e jurnalpenelitian 120206235542 phpapp01

199
Diterbitkan Oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan e- JURNAL Vol. 1 No. I Hlm. Gresik ISSN ISSN 2089-5933

Upload: nazri-fahmy

Post on 11-Aug-2015

117 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Diterbitkan Oleh :Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

e- JURNAL

PENDIDIKAN

Vol. 1 No. I Hlm.

1-66

Gresik

Juni -Nopembe

r

ISSN

2089-5933

Universitas Gresik

ISSN 2089-5933

e- JURNAL JENDELA PENDIDIKAN

JURNAL ILMIAH KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Di Terbitkan oleh :

Ketua PenyutingRektor Universitas Gresik

Wakil PenyutingDekan FKIP

Penyuting PelaksanaDra. Eka Sri Rahayu, M.Pd

Dra. Adrijanti, M.PdEtiyasningsih, S.Pd., M.Pd

Sri Sundari, S.Pd.,M.PdDrs. Agus Tri Sulaksono, M.Pd

Penyuting AhliProf. Dr. H. Sukiyat.SH.,M.Si

Dra. Hj. Bariroh, M.PdDrs. Syaiful Khafid, M.Pd

Mitra BestariProf. Dr. Marhamah, M.Pd (Universitas Islam Jakarta)

Prof. Dr. Willem Mantja, M.Pd (Universitas Negeri Malang)Prof. Dr. H. Sukiyat, SH.,M.Si (Universitas Gresik )

PelaksanaAhmad Faizin, SS

Alamat Penerbit/RedaksiKampus Universitas Gresik

Jl. Arif Rahman Hakim No. 2B GresikTelp /Fax (031) 3978628

Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Nopember . Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian analitis-kritis di bidang administrasi pendidikan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah, sehingga Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik bisa

hadir di Masyarakat khususnya kalangan pemerhati dan pemangku pendidikan.

Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik ( e-Journal) akan mendampingi

Jurnal Jendela Pendidikan versi cetak yang lebih dulu hadir, Jurnal Jendela

Pendidikan ini berisi tentang sejumlah artikel penelitian baik artikel bersifat

empiris atau laporan penelitian maupun artikel yang bersifat kajian teori atau

artikel konseptual. Penulis artikel berasal dari kalangan akademisi atau dosen di

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik yang akan dipublish

masyarakat luas khususnya para pemerhati pendidikan. Hal ini sesuai dengan

misi utama keberadaan e-Journal Pendidikan sebagai media komunikasi dan

informasi yang bersifat ilmiah.

Kami berharap partisipasi berbagai kalangan baik akademisi, praktisi,

maupun birokrasi untuk menulis dalam jurnal ini, sehingga berbagai temuan,

pemikiran dan ide serta gagasan dapat terkomunikasi dalam jurnal ini semoga

terbitan pertama Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik bermanfaat bagi kita

semua.

Gresik, Desember 2011

Tim Redaksi

DAFTAR ARTIKEL

SUPERVISI PENGAJARAN SEBAGAI PEMBINAAN PROFESIONALISME GURU1-09 Rochmanu Fauzi

PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI SISWA PADA BIDANG STUDI BAHASA INDONESIA DI SDN BANGSAL SURABAYA 10 - 18Etiyasningsih

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN GAYA KOGNITIF TERHADAPPEMAHAMAN UNIFLYING GEOGRAPHY 19-29 Syaiful Khafid

IKLIM KERJA LEMBAGA DI PONDOK PESANTREN AL FUTUHIYAH GENDONGKULON BABAT LAMONGAN 30-38 Sri Sundari

PENDIDIKAN KARAKTER : WACANA KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA 39 - 59Soesetijo

PENGARUH DISIPLIN GURU TERHADAP PRESTASI SISWA DI SDN BANJARSARI GRESIK 60 - 78Etiyasningsih

ISSN 2089-4554

STUDI TENTANG PENGARUH PELAKSANAAN SUPERVISI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KEDISIPLINAN GURU DALAM PELAKSANAAN PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SDN NGAGELREJO SURABAYA 79 - 87 Sri Sundari

TELAAH KRITIS PENDIDIKAN UNTUK SEMUA (EDUCATION FOR ALL)DALAM KONTEKS MANAJEMEN PENDIDIKAN 88 - 106 Soesetijo

E - Jurnal

JENDELA

PENDIDIKAN

Vol.

01

No.

01

Hlm.

1 - 106

Gresik

Juni -Nopembe

r

ISSN

2089-4554

Supervisi Pengajaran sebagai Pembinaan

Profesionalisme Guru

Oleh Rochmanu Fauzi

Abstrak

supervisi pengajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan dan

keterampilan guru dalam melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari

yaitu mengajar. Ada tiga pendekatan dalam supervisi pengajaran,

yaitu (1) pendekatan langsung, (2) pendekatan tidak langsung, dan

(3) kolaboratif. Teknik-teknik supervisi pengajaran yang paling

bermanfaat adalah kunjungan kelas, pembicaraan individual,

Diskusi kelompok, demonstrasi mengajar, dan sebagainya. Para

guru lebih menghargai supervisor yang hangat dan menghargai

guru. Dalam praktiknya supervisi pengajaran masih berorientasi

pada aspek administratif saja. Berdasarkan uraian tersebut

disarankan para supervisor perlu ada penyegaran secara rutin,

dalam pelaksanaan supervisi pengajaran para supervisor sebaiknya

menggunakan pendekatan supervisi klinis, perlu ada pertemuan

seusai supervisi yang telah dilakukan oleh Kepala Sekolah atau

Pengawas Sekolah, sebagai upaya untuk tindak lanjut setelah

pelaksanaan supervisi dilaksanakan.

Kata kunci: mutu pendidikan, supervisi pengajaran.

Cara hidup suatu bangsa

sangat erat kaitannya dengan

tingkat pendidikannya,

Pendidikan bukan hanya

sekedar melestaiikan

kebudayaan dan meneruskan

dari generasi ke generasi. Akan

tetapi juga diharapkan akan

dapat mengubah dan

mengembangkan pengetahuan.

Sementara itu, salah satu

fenomena di bidang pendidikan

yang banyak disoroti oleh para

pemerhati, cendekiawan

maupun masyarakat pada

umumnya adalah masalah mutu

pendidikan. Membahas

masalah mutu pendidikan,

sebenarnya membahas masalah

yang sangat kompleks. Oleh

karena masalah mutu

pendidikan selalu kait-

mengkait dengan indikator-

indikator lainnya. Salah satu

instrumen yang dianggap

cukup efektif untuk

meningkatkan mutu

pendidikan adalah dengan

supervisi pengajaran oleh

Kepala Sekolah maupun

Pengawas.

Untuk itu perlu adanya

pergeseran dari paradigma

lama menuju ke paradigma

yang baru. Paradigma baru

manajemen pendidikan tinggi,

terdiri dari akreditasi,

akuntabilitas, evaluasi,

otonomi dan mutu. Kelima

paradigma baru pendidikan

tersebut saling terkait satu

sama lain dan seyogyanya ini

dijadikan acuan dalam proses

peningkatan mutu pendidikan.

Oleh karena itu, mutu sebagai

salah satu paradigma yang

harus ditata secara terus

menerus dan berkelanjutan.

Menurut Mastuhu (2003)

dalam pengelolaan suatu unit

pendidikan, mutu dapat dilihat

dari "masukan", "proses", dan

"hasil".

Permasalahan pendidikan

yang diidentifikasi (Depdikbud,

1983), sampai saat ini,

formulasinya tetap sama, yaitu

masalah (1) masalah

kuantitatif, (2) masalah

kualitatif, (3) masalah

relevansi, (4) masalah

efisiensi, (5) masalah

efektivitas, dan (6) masalah

khusus.

Uraian secara singkat

masalah-masalah tersebut

adalah sebagai berikut ini.

1.Masalah Kuantitatif

Masalah kuantitatif

adalah masalah yang timbul

sebagai akibat hubungan

antara pertumbuhan sistem

pendidikan pada satu pihak

dan pertumbuhan penduduk

Indonesia pada pihak lain.

Untuk mengatasi masalah ini

perlu adanya suatu sistem

pendidikan nasional yang

memungkinkan setiap warga

ncgara Indonesia memperoleh

pendidikan yang layak sebagai

bekal dasar kehidupannya

sebagai warga negara. Dalam

rangka pemerataan pendidikan

ini, perlu dilaksanakan

kewajiban belajar dengan

segala konsekuensinya dalam

bidang pembiayaan,

ketenagaan, dan peralatan.

2.Masalah kualitatif

Masalah kualitatif adalah

masalah bagaimana

peningkatan kualitas sumber

daya manusia Indonesia gara

bangsa Indonesia dapat

meinpertahankan

eksistcnsinya. Dalam masalah

ini tercakup pula masalah

ketinggalan bangsa Indonesia

dan perkembangan modern.

Ditinjau dari latar bclakang

ini, masalah kualitas

pendidikan merupakan

masalah yang memprihatinkan

dalam rangka kelangsungan

hidup bangsa dan negara.

Dalam sistem pendidikan ini

sendiri, masalah kualitas

menyangkut

banyak hal, antara lain

kualitas calon anak didik, guru

dan tenaga kependidikan

lainnya, prasarana, dan sarana.

Penanganan aspek kualitatif

ini berhubungan erat dengan

penanganan aspek kuantitatif

sehingga perlu sekali adanya

keseimbangan yang dinamis

dalam proses pengembangan

pendidikan nasional, sehingga

peningkatan kualitas tidak

sampai menghambat

peningkatan kuantitas dan

sebaliknya.

3.Masalah relevansi

Masalah relevansi adalah

masalah yang timbul dari

hubungan antara sistem

pendidikan dan pembangunan

nasional serta antara

kepentingan perorangan,

keluarga, dan masyarakat, baik

dalam jangka pendek maupun

dalam jangka panjang. Hal ini

meminta adanya keterpaduan

di dalam perencanaan dan

pelaksanaan pembangunan

nasional agar pendidikan

merupakan wahana penunjang

yang efektif bagi proses

pembangunan dan ketahanan

nasional. Masalah ini dengan

sendirinya mempunyai kaitan

pula dengan masalah pokok di

dalam pembangunan nasional,

seperti masalah tata nilai,

industri. pembangunan

pertanian, perencanaan tenaga

kerja, dan pertumbuhan

wilayah.

4.Masalah efisiensi

Masalah efisiensi pada

hakikatnya adalah masalah

pengelolaan pendidikan

nasional. Adanya keterbalasan

dana dan daya manusia

sungguh-sungguh memerlukan

adanya sistem pengelolaan

efisien dan terpadu.

Keterpaduan pengelolaan tidak

hanya tercermin di dalam

hubungan antara negeri dan

swasta, antara pendidikan

sekolah dan pendidikan luar

sekolah, antara departemen

yang satu dan departemen yang

lain, di dalam lingkungan

jajaran Departemen Pendidikan

Nasional sendiri, tetapi juga di

antara semua unsur dan unit

lersebut.

5.Masalah efektifitas

Masalah efektifitas

adalah masalah yang

menyangkut keampuhan

pelaksanaan pendidikan

nasional. Dalam hubungan

dengan permasalahan

keseimbangan yang dinamis

antara kualitas dan kuantitas,

di samping keterbalasan

sumber dana dan tenaga,

efektivitas proses pendidikan

amat penting. Hal ini berkaitan

dengan kurikulum, termasuk

aspek metodologi dan evaluasi,

serta masalah guru, pengawas,

dan masukan instrumental

lainnya.

6. Masalah khusus

Di samping masalah-

masalah umum yang telah

dibicarakan di atas, perlu

dibicarakan pula beberapa

masalah khusus sebagai

berikut. Guru sebagai

pelaksana pendidikan faktor

kunci di dalam pelaksanaan

sistem pendidikan nasional.

Masalah guru menyangkut soal

pengadaan di lembaga-lembaga

pendidikan guru, pembinaan

sistem karir dan prestasi kerja,

pengangkatan, pemerataan dan

penyebaran menurut wilayah

dan bidang studi, pembinaan

karir dan prestasi, status, dan

kesejahteraan. Masalah yang

kompleks ini menyangkut

banyak lembaga dan unit serta

koordinasi dan kerjasama

antara lembaga dan unit

tersebut.

Esensi dari

permasalahan-permasalahan

pendidikan pada hakekatnya

adalah bermuara pada satu

istilah yaitu kualitas

pendidikan atau mutu

pendidikan. Mastuhu (2003)

mengemukakan bahwa kata

kunci untuk menggambarkan

Sistem Pendidikan Nasional

yang bagaimana yang

diperlukan dalam abad-abad

mendatang ialah pendidikan

yang bermutu. Selanjutnya,

Mastuhu mengatakan bahwa

mutu (quality) merupakan

suatu istilah yang dinamis yang

turus bergerak; jika bergerak

maju dikatakan mutunya

bertambah baik, sebaliknya

jika bergerak mundur

dikatakan mutunya merosot.

Mutu dapat berarti superiority

atau excellence yaitu melebihi

standar umum yang berlaku.

Sedangkan sesuatu dikatakan

bermutu jika terdapat

kecocokan antara syarat-syarat

yang dimiliki oleh benda yang

dikehendaki dengan maksud

dari orang yang

menghendakinya (Idrus, dkk.,

2002).

Dalam pengelolaan suatu

unit pendidikan, mutu dapat

dilihat dari: "masukan",

"proses", dan "hasil".

'Masukan" meliputi: siswa.

Tenaga pengajar,

administrator, dana, sarana,

prasarana, kurikulum, buku-

buku perpustakaan,

laboratorium, dan alat-alat

pembelajaran, baik perangkat

keras maupun perangkat lunak.

"Proses" meliputi, pengelolaan

lembaga, pengelolaan program

studi, pengelolaan program

studi. pengelolaan kegiatan

belajar-mengajar, interaksi

akademik antara civitas

akademika, seminar dialog,

penelitian, wisata ilmiah, evaluasi

dan akreditasi. Sedangkan "hasil":

meliputi lulusan. penerbitan-

penerbitan, temuan-temuan

ilmiah, dan hasil-hasil kinerja

lainnya.

Ketiga unsur di atas (input,

proses, dan output) terus

berproses atau berubah-ubah.

Oleh karena itu, pengelola unit

pendidikan atau sekolah perlu

menetapkan patokan atau

benchmark, yaitu standar target

yang harus dicapai dalam suatu

periode waktu tertentu dan terus

berusaha melampuinya. Seperti

dikemukakan oleh Watson (dalam

Taroeratjeka, 2000) bahwa suatu

upaya pencarian mutu secara

terus-menerus demi mendapatkan

cara kerja yang lebih baik agar

mampu tampil bersaing melampui

standar umum.

Menurut Supriadi (2000)

kita tidak perlu dipusingkan oleh

pertanyaan-pertanyaan mengenai

validitas metodologisnya atau

berusaha mencari excuse apabila

ternyata ada hasil-hasil studi yang

tidak sesuai dengan harapan kita.

Sikap optimis perlu untuk

dikembangkan bagi pendidikan di

Indonesia, walaupun hasil

surveinya tidak menyenangkan

sesuai dengan yang diharapkan.

langkah selanjutnya membuat visi

ke depan untuk meningkatkan

kualitas manajemen pendidikan.

Suatu saran yang

dikemukakan oleh Supriadi dalam

menghadapi permasalahan

rendahnya kualitas pendidikan di

Indonesia adalah memiliki visi

global dan kehendak untuk

bersaing secara internasional,

maka insan pendidikan mulai para

pengajar dan peneliti di lembaga

pendidikan tenaga kependidikan

di perguruan tinggi dan pengambil

keputusan dituntut untuk

membuka wacana terhadap studi-

studi internasional.

KONSEP DASAK SUPERVISI

PENGAJARAIN DI SEKOLAH

Di antara masalah-masalah

pendidikan yang sedang mendapat

pcrhatian pemerintuh salah

salunya adalah puningkatan mutu

pendidikan (Benly, IW2). Dalam

PROPENAS (2002) dijelaskan

bahwa sampai dengan awal abad

ke-21 pembangunan pendidikan

masih menghadapi krisis ekonomi

berbagai bidang kcliidupan.

Walaupun sejak tahun 2000,

ekonomi Indonesia telah mulai

tumbuh positif (4,8 persen), akibat

krisis dalam kehidupan sosial,

politik dan kepercayaan

dikawatirkan masih akan

memberi yang kurang

menguntungkan terutama bagi

upaya peningkatan kualitas

SDM. Program peningkatan

mutu pendidikan di sekolah

dasar dapat dicapai manakala

proses belajar mengajar dapat

berlangsung dengan baik.

berdayaguna dan berhasil

guna.

Dalam mengkaji risalah

mutu pendidikan, tidak dapat

lepas dari penyelenggaraan

sistem pendidikan. Dari

berbagai faktor penyebab

rendahnya mutu pendidikan,

ditinjau dari aspek manajemen

pendidikan dapat

dikelompokkan ke dalam tiga

faktor, yaitu: (a) faktor

instrumental sistem

pendidikan, (b) faktor sistem

manajemen pendidikan,

termasuk di dalamnya sistem

pembinaan profesional guru,

dan (c) faktor substansi

manajemen pendidikan

(Mantja, 1998). Untuk dapat

melaksanakan pembinaan

terhadap guru agar lebih

profesional, maka instrumen

yang sangat relevan dan tepat

adalah dengan melalui

supervisi pengajaran. Oleh

karena supervisi pengajaran

pada hakikatnya adalah untuk

meningkatkan kemampuan dan

keterampilan guru dalam

melaksanakan tugas pokoknya

sehari-hari yaitu mengajar para

peserta didik di kelas.

Dari berbagai kajian

mengenai rumusan definisi

mengenai supervisi, Mantja

(1998) menuliskan formulasi

tentang supervisi pengajaran

adalah semua usaha yang

sifatnya membantu guru atau

melayani guru agar ia dapat

memperbaiki,

mengembangkan, dan bahkan

meningkatkan pengajarannya,

serta dapat pula menyediakan

kondisi belajar murid yang

efek'if dan efisien demi

pertumbuhan jabatannya untuk

mencapai tujuan pendidikan

dan meningkatkan mutu

pendidikan. Definisi yang

dirumuskan oleh Mantja ini

sudah mewakili konsep

supervisi pengajaran.

Apabila dikaji dari

tujuannya supervisi pada

hakikatnya adalah untuk

membantu guru untuk

meningkatkan kualitas proses

belajar mengajarnya.

Harsosandjojo (1999)

mengemukakan tujuan

supervisi yaitu membantu guru

dalam hal (1) membimbing

pengalaman belajar sisvva, (2)

menggunakan sumber-sumber

pengalaman belajar, (3)

menggunakan metode-metode

yang baru dan alat-alal

pelajaran modern, (4)

memenuhi kebutuhan belajar

para siswa, (5) menilai proses

pembelajaran dan hasil belajar

siswa, (6) mcmbina reaksi

mental atau moral kerja guru-

guru dalam rangka

pertumbuhan pribadi dan

jabatan mereka, (7) melihat

dengan jelas tujuan-tujuan

pendidikan, dan (8) mengguaakan

waktu dan tenaga mereka dalam

pembinaan sekolah. Tujuan

supervisi ini pada akhirnya adalah

ditujukan untuk meningkatkan

kualitas para siswa. Hal ini

sebagaimana dikemukakan oleh

Sergiovanni (1983) bahwa tujuan

supervisi ialah (1) tujuan akhir

adalah untuk mencapai

pertumbuhan dan perkembangan

para siswa (yang bersifat total).

Dengan demikian sekaligus akan

dapat memperbaiki masyarakat,

(2) tujuan kedua ialah membantu

kepala sekolah dalam

menyesuaikan program

pendidikan dari waktu ke waktu

secara kontinyu (dalam rangka

menghadapi tantangan perubahan

zaman), (3) tujuan dekat ialah

bekerjasama mengembangkan

proses belajar mengajar yang

tepat. Tujuan tersebut ditambah

dengan (4) tujuan perantara ialah

membina guru-guru agar dapat

mendidik para siswa dengan baik,

atau menegakkan disiplin kerja

secara manusiawi.

Dalam kaitannya dengan

tugas-tugas supervisor, secara

lebih khusus Nurtain (1989)

membagi 10 (sepuluh) bidang

tugas supervisor yang dirinci

sebagai berikut ini. Tugas

I , pengembangan kurikulum.

Tugas 2, pengorganisasian

pengajaran. Tujuan 3,

pengadaan staf. Tugas 4,

penyediaan fasilitas. Tugas 5,

pcnycdiaan bahan-bahan. Tugas

6, penyusunan penataran

pendidikan. Tugas 7, pemberian

orientasi anggota-anggota staf.

Tugas 8, berkaitan dengan

pelayanan murid khusus. Tugas

9, pengembangan hubungan

masyarakat. Dan yang terakhir

tugas 10, penilaian pengajaran.

Mengkaji tugas-tugas

supervisi pengajaran tersebut di

atas, dapat ditelaah dari tujuan

supervisi pengajaran itu sendiri.

Sesuai dengan fungsi pokok

supervisi, yaitu memperbaiki dan

mengembangkan situasi belajar

mengajar dalam rangka mencapai

tujuan pendidikan nasional, maka

tujuan supervisi pendidikan

mencakup tujuan dasar, tujuan

umum dan tujuan khusus.

Tujuan dasar supervisi

pendidikan, adalah membantu

tercapainya tujuan pendidikan

nasional dan tujuan pendidikan

institusional. Tujuan pendidikan

nasional secara rinci dan jelas

dirumuskan dalam GBHN.

Sedangkan tujuan institusional

dapat dilihat di dalam kurikulum

yang memuat landasan, program

dan pengembangan.

Tujuan umum supervisi

pendidikan, adalah membantu

memperbaiki dan

mengembangkan administrasi

pendidikan. Administrasi yang

dimaksud adalah meliputi baik

administrasi sebagai substansi

maupun administrasi sebagai

proses.

Administrasi sebagai

substansi meliputi hal-hal

sebagai berikut: (1)

administrasi kesiswaan, (2)

administrasi ketenagaan, (3)

administrasi kurikulum, (4)

administrasi keuangan, (5)

administrasi sarana/prasarana,

dan (6) administrasi hubungan

masyarakat. Sedangkan

administrasi sebagai proses

meliputi hal-hal terkait dengan

unsur-unsur manajemen,

antara lain (1) kegiatan

perencanaan (planning), (2)

kegiatan pengorganisasian

(organizing), (3) kegiatan

pengarahan (actuating) yang

meliputi kegiatan pengarahan

(directing) dan kegiatan

pengkoordinasian

(coordinating), dan (4) kegiatan

pengawasan (controlling).

Berdasarkan uraian

tersebut di atas, dapat

dikemukakan bahwa untuk

meningkatkan kualitas belajar

mengajar, guru adalah faktor

sentral yang perlu

mendapatkan perhatian secara

optimal. Media untuk

meningkatkan profesionalisme

guru adalah melalui supervisi

pengajaran. Supervisi

pengajaran pada hakikatnya

adalah ditujukan untuk

meningkatkan kualitas

pembelajaran yang dilakukan

oleh guru di kelas, sehingga

tujuan akhirnya adalah

kualitas hash belajar siswa

dapat ditingkatkan secara

optimal.

SUPERVISI PENGAJARAN

Dalam pemakaiannya

secara umum supervisi diberi

arti sama dengan director,

manager. Dalam bahasa umum

ini ada kecenderungan untuk

membatasi pemakaian istilah

supervisor kepada orang-orang

yang berada dalam kedudukan

yang lebih bawah dalam

hicrarkhi manajemen.

Dalam sistem sekolah,

khususnya dalam sistem

sckolah yang ialah

berkembang, situasinya agak

lain. Dalam Good (1976)

supervisi didefinisikan sebagai

segala usaha dari para pejabat

sekolah yang diangkat yang

diarahkan kepada penyediaan

kepemimpinan bagi para guru

dan tenaga kependidikan lain

dalam perbaikan pengajaran,

melihat stimulasi pertumbuhan

professional dan

perkembangan dari para guru,

seleksi dan revisi tujuan-tujuan

peudidikan, bahan pengajaran,

dan metoda-metoda mengajar, dan

evaluasi pengajaran.

Wiles (1982) menjelaskan bahwa

supervisi sebagai bantuan dalam

pengembangan situasi belajar-

mengajar yang lebih baik; ia

adalah suatu kegiatan pelajaran

yang disediakan untuk membantu

para guru menjalankan pekerjaan

mereka dengan lebih baik.

Peranan supervisor adalah

mendukung, membantu, dan

membagi, bukan menyuruh. Wiles

(1982) selanjutnya mengatakan

bahwa supervisi yang baik

hendaknya mengembangkan

kepemimpinan di dalam kelompok,

membangun program latihan

dalam jabatan untuk

meningkatkan keterampilan guru,

dan membantu guru meningkatkan

kemampuannya dalam menilai

hasil pekerjaannya.

SUPERVISI PENGAJARAN

SEBAGAI PEMBINAAN

PROFESIONAL GURU

Memperhatikan penting dan

peranannya pendidikan dasar dan

menengah yang demikian besar,

maka pendidikan dasar dan

menengah harus dipersiapkan

dengan sebaik-baiknya. Oleh

karena itu, pembinaan terhadap

para guru di sekolah dasar

merupakan suatu kebutuhan yang

tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Pembinaan terhadap guru sekolah

dasar, terutama diarahkan pada

pembinaan proses belajar

mengajar. Pembinaan proses

belajar mengajar adalah usaha

memberi bantuan pada guru untuk

memperluas pengetahuan,

meningkatkan keterampilan

mengajar dan menumbuhkan sikap

profesional, schingga guru

menjadi lebih ahli dalam

mengelola KBM untuk

membclajarkan anak didik dalam

rangka mencapai tujuan

pembelajaran dan tujuan

pendidikan di SD (Depdikbud,

1999/2000).

Supervisi pendidikan di

sekolah dasar lebih diarahkan

untuk meningkatkan kemampuan

guru sekolah dasar dalam rangka

peningkatan kualitas proses

belajar mengajar. Supervisi ini

dapat dilakukan oleh siapa saja,

baik Kepala Sekolah maupun

Pengawas Sekolah yang bertugas

sebagai supervisor melalui

pemberian bantuan yang bercorak

pelayanan dan bimbingan

profesional, sehingga guru dapat

melaksanakan tugasnya dalam

proses belajar mengajar dengan

lebih baik dari prestasi

sebelumnya.

Supervisi pendidikan di

sekolah pada hakekatnya

adalah dalam rangka

pembinaan terhadap para

guru. Adapun sasaran

pembinaannya, antara lain

(1) merencanakan kegiatan

belajar mengajar sesuai

dengan strategi belajar aktif,

(2) mengelola kegiatan

belajar mengajar yang

menantang dan menarik, (3)

menilai kemajuan anak

belajar, (4) memberikan

umpan balik yang bermakna,

(5) memanfaatkan

lingkungan sebagai sumber

dan media pengajaran, (6)

membimbing dan melayani

siswa yang mengalami

kesulitan belajar, terutama

bagi anak lamban dan anak

pandai, (7) mengelola kelas

sehingga tercipta lingkungan

belajar yang menyenangkan,

dan (8) menyusun dan

mengelola catatan kemajuan

anak (record keeping)

(Depdikbud, 1999/2000).

Menurut Mantja (1990)

supervisi atau pembinaan

profesional adalah bantuan

atau layanan yang diberikan

kepada guru, agar ia belajar

bagaimana mengembangkan

kemampuannya untuk

meningkatkan proses belajar-

mengajar di kelas.

Supervisor atau pembina,

yaitu Pengawas Sekolah,

Kepala Sekolah, atau semua

pejabat yang terlibat dalam

layanan supervisi, adalah

pihak yang selama ini

dipandang berwewenang, dan

karena itu pula dianggap

paling bertanggung jawab

dalam kegiatan supervisi.

Kilas balik kaji historis

supervisi pengajaran, pada

awalnya istilah yang

dimunculkan adalah

supervisi pendidikan

(Kurikulum 1975).

Kemudian. pada Kurikulum

1984 dan 1994 digunakan

istilah pembinaan

profesional guiu atau

pembinaan guru untuk

jenjang sekolah dasar.

Walaupun demikian istilah

supervisi pendidikan dalam

Kurikulum SMU 1994 masih

tetap digunakan. Dengan

demikian dapat disimpulkan

bahwa kegiatan supervisi

pendidikan maupun

pembinaan profesional

merupakan nama layanan

yang digunakan secara

bergantian dalam praktik

pendidikan pada sekolah-

sekolah di Indonesia.

Dengan demikian dapat

dikemukakan bahwa

supervisi (pembinaan

profesional guru )

dimaksudkan untuk

meningkatkan kemampuan

dan keterampilan guru dalam

melaksanakan tugas

pokoknya sehari-hari yaitu

mengelola proses belajar-

mengajar dengan segala

aspek pendukungnya

sehingga berjalan dengan

baik khususnya dalam

kegiatan belajar mengajar,

sehingga tujuan pendidikan

dasar dapat tercapai secara

optimal.

Pada hakikatnya

kegiatan pembinaan

menyangkut dua belah pihak

yaitu pihak yang dilayani

atau pihak yang dibina dan

pihak yang melayani atau

yang membina (Ekosusilo,

2003). Baik yang dibina

maupun pembina harus

sama-sama memiliki

kemampuan yang

berkembang secara serasi

sesuai dengan kedudukan

dan peran masing-masing.

Oleh sebab itu, sasaran

pembinaan profesional ini

adalah kedua belah pihak

yaitu guru sebagai pihak

yang dibina dan kepala

sekolah atau pengawas

sekolah sebagai pihak yang

membina.

BEBERAPA PENDEKATAN

DALAM SUPERVISI

PENDIDIKAN

Secara garis besar ada

tiga pendekatan dalam

supervisi pendidikan, yaitu

(1) pendekatan langsung

(directive approach), (2)

pendekatan tidak langsung

(non directive approach), dan (3)

pendekatan kolaboratif

(collaborative approach).

Pendekatan langsung adalah

sebuah pendekatan supervisi,

di mana dalam upaya

peningkatan kemampuan

guru peran kepala sekolah

dasar, pengawas TK/SD, dan

pembina lainnya lebih besar

dari pada peran guru yang

bersangkutan. Pendekatan

tidak langsung adalah

sebuah pendekatan supervisi,

di mana dalam upaya

peningkatan kemampuan

guru peran kepala sekolah,

pengawas TK/SD, dan

Pembina lainnya lebih kecil

daripada peran guru yang

bersangkutan. Pendekatan

kolaboratif adalah sebuah

pendekatan supervisi, di

mana dalam upaya

peningkatan kemampuan

guru peran kepala sekolah,

pengawas TK/SD, dan

pembina lainnya sama

besarnya dengan peran guru

yang bersangkutan.

Penggunaan pendekatan

tersebut disesuaikan dengan

dua karakteristik guru yang

akan diberi supervisi, yaitu

tingkat abstraksi guru (level

of teacher abstraction) dan

tingkat komitmen guru (level

of teacher commitment). Daya

abstraksi guru bisa tinggi,

sedang, dan bisa juga

rendah. Demikian pula

dengan komitmen guru bisa

tinggi, sedang, dan rendah.

Pendekatan supervisi yang

digunakan harus disesuaikan

dengan tinggi-rendahnya

daya abstraksi dan komitmen

guru yang disupervisi.

1. Guru yang memiliki daya

abstraksi dan komitmm

yang rendah sebaiknya

disupervisi dengan

pendekatan langsung.

2. Guru yang memiliki daya

abstraksi yang rendah,

tetapi komitmennya tinggi,

sebaiknya disupervisi

dengan pendekatan

kolaboiatif.

3. Guru yang memiliki daya

abstraksi yang tinggi

tetapi komitmennya

rendah, sebaiknya

disupervisi dengan

pendekatan kolaboratif.

4. Guru yang memiliki daya

abstraksi dan komitmen

yang tinggi sebaiknya

disupervisi dengan

pendekatan tidak langsung

(Bafadal, 2003).

TEKNIK-TEKNIK SUPERVISI

Bagaimana Kepala

Sekolah dalam mensupervisi

para guru ?. Dalam konteks

ini, maka Kepala Sekolah

perlu mengenal dan

mempraktekkan teknik-

teknik supervisi pendidikan

yang lazim digunakan dalam

pelaksanaan supervisi

pengajaran. Ada tersedia

sejumlah teknik supervisi

yang dipandang bermanlaat

untuk merangsang dan

mengarahkan perhatian

guru-guru terhadap

kurikulum dan pengajaran,

untuk mengidentifikasi

masalah-masalah yang

bertalian dengan mengajar

dan belajar, dan untuk

menganalisis kondisi-kondisi

yang mengelilingi mengajar

dan belajar. Yang berikut ini

pada umumnya dipandang

teknik yang paling

bermanfaat bagi supervisi.

1. Kunjungan kolas.

Kunjungan kelas (sering

disebut kunjungan supervisi)

yang dilakukan kepala

sekolah (atau

pengawas/penilik) adalah

teknik paling efektif untuk

mengamati guru bekerja,

alat, metode, dan teknik

mengajar tertentu yang

dipakainya, dan untuk mem-

pelajari situasi belajar

secara keseluruhan dengan

memperhatikan semua faktor

yang mempengaruhi

pertumbuhan murid. Dengan

menggunakan hasil analisis

observasinya, ia bersama

dengan guru dapat menyusun

suatu program yang baik

untuk memperbaiki kondisi

yang melingkari mengajar-

belajar d i kelas tertentu.

Sudan tentu, kunjungan

kelas, agar efektif,

hendaknya dipersiapkan

dengan teliti dan

dilaksanakan dengan sangat

berhati-hati dengan disertai

budi bahasa yang baik pula.

Pada umumnya kunjungan kelas

hendaknya diikuti oleh

pembicaraan individual antara

kepada sekolah dengan guru.

2. Pembicaraan individual

Pembicaraan individual

merupakan teknik supervisi yang

sangat penting karena

kesempatan yang diciptakannya

bagi kepala sekolah

(pengawas/penilik) untuk bekerja

secara individual dengan guru

sehubungan dengan masalah-

masalah profesional pribadinya.

