doktrin hutan hukum indonesia

Upload: ronny-oktahandika

Post on 05-Jul-2018

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    1/61

     

    BAB II

    PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM

    TINDAK PIDANA KEHUTANAN

    A.  BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN.

    Sampai saat ini masih ada kerancuan pemahaman tentang tindak pidana

    kehutanan. Kerancuan pemahaman ini tidak hanya di kalangan awam tetapi juga terjadi

    di kalangan penegak hukum. Kasus Adelin Lis adalah salah satu contoh nyata betapa

     pemahaman antara Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim belum berada pada satu

     persepsi yang kompak. Bebasnya Adelin Lis di t ingkat Pengadilan Negeri dan kemudian

    kembali divonis bersalah di tingkat kasasi semakin memperkuat pemahaman bahwa apa

    yang disimpulkan sebagai tindak pidana kehutanan oleh penyidik dan jaksa tetapi dalam

     pemahaman hakim pada satu tingkatan peradilan bisa berbeda. Begitu pula, pemahaman

    hakim pada tingkat pertama bisa juga berbeda dengan pemahaman hakim pada tingkatan

     berikutnya.

    Salah satu yang masih menjadi perdebatan sampai saat ini adalah apakah

     penebangan di luar areal perizinan dan penebangan di luar rencana kerja tahunan (RKT)

    merupakan tindak pidana kehutanan atau masuk ke dalam ranah hukum administrasi.

    Bagi mereka yang setuju dengan pendapat kedua, mendasarkan argumennya kepada fakta

     bahwa secara formal si pelaku memiliki izin, artinya aktivitasnya bukanlah kegiatan

    ilegal. Sementara pihak yang setuju pendapat pertama mendasarkan argumennya kepada

     pemahaman bahwa sebuah izin pemanfaatan hutan diberikan terhadap areal tertentu.

    Maka kalau aktivitas penebangan dilakukan di luar areal tersebut artinya dia tak memiliki

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    2/61

     

    izin untu melakukan kegiatan penebangan di luar areal yang diizinkan artinya

    kegiatannya adalah kegiatan ilegal.

    Mengenai istilah Tindak Pidana (sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab

    terdahulu) diambil dari istilah strafbaarfeit yang terdapat dalam Hukum Pidana Belanda.

    Sekalipun demikian tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaarfeit

    itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda (Wetbook van Strafrecht – 

    WvS), yang kemudian sebagian besar materinya menjadi Kitab Undang-Undang Hukum

    Pidana Indonesia (KUHP) dengan UU No. 1 tahun 1981.27

     

    Para ahli hukum nampaknya belum memiliki

    kesamaan pandangan tentang pengertian strafbaarfeit. Paling tidak ada 7 (tujuh) istilah

    untuk mengartikan kata tersebut, diantaranya tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan

    yang dapat dihukum, delik dan lain-lain28

     

    27 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I,2001,PT.Raja Grafindo Perswada,Jakarta, hal.67.

    28  Ibid ,hal..68

     Namun dalam peraturan perundang-undangan

    istilah yang lebih sering digunakan adalah Tindak Pidana. Secara

    sederhana Tindak Pidana dapat diartikan segala tindakan/perbuatan yang dapat

    dipidana/dikenakan hukuman yang diatur secara tegas oleh Undang-Undang. Segala

    tindakan yang dimaksud tidak hanya dalam artian aktif tetapi juga dalam pengertian

     pasif. Tidak melakukan sesuatupun dimana hal tersebut dilarang oleh Undang-Undang,

    termasuk dalam pengertian ini. Mengenai pengaturan oleh UU sangat penting disebutkan

    karena dalam hukum pidana berlaku asas legalitas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1

    ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa tiada

    satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan dalam perundang-

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    3/61

     

    undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Secara umum dalam KUHP (UU

     No. 1 tahun 1981) t indak pidana atau perbuatan pidana digolongkan dalam dua kelompok

    yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Tindakan-tindakan yang termasuk Kejahatan diatur

    dalam pasal 104 – pasal 488 KUHP. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang digolongkan

    sebagai Pelanggaran diatur dalam Pasal 489 – Pasal 569 KUHP. Mengenai pengaturan

     perundangan tentang dimana terdapat aturan perbuatan yang dilarang itu ,secara umum

    dikategorikan dalam 2 (dua) bagian, yaitu: 29

    1.  Tindak Pidana Umum

    Dimana secara umum aturan mengenai perbuatan yang dilarang itu diatur dalam

    KUHP yang terdiri dari 3 buku,49 Bab, serta 569 Pasal-Pasal yang tercantum dalam

    KUHP.

    2.  Tindak Pidana Khusus

    Tindak Pidana khusus ini adalah tindak pidana yang pengaturannya telah dibuat

    secara khusus diluar ketentuan KUHP, seperti :

    a.  UU Kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 41 tahun 1999

     b.  UU Tindak Pidana Korupsi yang ditur dalam UU Nomor 39 tahun 1999 jo. UU

     Nomor 21 tahun 2000.

    Adapun yang menjadi dasar hukum diaturnya beberapa tindak pidana secara

    khusus diluar KUHP adalah sebagimana yang termaktub dalam ketentuan Pasal 103

    29  Abdul Khakim, Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah, 2005. Penerbit

    PT.Citra Adytia Bakti, hal.162

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    4/61

     

    KUHP yang berbunyai :”Ketentuan dari delapan bab yang pertama dari Buku ini

    berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-

    undang lain, kecuali kalau ada undang-undang (Wet) tindakan Umum Pemerintahan

     Algemene maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain.

    Hal selanjutnya yang perlu kita perhatikan

    adalah bahwasanya dalam semua pasal yang ada dalam KUHP, kita tidak akan

    menemukan secara khusus tentang tentang tindak pidana kehutanan. Tindak pidana

    kehutanan dapat dikatakan sebagai perkembangan baru dalam hukum pidana Indonesia

    yang kemudian diatur dalam beberapa UU yang dibuat kemudian, diantaranya:

    a.  UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

    Ekosistemnya. (Selanjutnya UU Konservasi sumber Daya Alam Hayati dan

    Ekosistemnya)

     b.  UU No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan

    Hidup.

    c.  UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

    d.  UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (pengganti

    UU No. 4 tahun 1982).

    Dapat dikatakan ketentuan pidana dalam UU tersebut adalah peraturan-peraturan

    khusus terkait Tindak Pidana Kehutanan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pidana

    Umum (KUHP – UU No. 1 tahun 1981). Bila kita cermati dalam UU

    Kehutanan, dalam bagian ketentuan umum yang memuat beberapa pengertian tidak

    termuat defenisi tindak pidana kehutanan. Hanya dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan

     pengertian kehutanan sebagai sebuah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    5/61

     

    hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Berikutnya

    dalam ayat (2) disebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa

    hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

     persekutuan alam.

    Kalau kita sepakat dengan pengertian Tindak Pidana sebagaimana yang

    disebutkan di atas maka dapat kita gabungkan bahwa Tindak Pidana Kehutanan adalah

    segala bentuk tindakan/perbuatan yang dapat dipidana/dikenakan hukuman yang

     berkaitan dengan pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Kaitan yang

    dimaksud di sini tentunya dalam artian memberi dampak negatif terhadap sistem

     pengurusan hutan dan menyebabkan kerusakan terhadap hutan sebagai sebuah ekosistem

     penyangga kehidupan. Berbicara mengenai

    tindak pidana kehutanan sangat eratlah kajiannya dengan kerusakan hutan . Dalam

     berbagai peraturan perundangan di bidang kehutanan istilah “kerusakan hutan”ini

    mengandung pengertian yang bersifat dualisme. Disatu sisi, perusakan utan yang

     berdampak positif dan memperoleh persetujuan dari pemerintah tidak dapat

    dikategorikan sebagai tindakan yang melawan hukum. Di sisi lain, perusakan hutan yang

     berdampak negatif (merugikan)adalah suatu tindakan nyat melawan hukum dan

     bertentangan dengan kebijaksanaan/tanpa adanya persetujuan pemerintah.

    Kerusakan hutan dapat menimbulkan dampak yang bersifat positif dan negatif

    didalam pembangunan yang berwawasan lingkungan. Diantara sifat negatifnya

    digolongkan sebagai tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang.

    Berbagai faktor penyebab timbulnya kerusakan hutan diantaranya yaitu:

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    6/61

     

    a.  Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kesengajaan subjek hukum

    meliputi, manusia dan atau badan hukum.

     b.  Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kelalaian subjek hukum

    meliputi, manusia dan/atau badan hukum.

    c.  Kerusakan hutan dapat terjadi karena ternak dan daya-daya alam (misalnya gempa

     bumi,letusan gunung, banjir, dan sebagainya).

    d.  Kerusakan hutan dapat terjadi karena serangan hama dan penyakit pohon.

    Dari keseluruhan makna kerusakan hutan maka istilah perusakan hutan yang dapat

    digolongkan sebagai tindak pidana adalah :

    a.  Suatu bentuk perbuatan yang dilakukan manusia dan/atau badan yang bertentangan

    dengan aturan didalam hukum perundang-undangan yang berlaku;

     b.  Tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan subjek hukum sebelumnya telah

    dirumuskan didalam undang-undang yang mengandung ketentuan pidana khusus.

    Antara lain ditegaskan bahwa pelakunya dapat dipidana.

    Dalam Pasal 50 UU kehutanan dicantumkan berbagai perbuatan yang dilarang

    dilakukan oleh setiap orang atau orang-orang tertentu yang berkaitan dengan kehutanan.

