dr. masruddin, s.s., m....

160
i SOSIOLINGUISTIK Dr. Masruddin, S.S., M. Hum.

Upload: others

Post on 29-Dec-2019

73 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

  • i

    SOSIOLINGUISTIK Dr. Masruddin, S.S., M. Hum.

  • ii

    SOSIOLINGUISTIK Penulis

    Dr. Masruddin, S.S., M. Hum. Cetakan I, 2014 Cetakan II, 2015 Hak cipta dilindungi undang undang All rights reserved Desain Cover : Naston Editor : Madehang, S.Ag., M.Pd. Penerbit Read Institute Press Jl. Tokasirang Bumi Temmalebba Permai Blok F No. 5 Palopo Sulawesi Selatan Email: [email protected]

    Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT) Sosiolinguistik -Cet. 1 – Palopo: Read Institute Press, Februari 2015 v-152 hlm; 15 x 20 cm

    ISBN: 978-602-14732-5-2

    mailto:[email protected]

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, karena dengan taufiq dan hidayah-Nya sehingga buku ajar mata kuliah “SOSIOLINGUISTIK” dapat dilaksanakan dan diselesaikan dengan baik.

    Buku sosiolinguistik ini adalah buku yang ditulis untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan bidang ilmu kajian sosiolinguistik. Buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai kajian ini. Sosiolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang sangat penting dimengerti oleh pembelajar bahasa.

    Selaku penulis, kami tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesain buku ini. Semoga Allah Swt., memberikan rahmat, atas segala keikhlasan dan hasil kerja kita semua. Amin. Wassalam Wr. Wb.

    Palopo, 20 November 2013 Penulis,

    Dr. Masruddin., S.S., M.Hum. NIP 198006132005011005

  • iv

  • v

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR - iii

    DAFTAR ISI - v

    BAB I Pendahuluan -1

    BAB II Bahasa dan variasi bahasa -21

    BAB III Fungsi-fungsi bahasa - 36

    BAB IV Kedwibahasaan - 45

    BAB V Bahasa dan kelas sosial - 56

    BAB VI Bahasa dan kebudayaan - 65

    BAB VII Bahasa dan usia - 75

    BAB VIII Pilihan bahasa - 83

    BAB IX Pergeseran bahasa dan faktor penyebabnya - 101

    BAB X Pidgin dan creole - 118

    BAB XI Perencanaan bahasa - 128

    BAB XII Pendidikan dan pengajaran bahasa - 136

    REFERENSI - 145

  • vi

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Bahasa adalah salah satu ciri yang paling khas manusiawi

    yang membedakannya dari makhluk-mahkluk yang lain. Ilmu yang

    mempelajari hakikat dan ciri-ciri bahasa ini disebut ilmu linguistik.

    Linguistiklah yang mengkaji unsur-unsur bahasa serta hubungan-

    hubungan unsur itu dalam fungsinya sebagai alat perhubungan antar

    manusia.

    Bahasa dapat dikaji dari berbagai sudut dan memberikan

    perhatian khusus pada unsur-unsur bahasa yang berbeda–beda dan

    pada hubungan-hubungan (atau struktur) yang berbeda-beda pula.

    Dengan begitulah lahir beberapa cabang ilmu linguistic, antara lain :

    fonologi yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa ; morfologi yang

    mempelajari bentuk-bentuk kata ; sintaksis yang mengkaji

    penggabungan kata-kata menjadi kalimat-kalimat yang berbeda-beda

    ; tipologi bahasa persamaan dan perbedaan antara bahasa ; linguistic

    historis yang mengkaji perubahan-perubahan yang terdapat dalam

    bahasa dalam perjalanan waktu ; dialektologi yang mengkaji

    persamaan dan perbedaan ragam-ragam suatu bahasa dalam hubungan

    daerah pemakaian bahasa itu ; dan seterusnya.

  • 2 | S o s i o l i n g u i s t i k

    Dari dulu sudah disadari bahwa bahasa adalah suatu lembaga

    kemasyarakatan ( de Saussure,1961 ) sebagaimana juga perkawinan,

    perwarisan harta, dan sebagainya. Akan tetapi, baru dalam dua dasa

    warsa belakangan ini semakin disadari ahli-ahli bahasa bahwa perlu

    diberikan lebih banyak perhatian kepada dimensi kemasyarakatan

    dalam bahasa. Adalah dimensi kemasyarakatan ini yang memberikan

    makna kepada bahasa, dan sekarang ini semakin disadari oleh ahli-ahli

    bahasa bahwa dimensi kemasyarakatan ini menimbulkan ragam-ragam

    bahasa yang bukan hanya berfungsi sebagai petunjuk perbedaan

    golongan kemasyarakatan penuturnya, tetapi juga sebagai indikasi

    situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, aturan-aturan, dan

    modus penggunaan bahasa. Pengkajian bahasa dengan dimensi

    kemasyarakatan seperti disebut diatas ini di sebut sosiolinguistik.

    Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur; sosio- dan

    linguistic. Kita mengetahui arti linguistic, yaitu ilmu yang

    mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur

    (fonem, morfem, kata, kalimat ) dan hubungan antara unsur-unsur itu

    (struktur), termasuk hakekat dan pembentukan unsur-unsur itu. Unsur

    sosio- adalah seakar dengan social, yaitu yang berhubungan dengan

    masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-fungsi

    kemasyarakatan. Jadi sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan

    dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota

    masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari

    dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya

    perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan

    dengan faktor-faktor kemasyarakatan (social).

    Dalam buku Signs, Language and Behavior (1946), Charles

    Morris membedakan tiga macam studi bahasa yang dianggapnya

    sebagai suatu system semiotic (perisyaratan), tergantung dari apa yang

    menjadi pusat perhatian. Jika yang diperhatikan ialah hubungan antara

    isyarat-isyarat (unsur-unsur bahasa) dengan maknanya, itu disebut

    semantic. Jika perhatian ditumpukan pada hubungan isyarat dengan

    isyarat, itu disebut sintaktik ; ahli-ahli bahasa memakai istilah

    linguistic untuk ini. Jika pusat perhatian adalah hubungan antara

    isyarat dengan pemakainya (penutur bahasa), itu disebut pragmatic.

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 3

    Yang belakangan inilah yang sekarang kita sebut sosiolinguistik,

    khususnya yang mempelajari aspek-aspek sosial dari pemakainya dan

    aturan pemakaiannya.

    Ada dua aspek yang mendasar dalam pengertian masyarakat.

    Yang pertama ialah bahwa anggota-anggota suatu masyarakat hidup

    dan berusaha bersama secara berkelompok-kelompok. Aspek yang

    kedua ialah bahwa anggota-anggota dan kelompok-kelompok

    masyarakat ini dapat hidup secara bersama karena ada suatu perangkat

    hukum dan adat kebiasaan yang mengatur kegiatan dan tindak laku

    mereka, termasuk tindak laku berbahasa. Dalam sosiolinguistik, kedua

    aspek ini dibicarakan, tetapi umumnya lebih banyak tekanan diberikan

    pada aspek kehormatan itu. Studi yang lebih menekankan aspek adat

    kebiasaan dan aturan-aturan berbahasa itu disebut juga etnolinguistik

    atau linguistic antropologi.

    Untuk membicarakan dengan baik aspek-aspek

    kemasyarakatan berbahasa itu, kita memerlukan pokok-pokok pikiran

    dan hasil-hasil studi sosiologi dan lingistik. Jadi, kita juga dapat

    menganggap sosiolinguistik itu sebagai suatu studi antardisiplin,

    sebagaimana yang digambarkan oleh unsur-unsur istilah sosio dan

    linguistic. Ada juga orang yang memasuki lapangan sosiolinguistik

    dari lapangan sosiologi, menyebut studi itu sosiologi bahasa (

    umpamanya J.A. Fishman yang mula-mula memakai judul bukunya

    sosiolinguistics, 1970, dan kemudian beralih kepada Sosiology of

    Language, 1972.)

    1.1. Masalah-Masalah Sosiolinguistik Nababan (1993) menyatakan bahwa masalah utama

    yang dibahas oleh atau dikaji dalam sosiolinguistik adalah:

    1. Mengkaji bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan 2. Menghubungkan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri dan

    ragam bahasa dengan situasi serta factor-faktor social dan

    budaya

    3. Mengkaji fungsi-fungsi social dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.

  • 4 | S o s i o l i n g u i s t i k

    Nababan (1993) juga menyatakan bahwa topik-topik

    umum dalam pembahasan sosiolinguistik adalah:

    1. Bahasa, dialek, idiolek, dan ragam bahasa 2. Repertoar bahasa 3. Kedwibahasaan dan kegandabahasaan 4. Fungsi kemasyarakatan bahasa dan profil sosiolinguistik 5. Penggunaan bahasa (etnografi berbahasa) 6. Sikap bahasa 7. Perencanaan bahasa 8. Interaksi sosiolinguistik 9. Bahasa dan kebudayaan

    Kemudian, Mahsun (2006) menulis bahwa dengan bertitik

    tolak pada pengertian pemakaian bahasa dalam arti luas, maka bidang

    kajian sosiolinguistik (pemakaian bahasa) dapat dibagi menurut

    fokusnya antara lain penitikberatan pada topic-topik berikut ini.

    1. Bahasa dan gelar 2. Bahasa dan umur 3. Bahasa dan etnisitas (yang dapat dikaji; penggunaan bahasa

    sebagai ungkapan purbasangka; sikap golongan mayoritas terhadap

    bahasa kelompok etnisitas yang minoritas; pelabelan negatif;

    kajian etnografi komunikasi yang meneliti bagaimana masyarakat

    etnis yang di teliti menggunakan bahasa tidak hanya sebagai alat

    komunikasi, tetapi sebagai lambang jati dirinya; ketidakstabilan

    bilingualisme bahasa daerah-bahasa dominan dikalangan kelompok

    etnis tertentu)

    4. Bahasa dan kelas sosial 5. Penggunaan bahasa dan profesi (politisi, guru, akademis, ulama,

    wartawan, dan lainnya)

    6. Penggunaan bahasa dalam media massa (cetak, tulis, dan elektronik)

    7. Penggunaan bahasa dalam dunia pendidikan 8. Penggunaan bahasa oleh penutur daerah tertentu 9. Penggunaan bahasa dalam debat DPR(D) 10. Penggunaan bahasa oleh pejabat 11. Penggunaan bahasa dalam wawancara televisi (dialog interactif)

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 5

    12. Penggunaan bahasa di sidang pengadilan 13. Penggunaan bahasa di dalam interogasi polisi 14. Penggunaan bahasa di antara dokter dan pasien 15. Penggunaan bahasa oleh guru atau murid di kelas 16. Penggunaan bahasa di kalangan anak balita kelas sosial bawah dan

    kelas sosial menengah

    17. Bahasa dan ketidaksamaan berbahasa di kalangan mahasiswa, murid, guru, dan lainnya

    18. Penggunaan bahasa di dalam surat-surat resmi (kontrak, perjanjian, maklumat pemerintah, notariat dan lainnya

    19. Penggunaan bahasa di dalam bidang-bidang tertentu (hokum agama, jual beli dan lainnya)

    20. Bahasa dan strategi berbahasa 21. Penggunaan bahasa dan prinsip kerja sama 22. Kesantunan berbahasa 23. Kesepadanan adaptasi linguistik dengan daptasi sosial di antara

    masyarakat tutur bahasa yang brerbeda dan lainnya (bandingkan

    dengan Gunarwan, 2002).

    Topik bahasa, dialek dan idiolek akan menerangkan

    perbedaan dan persamaan antara istilah-istilah itu. Ketiga-tiganya

    adalah bahasa. Jika yang dibicarakan adalah bahasa seseorang maka

    itu disebut idiolek. Dengan istilah ini ingin di tonjolkan bahwa system

    bahasa (idiolek) tiap-tiap orang menunjukan perbedaan-perbedaan

    besar kecil dari idiolek orang lain, walaupun idiolek-idiolek itu dapat

    digolongkan satu bahasa.

