e-renggar.kemkes.go.id · web viewriskesdas tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab...

69
KATA PENGANTAR Dengan Rasa Syukur atas Rahmat Allah Yang Maha Kuasa atas Berkat dan Karunia-Nya sehingga Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan Sekretariat Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2020-2024 ini dapat diselesaikan. Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan ini bertujuan untuk Meningkatkan Pelayanan Kekarantinaan di pintu masuk negara/ Meningkatkan Pelayanan Surveilans dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat dengan menjabarkan tujuan dan sasaran strategis, arah kebijakan dan strategi, target kinerja dan kegiatan. Sebagai buku Rencana Aksi Kegiatan pertama untuk tahun RPJMN 2020-2024, kami merasakan buku ini masih memiliki banyak kekurangan karena dukungan data yang belum memadai terutama data-data yang digunakan sebagai bahan analisis situasi, prioritas program/ kegiatan, dan upaya rencana aksi. Selanjutnya kedepan akan terus disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan kegiatan dipintu masuk negara/ wilayah kerja (Regional). Diharapkan program dan kegiatan dalam RAK tahun 2020-2024 dapat dijadikan dasar dan acuan dalam melaksanakan upaya mencegah masuk keluarnya penyakit/ pelaksanaan Surveilans dan laboratorium kesehatan masyarakat. Bagi kepala Bidang dan seksi dibawah Satuan kerja, diharapkan RAK 2020-2024 dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun Rencana Kerja dan Sasaran Kerja Pegawai.

Upload: others

Post on 21-Nov-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

KATA PENGANTAR

Dengan Rasa Syukur atas Rahmat Allah Yang Maha Kuasa atas Berkat dan Karunia-

Nya sehingga Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan Sekretariat Direktorat Jenderal Pencegahan

dan Pengendalian Penyakit tahun 2020-2024 ini dapat diselesaikan.

Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan ini bertujuan untuk Meningkatkan Pelayanan

Kekarantinaan di pintu masuk negara/ Meningkatkan Pelayanan Surveilans dan Laboratorium

Kesehatan Masyarakat dengan menjabarkan tujuan dan sasaran strategis, arah kebijakan dan

strategi, target kinerja dan kegiatan.

Sebagai buku Rencana Aksi Kegiatan pertama untuk tahun RPJMN 2020-2024, kami

merasakan buku ini masih memiliki banyak kekurangan karena dukungan data yang belum

memadai terutama data-data yang digunakan sebagai bahan analisis situasi, prioritas program/

kegiatan, dan upaya rencana aksi. Selanjutnya kedepan akan terus disempurnakan dan

disesuaikan dengan perkembangan kegiatan dipintu masuk negara/ wilayah kerja (Regional).

Diharapkan program dan kegiatan dalam RAK tahun 2020-2024 dapat dijadikan dasar dan

acuan dalam melaksanakan upaya mencegah masuk keluarnya penyakit/ pelaksanaan

Surveilans dan laboratorium kesehatan masyarakat. Bagi kepala Bidang dan seksi dibawah

Satuan kerja, diharapkan RAK 2020-2024 dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun

Rencana Kerja dan Sasaran Kerja Pegawai.

Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berproses

bersama dan mendukung tersusunnya Rencana Aksi Kegiatan (RAK) 2020-2024 ini, semoga

buku ini menjadi dokumen bersama dan dijadikan acuan dalam pelaksanaan Dukungan

Manajemen semoga bermanfaat bagi kita semua.

…………, ……Agustus 2020

Direktur P2PML,

……………………………..

NIP. ……………………

Page 2: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Periode tahun 2020-2024 merupakan tahapan terakhir dari Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, sehingga merupakan periode pembangunan

jangka menengah yang sangat penting dan strategis. RPJMN 2020-2024 akan memengaruhi

pencapaian target pembangunan dalam RPJPN, di mana pendapatan perkapita Indonesia akan

mencapai tingkat kesejahteraan setara dengan negara-negara berpenghasilan menengah atas

(Upper-Middle Income Country) yang memiliki kondisi infrastruktur, kualitas sumber daya

manusia, pelayanan publik, serta kesejahteraan rakyat yang lebih baik.

Sejalan dengan Visi Presiden Republik Indonesia Tahun 2020-2024 yaitu

Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan

Gotong - Royong, dimana peningkatan kualitas manusia Indonesia menjadi prioritas utama

dengan dukungan pembangunan kesehatan yang terarah, terukur, merata dan berkeadilan.

Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup

sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat tersebut, dibutuhkan program kesehatan

yang bersifat preventif dan promotif salah satunya adalah Program Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit (P2P).

Undang undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional mengamanatkan bahwa Kementerian/Lembaga menyusun Rencana Strategi

(Renstra). Selanjutnya merujuk kepada Keputusan Menteri Kesehatan nomor 21 tahun 2020

tentang Rencana Strategik Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024 bahwa tingkat Eselon I

menjabarkan dalam Rencana Aksi Program (RAP) dan Eselon II atau satuan kerja

menjabarkan Rencana Aksi Kegiatan (RAK).

B. Kondisi Umum

Gambaran kondisi umum, potensi dan permasalahan pengendalian penyakit menular

langsung dipaparkan berdasarkan hasil pencapaian program, kondisi lingkungan strategis,

kependudukan, sumber daya, dan perkembangan baru lainnya. Potensi dan permasalahan

Page 3: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

pengendalian penyakit menular langsung menjadi input dalam menentukan arah kebijakan dan

strategi Kementerian Kesehatan dalam bidang Pengendalian Penyakit Menular Langsung.

Program pengendalian HIV/AIDS bertujuan utama untuk menghentikan epidemi AIDS di

Indonesia pada tahun 2030, dengan tujuan khusus (‘three zeros’) untuk menurunkan hingga

meniadakan infeksi HIV baru, menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh

keadaan yang berkaitan dengan AIDS dan meniadakan diskriminasi terhadap ODHA.

Untuk mencapai tujuan diterapkan pendekatan 90-90-90 atau ‘fast track’, yaitu menemukan

90% dari perkiraan Odha yang ada melalui tes HIV, mengobati 90% Odha yang ditemukan dan

memastikan 90% dari Odha yang diobati mengalami supresi virus (tidak terdeteksi dengan

pemeriksaan ‘viral load’).

Pendekatan tersebut sedang diterapkan secara intensif di tahun 2018-2020 di 238 kab/kota

terpilih yang ada di 34 provinsi, dengan dukungan dana pemerintah (APBN dan APBD) serta

dukungan berbagai mitra di dalam dan luar negeri, terutama dari ‘the Global Fund’ (GF). Program

Pengendalian HIV AIDS di Indonesia mendapatkan bantuan hibah dari Global Fund sejak tahun

2003 yang berlanjut hingga tahun 2018 – 2020 dengan paket kegiatan New Funding Model

continued AIDS, Tuberculosis and Malaria (NFMc ATM). Hibah ini mendukung pembiayaan

APBN dalam mengatasi mengendalikan HIV AIDS di Indonesia. Kegiatan dukungan GF

memungkinkan juga LSM berperan dalam pencegahan melalui penjangkauan, penyuluhan dan

upaya pencegahan lainnya.

Salah satu indikator utama kegiatan Pengendalian HIV tersebut adalah ODHA sedang dapat

ART dengan target 258,340 Odha (40% estimasi 640.443 Odha) di akhir 2020.

Jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2019 mengalami

kenaikan tiap tahunnya. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan Desember

tahun 2019 sebanyak 377.564 kasus (65,5% dari target 90% estimasi ODHA tahun 2016 sebanyak

640.443). terdapat 5 provinsi dengan jumlah kasus HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (65.578),

diikuti Jawa Timur (57.176), Jawa Barat (40.215), Papua (36.382) dan Jawa Tengah (33.322).

Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2019 relatif stabil

setiap tahunnya. Jumlah kumulastif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Desember tahun 2019

sebanyak 121.101 Orang.

Persentase kumulatif AIDS tertinggi pada kelompok umur 20 – 29 tahun (32.1%) kemudian

diikuti kelompok umur 30-39 tahun (31.1%) 40 – 49 tahun (13,8%), 50 – 59 tahun (5,2%) dan 15

– 19 tahun (3,3%). Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 59 % dan perempuan 33 %.

Sementara itu 8% tidak melaporkan jenis kelamin. .Terdapat 5 provinsi dengan jumlah kasus

Page 4: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

AIDS terbanyak adalah Papua (23.599), Jawa Timur (20.787), Jawa Tengah (11.724), DKI

Jakarta (10.517) dan Bali (8,230). Faktor risiko penularan terbanyak melalui hubungan seksual

berisiko heteroseksual (70,4%), penggunaan alat suntk tidak steril (8%) diikuti homoseksual

(7,3%) dan penularan melalui perinatal (2,9%). Angka kematian (CFR) AIDS mengalami

penurunan/kenaikan dari 1,03% pada tahun 2018 menjadi 0,59% pada Desember 2019

Layanan HIV AIDS yang aktif melaporkan terdiri dari 8.485 layanan Tes HIV, 1.284 layanan

PDP yang aktif melakukan pengobatan ARV, terdiri dari 1.007 layanan rujukan PDP dan 277

satelit. Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), 4.291 layanan IMS dan 188 layanan PPIA.

Layanan HIV AIDS yang aktif melaporkan terdiri dari 8.485 layanan Tes HIV, 1.284 layanan

Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP) yang aktif melakukan pengobatan ARV, terdiri

dari: 1.007 layanan Rujukan PDP dan 277 Satelit, 92 layanan Program Terapi Rumatan Metadon

(PTRM), 4.291 layanan Infeksi Menular Seksual (IMS), dan 188 layanan Pencegahan Penularan

dari Ibu ke Anak (PPIA).

Hingga bulan Desember 2019 terdapat 365.496 ODHA yang pernah masuk perawatan

dimana 270.802 diantaranya pernah mendapatkan pengobatan. Jumlah ODHA hingga bulan

Desember 2019 masih sedang mendapatkan pengobatan ARV sebanyak 127.613 orang. Jumlah

ODHA yang gagal follow up (putus obat) sebanyak 58.179 orang (22%).

Dalam pengendalian HIV, dapat dijelaskan bahwa IMS merupakan pintu masuk infeksi HIV,

terutama sifilis yang sudah menjadi permasalahan global. Sifilis dapat meningkatkan risiko

tertular HIV sampai 300 kali lipat. Maka epidemi HIV khususnya di Indonesia sangat berkaitan

dengan peningkatan kasus sifilis, baik di populasi kunci maupun pada populasi umum.

Konsekuensi akibat IMS cukup banyak, misalnya infertilitas akibat gonore, angka kelahiran mati

meningkat, bayi lahir cacat akibat sifilis serta infeksi human papillomavirus sebagai pencetus

kanker mulut rahim yang juga menjadi penyebab kematian yang cukup besar saat ini.

Jumlah seluruh kasus PIMS dengan penegakan diagnose berdasarkan pendekatan sindrom

dan pemeriksaan laboratorium menurut kelompok risiko tahun 2016 sampai dengan Desember

tahun 2019 tertinggi adalah Wanita Pekerja Seks (110.502); Pasangan Risiko Tinggi (103.830);

LSL (71.494); Pelanggan Pekerja Seks (22.342); Waria (8.012); pengguna napza suntik (2.301);

dan Pria Pekerja Seks (1.137).

Pada tahun 2016 jumlah kasus Duh Tubuh Uretra (DTU) dilaporkan sebanyak 10.672 kasus,

tahun 2017 sebanyak 9.019 kasus, tahun 2018 sebanyak 9.070, dan tahun 2019 sebanyak 8.955

Jumlah kumulatif Kasus DTU dari tahun 2016 sampai dengan Desember 2019 sebanyak 37.716

orang.

Page 5: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

Kaskade jumlah kasus Sifilis pada ibu hamil sebagai berikut: jumlah ibu hamil berkunjung

pertama kali ke ANC 872.688 kasus, jumlah ibu hamil yang berkunjung pertama kali ke ANC dan

di tes sifilis746.499 kasus, jumlah ibu hamil yang positif sifilis 16.110 kasus dan jumlah ibu hamil

yang diobati 6.208 kasus.

