doktrin kepemlikan tunggal (single presence...

80
DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICY) BANK BUMN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: Nur Rahmi Febriani NIM: 11140480000038 P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R TA 1440 H /2019 M

Upload: truongtram

Post on 07-Jul-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICY)

BANK BUMN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5

TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Nur Rahmi Febriani

NIM: 11140480000038

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R TA

1440 H /2019 M

Page 2: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

ii

DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICY)

BANK BUMN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5

TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Nur Rahmi Febriani

NIM: 11140480000038

Pembimbing:

Indra Rahmatullah, SH.I, M.H.

NIDN : 2021088601

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H /2019 M

Page 3: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

iii

Page 4: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Maret 2019

Nur Rahmi Febriani

Page 5: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

v

ABSTRAK

Nur Rahmi Febriani. NIM 11140480000038. DOKTRIN

KEPEMILIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICY) BANK BUMN

DALAM PERSEPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR5 TAHUN 1999

TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN

USAHA TIDAK SEHAT. Program Studi Ilmu Hukum. Konsentrasi Hukum

Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2019 M. ix + 78 halaman + 2 halaman daftar

pustaka.

Permasalahan utama didalam skripsi ini adalah mengenai kebijakan

kepemilikan tunggal yang berasal dari PBI Nomor14/24/PBI/2012 atau yang

biasanya disebut sebagai single presence policy yang belum diterapkan oleh bank-

bank BUMN di Indonesia. Penelitian ini juga menjelaskan apa dampak yang akan

ditimbulkan ketika kebijakan tersebut diterapkan pada bank-bank BUMN, yakni

adanya persaingan usaha tidak sehat.

Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan

menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif. Penelitian yang dilakukan

dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perUndang-Undang an, buku-

buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan skripsi ini, peneliti

juga melakukan perbandingan dari penerapan kebijakan tersebut kepada beberapa

negara seperti Malaysia, India, dan Thailand.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank-bank BUMN saat ini belum

menunjukkan kepatuhan menerapkan kebijakan single presence policy dan juga

peraturan perUndang-Undang an yang telah diterbitkan sejak tahun 2012 ternyata

belum bersifat futuristik dan tidak memandang keharmonisasian antara peraturan

perbankan dengan konteks peraturan anti persaingan usaha tidak sehat. Sebab,

opsi yang terpilih dalam penerapan kebijakan ini pun belum jelas terklasifikasi

untuk bank BUMN atau bank komersil lainnya, yang justru dapat menimbulkan

pasar dominan dalam dunia perbankan di Indonesia.

Kata Kunci : Doktrin, Single Presence Policy, Bank BUMN, Praktek Monopoli,

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pembimbing : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1960-2017

Page 6: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, karena

berkat rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT peneliti dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Doktrin Kepemilikan Tunggal (Single Presence Policy)

Bank BUMN dalam Perspektif UNDANG-UNDANG Nomor5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”.

Sholawat serta salam peneliti panjatkan kepada Nabi Muhammad

Shallallahu’Alayhi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman

kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.

Selanjutnya, dalam penelitian skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan

bimbingan, arahan,dan serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam

kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum

dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam pembuatan

skripsi ini.

3. Terkhusus Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. Pembimbing Skripsi yang telah

bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam

memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat

berharga kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini.

4. Kepala dan Staff Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti

mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.

Tidak ada yang dapat peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian kecuali

dengan ucapan doa dan terima kasih.

Page 7: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

vii

Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat

kekurangan dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini

dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan

untuk perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian

dan Terima kasih.

Jakarta, 14 Februari 2019

Nur Rahmi Febriani

Page 8: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ............................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................. vi

DAFTAR ISI ................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan

Masalah ................................................................................ 6

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 7

D. Manfaat penelitian ................................................................ 7

E. Metode Penelitian................................................................. 8

1. Pendekatan Penelitian ................................................... 8

2. Jenis Penelitian .............................................................. 9

3. Bahan Hukum ................................................................ 9

4. Teknik Pengumpulan Data ............................................. 10

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ........................ 10

F. Pedoman Penelitian ............................................................. 11

G. Sistematika Penelitian .......................................................... 11

BAB II KAJIAN DOKTRIN SINGLE PRESENCE POLICY ............ 13

A. Kerangka Konseptual ........................................................... 13

1. Pengertian Single Presence Policy ................................. 13

2. Sejarah Lahirnya kebijakan Kepemilikan Tunggal atau

Single Presence Policy di Indonesia .............................. 15

3. Tujuan Single Presence Policy di Indonesia .................. 21

4. Penerpana Single Presence Policy di Negara Lain ........ 22

B. Kerangka Teoritis ................................................................. 31

C. Tinjauan (review)kajian Terdahulu ...................................... 32

Page 9: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

ix

BAB III MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

SEHAT DI INDONESIA .......................................................... 34

A. Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang................................ 34

1. Hakikat dan Ruang Lingkup Persaingan Usaha ............. 34

2. Persaingan Usaha di Bidang Perbankan ......................... 34

3. Hukum materiil yang terkandung dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli

dan Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat ................... 37

4. Perjanjian yang Dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 .................................................................... 37

5. Kegiatan yang Dilarang dalam Undang-Undang Nomor5

Tahun 1999 .................................................................... 45

B. Penyalahgunaan atas Posisi Dominan dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 ........................................................... 50

1. Merger ............................................................................ 50

2. Akuisisi ......................................................................... 53

3. Konsolidasi .................................................................... 54

BAB IV SINGLE PRESENCE POLICY DALAM PERSPEKTIF

HUKUM PERSAINGAN USAHA ........................................... 57

A. Analisis Pembentukan Fungsi Holding sebagai Penerapan

Single Presence Policy untuk Bank BUMN (Mandiri,

BNI, BRI, BTN) ................................................................... 57

B. Analisis Pembentukan Fungsi Holding Sebagai Penerapan

Single Presence Policy untuk Bank BUMN dalam

Perspektif UNDANG-UNDANG Nomor 5 tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat................................................................ 60

BAB V PENUTUP .................................................................................. 65

A. Kesimpulan .......................................................................... 65

B. Rekomendasi ........................................................................ 66

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 67

Page 10: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dunia perbankan merupakan hal yang fundamental bagi kehidupan

sebuah negara. Dalam sistem ekonomi modern sektor perbankan memiliki

peran strategis bagi ekonomi suatu negara untuk memberikan modal kesemua

sektor perekonomian, baik usaha kecil, menengah dan besar. Sehingga

kestabilan perbankan sangat erat dengan kestabilan perekonomian demikian

sebaliknya. Oleh karenanya, mengharapkan pertubuhan ekonomi yang baik

meniscayakan mengelola serta melakukan perbaikan di sektor perbankan

guna mengimbangi pembangunan ekonomi yang semakin pesat.

Sejak tahun 1988 pemerintah telah mengeluarkan serangkaian

kebijakan paket deregulasi dibidang keuangan, moneter dan perbankan seperti

Paket Juni (Pakjun) 1983 dan Paket Oktober (Pakto) 1988. Sejak saat itu

kegiatan perbankan semakin semarak, karena dimana-mana bank-bank baru

mulai bermunculan. Pada sisilain dunia perbankan tertimpa tradegi yang

membuatnya kelam, dengan masalah-masalah baru yang belum muncul

sebelumnya. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok

Perbankan saat itu dianggap sudah tidak memadai untuk menjangkau

problematika yang ada, bahkan dapat dikatakan tidak mampu mengikuti

perkembangan ekonomi nasional dan internasional.1

Implikasinya dilakukan perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 7

tahun 1992 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor

10 tahun 1998,2

serta dengan meratifikasi General Agreement on Trade in

Service (GATS) untuk mengekspansi regulasi perbankan dengan membuka

peluang investasi kepada pihak asing untuk dapat memiliki bank umum

1 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2003) h. 3.

2 M Udin Silalahi. Single presence policy ditinjau dari prespektif hukum persaingan usaha.

Jurnal Hukum Bisnis 2008 h. 31.

Page 11: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

2

melalui tiga cara yaitu pendirian bank baru, pembelian saham bank umum

dan pendirian kantor cabang atau perwakilan dengan maksimum kepemilikan

99%. Proses deregulasi terus disempurnakan dalam rangka menghadapi

gejolak eksternal terutama memulihkan perbankan nasional pasca krisis

moneter 1998. Oleh karenanya Bank Indonesia mengeluarkan Arsitektur

Perbankan Indonesia (API).3

API merupakan blueprint dan policy direction mengenai tatanan

industri perbankan kedepan yang bersifat menyeluruh, salah satunya dengan

melakukan penataan terhadap struktur dan pengawasan kepemilikan saham

perbankan yang ada di Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI)

Nomor8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan

Indonesia tepatnya pada pasal 3 yang menyebutkan: 4

Sejak mulai berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, pihak-pihak

yang telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu)

Bank wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sebagai berikut:

a. Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah

satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga

yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1

(satu) Bank; atau

b. Melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-bank yang

dikendalikannya; atau

c. Membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding

Company), dengan cara: 1) mendirikan badan hukum baru sebagai Bank

Holding Company; atau 2) menunjuk salah satu bank yang

dikendalikannya sebagai Bank Holding Company.

Kepemilikan tunggal atau Single Presence Policy (SPP) merupakan

doktrin yang mewajibkan setiap pihak Pemilik Saham Pengendali (PSP)

3 Robert Tampubolon, Risk and Systems-Based Internal Audit, (Jakarta: PT. Alex media

Komputindo. 2005) Cet.II h. 7.

4 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2014) h. 189.

Page 12: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

3

hanya dapat melakukan pengendalian saham pada satu bank. Maksudnya,

tidak diperkenankan pihak yang menjadi PSP memiliki saham lebih dari 1

bank atau terdapat pihak yang melakukan pembelian saham kepada bank lain

sehingga yang bersangkutan menjadi pengendali pada lebih dari satu bank

wajib untuk melakukan konsolidasi dengan masing-masing kelompok

usahanya.

Kebijakan single presence policy tidak hanya mengamanatkan bank-

bank swasta, tetapi juga kepada bank BUMN (badan usaha milik negara)

untuk menyesuaikan dengan aturan ini. Sebab pada tahun 2020, akan

dimulainya integrasi sektor keuangan ASEAN yang memungkinkan bank-

bank dengan kualifikasi tertentu (Qualified ASEAN Banks – QAB) bebas

beroperasi di kawasan ASEAN, ini akan meningkatkan persaingan antara

bank-bank nasional dengan bank-bank dari kawasan ASEAN, sehingga

konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan

struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi

perbankan diharapkan terjadi peningkatan economic of scale,5

dari bank-bank

di Indonesia dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, khususnya

melalui pengawasan bank secara terkonsolidasi. Namun penerapan SPP

terhadap bank BUMN masih mengganjal, sebab bank yang dimiliki BUMN

saat ini terdapat empat bank besar yang berpengaruh terhadap perekonomian

negara yakni BRI, Bank Mandiri, BTN dan BNI. Implikasinya bank-bank

BUMN tersebut haruslah melakukan penggabungan sebagaimana yang di atur

dalam pasal 3 PBI Nomor14/24/PBI/2012 yakni:

1. Merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya

2. Membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan

3. Membentuk Fungsi Holding.

5 Sebuah konsep praktis yang penting untuk menjelaskan fenomena dunia nyata seperti

pola-pola perdagangan internasional, jumlah perusahaan di pasar, dan bagaimana perusahaan bisa

“terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan mengapa

perusahaan tumbuh besar di beberapa industri. Hal ini juga merupakan pembenaran untuk

kebijakan perdagangan bebas, karena beberapa skala ekonomi mungkin memerlukan pasar yang

lebih besar.

Page 13: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

4

Dengan dilakukannya SPP maka bank BUMN justru tidak akan fokus

terhadap pangsa pasar masing-masing bank BUMN, BTN misalnya lebih

berfokus pada pemberian kredit rumah pada kalangan masyarakat dengan

tingkat ekonomi bawah, BRI lebih terfokus pada usaha kecil dan menengah

serta masyarakat pedesaan, Bank Mandiri lebih berfokus pada korporasi,

Sedangkan fokus BNI lebih kepada masyarakat luas. Selanjutnya status

karyawan yang bekerja pada keempat bank tersebut. Jika terjadi merger,

maka kemungkinan besar akan terjadi efisiensi pula dalam ketenagakerjaan.

Tentunya apabila ini terjadi, akan menambah jumlah pengangguran. Seperti

yang terjadi HSBC Indonesia dan PT Bank Ekonomi Raharja Tbk yang

melakukan single presence policy melalui merger menjadi PT Bank HSBC

Indonesia yang harus merumahkan karyawannya.6

Kebijakan ini tentunya juga mempunyai dampak terhadap kepemilikan

saham bank, khususnya kepada pemegang saham minoritas. Kedudukan

hukum para pemegang saham minoritas yang jauh lebih lemah dan tidak

mampu menghadapi tindakan direksi atau komisaris yang merugikan

perseroan, justru disebabkan oleh kedudukan pemegang saham mayoritas

yang identik dengan kedua organ perseroan tersebut, baik secara fisik maupun

kepentingan. Seperti Kasus PT. Clemont Finance Indonesia yang memilki 1%

saham, tidak setuju dengan rencana merger dengan PT. Bank Hana. Pada saat

diadakan RUPS pada tanggal 12 Juli 2013 yang memutuskan PT. Bank KEB

Indonesia merger dengan PT. Bank Hana sehingga PT. Clemont Finance

Indonesia meminta buy back dengan harga yang ditentukan namun ditolak

PT. Bank KEB Indonesia.

Tidak sampai disitu, penerapan single presence policy juga dapat

menyebabkan ketidakadilan dan komplikasi politik. Hal ini dikarenakan

masing-masing bank berkeinginan untuk menerapkan bank tunggal untuk

menjadi bank pengakuisisi. Sebab secara formal dibutuhkan induk bank-bank

BUMN untuk menerapkan single presence policy. Namun, secara informal

6https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171213103043-78-262029/hsbc-indonesia-

merumahkan-sementara-70-karyawan dikases pada 28 Februari 2018 Pukul 15.08 WIB

Page 14: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

5

sebenarnya Kementerian BUMN dapat bertindak selaku induk perusahaan.

Hanya saja kuasi induk perusahaan seperti itu barangkali tidak bisa diterima

dalam aturan perUndang-Undang an, meskipun esensinya sama saja.7

Penerapan SPP jutru berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang

tidak sehat sebab Bank BUMN akan menguasai Industri Perbankan secara

dominan, sebagaimana PP Nomor 28 tahun 1999 tentang merger, konsolidasi

dan akuisisi harus meperhatikan kepentingan rakyat banyak dan persaingan

yang sehat dalam melakukan usaha bank. Dengan tidak menjadikan kekuatan

bisnis oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya

produksi atau jasa tertentu sehingga menimbulkan usaha tidak sehat dan dapat

merugikan kepentingan umum. Pelaksanaan tersebut didukung dengan Surat

Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara

Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum, yaitu SK DIR BI

Nomor32/51/KEP/DIR bahwa persyaratan dan tata cara merger atau

konsolidasi setinggi-tingginya 20% dari jumlah aktiva seluruh bank di

Indonesia, dimana nilai 20% dari jumlah aktiva seluruh bank berdasarkan best

practice suatu negara dalam industri perbankan.

Berdasarkan kuartal I 2018 posisi Bank BUMN menempati urutan 10

bank terbesar di Indonesia berdasarkan total aset yang dimilikinya yakni:8

1. BRI dengan total aset Rp. 1.064,73 Triliun

2. Bank Mandiri dengan total aset Rp. 945,62 Triliun

3. BCA dengan total aset Rp. 745,04 Triliun

4. BNI dengan total aset Rp. 648,57 Triliun

5. BTN dengan total aset Rp. 258,74 Triliun

6. CIMB Niaga dengan total aset Rp. 255,69 Triliun

7. Bank Panin dengan total aset Rp. 197,92 Triliun

8. Bank OCBC NISP dengan total aset Rp. 161,55 Triliun

7 Krisna Wijaya. Analisis Kebijakan Perbankan Nasional. (Jakarta: PT Elex Media

Komutindo. 2010) h. 16.

