download [701.60 kb]
TRANSCRIPT
Biaya Kuliah Tunggal
oleh Ali Zainal Abidin (Staf Kajian BK MWA UI UM 2016)
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Bunyi Pasal 31 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini merupakan fondasi kuat yang
memberikan arahan tegas kepada pemerintah bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas
pendidikan. Pemerintah benar-benar dituntut perannya dalam pemenuhan haknya dalam
tercapainya cita-cita besar negara ini dalam meningkatkan kualitas hidup tiap-tiap warga
negaranya.
Pendidikan tinggi menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi negara dalam
pelaksana perannya. Dari sisi calon mahasiswa perguruan tinggi, mahalnya biaya kuliah yang
harus dibayarkan menjadi alasan dominan untuk dapat berpartisipasi dalam pendidikan tinggi.
Dari sisi pemerintah, minimnya dana dalam membiayai operasional perguruan tinggi menjadi
salah satu penyebab sulit terealisasinya amanat UUD 1945. Namun, Pemerintah selalu
memiliki gagasan-gagasan yang dianggap mampu menjadi solusi, yaitu memaksimalkan peran
perguruan tinggi dan calon mahasiswa dalam pembiayaan yang besar ini.
Kementerian Riset dan Teknologi menerapkan metode perhitungan biaya kuliah yang
disebut dengan Biaya Kuliah Tunggal (BKT). Metode ini merupakan sebuah konsep
perhitungan berdasarkan Student Unit Cost (SUC), indeks kemahalan wilayah, jenis program
studi, dan capaian Standar Nasional Perguruan Tinggi. SUC merupakan biaya yang dibutuhkan
oleh tiap-tiap mahasiswa dalam menjalani masa perkuliahan di kampus dalam jangka waktu 8
semester.
SUC yang berlaku saat ini didasarkan pada Standar Satuan Biaya Operasional
Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi Nomor 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Standar Satuan Biaya
Operasional Pendidikan Tinggi Negeri Badan Hukum (SSBOPTN-BH). Permen tersebut
merupakan turunan dari UU No. 12 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum.
Biaya Kuliah Universitas Indonesia
Sebelum tahun 2008, Universitas Indonesia menerapkan mekanisme biaya pendidikan
flat yang dikenal dengan Biaya Operasional Pendidikan (BOP). Pada tahun 2008, UI mulai
membuat perombakan dalam sistem pembayaran dengan mengubah sistem BOP menjadi Biaya
Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOPB). Sistem BOPB ini bertujuan agar setiap
mahasiswa dapat membayar biaya pendidikan sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tua,
wali, atau penanggung biaya mahasiswa tersebut.
Untuk saat ini, UI masih menerapkan sistem BOPB dalam sistem pembayarannya.
Sedangkan, untuk nominal yang dibayarkan oleh satu orang mahasiswa ditentukan oleh
perhitungan BKT yang telah diterapkan oleh Pemerintah. Maka, peran UI dan Negara dalam
tercapainya Hak pendidikan tinggi Warga Negara sangat ditentukan oleh kebijakan
perhitungan yang efektif dan efisien agar mahasiswa membayar biaya kuliah dengan fasilitas
yang sesuai dan disubsidi oleh pemerintah serta sistem pembayaran yang mudah.
Dasar Hukum
Dalam melihat permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan BKT sebagai
sebuah kebijakan, tentunya kita tidak akan terlepas dari payung kebijakan yang menjadi dasar
diberlakukannya kebijakan tersebut. Ada beberapa payung kebijakan baik berupa undang-
undang maupun yang berbentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh kementrian. Dasar hukum
tersebut dibentuk berproses sejak tahun 2012 hingga saat ini.
Pada tahun 2012, dikeluarkanlah Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi. Melalui undang-undang ini, beberapa perguruan tinggi negeri yang tadinya
berstatus BHMN (Badan Hukum Milik Negara) maupun PTN kemudian berubah menjadi
PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Dalam kaitannya dengan Biaya Kuliah
Tunggal (BKT), kita perlu menyoroti Pasal 88 UU No. 12 Tahun 2012. Pasal ini sesungguhnya
mengamanatkan agar pemerintah menetapkan suatu standar tertentu untuk biaya operasional
peniddikan tinggi dan sistem pembayaran biaya pendidikan bagi mahasiswa. Amanat ini
kemudian kita kenal dengan UKT yang menghapuskan adanya pembayaran uang pangkal dan
mengintegrasikan komponen-komponen biaya pendidikan menjadi satu, yaitu Uang Kuliah
Tunggal.
