e11ekr

Upload: fhateerha-kirey

Post on 31-Oct-2015

153 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI

    PADA AREAL HUTAN BEKAS TERBAKAR

    (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang)

    ESTY KUSUMA RAHMASARI

    DEPARTEMEN SILVIKULTUR

    FAKULTAS KEHUTANAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2011

  • KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI

    PADA AREAL HUTAN BEKAS TERBAKAR

    (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang)

    ESTY KUSUMA RAHMASARI

    Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

    Pada Fakultas Kehutanan

    Institut Pertanian Bogor

    DEPARTEMEN SILVIKULTUR

    FAKULTAS KEHUTANAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2011

  • ESTY KUSUMA RAHMASARI. (E44062865). Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang). Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.

    RINGKASAN PENDAHULUAN. Kerusakan hutan di Indonesia yang semakin meningkat menyebabkan menurunnya fungsi dari hutan tersebut. Salah satu penyebab kerusakan hutan di Indonesia ialah kebakaran. Kebakaran hutan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh manusia. Dampak kebakaran hutan meliputi keseluruhan aspek ekosistem, seperti vegetasi, fauna, tanah, air, iklim, udara, dan manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran terhadap vegetasi dapat menyebabkan terjadinya suksesi dalam areal hutan bekas terbakar. Perubahan suksesi tersebut dapat dilihat dari komposisi dan struktur vegetasi hutan tersebut. METODOLOGI. Penelitian dilakukan pada areal hutan yang tidak terbakar, areal hutan dengan tingkat kebakaran ringan, areal hutan dengan tingkat kebakaran sedang, dan areal hutan dengan tingkat kebakaran berat. Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat tiga petak pengamatan dengan ukuran petak 100 x 100 m. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat sub petak contoh dengan ukuran 20 x 20 m untuk risalah tingkat pohon, pencekik dan liana berkayu; ukuran 10 x 10 m untuk risalah tingkat tiang; ukuran 5 x 5 m untuk risalah tingkat pancang, liana non-kayu, pandan, dan palem; dan ukuran 2 x 2 m untuk risalah tingkat semai, paku-pakuan, semak belukar dan tanaman herba. HASIL DAN KESIMPULAN. Kebakaran hutan di areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang mengakibatkan penurunan jumlah jenis pada tingkat pohon dan permudaan serta bentuk pertumbuhan. Hanya herba yang memiliki jumlah jenis yang stabil pada seluruh kondisi hutan. Keanekaragaman jenis menurut Shannon Index of General Diversity (H) menunjukkan bahwa kebakaran hutan menurunkan nilai keanekaragaman jenis pada tingkat pancang, tiang, pohon dan hampir seluruh bentuk pertumbuhan non-pohon. Struktur hutan pada tiap kondisi hutan memiliki kelas diameter tertinggi yang berbeda. Kondisi hutan tidak terbakar memiliki diameter 110 cm, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan kelas diameter tertinggi hanya mencapai 60 - 69 cm. Sedangkan, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang kelas diameter tertinggi mencapai 80 89 cm, sedangkan pada kelas diameter kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat hanya mencapai 40 49 cm. Kebakaran hutan menurunkan nilai kerapatan pada kondisi-kondisi hutan bekas terbakar. Pengaruh kebakaran hutan terhadap sifat kimia tanah, antara lain penurunan nilai pH tanah, peningkatan nilai C-organik, dan peningkatan nilai kapasitas tukar kation (KPK). Kebakaran hutan di areal UPT Tahura R. Soerjo, Malang menyebabkan perubahan terhadap komposisi dan struktur vegetasi serta sifat kimia tanah. Kata Kunci : Areal hutan bekas terbakar, Komposisi vegetasi, Struktur vegetasi .

  • ESTY KUSUMA RAHMASARI.(E44062865).Forest Vegetation Composition and Structure of the Former Forest Burned Area (In R. Soerjo Forest Park Area, Malang). Under the guidance of Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.

    SUMMARY INTRODUCTION. Forests damage in Indonesia are increasing affect to forest function decline. One cause of forest destruction in Indonesia is forest fires. Forest fires in Indonesia are mostly caused by humans. Impact of forest fires covering all aspects of ecosystems like, vegetation, fauna, soil, water, climate, air, and humans. forest vegetation damage caused succession in burned area. Succession effect reflected on forest vegetation composition dan structure. METHODOLOGY. The research was conducted in unburnt forest area, forest areas with a mild fire level, forest area with medium fire level, and forest area with heavy fire level. In each site observations made in three plots with plot size 100 x 100 m. In each plot observations are made of 4 sub-plots sample with size 20 x 20 m to measure the level of tree, strangler and woody liana; size 10 x 10 m to measure the level of the pole; size 5 x 5 m measure the level of saplings, lianas non-wood, pine, and palm; and 2 x 2 m measure the level of seedlings, ferns, shrubs and herbs. RESULTS AND CONCLUSION. Forest fires in R Soerjo Forest Park, Malang resulted in a decrease number of species of trees and regeneration rate and growth form. Only herb that has a stable species number in all forest conditions. Shannon species diversity according to the Index of General Diversity (H') shows that forest fires reduced the value of diversity at the level of stakes, poles, trees and most other forms of non-tree growth. Forest structure in each forest condition have a different highest diameter class. Unburned forest conditions have diameter until up to 110 cm, mild level forest fires reached only 60-69 cm for the highest diameter class. Meanwhile, on the medium level forest fires reached 80-89 cm for the highest diameter class, while the diameter classes of forest with heavy fire levels only reached 40-49 cm. Forest fires reduce the value of density on all forest burned area. The effect of forest fire on soil chemical properties are decrease soil pH value, increase the value of C-organic, and increase the value of cation exchange capacity (CEC). Forest fire in R. Soerjo Forest Park Area, Malang is causing changes of forest vegetation composition and structure and also soil chemical properties. Keywords: Forest burned area, vegetation composition, vegetation structure.

  • PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komposisi dan

    Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya

    R. Soerjo, Malang adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan

    dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada

    perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi atau kutipan yang

    berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

    telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

    akhir skripsi ini.

    Bogor, Februari 2011

    Esty Kusuma Rahmasari

    NRP. E44062865

  • Judul Skripsi : Komposisi dan Struktur Vegetasi pada Areal Hutan Bekas

    Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo,

    Malang)

    Nama Mahasiswa : Esty Kusuma Rahmasari

    NRP : E44062865

    Departemen : Silvikultur

    Menyetujui :

    Dosen Pembimbing,

    Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS

    NIP. 19450108 197303 1 001

    Mengetahui :

    Ketua Departemen Silvikultur

    Fakultas Kehutanan IPB,

    Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr

    NIP. 19641110 199002 1 001

    Tanggal Lulus:

  • DAFTAR RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 24 November 1988 sebagai

    anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Ir. H. Dody Arif Sarwono, MM dan Hj.

    R. Yati Hidayati.

    Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1994 - 1995 di SD Negeri

    Polisi IV Bogor, 1995 1998 SD Negeri II Bonipoi Kupang dan SD Negeri

    Pucang I Sidoarjo hingga lulus pada tahun 2000. Kemudian dilanjutkan ke SLTP

    Negeri 4 Bogor pada tahun 2000 2002 dan SLTP Negeri 2 Sidoarjo hingga lulus

    pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMU

    Negeri 4 Sidoarjo dan lulus pada tahun 2006.

    Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

    Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan mendapatkan kesempatan

    untuk menekuni mayor Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan. Pada tingkat

    tiga, penulis memilih untuk menekuni bidang Ekologi Hutan.

    Penulis juga melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH)

    jalur Kamojang-Sancang, Jawa Barat, melaksanakan kegiatan Praktek

    Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan melaksanakan

    Praktek Kerja Profesi (PKP) di KPH Pasuruan Perum Perhutani Unit II Jawa

    Timur.

    Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, Penulis menyelesaikan

    skripsi dengan judul Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas

    Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang) dibawah

    bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena

    dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang

    berjudul Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas Terbakar (Di

    Areal UPT Taman Hutan Raya R.Soerjo, Malang). Penyusunan skripsi ini

    merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

    Fakultas KehutananInstitut Pertanian Bogor.

    Skripsi ini mengemukakan upaya penulis dalam mengetahui, mempelajari,

    dan menganalisis komposisi dan struktur vegetasi pada areal hutan bekas terbakar

    ringan, bekas terbakar sedang dan bekas terbakar berat. Hasil dari penelitian ini

    diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk mengetahui komposisi dan

    struktur vegetasi areal hutan bekas terbakar Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang

    dalam pengelolaan lebih lanjut setelah terbakar.

    Penulis menyadari dalam pembuatan karya ilmiah ini tak lepas dari segala

    kelemahan dan kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran guna

    penyempurnaan karya ilmiah ini. Semoga dengan segala kekurangannya dapat

    bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Akhir kata penulis ucapkan

    terima kasih kepada segala pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian karya

    ilmiah ini.

    Bogor, Februari 2011

    Penulis

  • UCAPAN TERIMA KASIH

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan

    hidayah serta karunia-Nya, penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Pada

    kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

    1. Keluarga tercinta Mama, Papa, Teteh, Adek Bismy serta keponakanku Ainiya

    atas perhatian, kasih sayang, dukungan, kesabaran, semangat, pengorbanan

    dan doanya selama ini.

    2. Bapak Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS sebagai dosen pembimbing atas

    bimbingan, arahan, ilmu dan nasihat-nasihatnya sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini.

    3. Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr sebagai dosen penguji dari

    Departemen Hasil Hutan, Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, MS sebagai

    dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

    Ekowisata dan Bapak Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc.F.Trop sebagai dosen penguji

    dari Departemen Manajemen Hutan yang telah memberikan saran dan

    masukan dalam penyusunan skripsi ini.

    4. Ir. Maryono, MM selaku kepala UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang

    beserta segenap pegawai UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang atas

    bantuan dan dukungannya selama penulis melakukan penelitian skripsi ini.

    5. Seluruh staf Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

    6. Segenap pegawai Fakultas Kehutanan IPB, terutama Tata Usaha Kehutanan

    IPB dan Departemen Silvikultur.

