dr. masruddin, s.s., m....
TRANSCRIPT
-
i
SOSIOLINGUISTIK Dr. Masruddin, S.S., M. Hum.
-
ii
SOSIOLINGUISTIK Penulis
Dr. Masruddin, S.S., M. Hum. Cetakan I, 2014 Cetakan II, 2015 Hak cipta dilindungi undang undang All rights reserved Desain Cover : Naston Editor : Madehang, S.Ag., M.Pd. Penerbit Read Institute Press Jl. Tokasirang Bumi Temmalebba Permai Blok F No. 5 Palopo Sulawesi Selatan Email: [email protected]
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT) Sosiolinguistik -Cet. 1 – Palopo: Read Institute Press, Februari 2015 v-152 hlm; 15 x 20 cm
ISBN: 978-602-14732-5-2
mailto:[email protected]
-
iii
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, karena dengan taufiq dan hidayah-Nya sehingga buku ajar mata kuliah “SOSIOLINGUISTIK” dapat dilaksanakan dan diselesaikan dengan baik.
Buku sosiolinguistik ini adalah buku yang ditulis untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan bidang ilmu kajian sosiolinguistik. Buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai kajian ini. Sosiolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang sangat penting dimengerti oleh pembelajar bahasa.
Selaku penulis, kami tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesain buku ini. Semoga Allah Swt., memberikan rahmat, atas segala keikhlasan dan hasil kerja kita semua. Amin. Wassalam Wr. Wb.
Palopo, 20 November 2013 Penulis,
Dr. Masruddin., S.S., M.Hum. NIP 198006132005011005
-
iv
-
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR - iii
DAFTAR ISI - v
BAB I Pendahuluan -1
BAB II Bahasa dan variasi bahasa -21
BAB III Fungsi-fungsi bahasa - 36
BAB IV Kedwibahasaan - 45
BAB V Bahasa dan kelas sosial - 56
BAB VI Bahasa dan kebudayaan - 65
BAB VII Bahasa dan usia - 75
BAB VIII Pilihan bahasa - 83
BAB IX Pergeseran bahasa dan faktor penyebabnya - 101
BAB X Pidgin dan creole - 118
BAB XI Perencanaan bahasa - 128
BAB XII Pendidikan dan pengajaran bahasa - 136
REFERENSI - 145
-
vi
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 1
BAB I
PENDAHULUAN
Bahasa adalah salah satu ciri yang paling khas manusiawi
yang membedakannya dari makhluk-mahkluk yang lain. Ilmu yang
mempelajari hakikat dan ciri-ciri bahasa ini disebut ilmu linguistik.
Linguistiklah yang mengkaji unsur-unsur bahasa serta hubungan-
hubungan unsur itu dalam fungsinya sebagai alat perhubungan antar
manusia.
Bahasa dapat dikaji dari berbagai sudut dan memberikan
perhatian khusus pada unsur-unsur bahasa yang berbeda–beda dan
pada hubungan-hubungan (atau struktur) yang berbeda-beda pula.
Dengan begitulah lahir beberapa cabang ilmu linguistic, antara lain :
fonologi yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa ; morfologi yang
mempelajari bentuk-bentuk kata ; sintaksis yang mengkaji
penggabungan kata-kata menjadi kalimat-kalimat yang berbeda-beda
; tipologi bahasa persamaan dan perbedaan antara bahasa ; linguistic
historis yang mengkaji perubahan-perubahan yang terdapat dalam
bahasa dalam perjalanan waktu ; dialektologi yang mengkaji
persamaan dan perbedaan ragam-ragam suatu bahasa dalam hubungan
daerah pemakaian bahasa itu ; dan seterusnya.
-
2 | S o s i o l i n g u i s t i k
Dari dulu sudah disadari bahwa bahasa adalah suatu lembaga
kemasyarakatan ( de Saussure,1961 ) sebagaimana juga perkawinan,
perwarisan harta, dan sebagainya. Akan tetapi, baru dalam dua dasa
warsa belakangan ini semakin disadari ahli-ahli bahasa bahwa perlu
diberikan lebih banyak perhatian kepada dimensi kemasyarakatan
dalam bahasa. Adalah dimensi kemasyarakatan ini yang memberikan
makna kepada bahasa, dan sekarang ini semakin disadari oleh ahli-ahli
bahasa bahwa dimensi kemasyarakatan ini menimbulkan ragam-ragam
bahasa yang bukan hanya berfungsi sebagai petunjuk perbedaan
golongan kemasyarakatan penuturnya, tetapi juga sebagai indikasi
situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, aturan-aturan, dan
modus penggunaan bahasa. Pengkajian bahasa dengan dimensi
kemasyarakatan seperti disebut diatas ini di sebut sosiolinguistik.
Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur; sosio- dan
linguistic. Kita mengetahui arti linguistic, yaitu ilmu yang
mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur
(fonem, morfem, kata, kalimat ) dan hubungan antara unsur-unsur itu
(struktur), termasuk hakekat dan pembentukan unsur-unsur itu. Unsur
sosio- adalah seakar dengan social, yaitu yang berhubungan dengan
masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-fungsi
kemasyarakatan. Jadi sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan
dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota
masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari
dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya
perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan
dengan faktor-faktor kemasyarakatan (social).
Dalam buku Signs, Language and Behavior (1946), Charles
Morris membedakan tiga macam studi bahasa yang dianggapnya
sebagai suatu system semiotic (perisyaratan), tergantung dari apa yang
menjadi pusat perhatian. Jika yang diperhatikan ialah hubungan antara
isyarat-isyarat (unsur-unsur bahasa) dengan maknanya, itu disebut
semantic. Jika perhatian ditumpukan pada hubungan isyarat dengan
isyarat, itu disebut sintaktik ; ahli-ahli bahasa memakai istilah
linguistic untuk ini. Jika pusat perhatian adalah hubungan antara
isyarat dengan pemakainya (penutur bahasa), itu disebut pragmatic.
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 3
Yang belakangan inilah yang sekarang kita sebut sosiolinguistik,
khususnya yang mempelajari aspek-aspek sosial dari pemakainya dan
aturan pemakaiannya.
Ada dua aspek yang mendasar dalam pengertian masyarakat.
Yang pertama ialah bahwa anggota-anggota suatu masyarakat hidup
dan berusaha bersama secara berkelompok-kelompok. Aspek yang
kedua ialah bahwa anggota-anggota dan kelompok-kelompok
masyarakat ini dapat hidup secara bersama karena ada suatu perangkat
hukum dan adat kebiasaan yang mengatur kegiatan dan tindak laku
mereka, termasuk tindak laku berbahasa. Dalam sosiolinguistik, kedua
aspek ini dibicarakan, tetapi umumnya lebih banyak tekanan diberikan
pada aspek kehormatan itu. Studi yang lebih menekankan aspek adat
kebiasaan dan aturan-aturan berbahasa itu disebut juga etnolinguistik
atau linguistic antropologi.
Untuk membicarakan dengan baik aspek-aspek
kemasyarakatan berbahasa itu, kita memerlukan pokok-pokok pikiran
dan hasil-hasil studi sosiologi dan lingistik. Jadi, kita juga dapat
menganggap sosiolinguistik itu sebagai suatu studi antardisiplin,
sebagaimana yang digambarkan oleh unsur-unsur istilah sosio dan
linguistic. Ada juga orang yang memasuki lapangan sosiolinguistik
dari lapangan sosiologi, menyebut studi itu sosiologi bahasa (
umpamanya J.A. Fishman yang mula-mula memakai judul bukunya
sosiolinguistics, 1970, dan kemudian beralih kepada Sosiology of
Language, 1972.)
1.1. Masalah-Masalah Sosiolinguistik Nababan (1993) menyatakan bahwa masalah utama
yang dibahas oleh atau dikaji dalam sosiolinguistik adalah:
1. Mengkaji bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan 2. Menghubungkan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri dan
ragam bahasa dengan situasi serta factor-faktor social dan
budaya
3. Mengkaji fungsi-fungsi social dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.
-
4 | S o s i o l i n g u i s t i k
Nababan (1993) juga menyatakan bahwa topik-topik
umum dalam pembahasan sosiolinguistik adalah:
1. Bahasa, dialek, idiolek, dan ragam bahasa 2. Repertoar bahasa 3. Kedwibahasaan dan kegandabahasaan 4. Fungsi kemasyarakatan bahasa dan profil sosiolinguistik 5. Penggunaan bahasa (etnografi berbahasa) 6. Sikap bahasa 7. Perencanaan bahasa 8. Interaksi sosiolinguistik 9. Bahasa dan kebudayaan
Kemudian, Mahsun (2006) menulis bahwa dengan bertitik
tolak pada pengertian pemakaian bahasa dalam arti luas, maka bidang
kajian sosiolinguistik (pemakaian bahasa) dapat dibagi menurut
fokusnya antara lain penitikberatan pada topic-topik berikut ini.
1. Bahasa dan gelar 2. Bahasa dan umur 3. Bahasa dan etnisitas (yang dapat dikaji; penggunaan bahasa
sebagai ungkapan purbasangka; sikap golongan mayoritas terhadap
bahasa kelompok etnisitas yang minoritas; pelabelan negatif;
kajian etnografi komunikasi yang meneliti bagaimana masyarakat
etnis yang di teliti menggunakan bahasa tidak hanya sebagai alat
komunikasi, tetapi sebagai lambang jati dirinya; ketidakstabilan
bilingualisme bahasa daerah-bahasa dominan dikalangan kelompok
etnis tertentu)
4. Bahasa dan kelas sosial 5. Penggunaan bahasa dan profesi (politisi, guru, akademis, ulama,
wartawan, dan lainnya)
6. Penggunaan bahasa dalam media massa (cetak, tulis, dan elektronik)
7. Penggunaan bahasa dalam dunia pendidikan 8. Penggunaan bahasa oleh penutur daerah tertentu 9. Penggunaan bahasa dalam debat DPR(D) 10. Penggunaan bahasa oleh pejabat 11. Penggunaan bahasa dalam wawancara televisi (dialog interactif)
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 5
12. Penggunaan bahasa di sidang pengadilan 13. Penggunaan bahasa di dalam interogasi polisi 14. Penggunaan bahasa di antara dokter dan pasien 15. Penggunaan bahasa oleh guru atau murid di kelas 16. Penggunaan bahasa di kalangan anak balita kelas sosial bawah dan
kelas sosial menengah
17. Bahasa dan ketidaksamaan berbahasa di kalangan mahasiswa, murid, guru, dan lainnya
18. Penggunaan bahasa di dalam surat-surat resmi (kontrak, perjanjian, maklumat pemerintah, notariat dan lainnya
19. Penggunaan bahasa di dalam bidang-bidang tertentu (hokum agama, jual beli dan lainnya)
20. Bahasa dan strategi berbahasa 21. Penggunaan bahasa dan prinsip kerja sama 22. Kesantunan berbahasa 23. Kesepadanan adaptasi linguistik dengan daptasi sosial di antara
masyarakat tutur bahasa yang brerbeda dan lainnya (bandingkan
dengan Gunarwan, 2002).
Topik bahasa, dialek dan idiolek akan menerangkan
perbedaan dan persamaan antara istilah-istilah itu. Ketiga-tiganya
adalah bahasa. Jika yang dibicarakan adalah bahasa seseorang maka
itu disebut idiolek. Dengan istilah ini ingin di tonjolkan bahwa system
bahasa (idiolek) tiap-tiap orang menunjukan perbedaan-perbedaan
besar kecil dari idiolek orang lain, walaupun idiolek-idiolek itu dapat
digolongkan satu bahasa.