8 http://raiby.com/blog/daftar-urutan-bank-terbesar-di-indonesia-2017-berdasarkan-total-

aset diakses pada 27 februari 2017 pukul 22.05 wib

Page 15: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

6

9. Maybank dengan total aset Rp. 160,88 Triliun

10. Bank Danamon dengan total aset Rp. 153,79 Triliun

Oleh karena itu, ketika bank-bank BUMN tersebut dilakukan single

presence policy maka akan menguasai 36,01%9 dari jumlah aktiva seluruh

bank di Indonesia. Padahal dalam pasal 25 ayat 1 huruf c Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat telah menegaskan bahwa Pelaku usaha dilarang

menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung

untuk menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk

memasuki pasar bersangkutan. Hal tersebut dapat merugikan bank-bank kecil

karena sulit untuk bersaing dengan Bank BUMN hasil single presence policy.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan mengangkat judul skripsi: “Doktrin Kepemilikan

Tunggal (Single Presence Policy) Bank BUMN dalam Perspektif Undang-

Undang Nomor5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut, maka

dapat disebutkan identifikasi masalah sebagai berikut:

a. Pengaturan dan penerapan single presence policy di sektor industri

perbankan Indonesia khususnya Bank BUMN

b. Untuk mengetahui dampak single presence policy terhadap Bank

BUMN

c. Untuk mengetahui relevansi single presence policy terhadap Bank

BUMN dengan hukum persaingan Usaha khususnya dalam

penguasaan pasar atau pasar dominan.

d. Untuk mengetahui urgensi diterapkan single presence policy

terhadap Bank BUMN.

9 Diteliti oleh Bareksa, Lisensi resmi OJK RI, Reksa Dana Online, diakses pada Kamis, 20

Agustus 2018 pukul 10.57 WIB

Page 16: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

7

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan dengan single presence policy di

sektor industri perbankan baik bank swasta maupun bank BUMN serta

prespektif yang dapat ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan, hukum

perseroan dan hukum persaingan usaha. Maka peneliti hanya membatasi

pada implikasi single presence policy terhadap Bank BUMN dengan

meninjau dari aspek hukum persaingan usaha khususnya penguasaan

pasar.

3. Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana

pengaturan dan penerapan asas kepemilikan tunggal pada perbankan atau

disebut single presence policy pada bank BUMN, namun ketika

diterapkan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yakni adanya

dominasi saham penguasaan pasar perbankan pada seluruh bank di

Indonesia, sehingga peneliti membuat pertanyaan riset sebagai berikut:

a. Bagaimana penerapan single presence policy terhadap Bank BUMN?

b. Bagaimana dampak doktrin single presence policy terhadap

kepemilikan bank BUMN dengan larangan praktek persaingan usaha

tidak sehat?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui urgensi penerapan single presence policy terhadap

Bank BUMN dalam industri perbankan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui relevansi serta implikasi single presence policy

terhadap bank BUMN dengan larangan praktek persaingan usaha tidak

sehat khususnya penguasaan saham pasar perbankan.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah

dan merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut kedalam bentuk

tulisan.

Page 17: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

8

2) Menerapkan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan

dan menghubungkan dengan praktik di lapangan.

3) Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dibidang hukum

pada umumnya maupun dibidang hukum bisnis pada khususnya

yaitu dengan mempelajari literatur yang ada dikombinasikan

dengan perkembangan yang terjadi dilapangan.

1. Manfaat Praktis

a. Memberikan wawasan secara umum mengenai single presence

policy yang diterapkan pada sektor industri perbankan

b. Menambah khazanah pengetahuan keilmuan dan rujukan bagi

akademisi tentang persaingan usaha di sektor perbankan baik secara

yuridis maupun sosiologis.

c. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang akan

melakukan penelitian berkaitan dengan single presence policy.

D. Metode Penelitian

Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penelitian ini

antara lain :

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian.

Dari sekian banyak jenis penelitian, khususnya penelitian hukum yang

dipilih oleh peneliti adalah :

Metodologi penelitian hukum normatif yang berhubungan langsung

dengan praktik hukum yang menyangkut 2 aspek utama yaitu tentang

pembentukan hukum dan penerapan hukum.10

Pilihan metode suatu penelitian hukum tergantung pada tujuan

penelitian itu sendiri, sesuai dengan skripsi ini, maka penelitian hukum

yang digunakan adalah penelitian hukum normatif/ disebut juga dengan

studi kepustakaan (Library Research).

10

Johnny Ibrahim, Teori & Mclode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia

Publishing,2005), h. 47.

Page 18: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

9

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif yang artinya adalah

penelitian yang dilakukan selain melakukan pengkajian dan analisis

terhadap harmonisasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang

ada, buku-buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan

skripsi ini.

2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, Yang

dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang

bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna

(perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan

teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan

fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk

memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan

pembahasan hasil penelitian.

Penelitian hukum pada dasarnya merupkan suatu kegiatan ilmiah

yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang

bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu

dengan jalan menganalisanya kecuali, jika diadakan pemeriksaan yang

mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan

suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam

gejala yang bersangkutan.11

3. Bahan Hukum

Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data sekunder. Adapun

data-data sekunder yang dimaksud ialah:

a. Bahan hukum primer.

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh

pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya Undang-

11

Bambang Sunggono, Metedologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2012), h. 38.

Page 19: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

10

Undang Nomor 11 Tahun 1953 (Undang-Undang Pokok Bank

Indonesia), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,

PP Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi

Bank, PBI Nomor 8/16/PBI/2006 dan Nomor14/24/PBI/2012 tentang

Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia, POJK Nomor

39/POJK.03/2017 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan

Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau hasil

kajian tentang Persaingan Usaha, Merger, Akuisisi, Konsolidasi serta

mengenai Single Presence Policy seperti jurnal-jurnal hukum, karya

tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan

persoalan di atas.

c. Bahan hukum tersier

Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan

keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian skripsi ini analisis data yang digunakan adalah

dengan menganalisis data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan

dan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif.

Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi untuk mendukung

materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti buku, bahan ajar

perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis dan Undang-Undang di berbagai

perpustakaan umum serta universitas.

Page 20: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

11

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis data dalam penelitian ini diawali dengan

mengumpulkan berbagai dokumen peraturan perUndang-Undang an serta

bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul dalam skripsi ini.

kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata

(word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lain

yang dimaksudkan dalam isi peraturan perUndang-Undang tersebut.12

Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan

analisis tersebut adalah : Pertama, semua bahan hukum yang diperoleh

melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek

bahasanya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian

dilakukan eksplikasi, yang diuraikan dan dijelaskan objek yang diteliti

berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai

dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum maupun teori hukum yang

berlaku.

E. Pedoman Penelitian

Pedoman yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini

berpacu dengan kaidah-kaidah penelitian karya ilmiah dan buku “Pedoman

Penelitian Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”

F. Sistematika Penelitian

Agar dapat memberikan penjelasan menyeluruh mengenai isi skripsi ini,

oleh karena itu dibuatlah sistematika penulisan skripsi yang terangkum

sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai Latar Belakang

Masalah, dilanjutkan dengan Identifikasi Masalah, Pembatasan dan

Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian,

dan Sistematika Penelitian.

12

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjuan

Singkat), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. h. 24.

Page 21: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

12

BAB II: KAJIAN TENTANG DOKTRIN SINGLE PRESENCE POLICY.

Bab ini menjelaskan mengenai pengertian, sejarah lahirnya doktrin

single presence policy di Indonesia, penerapan single presence policy

di negara lain.

BAB III : MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DI

INDONESIA. Bab ini menjelaskan mengenai kegiatan dan perjanjian

yang dilarang, penerapan merger, akuisisi, konsolidasi, fungsi holding

pada bank BUMN, serta akibat hukumnya.

BAB IV : SINGLE PRESENCE POLICY PADA BANK BUMN DITINJAU

DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA. Bab ini menjelaskan

mengenai implementasi single presence policy pada BUMN dan

Analisis mengenai Dampak Doktrin Single Presence Policy terhadap

kepemilikan Bank BUMN dengan Larangan Praktek Persaingan

Usaha Tidak Sehat

BAB V : PENUTUP. Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian di

skripsi ini yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.

Page 22: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

13

BAB II

KAJIAN DOKTRIN SINGLE PRESENCE POLICY

A. Kerangka Konseptual

1. Pengertian Single Presence Policy

Kepemilikan tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya

menjadi saham pengendali pada 1 (satu) Bank. Berdasarkan kebijakan

kepemilikan tuggal atau lebih terkenal dengan sebutan single presence

policy ini apabila pemegang saham pengendali memiliki lebih dari 2 (dua)

bank diantaranya terdapat beberapa bank yang memiliki prinsip kegiatan

usaha yang sama maka kepemilikan atas bank-bank dengan prinsip

kegiatan usaha yang sama tersebut harus diubah sesuai dengan opsi opsi

yang telah ditetapkan oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor

14/24/PBI/2012.

Dengan kebijakan ini, Pemerintah mengajukan tiga opsi kepada pihak

yang mengendalikan lebih dari satu bank di Indonesia, yaitu:13

1. Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah

satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga

yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu

bank. Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah pihak di

luar kelompok usaha dan atau keluarganya sampai dengan derajat kedua

dari Pemegang Saham Pengendali. Pengalihan sebagian atau seluruh

saham Pemegang Saham Pengendali kepada pihak lain dilakukan sesuai

dengan ketentuan yang mengatur tentang akuisisi Bank Umum dan

Pembelian Saham Bank Umum.

2. Opsi melakukan merger atau konsolidasi. Merger adalah penggabungan

dari dua bank atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya

salah satu bank dan membubarkan bank bank lainnya dengan atau tanpa

melikuidasi. Sementara itu, PP Nomor 28 Tahun 1999 hanya mungkin

13

Zulkarnain Sitompul, Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi Perbankan Relevansinya dengan

Single Presence Policy, Jurnal Hukum Bisnis (Vol.27- Nomor2 Tahun 2008), h. 25.

Page 23: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

14

dilakukan tanpa melakukan likuidasi. Konsekuensinya, seluruh aktiva

dan pasiva dari bank yang bubar karena merger beralih karena bank yang

eksis setelah merger. Merger atau konsolidasi dilakukan sesuai dengan

ketentuan yang mengatur tentang merger atau konsolidasi Bank Umum.

3. Opsi membentuk perusahaan Induk di bidang Perbankan (Bank Holding

Company). Opsi ini yang ditawarkan oleh Bank Indonesia adalah

pembentukan Bank Holding Company. Pengertian Holding Company

menurut Black’s Law Dictionary adalah :

Holding Company that usually confines its activities to owning

stock in, and supervising maangement of, others company. A

holding company usually owns a controlling interest in the

companies whose stocks it holds. In order for corporation to gain

the benefits of tax consolidation, including tax free dividens and

the ability to share operating losses, the holding company must

own 80% or more the voting stock of the corporation.14

Dengan opsi ini, bank-bank yang dikendalikan Pemegang Saham

Pengendali tersebut tetap ada sebagaimana semula namun saham yang

dimiliki semula dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh pemegang

saham pengendali dialihkan kepemilikannya kepada Bank Holding Company.

Konsep holding company telah banyak dipraktikkan oleh kalangan bisnis

Indonesia untuk mempermudah koordinasi antar perusahaan dimana mereka

menjadi pemegang saham atau ada hubungan khusus. Perusahaan-perusahaan

itu dimiliki dan dipimpin oleh satu perusahaan yang mandiri pula yang

disebut perusahaan holding.15

Pada awalnya kalangan perbankan menduga-duga kebijakan SPP lahir

karena untuk membatasi dominasi bank-bank milik Singapura dan Malaysia

yang mulai meluas di Indonesia. Namun diluar batas kesadaran atau

kesengajaan, SPP ini juga mengenai bank-bank BUMN yang tentu tidak

mudah diterakan karena banyaknya kepentingan politik dan sosial yang rumit.

14

Henry Campbell Black’s, Black’s Law Dictionary (6th edition), (St. Paul Minn: West

Publishing, 1990), h. 731.

15 Munir Fuady (b), Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, cet. 2, (Bandung:

PT Citra Aditya Bakti, 2002), h. 83.

Page 24: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

15

Dalam pelaksanaannya, implementasi ketentuan SPP tidak pernah lepas

dari hambatan. Hambatan yang terbesar yaitu ketentuan SPP dinilai lebih sulit

dilakukan pada bank-bank BUMN karena ada kompleksitas pada bank-bank

negara tersebut. Alasannya bank-bank BUMN merupakan bank besar yang

pendiriannya didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh pemerintah, karena

itu ada perbedaan sistem manajemen dengan bank-bank swasta. Pemerintah

selaku pemegang saham bank-bank BUMN berencana meminta keringanan

dengan meminta perpanjangan waktu penyerahan rencana bisnis terkait

pelaksanaan SPP hingga 2008 namun saat ini juga belum ada konfirmasi lebih

lanjut dari BI ataupun Pihak Bank BUMN terkait.

Berkaitan dengan pelaksanaan SPP, perkembangan terakhir yang

dilakukan pemerintah melalui kementrian negara BUMN adalah pemerintah

akan segera menunjuk konsultan independen untuk mengkaji SPP yang

ditetapkan Bank indonesia bagi bank-bank BUMN. Penujukan konsultan

tersebut dilakukan agar pengkajian SPP bagi bank-bank BUMN benar-benar

terperinci.

2. Sejarah Lahirnya Kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single Presence

Policy di Indonesia

1. Arsitektur Perbankan Indonesia

Arsitektur perbankan indonesia selanjutnya disebut dengan API

merupakan suatu sistem kerangka dasar sistem perbankan indonesia yang

bersifat menyeluruh dan memberikan arah bentuk dan tatanan Industri

perbankan untuk rentang waktu 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun ke

depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang

yang hendak dicapai oleh API adalah untuk mencapai suatu sistem

perbankan yang sehat, kuat, efisien guna menciptakan kestabilan sistem

keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi

nasional.16

Kedudukan API dalam dunia perbankan Indonesia bukanlah

16

Perry Warjiyo, Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia: Sebuah Pengantar,

(Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentraan (PPSK), 2004, h.192

Page 25: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

16

hanya sebagai policy recommendation bagi dunia perbankan untuk

mengantisipasi segala perubahan global perbankan, namun API pada

hakekatnya adalah suatu policy direction dan blueprint dari perbankan

yang penuh visi mengenai struktur dan tatanan perbankan nasional yang

menentukan bagaimana arah dan bentuk perbankan nasional di masa

mendatang yang meliputi aspek yang luas termasuk kelembagaannya,

pengawasan, pengaturan, dan sebagainya.

Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan

sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah

berjalan sejak tahun 1998, Bank Indonesia pada tanggal 9 januari 2004

telah meluncurkan API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah

kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan.

Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula dari upaya Pemerintah dan

Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian Indonesia

melalui penerbitan buku putih Pemerintah sesuai dengan Inpres Nomor5

Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu program utama dalam buku

putih tersebut.

Bertitik tolak dari keinginan untuk memiliki fundamental

perbankan yang lebih kuat dengan memperhatikan masukan masukan

yang diperoleh dalam mengimplementasikan API selama dua tahun

terakhir maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menyempurnakan

program program kegiatan yang tercantum dalam API. Penyempurnaan

program-program kegiatan API tersebut tidak terlepas pula dari

perkembangan-perkembangan yang terjadi pada perekonomian nasional

maupun internasional. Penyempurnaan terhadap program-program API

tersebut antara lain mencakup strategi-strategi yang lebih spesifik

mengenai pengembangan perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan

sehingga API diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap

dan komprehensif yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh

terkait Bank Umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah, serta

pengembangan UMKM.

Page 26: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

17

Menurut Burhanudin Abdullah pentingnya keberadaan API secara

kontekstual setidaknya didasarkan pada tiga alasan, yaitu:17

Pertama,

bank masih merupakan institusi penting bahkan terpenting dalam

menyediakan sumber dana untuk dunia usaha sesuai dengan fungsi

financial intermediary bank yakni kemampuan untuk mengumpulka dana

masyarakat untuk kemudian membiayai pembangunan ekonomi. Kedua,

industri perbankan memiliki potensi yang dapat memicu instrabilitas

perekonomian suatu negara bahkan perekonomian global. Sebagai contoh

di Indonesia, total asset perbankan bernilai Rp.5.500 Triliun dengan total

asset seluruh lembaga keuangan adalah Rp.11.000 Triliun.18

Perbankan

menguasai sekitar 50% dari seluruh total asset dari lembaga keuangan.

