Download - BAB 1 Hernia
BAB 1 PENDAHULUAN
Anatomi Dan Fisiologi Hepar
1. Anatomi hepar
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau lebih
25% berat badan orang dewasa dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan
fungsi sangat kompleks yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen.
Batas atas hati berada sejajar dengan ruangan interkostal V kanan dan batas
bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati
berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta
hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari sistem porta yang mengandung arteri
hepatica, vena porta dan duktus koledokus.Sistem porta terletak didepan vena kava
dan dibalik kandung empedu.
Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya
perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran
kira-kira 2 kali lobus kiri. Hati terbagi 8 segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada
dasarnya, garis cantlie yang terdapat mulai dari vena kava sampai kandung empedu
telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional, dan dengan adanya daerah dengan
vaskularisasi relative sedikit, kadang-kadang dijadikan batas reseksi.
Hati terdiri atas bermacam-macam sel, secara mikroskopis didalam hati
manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobulus berbentuk heksagonal yang
terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis.
Hepatosit meliputi kurang lebih 60% sel hati,sedangkan sisanya terdiri dari sel-sel
epithelial system empedu dalam jumlah yang bermakna dan sel-sel parenkimal yang
termasuk di dalamnya endotolium, sel kuffer dan sel stellata yang berbentuk seperti
bintang.
Hepatosit sendiri dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari efferent
vena hepatica dan duktus hepatikus. Saat darah memasuki hati melalui arteri hepatica
dan vena porta serta menuju vena sentralis maka akan didapatkan pengurangan
oksigen secara bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi penting
kerentanan jaringan terhadap kerusakan asinus. Membrane hepatosit berhadapan
langsung dengan sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga tampak
pada sisi lain sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan petunjuk tempat
permulaan sekresi empedu.
1
Gambar 1: Anatomi Hepar
Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan penghubung dan desmosom
yang saling bertautan dengn sebelahnya. Sinusoid hati memiliki lapisan endothelial
endothelial berpori yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang disse (ruang sinusoida).
Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding inusoid adalah sel fagositik. Sel Kuffer yang
merupakan bagian penting sistem retikuloendothellial dan sel stellata disebut sel itu,
limposit atau perisit. Yang memiliki aktifitas miofibroblastik yang dapat membantu
pengaturan aliran darah. Sinosoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikan
kerusakan hati.
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh, rata – rata sekitar 1.500gr
atau 2,5 % berat badan pada orang dewasa normal. Hati merupakan organ
plastis lunak yang tercetak oleh struktur sekitarnya.
Memperlihatkan bersatunya hati dan diaphragma: Lig. Falciforme hepatis
dan Lig. teres hepatic disayat; tampak ventral
a. Permukaan superior cembung dan terletak dibawah kubah kanan
diagfragma dan sebagian kubah kiri.
b. Bagian bawah hati cekung dan merupakan atap ginjal kanan,
lambung, pankreas dan usus.
c. Hati memiliki dua lobus utama:
1) Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh
fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari
2) Lobus kiri dibagi menjadi segmen segmen medial dan lateral
2
oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar.
3) Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah
kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada
diagfraghma. Dibawah peritoneum terdapat jaringan penyambung
padat yang dinamakan kapsula Glisson, yang meliputi seluruh
permukaan organ, kapsula ini pada hilus atau porta hepatis
dipermukaan inferior, melanjutkan diri ke dalam massa hati,
membentuk rangka untuk cabang – cabang vena porta, arteria
hepatica, dan saluran empedu.
Gambar 2 : segmen medial dan lateral dari hepar, porta hepatis, pita
pengikat yang memfiksasi hati dan pembuluh-pembuluh darah
disayat;tampak dorsal
2. Fisiologi
a. Sirkulasi
Hati memiliki dua sumber suplai darah dari saluran cerna dan limpa
melalui vena porta, dan dari aorta melalui arteria hepatica. Sekitar
sepertiga darah yang masuk adalah darah arteria dan sekitar dua
pertiga adalah darah dari vena porta. Volume total darah yang
melewati hati setiap menit adalah 1.500 ml dan dialirkan melalui vena
hepatica kanan dan kiri yang selanjutnya bermuara pada vena kava
inferior.
b. Fungsi Hati
3
Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperanan pada
hampir setiap fungsi metabolik tubuh, dan khusunya bertanggungjawab
atas lebih dari 500 aktivitas berbeda.
Hepar juga berhubungan dengan isi normal darah karena hepar membentuk
sel darah merah pada masa hidup janin, sebagian hepar berperan dalam
penghancuran sel darah merah. Hepar menyimpan kromatin yang
diperlukan untuk penyempurnaan sel darah merah baru, membuat sebagian
besar dari protein plasma, membersihkan bilirubin dari darah dan
berkenaan dengan prothrombin dan fibrinogen yang perlu untuk
penggumpalan (Inayah, 2004).