    7. Keluarga besar Silvikultur 43, Nunu (yang selalu berbagi), Seru!ni (Anin,

    Dita, Anna, Dini, Riri, Ghidut) dan Novriadi Zulfida atas bantuan, perhatian,

    semangat, tawa, canda, doa dan kebersamaannya selama ini.

    8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

    mencurahkan segala tenaga, waktu maupun pemikirannya kepada penulis

    dalam menyelesaikan skripsi ini.

    Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan, Amin. Besar harapan

    penulis, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

  • i

    DAFTAR ISI Halaman

    DAFTAR ISI ................................................................................................. i

    DAFTAR TABEL ......................................................................................... iii

    DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. v

    BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1

    1.2 Tujuan ........................................................................................... 2

    1.3 Manfaat ......................................................................................... 2

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan tropis ........................................................................ 3

    2.1.1 Batasan ..................................................................................... 3

    2.1.2 Corak Iklim Hutan Hujan Tropis .............................................. 4

    2.1.3 Penyebaran Hutan Hujan Tropis di Indonesia ......................... 4

    2.2 Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi 5

    2.3 Komposisi dan Struktur Hutan ..................................................... 7

    2.4 Analisis Vegetasi .......................................................................... 8

    2.5 Kebakaran Hutan .......................................................................... 9

    2.5.1 Batasan ...................................................................................... 9

    2.5.2 Tipe Kebakaran ........................................................................ 9

    2.5.3 Dampak Kebakaran .................................................................. 10

    2.5.4 Kekerasan Kebakaran (Fire Severity) ...................................... 13

    2.5.5 Pencegahan Kebakaran Hutan .................................................. 15

    2.5.6 Tipe Manajemen Kebakaran Hutan .......................................... 16

    BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak dan Luas .............................................................................. 18 3.2 Topografi dan Iklim ...................................................................... 18

    3.3 Flora dan Fauna ............................................................................ 19

    3.3.1 Flora ....................................................................................... 19

    3.3.2 Fauna ....................................................................................... 19

    3.4 Daerah Aliran Sungai ................................................................... 20

    BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 21

  • ii

    4.2 Bahan dan Alat ............................................................................. 21

    4.3 Metode Pengambilan Data ............................................................ 21

    4.3.1 Analisis Vegetasi ..................................................................... 21

    4.3.2 Analisis Sifat Kimia Tanah ....................................................... 24

    4.4 Analisis Data ................................................................................. 24

    4.4.1 Indeks Nilai Penting (INP) ...................................................... 24

    4.4.2 Indeks Dominansi (C) .............................................................. 25

    4.4.3 Indeks Keanekaragaman Jenis (H) ......................................... 25

    4.4.4 Koefisien Keanekaragaman Jenis (IS) ..................................... 26

    4.4.5 Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1) ............................. 26

    4.4.6 Indeks Kemerataan Jenis (E) ................................................... 26

    BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Jenis ............................................................................ 27

    5.1.1 Jumlah Jenis ............................................................................. 27

    5.1.2 Kerapatan dan Frekuensi Tumbuhan ....................................... 29

    5.1.3 Dominansi Jenis ....................................................................... 34

    5.2 Indeks Dominansi (C) ................................................................... 37

    5.3 Indeks Keanekaragaman Jenis (H) .............................................. 39

    5.4 Indeks Kekayaan Margallef (R1) .................................................. 40

    5.5 Indeks Kemerataan jenis (E) ......................................................... 42

    5.6 Koefisisen Kesamaan Komunitas (IS) .......................................... 43

    5.7 Struktur Tegakan .......................................................................... 48

    5.8 Sifat Kimia Tanah ......................................................................... 51

    5.8.1 pH Tanah .................................................................................. 51

    5.8.2 Kapasitas Tukar Kation dan Kejenuhan Basa ........................... 54

    5.8.3 Analisis Unsur-unsur Hara Tanah ............................................ 55

    5.9 Kondisi Hutan Setelah Terbakar .................................................... 58

    5.9.1 Sekat Bakar ............................................................................... 61

    BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................... 63 6.2 Saran .............................................................................................. 64

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 65

    LAMPIRAN .................................................................................................. 69

  • iii

    DAFTAR TABEL No. Halaman

    1. Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan

    tingkat permudaan pohon ........................................................................ 27

    2. Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan

    bentuk pertumbuhan ................................................................................ 8

    3. Kerapatan jenis tumbuhan pada tiap kondisi hutan ................................ 29

    4. Frekuensi tumbuhan pada tiap kondisi hutan .......................................... 31

    5. Rekapitulasi jenis tumbuhan yang memiliki INP tertinggi pada tiap

    kondisi hutan ........................................................................................... 34

    6. Indeks dominansi (C) pada tiap kondisi hutan ........................................ 37

    7. Indeks keanekaragaman jenis (H) pada tiap kondisi hutan ................... 39

    8. Indeks kekayaan jenis (R1) pada tiap kondisi hutan ............................... 1

    9. Indeks kemerataan jenis (E) pada tiap kondisi hutan .............................. 42

    10. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada tingkat

    permudaan pohon .................................................................................... 44

    11. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada bentuk

    pertumbuhan herba, paku-pakuan, semak belukar dan liana .................. 45

    12. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada bentuk

    pertumbuhan pandan, palem, liana berkayu dan epifit ........................... 46

    13. Struktur tegakan berdasarkan kelas diameter pada tiap kondisi hutan ... 48

    14. Reaksi tanah dan kandungan C-organik pada tiap kondisi hutan ........... 51

    15. Nilai kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB) dan tekstur

    tanah pada tiap kondisi hutan .................................................................. 54

    16. Analisis kimia unsur hara makro tanah pada tiap kondisi hutan ............. 55

    17. Analisis kimia unsur hara mikro tanah pada tiap kondisi hutan ............. 57

  • iv

    DAFTAR GAMBAR No. Halaman

    1. Plot pengamatan analisis vegetasi ........................................................... 23

    2. Struktur tegakan berdasarkan kelas diameter pada kondisi hutan :

    (a) Tidak terbakar; (b) Tingkat kebakaran ringan; (c) Tingkat

    kebakaran sedang dan; (d) Tingkat kebakaran berat ............................... 49

    3. Penampang melintang sekat bakar dengan lebar 60 m ........................... 62

  • v

    DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman

    1. Daftar nama jenis tingkat pertumbuhan pohon dan permudaan di

    Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang ................................................... 70

    2. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan herba di Taman Hutan Raya

    R. Soerjo, Malang ................................................................................... 72

    3. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan semak belukar di Taman

    Hutan Raya R. Soerjo, Malang ............................................................... 74

    4. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan paku-pakuan di Taman Hutan

    Raya R. Soerjo, Malang .......................................................................... 74

    5. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan liana di Taman Hutan Raya R.

    Soerjo, Malang ........................................................................................ 75

    6. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan pandan di Taman Hutan Raya

    R. Soerjo, Malang ................................................................................... 75

    7. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan palem di Taman Hutan Raya

    R. Soerjo, Malang ................................................................................... 75

    8. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan liana berkayu di Taman Hutan

    Raya R. Soerjo, Malang .......................................................................... 76

    9. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan epifit di Taman Hutan Raya

    R. Soerjo, Malang ................................................................................... 76

    10. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada

    kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 77

    11. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 78

    12. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 78

    13. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 79

    14. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada

    kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 80

    15. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 81

  • vi

    16. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 81

    17. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 82

    18. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan

    tidak terbakar........................................................................................... 83

    19. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan

    dengan tingkat kebakaran ringan ............................................................ 84

    20. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan

    dengan tingkat kebakaran sedang ........................................................... 85

    21. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan

    dengan tingkat kebakaran berat............................................................... 85

    22. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan

    tidak terbakar........................................................................................... 86

    23. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan

    dengan tingkat kebakaran ringan ............................................................ 88

    24. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan

    dengan tingkat kebakaran sedang ........................................................... 88

    25. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan

    dengan tingkat kebakaran berat............................................................... 89

    26. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada

    kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 90

    27. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 92

    28. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 94

    29. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 96

    30. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak

    belukar pada kondisi hutan tidak terbakar ............................................. 97

    31. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak

    belukar pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ............... 97

  • vii

    32. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak

    belukar pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang .............. 97

    33. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak

    belukar pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ................. 98

    34. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada

    kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 98

    35. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 98

    36. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 98

    37. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 98

    38. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada

    kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 99

    39. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 99

    40. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 99

    41. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 99

    42. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan pandan pada

    kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 100

    43. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan pandan pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 100

    44. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan palem pada

    kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 100

    45. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan palem pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 100

    46. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana berkayu

    pada kondisi hutan tidak terbakar ........................................................... 100

    47. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana berkayu

    pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ............................ 101

  • viii

    48. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan epifit pada

    kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 101

    49. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan epifit pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 101

    50. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan epifit pada

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 101

    51. Kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah

    Bogor (1983) dalam Perdana (2009) ...................................................... 102

    52. Foto-foto penelitian ................................................................................. 103

    53. Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo,

    Malang .................................................................................................... 105

  • BAB I

    PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

    Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

    daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

    lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

    Tahun 1999 tentang Kehutanan). Hutan di Indonesia termasuk ke dalam hutan

    hujan tropis dimana wilayah Indonesia termasuk ke dalam iklim tropis.

    Kerusakan hutan di Indonesia yang semakin meningkat menyebabkan

    menurunnya fungsi dari hutan tersebut. Salah satu penyebab kerusakan hutan di

    Indonesia ialah kebakaran hutan.

    Hutan hujan tropis sendiri merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua

    yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan

    curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembaban udara

    80% (Vickery 1984 dalam Indriyanto 2008).

