disusun oleh : nim: 331202008 program magister ilmu … fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP (Studi Kasus Pada Putusan
Pengadilan Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray Jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Semarang No.139/Pid.B/2005/PT.Smg Jo. Putusan
Mahkamah Agung No. 2077 K/Pid/2006)
TESIS
Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Disusun oleh :
RR ENDANG DWI HANDAYANI
NIM: 331202008
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABA N PIDANA KORPORASI DALAM
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP (Studi Kasus Pada Putusan
Pengadilan Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray Jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Semarang No.139/Pid.B/2005/PT.Smg Jo. Putusan
Mahkamah Agung No. 2077 K/Pid/2006)
DISUSUN OLEH :
RR ENDANG DWI HANDAYANI
NIM: 331202008
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
1. Pembimbing I Burhanudin Harahap SH.MH.MSI.Ph.D
NIP:196007161 98503 1 004
……………. ………
2. Pembimbing II Rofikah .SH.MH
NIP:19551212 198303 2 001.
……………. ………
Mengetahui :
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. Supanto, SH, M.Hum
NIP. 19601107 198601 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM
TINDAK PID ANA LINGKUNGAN HIDUP (Studi Kasus Pada Putusan
Pengadilan Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray Jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Semarang No.139/Pid.B/2005/PT.Smg Jo. Putusan
Mahkamah Agung No. 2077 K/Pid/2006)
Oleh :
RR ENDANG DWI HANDAYANI
NIM: 3312020081
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Anggota
4. Anggota
Mengetahui :
Direktur Program
Pasca Sarjana,
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS
NIP. 19610717 198601 1 001
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum,
Prof. Dr. Supanto, SH, M.Hum
NIP. 19601107 198601 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : RR ENDANG DWI HANDAYANI
NIM : 3312020081
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul “ ANALISIS
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA
LINGKUNGAN HIDUP (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar
No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang
No.139/Pid.B/2005/PT.Smg Jo. Putusan Mahkamah Agung No. 2077 K/Pid/2006)”
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut
diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, 30 Juni 2015
Yang membuat pernyataan
RR Endang Dwi Handayani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah SWT, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan segenap kemampuan yang
ada. Adapun judul tesis ini adalah “ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
(Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/ 2005/ PN.
Kray Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.139/Pid.B/2005/PT.Smg Jo.
Putusan Mahkamah Agung No. 2077 K/Pid/2006)”.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna
mencapai Gelar Magister Ilmu Hukum pada Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi MS, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Prof. Dr. Supanto, SH, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Dr. M. Hudi Asrori S, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Seluruh staf Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal
kepada penulis dengan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat dalam
masyarakat.
7. Teman-teman seangkatan yang selalu memberi dorongan dan motivasi untuk
menyelesaikan tesis ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan
bantuan dan dukungan baik langsung maupun tidak langsung selama penulis
menyelesaikan tesis ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kepada para pembaca
untuk dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun di mana nantinya
akan dapat penulis pergunakan dan sebagai penyempurnaan dalam penyusunan
tulisan selanjutnya.
Akhirnya penulis berharap semoga dengan adanya tesis ini dapat bermanfaat
bagi pihak yang berkepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Surakarta, 30 Juni 2015
Penulis
RR Endang Dwi Handayani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
ABSTRACT ..................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 9
1. Manfaat Praktis ................................................................ 9
2. Manfaat Teoretis ............................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori ........................................................................ 10
1. Pengertian Korporasi ........................................................ 10
2. Kewenangan Hakim dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman .................................................... 23
3. Tinjauan tentang Pidana Bersyarat................................... 29
B. Penelitian Yang Relevan ........................................................ 36
C. Kerangka Pemikiran ............................................................... 38
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ....................................................................... 41
B. Sifat Penelitian ........................................................................ 42
C. Pendekatan Penelitian ............................................................. 43
D. Lokasi Penelitian ..................................................................... 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
E. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 44
F. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 45
G. Teknik Analisis Data ............................................................... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ...................................................................... 50
1. Kasus Posisi ..................................................................... 50
2. Dakwaan ........................................................................... 50
3. Pertimbangan Hakim ........................................................ 52
4. Putusan Hakim ................................................................. 58
B. Pembahasan ............................................................................. 60
1. Pertimbangan Hakim Memutuskan Pidana Bersyarat terhadap
Korporasi .......................................................................... 60
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Tindak Pidana
dalam Bidang Lingkungan Hidup Ideal ........................... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 77
B. Implikasi .................................................................................. 78
C. Saran ........................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
ABSTRAK
RR Endang Dwi Handayani, 331202008, adalah “ANALISIS
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK
PIDANA LINGKUNGAN HIDUP (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan
Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/ 2005/ PN. Kray Jo. Putusan Pengadilan
Tinggi Semarang No.l39/Pid.B/2005/PT.Smg Jo. Putusan Mahkamah Agung No.
2077 K/Pid/2006)”. TESIS : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 2015.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertimbangan hakim
menjatuhkan putusan bersyarat terhadap korporasi dalam tindak pidana lingkungan
hidup dan model ideal pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana
lingkungan hidup. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal dengan sifat
penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan studi kasus (case approach).
Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber data sekunder.
Adapun teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim menjatuhkan putusan pidana
bersyarat terhadap korporasi adalah untuk membatasi kerugian-kerugian dari
penerapan pidana pencabutan kemerdekaan khususnya bagi pekerja yang
menggantungkan hidupnya di korporasi. Selain itu, juga untuk mengurangi biaya-
biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat guna memperbaiki ekosistem yang
merupakan tanggung jawab korporasi. Adapun model ideal pertanggungjawaban
pidana korporasi terhadap tindak pidana dalam bidang lingkungan hidup adalah strict
liability.
Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, korporasi, lingkungan hidup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
ABSTRACT
RR Endang Dwi Handayani, 331202008, “CORPORATE CRIMINAL
RESPONSIBILITY IN THE CRIME OF ENVIRONMENT (Case study Court
Karanganyar 18 / Pid.B / 2005 / PN.Kray jo High Court Semarang No. 139 /
Pid.B / 2005 / PT.Smg jo Supreme Court Decision No.2077 / K / Pid / 2006)”.
Thesis : University Graduate program March Surakarta, 2015.
The purpose of this study was to determine the conditional consideration of
the judge ruled against the corporation in the environmental crime and criminal
responsibility corporate in ideal model of environmental crime. This research is a
descriptive study doctrinal in nature and uses a case study approach (case approach).
Source of data used is the data source is a source of primary data and secondary data
sources. The technique used is the analysis of qualitative data analysis techniques.
The results showed that the consideration of criminal conditional judge ruled against
the corporation is to limit losses from the application of criminal revocation of
independence, especially for workers who rely on corporate. Besides, also to reduce
the costs to be incurred by the society in order to improve the ecosystem is the
responsibility of the corporation.
The ideal model of corporate criminal liability for criminal acts in the environmental
field is strict liability.
Keywords: criminal liability, corporate, environment
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lingkungan hidup dalam perspektif teoretis dipandang sebagai bagian
mutlak dari kehidupan manusia, tidak terlepas dari kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan
kesejahteraan umum seperti termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara
Reepublik Indonesia Tahun 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup
berdasarkan Pancasila, perlu diusahakan pelestarian lingkungan hidup yang serasi
dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan
dilaksanakan dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh serta
memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang.
Untuk menjamin adanya kepastian hukum agar masyarakat mempunyai
kesadaran untuk turut serta dalam melestarikan lingkungan mereka, pemerintah
telah menyiapkan perangkat hukum khususnya hukum lingkungan untuk menjerat
para pencemar dan perusak lingkungan hidup. Undang -Undang yang dimaksud
adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup (UULH)
serta Undang-Undang Nomor Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup
(UULH ) serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) dan disempurnakan dengan Undang-Undang yang
terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang sampai saat tulisan ini dibuat
peraturan pelaksananya (PP) belum keluar.
Keberadaan undang-undang ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan
bagi aparat penegak hukum untuk menindak fihak-fihak yang telah sengaja atau
tidak sengaja telah melakukan pencemaran lingkungan. Para penegak hukum
dapat menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana lingkungan yang terjadi,
khususnya masalah pencemaran air oleh limbah industri yang sering terjadi
terutama di kota-kota besar.
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Saat ini hukum lingkungan telah berkembang dengan pesat, bukan saja
dalam hubungannya dengan fungsi hukum sebagai perlindungan, pengendalian
dan kepastian hukum bagi masyarakat (social control) dengan peran agent of
stability, tetapi lebih menonjol lagi sebagai sarana pembangunan (a tool of social
engineering) dengan peran sebagai agent of development atau agent of change.1
Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks, tidak hanya bersifat
praktis, konseptual, ekonomi saja, tetapi juga merupakan masalah etika baik sosial
maupun bisnis. Hukum pidana tidak hanya melindungi alam, flora dan fauna (the
ecological approach), tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan
menderita akibat degradasi lingkungan hidup (the antropocentris approach).
Dengan demikian muncul istilah “the environmental laws carry penal sanction
that protect a multimedia of interest”. Perkembangan undang-undang tentang
lingkungan hidup khususnya di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari gerakan
sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup,
mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu
ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini. Perhatian terhadap
masalah lingkungan hidup ini dimulai di kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial
PBB pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan “Dasawarsa
Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970) guna merumuskan strategi “Dasawarsa
Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980).2
Konferensi Internasional tentang lingkungan hidup pada bulan Juni 1972
tersebut telah menghasilkan “Deklarasi Stockhlom” yang berisi 26 asas berikut
109 rekomendasi pengimplementasiannya dan sebagai tindak lanjut dari
konferensi tersebut 10 tahun kemudian, pada tanggal 11 Maret 1982 lahirlah
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) yang telah menandai awal
1 Indriati Amarini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Jurnal UMP, Purwokerto, 2010, hlm. 27. 2 Koesnadi Hardjasumatri, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1999,
hlm. 6.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pembangunan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.3
Hukum Lingkungan mencakup penataan dan penegakan hukum
(compliance and enforcement), yang meliputi bidang hukum administrasi negara,
bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana. Secara terminologi istialah
penataan mempunyai arti tindakan preemtif, preventif dan proaktif. Penegakan
mempunyai arti tindakan represif. Apalagi diformulasikan antara preventif dengan
represif maka akan berwujud berupa sanksi. Pada hakekatnya Hukum Lingkungan
lebih menekankan kepada nilai-nilai penataan hukum terhadap pelestarian fungsi
lingkungan hidup, dibandingkan pada nilai-niali penegakan hukumnya. Nilai-nilai
penataan hukum harus diberikan bobot yang kuat dan harus dapat diformalkan ke
dalam rumusan peraturan perundang-undangan.4
Permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat semakin kompleks, sehingga memerlukan suatu regulasi yang
secara komprehensif dan integral mampu digunakan sebagai pijakan dalam
melaksanakan penegakan hukum. Dalam mencermati perkembangan tersebut,
maka perlu suatu upaya untuk menyempurnakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1982 jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang diperbaharui dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut dengan UUPPLH yang memiliki
tujuan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup adalah: menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia,
menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; mencapai keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan lingkungan hidup; menjamin terpenuhinya keadilan generasi
masa kini dan generasi masa depan; menjamin pemenuhan dan perlindungan hak
atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; mengendalikan
3 Op. cit, hlm. 6.
4 Amiruddin A. Dajaan Imami, dkk, Asas Subsidaritas : Kedudukan dan Impelementasi dalam
Penegakan Hukum Lingkungan, PP-PSL FH UNPAD dan Bestari, Bandung, 2009, hlm. 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; mewujudkan pembangunan
berkelanjutan; dan mengantisipasi isu lingkungan global.5
UUPPLH mengatur ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan
hidup yang memuat asas-asas dan prinsip pokok, sehingga berfungsi sebagai
payung bagi penyusun peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan
yang telah ada.
Sebagaimana diketahui bahwa agar suatu norma atau suatu peraturan
perundang-undangan itu dapat dipatuhi oleh setiap warga masyarakat, maka di
dalam norma atau peraturan perundang-undangan biasanya diadakan sanksi atau
penguat. Sanksi tersebut bisa bersifat sosial bagi mereka yang melakukan
pelanggaran, akan tetapi juga bersifat positif bagi mereka yang mematuhi atau
mentaatinya. Hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi
kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek
perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum pidana yang dianut di
Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan
normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan.
Sebagai masalah nasional, secara yuridis persoalan kejahatan lingkungan
dikategorikan sebagai tindak pidana administrasi (administrative penal law) atau
tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare
offences). Tindak pidana ini semakin kuat dengan diundangkannya UUPPLH yang
telah menunjukkan kepada bangsa Indonesia bahwa pengaturan tindak pidana
lingkungan hidup yang secara idiil dimaksudkan untuk dapat melakukan rekayasa
sosial (social engineering), masih memerlukan penyempurnaan ditinjau dari
seluruh permasalahan pokok hukum pidana, yakni: perumusan tindak pidana
(criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan sanksi
5 Pasal 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
(sanction) baik yang merupakan pidana (punishment) maupun tindakan pidana
tertib (treatment).6
Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability)
tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut
dengan KUHP, melainkan diatur dalam peraturan perundangan organik yang
merupakan hukum pidana khusus. Tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban
korporasi dalam KUHP disebabkan karena subjek tindak pidana yang dikenal
dalam KUHP adalah orang dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke
persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere
non potest yaitu badan hukum (rechtperson) dianggap tidak dapat melakukan
tindak pidana. Dengan demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum
(rechspersoonlijkheid) tidak berlaku dalam bidang hukum pidana.7
Proses globalisasi dan peningkatan interdependensi antar negara di semua
aspek kehidupan terutama di bidang ekonomi semakin meningkatkan peran
korporasi, baik nasional maupun multi nasional sebagai pendorong dan penggerak
globalisasi. Untuk itu, kerjasama internasional guna mengatur peran korporasi
antar negara semakin dibutuhkan di berbagai bidang hukum bahkan di bidang
kode etik. Globalisasi yang ditandai oleh pergerakan yang cepat dari manusia,
informasi, perdagangan dan modal, di samping menimbulkan manfaat bagi
kehidupan manusia juga harus diwaspadai efek sampingannya yang bersifat
negatif yaitu globalisasi kejahatan dan meningkatnya kuantitas serta kualitas
kejahatan di pelbagai negara dan antar negara, antara lain dalam bentuk kejahatan
ekonomi. White collar crime termasuk di dalamnya kejahatan korporasi
(corporate crime), perlu mendapat perhatian khusus mengingat tingkat
viktimisasinya yang bersifat multidimensional.8
Tidak dapat diingkari lagi bahwa korporasi memiliki identitas hukum
tersendiri, yang terpisah dari pemegang saham, direktur dan para pejabat korporasi
6 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hlm.
89. 7 Asmani, Jentera Jurnal Hukum, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2013, Pukul 11.00. WIB.
8 Muladi, Makalah Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Corporate Criminal
Liability), 2004.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
lainnya. Korporasi dapat menguasai kekayaan, mengadakan kontrak, dapat
menggugat dan dapat pula digugat pemilik atau pemegang saham dapat menikmati
tanggung jawab terbatas (limited liability); mereka tidak secara personal
bertanggung jawab atas utang atau kewajiban korporasi. Dengan pendekatan teori
organik (organic theory), maka tangggung jawab yang sebenarnya dari korporasi
terletak pada struktur organisasionalnya, kebijakannya dan kultur yang diterapkan
dalam korporasi. Perkembangan teori dan konsep serta penerapan
pertanggungjawaban pidana dari korporasi (corporate criminal liability) semakin
urgen untuk dikaji dan dikembangkan baik berdasarkan teori-teori dari negara-
negara yang menganut sistem common law dan civil law.9
Dalam wilayah eks-Karesidenan Surakarta yang lebih dikenal dengan
sebutan Subosukawonosraten, Kabupaten Karanganyar merupakan daerah yang
pernah menjadi locus delicti pencemaran lingkungan, mengingat tidak sedikit
industri yang berdomisili di wilayah tersebut. Salah satu contoh kasus pencemaran
lingkungan yang terjadi di wilayah Kabupaten Karanganyar adalah kasus
pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh Industri Textil PT SARI WARNA
ASLI III pada tahun 2004. PT SARI WARNA ASLI III bergerak di bidang usaha
industri tekstil yang berkapasitas produksi sebesar kurang lebih 2 juta yard per
bulan dan dari produksi tersebut dihasilkan pula limbah cair dan padat. Dengan
demikian Drs. SUTEDJO Bin LISTYO SUSENO selaku Plant Manager,
bertanggung jawab terhadap atas hasil pengolahan limbah PT SARI WARNA
ASLI III yang menghasilkan limbah cair dengan debit sebesar kurang lebih antara
400 M3 sampai 500 M3 per hari dan limbah cair tersebut dilakukan pengolahan
limbah (UPL), untuk selanjutnya dibuang di sungai Sroyo. Selaku Plant Manager,
Drs. SUTEDJO Bin LISTYO SUSENO mengetahui limbah cair yang dihasilkan
tersebut melebihi batas baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri tekstil atau
tidak mempunyai persyaratan sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Surat
Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor : 660.1/02/1997 tanggal 9 Mei 1997.