Konsep UKT yang berlaku secara nasional sesungguhnya merupakan sistem yang
sejalan dengan sistem pembiayaan yang diberlakukan di UI, yakni BOPB. Perbedaannya
terletak pada istilah dan rumus perhitungan SUC. Secara lebih jelas, kita dapat meninjau
kembali Pasal 88 UU No. 12 Tahun 2012 :
(1) Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi
secara periodik dengan mempertimbangkan:
a. Capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi
b. Jenis program studi
c. Indeks kemahalan wilayah
(2) Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggran Pendapatan
dan Belanja Negara untuk PTN.
(3) Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat 2 digunakan
sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh
mahasiswa.
(4) Biaya yang ditanggung oleh mahasiswa sebagaimana maksud pada ayat 3 harus
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau
pihak lain yang membiayainya.
Pada titik ini, kita dapat melihat bahwasanya BKT sebagai keseluruhan biaya
operasional per mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi negeri secara
substansi merupakan konsep yang sama dengan SUC apabila kita mengasumsikan ketiga
indeks yang terdapat dalam Pasal 88 ayat 1 sama dengan 1.
Dengan menganalisis Pasal 88 UU No. 12 Tahun 2012 tersebut, kita dapat mengambil
kesimpulan perbedaannya terletak pada komponen-komponen perhitungannya. Rumus
perhitungan BKT mempertimbangkan komponen-komponen yang tertulis dalam Pasal 88 ayat
1 UU No. 12 Tahun 2012, sementara SUC sebagai basis perhitungan dapat kita samakan
dengan SSBOPTbasis.
Selain mengenai UKT dan BKT, UU No. 12 Tahun 2012 juga menetapkan adanya
Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Secara sederhana, BOPTN
merupakan bantuan dana yang diberikan oleh pemerintah untuk menutupi kekurangan
pembiayaan operasional PTN. Dari penjelasan tersebut kita dapat memahami adanya kaitan
antara ketiga konsep tersebut (UKT, BKT, dan BOPTN) melalui sebuah rumus sederhana :
Selanjutnya, beranjak dari UU No. 12 Tahun 2012 dasar hukum lainnya yang perlu
dicermati ialah Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2015 tentang Bentuk dan Mekanisme
Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Dalam PP tersebut dibahas bagaimana
sumber pendanaan dan mekanisme lain seperti peruntukan dana tersebut. Sumber pendanaan
PTN BH berdasarkan Pasal 2 PP No. 26 Tahun 2015 ialah berasal dari APBN dan non APBN.
Selanjutnya bentuk pendanaan tersebut berdasarkan pasal berikutnya dinyatakan bahwa bentuk
pendanaan tersebut ialah bantuan pendanaan PTN BH dan atau bentuk lain yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Sebagai salah satu payung kebijakan yang berkaitan erat dengan BKT sebagai
pembiayaan yang berbasis aktivitas atau operasional, kita dapat mencermati biaya-biaya apa
saja yang termasuk dalam pendanaan yang dibiayai oleh negara dalam BKT melalui Pasal 5
PP No. 26 Tahun 2015.
Bantuan Pendanaan PTN Badan Hukum digunakan untuk mendanai:
a. biaya operasional;
b. biaya dosen;
c. biaya tenaga kependidikan;
d. biaya investasi; dan
e. biaya pengembangan.
BKT = UKT + BOPTN
Dasar hukum yang berkaitan dengan BKT lainnya yang perlu diperhatikan ialah
Peraturan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi No. 22 Tahun 2015 tentang Biaya Kuliah
Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada PTN di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi. Dasar hukum tersebut merupakan turunan aturan yang menjabarkan
bagaimana diberlakukannya UKT dan BKT pada Perguruan Tinggi Negeri. Di dalam lampiran-
lampiran yang terdapat dalam Permen tersebut juga dijelaskan secara rinci bagaimana
pemberlakuan UKT dan BKT yang berlaku secara nasional untuk masing-masing PTN dan
jurusannya.
Selanjutnya dasar hukum yang perlu dicermati adalah Permenristekdikti No. 5 Tahun
2016 tentang Tata Cara Penetapan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi
Negeri Badan Hukum. Pada Permen tersebut dijelaskan adanya Standar Satuan Biaya
Operasional Pendidikan Tinggi Negeri Badan Hukum (SSBOPTNBH) yang merupakan
besaran biaya operasional penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi yang sesuai dengan
standar pelayanan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Pada Permen ini kita juga
menemukan dalam lampiran-lampiran yang termuat di dalamnya penjelasan mengenai biaya
operasional pendidikan.