    Di Indonesia, khususnya di pulau Jawa masih terdapat hutan hujan tropis

    yang salah satunya adalah kawasan pelestarian alam Taman Hutan Raya. Terdapat

    wilayah Taman Hutan Raya R.Soerjo yang dahulunya merupakan wilayah Perum

    Perhutani. Taman Hutan Raya R.Soerjo merupakan salah satu kawasan hutan

    pelestarian alam di provinsi Jawa Timur yang tersebar di Kabupaten Mojokerto,

    Kabupaten Malang, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan dan Kota Batu. Taman

    Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo berbatasan langsung dengan kawasan Perum

    Perhutani. Sehingga masih banyak penduduk yang masuk ke Tahura R. Soerjo

    untuk mencari kayu bakar atau bercocok tanam di dalam kawasan. Selain itu,

    terdapat pemburu liar yang berburu di dalam kawasan ini yang membuat

    kebakaran hutan melebar sehingga memudahkan perburuan satwa liar. Selain

    pemburu liar, banyak pendaki gunung di dalam kawasan Tahura R.Soerjo yang

    menyebabkan kebakaran hutan.

    Kebakaran hutan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh manusia.

    Data terakhir yang didapat dari Kementerian Kehutanan dalam taksiran luas

  • 2

    kebakaran hutan menurut fungsi hutan pada tahun 2001 2005, kebakaran hutan

    dengan luasan tertinggi terjadi pada tahun 2002 seluas 35.496,73 ha. Sedangkan

    berdasarkan Dinas Kehutanan Provinsi Jatim, pada tahun 2005 2009 luasan

    kebakaran hutan di Provinsi Jawa Timur secara keseluruhan memiliki luasan

    tertinggi seluas 7.596,65 ha pada tahun 2006. Pada tahun 2009 sendiri kejadian

    kebakaran yang terjadi di Provinsi Jawa Timur mencapai luasan 6.046,04 ha

    meningkat dari tahun sebelumnya. Sedangkan, data rekapitulasi kejadian

    kebakaran hutan di kawasan Tahura R. Soerjo pada bulan Juli 2009 sampai

    dengan bulan Desember 2009 seluas 2.074 ha (Dinas Kehutanan Prov. Jawa

    Timur).

    Dampak kebakaran hutan meliputi keseluruhan aspek ekosistem, seperti

    vegetasi, fauna, tanah, air, iklim, udara, dan manusia. Kerusakan yang disebabkan

    oleh kebakaran terhadap vegetasi dapat menyebabkan terjadinya suksesi dalam

    areal bekas terbakar. Suksesi yang terjadi merupakan upaya ekosistem tersebut

    memulihkan kondisi lingkungan baik komponen biotik maupun komponen

    abiotik. Perubahan suksesi tersebut dapat dilihat dari komposisi dan struktur

    vegetasi hutan tersebut.

    1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, mempelajari, dan

    menganalisis komposisi dan struktur vegetasi pada areal hutan bekas terbakar

    ringan, bekas terbakar sedang dan bekas terbakar berat.

    1.3 Manfaat Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan

    masukan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi areal hutan bekas

    terbakar Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang sehingga dapat dilaksaanakan

    pengelolaan lebih lanjut terhadap areal hutan bekas terbakar.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis 2.1.1 Batasan

    Menurut Ewusie (1990), hutan hujan tropis merupakan jenis nabatah yang

    paling subur. Sedangkan enurut Soerianegara dan Indrawan (1988), hutan adalah

    masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon-pohon dan

    mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan.

    Hutan jenis ini terdapat di wilayah baruh tropis atau di dekat wilayah tropis di

    bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 4000 mm per

    tahun. Suhunya tinggi (sekitar 25 C 26 C) dan seragam, dengan kelembaban rata-rata sekitar 80%. Komponen dasar hutan itu adalah pohon tinggi dengan

    tinggi maksimum rata-rata sekitar 30 m. Tajuk pepohonan itu sering dapat

    dikenali karena terdiri dari 3 lapis. Pepohonan itu tergabung dengan tumbuhan

    terna, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasit. Berbunga, berbuah, dan

    luruhnya daun serta bergantinya daun sering berlangsung bersinambungan

    sepanjang tahun, dengan spesies berlainan yang terlibat pada waktu yang berbeda-

    beda (Ewusie 1990).

    Hutan hujan tropis menurut Schimper (1903) dalam Richards (1966)

    adalah suatu komunitas tumbuhan yang bersifat selalu hijau, memiliki karakter

    selalu basah dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30 m, tapi biasanya lebih

    tinggi, serta kaya akan liana yang memiliki batang tebal dan berkayu seperti herba

    yang bersifat epifit. Menurut Richards (1966) ciri utama dari hutan hujan tropis

    ialah mayoritas dari tanaman di hutan hujan tropis berkayu, tak hanya pohon yang

    mendominasi komunitas hutan hujan tropis, tapi kebanyakan tanaman merambat

    dan beberapa epifit pun berkayu.

    Hutan hujan tropis ialah suatu komunitas kompleks yang terdiri dari

    pepohonan dengan berbagai ukuran. Iklim mikro dibawah naungan kanopi hutan

    berbeda dengan iklim mikro di luar kanopi hutan. Perbedaan iklim mikro dilihat

    dari cahaya yang rendah, kelembaban yang tinggi, dan temperatur yang rendah di

    bawah kanopi hutan (Whitmore 1984).

  • 2

    2.1.2 Corak iklim hutan hujan tropis Hutan hujan tropis memiliki corak iklim mikro menurut Ewusie (1990)

    yang terdiri dari :

    1. Suhu

    Iklim hutan hujan tropis ditandai oleh suhu yang tinggi dan sangat rata. Rataan

    suhu tahunan berkisar antara 20 C hingga 28 C dengan suhu terendah pada musim hujan dan suhu tertinggi pada musim kering. Setiap naik 100 m di

    pegunungan, rataan suhu itu berkurang 0,4 C 0,7 C. 2. Curah hujan

    Hutan hujan tropis menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 3000 mm

    dalam setahunnya.

    3. Kelembaban atmosfer

    Kelembaban hutan hujan tropis rata-rata sekitar 80 %. Pada tumbuhan teduhan

    lamanya kelembaban maksimum bertambah dari sekitar 14 jam selama musim

    kering menjadi 18 jam pada musim hujan.

    4. Angin

    Di wilayah tropis kecepatan angin biasanya lebih rendah dan angin topan tidak

    begitu sering. Rataan kecepatan angin tahunan di daerah hutan hujan pada

    umumnya kurang dari 5 km/jam dan jarang melampaui 12 km/jam.

    5. Cahaya

    Meskipun jumlah sinar matahari harian tidak pernah kurang dari 10 jam

    dimanapun di wilayah tropis, tetapi jumlah sinar matahari cerah sesungguhnya

    selalu kurang dari jumlah tersebut diatas, karena derajat keberawanan yang

    tinggi.

    6. Karbondioksida

    Karbondioksida dianggap penting dari segi ekologi karena bersama-sama

    dengan cahaya merupakan faktor pembatas bagi fotosintesis dan perkembangan

    tumbuhan.

    2.1.3 Penyebaran Hutan Hujan Tropis di Indonesia Soerianegara dan Indrawan (1988) membagi formasi hutan Indonesia ke

    dalam 3 zone vegetasi, yaitu:

  • 3

    1. Zona barat, yang berada dibawah pengaruh vegetasi Asia, meliputi pulau

    Sumatera dan Kalimantan dengan jenis-jenis kayu yang dominan dari Suku

    Dipterocarpaceae.

    2. Zona timur, berada di bawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau

    Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Jenis dominan adalah dari suku

    Araucariaceae dan Myrtaceae.

    3. Zona peralihan, dimana pengaruh dari kedua benua tersebut bertemu yaitu

    Pulau Jawa dan Sulawesi, terdapat dari jenis Araucariacea, Myrtaceae, dan

    Verbenaceae. Sekalipun dapat dikatakan pemisahan demikian tidaklah berarti

    bahwa batas tersebut merupakan garis tegas yang dari penyebaran vegetasi.

    Selanjutnya dikemukakan bahwa penyebaran hutan hujan tropis di

    Indonesia terdapat terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, serta

    Irian.

    2.2 Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi Masyarakat hutan adalah salah satu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu

    masyarakat yang dinamis dimana terbentuk secara berangsur-angsur melalui

    tahapan, yaitu invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, dan

    penguasaan serta reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini

    disebut dengan suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan 1998).

    Suksesi sendiri merupakan proses perubahan dalam komunitas yang

    berlangsung menuju ke satu arah secara teratur. Proses suksesi berakhir dengan

    sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimaks. Dikatakan bahwa dalam

    tingkat klimaks ini komunitas telah mencapai homeostatis. Ini dapat diartikan

    bahwa komunitas sudah dapat mempertahankan kestabilan internalnya sebagai

    akibat dari tanggap (response) yang terkoordinasi dari komponen-komponennya

    terhadap setiap kondisi atau rangsangan yang cenderung mengganggu kondisi

    atau fungsi normal komunitas. Jadi bila suatu komunitas telah mencapai klimaks,

    perubahan yang searah tidak terjadi lagi, meskipun perubahan-perubahan internal

    diperlukan untuk mempertahankan kehadiran komunitas berlangsung secara

    sinambung (Resosoedarmo et al. 1988).

    Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan

    dinamis dengan lingkungan, terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuh-

  • 4

    tumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Setiap ada

    perubahan, akan ada mekanisme atau proses yang mengembalikan keadaan

    kepada seimbang (Soerianegara dan Indrawan 1998).

    Setelah beberapa waktu, perubahan muncul pada komponen-komponen

    yang tidah hidup dalam ekosistem. Perubahan lingkungan ini menjadi bagian dari

    aktivitas organisme itu sendiri dan bagian fenomena yang berdiri sendiri pada

    komunitas yang sepantasnya. Pengaruh-pengaruh awal mengarah pada autogenic,

    yang memproduksi suksesi autogenik (Tansley 1935 dalam Chandler et al 1983),

    dan kemudian sebagai allogenik, memproduksi suksesi allogenik. Sebenarnya,

    kedua kekuatan tersebut aktif pada saat yang bersamaan tapi satu diantara yang

    lainnya lebih kuat.