9 Nyoman Serikat Putra Jaya, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2012, Semarang, hlm. 5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Oleh karena itu kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang akan dibahas penulis, yaitu kasus yang dilakukan atas nama Terdakwa
Drs SUTEDJO bin LISTYO SUSENO.10
Kasus ini sudah diputuskan sebagaimana
yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar No.
18/Pid.B/2005/PN. Kray jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.
139/Pid/2005/PT.Smg jo. Putusan Mahkamah Agung No. 2077 K/Pid/2006
dengan amar putusan terdakwa terbukti sah dan meyakinkan melanggar Perbuatan
Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 43 ayat (1) Jo. Pasal 45
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
berhubung kasus ini dilakukan pada tahun 2006, maka yang dipakai sebagai dasar
hukum yaitu masih UU No.23 tahun 2007. Untuk lebih memperjelas kasus ini,
maka penulis menganalisisnya memakai pisau bedah yang lebih tajam dalam hal
ini UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Mencermati putusan tersebut di atas, bila mendasari salah satu
pertimbangan Majelis Hakim yang telah diuraikan di atas sesuai dengan Teori
Identifikasi (Identification Theory) atau the alter Ego Theory. Atas dasar teori
tersebut, maka semua tindakan atau tindak pidana yang dilakukan oleh orang-
orang yang dapat diidentifikasikan dengan organisasi atau mereka yang disebut
who constitute its directing mind and will of the corporation yaitu individu-
individu yang mempunyai tingkatan manager, yang dalam tugas dan
kewenangannya tidak di bawah perintah atau arahan dari kewenangan atasan yang
lain dalam suatu perusahaan, dapat diidentifikasikan sebagai perbuatan atau tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi. Dengan demikian pertanggungjawaban
korporasi tidak didasarkan atas konsep tanggung jawab pengganti (vicarious
liability).11
Mengacu pada teori dan salah satu pertimbangan Majelis Hakim
Pemeriksa perkara tersebut nampaknya tidak sesuai dengan amar putusan yang
dijatuhkan. Hal itu dapat dilihat dari amar putusan yang menyatakan bahwa
10
Berdasarkan data dari Kepaniteraan Pengadilan Negeri Karanganyar. 11
Ibid hlm. 26.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi Pidana bersyarat. Adapun
pertimbangan Hakim yang lain juga menyebutkan bahwa keberadaan PT. Sari
Warna Asli III mempunyai ribuan karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut.
Sehingga Majelis Hakim memandang bahwa pidana bersyarat akan lebih tepat dan
efektif untuk diterapkan kepada Terdakwa yang berfungsi sebagai penangkal
(deterrence) diulanginya perbuatan tersebut.
Berdasarkan putusan tersebut Majelis Hakim tidak memperhatikan Pasal
46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang menyatakan, “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab
ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan
tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun
terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-
duanya. Sedangkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa selain ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud dalam KUHP dan undang-undang ini, terhadap pelaku
tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: :
1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
2. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
3. Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
4. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
5. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
6. Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.
Mencermati beberapa uraian tersebut di atas, sangatlah menarik untuk
dikaji terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dengan peraturan
organik tentang lingkungan hidup serta fakta-fakta dan faktor-faktor yang saling
mempengaruhi. Oleh karena itu, penulis mengangkat masalah penulisan tesis
dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP (Studi Kasus Pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray Jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.139/Pid.B/2005/PT.Smg Jo.
Putusan Mahkamah Agung No. 2077 K/Pid/2006)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang yang telah dikemukakan di atas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Mengapa Hakim menjatuhkan putusan bersyarat terhadap korporasi dalam
tindak pidana lingkungan hidup Pada Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar
No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang
No.139/Pid.B/2005/PT.Smg Jo. Putusan Mahkamah Agung No. 2077
K/Pid/2006 ?
2. Bagaimana model ideal Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam tindak
pidana Lingkungan Hidup pada Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar No.
18/Pid.B/2005/PN. Kray Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang
No.139/Pid.B/2005/PT.Smg Jo. Putusan Mahkamah Agung No. 2077
K/Pid/2006 ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui alasan hakim menjatuhkan putusan bersyarat terhadap
korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup pada Putusan
Pengadilan Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray Jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Semarang No.139/Pid.B/2005/PT.Smg Jo. Putusan
Mahkamah Agung No. 2077 K/Pid/2006.
2. Untuk mendeskripsikan model ideal pertanggungjawaban pidana korporasi
terhadap tindak pidana dalam bidang lingkungan hidup Putusan Pengadilan
Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray Jo. Putusan Pengadilan
Tinggi Semarang No.139/Pid.B/2005/PT.Smg Jo. Putusan Mahkamah Agung
No. 2077 K/Pid/2006.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, mampu memberikan pandangan pemikiran berupa konsep atau
teori, asumsi mengenai analisis pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 139/Pid/2005/PT.Smg jo. Putusan
Mahkamah Agung No. 2077 K/Pid/2006Tentang Tindak Pidana Lingkungan
Hidup.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, mampu menunjukkan arti penting adanya bentuk
pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pencemaran lingkungan
hidup pada kasus Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar No.
18/Pid.B/2005/PN. Kray jo. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.
139/Pid/2005/PT.Smg jo. Putusan Mahkamah Agung No. 2077 K/Pid/2006. Di
samping itu hasil penelitian ini dapat pula digunakan sebagai masukan bagi
penelitian yang akan datang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Korporasi
a. Pengertian Korporasi
Kata korporasi berasal dari bahasa Inggris, yakni corporation yang
diartikan sebagai badan hukum.12
Dalam bahasa Belanda disebut corporatie
recht persoon yang diartikan sebagai korporasi atau badan hukum korporasi
juga diartikan sebagai badan hukum yang maksudnya suatu perkumpulan
atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti rnanusia (Personal),
yaitu memiliki persamaan hak dan kewajiban, dan memililu hak digugat dan
menggugat dimuka pengadilan.13
Dari pengertian tersebut, maka suatu kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi adalah suatu bentuk kejahatan yang dilakukan berhubungan
dengan badan hukum. Suatu badan hukum yang telah mendapatkan
pengesahan pendiriannya, sejak saat itu pula badan hukum tersebut
memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan kegiatannya serta
mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah untuk setiap kegiatan
usaha yang dilakukannya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Menurut pendapat Salman Luthan bentuk kejahatan yang dilakukan
oleh korporasi dapat digolongkan dalam tiga pengertian sebagai berikut:14
1. Crime for corporation yaitu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi itu
sendiri atau dapat dikatakan sebagai corporate crime are clearly
committed for the corporate.
2. Crime against corporation atau yang disebut dengan employee crime.
12
Kamus Inggris-Indonesia, Jhon M.Echols dan Hasan Shadily, Penerbit PT Gramedia Jakarta. 13
Albertus Magnus Sunur. Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana , Jurnal
Cendekia, Vol. 1, No. 2, Oktober 2012. Hlm. 1 14
Salman Luthan, Anatomi Kejahatan Korporasi dan Penanggulangan, Jurnal Hukum, Penerbit Pusat
Studi Hukum UI, Jogjakarta, 1994, hlm. 18
11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
3. Criminal corporation yaitu korporasi yang sengaja dibentuk dan
dikendalikan untuk melakukan kejahatan.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa korporasi adalah kumpulan
organ yang terbentuk secara terorganisir dan memiliki tujuan antara lain
mencari keuntungan. Dalam menjalankan korporasi tersebut kadang kala
korporasi tersebut, baik disengaja atau tidak disengaja dapat melakukan
perbuatan pidana atau perbuatan melawan hukum yang menimbulkan
kerugian pada pihak lainnya.
Pertanggungjawaban pidana, sangat erat kaitannya dengan perbuatan
pidana serta pelaku tindak pidana itu sendiri. Dalam arti bahwa apakah
pelaku tindak pidana dimaksud telah memiliki unsur kesalahan dan atas
unsur kesalahan dimaksud mampu atau tidak untuk
mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukannya.
Apabila korporasi melakukan perbuatan pidana, maka yang berkedudukan
sebagai pelaku atau dader adalah para pengurus korporasi, sedangkan
terhadap korporasi tidaklah dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidananya. Hal demikian dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 59 KUHP
yang menentukan "Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan
pidana terhadap pengurus, anggota-anggota pengurus atau komisaris-
komisaris, maka pengurus, anggota pengurus atau komisaris yang temyata
tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana".15
Mencermati ketentuan pasal 59 KUHP dimaksud, yang dianggap
pelaku tindak pidana dilakukan oleh korporasi adalah mereka sebagai
pengurus korporasi, sedangkan korporasi tidaklah dapat dikatakan sebagai
pelaku tindak pidana, karena yang berkedudukan sebagai pelaku tindak
pidana dalam ketentuan KUHP adalah rnereka yang melaksanakan
perbuatan pidana secara nyata, sedangkan korporasi tidak melakukan
perbuatan secara nyata. Melihat pada rumusan delik pasal 59 KUHP
dimaksud dapat dikatakan bahwa para penyusun KUHP dahulu dipengaruhi
15 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana: Dua Pengertian Dasardalam
Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1994, hlm. 13.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
asas "societas delinquere nonpotest " yaitu badan-badan hukum tidak dapat
melakukan perbuatan pidana.
Dengan demikian, dalam ketentuan KUHP yang ada sekarang,
korporasi tidak dapat dikatakan sebagai pelaku (dader) tindak pidana,
sehingga kesalahan yang ada pada korporasi menjadikan kesalahan dari para
pengurus korporasi tersebut. Hal ini terjadi karena KUHP masih
berpedoman kepada bahwa pelaku (dader) tindak pidana hanya dapat
dilakukan oleh manusia atau j'jaieke daderschapbegrip, dimana yang
dianggap sebagai pelaku adalah yang melakukan perbuatan secara nyata
saja. Korporasi dalam ha1 ini tidak dapat melakuan perbuatan pidana secara
nyata. Korporasi dalam melakukan perbuatan pidana dilakukan oleh orang-
orang yang terlibat dalam kepengurusan korporasi tersebut. Mereka tersebut
antara lain adalah Direksi dan Komisaris, sehingga rnereka inilah yang akan
mempertanggungjawabkan segala perbuatan pidana yang dilakukan oleh
korporasi tersebut.16
b. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi menurut Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Korporasi disebut sebagai legal personality. Ini artinya korporasi
dapat memiliki kekayaan sebagaimana manusia dan dapat menuntut dan
dituntut dalam kasus perdata. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah
korporasi juga dapat dipertangungjawabkan dalam hukum pidana?
Bila mencermati lex generalis penal yang telah dikodifikasi sejatiya
tidak mengenal subjek hukum korporasi (recht person), mengingat
korporasi tidak memiliki mens rea dalam melakukan kesalahan (schuld).
Sanksi pidana penjara juga tidak mungkin dijatuhkan untuk korporasi. Hal
tersebut nampaknya tidak menjadi hambatan untuk penjatuhan
pertanggungjawaban terhadap korporasi, karenakan dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kegiatan korporasi yang semakin masif dilakukan, maka
16
Ibid. hlm. 67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
dari itu timbulah suatu gagasan tentang pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi.
Kejahatan korporasi biasanya dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai status ekonomi yang tinggi dan terhormat. Biasanya kejahatan
tersebut dilakukan dalam kaitan dengan pekerjaan. Sisi lain yang menjadi
pusat perhatian dalam perkembangan dan perubahan dalam bidang kegiatan
sosial-ekonomi adalah penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat
merugikan dan membahayakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang
berskala luas.
Kejahatan korporasi dilakukan tanpa kekerasan tetapi selalu disertai
kecurangan, penyesatan, manipulasi, akal-akalan atau pengelakan terhadap
peraturan. Di samping itu, kejahatan korporasi itu biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang cukup pandai, oleh karena itu pengungkapan terhadap
kejahatan yang terkait dengan korporaso tidaklah mudah, apalagi jika
dikaitkan dengan karakteristik sebagaimana diuraikan sebagai berikut:17
1. Kejahatan tersebut sulit dilihat, karena biasanya tertutup oleh kegiatan
pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional dan
organisasi yang kompleks;
2. Kejahatan tersebut sangat kompleks, karena selalu berkaitan dengan
kebohongan, penipuan, dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan
sesuatu yang ilmiah, teknologis, finansial atau keuangan, legal,
terorganisasikan dan melibatkan orang banyak serta berjalan bertahun-
tahun;
3. Terjadinya penyebaran tanggung jawab yang semakin luas akibat
kompleksitas organisasi;
4. Penyebaran korban sangat luas seperti kolusi dan penipuan;
5. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntut sebagai akibat
profesionalisme yang tidak seimbang antara penegak hukum dengan
pelaku kejahatan;
17
Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2012. hlm. 46 – 48.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
6. Peraturan yang tidak jelas sehingga sering menimbulkan kerugian dalam
penegakkan hukum;
7. Sikap mendua status Pelaku Tindak Pidana.
Dalam bidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau
badan usaha yang manyandang istilah korporasi diterima dan diakui sebagai
subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula
dipertanggungjawabkan. Menurut Mardjono Reksodiputro terdapat tiga
bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai
berikut:18
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus
korporasilah yang bertanggung jawab secara pidana;
2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana, namun pengurus korporasilah
yang bertanggung jawab secara pidana;
3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang
bertanggung jawab secara pidana.
Korporasi dapat dipidana melalui dua cara, yaitu:
1. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas strict liability atas
kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya;
2. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas identifikasi.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur tentang
pertanggungjawaban korporasi. Pengaturan pertanggungjawaban korporasi
dalam UU PPLH, yaitu berupa sanksi administratif, sanksi perdata maupun
sanksi pidana. Sanksi administratif berupa teguran tertulis, paksaan
pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan.
Sedangkan sanksi perdata berupa gugatan ganti rugi dan pemulihan
lingkungan serta tanggung jawab mutlak (strict liability), gugatan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, gugatan perwakilan yang diajukan oleh
masyarakat, gugatan organisasi lingkungan hidup dan gugatan administrasi.
18
Mardjono Reksodiputro, Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya Perubahan Wajah
Pelaku Kejahatan di Indonesia,” dalam Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan
Karangan Buku Kesatu, Pusat Layanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 2007, hlm. 72.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Selanjutnya dalam kaitan dengan sanksi pidana, Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) membagi
tindak pidana lingkungan menjadi 2 (dua) yaitu Tindak Pidana Materiil dan
Formil. Tindak Pidana dalam arti Materiil adalah Tindak Pidana yang
menitikberatkan pada akibat dari perbuatan itu, yang mana unsur kausalitas
harus dibuktikan yang mana bersifat mandiri dan terkait izin. Mengingat
pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh rumah sakit yang merupakan
suatu bentuk korporasi maka wajar apabila badan hukum tersebut dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana.
c. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi, terdapat beberapa teori atau ajaran yang dapat
dijadikan dasar dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana tersebut.
Teori pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan pembebanan
pertanggungjawaban korporasi, diantaranya:19
1. Teori Identifikasi (Identification theory)
Teori identifikasi merupakan salah satu teori yang digunakan
dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang
melakukan kejahatan. Secara garis besar, teori ini mengemukakan bahwa
agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, orang
yang melakukan tindak pidana harus dapat didentifikasi terlebih dahulu.
Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar dibebankan kepada
korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang
merupakan pembuat kebijakan korporasi untuk menjalankan kegiatan
dari korporasi tersebut.20
19
Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, disampaikan dalam ceramah
di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, tanggal 27 April 2006. 20
Muladi, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung
hlm. 21.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Sedangkan menurut Ferguson sebagaimana dikutip Muladi,
menyatakan:21
”The identification doctrine, as median rule, states that the
action and mental state of the corporations will be found in the
actions and states of mind of employees or officers of the
corporation who may be considered the directing mind and will
of the corporation in a given sphere of the corporation’s
activities”.