Sehubungan dengan itu sesuai surat Dirjen P2P semua provinsi, nomor

PR.01.05/I/1822/2019, tanggal 31 Jul 2019, hal Akselerasi ART pada tahun 2019-2020, untuk

melakukan Akselerasi ART dengan mengintensifkan penerapan kebijakan Test & Treat,

penemuan kasus lama yang belum ART dan Loss to Follow Up serta penemuan kasus baru

termasuk pada pasien IMS, TB dan Hepatitis.

Dalam pelaksanaan selama periode 2015-2019, telah banyak terjadi perkembangan dan

kesepakatan baru di tingkat nasional, regional maupun global, yang mempengaruhi arah di

Indonesia untuk tahun 2020-2024, seperti:

- RPJMN: adanya komitmen Indonesia dalam menekan angka insiden HIV diantara 1.000

penduduk yang tidak terinfeksi HIV hingga mencapai 0,18 pada tahun 2024;

- Renstra: komitmen Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengobatan ODHA sampai

dengan 60% pada tahun 2024;

- SPM: Skrining HIV wajib dilakukan pada 8 populasi yaitu ibu hamil, pasien TBC, pasien IMS,

WPS, LSL, waria/TG, penasun dan WBP dimana hasil skrining yang reaktif diharapkan dapat

mengakses layanan untuk penegakkan diagnosis;

- Di tingkat global: adanya komitmen politik dan penetapan target global untuk mencapai 95-

95-95 pada tahun 2030;

- Di tingkat regional: disepakatinya “Gettting to Zero: termasuk Universal Access terhadap

pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan terkait HIV dan AIDS pada pertemuan

KTT ASEAN di Bali;

- Berdasarkan bukti ilmiah dari berbagai negara, WHO merekomendasikan inisiasi ART dini

untuk menekan angka kematian terkait AIDS, dan mencegah penularan HIV, (WHO, 2013).

Di Indonesia, rekomendasi WHO ini diadaptasi dengan melakukan akselerasi temuan kasus

HIV, dan memperluas akses untuk inisiasi dini ART, dengan memberikan pengobatan ARV

segera setelah terdiagnosis HIV positif.

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

Tuberculosis. Berdasarkan Global TB Report Tahun 2019 Indonesia merupakan salah satu negara

dengan beban TB terbesar di dunia yaitu dengan urutan perkiraan insiden yaitu India (2.690.000/

27% dari total global), Cina (866.000/ 9% dari total global), (Indonesia 845,000/ 8% dari total

Page 6: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

global), Filipina (591.000/ 6% dari total global), Pakistan (562.000/ 6% dari total global), Nigeria,

(429.000/ 4% dari total global), Bangladesh (357.000/ 4% dari total global), Afrika Selatan

(301.000/ 3% dari total global), DR Congo (270.000/ 2,7% dari total global) dan Myanmar

(181.000/ 1,8% dari total global) (Global Tuberculosis Report, 2019; hal. 35-36). Selain itu

terdapat tantangan yang perlu menjadi perhatian yaitu meningkatnya kasus TB-MDR, TB-HIV,

TB dengan DM, TB pada anak dan masyarakat rentan lainnya.

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

Tuberculosis. Tuberkulosis (TBC) terus menjadi salah satu masalah kesehatan baik di Indonesia

maupun di Dunia. Berdasarkan Global TBC Report Tahun 2019 Indonesia merupakan salah satu

negara dengan beban TBC terbesar di dunia yaitu dengan urutan perkiraan insiden yaitu India

(2.690.000/ 27% dari total global), Cina (866.000/ 9% dari total global), (Indonesia 845,000/ 8%

dari total global), Filipina (591.000/ 6% dari total global), Pakistan (562.000/ 6% dari total

global), Nigeria, (429.000/ 4% dari total global), Bangladesh (357.000/ 4% dari total global),

Afrika Selatan (301.000/ 3% dari total global), DR Congo (270.000/ 2,7% dari total global) dan

Myanmar (181.000/ 1,8% dari total global) (Global Tuberculosis Report, 2019; hal. 35-36). Selain

itu terdapat tantangan yang perlu menjadi perhatian yaitu meningkatnya kasus TBC-MDR, TBC-

HIV, TBC dengan DM, TBC pada anak dan masyarakat rentan lainnya.

Jumlah kasus TBC yang ditemukan dan diobati dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (tahun

2010-2019) ini tercatat mencapai jumlah 3.884.554 orang. Penemuan kasus Tuberkulosis di

Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan notifikasi atau cakupan angka penemuan

kasus TBC yang ditemukan dan diobati dari 35% pada tahun 2015 menjadi 67% pada tahun 2019.

Meskipun demikian, masih terdapat gap antara notifikasi dengan estimasi insiden yang

disebabkan karena kasus TBC yang belum ditemukan dan diobati (underdiagnosis) dan kasus

TBC yang telah diobati di fasilias kesehatan, namun belum terlaporkan kedalam sistem surveilens

TBC (underreporting). Hasil Studi Inventori TBC (Kemkes, 2018), menunjukkan bahwa kasus

tuberkulosis (TBC) yang belum ditemukan dan diobati (missing cases / under-reporting) yang

berasal dari Rumah Sakit mencapai 62% dan dari DPM/Klinik sebesar 96%.

Angka keberhasilan pengobatan/ success rate pada tahun 2018 mencapai 85% dan pada

tahun 2019 mencapai 83% dari pasien yang diobati. Angka keberhasilan pengobatan tahun 2019

jika dilihat dari jenis fasilitas kesehatan yaitu Puskesmas sebesar 90%, DPM/Klinik sebesar

90%, dan Rumah Sakit sebesar 81%, B/BPKPM sebesar 80% dan Lapas sebesar 81%.

Di Indonesia, lebih dari 70% pasien tuberkulosis mencari pengobatan di fasilitas pelayanan

kesehatan swasta. Sebagian besar orang dengan gejala mendatangi apotek/farmasi dan DPM

Page 7: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

untuk mencari pengobatan pertama tetapi proporsi pasien yang kemudian diobati di rumah sakit

baik pemerintah maupun swasta meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh fasilitas

pelayanan kesehatan termasuk layanan swasta perlu dilibatkan dalam program penanggulangan

TBC. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelaporan kasus TBC, serta meningkatkan

kualitas dan menjaga mutu pelayanan TBC di fasyankes khususnya swasta.

Sampai saat ini jumlah fasilitas kesehatan yang aktif melayani dan melaporkan kasus

tuberkulosis sebanyak 9.497 puskesmas (93%), 1.635 rumah sakit (58%), 349 klinik/lapas/DPM.

Adapun jumlah fasilitas laboratorium yang tersedia untuk mendukung diagnosis tuberkulosis

sebanyak 7.471 laboratorium mikroskopis, 946 laboratorium tes cepat molekuler (TCM), 21

laboratorium biakan TBC, 12 laboratorium uji kepekaan obat TBC, dan 7 laboratorium LPA lini

2. Di samping itu terdapat fasilitas kesehatan rujukan tuberkulosis resistan obat (per 5 Agustus

2020) sebanyak 282 Rumah Sakit/Balai Kesehatan yang tersebar di 34 provinsi. Adapun rincian

dari 282 faskes tersebut yakni sebanyak 238 faskes merupakan bagian dari 360 faskes yang

terdapat didalam list KMK Nomor HK.01.07/MENKES/350/2017 tentang rumah sakit dan balai

kesehatan pelaksana layanan tuberkulosis, sedangkan 44 faskes lainnya berasal dari luar KMK.

Indonesia dalam Rencana Strategi Nasional 2016-2020 telah menetapkan 6 strategi utama

untuk menjawab tantangan target Sustainability Development Goals (SDGs) tahun 2030

untuk mengakhiri epidemi TBC, yaitu mencapai penurunan 90% kematian akibat TBC dan

penurunan insidens TBC 80% dibandingkan tahun 2015. Sebagai landasan upaya-upaya

menurunkan beban TBC di Indonesia adalah dengan menyatakan TBC sebagai prioritas

nasional. Strategi TOSS TBC adalah merupakan kunci dari penanggulangan TBC yaitu

menemukan dan menyembuhkan pasien TBC hingga tuntas (sembuh), untuk memutuskan rantai

penularan TBC dan menurunkan insiden TBC di masyarakat. Untuk melaksanakan strategi ini

diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah dan keterlibatan penuh sektor swasta serta stake

holder lainnya untuk penanggulangan TBC. Dukungan tersebut bisa dengan menerapkan

kebijakan baru dan peraturan-peraturan yang kemungkinan besar merupakan strategi paling

berdaya guna, termasuk keharusan pelaporan kasus, standar klinis untuk pelayanan TBC yang

berkualitas, sertifikasi dan akreditasi para pemberi layanan kesehatan, serta memastikan

kepatuhan terhadap pedoman diagnosis secara nasional dan juga pembiayaannya.

Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis (jaringan parut),

sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai faktor seperti infeksi virus, zat

beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu), dan penyakit autoimun. Penyebab paling

umum sirosis hati dan kanker adalah Hepatitis yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B dan C.

Page 8: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

Virus Hepatitis masih merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Menurut

Badan kesehatan Dunia (WHO) di wilayah Asia Tenggara terdapat sekitar 39,4 juta (28,8 -76,5)

juta orang hidup dengan hepatitis B kronis dan 10,3 juta (8.0-17,8) juta orang hidup dengan

penyakit hepatitis Chronis. Setiap tahun, virus hepatitis mengakibatkan kematian sekitar 410.000

kematian dengan 78% dari total kematian berkaitan dengan kanker hati dan sirosis akibat hepatitis

B dan C. Prevalensi hepatitis B dan cara penyebaran infeksi virus hepatitis bervariasi di setiap

negara. Prevalensi tertinggi di asia tenggara di atas 8% yaitu Republik Rakyat Demokratik Korea,

Myanmar dan Timor-Leste. Indonesia, Bangladesh, India dan Thailand masuk dalam kategori

endemisitas menengah Virus Hepatitis B yaitu berkisar 2%-7%. Bhutan, Nepal dan Sri Lanka

mempunyai endemis rendah virus Hepatitis B yaitu di bawah 2%

Hasil RISKESDAS tahun 2013 memperlihatkan proporsi pengidap Hepatitis B sebesar 7,1%,

menurut jenis kelamin (laki-laki 8,0% dan perempuan 6,4%), menurut lokasi tempat tinggal

(perkotaan 6,3% dan pedesaan 7,8%) Proporsi pengidap Hepatitis C sebesar 1%, menurut jenis

kelamin (laki-laki 1,1% dan perempuan 0,9%).

Secara umum penularan virus hepatitis B bisa terjadi secara vertikal dan horizontal, dimana

penularan terbesar adalah secara vertical yaitu sebesar 95%. Penularan secara vertical adalah

penularan Virus hepatitis B dari ibu yang positif menderita Hepatitis B ke bayinya saat persalinan.

Untuk mencegah terjadinya penularan dari ibu yang menderita Hepatitis B ke bayinya maka

dilakukan deteksi dini Hepatitis B (DDHB) pada ibu hamil. Semua bayi baru lahir harus segera

dapat immunisasi hepatitis B < 24 jam, sedangkan bayi yang lahir dari ibu hasil DDHB HBsAg

nya reaktif harus segera diberikan juga HBIG < 24 jam.

