duaq-i_kebijakan

Upload: alchemistboy

Post on 20-Jul-2015

62 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (UAQ-i) National Strategy Action Plan Draft Working Paper Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara

Disiapkan oleh: Paul Butarbutar Konsultan UAQ-i untuk Kebijakan Lingkungan

UAQ-i, Kebijakan

Page 1 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

Daftar Isi 1 Kebijakan dan peraturan perundangan yang berlaku saat ini ............................................3 1.1 1.2 1.3 1.4 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 3 3.1 3.2 3.3 4 Lingkungan hidup ......................................................................................................3 Sektor Minyak dan Gas..............................................................................................6 Sektor transportasi .....................................................................................................7 Sektor industri............................................................................................................7 Umum: .......................................................................................................................9 Pengendalian pencemaran dari sumber tidak bergerak:...........................................11 Pengendalian pencemaran dari sumber bergerak:....................................................12 Pendanaan: ...............................................................................................................13 Pentaatan dan penegakan hukum:............................................................................14 Kewenangan dan Kelembagaan:..............................................................................14 Emisi lintas batas: ....................................................................................................16 Analisis Lingkungan Strategik.................................................................................17 Kesimpulan ..............................................................................................................19 Rekomendasi............................................................................................................19

Analisa ...............................................................................................................................9

Analisis Lingkungan Strategik, Kesimpulan dan Rekomendasi......................................17

Referensi ..........................................................................................................................21

UAQ-i, Kebijakan

Page 2 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

1

Kebijakan dan peraturan perundangan yang berlaku saat ini Dalam rangka upaya perlindungan lingkungan, khusunya pencemaran udara Pemerintah Indonesia, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkait dengan berbagai sektor yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan pencemaran udara tersebut.

1.1

Lingkungan hidup Undang-undang No. 23 tahun 1997 merupakan landasan yang digunakan untuk perlindungan lingkungan secara umum. Beberapa hal yang diatur dalam UU ini diantaranya adalah: o Hak setiap orang untuk lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. o Kewajiban setiap orang untuk memelihara fungsi lingkungan hidup, serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan, kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan akurat tentang pengelolaan lingkungan hidup o Kewajiban pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu berdasarkan kebijakan nasional yang ditetapkan oleh pemerintah yang dikoordinasikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan dapat dilimpahkan kepada perangkat pemerintah di wilayah. o Larangan setiap usaha dan/atau kegiatan melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup demi menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup; o Kewajiban setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup untuk memiliki AMDAL sebagai prasyarat untuk memperoleh ijin usaha dan/atau kegiatan. o Sanksi administratif, denda dan pidana untuk pelanggaran terhadap ketentuan UU. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 merupakan pengaturan lebih lanjut dari UU 23/1997, khusus untuk pengendalian pencemaran udara. PP ini mengatur tentang: o Perlindungan mutu udara yang didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar pencemar Udara. o Inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah harus dilaksanakan untuk dapat menentukan status mutu udara ambien. o Operasionalisasi pengendalian pencemaran udara berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh kepala instansi yang berwenang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dikoordinasikan oleh Gubernur.

UAQ-i, Kebijakan

Page 3 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

o Pencegahan pencemaran udara dilaksanakan dengan keharusan setiap usaha dan/atau kegiatan untuk menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan, serta melalui mekanisme perijinan. o Kewajiban melakukan penanggulangan dan pemulihan apabila terjadi pencemaran udara. o Sanksi pidana, ganti rugi sebagai akibat pelanggaran terhadap ketentuan PP. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup yang terkait dengan baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar pencemar Udara. o Kepmenlh No. Kep-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor o Kepmenlh No. Kep-13/Menlh/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak o Kepmenlh No. Kep-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan o Kepmenlh No. Kep-49/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran o Kepmenlh No. Kep-50/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan o Kepmenlh No. Kep-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara o Kepmenlh No. 141 Tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi o Kepmenlh No. 15/1996 tentang Program Langit Biru o Keputusan Kepala Bapedal No. 107/Bapedal/XI/1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara Disamping UU23/1997 dan PP41/1999 serta Keputusan Menteri tersebut, pemerintah daerah juga mengeluarkan berbagai peraturan dan keputusan. Peraturan dan keputusan tersebut pada dasarnya mengacu pada peraturan tingkat nasional, dengan modifikasi pada sebagian peraturan dan keputusan. Peraturan dan keputusan tingkat daerah tersebut diantaranya adalah: DKI Jakarta: o Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Perda ini mengatur tentang perlindungan mutu udara dan pengendalian pencemaran udara di DKI Jakarta. Hal yang sangat spesifik dalam Perda ini adalah adanya pasal khusus tentang keharusan penggunaan bahan bakar gas untuk angkutan umum dan kendaraan operasional pemerintah, larangan merokok di tempat tertutup, serta pembakaran sampah. o Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 95 Tahun 2000 tentang Pemeriksaan Emisi dan Perawatan Mobil Penumpang Pribadi di Propinsi DKI Jakarta. Keputusan ini mengatur kewajiban pemilik

