Download - Refrat RSO
FRAKTUR
I. Definisi Fraktur
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang
bersifat total atau sebagian (Helmi, 2012). Apley dan Solomon (2010)
mendefinisikan fraktur sebagai patahan pada kontinuitas tulang. Fraktur
lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap
tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Fraktur juga dikenal dengan istilah
patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik, kekuatan,
sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan
menetukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap
(Price dan Wilson, 2006).
Fraktur juga melibatkan jaringan otot, saraf, dan pembuluh darah di
sekitarnya karena tulang bersifat rapuh, tetapi cukup mempunyai kekuatan dan
gaya pegas untuk menahan, tetapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Smeltzer dan
Bare, 2002).
II. Penyebab Fraktur
Tulang secara relatif bersifat rapuh, namun memiliki kekuatan dan
ketahanan yang cukup untuk menahan stres yang cukup. Fraktur bisa terjadi
karena: (1) cedera; (2) stres yang berulang; atau (3) kelemahan abnormal
tulang (fraktur patologis).
1. Fraktur akibat cedera atau trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh hal yang tiba-tiba dan
dengan kekuatan yang berlebihan, yang dapat berupa pemukulan,
penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan yang mungkin bisa
terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kekuatan
langsung, terjadi tulang yang patah pada titik yang yang terkena trauma,
jaringan lunak juga rusak. Sedangkan pada trauma kekuatan tidak
1
langsung, terjadi patah pada tulang dengan jarak tertentu dari lokasi yang
terkena trauma, terjadi jaringan lunak pada daerah fraktur karena
kombinasi beberapa kekuatan.
2. Fraktur akibat cedera berulang
Fraktur ini terjadi pada tulang yang normal yang terkena beban
berat berulang, seperti pada atlet, penari, atau pada orang-orang yang
memiliki program latihan yang melelahkan. Beban berat tersebut
memunculkan deformasi kecil yang memulai proses awal remodeling,
kombinasi resorpsi tulang dan pembentukan tulang baru yang sesuai
dengan hokum Wolf.
Ketika paparan stres dan deformasi tersebut terjadi berulang
dan berkepanjangan, resorpsi terjadi lebih cepat dari penggantian
sehingga terjadilah fraktur. Hal serupa terjadi pada individu mengalami
pengobatan yang mengubah keseimbangan normal resorpsi tulang dan
penggantian tulang; fraktur karena tekanan semakin terlihat pada pasien
dengan penyakit inflamasi kronis yang memakai pengobatan steroid atau
methotrexate .
3. Fraktur patologis
Fraktur mungkin terjadi dengan adanya tekanan normal jika tulang
mengalami kelemahan karena perubahan pada strukturnya, seperti pada
osteopososis, osteogenesis, imperfakta atau Paget’s disease, atau pada lesi
litik seperti kista tulang atau metastase (Solomon et al., 2010).
III. Patofisiologi fraktur
Ketika terjadi patah tulang yang diakibatkan oleh trauma, peristiwa
tekanan ataupun patah tulang patologik karena kelemahan tulang, akan terjadi
kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak.
Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan
jaringan sekitarnya.. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medulla
antara tepi tulang dibawah periostium dengan jaringan tulang yang mengatasi
2
fraktur. Terjadinya respon inflamsi akibat sirkulasi jaringan nekrotik adalah
ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukosit.
Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses
penyembuhan untuk memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal
penyembuhan tulang. Hematom yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan
tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak
dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai
organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot,
sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada
otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke
interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan
menekan ujung syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan
syndroma kompartemen.
IV. Manifestasi Klinis Fraktur
Menurut Brunner dan Sudart (2002), manifestasi klinis dari fraktur
antara lain: nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas,
krepitus, pembengkakan lokal, serta perubahan warna, dengan penjelasan
sebagai berikut:
1. Nyeri
Nyeri dirasakan terus-menerus serta bertambah berat sampai tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan suatu bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalisasi gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadinya fraktur, bagian-bagian yang fraktur tidak dapat
digunakan seperti biasanya dan cenderung bergerak secara alamiah (terjadi
gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ekstremitas normal. Deformitas bisa terlihat
atau teraba. Ekstremitas yang fraktur tidak dapat berfungsi dengan baik
3
karena fungsi normal otot tergantung pada keutuhan tulang tempat
melekanya otot.
3. Shortening
Pada fraktur tulang panjang, bisa terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya terjadi karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah
lokasi fraktur.
4. Krepitasi
Saat lokasi fraktur diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
atau biasa disebut krepitasi yang teraba akibat adanya gesekan antar
fragmen yang satu dengan yang lain. Akan tetapi uji krepitasi ini dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang berat.