Tahun 2019 kegiatan DDHB telah dilaksanakan di 458 kabupaten/kota yang tersebar di 34

provinsi di Indonesia dengan capaian sebesar 89,11% dari target 80%. Capaian deteksi dini

hepatitis B pada tahun 2019 mengalami peningkatan. Jumlah ibu hamil yang sudah melaksanakan

DDHB sebanyak 2.576.980 (48,95%) dari jumlah sasaran ibu hamil. Dari pemeriksaan DDHB

tersebut diperoleh hasil sebanyak 46.064 orang (1,81 %) bumil reaktif HBsAg. Ada sebanyak

26.390 bayi dari 30.113 bayi lahir hidup dari ibu reaktif HBsAg (87,64%) yang sudah diberi

HBIG < 24 jam. Hasil pemeriksaan bayi pada usia 9-12 bulan pada tahun 2019 sebagai hasil out

put dari pelaksanaan deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil diperoleh hasil yang Non reaktif

HBsAg sebesar 3.923 orang (99%) dari jumlah bayi 9-12 bulan yang diperiksa sebanyak 3961

orang.

Dalam hal capaian jumlah kabupaten kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B, sudah

mencapai target nasional tahun 2019 yaitu 80%, namun dalam capaian persentase jumlah ibu

Page 9: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

hamil yang melaksanakan deteksi dini hepatitis B masih kurang. Target tahun persentase ibu

hamil melaksanakan deteksi dini hepatitis B tahun 2019 minimal sebesar 70%. Hal ini perlu

ditingkatkan untuk mecapai target eliminasi penularan hepatitis b dari ibu ke anak minimal mulai

tahun 2022. Target persentase deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil 2024 sebesar 100%.

Disamping hepatitis, penyakit infeksi saluran pencernaan terutama penyakit diare masih

menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama pada kelompok usia bayi dan balita.

Kajian morbiditas diare 2014 menghasilkan insidens rate diare 270/1000 penduduk untuk

kelompok semua umur dan 843/1000 balita untuk kelompok umur balita. RISKESDAS tahun

2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal

(31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan penyebab kematian nomor empat (13,2%) pada

kelompok semua umur. Kajian Masalah Kesehatan berdasarkan siklus kehidupan di 15

Kabupaten/Kota oleh Litbangkes tahun 2011 penyakit diare menjadi penyebab kematian nomor

dua pada bayi post neonatal (17,4%) dan pada anak balita (13,3%). RISKESDAS tahun 2013

menghasilkan period prevalens diare balita sebesar 6,7% dan semua umur 3,5%.

Prevalensi diare berdasarkan diagnosis nakes dan gejala menurut provinsi pada RISKESDAS

2018 sebesar 8,0 % atau naik daritahun 2017 sebesar 1 %. Prevalensi diare pada balita

berdasarkan diagnosis nakes dan gejala menurut provinsi pada RISKESDAS 2018 sebesar 12,3 %

atau turun dari tahun 2013 sebesar 6,2 %. Selain itu, setiap 1-2 kali per tahun, balita di Indonesia

menderita diare.

Penyakit diare merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Menurut WHO

dan UNICEF, terjadi sekitar 2 milyar kasus diare di seluruh dunia setiap tahun, dan sekitar 1,9

juta anak balita meninggal karena Diare setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara

berkembang. Dari semua kematian anak balita karena Diare, 78% terjadi di wilayah Afrika dan

Asia Tenggara. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia adalah 3,5%.

Hasil Indonesia Sample Registration System tahun 2014 yang dilakukan oleh Balitbangkes

Kemenkes RI juga menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian utama nomor tiga

pada bayi dan nomor satu pada balita usia 1 – 4 tahun.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2019, proporsi penyebab kematian post neonatal

adalah pneumonia sebesar 15,9 % atau 979 kasus dan diare sebesar 12,1 % atau 746 kasus.

Page 10: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

Sedangkan proporsi penyebab kematian anak balita (12 -59 bulan), diare menempati urutan

pertama yaitu sebesar 10,7 % atau 314 kasus dan pneumonia sebesar 9,5 % atau 277 kasus.

Disamping masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian diare, Case Fatality Rate

(CFR) diare saat terjadi KLB menunjukan peningkatan dari 2,39% (2015) menjadi 3,03% (2016)

kemudian meningkat menjadi 4,7 % dimana target CFR Diare saat KLB adalah <1%. Pada tahun

2018 terjadi delapan (8) kali KLB diare di delapan (8) Provinsi. KLB Hepatitis A di tahun 2018

terjadi Sembilan (9) kali di lima (5) Provinsi dengan 564 kasus.

Diare sangat erat kaitannya dengan terjadinya kasus stunting. Kejadian diare berulang pada

bayi dan balita dapat menyebabkan stunting. Zat mikro dalam tubuh yang seharusnya untuk

pertumbuhan dan perkembang, habis untuk melawan infeksi berulang termasuk diare. Data dari

Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, tingkat stunting di Indonesia adalah 30,8%. Diare

merupakan ancaman bagi kualitas hidup anak.

Page 11: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

Kajian Analisis Determinan Faktor Penyebab Stunting di Indonesia (Beal, Tumilowicz,

Sutrisna, Izwardy, Neufeld, 2018) satu studi menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat

antara kejadian diare dalam 7 hari terakhir dengan kejadian stunting terutama didaerah pedesaan.

Penyakit infeksi saluran pencernaan yang juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat

adalah Tifoid, menyebabkan angka absensi pada anak usia sekolah maupun kelompok produktif

lainnya. RISKESDAS tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit Tifoid merupakan penyebab

kematian nomor dua (13,0%) pada kelompok umur 5-14 tahun di daerah perkotaan dan pada

golongan semua umur menduduki peringkat nomor lima (13,2%) diantara kelompok penyakit

menular.

Penderita tifoid mempunyai potensi untuk menjadi carrier atau pembawa menahun. Era

sebelum antibiotika digunakan, diperkirakan sedikitnya 5% penderita tifoid menjadi pembawa

menahun. Pada saat terjadi bencana alam, yang menyebabkan terjadinya pengungsian penduduk

harus diwaspadai terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit tifoid karena masalah

kebersihan diri, sanitasi dan kebersihan lingkungan.

Interpretasi hasil pemeriksaan penunjang tifoid tidak mudah. Permasalahannya sebagai

negara endemis kita masih memiliki angka morbiditas dan mortalitas tinggi. Penemuan kasus

belum optimal karena adanya kendala pada penunjang diagnosis, adanya variasi gejala klinis,

pemeriksaan penunjang standar baku yang sulit dilaksanakan sampai ke lini terdepan. Salah satu

faktor yang memberatkan penyakit demam tifoid apabila terjadi komplikasi seperti perforasi, yang

mungkin disebabkan resistensi antibiotika (0,8%). Berdasarkan alasan di atas, maka penyakit

tifoid harus mendapat perhatian yang serius, dan terpadu dalam pengendaliannya di masyarakat.

Hand Foot and Mouth Disease (HFMD) merupakan penyakit infeksi saluran pencernaan

lainnya yang sering ditemukan pada kelompok usia prasekolah dan meresahkan masyarakat.

KLB Penyakit Infeksi Saluran Cerna (Diare, Hepatitis A, Tifoid, HFMD) yang sering muncul

dan menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara

lain kondisi sarana sanitasi lingkungan, bencana alam, dan perilaku masyarakat yang masih belum

menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Data dari Program Hepatitis dan Penyakit Infeksi

Saluran Pencernaan Kemenkes RI, pada tahun 2019 terjadi 3421 kasus Hepatitis A di sejumlah

Kabupaten/Kota di Indonesia.

Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) harus dilaksanakan terus - menerus dan memperkuat

jejaringnya sehingga daerah rawan KLB dapat selalu mewaspadai akan terjadinya KLB. Apabila

terjadi KLB di suatu tempat dapat membatasi jumlah penderita dan kematian serta penyebaran ke

wilayah lain melalui intervensi terhadap faktor risiko. Kualitas dan kemampuan petugas pengelola

Page 12: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

HPISP perlu mendapat perhatian dalam menyelenggarakan program pengendalian HPISP

termasuk pelaksanaan SKD KLB HPISP dan Penyelidikan Epidemiologi (PE) pada situasi KLB.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak.

Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara

berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat

156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara

berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan

Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi di

masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada

Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA

merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40% - 60%) dan rumah

sakit (15% - 30%).

Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia. Penyakit ini menyumbang 16%

dari seluruh kematian anak di bawah 5 tahun, yang menyebabkan kematian pada 920.136 balita,

atau lebih dari 2.500 per hari, atau di perkirakan 2 anak Balita meninggal setiap menit pada tahun

2015. (WHO, 2016).

Di Indonesia, Data Riskesdas (2007) menyebutkan bahwa Pneumonia menduduki peringkat

kedua sebagai penyebab kematian bayi (23,8%) dan balita (15,5%). Menurut data Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) 2013 digambarkan bahwa period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan penduduk sebesar 25,0%. Lima

propinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Nusa Tenggara Barat, dan

Jawa Timur. Diketahui juga period prevalens dan prevalensi dari pneumonia tahun 2013 adalah

1,8% dan 4,5%. Lima propinsi yang mempunyai period prevalen dan prevalensi pneumonia

tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi

Barat, dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan laporan dari fasyankes primer angka insiden kasus

pneumonia pada tahun 2017 adalah 2.05%, angka insiden ini cenderung menurun 3 tahun terakhir.

Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kejadian pneumonia, dan tidak ada intervensi tunggal

yang secara efektif dapat mencegah, mengobati dan mengendalikan. Ada 3 intervensi sederhana

namun efektif jika dilaksanakan secara tepat, yang dapat menurunkan beban penyakit ini yaitu:

1. Lindungi (Protect) melalui - Pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan dan dilanjutkan dengan - Pemberian makanan tambahan padat bergizi sampai umur 2 tahun- Perbaikan gizi pada bayi dan balita sehingga tidak mengalami malnutrisi

2. Cegah (prevent) melalui

Page 13: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

- Vaksinasi batuk rejan/pertusis, campak dan Hib dan pneumokokus- Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, khususnya cuci tangan pakai sabun (CTPS) dan

menerapkan etika batuk yang benar.- Menurunkan polusi udara khususnya dalam ruangan

3. Obati (Treat)- Deteksi dini- Pengobatan yang adekuat

Selain pneumonia Balita, pengendalian ISPA juga dihadapkan dengan penyakit saluran

pernapasan lain yang dapat mengakibatkan kedaruratan masyarakat dan menjadi perhatian dunia

(Public Health Emergency International Concern-PHEIC) seperti Influenza.

Influenza adalah penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh virus

Influenza, dimana tipe (strain) virusnya cepat bermutasi, bila muncul tipe baru dan manusia belum

mempunyai kekebalan, akan mengakibatkan dampak yang besar sampai kematian. Sehingga

dibutuhkan kesiapsiagaan dan respon terhadap terjadinya pandemi Influenza.

Kusta dan frambusia masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia karena menimbulkan

masalah yang cukup kompleks. Penyakit tersebut cenderung terfokus pada kantong-kantong

wilayah tertentu, terutama di Indonesia bagian timur. Kedua penyakit ini paling sering

bermanifestasi pada jaringan kulit. Apabila tidak mendapat pengobatan yang tepat, penyakit

tersebut dapat menimbulkan kecacatan. Kecacatan yang terjadi dapat menimbulkan masalah

bukan hanya dari segi medis tetapi meluas hingga masalah sosial, ekonomi, dan budaya, terutama

kusta yang sampai saat ini masih merupakan stigma di masyarakat, termasuk sebagian petugas

kesehatan.

Kusta dan frambusia seringkali disebut sebagai Penyakit Tropis Terabaikan (NTD), namun di

skala nasional program pencegahan dan pengendalian P2 Kusta dan frambusia di Indonesia

mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. Penetapan Program P2 kusta sebagai Program

Prioritas Nasional melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 79 tahun 2017 tentang

Rencana Kerja Pemerintah 2018 dan sebagai salah satu indikator yang ingin dicapai dalam

Rencana Jangka Menengah 2015-2019 dan 2020-2024, merupakan bentuk komitmen pemerintah

terhadap penanggulangan penyakit tersebut. Sesuai dengan Peta Jalan Program Pengendalian

Kusta: Menuju Eliminasi Tingkat Provinsi, target Eliminasi Kusta untuk tingkat provinsi pada

tahun 2019 dan tingkat kabupaten/kota pada tahun 2024, dengan indikator pencapaian target

Eliminasi Kusta berupa angka prevalensi <1/10.000 (kurang dari satu per sepuluh ribu) penduduk.

