doktrin perang
DESCRIPTION
Pertahanan, keamanan, security, perang, doktirn, taktik, negara, teori, adil,TRANSCRIPT
DOKTRIN PERANG Realisme – Proposisi inti realisme adalah skeptisisme tentang apakah konsep-konsep moral seperti keadilan dapat
diterapkan pada perilaku dalam masalah-masalah internasional. Para penganjur realisme percaya bahwa konsep-konsep moral tidak boleh sekali-kali menjadi dasar atau membatasi perilaku suatu negara. Sebaliknya, negara harus mengutamakan keamanan negara dan kepentingan dirinya. Salah satu bentuk dari realisme - realisme descriptive – menyatakan bahwa negara tidak dapat bertindak secara moral, sementara bentuk yang lainnya – realisme prescriptif – berpendapat bahwa faktor-faktor yang memotivasi negara adalah kepentingan dirinya sendiri.
Pasifisme – Pasifisme adalah keyakinan bahwa perang seperti apapun secara moral tidak sah. Sebuah argumen yang diajukan oleh kaum pasifis untuk menentang Doktrin tentang Perang yang Sah ialah bahwa doktrin itu membela perlindungan dan kesucian nyawa orang yang tidak bersalah, namun dalam suatu peeprangan nyawa orang-orang yang tidak bersalah tidak dapat dijamin perlindungannya. Karenanya, bila nyawa orang-orang yang tidak bersalah tidak dapat dijamin, perang pun tidak dapat dianggap sah dengan alasan apapun juga.
Perang yang "Sah" yang melanggar prinsip-prinsip Perang yang Sah. Banyak ideologi yang sepakat dengan tradisi bahwa perang hanya boleh dilakukan dengan Alasan yang Sah (Just Cause) tetapi menolak sebagian besar atau bahkan semua criteria lainnya dari tradisi ini. Tradisi Marxis dapat dilihat sebagai bagian dari kategori ini. Bagi kaum Marxissatu-satunya kriteria yang menentukan ialah apakah suatu perang itu "progresif" (artinya, sah menurut pengertian mereka) sementara seberapa mahalnya perang itu tidaklah relevan. Husayn bin Ali terkenal karena usahanya ketika ia menyatakan klaimnya atas jabatan kalifah sah, meskipun pada kenyataannya pemberontakannya sudah pasti akan gagal. Namun menurut kriteria tradisi Perang yang Sah, pemberontakan Husayn adalah suatu Perang yang Tidak Sah karena melanggar prinsip bahwa perang itu harus memiliki alasan yang cukup masuk akal untuk berhasil.
Absolutisme - Absolutisme berpendapat bahwa ada berbagai aturan etis yang, sesuai dengan namanya, mutlak atau absolut. Melanggar aturan-aturan moral itu tidak pernah sah dan karenanya tidak akan pernah dapat dibenarkan. Filsuf Thomas Nagel terkenal sebagai pendukung pandangan ini, karena ia pernah membela pandangan ini dalam esainya “Perang dan Pembantaian”.
Militerisme - Militerisme merujuk kepada keyakinan bahwa perang tertentu pada dasarnya tidak buruk, dan sebaliknya dapat membawa manfaat kepada masyarakat. Namun teori ini tidak banyak diikuti oleh kebanyakan teoretikus arus utama.
Revolusi dan perang saudara - Doktrin tentang Perang yang Sah menyatakan bahwa hanya pemerintah yang sah saja yang boleh melakukan perang. Namun hal ini tidak memberikan banyak ruang untuk perang kemerdekaan atau perang saudara, di mana suatu badan yang tidak sah dapat mengumumkan perang karena alasan-alasan yang cocok dengan kriteria lainnya dari Doktrin tentang Perang yang Sah.
JUS AD BELLUM: HAK UNTUK MELAKSANAKAN PERANGDalam bahasa modern, agar suatu perang dapat dianggap sah maka ia harus memenuhi kriteria berikut ini sebelum
penggunaan kekerasan dapat dilaksanakan (Jus ad bellum):
1. Alasan yang Sah: Kekerasan hanya boleh digunakan untuk memperbaiki suatu kejahatan publik yang parah (mis. pelanggaran hak-hak asasi seluruh populasi dalam skala yang parah) atau sebagai upaya pembelaan diri;
2. Perbandingan Keadilan: Sementara semua pihak yang terlibat konflik mungkin mempunyai sisi-sisi yang benar dan salah, penggunaan kekerasan dapat dibenarkan ketidakadilan yang diderita oleh salah satu pihak haruslah jauh melebihi penderitaan yang dialami oleh pihak yang lainnya;
3. Kekuasaan yang Sah: Hanya penguasa yang diakui sah oleh masyarakat yang boleh menggunakan kekerasan yang mematikan atau menyatakan perang;
4. Niat yang Benar: Kekerasan hanya boleh digunakan dalam suatu alasan yang benar-benar sah dan semata-mata untuk maksud itu saja; Memperbaiki kesalahan yang diderita oleh suatu pihak dianggap sebagai niat yang benar, sementara keuntungan materi tidak.
5. Probabilitas Keberhasilan: Senjata tidak boleh digunakan dalam usaha yang sia-sia atau dalam kasus di mana langkah-langkah yang tidak proporsional dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan;
6. Proporsionalitas: Kerusakan keseluruhan yang diperkirakan akan ditimbulkan dari penggunaan kekerasan haruslah dikalahkan oleh kebaikan yang akan dicapai.