5. Pembengkanan serta perubahan warna local pada kulit terjasi akibat
trauma serta perdarahan yang mengikuti terjadinya fraktur. Tanda ini
biasnya terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
V. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur didasarkan pada jenis fraktur yang terjadi pada
tulang. Jenis-jenis fraktur tersebut adalah simple fraktur, compound fracture,
transverse fraktur (fraktur transversal atau sepanjang garis tengah tulang),
spiral fraktur (fraktur yang memuntir seputar batang tulang), impact fraktur
(fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lain), greenstick fraktur (salah
satu sisi tulang patah, sedangkan sisi lain korteks tulang masih tersambung),
comminuted fraktur (tulang pecah menjadi beberapa fragmen).
Secara umum keadaan fraktur secara klinis dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Fraktur tertutup (simple fraktur)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang fragmen tulangnya tidak
menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan
atau tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
4
2. Fraktur terbuka (compound fraktur)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan
dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk
from within (dari dalam), atau from without (dari luar).
VI. Pemeriksaan
1. Riwayat anamnesis, dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera
(posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera
tersebut.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi / Look
Dilihat apakah ada deformitas : angulasi, rotasi, pemendekan,
pemanjangan, bengkak.
b) Palpasi / Feel : Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat
fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera,
daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi.
c) Gerakan / Moving, untuk mencari :
Krepitasi, terasa bila fraktur digerakan. Tetapi pada tulang
spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi.
Pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan karena akan
menambah trauma.
Nyeri bila digerakan, baik pada gerakan aktif maupun
pasif.
Seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-
gerakan yang tidak mampu digerakan, range of motion
( derajat dari ruang lingkup gerakan sendi ), dan kekuatan
Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen,
pelvis. Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan
awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah
menilai, dan circulation airway, breathing.
5
3. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan
darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisa.
4. Radiologis untuk lokasi fraktur
a. meliputi seluruh panjang tulang
b. minimal dua sudut pandang: AP, lateral. Bisa ditambah oblique untuk
tulang-tulang pendek, pergelangan kaki, pelvis, dan vertebrae)
c. melibatkan dua sendi daerah fraktur
VII. Proses Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur
sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan – kerusakan yang
dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal
dan faktor sistemik.
Faktor lokal:
1. Lokasi fraktur
2. Jenis tulang yang mengalami fraktur.
3. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.
4. Adanya kontak antar fragmen.
5. Ada tidaknya infeksi.
6. Tingkatan dari fraktur.
Faktor sistemik adalah :
1. Keadaan umum pasien
2. Umur
3. Malnutrisi
4. Penyakit sistemik
6
Proses penyembuhan fraktur terdiri dari beberapa fase, sebagai berikut :
1. Fase Reaktif
a. Fase hematom dan inflamasi
b. Pembentukan jaringan granulasi
2. Fase Reparatif
a. Fase pembentukan callus
b. Pembentukan tulang lamellar
3. Fase Remodelling
Remodelling ke bentuk tulang semula (Liberman, 2005).
Dalam istilah-istilah histologi klasik, penyembuhan fraktur telah dibagi
atas penyembuhan fraktur primer dan fraktur sekunder.
1. Proses penyembuhan Fraktur Primer
Penyembuhan cara ini terjadi internal remodelling yang meliputi
upaya langsung oleh korteks untuk membangun kembali dirinya ketika
kontinuitas terganggu. Agar fraktur menjadi menyatu, tulang pada salah satu
sisi korteks harus menyatu dengan tulang pada sisi lainnya (kontak langsung)
untuk membangun kontinuitas mekanis. Tidak ada hubungan dengan
pembentukan kalus. Terjadi internal remodelling dari haversian system dan
penyatuan tepi fragmen fraktur dari tulang yang patah.
Ada 3 persyaratan untuk remodeling Haversian pada tempat fraktur adalah:
a. Pelaksanaan reduksi yang tepat
b. Fiksasi yang stabil
c. Eksistensi suplay darah yang cukup
2. Proses Penyembuhan Fraktur Sekunder
Penyembuhan sekunder meliputi respon dalam periostium dan
jaringan-jaringan lunak eksternal. Proses penyembuhan fraktur ini secara
garis besar dibedakan atas 5 fase, yakni fase hematom (inflamasi), fase
proliferasi, fase kalus, osifikasi dan remodelling. (Buckley, R., 2004,
Buckwater J. A., et al,2000).
7
3. Fase Inflamasi
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan
berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan
yang cidera dan pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung
fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah
terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan
mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk
memulai penyembuhan. Produksi atau pelepasan dari faktor pertumbuhan
spesifik, Sitokin, dapat membuat kondisi mikro yang sesuai untuk :
a. Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra
membran pada tempat fraktur
b. Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur
c. Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan
osifikasi endokondral yang mengiringinya (Kaiser, 1996).
Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat
robekan pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu tempat tertentu.