Masalah-masalah yang mungkin

dipecahkan melalui pembicaraan

individual bisa macam-macam:

masalah-masalah yang bertalian

dengan mengajar, dengan

kebutuhan yang dirasakan oleh

guru, dengan pilihan dan

pemakaian alat pengajaran, teknik

dan prosedur, atau bahkan

masalah-masalah yang oleh kepala

sekolah dipandang perlu untuk

dimintakan pendapat guru.

Apapun yang dijadikan pokok

pembicaraan, ia mewakili teknik

yang sangat baik untuk membantu

guru mengembangkan arah diri

dan tumbuh dalam pekerjaan.

3. Diskusi Kclompok

Dengan diskusi kelompok

(atau sering pula disebut

pertemuan kelompok) dimaksud

sualu kegiatan dimana

sekelompok orang berkumpul

dalam situasi bcrlatap muka dan

melalui interaksi lisan bertukar

informasi atau berusaha untuk

mencapai suatu keputusan

tentang masalah-masalah

bersama. Kegiatan diskusi ini

dapal mengambil beberapa bentuk

pertemuan staf pengajar, seperti:

diskusi panel, seminar, lokakarya,

konperensi, kelompok studi,

pekerjaan komisi, dan kegiatan

lain yang bertujuan untuk

bersama-sama membicarakan dan

menilai masalah-masalah tentang

pendidikan dan pengajaran.

Pertemuan-pertemuan serupa ini

dipadang suatu kegiatan yang

begitu penting dalam program

supervisi modern, sehingga guru

sebenarnya hidup dalam suasana

pelbagai jenis pertemuan

kelompok.

4. Demonstrasi mengajar

Demonstrasi mengajar

merupakan teknik yang berharga

pula. Rencana demonstrasi yang

telah disusun dengan teliti dan

dicetak lebih dulu, dengan

menekankan pada hal-hal yang

dianggap penting atau pada nilai

teknik mengajar

tertentu, akan sangat

membantu. Pembicaraan

sehabis demonstrasi bisa

menjelaskan banyak aspek.

Suatu analisis observasi adalah

perlu.

5. Kunjungan kelas antar guru

Sejumlah studi telah

mengungkapkan bahwa

kunjungan kelas yang

dilakukan guru-guru di antara

mereka sendiri adalah efektif

dan disukai. Kunjungan ini

biasanya direncanakan atas

permintaan guru-guru. Teknik

ini akan lebih efektif lagi jika

tiap observasi diikuti oleh

suatu analisis yang berhati-

hati.

6. Pengembangan kurikulum

Perencanaan penyesuaian

dan pengembangan kurikulum

menyediakan kesempatan yang

sangat baik bagi partisipasi

guru. Pentingnya relevansi

kurikulum dengan kebutuhan

murid dan masyarakat bagi

pemeliharaan dan peningkatan

kualitas pendidikan di negara

kita diakui. Tetapi dalam

prakteknya, sekolah-sekolah

secara individual tidak banyak

melakukan usaha untuk

menyesuaikan dan

mengembangkan kurikulum

standar itu dengan kebutuhan

murid dan masyarakat terus

berubah. Terserah kepada

kepala sekolah untuk

menciptakan perhatian dan

keinginan bagi pekerjaan

penting dan terus-menerus itu.

Penyesuaian dan

pengembangan kurikulum

dilakukan di sekolah dengan

mengembangkan materi

muatan lokal. Muatan lokal ini

sesuai dengan potensi

lingkungan sekitar sekolah.

6. Buletin supervisi

Buletin supervisi

merupakan alat komunikasi

yang efektif. Ia bisa berisi

pengumuman-pengumuman,

ikhtisar tentang penelitian-

penelitian, analisis presentasi

dalam pertemuan-pertemuan

organisasi professional, dan

perkembangan dalam berbagai

bidang studi.

7. Perpustakaan Profesional

Perpustakaan

professional sekolah

merupakan sumber informasi

yang sangat membantu kepada

peitumbuhan professional

personil pengajar di sekolah.

Perpustakaan professional

menyediakan tidak saja suatu

sumber informasi, tapi ia juga

suatu rangsangan bagi

kepuasan pribadi. Buku-buku

tentang pandangan

professional, bacaan

suplementer yang lebih baru,

dan majalah professional yang

banyak jumlah-nya itu

hendaknya tersedia bagi semua

guru. Juga sumbangan-

sumbangan dari guru dapat

menjadi bagian dari "gudang"

informasi ini.

8. Lokakarya

Lokakarya menyediakan

kesempatan untuk Kerjasama,

untuk memperteukan ide-ide,

untuk mendiskusikan masalah-

masalah bersama alau khuais,

dan untuk pertumbuhan

pribadi dan professional dalam

berbagai bidang studi. Ada

banyak jenis lokakarya itu.

Dalam lokakarya seni,

barangkali sebagian bcsar

waktu akan diisi dengan

partisipasi sungguh dengan

mempelajari keterampilan dan

teknik-teknik kegiatan scni.

Dalam lokakarya matematika

lebih banyak tckanan mungkin

diberikan kepada menganalisis

dan memilih pengalaman

belajar yang sesuai,

menemukan bahan teknologi

pengajaran dan metode-metode

presentasi ini, dan menilai

program-program baru.

9. Survey sekolah-masyarakat

Suatu studi yang

komprehensif tentang

masyarakat akan membantu

guru dan kepala sekolah untuk

memahami dengan lebih jelas

program sekolah yang akan

memenuhi kebutuhan dan

kepentingan murid.

Sebenarnya ada teknik-

teknik lain, tetapi yang

diterapkan di atas dengan

singkat adalah teknik-teknik

yang dalam sejumlah penelitian

dipandang telah menunjukkan

manfaatnya bagi supervisi.

Untuk pembahasan yang lebih

terurai pembaca disarankan

untuk membaca sumber-

sumber lain.

Pada hakekatnya tidak

ada satu teknik tunggal yang

bisa memenuhi segala ke-

butuhan; dan bahwa sualu

teknik tidaklah baik alau buruk

pada umumnya, melainkan

dalam kondisi tertentu.

Masalah yang utama adalah

menetapkan kebutuhan.

Beberapa teknik hubungan

antara sekolah dengan

masyarakat yang diperkenalkan

oleh Sahertian (1989) antara

lain adalah seperti: (1) laporan

kepada orang tua murid, (2)

majalah sekolah, (3) surat

kabar sekolah, (4) pameran

sekolah, (5) open house, (6)

kunjungan ke sekolah, (7)

kunjungan ke rumah murid, (8)

melalui penjelasan yang

diberikan oleh personil

sekolah, (9) gambaran

keadaan sekolah melalui

murid-murid, (10) melalui

radio dan televisi, (11)

laporan tahunan, (12)

organisasi perkumpulan

alumni sekolah, (13) melalui

kegiatan ekstra kurikulum,

dan (14) pendekatan secara

akrab.

RESPON DAN SIKAP GURU

TERHADAP SUPERVISI

PENGAJARAN

Kajian tentang sikap

guru terhadap supervisi

menjadi perhatian Neagley &

Evans (dalam Mantja, 1998)

dengan merujuk sejumlah

hasil penelitian beberapa

pakar supervisi pengajaran.

Temuan-temuan yang

dilaporkan, antara lain (1)

supervisi yang efektif harus

didasarkan atas prinsip-

prinsip yang sesuai dengan

perubahan sosial dan

dinamika kelompok, (2) para

guru menghendaki supervisi

dari kepala sekolah,

sebagaimana yang

seharusnya dikerjakan oleh

tenaga personel yang

berjabatan supervisor, (3)

kepala sekolah tidak

melakukan supervisi dengan

baik, (4) semua guru

membutuhkan supervisi dan

mengharapkan untuk

disupervisi, (5) para guru

lebih menghargai dan

menilai secara positif

perilaku supervisi yang

"hangat", saling

mempercayai, bersahabat,

dan menghargai guru, (6)

supervisi dianggap

bermanfaat bila

direncanakan dengan baik,

supervisor menunjukkan sifat

membantu dan menyediakan

model-model pengajaran

yang efektif, (7) supervisor

memberikan peran serta yang

cukup tinggi kepada guru

untuk pengambilan

keputusan dalam wawancara

supervisi, (8) supervisor

mengutamakan

pengembangan keterampilan

hubungan insani, seperti

halnya dengan keterampilan

teknis dan (9) supervisor

seharusnya menciptakan

iklim organisasional yang

terbuka, yang memungkinkan

pemantapan hubungan yang

saling menunjang (supportive).

Dalam praktiknya

supervisi pengajaran yang

dilaksanakan selama ini

masih cenderung

berorientasi pada

administratif saja. Walaupun

sudah dirumuskan dalam

kegiatan supervisi bahwa

aspek yang disupervisi

adalah administratif dan

edukatif, namun pada

kenyataannya masih

cenderung lebih dominan

aspek administratif.

Fenomena ini dikaji secara

khusus dalam Konferensi

Pendidikan di Indonesia:

Mengatasi Krisis Menuju

Pembaruan, yang diikuti para

pakar yang kompclen. Salali

satu rekomendasi dari

konferensi ini, khusu'snya yang

berkaitan langsung dengan

masalah supervisi

dikemukakan sebagai berikut

ini.

Rekomendasi 23

Fungsi-fungsi

pengawasan pada semua

jenjang pendidikan

dioptimalkan seba-gai

sarana untuk memacu

mutu pendidikan.

Pengawasan dimaksud

dengan mengutamakan

aspek-aspek akademik

daripada administratif

sebagaimana berlaku

selama ini (Jalal &

Supriadi, 2001).

Keefektifan penerapan

orientasi dan pendekptan

supervisi di atas, tidak hanya

tergangung pada supervisor

saja, melainkan juga sangat

dipengaruhi oleh persepsi,

respon, dan sikap guru

terhadap orientasi dan

supervisi yang dilakukan oleh

supervisor. Penelitian

mengenai sikap guru terhadap

supervisi dikemukakan oleh

Ekosusilo (2003) bahwa guru

tidak terlalu positif terhadap

supervisi yang dilakukan

supervisor. Selanjutnya

dikemukakan oleh Ekosusilo

dalam simpulan penelitiannya

bahwa supervisi yang

dilakukan supervisor dianggap

biasa-biasa saja dan monoton

itu-itu saja, bahkan nampak

diacuhkan. Namun guru tidak

menampakkan ketidak-

setujuannya di hadapan

supervisor, karena dilandasi

rasa hormat sekaligus tidak

ingin menimbulkan konflik.

Penelitian yang dilakukan

Mantja (1989) juga

menyimpulkan bahwa respon

dan sikap guru terhadap

supervisi ditentukan oleh

kemanfaatan, data pengamatan

yang obyektif, kesempatan

menanggapi balikan, perhatian

supervisor terhadap gagasan

guru. Supervisi yang teratur

dan hubungan yang diciptakan

dapal mengurangi ketegangan

emosional guru. Guru lebih

menyukai pendekatan supervisi

kolaboratif atau non direktif.

KENDALA-KENDALA

PELAKSANAAN SUPERVISI

PENGAJARAN

Dalam pelaksanaannya,

supervisi pengajaran di sekolah

banyak menghadapi kendala.

Mantja (1990) dalam temuan

disertasinya meuyalakan bahwa

kendala-kendala yang kurang

menunjang keefektifan

supervisi, antara lain: sikap

personil sekolah yang kurang

positif terhadap supervisi

pengelola teknis edukatif;

kurangnya keterampilan

supervisi kepala sekolah;

pengendalian emosional

supervisor dalam menerima

respons guru; kepala sekolah

yang karena kurangnya tenaga

guru haras memegang kelas

atau bidang studi tertentu,

sehingga supervisi menjadi

kurang efektif; dan adanya

guru yang tingkat

pendidikannya lebih tinggi dari

kepala sekolahnya. Temuan

Mantja ini, nampaknya

mempunyai kadar

transferabilitas yang cukup

tinggi, karena kendala-kendala

di jenjang pendidikan dasar

berkisar pada permasalahan-

permasalahan temuan tersebut

di atas. Isvanto (1999)

mengemukakan bahwa

permasalahan pendidikan,

antara lain adalah manajemen

sekolah yang tidak efektif, dan

kemampuan manajemen kepala

sekolah pada umumnya rendah

terutama di sekolah negeri dan

pembinaan karier dan

kesejahteraan guru yang tidak

konsisten.

Mengkaji perihal kendala-

kendala dalam pelaksanaan

supervisi, temuan Ekosusilo

(2003) menarik untuk

dikemukakan di sink Temuan

penelitian Ekosusilo tentang

pelaksanaan supervisi antara

lain: (1) supervisor tidak

mengkomunikasikan

rencana/program supervisinya

kepada para guru sebagai

subyek supervisi, (2) fokus

supervisi hanya terarah pada

aspek administrasi, kurang

menyentuh pada

pengembangan kemampuan

guru dalam mengelola proses

belajar mengajar, (3)

supervisor tidak melaksanakan

kunjungan kelas secara serius,

(4) supervisor mendominasi

pembicaraan dan berjalan satu

arah, (5) tidak ada penilaian

umpan balik, dan (6)

supervisor tidak pernah

meminta pada guru untuk

meminta pada guru untuk

memberikan komentar maupun

penilaian terhadap supervisi

yang telah dilaksanakan.

Kendala-kendala inilah yang

mengakibatkan supervisi

pengajaran yang dilaksanakan

oleh Pengawas Sekolah di

sekolah dasar tidak dapat

optimal, sehingga tujuan pokok

pelaksanaan supervisi untuk

meningkatkan kualitas

kegiatan belajar mengajar

tidak dapat tercapai. Temuan

Ekosusilo (2003) ini

memberikan gambaran bahwa

pembinaan profesional guru

masih perlu ditingkatkan lebih

lanjut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan uraian

tentang peningkatan mutu

pendidikan melalui supervisi

pengajaran di atas, maka

dapatlah disimpulkan hal-hal

sebagai berikut: (1) masalah-

masalah dalam bidang

pendidikan adalah (a) masalah

kuantitatif, (b) masalah

kualitatif, (e) masalah

relevansi, (d) masalah

efisiensi, (e) masalah

efektivitas, dan (f) masalah

khusus; (2) supervisi

pengajaran pada hakikatnya

adalah untuk meningkatkan

kemampuan dan keterampilan

guru dalam melaksanakan

tugas pokoknya sehari-hari

yaitu mengajar para peserta

didik di kelas; (3) supervisor

atau pembina, yaitu Pengawas

Sekolah, Kepala Sekolah, atau

semua pejabat yang terlibat

dalam layanan supervisi,

adalah pihak yang dianggap

paling bertanggung jawab

dalam kegiatan supervisi; (4)

ada tiga pendekatan dalam

supervisi pengajaran, yaitu (a)

pendekatan langsung, (b)

pendekatan tidak langsung,

dan (c) pendekatan kolaboratif;

(5) teknik-teknik supervisi

pendidikan yang paling

bermanfaat bagi supervisi

antara lain adalah: (a)

kunjungan kelas, (b)

pembicaraan individual, (c)

diskusi kelompok, (d)

demonstrasi mengajar, (e)

kunjungan kelas antar guru,

(1) pengembangan kurikulum,

(g) bulletin supervisi, (h)

perpustakaan profcsioml, (i)

lokakarya, (j) survey sekolah-

masyarakat; (6) para guru

lebih menghargai dan menilai

secara positif perilaku

supervisi yang "hangat", saling

mempercayai, bersahabat, dan

menghargai guru; dan (7)

dalam praktiknya supervisi

pengajaran yang dilaksanakan

selama ini masih cenderung

berorientasi pada administratif

saja.

Saran-saran

Berdasarkan simpulan di

atas, maka dapatlah

dikemukakan saran-saran

sebagai berikut: (1) untuk

meningkatkan kemampuan

supervisor, maka perlu secara

rutin ada program penyegaran

bagi para supervisor, sehingga

dalam melaksanakan tugasnya

sesuai dengan tujuau supervisi

dan sesuai dengan keinginan

para guru; (2) arah supervisi

perlu difokuskan/ditekankan

kepada aspek akademik tanpa

mengabaikan faktor

administratif sebagai

pelengkap pelaksanaan

supervisi tcrhadap para guru di

sekolah; (3) dalam pelaksanaan

supervisi di sekolah, para

supervisor perlu membekali

format dokumen yang dapat

merekam dan mencatat

kegiatan guru dalam

melaksanakan tugas-

tugasnya di sekolah; (4)

dalam melaksanakan supervisi

pengajaran disarankan untuk

menggunakan prosedur

supervisi klinis, dan (5) perlu

ada pertemuan sesuai supervisi

untuk mendiskusikan hasil

supervisi yang telah dilakukan

oleh Kepala Sekolah atau

Pengawas Sekolah, sebagai

upaya tindak lanjut setelah

pelaksanaan supervisi

dilaksanakan.

DAFTAR RUJUKAN

Bafadal, I. 2003. Seri Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar, Dalam Kerangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Benty, D.D.N. 1992. Kemampuan Kepi'la Sekolah Dasar Membantu Guru dalam Mengembangkan Pengajaran Menurut Persepsi Guru-Guru SD Negeri di Kecamatan Lowokwaru Kodya Malnng. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasa Sarjana, Institut Keguruan dan Ilmu pendidikan Malang.

Depdikbud. 1976. Kurikulum Sekolah Dasar 1975, Garis-Garis Besar Program Pengajaran Buku III D Pedoman Administrasi dan Supervisi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdikbud. 1994/1995. Pedoman Kerja Pelaksanaan Supervisi. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SD, TK dan SLB, Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menenga,'., Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdikbud. 1995. Pedoman Pembinaan Profesional Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Ekosusilo, M. 2003. Iiasil Penelitian Kualitatif, Supervisi Pengajaran Dalam Latar Budaya Jawa, Studi Kasus Pembinaan Guru SD di Kralon Surakarta. Sukoharjo: Penerbit Uvitet Bantara Press.

Indrafachrudi, S.(Koordinator). 1989. Administrasi Pendidikan. Malang: Penerbit IKIP Malang.

Idrus, N., dkk. 2000. Quality Assurance, Handbook. 3-Edition. Jakarta: Engineering Education Development Project, Du Malcomlm Jones (ed)., Director General of Higher Education.

Iswanto, B. 1999. Olonomi Daerah: Implikasi bagi Pengelolaan Pendidikan. Makalah disajikan dalam seminar nasional Formula Manajemen Pendidikan dalam Kerangka Otonomi Daerah di Bidang Pendidikan pada tanggal 23 Aeustus 1999 di Universitas Neseri Malane.

Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi Penclidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa.

Mantja, W. 1998. Manajemen Pembinaan Profesional Guru Berwawasan Pengembangan Sumber Daya Manusia: Suatu Kajian Ko.tseptual-historik dan Empirik. Pidalo Pengukuhan Guru Besar [KIP Malang. Making: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (The New Mind Set of National Education in the 21s' Century). Yogyakarta: Safiria Insania Press bekerjasama dengan Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia (MSI UII).

Sahertian, P.A. & Mataheru, F. 1982. Prinsip & Tehnik Supervisi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Supriadi, D. 2004. Satuan Biaya Pendidikan, Dasar dan Menengah: Rujukan Bagi Penetapan Kebijakan Pendidikan Pada Era Otonomi dan Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Lemadja Rosdakarya.

Diterbitkan Oleh :Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Gresik

ISSN 2089-5933

E - JURNAL

JENDELA

PENDIDIKAN

Vol.

0 1

No.

0 I

Hlm.

1-106

Gresik

Juni -Nopembe

r

ISSN

2089-5933

PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD TUNAS

BANGSA

WONOKROMO SURABAYA

Etiyasningsih*)

Abstrak, Bahasa Indonesia dipakai di sekolah dari tingkat paling rendah sampai perguruan tinggi, dipakai juga dalam acara resmi pada pemerintahan termasuk kehakiman pengadilan, serta di segala bentuk komunikasi tingkat nasional. Dari segi ilmiah dapat dijadikan kunci untuk membuka pintu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, dengan pertimbangan tersebut maka yang perlu diperjatikan adalah bimbingan orang tua dalam menunjang prestasi anak di sekolah. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Namun berperan serta orang tua dan masyarakat dalam menunjang prestasi belajar anaknya belum tampak menggembirakan, apabila status pendidikan orang tuanya atau masyarakat pada umumnya masih rendah, maka semata-mata pendidikan anaknya diserahkan kepada guru di sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Penelitian dilakukan di SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya. Populasi sebanyak 34 anak dan orang tua. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh 34 responden anak dan orang tua siswa. Pengumpulan data dengan dokumentasi dan kuesioner, selanjutnya dilakukan uji regresi sederhana untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa.

Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 16,995 > Ftabel = 4,17. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh

signifikan bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,000 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian d iharapkan orang tua lebih banyak memberikan bimbingan kepada anaknya terutama dalam belajar bahasa Indonesia, bimbingan di keluarga hendaknya mencakup bantuan belajar, pengawasan, pengaturan waktu belajar dan keteladanan yang ditunjukkan secara rutin, dan orang tua wali murid selalu mengawasi cara belajar anaknya dan selalu berkonsultasi dengan guru atau orang lain. Pihak sekolah diharapkan dapat sering mengadakan hubungan dan konsultasi mengenai perkembangan belajar anak dan juga memecahkan kesulitan yang timbul dalam bimbingan belajar anak dengan wali murid atau orang tua siswa

Kata Kunci : Bimbingan Orang Tua terhadap Prestasi Belajar Siswa

Pendidikan yang berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan sedini mungkin merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Banyak orang tua berpendapat bahwa tugas mencerdaskan anak adalah tugas guru dan institusi pendidikan, sementara mereka selaku orang tua asyik dengan profesinya sendiri, implikasi dari pendapat semacam ini adalah memunculkan ketidakpedulian orang tua terhadap spiritual, intelektual dan moral anaknya sendiri. Masih banyak di antara orang tua yang lalai akan tugasnya dalam membantu perkembangan dan pemahaman diri putra putrinya, mereka menyibukkan dirinya dengan urusan masing-masing.

Bagi orang tua yang taraf ekonominya kuat, waktunya banyak digunakan untuk acara-acara yang dianggap sesuai dengan martabat sosialnya, sementara bagi orang tua yang taraf ekonominya lemah, waktunya banyak digunakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga dengan keadaan ini timbulah berbagai kesulitan yang dihadapi oleh anak terutama kesulitan alam belajar yang mengakibatkan prestasi belajar mereka semakin menurun.

Ketika anaknya gagal memenuhi harapannya, pihak pertama yang dituding adalah guru dan institusi pendidikan, kalau kita renungkan anggapan orang tua bahwa pencapaian itu hanyalah tergantung pada lembaga sekolah, pendapat seperti ini kurang tepat, dan akan merugikan diri sendiri. Bagaimanapun guru, sekolah, dan institusi pendidikan yang lainnya hanyalah pihak yang membantu mencerdaskan peserta didik. Sedangkan keberhasilan dalam suatu pendidikan itu ditentukan oleh tiga komponen, yaitu orang tua (keluarga),

guru (pemerintah), dan masyarakat (lingkungan).

Dalam mendidik seseorang anak tidak akan berhasil tanpa ada kerjasama yang baik antara orang tua yang mendidik di rumah, dengan guru yang mendidik di sekolah. Demikian juga dengan lingkungan di sekitarnya juga menunjang. Antara orang tua, guru dan lingkungan dalam menangani anak harus ada kerjasama yang baik sehingga merupakan tri tunggal yang tidak dapat dipisahkan. Sehubungan dengan hal tersebut, jika ditinjau ari segi waktu belajar antara pendidikan sekolah dan ada dirumah, maka waktu belajar tersebut lebih banyak dirumah. Oleh sebab itu sebagai orang tua harus benar-benar dapat membantu dan mengarahkan putra putrinya, memahami lebih jauh dan mendalam tentang pola dan upaya mencerdaskan. Orang tua harus mengerti tentang dasar-dasar pendidikan, psikologi perkembangan, proses belajar mengajar dan pengetahuan lain guna mencapai tujuan yang sesuai dengan harapan dan cita-citanya.

Negara Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang, dan sedang getol-getolnya membangun, seiring dengan pembangunan itu, maka di segala bidang harus dikembangkan pemerintah. Di dalam persiapan pembangunan yang siap dipakai perlu sumber daya manusia yang handal, maka pemerintah menggalakkan pembangunan di bidang pendidikan.

Maka tidaklah mengherankan apabila pemerintah selalu berusaha dengan getol untuk meningkatkan pendidikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, guna mempercepat tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Untuk itu di dalam merealisir tujuan pendidikan itu, maka diseluruh jalur, jenis dan jenjang

pandidikan baik dengan jalur formal maupun non formal berkewajiban untuk segera mendukung dan mewujudkannya. Bahkan dilingkungan keluargapun di harapkan peran serta aktifnya, karena suatu program akan berhasil dengan baik apabila aktifitas di dukung oleh semua pihak.

Di dalam Undang-undang pendidikan Nomor 2 tahun 1989, disebutkan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut : “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan Nasional harus juga menumbuhkan jiwa patriotic dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan social serta kesadaran pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi ke masa depan. Iklim belajar mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di lingkungan masyarakat, terus juga di kembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, dan berkeinginan untuk maju.

Dan sebagai bangsa Indonesia harus berkomunikasi di antara suku satu dengan suku yang lainnya dengan baik, agar tetap terpelihara rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Berkomunikasi antara suku kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam hal ini termuat dalam dokumen resmi Negara, seperti : Sumpah Pemuda dan dalam Undang-

undang Dasar 1945, Bab XV pasal 36 : Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia dipakai di sekolah dari tingkat paling rendah sampai perguruan tinggi, dipakai juga dalam acara resmi pada pemerintahan termasuk kehakiman pengadilan, serta di segala bentuk komunikasi tingkat nasional. Dari segi ilmiah dapat dijadikan kunci untuk membuka pintu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, dengan pertimbangan tersebut maka yang perlu diperjatikan adalah bimbingan orang tua dalam menunjang prestasi anak disekolah. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Namun berperan serta orang tua dan masyarakat dalam menunjang prestasi belajar anaknya belum tampak menggembirakan, apabila status pendidikan orang tuanya atau masyarakat pada umumnya masih rendah, maka semata-mata pendidikan anaknya diserahkan kepada guru di sekolah.

Kesadaran bahwa tugas utama memberi bimbingan anak adalah tugas orang tua, maka akan memberikan pengaruh positif dalam pembentukan tanggung jawab dan mendorong motivasi belajar, mempermudah proses belajar pada anak dan pengkoordinasian lingkungan keluarga untuk mewujudkan anak-anak cerdas dan berprestasi terutama pada bidang studi bahasa Indonesia. Pemikiran inilah yang menjadikan penulis mengangkat judul skripsi ini dengan harapan dapat mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa pada Bidang Studi Bahasa Indonesia di SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh siswa kelas IV SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh responden sebanyak 34 siswa.

Variabel bebas (X) dalam penelitian ini yakni bimbingan orang tua, yang dimaksud bimbingan orang tua adalah suatu proses pemberi bentuan secara terus menerus dan sistematik dari pembimbing kepada peserta bimbingan agar tercapai pemahaman dari penerima diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan memperoleh kebahagian hidup. Variabel prestasi belajar Bahasa Indonesia (Y) yaitu suatu suatu hasil yang teah dicapai setelah kegiatan belajar mengajar Bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan adalah nilai ulangan mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis. Uji hipotesis dilakukan untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana :

Y = a + bX

Y = Prestasi Belajar Bahasa Indonesia

X = Bimbingan Orang Tua

a = Nilai konstanta

b = Nilai arah sebagai penentu ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan

(+) atau nilai penurunan (–) variabel Y.

HASIL PENELITIAN

Hasil Pengujian Validitas

Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan mengukur apa yang diinginkan dan mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrument valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapat data itu valid. Dalam uji validitas ini suatu butir pernyataan dikatakan valid jika corrected item total correlation lebih besar dari 0,339 (untuk jumlah responden 34 orang) sebagaimana tabel r produk momen terlampir. Hasil pengujian validitas terhadap variabel bimbingan orang tua (X) dan Prestasi Belajar Siswa (Y) dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 1 Hasil Uji Validitas Variabel Prestasi Belajar Siswa (X)

Pernya-taan

Corrected item total

correlationKet

123456789

1011121314

0,8430,3720,6380,6010,5400,5410,7670,4760,6420,6200,6860,3550,6770,793

ValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValid

Pernya-taan

Corrected item total

correlationKet

151617181920

0,5430,4390,3540,4950,5350,651

ValidValidValidValidValidValid

Sumber : Hasil Olah Data SPSS

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk item pernyataan variabel bimbingan orang tua, corrected item total correlation yang diperoleh untuk seluruh item pernyataan adalah lebih besar dari 0,339 (untuk jumlah responden 34 orang), hal tersebut berarti bahwa secara keseluruhan item pernyataan mengenai bimbingan orang tua adalah valid.

Hasil Uji Reliabilitas

Suatu alat ukur dikatakan reliabel atau handal, jika alat itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berbeda senantiasa menunjukkan hasil yang relatif sama. Untuk menguji reliabilitas suatu instrument dapat digunakan uji statistic Cronbach Alpha (α), dimana suatu alat ukur dikatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60. Hasil pengujian reliabilitas terhadap variabel bimbingan orang tua (X) diperoleh alpha sebesar 0,7483 lebih besar dari 0,6 sehingga dapat diputuskan bahwa item kuesioner telah reliabel.

Uji Asumsi Klasik

Uji normalitas

Dalam penelitian ini uji normalitas kriterianya adalah jika

distribusi data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Dependent Variable: Prestasi Belajar Siswa

Observed Cum P rob

1 ,0,8,5,30 ,0

Ex

pe

cte

d C

um

Pro

b

1 ,0

,8

,5

,3

0 ,0

Gambar 1 Grafik Normalitas Standar Residual Regresi

Sesuai kriterianya grafik normal plot di atas terlihat titik-titik menyebar di sekitar garis diagonalnya, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian menunjukkan bahwa model regresi layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas.

Uji Heteroskedastisitas

Indikator uji ini adalah melihat grafik Scatterplot, jika titik-titik menyebar secara acak serta tersebar di atas maupun di bawah angka 0 pada suhu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

Scatterplot

Dependent Variable: P restasi B elajar S isw a

Regression S tandardized P redicted Value

210-1-2-3

Re

gre

ss

ion

Stu

de

nti

ze

d R

es

idu

al

2 ,0

1 ,5

1 ,0

,5

0 ,0

-,5

-1 ,0

-1 ,5

-2 ,0

Gambar 2 Grafik Scatterplot

Dari grafik scatterplot di atas terlihat titik menyebar secara acak dan tersebar di atas maupun di bawah angka 0 pada suhu Y, hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi sehingga model regresi layak dipakai untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa.

Hasil Pengujian Regresi Linier Sederhana

Untuk mengetahui ada atau tidaknya pergaruh antara variabel bebas bimbingan orang tua terhadap variabel terikat yang dalam hal ini adalah prestasi belajar siswa (Y), maka digunakan analisis model agresi linier sederhana dengan model persamaan sebagai berikut :

Y = α + bX1

Dimana :

Y = Prestasi Belajar Siswa

X = Bimbingan Orang Tua

b3 = Koefisien regresi X

Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.

ANOVAb

151, 891 1 151, 891 16, 995 , 000a

285, 991 32 8, 937

437, 882 33

Regression

Residual

Tot al

Model1

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Predict ors: (Const ant ) , Bimbingan Orang Tuaa.

Dependent Var iable: Prest asi Belajar Siswab.

Gambar 3 Uji F

Gambar 3 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 16,995. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel df = 32 sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution α=0,05). Tabel F dengan df = 32 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,17. Sehingga Fhitung = 16,995 > Ftabel = 4,17.

Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,000 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.

Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif antar kedua variabel yang diperoleh Pearson Correlation sebesar 0,589 lebih dari rtabel sebesar 0,339 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 32 terlampir).

Co rre la tio n s

1 ,0 0 0 ,5 8 9

,5 8 9 1 ,0 0 0

, ,0 0 0

,0 0 0 ,

3 4 3 4

3 4 3 4

Pre s ta s i Be l a j a r S i s wa

Bi mb i n g a n Ora n g T u a

Pre s ta s i Be l a j a r S i s wa

Bi mb i n g a n Ora n g T u a

Pre s ta s i Be l a j a r S i s wa

Bi mb i n g a n Ora n g T u a

Pe a rs o n Co rre l a t i o n

S i g . (1 -ta i l e d )

N

Pre s ta s iBe l a j a r S i s wa

Bi mb i n g a nOra n g T u a

Gambar Pearson Correlations

Besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.

Coeffic ients a

35 ,537 3,292 10 ,797 ,000

,190 ,046 ,589 4,123 ,000 ,589 ,589 ,589

(Cons tan t)

Bimbingan Orang Tua

Mode l1

B Std . Erro r

Uns tandard iz edCoeffic ien ts

Be ta

Standard iz edCoeffic ien ts

t Sig . Ze ro-o rde r Partia l Pa rt

Corre la tions

Dependen t Va riab le: Pres tas i Bela jar Sis waa.

Gambar 4 Uji t

Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.5 memperlihatkan thitung sebesar 4,123 > ttabel sebesar 2,042 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir) artinya terdapat pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa.

Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat koefisien regresi (standarized coefficients Beta) pada gambar 4.2 sebesar 0,589. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut :

Y = a + bX

= 35,537 + 0,190

Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut:1) Konstanta sebesar 35,537

menyatakan bahwa jika variabel tingkat pendidikan dianggap konstan (tidak ada upaya membimbing), maka prestasi belajar siswa sebesar 35,537 point.

2) Koefisien regresi tingkat pendidikan sebesar 0,190 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin bimbingan orang tua akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 0,190 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya bimbingan orang tua sebesar 1000 poin maka akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 190 point.

INTERPRETASI

Bimbingan orang tua sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Memang bimbingan orang tu sangat diperlukan oleh siswa mengingat belajar di sekolah tanpa diulang di rumah kemungkinan lupa atau kurang memahami. Jika orang tua mau dan mampu membimbing anaknya maka anak akan lebih mengingat dan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru di sekolah.