    Artinya kalau perbuatan tersebut tetap dilakukan dapat diartikan orang tersebut telah

    melakukan tindak pidana di bidang kehutanan. Termasuk juga pada Pasal 38 ayat 4

    disebutkan tentang larangan melakukan penambangan dalam kawasan hutan lindung

    secara terbuka. Lebih tegas disebutkan dalam pasal 78 UU Kehutanan tentang ancaman

    hukuman pidana yang dapat dikenakan terhadap orang-orang yang terbukti melakukan

     perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana disebut dalam Pasal 50 dan Pasal 38

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    7/61

     

    ayat (4) UU Kehutanan. Dalam Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 dan Pasal 33 UU Konservasi

    Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya juga dicantumkan tentang perbuatan-

     perbuatan yang dilarang dilakukan setiap orang. Selanjutnya dalam Pasal 40 ditegaskan

    tentang ancaman hukuman terhadap setiap orang yang diduga melakukan perbuatan-

     perbuatan yang dilarang tersebut. Secara tegas dalam Pasal 40 ayat (5) disebutkan istilah

    tindak pidana. Lengkapnya disebutkan bahwa Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada

    ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran. Dengan demikian tindak pidana di bidang

    kehutanan juga dapat dikelompokkan sebagai kejahatan dan pelanggaran sebagaimana

    tindak pidana di bidang lainnya.

    Dalam UU No. 23 tahun 1997 Tindak Pidana Kehutanan termasuk dalam

     pengertian Tindak Pidana Lingkungan yang secara umum terbagi dalam dua bentuk yaitu

    tindakan perusakan dan pencemaran. Dalam beberapa Pasal menyangkut Ketentuan

    Pidana, UU No. 23 tahun 1997 secara tegas juga menyebutkan istilah tindak pidana untuk

    menyebut perusakan dan atau pencemaran, diantaranya Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat

    (2), Pasal 45 dan Pasal 46 ayat (1) dan (2). Lebih tegas lagi dalam pasal 48 disebutkan

    Tindak Pidana yang diatur dalam Bab Kentuan Pidana digolongkan sebagai kejahatan.

    Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa penulisan

    karya ilmiah ini lebih difokuskan pada persoalan kehutanan yang terkait masalah Ilegal

    Logging olek karenanya pada bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang erat

    kaitannya dengan pelanggaran yang sering terjadi dalam bidang kehutanan antara lain :

    a.  masalah Ilegal logging atau lebih dikenal dengan penebangan hutan secara liar

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    8/61

     

     b.  masalah surat perizinan dimana untuk memperoleh kayu hasil hutan tersebut harus

    disertai dengan surat perizinan yang dikeluarkan oleh wewenang pemerintah yang

     bersangkutan

    c.  mengenai masalah Surat Keterangan Hasil Hutan dimana setiap kayu hasil hutan yang

    akan dipergunakan untuk kepentingan dari yang bersangkutan haruslah memperoleh

    atau memiliki surat keterangan hasil hutan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah

    setempat.

    Masalah Ilegal Logging  atau lebih dikenal dengan penebangan hutan secara liar

    yang dilakukan tanpa ijin dari instansi/pejabat kehutanan, digolongkan sebagai tindakan

    yang melawan hukum. Termasuk, perbuatan penebangan liar dilakukan subjek hukum

    yang telah memperoleh ijin menebang namun melampaui batas/target yang diberikan

    instansi/pejabat kehutanan.30

      Pengertian  Ilegal Logging  dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak

    secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun terminologi illegal logging  dapat

    dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahas inggris. Dalam The Contemporary

     English Indonesia Dictionary, illegal  artinya tidak sah, dilarang, atau bertentangan

    dengan hukum atau haram. Dalam black’s Laws Dictionary illegal artinya “forbidden by

    law;unlawful” artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. “Log” dalam bahasa

    Inggris artinya menebang kayu dan membawa ketempat gergajian.

     

    31

     

    30Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,1994,Penerbit Rineka Cipta,Jakarta,

    hal.45-4631 IGM Nurdjana,Korupsi dan Ilegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,2005,Penerbit Pustaka

    Belajar,Yokyakarta,hal.13

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    9/61

     

    Dalam inpres RI No.5 tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu

     Ilegal (Ilegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Lauser

    dan Taman Nasional Tanjung Putting, istilah Illegal  Logging  disamakan dengan istilah

     penebangan kayu illegal, istilah iilegal logging disinonimkan dengan penebangan kayu

    ilegal..

    Ilegal logging identik dengan istilah “pembalakan illegal” yang digunakan oleh

    Forest Watch Indonesia  (FWI) dan Global Forest watch  (GFW) yaitu untuk

    menggambarkan semua praktik atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan

     pemenenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum

    Indonesia. Lebih lanjut FWI ilegal logging menjadi dua yaitu:

    Pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan

    dalam ijin yang dimilikinya. Kedua,  melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon ditebang

    oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.32

    Gambaran ilegal logging menurut pendapat ini menunjukkan adanya rangkaian

    suatu kegiatan yang merupakan suatu rantai yang saling terkait, mulai dari sumber atau

    Luasnya jaringan kejahatan ilegal logging yang mencerminkan luasnya pengertian

    dari ilegal logging itu sendiri menurut Haba, ilegal logging digambarkan bahwa:

    Penebangan liar “…occur right through the chain from source to costumer, from illegal

    extraction, ilegal transport and processing throught to ileggl export and sale, where

    timber is often laundered before entering the legal market”.

    32  Ibid ,hal.14

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    10/61

     

     produser kayu ilegal atau yang melakukan penebangan kayu secara ilegal hingga ke

    konsumen atau pengguna bahan baku kayu. 

    Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulakan bahwa ilegal

    logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ketempat

     pengelolaan hinnga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai ijin dari pihak yang

     berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. 

    Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam kejahatan Ilegal Logging tersebut antara

    lain:

    1.  adanya suatu kegiatan.

    2.  menebang kayu.

    3.  mengangkut kayu.

    4.   pengolahan kayu.

    5.   penjualan kayu.

    6.   pembelian kayu.

    7.  dapat merusak hutan.

    8.  ada aturan hukum yang melarang dan bertentangan dengan aturan hukum yang

     berlaku.33

    Perlu kita ketahui penyebab kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya disebabkan

    oleh praktik illegal logging, tetapi juga disebabkan praktik destructive logging  yang

    dilakukan perusahaan kayu yang memiliki izin resmi dari pemerintah.  Destructive

    logging mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda dengan illegal logging, yaitu

    33  Ibid ,hal.15

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    11/61

     

     penebangan hutan secara liar. Namun, ada perbedaan yang mendasar diantara kedua

    istilah tersebut. Istilah destructive logging dipakai untuk menggambarkan penebangan

    hutan secara liar yang dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang memiliki izin resmi

    dari pemerintah.

    Istilah ini tentu berbeda dengan praktik illegal logging yang dilakukan oleh

     perusahaan yang tidak memiliki izin resmi dari pemerintah untuk menebang hutan.

    Contoh kasus terkait praktik destructive logging  adalah kasus Adelin Lis yang pernah

    ramai dibicarakan di media cetak maupun media elektronik

    Selanjutnya terkait masalah Surat Perizinan Pemanfaatan hutan dan penggunaan

    kawasan hutan, dalam Pasal 26 ayat (2) UU Kehutanan disebutkan bahwa Pemanfaatan

    hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin

    usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

    Pemberian izin ini di atur juga dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34

    Tahun 2002 jo Pasal 19 PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang

    Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaan Hutan,

    dinyatakan bahwa dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang

    meliputi :

    a. IUPK (Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan)

     b. IUPJL ( Izin Usaha Pemnafaatan Jasa Lingkungan)

    c. IUPHHK ( Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu)

    d. IPHHK ( Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu) dan

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    12/61

     

    e. IPHHBK ( Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu)34

    f. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK).

     

    Sedangkan menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:

    P.01/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional, tanggal 22 Januari

    2008, dalam penyusunan rencana usaha pemanfaatan hutan ada beberapa ijin antara lain:

    a. Izin usaha pemanfaatan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan (IUPHHK-HA);

     b. Izin usaha pemanfaaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam

    (IUPPHHK-RE);

    c. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT);

    d. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (IUPHHK-

    HTR);

    e. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL);

    35

    1.  Izin usaha pemanfaatan kawasan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1).

    Beberapa perijinan dalam bidang kehutanan yang dapat lihat pada Undang-

    undang Kehutanan antara lain:

    2. 

    Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 29 ayat(2).

    3.  Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu Pasal 27 ayat (3).

    34  Ibid , hal.11535 Ibid , hal 425

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    13/61

     

    4.  Izin usaha pemanfaatan hasil kayu hutan Pasal 29 ayat (4).

    5.  Izin pinjam pakai kawasan Pasal 38 ayat (3) dan (5).

    6.  Izin pertambangan Pasal 42 ayat (2), dan

    7.  Izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia kepada peneliti asing Pasal 54 ayat

    (2).

    Terkait dalam pemanfaatan hutan lindung, ada beberapa izin yang harus dipenuhi,

    yakni Pasal 26 ayat (2) UU Kehutanan, bahwa pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan

    melalui:

    a. 

    Perizinan usaha pemanfaatan kawasan.

     b.  Perizinan usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan

    c.  Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

    Kemudian berkaitan dengan izin pada Pasal 26 ayat (2), maka dalam Pasal 27

    UU Kehutanan dijelaskan beberapa izin dalam pemanfaatan hutan lindung dan dapat

    diberikan kepada siapa ijin tersebut yang meliputi:

    (1) Izin usaha pemanfatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)

    dapat diberikan kepada;

    a. perorangan;

     b. koperasi.

