali ini
Jurnah Ilmiah “MADANIYAH” STIT Pemalang dapat hadir kembali di hadapan
sidang Pembaca. Setelah mengalami pergulatan yang cukup panjang akan
sulitnya mencari artikel berkaitan dengan tema tentang “Pendidikan Karakter”
akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, jurnal Ilmiah “MADANIYAH”
edisi VII Agustus 2014 ini dapat terbit.
Diharapkan melalui berbagai pemikiran dalam jurnal ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan bagaimana suatu idealisme membangun sebuah
Karakter tidak hanya bertumpu pada Dunia Pendidikan melainkan dari berbagai
aspek disiplin ilmu.
Mewujudkan harapan ini bukanlah suatu pekerjaan yang ringan dan harus
melibatkan seluruh “stake holder” yang berkomitmen tinggi dalam ikut sertanya
membangun bangsa.
Semoga ke depan Jurnal Ilmiah “Madaniyah” ini semakin berkualitas
melalui kajian dan penelitian untuk bisa menambah khasanah pengetahuan.
Akhirnya kami berharap kritik dan saran guna perbaikan penerbitan yang akan
datang.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Redaksi
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
151
EVALUASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS KARAKTER
Miswanto1
Abstrak
Makalah ini menjelaskan tentang Evaluasi Pendidikan Agama Islam
Berbasis Karakter. Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan
keputusan-keputusan pendidikan, baik yang menyangkut perencanaan,
pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan, baik yang menyangkut
perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Dalam konteks ini, penilaian
dalam pendidikan Agama Islam bertujuan agar keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan pendidikan Agama Islam benar-benar sesuai dengan niai-nilai
Islami sehingga tujuan pendidikan Agama Islam yang dicanangkan dapat
tercapai secara maksimal. Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam mengaku
pada sistem evaluasi yang digariskan oleh Allah SWT, dalam Alquran dan
dijabarkan dalam Sunah, yang dilakukan Rasulullah SAW dalam proses
pembinaan risalah Islamiyah.
Kata kunci: evaluasi, prinsip evaluasi, pendidikan karakter.
A. Pendahuluan
Pendidikan di negara kita hingga sekarang masih menyisakan banyak
persoalan, baik dari segi kurikulum, manajemen, maupun para pelaku dan
pengguna pendidikan. SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita
pendidikan yang diharapkan. Masih banyak ditemukan kasus-kasus seperti siswa
melakukan kecurangan ketika sedang menghadapi ujian, bersikap malas dan
senang bermain dan hura-hura, senang tawuran antar sesama siswa, melakukan
pergaulan bebas, hingga terlibat narkoba dan tindak kriminal lainnya. Di sisi lain,
masih ditemukan pula guru yang melakukan kecurangan-kecurangan dalam
sertifikasi dan dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN). Atas dasar inilah,
maka pendidikan kita perlu direkonstruksi ulang agar dapat menghasilkan
lulusan yang lebih berkualitas dan siap menghadapi “dunia” masa depan yang
penuh dengan problema dan tantangan serta dapat menghasilkan lulusan yang
memiliki karakter mulia, yakni: memiliki kepandaian sekaligus kecerdasan,
memiliki kreativitas tinggi sekaligus sopan dan santun dalam berkomunikasi,
serta memiliki kejujuran dan kedisiplinan sekaligus memiliki tanggung jawab
1 Miswanto, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang Jawa Tengah
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
152
yang tinggi. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi
pembentukan karakter (character building) sehingga para peserta didik dan para
lulusannya dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dengan baik dan
berhasil tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia.
Untuk membangun manusia yang memiliki nilai-nilai karakter yang agung
seperti dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional tersebut, dibutuhkan
system pendidikan yang memiliki materi yang lengkap (kaffah), serta ditopang
oleh pengelolaan dan pelaksanaan yang benar. Terkait dengan ini pendidikan
Islam memiliki tujuan yang seiring dengan tujuan pendidikan nasional. Secara
umum pendidikan Islam mengemban misi utama memanusiakan manusia, yakni
menjadikan manusia mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya
sehingga berfungsi maksimal sesuai dengan aturan-aturan yang digariskan oleh
Allah Swt. Dan Rasulullah saw. yang pada akhirnya akan terwujud manusia yang
utuh (insan kamil). Sistem ajaran Islam dikelompokkan menjadi tiga bagian,
yaitu bagian aqidah (keyakinan), bagian syari’ah (aturan-aturan hukum tentang
ibadah dan muamalah), dan bagian akhlak (karakter). Ketiga bagian ini tidak
bisa dipisahkan, tetapi harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang saling
mempengaruhi. Aqidah merupakan fondasi yang menjadi tumpuan untuk
terwujudnya syari’ah dan akhlak. Sementara itu, syari’ah merupakan bentuk
bangunan yang hanya bisa terwujud bila dilandasi oleh aqidah yang benar dan
akan mengarah pada pencapaian akhlak (karakter) yang seutuhnya. Dengan
demikian, akhlak (karakter) sebenarnya merupakan hasil atau akibat terwujudnya
bangunan syari’ah yang benar dilandasi oleh fondasi aqidah yang kokoh. Tanpa
aqidah dan syari’ah, mustahil akan terwujud akhlak (karakter) yang sebenarnya.
Karakter (character) dapat diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang
yang melekat dan dapat diidentifikasi pada prilaku individu yang bersifat unik,
dalam arti secara khusus ciri-ciri ini membedakan antara satu individu dengan
yang lainnya. Oleh karena ciri-ciri itudapat diidentifikasi pada perilaku individu
dan bersifat unik, maka karakter sangat dekat dengan kepribadian inidividu.
Meskipun karakter setiap individu ini bersifat unik, namun sejumlah karakter
umum yang menjadi stereotype dari sekelompok masyarakat, atau bahkan suatu
bangsa dapat diidentifikasi sebagai karakter suatu komunitas tertentu atau
bahkan dapat pula dipandang sebagai karakter suatu bangsa. Mengingat karakter
itu ada yang baik dan ada yang tidak baik, kita harus berupaya membangun
karaker baik (good character). Sebagaimana kepribadian, ada dua faktor penting
yang berpengaruh terhadap karakter, yakni faktor endogenus (faktor hereditas
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
153
atau genetic) dan faktor eksogenus (pengaruh pendidikan dan/atau lingkungan).
Namun, para ahli memandang bahwa faktor pendidikan dapat memberi
kontribusi yang cukup signifikan terhadap pembentukan karakter sesuai dengan
arah yang diharapkan (sesuai tujuan), yakni nilai-nilai baik yang bersumber dari
ajaran-ajaran agama maupun tradisi kearifan lokal dan nasional.2
Dalam pendidikan Islam penanaman karakter sangat perlu, dan dalam
karakter memerlukan tujuan yang merupakan sasaran ideal yang hendak dicapai.
Dengan demikian kurikulum yang telah dirancang, disusun dan diproses dengan
maksimal diupayakan untuk mencapai tujuan tersebut. Tentu saja terkait dengan
hal ini pendidikan Islam mempunyai tugas yang berat, salah satunya adalah
mengembangkan potensi fitrah manusia. Berbicara pendidikan karakter kita tidak
bisa mengabaikan lembaga pendidikan pesantren yang sudah lama menerapkan
karakter pada santrinya sejak dulu secara terstruktur dan istiqomah.
Untuk mengetahui kapasitas, kualitas, peserta didik perlu diadakan
evaluasi. Dalam evaluasi perlu adanya teknik, dan sasaran untuk menuju
keberhasilan dalam proses belajar mengajar dan pendidikan secara
keseluruhan. Evaluasi yang baik haruslah didasarkan atas tujuan yang
ditetapkan berdasarkan perencanaan sebelumnya dan kemudian benar-benar
diusahakan oleh guru untuk peserta didik. Betapapun baiknya, evaluasi
apabila tidak didasarkan atas tujuan yang telah ditetapkan, tidak akan tercapai
sasarannya.
Dari uraian di atas, permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian evaluasi dalam pendidikan karakter ?
2. Bagaimana tujuan dan fungsi evaluasi dalam pendidikan karakter ?
3. Apa sajakah prinsip-prinsip evaluasi dalam pendidikan karakter ?
4. Bagaimana sistem evaluasi dalam pendidikan karakter ?
5. Apa saja sasaran evaluasi dalam pendidikan karakter ?
B. Pembahasan
1. Pengertian Evaluasi dalam pendidikan karakter
Menurut bahasa evaluasi berasal dari bahasa Inggris, “evaluation”,
yang berarti penilaian atau penaksiran.3 Sedangkan menurut pengertian
istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui
2 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi ( Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2002), hal. 173. 3 Suharsimi Arikunto. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hal.3.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
154
keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan intrumen dan hasilnya
dibandingkan dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan. Dengan demikian
secara sederhana dapat disimpulkan bahwa evaluasi pendidikan adalah
penilaian untuk mengetahui proses pendidikan dan komponen-komponennya
dengan instrumen yang terukur.4 Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 21 dijelaskan
bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan
penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada
setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk per
tanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.5
Sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai
dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui
karyanya yang sangat memukau, The Retrun of Character Education.
Sebuah buku yang menyadarkan dunia Barat secara khusus di mana tempat
Lickona hidup, dan seluruh dunia pendidikan secara umum, bahwa
pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Inilah awal kebangkitan
pendidikan karakter. Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan
Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan
(knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan
kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu
seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian maka
pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku
manusia menuju standar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan untuk
menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah.
Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi
prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang
mencakup perkembangan sosial siswa.
Pembentukan dan pendidikan karakter merupakan upaya yang harus
melibatkan semua pihak rumah tangga dan keluarga sekolah dan lingkungan
sekolah. Pendidikan karakter melalui sekolah merupakan usaha mulia yang
mendesak untuk dilakukan. Bahkan kalau berbicara tentang masa depan,
4 Menurut Wand dan Brown ( 1957) mendefinisikan evaluasi sebagai “ refer to the act proccess to
determining the value of something”. Wand Edwin and General W. Brown, Essential of educational
Evaluation ( New York: 1979, vol 27), 867. Evaluasi mengacu kepada suatu proses untuk menentukan nilai
suatu yang dievaluasi. Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum berbasis KBK.
( Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2005),hal.181 5 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
155
sekolah bertanggung jawab bukan hanya mencetak peserta didik yang
unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam karakter
dan kepribadian.
Usaha pembentukan dan pendidikan karakter melalui sekolah, menurut
Azyumardi Azra bisa dilakukan setidaknya melalui pendekatan sebagai
berikut:
1) Menerapkan pendekatan modelling atau axemplary atau uswatun
hasanah, yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah
untuk menghidupkan dan menegakkkan nilai-nilai akhlak dan moral yang
benar melalui suri tauladan
2) Menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus
menerus tentang berbagai nilai yang baik dan nilai yang buruk.
3) Menerapkan pendidikan berdasarkan karakter ( character based
education). Hal ini bisa dilaksanakan dengan memaksukkan pendidikan
karakter ke dalam setiap pelajaran yang ada. Atau melakukan reorientasi
baru baik dari segi isi dan pendekatan terhadap mata pelajaran yang
relevan atau berkaitan seperti mata pelajaran pendidikan agama dan
PPKN, bisa pula mencakup seluruh mata pelajaran umum dan muatan
local.6
Jika dikaitkan antara evaluasi dengan pendidikan karakter hingga
menjadi suatu term evaluasi berbasis pendidikan karakter maka evaluasi
berbasis pendidikan karakter adalah penilaian untuk mengetahui proses
pendidikan dan komponen-komponennyadengan instrumen yang terukur dan
berlandaskan ketercapaian karakter yang diinginkan. Dalam pendidikan
karakter, evaluasi sangat penting dilakukan karena untuk mengukur sejauh
mana keberhasilan dalam proses pembelajaran tersebut.
Pendidikan karakter menanamkan nilai-nilai yang sangat sinkron
dengan pendidikan agama islam dan secara tidak langsung maka untuk
proses evaluasinya bisa digunakan evaluasi dalam wacana pendidikan Islam.
Term atau istilah evaluasi dalam wacana pendidikan Islam tidak diperoleh
padanan katanya yang pasti, tetapi terdapat term atau istilah-istilah tertentu
yang mengarah pada makna evaluasi.7 Term-term tersebut adalah:
6 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi ( Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2002 ),hal. 187-186. 7 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,( Jakarta: Kalam Mulia, 2004),hal. 198.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
156
1) Al-Hisab, memiliki makna mengitung, menafsirkan dan mengira. Hal ini
dapat dilihat dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah, 2 : 284.Begitu
pula dalam QS. Al-Ghasyiyah (88) Ayat 26.
2) Al-Bala’ , memiliki makna cobaan dan ujian. Terdapat dalam firman
Allah SWT(QS. Al-Mulk, 67: 2).
3) Al-Hukm, memiliki makna putusan atau vonis.Misalnya dalam firman
Allah SWT, ( Q.S An-Naml: 78 )
4) Al-Qadha, memiliki arti putusan. Misalnya dalam firman Allah SWT(
Q.S Thaha: 72)
5) Al-Nazhr, memiliki arti melihat. Misalnya dalam firman Allah SWT Q.S
Al-Naml: 27)
6) Al-Imtihan, berarti ujian yang juga berasal dari kata mihnah. Bahkan
dalam Alquran terdapat surat yang menyatakan wanita-wanita yang diuji
dengan menggunakan kata imtihan, yaitu surat al-Mumtahanah. Firman
Allah Swt. yang berkaitan dengan kata imtihan ini terdapat pada surat al-
Mumtahanah (60) ayat 10.
7) Al-ikhtibar, memiliki makna ujian atau cobaan/al-bala’. Orang Arab
sering menggunakan kata ujian atau bala’ dengan sebutan ikhtibar.
Bahkan di lembaga pendidikan bahasa Arab menggunakan istilah
evaluasi dengan istilah ikhtibar.
Beberapa term tersebut di atas dapat dijadikan petunjuk arti evaluasi
secara langsung atau hanya sekedar alat atau proses di dalam evaluasi. Hal
ini didasarkan asumsi bahwa Alquran dan Hadis merupakan asas maupun
prinsip pendidikan Islam, sementara untuk operasionalnya tergantung pada
ijtihad umat. Term evaluasi pada taraf berikutnya lebih diorientasikan pada
makna “penafsiran atau memberi putusan terhadap pendidikan”. Setiap
tindakan pendidikan didasarkan atas rencana, tujuan, bahan, alat dan
lingkungan pendidikan tertentu. Berdasarkan komponen ini, maka peran
penilaian dibutuhkan guna mengetahui sejauh mana keberhasilan pendidikan
tercapai. Dari pengertian ini, proses pelaksanaan penilaian lebih ditekankan
pada akhir tindakan pendidikan. Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan
untuk menetapkan keputusan-keputusan pendidikan, baik yang menyangkut
perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan, baik yang
menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Dalam konteks
ini, penilaian dalam pendidikan Islam bertujuan agar keputusan-keputusan
yang berkaitan dengan pendidikan Islam benar-benar sesuai dengan niai-
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
157
nilai Islami sehingga tujuan pendidikan Islam yang dicanangkan dapat
tercapai secara maksimal.8
Selanjutnya jenis evaluasi dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Jenis evaluasi berdasarkan tujuan dibedakan atas lima jenis evaluasi,
yaitu:
a. Evaluasi diagnostik, adalah evaluasi yang di tujukan untuk menelaah
kelemahan-kelemahan siswa beserta faktor-faktor penyebabnya.
b. Evaluasi selektif adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk
memilih siwa yang paling tepat sesuai dengan kriteria program
kegiatan tertentu.
c. Evaluasi penempatan adalah adalah evaluasi yang digunakan untuk
menempatkan siswa dalam program pendidikan tertentu yang sesuai
dengan karakteristik siswa.
d. Evaluasi formatif adalah adalah evaluasi yang dilaksanakan untuk
memperbaiki dan meningkatkan proses belajar dan mengajar.
Sebagaiman dikemukakan oleh Frederich G. Knikr, “ formative
evaluation looks at the process of Learning and teaching while the
instruction disain is being develop and materials produced”.
e. Evaluasi sumatif adalah adalah evaluasi yang dilakukan untuk
menentukan hasil dan kemajuan belajar siswa. Penilaian ini
dilaksanakan terhadap program/ desain yang telah diimplementasikan.
2) Jenis evaluasi berdasarkan sasaran
a. Evaluasi konteks yang ditujukan untuk mengukur konteks program
baik mengenai rasional tujuan, latar belakang program, maupun
kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam perencanaan
b. Evaluasi input, evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui input baik
sumber daya maupun strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.
c. Evaluasi proses, evaluasi yang ditujukan untuk melihat proses
pelaksanaan, baik mengenai kalancaran proses, kesesuaian dengan
rencana, faktor pendukung dan faktor hambatan yang muncul dalam
proses pelaksanaan, dan sejenisnya.
d. Evaluasi hasil atau produk, evaluasi yang diarahkan untuk melihat
hasil program yang dicapai sebagai dasar untuk menentukan keputusan
akhir, diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan atau dihentikan
8 Ngalim Purwanto. Evaluasi Pengajaran.( Bandung: Remaja Karya, 1955),hal.12.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
158
e. Evaluasi outcome atau lulusan, evaluasi yang diarahkan untuk melihat
hasil belajar siswa lebih lanjut, yakni evaluasi lulusan setelah terjun ke
masyarakat.
3) Jenis evalusi berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran:
a. Evaluasi program pembelajaran, yang mencakup terhadap tujuan
pembelajaran, isi program pembelajaran, strategi belajar mengajar,
aspek-aspek program pembelajaran yang lain.
b. Evaluasi proses pembelajaran, yang mencakup kesesuaian antara
peoses pembelajaran dengan garis-garis besar program pembelajaran
yang di tetapkan, kemampuan guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran.
c. Evaluasi hasil pembelajaran, mencakup tingkat penguasaan
b) siswa terhadap tujuan pembelajaran yang ditetapkan, baik umum
maupun khusus, ditinjau dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik.
4) Jenis evaluasi berdasarkan objek dan subjek evaluasi
Berdasarkan Objek antara lain:
a. Evaluasi input, evaluasi terhadap siswa mencakup kemampuan
kepribadian, sikap, keyakinan.
b. Evaluasi transformasi, evaluasi terhadap unsur-unsur transformasi
proses pembelajaran antara lain materi, media, metode dan lain-lain.
c. Evaluasi output, evaluasi terhadap lulusan yang mengacu pada
ketercapaian hasil pembelajaran.
Berdasarkan subjek :
a. Evaluasi internal, evaluasi yang dilakukan oleh orang dalam sekolah
sebagai evaluator, misalnya guru.
b. Evaluasi eksternal, evaluasi yang dilakukan oleh orang luar sekolah
sebagai evaluator, misalnya orangtua, masyarakat.
2. Tujuan dan Fungsi Evaluasi dalam Pendidikan karakter
Secara rasional filosofis, pendidikan Islam bertugas untuk membentuk al-
Insan al-Kamil atau manusia paripurna. Karena itu evaluasi pendidikan Islam,
hendaknya diarahkan pada dua dimensi, yaitu: dimensi dialektikal horizontal dan
dimensi ketundukan vertical.9 Tujuan evaluasi pendidikan adalah mengetahui
9 Abdul al-Aziz, dkk. Dalam Hasan Langgulung, Pendidikan dan peradaban Islam, al-Hasan. ( Jakarta:
Indonesia, 1985), 3
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
159
kadar pemahaman anak didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan
mengajak anak didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan.
Selain itu, program evaluasi bertujuan mengetahui siapa di antara peserta didik
yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat, kelas maupun tamat. Tujuan
evaluasi bukan anak didik saja, tetapi bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu
sejauh mana pendidik bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam.Dalam pendidikan Islam, tujuan evaluasi
ditekankan pada penguasaan sikap, keterampilan dan pengetahuan-pemahaman
yang berorientasi pada pencapaian al-insan al-kamil.10
Penekanan ini bertujuan
untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang secara garis besar meliputi
empat hal, yaitu:
1) Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya
2) Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat
3) Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam
sekitar; dan
4) Sikap dan pandangan terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah SWT,
anggota masyarakat serta khalifah-Nya.
Dari keempat dasar tersebut di atas, dapat dijabarkan dalam beberapa
klasifikasi kemampuan teknis, yaitu:
a. Sejauh mana loyalitas dan pengabdiannya kepada Allah Swt. dengan
indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan keimanan
dan ketakwaan kepada Allah Swt.
b. Sejauh mana peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai agamanya dan
kegiatan hidup bermasyarakat, seperti akhlak yang mulia dan disiplin
c. Bagaimana peserta didik berusaha mengelola dan memelihara, serta
menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, apakah ia merusak ataukah
memberi makna bagi kehidupannya dan masyarakat dimana ia berada
d. Bagaimana dan sejauh mana ia memandang diri sendiri sebagai hamba Allah
Swt. dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang beraneka ragam
budaya, suku dan agama.
Secara filosofis fungsi evaluasi selain menilai dan mengukur juga
memotivasi serta memacu peserta didik agar lebih bersungguh-sungguh dan
sukses dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan Islam. Secara praktis
fungsi evaluasi adalah (a) secara psikologis, peserta didik perlu mengetahui
10 Omaar Mohammad al-Toumu M. Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Alih bahasa Dr. Hasan
Langgulung ( Jakarta: Cet. I, Bulan Bintang, 1979), hal.339
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
160
prestasi belajarnya, sehingga ia merasakan kepuasan dan ketenangan, (b)
secara sosiologis, untuk mengetahui apakah peserta didik sudah cukup
mampu untuk terjun ke masyarakat. Mampu dalam arti dapat berkomunikasi
dan beradaptasi dengan seluruh lapisan masyarakat dengan segala
karakteristiknya, (c) secara didaktis-metodis, evaluasi berfungsi untuk
membantu guru dalam menempatkan peserta didik pada kelompok tertentu
sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing, (d) untuk
mengetahui kedudukan peserta didik di antara teman-temannya, apakah ia
termasuk anak yang pandai, sedang atau kurang, (e) untuk mengetahui taraf
kesiapan peserta didik dalam menempuh program pendidikannya, (f) untuk
membantu guru dalam memberikan bimbingan dan seleksi, baik dalam rangka
menentukan jenis pendidikan, jurusan maupun kenaikan tingkat/kelas, (g)
secara administratif, evaluasi berfungsi untuk memberikan laporan tentang
kemajuan peserta didik kepada pemerintah, pimpinan/kepala sekolah,
guru/instruktur, termasuk peserta didik itu sendiri.11
Fungsi evaluasi pendidikan islam adalah sebagai umpan balik ( feed
back ) terhadap kegiatan pendidikan. Umpan balik ini berguna untuk:
1. Ishlah yaitu perbaikan terhadap semua komponen-komponen pendidikan,
termasuk perilaku, wawasan dan kebiasaan-kebiasaan.
2. Tazkiyah yaitu penyucian terhadap semua komponen-komponen
pendidikan.
3. Tajdid yaitu memodernisasi semua kegiatan pendidikan
4. Al-Dakhil yaitu masukan sebagai laporan bagi orang tua murid berupa
rapor, ijazah, piagam dan sebagainya.
3. Prinsip-prinsip Evaluasi dalam Pendidikan karakter
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam evaluasi pendidikan
Islam, yaitu: prinsip kontinuitas, prinsip menyeluruh, prinsip obyektivitas, dan
prinsip mengacu pada tujuan.
1) Prinsip Kesinambungan (kontinuitas)
Bila aktivitas pendidikan Islam dipandang sebagai suatu proses untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka evaluasi pendidikannya pun harus
dilakukan secara kontinu. Prinsip ini selaras dengan istiqamah dalam Islam,
yaitu setiap umat Islam hendaknya tetap tegak beriman kepada Allah Swt.,
11 Suharsimi Arikunto. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hal. 10.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
161
yang diwujudkan dengan senantiasa mempelajari Islam, mengamalkannya,
serta tetap membela tegaknya agama Islam, sungguhpun terdapat berbagai
tantangan yang senantiasa dihadapinya.
Dalam ajaran Islam, sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena
dengan berpegang pada prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang
menjadi valid dan stabil, sebagaimana diisyaratkan Alquran dalam Surah Al-
Ahqaf (46) Ayat 13-14.
2) Prinsip Menyeluruh (komprehensif)
Prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian, ketajaman
hafalan, pemahaman ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggung jawab
dan sebagainya, sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran Surat Al-Zalzalah
(99) Ayat 7-8.
3) Prinsip objektivitas.
Objektif dalam arti bahwa evaluasi itu dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya, berdasarkan fakta dan data yang ada tanpa dipengaruhi oleh unsur-
unsur subjektivitas dari evaluator. Allah SWT. memerintahkan agar
seseorang berlaku adil dalam mengevaluasi. Jangan karena kebencian
menjadikan ketidakobjektifan evaluasi yang dilakukan (QS. Al-Maidah, 5:
8), Prinsip ini hanya dapat ditetapkan bila penyelenggara pendidikan
mempunyai sifat siddiq, jujur, ikhlas, ta’awun, ramah, dan lainnya.
4) Prinsip mengacu kepada tujuan.
Setiap aktivitas manusia sudah pasti mempunyai tujuan tertentu,
karena aktivitas yang tidak mempunyai tujuan berarti merupakan atau
pekerjaan sia-sia.
4. Sistem Evaluasi dalam Pendidikan karakter
Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam mengacu pada sistem evaluasi
yang digariskan oleh Allah SWT, dalam Alquran dan dijabarkan dalam Sunah,
yang dilakukan Rasulullah SAW dalam proses pembinaan risalah Islamiyah.
Secara umum sistem evaluasi pendidikan Islam sebagai berikut:
1) Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai
macam problema kehidupan yang dihadapi (QS. Al-Baqarah, 2: 155).
2) Untuk mengetahui sejauhmana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu
yang telah diaplikasikan Rasulullah SAW. kepada umatnya (QS. Al-Naml,
27: 40).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
162
3) Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan
seseorang, seperti pengevaluasian Allah SWT. terhadap nabi Ibrahim as.
yang menyembelih Ismail as. putra yang dicintainya (QS. Al-Shaaffat, 37:
103-107).
4) Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dan pelajaran yang telah
diberikan kepadanya, seperti pengevaluasian terhadap nabi Adam as. tentang
asma` yang diajarkan Allah SWT. kepadanya di hadapan para malaikat (QS.
Al-Baqarah, 2: 31).
5) Memberikan semacam tabsyir (berita gembira) bagi yang beraktivitas baik,
dan memberikan semacam ‘iqab (siksa) bagi mereka yang beraktivitas buruk
(QS. Al-Zalzalah, 99: 7-8).
6) Allah SWT. dalam mengevaluasi hamba-Nya, tanpa memandang formalitas
(penampilan), tetapi memandang subtansi di balik tindakan hamba-hamba
tersebut (QS. Al Hajj, 22: 37).
7) Allah SWT. memerintahkan agar berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu,
jangan karena kebencian menjadikan ketidakobjektifan evaluasi yang
dilakukan (QS. Al-Maidah, 5: 8).
5. Sasaran Evaluasi dalam Pendidikan karakter
Langkah yang harus ditempuh seorang pendidik dalam mengevaluasi
adalah menetapkan apa yang menjadi sasaran evaluasi tersebut. Sasaran evaluasi
sangat penting untuk diketahui supaya memudahkan pendidik dalam menyusun
alat-alat evaluasinya. Pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi, yaitu: 12
1) Segi tingkah laku, artinya segi-segi yang menyangkut sikap, minat,
perhatian, keterampilan peserta didik sebagai akibat dari proses belajar
mengajar
2) Segi pengetahuan, artinya penguasaan pelajaran yang diberikan oleh guru
dalam proses belajar mengajar
3) Segi yang menyangkut proses belajar mengajar yaitu bahwa proses belajar
mengajar perlu diberi penilaian secara obyektif dari guru. Sebab baik
tidaknya proses belajar mengajar akan menentukan baik tidaknya hasil
belajar yang dicapai oleh peserta didik.
C. Kesimpulan
12 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan anak didik dalam interaksi edukatif Suatu Pendekatan Teoritis
Psikologis. ( Jakarta: PT rieneka Cipta, 2005), hal.248
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
163
Evaluasi dalam pendidikan karakter adalah penilaian untuk mengetahui
proses pendidikan dan komponen-komponennya dengan instrumen yang terukur
dan berlandaskan ketercapaian karakter yang diinginkan.Tujuan evaluasi
pendidikan adalah mengetahui kadar pemahaman anak didik terhadap materi
pelajaran, melatih keberanian dan mengajak anak didik untuk mengingat kembali
materi yang telah diberikan. Program evaluasi bertujuan mengetahui siapa di
antara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat, kelas
maupun tamat. Tujuan evaluasi bukan anak didik saja, tetapi bertujuan
mengevaluasi pendidik, yaitu sejauh mana pendidik bersungguh-sungguh dalam
menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Ada beberapa
prinsip yang harus diperhatikan dalam evaluasi pendidikan Islam, yaitu: prinsip
kontinuitas, prinsip menyeluruh, prinsip obyektivitas, dan prinsip mengacu pada
tujuan. Dalam implementasi evaluasi dalam pendidikan karakter memang tidak
semudah membalik tangan, namun itu semua adalah tantangan bagi dunia
pendidikan sekarang dan masa mendatang. Jika dalam pembelajaran guru belum
mampu mengevaluasi siswa dalam evaluasi pendidikan karakter maka harus ada
korelasi positif dengan lingkungan sekitar misal keluarga dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi Arikunto. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2003.
Al-Aziz, Abdul dkk. Dalam Hasan Langgulung, Pendidikan dan peradaban
Islam, al-Hasan. Jakarta: Indonesia, 1985.
Azra, Azyumardi. Catatan tentang Evaluasi atas arah pendidikan serta
fungsionalisasi Pemikiran Pendidikan di Indonesia. Makalah pada Diskusi
Ahli ” Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”. Jakarta:
Yayasan Fase Baru Indonesia, 25 0ktober 1999.
-----------, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan
Demokratisasi . Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
164
Jamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak didik dalam interaksi edukatif- Suatu
Pendekatan Teoretis Psikologis. Jakarta: PT Rieneka Cipta, 2005.
Purwanto,Ngalin. Evaluasi Pengajaran.Bandung: Remaja Karya, 1955.
Ramayulis, Teknik Evaluasi Pendidikan agama Islam di Madrasah, Makalah,
Fak. Tarbiyah IAIN Batusangkar,1996.
-----------, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2004.
Soeharto, Karti. Teknologi Pembelajaran, Pendekatan sistem, konsepsi dan
model, SAP, evaluasi, sumber belajar dan Media. Surabaya : SIC
advertising, 2003.
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wand Edwin and General W. Brown, Essential of educational Evaluation. New
York: 1979, vol 27.
Syaibany, Omaar Mohammad al-Toumu M. Falsafah Pendidikan Islam, Alih
bahasa Dr. Hasan Langgulung, Jakarta: Cet. I, Bulan Bintang, 1979.
Samani, M. & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter.Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. 2011
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
165
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TRADISI LOKAL
Bani Sudardi 1
Abstract
Local traditions contain character educations for their owner. Every people has
specific in character education. Cheater education has to uncover from culture
elements; language, literature works, customs, and so on. In this era we see our
nation take away their character educations that they have get them for centuries
to take care of their identities. The put foreign culture (pop, trend), but in the
next time it show us many problems have to be solved.
Keywords: Pendidikan karakter, tradisi lokal, identitas
A. Pendahuluan
Apa yang kita rasakan, apa yang terjadi, apa yang menjadi impian kita di
masa depan, tidaklah lepas dari masa lampau. Manusia hadir sebagai akumulasi
sejarah kebudayaan yang tidak pernah berhenti pada titik nol. Kebudayaan
manusia selalu bergulir, mengalir, menuju suatu tatanan-tatanan baru dan setiap
kali tatatan itu mencapai stabilitas, maka itu bermakna akan adanya tatanan baru
yang akan menggeser di waktu kemudian.
Kebudayaan manusia harus selalu siap untuk diuji, direvisi, diganti
sehingga melahirkan wujud baru sebagai hasil dari transformasi. Di dalam proses
perubahan kebudayaan unsur-unsur lama akan selalu ada bagian yang resisten.
Bagian yang resisten tersebut merupakan bagian yang sudah “mendarah daging
dalam kebudayaan”.
Sebagai ilustrasi, kalau kita mengkaji peta sejarah kebudayaan Jawa,
maka akan tampak bahwa di dalam setiap kurun sejarah akan selalu saja ada
unsur-unsur resisten yang berterima, meskipun hadir dalam kondisi yang baru,
meskipun unsur tersebut seringkali merupakan sesuatu yang kontradiktif.
Hal ini bisa kita lacak dari sejarah, misalnya munculnya Majapahit tetap
menonjolkan sisa-sisa Singasari. Raja Majapahit, Raden Wijaya, tidak lain
adalah pembawa bendera Singasari. Ketika Majapahit runtuh dan muncul
1 Bani Sudardi, FSSR Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
166
kerajaan Demak, maka penguasa Demak yang didukung oleh para wali tidak lain
adalah ”putra Majapahit”. Konon Raden Patah adalah putra Raja Majapahit.
Dalam bangunan, Masjid Demak pun masih mengadopsi arsitektur Majapahit
dengan masjid atap tumpang. Konon, menurut cerita rakyat, Kraton Majapahit
pun diboyong ke Demak dan dipasang di depan Masjid Demak dan satu umpak
saka tertinggal di Grobogan yang kemudian disebut sebagai watu bobot.
Hal lain yang menunjukan resistensi unsur Hindu di masa Islam adalah
bangunan menara di Masjid Kudus. Menara tersebut sama bentuknya dengan
bangunan Hindu Bali dewasa ini. Dalam hal tingkah laku, masyarakat Kudus
sampai saat ini (sebagian) masih pantang menyembelih sapi, bahkan untuk
korban Idul Adha sekalipun dan menggantinya dengan kerbau. Padahal sapi
adalah binatang yang dihalalkan dalam Islam dan menjadi salah satu nama surat,
yakni Surat Al-Baqarah (Sapi Betina).
Ilustrasi yang disampaikan di atas mengandung suatu pesan-pesan
tersirat dan tersurat bahwa manusia hidup ini di dalam ”keberlanjutan”.
Eksistensi kita ada tidak berawal dari Suwung atau kosong, tetapi kita hadir
dalam keadaan sudah memiliki Sangu (bekal) yang diberikan pendahulu-
pendahulu kita. Sangu tersebut adalah suatu hasil pergumulan yang dahsyat
sepanjang masa yang boleh jadi merupakan suatu kearifan yang sudah teruji.
Salah satu wujud Sangu adalah hal-hal yang tertuang dalam bahasa dan bahasa
itu sendiri. Di unsur-unsur budaya tersebut ada suatu pendidikan karakter yang
akan diuraikan berikut ini.
B. Bahasa
Bahasa adalah karunia yang diberikan kepada manusia yang memiliki
peran yang luar biasa dalam perkembangan kebudayaan. Boleh jadi, bahasa
inilah yang secara naluri membedakan manusia dari jenis mamalia. Bahasa inilah
yang boleh jadi yang merupakan pembeda antara hewan dan manusia. Kenapa?
Secara fisik, manusia dengan hewan tidaklah jauh berbeda, bahkan dengan
beberapa jenis simpanse, manusia memiliki kedekatan struktur. Namun, di muka
bumi hanyalah manusia yang secara kodrati memiliki bahasa. Hewan di
manapun berada tidak mengembangkan bahasa, tetapi jenis manusia di manapun
berada ternyata memiliki kemampuan bahasa, meskipun manusia tersebut
terisolir dari kebudayaan luar.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
167
Dengan bahasa manusia mampu berkomunikasi, menyimpan informasi,
mengekspresikan diri, memprediksi masa depan, atau dengan kata lain bisa
menciptakan ”manajemen kehidupan” yang lebih teratur. Kalau saya boleh sebut,
bahasa inilah Sangu/ bekal manusia dalam berbudaya. Bahasa mengekspresikan
gagasan-gagasan yang dimiliki suatu bangsa sesuatu dengan gagasan-gagasan
berdasarkan pengalaman sejarah suatu bangsa. Lewat bahasa ini pendidikan
karakter paling utama disampaikan.
Pendidikan karakter tampak dalam makna kemerdekaan. Sebagai
ilustrasi, bagi bangsa yang belum pernah dijajah, bisa jadi kata merdeka tidak
memiliki makna yang demikian menggetarkan hati. Tetapi bagi bangsa yang
pernah dijajah, sebagaimana bangsa Indonesia, kata merdeka memiliki makna
yang sangat dalam yang mampu menggetarkan hati, menggerakkan tenaga, dan
mempersatukan bangsa. Pekikakan Bung Karna, Bung Tomo, yang berteriak
”Merdeka” akan disambut menggema penuh makna, bahkan sampai menitikan
air mata Namun, mungkin makna tersebut akan jauh berbeda nuansa batinnya
bagi generasi muda dewasa ini yang menyaksikan makna pekik merdeka hanya
dari buku sejarah atau cerita perjuangan.Meskipun demikian, makan tersebut
patut ditransformasikan kepada generasi muda untuk mewarisi nilai-nilai
perjuangan yang harus ditranformasikan menjadi merdeka secara ekonomi,
merdeka secara politik, merdeka secara sistem, merdeka secara teknologi,
merdeka informasi, merdeka kesehatan, merdeka kekayaan, merdeka pengelollan
hutan, migas, merdeka modal kita. Sudahkah kita betul-betul merdeka. Masihkah
kita perlu memekik merdeka? Di dalam bahasa ada suatu pendidikan karakter
yang luar biasa yang dapat dimanfaatkan untuk membangun karakter bangsa.
C. Mencari Identitas
Pendidikan karakter yang sangat penting ialah memahami identitas diri.
Salah satu ciri kehidupan manusia yang membedakan dengan binatang ialah
dalam hal rumah. Bagi binatang, rumah ini sering disebut sarang. Secara fisik,
rumah binatang relatif sama sepanjang masa. Seekor burung manyar akan
membuat rumahnya sama dengan rumah yan telah diciptakan induknya ketika
dia belum menetas dan itu dikerjakan tanpa ”kursus” hanya berdasar naluri yang
dibawanya.
Tapi bagi manusia, kemampuan naluriah seperti itu tampaknya justru
meluntur. Untuk membuat rumah manusia mewarisi kemampuan yang dipelajari.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
168
Manusia ternyata mampu mengimitasi berbagai bentuk rumah yang ia lihat dan
manusia mampu mengkreasi. Fungsi rumah tidak hanya sebagai sarang tetapi
telah berkembang ke tataran spiritual. Dalam budaya Jawa, sebutan rumah ada 3,
yaitu omah, dalem, dan griya. Omah berari tempat, daem bermakna sebagai
tempat berteduh, sedangkan griya dari kata ”giri raya”, gunung besar yang
bermakna bahwa rumah adalah kayangan, tempat dewa bersemayam yang
memiliki makna bahwa rumah adalah imitasi kediaman para dewa yang damai,
kecukupan, dan sejahtera2.
Uraian di atas hanya ingin menfokuskan bahwa bagi seseorang, identitas
pribadi atau sosial bukan lagi pada aspek lahiriah, tetapi sudah ke aspek spiritual,
sebagaimana memaknai rumah yang bukan lagi berhenti pada arti tinggal, tetapi
sudah masuk ke tataran metafisis bahwa rumah adalah ibarat tempat tinggal
Dewa Syiwa dan penghuninya mengidentifikasikan sebagai Dewa Syiwa itu
sendiri.
Mengenai pentingnya rumah sebagai pusat pendidikan karakter dan pusat
identitas ini, dalam tunttunan agama Islam disebutkan ”rumahku surgaku”.
Artinya, dalam pendidikan karakter suatu tempat mukim adalah hal yang prinsip.
Hal ini diungkapkan dalam bahasa Jawa ”ora kabur kanginan”, yang bermakna
ada kepastian mukim.
D. Melacak Identitas Spiritual
Identitas dalam pendidikan karakter tidak berhenti pada aspek mukim,
rumah, atau tempat tinggal. Namun, pemahaman aspek historis sangat penting.
Masalah ini saya sebut sebagai Melacak identitas. Identitas spiritual manusia
memang perlu dilacak. Pelacakan mau tidak mau memang dititikberatkan pada
karya-karya tertulis, di antaranya naskah klasik. Kenapa naskah klasik? Karena
naskah klasik memerlukan penanganan khusus untuk memahaminya. Naskah
klasik sering sudah tidak dikenal oleh masyarakatnya. Untuk membaca dan
mengkajinya perlu waktu bersuntuk-suntuk, sementara masyarakat pemiliknya
kadangkala sudah tidak memperhatikan lagi. Sebagai contoh, naskah klasik Jawa
yang jumlahnya ribuan eksemplar mungkin sudah tidak dikenal lagi generasi
muda Jawa dewasa ini, bahkan kemungkinan besar mayoritas generasi muda
2 Sulistyono, Bambang F. Arti Rumah Bagi Keluarga: Tinjauan
Arsitektural. Haluan Sastra Budaya No. 55 Tahun XXVII Nopember 2009,
hal, 1.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
169
Jawa tidak memahami dengan baik tulisan Jawa (ha na ca ra ka). Ironisnya,
seringkali orang-orang asing yang jauh dari negeri seberang yang lahir dari
kebudayaan yang amat berbeda merelakan hidupnya untuk mempelajari naskah-
naskah klasik kita, bahkan selanjutnya mereka menjadi guru-guru kita dalam
menggali khasanah budaya masa lampau. Di sini kita memerlukan suatu
renaisans budaya untuk menghargai karya-karya tertulis kita.
