dramatismr
TRANSCRIPT
Pentad Dramatism Analyzis Pada Konstruktor Politik
Pendahuluan
Belum genap 100 hari pemerintahan, Presiden SBY menghadapi berbagai persoalan
pelik, seperti masalah “kriminalisasi pimpinan KPK maupun “mega skandal Century. Seiring
dengan persoalan tersebut, Presiden kerap mengeluarkan berbagai pernyataan sebagai reaksi
dari tuntutan public untuk menuntaskan kasus tersebut. Dari pernyataan yang di lontarkan,
respon public juteru mengecam pernyatan Presiden, karena pernyataan di anggap sebagai
sesuatu yang out of context, bukan sebagai bagian dari problem of solving, melainkan di
gunakan sebagai problem deceiving. Bahkan lebih dari itu, justru digunakan sebagai smoke
screen, seperti kesatria Ninja dalam keadaan terdesak musuh, lantas menebarkan asap untuk
berlindung dan melarikan diri.
Misalnya, pernyataan SBY mengenai kewenangan KPK, “Saya wanti-wanti benar.
Power must not go uncheck. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa.
Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah. Hati-hati !1 Reaksi public berkait dengan
pernyataan tersebut, Presiden SBY terlalu ikut campur tangan. Begitu pula saat menaggapi
laporan Tim 8, di respon sebagai pernyataan yang tidak tegas dalam menyelesaikan masalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Presiden lamban dan tidak jelas. 2
Berkaitan dengan terbitnya buku “Membongkar Gurita Cikeas” karangan aktivis
George Junus Aditjondro, Presiden SBY kembali membuat pernyataaan yang di sampaikan
pada saat perayaan Natal. Salah satu bagian dari pernyataan itu , “ Fenomena sosial dan
politik akhir-akhir ini sudah tidak sehat, merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Berupa
tabiat-tabiat dan perilaku baru yang didasari pada fitnah, berita bohong, fiksi, delusiatif.
Perilaku kasar dan bernuansa kekerasan yang dilakukan sejumlah elemen masyarakat demi
1 Kompas, 24/6/092 Detik.Com, 24/11/09
mengekspresikan hak dan kebebasannya. Yang mana telah melewati batas kepatutan moral,
etika, dan budi pekerti”3.
Sudah jelas kemana arah pidato Presiden SBY, tidak lain sebagai tanggapan terhadap
isi terbitan buku tersebut, dan menunjuk pihak-pihak tertentu –sejumlah elemen masyarakat
yang sengaja menyebarkan perilaku yang destruktif. Dengan menunjuk pada “sejumlah
elemen masyarakat”, Presiden SBY, seperti yang dikatakan Kenneth Burke, hendak
melakukan mortification, tetapi dalam bentuk lain, yaitu teknik pengkambinghitaman
(scapegoating). Mortifikasi adalah salah satu metode untuk memurnikan diri dari rasa
bersalah, dengan menyalahkan diri kita sendiri4. Sedangkan teknik pengkambinghitaman
adalah kesalahan ditempatkan pada semacam perahu pengorbanan5.
Tahun 1998, para pemimpin Partai Republik mengatakan bahwa mereka akan merasa
lebih simpati mengenai skandal seks Presiden Bill Clinton, apabila ia mengakui bersalah dan
tidak berbohong setelah di sumpah. Pada kenyaatnnya, Bill Clinton memakai teknik lain,
yaitu pengkambinghitaman. Dengan mengorbankan si kambing hitam, Clinton akan dimurni
dari dosanya. Bill Clinton berusaha untuk menjadikan Partai Republik dan Kenneth Starr
seabgai penerima kesalahan sesungguhnya untuk masalah-masalah Negara setelah ia
mengakui hubungan yang tidak pantas dengan Monica Lewinsky. Ketika berita mengenai
skandal seks itu terbongkar pada tahun1998, sebelum Clinton mengakui hubungan dengan
Lewinsky, Hillary Clinton muncul di televisi dan mengatakan bahwa rumor mengenai
sumainya adalah sebagai akibat dari sebuah “konspirasi sayap kanan” yang kompleks yang
bermaksud untuk mecelakainya.