    (2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dalam pasal 26 ayat (2) dapat

    diberikan kepada;

    a. Perorangan;

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    14/61

     

     b. Koperasi;

    c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMS);

    d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);

    (3) Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam pasal 26

    ayat (2), dapat diberikan kepada:

    a. perorangan;

     b. koperasi.36

    Mengenai tindak pidana di bidang kehutanan ini (ilegal logging) sebenarnya jauh

    sebelum lahirnya UU Kehutanan telah diatur dalam KUHP Indonesia meskipun

     pengaturannya masih bersifat umum. Adapun ketentuan-ketentuan perundang-

    undangan yang dapat dikenakan pada pelaku Ilegal logging dalam KUHP dapat dilihat

    dalam pasl-pasal sebagai berikut :

    Izin usaha pemanfaatan kawasan yang dilaksanakan oleh perorangan, masyarakat

    setempat, atau koperasi dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau BUMS

    Indonesia.

    Dengan demikian, perijinan lingkungan kehutanan akan menjadi sarana hukum

    yang paling banyak digunakan dalam hukum kehutanan yuridis untuk mengendalikan

    tingkah laku warganya dan contoh yang representatif dalam merefleksikan tentang

    kebersamaan fungsi normatif hukum lingkungan kehutanan.

    36  Ibid , hal. 15

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    15/61

     

    1) Pasal 406-412 mengenai pengrusakan.

    2) Pasal 362-367 mengenai pencurian.

    3) Pasal 263-276 mengenai pemalsuan.

    4) Pasal 372-377 mengenai penggelapan

    5) Pasal 480 mengenai penadahan

    6) Pasal 187 dan Pasal 188 mengenai pembakaran yang mengakibatkan banjir.

    Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

    Hidup konsep ilegal logging  dijelaskan lebih umum yaitu melarang seseorang untuk

    merusak hutan. Bentuk-bentuk tindak pidana kehutanan dalam kegiatan ilegal logging

    meliputi:

    1) Melakukan penebangan tanpa izin.

    2) Melakukan penebangan kayu di luar izin konsesi.

    3) Mengangkut kayu tanpa SKSHH.

    4) Mengangkut kayu dengan SKSHH palsu.

    5) Mengangkut kayu dengan jumlah yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam

    SKSHH.

    6) Menggunakan satu SKSHH berulang-ulang.

    7) Menggunakan dokumen pengganti SKSHH.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    16/61

     

    Untuk mengetahui secara jelas perbuatan apa yang termasuk dalam kategori

    tindak pidana dalam bidang kehutanan maka akan dikaitkan dengan UU Kehutanan.

    Mengenai perbuatan apa saja yang dilarang terinci secara jelas dalam Pasal 50 ayat (3)

    UU Kehutanan mendefinisikan paling sedikit 13 katagori aktivitas kejahatan yang terkait

    dengan kehutanan yang dapat dihukum minimal selama 5 tahun dan denda antara Rp.5-

    10 miliar. Adapun bunyi dari Pasal 50 ayat (3) tersebut adalah sebagai berikut:

    Setiap orang dilarang :

    a.  mengerjakan dan atau menggunakan dan atau mendudukli kawasan hutan secara tidak

    sah;

     b.  merambah kawasan hutan;

    c.  melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai

    dengan :

    1.  500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;

    2.  200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai didaerah rawa;

    3.  100 (seratus) meter dari kanan tepi sungai;

    4.  50 (limapuluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;

    5.  2 (dua) kalim kedalaman jurang dari tepi jurang;

    6. 

    130 (seratus tiga puluh) kaliselisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi

     pantai;

    d.  membakar hutan;

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    17/61

     

    e.  menebang pohon atau memanen atau memunguthasil hutan didalam hutan tanpa

    memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;

    f.  menerima,membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,menyimpan, atau

    memiliki hasil hutan yang diketahiu atau patut diduga berasal dari kawasan hutan

    yang diambil atau dipungut secara tidak sah;

    g.  melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan

    tambang didalam kawasn hutan, tanpa izin Menteri;

    h.  mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-

    sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;

    i.  mengembalakan ternak didalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secar khusus

    untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;

     j.  membawa alat-alat berat atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan

    digunakan untuk mengangkut hasil hutan didalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat

    yang berwenang;

    k. 

    membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau

    menbelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat ynag berwenang;

    l.  membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta

    membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan kedealam kawasan

    hutan; dan

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    18/61

     

    m.  mengeluarkan, mambawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang

    dilindungi undang-undang yang bersal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang

     berwenang.37

    Terkait pengelompokan jenis-jenis perbuatan yang dilarang didalam aturan diatas

    yakni menyangkut masalah perlindungan hutan, berdasarkan PP Nomor 28 tahun 1985

    Tentang Perlindungan Hutan mengandung unsur pidana khusus. Bentuk tindak pidana

    secara tegas dirumuskan secara pasal demi pasal. Sedangkan, jenis-jenis tindakan yang

    dibolehkan didalam aturan hukum perlindungan hutan tersebut, yakni subjek hukum yang

     bertindak secara sah memilki kewenangan menurut aturan yang berlaku.38

    1.  Dilarang memotong,memindahakan, merusak, atau menghilangkan tanda batas

    kawsan hutan, kecuali dengan kewenangan yang sah.

    Prinsip

     pengecualian hukum yang berlaku di dalam PP Nomor 28 tahun 1985 tentang

    Perlindungan Hutan, diantaranya terkandung sebagai berikut :

    2. 

    Dilarang mnduduki tanah dan mengerjakan tanah kawasan hutan, kecuali mendapat

    izin.

    3.  Dilarang melaukan penambangan bahan galian dan eksploitasi tanah kawasan hutan,

    kecuali mendapat izin.

    4.  Dilarang membakar didalam hutan kecuali mendapat izin dan kewenangan yang sah.

    5.  Dilarang mengambil/ memungut hasil hutan kecuali mendapt izin dari pejabat yang

     berwenang.

    37 Undang-Undang No.41 tahun 1991 Tentang Kehutanan 38Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,1996,Rineka Cipta,jakarta,hal.11

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    19/61

     

    6.  Dilarang membawa alat-alat yang lazim digunalkan untuk meotong, menebang, dan

    memebelah pohon di dalam kawasn hutan, keculai petugas kehutanan atau orang-

    orang yang karena tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada di kawasan

    hutan.

    7.  Dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan, kecuali mendapat izin

    dari pejabat yang berwenang.

    8.  Dilarang mengambalakan ternak, mengambil rumpu, serash dan makanna ternak

    lainnya dari dalam hutan, kecuali pada tempat tertentu yang ditunjuk oleh pejabat

    yang berwenang.

    9.  Dilarang mengangkut hasil hutan, kecuali memiliki surat izin berupa keterangan

    sahnya hasil hutan dari pejabat yang berwenang.39

      Perihal masalah perusakan hutan sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 50 ayat

    (3) diatas, maka perlu kita mengetahui tentang klasifikasi dari jenis-jenis hutan itu sendiri

    sesuai denga ketentuan UU Kehutanan. Dalam UU Kehutanan ini jenis-jenis hutan

    diuraikan mulai dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 9, yang mana ditentukan didalamnya

    ada 4 (empat) jenis hutan yaitu berdasarkan : (1) statusnya, (2) fungsinya, (3) tujuan

    khusus, (4) pengaturan iklim mikro, estetika,dan resapan air. Keempat jenis hutan itu

    dikemukakan berikut ini :

    1. Hutan berdasarkan statusnya (Pasal 5)

    Yang dimaksud dengan hutan berdasarkan statusnya adalah suatu pembagian hutan

    yang didasarkan pada status (kedudukan) antara orang, badan hukum, atau institusi

    39 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    20/61

     

    yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungann terhadap hutan

    tersebut.

    Hutan berdasarkan statusnya dibagi dua macam, yaitu hutan negara dan hutan hak.

    a. Hutan Hak

    Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas

    tanah (Pasal 5 ayat(1)

     b. Hutan Negara

    Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak

    atas tanah. Yang termasuk dalm kualisifikasi hutan negara adalah hutan adat,

    hutan desa, dan hutan kemasyarakatan. Hutan adat adalah hutan negara yang

    diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtgemeenschap). 

    Hutan desa adalah hutan negara yang dikelolah oleh desa dan dimanfaatkan untuk

    kesejahteraaan desa. Hutan kemasyarakatan adalah hutan yang pemanfaatannya

    untuk memberdayakan masyarakat.

    2.  Hutan berdasarkan Fungsinya (Pasal 6 sampai dengan Pasal 7).

    Hutan berdasarkan fungsinya adalah penggolongan hutan yang didasarkan pada

    kegunaannya. Hutan ini dapt digolongkan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu hutan

    konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

    a.  Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang

    mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragman tumbuhan dan satwa

     beserta ekosistemnya.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    21/61

     

    Hutan konservasi terdiri atas tiga macam, yaitu kawasan hutan suaka alam,

    kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.

    (1) Kawasan hutan suaka alam

    adalah hutan dengan ciri khas tertentu yangmempunyai fungsi pokok sebagai

    kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

    ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga

    kehidupan.

    (2) Kawasan hutan pelestarian alam.

    adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok

     perlindungan penyangga kehidupan pengawetan keanekaragaman jenis

    tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam

    hayati dan ekosistemnya.