Teori identifikasi atau biasa yang disebut doctrine identification
merupakan salah satu doktrin yang digunakan untuk membebankan
pertangggungjawaban pidana kepada korporasi. Korporasi dipandang
dapat melakukan tindak pidana melalui individu-individu yang
dipandang mempunyai hubungan yang erat dengan korporasi atau dapat
dipandang sebagai korporasi itu sendiri.22
Richard Card menyatakan bahwa teori identifikasi adalah salah
satu teori yang menjustifikasi pertanggungjawaban korporasi dalam
hukum pidana. Teori ini menyebutkan bahwa tindakan atau kehendak
direktur adalah juga merupakan tindakan atau kehendak korporasi (the
act and state of mind of the person are the acts and state of mind of the
corporation).23
Ada beberapa permasalahan terkait dengan pelaksanaan prinsip
identifikasi, antara lain:24
a) Semakin besar dan semakin banyak bidang usaha sebuah perusahaan,
maka semakin besar kemungkinan perusahaan tersebut akan
menghindar dari tanggung jawab;
b) Pada korporasi terdapat direktur dan manajer yang mengontrol
kegiatan korporasi dan para pegawai atau agen yang melaksanakan
kebijakan dari direktur atau manajer. Namun demikian, sikap batin
21
Nyoman Serikat Putra Jaya, op.cit, hlm. 27. 22
Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan
Kejahatan Korporasi, Arti Bumintaran, Yogyakarta, 2008, hlm. 19. 23
Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum Vol 6, 1999. 24
Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum,
Bandung, 1991, hlm. 93-94.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
dan keinginan dari para pegawai tersebut tidak dapat dianggap
sebagai keinginan dan sikap batin dari korporasi. Berbeda dengan
sikap batin dan keinginan dari direktur atau manajer yang dapat
dianggap sebagai sikap batin dan keinginan dari korporasi, karena
direktur atau manajer merupakan pembuat kebijakan dari korporasi.
Hal tersebut sebagaimana menurut pendapat Hanafi yang
menyebutkan bahwa sikap batin orang tertentu yang memiliki
hubungan erat dengan pengelolaan urusan korporasi dipandang
sebagai sikap batin korporasi. Orang-orang tersebut, disebut sebagai
“senior officers” (pejabat senior) dari perusahaan.25
2) Teori Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability)
Pertanggungjawaban pengganti adalah suatu pertanggungjawaban
pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan pidana yang
dilakukan oleh orang lain. (a vicariuos liability is one person, though
without personal fault, is more liable for the conduct of another).26
Menurut doktrin vicarious liability, seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan kesalahan orang lain.
Pertanggungjawaban demikian hampir semuanya ditujukan pada delik
undang-undang (statutory offences). Dengan kata lain, tidak semua delik
dapat digantikan pertanggungjawabannya. Pengadilan telah
mengembangkan sejumlah prinsip-prinsip mengenai hal ini, salah
satunya adalah employment principle. Dalam employment principle,
majikan adalah pihak yang utama yang bertanggung jawab terhadap apa
yang dilakukan oleh buruh di mana perbuatan tersebut dilakukan dalam
lingkup pekerjaannya.27
Berdasarkan prinsip employment principle, korporasi
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-
pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi
tanggung jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah
25
Hanafi, op. cit. 26
ibid 27
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo, 2002, hlm. 151
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada
korporasi.
Menurut Marcus Flatcher, terdapat dua syarat penting dalam
hukum pidana yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan perbuatan
pidana dengan pertanggungjawaban pengganti. Syarat-syarat tersebut
adalah:28
a) Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan antara
majikan dan pegawai/pekerja (there must be relationship, such as the
employment relationship, between X and Y which is sufficient to
justify the imposition of vicarious liability);
b) Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut
harus berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya (the
criminal conduct committed by Y must be referable in some particular
way to relationship between X and Y).
Selain dua syarat sebagaimana disebutkan di atas, terdapat dua
prinsip yang harus dipenuhi dalam menerapkan vicarious liability, yaitu
prinsip pendelegasian (the delegation principle) dan prinsip perbuatan
buruh merupakan perbuatan majikan (the servant’s act is the master’s act
in law).
3) Teori pertanggungjawaban mutlak menurut undang-undang (strict
liability)
Pertanggungjawaban mutlak adalah pertanggungjawaban tanpa
kesalahan. Artinya, pembuat sudah dapat dipidana apabila telah
melakukan perbuatan pidana sebagaimana telah dirumuskan dalam
undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas ini
diistilahkan dengan liability without fault. Jadi unsur pokok dalam strict
liability adalah actus reus (seseorang telah melakukan suatu perbuatan)
bukan mens rea (si pelaku mempunyai kesalahan atau tidak).
28
Op. cit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan
tertentu dan terbatas. Berikut merupakan landasan penerapan strict
liability:
a) Tidak berlaku umum terhadap semua jenis perbuatan pidana, tetapi
sangat terbatas dan tertetu terutama mengenai kejahatan anti sosial
atau yang membahayakan sosial;
b) Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum yang bertentangan
dengan prinsip kehati-hatian yang diwajibkan hukum dalam
kepatutan;
c) Perbuatan tersebut dilarang dengan keras oleh undang-undang karena
dikategorikan sebagai aktifitas atau kegiatan yang sangat potensial
mengandung bahaya kesehatan, keselamatan dan moral publik (a
particular activity potential danger of public health, safety, or moral);
d) Secara keseluruhan perbuatan tersebut tidak melakukan pencegahan
yang wajar (unreasonable precausions).29
Menurut Romli Atmasasmita menyatakan bahwa hukum pidana
Inggris selain menganut asas actus non facit reum nisi mens sit rea, juga
menganut prinsip pertanggungjawab mutlak tanpa harus membuktikan
ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana.
Pertanggungjawaban tersebut dikenal dengan strict liability crimes.30
Sementara itu, Barda Nawawi Arief memandang bahwa strict liability
merupakan pengecualian berlakunya asas tiada pidana tanpa kesalahan.
Dengan demikian, strict liability akan efektif apabila diterapkan pada
delik korporasi.
Pertanggungjawaban pidana ketat ini juga dapat hanya
berdasarkan undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau
29
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan tentang Permasaahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
1997. 30
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana,Mandar Maju, Cetakan II, Bandung, 2000, hlm.
76.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh
undang-undang. Dalam hal ini undang-undang menetapkan delik bagi: 31
a) Korporasi yang menjalankan usahanya tanpa ijin;
b) Korporasi pemegang ijin yang melanggar syarat-syarat
(kondisi/situasi) yang ditentukan dalam ijin itu;
c) Korporasi yang mengoperasikan kendaraan yang tidak diasuransikan.
d. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi menurut RUU KUHP
Adanya korporasi yang melakukan kejahatan sekarang ini bukanlah
hal yang baru. Media massa seringkali memberitakan tentang tindak pidana
yang dilakukan oleh Korporasi baik di luar maupun di dalam negeri.
Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi ini ternyata tidak hanya terjadi
pada masa-masa sekarang saja, tetapi sudah berlangsung sejak lama. Hal ini
dapat dilihat dari munculnya berbagai teori pertanggungjawaban pidana
Korporasi yang dilahirkan dalam rangka menghentikan atau menghukum
Korporasi yang melakukan tindak pidana. Di Indonesia juga terdapat
beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur korporasi, salah
satunya adalah Undang-Undang Lingkungan Hidup. Bahkan saat ini,
pertanggungjawaban korporasi dimasukkan dalam RUU KUHP.
Ketentuan umum tentang pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam RUU KUHP diatur dalam Buku I, dalam pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal 47 yang menyebutkan bahwa “Korporasi sebagai subjek tindak
pidana ”.
2. Pasal 48 yang menyebutkan bahwa “Tindak pidana dilakukan oleh
korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan
atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar
hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-
sendiri atau bersama-sama”.
31
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 237-
238.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
3. Pasal 49 yang menyebutkan bahwa “Jika tindak pidana dilakukan oleh
korporasi, pertanggungjawaban pidananya dapat dikenakan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya”.
4. Pasal 50 yang menyebutkan bahwa “Korporasi dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang
dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut
termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam
anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang
bersangkutan”.
5. Pasal 51 yang menyebutkan bahwa “Pertanggungjawaban pidana
pengurus korporasi dibatasi sepanjang, pengurus mempunyai kedudukan
fungsional dalam struktur organisasi korporasi”.
6. Pasal 52 :
(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus
dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan
perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana
terhadap korporasi.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dinyatakan dalam putusan hakim.
7. Pasal 53 yang menyebutkan bahwa “Alasan pemaaf atau alasan
pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk
dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang
alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang
didakwakan pada korporasi.
e. Korporasi Sebagai Subjek Hukum
Subekti dan R. Tjitrosudibio menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan corporatie atau korporasi adalah suatu perseoran yang merupakan
badan hukum. Dengan demikian, maka dikenal adanya subjek hukum
manusia dan subjek hukum bukan manusia yaitu badan hukum seperti
Perseroan Terbatas (PT), Negara, Badan-badan internasional dan lain-lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
serta bukan badan hukum, seperti maatschap atau persekutuan perdata,
Persekutuan Komanditer (CV) dan Persekutuan Firma (Fa). Sebagai subjek
hukum, perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia
(direksi; manajemen), sehingga pelimpahan pertanggung jawaban
manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi (badan
hukum, legal person).
Tanggung jawab korporasi juga diatur dalam Undang-Undang
Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur mengenai tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi atau kejahatan korporasi (corporate liability).
Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi diatur dalam Pasal 45 dan
Pasal 46 UUPLH.
Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH),
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi diatur dalam Pasal 116.
Berdasarkan Pasal 116 UUPPLH dapat dikatakan bahwa tindak pidana
korporasi di bidang lingkungan hidup adalah tindak pidana yang dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain. Adapun sanksi pidana dijatuhkan selain kepada korporasi
itu, juga kepada mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana,
atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau kedua-
duanya. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 117 UUPPLH menyebutkan bahwa
jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin
tindak pidana,maka ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara
dan denda diperberat dengan sepertiga. Tuntutan pidana dilakukan dan
sanksi pidana dijatuhkan kepada mereka yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pemimpin tanpa perlu mengingat apakah orang-orang itu
melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
Pada awalnya, pembuat undang-undang berpandangan bahwa hanya
manusia (orang per orang/individu) yang dapat menjadi subjek tindak
pidana. Jadi korporasi tidak dapat menjadi subjek tindak pidana. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
dapat kita lihat dari sejarah perumusan ketentuan Pasal 51 Sr. (Pasal 59
KUHP) terutama dari cara bagaimana delik dirumuskan (yang selalu
dimulai dengan frasa hij die, ‘barangsiapa’). Sebagaimana juga patut
dicermati adalah hukum pidana substantive dan hukum pidana prosesuil.
Untuk yang terakhir disebut, fakta menunjukkan bahwa kita tidak akan
menemukan pengaturan peluang menuntut korporasi kehadapan pengadilan
pidana. Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik sering terpaksa
turut memperhitungkan kenyataan bahwa manusia melakukan tindakan di
dalam atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di
luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu
kesatuan yang arena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan
hukum/korporasi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pembuat
undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika
mereka berhadapan dengan situasi seperti itu.32
Disamping itu, berkenaan dengan ihwal pelanggaran, sering juga
terjadi bahwa di dalam perundang-undangan atau peraturan khusus di
luarnya, pengurus perhimpunan atau persekutuan perdata dibebeani
sejumlah kewajiban yang jika dilanggar akan menimbulkan ancaman
pidana. Dengan cara ini, tuntutan pertanggungjawaban terhadap
pelanggaran yang terjadi dituntut secara en bloc (keseluruhan). Misalnya,
kewajiban pengurus suatu perhimpunan untuk memberikan sejumlah
keterangan kepada penguasa. Bahkan tatkala rancangan KUHPidana
(Belanda) sedang digodok, dapat menemukan sejumlah peraturan seperti
yang digambarkan di atas.33
Pemerintah berpandangan bahwa korporasi mengikuti pandangan
Von Savigny (ahli hukum Romawi dari Jerman) yang menyatakan korporasi
sebagai suatu fiksi hukum yang diterima dalam lingkup hukum keperdataan
merupakan gagasan yang tidak cocok diambil alih begitu saja untuk
kepentingan hukum pidana. Jika ihwal menghukum atau menjatuhkan
32
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 97 33
Ibid, hal. 98
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
sanksi (pidana) kita pandang semata-mata sebagai system pengaturan
masyarakat, baru semuanya bisa berubah. Karena itu, disamping manusia,
korporasi juga selayaknya dapat dimintai tanggung jawab atas tindakan-
tindakannya di dalam masyarakatnya dan perlu ada perangkat sanksi khusus
bagi korporasi. Dengan cara ini kita dapat menjatuhkan sanksi pidana
berupa penjatuhan denda, penyitaan harta kekayaan korporasi dan lain-lain.
Kita bahkan juga dapat menjatuhkan putusan likuidasi sebagai sanksi
terhadap korporasi.
Melalui Undang-Undang tanggal 23 Juni 1976, sifat dapat
dipidananya korporasi sebagaimana diatur dalam bagian umum KUHPidana
dianggap berlaku untuk keseluruhan system hukum pidana. Pada saat yang
sama, semua peraturan lain yang secara langsung menetapkan korporasi
sebagai pihak yang dapat dipisana juga dihapuskan, termasuk peraturan-
peraturan yang menetapkan pengurus sebagai pihak yang harus bertanggung
jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Pemahaman di atas
dimasukkan ke dalam ketentuan Pasal 51 Sr. yang kemudian memuat isi
yang jauh berbeda dan berbunyi:
1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorang maupun oleh
korporasi;
2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana
dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan (maatregelen) yang
disediakan dalam perundang-undangan sepanjang berkenaan dengan
korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat
dilakukan terhadap:
a) Korporasi sendiri, atau
b) Mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan
tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual
memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau
c) Korporasi atau mereka yang disebut dalam butir b) bersama-sama
secara tanggung renteng
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
3. Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan
dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap
(persekutuan perdata), rederij (perusahaan perkapalan) dan
doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan
tertentu; social fund atau yayasan).34
2. Hakim dan Perilaku Rasional dalam Mengambil Putusan
Hakim merupakan salah satu catur wangsa dalam sistem penegakan
hukum, yang mempunyai tugas pokok menerima, memeriksa dan memutuskan
dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu
seorang Hakim mempunyai peran yang sangat penting dalam menegakkan
hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya. Sehingga para pencari
keadilan selalu berharap, perkara yang diajukannya dapat diputus oleh Hakim
yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi sehingga
putusannya nanti tidak hanya bersifat legal justice (keadilan menurut hukum)
tetapi juga mengandung nilai moral justice (keadilan moral) dan social justice
(keadilan masyarakat).
Hakim sebagai penegak hukum dalam memeriksa dan memutus perkara
di persidangan, sering menghadapi kenyataan bahwa ternyata hukum tertulis
(Undang-undang) tidak selalu dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Bahkan seringkali atas inisiatif sendiri hakim harus menemukan hukumnya
(rechtsvinding) dan atau menciptakan hukum (rechtsschepping) untuk
melengkapi hukum yang sudah ada. Karena sesuai UU Kekuasaan Kehakiman,
hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada, tidak
lengkap atau hukumnya masih samar.
Disinilah letak pentingnya penemuan hukum oleh Hakim, untuk
mengisi kekosongan hukum sehingga tercipta putusan Pengadilan yang baik
yang dapat digunakan sebagai sumber pembaharuan hukum atau
perkembangan ilmu hukum. Permasalahannya adalah bagaimana seharusnya
seorang Hakim berfikir dalam rangka penemuan hukum agar dapat
34
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 102
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
menghasilkan putusan yang berkualitas dalam setiap menyelesaikan sengketa
yang dihadapi. Tentunya Hakim sebagai lembaga pengadil dalam setiap
putusannya harus senantiasa mengisi kekosongan hukum melalui proses
berfikir tidak hanya berdasarkan Ilmu hukum dan berbagai ilmu-ilmu
bantuannya tetai juga melibatkan Filsafat hukum dan teori hukum. Hakim
dalam memutus sengketa tidak boleh hanya membaca teks-teks formal UU
secara normatif melainkan harus mampu merenungkan hal-hal yang
melatarbelakangi ketentuan tertulis secara filsafat dan bagaimana rasa keadilan
dan kebenaran masyarakat akan hal itu. Disinilah pentingnya seorang Hakim
harus menghayati dan mendalami filsafat hukum dalam setiap langkahnya
menemukan hukum.
Begitu pentingnya peran Hakim dalam penegakan hukum, sehingga
dalam Hukum acara Hakim dianggap mengetahui semua hukumnya (ius curia
novit) yang akan menentukan hitam putihnya hukum melalui putusannya.
Namun dalam prakteknya penegakan hukum sering dijumpai ada peristiwa
yang belum diatur dalam dalam perundang-undangan. Atau meskipun sudah
diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas, karena memang tidak ada satu
hukum atau UU mengatur yang selengkap-lengkapnya mengingat masyarakat
yang diatur oleh hukum senantiasa berubah (dinamis).