Lebih jelasnya, secara sederhana SSBOPTN ini dapat kita temukan dalam rumus :
BKT = Biaya Kuliah Tunggal
SSBOPTN = Standar Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
K1 = Capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi
K2 = Jenis program studi
K3 = Indeks kemahalan wilayah
BKT= SSBOPTN x K1 x K2 x K3
Permasalahan
Dalam bahasan Biaya Kuliah Tunggal, kita tentunya akan menemukan permasalahan-
permasalahan yang berkaitan dan terjadi di dalamnya. Permasalahan-permasalahan tersebut
meliputi pemangku kepentingan (pemerintah, rektorat, dan mahasiswa) yang terdapat di
dalamnya, relevansi SUC, matriks perhitungan dan penentu besaran, serta pos-pos aliran dana.
Masing-masing bagian memiliki masalah yang berkaitan satu sama lain yang tentunya
memengaruhi bagaimana besaran BKT tersebut ditentukan.
Efisiensi Kebutuhan dan Harga dalam Perhitungan SUC
SUC sebagai sebuah metode perhitungan berbasis kegiatan tentunya memasukkan
komponen-komponen yang bersifat operasional di dalam penghitungannya. Sebagai
komponen-komponen yang menentukan besaran tersebut tentunya perlu kita cermati kembali
bagaimana besaran-besaran tersebut ditentukan, atau dalam hal ini harga-harga atau unit
cost/semester. Selain itu, masalah yang berkaitan dengan SUC sendiri ialah penentuan besaran
harga-harga, pos-pos pembiayaan, atau unit cost harus efektif dan efisien.
Update SUC sesuai Kebutuhan dan Harga
Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding negara-
negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain mengalami tingkat inflasi
antara 3% sampai 5% pada periode 2005-2014, Indonesia memiliki rata-rata tingkat inflasi
tahunan sekitar 8,5% dalam periode yang sama.1
1 http://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/inflasi-di-indonesia/item254
Dari data tersebut, mengingat angka inflasi rata-rata pertahun Indonesia yang cukup
tinggi, kiranya SUC ini sangat perlu untuk ditinjau ulang secara berkala. Hal ini tentunya juga
mempertimbangkan pihak yang paling mendapatkan dampak langsung dari inflasi tersebut,
yaitu dosen yang pendapatannya termasuk dalam komponen SUC tersebut. Dampak tersebut
sangat jelas akan menurunkan kemampuan konsumsi dosen apabila terjadi kenaikan harga
tetapi tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan mereka.
Pantaskah SUC dari Tiap Rumpun atau Fakultas dianggap sama ?
Permasalahan lainnya yang berkaitan juga dengan BKT ialah peninjauan kembali
penentu besaran. Dalam melihat permasalahan ini kita perlu membedah Permenristekdikti No
5 Tahun 2016 tentang tata cara penetapan SSBOPTNBH. Penentu besaran tersebut tentunya
tidak terlepas dari metode yang digunakan dalam menentukan SSBOPTNBH yang
menggunakan metode pembiayaan berbasis kegiatan. Di dalam lampiran Permen tersebut
dijelaskan kelompok-kelompok berdasarkan kebutuhan pengoperasian dan pengoperasian
penyelenggaraan program studi yang memengaruhi bagaimana SSBOPTNBH tersebut
dirumuskan.
Melalui tabel tersebut, kita dapat mengetahui bagaimana pengelompokan program
sarjana ditentukan. Pengelompokan ini tentunya sangat penting untuk kita ketahui sebagai
bagian dari perhitungan BKT yang sejatinya merupakan metode pembiayaan yang berbasis
kegiatan. Sehingga, kita dapat mengetahui SSBOPTNBH bersumber darimana dan mengapa
ditentukan besaran biaya demikian yang tentunya tidak terlepas dari penggunaan operasional
berdasarkan pengelompokan tersebut. Jika kita menghitung dari aspek kegiatan, maka biaya di
tiap rumpun bisa berbeda, tiap fakultas bisa berbeda, dan bahkan tiap jurusan bisa berbeda
besarannya.
