e11ekr
TRANSCRIPT
-
KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI
PADA AREAL HUTAN BEKAS TERBAKAR
(Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang)
ESTY KUSUMA RAHMASARI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
-
KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI
PADA AREAL HUTAN BEKAS TERBAKAR
(Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang)
ESTY KUSUMA RAHMASARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
-
ESTY KUSUMA RAHMASARI. (E44062865). Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang). Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
RINGKASAN PENDAHULUAN. Kerusakan hutan di Indonesia yang semakin meningkat menyebabkan menurunnya fungsi dari hutan tersebut. Salah satu penyebab kerusakan hutan di Indonesia ialah kebakaran. Kebakaran hutan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh manusia. Dampak kebakaran hutan meliputi keseluruhan aspek ekosistem, seperti vegetasi, fauna, tanah, air, iklim, udara, dan manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran terhadap vegetasi dapat menyebabkan terjadinya suksesi dalam areal hutan bekas terbakar. Perubahan suksesi tersebut dapat dilihat dari komposisi dan struktur vegetasi hutan tersebut. METODOLOGI. Penelitian dilakukan pada areal hutan yang tidak terbakar, areal hutan dengan tingkat kebakaran ringan, areal hutan dengan tingkat kebakaran sedang, dan areal hutan dengan tingkat kebakaran berat. Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat tiga petak pengamatan dengan ukuran petak 100 x 100 m. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat sub petak contoh dengan ukuran 20 x 20 m untuk risalah tingkat pohon, pencekik dan liana berkayu; ukuran 10 x 10 m untuk risalah tingkat tiang; ukuran 5 x 5 m untuk risalah tingkat pancang, liana non-kayu, pandan, dan palem; dan ukuran 2 x 2 m untuk risalah tingkat semai, paku-pakuan, semak belukar dan tanaman herba. HASIL DAN KESIMPULAN. Kebakaran hutan di areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang mengakibatkan penurunan jumlah jenis pada tingkat pohon dan permudaan serta bentuk pertumbuhan. Hanya herba yang memiliki jumlah jenis yang stabil pada seluruh kondisi hutan. Keanekaragaman jenis menurut Shannon Index of General Diversity (H) menunjukkan bahwa kebakaran hutan menurunkan nilai keanekaragaman jenis pada tingkat pancang, tiang, pohon dan hampir seluruh bentuk pertumbuhan non-pohon. Struktur hutan pada tiap kondisi hutan memiliki kelas diameter tertinggi yang berbeda. Kondisi hutan tidak terbakar memiliki diameter 110 cm, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan kelas diameter tertinggi hanya mencapai 60 - 69 cm. Sedangkan, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang kelas diameter tertinggi mencapai 80 89 cm, sedangkan pada kelas diameter kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat hanya mencapai 40 49 cm. Kebakaran hutan menurunkan nilai kerapatan pada kondisi-kondisi hutan bekas terbakar. Pengaruh kebakaran hutan terhadap sifat kimia tanah, antara lain penurunan nilai pH tanah, peningkatan nilai C-organik, dan peningkatan nilai kapasitas tukar kation (KPK). Kebakaran hutan di areal UPT Tahura R. Soerjo, Malang menyebabkan perubahan terhadap komposisi dan struktur vegetasi serta sifat kimia tanah. Kata Kunci : Areal hutan bekas terbakar, Komposisi vegetasi, Struktur vegetasi .
-
ESTY KUSUMA RAHMASARI.(E44062865).Forest Vegetation Composition and Structure of the Former Forest Burned Area (In R. Soerjo Forest Park Area, Malang). Under the guidance of Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
SUMMARY INTRODUCTION. Forests damage in Indonesia are increasing affect to forest function decline. One cause of forest destruction in Indonesia is forest fires. Forest fires in Indonesia are mostly caused by humans. Impact of forest fires covering all aspects of ecosystems like, vegetation, fauna, soil, water, climate, air, and humans. forest vegetation damage caused succession in burned area. Succession effect reflected on forest vegetation composition dan structure. METHODOLOGY. The research was conducted in unburnt forest area, forest areas with a mild fire level, forest area with medium fire level, and forest area with heavy fire level. In each site observations made in three plots with plot size 100 x 100 m. In each plot observations are made of 4 sub-plots sample with size 20 x 20 m to measure the level of tree, strangler and woody liana; size 10 x 10 m to measure the level of the pole; size 5 x 5 m measure the level of saplings, lianas non-wood, pine, and palm; and 2 x 2 m measure the level of seedlings, ferns, shrubs and herbs. RESULTS AND CONCLUSION. Forest fires in R Soerjo Forest Park, Malang resulted in a decrease number of species of trees and regeneration rate and growth form. Only herb that has a stable species number in all forest conditions. Shannon species diversity according to the Index of General Diversity (H') shows that forest fires reduced the value of diversity at the level of stakes, poles, trees and most other forms of non-tree growth. Forest structure in each forest condition have a different highest diameter class. Unburned forest conditions have diameter until up to 110 cm, mild level forest fires reached only 60-69 cm for the highest diameter class. Meanwhile, on the medium level forest fires reached 80-89 cm for the highest diameter class, while the diameter classes of forest with heavy fire levels only reached 40-49 cm. Forest fires reduce the value of density on all forest burned area. The effect of forest fire on soil chemical properties are decrease soil pH value, increase the value of C-organic, and increase the value of cation exchange capacity (CEC). Forest fire in R. Soerjo Forest Park Area, Malang is causing changes of forest vegetation composition and structure and also soil chemical properties. Keywords: Forest burned area, vegetation composition, vegetation structure.
-
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komposisi dan
Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya
R. Soerjo, Malang adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan
dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada
perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi atau kutipan yang
berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011
Esty Kusuma Rahmasari
NRP. E44062865
-
Judul Skripsi : Komposisi dan Struktur Vegetasi pada Areal Hutan Bekas
Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo,
Malang)
Nama Mahasiswa : Esty Kusuma Rahmasari
NRP : E44062865
Departemen : Silvikultur
Menyetujui :
Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS
NIP. 19450108 197303 1 001
Mengetahui :
Ketua Departemen Silvikultur
Fakultas Kehutanan IPB,
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr
NIP. 19641110 199002 1 001
Tanggal Lulus:
-
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 24 November 1988 sebagai
anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Ir. H. Dody Arif Sarwono, MM dan Hj.
R. Yati Hidayati.
Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1994 - 1995 di SD Negeri
Polisi IV Bogor, 1995 1998 SD Negeri II Bonipoi Kupang dan SD Negeri
Pucang I Sidoarjo hingga lulus pada tahun 2000. Kemudian dilanjutkan ke SLTP
Negeri 4 Bogor pada tahun 2000 2002 dan SLTP Negeri 2 Sidoarjo hingga lulus
pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMU
Negeri 4 Sidoarjo dan lulus pada tahun 2006.
Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan mendapatkan kesempatan
untuk menekuni mayor Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan. Pada tingkat
tiga, penulis memilih untuk menekuni bidang Ekologi Hutan.
Penulis juga melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH)
jalur Kamojang-Sancang, Jawa Barat, melaksanakan kegiatan Praktek
Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan melaksanakan
Praktek Kerja Profesi (PKP) di KPH Pasuruan Perum Perhutani Unit II Jawa
Timur.
Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, Penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas
Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang) dibawah
bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
-
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas Terbakar (Di
Areal UPT Taman Hutan Raya R.Soerjo, Malang). Penyusunan skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas KehutananInstitut Pertanian Bogor.
Skripsi ini mengemukakan upaya penulis dalam mengetahui, mempelajari,
dan menganalisis komposisi dan struktur vegetasi pada areal hutan bekas terbakar
ringan, bekas terbakar sedang dan bekas terbakar berat. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk mengetahui komposisi dan
struktur vegetasi areal hutan bekas terbakar Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang
dalam pengelolaan lebih lanjut setelah terbakar.
Penulis menyadari dalam pembuatan karya ilmiah ini tak lepas dari segala
kelemahan dan kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran guna
penyempurnaan karya ilmiah ini. Semoga dengan segala kekurangannya dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Akhir kata penulis ucapkan
terima kasih kepada segala pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian karya
ilmiah ini.
Bogor, Februari 2011
Penulis
-
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah serta karunia-Nya, penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Pada
kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :
1. Keluarga tercinta Mama, Papa, Teteh, Adek Bismy serta keponakanku Ainiya
atas perhatian, kasih sayang, dukungan, kesabaran, semangat, pengorbanan
dan doanya selama ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS sebagai dosen pembimbing atas
bimbingan, arahan, ilmu dan nasihat-nasihatnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr sebagai dosen penguji dari
Departemen Hasil Hutan, Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, MS sebagai
dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata dan Bapak Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc.F.Trop sebagai dosen penguji
dari Departemen Manajemen Hutan yang telah memberikan saran dan
masukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ir. Maryono, MM selaku kepala UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang
beserta segenap pegawai UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang atas
bantuan dan dukungannya selama penulis melakukan penelitian skripsi ini.
5. Seluruh staf Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
6. Segenap pegawai Fakultas Kehutanan IPB, terutama Tata Usaha Kehutanan
IPB dan Departemen Silvikultur.