Secara umum hal ini sesuai dengan Ketut Sukardi bahwa bimbingan adalah suatu proses bantuan yang diberikan pada seseorang agar mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki, mengenali dirinya sendiri, mengatasi persoalan sehingga mereka dapat menentukan sendiri jalan hidupnya, secara bertanggung jawab tanpa bergantung pada seseorang atau orang lain. Selain itu bimbingan merupakan suatu proses pemberi bantuan yang terus menerus dan sistematis terhadap individu dalam memecahkan masalah yang dihadapi agar tercapai kemampuan untuk memahami dirinya (self undertanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self aceptaince), kemampuan untuk mencurahkan dirinya (self direction), sesuai dengan potensi atau kemampuan dalam

mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. Bantuan yang diberikan orang-orang yang memiliki keahlian dan pengalaman khusus dalam bidang tertentu yaitu bidang pendidikan.

Bimbingan mencakup pertolongan yang diberikan seseorang dengan tujuan untuk menolong orang itu kemana ia ingin atau harus pergi, apa yang ia inginkan dilakukan dan bagaimana cara yang sebaik-baiknya tersebut memecahkan masalah yang timbul dalam kehidupan. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan mengenai bimbingan, yaitu: Bimbingan ialah suatu proses pemberi bentuan secara terus menerus dan sistematik dari pembimbing kepada peserta bimbingan agar tercapai pemahaman dari penerima diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan memperoleh kebahagian hidup (Totok Santoso, 1986:25).

Pertolongan dalam bimbingan menurut Slamet (1989:25) antara lain (1) Pertolongan di arahkan peningkatan kemampuan dalam menghadapi hidup dengan segala persoalan, (2) Pertolongan yang kontinyu yang diberikan atas dasar perencanaan dan pemikiran yang ilmiah, (3) Pertolongan yang proses pemecahan dari persoalan yang membutuhkan aktivitas dan tanggung jawab bersama antara yang menolong dan yang ditolong, (4) Pertolongan yang isi, bentuk dan caranya disesuaikan kebutuhan tiap-tiap kasus.

Secara spesifik tujuan bimbingan oleh orang tua ataupun pihak tertentu adalah dapat mengetahui keadaan pribadi siswa untuk membantu

kesulitan belajar yang mungkin dihadapi. Tujuan bimbingan belajar yang dimaksudkan adalah untuk memperoleh tingkat perkembangan belajar yang optimal bagi setiap siswa sesuai dengan kemampuannya agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.

Selain itu bimbingan bertujuan untuk membantu siswa agar mencapai perkembangan yang optimal yaitu siswa dapat menemukan dirinya sendiri, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan sehingga dapat mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab, pelajar yang kreatif dan pekerja yang produktif. Drs. Bimo Walgito menyatakan bahwa tujuan utama bimbingan belajar agar masing-masing siswa dapat mengembangkan kemampuan yang ada pada mereka sehingga tercapai prestasi yang optimal.

Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan belajar adalah untuk mengenali kemampuan-kemampuan yang terendam dalam diri anak sehingga dapat diharapkan anak tersebut dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang terpendam, jadi bimbingan belajar sangat penting untuk keberhasilan siswa.

Tujuan bimbingan orang tua terhadap anaknya antara lain (1) Untuk mengetahui keadaan pribadi anak yang dianggap mempunyai masalah, (2) Untuk memahami jenis atau sifat kesulitan belajar yang dihadapi, (3) Untuk mengetahui faktor penyebab kesulitan anak dalam pelajaran, (4) Untuk mengetahui baik secara kuratif (penyembuhan) maupun secara prefentif (pencegahan) kelemahan-kelemahan belajar yang dihadapi oleh anak.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Bimo Walgito. 1982. Bimbingan dan Penyuluhan Sekolah. Yayasan penerbit Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.

Dep. Dik. Bud. 1984. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta Jakarta.

Dewa Ketut Sukerdi, Drs . 1983 . Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah. Penerbit Indonesia.

GBHN, Ketetapan MPR RI No. 11/MPR/1008, Bima Pustaka Surabaya.

I. Djumhur dan Moh. Surya. 1975 Bimbingan dan Penyulahan di Sekolah (Guiedence Counseling). Penerbit CV. Ilmu Bandung.

Ngalim Purwanto MP, Drs. 1997. Psikologi Pendidikan. Remaja Resdakarya Bandung.

Suhartini Arikunto. 1981. Prosedur Penelitian , Rineka Cipta Jakarta.

Siti Rahaju Hadi Noto, 1982. Prinsip-prinsip Bimbingan dan Penyuluhan. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.

Sutrisno Hadi, 1983. Metodologi Research I dan II, Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.

Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Winamo Surahmad, Drs. Msc. 1976. Pengantar Penyelidikan Ilmiah. CV. Jenmars Bandung.

Wjs. Poerwodarminto, 1961. Kamus Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka Jakarta.

Diterbitkan Oleh :

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Gresik

ISSN 2089-5933

1

E - JURNAL

JENDELA

PENDIDIKAN

Vol. :

01

No. :

I

Hlm.

1-106

Gresik

Juni -Nopembe

r

ISSN

2089-4554

Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah

dan Gaya Kognitif terhadap

Pemahaman Uniflying Geography

Syaiful Khafid

Email: [email protected]

Abstract: Penelitian ini dilaksanakan untuk membandingkan pemaha-man ‘uniflying geography’ antara siswa yang diajar dengan menggu-nakan pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang diajar secara konvensional, dan antara siswa bergaya kognitif field independent dan siswa yang bergaya kognitif field dependent yang menggunakan desain kuasi eksperimental. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah mempe-roleh skor signifikan lebih tinggi dalam bidang geografi dari siswa yang diajar secara konvensional. Lagi pula, siswa dengan gaya field inde-pendent ternyata memperoleh skor signifikan lebih tinggi daripada siswa dengan gaya kognitif field dependent, Akan tetapi, penelitian tersebut tidak menunjukkan pengaruh interaksional dari model pembe-lajaran dan gaya kognitif terhadap pemahaman ‘uniflying geography’ siswa.

2

Kata kunci: pembelajaran berbasis masalah, gaya kognitif, pemahaman geografi

3

Geografi sebagai mata

pelajaran formal pertama yang

membawa siswa kontak dengan

realitas kehidupan seharusnya

dapat menjadi satu mata

pelajaran yang cukup menarik.

Bahkan arti penting geografi

bagi kehidupan diakui juga oleh

tokoh atau pejabat dari

kalangan ketentaraan maupun

pemerintahan. Kalau dalam

kenyataan geografi menjadi

kurang menarik sebagian besar

siswa tentu ada faktor-faktor

penyebab yang menjadikan

demikian (Suharyono dan

Amien, 1994) sehingga

berakibat rendahnya

pemahaman geografi (Khafid,

2010).

Rendahnya pemahaman

‘uniflying geography’

disebabkan paradigma

pendidikan konvensional yang

menggunakan metode

pembelajaran klasikal dan

ceramah, tanpa diselingi aneka

metode pembelajaran inovatif,

termasuk adanya penyekat

ruang struktural antara guru

dan siswa. Pembelajaran

‘uniflying geography’ yang

dilakukan guru geografi di

kelas hanya menekankan ranah

kognitif dan hafalan serta

kurang mendorong siswa

berpikir kritis dan kreatif

(Khafid, 2008:19) Menurut

penilaian Sudradjat (dalam

Daldjoeni, 1997:129)

permasalahan yang menonjol

adalah rendahnya partisipasi

siswa dalam mempelajari

geografi baik secara intelektual

maupun emosional. Pertanyaan

yang berasal dari siswa yang

berupa gagasan atau

sanggahan jarang muncul.

Jikapun ada yang berpendapat

jarang diikuti oleh gagasan lain,

sehingga sebagian siswa

merasakan bahwa

1

pembelajaran geografi

membosankan, kering, tidak

jelas, dan sulit dipahami.

Ada lima faktor penyebab

rendahnya kualitas pemahaman

‘uniflying geography’, yaitu: (1)

siswa belum mampu

menerapkan objek formal studi

geografi ketika mengkaji

fenomena geosfer (objek

material studi geografi), (2)

siswa kurang memiliki

kemampuan untuk

merumuskan gagasan sendiri,

(3) siswa kurang memiliki

keberanian untuk

menyampaikan pendapat

kepada orang lain, (4) siswa

belum terbiasa menggunakan

media peta ketika belajar

geografi. dan (5) siswa belum

terbiasa bersaing

menyampaikan pendapat

dengan teman yang lain

(Khafid, 2008:19). Di samping

itu, ada tiga faktor yang

mempengaruhi hasil belajar

siswa, yaitu: (a) faktor endogen,

berasal dari siswa, (b) faktor

eksogen, berasal dari

lingkungan, dan (c) faktor jenis

gaya kognitif yang digunakan

siswa (Syah, 2001:130). Hasil

belajar geografi yang rendah

tersebut bukan hanya

dibebankan kepada siswa,

melainkan yang pertama

bertanggung jawab adalah guru

geografi. Karena itu, guru perlu

merefleksi model pembelajaran

yang pernah diterapkan untuk

mengubah paradigma

pembelajaran dengan

memperhatikan gaya kognitif

belajar siswa.

Untuk meningkatkan

pemahaman ‘uniflying

geography’ diperlukan

perubahan paradigma yang

digunakan sebagai landasan

dalam pembelajaran.

2

Perubahan paradigma perlu

memikirkan bagaimana

siswa belajar dan bagaimana

guru mengelola

pembelajaran, bukan hanya

berfokus pada hasil belajar.

Menurut Degeng (2001a)

tujuan utama pembelajaran

adalah mengembangkan

kemampuan mental yang

memungkinkan seseorang

dapat belajar. Riyanto

(2005:98) mengatakan

bahwa peran guru adalah

memberikan kemudahan

kepada siswa untuk

membangun sendiri

pengetahuan dalam

benaknya. Guru memberi

siswa anak tangga yang

membawa siswa ke

pemahaman yang lebih

tinggi dengan catatan siswa

sendiri harus memanjat anak

tangga tersebut. Jadi, belajar

itu sendirilah yang menjadi

tujuan pembelajaran.

Keaktifan siswa menjadi

unsur yang sangat penting

dalam menentukan

kesuksesan belajar.

Sebenarnya target yang

harus dipenuhi guru adalah

siswa mampu

merekonstruksi sebuah

kejadian yang Model

pembelajaran berbasis

masalah menurut Mustaji

(2004:73) penggunaannya di

dalam pengembangan

tingkat berpikir yang lebih

tinggi dalam situasi yang

berorientasi pada masalah,

termasuk pembelajaran

bagaimana belajar. Pada

pembelajaran ini, guru

bereran mengajukan

permasalahan atau

3

pertanyaan, memberikan

dorongan, memotivasi dan

menyediakan bahan ajar, dan

fasilitas yang diperlukan

siswa. Selain itu, guru

memberikan dukungan

dalam upaya meningkatkan

temuan dan perkembangan

intelektual siswa.

Beberapa kelebihan

penerapan pembelajaran

berbasis masalah di

antaranya: (1) siswa lebih

memahami konsep yang

diajarkan sebab mereka

sendiri yang menemukan

konsep tersebut, (2)

melibatkan secara aktif

memecahkan masalah dan

menuntut keterampilan

berikir siswa yang lebih

tinggi, (3) pengetahuan

tertanam berdasarkan

skemata yang dimiliki siswa

sehingga pembelajaran lebih

bermakna, (4) siswa dapat

merasakan manfaat

pembelajaran sebab

masalah-masalah yang

diselesaikan langsung

dikaitkan dengan kehidupan

nyata, hal ini dapat

meningkatkan motivasi dan

ketertarikan siswa terhadap

bahan yang dipela-jari, (5)

menjadikan siswa lebih

mandiri dan lebih dewasa,

mampu memberi aspirasi

dan menerima pendapat

orang lain, menanamkan

sikap sosial yang positif di

antara siswa, dan (6)

pengondisian siswa dalam

belajar kelompok yang saling

berinteraksi terhadap guru

dan temannya sehingga

pencapaian ketuntasan

4

belajar siswa dapat

diharapkan.

Gaya kognitif dapat

dikonsepsikan sebagai sikap,

pilihan atau strategi yang

secara stabil menemukan cara-

cara siswa yang khas dalam

menerima, mengingat, berpikir,

dan memecahkan masalah.

Menurut Slameto (2003:162)

gaya kognitif adalah ”variabel

penting dalam pilihan-pilihan

yang dibuat oleh siswa dalam

sejumlah hal berhubungan

dengan perkembangan

akademik”. Jadi, gaya kognitif

dideskripsikan sebagai cara

bagaimana seseorang siswa

mengolah informasi,

sehingga ia dapat mencapai

prestasi belajar yang maksimal

(Degeng, 2001b:1).

Pendapat Atkinson

sebagaimana dikutip Lamba

(2006:124) membedakan gaya

kognitif, yaitu gaya kognitif

field independent (articulated)

dan field dependent (global).

Siswa yang bergaya kognitif

field independent mempunyai

kecenderungan untuk mencapai

prestasi lebih tinggi daripada

kecenderungannya

menghindari kegagalan.

Mereka selalu optimis akan

berhasil dan cenderung akan

mencapai prestasi yang

maksimal. Pendapat Witkin

sebagaimana dikutip Degeng

(2001b:3) siswa yang bergaya

kognitif field independent

cenderung melakukan analisis

dan sintesis terhadap informasi

yang dipelajari. Sebaliknya,

siswa yang bergaya kognitif

field dependent lebih

cenderung mengantisipasi

kegagalan dengan memilih

tugas-tugas yang mudah dan

sifatnya harus banyak

bimbingan, serta kurang

5

mampu memisahkan hal-hal

yang relevan dan tidak relevan

dalam suatu situasi. Individu

yang mempunyai gaya kognitif

field independent jika

dihadapkan pada tugas-tugas

yang kompleks dan bersifat

analisis cenderung

melakukannya dengan baik,

dan apabila berhasil, antusias

untuk melakukan tugas-tugas

yang lebih berat lebih baik lagi

dan mereka lebih senang untuk

bekerja secara mandiri. Gaya

kognitif sebagai keinginan

untuk mengalami keberhasilan

dan peran serta dalam kegiatan

di mana keberhasilan

bergantung pada upaya dan

kemampuan seseorang (Slavin,

1995). Gaya kognitif seseorang

dapat dilihat dari sikap dan

perilaku, misalnya keuletan,

ketekunan, daya tahan,

keberanian menghadapi

tantangan, kegairahan, dan

kerja keras.

Kemungkinan berhasil atau

gagal dalam konsep gaya

kognitif ada dua

kecenderungan yaitu

kecenderungan mendekati

keberhasilan dan

kecenderungan menjauhi

kegagalan. Gaya kognitif

sebagai gaya usaha untuk

berhasil dan menganggapnya

sebagai dorongan dengan

kecenderungan mendekati

suatu keberhasilan atau suatu

yang berkaitan dengan prestasi.

Gaya kognitif seseorang

individu ditentukan oleh kedua

kecenderungan tersebut.

Gaya kognitif memiliki

landasan teoretik dan empirik

yang kokoh. Perilaku ini telah

banyak diamati pada bidang

bisnis, pendidikan, dan latar

lainnya. Kajian Heller (1992)

6

menyimpulkan ada enam

karakteristik gaya kognitif yang

konsisten ditemukan dalam

konteks sekolah yaitu: (1) siswa

yang bergaya kognitif field

independent lebih menyukai

terlibat dalam situasi ada risiko

kegagalan. Sebaliknya, siswa

yang bergaya kognitif field

dependent cenderung memilih

tugas-tugas mudah, (2) faktor

kunci yang memotivasi siswa

bergaya kognitif field

independent adalah kepuasan

intrinsik dari keberhasilan itu

sendiri, bukan pada ganjaran

ekstrinsik, seperti uang atau

prestise. Siswa yang bergaya

kognitif field independent akan

bekerja keras agar berhasil, (3)

cenderung membuat pilihan

atau tindakan yang realistis,

dalam menilai kemampuannya

dengan tugas-tugas yang

dikerjakan, (4) siswa yang

bergaya kognitif field

independent menyukai situasi

yang dapat menilai sendiri

kemajuan dan pencapaian

tujuannya, (5) siswa yang

bergaya kognitif field

independent perspektif waktu

jauh ke depan, dan (6) siswa

yang bergaya kognitif field

independent tidak selalu

menunjukkan rata-rata nilai

yang tinggi di sekolah.

Kajian tingkat gaya kognitif

dalam penelitian ini terbatas

pada tingkat gaya kognitif yang

dapat dilihat dari perilaku

subjek. Misalnya, siswa mudah

dipengaruhi oleh

lingkungannya ataupun sulit

dipengaruhi oleh lingkungan di

mana siswa itu berada, harapan

untuk sukses, bekerja keras,

kekhawatiran akan gagal, dan

keinginan memperoleh nilai

yang tinggi (Lamba, 2006)

7

Mata pelajaran geografi

membangun dan

mengembangkan pemahaman

siswa tentang variasi dan

organisasi spasial masyarakat,

tempat, dan lingkungan di

permukaan bumi. Dengan

karakteristik yang kompleks ini

merupakan tantangan bagi

siswa, sehingga siswa yang

bergaya kognitif field

independent akan lebih tekun

belajar, bekerja keras,

berusaha semaksimal mungkin,

dan tidak membuang-buang

waktu karena merasa

tertantang, mereka ingin

berprestasi. Siswa yang

bergaya kognitif field

dependent tidak begitu rela

untuk melibatkan diri

sepenuhnya dalam

mengerjakan tugas-tugas yang

kompleks, karena takut gagal

tidak mau menanggung risiko.

Untuk menjadi geografi

terpadu (unifying geography)

perlu ditegaskan komponen inti

geografi. Matthews dan

Herbert (2004:379)

mengusulkan empat komponen

inti geografi, yaitu: (1) ruang

(space), tempat (place),

lingkungan (environment), dan

peta (maps). Ruang, tempat,

lingkungan, dan peta menjadi

label geografi. Keempat

komponen tersebut mempunyai

kedudukan yang sama dalam

kajian geografi, baik kajian

geografi fisik maupun geografi

manusia. Demikian juga dapat

menjadi dasar konsep untuk

disiplin geografi terpadu.

8

Gambar 1. Konsep ‘Uniflying

Geography’

Berdasarkan uraian di atas,

permasalahan penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai

berikut: (1) adakah perbedaan

pemahaman ‘uniflying

geography’ secara signifikan

antara pembelajaran berbasis

masalah dan pembelajaran

konvensional?, (2) adakah

perbedaan pemahaman

‘uniflying geography’ secara

signifikan antara siswa yang

bergaya kognitif field

independent dan siswa yang

bergaya kognitif field

dependent?, dan (3) adakah

interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’?

Penelitian ini bertujuan

untuk (1) menguji signifikansi

pemahaman ‘uniflying

geography’ yang berbeda

antara pembelajaran berbasis

masalah dan pembelajaran

konvensional, (2) menguji

perbedaan pemahaman

‘uniflying geography’ secara

signifikan antara siswa yang

bergaya kognitif field

independent dan siswa yang

bergaya kognitif field

dependent, dan (3) menguji

interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’

9

METODE

Jenis penelitian ini adalah

penelitian kuasi eksperimental

dengan desain faktorial 2 x 2.

Variabel-variabel yang diteliti

adalah (1) variabel bebas yaitu

metode pembelajaran yang

terdiri atas pembelajaran

berbasis masalah dan

pembelajaran konvensional, (2)

variabel moderator yaitu gaya

kognitif yang dikategorikan

atas gaya kognitif field

independent dan gaya kognitif

field dependent, dan (3)

variabel terikat yaitu

pemahaman ‘uniflying

geography’. Populasi penelitian

ini adalah siswa kelas X SMAN

1 Sidayu semester genap tahun

pelajaran 2010/2011 dengan

jumlah siswa 280 orang.

Sampel penelitian berjumlah 64

siswa diambil dengan teknik

random yang terdiri atas 32

siswa yang bergaya kognitif

field independent dan 32 siswa

yang bergaya kognitif field

dependent.

Instrumen penelitian yang

digunakan dalam pengumpulan

data terdiri atas dua yaitu (a)

tes gaya kognitif, dan (b) tes

pemahaman geografi.

Instrumen gaya kognitif terdiri

dari 20 soal yang berbentuk

gambar-gambar yang rumit.

Dalam gambar-gambar yang

rumit itu ditempatkan gambar

yang sederhana. Sebagai

jawabannya siswa disuruh

mencari gambar yang

sederhana itu di dalam gambar

yang rumit dengan jalan

menebalkan gambar yang

sederhana tersebut. Tes gaya

kognitif dilaksanakan pada

minggu pertama bulan Januari

2011.

Tes pemahaman ‘uniflying

geography’ dengan

10

menggunakan 40 soal pilihan

ganda yang setelah

diujicobakan diperoleh soal

yang memenuhi syarat valid

dan reliabel sebanyak 35 soal

untuk setiap soal terdapat lima

kemungkinan jawaban.

Sebelum dilakukan pengujian

hipotesis, terhadap semua data

dilakukan uji prasyarat dengan

uji normalitas dan uji

homogenitas. Uji normalitas

digunakan uji Kolmogorov-

Smirnov. Uji homogenitas

menggunakan perangkat

analisis Levene Statistic. Dari

pengujian ternyata bahwa

semua kelompok data

memenuhi asumsi normalitas

dan homogenitas. Analisis data

dalam penelitian ini

menggunakan teknik analisis

kovarian (anakova).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa ada

perbedaan pemahaman

‘uniflying geography’ secara

signifikan antara pembelajaran

berbasis masalah dan

pembelajaran konvensional.

Temuan ini membuktikan

bahwa hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini yaitu ada

perbedaan pemahaman

‘uniflying geography’secara

signifikan antara pembelajaran

berbasis masalah dan

pembelajaran konvensional

siswa kelas X SMAN 1 Sidayu.

Jadi, hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini diterima.

Maksudnya, metode

pembelajaran berbasis masalah

lebih unggul daripada metode

pembelajaran konvensional

dalam mempengaruhi

pemahaman ‘uniflying

geography’.

11

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa ada

perbedaan pemahaman

‘uniflying geography’ secara

signifikan antara siswa yang

bergaya kognitif field

independent dan siswa yang

bergaya kognitif field

dependent siswa kelas X SMAN

1 Sidayu. Temuan ini

menunjukkan bahwa siswa

yang bergaya kognitif field

independent rerata hasil

belajarnya lebih tinggi daripada

siswa yang bergaya kognitif

field dependent. Jadi, hipotesis

yang diajukan dalam penelitian

ini diterima. Maksudnya, siswa

yang bergaya kognitif field

independent lebih baik

pemahaman geografinya

daripada siswa yang bergaya

kognitif field dependent.

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa tidak ada

interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’. Jadi, hipotesis yang

diajukan dalam penelitian yaitu

ada interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’ siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu ditolak.

Pengaruh Metode

Pembelajaran terhadap

Pemahaman ‘Uniflying

Geography’

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa ada

perbedaan pemahaman

‘uniflying grography’ secara

12

signifikan antara metode

pembelajaran berbasis masalah

dan metode pembelajaran

konvensional. Temuan ini

membuktikan bahwa hipotesis

yang diajukan dalam penelitian

ini yaitu ada perbedaan

pemahaman .uniflying

geography’ siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu.

Geografi merupakan ilmu

integratif yang mempelajari

fenomena geografis mencakup

dimensi fisik dan sosial di

permukaan bumi dalam

perspektif keruangan untuk

pembangunan wilayah supaya

manusia hidup sejahtera.

Geografi sebagai disiplin ilmu

dan mata pelajaran dengan

kajian fenomena geografis yang

cukup luas, kompleks, dan sulit

sehingga menuntut kemampuan

siswa memecahkan masalah

untuk dapat memahami

fenomena fisik dan sosial

secara komprehensif dengan

pendekatan spasial maka guru

geografi harus melakukan

pembelajaran berbasis masalah

dengan melibatkan siswa

secara aktif. Untuk dapat

memahami fenomena fisik dan

sosial di permukaan bumi

dalam perspektif spasial maka

siswa perlu mendalami ilmu

geografi dan ilmu bantu

geografi dengan bimbingan

guru melalui kajian Gambar 2.

Gambar 2. Geografi dan bidang-

bidang ilmu bantunya (Haggett,

2001:766).

Geografi dan bidang-

bidang ilmu bantunya dapat

dikuasai oleh siswa, antara lain

13

jika digunakan metode

pembelajaran berbasis

masalah. Hal ini menurut

Khafid (2010:77) karena siswa

akan lebih banyak kesempatan

untuk berpartisipasi, memberi

dan menerima bantuan dalam

menjelaskan dan meningkatkan

belajar dalam kelompok,

meningkatkan motivasi untuk

sukses karena sukses tidak

hanya untuk dirinya sendiri

tetapi juga untuk kelompoknya.

Motivasi yang baik dalam

mengerjakan tugas akan

membantu perkembangan

belajar, siswa tidak terisolasi,

siswa diberi lebih banyak

tanggung jawab.

Metode pembelajaran

berbasis masalah menggunakan

level yang lebih tinggi dalam

berpikir. Berinteraksi dengan

teman atau orang lain

mendorong orang untuk

membangun kembali pikiran

mereka seperti merangkum,

menguraikan, dan menjelaskan.

Ketidaksetujuan, jika ditangani

dengan baik akan membantu

dalam kejernihan berpikir dan

meningkatkan untuk

membangun kembali

pengetahuan yang baru.

Mendengarkan perspektif

orang lain, terutama dalam

kelompok yang heterogen,

meningkatkan kesadaran

bahwa banyak cara pandang,

menghargai keberagaman

sebagaimana tuntutan studi

geografi.

Pengaruh Gaya Kognitif

terhadap ’Uniflying

Geography’

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan ada perbedaan

pemahaman ’uniflying

geography’ secara signifikan

14

antara siswa yang bergaya

kognitif field independent dan

siswa yang bergaya kognitif

field dependent. Temuan ini

menunjukkan bahwa siswa

yang bergaya kognitif field

independent rerata hasil

belajarnya lebih tinggi daripada

siswa yang bergaya kognitif

field dependent. Jadi, hipotesis

yang diajukan dalam penelitian

ini diterima dan siswa yang

bergaya kognitif field

independent lebih baik

pemahaman geografinya

daripada siswa yang bergaya

kognitif field dependent.

Temuan ini memperkuat

penelitian McCelland (dalam

Slameto, 2003) yang

menyatakan bahwa seorang

yang bergaya kognitif field

independent lebih baik hasil

belajarnya (pemahaman

geografi) dibandingkan dengan

yang bergaya kognitif field

dependent.

Dalam rangka belajar di

sekolah gaya kognitif terwujud

sebagai daya penggerak siswa,

sikap, dan perilaku untuk

mengusahakan kemajuan

belajar dan berprestasi yang

maksimal. Siswa yang bergaya

kognitif field independent

keinginan untuk sukses benar-

benar berasal dari dalam diri

sendiri. Siswa ini tetap bekerja

keras baik dalam situasi

bersaing dengan orang lain,

maupun dalam bekerja sendiri.

Siswa yang bergaya kognitif

field independent untuk

memperoleh prestasi baik, dia

mencapai sesuai dengan taraf

kemampuannya. Untuk itu,

lebih tekun belajar, bekerja

keras, ingin berkompetisi

sehingga tidak pernah

membuang-buang waktu.

Pengalamannya bersukses

15

meningkatkan usaha untuk

sukses lagi dikemudian hari.

Sebaliknya, siswa yang bergaya

kognitif field dependent untuk

berprestasi baik tidak begitu

rela untuk melibatkan diri

sepenuhnya dalam

mengerjakan tugas belajar yang

dihadapinya. Pada siswa yang

bergaya kognitif field

independent berusaha secara

maksimal, ukuran mengenai

prestasi banyak ditentukan oleh

usaha mereka sendiri ataupun

belajar dengan teman-teman.

Siswa yang bergaya kognitif

field dependent dengan mudah

dipengaruhi oleh

lingkungannya, baik lingkungan

belajar maupun lingkungan

hidupnya. Ia ingin menghindari

kegagalan dan bersamaan

dengan itu memiliki aspirasi

yang tidak realistis,

menentukan target yang

sebenarnya terlalu rendah atau

terlalu tinggi untuk mencari

jaminan tidak akan mengalami

kegagalan. Siswa yang bergaya

kognitif field independent

memiliki harapan untuk sukses

dan bekerja secara mandiri.

Mereka tidak mudah

dipengaruhi oleh

lingkungannya sehingga selalu

mau belajar terus sepanjang

hayat.

Interaksi Metode

Pembelajaran dan Gaya

Kognitif terhadap

Pemahaman ‘Uniflying

Geography’

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa tidak ada

interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’. Jadi, hipotesis yang

diajukan dalam penelitian yaitu

16

ada interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’ siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu terbukti tidak

ada interaksi.

Interaksi dalam penelitian

ini diartikan kerja sama dua

variabel bebas atau lebih dalam

mempengaruhi suatu variabel

terikat. Interaksi terjadi

manakala suatu variabel bebas

memiliki efek-efek yang

berbeda terhadap suatu

variabel terikat pada berbagai

tingkat dari suatu variabel

bebas lainnya. Dalam penelitian

ini terungkap bahwa tidak ada

interaksi, ini berarti bahwa

metode pembelajaran bekerja

sendiri-sendiri memengaruhi

pemahaman belajar geografi,

demikian juga dengan gaya

kognitif bekerja sendiri-sendiri

terhadap pemahaman belajar

geografi. Atau dengan kata lain

metode pembelajaran berbasis

masalah dan metode

pembelajaran konvensional

membawa suatu akibat

terhadap hasil belajar geografi

siswa kelas X SMAN 1 Sidayu

apapun juga tingkat gaya

kognitifnya. Demikian dengan

gaya kognitif, gaya kognitif

field independent dan gaya

kognitif field dependent

membawa suatu akibat

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’ siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu apapun juga

metode pembelajarannya.

Belajar adalah penyusunan

pengetahuan dari pengalaman

konkrit, aktivitas kolaborasi,

refleksi, dan interpretasi.

Aktivitas belajar lebih banyak

didasarkan data primer dan

bahan manipulatif dengan

penekanan pada keterampilan

berpikir kritis dan kompleks.

Karakteristik siswa begitu

17

sangat kompleks meliputi

antara lain intelegensia, sikap,

gaya belajar, gaya kognitif,

gaya berpikir, dan motivasi.

Gaya kognitif hanyalah

salah satu bagian dari sekian

banyak karakter sehingga kalau

interaksi belum tampak dalam

penelitian ini, hal itu dapat

dimaklumi, masih memerlukan

pengkajian lebih mendalam

dengan memasukkan variabel-

variabel lain sebagai variabel

kovarian atau mengeliminasi

variabel-variabel tersebut

dalam penelitian. Demikian

juga metode pembelajaran,

begitu banyaknya model-model

pembelajaran dan memang

harus diakui bahwa tidak ada

ketentuan yang pasti mengenai

metode pembelajaran yang

cocok untuk satu mata

pelajaran tertentu dalam

pembelajaran, sehingga tujuan

pembelajaran dapat tercapai.

Proses belajar itu sendiri

merupakan suatu sistem

pembelajaran yang secara

otomatis terjadi dalam diri

seseorang. Tugas pendidik

adalah bagaimana

membelajarkan peserta didik di

sekolah supaya mereka

memiliki kecakapan hidup dan

berkembang kecerdasan

majemuknya.

SIMPULAN DAN SARAN

Ada perbedaan

pemahaman ‘uniflying

geography’ secara signifikan

antara pembelajaran berbasis

masalah dan pembelajaran

konvensional siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu. Motode

pembelajaran berbasis masalah

lebih unggul daripada metode

pembelajaran konvensional

dalam mempengaruhi

18

pemahaman ‘uniflying

geography’.

Ada pemahaman ‘uniflying

geography’ yang berbeda

secara signifikan antara siswa

yang bergaya kognitif field

independent dan siswa yang

bergaya kognitif field

dependent di kelas X SMAN 1

Sidayu. Siswa yang bergaya

kognitif field independent

pemahaman belajar geografinya

lebih tinggi daripada siswa

yang bergaya kognitif field

dependent.

Tidak ada interaksi antara

metode pembelajaran (metode

pembelajaran berbasis masalah

dan metode pembelajaran

konvensional) dan gaya kognitif

(gaya kognitif field independent

dan gaya kognitif field

dependent) terhadap

pemahaman ‘uniflying

geography’ siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu. Metode

pembelajaran (metode

pembelajaran berbasis masalah

dan metode pembelajaran

konvensional) membawa suatu

akibat terhadap pemahaman

belajar geografi apapun juga

tingkat gaya kognitif siswa.

Gaya kognitif (gaya kognitif

field independent dan gaya

kognitif field dependent)

membawa suatu akibat

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’ apapun juga metode

pembelajarannya.

Pembelajaran berbasis

masalah adalah salah satu

model pembelajaran yang dapat

meningkatkan prestasi

akademik, kecakapan sosial,

dan kecakapan komunikasi,

siswa menjadi lebih aktif,

aktivitas belajar

menyenangkan, dan

menggairahkan. Guru geografi

disarankan untuk memulai

19

dengan model pembelajaran

berbasis masalah, karena model

pembelajaran ini adalah

sebagai salah satu metode yang

mampu memahami konsep

esensial geografi dan

memecahkan permasalahan

spasial global.

Gaya kognitif adalah salah

satu karakteristik siswa yang

perlu mendapat perhatian guru

di sekolah. Siswa yang bergaya

kognitif field independent

berikanlah tugas-tugas yang

menantang namun

memungkinkan untuk sukses,

mulailah dengan tugas-tugas

yang sedang. Sebaliknya, siswa

yang bergaya kognitif field

dependent berikanlah motivasi

terutama dalam hal tujuan

belajar di sekolah, mulailah

dengan tugas-tugas yang

mudah. Peningkatan kualitas

belajar bukan merupakan

kegiatan yang insidental,

melainkan harus merupakan

suatu proses yang

berkelanjutan.

Tidak ada ketentuan yang

pasti mengenai metode

pembelajaran yang paling tepat

digunakan. Tepat tidaknya

suatu metode baru terbukti dari

hasil belajar siswa melalui

evaluasi yang berkelanjutan

dan beragam yang mampu

memahami konsep geografi

yang satu (uniflying geography)

dan fenomena geosfer atau

masalah kegeografian melalui

pendekatan spasial dengan

sudut pandang ekologi manusia

dan regional. Guru geografi

disarankan melakukan

penelitian dengan mencoba

berbagai metode pembelajaran

inovatif

20

DAFTAR RUJUKAN

Daldjoeni, N. 1997. Pengantar Geografi untuk Mahasiswa dan Guru Sekolah

Bandung: Alumni.