UAQ-i, Kebijakan

Page 4 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

mobil penumpang pribadi untuk melakukan uji emisi untuk memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan yang ditetapkan untuk DKI Jakarta, serta melakukan perawatan apabila emisi melampaui ambang batas. o Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 670 Tahun 2000 tentang Penetapan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak di Propinsi DKI Jakarta. Keputusan ini menetapkan baku mutu emisi untuk jenis kegiatan industri besi dan baja, pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara serta kegiatan lainnya. Setiap kegiatan atau usaha yang menghasilkan emisi dari sumber tidak bergerak, wajib memenuhi baku mutu emisi sebagaimana yang ditetapkan oleh Keputusan Gubernur. o Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1041 Tahun 2000 tentang Penetapan Baku Mutu Emisi Kendaraan Bermotor di Propinsi DKI Jakarta. Keputusan ini menetapkan ambang batas emisi gas buang untuk kendaraan bermotor untuk DKI Jakarta, yang lebih ketat dibandingkan dengan ambang batas untuk nasional. o Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Propinsi DKI Jakarta. Keputusan ini menetapkan baku mutu udara ambien DKI Jakarta untuk sembilan parameter, yaitu SO2, CO, NO2, O3, HC, PM10, PM2,5, TSP dan Pb. Baku mutu udara ambien DKI Jakarta ini hampir sama dengan baku mutu udara ambien nasional yang tertuang dalam lampiran PP No. 41/1999, kecuali untuk beberapa parameter dengan waktu pengukuran tertentu yang lebih ketat. Yogyakarta: o Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 182 tahun 2003 tentang Program Langit Biru di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini mengatur tentang strategi dan program pengendalian pencemaran udara yang disepakati dan akan dilaksanakan di 4 kabupaten dan 1 kota di wilayah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. o Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini menetapkan baku mutu udara ambien serta metoda pengukurannya, yang terdiri dari baku mutu udara ambien primer untuk perlindungan manusia dan baku mutu udara sekunder untuk perlindungan hewan, tumbuhan, jarak pandang, kenyamanan serta cagar budaya. o Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 167 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Bergerak Kendaraan Bermotor di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini mengatur tentang ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor yang sebagiannya lebih ketat dibanding dengan ambang batas tingkat nasional. o Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 169 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini mengatur baku mutu emisi sumber

UAQ-i, Kebijakan

Page 5 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

tidak bergerak untuk jenis industri gula, pengolahan kayu, industri dan jenis kegiatan lain, serta kegiatan utilitas. Bandung: o Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Bagian dari Perda ini yang secara langsung terkait dengan pengendalian pencemaran udara adalah ketentuan tentang bersih udara, yang pada prinsipnya mengatur tentang kewajiban untuk menaati baku mutu emisi. 1.2 Sektor Minyak dan Gas Undang-undang No.22 tahun 2001 merupakan penyesuaian terhadap UU. No 44/1960 tentang Pertambangan dan Gas Bumi, UU No 15/1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, serta UU No 8/1971 tentang Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara. Dengan UU ini maka peran pemerintah yang selama ini diwakili oleh Pertamina sebagai pengatur dan pemain akan berubah menjadi pengatur dan pengawas. Sedang Pertamina akan menjadi pemain murni, sama seperti perusahaan lain yang bergerak di industri minyak dan gas. Dengan perubahan tersebut pemerintah yang diwakili oleh Ditjen Migas memiliki tugas dan wewenang dalam penentuan kebijakan umum, penetapan standard teknis, spesifikasi, serta Pemberian Ijin dan Lisensi. Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan penyediaan dan pendistribusian BBM yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Pengatur; PP 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dan usaha hilir dengan PP 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi merupakan aturan pelaksanaan dari UU22/2001. Terkait dengan upaya pengendalian pencemaran udara, bagian dari PP 36/2004 yang relevan adalah kewajiban untuk menentukan spesifikasi BBM yang diatur melalui keputusan direktur jenderal minyak dan gas. Sebagai tindak lanjut dari UU22/2001 telah dikeluarkan pengaturan pelaksanaan usaha hulu dengan. Dengan mengacu pada PP36/2004 telah ada sekitar 85 badan usaha niaga umum yang sudah mendapatkan ijin prinsip dari pemerintah untuk menjual bahan bakar ke konsumen akhir (retail market); Adanya badan usaha lain yang dapat melaksanakan kegiatan pendistribusian bahan bakar minyak diyakini merupakan salah satu opsi untuk mempercepat pengadaan bensin dengan kualitas yang lebih baik, berdasarkan spesifikasi yang ditentukan oleh Ditjen Migas. Terkait dengan upaya perbaikan kualitas udara perkotaan adalah penentuan spesifikasi bahan bakar yang boleh diperjual-belikan di wilayah Indonesia. Saat ini spesifikasi bahan bakar yang tersedia di pasar masih mengacu pada SK Dirjen Migas No. 108. K/72/DDJM/1997, yang mengijinkan kandungan timbal s/d 0.30 gr/liter, dan tekanan uap Reid 62 kPa pada suhu 37.8 C. Sedangkan untuk minyak solar penetapan spesifikasi teknik mengikuti pada SK Dirjen Migas No.113.K/72/DJM/1999 yang mengijinkan kandungan belerang s/d 5000 ppm wt, serta mengharuskan Angka Setana lebih tinggi dari 48; Penghapusan bensin bertimbal: Bensin tanpa timbal telah mulai tersedia di Jakarta dan sekitarnya pada Juli 2001 sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk penghapusan bensin bertimbal di seluruh Indonesia. Selanjutnya, pemerintah juga