7. Keluarga besar Silvikultur 43, Nunu (yang selalu berbagi), Seru!ni (Anin,
Dita, Anna, Dini, Riri, Ghidut) dan Novriadi Zulfida atas bantuan, perhatian,
semangat, tawa, canda, doa dan kebersamaannya selama ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
mencurahkan segala tenaga, waktu maupun pemikirannya kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan, Amin. Besar harapan
penulis, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
-
i
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................. i
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................... 2
1.3 Manfaat ......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan tropis ........................................................................ 3
2.1.1 Batasan ..................................................................................... 3
2.1.2 Corak Iklim Hutan Hujan Tropis .............................................. 4
2.1.3 Penyebaran Hutan Hujan Tropis di Indonesia ......................... 4
2.2 Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi 5
2.3 Komposisi dan Struktur Hutan ..................................................... 7
2.4 Analisis Vegetasi .......................................................................... 8
2.5 Kebakaran Hutan .......................................................................... 9
2.5.1 Batasan ...................................................................................... 9
2.5.2 Tipe Kebakaran ........................................................................ 9
2.5.3 Dampak Kebakaran .................................................................. 10
2.5.4 Kekerasan Kebakaran (Fire Severity) ...................................... 13
2.5.5 Pencegahan Kebakaran Hutan .................................................. 15
2.5.6 Tipe Manajemen Kebakaran Hutan .......................................... 16
BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak dan Luas .............................................................................. 18 3.2 Topografi dan Iklim ...................................................................... 18
3.3 Flora dan Fauna ............................................................................ 19
3.3.1 Flora ....................................................................................... 19
3.3.2 Fauna ....................................................................................... 19
3.4 Daerah Aliran Sungai ................................................................... 20
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 21
-
ii
4.2 Bahan dan Alat ............................................................................. 21
4.3 Metode Pengambilan Data ............................................................ 21
4.3.1 Analisis Vegetasi ..................................................................... 21
4.3.2 Analisis Sifat Kimia Tanah ....................................................... 24
4.4 Analisis Data ................................................................................. 24
4.4.1 Indeks Nilai Penting (INP) ...................................................... 24
4.4.2 Indeks Dominansi (C) .............................................................. 25
4.4.3 Indeks Keanekaragaman Jenis (H) ......................................... 25
4.4.4 Koefisien Keanekaragaman Jenis (IS) ..................................... 26
4.4.5 Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1) ............................. 26
4.4.6 Indeks Kemerataan Jenis (E) ................................................... 26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Jenis ............................................................................ 27
5.1.1 Jumlah Jenis ............................................................................. 27
5.1.2 Kerapatan dan Frekuensi Tumbuhan ....................................... 29
5.1.3 Dominansi Jenis ....................................................................... 34
5.2 Indeks Dominansi (C) ................................................................... 37
5.3 Indeks Keanekaragaman Jenis (H) .............................................. 39
5.4 Indeks Kekayaan Margallef (R1) .................................................. 40
5.5 Indeks Kemerataan jenis (E) ......................................................... 42
5.6 Koefisisen Kesamaan Komunitas (IS) .......................................... 43
5.7 Struktur Tegakan .......................................................................... 48
5.8 Sifat Kimia Tanah ......................................................................... 51
5.8.1 pH Tanah .................................................................................. 51
5.8.2 Kapasitas Tukar Kation dan Kejenuhan Basa ........................... 54
5.8.3 Analisis Unsur-unsur Hara Tanah ............................................ 55
5.9 Kondisi Hutan Setelah Terbakar .................................................... 58
5.9.1 Sekat Bakar ............................................................................... 61
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................... 63 6.2 Saran .............................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 65
LAMPIRAN .................................................................................................. 69
-
iii
DAFTAR TABEL No. Halaman
1. Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan
tingkat permudaan pohon ........................................................................ 27
2. Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan
bentuk pertumbuhan ................................................................................ 8
3. Kerapatan jenis tumbuhan pada tiap kondisi hutan ................................ 29
4. Frekuensi tumbuhan pada tiap kondisi hutan .......................................... 31
5. Rekapitulasi jenis tumbuhan yang memiliki INP tertinggi pada tiap
kondisi hutan ........................................................................................... 34
6. Indeks dominansi (C) pada tiap kondisi hutan ........................................ 37
7. Indeks keanekaragaman jenis (H) pada tiap kondisi hutan ................... 39
8. Indeks kekayaan jenis (R1) pada tiap kondisi hutan ............................... 1
9. Indeks kemerataan jenis (E) pada tiap kondisi hutan .............................. 42
10. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada tingkat
permudaan pohon .................................................................................... 44
11. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada bentuk
pertumbuhan herba, paku-pakuan, semak belukar dan liana .................. 45
12. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada bentuk
pertumbuhan pandan, palem, liana berkayu dan epifit ........................... 46
13. Struktur tegakan berdasarkan kelas diameter pada tiap kondisi hutan ... 48
14. Reaksi tanah dan kandungan C-organik pada tiap kondisi hutan ........... 51
15. Nilai kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB) dan tekstur
tanah pada tiap kondisi hutan .................................................................. 54
16. Analisis kimia unsur hara makro tanah pada tiap kondisi hutan ............. 55
17. Analisis kimia unsur hara mikro tanah pada tiap kondisi hutan ............. 57
-
iv
DAFTAR GAMBAR No. Halaman
1. Plot pengamatan analisis vegetasi ........................................................... 23
2. Struktur tegakan berdasarkan kelas diameter pada kondisi hutan :
(a) Tidak terbakar; (b) Tingkat kebakaran ringan; (c) Tingkat
kebakaran sedang dan; (d) Tingkat kebakaran berat ............................... 49
3. Penampang melintang sekat bakar dengan lebar 60 m ........................... 62
-
v
DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman
1. Daftar nama jenis tingkat pertumbuhan pohon dan permudaan di
Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang ................................................... 70
2. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan herba di Taman Hutan Raya
R. Soerjo, Malang ................................................................................... 72
3. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan semak belukar di Taman
Hutan Raya R. Soerjo, Malang ............................................................... 74
4. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan paku-pakuan di Taman Hutan
Raya R. Soerjo, Malang .......................................................................... 74
5. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan liana di Taman Hutan Raya R.
Soerjo, Malang ........................................................................................ 75
6. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan pandan di Taman Hutan Raya
R. Soerjo, Malang ................................................................................... 75
7. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan palem di Taman Hutan Raya
R. Soerjo, Malang ................................................................................... 75
8. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan liana berkayu di Taman Hutan
Raya R. Soerjo, Malang .......................................................................... 76
9. Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan epifit di Taman Hutan Raya
R. Soerjo, Malang ................................................................................... 76
10. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada
kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 77
11. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 78
12. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 78
13. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 79
14. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada
kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 80
15. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 81
-
vi
16. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 81
17. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 82
18. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan
tidak terbakar........................................................................................... 83
19. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan
dengan tingkat kebakaran ringan ............................................................ 84
20. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan
dengan tingkat kebakaran sedang ........................................................... 85
21. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan
dengan tingkat kebakaran berat............................................................... 85
22. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan
tidak terbakar........................................................................................... 86
23. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan
dengan tingkat kebakaran ringan ............................................................ 88
24. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan
dengan tingkat kebakaran sedang ........................................................... 88
25. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan
dengan tingkat kebakaran berat............................................................... 89
26. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada
kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 90
27. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 92
28. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 94
29. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 96
30. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak
belukar pada kondisi hutan tidak terbakar ............................................. 97
31. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak
belukar pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ............... 97
-
vii
32. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak
belukar pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang .............. 97
33. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak
belukar pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ................. 98
34. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada
kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 98
35. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 98
36. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 98
37. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 98
38. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada
kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 99
39. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 99
40. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 99
41. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 99
42. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan pandan pada
kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 100
43. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan pandan pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 100
44. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan palem pada
kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 100
45. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan palem pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 100
46. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana berkayu
pada kondisi hutan tidak terbakar ........................................................... 100
47. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana berkayu
pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ............................ 101
-
viii
48. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan epifit pada
kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 101
49. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan epifit pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 101
50. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan epifit pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 101
51. Kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah
Bogor (1983) dalam Perdana (2009) ...................................................... 102
52. Foto-foto penelitian ................................................................................. 103
53. Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo,
Malang .................................................................................................... 105
-
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan). Hutan di Indonesia termasuk ke dalam hutan
hujan tropis dimana wilayah Indonesia termasuk ke dalam iklim tropis.
Kerusakan hutan di Indonesia yang semakin meningkat menyebabkan
menurunnya fungsi dari hutan tersebut. Salah satu penyebab kerusakan hutan di
Indonesia ialah kebakaran hutan.
Hutan hujan tropis sendiri merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua
yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan
curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembaban udara
80% (Vickery 1984 dalam Indriyanto 2008).
Di Indonesia, khususnya di pulau Jawa masih terdapat hutan hujan tropis
yang salah satunya adalah kawasan pelestarian alam Taman Hutan Raya. Terdapat
wilayah Taman Hutan Raya R.Soerjo yang dahulunya merupakan wilayah Perum
Perhutani. Taman Hutan Raya R.Soerjo merupakan salah satu kawasan hutan
pelestarian alam di provinsi Jawa Timur yang tersebar di Kabupaten Mojokerto,
Kabupaten Malang, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan dan Kota Batu. Taman
Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo berbatasan langsung dengan kawasan Perum
Perhutani. Sehingga masih banyak penduduk yang masuk ke Tahura R. Soerjo
untuk mencari kayu bakar atau bercocok tanam di dalam kawasan. Selain itu,
terdapat pemburu liar yang berburu di dalam kawasan ini yang membuat
kebakaran hutan melebar sehingga memudahkan perburuan satwa liar. Selain
pemburu liar, banyak pendaki gunung di dalam kawasan Tahura R.Soerjo yang
menyebabkan kebakaran hutan.