Degeng, I.N.S. 2001a. Teori Belajar dan Pembelajaran. Malang: LP3 UM.

Degeng, I.N.S. 2001b. Karakteristik Belajar Mahasiswa: Kajian Temuan Peneli-

Tian dan Terapannya dalam Rancangan Pembelajaran. Malang: LP3 UM.

Heller, P.1992. Teaching Problem Solving Through Cooperative Grouping, Part I:

Group versus Individual Problem Solving. New York: McGraw-Hill.

Haggett, P. 2001. Geography A Global Synthesis. London: Prentice Hall.

Khafid, S. 2003. Pengembangan Rancangan Pembelajaran dengan Pendekatan

Konstruktivistik pada Mata Pelajaran Geografi. Tesis tidak diterbitkan. Sura-

baya: PPS Teknologi Pembelajaran Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.

Khafid, S. 2007. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw dan Gaya

Kognitif terhadap Prestasi Belajar Geografi Siswa Kelas X SMAN 1 Sidayu.

Jurnal Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, II (04): 31-40.

Khafid, S. 2008. Peningkatan Pemahaman Konsep Geografi melalui Implementasi

Ayat-Ayat Pembelajaran Kontekstual Siswa SMAN 1 Sidayu. Jurnal Kajian

Teori dan Praktik Kependidikan, 35 (1): 17-28.

Khafid, S. 2010. Pembelajaran Kooperatif Model Investigasi Kelompok, Gaya

Kognitif, dan Hasil Belajar Geografi. Jurnal Ilmu Pendidikan, 17 (1): 73-78.

Lamba, H.A. 2006. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model STAD dan Gaya

Kognitif terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa SMA. Jurnal Ilmu Pendidikan,

13 (2): 122-128.

Matthews, J.A. and Herbert, D.T. 2004. Unifying Geography Common Heritage,

Shared Future. London: Routledge.

Mustaji. 2004. Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik. Surabaya: Unesa Univer-sity Press.

Nur, M. dan Wikandari, P.R. 1999. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan

Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Unesa University

Press.

Riyanto, Y. 2005. Paradigma Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press.

21

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:

Rineka Cipta.

Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning Research, Theory and Practice. Boston:

Allyn and Bacon.

Suharyono dan Amien, M. 1994. Pengantar Filsafat Geografi. Jakarta: Dirjen.

Dikti. Depdikbud.

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:

Kanisius.

Syah, M. 2001. Psikologi Belajar. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

22

ISSN 2089-4554

23

Diterbitkan Oleh :

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Gresik

E – JURNAL JENDELA

PENDIDIKAN

Vol. :

01

No.:

I

Hlm.

1-106

Gresik

Juni -Nopembe

r

ISSN

2089-4554

IKLIM KERJA LEMBAGA DI PONDOK PESANTREN AL-FUTUHIYAH

24

GENDONGKULON-BABAT LAMONGAN

Sri Sundari *)

Abstrak, Iklim kerja yang kondusif adalah suatu kondisi, keadaan atau suasana kerja yang dirasakan menyenangkan oleh setiap individu yang ada dalam lembaga sehingga orang-orang di dalamnya selalu terdorong untuk terlibat secara produktif guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Lembaga penyelenggara pendidikan salah satunya memiliki fungsi dalam usaha-usaha mengembangkan pendidikan dalam rangka ikut dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan iklim kerja di Pondok Pesantren Al Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan fokus penelitian adalah iklim kerja di Pondok Pesantren Al Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan. Data dikumpulkan dengan kuesioner selanjutnya data ditampilkan dengan tabel dan dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim kerja organisasi yang meliputi, suasana kerja, orientasi nilai, citra diri, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap, dan sistem ganjaran dirasakan nyaman, kondusif, penuh keakraban dan kekeluargaan, saling menghargai oleh pegawainya, dan terlaksananya kepemimpinan dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian diharapkan pimpinan pesantren dapat mempertahankan dan meningkatkan iklim kerja yang ada khususnya suasana kerja, orientasi nilai, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap, ganjaran dan meningkatkan citra diri orgaisasi di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan.

Kata Kunci : Iklim Kerja

PENDAHULUAN

Peningkatan prestasi kerja dalam suatu lembaga merupakan tujuan yang diinginkan oleh lembaga. Sebagai satu kesatuan yang kompleks dimana di dalamnya terdapat sekelompok manusia yang memiliki kesamaan tujuan dan kepentingan, mereka kurang bekerja secara produktif jika tidak disertai

dengan adanya iklim kerja yang menyenangkan. Lembaga sebagai suatu proses, di dalamnya terdapat kerjasama antara pimpinan dan pegawai dalam pencapaian tujuan lembaga. Kerjasama dapat tercipta dengan baik, apabila setiap personil yang ada baik pimpinan maupun staf mempunyai pandangan bahwa “Keseluruhan lebih berarti dan bagian”. Sebagai faktor utama dalam

25

lembaga, kelangsungan hidup dan keberhasilan lembaga bergantung pada manusia yang berperan dibalik alat-alat ataupun sumber-sumber daya lainnya. Oleh sebab itu, seharusnyalah lembaga sebagai wadah manusia beraktifitas mempunyai tanggungjawab penuh untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki serta selalu menciptakan iklim kerja yang kondusif dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Lingkungan tempat bekerja merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai di dalamnya, walaupun ada faktor-faktor lain yang menentukan maupun mempengaruhinya. Orang-orang yang berada di dalam lembaga, tempat bekerja haruslah mampu menciptakan iklim kerja yang memberikan rasa aman, pengakuan dan penghargaan serta menjanjikan kepuasan kerja kepada anggotanya sehingga nanti pada akhirnya mampu berkinerja dengan baik. Iklim lembaga yang menyenangkan akan tercipta, bilamana hubungan antar manusia (human relationship) berkembang dengan harmonis. Lingkungan kerja yang harmonis yang mendukung lembaga dibutuhkan oleh orang-orang dalam lembaga baik atasan maupun bawahan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Stoner dalam Mulyono (1993:88) iklim kerja / suasana lembaga (work situation characteristic) adalah faktor lingkungan kerja individu. Di dalam lembaga hendaknya timbul dinamika kerjasama. Kerja sama ini adalah bagian yang vital dalam kehidupan berlembaga. Adanya interaksi dan proses kerja sama anggota satu

dengan anggota lainnya, antara bagian satu dengan bagian yang lainnya maupun antara atasan dan pegawainya akan menimbulkan pemahaman terhadap suatu kondisi dan lingkungan kerja sehingga mudah untuk mencrima informasi dan arus gagasan (ide) dalam melakukan kerjasama guna mencapai tujuan.

Pentingnya kebebasan berinteraksi dan menjalin hubungan dalam lembaga untuk menciptakan iklim kerja yang kondusif telah dikemukakan oleh Stoner (dalam Mulyono, 1993:67) yang mana iklim kerja yang permisifdan kreatifakan terpupuk apabila para individu mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan para anggota kelompoknya sendiri maupun dengan kelompok-kelompok kerja lainnya. Interaksi semacam ini mendorong terjadinya pertukaran informasi yang bermanfaat, arus gagasan yang bebas dan perspektif yang sehat mengenai masalah yang ada.

Berkenaan dengan iklim kerja lembaga menurut Stoner (1982) ada dua golongan yang mempengaruhi situasi pekerjaan, yaitu lingkungan kerja langsung di dalamnya termasuk sistem imbalan lembaga dan kebijakan serta tindakan lembaga. Sedangkan Cribbin, (1981) menjelaskan salah satu unsur iklim kerja lembaga yang kondusif adalah gaya kepemimpinan. Dengan demikian iklim kerja yang kondusif adalah suatu kondisi, keadaan atau suasana kerja yang dirasakan menyenangkan oleh setiap individu yang ada dalam lembaga sehingga orang-orang di dalamnya selalu

26

terdorong untuk terlibat secara produktif guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.

Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan memiliki fungsi yang urgen dalam usaha-usaha mengembangkan pendidikan di daerah dalam rangka ikut dalam meningkatkan pendidikan daerah. Secara keseluruhan keadaan iklim kerja di lingkungan Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan dapat dikatakan kondusif. Hal ini bisa dilihat bagaimana masing-masing unit kerja begitu berhati-hati dalam menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh. Contohnya, informasi internal lembaga benar-benar dijaga kerahasiaannya, meskipun berusaha mendapatkannya dengan prosedur yang benar. Setiap unit menjalankan tugasnya dengan sistem birokrasi lembaga yang baik sesuai dengan fungsi tiap-tiap unit/bagian yang terdapat pada struktur lembaga. Dengan kata lain tiap-tiap unit/bagian bekerja benar-benar mengikuti aturan sistem “pintu ke pintu” (door to door). Begitu juga hubungan antar rekan kerjanya yang terjalin dengan baik antara satu dengan yang lain, meskipun masih terdapat hubungan yang kurang baik.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian pada dasarnya merupakan keseluruhan proses dan penentuan secara matang hal-hal yang dilakukan untuk dijadikan pedoman selama pelaksanaan penelitian. Suatu penelitian diselenggarakan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan metode penelitian yang sesuai. Berkaitan dengan metode penelitian, Surakhmad (1982: 131) mengemukakan tiga macam metode penelitian yaitu : historis, deskriptif dan eksperimen. Ditinjau dan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan kejadian-kejadian masa lalu dan sekarang dengan melihat variabel yang ada.

Penelitian ini berupa penelitian deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk mencatat, mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan keadaan-keadaan yang ada tentang objek yang akan diteliti (Mardalis, 1990: 26). Dengan melihat variabel yang ada di dalam penelitian ini, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi

Populasi sebagai “keseluruhan subjek yang diteliti yang didapat dan suatu informasi tentang masalah penelitian yang akan dilakukan” (Arikunto. 1992:102). Latunussa

27

(1988:11) menjelaskan “ populasi adalah sekumpulan objek yang diteliti”. Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh staf di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan yang berjumlah 67 orang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1

Jumlah Staf Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-

Babat Lamongan

No Sub. BagianJumla

h

1. Penasehat 4

2. Penanggungjawab 1

3. Pimpinan 4

4. Staf Pengajar 25

5. Tata Usaha 5

6. Dewan Pengurus 10

7. Bendahara 2

8. Sekretaris 2

9. Pegawai 8

Jumlah 67

Sumber Pondok Pesantren AI-Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan

Sampel Penelitian

Tujuan pengambilan sampel penelitian dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan tenaga, waktu dan biaya, namun sampel harus mewakili atau mencerminkan

seluruh populasi yang menjadi objek penelitian.

Definisi sampel penelitian banyak dikemukakan oleh para ahli, Arikunto (1996:117) menjelaskan sampel adalah “Sebagian atau wakil populasi yang diteliti”. Sedangkan Hadi (1997:21) mengemukakan bahwa sampel adalah “Sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi”. Sampel penelitian ini diambil acuan sebagai wakil populasi yang representatif. Ukuran besarnya sampel yang pasti memang tidak ada, namun untuk menjaga validitas data penelitian harus mempunyai pedoman tertentu. Seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (1996: 120) “Apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil seluruhnya, sehingga merupakan penelitian populasi, selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-50 atau lebih”.

Dengan melihat penjelasan di atas untuk mendapatkan sampel yang representatif maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel total. Dengan kata lain semua populasi akan menjadi subjek penelitian.

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan oleh seorang peneliti dalam pengumpulan data. Instrumen penelitian yang digunakan untuk menyimpulkan data dari lapangan untuk variabel iklim kerja lembaga adalah angket. Alasan menggunakan angket adalah karena

28

pertimbangan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya.

Prosedur Pengembangan Instrumen

Berkaitan dengan pengembangan instrumen, maka langkah berikutnya yaitu menyusun

instrumen masing-masing variabel yang berpedoman pada indikator yang disajikan pada jabaran-jabaran. Kemudian jabaran masing-masing variabel ditetapkan dan disajikan dalam bentuk matrik jabaran variabel, sub variabel dan indikator penelitian. Sebaran nomer item instrumen penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.:

Tabel 2

Jabaran variabel, sub variabel, indikator penelitian san nomor item dalam instrumen penelitian (sebelum uji coba)

Variabel Sub Variabel Indikator No. Item

Iklim kerja lembaga

a. Suasana kerja

a. Suasana kerja yang hangat, ramah, santai dan penuh kesungguhan

b.Saling menghargaic. Saling menolongd.Terbuka terhadap gagasan baru

1,2,3

4

5

6

b. Orientasi nilai

a. Mengerjakan yang baik-baikb.Kerjasama dengan orang lainc. Perlakuan etisd.Memperbaiki prestasie. Memutuskan tujuan unit atau lembaga

7

8

9

10

11

c. Citra diri a. Cakapb.Percaya diric. Sangat konservatif dan hati-hati

12

13

14

29

Variabel Sub Variabel Indikator No. Item

d. Gaya kepemimpinan

a.Konsultatif dan partisipatifb.Berorientasi pada pemecahan masalah bersamac. Memberikan pengarahan dan pengendaliand.Berorientasi pada manusiae.Banyak membantu dan memudahkanf. Adilg.Inovatifh.Berorientasi pada kebaikan dan terpusat pada

perspektif jangka pendek dan jangka panjang

15,16

17

18

19

20

21

22

23,24

25,26,27,28

e. Daya tolak atau daya dorong

a.Tumbuh sesuai rencanab.Mempertahankan kedudukanc. Menekan inovasi dan teknologid.Menekannkan sumber daya manusia dan

manajemen

29

30

31,32,33

34,35

f. Daya tangkap

a.Kecepatan lembaga yang tinggib.Tidak tergesa-gesac. Direncanakan

36

37

38

g. Ganjaran a. Ganjaran materi1. Gaji2. Tunjangan

b. Ganjaran psikologis1. Pengakuhan dan penghargaan2. Perhatian dan tanggung jawab

39

40,41,42,43

44

45

30

Analisis Data

Analisis data merupakan bagian metode penelitian yang sangat penting dalam mencari makna data untuk memecahkan masalah penelitian. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Untuk menentukan teknik analisis yang tepat, maka harus memperhatikan tujuan penelitian dan data yang tersedia.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif. Teknik ini digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan kondisi yang ada/tingkat iklim kerja lembaga yang dirasakan oleh pegawai di Lingkungan Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan (tujuan umum) serta keadaan/tingkat lingkungan kerja langsung, orientasi nilai, citra diri, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap dan pemberian kompensasi pegawai di Lingkungan Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan (tujuan khusus). Adapun langkah-langkah yang perlu dilaksanakan adalah :

Menentukan kualifikasi

Langkah ini dilakukan untuk menentukan kualifikasi penilaian terhadap variabel penelitian, yang harus ditentukan terlebih dahulu lebar kelas intervalnya. Sedangkan untuk menentukan lebar kelas interval (i) adalah rentang (R)= skor tertinggi dikurangi dengan skor terendah, dibagi dengan banyaknya interval (k). Dengan demikian rumus untuk menentukan panjang interval (i) adalah :

i=Rentangskor (skor tertinggi−skor terendah)

Banyaknya interval kelas

Banyaknya interval/kategori kelas dalam penelitian ini ditetapkan berjumlah 4 yaitu:

Tabel 3

Kategori dan Penafsiran Skala Sikap

Katagori kelas

Penafsiran skala sikap

Skor interval

Sangat tinggi

Selalu 3,24 – 4

Tinggi Sering 2,6 – 3,25

Cukup Kadang-kadang

1,76 – 2,5

Kurang Tidak pernah

1 – 1,75

Menentukan besarnya persentase

Untuk menyatakan kondisi masing-masing variabel dengan rumus :

% = fNx100%

Keterangan : f = Frekuensi N = Jumlah subyek

HASIL PENELITIAN

Tabel 4

Deskripsi Data Variabel Iklim Kerja Lembaga

No.Kualifikas

iB. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

131 – 160

25 37,31

2. Tinggi 101 – 130

39 58,20

3. Cukup 71 – 100 3 4,47

31

4. Kurang 40 – 70 - -

Total 67 100

Berdasar hasil pengolahan data variabel iklim kerja lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan menunjukkan bahwa secara umum berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 58,20% atau sebanyak 39 dari 67 responden menyatakan bahwa iklim kerja lembaga di Pondok Pesantren Al- Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kossen (1986) menjelaskan bahwa hubungan manusiawi merupakan tanggungjawab setiap orang dalam lembaga. Manajer mempunyai tanggung jawab utarna untuk menegakkan iklim hubungan manusiawi yang menyenangkan, demikian pula para anggota (sub ordinal) dan para karyawan operasional lembaga juga mempunyai pengaruh terhadap iklim dan seyogyanya berbagi tanggungjawab.

Tabel 5

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Suasana Kerja

No.Kualifikas

iC. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

16,26 – 20 8 11,95

2. Tinggi 12,51 – 16,25

51 76,12

3. Cukup 8,76 – 12,50 8 11,95

4. Kurang 5 – 8,75 - -

Total 67 100

Tabel 5 menunjukkan bahwa secara umum suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 76,12% atau sebanyak 51 dan 67 responden menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Sedangkan 8 sponden dengan persentase 11,95% menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi dan 8 orang reponden lainnya dengan persentase sebesar 11,95% menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan berada dalam kategori cukup.

Tabel 6

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Orientasi Nilai

No.Kualifikas

iD. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

16,26 – 20 12 17,91

2. Tinggi 12,51 – 16,25

43 64,17

3. Cukup 8,76 – 12,50 12 17,91

4. Kurang 5 – 8,75 - -

Total 67 100

Hasil pengolahan data untuk sub variabel orientasi nilai dengan menggunakan teknik persentase menunjukkan bahwa secara umum orientasi nilai di Pondok Pesantren Al-

32

Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 64,17% atau sebanyak 43dari 67 responden menyatakan bahwa orientasi nilai pegawai di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Sedangkan masing-masing 15 responden dengan persentase sebesar 17,91% menyatakan bahwa orientasi nilai di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi dan kategori cukup

Tabel 7

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Citra Diri

No.

Kualifikasi

E. Kelas

interval

f %

1. Sangat tinggi

9,76 – 12 17 25,37

2. Tinggi 7,51 – 9,75

10 14,93

3. Cukup 5,26 – 7,50

30 44,78

4. Kurang 3 – 5,25 10 14,93

Total 67 100

Tabel 7 menunjukkan bahwa secara umum citra diri di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori cukup dengan persentase sebesar 44,80% atau 30 dari 67 responden menyatakan bahwa citra din lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam

kategori cukup. Sedangkan 17 responden dengan persentase sebesar 23,90% menyatakan bahwa citra diri lembaga berada dalam kategori sangat tinggi, 10 responden dengan persentase sebesar 14,92% menyatakan berada dalam kategori tinggi dan 10 responden dengan persentase yang sama sebesar 14.92% menyatakan berada pada kategori kurang

Tabel 8

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Gaya Kepemimpinan

No.

Kualifikasi

F. Kelas

interval

f %

1. Sangat tinggi

40 – 48 36 53,73

2. Tinggi 31 – 39 23 34,33

3. Cukup 22 – 30 8 11,94

4. Kurang 12 – 21 - -

Total 67 100

Tabel 8 menunjukkan bahwa secara umum gaya kepemimpinan di pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 53,73% atau sebanyak 36 dari 67 responden menyatakan bahwa gaya kepemimpinan di kantor Dinas Penididikan Kabupaten Situbondo berada dalam kategori sangat tinggi. Ini menunjukkan bahwa para pegawai merasa puas dengan gaya pemimpinan atasannya, mereka merasa

33

diperhatikan, diarahkan dan dilibatkan dalam setiap pemecahan masalah di dalam lembaga, selain itu mereka merasa dimudahkan dan dibantu oleh atasan. Sedangkan 23 responden dengan persentase sebesar 34,32% menyatakan bahwa gaya kepemimpinan atasan berada dalam kategori tinggi dan 8 responden dengan prentase sebesar 11,94% menyatakan dalam kategori cukup. Semakin efektif gaya kepemimpinan yang dilakukan maka akan mempermudah pencapaian tujuan lembaga yang ditetapkan.

Tabel 9

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Daya Dorong

No.Kualifikas

iG. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

19,51 – 24 37 55,22

2. Tinggi 15,01 – 19,50

23 34,33

3. Cukup 10,51 – 15,00

7 10,45

4. Kurang 6 – 10,50 - -

Total 67 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa secara umum daya dorong di Pondok

Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 55,22% atau 37dari 67 responden menyatakan bahwa daya dorong lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 23 responden dengan persentase sebesar 34,32% menyatakan bahwa daya dorong lembaga berada dalam kategori tinggi dan 7 responden dengan persentase 10,44% menyatakan bahwa daya dorong lembaga berada dalam kategori cukup.

Tabel 10

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Daya Tanggap

No.Kualifikas

iH. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

9,76 – 12 57 85,07

2. Tinggi 7,51 – 9,75

9 13,43

3. Cukup 5,26 – 7,50

1 1,50

4. Kurang 3 – 5,25 - -

Total 67 100

Tabel 10 menunjukkan bahwa secara umum daya tanggap lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 85,07% atau 57 dari 67 responden menyatakan bahwa daya tanggap lembaga berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 9 responden dengan persentase sebesar

34

13,43% menyatakan bahwa daya tanggap lembaga berada dalam kategori tinggi dan 1 responden dengan persentase sebesar 1,50% menyatakan berada pada kategori cukup.

Tabel 4.11

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Ganjaran

No.Kualifikas

iI. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

19,51 – 24 31 46,27

2. Tinggi 15,01 – 19,50

21 31,34

3. Cukup 10,51 – 15,00

15 22,39

4. Kurang 6 – 10,50 - -

Total 67 100

Tabel 4.11 menunjukkan bahwa secara umum pemberian ganjaran di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 46,27% atau sebanyak 31 dan 67 responden menyatakan bahwa pemberian ganjaran di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 21 reponden dengan persentse sebesar 31,34% menyatakan pemberian ganjaran/kompensasi berada dalam kategori tinggi dan 15 responden dengan persentase 22,39% menyatakan pemberian ganjaran berada dalam kategori cukup.

KESIMPULAN

1. Iklim kerja organisasi di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulo Babat Lamongan para pegawainya merasa nyaman dengan suasana kerja, kepemimpinan dan ganjaran.

2. Suasana kerja di kantor menunjukkan para pegawainya benar-benar merasakan adanya suasana kerja yang penuh keakraban, saling menghargai, saling menolong dan penuh kekeluargaan.

3. Orientasi nilai menunjukkan bahwa para pegawai memiliki rasa tanggungjawab, disiplin, berusaha meningkatkan prestasi kerja dan loyal.

4. Citra diri menunjukkan bahwa kurangnya kecakapan pegawai dalam bekerjasama dengan orang dan luar organisasi.

5. Gaya kepemimpinan menunjukkan bahwa pegawainya merasa pimpinan telah melaksanakan kepemimpinan dengan baik.

6. Daya dorong menunjukkan bahwa pegawai dalam menjalankan tanggungjawabnya penuh dengan perencanaan, dapat memanfaatkan teknologi dengan baik dan mau mengikuti peraturan.

7. Daya tanggap menunjukkan para pegawainya bekerja sesuai dengan perintah atasan tanpa cenderung menunda pekerjaan.

8. Sistem menunjukkan para pegawai diperhatikan dan diberi kemudahan untuk kesejahteraannya.

35

DAFTAR PUSTAKA

Adair, J. 1993. Membina Colon Pimpinan (Sepuluh Prinsip Pokok). Jakarta : Bumi Aksara.

Albert. K. 1983. Pengemhangan Organisasi. Bandung : PT. Angkasa.

Anwar. 1985. Pengembangan Organisasi. Bandung : PT. Angkasa.

Arikunto, S. 1992. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Arikunto, S. 1996. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Cribbin, J.J. 1981. Kepemimpinan Strategi Mengefektifkan Organisasi. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.

Faisal, S. 1981. Dasar dan Teknik Menyusun Angket. Surabaya : Usaha Nasional.

Furchan. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional.

Hadi, S. 1997. Statistik Jilid I. Yogyakarta : Andi Offset.

Hakim. 1994. Pengantar Sederhana Penelitian Pendidikan. Jakarta : Proyek Pengembangan Pendidikan Guru.

Hamzah, R. 1990. Kepemimpinan Strategi Mengefektifkan Organisasi. Jakarta :

Gramedia.

Handoko. 1987. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia Jilid 2. Yogyakarta : BPFE.

Indrawijaya. 1986. Pertumbuhan dan Pengembangan Organisasi. Bandung : Sinar Baru.

Kamalluddin. 1982. Manajemen. Jakarta : Dirjen Dikti P2LPTK.

Kossen, S. 1986. Aspek Manusia Dalam Organisasi. Bandung : Rineka Cipta.

Latif, A.G. 1988. Memberikan Pimpinan dengan Kerja Sama. Jakarta : UI Press.

Latunussa. 1988. Penelitian Pendidikan, Suntu Pengantar. Jakarta : P2LPTK.

Mardalis. 1990. Mefodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara.

Marzuki. 1989. Metodologi Penelitian. Jakarta : Militon.

Muhyadi. 1989. Organisasi Teori, Struktur dan Proses. Jakarta : Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Mulyono, M. 1993. Penerapan Produktivitas dalam Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara - UI.

36

Owens. 1981. Organizational Behaviour in Education. Boston : Allyn Bacon.

Prayitno. 2003. Korelasi Antara lklim Organisasi Dan Motivasi Berprestasi Dengan Unjuk Kerja Guru Pada Sekolah Menengah Umum Negeri Di Kabupaten Pasuruan. Tesis tidak diterbitkan.

Purwanto, N. 1988. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta : CV. Remaja

Karya.

Santoso. 2001. Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

Sari, D.N. 2003. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Rangka Penciptaan lklim Kerja Organisasi Di Sekolah Dasar Negeri Se-Kecamatan Sukun Kota Malang. Skripsi tidak diterbitkan.

Sari, L. 2000. Iklim Organisiasi Hubungannya Dengan Unjuk Kerja Dosen Dalam Mengajar Di IKIP Budi Utomo Malang. Tesis tidak diterbitkan.

Soepardi. 1988. Dasar-DasarAdministrasi Pendidikan. Jakarta : Dirjen Dikti P2LPTK.

37

Diterbitkan Oleh :

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Gresik

e- JURNAL

JENDELA

Vol.

01

No.

I

Hlm.

1 - 106

Gresik

Juni -Nopembe

r

ISSN

2089-5933

ISSN 2089-5933

1

PENDIDIKAN

PENDIDIKAN KARAKTER:

WACANA KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA

Soesetijo *)

Kata-kata kunci: pendidikan karakter, wacana konsep, implementasi

Abstrak: pendidikan karakter menjadi perhatian serius untuk diimplementa-sikan di sekolah. Fenomena menunjukkan bahwa banyak keluhan masyarakat tentang menurunnya tata krama, etika dan kreativitas siswa, karena melemah-nya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sebagai langkah awal pendidikan karakter harus dimulai sejak dini, yakni pada jenjang pendidikan sekolah da-sar. Pada jenjang sekolah dasar, ini porsinya mencapai 60 persen dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Menurut Wamendiknas telah terdapat 5 dari 8 potensi peserta didik yang implementasinya sangat lekat dengan tujuan pembentukan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi dasar hukum begitu pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter. Pendidikan budaya dan karakter bangsa ini memang harus dipraktekkan, titik beratnya bukan pada teori. Pendidikan budaya dan karakter bangsa seperti kurikulum yang tersembunyi. Bukan berarti akan diterapkan secara teoritis, tetapi menjadi penguat kuri-kulum yang sudah ada, yaitu dengan mengimplementasikanya dalam mata pelajaran dan keseharian peserta didik. Permasalahannya, mayoritas guru be-lum punya kemauan untuk melaksanakan. Kesadaran sudah ada, hanya saja belum menjadi sebuah aksi nyata. Oleh karena itu diperlukan buku pinter se-bagai acuan untuk implementasi pendidikan karakter di lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi serta perlu segera disosialisasikan grand design pendidikan karakter.

2

Indonesia memerlukan sumberdaya

manusia dalam jumlah dan mutu

yang memadai sebagai pendukung

utama dalam pembangunan. Untuk

memenuhi sumberdaya manusia

tersebut, pendidikan memiliki peran

yang sangat penting. Hal ini sesuai

dengan UU No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional

pada Pasal 3 yang menyebutkan

bahwa pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk

karakter serta

peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan Nasional bertujuan

untuk berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga

Negara yang demokratis serta

bertanggung jawab.

*)Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.\

Berdasarkan fungsi dan

tujuan pendidikan nasional, jelas

bahwa pendidikan di setiap jenjang

pendidikan selalu mengacu pada

tujuan pendidikan nasional tersebut

di atas. Hal tersebut berkaitan

dengan pembentukan karakter

peserta didik sehingga mampu

bersaing, beretika, bermoral, sopan

santun dan berinteraksi dengan

masyarakat. Berdasarkan penelitian

di Harvard University Amerika

Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000

dalam Mendiknas, 2010) ternyata

kesuksesan seseorang tidak

ditentukan semata-mata oleh

kemampuan mengelola diri dan

orang lain (soft skills). Penelitian ini

mengungkapkan, kesuksesan hanya

ditentukan sekitar 20 persen oleh

hard skills dan sisanya 80 persen

soft skills. Bahkan orang-orang

tersukses di dunia bisa berhasil

dikarenakan lebih banyak didukung

kemampuan soft skills daripada

hard skills. Hal ini mengisyaratkan

bahwa mutu pendidikan karakter

peserta didik sangat penting untuk

ditingkatkan. Oleh karena itu,

Kementerian Pendidikan Nasional

(Kemendiknas) telah menyusun

grand design pendidikan karakter

bangsa. Ditargetkan, seluruh satuan

pendidikan telah

mengembangkannya pada tahun

2014.(Media Indonesia.com, 15-9-

2010).

Data dan fakta menunjukkan,

bahwa dari hasil penelitian

3

psikologi sosial menun-jukkan

bahwa orang yang sukses di dunia

ditentukan oleh peranan ilmu

sebesar 18%. Sisanya, 82%

dijelaskan oleh keterampilan

emosional, soft skills dan

sejenisnya.(Elfindri, 2010). Ini

menunjukkan bahwa soft skills

memberikan kontribusi bagi

keberhasilan karir seseorang.

Wacana pendidikan karakter

pada akhir-akhir ini memperoleh

perhatian yang cukup intens dari

pemerhati pendidikan. Pemerintah

menyatakan, bahwa pendidikan

budaya dan karakter bangsa selama

ini telah diterapkan dan menjadi

kesatuan dengan kurikulum

pendidikan yang sesungguhnya

telah dipraktekkan dalam kegiatan

belajar mengajar di sekolah.

Menurut Direktur Pembinanan

SMP, Ditjen Manajemen Pendidikan

Dasar dan Menengah, Didik Suhardi

(KOMPAS.Com, Jumat, 15 Januari

2010) pendidikan budaya dan

karakter bangsa ini memang harus

dipraktekkan, titik beratnya bukan

pada teori. Pendidikan budaya dan

karakter bangsa seperti kurikulum

yang tersembunyi.

Konsep Pendidikan

Karakter

Karakter adalah “cara

berpikir dan berperilaku yang

menjadi ciri khas setiap individu

untuk hidup dan bekerjasama, baik

dalam lingkup kehidupan keluarga,

masyarakat, bangsa dan Negara.

(Suparlan, 2010).

Pendidikan karakter meliputi

9 (sembilan) pilar yang saling kait

mengkait, yaitu: (1) responsibility

(tanggung jawab), (2) respect (rasa

hormat), (3) fairness (keadilan), (4)

courage (keberanian), (5) honesty

(kejujuran), (6) citizenship

(kewarganegaraan), (7) self-

discipline (disiplin diri), (8) caring

(peduli), dan (9) perseverance

(ketekunan).

Penyelenggaraan pendidikan

nasional tidak semata mentransfer

ilmu dan pengetahuan serta

teknologi kepada peserta didik.

Lebih dari itu, pendidikan harus

bisa menumbuhkan semangat

kebangsaan sebagai warga bangsa

dengan karakter ke-Indonesia-an.

(Rumapea, 2010).

Karakter merupakan nilai-

nilai perilaku manusia yang

berhubungan dengan Tuhan Yang

4

Maha Esa, diri sendiri, sesama

manusia, lingkungan, dan

kebangsaan yang terwujud dalam

pikiran, sikap, perasaan, perkataan,

dan perbuatan berdsarkan norma-

norma agama, hukum, tata krama,

budaya, dan adat istiadat.

Pendidikan karakter adalah

suatu sistem penanaman nilai-nilai

karakter kepada warga sekolah

yang meliputi komponen

pengetahuan, kesadaran atau

kemauan, dan tindakan untuk

melaksanakan nilai-nilai tersebut,

baik terhadap Tuhan Yang Maha

Esa (YME), diri sendiri, sesama,

lingkungan, maupun kebangsaan

sehingga menjadi manusia insan

kamil. Dalam pendidikan karakter di

sekolah, semua komponen

(stakeholders) harus dilibatkan,

termasuk komponen-komponen

pendidikan itu sendiri, yaitu isi

kurikulum, proses pembelajaran

dan penilaian, kualitas hubungan,

penanganan atau pengelolaan mata

pelajaran, pengelolaan sekolah,

pelaksanaan aktivitas atau kegiatan

ko-kurikuler, pemberdayaan sarana

prasarana, pembiayaan, dan ethos

kerja seluruh warga dan lingkungan

sekolah.

Terlepas dari berbagai

kekurangan dalam praktik

pendidikan di Indonesia, apabila

dilihat dari standar nasional

pendidikan yang menjadi acuan

pengembangan kurikulum (KTSP),

dan implementasi pembelajaran dan

penilaian di sekolah, tujuan di

lembaga pendidikan sebenarnya

dapat dicapai dengan baik.

