Download - Sindroma Nefrotik Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak TUTORIAL KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SINDROMA NEFROTIK IDIOPATIK
oleh:
Ery Irawan (0708015017)
Listyono Wahid R. (0808015009)
Pembimbing:
dr. Fatchul Wahab, Sp.A.
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai
oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari),
hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria,
hiperkoagulabilitas(1-3). Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN
primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan
sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu(1,2).
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab
SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum
dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah
perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel
T(4).
Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi
minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental,
glomerulonefritis membrano-proliferatif(2,5,6). Penyebab SN sekunder sangat
banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit
multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit
herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis
arteri renalis, obesitas massif(1,2). Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN
primer (idiopatik)(1). Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan
nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6
tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita.
2
BAB II
DATA PASIEN
2.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : An. JM
Umur : 6 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
Alamat : Desa Tanah Genting RT.04
MRS tanggal 13 Maret 2013
Identitas Orang Tua
Nama Ayah : (Ayah bercerai dengan Ibu 3 tahun lalu)
Riwayat kesehatan ayah : terakhir bertemu sehat
Nama Ibu : Ny. I
Umur : 26 tahun
Alamat : Desa Tanah Genting RT.04
Pekerjaan : IRT
Pendidikan Terakhir : SD
Ibu perkawinan ke : II (anak dari perkawinan ke I)
Riwayat kesehatan Ibu : Sehat
2.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 14 Maret 2013 pukul 10.00 WITA, di
Bangsal Melati Ruang Endokrin RSUD AW. Sjahranie Samarinda. Alloanamnesa
oleh Ibu kandung pasien.
Keluhan Utama
Bengkak sembab seluruh tubuh
3
Riwayat Penyakit Sekarang
Anak mulai merasakan keluhan sejak 3 bulan sebelum MRS, awalnya
bengkak hanya muncul pada kelopak mata anak, lama-kelamaan bengkak juga
terjadi pada tangan, kaki, kemaluan anak, dan kantung kemaluan serta seluruh
wajah dan perut. Ibu menjelaskan anak mulai seperti ini karena kelelahan saat
bermain.
Anak memang sering mengalami keadaan bengkak seperti dan sering keluar
masuk rumah sakit dengan gangguan ginjal, anak mendapatkan terapi obat minum
3 kali perhari rutin yang diambil di PKM dalam 3 tahun terakhir.
Pasien saat menderita bengkak pertama kali tidak pernah menjelaskan adanya
penyakit pendahulu. Saat ini anak tidak ada mengeluhkan adanya demam (-),
batuk (-), pilek (-), nyeri perut (-). Tidak ada gangguan BAB, hanya saja memang
belakangan anak semakin jarang dan sedikit BAK-nya, sehari bisa sampai 3 kali
saja dengan jumlah sekitar 30 cc tiap BAK.
Riwayat Penyakit Dahulu
Umur 3 tahun dirawat di RSUD AW. Sahranie dengan gangguan ginjal.
Umur 4 tahun dirawat di RS Parikesit dengan keluhan serupa.
Umur 5 tahun 4 kali dirawat di RS Parikesit dengan keluhan serupa.
Sebelum umur 3 tahun anak tidak pernah menderita penyakit berat dan
tidak ada riwayat di rawat di RS.
Sebelum bengkak berat badan anak 18 kg.
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga dengan keluhan yang serupa
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
- Berat badan lahir : Ibu lupa
- Panjang badan lahir : Ibu lupa
- Tersenyum : Ibu lupa
- Miring : Ibu lupa
- Tengkurap : Ibu lupa
- Duduk : Ibu lupa
4
- Gigi keluar : Ibu lupa
- Merangkak : Ibu lupa
- Berdiri : Ibu lupa
- Berjalan : Ibu lupa
- Berbicara dua suku kata : Ibu lupa
- Masuk TK : 5 tahun
- Mauk SD : 6 tahun
- Sekarang kelas : 1 SD
Riwayat Makan Minum anak :
- ASI : 0 bulan
- Dihentikan : 3 tahun karena anak tidak mau
- Susu sapi/buatan : anak tidak mau
- Buah : lupa sejak kapan
- Bubur susu : lupa sejak kapan, 3 x 1 mangkok (100 cc)
- Tim saring : tidak pernah langsung makanan padat
- Makanan padat dan lauknya : 1 tahun, 3 x 1 piring kecil (lauk,
ikan/ayam, sayur) ikut menu orang tua
Riwayat Kehamilan
- Pemeliharaan Prenatal :
- Periksa di : di bidan praktek swasta
- Penyakit kehamilan : sehat
- Obat-obatan yang sering diminum : tablet penambah darah dan obat maag
(nama lupa)
Riwayat Kelahiran :
- Lahir di : Rumah
- Di tolong oleh : Bidan
- Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
- Jenis partus : spontan per vaginam
Riwayat Postnatal :
- Pemeliharaan postnatal : rutin
5
- Periksa di : Puskesmas dan bidan
Jadwal Imunisasi
ImunisasiUsia saat imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG 1 bulan //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan - -
Campak 9 bulan //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan //////////// - -
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan - -
2.3 Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 14 Maret 2013 pukul 10.00 WITA
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6
Tanda Vital :
- Nadi : 130 x/menit
- RR : 24 x/menit
- Suhu (axila) : 37o C
- Tekanan darah : 150/90 mmHg
Antropometri : (dalam keadaan edem anasarka)
- Berat Badan : 28 kg
- Tinggi Badan : 106 cm
- Lingkar Kepala : 53 cm
Status Gizi : Z-score sulit dievaluasi
TB/U :
6
Berat badan ideal BB/TB : 17,2 kg
Berat badan ideal BB/U : 22 kg
Berat badan pengakuan ibu sebelum bengkak : 18 kg
Berat badan menurut Brehman untuk anak umur 6-12 tahun
(umur ( tahun )× 7 )−5
2=
(6,8 × 7 )−52
=42,6
2=21,3 kg
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tipis, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (sde), sklera ikterik (sde), mata sembab (+/+)
Telinga : sekret (-), darah (-)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir normal, sianosis (-), lidah bersih, faring hiperemis
(-), pembesaran tonsil (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax
Inspeksi : bentuk dada normal, tampak simetris, costa tidak terlihat,
retraksi (-),Ictus cordis tidak terlihat
7
Palpasi : pergerakan simetris, Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Sonor
batas jantung kiri = ICS V MCL Sinistra
batas jantung kanan = ICS IV PSL Dextra
Auskultasi : Thorax : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), organomegali (sde), turgor kulit (baik),
fluid wave (+)
Perkusi : Shifting dullnes
Auskultasi : Bising usus (+) kesan meningkat
Genitalia
Preputium edem, skrotum edem, nyeri tekan (-).