Kebakaran hutan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh manusia.
Data terakhir yang didapat dari Kementerian Kehutanan dalam taksiran luas
-
2
kebakaran hutan menurut fungsi hutan pada tahun 2001 2005, kebakaran hutan
dengan luasan tertinggi terjadi pada tahun 2002 seluas 35.496,73 ha. Sedangkan
berdasarkan Dinas Kehutanan Provinsi Jatim, pada tahun 2005 2009 luasan
kebakaran hutan di Provinsi Jawa Timur secara keseluruhan memiliki luasan
tertinggi seluas 7.596,65 ha pada tahun 2006. Pada tahun 2009 sendiri kejadian
kebakaran yang terjadi di Provinsi Jawa Timur mencapai luasan 6.046,04 ha
meningkat dari tahun sebelumnya. Sedangkan, data rekapitulasi kejadian
kebakaran hutan di kawasan Tahura R. Soerjo pada bulan Juli 2009 sampai
dengan bulan Desember 2009 seluas 2.074 ha (Dinas Kehutanan Prov. Jawa
Timur).
Dampak kebakaran hutan meliputi keseluruhan aspek ekosistem, seperti
vegetasi, fauna, tanah, air, iklim, udara, dan manusia. Kerusakan yang disebabkan
oleh kebakaran terhadap vegetasi dapat menyebabkan terjadinya suksesi dalam
areal bekas terbakar. Suksesi yang terjadi merupakan upaya ekosistem tersebut
memulihkan kondisi lingkungan baik komponen biotik maupun komponen
abiotik. Perubahan suksesi tersebut dapat dilihat dari komposisi dan struktur
vegetasi hutan tersebut.
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, mempelajari, dan
menganalisis komposisi dan struktur vegetasi pada areal hutan bekas terbakar
ringan, bekas terbakar sedang dan bekas terbakar berat.
1.3 Manfaat Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi areal hutan bekas
terbakar Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang sehingga dapat dilaksaanakan
pengelolaan lebih lanjut terhadap areal hutan bekas terbakar.
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis 2.1.1 Batasan
Menurut Ewusie (1990), hutan hujan tropis merupakan jenis nabatah yang
paling subur. Sedangkan enurut Soerianegara dan Indrawan (1988), hutan adalah
masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon-pohon dan
mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan.
Hutan jenis ini terdapat di wilayah baruh tropis atau di dekat wilayah tropis di
bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 4000 mm per
tahun. Suhunya tinggi (sekitar 25 C 26 C) dan seragam, dengan kelembaban rata-rata sekitar 80%. Komponen dasar hutan itu adalah pohon tinggi dengan
tinggi maksimum rata-rata sekitar 30 m. Tajuk pepohonan itu sering dapat
dikenali karena terdiri dari 3 lapis. Pepohonan itu tergabung dengan tumbuhan
terna, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasit. Berbunga, berbuah, dan
luruhnya daun serta bergantinya daun sering berlangsung bersinambungan
sepanjang tahun, dengan spesies berlainan yang terlibat pada waktu yang berbeda-
beda (Ewusie 1990).
Hutan hujan tropis menurut Schimper (1903) dalam Richards (1966)
adalah suatu komunitas tumbuhan yang bersifat selalu hijau, memiliki karakter
selalu basah dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30 m, tapi biasanya lebih
tinggi, serta kaya akan liana yang memiliki batang tebal dan berkayu seperti herba
yang bersifat epifit. Menurut Richards (1966) ciri utama dari hutan hujan tropis
ialah mayoritas dari tanaman di hutan hujan tropis berkayu, tak hanya pohon yang
mendominasi komunitas hutan hujan tropis, tapi kebanyakan tanaman merambat
dan beberapa epifit pun berkayu.
Hutan hujan tropis ialah suatu komunitas kompleks yang terdiri dari
pepohonan dengan berbagai ukuran. Iklim mikro dibawah naungan kanopi hutan
berbeda dengan iklim mikro di luar kanopi hutan. Perbedaan iklim mikro dilihat
dari cahaya yang rendah, kelembaban yang tinggi, dan temperatur yang rendah di
bawah kanopi hutan (Whitmore 1984).
-
2
2.1.2 Corak iklim hutan hujan tropis Hutan hujan tropis memiliki corak iklim mikro menurut Ewusie (1990)
yang terdiri dari :
1. Suhu
Iklim hutan hujan tropis ditandai oleh suhu yang tinggi dan sangat rata. Rataan
suhu tahunan berkisar antara 20 C hingga 28 C dengan suhu terendah pada musim hujan dan suhu tertinggi pada musim kering. Setiap naik 100 m di
pegunungan, rataan suhu itu berkurang 0,4 C 0,7 C. 2. Curah hujan
Hutan hujan tropis menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 3000 mm
dalam setahunnya.
3. Kelembaban atmosfer
Kelembaban hutan hujan tropis rata-rata sekitar 80 %. Pada tumbuhan teduhan
lamanya kelembaban maksimum bertambah dari sekitar 14 jam selama musim
kering menjadi 18 jam pada musim hujan.
4. Angin
Di wilayah tropis kecepatan angin biasanya lebih rendah dan angin topan tidak
begitu sering. Rataan kecepatan angin tahunan di daerah hutan hujan pada
umumnya kurang dari 5 km/jam dan jarang melampaui 12 km/jam.
5. Cahaya
Meskipun jumlah sinar matahari harian tidak pernah kurang dari 10 jam
dimanapun di wilayah tropis, tetapi jumlah sinar matahari cerah sesungguhnya
selalu kurang dari jumlah tersebut diatas, karena derajat keberawanan yang
tinggi.
6. Karbondioksida
Karbondioksida dianggap penting dari segi ekologi karena bersama-sama
dengan cahaya merupakan faktor pembatas bagi fotosintesis dan perkembangan
tumbuhan.
2.1.3 Penyebaran Hutan Hujan Tropis di Indonesia Soerianegara dan Indrawan (1988) membagi formasi hutan Indonesia ke
dalam 3 zone vegetasi, yaitu:
-
3
1. Zona barat, yang berada dibawah pengaruh vegetasi Asia, meliputi pulau
Sumatera dan Kalimantan dengan jenis-jenis kayu yang dominan dari Suku
Dipterocarpaceae.
2. Zona timur, berada di bawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau
Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Jenis dominan adalah dari suku
Araucariaceae dan Myrtaceae.
3. Zona peralihan, dimana pengaruh dari kedua benua tersebut bertemu yaitu
Pulau Jawa dan Sulawesi, terdapat dari jenis Araucariacea, Myrtaceae, dan
Verbenaceae. Sekalipun dapat dikatakan pemisahan demikian tidaklah berarti
bahwa batas tersebut merupakan garis tegas yang dari penyebaran vegetasi.
Selanjutnya dikemukakan bahwa penyebaran hutan hujan tropis di
Indonesia terdapat terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, serta
Irian.
2.2 Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi Masyarakat hutan adalah salah satu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu
masyarakat yang dinamis dimana terbentuk secara berangsur-angsur melalui
tahapan, yaitu invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, dan
penguasaan serta reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini
disebut dengan suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Suksesi sendiri merupakan proses perubahan dalam komunitas yang
berlangsung menuju ke satu arah secara teratur. Proses suksesi berakhir dengan
sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimaks. Dikatakan bahwa dalam
tingkat klimaks ini komunitas telah mencapai homeostatis. Ini dapat diartikan
bahwa komunitas sudah dapat mempertahankan kestabilan internalnya sebagai
akibat dari tanggap (response) yang terkoordinasi dari komponen-komponennya
terhadap setiap kondisi atau rangsangan yang cenderung mengganggu kondisi
atau fungsi normal komunitas. Jadi bila suatu komunitas telah mencapai klimaks,
perubahan yang searah tidak terjadi lagi, meskipun perubahan-perubahan internal
diperlukan untuk mempertahankan kehadiran komunitas berlangsung secara
sinambung (Resosoedarmo et al. 1988).
Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan
dinamis dengan lingkungan, terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuh-
-
4
tumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Setiap ada
perubahan, akan ada mekanisme atau proses yang mengembalikan keadaan
kepada seimbang (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Setelah beberapa waktu, perubahan muncul pada komponen-komponen
yang tidah hidup dalam ekosistem. Perubahan lingkungan ini menjadi bagian dari
aktivitas organisme itu sendiri dan bagian fenomena yang berdiri sendiri pada
komunitas yang sepantasnya. Pengaruh-pengaruh awal mengarah pada autogenic,
yang memproduksi suksesi autogenik (Tansley 1935 dalam Chandler et al 1983),
dan kemudian sebagai allogenik, memproduksi suksesi allogenik. Sebenarnya,
kedua kekuatan tersebut aktif pada saat yang bersamaan tapi satu diantara yang
lainnya lebih kuat.
Pengaruh autogenic tergantung pada komposisi spesies dan struktur
komunitas karena setiap spesies berkontribusi secara individual yang menjadi
dampak keseluruhan suksesi. Daur nutrisi dapat berpengaruh besar dalam
memberi simpanan nutrisi bagi beberapa spesies. Pengaruh autogenis pun
berpengaruh terhadap cahaya dan suhu. Pada kekuatan allogenik pun
mempengaruhi suksesi tetapi kekuatan ini tidak bergantung pada aktivitas
organisme dalam komunitas. Contohnya pada kebakaran hutan, penggembalaan
hewan ternak, atau tebang habis pada seluruh hutan (Chandler et al 1983).