    Pengaruh autogenic tergantung pada komposisi spesies dan struktur

    komunitas karena setiap spesies berkontribusi secara individual yang menjadi

    dampak keseluruhan suksesi. Daur nutrisi dapat berpengaruh besar dalam

    memberi simpanan nutrisi bagi beberapa spesies. Pengaruh autogenis pun

    berpengaruh terhadap cahaya dan suhu. Pada kekuatan allogenik pun

    mempengaruhi suksesi tetapi kekuatan ini tidak bergantung pada aktivitas

    organisme dalam komunitas. Contohnya pada kebakaran hutan, penggembalaan

    hewan ternak, atau tebang habis pada seluruh hutan (Chandler et al 1983).

    Suksesi primer adalah perkembangan vegetasi mulai dari habitat yang tak

    bervegetasi hingga mencapai masyarakat yang stabil atau klimaks (Soerianegara

    dan Indrawan 1988). Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979) dalam Indriyanto

    (2008), suksesi primer adalah suksesi yang terjadi pada lahan yang mula-mula tak

    bervegetasi. Lahan yang tak bervegetasi dapat berarti bahwa lahan tersebut telah

    lama sekali tidak ada vegetasi apapun yang tumbuhnya diatasnya. Lahan tak

    bervegetasi dapat juga berarti bahwa lahan tersebut pernah bervegetasi, tetapi

    mengalami gangguan berat sehingga ekosistem terganggu dan komunitas

    tumbuhan rusak total.

    Suksesi sekunder di daerah tropis yang telah dikaji paling baik, berasal

    dari hutan hujan tropis. Pada umumnya suksesi sekunder penghancuran nabati

    puncak ini cenderung menuju pada pemulihan kembali hutan hujan itu sebagai

    puncak pengaruh iklim. Namun, jika kebakaran, penggembalaan atau penurunan

  • 5

    sifat tanah berlanjut terus di hutan itu, maka arah suksesi berubah atau menjadi

    bias, menuju pada puncak biotik yang tidak lebih baik dari ekosistem sebelumnya

    (Ewusie 1990). Ketika kawasan alami berubah menjadi sebuah luasan yang

    komunitasnya rusak dan suksesinya mengalami kemunduran, muncul sebuah

    bentuk komunitas yang baru yang disebut suksesi sekunder (Chandler et al 1983).

    Suksesi sekunder terjadi pada saat ekosistem mengalami gangguan dan

    kerusakan, misalnya karena kebakaran, tetapi komposisi biotik yang sudah ada

    sebelumnya mempengaruhi penyebab proses (Mcnaughton dan Wolf 1990).

    Menurut Chandler et al (1983), situasi suksesi sekunder ini muncul ketika spesies

    utama dalam komunitas telah hancur akibat kebakaran, penyakit parasit, tornado,

    banjir, atau kegiatan manusia seperti pertanian atau kehutanan.

    2.3 Komposisi dan Struktur Hutan Komposisi spesies berubah dengan cepat pada awal suksesi dan lebih

    lambat ketika suksesi berlangsung. Pada umumnya jumlah spesies yang ada

    dalam komunitaas meningkat dengan cepat ketika suksesi dimulai tetapi

    kemungkinan akan mengalami penurunan pada nilai yang lebih kurang konstan.

    Komposisi hutan dapat diklasifikakan berdasarkan atas adanya jenis murni

    atau campuran. Karena tegakan yang benar-benar murni jarang ada kecuali di

    Barat, di tempat Pinus pondoresa, Pinus contorta, Abies, dan Populus mempunyai

    areal murni sangat luas, kira-kira 90% dari satu jenis telah dipilih sebagai ciri

    untuk memisahkan tegakan murni dari tegakan 90%, seluruh tegakan merupakan

    campuran dua atau lebih jenis. Tegakan murni juga terdapat pada hutan tanaman

    atau pada tempat tumbuh yang khusus seperti hutan rawa Picea mariana (Daniel

    et al. 1995).

    Salah satu karakteristik paling penting pada hutan hujan tropis yang

    berkaitan erat dengan komposisi hutan ialah kekayaan spesies yang melimpah.

    Kekayaan flora yang tinggi disebabkan kecenderungan sebagian kondisi dalam

    mendukung tingkat spesiasi yang tinggi, khususnya iklim yang menguntungkan

    bagi pertumbuhan tanaman dan reproduksi di semua musim, tetapi tidak

    diragukan lagi sebagian besar disebabkan oleh usia massa tanah tropis yang tua,

    yang memungkinkan bertahannya vegetasi kurang lebih sama hingga zaman

    sekarang dari periode geologis yang lampau (Richards 1966).

  • 6

    Kelimpahan jenis ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan

    dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain

    ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP), volume, biomassa, presentase

    penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan

    (Soerianegara dan Indrawan 1988).

    Menurut Richards (1966), struktur yang berada dalam masyarakat spesies

    secara keseluruhan berasal dari perawakannya yang bervariasi dalam berbagai

    bentuk kehidupan, namun para anggota kelompok ekologis yang sama adalah

    serupa dalam bentuk kehidupan dan dalam hubungannya dengan lingkungan.

    Rencana struktur klimaks untuk hutan hujan tropis yang paling jelas

    dimanifestasikan dalam fitur utama dari arsitektur, stratifikasi pohon-pohon,

    semak, dan tanaman herba. Pohon-pohon hutan tropis membentuk beberapa strata

    (lapisan, tingkatan, kanopi dan deretan bertingkat juga digunakan). Terkadang

    dikategorikan ke dalam tiga lapisan hutan hujan (menurut beberapa literatur, lebih

    dari tiga).

    Menurut Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu :

    1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram

    profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai, dan herba

    penyusun vegetasi.

    2. Sebaran horisontal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu

    individu terhadap individu lain.

    3. Kelimpahan (abundance) setiap jenis dalam suatu komunitas.

    Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa

    faktor, seperti : flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain-lain), waktu dan

    kesempatan (Marsono 1977).

    2.4 Analisis Vegetasi Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan

    bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk struktur

    vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk

    keperluan analisis vegetasi diperluan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk

    menentukan INP dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis

  • 7

    vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi

    suatu komunitas tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan 1988).

    Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi

    dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu :

    1. Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan

    membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu

    pengamatan berbeda.

    2. Menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal.

    3. Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan

    tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith 1983).

    2.5 Kebakaran Hutan 2.5.1 Batasan

    Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian di mana api melalap

    bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar

    secarabebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan

    non-hutan. Kebakaran yang terjadi di Indonesia sering kali membakar areal hutan

    dan areal nonhutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api yang berasal

    dari kawasan hutan menuju kawasan non-hutan, atau sebaliknya. Hasilnya, istilah

    kebakaran hutan dan lahan menjadi istilah yang melekat untuk kejadian kebakaran

    di Indonesia (Syaufina 2008).

    Proses pembakaran menyebar secara bebas yang mengkonsumsi bahan

    bakar hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting kayu mati, tiang, gulma,

    semak, dedaunan, serta pohon-pohon segar untuk tingkat terbatas. Dengan

    demikian sifat utama dari kebakaran hutan adalah tidak terkendali dan menyebar

    secara bebas (Brown dan Davis 1975).

    2.5.2 Tipe Kebakaran Menurut Gunarwan (1970) kebakaran diklasifikasikan dalam beberapa

    tingkatan, yaitu :

    1. Ground fire : api membakar semua bahan-bahan organik (serasah-serasah)

    sampai lapisan bawah dari tanah.

    2. Surface fire : api membakar serasah yang berada dipermukaan saja dan

    tanaman-tanaman kecil.

  • 8

    3. Crown fire : api membakar tajuk-tajuk pohon dan semak-semak.

    Sering pula kebakaran dibagi-bagi berdasarkan luas areal yang terbakar,

    yaitu sebagai berikut :

    1. Kelas A : kebakaran meliputi 1000 m2.

    2. Kelas B : kebakaran meliputi 1000 m2 - 40.000 m2 (0,04 km2).

    3. Kelas C : kebakaran meliputi 0,04 km2 - 0,4 km2.

    4. Kelas D : kebakaran meliputi 0,4 km2 - 1,2 km2.

    5. Kelas E : kebakaran meliputi 1,2 km2.

    2.5.3 Dampak Kebakaran Menurut Syaufina (2005), tidak selamanya kebakaran hutan berdampak

    merugikan bagi lingkungan. Tetapi, perlu kajian lebih lanjut sampai sejauh mana

    dampak menguntungkan kebakaran hutan dapat dirasakan dan seberapa besar jika

    dibandingkan dengan dampaknya yang merugikan.

    1. Dampak kebakaran hutan yang menguntungkan

    Di beberapa negara maju, pembakaran terkendali dilakukan secara periodik

    untuk mengurangi potensi bahan bakar sehingga dapat menghindarkan

    kebakaran yang lebih besar. Kegiatan pembakaran juga digunakan untuk

    memusnahkan hama dan penyakit apabila serangannya sudah tidak terkendali.

    Namun demikian, pembakaran terkendali ini perlu pengetahuan yang memadai

    mengenai teknik-teknik pembakaran, waktu pembakaran dan perilaku api.

    Terhadap lahan hutan, abu hasil proses pembakaran dapat meningkatakn pH

    tanah hutan yang pada umumnya bersifat masam. Disamping itu kandungan

    mineral yang tinggi dapat merupakan sumber nutrisi bagi tanaman yang akan

    hidup di atasnya. Tetapi, sumbangan nutrisi ini tidak berlangsung lama.

    Terutama apabila terjadi hujan sehingga proses pencucian akan mudah terjadi.