    (3) Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata

     berburu.

     b. Hutan lindung adalah kawasn hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

     perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,

    mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan)air

    laut, dan memelihara kesuburan tanah.

    c. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

    memproduksi hasil hutan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    22/61

     

    3.  Hutan berdasarkan tujuan khusus, yaitu penggunaan hutan untuk keperluan penelitian

    dan pengembangan, pendidikan, dan latihan, serta untuk kepentingan religi dan

     budaya setempat (Pasal 8). Syaratnya tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

    4.  Hutan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air disetiap kota

    ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.

    Hutan kota adalah hutan yang berfunfsi untuk pengaturan iklim mikro, estetika, dan

    resapan air (Pasal 9 ).40

    a.  Mengerjakan/Menduduki hutan lindung

    Terkait dengan tindak pidana terhadap hutan ini juga diatur dalam Peraturan

    Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 yakni pada Pasal 18 yang didalamnya memuat 5 ayat

    dalam merumuskan perbuatan apa yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana

    terhadap hutan.

    Adapun kelima ayat tersebut pada intinya mengatur secara rinci hal-hal sebagai

     berikut:

     b.  Membakar hutan lindung.

    c.  Menegrjakan/menduduki hutan (bukan hutan lindung)

    d.  Salah penggunaan kawasan hutan

    e.  Melakukan eksplorasi dan eksploitasi hutanh tanpa persetujuan menteri

    f. 

    Eksplorasi dan eksploitasi hutan tidak sesuai dengan petunjuk menteri

    g.  Penggunaan alat-alat yang dapat merusak hutan

    h.  Penebangan pohon pelindung

    40 Undang-undang No.41 tahun 1999

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    23/61

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    24/61

     

    d.  Jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan

    keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain

    e.  Hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah

    yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu

     bulau, kayu gergajian, kayu lapis, dan kayu pulp.Termasuk juga benda-benda

    tambang yang berada dihutan juga dikuasai oleh negara42

    Dalam pengertian yang lebih luas persepsi terhadap “hasil hutan”digambarkan

    sebagai berikut :

    a. 

    Hasil hutan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (13) dan termaktub dalam penjelasan

    Pasal 4 UU Kehutanan yang terdiri dari benda-benda hayati, nonhayati, dan

    turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan, yang dapat juga diistilahkan dengan

    hasil hutan langsung.

     b.  Hasil hutan berupa “dana” yang wajib dibayar karena mengambil hasil hutan baik

     berupa Dana Reboisasi maupun IHH (Iuran Hasil Hutan) dan dana wajib lainnya.

    Adapun Tindak Pidana terhadap Hasil Hutan ini dibagi atas Tindak pidana

    terhadap hasil hutan langsung dan tindak pidana terhadap hasil hutan tidak langsung.

    a.  Tindak Pidana terhadap Hasil Hutan Langsung

    Yang termasuk dalam tindak pidana terhadap hasil hutan langsung adalah sebagai

     berikut :

    a.  Penebangan pohon dalam hutan lindung

    42  Hadi setia Tunggal,  Himpunan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Kehutanan, 2009,

    Harvindo, Jakarta, hal.51

    (Bandingkan dengan UU No.5 Tahun 1967)

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    25/61

     

     b.  Penebangan pohon dalam hutan bukan hutan lindung

    c.  Menguasai/mengangkut hasil hutan

    d.  Mengambil hsil hutan tanpa izin

    e.  Membawa alat penebang di kawasan hutan

    f.  Tindak pidana terhadap tumbuhan yang dilindungi43

     b. Tindak Pidana Terhadap Hasil Hutan Tak Langsung

    Sebagaimana ditentukan peraturan, peranan Pengusaha Industrian Pengolahan Kayu

    Hulu (IPKH) sangat besar dalam pemungutan/penyetoran Dana Reboisasi (DR) dan

    dana Iuran Hasil Hutan (IHH). Namun, perlu disadari bahwa hal tersebut bukan

    tidak beresiko jika dipandang dari segi kebutuhan akan dana dalam pelaksanaan

    PELITA-PELITA yang sedang berjalan. Kemungkinan lebih kecil resiko jika

    dipungut berdasarkan LPH (Laporan Hasil Produksi)

    Resiko dalam menjalankan suatu perusahaan adalah hal yang lumrah tetapi

     berkenaan dengan hak yang telah dimiliki Negara yang berupa kewajiban orang yang

    telah ditentukan, bukan merupakan resiko tetapi perbuatan tercela yang patut dihukum

    karena tidaka menjalankan kewajiban terhadap Negara.

    Dengan demikin dapat dipahami jika menipulasi terhadap perhitungan DR atau

     perhitungan IHH merupakn tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi dapat

    dilakukan oleh :

    a.  Pengusaha IPKH

    43 Laden Marpaung,Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan , dan Satwa, 1995, Penerbit

    Erlangga, Jakarta hal.44.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    26/61

     

     b.  Aparat Kehutanan

    Pengusaha IPKH44

    Persamaan antar ketiga unsur tersebut meliputi suatu rangkaian aturan tentang

    tingkah laku, yang diikuti oleh sekelompok tertentu.Dengan demikian sistem yang

    B. KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI TERHADAP TINDAK

    PIDANA DIBIDANG KEHUTANAN.

    Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan

    dengan tindak pidana. Walaupun didalam pengertian tindak pidana tidak termasuk

    masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya

    suatu perbuatan

    Kata pertanggungjawaban itu berasal dari kata bertanggungjawab, yaitu dimana

    menurut Koesnadi Hardjasoemantri,  bahwa kesalahan pertanggungjawaban dan pidana

    merupakan ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari baik

    moral, agama, dan hukum.

    Ketiga unsur tersebut berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya dan berakar

    dalam suatu keadaan yang sama yaitu pidananya pelanggaran terhadap suatu sistem

    aturan.atuiran-aturan tersebut dapat bersifat luas dan beraneka ragam yang meliputi

     bidang hukm perdata dan hukum pidana aturan moral dan masih banyak lagi.

    44 ibid ,hal44

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    27/61

     

    melahirkan konsep tentang kesalahan, pertanggungjawaban, dan pemidanaan itu adalah

    sisitem normatif.45

    1.  Perbuatan yang dilarang tersebut menurut sebagian besar anggota masyarakat secara

    menyolok dianggap membahayakan masyarakat, dianggap penting oleh masyarakat.

    Bertanggungjawab atas suatu tindak pidana berarti bahwa yang bersangkutan

    secara sah dapat dikenai pidana karena tindakan yang telah dilakukannya itu.Suatu tindak

     pidana dapat dikenakan saksi secara sah apabila untuk tindakan tersebut sudah ada

    aturannya dalam suatu sistem hubungan tersebut dan sisitem hukum hukum itu berlaku

    atas tindaklan yang dilakukan itu. Dengan perkataan lain, tindakan itu tidak dibenarkan

    oleh sistem tersebut. Inilah konsep dasrnya. Hukum bertujuan untuk mencapai keadilan

    dan keadilan lazim diartikan kesamaan.

    Dalam penggunaan saksi pidana sebagai salah satu sarana sanksi sosial dalam

    segala keterbatasan, Muladi mengatakan bahwa syarat-syarat pengguinaan saksi pidana

    secara optimal harus mencakup hal-hal :

    2.  Penerapan asaksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang, konsisten dengan tujuan-

    tujuan pemidanaan.

    3.  Pemberantasan terhadap perbuatan tersebut, tidak akan menghalangi atau merintangi

     perilaku masyarakat yang diinginkan.

    4. 

    Perilaku tersebut dapat dipahami melalui cara yang tidak berat sebelah dan tidak

     bersifat diskriminatif.

    45 Koenadi Hardjasoemantri,1992. Hukum Tata Lingkungan, Penerbit gajah Mada, hal.20.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    28/61

     

    5.  Pengaturannya melalui proses hukum pidana, tidak akan memberikan kesan

    memperberat, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

    6.  Tidak ada pilaihan-pilihan yang beralaskan dari saksi pidana tersebut, untuk

    menghadapi perilaku tersebut.46

    Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak

    diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana

    khusus (tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam konotasi biologis

    yang alami (natuurlijke persoon)).

     

    47 

    (1)  Apakah suatu korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana mengingat korporasi

    tidak dapat bertindak sendiri kecuali melalui pengurus atau pegawainya da juga

    korporasi tidak memiliki kalbu?

    Berkaitan dengan hukum pidana, ada beberapa pertanyaan yang menyangkut

     pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:

    (2) 

    Dalam hal bagaimana perbuatan yang dilakukan oleh personel korporasi itu

     pertanggungjawaban pidanaya dapat dibebankan hanya kepada korporasi;Atau

    dengan kata lain, dalam hal bagaimana pertanggungjawaban itu dapat dibebankan

    kepada personel korporasi itu. Atau dengan kata lain pula, dalam hal bagaimana

     pertanggungjawaban itu dapat dibebankan baik kepada personel korporasi itu

    maupun kepada korporasi yang bersangkutan?

    46  H.Setiyono,Kejahatan Korpprasi,2005,Penerbit PT.Bayu Media,Malang,hal.117.47

      Nurasiah Harahap,  Analisis Hukum Tanggung Jawab PT dalam Pengelolaan Lingkungan

    hidup http://library.usu.ac.id/index.php?option=com.journal review & id:1948&task:view, diakses tanggal

    9 November 2009

    Universitas Sumatera Utara

    http://library.usu.ac.id/index.php?option=com.journalhttp://library.usu.ac.id/index.php?option=com.journalhttp://library.usu.ac.id/index.php?option=com.journalhttp://library.usu.ac.id/index.php?option=com.journal

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    29/61

     

    (3)  Doktrin atau ajaran, atau teori, atau prinsip apa yang dapat dijadikan landasan

     pembenar untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada

    korporasi?