Bentuk mortifikasi yang baik, seperti di contohkan oleh Edward F. Kennedy, seorang
Senator dari Masschusetts. Pada tahun 1969 E. Kennedy terlibat kecelakaan mobel bersama
3 Kompas, 28/12/094 Kenneth Burke, dalam Richard West & Lynn Turner, Introducing Communication Theory:Analysis and Aplication, Mc Graw Hill, 2007, h.325 Ibid,
asistenya, Mary Jo Kopecne. Ketika ia mengemudikan mobilnya keluar dari jembatan dan
mausk ke sungai, Kennedy dapat menyelamatkan diri, tetapi Kopechne tenggelam. Setelah
seminggu kemudian, ia menerangkan kejadian sesungguhnya dan berusaha mengumpulkan
kembali dukungan. Ia menjelaskan kegagalanya unrtuk melaporkan kecelakaan tersebut
sebagai konsekuensi kebinguan dan cederanya. Pernyataan kennedy menyatakan bahwa ia
seolah-olah merupakan korban dari situasi tragis, lebih lanjut dikatakannya ia bersedia
mundur dari jabatanya apabila warga menginginkan hal tersebut. Reaksi yang timbul benar-
benar positif, dan Kennedy tetap bertahan dalam jabatanya.
Fenomena di atas hendak menggambarkan bagaimana ketidak selarasan antara SBY
dengan public karena perbedaan dalam melihat substansi masalah. Untuk itu bagi SBY,
dalam bahasanya Kenneth Burke perlu identifikasi6, yakni symbol menyatukan manusia ke
dalam pemahaman secara lazim (consubtantiality). Burke berpendapat bahwa, ketika terdapat
ketidak selarasan terhadap substansi, maka perlu adanya identifikasi. Semakin besar ketidak
selarasan yang terjadi, makin besar identifikasi yang terjadi. Kebalikannya, makin kecil
tingkat ketidak selarasan, makin besar pemisahaan Selanjutnya, Burke menjelaskan bahwa
rethorika sangat dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan7.
Melalui penjelasan teoritisnya, yang kemudian di kenal dengan teori dramtisme,
Burke menyatakan bahwa konsubstansialitas atau masalah mengenai identifikasi dan
subsatnsi berhubungan dengan siklus rasa bersalah /penebusan karena bersalah dapat
dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. Rasa bersalah adalah motif utama
semua aktivitas simbolik, dan, Burke mendefinisikan rasa bersalah secara luas untuk
mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, atau perasaan tidak
menyenangkan lainnya. Rasa bersalah adalah adalah sifat intrinsic yang ada dalam konsisi
manusia. Karena itu perlu pemurnian terhadap ketidak nyamanan rasa bersalah,
6 Ibid,7 Ibid,
Melalui tulisan ini akan di analisis pidato Presiden SBY pada peringatan Natal 25
Desember 2009, untuk mengetahui bagaimana transformasi identifikasi yang dilakukan SBY
terhadap public, dan strategi rhetorik seperti apa untuk mengidentifikasi dirinya dengan
public. Dengan metode pentad Kenneth Burke menjadi alat analisis terhadap aktivitas teks
simbolik pidato Presiden SBY.
Komunikator Politik Sebagai Konstruktor Realitas
Dalam interaksi simbolik, menempatkan aktor berperan aktif dalam mendefiniskan
berbagai fenomena ataupun realitas sosial. Manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas
sosialnya, bahwa tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasan
ataupun nilai-nilai tertentu yang tergambarkan dalam fakta sosial, dan menjadi cerminan
dalam kebudayaan sistem sosial itu.
Dengan demikian, manusia adalah mahkluk yang merdeka mengkreasi dan
menstruktur dunia sosial berdasarkan penafsiran subyektif terhadap realitas sosial. Max
Weber melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki subyektif, karena itu
perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukan
keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat8. Berbeda dengan teori
konfliknya Marx bahwa adanya dikotomi dalam realitas sosial antara kelas pemilik produksi
dengan kelas pekerja. Sebagai akibat dari ketidak adilan dalam sistem produksi ekonomi,
kelas pemilik produksi selalu melakukan penindasan ekonomi terhadap kelas pekerja. Untuk
itu perlu perjuangan dari kelas pekerja merebut sistem produksi dari tangan pemilik produksi.