UAQ-i, Kebijakan

Page 6 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

telah menyediakan bensin tanpa timbal untuk kota-kota lainnya seperti Denpasar, Batam, dan Cirebon. Namun disayangkan, bahwa rencana pemerintah untuk menghapuskan timbal dari seluruh Indonesia pada Januari 2003 tidak terlaksana. Kebijakan energi (energy mix): Departemen ESDM telah menetapkan energy mix Indonesia hingga 2020. Dengan adanya energy mix ini maka ketergantungan terhadap minyak bumi sebagai sumber energi nasional diharapkan dapat dikurangi secara signifikan. Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan: UU ini dimaksudkan untuk melakukan pengaturan dibidang transportasi jalan sehingga lalulintas yang aman, lancar dan tertib dapat diwujudkan. Hal-hal yang diatur dalam UU ini yang dapat mengendalikan pencemaran udara diantaranya adalah pengaturan lalu lintas dan sistem transportasi, pengujian kelaikan kendaraan yang difokuskan pada uji tipe, pemeriksaan kendaraan di jalan yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat penaatan pemilik kendaraan terhadap ketentuan ambang batas emisi gas buang. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan: Berdasarkan PP ini maka pemeriksaan kendaraan di jalan dapat dilakukan untuk memeriksa kelengkapan administrative serta kelaikan jalan kendaraan. Hal yang berhubungan dengan pengendalian pencemaran udara adalah dimungkinkannya pemeriksaan di jalan untuk memeriksa emisi gas buang kendaraan sebagai upaya untuk melihat kepatuhan pemilik kendaraan terhadap ketentuan ambang batas emisi gas buang kendaraan. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi: PP ini mengatur tentang persyaratan teknis yang harus dimiliki oleh kendaraan yang akan diproduksi di Indonesia. Hal yang terkait dengan pengendalian pencemaran udara adalah kewajiban untuk melaksanakan pengujian emisi sebagai bagian dari uji tipe maupun uji berkala kendaraan. Uji tipe dilakukan terhadap semua jenis kendaraan yang akan diproduksi/dirakit/diimpor di Indonesia, kecuali untuk kendaraan bermotor dengan jumalh produski/rakit/impor maksimum 10 unit. Sedangkan uji berkala diwajibkan untuk kendaraan komersial sedikitnya sekali dalam 6 bulan. Khusus untuk sepeda motor dan mobil penumpang bukan umum, pengujian berkala untuk sementara tidak diberlakukan, menunggu adanya PP khusus yang mengatur hal tersebut. Untuk tingkat DKI Jakarta telah dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 12/2003 yang mengatur tentang lalulintas dan angkutan jalan, kereta api, sungai dan danau serta penyeberangan. Hal-hal yang diatur dalam Perda tersebut sangat berpengaruh terhadap pengendalian pencemaran udara, misalnya rekayasa lalulintas, pola transportasi makro, angkutan massal dan lain-lain. Undang-undang Nomor 5 tahun 1984 tentang perindustrian merupakan landasan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan untuk mencegah dampak akibat kegiatan industri yang berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan. Sebagai contoh adalah pasal 21 yang secara tegas melarang kegiatan

1.3

Sektor transportasi

1.4

Sektor industri

UAQ-i, Kebijakan

Page 7 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

industri menyebabkan degradasi dan pencemaran lingkungan serta ekosistem. Pelaksanaan UU No. 5/1984 diatur melalui berbagai peraturan lanjutan, diantaranya adalah melalui SK Menteri Perindustrian Tahun 1980 tentang ijin industri yang merupakan upaya perlindungan lingkungan melalui sistem perijinan sebagai alat kontrol untuk kepatuhan industri terhadap perangkat hukum lingkungan. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan merupakan turunan dari UU23/1997 dan memiliki peranan yang sangat signifikan dalam mencegah pencemaran dari sumber tidak bergerak. PP ini mensyaratkan kelengkapan dokumen AMDAL sebelum mendapatkan ijin operasional, misalnya ijin industri dan konsesi pertambangan. Juga, tergantung dari skala usaha, setiap kegiatan industri diwajibkan untuk menyusun dokumen AMDAL, UKL-UPL atau SPPL. Disamping itu, dalam SK Menperindag No.148/M/SK/7/1995 disebutkan bahwa kegiatan industri tidak boleh merusak atau membahayakan lingkungan serta tidak menggunakan sumber daya alam secara berlebihan. Berbagai peraturan tambahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran udara, khususnya untuk DKI Jakarta diantaranya adalah: o SK Gub. DKI Jakarta No. 3586/2003 tanggal 24 Oktober 2003 tentang Pelimpahan Wewenang Pelayanan dan Pemberian Izin di Bidang Usaha Perindag di DKI Jakarta; o SK Gub. DKI Jakarta No. 2863 Tahun 2001 Tentang: Jenis Rencana Usaha/Kegiatan Yang Wajib AMDAL o SK Gub. DKI Jakarta No. 99 Tahun 2002 Tentang: Mekanisme Pelaksanaan AMDAL dan UKL-UPL dlm Perizinan Daerah; o SK Gub. DKI Jakarta No. 189 Tahun 2002 Tentang: Jenis Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan UKL-UPL; o SK Gub. DKI Jakarta No. 2333 Tahun 2002 Tentang: Jenis Usaha/Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan SPPL.

UAQ-i, Kebijakan

Page 8 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

2 2.1

Analisa Umum: Pada prinsipnya UU23/1997 dan PP41/1999 sudah memadai untuk digunakan sebagai dasar pelaksanaan pengendalian pencemaran udara, apabila diimplementasikan dengan baik. Namun disayangkan, bahwa banyak petunjuk pelaksanaan/pedoman teknis yang hingga saat ini belum tersedia, sehingga kegiatan pengendalian pencemaran udara tidak dapat dilaksanakan secara optimal. UU23/1997 dan PP41/1999 mengamanatkan penyusunan dokumen kebijakan teknis terpadu yang disusun bersama dengan instansi terkait sebagai basis pengendalian pencemaran udara. Ketentuan ini mengakui bahwa isu pencemaran udara merupakan cross cutting issue yang tidak akan dapat diselesaikan oleh satu sektor, melainkan harus diselesaikan secara bersama-sama. Namun disayangkan, bahwa dokumen kebijakan teknis terpadu tersebut hingga saat ini tidak ada, kecuali strategi pengendalian emisi kendaraan bermotor terpadu (integrated vehicle emission reduction strategy) yang disusun dengan bantuan ADB, tetapi hingga saat ini belum ditetapkan menjadi strategi nasional. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa hingga saat ini tidak pernah ada upaya pengendalian pencemaran udara secara komprehensif. Yang terjadi adalah banyak kegiatan yang dilaksanakan oleh berbagai instansi yang pada dasarnya berpengaruh terhadap perbaikan kualitas udara, tetapi pelaksanaan dari kegiatan tersebut hanya merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Berbagai aturan pelaksanaan/pedoman teknis yang hingga saat ini belum tersedia, diantaranya adalah: o Pedoman teknis penetapan baku mutu udara ambien daerah o Pedoman teknis inventarisasi dan pedoman teknis penetapan status mutu udara ambien o Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dan sumber bergerak o Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber gangguan dari sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber bergerak o Kebijakan teknis pengendalian pencemaran udara nasional o Pedoman penyusunan dan pencemaran udara di daerah pelaksanaan operasional pengendalian

o Persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan o Pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara o Pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran udara o Pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak (sudah ada Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumer Tidak Bergerak sesuai dengan Keputusan Kepala Bapedal No. Kep-

UAQ-i, Kebijakan

Page 9 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

205/BAPEDAL/07/1996 yang didasarkan pada Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup).