Page 14: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

Situasi epidemiologi kusta di Indonesia cenderung statis dengan angka penemuan kasus baru

berkisar 16.000-20.000 kasus baru per tahunnya. Hal tersebut terus berlangsung sejak tercapainya

status eliminasi kusta di tingkat nasional pada tahun 2000. Proporsi kasus kusta anak juga cukup

tinggi yaitu di atas 10%, yang mengindikasikan masih berlangsungnya penularan kasus kusta di

masyarakat. Tahun 2019, tercatat sebanyak 8 provinsi dan 146 kabupaten/kota di Indonesia

memiliki angka prevalensi lebih dari 1 kasus per 10.000 penduduk.

Sementara itu, setiap tahunnya masih terus ditemukan kasus frambusia pada lokus-lokus

daerah tertentu yang sebagian besar tersebar di wilayah timur Indonesia. Meskipun jumlah kasus

baru hanya berkisar 1000-3000 kasus, namun adanya kasus frambusia di suatu wilayah dapat

mengindikasikan adanya wilayah di Indonesia yang memiliki keterbatasan akses dalam bidang

sarana prasarana pembangunan, khususnya pelayanan kesehatan, serta penyediaan air bersih.

Sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang buruk juga turut mempermudah penularan kasus

frambusia di masyarakat. Data tahun 2019 menunjukan bahwa masih terdapat laporan kasus

frambusia berjumlah 673 orang yang tersebar di 35 Kabupaten/ Kota pada 4 Provinsi.

Upaya promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif dilakukan dalam rangka

penanggulangan kedua penyakit tersebut. Upaya promotif yang dilakukan mencakup penyebaran

media KIE dan diseminasi informasi tentang kusta dan frambusia serta Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat; upaya preventif meliputi penemuan kasus secara aktif dan pemeriksaan kontak, serta

implementasi kegiatan inovasi pemberian obat pencegahan (kemoprofilaksis) khusus kusta dan

Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) khusus frambusia; upaya kuratif berupa pengobatan

secara tepat dan segera; sementara upaya rehabilitatif berupa pemberian alat bantu protesa,

rekonstruksi medis, konseling, hingga pemberian motivasi untuk melakukan perawatan diri.

Upaya di atas diikuti dengan peningkatan kapasitas petugas, pelayanan kesehatan yang

terintegrasi, hingga upaya memperkuat kesinambungan komitmen Pemerintah daerah dan pusat.

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung mempunyai tugas

melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan

kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan

di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsung sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung menyelenggarakan fungsi:

a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian tuberkulosis, infeksi

saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi menular seksual, hepatitis dan

penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis menular langsung;

Page 15: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

b. penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian tuberkulosis,

infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi menular seksual, hepatitis dan

penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis menular langsung;

c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pencegahan dan

pengendalian tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi

menular seksual, hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis

menular langsung;

d. penyiapan pemberian bimbingan teknisdan supervisi di bidang pencegahan dan pengendalian

tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi menular

seksual, hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis menular

langsung;

e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian tuberkulosis,

infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi menular seksual, hepatitis dan

penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis menular langsung; dan pelaksanaan

urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.

C. Potensi dan Permasalahan

Untuk tahun 2019 Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dapat

melaksanakan tugas utama/TUPOKSI yang menjadi tanggung jawab unit organisasi. Uraian

kinerja dari masing-masing indikator adalah sebagai berikut:

1. Persentase Cakupan Penemuan Kasus Baru Kusta tanpa CacatKeterlambatan dalam penemuan kasus dan penanganan pasien kusta dapat mengakibatkan

kecacatan tubuh permanen pada pasien kusta. Kecacatan tubuh akandapat mengarah kepada

stigmatisasi dan diskriminasi orang yang mengalami kusta dalam aspek sosial, ekonomi dan

budaya.

Salah satu strategi nasional dalam program pengendalian penyakit kusta adalah menemukan

kasus kusta baru sedini mungkin tanpa cacat, dan mengobati sampai sembuh sesuai obat yang

terstandar secara global dengan prinsip Multidrugtherapy.Untuk dapat memonitoring dan

mengevaluasi keberhasilan program tersebut, digunakan indikator persentase cakupan

penemuan kasus baru tanpa cacat yang dapat merefleksikan perbaikan dalam kegiatan

penemuan kasus yang dilakukan secara lebih dini, sehingga dapat menekan angka

keterlambatan penemuan kasus dan angka cacat serendah mungkin.

Page 16: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

Target dari indikator proporsi kasus baru kusta tanpa cacat pada tahun 2019 adalah sebesar 95%.

Hingga tribulan IV (14 Februari 2020) tahun 2019, diketahui capaian proporsi kasus baru kusta

tanpa cacat adalah sebesar 86,77% (pencapaian target 91,3%).

Meskipun capaian indikator tersebut berada di bawah target yang ditetapkan, namun trend yang

ditunjukkan tiap tahunnya mengalami kecenderungan meningkat, dari 78,1% pada tahun 2015,

menjadi 86,77% pada tahun 2019.

Trend indikator “Proporsi Kasus Kusta Tanpa Cacat” mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun. Hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan penemuan kasus kusta ke arah dini.

Komitmen pemerintah terhadap program P2 Kusta dengan penetapan program P2 kusta

sebagai salah satu program prioritas nasional (Pro PN) pada tahun 2017, dijabarkan dalam

pengalokasian sumber daya terutama dana dekonsentrasi ke daerah endemis tinggi kusta.

Bentuk kegiatan yang dilakukan di antaranya advokasi penguatan komitmen pemerintah

daerah, sosialisasi ke masyarakat umum, pelatihan petugas, kampanye penurunan stigma

hingga penemuan kasus kusta secara aktif dan kontinu dalam beberapa tahun terakhir.

Kegiatan-kegiatan tersebut berdampak positif pada peningkatan kesadaran masyarakat

terhadap kusta, kemampuan petugas kesehatan mengenali tanda dini kusta dan kualitas layanan

tatalaksana kusta, yang secara tidak langsung berpengaruh pada penemuan kasus secara dini.

Meskipun tren proporsi kasus baru kusta tanpa cacat mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun, namun belum dapat mencapai target yang ditetapkan.Tantangan utama berasal dari

daerah endemis rendah dan daerah yang sudah mencapai eliminasi.Beberapa dari daerah

tersebut tidak lagi menganggap kusta sebagai program yang perlu mendapatkan perhatian

lebih.Akibatnya pelaksanaan surveilans kasus menjadi kurang optimal.Banyak kasus cacat

yang ditemukan akibat adanya keterlambatan penemuan kasus. Selain itu, faktor lain yang

menyebabkan keterlambatan penemuan kasus adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap

Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) yang menghambat pasien mendapat

pengobatan sedini mungkin, sehingga kecacatan tidak dapat dihindari.

Beberapa upaya pemecahan masalah program P2 kusta adalah sebagai berikut:

a) Meningkatkan kegiatan advokasi dan sosialisasi program terhadappemangku kepentingan

terkait.

b) Sosialisasi Permenkes No. 11 Tahun 2019 tetang Penanggulangan Kusta dan Kepmenkes

RI No. HK.01.07/MENKES/308/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

(PNPK) Tatalaksana Kusta

Page 17: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

c) Memperkuat jejaring kemitraan dengan lintas program, lintas sektor, organisasi profesi agar

memperoleh dukungan dalam pelaksanaan program sesuai dengan tupoksi masing-masing

d) Mulai melibatkan OYPMK dalam program P2 Kusta mulai dari perencanaan, pelaksanaan

hingga evaluasi program

e) Penguatan surveilans kusta baik di daerah endemis tinggi maupun rendah.

f) Memperluas cakupan kegiatan pelaksanaan intensifikasi penemuan kasus kusta secara aktif

serta memperluas sasaran pengobatan pencegahan kusta (kemoprofilaksis), terutama di

daerah endemis lokus kusta.

g) Menganggarkan dan melaksanakan on the job training secara rutin kepada pengelola

program.

h) Meningkatkan kegiatan promosi serta penyebaran media KIE dalam rangka menghilangkan

stigma kusta di masyarakat.

i) Mempererat integrasi program dengan penyakit lain, misalnya kusta-frambusia, kusta-

filariasis, kusta-ispa, dan lain-lain.

j) Melaksanakan pengembangan kegiatan inovasi seperti pengembangan pelatihan e-learning,

pilot pengembangan kemoprofilaksis plus pemeriksaan serologi, pengembangan skin-apps,

dan lain-lain.

2. Persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar

Persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar adalah indikator yang sangat bermanfaat

untuk memberikan gambaran layanan pengobatan pasien TB serta dalam rangka memutus mata

rantai penularan dan mencegah terjadinya kebal obat. Angka ini menggambarkan jumlah kasus

TB yang mendapat layanan pengobatan sesuai standar yang dilaporkan ke program.

Persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar tahun 2015 sebesar 97,3%, pada tahun

2016 sebesar 97,2%, pada tahun 2017 sebesar 95,1%, pada tahun 2018 sebesar 97% dan pada

tahun 2019 sebesar 92%. Indikator ini adalah indikator positif yang artinya jika semakin besar

capaian semakin baik kinerjanya dan sebaliknya jika semakin kecil capaian maka semakin

buruk kinerjanya. Dengan demikian pada tahun 2019, indikator persentase kasus TB yang

ditatalaksana sesuai standar sudah mencapai target dengan capaian sebesar 115%.Jika

dibandingkan capaian persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar dari tahun 2015 –

2018 terlihat seperti menurun. Namun demikian capaian pada tahun 2019 hasilnya lebih

rendah dari tahun-tahun sebelumnya karena pembaginya/ denominatornya lebih besar, yaitu

sudah mengikutkan hasil kegiatan penyisiran kasus TB dari rumah sakit karena belum

terintegrasinya Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) dan Sistem Informasi

Page 18: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

Manajemen Rumah Sakit (SIM RS), dalam artian kita sudah mulai ekspansi agar notifikasi

kasus TB juga dapat dilaporkan di RS pemerintah dan swasta (mandatory notifikasi kasus).

Dengan demikian walaupun persentase lebih rendah dari sebelumnya, tapi tingkat

kehandalannya sudah lebih baik karena notifikasi kasus sudah lebih baik lagi.

Untuk mencapai target, Program TB melaksanakan kegiatan yang berdasarkan 6 strategi yaitu:

1) Penguatan Kepemimpinan Program TB di Kabupaten/Kota

- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial

- Regulasi dan peningkatan pembiayaan

- Koordinasi dan sinergi program

2) Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TB” yang Bermutu

- Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-private mix)

- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat

- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL, dan lain

sebagainya

- Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat / saran diagnostik yang baru

- Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding

- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan Semesta

(health universal coverage).

3) Pengendalian Faktor Risiko

- Promosi lingkungan dan hidup sehat.

- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB.

- Pengobatan pencegahan dan imunisasiTB.

- Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan dan

keberhasilan pengobatan yang tinggi.

4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TB

- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat

- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah

5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TB

- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.

- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan

pengobatan TB.

- Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan berbasis

keluarga dan masyarakat.

Page 19: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

6) Penguatan Sistem kesehatan

- Sumber Daya Manusia yang memadai dan kompeten.

- Mengelola logistik secara efektif.

- Meningkatkan pembiayaan, advokasi dan regulasi.

- Memperkuat Sistem Informasi Startegis, surveilans proaktif termasuk kewajiban

melaporkan(mandatory notification).

- Jaringan dalam penelitian dan pengembangan inovasi program.