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, menjelaskan bahwa dalam masyarakat
berlangsung dialektika, dan berlangsung dalam 3 (tiga) moment secara simultan. Pertama,
eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia.
Kedua, obyektivasi, yaitu interakasi sosial yang terjadi dalam dunia intersubyektif yang
dilembagakan atau mengalami proses institusionlisasi. Sedangkan ketiga, internalisasi, yaitu
8 Veeger, 1993:171).
proses dimana individu mengindentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau
organisasi sosial tempat individu menjadi angotanya.
Hal yang terpenting dalam proses obyektivasi adalah signifikasi9, yakni pembuatan
tanda-tanda oleh manusia. Selanjutnya, Berger dan Luchmann menyatakan, sebuah tanda
(sign) dapat dibedakan dari obyektivasi-obyektivasi lainnya, karena tujuannya yang eksplisit
untuk digunakan sebagai isyarat-isyarat atau indeks bagi makna-makna subyektif. Melalui
penandaan yang melahirkan makna maka dapat membedakan bentuk obyektivasi yang satu
terhadap yang lain.
Kemudian, tanda-tanda dikelompokan dalam sejumlah sistem, maka ada sistem tanda
dengan tangan, sistem gerak-gerik badan yang berpola, sistem berbagai perangkat artefak
material, dan sebagainya. Sistem tanda ini kemudain membenttuk bahasa. Dengan demikian
obyektivitas yang umum dari kehidupan sehari-hari pertama-tama dipertahankan adalah
signifikasi bahasa10.
Memahami “moment dialektika” Berger dan Luchmann, maka di tengah kondisi
sosiokultural masyarakat terjadi proses kreatif untuk melakukan terhadap dunia sosial melalui
bahasa. Sebab, dengan bahasa mampu menjadi tempat penyimpanan yang obyektif dari
akumulasi makna dan pengalaman yang besar sekali dan yang kemudian dapat
dilestarikannya dalam waktu dan diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya.
(Berger:42:1967).
Melalui bahasa digunakan untuk menciptakan representasi –representasi realitas yang
tidak pernah sekedar refleksi dari realitas yang ada sebelumnya, tetapi mampu memberikan
kontribusi pada pengkonstruksian realitas dalam bentuk yang terstruktur, yaitu wacana
(Jorgensen & Phlip:16:2007). Konsekuensi dari hal itu adalah adanya perjuangan wacana
yang terus menerus yang senantiasa mengalami tranformasi karena adanya interaksi dengan
9 Berger dan Luchmann (59:1967)10 (Berger dan Luchmann:51-53:1967).
wacana lain, sehingga mampu mencapai hegemoni, yakni menetapkan makna-makna bahasa
menurut caranya sendiri. Dengan demikian Laclau dan Mouffe (dalam Jorgensen &
Philip:12:2007) menyatakan hegemoni untuk sementara waktu bisa di pahami sebagai
dominasi satu perspektif khusus. Sedangkan Edmund Huserl menyebut realitas/dunia sosial
telah mencapai bentuk sebagai pengetahuan sejati.
Dalam konteks komunikasi politik, seorang konstruktor atau pemimpin politik adalah
komunikator politik. Menurut Dann Nimmo (73:1999):
Komunikator politik memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses pembentukan opini publik. Politisi atau politikus berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok dan pesan-pesan politikus itu adalah untuk mengajukan dan atau melindungi tujuan kepentingan politik. Artinya komunikator politik mewakili kepentingan kelompok, sehingga jika di rangkum maka politikus mencari pengaruh lewat komunikasi.