Oleh karena itu kekurangan atau ketidaklengkapan aturan hukum atau
Undang-undang harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukum agar aturan
hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dan subyek yang memiliki
wewenang dalam menegakan hukum cq.menemukan hukum itu adalah Hakim.
Pada hakekatnya semua perkara yang harus diselesaikan oleh Hakim di
Pengadilan membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya
dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya sehingga dapat dihasilkan
putusan yang ideal, yang mengandung aspek yuridis (kepastian), filosofis
(keadilan) dan kemanfaatan (sosiologis).
Menurut Soejono Koesoemo Sisworo, penegakan hukum oleh Hakim
melalui penemuan hukum itu termasuk obyek pokok dari telaah filsafat hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Di samping masalah lainnya seperti hakekat pengertian hukum, cita/tujuan
hukum dan berlakunya hukum.35
Sedangkan menurut Lili Rasyidi, obyek pembahasan filsafat hukum
masa kini memang tidak terbatas pada masalah tujuan hukum melainkan juga
setiap masalah mendasar yang muncul dalam masyarakat dan memerlukan
pemecahan. Masalah itu antara lain : (1) hubungan hukum dengan kekuasaan ;
(2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa sebabnya negara
berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang menaati hukum ; (5)
masalah pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ; (7) masalah kontrak ;
(8) dan masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
(socialengineering).36
Sedangkan menurut Theo Huybers, unsur yang menonjol dalam telaah
filsafat hukum antara lain tentang arti hukum kaitannya dengan hukum alam
serta prinsip etika, kaitan hukum dengan pribadi manusia dan masyarakat,
pembentukan hukum, serta perkembangan rasa keadilan dalam Hak Asasi
manusia.37
Dengan demikian dalam menjalankan tugasnya memeriksa dan
memutus perkara terutama dalam menemukan hukum dan nilai-nilai keadilan,
seorang Hakim dituntut selain menguasai teori ilmu hukumnya juga harus
menguasai filsafat hukum. Namun tidak mudah bagi seorang Hakim untuk
membuat putusan yang idealnya harus memenuhi unsur filsafat seperti
Keadilan (filosofis), kepastian hukum (yuridis) dan kemanfaatan(sosiologis)
sekaligus. Oleh karena itu, diperlukan keberanian Hakim melalui
diskresi/kewenangan yang dimilikinya untuk dapat menemukan hukumnya
(rechtsfinding) berdasarkan pendekatan yang lebih komprehensif dan integral
melalui analisis filsafat.
35
Soeyono Koesoemo Sisworo, Pidato ilmiah Dies Natalis ke-25 UNISSULA, Dengan semangat
Sultan agung Kita tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, Suatu perjuangan yang
tidak pernah tuntas, Universitas Diponegoro Semarang, hlm. 97. 36
Lily Rasyidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum penerbit Alumni Bandung, 1982, hal.10. 37
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Penerbit yayasan Kanisius, Yogjakarta,
1982, hal.273.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
3. Tinjauan tentang Pidana Bersyarat
a. Pengertian Pidana Bersyarat
Pemidanaan merupakan perlindungan kepada masyarakat dan
pembalasan atas suatu perbuatan hukum. Dalam kebijakan pemidanaan,
khususnya mengenai penetapan jumlah atau lamanya ancaman pidana,
dikenal 2 (dua) sistem atau pendekatan, yaitu:38
1. Sistem atau pendekatan absolute
Yang dimaksud dengan sistem ini adalah untuk setiap tindak pidana
ditetapkan bobot/kualitasnya sendiri-sendiri, yaitu dengan menetapkan
ancaman pidana maksimum (dapat juga ancaman minimumnya) untuk
setiap tindak pidana. Penetapan maksimum pidana untuk tiap tindak
pidana ini dikenal pula dengan sebutan “sistem indefinite” atau “sistem
maksimum”. Dapat juga disebut dengan sistem atau pendekatan
tradisional, karena selama ini memang biasa digunakan dalam
perumusan KUHP berbagai negara termasuk dalam praktik legislatif di
Indonesia.
2. Sistem atau pendekatan relative
Dimaksud dengan sistem ini adalah bahwa untuk tiap tindak pidana tidak
ditetapkan bobot/kualitas (maksimum pidananya) sendiri-sendiri, tetapi
bobotnya direlatifkan, yaitu dengan melakukan penggolongan tindak
pidana dalam beberapa tingkatan dan sekaligus menetapkan maksimum
pidana untuk tiap kelompok tindak pidana itu. Sistem atau pendekatan
relatif dapat juga disebut pendekatan imaginatif.
Hukuman apa atau seberapa besar denda yang harus dikenakan pada
individu untuk suatu kejahatan tergantung pada tujuan dari suatu sanksi
pidana. Termasuk apabila hakim menjatuhkan pidana bersyarat kepada
pelaku kejahatan.
Terdapat beberapa pengertian mengenai pidana bersyarat oleh
beberapa ahli, diantaranya:
38
Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri, Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan dan Pembaharuan,
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013, hlm. 89-90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Menurut P.A.F. Lamintang39
, pidana bersyarat adalah suatu
pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim telah digantungkan pada
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam putusannya.
Sedangkan menurut Muladi, pidana bersyarat adalah suatu pidana,
dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali
bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat
umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini
pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk
mengadakan perubahan syarat-syarat yang telah ditentukan atau
memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-
syarat tersebut. Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap
pelaksanaan pidana.40
R. Soesilo menyatakan Pidana bersyarat yang biasa disebut
peraturan tentang “hukum dengan perjanjian” atau “hukuman dengan
bersyarat” atau “hukuman janggelan” artinya adalah: orang dijatuhi
hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian
ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa
pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi
keputusan penjatuhan hukuman tetap ada.41
Sedangkan Maksud dari penjatuhan pidana bersyarat ini, menurut R.
Soesilo adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana supaya
dalam tempo percobaan itu ia memperbaiki dirinya dengan jalan menahan
diri tidak akan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian
yang telah ditentukan oleh hakim kepadanya.42
b. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam KUHP
Pidana bersyarat diberlakukan di Indonesia dengan Staatblad 1926
No. 251 jo. 486, pada bulan Januari 1927 yang kemudian diubah dengan
39
P.A.F Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, hlm. 136 40
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, alumni, Bandung, 1985, hlm. 195-196. 41
R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Politeia, Bogor,
1991, hlm. 53. 42
ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Staatblad No. 172. Pidana bersyarat sendiri memiliki sinonim dengan
hukuman percobaan (Voorwardelijke Veroordeling). Berkaitan dengan
penamaan ini juga ada yang mengatakan kurang sesuai, sebab penamaan ini
itu memberi kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah
pemidanaannya atau penjatuhan pidananya. Padahal yang digantungkan
pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi
dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Pidana bersyarat sendiri
merupakan salah satu jenis penerapan sanksi pidana di luar Lembaga
Pemasyarakatan (LP), selain itu terdapat penerapan sanksi pidana lain yang
di luar LP, yaitu :43
1. Pelepasan bersyarat;
2. Bimbingan lebih lanjut;
3. Proses asimilasi/integrasi
4. Pengentasan anak dengan cara pemsyarakatan untuk terpidana anak;
5. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim atau
orang tua/wali
Pengaturan mengenai pidana bersyarat tertuang dalam Pasal 14 a
ayat (1) KUHP yang menyatakan apabila hakim menjatuhkan pidana
penjara, paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan
pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula di kemudian
hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana
melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang
ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau terpidana selama masa
percobaan tidak memenuhi syarat-syarat khusus yang mungkin ditentukan
dalam perintah itu. Selain itu juga terdapat dalam Pasal 14b, Pasal 14c ayat
(1), Pasal 14d, Pasal 14e serta Pasal 14f KUHP.
Menurut Muladi, pengaturan terkait pidana bersyarat dalam KUHP
tersebut di atas, nampaknya menjadi persyaratan dijatuhkannya pidana
bersyarat, yang akan diuraikan sebagai berikut:
43
Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan,liberty,
Yogyakarta, 2002, hlm. 190.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
3. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak
lebih dari 1 (satu) tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat
dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara dengan syarat hakim
tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun, sehingga yang
menentukan bukanlah ancaman pidana maksimal yang dapat dijatuhkan
pada pelaku tindak pidana tersebut, tetap pada pidana yang dijatuhkan
terhadap terdakwa, dari penjelasan tersebut nampak bahwa pidana
bersyarat dipergunakan berdasarkan maksud daripada hakim dalam
memutus, pada saat ia hendak memberi pidana satu tahun, maka hakim
tersebut memiliki hak untuk memberikan pidana bersyarat pada terdakwa
tersebut, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 14a ayat (2)
hakim dibatasi secara jelas berkaitan dengan jenis tindak pidana yang
tidak dapat dijatuhkan pidana bersyarat (penyimpangan), antara lain:
a) Perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila
menjatuhkan pidana denda, namun harus pula dibuktikan bahwa
pidana denda dan perampasan tersebut memang memberatkan
terpidana;
b) Kejahatan dan pelanggaran candu, perbuatan tersebut dianggap
sebagai perkara mengenai penghasilan negara;
c) Berkaitan dengan pidana denda yang dijatuhkan tidak dapat
digantikan dengan pidana kurungan.
Selain ketiga hal tersbut di atas, sebagai pengecualian tidak dapat
dijatuhkannya pidana bersyarat, terdapat juga pengecualian lain
mengenai lamanya waktu satu tahun juga dapat disimpangi, yaitu dengan
masa percobaan selama tiga tahun namun bagi kejahatan dan
pelanggaran tertentu, yaitu:
a) Perbuatan merintangi lalu lintas atau menganggap ketertiban atau
keamanan bagi orang-orang lain ataupun melakukan sesuatu, dalam
hal ini.44
44
Pasal 492 KUHP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
b) Perbuatan meminta-minta pemberian di depan umum, baik dilakukan
oleh sendiri ataupun oleh tiga orang atau lebih secara bersama-sama
dan umur mereka sudah lebih dari enam belas tahun.45
c) Perbuatan berkeliaran kemana-mana tanpa memiliki mata
pencaharian, perbuatan tersebut dilaukan oleh sendiri atau tiga orang
atau lebih dan usia mereka di atas enam belas tahun dan dalam hal ini
perbuatan tersebut adalah bergelandangan.46
d) Perbuatan sebagai germo dengan mengambil keuntungan dari
perbuatan asusila oleh seorang wanita.47
e) Perbuatan di jalan umum dalam keadaan mabuk.48
4. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan Sehubungan dengan pidana kurungan,
dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda,
mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab dalam
Pasal 18 ayat (1) KUHP sudah jelas menyatakan bahwa pidana kurungan
dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling
cepat satu hari, alasan pidana kurungan pengganti dendan tidak dapat
dikenakan pidana bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah
menjadi syarat apabila terpidana tidak dapat membayar denda, sehingga
tidak mungkin dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang sudah
menjadi syarat dari pidana pokok yang dijatuhkan;
5. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat
dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran
denda betul-betul akan dirasakan berat oleh terdakwa.
Menurut Muladi, selain pengaturan pidana bersyarat dalam KUHP,
Hakim juga perlu mempertimbangkan persyaratn tambahan untuk dapat
dijatuhkanny pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang terbukti
berbuat, antara lain:49
45
Pasal 504 KUHP 46
Pasal 505 KUHP 47
Pasal 506 KUHP 48
Pasal 536 KUHP 49
Muladi, op. Cit, hlm. 198-200
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
1. Sebelum melakukan tindak pidana itu, terdakwa belum pernah
melakukan tindak pidana lain dan selalu taat pada hukum yang berlaku.
2. Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun).
3. Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu
besar.
4. Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan
menimbulkan kerugian yang besar.
5. Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya hasutan orang
lain yang dilakukan dengan intensitas yang besar.
6. Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat
dijadikan dasar memaafkan perbuatannya.
7. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut.
8. Terdakwa telah membayar ganti rugi atau membayar ganti rugi kepada
korban atas kerugian-keruginan atau penderitaan-pernderitaan akibat
perbuatannya.
9. Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang
tidak mungkin terulang lagi.
10. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan
melakukan tindak pidana yang lain.
11. Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang
besar, baik terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya.
12. Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang
bersifat non-institusional.
13. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga.
14. Tindak pidana terjadi karena kealpaan.
15. Terdakwa sudah sangat tua.
16. Terdakwa adalah pelajar atau mahasiswa.
17. Khusus untuk terdakwa di bawah umur, hakim kurang yakin akan
kemampuan orang tua untuk mendidik.
Berkaitan dengan pelaku yang dikenai pidana bersyarat, apabila
dalam proses pemeriksaan terpidana bersyarat dikenai penahanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
(perampasan kemerdekaan), maka masa percobaan terhadap terpidana
tersebut tidak berlaku pada saat selama terpidana tersebut dirampas
kemerdekaannya.50
Bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana
bersyarat, hakim dapat memberikan syarat-syarat khusus, selain daripada
syarat umum yang telah disebutkan di atas, syarat khusus yang dapat
dijatuhkan hakim tersebut seperti pembebanan ganti kerugian terhadap
korban berkaitan dengan akibat yang timbul dari perbuatan pelaku yang
telah melanggar hukum, pembebanan ganti kerugian tersebut menyangkut
sebagian ataupun seluruh kegiatan yang ditimbulkan,51
akan tetapi
persyaratan khusus yang dapat dijatuhkan oleh hakim tersebut tidak boleh
membatasi kemerdekaan terpidana untuk beragama dan kebebasannya
menurut ketatanegaraan.
Seseorang yang dikenai pidana bersyarat apabila melakukan
perbuatan yang dapat dihukum dan hukuman yang diterimanya sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap, ataupun jika si terpidana tidak mentaati
serta melanggar syarat khusus yang telah dijatuhkan kepadanya, maka
hakim yang mejatuhkan pidana bersyarat tersebut dapat memerintahkan
agar hukuman sebagai konsekuensi pidana bersyarat tersebut dilaksankaan
atau memberi peringatan terhukum atas perbuatan yang telah dilakukan.
Berdasarkan pengertian serta pengaturan pidana bersyarat di atas,
maka Muladi memberikan pendapat mengenai manfaat-manfaat dari pidana
bersyarat tersebut antara lain:52
1. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan
kebebasan individu dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta
memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap
pelanggaran hukum lebih lanjut.
2. Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap
falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan
antara narapidana dengan masyarakat secara normal.
50
Pasal 14b ayat (3) 51
Pasal 14c ayat (1) 52
Muladi, op. Cit, hlm. 197
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
3. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat
negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali
menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam
masyarakat.
4. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh
masyarakat untuk membiaya sistem koreksi yang berdaya guna.
5. Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari
penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka
yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana.
6. Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang
bersifat integratif, dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum
dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas
masyarakat dan pengimbalan.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai tanggung jawab pidana korporasi telah dilakukan oleh
penelitian terdahulu, diantaranya:
1. Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban
Kejahatan Korporasi. Penelitian tersebut merupakan penulisan hukum (tesis)
yang dilakukan oleh Evan Elroy Situmorang di Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro pada tahun 2008. Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa
saat ini kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap
korban kejahatan korporasi belum dapat mewujudkan pertanggungjawaban
korporasi terhadap korban. Oleh karena itu, diperlukan reorientasi dan
reformulasi pada kebijakan formulasi yang akan datang dengan menekankan
pada keseragaman dan konsistensi dalam hal penentuan kapan suatu tindak
pidana dikatakan sebagai tindak pidana korporasi, siapa yang dapat dituntut
dan dijatuhi pidana atas kejahatan korporasi, serta sanksi-sanksi apa yang
sesuai untuk korporasi yang melakukan kejahatan.53
53
Evan Elroy Situmorang, Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap
Korban Kejahatan Korporasi, Tesis, Semarang UNDIP, 2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana
Lingkungan Hidup. Penelitian tersebut merupakan penulisan hukum (skripsi)
yang dilakukan oleh Anisa Handayani di Fakultas Hukum Universitas Andalas
pada tahun 2007. Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa dalam tindak
pidana lingkungan hidup berdasarkan undang-undang nomor 23 tahun 1977
diklasifikasikan dalam Pasal 41, 42, 43, 44 dan pasal 45. Model
pertanggungjawaban pidana dikenal yaitu pengurus korporasi yang berbuat
penguruslah yang bertanggungjawab, korporasi sebagai pembuat dan
penguruslah yang bertanggungjawab, dan korporasi yang berbuat dan juga
sebagai yang bertanggungjawab. Sedang kendala yang dihadapi dalam
pertanggungjawaban pidana korporasi meliputi kendala structural dan teknis.