Hepar memiliki beberapa fungsi vital, yaitu :
1. Metabolisme protein - sintesis protein plasma dan faktor koagulasi, juga
terlibat dalam pemecahan protein. Protein serum yang disintesis oleh hati
termasuk albumin serta alfa dan beta globulin
2. Pembentukan urea – urea dibentuk semata-mata dalam hati dari NH2
yang kemudian dieksresi dalam urine dan feses
3. Metabolisme karbohidrat – hati memegang peranan penting dalam
mempertahankan kadar glukosa darah normal dan menyediakan energi
untuk tubuh. Karbohidrat disimpan dalam hati sebagai glikogen
4. Metabolisme lemak – hidrolisis trigliserida, kolesterol, fosfolipid, dan
lipoprotein (diabsorpsi dari usus) menjadi asam lemak dan gliserol. Hati
memegang peranan dalam sintesis kolesterol, sebagian besar dieksresi
dalam empedu sebagai kolesterol atau asam folat.
5. Penyimpan lemak, penyimpanan vitamin dan mineral – vitamin yang
larut lemak (A,D,E dan K) disimpan dalam hati juga vitamin B12,
tembaga dan besi.
6. Metabolisme steroid – hati menginaktifasi dan mensekresi aldosteron,
glukokortikoid, estrogen, progesteron dan testosteron
7. Pembentukan empedu - asam empedu dari kolesterol disintesis dalam
hati dan bertindak sebagai "deterjen" untuk memulai pemecahan lemak
di usus
8. Hormon dan inaktivasi obat - hati adalah situs yang penting untuk
pemecahan hormon yang diproduksi oleh tubuh tetapi organ kunci dalam
4
pemecahan alkohol dan obat-obatan (biotransformasi) yang berbahaya
bagi tubuh menjadi tidak berbahaya yang kemudian dieksresi oleh ginjal.
9. Fungsi imunologi - hati memainkan peran penting dalam perlindungan
tubuh dari bakteri dan antigen lainnya dari usus.
10. Sekresi bilirubin (pigmen empedu) dari bilirubin unconjugated menjadi
conjugated. Bilirubin merupakan pigmen utama yang merupakan hasil
akhir metabolisme pemecahan sel darah merah yang sudah tua. Proses
konjugasi berlangsung dihati dan disekresi ke dalam empedu.
Kantung atau kelenjar empedu merupakan kantung berbentuk buah pir dengan
panjang sekitar 7,5 cm dan dapat menampung ± 50 ml cairan empedu. Cairan
empedu adalah cairan kental berwarna kuning keemasan atau kehijauan yang
dihasilkan terus menerus dalam jumlah 500 – 1000 ml/hari, merupakan zat
esensial dalam pencernaan dan penyerapan lemak, suatu media yang dapat
mengekskresikan zat-zat tertentu yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal.
Metabolisme bilirubin terdiri dari empat tahap :
1. Produksi.
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat pemecahan haemoglobin
(menjadi globin dan hem) pada sistem retikulo endoteal (RES). Hem
dipecah oleh hemeoksigenase menjadi bilverdin, dan oleh bilirubin
reduktase diubah menjadi bilirubin. Merupakan bilirubin indirek / tidak
terkonjugasi. (1)
2. Transportasi. Bilirubin indirek kemudian ditransportasikan dalam aliran
darah hepatik. Bilirubin diikat oleh protein pada plasma (albumin),
selanjutnya secara selektif dan efektif bilirubin diambil oleh sel parenkim
hepar atau protein intraseluler (ligandin sitoplasma atau protein Y) pada
membran dan ditransfer menuju hepatosit.
3. Konjugasi. Bilirubin indirek dalam hepar diubah atau dikonjugasikan oleh
enzim Uridin Difosfoglukoronal Acid (UDPGA) atau glukoronil transferase
menjadi bilirubin direk atau terkonjugasi yang bersifat polar dan larut dalam
air.
4. Ekskresi. Bilirubin direk yang terbentuk, secara cepat diekskresikan ke
sistem empedu melalui membran kanalikuler. Selanjutnya dari sistem
5
empedu dikskresikan melalui saluran empedu ke sistem pencernaan (usus)
dan diaktifkan dan diabsorpsi oleh bakteri / flora normal pada usus menjadi
urobilinogen. Ada sebagian kecil bilirubin direk yang tidak diabsorpsi
melainkan dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi melalui
sirkulasi enterohepatik.
TUMOR HEPAR SEKUNDER (METASTASIS)
A. Pengertian
Secara umum tumor hati dibagi menjadi dua, yaitu tumor hati primer dan tumor
hati sekunder. Tumor hati primer dibedakan lagi menjadi jinak atau ganas. Tumor hati
ganas primer yang paling sering ditemukan adalah hepatoma yang berasal dari sel
hepatosit, dan kolangiokarsinoma yang merupakan kanker primer dari sel epitel bilier.