Idiolek-idiolek yang menunjukkan lebih banyak persamaan
dengan idiolek-idiolek lain dapat digolongkan dalam satu kumpulan
kategori yang disebut dialek. Besarnya persamaan ini disebabkan oleh
letak geografi yang berdekatan, yang memungkinkan antarkomunikasi
yang sering antara penutur-penutur idiolek itu. Jika keseringan
antarkomunikasi disebkan oleh kedekatan social, yaitu penutur-
penutur idiolek itu termasuk dalam satu golongan masyarakat yang
sama, maka kategori bahasa mereka itu disebut sosiolek.
-
6 | S o s i o l i n g u i s t i k
Istilah bahasa dalam kerangka ini termasuk dalam kategori
kebahasaan yang terdiri dari dialek-dialek yang masing-masing
penuturnya saling mengerti (mutual intelligibility) dan dianggap
penutur-penuturnya sebagai suatu kelompok kebahasaan yang sama.
Dalam praktek, kriteria kedualah (= anggapan penuturnya) yang lebih
penting. Jika bahasa ini sudah pesat perkembangannya, maka biasanya
ada sesuatu dialek dari bahasa itu yang diterima oleh semua penutur
bahasa itu sebagai dialek baku (standar) dan itulah yang dimaksud
dengan bahasa. Itulah bahasa (sebenarnya dialek) yang dipergunakan
dalam keadaan dan komunikasi resmi.
Sehubungan dengan makna tambahan yaitu penilaian yang
terkandung dalam kata-kata bahasa ( baku,baik dan umum) dan dialek
( sering dipakai dalam konotasi tidak baku lebih rendah dan lebih
terbatas), maka dalam sosiolinguistik dipakai istilah ragam (variety)
yang dapat dipakai untuk dialek atau sosiolek, yang baku atau umum
dan yang tidak baku atau terbatas. Istilah ragam juga mencakup
bahasa yang sistemnya tergantung pada situasi dan keadaan berbahasa
yaitu peristiwa berbicara, penutur-penutur bahasa, tempat berbicara,
masalah yang dibicarakan, tujuan berbicara, media berbahasa (tulisan
atau lisan), dan sebagainya. Istilah ragam bahasa ini ialah fungsiolek
(analog dengan sosiolek) karena yang menentukan raga mini ialah
fungsi berbahasa itu. Ragam-ragam ini dan ragam yang berkaitan
dengan waktu (= kronolek).
Istilah repertoar (repertoire) bahasa dipakai untuk semua bahasa
dan ragam bahasa yang diketahui dan dipakai seseorang dalam
pergaulan, pekerjaan, dan urusan-urusannya. Ternyata bahwa setiap
orang menguasai dan mempergunakan banyak ragam bahasa ibu atau
bahasa pertamanya. Begitu juga beberapa ragam dari bahasa
keduanya, yaitu bahasa yang bukan bahasa pertamanya tetapi
dipergunakan secara meluas oleh masyarakat tempat orang itu hidup
dan bekerja. Sering juga ia menguasai satu ragam (kadang-kadang dua
ragam) bahasa asing atau bahasa lain yang diketahuinya.
Dalam sosiolinguistik dikaji juga arti yang lebih memuaskan dari
istilah masyarakat bahasa. Bloomfield (1933:29) membatasinya
dengan ―sekumpulan manusia yang menggunakan sistem isyarat
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 7
bahasa yang sama‖. Ini di anggap terlalu sempit cakupannya oleh ahli-
ahli sosiolinguistik, sebab setiap orang menguasai menggunakan lebih
dari satu ragam bahasa, dan dewasa ini dalam kebanyakan masyarakat
(terkecuali desa-desa yang terpencil) terdapat lebih dari satu bahasa.
Labov (1972:158) memberikan pembatasan: A group who shares the
same norms in regard to language ( suatu kelompok yang mempunyai
norma-norma yang sama mengenai bahasa).
Istilah kedwibahasaan (bilingualism) biasanya dipergunakan
untuk kemampuan dan kebiasaan mempergunakan dua bahasa; istilah
kedwibahasaan itu sering juga disebut kegandabahasaan
(multilingualism). Sebenarnya istilah kedwibahasaan itu dipakai untuk
dua konsepsi yang berkaitan tetapi berbeda, yakni kemampuan
mempergunakan dua bahasa dan kebiasaan memakai dua bahasa
dalam pergaulan hidup. Untuk yang pertama kita akan gunakan istilah
bilingualitas dan untuk yang kedua istilah bilingualisme. Yang perlu
dibahas dalam bilingualism ialah :
(a) Pola-pola penggunaan kedua bahasa yang bersangkutan,
(b) seringnya dipergunakan setiap bahasa itu, dan (c) dalam
lingkungan (domain) bahasa yang bagaimana bahasa-bahasa
itu dipakai. Yang perlu dikaji dlam bilingualitas ialah tingkat
penguasaan setiap bahasa, dan jenius keterampilan yang di
kuasai seperti berbicara, menyimak, menulis, atau membaca.
Jika kita gambarkan tingkat penguasaan dalam keempat
keterampilan ini maka akan diperoleh profil penguasaan (
proficiency profile) yang umumnya berbeda bagi kedua
bahasa yang dikuasai seseorang yang berdwibahasa.
Dalam topic kedwibahasaan, kita bicarakan juga alih
kode (code-switching) dan campur kode (code-mixing). Yang
pertama terjadi kalau keadaan berbahasa itu menuntut penutur
mengganti bahasa atau ragam bahasa yang sedang dipakai;
yang kedua terdapat jika seseoramg mencampur dua bahasa
atau ragam bahasa hanya oleh karena mudahnya dan bukan
karena dituntut keadaan berbahasa itu.
Fungsi kemasyarakatan dan kedudukan kemasyarakatan
bahasa-bahasa adalah suatu topik yang pokok dalam pembahasan
-
8 | S o s i o l i n g u i s t i k
sosiolinguistik. Suatu bahasa dapat menjadi bahasa nasional, bahasa
negara atau bahasa resmi ( yaitu bahasa yang digunakan dalam
urusan-urusan resmi dalam negara), bahasa pendidikan, bahasa
keagamaan, bahasa kelompok ( yang dipergunakan dalam pergaulan
sesama anggota sesuatu kelompok atau suku bangsa), dan lain-lain.
Itulah fungsi-fungsi bahasa yang paling penting dan yang lebih sering
disebut dalam study sosiolinguistik. Jika kita menggambarkan fungsi-
fungsi bahasa-bahasa yang terdapat dalam suatu rumus, maka
gambaran (rumus) itu di sebut profil sosiolinguistik dari negara itu.
Umpamanya, jika dalam suatu negara ada 6 bahasa, satu diantaranya
diberi kedudukan sebagai bahasa nasional (n), 2 (termasuk (n)) dari
yang 6 itu diakui sebagai bahasa resmi (r), 4 diantaranya (termasuk (n)
dan (r)) adalah bahasa kelompok (k), 3 diantaranya (termasuk (n) dan
(r)) dipakai bahasa pengantar pendidikan (d), dan satu di keagaamaan
(a), maka rumus yang menggambarkan profil sosiolinguistik negara
itu ialah:
6 B = 1(n.r.d.k) + 1(r,d,k) + 1(d.k) + 2(k) + 1(a).
Jika kita masukkan fungsi-fungsi kemasyarakatan lain, maka rumus
ini akan berubah.
Pengkajian penggunaan bahasa dan laku bahasa disebut
etnografi berbahasa. Yang dikaji dan diperkirakan khususnya ialah
unsur-unsur yang terdapat dalam tindak berbahasa dan kaitannya
dengan, atau pengaruhnya terhadap, bentuk dan pemilihann ragam
bahasa. Unsur-unsur itu ialah antara lain, siapa berbicara dengan
siapa, tentang apa (topik), dalam situasi (setting) yang bagaimana,
dengan tujuan apa, dengan jalur apa (tulisan, lisan,, telegram, dan
sebagainya), dan ragam bahasa yang mana. Dell hymes (1972)
menggambarkan kelima belas unsur berbahasa (components of
speech), yang dihasilkan analisisnya dalam suatu akronim bahasa
inggris yang tergolong dlam delapan unsur, sehingga menghasilkan
speaking dengan huruf pertamanya:
S(etting and Scane)
P(articipant)
E(nds) (purpose and goal)
A(ct sequences)
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 9
K(ey) (tone or spirit of act)
I(nstrumentalities) (jalur)
N(orms) (of interaction and interpretation)
G(enres) (bentuk dan ragam bahasa)
Topik sikap bahasa dibahas dalam kaitannya dengan motivasi
belajar suatu bahasa, terlebih dalam belajar suatu bahasa, terlebih
dalam belajar bahasa kedua, yaitu yang dipergunakan secara umum
dalam masyarakat, dan belajar bahasa asing. Sikap bahasa juga
berperan kuat dalam peralihan bahasa (language shift) dan usaha
,mempertahankan serta membina sesuatu bahasa oleh penutur-
penuturnya,khususnya dalam perpindahan tempat (emigrasi atau
transmigrasi).
Dalam perencanaan bahasa dikaji dengan hal-hal yang
berkaitan dengan politik bahasa serta pembinaan dan pengembangan
bahasa, khususnya pembakuan bahasa (dalam ejaan, istilah, dan tata
struktur), pembaharuan, dan perluasan subsistem-subsistem bahasa
(khususnya ejaan dan peristilahan). Peralatan dan jalur-jalur dalam
penyebaran hasil-hasil pengembangan dan pembakuan antara lain
ialah : pendidikan, buku-buku (termasuk kamus), media massa, dan
badan-badan pemerintahan.
Dalam subtopik interaksi sosiolinguistik dibicarakan perlunya
kemampuan berbahasa di luar kemampuan linguistik (tata bahasa dan
kosa kata), yaitu kemampuan komunikatif yang berarti tahu
mempergunakan unsur kebahasaan sesuai dengan norma-norma
berbicara, dalam keadaan yang bagaimana mengatakan sesuatu dan
tidak mengatakan sesuatu (linguistic etiquette), dan aturan giliran
berbicara yang berbeda-beda antara kelompok-kelompok
sosiolinguistik (budaya) yang berlainan.
Dalam topik ini dibicarakan juga makna yang sebenarnya dari
unsur-unsur kebahasaan, sebab satu bentuk bahasa (kalimat) tidak
selalu sama artinya, tetapi tergantung juga pada konteks
pemakaiaannya. Suatu contoh dari perbedaan makna yang sebenarnya
ialah sebagai berikut: kalau seoramg bapak mengatakan kepada
anaknya sewaktu makan di rumah mereka, ―saya perlu air‖, maka
anak itu akan terus berusaha mengambil air untuk bapaknya
-
10 | S o s i o l i n g u i s t i k
(walaupun kalimat yang diucapkan bapaknya itu adalah hanya satu
kalimat pernyataan). Begitu juga, bila kita mengatakan kepada teman
sewaktu baru bertemu, ―apa kabar‖, kita bukanlah meminta laporan
kabar mengenai sesuatu, tetapi ungkapan pertanyaan itu adalah
sekedar ucapan salam.
Dalam subtopik bahasa dan budaya dikaji hubungan antara
bahasa sebagai unsur budaya dan kebudayaan umumnya. Khususnya
dibahas apa yang disebut relativitas kebahasaan (hipotesis sapir-
Whorf) yang mengatakan bahwa tanggapan atau pikiran dan tindakan
seseorang banyak tergantung pada struktur dan kosa kata bahasanya,
yaitu alat-alat yang dipakainya untuk berpikir dan menanggapi
sesuatu, dan oleh karena itu akan mempengaruhi tindak lakunya.