Pembinaan karakter juga termasuk

dalam materi yang harus diajarkan

dan dikuasai serta direalisasikan

oleh peserta didik dalam kehidupan

sehari-hari. Menurut Dr. Anita Lie

(2010) syarat menghadirkan

pendidikan karakter dan budaya di

sekolah harus dilakukan secara

holistik.

Sebagai upaya untuk

meningkatkan kesesuaian dan mutu

pendidikan karakter, Kementerian

Pendidikan Nasional

mengembangkan grand design

pendidikan karakter untuk setiap

jalur, jenjang, dan jenis satuan

pendidikan. Grand design menjadi

rujukan konseptual dan operasional

pengembangan, pelaksanaan, dan

penilaian pada setiap jalur dan

jenjang pendidikan. Konfigurasi

karakter dalam konteks totalitas

proses psikologis dan social-kultural

tersebut dikelompokkan dalam:

Olah Hati (Spiritual and emotional

development), Olah Pikir

5

(intellectual development), Olah

Raga dan Kinestetik (Physical and

kinestetic development), dan Olah

Rasa dan Karsa (Affective and

Creativity development).

Pengembangan danimplementasi

pendidikan karakter perlu dilakukan

dengan mengacu pada grand design

tersebut.

Menurut UU No. 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional pada 13 ayat 1

menyebutkan bahwa jalur

pendidikan terdiri dari atas

pendidikan formal, nonformal, dan

informal yang saling melengkapi

dan memperkaya. Pendidikan

informal adalah jalur pendidikan

keluarga dan lingkungan.

Pendidikan informal sesungguhnya

memiliki peran dan kontribusi yang

sangat besar dalam keberhasilan

pendidikan. Peserta didik mengikuti

pendidikan di sekolah hanya sekitar

7 jam per hari, atau kurang dari

30%. Selebihnya (70%), peserta

didik berada dalam keluarga dan

lingkungan sekitarnya. Jika dilihat

dari aspek kuantitas waktu,

pendidikan di sekolah berkontribusi

hanya sebesar 30% terhadap hasil

pendidikan peserta didik.

Selama ini, pendidikan

informal terutama dalam

lingkungan keluarga belum

memberikan kontribusi berarti

dalam mendukung pencapaian

kompetensi dan pembentukan

karakter peserta didik. Kesibukan

dan aktivitas kerja orang tua yang

relative tinggi, kurangnya

pemahaman orang tua dalam

mendidik anak di lingkungan

keluarga, pengaruh pergaulan di

lingkungan sekitar dan pengaruh

media elektronik ditengarai bisa

berpengaruh negatif terhadap

perkembangan dan pencapaian

hasil belajar peserta didik. Salah

satu alternatif untuk mengatasai

permasalahan tersebut adalah

melalui pendidikan karakter

terpadu, yaitu memadukan dan

mengoptimalkan kegiatan

pendidikan informal lingkungan

keluarga dengan pendidikan formal

di sekolah. Dalam hal ini, waktu

belajar peserta didik di sekolah

perlu dioptimalkan agar

peningkatan mutu hasil belajar

dapat dicapai, terutama dalam

pembentukan karakter peserta

didik.

Pendidikan karakter dapat

diintegrasikan dalam pembelajaran

pada setiap mata pelajaran. Materi

pembelajaran yang berkaitan

dengan norma atau nilai-nilai pada

6

setiap mata pelajaran perlu

dikembangkan, dieksplisitkan,

dikaitkan dengan konteks

kehidupan sehati-hari. Dengan

demikian, pembelajaran nilai-nilai

karakter tidak hanya pada tataran

kognitif, tetapi menyentuh pada

internalisasi, dan pengalaman nyata

dalam kehidupan peserta didik

sehari-hari di masyarakat.

Kegiatan ekstra kurikuler

yang selama ini diselenggarakan

sekolah merupakan salah satu

media yang potensial untuk

pembinaan karakter dan

peningkatan mutu akademik

peserta didik. Kegiatan ekstra

kurikuler merupakan kegiatan

pendidikan di luar mata pelajaran

untuk membantu pengembangan

peserta didik sesuai dengan

kebutuhan, potensi, bakat, dan

minat mereka melalui kegiatan yang

secara khusus

Pendidikan karakter di

sekolah juga sangat terkait dengan

manajemen atau pengelolaan

sekolah. Pengelolaan yang

dimaksud adalah bagaimana

pendidikan karakter direncanakan,

dilaksanaan dan dikendalikan dalam

kegiatan-kegiatan pendidikan di

sekolah secara memadai.

Pengelolaan tersebut antara lain

mengikuti, nilai-nilai yang perlu

ditanamkan, muatan kurikulum,

pembelajaran, penilaian, pendidik

dan tenaga kependidikan, dan

komponen terkait lainnya. Dengan

demikian, manajemen sekolah

merupakan salah satu media yang

efektif dalam pendidikan karakter di

sekolah.

Pendidikan Karakter yang

Efektif

Menurut Lickona, dkk. (2007)

terdapat 11 pinsip agar pendidikan

karakter dapat berjalan efektif: (1)

kembangkan nilai-nilai etika inti

dan nilai-nilai kinerja

pendukungnya sebagai fondasi

karakter yang baik, (2) definisikan

‘karakter’ secara komprehensif

yang mencakup pikiran, perasaan,

dan perilaku, (3) gunakan

pendekatan yang komprehensif,

disengaja, dan proaktif dalam

pengembangan karakter, (4)

ciptakan komunitas sekolah yang

penuh perhatian, (5) beri siswa

kesempatan untuk melakukan

tindakan moral, (6) buat kurikulum

akademik yang bermakna dan

menantang yang menghormati

semua peserta didik,

mengembangkan karakter, dan

7

membantu siswa untuk berhasil, (7)

usahakan mendorong motivasi diri

siswa, (8) libatkan staf sekolah

sebagai komunitas pembelajaran

dan moral yang berbagi tanggung

jawab dalam pendidikan karakter

dan upaya untuk mematuhi nilai-

nilai inti yang sama yang

membimbing pendidikan siswa, (9)

tumbuhkan kebersamaan dalam

kepemimpinan moral dan dukungan

jangka panjangbagi inisiatif

pendidikan karakter, (10) libatkan

keluarga dan anggota masyarakat

sebagai mitra dalam upaya

pembangunan karakter, (11)

evaluasi karakter sekolah, fungsi

staf sekolah sebagai pendidik

karakter, dan sejauh mana siswa

memanifestasikan karakter yang

baik.

Dalam pendidikan karakter

penting sekal dikembangkan nilai-

nilai etika inti seperti kepedulian,

kejujuran, keadilan, tanggung

jawab, dan rasa hormat terhadap

diri dan orang lain bersama dengan

nilai-nilai kerja pendukungnya

seperti ketekunan, etos kerja yang

tinggi, dan kegigihan—sebagai basis

karakter yang baik. Sekolah harus

berkomitmen untuk

mengembangkan karakter peserta

didik berdasarkan nilai-nilai

dimaksud mendefinisikan-nya dalam

bentuk perilaku yang dapat diamati

dalam kehidupan sekolah sehari-

hari, men-contohkan nilai-nilai itu,

mengkaji dan mendiskusikannya,

menggunakannya sebagai dasar

dalam hubungan antarmanusia, dan

mengapresiasi manifestasi nilai-nilai

tersebut di sekolah dan masyarakat.

Yang terpenting, semua komponen

sekolah bertanggung jawab

terhadap standar-standar perilaku

yang konsisten sesuai dengan nilai-

nilai inti.

Karakter yang baik mencakup

pengertian, kepedulian, dan

tindakan berdasarkan nilai-nilai

etika inti. Karenanya, pendekatan

holistik dalam pendidikan karakter

berupaya untuk mengembangkan

keseluruhan aspek kognitif,

emosional, dan perilaku dari

kehidupan moral. Siswa memahami

nilai-nilai inti dengan mempelajari

dan mendiskusikannya, mengamati

perilaku model, dan

mempraktekkan pemecahan

masalah yang melibatkan nilai-nilai.

Siswa belajar peduli terhadap nilai-

nilai inti dengan mengembangkan

keteram-pilan empati, membentuk

hubungan yang penuh perhatian,

membantu menciptakan komunitas

bermoral, mendengar cerita

8

ilustratif dan inspiratif, dan

merefleksikan pengalaman hidup.

Sekolah yang telah

berkomitmen untuk

mengembangkan karakter melihat

diri mereka sendiri melalui lensa

moral, untuk menilai apakah segala

sesuatu yang berlangsung di

sekolah mempengaruhi

perkembangan karakter siswa.

Pendekatan yang komprehensif

menggunakan semua aspek

persekolahan sebagai peluang

untuk pengembangan karakter. Ini

mencakup apa yang sering disebut

dengan istilah kurikulum

tersembunyi, hidden curriculum

(upacara dan prosedur sekolah;

keteladanan guru; hubungan siswa

dengan guru, staf sekola lainnya,

dan sesama mereka sendiri; proses

pengajaran; keanekaragaman siswa;

penilaian pembelajaran;

pengelolaan lingkungan sekolah;

kebijakan disiplin); kurikulum

akademik, academic curriculum

(mata pelajaran inti, termasuk

kurikulum kesehatan jasmani), dan

program-program ekstrakurikuler,

extracurricular programs (tim

olahraga, klub, proyek pelayanan,

dan kegiatan-kegiatan setelah jam

sekolah).

Di samping itu, sekolah dan

keluarga perlu meningkatkan

efektivitas kemitraan dengan

merekrut bantuan dan komunitas

yang lebih luas (bisnis, organisasi

pemuda, lembaga keagamaan,

pemerintah, dan media) dalam

mempromosikan pembangunan

karakter. Kemitraan sekolah-orang

tua ini dalam banyak hal seringkali

tidak dapat berjalan dengan baik

karena terlalu banyak menekankan

pada penggalangan dukungan

financial, bukan pada dukungan

program. Berbagai pertemuan yang

dilakukan tidak jarang terjebak

kepada tawar menawar sumbangan,

bukan bagaimana sebaiknya

pendidikan karakter dilakukan

bersama antara keluarga dan

sekolah.

Pendidikan karakter yang

efektif harus menyertakan usaha

untuk menilai kemajuan. Terdapat

tiga hal penting yang perlu

mendapat perhatian: (1) karakter

sekolah: sampai sejauh mana

sekolah menjadi komunitas yang

lebih peduli dan saling

menghargai?, (2) pertumbuhan staf

sekolah sebagai pendidik karakter:

sampai sejauh mana staf sekolah

mengembangkan pemahaman

tentang apa yang dapat mereka

9

lakukan untuk mendorong

pengembangan karakter?, (3)

Karakter siswa: sejauh mana siswa

memanifestasikan pemahaman,

komitmen, dan tindakan atas nilai-

nilai etis inti? Hal seperti itu dapat

dilakukan di awal pelaksanaan

pendidikan karakter untuk

mendapatkan baseline dan diulang

lagi di kemudian hari untuk menilai

kemajuan.

(http://www.mediaindonesia.com,

diakses tanggal 14 September

2010).

Menurut Doni Koesoemo A

(2010) pendidikan karakter jika

ingin efektif dan utuh mesti

menyertakan tiga basis desain

dalam pemrogramannya. Tanpa tiga

basis itu, program pendidikan

karakter di sekolah hanya menjadi

wacana semata.

Pertama, desain pendidikan

karakter berbasis kelas. Desain ini

berbasis pada relasi guru sebagai

pendidik dan siswa sebagai

pembelajar di dalam kelas. Konteks

pendidikan karakter adalah proses

relasional komunitas kelas dalam

konteks pembelajaran. Relasi guru-

pembelajar bukan monolog,

melainkan dialog dengan banyak

arah sebab komunitas kelas terdiri

dari guru dan siswa yang sama-

sama berinteraksi dengan materi.

Memberikan pemahaman dan

pengertian akan keutamaan yang

benar terjadi dalam konteks

pengajaran ini, termasuk di

dalamnya pula adalah ranah

noninstruksional, seperti

manajemen kelas, konsensus kelas,

dan lain-lain, yang membantu

terciptanya suasana belajar yang

nyaman.

Kedua, desain pendidikan

karakter berbasis kultur sekolah.

Desain ini mencoba membangun

kultur sekolah yang mampu

membentuk karakter anak didik

dengan bantuan pranata sosial

sekolah agar nilai tertentu

terbentuk dan terbatinkan dalam

diri siswa. Untuk menanamkan nilai

kejujuran tidak cukup hanya dengan

memberikan pesan-pesan modal

kepada anak didik. Pesan moral ini

mesti diperkuat dengan penciptaan

kultur kejujuran melalui pembuatan

tata peraturan sekolah yang tegas

dan konsisten terhadap setiap

perilaku ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan

karakter berbasis komunitas. Dalam

mendidik, komunitas sekolah tidak

hanya berjuang sendirian.

Masyarakat di luar lembaga

pendidikan, seperti keluarga,

10

masyarakat umum, dan Negara,

juga memiliki tanggung jawab

moral untuk mengintegrasikan

pembentukan karakter dalam

konteks kehidupan mereka. Ketika

lembaga Negara lemah dalam

penegakan hukum, ketika mereka

yang bersalah tidak pernah

mendapatkan sanksi yang setimpal,

Negara telah mendidik

masyarakatnya untuk menjadi

manusia yang tidak menghargai

makna tatanan sosial bersama.

Pendidikan karakter hanya

akan bisa efektif jika tiga desain

pendidikan karakter ini

dilaksanakan secara simultan dan

sinergis. Tanpanya, pendidikan kita

hanya akan bersifat parsial,

inkonsisten dan tidak efektif.

Implementasi Pendidikan

Karakter di Lembaga

Pendidikan

Pendidikan karakter yang

bakal diterapkan di sekolah-sekolah

tidak diajarkan dalam mata

pelajaran khusus. Namun,

pendidikan karakter tersebut akan

diintegrasikan dengan mata

pelajaran yang sudah ada serta

melalui keseharian pembelajaran di

sekolah. Menurut Wakil Menteri

Pendidikan Nasional, Fasli Jalal,

dikemukakan bahwa pendidikan

karakter yang didorong pemerintah

untuk dilaksanakan di sekolah-

sekolah tidak akan membebani guru

dan siswa. Sebab, hal-hal yang

terkandung dalam pendidikan

karakter sebenarnya sudah ada

dalam kurikulum, tetapi selama ini

tidak dikedepankan dan diajarkan

secara tersurat.

(http://bukuohbuku.wordpress.com,

1 September 2010).

Beberapa Upaya Pencarian Soft

Skills di Beberapa Negara

Upaya di berbagai Negara

mengenai pentingnya solft skills

juga beragam. Dari berbagai

liteatur yang disarikan dalam modul

bahan ajar oleh suatu Tim di Dirjen

Dikti (2008) telah diupayakan di

berbagai negara seperti Taiwan,

Korea Selatan, Jepang, Australia,

dan Indonesia.

1.Pengalaman di Taiwan

Taiwan sebagai salah satu

Negara yang memandang kemajuan

pembangunan Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi hasilnya dirasakan

tanpa meningkatkan harkat dan

11

martabat dari manusia. Moral

menjadi salah satu tuntutan yang

ingin dilengkapi seiring dengan

kemajuan dari ranah pengetahuan.

Upaya ini dilakukan melalui

berbagai pendekatan, diantaranya

adalah dengan membentuk komite

disiplin dan moral di bawah

Kementerian Pendidikan. Komite

disiplin kemudian mencoba

menetapkan berbagai standar etika

yang mesti diterapkan di masing-

masing satuan pendidikan,

termasuk memonitor

implementasinya.

Kemudian mengembangkan

kurikukum moral dan etika yang

nantinya diterapkan dalam system

pembelajaran. Tahap selanjutnya

adalah dengan

mengimplementasikan aturan di

sekolah sebagai cara meningkatkan

nilai-nilai moral dan etika. Taiwan

menyadari bahwa berpikir kritis

adalah penting maka arah

pengembangan ditujukan pada

ranah ini, termasuk

kewarganegaraan, dan nilai-nilai

sosial.

2. Pengalaman di Korea Selatan

Di Korea Selatan, sebagai

salah satu Negara yang juga

mengalami kemajuan kemajuan

yang pesat pendidikannya, juga

sadar akan pentingnya soft skills.

Ini dikembangkan dengan

seperangkat upaya. Secara makro,

meningkatkan anggaran pendidikan

dan mempertahankan kebijakan

komitmen yang tinggi semenjak

tahun 1945. Semangat dan

komitmen ini dilahirkan sebagai

akibat dari Korea Selatan juga ingin

me-nyaingi perkembangan

kemajuan ilmu dan teknologi yang

dihasilkan oleh Jepang, sebagai

sebuah Negara tetangga yang lebih

dulu berhasil.

Diantaranya adalah dengan

mengupayakan perbaikan metode

pengajaran dan pe-nyampaian

materi ajar, misalnya dengan

menekankan kesadaran guru akan

pentingnya ka-rakter; mulai dari

suasana, kemampuan, dan fasilitas

yang mengarah kepada

pembentukan karakter.

Hasil dari upaya ini telah

menyebabkan Korea Selatan tampil

sebagai salah satu Negara yang

memiliki karakter khas, untuk

tampil menyaingi Jepang. Dengan

karakter kerja keras, salah satunya,

telah pula menghasilkan produk

manufaktur yang mampu masuk ke

kancah internasional.

12

Sebagai catatan tambahan,

Korea Selatan tercatat sebagai

salah satu Negara dimana tingkat

akses masyarakat mudanya

terhadap pendidikan tinggi

termasuk tertinggi di dunia.

Memulai kerja kerasnya semenjak

tahun 1945. Sekarang komitmen

anggaran dan dukungan

masyarakat adalah sangat besar

dalam memajukan pendidikan.

3. Pengalaman di Jepang

Merespons akan tuntutan

pentingnya membangun karakter

anak, maka di Jepang menurut

Scribner (2007) dalam Tim Dikti

(2008) untuk memenuhi aspek soft

skills, dimasukkan ke dalam

kegiatan-kegiatan ko-kurikuler di

sekolah dan di rumah.

Anak-anak Jepang diberi rasa

tanggungjawab yang tinggi dalam

mengembangkan fungsinya kepada

adik-adik sewilayahnya, dimulai

dengan proses datang ke sekolah,

metode belajar di sekolah sampai

pada menanamkan rasa

kemandirian yang tinggi dan

semangat untuk menang. Kemudian

terbiasa untuk mengembangkan

kreativitas di dalam kelas, Sudah

menjadi motto bagi anak didik

Jepang, bahwa kerja kelompok

menjadi salah satu yang perlu

dibiasakan.

Karakter kerja keras dan

mandiri yang dibangun dalam

prinsip bushido, menyebabkan

bangsa Jepang menghasilkan

generasi yang sanggup menguasai

berbagai iptek untuk berbagai

bidang dan proses industrialisasi.

Sayang sekali, Jepang dalam

membangun karakter bangsa masih

dibatasi oleh berbagai kendala.

Dimana kendala utama dari proses

pembangunan manusia di Jepang

masih belum sanggup mengkikis

kebiasaan “bunuh diri” dari

sebagian dari mereka yang frustasi.

4. Pengalaman di Australia

Sementara di Australia,

pengembangan soft skills dilakukan

semenjak usia dini, melalui system

penyampaian dan desain

pemebelajaran. Desain

pembelajaran yang menyebabkan

unsur-unsur soft skills terintegrasi

dalam setiap proses pembelajaran.

Di Australia pembentukan

kepercayaan diri anak-anak mulai

pada pra sekolah. Pembiasaan

anak-anak untuk mengisi masa

akhir minggu dengan orang tua,

baik untuk kepentingan olah raga

dan rekreasi.

13

Anak-anak Australia terbiasa

percaya diri. Karena setiap minggu

mereka didorong untuk sanggup

menyampaikan pengalaman kepada

teman se kelasnya. Dan model

seperti ini dilaksanakan secara

terus menerus.

Guru sangat berperan dalam

mengkomunikasikan soft skills di

sekolah. Anak-anak diajarkan akan

hak dan tanggungjawabnya.

Termasuk share bekerja dan hidup

berkelompok. Itulah pemandangan

pada sekolah-sekolah dasar sampai

menengah yang dikembangkan.

5. Pengalaman di Indonesia

Kesadaran akan soft kills juga

berkembang di Indonesia, namun

dalam waktu yang terlalu lama dan

metode yang tidak tepat. Upaya

menekankan pentingnya pendidikan

P-4 sewaktu zaman Presiden

Suharto telah didesain kegiatan-

kegiatan yang lebih terpusat. Oleh

karena penekanan hanya kepada

civic education, atau pendidikan

civic, maka hasil dari usaha P-4

hanya sebatas bagaimana hidup

bermasyarakat dan bernegara saja.

Kelemahan utama yang

dirasakan bahwa pengembangan

soft skills lebih bersifat indoktrinasi.

Dengan kata lain upaya Indonesia

dalam mendorong soft skills selama

berpuluh-puluh tahun melalui

penataran P-4 dianggap gagal,

mengingat model itu saat sekarang

sudah tidak dipakai lagi. Bahkan

dianggap kegiatan P-4 dapat saja

menyimpang dari yang dipahami

oleh kebanyakan para ilmuwan.

Diantaranya bahkan yang diberikan

lebih kepada ilmuwan, bukanlah

bagaimana membentuk

keterampilan perangkat lunak

warga Negara. Selain dari itu para

instruktur banyak yang tidak

terbekali dengan baik. Sehingga

kegatan soft skills semacam itu

lebih diartikan kepada proyek-

proyek kegiatan oleh mereka yang

berkuasa.

Akselerasi adat juga

merupakan upaya-upaya untuk

mempertahankan soft skills,

mengingat kandungan budaya lokal

adalah menuntun soft skills.

Misalnya bagaimana budaya dalam

bertutur kata sepantasnya. Maka

proses tutur kata masyarakat adat

mesti dipertahankan. Upaya ini

dilakukan oleh kaum adat. Namun

hal ini belum terlalu baik

diupayakan dalam

mendiseminasikan soft skills.

Demikian juga, bagaimana

kehidupan bergotong-royong

14

diupayakan masih eksis. Sayang

sekali kehidupan yang semacam itu

semakin sirna. Singkat kata soft

skills belum secara konsisten untuk

digarap dan dipelajari.

Apa yang dapat dimaknai dari

segala upaya untuk mencari solf

skills di berbagai Negara ? Negara

maju Asia Timur serta Indonesia ?

Maka upaya untuk mengembangkan

karakter masih dalam batas

keterbasan. Keterbatasan terutama

masih menganggap bahwa

taksonomi ranah keilmuan menjadi

menonjol.

Sekalipun ada upaya untuk

meningkatkan ranah soft skills,

namun juga kelihatannya sangat

beragam dalam melihat komponen-

komponennya. Diantaranya, masih

luputnya memasukkan unsur

bagaimana anak didik kita semakin

berilmu dia sadar semakin sadar

akan eksistensinya, posisinya

dengan Sang Pencipta. Hal inilah

yang menyebabkan bahwa dimensi

trancedental skills menjadi bahan

yang mesti disadari penting masuk

sebagai salah satu taksonomi soft

skills.(Elfindri, dkk, 2010).

Penerapan Pendidikan Karakter

Dimulai SD

Pendidikan karakter yang

dicanangkan Kementerian

Pendidikan Nasional (Kemendiknas)

akan diterapkan pada semua

jenjang pendidikan, namun porsinya

akan lebih besar diberikan pada

Sekolah Dasar (SD). Menurut

Menteri Pendidikan Nasional

(Mendiknas) Muhammad Nuh,

mengatakan pendidikan karakter

harus dimulai sejak dini yakni dari

jenjang pendidikan sekolah dasar

SD). Pada jenjang SD ini porsinya

mencapai 60 persen dibandingkan

dengan jenjang pendidikan lainnya.

Hal ini agar lebih mudah diajarkan

dan melekat di jiwa anak-anak itu

hingga kelak ia dewasa. Pendidikan

karakter harus dimulai dari SD

karena jika karakter tidak terbentuk

sejak dini maka akan susah untuk

merubah karakter seseorang.

Pendidikan karakter tidak

mendapatkan porsi yang besar pada

tingkat Taman Kanak-Kanak (TK)

atau sejenisnya karena TK bukan

merupakan sekolah tetapi taman

bermain. TK itu taman bermain

untuk merangsang kreativitas anak,

bukan tempat belajar. Oleh karena

itu, jika ada guru yang memberikan

tugas atau PR maka guru tersebut

tidak memahami tugasnya.

Sedangkan dalam menanamkan

karakter pada seseorang yang

15

paling penting adalah kejujuran,

karena kejujuran bersifat universal.

Pertimbangan yang rasional

tentang mengapa penerapan

pendidikan karakter harus dimulai

pada siswa SD, karena siswa SD

masih belum terkontaminasi dengan

sifat yang kurang baik sangat

memungkinkan untuk ditanamkan

sifat-sifat atau karakter untuk

membangun bangsa. Oleh karena

itu, selain orang tua, guru SD juga

mempunyai peranan yang sangat

vital untuk menempuh karakter

siswa. Pembinaan karakter yang

termudah di-lakukan adalah ketika

anak-anak masih di bangku SD.

Itulah sebabnya kita memprioritas-

kan pendidikan karakter di tingkat

SD. Bukan berarti pada jenjang

pendidikan lainnya tidak mendapat

perhatian namun porsinya saja yang

berbeda.

Dengan demikian maka

diharapkan dunia pendidikan dapat

sebagai motor pengge-rak untuk

memfasilitasi peserta didik menjadi

cerdas, juga mempunyai budi

pekerti dan sopan santun sehingga

keberadaannya sebagai anggota

masyarakat menjadi bermakna baik

bagi dirinya maupun orang lain.

Esensinya pembinaan karakter

harus dilakukan pada semua tingkat

pendidikan hinga Perguruan Tinggi

(PT) karena PT harus mampu

berperan sebagai mesin informasi

yang membawa bangsa ini menjadi

bangsa yang cerdas, sejahtera dan

bermanfaat serta mampu bersaing

dengan bangsa manapun.

Model Pendidikan Karakter di

Sekolah Menengah Pertama

(SMP)

Menurut Mochtar Buchori

(2007) dalam Kemendiknas (2010)

“Pembinaan Karakter di Sekolah

Menengah Pertama”, bahwa

pendidikan karakter seharusnya

membawa peserta didik ke

pengenalan nilai secara kognitif,

penghayatan nilai secara afektif,

dan akhirnya ke pengamalan nilai

secara nyata. Permasalahan

pendidikan karakter yang selama ini

ada di SMP perlu segera lebih

operasional sehingga mudah

diimplementasikan di sekolah.

Pendidikan karakter bertujuan

untuk meningkatkan mutu

penyelenggaraan dan hasil

pendidikan di sekolah yang

mengarah pada pencapaian

pembentukan katakter dan akhlak

mulia peserta didik secara utuh,

terpadu, dan seimbang, sesuai

16

standar kompetensi lulusan. Melalui

pendidikan karakter diharapkan

peserta didik SMP mampu secara

mandiri meningkatkan dan

menggunakan pengetahuannya,

mengkaji dan menginternalisasi

serta mempersonalisasi nilai-nilai

karakter dan akhlak mulia sehingga

terwujud dalam perilaku sehari-

hari.

Pendidikan karakter pada

tingkatan institusi mengarah pada

pembentukan budaya sekolah, yaitu

nilai-nilai yang melandasi perilaku,

tradisi, kebiasaan keseharian, dan

simbol-simbol yang dipratikkan oleh

semua warga sekolah, dan

masyarakat sekitar sekolah. Budaya

sekolah merupakan ciri khas,

karakter atau watak, dan citra

sekolah tersebut di mata

masyarakat luas.

Sasaran pendidikan karakter

adalah seluruh Sekolah Menengah

Pertama (SMP) di Indonesia negeri

maupun swasta. Semua warga

sekolah, meliputi para peserta

didik, guru, karyawan administrasi,

dan pimpinan sekolah menjadi

sasaran program ini. Sekolah-

sekolah yang selama ini telah

berhasil melaksanakan pendidikan

karakter dengan baik dijadikan

sebagai best practices, yang

menjadi contoh untuk

disebarluaskan ke sekolah-sekolah

lainnya.

Memalui program ini

diharapkan lulusan SMP memiliki

keimanan dan ketaqwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, berkarakter mulia,

kompetensi akademik yang utuh

dan terpadu, sekaligus memiliki

kepribadian yang baik sesuai

norma-norma dan budaya

Indonesia. Pada tataran yang lebih

luas, pendidikan karakter nantinya

diharapkan menjadi budaya

sekolah.

Keberhasilan program

pendidikan karakter dapat diketahui

melalui pencapaian indicator oleh

peserta didik sebagaimana

tercantum dalam Standar

Kompetensi Lulusan SMP, yang

antara lain meliputi sebagai

berikut :

1. Mengamalkan ajaran

agama yang dianut sesuai

dengan tahap

perkembangan remaja;

2. Memahami kekurangan

dan kelebihan diri sendiri;

3. Menunjukkan sikap

percaya diri;

17

4. Mematuhi aturan-aturan

social yang berlaku dalam

lingkungan yang lebih luas;

5. Menghargai keragaman

agama, budaya, suku, ras,

dan golongan social

ekonomi dalam lingkup

nasional;

6. Mencari dan menerapkan

informasi dari lingkungan

sekitar dan sumber-sumber

lain secara logis, kritis dan

kreatif;

7. Menunjukkan kemampuan

berpikir logis, kritis,

kreatif, dan inovatif;

8. Menunjukkan kemampuan

belajar secara mandiri

sesuai dengan potensi yang

dimilikinya;

9. Menunjukkan kemampuan

menganalisis dan

memecahkan masalah

dalam kehidupan sehari-

hari;

10. Mendeskripsikan gejala

alam dan social;

11. Memanfaatkan

lingkungan secara

bertanggung jawab;

12. Menerapkan nilai-nilai

kebersamaan dalam

kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara

demi terwujudnya

persatuan dalam Negara

kesatuan Republik

Indonesia;

13. Menghargai karya seni

dan budaya nasional;

14. Menghargai tugas

pekerjaan dan memiliki

kemampuan untuk

berkarya;

15. Menerapkan hidup

bersih, sehat, bugar, aman,

dan memanfaatkan waktu

luang dengan baik;

16. Berkomunikasi dan

berinteraksi secara efektif

dan santun;

17. Memahami hak dan

kewajiban diri dan orang

lain dalam pergaulan di

masyarakat; menghargai

adanya perbedaan

pendapat;

18. Menunjukkan

kegemaran membaca dan

menulis naskah pendek

sederhana;

19. Menunjukkan

keterampilan menyimak,

berbicara, membaca, dan

menulis dalam bahasa

Indonesia dan bahasa

Inggris sederhana;

20. Menguasai pengetahuan

yang diperlukan untuk

18

mengikuti pendidikan

menengah;

21. Memiliki jiwa

kewirausahaan.

Pada tataran sekolah, kriteria

pencapaian pendidikan karakter

adalah terbentuknya budaya

sekolah yaitu perilaku, tradisi,

kebiasaan keseharian, dan simbol-

simbol yang dipratikkan oleh semua

warga sekolah, dan masyarakat

sekitar sekolah harus berlandaskan

nilai-nilai tersebut.(Kemendiknas,

2010).

Penyelenggaraan pendidikan

nasional tidak semata mentransfer

ilmu dan pengetahuan serta

teknologi kepada peserta didik.

Lebih dari itu, pendidikan harus

bisa menumbuhkan semangat

kebangsaan sebagai warga bangsa

dengan karakter ke-Indonesia-an.

Bangsa ini harus kembali kepada

bangsa yang berbudi. Mampu

memiliki budi pekerti yang luhur

yang diajarkan oleh para leluhur

bangsa. Caranya, dengan

mengajarkan pendidikan karakter

kepada anak-anak mulai dari

bangku sekolah. Memberikan

mereka pemahaman yang jelas

tentang karakter yang harus

dimiliki manusia Indonesia di masa

depan.

Dengan olah raga, olah raga,

dan olah jiwa sekolah kami terus

menerus menanamkan nilai-nilai

luhur yang harus dimiliki manusia

Indonesia. Oleh karena itu, kami

mengemasnya dalam berbagai

bentuk kegiatan kesiswaan yang

dimulai dari saat siswa pertama kali

masuk sekolah sampai keluar (lulus)

dari sekolah.

Pembangunan karakter dan

pendidikan karakter menjadi suatu

keharusan, karena pendidikan tidak

hanya menjadikan peserta didik

menjadi cerdas, tetapi juga

mempunyai budi pekerti dan sopan

santun, sehingga keberadaannya

sebagai anggota masyarakat

menjadi bermakna baik bagi dirinya

maupun orang lain. Menanamkan

karaker pada seseorang yang paling

penting adalah kejujuran, karena

kejujuran bersifat universal.

(Mahatma, 2010).

Pendidikan Karakter Integral

Pendidikan karakter hanya

akan menjadi sekadar wacana jika

tidak dipahami secara lebih utuh

dan menyeluruh dalam konteks

pendidikan nasional kita. Bahkan,

pendidikan karakter yang dipahami

secara parsial dan tidak tepat

sasaran justru malah bersifat

19

kontraproduktif bagi pembentukan

karakter anak didik.

Pendekatan parsial yang tidak

didasari pendekatan pedagogi yang

kokoh alih-alih menanamkan nilai-

nilai keutamaan dalam diri anak,

malah menjerumuskan mereka pada

perilaku kurang bermoral. Selama

ini, jika kita berbicara tentang

pendidikan karakter, yang kita

bicarakan sesungguhnya adalah

sebuah proses penanaman nilai

yang seringkali dipahami secara

sempit, hanya terbatas pada ruang

kelas, dan seringkali pendekatan ini

tidak didasari prinsip pedagogi

pendidikan yang kokoh.

Sebagai contoh, untuk

menanamkan nilai kejujuran,

banyak skolah beramai-ramai

membuat kantin kejujuran. Di sini,

anak diajak untuk jujur dalam

membeli dan membayar barang

yang dibeli tanpa ada yang

mengontrolnya. Dengan praksis ini

diharapkan anak-anak kita akan

menghayati nilai kejujuran dalam

hidup mereka. Namun, sayang,

gagasan yang tampaknya relevan

dalam mengembangkan nilai

kejujuran ini mengabaikan prinsip

dasar pedagogi pendidikan berupa

kedisiplinan sosial yang mampu

mengarahkan dan membentuk

pribadi anak didik.