Dengan demikian komunikator politik juga merupakan pemimpin opini, seperti yang
dikemukakan oleh Rosenau (dalam Nimmo:47:1999), bahwa menduduki posisi yang
memungkinkan mereka, dengan keteraturan tertentu, menyampaikan opini tentang masalah
kebijakan …. kepada orang-orang yang tak dikenal. Roger dan Shoemaker (dalam
Nasution:98 ) menggambarkan para pemimpin opini sebagai “pribadi-pribadi tertentu yang
memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain dalam perilaku opini( opinion behavior)
melalui cara-cara atau jalan yang disukai oleh orang-orang yang dipengaruhi tersebut”.
Karena kemampuan mempengaruhi, seorang pemimpin opini harus mempunyai
kredibilitas, daya tarik, dan kekuasaan. Kredibilitas menurut Rakhmat (1985:264) adalah
seperangkat persepsi khalayak tentang sifat-sifat komunikator, sehingga sesunguhnya
krediblitas tidak melekat dalam diri komunikator. Hovland dan Wiss dalam Rahkmat
(1985:262) menjelaskan bahwa kredibilitas atau etos itu terdiri dari dua komponen, yaitu
keahlian (experties) dan dapat dipercaya (trust worthiness).
Untuk memainkan peran yang lebih besar di banding yang lain, komunikator politik
bekerja melalui opini. Karl Poper dalam Nimmo (29:1999) menegaskan bahwa para
pemimpin menciptakan opini publik karena mereka “berhasil membuat beberapa gagasan
mula-mula di tolak, kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima. Dengan kata lain,
menciptakan opini sama halnya juga dengan melakukan konstruksi terhadap realitas dalam
bentuk gagasan ataupun ide melalui lambang (simbol), sebab penggunanan lambang
signifikan memudahkan pembentukan opini publik. Dengan lambang yang berupa kata-kata,
gambar, ataupun tindakan yang sengaja di konstruksikan komunikator politik merupakan
petunjuk bagi sesama warga menanggapi lambang lambang itu dengan cara tertentu yang
sudah diperkirakan.
Proses pembentukan pendapat atau opini dalam pemahaman Berger dan Luchmann
(43-46:1967) sebagai sebagai konstruktor realitas adalah ketika seorang konstruktor
melakukan obyektivasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu
obyek. Selanjutnya, hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu di internalisasikan ke
dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap ini inilah dilakukan konseptualisasi terhadap
suatu obyek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil
dari proses permenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat membuat
pernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa. Dengan demikian
titik sentral dalam konstruksi adalah opini yang dimanifestasikan dalam bentuk wacana.
Dramatisme Kenneth Burke
Metode Burke yang paling sederhana dalam menganalisa berbagai peristiwa adalah dramatic
pentand. Pentad yang berarti kelompok yang terdiri dari lima unsure, merupakan suatu kerangka
analisis untuk memepelajari berbagai tindakan dengan cara yang paling efisien
Analisis Pidato SBY
Untuk melakukan analisis Dramatisme Pentad yang harus di lakukan adalah sebagai
berikut :
Pertama : Menentukan semua elemen pentad dan mengidentifikasi apa yang terjadi
dalam suatu tindakan tertentu
Kedua : Pemberian label pada poin-poin dari pentad dan menjelaskan semuanya
secara menyeluruh .
Ketiga : Mempelajari rasio dramatistik (dramatiistic ratio) atau proporsi dari satu
elemen disbanding dengan yang lainnya.
Burke menjelaskan, dengan memisahkan dua bagian mana saj dari pentad dan
memepelajari hubungan mereka satu sama lain dapat ditentukan suatu rasio. Dengan
analisa rasio dengan cara tersebut dapat ditemukan elemen yang dominan.11
Berikut petikan pidato Presiden SBY pada Perayaan Natal pada tanggal 27 Desember
2009 di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta.
11 Kenneth Burke, Op Cit, h. 34
Pidato SBY di perayaan Natal Nasional
Saat ini Indonesia tengah beranjak menuju sebuah tataran yang mengedepankan Good Socienty, Good Civilization dengan penuh etika dan kesantunan. Hal ini bisa dicapai dengan membangun karakter bangsa, nilai-nilai, perilaku-perilaku bangsa yang maju, unggul, dan mulia dan didasari toleransi, saling menghargai, saling menghormati.