Biasanya hipotesis Sapir-Whorf ini dikaitkan dan dibandingkan
dengan yang disebut ―relativitas kebudayaan‖ yang mengatakan
bahwa penilaian atas sesuatu hal dan tindak laku kita tergantung pada
sistem nilai dalam kebudayaan kita. Kebudayaan disini di artikan
secara luas yaitu sistem keseluruhan dari kebiasaa-kebiasaan dan cara-
cara hidup kita, bergaul, dan bekerja dalam suatu kelompok.
Kiranya yang disebut di atas itu sudah dapat memberikan
gambaran selayang pandang tentang masalah-masalah yang mendapat
perhatian dari sosiolinguistik. Setiap topik yang disebut itu
mempunyai unsur-unsur yang dapat dikaji dari berbagai aspek: juga
telah terkumpul cukup banyak hasilpenelitian yang memperkaya
perbendaharaan studi sosiolinguistik. Dalam buku pengantar ini, akan
kita uraikan lebih lanjut topik-topik yang paling relevan dengan
pengajaran bahasa.
1.2. Manfaat Sosiolinguistik Sosiolinguistik timbul dalam tahun 1960-an setelah semakin
terasa bahwa pandangan linguistik mengenai bahasa, walaupun
esensial sebagai dasr pembicaraan atau pengkajian bahasa, adalah
terlalu sempit untuk menerangkan tindak laki berbahasa manusia,
sejak dulu disadari huungan yang mendasar antara bahasa dan
masyarakat (seperti terbaca umpamanya dalam tulisan-tulisan de
Saussure, Sapir, Firth, Pike), akan tetapi baru pada permulaan 1960-an
ahli-ahli bahasa mencari makna yang lebih luas (arti dan fungsi) dari
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 11
bahasa dan berbahasa dalam konteks dan tindak laku pemakaiannya.
Semakin diterima bahwa penyimpangan dari suatu bentuk, yang
dianggap baku menurut sesuatu kamus atau tata bahasa, belum tentu
suatu kesalahan (lihat umpamanya, Joos, 1964; Labov, 1968; dan
Halliday dkk., 1964), sebab bentuk-bentuk bahasa seperti itu mungkin
adalah tanda atau isyarat dari hubungan penutur dan pendengar atau
sesuatu yang dituntut oleh keadaan berbahasa itu.
Hasil-hasil pengkajian masalah-masalah sosiolinguistik telah
membuat guru-guru bahasa lebih hati-hati dalam mencap salah satu
bentuk bahasa sebagai kesalahan, karena perlu disadari bahwa bahasa
bukanlah mempunyai hanya satu bentuk saja (monolitik) dan bahwa,
dalam berbahasa, sesuatu masyarakat bahasa (language community)
bukan homogen, sebab akan selalu terdapat variasi-variasi
berdasarkan daerah, tingkat sosial, pekerjaan penutur, dan sebagainya.
Begitu juga, hasil-hasil penelitian sosiolinguistik mengungkapkan hal-
hal yang berhubungan dengan sikap orang terhadap sesuatu bahasa
serta hubungannya yang erat dengan motivasi belajar bahasa itu.
Hasil-hasil pengkajian sosiolinguistik membuat kita semakin mengerti
hubungan antara perencanaan bahasa sebagai sesuatu kegiatan
sosiolinguistik dengan pengajaran bahasa khususnya dan pendidikan
umumnya. Pengajaran bahasa dapat kita pandang sebagai
implementasi perencanaan bahasa dan sekaligus sebagai sumber data
dan motivasi pengkajian dan kegiatan perencanaan bahasa.
Sosiolinguistik terapan mencakup pembaharuan ejaan dan
pembentukan/pengembangan istilah (sebagai bagian dari perencanaan
bahasa), dan analisis keadaan (situational analysis) serta variasi
fungsional bahasa ternyata berguna dalam penerjemahan.
Mungkin, hasil pengkajian sosiolinguistik yang akan lebih
penting dan relevan untuk pengajaran bahasa ialah pembedaan antara
kemampuan tata bahasa (grammatical competence) dan kemampuan
komunikatif (communicative competence) sebab ini dapat
menghasilkan perubahan silabus dan metode penyajian. Yang
dimaksud dengan kemampuan tata bahasa ialah kemampuan untuk
membentuk satuan-satuan bahasa (kata, frasa, dan kalimat) sesuai
dengan aturan-aturan tata bahasa (grammatical rules). Kemampuan
-
12 | S o s i o l i n g u i s t i k
komunikatif ialah kemampuan untuk memilih dan menggunakan
satuan-satuan bahasa itu sesuai dengan aturan-aturan penggunaan
bahasa dengan keadaan sosiolinguistik (sebagaimana kita utarakan di
bagian 1).
Dalam pengajaran bahasa asing, kemampuan komunikatif ini
mungkin tidak termasuk dalam tujuan pengajaran, jika tingkat
keterampilan bahasa yang diingini tidak cukup tinggi. Akan tetapi
dalam pengajaran bahasa pertama dan bahasa kedua (seperti bahasa
Indonesia bagi kebanyakan orang Indonesia), kemampuan
komunikatif inilah yang menjadi tujuan akhir. Jadi, ia perlu mendapat
perhatian yang cukup banyak dalam pengajaran bahasa itu sejak awal.
Kita ketahui bahwa ada pelajaran di beberapa perguruan tinggi dan
sekolah menengah yang mirip dengan pelajaran kemampuan
komunikatif ini, yang disebut ―statistika‖, ―retorika‖ atau gaya bahasa.
Akan tetapi dapat kita perkirakan bahwa pelajaran demikian dapat
dipertajam dan dipertinggi afektivitasnya dengan orientasi
sosiolinguistik dan pengkajian hasil-hasil studi sosiolinguistik.
Sosiolinguistik mempunyai relevansi pada pengajaran bahasa
oleh karena: (a) bahasa memang dipakai dalam masyarakat, (b) bahasa
seharusnya diajarkan dalam konteks atau latar belakang
kemasyarakatan; dan (c) tujuan pengajaran bahasa bersumber pada
keperluan masyarakat dan penggunaan bahasa di masyarakat.
Khususnya, pendekatan pengajaran yang mutakhir yang
disebut ―pendekatan komunikatif‖ dilahirkan oleh pengkajian dan
pemikiran sosiolinguistik. Yang paling menonjol dalam pendekatan
komunikatif ini ialah kebermaknaan bahasa dan bahwa makna bahasa
itu bersumber pada situasi berbahasa.
Dengan begitu, sumbangan utama sosiolinguistik kepada
pengajaran bahasa ialah: (a) penekanan kebermaknaan bahasa dalam
pengajaran bahasa; (b) pengertian yang lebih mendalam tentang ragam
bahasa; (c) tujuan pengajaran bahasa yang bersumber pada
penggunaan bahasa dalam masyarakat; dan (d) bentuk-bentuk bahasa
yang di ajarkan disesuaikan dengan bentuk-bentuk bahasa yang
terdapat (= yang berfungsi) dalam masyarakat.
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 13
Selain dari keguanaannya untuk pendidikan dan pengajaran
bahasa, sosiolinguistik juga dapat memberikan sumbangan kepada
ilmu jiwa, sosiologi, antropologi, linguistik umum, dan bidang-nidang
lainnya. Perlu kita ingat bahwa bahasalah alat utama kegiatan manusia
dalam bidang-bidang kehidupan yang dikaji ilmu-ilmu itu, dan bahwa
pengkajian tindak laku bahasa dalam bidang-bidang itu akan banyak
membantu pengertian kita tentang ilmu-ilmu itu.
1.3. Potensi Sosiolinguistik di Indonesia Potensi sosiolinguistik Indonesia cukup kompleks.
Bagaimanapun kita berikan batasan kepada bahasa dan dialek, adalah
jelas bahwa terdapat sejumlah besarbahasa di negara kita. Menurut
peta bahasa yang diterbitkan Lembaga Bahasa Nasional (1972) ada
sekitar 418 bahasa Indonesia, dengan jumlah penutur setiap bahasa
berkisar antara 100 orang (di Irian Jaya) sampai dengan kira-kira 50
juta orang (bahasa Jawa).
Di antara bahasa-bahasa itu, bahasa indonesia mempunyai
kedudukan istimewa sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa
negara (lihat: Halim, 1976: 20-22). Penentuan bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945,
Bab XV, pasal 36, yang berbunyi, ―Bahasa negara ialah bahasa
Indonesia‖
Bahasa-bahasa yang lain itu adalah bahasa daerah. Bahasa-
bahasa daerah itu ditentukan kedudukan hukumnya berdasarkan
penjelasan Pasal 36, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Bab
XV, yang berbunyi sebagai berikut:
―di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara
rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura,
dan sebaginya) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga
oleh negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan bagian dari kebudayaan
Indnesia yang hidup‖
Kebanyakan orang Indonesia belajar suatu bahasa daerah,
yakni bahasa sukunya, sebagai bahasa pertama. Mereka ini belajar
bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di sekolah atau secara
informal dalam masyarakat. Orang yang demikian bedwibahasa
-
14 | S o s i o l i n g u i s t i k
dengan bahasa daerah sebagai bahasa yang pertama dan bahasa
Indonesia sebagai bahasa yang lain atau yang kedua.
Sering juga orang Indonesia mengetahui satu atau dua bahasa
daerah yang bukan bahasa pertamanya, yang dipelajarinya secara
informal dalam pergaulan dengan penutur-penutur bahasa daerah yang
bersangkutan. Dengan begitu, dapat dimengerti bahwa adalah hal yang
biasa bagi orang Indonesia berdwibahasa, malah bermultibahasa.
Suatu pembicaraan pendek mengenai keadaan sosiolinguistik
di Indonesia dapat dibaca dalam karangan penulis dalam buku
Teodoro A.Liamzon (ed.) 1979, Papers on Southeast Asian
Languange, halaman 259-290, khususnya dalam halaman 275-290.
1.4. Perihal Penelitian Sosiolinguistik (Pemakaian Bahasa) Sosiolinguistik adalah suatu studi antardisiplin. Jadi tidak
mengherankan bahwa metode-metode yang dipergunakan dalam
mempelajari masalah-masalahnya diambil dari kedua disiplin yang
bersangkutan, yaitu sosiologi dan linguistik. Metode-metode linguistik
dipergunakan untuk memerikan (deskripsi) bentuk-bentuk bahasa serta
unsur-unsurnya yang ditemukan atau diperoleh. Jadi, bentuk-bentuk
bahasa serta variasi-variasinya diberikan dengan metode analisis
linguistik dan digambarkan dengan notasi/tanda-tanda
fonetik/fonemik.
Cara-cara mengumpulkan data dari lapangan (masyarakat)
kebanyakan diambil dari ilmu sosiologi, khususnya yang berhubungan
dengan pengamatan (observasi) dan pengumpulan data dengan
kuesioner dan wawancara (lihat, umpamanya Shuy dkk.,1968, dan
Ohanessian dkk., 1975). Analisis untuk mendapatkan pola-pola umum
dalam tindak laku berbahasa juga menggunakan metode statistik dari
sosiologi.
Berhubung subjek yang dikaji adalah anggota-anggota
masyarakat atau sesuatu kelompok, maka biasanya jumlah subjek itu
terlalu banyak untuk di datangi, diamati, atau ditanyai satu persatu.
Oleh karena itu, cara mendapatkan suatu gambaran yang benar dari
sesuatau masalah dalam sesuatu kelompok secara hemat tetapi
memadai ialah dengan memilih sesuatu sampel yang betul mewakili
kelompok itu, yang dapat ditentukan hanya dengan metode-metode
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 15
yang berdasarkan teori kemungkinan (probabilitas) dan statistik.
Dalam analaisispun dipergunakan juga rumus-rumus statistik yang
sederhana. Metode penelitian seperti ini disebut metode survei. Buku
yang kami anggap berguna dipakai sebagai pedoman dan sumber ialah
karya Babbie (1973) dan Moser & Kalton (1971).
