dk1p3
TRANSCRIPT
SKENARIO Seorang laki-laki umur 67 tahun dibawa ke ruang gawat darurat dengan keluhan sesak
napas berat. Sejak lama berobat dengan hipertensi tapi tidak teratur dan telah pernah
mengalami infark miokard sebelumnya. Sekitar seminggu sebelum masuk rumah sakit dia
mengeluh nyeri dada substernal lebih dari 30 menit, dan sejak itu dia mengeluh sering sesak
napas yang makin berat.
Penderita hanya bisa tidur dengan 3 bantal kepala dan sering terbangun tengah malam akibat
sesak napas.
Pada pemeriksaan fisik, tidak demam, tekanan darah 160/100 mHg, denyut jantung 110
kali/menit, pernapasan 22 kali/menit, dan saturasi O2 88%. Penderita pucat dan berkeringat
dingin. Pada pemeriksaan auskultasi ditemukan adanya ronchi basah pada kedua basal medial
paru, terdengar S3 dan S4, tidak terdengar bising jantung. Pada pemeriksaaan EKG salah satu
kelainan yang ditemukan adalah adanya gelombang Q patologis di sandapan V1-V4.
KLARIFIKASI KATA SULIT
1. Infark miokard
2. Ronchi basah pada kedua basal medial paru
3. Nyeri dada substernal
4. Gelombang Q patologis pada sandapan V1-V4
Klarifikasi :
1. Infark miokard adalah nekrosis miokardium besar yang disebabkan oleh interupsi aliran
darah ke area itu, hampir selalu disebabkan oleh aterosklerosis arteri koroner, sering tumpang
tindih dengan trombosus koroner.
2. Ronchi basah di kedua basal medial paru yaitu bunyi singkat, tidak kontinu, tidak musikal,
dan terbanyak terdengar pada saat inspirasi di daerah basis paru (di bagian inferior paru-
paru). Timbul bila terdapat cairan di bagian dalam bronkus dan terdapat kolaps saluran napas
distal dan alveolus. Disebabkan oleh sekresi saluran napas berlebihan. Terdapat pada edema
paru, gagal jantung kongestif, dan fibrosis paru.
3. Nyeri dada substernal adalah nyeri yang dirasakan berlokasi di bawah sternum.
4. Gelombang Q normal yaitu gelombang pada kompleks QRS, defleksi ke bawah negatif
awal, yang berhubungan dengan fase awal depolarisasi (eksitasi) miokardium ventrikel dan
depolarisasi septum interventrikel. [1] Gelombang Q patologis adalah gelombang dengan
durasi 0,04 detik atau lebih dan lebih 25% dari gelombang R.
KATA KUNCI
Berikut ini adalah beberapa kata atau kalimat kunci yang diidentifikasi dari skenario:
Laki-laki 67 tahun
Sesak napas berat
Riwayat hipertensi
Riwayat infark miokard
Nyeri dada substernal lebih dari 30 menit
Hanya bisa tidur dengan 3 bantal
Sesak napas malam hari
Tidak demam
Tekanan darah 160/100 mmHg
Denyut jantung 110 kali/menit
Pernapasan 22 kali/menit
Saturasi O2 88%
Pucat dan berkeringat dingin
Ronchi basah pada kedua basal medial paru
Terdengar S3 dan S4
Tidak terdengar bising jantung
Gelombang Q patologis di sandapan V1-V4.
PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING
1. Sebutkan etiologi sesak napas?
2. Apakah penyebab sesak napas pada skenario di atas?
3. Jelaskan patomekanisme sesak napas yang berhubungan dengan skenario. Dan mengapa
bisa terjadi sesak pada malam hari?
4. Apa hubungannya antara posisi tidur pasien menggunakan 3 bantal dengan terjadinya sesak
napas?
5. Jelaskan hubungan sesak napas berat dengan riwayat hipertensi dan infark miokard?
6. Bagaimana hubungan sesak napas dengan nyeri dada substernal lebih dari 30 menit?
7. Apakah penyebab pasien pucat dan berkeringat dingin?
8. Bagaimana patomekanisme ronchi basah?
9. Mengapa bunyi S3 dan S4 terdengar?
10. Apakah makna gelombang Q patologis pada sandapan V1-V4?
11. Apakah diagnosis banding untuk skenario di atas?
12. Jelaskan pemeriksaan penunjang yang mungkin dilakukan untuk mendiagnosis penyakit
pada DS skenario?
