disusun dan diajukan untuk melengkapi persyaratan guna .../proses...proses pemeriksaan terhadap...

66
Proses pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana prostitusi berdasar peraturan daerah kota surakarta nomor 3 tahun 2006 tentang penanggulangan eksploitasi seks komersial di pengadilan negeri surakarta PENELITIAN HUKUM (SKRIPSI) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Mariyanto NIM : E.0002187 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

Upload: buinhu

Post on 26-May-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Proses pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana prostitusi berdasar

peraturan daerah kota surakarta nomor 3 tahun 2006 tentang

penanggulangan eksploitasi seks komersial di pengadilan negeri surakarta

PENELITIAN HUKUM

(SKRIPSI)

Disusun dan diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Mariyanto

NIM : E.0002187

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2008

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

PROSES PEMERIKSAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PROSTITUSI BERDASAR PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA

NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN

EKSPLOITASI SEKS KOMERSIAL DI PENGADILAN NEGERI

SURAKARTA

Disusun oleh :

MARIYANTO

NIM : E. 0002187

Disetujui untuk dipertahankan

Dosen Pembimbing

BAMBANG SANTOSA, S.H, M.Hum NIP. 131 863 797

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Penulisan Hukum (Skripsi)

PROSES PEMERIKSAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PROSTITUSI BERDASAR PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA

NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN

EKSPLOITASI SEKS KOMERSIAL DI PENGADILAN NEGERI

SURAKARTA

Disusun oleh :

MARIYANTO

NIM : E. 0002187

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 12 Februari 2008

TIM PENGUJI

1. Kristiyadi, S.H.,M.Hum. : Ketua

2. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : Sekretaris

3. Bambang Santosa, S.H M.Hum : Anggota

MENGETAHUI

Dekan,

MOH JAMIN, S.H., M.HUM.

NIP. 131 570 154

iv

MOTTO

“Jangan pernah menganggap belajar sebagai suatu kewajiban,

tetapi anggaplah sebagai suatu kesempatan menyenangkan untuk

membebaskan diri dalam mempelajari keindahan alam dan

kehidupan. Belajar adalah untuk kebahagiaan sendiri dan akan

memberi keuntungan bagi masyarakat tempatmu bekerja nanti”

(Albert Einstein)

”Forget The Motto Just Do Something Better”

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya tulis ini kupersembahkan untuk :

Kedua Orang Tuaku tercinta dan Adekku tersayang

Semoga senantiasa berada dalam rahmat, karunia dan perlindungan Allah

SWT

Teman – temanku Mahasiswa Fakultas Hukum UNS

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

ridho-Nya sehingga penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “PROSES

PEMERIKSAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PROSTITUSI

BERDASAR PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 3

TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN EKSPLOITASI SEKS

KOMERSIAL DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA” dapat penulis

selesaikan.

Penulisan hukum ini membahas tentang tata cara pemeriksaan terhadap

pelaku tindak pidana prostitusi di Pengadilan Negeri Surakarta. Serta kriteria-

kriteria yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap

pelaku tindak pidana prostitusi. Dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis

terhadap maraknya kegiatan prostitusi yang ada di Surakarta dan mampukah

peraturan daerah setempat mencegah atau menanggulangi kegiatan tersebut

penulis melakukan penelitian berkaitan dengan hal tersebut.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil

sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan terutama kepada:

1. Bapak Moh Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS

yang telah memberi ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menyusun

penulisan hukum ini.

2. Bapak Bambang Santosa, S.H., M.Hum. selaku pembimbing penulisan

hukum (skripsi) yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk

memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini.

3. Bapak Soekasno, S.H., M.Hum. (almarhum) dan Ibu Ambar B.

Sulistyowati, S.H., M.H. selaku pembimbing akademis dan pembimbing

akademis pengganti atas bimbingan dan nasehat yang berguna bagi penulis

selama penulis belajar di Fakultas hukum UNS.

vii

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas hukum UNS yang telah memberikan

ilmunya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan

skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan dikemudian hari.