Bidang linguistik yang di sebut bidang studi pemakaian
bahasa merupakan bagian terbesar dari pembahasan dalam bidang
studi antaradisiplin yang disebut sosiolinguistik. Dengan kata lain,
bidang linguistik yang berhubungan dengan pemakaian bahasa
merupakan salah satu bagian dari bidang studi sosiolinguistik. Dengan
demikian, penelitian pemakaian bahasa masuk ke dalam penelitian
sosiolinguistik, terutama jika yang di bicarakan adalah pemakaian
bahasa menurut konteks sosial penggunaannya. Dalam pada itu,
sosiolinguistik itu sendiri merupakan bidang garapan antardua
disipling ilmu, yaitu linguistik yang berkutak dengan masalah
kebahasaan di satu sisi, dengan disipling sosiologi yang menaruh
perhatian pada masalah social/ masyarakat disisi lain.
Persoalannya, bagaimana kedua disipling ilmu yang memiliki
objek kajian yang berbeda itu bersinergi untuk suatu kajian bersama
dalam menangani satu fenomena yang suda dikukuhkan menjadi objek
kajian bidang tertentu. Hal ini tentu tergantung pada titik tekan kajian
itu sendiri. Apakah kajian sosiolinguistik itu akan memberikan
tekanan pada fenomena kebahasaan yang penjelasannya menggunakan
konsep-konsep teoritis dalam bidang sosiologi, atau sebaliknya titik
tekannya pada penjelasan terhadap masalah kemasyarakatan dengan
memanfaatkan evidensi kebahasaan.
Pada permulaan dasawarsa 1960-an banyak muncul kajian
yang mencoba mengaitkan masalah kebahasaan dengan masalah
kemasyarakatan. Kajian ini merupakan bentuk lain dari kajian bahasa
yang sebelumnya hanya berkutat mempersoalkan masalah kebahasaan
sebagai suatu system, yang lepas dari konteks sosialnya ( eksternalnya
). Pada era itu bermunculan kajian yang menggunakan factor
ekstralinguistik untuk menjelaskan masalah social kemasyarakatan.
Tentu saja harus diingat, bahwa dalam kajian yang mengaitkan bahasa
dengan masalah sosial terhadap peradaban dalam titik tekan
-
16 | S o s i o l i n g u i s t i k
kajiannya. Ada yang menenkankan masalah kebahasaannya dalam arti
factor social dipandang sebagai variabel saja. Namun, ada pakar yang
memberi penekanan yang besar pada masalah sosialnya, dalam arti,
factor bahasa hanya digunakan untuk menjelaskan fenomena
kemasyarakatan. Hal ini yang menyebabkan lahirnya dua istilah, yaitu
sosiolinguistik untuk bidang yang titik tekannya pada masalah
kebahasaan, dan sosiologi bahasa untuk bidang kajian yang titik
tekannya pada masalah social (kemasyarakatan). Dalam pada itu,
sosiolinguistik lalu dipandang sebagai subdisiplin dari sosiologi.
Namun, dalam buku ini pembedaan semacam itu tidaklah begitu
penting, karena yang dipentingkan adalah bagaimana bidang ilmu
tersebut dapat melakukan kajian perihal kebahasaan dalam konteks
social. Hal yang diamati adalah prilaku kelompok, bukan perilaku
individual atau perseorangan. Bahwa hasil kajiannya itu nanti akan
berwujud penjelasan fenomena kebasaan dengan penjelasannya
menggunakan variable kebahasaan tidaklah menjadi persoalan, dan
inilah wujud sinergis dari kedua disispling itu dalam berkolaburasi
untuk menjelaskan fenomena kemanusiaan hal ini cukup beralasan
karena bahasa merupakan tempat terwadahi perubahan (evolusi) dan
gambaran situasi yang terjadi baik pada masa lampau maupun masa
kini (periksa Glazer dan Daniel P. 384) menyebutkan bahwa secara
alamiah kontak antara dua atau lebih kebudayaan (komunitas) yang
berbeda akan selalu termanisfestasi dalam wujud perubahan bahasa.
Lebih jauh dinyatakannya bahwa perubahan yang dimaksud dapat
berupa peroses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa
yang lain atau kedua-duanya saling melakukan proses yang sama
(bandingkan dengan McMohan, 1994; 200 dan Labov, menunjukan
gambaran tentang kondisi social suatu masyarakat, begitu pula
sebaliknya, gambaran tentang kondisi social suatu masyarakat akan
mencerminkan dalam bahasa yang mereka gunakan. Untuk itu
pembedaan antara subidang tidaklah terlalu urgen (bandingkan
Gunawan, 2002 dengan Hudson, 1995). Dengan demikian,
sosiolinguistik didefinisikan sebagai subidang intersipliner bahasa
dengan sosiologi yang menkaji fenomena kebahasaan dalam kaitannya
dengan factor social, termasuk kelas social, jenis kelamin, usia, dan
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 17
etnisitas dan atau dalam waktu yang bersamaan menkaji fenomena
social dengan menggunakan penjelasan atas dasar evidensi
kebahasaan (bandingan dengan Gunawan, 2002 dengan Hudson,
1995). Batasan di atas tentu memiliki argumentasi yang cukup
penting, karena bagaimanapun bahasa hadir dalam kehadiran manusia
yang bersosialisasi. Ia tidak hadir karena manusia dalam
kesendiriannya. Oleh karena itu, baik fenomena sosial maupun
fenomena kebahasaan kedua-duanya dapat saling menjelaskan satu
sama lain. Kehadiran sosiolinguistik (dalam pengertian di atas)
merupakan langkah maju dalam menyinergikan dua bidang ilmu yang
secara otonom telah memiliki objek kajian permanen dan berbeda
untuk tujuan bagi upaya menjelaskan masalah kemanusiaan.
Selanjutnya, sosiolinguistik dikelompokkan pada dua
subbidang, yaitu mikrososiolinguistik dan makrososiolinguistik.
Apabila yang pertama mengacuh pada kajian bahasa pada komunitas
antara personal, yang kedua mengacu pada tingkat yang lebih tinggi
daripada hanya sebagai komunikasi antara personal, yaitu pada tingkat
komunitas. Pembedaan atas dua subbidang sosiolinguistik di atas,
Gunawan (2002) menganalogikannya dengan lahirnya dengan dua
buah karya Fasold: The Sosiolinguistics of language (1990) untuk
mikrososiolinguistik dan: The sosiolinguistic of Society (1984) untuk
makrososiolinguistik. Jika dalam buku yang pertama pembahasan
berkisar pada bentuk dan struktur bahasa dalam kaitannya dengan
komunikasi antarperseorangan, yang kedua menbahas perihal
masyarakat dalam hubungannya dengan bahasa, jadi dalam bagian
tersebut dibahas masalah masyarakat diglosik, dan lain-lain. Namun,
sekali lagi pembedaan atas dua subbidang sosiolinguistik di atas
dalam buku ini dipandang sebagai pembedaan antara sosiolinguistik
dengan sosiologi bahasa.
Sebagai sub bidang kajian sosiolinguistik, maka yang menjadi
lahan kajian pemakaian bahasa berhubungan dengan upaya
membedakan ragam-ragam atau varietas-varietas bahasa, berdasarkan
pemakaian dan varietas bahasa berdasarkan pemakainnya (siapa yang
menggunakan bahasa itu). Berdasarkan pemakaiannya, Haliday
membedakan varietas bahasa atas tiga subdimensi, yaitu subdimensi
-
18 | S o s i o l i n g u i s t i k
bidang (field), yaitu subdimensi yang berhubungan dengan apa bahasa
itu dipakai; subdimensi cara (mode), yaitu subdimensi yang
berhubungan dengan medium apa yang di gunakan dalam peristiwa
berbahasa tersebut, dalam hal ini dapat lisan atau tulisan; dan
subdimensi tenor, yaitu subdimensi yang mengacuh pada hubungan
peranpara partisipan yang terlibat dalam peristiwa berbahasa. Karena
hubungan peran ini menentukan derajarat keresmian bahasa yang di
pakai para partisipan, maka dapat dipandang sebagai tingkat
keresmian situasi,dan dalam pada itu menentukan pula derajat
keresmian bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu. Dengan
demikian, tenor dipandang mengacu pada raqgam-ragam bahasa
menurut keresmiannya, yang dalam bahasa resmi, yaitu beku (frozen),
resmi (formal), kongsultatif (consultative), santai (casual), dan karab
(intimate)
Berdasarkan pada perpaduan dari ketiga subdimensi di atas,
terbentuklah apa yang disebut laras bahasa (register), yaitu ragam atau
varietas bahasa yang dibeda-bedakan menurut bidang wacana
(menurut pokok pembicaraannya), menurut mediumnya (tulis atau
lisan), dan menurut tenornya (ragam gaya resmi atau santai dan
lainnya). Apa yang di paparkan diatas merupakan pandangan
konseptual tentang pemakaian bahasa secara sempit. Namun secara
lebih luas, pemakaian bahasa dapat dimaknai sebagai penggunaan
bahasa disamping menurut dimensi situasi di atas juga mencakupi
dimensi menurut siapa menggunakan bahasa itu. Ihwal siapa yang
menggunakan bahasa itu, tentulah masyarakat tuturnya, yang dalam
hal ini masyarakat itu sendiri tidaklah pernah bersifat homogen, ia
selalu hadir dalam bentuk heteroginitas. Artinya, dalam masyarakat
tutur itu akan terpolarisasi atas kelompok-kelompok sosial yang
masing-masing memiliki kesamaan fitur. Oleh karena itu,
sosiolinguistik memandang bahwa suatu bahasa tidak pernah
homogeny, ia akan selalu sendiri atas ragam-ragam yang terbentuk
menurut kelompok-kelompok sosial yang ada, tentu tidak dapat
dipungkiri akan munculnya fitur-fitur bahasa yang memadai kekhasan
peroranagan (idiolek), tetapi sebagai subbidang yang menggunakan
pendekatan dalam ilmu social, maka sosiolinguistik tidak mengkaji
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 19
perilaku berbahasa perorangan, tetapi perilaku berbahasa kelompok.
Patut di tambahkan bahwa perihal pemakaian bahasa, jika dikaitkan
dengan kongsep language dan parole-nya Saussure, serta competence
dan performance-nya Chomsky, maka dapat dikatakan bahwa kajian
pemakaian bahasa (sosiolinguistik) berhubungan dengan masalah
parole atau performance. Jadi, berada pada tataran parole atau
performance, bukan langue atau competence. Hal ini tentu
berhubungan dengan konsep penggunaan bahasa sebagai pemakaian
bahasa di dalam situasi yang sebenarnya.
Dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan kajian bahasa yang
berhubungan dengan masalah pemakaian bahasa seperti disinggung
diatas, maka tahapan yang di lalui sama dengan tahapan yang dilalui
dalam kajian bahasa secara singronis dan diakronis yang telah di
paparkan pada seksi-seksi di atas, yaitu melalui tahapan penyediaan
data. Ketiga tahapan itu memiliki metode dan teknik tersendiri yang
berbeda satu sama lain.
-
20 | S o s i o l i n g u i s t i k
RANGKUMAN
Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur; sosio- dan
linguistic. Kita mengetahui arti linguistic, yaitu ilmu yang
mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur
(fonem, morfem, kata, kalimat ) dan hubungan antara unsur-unsur itu
(struktur), termasuk hakekat dan pembentukan unsur-unsur itu. Unsur
socio- adalah seakar dengan social, yaitu yang berhubungan dengan
masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-fungsi
kemasyarakatan. Jadi sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan
dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota
masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari
dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya
perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan
dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial). Berbagai hal menjadi
topik dalam sosiolinguistik seperti pergeseran bahasa, pemertahanan
bahasa, dan sebagainya. Selanjutnya, sosiolinguistik dikelompokkan
pada dua subbidang, yaitu mikrososiolinguistik dan
makrososiolinguistik. Apabila yang pertama mengacuh pada kajian
bahasa pada komunitas antara personal, yang kedua mengacu pada
tingkat yang lebih tinggi daripada hanya sebagai komunikasi antara
personal, yaitu pada tingkat komunitas.