Pertanyaan yang mudah sekali muncul: Untuk apa naskah-naskah klasik
dipelajari? Mempelajari naskah klasik memiliki relevansi secara teoretis dan
praktis. Secara teoretis, naskah klasik menyimpan berbagai informasi yang
berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kandungan
informasi yang dibawanya seperti sastra, sejarah, pengobatan, adat istiadat,
agama, dan sebagainya3. Di naskah klasik juga tersedia bahan-bahan bagi tujuan
praktis seperti menyusun gambaran masa lampau untuk kepentingan persatuan,
mencari nilai-nilai luhur masa lalu, membangun kebudayaan, mencari inspirasi,
dan sebagainya.
Beberapa konsep yang sekarang kita kenal betul sebenarnya bersumber
dari teks-teks klasik seperti bhineka tunggal ika, Pancasila, nusantara, adigang-
adigung adiguna, tirakatan, dan sebagainya. Pengetahuan sejarah Indonesia
masa lampau juga kita peroleh dengan agak lengkap berkat naskah-naskah
klasik, misalnya tentang petualangan Ken Arok yang fantastis (Pararaton),
kebesaran Majapahit (Negarakrtagama), masuknya Islam ke Aceh (Hikayat
Raja-Raja Pasai), hubungan Jawa dan Kalimantan (Hikayat Banjar), ajaran
Hamzah Fansuri dan Seh Siti Jenar, dan lain-lain. Artinya, kekayaan tertulis
tersebut sangat berharga sebagai penyedia data bagi penyusunan strategi
kebudayaan.
E. Strategi Kebudayaan
Strategi kebudayaan adalah suatu usaha manusia untuk menemukan
jawaban-jawaban tepat dan sikap yang paling dapat dipertanggungjawabkan
mengenai pertanyaan-pertanyaan besar yang berkaitan dengan kelangsungan
hidup manusia4. Strategi kebudayaan bersifat abstrak yang menjiwai berbagai
3 Soeratna, Siti Chamamah. Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan Transformasi
Produk Budaya. Pidato Pembukaan Kuliah 3 September 2003. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada 4 Peursen, C.A. van.. Strategi Kebudayaan. (Yogyakarta: Yayasan Kanisus. 1976),
hlm. 19.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
170
aktivitas keseharian. Strategi kebudayaan merupakan suatuh hal yang dinamis
seiring tantangan-tantangan budaya yang muncul di masyarakat.
Strategi kebudayaan tampak dalam berbagai bentuk hasil budaya. Cerita
kancil di Jawa adalah suatu bentuk pendidikan karakter. Tokoh yang dikenal
suka menipu lawan-lawannnya adalah cerminan strategi budaya masyarakat
Jawa. Cerita tersebut merupakan bentuk sikap budaya orang Jawa yang tidak
suka open conflict. Cerita ini berbeda dengan cerita kancil Melayu berjudul
Hikayat Pelanduk Jenaka yang di dalamnya kancil tampak dinamis, bahkan
bergelar Syah Alim Dirimba yang berhasil merajai hewan-hewan di belantara5.
Cerita kancil mengandung aspek pendidikan karakte ryang kental. Cerita
kancil yang suka menipu merefleksikan strategi kebudayaan orang Jawa yang
tidak suka konflik terbuka dan tidak berterus terang. Di dalam budaya Jawa,
menipu memiliki tingkat-tingkat hirarkis.
a. Menipu yang mulia yang disebur dora sembada (menipu untuk membela
kebaikan dan kebenaran).
b. Menipu yang dianggap biasa dan dapat membawa keberuntungan yang
dikenal goroh nguripi. Perbuatan ini adalah perbuatan pedagang dalam
membujuk pembelinya yang juga sering menggunakan kata-kata tipuan.
c. Menipu untuk menjaga kesopanan yang dikenal ulas-ulas. Misalnya
sebenarnya lapar, tetapi menyatakan kenyang, menyatakan nggih (ya), tetapi
sebenarnya tidak, dan sebagainya
d. Menipu yang tidak merugikan orang lain, tetapi tidak disenangi. Contoh
tindakan ini ialah umuk, yaitu menceritakan sesuatu yang tidak sesuai
dengan kenyataan. Umuk merupakan refleksi untuk menutupi kekurangan
pribadi seperti tercermin dalam ungkapan ”timbang mati ngantuk luwung
mati umuk” (daripada mati mengantuk lebih baik mati sombong”.
e. Menipu yang merugikan orang lain yang disebut apus-apus atau apus krama.
Tindakan ini adalah tindakan menipu yang menurut budaya Jawa dianggap
perbuatan yang tidak dapat dimaafkan.
Demikian contoh kecil pendidikan karakter melalui strategi kebudayaan
yang diambil dari budaya Jawa. Bagi orang yang belum memahami budaya
Jawa, perbuatan ”menipu” seperti itu mungkin dianggap perbuatan yang sangat
5 Dipodjojo, Asdi S. Sang Kancil: Tokoh Tjerita Binatang Indonesia. (Djakarta: Gunung
Agung.,1966)
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
171
menjengkelkan, tetapi bagi orang Jawa dianggap sesuatu yang biasa, wajar,
bahkan termasuk kesopanan.
Sementara itu, pelanduk (kancil Melayu) yang bergelar Syah Alim
Dirimba tidak lain merupakan refleksi strategi budaya Melayu yang condong ke
falsafah Islam seperti tercermindalam pepatah ”adat bersendikan syarak, syarak
bersendikan kitabullah”. Artinya, adat Melayu berdasarkan pada syariat Islam,
sementara syariat bersandar pada Al-Qur’an (Kitabullah). Karena itu, pelanduk
Melayu fasih pula mensitir ayat-ayat Al-Qur’an. Kearifan-kearifan tersebut perlu
digali dan dikaji. Bentuk kajian yang mula-mula memang harus dilacak dari
dunia tulis menulis yang terdapat di dalam tradisi Indonesia.
F. Menggali Nilai-nilai Karakter Bangsa dalam Budaya Lokal
Perkembangan budaya Indonesia dewasa ini tidaklah menggembirakan.
Kita melihat bahwa wakil-wakil rakyat kita sering tidaklah santun dalam
bersikap, tidaklah hormat dalam berbicara, nilai-nilai etika yang luhur dalam
budaya seolah-olah Sebagai ilustrasi, majelis kekuasaan tertinggi bangsa
Indonesia adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Sesuai namanya,
unsur musyawarah hendaknya menjadi semangat. Hal ini sesuai dengan
semangat luhur bangsa kita seperti dalam pepatah ” bulat air di pembuluh, bulat
kata di mufakat”. Untuk bisa mencapai mufakat, harus terbentuk internalisasi
diri atau pengendapan rohaniah seperti terungkap dalam pepatah Jawa ”bisa
rumangsa, ora rumangsa bisa” (mampu berintstropeksi dan tidak menonjolkan
diri”. Capaian mufakat merupakan sesuatu yang sangat bernilai daripada model
voting, misalnya, karena mufakat lebih terasa ”nguwongke” (menghargai) dan
sangat sesuai dengan prinsip ”kemanusiaan yang adil dan beradap”.
Kemampuan mencapai mufakat merupakan cerminan dari ”kelonggaran hati dan
kebesaran jiwa”. Orang yang berpikiran picik dan mementingkan diri sendiri
tentu tidak akan mampu membangun esensi kemufakatan, yaitu terbentuknya
harmoni baru yang menyejukan. Salahkah kalau nilai ini kita terapkan? Kenapa
kita mencaci maki saudara-saudar kita sendiri di depan publik demi suatu
popularitas?
Krisis yang saat ini juga dihadapi bangsa Indonesia adalah krisis
kepemimpinan. Yang menjadi pusat perhatian kita hanyalah pada bagaimana
”memilih pemimpin” dan tidak menyinggung ”pemimpin yang bagaimana yang
dipilih”. Karya-karya agung bangsa kita memberikan konsep pemimpin yang
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
172
seharusnya ”hambeg adil paramarta, bérbudi bawalekasana, bau denda
nyakrawati” yang adil, murah hati, penyayang, taat menjalankan aturan, dan
mampu menyelesaikan masalah”. Karena itu, gelaran raja Jawa adalah ”senapati
ing alaga, amirul mukminin, kalifatuloh, sayidin panatagama” (panglima dalam
peperangan. pimpinan orang beriman, penguasa kerajaan, pemimpin
keagamaan”. Sementara itu, Sejarah Melayu menyatakan bahwa pemimpin
adalah zilzullah fil alam (bayangan Allah di dunia). Sejarah Melayu
menggambarkan bahwa seorang pemimpin hendaknya berkasih sayang dengan
bawahannya. Sekali pemimpin berbuat aniaya pada bawahannya, maka itu
sebagai tanda awal kehancurannya.
Danang Sutawijaya adalah seorang hamba Sultan Pajang. Karena
kecerdasan otak dan kehalusan budinya, ia diangkat menjadi anak angkat Sultan
Pajang. Babad Tanah Jawi menggambarkan kegigihan Danang Sutawijaya yang
masih anak-anak dengan gagah berani melawan Harya Penangsang yang sakti.
Dengan cara tersebut Danang Sutawijaya berhasil memenangkan sayembara
memperoleh Alas Mentaok (Hutan Mentaok) yang angker kemudian bergelar
Panembahan Senopati. Dengan sabar ia membangun hutan menjadi perdikan dan
dengan sabar ia membangun hubungan baik dengan penguasa di sekitarnya
sehingga banyak penguasa takluk bukan karena perang, ”hamung kayungyun
marganing kautaman” (tertarik kebaikannya).
Kisah tersebut merupakan gambaran yang patut dicontoh bahwa dalam
mencapai cita-cita kesabaran memang perlu. Panembahan Senapati membangun
Mataram dengan penuh kesabaran, tetapi pada saat-saat diperlukan ia mampu
bertindak gesit yang digambarkan sebagai ”cukat trengginas kadya srikatan
nyamber walang”.
Kalau sementara ini dikatakan bahwa Panembahan Senapati mengawini
Ratu Kidul bahwa yang patut dicatat adalah kronologi kisah yang disebutkan
bahwa Ratu Kidul merasa kalah wibawa dengan Panembahan Senapati lalu Ratu
Kidul mengabdi kepadanya. Serat Wedhatama menyebutkan ”pamrihe mung
ameminta, supangate teki teki, nora ketang teken janggut suku jaja” (maksudnya
hanya meminta, manfaat laku prihatin, meskipun dengan susah payah).
G. Penutup
Di zaman ini seringkali kita menyaksikan bangsa kita membuang
pendidikan karakter miliknya yang sudah berabad-abad terbukti mampu
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
173
mempertahankan jati dirnya dan mengambil hal-hal dari luar yang baru, yang
pop, ngetrend, namun dalam aplikasi ternyata lebih banyak menimbulkan
masalah.
Saat ini adalah saat kita harus menghargai budaya kita sendiri untuk
membentuk karakter manusia Indonesia. Saat kita membangkitkan budaya kita
yang tertidur untuk membangun masa depan kita yang lebih cemerlang dan
berjati diri. Ilmu dan teknologi boleh kita kuasai, tetapi jati diri harus tetap kita
pertahankan dengan aneka kekayaan budaya yang bernilai.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Terjemahan S. Gunawan. Jakarta: Bhratara. Casparis, J.D. 1975. De. Indonesia Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the
Beginnings to C. A.D. 1500 . Leiden: E.J. Brill. Dipodjojo, Asdi S. 1966. Sang Kancil: Tokoh Tjerita Binatang Indonesia.
Djakarta: Gunung Agung. Hussein, Ismail. 1974. The Study of Traditional Malay Literature with A Selected
Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian
Pelajaran Malaysia. Jusuf, Jumsari. 1984. Aspek Humor dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
174
Khadiz, Antar Venus. 2003. “Jepang dalam Percaturan Bisnis Global: Suatu
Pendekatan Komunikasi Antar Budaya”. dalam Deddy Mulyana dkk.
Komuniasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Peursen, C.A. van. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Kanisus. Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar : A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus
Nijhoff. Reynolds, L.D. dan N.G. Wilson . 1974. Scribes and Scholars : A Guide to the
Transmission of Greek and Latin Literature. London: Oxford University Press. Situmorang, T.D. dan Teeuw, A. 1952. Sedjarah Melaju. Jakarta: Penerbit
Djambatan. Soeratna, Siti Chamamah. 2003. Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan
Transformasi Produk Budaya. Pidato Pembukaan Kuliah 3 September
2003. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Sudardi, Bani. 2003. Penggarapan Naskah. Surakarta: BPSI.
Sulistyono, Bambang F. Arti Rumah Bagi Keluarga: Tinjauan Arsitektural.
Haluan Sastra Budaya No. 55 Tahun XXVII Nopember 2009. Weddha Tama Jinarwa. Surakarta: Cendrawasih.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
175
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI WAHANA
PEMBENTUKAN KARAKTER
Ida Zahara Adibah1
Abstrak
Multikulturalisme di PT UNDARIS tidak hanya sebatas pada ragam budaya,
melainkan ragam pada berbagai aspek terutama berkaitan dengan pendidikan
yang dikembangkan oleh dosen agama sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Multikulturalisme secara praktis yang dimaksud adalah kemampuan dosen
maupun mahasiswa dalam mengadaptasikan dirinya pada lingkungan yang
didalamnya terdapat berbagai ragam budaya, daerah dan agama. Unsur
terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, yang didalamnya
terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan
pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang
akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi
prilakunya. Kesadaran adanya perbedaan keyakinan semakin lama dipahami
sebagai suatu keniscayaan, apalagi didorong oleh kondisi bahwa perbedaan itu
menjadi sebuah keindahan yang di sadari oleh dosen dan sivitas UNDARIS.
Komitmen untuk memiliki kemampuan menangkap perbedaan adalah salah satu
wahana pembentukan karakter.
Kata Kunci: Multikulturalisme, Karakter ,Dialog, Pendidikan Agama Islam,
A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sangat majemuk.
Kemajemukan bangsa Indonesia secara umum dapat dilihat dari sudut horisontal
seperti terdiri dari beragam suku dan ras, yang mumpunyai budaya, bahasa, nilai
dan agama atau keyakinan berbeda-beda. Sementara dari sudut vertikal,
kemajemukan bangsa indonesia dapat di amati dari tingkat perbedaan
pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.2
1 Ida Zahara Adibah, Universitas Darul Ulum Islamic Centre (Undaris) Semarang
2 Usman Pelly dan Asih Menanti, Teori-teori Sosial Budaya. (Jakarta: Dirjen Dikti
Depdikbud, 1994), hlm. 68.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
176
Karena faktor kemajemukan itulah sering terjadi tragedi sosial dan konflik antara
kelompok masyarakat yang mengobarkan sentimen primordialisme identitas
lokal masing-masing. Konflik antar etnis seperti tragedi kemanusiaan di Sambas,
Sampit, konflik antar agama seperti di Maluku, Poso dan Ambon, lepasnya
Timor-Timur, dan gejolak sosial yang tiada henti di Aceh dan Papua menjadi
betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikulturalisme dinegara kita.
Salah satu persoalan yang cukup mendasar dalam sikap keberagamaan
adalah menghilangkan isu perbedaan yang berakibat pada munculnya sebuah
konflik. Hal ini di karenakan ketika keberagamaan diupayakan untuk
dipersatukan bukanlah kedamaian yang dijadikan tujuan akhir, melainkan
munculnya masalah baru, hal ini disebabkan oleh adanya persepsi yang dijadikan
landasan berfikir tidak ”ketemu”. Sebagai contoh adalah menghilangkan
perbedaan dalam keberagamaan dan upaya “menyatukan agama melalui faham
pluralisme”. Dalam pandangan MUI, pluralisme adalah haram hukumnya karena
mengajarkan semua agama adalah sama dan setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedang agama yang lain
salah, hal ini memunculkan konsekwensi, bahwa kebenaran agama menjadi
relatif.3
Pemahaman dan penafsiran terhadap agama yang bersifat eksklusif
cenderung akan memunculkan klaim kebenaran tunggal. Klaim demikian itu
pada akhirnya memunculkan sikap tidak mengakui suatu kebenaran yang ada
pada budaya dan agama lain. Padahal pada masyarakat yang multikultural, yang
diperlukan adalah sikap adanya pengakuan dan penghargaan dalam merespons
keberagamaan. Pada sisi yang lain juga sering terjadi klaim kebenaran pada
sebuah ajaran dalam satu agama. Klaim kebenaran ini sering memunculkan
polemik pada tataran ulama maupun agamawan dan memicu perpecahan pada
tataran akar rumput yang sebenarnya hanya “mengamini” apa yang telah menjadi
fatwa dari yang ditokohkan.
Kita harus sadar, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian
jati diri bangsa Indonesia sangat penting, bahkan sangat mutlak dan mendesak
adanya. Hal ini cukup beralasan. Mengapa mutlak diperlukan ? karena adanya
krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini
3 Rofiq, Ahmad, Regulasi Konflik Agama Dalam Semangat Multikulturalisme, Makalah
Seminar yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang,
Tanggal 1 September 2005.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
177
belum ada solusi secara tegas dan jelas, lebih banyak berupa wacana yang
seolah-olah bangsa ini diajak dalam dunia mimpi.
Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan nasional
pada saat yang sama, tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan peran
pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas pada
transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan agama di Indonesia memikul
beban yang lebih berat. Pendidikan agama bukan hanya merupakan sarana
transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi sebagai pembudayaan yang
tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan
watak (nation and character building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi
nation building atau dalam bahasa lebih populer menuju rekonstruksi negara dan
bangsa yang lebih maju dan beradab.
UNDARIS adalah sebuah Perguruan Tinggi Swasta yang terletak di
Kabupaten Semarang Jawa Tengah Kabupaten Semarang adalah sebuah Wilayah
yang mayoritas beragama Islam, juga mayoritas dalam sebuah kultur budaya,
yaitu Islam Jawa. Sehingga tradisi Slametan, Tahlilan, Kenduren masih suka
dilaksanakan. Pada masyarakat pedesaan Mayoritas menggunakan bendera NU
sebagai organisasi dan faham keagamaanya. Sedangkan masyarakat yang hidup
di perkotaan cenderung beragam, ada yang berfaham Muhammadiyah, PKS ,
Hisbut Tahrir dan Abangan. Tetapi ada persoalan yang mengganjal, Sebagai
perguruan tinggi Undaris mempunyai peran yang strategis dalam mencetak
lulusan yang mempunyai kesadaran multikultur. Mahasiswa sebagai agen of
change yang di lahirkan dari perguruan tinggi harus memiliki karakter yang
bisa membawa bangsa Indonesia keluar dari konflik berkepanjangan. Persoalan
Pemilihan Kepala Daerah sering kali menggunakan cara-cara yang tidak
berakhlakul karimah. Agama seringkali digunakan oleh tokoh-tokoh agama
maupun pimpinan partai politik untuk di jadikan benturan dan tameng untuk
menggolkan masing-masing pasangan calon. Hal demikian menimbulkan friksi
baik dalam sesama pemeluk Agama maupun dengan agama lain. Kondisi yang
demikian bisa menimbulkan perpecahan dikalangan intern dan antar umat
beragama.
Untuk mengatasi persoalan di atas Undaris mencoba untuk menawarkan
solusi, yaitu dengan kajian yang mendalam dalam berbagai aspek sosial, budaya,
politik maupun aspek pendidikan. Salah satu kajian pada proses pembelajaran
agama di UNDARIS merupakan tawaran untuk bersikap egalilter dengan
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
178
menggunakan metode dialog. Untuk itulah penulis mencoba memaparkan hasil
kajian tentang bagaimana proses pembelajaran di UNDARIS.
B. Kerangka Teori
Pendidikan multikultural merupakan pendidikan tentang keragaman
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.4 Menurut Paul
Suparna5, Multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara
sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender,
bahasa, ataupun agama. Kesediaan dan sikap saling menghargai nilai, menerima
budaya, keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri.
Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk mengharapkan
orang lain menjadi seperti dirinya. Sikap saling mempengaruhi ini apabila tidak
di letakkan dalam standar saling menghormati dan menghargai maka yang terjadi
adalah konflik , pertengkaran, dan perpecahan.
Faktor pembentuk multikulturalisme atau keragaman kebudayaan itu
sendiri antara lain karena pertama, faktor kekuasaan dalam kerangka persaingan
dan perebutan hegemoni dan dominasi sebagai ekspesi politik, kedua, faham
keagamaan, baik dalam bentuk madzab fiqih maupun orde sufi. Faham-faham
keagamaan lebih memainkan peranan sentral dalam memberikan rasa spiritual,
ketiga, ciri-ciri demografis dan geografis yang menyebabkan sebagian
masyarakat muslim terisolasi dalam jangka waktu lama atau menyerah pada
kondisi-kondisi alamiah tertentu atau sebaliknya pada sebagian lain sangat
terbuka.6 Faktor ini secara jelas juga nampak pada gagasan dialog antar agama
yang selama ini lebih bersifat elitis-struktural sebagai hasil dari kolaborasi kaum
Agama formal besar dengan pemerintah orde baru dan dilihat dari sisi
pendidikan, agama-agama yang diberikan disekolah-sekolah selama ini dari
tingkatan Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT) adalah pendidikan
agama yang berwatak komunalistik7.
4 Azyumardi, Azra, Pendidikan Agama Membangun Multikultura Indonesia, Dalam
Zakiyuddin Baidhowy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005) 5 Paul Suparno, Pendidikan Multikultural, Kompas, 7 Januari 2003.
6 Zakiyuddin Baidhowy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. (Jakarta,
Erlangga), 2003. 7 Nurkholik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama Mempuperkan Agama
Kebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan. (Yogyakarta, Ar-Ruzz 2003).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
179
Dalam pendidikan multikultural terdapat lima dimensi yang saling
berkaitan, yaitu; (1) content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan
kelompok untuk mengiliutrasikan konsep mendasar, generalisasi teori dalam
mata pelajaran atau disiplin ilmu; (2) the knowledge constraction process,
membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata
pelajaran; (3) Anegrity paedagogy, menyesuaikan metode pelajaran dengan cara
belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam
baik dari segi ras, budaya maupun sosial; (4) prejudice reduction,
mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran
mereka; dan (5) melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berinteraksi
dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya
menciptakan budaya akademik8, dengan demikian pendidikan multikultur ini
haruslah melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam
setiap interaksi yang dilakukan diantara para guru , murid, dan keluarga serta
keseluruhan suasana belajar mengajar. Karena jenis pendidikan ini merupakan
pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat,
pendidikan multikultural mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi dalam
berkeadilan sosial.
Pendidikan multikultural akan tercipta bila semua pihak semua pihak
senantiasa menjungjung tinggi nilai- nilai, keyakinan, heterogenitas, dan
keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Sikap mau menghargai
keragaman ini memerlukan pengorbanan yang tinggi. Membangun pendidikan
karakter merupakan upaya yang harus dilakukan oleh semua pihak. Baik
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan
karakter tersebut ,tidak akan berhasil selama lingkungan pendidikan tidak ada
kesinambungan dan keharmonisan. Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak
semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu
penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Pemberian
penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman yang melanggar,
menumbuhkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan
mencegah berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan
pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan
kedalam setiap pelajaran yang ada disamping mata pelajaran khusus untuk
8 Zakiyuddin Baidhowy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. (Jakarta:
Erlangga), 2003.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
180
mendidik karakter, seperti; Pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan
sebagainya.
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, yang
didalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya,
merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem
kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa
mempengaruhi prilakunya. Tentang pikiran,9 mengatakan bahwa di dalam diri
manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda. Untuk
membedakan ciri tersebut, maka pikiran sadar disebut pikiran objektif dan
pikiran bawah sadar atau pikiran subyektif. Semakin banyak informasi yang
diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk,
maka semakin jelas tindakan, kebiasaan, karakter unik dari masing-masing
individu.
1. Kerangka operasional konsep
1) Pendidikan multikultural
Ada empat konsep yang dijadikan pedoman dalam tulisan ini, yaitu
konsep umum tentang pendidikan multikuluralisme, konsep Agama,
konsep multikulturalisme dan konsep pembentukan karakter. Pendidikan
multikultural merupakan strategi pembelajaran yang menjadikan latar
belakang budaya siswa yang beraneka ragam digunakan sebagai usaha
untuk meningkatkan pembelajaran siswa dikelas dan lingkungan sekolah.
Kondisi yang demikian itu dirancang untuk menunjang dan memperluas
konsep-konsep budaya, perbedaan, kesamaan,dan demokrasi. 10
Dengan
demikian pendidikan multikultural adalah sebagai sebuah sistem
pendidikan yang komplek yang memasukkan ide-ide dalam upaya
mempromosikan pluralisme budaya dan agama serta persamaan sosial.
Pendidikan ini tidak hanya mengacu pada terjadinya proses transformasi
pengetahuan semata dari dosen ke mahasiswa, tetapi lebih luas adalah
sebuah sistem pendidikan yang benar-benar mempunyai visi dan misi
pada upaya memberikan pemahaman tentang pluralisme budaya dan
persamaan sosial melalui materi kuliah yang tidak bias, kurikulum
9 Joseph Murphy D.R.S., Rahasia Kekuatan Pikiran Bawah Sadar, (Jakarta, Spektrum,
2002). 10
Donna M. Collmeck dan Philip C. Chinn, Multicultural Education In A Pluralistik
Society, 1998
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
181
inklusif, metode pembelajaran yang persuasif dan akomodatif, dilengkapi
dengan sarana dan prasarana yang kondusif
Ismail Faruqi menyebutkan, sebagaimana dikutip oleh sangkot,11
bahwa setidaknya ada empat (4) isu pokok yang dipandang sebagai
landasan normative pendidikan islam multikultural khususnya di bidang
keagamaan, yaitu ; 1) kesatuan dalam aspek ketuhanan dan wahyu, 2)
kesatuan kenabian, 3) tidak ada paksaan dalam beragama, dan 4)
pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Semua yang demikian disebut
normatif karena karena sudah merupakan ketetapan Tuhan. Masing-
masing klasifikasi didukung oleh teks (wahyu), kendati satu ayat dapat
saja berfungsi untuk justifikasi yang lain.
2) Konsep Agama
Konsep agama yang dikedepankan dalam penelitian ini agama
diartikan sebagai suatu sistem kepercayaan, acuan normatif yang
dijadikan pedoman hidup, meliputi perintah, larangan, dan petunjuk bagi
manusia dalam menjalani hidup kesehariannya dalam rangka
mendapatkan kebahagiaan lahir batin, dunia akhirat. Dalam konteks
sosial, agama dapat dijadikan sebagai perekat bagi kehidupan masyarakat
dalam kebersamaan persatuan dan kesatuan. Namun dalam kondisi dan
suasana tertentu agama bisa juga menjadi sumber munculnya konflik,
keretakan dan mala petaka. Menurut Mukti Ali, yang dikutip Anshori
bahwa tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional dari pada
membicarakan agama.12
Dalam rangka memberikan pemahaman kepada mahasiswa, tentang
nilai-nilai ajaran agama itu, membutuhkan adanya sistem pendidikan
yang mampu menjangkau tercapainya tatanan implementasi
kebersamaan, persatuan, kesatuan, dan saling menghormati antar
pemeluk agama dalam kehidupan sehari-hari. Agama didefinisikan lebih
kepada substansi ajaran yang secara langsung berhubungan dengan
materi kuliah dan kondisi interaksi sosial para mahasiswa.
11
Sangkot, “Landasan Normatif Pendidikan Agama Islam” dalam http://www.sangkot.
wordpress.com//2007/11/09 12
Endang S. Anshari, Ilmu Filsafat Dan Agama. (Surabaya: Bina Ilmu, 1990).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
182
3) Multikultulturalisme
Multikulturalisme diartikan dengan masyarakat yang mempunyai
ras, agama, bahasa, atau tradisi yang beragam. Sedangkan kata
“multikulturalisme” berarti keberagaman budaya, yang diartikan sebagai
gerakan sosial intelektual yang mempromosikan nilai-nilai keberagaman
sebagai prinsip inti dan menuntut adanya perlakuan yang sama terhadap
sesama kelompok budaya.13
Dengan demikian multikulturalisme
merupakan kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai
kesatuan tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnis maupun agama.
Kesadaran multikultural akan dapat berkembang dengan baik
apabila dilatihkan dan didikkan pada generasi muda dan mahasiswa lewat
pendidikan, salah satunya lewat dialog. Dengan pendidikan, sikap saling
menghargai terhadap perbedaan akan berkembang bila generasi muda
dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan
budaya lain bahkan melatihnya dalam hidup sehingga akan terbentuk
karakter yang baik.
4) Konsep pembentukan karakter.
Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan
menurut para ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan
kebiasaan yang mengarahkan tindakan seseorang atau individu. Karena
itu jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui,
maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap
untuk kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata
karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya
didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi
pemikiran karena sudah tertanam dalam pikiran,dan keduanya dapat
disebut kebiasaan yang baik atau akhlakul karimah. Untuk mewujudkan
pembentukan karakter yang efektif, Character Education Quality
Standards merekomendasikan 11 prinsip; 1) Mempromosikan nilai-nilai
dasar etika sebagai basis karakter, 2) mengidentifikasi karakter secara
komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan prilaku, 3)
Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk
membangun karakter, 4) Menciptakan komunikasi sekolah yang memiliki
kepedulian, 5) Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan
13
Robert R. Becker, The Social Work Dictionary, (Washington, NASW Pers, 2003).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
183
prilaku yang baik, 6) Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang
bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, 7)
Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari para siswa, 8)
memfungsikan seluruh staf akademika sebagai komunitas moral yang
berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia kepada nilai
dasar yang sama. 9) adanya pembagian kepemimpinan moral dan
dukungan luas dalam membangun inisiatif karakter, 10) Memfungsikan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membengun
karakter, 11) mengevaluasi karakter perguruan tinggi, fungsi staff
akademika sebagai pelaku karakter dan manifestasi karakter positif
dalam kehidupan mahasiswa.
Berangkat dari pemahaman diatas, maka yang dimaksud dengan
pendekatan multikutural sebagai wahana pembentukan karakter adalah
melalui sebuah dialog dalam pembelajaran. Dalam penelitian ini adalah
bagaimana implementasi pendidikan agama di perguruan tinggi dengan
wawasan multikultural pada perguruan tinggi UNDARIS UNGARAN.
Implementasi pendidikan tersebut terkait dengan materi keragaman
budaya dan agama di PT, metode pembelajaran yang di aplikasikan dosen
dalam kegiatan perkuliahan di kelas, sarana dan prasarana pendukungnya
serta lingkungan sosial.
C. Dinamika Pembelajaran Perkuliahan di UNDARIS UNGARAN
Universitas Darul Ulum Islamic Centre Sudirman GUPPI UNDARIS
terletak diwilayah Kabupaten Semarang. UNDARIS berdiri sejak tahun 1992
dengan pendiri K.H. M. Mansyur dan DR. KH. Mustain Romli. UNDARIS
merupakan salah satu Perguruan Tinggi Swasta di bawah Departemen
Pendidikan Nasional berdasarkan ijin KOPERTIS Wilayah V1 No. 1884/ K/
Kop. V1/ X1/ 1992, tertanggal 4 Nopember 1992. UNDARIS memiliki enam
fakultas yaitu : Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Fakultas Agama Islam, Fakultas Peternakan dan Fakultas Ekonomi.
Sebagai Perguruan Tinggi yang mempunyai Motto Perguruan Tinggi Berbasis
Keislaman dan Kewirausahaan, UNDARIS senantiasa Mengembangkan
penyelenggaraan pendidikan dengan penuh komitmen, peran dan Tanggung
jawab. Tanggung Jawab tersebut dalam Bidang pengajaran, Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat dengan bertumpu pada kebebasan yang bertanggung
jawab dan berlandaskan pada kaidah moral Pancasila serta kaidah Islam. Visi
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
184
UNDARIS adalah menjadi lembaga pendidikan tinggi yang unggul dalam
penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang berbasis kemasyarakatan
dan pengamalan iman dan taqwa. Misi UNDARIS adalah memajukan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang mendorong prestasi
setinggi –tingginya, dengan berorientasi pada nilai-nilai keislaman, otonomi
daerah, penjaminan mutu, dan pengelolaan secara terpadu.
Sebagai Perguruan Tinggi Islam, ternyata menarik sejumlah minat
mahasiswa Non Muslim untuk masuk di UNDARIS. Jumlah mahasiswa non
muslim yaitu Kristen dan Katolik sejumlah 5 %. Adapun Kurikulum yang
diterapkan di UNDARIS, mata kuliah Agama Islam Wajib di tempuh oleh setiap
mahasiswa pada masing-masing Program Studi. Walaupun demikian mahasiswa
non muslim di beri kebebasan untuk tidak mengikuti mata kuliah Agama.
D. Model pembelajaran mata kuliah Agama
Metode mengajar yang penulis lakukan dalam proses perkuliahan adalah
dengan menggunakan metode diskusi. Hal ini dilakukan sebagai langkah untuk
mengajak siswa mendiskusikan beberapa pokok masalah yang terkandung dalam
materi pelajaran. Hal ini sangat mendudukung mahasiswa bagaimana mereka
bisa berfikir yang sistematis, meskipun dalam penejaman materi kuliah atau bab-
bab tertentu penulis memberikan indoktrinasi, apabila pendapat dari mahasiswa
bertentangan dengan konsep dasar materi agama.
Penggunaan metode diskusi dilakukan dengan alasan pembelajaran di
perguruan tinggi lebih pas menggunakan metode dialog dengan mengedepankan
rasa menghargai dan tidak menjatuhkan teman yang lain. Model pembelajaran
ini lebih pas “dimainkan” logika dengan diskusi bukan dengan dalil-dalil,
meskipun dalil-dalil naqli sangat penting, akan tetapi ketika mahasiswa diajak
untuk berfikir dan berdiskusi akan lebih mengena dan membekas. Diskusi dalam
model pembelajaran materi agama memang lebih disukai oleh mahasiswa,
mengingat mahasiswa dengan latar budaya dan tingkat pemahaman agama yang
beragam sehingga memunculkan sikap yang berbeda dalam prilaku
keberagamaan mereka. Ada beberapa metode pembelajaran materi agama sesuai
silabus yang diberikan kepada mahasiswa, yaitu ceramah, diskusi, problem
solving, dan presentasi makalah. Metode ceramah biasa digunakan sebagai
pembuka atau materi-materi yang bersifat deskripsi, seperti materi keimanan.
Metode diskusi sering digunakan kepada mahasiswa ketika pembehasan yang
mengandung penafsiran. sebagai contoh berkaitan dengan masalah khilafiyah.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
185
Sebagai contoh membicarakan tentang hukum memperingati Maulid Nabi
Muhammad SAW sebagai hari besar Islam ada mahasiswa yang mempunyai
pendapat bahwa itu bid’ah, tetapi ada sebagian mahasiswa yang lain mengatakan
bahwa itu melaksanakan tradisi para ulama dahulu. Pada awalnya diskusi
berjalan baik, akan tetapi setelah melalui perdebatan yang panas dan karakter
mahasiswa sifatnya emosional, maka akhirnya saling menyerang dan
menjatuhkan sesuai tingkat pemahaman mereka terhadap topik yang dibicarakan.
Proses diskusi itu pada akhirnya mahasiswa saling menghargai pendapat dan
argumentasi dari teman lainya, walaupun di Kabupaten Semarang mayoritas
masyarakat muslim masih melaksanakan peringatan Maulid Nabi Muahammad
SAW. Metode problem solving di gunakan untuk menjawab persoalan-
persoalan yang terjadi di lingkungan tempat tinggal mahasiswa, seperti
perjudian, narkoba, pelecehan seksual, pencurian yang dilakukan anak dibawah
umur dan sebagainya. Model itu diterapkan agar mahasiswa mempunyai
kepekaan terhadap kejahatan yang timbul dari latar belakang sosial yang
berbeda, budaya, tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan yang berbeda.
Permasalahan pelanggaran norma itu kalau tidak segera di cari model
pencegahanya, maka akan menjadi penyakit sosial yang menimbulkan
disintegrasi bangsa.
E. Pemahaman Materi Agama dalam Proses P embelajaran
Pemahaman tentang Materi Agama dalam pelaksanaan pembelajaran di
kelas secara umum sebenarnya berjalan cukup baik dan sesuai dengan
kurikulum, hanya saja dalam beberapa sisi terdapat perbedaan pemahaman yang
perlu didiskusikan untuk mengajak para mahasiswa tentang adanya perbedaan
dalam beberapa aspek ajaran dalam Agama. Hal seperti ini tidak saja terjadi
antara sesama mahasiswa, akan tetapi pandangan dari dosen dan mahasiswa yang
berbeda.
Dalam pembelajaran Agama Islam yang sering memunculkan pemahaman
yang berbeda antara guru dan siswa antara lain masalah Tahlil, Maulid Nabi,
penentuan Puasa dan Hari raya, Hubungan dengan Agama Non Muslim.
Permasalahan diatas menjadi sangat penting untuk didiskusikan dalam rangka
proses pembelajaran yang berorientasi pada wawasan pemahaman itu sendiri,
sehingga sikap saling menyalahkan dan menyerang kelompok lain yang akan
menimbulkan destruktif akan terkurangi.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
186
1. Tahlil.
Kegiatan Tahlil yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sepertinya
sudah mendarah daging dan sulit untuk dihentikan. Kegiatan tahlil dianggap
masyarakat sebagai bentuk ibadah yang wajib dilakukan baik dalam
pengajian-pengajian, yasinan, kenduri, dan upacara kematian dalam bentuk
tiga hari, tujuh hari sampai seratus hari. Tahlil selalu ada perbedaan baik
yang setuju kegiatan itu dilakukan untuk mendoakan arwah yang sudah
meninggal dan yang tidak setuju kegiatan tahlil dilakukan dengan alasan
bahwa setiap orang yang sudah meninggal terputuslah amalnya kecuali; ilmu
yang bermanfaat yang pernah dilakukan, sodaqoh atau amal jariyah, dan doa
anak yang sholeh. Di UNDARIS, pembicaraan masalah kegiatan tahlil hanya
pada tataran pengetahuan dan diserahkan kepada mahasiswa sesuai dengan
pemahaman yang dianutnya. Pada tataran dialog mahasiswa diuntungkan
dengan lembaga amalan Islam yang merupakan Unit Kegiatan bidang
Kerokhanian dalam organisasi BEM.
2. Maulid Nabi Muhammad SAW
Pemahaman terhadap pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW
terdapat perbedaan dalam prakteknya. Perbedaan yang terjadi pada lembaga
pendidikan di UNDARIS ini pada awalnya hanya sebuah wacana untuk
memperluas wawasan mahasiswa, karena diakui bahwa realitas dimasyarakat
kita secara umum melaksanakan Maulid Nabi Muhammad SAW pada satu
sisi dan tidak setuju dengan perayaan tersebut pada sisi yang lain. Untuk
mempertajam wawasan ini agar mahasiswa tidak terjebak pada pemahaman
yang sempit maka didiskusikan, dan sebagai seorang dosen penulis mencoba
menghilangkan pandangan bahwa yang tidak setuju maupun yang setuju
tidak mengklaim bahwa pendapatnya yang paling benar. Penulis
menginginkan adanya perubahan kerangka berfikir dalam menilai kebenaran
yang masih bersifat nisbi atau tidak absolut.
3. Penentuan Puasa Ramadhan dan Hari Raya
Menyambut bulan ramadhan adalah sebuah kegiatan yang ditunggu oleh
masyarakat muslim di Indonesia bahkan di dunia. Masyarakat awan maupun
intelektual tidak mungkin bisa menentukan sendiri kapan datangnya bulan
puasa, kapan berakhirnya sehingga bisa mengakhiri puasanya atau datangnya
hari raya. Pada sebagian Negara–negara Timur Tengah. Penentuan puasa dan
hari raya di lakukan oleh pemerintah. Sementara di Negara Eropa dan Asia
penentuan hari raya dan puasa oleh mufti, organisasi keagamaan, atau fatwa
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
187
MUI. Persoalannya adalah terjadinya perbedaan dalam mengawali puasa dan
mengakhirinya. Perbedaan tersebut terletak dalam metode pengambilan
penetapan hukum kapan dimulainya bulan puasa. Sebagian menggunakan
metode hisab yaitu perhitungan, sebagian yang lain menggunakan metode
rukyat yaitu melihat bulan secara langsung. Dalam menyikapi perbedaan ini
mahasiswa penulis ajak untuk membaca literatur yang memadai, kemudian
saya ajak untuk berdialog. Masing masing mahasiswa baik yang sepakat
dengan metode rukyat maupun hisab ataupun yang tidak setuju, mempunyai
kerangka berfikir bahwa masing-masing metode tersebut dapat dipersatukan
yaitu dengan metode hisab rukyat.