Kanker hati terjadi sebagai primer atau metastatik. Kanker hati primer dapat
tumbuh dari hepatosit (sel hati), jaringan penyambung, pembuluh darah atau saluran
empedu. Kanker ini dapat berupa benigna atau maligna. Kanker hati maligna metastatik
dapat muncul dari kanker primer pada organ-organ lain, tetapi pada umumnya bersumber
dari perut, pankreas, kolon dan rektum. (Suratun dan Lusianah, 2010).
B. Etiologi dan faktor risiko
1. Virus Hepatitis
Baik kasus-kontrol maupun studi kohort menunjukkan hubungan yang kuat
antara tingkat carrier hepatitis B kronis dan peningkatan kejadian HCC.. HCC yang
disebabkan HBV mungkin timbul dari siklus kerusakan hati dengan proliferasi
berikutnya, dan tidak selalu terjadi dari sirosis. (2) Karsinogenitas HBV terhadap hati
mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit,
integrasi sel HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu dan aktivitas protein spesifik
HBV berinteraksi dengan gen hati.
Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif
bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara
tidak langsung oleh kompensasi proliferatif merespon nekroinflamasi sel hati, atau
6
akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat
HBV.
Hepatitis C virus (HCV) juga telah dikaitkan dengan terjadinya HCC.
Antibodi terhadap HCV telah ditemukan sebanyak 76% dari pasien dengan HCC di
Jepang, Italia, dan Spanyol dan 36% di Amerika Serikat. Berbeda dengan HCC
disebakan oleh HCV, HCC jarang terjadi pada carier HBV sebelum terjadinya
perkembangan sirosis. (9) Sebuah interval antara transfusi yang berhubungan dangan
virus hepatitis C (HCV) dan terjadinya HCC adalah ~ 30 tahun. HCC yang
disebabkan oleh HCV cenderung memiliki sirosis yang lebih sering dan lebih awal,
tetapi dalam HCC yang disebabkan dengan HBV, hanya setengahnya yang terjadi
sirosis; sisanya menderita hepatitis aktif kronis. (1) Selain itu, kejadian HCC pada
carier HCV kronis diperkirakan setinggi 5% per tahun, dibandingkan dengan 0,5%
per tahun untuk carier HBV.
2. Sirosis Hati
Sirosis hati (SH) merupakan faktor resiko utama HCC di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus HCC. Setiap tahun tiga sampai lima persen
dari pasien SH akan menderita HCC, dan HCC merupakan penyebab kematian pada
SH. Otopsi pada pasien SH mendapatkan 290-80% di antaranya telah menderita
HCC. Pada 60-80% dari SH makronoduler dan tiga sampai sepuluh persen dari SH
mikronuduler dapat ditemukan adanya HCC. Prediktor utama HCC pada SH adalah
jenis kelamin laki-laki, peningkatan alfa feto protein (AFP) serum, beratnya penyakit
dan tingginya aktivitas proliferasi sel hati.
3. Karsinogen Kimia
Mungkin karsinogen kimia alami yang paling kuat di mana-mana merupakan
produk dari jamur Aspergillus, disebut aflatoksin B1. Produk aflatoksin dapat
ditemukan dalam biji-bijian yang disimpan di tempat yang panas, tempat-tempat
lembab, kacang dan nasi disimpan tidak dalam lemari es. Aflatoksin B1 (AFB1)
merupakan mikotoksin yang diproduksi jamur Aspergillus. Dari percobaan binatang
diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Metabolit AFB1 1-2-3- epoksid
merupakan karsinogen utama dari kelompok utama aflatoksin yang mampu
membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme
7
karsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1 menginduksi mutasi pada kodon 249 dari
gen supresor tumor p53.
4. Obesitas
Suatu penelitian kohort prospektif pada lebih dari 900.000 individu di
Amerika Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapatkan terjadinya
peningkatan angka mortalitas sebesar lima kali akibat kanker hati pada kelompok
individu dengan berat badan tertinggi (Indeks Massa Tubuh (IMT) : 35-40 Kg/m2)
dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Seperti diketahui,
obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alchoholic fatty liver disease
(NAFLD), khususnya non alchoholic steatohepatis (NASH) yang dapat berkembang
menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut menjadi HCC.
5. Diabetes Mellitus (DM)
Telah lama ditengarai bahwa DM merupakan faktor resiko baik untuk
penyakit hati kronik maupun untuk HCC melalui terjadinya perlemakan hati dan
steatohepatis non alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan
peningkatan kadar insulin dan insulin like growth factors (IGFs) yang merupakan
faktor promotif potensial untuk kanker. DM merupakan faktor resiko HCC tanpa
memandang umur, jenis kelamin dan ras, dengan angka resiko 2,16.