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 21
BAB II
BAHASA DAN VARIASI BAHASA
Bahasa mempunyai dua aspek mendasar, yaitu bentuk, baik
bunyi dan tulisan maupun strukturnya, dan makna, baik leksikal
maupun fungsional dan structural. Jika kita memperhatikan bahasa
dengan terperinci dan teliti, kita akan melihat bahwa bahasa itu dalam
bentuk dan maknanya menunjukkan perbedaan–perbedaan kecil besar
antara pengungkapannya yang satu dengan pengungkapan yang lain.
Lalu kita akan mendengar perbedaan–perbedaan bentuk bahasa seperti
ini dan yang lain–lain akan kita sebut variasi.
Amatlah sulit atau mustahil (jika itu bukan suatu yang
kebetulan), jika bunyi atau lafal suatu satuan bunyi, suatu kata atau
kalimat betul–betul berbunyi sama benar. Karena pendengaran kita
secara jasmani dipengaruhi oleh banyak faktor seperti udara,
kesegaran perasaan, dan besar perhatian kita, maka bentuk–bentuk
bunyi itu dapat kita perbandingkan dalam bentuk pektogram, yaitu
gambaran yang dihasilkan atau direkam oleh suatu alat yang disebut
spektograf. Kita menganggap bahwa hasil pekerjaan yang dibuat alat
elektronika seperti spektograf itu ―tidak berbeda‖ dari satu waktu ke
-
22 | S o s i o l i n g u i s t i k
waktu yang lain; dengan kata lain, bahwa gambaran dari sesuatu bunyi
yang dihasilkan berturut–turut oleh alat itu adalah sama.
Jika kita bandingkaan lafal bunyi /a/ atau perkataan
/tuliskan/dalam percakapan dua orang yang berlainan, kita akan lebih
jelas melihat perbedaan–perbedaannya. Apalagi kalau kedua orang
yang lafalnya atau bahasanya kita bandingkan itu datang atau berasal
dari (a) daerah yang berlainan, (b) kelompok atau keadaan sosial yang
berbeda, (c) situasi berbahasa dan tingkat formalitas yang berlainan,
ataupun (d) tahun atau zaman yang berlainan (umpamanya : tahun
1945 dan 1980), maka akan lebih terang dan nyata perbedaannya.
Contoh lain, yang disebut ―kates‖ di suatu daerah dinamakan
―papaya‖ di daerah lain; dalam suatu keadaan sosial dikatakan ―aku‖
dan dalam keadaan sosial lain lebih sesuai dipakai ―saya‖, jabatan
yang dahulu disebut ―krani‖ sekarang disebut ―tata usaha‖.
Perbedaan–perbedaan bahasa yang kita sebut diatas
menghasilkan ragam–ragam bahasa yang disebut dengan istilah–
istilah yang berlainan. Ragam bahasa yang sehubungan dengan daerah
atau lokasi geografis disebut dialek, ragam bahasa yang sehubungan
dengan kelompok sosial disebut sosiolek; ragam bahasa yang
sehubungan dengan situasi perbahasaan dan/atau tingkat formalitas
disebut fungsiolek; dan ragam bahasa yang dihasilkan oleh perubahan
bahasa yang lain–lain, atau, kalau perbedaan itu masih dapat dianggap
perbedaan ragam dalam suatu bahasa, kita dapat sebut ragam secara
analog kronolek.
Berhubung ragam–ragam bahasa itu adalah subsistem–
subsistem bahasa yang berbeda, maka dapat, dan lazimlah, ragam–
ragam bahasa itu dikaji dan dipelajari dalam cabang linguistik yang
berbeda pula. Cabang linguistik yang membuat dialek sebagai pusat
perhatiannya disebut dialektologi atau geography linguistic. Cabang
linguistik yang membuat sosiolek sebagai pusat perhatiannya disebut
sosiolinguistik atau sosiologi bahasa. Cabang linguistik yang
membuat fungsiolek sebagai pusat perhatiannya disebut etnografi
berbahasa, analisis wawancara atau pragmatik. Banyak ilmuwan
memasukkan etnografi berbahasa, analisis wacana, dan pragmatik ini
dalam lingkungan pengkajian sosiolinguistik; ini pada dasarnya
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 23
disebabkan oleh Karena pengkajian yang sistematis dari materi
kajian–kajian itu masih muda (baru) dan hasilnya belum begitu
banyak. Cabang linguuistik yang mengkaji bahasa–bahasa yang
berbeda, khususnya membandingkan bahasa–bahasa itu, disebut
linguistik historis mengkaji perbedaan/variasi bahasa pada dimensi
waktu atau sejarah; oleh karena itu disebut juga linguistic diakronik.
Sedangkan linguistik kontrastif mengkaji perbedaan/variasi itu secara
sikronis atau dalam ―satu waktu‖ linguistik historis/diakronik
memusatkan perhatiannya kepada sejarah perkembangan perbedaan-
perbedaan bahasa itu yang menghasilkan juga apa yang disebut
silsilah bahasa. Linguistik konstrastif memusatkan perhatiannya
kepada pengaruh perbedaan bahasa–bahasa pada cara dan sukar
mudahnya belajar suatu bahasa dengan latar belakang bahasa yang
lain. Linguistic konstrastif yang demikian disebut juga linguistic
terapan (tentu ada juga linguistic terapan yang lain) atau analisis
konstratif. Linguistic konstrastif yang memusatkan perhatiannya
kepada penggolongan bahasa melalui perbandingan bahasa disebut
apology bahasa. Linguistik konstratif yang demikian dapat juga
menghasilkan pengetahuan tentang ciri–ciri umum atau ciri–ciri
universal dari bahasa (linguistic universals).
2.1. Kajian Variasi dalam Linguistik Umum Variasi dalam bahasa dapat dibagi atas dua macam
berdasarkan sumber perbedaan itu, yaitu (1) variasi internal (atau
variasi sistemik) dan (2) variasi eksternal (atau variasi ekstrasistemik).
Variasi yang berhubungan dengan faktor–faktor di luar sistem bahasa
itu sendiri disebut variasi eksternal. Keempat macam variasi yang kita
sebut di atas, yaitu yang sehubungan dengan daerah asal penutur,
kelompok sosial, sitiuasi berbahasa, dan zaman penggunaan bahasa
itu, adalah termasuk variasi eksternal, sebab faktor–faktor ―penyebab‖
atau korelatif itu adalah diluar sistem bahasa itu sendiri. Dalam
analisis linguistik umum dalam tahun 1940 dan 1950-an, perbedaan–
perbedaan seperti ini sering disebut ―variasi bebas‖ (free variation).
Variasi bahasa yang ―disebabkan‖ atau sehubungan dengan
faktor–faktor dalam bahasa itu sendiri, khususnya unsur–unsur yang
-
24 | S o s i o l i n g u i s t i k
mendahului dan/atau mengikuti unsur yang diperhatikan (=yang
berbeda) itu, disebut variasi internal. Jadi, faktor–faktor yang
sehubungan dengan perbedaan–perbedaan ini ialah sekeliling
kebahasaan (linguistic environment) dari unsur itu. Oleh karena letak
suatu unsur dalam suatu rentetan unsur–unsur disebut ―distribusi‖.
Umpamanya dalam bahasa inggris /p/ jika didahului /s/, umpamanya
dalam kata speak, tidak diucapkan dengan hembusan napas yang kuat
(―aspirasi‖) sedangkan /p/ dalam kata peak dilafalkan dengan aspirasi,
[ph].
Variasi–variasi internal ini dapat dianggap lebih hakiki, atau
lebih dalam, lebih mendasar; oleh karena itu dapat disebut variasi
sistemik, artinya variasi yang merupakan ciri ―alamiah‖ (natural) dari
sistem bahasa itu. Oleh karena itu, dapat kita mengerti bahwa variasi–
variasi inilah yang paling lambat berubah dalam jalannya waktu.
Pengertian kita tentang hal ini menjadi jelas dengan pengamatan De
Saussure bahwa variasi-variasi seperti ini harusnya dianalisis dengan
konsep tingkat, yaitu dengan perbedaan–perbedaan seperti itu adalah
unsur yang berbeda pada suatu tingkat (parole), tetapi sama (atau
senilai) pada tingkat yang lain (langue). Pike menggunakan istilah etik
(etics) dan (emics) untuk konsep yang serupa itu. Sebenarnya tidaklah
ada persamaan yang sempurna antara dikotomi langue-parole dan
emik-etik, tetapi pada dasarnya dikotomi ini adalah manifestasi
konsep yang sama.
Ciri-ciri variasi seperti ini dikaji dalam linguistik umum.
Konsep yang termaktub dalam dikotomi langue – parole inilah yang
mendasari analisis linguistik, khususnya dalam penentuan/identifikasi
unsur–unsure bahasa, terutama mengenai fonologi dan morfologi.
Untuk pengkajian seperti ini dipergunakan istilah-istilah yang
berkahiran –em untuk tingkat emik atau langue, umpamanya fonem,
morfem, leksem, dan istilah yang berlawanan alo- untuk tingkat etik
atau parole, umpamanya alofon, alomorf, dan aloleks.
2.2. Kajian Historis-Komparatif Historis-komparatif dan linguistik konstrastif menyajikan
materi yang sama, tetapi dengan tujuan yang berbeda oleh karena itu
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 25
dengan metode yang berbeda. Materi yang sama ini berupa bahasa–
bahasa yang berbeda, yaitu yang tidak sama, sebagai hasil dari
jalannya waktu dan keseringan (atau banyaknya) komunikasi antara
dua kelompok pemakai bahasa, atau apa yang disebut Bloomfield
kelabatan komunikasi (density of communication).
Perbedaan bahasa yang semacam ini timbul dari sifat hakiki
bahasa, yaitu bahwa tata bunyi bahasa selalu tetap tetapi sedikit demi
sedikit berubah. Jikalau dua kelompok penutur mempunyai hubungan
(atau kontak) berbahasa atau komunikasi yang amat sering (dalam
kata lain kelabatan komunikasinya tebal), maka perbahan–perubahan
dalam kedua kelompok itu cenderung sama atau serupa oleh karena
kedua kelompok itu harus menggunakan bahasa yang demikian serupa
sehingga terdapat saling pengertian yang cukup mudah dan lancar.
Akan tetapi, jikalau dua kelompok penutur mempunyai hubungan
berbahasa atau komunikasi yang jarang atau hubungan terputus sama
sekali, maka kedua kelompok itu cenderung mengalami
perkembangan atau perubahan bahasa yang berbeda. Mula–mula
perbedaan itu masih belum begitu besar, sehingga kedua ragam bahasa
itu dapat dikenal dengan mudah sebagai ragam-ragam dari suatu
bahasa, yang biasanya disebut ―dialek‖ tetapi disini kita sebut
―kronolek‖ akan tetapi, perbedaan kronolek yang berlainan tetapi
sewaktu dari satu bahasa itu akhirnya dapat menjadi begitu besar
sehingga kedua ragam bahasa itu hanya menunjukkan kemiripan yang
kurang jelas. Dalam hal yang demikian, kita katakan bahwa kedua
ragam bahasa itu adalah bahasa yang berlainan yang ―berkerabat‖ atau
mempunyai satu asal (cognate).