UU4/1982

tentang

o Pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak o Pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber gangguan o Pedoman teknis tata cara dan metode uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru o Pedoman teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru o Pedoman teknis dan tata cara pelaporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan oleh setiap orang atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan o Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagai akibat dari terjadinya pencemaran udara o Pedoman teknis pembuatan unit pengendalian pencemaran udara dari sumber tidak bergerak Program Langit Biru yang diharapkan dilaksanakan di setiap daerah tadinya dapat dijadikan sebagai payung untuk pengimplementasian perbaikan kualitas udara secara terpadu ternyata tidak mampu memenuhi harapan tersebut. Permasalahan yang dihadapi terutama adalah tidak adanya indikator-indikator yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan Program Langit Biru. Di samping itu, juga tidak jelas apa yang menjadi landasan pelaksanaan program tersebut, tidak ada kejelasan kegiatan apa saja yang akan dilaksanakan dalam kerangka program, tidak jelas jangka waktu pelaksanaan program, serta tidak jelasnya berapa biaya yang dianggarkan untuk pelaksanaan program (program tanpa program). Sementara itu, Program Langit Biru yang disusun oleh Propinsi DIY sudah sangat maju, berisikan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara secara terpadu hingga 2008, termasuk indikator program. Yang tidak ada dalam program ini adalah target penurunan pencemaran udara apabila semua program tersebut terimplementasikan hingga 2008. Ada kesan, pengelolaan lingkungan secara umum, dan pengendalian pencemaran udara secara khusus, yang dilakukan oleh pemerintah merupakan satu kegiatan yang dibenturkan dengan kegiatan ekonomi, sehingga muncul persepsi bahwa pengendalian pencemaran udara dapat merugikan kegiatan perekonomian serta menyebabkan munculnya keengganan pelaku usaha untuk secara proaktif melakukan pengendalian pencemaran udara dari kegiatan industrinya masingmasing. Kelangkaan bahan bakar minyak saat ini merupakan efek dari keterlambatan pemerintah dalam penentuan energy mix Indonesia, sekaligus dalam pengimplementasiannya. Pemerintah kurang memperhatikan upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan pasokan energi diluar sumber fossil. Juga, hal ini merupakan keterlambatan pemerintah dalam penggunaan sumber

UAQ-i, Kebijakan

Page 10 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

energi non-fluid. Selama ini pemerintah terlalu berpatokan pada bahan bakar minyak, sementara pasokan dalam negeri cenderung berkurang, sehingga Indonesia menjadi sangat tergantung pada pasokan dari luar negeri. Hal ini menjadikan Indonesia menjadi sangat rentan terhadap kenaikan harga minyak dunia. Dengan demikian, setiap kenaikan harga minyak dunia akan sangat berpengaruh terhadap beban APBN, mengingat pemerintah harus menyediakan anggaran khusus untuk BBM sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mensubsidi BBM tersebut (BBM tidak dijual pada harga ekonomis). Sementara itu, bahan bakar gas yang tersedia cukup banyak di Indonesia tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk mengurangi tekanan terhadap beban APBN. Pemerintah lebih senang mengekspor bahan bakar gas ke luar negeri untuk mendapatkan penerimaan yang akan digunakan untuk menutupi kebutuhan anggaran pemerintah dibanding memanfaatkan gas tersebut di dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah. Yang pasti lebih senang adalah pihak luar negeri yang memanfaatkan gas yang diimpor dari Indonesia dengan harga yang lebih murah, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk meningkatkan daya saing. 2.2 Pengendalian pencemaran dari sumber tidak bergerak: Baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat kebisingan, baku tingkat kebauan sudah berusia lebih dari 5 tahun, yang mana berdasarkan PP harus ditinjau ulang. Pada saat penentuan baku mutu/baku tingkat tersebut sebelumnya tidak diketahui dasar dari penentuan angka yang tercantum, termasuk didalamnya apakah masalah kesehatan masyarakat Indonesia sebagai akibat pencemaran udara juga turut dipertimbangkan. Baku mutu emisi untuk kegiatan selain dari instrusi besi dan baja, industri pulp dan kertas, pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara, industri semen tidak tersedia. Semuanya dimasukkan dalam kategori lain-lain. Ketiadaan baku mutu emisi untuk kegiatan selain dari kegiatan tersebut di atas menimbulkan kebingungan terhadap penanggungjawab kegiatan maupun pemerintah daerah, karena tidak ada petunjuk yang jelas, kegiatan mana saja yang harus dilaporkan emisinya. Disamping itu, apabila ada kegiatan yang harus dilaporkan emisinya, juga tidak ada petunjuk parameter apa yang harus diukur. Tidak semua daerah memiliki jenis kegiatan sebagaimana diatur dalam Kepmen 13, terutama di perkotaan. Oleh karena itu, inisiatif dari berbagai daerah untuk menentukan baku mutu emisinya sendiri patut didukung. Namun demikian, perlu ada petunjuk dari tingkat nasional untuk penyusunan baku mutu emisi daerah. Sebagai program yang bersifat suka rela, pada prinsipnya prodasih dan superdasih yang dilaksanakan di DKI Jakarta dapat membantu untuk meningkatkan kesediaan industri untuk melakukan monitoring terhadap kualitas udaranya, namun karena hanya bersifat sukarela sulit untuk menerapkan sanksi apabila ternyata pencemaran yang dipantau oleh industri melampaui baku mutu. PROPER sebagai upaya untuk pemeringkatan kinerja industri di bidang lingkungan hidup pada prinsipnya merupakan program yang baik. Efek malu merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk memotivasi industri untuk melakukan pengelolaan lingkungan. Dimasukkannya upaya pengendalian pencemaran udara dalam PROPER dinilai sangat positif. Namun disangsikan bahwa PROPER dapat