6. Alkohol
Meskipun alcohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum berat
alcohol (>50-70 g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC melalui
sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari
alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada
pengidap infeksi HBV atau HCV. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC
juga meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg-positif atau anti HCV-positif.
Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alcohol terhadap infeksi HBV maupun
infeksi HCV. Acapkali penyalahgunaan alkohol merupakan prediktor bebas untuk
terjadinya HCC pada pasien dengan hepatitis kronik atau sirosis akibat infeksi HBV
atau HCV. Efek hepatotoksik alkohol bersifat dose-dependent, sehingga asupan
sedikit alkohol tidak meningkatkan resiko terjadinya HCC.
8
C. Patofisiologi
Perjalanan penyakit cepat bila tidak segera diobati, sebagian besar pasien
meninggal dalam 3 sampai 6 bulan setelah diagnosis. Unit fungsional dasar dari hepar
disebut lobulus dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Seiiring dengan
berkembangnya imflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan
pada suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan
sel-sel hepar.
Inflamasi pada hepar terjadi karena invasi virus HBV dan HCV akan
mengakibatkan kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik (empedu yang
membesar tersumbat oleh tekanan nodul maligna dalam hilus hati) sehingga
menimbulkan nyeri. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri ulu
hati. Sumbatan intrahepatik dapat menimbulkan hambatan pada aliran portal sehingga
tekanan portal akan naik dan terjadi hipertensi portal.
Timbulnya asites karena penurunan sintesa albumin pada proses metabolisme
protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotik dan peningkatan cairan atau
penimbunan cairan didalam rongga peritoneum. Gangguan metabolisme protein yang
mengakibatkan penurunan sintesa fibrinogen protrombin dan terjadi penurunan faktor
pembekuan darah sehingga dapat menimbulkan pendarahan.
Ikterus timbul karena kerusakan sel parenkin hati dan duktuli empedu intrahepatik
maka terjadi kesukaran pengangkutan ke dalam hati. Akibatnya, bilirubin tidak sempurna
dikeluarkan melalui duktus hepatikus. Karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel
eksresi) dan regurgitasi pada duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin
indirek) maupun bilirubin yang terkonjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus yang timbul
disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan, konjugasi dan eksresi
bilirubin, oleh karena nodul tersebut menyumbat vena porta atau bila jaringan tumor
tertanam dalam rongga perotoneal.
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam
empedu dalam darah yang akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein menyebabkan penurunan glikogenesis dan
glukoneogenesis sehingga glikogen dalam hepar berkurang, glikogenolisis menurun dan
glukosa dalam darah berkurang akibatnya timbul keletihan.
Kerusakan sel hepar juga dapat mengakibatkan penurunan fungsi penyimpanan
vitamin dan mineral sehingga terjadi defisiensi pada zat besi, vitamin A, vitamin K,
vitamin D, vitamin E, dll. Defisiensi zat besi dapat mengakibatkan keletihan, defisiensi
9
vitamin A dapat mengakibatkan gangguan penglihatan, defisiensi vit K dapat
mengakibatkan resiko perdarahan, defisiensi vit D mengakibatkan demineralisasi tulang
dan defisiensi vitamin E berpengaruh pada integritas kulit.
D. Manifestasi klinik
1. Nyeri abdomen kanan atas
Penderita sering datang berobat karena tidak nyaman dengan nyeri di abdomen kanan
atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul atau menusuk, intermiten atau kontinu,
sebagian area hati terasa terbebat kencang karena pertumbuhan tumor yang cepat.
2. Massa badomen atas
Kanker hati lobus kanan dapat menyebabkan batas atas hati bergeser ke atas,
pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali di bawah arcus costae tapi tanpa nodul.
3. Perut kembung timbul karena massa tumor sangat besar dan gangguan fungsi hati.
4. Anoreksia : timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran
gastrointestinal
5. Letih, mengurus : dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan berkurangnya
masukan makanan
6. Demam : timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor,
umumnya tidak disertai menggigil
7. Icterus : tampil sebagai kuningnya sklera dan kulit, biasanya sudah stadium lanjut,
juga karena sumbat kanker di saluran empedu atau tumor mendesak saluran hingga
timbul icterus
8. Ascites juga merupakan stadium lanjut, secara klinis ditemukan perut membuncit
sering disertai odeme di kedua tungkai
9. Lainnya : selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu belakang,
kulit gatal dan lainnya, manifestasi sirosis hati seperti splenomegali, venodilatasi
dinding abdomen. Pada stadium akhir sering timbul metastase paru, tulang, dan organ
lain.