Suksesi primer adalah perkembangan vegetasi mulai dari habitat yang tak
bervegetasi hingga mencapai masyarakat yang stabil atau klimaks (Soerianegara
dan Indrawan 1988). Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979) dalam Indriyanto
(2008), suksesi primer adalah suksesi yang terjadi pada lahan yang mula-mula tak
bervegetasi. Lahan yang tak bervegetasi dapat berarti bahwa lahan tersebut telah
lama sekali tidak ada vegetasi apapun yang tumbuhnya diatasnya. Lahan tak
bervegetasi dapat juga berarti bahwa lahan tersebut pernah bervegetasi, tetapi
mengalami gangguan berat sehingga ekosistem terganggu dan komunitas
tumbuhan rusak total.
Suksesi sekunder di daerah tropis yang telah dikaji paling baik, berasal
dari hutan hujan tropis. Pada umumnya suksesi sekunder penghancuran nabati
puncak ini cenderung menuju pada pemulihan kembali hutan hujan itu sebagai
puncak pengaruh iklim. Namun, jika kebakaran, penggembalaan atau penurunan
-
5
sifat tanah berlanjut terus di hutan itu, maka arah suksesi berubah atau menjadi
bias, menuju pada puncak biotik yang tidak lebih baik dari ekosistem sebelumnya
(Ewusie 1990). Ketika kawasan alami berubah menjadi sebuah luasan yang
komunitasnya rusak dan suksesinya mengalami kemunduran, muncul sebuah
bentuk komunitas yang baru yang disebut suksesi sekunder (Chandler et al 1983).
Suksesi sekunder terjadi pada saat ekosistem mengalami gangguan dan
kerusakan, misalnya karena kebakaran, tetapi komposisi biotik yang sudah ada
sebelumnya mempengaruhi penyebab proses (Mcnaughton dan Wolf 1990).
Menurut Chandler et al (1983), situasi suksesi sekunder ini muncul ketika spesies
utama dalam komunitas telah hancur akibat kebakaran, penyakit parasit, tornado,
banjir, atau kegiatan manusia seperti pertanian atau kehutanan.
2.3 Komposisi dan Struktur Hutan Komposisi spesies berubah dengan cepat pada awal suksesi dan lebih
lambat ketika suksesi berlangsung. Pada umumnya jumlah spesies yang ada
dalam komunitaas meningkat dengan cepat ketika suksesi dimulai tetapi
kemungkinan akan mengalami penurunan pada nilai yang lebih kurang konstan.
Komposisi hutan dapat diklasifikakan berdasarkan atas adanya jenis murni
atau campuran. Karena tegakan yang benar-benar murni jarang ada kecuali di
Barat, di tempat Pinus pondoresa, Pinus contorta, Abies, dan Populus mempunyai
areal murni sangat luas, kira-kira 90% dari satu jenis telah dipilih sebagai ciri
untuk memisahkan tegakan murni dari tegakan 90%, seluruh tegakan merupakan
campuran dua atau lebih jenis. Tegakan murni juga terdapat pada hutan tanaman
atau pada tempat tumbuh yang khusus seperti hutan rawa Picea mariana (Daniel
et al. 1995).
Salah satu karakteristik paling penting pada hutan hujan tropis yang
berkaitan erat dengan komposisi hutan ialah kekayaan spesies yang melimpah.
Kekayaan flora yang tinggi disebabkan kecenderungan sebagian kondisi dalam
mendukung tingkat spesiasi yang tinggi, khususnya iklim yang menguntungkan
bagi pertumbuhan tanaman dan reproduksi di semua musim, tetapi tidak
diragukan lagi sebagian besar disebabkan oleh usia massa tanah tropis yang tua,
yang memungkinkan bertahannya vegetasi kurang lebih sama hingga zaman
sekarang dari periode geologis yang lampau (Richards 1966).
-
6
Kelimpahan jenis ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan
dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain
ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP), volume, biomassa, presentase
penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan
(Soerianegara dan Indrawan 1988).
Menurut Richards (1966), struktur yang berada dalam masyarakat spesies
secara keseluruhan berasal dari perawakannya yang bervariasi dalam berbagai
bentuk kehidupan, namun para anggota kelompok ekologis yang sama adalah
serupa dalam bentuk kehidupan dan dalam hubungannya dengan lingkungan.
Rencana struktur klimaks untuk hutan hujan tropis yang paling jelas
dimanifestasikan dalam fitur utama dari arsitektur, stratifikasi pohon-pohon,
semak, dan tanaman herba. Pohon-pohon hutan tropis membentuk beberapa strata
(lapisan, tingkatan, kanopi dan deretan bertingkat juga digunakan). Terkadang
dikategorikan ke dalam tiga lapisan hutan hujan (menurut beberapa literatur, lebih
dari tiga).
Menurut Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu :
1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram
profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai, dan herba
penyusun vegetasi.
2. Sebaran horisontal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu
individu terhadap individu lain.
3. Kelimpahan (abundance) setiap jenis dalam suatu komunitas.
Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa
faktor, seperti : flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain-lain), waktu dan
kesempatan (Marsono 1977).
2.4 Analisis Vegetasi Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan
bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk struktur
vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk
keperluan analisis vegetasi diperluan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk
menentukan INP dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis
-
7
vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi
suatu komunitas tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan 1988).
Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi
dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu :
1. Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan
membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu
pengamatan berbeda.
2. Menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal.
3. Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan
tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith 1983).
2.5 Kebakaran Hutan 2.5.1 Batasan
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian di mana api melalap
bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar
secarabebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan
non-hutan. Kebakaran yang terjadi di Indonesia sering kali membakar areal hutan
dan areal nonhutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api yang berasal
dari kawasan hutan menuju kawasan non-hutan, atau sebaliknya. Hasilnya, istilah
kebakaran hutan dan lahan menjadi istilah yang melekat untuk kejadian kebakaran
di Indonesia (Syaufina 2008).
Proses pembakaran menyebar secara bebas yang mengkonsumsi bahan
bakar hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting kayu mati, tiang, gulma,
semak, dedaunan, serta pohon-pohon segar untuk tingkat terbatas. Dengan
demikian sifat utama dari kebakaran hutan adalah tidak terkendali dan menyebar
secara bebas (Brown dan Davis 1975).
2.5.2 Tipe Kebakaran Menurut Gunarwan (1970) kebakaran diklasifikasikan dalam beberapa
tingkatan, yaitu :
1. Ground fire : api membakar semua bahan-bahan organik (serasah-serasah)
sampai lapisan bawah dari tanah.
2. Surface fire : api membakar serasah yang berada dipermukaan saja dan
tanaman-tanaman kecil.
-
8
3. Crown fire : api membakar tajuk-tajuk pohon dan semak-semak.
Sering pula kebakaran dibagi-bagi berdasarkan luas areal yang terbakar,
yaitu sebagai berikut :
1. Kelas A : kebakaran meliputi 1000 m2.
2. Kelas B : kebakaran meliputi 1000 m2 - 40.000 m2 (0,04 km2).
3. Kelas C : kebakaran meliputi 0,04 km2 - 0,4 km2.
4. Kelas D : kebakaran meliputi 0,4 km2 - 1,2 km2.
5. Kelas E : kebakaran meliputi 1,2 km2.
2.5.3 Dampak Kebakaran Menurut Syaufina (2005), tidak selamanya kebakaran hutan berdampak
merugikan bagi lingkungan. Tetapi, perlu kajian lebih lanjut sampai sejauh mana
dampak menguntungkan kebakaran hutan dapat dirasakan dan seberapa besar jika
dibandingkan dengan dampaknya yang merugikan.
1. Dampak kebakaran hutan yang menguntungkan
Di beberapa negara maju, pembakaran terkendali dilakukan secara periodik
untuk mengurangi potensi bahan bakar sehingga dapat menghindarkan
kebakaran yang lebih besar. Kegiatan pembakaran juga digunakan untuk
memusnahkan hama dan penyakit apabila serangannya sudah tidak terkendali.
Namun demikian, pembakaran terkendali ini perlu pengetahuan yang memadai
mengenai teknik-teknik pembakaran, waktu pembakaran dan perilaku api.
Terhadap lahan hutan, abu hasil proses pembakaran dapat meningkatakn pH
tanah hutan yang pada umumnya bersifat masam. Disamping itu kandungan
mineral yang tinggi dapat merupakan sumber nutrisi bagi tanaman yang akan
hidup di atasnya. Tetapi, sumbangan nutrisi ini tidak berlangsung lama.
Terutama apabila terjadi hujan sehingga proses pencucian akan mudah terjadi.