3. Persentase Kasus HIV yang diobati sebesar 50%Dalam upaya mengendalikan prevalensi tetap dibawah 5% sehingga penularan pada populasi

umum tetap rendah maka Kementerian Kesehatan mengembangkan kebijakan ARV sebagai

pengobatan sekaligus pencegahan. Peningkatan jumlah ODHA (orang dengan HIV AIDS) yang

dapat mengakses dan tetap dalam terapi ARV diharapkan dapat menurunkan penularan dan

meningkatkan lama dan produktivitas hidup ODHA.

Capaian indikator presentase kasus HIV yang diobati tahun 2019 sebesar 55,61% dari target

55%. Data didapatkan melalui sistem informasi HIV AIDS dan IMS yang diinput oleh layanan

PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) HIV AIDS di seluruh Indonesia. Ada sebanyak

127.613 ODHA yang mendapatkan terapi ARV dibandingkan tahun 2018 sebanyak 108.479

ODHA. Pada tahun ini, penerapan kebijakan test and treat tanpa memandang nilai CD4, telah

meningkatkan hasil capaian pengobatan. Kebijakan obat ARV sebagai pengobatan dan

pencegahan diharapkan dapat menurunkan tingkat penularan HIV sehingga peningkatan jumlah

ODHA yang dapat mengakses dan tetap dalam terapi ARV setiap tahunnya dapat mendukung

pengendalian prevalensi HIV tetap di bawah 5% pada populasi umum.

Peningkatan jumlah ODHA yang mengetahui status HIV nya sejalan dengan peningkatan

jumlah inisiasi ARV pada ODHA. Penerapan SUFA (strategic use of ARV) dengan tujuan

memperluas inisiasi dini ART, untuk segera mendapatkan pengobatan ARV berapapun jumlah

CD4 nyapada kelompok populasi kunci (WPS, Penasun, Waria, LSL) dan kelompok khusus (ibu

hamil, pasien ko-infeksi TB-HIV, pasien ko-infeksi Hepatitis B-HIV, dan ODHA yang pasangan

tetapnya HIV negatif), semakin diperluas dengan implementasi kebijakan baru yakni member

pengobatan ARV tanpa memandang jumlah CD4, sehingga jumlah yang mendapatkan terapi

ARV juga meningkat. Selain itu upaya dalam meningkatan jumlah petugas kesehatan dan

layanan terlatih PDP (Pengobatan Dukungan dan Perawatan) HIV sehingga telah ada 953 UPK

Rujukan ARV dan 275 UPK Satelit ARV yang tersebar di 322 Kabupaten/Kota di seluruh

Provinsi Indonesia sampai dengan tahun 2019.

Page 20: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

Beberapa upaya pemecahan masalah P2 HIV AIDS dan PIMS:

1. meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui

kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan,

fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia;

2. meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;

3. meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau, bermutu,

dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya preventif dan

promotif;

4. meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi, dengan

berfokus pada daerah yang memiliki risiko tertinggi dan beban tertinggi

5. meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS;

6. meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata dan

bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;

7. meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV

dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat

yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS; dan

8. revitalisasi pengendalian IMS di Puskesmas dan RS,

9. penguatan surveilans IMS dan HIV di kabupaten/kota prioritas,

10. peningkatan keterlibatan komunitas/LSM peduli AIDS, populasi kunci dan kader

masyarakat dalam upaya penjangkauan,

11. penguatan distribusi kondom dan layanan alat suntik steril (LASS) di Fasyankes,

12. perluasan jangkauan pengobatan ARV sampai ke tingkat Puskesmas,

13. perluasan kampanye tentang HIV dan AIDS dan bahaya Napza di lingkungan pendidikan

formal dan non-formal.

14. Meningkatkan peranan KDS dan keluarga sebagai petugas pendamping ODHA, terutama

dalam hal pendampingan terapi ARV.

15. Mendukung peningkatan sumber daya di kabupaten/kota untuk meningkatkan cakupan

program terutama tes dan pengobatan.

16. Meningkatkan sistem informasi data dan pemanfaatannya termasuk aplikasi sistem

informasi logistik.

Page 21: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

4. Persentase kabupaten/Kota yang 50% Puskesmasnya Melakukan Tatalaksana

Pneumonia sesuai standar

Pengendalian ISPA dititik beratkan pada pengendalian penyakit pneumonia, karena penyakit

pneumonia yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap angka kesakitan dan kematian

Balita.Kegiatannya meliputi deteksi dini dan tatalaksana kasus pneumonia pada balita.

Balita yang datang atau berobat dengan keluhan batuk atau kesukaran bernapas harus diberikan

tatalaksana pneumonia, dengan menghitung napas selama 1 menit penuh dan melihat ada

tidaknya Tarikan Dinding Dada bagian bawah Kedalam (TDDK), baru kemudian di klasifikasi

menjadi pneumonia, pneumonia berat dan batuk bukan pneumonia, serta diberikan tindakan

sesuai klasifikasi yang telah ditentukan.

Prosentase Kab/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan Tatalaksana Standar Pneumonia

adalah angka prosentase kabupaten/kota yang 50% dari seluruh puskesmas yang ada

diwilayahnya melaksanakan tatalaksana standar pneumonia minimal 60%.

Puskesmas yang melaksanakan tatalaksana standar pneumonia adalah angka persentase kasus

pneumonia balita yang diberikan tatalaksana standar yaitu dihitung napas dalam waktu satu

menit penuh atau dilihat ada tidaknya Tarikan Dinding Dada bagian bawah Kedalam (TDDK)

minimal 60% dari seluruh kunjungan balita dengan keluhan batuk atau kesukaran bernapas.

Capaian indikator Persentase Kabupaten/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan

tatalaksana standar Pneumonia pada tahun 2019 sebesar 57,20% dari target, capaian ini

hamper tercapai dari target yang di harapkan sebesar 60%. Capaian ini lebih besar dari capaian

tahun lalu, naik sebesar 14,2%. Bila di bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya terlihat

tren kenaikan angka cakupan indikator tersebut walaupun peningkatan capaiannya tidak terlalu

besar.

Beberapa hal yang berpengaruh terhadap tercapainya indikator program tersebut antara lain :

- Tatalaksana standar belum optimal dilaksanakan di seluruh puskesmas, hal ini selain

karena tenaga kesehatan belum tersosialisasi/ terlatih, hal ini diperberat dengan angka

tingkat mutasi yang tinggi di puskesmas, sehingga nakes yang sudah terlatih atau

mendapat sosialisasi bisa saja di pindah menajadi pengelola program yang lain, mau

tidak mau kegiatan sosialisasi ini perlu dilakukan secara terus menerus, selain itu

peralatan guna deteksi dini kasus pneumonia sudah banyak yang tidak tersedia di

puskesmas. Dari beberapa kunjungan ke puskesmas alat Ari Sound Timer yang

digunakan untuk membantu menghitung napas cepat tidak tersedia di sebagianbesar

puskesmas, bila ada kondisinya sudah rusak. Alat tersebut terakhir di sediakan

Page 22: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

prototipnya oleh kementerian Kesehatan terakhir tahun 2016, sedang umur penggunaan

alat tersebut di perkirakan hanya 2 tahun sehingga kemungkinan besar alat yang ada

sudah dalam kondisi tidak bagus/ rusak. Puls oksimetri sebagai salah satu alat untuk

deteksi dini pneumonia berat juga banyak puskesmas yang belum memilik.

- Kebanyakan puskesmas tidak memiliki hasil pencatatan terkait variabel dalam indikator

yang baru, sehingga banyak puskesmas tidak melakukan pengisian data khususnya pada

variabel yang digunakan dalam perhitungan indikator tersebut.

Upaya yang akan dilakukan guna mengatasi permasalah yang dihadapi antara lain

- Lebih intens dalam melaksanakan sosialisasi ditingkat provinsi, kabupaten/kota dan

puskesmas dalam aplikasi sistem pelaporan terkait dengan adanya penambahan variabel

pengukuran indikator.

- Mengupayakan modifikasi register yang di terapkan di puskesmas agar mendukung

dalam pembuatan laporan P2 ISPA, melalui kegiatan bimbingan teknis ke beberapa

puskesmas terpilih.

- Melakukan peningkatan kualitas tatalaksana standar di tingkat puskesmas, pustu dan

polindes dengan kegiatan layanan sosialisasi standar tatalaksana yang di adakan di

beberapa kabupaten/kota terpilih sesuai dengan prioritas program dengan melibatkan

petugas puskesmas.

- Mengadakan alat untuk deteksi dini, seperti ARI Sound Timer dan Pulse Oxymetri

sebagai prototipe dan pelengkap kekurangan yang ada puskesmas.

5. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B pada kelompok

berisiko.

Pengendalian penyakit Hepatitis B akan sangat efektif bila dilakukan pemutusan dan

pencegahan penularan serta pengobatan pada kelompok berisiko. Kelompok berisiko yang

dimaksud terutama adalah ibu hamil, kemudian petugas kesehatan, mahasiswa/pelajar

kesehatan, perempuan penjaja seks, penasun, waria, LSL/Gay, warga binaan penjara, pasien

klinik IMS, orang dengan terinveksi HIV, penderita cuci darah, keluarga yang tinggal serumah

dengan penderita hepatitis B, dan orang dengan riwayat keluarga terinfeksi hepatitis B. Saat ini

deteksi dini Hepatitis B diprioritaskan kepada ibu hamil karena resiko tertular hepatitis B paling

besar adalah dari Ibu ke anak sebesar 90%.

Pada Tahun 2018 Jumlah Kabupaten Kota yang melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B

sebanyak 358 kabupaten/kota (69,65%) dan pada tahun 2019 terdapat penambahan 86

kabupaten/kota yang melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B (DDHB) sehingga total kabupaten

Page 23: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

yang melaksanakan DDHB sampai dengan tahun 2019 sebanyak 444 kabupaten/kota atau

sebesar 86,38% yang tersebar di 34 Provinsi.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja terkait dengan tenaga, pengetahuan dan

ketrampilan, dana, dan data.

Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kota termasuk puskesmas

mengalami masalah ketenagaan. Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi pendidikan yang belum

sesuai, perpindahan yang begitu cepat,beban kerja yang tinggi merupakan masalah yang hampir

ditemukan disemua tingkatan, bahkan ada provinsi yaitu provinsi Maluku yang tidak memiliki

petugas Hepatitis sehingga pusat berusaha melakukan koordinasi langsung dengan dinas

Kesehatan kabupaten.

Pengetahuan dan ketrampilan. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit Hepatitis dan bahaya

Hepatitis serta ketrampilan yang dimiliki oleh petugas dalam penegakan diagnosa.

Dana. Permasalahan dana terutama berkaitan dengan efisiensi dana di saat kegiatan sedang

berjalan sehingga berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan program.

Data. Ketepatan dan kelengkapan laporan dari provinsi masih rendah. Data yang ada belum

dilakukan analisis, baik tingkat propinsi maupun kabupaten (baru bersifat pengumpulan data).