Kendala ini lebih mengacu pada peraturan itu sendiri karena hanya perbuatan
melawan hukum formil saja yang digunakan untuk menentukan salah atau
tidaknya seseorang.54
3. Analisis Yuridis Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak
Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(PPLH). Penelitian tersebut merupakan penulisan hukum (tesis) yang
dilakukan oleh Kariawan Barus di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
pada tahun 2011. Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa
pertanggungjawaban pidana pelaku korporasi dapat dimintakan kepada
pengurus korporasi dalam hal adanya pelanggaran terhadap kekuasaan
kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini
harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya
dalam menjalan korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip
fiduciary duty. Menyangkut penerapan Business Judgment Rule terkait tidak
dapat dipertanggungjawabkannya anggota direksi dalam menjalankan
perseroan maka Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas telah merumuskan khususnya Pasal 97 ayat (5). Persoalan yang
54
Anisa Handayani. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana
Lingkungan Hidup. Tesis. Universitas Andalas. 2007.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
muncul dalam tatanan substantif maupun praktek penanganan tindak pidana di
bidang lingkungan hidup adalah menyangkut pertanggungjawaban pidana
korporasi terutama menyangkut tentang pembuktian perbuatan pidana akibat
kelalaian (culpa) yang dilakukan oleh pekerjanya dan menimbulkan perbuatan
pidana.55
C. Kerangka Pemikiran
Gambar. 1. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan Gambar:
Salah satu tujuan ditetapkannya peraturan perundang-undangan oleh
pemerintah adalah untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Tidak terkecuali
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kejahatan korporasi. Salah
satu peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang kejahatan korporasi
adalah Undang-Undang Lingkungan Hidup, baik dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diganti
55
Kariawan Barus. Analisis Yuridis Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana
Di Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Universitas Sumatera Utara. 2011.
UU Nomor 32 Tahun 2009
(UUPPLH)
Korporasi sebagai Subjek
Hukum
Putusan PN, PT, MA
Tindak Pidana oleh
Korporasi
Teori Pertanggungjawaban
Koporasi
UU Nomor 23 Tahun 1997
(UUPLH)
Strict liability
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam Undang-Undang tersebut, diatur tentang tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi yang melakukan pencemaran atau kerusakan lingkungan
hidup. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa korporasi juga sebagai subjek
hukum. Korporasi dijadikan sebagai subjek hukum pidana merupakan kebijakan
legislatif dalam produk perundang-undangan dewasa ini. Hal ini sejalan dengan
perkembangan dunia internasional dan pendapat para sarjana yang secara teoritis
mengatakan bahwa korporasi dapat diterima sebagai subjek hukum pidana.
Terutama dalam kejahatan lingkungan hidup, dimana sudah banyak kasus
pencemaran lingkungan yang diputus oleh pengadilan.
Sehubungan dengan peran dan pengaruh korporasi yang semakin luas
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, diperlukan adanya suatu pembatasan
terhadap kegiatan-kegiatan korporasi dalam rangka melindungi masyarakat agar
tidak menjadi korban kejahatan korporasi. Dengan demikian, korporasi harus
dibebani dengan pertanggungjawaban pidana apabila melakukan kejahatan dalam
melakukan kegiatan-kegiatan bisnisnya.
Salah satu azas pertanggungjawaban pidana yang cukup ideal untuk
diterapkan adalah azas strict liability. Subyek yang dikenakan strict liability ialah
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, yaitu korporasi itu sendiri. Oleh
karena itu, dengan diterapkannya asas strict liability, maka setidaknya kerusakan
lingkungan dapat diminimalisasi dampak kerusakannya dan para korban
mendapatkan ganti rugi dari kerugian yang dialaminya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Hukum mempunyai banyak aspek yang meliputi banyak hal sehingga
pengertian hukum juga bermacam-macam. Tidak ada kesatuan pendapat para
ahli tentang pengertian hukum. Untuk mengetahui arah hukum yang terdapat
didalam penelitian ini maka metode yang digunakan tergantung pada konsep apa
yang dimaksud mengenai hukum.
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologi suatu
sistem dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan
kerangka tertentu.56
Menurut pendapat Soetandyo Wignyosoebroto, ada 5 (lima) konsep
hukum, yaitu57
:
a. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku
universal;
b. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan
hukum nasional;
c. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan
tersistematisasi sebagai judge made law;
d. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai
variabel sosial yang empirik;
e. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial
sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.
Berdasarkan pada konsep hukum di atas, jenis penelitian ini adalah
berdasarkan pada konsep hukum ke-3 (tiga). Konsep hukum ke-3 (tiga), hukum
adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai
judge made law. Dengan demikian, jenis penelitian ini termasuk dalam
56
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, 2006, hlm. 42. 57
Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret, Surakarta, 2010, hlm. 20.
40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
penelitian doktrinal. Penelitian doktrinal merupakan suatu proses penelitian yang
dilakukan untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun
doktrin-doktrin hukum untuk menjawab masalah hukum yang menjadi pokok
bahasan penelitian. Aturan, prinsip maupun doktrin hukum yang berusaha
ditemukan dalam penelitian ini berkaitan dengan Putusan Pengadilan Negeri
Karanganyar No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray Jo. Putusan Pengadilan Tinggi
Semarang No.139/Pid.B/2005/PT.Smg Jo. Putusan Mahkamah Agung No. 2077
K/Pid/2006.58
B. Sifat Penelitian
Penelitian menurut sifatnya ada 3 (tiga), yaitu:
1. Penelitian eksploratif merupakan penelitian yang dilakukan apabila suatu
gejala yang akan diselidiki masih kurang sekali bahkan tidak ada;
2. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya;
3. Penelitian eksplanatoris merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk
menguji hipotesa-hipotesa tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, maka apabila dilihat dari sifatnya penelitian
dalan penulisan hukum ini merupakan penelitian deskriptif. Dalam penulisan
hukum ini bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencemaran
lingkungan hidup.
C. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan kasus (case approach)
yang mempelajari ratio decidendi, yaitu alasan hukum yang digunakan oleh hakim
untuk mengambil keputusan. Studi kasus adalah sebuah metode penelitian
menggunakan pertanyaan (bagaimana) dan (mengapa) yang diajukan dalam
sebuah peneltiian, saat peneliti memiliki sedikit kontrol atas sebuah kejadian dan
58
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Tinjauan Singkat, , Rajawali
Press, Jakarta, 2006, hlm. 21.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
berfokus pada fenomena kontemporer yang memiliki konteks dengan kehidupan
yang nyata dari individu, komunitas, maupun organisasional. Studi kasus terbagi
lagi menjadi metode-metode yang lebih spesifik, seperti pertama deskriptif
merupakan penelitian studi kasus yang fokus pada penguraian kasus yang sedang
diteliti. Ketiga, explanatori, yaitu peneliti memberikan keterangan-keterangan
yang rinci dan penjelasan terhadap kasus yang diteliti.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Karanganyar. Adapun alasan
pengambilan lokasi ini karena kewenangan mengadili kasus tindak pidana
korporasi pencemaran lingkungan hidup merupakan kewenangan Pengadilan
Negeri Karanganyar.
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu Dalam suatu wawancara
terdapat dua pihak yang mempunyai kedudukan berbeda, yaitu pengejar
informasi yang biasa disebut pewawancara atau interviewer dan pemberi
informasi yang disebut informan, atau responden. Adapun dalam wawancara
ini yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth interview) dengan
wawancara tidak berpatokan atau bebas terpimpin. Alasan penggunaan jenis ini
adalah dengan wawancara tidak berpatokan atau bebas terpimpin akan dicapai
kewajaran secara maksimal, dapat diperoleh data secara mendalam dan akan
dimungkinkan masih dipenuhinya prinsip batas keabsahan data hasil
wawancara yang masih berada dalam garis kerangka pertanyaan serta dapat
diarahkan secara langsung pada pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Wawancara ini bertujuan untuk mendapat keterangan atau untuk keperluan
informasi. Oleh karena itu, individu yang menjadi sasaran wawancara adalah
informan. Informan dalam penelitian ini adalah Kun Maryoso, SH. Selaku
Hakim Anggota Pengadilan Negeri Karanganyar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
2. Studi Kepustakaan
Metode ini dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder, yang
dilakukan dengan cara, mencari, mengiventarisasi dan mempelajari peraturan
perundang-undangan, doktrin-doktrin, dan data-data sekunder yang lain, yang
terkait dengan objek yang dikaji. Adapun instrumen pengumpulan yang
digunakan berupa form dokumentasi, yaitu suatu alat pengumpulan data
sekunder, yang berbentuk format-format khusus, yang dibuat untuk
menampung segala macam data, yang diperoleh selama kajian dilakukan.
3. Studi Dokumen
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, dokumen
bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya manumental dari seseorang.
Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya cacatan harian, sejarah kehidupan
(life histories), cerita, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk
gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain. Dokumen yang
berbentuk kaya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar patung, film
dan lain-lain. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode
observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Studi dokumentasi dalam
pengumpulan data penelitian dimaksudkan sebagai cara mengumpulkan data
dengan mempelajari dan mencatat bagian-bagian yang dianggap penting dan
berbagai dokumen resmi yang dianggap baik dan ada pengaruhnya dengan
lokasi penelitian.59
Dokumen dalam penelitian ini yaitu laporan, Putusan
Pengadilan Negeri Karanganyar, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang,
Putusan Mahkamah Agung tentang pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam tindak pidana lingkungan hidup.
F. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
59
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung. hlm. 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
a. Data primer
Data primer adalah sejumlah data yang berupa keterangan atau
penjelasan dari subjek penelitian, guna mendapat penjelasan yang lebih
mendalam tentang data sekunder. Data diperoleh secara langsung dari
wawancara, yaitu orang yang dijadikan key informant. Adapun sumber data
primer adalah hasil wawancara dengan Kun Maryoso, SH. Selaku Hakim
Anggota Pengadilan Negeri Karanganyar.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh dari
lapangan, yang memberikan keterangan tambahan atau pendukung
kelengkapan data primer. Termasuk dalam data ini adalah, putusan
pengadilan, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan, buku ilmiah dan literatur-
literatur yang mendukung. Data sekunder berasal dari bahan hukum sebagai
berikut:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang menjadi
sumber data penelitian ini yaitu antara lain :
a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
b) Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray
c) Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 139/Pid/2005/PT.Smg
d) Putusan Mahkamah Agung No. 2077 K/Pid/2006
2. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan hukum yang tidak secara langsung
memberikan keterangan yang sifatnya mendukung bahan hukum primer.
Bahan hukum sekunder meliputi:
a) Buku-buku tentang pelaksanaan kekuasaan kehakiman dan
lingkungan hidup.
b) Dokumen yaitu arsip yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
pidana korporasi
c) Jurnal-jurnal di bidang hukum baik nasional maupun internasional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa
kamus, ensiklopedia dan data elektronik dari internet
2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber data primer
Data yang berupa keterangan-keterangan yang diperoleh secara
langsung dari lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang
dipandang mengetahui obyek yang diteliti yaitu alasan hakim menjatuhkan
putusan pidana bersyarat bagi korporasi. Informan dalam penelitian ini
adalah dari Hakim Anggota Pengadilan Karanganyar yang menangani dan
memutus perkara tindak pidana dalam bidang lingkungan hidup.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak secara
langsung memberi keterangan yang bersifat mendukung sumber data
primer. Data yang berupa peraturan perundang-undangan, literatur, dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu Putusan
Pengadilan Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray. Jo Putusan
Pengadilan Tinggi Semarang No. 139/Pid/2005/PT.Smg.jo Putusan
Mahkamah Agung No. 2077 K./Pid/2006.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola dan suatu uraian dasar. Proses analisis
data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan perihal
rumusan dan hal-hal yang diperoleh dalam penelitian.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif. Penelitian ini memperoleh data berwujud kata-kata bukan
rangkaian angka. Analisis kualitatif menggunakan kata-kata yang biasanya
disusun dalam teks yang diperluas. Dengan model analisis ini, analisis telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
dilakukan sejak pengumpulan data. Dalam hal ini terdapat tiga komponen analisis
yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan atau verivikasinya.
Sedangkan aktifitas dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses
pengumpulan data sebagai proses siklus. Dalam model ini peneliti tetap bergerak
dalam komponen analisis seperti tersebut di atas.
Ditengah-tengah waktu pengumpulan data dan analisis data juga akan
dilakukan audit data demi validitas data. Sedangkan sesudah pengumpulan data
selesai, bila masih terdapat kekurangan data, dengan menggunakan waktu yang
tersedia, maka peneliti dapat kembali ke lokasi penelitian untuk pengumpulan data
demi kemantapan kesimpulan.
Untuk lebih jelasnya, proses analisis data dengan model interaktif ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.1 Analisis Data Model Interaktif (H.B. Sutopo)
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Reduksi Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Kasus Posisi
Bahwa Terdakwa Drs. SUTEDJO bin LISTYO SUSENO adalah Plant
Manager PT. Sari Warna Asli III yang bergerak di bidang industri tekstil yang
telah didakwa dalam dakwaan tunggal sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 43 ayat (1) jo. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidupdan telah diputus dan dinyatakan
bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana pencemaran lingkungan dengan pidana bersyarat 5 bulan dengan
masa percobaan 7 (tujuh) bulan serta denda Rp 65. 000.000,00 (enam puluh
lima juta rupiah), Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang
dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
2. Dakwaan
Bahwa ia Terdakwa Drs. SUTEDJO Bin LISTYO SUSENO selaku
Plant Manager Industri Textil PT SARI WARNA ASLI III pada hari dan
tanggal yang sudah tidak dapat ditentukan secara pasti pada tahun 2004 atau
setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2004 bertempat di PT
SARI WARNA ASLI III yang beralamat di Jalan Raya Solo-Sragen Km 8,6
Karanganyar atau setidak tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk
dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Karanganyar ,dengan melanggar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku,sengaja melepaskan atau
membuang zat ,energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun
masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara. Ke dalam air permukaan,
melakukan impor ekspor. Memperdagangkan, mengangkut , menyimpan bahan
tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau
sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan
umum atau nyawa orang, yang dilakukan oleh atas nama suatu badan hukum,
47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain. Perbuatan tersebut
dilakukan oleh Terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut:
Terdakwa Drs. SUTEDJO Bin LISTYO SUSENO selaku Plant
Manager Industri Tekstil PT SARI WARNA ASLI III yang bergerak di usaha
industri tekstil yang berkapasitas produksi sebesar kurang lebih 2 juta yard per
bulan dan dari produksi tersebut dihasilkan pula limbah cair dan padat sehingga
terdakwa bertanggung jawab terhadap hasil pengolahan limbah PT SARI
WARNA ASLI III yang menghasilkan limbah cair dengan debit sebesar kurang
lebih antara 400 m3 sampai 500 M3 per hari dan limbah cair tersebut dilakukan
pengolahan limbah (UPL) selanjutnya dibuang di sungai Sroyo, padahal
Terdakwa mengetahui limbah cair yang dihasilkan tersebut melebihi batas baku
mutu limbah cair bagi kegiatan industri tekstil atau tidak mempunyai
persyaratan sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Surat Keputusan
Gubernur Jawa Tengah Nomor : 660.1/02/1997 tanggal 9 Mei 1997 yang isinya
memuat ketentuan sebagai berikut :
Tabel 1
Batas Baku Mutu Limbah
NO PARAMETER KADAR
MAKSIMUM (mg/l)
BEBAN PENCEMARAN
MAKS (kg/ton)
1 BOD 85 12,75
2 COD 250 37,50
3 TSS 60 9,00
4 PH 6-9 9,00
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Riset dan
Standarisasi Industri dan Perdagangan (BARISTAND INDAG) Semarang
sesuai dengan Surat Nomor : 2166/BPPPIP/BRS.2/IX/2004 tanggal 3
September 2004 dan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik dan
Pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri Cabang Semarang tanggal 4
September 2004 terhadap limbah cair yang diambil dari libang outlet (saluran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
pembuangan) dari pabrik tekstil PT SARI WARNA ASLI III oleh team polda
Jateng pada tanggal 13 Agustus 2004 sekitar jam 11.00 Wib diperoleh hasil
sebagai berikut:
Tabel 2
Hasil Uji Limbah
NO PARAMETER KADAR
MAKSIMUM (mg/l)
BEBAN MUTU LIMBAH
CAIR SESUAI SK. GUB.