Adanya ekosistem yang bergantung pada api menunjukkan bahwa untuk
jenis-jenis tertentu kebakaran dapat melestarikan keberadaannya. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya sifat adaptasi vegetasi terhadap api yang dikenal
dengan istilah fire adaptive traits. Beberapa contoh dari adaptasi ini adalah :
a. Ketebalan kulit kayu
Faktor utama yang menentukan sejenis pohon atau semak sebagai jenis
resisten terhadap api adalah ketebalan kulitnya. Pohon atau semak yang
-
9
memiliki ketebalan kulit antar 1,0 1,3 cm akan mengalami kerusakan
yang ringan apabila terbakar (Wright dan Bailey, 1982 dalam Syaufina
2005). Biasanya kulit kayu pohon yang muda akan lebih tipis
dibandingkan dengan kayu tua.
b. Tunas yang terlindung
Beberapa jenis vegetasi memiliki kemampuan untuk melindungi tunasnya
dari api dengan berbagai bentuk. Pinus palustris melindungi tunasnya
dengan dedaunan yang tidak terbakar, Eucaliptus melindungi tunasnya
jauh di dalam batang, beberapa jenis semak dan pohon seperti Populus
menempatkan tunasnya di dalam akar bawah tanah.
c. Pertuanasan yang distimulasi api
Tumbuhnya tunas di bagian bawah merupakan hal yang biasa untuk
beberapa jenis pohon dan semak setelah api menghancurkan bagian-bagian
dedaunan dan rantingnya. Bakal tunas bersifat dorman pada saat vegetasi
tersebut hidup. Adanya api akan menstimulasi bakal tunas yang dorman
tadi untuk tumbuh. Pertumbuhan tunas setelah kebakaran biasanya,
berhubungan dengan umur tanaman, ukuran batang, musim, frekuensi
kebakaran, dan kekerasan kebakaran.
d. Penyebaran biji api
Jenis-jenis pinus umumnya menyimpan bijinya dengan mekanisme
tertentu did dalam kerucut yang terbalut dengan bahan resin yang sensitif
terhadap api sehingga sulit untuk diambil. Dengan adanya api, buah pinus
akan membuka dan mengeluarkan bijinya. Seringkali biji akan jatuh di
atas permukaan tanah yang kaya akan abu dan mineral hasil dari proses
pembakaran. Akibatnya, biji akan cepat berkecambah dan tumbuh dengan
bantuan sinar matahari yang jatuh ke lantai hutan.
e. Perkecambahan biji yang dibantu oleh api
Perkecambahan biji yang tersimpan di dalam tanah dapat distimulasi oleh
adanya panas api.
2. Dampak kebakaran yang merugikan
Tidak diragukan lagi bahwa kebakaran memberikan dampak yang
merugikan bagi lingkungan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa dampak
-
10
yang merugikan dari kebakaran hutan terhadapa vegetasi, tanah, air, dan udara
secara ringkas.
a. Terhadap vegetasi
Pada kisaran suhu antara 130 C hingga 190 C, lignin dan hemisellulosa sebagai penyusun bahan bakar hutan akan mulai terdegradasi. Proses
dekomposisi dari kedua jenis bahan penyusun tadi akan dipercepat pada
suhu 200 C. Panas yang dihasilkan dalam suatu kebakaran dapat mencapai lebih dari 1000 C. Akibatnya kebakaran hutan dapat menyebabkan kematian vegetasi. Apabila panas yang dihasilkan masih memungkinkan
vegetasi untuk hidup, maka akan tertinggal luka-luka akibat kebakaran yang
akhirnya akan merangsang pertumbuhan hama dan penyakit atau
menghasilkan cacat permanen. Sebagi konsekuensinya, riap hutan akan
menurun dan fungsi lindung hutan hilang. Bagi semai atau anakan pohon
yang memiliki jaringan tanaman yang masih muda, api akan menyebabkan
kematian secara langsung. Hal ini tentu saja akan menghambat proses
regenerasi hutan.
b. Terhadap tanah
Kebakaran akan memberikan dampak kepada sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah dengan tahapan yang berbeda tergantung kepada beberapa faktor,
seperti : karakteristik tanah, intensitas, dan lamanya kebakaran, waktu dan
intensitas hujan setelah terjadinya kebakaran serta sifat bahan bakar.
Pembakaran merenggut dari tanah, humus yang seharusnya terjadi. Karena
kegiatan api itu, bagian rumput beserta terna yang ada di atas tanah
hanyalah menjadi abu dan bukan menjadi humus, setelah tumbuhan itu mati
dan membusuk. Dalam proses pembakaran itu sebagian unsur hara yang
dibebaskan itu menjadi hilang, Kehilangan lebih lanjut terjadi sebelum
unsur hara itu terbilas ke dalam tanah dan diserap oleh tumbuhan.
Pengaruh kebakaran pada pinggiran hutan adalah mengurangi luas hutan itu
dan menggantikannya dengan sabana turunan, sering dengan sisa pohon
hutan yang terpencar di sana-sini. Keadaan ini lagi-lagi disertai dengan
pemiskinan tanah dan dipermudah di daerah nisbi kering yang tanahnya
dangkal dan berpasir. Akhirnya, pembakaran menyebabkan permukaan
-
11
tanah menjadi gundul sehingga limpasan air dan pengikisan sering
meningkat, terutama pada lereng bukit. Peningkatan limpasan itu berarti
pengurangan jumlah air yang menerus dan air simpanan bawah tanah.
Dengan air yang berkurang maka menjadi tidak mungkin untuk
mengembalikan nabatah berkayu yang lebih banyak seperti aslinya (Ewusie
1990).
Sifat-sifat kimia memberikan kepada tanah kemampuan menyekap zat hara
dan menciptakan lingkungan kimia yang diinginkan untuk pertumbuhan
nabati (Hamzah 1981). Perilaku kimiawi tanah dapat ditakrifkan sebagai
keseluruhan reaksi fikokimia dan kimia yang berlangsung antar penyusun
tanah dan antara penyusun tanah dan bahan yang ditambahkan kepada tanah
in situ (Bolt & Bruggenwart 1978 dalam Notohadiprawiro 1998).
c. Terhadap air
Dampak kebakaran terhadap air dikelompokkan ke dalam dua golongan,
yaitu : kuantitas air dan kualitas air. Terhadap kuantitas air, kebakaran
hutan akan menghilangkan atau mengurangi vegetasi penutup tanah yang
selama ini memegang peranan penting dalam siklus hidrologi.
Terhadap kualitas air, kebakaran hutan terutama berkaitan dengan endapan
yang terbawa aliran permukaan. Dalam hal ini, kekeruhan akan meningkat
dan oksigen terlarut akan berkurang sehingga akan mengganggu kehidupan
ekosistem perairan.
d. Terhadap udara
Proses pembakaran bahan bakar hutan menghasilkan panas serta senyawa
lainnya seperti karbon monoksida, karbon dioksida, beberapa jenis
hidrokarbon, uap air dan unsur-unsur lainnya dalam bentuk gas, cair atau
padatan (partikel). Hasil dari pembakaran tersebut dapat menjadi polutan
yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia.
2.5.4 Kekerasan kebakaran (Fire Severity) Kekerasan kebakaran (Fire Severity) merupakan istilah yang digunakan
untuk melukiskan respon ekosistem terhadap api terhadap tanah, sistem air,
ekosistem flora, dan fauna, atmosfer dan masyarakat (Simard 1991 dan DeBano et
al. Dalam Syaufina 2008). Fire severity ini dipengaruhi : sifat bahan bakar yang
-
12
tersedia dan perilaku api. Menurut DeBano (1998) dalam Syaufina (2008)
mengklasifikasikan tingkat kekerasan kebakaran sebagai berikut.
1. Low fire severity (terbakar ringan) : pemanasan tanah rendah, pengarangan
bagian bawah yang ringan, serasah terbakar habis atau mengarang, tetapi
lapisan duff tidak rusak, walaupun permukaannya hangus. Tanah mineral tidak
berubah. Permukaan hitam, abu terjadi untuk waktu singkat. Suhu permukaan
pada 1 cm < 50 C. Suhu lethal untuk organisma tanah terjadi sampai ke dalam 1 cm.
2. Moderate fire severity (terbakar sedang) : pemanasan tanah sedang,
pengarangan bawah sedang, serasah habis terbakar dan lapisan duff mengarang
atau terbakar habis, lapisan mineral di bawahnya tidak berubah. Abu berwarna
terang. Sampah berkayu terbakar, kecuali log yang mengarang. Abu yang
berwarna putih dan kelabu dan arang terjadi pada 1 cm lapisan atas dari tanah
mineral, tetapi soil tidak berubah. Suhu permukaan pada kedalaman 1 cm
dapat mencapai 100 C 200 C. Suhu lethal untuk organisma tanah terjadi sampai kedalaman 3 5 cm.
3. High fire severity (terbakar berat) : pemanasan tanah tinggi, pengarangan
bagian bawah berat, lapisan duff terbakar habis, bagian atas tanah mineral
terlihat kemerahan atau oranye. Warna tanah di bawah 1 cm lebih gelap atau
mengarang dari bahan organik. Lapisan arang dapat meluas hingga kedalaman
10 cm atau lebih. Log terbakar atau mengarang dalam yang juga terjadi pada
tumpukan potongan limbah. Tekstur tanah di lapisan permukaan berubah.
Semua batang semak terbakar dan hanya batang yang besar mengarang yang
terlihat. Suhu tanah pada kedalaman 1 cm lebih dari 250 C. Suhu lethal untuk organisma tanah terjadi sampai kedalaman 9 16 cm.
Berdasarkan presentase total areal yang terbakar, fire severity dapat
digolongkan menjadi 3 kelas berikut.
1. Low-severity burn (terbakar ringan) : < 2% areal terbakar berat, < 15 %
terbakar sedang, dan sisanya terbakar ringan atau tidak terbakar.
2. Moderate-severity burn (terbakar sedang) : < 10% areal terbakar berat, tetapi <
15 % terbakar sedang, dan sisanya terbakar ringan atau tidak terbakar.
-
13
3. High-severity burn (terbakar berat) : < 10% mempunyai titik-titik yang
terbakar sangat parah, > 80% terbakar berat atau sedang dan sisanya terbakar
ringan.
Berdasarkan kerusakan pada pohon yang teramati, fire severity dapat
diklasifikasikan kelas berikut :
1. Low fire severity (terbakar ringan) : minimal 50% pohon-pohon menunjukkan
kerusakan yang tak terlihat, dengan sisa kebakaran berupa terbakarnya tajuk,
matinya tunas (bagian atas mati tapi berkecambah), atau matinya akar, > 80%
pohon-pohon yang rusak atau terbakar dapat bertahan.