Ekstremitas
Akral hangat, pucat (-/-), edema (+).
Status Neurologis
Kesadaran : E4V5M6
Tanda meningeal : Kaku kuduk (-), Kernig, Brudzinski I,
Brudzinski II (tidak diperiksa)
Refleks Fisiologis : Reflex biceps (+/+), triceps (+/+)
Refleks patella (+/+), achiles (+/+)
Refleks patologis : Babinsky (-/-), Chaddock (-/-), Openheim
(-/-), Tromer(-), Hoffman (-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
8
Pemeriksaan laboratorium:
WBC : 27.300 HGB : 7,1 g/dl HCT : 22,7 % PLT : 790.000
GDS : 79 mg/dl
Natrium : 139 mmol/L Kalium : 4,1 mmol/L Chlorida : 115 mmol/L
Ur 61,9 Cr 1,3
Protein urin +3
Radiologi
Interpretasi:
Thorax Rontgen : Kesan efusi pleura dextra.
Terdapat gambaran cairan/perselubungan semi-opaque dari apex hingga basal
paru lateral dextra, serta sudut costophrenicus yang tumpul.
9
2.5 Lembar Follow Up
Tanggal S O A P
14/3/2013Kamis
RawatH I
Lab:Leu 27.300Hb 7,1Hct 22,7Plt 790.000GDS 79Na 139K 4,1 Cl 115Ur 61,9Cr 1,3Protein urin +3
Bengkak seluruh tubuh, anak susah melihat, perut kembung. Demam (-), batuk, pilek (-)BAB (-), BAK (+)
CMTTV :Nadi 130 x/iRR 24 x/iTemp 37oC (axila)TD 150/90 mmHgBB: 28 Kg UT 60 cc/14 jam
anemis (sde) ikterik (sde) mata sembab (+/+), rhonki (-/-) wheezing (-/-)retraksi (-/-)S1S2 tunggal regulerAbdomen cembungFluid wave (+)BU (+) normalEdem skrotum (+)Edem ekstremitas (+)
Edem anasarka e.c. susp. Sindrom Nefrotik+Anemia
IVFD D5 ½ NS 1000 cc/24 jam (15 tpm)Prednison tab 3-3-3Inj. Ceftriaxon 3 x 900 mg /IVInj. Furosemid 3 x 20 mg /IVCek UL/hari
15/3/2013Jum’at
RawatH II
Bengkak seluruh tubuh, anak susah melihat, perut kembungNyeri perut (+)Sesak (-) Demam (+), batuk, pilek (-)BAB (+) 1x sedikit, padat, BAK (+)
CMTTV :Nadi 120 x/iRR 22 x/iTemp 36,8oC (axila)TD 120/80 mmHgBB: 27,8 Kg UT 100 cc/14 jam+ ngompol 2xanemis (sde) ikterik (sde) mata sembab (+/+), rhonki (-/-) wheezing (-/-)retraksi (-/-)S1S2 tunggal regulerAbdomen cembungFluid wave (+)BU (+) normalEdem skrotum (-)Ekstremitas (+)
Edem anasarka e.c. susp. Sindrom Nefrotik+Anemia
IVFD D5 ½ NS 1000 cc/24 jam (15 tpm)Prednison tab 3-3-3Inj. Ceftriaxon 3 x 900 mg /IVInj. Furosemid 3 x 20 mg /IVParacetamol syrup 3xcth II (prn demam)Inj. Ranitidin 2x ½ amp/ IV
Cek UL/hari Cek Kolestrol darahCek Kadar Albumin
16/3/2013 Bengkak seluruh CM Sindrom IVFD D5 ½ NS 1000
10
Sabtu
RawatH III
Lab:Leu 29.300Hb 7,1Hct 22,1Plt 857.000Na 138K 3,9 Cl 113Ur 70,5Cr 1,4Protein urin +3Albumin1,3 g/dlKholesterol733 mg/dl
tubuh, anak mulai bisa melihat, perut kembung.Nyeri perut (+)Sesak (-) Demam (-), batuk, pilek (-)BAB (-), BAK (+)Nyeri kaki kiri post aff infus
TTV :Nadi 96 x/iRR 24 x/iTemp 36,4oC (axila)TD 130/80 mmHgBB: 27,5 Kg (duduk) UT 700 cc/14 jamanemis (sde) ikterik (sde) mata sembab (+/+)<, rhonki (-/-) wheezing (-/-)retraksi (-/-)S1S2 tunggal regulerAbdomen cembungFluid wave (+)BU (+) normalEdem skrotum (-)Ekstremitas (+)
Nefrotik+Anemia
cc/24 jam (15 tpm)Prednison tab 3-3-3Inj. Ceftriaxon 3 x 900 mg /IVInj. Furosemid 3 x 20 mg /IVParacetamol syrup 3xcth II (prn demam)Inj. Ranitidin 2x ½ amp/ IV
Cek UL/hari
Tranfusi PRC 2 x 230 cc (selang 8 jam), pre: Inj. Furosemid 23 mg/IV, post: Inj.Ca Glukonas 2,3 ccTranfusi Albumin 20% 250 cc (100 cc H.I, 100cc H.II, 50cc H.III)
2.6 Diagnosis Kerja
Diagnosis Kerja : Edem Anasarka e.c. Sindrom Nefrotik Idiopatik
Diagnosis Komplikasi : -
Diagnosis Lain : Anemia
2.7 Penatalaksanaan
IVFD D5 ½ NS 1000 cc/24 jam (15 tpm)
Prednison tab 5 mg 3-3-3
Inj. Ceftriaxon 3 x 900 mg /IV
Inj. Furosemid 3 x 20 mg /IV
Paracetamol syrup 3 x 2 cth (prn demam)
Inj. Ranitidin 2x ½ amp/ IV
Pemeriksaan :
o Cek UL/hari
o Cek Kolestrol darah
o Cek Kadar Albumin
o Tampung urin per 24 jam
2.8 Prognosis
Dubia ad bonam
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROMA NEFROTIK
3.1. Definisi
Sindrom nefrotik, adalah penyakit atau sindrom yang mengenai
gromerulus yang ditandai proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dengan atau
tanpa disertai hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia.2,3,6 Yang dimaksud
proteinuria masif adalah apabila didapatkan protenuria sebesar ≥ + 2 pada uji
DIPSTICK atau protein > 40mg/m2/jam atau > 2g/hr sedangkan yang
dimaksudkan sebagai hipoalbumin adalah apabila didapatkan albumin dalam
darah < 2,5 g/dl.3 Pada sindrom nefrotik primer, penyakit ini terbatas pada ginjal
sedangkan sindrom nefrotik sekunder terjadi selama perjalanan penyakit sistemik.
3.2. Epidemiologi
Kebanyakan (90%) anak yang menderita sindrom nefrotik, merupakan
sindrom nefrotik idiopatik yang terdiri dari tiga tipe secara histologis yaitu lesi
minimal ditemukan pada sekitar 85%, proliferasi mesangium (glomerulonephritis
proliferatif) pada 5%, dan sklerosis setempat (glomerulosklerosis fokal segmental)
10%. Pada 10% anak sindroma nefrotik yang lain biasanya diperantai oleh
glomerulonefritis, dan tersering adalah tipe membranosa dan
membranoproliferatif.1
3.3. Klasifikasi sindrom nefrotik
Berdasarkan etiologi
1. Sindrom Nefrotik Primer
i. Sindrom Nefrotik Bawaan
Sindrom nefrotik yang diturunkan sebagai resesif autosom atau
karena reaksi fetomaternal2
ii. Sindrom Nefrotik Idiopatik
12
Sindrom nefrotik yang tidak diketahui penyebab terjadinya
gangguan pada glomerulus sehingga menunjukkan manifestasi
yang sama dengan sindrom nefrotik.
2. Sindrom Nefrotik Sekunder6
Sindrom nefrotik bisa sekunder dari penyakit infeksi, keganasan, penyakit
sistemik, penyakit autoimun, penyakit metabolik, toksisitas dan alergi.
Berdasarkan histopatologi
Berdasarkan histopatologi, sindrom nefrotik terbagi atas perubahan