Beberapa upaya pemecahan masalah yang ada di P2 Hepatitis dan Infeksi Saluran Pencernaan:

a. Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu hamil, bekerjasama dengan subdit HIV dan

maternal Neonatal melalui Program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA)

HIV, Sifilis dan Hepatitis B (Triple Eliminasi)

b. Deteksi Dini dan tatalaksana Hepatitis C dengan obat oral DAA (Direct Acting

Antivirus) pada populasi berisiko.

c. Kolaborasi Subdit Hepatitis dan PISP untuk menjangkau populasi Berisiko Hepatitis

B dan C dan melakukan Survey bersama dengan subdit HIV-AIDS dan PIMS untuk

mengetahui gambaran masalah Hepatitis B dan C.

d. Melakukan persiapan pelaksanan sentinel surveilans untuk mengetahui besaran

masalah prevalensi Hepatitis B dan C pada kelompok populasi berisiko

e. Melakukan persiapan studi pelaksanaan mikroeliminasi Hepatitis B pada Ibu Hamil

sebagai akselerasi eliminasi penularan Hepatitis B dari Ibu ke Anak

f. Peningkatan Kapasitas Pengelola program dalam Deteksi dini termasuk dalam

Pencatatan dan Pelaporan.

g. Peningkatan kapasitas Dokter Spesialis Dalam dalam tatalaksana Hepatitis

Page 24: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

h. Penggerakan dan peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang

Hepatitis Virus melalui peringatan hari Hepatitis Sedunia (HHS)

i. Peningkatan kemitraan dengan LSM, akademisi, mitra dalam dan luar negeri, ahli,

UN, lintas program dalam penanggulangan Hepatitis

j. Mobilisasi pendanaan, dan bantuan teknis

Page 25: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

BAB II

VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI

A. Visi dan Misi

Dalam rangka mencapai terwujudnya Visi Presiden yakni: “Terwujudnya Indonesia

Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian, Berlandaskan Gotong Royong”, maka

telah ditetapkan 9 (sembilan) Misi Presiden 2020-2024, yakni: Peningkatan Kualitas Manusia

Indonesia, Penguatan Struktur Ekonomi yang Produktif, Mandiri dan Berdaya Saing,

Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan, Mencapai Lingkungan Hidup yang

Berkelanjutan, Kemajuan Budaya yang Mencerminkan Kepribadian Bangsa, Penegakan

Sistem Hukum yang Bebas Korupsi, Bermartabat, dan Terpercaya, Perlindungan bagi Segenap

Bangsa dan Memberikan Rasa Aman pada Seluruh Warga, Pengelolaan Pemerintahan yang

Bersih, Efektif, dan Terpercaya dan Sinergi Pemerintah Daerah dalam Kerangka Negara

Kesatuan.

Guna mendukung peningkatan kualitas manusia Indonesia, termasuk penguatan

struktur ekonomi yang produktif, mandiri dan berdaya saing, Kementerian Kesehatan telah

menjabarkan Misi Presiden Tahun 2020-2024, melalui Menurunkan angka kematian ibu dan

bayi, Menurunkan angka stunting pada balita, Memperbaiki pengelolaan Jaminan Kesehatan

Nasional dan Meningkatkan kemandirian dan penggunaan produk farmasi dan alat kesehatan

dalam negeri.

B. Tujuan

Guna mencapai tujuan Kementerian Kesehatan khususnya Ditjen pencegahan dan

Pengendalian penyakit dalam Peningkatan pencegahan dan pengendalian penyakit dan

pengelolaan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung memiliki tujuan

strategis Peningkatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung.

C. SASARAN STRATEGIS

Sasaran Strategis Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dalam

Rencana Aksi Kegiatan P2PML merupakan sasaran strategis dalam Renstra Kemenkes yang

Page 26: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi Direktorat P2PML. Sasaran tersebut adalah

menurunnya angka kesakitan dan kecacatan akibat penyakit menular langsung pada akhir tahun

2024 yang ditandai dengan:

1. Cakupan penemuan dan pengobatan TBC (TBC treatment coverage) sebesar 90%.

2. Proporsi kasus kusta baru tanpa cacat sebesar >90%.

3. Persentase ODHA baru ditemukan yang memulai pengobatan ARV sebesar 95%.

4. Persentase kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana standar

pneumonia sebesar 60%.

5. Persentase kabupaten/ kota yang 80% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana diare sesuai

standar sebesar 80%.

6. Persentase kabupaten/ kota yang melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan C pada populasi

berisiko sebesar 100%.

7. Jumlah kabupaten/ kota dengan eradikasi frambusia sebesar 514 kabupaten/ kota.

Page 27: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

BAB III

ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI DAN KERANGAKA REGULASI

Arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan nasional 2020-2024 merupakan bagian

dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang Kesehatan (RPJPK) 2005-2025, yang

bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar

peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui

terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup

dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan

kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-

tingginya di seluruh wilayah Republik lndonesia.

Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2025 adalah meningkatnya

derajat kesehatan masyarakat yang ditunjukkan oleh meningkatnya Umur Harapan Hidup,

menurunnya Angka Kematian Bayi, menurunnya Angka Kematian Ibu, menurunnya prevalensi

gizi kurang pada balita.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan kesehatan, maka strategi pembangunan

kesehatan 2005- 2025 adalah: 1) pembangunan nasional berwawasan kesehatan; 2) pemberdayaan

masyarakat dan daerah; 3) pengembangan upaya dan pembiayaan kesehatan; 4) pengembangan

dan dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan; dan 5) penanggulangan keadaan darurat

kesehatan.

Arah Kebijakan program P2PML untuk mendukung arah kebijakan Kementerian Kesehatan

adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan surveilans epidemiologi faktor risiko dan penyakit menular langsung.

2. Peningkatan perlindungan kelompok berisiko.

3. Penatalaksanaan epidemiologi kasus dan pemutusan rantai penularan.

4. Pencegahan dan penanggulangan KLB / wabah termasuk yang berdimensi internasional.

5. Pemberdayaan dan peningkatan peran swasta dan masyarakat.

6. Peningkatan keterpaduan program promotif & preventif dlm pengendalian penyakit menular

langsung.

Perlu diskusi dengan pimpinan

Page 28: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

STRATEGI

Seperti yang telah ditetapkan di Bab sebelumnya, bahwa Direktorat Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit Menular Langsung telah menatapkan tujuan strategis yang mendukung

strategi program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2020 - 2024 serta mengacu

pada strategi Kementerian Kesehatan yang kemudian dijabarkan melalui strategi aksi kegiatan

sebagai berikut:

1. Melaksanakan review dan memperkuat aspek legal

2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi

3. Melaksanakan intensifikasi, akselerasidan inovasi program

4. Meningkatkan kompetensi sumberdaya manusia di bidang Pencegahan dan Pengendalian

Penyakit

5. Memperkuat Jejaring kerja dan kemitraan

6. Memperkuat manajemen logistik

7. Meningkatkan surveilans dan aplikasi teknologi pendukung (SKDR)

8. Melaksanakan monitoring, evaluasi dan pendampingan teknis

9. Mengembangkan dan memperkuat sistem pembiayaan program

10. Meningkatkan pengembangan teknologi preventif

Perlu diskusi dengan pimpinan

D. Kerangka regulasi

Dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi sebagai pelaksana pelayanan. Sebagai

pelaksana pemerintah berkewajiban menyediakan pelayanan yang bermutu. Dalam

menjalankan peran pemerintah ini tentunya membutuhkan dukungan regulasi yang menjadi

landasan dan dasar hukum sehingga tidak salah arah dan mempunyai aspek perlindungan yang

kuat.

Disamping peraturan perundang-undangan yang disusun oleh pusat juga diperlukan

peraturan dalam bentuk Standar Operating Procedur (SOP) yang dibuat oleh satuan Kerja.

Dukungan regulasi yang baik akan menjamin standar dan mutu dalam pelayanan.

Saat ini sudah tersedia regulasi, antara lain:

1. Permenkes No 11 Tahun 2019 Tentang Penanggulangan Kusta

Page 29: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

2. Keputusan Menteri Kesehatan No HK.01.07/ Menkes/ 308/ 2019 Tentang

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Kusta

3. Peraturan Menteri Kesehatan No 8 Tahun 2017 Tentang Eradikasi Frambusia

4. Permenkes no 53 tahun 2015 tentang Pengendalian hepatitis Virus

5. Permenkes no 52 tahun 2017 tentang eliminasi penularan HIV, Sifilis dan hepatitis

B dari ibu ke bayi

6. KMK No. 364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam

Tifoid

7. Peraturan Menteri Kesehatan No 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC

8. Peraturan Menteri Kesehatan no HK.01.07. /MENKES/735/2019 tentang Pedoman

Nasional Pelayanan kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis

Dalam rangka mendukung tercapainya sasaran strategis Program Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit Menular Langsung dan sasaran strategis Direktorat Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit Menular Langsung, beberapa kebutuhan regulasi yang dibutuhkan

antara lain:

1. Regulasi dalam Pelaksanaan P2 Kusta dan Frambusia :

a. Petunjuk Teknis Kemoprofilaksis Kusta

b. Petunjuk Teknis Surveilans Kusta

c. Petunjuk Teknis Surveilans Resistensi Obat Kusta

d. Petunjuk Teknis Pemberian Sertifikat Bebas Frambusia Bagi Kabupaten/ Kota

di Indonesia

e. Petunjuk Teknis Sistem Informasi Kusta dan Frambusia

2. Regulasi dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan TBC:

a. Peraturan Presiden Percepatan Eliminasi TBC Tahun 2030

b. Update Permenkes 67 Tahun 2019 tentang penanggulangan TBC terkait alur

diagnosis, pengobatan dan pengobtana pencegahan, mandatory notifikasi TBC

c. Petunjuk teknis pengobatan pencegahan tuberkulosis dan TB laten

d. Update Petunjuk teknis pelayanan TBC pada era Jamina Pelayanan Kesehatan

(JKN)

e. Update petunjuk teknis investigasi kontak TBC

Page 30: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

f. Update petujuk teknis kolaborasi layanan TBC HIV

g. Update petunjuk teknis pelayanan TB Resistan Obat

h. Update petunjuk teknis Distric Base Public/ Private Mix (DPPM) termasuk

konsep branding layanan

i. Update petunjuk teknis sistem informasi tuberkulosis (SITB) sekaligus

integrasi dengan sistem informasi lainnya

3. Revisi Permenkes no 53 tahun 2015 tentang Pengendalian hepatitis Virus, untuk

memasukkan hasil kajian/ penelitian terbaru dalam pengendalian dan tatalaksana

hepatitis virus.

4. Regulasi dalam P2 Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan

5. Regulasi dalam Program Pencegahan dan Pengendalian ISPA

a. Petunjuk Teknis Manajemen Resiko Pandemi Influenza

b. Petunjuk Teknis Surveilans ILI dan SARI

c. Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA di Wilayah

Terdampak Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan

Page 31: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

BAB IV

TARGET KINERJA DAN KEGIATAN

Memperhatikan Rencana Aksi Program Direktorat Pencegahan dan Pengendalan

Penyakit tahun 2020-2024, Tujuan, Arah Kebijakan, Strategi dan Sasaran Strategis

sebagaimana diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka target kinerja dan kerangka

pendanaan program dan kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

Langsung 2020-2024.

A. Target Kinerja

Target kinerja merupakan penilaian dari pencapaian program yang diukur secara

berkala dan dievaluasi pada akhir tahun 2024. Sasaran kinerja dihitung secara kumulatif

selama lima tahun dan berakhir pada tahun 2024.

Tabel..

Tujuan Strategis, Sasaran Strategis, dan Indikator Sasaran Strategis RAK Direktorat

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung 2020-2024

No Tujuan Strategis Sasaran Strategis Indikator

Peningkatan

Pencegahan dan

Pengendalian

Penyakit

Menurunnya angka

kesakitan dan kecacatan

akibat penyakit menular

langsung

1. Cakupan penemuan dan

pengobatan TBC (TBC

treatment coverage)

sebesar 90%

2. Proporsi kasus kusta baru

tanpa cacat sebesar >90%

3. Persentase ODHA baru

ditemukan yang memulai

pengobatan ARV sebesar

95%

4. Persentase kabupaten/

kota yang 50%

puskesmasnya

Page 32: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

melaksanakan tatalaksana

pneumonia standar

sebesar 60%

5. Persentase kabupaten/

kota yang 80%

puskesmasnya

melaksanakan tatalaksana

diare sesuai standar

sebesar 80%

6. Persentase kabupaten/

kota yang melaksanakan

deteksi dini hepatitis B

dan atau C pada populasi

berisiko sebesar 100%

7. Jumlah kabupaten/ kota

dengan eradikasi

frambusia sebesar 514

kabupaten/ kota

B. Kegiatan

Dalam rangka menjamin tercapainya Tujuan Strategis, Sasaran Strategis, dan Indikator Sasaran Strategis, maka ditetapkan Sasaran

Program, Indikator Kinerja Program, Sasaran Kegiatan, dan Indikator Kinerja Kegiatan Rencana Aksi kegiatan 2020-2024.