5. Bapak dan Ibuku tercinta terima kasih atas pengorbanan dan doanya serta

adikku tersayang Ayu semoga tercapai cita-citamu........

6. Semua pihak di Pengadilan Negeri Surakarta terima kasih atas bantuannya.

7. Semua angkatan 2002.

8. Semua pihak yang telah membantu penyusunan penulisan hukum ini.

Demikian dan mudah-mudahan penulisan hukum (skripsi) ini dapat

bermanfaat terutama bagi penulis, kalangan akademisi dan masyarakat umum.

Surakarta, Februari 2008

penulis

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii

HALAMAN MOTTO...................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi

DAFTAR ISI.................................................................................................... viii

DAFTAR BAGAN .......................................................................................... x

ABSTRAK ...................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1

B. Perumusan Masalah ....................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 4

D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 5

E. Metode penelitian........................................................................... 5

F. Sistematika Penulisan Hukum ....................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

a. Tinjauan Umum Tentang Pidana

1. Pengertian tindak pidana dan jenis pidana ............... 12

2. Pengertian tindak pidana ringan................................ 13

b. Tinjauan Umum Tentang Prostitusi

1. Pengertian prostitusi.................................................. 17

2. Wanita tuna susila atau pekerja seks komersial ........ 18

3. Bentuk dan kategori pelacuran.................................. 21

4. Sebab-sebab pelacuran.............................................. 22

5. Akibat pelacuran ....................................................... 28

6. Penanggulangan pelacuran........................................ 28

ix

7. Faktor Penghambat Dan Pelancar Dalam

Menertibkan Pekerja Seks Komersial ....................... 31

B. Kerangka Pemikiran....................................................................... 32

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Proses Pemeriksaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Prostitusi

berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006

Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial di Pengadilan

Negeri Surakarta

1. Deskripsi Kasus..................................................................... 34

2. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006

Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial ........ 40

3. Pembahasan........................................................................... 42

B. Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Sanksi Pidana Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Prostitusi Berdasarkan Peraturan Daerah Kota

Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi

Seks Komersial Di Pengadilan Negeri Surakarta

1. Putusan Hakim ...................................................................... 46

2. Petimbangan Hakim.............................................................. 48

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN.............................................................................. 52

B. SARAN .......................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 55

LAMPIRAN

x

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Model Analisis Interaktif ................................................................... 10

Bagan 2 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 32

xi

ABSTRAK

MARIYANTO, E0002187, PROSES PEMERIKSAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PROSTITUSI BERDASAR PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN EKSPLOITASI SEKS KOMERSIAL DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2008.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana prostitusi serta mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana prostitusi berdasarkan peraturan daerah kota surakarta nomor 3 tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial Di Pengadilan Negeri Surakarta. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Lokasi penelitian ini adalah di Pengadilan Negeri Surakarta. Jenis data yang dipergunakan meliputi data primer berupa hasil wawancara dengan hakim-hakim di Pengadilan Negeri Surakarta dan data sekunder berupa berupa berkas-berkas perkara serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer yaitu hakim-hakim di Pengadilan Negeri Surakarta dan sumber data sekunder yaitu berkas perkara serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan. Tehnik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi lapangan yang dilakukan dengan wawancara dengan hakim-hakim di Pengadilan Negeri Surakarta dan studi kepustakaan dengan mempelajari berkas-berkas perkara serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Tehnik analisis data menggunakan analisis data kualitatif dengan model analisis interaktif.

Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa proses pemeriksaan perkara prostitusi menggunakan proses acara cepat. Berkaitan dengan proses pemeriksaan tindak pidana prostitusi berbeda dengan acara biasa dimana berkas acara pemeriksaan yang dibuat kepolisian langsung diajukan ke pengadilan tanpa melalui kejaksaan terlebih dahulu. Sedangkan berkas acara pemeriksaan di pengadilan tidak dibuat. Hanya berkas-berkas acara yang ada dicatat dalam buku register Pengadilan Negeri Surakarta.