minimal dan perubahan non minimal.
Berdasarkan respons terhadap pengobatan steroid
Sindrom nefrotik bisa berespons terhadap pengobatan steroid dan bisa
juga tidak. Oleh yang demikian, sindroma nefrotik bisa dibagi menjadi
sindrom nefrotik yang berespons terhadap steroid dan sindrom nefrotik
yang tidak berespons terhadap steroid.
3.4. Etiologi sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik primer pada anak umumnya idopatik dan diduga ada
hubungan dengan genetik, imunologi dan alergi.3 Sindroma nefrotik pada anak-
anak juga diduga adalah sindrom nefrotik dengan perubahan minimal, sindrom
nefrotik kongenital, sindrom nefrotik dengan proliferasi mesangial difus,
glomerulosklerosis fokal dan segmental, glomerulonefritis membranoproliferatif,
dan glomerulonefritis kresentrik.4
Sindroma nefrotik sekunder dapat pula disebabkan oleh 2,3,6:
i. Penyakit infeksi: - HIV
- Hepatitis virus B dan C
- Sifilis
- Malaria
- Skistosoma
13
- Tuberkulosis
- Lepra
- Post Streptokok
ii. Penyakit keganasan: - Adenokarsinoma paru, payudara, kolon,
- Limfoma Hodgkin
- Mieloma multipel
- Karsinoma ginjal
iii. Penyakit sistemik dan penyakit immune mediated :
- Lupus Eritematosus Sistemik*
- Henoch Scholein Purpura*
- Sindrom Vaskulitis
- Trombosis vena renalis
- Artritis Reumatoid
- MCTD (mixed connective tissue disease)
- Poliartritis
- Sarcoid
- Dematitis Hepertiformis
iv. Penyakit keturunan dan metabolic
- Mellitus Diabetes
- Amilodoisis
- Sindrom Alport
- Myxedema
- Pre-eklamsia
v. Akibat toksin dan alergi
- Keracunan logam berat (Au, Hg)
- Keracuan probenicid, trimetadion, paradion atau
penisilamin
- Gigitan serangga dan bisa ular
* Sindrom nefrotik sekuder pada anak sering sekunder dari
vaskulitis seperti Lupus Eritematosus Sistemik, Henoch Scholein
14
Purpura, Limfoma Maligna seperti penyakit Hodgkin, malaria
kuatarna, infeksi virus hepatitis B atau infeksi HIV .3,4
3.5. Patofisiologi Sindroma Nefrotik
Kelainan patogenetik yang mendasari sindroma nefrotik adalah proteinuria
yang berakibat daripada kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus akibat
dari kerusakan glomerulus.1,6 Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
(MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan
yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindroma nefrotik,
kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu, konfigurasi
molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. 6
Secara ringkasnya tiga macam mekanisme yang mendasari proteinuria
adalah ; (1) hilangnya muatan polianion pada dinding kapiler glomerulus ; (2)
perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus ; dan (3) perubahan hemodinamik
yang mengatur aliran kapiler.3
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar terdiri dari molekul protein yang keluar
melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul
kecil misalnya albumin sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri
dari molekul besar seperti immunoglobulin.6
Selektivitas proteinuria ditemukan oleh keutuhan struktur MBG. Pada
sindroma nefrotik yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal ditemukan
proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop electron dari glomerulonefritis lesi
minimal memperlihatkan fusi dari foot pocessus sel epitel visceral glomerulus dan
terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparin sulfat
proteoglikan pada glomerulonefritis lesi minimal menyababkan muatan negative
MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin.6
Pada sindroma nefrotik yang disebabkan oleh glomerulosklerosis fokal
segmental, peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang
15
ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel visceral glomerulus
terlepas dari MBG sehingga permeabilitasnya meningkat. 6
Dan pada sindroma nefrotik yang disebabkan oleh glomerulonefritis
membranosa, kerusakan struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di
sub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada glomerulonefritis membranosa
akan meningkatkan permeabilitas MBG, walaupun mekanisme yang pasti belum
diketahui.6
Umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun di bawah 2,5
g/dl (25 g/L). Mekanisme pembentukan edema pada sindroma nefrotik tidak
dimengerti sepenuhnya.1 Edema pada sindroma nefrotik dapat diterangkan dengan
teori underfill dan overfill.6 Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia
merupakan faktor kunci terjadinya edema pada sindroma nefrotik.6
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang
memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang intertisial.
Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal sehingga
mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang meransang reabsorbsi
natrium di tubulus distal. Akibat dari penurunan volume intravaskuler
(hipovolemia), ginjal melakukan kompensasi yaitu meningkatkan retensi natrium
dan air dengan meransang pelepasan hormon antidiuretik yang mempertinggi
reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik plasma
berkurang, natrium dan air yang telah direabsorbsi masuk ke ruang interstisial
sehingga edema dapat memperberat edema yang muncul.1
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat
sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal
akan menambah terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut
ditemukan secara bersamaan pada pasien sindroma nefrotik. Faktor seperti asupan
natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi
glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan
mekanisme mana yang lebih berperan.6 Adanya factor-faktor lain yang juga
memainkan peran pada pembentukan edema dapat ditunjukan melalui observasi
16
bahwa beberapa penderita sindroma nefrotik mempunyai volume intravaskuler
yang normal atau menurun.
Pada status sindroma nefrotik, hampir semua kadar lemak (kolesterol,
trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Kadar kolesterol umumnya
meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal hingga sedikit meninggi.
Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang memberikan sebagian penjelasan; (1)
hipoproteinemia meransang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk
lipoprotein; dan (2) katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma, yaitu sistem enzim utama yang mengambil lemak dari
plasma.1
Peningkatan kadar kolesterol secara umumnya disebabkan oleh
meningkatnya LDL karena LDL adalah lipoprotein utama yang mengangkut
kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi pula dikaitkan dengan peningkatan IDL
dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high density lipoprotein) pada sindroma
nefrotik cenderung normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada sindroma
nefrotik dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan
menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidmia merupakan hasil stimulasi
non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Oleh karena sintesis protein tidak
berkolerasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa hiperlipidemia
tidaklansung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan
pada sindroma nefrotik dengan kadar albumin mendekati normal dan sebaliknya
pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal.
Tingginya kadar VLDL pada sindroma nefrotik disebabkan peningkatan
sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pasa
sindroma nefrotik. Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga
merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada sindroma nefrotik.
Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau
viskositas yang menurun.penurunan kadar HDL pada sindroma nefrotik diduga
akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lechitin cholesterol acyltransferase)
yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan
17
mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan
aktivitas enzim tesebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada
sindroma nefrotik. Lipiduria sering ditemukan pada sindroma nefrotik dan
ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak
berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan
proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.
Proteinuri
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal
dari sekresi tubulus (proteinuri tubular)(1). Perubahan integritas membrana basalis
glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin(2).
Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan
glomerulus(9). Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui
membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier
(suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier(3). Pada nefropati
lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity
sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size
selectivity(10).
Hipoalbuminemi
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal(2). Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun(1,10).
Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat
meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di
hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein,
VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah)(1,2).
18
Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum
dan penurunan tekanan onkotik(1,3,10).
Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber
lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus
yang permeabel(1).
Edema
Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat
hipoalbuminemi dan retensi natrium (teori underfill)(1,3). Hipovolemi
menyebabkan peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin
plasma serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP)(11). Pemberian infus
albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi
glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan
edema berkurang(12). Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya
ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta
peningkatan ANP(3).
Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya
disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan
bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema
dan meningkat selama fase diuresis(12).
Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII,
X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel
endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI)(2,3,10,13,14).
Kerentanan terhadap infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal,
penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia,
Klebsiella, Haemophilus(2,3,7) Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang
diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis(2).
19
3.6. Patologi sindoma nefrotik idiopatik
Sindroma nefrotik idiopatik terjadi pada tiga pola morfologi.
1. Pada lesi minimal (85%)
Pada lesi minimal, glomerulus tanpak normal pada sel mesangium dan
matriks. Temuan-temuan mikroskopi imunofluoresens khas negatif.