Cara–cara pengkajian (atau metode penelitian) bentuk ini
diperkembangkan dalam abad ke-19 , yang disebut ―metode
komparatif‖. Tujuan dalam pengkajian komparatif ini ialah penentuan
pola kekerabatan atau struktur ―silsilah‖ dari bahasa-bahasa; dengan
begini dapat juga kita peroleh pembagian bahasa-bahasa di dunia ini
ke dalam apa yang disebut ―rumpun-rumpun bahasa‖. Sejarah
pengkajian komparatif dalam adab ke-19 ini dapat dibaca dalam buku
Holger Padersen, The Discovery of Language (1962). Satu bagian
dari metode komparatif ini ialah penentuan bentuk–bentuk lama dari
-
26 | S o s i o l i n g u i s t i k
suatu bahasa, yang disebut ―rekonstruksi‖. Bahasa yang demikian
disebut bahasa kuno, atau bahasa proto jika tidak ada bukti–bukti
tulisan yang mendukungnya.
Bahasa Indonesia dan hampir semua bahasa yang dipakai di
Negara Indonesia termasuk dalam rumpun Austronesia (atau melayu-
polynesia). Rumpun bahasa yang pertama-tama dikaji di Eropa adalah
rumpun bahasa Indo-Eropa yang terdapat di Eropa dan Timur Tengah
sampai ke India. Penjelasan yang singkat mengenai rumpun–rumpun
bahasa di seluruh dunia dapat dibaca dalam bab 28 dari buku H.A.
Glaeson, An Introduction to Descriptive Linguistics (1961).
Tujuan lain dari linguistik komparatif ialah untuk memperoleh
penggolongan bahasa-bahasa tanpa bertujuan untuk menentukan
silsilah atau bentuk proto. Tujuannya ialah memperoleh
penggolongan berdasarkan ciri-ciri berbagai aspek bahasa,
umpamanya ciri-ciri fonologi, morfologi, dan sintaksis. Pengkajian
seperti ini disebut tipologi bahasa, dan sebagaimana kita sebut di atas
pengkajian perbandingan seperti ini disebut juga linguistik konstrastif.
Tujuan khusus lain dari linguistik komparatif/kontrastif seperti ini
ialah untuk mengetahui ciri- ciri umum (―sejabat‖ atau ―universal‖)
dari bahasa, umpamanya bahwa semua bahasa mempunyai fonem
yang dapat digambarkan dengan /m/, yaitu suatu nasal dua-bibir
(―bilabial nasal‖), dan hampir semua bahasa mempunyai desis
alveolar yang dapat ditandai dengan /s/.
Metode kontrastif bahasa juga bertujuan memperoleh
keterangan tentang sumber dari kesulitan yang mungkin atau layak
dialami orang dalam belajar bahasa lain. Linguistik kontrastif.
Pemikiran dasar dalam analisis kontrastif ini ialah bahwa lebih sulit
mempelajari bahasa yang amat lain dari bahasa yang sudah diketahui
dari pada mempelajari bahasa yang sama atau mirip dengan bahasa
yang sudah diketahui oleh pelajar.
Perbandingan bahasa secara kontrastif dari sudut pandangan
pengajaran bahasa (yang dapat dianggap inti dari linguistik terapan),
perlu dikaji oleh orang–orang yang (akan) terlibat dalam pengajaran
bahasa, khususnya dosen dan mahasiswa. Perbandingan bahasa untuk
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 27
menemukan ciri-ciri universal dari bahasa diperlukan oleh orang-
orang yang melibatkan diri dalam teori linguistik.
Menurut pengamatan, perhatian terhadap linguistik kontrastif
masih kurang di Indonesia khususnya di jurusan-jurusan yang bukan
jurusan bahasa Inggris, walaupun bahasa Indonesia bukanlah bahasa
yang pertama bagi kebanyakan orang di Indonesia. Di jurusan bahasa
Inggris pun, sering kelihatan bahwa pendekatan terhadap linguistik
kontrastif ini terlalu sederhana (simplistic), sehingga tidak dikaitkan
secara wajar dengan apa yang disebut analisis kesalahan, yaitu
pengkajian dari kesalahan–kesalahan yang betul–betul telah diperbuat
oleh pelajar-pelajar dari suatu bahasa kedua atau bahasa asing.
2.3. Kajian Dialektologi Kajian yang lain tentang perbedaan-perbedaan bahasa sebagai
manifestasi dari variasi dalam satu bahasa yang sama, ialah
dialektologi. Perkembangan dialektologi ini dimulai dalam
perempatan ketiga abad ke-19 dengan adanya penelitian Georg
Wenker di Jerman pada tahun 1876. Sejak itu cukup banyak perhatian
dan kegiatan dalam dialektologi, khususnya pembuatan ―peta dialek‖,
di Perancis, Italia, Amerika Serikat, dan Negara lainnya, sampai
dengan pertengahan abad ke-20 ini. Keterangan lebih lanjut dapat
dibaca dalam buku L. Bloomfield, Language (1933), Bab 38,39,40.
(Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa telah juga
menyelenggarakan suatu penataran selama dua bulan dalam
dialectology pada tahun 1974 di Argamulya, Tugu, Bogor).
Dalam pemetaan variasi dialek dari bahasa dipergunakan
konsep isogloss, yaitu garis yang menghubungkan dua tempat yang
menunjukkan ciri atau unsur yang sama, atau garis yang memisah dua
tempat yang menunjukkan ciri/unsur yang berbeda. Unsur atau ciri
yang dikaji adalah dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis,
dan/atau leksis. Data untuk itu dikumpulkan dengan penelitian
lapangan, yaitu mengadakan pengamatan langsung (serta elisitasi)
terhadap cirri-ciri dan unsur-unsur bahasa diberbagai tempat,
umumnya dengan menggunakan informan yang lebih konservatif dan
mobilitasnya rendah (=orang yang bahasanya lebih sedikit
-
28 | S o s i o l i n g u i s t i k
dipengaruhi dunia luar) yang dianggap lebih menunjukkan ciri-ciri
khas kedaerahan dalam bahasanya dari pada orang yang progresif dan
bermobilitas tinggi.
Pembicaraan kita diatas tentang dialek adalah khusus
mengenai ragam bahasa secara geografis dari penutur-penutur asli,
yaitu penutur suatu bahasa sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu.
Dalam dunia modern ini, banyak sekali orang mempelajari bahasa
lain, baik sebagai bahasa kedua (secara urutan atau secara
sosiolinguistik) atau bahasa asing. Hal ini menghasilkan ragam-ragam
bahasa (dialek) yang lain dari dialek penutur asli. Dialek-dialek
sebagai bahasa kedua atau bahasa asing sedikit banyak dipengaruhi
dan diwarnai oleh bahasa pertama (=bahasa asli) dari penutur-
penuturnya. Dialek semacam ini kita sebut ―ragam bukan asli‖
(nonnative variety). Kalau kita kaji ragam bahasa demikian, kita akan
melihat bahwa selain dari pengaruh unsur-unsur/struktur/fonologi
bahasa pertama penutur, nyata sekali di antara penutur ragam bukan
asli ini terdapat suatu ketidak seragaman (=fluktuasi) yang jauh lebih
banyak dan lebih besar dari pada perbedaan-perbedaan yang lazim
antara dialek penutur-penutur asli.
2.4. Kajian Sosiolinguistik Bahan kajian sosiolinguistik ini ialah ―penggunaan bahasa‖
oleh penutur –penutur tertentu dalam keadaan-keadaan sewajarnya
untuk tujuan-tujuan tertentu. Ini suatu cabang pengkajian bahasa
(=linguistic) yang penting bagi pengajaran bahasa serta pengertian kita
tentang fungsi bahasa dalam kehidupan masyarakat. Sudah mulai
banyak buku pengantar sosiolinguistik. Di luar kedua buku yang
disebut di atas, yaitu J.A. Fishman, The Sociology of Language dan
R.T. Bell, Sociolinguistics, sudah banyak buku bunga rampai dari
karangan-karangan tentang topik-topik sosiolinguistik, umpamanya
J.A. Fishman, Readings in the Sociology of Language (1968), J.J.
Grumperz & Dell Hymes, Directions in Sociolinguistics (1972), dan
J.B. Pride & J. Holmes, Sociolinguistics (1972), dan lain-lain.
Perkembangan dan popularitas dari sosiolinguistik belakangan
ini banyak disebabkan oleh kegunaannya dalam pengajaran bahasa.
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 29
Setelah makin dikaji dan banyak diketahui mengenai fungsi-fungsi
bahasa dalam kehidupan kemasyarakatan maka makin jelas kelihatan
juga hubungannya dengan motivasi belajar inilah juga yang banyak
berpengaruh pada hasil belajar. Oleh karena tidak semua orang
mempunyai tujuan (dan motivasi) belajar yang sama, maka
pendekatan, materi, dan penyajian pelajaran pun perlu disesuaikan
dengan tujuan belajar itu untuk menjamin hasil pelajaran yang lebih
baik.
Sekarang ini makin banyak dikaji makna dari bahasa,
terutama makna dari kalimat-kalimat unsur yang paling kecil. Bentuk
sintaktik suatu kalimat belum tentu sama dengan isi semantiknya
(=maknanya). Umpamanya, kalimat pertanyaan sintaktik ―siapa
bilang?‖dapat berarti suatu pernyataan secara semantik yang
bermakna ―saya tidak percaya‖ atau ―omong kosong‖. Kajian seperti
ini mempelajari penggunaan bentuk–bentuk bahasa untuk komunikasi
praktis dari makna, pesan, atau isi, dan disebut ilmu pragmatik atau
semantik praktis. Ahli-ahli falsafah yang berminat akan makna
ungkapan–ungkapan memberikan sumbangan yang penting dalam hal
ini; secara khusus perlu disebut antara lain J.L. Austin dengan
bukunya How to Do Things With Words (1962) dan John R. Searle
dengan bukunnya Speech Acts (1969). Mereka ini membedakan
empat macam tindakan ungkapan (speech acts), yakni ―tindak ucapan‖
(utterance acts), ―tindak sebutan‖ (propositional acts), ―tindak
pernyataan‖ (illocutionary acts), dan ―tindak hasilan‖ (perlocutionary
acts). Tindak ucapan ialah kalau kita mengucapkan sesuatu: morfem,
kata, kalimat. Tindak sebutan ialah kalau kita mengatakan sesuatu
(keterangan) tentang satu pokok (topik). Tindak pernyataan ialah
kalau kita membuat suatu pertanyaan, pernyataan, perintah, janji,
sangkalan, dan sebagainya. Dan tindak hasilan ialah hasil atau efek
dari tindak bahasa kita itu pada orang yang dituju (= yang
mendengar); umpamanya dengan membuat suatu pertanyaan ―siapa
bilang?‖, pendengar mengerti bahwa kita tidak percaya akan apa yang
baru dikatakannya.
2.5. Aspek Morfologi dan Sintaksis dari Ragam Funsiolek
-
30 | S o s i o l i n g u i s t i k
Setiap bahasa mempunyai banyak ragam yang dipakai dalam
keadaan dan keperluan/tujuan yang berbeda-beda. Ragam-ragam
bahasa ini.menunjukkan perbedaan-perbedaan struktural dalam unsur-
unsurnya. Perbedaan struktural itu adalah berbentuk ucapan, intonasi,
morfologi, identitas kata-kata, serta sintaksis. Dalam bagian ini
perhatian kita fokuskan pada perbedaan-perbedaan morfologi dan
sintaksis dari ragam fungsiolek. Dari sudut sosioliguistik kita
sarankan agar perbedaan-perbedaan itu dikaji dan dinilai bukan hanya
dari segi bentuknya tetapi juga dari segi penggunaannya dan kaitannya
dengan faktor-faktor sosiolinguistik. Salah satu aspek
sosiolinguistiknya ialah tingkat formalitas (keresmian) tindak bahasa
sehubungan dengan peserta-peserta, berbahasa, keadaan, dan tujuan
berbicara.
Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clocks,
membagi fungsiolek bahasa Inggris berdasarkan tingkat formalitas
atas lima tingkat atau yang disebutnya style (gaya bahasa). Kelima
tingkat itu adalah frozen, formal, consultative, casual, dan intimate,
atau dalam bahasa Indonesia, berturut-turut, ragam beku, resmi, usaha,
santai, dan akrab.
Dalam Bahasa Indonesia pun gaya yang demikian dapat kita
bagi atas lima tingkat sebagai berikut:
1. Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam situasi-situasi yang
khidmad dan upacara-upacara resmi. Dalam bentuk
tulisan ragam beku ini terdalam dalam dokumen-
dokumen bersejarah seperti undang-undang dasar dan
dokumen-dokumen penting lainnya.
2. Ragam resmi (formal) ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, atau rapat resmi
pimpinan suatu badan.
3. Ragam usaha (consultative) adalah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan-pembicaraan biasa di
sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat usaha yang
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 31
berorientasi kepada hasil atau produksi; dengan kata lain,
ragam ini berada pada tingkat yang paling oprasional.
4. Ragam santai (casual) aalah ragam bahasa santai antar teman dalam bincang-bincang, rekreasi, berolah raga,
dan sebagainya.
5. Ragam akrab (intimate) adalah ragam bahasa antar anggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman
yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan
artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan-
ucapan yang pendek. Hal ini disebabkan oleh adanya
saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain. Dalam
tingkat inilah layak dipergunakan bentuk-bentuk dan
istilah-istilah (kata-kata) khas bagi suatu keluarga atau
sekelompok teman akrab.
Jika kita bandingkan pasangan-pasangan kalimat yang
dibawah ini, kita akan melihat bahwa kalimat-kalimat itu tidaklah
tergolong ragam (tingkat) bahasa yang sama.
(a1) Bapak Suparman menerangkan makna peristiwa
itu.
(a2) Pak Parman terangkan arti kejadian itu.
Jika kita diminta untuk meenmpatkan kedua kalimat ini, maka
kalimat a1 akan kita tempatkan pada tingkat yang lebih tinggi dari a2.
Barangkali, kita sependapat bahwa a1 adalah ragam formal dan a2
ragam usaha.
b1 Saya tidak mengerti maksud saudara.
b2 Aku tak mengerti maksudmu.
b3 Nggak ngerti.
Dapat kita lihat bahwa b1 lebih tinggi tingkatnya dari b2, dan
b2 lebih tinggi dari b3. Kalimat b1 akan kita sebut ragam usaha, sebab
ragam inilah yang kita pakai sehari-hari dalam pekerjaan kita, b2 ialah
ragam yang dipakai antar teman dalam keadaan bersantai; dan b3 ialah
ragam akrab yang dapat dipakai antara orang – orang sebaya dalam
keluarga atau teman-teman yang akrab sekali.
Ragam baku adalah ragam yang paling resmi. Contohnya kita
ambil dari alinea 1 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 :
-
32 | S o s i o l i n g u i s t i k
―Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan
diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanuasiaan dan peri keadilan‖.
Suatu kalimat yang dimulai dengan kata bahwa, hatta, dan
sebagainya dapat dianggap sebagai ragam baku. Bentuk kalimat baku
adalah lebih kaku, kata-katanya lengkap, biasanya kalimatnya
panjang, dan menuntut sikap yang lebih serius dari penutur dan
pendengarnya.
Perbedaan-perbedaan di antara kelima ragam ini adalah
perbedaan pilihan kata (lexis), perbedaan bentuk kata (morfologi), dan
perbedaan bentuk kalimat keseluruhannya (sintaksis). Begitu juga,
kita lihat adanya perbedaan-perbedaan yang jelas atau yang rumit
dalam intonasi kalimat dan keseluruhan gaya orangnya (cara berdiri,
melihat dan bergerak). Hal ini disebabkan oleh karena berbahasa itu
adalah suatu tindak laku (behavior) yang melibatkan penuturnya
seecara keseluruhan dan utuh.
Dalam rangka pengkajian sosiolinguistik, yang relevan bagi
kita ialah korelasi perbedaan-perbedaan bunyi (fonologi), bentuk kata
(morfologi), dan bentuk atau susunan kalimat (sintaksis) dengan
faktor-faktor sosial. Perbedaan-perbedaan dalam pilihan kata (lexis)
dan intonasi serta gaya peserta berbahasa itu akan menjadi perhatian
khusus dalam dalam pengkajian lain. Dalam lingkup morfologi dapat
kita perhatikan bentuk-bentuk seperti diapain, nggak, ngerti, dan
sebagainya dibandingkan dengan mengapa, tak dan tidak, mengerti
dan dimengerti. Dalam lingkup fonologi, kita dapat perhatikan ucapan
/hurup/ atau /huruf/ untuk ―huruf‖, dan sebagainya. Dalam lingkup
sintaksis, dapat kita perhatikan apa orang katakan ―sampai ketemu
dilain kesempatan‖ atau ―sampai ketemu pada kesempatan lain‖.
Ragam bahasa tidak hanya menyangkut fungsiolek seperti
diatas, tetapi juga sosiolek dan dialek. Kerena itu dalam pembahasan
ragam bahasa ini perlu juga diperhatikan perbedaan-perbedaan
kebahasaan antara lapisan-lapisan masyarakat serta kelompok-
kelompok kemasyarakatan. Begitu juga, perbedaan-perbedaan
kebahasaan antar daerah. Penelitian yang serius tentang perbedaan-
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 33
perbedaan ragam bahasa yang mencakup sosiolek dan fungsiolek,
setahu saya, belum dilakukan di Indonesia; yang ada ialah studi-studi
kecil untuk kertas kerja. Lapangan studi seperti ini dapat disebut
sosiolektologi atau sosiodialektologi (social dialectology).
Salah satu artikel yang paling dahulu mengenai sosiolektologi
yang saya temukan ialah ―U and non U‖ karangan C.R.J. Ross pada
tahun 1956, yang dimuat dalam Max Black, The Importance of
Language (1962). Dalam karangan ini dibicarakan perbedaan-
perbedaan ucapan, tata bahasa (morfologi dan sintaksis), dan pilihan
kata (lexis) dari ragam bahasa inggris lapisan atas masyarakat (U =
upper class) dan yang bukan lapisan atas (Non-U = non-upper class).
Di Amerika telah banyak penelitian mengenai sosio
dealektologi, antara lain oleh W. Labov di Martha‘s Vineyard dan di
New York, R.Brown dan murid-muridnya di Cambridge,
Massachusetts, R.V. Shuy di Washington dan Detroit, W.A. Wolfman
di Detroit, dan oleh P. Trudgill di Norwich, Inggris. Suatu contoh
dalam bahasa Inggris mengenai korelasi antara ciri morfo-sintaksis
dengan kelas kemasyarakatan ialah ada atau tidak adanya akgiran –s
pada kata kerja, misalnya, dalam kalimat-kalimat sebagai berikut.
She like him very much
He don‘t know a lot, do he ?
It go ever so fast.
Dalam Trudgill (1974 b: 44) diberikan statistik sebagaimana
dalam table berikut, yang menggambarkan persentase dari orang-
orang yang menggunakan bentuk tanpa /-s/ seperti di atas.
Tabel dari kata kerja tanpa –s di Norwich Inggris dan Detroit
(Amerika Serikat)
-
34 | S o s i o l i n g u i s t i k
Norwich
Detroit
MMC 0%
UMC 1%
LMC 2%
LMC 10%
UWC 70%
UWC 57%
MWC 87%
------
LWC 97%
LWC 71%
Keterangan :
MMC = golongan menengah menegah
LMC = golongan menengah rendah
Norwich : UWC = golongan buruh atas
MWC = golongan buruh menenggah
LWC = golongan buruh rendah
UMC = golongan menegah atas
LMC = golongan menengah rendah
Detroit : UWC = golongan buruh atas
LWC = golongan buruh rendah
Berdasarkan tabel diatas, terdapat dua korelasi yang
bermakna: (1) bahwa semakin tinggi golongan masyarakatnya,
semakin jarang bentuk -s; (2) bahwa perbedaan yang terbesar pada
kedua tempat itu adalah antara UWC dan LMC. Hal ini menunjukkan
adanya jurang atau penghalang kemasyarakatan antara golongan buruh
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 35
atas dengan golongan menengah rendah yang lebih besar atau lebih
ketat dari pada antara golongan-golongan lainnya.
Jelas kiranya, perbedaan–perbedaan seperti ini pun terdapat
dalam bahasa Indonesia dan bahasa–bahasa daerah. Pengetahuan
yang lebih banyak mengenai hal-hal demikian memperdalam dan
memperluas pengertian kita mengenai bahasa-bahasa di Indonesia dan
penggunaan ragam-ragamnya dalam dan untuk komunikasi dalam
masyarakat kita.
Mudah-mudahan beberapa orang diantara pembaca akan
tergugah hatinya mengadakan penelitian korelasi antara bentuk-bentuk
morfologi dan pola-pola sintaksis dengan ragam-ragam bahasa
sosiolek dan fungsiolek di samping studi-studi dialektologi geografis.
RANGKUMAN
Jika kita memperhatikan bahasa dengan terperinci dan teliti,
kita akan melihat bahwa bahasa itu dalam bentuk dan maknanya
menunjukkan perbedaan–perbedaan kecil besar antara
pengungkapannya yang satu dengan pengungkapan yang lain. Lalu
kita akan mendengar perbedaan–perbedaan bentuk bahasa seperti ini
dan yang lain–lain akan kita sebut variasi. Terdapat beberapa jenis
dalam mengkaji variasi bahasa salah satunya adalah sosiolinguistik.
Perkembangan dan popularitas dari sosiolinguistik belakangan ini
banyak disebabkan oleh kegunaannya dalam pengajaran bahasa.
Setelah makin dikaji dan banyak diketahui mengenai fungsi-fungsi
bahasa dalam kehidupan kemasyarakatan maka makin jelas kelihatan
juga hubungannya dengan motivasi belajar inilah juga yang banyak
berpengaruh pada hasil belajar. Oleh karena tidak semua orang
mempunyai tujuan (dan motivasi) belajar yang sama, maka
pendekatan, materi, dan penyajian pelajaran pun perlu disesuaikan
dengan tujuan belajar itu untuk menjamin hasil pelajaran yang lebih
baik.
-
36 | S o s i o l i n g u i s t i k
BAB III
FUNGSI-FUNGSI BAHASA
Fungsi bahasa secara umum, yaitu komunikasi. Jika kita
mengkaji fungsi bahasa sebagai komunikasi dalam kaitannya dengan
masyarakat dan pendidikan secara lebih terperinci, maka kita dapat
membedakan empat golongan fungsi bahasa: (1) fungsi kebudayaan,
(2) fungsi kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, dan (4) fungsi
pendidikan. Keempat macam fungsi itu tentu berkaitan juga, sebab
―perorangan‖ adalah anggota ―masyarakat‖ yang hidup dalam
masyarakat itu sesuai dengan pola-pola ― kebudayaannya‖ yang
diwariskan dan dikembangkan melalui ―pendidikan‖ namun berguna
untuk mengkaji setiap macam fungsi bahasa itu secara sendiri.
3.1. Fungsi Kebudayaan Fungsi kebudayaan dari bahasa telah kita bayangkan diatas
dengan membicarakan hubungan diatas dengan membicarakan
hubungan bahasa dan kebudayaan. Disini dapat kita simpulkan fungsi
bahasa dalam kebudayaan sebagai: (1) sarana perkembangan
kebudayaan, (2) jalur penerus kebudayaan, (3) inventaris ciri-ciri
kebudayaan. Diatas kita katakan bahwa secara filogenetik (=
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 37
hubungan jenis), bahasa adalah bagian dari kebudayaan, dan
bahasalah yang memungkin pengembangan kebudayaan sebagai mana
kita kenal.