Namun pada perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan
oleh robekan pembuluh darah tetapi juga berperan faktor-faktor inflamasi
yang menimbulkan kondisi pembengkakan lokal. Waktu terjadinya proses ini
dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu.
4. Fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk
benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk
revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast
(berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan
menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada
patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid).
Dari periosteum, tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan
tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang.
Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur
8
kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial
elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya
fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.
5. Fase Pembentukan Kalus
Fase pembentukan kalus merupakan fase lanjutan dari fase hematom
dan proliferasi mulai terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang
kondrosit yang mulai tumbuh atau umumnya disebut sebagai jaringan tulang
rawan. Sebenarnya tulang rawan ini masih dibagi lagi menjadi tulang lamellar
dan wovenbone. Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan
tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen
patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrous, tulang rawan, dan
tulang serat matur.
Bentuk kalus dan volume dibutuhkan untuk menghubungkan efek
secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran
tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung
dalam tulang rawan atau jaringan fibrous. Secara klinis fragmen tulang tidak
bisa lagi digerakkan. Regulasi dari pembentukan kalus selama masa
perbaikan fraktur dimediasi oleh ekspresi dari faktor-faktor pertumbuhan.
Salah satu faktor yang paling dominan dari sekian banyak faktor
pertumbuhan adalah Transforming Growth Factor-Beta 1 (TGF-B1) yang
menunjukkan keterlibatannya dalam pengaturan differensiasi dari osteoblast
dan produksi matriks ekstra seluler. Faktor lain yaitu: Vascular Endothelial
Growth Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses angiogenesis
selama penyembuhan fraktur.
Pusat dari kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian
bersama osteoblast akan berdiferensiasi membentuk suatu jaringan rantai
osteosit, hal ini menandakan adanya sel tulang serta kemampuan
mengantisipasi tekanan mekanis (Rubin,E,1999).
9
Proses cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian berlanjut
sampai fase remodelling adalah masa kritis untuk keberhasilan penyembuhan
fraktur (Ford,J.L,et al,2003).
Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut
berada terbentuk kalus primer sebagai akibat adanya fraktur terjadi dalam
waktu 2 minggu Bridging (soft) callus terjadi bila tepi-tepi tulang yang
fraktur tidak bersambung. Medullary (hard) Callus akan melengkapi bridging
callus secara perlahan-lahan. Kalus eksternal berada paling luar daerah
fraktur di bawah periosteum periosteal callus terbentuk di antara periosteum
dan tulang yang fraktur. Interfragmentary callus merupakan kalus yang
terbentuk dan mengisi celah fraktur di antara tulang yang fraktur. Medullary
callus terbentuk di dalam medulla tulang di sekitar daerah fraktur (Miller,
2000).
6. Stadium Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus,
tulang yang immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone).
Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus
jaringan debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi
celah di antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan
perlahan-lahan selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk
menerima beban yang normal.
7. Stadium Remodelling.
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan
bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang
yang terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan
tekanan yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter
tulang kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati
10
bentuk semulanya, terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah
sembuh secara klinis dan radiologi.
Fase Inflamasi
Fase Proliferasi
Fase Pembentukan
Fase Remodeling
Gambar 1. Proses Penyembuhan Kalus (Liberman, 2005)
11
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddart. Buku Ajar ilmu Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8.
Editor:Suzane C. Smeltzer, Brenda G. Bare. Jakarta: EGC. 2001.
Buckley, R., . General Principle of Fracture Care, Department of Surgery,
Division of Orthopaedi, University of Calgary, Canada:4-32,2004.
Buckwalter, J. A.,et al . Orthopaedic Basic Science – Biology and Biomechanics
of The Musculoskeletal System, Second Edition, American Academy of
Orthopaedic Surgeons, United States of America.320-382,2000.
Ford, J. L., et. Al. . Endochondral Ossification in Fracture Callus During long
Bone Repair: The Localisaation of Cavity – lining cells within the
cartilage, New York, United States Of America:54,2004.
Kaiser . Cracking Bone Repair.Vol 271,Iss 3. Washington, United States of
America: 763,1996.
Liberman J, et. al. 2005. Bone Regeneration and Repair. Human Press : United
States of America. pp: 21-38
Miller, M. D. Review of orthopedic third edition, Phidelphia: Saunders:1-39,
2000.
Rubin, E., Pathology, Third Edition, Lippincort, United States of America.1338-
56. 1999.
Schwartz SI. 2000. Principles of Surgery Companion Handbook 7th Edition.
London: McGraw-Hill Professional.
Sjamsuhidajat R. dan Jong W.D. 1997. Buku Ajar Bedah. Ed Revisi.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC: 995-1093.
Solomon, Warwick DJ, Nayagam S. Apley's System of Orthopaedics and
Fractures 9Ed. 2010. London: Arnold.
12