Mikroskopi electron menampakka retraksi tonjolan kaki sel epitel. Lebih
dari 90% anak dengan penyakit lesi minimal berespons terhadap terapi
kortikosteroid.
2. Pada proliferatif mesangium (5%)
Pada proliferatif mesangium ditandai dengan peningkatan difus sel
mesangium dan matiks. Dengan imunofloresensi, frekuensi endapan
mesangium yang mengandung IgM dan C3 tidak berbeda dengan
frekuensi yang diamati pada penyakit lesi minimal. Sekitar 50-60%
penderita lesi histologis ini akan berespons terhadap terapi kortikosteroid.
3. Pada lesi sclerosis setempat (10%)
Pada sebagian besar penderita dengan lesi sclerosis setempat tampak
normal atau menunjukan proliferasi mesangium. Yang lain, terutama
glomerulus yang dekat dengan medulla (jukstamedulare), menunjukan
jaringan parut segmental pada satu atau lebih lobulus. Penyakitnya
seringkali progresif, akhirya melibatkan semua glomerulus, dan
menyebabkan gagal ginjal stadium akhir pada kebanyakan penderita.
Sekitar 20% penderita demikian berespons terhadap prednisone atau terapi
sitostatik ataupun keduanya.penyakit ini dapat berulang pada ginjal yang
ditransplantasikan.
3.7. Manifestasi Klinik Sindroma Nefrotik Idiopatik
Sindroma nefrotik idiopatik lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada
pada wanita (2:1) dan paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun. Sindrom
terdini telah dilaporkan pada setengah tahun terakhir pada usia satu tahun terakhir
dari usia satu tahun dan lazim pada orang dewasa. Episode awal dan kekambuhan
berikutnya dapat terjadi pasca infeksi virus saluran pernapasan yang nyata seperti
20
virus influenza. Juga kadang dimulai dengan episode awal lain seperti bengkak
periorbital dan oliguria.1,2 Penyakit ini biasanya muncul sebagai edema, yang pada
mulanya ditemukan disekitar mata dan pada tungkai bawah, di mana edemanya
bersifat “pitting”. Semakin lama, edema menjadi menyeluruh dan mungkin
disertai kenaikan berat badan, timbul asites dan/atau efusi pleura, penurunan curah
urin. Edemanya berkumpul pada tempat-tempat tergantung dan dari hari ke hari
dapat berpindah dari muka dan punggung ke perut, perineum dan kaki. Anoreksia,
nyeri perut dan diare lazim terjadi sedangkan hipertensi sebaliknya.1 dalam
beberapa hari,edema semakin jelas dan menjadi anasarka. Dengan perpindahan
volume plasma ke rongga ketiga dapat terjadi syok. Bila edema berat, dapat
timbul dispnu akibat efusi pleura.2
3.8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah seperti pemeriksaan urin
yang meliputi pemeriksaan protein kualitatif/kuantitatif, kreatinin dan uji
selektivitas protein (PST) untuk menunjang bentuk lesi. Selain pemeriksaan urin
diperlukan juga pemeriksaan darah yang meliputi albumin darah, protein total dan
kolesterol.3 Dari pemeriksaan penunjang ini didapatkan proteinuria yang masif
dan ditemukan pada sediment urin nilai yang normal. Bila terjadi hematuria
mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misalnya
sclerosis glomerulus fokal). Albumin plasma rendah dan lipid meningkat. IgM
dapat meningkat, sedangkan IgG turun. Komplemen serum normal dan tidak ada
krioglobulin.2
3.9. Kriteria diagnosis 1,2,3
1. Edema
2. Proteinuria massif
Urin : BANG atau DIPSTIX ≥ + 3 atau + 4 (kualitatif)
Protein > 40 mg/m3/jam, atau > 2 g/hr (kuantitatif)
Rasio protein : Kreatinin > 2,5 (Penilaian fungsi ginjal bisa normal
atau menurun. Keratin clearance ini bisa turun karenaterjadi
21
penurunan perfusi ginjal akibat penyusutan volume intravaskuler
dan akan kembali ke normal bila volume intravascular membaik)
Sediment urin biasanya normal
Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai
adanya lesi glomerular (misalnya : sclerosis glomerulus fokal)
3. Hipoalbuminemia
Albumin darah < 2 g/dl (20 g/L)
4. Dengan atau tanpa hiperlipidemia/hiperkolesterolemia
5. IgM dapat meningkat sedangkan IgG turun
6. Komplimen serum normal dan tidak ada krioglobulin
7. Kadar kalsium serum total menurun (karena penurunan fraksi terikat
albumin)
8. Kadar C3 normal
Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium berupa proteinuri masif (> 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemi (<3 g/dl), edema, hiperlipidemi, lipiduri dan
hiperkoagulabilitas.2,11 Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk
menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan
histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi,
diperlukan biopsi ginjal(2,11).
3.10. Penatalaksanaan1
Pada episode pertama nefrosis, anak dapat dirawat-inap di rumah sakit
untuk tujuan diagnostic, pendidikan dan teraputik. Pengecualian ini bisa terjadi
pada anak dengan klinis yang baik, tidak hipovolemik dan tinggal tidak jauh dari
rumah sakit. Pasien anak ini bisa datur untuk pemeriksaan rutin ke rumah sakit,
dengan syarat orangtua pasien sudah dididik bagaimana untuk mengenal pasti
gejala dari komplikasi sindroma nefrotik seperti infeksi dan hipovolemi. Pasien
tidak dipaksakan untuk tirah baring dan dibebaskan untuk beraktivitas. Bila
22
timbul edema, masukan natrium dikurangi dengan memulai “diet tidak ditambah
garam”. Batasan asupan natrium sampai ± 1 gram/hari, secara praktis dengan
menggunakan garam secukupnya dalam makanan sedangkan diet protein tidak
perlu dirubah.7 Apabila dirawat jalan, ibunya dinasehati unuk memasak tanpa
garam, menyembunyikan garam meja, dan menghindari menyajikan makanan
yang jelas-jelas bergaram. Pembatasan garam dihentikan bila edemanya membaik.