Secara ontogenetic (= terjadi dalam pperorangan), seseorang
belajar dan mengetahui kebudayaannya kebanyakan melalui bahasa:
artinya, kita belajar hidup dalam masyarakat melalui daan dengan
bantuan bahasa. Dengan kata lain , suatu kebudayaan dilahirkan dalam
perorangan kebanyakan dengan bantuan bahasa; contoh dan tindakan
orang lain menjadi‖ bahan pelajaran‖ juga dalam pembudayaan
seseorang, tetapi semua itu di sertaiatau diperkuat juga oleh bahasa.
Umpamanya, seorang anak yang memberikan sesuatu dengan tangan
kiri kepada ibunya, mungkin dipukul tangannya untuk menunjukkan
bahwa itu tidak baik, tetapi lazim juga kalau pukulan tangann itu
disertai peringatan bahwa ― tidak baik memberikan sesuatu dengan
tangan kiri‖ dan sebagainya; malah lebih lazim lagi ajaran atau
peringatan itu diberikan hanya dengan lisan, tanpa suatu pukulan
tangan dan lain sebagainya. Dibawah akan kita bicarakan lebih lanjut
fungsi penerusan kebudayaan dari bahasa ini.
Diatas telah kita katakan bahwa segala sesuatu yang ada
dalam sesuatu kebudayaan mempunyai nama dalam bahasa
kebudayaan itu; inilah yang dimaksud dengan fungsi bahasa sebagai
inventaris dari kebudayaan.sesuatu kata, ungkapan, atau konsep yang
ada dalam bahasa sesuatu kebudayaan belum tentu mempunyai
padanan yang sesuai dalam bahasa kebudayaan lain. Oleh karena
itulah maka, jika kita mau membicarakan sesuatu konsep dari
kebudayaan lain, kita menggunakan istilah dalam bahasa aslinya
untuk mengungkapkan konsep itu, sebab jika kata itu diterjemahkan,
sering artinya terlalu jauh dari apa yang mau diungkapkan. Inilah alas
an kenapa kadang-kadang sesuatu sesuatu bahasa memakai sesuatu
kata attau istilah bahasa lain dalam menyatakan sesuatu; jika kata lain
itu diubah bentuk dan/ atau lafalnya sesuai dengan bahasa pemakai
itu, maka kata itu menjadi unsur biasa dalam bahasa itu dan disebut ―
kata pungutan‖ (Inggris: loanword). Hal ini lain dari pemakaian kata-
kata atau ungkapan dari bahasa asing untuk sesuai efek tertentu
(umpamanya agar orang terkesan oleh‖ kepandaiaannya‖) atau oleh
-
38 | S o s i o l i n g u i s t i k
karena si pembicara lupa atau tidak tahu perkataan itu dalam
bahasanya.
Dalam bahasa Indonesia terdapatbanyak kata pungutan,
terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan nama benda-benda baru.
Dalam kebebasan memungut kata, bahasa Indonesia menyerupai
bahasa inggris yang terkenal sebagai salah satu bahasa eropa yang
paling terbuka kepada pungutan kata dari bahasa asing, terutama
dalam zaman bahasa inggris menengah dan abad ke 19 dan ke 20 (
Jespersen 1954; baugh 1978). Beberapa contoh kata pungutan dalam
bahasa Indonesia sehari-hari ialah; saudagar, samudra, huruf, pendek,
khotbah, tongkang, aspirin, lampu, buku, meja, kamar, tomat, seledri,
mobil, sopir, sepatu, kemeja, karcis.
3.2. Fungsi Kemasyarakatan
Fungsi kemasyarakatan bahasa menunjukan peranan khusus
sesuatu bahasa dalam kehidupan masyarakat. Klasifikasi bahasa
berdasarkan fungsi kemasyarakatan dapat di bagi dua. Yakni (1) yang
berdasarkan ruang lingkup dan, (2) yang berdasarkan bidang
pemakaian. Yang pertama, yang berdasarkan ruang lingkup,
mengandung‖bahasa nasional‖ dan ―bahasa kelompok‖. Bahasa
nasional dirumuskan oleh halim(1976) berfungsi sebagai (a) lambing
kebanggaan kebangsaan dan (b) lambing identitas bangsa; dan bagi
Negara-negara yang beraneka suku, bahasa dan kebudayaan, sebagai
(c) alat penyatuan berbagai suku bangsa dengan berbagai latar
belakangsosial budayadaan bahasa, dan (d) alat perhubungan
antardaerah dan antarbudaya. Di Indonesia bahasa nasional ialah
bahasa Indonesia sebagaimana di ikhrarkan dalam sumpah pemuda
pada 28 oktober 1928,dan diresmikan dalam pasal 36 UUD 1945.
Bahasa kelompok ialah bahasa yang digunakan oleh
kelompok yang lebih kecil dari sesuatu bangsa, umpamanya suku
bangsa atau suatu daerah subsuku, sebagai lambing identitas
kelompok itu dan alat pelaksanaan kebudayaan kelompok itu. Di
Indonesia bahasa kelompok demikian kita sebut ― bahasa daerah‖ atau
―logat daerah‖ disini logat daerah dipakai untuk sesuatu variasi bahasa
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 39
khas yang dipakai oleh kelompok yang lebih kecil dari suku bangsa.
Di Indonesia banyak sekali bahasa kelompok, bahasa daerah saja
sudah berjumlah 418 dalam pperhitungan lembaga bahasa nasional
pada tahun 1972, dan lebih dari 500 menurut perkiraan barr dan barr
tahun (1980). Sudah barang tentu bilangan-bilangan itu harus
dikalikan beberapa kali untuk ragam bahasa subkelompok.
Kearah lain, yaitu ruang lingkup yang lebih luas dari bahasa
nasional, kita mengenal ― bahasa komunikasi lebih luas‖ (language
oof wider communication), yaitu bahasa yang dipakai dalam
komunikasi antarbangsa dan antarnegara. Bahasa Indonesia mungkin
dapat dimasukkan dalam kelas ini, jika kita gunakan bahasa Indonesia
secara resmi dalam hubungan kita dengan Malaysia. Bahasa inggris
dan bahasa spanyol jelas memenuhi syarat itu, sebab biasa dipakai
dalam komunikasi antarnegara dan antarbangsa. Bahasa inggris
dipakai juga antara bangsa-bangsa yang bukan penutur asli bahasa itu,
umpamanya penghimpunan ASEAN, sehingga ia mempunyai suatu
fungsi yang dapat diisebut ― bahasa internasional‖.
Mirip dengan fungsi bahasa untuk komunikasi yang luas ialah
apa yang disebut‖ bahasa kerja‖ dari perserikatan bangsa-bangsa.
Yang termasuk bahasa kerja PBB ini pada mulanya 5 bahasa; yakni
empat dari bahasa bangsa-bangsa yang menang dalam perang dunia II:
bahasa inggris, rusia, mandarin,dan prancis ditambah dengan bahasa
spayol. Belakangan ini di akui bahasa arab sebagai bahasa kerja PBB,
sehingga sekarang menjadi enam, apa bahasa Indonesia dapat
mencapai kedudukan sebagai bahasa kerja PBB belum berupa
pertanyaan yang penting. Yang diharapkan dan perlu di usahakan
ialah memantapkan bahasa Indonesia dalam fungsi-fungsinya yang
akan disebut dibawah ini.
Klasifikasi bahasa berdasarkan fungsi golongan kedua ialah:
―bahasa resmi‖ bahasa pendidikan,bahasa agama, bahasa dagang‖ dan
sebagainya. Bahsasa resmi ialah bahasa yang dipakai untuk keperluan
resmikenegaraan seperti pemerintahan dan pengadilan.di Indonesia
bahasa resmi pemerintahan ialah bahasa Indonesia, namun demikian,
pada tingkat desa dan kota kecil sering juga dipakai bahasa daerah
sebagai bahasa resmi secara taktis lapangan; tetapi kalau laporan
-
40 | S o s i o l i n g u i s t i k
tertulis akan dibuat dalam bahasa indoonesia. Dalam rumusan halim
(1976), fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi,atau yang
disebut ― bahasa Negara‖selain sebagai bahasa resmi kenegaraan juga
mencakup fungsi sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan
sebagai pengembangan kebudayaan , ilmu pengetahuan dan tehnologi
pada tingkat nasional. Kiranya perlu dicatat disini bahwa istilah ―
bahasa Negara‖ dalam pasal 36,UUD 45, mencakup kedua fungsi
yang kita bicarakan disini, yaitu bahasa nasional dan bahasa resmi.
Dalam rumusan bahasa resmi kenegaraan di atas termasuk
juga bahasa pendidikan, yaitu bahasa yang dipakai sebagai bahasa
pengantar dalam pendidikan. Di Indonesia, bahasa pendidikan ialah
bahasa Indonesia dengan ketentuan bahwa dibeberapa tempat bahasa
daerah boleh dipakai di kelas 1 sampai 3 sekolah dasarjikalau perlu,
artinya jika dianggap bahwa murid-murid belum dapat mengikuti
pelajaran yang diberikan dalam bahasa Indonesia. Kebijakan ini
diperlukan, oleh karena di daerah-daerah dimana bahasa daerah
dipakai secara umum untuk pergaulan sehari-hari, anak-anak belum
tahu bahasa Indonesia dan mereka memerlukan waktu untuk
mempelajarinya sebbelum mereka dapat memakainya sebagai bahasa
pengantar pelajaran.
Di dalam pengkajian sosiolinguistik, yakni ilmu yang
mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, fungsi bahasa dalam
masyarakat adalah topic yang penting. Pemeriaan fungsi-fungsibahasa
secara singkat untuk suatu Negara, yang di ikhtisarkan dalam suatu
rumus, disebut ―profil sosiolinguistik‖ (ferguson 1966) Negara itu,
sebab rumus itu memberikan konfigurasi penggunaan bahasa-bahasa
dalam masyarakat atau Negara itu.
3.3. Fungsi Perorangan
Klasifikasi fungsi bahasa golongan ketiga, yaitu fungsi
perorangan, akan kita dasarkan disini pada kajian halliday 1976. Dia
membuat suatu klasifikasi kegunaan pemakaian bahasa atas dasar
observasi yang terus menerus terhadap penggunaan bahasa anak-anak
kecil terdiri dari enam fungsi,yaitu (a) instrumental; (b) menyuruh; (c)
interaksi; (d) kepribadian;(e) pemecahan masalah (heuristic); (f)
khayal. Kepada klasifikasi ini perlu ditambahkan lagi satu fungsi yang
-
S o s i o l i n g u i s t i k | 41
terdapat pada orang yang berusia lebih dari tiga tahun, yaitu (g)
informasi.
Fungsi instrumental terdapat dalam ungkapan
bahasa,termasuk bahasa bayi, untuk meminta sesuatu
(makanan,barang dan sebagainya); contoh dalam bahasa dewasa:‖kasi
itu sama saya‖; minta saya diberikan kopi‖ fungsi
menyuruh(regulatory) ialah ungkapan untuk menyuruh orang lain
berbuat sesuatu:contoh dalam bahasa dewasa: ―lakukan itu; harap
letakkan ini diatas meja‖. Fungsi interaksi terdapat dalam ungkapan
yang menciptakan sesuatu iklim untuk hubungan antarpribadi; contoh
dalam bahasa dewasa ; apa kabar?;terima kasih, salam dari anu,
sampai ketemu lagi‖. Fungsi kepribadian (personal) ialah yang
terdapat dalam ungkapan yang menyatakan atau mengakhiri
partisip