Alih-alih mendidik anak

menjadi jujur, dibanyak tempat

anak yang baik malah tergoda

menjadi pencuri dan kantin

kejujuran malah bangkrut. Ini

terjadi karena kultur kejujuran yang

ingin dibentuk tidak disertai dengan

pemangunan perangkat sosial yang

dibutuhkan dalam kehidupan

bersama. Tiap orang bisa tergoda

menjadi pencuri jika ada

kesempatan.

Masifnya perilaku

ketidakjujuran itu telah

menyerambah dalam diri para

pendidik, siswa dan anggota

komunitas sekolah lain. Untuk itu,

pendekatan yang lebih utuh dan

integrallah yang dibutuhkan untuk

melawan budaya tidak jujur ini.

Pendidikan karakter

semestinya terarah pada

pengembangan kultur edukatif yang

mengarahkan anak didik untuk

menjadi pribadi yang integral.

Adanya bantuan sosial untuk

mengembangkan keutamaan

merupakan ciri sebuah lembaga

pendidikan.

Dalam konteks kantin

kejujuran, bantuan sosial ini tidak

berfungsi, sebab anak malah

tergoda menjadi pencuri. Kegagalan

kantin kejujuran adalah sebuah

indikasi, bahwa para pendidik

20

memiliki kesalahan pemahaman

tentang makna kejujuran dalam

konteks pendidikan. Mereka tidak

mampu melihat persoalan yang

lebih mendalam yang menggerogoti

sendi pendidikan kita.(Doni

Koesoema A, 2010).

Sementara itu, untuk

mengembangkan pendidikan

karakter di sekolah, Kementerian

Pendidikan Nasional (Kemendiknas)

memberikan bantuan kepada

sekolah-sekolah yang ditunjuk

sebagai percontohan. Sebagai

contoh sebanyak 10 sekolah di

semua jenjang pendidikan di Nusa

Tenggara Barat mendapatkan

bantuan dari Kementerian

Pendidikan Nasional untuk

mengembangkan pendidikan

karakter. Setiap sekolah yang

mendapatkan percontohan

menerima bantuan sebesar Rp.

10.000.000,00 untuk menerapkan

dan membina pengembangan

pendidikan karakter.

(http://www.antaranews.com,

diakses tanggal 7 September 2010).

Sementara itu, Mendiknas,

Muhammad Nuh mengemukakan

bahwa intinya pembinaan karakter

harus dilakukan pada semua tingkat

pendidikan hingga Perguruan

Tinggi (PT) karena PT harus mampu

berperan sebagai mesin informasi

yang membawa bangsa ini menjadi

bangsa yang cerdas, santun,

sejahtera dan bermartabat serta

mampu bersaing dengan bangsa

manapun.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan pemaparan

tersebut di atas, maka dapatlah

dikemukakan beberapa simpulan

sebagai berikut: (1) karakter adalah

cara berpikir dan berperilaku yang

menjadi ciri khas setiap individu

untuk hidup dan bekerjasama, baik

dalam lingkup kehidupan keluarga,

masyarakat, bangsa dan Negara; (2)

Pendidikan karakter meliputi 9

(sembilan) pilar yang saling kait

mengkait, yaitu: (a) responsibility

(tanggung jawab), (b) respect (rasa

hormat), (c) fairness (keadilan), (d)

courage (keberanian), (e) honesty

(kejujuran), (f) citizenship

(kewarganegaraan), (g) self-

discipline (disiplin diri), (h) caring

(peduli), dan (i) perseverance

(ketekunan); (3) pembinaan

karakter harus dilaksanakan pada

semua tingkat pendidikan hingga

Perguruan Tinggi (PT), (4)

pembangunan karakter dan

pendidikan karakter menjadi suatu

keharusan karena pendidikan tidak

hanya menjadikan peserta didik

21

menjadi cerdas, juga mempunyai

budi pekerti dan sopan santun,

sehingga keberadaannya sebagai

anggota masyarakat menjadi

bermakna baik bagi dirinya maupun

orang lain, (5) pendidikan karakter

yang didalamnya ada akhlak mulia

akan menjadi jati diri bangsa untuk

mencapai kejayaan dan kemajuan di

dunia internasional, (6) pendidikan

budaya dan karakter bangsa harus

dipraktekkan, titik beratnya bukan

teori, (7) menghadirkan pendidikan

karakter dan budaya di sekolah

harus dilakukan secara holistik,

karena tidak bisa terpisah dengan

pendidikan sifatnya kognitif atau

akademik, (8) permasalahannya,

mayoritas guru belum punya

kemauan untuk melaksanakan

pendidikan karakter, kesadaran

sudah ada hanya saja belum

menjadi sebuah aksi nyata, (9)

grand design tentang pendidikan

karakter sudah tersusun, hanya

belum disosialisasikan ke seluruh

pelosok nusantara, terutama ke

lembaga-lembaga pendidikan, dan

(10) program pendidikan karakter

tidak hanya dilakukan satu sampai

dua tahun, namun secara

berkesinambungan hingga 2025.

Saran

Berdasarkan butir-butir

simpulan di atasa, maka untuk

mengimplemetasikan pendidikan

karakter di lembaga pendidikan

dikemukakan saran sebagai

berikut : (1) untuk implementasikan

pendidikan karakter di sekolah

dasar (SD), sebagai porsi yang

cukup besar (60%), maka perlu

disusun buku petunjuk pelaksanaan

(juklak) yang dapat digunakan

sebagai acuan para tenaga

kependidikan pada jenjang

pendidikan dasar, (2) sebagaimana

telah dikemukakan di atas, bahwa

penerapan pendidikan karakter

dapat diimplementasikan mulai

pada jenjang pendidikan dasar

sampai dengan pendidikan tinggi.

Oleh karena itu, untuk

mempersiapkan semuanya secara

cermat, perlu diterbitkan buku

pinter yang memberikan acuan

kepada guru dan dosen agar

pendidikan karakter dapat

diterapkan sesuai dengan yang

diharapkan, (3) dalam konteks

pembelajaran di kelas atau ruang

kuliah, pendidikan karakter dapat

diintegrasikan pada mata pelajaran

atau mata kuliah yang relevan, (4)

agar tenaga kependidikan (guru dan

dosen) mempunyai acuan yang baku

tentang penerapan pendidikan

karakter, maka perlu segera

22

disosialisasikan grand design

tentang pendidikan karakter, (5)

pendidikan karakter harus

diwujudkan untuk kepentingan

anak-anak Indonesia dalam konteks

kehidupan social dan buaya

masyarakat, (6) perlu diadakan TOT

(Training of Trainer) untuk

pendidikan karakter bagi seluruh

tenaga tenaga kependidikan, baik

guru maupun dosen, (7)

pelaksanaan pendidikan karakter di

sekolah jangan hanya bersifat

instan, karena pemerintah saat ini

sedang intens dengan soal ini,

tantangannya justru bagaimana

pendidikan di sekolah itu berjalan

seimbang antara penguasaan

pengetahuan dan pembentukan

karakter siswa, dan (8) perlu segera

disosialisiasikannya grand design

pendidikan karakter di lembaga

pendidikan mulai jenjang

pendidikan Taman Kanak-Kanak

sampai dengan perguruan tinggi.

23

fffffffffDi

Terbitkan Oleh :Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Gresik

ISSN 2089-5933

24

e- JURNAL

PENDIDIKAN

Vol. 1 No. I Hlm.

1-66

Gresik

Juni -Nopembe

r

ISSN

2089-5933

25

DI SDN BANJARSARI CERME GRESIK

Etiyasningsih*)

Abstrak, Disiplin merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Agar guru dapat berhasil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka guru tersebut harus mentaati dan menyadari akan pentingnya kedisiplinan. Kedisiplinan guru tentunya akan berimbas kepada para siswa, guru yang tidak atau kurang disiplin, siswanya pun akan cenderung tidak displin dan sebaliknya. Kedisplinan tidak hanya pada kehadiran guru semata, namun lebih dari itu disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam hal ini misalnya guru disiplin dalam membuat persiapan mengajar, Silabus, RPP, menyiapkan buku-buku paket penunjang, alat peraga dan lain-lain. Dengan kedisiplinan guru yang tinggi siswa akan lebih semangat belajar dan mendapatkan urutan materi pelajaran yang sistematis, hal ini akan meningkatkan prestasi belajarnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar.

Penelitian ini merupakan jenis regresional. Populasinya adalah seluruh guru di SDN Banjarsari Cerme Gresik berjumlah 20 orang. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling yaitu sesuai dengan kebutuhan dan yang tidak diikutkan adalah guru komputer, diperoleh responden sebanyak 19 orang. Data dikumpulkan dengan observasi, dokumentasi dan wawancara dengan instrumen check list. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar digunakan uji regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 6,171. > Ftabel = 4,45. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,024 jauh di bahwa 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian diharapkan para guru dapat menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, disiplin, jujur, dan penuh didekasi, karena dengan sikap-sikap tersebut sangat membantu dalam tercapainya prestasi belajar siswa, selain itu hendaknya juga lebih memperhatikan kehadiran, persiapan mengajar dan proses kegiatan belajar mengajar. Bagi kepala sekolah dapat memberi motivasi agar para guru lebih disiplin dengan memberi stimulus yang proporsional.

Kata Kunci : Disiplin Guru, Prestasi Belajar Siswa

26

PENDAHULUAN

Kita semua menyadari bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan sangatlah berat, lebih-lebih pada saat sekarang ini. Sebenarnya telah banyak usaha pemerintah, dan aspek pendukung, guna terwujudnya tujuan pendidikan tersebut.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut pemerintah berusaha melak-sanakan kegiatan antara lain, (1) Menyempurnakan sistem pendidikan, (2) Memperluas kesempatan untuk mem-peroleh pendidikan, (3) Sarana dan prasarana pendidikan terus disempurnakan dan ditingkatkan serta lebih didayagu-nakan, (4) Meningkatkan jumlah guru dan mutunya, baik formal maupun non formal serta terus ditingkatkan pengembangan karier dan kesejahteraannya.

Mengelola pendidikan tidak semudah yang kita bayangkan selama ini, sebab pendidikan berperan penting sebagai alat atai tempat untuk membentuk manusia Indonesia dan sebagai warga masyarakat sekaligus sebagai warga Negara yang berbudi pekerti luhur, beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta

berkemampuan dan mempunyai ketrampilan dasar untuk bekal pendidikan selanjutnya dan bekal hidup di masyarakat.

Guru kelas sebagai administrator menempati posisi yang sangat penting karena memikul tanggung jawab untuk meningkatkan dan mengembangkan kemajuan sekolah secara keseluruhan. Sedangkan murid dan guru yang menjadi komponen penggerak aktifitas kelas harus didayagunakan secara maksimal agar dapat tercapai suatu kesatuan yang dinamis di dalam organisasi sekolah.

Pada dasarnya sekarang ini banyak para guru yang kurang siap dalam mengajar, dikarenakan guru tersebut belum membuat persiapan mengajar, dan juga melanggar tata tertib.

Disiplin merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Agar guru dapat berhasil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka guru tersebut harus mentaati dan menyadari akan pentingnya kedisiplinan. Karena gurulah yang ikut bertanggung jawab dalam keberhasilan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah, agar selalu berupaya untuk meningkatkan keberhasilan prestasi belajar siswa. Selain itu para guru hendaknya selalu memberikan bimbingan dan pengajaran secara baik dengan selalu berpedoman pada petunjuk dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional.

27

Kedisiplinan guru tentunya akan berimbas kepada para siswa, guru yang tidak atau kurang disiplin, siswanya pun akan cenderung tidak displin dan sebaliknya. Kedisplinan tidak hanya pada kehadiran guru semata, namun lebih dari itu disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam hal ini misalnya guru disiplin dalam membuat persiapan mengajar, Silabus, RPP, menyiapkan buku-buku paket penunjang, alat peraga dan lain-lain. Dengan kedisiplinan guru yang tinggi siswa akan lebih semangat belajar dan mendapatkan urutan materi pelajaran yang sistematis, hal ini akan meningkatkan prestasi belajarnya.

METODE PENELITIAN

Deskripsi Populasi

Arikunto (2002) menyatakan bahwa populasi adalah obyek yang akan diteliti hasilnya, dianalisis, disimpulkan dan kesimpulan itu berlaku untuk seluruh populasi itu. Sudjana (1996) menjelaskan popupasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atau pengukuran, kuantitatif, atau kualitatif mengenai karateristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jenis yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh guru di SDN Banjarsari Cerme Gresik berjumlah 20 orang.

Penentuan Sampel

Pengambilan sampel ini didasari pendapat Arikunto (1998:120-121) berikut : “Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau lebih tergantung setidak-tidaknya dari : a) kemampuan peneliti dari waktu, tenaga dan dana, b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data, c) Besar kecilnya risiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang risikonya besar, tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik.”

Sugiyono (2009:124) menyatakan jumlah sampel tergantung dari tingkat ketelitian atau kesalahan yang dikehendaki, misalnya tingat kesalahan 1%, 5%, 10% atau lainnya. Makin besar tingkat kesalahan makin kecil sampel. Rumus untuk menghitung ukuran sampel dari populasi yang diketahui jumlahnya adalah :

s = λ2 . N .P .Q

d2 (N−1 )+λ2 .P .Q

2 dengan dk = 1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10%

P = Q = 0,5 d = 0,05 s = jumlah sampel

Namun dari rumus tersebut telah dihitung untuk populasi-populasi dengan jumlah tertentu mulai 10 hingga 1.000.000 oleh Sugiono (2009:126) sebagaimana tabel terlampir. Untuk jumlah populasi 20 orang dengan taraf

28

signifikan 0,05 diperoleh sampel sebanyak 19 orang. Oleh karena itu dalam penelitian ini Dari 19 orang ini dipilih dengan teknik purposive sampling yaitu sesuai dengan kebutuhan dan yang tidak diikutkan adalah guru komputer.

Definisi Operasional Variabel

Agar tujuan penelitian dapat tercapai maka variabel harus didefinisikan dengan jelas dan menyebutkan indikator-dindikatornya, cara pengukurannya, dan skala atau kategori penilaian yang digunakan. Berikut ini adalah definisi operasional masing-masing variabel. 1. Variabel bebas (X) yakni

disiplin guru adalah suatu sikap mental seoang guru yang mengandung kesadaran dan kerelaan untuk mematuhi semua ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab. Disiplin guru tersebut diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut :a. Kehadiran di sekolah b. Ketepatan waktu mengajarc. Persiapan mengajar yaitu

silabus, RPP d. Kegiatan belajar mengajar

antara lain alat peraga, buku penunjang, buku absen siswa, daftar nilai, dan lain-lain.

2. Variabel terikat prestasi belajar (Y) yaitu suatu suatu hasil yang teah dicapai setelah kegiatan belajar mengajar. Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan adalah nilai rata-rata hasil ulangan tiap mata pelajaran

bagi guru mata pelajaran dan tiap kelas pada guru kelas.

Teknik Pengumpulan Data

Adapun proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :1. Survey Pendahuluan

Dalam kegiatan ini, penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data-data intern perusahaan di antaranya adalah profil SDN Banjarsari Cerme Gresik.

2. Dokumentasi Teknik dokumentasi adalah

mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya (Suharsimi, 2002 : 236).

Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data nilai siswa. Dalam data sekunder yang diperoleh dengan teknik dokumentasi ini, peneliti juga menggunakan lembar cek list untuk mencatat indikator disiplin guru.

3. Wawancara Wawancara atau interview

adalah suatu metode yang tujuannya untuk memperoleh data evaluasi, secara berhadapan muka dengan secara individu, orang yang diinterview memberikan informasi-informasi yang diperlukan secara ilmiah dalam suatu relasi face to face” (Drs. Amatembun MA, supervise Pendidikan, 1975:191).

Pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara adalah meyakinkan hasil

29

observasi tentang disiplin guru. Wawancara dilakukan kepada masing-masing guru yang bersangkutan dan kepala sekolah.

Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan urutan analisa sebagai berikut :

1. Coding, adalah memberi kode pada lembar check list sesuai dengan kategori yang telah ditentukan.

2. Tabulating, adalah mentabulasi seluruh data hasil chek list ke dalam tabel-tabel yang diperlukan sehingga mudah dibaca.

3. Skoring, adalah memberi skor dari kategori-kategori tersebut sesuai skor yang telah ditentukan. Disiplin guru diberi skor tinggi, sedang dan rendah. Skor tinggi jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai >75%, skor sedang jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai 56-75%, dan rendah jika penjumlahan dari hasil penilaian <56%.

4. Uji HipotesisUji hipotesis berfungsi untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji ini sekaligus juga menjawab rumusan masalah yang telah ditulis pada Bab I. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana :

Y = a + bXY = Prestasi siswa X = Disiplin guru

a = Nilai konstanta b = Nilai arah sebagai penentu

ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan (+) atau nilai penurunan (–) variabel Y.

Dalam penelitian ini perhitungan regresi dilakukan dengan bantuan program SPSS for Windows. Langkah menguji hipotesis : 1) Membuat Ha dan Ho dalam

bentuk kalimat : Ha : Terdapat pengaruh

disiplin guru dengan prestasi siswa

Ho : Tidak terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa

2) Kaidah pengujian signifikansi : Jika Fhitung ≥ Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak artinya terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa.Jika Fhitung < Ftabel maka Ha ditolak dan Ho diterima artinya tidak terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terdapat 8 indikator dalam menjelaskan disiplin guru yang diperoleh datanya melalui observasi dan dokumentasi yaitu, kehadiran, ketepatan waktu mengajar, silabus, RPP, alat peraga, buku, absensi murid, buku penunjang, daftar nilai.

Tabel 1 Disiplin Guru di Sekolah Dasar Negeri Banjarsari Kec. Cerme Kabupaten Gresik

30

No

Daftar Nilai

Jumlah

Persentase (%)

1

2

3

Kurang

Cukup

Baik

1

4

14

5,2

21,1

73,7

Jumlah 19 100

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa disiplin guru dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar (73,7%) baik, 21,1% cukup, dan 5,2% kurang.

Sedangkan Prestasi belajar siswa diukur dari nilai rata-rata mata pelajaran dari guru yang bersangkutan jika guru tersebut adalah guru mata pelajaran, dan nilai rata-rata kelas jika guru yang bersangkutan adalah guru kelas. Nilai tersebut diperoleh selama 6 kali evaluasi terakhir yang datanya diperoleh dari dokumentasi pada guru mata pelajaran atau guru kelas masing-masing.

Tabel 2 Nilai Nilai Rata-Rata Kelas atau Nilai Rata-rata Mata Pelajaran

(6 x evaluasi terakhir)

No Resp.

Nilai Rata-Rata Kelas atau Nilai Rata-rata Mata Pelajaran

(6 x evaluasi terakhir)

1 2 3 4 5 6Rata

-Rata

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

7,60

6,54

8,00

8,20

8,00

7,20

8,60

7,98

7,90

6,90

6,70

8,00

7,50

6,10

8,2

7,90

5,95

8,50

7,50

8,00

7,56

8,40

7,12

7,92

6,90

6,80

8,50

7,60

6,00

8,0

7,95

7,00

7,93

7,90

8,00

7,85

8,00

7,59

8,00

6,65

6,90

8,50

7,70

6,58

8,1

8,10

7,10

7,87

7,60

8,00

7,98

8,21

7,87

8,20

6,00

6,23

8,00

7,54

6,98

8,2

8,20

6,52

8,30

7,90

8,00

8,20

7,58

8,67

8,40

7,15

6,50

7,90

7,80

7,16

8,2

8,64

6,43

8,00

7,42

8,00

8,20

7,49

8,12

8,50

7,26

6,21

9,40

8,00

7,90

8,6

8,07

6,59

8,10

7,75

8,00

7,83

8,05

7,89

8,15

6,81

6,56

8,38

7,69

6,79

8,2

31

No Resp.

Nilai Rata-Rata Kelas atau Nilai Rata-rata Mata Pelajaran

(6 x evaluasi terakhir)

1 2 3 4 5 6Rata

-Rata

0

7,59

8,50

6,80

7,23

0

8,00

8,40

7,10

8,00

0

8,10

8,60

6,85

8,00

3

8,20

8,21

6,98

8,20

1

8,50

8,24

6,85

8,10

0

8,42

8,21

6,20

8,65

2

8,14

8,36

6,80

8,03

Uji Regresi Linier Sederhana

Data yang terkumpul sebagaimana paparan sebelumnya selanjutnya dianalisis untuk mengetahui pengaruh disiplin guru dengan prestasi belajar siswa.

Koding, skoring, dan tabulating telah dilaksanakan peneliti yang hasilnya tertera pada lampiran. Pada analisa data ini akan dipaparkan uji hipotesis dengan regresi linier sederhana. Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.

ANOVAb

1, 918 1 1, 918 6, 171 , 024a

5, 282 17 , 311

7, 200 18

Regression

Residual

Tot al

Model1

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Predict ors: (Const ant ) , Disiplin Gurua.

Dependent Var iable: Prest asi Siswab.

Gambar 1 Uji F

Gambar 4.2 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 6,171. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel pada df = 17 sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution α=0,05). Tabel F dengan df = 13 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,45. Sehingga Fhitung = 6,171 > Ftabel = 4,45.

Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,024 jauh di bahwa 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.

Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif (Gambar 4.3) antar kedua variabel yang diperoleh Pearson Correlation sebesar 0,516 lebih dari rtabel sebesar 0,456 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 17 terlampir).

Corre la tions

1 ,000 ,516

,516 1 ,000

, ,012

,012 ,

19 19

19 19

Pres tas i Si s wa

Dis ip l i n Gu ru

Pres tas i Si s wa

Dis ip l i n Gu ru

Pres tas i Si s wa

Dis ip l i n Gu ru

Pears on Co rre la tion

Sig . (1 -ta i led )

N

Pres tas iSis wa Dis ip l i n Gu ru

Gambar 2 Uji Korelasi

Besarnya pengaruh atau kontribusi disiplin guru terhadap

32

prestasi belajar siswa dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.

Coef f i ci ent sa

6, 191 , 619 10, 003 , 000

, 560 , 226 , 516 2, 484 , 024 , 516 , 516 , 516

( Cons t ant )

Dis iplin G ur u

M odel1

B St d. Er r or

Uns t andar dizedCoef f ic ient s

Bet a

St andar dizedCoef f ic ient s

t Sig. Zer o- or der Par t ial Par t

Cor r elat ions

Dependent Var iable: Pr es t as i Sis waa.

Gambar 3 Uji t

Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.4 memperlihatkan thitung sebesar 2,484 > ttabel sebesar 2,110 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir untuk df = 17) artinya terdapat pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa.

Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa dapat dilihat koefisien regresi (unstandarized coefficients Beta) pada gambar 4.4 di atas sebesar 0,560. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut :

Y = a + bX

= 6,191 + 0,560

Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut:

1) Konstanta sebesar 6,191 menyatakan bahwa jika variabel disiplin guru dianggap konstan (tidak ada upaya meningkatkan

disiplin guru), maka prestasi belajar siswa sebesar 6,191point.

2) Koefisien regresi disiplin guru sebesar 0,560 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin tingkat disiplin guru akan meningkatkan perkembangan perusahaan sebesar 0,560 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya peningkatan disiplin guru sebesar 1000 poin maka akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 560 point.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan disiplin guru dipengaruhi oleh tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Tanggung jawab tersebut berasal dari pemerintah karena para guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang jelas.

Selain itu para guru juga bertanggung jawab atas prestasi belajar para siswanya. Guru cera umum akan merasa bangga apabila siswanya dapat berprestasi dan memiliki kemampuan yang baik.

Disebutkan bahwa faktor-faktor kesehatan jasmani dan rohani, ekonomi, status sosial, kepemimpinan dan peraturan dan tata tertib juga berpengaruh terhadap disiplin guru.

Kesehatan seluruh guru secara umum terlihat sehat jasmani maupun rohaninya. Dikatakan bahwa kesehatan seorang guru mempengaruhi terhadap tugas sehari-hari. Sudah sewajarnyalah

33

bila setiap guru menginginkan rasa aman dalam kehidupannya sehingga akan terhindar dari segala gangguan kesehatan. Sehingga ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan yang akhirnya dapat membawa hasil yang baik pula.

Selanjutnya masalah ekonomi secara umum Pegawai Negeri Sipil telah mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemerintah melalui Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001 menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil mencapai 200% atau dua kali lipat, sehingga jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk di Indonesia Pegawai Negeri Sipil sudah cukup baik. Memang masalah ekonomi sangat penting terhadap disiplin guru. Dikatakan bahwa faktor ekonomi menambah beban bagi guru-guru dan menjadi persoalan pribadi yang dapat memungkinkan terganggunya tugas-tugas di sekolah. Padahal guru-guru menginginkan rasa aman, tentram dalam kehidupannya yang antara lain yaitu penerimaan gaji lancar, segala haknya dapat diterima dengan baik dan tepat pada waktunya, juga memiliki tempat tinggal untuk keluarganya dan lain-lain.

Kemudian tentang status sosial guru di dalam masyarakat mempunyai status yang cukup baik. Masyarakat memandang guru sebagai orang yang patut dihargai, karena mereka menyadari bahwa guru memegang peranan penting dalam pelaksanaan pembangunan di bidang pendidikan, karena pendidikan akan berjalan lancar dan

berkembang baik apabila guru secara aktif ikut memajukan pendidikan di dalam masyarakat.

Faktor kepemimpinan merupakan faktor penting dalam membentuk disiplin para guru. Kepemimpinan yang dimaksud ini adalah kepemimpinan kepala sekolah. Dikatakan bahwa kepala sekolah, jika kepemimpinannya efektif, maka guru-guru akan memperoleh sumbangan yang berharga dalam merumuskan tujuan-tujuan pendidikan, berlangsung pengajaran yang efektif, terciptanya suasana yang kondusif (berguna) sehingga hal demikian itu akan mendukung terciptanya kedisiplinan guru yang baik. Dengan demikian maka factor kepemimpinan dapat mempengaruhi kedisiplinan guru. Di SDN Banjarsari Kec Cerme Kabupaten Gresik, kepemimpinan kepala sekolah sukup baik, dan komunikasi kepala sekolah dengan para guru juga berlangsung dengan baik.

Tidak kalah penting adalah peraturan dan tata tertib sekolah yang mempengaruhi disiplin guru. Disiplin guru dan tata tertib sekolah merupakan dua hal yang saling terkait. Artinya disiplin guru tidak akan tercapai bila tidak ada peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengikat, sehingga menyebabkan guru untuk berbuat semaunya sendiri yang mengarah terciptanya sekolah yang tidak teratur/tertib. Tata tertib yang ada di SDN Banjarsari sudah cukup baik dan tercatat dan ditempatkan di posisi yang mudah dilihat.

34

Hasil uji menunjukkan pengaruh yang signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa.

Ketika belajar di sekolah, faktor guru dan cara mengajarkannya merupakan faktor yang paling penting pula. Bagaimana sikap dan kepribadiannya guru, disiplinnya, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru, dan bagaimana cara guru itu mengajarkan pengetahuan kepada anak didiknya, turut menentukan bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai oleh siswa.

Kesimpulan

1. Disiplin guru di SDN Banjarsari Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik sebagian besar baik.

2. Terdapat pengaruh positif disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa di SDN Banjarsari Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik.

Saran-saran

1. Para guru diharapkan agar dapat menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, disiplin, jujur, dan penuh didekasi, karena dengan sikap-sikap tersebut sangat membantu dalam tercapainya prestasi belajar siswa.

2. Para guru hendaknya juga lebih memperhatikan kehadiran, persiapan mengajar dan proses kegiatan belajar mengajar.

3. Bagi kepala sekolah dapat memberi motivasi agar para guru

lebih disiplin dengan memberi stimulus yang proporsional.

DAFTAR PUSTAKA

Ametembun, Drs.M.A, “Supervisi Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1975

Ametembun, Drs.M.A, “Manajemen Kelas”, Terbitan Ketiga Penerbit IKIP Bandung, 1981

Hendyat Sutopo, Dr., “Ikhtiar Teknik Penilaian Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1984

Ismed Syarif, Drs dan Nawas Riza, Drs., “Administrasi Pendidikan Dasar”, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976

M. Ngalim Purwanto, Drs.M.P., “Pyskologi Pendidikan”, Penerbit PT. Rosda Karya Bandung 1990

M. Dimyati Mahmud, “Psykologi Pendidikan”, Suatu Pendekatan Terapan Edisi I Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta

Sutrisno Hadi, Prof. Dr. M.A., “Metodologi Reseach”, Jilid II Penerbit FKP IKIP Yogyakarta 1967

Suhertin, Drs. Dan Nata Her, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Program Insenvice Education, Penerbit IKIP Malang 1971

35

S. Nasution, Prof.Dr.M.A “Didaktik dan Azas-Azas Kurikulum”, Penerbit Jemara Bandung 1989

Westy Sumanto, Drs dan Hendyat Sutopo “Kepemimpinan Pendidikan”, Peberbit Usaha Nasional Surabaya 1982

Subari, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Perbaikan Situasi Mengajar Penerbit Bumi Aksara Jakarta 1994

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan “Buku II Petunjuk Administrasi Sekolah Dasar”, tahun 1989

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah Jawa Timur “Media Pendidikan”, Nomor 3 Edisi Mei 1991

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Penerbit Balai Pustaka 1989

TAP MPR No. II/MPR/1993 “Garis-Garis Besar Haluan” Negara 1993-1998, Penerbit Bina Pustaka Surabaya 1989

36

Diterbitkan Oleh :

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Gresik

ISSN 2089-5933

37

e- JURNAL

PENDIDIKAN

Vol. 1 No. I Hlm.

1-66

Gresik

Juni -Nopembe

r

ISSN

2089-5933

PENGARUH PELAKSANAAN SUPERVISI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KEDISIPLINAN GURU DALAM PELAKSANAKAN PROSES BELAJAR

MENGAJAR DI SDN NGAGELREJO WONOKROMO

KOTA SURABAYA

Sri Sundari *)

Abstrak, Untuk mencapai tujuan pendidikan, guru juga perlu menaruh perhatian terhadap kemajuan murid di samping evaluasi belajar memecahkan masalah atau problem yang dihadapi murid dan lain-lainnya. Di dalam memperbaiki dan mensukseskan proses belajar mengajar serta memecahkan masalah lain, banyak dipengaruhi oleh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap guru dan lingkungan sekolahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap kedisiplinan guru dalam pelaksanakan proses belajar mengajar.

Penelitian ini merupakan jenis regresional. Populasinya adalah seluruh guru di SDN Ngagelrejo II/397 Kec. Wonokromo Kota Surabaya berjumlah 18 orang. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh responden sebanyak 18 orang. Data dikumpulkan dengan kuesioner, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan supervisi kepala terhadap disiplin guru digunakan uji regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 5,975 > Ftabel = 4,49. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Terlihat pula

38

signifikan hasil hitung αhitung = 0,026 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian diharapkan supervisi kepala sekolah dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga lebih meningkatkan disiplin guru. Guru hendaknya ikut mensukseskan pelaksanaan supervisi kepala sekolah agar kegiatan proses belajar mengajar lebih meningkat dan bermutu. Bagi pihak-pihak terkait khususnya pemerintah hendaknya memperhatikan pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan membantu memberikan instrumen yang valid dan handal.

Kata Kunci : Pelaksanaan Supervisi Kepala Sekolah, Kedisiplinan Guru

39

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi meliputi seluruh bidang kehidupan, misalnya bidang komunikasi, transportasi serta pembangunan fisik lainnya. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, maka hubungan antara negara-negara di dunia ini semakin berkembang. Jarak antara negara yang satu dengan negara yang lainnya seolah-olah semakin dekat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendekatkan dan menyatukan negara yang satu dengan negara yang lain sehingga seolah-olah dunia ini mengglobal.

Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga berusaha untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi agar sesuai dengan perkembangan jaman. Hal ini sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945 alinea 4 yang berbunyi: “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Untuk melaksanakan hal tersebut diatas, maka salah satu bidang yang harus diutamakan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah dalam bidang pendidikan, karena pendidikan modal paling utama dalam menciptakan manusia yang cerdas dalam arti terampil, dapat berdiri sendiri serta bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara.

Dalam pendidikan atau pengajaran, warga negara Indonesia dijamin haknya untuk mendapatkan pengajaran sebagaimana tercantum dalam Batang Tubuh UUD 1945 Bab XIII pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Untuk pelaksanaan tersebut diatas, maka pemerintah berupaya serta mempunyai tanggung jawab dalam pendidikan. Hal ini diperkuat dengan ayat berikutnya (pasal 31 ayat 2) yang berbunyi : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur oleh Undang-undang”.

Dengan melihat pernyataan diatas, maka pendidikan mencetuskan harapan, karena harapan terletak pada pendidikan, harapan juga menjiwai perjuangan kemerdekaan. Karena itu pendidikan merupakan bagian

40

mutlak dari perjuangan dan merupakan investasi yang paling utama dari setiap bangsa.

Oleh karena itu, mutu pendidikan lebih banyak cenderung dan tergantung pada guru dalam membimbing/mendidik proses belajar mengajar, serta kedisiplinan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kedisiplinan perlu sekali ditingkatkan untuk mencapai keberhasilan pendidikan, baik disiplin waktu maupun tugas.

Sebagai tenaga pendidik di sekolah, guru harus ikut aktif dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional, sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapan MPR No. 11/83 tentang GBHN halaman 93 yang berbunyi : “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap “Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan seta cinta tanah air agar dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa dan negara”.

Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut diatas, maka

tugas guru juga perlu menaruh perhatian terhadap hal-hal lain. Laporan tentang kemajuan murid di samping evaluasi belajar memecahkan masalah atau problem yang dihadapi murid dan lain-lainnya.

Di dalam memperbaiki dan mensukseskan proses belajar mengajar serta memecahkan masalah lain sebagaimana tersebut, banyak dipengaruhi oleh pelaksanaan supervisi Kepala Sekolah terhadap guru dan lingkungan sekolahnya.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian explanatory survey. Pendekatan explanatory survey ini, sebagaimana simpulan Cooper dan Pamela (2003:13), Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (1995:3) terbukti mampu dengan baik menjelaskan hubungan antar aspek yang diamati dan bukan hanya sekedar descriptive, sedangkan bentuk penelitian verifikatif menurut Moh. Nazir (1988:63) digunakan untuk menguji hipotesis yang menggunakan perhitungan-perhitungan statistik.