E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yaitu :
1. Hipertensi
2. Hiperbilirubinemia
3. Ensefalopati hepatik terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh
10
akumulasi amonia serta metabolik toksin
4. Kerusakan jaringan perenkim hati yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis
F. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium:
a) Peningkatan kadar bilirubin, alkali fosfatase, SGOT, SGPT, LDH, CPK, HbsAg
positif dalam serum, leukositosis, eritrositosis, hiperkalsemia, hipoglikemia, dan
hiperkolesterolemia.
b) Alfa fetoprotein (AFP) 500 mg/dl. AFP meningkat pada klien dengan
karsinoma hepatoseluler dan biasanya tidak ada peningkatan pada klien dengan
kalagiokarsinoma atau kanker hepar metastatik.
c) Kadar antigen karsinoembrionik (CEA) yang berfungsi sebagai penanda kanker
saluran cerna dapat meningkat pada klien karsinoma gastrointestinal dan
adenokarsinoma lain yang metastase ke hepar terutama kanker kolorectal dan
karsinoma hepatoseluler.
2. Radiologi ; meliputi sinar X abdomen dan dada serta Ultrasonografi (USG) dapat
menunjukkan adanya masa.
3. CT Scan (Sidik Tomografi Komputer) dengan zat kontras dapat membantu dokter
dalam menentukan apakah ada atau tidak ada lesi-lesi benigna dan atau maligna.
4. Angiografi Hepatik dapat memperlihatkan pembuluh darah yang terkena sebelum
pembedahan.
5. Biopsi jaringan hati dilakukan dengan tuntunan USG atau laparoskopi. Biopsi dengan
jarum tidak direkomendasikan jika reseksi pembedahan masih mungkin untuk
dilakukan karena hal ini diperkirakan bahwa tumor tersebut kemungkinan akan dapat
mengalir ke rongga abdomen. Jika biopsi dengan jatum dilakukan, perdarahan
merupakan komplikasi yang sangat mungkin terjadi berhubungan dengan risiko
peningkatan perdarahan dengan penurunan fungsi hepar.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien kanker hati adalah :
1. Non bedah
a. Terapi Radiasi
Tujuannya adalah memberikan radiasi langsung kepada sel-sel tumor agar tidak
menyebar bertambah besar, nyeri dan gangguan rasa nyaman dapat dikurangi
11
secara efektif dengan terapi radiasi pada 70% hingga 90% penderita. Gejala
anoreksia, kelemahan dan panas juga berkurang dengan terapi ini.
Metode pelaksanaan radiasi mencakup:
1). Penyuntikan antibodi berlabel isotop radioaktif secara intravena yang secara
spesifik akan menyerang antigen yang berkaitan dengan tumor.
2). Penempatan sumber radiasi perkutan intensitas tinggi untuk terapi radiasi
intertitial.
b. Kemoterapi
Kemoterapi sistemik dan kemoterapi infus regional merupakan metode yang
digunakan untuk memberikan preparat antineoplastik kepada pasien tumor primer
dan metastasis hati untuk memberikan kemoterapi ddengan konsentrasi tinggi ke
dalam hati melalui arteri hepatika dipasang pompa yang dapat ditanam.
c. Drainase biliar perkutan atau drainase transhepatik.
Ini digunakan untuk melakukan pintasan saluran empedu yang tersumbat oleh
tumor hati, pankreas atau saluran empedu pada pasien tumor yang tiak dapat
dioperasi atau pada pasien yang dianggap beresiko. Prosedur seperti ini
dikerjakan untuk membentuk kembali sistem drainase bilier, mengurangi tekanan
serta rasa nyeri karena penumpukan empedu akibat obstruksi dan meredakan
gejala pruritus serta ikterus. Selama beberapa hari setelah dipasang, kateter
dibuka untuk drainase eksternal. Cairan empedu yang mengalir keluar diobservasi
dengan ketat untuk mengetahui jumlah, warna dan adanya darah serta debris.
d. Bentuk terapi non bedah lainnya
1). Hipertermia pernah dilakukan sebagai suatu bentuk terapi untuk mengatasi
metastasis pada hati. Pemanasan diarahkan pada tumor melalui beberapa cara
untuk menimbulkan nekrosis pada jaringan tumor tersebut sementara jaringan
normal tetap terlindungi.
2). Pengembangan teknik pembekuan dingin sel-sel tumor hati dengan
cryosurgery dan penggunaan bedah laser sebagai salah satu bentuk terapi
masih berada dalam tahap awal.
3). Embolisasi untuk mengganggu aliran darah arterial kedalam jaringan tumor
dengan memasukkan partikel-partike gelfoam ke dalam pembuluh darah arteri
yang memperdarahi tumor ternyata cukup efektif pada pasien-pasien dengan
tumor yang kecil.