Sasaran Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung

Menurunnya angka kesakitan dan kecacatan akibat penyakit menular langsung, Untuk mencapai sasaran hasil, maka kegiatan yang akan dilakukan adalah:1. Cakupan penemuan dan pengobatan TBC (TBC treatment coverage)

Kegiatan yang dilakukan:

Page 33: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

a. Mengoptimalkan upaya penemuan kasus TBC secara aktif, massif dan pasif intensif

melalui skrining TBC pada populasi khusus (lapas, pondok pesantren), penyandanng

DM, ODHA, dan lansia serta kegiatan investigasi kontak.

- Pertemuan koordinasi & konsolidasi dalam mengintegrasikan skrining

tuberkulosis dengan Dit PTM, Ditjen Kesmas, melalui kolaborasi TB DM,

Posyandu PTM/Posyandu lansia, ANC terpadu, pelayanan kesehatan neonatal

esensial, MTBS, MTPKR,

- Pertemuan joint planning dan monitoring evaluasi kolaborasi TB HIV

- Implementasi skirining menggunakan Xray dengan sasaran penyandang DM,

Warga binaan lapas pada beberapa kabupaten/kota/provinsi terpilih

- Investigasi kontak pasien TB menggunakan dana BOK dan dekon provinsi

- Monitoring dan Evalausi Impelmentasi IK

b. Melakukan ekspansi pelayanan TB Resistan Obat dengan target tahun 2024 tiap

kabupaten kota memiliki satu rumah sakit rujukan TB Resistan Obat

- Asesmen beban TB RO dan kesiapan layanan TB RO di Puskesmas maupun

layanan swasta

- Advokasi pada fasilitas pelayanan khususunya untuk Rumah Skait rujukan TB RO

yang belum mmeberikan pelayanan

- Renovasi fasilitas pelayanan kesehatan untuk persiapan pemberian pelayanan TB

RO di 207 faskes terpilih

- Workshop pada pengelola program atau petugas kesehatan terkait managemen,

tatalaksana dan pengobatan TB RO

- Supervisi, monitoring dan evaluasi implementasi pengobatan pasien TB RO

c. Melakukan ekspansi penempatan alat tes cepat molekuler (TCM) untuk mempercepat

akses diangnostik dengan target tahun 2024 sebanyak 2107 faskes menjadi rujukan

diangnostik TBC menggunakan TCM,

- Pengadaan mesin TCM secara bertahap

- Workshop implementasi penggunaan TCM

Page 34: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

d. Mengoptimalkan dan memperluas terapi pengobatan pencegahan dengan sasaran anak

usia 0-15 tahun, ODHA, kontak serumah dengan pasien TBC dan kelompok risiko

tinggi lainnya

- Sosialiasi petunjuk teknis terapi pengobatan pencegahan (TPT) TBC pada 34

provinsi

- Workshop terkait implementasi TPT di tangkat kab/kota dan faskes secra bertahap

e. Memastikan ketersediaan bahan habis pakai dalam diagnostik, pemantauan

pengontakan dan pencegahan TBC

- Penyediaan cartridge TCM, reagen, pot dahak, kaca slide, tuberkulin, masker N95,

APD full shet

f. Mengoptimalkan implementasi Public dan Private Mix (PPM)

- Pertemuan kooridnasi melibatkan organisasi profesi/ Koalisi Organisasi profesi

(KOPI) TBC, asosiasi fasilitas pelaynan kesehatan (PERSI, ARSI, ARSSI,

ARSADA, ARSABAPI, PKFI, ASKLIN)

- Advokasi pada Managemen Rumah Sakit Swasta yang memiliki jejaring rumah

sakit terbesar misalkan RS Siloam, RS Hermina, dan yang lainnya agar dapat

mendukung program TBC

- Pertemuan kooridinasi penysusunan konspe branding layanan TBC dan mutu

pelayanana TBC (Akreditasi, sertifikasi, dll)

- Pertemuan evaluasi implementasi PPM di tiap tingkatan (Pusat, Provinsi dan

kabupaten/Kota)

- Pertemuan lintas program dan sektor terkait (KOMLI, KOPI, Program terkait

lainnya dan Kementerian Lembaga lainnya)

g. Penguatan surveilans TBC

- Pertemuan kooridinasi integrasi SITB dnegan sistem Informasi lainnya seperti

di JKN (P Crae. Vclaim), SIMRS, ASDK, dll

- Workshop integrasi SITB dengan sistem informasi lainnya SIMRS, JKN

- Bimbingan teknis manajemen dan program TBC

- Pertemuan Monev Nasional TBC

h. Pertemuan koordinasi dan pembinaan wilayah di Provinsi Sulawesi Barat

Page 35: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

i. Peningkatan kampanye tuberkulosis melalui media sosial, TV, radio dan cetakan KIE

j. Penyusunan dan sosialisasi NSPK TBC

- Sosialisasi Strategi Nasional Program TBC 2020 – 2024

- Sosialisasi dan harmonisasi Peraturan Presiden dalam percepatan elimiansi TBC

- Penyusunana update Permenkes TB No 67 Tahun 2016 terkait alur diagnosis,

TPT, pengobatan dna pencegahan TB

- Penyusunan beberapa juknis TBC (TB anak, TB HIV, TB RO, DPPM, surveilans,

T B laten, laboratorium, IK, dan lain-lain)

2. Proporsi kasus kusta baru tanpa cacat sebesar >90%

Kegiatan yang dilakukan:

a. Peningkatan SDM Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta:

- Penetapan Dokter Rujukan Kusta dan Frambusia di Kab/Kota (Orientasi Dokter

Rujukan)

- Orientasi Pengelola Program (Wasor) Kusta dalam P2 Kusta

- Orientasi LS Termasuk Institusi Pendidikan dan CSO dalam P2 Kusta

b. Orientasi Sistem Informasi ( Pencatatan dan Pelaporan Elektronik) Program Nasional

P2P Kusta - SI TASIA untuk Dinkes Prov, Dinkes Kab/Kota dan Puskesmas

c. Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta:

- Sosialisasi Juknis Deteksi Dini, Pengobatan dan Pemberian Obat pada Kelompok

Berisiko Kusta (Kemoprofilaksis) Bagi Dinkes Prov dan Kab/Kota (Daring)

- Sosialisasi Juknis Drug Resistensi Surveilans Kusta Bagi Dinkes Prov dan

Kab/Kota (Daring)

- Sosialisasi Juknis Surveilans Kusta Bagi Dinkes Prov dan Kab/Kota (Daring)

- Webinar Sosialisasi Sistem Informasi ( Pencatatan dan Pelaporan Elektronik)

Program Nasional P2P Kusta - SI TASIA untuk Dinkes Prov, Dinkes Kab/Kota dan

Puskesmas

- Kegiatan Gerakan Masyarakat Kampanye Eliminasi Kusta dan Eradikasi Frambusia

d. Pertemuan Rutin Pokja/ Komite Ahli Eliminasi Kusta

e. Pendampingan Kegiatan Intensifikasi Penemuan Kasus

f. Assesment Eliminasi Kusta

Page 36: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

g. Pengadaan Media KIE Kusta

h. Kegiatan Koordinasi dan Kemitraan Program P2P Kusta

i. Pertemuan Koordinasi LS/LP dalam Percepatan Eliminasi Kusta dan Eradikasi

Frambusia di Indonesia

j. Pertemuan Integrasi Evaluasi, Validasi Data dan Perencanaan Direktorat P2PML

k. Monitoring MDT

3. Persentase ODHA baru ditemukan yang memulai pengobatan ARV

Kegiatan yang dilakukan:

1. Mengupayakan tersedianya layanan pemerintah dan swasta untuk pencegahan dan

pemeriksaan dan pengobatan HIV AIDS dan PIMS yang dapat diakses oleh seluruh

masyarakat di 514 Kab/Kota oleh pemerintah daerah. Kegiatan utama yang

mendukung intervensi ini adalah:

1.1.1. Peningkatan kapasitas dan kompetensi layanan Mampu Pemeriksaan dan

pengobatan HIV AIDS dan PIMS untuk masyarakat

1.1.2. Memastikan ibu hamil mendapatkan pelayanan sesuai standar HIV, Sifilis dan

Hepatitis B secara inclusive di fasyankes pemerintah maupun swasta untuk

mencapai triple eliminasi

1.1.3. Deteksi dini HIV pada balita melalui Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM)

dan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

1.1.4. Perluasan layanan pencegahan HIV AIDS dan PIMS pada Remaja

1.1.5. Notifikasi pasangan risiko tinggi (risti)

1.1.6. Meningkatkan akses populasi kunci dan khusus pada pelayanan kesehatan

HIV AIDS dan IMS melalui penjangkauan oleh komunitas

1.1.7. Pelaksanaan pengurangan dampak buruk

2. Mengupayakan tersedianya layanan pemerintah dan swasta untuk diagnosis dan

pengobatan HIV AIDS dan PIMS yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat di 514

Kab/Kota oleh pemerintah daerah. Kegiatan utama yang mendukung intervensi ini

adalah:

2.2.1. Penambahan layanan tes dan pengobatan HIV-IMS

Page 37: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

2.2.2. Penguatan proses rujukan internal dan eksternal terutama untuk TB,

Sifilis/IMS, dan Hepatitis

2.2.3. Penguatan ketersediaan logistik untuk melakukan diagnosis dan pengobatan

HIV AIDS dan PIMS

2.2.4. Penanganan pada orang terinfeksi HIV dan atau PIMS

2.2.5. Meningkatkan retensi ODHA yang mendapat pengobatan ARV

2.2.6. Revitalisasi program dan layanan IMS diseluruh Fasyankes

2.2.7. Memperkuat layanan HIV AIDS & PIMS sesuai standar diseluruh Puskesmas

dan Fasyankes lainnya

2.2.8. Memastikan ibu hamil mendapatkan pelayanan sesuai standar termasuk tes dan

pengobatan HIV dan Sifilis secara inclusive di fasyankes pemerintah maupun

swasta

2.2.9. Mempercepat diagnosa pada bayi yang lahir dari ibu ODHA

2.2.10. Memperkuat akses diagnosis HIV/Sifilis/Hepatitis B pada bayi dari ibu yang

terinfeksi

2.2.11. Penguatan Kolaborasi TB HIV

2.2.12. Pengembangan laboratorium diagnostik HIV AIDS dan PIMS

2.2.13. Pengembangan kepesertaan laboratorium dalam pemantapan mutu

3. Mengupayakan tersedianya akses pemeriksaan laboratorium dalam rangka monitoring

pengobatan HIV AIDS di 514 Kab/Kota

2.4.1.