UAQ-i, Kebijakan

Page 11 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

digunakan untuk menurunkan pencemaran udara, karena dikhawatirkan bahwa penilaian PROPER tidak dilakukan secara transparan. 2.3 Pengendalian pencemaran dari sumber bergerak: Inisiatif dari KLH untuk leafrogging untuk kendaraan tipe baru dari tanpa standar menjadi standar EURO II patut didukung. Terobosan-terobosan seperti ini perlu dilakukan untuk hal-hal lainnya, seperti ambang batas emisi gas buang. Ambang batas emisi gas buang yang berlaku saat ini sudah saatnya direvisi. Sudah ada upaya dari KLH untuk merevisi ambang batas tersebut, namun hingga saat ini tidak dituntaskan. Terkait dengan hal ini, KLH perlu segera menetapkan ambang batas tersebut, termasuk petunjuk penyusunan ambang batas emisi untuk daerah, sehingga daerah juga mampu menyusun ambang batasnya sesuai dengan kebutuhan di daerah masing-masing (Contoh kasus: Yogyakarta menyusun ambang batas emisi dengan menyertakan Pb sebagai salah satu parameter untuk pengujian emisi gas buang). Upaya yang dilakukan oleh kementerian Lingkungan Hidup yang secara terus menerus mendorong penghapusan bensin bertimbal patut diacungi jempol, termasuk keberhasilan dalam penyediaan bensin tanpa timbal untuk daerah Jabodetabek, Denpasar, Batam dan Cirebon. Diyakini bahwa kunci sukses dari keberhasilan itu adalah kollaborasi atau penggalangan kekuatan dari berbagai stakeholder, diantaranya sektor swasta, universitas, lembaga-lembaga internasional, LSM dan dari pemerintah sendiri. Namun disayangkan, bahwa dalam berbagai kelanjutan aksi penghapusan bensin bertimbal belakangan ini maupun upaya-upaya pengendalian pencemaran udara lainnya kelihatannya kementerian Lingkungan Hidup membatasi diri dalam penggalangan dukungan aktif dari berbagai stakeholder. Disamping itu, Kementerian Lingkungan Hidup harusnya dapat membaca dari pengalaman, bahwa kunci penghapusan bensin bertimbal hanya terletak pada satu departemen, yaitu departemen keuangan. Dengan demikian, maka seharusnya aksi-aksi dari KLH seharusnya diarahkan pada kementerian tersebut. Upaya KLH selanjutnya dalam pengendalian pencemaran udara adalah pemanfaatan gas sebagai bahan bakar untuk transportasi dan industri. Pendekatan KLH dalam pengimplementasian program ini dirasakan sangat berbeda. Dalam hal ini, KLH tidak terlalu banyak melibatkan lembaga-lembaga lain diluar pemerintah dan BUMN dalam mendorong pemanfaatan BBG tersebut, padahal pemanfaatan BBG sangat berpeluang untuk menurunkan pencemaran udara, menurunkan beban APBN akibat subsidi BBM, serta peluang untuk pertumbuhan ekonomi baru. Dengan diberlakukannya otonomi daerah sedikitnya ada dua ketentuan dalam PP ini yang bertentangan dengan UU 32/2004, yakni ijin usaha perbengkelan dan penentuan biaya uji berkala. Berdasarkan PP ini, ijin usaha perbengkelan diberikan oleh menteri yang bertanggungjawab dalam bidang industri sedang biaya uji berkala ditentukan oleh Menteri Perhubungan. Dengan berlakunya UU32/2004 hal ini sudah menjadi tanggungjawab daerah. Terkait dengan pengendalian pencemaran udara melalui penentuan spesifikasi bahan bakar minyak: dengan spesifikasi yang ada saat ini pengendalian pencemaran udara tidak dapat dilakukan secara efektif mengingat tingginya kandungan timbal dalam bensin serta belerang dalam solar. Ditjen Migas telahPage 12 of 22

UAQ-i, Kebijakan

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

menyiapkan rancangan spesifikasi yang baru yang pada prinsipnya sudah mengakomodir upaya pengendalian pencemaran udara, termasuk di dalamnya untuk dapat memenuhi kebutuhan standar EURO II. Namun, hingga saat ini spesifikasi tersebut belum ditetapkan oleh Ditjen Migas. Di samping hal tersebut di atas, ada hal yang cukup menarik dalam penentuan spesifikasi ini. Selama ini Pertamina telah menggunakan HOMC (High Octan Mogas Component) sebagai penambah angka oktan dalam bahan bakar untuk menggantikan timbal. Penggunaan HOMC ini kira-kira sama dengan pepatah keluar mulut buaya masuk mulut harimau. Permasalahannya adalah HOMC dikenal sebagai zat yang bersifat karsinogenik yang dapat menimbulkan penyakit kanker, karena penggunaan HOMC akan meningkatkan emisi HC. Sementara itu, Pertamina melanjutkan pembangunan kilang yang diharapkan akan segera beroperasi untuk memproduksi HOMC, sehingga supply bensin tanpa timbal dalam negeri akan meningkat. Dengan penetapan standar EURO II untuk kendaraan tipe baru yang sudah muai berlaku Januari 2005 maka resiko timbulnya penyakit tersebut dapat dikurangi. Namun perlu diperhatikan bahwa jumlah kendaraan yang sudah memenuhi standar EURO II saat ini masih sangat sedikit. Terkait dengan penghapusan bensin bertimbal: ketidak-tersediaan bensin tanpa timbal di seluruh Indonesia telah menyebabkan keengganan industri otomotif untuk menggunakan catalytic converter pada kendaraan yang diproduksi di Indonesia, kecuali untuk kendaraan kendaraan tipe baru. Pendanaan merupakan permasalahan utama dari kegagalan penghapusan bensin bertimbal. Walaupun pada prinsipnya antara kementerian energi dan sumber daya mineral dan kementerian lingkungan hidup sudah tercapai kesepakatan untuk menghapuskan bensin bertimbal, namun keengganan kementerian keuangan untuk mengucurkan biaya tambahan untuk penghapusan bensin bertimbal tersebut tidak dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, bottle neck dari penghapusan bensin bertimbal ada pada menteri keuangan. Sangat disayangkan bahwa UU23/1997 dan PP41/1999 tidak menyinggung sama sekali tentang sumber-sumber pendanaan yang dapat dialokasikan untuk pengimplementasian upaya pengendalian pencemaran udara. Sementara itu, dengan dialihkannya kewenangan pengendalian pencemaran udara dari tingkat pusat menjadi kewajiban daerah pemerintah pusat seharusnya juga menyiapkan dana untuk pelimpahan wewenang tersebut. Pada prinsipnya, pemerintah juga telah menyediakan pendanaan untuk melaksanakan program-program yang terkait dengan pengendalian pencemaran udara, namun besarnya pendanaan tersebut susah diidentifikasikan karena tersebar di berbagai kementerian. Demikian juga halnya di daerah, pendanaan yang disediakan pemerintah daerah juga tersebar di berbagai dinas maupun badan yang ada di tingkat daerah. Sementara itu, dana yang secara langsung dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup maupun instansi yang bertanggungjawab untuk pengendalian pencemaran udara di daerah dirasakan tidak memadai, sehingga banyak kegiatan rutin maupun kegiatan lainnya yang tidak dapat dilaksanakan secara optimal, misalnya pemantauan kualitas udara.Page 13 of 22