JATENG
1 BOD 262,2 85
2 COD 407,6 250
3 TSS 84 60
4 PH 5,64 6-9
Dari hasil analisa dan laporan pengujian limbah tersebut diperoleh
kesimpulan bahwa kadar maksimum untuk parameter TSS, BOD dan COD
limbah cair PT SARI WARNA ASLI III di jalan Raya Solo-Sragen Km 8.6
Karanganyar telah melebihi baku mutu limbah cair yang ditentukan sehingga
dengan demikian limbah cair yang dibuang ke sungai Sroyo tersebut dapat
menimbulkan pencemaran/atau perusakan lingkungan hidup atau dapat
berakibat berbahaya terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 43
ayat (1) Jo. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa dalam dakwaan didakwa melakukan tindak pidana
yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Jo. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang unsurnya adalah
sebagai berikut:
a) Barang siapa
b) Dengan Melanggar ketentuan Perundang-undangan yang berlaku
c) Sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan atau komponen lain
yang berbahaya atau beracun masuk di atas tanah atau ke dalam tanah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara,
ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan,
mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang
berbahaya;
d) Padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan
tersebut dapat menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup
atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain;
e) Perbuatan mana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain.
Ad. 1. Barang Siapa
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barangsiapa adalah setiap
orang selaku pendukung hak dan kewajiban yang didakwa melakukan suatu
perbuatan pidana. Dalam tindak pidana lingkungan hidup sesuai dengan Pasal
1 angka 24 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Orang adalah orang perorangan dan atau kelompok orang
dan atau badan hukum.
Menimbang, bahwa dipersidangan telah dihadapkan seorang
Terdakwa bernama Drs.SUTEDJO Bin LISTYO SUSENO yang mana
identitas dalam surat dakwaan dibenarkan oleh Terdakwa selaku plant
Manager PT SARI WARNA ASLI III di jalan Raya Solo-Sragen Km 8.6
Karanganyar sebagaimana bukti Surat Keputusan Direksi PT SARI WARNA
ASLI III Asli Tekstil Industri No. 408/SWA TI/03.DIR/VII-2004 tentang
Pengangangkatan Terdakwa selaku selaku plant Manager PT SARI WARNA
ASLI III unit SWA – III, Brujul, tanggal 20 JUli 2004. Oleh karena itu sesuai
dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Terdakwa sebagai
pimpinan perusahaan bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan
Perusahaan termasuk didalamnya pengolahan limbah produksi perusahaan
karena berdasarkan fungsi yang diembannya (fungsional Perpetrator).
Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan uraian tersebut di
atas unsur Barang siapa dalam pasal ini telah terpenuhi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Ad. 2. Melanggar Ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan melanggar ketentuan
Perundang-undangan (in strijd met de wet) dapat diartikan bahwa perbuatan
melanggar ketentuan administrasi (misalnya pelanggaran persyaratan izin dan
pelanggaran baku mutu lingkungan) dengan kata lain perbuatan pidana yang
tergantung dengan hukum admistrasi yang dikenal dengan istilah
Administrative Dependent Crime (ADC)dalam perkara ini adalah melanggar
ketentuan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor : 660.1/02/1997
tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan usaha industri tekstil yang
dibuang atau dilepas ke media lingkungan hidup.
Menimbang bahwa tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan usaha
industri tekstil yang dibuang atau dilepas ke media lingkungan hidup.
Menimbang bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan
diperoleh fakta bahwa baku mutu limbah cair PT SARI WARNA ASLI III
yang dibuang atau dilepas ke sungai Sroyo, pada lubang outlet limbah
tersebut pada tanggal 13 Agustus 2004 telah diambil sampel oleh tim
Penyidik POLDA Jateng dimana dan Badan Riset dan Standarisasi Industri
dan Perdagangan (BARISTAND INDAG) Semarang Perdagangan
(BARISTAND INDAG) Semarang untuk diperiksa secara laboratoris
hasilnya sebagaimana analisa No.2166/BPPPIP/BRS.2/IX/2004 tanggal 3
September 2004 yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik dan Pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri
Cabang Semarang No. Lab. 651/KTF/IX/2004 tanggal14 September 2004
limbah tersebut terhadap parameter TSS, BOD, dan COD melebihi batas baku
mutu limbah cair yang ditentukan dalam SK Gubernur Jateng No
660.1/02/1997;
Menimbang, bahwa oleh karena limbah cair produksi PT SARI
WARNA ASLI III khusus parameter TSS, BOD, dan COD melebihi batas
baku mutu limbah cair yang ditentukan dalam SK Gubernur Jateng No
660.1/02/1997 maka Majelis Hakim berpendapat bahwa PT SARI WARNA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
ASLI III dimana terdakwa sebagai Plant Managernya telah melanggar
ketentuan SK Gubernur Jateng No 660.1/02/1997 tersebut.
Ad. 3. Sengaja melepaskan atau membuang zat,energy dan atau komponen lain
yang berbahaya atau beracun masuk di atas tanah atau ke dalam tanah
berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam
udara, ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor,
memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut,
menjalankan instalasi yang berbahaya
Menimbang, bahwa oleh karena unsur tersebut bersifat alternatif,
maka tidak semua unsur harus terpenuhi, cukup apabila dengan terpenuhinya
salah satu saja, Adapun yang dimaksud dengan sengaja yaitu harus dapat
memperkirakan atau menduga atau menginsyafi atau mengetahui.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan,
terdakwa mengetahui dan menginsyafi sepenuhnya bahwa limbah cair PT
SARI WARNA ASLI III dibuang dan dilepas ke sungai Sroyo, sebagimana
adanya outlet limbah yang dialihkan ke sungai Sroyo, yang mana limbah
tersebut adalah merupakan zat atau komponen lain yang berbahaya/beracun
sebagaimana hasil pemeriksaan Badan Riset dan Standarisasi Industri dan
Perdagangan (BARISTAND INDAG) Semarang No 2166 No:
2166/BPPPIP/BRS.2/IX/2004 tanggal 3 September 2004 yang dituangkan
dalam Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik dan Pusat
Laboratorium Forensik Bareskrim Polri Cabang Semarang No. Lab.
651/KTF/IX/2004 tanggal14 September 2004 dimana limbah tersebut
terhadap parameter TSS, BOD, dan COD melebihi batas baku mutu limbah
cair yang ditentukan dalam SK Gubernur Jateng No 660.1/02/1997.
Menimbang, bahwa sesuai dengan keterangan saksi ahli Ir. Nasuka
MM dan Drs. Subagyo yang menerangkan bahwa parameter TSS, BOD, dan
COD yang melebihi batas baku mutu limbah cair yang ditentukan dalam SK
Gubernur Jateng No 660.1/02/1997 apabila dibuang atau dilepas ke media
lingkungan hidup dapat berpotensi mencemari lingkungan hidup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Menimbang, bahwa dalam SK Gubernur Jateng No 660.1/02/1997
selain PH masih ada pula parameter lain yang harus memenuhi batu mutu
limbah cair antara lain TSS, BOD, dan COD.
Menimbang, bahwa limbah cair PT SARI WARNA ASLI III sebelum
dilepas ke sungai Sroyo yang diperiksa hanya parameter PH saja sedangkan
parameter lain yang ditentukan SK Gubernur Jateng No 660.1/02/1997 antara
lain TSS, BOD, dan COD tidak diperiksa.
Menimbang, bahwa dengan tidak dilakukannya pemeriksaan
parameter TSS, BOD, dan COD menunjukkan kepada Majelis sikap PT SARI
WARNA ASLI III dimana terdakwa Drs Sutedjo Bin Listyo Suseno sebagai
plant Managernya kurang perhatian atas limbah kualitas limbah cair.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan
bahwa atas kualitas dari limbahnya yang melebihi baku mutu yang ditentukan
SK Gubernur Jateng No 660.1/02/1997 oleh BAPPEDAL Jateng telah
dilakukan peneguran sebanyak 4 (empat) kali;
Menimbang, bahwa atas hal tersebut kualitas limbah cair PT SARI
WARNA ASLI III tidak mengalami perubahan ke arah pemenuhan SK
Gubernur Jateng tersebut limbah cairnya tetap melebihi baku mutu yang
ditentukan sehingga hal ini merupakan sikap yang kurang perhatian dari PT.
SARI WARNA ASLI III walaupun sebetulnya hal tersebut dapat dihindari
dengan jalan perbaikan sarana dan prasarana pengolahan limbah namun hal
tersebut tidak dilakukan.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas bahwa
unsur sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan atau komponen
lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas tanah atau ke dalam tanah
berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara,
ke dalam air permukaan telah terpenuhi.
Ad. 4. Mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan
tersebut dapat menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan
hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Menimbang, bahwa unsur tersebut di atas merupakan penambahan
unsur subjektif bahwa pelaku mengetahui atau alasan yang kuat untuk
menduga bahwa perbuatan mereka melepas atau membuang zat, energi
dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun (TSS, BOD dan COD)
yang melebihi baku mutu limbah cair sebagaimana ketentuan SK Gubernur
Jateng No.660.1/02/1997 ke sungai Sroyo dapat menimbulkan pencemaran
dan atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan atau
nyawa orang lain.
Menimbang, kata dapat dalam unsur ini diartikan bahwa pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup tidak harus terjadi tetapi baru pencemaran
lingkungan hidup;
Menimbang, bahwa atas pertimbangan di atas tersebut Majelis Hakim
berpendapat bahwa PT. SARI WARNA ASLI III terdakwa pelaku Plant
Manager telah mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa
pelepasan limbah cair yang ditentukan dalam SK Gubernur Jateng
No.660.1/02/1997 ke sungai Sroyo mempunyai potensi terjadi pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup;
Menimbang, bahwa atas pertimbangan tersebut di atas majelis tidak
sependapat dengan Penasihat Hukum Terdakwa yang menyatakan bahwa
unsur ini tidak dapat dibuktikan namun Majelis berpendapat bahwa unsur
mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut
dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup atau
membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain telah terpenuhi.
Ad. 5. Perbuatan mana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta Terdakwa Drs Sutedjo Bin
Listyo Suseno sebagai plant Manager PT SARI WARNA ASLI III yaitu
sebuah perusahaan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas.
Menimbang bahwa sebagimana dalam pertimbangan unsur barang
siapa dalam pasal ini dan unsur tersebut telah terpenuhi dan dapat dibuktikan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
dimana Terdakwa didakwa melakukan perbuatan pidana oleh karena
terdakwa sebagai Plant Manager/pimpinan PT. SARI WARNA ASLI III
bukan karena perbuatan fisik/nyatanya akan tetapi berdasarkan fungsi yang
diembannya di suatu perusahaan;
Menimbang, bahwa atas pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut bukan
atas nama sendiri melainkan atas nama badan Hukum yaitu PT SARI
WARNA ASLI III
Menimbang, bahwa atas pertimbangan tersebut di atas, maka unsur
perbuatan tersebut dilakukan atas nama suatu Badan Hukum atau perseroan
telah terpenuhi;
Menimbang, bahwa dengan telah terpenuhinya semua unsur maka
perbuatan pidana yang didakwa terhadap diri terdakwa dalam Pasal 43 ayat
(1) Jo. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup telah terbukti secara sah menurut hukum dan oleh
karenanya timbullah keyakinan bagi Majelis bahwa suatu perbuatan pidana
telah terjadi dan terdakwa adalah sebagai pelakunya.
4. Putusan Hakim
a. Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar No. 18/Pid.B/2005/PN. Kray
1) Menyatakan Terdakwa Drs. Sutedjo bin Listyo Suseno terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencemaran
Lingkungan”;
2) Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5
(lima) bulan, dengan ketentuan bahwa pidana tersebut tidak usah
dijalankan kecuali jika kemudian hari ada putusan Hakim yang
menentukan lain disebabkan karena terdakwa telah bersalah melakukan
suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 7 (tujuh) bulan
berakhir dan denda Rp 65.000.000,00 (enam puluh lima juta rupiah),
dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan
pidana penjara kurungan selama 1 (satu) bulan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
3) Menetapkan agar barang bukti dikembalikan kepada PT. SARI WARNA
ASLI III dan tetap terlampir dalam berkas perkara;
4) Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp 2.500,00 (dua
ribu lima ratus rupiah).
b. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 139/Pid/2005/PT.Smg
1) Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum;
2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Karanganyar tanggal 23 Mei
2005 Nomor :18/Pid.B/2005/PN.Kray, yang dimintakan banding
tersebut;
3) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam
kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding sebesarnya Rp
2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
c. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2077 K/Pid/2006
1) Menolak Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa/Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Karanganyar dan Terdakwa Drs. Sutedjo
Bin Listyo Suseno tersebut;
2) Membebankan Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,00 (dua ribu lima
ratus rupiah).
B. Pembahasan
1. Pertimbangan Hakim Memutuskan Pidana Bersyarat terhadap Korporasi
Pertanggungjawaban pidana disebut sebagai criminal responsibility.
Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang
terjadi atau tidak. Seiring berjalannya waktu dan penggalian terhadap ilmu
hukum pidana, manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum. Diperlukan
suatu hal lain yang menjadi subjek hukum pidana.
Disamping orang dikenal subjek hukum selain manusia yang disebut
Badan Hukum. Badan Hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang
mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
dan perseroan terbatas misalnya adalah organisasi atau kelompok manusia yang
merupakan badan hukum. Badan hukum dibedakan menjadi dua bentuk yaitu:
a. Badan hukum dalam lingkungan hukum publik, yaitu badan-badan yang
pendiriannya dan tatanannya ditentukan oleh hukum publik. Badan hukum
ini merupakan hasil pembentukan dari penguasa berdasarkan perundang-
undangan yang dijalankan eksekutif, pemerintah atau badan pengurus yang
diberi tugas untuk itu. Misalnya negara, propinsi, kabupaten, bank
Indonesia,desa, dll.
b. Badan hukum dalam lingkungan hukum privat, yaitu badan-badan yang
pendirian dan tatanannya ditentukan oleh hukum privat. Badan hukum ini
merupakan badan hukum swasta yang didirikan oleh pribadi orang untuk
tujuan tertentu, yaitu mencari keuntungan, sosial pendidikan, ilmu
pengetahuan, politik, kebudayaan, kesehatan, olahraga, dsb. Badan hukum
yang termasuk dalam hukum privat misalnya koperasi, NV, dan waris.
Delik yang dilakukan oleh korporasi disebut corporate crime. Menurut
Subekti dan Tjitrosudibio yang dimaksud dengan corporate atau korporasi
adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum. Korporasi adalah suatu
perseroan yang merupakan badan hukum, korporasi atau perseroan di sini yang
dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum
diperlakukan seperti seorang manusia (personal) ialah sebagai pengemban
(atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat ataupun digugat di
muka pengadilan.60
Di Indonesia, sejak tahun 1997 telah diatur mengenai korporasi yang
melakukan tindak pidana merusak lingkungan hidup yang tercantum dalam
undang-undang, sebagai berikut:
UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
tercantum dalam Pasal 46
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh
atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan
60
Puspa, Yan Pramadya, 1977, Kamus Hukum, Semarang : CV. Aneka Ilmu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap
badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain
tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin
dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh
atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan
kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan
badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain,
tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka
yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa
mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja
maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri
atau bersama-sama.
(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan
atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-
surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka,
atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh
bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap
sendiri di pengadilan.
Adapun sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur dalam Pasal 45. Dalam Pasal 45
disebutkan bahwa jika tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana
denda diperberat dengan sepertiga.
Sementara itu, mengenai korporasi yang melakukan tindak pidana
menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, tercantum pada pasal 116:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas
nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan
usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin
dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut
dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Adapun untuk sanksi pidana bagi korporasi diatur dalam Pasal 117
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Pasal 117 menyebutkan jika tuntutan pidana diajukan
kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa
pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Berdasarkan ketentuan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU PLH) dan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU PPLH), maka terdapat perbedaan dalam ancaman sanksi pidananya.
Pada UU PPLH ancaman pidananya lebih berat, karena sanksi yang dijatuhkan
berupa pidana penjara dan denda diperberat sepertiga. Sedangkan dalam UU
PLH, ancaman pidananya hanya berupa pidana denda diperberat dengan
sepertiga.
Sementara itu, berkaitan dengan hasil putusan hakim dalam kasus
pencemaran lingkungan hidup, pada bagian menimbang menyebutkan bahwa
dalam dakwaan didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 43
ayat (1) Jo. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang unsurnya adalah sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
a) Barang siapa
b) Dengan Melanggar ketentuan Perundang-undangan yang berlaku
c) Sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan atau komponen lain
yang berbahaya atau beracun masuk di atas tanah atau ke dalam tanah
berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara,
ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan,
mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang
berbahaya;
d) Padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan
tersebut dapat menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup
atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain;
e) Perbuatan mana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Hakim Anggota di
Pengadian Negeri Karanganyar, di katakan bahwa pertimbangan hakim dalam
memutus Perkara PT. Sariwarna asli, sesuai dengan Pasal 1 angka 24 Undang-
Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Orang
adalah orang perorangan dan atau kelompok orang dan atau badan hukum.