4. Pemahaman Antara Agama Islam dan Non Islam Dalam Proses Pembelajaran
Pada tataran praktis maupun dalam realitas sosial, Agama bukan sesuatu
yang perlu diperdebatkan melainkan dihayati dan dihidupi. Menurut Endang
S. Anshari, bahwa agama adalah sesuatu pengalaman batini dan bersifat
subyektif dan sangat individualis sehingga tidak ada seorangpun yang bicara
begitu bersemangat dan lebih emosional lebih dari pada membicarakan
agama.14
Namun demikian, pada tataran proses pembelajaran pada
mahasiswa, maka agama terutama ajaran-ajaranya menjadi “menarik” untuk
didiskusikan. Inilah yang menurut sebagian mahasiswa perlu ada perubahan
kerangka pola pikir untuk menilai sebuah kebenaran agama. Kebenaran
agama adalah sesuatu yang mutlak bagi pemeluknya, akan tetapi ketika
berbicara tentang ajaran agama maka memunculkan pemahaman-pemahaman
yang kadang berbeda. Kita menyadari bahwa dalam satu agama terdapat
beberapa ajaran yang bersifat subyektif dan sikap subjektif inilah yang selalu
menjadi perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan patut disyukuri
sehingga tidak ada satu alasanpun untuk menyatukan perbedaan tersebut.
Proses pembelajaran agama yang terkait dengan pemahaman dalam ajaran
agama Islam apapun yang termasuk dalam kurikulum tetap disampaikan.
Sedangkan diluar agama Islam dosen tidak mengajarkan secara langsung.
Penulis hanya menekankan untuk bersikap mau hidup berdampingan dan
menghargai agama lain. Bagi mahasiswa perlu tekankan bahwa selama proses
pembelajaran sebagai bagian dari menjaga keyakinan diri sendiri itulah yang
ditekankan. Selain pembelajaran yang tidak lepas dari kurikulum yang ada.
14
Endang S. Anshari. Ilmu Filsafat Dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
188
F. Multikulturalisme sebagai wahana Pembentukan Karakter
Multikulturalisme di PT UNDARIS tidak hanya sebatas pada ragam
budaya, melainkan ragam pada berbagai aspek terutama berkaitan dengan
pendidikan yang dikembangkan oleh dosen agama sebagai pendidik di perguruan
tinggi. Multikulturalisme secara praktis yang dimaksud adalah kemampuan
dosen maupun mahasiswa dalam mengadaptasikan dirinya pada lingkungan yang
didalamnya terdapat berbagai ragam budaya, daerah dan agama.
Kesadaran adanya perbedaan keyakinan semakin lama dipahami sebagai
suatu keniscayaan, apalagi didorong oleh kondisi bahwa perbedaan itu menjadi
sebuah keindahan yang di sadari oleh dosen dan sivitas UNDARIS. Komitmen
untuk memiliki kemampuan menangkap perbedaan adalah salah satu wahana
pembentukan karakter. Keberhasilan Pembentukan Karakter Peserta didik di
mulai dari keteladanan guru dalam membumikan nilai-nilai multikultural dalam
kehidupan sehari- hari sangat diperlukan demi keberhasilan penerapan
pendidikan multikultural itu. Satu hal lagi yang sering terlewatkan ketika
mendiskusikan konsep pendidikan multikulturalisme, yaitu eksistensi pendidik
harus diakui memegang peran yang sangat dominan dalam keberhasilan
implementasi pendidikan multikultural ini. Khususnya dosen agama lebih
menjelaskan kepada siswa sesuai dengan kurikulum yang ada dan apabila sampai
pada batas keyakinan agama lain hanya sebatas pengetahuan.
Pendidikan karakter tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi sebuah
perjalanan tanpa akhir, petualangan tanpa batas. Indonesia Heritage Foundation
merumuskan sembilan karakter dasar yang menjadi tujuan pembentukan
karakter yaitu : 1) Cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, 2) Tanggung
jawab, disiplin dan mandiri, 3) Jujur, 4) Hormat dan santun, 5) Kasih sayang,
peduli, dan kerja sama, 6) Percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang
menyerah, 7) Keadilan dan kepemimpinan, 8) Baik dan rendah hati, 9) Toleransi,
cinta damai dan persatuan.
G. Simpulan
Secara umum pemahaman agama dalam pelaksanaan pembelajaran agama
di UNDARIS berjalan cukup baik dan sesuai kurikulum. Begitu juga hubungan
antara dosen maupun mahasiswa yang berbeda agama sangat kondusif, baik
interaksi di dalam kelas maupun di luar kelas.
Proses pembelajaran agama yang terkait dengan pemahaman dalam ajaran
agama Islam apapun yang termasuk dalam kurikulum tetap disampaikan,
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
189
sedangkan diluar agama Islam, dosen tidak menyampaikan atau memberi
pemahaman tentang ajaran-ajarannya secara langsung. Pemahaman agama yang
disampaikan kepada mahasiswa antara yang Islam dan Non Islam hanya sebatas
keberadaan di luar agama Islam yang berkembang. Hal ini dilakukan karena
Mata kuliah Agama yang di sampaikan kepada Mahasiswa bersifat umum, bukan
mata kuliah khusus yang dimasukkan dalam kurikulum program studi pada
Fakultas Agama Islam, seperti mata kuliah Perbandingan Agama.
Multikulturalisme di UNDARIS terbentuk karena segenap civitas
akademika dalam hal ini dosen dan mahasiswa memiliki kemampuan dalam
mengadaptasikan dirinya pada lingkungannya yang didalamnya terdapat
berbagai budaya, pemahaman agama, daerah yang berbeda. Pandangan tentang
pendidikan multikulturalisme terutama bagi dosen maupun mahasiswa yang
beragama Islam terbentuk karena adanya perbedaan, baik secara mendasar
(berkaitan dengan ketauhidan dan keimanan) maupun berkaitan dengan furu’iyah
(cabang-cabang suatu ajaran) dari sebuah faham keagamaan, baik dalam bentuk
madzhab fiqih, maupun tingkat pemahaman terhadap ajaran yang berbeda.
Pembentukan karakter lewat pendidikan multikultural membentu
mahasiswa mengerti, menerima dan menghargai orang yang dari suku, budaya,
nilai, agama yang berbeda. Untuk itu, mahasiswa perlu diajak melihat nilai
budaya lain, sehingga mengerti secara mendalam, dan akhirnya dapat
menghargainya.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
190
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi, Azra, 2005. Pendidikan Agama Membangun Multikultura Indonesia,
dalam Zakiyuddin Baidhowy, Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural, Erlangga, Jakarta.
Ahmad Rofiq, Regulasi Konflik Agama Dalam Semangat Multikulturalisme,
Makalah Seminar yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama Semarang, Tanggal 1 September 2005.
Donna M. Collmeck dan Philip C. Chinn, 1998.Multicultural Education In A
Pluralistik Society.
Endang S. Anshari, , 1990. Ilmu Filsafat Dan Agama, Bina Ilmu, Surabaya.
Joseph Murphy D.R.S., Rahasia Kekuatan Pikiran Bawah Sadar, (Jakarta,
Spektrum, 2002).
Mu’nim A. Sirry, Agama, Demokrasi, dan Multikulturalisme, Kompas, 1 Mei
2003.
Nurkholik Ridwan, 2003. Detik-Detik Pembongkaran Agama Mempuperkan
Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan, Ar-Ruzz,
Yogyakarta.
Paul Suparno, Pendidikan Multikultural, Kompas, 7 Januari 2003
Robert R. Becker, The Social Work Dictionary, Washington, NASW Pers, 2003.
Sangkot, “Landasan Normatif Pendidikan Agama Islam” dalam
http://www.sangkot.wordpress.com//2007/11/09
Usman Pelly dan Asih Menanti, Teori-teori Sosial Budaya (Jakarta: Dirjen Dikti
Depdikbud, 1994
Zaliyuddin Baidhowy, 2005.Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural,
Erlangga, Jakarta.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
191
MENUMBUHKAN KEBERANIAN BERPENDAPAT
MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF THINK PAIR SHARE
Endang Puji Lestari1
Abstract
This research is to get courage on the arguments and to increase the result of the
students learning in studying the opinion of freedom expression material to the
seventh grade students H Junior High School Students 3 Taman Pemalang on
the second semester in the academic year 2011/2012 through “think pair share”
learning model . This research was conducted in to two cycles. The subjects of
the research is the seventh grade students H SMP Negeri 3 Taman Pemalang, it
is about 40 students. The data was collected by using a test. The test includes
written test and non-test techniques such as observation , questionnaires and
interview. The data were obtained and analyzed with descriptive comparative
analysis. It is intended to compare between the first conditions and the result is
achieved by the target. The result analysis shows that the courage opinion
students in the learning process increasingly from pre-cycle ( 10 % ) , the first
cycle ( 22.5 % ) and the second cycle ( 55 % ) . The result student learning also
increase from pre-cycle ( 40 % ) , the first cycle ( 57.5 % ) and the second cycle (
87.5 % ) . The above results show that the learning model think pair share is
able to get courage on the argument and to increase the result student learning
is higher 2.5 % than a pre-determined limit is completed 85 %.
Key words: the courage of the argument, civic education lesson, think pair share
A. Pendahuluan
Dalam kurikulum KTSP TAHUN 2006 dijelaskan bahwa Pendidikan di
Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara
yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan NKRI.
Tujuan Mata Pelajaran PKn diantaranya adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam
menanggapi isu kewarganegaraan. Oleh karena itu ruang lingkup mata pelajaran
PKn antara lain menyangkut aspek-aspek sebagai kebutuhan warga negara yang
salah satunya adalah kemerdekaan mengeluarkan pendapat.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, jumlah siswa yang berani
mengemukakan pendapat ataupun mengajukan pertanyaan pada saat proses
1 Endang Puji Lestari, SMP N 3 Taman Pemalang
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
192
belajar mengajar cenderung sedikit ( rata-rata 10 % ). Siswa hanya mau
menyampaikan pendapat jika ditunjuk bahkan harus dipaksa oleh guru. Padahal
keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar sangat penting untuk
mengembangkan kreatifitas siswa. Hal ini mungkin disebabkan karena dalam
pembelajaran, siswa diposisikan sebagai obyek, sedangkan guru memposisikan
diri sebagai subyek pembelajaran. Akibatnya guru lebih aktif dan dominan dalam
proses pembelajaran. Selain itu, metode pembelajaran yang sering digunakan
oleh peneliti dalam pembelajaran adalah ceramah diselingi tanya jawab,
pemberian tugas dan diskusi. Seringnya menggunakan metode ceramah yang
diselingi tanya jawab, pemberian tugas, dan diskusi yang kurang terarah dalam
pembelajaran mengakibatkan siswa kurang aktif.
Pembelajaran satu arah yang dikembangkan guru selain membosankan
dan kurang efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran juga berakibat kurang
aktifnya siswa dalam mengikuti pembelajaran, kurang berani mengemukakan
pendapat dan mengambil keputusan, malas bertanya dan menjawab pertanyaan,
kurang serius dalam mengikuti pelajaran, kurang berminat dan termotivasi dalam
belajar, serta kurang menghargai dan bekerjasama dengan guru maupun siswa
yang lain.
Apabila kenyataan pembelajaran yang demikian itu terus berlangsung
tanpa adanya usaha perbaikan, jelas akan merugikan guru maupun siswa.
Kerugian itu meliputi 1) kurangnya interaksi antara guru dengan siswa maupun
antara siswa dengan siswa, 2) proses pembelajaran membosankan bagi siswa
sehingga siswa kurang termotivasi untuk mengikuti pelajaran, 3) siswa kurang
memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat maupun mengajukan
pertanyaan di depan kelas, 4) siswa kurang bisa menerapkan sikap-sikap positif
dari materi pelajaran yang dipelajari dalam sikap perilaku sehari-hari, 5) secara
klasikal dengan KKM 75 hanya tercapai 40% ,berarti masih kurang 45% dari
ketuntasan klasikal yang telah ditetapkan yaitu 85%.
Sebagai solusi untuk memperbaiki pembelajaran tersebut maka dapat
digunakan model pembelajaran kooperatif think pair share.
Fogarty dan Robin2 menyatakan bahwa teknik belajar mengajar think pair share
mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut:
1. Mudah dilaksanakan dalam kelas yang besar,
2. Memberikan waktu kepada siswa untuk merefleksikan isi materi pelajaran,
2 Fogarty dan Robin.(1996). Think/Pair/Share. [online]. Tersedia: www.Broward
kl2.fl.us/Ci/Whatsnew/strategies and such/ strategies/thinkpairshare.html [2 November 2009]
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
193
3. Memberikan waktu kepada siswa untuk melatih mengeluarkan pendapat
sebelum berbagi dengan kelompok kecil atau kelas secara keseluruhan.
Dengan teknik belajar mengajar think pair share yang disebutkan Fogarty
dan Robin siswa dilatih untuk banyak berfikir dan saling tukar pendapat baik
dengan teman sebangku ataupun dengan teman sekelas sehingga dapat
menumbuhkan keberanian siswa untuk menyampaikan pendapat .
Page Smith3 mengatakan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan
yang dirancang untuk menghasilkan manusia sejati, harus memasukkan ajaran
untuk berani. Tanpa keberanian, kita tidak dapat berkreasi. Menurut Munandar,4
salah satu ciri orang yang kreatif yaitu bebas dalam menyampaikan pendapat.
Jadi keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat di depan kelas merupakan
bentuk kreativitas siswa dalam proses belajar mengajar.
Berdasar latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah melalui model pembelajaran kooperatif think pair share dapat
menumbuhkan keberanian berpendapat dalam pembelajaran materi
kemerdekaan mengemukakan pendapat pada siswa kelas VII H SMP Negeri 3
Taman Pemalang Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012 ?
2. Apakah melalui model pembelajaran kooperatif think pair share dapat
meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran materi kemerdekaan
mengemukakan pendapat pada siswa Kelas VII H SMP Negeri 3 Taman
Pemalang Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012 ?
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menumbuhkan keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat dalam
pembelajaran materi kemerdekaan mengemukakan pendapat pada siswa kelas
VII H SMP Negeri 3 Taman Pemalang semester II tahun pelajaran 2011/2012
melalui model pembelajaran think pair share;
2. Meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran materi kemerdekaan
mengemukakan pendapat pada siswa Kelas VII H SMP Negeri 3 Taman
Pemalang Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012.
3 Meier, Dave..The Accelerated Learning Handbook. (Bandung: PT MizanPustaka, 2005),
hlm 308. 4 Idrus, Muhammad.. Laporan Penelitian Kreativitas Siswa SLTPN 2 dan SLTPN 4
Kotamadya Yogyakarta. (Yogyakarta :Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta.2000), hlm. 11.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
194
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :
1. Kegiatan belajar mengajar lebih menyenangkan sehingga siswa akan lebih
termotivasi untuk mengikuti pelajaran;
2. Siswa memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat pada saat
berlangsungnya proses belajar mengajar sehingga siswa terbiasa berpikir
kreatif;
3. Meningkatnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran kemerdekaan
mengemukakan pendapat pada siswa Kelas VII H SMP Negeri 3 Taman
Pemalang Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012;
4. guru berkesempatan untuk mengembangkan berbagai teknik pembelajaran
yang efektif dan menyenangkan sehingga guru dapat meningkatkan
kemampuan mengajarnya dan secara tidak langsung dapat meningkatkan
mutu sekolah.
B. Metode Penelitian
1. Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada kelas VII H SMP Negeri 3 Taman
pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan semester II tahun
pelajaran 2011/2012. Kompetensi dasar yang akan diteliti yaitu
Mengaktualisasikan kemerdekaan mengemukakan pendapat secara bebas
dan bertanggung jawab. Kondisi siswa kelas ini secara akademik memiliki
kemampuan baik.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April,Mei ,Juni, dan Juli 2012,
dengan perincian sebagai berikut:
1) Tahap persiapan, minggu ke 1 sampai ke 2 bulan April
2) Tahap pelaksanaan, minggu ke 3 bulan April, sampai minggu ke 1 bulan
Juni
3) Tahap penyusunan laporan, minggu ke 2 bulan Juni sampai minggu ke 4
bulan Juli
3. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah siswa kelas VII H SMP Negeri 3 Taman
dengan jumlah 40 siswa yang terdiri dari 16 laki-laki dan 24 perempuan.
Kemampuan akademik siswa dan latar belakang sosial ekonomi siswa
heterogen.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
195
Kelas VII H dijadikan subyek penelitian dengan pertimbangan bahwa di
kelas tersebut keaktifan siswanya lebih rendah daripada kelas yang lain dan
siswa kurang berani mengemukakan pendapat di depan umum (kelas).
4. Teknik dan Alat Pengumpul Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini ada dua macam yaitu :
1) Teknik tes
Teknik penilaian dengan teknik tes adalah untuk mengetahui :
a. Tingkat kemampuan awal siswa
b. Hasil belajar siswa
c. Pertumbuhan dan perkembangan prestasi siswa
Tes yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 2 cara, yaitu :
a. Tes tertulis
Tes tertulis yang digunakan adalah soal tes bentuk pilihan ganda.
b. Tes perbuatan atau unjuk kerja
Tes perbuatan atau unjuk kerja merupakan tes yang dilaksanakan
dengan jawaban menggunakan perbuatan, tindakan, atau unjuk kerja, dan
ini berfungsi sebagai penilaian terhadap kemampuan kinerja.
2) Teknik bukan tes
Teknik bukan tes digunakan untuk mengumpulkan data yang
diambil dari hasil observasi lembar pengamatan, angket siswa dan
wawancara terhadap pelaksanaan model pembelajaran think pair share.
Alat yang digunakan berupa panduan observasi, daftar pertanyaan atau
angket yang disusun dalam bentuk chek list atau skala penilaian dan
panduan wawancara terhadap siswa.
5. Validitas Data
Peneliti menggunakan teknik triangulasi sebagai teknik untuk mengecek
keabsahan data. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam
membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian.5
Dengan menggunakan metode triangulasi yakni penggabungan dua metode
dalam satu penelitian diharapkan mendapatkan hasil yang lebih baik apabila
dibandingkan dengan menggunakan satu metode saja dalam suatu penelitian.
5 Moloeng, lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung :Remaja Rosdakarya. 2004),
hlm. 330
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
196
Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda6 yaitu
wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan untuk
mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data.
Denzin7 (dalam Moloeng, 2004), membedakan empat macam triangulasi
diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan
teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti
hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber.
Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam penelitian kualitatif.8
Dalam mengecek keabsahan atau validitas data menggunakan teknik
triangulasi. data atau informasi dari satu pihak harus dichek kebenarannya
dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain. Cara ini bisa mencegah
terjadinya subyektifitas pengambilan data.
6. Analisis Data
1) Persentase aktivitas siswa = N
n X 100%
n : jumlah siswa yang melakukan aktivitas
N : jumlah seluruh siswa
2) Hasil belajar siswa
∑ X
Rata-rata hasil belajar siswa (X) = ____
N
∑X: jumlah nilai seluruh siswa
N : jumlah seluruh siswa
3) Persentase aktivitas guru = N
n X 100%
n : jumlah skor aspek kinerja guru
N : jumlah skor maksimal
6 Nasution, Prof. Dr. S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. (Bandung : Tarsito.
2003), hlm. 115 7 Moloeng, lexy J. MetodePenelitianKualitatif. (Bandung :Remaja Rosdakarya, 2004.)
8 Ibid, hlm. 331
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
197
C. Hasil Penelitian
Sebagaimana telah disinggung pada latar belakang diatas, bahwa jumlah
siswa yang berani mengemukakan pendapat ataupun mengajukan pertanyaan
pada saat proses belajar mengajar sangat minim. Menurut pengamatan peneliti,
jumlah siswa yang berani mengemukakan pendapat ataupun mengajukan
pertanyaan pada saat proses belajar mengajar cenderung sedikit ( rata-rata
10 % ).
Setelah guru menerapkan model pembelajaran think pair share dapat
diketahui keberhasilan pembelajaran dibandingkan dengan proses pembelajaran
sebelumnya yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1
Perbandingan Hasil Pelaksanaan Tindakan Kompetensi Mengaktualisasikan
Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat Secara Bebas dan Bertanggung jawab
melalui Model Pembelajaran Think Pair Share
No Indikator Kondisi Awal Siklus I Siklus II
1 Aktivitas siswa
a. Keberanian
mengemukakan pendapat
Tercapai
10 %
(4 siswa)
Tercapai
22,5 %
(9 siswa)
Tercapai
55 %
(22 siswa)
b. Keberanian menanggapi
pendapat teman
Tercapai
5 %
(2 siswa)
Tercapai
17,5 %
(7 siswa)
Tercapai
42,5 %
(17 siswa)
c. Keberanian menanggapi
pendapat guru
Tercapai
2,5 %
(1 siswa)
Tercapai
12,5 %
(5 siswa)
Tercapai
32,5 %
(13 siswa)
2 Hasil belajar siswa (KKM 75)
a. Prosentase ketuntasan Tercapai
40 %
(16 siswa)
Tercapai
57,5 %
(23 siswa)
Tercapai
87,5 %
(35 siswa)
b. Rata-rata 66,38 72,25 79,50
c. Nilai tertinggi 85 95 100
d. Nilai terendah 40 45 55
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
198
Dari data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa pada kondisi awal,
jumlah siswa yang berani berpendapat hanya berjumlah 4 siswa (10 %), siswa
yang menanggapi pendapat teman 2 siswa (5 %), dan siswa yang menanggapi
pendapat guru hanya 1 siswa (2,5 %). Pada pelaksanaan tindakan siklus I, jumlah
siswa yang berani berpendapat meningkat menjadi 9 siswa (22,5 %), siswa yang
menanggapi pendapat teman bertambah menjadi 7 siswa (17,5 %), dan siswa
yang menanggapi pendapat guru berjumlah 5 siswa (12,5 %). Sedangkan pada
pelaksanaan tindakan siklus II, jumlah siswa yang berani berpendapat meningkat
menjadi 22 siswa (55 %), siswa yang menanggapi pendapat teman bertambah
menjadi 17 siswa (42,5 %), dan siswa yang menanggapi pendapat guru
berjumlah 13 siswa (32,5 %).
Sedangkan untuk hasil belajar siswa diketahui bahwa pada kondisi
awal,nilai rata-rata hasil tes adalah 66,38 dan ketuntasan mencapai 40 %. Pada
pelaksanaan tindakan siklus I, nilai rata-rata hasil tes adalah 72,25 dan
ketuntasannya mencapai 57,5 %. Sedangkan pada pelaksanaan tindakan siklus II,
nilai rata-rata hasil tes adalah 79,50 dan ketuntasannya mencapai 87,5 %. Berarti
lebih tinggi 2,5 % dari batas ketuntasan klasikal 85 %.
Hasil pengamatan dan wawancara tentang minat siswa terhadap
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran think pair share pada
siklus I adalah bahwa dari lima belas pernyataan 10 siswa (25 %) menunjukan
minat tinggi dan 23 siswa (57,5 %) menunjukan minat sedang. Sehingga jumlah
siswa yang menunjukan minat sedang atau tinggi sebanyak 33 siswa (82,5 %)
dan sisanya 7 siswa (17,5 %) masih menunjukan minat yang kurang terhadap
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran think pair share.
Sedangkan hasil pengamatan wawancara tentang minat siswa terhadap
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran think pair share pada
siklus II adalah bahwa dari lima belas pernyataan 13 siswa (32,5 %) menunjukan
minat tinggi dan 24 siswa (60 %) menunjukan minat sedang. Sehingga jumlah
siswa yang menunjukan minat sedang atau tinggi sebanyak 37 siswa (92,5 %)
dan sisanya 3 siswa (7,5 %) masih menunjukan minat kurang terhadap
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran think pair share.
Dengan demikian penerapan model pembelajaran think pair share pada
pembelajaran mengaktualisasikan kemerdekaan mengemukakan pendapat di
kelas VII H semester II SMP Negeri 3 Taman tahun pelajaran 2011/2012
dipandang berhasil mencapai indikator keberhasilan penelitian,sehingga
hipotesis tindakan dapat dibuktikan.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
199
D. Pembahasan
Sebagaimana telah disinggung pada latar belakang diatas, bahwa jumlah
siswa yang berani mengemukakan pendapat ataupun mengajukan pertanyaan
pada saat proses belajar mengajar sangat minim. Menurut pengamatan peneliti,
jumlah siswa yang berani mengemukakan pendapat ataupun mengajukan
pertanyaan pada saat proses belajar mengajar cenderung sedikit ( rata-rata
10 % ). Siswa hanya mau menyampaikan pendapat jika ditunjuk bahkan harus
dipaksa oleh guru. Padahal keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar sangat
penting untuk mengembangkan kreatifitas siswa. Hal ini mungkin disebabkan
karena dalam pembelajaran, siswa diposisikan sebagai obyek, sedangkan guru
memposisikan diri sebagai subyek pembelajaran. Akibatnya guru lebih aktif dan
dominan dalam proses pembelajaran. Selain itu, seringnya menggunakan metode
ceramah yang diselingi tanya jawab, pemberian tugas, dan diskusi yang kurang
terarah dalam pembelajaran mengakibatkan siswa kurang aktif.
Pembelajaran satu arah yang dikembangkan guru selain membosankan dan
kurang efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran juga berakibat kurang
aktifnya siswa dalam mengikuti pembelajaran, kurang berani mengemukakan
pendapat dan mengambil keputusan, malas bertanya dan menjawab pertanyaan,
kurang serius dalam mengikuti pelajaran, kurang berminat dan termotivasi dalam
belajar, serta kurang menghargai dan bekerjasama dengan guru maupun siswa
yang lain.
Sebagai solusi untuk memperbaiki pembelajaran tersebut maka dapat
digunakan model pembelajaran kooperatif think pair share. Hasil penelitian
tindakan kelas pada siklus pertama menunjukan adanya peningkatan aktivitas
dan hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan motivasi yang
meningkat akibat pembelajaran yang lebih menarik setelah menerapkan model
pembelajaran think pair share.
Upaya penerapan model pembelajaran think pair share berangsur-angsur
telah menunjukan perubahan kearah yang lebih baik dari sebelumnya,walaupun
terjadinya peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa pada siklus I tersebut
belum optimal.
Hasil diskusi peneliti dengan observer mengenai jalannya proses belajar
mengajar yang telah berlangsung pada siklus I ditemukan beberapa kekurangan
antara lain : (1) Pembentukan kelompok belajar belum dilakukan dengan
benar,masih berdasarkan tempat duduk (siswa berpasangan dengan teman
sebangkunya); (2) Penjelasan guru tentang penerapan model pembelajaran think
pair share masih kurang, hal ini berakibat pada canggungnya siswa baik dalam
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
200
menyampaikan pendapatnya kepada pasangannya maupun ketika maju ke depan
kelas; (3) Bimbingan guru kepada siswa untuk melakukan presentasi yang benar
masih kurang, begitu pula bimbingan guru dalam memandu siswa untuk
menyimpulkan hasil diskusi.
Berdasarkan hasil refleksi pelaksanaan proses belajar mengajar dengan
menerapkan model pembelajaran think pair share,ada beberapa perbaikan yang
akan dilaksanakan pada siklus II yang bertujuan agar hasil yang diperoleh pada
siklus II lebih baik dibanding hasil pada siklus I, sehingga indikator keberhasilan
penelitian dapat dicapai. Perbaikan-perbaikan tersebut yaitu : (1) Mendorong
siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya di depan kelas; (2) Mendorong
siswa untuk berani menanggapi pendapat teman; (3) Mendorong siswa untuk
berani menanggapi pendapat guru; (4) Meningkatkan bimbingan kepada siswa
untuk belajar menyimpulkan hasil diskusi; (5) Mengarahkan siswa untuk
mencatat materi esensial hasil diskusi; (6) Pembentukan kelompok belajar
dilakukan secara acak berstrata, bukan dengan teman sebangkunya tapi
dikelompokkan sesuai dengan kemampuan siswa sehingga siswa yang pandai
dan punya keberanian bisa membantu pasangannya; (7) Menjelaskan kembali
secara lebih detail tentang penerapan model pembelajaran think pair share dalam
PBM.
Dari tabel aktivitas belajar siswa pada siklus II dapat diketahui bahwa
aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran semakin meningkat hingga
mencapai 55 % dalam hal keberanian menyampaikan pendapat, 42 % dalam hal
keberanian menanggapi pendapat teman, dan 32,5 % dalam hal keberanian
menanggapi pendapat guru. Dengan demikian maka indikator keberhasilan telah
tercapai. Sedangkan untuk hasil belajar siswa, pada tes belajar akhir siklus II
diperoleh data bahwa nilai rata-rata yang berhasil dicapai siswa 79,50 dengan
demikian indikator keberhasilan yang ditargetkan telah dapat dicapai yaitu ≥ 75.
Selain itu ,dari jumlah 40 siswa kelas VII H, yang berhasil mencapai Kriteria
Ketuntasan Belajar Minimal (KKM) sebanyak 35 siswa atau 87,5 %. Hal ini
berarti hanya 5 siswa atau 12,5% siswa saja yang belum dapat mencapai KKM.
Dengan begitu ketuntasan belajar secara klasikal juga telah dapat dicapai.
Dari hasil diskusi guru dengan observer tentang jalannya proses belajar
mengajar yang berlangsung pada siklus II sudah lebih baik dari siklus pertama.
Guru dalam menyajikan materi telah melakukan perbaikan-perbaikan
sebagaimana direkomendasikan siklus pertama yaitu : (1) Pembentukan
kelompok telah dilakukan secara acak berstrata; (2) Penjelasan tentang
penerapan model pembelajaran think pair share sudah dilakukan semaksimal
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
201
mungkin sehingga seluruh siswa benar-benar telah memahaminya; (3)
Bimbingan guru kepada siswa untuk melakukan presentasi dengan benar sudah
diberikan.
Selain itu, model pembelajaran think pair share dilaksanakan dengan
langkah-langkah yang sudah disuplemen dan disesuaikan dengan kemampuan
dan tingkat keberanian siswa yaitu :
1. Tahap 1 : Pendahuluan
Awal pembelajaran dimulai dengan penggalian apersepsi sekaligus
memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pembelajaran. Pada tahap ini,
guru juga menjelaskan kompetensi yang harus dicapai siswa, menjelaskan
secara lebih detail tentang model pembelajaran think pair share, aturan main
serta menginformasikan batasan waktu untuk setiap tahap kegiatan.
2. Tahap 2 : Think (berpikir secara individual)
Pada tahap ini, siswa diberi batasan waktu (“think time”) oleh guru
untuk memikirkan jawabannya secara individual terhadap pertanyaan yang
diberikan.
Siswa boleh menuliskan jawabannya terlebih dahulu pada buku siswa
masing-masing untuk kemudian dipelajari sebelum mereka menyampaikan
pendapat mereka kepada pasangannya.
3. Tahap 3 : Pair (berpasangan)
Pada tahap ini, guru mengelompokkan siswa secara berpasangan. Guru
menentukan bahwa pasangan setiap siswa adalah teman yang sudah ditunjuk
oleh guru dengan mempertimbangkan kemampuan siswa. Hal ini
dimaksudkan agar siswa yang pintar dan mempunyai keberanian dapat
membantu temannya yang masih takut atau malu untuk menyampaikan
pendapatnya di depan kelas. Kemudian, siswa mulai bekerja dengan
pasangannya untuk mendiskusikan mengenai jawaban atas permasalahan yang
telah diberikan oleh guru. Setiap siswa memiliki kesempatan untuk
mendiskusikan berbagai kemungkinan jawaban secara bersama.
4. Tahap 4 : Share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau seluruh kelas)
Pada tahap ini, siswa dapat mempresentasikan jawaban secara
perseorangan kepada kelas sebagai keseluruhan kelompok.Untuk siswa yang
sudah memiliki keberanian dapat menyampaikan pendapatnya di depan kelas,
untuk siswa yang kurang berani bisa ditemani oleh pasangannya, dan untuk
siswa yang sama sekali tidak berani maju kedepan kelas bisa menyampaikan
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
202
pendapatnya dari tempat duduknya. Setiap anggota dari kelompok dapat
memperoleh nilai dari hasil pemikiran mereka.
5. Tahap 5 : Penghargaan
Siswa mendapat penghargaan berupa nilai baik secara individu maupun
kelompok. Nilai individu berdasarkan hasil jawaban pada tahap think,
sedangkan nilai kelompok berdasarkan jawaban pada tahap pair dan share,
terutama pada saat presentasi memberikan penjelasan terhadap seluruh kelas.
Dengan adanya penghargaan maka siswa yang menyampaikan pendapat
ataupun bertanya pada saat proses belajar mengajar akan mendapatkan
kepuasan dan termotivasi untuk melakukan hal serupa. Selain itu juga dapat
memotivasi siswa lain untuk melakukan hal yang sama apabila guru dapat
meningkatkan dan memelihara motivasi siswa dengan cara memberikan
penghargaan atau penguatan berupa pujian,pemberian kesempatan, atau
berupa nilai. Pemberian penghargaan dapat memacu semangat siswa untuk
bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum mendapatkan
penghargaan akan termotivasi untuk mengejar siswa yang sudah mendapatkan
penghargaan.
Jika dihubungkan dengan sebuah model pembelajaran, maka ketrampilan
guru dalam memberikan penguatan / penghargaan ini adalah sebuah model
quantum yang salah satu prinsipnya adalah mengakui setiap usaha dan
merayakannya.9
Dalam kurikulum 2004 SMP Pedoman Umum Pengembangan Silabus
Berbasis Kompetensi siswa SMP10
dijelaskan tentang karakteristik siswa,
dalam perkembangan aspek kognitif, sebagai berikut :
Pada masa remaja awal (usia SMP) sudah mencapai tahap operasi
formal. Pada usia ini secara mental anak telah dapat berpikir logis
tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain, berpikir
operasi formal lebih bersifat hipotesis dan abstrak serta sistematis
dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada berpikir konkrit.
Implikasi pendidikan atau bimbingan pada periode berpikir operasi
formal ini adalah perlunya dipersiapkan program pendidikan atau bimbingan
yang memfasilitasi perkembangan kemampuan berpikir siswa.
9 DePotter, Bobbi, dkk.. Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas.
(Bandung : Kaifa. 2002), hlm. 200. 10
Depdiknas. Kurikulum 2004 SMP PedomanUmumPengembanganSilabus
BerbasisKompetensisiswaSMP. (Jakarta :Depdiknas. 2004), hlm. 160-161.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
203
Upaya yang dapat dilakukan antara lain : (1) Penggunaan metode
mengajar yang mendorong anak untuk aktif bertanya, mengemukakan
gagasan, atau mengujicobakan suatu materi; (2) Melakukan dialog, diskusi
atau curah pendapat dengan siswa tentang masalah-masalah sosial, baik itu
menyangkut sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, maupun kewarganegaraan.
Dengan demikian penggunaan model pembelajaran kooperatif think pair
share merupakan pilihan yang tepat untuk menumbuhkan keberanian siswa
dalam menyampaikan pendapat pada saat proses belajar mengajar pada
khususnya dan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya.
E. Simpulan Dan Saran
1. Simpulan.
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian pada bab sebelumnya
dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran think pair share
dapat menumbuhkan keberanian berpendapat dan meningkatkan hasil
belajar siswa dalam pembelajaran materi kemerdekaan mengemukakan
pendapat pada siswa Kelas VII H SMP Negeri 3 Taman Pemalang Semester
II Tahun Pelajaran 2011/2012.
Simpulan tersebut didasarkan kepada hasil pengamatan terhadap
aktivitas siswa dan hasil tes pra siklus,siklus I dan II ,pengamatan terhadap
aktivitas guru dan hasil refleksi serta hasil analisa angket siswa..
Hasil refleksi siklus II menunjukan adanya peningkatan yang lebih
baik. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peningkatan aktivitas dan hasil
belajar siswa. Dari hasil yang dicapai pada akhir siklus II ini menunjukan
bahwa indikator keberhasilan penelitian telah berhasil dicapai sehingga
penelitian berakhir sampai siklus II.
2. Saran.
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas pada kelas VII H SMP Negeri
3 Taman Kabupaten Pemalang, maka diajukan beberapa saran sebagai beikut: (1)
Hendaknya bapak / ibu guru , khususnya guru mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan yang belum mencoba menerapkan model pembelajaran think
pair share supaya menerapkan metode tersebut agar tercipta pembelajaran yang
lebih menarik, menyenangkan dan melatih keberanian siswa; (2) Untuk
mencapai hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan, perlu memperhatikan
aktivitas siswa dan kesesuaian mengajar guru dengan RPP; (3) Pada sekolah
diharapkan dapat menyediakan fasilitas secukupnya bagi mata pelajaran
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
204
Pendidikan Kewarganegaraan khususnya dan mata pelajaran yang lain pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
Jakarta: BSNP DEPDIKNAS.
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 SMP Pedoman UmumPengembangan Silabus
Berbasis Kompetensi siswa SMP .Jakarta :Depdiknas
Meier, Dave.2005.The Accelerated Learning Handbook. Bandung: PT Mizan
Pustaka
Idrus, Muhammad. 2000. LaporanPenelitianKreativitasSiswa SLTPN 2 dan
SLTPN 4 Kotamadya Yogyakarta. Yogyakarta : Lembaga Penelitian
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Moloeng, lexy J. 2004. MetodePenelitianKualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Nasution, Prof. Dr. S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung :
Tarsito.
DePotter, Bobbi, dkk. 2002. Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-
Ruang Kelas.Bandung : Kaifa
Hermawan, Hendy. 2010. Teori Belajar dan Motivasi. Bandung : CV CiptaPraya
Fogarty dan Robin.(1996). Think/Pair/Share. [online]. Tersedia: www.Broward
kl2.fl.us/Ci/Whatsnew/strategies and such/ strategies/thinkpairshare.html
[2 November 2009]
http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH01b9/55f8dc7e.dir/d
oc.p df 20.06.2010_13.35
http://blog.elearning.unesa.ac.id/tag/skripsi-ptk-upaya-peningkatan-prestasi-belajarpkn-melalui-metode-pembelajaran-think-pair-share-tps
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
205
Dyah Kunthi Talibrata Sebagai Representasi Profil
Wanita Jawa Sejati Hartini
1
Abstrak
Masyarakat Jawa di dalam cerita pewayangan memiliki seorang tokoh
wanita yang patut diteladani yaitu bernama Dyah Ayu Kunthi. Perjalanan
hidup Dyah Ayu Kunthi Talibrata sangat menyedihkan, akan tetapi dia
mampu menunjukkan harga diri dan membuat semua wanita akhirnya
mengagumi sifat-sifatnya. Dyah Ayu Kunthi, adalah anak seorang raja
yang memiliki sifat-sifat kewanitaan yang baik dan dapat dijadikan
tauladan bagi para wanita sehingga sebutan-sebutan negatif misalnya
wanita hanya sebagai kanca wingking „teman di belakang‟, kanca turu
„teman tidur‟ yang sama sekali dianggap tidak berperan dalam keluarga
bisa dihilangkan.
Kata kunci: Teladan, Kunthi, Wanita Jawa
A. Pendahuluan
Di dalam masyarakat Jawa sekarang ini berkembang pendapat yang
negatif terhadap wanita, yaitu adanya sebutan terhadap wanita sebagai “Kanca
Wingking”, “Suwarga Nunut Neraka Katut”, bahkan ada yang menganggap
“Satru Munggwing Cangklakan” bagi orang tuanya. Akan tetapi sebenarnya
masyarakat Jawa di dalam cerita pewayangan memiliki seorang tokoh wanita
yang patut diteladani yaitu bernama Dyah Ayu Kunthi. Ia adalah anak seorang
raja yang memiliki sifat-sifat kewanitaan yang baik dan dapat dijadikan tauladan
bagi para wanita, tetapi memiliki riwayat hidup yang tidak dikehendaki oleh
semua wanita.
Dyah Ayu Kunthi Talibrata diceritakan mengandung dan berputera
sebelum menikah, setelah menikah dengan Prabu Pandhu Dewanata (Raja
Astina) berputera tiga yakni Puntadewa, Werkudara dan Janaka. Setelah Prabu
Pandhu tiada Kunthi pun menjadi janda. Berbagai cobaan hidup menimpa dia
1 Hartini , Sastra Daerah FSSR UNS Surakarta
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
206
bersama anak-anaknya, semua itu dilaluinya dengan tabah dan penuh kesabaran
dan pada akhirnya memperoleh kebahagiaan beserta keluarganya.