41

Deskripsi Populasi dan Penentuan Sampel

Deskripsi Populasi

Arikunto (2002) menyatakan bahwa populasi adalah obyek yang akan diteliti hasilnya, dianalisis, disimpulkan dan kesimpulan itu berlaku untuk seluruh populasi itu. Sudjana (1996) menjelaskan popupasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atau pengukuran, kuantitatif, atau kualitatif mengenai karateristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jenis yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh guru di SDN Ngagelrejo II Wonokromo Surabaya berjumlah 18 orang.

Penentuan Sampel

Pengambilan sampel ini didasari pendapat Arikunto (1998:120-121) “Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau lebih tergantung setidak-tidaknya dari : a) kemampuan peneliti dari waktu, tenaga dan dana, b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek,

karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data, c) Besar kecilnya risiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang risikonya besar, tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik.”

Sugiyono (2009:124) menyatakan jumlah sampel tergantung dari tingkat ketelitian atau kesalahan yang dikehendaki, misalnya tingat kesalahan 1%, 5%, 10% atau lainnya. Makin besar tingkat kesalahan makin kecil sampel. Rumus untuk menghitung ukuran sampel dari populasi yang diketahui jumlahnya adalah :

s = λ2 . N .P .Q

d2 (N−1 )+λ2 .P .Q

2 dengan dk = 1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10%

P = Q = 0,5 d = 0,05 s = jumlah sampel

Namun dari rumus tersebut telah dihitung untuk populasi-populasi dengan jumlah tertentu mulai 10 hingga 1.000.000 oleh Sugiono (2009:126) sebagaimana tabel terlampir. Untuk jumlah populasi 18 orang dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh sampel sebanyak 18 orang. Oleh karena itu dalam penelitian ini Dari 19 orang ini dipilih dengan teknik total sampling yaitu mengambil seluruh guru menjadi responden.

Variabel Penelitian

42

Dalam penelitian yang dilakukan ini, variabel yang digunakan terdiri dari satu variabel bebas yaitu disiplin guru dan satu variabel terikat yaitu prestasi belajar.

Definisi Operasional Variabel

Agar tujuan penelitian dapat tercapai maka variabel harus didefinisikan dengan jelas dan menyebutkan indikator-dindikatornya, cara pengukurannya, dan skala atau kategori penilaian yang digunakan. Berikut ini adalah definisi operasional masing-masing variabel. 1. Variabel bebas (X) yakni

pelaksanaan supervisi kepala sekolah adalah suatu usaha untuk mewujudkan kemajuan sekolah yang bersifat teratur dan kontinyu dengan jalan membina, memperbaiki, meningkatkan kedisiplinan guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar untuk mempertinggi mutu pendidikan yang diberikan kepada siswa. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut :a. Prinsip konstruktif b. Prinsip kreatifitas c. Prinsip kooperatif d. Prinsip demokrasi e. Prinsip kontinyuitas f. Prinsip ilmiah

2. Variabel terikat (Y) yakni disiplin guru adalah suatu sikap mental seoang guru yang

mengandung kesadaran dan kerelaan untuk mematuhisemua ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab. Disiplin guru tersebut diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut :a. Kehadiran di sekolah b. Ketepatan waktu mengajarc. Persiapan mengajar yaitu

silabus, RPP d. Kegiatan belajar mengajar

antara lain alat peraga, buku penunjang, buku absen siswa, daftar nilai, dan lain-lain.

Teknik Pengumpulan Data

Adapun proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :1. Survey Pendahuluan

Dalam kegiatan ini, penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data-data intern perusahaan di antaranya adalah profil SDN Ngagelrejo II Wonokromo Surabaya.

2. Dokumentasi Teknik dokumentasi adalah

mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya (Suharsimi, 2002 : 236).

Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk mencatat indikator disiplin guru.

3. Kuesioner

43

Dalam penelitian ini digunakan kuesioner tertutup dengan skala Likert. Menurut Arikunto (1998:151) kuesioner tertutup adalah kuesioner yang telah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih jawaban pada kolom yang sudah disediakan dengan memberi tanda cross (x). Dalam penelitian ini kuesioner digunakan untuk megambil data tentang pelaksanaan supervisi kepala sekolah.

Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan urutan analisa sebagai berikut :

1. Coding, adalah memberi kode pada lembar check list sesuai dengan kategori yang telah ditentukan.

2. Tabulating, Tabulating adalah mentabulasi seluruh data hasil chek list ke dalam tabel-tabel yang diperlukan sehingga mudah dibaca.

3. Skoring, Skoring adalah memberi skor dari kategori-kategori tersebut sesuai skor yang telah ditentukan. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan disiplin guru diberi skor tinggi, sedang dan rendah. Skor tinggi jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai >75%, skor sedang jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai 56-75%,

dan rendah jika penjumlahan dari hasil penilaian <56%.

4. Uji HipotesisUji hipotesis berfungsi untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji ini sekaligus juga menjawab rumusan masalah yang telah ditulis pada Bab I. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana :

Y = a + bXY = Disiplin guru X = Pelaksanaan supervisi

kepala sekolah a = Nilai konstanta b = Nilai arah sebagai penentu

ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan (+) atau nilai penurunan (–) variabel Y.

Dalam penelitian ini perhitungan regresi dilakukan dengan bantuan program SPSS for Windows. Langkah menguji hipotesis : a. Membuat Ha dan Ho dalam

bentuk kalimat : Ha : Terdapat pengaruh

pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru

Ho : Tidak terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru

b. Kaidah pengujian signifikansi : Jika Fhitung ≥ Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak

44

artinya terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru.Jika Fhitung < Ftabel maka Ha ditolak dan Ho diterima artinya tidak terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1

Pelaksanaan Supervisi Kepala Sekolah

Pe la k s a n a a n Su p e rv is i Ke p s e k

3 1 6 ,7 1 6 ,7 1 6 ,7

1 3 7 2 ,2 7 2 ,2 8 8 ,9

2 11 ,1 11 ,1 1 0 0 ,0

1 8 1 0 0 ,0 1 0 0 ,0

Ku ra n g

Cu k u

Ba i k

T o ta l

Va l i dF re q u e n c y Pe rc e n t Va l i d Pe rc e n t

Cu mu l a t i v ePe rc e n t

Tabel 1 menunjukkan dari 18 guru sebagai responden dalam menanggapi pelaksanaan supervisi kepala sekolah 72,2% menyatakan cukup, 16,7% menyatakan kurang, dan 11,1% masing menyatakan baik.

Tabel 2 Disiplin Guru di SDN Ngagelrejo II/397 Kec. Wonokromo

Kota Surabaya

Dis ip lin Guru

3 1 6 ,7 1 6 ,7 1 6 ,7

1 5 8 3 ,3 8 3 ,3 1 0 0 ,0

1 8 1 0 0 ,0 1 0 0 ,0

Cu k u p

Ba i k

To ta l

Va l i dF re q u e n c y Pe rc e n t Va l i d Pe rc e n t

Cu mu l a t i v ePe rc e n t

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa disiplin guru dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar (83,3%) baik, dan 16,7% cukup.

Analisis Data

Hasil Pengujian Validitas

Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan mengukur apa yang diinginkan dan mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrument valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapat data itu valid. Dalam uji validitas ini suatu butir pernyataan dikatakan valid jika corrected item total correlation lebih besar dari 0,468 (untuk jumlah responden 18 orang df = 16) sebagaimana tabel r produk momen terlampir. Hasil pengujian validitas terhadap variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 3 Hasil Uji Validitas Variabel Pelaksanaan Supervisi Kepala

Sekolah

45

Pernya-taan

Corrected item total

correlation

Keterangan

123456

0,7200,6920,6230,6680,6120,622

ValidValidValidValidValidValid

Sumber : Hasil Olah Data SPSSDari tabel di atas dapat diketahui

bahwa untuk item pernyataan variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah, corrected item total correlation yang diperoleh untuk seluruh item pernyataan adalah lebih besar dari 0,468 hal tersebut berarti bahwa secara keseluruhan item pernyataan mengenai pelaksanaan supervisi kepala sekolah adalah valid.

Hasil Uji Reliabilitas

Suatu alat ukur dikatakan reliabel atau handal, jika alat itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berbeda senantiasa menunjukkan hasil yang relatif sama. Untuk menguji reliabilitas suatu instrument dapat digunakan uji statistic Cronbach Alpha (α), dimana suatu alat ukur dikatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60. Hasil pengujian reliabilitas terhadap variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah diperoleh alpha sebesar 0,8773 lebih besar dari 0,6 sehingga dapat diputuskan bahwa item kuesioner telah reliabel.

Hasil Pengujian Regresi Linier Sederhana

Untuk mengetahui ada atau tidaknya pergaruh antara variabel bebas pelaksanaan supervisi kepala sekolah (X) terhadap variabel terikat yang dalam hal ini adalah disiplin guru (Y), maka digunakan analisis model regresi linier sederhana dengan model persamaan sebagai berikut :

Y = α + bX1

Dimana :

Y = Disiplin guru

X = Pelaksanaan supervisi kepala sekolah

b = koefisien regresi X

Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.

ANOVAb

, 680 1 , 680 5, 975 , 026a

1, 820 16 , 114

2, 500 17

Regression

Residual

Tot al

Model1

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Predict ors: (Const ant ) , Pelaksanaan Supervisi Kepseka.

Dependent Var iable: Disiplin Gurub.

Gambar 1 Uji F

Gambar 4.3 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 5,975. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel df = 16

46

sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution α=0,05). Tabel F dengan df = 16 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,49. Sehingga Fhitung = 5,975 > Ftabel = 4,49.

Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,026 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.

Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif antar kedua variabel seperti tampak pada Gambar 4.2. Hasil Pearson Correlation sebesar 0,521 lebih dari rtabel sebesar 0,468 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 16 terlampir).

Co rre la tio n s

1 ,0 0 0 ,5 2 1

,5 2 1 1 ,0 0 0

, ,0 1 3

,0 1 3 ,

1 8 1 8

1 8 1 8

Di s i p l i n Gu ru

Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i Ke p s e k

Di s i p l i n Gu ru

Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i Ke p s e k

Di s i p l i n Gu ru

Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i Ke p s e k

Pe a rs o n Co rre l a t i o n

Si g . (1 -ta i l e d )

N

Di s i p l i n Gu ru

Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i

Ke p s e k

Gambar 4.2 Pearson Correlations

Besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.

Coef f i ci ent sa

2, 112 , 305 6, 915 , 000

, 371 , 152 , 521 2, 444 , 026

( Const ant )

PelaksanaanSuper visi Kepsek

Model1

B St d. Er r or

Unst andar dizedCoef f icient s

Bet a

St andar dizedCoef f icient s

t Sig.

Dependent Var iable: Disiplin G ur ua.

Gambar 4.3 Uji t

Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.3 memperlihatkan thitung

sebesar 2,444 > ttabel sebesar 2,120 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir) artinya terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru.

Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru dapat dilihat koefisien regresi (unstandarized coefficients Beta) pada gambar 4.2 sebesar 0,589. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut :

Y = a + bX

= 2,112 + 0,371

Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut:

47

1) Konstanta sebesar 2,112 menyatakan bahwa jika variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah dianggap konstan (tidak ada upaya supervisi), maka disiplin guru sebesar 2,112 point.

2) Koefisien regresi pelaksanaan supervisi kepala sekolah sebesar 0,371 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin pelaksanaan supervisi kepala sekolah akan meningkatkan disiplin guru sebesar 0,371 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya pelaksanaan supervisi kepala sekolah sebesar 1000 poin maka akan meningkatkan disiplin guru sebesar 371 point.

Hasil uji regresi linier sederhana menunjukkan adanya pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Adanya pengaruh ini menunjukkan betapa pentingnya pelaksanaan supervisi kepala sekolah.

Dalam kaitan pentingnya pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru, Soewadji (1980:33) menyatakan supervisi merupakan rangsangan, bimbingan atau bantuan yang diberikan kepada guru-guru agar kemampuan profesionalnya semakin bertambah, sehingga situasi belajar mengajar lebih efektif dan efisien. Kemampuan profesional tidak lepas dari disiplin guru, dikatakan profesional berarti seorang guru

juga bisa melaksanakan disiplin dengan baik.

Baharudun Harahap menjelaskan masalah supervisi dalam administrasi pendidikan adalah pembinaan administrasi atau kepegawaian, yaitu masalah pengaturan, penyusunan dan penyimpanan data sebagai dasar dukungan keputusan mutasi yang menyangkut kepentingan pegawai dalam kedudukan sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan yang dimaksud data di sini meliputi dokumen perorangan maupun data hasil olahan atau laporan. Laporan yaitu kartu merah, Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dan selain itu untuk mengetehui bagaimana kenaikan pangkat para guru atau pegawai dan pembagian tugasnya.

Apalagi jika pelaksanaan supervisi kepala sekolah yang memenuhi prinsip-prinsip yang telah ditentukan maka semakin jelas hasilnya terhadap disiplin guru. Prinsip konstruktif misalnya, bahwa pelaksanaan bersifat membangun yaitu harus tampak perbedaan antara sebelum diadakan supervisi dengan sesudah supervisi yaitu makin majunya dalam suatu hal pengetahuan, sikap atau nilai dan ketrampilan, profesi. Maka maksudnya, supervisor hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa setiap guru pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan.

48

Prinsip kreativitas juga tidak kalah penting, Dolok Saribu dan Berlian T. Simbolon (1984:236) mengemukakan bahwa supervisi hendaknya mendorong guru untuk berinisiatif, melalui supervisi hendaknya guru dapat memperoleh pengetahuan, juga berkreasi atau mencipta dengan sikap atau nilai dan ketrampilan guru atas inisiatif sendiri tidak bergantung kepada kepala sekolah atau pemimpinannya.

Sedangkan prinsip kooperatif, juga telah dikembangkan oleh kepala sekolah yang dilaksanakan atas kerja sama antara kepala sekolah dan guru, sehingga terjalin kehamonisan kerja yang baik, saling mengisi dan menyadari kekurangan masing-masing. Supervisor tidak dianggap momok yang menakut-nakuti, namun di sini sebagai pemimpin mereka yang harus bias membantu kelancaran tugas para guru.

Prinsip demokrasi dilaksanakan oleh kepala sekolah tidak hanya atas kemampuannya, tetapi juga ternyata perlu mempertimbangkan kemauan/pendapat para guru. Kepala Sekolah sebagai supervisor menghargai kepribadian guru, dalam pembicaraan bersama ia harus memberi kesempatan kepada guru untuk mengeluarkan pendapatnya dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil

hendaknya dengan jalan musyawarah.

Prinsip kontinyuitas yaitu melaksanakan terus-menerus secara teratur, tidak hanya karena akan ada inspeksi atasan, sehingga para guru sudah terbiasa bekerja dengan teratur disertai dengan rasa disiplin dan tanggung jawab.

Prinsip ilmiah menurut Made Pidharta (1986:39) bahwa supervisi dilaksanakan hendaknya dengan sistematika, objektif dan berdasarkan data atau informasi. Dalam hal ini tugas supervisi diharuskan pada pembinaan guru-guru. Supervisi berpegang pada tujuan sekolah, koordinasi merode belajar dan kualifikasi dengan segala aktifitasnya yang sudah ditentukan secara jelas.

SARAN

1. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah seyogyanya dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga lebih meningkatkan disiplin guru.

2. Guru hendaknya ikut mensukseskan pelaksanaan supervisi kepala sekolah agar kegiatan proses belajar mengajar lebih meningkat dan bermutu.

3. Bagi pihak-pihak terkait khususnya pemerintah hendaknya memperhatikan pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan membantu

49

memberikan instrumen yang valid dan handal.

DAFTAR PUSTAKA

Ametembun, Drs.M.A, “Supervisi Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1975

Ametembun, Drs.M.A, “Manajemen Kelas”, Terbitan Ketiga Penerbit IKIP Bandung, 1981

Ghozali, Imam. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program

SPSS. Badan Penerbit Undip, Semarang. 2002.

Hendyat Sutopo, Dr., “Ikhtiar Teknik Penilaian Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1984

Ismed Syarif, Drs dan Nawas Riza, Drs., “Administrasi Pendidikan Dasar”, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976

M. Ngalim Purwanto, Drs.M.P., “Pyskologi Pendidikan”, Penerbit PT. Rosda Karya Bandung 1990

M. Dimyati Mahmud, “Psykologi Pendidikan”, Suatu Pendekatan Terapan Edisi I Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta

Sutrisno Hadi, Prof. Dr. M.A., “Metodologi Reseach”, Jilid II Penerbit FKP IKIP Yogyakarta 1967

Suhertin, Drs. Dan Nata Her, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Program Insenvice Education, Penerbit IKIP Malang 1971

S. Nasution, Prof.Dr.M.A “Didaktik dan Azas-Azas Kurikulum”, Penerbit Jemara Bandung 1989

Westy Sumanto, Drs dan Hendyat Sutopo “Kepemimpinan Pendidikan”, Peberbit Usaha Nasional Surabaya 1982

50

Subari, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Perbaikan Situasi Mengajar Penerbit Bumi Aksara Jakarta 1994

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan “Buku II Petunjuk Administrasi Sekolah Dasar”, tahun 1989

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah Jawa Timur “Media Pendidikan”, Nomor 3 Edisi Mei 1991

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia “Kamur Besar Bahasa Indonesia”, Penerbit Balai Pustaka 1989

TAP MPR No. II/MPR/1993 “Garis-Garis Besar Haluan” Negara 1993-1998, Penerbit Bina Pustaka Surabaya 1989.

51

Diterbitkan Oleh :Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

E – JURNAL JENDELA

PENDIDIKAN

Vol. :

01

No.:

I

Hlm.

1-106

Gresik

Juni -Nopembe

r

ISSN

2089-5933

ISSN 2089-5933

1

Universitas Gresik

TELAAH KRITIS PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

(EDUCATION FOR ALL)

DALAM KONTEKS MANAJEMEN PENDIDIKAN

Soesetijo *)

Abstrak: pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pengajaran. Indonesia juga merupakan salah satu Negara yang menan-datangani “Education for All”. Oleh karena itu, Indonesia mencanang-kan Wajib Belajar 6 tahun pada tahun 1984 dan Wajib Belajar 9 tahun pada tahun 1994. Hakikat dari “Pendidikan untuk Semua dan Semua un-tuk Pendidikan” adalah mengupayakan agar setiap warga Negara dapat memenuhi haknya. Untuk mewujudkan program PUS (Pendidikan Untuk Semua) tersebut, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warganegara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk barpartisipasi aktif dalam menyukseskan pendidikan untuk semua. Agar program PUS dapat memenuhi target ca-paian sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu dikelola secara profe-sional. Dalam konteks menejemen pendidikan, secara struktural penge-lolaan PUS perlu ada kosistensi dan komitmen yang sama dalam pelak-sanaannya, terutama dalam penerapannya di lembaga-lembaga pendi-dikan yang terkait.

2

Kata-kata kunci: telaah kritis, pendidikan untuk semua, manajemen pendidikan.

3

Manusia membutuhkan

pendidikan dalam kehidupannya.

Pendidikan merupakan usaha

agar manusia dapat

mengembangkan potensi dirinya

melalui proses pembelajaran

dan/atau cara lain yang dikenal

dan diakui oleh masyarakat.

Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 31 ayat (1) menyebutkan

bahwa setiap warga Negara

berhak mendapat pendidikan,

dan ayat (3) menegaskan bahwa

Pemerin-tah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem

pendidikan nasional yang

meningkatkan keimanan dan

ketakwaan serta akhlak mulia

dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa yang diatur

dengan undang-undang. Untuk

itu, seluruh komponen

*) Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.

bangsa wajib mencerdaskan

kehidupan bangsa yang

merupakan salah satu tujuan

negara Indonesia.

Indonesia merupakan salah

satu Negara yang menandatangi

deklarasi “Education for All”.

Berkaitan dengan deklarasi ini

dan sekaligus juga sebagai wujud

keseriusan Indonesia

mensukseskannya, maka

Indonesia telah mencanangkan

Wajib Belajar 6 Tahun pada tahun

1984 dan 10 tahun berikutnya,

yaitu pada tahun 1994, Indonesia

mencanangkan Wajib Belajar 9

Tahun. Melalui Wajib Belajar 6

Tahun diharapkan anak-anak usia

Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat

menikmati layanan pendidikan

Sekolah Dasar (SD). Artinya,

anak-anak usia SD dapat

menyelesaikan pendidikan SD.

Demikian juga halnya melalui

pencanangan Wajib Belajar 9

Tahun diharapkan anak-anak usia

SMP (13-15 tahun) dapat

menyelesaikan pendidikan SMP.

Dalam lingkungan

masyarakat Indonesia yang

4

pluralistis di mana setiap anak

yang mengalami berbagai jenis

kebudayaan diharapkan belajar

beradaptasi terhadap kebudayaan

utama Indonesia (mainstream

culture), upaya pendekatan

belajar bagi setiap anak harus

lebih banyak dikaji secara

mendalam sesuai dengan

perkembangan dan tuntutan

zaman dan sesuai dengan

kebutuhan perkembangan anak

(Developmentally Appropriate

Practice, DAP). Sejak

kemerdekaan bangsa ini maka

telah disebutkan dalam UUD

1945 pasal 31 ayat 1 bahwa

setiap anak Indonesia berhak

untuk belajar. UUD ini dilandasi

oleh filsafat yang serasi dengan

hak asasi manusia yang menjaga

kedaulatan manusia yang

memiliki hak untuk belajar.

Berbagai program yang

diarahkan untuk mendukung

keberhasilan pelaksanaan Wajib

Belajar 6 Tahun dan 9 Tahun

telah dilaksanakan secara

terencana dan bertahap.

Berkaitan dengan hal ini, satu hal

yang menjadi keprihatinan di

berbagai Negara adalah

mengenai anak-anak yang karena

satu dan lain hal terpaksa tidak

dapat menyelesaikan pendidikan

SD, sehingga mereka ini menjadi

warga Negara yang buta aksara.

Demikian juga dengan anak-anak

yang terpaksa tidak dapat

menyelesaikan pendidikan SMP,

maka mereka akan cenderung

masuk ke dalam kelompok tenaga

kerja kasar.

Konsep Pendidikan untuk

Semua (PUS)

Hakekat dari “Pendidikan

untuk Semua dan Semua untuk

Pendidikan” adalah

mengupayakan agar setiap warga

Negara dapat memenuhi haknya,

yaitu setidak-tidaknya untuk

mendapatkan layanan pendidikan

dasar (Wajib Belajar 9 Tahun).

Untuk dapat mewujudkan

“Pendidikan untuk Semua dan

Semua untuk Pendidikan”, semua

komponen bangsa, baik

pemerintah, swasta, lembaga-

lembaga sosial kemasyarakatan,

5

maupun warga Negara secara

individual, secara bersama-sama

atau sendiri-sendiri, berkomitmen

untuk berpartisipasi aktif dalam

menyukseskan “Pendidikan untuk

Semua dan Semua untuk

Pendidikan” sesuai dengan

potensi dan kapasitas masing-

masing.

Sebagai unit organisasi

terkecil, orang tua dari setiap

keluarga tergugah dan ter-

panggil untuk setidak-tidaknya

membimbing dan membelajarkan

anak-anaknya, baik melalui

pendidikan formal persekolahan,

lembaga pendidikan non-formal,

maupun melalui lembaga

pendidikan informal.

Mengirimkan anak untuk belajar

melalui lembaga pendidikan

sekolah sudah jelas yaitu mulai

dari Taman Kanak-Kanak (TK)

sampai dengan pendidikan tinggi.

Apabila karena satu dan

lain hal, seorang anak tidak

memungkinkan untuk mengikuti

pendidikan persekolahan, maka

orang tua dapat mengirimkan

anaknya untuk mengikuti

kegiatan pembelajaran pada

pendidikan non-formal, seperti

Paket A setara SD, Paket B setara

SMP, dan Paket C setara SMA.

Seandainya seorang anak tidak

memungkinkan juga mengikuti

pendidikan melalui pendidikan

formal dan non-formal, maka

masih ada model pendidikan

alternatif yang dapat ditempuh,

yaitu “Sekolah di Rumah” (Home

Schooling). Dalam kaitan ini,

orang tua dapat mengidentifikasi

lembaga-lembaga sosial

kemasyarakatan atau unit-unit

pendidikan prakarsa anggota

masyarakat yang

menyelenggarakan Sekolah di

Rumah” dan kemudian

mengirimkan anaknya untuk

mengikuti pendidikan di lembaga

atau unit pendidikan tersebut.

Atau, orang tua sendiri dengan

latar belakang pendidikan dan

pengetahuan yang dimiliki, dapat

membimbing dan membelajarkan

anak-anaknya sehingga pada

akhirnya sang anak dapat

mengikuti ujian persamaan

6

(Upers), baik pada satuan

pendidikan SD, SMP atau SMA.

Pendidikan untuk Semua

(PUS)

Pada tanggal 5-9 Maret

1990 di Jomtien, Thailand , 115

negara dam 150 organi-sasi

saling bertemu dan mengadakan

Konferensi Dunia membahas

Education for All (EFA) atau

Pendidikan Untuk Semua (PUS).

Dalam rangka mewujudkan

tujuan terse-but, perlu koalisi

yang luas dari pemerintah

nasional, masyarakat sipil

kelompok, dan lembaga

pembangunan seperti UNESCO

dan Bank Dunia. Mereka

berkomitmen untuk mencapai

enam tujuan pendidikan yaitu :

1. Memperluas dan

meningkatkan perawatan

anak usia dini yang

komprehensif dan

pendidikan, terutama bagi

yang paling rentan dan

anak-anak yang kurang

beruntung.

2. Memastikan bahwa pada

2015 semua anak,

khususnya anak

perempuan, yang dalam

keadaan sulit, dan mereka

yang termasuk etnik

minoritas, memiliki akses

lengkap dan bebas ke wajib

pendidikan dasar yang

berkualitas baik.

3. Memastikan bahwa

kebutuhan belajar semua

pemuda dan dewasa

dipenuhi me-lalui akses adil

untuk pembelajaran yang

tepat dan program

keterampilan hidup.

4. Mencapai 50% peningkatan

dalam keaksaraan orang

dewasa pada tahun 2015,

khususnya bagi perempuan,

dan akses ke pendidikan

dasar dan pendidikan ber-

kelanjutan bagi semua

orang dewasa secara adil.

5. Menghilangkan perbedaan

gender pada pendidikan

dasar dan menengah pada

tahun 2005, dan mencapai

kesetaraan gender dalam

pendidikan dengan 2015,

dengan fokus pada

7

perempuan bahwa mereka

dipastikan mendapat akses

penuh dan sama ke dalam

pendidikan dasar dengan

kualitas yang baik.

6. Meningkatkan semua aspek

kualitas pendidikan dan

menjamin semua, sehingga

diakui dan diukur hasil

pembelajaran yang dicapai

oleh semua, khususnya

dalam keaksaraan,

berhitung dan kecakapan

hidup yang esensial.

Setelah satu dekade,

karena lambatnya kemajuan dan

banyaknya Negara yang jauh dari

keharusan untuk mencapai tujuan

tersebut, masyarakat

internasonal menegas-kan

kembali komitmennya terhadap

Pendidikan Untuk Semua di

Dakar, Senegal, pada 26-28 April

2000 dan sekali lagi pada bulan

September tahun itu. Pada

pertemuan terakhir, 189 negara

dan mitra mereka mengadopsi

dua dari delapan tujuan

Pendidikan Untuk Semua yang

dikenal dengan nama Millenium

Development Goals (MDG) yaitu

MDG 2 mengenai pendidikan

dasar dan universal serta MDG 3

mengenai kesetaraan jender

dalam pendidikan pada tahun

2015.

Indonesia, sebagai anggota

Perserikatan Bangsa Bangsa

(PBB) turut menyepa-kati

komitmen dunia untuk

menyelenggarakan program

Education for All (EFA) atau

Pendidikan untuk Semua (PUS).

Komitmen dunia itu telah

dikumandangkan pada kon-

ferensi dunia di Jomtien,

Thailand, pada tahun 1990.

Namun baru dideklarasikan seba-

gai sebuah gerakan dunia pada

pertemuan di Dakar, Senegal,

pada 26-28 April 2000. The Dakar

Framework for Action berisikan

enam tujuan utama: 1)

memperluas pendi-dikan untuk

anak usia dini; 2) menuntaskan

wajib belajar untuk semu (2015);

3) mengembangkan proses

pembelajaran/keahlian untuk

orang muda dan dewasa; 4) me-

ningkatnya 50% orang dewasa

8

yang melek huruf (2015)

khususnya perempuan; 5) me-

ningkatkan mutu pendidikan; dan

(6) menghapuskan kesenjangan

gender.

Target pencapaian EFA

pada 2015 itu kemudian

disepakati untuk dipercepat.

Komitmen mempercepat target

EFA digaungkan E-9 Ministerial

Review Meeting on Educationfor

All atau para menteri pendidikan

dari Sembilan Negara

berpenduduk terbesar dunia,

pada pertemuan di Denpasar,

Bali, 12 Maret 2008. Anggota E-9

adalah Negara dengan jumlah

penduduk sekitar 60% populasi

dunia. Selain Indonesia, anggota

E-9 adalah Bangladesh, Brazil,

Cina, Mesir, India, Meksiko,

Nigeria, dan Pakistan.

Indonesia merasa

berkepentingan menandatangani

konvensi tersebut untuk

memperkuat komitmen bersama

sebagai bangsa dalam memenuhi

hak-hak setiap anak memperoleh

pendidikan. Upaya mencapai

target EFA merupakan bagian

dari upaya pembangunan

pendidikan nasional secara

keseluruhan. Sudah banyak yang

dapat dica-pai dalam

pembangunan pendidikan sejak

kemerdekaan. Tapi juga besar

pekerjaan ru-mah dan tantagan

era sekarang dalam rangka

menghasilkan sumber daya

manusia yang unggul untuk

pembangunan.

Kaitannya dengan

Kerangka Aksi Dakar Pendidikan

untuk Semua, seluruh war-ga

yang menandatangani deklarasi

termasuk Indonesia, berupaya

memegang komitmen

memperluas dan memperbaiki

pendidikan. Indonesia telah

menyusun Rencana Aksi Nasional

Pendidikan Untuk Semua (RAN-

PUS), yang dijabarkan ke dalam

Rancangan Aksi Daerah

Pendidikan Untuk Semua (RAD-

PUS) pada semua provinsi dan

sebagian besar kabupaten/kota.

Sebagian dari komitmen

menjalankan Pendidikan untuk

Semua, pemerintah

mencanangkan penuntasan

9

program Wajib Belajar

Pendidikan Dasar 9 Tahun. Wajar

Dikdas 9 Tahun mencakup

jenjang pendidikan

SD/MI/pendidikan setara dan

SMP/MTs/ pendidikan setara.

Program ini secara resmi

dicanangkan Presiden Soeharto

pada tanggal 2 Mei 1994. Saat

itu, Presiden Soeharto

menargetkan program tersebut

tuntas pada tahun 2004, dengan

indikator utama berupa angka

partisipasi kasar (APK) SMP/

MTs/pendidikan setara minimal

95%. Pada tahun 2004, Angka

Partisipasi Murni (APM) SD/MI

sebesar 94,12% dan Angka

Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs

81,22%. Han-taman krisis

ekonomi yang merangsek sejak

akhir tahun 1997 itu, membuat

target dire-visi menjadi akhir

tahun 2008. Keputusan

menjadwal ulang itu dilakukan

pada tahun 2000, saat

Abdurrahman Wahib menjadi

Presiden RI.

Landasan Pendidikan Untuk

Semua di Indonesia

Landasan yuridis

pelaksanaan pendidikan untuk

semua atau education for all di

Indonesia didasari oleh beberapa

hal, diantaranya adalah:

1. UUD 1945 (amandemen) pasal

31 ayat 1 : “setiap warga

Negara berhak mendapat

pendidikan.”

2. UU No. 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional

(Sisdiknas) :

a) Kewajiban bagi orangtua

untuk memberikan

pendidikan dasar bagi

anaknya (pasal 7 ayat 2)

b) Kewajiban bagi masyarakat

memberikan dukungan

sumber daya dalam

penyelenggaraan

pendidikan (pasal 9)

c) Pendanaan pendidikan

menjadi tanggung jawab

bersama pemerintah,

pemerintah daerah, dan

masyarakat (pasal 46 ayat

1).

Kebijakan Pendidikan di

Indonesia

10

Bangsa yang maju adalah

bangsa yang memperlihatkan

pendidikan dalam

pembangunannya. Karena

pendidikan merupakan proses

Proses pendidikan

merupakan upaya sadar manusia

yang tidak pernah ada hentinya.

Sebab, jika manusia berhenti

melakukan pendidikan, sulit

dibayangkan apa yang akan

terjadi pada sistem peradaban

dan budaya (Suyanto, 2006)

manusia. Dengan ilustrasi ini,

maka baik pemerintah maupun

masyarakat berupaya untuk

melakukan pendidikan dengan

standar kualitas yang diinginkan

untuk memberdayakan manusia.

“Sistem pendidikan yang

dibangun harus disesuaikan

dengan tuntutan zamannya, agar

pendidikan dapat menghasilkan

outcome yang relevan dengan

tuntutan zaman (Suyanto, 2006).

Indonesia, telah memiliki

sebuah sistem pendidikan dan

telah dikokohkan dengan UU No.

20 tahun 2003. Pembangunan

pendidikan di Indonesia

sekurang-kurangnya

menggunakan empat strategi

dasar, yakni; pertama,

pemerataan kesempatan untuk

memperoleh pendidikan, kedua,

relevansi pendidikan, ketiga,

peningkatan kualiutas

pendidikan, dan keempat,

efesiensi pendidikan. Secara

umum strategi itu dapat dibagi

menjadi dua dimensi yakni

peningkatan mutu dan

pemerataan pendidikan.

Pembangunan peningkatan mutu

diharapkan dapat meningkatkan

efisiensi, efektivitas dan

produktivitas pendidikan.