2. Moderate fire severity (terbakar sedang) : 20% - 50% pohon-pohon
menunjukkan kerusakan yang tak terlihat, dengan sisa kebakaran; 40% - 80%
pohon-pohon yang rusak atau terbakar dapat bertahan.
3. High fire severity (terbakar berat) : < 20% pohon-pohon menunjukkan
kerusakan yang tak terlihat, sisa kebakaran sebagian besar berupa kematian
akar, < 40% pohon-pohon yang rusak atau terbakar dapat bertahan.
2.5.5 Pencegahan Kebakaran Hutan Pencegahan kebakaran hutan adalah semua usaha, tindakan atau kegiatan-
kegiatan lainnya yang dilakukan dalam rangka mencegah atau mengurangi
kemungkinan terjadinya kebakaran hutan maupun kebun (Sumantri 2003).
Menurut Sumantri (2003) dengan metode pencegahan dapat dikelompokka
menjadi :
1. Ragam metode penyuluhan sebagai dasar dalam setiap upaya metode
pencegahan yang lain yaitu upaya untuk merubah perilaku sasaran baik
pengetahuannya, sikap maupun keterampilannya.
2. Ragam metode peningkatan kesejahteraan.
3. Ragam metode peran serta masyarakat.
4. Ragam metode pengelolaan faktor pemicu : bahan bakar.
Ragam metode pengelolaan faktor pemicu dapat dilaksanakan melalui jalur
hijau, sekat bakar, fuel break, sloping agricultural land technology, control
burning, tanaman penutup, teknik silvikultur, penambangan batubara
tradisional, pembuatan parit pada lahan gambut yang tidak terlalu dalam dan
lebar dan lain sebagainya.
-
14
5. Ragam metode pemantapan kewaspadaan antara lain pemasangan rambu-
rambu, peringatan dini, patroli dan penjagaan, apel siaga, serta
mengaplikasikan metode penyuluhan untuk kampanye.
6. Ragam metode pemantapan kesiap siagaan.
2.5.6 Tipe Manajemen Bahan Bakar Menurut Husaeni (2003), manajemen bahan bakar dapat dilakukan dengan
3 cara utama, yaitu modifikasi bahan bakar, pengurangan bahan bakar dan isolasi
(pemisahan) bahan bakar.
1. Modifikasi bahan bakar
Modifikasi bahan bakar merupakan usaha untuk merubah satu atau beberapa
macam karakteristik bahan bakar. Tujuannya adalah agar bahan bakar tidak
mudah terbakar, atau bila terjadi kebakaran penjalaran apinya lambat, sehingga
mudah dipadamkan.
2. Pengurangan bahan bakar
Pengurangan bahan bakar hutan dilakukan dengan tujuan agar bahan bakar
hutan berkurang jumlahnya, sehingga bila terjadi kebakaran hutan, besarnya
nyala api, kecepatan penjalaran dan lamanya kebakaran dapat dikurangi.
Bahan bakar yang biasa dikurangi jumlahnya adalah bahan bakar permukaan
yang termasuk bahan bakar ringan, baik berupa serasah, tumbuhan bawah
maupun limbah penebangan.
3. Isolasi bahan bakar
Isolasi bahan bakar adalah kegiatan memisahkan suatu kawasan hutan
(sebagai suatu hamparan bahan bakar) dari kawasan di luarnya (sebagai
hamparan bahan bakar lain) dan atau membagi kawasan hutan tersebut menjadi
bagian-bagian kawasan hutan (bagian hamparan bahan bakar) yang lebih kecil,
oleh suatu penyekat yang disebut jaluir isolasi. Jalur isolasi adalah suatu jalur
dengan lebar tertentu baik berupa jalur terbuka (gundul) maupun bervegetasi,
yang memisahkan bagian hutan tertentu dengan bagian hutan lainnya, atau
dengan areal di luar kawasan hutan.
Tujuan utama isolasi bahan bakar adalah untuk menghambat penjalaran api
kebakaran dari luar kawasan hutan ke dalam kawasan hutan dan sebaliknya,
dan dari bagian kawasan hutan (blok/petak) tertentu ke bagian kawasan hutan
-
15
(blok/petak) lainnya. Jalur isolasi ini berfungsi pula sebagai tempat awal
operasi pemadaman bila terjadi kebakaran hutan.
Ada 3 macam jalur isolasi khusu yang dapat dibuat, yaitu sekat bakar (fire
break), sekat bahan bakar (fuel break) dan jalur hijau (green belt).
a. Sekat bakar adalah suatu jalur bersih (tanpa tumbuhan sama sekali) yang
digunakan untuk menghambat penjalaran api dan digunakan juga sebagai
tempat awal untuk operasi pemadaman kebakaran. Sekat bakar dapat
berupa jalur bersih yang sudah ada, misalnya alur sungai, jalan hutan, alur
batas blok/petak, atau jalur yang dibuat khusus dengan lebar tertentu, yang
dibersihkan dari semua tumbuhan sehingga berupa jalur terbuka. Sekat
bakar ini sering disebut jalur kuning.
b. Sekat bahan bakar adalah suatu jalur lahan yang cukup lebar, yang
vegetasinya telah diubah sehingga bila ada kebakaran hutan, api akan
menjalar lebih lambat sehingga mudah dipadamkan. Sekat bahan bakar ini
biasanya tertutup vegetasi yang mempunyai volume bahan bakar rendah
atau sulit terbakar. Sekat bahan bakar dibuat lebih lebar dari sekat bakar
(sekitar 20 100 m), dibuat sepanjang punggung bukit dan batas kawasan
hutan, dan dapat dikombinasikan dengan jalan hutan atau sekat bakar.
c. Jalur hijau merupakan modifikasi dari suatu sekat bakar yang vegetasinya
dipertahankan tetap hidup dan hijau, dengan cara irigasi. Biaya irigasi ini
cukup mahal sehingga di Indonesia, jalur hijau ini berupa vegetasi pohon
atau perdu. Bila jalur hijau ini dibuat dengan cara penanaman, pohon atau
perdu yang dipilih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Tahan kebakaran, artinya pohon/perdu dapat tetap hidup bila terbakar,
2) Selalu hijau (evergreen),
3) Tajuknya rimbun, agar mampu menekan gulma yang tumbuh di
bawahnya,
4) Cepat tumbuh dan mudah bertrubus (coppicing) bila dipangkas,
5) Serasahnya mudah terdekomposisi, agar tidak terjadi penumpukan
serasah,
6) Mempunyai manfaat/kegunaan lain selain untuk menghambat
penjalaran api kebakaran hutan.
-
BAB III
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak dan Luas
Implementasi Kebijakan Surat Keputusan Presiden RI Nomor : 29 tahun 1992,
tanggal 19 Juni 1992 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 1128/Kpts-
II/92 tanggal 19 Desember 1992 menguatkan penetapan Taman Hutan Raya R. Soerjo
sebagai suatu kawasan pelestarian alam yang telah ditetapkan berdasarkan Tahura R.
Soerjo meliputi beberapa kawasan hutan yang berada di dalam kelompok Gunung
Arjuno Lalijiwo, yang terletak di empat kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten
Mojokerto, Kabupaten Malang, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan dan Kota
Batu. Luasan masing masing wilayah tersebut ialah Kabupaten Malang seluas
4.287,00 ha, Kabupaten Pasuruan seluas 5.894,30 Ha, Kabupaten Mojokerto seluas
10.181,10 ha, Kabupaten Jombang seluas 2.864,70 ha, dan Kota Batu seluas 4.641,20
ha. Letak geografis : 7 40 10 - 7 49 31 LS dan 112 22 13 - 112 46 30 BT,
dengan luasan : 27.868,30 ha. Dimana kawasan Taman Hutan Raya ini berasal dari
beberapa kawasan yaitu Hutan Lindung, Cagar Alam, serta sebagian kecil tanah RVE
(Recht Van Eigendom/Hak Kepemilikan Atas Tanah), dengan luasan total 27.868,30
Ha. Kawasan Hutan Lindung meliputi Gunung Anjasmoro, Gunung Argowayang,
Gunung Kembar I dan Gunung Kembar II, mulai dari ketinggian 1.000 mdpl.
Sedangkan kawasan Cagar Alam Arjuno Lalijwo mulai dari ketinggian 2000 mdpl, di
mana di dalamnya termasuk juga Gunung Welirang, Gunung Ringgit, Gunung
Kembar I dan Gunung Kembar II (UPT Tahura R. Soerjo 2009).
3.2 Topografi dan Iklim
Hutan Alam Cemara (Casuarina junghuhniana) terdapat di Gunung Arjuno
Lalijiwo, ketinggian 1.800 m dpl, kerapatan pohon 80-156 pohon/Ha. Dan tinggi
pohon antara 25 - 35 m dan diameter 60 - 100 cm. Padang rumput terdapat di bagian
bawah Pondok Welirang seluas 200 Ha, didominasi jenis padi-padian dan Kolonjono
(Panicum repens). Topografi relatif datar, dapat dikembangkan untuk tempat breeding
rusa. Dataran Hutan Hujan Tengah pada ketinggian 2.000 - 2.700 m dpl merupakan
hutan campuran tiga tingkatan vegetasi yaitu pohon, semak, dan tumbuhan bawah.