Besarnya penguasaan asset perbankan dibandingkan dengan seluruh asset

lembaga keuangan memperlihatkan pentingnya kesehatan perbankan

karena jika tidak berfungsi secara optimal dapat dipastikan akan

mengganggu perekonomian negara. Ketiga, API juga menggambarkan

upaya BI sebagai otoritas perbankan untuk lebih transparan dalam

kebijakan perbankannya dan merupakan salah satu bentuk dari adanya

peningkatan good governance di pihak BI.

Dalam mencapai visi tersebut API menetapkan beberapa sasaran

yang ingin dicapai yaitu:

1. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat;

2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif;

3. Menciptakan industri perbankan yang kuat;

4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat

kondisi internal perbankan nasional;

5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap;

17

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group,2005), h. 190.

18 Iwan Purwanto, “Ketua OJK: Kami Mengawasi Aset Rp.11.000 Triliun”

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2072478/ketua-ojk-kami-mengawasi-aset-rp-11000-

triliun#.VEjAxGeSxqI, diunduh pada 15 Agustus 2018.

Page 27: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

18

6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa

perbankan.

Keenam sasaran diatas tertuang dalam enam pilar API yang

berkaitan satu sama lainnya. Pada akhirnya keenam pilar API tersebut

bertujuan menciptakan sistem perbankan yang kuat, sehat dan efisien

guna menciptakan kestabilan ekonomi dalam rangka menyongsong

pertumbuhan ekonomi nasional.

Keberadaan API untuk meningkatkan peran perbankan dalam

pembiayaan pembangunan dan mendorong upaya penguatan industri

perbankan melalui konsolidasi, Bank Indonesia secara resmi

mengumumkan Paket Kebijakan Perbankan Oktober 2006. Dengan

dikeluarkannya paket kebijakan ini, semakin membuka ruang gerak

perbankan dalam meyalurkan kredit dengan tetap memperhatikan aspek

kehati-hatian, serta mendorong tercapainya konsolidasi perbankan pada

tahun 2010. Paket Kebijakan Perbankan Oktober 2006. Paket Kebijakan

Perbankan Oktober 2006 terdiri dari 14 Peraturan Bank Indonesia (PBI)

yang mengatur bank umum konvensional, bank umum yang

melaksanakan kegiatan usaha syariah, BPR dan BPR syariah.

2. Hubungan Arsitektur Perbankan Indonesia dengan Paket Kebijakan

Oktober 2006

Kebijakan kepemilikan tunggal atau single presence policy

merupakan implementasi dari Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang

ditetapkan dalam salah satu paket kebijakan Oktober 2006 yang dikenal

dengan Pakto 2006. Dalam rangka mengimplementasikannya konsep

Arsitektur Perbankan Indonesia, khususnya pilar I yakni penguatan

struktur perbankan nasional dan Pilar III yakni peningkatan efektivitas

sistem pengawasan pada perbankan yang independen dan efektif maka

Bank Indonesia selaku bank sentral sekaligus sebagai bank pengawas

mengeluarkan suatu kebijakan Pakto 2006.

BI menempuh single presence policy akibat imbauannya kepada

perbankan nasional untuk melakukan konsolidasi melalui cara merger

Page 28: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

19

sukarela ternyata tidak membuahkan hasil menggembirakan. Sejak

diluncurkan API pada 2004, hingga tahun 2006 konsolidasi perbankan

belum mencapai target yang diinginkan. Apabila kondisi ini terus

berlanjut, dikhawatirkan dapat mengganggu agenda BI dalam

mengurangi jumlah bank pada 2010. Lewat API, BI memang berniat

mengurangi jumlah bank yang ada di Indonesia yang pada tahun 2006

tercatat berjumlah 130 bank. Ada dua langkah yang BI tempuh. Pertama

adalah mengeluarkan peraturan pemenuhan modal inti minimum sebesar

Rp80 Miliar. Seluruh bank yang bermodal minim wajib memenuhinya

tepat sebelum tahun 2007 ini berakhir. Selanjutnya mereka juga wajib

menambah Rp.100 Miliar paling lambat 31 Desember 2010. Akan tetapi

upaya ini kurang berhasil karena hingga akhir 2007 hanya empat bank

yang menyatakan akan merger. Bank tersebut yaitu Bank Windu

Kentjana akan merger dengan Bank Multicor, Bank Harmoni akan

merger dengan Bank Index Selindo. Kedua, upaya mengurangi jumlah

bank dilakukan dengan mengeluarkan aturan kepemilikan tunggal atau

single presence policy lewat PBI Nomor 8/16/PBI/2006 tentang

Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia dan Surat Edaran Bank

Indonesia Nomor 9/32/DPNP, tanggal 12 Desember 2007, tentang

Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. Pada saat itu, BI

tampaknya menyasar tiga pemegang saham pengendali di Indonesia

lewat kebijakan tersebut, antara lain pemerintah yang memiliki saham di

Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank

Nasional Indonesia. Dua pemegang saham pengendali lainnya adalah

Termasek investor asal negara Singapura yang menjadi pemilik Bank

Danamon Indonesia dan Bank Internasional Indonesia (BII) serta

Khazanah Berhad yang menjadi Pemilik Bank Niaga dan Lippo Bank.19

Salah satu paket kebijakan oktober 2006 yang dikenal dengan

Pakto 2006 adalah kebijakan mengenai kepemilikan tunggal perbankan

19

Novrida Manurung, “Konsolidasi Perbankan Indonesia 2007 Aturan Kepemilikan

Tunggal,” Kontan (2 Juni 2007): halaman tidak dicantumkan.

Page 29: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

20

(single presence policy). Kebijakan serupa telah diterapkan di beberapa

negara Asia, seperti Thailand, Malaysia dan India, diyakini akan

bermanfaat bagi perkembangan industri perbankan dan perekonomian

nasional. Single Presence Policy ini diatur dalam PBI Nomor

8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006, jo PBI Nomor 14/24/PBI/2012

kebijakan mengenai pemberian insentif dalam rangka konsolidasi

perbankan sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 9/12/ PBI/2012. Single

Presence Policy mewajibkan kepada semua pemilik bank khususnya

pemegang saham pengendali untuk mengonsolidasikan kepemilikannya

di bank bank yang dalam satu grup usahanya dengan batas waktu higga

tahun 2010. Kebijakan kepemilikan tunggal sendiri dilakukan agar tidak

terjadi conflict of interest dari bank yang dimiliki sehingga dapat

dihindari persaingan tidak sehat yang akan merugikan perbankan itu

sendiri. Selain itu, pada penerapan kebijakan kepemilikan tunggal ini,

yang dilihat bukan hanya besarnya persentase kepemilikan saham,

melainkan juga komposisi sebagai saham pengendali. Meskipun

persentase sahamnya kecil tapi menjadi pemegang saham pengendali,

tetap dikenai peraturan kepemilikan tunggal pada perbankan ini. Apabila

dilihat dari sisi API, kebijakan kepemilikan tunggal perbankan

merupakan salah satu upaya Bank Indonesia untuk merampingkan

jumlah bank yang ada di Indonesia.

Dengan diterapkannya single presence policy, pemegang saham

pengendali diharuskan untuk mengonsolidasikan kepemilikannya di bank

bank yang satu grup usahaya sehingga nantinya bank hasi konsolidasi

tersebut akan menjadi lebih besar, sinergis dan lebih kuat. Di samping

kontrol dan pengawasan dari BI, tujuan dari penerapan single presence

policy ini adalah untuk menciptakan struktur permodalan perbankan yang

besar dan kuat karena saat ini banyak bank-bank kecil di Indonesia yang

belum memenuhi ketentuan BI dalam hal permodalan. Dengan demikian,

diharapkan pada tahun 2018 terciptalah bank-bank umum yang memiliki

struktur permodalan yang kuat. Semangat kebijakan BI yang baru ini

Page 30: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

21

sebenarnya sangat baik. Single Presence Policy itu merupakan instrumen

kebijakan yang semi heavy-handed dalam rangka mendorong percepatan

konsolidasi perbankan sesuai cetak biru API. Jika ditarik kesimpulan

maka latar belakang lahirnya Single Presence Policy di Indonesia adalah:

Pertama, kenyataan bahwa di Indonesia terdapat 12 bank swasta

nasional yang dikuasai oleh asing dan beberapa diantaranya dimiliki oleh

pemegang saham pengendali (ultimate shareholder) yang sama. Kondisi

tersebut, menurut BI sangat tidak efektif dan tidak efisien dari segi

pengawasan bank.

Bukan hanya dari segi pengawasan bank, tapi juga tidak efektif dan

tidak efisien bagi pemilik modal sendiri. Hal ini disebabkan munculnya

kesulitan bagi pemilik modal sendiri untuk mengharmonisasikan strategi

usaha beberapa bank yang dikuasainya. Selain itu juga, kebijakan ini

adala untuk menghindarkan persaingan usaha antar bank yang tidak

perlu.

Kedua, kenyataan bahwa kebijakan single presence policy

merupakan sebuah kecenderungan global, artinya kebijakan ini telah

diterapkan diberbagai negara. BI berniat memanfaatkankebijakan ini

untuk mendukung kebijakan percepatan konsolidasi yang merupakan

bagian dari program kerja BI yang termuat dalam API.

Kepemilikan bank yang terkonsolidasi, secara langsung akan

mendorong pula konsolidasi strategi usaha dan menata aspek persaingan

usaha di industri perbankan. Hal yang menurut BI, akan berpengaruh

positif pada peningkatan efisensi industri perbankan secara keseluruhan.

3. Tujuan Single Presence Policy di Indonesia

Kebijakan ini akan membatasi kontrol kepemilikan sehingga tidak ada

pihak yang menguasai lebih dari satu bank dan merupakan langkah koreksi

dari Bank Indonesia yang sebelumnya terlanjur mengizinkan suatu pihak

termasuk asing menguasai lebih dari satu saham perbankan hingga 99

Page 31: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

22

persen.20

Tujuan kebijakan ini adalah dalam rangka mempercepat

penggabungan (konsolidasi) perbankan dimana satu pengendali hanya boleh

mengendalikan satu bank, bukan satu pengendali mengendalikan atau

memiliki beberapa bank.

Adanya bank-bank yang dikendalikan oleh pihak yang sama

mengakibatkan pengawasan terhadap perbankan menjadi tidak efektif karena

rencana pengembangan bisnis yang berbeda-beda dari bank tersebut. Jika

pemegang saham pengendalinya adalah pihak yang sama akan lebih mudah

bank-bank tersebut digabungkan menjadi satu. Kebijakan ini dikeluarkan

sebagai suatu solusi atas masalah pengawasan Bank Indonesia yang menjadi

kurang efisien dikarenakan adanya bank-bank yang memiliki pemegang

saham pengendali yang sama. Setelah adanya kebijakan ini, tidak akan ada

lagi pemegang saham pengendali yang sama. Selain itu, tidak akan ada lagi

pemegang saham pengendali yang mengendalikan lebih dari satu bank,

namun untuk bank-bank yang sudah memiliki pemegang saham pengendali

yang sama harus melakukan perubahan struktur kepemilikan bank dengan

opsi-opsi yang telah disesuaikan PBI Nomor 14/24/PBI/2012.

4. Penerapan Single Presence Policy di Negara Lain

1. Malaysia

Malaysia mulai menjalankan konsolidasi perbankannya pada saat

terjadi krisis financial Asia pada tahun 1997-1998. Krisis yang terjadi

telah membuat rentan bank kecil terkena dampak buruk sehingga

mengindikasikan pentingnya permodalan yang tinggi. Setelah peristiwa

krisis tersebut, International Monetary Fund (IMF) melalui kebijakannya

memaksa negara-negara yang termasuk dalam programnya seperti

Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan, untuk mengurangi jumlah bank

nasionalnya dengan cara menutup bank-bank yang termasuk dalam

20

“Kebijakan Kepemilikan Tunggal Perbankan Disambut Baik”,

http://www.kompas.com/kirimberita/print.cfm?nnum=85653, diakses pada 28 Juli 2018.

Page 32: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

23

kategori bank kecil.21

Malaysia merupakan negara yang tidak mengikuti

kebijakan tersebut dengan alasan tidak percaya bahwa hal tersebut adalah

pilihan yang yang paling efektif. Dengan menutup banyak bank-bank

kecil diperkirakan akan menimbulkan dampak sosial yang besar.

Maka dari itu, untuk menjamin bank lokal Malaysia dapat bersaing

ditingkat global dan mencapai standar ekonomi bank maka Bank Sentral

Malaysia mengajukan rencana restrukturisasi besar-besaran

perbankannya dengan mengkonsolidasikan empat puluh empat bank di

negaranya hanya menjadi sepuluh Institusi pada Februari 2000. Seperti

yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsep yang terdapat di

Malaysia tidak secara langsung menekankan pada struktur kepemilikan

seperti Indonesia dimana Pemegang Saham Pengendali hanya boleh pada

satu bank saja. Di Malaysia konsep yang diterapkan lebih kepada

pembentukan Bank-bank induk yang nantinya bank-bank lain akan

bergabung dengannya. Kebijakan yang dibuat oleh Bank Sentral

Malaysia tersebut dianggap menciptakan halangan untuk investor asing

masuk ke Malaysia. Sehingga Wolrd Trade Organization (WTO) pada

tahun 2003, sempat menekan Malaysia untuk menghapus kebijakannya

tersebut karena telah membatasi investor asing untuk masuk ke pasar

nasional Malaysia tekanan yang diberikan tersebut memberikan semangat

lebih kepada Malaysia untuk membangun bank lokal yang kuat sebagai

bekal untuk bersaing di dunia global.

Kebijakan yang diterbitkan oleh Bank Sentral Malaysia dalam

rangka konsolidasi perbankan, mengatur setiap bank untuk memiliki

modal minimum RM 2 Miliar dan memiliki asset minimal RM 25 Miliar.

Besarnya modal minimum yang harus dipenuhi menuntut bank-bank di

Malaysia yang umumnya adalah bank kecil untuk melakukan merger atau

konsolidasi yang dilakukan akan menghasilkan bank yang cukup besar

21

Ong Tze San, Capital Structure Before and After Merger and Acquisition: Banking

Industry In Malaysia, International Journal of Management Sciences and Business Research ,

(Vol.2), h. 2.

Page 33: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

24

dan selanjutnya pemerintah menunjuk Bank besar yang tercipta tersebut

sebagai Anchor Bank atau disebut dengan Bank Jangkar. Setiap bank

yang ada di Malaysia berkewajiban untuk melakukan merger dengan

salah satu bank jangkar yang dipilihnya. Konsep konsolidasi ini berfokus

pada larangan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari satu

Bank di Indonesia.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia untuk

mendorong terjadinya konsolidasi juga dengan memberikan insentif

kepada bank-bank yang melakukan merger dalam bentuk kredit pajak

atas kerugian yang dialami oleh lembaga keuangan yang terlibat dalam

proses merger.22

Melalui berbagai dorongan yang diberikan oleh Pemerintah

Malaysia juga Bank Sentral Malaysia, berdasarkan perkembangan yang

terlihat sekarang ini, dapat dinyatakan bahwa rencana konsolidasi yang

dibuat oleh Bank Sentral Malaysia telah berhasil. Sekarang hanya

terdapat 8 bank yang berdiri sebagai Anchor bank di Malaysia. Jumlah

ini termasuk signifikan jika dibandingkan dengan jumlah bank yang ada

sebelum keluarnya kebijakan konsolidasi perbankan Malaysia.

Tahun Jumlah Bank

Before Economic Recession in mid of 1980:

1980

80

After Economic Recession in mid of 1980:

1990

79

After Asian Financial Crisis:

1997

1999

73

54

After Central Bank Proposed Major restructing Plan

22

Tan Sri Dato’ Seri Ali Abul Hassan bin Sulaiman, “Tax Incentives for Consolidation of

Domestic Banking institutions”

http://www.bnm.gov.my/index.php?ch=en_press&pg=en_press_all&ac=572, diunduh 15 Oktober

2014.