Jika edemanya tidak berat, masukan cairan tidak dibatasi namun tidak perlu
didorong. Anaknya dapat masuk sekolah dan berpartisipasi dalam aktivitas
sekolah seperti yang dapat ditoleransi. Bila edema tidak berkurang dengan
perbatasan garam, dapat digunakan diuretik biasanya furosemid 1 mg/kgBB/kali,
bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan.2 Bila edema refrakter
atau edema ringan sampai sedang dapat dikelola di rumah dengan klorotiazid 10-
40 mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi. Selama pengobatan diuretik perlu
dipantau kemungkinan hipokalemia, alkolosis metabolic, atau kehilangan cairan
intravasklar berat.2 Bila terjadi hipokalemia, dapat ditambahkan kalium klorida
atau spironolakton (3-5 mg/kg/24 jam dibagi menjadi empat dosis).
Jika edema menjadi berat, mengakibatkan kegawatan pernapasan yaitu
sesak akibat efusi pleura yang massif dan asites atau pada edema skrotum/labia
yang berat, atau dengan gejala hipotensi postural (sakit perut,mual dam muntah)
anak harus dirawat inap di rumah sakit. Perbatasan natrium harus diteruskan,
tetapi pengurangan masukan yang lebih lanjut jarang efektif dalam mengendalikan
edema. Skrotum yang membengkak dinaikan dengan bantal untuk meningkatkan
pengeluaran cairan dengan gravitasi. Di masa lampau, edema yang berat diobati
dengan pemberian albumin intravena dan pada beberapa penderita disertai dengan
pemberian furosemid intravena. Albumin diberikan adalah dengan dosis human
albumin 25% : 0,5 -1 g/kgBB/i.v dalam 2-4 jam, diikuti pemberian furosemid 1-2
mg/kgBB/i.v dapat diulang tiap 4-6 jam bila diperlukan. Tetapi sekarang terapi
tipe ini telah diganti dengan pemberian furosemid oral (1-2 mg/kg setiap 4 jam)
bersama dengan metolazon (0,2 – 0,4 mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi) ;
metolazon dapat bekerja pada tubulus proksimal dan distal. Bila menggunakan
kombinasi yang kuat ini, kadar elektrolit dan fungsi ginjal harus dimonitor secara
23
ketat. Pada beberapa keadaan edema berat, pemberian albumin manusia 25% (1
g/kg/ 24jam) intravena mungkin diperlukan, tetapi efeknya biasanya sementara
dan harus dihindari terjadinya kelebihan beban volume dengan hipertensi dan
gagal jantung.
Setelah diagnosisnya diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium yang
tepat, patofisiologi dan pengobatan nefrosis ditinjau lagi bersama-sama dengan
keluarganya untuk meningkatkan pengertian mereka tentang penyakit anaknya.
Rennin kemudian diinduksi dengan pemberian prednisone, dengan dosis
60mg/m2/24 jam (maksimum dosis 60 mg setiap hari), dibagi menjadi tiga atau
dapat dosis selama sehari. Berdasarkan ISKDC (international Study of Kidney
Disease in Children), terapi prednisone / prednisolon diberikan pada dua tahap.
Pada tahap pertama prednisone / prednisolon diberikan dalam dosis 60mg/m2
permukaan tubuh/ 24 jam atau 2 mg/kgBB dalam 3-4 dosis, diteruskan selama 4
minggu (28 hari) dengan maksimal 80 mg/24 jam. Pada tahap kedua, prednisone /
prednisolon diberikan dengan dosis 40 mg/m2 permukaan tubuh / 24 jam atau 1,5
mg/kgBB/24 jam dengan cara alternate (selalang sehari) dosis tunggal setelah
makan pagi, diteruskan selama 4 minggu (28 hari). Waktu yang dibutuhkan untuk
berespons terhadap prednison rata-rata sekitar 2 minggu, responsnya ditetapkan
pada saat urin menjadi bebas protein. Bila relaps prednisone / prednisolon dapat
diberikan dengan dosis 60mg/m2/24 jam (2mg/kgBB/24 jam) dibagi dalam 3-4
dosis sampai 3 hari berturut-turut dan selanjutnya menggunaka tahap kedua yang
disebutkan sebelum ini.3 Jika anak berlanjut menderita proteinuria (2+ atau lebih)
setelah satu bulan mendapatkan prednisone dosis-terbagi yang terus menerus
setiap hari, nefrosis demikian disebut resisten steroid atau terjadinya relaps yang
sering, maka biopsy ginjal terindikasi untuk menetukan penyebab penyakitnya
yang tepat.1,2
Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas
kortikosteroid berat (tampak cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh dan perubahan
sikap), kemudian harus dipikirkan terapi siklofosfamid. Siklofosfamid terbukti
memperpanjang lagi remisi dan mencegah kekambuhan pada anak yang sindrom
nefrotiknya sering kambuh. Kemungkinan efek samping obat (leukopenia, infeksi
24
varisela tersebar, sistitis hemoragika, alopesia, sterilitas) harus dipantau pada
keluarga. Dosis siklofosfamid adalah 3 mg/kg/24 jam sebagai dosis tunggal
selama total pemberian 12 minggu. Terapi prednisone selang sehari sering
diteruskan selama pemberian siklofosfamid.selama terapi dengan siklofosfamid,
leukosit harus dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah
leukosit menurun di bawah 5.000/uL. Penderita yang resisten-steroid berespons
terhadap perpanjangan pemberian siklofosfamid (3-6 bulan), bolus metal
prednisolon, atau siklosporin.