Perhitungan BKT yang diharapkan
Dalam lampiran Permenristekdikti No. 5 tahun 2016, terdapat faktor koreksi indeks
kemahalan berdasarkan kemahalan wilayah. Besarnya SSBOPT yang tidak sama di semua
tempat dikarenakan kondisi geografis Indonesia mempunyai pengaruh terhadap besarnya biaya
penyelenggaraan pendidikan di berbagai wilayah Indonesia. Untuk mengakomodasi
keragaman biaya satuan disebabkan tingkat kemahalan wilayah, kedua belas SSBOPT di atas
dilakukan penyekalan dengan menggunakan indeks kemahalan wilayah. Indeks kemahalan
wilayah tersebut dapat kita lihat melalui tabel berikut :
Sebagaimana yang kita ketahui melalui rumusan :
Indeks (K3) kemahalan wilayah menjadi salah satu faktor penentu besaran BKT.
Sebagai salah satu faktor yang turut memengaruhi tentunya indeks kemahalan wilayah ini perlu
untuk ditinjau dan dipertimbangkan kembali relevansinya. Apakah klasifikasi kemahalan
menjadi empat kelompok tersebut sudah tepat dan paling menggambarkan realita yang
sebenarnya ataukah masih belum dan perlu disesuaikan Selain mempertimbangkan faktor
indeks wilayah, tentunya kita juga tidak bisa melupakan adanya satu faktor lain yang turut
berpengaruh pada besarnya BKT yang harus dibayarkan.
BKT = SSBOPTNBH x K1 x K2 x K3
Faktor berikutnya ialah capaian standar nasional pendidikan tinggi. Faktor ini
merupakan salah satu koefisien yang memengaruhi besarnya SSBOPTN sebagai angka pengali
yang secara sederhana dapat kita jumpai dalam rumusan :
Kemudian, untuk menentukan besarnya indeks kualitas PTN, kita akan menemukan
rumusan :
Besaran koefisien tersebut dapat kita temui pada tabel-tabel berikut :
Adanya besaran-besaran tersebut sebagai faktor pengali yang memengaruhi besaran
SSBOPT dan tentunya juga BKT sepatutnya membuat kita menijau kembali apakah koefisien
pengali tersebut sudah benar-benar sesuai dan relevan dengan kondisi yang ada saat ini
sehingga menggambarkan biaya kuliah yang benar-benar sesuai.
SSBOPT = SSBOPTN x Indeks Kualitas PTN.
Indeks kualitas PTN = 1+APS+AIPT+AI
Selain berkaitan dengan pertimbangan kembali koefisien-koefisien yang memengaruhi
besaran SSBOPTN maupun BKT, salah satu masalah yang perlu kita cermati ialah komponen
lain di luar rumus perhitungan BKT. Saat ini kita mengetahui bahwa :
UKT merupakan biaya kuliah yang dibayar oleh mahasiswa ataupun penanggung biaya
pendidikan mahasiswa. Sementara BOPTN merupakan biaya yang dikeluarkan oleh negara
yang bersumber dari APBN. Ketika hanya kedua komponen tersebut yang menopang
kebutuhan BKT, maka akan sangat jelas dampaknya jika terjadi penurunan jumlah BOPTN
maka dampaknya akan menaikkan besaran UKT untuk menutupi kebutuhan BKT. Oleh karena
itu selain kedua komponen yang menjadi rumusan BKT tersebut perlu ditambahkan adanya
satu komponen lagi yang dapat kita masukkan, yaitu Penerimaan Non-BOP.
Penerimaan Non-BOP merupakan penerimaan yang diperoleh universitas diluar dari
Bantuan Operasional Pendidikan (BOP). Penerimaan tersebut dapat bersumber dari APBN dan
APBD, hibah, ventura, maupun endowement fund, dan sebagainya. Penerimaan Non BOP ini
dapat dimasukkan sebagai komponen perhitungan BKT, maka tentunya akan sangat
meringankan pembenanan terhadap mahasiswa yang harus membayar UKT berlebih karena
harus menutupi kekurangan akibat menurunnya jumlah BOPTN. Oleh karena itu, kiranya
Penerimaan Non-BOP ini dapat ditinjau kembali agar dijadikan sebagai salah satu komponen
yang turut menanggung beban BKT agar pembebanan BKT tidak bertumpu di pihak
mahasiswa atau dalam konteks ini komponen UKT.
Maka, seharusnya rumusan baru untuk PTN-BH dalam penghitungan UKT adalah:
Artinya,
BKT = UKT + BOPTN
BKT = UKT + BOPTN + NON BP
UKT = BKT – BOPTN – NON BP
Stakeholders penentu kebijakan : Apa yang seharusnya dilakukan?