Page 34: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

25

in February 2000:

2003

2006

2011-current

10

9

8

Saat awal terjadinya krisis pada tahun 2003 Pemerintah Malaysia

berhasil melakukan konsolidasi perbankan sampai pada pembentukan

speuluh Bank Jangkar yang terdiri atas Malayan Banking Berhad, RHB

Bank, Public Bank, Bumiputra-Commerce Bank, Multi-Propose Bank,

Hong Long Bank, Perwira Affin Bank, Arab Malaysian Bank, Southern

Bank, and EON Bank. Konsolidasi pun diusahakan untuk tetap dilakukan

sehingga sampai saat ini bank di Malaysia terbentuk delapan Bank

Jangkar.

Sekarang melalui program merger memungkinkan selurh bank-

bank dan lembaga pembiayaan di Malaysia untuk memilih secara

sukarela bank jangkarnya. Walaupun telah berhasil melakukan

konsolidasi pad aperbankannya, masih banyak perdebatan apakah

keputusan Malaysia mengurangi bank di negaranya sampai pada delaoan

bank jangkar dan membatasi masuknya bank asing di negaranya adalah

hal yang tepat serta membawa lebih banyak keuntungan.

2. India

Kebijakan seperti Single Presence Policy di India juga bertujuan

untuk menciptakan konsolidasi perbankan. Kebijakan ini diawali dengan

keputusan pemerintah India yang terus melakukan nasionalisasi bank

asing tanpa melakukan konsolidasi. Pada tahun 1969 India melakukan

nasionalisasi 14 bank dan pada tahun 1980 kembali menasionalisasi 6

bank tanpa melakukan merger pada bank-bank tersebut.23

Banyaknya

bank yang dimiliki oleh negara saat itu juga tidak diikuti oleh

perkembangan teknologi serta pelayanan yang baik. Bank juga tidak

mengikuti sistem manajemen resiko dan prinsip kehati-hatian dengan

23

The Hindu Business line, “Going Ahead with Bank Mergers”

http://www.thehindubusinessline.com/todays-paper/article976628.ece, diunduh 29 Oktober 2014.

Page 35: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

26

baik sehingga menimbulkan rendahnya kualitas aset dan pendapatan

yang diperoleh bank.24

Hal ini tidak hanya terjadi pada lembaga

keuangan bank namun juga pada lembaga keuangan non-bank.

Pada tahun 1991, India mengalami krisis keuangan yang

disebabkan oleh masalah pada keseimbangan sistem pembayaran. Akibat

krisis ini, India menerima bantuan dari IMF. Krisis tersebut memacu

pemerintah India untuk melakukan reformasi sistem perbankannya.

Untuk itu dibentuk dua komite dalam dua fase yang berbeda yang khusus

untuk menangani reformasi ini. fase pertama dibentuk pada tahun 1991

dengan nama Naramsiham-I yang berfokus mempelajari aspek yang

berhubungan dengan struktur, organisasi, fungsi dan prosedur dari sistem

keuangan dan untuk memberikan rekomendasi dalam peningkatan

efisiensi dan produktivitas. Komite ini menyerahkan laporannya pada

akhir tahun 1991 yang sudah mengarahkan untuk dilakukan konsolidasi

perbankan. Selanjutnya komite dilanjutkan dengan Naramsiham-II yang

dibentuk pada tahun 1992 dan menyerahkan laporannya pada tahun 1998.

Laporan Naramsiham-II kepada pemerintah India di tahun 1998

berisikan rekomendasi mengenai kemandirian bank, reformasi peran dari

RBI sebagai Bank Sentral India, memperkuat sistem perbankan,

memperetat pengawasan terhadap CAR, dan kesempatan masuknya Bank

Asing dalam Perbankan India. Mengenai konsolidasi perbankan,

merupakan salah satu mekanisme untuk memperkuat sistem perbankan.

Komite merekomendasi untuk melakukan merger terhadap bank-bank

besar di India untuk menciptakan Bank yang dapat bersaing secara

Internasional dan mendukung perdagangan internasional. Nantinya akan

ada dua sampai tiga Bank yang bertaraf Internasional, delapan sampai

24

Lok Sabha Secretariat, “Financial Sector in India: Regulations and Reforms,” Parliament

Library and reference, Research, Documentation and Information Service (Larrdis), (Nomor15

August 2013), h. 7.

Page 36: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

27

sepuluh Bank dengan taraf Nasional, juga akan terdapat beberapa bank

lokal dan regional.25

3. Thailand

Di Thailand kebijakan dalam rangka konsolidasi perbankan disebut

dengan One Presence Policy. Kebijakan ini jiga diawali dengan krisis

ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Krisis yang dialami oleh Thailand

berdampak pada sektor finansialnya termasuk sektor perbankan. Pada

situasi tersebut pemerintah Thailand fokus pada pembenahan jangka

pendek yang berujung pada penutupan 50 lembaga keuangan yang

dianggap insolven rekapitulasi lembaga keuangan yang dianggap masih

dapat bertahan, dan melakukan restrukturisasi kredit, setelah melewati

tahap krisisnya Thailand merasa perlu untuk menetapkan strategi jangk

panjang terhadap sistem finansialnya guna mencegah terulang

kembalinya krisis yang lalu. Pada tahun 2002 Bank of Thailand

membentuk komite untuk melakukan penelitian dalam menilai masalah

internal yang menjadi penyebab terpuruknya stabilitas keuangan

Thailand. Maka disimpulkan bahwa terdapat tiga masalah utama yakni:26

1. Kurangnya substansi dalam peraturan terkait penyediaan jasa

keuangan, baik dalam penyediaan kredit maupun deposito, kepada

pengusaha ditingkat usaha kecil dan menengah dan kepada

masyarakat berpenghasilan rendah.

2. Terpecahnya sektor keuangan menjadi beberapa lembaga keuangan

kecil dan lembaga keuangan besar, sehingga tidak dapat mencapai

manfaat maksimal seperti berdampak pada produktivitas yang

relative rendah sera manajemen resiko yang lebih lemah.

3. Elemen struktural dari sistem keuangan yang tampaknya

mempengaruhi kinerja, seperti lemahnya informasi data, kurangnya

25

Abey Francis, “Naramsiham Committee on Banking Sector Reforms (1998)”

http://www.mbaknol.com/manageria-economics/naramsiham-committee-on-banking-sector-

reforms-1998/, diunduh 30 Oktober 2014.

26 R.Ashle Baxte, Financial System Reform in Thailand”, Asian Focus Country Analysis

Unit, (Juli 2010), h. 1.

Page 37: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

28

perlindungan kepada kreditor, dan peraturan yang membatasi

kompetisi.

Dari permasalahan diatas maka Pemerintah Thailand pada tahun

2003, merampungkan rencana reformasi ekonominya yang berfokus pada

meningkatkan efisiensi sektor keuangannya, memperluas akses kepda

penyediaan jasa keuangan, dan meningkatkan perlindungan konsumen

serta transparansi. Rencana ini tertuang dalam Financial sektor Master

Plan. Financial Sector Master Plan tersebut dimaksudkan untuk mencapai

tiga tujuan yaitu:27

1. Comprehensive fiancial services for all potensial users, with no

significant difference in the level and quality of sevices between

urban and rural areas.

2. Efficient, stable, and competitive financial sector, with a balanced

composition of available sources of financing, namely: financial

institutions, debt instruments, and equity market.

3. Fairness and protection for consumers.

Konsep one presence policy yang diberlakukan di Thailand adalah

kebijakan dalam rangka mendorong terjadinya konsolidasi perbankan

Thailand guna menciptakan efisiensi di sektor keuangannya. Dahulu,

suatu Group Perusahaan yang melakukan konglomerasi, diperbolehkan

memiliki sejumlah lembaga keuangan baik bank maupun non-bank

meskipun masih berada dibawah group perusahaan tersebut.28

Untuk

meningkatkan keefektifan, dalam kebijakan One Presence Policy tersebut

diatur bahwa hanya akan ada satu lembaga keuangan bagi setiap group

perusahaan yang akan menjalankan kegiatan bank maupun non-bank

sekaligus.29

Sehingga lembaga keuangan yang terbentuk tersebut selain

27

Bank of Thailand, “Financial Sector Master Plan”,

<http.bot.or.th/bothompage/General/PressRealeseandspeech/news2547/Eng/n3647e.htm>, diakses

19 September 2018.

28 Bank of Thailand, Thailand.s Financial Sector Master Plan Handbook, h. 22.

29 Malcolm Cook, Banking Reform in Southest Asia: The Region’s Decisive Decade, (New

York: Routledge, 2008), h. 67.

Page 38: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

29

menjalankan usaha perbankan juga menjalankan usaha lembaga

pembiayaan non-bank, usaha asuransi dan lain sebagainya. Selain itu

Pemerintah Thailand juga merubah jenis Perizinan bagi lembaga

keuangan di Thailand yang pada akhirnya hanya terdapat dua jenis izin

yaitu Bank Komersil, yang syarat minimum modalnya berjumlah 5

milyar Bath dan Bank Retail dengan minimum modalnya sebesar 250

Juta Bath, yang tidak diperbolehkan melakukan transaksi valuta asing

dan transaksi derivative.

Lembaga keuangan bank maupun non bank yang telah berdiri

seblum dikeluarkannya kebijakan ini harus menyesuaikan usahanya

dengan syarat bar yang telah ditemukan. Setiap badan usaha tersebut

harus melaukan permohonan izin ualng baik sebagai komersial bank

maupun sebagai retail bank. Sehingga pada akhirnya baik lembaga

keuangan bank maupun non-bank akan muncul sebagai satu lembaga

keuangan yang akan memiliki lisensi dalam bentuk izin bank. Dapat

dilihat bahwa untuk memperoleh izin baru, bank diwajibkan untuk

memenuhi syarat minimal modal maka lembaga keuangan kecil

disarankan untuk melakukan merger sedangkan lembaga keuangan

dibawah konglomerasi diharuskan menyatukan pula lembaga keuagannya

dalam bentuk merger dengan induk perusahaannya ataupun dengan

lembaga keuangan dalam grup yang sama yang memiliki sektor usaha

sama. Selain itu juga terdapat beberapa aturan mengenai bank asing yang

membuka cabangnya di Malaysia dengan ditawarkan dua opsi, yaitu

pertama melanjutkan kegiatan bisnisnya namun hanya diperbolehkan

mempunyai satu cabang yang harus mempunyai aset minimal 3000 juta

bath, kedua mendaftarkan banknya sebagai subsidiary bank yang dapat

memiliki empat cabang bank dengan satu kantor pusatnya. Subsidiary

bank ini harus mempunya modal disetor minimal 4000 juta bath sejak

hari bank tersebut beroperasi.

Pemerintah Thailand juga memberikan beberapa insentif untuk

mendorong kesuksesan konsolidasi perbankan yang diharapkan.

Page 39: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

30

Lembaga keuangan yang melakukan merger diberi kelonggaran

mengenai pajak dan pengurangan biaya suatu aktivitas merger

lembaganya. Sebagai hasil dari kebijakan One Presence Policy-nya,

Pemerintah Thailand berhasil mengurangi jumlah Lembaga Keuangan

berlisensi yang sebelumnya sebanyak 83 di Desember 2003 menjadi

tinggal 38 di Maret 2010. Pada ujungnya, kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah Thailand ini diharap dapat membentuk universal banking.

Page 40: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

31

Gambar 1.

Pola Opsi yang dapat diterapkan di Thailand.

Thai Commercial Bank &

Related IBF

Merge and Mantain

Commercial Bank Status

Finance & credit foncier

company linked to Parent

Bank

Merge with Parent Bank

Be merged by other finance

or credit foncier company to

become retail or commercial

bank

Stand-alone Finance & Credit

Foncier Company

Apply to become retail bank

Merge eith other finance or

credit foncier to become retail

or commercial bank

Foreign Bank Branch &

Relased Finance Companies

Merge to become foreign

bank branch

Apply for upgrade to

subsisiary

Stand Alone Foreign Bank

Branch

Continue as full branch

Apply for upgrade to

subsidiary

Stand Alone IBF-s Apply for upgrade to full

branch

Merge with commercial bank

or other financial institution

to become subsidiary

Gambar diatas menjelaskan bahwa:

a. Lembaga keuangan Thailand, lembaga keuangan asing, serta

perusahaan kredit yang mempunyai hubungan dengan perusahaan induk

mempunyai pilihan yaitu, mengembalikan lisensinya dan melakukan

Page 41: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

32

merger dengan perusahaan induknya atau menjadi target merger dari

lembaga keuangan atau perusahaan kredit lain untuk mendapatkan

lisensi sebagai komersial bank atau retail bank. Suatu lembaga

keuangan atau perusahaan kredit dapat mengembalikan lisensinya

menjadi perusahaan kredit.

b. Lembaga keuangan Thailand, lembaga keuangan asing, serta

perusahaan kredit yang berdiri sendiri juga dapat merubah statusnya

menjadi retail bank atau dapat juga mengajukan lisensi sebagai full

commercial bank jika mempunyai rencana untuk melakukan merger

dengan lembaga keuangan atau perusahaan kredit lainnya. Sama seperti

poin A, suatu lembaga keuangan atau perusahaan kredit dapat

mengembalikan lisensinya menjadi Perusahaan kredit.

c. Kantor Cabang Bank Asing dan lembaga keuangan yang berhubungan

dengannya dapat melakukan merger sehingga mempertahankan

statusnya sebagai kantor cabang atau mengajukan peningkatan status

menjadi subsidiary.

d. Kantor cabang Bank Asing yang berdiri sendiri dapat mempertahankan

statusnya sebagai kantor cabang atau mengajukan peningkatan status

menjadi subsidiary.

e. IBF (International Banking Facility) yang berdiri sendiri dapat

mengajukan permohonan lisensi full branch status, atau jika

mempunyai rencana merger dengan lembaga keuangan atau perusahaan

kredit lainnya dapat menjadi subsidiary.

B. Kerangka Teoritis

Hukum persaingan usaha mengenal adanya beberapa pendekatan

dalam penerapan hukumnya, dua pendekatan diantaranya adalah

pendekatan perse illegal dan rule of reason :30

a. Rule of reason dapat diartikan bahwa dalam melakukan praktik

bisnisnya pelaku usaha (baik dalam melakukan perjanjian, kegiatan,

dan posisi dominan) tidak secara otomatis dilarang. Akan tetapi

30

Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2009), h. 80.

Page 42: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

33

pelanggaran terhadap pasal yang mengandung aturan rule of reason

masih membutuhkan suatu pembuktian, dan pembuktian ini harus

dilakukan oleh suatu majelis yang menangani kasus ini yang dibentuk

oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), kelompok pasal ini

dapat dengan mudah dilihat dari teks pasalnya yang dalam kalimatnya

selalu dikatakan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

b. Sedangkan yang dimaksud dengan perse illegal (atau violation atau

offense) adalah suatu praktik bisnis pelaku usaha yang secara tegas

dan mutlak dilarang, sehingga tidak tersedia ruang untuk melakukan

pembenaran atas praktik bisnis tersebut.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam pembuatan proposal skripsi mengenai Implementasi Single

Presence Policy terhadap Bank BUMN (Tinjauan dari Perspektif Penguasaan

Pasar) ini peneliti menjumpai berbagai ada perbedaan dan persamaan dengan

penelitian lain, sebagai berikut :

1. Skripsi, Resi Pranacitra, Fakultas Hukum Universitas Atmajaya

Yogyakarta, Ketidaksinkronan Kebijakan Kepemilikan Tunggal Pada

Perbankan Indonesia (single presence policy) Terhadap Pengaturan

Pemilikan Saham Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1999. Skripsi ini

membahas perbandingan single presence policy dengan praktik monopoli

dan persaingan usaha tidak sehat pada seluruh perbankan di Indonesia.

Sedangkan perbedaan dengan skripsi ini adalah membahas mengenai

pengaturan dan penerapan asas kepemilikan tunggal khusus pada bank

BUMN dan implikasi nya.

2. Buku, Hukum Perbankan Indonesia, Muhammad Djumhana, Buku ini

membahas mengenai hukum perbankan Indonesia perusahaan lebih luas

yang termasuk didalam nya terdapat pembahasan mengenai asas

kepemilikan tunggal atau single presence policy. Sedangkan perbedaan

dengan skripsi ini adalah membahas mengenai dampak penerapan single

Page 43: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

34

presence policy apabila diterapkan pada bank BUMN, dan implikasi

terhadap persaingan usaha tidak sehat.