Karakter-karakter bangsa yang maju, unggul, dan mulia terdiri dari jiwa yang terang, pikiran yang positif, sikap optimis, dan penuh kerja keras jauh dari rasa malas.
Fenomena sosial dan politik akhir-akhir ini sudah tidak sehat, merusak sendi-sendi kehidupan
Pidato SBY di perayaan Natal Nasional
Saat ini Indonesia tengah beranjak menuju sebuah tataran yang mengedepankan Good Socienty, Good Civilization dengan penuh etika dan kesantunan. Hal ini bisa dicapai dengan membangun karakter bangsa, nilai-nilai, perilaku-perilaku bangsa yang maju, unggul, dan mulia dan didasari toleransi, saling menghargai, saling menghormati.
Karakter-karakter bangsa yang maju, unggul, dan mulia terdiri dari jiwa yang terang, pikiran yang positif, sikap optimis, dan penuh kerja keras jauh dari rasa malas.
Fenomena sosial dan politik akhir-akhir ini sudah tidak sehat, merusak sendi-sendi kehidupan
Analisis Pentad
1. Tindakan : Menganggap tindakan (act) sebagai apa yang dilakukan oleh sesorang.
Dalam hal menanggapi terhadap isu-isu yang menyerang dirinya, Presiden
SBY ini Presiden SBY, melalui event keagamaan, yaitu perayaan Natal
menyatakan pidato, yang salah satu bagian isinya
2. Adegan : Adengan (Scene) memberikan konteks yang melingkupi tindakan. Scene
yang muncul di latar belakangi oleh berbagai isu-isu nasional yang
berkembang, yaitu masalah penuntasan mega skandal Century, dan
klimaksnya ketika aktivis George Junus Agus Tjondro merilis sebuah buku
yang berjudul “Membongkar Gurita Cikeas” . Buku tersebut membuat
kegaduhan luar biasa, di samping raib di berbagai toko buku juga
mengundang berbagai pernyataan. Bagi pendukung SBY, buku itu di
anggap sampah, seperti buku porno atau infoinment. Sedang yang kritis
terhadap SBY, buku itu memberi “jalan terang” terhadap kasus Skandal
Century.
3. Agen : Agen (agent) adalah seseorang atau orang-orang yang melakukan tindakan.
Dalam kasus ini yang menjadi agen atau actor adalah SBY.
4. Agensi : Agensi (agency) merujuk pada cara-cara yang digunakan oleh agen untuk
menyelesaikan tindakan. Bentuk-bentuk agensi yang mungkin mencakup
strategi, pesan, penceritaan kisah, permintaan maaf. Dalam kasus ini
Presiden SBY, menekankan pada pelaksanaan nilai-nilai agama dan
menyerukan pada para tokoh agama memberikan keteladanan. Statemen
lengkapnya sebagai berikut,
“Agar hal-hal ini dapat dicapai diperlukan peran serta dan dominasi para Tokoh-tokoh dan pemimpin agama. Karena di Indonesia ini menganut faham paternalistik, diperlukan peran konstruktif adri Tokoh-tokoh agama, pemimpin agama, alim ulama sehingga ajaran agama yang dianut dapat dipedomani dan dijalankan sebagaimana hakikat asalnya. Para pemimpin agama menjadi sosok yang diteladani agar mencerminkan keagungan ajaran agama tersebut baik dalam berpikir, bertutur maupun bertindak.
5. Tujuan : Tujuan (purpose) merujuk pada hasil akhir yang ada di dalam benak agen
untuk tindakan.- yaitu mengapa tindakan dilakukan. Dalam hal ini SBY
mengemukan cita-cita tentang Indonesia yang sedang menuju Good Society,
Good Civilazation. Untuk bias mencapai hal tersebut dengan membangun
karakter bangsa yang menekankan pada nilai-nilai, perilaku-perilaku bangsa
yang maju, unggul, dan mulia dan didasari toleransi, saling menghargai,
saling menghormati.
6. Sikap : Sikap (attitude) merujuk pada cara dimana seorng actor memosisikan dirinya
dibanding dengan orang lain. Penggunaan istilah “kita” dijelaskan bahwa
SBY menempatkan sebagai bagian dari rakyat Indonesia.