    (4)  Apa bentuk sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi?48

      J.C.Coffee Jr.dalam bukunya yang ditulis tahun 1981 sebagaimana dikutip oleh

    Frank dan Lynch mengemukakan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi

    (corporate criminal responsibility)  telah menjadi suatu issue  yang makin menarik

     perhatian akademisi selama bertahun-tahun. Masalah pertanggungjawaban pidana dari

    suatu korporasi telah menjadi perdebatan yang panjang sejak ratusan tahun yang lampau

    dan ternyata sampai dengan sekarang belum juga usai.

     

    49

    Dalam membicarakan masalah korporasi/badan hukum sebagai pelaku tindak

     pidana Mardjono Reksodiputro, menyatakan pula bahwa, cara berpikir dalam hukum

     perdata dapat diambil alih kedalam hukum pidana. Menurut beliau pada mulanya dalam

    hukum perdata juga terjadi perbedaan pendapat apakah apakah suatu badan hukum dapat

    melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig hendelen).  Namun, melalui asas

    kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (belijkneid) sebagai dasar utama, mak ilmu hukm

     perdata menerima bahwa suatu badan hukum harus dapat dianggap bersalah merupakan

     perbuatan melawan hukum, lebih-lebih dalam lalu lintas perekonomian. Ajaran ini

    mendasarkan diri pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pengurus harus dapat

    dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak tidak

    hanya melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak atau kewenangan

    48 Sutan Remy Sjahdeini,Pertanggungjawaban Pidana Korpor asi, 2006,Penerbit PT.Grafiti

    Pers,jakrta,hal.52.49  Ibid, hal 53.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    30/61

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    31/61

     

    Berdasarkan teori Hukum Pidana, terdapat dua kriteria untuk menentukan

    koperasi sebagai pelaku tindak pidana, yaitu kriteria Roling dan kriteria Kawat (iron

    wire).

    Menurut Kriteria Riling, korporasi daapt dimintakan pertanggungjawaban pidana

    apabila perbuatannyang dilarang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas korporasi

    atau untuk mencapai tujuan korporasi.

    Berdasarkan teori Kawat Duri, korporasi dapat dijatuhkan hukuman pidana

    apabila dipenuhu dua syarat. Pertama, korporsi memiliki kekuasaan (power) baik secara

    de jure  maupun secar de fakto  untuk mencegah atau menghentikan pelaku untuk

    melakuakan kegiatan yang dilarang oleh undang-undang. Kedua, korporasi menerima

    tindakan pelaku (acceptance)  sebagai bagian dari kebujakan korporasi. Contoh, kasus

    Leeuwaarden yang terjadi pada tahun 1987 dimana dalam kasus ini, montor pembersih

    tabung gas oksigen disebuah rumah sakit menukar sambunganngas oksigen dengan gas

    lain. Ini berakibat pada meninggalnya salah satu pasien dirumah sakit itu. Karena

     perbuatan itu dilakukan sesuai dengan kebijakan rumah sakit, maka pengadilan

    menghukum rumah sakit karena telah melakukan tindak pidana korporasi.51

    Menurut R.Ali Rido  pertanggungjawaban pidana badan hukum itu ada , jika

    organ itu bertindak sedemikian dalam batas-batas suasana formal dari wewenangnya,

    tetapi organ dalam menyelenggarakan tugasnya yang mengikat badan hukum, organ

    dapat melakukan kesalahan-kesalahan pribadi yang merugikan badan hukum dan

    merupakan perbuatan melawan hukum yang mewajibkan mereka untuk mengganti

    51 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,2008,Penerbit Sinar garafika,Jakarta,

    hal.126.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    32/61

     

    kerugian secara probadi pula. Jadi, organ yang merlakukan perbuatan itu masih dalam

     batas-batas wewenangnya, disamping pertanggungjawaban badan hukum, orang secara

     pribadi mungkin saja harus bertanggungjawab sendiri atas perbuatan melanggar hukum52

    a.  Apabila perbuatan melanggar hukum itu merupakan pelanggaran atas hak suatu

     pelanggaran dari norma, yang hanya ditujukan kepada badan hukum.

    Selanjutnya yang menjadi pertanyaannya bilakah oragan dikatakan mempunyai

    kesalahan pribadi?Paul Scholten memecahkan persoalan ini dengan secara negatif.

    Kesalahan pribadi itu tidak ada :

     b.  Apabila perbuatan melawan hukum itu merupakan pelanggaran atas hak suatu

    subjek hukum lain dan pelanggaran itu justru terjadi pada waktu melaksanakan atau

    mempertahankan hak-hak dari badan hukum.

    c.  Apabila organ bertindak atas perintah jabatan yang mengikat (dari organ yang lebih

    tinggi, misalnya rapat umum anggota)

    d.  Apabila tindakannya yang bersifat perbuatan melanggar hukum itu unsur-unsurnya

    terdapat pada badan hukum, tetapi tidak pada organ secara pribadi.

    Dalam keseluruhannya perbuatan organ badan hukum dapat dibagi dalam

     beberapa kategori, yaitu :

    a.   perbuatan orang yang dilakukan dalam batas-batas wewenangnya, badan hukum

    terkait dan bertanggungjawab.

    52 Dwidja Priyatno , op cit, hal.76

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    33/61

     

     b.  Perbuatan organ diluar wewenangnya tetapi kemudian disahkan oleh organ yang

    lebih tinggi atau perbuatan itu menguntungkan badan hukum. Dalam hal ini badan

    hukum terikat.

    c.  Perbuatan organ diluar wewenangnya, dengan pihak ketiga beritikad baik yang

     berakibat merugikan,badan hukum tidak terikat. Mereka secara pribadi

     bertanggungjawab tanggung menanggung dan sepenuhnya terhadap pihak ketiga

    d.  Tindakan organ yang merupakan perbuatanmelanggar hukum dalam batas-batas

    wewenangnya, badan hukum terikat dan bertanggungjawab

    e. 

    Tindakan organ yang merupakan perbuatanmelanggar hukum diluar wewenangnya,

     badan hukum tidak terikat .Organ secara pribadi bertanggungjawab tanggung

    menanggung dan sepenuhnya terhadap pihak ketiga.

    f.  Tindakan organ yang merupakan perbuatan melanggar hukum dalam batas-batas

    wewenangnya, tetapi ada kesalahan pribadi dari organ, badan hukum tetap terikat.

     Namun disamping pertanggungjawaban badan hukum mereka secar pribadi

     bertanggungjawab pula. Badan hukum yang telah membayar ganti kerugian kepada

     pihak ketiga,berhak menuntut kembali kepada organ secra pribadi.

    g.  Perbuatan organ dalam batas-batas wewenagngnya yang bertindak lalai (melalaikan

    kewajiban) atau kurang hati-hati yang menimbulakan kerugian bagi badan hukum,

     badan hukum tetap terikat. Disamping badan hukum. ada pertanggungjawaban

     pribadi.53

    Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai sekarang masih jadi

    masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontara. Terlepas dari pro dan kontra terhadap

    53  Ibid ,hal.77

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    34/61

     

     pertanggungjawaban kiorporasi sebagi subjek hukum pidana, Oemar Sono Adji

     berpendapat”….kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan ,

    didasarkan tidak saja atas pertimbangan-petimbangan utilitas, melainkan pula atas dasar-

    dasar teoritis dapat dibenarkan”

    Sehubungan dengan korporasi yang dijatuhi hukuman, ternyata dalam praktik

     belum ada putusab pengadilan atau yirisprudensinya. Akan tetapi nengenai kedudukan

     badan hukum/korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat suatu putusan

    Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 1 Maret 1969, Nomor 136/Kr/1996

    dalam perkara PT.Kosmo dan PT.Sinar Sahara, yang meneyatakan, “Suatu badan hukum

    tidak dapat disita”. Pandangan MA tersebut menurut Setiyono tepat sekali, sebab yang

    dapat disita adalah barang atau benda, akan tetapi merupakan “subejk hukum”. Putusan

    MA itu menbegaskan bahawa Badan Hukum Korporasi merupakan subjek hukum dalam

    hukum pidana. Dengan putusan MA tersebut berarti ada pengakuan yuridis bahwa

    korporasi sebagi subjek hukum pidana.Walaupun demikian, penegrtian korporasi sebagai

    subjek tindak pidana tidak sebatas pengakuan yuridis. Perbedaan subjek tindak pidana

    dibedakan antara yang melakukan tindak pidana (pembuat), dan yang bertanggungtjawab.

    Oleh karena itu pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana tergantung peda cara

    atau sistem perumusan pertanggungjawaban pidan yang akan digunakan.54

    Meneganai masalah penahana terhadap pelaku tinfdak pidana kehutanna ini hanya

    dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan

    atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan

    54 H.Setiyono,Kejahatan Korporasi,2002,Penerbit Averroes Press,Malang,hal.14

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    35/61

     

     pidana penjara lima tahun atau lebih (Pasal 21 ayat (4) KUHAP). Untuk itu perlu

    diketahui apa saja dari tindak pidana bidang kehutanan dan konservasi yang masuk dalam

    kategori dimaksud.