Karakter tokoh Dyah Ayu Kunthi Talibrata dalam cerita wayang,
merupakan obsesi pengarang cerita untuk mengaktualisasikan profil wanita Jawa
sejati yang diidolakan, sebab Kunthi memiliki karakter yang baik dan bisa
diteladani. Perjalanan hidup Dyah Ayu Kunthi Talibrata sangat menyedihkan,
akan tetapi dia mampu menunjukkan harga diri dan membuat semua wanita
akhirnya mengagumi sifat-sifatnya. Karakter tokoh Dyah Ayu Kunthi Talibrata
memang merupakan obsesi seorang pengarang agar dapat dicontoh khususnya
pada profil wanita Jawa modern. Tulisan ini juga bertujuan agar masyarakat
tidak menganggap rendah harkat martabat seorang wanita. Di dalam sejarah
Jawa, masyarakat Jawa kalau mau menyimak sebenarnya sudah memiliki tokoh
wanita Jawa yaitu Dyah Ayu Kunthi yang patut diteladani. Sehingga sebutan-
sebutan negatif misalnya kanca wingking „teman di belakang‟, kanca turu „teman
tidur‟ bisa dihilangkan.
B. Landasan Teori
Manusia adalah makhluk sosial, termasuk wanita Jawa. Wanita sebagai
makhluk sosial memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial.
Adapun lingkungan sosial yaitu suatu lingkungan masyarakat yang di dalamnya
terdapat interaksi antar individu masyarakat tertentu. Keberadaan lingkungan
sosial berpengaruh terhadap individu dalam masyarakat.2
Peran Wanita Jawa dalam masyarakat sebagai proses langkah kehidupan
sosial, dapat diambil contoh Ratu Kalinyamat putri dari Sultan Trenggana yang
menikah dengan Pangeran Hadiri. Setelah Sultan Tranggana wafat, maka daerah
kekuasaan Pangeran Hadiri bertambah luas, meliputi Kalinyamat, Jepara, Pati,
Juwana, dan Rembang. Daerah kekuasaannya tersebut dekat dengan kota
pelabuhan, oleh karena itu daerah kekuasaan Ratu Kalinyamat dan Pangeran
Hadiri menjadi kerajaan yang kaya raya.3.
Dalam keluarga, wanita sebagai anggota keluarga sangat berperan dalam
keluarganya. Seorang wanita sebagai ibu rumah tangga, ia salah satu anggota
keluarga yang paling banyak mempunyai kewajiban mengurusi keluarga, yang
terkadang mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, atau menambah
2 Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. (Yogyakarta: Andi Offset., 1990), hlm. 27.
3 Hayati, Chusnul. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara Abad XVI. (Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 57-58
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
207
pendapatan keluarga guna memperbaiki ataupun menegakkan ekonomi keluarga,
dan dapat menambah kesejahteraan keluarga.4
Teks-teks Jawa yang berbentuk tulisan juga banyak memuat berbagai
aspek kehidupan masa lalu orang Jawa, seperti teks-teks yang menampilkan
kehidupan wanita Jawa. Wanita Jawa adalah wanita yang berbahasa Jawa, yang
berakar pada kebudayaan dan cara berpikir orang Jawa. Naskah Jawa yang
berbentuk babad dan teks-teks ajaran menampilkan potensi wanita Jawa yang
hidup pada kurun waktu teks tersebut diciptakan. Potensi tersebut bermanfaat
baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat.5
Kenyataannya dalam kehidupan masyarakat terlihat banyak ketimpangan
wanita yang disebabkan berbagai kendala. Wanita mempunyai banyak tugas di
rumah, sehingga ada anggapan wanita itu lemah. Dalam perjalanan, kelemahan
wanita dapat terhapus dengan kelebihan dan potensi yang ada dalam diri wanita.6
Ibu merupakan guru yang pertama dan yang paling utama bagi seorang anak.
Karena ibu mempunyai banyak kesempatan dalam mendidik anak, hal ini masuk
akal karena ibu mengandung anaknya selama sembilan bulan, melahirkan
kemudian memberi susu dan mengasuhnya sampai dewasa. Dalam waktu itulah
seseorang dapat memberi perhatian, ajaran, memberi contoh-contoh yang dapat
dimengerti oleh anaknya.7
Wanita mempunyai banyak tugas di rumah, sehingga ada anggapan wanita
itu lemah. Dalam perjalanan, kelemahan wanita dapat terhapus dengan kelebihan
dan potensi yang ada dalam diri wanita. Sekarang wanita tidak hanya berperan
ganda, melainkan memiliki tiga peran yaitu normatif, substantif, dan prestatif.
Wanita-wanita tersebut tercermin dalam teks-teks Jawa. Adapun yang dimaksud
dengan wanita normatif, substantif, dan prestatif adalah sebagai berikut.
1. Wanita Normatif
Kata normatif berarti aturan, ukuran ketentuan, atau kaidah-kaidah yang
baku sebagai tolok ukur untuk menilai baik buruknya sesuatu.8 Dalam
hubungannya dengan potensi wanita, maka normatif di sini mempunyai makna
kegiatan wanita yang sesuai dengan ukuran dan keadaan wanita apa adanya.
4 Partini. Peluang Pegawai Wanita untuk Menduduki Jabatan Struktural Suatu Studi pada
Pegawai Negeri Sipil, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. (Disertasi. Universitas Gadjah
Mada. 1990), hlm. 60. 5 Sudarsono. Nilai Anak dan Wanita dalam Masyarakat Jawa. (Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Nusantara, Bagian Jawa. 1986), hlm. 30. 6 Istanti, 2008: 23.
7 Munandar. Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia. (Universitas Indonesia Press,
1986), hlm. 45. 8 Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2003
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
208
Keberadaan wanita dalam kehidupan keluarga sangat dominan, ketika suami
bekerja mencari nafkah, istri mengerjakan pekerjaan rumah. Meskipun ukuran
dan aturan mengurus anak dan mendampingi suami dalam keluarga tidak secara
tertulis, namun sudah membaku dan lazim dilakukan oleh wanita dalam
keluarga.
2. Wanita Substantif
Makna substantif adalah berdiri sendiri, mandiri.9. Makna dalam kamus
tersebut dapat diinterpretasikan bahwa wanita dalam hidup bermasyarakat.
Sebagai contoh wanita Jawa memiliki kegiatan rewangan dalam hajatan suatu
keluarga, kegiatan arisan, kegiatan posyandu, PKK, dan lain-lain yang sifatnya
positif.
3. Wanita Prestatif
Makna dari prestatif tersebut adalah hasil yang diperoleh dari sesuatu
yang dilakukan, misalnya prestasi dalam memegang ekonomi keluarga, dan
prestasi dalam mengelola administrasi organisasi.10
. Makna dalam kamus
tersebut dapat diinterpretasikan bahwa seorang wanita di samping mengurus
keluarga, juga mengikuti kegiatan sosial yang bermanfaat. Wanita dapat
melakukan kegiatan yang sejajar dengan pria, yaitu wanita dapat berkarier,
mengembangkan prestasi kerja, berwiraswasta dan sebagainya. Bertanggung
jawab pada dirinya sendiri atas segala sesuatu yang dilakukan dalam hidupnya
sesuai dengan norma-norma kehidupan yang berlaku di mana wanita tersebut
berada. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut wanita Jawa memiliki
potensi normatif, substantif, dan prestatif
C. Makna Filosofis Cerita Dewi Kunthi Talibrata
Dewi Kunthi Talibrata atau Dewi Prita adalah putri yang berasal dari
negara Mandura. Ia anak kedua dari empat bersaudara, kakaknya adalah Prabu
Basudewa raja Mandura. Adiknya adalah Raden Arya Prabu dan bungsunya
adalah Raden Ugrasena.
Dewi Kunthi menjadi permaisuri dari raja Hastinapura yang bergelar
Prabu Pandhu Dewanata. Prabu Pandhu Dewanata dapat meminang Dewi Kunthi
karena berhasil mengikuti sayembara di negara Mandura.
9 Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer tahun 1991
10 Ibid.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
209
Adanya sayembara itu dikarenakan banyaknya raja/satriya yang melamar
Dewi Kunthi sehingga Prabu Kunthiboja ayah Dewi Kunthi berinisiatif
mengadakan sayembara itu. Setelah Dewi Kunthi melihat raja/satriya yang
mengikuti sayembara itu dan melihat dengan cermat akhirnya menjatuhkan
pilihan ke seorang satriya yang tampan yaitu satriya dari negara Hastinapura
yang bernama Raden Pandhu Dewanata.
Ada beberapa masalah yang harus dihadapi Raden Pandhu Dewanata
setelah memenangkan sayembara dan menerima Dewi Kunthi, di antaranya ada
beberapa raja/satriya yang tidak menerima kekalahan itu. Tersebutlah Prabu
Gendararaja dari negara Plasajenar menantang Raden Pandhu Dewanata untuk
mengadu kesaktian dengan taruhan, apabila Raden Pandhu kalah maka Dewi
Kunthi Talibrata menjadi milik Prabu Gendararaja. Akan tetapi apabila Raden
Pandhu menang, maka adik dari Prabu Gendararaja yang bernama Dewi Gendari
menjadi milik Raden Pandhu Dewanata. Peperangan itu akhirnya terjadi dan
dimenangkan Raden Pandhu Dewanata, otomatis Dewi Gendari menjadi milik
Raden Pandhu Dewanata dan dibawa pulang ke Hastinapura bersama-sama
dengan Dewi Kunthi Talibrata.
Ada lagi seorang satriya yang tidak menerima apabila Dewi Kunthi
menjadi milik Raden Pandhu Dewanata yaitu Raden Narasoma dari negara
Madras atau dikenal dengan negara Mandaraka. Raden Narasoma juga
menantang Raden Pandhu Dewanata dengan perjanjian apabila Raden Narasoma
menang Dewi Kunthi Talibrata menjadi milik Raden Narasoma namun apabila
terjadi sebaliknya Dewi Madrim adik dari Raden narasoma menjadi milik Raden
Pandhu Dewanata. Peperangan terjadi dan dimenangkan oleh Raden Pandhu
Dewanata. Dewi Madrim juga diboyong ke Hastinapura bersama-sama dengan
Dewi Kunthi Talibrta dan Dewi Gendari. Sesampainya di negara Hastinapura,
Dewi Gendari diperisteri oleh Raden Destarata kakak Raden Pandhu Dewanata,
sedangkan Dewi Kunthi Talibrata dan Dewi Madrim diperistri Raden Pandhu
Dewanata.
Dewi Gendari di dalam hati tidak menerima kejadian itu, jauh di lubuk
hatinya ia juga ingin diperisteri oleh Prabu Pandhu Dewanata yang lebih tampan
dibandingkan Raden Destarata yang cacat matanya atau buta, namun karena
tidak berdaya ia hanya menerima keadaan tersebut, tetapi hatinya bertekad nanti
apabila mempunyai keturunan akan dipengaruhi untuk selalu bermusuhan
dengan anak-anak Raden Pandhu Dewanata, maka kejadian berikutnya Dewi
Gendari mempunyai anak dengan jumlah seratus terkenal dengan nama Kurawa
sedang Raden Pandhu Dewanata mempunyai anak lima laki-laki semua yang
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
210
terkenal dengan istilah Pandhawa. Pandhawa dan Kurawa lah yang nanti akan
melakukan peperangan besar yang disebut dengan Baratayuda Jayabinangun.
Dari perkawinanya dengan Raden Pandhu Dewanata Dewi Kunthi
Talibrata mempunyai tiga anak yaitu Raden Puntadewa, Raden Bima/Bratasena
dan Raden Arjuna/Janaka. Dewi Madrim mempunyai anak kembar yakni Raden
Nakula dan Raden Sadewa. Ketika Raden Pandhu Dewanata meninggal, Dewi
Madrim mengikuti suaminya sebagai perwujudan darma bakti kepada suami
dengan jalan ikut mati dengan terjun di api pembasmian. Tinggallah Dewi
Kunthi Talibrata yang merawat tiga anak dan dua anaknya Dewi Madrim. Para
Pandhawa masih sangat muda usianya ketika itu sehingga Dewi Kunthi Talibrata
sangat berat untuk merawat dan mnendidik anak-anaknya agar jadi anak anak
yang berbakti kepada agama, orang tua dan berguna bagi bangsa.
Perlu juga diketahui bahwa Dewi Kunthi Talibrata sebelum menikah
dengan Raden Pandhu Dewanata, sudah mempunyai satu anak yang bernama
Raden Karna/ Raden Suryaputra. Raden Karna lahir di luar nikah karena
kecerobohan Dewi Kunthi Talibrata ketika masih muda. Pada waktu itu Dewi
Kunthi Talibrata menjadi murid Resi Druwasa pujangga negara Mandura dan
diberi kesaktian bisa mendatangkan dewa-dewa. Resi Druwasa memberi pesan
bahwa ajian itu tidak boleh digunakan ketika sedang sendirian di dalam kamar
atau sedang mandi, tetapi Dewi Kunthi Talibrata melanggarnya. Ketika sedang
mandi, ia mencoba ajian tersebut maka Batara Surya atau sang dewa matahari
yang pada waktu itu sedang melalang buana, datang ke tempat Dewi Kunthi
Talibrata. Timbulah hasrat birahi Batara Surya dan terjadilah hubungan intim
sehingga lahirlah satriya yang tampan dan sakti mandraguna dengan nama Raden
Karna. Atas petunjuk resi Druwasa, demi menyelamatkan nama negara dan
orang tua, Dewi Kunthi Talibrata harus rela berpisah dengan Karna maka Raden
Karna dibuang ke sungai. Dewi Kunthi Talibrata sangat menyesal dan merasa
berdosa sehingga untuk menebus dosa itu, pada awal perang perang Baratayuda
Jayabinangun Dewi Kunthi Talibrata menemui Raden Karna untuk meminta
maaf dan memohon kepada Raden Karna untuk bergabung dengan Pandhawa
karena mereka sebenarnya adalah saudara satu ibu lain ayah. Tetapi Raden Karna
teguh memegang pendiriannya untuk tetap bergabung dengan Kurawa.
Dewi Kunthi Talibrata sangat tekun dan gigih di dalam merawat dan
mendidik Pandhawa, baik ketika masih di keraton Hastina maupun ketika
Pandhawa sedang mengalami kesusahan, yaitu ketika tidak jadi menerima negara
Hastina karena tempat perayaannya pada waktu itu terbakar (dalam
lakon/ceritera Bale Sigala-gala). Setelah kejadian tersebut Dewi Kunthi
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
211
Talibrata yang seorang diri membimbing anak-anaknya dengan hidup di hutan
sampai pada kisah Raden Puntadewa/Yudhistira mendapatkan jodoh Dewi
Drupadi atau Dewi Kresna.
Pelajaran yang juga selalu diberikan pada anak-anaknya ialah selalu
menghargai dan mengingat jasa orang lain, contohnya ketika Raden Bratasena
mempunyai masalah dengan raja Jin Amarta karena dianggap mengganggu
kerajaan jin (lakon/ceritera Babad Wanamarta). Waktu itu Raden Bratasena
menjadi tawanan musuh yang akhirnya dapat ditolong oleh seorang raseksi
(seorang raksasa putri) dari negara Pringgadani yang bernama Dewi Arimbi.
Dewi Arimbi sebelum menolong mempunyai permintaan apabila dapat
menolong Raden Bratasena ingin sekali diperistri Raden Bratasena, namun
Raden Bratasena setelah melihat wajah Dewi Arimbi yang mengerikan tidak
mau. Dewi Kunthi melihat peristiwa tersebut segera memberi wejangan kepada
Raden Bratasena dan setelah menerima petuah-petuah dari sang ibu, akhirnya
Dewi Arimbi diperistri oleh Raden Bratasena. Buah perkawinan mereka adalah
seorang satriya yang gagah perkasa yaitu raja negara Pringgadani yang bernama
Raden Harya Gatutkaca.
Petuah lainnya yang mencolok adalah Dewi Kunthi berusaha mencegah
perang besar Baratayuda Jayabinangun terjadi, karena peperangan itu dilakukan
oleh sesama saudara. Menurut Dewi Kunthi Talibrata peperangan itu hanya akan
menyisakan kesusahan dan penderitaan yang sangat panjang yang nantinya
banyak orang-orang tidak berdosa akan ikut menanggung kejamnya perang yang
maha dahsyat. Dengan berpendapat demikian, Dewi Kunthi Talibrata kemudian
pergi ke Hastinapura sebagai duta/utusan Pandhawa untuk membicarakan
berbagai persoalan dengan Kurawa, yang mempunyai tujuan segala sesuatu
seyogyanya dibahas dengan kepala dingin berdasarkan cinta damai dan rasa
kasih sayang tidak harus melalui kekerasan (lakon/ceritrea Kunthi Duta). Tapi
dewa berkehendak lain, bahwa perang Baratayuda Jayabinangun harus terjadi.
Di dalam cerita wayang, para tokoh Pandhawa sering dijadikan acuan
pedoman hidup karena tingkah lakunya yang sering menegakan kebenaran dan
keadilan, sering kali tokoh Pandhawa diperbincangkan di berbagai kalangan,
bahkan ada yang menjadikannya sebagai pedoman hidup. Begitu termasyurnya
nama Pandhawa, begitu dieluk-elukannya Pandhawa karena budi pekertinya, itu
semua pasti tidak lepas dari andil dan peran sang ibu yang nyata-nyata berhasil
di dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi anak yang sangat berbakti
kepada agama, orang tua dan berguna bagi nusa dan bangsa.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
212
“Wanita” dalam bahasa Jawa dikenal sebagai akronim (Jarwa Dhosok)
dari dua kata “wani” dan “ditata” yang artinya berani diatur. Maksudnya bahwa
wanita itu dalam budayanya banyak terikat oleh aturan tata susila yang harus
ditaati. Dalam pandangan Jawa, wanita sesuai dengan kodratnya memiliki
keterbatasan-keterbatasan tertentu bila dibanding pria. Cara berpakaian misalnya,
wanita Jawa tidak sebebas pria Jawa yang biasa bertelanjang dada seenaknya
ketika mengalami kegerahan di muka umum. Begitu pula di dalam berlaku dan
bertutur, wanita Jawa tidak dianggap pantas apabila melakukannya secara kasar,
seperti layaknya seorang pria. Hal tersebut bukanlah perlakuan deskriminatif
terhadap pria maupun wanita, akan tetapi lebih cenderung pada pelaksanaan
etika pergaulan di dalam kehidupan bersama masyarakat Jawa, di mana kaum
pria berkewajiban melindungi wanita. Disamping itu wanita juga harus dapat
menjaga martabatnya sendiri.
Berbagai pergelaran wayang sering menyatakan bahwa, wanita itu ibarat
bunga yang harum semerbak baunya. Menandakan banyak kandungan madunya
sehingga tak mengherankan jika banyak kumbang yang ingin menghisap
madunya. Maka bilamana sang bunga tidak bisa menjaga martabatnya dan tidak
kuat menjaga dirinya sendiri, bukan tidak mungkin madunya akan banyak
diserap oleh kumbang dan akhirnya bunga itu menjadi layu.
Penghargaan yang tinggi diberikan kepada wanita yang telah menjadi ibu
yang tersirat dalam tulisan “surga berada di bawah telapak kaki ibu”. Artinya
seorang ibu memiliki peranan dalam kehidupan berumah tangga yang sangat
mulia, di mana baik buruknya sebuah rumah tangga selesainya pekerjaan,
pendidikan seorang anak dan sebagainya, itu semua tergantung dari kemampuan
sang ibu di dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, kiranya tidaklah
berlebihan manakala ada upaya untuk mewujudkan sebuah gagasan idealistis
tentang profil wanita Jawa sejati dalam bentuk item-item, sebagai tolak ukur
karakteristiknya yang digali dari sumber budaya masyarakat Jawa berupa cerita
wayang.
D. Kesimpulan
Setiap wanita sesuai kodratnya sebagai wanita pasti mendambakan
menjadi ibu, begitu pula setiap ibu akan mendambakan anak dari buah
perkawinan yang sah, di mana dikemudian hari diharapkan dapat hidup bahagia,
berguna bagi nusa dan bangsa.
Gambaran tersebut di atas telah diekspresikan dalam cerita wayang, di
mana seorang tokoh wanitanya memiliki peranan penting yaitu bernama Dyah
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
213
Ayu Kunthi, adalah anak seorang raja yang memiliki sifat-sifat kewanitaan yang
baik dan dapat dijadikan tauladan bagi para wanita, tetapi memiliki riwayat
hidup yang tidak dikehendaki oleh semua wanita.
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan rangsangan bagi kaum wanita
untuk lebih bergairah dalam menjalani hidup, dengan lebih kreatif dan inovatif
untuk membentuk pribadi yang diharapkan. Pada kenyataannya wanita telah
berada di tengah masyarakat, dan mereka telah menunjukkan kemampuan untuk
dapat hidup berdampingan dengan baik dan harmonis dengan kaum wanita
lainnya maupun dengan kaum pria. Pada dasarnya wanita harus diajak, dibina
serta dipromosikan keberadaannya dalam hal yang lebih positif.
DAFTAR PUSTAKA
Hayati, Chusnul. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara Abad XVI. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Munandar, 1986. Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia: Universitas
Indonesia Press.
Partini. 1999. “Peluang Pegawai Wanita untuk Menduduki Jabatan Struktural
Suatu Studi pada Pegawai Negeri Sipil, Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta”. Disertasi. Universitas Gadjah Mada.
Sudarsono. 1986. Nilai Anak dan Wanita dalam Masyarakat Jawa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Nusantara, Bagian Jawa. Yogyakarta.
Salim, Peter dan Yenny Salim. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer.
Jakarta, Modern English Press.
Walgito, Bimo. 1989. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
214
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA
MELALUI MEDIA PEMBELAJARAN MULTIMEDIA INTERAKTIF
Endang Sri Mureiningsih1
Abstrak
Pengajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan
kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki
kehidupan bermasyarakat yang dinamis, dengan demikian diharapkan pengajaran
IPS dapat membekali para siswa untuk menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab. Kurang tepatnya metode pembelajaran mengakibatkan
hasil belajar yang diperoleh siswa tidak seperti yang diharapkan. Oleh karena itu
perlu dicari metode pembeajaran yang menarik agar siswa lebih mudah
memahami materi mata pelajaran IPS yang selalu dinamis dan berkembang,
salaha satunya adalah dengan menggunakan media. Permasalahan penelitian ini
adalah apakah dengan menggunakan sarana media multimedia interaktif dapat
meningkatkan hasil belajar siswa tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan
media multimedia interaktif pada kelas VII A semester I SMP Negeri 2
Ampelgading Kabupaten Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014? Penelitian ini
menggunakan 2 siklus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan
motivasi belajar dari rendah menjadi agak tinggi, dan peningkatan hasil belajar
sebesar 47,43% dari rata-rata hasil tes pra siklus 66,05 ketuntasan 47,37%, siklus I
meningkat menjadi 72,36 dengan ketuntasan 78,95% sedangkan tes siklus II rata-
rata 81,08 ketuntasan 94,74% maka ada peningkatan.
Kata kunci: hasil belajar, media pembelajaran multimedia interaktif, keragaman
bentuk muka bumi.
A. Pendahuluan
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan Ilmu Pengetahuan yang
terintegrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, geografi,
ekonomi dan sosiologi ditambah dengan selalu berkembang, terdiri atas berbagai
disiplin ilmu seperti sejarah, geografi, ekonomi dan sosiologi.
Pengajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman
dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki
kehidupan bermasyarakat yang dinamis, dengan demikian diharapkan pengajaran
1 Endang Sri Mureiningsih, SMP N 2 Ampelgading Pemalang
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
215
IPS dapat membekali para siswa untuk menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab.
Didalam pengajaran IPS di SMP kurang tepatnya dalam memilih metode
sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa tidak seperti yang diharapkan selain
itu mata pelajaran IPS juga selalu berkembang
Kondisi umum dalam pelaksanaan pembelajaran IPS di SMP Negeri 2
Ampelgading Kabupaten Pemalang khususnya pada kelas VII A masih kurang
dari yang diharapkan, hal ini terbukti dari hasil belajar siswa masih di bawah batas
KKM yang hendak dicapai yaitu 70.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, data yang diperoleh berdasarkan hasil
yang dicapai tes tahun lalu untuk materi tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi
terdapat 52,63% siswa yang belum terpenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
mencapai tingkat ketuntasan 70 dengan jumlah siswa 38 siswa, ketidaktuntasan
tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Penyebab kurangnya hasil belajar untuk
mata pelajaran IPS khususnya untuk materi tentang Keragaman Bentuk Muka
Bumi adalah kurang aktifnya siswa dalam ikut berperan dalam proses
pembelajaran, kurang tepatnya guru dalam memilih metode pembelajaran
sehingga kurang menyenangkan siswa atau masih menggunakan cara
konvensional, sarana prasarana, penggunaan media pembelajaran dan masih
banyak lagi penyebab lainnya.
Di dalam proses pembelajaran pada kompetensi dasar tentang Keragaman
Bentuk Muka Bumi muncul beberapa permasalahan : masalah yang utama adalah
hasil dari pencapaian target kurang seperti yang diharapkan dengan kata lain
masih di bawah KKM. Kurangnya hasil belajar yang masih di bawah target
pencapaian diakibatkan oleh beberapa hal, misalnya dalam proses pembelajaran
siswa masih kurang aktif berperan dalam proses pembelajaran, kurang tepatnya
guru dalam memilih metode pembelajaran sehingga kurang menyenangkan siswa
atau masih menggunakan cara konvensional, sarana prasarana, penggunaan media
pembelajaran.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah dengan
menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif dapat meningkatkan
hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi
pada siswa kelas VII A semester I SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten
Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014 ?
Sejalan dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana meningkatnya keaktifan, sekaligus hasil belajar siswa
pada materi Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan menggunakan media
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
216
pembelajaran multimedia interaktif siswa kelas VII A semester I SMP Negeri 2
Ampelgading Kabupaten Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014.
Tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya bagi
peneliti sendiri dan dunia pendidikan pada umumnya : adapun manfaat yang
diperoleh adalah manfaat teoritis (1) mendapat teori baru tentang meningkatnya
hasil belajar IPS tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan menggunakan
media pembelajaran multimedia interaktif, (2) hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai dasar pijakan untuk mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya
yang sejenis dan manfaat langsung (1) bagi siswa dengan pembelajaran melalui
media pembelajaran multimedia interaktif dapat meningkatkan keaktifan dan hasil
belajar siswa serta dalam proses pembelajaran pun menyenangkan dan tidak
membosankan, (2) bagi guru, dapat digunakan sebagai acuan atau masukan bahwa
dalam pembelajaran tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan
menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif dapat meningkatkan
keaktifan dan hasil belajar siswa serta meningkatkan kemampuan mengajar
berpikir kreatif dan inovatif, (3) bagi sekolah, sebagai bahan masukan kepada
sekolah dalam menentukan kebijakan sekolah agar dapat mengoptimalkan para
pendidik dalam menggunakan metode pengajaran yang sesuai guna meningkatkan
hasil belajar siswa.
B. Landasan Teoritis Dan Hipotesis Tindakan
Dalam penelitian tersebut sebagai bahan landasan teori adalah berkaitan
dengan kompetensi yang dimiliki siswa, dan model pembelajaran dengan media
pembelajaran multimedia interaktif.
1. Kajian Teori
Kompetensi dipandang sebagai hasil sebuah proses belajar. Secara umum
belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku individu dan hasil
interaksi dengan lingkungannnya. Proses yang disengaja dan direncanakan
akan terjadi perubahan perilaku disebut sebagai proses belajar. Gagne dan
Briggs dalam Nurgiyantoro2, mengklasifikasikan kompetensi menjadi lima
yaitu (1) ketrampilan intelektual, (2) strategi kognitif, (3) informasi verbal, (4)
ketrampilan motor, dan (5) sikap.
2Nurgiyantoro. Penilaian dan Pengajaran Bahasa dan Sastra. (Yogyakarta. BPFE.
Yogyakarta. 2001), hlm. 22.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
217
Pengertian ini dipertegas pula oleh Mulyasa3 bahwa kompetensi adalah
pengetahuan, ketrampilan, kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang
telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga dapat melakukan perilaku-
perilaku kognitif, afektif dan psikomotor dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas disimpulkan bahwa
kompetensi merupakan hasil belajar yang meliputi pengetahuan, ketrampilan
yang dikuasai seseorang sehingga dapat melakukan perilaku kognitif, afektif,
dan psikomotor.
2. Belajar
Belajar adalah kegiatan fisik atau badaniah, jadi hasil yang dicapai
berupa perubahan-perubahan dalam fisik, seperti dapat berlari, mengendarai
sepeda motor dan lain-lain. Belajar merupakan suatu proses yang ditandai
dengan adanya perubahan diri sendiri seseorang4. Belajar dapat diartikan
setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi
sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman5. Hilgard dan Bawen
menyatakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku
seseorang terhadap situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat
dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau
keadaan-keadaan sesaat seseorang6.
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui dan disimpulkan ciri
khusus pengertian belajar yaitu sebagai tanda seseorang yang telah
melakukan proses belajar adalah terjadinya perubahan tingkah laku pada diri
seseorang tersebut sedangkan perubahan yang terjadi akibat proses
kematangan seseorang tidak dianggap sebagai hasil belajar.
3. Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajar. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk
dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal
3 Mulyasa, E.. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan
Implemantasi. (Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2006), hlm. 38 4 Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. (Jakarta : Rajawali Press.
1990). Hlm, 28 5 M. Ngalim Purwanto & Djeniah Alim. Metodologi Pengajaran Bahasa Indonesia di
Sekolah Dasar. (Jakarta : PT. Rosda Jaya Putra. 1997), Hlm, 84. 6 Ibid, hlm, 84.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
218
ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dengan diiringi oleh
perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi.
Di bawah ini telah disampaikan tentang pengertian hasil belajar dari
para ahli :
Hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu
sisi siswa dan sisi guru, dari sisi siswa hasil belajar merupakan
tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan
pada saat sebelum belajar, tingkat perkembangan mental tersebut
terwujud pada jenis-jenis anak kognitif, afektif dan psikomotor.
Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikan
nya bahan pelajaran.
4. Media
Dalam kegiatan belajar mengajar kita mengenal berbagai media
pengajaran. Media pengajaran ini merupakan alat bantu dalam kegiatan
belajar mengajar yang dapat mempermudah guru dalam menyampaikan
materi pelajaran. Sedangkan arti dari media pembelajaran adalah sesuatu
yang dapat digunakan untuk menyalurkan isi pelajaran agar dapat dilihat,
dibaca atau didengar oleh siswa.
5. Multimedia
Multimedia merupakan suatu sistem penyampaian dengan
menggunakan berbagai jenis bahan belajar yang membentuk suatu unit atau
paket. Multimedia merupakan kombinasi dari data teks, audio, gambar,
animasi, video dan interaksi7.
6. Multimedia Interaktif
Pengertian multimedia interaktif secara etimologis berasal dari kata
multi (bahasa latin, nouns) yang berarti banyak, bermacam-macam dan
medium (bahasa latin) yang berarti sesuatu yang dipakai untuk
menyampaikan atau membawa sesuatu. Kata medium dalam American
Heritage Electronic Dictionary
juga diartikan sebagai alat untuk
mendistribusikan dan mempresentasikan informasi8.
7 Zeembry, Pengertian Multimedia Interaktif. 2008.
8 Rachmat, Antonius dan Alphone Roswanto. Chapter 1 “ Pengantar Multimedia (materi
kuliah “Multimedia” IM 2023) semester Genap 2005/2006.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
219
Multimedia menurut beberapa ahli :
a. Multimedia menurut Turban adalah Kombinasi dari paling sedikit dua
media input atau output. Media ini dapat berupa audio (suara, musik)
animasi, video teks, grafik dan gambar9.
b. Multimedia menurut Linda Robin adalah Alat yang dapat menciptakan
presentasi yang dinamis dan interaksi yang mengkombinasikan teks,
grafik, animasi, audio dan video10
c. Multimedia menurut Hofstetter dalam Suyanto11
dikatakan bahwa
Multimedia dalam konteks komputer adalah Pemanfaatan komputer
untuk membuat dan menggabungkan teks, grafik, audio, video dengan
menggunakan tool yang memungkinkan pemakai berinteraksi, berkreasi
dan berkomunikasi.
d. Zeembry mengemukakan bahwa Multimedia merupakan kombinasi dari
data teks, audio, gambar, animasi, video dan interaksi, yang menyimpan
dan menampilkan data-data multimedia 12
.
Berdasrkan pendapat-pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
multimedia merupakan perpaduan antara berbagai media (format file) yang
berupa teks, gambar (vektor atau bitmap), grafik, sound, animasi, video,
interaksi yang telah dikemas menjadi file digital (komputerisasi), digunakan
untuk menyampaikan pesan kepada publik.
7. Kerangka Berpikir
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan disiplin ilmu yang lain yang
bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan
analisis terhadap kondisi sosial masyarakat yang dinamis sehingga
membekali siswa untuk dapat menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
8. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teoritik dan kerangka berpikir di atas dapat diajukan
rumusan hipotesis sebagai berikut : (1) ada peningkatan hasil belajar siswa
khusus kompetensi dasar tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan
menggunakan media pembelajaran multimediamedia interaktif pada siswa
9 Turban., dkk. Aplikasi Multimedia Interaktif. (Yogyakarta: Paradigma, 2002).
10 Robin,Linda. Pengantar multimegia untuk media pembelajaran. 2001.
11 Suyanto, M., Multimedia. Yogyakarta, Andi Ofs t. 2005.
12 Zeembry, Pengertian Multimedia Interaktif. 2008.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
220
kelas VII A semester I SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten Pemalang
Tahun Pelajaran 2013/2014, (2) ada peningkatan kompetensi siswa dalam
mengikuti pembelajaran khusus kompetensi dasar tentang Keragaman Bentuk
Muka Bumi dengan menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif
pada siswa kelas VII A semester I SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten
Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014.
C. Metode Penelitian
Penelitian tindakan kelas dilaksanakan di kelas VII A semester I SMP
Negeri 2 Ampelgading Kabupaten Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014. Subyek
penelitian adalah siswa kelas VII A dengan jumlah siswa 38, laki-laki 24 siswa,
perempuan 14 siswa.
1. Desain Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan dalam dua siklus, setiap
siklus diakhiri dengan tes, untuk mengetahui perkembangan hasil belajar siswa.
Setiap siklus terdiri atas empat tahapan yaitu (a) tahap perencanaan, (b) tahap
tindakan, (c) tahap pengamatan dan (d) tahap refleksi.
Siklus I Siklus II
Bagan 1. Siklus Pelaksanaan Tindakan Kelas
Keterangan :
P : Perencanaan
T : Tindakan
O : Observasi
R : Refleksi
a. Siklus I
1) Tahap Perencanaan
Kegi atan yang direncanakan pada siklus I meliputi : (1) peneliti
menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) ; (2) menyusun
lembar observasi untuk mengamati kegiatan siswa dan guru selama proses
P
O
R T
P
O
R T
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
221
kegiatan belajar berlangsung ; (3) guru mempersiapkan media dan alat
bantu lain yang sesuai dengan materi tentang Keragaman Bentuk Muka
Bumi digunakan dalam proses belajar mengajar; (4) menyusun alat
evaluasi yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa
dalam memahami konsep dan makna dari materi tentang Keragaman
Bentuk Muka Bumi; (5) menetapkan seorang guru (peneliti) untuk
mengajar dan seorang guru lain sebagai pengamat.; (6) menyusun skenario
pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran multimedia
interaktif; (7) merancang membentuk kelompok siswa; (8) merencanakan
pelaksanaan tindakan pembelajaran dengan menggunakan media
pembelajaran multimedia interaktif.
2) Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan pembelajaran pada materi pokok Keragaman
Bentuk Muka Bumi disajikan 2 jam pertemuan atau 2 x 40 menit. Pada
tahap kegiatan ini meliputi : pendahuluan, kegiatan inti dan penutup.
3) Tahap Pengamatan
Pada tahap ini guru peneliti dan seorang guru lain sebagai pengamat
(observer) terlibat secara aktif melakukan pengamatan menggunakan
instrumen pengamatan guru dan siswa. Hasil pembelajaran pada siklus I
nanti digunakan sebagai bahan perbandingan pada siklus II, apakah pada
siklus II mengalami peningkatan atau tidak baik keaktifannya ataupun
pada hasil.
4) Refleksi
Hasil data yang diperoleh pada tahap pengamatan dikumpulkan yang
kemudian dianalisis. Hasil analisis digunakan untuk mengetahui apakah
pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran multimedia
interaktif pada pokok materi Keragaman Bentuk Muka Bumi dapat
meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Hasil analisis data
dijadikan sebagai bahan acuan untuk perencanaan kegiatan pada siklus
berikutnya.
b. Siklus II
1) Tahap Perencanaan
Kegiatan yang direncanakan pada siklus II meliputi : melakukan
perbaikan-perbaikan pada siklus I, terutama pada alokasi waktu yang
kurang tepat dan memberikan motivasi kepada siswa.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
222
2) Tahap Pelaksanaan
Perbaikan dilakukan didalam proses KBM, dan diakhiri dengan tes
untuk mengukur kompetensi terhadap materi yang telah dikuasai.
3) Tahap Pengamatan
Pada tahap ini guru peneliti dan seorang guru lain sebagai pengamat
melakukan pengamatan untuk dibandingkan dengan siklus I.
4) Refleksi
Hasil data yang diperoleh pada tahap pengamatan dikumpulkan yang
kemudian dianalisis. Hasil analisis digunakan untuk mengetahui apakah
pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran multimedia
interaktif pada materi tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dapat
meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Hasil analisis data
dijadikan sebagai bahan acuan untuk perencanaan pada siklus berikutnya.
2. Teknik Pengambilan dan Analisis Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi,
observasi dan tes. Sedangkan alat pengumpulan yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah lembar observasi, soal-soal tes. Sumber data diperoleh
dari siswa dan guru dengan mengamati aktifitas siswa dan guru selama proses
pembelajaran dengan media pembelajaran multimedia interaktif berlangsung, nilai
ulangan dari tes dan informasi dari sesama guru.
D. Hasil Penelitian
Hasil penelitian tindakan kelas ini diperoleh dari tindakan pra siklus (pre
tes), siklus I dan siklus II. Hasil tes tindakan siklus I dan siklus II tentang
Keragaman Bentuk Muka Bumi sedangkan hasil non tes berupa perubahan
perilaku yang diperoleh melalui catatan harian guru, catatan harian siswa,
wawancara dan dokumentasi foto.
1. Hasil Penelitian Kondisi Awal atau Pra Siklus
Kondisi awal hasil belajar dan aktifitas belajar siswa kelas VII A pada
Keragaman Bentuk Muka Bumi untuk mata pelajaran IPS, dari jumlah 38
siswa yang memperoleh nilai tuntas hanya 18 siswa atau 47,37%.
2. Hasil Penelitian Siklus I
Ketika diadakan tindakan pada siklus I kompetensi siswa tentang
Keragaman Bentuk Muka Bumi ada peningkatan demikian pula keaktifan
siswa mulai tampak meskipun belum signifikan. Adapun hasil dari siklus I
adalah sebagai berikut.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
223
Tabel 1
Kompetensi Siswa Siklus I
No. Nilai Jumlah
Siswa Prosentase
1 ≥ 70 30 79
2 < 70 8 21
Jumlah 38 100
Dari data tersebut di atas dapat kita lihat hasil pada tindakan siklus I yang
berkaitan dengan kompetensi jumlah siswa yang mendapat nilai 70 ke atas ada 30
siswa sekitar 79% sedangkan yang mendapat nilai kurang dari 70 sejumlah 8
siswa (21%). Sedangkan data keaktifan siswa yang diperoleh dari siklus I adalah
sebagai berikut :
Tabel 2
Keaktifan Siswa Siklus I
No
. Jumlah
Aspek yang dinilai
Per
hat
ian s
isw
a
Kea
kti
fan
Kem
ampuan
ber
pen
dap
at
Men
yim
pulk
an
1 Jumlah
siswa 20 16 6 8
2 Presentase 53 42 16 21
Dari data yang diperoleh pada siklus I tentang keaktifan siswa dapat kita
lihat pada proses pembelajaran bahwa siswa yang memperhatikan 20 siswa
(53%), siswa yang aktif 16 orang (42%), mampu mengemukakan pendapat 6
orang (16%), dan yang dapat memberikan simpulan 8 orang (21%). Hasil dari
siklus I dijadikan acuan dalam pelaksanaan siklus II.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
224
3. Hasil Penelitian Siklus II
Setelah diadakan perbaikan-perbaikan kemudian dilakukan tindakan pada
siklus II. Adapun hasil dari siklus II adalah sebagai berikut :
Tabel 3
Kompetensi Siswa Siklus II
No. Nilai Jumlah
Siswa Prosentase
1 ≥ 70 36 95
2 < 70 2 5
Jumlah 38 100
Dari data tabel 3 tentang kompetensi siswa dapat kita lihat perolehan nilai
70 ke atas terdapat 36 orang atau 95%, sedangkan nilai di bawah 70 ada 2 orang
atau 5%. Untuk peran serta siswa dalam proses pembelajaran pada siklus II
diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4
Keaktifan Siswa Siklus II
No
. Jumlah
Aspek yang dinilai
Per
hat
ian s
isw
a
Kea
kti
fan
Kem
ampuan
ber
pen
dap
at
Men
yim
pulk
an
1 Jumlah
siswa 30 24 16 10
2 Presentase 79 63 42 39
Dari data hasil peran serta peserta siswa dalam proses pembelajaran pada
siklus II dapat dilihat untuk perhatian siswa 30 orang atau 79% penuh perhatian
terhadap proses pembelajaran, keaktifan 24 orang atau 63%, kemampuan
menyatakan pendapat 16 orang atau 42%, serta menyimpulkan 10 orang atau
39%.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
225
0
20
40
60
80
100
120
≥ 70 < 70 Jumlah
Jumlah Siswa
Presentase
0
20
40
60
80
100
120
≥ 70 < 70 Jumlah
Jumlah Siswa
Presentase
E. Pembahasan
Berdasarkan hasil observasi dan tindakan pada siklus I dan siklus II
menunjukkan bahwa pembelajaran dengan media pembelajaran multimedia
interaktif yang berlangsung pada siklus II berdampak positif terutama pada
peningkatan hasil belajar, keaktifan siswa menjadi lebih baik, komunikasi
interaktif antara siswa dan guru terealisir, siswa merasa senang dengan pemberian
tugas dari guru. Meskipun secara keseluruhan tindakan belum sempurna betul
namun paling tidak siklus II dapat menjawab hipotesa di atas, hal ini dapat dilihat
dari perbandingan hasil ketuntasan belajar antara siklus I dengan siklus II.