2.4

Pendanaan:

UAQ-i, Kebijakan

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

Khusus untuk DKI Jakarta, Perda No. 2/2005 tentang pengendalian pencemaran udara secara khusus menyebutkan bahwa pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan kegiatan pengendalian pencemaran udara. Hal ini merupakan langkah maju apabila dibandingkan dengan tingkat nasional ataupun daerah lainnya. Ada ketidak-konsistenan dalam hal pengenaan sanksi antara UU23/1997 dan PP41/1999. Dalam UU23/1997 diatur dengan jelas tentang pengenaan sanksi administratif dan ketentuan pidana. Sementara itu, dalam PP41/1999 disebutkan bahwa pencemaran udara hanya dapat dijatuhi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU23/1997. PP41/1999 tidak menyebutkan sama sekali tentang kemungkinan pengenaan sanksi administratif sebagai akibat pencemaran udara. Terkait dengan penegakan hukum tersebut, apabila terjadi pencemaran udara oleh kegiatan/usaha sebagaimana ditunjukkan dalam hasil pemantauan kualitas udara yang dilakukan oleh instansi terkait, tidak ada mekanisme bagaimana proses penindakan akan dilakukan. Pada prinsipnya UU23/1997 maupun PP41/1999 merupakan upaya pengendalian pencemaran udara yang berdasar pada command and control atau atur dan awasi. Dalam banyak kasus, pengendalian yang hanya didasarkan pada command and control tidak efektif; harus didorong dengan berbagi insentif. Namun disayangkan, bahwa UU dan PP tidak menyinggung sama sekali tentang peluang pemberian insentif untuk kegiatan/usaha yang mampu mengendalikan pencemaran udaranya, terutama insentif yang dapat diberikan untuk penggunaan teknologi pengolahan yang lebih bersih. Juga tidak disinggung dalam UU dan PP tentang kemungkinan/keharusan kegiatan/usaha untuk mengimplementasikan sistem managemen lingkungan, misalnya ISO 14000. Padahal, apabila pemerintah mampu menggerakkan industri yang berpotensi besar untuk mencemari udara untuk menerapkan standar managemen lingkungan, hal ini akan sangat mendukung terhadap upaya penurunan pencemaran udara. UU23/1997 dan PP41/1999 menyebutkan secara jelas peran sentral dari Menteri Lingkungan Hidup (termasuk Bapedal yang sudah dilikuidasi dan perannya dilimpahkan ke MenLH) dalam mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara. Namun, dalam konteks kelembagaan di Indonesia apabila satu lembaga ditunjuk untuk menjadi koordinator, maka koordinasi tidak akan menjadi efektif apabila koordinator tidak memiliki fungsi subordinasi terhadap lembaga lain yang harus dikoordinasikan. Hal ini terjadi pada Kementerian Lingkungan Hidup yang ditunjuk dalam UU dan PP untuk mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara secara nasional. Pada kenyataanya fungsi koordinasi yang diemban oleh kementerian Lingkungan Hidup tidak dapat berfungsi dengan baik, karena kementerian lain yang harus dikoordinasikan adalah kementerian yang sejajar. Disamping itu, peran Kementerian Lingkungan Hidup yang terasa dimarjinalkan sebagai simbol dari kurangnya komitmen pemerintah terhadap permasalahan lingkungan hidup membuat kementerian lainnya tidak terlalu bergairah untuk dikoordinasikan oleh Kementerian ini. Sebagai akibatnya,

2.5

Pentaatan dan penegakan hukum:

2.6

Kewenangan dan Kelembagaan:

UAQ-i, Kebijakan

Page 14 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

banyak hal-hal baik yang diinisiasi oleh Kementerian ini menjadi terasa mandul karena kementerian yang lain tidak ikut mendukung. Contoh yang nyata adalah penetapan Kepmen LH NO. 141/2003 yang menetapkan penerapan standar EURO II untuk emisi mobil tipe baru; standar ini tidak dapat diterapkan secara efektif, karena bahan bakar yang dibutuhkan untuk mencapai standar tersebut tidak tersedia, terhambat oleh keengganan Menteri Keuangan untuk menambah anggaran untuk pengadaan bensin tanpa timbal serta keterlambatan dari Dirjen Migas dalam menetapkan spesifikasi bahan bakar yang baru. Terkait dengan peran sentral Depdagri dalam pelaksanaan otonomi daerah, dalam hal ini dipertanyakan peran apa yang dapat dimainkan oleh Depdagri dalam konteks perbaikan kualitas udara perkotaan? Dalam berbagai kesempatan, tidak kelihatan dengan jelas bagaimana Depdagri dapat berperan dalam hal ini. Dalam PP41/1999 disebutkan secara jelas tentang peran dari Bapedal (sudah dilikuidasi dan fungsinya beralih ke Kementerian Lingkungan Hidup) dalam mengkoordinasikan pelaksanaan pengawasan pentaatan ambang batas emisi gas buang sebagai bagian dari strategi untuk pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak. Disayangkan, bahwa dalam PP tersebut tidak disebutkan mekanisme pengawasan pentaatan ambang batas tersebut. Apabila merujuk pada UU14/1992 tentang Lalulintas dan angkutan jalan dan PP44/1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, yang mana dalam UU dan PP tersebut disebutkan dengan jelas tentang kewajiban uji berkala dalam rangka pengujian kelaikan jalan kendaraan bermotor, yang mana pengujian emisi merupakan salah satu bagian dari rangkaian pengujian yang harus dilakukan, maka kemungkinan akan terjadi konflik, karena uji laik jalan tersebut dikoordinasikan oleh Departemen Perhubungan (pelaksanaan sudah lama dilimpahkan ke daerah). Yang menjadi pertanyaan, apakah pengawasan pentaatan ambang batas emisi gas buang akan menjadi bagian dari uji laik jalan, ataukah akan ada dua sistem yang akan berjalan, satu untuk uji laik jalan, sedangkan satunya khusus untuk uji emisi? UU dan PP tersebut pada prinsipnya juga telah mengantisipasi peran daerah sebagai aktor utama dalam pengendalian pencemaran udara di daerahnya masing-masing dalam konteks pelimpahan kewenangan, belum sebagai kewajiban sebagaimana yang diatur dalam UU32/2004 tentang otonomi daerah. PP 9/2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tatakerja Kementerian Negara RI menyebutkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup berada dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa fungsi dari KLH adalah perumusan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan. Mengingat permasalahan lingkungan, termasuk pencemaran udara, merupakan efek langsung dari kegiatan perekonomian, adalah lebih tepat apabila KLH berada dibaawah koordinasi Kementerian Bidang Perekonomian. Dengan berada di bawah satu koordinasi maka upaya perlindungan lingkungan dapat lebih dioptimalkan (KLH memberikan rambu-rambu dalam kegiatan perekonomian dalam konteks pengendalian pencemaran udara/pengelolaan lingkungan hidup).

UAQ-i, Kebijakan

Page 15 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

2.7

Emisi lintas batas: Hal yang tidak disinggung dalam UU23/1997 dan PP41/1999 adalah tentang pencemaran udara yang pada prinsipnya bersifat lintas batas. Pencemaran di titik A tidak akan berhenti pada titik tersebut, tetapi akan bergerak sesuai dengan arah mata angin dan letak geografis. Sama halnya dengan kendaraan, tidak akan beroperasi hanya di satu daerah administrasi, tetapi akan bergerak lintas daerah. Oleh sebab itu, upaya pengendalian pencemaran udara tidak akan efektif apabila hanya dilakukan di satu daerah, tetapi harus lintas batas administratif dan lintas sektor. Sehubungan dengan hal tersebut, dibutuhkan koordinasi yang lebih efektif antar daerah dan departemen untuk mengimplementasikan perbaikan kualitas udara perkotaan.

UAQ-i, Kebijakan

Page 16 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

3 3.1

Analisis Lingkungan Strategik, Kesimpulan dan Rekomendasi Analisis Lingkungan Strategik Kekuatan UU23/1997 dan peraturan turunannya pada prinsipnya sudah memadai untuk digunakan sebagai dasar pengendalian pencemaran udara yang berdasar pada command and control atau atur dan awasi. Polluters pay principle sudah diakomodir dalam UU23/1997 dan PP41/1999 Berbagai kebijakan yang diambil oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada dasarnya merupakan bagian dari pengendalian pencemaran udara secara komprehensif Penetapan EURO II sebagai standar emisi kendaraan tipe baru menunjukkan komitmen KLH terhadap upaya pengendalian pencemaran udara Strategi KLH yang mengedepankan kollaborasi dengan berbagai stakeholder telah berhasil mendorong penghapusan bensin bertimbal. Saat ini bensin tanpa timbal sudah tersedia di beberapa daerah, seperti Jabodetabek, Cirebon, Denpasar, Batam. Masuknya isu pengendalian pencemaran udara dalam PROPER dapat mendorong industri untuk lebih menaruh perhatian terhadap upaya perbaikan kualitas udara industrinya. Untuk mendorong pengendalian emisi dari kendaraan yang sudah beroperasi telah banyak dilakukan oleh kementerian lingkungan hidup, terutama untuk kendaraankendaraan pribadi, diantaranya lomba emisi dan pengujian emisi di berbagai daerah, penyusunan pedoman pemeriksaan dan perawatan, penyusunan draft ambang batas emisi kendaraan tipe lama, dan lain-lain. Kementerian Lingkungan Hidup belum menyusun kebijakan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional, sebagaimana diamanatkan PP41/1999 Masih banyak pedoman teknis yang harus disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam rangka pengimplementasian UU23/1997 dan PP41/1999 secara efektif serta dalam rangka pembinaan daerah Emisi lintas batas serta pengendaliaannya belum diakomodasi dalam peraturan Pendekatan insentif ekonomi tidak banyak digunakan untuk menanggulangi pencemaran udara. Baku mutu, baku tingkat, dan ambang batas perlu ditinjau ulang Positioning Kementerian Lingkungan Hidup relatif lemah dibandingkan dengan departemen lain, sehingga fungsi koordinasi KLH dalam pengendalian pencemaran udara tidak dapat diperankan secara optimal Penempatan KLH dibawah Menkokesra mengakibatkan koordinasi dengan sumber pencemar tidak dapat dilakukan secara langsung