13. Bagaimana penatalaksanaan pada diagnosis sementara?
14. Bagaimana prognosis dan komplikasi yang mungkin timbul?
JAWABAN PERTANYAAN
1) Etiologi dypnea antara lain :
a. Reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan paru, dan dinding dada; dalam teori
tegangan-panjang, elemen-elemen sensoris, gelendong otot pada khususnya, berperan
penting dalam membandingkan tegangan dalam otot dengan derajat elastisitasnya; dispnea
terjadi bila tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot (volume napas
tercapai).
b.Kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (teori utang-oksigen).
c. Peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa sesak napas.
d. Ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi.
2) Patomekanisme sesak napas pada skenario di atas yaitu : jika tekanan hidrostatik
anyaman kapiler paru-paru meningkat melebihi tekanan onkotik pembuluh darah maka akan
terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Apabila kecepatannya melebihi kecepatan
drainase limfatik maka akan timbul edema interstisial. Bila terjadi peningkatan tekanan lebih
lanjut, cairan akan merembes ke alveoli sehingga menimbulkan edema paru. Cairan yang
terakumulasi di dalam alveolus akan menyebabkan traktus respiratorius mengalami obstruksi.
Akibatnya pasien mengalami perasaan sulit bernapas, napas menjadi pendek, dan merasa
tercekik.
3) Sesak napas yang dialami pasien seringkali terjadi di malam hari (paroximal
nocturnal dyspnea) atau pada saat pasien telentang ketika tidur. Posisi ini meningkatkan
volume darah intratorakal dan jantung yang lemah akibat penyakit misalnya gagal jantung,
tidak dapat mengatasi peninggian beban ini. Kerja pernapasan meningkat akibat kongesti
vaskular paru oleh edema di alveoli yang mengurangi kelenturan paru. Waktu timbulnya
lebih lambat dibandingkan dengan ortopnea (kesulitan bernapas ketika berbaring lurus)
karena mobilisasi cairan edema perifer dan peninggian volume intravaskuler pusat.
PND juga dapat melalui mekanisme berikut : tidur pada malam hari akan menurunkan
adrenergic support terhadap fungsi ventrikel. Akibatnya, aliran balik darah meningkat
sehingga ventrikel kiri kelebihan beban. Akhirnya timbul kongesti pulmonar akut yang
menyebabkan penekanan nokturnal di pusat pernapasan sehingga timbullah dispnea.
4) Hubungan posisi tidur dengan terjadinya sesak napas adalah dimana pasien pada
skenario membutuhkan 3 bantal kepala untuk bisa tidur dengan cukup nyaman. Posisi kepala
pasien harus ditinggikan sehingga tubuhnya tidak berada dalam keadaan telentang. Bila
tubuhnya dalam posisi telentang, maka akan memudahkan terjadinya sesak napas atau
dispnea melalui patomekanisme seperti yang dijelaskan di atas.
5) Hubungan sesak napas berat dengan riwayat hipertensi dan infark miokard :
Hipertensi mengacu pada peningkatan tekanan darah sistemik yang menaikkan resistensi
terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri ke aorta. Akibatnya, beban kerja jantung
bertambah. Sebagai mekanisme kompensasinya, terjadilah hipertrofi ventrikel kiri untuk
meningkatkan kekuatan kontraksi. Akan tetapi, lama-kelamaan terjadi dilatasi atau payah
jantung atau gagal jantung. Terjadi peningkatan kebutuhan oksigen pada miokard akibat
hipertrofi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung, serta diperparah oleh aterosklerosis
koroner yang menyebabkan infark miokard. Gagal jantung menurunkan curah jantung
(suplai darah menurun) sehingga terjadi hipoksia di jaringan. Sebagai mekanisme
kompensasinya, denyut jantung dipercepat. Akan tetapi, terjadi elevasi ventrikel kiri dan
tekanan atrium yang menuju ke peningkatan tekanan kapiler pulmonal yang menyebabkan
edema paru. Edema paru dapat berimbas pada terjadinya dispnea.