    Idiolek-idiolek yang menunjukkan lebih banyak persamaan

    dengan idiolek-idiolek lain dapat digolongkan dalam satu kumpulan

    kategori yang disebut dialek. Besarnya persamaan ini disebabkan oleh

    letak geografi yang berdekatan, yang memungkinkan antarkomunikasi

    yang sering antara penutur-penutur idiolek itu. Jika keseringan

    antarkomunikasi disebkan oleh kedekatan social, yaitu penutur-

    penutur idiolek itu termasuk dalam satu golongan masyarakat yang

    sama, maka kategori bahasa mereka itu disebut sosiolek.

  • 6 | S o s i o l i n g u i s t i k

    Istilah bahasa dalam kerangka ini termasuk dalam kategori

    kebahasaan yang terdiri dari dialek-dialek yang masing-masing

    penuturnya saling mengerti (mutual intelligibility) dan dianggap

    penutur-penuturnya sebagai suatu kelompok kebahasaan yang sama.

    Dalam praktek, kriteria kedualah (= anggapan penuturnya) yang lebih

    penting. Jika bahasa ini sudah pesat perkembangannya, maka biasanya

    ada sesuatu dialek dari bahasa itu yang diterima oleh semua penutur

    bahasa itu sebagai dialek baku (standar) dan itulah yang dimaksud

    dengan bahasa. Itulah bahasa (sebenarnya dialek) yang dipergunakan

    dalam keadaan dan komunikasi resmi.

    Sehubungan dengan makna tambahan yaitu penilaian yang

    terkandung dalam kata-kata bahasa ( baku,baik dan umum) dan dialek

    ( sering dipakai dalam konotasi tidak baku lebih rendah dan lebih

    terbatas), maka dalam sosiolinguistik dipakai istilah ragam (variety)

    yang dapat dipakai untuk dialek atau sosiolek, yang baku atau umum

    dan yang tidak baku atau terbatas. Istilah ragam juga mencakup

    bahasa yang sistemnya tergantung pada situasi dan keadaan berbahasa

    yaitu peristiwa berbicara, penutur-penutur bahasa, tempat berbicara,

    masalah yang dibicarakan, tujuan berbicara, media berbahasa (tulisan

    atau lisan), dan sebagainya. Istilah ragam bahasa ini ialah fungsiolek

    (analog dengan sosiolek) karena yang menentukan raga mini ialah

    fungsi berbahasa itu. Ragam-ragam ini dan ragam yang berkaitan

    dengan waktu (= kronolek).

    Istilah repertoar (repertoire) bahasa dipakai untuk semua bahasa

    dan ragam bahasa yang diketahui dan dipakai seseorang dalam

    pergaulan, pekerjaan, dan urusan-urusannya. Ternyata bahwa setiap

    orang menguasai dan mempergunakan banyak ragam bahasa ibu atau

    bahasa pertamanya. Begitu juga beberapa ragam dari bahasa

    keduanya, yaitu bahasa yang bukan bahasa pertamanya tetapi

    dipergunakan secara meluas oleh masyarakat tempat orang itu hidup

    dan bekerja. Sering juga ia menguasai satu ragam (kadang-kadang dua

    ragam) bahasa asing atau bahasa lain yang diketahuinya.

    Dalam sosiolinguistik dikaji juga arti yang lebih memuaskan dari

    istilah masyarakat bahasa. Bloomfield (1933:29) membatasinya

    dengan ―sekumpulan manusia yang menggunakan sistem isyarat

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 7

    bahasa yang sama‖. Ini di anggap terlalu sempit cakupannya oleh ahli-

    ahli sosiolinguistik, sebab setiap orang menguasai menggunakan lebih

    dari satu ragam bahasa, dan dewasa ini dalam kebanyakan masyarakat

    (terkecuali desa-desa yang terpencil) terdapat lebih dari satu bahasa.

    Labov (1972:158) memberikan pembatasan: A group who shares the

    same norms in regard to language ( suatu kelompok yang mempunyai

    norma-norma yang sama mengenai bahasa).

    Istilah kedwibahasaan (bilingualism) biasanya dipergunakan

    untuk kemampuan dan kebiasaan mempergunakan dua bahasa; istilah

    kedwibahasaan itu sering juga disebut kegandabahasaan

    (multilingualism). Sebenarnya istilah kedwibahasaan itu dipakai untuk

    dua konsepsi yang berkaitan tetapi berbeda, yakni kemampuan

    mempergunakan dua bahasa dan kebiasaan memakai dua bahasa

    dalam pergaulan hidup. Untuk yang pertama kita akan gunakan istilah

    bilingualitas dan untuk yang kedua istilah bilingualisme. Yang perlu

    dibahas dalam bilingualism ialah :

    (a) Pola-pola penggunaan kedua bahasa yang bersangkutan,

    (b) seringnya dipergunakan setiap bahasa itu, dan (c) dalam

    lingkungan (domain) bahasa yang bagaimana bahasa-bahasa

    itu dipakai. Yang perlu dikaji dlam bilingualitas ialah tingkat

    penguasaan setiap bahasa, dan jenius keterampilan yang di

    kuasai seperti berbicara, menyimak, menulis, atau membaca.

    Jika kita gambarkan tingkat penguasaan dalam keempat

    keterampilan ini maka akan diperoleh profil penguasaan (

    proficiency profile) yang umumnya berbeda bagi kedua

    bahasa yang dikuasai seseorang yang berdwibahasa.

    Dalam topic kedwibahasaan, kita bicarakan juga alih

    kode (code-switching) dan campur kode (code-mixing). Yang

    pertama terjadi kalau keadaan berbahasa itu menuntut penutur

    mengganti bahasa atau ragam bahasa yang sedang dipakai;

    yang kedua terdapat jika seseoramg mencampur dua bahasa

    atau ragam bahasa hanya oleh karena mudahnya dan bukan

    karena dituntut keadaan berbahasa itu.

    Fungsi kemasyarakatan dan kedudukan kemasyarakatan

    bahasa-bahasa adalah suatu topik yang pokok dalam pembahasan

  • 8 | S o s i o l i n g u i s t i k

    sosiolinguistik. Suatu bahasa dapat menjadi bahasa nasional, bahasa

    negara atau bahasa resmi ( yaitu bahasa yang digunakan dalam

    urusan-urusan resmi dalam negara), bahasa pendidikan, bahasa

    keagamaan, bahasa kelompok ( yang dipergunakan dalam pergaulan

    sesama anggota sesuatu kelompok atau suku bangsa), dan lain-lain.

    Itulah fungsi-fungsi bahasa yang paling penting dan yang lebih sering

    disebut dalam study sosiolinguistik. Jika kita menggambarkan fungsi-

    fungsi bahasa-bahasa yang terdapat dalam suatu rumus, maka

    gambaran (rumus) itu di sebut profil sosiolinguistik dari negara itu.

    Umpamanya, jika dalam suatu negara ada 6 bahasa, satu diantaranya

    diberi kedudukan sebagai bahasa nasional (n), 2 (termasuk (n)) dari

    yang 6 itu diakui sebagai bahasa resmi (r), 4 diantaranya (termasuk (n)

    dan (r)) adalah bahasa kelompok (k), 3 diantaranya (termasuk (n) dan

    (r)) dipakai bahasa pengantar pendidikan (d), dan satu di keagaamaan

    (a), maka rumus yang menggambarkan profil sosiolinguistik negara

    itu ialah:

    6 B = 1(n.r.d.k) + 1(r,d,k) + 1(d.k) + 2(k) + 1(a).

    Jika kita masukkan fungsi-fungsi kemasyarakatan lain, maka rumus

    ini akan berubah.

    Pengkajian penggunaan bahasa dan laku bahasa disebut

    etnografi berbahasa. Yang dikaji dan diperkirakan khususnya ialah

    unsur-unsur yang terdapat dalam tindak berbahasa dan kaitannya

    dengan, atau pengaruhnya terhadap, bentuk dan pemilihann ragam

    bahasa. Unsur-unsur itu ialah antara lain, siapa berbicara dengan

    siapa, tentang apa (topik), dalam situasi (setting) yang bagaimana,

    dengan tujuan apa, dengan jalur apa (tulisan, lisan,, telegram, dan

    sebagainya), dan ragam bahasa yang mana. Dell hymes (1972)

    menggambarkan kelima belas unsur berbahasa (components of

    speech), yang dihasilkan analisisnya dalam suatu akronim bahasa

    inggris yang tergolong dlam delapan unsur, sehingga menghasilkan

    speaking dengan huruf pertamanya:

    S(etting and Scane)

    P(articipant)

    E(nds) (purpose and goal)

    A(ct sequences)

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 9

    K(ey) (tone or spirit of act)

    I(nstrumentalities) (jalur)

    N(orms) (of interaction and interpretation)

    G(enres) (bentuk dan ragam bahasa)

    Topik sikap bahasa dibahas dalam kaitannya dengan motivasi

    belajar suatu bahasa, terlebih dalam belajar suatu bahasa, terlebih

    dalam belajar bahasa kedua, yaitu yang dipergunakan secara umum

    dalam masyarakat, dan belajar bahasa asing. Sikap bahasa juga

    berperan kuat dalam peralihan bahasa (language shift) dan usaha

    ,mempertahankan serta membina sesuatu bahasa oleh penutur-

    penuturnya,khususnya dalam perpindahan tempat (emigrasi atau

    transmigrasi).

    Dalam perencanaan bahasa dikaji dengan hal-hal yang

    berkaitan dengan politik bahasa serta pembinaan dan pengembangan

    bahasa, khususnya pembakuan bahasa (dalam ejaan, istilah, dan tata

    struktur), pembaharuan, dan perluasan subsistem-subsistem bahasa

    (khususnya ejaan dan peristilahan). Peralatan dan jalur-jalur dalam

    penyebaran hasil-hasil pengembangan dan pembakuan antara lain

    ialah : pendidikan, buku-buku (termasuk kamus), media massa, dan

    badan-badan pemerintahan.

    Dalam subtopik interaksi sosiolinguistik dibicarakan perlunya

    kemampuan berbahasa di luar kemampuan linguistik (tata bahasa dan

    kosa kata), yaitu kemampuan komunikatif yang berarti tahu

    mempergunakan unsur kebahasaan sesuai dengan norma-norma

    berbicara, dalam keadaan yang bagaimana mengatakan sesuatu dan

    tidak mengatakan sesuatu (linguistic etiquette), dan aturan giliran

    berbicara yang berbeda-beda antara kelompok-kelompok

    sosiolinguistik (budaya) yang berlainan.

    Dalam topik ini dibicarakan juga makna yang sebenarnya dari

    unsur-unsur kebahasaan, sebab satu bentuk bahasa (kalimat) tidak

    selalu sama artinya, tetapi tergantung juga pada konteks

    pemakaiaannya. Suatu contoh dari perbedaan makna yang sebenarnya

    ialah sebagai berikut: kalau seoramg bapak mengatakan kepada

    anaknya sewaktu makan di rumah mereka, ―saya perlu air‖, maka

    anak itu akan terus berusaha mengambil air untuk bapaknya

  • 10 | S o s i o l i n g u i s t i k

    (walaupun kalimat yang diucapkan bapaknya itu adalah hanya satu

    kalimat pernyataan). Begitu juga, bila kita mengatakan kepada teman

    sewaktu baru bertemu, ―apa kabar‖, kita bukanlah meminta laporan

    kabar mengenai sesuatu, tetapi ungkapan pertanyaan itu adalah

    sekedar ucapan salam.

    Dalam subtopik bahasa dan budaya dikaji hubungan antara

    bahasa sebagai unsur budaya dan kebudayaan umumnya. Khususnya

    dibahas apa yang disebut relativitas kebahasaan (hipotesis sapir-

    Whorf) yang mengatakan bahwa tanggapan atau pikiran dan tindakan

    seseorang banyak tergantung pada struktur dan kosa kata bahasanya,

    yaitu alat-alat yang dipakainya untuk berpikir dan menanggapi

    sesuatu, dan oleh karena itu akan mempengaruhi tindak lakunya.