Pada siklus I pembelajaran tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan
menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif yang diterapkan guru
sudah cukup baik, dimana hasil pembelajaran dari pembelajaran mencapai 79%
siswa telah mencapai batas tuntas secara individual namun secara klasikal batas
ketuntasan belum dapat tercapai, sedangkan pada siklus II hasil dari pembelajaran
mencapai 95% siswa mencapai batas tuntas secara individual; terdapat kenaikan
dalam peningkatan hasil sebesar 16%. Peningkatan hasil belajar siswa pada siklus
I dan siklus II dilihat dalam bentuk grafik berikut :
Grafik 1.
Perbandingan Ketuntasan Hasil Belajar Siklus I dan Siklus II
Kemudian untuk keaktifan dan peran serta siswa dalam proses pembelajaran
pada siklus I dan siklus II bila dibandingkan dapat dilihat pada tabel 5.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
226
Tabel 5
Perbandingan Aktifitas Siswa pada Siklus I dan Siklus II
No. Aspek
Pengamatan
Siklus
I
Siklus
II
1 Perhatian siswa 20 30
2 Keaktifan siswa 16 24
3 Kemampuan
berpendapat 6 16
4 Menarik
kesimpulan 8 10
Jumlah 50 80
Persentase 33 53
Pada tabel 5 perbandingan aktifitas siswa tampak terdapat adanya
peningkatan peran serta siswa dalam mengikuti proses pembelajaran sekitar 20%,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik 2.
Grafik 2
Perbandingan Keaktifan Siswa pada Siklus I dan Siklus II
Dari hasil pembahasan yang berdasarkan data-data tersebut di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa adanya peningkatan kompetensi siswa dan perubahan
sikap perilaku siswa dalam pembelajaran tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi
0102030405060708090
Siklus I
Siklus II
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
227
dengan menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif, baik dari hasil
maupun keaktifan siswa mengalami peningkatan.
F. Penutup
1. Simpulan
Berdasarkan hasil observasi dan tes penguasaan kompetensi dasar pada tiap
siklus yang telah dikemukakan pada bab terdahulu, maka dapat ditarik simpulan
bahwa dengan pembelajaran tentang Keragaman Bentuk Muka Bumi dengan
menggunakan media pembelajaran multimedia interaktif dapat (1) meningkatkan
hasil belajar atau prestasi belajar siswa pada materi tentang Keragaman Bentuk
Muka Bumi dengan media pembelajaran multimedia interaktif untuk kelas VII A
di SMP Negeri 2 Ampelgading Kabupaten Pemalang Tahun Pelajaran 2013/2014.
Terbukti adanya peningkatan ketuntasan hasil belajar sebesar 16% dari siklus I ke
siklus II, (2) meningkatkan aktifitas belajar siswa, pada siklus I dan siklus II
keaktifan siswa, menyampaikan pendapat dan menyimpulkan terdapat
peningkatan sebesar 20%.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat diberikan saran (1) kepada guru-guru
IPS dapat melakukan kegiatan penelitian tindakan kelas untuk dapat memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi di kelas untuk dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa, (2) melakukan inovasi dalam pembelajaran untuk dapat
meningkatkan keaktifan siswa di sekolah, (3) kepada pengelola sekolah, hasil
penelitian ini hendaknya dapat digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan yang
berkaitan dengan pengembangan profesi guru dan peningkatan kualitas
pembelajaran.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
228
DAFTAR PUSTAKA
M. Ngalim Purwanto & Djeniah Alim. (1997). Metodologi Pengajaran Bahasa
Indonesia di Sekolah Dasar. Jakarta : PT. Rosda Jaya Putra.
Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan
Implemantasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Nasution. 1990. Didaktik Asas-Asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Peraturan Mendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses Pembelajaran
Pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dalam www.depdiknas.go.id
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
dalam www.depdiknas.go.id
Robin,Linda, 2001 Pengantar multimegia untuk media pembelajaran.
Rudi, Susilana dan Riana Cedpi. 2007. Media Pembelajaran. Bandung : CV.
Wacana Prima
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media.
Sardiman AM dkk. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Pengetahuan Sosial.
Jakarta : Depdiknas.
Sasonoharjo dan Yenny Jory Salmon. 2005. Pembangunan Media Pembelajaran.
Lembaga Administrasi Negara.
Slamento. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : PT.
Rineka Press
Sudjana, Nana. 1990. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Jakarta :
Rajawali Press.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabetha
Sukidin, Basrowi dan Sunarto. 2008. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas.
Insan Cendikia.
Sumiati dan Astra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung : CV Wacana Prima.
Suprapti, Wahyu dan Sudarman. 2005. Ragam Metode Belajar. Lembaga
Administrasi Negara.
Suprapto, Eko. 2008. Model-model Pelatihan PTK. Semarang : PT.
Suryosubroto, Sumadi. 1993. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grasindo
Persada.
Susanto. 2000. Problematika Pembelajaran Sejarah Bahan Seminar pada
Seminar Sejarah Nasional Indonesia, di PPG IPS dan PMP Malang.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
229
Tanggal 25 Nopember 2000. Malang : Depdiknas, Dirjen Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Susilo. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.
Suyanto, M., Multimedia. Yogyakarta, Andi Ofset. 2005.
Syah, Muhibibin. 2006. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung
: PT. Remaja Rosda Karya.
Tim Fasilitator PLPG. 2004. Model Pembelajaran. Semarang
Turban., dkk, 2002, Aplikasi Multimedia Interaktif, Paradigma, Yogyakarta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Wiraatmaja, Rochiati. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung :
Remaja Rosda Karya
Zeembry, 2008. Pengertian Multimedia Interaktif.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
230
MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN STRATEGI
PEMBELAJARAN BERBASIS SOSIOLOGI KRITIS, KREATIVITAS,
DAN MENTALITAS
Mustofa Kamal1
Abstrak
Pengembangan kurikulum tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung
dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak pihak,
seperti politikus, pengusaha, orangtua peserta didik, serta unsur-unsur
masyarakat lainnya. Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan
pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum
yang akan menjiwai suatu kurikulum. Strategi pembelajaran pada pendidikan
sekolah harus diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis,
inovasi, kreativitas, dan mentalitas. Selain itu, juga mengubah strategi
pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep reproductive view of
learning menjadi constructive view of learning. Stagnasi kurikulum pendidikan
sekolah diawali dari replikasi dan adopsi kurikulum yang tidak sesuai karakter
siswa. Adanya pemasungan kreativitas pada kurikulum tersebut mengakibatkan
terhambatnya daya inovasi, inspirasi, dan imajinasi sekaligus menumpulkan
intuisi dalam pengembangan pendidikan sekolah. Nilai mentalitas, seperti
kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang masih belum nampak di dalam kurikulum
pendidikan sekolah. Model pengembangan kurikulum yang berbasis pada
sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan strategi
pembelajaran yang inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi sebelumnya.
Kebebasan berkreasi dalam pengembangan kurikulum pendidikan menjadikan
kunci lahirnya kreator yang mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakat
dan tuntunan zaman.
Kata kunci : Pengembangan kurikulum, filosofis, kritis, kreatif
A. Latar Belakang
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di dalamnya
mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi.2 Perencanaan kurikulum adalah
langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat
keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan
1 Mustofa Kamal, STIT Pemalang
2Sudrajat, A. 2009. Prinsip Pengembangan Kurikulum. Dalam http://akhmadsudrajat.
wordpress.com, diakses 22 Agustus2014. hlm. 4.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
231
digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut
juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke
dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari
pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil
pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan,
dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri.
Pengembangan kurikulum tidak hanya melibatkan orang yang terkait
langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak
orang, seperti politikus, pengusaha, orangtua peserta didik, serta unsur-unsur
masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan. Prinsip-
prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada
dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu
kurikulum.
Kurikulum yang ada pada pendidikan sekolah menurut Hamzah
mengalami stagnasi, statis, dan berorientasi pada materialitas. Stagnasi terlihat
dari adopsi dan replikasi kurikulum pendidikan sekolah. Nuansa hegemoni pada
dunia pendidikan sekolah terasa mengental, bahkan menuju ke arah statusquo
kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah telah mengalami perubahan,
pengurangan, dan penambahan muatan materi, akan tetapi sekolah tidak
melakukan perubahan kurikulum atau mengalami stagnasi kurikulum yang
berkelanjutan.3
Lebih lanjut Hamzah berpendapat kenyamanan karena adanya hegemoni
tersebut membuat pola pikir dan arah nalar para pendidik dan peserta didik
terpasung dalam pendidikan yang menjerumuskan bukannya pendidikan yang
membebaskan.4 Untuk itu, internalisasi sikap, perilaku, dan tindakan kritis pada
kurikulum pendidikan sekolah perlu dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan
melakukan kajian kritis pada setiap adopsi dan replikasi kurikulum yang
digunakan oleh sekolah.
Kestatisan pada kurikulum pendidikan sekolah terlihat dari tidak adanya
kreativitas dalam kurikulum tersebut. Kalau terdapat kreativitas, itu pun
mengarah pada materialitas yang selama ini sudah didoktrinkan oleh beberapa
pendidik kepada peserta didik. Ketiadaan kreativitas ini terbelenggu dengan
adanya pembatasan kurikulum yang semata-mata mengacu pada hal-hal yang
3A. Hamzah, Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Berbasis
Mentalitas,(Bangkalan: Universitas Trunojoyo Press, 2007), hlm. 45 4Ibid, hlm 50.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
232
bernuansa ekonomi dan hitungan saja. Pengembangan intuisi, imajinasi, dan
inspirasi yang mengarah pada inovasi tidak atau kurang diinternalisasi pada
kurikulum. Begitu pula keterkaitan pendidikan sekolah dengan ilmu-ilmu sosial
lainnya kurang begitu diperhatikan.
Adanya pemasungan kreativitas pada kurikulum tersebut mengakibatkan
terhambatnya daya inovasi, inspirasi, dan imajinasi sekaligus menumpulkan
intuisi dalam pengembangan pendidikan sekolah. Keterjebakan kurikulum
pendidikan sekolah pada stagnasi dan statis menurut Hamzah menjadi dilematis
dengan mengarahkannya kepada materialitas. Nilai mentalitas, seperti kejujuran,
keadilan, kasih, dan sayang masih belum nampak di dalam kurikulum pendidikan
sekolah.
Hal ini dipertegas oleh Topatimasang dan Fakih yang menyatakan
kurikulum pendidikan sekolah cenderung menafikan nilai mentalitas, tetapi
mengutamakan nilai materialitas. Keseimbangan muatan kurikulum pada nilai
materialitas dan mentalitas berjalan berat sebelah. Strategi balanced scorecard
yang diajarkan pada intinya dimuarakan pada kepentingan materialitas bukan
pada keseimbangan antara materialitas dan mentalitas.5 Hal ini dapat
mengakibatkan keluaran dari pendidikan sekolah adalah insan-insan yang
materilitas dan distigma.
Oleh karena itu strategi pembelajaran pada pendidikan sekolah harus
diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, inovasi,
kreativitas, dan mentalitas Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga
diupayakan merasuki kurikulum yang ada pendidikan sekolah. Selain itu, juga
mengubah strategi pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep
reproductive view of learning menjadi constructive view of learning.6 Konsep ini
pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses
belajar mengajar selama ini.
Konsep reproductive view of learning yang selama ini dihasilkan hanya
menghasilkan keluaran yang bersifat mengikut saja tanpa mampu bersikap kritis,
kreatif, dan mempunyai nilai-nilai mental. Ini berbeda dengan konsep
constructive view of learning yang berpegang pada nilai-nilai kritis, kreatif, dan
nuansa mentalitas. Dalam konsep ini agar dihasilkan mutu pendidikan tinggi
5R Topatimasang dan M.Fakih, Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis.
(Yogyakarta: Insist Press, 2007), hlm. 38. 6Agger B, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2006), hlm. 19.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
233
akuntansi yang berkualitas, maka anak didik diinternalisasi dengan sikap kritis.
Salah satu diantaranya adalah dengan paradigma dekonstruksi, keluar dari kotak
awal pengetahuan yang membelenggu, serta dijiwai nilai-nilai mentalitas berupa
kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.
B. Pembahasan
1. Landasan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang menentukan
bagaimana kurikulum akan dapat dilaksanakan. Pengembangan
kurikulum agar dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka
dalam pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan
pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum menurut Dimyati
dan Mudjiono mengacu pada tiga unsur, yaitu 1) nilai dasar yang
merupakan falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya, 2) fakta
empirik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum, baik berdasarkan
penilaian kurikulum, studi, maupun survei lainnya, dan 3) landasan teori
yang menjadi arahan pengembangan dan kerangka penyorotnya.7
Lebih lanjut Dimyati dan Mudjiono mengemukakan landasan
pengembangan kurikulum mencakup:8
a. Landasan Filosofis
Pendidikan ada dan berada dalam kehidupan masyarakat
sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk dilestarikan
diselenggarakan melalui pendidikan. Segala kehendak yang dimiliki
oleh masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah
pada pendidikan. Dengan demikian pandangan dan wawasan yang
ada dalam masyarakat merupakan pandangan dan wawasan dalam
pendidikan atau dapat dikatakan bahwa filsafat yang hidup dalam
masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan
pendidikan.
Filsafat merupakan suatu studi tentang hakikat realitas, hakikat
ilmu pengetahuan, hakikat sistem nilai, hakikat nilai kebaikan,
hakikat keindahan, dan hakikat pikiran. Oleh karena itu landasan
filosofis pengembangan kurikulum adalah hakikat realitas, ilmu
7Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006),
hlm. 268. 8Ibid, hlm. 269-272.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
234
pengetahuan, sistem nilai, nilai kebaikan, keindahan, dan hakikat
pikiran yang ada dalam masyarakat.
b. Landasan Sosial, Budaya, dan Agama
Realitas sosial, budaya, dan agama yang ada dalam masyarakat
merupakan bahan kajian pengembangan kurikulum untuk digunakan
sebagai landasan pengembangan kurikulum. Kebersamaan individu
dalam masyarakat diikat dan terikat oleh nilai yang menjadi
pegangan hidup dalam interaksi di antara mereka. Nilai-nilai yang
perlu dipertahankan dan dihormati dalam masyarakat mencakup nilai
keagamaan dan sosial budaya. Nilai keagamaan berhubungan dengan
kepercayaan masyarakat terhadap ajaran agama, oleh karena itu
umumnya bersifat langgeng.9
Nilai sosial dan budaya masyarakat bersumber pada hasil karya
akal budi manusia, sehingga dalam menerima, menyebarluaskan,
melestarikan, dan melepaskannya manusia menggunakan akalnya.
Dengan demikian apabila terdapat nilai sosial budaya yang tidak
diterima/tidak sesuai dengan akalnya akan dilepas. Oleh karena itu
nilai sosial dan budaya lebih bersifat sementara jika dibandingkan
dengan agama. Untuk melaksanakan penerimaan, penyebarluasan,
pelestarian, atau penolakan dan pelepasan nilai sosial-budaya-agama,
maka masyarakat menggunakan pendidikan yang dirancang melalui
kurikulum.
c. Landasan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni
Pendidikan merupakan upaya penyiapan peserta didik
menghadapi perubahan yang semaki pesat, termasuk di dalamnya
perubahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks).
Sukmadinata mengemukakan pengembangan ipteks secara langsung
akan menjadi isi/materi pendidikan, sedangkan secara tidak langsung
memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat
dengan kemampuan penyelesaian masalah yang dihadapi sebagai
pengaruh perkembangan ipteks. Selain itu perkembangan ipteks juga
dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah pendidikan.10
9 T. R. Joni, Wawasan Kependidikan Guru,(Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1983), hlm. 5. 10
N. S. Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1997), hlm. 57.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
235
d. Landasan Kebutuhan Masyarakat
Adanya falsafah hidup, perubahan sosial-budaya-agama, dan
perubahan ipteks dalam suatu masyarakat akan merubah pula
kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat dipengaruhi oleh
kondisi dari masyarakat itu sendiri. Adanya perbedaan antara
masyarakat satu dengan yang lainnya sebagian besar disebabkan oleh
kualitas dan kuantitas individu yang menjadi anggota masyarakat.
Pengembangan kurikulum menurut Sumantri juga harus ditekankan
pada pengembangan individual yang mencakup keterkaitannya
dengan lingkungan sosial setempat. Sehingga disimpulkan landasan
pengembangan kurikulum adalah kebutuhan masyarakat yang
dilayani melalui kurikulum yang dikembangkan.11
e. Landasan Perkembangan Masyarakat
Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup,
nilai, ipteks, dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Falsafah
hidup akan mengarahkan perkembangan masyarakat, nilai-nilai
sosial-budaya-agama akan merupakan penyaringan nilai-nilai lain
yang menghambat perkembangan masyarakat. Ipteks mendukung
perkembangan masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan
membantu menetapkan perkembangan yang akan dilaksanakan.
Perkembangan masyarakat akan menuntut tersedianya proses
pendidikan yang sesuai. Untuk menciptakan proses pendidikan yang
sesuai dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan
rancangannya berupa kurikulum yang landasan pengembangannya
berupa perkembangan masyarakat itu sendiri.
2. Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum menggunakan prinsip yang telah
berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri
prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu
lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip
yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan
lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang
digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum.
11
M Sumantri, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988), hlm. 77.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
236
Sukmadinata mengemukakan prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum yang dibagi ke dalam dua macam yaitu prinsip umum dan
prinsip khusus. Prinsip umum pengembangan kurikulum adalah relevansi,
fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip khusus
pengembangan kurikulum adalah berkenaan dengan tujuan pendidikan,
prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan
dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan
pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan
pemilihan kegiatan penilaian.12
Hal senada dikemukakan oleh Hernawan dalam Sudrajat
mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu:13
1. Prinsip relevansi, secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi
di antara komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi, dan
evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen tersebut
memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi
(relevansi epistemologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi
psikologis), serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat
(relevansi sosiologis),
2. Prinsip fleksibilitas, pengembangan kurikulum mengusahakan agar
yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur, dan fleksibel dalam
pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian
berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu
berkembang, serta kemampuan dan latar belakang peserta didik,
3. Prinsip kontinuitas, yakni adanya kesinambungan dalam kurikulum,
baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman belajar
yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan,
baik yang di dalam tingkat kelas, antarjenjang pendidikan, maupun
antara jenjang pendidikan dan jenis pekerjaan,
4. Prinsip efisiensi, yakni mengusahakan agar dalam pengembangan
kurikulum dapat mendayagunakan sumber daya pendidikan yang ada
secara optimal, cermat, dan tepat sehingga hasilnya memadai,
5. Prinsip efektivitas, yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan
kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara
kualitas maupun kuantitas.
12
Ibid, hlm. 86 13
Lihat, Sudrajat, Op. Cit, hlm. 5.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
237
6. Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) menurut Sudrajat terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus
dipenuhi, yaitu:14
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan
peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan
berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral
untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk
mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi
peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan
lingkungan,
b. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman
karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis
pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat
istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum
meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan
lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam
keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat
antarsubstansi,
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan
oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta
didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum
dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan
(stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan
kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan
kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu,
pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir,
14
Ibid, hlm. 15
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
238
keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan
vokasional merupakan keniscayaan,
e. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum
mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian
keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan
secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan,
f. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses
pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan
keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan
informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan
yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia
seutuhnya,
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional
dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan
sejalan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara
penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum
sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali terabaikan. Karena
prinsip-prinsip itu dapat dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum.
Dalam menyikapi suatu perubahan kurikulum, banyak lebih terfokus
hanya pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum.
Padahal jauh lebih penting adalah perubahan kultural (perilaku) guna
memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan
kurikulum.
3. Inovasi dan Pengembangan Kurikulum
Inovasi dan pengembangan kurikulum dilakukan karena
melaksanakan pengembangan kurikulum bersifat dinamis, selalu berubah,
menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka yang belajar (peserta didik).
Karena masyarakat dan mereka yang belajar mengalami perubahan maka
langkah awal dalam perumusan kurikulum ialah penyelidikan mengenai
situasi (situation analysis) yang dihadapi masyarakat, termasuk situasi
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
239
lingkungan belajar dalam arti menyeluruh, situasi peserta didik, dan para
calon pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan.
Istilah inovasi mengandung arti tindakan menciptakan sesuatu
yang baru yang membawa perubahan dengan menghasilkan gagasan dan
pendekatan atau metode baru.15
Untuk menghasilkan sesuatu yang baru,
yang diharapkan lebih berdaya guna, harus bertolak dari apa yang ada.
Sulit sekali memulai dan meningkatkan sesuatu dari sesuatu yang belum
ada (ex nihilo). Inilah juga yang dimaksud dengan pengembangan. Oleh
karena itu inovasi dan pengembangan selalu terkait erat.
Dinamika globalisasi mengharuskan pendidikan untuk senantiasa
memikirkan pembaruan dalam banyak aspek termasuk kurikulum. Ferris
mengemukakan aspek yang dibutuhkan dalam upaya pembaruan dan
mengembangkan kualitas pendidikan. Aspek mendasar yang harus
dijadikan pedoman, yakni:16
1. Kepekaan terhadap nilai budaya lokal (cultural appropirateness),
2. Kepedulian terhadap pergumulan dan kebutuhan siswa, (attentiveness
to the church)
3. Merumuskan strategi yang fleksibel, peka terhadap kebutuhan
setempat (flexible strategizing),
4. Menilai keberhasilan dari hasil belajar peserta didik (outcomes
assessment),
5. Menekankan pembentukan dan pertumbuhan iman (spiritual
formation),
6. Mengembangkan kurikulum yang holistik mencakup sisi akademis,
praktis, dan pelatihan spiritualitas (holistic curricularizing),
7. Melengkapi peserta didik untuk melayani (service orientation),
8. Mengembangkan kreativitas guru dalam mengajar, memilih metode
yang tepat (creativity in teaching),
9. Membentuk wawasan berpikir atas kehidupan (worldview),
10. Mempertimbangkan dimensi perkembangan peserta didik
(developmental focus),
11. Memfasilitasi terbentuknya kerja sama (a cooperative spirit).
15Sidjabat, B. S,Pentingnya Inovasi dan Pengembangan Kurikulum dalam Pendidikan
(online), dalam http://www.tiranus.net, diakses 21 Agustus 2014, hlm. 13. 16
R. W. Ferris,Renewal in Theological Education: Stragies for Change, ( New York:
Billy Graham Center, 1990), hlm. 34-35.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
240
Inovasi dan pengembangan kurikulum dalam pendidikan
merupakan kebutuhan yang terus harus diperhatikan. Diperlukan riset
lapangan dan refleksi pengalaman untuk mengembangkannya. Strategi
yang lebih baik lagi dalam pengembangan ini ialah kebersamaan para
guru dan siswa untuk mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran yang
sudah ditempuh, kemudian bersama-sama berunding mengusulkan
pendapat bagaimana melakukan pembaruan. Usulan tema-tema
perubahan yang perlu dipikirkan oleh pendidikan di masa depan
mencakup: isi yang diajarkan (kurikulum), tekanan misinya pada bidang
layanan para lulusan, struktur organisasi yang mendukung pembelajaran,
dan sumber finansial demi kemandirian lembaga pendidikan sekolah itu
sendiri.
Sistem inovasi pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dari
sehimpunan aktor, kelembagaan, jaringan, hubungan, interaksi dan proses
produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi
dan difusinya (termasuk teknologi dan praktik baik/terbaik), serta proses
pembelajaran. Sistem inovasi sangat penting karena bukan semata
menyangkut kemajuan ipteks (termasuk misalnya melalui pendidikan,
penelitian, pengembangan dan kerekayasaan) tetapi juga bagaimana iptek
dapat didayagunakan secara maksimal bagi kepentingan nasional dalam
pembangunan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian
sebaliknya, perkembangan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya
menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan dan merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi arah dan kecepatan pemajuan ipteks.
4. Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Berbasis
Sosiologi Kritis, Kreativitas, dan Mentalitas
Ilmu pengetahuan diawali dengan sarat nilai dan sarat tujuan yang
mulia. Ilmu pengetahuan adalah perjuangan terhadap kebohongan,
pembebasan dari belenggu kebodohan dan ketidaktahuan, keangkuhan
dan keacuhan yang semuanya merupakan kejahatan terhadap hati nurani
manusia sendiri. Begitu pula, pengembangan kurikulum menurut Hamzah
juga penuh dengan daya kritis, muatan kreatif, dan nuansa mentalitas.
Banyaknya ketidakjujuran dalam melakukan pengembangan,
keterpasungan dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan pesanan,
sengaja membiarkan kesalahan pada suatu sistem, serta pola manajemen
yang bertentangan dengan hati nurani bukan salah pada ilmu pendidikan.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
241
Kesalahan awal terletak pada kurikulum dan strategi pembelajaran yang
selama digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan pada pendidikan.17
Kurikulum pendidikan sekolah merupakan pertautan pengetahuan
dan kepentingan berbagai pihak terkait dengan proses pembelajaran.
Adanya kepentingan menunjukkan adanya politik, dalam hal ini politik
adalah sistem irasional dengan variabel-variabel yang kompleks dan sulit
dimengerti oleh siswa terkadang oleh para guru sehingga sangat sulit
ditebak akan ke mana arah pendidikan sekolah yang ada saat ini. Untuk
itu menurut Sindhunata diperlukan kritik menuju pembebasan para guru
dan siswa dari irasionalitas menjadi rasional serta dari ketidaksadaran
menjadi kesadaran.18
Hal ini dikarenakan institusi pendidikan beserta para civitas
akademik terjebak dan terbuai pada rasionalitas serta ketidaksadaran yang
berkelanjutan. Hal ini terlihat dari pengetahuan yang didapat oleh siswa
lebih banyak dari proses pembelajaran yang lebih banyak satu arah bukan
partisipasi yang bersifat dialektis yang diutamakan. Para guru masih
menganggap dirinya adalah dewa yang mengetahui segala persoalan dan
permasalahan dalam proses pembelajaran. Hal ini yang memadamkan dan
menumpulkan daya kritis siswa sehingga proses penalaran dan
pengasahan dalam perenungan menjadi terabaikan. Padahal pengetahuan
yang diperoleh tidak semata-mata dari proses pembelajaran saja, tetapi
juga dari perenungan ide-ide, pengalaman, dan pengamatan indra.
Bagi para guru yang kurang atau tidak melakukan perenungan
ide-ide, pengalaman, dan pengamatan indra, maka strategi
pembelajarannya hanya bersifat satu arah dan pasif. Proses penajaman
dari materi yang ada tidak tergali secara optimal. Materi yang diajarkan
dianggap sebagai sesuatu yang given (pemberian), untuk itu tidak perlu
sikap kritis terhadap materi tersebut. Akibatnya, kurikulum yang dibuat
dan dijadikan kontrak belajar antara para guru dan siswa juga dianggap
sebagai sesuatu yang given (pemberian). Tumpulnya perenungan ide-ide
akan mematikan daya imajinasi, inspirasi, dan inovasi terhadap sesuatu
untuk menciptakan sesuatu yang baru. Apalagi proses pembelajaran
selama ini juga lebih banyak menggunakan rasio sebagai alat analisis.
17
Lihat, Hamzah, Op. Cit. hlm. 4. 18
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 39.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
242
Proses tersebut akan memunculkan replikator-replikator baru
bukan kreator-kreator yang handal dan mumpuni. Hal ini dikarenakan
rasio yang digunakan dalam berpikir dan menganalisis sebetulnya tidak
netral dan historis atau tidak terkait dengan masa lalu. Untuk
membebaskan diri dari akal rasional dengan mengikatkan diri pada hati
nurani. Hal ini dikarenakan suara hati nurani adalah suara kejujuran yang
paling terdalam. Apa yang tidak sesuai dengan hati nurani akan
mengalami gejolak atau penolakan di diri. Dengan adanya hal itu, maka
dalam pembuatan kurikulum serta pelaksanaan dalam proses belajar
mengajar tidak semata-mata bertumpu pada rasionalitas semata, tetapi
juga pada perenungan ide-ide dengan imajinasi dan inspirasi untuk
menciptakan sesuatu yang inovasi dengan berpegang pada kata hati
nurani.
Kritis berkaitan dengan memiliki ketajaman dalam menganalisis
suatu hal atau persoalan dan pengambilan keputusan. Semakin tajam
seseorang menganalisis suatu permasalahan maka akan semakin tajam
pula keputusan yang dibuat oleh orang tersebut. Ennis dalam Hassoubah
menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan
reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa
yang harus dipercayai atau dilakukan.19
Hal senada dikemukakan oleh Johnson dan Lamb yang
menyatakan bahwa critical thinking involveslogical thinking and
reasoning including skills such as comparison, classification, sequencing,
cause/effect, patterning, webbing, analogies, deductive, and inductive
reasoning, forecasting, planning, hypothesizing, and critiquing.20
Berpikir kritis meliputi berpikir logis dan beralasan berkaitan dengan
keterampilan seperti membandingkan, menggolongkan, mengurutkan,
sebab akibat, menyusun, mengaitkan, analogi, proses berpikir deduktif,
dan penyebab induktif, ramalan, rencana, membuat hipotesis, dan
tinjauan kritis.
Pembelajaran yang dilakukan dengan model diskusi kelompok
kecil juga dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir
19Z. I.. Hassoubah, Mengasah Pikiran Kreatif dan Kritis: Disertai Ilustrasi dan Latihan.
(Bandung: Nuansa, 2007), hlm. 87. 20
T. Buzandan B. Buzan,The Mind Map Book, (London: BBC Worldwide Limited, 2003),
hlm. 231.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
243
kritis. Siswa yang tergabung dalam kelompok kecil akan mendapat
kesempatan mengklarifikasi pemahamannya dan mengevaluasi
pemahaman siswa lain, mengobservasi strategi berpikir dari orang lain
untuk dijadikan panutan, membantu siswa lain yang kurang untuk
membangun pemahaman, meningkatkan motivasi, serta membentuk sikap
yang diperlukan seperti menerima kritik dan menyampaikan kritik dengan
cara yang santun.21
Kurikulum pendidikan sekolah terjebak pada kestatisan yang
berkelanjutan. Kestatisan tersebut tidak dilandasi dengan pikiran, sikap,
dan tindakan yang positif. Untuk keluar dari pikiran, sikap, dan tindakan
yang negatif menuju positif seakan-akan terasa sulit. Hal ini dikarenakan
ketidakpercayaan terhadap orang dan sistem yang ada. Hal ini juga
dikarenakan risiko yang ada terkait dengan perubahan pikiran, sikap, dan
tindakan yang dialami para guru dan keluaran dari institusi sekolah.
Kreativitas adalah proses perubahan yang lebih baik dengan memberi
nilai tambah pada sesuatu dengan kemungkinan adanya risiko. Tanpa
adanya nilai tambah tersebut sesuatu akan berjalan statis.
Kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan mencipta,22
sedangkan kreativitas menurut Campbell dalam ADVY adalah suatu ide
atau pemikiran manusia yang bersifat inovatif, berdaya guna (useful), dan
dapat dimengerti (understandable).23
Aplikasi dari konsep tersebut adalah
seorang siswa harus banyak bertanya, banyak belajar, dan berdedikasi
tinggi untuk memperoleh kemampuan berpikir kreatif yang tinggi.
Melakukan kreativitas dalam pendidikan sekolah terkadang
berbenturan dengan pelanggaran aturan yang ada. Aturan yang selama ini
dibuat dan disimpan dalam kotak tidak boleh dilanggar atau dilakukan
perubahan. Untuk itu, perlu mendesakralisasi aturan tersebut dengan
melakukan perubahan. Untuk merubah aturan tersebut menjadi lebih baik,
maka harus berpegang pada filosofi aturan tersebut serta berpikir di luar
kotak (out of the box).
21
Sudaryanto, Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis (online).
(http://www.fk.undip.ac.id, diakses 21 Agustus 2014), hlm. 13 22
P. Salim,Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,(Jakarta: Modern English Press,
2002), hlm. 776. 23
ADVY, Kreativitas (online). (http://www.advy.ac.id, diakses 21 Agustu 2014).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
244
Proses berpikir di luar kotak yang belum banyak diasah oleh para
guru dan siswa. Bahkan tidak hanya berpikir di luar kotak, tetapi juga
merangsang untuk menciptakan kotak baru dengan berpijak pada proses
berpikir di luar kotak. Jika hanya berpikir di luar kotak yang selalu
digunakan dan dihandalkan, maka akan terjadi proses konstruksi yang
destruksi. Proses kreativitas dalam pendidikan sekolah juga dapat dibuat
dengan berpijak pada asumsi yang ada maupun yang diciptakan.
Pendidikan bersandar pada asumsi yang ada, dengan menghilangkan,
mengurangi, atau menambah asumsi-asumsi yang ada akan tumbuh
kreativitas yang berkelanjutan.
Kebuntuan kreativitas terkadang terjebak pada penggunaan
logika, karena logika berpola secara sistematis, teratur, dan mekanis.
Padahal kreativitas identik dengan pola pemikiran yang lateral, acak, dan
dinamis. Hambatan penumbuhan kreativitas pada pendidikan tinggi
akuntansi dikarenakan dominannya penggunaan logika dibandingkan
dengan intuisi dan imajinasi. Tanpa adanya pelatihan dan penumbuhan
intuisi dan imajinasi dalam pendidikan tinggi akuntansi, maka kreativitas
akan berjalan di tempat. Kreativitas juga dapat ditumbuhkan dengan
melakukan kaitan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain yang mampu
membuat nilai tambah dan berdaya guna.
Proses kreativitas dapat dilakukan dengan kaitan yang tak
berkaitan. Dengan kata lain, melampaui dari sesuatu yang dijadikan
pijakan untuk mengaitkan dengan sesuatu yang lain. Dalam proses
mengaitkan tersebut, kreativitas akan semakin tumbuh dengan
kemampuan untuk memilah dan memilih bagian dari sesuatu yang
berdaya guna dan bernilai tambah. Pada pendidikan sekolah proses untuk
menjadi kreativitas kurang diperkenalkan/diajarkan, akibatnya keluaran
dari institusi pendidikan sekolah adalah insan-insan yang statis tanpa
mampu melakukan perubahan yang berarti dengan memberi nilai tambah,
daya guna, dan daya hasil bagi masyarakat.
Kemampuan berpikir kreatif dapat memudahkan siswa dalam
memperdalam ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mempertajam
kemampuan siswa untuk menganalisis permasalahan yang timbul dalam
usahanya mempelajari materi tertentu, sehingga siswa dapat mempelajari
materi yang disajikan di sekolah dengan baik, dan mampu menerapkan
ilmu pengetahuan yang telah didapatkannya. Kemampuan berpikir kreatif
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
245
dapat diketahui oleh orang lain di sekitar. Guru hendaknya mengetahui
kemampuan berpikir kreatif dari siswanya sehingga dapat mengenali
karakteristik siswanya dan pada akhirnya dapat menerapkan metode
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa.
Setiap sistem terkandung nilai-nilai tersendiri. Pendidikan sekolah
merupakan sistem maupun subsistem pendidikan tergantung dari sudut
pandang mana melihatnya. Dalam hal ini, pendidikan sekolah sebagai
suatu sistem, semua upaya boleh dilakukan agar sistem dapat berjalan
seoptimal mungkin, yang ditekankan adalah bahwa ada tujuan utama
proses pembelajaran yang paling mulia dengan nilai yang luhur pula yang
merupakan nilai universal yaitu nilai kemanusiaan. Nilai yang
menjadikan para pendidik dan anak didik mempunyai ketangguhan
pribadi, ketangguhan sosial, dan ketangguhan antar manusia dengan
dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.
Nilai yang menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual dalam diri para pendidik
dan anak didik. Nilai tersebut dikerahkan sebagai keseluruhan usaha
dalam sistem pendidikan sekolah. Masalahnya dengan pendidikan tinggi
akuntansi yang dituangkan dalam kurikulum selama ini merupakan
sistem yang memiliki tata nilai sendiri yang telah berulang-ulang kali
terjadi dalam sejarah, yaitu nilai-nilai sempit sistem yang menggantikan
nilai luhur pendidikan tinggi akuntansi sehingga tujuannya menjadi
tujuan egois sistem itu sendiri yang mengarah pada materialitas.
Nilai sempit ini terlihat dari ketangguhan pribadi yang
mengungguli ketangguhan sosial dan ketangguhan antar manusia serta
kecerdasan intelektual yang mendominasi kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual. Sistem tersebut akhirnya hidup dan sadar bahwa ia
mempunyai keinginan sendiri sehingga mengeksploitasi para guru dan
siswa yang merupakan pembuatnya untuk mencapai tujuan-tujuan
egoisnya sendiri, yaitu materialitas.24
Ketika para guru dan siswa mulai
sadar akan hal ini dan mencoba menggantikan sistem tersebut oleh sistem
yang baru yang menawarkan pada pendidikan yang membebaskan, maka
banyak mengalami permasalahan, baik dari sistem yang sudah ada
maupun para pemakai dan pembuat sistem tersebut.
24
Lihat, Hamzah, Op. cit, hlm. 8
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
246
Permasalahan terbesar khususnya dari pemakai dan pembuat
sistem tersebut, yaitu ketakutan akan berkurangnya atau hilangnya nilai-
nilai yang bersifat materialitas. Bahaya terbesar suatu sistem adalah
dogmatisasi nilai-nilai sempit keyakinan yang seharusnya bersifat
sementara dan elastis bahkan plastis terhadap perkembangan jaman.
Kurikulum pendidikan sekolah yang merupakan turunan dari teori
serta nilai-nilai dari suatu ilmu pengetahuan. Dalam perjalanannya,
pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum telah tumbuh begitu
kuatnya sehingga hegemoni telah mencakup segala sisi dari para guru,
siswa, dan sekolah sebagai institusi pendidikan. Bahayanya terletak dari
dogmatisasi nilai-nilai pendidikan yang diajarkan pada sekolah.
Kurikulum pendidikan sekolah telah terstruktur sedemikian rupa sehingga
telah mempunyai arogansi dan egoistis untuk menyatakan dirinya sebagai
satu-satunya yang berhak dalam menyatakan kebenaran.
Perspektif ini merupakan proses fabrikasi dan mekanisasi
pendidikan untuk menghasilkan keluaran pendidikan yang harus sesuai
dengan pasar kerja. Para guru dan siswa tidak sadar dibuat seolah-olah
sebagai robot yang menjalankan sistem penyelenggaraan pendidikan.
Dengan kata lain, para guru dan siswa seakan-akan tidak mempunyai hati,
nurani, dan jiwa didiri. Proses pendidikan diarahkan pada pendidikan
yang menjerumuskan bukan pendidikan yang membebaskan, seakan-akan
pasar kerja mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang mendominasi para
guru dan siswa. Untuk itu, perspektif ini harus diubah dengan meletakkan
manusia yang mengontrol dan mengendalikan pasar kerja.
Pendidikan yang membebaskan merupakan upaya untuk
menempatkan para pendidik dan anak didik membuat pasar kerja yang
penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari
kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang, baik antara para guru dan siswa,
antara institusi sekolah dan para civitas akademik, serta antara manusia
satu dan manusia satunya. Pengembangan kurikulum yang berbasis pada
sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan
strategi pembelajaran yang inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi
yang selama ini dilakukan dalam proses pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang bertumpu pada teori harus diimbangi
dengan praktik yang ada. Banyak guru pada pendidikan sekolah hanya
berpijak pada teori semata, sehingga setelah selesai teori tersebut
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
247
diajarkan, maka perlahan-lahan pudar materi yang selama ini tertanam di
benak siswa. Strategi pembelajaran yang inovatif adalah menciptakan
aktivitas agar anak didik dapat terlibat langsung dalam proses pendidikan
sekaligus terlibat dalam keseluruhan proses.