2.3.1 Pengembangan jumlah laboratorium pemantauan hasil pengobatan

2.3.2 Pengembangan laboratorium untuk pemantapan mutu

3.4 Mengupayakan tersedianya pelayanan uji saring darah dan tindak lanjutnya di setiap

Kab/Kota yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat oleh pemerintah daerah bersama

PMI

2.4.2. Meningkatkan tata kelola UTD (termasuk penanganan darah donor, rujukan)

2.4.3. Penguatan Jejaring rujukan kasus reaktif HIV antara UTD dan Fasyankes

Page 38: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

4. Persentase kabupaten/ kota yang 50% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana

pneumonia standar

Kegiatan yang dilakukan:

a. Peningkatan Kapasitas SDM Program P2P ISPA

- Workshop Deteksi Dini Pneumonia Balita dalam Rangka Hari Pneumonia

Sedunia

- Workshop Petugas Puskesmas dalam Deteksi Dini Pneumonia di Papua dan

Papua Barat

- Orientasi Penemuan dan Tata Laksana Kasus Pneumonia untuk Petugas

Puskesmas secara Daring

b. Koordinasi Pelaksanaan P2P ISPA

- Koordinasi, Fasilitasi dan Kemitraan Program P2P ISPA

- Pengumpulan, Pengolahan, Analisa Data dan Reviu Buletin Sentinel

- Pertemuan Komite Ahli Penyakit ISPA

c. Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA

- Advokasi dan Sosialisasi Program P2P ISPA

- Sosialisasi Protokol Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA di Wilayah

Terdampak Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan

d. Pengadaan Media KIE Program P2P ISPA

e. Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan P2P ISPA

f. Bimbingan Teknis P2P ISPA

5. Persentase kabupaten/ kota yang 80% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana diare

sesuai standar

Kegiatan yang dilakukan:

a. Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISP

b. Pertemuan Komli Penyakit ISP

c. Koordinasi LP/LS P2 Penyakit ISP

d. NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISP

e. Penyusunan / Review / Update NSPK Penyakit ISP

Page 39: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

f. Layanan Respon / Verikasi Rumor / Penyelidikan Epidemiologi Potensial KLB

Penyakit ISP

g. Manajemen Zinc dalam Lokus Stunting

h. Pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Dini, Respon Cepat KLB dan Penyakit ISP

i. Media Komunikasi, Informasi, Edukasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISP

j. Media KIE Program Penyakit ISP

k. Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISP

l. Sarana dan Prasarana Penyakit ISP

m. Peningkatan Kapasitas SDM Program Penyakit ISP

n. Orientasi Program Penyakit ISP

o. Bimbingan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISP

p. Pendampingan Kegiatan P2 Penyakit ISP

6. Persentase kabupaten/ kota yang melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan atau C pada

populasi berisiko

Kegiatan yang dilakukan:

a. Penyusunan/revisi NSPK (Permenkes, Pedoman, Juknis) tentang pengendalian

hepatitis virus

b. Sosialisasi dan advokasi pencegahan dan pengendalian hepatitis Virus

c. Pertemuan koordinasi dalam rangka peningkatan dukungan lintas program dan sektor

dalam pengendalian hepatitis virus

d. Peningkatan kapasitas petugas dalam rangka pengendalian hepatitis virus

e. Pertemuan komite ahli pengendalian hepatitis

f. Pelaksanaan sentinel surveilans secara rutin

g. Pelaksanaan kajian operasional untuk akselerasi pencapaian target program hepatitis

h. Penyediaan logistik dan peralatan untuk pengendalian hepatitis virus

i. Pengembangan dan penyediaan media KIE dalam rangka pencegahan dan

pengendalian hepatitis virus

j. Surveilans dan deteksi dini Hepatitis virus

k. Pertemuan perencanaan dan evaluasi kinerha program pengendalian hepatitis virus

l. Pengembangan Sistem Informasi, Pencatatan dan Pelaporan dalam rangka

pengendalian hepatitis virus

Page 40: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

m. Bimbingan teknis program pengendalian hepatitis virus

7. Jumlah kabupaten/ kota dengan eradikasi frambusia

Kegiatan yang dilakukan:

a. Jumpa Pokja/Komite Ahli Eradikasi Frambusia

b. Pertemuan Virtual Pokja/ Komite Ahli Eradikasi Frambusia

c. Monev Pencatatan dan Pelaporan Elektronik Program Nasional P2P Kusta dan

Frambusia (SI TASIA)

d. Verifikasi Kasus Frambusia

e. Pendampingan Pelaksanaan POPM pada daerah endemis Frambusia

f. Pendampingan Kegiatan Evaluasi Daerah Endemis/ Riwayat Frambusia (Survei

Serologi Frambusia)

g. Assesment Eradikasi Frambusia

h. Sosialisasi Virtual Juknis Pemberian Sertifikat Bebas Frambusia Bagi Kab/Kota di

Indonesia

i. Pendampingan persiapan dan pelaksanaan pemberian Sertifikasi Bebas Frambusia

bagi Kab/Kota.

j. Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Frambusia

k. Pengadaan Bahan KIE dan Advokasi Program Pengendalian Frambusia

C. Kerangka Pendanaan

Guna memenuhi kebutuhan pendanaan secara keseluruhan untuk mencapai target

Sasaran Kegiatan sebagaimana tersebut diatas dapat bersumber dari APBN baik yang

bersumber dari Rupiah Murni, Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP), Pinjaman dan/atau

Hibah Luar Negeri (PHLN), serta sumber/skema lainnya seperti Kerjasama Pemerintah dan

Badan Usaha (KPBU) dan Corporate Social Responsibility (CSR).

Page 41: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

Pendanaan Bersumber APBN

Tahun 2020-2024

No

Sasaran Program (Outcome)/Sasara

n Kegiatan (Output)/Indikato

r

Target ALokasi (dalam juta rupiah)

2020 2021 2022 2023 2024 2020 2021 2022 2023 2024

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung1 Cakupan

penemuan dan pengobatan TBC (TBC treatment coverage)

80 85 90 90 90 124.276 205.884 227.599 247.383 252.493

2 Proporsi kasus kusta baru tanpa cacat

87 88 89 90 >90 28.494 55.252 58.239 62.230 62.219

3 Persentase ODHA baru ditemukan yang memulai pengobatan ARV

77 80 85 90 95 94.438 103.881 103.881 103.881 103.881

4 Persentase kab/ kota yang 50% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana pneumonia sesuai standar

50 52 55 57 60 8.369 15.892 23.424 30.947 38.470

5 Persentase kab/ kota yang 80% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana diare sesuai standar

51 58 66 73 80 9.985 17.485 25.285 33.085 50.585

6 Persentase kab/ kota yang melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan atau C pada populasi berisiko

85 90 95 100 100 260.887 314.488 409.696 499.865 582.815

7 Jumlah kab/ kota dengan eradikasi frambusia

42 172 283 383 514 3.447 8.751 8.822 8.951 8.997

Page 42: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

BAB V

P E N U T U P

Rencana Aksi Kegiatan (RAK) Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Menular Langsung Tahun 2020-2024 ini disusun untuk menjadi acuan dalam perencanaan,

pelaksanaan, dan penilaian upaya Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

Langsung dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Dengan demikian, Sub Direktorat di

Direktorat P2PML mempunyai target kinerja yang telah disusun dan akan dievaluasi pada

pertengahan periode (2022) dan akhir periode 5 tahun (2024) sesuai ketentuan yang berlaku.

Penyusunan dokumen ini melibatkan semua Subdit Direktorat P2PML, Oleh karena itu

kepada semua pihak yang telah berkontribusi disampaikan penghargaan dan ucapan terima

kasih yang sebesar-besarnya.

Diharapkan melalui penyusunan Rencana Aksi Kegiatan (RAK) Direktorat

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, upaya dukungan manajemen

memberikan kontribusi yang bermakna dalam Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

khususnya dan umumnya pembangunan kesehatan untuk menurunkan angka kematian,

kesakitan dan kecacatan akibat penyakit serta pencapaian sasaran program berdasarkan

komitmen nasional dan internasional.

Apabila di kemudian hari diperlukan adanya perubahan pada dokumen ini, maka akan

dilakukan penyempurnaan sebagaimana mestinya.

Page 43: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

PENANGGUNGJAWAB KEGIATAN

NO SASARAN KEGIATAN NO INDIKATOR KINERJA PENANGGUNG JAWAB1 2 3 4 5 61 Meningkatnya dukungan

manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

1 Nilai reformasi birokrasi pada program pembinaan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Kepala Bagian Hukum dan Birokrasi

Ka. Sub Bag Organisasi dan Tata Laksana, Ka. Sub Bag Peraturan Perundang- Undangan, Ka. Sub Bag Advokasi Hukum dan Hubungan Masyarakat

Kepala Bagian Program dan Informasi

Kepala Subbag Program, Ka Subbag Informasi dan Evaluasi

Kepala Bagian Umum dan Kepegawaian

Kasubag Kepegawaian, Kasubag Layanan Pengadaan

Kepala Bagian Keuangan dan Barang Milik Negara Ditjen P2P

Kepala Subbagian Verifikasi dan Akuntansi Ditjen P2P, Kepala Subbagian Perbendaharaan Ditjen P2P, Kepala Subbagian Pengelolaan Barang Milik Negara

2 Persentase kinerja RKA-K/L Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit yang efektif dan efisien adalah hasil penilaian kinerja RKA KL dengan menngunakan tools aplikasi SMART DJA Kementerian Keuangan

Bagian Program dan Informasi

Kepala Subbagian Pengelolaan Barang Milik Negara, Kepala subbag Anggaran, Ka. Subagian Informasi dan Evaluasi

Page 44: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

MATRIKS RENCANA AKSI KEGIATAN

TAHUN 2020 – 2024

NO INDIKATOR DEFINISI OPERASIONAL (DO)

CARA PERHITUNGAN

TARGET

2020 2021 2022 2023 2024

1 Cakupan penemuan dan pengobatan TBC (TBC treatment coverage)

Jumlah semua kasus TBC yang diobati dan dilaporkan diantara perkiraan insiden TBC.

Jumlah semua kasus TBC yang diobati dan dilaporkan dibagi perkiraan insiden TBC.

80 85 90 90 90

2 Proporsi kasus kusta baru tanpa cacat

Persentase Jumlah Penderita Kusta baru tanpa cacat (cacat tingkat 0) di antara total Penderita Kusta baru yang ditemukan di suatu wilayah dalam periode waktu satu tahun

Jumlah kasus kusta baru tanpa cacat (cacat tingkat 0) dibagi dengan total kasus kusta baru pada periode tertentu dalam persentase

87 88 89 90 >90

3 Persentase ODHA baru ditemukan yang memulai pengobatan ARV

Perbandingan dari jumlah Odha yang baru ditemukan dan memulai ART selama satu tahun kalender terhadap jumlah Odha yang baru ditemukan pada tahun kalender yang sama

jumlah Odha yang baru ditemukan dan memulai ART selama satu tahun kalender) dibagi (jumlah Odha yang baru ditemukan pada tahun kalender yang sama) dikali 100%

77 80 85 90 95

4 Persentase kab/ kota yang 50% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana pneumonia sesuai standar

Persentase kabupaten/kota yang minimal 50% dari seluruh puskesmas yang ada diwilayahnya melaksanakan standar pneumonia balita

Jumlah kabupaten / kota yang minimal 50% puskesmasnya melakukan tatalaksana pneumonia balita sesuai standar dibagi dengan jumlah seluruh kabupaten kota pada tahun yang sama

50 52 55 57 60

5 Persentase kab/ kota yang 80% puskesmasnya melaksanakan tatalaksana diare sesuai standar

Jumlah kab/kota yang 80% Puskesmasnya melaksanakan tatalaksana diare sesuai standar yaitu setiap penderita diare balita diberikan oralit dan zinc

Jumlah Kabupaten / Kota yang 80% Puskesmasnya melaksanakan tatalaksana diare sesuai standar dibagi jumlah seluruh kab/kota dikali 100%

51 58 66 73 80

6 Persentase kab/ kota yang melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan atau C pada populasi berisiko

Jumlah Kabupaten / Kota yang melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B dan atau C pada Ibu hamil dan kelompok risiko tinggi lainnya (seperti: Tenaga Kesehatan, Pelajar/Mahasiswa,

Jumlah Kabupaten / Kota yang melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B dan atau C pada Ibu hamil dan kelompok risiko

85 90 95 100 100

Page 45: e-renggar.kemkes.go.id · Web viewRISKESDAS tahun 2007 menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi post neonatal (31,4%) dan anak balita (25,2%)serta merupakan

Sekolah Kesehatan/Keperawatan/ Kebidanan/ Kedokteran/ Laboratorium/ WPS/ Waria/ LSL/ODHA, WBP, pasangan dengan Hepatitis B atau C, keluarga dekat, pasien klinik IMS) di antara jumlah seluruh kab/kota

tinggi lainnya di bagi jumlah seluruh kab/kota dikali 100%

7 Jumlah kab/ kota dengan eradikasi frambusia

Kab/kota yang telah memenuhi kriteria eradikasi (nol kasus)

Jumlah Kab/kota yang melaporkan nol kasus

42 172 283 383 514