6) Sesak napas dan nyeri dada substernal tidak berhubungan secara langsung. Keduanya
melalui patomekanisme yang berbeda tetapi dapat bersumber dari kelainan yang sama yaitu
gagal jantung kiri.
Sesak napas : Gagal jantung menurunkan curah jantung (suplai darah menurun) sehingga
terjadi hipoksia di jaringan. Sebagai mekanisme kompensasinya, denyut jantung dipercepat.
Akan tetapi, terjadi elevasi ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri yang menuju ke peningkatan
tekanan kapiler pulmonal yang menyebabkan edema paru. Edema paru menyebabkan
ketidaksesuaian perfusi ventilasi sehingga menurunkan tekanan oksigen. Penurunan tekanan
oksigen ini menstimulasi kemoreseptor perifer yang lalu mengirimkan impuls ke pusat
pernapasan di medula oblongata. Akhirnya terjadi peningkatan usaha respirasi tapi tetap
gagal karena adanya obstruksi cairan di traktus respiratorius akibat edema paru.
Nyeri dada : Gagal jantung mengakibatkan aliran darah koroner tidak adekuat. Terjadi
penurunan perfusi jantung yang berakibat pada penurunan intake oksigen dan akumulasi hasil
metabolisme anaerob berupa senyawa kimia seperti penimbunan asam laktat, piruvat. Inilah
yang menstimulasi reseptor nyeri melalui symphatetic afferent di area korteks sensoris primer
(area 3,2,1 Broadman) yang menimbulkan nyeri di dada.
7) Yang menyebabkan pucat dan keringat dingin :
Pucat : gagal jantung kiri mengakibatkan berkurangnya curah jantung. Akibatnya terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah perifer yang mengakibatkan peningkatan Hb tereduksi di
dalam darah maka timbullah sianosis (kulit pucat dan dingin).
Keringat dingin : gagal jantung kiri mengakibatkan berkurangnya curah jantung. Akibatnya
terjadi vasokonstriksi kulit. Vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan tubuh untuk
melepaskan panas sehingga pasien dapat mengalami demam ringan dan keringat berlebihan.
8) Patomekanisme ronchi basah :
Jika tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru meningkat melebihi tekanan onkotik
pembuluh darah maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Apabila
kecepatannya melebihi kecepatan drainase limfatik maka akan timbul edema interstisial. Bila
terjadi peningkatan tekanan lebih lanjut, cairan akan merembes ke alveoli sehingga
menimbulkan edema paru.
Seperti klarifikasi “ronchi basah” yaitu bunyi yang terdengar bila terdapat cairan di dalam
bronkus atau alveoli. Ronchi terdengar di basal medial paru karena cairan terakumulasi di
bagian bawah paru karena pengaruh gaya gravitasi.
9) S3 terdengar selama periode pengisian ventrikel cepat sehingga disebut Gallop
Ventrikular. Normal terdengar pada anak dan dewasa muda. Merupakan temuan patologis
yang dihasilkan oleh disfungsi jantung terutama kegagalan ventrikel.
S4 timbul pada waktu sistolik atrium dan disebut sebagai Gallop Atrium, bunyinya sangat
pelan, hampir tidak terdengar sama sekali. Timbul sesaat sebelum bunyi jantung 1. Terdengar
bila resistensi ventrikel terhadap pengisian atrium meningkat akibat berkurangnya
peregangan dinding ventrikel atau peningkatan volume ventrikel.
10) Gelombang Q patologis :
a. Kelainan gelombang Q di sandapan II, III, AVF. Terjadi pada infark jantung, emfisema
pulmonal, dan RVH.
b. Kelainan gelombang Q di sandapan I, AVL, dan V4-V6 terjadi pada infark jantung anterior.
c. Kelainan gelombang Q di sandapan V3R-V1, V1-V2, V1-V3, dan V1-V4. terjadi pada
infark jantung anteroseptal, LVH, RVH, dan LBBB (Left Bundle Branch Block).