    Biasanya hipotesis Sapir-Whorf ini dikaitkan dan dibandingkan

    dengan yang disebut ―relativitas kebudayaan‖ yang mengatakan

    bahwa penilaian atas sesuatu hal dan tindak laku kita tergantung pada

    sistem nilai dalam kebudayaan kita. Kebudayaan disini di artikan

    secara luas yaitu sistem keseluruhan dari kebiasaa-kebiasaan dan cara-

    cara hidup kita, bergaul, dan bekerja dalam suatu kelompok.

    Kiranya yang disebut di atas itu sudah dapat memberikan

    gambaran selayang pandang tentang masalah-masalah yang mendapat

    perhatian dari sosiolinguistik. Setiap topik yang disebut itu

    mempunyai unsur-unsur yang dapat dikaji dari berbagai aspek: juga

    telah terkumpul cukup banyak hasilpenelitian yang memperkaya

    perbendaharaan studi sosiolinguistik. Dalam buku pengantar ini, akan

    kita uraikan lebih lanjut topik-topik yang paling relevan dengan

    pengajaran bahasa.

    1.2. Manfaat Sosiolinguistik Sosiolinguistik timbul dalam tahun 1960-an setelah semakin

    terasa bahwa pandangan linguistik mengenai bahasa, walaupun

    esensial sebagai dasr pembicaraan atau pengkajian bahasa, adalah

    terlalu sempit untuk menerangkan tindak laki berbahasa manusia,

    sejak dulu disadari huungan yang mendasar antara bahasa dan

    masyarakat (seperti terbaca umpamanya dalam tulisan-tulisan de

    Saussure, Sapir, Firth, Pike), akan tetapi baru pada permulaan 1960-an

    ahli-ahli bahasa mencari makna yang lebih luas (arti dan fungsi) dari

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 11

    bahasa dan berbahasa dalam konteks dan tindak laku pemakaiannya.

    Semakin diterima bahwa penyimpangan dari suatu bentuk, yang

    dianggap baku menurut sesuatu kamus atau tata bahasa, belum tentu

    suatu kesalahan (lihat umpamanya, Joos, 1964; Labov, 1968; dan

    Halliday dkk., 1964), sebab bentuk-bentuk bahasa seperti itu mungkin

    adalah tanda atau isyarat dari hubungan penutur dan pendengar atau

    sesuatu yang dituntut oleh keadaan berbahasa itu.

    Hasil-hasil pengkajian masalah-masalah sosiolinguistik telah

    membuat guru-guru bahasa lebih hati-hati dalam mencap salah satu

    bentuk bahasa sebagai kesalahan, karena perlu disadari bahwa bahasa

    bukanlah mempunyai hanya satu bentuk saja (monolitik) dan bahwa,

    dalam berbahasa, sesuatu masyarakat bahasa (language community)

    bukan homogen, sebab akan selalu terdapat variasi-variasi

    berdasarkan daerah, tingkat sosial, pekerjaan penutur, dan sebagainya.

    Begitu juga, hasil-hasil penelitian sosiolinguistik mengungkapkan hal-

    hal yang berhubungan dengan sikap orang terhadap sesuatu bahasa

    serta hubungannya yang erat dengan motivasi belajar bahasa itu.

    Hasil-hasil pengkajian sosiolinguistik membuat kita semakin mengerti

    hubungan antara perencanaan bahasa sebagai sesuatu kegiatan

    sosiolinguistik dengan pengajaran bahasa khususnya dan pendidikan

    umumnya. Pengajaran bahasa dapat kita pandang sebagai

    implementasi perencanaan bahasa dan sekaligus sebagai sumber data

    dan motivasi pengkajian dan kegiatan perencanaan bahasa.

    Sosiolinguistik terapan mencakup pembaharuan ejaan dan

    pembentukan/pengembangan istilah (sebagai bagian dari perencanaan

    bahasa), dan analisis keadaan (situational analysis) serta variasi

    fungsional bahasa ternyata berguna dalam penerjemahan.

    Mungkin, hasil pengkajian sosiolinguistik yang akan lebih

    penting dan relevan untuk pengajaran bahasa ialah pembedaan antara

    kemampuan tata bahasa (grammatical competence) dan kemampuan

    komunikatif (communicative competence) sebab ini dapat

    menghasilkan perubahan silabus dan metode penyajian. Yang

    dimaksud dengan kemampuan tata bahasa ialah kemampuan untuk

    membentuk satuan-satuan bahasa (kata, frasa, dan kalimat) sesuai

    dengan aturan-aturan tata bahasa (grammatical rules). Kemampuan

  • 12 | S o s i o l i n g u i s t i k

    komunikatif ialah kemampuan untuk memilih dan menggunakan

    satuan-satuan bahasa itu sesuai dengan aturan-aturan penggunaan

    bahasa dengan keadaan sosiolinguistik (sebagaimana kita utarakan di

    bagian 1).

    Dalam pengajaran bahasa asing, kemampuan komunikatif ini

    mungkin tidak termasuk dalam tujuan pengajaran, jika tingkat

    keterampilan bahasa yang diingini tidak cukup tinggi. Akan tetapi

    dalam pengajaran bahasa pertama dan bahasa kedua (seperti bahasa

    Indonesia bagi kebanyakan orang Indonesia), kemampuan

    komunikatif inilah yang menjadi tujuan akhir. Jadi, ia perlu mendapat

    perhatian yang cukup banyak dalam pengajaran bahasa itu sejak awal.

    Kita ketahui bahwa ada pelajaran di beberapa perguruan tinggi dan

    sekolah menengah yang mirip dengan pelajaran kemampuan

    komunikatif ini, yang disebut ―statistika‖, ―retorika‖ atau gaya bahasa.

    Akan tetapi dapat kita perkirakan bahwa pelajaran demikian dapat

    dipertajam dan dipertinggi afektivitasnya dengan orientasi

    sosiolinguistik dan pengkajian hasil-hasil studi sosiolinguistik.

    Sosiolinguistik mempunyai relevansi pada pengajaran bahasa

    oleh karena: (a) bahasa memang dipakai dalam masyarakat, (b) bahasa

    seharusnya diajarkan dalam konteks atau latar belakang

    kemasyarakatan; dan (c) tujuan pengajaran bahasa bersumber pada

    keperluan masyarakat dan penggunaan bahasa di masyarakat.

    Khususnya, pendekatan pengajaran yang mutakhir yang

    disebut ―pendekatan komunikatif‖ dilahirkan oleh pengkajian dan

    pemikiran sosiolinguistik. Yang paling menonjol dalam pendekatan

    komunikatif ini ialah kebermaknaan bahasa dan bahwa makna bahasa

    itu bersumber pada situasi berbahasa.

    Dengan begitu, sumbangan utama sosiolinguistik kepada

    pengajaran bahasa ialah: (a) penekanan kebermaknaan bahasa dalam

    pengajaran bahasa; (b) pengertian yang lebih mendalam tentang ragam

    bahasa; (c) tujuan pengajaran bahasa yang bersumber pada

    penggunaan bahasa dalam masyarakat; dan (d) bentuk-bentuk bahasa

    yang di ajarkan disesuaikan dengan bentuk-bentuk bahasa yang

    terdapat (= yang berfungsi) dalam masyarakat.

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 13

    Selain dari keguanaannya untuk pendidikan dan pengajaran

    bahasa, sosiolinguistik juga dapat memberikan sumbangan kepada

    ilmu jiwa, sosiologi, antropologi, linguistik umum, dan bidang-nidang

    lainnya. Perlu kita ingat bahwa bahasalah alat utama kegiatan manusia

    dalam bidang-bidang kehidupan yang dikaji ilmu-ilmu itu, dan bahwa

    pengkajian tindak laku bahasa dalam bidang-bidang itu akan banyak

    membantu pengertian kita tentang ilmu-ilmu itu.

    1.3. Potensi Sosiolinguistik di Indonesia Potensi sosiolinguistik Indonesia cukup kompleks.

    Bagaimanapun kita berikan batasan kepada bahasa dan dialek, adalah

    jelas bahwa terdapat sejumlah besarbahasa di negara kita. Menurut

    peta bahasa yang diterbitkan Lembaga Bahasa Nasional (1972) ada

    sekitar 418 bahasa Indonesia, dengan jumlah penutur setiap bahasa

    berkisar antara 100 orang (di Irian Jaya) sampai dengan kira-kira 50

    juta orang (bahasa Jawa).

    Di antara bahasa-bahasa itu, bahasa indonesia mempunyai

    kedudukan istimewa sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa

    negara (lihat: Halim, 1976: 20-22). Penentuan bahasa Indonesia

    sebagai bahasa negara termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945,

    Bab XV, pasal 36, yang berbunyi, ―Bahasa negara ialah bahasa

    Indonesia‖

    Bahasa-bahasa yang lain itu adalah bahasa daerah. Bahasa-

    bahasa daerah itu ditentukan kedudukan hukumnya berdasarkan

    penjelasan Pasal 36, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Bab

    XV, yang berbunyi sebagai berikut:

    ―di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara

    rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura,

    dan sebaginya) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga

    oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan bagian dari kebudayaan

    Indnesia yang hidup‖

    Kebanyakan orang Indonesia belajar suatu bahasa daerah,

    yakni bahasa sukunya, sebagai bahasa pertama. Mereka ini belajar

    bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di sekolah atau secara

    informal dalam masyarakat. Orang yang demikian bedwibahasa

  • 14 | S o s i o l i n g u i s t i k

    dengan bahasa daerah sebagai bahasa yang pertama dan bahasa

    Indonesia sebagai bahasa yang lain atau yang kedua.

    Sering juga orang Indonesia mengetahui satu atau dua bahasa

    daerah yang bukan bahasa pertamanya, yang dipelajarinya secara

    informal dalam pergaulan dengan penutur-penutur bahasa daerah yang

    bersangkutan. Dengan begitu, dapat dimengerti bahwa adalah hal yang

    biasa bagi orang Indonesia berdwibahasa, malah bermultibahasa.

    Suatu pembicaraan pendek mengenai keadaan sosiolinguistik

    di Indonesia dapat dibaca dalam karangan penulis dalam buku

    Teodoro A.Liamzon (ed.) 1979, Papers on Southeast Asian

    Languange, halaman 259-290, khususnya dalam halaman 275-290.

    1.4. Perihal Penelitian Sosiolinguistik (Pemakaian Bahasa) Sosiolinguistik adalah suatu studi antardisiplin. Jadi tidak

    mengherankan bahwa metode-metode yang dipergunakan dalam

    mempelajari masalah-masalahnya diambil dari kedua disiplin yang

    bersangkutan, yaitu sosiologi dan linguistik. Metode-metode linguistik

    dipergunakan untuk memerikan (deskripsi) bentuk-bentuk bahasa serta

    unsur-unsurnya yang ditemukan atau diperoleh. Jadi, bentuk-bentuk

    bahasa serta variasi-variasinya diberikan dengan metode analisis

    linguistik dan digambarkan dengan notasi/tanda-tanda

    fonetik/fonemik.

    Cara-cara mengumpulkan data dari lapangan (masyarakat)

    kebanyakan diambil dari ilmu sosiologi, khususnya yang berhubungan

    dengan pengamatan (observasi) dan pengumpulan data dengan

    kuesioner dan wawancara (lihat, umpamanya Shuy dkk.,1968, dan

    Ohanessian dkk., 1975). Analisis untuk mendapatkan pola-pola umum

    dalam tindak laku berbahasa juga menggunakan metode statistik dari

    sosiologi.

    Berhubung subjek yang dikaji adalah anggota-anggota

    masyarakat atau sesuatu kelompok, maka biasanya jumlah subjek itu

    terlalu banyak untuk di datangi, diamati, atau ditanyai satu persatu.

    Oleh karena itu, cara mendapatkan suatu gambaran yang benar dari

    sesuatau masalah dalam sesuatu kelompok secara hemat tetapi

    memadai ialah dengan memilih sesuatu sampel yang betul mewakili

    kelompok itu, yang dapat ditentukan hanya dengan metode-metode

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 15

    yang berdasarkan teori kemungkinan (probabilitas) dan statistik.

    Dalam analaisispun dipergunakan juga rumus-rumus statistik yang

    sederhana. Metode penelitian seperti ini disebut metode survei. Buku

    yang kami anggap berguna dipakai sebagai pedoman dan sumber ialah

    karya Babbie (1973) dan Moser & Kalton (1971).