Lebih lanjut dikatakan oleh hakim anggota di PN Karanganyar
pertimbangan harus memenuhi unsur Barang siapa yang dalam hal ini
menyangkut masalah indentitas Terdakwa bernama Drs.SUTEDJO Bin
LISTYO SUSENO yang mana identitas dalam surat dakwaan dibenarkan oleh
Terdakwa selaku plant Manager PT SARI WARNA ASLI III di jalan Raya
Solo-Sragen Km 8.6 Karanganyar sebagaimana bukti Surat Keputusan Direksi
PT SARI WARNA ASLI III Asli Tekstil Industri No. 408/SWA
TI/03.DIR/VII-2004 tentang Pengangangkatan Terdakwa selaku selaku Plant
Manager PT SARI WARNA ASLI III unit SWA – III, Brujul, tanggal 20 JUli
2004. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Terdakwa sebagai
pimpinan perusahaan bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan Perusahaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
termasuk didalamnya pengolahan limbah produksi perusahaan karena
berdasarkan fungsi yang diembannya (fungsional Perpetrator).
Menurut Hakim Anggota di PN Karanganyar berdasarkan fakta yang
terungkap di persidangan diperoleh fakta bahwa baku mutu limbah cair PT
SARI WARNA ASLI III yang dibuang atau dilepas ke sungai Sroyo, melebihi
batas baku mutu limbah cair yang ditentukan dalam SK Gubernur Jateng No
660.1/02/1997. Berdasarkan hal tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat
bahwa terdakwa sebagai Plan Manager korporasi telah melanggar ketentuan
SK Gubernur Jateng No 660.1/02/1997 tersebut. Selain itu menurut Hakim
Anggota di Pengadilan Negeri Karanganyar bahwa PT Sariwarna Asli
memenuhi unsur melepaskan atau membuang zat,energy dan atau komponen
lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas tanah atau ke dalam tanah
berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, dalam hal ini
diperoleh fakta limbah cair PT SARI WARNA ASLI III dibuang dan dilepas
ke sungai Sroyo, sebagimana adanya outlet limbah yang dialihkan ke sungai
Sroyo, limbah tersebut adalah merupakan zat atau komponen lain yang
berbahaya/beracun.
Lebih lanjut dikatakan Hakim di Pengadilan Negeri Karanganyar,
unsur mengetahui sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut
dapat menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup atau
membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, PT. SARI WARNA
ASLI III dimana terdakwa pelaku Plant Manager telah mengetahui atau sangat
beralasan untuk menduga bahwa pelepasan limbah cair yang ditentukan dalam
SK Gubernur Jateng No.660.1/02/1997 ke sungai Sroyo mempunyai potensi
terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
Dikatakan oleh Hakim di Pengadilan Negeri Karanganyar, Unsur
perbuatan yang dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi lain juga di penuhi dalam kasus
pencemaran oleh PT. Sariwarna Asli hal ini berdasarkan fakta Terdakwa Drs
Sutedjo Bin Listyo Suseno sebagai plant Manager PT SARI WARNA ASLI III
yaitu sebuah perusahaan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Berdasarkan hasil penelitian terebut diatas, maka dapat di analisis
bahwa berdasarkan teori ilmu hukum pidana, terdapat dua kriteria untuk
menentukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, yaitu kriteria roling dan
kriteria kawat duri (iron wire). Menurut kriteria roling, korporasi dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila perbuatan yang dilarang
dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas korporasi atau untuk mencapai
tujuan korporasi. Berdasarkan teori kriteria kawat berduri, korporasi dapat
dijatuhkan hukuman pidana apabila dipenuhi dua syarat. Pertama, korporasi
memiliki kekuasaan (power) baik secara de jure maupun secara de facto untuk
mencegah atau menghentikan pelaku untuk melakukan kegiatan yang dilarang
oleh undang-undang. Kedua, korporasi menerima tindakan pelaku (acceptance)
sebagai bagian dari kebijakan korporasi.
Korporasi sebagai pelaku perbuatan pidana tidak dikenal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena dalam KUHP dikenal asas
atau adagium “actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau “tiada pidana tanpa
kesalahan”. Asas ini mengandung konsekuensi bahwa yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana hanyalah yang memiliki kalbu saja yaitu manusia,
badan hukum tidak memiliki kalbu maka tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.
Bertitik tolak pada prinsip asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, maka
beberapa isi rumusan perumusan perundang-undangan pidana itu mengakui
badan hukum (korporasi) sebagai subjek tindak pidana, tetapi hanya saja yang
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah pengurus berdasarkan
kuasa dari badan hukum. Perkembangan kemudian, secara teoritis (menurut
doktrin) bahwa badan hukum sebagai subjek tindak pidana dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, yaitu sebagai berikut:
a) Dapat dikenakan terhadap korporasi (badan hukum) itu sendiri;
b) Dikenakan kepada mereka yang memberi perintah atau yang bertindak
sebagai pemimpin dalam perbuatan tindak pidana (pengurus);
c) Dikenakan baik terhadap korporasi maupun mereka yang memberi perintah
atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan melakukan tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
pidana tersebut (pengurus) atau keduaduanya, yaitu badan hukum dan
pengurus.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam BAB XV dari Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup mengatur mengenai ketentuan pidana. Ketentuan pidana ini mencakup 2
(dua) macam atau 2 (dua) kategori delik, yang pertama adalah delik materil,
diatur dalam pasal 98-99, yang intinya mengatur tentang pengelolan hukum
terhadap orang-perorangan atau badan hukum yang telah melakukan suatu
tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan tercemarnya atau rusaknya
lingkungan, UU PPLH juga memuat delik materil yang diberlakukan kepada
pejabat pemerintah yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan yang
dirumuskan dalam pasal 112 UU PPLH. Adapun yang kedua adalah delik
formil.
Dalam UUPPLH terdapat 16 (enam belas) jenis delik formil
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 100 hingga pasal 111, kemudian pasal
113 hingga pasal 115.
a) Pasal 100 UUPPLH memuat rumusan delik formil tentang pelanggaran
baku mutu air limbah, baku mutu emisi, baku mutu gangguan.
b) Pasal 101 UUPPLH yakni delik formil tentang perbuatan melepaskan
dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin
lingkungan.
c) Pasal 102 UUPPLH yakni melakukan pengolahan limbah B3 tanpa izin.
d) Pasal 103 UUPPLH tentang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan
pengolahan.
e) Pasal 04 UUPPLH tentang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke
media lingkungan.
f) Pasal 105 UUPPLH yaitu memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
g) Pasal 106 UUPPLH tentang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
h) Pasal 107 UUPPLH limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
i) Pasal 108 UUPPLH tentang melakukan pembakaran lahan.
j) Pasal 109 adalah tentang kegiatan usaha tanpa memiliki izin lingkungan.
k) Pasal 110 UUPPLH tentang penyusunan AMDAL tanpa memiliki sertifikat
kompetensi penyusunan AMDAL.
l) Pasal 111 UUPPLH tentang pejabat pemberi izin lingkungan tanpa
dilengkapi AMDAL atau UKL-UPL.
m) Pasal 111 ayat (2) UUPPLH tentang pejabat pemberi izin usaha tanpa
dilengkapi dengan izin lingkungan.
n) Pasal 113 UUPPLH tentang memberikan informasi palsu, merusak
informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan
dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
o) Pasal 114 UUPPLH tentang penanggung jawab kegiatan usaha yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah.
p) Pasal 115 UUPPLH tentang perbuatan sengaja mencegah, menghalang-
halangi atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan
hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil.
Berdasarkan pertimbangan hakim dalam memutus perkara pencemaran
yang dilakukan oleh PT Sariwarna Asli, maka dapat disimpulkan bahwa PT
Sariwarna Asli telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 43 ayat
(1) Jo. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang unsurnya adalah barang siapa, dengan Melanggar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau
membuang zat, energi dan atau komponen lain yang berbahaya atau beracun
masuk di atas tanah atau ke dalam tanah berbahaya atau beracun masuk di atas
atau ke dalam tanah, ke dalam udara, ke dalam air permukaan, melakukan
impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut,
menjalankan instalasi yang berbahaya dan padahal mengetahui atau sangat
beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan
umum atau nyawa orang lain serta perbuatan mana yang dilakukan oleh atau
atas nama suatu badan hukum perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi
lain.
Adapun dalam hal penjatuhan pidana, terdakwa dijatuhi pidana penjara
selama 5 (lima) bulan, dengan ketentuan bahwa pidana tersebut tidak usah
dijalankan kecuali jika kemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan
lain disebabkan karena terdakwa telah bersalah melakukan suatu tindak pidana
sebelum masa percobaan selama 7 (tujuh) bulan berakhir dan denda Rp
65.000.000,00 (enam puluh lima juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda
tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara kurungan selama 1 (satu)
bulan. Putusan pada tingkat Pengadilan Negeri tersebut diperkuat dengan
Putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
Penjatuhan pidana sebagaimana disebutkan di atas, dapat dikategorikan
sebagai pidana bersyarat. Hal ini sebagaimana pendapat dari Muladi yang
menyebutkan bahwa pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mana si
terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa
percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang
telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili
perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-
syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila
terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini merupakan
penundaan terhadap pelaksanaan pidana.61
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh R. Soesilo yang
menyebutkan pidana bersyarat adalah untuk memberikan kesempatan kepada
terpidana supaya dalam tempo percobaan itu ia memperbaiki dirinya dengan
jalan menahan diri tidak akan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar
perjanjian yang telah ditentukan oleh hakim kepadanya.62
61
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, alumni, Bandung, 1985, hlm. 195-196. 62
ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pidana bersyarat merupakan
suatu pidana yang dijatuhkan kepada terpidana tanpa harus menjalan pidana
tersebut, kecuali selama dalam masa percobaan melakukan pelanggaran
terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan oleh pengadilan. Oleh karena itu,
selama dalam masa percobaan tersebut, terpidana harus menjaga perilakunya
untuk tidak melakukan pelanggaran atau tindak pidana sebagaimana syarat-
syarat yang sudah ditentukan oleh pengadilan.
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Tindak Pidana dalam
bidang Lingkungan Hidup yang Ideal
Dalam mempertahankan dan memelihara hukum lingkungan berada di
tangan para pejabat administrasi, karena para pejabat administrasi tersebut
yang mengeluarkan izin dan dengan sendirinya terlebih dahulu mengetahui jika
tidak ada izin atau syarat-syarat dalam izin dilanggar. Penelusuran dari
dokumen-dokumen (AMDAL, izin (lisensi), dan pembagian tugas pekerjaan
dalam jabatan-jabatan yang terdapat pada badan hukum (korporasi) yang
bersangkutan) akan menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif
yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauh mana
pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut.
Dari dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula, bagaimana hak dan
kewajiban pengurus-pengurus perusahaan, dapat untuk memantau, mencegah
dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Penelusuran itu
menjadi dasar apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut
terjadi karena kesengajaan atau kelalaian.
Penegakan hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya
hukum terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan
hukuman penjara atau denda. Jadi, penegakan hukum pidana tidak berfungsi
untuk memperbaiki lingkungan yang tercemar, tetapi penegakan hukum pidana
selalu diterapkan secara selektif.
Sanksi pidana di dalam hukum lingkungan mencakup dua macam
kegiatan yakni: perbuatan mencemari lingkungan dan perbuatan merusak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
lingkungan. Termasuk ke dalam perbuatan merusak lingkungan, antara lain
adalah penebangan kayu di hutan lindung, memburu, menangkap dan
membunuh satwa yang dilindungi serta mengambil, merusak dan memperjual
belikan jenis tumbuhan yang dilindungi. Membuktikan adanya kesalahan
tidaklah mudah karena harus lebih dulu dibuktikan adanya hubungan sebab
akibat (causality) antara perbuatan pencemaran dengan kerugian dari si
penderita. Khususnya bagi masalah lingkungan, hal membuktikan atau
menjelaskan hubungan sebab akibat dari perbuatan si poluter dengan korban,
merupakan hal yang sulit. Menganalisis suatu pencemaran membutuhkan
penjelasan yang bersifat ilmiah, teknis dan khusus (transfrontier) sehingga bila
skalanya bersifat meluas dan serius, maka membuktikan hubungan sebab
akibat dalam kasus pencemaran justru lebih menyulitkan. Oleh karena itu,
penerapan sistem tanggungjawab yang bersifat biasa tidaklah mencerminkan
rasa keadilan.
Dalam hal tindak pidana kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
kegiatan korporasi dalam Pasal 88 UUPPLH sudah mengatur secara tegas
mengenai strict liability. Pasal 88 menyebutkan “setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang
terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa dimaksud dengan strict
liability adalah pembuat sudah dapat dipidana jika telah melakukan perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap
batinnya, yaitu dapat diartikan pula sebagai “liability without fault”
(pertanggungjawaban tanpa kesalahan). Pertanggungjawaban korporasi tindak
pidana lingkungan harus memperhatikan hal berikut:
a. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun nonbadan
hukum seperti organisasi dan sebagainya.
b. Korporasi dapat bersifat privat (private yuridical entity) dan dapat pula
bersifat publik (public entity).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
c. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam
bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, employess) dan
korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
(bipunishment provision).
d. Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa yang
dinamakan breach of a statutory or regulatory provision.
e. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-
orang yang bertanggungjawab di dalam badan hukum tersebut berhasil
diidentifikasi, dituntut, dan dipidana.
f. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada
korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara.
g. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan
perorangan.
h. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memerhatikan kedudukan
korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui kebijakan pengurus
atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekurangan
untuk memutuskan (power of decision) dan keputusan tersebut telah
diterima (accepted) oleh korporasi tersebut.
UUPPLH mengakui tentang tanggung jawab korporasi seperti diatur
dalam Pasal 116 UUPPLH sampai 119 UUPPLH. Berdasarkan pasal 117
UUPLH, jika tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama badan hukum,
perseroan, perserikatan yayasan atau organisasi lain, ancaman pidananya
diperberat sepertiga. Disamping pidana denda, korporasi yang melakukan
tindak pidana bisa dijatuhkan hukuman pokok berupa denda dan hukuman
tambahan berupa tindakan tata tertib sebagai berikut:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana (fruit of crime);
b. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan;
c. Perbaikan akibat tindak pidana;
d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;
e. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
f. Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Karena rumusan Pasal 119 UUPPLH tersebut tidak secara tegas
menyebutkan apakah jenis hukuman ini alternatif atau dapat dikenakan dua
atau lebih sekaligus, penulis berpendapat jenis-jenis hukuman itu dapat
dikenakan dua atau lebih sekaligus tergantung pada kasus perkasus atau akibat-
akibat dari pelanggaran.
Prinsip strict liability Dalam UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara harafiah istilah strict
liability itu diterjemahkan menjadi, tanggung jawab secara tegas; tanggung
jawab secara tepat; tanggung jawab secara teliti dan tanggung jawab secara
keras.
Asas strict liability disebut pula dengan istilah absolut liability, yaitu
prinsip tanggungjawab mutlak (no-fault liability or liability without fault )
sebagai prinsip tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya
kesalahan dengan didasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan
penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial.
b. Pembuktian adanya “mens rea” akan menjadi sangat sulit untuk
pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan social
itu.
c. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang
bersangkutan.
Menurut common law, strict liability berlaku terhadap tiga macam delik:
a. Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan
raya, mengeluarkan bau tidak enak).
b. Criminal libel (fitnah, pencemaran nama).
c. Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan).
d. Strict Liability sebagai Pertanggungjawaban Khusus dalam Hukum
Lingkungan ilmu hukum mengenal dua jenis tanggung gugat, yaitu
tanggung gugat berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dan
tanggunggugat tidak berdasarkan kesalahan (liability without fault ) atau yang
juga disebut strict liability. Selain tetap menganut tanggung gugat berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
kesalahan, UUPPLH juga memberlakukan tanggung gugat tanpa kesalahan
(strict liability) yaitu untuk kegiatan-kegiatan yang “menggunakan bahan-
bahan berbahaya dan beracun atau menghasilkan dan/atau mengelola limbah
bahan berbahaya dan beracun dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup.”
Berbeda dengan UUPLH yang menggunakan istilah penanggungjawab
“membayar ganti rugi secara langsung dan seketika” serta adanya pengecualian
atas keberlakuan tanggung gugat mutlak, dalam UUPPLH menggunakan istilah
bertanggungjawab secara mutlak tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan serta
tidak adanya ketentuan pengecualian.