    Adanya ekosistem yang bergantung pada api menunjukkan bahwa untuk

    jenis-jenis tertentu kebakaran dapat melestarikan keberadaannya. Hal ini

    ditunjukkan dengan adanya sifat adaptasi vegetasi terhadap api yang dikenal

    dengan istilah fire adaptive traits. Beberapa contoh dari adaptasi ini adalah :

    a. Ketebalan kulit kayu

    Faktor utama yang menentukan sejenis pohon atau semak sebagai jenis

    resisten terhadap api adalah ketebalan kulitnya. Pohon atau semak yang

  • 9

    memiliki ketebalan kulit antar 1,0 1,3 cm akan mengalami kerusakan

    yang ringan apabila terbakar (Wright dan Bailey, 1982 dalam Syaufina

    2005). Biasanya kulit kayu pohon yang muda akan lebih tipis

    dibandingkan dengan kayu tua.

    b. Tunas yang terlindung

    Beberapa jenis vegetasi memiliki kemampuan untuk melindungi tunasnya

    dari api dengan berbagai bentuk. Pinus palustris melindungi tunasnya

    dengan dedaunan yang tidak terbakar, Eucaliptus melindungi tunasnya

    jauh di dalam batang, beberapa jenis semak dan pohon seperti Populus

    menempatkan tunasnya di dalam akar bawah tanah.

    c. Pertuanasan yang distimulasi api

    Tumbuhnya tunas di bagian bawah merupakan hal yang biasa untuk

    beberapa jenis pohon dan semak setelah api menghancurkan bagian-bagian

    dedaunan dan rantingnya. Bakal tunas bersifat dorman pada saat vegetasi

    tersebut hidup. Adanya api akan menstimulasi bakal tunas yang dorman

    tadi untuk tumbuh. Pertumbuhan tunas setelah kebakaran biasanya,

    berhubungan dengan umur tanaman, ukuran batang, musim, frekuensi

    kebakaran, dan kekerasan kebakaran.

    d. Penyebaran biji api

    Jenis-jenis pinus umumnya menyimpan bijinya dengan mekanisme

    tertentu did dalam kerucut yang terbalut dengan bahan resin yang sensitif

    terhadap api sehingga sulit untuk diambil. Dengan adanya api, buah pinus

    akan membuka dan mengeluarkan bijinya. Seringkali biji akan jatuh di

    atas permukaan tanah yang kaya akan abu dan mineral hasil dari proses

    pembakaran. Akibatnya, biji akan cepat berkecambah dan tumbuh dengan

    bantuan sinar matahari yang jatuh ke lantai hutan.

    e. Perkecambahan biji yang dibantu oleh api

    Perkecambahan biji yang tersimpan di dalam tanah dapat distimulasi oleh

    adanya panas api.

    2. Dampak kebakaran yang merugikan

    Tidak diragukan lagi bahwa kebakaran memberikan dampak yang

    merugikan bagi lingkungan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa dampak

  • 10

    yang merugikan dari kebakaran hutan terhadapa vegetasi, tanah, air, dan udara

    secara ringkas.

    a. Terhadap vegetasi

    Pada kisaran suhu antara 130 C hingga 190 C, lignin dan hemisellulosa sebagai penyusun bahan bakar hutan akan mulai terdegradasi. Proses

    dekomposisi dari kedua jenis bahan penyusun tadi akan dipercepat pada

    suhu 200 C. Panas yang dihasilkan dalam suatu kebakaran dapat mencapai lebih dari 1000 C. Akibatnya kebakaran hutan dapat menyebabkan kematian vegetasi. Apabila panas yang dihasilkan masih memungkinkan

    vegetasi untuk hidup, maka akan tertinggal luka-luka akibat kebakaran yang

    akhirnya akan merangsang pertumbuhan hama dan penyakit atau

    menghasilkan cacat permanen. Sebagi konsekuensinya, riap hutan akan

    menurun dan fungsi lindung hutan hilang. Bagi semai atau anakan pohon

    yang memiliki jaringan tanaman yang masih muda, api akan menyebabkan

    kematian secara langsung. Hal ini tentu saja akan menghambat proses

    regenerasi hutan.

    b. Terhadap tanah

    Kebakaran akan memberikan dampak kepada sifat fisik, kimia, dan biologi

    tanah dengan tahapan yang berbeda tergantung kepada beberapa faktor,

    seperti : karakteristik tanah, intensitas, dan lamanya kebakaran, waktu dan

    intensitas hujan setelah terjadinya kebakaran serta sifat bahan bakar.

    Pembakaran merenggut dari tanah, humus yang seharusnya terjadi. Karena

    kegiatan api itu, bagian rumput beserta terna yang ada di atas tanah

    hanyalah menjadi abu dan bukan menjadi humus, setelah tumbuhan itu mati

    dan membusuk. Dalam proses pembakaran itu sebagian unsur hara yang

    dibebaskan itu menjadi hilang, Kehilangan lebih lanjut terjadi sebelum

    unsur hara itu terbilas ke dalam tanah dan diserap oleh tumbuhan.

    Pengaruh kebakaran pada pinggiran hutan adalah mengurangi luas hutan itu

    dan menggantikannya dengan sabana turunan, sering dengan sisa pohon

    hutan yang terpencar di sana-sini. Keadaan ini lagi-lagi disertai dengan

    pemiskinan tanah dan dipermudah di daerah nisbi kering yang tanahnya

    dangkal dan berpasir. Akhirnya, pembakaran menyebabkan permukaan

  • 11

    tanah menjadi gundul sehingga limpasan air dan pengikisan sering

    meningkat, terutama pada lereng bukit. Peningkatan limpasan itu berarti

    pengurangan jumlah air yang menerus dan air simpanan bawah tanah.

    Dengan air yang berkurang maka menjadi tidak mungkin untuk

    mengembalikan nabatah berkayu yang lebih banyak seperti aslinya (Ewusie

    1990).

    Sifat-sifat kimia memberikan kepada tanah kemampuan menyekap zat hara

    dan menciptakan lingkungan kimia yang diinginkan untuk pertumbuhan

    nabati (Hamzah 1981). Perilaku kimiawi tanah dapat ditakrifkan sebagai

    keseluruhan reaksi fikokimia dan kimia yang berlangsung antar penyusun

    tanah dan antara penyusun tanah dan bahan yang ditambahkan kepada tanah

    in situ (Bolt & Bruggenwart 1978 dalam Notohadiprawiro 1998).

    c. Terhadap air

    Dampak kebakaran terhadap air dikelompokkan ke dalam dua golongan,

    yaitu : kuantitas air dan kualitas air. Terhadap kuantitas air, kebakaran

    hutan akan menghilangkan atau mengurangi vegetasi penutup tanah yang

    selama ini memegang peranan penting dalam siklus hidrologi.

    Terhadap kualitas air, kebakaran hutan terutama berkaitan dengan endapan

    yang terbawa aliran permukaan. Dalam hal ini, kekeruhan akan meningkat

    dan oksigen terlarut akan berkurang sehingga akan mengganggu kehidupan

    ekosistem perairan.

    d. Terhadap udara

    Proses pembakaran bahan bakar hutan menghasilkan panas serta senyawa

    lainnya seperti karbon monoksida, karbon dioksida, beberapa jenis

    hidrokarbon, uap air dan unsur-unsur lainnya dalam bentuk gas, cair atau

    padatan (partikel). Hasil dari pembakaran tersebut dapat menjadi polutan

    yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia.

    2.5.4 Kekerasan kebakaran (Fire Severity) Kekerasan kebakaran (Fire Severity) merupakan istilah yang digunakan

    untuk melukiskan respon ekosistem terhadap api terhadap tanah, sistem air,

    ekosistem flora, dan fauna, atmosfer dan masyarakat (Simard 1991 dan DeBano et

    al. Dalam Syaufina 2008). Fire severity ini dipengaruhi : sifat bahan bakar yang

  • 12

    tersedia dan perilaku api. Menurut DeBano (1998) dalam Syaufina (2008)

    mengklasifikasikan tingkat kekerasan kebakaran sebagai berikut.

    1. Low fire severity (terbakar ringan) : pemanasan tanah rendah, pengarangan

    bagian bawah yang ringan, serasah terbakar habis atau mengarang, tetapi

    lapisan duff tidak rusak, walaupun permukaannya hangus. Tanah mineral tidak

    berubah. Permukaan hitam, abu terjadi untuk waktu singkat. Suhu permukaan

    pada 1 cm < 50 C. Suhu lethal untuk organisma tanah terjadi sampai ke dalam 1 cm.

    2. Moderate fire severity (terbakar sedang) : pemanasan tanah sedang,

    pengarangan bawah sedang, serasah habis terbakar dan lapisan duff mengarang

    atau terbakar habis, lapisan mineral di bawahnya tidak berubah. Abu berwarna

    terang. Sampah berkayu terbakar, kecuali log yang mengarang. Abu yang

    berwarna putih dan kelabu dan arang terjadi pada 1 cm lapisan atas dari tanah

    mineral, tetapi soil tidak berubah. Suhu permukaan pada kedalaman 1 cm

    dapat mencapai 100 C 200 C. Suhu lethal untuk organisma tanah terjadi sampai kedalaman 3 5 cm.

    3. High fire severity (terbakar berat) : pemanasan tanah tinggi, pengarangan

    bagian bawah berat, lapisan duff terbakar habis, bagian atas tanah mineral

    terlihat kemerahan atau oranye. Warna tanah di bawah 1 cm lebih gelap atau

    mengarang dari bahan organik. Lapisan arang dapat meluas hingga kedalaman

    10 cm atau lebih. Log terbakar atau mengarang dalam yang juga terjadi pada

    tumpukan potongan limbah. Tekstur tanah di lapisan permukaan berubah.

    Semua batang semak terbakar dan hanya batang yang besar mengarang yang

    terlihat. Suhu tanah pada kedalaman 1 cm lebih dari 250 C. Suhu lethal untuk organisma tanah terjadi sampai kedalaman 9 16 cm.

    Berdasarkan presentase total areal yang terbakar, fire severity dapat

    digolongkan menjadi 3 kelas berikut.

    1. Low-severity burn (terbakar ringan) : < 2% areal terbakar berat, < 15 %

    terbakar sedang, dan sisanya terbakar ringan atau tidak terbakar.

    2. Moderate-severity burn (terbakar sedang) : < 10% areal terbakar berat, tetapi <

    15 % terbakar sedang, dan sisanya terbakar ringan atau tidak terbakar.