    Bidang linguistik yang di sebut bidang studi pemakaian

    bahasa merupakan bagian terbesar dari pembahasan dalam bidang

    studi antaradisiplin yang disebut sosiolinguistik. Dengan kata lain,

    bidang linguistik yang berhubungan dengan pemakaian bahasa

    merupakan salah satu bagian dari bidang studi sosiolinguistik. Dengan

    demikian, penelitian pemakaian bahasa masuk ke dalam penelitian

    sosiolinguistik, terutama jika yang di bicarakan adalah pemakaian

    bahasa menurut konteks sosial penggunaannya. Dalam pada itu,

    sosiolinguistik itu sendiri merupakan bidang garapan antardua

    disipling ilmu, yaitu linguistik yang berkutak dengan masalah

    kebahasaan di satu sisi, dengan disipling sosiologi yang menaruh

    perhatian pada masalah social/ masyarakat disisi lain.

    Persoalannya, bagaimana kedua disipling ilmu yang memiliki

    objek kajian yang berbeda itu bersinergi untuk suatu kajian bersama

    dalam menangani satu fenomena yang suda dikukuhkan menjadi objek

    kajian bidang tertentu. Hal ini tentu tergantung pada titik tekan kajian

    itu sendiri. Apakah kajian sosiolinguistik itu akan memberikan

    tekanan pada fenomena kebahasaan yang penjelasannya menggunakan

    konsep-konsep teoritis dalam bidang sosiologi, atau sebaliknya titik

    tekannya pada penjelasan terhadap masalah kemasyarakatan dengan

    memanfaatkan evidensi kebahasaan.

    Pada permulaan dasawarsa 1960-an banyak muncul kajian

    yang mencoba mengaitkan masalah kebahasaan dengan masalah

    kemasyarakatan. Kajian ini merupakan bentuk lain dari kajian bahasa

    yang sebelumnya hanya berkutat mempersoalkan masalah kebahasaan

    sebagai suatu system, yang lepas dari konteks sosialnya ( eksternalnya

    ). Pada era itu bermunculan kajian yang menggunakan factor

    ekstralinguistik untuk menjelaskan masalah social kemasyarakatan.

    Tentu saja harus diingat, bahwa dalam kajian yang mengaitkan bahasa

    dengan masalah sosial terhadap peradaban dalam titik tekan

  • 16 | S o s i o l i n g u i s t i k

    kajiannya. Ada yang menenkankan masalah kebahasaannya dalam arti

    factor social dipandang sebagai variabel saja. Namun, ada pakar yang

    memberi penekanan yang besar pada masalah sosialnya, dalam arti,

    factor bahasa hanya digunakan untuk menjelaskan fenomena

    kemasyarakatan. Hal ini yang menyebabkan lahirnya dua istilah, yaitu

    sosiolinguistik untuk bidang yang titik tekannya pada masalah

    kebahasaan, dan sosiologi bahasa untuk bidang kajian yang titik

    tekannya pada masalah social (kemasyarakatan). Dalam pada itu,

    sosiolinguistik lalu dipandang sebagai subdisiplin dari sosiologi.

    Namun, dalam buku ini pembedaan semacam itu tidaklah begitu

    penting, karena yang dipentingkan adalah bagaimana bidang ilmu

    tersebut dapat melakukan kajian perihal kebahasaan dalam konteks

    social. Hal yang diamati adalah prilaku kelompok, bukan perilaku

    individual atau perseorangan. Bahwa hasil kajiannya itu nanti akan

    berwujud penjelasan fenomena kebasaan dengan penjelasannya

    menggunakan variable kebahasaan tidaklah menjadi persoalan, dan

    inilah wujud sinergis dari kedua disispling itu dalam berkolaburasi

    untuk menjelaskan fenomena kemanusiaan hal ini cukup beralasan

    karena bahasa merupakan tempat terwadahi perubahan (evolusi) dan

    gambaran situasi yang terjadi baik pada masa lampau maupun masa

    kini (periksa Glazer dan Daniel P. 384) menyebutkan bahwa secara

    alamiah kontak antara dua atau lebih kebudayaan (komunitas) yang

    berbeda akan selalu termanisfestasi dalam wujud perubahan bahasa.

    Lebih jauh dinyatakannya bahwa perubahan yang dimaksud dapat

    berupa peroses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa

    yang lain atau kedua-duanya saling melakukan proses yang sama

    (bandingkan dengan McMohan, 1994; 200 dan Labov, menunjukan

    gambaran tentang kondisi social suatu masyarakat, begitu pula

    sebaliknya, gambaran tentang kondisi social suatu masyarakat akan

    mencerminkan dalam bahasa yang mereka gunakan. Untuk itu

    pembedaan antara subidang tidaklah terlalu urgen (bandingkan

    Gunawan, 2002 dengan Hudson, 1995). Dengan demikian,

    sosiolinguistik didefinisikan sebagai subidang intersipliner bahasa

    dengan sosiologi yang menkaji fenomena kebahasaan dalam kaitannya

    dengan factor social, termasuk kelas social, jenis kelamin, usia, dan

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 17

    etnisitas dan atau dalam waktu yang bersamaan menkaji fenomena

    social dengan menggunakan penjelasan atas dasar evidensi

    kebahasaan (bandingan dengan Gunawan, 2002 dengan Hudson,

    1995). Batasan di atas tentu memiliki argumentasi yang cukup

    penting, karena bagaimanapun bahasa hadir dalam kehadiran manusia

    yang bersosialisasi. Ia tidak hadir karena manusia dalam

    kesendiriannya. Oleh karena itu, baik fenomena sosial maupun

    fenomena kebahasaan kedua-duanya dapat saling menjelaskan satu

    sama lain. Kehadiran sosiolinguistik (dalam pengertian di atas)

    merupakan langkah maju dalam menyinergikan dua bidang ilmu yang

    secara otonom telah memiliki objek kajian permanen dan berbeda

    untuk tujuan bagi upaya menjelaskan masalah kemanusiaan.

    Selanjutnya, sosiolinguistik dikelompokkan pada dua

    subbidang, yaitu mikrososiolinguistik dan makrososiolinguistik.

    Apabila yang pertama mengacuh pada kajian bahasa pada komunitas

    antara personal, yang kedua mengacu pada tingkat yang lebih tinggi

    daripada hanya sebagai komunikasi antara personal, yaitu pada tingkat

    komunitas. Pembedaan atas dua subbidang sosiolinguistik di atas,

    Gunawan (2002) menganalogikannya dengan lahirnya dengan dua

    buah karya Fasold: The Sosiolinguistics of language (1990) untuk

    mikrososiolinguistik dan: The sosiolinguistic of Society (1984) untuk

    makrososiolinguistik. Jika dalam buku yang pertama pembahasan

    berkisar pada bentuk dan struktur bahasa dalam kaitannya dengan

    komunikasi antarperseorangan, yang kedua menbahas perihal

    masyarakat dalam hubungannya dengan bahasa, jadi dalam bagian

    tersebut dibahas masalah masyarakat diglosik, dan lain-lain. Namun,

    sekali lagi pembedaan atas dua subbidang sosiolinguistik di atas

    dalam buku ini dipandang sebagai pembedaan antara sosiolinguistik

    dengan sosiologi bahasa.

    Sebagai sub bidang kajian sosiolinguistik, maka yang menjadi

    lahan kajian pemakaian bahasa berhubungan dengan upaya

    membedakan ragam-ragam atau varietas-varietas bahasa, berdasarkan

    pemakaian dan varietas bahasa berdasarkan pemakainnya (siapa yang

    menggunakan bahasa itu). Berdasarkan pemakaiannya, Haliday

    membedakan varietas bahasa atas tiga subdimensi, yaitu subdimensi

  • 18 | S o s i o l i n g u i s t i k

    bidang (field), yaitu subdimensi yang berhubungan dengan apa bahasa

    itu dipakai; subdimensi cara (mode), yaitu subdimensi yang

    berhubungan dengan medium apa yang di gunakan dalam peristiwa

    berbahasa tersebut, dalam hal ini dapat lisan atau tulisan; dan

    subdimensi tenor, yaitu subdimensi yang mengacuh pada hubungan

    peranpara partisipan yang terlibat dalam peristiwa berbahasa. Karena

    hubungan peran ini menentukan derajarat keresmian bahasa yang di

    pakai para partisipan, maka dapat dipandang sebagai tingkat

    keresmian situasi,dan dalam pada itu menentukan pula derajat

    keresmian bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu. Dengan

    demikian, tenor dipandang mengacu pada raqgam-ragam bahasa

    menurut keresmiannya, yang dalam bahasa resmi, yaitu beku (frozen),

    resmi (formal), kongsultatif (consultative), santai (casual), dan karab

    (intimate)

    Berdasarkan pada perpaduan dari ketiga subdimensi di atas,

    terbentuklah apa yang disebut laras bahasa (register), yaitu ragam atau

    varietas bahasa yang dibeda-bedakan menurut bidang wacana

    (menurut pokok pembicaraannya), menurut mediumnya (tulis atau

    lisan), dan menurut tenornya (ragam gaya resmi atau santai dan

    lainnya). Apa yang di paparkan diatas merupakan pandangan

    konseptual tentang pemakaian bahasa secara sempit. Namun secara

    lebih luas, pemakaian bahasa dapat dimaknai sebagai penggunaan

    bahasa disamping menurut dimensi situasi di atas juga mencakupi

    dimensi menurut siapa menggunakan bahasa itu. Ihwal siapa yang

    menggunakan bahasa itu, tentulah masyarakat tuturnya, yang dalam

    hal ini masyarakat itu sendiri tidaklah pernah bersifat homogen, ia

    selalu hadir dalam bentuk heteroginitas. Artinya, dalam masyarakat

    tutur itu akan terpolarisasi atas kelompok-kelompok sosial yang

    masing-masing memiliki kesamaan fitur. Oleh karena itu,

    sosiolinguistik memandang bahwa suatu bahasa tidak pernah

    homogeny, ia akan selalu sendiri atas ragam-ragam yang terbentuk

    menurut kelompok-kelompok sosial yang ada, tentu tidak dapat

    dipungkiri akan munculnya fitur-fitur bahasa yang memadai kekhasan

    peroranagan (idiolek), tetapi sebagai subbidang yang menggunakan

    pendekatan dalam ilmu social, maka sosiolinguistik tidak mengkaji

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 19

    perilaku berbahasa perorangan, tetapi perilaku berbahasa kelompok.

    Patut di tambahkan bahwa perihal pemakaian bahasa, jika dikaitkan

    dengan kongsep language dan parole-nya Saussure, serta competence

    dan performance-nya Chomsky, maka dapat dikatakan bahwa kajian

    pemakaian bahasa (sosiolinguistik) berhubungan dengan masalah

    parole atau performance. Jadi, berada pada tataran parole atau

    performance, bukan langue atau competence. Hal ini tentu

    berhubungan dengan konsep penggunaan bahasa sebagai pemakaian

    bahasa di dalam situasi yang sebenarnya.

    Dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan kajian bahasa yang

    berhubungan dengan masalah pemakaian bahasa seperti disinggung

    diatas, maka tahapan yang di lalui sama dengan tahapan yang dilalui

    dalam kajian bahasa secara singronis dan diakronis yang telah di

    paparkan pada seksi-seksi di atas, yaitu melalui tahapan penyediaan

    data. Ketiga tahapan itu memiliki metode dan teknik tersendiri yang

    berbeda satu sama lain.

  • 20 | S o s i o l i n g u i s t i k

    RANGKUMAN

    Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur; sosio- dan

    linguistic. Kita mengetahui arti linguistic, yaitu ilmu yang

    mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur

    (fonem, morfem, kata, kalimat ) dan hubungan antara unsur-unsur itu

    (struktur), termasuk hakekat dan pembentukan unsur-unsur itu. Unsur

    socio- adalah seakar dengan social, yaitu yang berhubungan dengan

    masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-fungsi

    kemasyarakatan. Jadi sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan

    dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota

    masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari

    dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya

    perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan

    dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial). Berbagai hal menjadi

    topik dalam sosiolinguistik seperti pergeseran bahasa, pemertahanan

    bahasa, dan sebagainya. Selanjutnya, sosiolinguistik dikelompokkan

    pada dua subbidang, yaitu mikrososiolinguistik dan

    makrososiolinguistik. Apabila yang pertama mengacuh pada kajian

    bahasa pada komunitas antara personal, yang kedua mengacu pada

    tingkat yang lebih tinggi daripada hanya sebagai komunikasi antara

    personal, yaitu pada tingkat komunitas.