3. Jurnal, Jurnal Yustisia Vol.1 Nomor1 Januari yang ditulis oleh Pujiyono

berjudul “Implementasi Single Presence Policy (SPP) bagi dunia

perbankan dalam perspektif Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas”. Jurnal ini menuliskan tentang bagaimana

pengaturan dan penerapan asas atau doktrin kepemilikan tunggal dalam

perbankan yang tidak dapat memiliki saham dominan namun dilihat dari

perspektif hukum perusahaan khususnya perseroan terbatas, perbedaan

jurnal ini dengan skripsi peneliti adalah jurnal ini hanya menjelaskan

terkait dengan bagaimana implementasi single presence policy bagi dunia

perbankan dalam perspektif Undang-Undang Perseroan Terbatas

sedangkan peneliti mengaitkan kepada hukum persaingan usaha.

Page 44: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

35

BAB III

MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DI INDONESIA

A. Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang

1. Hakikat dan Ruang Lingkup Persaingan Usaha

Istilah “persaingan usaha” yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebuah istilah asing yaitu “competition” yang merupakan derivasi

dari verba “compete”. Dalam Black Law Dictionary’s, istilah “compete”

diartikan sebagai “to contend emulously; to strive for the position,

reward, profit, goals, etc., for which another is striving; to contend in

rivalry”.31

Sedangkan istilah “competition itu sendiri dijelaskan oleh

Black sebagai :

“Contest between two rivals; the effort of two or more parties, acting

independently, to secure the business of a third party by the offer of the

most favourable terms; it is a struggle between rivals for the same trade

at the same time; the act of seeking or endeavoring to gain at the same

time. The term implies the idea of endeavoring by two or more to obtain

the same subject or result”

Secara umum, persaingan usaha dapat diartikan sebagai berikut :

“suatu proses di mana perusahaan saling berlomba dan berusaha

keras merebut langganan untuk produk mereka, seperti persaingan

merebut langganan untuk produk mereka, seperti persaingan merebut

langganan dengan memakai harga yang bervariasi; strategi pembedaan

produk (product differentiation), dan sebagainya.32

2. Persaingan usaha di bidang Perbankan

Persaingan usaha tidak dapat dihindarkan ketika seseorang atau

sekelompok orang memutuskan untuk melakukan kegiatan usaha,

31

Henry Campbell Blacks, Black’s Law Dictionary (5th ed), St. Paul Minn: West

Publishing Co., 1979, h. 166.

32 Pass, Christoper dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, terj. Tumpul Rumapea dan

Posman Haloho (Jkt:1997), h. 95-96.

Page 45: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

36

termasuk usaha perbankan. Persaigan yang terjadi dalam industri

perbankan Indonesia melibatkan pelaku usaha bank dengan kategori bank

pemerintah, bank swasta nasional, bank swasta asing. Kategori tersebut

ditambah pula dengan kriteria bank dengan kegiatan usaha terfokus pada

segmen usaha tertentu dan bank dengan kegiatan usaha terbatas.33

Prsaingan antar bank di Indonesia dalam kurun waktu dua tahun

terkahir menunjukkan telah terjadi dua pergerakan yang berlawanan

arah.pergerakan yang pertama adalah terjadinya persaingan yang

semakin tajam dalam meraih customer melalui berbagai penyempurnaan

karakteristik produk dan layanan, iming-iming hadiah, dan promosi yang

semakin gencar.

Persaingan yang ketat diantara bank telah mendorong setiap bank

untuk memberi pelayanan terbaik untuk memberi pelayanan terbaik

untuk menarik langganan. Persaingan yang ketat juga memaksa para

bankir untuk menemukan kiat-kiat tertentu dalam meningkatkan

performance bank nya masing-masing.

Salah satu fenomena yang menunjukkan bahwa persaingan antar

bank dalam merebut nasabah adalah dengan mempermudah syarat untuk

memperoleh kartu kredit. Kemudahan pemberian syarat kartu kredit ini

merupakan salah satu strategi yang dilakukan bank untuk dapat

menyalurkan dana yang dimilikinya. Bahkan bagi beberapa bank

tertentu, pemberian kartu kredit merupakan salah satu sumber

keutungannya, misalnya Bank BII.

Hal yang sama juga dilakukan oleh bank lain seperti BNI. BNI

menyikpai persaingan ini dengan memberikan kemudahan pembuatan

kartu kredit juga disertai iming-iming lain berupa keringanan biaya

administrasi hingga berbagai reward yang menggiurkan, termasuk undian

berhadiah mobil mewah.

33

Imam Sugema, “Persaingan Atau Kerjasama antar Bank?”, Majalah Infobank, Juni

2005, h. 66-67.

Page 46: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

37

Perkembangan doktrin single presence policy saat ini telah masuk

ke babak baru dalam objek yang baru yaitu penerapannya pada bank

bank BUMN seperti BRI, BNI, Mandiri, dan Bank BTN. Dari tahun 2010

gubernur BI kala itu telah mengkonfirmasi bahwa yang ingin dilakukan

terhadap asas kepemilikan tunggal ini adalah membentuk Bank Holding

Company, namun saat ini kabar tersebut seakan tidak ada tindaklanjut

dari jajaran para pemimpin dan pemegang saham bank BUMN tersebut.

Sebab jika kita lihat dari historikal konteks munculnya doktrin

single presence policy ini ialah ketika krisis ekonomi yang menyerang

Thailand ternyata ikut berdampak pada keadaan ekonomi Indonesia yang

ikut runtuh. Struktur ekonomi Indonesia yang bergantung kepada

perusahaan perusahaan besar terkena dampak krisis 1997-1998 yang

membuat ekonomi Indonesia menjadi terpuruk. Maka dalam suasana

genting tersebut Indonesia terpaksa meminjam dana bantuan kepada

International Monetary Fund. Permohonan Indonesia atas bantuan dana

untuk IMF tidak sia-sia karena IMF berkenan meminjamkan dana kepada

Indonesia. Namun peminjaman dana tersebut tidak serta merta diberikan

kepada Indonesia sebab pemerintah Indonesia dipaksakan untuk

merombak hukum yang mengatur perekonomiannya.34

Salah satu

Undang-Undang yang diundangkan DPR untuk mengakomodir

permintaan IMF adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Undang-

Undang ini menjadi sangat signifikan di dalam hukum ketatanegaraan

Indonesia, sebab Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan

produk hukum hasil kompromi politik, yang pada pemerintahan

sebelumnya tidak pernah terjadi di Indonesia.

34

Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya

di Indonesia, Cet.3 (Malang: Bayumedia, 2009), h. 19.

Page 47: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

38

3. Hukum materiil yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Praktek Persaingan

Usaha Tidak Sehat

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkandung hukum

materiil dan hukum formil. Khusus untuk hukum formil Undang-Undang

ini akan dielaborasi dalam bab selanjutnya. Mengenai hukum materiil

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larang Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dibagi menjadi 3 bagian

yakni, (1)perjanjian yang dilarang, (2) Kegiatan yang dilarang dan (3)

Posisi Dominan.

4. Perjanjian Yang Dilarang Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat sepuluh

bentuk perjanjian yang dilarang, yang diantaranya ialah Perjanjian

Oligopoli, Perjanjian Penetapan Harga, Perjanjian Pembagian Wilayah,

Perjanjian Pemboikotan, Perjanjian Kartel, Perjanjian Trust, Perjanjian

Integrasi Vertikal yang selanjutnya akan dijabarkan dibawah ini.

a. Perjanjian Oligopoli

Secara sederhana oligopoli adalah monopoly by the few,35

hal ini

diakibatkan karena dalam sebuah pasar hanya terdapat beberapa pelaku

usaha yang aktif mendistribusikan barng-barang dan atau jasa dalam

suatu pasar. Dalam kenyataannya, oligopoli bukan semata mata

dikarenakan adanya sebuah perjanjian, sebab terkadang ada berbagai

pasar yang menjanjikan keuntungan yang ternyata karena Peraturan

Pemerintah tidak dapat dimasuki oleh pelaku usaha manapun kecuali

yang telah ditentukan oleh pemerintah, contohnya Perusahaan Listrik

Nasional. Oleh karena listrik merupakan hajat hidup orang banyak

maka penjual listrik di Indonesia hanya diberikan kepada Badan Usaha

Milik Negara yakni Perusahaan Listrik Nasional. Selain itu banyak

pasar yang untuk masuk kedalamnya membutuhkan modal yang sangat

35

Iskandar Putong, Ekonomi Mikro Dan Makro,( Jakarta:Ghana Indonesia,2003) h. 5.

Page 48: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

39

besar sehingga pelaku usaha tidak berani memasukinya. Hal-hal inilah

yang membuat oligopoli berkembang.36

Tetapi pada dasarnya

Oligopoli adalah salah satu struktur pasar, dimana sebagian besar

komoditi (barang dan jasa) dalam pasar tersebut dikuasai oleh

beberapa perusahaan. Apabila perusahaan tersebut dapat menyatukan

perilakunya, maka terjadilah struktur pasar yang bersifat oligopoli

kolusif (adanya perilaku yang bersatu).37

Dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua, oleh Christopher

Pass dan Bryan Lowes, oligopoli adalah suatu tipe struktur pasar yang

mempunyai sifatsifat sebagai berikut:38

a. Sedikit perusahaan dan banyak pembeli, yaitu sebagian besar

penawaran pasar berada di tangan beberapa perusahaan yang

relatif besar dan melakukan penjualan pada banyak pembeli-

pembeli kecil.

b. Produk homogen yaitu produk yang ditawarkan oleh para

pemasok biasanya dibedakan antara yang satu dengan yang lain

dalam satu atau beberapa hal. Perbedaan-perbedaan ini mungkin

sesuatu yang bersifat fisik.

c. Pasar yang sulit dimasuki, yaitu besarnya rintangan-rintangan

yang masuk (barrier to entry) yang mengakibatkan perusahaan-

perusahaan baru sulit untuk memasuki pasar tersebut.

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Persaingan Usaha

menyebutkan bahwa Perjanjian Oligopoli merupakan sebuah

tindakan yang dilarang bagi pelaku usaha, namun perjanjian apakah

yang dimaksud dalam pasal tersebut. Bila merujuk pada pasal 1320

KUHPerdata tentang perjanjian, apakah yang dimaksud dengan

36

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,

Cet.1 (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 18.

37 L. Budi Kagramanto, Hukum Persaingan Usaha, (Surabaya: Laros, 2008) h. 136.

38

Suharsil dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) h. 117.

Page 49: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

40

perjanjian dalam pasal 1320 Kuhperdata? Ternyata dalam melakukan

perjanjian oligopoli, pelaku usaha sering kali melakukan perjanjian

lisan maupun perjanjian saling tahu-menahu. Keadaan ini yang

membua penerapan pasal 4 ayat (1) menjadi sangat sulit untuk

ditegakkan. Selain itu perlu diketahui bahwa didalam perekonomian

Amerika Serikat dikenal dengan “tacit collusion” atau “oligopoly

interdependence”. Menurut Richard A. Posner “tacit collusion” atau

“oligopoly interdependence” adalah ketika pelaku usaha oligopoli

hendak menjual barang atau jasa pada tingkat harga tertentu, namun

karena kompetitornya menjatuhkan atau meninggikan harga diatas

rata-rata pasar maka pelaku usaha tersebut melakukan hal yang

serupa dengan tingkah laku kompetitornya.39

Dalam menyamakan harga barang atau jasa antara pelaku

usaha, seperti di dalam contoh tidak dibutuhkan adanya perjanjian

terlebih dahulu. Menurut pertimbangan Posner, hal ini mampu

menimbulkan permasalahan terutama dalam penegakan hukum.

Seperti diketahui huku persaingan usaha Indonesia melarang adanya

persaingan usaha tidak sehat yang merugikan publik dan untuk

melanggar persaingan usaha para pelaku usaha harus membuat

perjanjian diantara mereka. Pada kenyataannya di dalam contoh,

pelaku usaha tidak pernah melakukan perjanjian, mereka hanya

menyamakan harga barang sesuai dengan harga yang telah

ditetapkan oleh kompetitornya. Oleh karena itu penegakan hukum

akan sulit sekali. Apabila kita merujuk pada kasus Telkomsel yang

pernah melakukan abuse of dominant position dengan meningkatkan

tarif telefon dan sms sehingga para pesaingnya terpaksa mengikuti

price leader.40

Hal tersebut juga akan sangat sulit untuk dibuktikan

39

Richard Posner, Antitrust Law, Cet.2 (Chicago: Chicago University Press, 2001), h. 37-

39.

40 Komisi Pengawas Persaingan Usaha “Era Persaingan Sehat Yang Mengedepankan

Penataan Kebijakan Pemerintah (Regulatory Reform)”,

www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid=315, diunduh pada tanggal 30 September 2010.

Page 50: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

41

sebab didalam contoh diatas kompetitor dari pelaku usaha yang

meninggikan harga tidak pernah bermaksud untuk mendistorsi pasar

atau bertindak curang terhadap pesaingnya.

b. Perjanjian Penetapan Harga

Pelarangan atas perjanjian penetapan harga di dalam Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1999 diatur dalam pasal 5 ayat (1) yang

berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku

usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan jasa

yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar

bersangkutan”. Merujuk pada pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa perjanjian antara

produsen yang mana terkategorikan dalam satu pasar yang sama baik

dari segi faktual, distribusi dan geografis tidak boleh mengadakan

perjanjian tentang penetapan harga. Melihat rumusan pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berarti larangan ini

menggunakan pendekatan per se illegal yang berarti bahwa jika

penegak hukum menindaklanjuti perjanjian tersebut, maka mereka

tidak akan melihat implikasi dari perjanjian penetapan harga,41

sudah

cukup bagi komisi pengawas persaingan usaha untuk membuktikan

bahwa perjanjian penetapan harga telah disetujui oleh para pelaku

usaha.

Richard Posner dalam bukunya Antitrust Law menyebutkan

bahwa dalam melakukan perjanjian penetapan harga para pelaku

usaha tidak perlu untuk menandatangani sebuah kontrak atau secara

verbal menyetujui perjanjian penetapan harga. Cukup dengan

memberikan indikasi kenaikan harga sebuah produk, maka pelaku

usaha lainnya akan menaikkan harga produk juga praktek ini dikenal

dengan tacit collusion atau kolusi terselubung. Praktek ini dapat

diumumkan oleh pelaku usaha yang akan menaikkan harga dengan

41

Dhaniswara K. Harjono, Pemahaman Hukum Bisnis bagi Pengusaha, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2006), h. 105.

Page 51: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

42

mengumumkannya di media massa dengan alasan kenaikan harga

atas bahan mentah untuk produksi.42

Perjanjian price fixing dapat berupa:

a. Horizontal Price Fixing Adalah perjanjian penetapan harga

umum yang terjadi antar-sesama pelaku usaha yang selevel

seperti produsen (produsen dengan produsen) terhadap produk

barang jasa yang sama yang diberlakukan pada dasar

bersangkutan (relevant market) yang sama.43

b. Vertikal Price Fixing Adalah perjanjian penetapan harga umum

yang terjadi antara pelaku usaha yang tidak selevel, misalnya

antara produsen dan distributor (wholeseller) atau dengan

pengecer (retailer). Akibat dan tujuan diadakannya vertikal price

fixing oleh produsen ini adalah mengurangi atau meniadakan

persaingan antara sesama pengecer atau meniadakan persaingan

antarsesama distributor.44

Ada dua pengecualian terhadap perjanjian penetapan harga

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang

diantaranya adalah:45

1. Perjanjian harga yang diizinkan seperti penentuan harga yang

dilakukan oleh pemerintah, contohnya kasus sewaktu

perusahaan penerbangan dalam negeri terlibat perang harga

yang sebenarnya menguntungkan konsumen, tindakan yang

diambil pemerintah adalah mendamaikan perusahaan

penerbangan dengan jalan menentukan harga yang harus

dipatuhi oleh semua perusahaan penerbangan dengan jalan

42

Richard Posner, Antitrust Law, Cet.2 (Chicago: Chicago University Press, 2001), h. 53.

43 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic

Implications, (New York: Matthew Bender & Co, 1994), h. 75. 44

Martin Heidenhain et. al., German Antitrust Law (Frankfurt am Main: Verlap Fritz

Knapp GmbH, 1999), h. 17. 45

Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori dan Praktik

serta Penerapan Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 136.