  • 13

    3. High-severity burn (terbakar berat) : < 10% mempunyai titik-titik yang

    terbakar sangat parah, > 80% terbakar berat atau sedang dan sisanya terbakar

    ringan.

    Berdasarkan kerusakan pada pohon yang teramati, fire severity dapat

    diklasifikasikan kelas berikut :

    1. Low fire severity (terbakar ringan) : minimal 50% pohon-pohon menunjukkan

    kerusakan yang tak terlihat, dengan sisa kebakaran berupa terbakarnya tajuk,

    matinya tunas (bagian atas mati tapi berkecambah), atau matinya akar, > 80%

    pohon-pohon yang rusak atau terbakar dapat bertahan.

    2. Moderate fire severity (terbakar sedang) : 20% - 50% pohon-pohon

    menunjukkan kerusakan yang tak terlihat, dengan sisa kebakaran; 40% - 80%

    pohon-pohon yang rusak atau terbakar dapat bertahan.

    3. High fire severity (terbakar berat) : < 20% pohon-pohon menunjukkan

    kerusakan yang tak terlihat, sisa kebakaran sebagian besar berupa kematian

    akar, < 40% pohon-pohon yang rusak atau terbakar dapat bertahan.

    2.5.5 Pencegahan Kebakaran Hutan Pencegahan kebakaran hutan adalah semua usaha, tindakan atau kegiatan-

    kegiatan lainnya yang dilakukan dalam rangka mencegah atau mengurangi

    kemungkinan terjadinya kebakaran hutan maupun kebun (Sumantri 2003).

    Menurut Sumantri (2003) dengan metode pencegahan dapat dikelompokka

    menjadi :

    1. Ragam metode penyuluhan sebagai dasar dalam setiap upaya metode

    pencegahan yang lain yaitu upaya untuk merubah perilaku sasaran baik

    pengetahuannya, sikap maupun keterampilannya.

    2. Ragam metode peningkatan kesejahteraan.

    3. Ragam metode peran serta masyarakat.

    4. Ragam metode pengelolaan faktor pemicu : bahan bakar.

    Ragam metode pengelolaan faktor pemicu dapat dilaksanakan melalui jalur

    hijau, sekat bakar, fuel break, sloping agricultural land technology, control

    burning, tanaman penutup, teknik silvikultur, penambangan batubara

    tradisional, pembuatan parit pada lahan gambut yang tidak terlalu dalam dan

    lebar dan lain sebagainya.

  • 14

    5. Ragam metode pemantapan kewaspadaan antara lain pemasangan rambu-

    rambu, peringatan dini, patroli dan penjagaan, apel siaga, serta

    mengaplikasikan metode penyuluhan untuk kampanye.

    6. Ragam metode pemantapan kesiap siagaan.

    2.5.6 Tipe Manajemen Bahan Bakar Menurut Husaeni (2003), manajemen bahan bakar dapat dilakukan dengan

    3 cara utama, yaitu modifikasi bahan bakar, pengurangan bahan bakar dan isolasi

    (pemisahan) bahan bakar.

    1. Modifikasi bahan bakar

    Modifikasi bahan bakar merupakan usaha untuk merubah satu atau beberapa

    macam karakteristik bahan bakar. Tujuannya adalah agar bahan bakar tidak

    mudah terbakar, atau bila terjadi kebakaran penjalaran apinya lambat, sehingga

    mudah dipadamkan.

    2. Pengurangan bahan bakar

    Pengurangan bahan bakar hutan dilakukan dengan tujuan agar bahan bakar

    hutan berkurang jumlahnya, sehingga bila terjadi kebakaran hutan, besarnya

    nyala api, kecepatan penjalaran dan lamanya kebakaran dapat dikurangi.

    Bahan bakar yang biasa dikurangi jumlahnya adalah bahan bakar permukaan

    yang termasuk bahan bakar ringan, baik berupa serasah, tumbuhan bawah

    maupun limbah penebangan.

    3. Isolasi bahan bakar

    Isolasi bahan bakar adalah kegiatan memisahkan suatu kawasan hutan

    (sebagai suatu hamparan bahan bakar) dari kawasan di luarnya (sebagai

    hamparan bahan bakar lain) dan atau membagi kawasan hutan tersebut menjadi

    bagian-bagian kawasan hutan (bagian hamparan bahan bakar) yang lebih kecil,

    oleh suatu penyekat yang disebut jaluir isolasi. Jalur isolasi adalah suatu jalur

    dengan lebar tertentu baik berupa jalur terbuka (gundul) maupun bervegetasi,

    yang memisahkan bagian hutan tertentu dengan bagian hutan lainnya, atau

    dengan areal di luar kawasan hutan.

    Tujuan utama isolasi bahan bakar adalah untuk menghambat penjalaran api

    kebakaran dari luar kawasan hutan ke dalam kawasan hutan dan sebaliknya,

    dan dari bagian kawasan hutan (blok/petak) tertentu ke bagian kawasan hutan

  • 15

    (blok/petak) lainnya. Jalur isolasi ini berfungsi pula sebagai tempat awal

    operasi pemadaman bila terjadi kebakaran hutan.

    Ada 3 macam jalur isolasi khusu yang dapat dibuat, yaitu sekat bakar (fire

    break), sekat bahan bakar (fuel break) dan jalur hijau (green belt).

    a. Sekat bakar adalah suatu jalur bersih (tanpa tumbuhan sama sekali) yang

    digunakan untuk menghambat penjalaran api dan digunakan juga sebagai

    tempat awal untuk operasi pemadaman kebakaran. Sekat bakar dapat

    berupa jalur bersih yang sudah ada, misalnya alur sungai, jalan hutan, alur

    batas blok/petak, atau jalur yang dibuat khusus dengan lebar tertentu, yang

    dibersihkan dari semua tumbuhan sehingga berupa jalur terbuka. Sekat

    bakar ini sering disebut jalur kuning.

    b. Sekat bahan bakar adalah suatu jalur lahan yang cukup lebar, yang

    vegetasinya telah diubah sehingga bila ada kebakaran hutan, api akan

    menjalar lebih lambat sehingga mudah dipadamkan. Sekat bahan bakar ini

    biasanya tertutup vegetasi yang mempunyai volume bahan bakar rendah

    atau sulit terbakar. Sekat bahan bakar dibuat lebih lebar dari sekat bakar

    (sekitar 20 100 m), dibuat sepanjang punggung bukit dan batas kawasan

    hutan, dan dapat dikombinasikan dengan jalan hutan atau sekat bakar.

    c. Jalur hijau merupakan modifikasi dari suatu sekat bakar yang vegetasinya

    dipertahankan tetap hidup dan hijau, dengan cara irigasi. Biaya irigasi ini

    cukup mahal sehingga di Indonesia, jalur hijau ini berupa vegetasi pohon

    atau perdu. Bila jalur hijau ini dibuat dengan cara penanaman, pohon atau

    perdu yang dipilih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

    1) Tahan kebakaran, artinya pohon/perdu dapat tetap hidup bila terbakar,

    2) Selalu hijau (evergreen),

    3) Tajuknya rimbun, agar mampu menekan gulma yang tumbuh di

    bawahnya,

    4) Cepat tumbuh dan mudah bertrubus (coppicing) bila dipangkas,

    5) Serasahnya mudah terdekomposisi, agar tidak terjadi penumpukan

    serasah,

    6) Mempunyai manfaat/kegunaan lain selain untuk menghambat

    penjalaran api kebakaran hutan.

  • BAB III

    KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak dan Luas

    Implementasi Kebijakan Surat Keputusan Presiden RI Nomor : 29 tahun 1992,

    tanggal 19 Juni 1992 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 1128/Kpts-

    II/92 tanggal 19 Desember 1992 menguatkan penetapan Taman Hutan Raya R. Soerjo

    sebagai suatu kawasan pelestarian alam yang telah ditetapkan berdasarkan Tahura R.

    Soerjo meliputi beberapa kawasan hutan yang berada di dalam kelompok Gunung

    Arjuno Lalijiwo, yang terletak di empat kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten

    Mojokerto, Kabupaten Malang, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan dan Kota

    Batu. Luasan masing masing wilayah tersebut ialah Kabupaten Malang seluas

    4.287,00 ha, Kabupaten Pasuruan seluas 5.894,30 Ha, Kabupaten Mojokerto seluas

    10.181,10 ha, Kabupaten Jombang seluas 2.864,70 ha, dan Kota Batu seluas 4.641,20

    ha. Letak geografis : 7 40 10 - 7 49 31 LS dan 112 22 13 - 112 46 30 BT,

    dengan luasan : 27.868,30 ha. Dimana kawasan Taman Hutan Raya ini berasal dari

    beberapa kawasan yaitu Hutan Lindung, Cagar Alam, serta sebagian kecil tanah RVE

    (Recht Van Eigendom/Hak Kepemilikan Atas Tanah), dengan luasan total 27.868,30

    Ha. Kawasan Hutan Lindung meliputi Gunung Anjasmoro, Gunung Argowayang,

    Gunung Kembar I dan Gunung Kembar II, mulai dari ketinggian 1.000 mdpl.

    Sedangkan kawasan Cagar Alam Arjuno Lalijwo mulai dari ketinggian 2000 mdpl, di

    mana di dalamnya termasuk juga Gunung Welirang, Gunung Ringgit, Gunung

    Kembar I dan Gunung Kembar II (UPT Tahura R. Soerjo 2009).

    3.2 Topografi dan Iklim

    Hutan Alam Cemara (Casuarina junghuhniana) terdapat di Gunung Arjuno

    Lalijiwo, ketinggian 1.800 m dpl, kerapatan pohon 80-156 pohon/Ha. Dan tinggi

    pohon antara 25 - 35 m dan diameter 60 - 100 cm. Padang rumput terdapat di bagian

    bawah Pondok Welirang seluas 200 Ha, didominasi jenis padi-padian dan Kolonjono

    (Panicum repens). Topografi relatif datar, dapat dikembangkan untuk tempat breeding

    rusa. Dataran Hutan Hujan Tengah pada ketinggian 2.000 - 2.700 m dpl merupakan

    hutan campuran tiga tingkatan vegetasi yaitu pohon, semak, dan tumbuhan bawah.