    Daftar Tindak Pidana dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang

    Kehutanan yang pelakunya dapat ditahan yaitu:

    1. Dengan Sengaja melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka

    (Pasal 38 ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

    dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat

    (6));

    2. Dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (Pasal 50 (1)),

    diancam diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

     paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1));

    3. Dengan sengaja melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan yang

    dilakukan oleh Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin

    usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan

     bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (Pasal 50 ayat

    (2)), diancam diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

    denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1));

    4. Dengan sengaja mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan

    hutan secara tidak sah; (Pasal 50 (3) huruf a), diancam diancam dengan pidana

     penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp

    5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (2));

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    36/61

     

    5. Dengan sengaja merambah kawasan hutan (Pasal 50 (3) huruf b), diancam diancam

    dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

    Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (2));

    6. Dengan sengaja melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius

    atau jarak sampai dengan:500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;200 (dua

    ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;100 (seratus)

    meter dari kiri kanan tepi sungai;50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak

    sungai;2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;130 (seratus tiga puluh) kali

    selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai(Pasal 50 (3) huruf c),

    diancam diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

     paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (2));

    7. Dengan Sengaja membakar Hutan (Pasal 50 (3) huruf d) diancam dengan pidana

     penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.

    5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (3));

    8. Karena kelalaiannya membakar Hutan (Pasal 50 (3) huruf d), diancam dengan pidana

     penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00

    (satu milyar lima ratus juta rupiah). (Pasal 78 ayat (4));

    9. Dengan Sengaja menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam

    hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (Pasal 50 (3) huruf

    e), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling

     banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (5))

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    37/61

     

    10. Dengan Sengaja menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima

    titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga

     berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (Pasal 50 (3)

    huruf f), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

     paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (5));

    11. Dengan Sengaja melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau

    eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; (Pasal 50 (3)

    huruf g), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

     paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (6));

    12. Dengan sengaja mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak

    dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; (Pasal 50 (3)

    huruf H), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda

     paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (7);

    13. Dengan Sengaja membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau

     patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan

    hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; (Pasal 50 (3) huruf j) diancam dengan

     pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

    5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (9))

    Sedangkan Tindak Pidana dalam UU No. 5 tahun 1990 yang pelakunya dapat

    ditahan adalah:

    1. Dengan Sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan

    terhadap keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 (1); diancam dengan pidana

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    38/61

     

     penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

    200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (1));

    2. Dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap

    keutuhan zona inti taman nasional. (Pasal 33 (1)), diancam dengan pidana penjara

     paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua

    ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (1));

    3. Dengan sengaja mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,

    memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau

     bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; (Pasal 21 (1) huruf a), diancam

    dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

    100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));

    4. Dengan Sengaja mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya

    dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di

    dalam atau di luar Indonesia. (Pasal 21 (1) huruf b), diancam dengan pidana penjara

     paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus

     juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));

    5. Dengan Sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,

    memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam

    keadaan hidup; (Pasal 21 ayat (2) huruf a), diancam dengan pidana penjara paling

    lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta

    rupiah). (Pasal 40 ayat (2));

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    39/61

     

    6. Dengan Sengaja menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan

    memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati (Pasal 21 ayat (2)

    huruf b), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda

     paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));

    7. Dengan Sengaja mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di

    Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia(Pasal 21 ayat (2) huruf c);

    diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

    Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));

    8. Dengan Sengaja memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau

     bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari

     bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke

    tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; (Pasal 21 ayat (2) huruf d), diancam

    dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

    100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));

    9. Dengan Sengaja mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan,

    menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi (Pasal 21

    ayat (2) huruf e), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan

    denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));

    10. Dengan sengaja melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona

     pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata

    alam (Pasal 33 ayat (3), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    40/61

     

    dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat

    (2));

    Pada Undang-undang No. 5 th 1990 perbedaan antara pelaku tindak pidana yang

    dapat ditahan dengan yang tidak dapat di tahan hanya permasalahan kesalahan (sengaja

    atau karena kelalaiannya) yang tempatnya ada didalam batin/hati/pikiran/niat tersangka

    Dalam konsep pertanggungjawaban pidana korporasi ini dikenal adanya beberapa

    asas utama yang menjadi dasar teori atau falsafah pembenaran dalam dibebankannya

     pertanggungjawaban pidana pada korporasi yaitu Doktrin Strict Liability dan Doktrin

    Vicarious Liability.

    1. Doktrin Strict Liability

    Salah satu pemecahan praktis bagi masalah pembebanan pertanggungjawaban

     pidana yang dilakukanoleh seseorang yang bekerja dilingkungan suatu korporasi kepada

    korporasi tempat seseorang bekerja adalah dengan menerapkan doktrine of strict of

    liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebenkan kepada pelaku tindak pidana yang

     bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau

    kelalaian) pada pelakunya. Oleh karena menurut ajaran strict liability

     pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidaka dipermasalahkan , maka strict liability

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    41/61

     

    disebut juga absolute liability. Istilah dalam bahasa Indonesia oleh Prof.Dr.Sutan Remy

    idsebut ertanggungjawaban mutlak.55

    “Any act whatever done by man which causus demage to another obliges him by whose

     fault the damage was caused to repair it”.

     

    Menurut sejarahnya, prinsip tanggungjawab yang didasarkan adanya unsur

    kesalahan pada mulanya dikenal dalam kebudayaan kuno dari Babylonia. Dalam

     bentuknya yang lebih modern, prinsip ini dikenal dalam tahap awal dari hukum Romawi

    (abad kedua sebelum Masehi) termasuk didalamnya doktrin didalamnya mengnai “culpa”

    dalam Lex Aquila menentukan bahwa kerugian sebagi kesalahan seseorang baik

    disengaja atau tidak, secra hukum harus dibeeri santunan. Prinsip ini kemudian menjadi

    hukum Romawi Modern seperti terdapat dalam Psala 1382 Code Napoleon 1804 yanmg

     berbunyi :

    56 

    Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, dalam hukum pidana

     berlaku asas:”actus non facit reum,nisi mens sit rea” atau”tiada pidana tanpa kesalahan”,

    yaitu yang dikenal dengan sebagai doktrine of mens rea. Dalam perkembangan hukum

     pidana yang terjado belakangan dikenal pula tindak pidana yang pertanggungjawaban

     pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memili mens

    rea  yang disyaratkan. Cukuplah apabila dibuktikan bahawa pelaku tindak pidana telah

    melakukan perbuatan ynag dilarang oleh ketentuan pidana atau atau tidak melakukan

     perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian

    55 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Koprporasi,2006, Penerbit Grafiti

    Pers,jakarta.hal.7856 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legalisasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

     Di Indonesia,2004, Penerbit CV.Utomo,Bandung,hal.107

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    42/61

     

    itu disebut offences of strict liability atau sering dikenal juga sebagai offence of absolute

     probibition. 

    Tentang masalah prinsip tanggung jawab mutlak ini E.Sefullah Wiradipradja, 

    menyatakan :”prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or liability with out fault) 

    didalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute liability”.Dengan

     prinsip tanggungjawab mutlak dimaksudkan tanggungjawab tanpa keharusan untuk

    membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain,suati prinsip tanggung

     jawab yang memandang :kesalahan” sebagai suatu yang tidak relevan untuk

    dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak.

    Barda Nawawi Arief menayatakan bahwa seiring dipersoalkan apakan strict

    liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat.

    Pendapat pertama mangatakan bahwa strict liability meupakan absolute liability.

    Alasan atau dasar pemikirannya ialah bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang

    telah melakukan perbuatan yang terlarang (actus reus) sebagaimana yang dirumuskan

    dalam undang-undang sudah dapatv dipidana tanpa harus mempersoalkan apakah

    sipelaku mempunyai kesalahan(mensrea) atau tidak. Jadi seseorang yang telah melakukan

    tindak pidana menurut rumusan undang-undang harus/mutlak dapat dipidana.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    43/61

     

    Pendapat kedua  menyatakan, bahwa strict liability bukan absoplute liability,

    artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak

    harus atau belum tentu dipidana.57

     b. Dalam kasus-kasus strict liability memang tidak dapat dijukan alasan

     pembenar untuk “kenyataan khusus”(particular fact)  yang dinyatakann

    terlarang mneurut undang-undang, misalnya dengan mengajukan adanya

    “reasonable mistake”, tetapi tetap dapat mengajukan alasna pembelaan untuk

    Pendapat kedua ini antara lain dikemukakan oleh J.C.Smith  dan Brian

    Hogan.Ada dua lasan yang dikemukakan mereka, yaitu:

    a. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara srtict liability apabila

    tidak ada mens rea yang dibuktikan secara satu-satunya untuk unsur actus reus

    yang bersangkutan.Unsur utama atau unsur satu-satunya itu biasanya merupakan

    salah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti bahwa mens rea itu tidak

    disyaratkan sebagi unsur pokok yang tetap ada untuk tindak pidana itu.Misal A

    dituduh melakukan tindak pidana “menjual daging yang tidak layak untuk

    dimakan”(misal membahayakan jiwa/nyawa orang lain). Tindak pidana ini

    menurut hukum inggris termasuk tindak pidana yang dapat

    dipertanggunhjawabkan secara strict liability. Dalam hal ini tidaka perlu dibuktikan

     bahwa A menngetahui bahwa daging tiu t idak layak untuk dikonsumsi, tetapi harus

    dibuktikan, bahwa A sekurang-kurangnya memang menghendaki (sengaja) untuk

    menjual daging itu. Jadi jelas dalam hal ini strict liability tidaka bersifat absolut.