Page 52: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

43

menentukan harga yang harus dipatuhi oleh semua perusahaan

penerbangan.

2. Perjanjian harga yang dibuat dalam joint venture. Pada dasarnya

tidak jelas yang dimaksud dengan joint venture dalam Undang-

Undang ini. Sehingga joint venture disini dapat diartikan

penggabungan usaha tertentu dari ketentuan pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Putusan Perkara Nomor 5/KPPU-I/2003 tentang PATAS DKI

merupakan perjanjian penetapan harga yang baik untuk dikaji, dapat

memberikan gambaran mengenai praktek hukum persaingan usaha

yang ada di Indonesia mengenai perjanjian penetapan harga. Diawali

dengan monitoring yang dilakukan KPPU pada awal 2003, KPPU

menemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh pengusaha Bus Kota

Patas AC di DKI, yakni PT Steady Safe, Tbk, PT Maya Sari,

Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Jakarta, PT Bianglala

Metropolitan, PT Pahala Kencana, PT Aja Putra. KPPU menimbang

bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

mengandung unsur sebagai berikut:

a) Pelaku Usaha

Berdasarkan fakta yang terungkap dalam pemeriksaan

pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan para terlapor adalah

pelaku usaha yang bergerak di bidang jasa transportasi

perkotaan, menimbang bahwa terlapor adalah pelaku usaha

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 1 angka 5

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

b) Perjanjian untuk Menetapkan Harga

Berdasarkan fakta yang terungkap dalam pemeriksaan

pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan para terlapor telah

bersepakat untuk menaikkan tarif bus kota Patas AC dari

Rp.2500,- (dua ribu lima ratus rupiah) menjadi Rp.3.300,-

Page 53: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

44

(tiga ribu tiga ratus rupiah) pada tanggal 15 Agustus 2001,

yang disahkan oleh DPD Organda DKI Jakarta yang

kemudian oleh DPD Organda DKI Jakarta dituangkan dalam

Surat Keputusan Daerah Pimpinan Daerah Organda DKI

Jakarta Nomor: Skep-115/DPD/IX/2001 tentang Penyesuaian

Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di Wilayah DKI

Jakarta Tanggal 5 September 2001.

c) Pelaku Usaha Pesaing

Berdasarkan fakta yang terungkap dalam pemeriksaan

pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan yang dimaksud

dengan pelaku usaha pesaing dalam perkara kartel harga ini

adalah terlapor sendiri.

d) Pasar Bersangkutan Yang Sama

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan

pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan yang dimaksud

dengan pasar bersangkutan yang sama dalam perkara ini

adalah layanan pengangkutan penumpang Bus Kota PATAS

AC yang izin trayeknya dikeluarkan oleh Pemerintah DKI

Jkarta. Majelis komisi menyatakan bahwa pengusaha Bus

Patas AC terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar

pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan

menetapkan pembatalan kesepakatan penyesuaian tarif bus

Patas AC yang dilakukan pengusaha Bus Patas AC DKI

Jakarta. Majelis Komisi menyimpulkan bahwa penetapan

tarif bus kota sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan

Dewan Pimpinan Daerah Organda DKI Jakarta Nomor Skep-

115/DPD/IX/2001 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan

Umum Bus Kota Patas AC di wilayah DKI Jakarta tanggal 5

September 2001 merupakan penetapan harga sebagaimana

dimaksud pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Page 54: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

45

c. Perjanjian Pembagian Wilayah

Larangan Pembagian Wilayah pemasaran yang dilarang dalam

pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini merupakan

sebagaian saja dari pelarangan pembagian pasar seperti yang umum

dilarang oleh hukum persaingan usaha. Dalam hukum persaingan

usaha dikenal berbagian pembagian pasar yang secara yuridis

dilarang yakni:

1. Pembagian Territorial dalam hal ini yang dibagi adalah wilayah

pasar

2. Pembagian Pasar konsumen, pembagian dimana konsumen

tertentu menjadi pelanggan seorang pelaku pasar sementara

konsumen yang lain menjadi pelanggan dari pihak pelaku pasar

pesaingnya.

3. Pembagian Pasar Fungsional, di sini pasar dibagi menurut

fungsinya, misalnya pasar distribusi barang tertentu diberikan

kepada kelompok pasar yang satu, sementara pasar retail barang

yang sama diberikan pada kelompok pelaku usaha lainnya.

4. Pembagian Pasar Produk, di sini pasar dibagi menurut jenis

produk dari suatu garis produk yang sama, misalnya untuk

penjualan spare parts motor merek tertentu, seorang pelaku

usaha memasok suku cadang yang kecil sedangkan pelaku pasar

pesaingnya memasok suku cadang yang besar.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 mengasumsikan

adanya perjanjian antar pelaku usaha yang saling bersaing di dalam

pasar yang sama. Penerapan ketentuan tersebut mensyaratkan para

pihak merupakan pelaku usaha, para pihak saling bersaing satu

dengan yang lainnya, adanya perjanjian antara pelaku usaha untuk

membagi pasar dan adanya tindakan yang mengakibatkan terjadinya

praktik monopoli. Perjanjian yang dilakukan memiliki tujuan untuk

membagi pasar dari segi daerah atau segi produk. Para pelaku usaha

yang melakukan usaha pada pasar bersangkutan berjanji untuk tidak

Page 55: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

46

saling memasok barang atau jasa yang sama di wilayah geografis

tertentu maupun pasar konsumen yang dekat dialokasikan kepada

mitranya di dalam pasar bersangkutan yang sama.

d. Perjanjian Pemboikotan

Perjanjian Pemboikotan diatur dalam pasal 10 ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999yang berbunyi sebagai

berikut:

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk

melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam

negeri maupun pasar luar negeri.

2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atu jasa

dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:

a. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha

lain atau

b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli

setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.

e. Perjanjian Kartel

Kartel merupakan perjanjian yang memiliki efek paling

merusak didalam sebuah konsep persaingan usaha tidak sehat di

dunia. Perjanjian Kartel di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 diatur dalam pasal 11 yang berbunyi :

“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku

usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga

dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau

jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

atau persaingan usaha tidak sehat.

Page 56: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

47

5. Kegiatan yang Dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999

Kegiatan yang dilarang menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun

1999 diantaranya adalah kegiatan monopoli, kegiatan monopsoni,

kegiatan penguasaan pangsa pasar, kegiatan predatory pricing dan

kegiatan persekongkolan. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu

kegiatan persaingan usaha yang dilarang oleh hukum persaingan usaha

Indonesia.

a. Monopoli

Monopolisasi adalah upaya perusahaan besar dan memiliki

posisi dominan dalam sebuah pasar untuk mengatur atau

meningkatkan control terhadap pasar dengan cara berbagai praktik

anti kompetitif. Jika merujk pada pasal 1 angka (1) Undang-Undang

UNDANG Nomor 5 Tahun 1999, monopoli adalah suatu

penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan/atau atau

atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu

kelopok pelaku usaha. Dengan demikian di dalam pasar monopoli

hanya terdapat satu orang penjual dan banyak pembeli, oleh karena

itu pelaku usaha yang memegang monopoli bebas untuk menaikkan

atau menurunkan harga sesuai kehendaknya.

Macam-macam bentuk dan cara terjadinya monopoli :

1. Monopoly by Law

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 juga membenarkan

adanya monopoli jenis ini, yaitu dengan memberikan monopoli bagi

negara untuk menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya serta cabang-cabang produksi yang

menguasai hajat hidup orang banyak.46

Dengan demikian menurut

Undang-Undang Dasar 1945, sektor yang menguasai hajat hidup

orang banyak seperti perlistrikan, air minum, kereta api dan sektor-

sektor lain yang karena sifatnya yang memberik palayanan untuk

46

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006), h. 5.

Page 57: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

48

masyarakat dilegitimasi untuk dimonopoli dan tidak diharamkan.

Sayangnya masih banyak pihak yang menyalahartikan maksud mulia

yang dikandung Undang-Undang Dasar 1945 kita, seperti asas

kekeluargaan ditafsirkan sebagai “keluarga sendiri. Sehingga sering

kita lihat pada suatu institusi atau perusahaan hanya kerabat mereka

saja yang dilibatkan. Pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas

penemuan baru, baik yang berasal dari hak cipta, hak paten, merk

dagang, dan lain-lain juga merupakan bentuk monopoli yang diakui

oleh Undang-Undang .

2. Monopoly by Nature

Yaitu monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena

didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok. Kita dapat melihat

bentuk monopoli seperti ini yaitu tumbuhnya perusahaan-perusahaan

yang karena memiliki keunggulan dan kekuatan tertentu dapat

menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh pangsa pasar yang

ada. Mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang cocok

dengan tempat di mana mereka tumbuh. Selain itu karena berasal

dan didukung bibit yang unggul serta memiliki faktor-faktor yang

dominan.47

Monopoli alamiah diperoleh ketika tidak terdapat pelaku

usaha lain disuatu pasar, hal ini biasa terjadi apabila biaya untuk

masuk kepada suatu pasar akan memakan biaya yang sangat besar.48

3. Monopoly by License

Monopoli ini diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan

mekanisme kekuasaan. Monopoli jenis inilah yang sering

menimbulkan distorsi ekonomi karena kehadirannya mengganggu

keseimbangan (equilibrium) pasar yang sedang berjalan dan bergeser

kearah yang diingini oleh pihak yang memiliki monopoli tersebut.

47

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006) h. 5. 48

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia,

Cet.1 (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h. 138.

Page 58: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

49

4. Monopoli karena Terbentuknya Struktur Pasar Akibat Perilaku

dan Sifat Manusia

Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar

dalam waktu yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang

sekecil mungkin atau sebaliknya, dengan menggunakan modal

(capital) yang sangat besa untuk memperoleh posisi dominan guna

menggusur para pesaing yang ada.49

Jenis monopoli yang dimaksud pada poin (3) dan (4) dapat

mengganggu bekerjanya mekanisme pasar dan harus dilarang.

Sementara itu, jenis monopoli pada poin (1) dan (2) tetap perlu

diawasi dan diatur agar pada suatu waktu kekuatan ekonomi yang

dimilikinya tidak akan disalahgunakan.

b. Monopsoni

Kegiatan Monopsoni merupakan kebalikan dari kegiatan

monopoli. Dalam monopoli pasar di gabarkan dengan terdapatnya

berbagai pembeli namun hanya terdapat satu penjual. Dalam

monopsoni maka penjual relatif banyak namun pembelinya hanya

satu. Kegiatan Monopsoni yang merugikan masyarakat diatur dalam

pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Persaingan Usaha.

Dampak negatif monopsoni adalah harga barang atau jasa akan lebih

rendah dari harga besar yang mahal dan juga terdapat potensi pasar

yang tidak sehat. Tidak semua bentuk monopsoni merupakan sesuatu

yang buruk, sebab terkadang memang didalam suatu pasar hanya

terdapat satu pembeli. Terutama di pasar yang diminati pelaku usaha

yang seara spesifik menjalankan usaha tersebut, contohnya heavy

machinery atau peralatan berat. Namun pada dasarnya bentuk

kegiatan monopsoni merugikan kepentingan publik. Contoh dari

kegiatan Monopsoni adalah ketika Badang Penyangga dan

Pemasaran Cengkeh melakukan kegiatan monopsoni dalam

49

Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha , (Malang : Banyumedia, 2007), h. 43.

Page 59: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

50

“memaksa” pembelian cengkeh dari petani-petani melalui KUD

dengan harga yang ditetapkan sepihak oleh BPPC dan Tata Niaga

Jeruk di bawah pengaruh Hutomo mandala Putra.

c. Penguasaan Pangsa Pasar, Predatory Pricing dan Persekongkolan

/Konspirasi

Kegiatan melakukan penguasaan pasar pada dasarnya tidak

dilarang, namun banyak pelaku usaha yang ingin menguasai pasar

dengan cara curang dan merugikan persaingan usaha. Pengaturan

mengenai penguasaan pangsa pasar diatur dalam pasal 19 Undang-

Undang persaingan usaha. Adapun kegiatan melakukan penguasaan

pangsa pasar meliputi (1) menolak pesaing atau menolak atau

menghalangi pelaku usaha tertentu (2) menghalangi konsumen untuk

melakukan transaksi dengan pelaku usaha lain. (3) pembatasan

peredaran produk dengan cara membatasi peredaran dan/atau

penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan (4)

diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu terhadap pesaingnya

(5)melakukan jual rugi atau predatory pricing (6) penetapan biaya

secara curang yakni dengan menetapkan harga curang pada saat

produksi. Adapun masalah persekongkolan dan konspirasi diatur

dalam pasal 22,23,24 Undang-Undang Persaingan Usaha yang

berbunyi sebagai berikut; (Pasal 22) pelaku usaha dilarang

bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau

menentukan pemenang tender sehingga terjadinya persaingan usaha

tidak sehat (pasal 23) pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan

pihak lain utnk mendapatkan informasi kegiatan usaha

pesaingnyayang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan

sehingga megakibatkan terjadi persaingan usaha tidak sehat. (pasal

24) pelaku usaha dilarang untuk bersekongkol sengan pihak lain

utnuk emnghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau

jasa pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang

Page 60: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

51

ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang

baik dari kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

B. Penyalahgunaan atas posisi dominan dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999

Posisi dominan dalam sebuah pasar adalah sebuah harapan dari setiap

pelaku usaha, sebab dalam pasar tersebut pelaku usaha telah mencapai tingkat

tertinggi untuk memaksimalkan output tanpa melakukan monopoli dan tanpa

takut dijerat dengan hukum yang mengatur monopoli.50

posisi ini ternyata juga

diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebab pada umumnya

pelaku usaha yang telah mencapai tingkat dimana mereka menjadi market

leader, seringkali lost control dan berupaya menguasai keseluruhan pasar

dengan cara monopoli atay dengan cara bersekongkol dengan pelaku usaha

pesaingnya. Pasal mengenai abuse of dominant position diatur dalam pasal 25

mengenai ketentuan umum posisi dominan, pasal 26 mengenai jabatan

rangkap, pasal 27 mengenai pemilikan saham, 28 dan 29 mengenai

Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan yang diatur dalam Undang-

Undang persaingan usaha.

1. Merger

Pengertian mengenai merger, dalam artian yang luas merger berarti

setiap bentuk pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lainnya,

pada saat kegiatan usaha perusahaan tersebut disatukan. Adapun

pengertian secara sempit merujuk pada perusahaan dengan ekuitas yang

hampir sama menggabungkan sumber daya yang ada pada keduanya

menjadi satu usaha. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan dan

kontrol manajemen oleh satu perusahaan terhadap perusahaan lain.

Karenanya, kontrol adalah kata kunci yang membedakan merger dengan

akuisisi.51

50

Kirsty Middleton and Barry Rogers et.al. Cases and Materials on Competition Law, Cet.2

(New York: Oxford University Press, 2009), h. 3-7.

51 Merger is a combination of two or more corporation wherein the dominant unit absorbs

the passive unit, the former continuing operation usually under the same name. (Encyclopedia of

Banking & Finance)

Page 61: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

52

Merger dalam perspektif peraturan perUndang-Undang an Indonesia

dapat dilihat sebagai berikut. Merger adalah penggabungan dari dua badan

usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu

badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.52

Menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, merger

adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih

untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang

mengakibatkan activa dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri

beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan

dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri

berakhir karena hukum.

Menurut peraturan pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1998, merger

adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih

untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan

selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Menurut

PP No 28 Tahun 1999 Merger adalah penggabungan dari dua bank atau

lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan

membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu.

Jadi, merger adalah bergabungnya ssatu perusahaan atau lebih

dengan perusahaan yang telah ada sebelumnya menjadi satu perusahaan.

Perusahaan yang menerima merger disebut surviving firm, atau pihak yang

mengerluarkan saham (issuing firm).53

Perusahaan yang bubar setelah

merger disebut merged firm. Perusahaan hasil merger diharapkan akan

memiliki ukuran yang lebih besar.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas

menggunakan istilah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.