Transplantasi ginjal terindikasi untuk gagal ginjal stadium akhir karena
glomerulosklerosis setempat dan segmental resisten-steroid. Sindroma nefrotik
berulang terjadi pada 15-55% penderita. Absorbsi proein plasma pada kolom
protein basis-A dapat menurunkan proteinuria pada penderita-penderita ini.
Absorbsi protein memindahkan suatu fraksi (BM <100.000), yang menaikan
premeabilitas protein ginjal.
3.11. Komplikasi1
Infeksi adalah komplikasi nefrosis utama, komplikasi ini akibat dari
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Penjelasan
yang diusulkan meliputi penurunan kadar immunoglobulin, cairan edema yang
berperan sebagai media biakan, defisiensi protein, penurunan aktivitas bakterisid
leukosit, terapi imunosupresif, penurunan perfusi limpa karena hipovolemia,
kehilangan faktor komplemen (faktor properdin B) dalam urin yang
mengopsonisasi bacteria tertentu. Belum jelas mengapa peritonitis spontan
merupakan tipe infeksi yang paling sering; sepsis pneumonia, selulitis, dan infeksi
saluran kencing juga dapat ditemukan. Organisme penyebab peritonitis yang
paling lazim adalah streptococcus pneumoniae; bakteri gram-negatif juga
ditemukan. Demam dan temuan-temuan fisik mungkin minimal bila ada terapi
kortikosteroid. Oleh karenanya yang tinggi, pemeriksaan segera (termasuk biakan
darah dan cairan peritonium), dan memulai terapi awal yang mencakuo organisme
grm-positif maupun gram-negatif adalah penting untuk mencegah terjadinya
25
penyakit yang mengancam jiwa. Bila dalam perbaikan, semua penderita yang
sedang menderita nefrosis harus mendapat vaksin pneumokokus polivalen.
Komplikasi lain dapat meliputi kenaikan kecenderungan terjadi trombosis
arteri dan vena (setidaknya-tidaknya sebagian karena kenaikan kadar faktor
koagulasi tertentu dan inhibitor fibrinolisis plasma, penurunan kadar anti-trombin
III plasma, dan kenaikan agregrasi trombosit); defisiensi faktor koagulasi IX, XI,
dan XII; dan penurunan kadar vitamin D serum. Hiperkoagulabilitas selanjutnya
bisa menyebabkan thromboemboli, syok, dan gagal ginjal akut.
3.12. Prognosis 2
Sebagian besar anak dengan nefrosis yang berespons terhadap steroid akan
mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri
secara spontan menjelang usia akhir dekade kedua. Yang penting adalah,
menunjukan pada keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita sisa
disfungsi ginjal, bahwa penyakitnya biasanya tidak heriditer, dan bahwa anak
akan tetap fertile (bila tidak ada terapi siklosfosfamid atau klorambusil). Untuk
memperkecil efek psikologis nefrosis, ditekankan bahwa selama masa remisi anak
tersebut normal serta tidak perlu perbatasan diet dan aktivitas. Pada anak yang
sedang berada dalam masa remisi, pemeriksaan protein urin biasanya tidak
diperlukan.
26
BAB III
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
Fakta Teori
Anak berjenis kelamin laki-laki
Umur 6 tahun
Tidak ada penyebab pasti yang
memulai edem sejak awal
Awalnya keluhan dirasakan 3
bulan lalu diawali dengan
bengkak pada kedua kelopak
mata
Pasien mengeluhkan nyeri perut
yang hilang timbul
Sindroma nefrotik idiopatik lebih sering
dijumpai pada laki-laki daripada pada
wanita (2:1)
Paling lazim muncul antara usia 2 dan 6
tahun
Tidak ada penyebab pasti yang memulai
edem sejak awal
Penyakit ini biasanya muncul sebagai
edema, yang pada mulanya ditemukan
disekitar mata dan pada tungkai bawah, di
mana edemanya bersifat “pitting”
Anoreksia, nyeri perut dan diare lazim
terjadi sedangkan hipertensi sebaliknya
4.2 Pemeriksaan Fisik
Fakta Teori
Saat ini edem di seluruh tubuh
BB awal 18 kg menjadi 28 kg
Asites (+), kencing jarang dan
sedikit
Edem pada preputium dan
skrotum
Tidak ditemukan tanda tanda
syok
Tidak ditemukan adanya
dispneu
Edema menjadi menyeluruh
Kenaikan berat badan
Timbul asites dan/atau efusi pleura,
penurunan curah urin
Edem genitalia
Dapat terjadi syok
Bila edema berat, dapat timbul dispneu
akibat efusi pleura
27
4.3 Diagnosis
Fakta Teori
Edem anasarka, seluruh tubuh
Protein urin +3
Albumin 1,3 g/dl
Kholesterol 733 mg/dl
Edema
Proteinuria massif
Urin : BANG atau DIPSTIX ≥ + 3
atau + 4 (kualitatif)
Protein > 40 mg/m3/jam, atau > 2
g/hr (kuantitatif)
Hipoalbuminemia
Albumin darah < 2 g/dl (20 g/L)
Dengan atau tanpa hiperlipidemia
/hiperkolesterolemia
4.4 Pemeriksaan penunjang
Fakta Teori
Urin lengkap
Darah lengkap
Kadar albumin dan
kholesterol
Ureum, kreatinin
Urinalisis dan biakan urin bila perlu
Protein urin kuantitatif, berupa urin 24
jam atau rasio protein / kreatinin pada
urin pertama pagi hari
Darah lain:
- Darah tepi lengkap
- Kadar albumin dan kolesterol
plasma
- Kadar ureum, creatinin
- C3 bila curiga SLE
Indikasi biopsi ginjal:
- SN denga hematuria nyata,
hipertensi, kadar kreatinin dan
28
ureum meninggi, atau kadar
komplemen serum menurun
- SN resisten steroid
- SN dependen teroid
4.5 Penatalaksanaan
Fakta Teori
IVFD D5 ½ NS 1000 cc/24
jam (15 tpm)
Prednison tab 3-3-3
Inj. Ceftriaxon 3 x 900 mg
/IV
Inj. Furosemid 3 x 20 mg /IV
Paracetamol syrup 3xcth II
(prn demam)
Inj. Ranitidin 2x ½ amp/ IV
Cek UL/hari
Tranfusi PRC 2 x 230 cc
(selang 8 jam), pre: Inj.