Strategi pembelajaran tersebut tidak hanya bersifat ceramah
semata saja, tetapi juga dengan adanya simulasi, studi kasus, tanya jawab,
curah pendapat, diskusi kelompok, penugasan, demonstrasi, peragaan,
dan studi lapangan. Penggunaan media belajar yang bervariasi dan
menggunakan hasil teknologi dapat meningkatkan siswa untuk ingin
lebih mengetahui. Siswa yang memiliki rasa ingin lebih tahu mempunyai
kecenderungan untuk bertanya tentang suatu materi pelajaran yang
dipelajarinya.
C. Kesimpulan dan Saran
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di dalamnya
mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah
langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat
keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan
digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut
juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke
dalam tindakan operasional.
Oleh karena itu strategi pembelajaran pada pendidikan sekolah harus
diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, inovasi,
kreativitas, dan mentalitas. Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga
diupayakan merasuki kurikulum yang ada pendidikan sekolah. Selain itu, juga
mengubah strategi pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep
reproductive view of learning menjadi constructive view of learning. Konsep ini
pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses
belajar mengajar selama ini.
Pengembangan kurikulum agar dapat berhasil sesuai dengan yang
diinginkan, maka dalam pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan
pengembangan kurikulum. landasan pengembangan kurikulum mencakup:
landasan filosofis, landasan sosial, budaya, dan agama, landasan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni, landasan kebutuhan masyarakat, dan landasan
perkembangan masyarakat
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
248
Prinsip umum pengembangan kurikulum adalah relevansi, fleksibilitas,
kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip khusus pengembangan kurikulum
adalah berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan
isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar,
prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip
berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Inovasi dan pengembangan kurikulum dilakukan karena melaksanakan
pengembangan kurikulum bersifat dinamis, selalu berubah, menyesuaikan diri
dengan kebutuhan mereka yang belajar (peserta didik). Masyarakat dan mereka
yang belajar mengalami perubahan maka langkah awal dalam perumusan
kurikulum ialah penyelidikan mengenai situasi (situation analysis) yang dihadapi
masyarakat, termasuk situasi lingkungan belajar dalam arti menyeluruh, situasi
peserta didik, dan para calon pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan.
Inovasi dan pengembangan kurikulum dalam pendidikan merupakan
kebutuhan yang terus harus diperhatikan. Diperlukan riset lapangan dan refleksi
pengalaman untuk mengembangkannya. Strategi yang lebih baik lagi dalam
pengembangan ini ialah kebersamaan para guru dan siswa untuk mengevaluasi
kurikulum dan pembelajaran yang sudah ditempuh, kemudian bersama-sama
berunding mengusulkan pendapat bagaimana melakukan pembaruan.
Mengembangkan kurikulum yang berbasis pada sosiologi kritis,
kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan strategi pembelajaran yang
inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi yang selama ini dilakukan dalam
proses pembelajaran. Pendidikan yang membebaskan merupakan upaya untuk
menempatkan para pendidik dan anak didik membuat pasar kerja yang penuh
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari kejujuran, keadilan,
kasih, dan sayang, baik antara para guru dan siswa, antara institusi sekolah dan
para civitas akademik, serta antara manusia satu dan manusia satunya.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
249
DAFTAR PUSTAKA
Agger, B. 2006. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Buzan, T., dan Buzan, B. 2003. The Mind Map Book. London: BBC Worldwide
Limited.
Dimyati, dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka
Cipta.
Ferris, R. W. 1990. Renewal in Theological Education: Stragies for Change.
New York: Billy Graham Center.
Hamzah, A. 2007. Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi
Pembelajaran Berbasis Mentalitas. Bangkalan: Universitas Trunojoyo.
Hassoubah, Z. I. 2007. Mengasah Pikiran Kreatif dan Kritis: Disertai Ilustrasi
dan Latihan. Bandung: Nuansa.
Joni, T. R. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Munandar, S. C. U. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan
Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Salim, P, dan Salim, Y. 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta:
Modern English Press.
Sindhunata. 2004. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Rajawali Press.
Sukmadinata, N. S. 1997. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sukmayadi, D. 2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model
Inovasi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia.
Sumantri, M. 1988. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Topatimasang, R., dan Fakih, M. 2007. Pendidikan Popular: Membangun
Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Insist Press.
ADVY, Kreativitas (online). (http://www.advy.ac.id, diakses 21 Agustu 2014).
Sidjabat, B. S. Pentingnya Inovasi dan Pengembangan Kurikulum dalam
Pendidikan (online). (http://www.tiranus.net, diakses 21 Agustus 2014).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
250
Sudaryanto. 2007. Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis (online).
(http://www.fk.undip.ac.id, diakses 21 Agustus 2014).
Sudrajat, A. 2009. Prinsip Pengembangan Kurikulum (online).
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses 21 Agustus 2014).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
251
PENERJEMAHAN TEKS-TEKS ASING DAN SUMBANGANNYA
TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
Sri Mulyati1
Guru SMP 26 Surakarta
Abstrak
Penerjemahan adalah suatu proses budaya dalam alih teknologi, informasi,
dan pengetahuan. Penerjemahan memiliki dampak dalam pembentukan
karakter bangsa. Karea itu, dalam penerjemahan perlu diperhatikan tentang
pilihan, proses, dan penyajian hasilnya. Namun, pada akhirnya harus
disimpulkan bahwa karakter itu suatu pilihan. Bangsa Indonesia memiliki
pilihan untuk membangun karakter berdasarkan ketuhanan sehingga tidak
menginginkan hal-hal yang bertentangan dengan agama tumbuh subur di
negara kita seperti perilaku yang menyimpang dan tata nilai yang tidak
sesuai dengan norma agama dan etika bangsa.
Kata Kunci : pilihan, proses, penyajian hasil, karakter bangsa.
A. Pengantar
Menurut Kemendiknas2 pendidikan karakter adalah upaya penanaman
nilai dan sikap, bukan pengajaran, sehingga memerlukan pola pembelajaran
fungsional. Pendidikan karakter menuntut pelaksanaannya oleh 3 (tiga) pihak
secara sinergis, yaitu: orang tua, satuan/lembaga pendidikan, dan masyarakat.
Materi dan pola pembelajaran disesuaikan dengan pertumbuhan psikologis
peserta didik. Materi pendidikan karakter berbasis kearifan lokal. Materi
pendidikan karakter diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran lain
Penerjemahan merupakan bagian dari suatu kegiatan kebudayaan akibat
dari adanya perbedaan bahasa. Proses penerjemahan tercatat dalam sejarah telah
membangkitkan suatu geliat dan kemajuan budaya. Kaum muslimin
mendapatkan ilmu pengetahuan dan kemajuan berkat kegiatan mereka dalam
mengalihkan teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Gerakan Renaisans abad
tengah Eropa juga ditunjukan dengan usaha menerjemahkan secara gigih tek-teks
masa lampau mereka. Jepang mengalami loncatan kemajuan teknologi dan
ekonomi berkat pendahulu mereka secara gigih menerjemahkan teks-teks Ipteks
ke dalam bahasa Jepang.
1 Sri Mulyati, SMP N 26 Surakarta
2Kemendiknas. 2014. Pendidikan Karakter. http:.kemdiknas.go.id/ download
/Pendidikan%20Karakter.pdf
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
252
Fenomena di atas menunjukan bahwa penerjemahan adalah suatu
keniscayaan apabila suatu bangsa akan mendapatkan kemajuan. Namun, suatu
hal yang perlu diingat bahwa terjemahan dapat mengancam eksistensi nilai-nilai
budaya bangsa. Artinya, ada proses yang harus dipahami dalam penerjemahan
agar menghasilkan dampak positif bagi kemajuan suatu bangsa.
Penerjemahan memang bukan hal yang asing bagi bangsa Indonesia.
Sejak abad ke-7 teks-teks Mahabharata dan Ramayana sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jawa Kuna. Sriwijaya konon pernah menjadi pusat penerjemahan
teks-teks agama Budha. Al-Quran dan hadist juga sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa di Nusantara, khususnya Melayu sejak abad ke 16 seiring proses
islamisasi di Nusantara.
Artikel kecil ini akan membahas mengenai hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam penerjemahan khususnya dalam rangka membentuk karakter
bangsa yang bermartabat. Hal yang dibahas mengenai pilihan, proses, dan
penyajian hasil.
B. Pilihan Teks
Kegiatan penerjemahan sebenarnya sudah dikenal pada abad kedua
sebelum Masehi3. Meskipun penerjemahan merupakan kegiatan yang sudah
sangat klasik, namun ternyata menerjemahkan itu bukanlah suatu pekerjaan
yang mudah. Tidak setiap orang yang menguasai dua bahasa (bahasa sumber dan
bahasa sasaran) akan dapat menjadi penerjemah yang baik. Menurut Nida (dalam
Soemarno4) selain penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran, seorang
penerjemah yang baik harus menguasai materi teks yang akan diterjemahkan dan
memiliki latar belakang budaya seperti yang dimiliki penulis naskah asli.
Kemampuan menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran dan penguasaan
materi teks sekaligus jarang dimiliki oleh seorang penerjemah. Untuk mengatasi
hal tersebut, seorang penerjemah dapat bekerja dalam suatu tim. Jadi, baik bagi
seorang penerjemah untuk tidak bekerja sendirian.
Pekerjaan tim ini termasuk juga dalam menentukan pilihan teks yang
akan diterjemahkan. Hakikatnya, menerjemahkan adalah memasukan suatu
3 Rusli, Ratna Sayekti dkk.. "Penerjemahan untuk Menjembatani Kesenjangan Antara
Negara Penutur Asli Bahasa Inggris dan Negara Non-Penutur Asli Bahasa Inggris dalam
Rangka Pendidikan Global". (Makalah dalam Konggres Nasional Penerjemahan, 15-16
September 2003 di UNS Surakarta. 2003), Hlm. 45. 4 Soemarno, Thomas. "Hubungan Antara Lama Belajar dalam Bidang Penerjemahan
Kemampuan Berbahasa Inggris dan Tipe-tipe Kesilapan Terjemahan dari Bahasa Inggris ke
dalam Bahasa Indonesia. (Disertasi. IKIP Malang. 1988),.hlm, 5.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
253
budaya asing ke dalam budaya tujuan penerjemahan. Kasus Jepang sangatlah
menarik. Orang Jepang telah secara selektif memilih teks-teks teknologi untuk
diterjemahkan dan menghindari teks-teks idiologi sehingga transfer teknologi
berjalan sangat baik di Barat, tetapi tradisi dan nilai-nilai asli Jepang sangat
terjadi dan dapat dilestarikan sampai sekarang. Hal ini berbeda dengan di
Indonesia yang transfer budaya asing justru terjadi dalam hal idologi dan
perilaku, sementara dalam hal teknologi kita cenderung menjadi konsumen.
Dalam sebuah artikel di weblog, Trilaksana5 menyatakan keprihatinan
tentang masuknya budaya asing. Di era globalisasi seperti sekarang, banyak
sekali informasi yang kita dapatkan dalam waktu singkat. Dengan fasilitas yang
memadai kita dapat mengetahui informasi yang bermanfaat. Namun tidak semua
informasi itu bermanfaat, melainkan informasi yang kita kira bermanfaat dapat
menjerumuskan kita menjadi pribadi yang buruk. Seperti percampuran budaya
yang kita anggap dapat mempersatukan budaya-budaya padahal budaya yang
dominanlah yang menang. Fenomena penjajahan budaya ini dapat kita saksikan
di televisi kita, contoh kecil, para girlband dan boyband, kebanyakkan dari
mereka meniru atau memiliki kemiripan dengan girlband dan boyband Korea.
Ada juga salah satu idola group dari Jepang yang membuat sister group di
Indonesia. dan ada Iklan kosmetik dengan embel-embel „cantik seperti orang
Korea‟. Sampai acara-acara televisi yang diadaptasi dari budaya barat yang
belum tentu sesuai dengan budaya asli Indonesia. Apakah budaya itu bercampur
dengan budaya Indonesia atau mendominasi sehingga remaja sekarang lebih
senang dengan budaya asing?
Budaya asing itu seakan-akan membaur dengan budaya asli, sehingga
tidak banyak orang yang menyadari bahwa ini adalah serangan terhadap budaya
asli mereka. Budaya asing ini masuk dengan perlahan sehingga kedatangannya
pun tidak langsung terasa. Target utama mereka adalah para remaja yang masih
mencari jati diri mereka. Pada saat itulah mereka menanam budaya asing tersebut
kepada para remaja tersebut. Sangat mudah bagi mereka mengendalikan para
remaja tersebut dengan mengendalikan idola-idola mereka. Tentu saja idola-
idola ini sudah menjadi boneka oleh para elite (penguasa) mereka tinggal
„memainkan‟-nya dan para penggemarnya (remaja) akan mengikutinya.
Masalah buku asing kedudukannya pada hakikatnya sama dengan buku
lokal. Kalau substansi buku tersebut merusak moral, maka kedudukannya juga
5 Trilaksono, Ivanriadi . “ Penjajahan Budaya”. http://www.pidas81.org/ penjajahan-
budaya/2014.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
254
menjadi negatif. Hanya bedanya, buku asing perlu diterjemahkan sedangkan
buku lokal sudah hadir dalam kebudayaan itu sendiri.
Dalam menerjemahkan perlu dipilih teks-teks yang bermanfaat dan tidak
mengandung suatu hal yang kontradiksi dengan budaya bangsa. Kita harus
memiliki prioritas dalam menerjemahkan. Teks-teks ilmu dan teknologi lebih
bermanfaat diterjemahkan daripada teks-teks tentang dukungan kepada gay,
homoseks, atau pun teknik-teknik yang dapat digunakan untuk kejahatan.
Masalah prioritas tentang teks terjemahan memang selamanya dapat
menjadi suatu perdebatan yang panjang. Intinya, dalam kehidupan ini memang
terdapat tarik menarik yang tidak ada henti terganting kepentingan suatu
kelompok masyarakat.
C. Proses
Penerjemahan bukanlah suatu hal yang simpel. Newmark6 menyatakan
bahwa penerjemahan terdiri dari 4 level:
1. The Textual Level: Memahami isi dari tulisan dalam bahasa sumber
2. The Referential Level: Mencari arti mengenai istilah, kegiatan, peristiwa dsb.
yang terdapat dalam bahasa sumber
3. The Cohesive Level: Menyatukan kalimat-kalimat yang sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa sasaran
4. The Level of Naturalness: Memperbaiki struktur bahasa yang sudah
diterjemahkan agar bisa dibaca secara alami oleh pembaca sasaran.
Dalam Kompasiana ditemukan tentang proses penerjemahan yang
dianggap berbahaya, khususnya penerjemahan ayat-ayat Al-Quran. Sebagai
misal, terjemah harfiah yang dinilai keliru, yakni pada Surah Bani Israil ayat 29
yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu jadikan tangamu terbelenggu pada
lehermu, dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena
itu kamu menjadi tercela dan menyesal".
Terjemahan tersebut memang sangat mudah dipahami, bahkan dalam
hubungan dengan amaliah ibadah. Bahkan, boleh dikatakan terlalu
membingungkan dan susah diamalkan. Terjemahan tersebut dapat diluruskan
menjadi:
6 Newmark, Peter. A Textbook of Translation. Hertfordshire: Prentice Hall International
(UK) Ltd. 1988.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
255
“Dan janganlah kamu berlaku kikir, tetapi jangan pula kamu
berlaku boros, karena kelak kamu akan menjadi hina dan
menyesal atas sikapmu yang berlebihan.”
Contoh di atas sekaligus menunjukan bahwa dalam proses penerjemahan,
terdapat suatu hal yang amat terkait dengan pembentukan karakter.
Contoh di atas adalah contoh proses pemahaman teks yang tidak
mengikutkan nilai budaya. Yang perlu diperhatikan juga bahwa setiap teks
memiliki karakteristik tersendiri, yaitu intercultural (lintas budaya) dan
interdisipliner (lintas disiplin). Oleh sebab itu, penerjemah sangat memerlukan
sumbangan dari ilmu-ilmu lain seperti: linguistik (baik struktural maupun
sistematik fungsional), psikolinguistik, sosiolinguistik, ilmu komunikasi, filologi,
leksikografi, dan lain sebagainya. Di samping itu, penerjemahan termasuk ilmu
terapan karena di dalamnya aspek-aspek praktis sangat diperhatikan. Untuk
melaksanakan hal tersebut, penerjemahan tim merupakan pilihan terbaik.
Beraneka informasi dikirim dan diterima dengan kecepatan yang makin
meningkat dari dan ke seluruh penjuru dunia. Komunikasi antar negara ini
sebagian besar dilakukan dalam bahasa Inggris karena sampai sekarang dan
mungkin akan seterusnya bahasa Inggris menjadi bahasa baku dunia dan tidak
ada ancaman besar terhadap bahasa ini.7 Bagaimana dengan negara-negara
nonpenutur bahasa Inggris? Di sinilah penerjemah mulai berperan, karena
melalui penerjemahan tidak akan ada halangan bagi komunikasi tertulis maupun
lisan antarnegara untuk bertukar informasi, misalnya mengenai ilmu
pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, kebudayaan, dan kemasyarakatan.
Jadi, penerjemahan digunakan untuk menjembatani kesenjangan antara negara
penutur asli bahasa Inggris dan negara nonpenutur asli bahasa Inggris. Dengan
kata lain, penerjemahan merupakan salah satu sarana dalam komunikasi global.
Salah menerjemahkan bisa menimbulkan salah interpretasi dan dapat
berpengaruh pada karakter bangsa karena sesuatu yang baik pada suatu bangsa
belum tentu dinilai baik bagi bangsa lain. Proses penerjemahan hendaknya
selektif memilih kosa kata dan selalu mempertmbangkan tata nilai budaya
bangsa. Memang sangat sulit untuk menerjemahkan hal-hal yang secara budaya
bertentangan.
7 Rusli, Ratna Sayekti dkk. "Penerjemahan untuk Menjembatani Kesenjangan Antara
Negara Penutur Asli Bahasa Inggris dan Negara Non-Penutur Asli Bahasa Inggris dalam
Rangka Pendidikan Global". (Makalah dalam Konggres Nasional Penerjemahan, 15-16
September 2003 di UNS Surakarta. 2003).
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
256
Pada tahun 1990-an ketika Telenovela sedang digandrungi dan didubbing
ke dalam bahasa Indonesia, banyak orang tua Indonesia gelisah karena dalam
telenovela tersebut disampaikan hal-hal yang bertentangan dengan budaya
Indonesia seperti minum-minuman keras, tidak bersama ketika berpacaran,
sampai memiliki anak tanpa nikah. Hal ini lazim di budaya asal telenovela, tetapi
merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima dalam budaya Indonesia.
Penerjemahan teks-teks seperti itu pada hakikatnya perlu dihindari, meskipun
bertentangan dengan selera pasar dan sedang laris.
Kasus yag sama terjadi pada penerjemahan komik Sincan. Komik dari
Jepang yang kemudian juga dimunculkan dalam TV tersebut terdapat perilaku-
perilaku yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, khususnya perilaku sopan
santun dan ketertiban. Komik yang aslinya di Jepang untuk tontonan orang
dewasa, di Indonesia dianggap sebagai komik untuk anak-anak karena berupa
film kartun. Banyak anak yang menonton atau membaca komik tersebut
berperilaku ”aneh-aneh” karena meniru perilaku Sincan yang ”lucu” tetapi norak.
D. Penyajian
Menyajikan penerjemahan memang merupakan hal yang sulit. Perlu
didukung teori penerjemahan untuk mendapatkannya. Dengan adanya teori,
orang dapat mengenal jenis-jenis penerjemahan dan memilih jenis-jenis tersebut
seusai kebutuhannya. Secara teoritis, dikenal beberapa jenis penerjemahan yaitu:
(1) penerjemahan kata demi kata (word-for-word translation); (2) penerjemahan
bebas (free translation); (3) penerjemahan harfiah (literal translation); (4)
penerjemahan dinamik; (5) penerjemahan pragmatik; (6) penerjemahan estetik-
puitik (esthetic-poetic translation); (7) penerjemahan etnografik; (8)
penerjemahan linguistik; (9) penerjemahan komunikatif; dan (10) penerjemahan
semantik.8
Adanya berbagai jenis penerjemahan itu disebabkan oleh:
1. adanya perbedaan sistem bahasa sumber dan bahasa sasaran;
2. adanya perbedaan jenis materi teks yang akan diterjemahkan;
3. adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi;
4. adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan teks.9
8 Soemarno, Thomas. 2001. "Penerjemahan Bebas dalam Aktivitas Sehari-hari" dalam
Jornal Linguistik Bahasa Volume 1 Nomor 1 Mei 2001.hlm, 31.
Nababan, M. Rudolf.. Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan. (Yogyakarta:
Kanisius. 1997), Hlm. 20-34 9 Nababan, M. Rudolf.. Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan. (Yogyakarta:
Kanisius. 1997), Hlm. 20
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
257
Roger T. Bell10
menjelaskan bahwa ada 5 pengetahuan yang harus
dikuasai oleh seorang penerjemah, yaitu:
(1) bahasa target
(2) pengetahuan tipe teks
(3) pengetahuan bahasa sasaran
(4) pengetahuan tentang area subjek (real-wordl)
(5) pengetahuan kontrastif
Pengetahuan tentang bahasa target jelas membutuhkan pengetahuan
linguistik. Pengetahuan linguistik tersebut dibagi menjadi 3, (1) pengetahuan
semantik, (2) pengetahuan sintaksis, dan (3) pengetahuan pragmatik. Kehilangan
salah satu pengetahuan tersebut menjadikan penerjemah tidak mampu bekerja
dengan baik.11
Salah satu unsur dalam penyajianhasil penerjemahan ialah mengenai
sasaran pembaca. Buku terjemahan tentang seks, sangat tidak layak kalau
disajikan dalam buku untuk anak-anak. Begitu juga buku-buku tentang prostitusi,
menggugurkan kandungan, gay, lesbian, homoseks sangat mempengaruhi
karakter masyarakat kita yang masih berpegang pada norma. Padahal, buku-buku
tentang hal tersebut di Barat merupakan suatu hal yang biasa. Dalam pandagan
Barat, perilaku seks menyimpang seperti gay dan homoseks dianggap sebagai
kecenderungan saja, bukan suatu hal yag perlu dihindari. Beberapa negara Barat
malah sudah melegalkan pengguguran kandungan.
E. Kesimpulan
Pada akhirnya harus disimpulkan bahwa karakter itu suatu pilihan.
Bangsa Indonesia memiliki pilihan untuk membangun karakter berdasarkan
ketuhanan sehingga tidak menginginkan hal-hal yang bertentangan dengan
agama tumbuh subur di negara kita.
Penerjemahan yang merupakan salah satu bentuk alih budaya harus
mempertimbangan hal tersebut sehingga dalam hal pilihan, proses, dan penyajian
hasil penerjemahan harus tetap mempertimbangan sumbangannya terhadap
pembangunan karakter bangsa
10
Bell, Roger T. Translation and Translating: Theory and Practice. (London and New
York: Longman1991), Hlm, 36 11
Ibid, hlm. 37
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
258
DAFTAR PUSTAKA
Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. London
and New York: Longman.
Kemendiknas. 2014. Pendidikan Karakter. http:.kemdiknas.go.id/
download/Pendidikan%20Karakter.pdf
Nababan, M. Rudolf. 1997. Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. Hertfordshire: Prentice Hall
International (UK) Ltd.
Nida, E. A. 1964. Toward A Science of Translating. Leiden: EJ. Brill.
Nida, E. A. 1975. Language Structure and Translation. Stanford: Standford
University Press.
Rusli, Ratna Sayekti dkk. 2003. "Penerjemahan untuk Menjembatani
Kesenjangan Antara Negara Penutur Asli Bahasa Inggris dan Negara
Non-Penutur Asli Bahasa Inggris dalam Rangka Pendidikan Global".
Makalah dalam Konggres Nasional Penerjemahan, 15-16 September
2003 di UNS Surakarta.
Soemarno, Thomas. 1988. "Hubungan Antara Lama Belajar dalam Bidang
Penerjemahan Kemampuan Berbahasa Inggris dan Tipe-tipe Kesilapan
Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Disertasi.
IKIP Malang.
Soemarno, Thomas. 2001. "Penerjemahan Bebas dalam Aktivitas Sehari-hari"
dalam Jornal Linguistik Bahasa Volume 1 Nomor 1 Mei 2001.
Trilaksono, Ivanriadi . 2014. “ Penjajahan Budaya”. http://www.pidas81.org/
penjajahan-budaya/
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
259
KEPEMIMPINAN DAN PENDIDIKAN ISLAM
Puji Khamdani1
Abstrak
Kepemimpinan merupakan suatu usaha sadar yang dilakukan seseorang
(pemimpin) untuk dapat merealisasikan tujuan organisasi melalui orang lain
dengan cara memberikan motivasi agar orang lain tersebut mau
melaksanakannya, dan untuk itu diperlukan adanya keseimbangan antara
kebutuhan individu para pelaksana. Seorang pemimpin tentunya harus
memahami serta mengerti akan dasar-dasar kepemimpinan untuk dapat menjadi
pemimpin, baik dalam lingkup yang kecil, seperti keluarga, pemimpin diskusi,
dan lain-lain maupun pemimpin dalam lingkup yang besar seperti pemimpin
organisasi, pemimpin agama, pemimpin negara dan sebagainya. Namun ada
beberapa faktor munculnya kepemimpinan: pertama, faktor situasi dan kondisi;
kedua, faktor kemampuan; ketiga, faktor keturunan; keempat, faktor
pengangkatan; kelima, faktor kepentingan. Pendidikan adalah proses bimbingan,
mendidik yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa
guna mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan Islam adalah
pembentukan kepribadian untuk menjadi manusia yang berakhlakul karimah
agar dalam kehidupan sehari-hari mendapatkan kebahagiaan, ketenteraman, serta
dapat mencerminkan perilaku sesuai syari'at Islam yang bersumber pada Al-
Qur'an, Sunnah Rasul dan Ijtihad. Kepemimpinan pendidikan merupakan
kemampuan untuk menggerakkan pelaksanaan pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan. Pengertian ini sejalan dengan sudut filosofi kepemimpinan
yang pada pokoknya menjunjung tinggi asas kemanusiaan (human relationship).
Kata Kunci: Kepemimpinan dan Pendidikan Islam.
A. Pendahuluan
Pandangan yang mendasari setiap aktifitas pemimpin dalam
kepemimpinannya baik dalam penyusunan perencanaan maupun pelaksanaan di
lembaga, atau tempat yang dipimpinnya. Karena pemimpin sangat dibutuhkan
dalam suatu organisasi kelompok individu sebagai pembimbing, motivator, dan
penggerak yang menyebabkan orang lain bertindak sesuai dengan tujuan yang
akan dicapai.
Seseorang dapat menduduki jabatan pemimpin biasanya disebabkan oleh
berbagai faktor, di antaranya: a) Faktor Situasi dan Kondisi, b) Faktor
1 Puji Khamdani, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
260
Kemampuan, c) Faktor Keturunan, d) Faktor Pengangkatan (Penunjukan), dan e)
Faktor Kepentingan.
Kepemimpinan (leadership) merupakan pembahasan yang selalu
menarik, karena ia merupakan salah satu faktor penting dan menentukan
keberberhasilan atau gagalnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya2.
Pentingnya hal itu ditandai dengan berlangsungnya berbagai jenis kegiatan
pelatihan (training) kepemimpinan, terutama bagi individu yang dipersiapkan
untuk menjadi pemimpin suatu organisasi atau lembaga. Dan sangat maklum
bahwa setiap organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorang
pimpina tertinggi (pimpinan puncak) dan atau manajer tertinggi (top manajer)
yang harus menjalankan kepemimpinan dan manajemen.
Guru sebagai pemimpin pendidikan bagi murid. Guru dalam Islam adalah
orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik dengan
mengupayakan seluruh potensinya, baik potensi afektif, potensi kognitif, maupun
potensi psikomotorik. Guru juga berarti orang dewasa yang bertanggungjawab
memberikan pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya agar menacapai tingkat kedewasaan, serta mampu berdiri sendiri
dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah.
B. Kepemimpinan
Menurut Griffin dan Ebert, kepemimpinan (leadership) adalah proses
memotivasi orang lain untuk mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.3 Lindsay dan Patrick dalam membahas “Mutu Total dan
Pembangunan Organisasi” mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu
upaya merealisasikan tujuan perusahaan dengan memadukan kebutuhan para
individu untuk terus tumbuh berkembang dengan tujuan organisasi. Perlu
diketahui bahwa para individu merupakan anggota dari perusahaan.4 Peterson at.
all, mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu kreasi yang berkaitan
dengan pemahaman dan penyelesaian atas permasalahan internal dan eksternal
organisasi.5 Kepemimpinan dari segi istilah dapat didefisinikan sebagai proses
mempengaruhi orang lain untuk berbuat guna mewujudkan tujuan-tujuan yang
2 Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES,1999), hlm. 19.
3 Griffin W. Ricky dan Ebert J. Ronald, Business, edisi-5, (New Jersey: Prentice Hall
International Inc, 1999), hlm. 228. 4 Lindsay M. William dan Patrick A. Joseph, Total Quality and Organization
Development, (Florida: St. Lucie Press, 1997), hlm. 4. 5 Peterson W. Marvin, at. all, Planning and Management for a Changing Environment,
(San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1997), hlm. 192.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
261
sudah di tentukan. Kepemimpinan selalu melibatkan upaya seseorang
(pemimpin) untuk mepengaruhi perilaku seseorang pengikut atau para pengikut
dalam suatu situasi6. Kepemimpinan adalah proses menggerakkan manusia untuk
meraih tujuan. Kepemimpinan memiliki tiga unsur: 1) Adanya tujuan yang
menggerakkan manusia, 2) Adanya sekelompok orang, 3) Adanya pemimpin
yang mengarahkan dan memberikan pengaruh kepada manusia.7
Dari beberapa definisi kepemimpinan di atas dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan merupakan usaha sadar yang dilakukan seseorang (pemimpin)
dalam proses mempengaruhi, memotivasi, dan menyebabkan seseorang atau
kelompok orang untuk berbuat guna mengarah pada tujuan yang sudah
ditentukan.
C. Konsep Dasar Kepemimpinan
Kepemimpinan (leadership) merupakan pembahasan yang selalu
menarik, karena ia merupakan salah satu faktor penting dan menentukan
keberberhasilan atau gagalnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya8.
Pentingnya hal itu ditandai dengan berlangsungnya berbagai jenis kegiatan
pelatihan (training) kepemimpinan, terutama bagi individu yang dipersiapkan
untuk menjadi pemimpin suatu organisasi atau lembaga. Dan sangat maklum
bahwa setiap organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorang
pimpina tertinggi (pimpinan puncak) dan atau manajer tertinggi (top manajer)
yang harus menjalankan kepemimpinan dan manajemen.
Dalam berbagai pustaka, secara etimologi istilah kepemimpinan berasal
dari kata dasar ”pimpin” yang memiliki arti bimbing atau tuntun. Dari kata
pimpin lahirlah kata kerja “memimpin” yang artinya membimbing atau
menuntun9. Sedangkan kata kepemimpinan sendiri berarti kegiatan menuntun,
memandu dan menunjukkan jalan.
Secara terminologi banyak ahli yang memberikan definisi.
Menurut Stogdill, kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan menggerakkan
atau memotivasi sejumlah orang agar secara serentak melakukan kegiatan yang
sama dan terarah pada pencapaian tujuan. Selanjutnya Robert Kreither dan
6 Manullang, Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Pertama, (Yogyakarta: PT.
BPFE, 2001) , hlm. 141. 7 Thariq As – Suwaidan, dkk., Melahirkan Pemimpin Masa Depan, (Jakarta: Gema
Insani, 2005), hlm. 10. 8 Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES,1999), hlm. 19.
9 Pamuji, Kepemimpinan Pemerintah di Indonesi, (Jakarta: Bumi Aksara , 1995), hlm.
5.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
262
Angelo Kinicki yang dikutip Haidar Imam Bukhori mengatakan bahwa
kepemimpinan adalah upaya mempengaruhi anggota untuk mencapai tujuan
organisasi secara sukarela10
.
Pengertian ini menekankan pada kemampuan pemimpin yang tidak
memaksa dalam menggerakkan anggota organisasi agar melakukan kegiatan
yang terarah pada tujuan organisasi.
Dalam pengertian yang senada Gibson yang dikutip Haidar Imam
Bukhori juga mengatakan kepemimpinan adalah upaya menggunakan berbagai
jenis pengaruh yang bukan paksaan untuk memotivasi anggota organisasi agar
mencapai tujuan tertentu11
. Memotivasi berarti dilakukan sebagai kegiatan
mendorong anggota organisasi untuk melakukan kegiatan tertentu tanpa
memaksa dan mengarah pada tujuan. Kegiatan mendorong merupakan usaha
menumbuhkan motivasi instrinsik, yaitu dorongan yang tumbuh dari dalam diri
anggota organisasi yang berupa kesadaran terhadap peranan dan pentingnya
kegiatan dalam usaha mencapai tujuan organisasi.
Pengertian yang agak berbeda dikemukakan oleh Pondy. Dia menyatakan
bahwa kepemimpinan sebagai kemampuan untuk menjadiakn suatu aktifitas
bermakna, tidak untuk merubah perilaku, namun memberi pemahanan kepada
pihak lain tentang apa yang mereka lakukan12
.
Dari sekian banyak definisi kiranya dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang
yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi13
dengan seorang
pemimpin puncak sebagai figur sentral yang memiliki wewenag dan tanggung
jawab dalam mengefektifkan organisasi tersebut14
. Karenanya kepemimpinan
menurut Stephen P. Robbins selalu terkait dengan kemampuan mempengaruhi
orang lain dan kemampuan mengambil keputusan15
.
D. Pendidikan Islam
Pengertian pendidikan dilihat dari istilah adalah bimbingan atau
pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang
10
Haidar Imam Bukhori, Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi, (Yogyakarta:
Gajah Mada Univesity Press, 2003), hlm. 21. 11
Ibid. 12
Pamuji, op., cit., hlm. 34. 13
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi,
(Bandung; Rosdakarya, 2002), hlm. 107. 14
Haidar Imam Bukhori, op., cit, hlm. 72. 15
Ibid., hlm. 38.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
263
dewasa agar ia menjadi dewasa.16
Definisi lain dari pendidikan adalah suatu
proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi
tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.17
Sering ditafsirkan usaha
pendidikan sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan yang
kelak mampu berdiri sendiri dan mengejar cita-citanya. Titik akhir kegiatan
mendidik adalah tercapainya kedewasaan. Pendapat ini dipelopori oleh
Langeveld sebagai anak dari jamannya dan lingkungannya. Beliau dibesarkan
dalam kebudayaan Barat yang menekankan sikap individualisme.18
Pengertian
pendidikan seperti yang lazim dipahami sekarang belum terdapat di zaman Nabi.
Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan
seruan agar dengan berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi contoh, melatih
keterampilan berbuat, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan yang
mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu, telah mencakup
arti pendidikan dalam pengertian sekarang.19
Hasan Langgulung menjelaskan
bahwa pendidikan dapat dilihat dari tiga segi, pertama pendidikan dilihat dari
segi individu artinya individu secara fitri dibekali kemampuan (Abilites) yang
masing-masing individu memiliki derajat kemampuan yang berbeda-beda, maka
pendidikan di sini diartikan sebagai proses untuk mengembangkan dan
menentukan kemampuan-kemampuan (pengembangan potensi) yang tentunya
juga lewat latihan-latihan atau pembinaan-pembinaan yang dapat dan mampu
mengembangkan potensinya itu. Kedua, dilihat dari segi pandangan masyarakat
bahwa manusia memperoleh pengetahuan dengan mencarinya pada alam di luar
pelajar, maka pendidikan di sini diartikan sebagai proses pewaris dan budaya
atau dengan kata lain masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin
disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap
terpelihara. Juga dilihat dari segi pendidikan sebagai proses memberi dan
mengambil antara manusia dan lingkungannya, atau dengan kata lain pendidikan
sebagai proses interaksi (hubungan timbal balik) antara potensi individu dan
budaya.20
Jadi, dari beberapa pengertian tentang pendidikan di atas dapat
16
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 1. 17
Djamaluddin Darwis, Dinamika Pendidikan Islam Sejarah, Ragam dan Kebudayaan,
(Semarang: Rasail, 2006), hlm. 65. 18
I.L. Pasaribu,dkk., Pendidikan Nasional; Tinjauan Pedagogik Teoritis, (Bandung:
Tarsito, 1982), hlm. 9. 19
Zakiah Daradjat, dkk., Op. Cit., hlm. 27. 20
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, (Jakarta: Al-Husna,
1988), hlm. 57.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
264
disimpulkan bahwa pendidikan adalah proses bimbingan, mendidik yang
diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa guna mencapai
tujuan dari pendidikan itu sendiri.
1. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung, bahwa pendidikan
Islam adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan,
mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan
dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di
akherat.21
Pendapat Al-Ghazali itu didukung oleh M. Athiyah Abrasyi
mengatakan pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam (
pendidikan yang dikembangkan oleh kaum muslimin), dan Islam telah
menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa
pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan
sebenarnya dari pendidikan.22
Menurut Ahmad D. Marimba bahwa
pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan
kepribadian anak didik sesuai dengan ajaran Islam, memikirkan,
memutuskan, dan berbuat sesuai dengan ajaran Islam.23
Pengertian
pendidikan Islam tersebut di atas sesuai dengan yang disampaikan oleh
Zuhaiini dkk, pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada
pembentukan kepribadian anak didik sesuai dengan ajaran Islam,
memikirkan, memutuskan, dan berbuat sesuai dengan ajaran Islam.24
Ramayulis berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses
edukatif yang mengarahkan kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.25
Jadi, dari beberapa pengertian tentang pendidikan Islam tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah pembentukan
kepribadian untuk menjadi manusia yang berakhlakul karimah agar dalam
kehidupan sehari-hari mendapatkan kebahagiaan, ketenteraman, serta dapat
mencerminkan perilaku sesuai syari'at Islam.
2. Dasar-dasar Pendidikan Islam
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang sengaja untuk mencapai
suatu tujuan harus mempunyai landasan. Begitu juga dengan pendidikan
21
Djamaluddin Darwis, Op. Cit., hlm. 22. 22
Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al – Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), hlm. 44. 23
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Al-Ma'arif, 1992), hlm. 26. 24
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 152. 25
Ramayulis, Op C it., hlm. 4.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
265
islam yang menurut Ahmadi, landasan (dasar) tersebut adalah nilai-nilai
yang luhur yang besifat transendental, universal dan eksternal.26
Dasar-dasar pendidikan Islam bersumber pada Al-Qur'an, Sunnah
Rasul yang dapat dikembangkan dengan Ijtihad.
a. Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai landasan dasar pendidikan Islam yang di
dalamnya terkandung dua prinsip besar yaitu yang berhubungan dengan
masalah keimanan yang disebut aqidah, dan yang berhubungan dengan
amal yang disebut syari'ah.27
Kedudukan Al-Qur'an sebagai sumber pokok pendidikan Islam
dapat dipahami dari ayat Al-Qur'an itu sendiri. Allah berfirman dalam Al-
Qu'an surat An-Nahl ayat 64:
Artinya : “ Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al
-Qur'an) ini melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada
mereka perselisihan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman”. (QS. An-Nahl: 64)28
Sebagai contoh dapat dibaca kisah Lukman mengajari anaknya
dalam surat Lukman ayat 12-19. Cerita itu menggariskan prinsip materi
pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak ibadat, sosial dan ilmu
pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai
sesuatu kegiatan dan amal soleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan
harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu pendidikan islam
harus menggunakan Al-Qur'an sebagai sumber utama dalam merumuskan
berbagai teori tentang pendidikan Islam. Dengan kata lain, pendidikan
Islam harus berlandaskan ayatayat Al-Qur'an yang penafsian dapat
dilakukan berdasarkan ijtihad disesuaikan dengan perubahan dan
26
Achmad, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media,
1992), hlm . 55. 27
Ibid. 28
A. Soenaryo, dkk., Op. Cit., hlm. 273.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
266
pembaharuan.29
b. Sunnah
Dasar yang kedua selain Al -Qu'an adalah sunnah Rosulullah.
Amalan yang dikerjakan oleh Rosulullah Saw dalam proses perubahan
sikap hidup sehari-hari menjadi sumber utama pen didikan Islam karena
Allah SWT menjadikan Muhammad sebagai teladan bagi umatnya30
.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab ayat 21:
Artinya : “Sungguh, telah bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan )hari kiamat dan yang banyak mengingat
Allah”. (Qs. Al-Ahzab : 21)31
c. Ijtihad
Ijtihad dibidang pendidikan ternyata semakin perlu sebab ajaran
Islam ang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah adalah bersifat pokok-
pokok dan prinsip-prinsipnya saja. Bila ternyata ada yang agak terperinci,
maka perincian itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan yang prinsip
itu.32
Dari beberapa uraian di atas jelas bahwa dasar pendidikan Islam
tidak hanya bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, namun ijtihad
juga dapat dijadikan sumber dasar pendidikan.