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 21

    BAB II

    BAHASA DAN VARIASI BAHASA

    Bahasa mempunyai dua aspek mendasar, yaitu bentuk, baik

    bunyi dan tulisan maupun strukturnya, dan makna, baik leksikal

    maupun fungsional dan structural. Jika kita memperhatikan bahasa

    dengan terperinci dan teliti, kita akan melihat bahwa bahasa itu dalam

    bentuk dan maknanya menunjukkan perbedaan–perbedaan kecil besar

    antara pengungkapannya yang satu dengan pengungkapan yang lain.

    Lalu kita akan mendengar perbedaan–perbedaan bentuk bahasa seperti

    ini dan yang lain–lain akan kita sebut variasi.

    Amatlah sulit atau mustahil (jika itu bukan suatu yang

    kebetulan), jika bunyi atau lafal suatu satuan bunyi, suatu kata atau

    kalimat betul–betul berbunyi sama benar. Karena pendengaran kita

    secara jasmani dipengaruhi oleh banyak faktor seperti udara,

    kesegaran perasaan, dan besar perhatian kita, maka bentuk–bentuk

    bunyi itu dapat kita perbandingkan dalam bentuk pektogram, yaitu

    gambaran yang dihasilkan atau direkam oleh suatu alat yang disebut

    spektograf. Kita menganggap bahwa hasil pekerjaan yang dibuat alat

    elektronika seperti spektograf itu ―tidak berbeda‖ dari satu waktu ke

  • 22 | S o s i o l i n g u i s t i k

    waktu yang lain; dengan kata lain, bahwa gambaran dari sesuatu bunyi

    yang dihasilkan berturut–turut oleh alat itu adalah sama.

    Jika kita bandingkaan lafal bunyi /a/ atau perkataan

    /tuliskan/dalam percakapan dua orang yang berlainan, kita akan lebih

    jelas melihat perbedaan–perbedaannya. Apalagi kalau kedua orang

    yang lafalnya atau bahasanya kita bandingkan itu datang atau berasal

    dari (a) daerah yang berlainan, (b) kelompok atau keadaan sosial yang

    berbeda, (c) situasi berbahasa dan tingkat formalitas yang berlainan,

    ataupun (d) tahun atau zaman yang berlainan (umpamanya : tahun

    1945 dan 1980), maka akan lebih terang dan nyata perbedaannya.

    Contoh lain, yang disebut ―kates‖ di suatu daerah dinamakan

    ―papaya‖ di daerah lain; dalam suatu keadaan sosial dikatakan ―aku‖

    dan dalam keadaan sosial lain lebih sesuai dipakai ―saya‖, jabatan

    yang dahulu disebut ―krani‖ sekarang disebut ―tata usaha‖.

    Perbedaan–perbedaan bahasa yang kita sebut diatas

    menghasilkan ragam–ragam bahasa yang disebut dengan istilah–

    istilah yang berlainan. Ragam bahasa yang sehubungan dengan daerah

    atau lokasi geografis disebut dialek, ragam bahasa yang sehubungan

    dengan kelompok sosial disebut sosiolek; ragam bahasa yang

    sehubungan dengan situasi perbahasaan dan/atau tingkat formalitas

    disebut fungsiolek; dan ragam bahasa yang dihasilkan oleh perubahan

    bahasa yang lain–lain, atau, kalau perbedaan itu masih dapat dianggap

    perbedaan ragam dalam suatu bahasa, kita dapat sebut ragam secara

    analog kronolek.

    Berhubung ragam–ragam bahasa itu adalah subsistem–

    subsistem bahasa yang berbeda, maka dapat, dan lazimlah, ragam–

    ragam bahasa itu dikaji dan dipelajari dalam cabang linguistik yang

    berbeda pula. Cabang linguistik yang membuat dialek sebagai pusat

    perhatiannya disebut dialektologi atau geography linguistic. Cabang

    linguistik yang membuat sosiolek sebagai pusat perhatiannya disebut

    sosiolinguistik atau sosiologi bahasa. Cabang linguistik yang

    membuat fungsiolek sebagai pusat perhatiannya disebut etnografi

    berbahasa, analisis wawancara atau pragmatik. Banyak ilmuwan

    memasukkan etnografi berbahasa, analisis wacana, dan pragmatik ini

    dalam lingkungan pengkajian sosiolinguistik; ini pada dasarnya

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 23

    disebabkan oleh Karena pengkajian yang sistematis dari materi

    kajian–kajian itu masih muda (baru) dan hasilnya belum begitu

    banyak. Cabang linguuistik yang mengkaji bahasa–bahasa yang

    berbeda, khususnya membandingkan bahasa–bahasa itu, disebut

    linguistik historis mengkaji perbedaan/variasi bahasa pada dimensi

    waktu atau sejarah; oleh karena itu disebut juga linguistic diakronik.

    Sedangkan linguistik kontrastif mengkaji perbedaan/variasi itu secara

    sikronis atau dalam ―satu waktu‖ linguistik historis/diakronik

    memusatkan perhatiannya kepada sejarah perkembangan perbedaan-

    perbedaan bahasa itu yang menghasilkan juga apa yang disebut

    silsilah bahasa. Linguistik konstrastif memusatkan perhatiannya

    kepada pengaruh perbedaan bahasa–bahasa pada cara dan sukar

    mudahnya belajar suatu bahasa dengan latar belakang bahasa yang

    lain. Linguistic konstrastif yang demikian disebut juga linguistic

    terapan (tentu ada juga linguistic terapan yang lain) atau analisis

    konstratif. Linguistic konstrastif yang memusatkan perhatiannya

    kepada penggolongan bahasa melalui perbandingan bahasa disebut

    apology bahasa. Linguistik konstratif yang demikian dapat juga

    menghasilkan pengetahuan tentang ciri–ciri umum atau ciri–ciri

    universal dari bahasa (linguistic universals).

    2.1. Kajian Variasi dalam Linguistik Umum Variasi dalam bahasa dapat dibagi atas dua macam

    berdasarkan sumber perbedaan itu, yaitu (1) variasi internal (atau

    variasi sistemik) dan (2) variasi eksternal (atau variasi ekstrasistemik).

    Variasi yang berhubungan dengan faktor–faktor di luar sistem bahasa

    itu sendiri disebut variasi eksternal. Keempat macam variasi yang kita

    sebut di atas, yaitu yang sehubungan dengan daerah asal penutur,

    kelompok sosial, sitiuasi berbahasa, dan zaman penggunaan bahasa

    itu, adalah termasuk variasi eksternal, sebab faktor–faktor ―penyebab‖

    atau korelatif itu adalah diluar sistem bahasa itu sendiri. Dalam

    analisis linguistik umum dalam tahun 1940 dan 1950-an, perbedaan–

    perbedaan seperti ini sering disebut ―variasi bebas‖ (free variation).

    Variasi bahasa yang ―disebabkan‖ atau sehubungan dengan

    faktor–faktor dalam bahasa itu sendiri, khususnya unsur–unsur yang

  • 24 | S o s i o l i n g u i s t i k

    mendahului dan/atau mengikuti unsur yang diperhatikan (=yang

    berbeda) itu, disebut variasi internal. Jadi, faktor–faktor yang

    sehubungan dengan perbedaan–perbedaan ini ialah sekeliling

    kebahasaan (linguistic environment) dari unsur itu. Oleh karena letak

    suatu unsur dalam suatu rentetan unsur–unsur disebut ―distribusi‖.

    Umpamanya dalam bahasa inggris /p/ jika didahului /s/, umpamanya

    dalam kata speak, tidak diucapkan dengan hembusan napas yang kuat

    (―aspirasi‖) sedangkan /p/ dalam kata peak dilafalkan dengan aspirasi,

    [ph].

    Variasi–variasi internal ini dapat dianggap lebih hakiki, atau

    lebih dalam, lebih mendasar; oleh karena itu dapat disebut variasi

    sistemik, artinya variasi yang merupakan ciri ―alamiah‖ (natural) dari

    sistem bahasa itu. Oleh karena itu, dapat kita mengerti bahwa variasi–

    variasi inilah yang paling lambat berubah dalam jalannya waktu.

    Pengertian kita tentang hal ini menjadi jelas dengan pengamatan De

    Saussure bahwa variasi-variasi seperti ini harusnya dianalisis dengan

    konsep tingkat, yaitu dengan perbedaan–perbedaan seperti itu adalah

    unsur yang berbeda pada suatu tingkat (parole), tetapi sama (atau

    senilai) pada tingkat yang lain (langue). Pike menggunakan istilah etik

    (etics) dan (emics) untuk konsep yang serupa itu. Sebenarnya tidaklah

    ada persamaan yang sempurna antara dikotomi langue-parole dan

    emik-etik, tetapi pada dasarnya dikotomi ini adalah manifestasi

    konsep yang sama.

    Ciri-ciri variasi seperti ini dikaji dalam linguistik umum.

    Konsep yang termaktub dalam dikotomi langue – parole inilah yang

    mendasari analisis linguistik, khususnya dalam penentuan/identifikasi

    unsur–unsure bahasa, terutama mengenai fonologi dan morfologi.

    Untuk pengkajian seperti ini dipergunakan istilah-istilah yang

    berkahiran –em untuk tingkat emik atau langue, umpamanya fonem,

    morfem, leksem, dan istilah yang berlawanan alo- untuk tingkat etik

    atau parole, umpamanya alofon, alomorf, dan aloleks.

    2.2. Kajian Historis-Komparatif Historis-komparatif dan linguistik konstrastif menyajikan

    materi yang sama, tetapi dengan tujuan yang berbeda oleh karena itu

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 25

    dengan metode yang berbeda. Materi yang sama ini berupa bahasa–

    bahasa yang berbeda, yaitu yang tidak sama, sebagai hasil dari

    jalannya waktu dan keseringan (atau banyaknya) komunikasi antara

    dua kelompok pemakai bahasa, atau apa yang disebut Bloomfield

    kelabatan komunikasi (density of communication).

    Perbedaan bahasa yang semacam ini timbul dari sifat hakiki

    bahasa, yaitu bahwa tata bunyi bahasa selalu tetap tetapi sedikit demi

    sedikit berubah. Jikalau dua kelompok penutur mempunyai hubungan

    (atau kontak) berbahasa atau komunikasi yang amat sering (dalam

    kata lain kelabatan komunikasinya tebal), maka perbahan–perubahan

    dalam kedua kelompok itu cenderung sama atau serupa oleh karena

    kedua kelompok itu harus menggunakan bahasa yang demikian serupa

    sehingga terdapat saling pengertian yang cukup mudah dan lancar.

    Akan tetapi, jikalau dua kelompok penutur mempunyai hubungan

    berbahasa atau komunikasi yang jarang atau hubungan terputus sama

    sekali, maka kedua kelompok itu cenderung mengalami

    perkembangan atau perubahan bahasa yang berbeda. Mula–mula

    perbedaan itu masih belum begitu besar, sehingga kedua ragam bahasa

    itu dapat dikenal dengan mudah sebagai ragam-ragam dari suatu

    bahasa, yang biasanya disebut ―dialek‖ tetapi disini kita sebut

    ―kronolek‖ akan tetapi, perbedaan kronolek yang berlainan tetapi

    sewaktu dari satu bahasa itu akhirnya dapat menjadi begitu besar

    sehingga kedua ragam bahasa itu hanya menunjukkan kemiripan yang

    kurang jelas. Dalam hal yang demikian, kita katakan bahwa kedua

    ragam bahasa itu adalah bahasa yang berlainan yang ―berkerabat‖ atau

    mempunyai satu asal (cognate).