Sedangkan kebijkan pemerataan

pendidikan diharapkan dapat

memberikan kesempatan yang

sama dalam memperoleh

pendidikan bagi semua usia

sekolah (Nana Fatah Natsir,

dalam Hujair AH. Sanaky, 2003).

Dari sini, pendidikan dipandang

sebagai katalisator yang dapat

menunjang faktor-faktor lain.

Artinya, pendidikan sebagai

upaya pengembangan

sumberdaya manusia (SDM)

11

menjadi semakin penting dalam

pembangunan suatu bangsa.

Untuk menjamin

kesempatan memperoleh

pendidikan yang merata disemua

kelompok strata dan wilayah

tanah air sesuai dengan

kebutuhan dan tingkat

perkembangannya perlu strategi

dan kebijakan pendidikan, yaitu :

(a) menyelenggarakan pendidikan

yang relevan dan bermutu sesuai

dengan kebutuhan masyarakat

Indonesia dalam menghadapi

tantangan global, (b)

menyelenggarakan pendidikan

yang dapat

dipertanggungjawabkan

(accountasle) kepada masyarakat

sebagai pemilik sumberdaya dan

dana serta pengguna hasil

pendidikan, (c)

menyelenggarakan proses

pendidikan yang demokratis

secara profesional sehingga tidak

mengorbankan mutu pendidikan,

(d) meningkatkan efisiensi

internal dan eksternal pada

semua jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan, (e) memberi peluang

yang luas dan meningkatkan

kemampuan masyarakat,

sehingga terjadi diversifikasi

program pendidikan sesuai

dengan sifat multikultural bangsa

Indonesia, (f) secara bertahap

mengurangi peran pemerintah

menuju ke peran fasilitator dalam

implementasi sistem pendidikan,

(g) Merampingkan birokrasi

pendidikan sehingga lebih lentur

(fleksibel) untuk melakukan

penyesuaian terhadap dinamika

perkembangan masyarakat dalam

lingkungan global (Kelompok

Kerja Pengkajian, dalam Hujair

AH. Sanaky, 2003).

Empat strategi dasar

kebijakan pendidikan yang

dikemukakan di atas cukup

ideal. Tetapi Muchtar Bukhori,

seorang pakar pendidikan

Indonesia, menilai bahwa

kebijakan pendidikan kita tak

pernah jelas. Pendidikan kita

hanya melanjutkan pendidikan

yang elite dengan kurikulum

yang elitis yang hanya dapat

ditangkap oleh 30 % anak didik”,

sedangkan 70% lainnya tidak

12

bisa mengikuti (Kompas, 4

September 2004). Dengan

demikian, tuntutan peningkatan

kualitas pendidikan, relevansi

pendidikan, efesiensi

pendidikan, dan pemerataan

kesempatan untuk memperoleh

pendidikan, belum terjawab

dalam kebijakan pendidikan kita.

Kondisi ini semakin mempersulit

mewujudkan pendidikan yang

egalitarian dan SDM yang

semakin merata di berbagai

daerah.

Proses menuju perubahan

sistem pendidikan nasional

banyak menuai kendala serius.

Apalagi ketika membicarakan

konteks pendidikan nasional

sebagai bagian dari pergumulan

ideologi dan politik penguasa.

Problem-problem yang dihadapi

seringkali berkaitan dengan

kebijakan-kebijakan (policies)

yang sangat strategis. Maka,

dalam konteks kebijakan

pendidikan nasional, menurut

Suyanto, banyak pakar dan

praktisi pendidikan mengkritisi

pemerintah, dianggap tidak

memiliki komitmen yang kuat

untuk membenahi sistem

pendidikan nasional”.

(Suyanto,2006). Artinya,

kebijakan-kebijakan pendidikan

kita, kurang menggambarkan

rumusan-rumusan permasalahan

dan “prioritas” yang ingin

dicapai dalam jangka waktu

tertentu. Hal ini, “terutama

berkaitan dengan anggaran

pendidikan nasional yang

semestinya sebesar minimal

20%, daimbil dari APBN dan

APBD (pasal 31 ayat 4 UUD

Amandemen keempat). Tetapi,

sampai sekarang kebijakan

strategi belum dapat diwujudkan

sepenuhnya, pendidikan nasional

masih menyisihkan kegetiran-

kegetiran bagi rakyat kecil yang

tidak mampu mengecap

pendidikan di sekolah” (Suyanto,

2006).

Pasca Reformasi tahun

1998, memang ada perubahan

fundamental dalam sistem

pendidikan nasional. Perubahan

sistem pendidikan tersebut

mengikuti perubahan sistem

13

pemerintah yang sentralistik

menuju desentralistik atau yang

lebih dikenal dengan otonomi

pendidikan dan kebijakan

otonomi nasional itu

mempengaruhi sistem

pendidikan kita (Suyanto, 2006).

Sistem pendidikan kita pun

menyesuaikan dengan model

otonomi. Kebijakan otonomi di

bidang pendidikan (otonomi

pendidikan) kemudian banyak

membawa harapan akan

perbaikan sistem pendidikan

kita. Kebijakan tersebut masih

sangat baru, maka sudah barang

tertentu banyak kendala yang

masih belum terselesaikan.

Otonomi yang didasarkan

pada UU No. 22 tahun 1999,

yaitu memutuskan suatu

keputusan dan atau kebijakan

secara mandiri. Otonomi sangat

erat kaitanya dengan

desentralisasi. Dengan dasar ini,

maka otonomi yang ideal dapat

tumbuh dalam suasana bebas,

demokratis, rasional dan sudah

barang tentu dalam kalangan

insan-insan yang “berkualitas”.

Oleh karena itu, rekonstruksi

dan reformasi dalam Sistem

Pendidikan Nasional dan

Regional, yang tertuang dalam

GBHN 1999, juga telah

dirumuskan misi pendidikan

nasional kita, yaitu mewujudkan

sistem dan iklim pendidikan

nasional yang demokratis dan

bermutu, guna memperteguh

akhlak mulia, kreatif, inovatif,

berwawasan kebangsaan,

cerdas, sehat, berdisiplin,

bertanggung jawab,

berketerampilan serta

menguasai iptek dalam rangka

mengembangkan kualitas

manusia Indonesia.

(Soedjiarto,1999).

Untuk mewujudkan misi

tersebut mesti diterapkan arah

kebijakan sebagai berikut, yaitu :

(1) perluasan dan pemerataan

pendidikan, (2) meningkatkan

kemampuan akademik dan

profesionalitas serta

kesejahteraan tenaga

kependidikan, (3) melakukan

pembaharuan dalam sistem

pendidikan nasional termasuk

14

dalam bidang kurikulum, (4)

memberdayakan lembaga

pendidikan formal dan PLS

secara luas, (5) dalam realisasi

pembaharuan pendidikan

nasional mesti berdasarkan

prinsip desentralisasi, otonomi

keilmuan, dan manajemen, (6)

meningkatkan kualitas lembaga

pendidikan yang dikembangkan

oleh berbagai pihak secara

efektif dan efisien terutama

dalam pengembangan iptek, seni

dan budaya sehingga

membangkitkan semangat yang

pro-aktif, kreatif, dan selalu

reaktif dalam seluruh komponen

bangsa. (Soedjiarto, 1999).

Beberapa kalangan pakar

dan praktisi pendidikan,

mencermati kebijakan otonomi

pendidikan sering dipahami

sebagai indikasi kearah

“liberalisasi” atau lebih parah

lagi dikatakan sebagai indikasi

kearah “komersialisasi

pendidikan”. Hal ini, menurut

Suyanto, semakin dikuatkan

dengan terbentuknya Badan

Hukum Pendidikan (BHP) yang

oleh beberapa pengamat

dianggap sebagai

pengejawantahan dari sistem

yang mengarah pada

“liberalisasi pendidikan”

(Suyanto, 2006).

Persoalan sekarang, apakah

sistem pendidikan yang ada saat

ini telah efektif untuk mendidik

bangsa Indonesia menjadi

bangsa yang modern, memiliki

kemampuan daya saing yang

tinggi di tengah-tengah bangsa

lain? Jawabannya tentu belum.

Menurut Suyanto, berbicara

kemampuan, kita sebagai bangsa

nampaknya belum sepenuhnya

siap benar menghadapi

tantangan persaingan (Suyanto,

2006). Sementara, disatu sisi,

bidang pendidikan kita menjadi

tumpuan harapan bagi

peningkatan kualitas Sumber

Daya Manusia (SDM) Indonesia.

Tetapi disisi lain, sistem

pendidikan kita masih

melahirkan mismatch terhadap

tuntutan dunia kerja, baik secara

nasional maupun regional.

(Suyanto, 2006).

15

Berbagai problem

fundamental yang dihadapi

pendidikan nasional saat ini,

yang tercermin dalam “realitas”

pendidikan yang kita jalan.

Seperti persoalan anggaran

pendidikan, kurikulum, strategi

pembelajaran, dan persoalan

output pendidikan kita yang

masih sangat rendah

kualitasnya. Problem-problem

pendidikan yang bersifat

metodik dan strategik yang

membuahkan output yang

sangat memprihatinkan. Output,

pendidikan kita memiliki mental

yang selalu tergantung kepada

orang lain. Output pendidikan

kita tidak memiliki mental yang

bersifat mandiri, karena

memang tidak kritis dan kreatif.

Akhirnya, output yang pernah

mengenyam pendidikan, malah

menjadi “pengangguran

terselubung”. Ini artinya, setiap

tahunnya, pendidikan nasional

kita memproduksi pengangguran

terselubung. Mereka itu, adalah

korban dari ketidakberesan

sistem pendidikan kita yang

masing sedang merangka

berbenah. Mungkin saja, kita

sebagai insan yang

berpendidikan, tentu saja terus

atau banyakan berharap akan

datangnya perubahan

“fundamental” terhadap sistem

pendidikan (Suyanto, 2006) di

Indonesia.

Posisi Indonesia dalam PUS

Indonesia merupakan salah

satu Negara yang

menandatangani deklarasi

“Education for All.” Berkaitan

dengan deklarasi ini dan

sekaligus juga sebagai wujud

keseriusan Indonesia

mensukseskannya, maka

Indonesia telah mencnangkan

Wajib Belajar 9 Tahun pada tahun

1984 dan 10 tahun berikutnya,

yaitu pada tahun 1994, Indonesia

mencanangkan Sekolah Dasar (7-

12 tahun) dapat menikmati

layanan pendidikan Sekolah

Dasar (SD). Artinya, anak-anak

usia SD dapat menyelesaikan

pendidikan SD. Demikian juga

halnya melalui pencanangan

Wajib Belajar 9 Tahun diharapkan

16

anak-anak usia SMP (13-15

Tahun) dapat menyelesaikan

penddikan SMP.

Jalal dan Supriadi (2001)

mengemukakan meskipun

strategi perluasan dan

pemerataan kesempatan

pendidikan terfokus kepada

program wajib belajar pendidikan

dasar sembilan tahun, jenis dan

jenjang pendidikan lainnya yang

tercakup. Indikator-indikator

keberhasilannya adalah: (a)

mayoritas penduduk

berpendidikan minimal SMP dan

partisipasi pendidikan meningkat

yang ditunjukkan dengan APK-SD

15%, APK SMP mencapai 80%,

APK SLTA mencapai 47%, dan

APK PT sebesar 12% dengan

perluasan terkendali untuk

bidang-bidang unggulan dan

teknologi, (b) meningkatnya

budaya belajar di kalangan

masyarakat yang ditunjukkan

antara lain dengan meningkatnya

peserta program pendidikan

berkelanjutan seperti kursus-

kursus, program pendidikan

masyarakat, meningkatnya

penduduk melek huruf hingga

mencapai 88% pada tahun 2005;

(c) meningkatnya proporsi

penduduk kurang beruntung yang

memperoleh kesempatan

pendidikan.

Kebijakan program yang

harus dilakukan adalah:

1. Memperluas kesempatan

pendidikan dengan prioritas

pada pendidikan dasar;

2. Meningkatkan layanan

pendidikan kepada kelompok

yang kurang beruntng,

termasuk kaum perempuan;

3. Mengembangkan layanan

pendidikan alternatif tanpa

mengorbankan mutu program;

4. Menetapkan standar

kompetensi minimal keluaran

pendidikan;

5. Melanjutkan program PMTAS

secara terseleksi dan

terkendali bagi yang benar-

benar memerlukan;

6. Melanjutkan program

beasiswa bagi kalangan anak-

anak miskin;

7. Meningkatkan anggaran

pemerintah untuk pendidikan

17

secara bertahap dan

terencana; dan

8. Meningkatkan partisipasi

keluarga dan masyarakat

dalam membiayai pendidikan.

Sebagai wujud komitmen

pemerintah terhadap pentingnya

program Pendidikan Untuk

Semua (Education for All/EFA),

Kementerian Pendidikan Nasional

menggelar sejumlah kegiatan

melalui Pekan Aksi Global

Pendidikan Untuk Semua 2010.

Tema aksi tahun ini adalah

“Pembiayaan Pendidikan

Bermutu Hak untuk Semua”. Aksi

ini yang dipusatkan di tiga kota,

yaitu di Jakarta, Bandung, dan

Makasar pada 19-25 April 2010.

Menurut Ela Yulaciawati

(2010), aspek pembiayaan dalam

program Pendidikan untuk

Semua cukup problematik.

Sejumlah pertanyaan muncul

menyangkut aspek pembiaya-

annya, terutama mengenai

standar biaya pendidikan

bermutu untuk semua orang.

Berapa biaya untuk pendidikan

anak-anak yang terpinggirkan

(marjinal). Kemudian, apakah

pembiayaan itu akan bermanfaat

atau malah mubazir? Untuk

mendidik anak-anak yang

marjinal, pemerintah tidak cukup

hanya memikirkan aspek

pendidikannya saja, melainkan

juga memikirkan aspek

kebutuhan dasar mereka.

Dikemukakan lebih lanjut

oleh Ela (2010) tidak semua

program pendidikan yang

diberikan bagi kelompok marjinal

dapat menghasilkan produk

pendidikan seperti yang

diharapkan. Kegiatan lain dari

pecan aksiglobal program

Pendidikan untuk Semua adalah

workshop layanan pendidikan

bagi para orang lanjut usia.

Masih menurut Ela (2010) orang

berusia lanjut umumnya tidak

bisia mandiri, oleh karena itu

perlu ada materi pendidikan

kecakapan hidup. Pendidikan ini

bertujuan mempersiapkan orang-

orang menjelang usia lanjut agar

bisa hidup mandiri dan sehat

pada saat mereka telah berusia

lanjut. Jika mereka bisa mandiri

18

dan sehat di usia senja, maka

biaya hidup me-reka akan bisa

lebih ditekan. Jadi arahnya untuk

efisiensi bagi Negara.

Dalam waktu yang

bersamaan juga diselenggarakan

kegiatan workshop layanan

pendidikan bagi anak-anak

terpinggirkan, yaitu keluarga

korban eksploitasi seksual anak

(ESA), anak perempuan jalanan,

dan anak dari para pekerja rumah

tangga. Seluruh rangkaian acara

tersebut merupakan bagian dari

kampanye tahunan dunia yang

dise-lenggarakan Kampanye

Global Campaign for Education,

sebuah koalisi internasional

organisasi nonpemerintah dan

serikat guru.

(http://bataviase.co.id, diakses

tanggal 16 September 2010).

Identifikasi Kendala-kendala

Implementasi Progeram PUS

Dalam implementasi PUS di

Indonesia tidak berjalan mulus,

banyak kendala yang ditemui di

lapangan. Dari sisi structural

birokrasi di Kementerian

Pendidikan Nasional (2007)

masih dirasa perlu dioptimalkan

masalah peningkatan kinerja,

peningkatan kerjasama,

koordinasi dan komunikasi

dengan berbagai instansi dan

unit kerja terkait, baik di pusat

maupun di daerah. Disamping itu

masalah lainnya adalah

menyesuaikan jadwal sesuai

target, memberdayakan dan

mengoptimalkan tenaga yang

tersedia melalui pembentukan

tim kerja sebagai wujud

koordinasi fungsional, dan

mengoptimakan sarana dan

fasilitas yang ada.

Temuan lainnya, dapat

diidentifikasi dari riset yang

dilakukan oleh Choiri (2006)

dalam penelitiannya yang

berjudul ‘Akuntabilitas Kinerja

Dinas Pendidikan Kabupaten

Malang (Studi Kasus tentang

Akuntabilitas Adminitrasi

Pelaksana Program Wajib Belajar

Pendidikan Dasar Sembilan

Tahun di Kecamatan Bululawang

Kabupaten Malang). Berdasarkan

penelitiannya, Choiri (2006)

memaparkan hasil penelitiannya

19

sebagai berikut: alasan perlunya

dilakukan akuntabilitas

administrasi oleh Dinas

Pendidikan adalah untuk

mempertanggungjawabkan suatu

program/kebijakan baik proses

maupun hasilnya, serta untuk

memenuhi standar criteria yang

sudah ditetapkan oleh

pemerintah. Namun dalam

pelaksanaan program wajib

belajar sembilan tahun di

kabupaten Malang terlihat bahwa

instansi (sekolah-sekolah) tidak

melaksanakan akuntabilitas

administrasinya. Untuk

mengatasi permasalahan ini

Dinas Pendidikan berupaya untuk

mengembangkan berbagai

kebijakan terkait dengan

implementasi Program Wajib

Belajar Sembilan tahun. Namun

hal inipun ternyata tidak

membawa perubahan yang

signifikan, sebab dalam

pelaksanaannya masih terdapat

berbagai penyimpangan. Adapun

faktor pendukungnya adalah:

tersusunnya kurikulum dengan

baik, koordinasi yang baik

diantara pihak-pihak yang

terlibat, serta partisipasi

masyarakat. Sedangkan faktor-

faktor yang menghambat

diantaranya: kapasitas dan

kemampuan tenaga pelaksana

rendah, kemampuan dan motivasi

tenaga pelaksana rendah,

dukungan dana operasional

rendah, respon orang tua yang

belum maksimal, sikap moral

masyarakat serta lingkungan

sosial yang tidak sehat.

Hasil analisis terhadap

Pelaksanaan Akuntabilitas

Administrasi adalah sebagai

berikut: dalam pelaksanaan

program wajib belajar Sembilan

tahun di kabupaten Malang

terlihat bahwa instansi (sekolah-

sekolah) tidak melaksanakan

akuntabilitas administrasinya.

Hal ini terlihat misalnya tidak ada

laporan pemberian beasiswa

diberikan. Sekolah-sekolah tidak

merasa perlu memberikan

laporan kepada instansi diatasnya

yakni Dinas Pendidikan

Kabupaten Malang. Mereka

justru hampir semua membuat

20

kebijakan sendiri terkait dengan

penyaluran dana beasiswa yang

tidak sesuai dengan pedoman

yang diberikan oleh Dinas

Pendidiikan. Dilihat dari

perspektif empat jenis

Akuntabilitas, belum satupun

jenis akuntabilitas yang dapat

dipenuhi sesuai standar oleh

Dinas Pendidikan Kabupaten

Malang, sehingga hal ini perlu

mendapatkan perhatian dari

berbagai pihak yang terlibat.

Sedangkan faktor pendukung

maupun penghambat lebih

merupakan faktor-faktor yang

memberikan penekanan.

Semuanya justru berada di

tangan pada penyelenggara

akuntabilitas sendiri, bagaimana

mereka-mereka bisa mengelola

potensi maupun tantangan yang

dihadapinya.

Sementara itu,

diprediksikan pendidikan untuk

semua (PUS) yang telah

dicanangkan oleh pemerintah

(Kementerian Pendidikan

Nasional). Sebagaimana diekspos

dalam harian Kompas, Rabu, 7

Juli 2010 bahwa target

Pendidikan Untuk Semua

ataupun Education for All,

terutama pendidikan dasar

universal, dikhawatirkan tidak

tercapai pada tahun 2015 saat

tenggat Tujuan Pendidikan

Milenium. Krisis ekonomi global

menjadi sala satu hambatan besar

pencapaian target tersebut. Hal

ini terungkap dalam pembukaan

1st General Assembly Forum of

Asia Pasific Parliamentarians for

Education (FASPED) atau Forum

Parlemen untuk Pendidikan Asia

Pasifik, Selasa (6 Juli 2010).

Sidang pertama yang diikuti oleh

26 parlemen dan dua parlemen

diwakili oleh perwakilannya di

Jakarta. Dalam sambutannya,

Presiden FASPED Marzuki Alie

mengatakan, krisis keuangan

global pada 2008 merupakan

rintangan terbesar untuk

pencapaian tujuan Education for

All (EFA).

Dampak krisis finansial

global telah mengancam akses

pendidikan bagi jutaan anak di

seluruh dunia. Saat ini sekitar 72

21

juta anak usia sekolah dasar

belum mendapatkan pendidikan

dasar. Kombinasi kemiskinan,

lambatnya pembangunan

ekonomi, dan krisis finansial

global akan menggerogoti

pencapaian Negara-negara pada

dekade sebelumnya. Hal tersebut

berarti turut mengganggu target

pencapaian Tujuan Pembangunan

Milineum nomor dua, yang

indikatornya antara lain angka

partisipasi dasar angka melek

huruf umur 15-25 tahun.

Ancaman tentang

melesetnya pencapaian target

terutama terjadi di Negara

berkembang yang sebagian besar

di kawasan Asia Pasifik. Menurut

Education for All Global

Monitoring Report 2010, target

EFA tercancam gagal tercapai di

Negara berkembang. Resesi

ekonomi yang terjadi pada tahun

2008 diperkirakan telah

menjerumuskan sekitar 90 juta

orang ke dalam kemiskinan

ekstrem. Saat ini sebagian

Negara yang terkena dampak

sangat besar masih dalam proses

pemulihan dari tingginya harga

pangan yang telah

mengakibatkan 175 juta kasus

malnutrisi tahun 2007 dan 2008.

Pendidikan juga tidak kebal dari

pengaruh-pengaruh tersebut

karena hal-hal itu kemudian

rentan dikebelakangan.

Kekhawatiran serupa juga

diungkapkan Director of

UNESCO Bangkok Office,

Regional Bureau for Education in

The Asia Pasific, Gwang-Jo Kim.

“Kita tetap belum on the track

(dalam jalur) untuk memenuhi

target EFA pada tahun 2015.

Akan nada 56 juta anak di luar

sekolah jika kita tidak

melipatgandakan upaya kita,

yang sebagiannya di wilayah Asia

Pasifik.” Ujarnya. Dia

mencontohkan, pada tahun 1999

kawasan Asia Timur dan Pasifik

merupakan tempat tinggal 6 juta

anak usia pendidikan dasar yang

tidak bersekolah. Tahun 2007,

jumlahnya meningkat menjadi 9

juta anak. Sementara sejumlah

Negara, terutama India,

mencapai kemajuan sangat baik.

22

“Waktu yang tersisa tinggal lima

tahun lagi,“ katanya.

Wakil Menteri Pendidikan

Nasional Fasli Jalal mengatakan,

Indonesia masih dalam jalur

pencapaian target EFA. Di tengah

krisis ekonomi dunia, Indonesia

tetap memprioritaskan anggaran

pendidikan, bantuan operasional

sekolah guna mengurangi

hambatan biaya anak ke sekolah,

buku pelajaran online, program

pendidikan kesetaraan, dan

peningkatan kualifikasi guru. Ini

merupakan beberapa upaya

pemerintah yang terus dilakukan.

Sementara itu anggaran untuk

fungsi pendidikan dalam APBN

tahun 2010 telah mencapai

sekitar Rp 209,5 triliun.

Marzuki Alie mengatakan,

perlu peran aktif anggota

parlemen untuk ikut aktif dalam

proses pembangunan pendidikan.

Di tengah sulitnya ekonomi dunia

dan berbagai tekanan,

pemerintah telah menghadapi

berbagai pilihan kebijakan yang

sulit. Parlemen berkewajiban

meminta pemerintah

mengalokasikan dana yang cukup

untuk pendidikan dan memonitor

pemerintah dalam

mengimplementasikan tujuan

pembangunan nasional

pendidikan.(KOMPAS, Rabu, 7

Juli 2010).

Kontribusi Pemerintah cq Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia dalam Program PUS

Dalam upayanya mencapai

tujuan “Pendidikan untuk Semua”

pada 2015, peme-rintah

Indonesia saat ini menekankan

pelaksanaan program wajib

belajar sembilan tahun bagi

seluruh anak Indonesia usia 6

sampai 15 tahun. Dalam hal ini,

UNICEF dan UNESCO member

dukungan teknis dan dana.

Bersama dengan

pemerintah daerah, masyarakat

dan anak-anak di delapan

propinsi di Indonesia, UNICEF

mendukung program

Menciptakan Masyarakat Peduli

Pendidikan Anak (CLCC). Proyek

ini berkembang pesat dari 1.326

sekolah pada tahun 2004 menjadi

23

1.496 pada tahun 2005. Kondisi

ini membantu 45.454 guru dan

menciptakan lingkungan belajar

yang lebih menantang bagi

sekitar 275.078 siswa.

Dalam 20 tahun terakhir

Indonesia telah mengalami

kemajuan di bidang pendidikan

dasar. Terbukti rasio bersih anak

usia 7-12 tahun yang bersekolah

mencapai 94 persen. Meskipun

demikian, negeri ini masih

menghadapi masalah pendidikan

yang berkaitan dengan sistem

yang tidak efisien dan kualitas

yang rendah. Terbukti, misalnya,

anak yang putus sekolah

diperkirakan masih ada dua juta

anak. Indonesia tetap belum

berhasil memberikan jaminan hak

atas pendidikan bagi semua anak.

Apalagi, masih banyak masalah

yang harus dihadapi, seperti

misalnya kualifikasi guru, metode

pengajaran yang efektif,

manajemen sekolah dan

keterlibatan masyarakat.

Sebagian besar anak usia 3

sampai 6 tahun kurang mendapat

akses aktifitas pengembangan

dan pembelajaran usia dini

terutama anak-anak yang tinggal

di pedalaman dan pedesaan.

Anak-anak Indonesia yang berada

di daerah tertinggal dan terkena

konflik sering harus belajar di

bangunan sekolah yang rusak

karena alokasi anggaran dari

pemerintah daerah dan pusat

yang tidak memadai. Metode

pengajaran masih berorientasi

pada guru dan anak tidak diberi

kesempatan memahami sendiri.

Metode ini masih mendominasi

sekolah-sekolah di Indonesia.

Ditambah lagi, anak-anak dari

golongan ekonomi lemah tidak

termotivasi dari pengalaman

belajarnya di sekolah. Apalagi

biaya pendidikan sudah relatif tak

terjangkau bagi mereka.

(UNICEF, 2010).

Indonesia telah mengalami

kemajuan di bidang pendidikan

dasar dalam 20 tahun terakhir

ini. Terbukti rasio bersih anak

usia 7-12 tahun yang bersekolah

mencapai 94 persen. Tetapi

Indonesia tetap belum berhasil

memberikan jaminan hak atas

24

pendidikan bagi semua anak.

Apalagi, masih banyak masalah

yang harus dihadapi, masalah

tersebut antara lain :

- Anak putus sekolah

diperkirakan masih ada dua

juta anak.

- Kualifikasi guru yang masih

kurang.

- Metode pengajaran yang tidak

efektif. Yaitu masih beroientasi

kepada guru dan anak didik

tidak diberi kesempatan

memahami sendiri.

- Manajemen sekolah yang

buruk.

- Kurangnya keterlibatan

masyarakat.

- Kurangnya akses

pengembangan dan

pembelajaran usia dini bagi

sebagian besar anak usia 3

sampai 6 tahun terutama anak-

anak yang tinggal di

pedalaman dan pedesaan.

- Alokasi anggaran dari

pemerintah daerah dan pusat

yang tidak memadai.

- Biaya pendidikan yang tinggi.

Untuk mencapai Pendidikan

Untuk Semua, pemerintah

Indonesia dibantu oleh UNICEF

dan UNESCO melakukan

kegiatan-kegiatan antara lain :

1. Sistem Informasi Pendidikan

Berbasis Masyarakat

UNICEF mendukung langkah-

langkah pemerintah Indonesia

untuk meningkatkan akses

pendidikan dasar melalui

Sistem Informasi Pendidikan

Berbasis Masyarakat. Dengan

system ini memungkinkan

penelusuran semua anak usia

dibawah 18 tahun yang tidak

bersekolah.

2. Program Wajib Belajar 9

Tahun

Dalam upaya mencapai tujuan

“Pendidikan untuk Semua”

pada 2015, pemerintah

Indonesia saat ini menekankan

pelaksanaan program wajib

belajar Sembilan tahun bagi

seluruh anak Indonesia usia 6

sampai 15 tahun. Dalam hal

ini, UNICEF dan UNESCO

member dukungan teknis dan

dana.

25

3. Program Menciptakan

Masyarakat Peduli Pendidikan

Anak (CLCC)

Bersama dengan pemerintah

daerah, masyarakat dan anak-

anak di delapan propinsi di

Indonesia, UNICEF

mendukung program

Menciptakan Masyarakat

Peduli Pendidikan Anak

(CLCC). Proyek ini

berkembang pesat dari 1.326

sekolah pada 2004 menjadi

1.496 pada 2005. Kondisi ini

membantu 45.454 guru dan

menciptakan lingkungan

belajar yang lebih menantang

bagi sekitar 275.078 siswa.

Di samping itu, yang tidak

kalah pentingnya adalah peran

Kepala Sekolah dan Pengawas

Sekolah dalam menyukseskan

program PUS yang dicanangkan

pemerintah. Hal ini sebagaimana

dikemukakan oleh Direktur

Jenderal Peningkatan Mutu

Pendidik dan tenaga

Kependidikan, Kementerian

Pendidikan Nasional (Dirjen

PMPTK Kemendiknas) Baedhowi

yang mengatakan bahwa peran

Kepala Sekolah dan Pengawas

Sekolah juga sangat penting guna

meningkatkan kualitas dan

pelayanan pendidikan saat ini.

Apabila kompetensi Kepala

Sekolah baik, maka hubungan

yang signifikan terhadap

peningkatan mutu pendidikan di

sekolah. Apabila Kepala

Sekolahnya baik dan memiliki

kompetensi bagus, maka kepala

sekolah itu diyakini bisa

melakukan pengelolaan sekolah

dengan baik pula.

(http://bataviase.co.id, diakses

tanggal 16 September 2010).

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasar pemaparan

tersebut di atas, maka dapatlah

disimpulkan sebagai berikut: (1)

hakekat dari “Pendidikan untuk

Semua dan Semua untuk

Pendidikan” adalah

mengupayakan agar setiap warga

Negara dapat memenuhi haknya,

yaitu setidak-tidaknya untuk

mendapatkan layanan pendidikan

dasar (Wajib Belajar 9 Tahun); (2)

26

masalah yang harus dihadapi

dalam program PUS, antara lain:

(a) anak putus sekolah

diperkirakan masih ada dua juta

anak, (b) kualifikasi guru yang

masih kurang, (c) metode

pengajaran yang tidak efektif itu

masih beroientasi kepada guru

dan anak didik tidak diberi

kesempatan memahami sendiri,

(d) manajemen sekolah yang

buruk, (e) kurangnya keterlibatan

masyarakat, (f) kurangnya akses

pengembangan dan pembelajaran

usia dini bagi sebagian besar

anak usia 3 sampai 6 tahun

terutama anak-anak yang tinggal

di pedalaman dan pedesaan, (g)

alokasi anggaran dari pemerintah

daerah dan pusat yang tidak

memadai, dan (h) biaya

pendidikan yang tinggi; (3) untuk

mencapai Pendidikan Untuk

Semua, pemerintah Indonesia

dibantu oleh UNICEF dan

UNESCO melakukan kegiatan-

kegiatan antara lain: (a) Sistem

Informasi Pendidikan Berbasis

Masyarakat, (b) Program Wajib

Belajar 9 Tahun, dan (c) Program

Menciptakan Masyarakat Peduli

Pendidikan Anak (CLCC); (4)

dalam 20 tahun terakhir

Indonesia telah mengalami

kemajuan di bidang pendidikan

dasar, terbukti rasio bersih anak

usia 7-12 tahun yang bersekolah

mencapai 94 persen; (5)

pembangunan pendidikan di

Indonesia sekurang-kurangnya

menggunakan empat strategi

dasar, yakni; pertama,

pemerataan kesempatan untuk

memperoleh pendidikan, kedua,

relevansi pendidikan, ketiga,

peningkatan kualiutas

pendidikan, dan keempat,

efesiensi pendidikan, (6)

Indonesia tetap belum berhasil

memberikan jaminan hak atas

pendidikan bagi semua anak;

apalagi, masih banyak masalah

yang harus dihadapi, seperti

misalnya kualifikasi guru, metode

pengajaran yang efektif,

manajemen sekolah dan

keterlibatan masyarakat, dan (7)

peran Kepala Sekolah dan

Pengawas Sekolah sangat penting

27

guna meningkatkan kualitas dan

pelayanan pendidikan.

Saran

Berdasarkan butir-butir simpulan di atas, maka dapatlah dikemukakan saran-saran sebagai berikut: (1) dari sisi struktural birokrasi di Kementerian Pendidikan Nasional masih dirasa perlu dioptimalkan masalah peningkatan kinerja, peningkatan kerjasama, koordinasi dan komunikasi dengan berbagai instansi dan unit kerja terkait, baik di pusat maupun di daerah, (2) untuk dapat mewujudkan program PUS, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warga Negara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan” sesuai dengan potensi dan kapasitas masing-masing; (3) pembangunan pendidikan makin disadari sebagai sektor yang strategis untuk menunjang pembangunan sektor secara keseluruhan,

oleh karena itu pembangunan pendidikan harus sensitif dan tanggap terhadap dinamika pembangunan sektor-sektor lainnya; (4) perlu peran aktif anggota parlemen untuk ikut aktif dalam proses pembangunan pendidikan, parlemen berkewajiban meminta pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk pendidikan dan memonitor pemerintah dalam mengimplementasikan tujuan pembangunan nasional pendidikan, dan (5) pemerintah (Negara) harus menyiapkan seluruh sarana dan prasarana dalam rangka menuntaskan pendidikan Sembilan tahun.

28

29

30

31