    Didominasi oleh Pasang (Quercus sp.), pohon Nyampuh, Sembung dan Gempur

    Gunung. Pada ketinggian 2.650 m dpl terdapat tegakan homogen : tumbuhan

    manisrejo, vegetasi tumbuhan bawah umumnya jenis padi-padian (Sorgum nitidum)

    dan Edelweis.

  • 19

    Menurut klasifikasi iklim Schmid dan Ferguson Tahura R. Soerjo termasuk tipe

    iklim C dan D dengan curah hujan rata-rata 2.500 - 4.500 mm per tahun. Suhu udara

    berkisar antara 5 C 10 C (UPT Tahura R. Soerjo 2009).

    3.3 Flora dan Fauna

    3.3.1 Flora

    Menurut UPT Tahura R. Soerjo 2009, ada 3 (tiga) tipe vegetasi (kondisinya

    masih cukup baik), yaitu :

    1. Hutan Alam Cemara (Casuarina junghuhniana)

    Terdapat di Gunung Arjuno Lalijiwo, ketinggian 1.800 m dpl, kerapatan pohon 80 - 156

    pohon/Ha. Tinggi pohon antara 25 - 35 m dan diameter 60 - 100 cm

    2. Padang Rumput

    Terdapat di bagian bawah Pondok Welirang seluas 200 Ha, didominasi jenis padi-padian

    dan Kolonjono (Panicum repens). Topografi : relatif datar, dapat dikembangkan

    untuk tempat breeding rusa.

    3. Daerah Hutan Hujan Tengah

    Pada ketinggian 2.000 2.700 m dpl termasuk dalam hutan campuran tiga tingkatan

    vegetasi yaitu pohon, semak, dan tumbuhan bawah. Didominasi oleh Pasang

    (Quercus Sp.), pohon Nyampuh, Sumbung dan Gempur Gunung. Pada ketinggian

    2.650 m dpl terdapat tegakan homogen : tumbuhan manis rejo, vegetasi tumbuhan

    bawah umumnya berupa jenis padi-padian (Sorgum nitidum).

    3.3.2 Fauna

    Jenis-jenis satwa (mamalia) yaitu Rusa/Menjangan (Cervus timorensis), Kijang

    (Muntiacus muntjac) dan Babi hutan (Susscrofa vittatus). Pada hutan campuran

    terdapat Kera Abu-abu Ekor Panjang(Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis

    cristata), dan Kera Hitam/Budeng (Trachypiterus auratus). Famili Felidae : Macan

    Tutul/Macan Kumbang (Panthera pardus), dan Macan Dahan (Felis viverina).

    Trenggiling (Manis javanica). Burung (Burung Sepak Gunung, Bondol Haji, Bondol

    Jawa, Sikatan Biru Muda, Burung Cabe Rangkong, Elang Jawa), Fam. Aves (UPT

    Tahura R. Soerjo 2009).

    3.4 Daerah Aliran Sungai

    Termasuk dalam wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Beberapa

    sumber/mata air yang terdapat di kawasan Taman Hutan Raya, yaitu : Sumber mata

    air sungai Brantas yang terletak di Gunung Anjasmoro (wilayah desa Sumber

    Brantas), Sumber mata air yang terdapat di komplek Gunung Arjuno yaitu sumber

    mata air di pondok welirang dan sumber mata air di pondok lalijiwo, Sumber mata air

  • 20

    panas Cangar (Gunung Arjuno bagian Barat) : 3 sumber dan dua diantaranya sudah

    dimanfaatkan menjadi tempat pemandian/tempat rekreasi (UPT Tahura R. Soerjo

    2009).

    Menurut UPT Tahura R. Soerjo (2009), hasil identifikasi dan inventarisasi

    Sumber mata air yang berada di dalam Kawasan Pelestarian Alam Tahura R. Soerjo

    terdapat 163 titik sumber/mata air, yang menyebar di 13 Administrasi Kecamatan

    dengan penduduk sebanyak 190.000 jiwa dengan perincian sebagai berikut :

    1. Kota Batu : 35 sumber air yang dimanfaatkan oleh masyarakat terutama untuk

    menyiram tanaman pertanian serta dimanfaatkan pula oleh perusahaan swasta;

    2. Kabupaten Malang : Sebanyak 30 sumber air yang sebagian besar dimanfaatkan oleh

    masyarakat;

    3. Kabupaten Pasuruan : Sebanyak 15 sumber air yang dimanfaatkan untuk keperluan

    sehari-hari masyarakat, juga dimanfaatkan oleh hotel dan villa yang ada di Tretes;

    4. Kabupaten Mojokerto : Sebanyak 69 sumber air yang sebagian besar dimanfaatkan

    oleh masyarakat desa sekitar Kawasan Tahura;

    5. Kabupaten Jombang : Sebanyak 14 sumber air yang sepenuhnya dimanfaatkan oleh

    masyarakat.

  • BAB IV

    METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

    Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei dan bulan Juni tahun

    2010 di Unit Pelaksana Teknis Taman Hutan Raya (UPT Tahura) R. Soerjo,

    Malang.

    4.2 Bahan dan Alat Kegiatan penelitian ini dilakukan pada keadaan hutan tidak terbakar, areal

    hutan bekas terbakar ringan, areal bekas terbakar sedang, dan areal bekas terbakar

    berat dengan luas masing-masing 3 ha atau sama dengan 75 plot pengamatan

    analisis vegetasi. Lokasi penelitian untuk kondisi hutan tidak terbakar

    dilaksanakan di Blok Gajah Mungkur Desa Pacet, Kabupaten Mojokerto seluas 1

    ha dan Blok Simbuan Desa Ledug, Kabupaten Pasuruan seluas 2 ha. Kemudian,

    lokasi penelitian kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dilaksanakan di

    Blok Puthuk Dali Desa Ledug, Kabupaten Pasuruan seluas 2 ha dan Blok Gajah

    Mungkur Desa Pacet, Kabupaten Mojokerto seluas 1 ha. Lalu, lokasi penelitian

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dilaksanakan di Blok Sido Mulyo

    Desa Ledug, Kabupaten Mojokerto seluas 1 ha dan Blok Dali Pentongan Desa

    Pecalukan, Kabupaten Mojokerto seluas 2 ha. Sedangkan, lokasi penelitian

    kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat dilaksanakan di Blok Gumandar

    Desa Jatiarjo, Kabupaten Pasuruan 1 ha, Blok Sembung Roboh Desa Pecalukan,

    Kabupaten Pasuruan seluas 1 ha, dan Blok Dali Pentongan Desa Pecalukan,

    Kabupaten Mojokerto seluas 1 ha. Areal hutan terbakar yang diteliti merupakan

    areal hutan yang telah terbakar pada bulan Juli 2009 sampai dengan bulan

    Desember 2009.

    Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain adalah

    peta kerja, phiband (pita diameter), haga hypsometer, kompas, patok, tali

    rafia/tambang, buku pengenal vegetasi, golok, tally sheet, dan alat tulis.

    4.3 Metode Pengambilan Data 4.3.1 Analisis vegetasi

    Untuk mengetahui struktur tegakan dilakukan analisis vegetasi dengan

    cara nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang lebih kecil

  • 22

    (Soerianegara dan Indrawan 1988). Analisis vegetasi dilakukan pada areal hutan

    yang tidak terbakar, areal hutan dengan tingkat kebakaran ringan, areal hutan

    dengan tingkat kebakaran sedang, dan areal hutan dengan tingkat kebakaran berat.

    Dengan demikian dapat dilihat perbandingan perkembangan vegetasi di tiap-tiap

    areal.

    Klasifikasi tingkat kekerasan kebakaran yang digunakan berdasarkan

    DeBano (1998) dalam Syaufina (2008). Klasifikasi tingkat kekerasan kebakaran

    yang digunakan secara lengkap terdapat pada bab sebelumnya. Adapun

    klasifikasi tingkat kekerasan kebakaran secara singkat ialah terbakar ringan

    memiliki areal yang mengalami kerusakan akibat kebakaran sebesar < 20%,

    terbakar sedang memiliki areal yang mengalami kerusakan akibat kebakaran

    sebesar 20% - 50%, dan terbakar berat memiliki areal yang mengalami kerusakan

    akibat kebakaran sebesar > 50%.

    Metode pengambilan data dilakukan untuk kegiatan analisis vegetasi dapat

    dilihat pada Gambar 1. Data yang diperlukan untuk analisis vegetasi ini adalah

    nama jenis, jumlah, diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk

    tingkat pancang, semai dan bentuk pertumbuhan non-pohon lainnya adalah nama

    jenis dan jumlah individu.

    Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat tiga petak pengamatan

    dengan ukuran petak 100 x 100 m. Lokasi penelitian dibagi atas tingkat kekerasan

    kebakaran. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat petak contoh

    dan sub petak contoh dengan ukuran sebagai berikut :

    1. Tingkat pohon, epifit dan liana berkayu dengan ukuran petak 20 x 20 m.

    2. Tingkat tiang dengan ukuran petak 10 x 10 m.

    3. Tingkat pancang, liana non-kayu, pandan, dan palem dengan ukuran petak

    5 x 5 m.

    4. Tingkat semai, paku-pakuan, dan semak belukar atau tanaman herba dengan

    ukuran petak 2 x 2 m.

  • 23

    Gambar 1. Plot Pengamatan Analisis Vegetasi

    Keterangan gambar :

    A = Sub petak penelitian untuk tingkat semai, paku-pakuan, dan herba atau

    semak belukar (2m x 2m)

    B = Sub petak penelitian untuk tingkat pancang, liana non-kayu, pandan, dan

    palem (5m x 5m)

    C = Sub petak penelitian untuk tingkat tiang (10m x 10m)

    D = Sub petak penelitian untuk tingkat pohon, epifit, dan liana berkayu

    (20 m x 20 m )

    Untuk mengetahui tingkat permudaan pada perkembangan komposisi dan

    struktur vegetasi dipergunakan kriteria sebagai berikut :

    1. Pepohonan, diklasifikasikan menurut tahap pertumbuhannya :

    a. Tingkat semai (seedling), permudaan mulai kecambah sampai dengan

    tinggi 1,5 m.

    b. Tingkat pancang (sapling), permudaan yang tingginya lebih dari 1,5 m dan

    diameter kurang dari 10 cm.

    c. Tingkat tiang (pole), pohon muda yang berdiameter 10 cm - 20 cm.

    d. Tingkat pohon (tree), pohon yang berdiameter 20 cm keatas.