12
4). Imunotherapi merupakan bentuk terapi lain yang masih diteliti. Pada tahap ini,
limfosit dengan reaktifitas anti tumor diberikan kepada penderita tumor hati.
Regresi tumor yang merupaknan hasil akhir yang diinginkan ternyata terlihat
pada penderita kanker metastasis yang tidak berhasil diobati dengan terapi
standar.
KONSEP MEDIS EFUSI PLEURA
A. Pengertian
Efusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura (Price & Wilson2005).
Pleura merupakan lapisan tipis yang mengandung kolagen dan jaringan elastis yang
melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi paru (pleura visceralis).
Diantara pleura parietalis dan pleura visceralis terdapat suatu rongga yang berisi cairan
pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan bergerak selama pernafasan.
Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer, sehingga mencegah
kolaps paru.
Bila terserang penyakit, pleura mungkin
mengalami peradangan atau udara atau cairan
dapat masuk ke dalam rongga pleura
menyebabkan paru tertekan atau kolaps. Cairan
dalam keadaan normal dalam rongga pleura
bergerak dari kapiler didalam pleura parietalis
keruang pleura dan kemudian diserap kembali
melalui pleura visceralis. Selisih perbedaan
absorpsi cairan pleura melalui pleura visceralis lebih besar daripada selisih perbedaan
pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan permukaan pleura visceralis lebih besar
daripada pleura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan normal hanya
terdapat beberapa mililiter cairan.
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit
primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat
berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa
darah atau pus (Baughman C Diane, 2000).
13
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural
mengandung sejumlah kecil cairan (5-15 ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne,
2002). Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga
pleura. (Price C Sylvia, 1995)
B. Etiologi
Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada
dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, Penyakit pada abdomen,
seperti pankreatitis, asites, abses dan sindrom Meigs (tumor ovarium) dan sindroma vena
kava superior. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis,
pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga
pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia
80% karena tuberculosis.
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik,
tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari
empat mekanisme dasar:
1) Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
2) Penurunan tekanan osmotic koloid darah
3) Peningkatan tekanan negative intrapleural
4) Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi menjadi
transudat dan eksudat.
14
Transudat: hambatan reabsorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya
bendungan seperti pada kompensasi kordis, penyajit ginjal, tumor mediastinum,
sindroma meig dan sindroma vena cava superior.
Eksudat : pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (TBC, pneumonia,
virus) , bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus kerongga pleura,
karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma.
Effusi hemoragis dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru,
tuberkulosis.
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral dan
bilateral. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan
penyakit penyebabnya akan tetapi effusi yang bilateral ditemukan pada penyakit-
penyakit dibawah ini :Kegagalan jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites,
infark paru, lupus eritematosus systemic, tumor dan tuberkolosis.
C. Tanda dan Gejala
1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah
cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
2. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat,
batuk, banyak riak.
3. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan
cairan pleural yang signifikan.
4. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam
keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis
Damoiseu).
5. Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronkhi.
6. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
7. Ruang interkostal menonjol.
8. Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena.
15
9. Perkusi meredup diatas efusi pleura.
10. Egofoni diatas paru-paru yang tertekan dekat efusi.
11. Suara nafas berkurang diatas efusi.
12. Fremitus fokal berkurang.
D. Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan di dalam rongga pleura.
Jumlah cairan di rongga pleura tetap, karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis
sebesar 9 cm H2O. Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid
menurun misalnya pada penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas
kapiler akibat ada proses keradangan atau neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis
akibat kegagalan jantung dan tekanan negatif intra pleura apabila terjadi atelektasis paru.
Efusi pleura berarti terjadi pengumpulan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum
pleura. Kemungkinan penyebab efusi antara lain (1) penghambatan drainase limfatik dari
rongga pleura, (2) gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan tekanan
perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan yang berlebihan
ke dalam rongga pleura (3) sangat menurunnya tekanan osmotik kolora plasma, jadi juga
memungkinkan transudasi cairan yang berlebihan (4) infeksi atau setiap penyebab
peradangan apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura, yang memecahkan
membran kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke dalam
rongga secara cepat.
Cairan pleura ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan
hidrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali
oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir kedalam
16
pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter seharinya. Terkumpulnya
cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, ini terjadi bila keseimbangan antara
produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hyperemia akibat inflamasi, perubahan
tekanan osmotic (hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal jantung). Atas
dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan eksudat pleura.
Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai
peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatic karena tekanan osmotic koloid yang
menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan
keluar langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan
ini juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya
rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.
Patofisiologi terjadinya effusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara
lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yangterjadi karena
perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitialsubmesotelial kemudian
melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selainitu cairan pleura dapat
melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pada kondisi tertentu rongga pleura dapat terjadi
penimbunan cairan berupatransudat maupun eksudat.