Sedangkan Peraturan Pemerintah mengenai Perbankan menggunakan

istilah merger, akuisisi, dan konsolidasi. Beberapa negara lain

52

Devina Ivo Mahendra, The Determinant of the Possibility Merger in Indonesia,

International Journal of Economics and Financial Issues, Vol 7, Issue 3, 2017, h. 64. 53

Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori dan Praktik

serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h. 449.

Page 62: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

53

meggunakan istilah konsentrasi dan takeover. Meskipun Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 menggunakan istilah penggabungan, peleburan, dan

pengambilalihan saham, namun komisi menggunakan istilah merger yang

didalamnya tercakup juga konsolidasi, akuisisi, penggabungan, peleburan,

dan pengambilaluhan kecuali secara tegas menunjuk kepada salah satu

bentuk peristiwa tertentu.

Meskipun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 telah

mendifinisikan apa yang dimaksud dengan penggabungan, peleburan, dan

pengambilalihan, namun komisi berpendapat bahwa merger yang

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mencakup

pengertian yang lebih luas dibanding dengan definisi dalam Undang-

Undang Nomor 40 tahun 2007 yang hanya berlaku bagi perseroan

Terbatas. Untuk itu, komisi perlu untuk menjelaskan gambaran mengenai

merger yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999.

Merger secara sederhana adalah tindakan pelaku usaha yang

mengakibatkan:

a. Terciptanya konsentrasi kendali dari beberapa pelaku usaha yang

sebelumnya independen kepada satu pelaku usaha atau satu kelompok

usaha; atau

b. Beralihnya suatu kendali dari satu pelaku usaha kepada pelaku usaha

lainnya yang sebelumnya masing masing independen sehingga

menciptakan konsentrasi pengendalian atau konsentrasi pasar.

Beberapa macam merger yaitu, merger vertikal, merger horizontal,

dan merger konglomerat.54

Merger vertikal adalah perusahaan-perusahaan

yang digabung dan beroperasi pada tingkatan berbeda dalam produksi dan

pemasaran. Namun, bertujuan untuk meningkatkan distribusi. Sedangkan

yang dimaksud merger horizontol ialah perusahaan-perusahaan yang

54

Boone, Kurtz. Contemporary Business: pengantar bisnis kontemporer, (Jakarta: Salemba

Empat, 2007), h. 271.

Page 63: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

54

digabung karena ingin melakukan diversifikasi, meningkatkan basis

pelanggan, mengurangi biaya, atau menawarkan perluasan produk. Serta

yang terakhir ialah merger konglomerat bertujuan untuk memacu

pendapatan penjualan.

2. Akuisisi

Akuisisi berasal dari kata acquisition (latin) dan acquisition

(Inggris), makna harfiah akuisisi adalah membeli atau mendapatkan

sesuatu atau objek untuk ditambahkan pada sesuatu atau objek yang telah

dimiliki sebelumnya.55

Akuisisi adalah bentuk pengambilalihan

kepemilikan perusahaan oleh pihak pengakuisisi sehingga dapat

mengakibatkan berpindahnya kendali atas perusahaan yang diambil alih

tersebut. Ada beberapa definisi akuisisi dari beberapa sumber

perundangundangan.

Akuisisi adalah pengambilan seluruh atau sebagian saham dari satu

perusahaan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap

perusahaan tersebut. Akuisisi dimaksudkan perbuatan hukum yang

dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil

alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas

perseroan tersebut, atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan

hukum atau perseroangan untuk mengambil alih baik seluruh atau

sebagian besar saham perseoran yang dapat mengakibatkan beralihnya

pengendalian terhadap perseroan tersebut. Akuisisi adalah

pengambilalihan kepemilikan suatu bank yang mengakibatkan beralihnya

perngendalian terhadap bank. Bryan Cole pun mengakui bahwa merger

dan akuisisi tidak jauh berbeda, keduanya terjadi pada saat dua atau lebih

pelaku usaha bergabung secara operasional, baik untuk keseluruhan

maupun sebagian usaha mereka.56

55

Collins English Dictionary for Advanced Learners.http://edratna.

Wordpress.com/2007/06/18/merger.

56 Munir Fuady, Hukum tentang Merger, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h. 21.

Page 64: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

55

Menurut standar akuntansi Keuangan, akuisisi adalah sautu

penggabungan usaha dimana salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi

(acquirer) memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan

yang diakuisisi (acquiree), dengan memberikan aktiva tertentu, mengakui

suatu kewajiban, atau mengeluarkan saham.

Dalam konteks hukum persaingan usaha penegertian akuisisi atau

pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku

usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian

saham atau aset perseroan /badan usaha yang dapat mengakibatkan

beralihnya pengendalian terhadap perseroan/badan usaha tersebut.

Biasanya pihak pengakuisisi memiliki ukuran yang besar dibanding

dengan pihak yang diakuisisi. Adapun yang dimaksud dengan

pengendalian yang terpapar pada pengertian di atas adalah kekuatan yang

berupa kekuasaan untuk :

a. Mengatur kebijakan keuangan dan operasi perusahaan

b. Mengangkat dan memberhentikan manajemen

c. Mendapatkan hak suara mayoritas dalam rapat direksi.

Dengan adanya pengendalian tersebut, maka pengakuisisi akan

mendapatkan manfaat dari perusahaan yang diakuisisi. Berbeda dengan

merger, akuisisi tidak menyebabkan pihak lain bubar sebagai entitas

hukum. Perusahaan yang terlibat dalam akuisisi decara yuridis masih tetap

berdiri dan beroperasi secara independen, tetapi telah terjadi pengalihan

pengendalian oleh pihak pengakuisisi.

3. Konsolidasi

Berbeda dengan merger atau penggabungan, konsolidasi atau

peleburan adalah penggabungan dari dua perusahaan atau lebih dengan

cara melikuidasi semua perusahaan tersebut dan dengan cara yang sama

didirikan satu perusahaan baru yang mengambil alih semua kekayaan dan

kewajiban dari perusahaan perusahaan yang bubar itu.

Konsolidasi atau peleburan merupakan bentuk khusus merger

dimana dua perusahaan atau lebih bersama-sama meleburkan diri dan

Page 65: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

56

membentuk satu perusahaan baru.57

Sinonim kata ini adalah amalgamasi.

Menurut PP Nomor 28 Tahun 1999, konsolidasi atau peleburan adalah

perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk

meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-

masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar.

Sebagai tambahan, ketiga jenis strategi ekspansi usaha di atas adalah

termasuk jenis pengambilalihan atau disebut juga takeover. Takeover

adalah istilah umum untuk menggambarkan pengalihan pengendalian aset

atau saham sebuah perusahaan dari satu kelompok pemegang saham

terhadap kelompok pemegang saham lain. Perusahaan atau kelompok

pemegang saham yang berinisiatif untuk mengambil alih aset disebut

bidder dan perusahaan atau kelompok pemegang saham yang akan

dijadikan objek pengambilalihan dinamakan target.

Pengambilalihan terhadap aset atau saham oleh bidder terhadap

target dapat dilakukan melalui pembayaran secara tunai, utang, pengalihan

surat-surat berharga, atau kombinasi dari ketiganya. Bidder bisa berasal

dari pihak manajemen sendiri, investor, atau institusi lain, karyawan, atau

pemegang saham. Pengambilalihan perusahaan publik oleh sekelompok

kecil investor dan selanjutnya mereka menarik saham-saham yang beredar

di pasar untuk tidak lagi diperjualbelikan (delisting) disebut going private.

Jika going private ini dilakukan oleh manajemen perusahaan yang

bersangkutan disebut management buy-out. Jika sebagian besar

pembiayaan takeover berasal dari pihak ketiga disebut leverage buy-out.

Takeover dapat terjadi dalam dua bentuk, friendly dan unfriendly

takeover. Friendly takeover berarti masing-masing pihak sepakat atas

pengambilalihan itu. Sebaliknya, jika ada tekanan dan cenderung terdapat

pemaksaan terhadap target, maka cara ini dinamakan unfriendly takeover.

Tender offer merupakan salah satu bentuk unfriendly takeover, karena

bidder langsung melakukan penawaran langsung melalui media massa

kepada pemegang saham perusahaan target tanpa melalui persetujuan

direksi/ manajemen target. Kejadian ini dapat terjadi jika manajemen atau

57

Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2005), h. 113.

Page 66: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

57

pemegang saham minoritas target menolak atas rencana pengambilalihan

oleh bidder.

Bentuk lain dari unfriendly takeover adalah hostile takeover

(pengambilalihan secara paksa). Hal ini biasanya terjadi jika target tidak

memiliki posisi tawar (bargaining power) yang baik, seperti kesulitan

likuiditas, kerugian usaha, utang terlalu besar, manajemen yang tidak

solid, atau kesulitan dalam memasarkan produk. Alasan-alasan yang

mendasari terjadinya pengambilalihan saham atau takeover adalah:

1. Dapat memperbesar ukuran perusahaan

Dengan bergabungnya perusahaan yang lebih mandiri ataupun lebih

tinggi daya saingnya, maka perusahaan yang kecil sekalipun akan

menjadi lebih besar dan dapat tertolong dari segi operasional

pemasaran dan pemasukan.

2. Mengoptimalkan operasional manajerial

Tanpa berpindah ke industri yang lain, maka sebuah perusahaan yang

berada pada fase monoton ataupun sedang mundur akan rawan

kehilangan para eksekutif muda yang potensial dan hal ini akan

mempercepat kemunduran perusahaan. Namun, bila perusahaan

tersebut segera menggabungkan diri dengan perusahaan maju lainnya,

maka kemungkinan tersebut dapat segera terhindari.

3. Mengurangi resiko, meminimalkan tekanan biaya finansial dan

menghindari kebangkrutan

Dengan penggabungan kekayaan bersama, likuiditas perusahaan

meningkat, dan dengan berbagai keunggulan yang lebih kompetitif,

perusahaan dapat menguasai pasar yang lebih luas.

4. Menghindari pengambilalihan secara paksa

Dengan menggabungkan diri dengan perusahaan yang lain, maka akan

ada peningkatan penguasaan pasar dan dapat meningkatkan kekebalan

dari adanya kemungkinan terjadinya pengambilalihan secara paksa

oleh perusahaan lain.

Page 67: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

58

Secara lebih jelas, peleburan dalam pasal 1 angka 2 Peraturan KPPU

Nomor1 Tahun 2009 dimaksudkan adalah perbuatan hukum yang

dilakukan oleh satu perseroan/badan usaha atau lebih untuk meleburkan

diri dengan cara mendirikan satu perseroan/badan usaha baru yang karena

hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan/badan usaha yang

meleburkan diri berakhir karena hukum .

Page 68: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

59

BAB IV

SINGLE PRESENCE POLICY DALAM PERSPEKTIF HUKUM

PERSAINGAN USAHA

A. Analisis Pembentukan Fungsi Holding sebagai Penerapan Single

Presence Policy untuk Bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, BTN)

Penerapan single presence policy terhadap dunia perbankan merupakan

upaya untuk membatasi kontrol kepemilikan perbankan. Tidak ada pihak

yang menguasai lebih dari satu bank. Ini merupakan langkah koreksi dari

Bank Indonesia yang sebelumnya terlanjur mengizinkan suatu pihak termasuk

asing menguasai lebih dari satu saham perbankan hingga 99 persen. Lebih

lanjut tujuan kebijakan ini guna mempercepat penggabungan (konsolidasi)

perbankan dimana satu pengendali hanya boleh mengendalikan satu bank,

bukan satu pengendali mengendalikan atau memiliki beberapa bank.

Kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan di Indonesia menjadi

salah satu kewajiban yang harus diterapkan oleh Bank. Hal ini sebagaimana

tercantum dalam pasal 1 poin 1 yang menyatakan bahwa Bank adalah Bank

Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang

tidak termasuk Kantor Cabang Bank Asing. Bentuk kepemilikan saham pada

perbankan menjadi salah satu fokus utama Arsitektur Perbankan Indonesia

agar tidak ada pihak yang menjadi saham pengendali pada 2 (dua) atau lebih

bank yang berbeda.

Merujuk pada Pasal 1 poin 2 Undang-Undang No 19 tahun 2003

tentang BUMN, yang dimaksud dengan usaha yang dimiliki BUMN adalah

yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh negara. Secara normatif dapat

dipahami bahwa negara memiliki posisi dominan terhadap usaha bank-bank

tersebut yang tergolong dalam bank BUMN. Jika merujuk pada Pasal 1 poin 3

Page 69: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

60

huruf a PBI Nomor14/24/PBI/2012 bahwa setiap pemegang saham

pengendali adalah seseorang atau badan usaha yang memiliki saham

sebanyak 25% atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan bank tersebut,

maka sudah seharusnya bank-bank yang dimiliki BUMN tunduk dan patuh

terhadap aturan tersebut dengan menerapkan asas kepemilikan tunggal di

dunia perbankan.

Kementrian BUMN yang mewakili negara sebagai pemegang saham

pengendali di Bank BTN, BRI, BNI, Mandiri wajib tunduk pada Peraturan

Bank Indonesia Nomor 14/24/PBI/2012 untuk menjadi pemegang saham

pengendali di satu bank. Hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 yakni

setiap pihak hanya dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu)

bank. Namun aturan itu dikecualikan bagi pemegang saham pengendali pada

2 (dua) bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip

berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah. Aturan

ini juga dikecualikan bagi pemegang saham pengendali pada 2 (dua) bank

yang salah satunya merupakan Bank Campuran (Joint Venture Bank).

Sampai saat ini, Kementrian BUMN sebagai pemegang saham

pengendali pada 4 (empat) Bank BUMN tersebut wajib memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1. Pemegang saham pengendali

pada lebih dari 1 (satu) Bank harus melakukan merger atau konsolidasi.

Pemegang saham pengendali juga dapat membentuk perusahaan induk di

bidang perbankan, atau membentuk fungsi holding.

Dalam menerapkan Single Presence Policy, opsi terakhir yang dipilih

oleh pemerintah adalah dengan pembentukan fungsi holding. Opsi ini

merupakan yang paling baru dari kedua opsi lainnya dengan memiliki konsep

yang hampir mirip dengan sistem Bank Holding Company. Fungsi Holding

adalah suatu fungsi yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali berupa

Bank yang berbadan hukum Indonesia atau Pemerintah Republik Indonesia

untuk mengkonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh

aktivitas Bank-bank yang menjadi anak perusahaannya.

Page 70: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

61

Melalui pengertian tersebut terdapat perbedaan dasar antara Bank

Holding Company dan fungsi Holding. Dalam Fungsi Holding terdapat

pengkhususan untuk dapat diterapkan oleh instansi Pemerintah Indonesia atau

Bank yang berbadan hukum Indonesia sesuai dengan pasal 6 ayat 1 Peraturan

Bank Indonesia Nomor 14/24/PBI/2012. Adapun Bank Holding Company

tidak terdapat pengkhususan, dimana boleh diterapkan oleh pemerintah dan

swasta. Persamaan antara Bank Holding Company dan Fungsi Holding

terletak pada pengendaliannya terhadap anak perusahaannya.

Dalam kegiatan Mandiri Economic Forum yang dihadiri oleh Direktur

Utama Bank Mandiri Zulkifli Zaini, telah disepakati bahwa

pembentukan virtual holding sudah diusulkan oleh Kementerian BUMN

selaku kuasa pemegang saham Bank BUMN kepada Bank Indonesia.58

Alternatif merger menjadi hal yang banyak ditolak pihak perbankan sebab

perlu modal besar, aspek legal, dan aspek pajak. Opsi pembentukan fungsi

Holding yang diambil merupakan virtual holding yaitu, aset tidak

digabungkan menjadi satu, tapi di bawah koordinasi yang dibentuk dalam

sebuah komite keuangan di kedeputian BUMN. Single Presence Policy

utamanya adalah shareholder action, bukan management action sehingga

yang banyak berperan yaitu bank yang tergabung di dalamnya, Mandiri, BNI,

BRI, dan BTN.

Dalam hasil forum diskusi kelompok antara Komite Kebijakan Publik

(KKP), BI, dan Bank BUMN yang diselenggarakan di Yogyakarta pada

tanggal 27 Oktober 2018, Deputi Menteri BUMN Bidang Jasa, Parikesit

Suprapto menyatakan pembentukan holding Bank BUMN akan

mempermudah koordinasi antara bank-bank BUMN. Keberadaan empat bank

BUMN di Indonesia dapat melengkapi satu sama lain dikarenakan sudah

bersifat segmentatif, misalnya BNI di segmen retail, BTN pada segmen kredit

perumahan rakyat (KPR), Bank Mandiri pada korporasi, serta BRI dalam

penyaluran kredit mikro dan retail.