3. Tujuan Pendidikan Islam di Indonesia
Sebelum menjelaskan tujuan pendidikan Islam di Indonesia, perlu
penulis kemukakan terlebih dahulu beberapa tujuan pendidikan, antara lain:
a) Tujuan Umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan
pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan itu
29
Zakiyah Daradjat, dkk., Loc. Cit., hlm. 20. 30
Ibid. 31
A Soenaryo, Op. Cit., hlm. 420. 32
Zakiyah Daradjat, dkk., Op. Cit., hlm. 22.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
267
meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku,
penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda pada
setiap tingkat umur, kecerdasan, situasi, dan kondisi dengan kerangka yang
sama. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus dapat tergambar pada
pribadi seseorang yang sudah di didik,walaupun dalam ukuran kecildan
mutu pendidikan yang rendah, sesuai dengan tingkat-tingkat tersebut.33
b)
Tujuan Akhir Pendidikan Islam itu dapat di pahami dalam firman Allah
surat Ali Imron ayat 102:
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa; dan janganlah
kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (menurut ajaran
Islam)”. (QS. Ali Imran : 102)34
Pendidikan Islam di Indonesia haruslah berorientasi pada tujuan
umum pendidikan Islam sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
akan tetapi disegi lain harus pula berorientasi pada tujuan pendidikan
nasional. Tujuan pendidikan nasional dirumuskan dengan mendasarkannya
kepada pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila, sehingga diharapkan
lembaga pendidikan Islam di Indonesua dapat melahirkan manusia muslim
yang Pancasilais. Pemerintah Indonesia telah menyusun dan merumuskan
tujuan pendidikan yang dapat dijadikan sebagai arah dalam proses
pendidikan pada setiap lembaga pendidikan di Indonesia. Tujuan ini telah
digariskan dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
33
Zakiyah Daradjat, dkk., Op. Cit., hlm. 30. 34
A. Soenaryo, Op. Cit., hlm. 63.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
268
bertanggungjawab.35
Apabila dianalisa secara mendalam, sebenarnya tujuan umum
pendidikan Islam dan tujuan pendidikan nasional Indonesia pada hakekatnya
tidak bertentangan bahkan mempunyai titik persamaan, apabila pendidikan
nasional diletakkan secara proposional dalam rangka pendidikan nasional,
maka pendidikan Islam dapat menciptakan insan yang beriman, bertaqwa
seperti yang dirumuskan di dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tersebut di atas,
dan sekaligus berarti mendidik insan Pancasila dan insan yang beragama.
E. Kepemimpinan Pendidikan
Jika kita berbicara tentang kepemimpinan pendidikan, hendaklah kita
berusaha memahami bahwa dalam pelaksanaan tugas itu ada seorang yang
berfungsi sebagai pemimpin. Ia adalah orang yang dapat bekerjasama dengan
orang lain dan yang dapat bekerja untuk orang lain.
Siapakah yang sebenarnya dapat disebut pemimpin pendidikan? Tiap-tiap
orang yang merasa terpanggil untuk melaksanakan tugas memimpin di dalam
lapangan pendidikan, misalnya orang tua di rumah, guru di sekolah, kepala
kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta pengawas pendidikan di
Kantor Pembinaan Pendidikan dan di daerah pelayanannya, juga pendidik lain.
Kepemimpinan sangat dibutuhkan dalam pembinaan pendidikan.36
Ki Hadjar Dewantara, seorang bapak Taman Siswa, menganggap
pendidikan sebagai daya upaya untuk mewujudkan bertumbuhnya budi pekerti,
kekuatan batin, karakteristik, pikiran (intelek) dan tubuh anak untuk memajukan
kehidupan anak didik selaras dengan dunianya. Apabila pengertian
kepemimpinan dipadukan dengan pengertian pendidikan, maka akan muncul
pengertian kepemimpinan pendidikan. Dirawat dan kawan-kawan memberikan
definisi kepemimpinan pendidikan sebagai satu kemampuan dan proses
mempengaruhi, membimbing, mengkoordinir dan menggerakkan orang-orang
lain yang ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pendidikan dan
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, agar supaya kegiatan-kegiatan yang
diajukan dapat lebih efisien dan efektif di dalam pencapaian tujuan-tujuan
35
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(Semarang: CV. Duta Nursindo, 2003), hlm. 7. 36
Soekarto Indrafachrudi, Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah Yang Baik,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), hlm. 11.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
269
pendidikan dan.37
1. Fungsi Kepemimpinan Pendidikan
a. Fungsi pemimpin yang bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai,
antara lain terdiri dari: 1) Pemimpin berfungsi memikirkan dan
merumuskan dengan teliti tujuan kelompok serta menjelaskan supaya
anggota dapat bekerjasama mencapai tujuan itu; 2) Pemimpin berfungsi
memberi dorongan kepada anggota-anggota kelompok untuk
menganalisis situasi supaya dapat dirumuskan rencana kegiatan
kepemimpinan yang dapat memberi harapan yang baik; 3) Pemimpin
berfungsi membantu anggota kelompok dalam mengumpulkan
keterangan yang perlu supaya dapat mengadakan pertimbangan yang
sehat,; 4) Pemimpin berfungsi menggunakan kesanggupan dan minat
khusus anggota kelompok; 5) Pemimpin berfungsi memberi dorongan
kepada setiap anggota kelompok untuk melahirkan perasaan dan
pikirannya dan memilih buah pikiran yang baik dan berguna dalam
perencanaan masalah yang dihadapi oleh kelompok; 6) Pemimpin
berfungsi memberi kepecayaan dan menyerahkan tanggungjawab
kepada anggota dalam melaksanakan tugas, sesuai dengan kemampuan
masing-masing demi kepentingan bersama.
b. Fungsi pemimpin yang bertalian dengan penciptaan suasana pekerjaan
yang sehat dan menyenangkan sambil memeliharanya, antara lain: 1)
Memupuk dan memelihara kesediaan kerjasama di dalam kelompok
demi tercapainya tujuan bersama; 2) Menanamkan dan memupuk
perasaan pada anggota masing-masing bahwa mereka termasuk dalam
kelompok dapat dibentuk melalui penghargaan terhadap usaha-usahanya
dan sifat yang ramah tamah, gembira dari pemimpin akan
mempengaruhi anggota-anggota dan mereka pasti akan menirunya; 3)
Meungusahakan suatu tempat pekerjaan yang menyenangkan; 4)
Mempergunakan kelebihan-kelebihan yang terdapat pada pimpinan
untuk memberi sumbangan dalam kelompok menuju pencapaian tujuan
bersama dan pimpinan dapat juga mengembangkan kesanggupan-
kesanggupan anggota masing-masing, maka dengan demikian
pemimpin ini akan diterima dan diakui secara wajar.
Guru sebagai pemimpin pendidikan bagi murid. Guru dalam
37
Hendiyat Soetopo, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, (Malang: Bina
Aksara, , 1984), hlm. 4.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
270
Islam adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan
anak didik dengan mengupayakan seluruh potensinya, baik potensi
afektif, potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik. Guru juga
berarti orang dewasa yang bertanggungjawab memberikan pertolongan
pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar
menacapai tingkat kedewasaan, serta mampu berdiri sendiri dalam
memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah38
. Allah berfirman dalam surat
Ali Imran ayat 164:
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah memberikan karunia
kepada orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara
mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan
jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-
hikmah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan Nabi itu,
mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata “. ( QS. Ali
Imran: 164 )39
Dari ayat di atas, dapat ditarik kesimpulan yang utama bahwa
tugas Rasulullah selain sebagai Nabi, juga sebagai pendidik (Guru).
Oleh karena itu, fungsi utama guru menurut ayat tersebut adalah:1)
Penyucian, yakni pengembangan, pembersihan dan pengangkatan jiwa
kepada pencipta-Nya, menjauhkan diri dari kejahatan dan menjaga diri
agar tetap berada pada fitrah; 2) Pengajaran, yakni pengalihan berbagai
pengetahuan dan akidah kepada akal dan hati kaum Muslimin agar
mereka merealisasikannya dalam tingkahlaku kehidupan.40
38
Muhammad Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Yogyakarta: Prismasophie,
2004), hal. 156 39
A. Soenaryo, Op. Cit., hlm. 71. 40
Muhammad Nurdin, Op. Cit., hlm. 157.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
271
Selain fungsi utama guru di atas, ada beberapa fungsi guru yang
akan penulis kemukakan, antara lain: 1) Guru sebagai Pribadi Kunci.
Kita mengetahui bahwa guru merupakan key person dalam kelas. Guru
yang memimpin dan mengarahkan kegiatan belajar para siswanya. Guru
yang paling banyak berhubungan dengan para siswa dibandingkan
dengan personal sekolah lainnya. Di depan mata anak-anak, guru adalah
seseorang memiliki otoritas, bukan saja otoritas dalam bidang akademis,
melainkan juga dalam bidang non akademis. Dalam masyarakat kita “
guru “ dipandang sebagai orang yang harus “ digugu dan ditiru “
(dituruti dan ditiru). Pengaruh guru terhadap para siswanya sangat besar.
Faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati, misalnya
memegang peran penting dalam interaksi sosial,41
2) Guru sebagai
Pengajar dan Pembimbing: a) Guru sebagai Pengajaran. Melalui bidang
pendidikan, guru mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, baik sosial,
budaya, maupun ekonomi. Dalam keseluruhannya proes pendidikan,
guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru
memegang berbagai jenis peranan yang mau tidak mau harus
dilaksanakannya sebagai guru.42
b) Guru sebagai Pembimbing. Peran
guru sebagai pembimbing, seorang guru harus menyelenggarakan
bimbingan kelompok atau individu bekerjasama dengan masyarakat dan
lemabaga-lembaga lainnya untuk membantu memecahkan masalah
siswa.43
2. Tipe-tipe Kepemimpinan Pendidikan
Sesuai dengan situasi sekarang dimana kita berada di tengah-tengah
perjuangan menuju tujuan pendidikan tidak lepas dan sangat membutuhkan
tipe-tipe pemimpin, sebagai pemimpin pendidikan yang official leader. Ada
beberapa pendapat mengenai tipe-tipe kepemimpinan, antara lain: a)
Kepemimpinan Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis
memperlihatkan kekuasaannya, ingin berkuasa. Ia berpendapat bahwa
tanggungjawabnya sebagai pemimpin besar sekali. Hanya dialah yang
bertanggungjawab dalam kepemimpinannya. Maju mundurnya organisasi
yang dipimpinnya sangat bergantung kepadanya. Pada umunya situasi
lingkungan organisasi yang dipimpinnya tidak akan menggembirakan
41
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo), hlm. 27. 42
Ibid., hlm. 33. 43
Ibid.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
272
anggota. Misalkan, di sekolah guru-guru akan bersifat acuh tak acuh atau
memberontak, kecuali guru yang menjadi sahabat atau kesayangannya; b)
Kepemimpinan Pseudo-Demokatis. Seorang pemimpin yang bersifat
pseudo-demokratis sering memakai “topeng“. Ia pura-pura memperlihatkan
sifat demokratis di dalam kepemimpinannya. Ia memberi hak dan kuasa
kepada anggotanya (guru) untuk menetapkan dan memutuskan sesuatu,
tetapi sesungguhnya ia bekerja dengan perhitungan. Ia mengatur siasat agar
kemauannya terwujud kelak. Bagi pemimpin seperti itu berarti memberi
bimbingan dengan lemah-lembut dalam mengejarkan hal-hal yang
dikehendakinya supaya mereka melakukannya; c) Kepemimpinan Laissez-
Faire. Pemimpin pada tipe ini menghendaki supaya kepada bawahannya
diberikan banyak kebebasan. Pemimpin bersikap acuh tak acuh terhadap
tugas dan kewajibannya. Ia beranggapan bahwa dengan memberi kebebasan
kepada guru-guru itu, mereka akan lebih bersemangat dan bergembira dalam
melaksanakan tugas mereka. Ia telah memberi pengertian yang salah dan
kacau, d) Kepemimpinan Demokratis. Macam kepemimpinan yang baik dan
yang sesuai dewasa ini ialah kepemimpinan demokratis. Pemimpin
menghormati dan menghargai pendapat anggotanya. Pemimpin tidak
melaksanakan tugasnya sendiri. Ia berbijaksana di dalam pembagian
pekerjaan dan tanggungjawab. Dapat dikatakan bahwa tanggungjawab
terletak pada pundak dewan guru seluruhnya termasuk pemimpin sekolah.
3. Syarat-syarat Kepribadian Bagi Seorang Pemimpin Pendidikan
Kualifikasi kepribadian guru dipandang sangat penting oleh sebab itu
guru (pendidik) bukan saja melaksanakan pendidikan, ia juga dituntut dapat
memperbaiki pendidikan yang telah terlanjur salah diterima anak sekaligus
mengadakan pendidikan ulang. Kemudian Al-Ghazali mengemukakan
syarat-syarat kepribadian seorang pendidik44
, sebagai berikut: a) Sabar
menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik;
b) Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih; c) Jika duduk harus sopan
dan tunduk, tidak riya' (pamer); d) Tidak takabbur, kecuali terhadap orang
yang dhalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya; e) Bersikap
tawadhu' dalam pertemuan-pertemuan. Kriteria yang di terapkan oleh
Departemen Pendidika Amerika Serikat menyimpulkan bahwa guru-guru
yang baik di gambarkan dengan ciri-ciri sebegai berikut45
: a) Guru yang
44
Zainuddin, dkk, Op. Cit., hlm. 56-57. 45
Oemar Hamalik,Op. Cit., hlm. 38-39.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
273
waspada secara profesional. Ia berusaha untuk menjadikan masyarakat
sekolah menjadi tempat yang paling baik bagi anak-anak muda; b) Mereka
yakin akan nilai atau manfaat pekerjaannya, sehingga terus memperbaiki dan
meningkatkan mutu pekerjaannya; c) Mereka tidak lekas tersinggung oleh
larangan-larangan dalam hubungannya dengan kebebasan pribadi yang
dikemukakan oleh beberapa orang untuk menggambarkan profesi keguruan;
d) Mereka memiliki seni dalam hubungan-hubungan manusia yang
diperolehnya dari pengamatannya tentang bekerjanya psikologi, biologi, dan
antropologi kultural di dalam kelas; e) Mereka berkeinginan untuk terus
tumbuh. Mereka sadar bahwa pengaruhnya, sumber-sumber manusia dapat
berubah nasibnya.
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Pendidikan
Seorang yang menduduki profesi pemimpin pendidikan, dalam
menjalankan tugas kepemimpinanya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut46
antara lain: 1) Faktor-faktor legal sebagai pengaruh dalam kepemimpinan.
Seseorang yang menduduki jabatan pemimpin pendidikan akan berhadapan
dengan peraturan-peraturan formal dari instansi struktural yang berada di
atasnya. Di Indonesia, falsafah Pancasila, UUD 1945, keputusan Presiden,
keputusan Menteri, dan Undang-Undang lainnya akan mempengaruhi pola
kepemimpinan pendidikan; 2) Kondisi sosial ekonomi dan konsep-konsep
pendidikan sebagai pengaruh dalam kepemimpinan. Faktor ini terdiri atas
dua macam, yaitu: a) Kondisi Sosial-Ekonomi yang memungkinkan
tersedianya sumber-sumber dan fasilitas pendidikan. Bantuan individu
maupun masyarakat terhadap pendidikan dalam hal fasilitas akan membantu
juga memperlancar jalannya pendidikan; b) Konsep tujuan pendidikan para
pemimpin masyarakat dan para warga pada umumnya akan berpengaruh
terhadap pola kepemimpinan; 3) Hakekat dan atau Ciri Sekolah sebagai
Pengaruh Kepemimpinan. Faktor ini berkaitan dengan ciri dan atas hakikat
para staf, para murid dan jenis sekolah akan mempengaruhi kepemimpinan
kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan. Sistem administrasi,
kurikulum yang digunakan dan pendekatan yang digunakan dalam sistem
pendidikan akan berpengaruh juga terhadap sistem kepemimpinan
pendidikan; 4) Kepribadian Pemimpin Pendidikan dan Latihan-latihan
sebagai Faktor yang Mempengarui Kepemimpinan. Tidak dapat ingkari
bahwa individu itu sendiri membawa sesuatu dalam jabatanya. Energinya,
46
Hendiyat Soetopo, Op. Cit., hlm. 16-18.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
274
logalitas, pandangan hidupnya dan atrobut – atributnya profesional yang
melekat padanya akan berpengaruh terhadap sistem kepimpinan; 5)
Perubahan-perubahan yang Terjadi dalam Teori Pendidikan sebagai Faktor
yang Mempengaruhi Kepemimpinan. Tugas kepemimpinan pendidikan
dipengaruhi oleh berbagi perubahan teori dan metode aktifitas
belajar.Konsep-konsep pertubuhan dan perkembangan anak membawa
implikasi terhadap produser pengajaran di kelas. Hal ini akan berbeda
dengan sepuluh tahun yang lalu atau lebih; 6) Kepribadian dan Training
Kepala Sekolah Mempengaruhi Kepemimpinan. Adalah suatu kenyataan
bahwa individu itu sendiri membawa sesuatu dalam pekerjaan. Tenaganya,
loyalitasnya, dan lain-lain atribut personal maupun profesional akan
merupakan faktor signifikan yang berpengaruh terhadap jenis
kepemimpinannya di sekolah. Oleh sebab itu suatu kewajiban moral dan
tentunya profesional di Indonesia untuk menuntut adanya kualifikasi
profesional untuk para kepala sekolah.
F. KESIMPULAN
Seorang pemimpin tentunya harus memahami serta mengerti akan dasar-
dasar kepemimpinan untuk dapat menjadi pemimpin, baik dalam lingkup yang
kecil, seperti keluarga, pemimpin diskusi, dan lain-lain maupun pemimpin dalam
lingkup yang besar seperti pemimpin organisasi, pemimpin agama, pemimpin
negara dan sebagainya. Namun ada beberapa faktor munculnya kepemimpinan:
pertama, faktor situasi dan kondisi; kedua, faktor kemampuan; ketiga, faktor
keturunan; keempat, faktor pengangkatan; kelima, faktor kepentingan.
Pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian untuk menjadi manusia yang
berakhlakul karimah agar dalam kehidupan sehari-hari mendapatkan
kebahagiaan, ketenteraman, serta dapat mencerminkan perilaku sesuai syari'at
Islam yang bersumber pada Al-Qur'an, Sunnah Rasul dan Ijtihad.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
275
DAFTAR PUSTAKA
Achmad. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya
Media, 1992.
Bukhori, Haidar Imam. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi.Yogyakarta:
Gajah Mada Univesity Press, 2003), hlm. 21.
Daradjat, Zakiyah, dkk. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Darwis, Djamaluddin. Dinamika Pendidikan Islam Sejarah; Ragam dan
Kebudayaan. Semarang: Rasail, 2006.
Dubrin, Andrew J. The Complete Ideal's Guides Leadership. Jakarta: Prenada
Media, 2005.
E. Mulyasa. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi.
Bandung; Rosdakarya, 2002.
Faqih, Ainur Rohim. Kepemimpinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2001.
Griffin W. Ricky dan Ebert J. Ronald, Business. New Jersey: Prentice Hall
International Inc, 1999.
Hamalik, Oemar. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2001.
I.L. Pasaribu, dkk. Pendidikan Nasional; Tinjauan Pedagogik Teoritis. Bandung:
Tarsito, 1982.
Indrafachrudi, Soekarto. Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah Yang Baik.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta: Al-Husna,
1988.
Lindsay M. William dan Patrick A. Joseph. Total Quality and Organization
Development. Florida: St. Lucie Press, 1997.
Manullang. Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Pertama. Yogyakarta: PT.
BPFE, 2001.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Islam. Al-Ma'arif, Bandung, 1992.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
276
Nurdin, Muhammad. Kiat Menjadi Guru Profesional. Yogyakarta:
Prismasophie, 2004.
Pamuji. Kepemimpinan Pemerintah di Indonesi. Jakarta: Bumi Aksara , 1995.
Peterson W. Marvin, at. all. Planning and Management for a Changing
Environment. San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1997.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1998.
Siagian, Sondang P. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: PT Bina Aksara,
1988.
Soetopo, Hendiyat. Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan. Malang: Bina
Aksara, 1984.
Sukamto. Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren. Jakarta: LP3ES,1999.
Suyuti, Achmad. Pelatihan Dasar Kepemimpinan (Leadership) dari Aspek dan
Moral. Pekalongan: Cinta Ilmu, 2002.
Thariq As-Suwaidan, dkk. Melahirkan Pemimpin Masa Depan. Jakarta: Gema
Insani, 2005.
Wirayuda, Moeftie. Dimensi Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: Balai
Pustaka, 1987.
Zainuddin, dkk. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara,
1991.
____________, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
277
PILAR-PILAR PERADABAN PESANTREN; POTRET POTENSI DAN
PERAN PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN
Mu‟ammar1
Abstrak
Pesantren sejak awal berdirinya hingga sekarang menjadi salah satu pusat studi
Islam yang paling dipercaya umat Islam. Kegiatan pendidikan keagamaan di
Pesantren dinilai komprehensif karena tidak hanya terjadi transfer of
konwoledge, akan tetapi transfer of value’s; tidak hanya mendasarkan pada
pemahaman teori, akan tetapi praktik ibadah sekaligus; tidak hanya
mengandalkan hapalan serangkaian teori keilmuan akan tetapi membiasakan diri
dalam tradisi ritual; tidak hanya secara retoris menggalakkan konsep ‘adalah,
tawassuth, dan tawazun, tetapi juga mengimplementasikannya dalam tataran
praksis kehidupan pesantren. Pesantren mempunyai kekuatan ganda (double
power) yaitu kyai sebagai pemimpin pesantren dan pesantren sendiri sebagai
institusi dan sistem pendidikan. Sebagai salah satu kekayaan budaya umat Islam
Indonesia yang khas, pesantren telah terbukti menjadi barometer pertahanan
moralitas umat Islam dan merupakan lembaga sosial yang mampu melakukan
perubahan masyarakat di lingkungannya ke arah transformasi nilai-nilai
keagamaan dan kebangsaan. Pilar-pilar peradaban pesantren mengejawantah
melalui potensi dan peran yang dimainkan oleh pesantren dalam
mempertahankan eksistensinya dan berperan aktif memanfaatkan potensinya
sebagai lembaga pendidikan untuk kepentingan tafaqquh fiddin.
Kata Kunci : Pesantren, Pilar peradaban, eksitensi pesantren.
A. Pendahuluan
Secara historis, pesantren telah “mendokumentasikan” berbagai peristiwa
sejarah bangsa Indonesia, baik itu sejarah sosial budaya masyarakat Islam,
ekonomi maupun politik bangsa Indonesia. Sejak masa awal penyebaran Islam
Indonesia, pesantren adalah sarana penting bagi kegiatan Islamisasi di Indonesia.
perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara, khususnya di Jawa
yang tidak mungkin terpisahkan dari peranan yang dimainkan pesantren.
Berpusat dari pesantren, perputaran roda ekonomi dan kebijakan politik Islam
1 Muamar, STIK Kendal Jawa Tengah
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
278
dikendalikan. Di masa Walisongo, tidak sedikit wali-wali di Jawa menguasai
jaringan perdagangan antara pulau Jawa dengan pulau di luar Jawa, seperti
Sunan Giri yang memiliki jaringan perdagangan antara Jawa dengan Kalimantan,
Maluku, Lombok dan sebagainya. Begitu pula dengan perjalanan politik Islam di
Jawa, pesantren mempunyai pengaruh yang kuat bagi pembentukan dan
pengambilan sebagai kebijakan di keraton-keraton. Misalnya, berdirinya
Kerajaan Islam Demak, adalah karena dukungan dan kontrol kuat dari para
ulama, seperti Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan sebagainya. Dari situlah, dapat
disimpulkan bahwa dinamika masyarakat Islam di masa awal dapat ditandai
dengan adanya hubungan yang kuat antara pesantren, pasar, dan keraton.2
Pada mulanya, pesantren menunjukkan suatu komunitas yang dinamis
dan kosmopolit, karena berkembang di tangah-tengah masyarakat urban, seperti
Surabaya (Ampel Delta), Gresik (Giri), Tuban (Sunan Bonang), Demak,
Cirebon, Banten, Aceh (Sumatera), Makasar (di Sulawesi) dan sebagainya.
Kedinamisan pesantren tidak hanya di bidang ekonomi dan dekatnya dengan
kakuasaan, tetapi juga dalam keilmuan Islam, membuat Taufik Abdullah
mencatat pesantren sebagai pusat pemikiran keagamaan.3
Kecenderungan kehidupan pesantren yang kosmopolit dan dinamis
berubah setelah kedatangan penjajah Belanda. Dengan dikuasainya kota-kota
perdagangan oleh Belanda membuat pesantren terdorong keluar dari kota-kota di
pesisir dan masuk ke pedalaman yang menutup diri dari kehidupan “duniawi”.
Setelah itu, pesantren hanya memusatkan perhatian dalam masalah-masalah
agama. Semakin kuat penjajahan Belanda yang diikuti dengan upaya
Westernisasi dan modernisasi, menyebabkan pesantren semakin menutup diri.
Namun, pesantren tidak bisa menutup mata terhadap rakyat. Sejak masa kolonial
Belanda, pesantren telah memberikan kontribusi yang besar dalam mengusir
penjajah dari tanah air.4
Motivasi politik melawan kaum kolonial yang ditunjukkan oleh pesantren
misalnya terwujud dalam resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asyari. Kalangan
pesantren dengan semangat jihad yang tinggi ikuit serta memainkan peran politik
penting dalam waktu itu. Gelora jihad oleh KH. Hasyim Asyari ini merupakan
manifestasi tertinggi dari kesadaran dan harga diri di kalangan komunitas
pesantren.5
2 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalimah, 1999) hlm. 183
3 Ibid.,
4 Ibid.,
5 Abdurrahman Mas‟ud, Intelektual Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 50
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
279
Dari deskripsi di atas, pesantren memainkan peranan penting dalam
perjalanan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang. Dalam konteks inilah
pesantren mempunyai pilar-pilar peradaban yang akan membangun peradaban di
nusantara. Berbagai bidang tersebut selanjutnya akan dielaborasi lebih lanjut,
yang meliputi bidang keilmuan, bidang sosial budaya, bidang ekonomi
kerakyatan, dan bidang politik-kebangsaan.
B. Pilar Peradaban Pesantren: Keilmuan dan Tradisi Pesantren
Pesantren sejak awal berdirinya hingga sekarang menjadi salah satu pusat
studi Islam yang paling dipercaya umat Islam. Kegiatan pendidikan keagamaan
di Pesantren dinilai komprehensif karena tidak hanya terjadi transfer of
konwoledge, akan tetapi transfer of value’s; tidak hanya mendasarkan pada
pemahaman teori, akan tetapi praktik ibadah sekaligus; tidak hanya
mengandalkan hapalan serangkaian teori keilmuan akan tetapi membiasakan diri
dalam tradisi ritual; tidak hanya secara retoris menggalakkan konsep ‘adalah,
tawassuth, dan tawazun, tetapi juga mengimplementasikannya dalam tataran
praksis kehidupan pesantren. Bisa dikatakan bahwa pesantren merupakan
miniatur masyarakat Islam ideal yang jika pengaruhnya sampai pada spektrum
yang lebih luas tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat sesuai dengan
kehidupan pesantren itu sendiri.
Masyarakat di sekitar pesantren cenderung mengikuti pola kehidupan
pesantren. Sebaran alumni pesantren di berbagai belahan nusantara cenderung
berperilaku sesuai dengan tradisi pesantren di mana dulu ia menimba ilmu, dan
ia akan berusaha menrapkan tradisi keilmuan dan ibadah, tata nilai dalam
masyarakat di mana ia tinggal.
Basis keilmuan pesantren yang utama adalah kitab kuning sehingga
pemikiran para ulama yang ada di dalamnya bisa digali, dipahami, diamalkan
dan dilestarikan secara kontinyu dari generasi ke generasi. Proses mata rantai
keilmuan pesantren melalui kitab kuning ini menciptakan tradisi yang unik,
yakni konsep ijazah/sanad yang muttashil (menyambung) dari ulama pesantren
yang mengajarkannya sampai kepada mu’allif (pengarang) kitab tersebut.
Transmisi keilmuan semacam inilah yang menjadi keunggulan pesantren
sehingga bisa dinilai bahwa kemurnian keilmuan pesantren bisa dijaga dan
ditelusuri sampai kepada mu’allif. Dari mu’allif ini kemudian bisa ditelusuri
mata rantai keilmuannya sampai kepada Rasululah Muhammad saw. Melalui
sejumlah kitab riwayat para imam/para ulama dapat diketahui sejumlah riwayat
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
280
para ulama pengarang kitab tersebut. Hal ini semakin menguatkan keyakinan
kebenaran transmisi keilmuan pesantren.
Tradisi sanad ini memang unik dan menjadi ciri khas pesantren.
Geneologi intelektual pesantren, sebagaimana dalam catatan Zamachsyari
Dlofier dan Abdurahman Mas‟ud, sangat jelas dari tertata rapi dalam dokumen-
dokumen sejarah dan ingatan para ulama pesantren. Baik melalui tulisan dalam
sanad, buku-buku sejarah maupun oral history yang berkembang di dunia
pesantren, mereka dapat menemukan ikatan geneologi keilmuan antarpesantren
yang saling kait mengkait dan bermuara pada sejumlah tokoh besar nusantara
dan ulama terkemuka di haramaian, Makkah dan Madinah.
Pesantren memiliki semangat keilmuan yang tidak bisa dipungkiri.
Implementasi ajaran talabul ‘ilmi bagi masyarakat santri bukan hanya
merupakan ajaran ideal Nabi tentang pendidikan seumur hidup. life –long
education, lebih dari itu ia merupakan pilihan hidup yang harus ditunjukan dalam
kegiatan sehari-hari para santri tanpa henti. Talabul’ilmi dengan demikian,
merupakan misi utama kaum santri yang sangat mewarnai budaya pesantren
sehingga lahirlah santri-santri kelana, wandering santris, di masa lampau.
Talabul’ilmi dalam tradisi pesantren, yang tidak berbeda dengan tradisi keilmuan
di pusat dunia Islam, sungguh memiliki justifikasi keagamaan dan
kesejahterahan yang cukup mengakar. Dengan kata lain, budaya talabul’ilmi
dalam dunia pesantren telah menyejarah, melembaga, dan menjadi bagian dari
ideologi.
Masyarakat luas, khususnya masyarakat tradisional, telah menyaksikan
dan ikut menikmati budaya talabul’ilmi dari pesantren-pesanten salaf. Ini adalah
model pendidikan yang terjangkau oleh setiap penduduk, termasuk oleh warga
negara yang serba berkekurangan sekalipun. Masyarakat juga menikmati
lahirnya alumni-alumni pesantren salaf yang di kemudian hari menjadi
pemimpin-pemimpin informal, kharismatik di tengah-tengah mereka dengan
kelebihan ilmu agama dan moralitas agama pesantren. Integrasi pesantren
dengan masyarakat ini sungguh telah mengakar dan membudidaya dari dulu
sampai sekarang. Ini adalah bagian dari wujud konklusi selama ini, the
pesantren’s tradition has a historical and ideological continuum.6
Jika pada pesantren salaf orientasi keilmuan terbatas pada ilmu-ilmu
agama, pada pesantren modern, budaya keilmuan berjalan seiring dengan
kebutuhan modernitas, tetapi tetap didasari ruh Islamiyah. Ilmu-ilmu umum atau
6 Abdurrahman Mas‟ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama
Media, 2003), hlm. 243
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
281
sekuler dikenalkan kepada santri justru untuk memperkaya dan memperluas
cakrawala berpikir mereka. Bahasa asing khususnya bahasa Inggris, yang
dijadikan bahasa kedua setelah bahasa Arab, menghabsahkan label modern pada
pesantren yang menamakan diri pesantren modern seperti pesantren Modern
Gontor, Pesantren Assalam, Pesantren Darun Najah, dan sebagainya.7
Pada pesantren semi modern, diajarkan pengetahuan agama yang
bersumber dari kitab kuning dipadu dengan ilmu pengetahuan dari lembaga
sekolah formal baik di bawah naungan Kementerian Agama maupun
Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan pola ini, out put pesantren
diharapkan bisa membekali diri dengan keilmuan agama sekaligus mampu
berkompetisi dalam era global sekaligus melahirkan karya nyata. Di samping itu,
sejumlah program yang dirancang Direktorat Pendidikan Pondok Pesantren dan
Pendidikan Diniyah juga mendukung upaya mulia ini. Dengan memberikan
beasiswa bagi santri berprestasi untuk menempuh pendidikan tinggi diharapkan
mampu melahirkan santri yang handal dan ideal. Dengan demikian, peradaban
masyarakat muslim diharapkan akan lahir dari santri-santri yang berprestasi,
berakhlak, dan memiliki basic keilmuan keagamaan yang mumpuni.
Besarnya harapan lahirnya peradaban dari rahim dunia pesantren
sebenarnya tidak lepas dari sistem pendidikan pesantren yang menerapkan ketiga
aspek pendidikan, baik kognitif, afektif, dan psikomotor. Para santri selain hidup
dalam situasi sosial dan kekeluargaan selama dua puluh empat jam, siang dan
malam, secara terus menerus juga senantiasa dalam suasana pendidikan di bawah
bimbingan langsung kyai atau para ustadz.8
Dari deskripsi di atas, potensi dan peran pesantren dalam pelestarian dan
pengembangan studi keislaman akan terus mengejawantah dan membentuk
manusia berpengathuan, terampil, berakhlak mulia, kreatif, dan senantiasa
memperdalam keilmuan dan menyebarkannya di tengah masyarakat. Dari
sinilah, keilmuan pesantren akan membentuk masyarakat muslim yang
berpengetahuan dan shaleh. Di samping itu, sejumlah alumni pesantren akan
menghasilkan karya-karya berkualitas yang merupakan perpaduan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pengetahuan agama, kecerdasan spiritual, dan
pancaran semangat jihad f isa bilillah lil maslahtil ummah.
7 Ibid., hlm. 244
8 Team Direktoral Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, Pola Pembelajaran di
Pesantren, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam), 2003, hlm. 26
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
282
C. Pilar Peradaban Pesantren: Potensi dan Peran Pesantren dalam Aspek
Sosial-Budaya
Pesantren mempunyai kekuatan ganda (double power) yaitu kyai sebagai
pemimpin pesantren dan pesantren sendiri sebagai institusi dan sistem
pendidikan. Menurut Horikhosi, sebagaimana dikutip Edi Supriyono, yang
mengakari kekuatan kyai atau ulama adalah kredibilitas moral dan kemampuan
mempertahankan pranata sosial yang diinginkan. Tidak semua fungsionaris
Islam adalah ulama yang mempunyai kedudukan, wibawa, dan pengaruh yang
sama. Gelar ulama atau kyai diberikan oleh masyarakat muslim karena ke‟aliman
dan pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat.9 Sedangkan pesantren
sebagai institusi pendidikan agama, merupakan sebuah lembaga yang
representatif dalam mengembangkan ajaran Islam dan mengkonstruk budaya
masyarakat yang melingkupinya.
Ulama sebagai elit santri adalah orang yang memiliki status sosial dengan
kedudukan yang tinggi dalam struktur masyarakat Islam. Berbagai keputusan
tindakan anggota masyarakat seringkali diserahkan dan lebih banyak ditentukan
oleh ulama sebagai referensi tindakan sosial. Karena itu, sikap dan tindakan umat
sebagai lapisan bawah dalam struktur masyarakat Islam adalah fungsi dari sikap
dan tindakan ulama. 10
Struktur hubungan sosial antara elit santri dengan umat muncul dan
tumbuh dari proses hubungan berdasarkan pengalaman keagamaan dan emosi
keagamaan. Sifat hubungan yang demikian merupakan daya perekat dan
pembentuk solidaritas keagamaan sebagai infrastruktur tata kehidupan sosial
umat. Proses interaksi tersebut secara tradisional terpelihara melalui kegiatan
sosialisasi Islam, pengajian, dan khutbah-khutbah. 11
Dalam konteks sosial, tak seorang pun menyangsikan peran sosial
pesantren, khususnya pesantren tradisional. Begitu juga peran kiai sebagai
pemimpin sentral pesantren. Semenjak kelahirannya hingga hari ini, pesantren
tetap diakui memainkan peranan penting dan berarti dalam masyarakat.
Pesantren tidak saja menyediakan ruang pembelajaran yang murah dan
dibutuhkan masyarakat-bawah (grassroots society), sehingga membentuk
karakter sosial yang khas, melainkan juga menjadi “patron” yang setia bagi
masyarakat dalam mengarungi proses perubahan yang terjadi.
9 Edi Supriyono, Pesantren di Tengah Arus Globalisasi, dalam Menggagas Pesantren
Masa Depan, (Yogyakarta : Qirtas, 2003), hlm. 66. 10
Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan dalam
Islam, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hlm. 48 11
Ibid.,
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
283
Adalah Hiroko Horikoshi, antropolog di bidang modernisasi dari Jepang,
yang dalam penelitiannya tiga dasa warsa lalu di Garut Jawa Barat secara baik
manangkap proses perubahan tersebut. Dengan menampilkan sosok Kiai Yusuf
Tajri dari Cipari, ia berkesimpulan bahwa kiai berperan kreatif dalam perubahan
sosial. Kiai mampu membawakan pandangan hidup tradisional ke arah
modernitas hidup dengan watak emansipatoris.12
Dengan kekuatan “kharisma”
dan pikatan keagamaannya, kiai lewat lembaga pesantrennya tidak saja melayani
pendidikan rakyat, dakwah keagamaan, pendampingan dan pembelaan pada
kaum yang tertindas, tetapi juga menjadi pemain politik (political actor) yang
cantik di atas panggung kekuasaan. Kiai dalam penjelasan demikian adalah
pribadi yang kompleks, tidak saja bergelut pada wilayah keagamaan karena ahli
agama, melainkan juga menjalankan fungsi-fungsi sosial lain sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Dari sinilah pesantren menampilkan satu budaya khas yang berkarakter.
Tiga karakter dasar pesantren, yakni keilmuan, modeling (uswah khasanah), dan
mempertahankan tradisi, tampak jelas pada masing-masing pesentren. Subtansi
budaya pesantren yang tampak dalam tiga aspek itu tetap sama, meskipun
manifestasinya beragam.13
Sebagai salah satu kekayaan budaya umat Islam Indonesia yang khas,
pesantren telah terbukti menjadi barometer pertahanan moralitas umat Islam dan
merupakan lembaga sosial yang mampu melakukan perubahan masyarakat di
lingkungannya ke arah transformasi nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan.
Pesantren juga merupakan lembaga yang mengerti perubahan dan perkembangan
sosial masyarakat Indonesia.14
Termasuk budaya keilmuan pesantren salaf adalah orientasi pembelajaran
yang lebih menekankan pendidikan dari profesionalisme pengajaran. Karena
kecenderungan pembentukan watak yang diutamakan ini, sering institusi
pendidikan yang ada berjalan dengan kesederhanaan dan fleksibilitas yang
tinggi. Seiring dengan fleksibilitas ini, pengajian-pengajian informal, tahlilan,
12
Baca sepenuhnya Hiroko Horikoshi, A Traditional Leader in a Time of Change: The
Kijaji and Ulama in West Java, Disertasi Ph.D dalam bidang antropologi di University of
Illinois, Urbana-Champaign, USA, 1976. Diterjemahkan oleh Umar Basalim dan Andi Muarly
Sunrawa, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987). Dikutip dari Marzuiki Wahid,
Marzuki Wahid, “Metamorfosis Pesantren Pergulatan Tradisi-Pesantren, Kebudayaan-Lokal, dan
Politik-Kekuasaan” dalam A. Mutohar, Ideologi Pendidikan Pesantren, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2007, hlm. 134 13
Abdurrahman Mas‟ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Op. Cit., hlm. 242 14
Team Direktoral Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, Potensi Ekonomi
Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2004, hlm 2
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
284
khaul, kenduri, manaqiban, dan pengajian tariqah sangat mewarnai tradisi
pesantren. Disadari atau tidak, beberapa tradisi ini ternyata telah membentuk
budaya nasional, yakni Indonesia yang sarat dengan ritual dan seremoni
keagamaan. Dengan kekayaan percaya keagamaan dari tingkat daerah sampai
nasional, Indonesia telah membedakan diri dengan negara-negara lain yang
berpenduduk mayoritas muslim.15
Pada acara-acara informal yang diselenggarakan pesantren menjadi
media sosialisasi kyai dengan umat. Karenanya, sungguh pun kyai menjadi
bagian dari lapisan elitisme sosial-keagamaan, namun etos populisme dan
kedekatannya dengan masyarakat bawah (grassroot society) sampai saat ini
belum dapat diungguli oleh lembaga yang berlabelkan „rakyat‟ atau „masyarakat‟
sekalipun. Kedekatan ini bisa dilihat, paling tidak, tatkala pesantren mempunyai
hajat, misalnya menyelenggarakan acara Haul seorang Kyai pengasuh pesantren,
atau istighâsah. Hingga sekarang, pada acara seperti itu --yang diadakan setiap
tahun-- pesantren tetap tergolong nomor wâhid dalam hal penyerapan massa,
sebagai bukti kedekatannya dengan masyarakat bawah. Dalam acara haul atau
istighatsah, ratusan ribu warga nahdliyin hadir dengan tertib dan taat, mengikuti
aturan yang diberikan dan perintah Kyai. Walaupun pada sisi lain juga harus
diakui bahwa dalam beberapa hal fungsi sosio-kultural pesantren untuk
masyarakat, dewasa ini, berkurang. Akan tetapi, hal ini lebih diakibatkan oleh
pemaksaan modernitas: spesialisasi dan profesionalisasi, sehingga memaksa
beberapa peran-sosial (social roles) kyai tereduksi.16
Di samping itu, tradisi kesederhaan, kemandirian, etos belajar yang
tinggi, sikap tasamuh, tawazun, dan tawasuth juga berhasil dilahirkan dari rahim
pesantren sehingga kehidupan masyarakat muslim nusantara identik dengan
kedamaian, toleransi, tegaknya nilai-nilai keadilan, dan moderasi. Ketiga sikap
tersebut kemudian melembaga sebagai ciri khas masyarakat muslim nusantara,
sehingga muslim Indonesia dinilai santun, penuh kedamian, toleran, dan
moderat.