Transudat terjadi pada peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya pada gagal
jatung kongestif. Pada kasus ini keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran
cairan dari pembuluh darah. Transudasi juga dapat terjadi pada hipoproteinemia seperti
pada penyakit hati dan ginjal. Penimbunan transudat dalam rongga pleura disebut
hidrotoraks. Cairan pleura cenderung tertimbun pada dasar paru akibat gaya gravitasi.
Penimbunan eksudat disebabkan oleh peradangan atau keganasan pleura, dan akibat
peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan absorpsi getah bening. Jika efusi pleura
mengandung nanah, keadaan ini disebut empiema. Empiema disebabkan oleh perluasan
infeksi dari struktur yang berdekatan dan dapat merupakan komplikasi dari pneumonia,
abses paru atau perforasi karsinoma ke dalam rongga pleura.
Bila efusi pleura berupa cairan hemoragis disebut hemotoraks dan biasanya
disebabkan karena trauma maupun keganasan. Efusi pleura akan menghambat fungsi
paru dengan membatasi pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan
bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun
secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul
dengan sedikit gangguan fisik yang nyata. Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani,
17
pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai
kegagalan pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan
partial Karbondioksida arteri (PaCo2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas
darah.
E. Komplikasi
1. Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang baik
akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Keadaan
ini disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat menimbulkan hambatan
mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada dibawahnya. Pembedahan
pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan membrane-membran
pleura tersebut.
2. Atalektasis
Atalektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan
oleh penekanan akibat efusi pleura.
3. Fibrosis paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru
dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai
kelanjutan suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi
pleura, atalektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan
paru yang terserang dengan jaringan fibrosis.
4. Kolaps Paru
Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan ektrinsik
pada sebagian/semua bagian paru akan mendorong udara keluar dan mengakibatkan
kolaps paru.
F. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan didapati menghilangnya
sudut kostofrenik. Bila cairan lebih 300 ml, akan tampak cairan dengan permukaan
melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum
18
b. Ultrasonografi
Ultrasound dapat membantu mendeteksi cairan pleura yang timbul dan sering
digunakan dalam menuntun penusukan jarum untuk mengambil cairan pleura pada
torakosentesis.
c. Torakosentesis/pungsi pleura untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan
tampilan, sitologi, berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan
posterior, pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak),
berdarah (hemotoraks), pus (piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa
mungkin berupa transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
d. Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan
asam (untuk TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa,
amylase, laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi untuk sel-sel
malignan, dan pH.
e. Biopsi pleura mungkin juga dilakukan. Biopsi ini berguna untuk mengambil
specimen jaringan pleura dengan melalui biopsi jalur percutaneus. Biopsi ini
digunakan untuk mengetahui adanya sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit
(biasanya kasus pleurisy tuberculosa dan tumor pleura)
f. Broncoscopy Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber
cairan yang terkumpul.
G. Penatalaksanaan Medis
1. Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah
penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta
19
dispneu. Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co; gagal jantung
kongestif, pneumonia, sirosis).
2. Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen
guna keperluan analisis dan untuk menghilangkan dispneu. Aspirasi cairan pleura
dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut :
Adanya gejala sujektif seperti sakit/nyeri , dispnea, rasa berat dalam dada.
Cairan melewati sela iga 2, terutama bila dihemithoraks kanan.
Bila suhu tetap/makin tinggi setelah tiga minggu.
Bila penyerapan cairan terlambat (lebih dari 8 minggu)
3. Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari
tatau minggu, torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan
elektrolit, dan kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan
pemasangan selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system
drainase water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasi ruang pleura dan
pengembangan paru.
4. Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin dimasukkan kedalam
ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan
lebih lanjut.
5. Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada,
bedah plerektomi, dan terapi diuretic.
KONSEP MEDIS ASITES
A. Pengertian
Pasien dengan asites merupakan masalah klinis yang selalu dijumpai dalam
praktek dokter sehari-hari; terlihat sederhana namun sangat menentukan prognosis
suatu penyakit sehingga perlu mendapat perhatian yang serius.
Kata asistes berasal dari kata Yunani askos yang berarti kantong (sac atau
bag). Pada laki-laki sehat, dapat ditemukan sedikit atau tidak ada cairan di dalam
rongga peritoneum, sebaliknya pada perempuan sehat dapat ditemukan sedikit (20 cc)
cairan tergantung dari fase siklus menstruasi.
Asites merupakan timbunan cairan secara patologis dalam rongga peritoneum,
yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit terutama pada penyakit hati kronis atau
20
sirosis hepatis. Pada tulisan ini, pembahasan mengenai asites khusus yang ditemukan
pada penyakit hati kronis/sirosis hepatis.