Didominasi oleh Pasang (Quercus sp.), pohon Nyampuh, Sembung dan Gempur
Gunung. Pada ketinggian 2.650 m dpl terdapat tegakan homogen : tumbuhan
manisrejo, vegetasi tumbuhan bawah umumnya jenis padi-padian (Sorgum nitidum)
dan Edelweis.
-
19
Menurut klasifikasi iklim Schmid dan Ferguson Tahura R. Soerjo termasuk tipe
iklim C dan D dengan curah hujan rata-rata 2.500 - 4.500 mm per tahun. Suhu udara
berkisar antara 5 C 10 C (UPT Tahura R. Soerjo 2009).
3.3 Flora dan Fauna
3.3.1 Flora
Menurut UPT Tahura R. Soerjo 2009, ada 3 (tiga) tipe vegetasi (kondisinya
masih cukup baik), yaitu :
1. Hutan Alam Cemara (Casuarina junghuhniana)
Terdapat di Gunung Arjuno Lalijiwo, ketinggian 1.800 m dpl, kerapatan pohon 80 - 156
pohon/Ha. Tinggi pohon antara 25 - 35 m dan diameter 60 - 100 cm
2. Padang Rumput
Terdapat di bagian bawah Pondok Welirang seluas 200 Ha, didominasi jenis padi-padian
dan Kolonjono (Panicum repens). Topografi : relatif datar, dapat dikembangkan
untuk tempat breeding rusa.
3. Daerah Hutan Hujan Tengah
Pada ketinggian 2.000 2.700 m dpl termasuk dalam hutan campuran tiga tingkatan
vegetasi yaitu pohon, semak, dan tumbuhan bawah. Didominasi oleh Pasang
(Quercus Sp.), pohon Nyampuh, Sumbung dan Gempur Gunung. Pada ketinggian
2.650 m dpl terdapat tegakan homogen : tumbuhan manis rejo, vegetasi tumbuhan
bawah umumnya berupa jenis padi-padian (Sorgum nitidum).
3.3.2 Fauna
Jenis-jenis satwa (mamalia) yaitu Rusa/Menjangan (Cervus timorensis), Kijang
(Muntiacus muntjac) dan Babi hutan (Susscrofa vittatus). Pada hutan campuran
terdapat Kera Abu-abu Ekor Panjang(Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis
cristata), dan Kera Hitam/Budeng (Trachypiterus auratus). Famili Felidae : Macan
Tutul/Macan Kumbang (Panthera pardus), dan Macan Dahan (Felis viverina).
Trenggiling (Manis javanica). Burung (Burung Sepak Gunung, Bondol Haji, Bondol
Jawa, Sikatan Biru Muda, Burung Cabe Rangkong, Elang Jawa), Fam. Aves (UPT
Tahura R. Soerjo 2009).
3.4 Daerah Aliran Sungai
Termasuk dalam wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Beberapa
sumber/mata air yang terdapat di kawasan Taman Hutan Raya, yaitu : Sumber mata
air sungai Brantas yang terletak di Gunung Anjasmoro (wilayah desa Sumber
Brantas), Sumber mata air yang terdapat di komplek Gunung Arjuno yaitu sumber
mata air di pondok welirang dan sumber mata air di pondok lalijiwo, Sumber mata air
-
20
panas Cangar (Gunung Arjuno bagian Barat) : 3 sumber dan dua diantaranya sudah
dimanfaatkan menjadi tempat pemandian/tempat rekreasi (UPT Tahura R. Soerjo
2009).
Menurut UPT Tahura R. Soerjo (2009), hasil identifikasi dan inventarisasi
Sumber mata air yang berada di dalam Kawasan Pelestarian Alam Tahura R. Soerjo
terdapat 163 titik sumber/mata air, yang menyebar di 13 Administrasi Kecamatan
dengan penduduk sebanyak 190.000 jiwa dengan perincian sebagai berikut :
1. Kota Batu : 35 sumber air yang dimanfaatkan oleh masyarakat terutama untuk
menyiram tanaman pertanian serta dimanfaatkan pula oleh perusahaan swasta;
2. Kabupaten Malang : Sebanyak 30 sumber air yang sebagian besar dimanfaatkan oleh
masyarakat;
3. Kabupaten Pasuruan : Sebanyak 15 sumber air yang dimanfaatkan untuk keperluan
sehari-hari masyarakat, juga dimanfaatkan oleh hotel dan villa yang ada di Tretes;
4. Kabupaten Mojokerto : Sebanyak 69 sumber air yang sebagian besar dimanfaatkan
oleh masyarakat desa sekitar Kawasan Tahura;
5. Kabupaten Jombang : Sebanyak 14 sumber air yang sepenuhnya dimanfaatkan oleh
masyarakat.
-
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei dan bulan Juni tahun
2010 di Unit Pelaksana Teknis Taman Hutan Raya (UPT Tahura) R. Soerjo,
Malang.
4.2 Bahan dan Alat Kegiatan penelitian ini dilakukan pada keadaan hutan tidak terbakar, areal
hutan bekas terbakar ringan, areal bekas terbakar sedang, dan areal bekas terbakar
berat dengan luas masing-masing 3 ha atau sama dengan 75 plot pengamatan
analisis vegetasi. Lokasi penelitian untuk kondisi hutan tidak terbakar
dilaksanakan di Blok Gajah Mungkur Desa Pacet, Kabupaten Mojokerto seluas 1
ha dan Blok Simbuan Desa Ledug, Kabupaten Pasuruan seluas 2 ha. Kemudian,
lokasi penelitian kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dilaksanakan di
Blok Puthuk Dali Desa Ledug, Kabupaten Pasuruan seluas 2 ha dan Blok Gajah
Mungkur Desa Pacet, Kabupaten Mojokerto seluas 1 ha. Lalu, lokasi penelitian
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dilaksanakan di Blok Sido Mulyo
Desa Ledug, Kabupaten Mojokerto seluas 1 ha dan Blok Dali Pentongan Desa
Pecalukan, Kabupaten Mojokerto seluas 2 ha. Sedangkan, lokasi penelitian
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat dilaksanakan di Blok Gumandar
Desa Jatiarjo, Kabupaten Pasuruan 1 ha, Blok Sembung Roboh Desa Pecalukan,
Kabupaten Pasuruan seluas 1 ha, dan Blok Dali Pentongan Desa Pecalukan,
Kabupaten Mojokerto seluas 1 ha. Areal hutan terbakar yang diteliti merupakan
areal hutan yang telah terbakar pada bulan Juli 2009 sampai dengan bulan
Desember 2009.
Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain adalah
peta kerja, phiband (pita diameter), haga hypsometer, kompas, patok, tali
rafia/tambang, buku pengenal vegetasi, golok, tally sheet, dan alat tulis.
4.3 Metode Pengambilan Data 4.3.1 Analisis vegetasi
Untuk mengetahui struktur tegakan dilakukan analisis vegetasi dengan
cara nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang lebih kecil
-
22
(Soerianegara dan Indrawan 1988). Analisis vegetasi dilakukan pada areal hutan
yang tidak terbakar, areal hutan dengan tingkat kebakaran ringan, areal hutan
dengan tingkat kebakaran sedang, dan areal hutan dengan tingkat kebakaran berat.
Dengan demikian dapat dilihat perbandingan perkembangan vegetasi di tiap-tiap
areal.
Klasifikasi tingkat kekerasan kebakaran yang digunakan berdasarkan
DeBano (1998) dalam Syaufina (2008). Klasifikasi tingkat kekerasan kebakaran
yang digunakan secara lengkap terdapat pada bab sebelumnya. Adapun
klasifikasi tingkat kekerasan kebakaran secara singkat ialah terbakar ringan
memiliki areal yang mengalami kerusakan akibat kebakaran sebesar < 20%,
terbakar sedang memiliki areal yang mengalami kerusakan akibat kebakaran
sebesar 20% - 50%, dan terbakar berat memiliki areal yang mengalami kerusakan
akibat kebakaran sebesar > 50%.
Metode pengambilan data dilakukan untuk kegiatan analisis vegetasi dapat
dilihat pada Gambar 1. Data yang diperlukan untuk analisis vegetasi ini adalah
nama jenis, jumlah, diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk
tingkat pancang, semai dan bentuk pertumbuhan non-pohon lainnya adalah nama
jenis dan jumlah individu.
Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat tiga petak pengamatan
dengan ukuran petak 100 x 100 m. Lokasi penelitian dibagi atas tingkat kekerasan
kebakaran. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat petak contoh
dan sub petak contoh dengan ukuran sebagai berikut :
1. Tingkat pohon, epifit dan liana berkayu dengan ukuran petak 20 x 20 m.
2. Tingkat tiang dengan ukuran petak 10 x 10 m.
3. Tingkat pancang, liana non-kayu, pandan, dan palem dengan ukuran petak
5 x 5 m.
4. Tingkat semai, paku-pakuan, dan semak belukar atau tanaman herba dengan
ukuran petak 2 x 2 m.
-
23
Gambar 1. Plot Pengamatan Analisis Vegetasi
Keterangan gambar :
A = Sub petak penelitian untuk tingkat semai, paku-pakuan, dan herba atau
semak belukar (2m x 2m)
B = Sub petak penelitian untuk tingkat pancang, liana non-kayu, pandan, dan
palem (5m x 5m)
C = Sub petak penelitian untuk tingkat tiang (10m x 10m)
D = Sub petak penelitian untuk tingkat pohon, epifit, dan liana berkayu
(20 m x 20 m )
Untuk mengetahui tingkat permudaan pada perkembangan komposisi dan
struktur vegetasi dipergunakan kriteria sebagai berikut :
1. Pepohonan, diklasifikasikan menurut tahap pertumbuhannya :
a. Tingkat semai (seedling), permudaan mulai kecambah sampai dengan
tinggi 1,5 m.
b. Tingkat pancang (sapling), permudaan yang tingginya lebih dari 1,5 m dan
diameter kurang dari 10 cm.
c. Tingkat tiang (pole), pohon muda yang berdiameter 10 cm - 20 cm.
d. Tingkat pohon (tree), pohon yang berdiameter 20 cm keatas.