58

https://id.beritasatu.com/home/bank-mandiri-setuju-virtual-holding-bank-bumn/9

Page 71: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

62

B. Analisis Pembentukan Fungsi Holding sebagai Penerapan Single

Presence Policy untuk Bank BUMN dalam Perspektif Undang-Undang

Nomor5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat

Kepemilikan tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya

menjadi saham pengendali pada 1 (satu) Bank. Berdasarkan kebijakan

kepemilikan tuggal, apabila pemegang saham pengendali memiliki lebih dari

2 (dua) bank diantaranya terdapat beberapa bank yang memiliki prinsip

kegiatan usaha yang sama maka kepemilikan atas bank-bank dengan prinsip

kegiatan usaha yang sama tersebut harus diubah sesuai dengan opsi opsi yang

telah ditetapkan oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/24/PBI/2012.

Kebijakan ini akan membatasi kontrol kepemilikan sehingga tidak ada

pihak yang menguasai lebih dari satu bank. Kebijakan ini merupakan langkah

koreksi dari Bank Indonesia yang sebelumnya terlanjur mengizinkan suatu

pihak termasuk asing menguasai lebih dari satu saham perbankan hingga 99

persen. Tujuan kebijakan ini adalah dalam rangka mempercepat

penggabungan (konsolidasi) perbankan dimana satu pengendali hanya boleh

mengendalikan satu bank, bukan satu pengendali mengendalikan atau

memiliki beberapa bank.

Dalam implikasinya SPP pada bank-bank BUMN diwajibkan untuk

melakukan penggabungan sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 PBI

Nomor14/24/PBI/2012 yakni:

1. Merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya

2. Membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan

3. Membentuk Fungsi Holding.

Penerapan SPP pada bank BUMN dengan memilih salah satu dari

metode tersebut jutru berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak

sehat dalam dunia perbankan, sebab bank BUMN akan menguasai Industri

Perbankan secara dominan. Hal tersebut bertentangan dengan PP Nomor 28

tahun 1999 tentang merger, konsolidasi dan akuisisi yang sangat

Page 72: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

63

meperhatikan kepentingan rakyat banyak dan persaingan yang sehat dalam

melakukan usaha bank.

Untuk lebih memastikan ada atau tidaknya pelanggaran terhadap

penguasaan Industri Perbankan perlu merujuk kepada Pasal 1 huruf d

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyebutkan:

Pasal 1 huruf d

Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai

pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa

pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di

antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan

kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan,

serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang

atau jasa tertentu

Selanjutnya, dalam Pasal 25 dan Pasal 27 dijelaskan bahwa yang

dimaksud pelaku usaha telah melakukan posisi dominan adalah sebagai

berikut:

Pasal 25

Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara

langsung maupun tidak langsung untuk:

a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk

mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang

dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas;

atau

b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing

untuk memasuki pasar bersangkutan.

Pasal 27

Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1)

apabila:

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai

50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang

atau jasa tertentu; atau

b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai

75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis

barang atau jasa tertentu

Page 73: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

64

Posisi dominan akan terjadi pada bank-bank BUMN terkait penerapan

SPP dalam skema merger atau konsolidasi karena bank-bank BUMN akan

menggabungkan seluruh asetnya kepada salah satu bank BUMN. Apabila

merger tersebut dilakukan maka bank BUMN hasil SPP akan menguasai

posisi dominan industri perbankan di Indonesia. Tercatat sampai bulan Juni

2018 bank BUMN menguasai 50% pangsa pasar59

. Hal tersebut jelas

merupakan unsur dari posisi dominan sebagaimana Pasal 27. Penerapan SPP

dengan skema merger juga akan menimbulkan pelaku usaha lain terhambat

dalam persaingan untuk berkembang di industri perbankan, sebab ada salah

satu bank BUMN hasil merger yang akan menjadi penguasa besar industri

perbankan.

Implikasi dari merger juga akan menimbulkan aset-aset bank-bank

BUMN menjadi satu. Berdasarkan kuartal I 2018 posisi Bank BUMN

menempati urutan 10 bank terbesar di Indonesia berdasarkan total aset yang

dimilikinya yakni:

1. BRI dengan total aset Rp. 1.064,73 Triliun

2. Bank Mandiri dengan total aset Rp. 945,62 Triliun

3. BCA dengan total aset Rp. 745,04 Triliun

4. BNI dengan total aset Rp. 648,57 Triliun

5. BTN dengan total aset Rp. 258,74 Triliun

6. CIMB Niaga dengan total aset Rp. 255,69 Triliun

7. Bank Panin dengan total aset Rp. 197,92 Triliun

8. Bank OCBC NISP dengan total aset Rp. 161,55 Triliun

9. Maybank dengan total aset Rp. 160,88 Triliun

10. Bank Danamon dengan total aset Rp. 153,79 Triliun

Data tersebut menggambarkan ketika bank-bank BUMN tersebut

dilakukan SPP dengan skema merger maka akan menguasai 36,01% dari

jumlah saham aktiva seluruh bank di Indonesia. Hal ini jelas bertentangan

dengan Surat Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia tentang Persyaratan

59

https://keuangan.kontan.co.id/news/ini-alasan-bank-bumn-lebih-jago-cetak-laba-dibandingkan-bank-swasta

Page 74: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

65

dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum, yaitu SK DIR

BI Nomor32/51/KEP/DIR bahwa persyaratan dan tata cara merger atau

konsolidasi setinggi-tingginya 20% dari jumlah aktiva seluruh bank di

Indonesia, dimana nilai 20% dari jumlah aktiva seluruh bank berdasarkan best

practice suatu negara dalam industri perbankan.

Begitupun mengenai pelaksanaan SPP dengan skema perusahaan Induk

maka bank-bank BUMN harus menunjuk salah satu bank untuk dijadikan

perusahaan Induk yang hal tersebut juga akan berpengaruh pada marketing

kegiatan perbankan seperti BTN yang lebih berfokus pada pemberian kredit

rumah pada kalangan masyarakat dengan tingkat ekonomi bawah, BRI lebih

terfokus pada usaha kecil dan menengah serta masyarakat pedesaan, Bank

Mandiri lebih berfokus pada korporasi. Fokus BNI lebih kepada masyarakat

luas. Skema ini pun tidak akan dilakukan, sebab akan menjadikan salah satu

bank BUMN memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap bank-bank

lainnya.

Penerapan SPP pada bank-bank BUMN apabila menggunakan skema

fungsi holding maka tidak akan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999. Sebab fungsi holding hanya menekankan kepada fungsi

pengendalian saham dibawah badan hukum pemerintah. Bahkan aset tidak

digabungkan menjadi satu, tapi di bawah koordinasi yang dibentuk dalam

sebuah komite keuangan di Kedeputian BUMN. Merujuk pada Pasal 27

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 maka tidak ada penguasaan pelaku

usaha yang menguasai 50% atau lebih pangsa industri perbankan.

Bank BUMN tetap menjalankan kegiatan perbankan tanpa harus salah

satu bank tersebut menjadi satu dengan bank-bank BUMN lainnya. Hal

tersebut menunjukkan tidak akan ada permainan Industri Perbankan yang

menghambat pelaku usaha lainnya. Dalam hal ini, pihak swasta untuk

menjalankan kegiatan perbankan di Indonesia. Tidak akan ada pelaku usaha

yang menggunakan posisi dominan sebagaimana maksud dari Pasal 25

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terlebih dalam menghambat atau

membatasi pelaku lain untuk bersaing. Penerapan SPP dengan skema fungsi

Page 75: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

66

holding sejalan dengan asas persaingan usaha yang sehat sebagaimana Pasal 2

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Yakni menciptakan kegiatan

usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan

keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum

dalam menciptakan sistem perbankan yang kuat, sehat dan efisien guna

menciptakan kestabilan ekonomi dalam rangka menyongsong pertumbuhan

ekonomi nasional.

Page 76: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

67

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah diuraikan peneliti dalam penelitian ini,

maka dapat ditarik kesimpulan bahwa doktrin kepemilikan tunggal dalam

perbankan atau yang kita kenal dengan Single Presence Policy merupakan

sebuah doktrin yang seharusnya sudah dapat diterapkan secara maksimal di

Indonesia khususnya oleh bank-bank BUMN dengan opsi yang telah

disepakati. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Bank-bank BUMN seperti Mandiri, BRI, BNI, dan BTN merupakan empat

bank yang memiliki saham prioritas atau yang paling berpengaruh kuat

dalam perbankan di Indonesia. Ini merupakan cerminan dari bank-bank

lain yang ada di Indonesia. Merger, akuisisi, konsolidasi, pembentukan

bank holding company merupakan serangkaian opsi yang ada yang telah

disediakan oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor14/24/PBI/2012 tentang

Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. Opsi-opsi ini memiliki

resiko yang sangat besar apabila diterapkan kepada bank BUMN tersebut.

Hasil analisis menunjukkan opsi yang paling tepat adalah membentuk

virtual holding agar memudahkan koordinasi antar bank-bank BUMN.

Virtual holding yang dibentuk akan menjalankan fungsi-fungsi sebagai

perusahaan induk. Namun demikian, virtual holding tidak akan

menggabungkan saham empat bank BUMN yang dibawahinya.

2. Pembentukan fungsi holding tidak melanggar ketentuan posisi dominan

yang ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sebab ketentuan

melebihi 50% pangsa pasar konsumen dan menutup kesempatan untuk

pelaku usaha lain tidak terpenuhi. Namun ketika pengaturan Single

Presence Policy diterapkan di Indonesia melalui opsi merger, dan bank

holding company justru akan menimbulkan kepemilikan saham dominan

Page 77: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

68

yakni melebihi batas ketentuan yang ada dalam PP Nomor 28 tahun 1999

tentang merger, konsolidasi dan akuisisi yang harus memperhatikan

kepentingan rakyat banyak dan persaingan yang sehat dalam melakukan

usaha bank. Hal ini justru bertolak belakang dengan tujuan single presence

policy yang pada awalnya diterapkan untuk membatasi kontrol

kepemilikan sehingga tidak ada pihak yang menguasai lebih dari satu bank

dan merupakan langkah koreksi dari Bank Indonesia yang sebelumnya

terlanjur mengizinkan suatu pihak termasuk asing menguasai lebih dari

satu saham perbankan hingga 99 persen, dan juga bertolak belakang

dengan tujuan dibentuknya Arsitektur Perbankan Indonesia.

B. Rekomendasi

1. Peneliti menilai bahwa Single Presence Policy ini sangat perlu untuk

dilaksanakan secara maksimal, untuk mencegah terjadinya penguasaan

kepemilikan saham dominan oleh pemilik bank yang mempunyai lebih

dari satu bank. Kebijakan ini belum sepenuhnya dijelaskan didalam

peraturan perundang-undangan yang tersedia baik dari segi Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia, dan Peraturan

OJK belum ada klasifikasi yang jelas tentang bank BUMN harus

menggunakan opsi yang mana untuk diterapkan. Namun, peneliti menilai

yang paling minim resiko adalah Pembentukan Fungsi Holding agar tidak

menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan menjadi market power

serta posisi dominan dalam dunia persaingan usaha.

2. Peneliti merekomendasikan agar untuk selanjutnya dibuat ketentuan lebih

lanjut didalam peraturan pemerintah atau peraturan menteri BUMN

untuk menerapkan pembentukan fungsi Holding agar terlaksana dengan

baik.

Page 78: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

69

DAFTAR PUSTAKA

Bahan Buku

Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta, 2013) Burhan,

Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, ( Rineka Cipta, Jakarta , 2007)

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia. (Kencana, Jakarta, 2014)

Iskandar, Verry. 2011. Akuisisi Saham oleh Perusahaan Terafiliasi dalam

Perspektif Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan Usaha Komisi

Pengawas Persaingan Usaha Edisi 5.

Ivamy, E.R. Hardy. 1978. Topham and Ivamy’s Company Law - Sixteenth

Edition.London: Butterworth & Co.

Jones, Alison and Brenda Sufrin. 2004. EC Competition Law, Text, Cases, and

Materials. New York: Oxford University Press.

. 2008. EC Competition Law: Text, Cases, and Materials.

United States: Oxford University Press, Inc.

. 2011. EU Competition Law: Text, Cases, and Materials.

United States: Oxford University Press, Inc.

Kagramanto, L. Budi. 2008. Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif

Hukum Persaingan Usaha). Surabaya: Srikandi.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia. 2009. Buku Penjelasan

Katalog Putusan KPPU Periode 2000 – September 2009. Indonesia:

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia.

Kurniawan. 2014. Hukum Perusahaan: Karakteristik Badan Usaha Berbadan

Hukum dan Tidak Berbadan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Genta

Publishing.

Lin, Ethel and Joanne Yong. 2016. The Single Economic Entity Doctrine in

Competition Law. The Singapore Law Gazette.

Lubis, Andi Fahmi dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks &

Konteks. Indonesia: KPPU.

Margono, Suyud. 2013. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika.

Maria, Titi. 2004. Liability Aspects of Corporate Group Structures: A Primer for

Indonesian Legal Practitioners. Jakarta: PT. Tatanusa.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Ed. Revisi (Kencana Prenadamedia,

2005)

Page 79: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

70

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Kencana, Jakarta, 2010)

Siregar, Tampil Anshari, Metode Penelitian Hukum Penelitian Skripsi, (Pustaka

Bangsa Press, Medan, 2005)

Soekanto, Soerdjono dan Sri Mahmudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan

di Dalam Penelitian Hukum, (Pusat Dokumentasi, Jakarta, 1979)

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Press, Jakarta, 2008)

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, (Alfabeta,

Bandung, 2005)

Syamsudi M, Operasionalisasi Penelitian Hukum. (PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2007)

Tampubolon, Robert. Risk and Systems-Based Internal Audit, (PT. Alex media

Komputindo, Jakarta, 2005 Cet.II )

Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. (PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2003)

Wijaya, Krisna. Analisis kebijakan perbankan nasional. (PT elex media

komutindo, Jakarta, 2010(

Bahan Jurnal

Silalahi, M Udin. Single Presence Policy Ditinjau Dari Prespektif Hukum

Persaingan Usaha, Jurnal Hukum Bisnis 2008

Prananingtyas, Paramita. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham

Minoritas dalam Merger Perbankan berdasarkan Single Presence Policy

(Studi Kasus Pada PT. Bank KEB Indonesia dan PT. Bank Hana

Indonesia). Jurnal S1 Universitas Diponegoro. 2016

Pujiyono, Implementasi Single Presence Policy (SPP) Bagi Dunia Perbankan

Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor Tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas, Yustisia Vol.1 Nomor1 Januari – April 2012.

Manurung, Adler Haymans, Restrukturisasi Bank BUMN Untuk SPP, Jakarta 12

oktober 2010.

Firda Amalia, Siti Rochmah Ika, Kinerja Bank Indonesia Setelah Melakukan

Merger dan Akuisisi Dengan Kepemilikan Asing: Apakah Lebih Baik?,

Efektif Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 5, No 1, Juni 2014.

Page 80: DOKTRIN KEPEMLIKAN TUNGGAL (SINGLE PRESENCE POLICYrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · “terlalu besar untuk gagal”. Pemanfaatan skala ekonomi membantu menjelaskan

71

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 (Undang-Undang Pokok Bank

Indonesia)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Tentang. Larangan Praktek

Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Usaha Milik Negara. PP Nomor

28 tahun 1999 tentang merger, konsolidasi dan akuisisi.

PBI Nomor 7/15/PBI/2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank

Umum,

PBI Nomor 8/16/PBI/2006 dan Nomor14/24/PBI/2012 tentang

Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia,

PBI Nomor 8/17/PBI/2006 tentang Insentif dalam rangka konsolidasi

perbankan

Internet

http://raiby.com/blog/daftar-urutan-bank-terbesar-di-indonesia-2017-

berdasarkan-total-aset diakses pada 27 februari 2017 pukul 22.05 wib

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171213103043-78-

262029/hsbc-indonesia-merumahkan-sementara-70-karyawan dikases pada 28

Februari 2018 Pukul 15.08 WIB