Furosemid 23 mg/IV, post:
Inj.Ca Glukonas 2,3 cc
Tranfusi Albumin 20% 250
cc (100 cc H.I, 100cc H.II,
50cc H.III)
Diet protein normal, 1,5-2
g/kgBB/hari, diet rendah garam 1-2
g/hari (selama anak edem)
Diuretik: Furosemid 1-3 mg/
kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan Spironolakton 2-4
mg/kgBB/hari
Infus albumin 1 g/kgBB dalam 2-4
jam jika terjadi hipoalbuminemia
berat (< 1 gr/dl), bila tidak mampu
diganti tranfusi plasma 20
ml/kgBB/hari diberikan pelan 10 tpm
Terapi inisial / prednison dosis penuh
selama 4 minggu, 2 mg/kgBB/hari
(maksimal 80mg/hari) dalam dosis
terbagi
Jika hipovolemia (ESO diuretik) NaCl
fisiologis cepat 15-20 ml/kgBB dalam
30 menit, disusul albumin 1 g/kgBB
atau plasma 20 ml/kgBB
Jika hipertensi dapat diberikan ACEI
(kaptopril 0,3 mg/kgBB/ 3x sehari,
lisinopril 0,1 mg/kgBB dosis tunggal)
atau ARB (losartan 0,75 mg/kgBB
29
dosis tunggal)
Pengobatan simtomatik lainnya, jika
ada infeksi.
4.6 Prognosis
Fakta Teori
Dubia ad bonam Sebagian besar anak dengan nefrosis sindrom
yang berespons terhadap steroid akan mengalami
kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya
menyembuh sendiri secara spontan menjelang
usia akhir dekade kedua.
Selama 20 tahun: 4-5% menjadi gagal ginjal
terminal, pada glomerulosklerosis 25% menjadi
gagal ginjal terminal dalam 5 tahun.
BAB 1V
KESIMPULAN
30
4.1 Kesimpulan
Anak laki-laki umur 6 tahun dirawat inap di bangsal Melati RSUD A.W.
Sjahranie, didignosa dengan Edema anasarka at causa Sindrom Nefrotik Idiopatik
dengan Anemia. Gejala klinis serta pemeriksaan penunjang yang dilakukan sesuai
dengan diagnosa akhir anak, maka tatalaksana disesuaikan dengan diagnosa
tersebut. Prognosis anak ini dubia ad bonam.
4.2 Saran
Adapun saran kami setelah membahas kasus ini:
Diet anak dengan sindrom nefrotik idiopatik belum benar-benar
diperhatikan, anak masih mendapatkan diet yang sama dengan anak-anak
dengan penyakit lainnya.
Mengingat sindrom nefrotik memerlukan tatalaksana jangka panjang,
maka orang tua harus diberikan edukasi dan konseling yang baik, serta
memiliki catatan sendiri mengenai perjalanan dan pengobatan penyakit
anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
31
1. Bergstein JM. Sindrom nefrotik. Dalam : Behrman RE, Kliegma RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 17.
Philadelphia : WB Saunders Co; 2004. h 1827-1832
2. Mansjoer A. dkk, Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jilid ke-2.
Jakarta : Media Aesculapius 2005. H 488-490
3. Garna H, Nataprawira HMD, Rahayuningsih SE. Pedoman diagnosis dan
terapi ilmu kesehatan anak. Edisi ke-3. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FK UNPAD, RS Dr. Hassan Sadikin; 2005 h 538-541
4. Schwartz MW, dkk. Clinic handbook of pediatrics. USA : Williams &
Wilkins; 2004 h 304-313
5. Wilson LM. Anatomi dan fisiologi ginjal dan saluran kemih. Dalam : Price
AS, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-prpses penyakit. Edisi
ke 6. Volume 1. Jakarta : EGC; 2006 hal 867-891
6. Sudoyo AW, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4, Jilid I. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006 h 507-
560
7. Haycock G. The child with idiopathic nephritic syndrome. In : Webb N,
Postlethwaite R. Clinical pediatric nephrology. 3rd Edition. New York :
Oxford University Press Inc; 2003 pg 341-365
8. Tryggvason K, Patrakka J, Wartiovaara J. Hereditary Proteinuria Syndromes and Mechanisms of Proteinuria. N Engl J Med 2006 (cited August 24,2009). Available from:
32
http://content.nejm.org/cgi/content/full/354/13/1387
9. Leonard MB, Feldman HI, Shults J, Zemel BS, Foster BJ, Stallings VA.
Long-term, high-dose glucocorticoids and bone mineral content in
childhood glucocorticoid-sensitive nephrotic syndrome. N Engl J Med
2004 (cited August 24, 2009). Available from:
http://content.nejm.org/cgi/reprint/351/25/2655.pdf
10. Ishikura K, et al. Nephrotic state as a risk factor for developing posterior
reversible encephalopathy syndrome in paediatric patients with nephritic
syndrome. N Engl J Med 2004 (cited August 24, 2009). Available from:
http://ndt.oxfordjournals.org/cgi/reprint/23/8/2531
33