11) Tabel Differential Diagnosis yang mungkin timbul pada pasien-pasien dengan keluhan
sesak napas
Penyakit kausa Kardiovaskular Non Kardiovaskular
GEJALA Gagal
jantung kiri
(kongestif)
Cor
pulmonal
Infark
miokardium
Kelainan
katub
jantung
Infeksi
(endokarditis,
miokarditis,
perikarditis)
Emboli
paru
Penyakit
Paru
Obstruksi
Kronik
Infeksi
pada
paru
Laki-laki
67 tahun
-/+ -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ -/+ -/+
Sesak
napas
+ + + + + + + +
Nyeri dada
>30 menit
+ + - + + + + -
Paroxismal
Nocturnal
Dyspnea
+ - + + - + + -
Terdengar
S3 & S4
+ - - + + - - -
Tidak
Bising
jantung
+ - - - + + + +
Tidak
Demam
+ + + -/+ - + -/+ -
12) DIAGNOSIS SEMENTARA
GAGAL JANTUNG KIRI (KONGESTIF)
Definisi Penyakit
Gagal jantung adalah suatu keadaan patologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga
jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
dan/ kemampuannya hanya ada bila disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.
Gagal jantung adalah sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak
napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau
fungsi jantung.
Manifestasi Klinis
Etiologi
Gagal jantung merupakan komplikasi tersering dari segala jenis penyakit jantung
kongenital meupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi
keadaan yang (1) meningkatkan beban awal, (2) meningkatkan beban akhir, atau (3)
menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal
meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel; dan beban akhir meningkat pada
keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium
dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati.
Penyebab keseluruhan kegagalan pompa jantung dapat dilihat pada tabel berikut :
A. Kelainan Mekanik
1. Peningkatan beban tekanan; Sentral (stenosis aorta,dll) dan Perifer (hipertensi
sistemik,dll).
2. Peningkatan beban volume (regurgitasi katup, pirau, peningkatan beban awal,
dll).
3. Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitral atau trikspid).
4. Tamponade perikardium
5. Pembatasan miokardium atau endokardium.
6. Aneurisma ventrikel.
7. Dissinergi ventrikel.
B. Kelainan Miokardium (otot)
1. Primer (kardiomiopati, miokarditis, kelainan metabolik, toksisitas (alkohol,
kobalt), dan presbikardia).
2. Kelainan disdinamik sekunder (deprivasi oksigen (PJK), kelainan metabolik,
peradangan, penyakit sistemik, dan penyakit paru obstruktif kronik).
C. Perubahan Irama Jantung atau Urutan Hantaran
1. Tenang (standstill)
2. Fibrilasi
3. Takikardia atau bradikardia ekstrim
4. Asinkronitas listrik, gangguan konduksi
Patofisiologi
Gagal jantung didasari oleh suatu beban/penyakit miokard (underlying HD/index of
events) yang mengakibatkan remodeling struktural, lalu diperberat oleh progresivitas
beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis yang disebut gagal jantung.
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat
penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup, dan meningkatkan
volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV ventrikel, terjadi peningkatan tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan bergantung pada
kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya LVEDP, terjadi pula peningkatan tekanan atrium
kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung pada saat diastol. Peningkatan
LAP diteruskan ke belakang ke dalam pembuluh darah paru-paru, meningkatkan tekanan
kapiler dan vena paru-paru. Jika tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru meningkat
melebihi tekanan onkotik pembuluh darah maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam
interstisial. Apabila kecepatannya melebihi kecepatan drainase limfatik maka akan timbul
edema interstisial. Bila terjadi peningkatan tekanan lebih lanjut, cairan akan merembes ke
alveoli sehingga menimbulkan edema paru.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru.
Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian
kejadian pada jantung kiri juga akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan
mengakibatkan edema dan kongesti sistemik.
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat oleh
regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara bergantian.
Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus katup AV, atau perubahan
orientasi otot papillaris dan korda tendinae akibat dilatasi ruang.
Remodeling struktral ini dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme kompensasi
sehingga fungsi jantung terpelihara relatif normal, (gagal jantung asimptomatik). Sindroma
gagal jantung yang asimptomatik akan tampak bila timbul faktor presipitasi seperti infeksi,
aritmia, infark jantung, anemia, hipertiroid, kehamilan, aktivitas berlebihan, emosi atau
konsumsi garam berlebih, emboli paru, hipertensi, miokarditis, infeksi virus, demam
reumatik, dan endokarditis infektif. Gagal jantung simptomatika akan tampak kalau terjadi
kerusakan miokard akibat progresivitas penyakit yang mendasarinya.