Unsur-unsur yang bersifat khusus yang mencirikan kepada jenis
pertanggungjawaban khusus itu adalah strict liability, yang ciri utamanya
antara lain timbulnya tanggungjawab langsung dan seketika pada saat
terjadinya perbuatan, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan unsur kesalahan
(fault, schuld). UUPPLH memperkenalkan asas tanggung jawab yang bersifat
khusus yang disebut strict liability. Asas ini termuat dalam Pasal 88 UUPPLH
yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:
Pasal 88 UUPLH: Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau 80 UU RI No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140 yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian
unsur kesalahan.
Rumusan pasal tersebut secara jelas bersifat khusus karena unsur-
unsurnya telah secara khusus menunjuk kepada hal atau syarat tertentu
sehingga dapat diidentifikasi atau digolongkan ke dalam bentuk
pertanggungjawaban tertentu. Selain itu, Pasal 88 UUPPLH mengandung
beberapa unsur penting, yaitu:
a. Setiap orang (perseorangan atau badan usaha);
b. Suatu tindakan, usaha atau kegiatan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
c. Menggunakan B3;
d. Menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3;
e. Menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup;
f. Tanggungjawab timbul secara mutlak atas kerugian yang terjadi;
g. Tanggungjawab tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Berdasarkan unsur-unsur di atas, unsur nomor 6) dan 7) dapat
diinterpretasikan sebagai suatu pengertian yang tampaknya belum umum dalam
perangkat-perangkat hukum Indonesia. Dalam pengertian (logika) hukum yang
umum bahwa tidaklah mungkin untuk menentukan seseorang
bertanggungjawab pada suatu hal yang merugikan seseorang, sebelum ia
dinyatakan bersalah. Artinya, seseorang tidak dapat dibebankan kewajiban
bertanggungjawab kecuali kalau bukan atas dasar kesalahan (fault )
sebagaimana dengan prinsip dari “Tortious Liability”.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dikaitkan dengan strict liability (risico
aansprakelijkeheid) adalah kegiatan pengolahan bahan berbahaya; kegiatan
pengolahan limbah bahan berbahaya; kegiatan pengangkutan bahan berbahaya
melalui laut, sungai dan darat; serta kegiatan pengeboran atas tanah yang
menimbulkan ledakan. Akan tetapi di dalam undang-undang yang baru ini
(UUPPLH) tidak disebutkan alasan-alasan yang dapat membebaskan seorang
tergugat dari kewajiban membayar ganti rugi, sebagaimana yang dicantumkan
dalam UUPLH pasal 35 ayat (2).
Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang
bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
a. adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, ajaran strict liability ini hanya
diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu saja, yaitu tindak pidana atau
perbuatan pidana:
a. Tindak pidana pelanggaran, atau
b. Tindak pidana kejahatan yang;
1. Telah mengakibatkan kerugian terhadap keuangan atau perekonomian
Negara, atau
2. Telah menimbulkan gangguan ketertiban umum (ketentraman publik),
atau
3. Telah menimbulkan kematian missal, atau telah menimbulkan derita
jasmaniah secara missal yang bukan kematian, atau
4. Telah menimbulkan kerugian keuangan secara missal, atau telah
5. menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan, atau
c. Tindak pidana yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran pajak.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikatakan pula yang disebut
tindak pidana korporasi ialah:
a. tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang bertindak untuk dan atas
nama korporasi;
b. tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang memberi perintah atau
c. pemimpin atau korporasi sendiri; dan tindak pidana yang dilakukan oleh
karyawan rendahan yang semata-mata melakukan perintah atasannya, tidak
dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana. Adanya ketentuan tentang tindak
pidana korporasi maka para pengusaha akan lebih berhati-hati dalam
menjalankan perusahaannya. Bila pengusaha itu misalnya melakukan
perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan hidup, maka dia dan
perusahaannya itu pun dapat dikenai sanksi pidana yang dendanya
diperberat dengan sepertiga.
Badan hukum atau korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana harus dikaitkan dengan strict liability, karena suatu korporasi sulit
untuk dilihat dari hal “mampu bertanggungjawab” atau melihat korporasi
melakukan tindak pidana dengan kesalahan berupa kesengajaan atau kelalaian,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
sehingga lebih baik melihat korporasi yang telah melakukan tindak pidana
maka hukuman pidana merupakan suatu konsekuensi. Dimaksudkan dengan
strict liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without
fault), yang dalam hal ini pembuat sudah dapat dipidana jika telah melakukan
perbuatan yang dilarang sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-undang
tanpa melihat lebih jauh sikap batin pelaku.
PT. Sariwarna Asli. merupakan korporasi karena itu PT Sariwarna Asli
merupakan subjek hukum. Sebagai subjek hukum PT Sariwarna Asli dapat
dimintai pertanggung jawaban korporasi dari akibat kegiatan pencemaran
lingkungan yang dilakukannya. Oleh karena PT Sariwarna Asli merupakan
korporasi, maka pasal yang tepat dikenakan untuk PT Sariwarna Asli ialah
Pasal 116 ayat (2) UUPPLH 2009.
Penerapan Prinsip Strict Liability terhadap Korporasi terdapat dalam
Pasal 21 UUPLH, Pasal 35 UUPLH dan Pasal 88 UUPPLH merupakan dasar
hukum penerapan strict liability terhadap perusak dan atau pencemar
lingkungan yang penuangannya berbentuk ketentuan umum (general clause),
dan menurut penjelasan pasal 21 UUPLH dikenakan secara selektif dalam
beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu yang akan
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang dapat
menentukan jenis dan kategori kegiatan yang akan terkena oleh ketentuan
termaksud. Penerapan asas tanggunggugat mutlak dilaksanakan secara bertahap
sesuai dengan perkembangan kebutuhan.
Pasal 35 ayat (1) UUPLH 1997 merupakan pasal dalam UUPLH 1997
yang mengatur tentang asas strict liability, pasal tersebut selengkapnya
berbunyi sebagai berikut:
“Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan
kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,
dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,
dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika
pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Pengenaan strict liability berdasarkan pasal 35 ayat (1) UUPLH 1997
mengatur bahwa subjek yang dikenakan strict liability ialah Penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan. Menurut penjelasan pasal 88 UUPLH, yang dimaksud
dengan “bertanggungjawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan
tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti
rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex speciallis dalam gugatan tentang
perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Manfaat dari asas strict liability adalah pentingnya jaminan untuk
mematuhi peraturan-peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk
kesejahteraan masyarakat, Bukti kesalahan sangat sulit didapat atas
pelanggaran-pelanggaran peraturan yang berhubungan dengan kesejahteraan
masyarakat, Tingkat bahaya sosial yang tinggi yang timbul dari perbuatan-
perbuatan itu.
Dengan digunakannya strict liability sebagai sistem hukum yang baru,
hambatan-hambatan yang dialami pihak penderita dapat diterobos. Berdasarkan
sistem ini, pembuktian tidak lagi dibebankan pada pihak pengklaim (korban
yang dirugikan), sebagaimana yang selama ini lazim dianut, tetapi dibebankan
pada pihak pelaku perbuatan melawan hukum.
Di sini berlaku asas pembuktian terbalik (Omkerings van Bewijslast).
Dikaitkan dengan kasus PT Sariwarna asli maka penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan ialah korporasi itu sendiri (PT Sariwarna Asli.). PT
Sariwarna Asli patut untuk dikenakan asas strict liability karena dari kegiatan
telah menimbulkan dampak yang sedemikian besar yaitu mengakibatkan
terjadinya pencemaran lingkungan.
Sementara itu dalam konteks ius constituendum, RUU KUHP telah
mengadopsi doktrin pertanggungjawaban strict liability. Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 38 ayat (1) dari RUU KUHP, yaitu: “bagi tindak pidana tertentu,
Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-
mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa
memperhatikan adanya kesalahan”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Ketentuan tersebut di atas, hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu
saja yang ditetapkan oleh undang-undang. Pelaku tindak pidana akan dibebani
pertanggungjawaban tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu adanya kesalahan
(mens rea) ketika perbuatan (actus reus) dilakukan. Pemberlakuan ketentuan
strict liability terhadap tindak pidana tertentu saja adalah sudah tepat, karena
penerapannya tidak boleh sembarangan melainkan harus dengan pembatasan,
sehingga penerapannya tidak meluas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pertimbangan hakim menjatuhkan putusan pidana bersyarat terhadap korporasi.
Pidana bersyarat adalah suatu pidana dalam hal mana terpidana tidak
perlu menjalani pidana tersebut, kecuali apabila selama masa percobaan
terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah
ditentukan oleh pengadilan. Adapun pidana bersyarat dijatuhkan oleh hakim
dengan pertimbangan untuk menghindari akibat-akibat negatif dari pidana
perampasan kemerdekaan Terdakwa selaku Plan Manager yang nantinya akan
menghambat usaha pemasyarakatan setelah narapidana kembali ke masyarakat.
Selain itu, dengan pidana bersyarat yang dijatuhkan dapat mengurangi biaya-
biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperbaiki ekosistem
yang merupakan tanggung jawab korporasi. Oleh karena itu dengan
dijatuhkannya pidana bersyarat, diharapkan dapat membatasi kerugian-
kerugian dari penerapan pidana pencabutan kemerdekaan khususnya bagi
pekerja yang menggantungkan hidupnya di Korporasi.
2. Model ideal pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana
dalam bidang lingkungan hidup.
Pada kasus tindak pidana dalam bidang lingkungan hidup yang dilakukan
korporasi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan ialah korporasi itu
sendiri. Korporasi tersebut patut untuk dikenakan asas strict liability karena
dari kegiatan telah menimbulkan dampak yang sedemikian besar yaitu
mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Dengan demikian, Strict
liability dapat ditujukan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi,
terutama yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan
umum/masyarakat. Berdasarkan sistem ini, pembuktian tidak lagi dibebankan
pada pihak pengklaim (korban yang dirugikan), sebagaimana yang selama ini
76
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
lazim dianut, tetapi dibebankan pada pihak pelaku perbuatan melawan hukum.
Dalam RUU KUHP juga telah mengadopsi doktrin pertanggungjawaban strict
liability. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 38 ayat (1) dari RUU KUHP, yaitu:
“bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat menentukan bahwa
seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur
tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”.
B. Implikasi
Konsekuensi logis dari kesimpulan hasil penelitian tersebut di atas,
menyebabkan timbulnya implikasi sebagai berikut:
1. Adanya pidana bersyarat yang dijatuhkan pada korporasi, maka korporasi dapat
tetap beroperasi seperti biasa dan dapat melakukan perbaikan atas kerusakan
lingkungan yang telah tercemar. Selain itu, dengan pidana bersyarat dapat
digunakan sebagai upaya preventif atas tindak pidana pencemaran lingkungan
yang dilakukan oleh pihak korporasi.
2. Dengan diterapkannya asas strict liability, maka pelaku usaha yang melakukan
kegiatan usaha akan lebih bertanggungjawab. Tidak hanya bertanggung jawab
terhadap warga setempat tetapi juga terhadap dampak lingkungan.
C. Saran
Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat disarankan sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah
Pemerintah perlu melakukan pengaturan yang lebih rinci mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi baik melalui amandemen terhadap
undang-undang yang sudah ada maupun dalam RUU KUHP sebagai pedoman
umum. Pengaturan tersebut meliputi: ketentuan mengenai kapan suatu
korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana, ketentuan mengenai siapa
yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan
korporasi, serta ketentuan mengenai jenis-jenis tindak pidana yang dapat
dijatuhkan kepada korporasi.
2. Bagi Hakim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Sebaiknya, hakim dapat menjatuhkan hukuman maksimal kepada korporasi
yang telah terbukti melakukan pencemaran lingkungan. Hal ini tersebut
dimaksudkan supaya dapat menimbulkan efek jera bagi korporasi, mengingat
dampak yang timbul akibat dari pencemaran/kerusakan lingkungan hidup dapat
merugikan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial dan budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.
Amirudin A. Dajaan Imami, dkk. 2009. Asas Subsidaritas : Kedudukan dan
Implementasi dalam Penegakan Hukum Lingkungan. Bandung : PP-PSL
FH UNPAD dan Bestari.
Anisa Handayani. 2007.Pertanggungjawaban Pidana Korporasi sebagai Pelaku
Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Tesis. Universitas Andalas.
Bambang Poernomo. 2002. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem
Pemasyarakatan. Yogyakarta : liberty.
Barda Nawawi Arief. 2002. Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Bandung
: Raja Grafindo.
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Chidir Ali, 1991. Badan Hukum, Bandung: Alumni
Dwidja Priyatno, 1991, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,
Bandung: Sekolah Tinggi Hukum.
Dwidja Priyatno, 2004. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung: CV
Utomo.
HB. Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press.
James P. Spradley. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Kariawan Barus. 2011. Analisis Yuridis Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang
Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Universitas Sumatera Utara.
Koesnadi Hardjasumatri. 1990. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.
Mahrus Ali. 2008. Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi
Penanggulangan Kejahatan Korporasi. Yogyakarta : Arti Bumintaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Jimly Asshiddiq, 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Mardjono Reksodiputro, 2007, Tindak Pidana Korporasi dan
Pertanggungjawabannya Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di
Indonesia,” dalam Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan,
Jakarta: Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Layanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum.
Mardjono Reksodipiutro. 2010. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan
Kejahatan. Jakarta : Departemen Kriminologi FISIP UI.
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 2007, Analisis Data Kualitatif,
Jakarta: UI Press.
Evan Elroy Situmorang. 2012. Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi terhadap Korban Kejahatan Korporasi. Tesis.
Semarang : UNDIP.
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta : UI Press.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori Dan Kebijakan Pidana.
Bandung : Alumni.
Muladi. 2004. Makalah Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana
(Corporate Crimina Liability). Bandung : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum.
Muladi dan Dwidja Priyatno. 2012. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Nyoman Serikat Putra Jaya. 2012. Hukum dan Hukum Pidana di Bidang
Ekonomi. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
P.A.F Lamintang, 1984, Hukum Penintensier Indonesia, Bandung : Armico.
Puspa, Yan Pramadya, 1977, Kamus Hukum, Semarang : CV. Aneka Ilmu.
R. Soesilo. 1991. Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-
delik Khusus. Bogor : Politeia.
Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung : Mandar
Maju.
Setiono. 2010. Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Surakarta
: Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri. 2013. Hukum Pidana Indonesia:
Perkembangan dan Pembaharuan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Soejadi. 2003. Refleksi mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasinya di
Indonesia. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Sudikno Mertokusumo. 1988. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta :
Liberty.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung.
Soejadi, 2003, Refleksi mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasinya di
Indonesia, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Hukum, Metode dan Dinamika Masalahnya,
Jakarta :Elsam dan Huma.
Utrecht, E. 1987. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Surabaya : Pustaka
Tinta Mas.
Yahya Harahap. 1997. Beberapa Tinjauan tentang Permasaahan Hukum.
Bandung : Citra Aditya Bakti.
B. Jurnal dan Makalah
Asmani, Jentera Jurnal Hukum, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2013, Pukul
11.00. WIB.
Azhari, A.F, “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di
Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Keseimbangan”, Jurnal
Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005.
Forest L. Reinhardt, Corporate social responsibility, business strategy, and the
environment, Oxford Review of Economic Policy, Volume 26, Number 2,
2010, Sabtu 7 Maret 2015.
Hanafi. 1999. “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”. Jurnal Hukum
Vol 6, 1999.
Indriati Amarini. 2010. “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-
Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Jurnal UMP Purwokerto.
Miller, N.J. 2002. “Independence in The International Judiciary: General
Overview of The issues”. Background paper for the meeting of the study
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
group of the international law association. Burgh House, Hupstead,
London.
Natsir Asnawi. 2013. “Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Politik Hukum
(Studi tentang Kebijakan Hukum dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman)”.Varia Peradilan No. 332. 2013.
Rafael La Porta, Investor protection and corporate governance, Journal of
Financial Economics 58, Sabtu 7 Maret 2015.
Rina Agustina, Analisa hukum terhadap unsur tindak pidana lingkungan hidup
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan, Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11, Sabtu
7 Maret 2015.
Sally S. Simpson, An Empirical Assessment of Corporate Environmental Crime-
Control Strategies, Journal of Criminal Law and Criminology, Volume
103, Sabtu 7 Maret 2015.
Yudi Krismen, Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kejahatan ekonomi,
Jurnal Ilmu Hukum, Volume 4 Nomor 1, Sabtu 7 Maret 2015.
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4150).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140) dan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 122 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5164).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
D. Data Elektronik
Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya,
disampaikan dalam ceramah di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera
Utara, tanggal 27 April 2006.
Saleh, M. Ridha, Lingkungan Hidup: Untuk Kehidupan Tidak Untuk
Pembangunan, Kertas Posisi, www.walhi.com 25 Oktober 2012, 10.00