-
24
2. Liana, yang terdiri dari :
a. Liana berkayu, batang utamanya memiliki panjang lebih dari 1,5 m.
b. Liana non-kayu, batang utamanya memiliki panjang kurang dari 1,5 m.
c. Epifit.
3. Tumbuhan bawah, terdiri dari :
a. Palem, pada tahap dewasa atau tinggi mencapai lebih dari 1,5 m.
b. Pandan.
c. Paku-pakuan.
d. Tanaman herba dan atau semak belukar.
4.3.2 Analisis Sifat Kimia Tanah Pengambilan contoh tanah untuk sifat kimia tanah menggunakan metode
tanah terusik pada setiap plot pengamatan baik di hutan tidak terbakar maupun
areal hutan bekas terbakar. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0 20 cm
(Poerwowidodo 2004). Analisis sifat kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium
Tanah Institut Pertanian Bogor.
4.4 Analisis Data Analisis data dilakukan pada data yang diambil dari kegiatan analisis
vegetasi menggunakan rumus sebagai berikut.
4.4.1 Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi
suatu jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan
dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan Frekuensi Relatif (FR)
(Soerianegara dan Indrawan 1988).
INP = KR + FR (untuk semai, pancang, herba, semak belukar, paku-pakuan,
liana, pandan, palem, liana berkayu, dan epifit);
INP = KR + FR + DR (untuk tiang dan pohon)
Dimana:
1. Kerapatan (K)
2. Kerapatan Relatif (KR)
-
25
3. Frekuensi (F)
4. Frekuensi Relatif (FR)
5. Dominansi (D)
6. Dominansi Relatif (DR)
4.4.2 Indeks Dominansi (C)
Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran
jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai
indeks dominasi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi
secara bersama-sama maka nilai indeks dominasi akan rendah. Untuk
menentukan nilai indeks dominasi digunakan rumus Simpson sebagai berikut
(Misra 1980):
Dimana : C = Indeks dominasi
ni = Nilai penting masing-masing jenis ke-n
N = Total nilai penting dari seluruh jenis
4.4.3 Keanekaragaman Jenis (H) Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon
Index of General Diversty (Mc Glade 1988 dalam Irwan 2009):
Dimana : H = Shannon Index of General diversity
ni = Indeks nilai penting jenis i
N = Total Indeks Nilai Penting
l = 2
4.4.4 Koefisien Kesamaan Komunitas (IS)
-
26
Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur
antara dua tegakan yang dibandingkan dapat digunakan rumus sebagai berikut
(Costing 1956, Bray dan Curtis 1957, Greigh-Smith 1964 dalam Soerianegara dan
Indrawan 1988) :
Dimana : IS = Koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan komunitas
W = Jumlah nilai yang sama atau terendah ( ) dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan
a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat dalam dua
tegakan yang dibandingkan
b = Jumlah nilai kuantitatif semua jenis yang terdapat pada tegakan
kedua
4.4.5 Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1) Untuk mengetahui indeks kekayaan jenis dapat digunakan rumus
Margallef sebagai berikut (Magurran 1988):
Dimana : R1 = Indeks Margallef
S = Jumlah Jenis
N = Jumlah Total Individu
4.4.6 Indeks Kemerataan Jenis (E) Rumus untuk menghitung indeks kemerataan jenis yang secara umum
paling banyak digunakan adalah (Ludwig & Reynold 1988 dalam Irwan 2009):
Dimana, E = Indeks kemerataan jenis
H = Indeks keanekaragaman jenis
S = Jumlah jenis
-
27
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Jenis
5.1.1 Jumlah Jenis
Komposisi jenis merupakan salah satu nilai yang digunakan untuk
mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas yang
telah terganggu. Sehingga jika komposisi tegakannya pulih, dapat dikatakan
bahwa komunitas tersebut mendekati kondisi awalnya.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah dilaksanakan pada tiga
kondisi hutan yang berbeda di areal Taman Hutan Raya R. Soerjo Malang (Tahura
R. Soerjo), diperoleh jumlah jenis yang berbeda pada tiap tingkat pertumbuhan.
Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan tingkat permudaan pohon
No. Kondisi Hutan Tingkat Pohon dan Permudaan Semai Pancang Tiang Pohon
1 Tidak Terbakar 30 34 20 34 2 TKR 13 12 10 5 3 TKS 19 14 7 14 4 TKB 10 6 2 4
Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran
Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa jumlah jenis berdasarkan tingkat
pohon dan permudaan yang tertinggi terdapat pada kondisi hutan tidak terbakar.
Jumlah jenis pada masing-masing tingkat pohon dan permudaan, antara lain
tingkat semai sebanyak 30 jenis, tingkat pancang sebanyak 34 jenis, tingkat tiang
sebanyak 20 jenis, serta pohon sebanyak 34 jenis. Sedangkan, jumlah jenis
terkecil berada pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Jumlah jenis
masing-masing tingkat pohon dan permudaan, antara lain tingkat semai sebanyak
10 jenis, tingkat pancang sebanyak 6 jenis, tingkat tiang sebanyak 2 jenis, dan
pohon sebanyak 4 jenis.
Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kebakaran tidak mempengaruhi
jumlah jenis pada tingkat pohon dan permudaannnya, hal ini dapat dilihat dari
jumlah jenis yang berbeda satu sama lain. Hal tersebut ditunjukkan dengan
-
28
jumlah jenis pohon dan permudaan yang tidak terpola dan tergantung pada tingkat
kebakarannya pada setiap kondisi hutan. Kondisi hutan dengan tingkat kebakaran
sedang sendiri memiliki jumlah jenis tertinggi pada tingkat semai, pancang dan
pohon untuk kondisi hutan yang terbakar. Hal ini dapat dikaitkan pula dengan
kondisi hutan yang telah terbakar sebelumnya. Selain itu hal ini pun dapat
dikaitkan dengan jenis-jenis yang dapat bertahan pada kondisi hutan dengan
tingkat kebakaran sedang yang lebih banyak daripada kondisi hutan setelah
terbakar lainnnya.
Selain berdasarkan tingkat pohon dan permudaan, analisis vegetasi pun
mengamati tumbuhan berdasarkan bentuk pertumbuhan. Hasil jumlah jenis
berdasarkan bentuk pertumbuhan secara lengkap disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan bentuk pertumbuhan
No. Kondisi Hutan Bentuk Pertumbuhan
P & Pmd H Sb Pk L Pnd Plm Lk E
1 TT 65 44 8 3 17 2 2 12 5 2 TKR 25 41 7 1 1 0 1 0 2 3 TKS 27 42 7 1 2 1 0 2 7 4 TKB 15 41 10 1 2 0 0 0 0
Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran
Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat); P&Pmd (Pohon dan Permudaan); H (Herba); Sb (Semak Belukar); Pk (Paku-pakuan); L (Liana); Pnd (Pandan); Plm (Palem); Lk (Liana Berkayu); E (Epifit)
Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa kondisi hutan tidak terbakar
memiliki seluruh jenis bentuk pertumbuhan dan sebagian besar memiliki jumlah
jenis bentuk pertumbuhan tertinggi dibandingkan kondisi hutan lainnya. Jumlah
jenis tertinggi terdapat pada kondisi hutan tidak terbakar pada masing-masing
bentuk pertumbuhan, antara lain jumlah jenis pohon dan permudaan sebanyak 65
jenis, jumlah jenis herba sebanyak 46 jenis, jumlah jenis paku-pakuan sebanyak 3
jenis, jumlah jenis liana sebanyak 17 jenis, jumlah jenis pandan sebanyak 2 jenis,
jumlah jenis palem sebanyak 2 jenis, serta jumlah jenis liana berkayu sebanyak 13
jenis. Sedangkan jumlah jenis bentuk pertumbuhan semak belukar tertinggi
berada di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat sebanyak 10 jenis dan
bentuk pertumbuhan epifit tertinggi berada di kondisi hutan dengan tingkat
kebakaran sedang yang memiliki jumlah jenis sebanyak 7 jenis.
-
29
Selain itu dari hasil pengamatan yang didapat, menunjukkan bahwa bentuk
pertumbuhan herba merupakan bentuk pertumbuhan tertinggi di seluruh kondisi
hutan, kecuali pada kondisi hutan tidak terbakar. Bentuk pertumbuhan herba,
semak belukar, paku-pakuan dan liana terdapat pada seluruh kondisi hutan.
Bentuk pertumbuhan pandan dan liana berkayu tidak ditemukan pada kondisi
hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan berat. Sedangkan, bentuk
pertumbuhan palem tidak ditemukan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran
sedang dan berat. Bentuk pertumbuhan epifit hanya tidak ditemukan pada kondisi
hutan dengan tingkat kebakaran berat.
Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan dengan tingkat kebakaran
sedang memiliki jumlah jenis bentuk pertumbuhan yang paling mendekati kondisi
awal, yaitu kondisi hutan tidak terbakar. Bahkan jumlah jenis bentuk
pertumbuhan epifit pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang lebih
besar daripada kondisi hutan tidak terbakar. Namun pada kondisi hutan dengan
tingkat kebakaran sedang bentuk pertumbuhan pale