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung
terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Gejala dan
tanda yang timbul pun berbeda, sesuai dengan pembagian tersebut.
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort, fatigue, ortponea, dispnea nokturnal
paroksimal, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventrikular heaving, bunyi derap S3 dan
S4, pernapasan Cheyne Stokes, takikardi, pulsus alternans, ronki dan kongesti vena
pulmonalis.
Pada gagal jantung kanan timbul fatigue, edema, liver engorgement, anoreksia, dan
kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hipertrofi ventrikel kanan, irama derap
atrium kanan, murmur, tanda-tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat,
bunyi P2 mengeras, asites, hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali, dan edema
pitting.
Pada gagal jantung kongestif, terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan.
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas :
Kelas 1. Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
Kelas 2. Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa
keluhan.
Kelas 3. Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
Kelas 4. Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring.
1. Penegakan Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani, ekokardiografi-Doppler,
dan kateterisasi.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk menegakkan gagal jantung kongestif.
Kriteria Mayor
1. Paroksimal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dyspneu d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardia (> 120/menit)
Mayor atau Minor
Penurunan BB > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosis Gagal Jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis antara lain :
foto toraks dapat mengarah ke kardiomegali, corakan vaskuler paru menggambarkan
kranialisasi, garis Kerley A/B, infiltrat prekordial kedua paru, dan efusi pleura.
Fungsi EKG, untuk melihat penyakit yang mendasari seperti infark miokard dan aritmia.
Pemeriksaan lain seperti Hb, elektrolit, ekokardiografi, angiografi, fungsi ginjal, dan fungsi
tiroid dilakukan atas indikasi.
i. Penatalaksanaan Gagal Jantung
1. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan pengurangan konsumsi
oksigen melalui istirahat/ pembatasan aktivitas.
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung.
Mengatasi keadaan yang reversibel, termasuk tiroktoksikosis, miksedema, dan aritmia.
Digitalisasi :
* Dosis digitalis :
- Digoksin untuk oral untuk digitalisasi cepat 0,5-2 mg dalam 4-6 dosis selama 24 jam dan
dilanjutkan 2 x 0,5 mg selama 2-4 hari.
- Digoksin IV 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
- Cedilanid IV 1,2-1,6 mg dalam 24 jam.
* Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien usia lanjut dan
gagal ginjal dosis disesuaikan.
* Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg.
* Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat :
- Digoksin : 1-1,5 mg IV perlahan-lahan.
- Cedilanid 0,4-0,8 mg IV perlahan-lahan.
Cara Pemberian Digitalis
Dosis dan cara pemberian digitalis bergantung pada beratnya gagal jantung. Pada gagal
jantung berat dengan sesak napas berat dan takikardi lebih dari 120 kali/menit, biasanya
diberikan digitalisasi cepat. Pada gagal jantung ringan diberikan digitalisasi lambat.
Pemberian digitalisasi per oral paling sering dilakukan karena paling aman. Pemberian dosis
besar tidak selalu perlu, kecuali bila diperlukan efek maksimal secepatnya, misalnya pada
fibrilasi atrium rapid response. Dengan pemberian oral dosis biasa (pemeliharaan), kadar
terapeutik dalam plasma dicapai dalam waktu 7 hari. Pemberian secara IV hanya dilakukan
dalam keadaan darurat, harus dengan hati-hati, dan harus perlahan-lahan.
Kontraindikasi Pemberian Digitalis
Keadaan keracunan digitalis berupa bradikardi, gangguan irama, dan konduksi
jantung berupa blok AV derajat II dan III, atau ekstrasistolik ventrikular lebih dari 5 kali per
menit. Gejala lainnya yaitu anoreksia, mual, muntah, diare, dan gangguan penglihatan.
Kontraindikasi relatif : penyakit kardiopulmonal, infark miokard akut (hanya diberi
per oral), idiophatic hypertrophic subaortic stenosis, gagal ginjal (dosis obat lebih rendah),
miokarditis berat, hipokalemia, PPOK, dan penyertaan obat yang mengahambat konduksi
jantung.