  • 24

    2. Liana, yang terdiri dari :

    a. Liana berkayu, batang utamanya memiliki panjang lebih dari 1,5 m.

    b. Liana non-kayu, batang utamanya memiliki panjang kurang dari 1,5 m.

    c. Epifit.

    3. Tumbuhan bawah, terdiri dari :

    a. Palem, pada tahap dewasa atau tinggi mencapai lebih dari 1,5 m.

    b. Pandan.

    c. Paku-pakuan.

    d. Tanaman herba dan atau semak belukar.

    4.3.2 Analisis Sifat Kimia Tanah Pengambilan contoh tanah untuk sifat kimia tanah menggunakan metode

    tanah terusik pada setiap plot pengamatan baik di hutan tidak terbakar maupun

    areal hutan bekas terbakar. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0 20 cm

    (Poerwowidodo 2004). Analisis sifat kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium

    Tanah Institut Pertanian Bogor.

    4.4 Analisis Data Analisis data dilakukan pada data yang diambil dari kegiatan analisis

    vegetasi menggunakan rumus sebagai berikut.

    4.4.1 Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi

    suatu jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan

    dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan Frekuensi Relatif (FR)

    (Soerianegara dan Indrawan 1988).

    INP = KR + FR (untuk semai, pancang, herba, semak belukar, paku-pakuan,

    liana, pandan, palem, liana berkayu, dan epifit);

    INP = KR + FR + DR (untuk tiang dan pohon)

    Dimana:

    1. Kerapatan (K)

    2. Kerapatan Relatif (KR)

  • 25

    3. Frekuensi (F)

    4. Frekuensi Relatif (FR)

    5. Dominansi (D)

    6. Dominansi Relatif (DR)

    4.4.2 Indeks Dominansi (C)

    Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran

    jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai

    indeks dominasi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi

    secara bersama-sama maka nilai indeks dominasi akan rendah. Untuk

    menentukan nilai indeks dominasi digunakan rumus Simpson sebagai berikut

    (Misra 1980):

    Dimana : C = Indeks dominasi

    ni = Nilai penting masing-masing jenis ke-n

    N = Total nilai penting dari seluruh jenis

    4.4.3 Keanekaragaman Jenis (H) Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon

    Index of General Diversty (Mc Glade 1988 dalam Irwan 2009):

    Dimana : H = Shannon Index of General diversity

    ni = Indeks nilai penting jenis i

    N = Total Indeks Nilai Penting

    l = 2

    4.4.4 Koefisien Kesamaan Komunitas (IS)

  • 26

    Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur

    antara dua tegakan yang dibandingkan dapat digunakan rumus sebagai berikut

    (Costing 1956, Bray dan Curtis 1957, Greigh-Smith 1964 dalam Soerianegara dan

    Indrawan 1988) :

    Dimana : IS = Koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan komunitas

    W = Jumlah nilai yang sama atau terendah ( ) dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan

    a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat dalam dua

    tegakan yang dibandingkan

    b = Jumlah nilai kuantitatif semua jenis yang terdapat pada tegakan

    kedua

    4.4.5 Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1) Untuk mengetahui indeks kekayaan jenis dapat digunakan rumus

    Margallef sebagai berikut (Magurran 1988):

    Dimana : R1 = Indeks Margallef

    S = Jumlah Jenis

    N = Jumlah Total Individu

    4.4.6 Indeks Kemerataan Jenis (E) Rumus untuk menghitung indeks kemerataan jenis yang secara umum

    paling banyak digunakan adalah (Ludwig & Reynold 1988 dalam Irwan 2009):

    Dimana, E = Indeks kemerataan jenis

    H = Indeks keanekaragaman jenis

    S = Jumlah jenis

  • 27

    BAB V

    HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Jenis

    5.1.1 Jumlah Jenis

    Komposisi jenis merupakan salah satu nilai yang digunakan untuk

    mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas yang

    telah terganggu. Sehingga jika komposisi tegakannya pulih, dapat dikatakan

    bahwa komunitas tersebut mendekati kondisi awalnya.

    Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah dilaksanakan pada tiga

    kondisi hutan yang berbeda di areal Taman Hutan Raya R. Soerjo Malang (Tahura

    R. Soerjo), diperoleh jumlah jenis yang berbeda pada tiap tingkat pertumbuhan.

    Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan tingkat permudaan pohon

    No. Kondisi Hutan Tingkat Pohon dan Permudaan Semai Pancang Tiang Pohon

    1 Tidak Terbakar 30 34 20 34 2 TKR 13 12 10 5 3 TKS 19 14 7 14 4 TKB 10 6 2 4

    Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran

    Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)

    Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa jumlah jenis berdasarkan tingkat

    pohon dan permudaan yang tertinggi terdapat pada kondisi hutan tidak terbakar.

    Jumlah jenis pada masing-masing tingkat pohon dan permudaan, antara lain

    tingkat semai sebanyak 30 jenis, tingkat pancang sebanyak 34 jenis, tingkat tiang

    sebanyak 20 jenis, serta pohon sebanyak 34 jenis. Sedangkan, jumlah jenis

    terkecil berada pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Jumlah jenis

    masing-masing tingkat pohon dan permudaan, antara lain tingkat semai sebanyak

    10 jenis, tingkat pancang sebanyak 6 jenis, tingkat tiang sebanyak 2 jenis, dan

    pohon sebanyak 4 jenis.

    Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kebakaran tidak mempengaruhi

    jumlah jenis pada tingkat pohon dan permudaannnya, hal ini dapat dilihat dari

    jumlah jenis yang berbeda satu sama lain. Hal tersebut ditunjukkan dengan

  • 28

    jumlah jenis pohon dan permudaan yang tidak terpola dan tergantung pada tingkat

    kebakarannya pada setiap kondisi hutan. Kondisi hutan dengan tingkat kebakaran

    sedang sendiri memiliki jumlah jenis tertinggi pada tingkat semai, pancang dan

    pohon untuk kondisi hutan yang terbakar. Hal ini dapat dikaitkan pula dengan

    kondisi hutan yang telah terbakar sebelumnya. Selain itu hal ini pun dapat

    dikaitkan dengan jenis-jenis yang dapat bertahan pada kondisi hutan dengan

    tingkat kebakaran sedang yang lebih banyak daripada kondisi hutan setelah

    terbakar lainnnya.

    Selain berdasarkan tingkat pohon dan permudaan, analisis vegetasi pun

    mengamati tumbuhan berdasarkan bentuk pertumbuhan. Hasil jumlah jenis

    berdasarkan bentuk pertumbuhan secara lengkap disajikan dalam Tabel 2.

    Tabel 2. Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan bentuk pertumbuhan

    No. Kondisi Hutan Bentuk Pertumbuhan

    P & Pmd H Sb Pk L Pnd Plm Lk E

    1 TT 65 44 8 3 17 2 2 12 5 2 TKR 25 41 7 1 1 0 1 0 2 3 TKS 27 42 7 1 2 1 0 2 7 4 TKB 15 41 10 1 2 0 0 0 0

    Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran

    Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat); P&Pmd (Pohon dan Permudaan); H (Herba); Sb (Semak Belukar); Pk (Paku-pakuan); L (Liana); Pnd (Pandan); Plm (Palem); Lk (Liana Berkayu); E (Epifit)

    Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa kondisi hutan tidak terbakar

    memiliki seluruh jenis bentuk pertumbuhan dan sebagian besar memiliki jumlah

    jenis bentuk pertumbuhan tertinggi dibandingkan kondisi hutan lainnya. Jumlah

    jenis tertinggi terdapat pada kondisi hutan tidak terbakar pada masing-masing

    bentuk pertumbuhan, antara lain jumlah jenis pohon dan permudaan sebanyak 65

    jenis, jumlah jenis herba sebanyak 46 jenis, jumlah jenis paku-pakuan sebanyak 3

    jenis, jumlah jenis liana sebanyak 17 jenis, jumlah jenis pandan sebanyak 2 jenis,

    jumlah jenis palem sebanyak 2 jenis, serta jumlah jenis liana berkayu sebanyak 13

    jenis. Sedangkan jumlah jenis bentuk pertumbuhan semak belukar tertinggi

    berada di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat sebanyak 10 jenis dan

    bentuk pertumbuhan epifit tertinggi berada di kondisi hutan dengan tingkat

    kebakaran sedang yang memiliki jumlah jenis sebanyak 7 jenis.

  • 29

    Selain itu dari hasil pengamatan yang didapat, menunjukkan bahwa bentuk

    pertumbuhan herba merupakan bentuk pertumbuhan tertinggi di seluruh kondisi

    hutan, kecuali pada kondisi hutan tidak terbakar. Bentuk pertumbuhan herba,

    semak belukar, paku-pakuan dan liana terdapat pada seluruh kondisi hutan.

    Bentuk pertumbuhan pandan dan liana berkayu tidak ditemukan pada kondisi

    hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan berat. Sedangkan, bentuk

    pertumbuhan palem tidak ditemukan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran

    sedang dan berat. Bentuk pertumbuhan epifit hanya tidak ditemukan pada kondisi

    hutan dengan tingkat kebakaran berat.

    Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan dengan tingkat kebakaran

    sedang memiliki jumlah jenis bentuk pertumbuhan yang paling mendekati kondisi

    awal, yaitu kondisi hutan tidak terbakar. Bahkan jumlah jenis bentuk

    pertumbuhan epifit pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang lebih

    besar daripada kondisi hutan tidak terbakar. Namun pada kondisi hutan dengan

    tingkat kebakaran sedang bentuk pertumbuhan pale