Permasalahan-permasalahan yang telah digambarkan di atas tentunya berkaitan dengan
pemangku kebijakan yang terlibat dalam penentuan kebijakan BKT ini, yaitu pemerintah,
rektorat, dan mahasiswa.
Peran Negara
Secara ideal, pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab
tersebut dalam konteks ini khususnya berupa pendanaan pendidikan. Negara tidak bisa
melepaskan begitu saja tanggung jawabnya tersebut dan oleh karenanya pemerintah wajib
menyediakan adanya pendanaan dari negara dalam pembiayaan PTN. Peran pendanaan negara
tersebut dalam UU No 12 Tahun 2012 ditemui dalam bentuk Bantuan Operasional Perguruan
Tinggi Negeri (BOPTN).
Pimpinan Universitas
Rektorat sebagai jajaran eksekutif yang berwenang dalam tataran universitas tentunya
memiliki andil besar dalam menentukan bagaimana kebijakan BKT ini. Dalam konteks UI,
rektorat memiliki andil dalam membentuk format SUC yang kita ketahui saat ini. Selain
membentuk format tersebut pihak rektorat juga membentuk asumsi-asumsi yang berkaitan
dengan SUC seperti harga-harga, pos-pos perhitungan, hingga asumsi-asumsi lainnya seperti
jumlah mahasiswa, penggunaan barang-barang operasional, dan sebagainya. Kemudian,
sebagai bentuk legalisasi bentuk dan mekanisme SUC menjadi suatu kebijakan, rektorat adalah
pihak yang mengesahkan bentuk dan mekanisme tersebut ke dalam bentuk Surat Keputusan
Rektor.
Peran Mahasiswa
Selain rektorat, pihak yang juga berperan sebagai pemangku kepentingan ialah
mahasiswa itu sendiri. Dalam penentuan kebijakan ini, masih berdasarkan paparan singkat
historis SUC pada bagian latar belakang, pihak rektorat sendiri melemparkan wacana pelibatan
mahasiswa dalam perhitungan SUC pada tahun 2008. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun
ini wacana perumusan kembali SUC telah digulirkan. Dalam hal ini, mahasiswa melalui
lembaga-lembaga yang terlegitimasi berhak turut andil dalam menentukan bagaimana konsep
SUC ke depannya.
Kesimpulan
Dari permasalahan-permasalahan yang dibahas di atas, dapat dilhat bahwa penentuan
besaran BKT dan UKT tidak sederhana. Dibutuhkan proses yang panjang untuk dapat
menemukan nominal yang sesuai untuk UKT yang dibayarkan oleh mahasiswa. Konsep
perhitungan yang telah dibuat oleh pemerintah seharusnya dapat dijalankan oleh Universitas.
Sehingga, universitas tidak sesat pikir dalam penentuan besaran UKT untuk mahasiswanya,
terutama di Universitas Indonesia.
Ada beberapa saran dan rekomendasi untuk dipertimbangkan dalam pembentukan
kebijakan ke depannya bagi universitas, yaitu :
1. Perlunya peninjauan kembali SUC untuk agar tercapainya perhitungan yang efektif dan
efisien sehingga biaya yang dikeluarkan benar-benar sesuai kebutuhan dan dapat
dimanfaatkan fasilitasnya.
2. Perlunya peninjauan kembali besaran-besaran serperti koefisien Indeks kemahalan
wilayah dan Indeks capaian perguruan tinggi atau komponen-komponen yang berkaitan
dengan SUC lainnya, hal ini dapat dilihat dari tingkat harga yang berubah dari waktu
ke waktu dan capaian perguruan tinggi yang meningkat dan menurun pula.
3. Penambahan komponen Penerimaan non-BOP dalam rumus perhitungan BKT terutama
untuk PTN BH.
4. Optimalisasi peran pemangku-pemangku kepentingan yang berpengaruh dalam
perumusan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dalam konteks ini pemerintah, rektorat, dan
mahasiswa.
Daftar Pustaka
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan
“Inflasi di Indonesia (Indeks Harga Konsumen)” http://www.indonesia-
investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/inflasi-di-indonesia/item254
(Akses : 28 Maret 2016)
www.tradingeconomics.com (Akses : 28 Maret 2016)
Permenristekdikti No. 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Standar Satuan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Rekomendasi Kebijakan BK MWA UI UM 2014