Dalam pengobatan intoksikasi digitalis digunakan dilantin 3 x 100 mg sampai tanda-tanda
toksik mereda.
3. Menurunkan beban jantung.
Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretik, dan vasodilator.
4. Diet rendah garam
5. Pada gagal jantung dengan NYHA kelas IV, penggunaan diuretik, digoksin, dan ACE-
Inhibitor mengingat usia harapan hidup yang pendek. Untuk gagal jantung kelas II dan III
diberikan :
o Digoksin pada pasien dengan fibrilasi atrium maupun kelainan irama sinus.
o ACE-Inhibitor (kaptopril mulai dari dosis 2 x 6,25 mg atau setara dengan ACE-Inhibitor lain,
dosis ditingkatkan secara bertahap dengan memperhatikan tekanan darah pasien); isosorbid
dinitrat (ISDN) pada pasien dengan kemampuan aktivitas yang terganggu atau adanya
iskemia yang menetap, dosis dimulai 3 x 10-15 mg. Semua obat ini harus dititrasi secara
bertahap.
o Diuretik
Yang digunakan adalah furosemid 40-80 mg. Dosis penunjang rata-rata 20 mg. Efek
samping berupa hipokalemia dapat diatasi dengan suplai garam kalium atau diganti dengan
spironolakton. Diuretik lain yang dapat digunakan adalah hidroklorotiazid (HCT),
klortalidon, triamteren, amilorid, dan asam etakrinat.
Dampak diuretik yang mengurangi beban awal tidak mengurangi curah jantung atau
kelangsungan hidup, tapi merupakan pengobatan garis pertama karena mengurangi gejala dan
perawatan di rumah sakit. Penggunaan ACE-Inhibitor bersama diuretik hemat kalium
maupun suplemen kalium harus berhati-hati karena memungkinkan timbulnya hiperkalemia.
Vasodilator
* Nitrogliserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2 ug/kgBB/menit IV.
* Nitroprusid 0,5-1 ug/kgBB/menit IV.
* Prazosin per oral 2-5 mg.
* ACE-Inhibitor : kaptopril 2 x 6,25 mg.
Dosis ISDN adalah 10-40 mg peroral atau 5-15 mg sunlingual setiap 4-6 jam. Pemberian
nitrogliserin secara IV pada keadaan akut harus dimonitor ketat dan dilakukan di ICCU.
Kaptopril sebaiknya dimulai dari dosis kecil 6,25 mg. Untuk dosis awal ini perlu diperhatikan
efek samping hipotensi yang harus dimonitor dalam 2 jam pertama setelah pemberian. Jika
secara klinis tidak ada tanda-tanda hipotensi, maka dosis dapat ditingkatkan secara bertahap
sampai 3 x 25-100 mg. Kaptopril dapat menimbulkan hipoglikemia dan gangguan fungsi
ginjal. Dosis awal enalapril 2 x 2,5 mg dapat dinaikkan perlahan-lahan sampai 2 x 10 mg.
6. Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol.
1. Pencegahan
Gagal jantung diderita oleh seseorang dapat disebabkan oleh kelainan kongenital maupun
didapat. Bagi penderita gagal jantung kongenital dianjurkan untuk menjalani pengobatan
secara teratur untuk meminimalisir kerusakan organ dan manifestasi klinis.
Pencegahan gagal jantung dapat dilakukan dengan menghindari faktor-faktor predisposisi
seperti diet rendah garam untuk menurunkan resiko hipertensi, diet rendah lemak untuk
menurunkan resiko aterosklerosis, olahraga yang teratur, serta istirahat dan aktivitas yang
proporsional.
1. Prognosis
Pasien yang dapat terdiagnosis dengan cepat dan mendapatkan terapi yang adekuat sangat
berpeluang untuk dapat dimimalisir gejala-gejala penyakitnya. Akan tetapi, bagi pasien yang
tidak menjalani pengobatan yang teratur dapat berlanjut ke komplikasi penyakit lain (end
organ damage) yang lebih serius.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat gagal jantung dapat berupa edema paru, gagal
ginjal, gangguan traktus gastrointestinal, edema anasarka, ascites, sampai gangguan mental
akibat berkurangnya curah jantung.