    57 Barda Nawawai Arief,Perbandingan Hukum Pidana, 1990, Penerbit Rajawali Press,

    Jakarta,hal.31

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    44/61

     

    keadaan-keadaan lainnya.Misal dalam kasus mengendarai kendaraan itu dalam

    keadaan “automatism”.Misal lain A mebuk-mabukan dirimahnya sendiri tetapi dalam

    keadaan tidak sadar (pingsan) dan diletakkan dijalan raya. Dalam hal ini memang

    ada strict liability ( yaitu berada dijalan raya dalam keadaan mabuk), tetapi A dapat

    mengajukan pembelaan berdasarkan compulsion. Jadi dalam hal ini pun  strict liability 

     bukan absolute liability58 

     

    58 Dwidja priyatno, op cit , hal.108

    2. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability) 

    Ajaran kedua untuk memberikan pembenaran bagi pembebaban

     pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah doctrine of vicariouas lability.

    Doktrin atau ajaran “vicarious liability” adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana

    dan tindaka pidana yang dilakuakn , misal oleh A kepada B.

    Doktrin ini juga dikenal dengan sisitem peretanggungjawaban pengganti dimana

     pertanggungjawaban sesorang tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tinadakan

    orang lain (a vicarious laiability is one whwre is person, though without personal fault, is

    more liable for the conduct of another) .

    Vicarious liability menurut Barda Nawawi Arief, diartikan “pertanggungjawaban

    hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal

    responsibility of one personfor the wrongful acts of another) .Atau sering disingkat

    “pertanggungjawaban pengganti”

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    45/61

     

    Menurut asas umum yang erlaku dalam hukum pidana Inggris,s eseorang tidaka

    dapt dipertanggungjawabkannatas atas perbuatan yang dilakukan bawajhannya yang telah

    melakukan perbuatan tanpa sepengetuhuannya atau tanpa otorisasi. Hal ini antara alain

    yang dikemukanan sebgai perimbangan hukum dalam perkara R v Huggins (1970) 2 Ld

    Raym 1574. Namun demikian, ada penegevualian terhadap asas umum tersebut. Dalam

     perkembangan yang terjadi dalam hukum pidana, ternyata pada saat ini, berdasarkan asas

    yang menyimpang dari asas umum tersebut diatas, suatu pihak dapat

    dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan pihak lain.

    Dalam common law, seorang pemberi kerja (employer) bertanggung jawab secra

    vicarious atas perbuatan-perbuatan dari bawahannya yang telah menimbulkan ganguan

     publik atau dalam hal membuat pernyataan yang dapat merusak nama baik orang lain

    Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,menurut ajaran pertanggung jawaban

    vicarious ,seseorang dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan orang

    lain.Apabila teori ini diterapkan pada korporasi,berarti korporasi dimungkinkan harus

     bertangggung jawab atas perbuatan- perbuatan yang dilakukan oleh para

     pegawainya,kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung jawab

    kepada korporasi tersebut. Doktrin ini, yang semula dikembangkan berkaitan dengan

    konteks pertanggungjawaban melawan hukum (tortious liability) dalam hukum perdata,

    dengan ragu-ragu telah diambil alih kedalam hukum pidana terutama apabila tindak

     pidana tersebut adalah jenis tindak pidana yang merupakan absolute liability offences

    (strict liabilty),yaitu tindak pidana yang tidak mensyaratkan adanya mens rea bagi

     pemidanaan nya

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    46/61

     

    Doktrin pertanggung jawaban vicarious sering kali dikeritik oleh mereka yang

     berpendirian bahwa doktrin ini bertentangan dengan ketentuan moral yang berlaku dalam

    sistem keadilaan (Justice system),  yang didasarkan pada pemidanaan (punishment ) atas

    kesalahan manusia  (individual fault) untuk mempertanggung jawabkan seseorang karna

    telah melakukan perbuatan tertentu (yang dilarang oleh hukum) atau tidak melakukan

     perbuatan tertentu (yang diwajibkan oleh hukum). Teori ini secara serius dianggap

    menyimpang dari doktrin mens rea karena teori berpendirian bahwa kesalahan manusia

    secara otomatis begitu saja diatributkan kepada pihak lain yang tidak melakukan

    kesalahan apapun.

    59

    a)  Ketentuan umum yang berlaku menurut common law ialah,bahwa seseorang tidak

    dapat dipertanggungjawabkan secara vicorious untuk tindak pidana yang dilakukan

    oleh pelayan/buruhnya.Jadi dalam hal ini tetap berlaku prinsip mens rea .Perkecualian

    terhadap ketentuan hukum diatas, artinya seseorang dipertanggungjawabkan atas

     perbuatan salah orang lain, adalah dalam tindak pidana terhadap  public

    nuisance(yaitu suatu perbuatan yang menyebabkan ganguan substansial terhadap

     penduduk atau menimbulkan bahaya terhadap kehidupan, kesehatan, dan harta

     benda). Dengan demikian seorang majikan (X) dipertanggungjawabkan atas public

    nuisance yang disebabakan oleh pelayannya (Y) seklaipun dalam melakukan

     perbuatannya itu Y tidak mematuhi petunjuk atau perintah X.

    Selanjutnya seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain

    adalah dalam hal- hal sebagai berikut:

    59 Sutan Remy Sjahdeini, op cit , hal.87

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    47/61

     

    Jadi, pada prinsipnaya menurut common law seseorang majikan dapat

    dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana)yang dilakukan oleh

     pelayannya. Namun ada perkecualiannya yaitu dalam hal  publik nuisance  dan juga

    criminal libel.  Dalam kedua tindak pidana ini, seorang majikan bertanggungjawab

    atas atas perbuatan pelayan/buruhnya sekalipun secara personal dan secara tidak

    langsung tidak bersalah.

     b)  Menurut Undang-undang (statute law), vicarious liability  dapat terjadi dalam hal

    sebagai berikut:

    1. 

    seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang

    dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan (the delegation

     principle).

    2.  seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secra

    fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum

     perbuatan buruhnya itun dipandang sebagai perbuatan majikan (the

    servant’s act is the master’s act in law). Jadi apabila si pekerja sebagai

     pembuat meteril/fisik (auctor fisicus) dan majikan sebagi pembuat intelektual

    (auctor intellectualis).60

    Berkaitan dengan penerapan ajaran pertanggungjawaban vikariouis dalam rangka

     pembebanan pertanggungjawaban pidana pada korporasi, Eric Colvin, dalam tulisannya

    tahun 1999 sebagaimana dikutip oleh Clarkson dan Keating mengemukan

    “pertanggungjawaban vikarious korporasi dikritik bahawa doktrin tersebut bersifat baik

    underinclusive  maupun overinclisive.  Dikatakan underinclisive  karena

    60 Dwidja priyatno, op cit, hal.102

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    48/61

     

     pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya melalui pertanggungjawaban pidana dari

     pihak lain. Sementara itu, tindak pidana menuntut adanya sutu bentuk kesalahan yang

    hanya terdapat pada pelaku yang merupakan orang (manusia). Apabila tidak terdapat

    unsur kesalahan pada orang yang bersangkutan, maka juga tidak terdapat

     pertanggungjawaban korporasi dengan tidak mempersoalkan tingkat kesalahan dari

    korporasi tersebut. Sementara itu pertanggungjawaban vikarious juga bersifat

    overinclisive  karena apabila terdapat pertanggungjwaban seorang, maka

     pertanggungjawaban pidana korporasi akan mengikuti sekalipun tidak terdapat unsur

    kesalahan pada korporasi. Keberatan umum terhadap pertanggungjawaban vikarious 

    dalam hukum pidana berlaku bagi korporasi sebagaimana hal itu berlaku bagi para

    terdakwa (yang merupakan manusia). Karakteristik korporasi tidak memisahkannya dari

     pencelaan dan dari konsekuensi-konsekuensi yang timbul sebagai akibat yang

    dilakukannya dakwaan pidana terhadap korporasi tersebut.

    Berkenaan dengan pendapat Eric Colvin  tersebut diatas Clarkson dan Keating

    menegemukakan salah satu contoh overclusiveness  dari doktrin pertanggungjawaban

    vikarious,yaitu mungkin suatu perusahaan harus bertanggungjawab atas dilakukannya

    suatu tindak pidana meskipun perusahan tersebut telah memiliki kebijakan-kebijakan

    yang ajelas dan telah mengeluarkan intruksi-intruksi yang jelas pula untuk mencegah

     jangan sampai dilakukannya perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum (wrong doing) 

    oleh para pegawainya. Menurut Clarkson dan Keating hampir tidak dapat dibenarkan

    untuk membebankan tanggungjawab kepada sebuah perusahaan atas perbuatan-perbuatan

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    49/61

     

    yang dilakukan oleh para pegawai bawahan yang melanggar peratuaran-peraturan

     perusahaan dan melakukan tindak pidana. 61

     

    61 Sutan Remy Sjahdeini , op cit, hal.96

    Sekalipun penerapan ajaran vikarious bagi pembenaran pembebanan

     pertanggungjawaban pidana kepda korporasi sudah diterima secara luas, tetpai kalangan

    ahli hukum dan pera –pembuat undang-undang masih mencari-cari doktrin-doktrin lain

    yang lebih memuaskan agar pertanggungjawaban pidana dapat dibenarkan dibebankan

    kepada korporasi. Untuk keperluan itu, telah dikembangkan beberapa doktrin atau ajaran

    yang selanjutnya akan kita bahas secara ringkas.