Sikap kesederhanaan santri membentuk masyarakat yang tidak serakah
dan hanya mau menikmati rizki yang halal dan berkah. Sikap dan keyakinan ini
melahirkan budaya kerja yang positif karena kehalalan dan keberkahan menjadi
acuan utama. Dengan sikap ini, budaya korupsi sebenarnya bisa diminimalisir.
15
Abdurrahman Mas‟ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Op. Cit.,hlm. 244 16
Marzuki Wahid, “Metamorfosis Pesantren Pergulatan Tradisi-Pesantren, Kebudayaan-
Lokal, dan Politik-Kekuasaan” dalam A. Mutohar, Ideologi Pendidikan Pesantren, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2007
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
285
Meski demikian, steorotype keberagamaan santri yang penuh kesederhanaan ini
tidak lepas dari sikap serba pasrah kepada takdir yang dinilai sebagian kalangan
justru kontraproduktif dengan kemajuan dan peningkatan etos kerja dan
pertumbuhan ekonomi. Namun penilaian ini tidak sepenuhnya benar. Mengingat
jika ditelisik lebih jauh sikap pasrah (baca: tawakkal) yang tinggi dari dunia
pesantren harus dimaknai sebagai sikap pasrah setelah adanya ikhtiar. Ajaran
“tangan di atas lebih mulai dari tangan di bawah” (yad al-‘ulya khairun min yad
al-sufla) menjadikan dasar semangat budaya kerja yang beretos tinggi.17
Adapun budaya toleransi dan menghargai perbedaan yang tinggi
merupakan manifestasi dari ajaran Sunni tidak lepas dari pendidikan pesantren.
Santri sejak awal dibekali dengan keberagamaan yang toleran sehingga di tengah
masyarakatnya mampu menyebarkan budaya damai. Budaya damai pesantren
inilah yang harus ditumbuhkembangkan untuk menangkan radikalisme agama
yang melahirkan terorisme. Dalam halaqah nasional tentang “Budaya Damai
Pesantren” yang diselenggarakan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
beberapa bulan yang lalu menunjukkan bahwa pesantren menyimpan potensi luar
biasa serta mampu berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian. Dengan demikian, segala bentuk
kekerasan, radikalisme agama, dan terorisme dapat dicegah dari budaya damai
pesantren yang selama ini terbukti mengakar kuat dan mempengaruhi kehidupan
masyarakat muslim Indonesia.
D. Pilar Peradaban Pesantren: Peran dan Potensi Pesantren dalam Ranah
Politik Kebangsaan
Masyarakat Islam tradisional-paternalistik di Indonesia memahami kyai
sebagai pribadi yang memiliki kedudukan khusus. Realisasi kekhususan itu
sesungguhnya karena mereka merupakan figur sentral yang dihormati. Apresiasi
ini yang terkait otoritas kyai dalam agama, etika dan fungsi spiritualnya, yaitu
sebagai penjaga keharmonisan umat. Sampai kini, bagi para masyarakat tertentu
di desa maupun kota, masih memandang kiai sebagai individu yang mampu
17
Penting juga dikemukakan di sini hasil analisis Snouck Hurgronje, tiga dasa warsa
lalu, mengenai keberadaan kaum yang sering disebut tradisional. Dia mencatat bahwa: “Islam
tradisional Jawa, oleh sebagian kalangan, dianggap demikian statis dan demikian kuat
terbelenggu oleh pikiran-pikiran ulama abad pertengahan, sebenarnya tidak. Mereka telah
mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental, tetapi perubahan-perubahan tersebut
dilakukan melalui tahapan-tahapan yang rumit dan tersimpan. Lantaran itulah, para pengamat
yang kurang mengenal pola pikiran Islam tradisional tidak bisa melihat perubahan-perubahan
tersebut, walaupun sebenarnya hal itu terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang
mengamatinya secara seksama.” Dikutip dari Marzuki Wahid, ibid., hlm. 132
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
286
memberi alternatif pemecahan beragam persoalan yang musykil, mulai dari
problematika rumah tangga sampai „restu‟ jabatan politik. Kelebihan seperti ini
membuat masyarakat memposisikan kyai dalam kedudukan sosial dan spiritual
yang begitu strategis. Sebab dalam kehidupan keseharian mereka menjadi marja
(rujukan). Sebagai penjaga agama, kyai merupakan figur panutan umat dalam
menjalankan syariat sehari-hari. Agama bagi masyarakat tradisional adalah apa
yang diajarkan, dilaksanakan, dan diteladankan oleh para kyai/ ulama.18
Posisi dan peran kyai tersebut berimbas juga pada aspek politik, di mana
dalam sejarahnya hingga sekarang, dunia pesantren tidak bisa terlepas dari aspek
politik. Yang membedakannya adalah sejauh mana keterlibatannya dalam
perpolitikan. Sejumlah kyai pesantren terjun langsung ke dalam politik praktis
dan sebagaian lainnya tidak. Namun demikian, bagi kyai pesantren yang tidak
terjun langsung dalam politik praktis, mereka tetap memberikan pendidikan
politik.
Dalam realitas politik, jika pesantren masuk dalam lingkup struktural,
maka harapan yang ingin dicapai adalah ikut andil dalam merumuskan kebijakan
atau mewarnai nuansa politik/kekuasaan. Karenanya, pesantren sebagai salah
satu kelompok kepentingan tidak bisa secara total menjauh dari keterlibatan
dalam politik. Kelompok kepentingan keagamaan seperti pesantren pada
umumnya berada pada titik moderat antara totally unpolitized dan totally
politicized (Rozikin Daman, 2001: 173).
Keterlibatan pesantren dalam politik praktis tidak lepas dari konsep
politik pesantren yang lebih cenderung menganut pemikiran al-Ghazali dan al-
Mawardi. Kecenderungan ini meniscayakan pesantren harus ikut dalam kancah
politik, baik secara kultural maupun struktural. Kaidah yang umumnya dipegangi
adalah nizham al-dunya syart li nizham al-diny (adanya tertib sosial politik
menjadi pra syarat terwujudnya tertib agama).
Kaidah yang juga sering dipakai untuk ikut serta dalam kancah politik
adalah adalah ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajibun (sesuatu yang
sebuah kewajiban tidak sempurna tanpanya, maka sesuatu tersebut menjadi
wajib); ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (apa yang tidak bisa diraih
keseluruhan maka jangan ditinggal semuanya); dar’u al-mafasid muqaddamun
‘ala jalbi al-mashalih (menolak kerusakan-kerusakan didahulukan daripada
menarik kemaslahatan-kemaslahatan); dan idza ta’aaradla dhararani ru’iya
a’dzahuma dlarran bi al-irtikabi akhaffihima (jika ada dua kemadlaratan
18
Abdul Latif Bustami, Kiai Politik; Politik Kiai, (Malang: Pustaka Bayan, 2009), hlm.
18
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
287
bertemu, maka dipilih yang paling ringan kemadlaratannya); dan tasharruf al-
imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bl al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus
mempertimbangkan/bertalian erat dengan kemaslahatan rakyat).
Karenanya, pesantren yang melibatkan diri dalam politik praktis,
mempunyai alasan kuat. Menurut Abdul Munir Mulkhan, makna politik santri
kaitannya dengan ide dan gagasan perjuangan Islam harus dilihat dari fungsi
sosial pemikiran dan tindakan mereka menciptakan dan mengembangkan
peluang terciptanya kondisi sosial dan budaya dalam merealisasikan nilai-nilai
yang diduga bersumber pada ajaran Islam.19
Senada dengan Mulkhan, Abdul
Latief memaparkan bahwa keterlibatan kyai dalam politik adalah agar bisa
mengendalikan institusi politik yang ada untuk dijadikan kendaraan, bukan
hanya untuk memperjuangkan kepentingan meraih jabatan formal dan kebijakan
politik melainkan untuk memperjuangkan Islam tradisional.20
Keterlibatan kyai pesantren dalam politik, tentu saja melibatkan
masyarakat pesantren baik ustadz, santri, alumni, wali santri, dan masyarakat
sekitar pesantren. Hal ini karena kyai pesantren memang mempunyai
„kekuasaan‟.
Kekuasaan kyai tersebut bukanlah semata-mata kekuasaan politik,
melainkan kemampuan untuk menstruktur tindakan orang lain dalam bidang
tertentu dan senantiasa beredar dari subyek yang satu ke yang lain sehingga
menciptakan medan kharisma. Distribusi kekuasaan itu metrepresentaskan
adanya jaringan kekuasaan politik dan dukungan kekuatan politik. Jaringan itu
hadir dalam organisasi politik formal, kuasa formal dan informal yang
kesemuanya berhubungan secara multipleks.
Bagi kyai pesantren yang terjun langsung dalam politik praktis ada
kalanya „pamornya‟ naik turun. Hal ini tidak lepas dari proses-proses politik
yang mengitarinya. Adanya dugaan money politik, orientasi kekuasaan dan
kekayaan dinilai sebagian masyarakat mulai merambah ke dunia kyai pesantren
yang terlibat dalam politik praktis. Hal ini indikasinya terlihat dalam Pemilu
2009, di mana pilihan politik kyai pesantren belum tentu diikuti oleh umat. Umat
seakan memilah bahwa dalam hal spirtualitas dan pendidikan agama mereka
sami’na wa atha’na kepada kyai. Adapun dalam masalah pilihan politik, mereka
tidak merasa berkewajiban mengikuti pilihan kyai. Apalagi jika politik dipahami
19
Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan dalam
Islam, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hlm. 51 20
Abdul Latif Bustami, Op. Cit., hlm. 18
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
288
urusan keduniaan (baca: terkait pemerintahan) yang tidak lagi menjadi wilayah
kyai untuk mengarahkannya.
Nampaknya hal ini juga dipengaruhi oleh perubahan kehidupan
masyarakat, yang secara berangsur dan bertahap mengakibatkan pergeseran
fungsi ulama dalam proses sosial Islam. Hubungan masyarakat dan kyai
pesantren dalam ukuran tertentu lebih bersifat fungsional. Menurut Abdul Munir
Mulkhan, pergeseran fungsi ulama juga diakibatkan oleh kenyataan bahwa
pengetahuan tentang Islam, ternyata tidak hanya diperoleh melalui gerakan
sosialisasi Islam tradisional yang dilakukan oleh para ulama (kyai pesantren).
Sejumlah media lain sekarang menjadi referensi pengetahuan keislaman,
sehingga dalam tingkat tertentu, hubungan emosi keagamaan di antara mereka
mulai terbuka dan mencair, bersifat rasional, dan fungsional.21
Namun demikian,
posisi dan fungsi kyai pesantren tetap sentral dan memegang posisi tertinggi
dalam struktur masyarakat muslim Indonesia.
Di samping itu, proses politik yang di dalamnya terjadi „perebutan
kekuasaan‟ dan konflik ikut mempengaruhi citra kyai pesantren. Menurut Bailey,
sebagaimana dikutip Abdul Latif Hasyim, menyatakan bahwa proses-proses
politik pada dasarnya adalah persaingan antara dua kelompok atau lebih untuk
memperebutkan posisi atau kekuasan penentu dalam kebijakan umum mengenai
penguasaan alokasi, pendistribusian dari sumber-sumber daya yang terbatas.22
Tidak jarang persaingan politik praktis yang ikut melibatkan kyai pesantren
menjadikan citra mereka di mata umat menurun. Kyai pesantren yang secara
fungsional, dari sisi politik praktis, tidak seiring dengan pilihan sekelompok
masyarakat tertentu, maka ia akan ditinggalkan. Santri, khususnya yang sudah
mukim di tengah masyarkat, merasa tidak harus „menagamankan‟ kebijakan
kyainya jika ia berada di tengah masyarakat yang secara politik berbeda dengan
pilihan politik kyainya. Berdasarkan pendekatan fungsional tersebut, menurut
Mulkhan, dapat diduga bahwa perilaku politik santri bersifat kondisonal. Karena
itu, perilaku politik santri akan dapat berubah sejalan dengan perubahan kondisi
sosial dan politik yang sedang berkembang.23
Jika ditelisik dari akar tradisi dan ajaran pesantren, perubahan pemikiran
dan sikap (baca: pilihan) politik pesantren sebenarnya bukan sesuatu yang luar
biasa. Perubahan yang ada tidak lepas dari tinjauan fiqih. Kaidah yang sering
dipakai adalah: taghayyur al-ahkam bi taghaur al-amkan wa al-azman
21
Abdul Munir Mulkhan, Op. Cit., hlm. 48 22
Abdul Latif Bustami, Op. Cit., hlm. 18 23
Abdul Munir Mulkhan, Op. Cit., hlm. 51
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
289
(berubahnya hukum terkait erat dengan perubahan waktu dan tempat); al-hukmu
yaduuru ma’a illatihi wujudan wa adaman (hukum tergantung pada ada tidak
adanya „illat); dan al-mukhafadlatu ‘ala qadim as-shalih wa al-akhdlu bi al-
jadid al-ashlah (memeliharan hal-hal terdahulu yang baik, dan mengambil
sesuatu yang baru yang lebih baik).
Berbagai kaidah fiqhiyyah di atas menyebabkan para kyai pesantren
cenderung fleksibel dalam merespons situasi perpolitikan nasional. Karenanya
antar kyai pesantren seringkali berbeda pandangan dan afiliasi politiknya.
Bahkan dalam satu lokasi pesantren, antar pengasuh berbeda sikap dan afiliasi
politiknya. Inilah yang terkadang menjadi sumber masalah kaitannya dengan
„kiblat‟ politik umat. Pada akhirnya terjadi distorsi „ketaatan‟ politik; terjadi
polarisasi dukungan; dan untuk sementara memanaskan suhu perpolitikan dalam
internal pesantren.
Namun demikian, perubahan di atas adalah perubahan pilihan „baju‟
politik. Hampir semua kalangan pesantren sepakat, bahwa baju politik boleh
berubah dan berbeda. Sementara prinsip-prinsip dasar politik Sunni yang
menjadi ruh dunia pesantren tidak boleh berubah. Spirit dan pendidikan politik
yang ada dalam tradisi pesantren inilah yang akan melahirkan pilar peradaban
dalam ranah politik kenegaraan.
Beberapa spirit dan ruh politik pesantren yang sudah mentradisi dan
dikembangkan selama ini adalah: pertama, hubbul wathan (cinta tanah
air/nasionalisme). Konsekuensi dari pemikiran ini adalah kesadaran bersama
untuk menjaga keutuhan NKRI. Kedua, nashbul imamah (mendirikan
kepemimpinan). Konsekuensinya adalah keikutsertaan dalam proses-proses
politik yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya pasrtisipasi politik dalam
pemilu. Ketiga, mentaati ulil amri. Konsekuensinya adalah ketaatan pada
pemerintah selama tidak menyalahi syari‟at. Keempat, amar ma’ruf nahi
munkar, di antara konsekuensinya adalah kemamuan untuk menjadi bagian dari
pemerintahan. Karena tanpa terlibat di dalamnya kurang bisa efektif, misal
menjadi anggota legislatif.. Kelima, prinsip musyawarah sehingga pesantren
mendukung adanya demokrasi yang dinilai sebagai implementasi konsep
musyawarah. Dari konsep demokrasi inilah lahir sistem politik sebagaimana
dikenal saat ini di Indonesia.
E. Pilar Peradaban Pesantren: Peran dan Potensi Pesantren dalam Ranah
Ekonomi Kerakyatan
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
290
Disadari atau tidak, dunia pesantren selama ini telah memainkan peranan
penting dalam usaha memperjuangkan dan memajukan perekonomian umat.
Peran ini tentu bisa dilacak dari sejak dulu kala. Hadlratus Syeikh Hasyim
Asy‟ari, tatkala mendirikan pondok pesantren Tebuireng ternyata tidak lepas dari
dari masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat waktu itu. Sebelum didirikan
pondok pesantren Tebuireng, tidak jauh dari lingkungan ini ternyata ada pabrik
gula raksasa milik pemerintah Hindia Belanda yang didirikan tahun 1853. Pada
masa ini gula merupakan sumber devisa negara terpenting dan terbesar bagi
penjajah. Pabrik gula ini merupakan simbol kemajuan teknologi dunia Barat dan
secara langsung mempengaruhi tingkah laku dan pola pikir para santri
Tebuireng.
Mencermati berdirinya pesantren Tebeuireng vis a vis perusahaan asing,
bukanlah tanpa makna, khayalan atau lelucon. KH. Hasyim Asy‟ari tentu
mempunyai alasan-alasan strategis yang tetap berhubungan dengan pemikiran
keagamaan beliau. Paling tidak fenomena ini memperlihatkan kepada kita bahwa
pesantren tidak boleh tunduk dengan hegemoni kekuatan asing atau penjajah,
termasuk keangkuhan dan supremasi kehidupan ekonomi mereka.24
Pada perkembangannya, peran pesantren dalam bidang ekonomi semakin
terlihat yang di antaranya ditandai dengan berdirinya koperasi-koperasi di
sejumlah pesantren. Karenanya, ketika ekonomi kerakyatan menjadi pilar utama
pembangunan ekonomi bangsa di era reformasi ini, peran pesantren tentu makin
dioptimalkan. Yang tidak diharapkan adalah jika situasi ini merupakan kebijakan
pemerintah yang bersifat sesaat, dan lebih-lebih jika tren pendirian koperasi ini
dipahami oleh sebagian komunitas pesantren sebagai ikut-ikutan.25
Menurut Kajian PPIM Jakarta Tahun 1997, menunjukkan adanya tiga tipe
kelembagaan pesantren. Pertama, pendidikan keagamaan (tafaqquh fid ddin).
Pesantren tipe ini hanya melaksanakan pendidikan ilmu-ilmu keagamaan kepada
santrinya. Pendirian pesantren tersebut memang didorong oleh motivasi
penyebaran dan reproduksi khazanah keagamaan. Kedua, tipe pesantren gerakan
sosial-ekonomi. Pesantren ini sejak awal didesain sebagai lembaga yang
bergerak di bidang sosial ekonomi keagamaan. Pesantren seperti tidak hanya
menginginkan santrinya mahir dalam kitab kuning, tetapi juga berkiprah dalam
sosial ekonomi masyarakat. Ketiga, tipe pesantren konvergensi pendidikan
agama dan gerakan sosial ekonomi. Tafaqquh fid ddin telah dimaknai
24
Abdurrahman Mas‟ud, Intelektual Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 235-
236 25
Ibid., hlm. 238
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
291
sedemikian rupa sehingga keberhasilan pesantren diukur pada sejauhmana santri-
santri menguasai ilmu-ilmu keagamaan dan mampu berkiprah dalam gerakan
sosial ekonomi.
Sejumlah pesantren memberikan pendidikan kepada para santrinya
tentang ketrampilan (vocational) dan materi entrepreneurship. Pesantren ini
selain memberi perhatian penuh dalam proses pendalaman dan penguasaan
agama, juga memiliki sentra-sentra usaha dan melibatkan santri-santrinya dalam
usaha kekaryaan atau skill. Tujuan kekaryaan usaha ini selain untuk
meningkatkan kesejahteraan pondok pesantren, juga untuk memberikan bekal
kepada para santri tentang keahlian atau skill agar setelah lulus dari pondok
mempunyai kemampuan untuk hidup mandiri secara ekonomi.26
Menurut data dari Education Management Information system, dari
sejumlah 14067 pesantren di Indonesia itu terdapat sejumlah pesantren yang
dapat dikategorikan sebagai pesantren yang telah mengembangkan atau berciri
khas ketrampilan. Dari sejumlah itu, sebanyak 1529 pesantren mengembangkan
pertanian dan agribisnis, 404 pesantren mengembangkan ketrampilan
perindustrian, 111 mengembangkan bidang perdagangan, dan 41 pesantren
mengembangkan sektor kelautan dan perikanan.27
Di antara bentuk kekaryaan tersebut ada yang mengarah pada penciptaan
usaha dan peningkatan produksi bagi keberlangsungan pondok dan ada pula yang
secara khusus ditujukan bagi pengembangan keahlian ketrampilan santri-
santrinya antara lain agribisnis, perkebunan, ketrampilan, home industri,
perikanan, jasa angkutan, perikanan, pertanian, peternakan, konveksi busana,
ritel dan lain-lain.28
Aspek ekonomi yang tertulis dalam kitab kuning yang merupakan
rujukan pesantren mengajarkan bahwa kekayaan materi dicari sebagai sarana
untuk menopang hidup, bukan tujuan hidup. Tujuan hidup sejati yang harus
dikejar dengan memanfaatkan kekayaan, adalah ridla Allah. Dengan demikian,
apabila di dalam kitab kuning terdapat pembahasan tentang aktivitas manusia
dalam bidang sosial ekonomi, maka sasaran pembahasannya buka mengenai cara
bagaimana seseorang dengan usaha yang dilakukan dapat memperoleh
keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi bagaimana usaha itu dilakukan dengan
benar, jujur, tidak merugikan orang lain dan diri sendiri. Rizki yang halal dan
26
Team Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, Potensi Ekonomi
Pondok Pesantren, (Jakarta: Direktorat Kelembagaan Agama Islam, 2004), hlm. 15 27
Ibid., hlm. 16 28
Ibid.,
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
292
berkah sebagai bekal untuk beribadah kepada Allah adalah buah langsung yang
dipetik dari hasil usaha kaum santri.29
Kegiatan-kegiatan ekonomi di dunia pesantren dewasa ini sudah
seharusnya diarahkan pada langkah-langkah strategis ke depan dengan landasan
historis dan ideologis yang jelas. Modal utama pemberdayaan ekonomi umat di
lingkungan pesantren bukanlah modal dari atas (top down), melainkan lebih
mengutamakan potensi dan kekuatan dari dalam. Segala sesuatu yang semata-
mata menyadarkan bantuan dari atas, senantiasa semu dan sesaat. Pengalaman
dan sejarah membuktikan bahwa development from within (membangun dari
dalam) selalu melahirkan partisipasi dinamis dan langgeng dari umat yang
bergerak dan berkembang secara alami karena didasari motivasi instrinsik.
Karenanya tidak mengherankan, sejumlah pesantren yang kegiatan
ekonominya didasatkan pada motivasi instrinsik mampu eksis dan semakin
berkembang pesat. Sejumlah potensi ekonomi pesantren yang diteliti oleh Team
Direktorat Pendidikan Pondok Pesantren dan Pendidikan Diniyyah menunjukkan
bahwa dari 6 (enam) pesantren yang diteliti berhasil mengembangkan
ketrampilan dan ekonomi. Keenam pesantren tersebut adalah Pesantren Sidogiri
Pasuruan, Al-Amin Prenduan, Darussalam Gontor, Al-Ittifaq Bandung,
Darussalam Garut, dan Arrisalah Ciamis. Ketrampilan dan ekonomi dalam yang
telah dikembangkan, meliputi kopontren, perdagangan, industri dan jasa,
agribisnis, perkebunan dan industri, kelautan dan perikanan.
Dari temuan penelitian di atas, maka jelaslah bahwa dunia pesantren
mampu berperan dalam pemberdayaan ekonomi umat dengan menjalankan
sistem ekonomi yang sesuai dengan syari‟at Islam. Hal ini sebagaimana
dipaparkan oleh Abdurrahman Mas‟ud bahwa prime mover (penggerak utama)
pemberdayaan ekonomi umat, termasuk di dalamnya yang dilakukan pesantren,
tidak diragukan lagi adalah Islam itu sendiri sebagaimana dicontohkan oleh
Rasulullah sebagai agama yang membebaskan, memanusiakan manusia,
mendewasakan, mencerahkan, dan memberdayakan kaum yang tidak berdaya
atau kaum lemah. Liberation, empowerment, and intellectualization yang
mengarah pada kecenederungan melekdan kritis pada masyarakat adalah
langkah-langkah pemberdayaan yang memiliki rujukan siratunnabi. Meskipun
sebagai pemimpin negara Madinah, perhatian Nabi Muhammad dan
29
Abdurrahman Mas‟ud, Intelektual Pesantren, Op. Cit., hlm. 238
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
293
keperpihakannya pada kaum lemah demikian transparan sehingga sikap ini
dalam satu segi nampak sebagai sebuah ideologi.30
Dengan potensi dan peran pesantren yang begitu besar, maka pilar-pilar
peradaban Islam dalam aspek ekonomi bisa terwujud. Implementasi dari fiqih al-
iqtishadiyah (hukum ekonomi Islam) ala pesantren ini menjadi barometer
pemahaman kalangan pesantren terhadap rumusan fiqh sekaligus
emplementasinya dalam realitas perekonomian di tengah masyarakatnya. Last
but not the least, nilai etika religius yang senantiasa mendasari aktivitas
perekonomian di dunia pesantren menjadi tipikal masyarakat. Islam bisa
ditunjukkan dalam spirit yang terkandung di dalamnya sebagai prime mover
ekonomi sekaligus sebagai pengendalinya.
Deskripsi tentang pilar-pilar peradaban pesantren di atas, menunjukkan
bahwa pesantren tetap memainkan peranan penting yang menyejarah dalam
sepanjang perjalanannya. Hal ini harus terus ditingkatkan dengan upaya dari
berbagai pihak. Pesantren terus dituntut dapat mengembangkan peran dan
fungsinya dalam transformasi sosial. Karenanya, Kementerian Agama
merumuskan lima peranan pondok pesantren sebagai berikut: (a) pesantren
berperan sebagai instrumental dan fasilitator pemberdayaan masyarakat. (b)
peranan mobilisasi sosial; (c) peranan peningkatan sumber daya manusia; (d)
sebagai agent of development, maksudnya adalah sebagai agen perubahan sosial
dan melakukan pembebasan masyarakat yang tertindas; (e) sebagai center of
excellence, yakni sebagai pusat pengembangan agama, pendidikan, dan
pengembangan masyarakat.31
Transformasi sosial terus menuntut penyesuaian dari pesantren, sehingga
dalam beberapa hal harus melakukan perubahan. Meskipun demikian, sejumlah
pesantren mengalami hambatan melakukan perubahan sehingga ia tidak bisa
berkiprah lebih lanjut dalam pembentukan perdaban umat. Menurut Nurcholis
Madjid, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi hambatan perubahan
pesantren, yakni: pertama, perubahan pesantren harus dimulai dari dalam, karena
tidak ada yang dapat memimpin perubahan pesantren kecuali “orang dalam”.
Kedua, agar gagasan-gagasan baru itu diterima, diperlukan kepemimpinan yang
legitimate, sah menurut ukuran-ukuran pesantren. Ketiga, perubahan yang terjadi
hendaknya tidak bersifat radikal-revolusioner. Keempat, perubahan pesantren
tidak hanya bermodal kharisma, tetapi juga memerlukan skill dan keahlian.
30
Ibid., hlm. 239 31
Ruhman Basori, The Founding Father Pesantren Modern di Indonesia, (Jakarta:
iNeis, 2006), hlm. 41-42
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
294
Kelima, mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas program, maka perlu
disusun skala prioritas terutama pada program perombakan kurikulum
pesantren.32
Sedangkan menurut KH. Said Aqil Siradj ada tiga kekurangan pesantren
jika ingin menjadi lembaga alternatif. Pertama, pesantren harus melepaskan diri
dari kesan dan citra kerajaan kecil. Artinya dalam pesantren harus ditumbuhkan
keterbukaan, kebebasan berfikir dan berpendapat, kemandirian, kolektivitas, dan
menerima secara ofensif berbagai gagasan pembaharuan dari luar. Kedua,
independensi dan otonomi pesantren yang selama ini ada perlu diperkuat dan
diarahkan sebagai basis dan pemberdayaan serta penguatan masyarakat untuk
mengimbangi kekuatan negara. Ketiga, kurikulum pesantren harus dirombak.
Metodologi pemikiran harus menjadi fokus utama. Santri harus dikembalikan
kepada literatur (literatur as central of scince). Personifikasi ilmu kepada kyai
atau guru harus dikurangi melalui metode dialogis, kritis untuk mendapatkan
kebenaran ilmiah. Karena itu perpustakaan yang memadai menjadi keniscayaan
dalam pembaharuan. Pelajaran-pelajaran filsafat, logika, estetika, sejarah,
sosiologi, antropologi dan sebagainya, sudah harus dipertimbangkan menjadi
kurikulum pesantren.33
Gagasan pembaharuan di dunia pesantren oleh Nurcholis Madjid dan KH.
Said Aqil Siradj tersebut hendaknya menjadi bahan intropeksis pesantren untuk
menatap masa depannya. Kedua intelektual kenamaan yang lahir dari pesantren
tersebut tentu mengharapkan pesantren tetap menjalankan fungsi utamanya
sebagai lembaga tafaqquh fiddin yang tetap dipercaya umat sekaligus alumninya
mampu mengkremasikan karya nyata sesuai dengan konteks zamannya. Dengan
demikian, pesantren akan tetap eksis dan menjadi pusat perdaban muslim
nusantara, dalam berbagai aspeknya, sesuai dengan ciri khas dan keunikan
masing-masing pesantren.
F. Kesimpulan
Dari pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
pilar-pilar peradaban pesantren mengejawantah melalui potensi dan peran yang
dimainkan oleh pesantren. Karenanya, dapat disimpulkan hal-hal sebagi berikut:
1. Pesantren mampu mempertahankan eksistensinya dan berperan aktif
memanfaatkan potensinya sebagai lembaga pendidikan untuk kepentingan
tafaqquh fiddin. Tradisi keilmuan pesantren yang terus dijaga melahirkan
32
Ibid., hlm. 43-44 33
Edi Supriyono, OP. Cit., hlm. 65.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
295
santri yang mempunyai pengetahuan keagamaan sekaligus berakhlak
karimah. Pada pesantren salaf, tradisi keilmuan yang dikembangkan
melahirkan santri yang mumpuni dalam penguasaan materi ilmu-ilmu
keislaman dari sumber terpercaya, yakni kitab kuning yang merupakan karya
ulama abad klasik skolastik. Apalagi dalam proses pendidikannya
disempurnakan dengan sistem ijazah/transmisi keilmuan resmi melalui
sanad yang muttashil sampai kepada mu’allif. Adapun pada santri pesantren
semi modern akan melahirkan santri kosmopolit, yang menguasai kitab
kuning sekaligus berkompenten dalam sejumlah ilmu pengetahuan yang ada
di lembaga pendidikan formal. Ijazah yang didapat pun tidak hanya semata
ijazah pesantren akan tetapi ijazah lembaga pendidikan formal. Sedangkan
alumni pesantren modern lebih bisa melakukan akselerasi penguasaan ilmu
pengetahuan yang dilandasi nilai-nilai religius. Dengan demikian, potensi
pesantren dalam ranah keilmuan mampu menjadi pilar perdaban muslim
nusantara.
2. Pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan yang ideal. Karena di
dalamnya tidak hanya diajarkan materi keagamaan, akan tetapi juga
mempraktikkannya dalam realitas keseharian. Inilah nilai lebih pesantren
yang tidak hanya mencetak ilmuwan atau orang ‘alim, tetapi juga sekaligus
‘amil. Kesadaran tinggi untuk mengamalkan ilmu yang dipelajari dan
dikuasai akan melahirkan hal nyata baik terkait amaliah yang membentuk
kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial; baik yang menyangkut
pengamalan dalam bentuk ubudiyyah vertikal/mahdhah maupun ghairu
mahdhah berupa perilaku dan karya hasil pengembangan ilmu pengetahuan.
Di samping itu, sikap tawasuth, tawazun, dan tasamuh yang diajarkan sejak
dini di pesantren dan dipraktikkan dalam keseharian membentuk budaya
damai pesantren dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sehingga
diharapkan bisa menandingi dan menangkal berkembangnya paham
radikalisme agama di tengah masyarakat.
3. Pesantren juga mempunyai kultur yang unik dan khas. Karenanya, pesantren
dinilai menjadi sub kultur tersendiri yang mampu secara independen lepas
dari kultur masyarakat di sekitarnya. Dan, sebagai lembaga pendidikan
dengan kyai sebagai tokoh sentralnya, pesantren mampu mengejawantahkan
nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sosial masyarakat. Pesantren bahkan
mampu mengkonstruks budaya masyarakat dan terus menjaganya sehingga
sejumlah budaya pesantren yang ada dalam komunitas masyarakat tetap
terjaga dengan baik.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
296
4. Pesantren mampu menjadi pusat pemikiran politik dalam rangka
memberikan pendidikan politik kepada umat. Pendidikan politik yang
berbasis ajaran agama sehingga berpolitik tidak lepas dari faotsen politik dan
nilai moral agama. Jika pun pesantren harus terlibat dalam ranah politik
praktis, maka semata-mata demi menegakkan ajaran Islam melalui
kekuasaan. Hal ini tidak lepas dari akar kesejarahan pesantren yang lekat
dengan politik melalui hubungan antara para wali, sultan, keraton, dan
rakyat. Juga di masa perjuangan melawan penjajah, pesantren terlibat
sebagai oposisi pemerintah kolonial dan mengangkat senjata melakukan
jihad. Gelora Resolusi Jihad oleh Rais Akbar NU, KH. Hasyim Asya‟ari
menunjukkan betapa pesantren terlibat aktif dalam politik. Dalam konteks
kekinian konsep musyawarah, demokrasi, hubbul wathan minal iman,
ketaatan kepada pemimpin, dan nashbul Imamah menjadi bagian dari prinsip
pesantren demi utuhnya Negara Kesantuan Republik Indonesia.
5. Pesantren menyimpan potensi perekonomian yang jika dikelola secara baik
dapat memberdayakan ekonomi umat. Apalagi dengan ditunjang ajaran dari
kitab-kitab kuning yang menjadi pegangan pesantren. Dari sini pesantren
akan mampu menunjukkan kiprahnya sebagai lembaga pendidikan yang
mampu mengentaskan umat dari kemiskinan, sekaligus menjadi uswah
khasanah pengamalan fiqih al-iqtishadiyah serta berbisnis dengan dilandasi
etika religius.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
297
Daftar Pustaka
Abdul Latif Bustami, Kiai Politik; Politik Kyai, Membaca Wacana Politik Kaum
Tradisionalis, Malang: Pustaka Bayan, 2009
Abdurrahman Mas‟ud, Intelektual Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2004
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: Darma Bhakti, 1933 H.
Adeng Mukhtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam, Bandung: Pustaka
Setia, 2004
Ajid Tohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia,Kesetabilan Peta Kekuatan Politik dan
Pembangunan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007
Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004
David Kaplan, Teori Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Eevelin Clark, Bagaimana Para Pemimpin Besar Menggunakan Cerita untuk
Meningkatkan Kesuksesan, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007
Elis Suyono dan Samsul Munir Amin, Biografi KH. Muntaha al-Khafidz,
Wonosobo: Unsiq Press, 2004
Faisal Islamil, Pijar-pijar Islam Permulan Kultur dan Struktur, Yogyakarta:
LESFI, 2002
Ganjar Nugraha Jiwa Praja, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Armico, 1981
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalimah, 1999
Idarah Aliyah, Thariqah Mu’tabarah Nahdliyyah, Semarang: Toha Putra, tt.
Irfan Hielmy, Pesan Moral dari Pesantren,Bandung: Nuansa, 1999
KH. Aziz Masyhuri, al-Fuyudhatur Rabbaniyah fi Maqarrartil Mu’tamarati wal
Musyawarati li Jam’iyyah Ahlith Thariqah Mu’tabarah, Surabaya:
Khalistha, 2006
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
298
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzhab Negara, Yogyakarta: LKiS, 2001
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1995
Masykuri Abdillah, Gelombang Demokrasi di Negara-negara Muslim, Yogyarta:
Titian Wacana, 1999.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1982
Moch Marjuki, “Fitrah Pendidikan dalam Konteks Pendidikan Nasional” dalam
Jurnal Studi Islam, Volume 04 No 01, Semarang: Pascasarjana IAIN
Walisongo, 2004
Mochtar Mas‟ud, Negara, kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003
Moh Nadzir, Metode Penelitian, Jakarta: Galia Indonesia, 1996
Muhammad Sirozi, Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan Antara
Kepentingan Kekuasaan dan Praktek Penyelenggaraan Pendidikan.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005.
Mukhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006
Musytafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta: Citra Karsa
Mandiri, 2002
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000
PK. Purwantana, Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Ramlan Surbakti, Memahani Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 2007
Ridwan Nasir, Format Pendidikan Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Rozikin Daman, Membidik NU Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah,
Yogyakarta: Gama Media, 2001
Ruchman Basori, The Founding Father Pesantren Modern di
Indonesia,Banteng: IneIS, 2006
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Bandung: Sinar Baru Algesindo,
1992
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Jurnal Madaniyah Edisi VII Agustus 2014 ISSN 2086-3462
299
Saiful Huda, “Pesantren dan Proses Pembangunan Bangsa”, dalam Affian
Hasyim et.all, Menggagas Pesantren Masa Depan, Yogyakarta:
Qirtas, 2003
Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2002
Sukarran, Suatu Studi Ilmu Politik Ideologi, Bandung: Alumni, 1981
Sulton Masyhud dan Muh Khusnurridlo, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta:
Diva Pustaka, 2003
Sutrisno Hadi, Metode Research, Yogyakarta: UGM Press, 1986
KH. Lutfil Hakim Muslih, dkk., Sejarah Seabad Pondok Pesantren Futuhiyyah,
Mranggen: Pesantren Futuhiyyah, 2001
Yususf Qardlawi, Legalitas Politik,Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syari’ah,
Bandung: Pustaka Setia, 2008
Zamachsyari Dlofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai, Jakarta:
LP3ES, 1981.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Madaniyah bagi Penulis Redaksi menerim kiriman artikel dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Artikel merupakan karya ilmiah orisinil dan belum dipublikasikan pada media mana pun.
2. Artikel yang dimuat adalah naskah yang berkaitan dengan Pendidikan dan budaya.
3. Artikel merupakan hasil penelitian atau berupa hasil pemikiran yang setara dengan hasil penelitian.
4. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan jumlah minimal 15 dan maksimal 20 halaman. Jarak 1,5 spasi dan dicetak pada kertas jenis A4, dengan font Times New Roman 12. Dengan ketentuan memuat; a. Judul b. Nama penulis c. Identitas penulis d. Abstrak (Indonesia dan Inggris) dan kata kunci e. Bagian pendahuluan
Jika Artikel hasil penelitian, pendahuluan memuat: tinjauan pustaka, konsep penelitian, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan lokasi penelitian.
f. Bagian inti (Pembahasan) g. Bagian penutup (Simpulan) h. Daftar pustaka
5. Kutipan menggunakan Footnote sebagai berikut: Gates, L. Evaluating mathematical knowledge elements. In P. C.
Clarkson (Ed.). Technology in mathematics education. Melbourne: The
University of Melbourne, 1996), P.56
6. Penulisan daftar pustaka ditulis dengan tata cara sebagai berikut : Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,
Bandung : Alfabeta.
7. Kutipan wajib mencantumkan sumbernya pada daftar pustaka 8. Daftar pustaka yang tidak ada kutipannya wajib dihilangkan 9. Setiap naskah artikel akan dinilai terlebih dahulu oleh penyunting
ahli, dan apabila ada hal-hal yang dirasa kurang maka naskah akan dikembalikan kepada penulis untuk diperbaiki.
10. Penulis artikel berhak mendapat 2 eksemplar Jurnal Madaniyah sebagai bukti cetak.
11. Artikel dapat dikirim dalam bentuk soft file ke email : [email protected] atau [email protected]
12. Redaksi tidak berkewajiban mengembalikan naskah yang tidak dimuat.
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping
STIT Pers
ISSN 2086-3462
9 7 7 2 0 8 6 3 4 6 2 6 6
Edited with the trial version of Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:www.foxitsoftware.com/shopping