    Cara–cara pengkajian (atau metode penelitian) bentuk ini

    diperkembangkan dalam abad ke-19 , yang disebut ―metode

    komparatif‖. Tujuan dalam pengkajian komparatif ini ialah penentuan

    pola kekerabatan atau struktur ―silsilah‖ dari bahasa-bahasa; dengan

    begini dapat juga kita peroleh pembagian bahasa-bahasa di dunia ini

    ke dalam apa yang disebut ―rumpun-rumpun bahasa‖. Sejarah

    pengkajian komparatif dalam adab ke-19 ini dapat dibaca dalam buku

    Holger Padersen, The Discovery of Language (1962). Satu bagian

    dari metode komparatif ini ialah penentuan bentuk–bentuk lama dari

  • 26 | S o s i o l i n g u i s t i k

    suatu bahasa, yang disebut ―rekonstruksi‖. Bahasa yang demikian

    disebut bahasa kuno, atau bahasa proto jika tidak ada bukti–bukti

    tulisan yang mendukungnya.

    Bahasa Indonesia dan hampir semua bahasa yang dipakai di

    Negara Indonesia termasuk dalam rumpun Austronesia (atau melayu-

    polynesia). Rumpun bahasa yang pertama-tama dikaji di Eropa adalah

    rumpun bahasa Indo-Eropa yang terdapat di Eropa dan Timur Tengah

    sampai ke India. Penjelasan yang singkat mengenai rumpun–rumpun

    bahasa di seluruh dunia dapat dibaca dalam bab 28 dari buku H.A.

    Glaeson, An Introduction to Descriptive Linguistics (1961).

    Tujuan lain dari linguistik komparatif ialah untuk memperoleh

    penggolongan bahasa-bahasa tanpa bertujuan untuk menentukan

    silsilah atau bentuk proto. Tujuannya ialah memperoleh

    penggolongan berdasarkan ciri-ciri berbagai aspek bahasa,

    umpamanya ciri-ciri fonologi, morfologi, dan sintaksis. Pengkajian

    seperti ini disebut tipologi bahasa, dan sebagaimana kita sebut di atas

    pengkajian perbandingan seperti ini disebut juga linguistik konstrastif.

    Tujuan khusus lain dari linguistik komparatif/kontrastif seperti ini

    ialah untuk mengetahui ciri- ciri umum (―sejabat‖ atau ―universal‖)

    dari bahasa, umpamanya bahwa semua bahasa mempunyai fonem

    yang dapat digambarkan dengan /m/, yaitu suatu nasal dua-bibir

    (―bilabial nasal‖), dan hampir semua bahasa mempunyai desis

    alveolar yang dapat ditandai dengan /s/.

    Metode kontrastif bahasa juga bertujuan memperoleh

    keterangan tentang sumber dari kesulitan yang mungkin atau layak

    dialami orang dalam belajar bahasa lain. Linguistik kontrastif.

    Pemikiran dasar dalam analisis kontrastif ini ialah bahwa lebih sulit

    mempelajari bahasa yang amat lain dari bahasa yang sudah diketahui

    dari pada mempelajari bahasa yang sama atau mirip dengan bahasa

    yang sudah diketahui oleh pelajar.

    Perbandingan bahasa secara kontrastif dari sudut pandangan

    pengajaran bahasa (yang dapat dianggap inti dari linguistik terapan),

    perlu dikaji oleh orang–orang yang (akan) terlibat dalam pengajaran

    bahasa, khususnya dosen dan mahasiswa. Perbandingan bahasa untuk

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 27

    menemukan ciri-ciri universal dari bahasa diperlukan oleh orang-

    orang yang melibatkan diri dalam teori linguistik.

    Menurut pengamatan, perhatian terhadap linguistik kontrastif

    masih kurang di Indonesia khususnya di jurusan-jurusan yang bukan

    jurusan bahasa Inggris, walaupun bahasa Indonesia bukanlah bahasa

    yang pertama bagi kebanyakan orang di Indonesia. Di jurusan bahasa

    Inggris pun, sering kelihatan bahwa pendekatan terhadap linguistik

    kontrastif ini terlalu sederhana (simplistic), sehingga tidak dikaitkan

    secara wajar dengan apa yang disebut analisis kesalahan, yaitu

    pengkajian dari kesalahan–kesalahan yang betul–betul telah diperbuat

    oleh pelajar-pelajar dari suatu bahasa kedua atau bahasa asing.

    2.3. Kajian Dialektologi Kajian yang lain tentang perbedaan-perbedaan bahasa sebagai

    manifestasi dari variasi dalam satu bahasa yang sama, ialah

    dialektologi. Perkembangan dialektologi ini dimulai dalam

    perempatan ketiga abad ke-19 dengan adanya penelitian Georg

    Wenker di Jerman pada tahun 1876. Sejak itu cukup banyak perhatian

    dan kegiatan dalam dialektologi, khususnya pembuatan ―peta dialek‖,

    di Perancis, Italia, Amerika Serikat, dan Negara lainnya, sampai

    dengan pertengahan abad ke-20 ini. Keterangan lebih lanjut dapat

    dibaca dalam buku L. Bloomfield, Language (1933), Bab 38,39,40.

    (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa telah juga

    menyelenggarakan suatu penataran selama dua bulan dalam

    dialectology pada tahun 1974 di Argamulya, Tugu, Bogor).

    Dalam pemetaan variasi dialek dari bahasa dipergunakan

    konsep isogloss, yaitu garis yang menghubungkan dua tempat yang

    menunjukkan ciri atau unsur yang sama, atau garis yang memisah dua

    tempat yang menunjukkan ciri/unsur yang berbeda. Unsur atau ciri

    yang dikaji adalah dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis,

    dan/atau leksis. Data untuk itu dikumpulkan dengan penelitian

    lapangan, yaitu mengadakan pengamatan langsung (serta elisitasi)

    terhadap cirri-ciri dan unsur-unsur bahasa diberbagai tempat,

    umumnya dengan menggunakan informan yang lebih konservatif dan

    mobilitasnya rendah (=orang yang bahasanya lebih sedikit

  • 28 | S o s i o l i n g u i s t i k

    dipengaruhi dunia luar) yang dianggap lebih menunjukkan ciri-ciri

    khas kedaerahan dalam bahasanya dari pada orang yang progresif dan

    bermobilitas tinggi.

    Pembicaraan kita diatas tentang dialek adalah khusus

    mengenai ragam bahasa secara geografis dari penutur-penutur asli,

    yaitu penutur suatu bahasa sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu.

    Dalam dunia modern ini, banyak sekali orang mempelajari bahasa

    lain, baik sebagai bahasa kedua (secara urutan atau secara

    sosiolinguistik) atau bahasa asing. Hal ini menghasilkan ragam-ragam

    bahasa (dialek) yang lain dari dialek penutur asli. Dialek-dialek

    sebagai bahasa kedua atau bahasa asing sedikit banyak dipengaruhi

    dan diwarnai oleh bahasa pertama (=bahasa asli) dari penutur-

    penuturnya. Dialek semacam ini kita sebut ―ragam bukan asli‖

    (nonnative variety). Kalau kita kaji ragam bahasa demikian, kita akan

    melihat bahwa selain dari pengaruh unsur-unsur/struktur/fonologi

    bahasa pertama penutur, nyata sekali di antara penutur ragam bukan

    asli ini terdapat suatu ketidak seragaman (=fluktuasi) yang jauh lebih

    banyak dan lebih besar dari pada perbedaan-perbedaan yang lazim

    antara dialek penutur-penutur asli.

    2.4. Kajian Sosiolinguistik Bahan kajian sosiolinguistik ini ialah ―penggunaan bahasa‖

    oleh penutur –penutur tertentu dalam keadaan-keadaan sewajarnya

    untuk tujuan-tujuan tertentu. Ini suatu cabang pengkajian bahasa

    (=linguistic) yang penting bagi pengajaran bahasa serta pengertian kita

    tentang fungsi bahasa dalam kehidupan masyarakat. Sudah mulai

    banyak buku pengantar sosiolinguistik. Di luar kedua buku yang

    disebut di atas, yaitu J.A. Fishman, The Sociology of Language dan

    R.T. Bell, Sociolinguistics, sudah banyak buku bunga rampai dari

    karangan-karangan tentang topik-topik sosiolinguistik, umpamanya

    J.A. Fishman, Readings in the Sociology of Language (1968), J.J.

    Grumperz & Dell Hymes, Directions in Sociolinguistics (1972), dan

    J.B. Pride & J. Holmes, Sociolinguistics (1972), dan lain-lain.

    Perkembangan dan popularitas dari sosiolinguistik belakangan

    ini banyak disebabkan oleh kegunaannya dalam pengajaran bahasa.

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 29

    Setelah makin dikaji dan banyak diketahui mengenai fungsi-fungsi

    bahasa dalam kehidupan kemasyarakatan maka makin jelas kelihatan

    juga hubungannya dengan motivasi belajar inilah juga yang banyak

    berpengaruh pada hasil belajar. Oleh karena tidak semua orang

    mempunyai tujuan (dan motivasi) belajar yang sama, maka

    pendekatan, materi, dan penyajian pelajaran pun perlu disesuaikan

    dengan tujuan belajar itu untuk menjamin hasil pelajaran yang lebih

    baik.

    Sekarang ini makin banyak dikaji makna dari bahasa,

    terutama makna dari kalimat-kalimat unsur yang paling kecil. Bentuk

    sintaktik suatu kalimat belum tentu sama dengan isi semantiknya

    (=maknanya). Umpamanya, kalimat pertanyaan sintaktik ―siapa

    bilang?‖dapat berarti suatu pernyataan secara semantik yang

    bermakna ―saya tidak percaya‖ atau ―omong kosong‖. Kajian seperti

    ini mempelajari penggunaan bentuk–bentuk bahasa untuk komunikasi

    praktis dari makna, pesan, atau isi, dan disebut ilmu pragmatik atau

    semantik praktis. Ahli-ahli falsafah yang berminat akan makna

    ungkapan–ungkapan memberikan sumbangan yang penting dalam hal

    ini; secara khusus perlu disebut antara lain J.L. Austin dengan

    bukunya How to Do Things With Words (1962) dan John R. Searle

    dengan bukunnya Speech Acts (1969). Mereka ini membedakan

    empat macam tindakan ungkapan (speech acts), yakni ―tindak ucapan‖

    (utterance acts), ―tindak sebutan‖ (propositional acts), ―tindak

    pernyataan‖ (illocutionary acts), dan ―tindak hasilan‖ (perlocutionary

    acts). Tindak ucapan ialah kalau kita mengucapkan sesuatu: morfem,

    kata, kalimat. Tindak sebutan ialah kalau kita mengatakan sesuatu

    (keterangan) tentang satu pokok (topik). Tindak pernyataan ialah

    kalau kita membuat suatu pertanyaan, pernyataan, perintah, janji,

    sangkalan, dan sebagainya. Dan tindak hasilan ialah hasil atau efek

    dari tindak bahasa kita itu pada orang yang dituju (= yang

    mendengar); umpamanya dengan membuat suatu pertanyaan ―siapa

    bilang?‖, pendengar mengerti bahwa kita tidak percaya akan apa yang

    baru dikatakannya.

    2.5. Aspek Morfologi dan Sintaksis dari Ragam Funsiolek

  • 30 | S o s i o l i n g u i s t i k

    Setiap bahasa mempunyai banyak ragam yang dipakai dalam

    keadaan dan keperluan/tujuan yang berbeda-beda. Ragam-ragam

    bahasa ini.menunjukkan perbedaan-perbedaan struktural dalam unsur-

    unsurnya. Perbedaan struktural itu adalah berbentuk ucapan, intonasi,

    morfologi, identitas kata-kata, serta sintaksis. Dalam bagian ini

    perhatian kita fokuskan pada perbedaan-perbedaan morfologi dan

    sintaksis dari ragam fungsiolek. Dari sudut sosioliguistik kita

    sarankan agar perbedaan-perbedaan itu dikaji dan dinilai bukan hanya

    dari segi bentuknya tetapi juga dari segi penggunaannya dan kaitannya

    dengan faktor-faktor sosiolinguistik. Salah satu aspek

    sosiolinguistiknya ialah tingkat formalitas (keresmian) tindak bahasa

    sehubungan dengan peserta-peserta, berbahasa, keadaan, dan tujuan

    berbicara.

    Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clocks,

    membagi fungsiolek bahasa Inggris berdasarkan tingkat formalitas

    atas lima tingkat atau yang disebutnya style (gaya bahasa). Kelima

    tingkat itu adalah frozen, formal, consultative, casual, dan intimate,

    atau dalam bahasa Indonesia, berturut-turut, ragam beku, resmi, usaha,

    santai, dan akrab.

    Dalam Bahasa Indonesia pun gaya yang demikian dapat kita

    bagi atas lima tingkat sebagai berikut:

    1. Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam situasi-situasi yang

    khidmad dan upacara-upacara resmi. Dalam bentuk

    tulisan ragam beku ini terdalam dalam dokumen-

    dokumen bersejarah seperti undang-undang dasar dan

    dokumen-dokumen penting lainnya.

    2. Ragam resmi (formal) ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, atau rapat resmi

    pimpinan suatu badan.

    3. Ragam usaha (consultative) adalah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan-pembicaraan biasa di

    sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat usaha yang

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 31

    berorientasi kepada hasil atau produksi; dengan kata lain,

    ragam ini berada pada tingkat yang paling oprasional.

    4. Ragam santai (casual) aalah ragam bahasa santai antar teman dalam bincang-bincang, rekreasi, berolah raga,

    dan sebagainya.

    5. Ragam akrab (intimate) adalah ragam bahasa antar anggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman

    yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan

    artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan-

    ucapan yang pendek. Hal ini disebabkan oleh adanya

    saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain. Dalam

    tingkat inilah layak dipergunakan bentuk-bentuk dan

    istilah-istilah (kata-kata) khas bagi suatu keluarga atau

    sekelompok teman akrab.

    Jika kita bandingkan pasangan-pasangan kalimat yang

    dibawah ini, kita akan melihat bahwa kalimat-kalimat itu tidaklah

    tergolong ragam (tingkat) bahasa yang sama.

    (a1) Bapak Suparman menerangkan makna peristiwa

    itu.

    (a2) Pak Parman terangkan arti kejadian itu.

    Jika kita diminta untuk meenmpatkan kedua kalimat ini, maka

    kalimat a1 akan kita tempatkan pada tingkat yang lebih tinggi dari a2.

    Barangkali, kita sependapat bahwa a1 adalah ragam formal dan a2

    ragam usaha.

    b1 Saya tidak mengerti maksud saudara.

    b2 Aku tak mengerti maksudmu.

    b3 Nggak ngerti.

    Dapat kita lihat bahwa b1 lebih tinggi tingkatnya dari b2, dan

    b2 lebih tinggi dari b3. Kalimat b1 akan kita sebut ragam usaha, sebab

    ragam inilah yang kita pakai sehari-hari dalam pekerjaan kita, b2 ialah

    ragam yang dipakai antar teman dalam keadaan bersantai; dan b3 ialah

    ragam akrab yang dapat dipakai antara orang – orang sebaya dalam

    keluarga atau teman-teman yang akrab sekali.

    Ragam baku adalah ragam yang paling resmi. Contohnya kita

    ambil dari alinea 1 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 :

  • 32 | S o s i o l i n g u i s t i k

    ―Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak

    segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan

    diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai

    dengan perikemanuasiaan dan peri keadilan‖.

    Suatu kalimat yang dimulai dengan kata bahwa, hatta, dan

    sebagainya dapat dianggap sebagai ragam baku. Bentuk kalimat baku

    adalah lebih kaku, kata-katanya lengkap, biasanya kalimatnya

    panjang, dan menuntut sikap yang lebih serius dari penutur dan

    pendengarnya.

    Perbedaan-perbedaan di antara kelima ragam ini adalah

    perbedaan pilihan kata (lexis), perbedaan bentuk kata (morfologi), dan

    perbedaan bentuk kalimat keseluruhannya (sintaksis). Begitu juga,

    kita lihat adanya perbedaan-perbedaan yang jelas atau yang rumit

    dalam intonasi kalimat dan keseluruhan gaya orangnya (cara berdiri,

    melihat dan bergerak). Hal ini disebabkan oleh karena berbahasa itu

    adalah suatu tindak laku (behavior) yang melibatkan penuturnya

    seecara keseluruhan dan utuh.

    Dalam rangka pengkajian sosiolinguistik, yang relevan bagi

    kita ialah korelasi perbedaan-perbedaan bunyi (fonologi), bentuk kata

    (morfologi), dan bentuk atau susunan kalimat (sintaksis) dengan

    faktor-faktor sosial. Perbedaan-perbedaan dalam pilihan kata (lexis)

    dan intonasi serta gaya peserta berbahasa itu akan menjadi perhatian

    khusus dalam dalam pengkajian lain. Dalam lingkup morfologi dapat

    kita perhatikan bentuk-bentuk seperti diapain, nggak, ngerti, dan

    sebagainya dibandingkan dengan mengapa, tak dan tidak, mengerti

    dan dimengerti. Dalam lingkup fonologi, kita dapat perhatikan ucapan

    /hurup/ atau /huruf/ untuk ―huruf‖, dan sebagainya. Dalam lingkup

    sintaksis, dapat kita perhatikan apa orang katakan ―sampai ketemu

    dilain kesempatan‖ atau ―sampai ketemu pada kesempatan lain‖.

    Ragam bahasa tidak hanya menyangkut fungsiolek seperti

    diatas, tetapi juga sosiolek dan dialek. Kerena itu dalam pembahasan

    ragam bahasa ini perlu juga diperhatikan perbedaan-perbedaan

    kebahasaan antara lapisan-lapisan masyarakat serta kelompok-

    kelompok kemasyarakatan. Begitu juga, perbedaan-perbedaan

    kebahasaan antar daerah. Penelitian yang serius tentang perbedaan-

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 33

    perbedaan ragam bahasa yang mencakup sosiolek dan fungsiolek,

    setahu saya, belum dilakukan di Indonesia; yang ada ialah studi-studi

    kecil untuk kertas kerja. Lapangan studi seperti ini dapat disebut

    sosiolektologi atau sosiodialektologi (social dialectology).

    Salah satu artikel yang paling dahulu mengenai sosiolektologi

    yang saya temukan ialah ―U and non U‖ karangan C.R.J. Ross pada

    tahun 1956, yang dimuat dalam Max Black, The Importance of

    Language (1962). Dalam karangan ini dibicarakan perbedaan-

    perbedaan ucapan, tata bahasa (morfologi dan sintaksis), dan pilihan

    kata (lexis) dari ragam bahasa inggris lapisan atas masyarakat (U =

    upper class) dan yang bukan lapisan atas (Non-U = non-upper class).

    Di Amerika telah banyak penelitian mengenai sosio

    dealektologi, antara lain oleh W. Labov di Martha‘s Vineyard dan di

    New York, R.Brown dan murid-muridnya di Cambridge,

    Massachusetts, R.V. Shuy di Washington dan Detroit, W.A. Wolfman

    di Detroit, dan oleh P. Trudgill di Norwich, Inggris. Suatu contoh

    dalam bahasa Inggris mengenai korelasi antara ciri morfo-sintaksis

    dengan kelas kemasyarakatan ialah ada atau tidak adanya akgiran –s

    pada kata kerja, misalnya, dalam kalimat-kalimat sebagai berikut.

    She like him very much

    He don‘t know a lot, do he ?

    It go ever so fast.

    Dalam Trudgill (1974 b: 44) diberikan statistik sebagaimana

    dalam table berikut, yang menggambarkan persentase dari orang-

    orang yang menggunakan bentuk tanpa /-s/ seperti di atas.

    Tabel dari kata kerja tanpa –s di Norwich Inggris dan Detroit

    (Amerika Serikat)

  • 34 | S o s i o l i n g u i s t i k

    Norwich

    Detroit

    MMC 0%

    UMC 1%

    LMC 2%

    LMC 10%

    UWC 70%

    UWC 57%

    MWC 87%

    ------

    LWC 97%

    LWC 71%

    Keterangan :

    MMC = golongan menengah menegah

    LMC = golongan menengah rendah

    Norwich : UWC = golongan buruh atas

    MWC = golongan buruh menenggah

    LWC = golongan buruh rendah

    UMC = golongan menegah atas

    LMC = golongan menengah rendah

    Detroit : UWC = golongan buruh atas

    LWC = golongan buruh rendah

    Berdasarkan tabel diatas, terdapat dua korelasi yang

    bermakna: (1) bahwa semakin tinggi golongan masyarakatnya,

    semakin jarang bentuk -s; (2) bahwa perbedaan yang terbesar pada

    kedua tempat itu adalah antara UWC dan LMC. Hal ini menunjukkan

    adanya jurang atau penghalang kemasyarakatan antara golongan buruh

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 35

    atas dengan golongan menengah rendah yang lebih besar atau lebih

    ketat dari pada antara golongan-golongan lainnya.

    Jelas kiranya, perbedaan–perbedaan seperti ini pun terdapat

    dalam bahasa Indonesia dan bahasa–bahasa daerah. Pengetahuan

    yang lebih banyak mengenai hal-hal demikian memperdalam dan

    memperluas pengertian kita mengenai bahasa-bahasa di Indonesia dan

    penggunaan ragam-ragamnya dalam dan untuk komunikasi dalam

    masyarakat kita.

    Mudah-mudahan beberapa orang diantara pembaca akan

    tergugah hatinya mengadakan penelitian korelasi antara bentuk-bentuk

    morfologi dan pola-pola sintaksis dengan ragam-ragam bahasa

    sosiolek dan fungsiolek di samping studi-studi dialektologi geografis.

    RANGKUMAN

    Jika kita memperhatikan bahasa dengan terperinci dan teliti,

    kita akan melihat bahwa bahasa itu dalam bentuk dan maknanya

    menunjukkan perbedaan–perbedaan kecil besar antara

    pengungkapannya yang satu dengan pengungkapan yang lain. Lalu

    kita akan mendengar perbedaan–perbedaan bentuk bahasa seperti ini

    dan yang lain–lain akan kita sebut variasi. Terdapat beberapa jenis

    dalam mengkaji variasi bahasa salah satunya adalah sosiolinguistik.

    Perkembangan dan popularitas dari sosiolinguistik belakangan ini

    banyak disebabkan oleh kegunaannya dalam pengajaran bahasa.

    Setelah makin dikaji dan banyak diketahui mengenai fungsi-fungsi

    bahasa dalam kehidupan kemasyarakatan maka makin jelas kelihatan

    juga hubungannya dengan motivasi belajar inilah juga yang banyak

    berpengaruh pada hasil belajar. Oleh karena tidak semua orang

    mempunyai tujuan (dan motivasi) belajar yang sama, maka

    pendekatan, materi, dan penyajian pelajaran pun perlu disesuaikan

    dengan tujuan belajar itu untuk menjamin hasil pelajaran yang lebih

    baik.

  • 36 | S o s i o l i n g u i s t i k

    BAB III

    FUNGSI-FUNGSI BAHASA

    Fungsi bahasa secara umum, yaitu komunikasi. Jika kita

    mengkaji fungsi bahasa sebagai komunikasi dalam kaitannya dengan

    masyarakat dan pendidikan secara lebih terperinci, maka kita dapat

    membedakan empat golongan fungsi bahasa: (1) fungsi kebudayaan,

    (2) fungsi kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, dan (4) fungsi

    pendidikan. Keempat macam fungsi itu tentu berkaitan juga, sebab

    ―perorangan‖ adalah anggota ―masyarakat‖ yang hidup dalam

    masyarakat itu sesuai dengan pola-pola ― kebudayaannya‖ yang

    diwariskan dan dikembangkan melalui ―pendidikan‖ namun berguna

    untuk mengkaji setiap macam fungsi bahasa itu secara sendiri.

    3.1. Fungsi Kebudayaan Fungsi kebudayaan dari bahasa telah kita bayangkan diatas

    dengan membicarakan hubungan diatas dengan membicarakan

    hubungan bahasa dan kebudayaan. Disini dapat kita simpulkan fungsi

    bahasa dalam kebudayaan sebagai: (1) sarana perkembangan

    kebudayaan, (2) jalur penerus kebudayaan, (3) inventaris ciri-ciri

    kebudayaan. Diatas kita katakan bahwa secara filogenetik (=

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 37

    hubungan jenis), bahasa adalah bagian dari kebudayaan, dan

    bahasalah yang memungkin pengembangan kebudayaan sebagai mana

    kita kenal.