B. Patofisiologi
Tertimbunnya cairan dalam rongga peritoneum merupakan manifestasi dari
kelebihan garam/natrium dan air secara total dalam tubuh, tetapi tidak diketahui
secara jelas faktor pencetusnya. Terbentuknya asites merupakan suatu proses
patofisiologis yang kompleks dengan melibatkan berbagai faktor dan mekanisme
pembentukannya diterangkan dalam 3 hipotesis berdasarkan temuan eksperimental
dan klinik sebagai berikut:
1. Teori underfilling mengemukakan bahwa kelainan primer terbentuknya asites
adalah terjadinya sekuestrasi cairan yang berlebihan dalam splansnik vascular bed
disebabkan oleh hipertensi portal yang meningkatkan tekanan hidrostatik dan
kapiler-kapiler splanknik dengan akibat menurunnya volume darah efektif dalam
sirkulasi. Menurut teori ini, penurunan volume efektif intravascular (underfilling)
direspon oleh ginjal untuk melakukan kompensasi dengan menahan air dan garam
lebih banyak melalui peningkatan aktifasi rennin-aldosteron-simpatis dan
melepaskan hormone antidiuretik aldosteron lebih banyak.
2. Teori overflow mengemukakan bahwa pada pembentukan asites kelainan primer
yang terjadi adalah retensi garam dan air yang berlebihan tanpa disertai penurunan
volume darah efektif, oleh karena pada observasi penderita sirosis hepatis terjadi
hipervolemia dan bukan hipovolemia.
3. Teori vasodilatasi arteri perifer dapat menyatukan kedua teori diatas. Dikatakan
bahwa hipertensi portal pada sirosis hepatis menyebabkan terjadinya vasodilatasi
pada pembuluh darah splanknik dan perifer akibat peningkatan kadar nitric oxide
(NO) yang merupakan salah satu vasodilator yang kuat sehingga terjadi pooling
darah dengan akibat penurunan volume darah yang efektif (underfilling).
Pada siroris hepatis yang makin lanjut aktivitas neurohormonal meningkat,
system rennin-angiotensin lebih meningkat, sensitivitas terhadap atrial peptide
natriuretik menurun sehingga lebih banyak air dan natrium yang diretensi. Terjadi
ekspansi volume darah yang menyebabkan overflow cairan kedalam rongga
peritoneum dan terbentuk asistes lebih banyak. Pada pasien sirosis hepatis dengan
asites terjadi aktivitas sintesis NO lebih tinggi disbanding sirosis hepatis tanpa
21
asites. Menurut teori vasodilatasi bahwa teori underfilling prosesnya terjadi lebih
awal, sedangkan teori overflow bekerja belakangan setelah proses penyakit lebih
progresif. Beberapa faktor lain yang berperan dalam pembentukan asites adalah:
a. Hipoalbuminemia: walaupun hipertensi portal sangat berperan dalam
pembentukan asites dengan terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik pada
pembuluh-pembuluh darah kapiler splanknik, maka hipoalbuminemia juga
mempunyai peran melalui tekanan onkotik plasma yang menurun sehingga
terjadi ekstravasasi cairan dari plasma ke dalam rongga peritoneum. Pada
sirosis hepatis asites tidak ditemukan kecuali telah terjadi hipertensi portal dan
hipoalbuminemia.
b. Cairan limfe: akibat distensi dan sumbatan sinusoid dan pembuluh-pembuluh
limfe pada pasien sirosis hepatis maka terjadi hambatan aliran limfe dan
menjadi lebih banyak sehingga merembes dengan bebas melalui permukaan
hati yang sirotik masuk ke dalam rongga peritoneum dan memberi kontribusi
dalam pembentukan asites. Berbeda dengan cairan transudat yang berasal dari
cabang vena porta, cairan limfe hepatic dapat merembes masuk ke dalam
rongga peritoneum walaupun hipoalbuminemia belum tampak nyata dengan
melalui lapisan sel-sel endotel sinusoid yang hubungannya satu sama lain
tidak rapat.
c. Ginjal: berperan penting dalam mempertahankan pembentukan asites. Pasien
sirosis dengan asites, ginjal tidak dapat mengeluarkan cairan secara normal
tetapi sebaliknya terjadi peningkatan absorbs natrium baik pada tubulus
proksimal maupun pada tubulus distal, dimana yang terakhir terjadi akibat
peningkatan aktivitas renin plasma dan hiperaldosteronisme sekunder.
Disamping itu terjadi vasokonstriksi renal yang mungkin disebabkan oleh
peningkatan serum prostaglandin atau kadar katekolamin yang juga berperan
dalam retensi natrium. Terakhir peranan endotelin sebagai suatu
vasokonstriktor yang kuat diduga pula ikut berperan dalam pembentukan
asites.
22