Kelemahan

UAQ-i, Kebijakan

Page 17 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

Positioning udara lemah dibanding isu lain, seperti isu air, sehingga permasalahan pencemaran udara terkendala untuk diarus-utamakan Upaya penghematan BBM yang digalakkan pemerintah saat ini memberikan timing yang tepat untuk mengangkat isu pencemaran udara, mengingat keterkaitan yang sangat erat antara penggunaan BBM dan pencemaran udara Harmonisasi tingkat regional dan internasional dalam hal standar emisi kendaraan Insentif fiskal dan kepabeanan untuk investasi dan pemanfaatan energi alternatif ramah lingkungan Pada saat pertumbuhan ekonomi masih merupakan prioritas utama pemerintah, pengendalian pencemaran udara dapat terlupakan Kebijakan subsidi BBM merupakan insentif untuk peningkatan pencemaran udara

Peluang

Ancaman

UAQ-i, Kebijakan

Page 18 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

3.2

Kesimpulan o Pada prinsipnya, banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat ini sudah mengarah pada upaya perbaikan kualitas udara perkotaan, namun tidak berdasarkan kebijakan yang sifatnya komprehensif; o Untuk dapat mengimplementasikan pengendalian pencemaran udara secara efektif masih banyak pedoman teknis sebagai turunan dari UU23/1997 dan PP41/1999 yang harus dilengkapi; o Perlu revisi terhadap berbagai peraturan perundangan terkait dengan pengendalian pencemaran udara, terutama untuk menyesuaikan dengan UU32/2004 tentang otonomi daerah serta untuk merevisi baku mutu, ambang batas serta baku tingkat; o Terjadi konflik antara peraturan perundang-undangan yang disusun sebelum adanya otonomi daerah dengan UU32/2004, terutama terkait dengan kewenangan instansi; o Penempatan KLH dibawah koordinasi Menko Kesra dirasa kurang tepat, karena pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan merupakan kegiatan yang secara langsung merupakan bagian dari kegiatan perekonomian, sehingga seharusnya Kementerian Lingkungan Hidup ditempatkan di bawah Menko Perekonomian; o Pendanaan untuk pengendalian pencemaran udara tidak memadai; hal ini membuktikan bahwa pemerintah kurang memiliki komitmen terhadap pengendalian pencemaran udara; o Penegakan hukum lingkungan hingga saat ini belum dapat dilakukan secara efektif. Hal ini diantaranya disebabkan oleh fokus peraturan yang hanya berdasar pada command and control, sementara insentif ekonomi yang dapat memotivasi pelaku kegiatan untuk mematuhi aturan tidak tersedia, serta kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah dan mekanisme penanganan pencemaran udara oleh kegiatan industri; o Pencemaran udara tidak akan dapat ditangani per daerah, mengingat sifatnya yang bergerak melampaui batasan wilayah;

3.3

Rekomendasi Sesuai dengan amanat PP41/1999 perlu disusun dokumen kebijakan teknis pengendalian pencemaran udara yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengarus-utamakan serta pengendalian pencemaran udara di perkotaan; Pemerintah harus segera melengkapi berbagai peraturan yang terkait dengan upaya pengendalian pencemaran udara. Dalam kesempatan yang sama pemerintah perlu menyesuaikan berbagai peraturan perundangan terkait dengan pengendalian pencemaran udara dengan UU32/2004 tentang otonomi daerah; Perlu ditinjau ulang untuk menempatkan KLH di bawah koordinasi Menko Perekonomian; Pemerintah perlu mengalokasikan dana yang memadai untuk pengendalian pencemaran udara di perkotaan, perlu dicari terobosan baru untuk pengadaan pendanaan tersebut, misalnya pengalokasian dari pajak bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, dan lain-lain

UAQ-i, Kebijakan

Page 19 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

Untuk penegakan hukum lingkungan perlu inisiatif dari pemerintah untuk menerapkan insentif ekonomi untuk memotivasi pelaku kegiatan menaati peraturan lingkungan Perlu dibentuk team yang bersifat regional untuk menangani pencemaran udara secara lintas batas

UAQ-i, Kebijakan

Page 20 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

4

Referensi Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 14 tentang Lalulintas dan angkutan Jalan Undang-undang Nomor 22 tentang Minyak dan Gas Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan di Jalan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaran dan Pengemudi Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-13/Menlh/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-49/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-50/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15/1996 tentang Program Langit Biru Keputusan Kepala Bapedal No. 107/Bapedal/XI/1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 95 Tahun 2000 tentang Pemeriksaan Emisi dan Perawatan Mobil Penumpang Pribadi di Propinsi DKI Jakarta

UAQ-i, Kebijakan

Page 21 of 22

UAQ-i, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (TA 4361-INO)

Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 670 Tahun 2000 tentang Penetapan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak di Propinsi DKI Jakarta Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1041 Tahun 2000 tentang Penetapan Baku Mutu Emisi Kendaraan Bermotor di Propinsi DKI Jakarta Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Propinsi DKI Jakarta Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 182 tahun 2003 tentang Program Langit Biru di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah Istimewa Yogyakarta Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 167 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Bergerak Kendaraan Bermotor di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 169 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Error! Not a valid link.No. 3586/2003 tanggal 24 Oktober 2003 tentang Pelimpahan Wewenang Pelayanan dan Pemberian Izin di Bidang Usaha Perindag di DKI Jakarta; Error! Not a valid link.Jakarta No. 2863 Tahun 2001 Tentang: Jenis Rencana Usaha/Kegiatan Yang Wajib AMDAL Error! Not a valid link.Jakarta No. 99 Tahun 2002 Tentang: Mekanisme Pelaksanaan AMDAL dan UKL-UPL dlm Perizinan Daerah; Error! Not a valid link.Jakarta No. 189 Tahun 2002 Tentang: Jenis Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan UKL-UPL; Error! Not a valid link.Jakarta No. 2333 Tahun 2002 Tentang: Jenis Usaha/Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan SPPL.

UAQ-i, Kebijakan

Page 22 of 22