    Secara ontogenetic (= terjadi dalam pperorangan), seseorang

    belajar dan mengetahui kebudayaannya kebanyakan melalui bahasa:

    artinya, kita belajar hidup dalam masyarakat melalui daan dengan

    bantuan bahasa. Dengan kata lain , suatu kebudayaan dilahirkan dalam

    perorangan kebanyakan dengan bantuan bahasa; contoh dan tindakan

    orang lain menjadi‖ bahan pelajaran‖ juga dalam pembudayaan

    seseorang, tetapi semua itu di sertaiatau diperkuat juga oleh bahasa.

    Umpamanya, seorang anak yang memberikan sesuatu dengan tangan

    kiri kepada ibunya, mungkin dipukul tangannya untuk menunjukkan

    bahwa itu tidak baik, tetapi lazim juga kalau pukulan tangann itu

    disertai peringatan bahwa ― tidak baik memberikan sesuatu dengan

    tangan kiri‖ dan sebagainya; malah lebih lazim lagi ajaran atau

    peringatan itu diberikan hanya dengan lisan, tanpa suatu pukulan

    tangan dan lain sebagainya. Dibawah akan kita bicarakan lebih lanjut

    fungsi penerusan kebudayaan dari bahasa ini.

    Diatas telah kita katakan bahwa segala sesuatu yang ada

    dalam sesuatu kebudayaan mempunyai nama dalam bahasa

    kebudayaan itu; inilah yang dimaksud dengan fungsi bahasa sebagai

    inventaris dari kebudayaan.sesuatu kata, ungkapan, atau konsep yang

    ada dalam bahasa sesuatu kebudayaan belum tentu mempunyai

    padanan yang sesuai dalam bahasa kebudayaan lain. Oleh karena

    itulah maka, jika kita mau membicarakan sesuatu konsep dari

    kebudayaan lain, kita menggunakan istilah dalam bahasa aslinya

    untuk mengungkapkan konsep itu, sebab jika kata itu diterjemahkan,

    sering artinya terlalu jauh dari apa yang mau diungkapkan. Inilah alas

    an kenapa kadang-kadang sesuatu sesuatu bahasa memakai sesuatu

    kata attau istilah bahasa lain dalam menyatakan sesuatu; jika kata lain

    itu diubah bentuk dan/ atau lafalnya sesuai dengan bahasa pemakai

    itu, maka kata itu menjadi unsur biasa dalam bahasa itu dan disebut ―

    kata pungutan‖ (Inggris: loanword). Hal ini lain dari pemakaian kata-

    kata atau ungkapan dari bahasa asing untuk sesuai efek tertentu

    (umpamanya agar orang terkesan oleh‖ kepandaiaannya‖) atau oleh

  • 38 | S o s i o l i n g u i s t i k

    karena si pembicara lupa atau tidak tahu perkataan itu dalam

    bahasanya.

    Dalam bahasa Indonesia terdapatbanyak kata pungutan,

    terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan nama benda-benda baru.

    Dalam kebebasan memungut kata, bahasa Indonesia menyerupai

    bahasa inggris yang terkenal sebagai salah satu bahasa eropa yang

    paling terbuka kepada pungutan kata dari bahasa asing, terutama

    dalam zaman bahasa inggris menengah dan abad ke 19 dan ke 20 (

    Jespersen 1954; baugh 1978). Beberapa contoh kata pungutan dalam

    bahasa Indonesia sehari-hari ialah; saudagar, samudra, huruf, pendek,

    khotbah, tongkang, aspirin, lampu, buku, meja, kamar, tomat, seledri,

    mobil, sopir, sepatu, kemeja, karcis.

    3.2. Fungsi Kemasyarakatan

    Fungsi kemasyarakatan bahasa menunjukan peranan khusus

    sesuatu bahasa dalam kehidupan masyarakat. Klasifikasi bahasa

    berdasarkan fungsi kemasyarakatan dapat di bagi dua. Yakni (1) yang

    berdasarkan ruang lingkup dan, (2) yang berdasarkan bidang

    pemakaian. Yang pertama, yang berdasarkan ruang lingkup,

    mengandung‖bahasa nasional‖ dan ―bahasa kelompok‖. Bahasa

    nasional dirumuskan oleh halim(1976) berfungsi sebagai (a) lambing

    kebanggaan kebangsaan dan (b) lambing identitas bangsa; dan bagi

    Negara-negara yang beraneka suku, bahasa dan kebudayaan, sebagai

    (c) alat penyatuan berbagai suku bangsa dengan berbagai latar

    belakangsosial budayadaan bahasa, dan (d) alat perhubungan

    antardaerah dan antarbudaya. Di Indonesia bahasa nasional ialah

    bahasa Indonesia sebagaimana di ikhrarkan dalam sumpah pemuda

    pada 28 oktober 1928,dan diresmikan dalam pasal 36 UUD 1945.

    Bahasa kelompok ialah bahasa yang digunakan oleh

    kelompok yang lebih kecil dari sesuatu bangsa, umpamanya suku

    bangsa atau suatu daerah subsuku, sebagai lambing identitas

    kelompok itu dan alat pelaksanaan kebudayaan kelompok itu. Di

    Indonesia bahasa kelompok demikian kita sebut ― bahasa daerah‖ atau

    ―logat daerah‖ disini logat daerah dipakai untuk sesuatu variasi bahasa

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 39

    khas yang dipakai oleh kelompok yang lebih kecil dari suku bangsa.

    Di Indonesia banyak sekali bahasa kelompok, bahasa daerah saja

    sudah berjumlah 418 dalam pperhitungan lembaga bahasa nasional

    pada tahun 1972, dan lebih dari 500 menurut perkiraan barr dan barr

    tahun (1980). Sudah barang tentu bilangan-bilangan itu harus

    dikalikan beberapa kali untuk ragam bahasa subkelompok.

    Kearah lain, yaitu ruang lingkup yang lebih luas dari bahasa

    nasional, kita mengenal ― bahasa komunikasi lebih luas‖ (language

    oof wider communication), yaitu bahasa yang dipakai dalam

    komunikasi antarbangsa dan antarnegara. Bahasa Indonesia mungkin

    dapat dimasukkan dalam kelas ini, jika kita gunakan bahasa Indonesia

    secara resmi dalam hubungan kita dengan Malaysia. Bahasa inggris

    dan bahasa spanyol jelas memenuhi syarat itu, sebab biasa dipakai

    dalam komunikasi antarnegara dan antarbangsa. Bahasa inggris

    dipakai juga antara bangsa-bangsa yang bukan penutur asli bahasa itu,

    umpamanya penghimpunan ASEAN, sehingga ia mempunyai suatu

    fungsi yang dapat diisebut ― bahasa internasional‖.

    Mirip dengan fungsi bahasa untuk komunikasi yang luas ialah

    apa yang disebut‖ bahasa kerja‖ dari perserikatan bangsa-bangsa.

    Yang termasuk bahasa kerja PBB ini pada mulanya 5 bahasa; yakni

    empat dari bahasa bangsa-bangsa yang menang dalam perang dunia II:

    bahasa inggris, rusia, mandarin,dan prancis ditambah dengan bahasa

    spayol. Belakangan ini di akui bahasa arab sebagai bahasa kerja PBB,

    sehingga sekarang menjadi enam, apa bahasa Indonesia dapat

    mencapai kedudukan sebagai bahasa kerja PBB belum berupa

    pertanyaan yang penting. Yang diharapkan dan perlu di usahakan

    ialah memantapkan bahasa Indonesia dalam fungsi-fungsinya yang

    akan disebut dibawah ini.

    Klasifikasi bahasa berdasarkan fungsi golongan kedua ialah:

    ―bahasa resmi‖ bahasa pendidikan,bahasa agama, bahasa dagang‖ dan

    sebagainya. Bahsasa resmi ialah bahasa yang dipakai untuk keperluan

    resmikenegaraan seperti pemerintahan dan pengadilan.di Indonesia

    bahasa resmi pemerintahan ialah bahasa Indonesia, namun demikian,

    pada tingkat desa dan kota kecil sering juga dipakai bahasa daerah

    sebagai bahasa resmi secara taktis lapangan; tetapi kalau laporan

  • 40 | S o s i o l i n g u i s t i k

    tertulis akan dibuat dalam bahasa indoonesia. Dalam rumusan halim

    (1976), fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi,atau yang

    disebut ― bahasa Negara‖selain sebagai bahasa resmi kenegaraan juga

    mencakup fungsi sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan

    sebagai pengembangan kebudayaan , ilmu pengetahuan dan tehnologi

    pada tingkat nasional. Kiranya perlu dicatat disini bahwa istilah ―

    bahasa Negara‖ dalam pasal 36,UUD 45, mencakup kedua fungsi

    yang kita bicarakan disini, yaitu bahasa nasional dan bahasa resmi.

    Dalam rumusan bahasa resmi kenegaraan di atas termasuk

    juga bahasa pendidikan, yaitu bahasa yang dipakai sebagai bahasa

    pengantar dalam pendidikan. Di Indonesia, bahasa pendidikan ialah

    bahasa Indonesia dengan ketentuan bahwa dibeberapa tempat bahasa

    daerah boleh dipakai di kelas 1 sampai 3 sekolah dasarjikalau perlu,

    artinya jika dianggap bahwa murid-murid belum dapat mengikuti

    pelajaran yang diberikan dalam bahasa Indonesia. Kebijakan ini

    diperlukan, oleh karena di daerah-daerah dimana bahasa daerah

    dipakai secara umum untuk pergaulan sehari-hari, anak-anak belum

    tahu bahasa Indonesia dan mereka memerlukan waktu untuk

    mempelajarinya sebbelum mereka dapat memakainya sebagai bahasa

    pengantar pelajaran.

    Di dalam pengkajian sosiolinguistik, yakni ilmu yang

    mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, fungsi bahasa dalam

    masyarakat adalah topic yang penting. Pemeriaan fungsi-fungsibahasa

    secara singkat untuk suatu Negara, yang di ikhtisarkan dalam suatu

    rumus, disebut ―profil sosiolinguistik‖ (ferguson 1966) Negara itu,

    sebab rumus itu memberikan konfigurasi penggunaan bahasa-bahasa

    dalam masyarakat atau Negara itu.

    3.3. Fungsi Perorangan

    Klasifikasi fungsi bahasa golongan ketiga, yaitu fungsi

    perorangan, akan kita dasarkan disini pada kajian halliday 1976. Dia

    membuat suatu klasifikasi kegunaan pemakaian bahasa atas dasar

    observasi yang terus menerus terhadap penggunaan bahasa anak-anak

    kecil terdiri dari enam fungsi,yaitu (a) instrumental; (b) menyuruh; (c)

    interaksi; (d) kepribadian;(e) pemecahan masalah (heuristic); (f)

    khayal. Kepada klasifikasi ini perlu ditambahkan lagi satu fungsi yang

  • S o s i o l i n g u i s t i k | 41

    terdapat pada orang yang berusia lebih dari tiga tahun, yaitu (g)

    informasi.

    Fungsi instrumental terdapat dalam ungkapan

    bahasa,termasuk bahasa bayi, untuk meminta sesuatu

    (makanan,barang dan sebagainya); contoh dalam bahasa dewasa:‖kasi

    itu sama saya‖; minta saya diberikan kopi‖ fungsi

    menyuruh(regulatory) ialah ungkapan untuk menyuruh orang lain

    berbuat sesuatu:contoh dalam bahasa dewasa: ―lakukan itu; harap

    letakkan ini diatas meja‖. Fungsi interaksi terdapat dalam ungkapan

    yang menciptakan sesuatu iklim untuk hubungan antarpribadi; contoh

    dalam bahasa dewasa ; apa kabar?;terima kasih, salam dari anu,

    sampai ketemu lagi‖. Fungsi kepribadian (personal) ialah yang

    terdapat dalam ungkapan yang menyatakan atau mengakhiri

    partisip