7. Upaya Terakhir: Kekerasan hanya boleh digunakan setelah semua alternatif perdamaian dan upaya-upaya yang mungkin telah dengan sungguh-sungguh diusahakan dengan tuntas.
Perhatikan bahwa semua ini hanyalah kondisi-kondisi yang paling umum dikutip oleh para teoretikus Perang yang Sah; sebagian orang (seperti misalnya Brian Orend) menghilangkan Perbandingan Keadilan, karena menganggapnya sebagai lading yang subur untuk dieksploitasi oleh rezim-rezim yang ingin mengadakan perang.
JUS IN BELLO: MELAKSANAKAN SUATU PERANG YANG ADILSekali peperangan telah dimulai, Doktrin tentang Perang yang Sah juga mengarahkan bagaimana para kombatan harus
bertindak (Jus in bello)
1. Perilaku dalam Perang yang Sah conduct harus diatur oleh prinsip-prinsip pemilahan (diskriminatif). Tindakan-tindakan perang harus diarahkan kepada pelaku tindakan yang salah, dan bukan kepada warga sipil yang terjebak dalam keadaan-keadaan yang tidak mereka ciptakan. Tindakan-tindakan yang dilarang termasuk pengeboman terhadap daerah hunian warga sipil yang tidak mencakup target militer dan melakukan tindakan-tindakan terorisme atau pembalasan terhadap warga sipil biasa. Sebagian orang percaya bahwa aturan ini melarang senjata pemusnah massal dari jenis apapun, dengan alasan apapun seperti misalnya penggunaan bom atom.
2. Tingkah laku dalam Perang yang Sah harus dipimpin oleh prinsip proporsionalitas. Kekuatan yang digunakan haruslah proporsional dengan kesalahan yang dialami, dan demi kebaikan yang diharapkan akan dihasilkan. Semakin tidak proporsional jumlah kematian warga sipil sebagai korban sampingan, semakin harus dicurigai ketulusan dari klaim suatu negara yang berperang tentang keadilan dari perang yang dimulainya.
3. Tingkah laku dalam Perang yang Sah harus diatur oleh prinsip kekuatan yang minimum. Suatu tingkat kekuatan tertentu tidak boleh digunakan apabila tingkat kekuatan yang lebih sedikit sudah cukup untuk mencapai tujuan-tujuan yang sama. Prinsip ini dimaksudkan untuk membatasi kematian da n kehancuran yang berlebih-lebihan dan tidak perlu Ini berbeda dengan proporsionalitas karena jumlah kekuatan yang proporsional dengan tujuan misinya tidak boleh melampaui kekuatan yang dibutuhkan untuk mencapai misi tersebut.
4. Siksaan Penyiksaan, terhadap para kombatan (prajurit yang ikut bertempur) atau non-kombatan (warga sipil), dilarang.5. Tawanan perang harus diperlakukan dengan penuh hormat.6. Sepanjang sejarah banyak orang yang telah menganggap bahwa wajib militer paksa sebagai suatu cara yang tidak adil,
mis.7. Memaksa orang untuk menyerahkan hidupnya, atau menimbulkan kematian dalam cara yang berlawanan dengan
kehendak mereka, atau tanpa keyakinan tentang kebenaran tindakan mereka, adalah suatu tindakan yang merendahkan harkat kemanusiaan.
JUS POST BELLUM: MENGAKHIRI PERANGPada tahun-tahun belakangan, sebagian teoretikus telah mengusulkan kategori yang ketiga di dalam Doktrin tentang
Perang yang Sah. Jus post bellum berkaitan dengan pengaturan tentang proses mengakhiri perang, dan transisi dari perang menuju perdamaian. Salah satu adri penganjur utama dari jus post bellum ini adalah Brian Orend, yang mengusulkan
aturan-aturan berikut:
Alasan yang sah untuk mengakhiri – Sebuah negara dapat mengakhiri suatu peperangan apabila pembalasan terhadap hak-hak yang pertama-tama dilanggar itu sudah, dan bila si agresor bersedia merundingkan syarat-syarat penyerahan. Syarat-syarat penyerahan itu mencakup permintaan maaf yang resmi, pembayaran ganti rugi, pengadilan terhadap kejahatan-kejahatan perang, dan barangkali juga rehabilitasi.
Niat yang benar – Suatu negara hanya boleh mengakhiri suatu peperangan di bawah kondisi-kondisi yang telah disepakati berdasarkan kriteria-kriteria di atas. Pembalasan tidak diizinkan. Negara yang menang juga harus bersedia memberlakukan objektivitas dan investigasi pada tingkat yang sama terhadap kejahatan-kejahatan perang apapun yang mungkin telah dilakukan oleh pasukan-pasukannya.
Pernyataan umum dan kekuasaan – Syarat-syarat perdamaian harus dibuat oleh kekuasaan yang sah, dan syarat-syarat itu harus diterima oleh kekuasaan yang sah.
Diskriminasi – Negara yang menang harus melakukan pembedaan antara para pemimpin politik dan militer, dan antara kombatan dan warga sipil. Langkah-langkah penghukuman harus dibatasi hanya kepada mereka yang secara langsung bertanggung jawab atas konflik itu.
Proporsionalitas – Syarat-syarat apapun untuk penyerahan diri haruslah proporsional dengan hak-hak yang pertama-tama dilanggar. Syarat-syarat yang kejam, tindakan-tindakan absolusionis, dan upaya apapun yang menyangkal hak-hak dari negara yang telah menyerah untuk ikut serta dalam komunitas dunia tidak diizinkan.