    3. Doktrin Deligasi (doktrine of Deligation)

    Doktrin deligasi merupakan salah satu alasan pemebenar untuk dapat mebebankan

     pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pegawai korporasi. Menurt doktrin

    tersebut, alasna untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepad korporasi

    adalah adanya pendelegasian wewnang dari seseorang kepada orang lain untuk

    melaksanakan kewenangan yang dimilikinya,misalnya saja dalam hal ini pendelegasian

    wewenang dari seorang pemberi kerja, yang wewenang itu diperolehnya karena ia

    mempunyai suatu izin usaha, kepada bawahannya. Pendelegasian wewenang oleh

    seorang pemberi kerja kepada bawahannya merupakan alasan pembenarbagi dapat

    dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada pemberi kerja itu atas perbuatn

     pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    50/61

     

    4. Doktrine Identifikasi (doktrine of Identification)

    Dalam rangka mempertanggungjawabakan korporasi secar pidana, di Negara

    Anglo Saxon seperi di Inggris dikenal dengan konsep direct corporate criminal liability

    atau doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Menurut doktrin ini, perusahaan dapat

    melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan

    erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Dalam keadaan

    yang demikian. Mereka tidak sebagi pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawabhan

     perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Doktrin ini dikeanl dengaan nama

    “The Identification doctrine” atau doktrin identifikasi.

    Perundang-undangan sekarang Mengakui bahwa perbuatan dan sikap batin dari

    orang tertentu berhubungan erat dengan korporasi dan dengan pengelolaan urusan

    korporsi, dipandang sebagai perbuatan dan sikap batin korporasi. Orang-orang tiu dapat

    disebut sebagi “senior officers”dari perusahaan.

    Doktrin ini merupaka dasar pertanggungjawaban korporasi terhadp tindak pidana .

    Oleh karena itu telah dikemukakan, bahwa perusahaan bertanggungjawab atas tindak

     pidan yang dilakukan oleh pejabta senior di dalam perusahaan sepanjang ia melakukan

    dalam ruang lingkup kewenagna atau dalam urusan tarnsaksi perusahaan..

    Perbuatan/delik dan kesalahan/sikap batin pejabat senior dipandang sebagai sikap batin

    dan perbuatan perusahaan. Unsur-unsur tindaka oidana dapat dikumpulkan dari perbuatan

    dan sikap batin dari beberapa pejabat senior.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    51/61

     

    Mengutip pendapat dari Michael J.Allen  mengatakan bahwa korporasi hanya

     bertanggungjawab jika orang di identifikasi dengan korporasi;bertindak dalam ruang

    lingkup jabatannya;korporasi tidak akan bertanggungjawab atas perbuatan yang

    dilakukan oleh orang itu dalam kapsitas pribadinya.(the corporation will only be liabel

    where the person identified with it was acting within the scope of this office;it will not

    liabel for acts which he did in his personal capacity) 

    Dalam menentukan apakah seseorang berindak sebagai perusahaan atau hanya

    sebagai karyawan ataui agennya , harus dibedakan antara mereaka yang mewakili pikiran

     perusahaan dan mereka yang mewakili tangannya.

    Perusahaan dalam bayak hal dapat disamakan dengan tubuh manusia. Perusahaan

    memiliki otak dan pusat syaraf yang mengendalaikan apa yang dilakukannya. Ia juga

    memiliki tantgan yang memegang alat dan bertindak sesuaidengan arahan dari pusat

    syaraf itu. Beberapa orang dilingkungan perusahaan itu hanya lah karyawan dan agen

    yang tidak lebih dari tangan yang melakukan pekerjaanya dan tidak dapatt dikatakan

    sikap batin atau kehendaka perusahaan. Pihak lain merupaka Direktur dan Manajer yang

    mewakili sikap batin yang mengarahkan dan mewakili kehendak perasaan dan

    mengendalaikan apa yang dilakukan. Sikap batin/keadaan jiwa para manajer ini

    merupajkan sikap batin/keadaan jiwa perusahaan dan diberlakukan demikian menurut

    undang-undang.

    Oleh karena itu dalam kasus-kasus dimana undang-undang mensyaratkan

    kesalahan seseorang dalam pertanggungjawaban di bidang kerugian/perdata, mak

    kesalahan manajer dipandang sebagai kesalahan perusahaan. Demikian juga dalam

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    52/61

     

     bidang hukum pidana, mka kesalahan para direktur dan manajer itu dipandang sebagi

    kiesalahan perusahan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk tujuan-tujuan hukum, pejabat

    senior adalah orang-orang yang mengendalaikan perusahaan baik sendiri maupun

     bersama pejabat senior lainnya. Ia mewakili “sikap batin dan kehendak” perusahaan, dan

    ia dibedakan dari mereka yang “semata-mata sebagai pegawai dan agen” dari perusahaan

    yang harus melaksanakan petunjuk-petunjuk dari pejabat senior. Pada umumnya, para

     pengendali perusahaan adalaaah “para direktur dan manajer”.62

    4.  Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab.

    Sehubungan dengan masalah pidana dan pemidanaan, apa dan bagaimana pidana

    dan pemidanaan yang tepat dan dapat dijatuhkan terhadap korporasi, Sudarto 

    menyatakan bahwa dengan diterimanya korporasi sebagai sebjek hukum pidana, maka

     pidana yang dapat ditepkan tetap akan mengingat sifat korporasi.

    Mengenai kepada siapa pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi telah

    disebutkan kiranya pada beb terdahulu Berkenaan dengan pembebanan ini terdapat 3

    (tiga) sistem yaitu :

    5.  Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab.

    6.  Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagiai pembuat dan juga sebagai yang

     bertanggungjawab.

     Ad.1.

    Dalam KUHP dikenal bahwa subjek tindak pidana yang dikenal adalah manusia.

    Apabila dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

    62 Dwidja priyatno, op cit , hal.89

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    53/61

     

     bertanggungjawab , kepada penguirus dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu.

    Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus

    yang tidak memenuhi kewajiban itu out diancam dengan pidana. Dasar pemikirannya

    adalah bahwa korporasi itu sendiri tidak dapt dipertanggungjawabkan terhadap suatu

     pelanggaran, melainkan penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya

     penguruslah yang diancam pidana dan dipidana. 

    Didalam KUHP, sebagai contoh dapat dikemukakan Pasal 169 KUHP ; turut serta

    dalam perkumpulan yang terlarang, Pasal 398 KUHP dan Pasal 399 KUHP ; tindak

     pidana yang menyangkut pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebaginya yang

    dalam keadaan pailit merugikan perseroannya. 

    Pada Pasal 392 KUHP, yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipidana

     pengusa/pengurus/komisaris dan bukan korporasinya.

    Pasal 392 KUHP ,berbunyi :

    “Seorang pengusaha, seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai

    andil Indonesia atau koperasi yang dengan sengaja mengumumkan keadaan atau neraca

     yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”

     Ad.2.

    Dalam model korporasi sebagi pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab,

    mak ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai

    yang bertanggungjawab yang dipandang dilakukajnoleh korporasi adalah apa yang

    dilakukanoleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    54/61

     

    dasrnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang

    dilakukan oleh seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut.Sifat dari

     perbuatan itu adalah “onpersoonlijk ”. Oarang yang memimpin korporasi

     bertanggungjawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu ataukah tidak tentang

    dilakukannya perbuatan itu. 

     Ad.3.

    Dalam model ini, korporasi sebagi pembuat dan juga sebagi yang

     bertanggungjawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi

    itu sendiri,myaitu bahwa untuk delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja yang dapat

    dipidana ternyata tidak cukup. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang

    cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh

    undang-undang itu. Ternyata dipidananya pengurus tidak ahanya cukup untuk

    mengadakan repressi terhadap dselik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu

    korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan menidana korporasi, dan

     pengurus atau pengurus saja.  Pendapat-pendapat yang menyetujui tanggung akibat

     pidana dari korporsi, dapat dikemukakan sebagi berikut : 

    1.  Tanpa tanggung akibat pidana dari korporsi, mak akan terdapat kekosongan

     pemidanaan jika korporasi adalah pemilik atau pemegang izin.

    2. 

    Jelas, bahwa korporasi adalah pelaku fungsional dan menerima keuntungan dari

     berbagai kegiatan termasuk yangt bersifat pidana.

    3.  Pertimbangan praktis :

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/16/2019 DOKTRIN HUTAN HUKUM INDONESIA

    55/61

     

    a.  Tidak mudah untuk menelusuri garis perintah dalam hal terjadi kejahatan dalam

    korporasi.

     b.  Pidana terhadap pengurus korporasi tidak mempengaruhi perbuatan korporasi.

    4. Selaras dengan perkembangan dalam hukum perdata.63

    (a)  Yang satu-satunya ancaman pidananya yang bisa dikenakan kepada orang biasa.

    Selajutnya dalam teori, korporasi dapat melakukan tindak pidana apa saja, tetapi

    ada pembatasannya. Tindak-tindak pidana yang tidak bisa dilakukan oleh korporasi

    adalah tindak pidana:

    (b)  Yang hanya bisa dilakukan oleh orang biasa, misalnya bigami dan perkosaan.

    Tentang hal ini Arief menyatakan meski padasasnya korporsi bisa

    dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa

     pengecualiannya yaitu;

    (a) Dalam perkara-perkara yang menuntut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh

    korporasi, misalnya bigami, pemerkosaan, sumpah palsu, serta

    (b) Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin

    dikenakan pada korporasi, misalnya pidana penjara atu pidana mati.

    Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur (double track sistem) dalam

     pemidanan, dalam arti disamping pidana dapat pula dikenalkan berbagai tindakan kepada

     pelaku, maka sistem ini dapat pula diterapkan dalam pertanggungjawaban korporasi

    seb