Berdasarkan penelitian ini juga diketahui hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana prostitusi, yaitu pengakuan terdakwa, pernahkah terdakwa dihukum dalam perkara yang sama sebelumnya, perkara adalah acara cepat sehingga putusan harus singkat, dan hukuman yang dijatuhkan haruslah bersifat pembinaan dan bukan bersifat pembalasan atas apa yang telah dilakukannya.

xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit

masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha

pencegahan dan perbaikan. Pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere

atau pro-stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan

persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedang prostitue adalah pelacur

atau sundal. Yang dikrnal pula dengan istilah wanita tuna susila (WTS) atau

sekarang kita kenal dengan pekerja seks komersial (PSK).

Tuna susila atau tidak susila diartikan sebagai tidak beradab karena

keroyalan relasi seksualnya dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laki-

laki untuk pemuasan seksual dan mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi

pelayanannya. Tuna susila juga merupaka sebagai salah tingkah, tidak susila

atau gagal menyesuaikan diri terhadap norma-norma susila. Maka “pelacur itu

adalah wanita yang tidak pantas kelakuannya dan bisa mendatangkan

mala/celaka dan penyakit, baik kepada orang yang bergaul dengan dirinya,

maupun kepada dirinya sendiri”. (Kartini Kartono, 2005 :207).

Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur

kehidupan manusia itu sendiri. Yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa

kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenis

tanpa mengenal batas-batas kesopanan. Dan senantiasa menjadi masalah sosial

atau menjadi obyek urusan hukum dan tradisi. (Kartini Kartono, 2005:207).

Di banyak Negara pelacuran itu dilarang bahkan dikenakan hukuman

juga dianggap sebagai perbuatan hina oleh segenap anggota masyarakat. Akan

tetapi hingga dunia kiamat nanti, pelacuran ini akan tetap ada, sukar, bahkan

hamper tidak mungkin untuk diberantas dari muka bumi selama masih ada

nafsu seks yang lepas dari kendali kemauan dan hati nurani. Timbulnya

1

xiii

masalah pelacuran sebagai gejala patologis yaitu sejak adanya penataan relasi

seks dan diberlakukannya norma-norma perkawinan.

Demikian pula di Indonesia yang merupakan negara berkembang,

sejak diterpa badai krisis ekonomi banyak sekali penurunan nilai masyarakat

terhadap moral dan kesusilaan. Dengan semakin sempitnya lapangan

pekerjaan dan meningkatnya jumlah penduduk serta adanya keinginan

seseorang yang ingin mendapatkan uang atau materi yang banyak dengan

jalan yang cepat, maka prostitusi atau pelacuran ini meningkat dengan cepat.

Tanpa memikirkan bahwa apa yang telah dilakukannya itu bertentangan

dengan nilai moral, kesusilaan, dan nilai agama yang berlaku di masyarakat.

Secara umum faktor-faktor penyebab pelaku melakukan berbagai

pekerjaan seks komersial sangat erat kaitannya dengan pendidikan

formalitasnya, masalah ekonomi, rumah tangga yang tidak harmonis,

keinginan untuk memperoleh uang secara cepat, faktor-faktor social lainnya

dan kebutuhan seks/biologisnya.

Hidup di dunia pelacuran ditandai dengan kemampuan untuk

mendapatkan uang dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif cepat

dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya yang tidak membutuhkan

pendidikan formal, akibatnya sungguh sulit bagi mereka yang sudah masuk

dalam pelacuran untuk keluar dan mencari jenis pekerjaan lainnya. Hal ini

disebabkan oleh ketiadaan bentuk pekerjaan alternatif yang sesuai dengan latar

belakang pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki.

Menurut Supanto dalam makalahnya menyebutkan, kalau bekerjanya

PSK/kegiatan prostitusi merupakan kejahatan, kemudian diupayakan untuk

menanggulanginya,maka salah satu sarananya dapat dengan hukum pidana

(penal policy), yang merupakan bagian upaya rasional menanggulangi

kejahatan (criminal policy). Ini secara keseluruhan harus integral dengan

program-program dalam kebijakan perlindungan dan menyejahterakan

masyarakat. Dengan demikian, di samping sarana hukum pidana harus

digunakan sarana-sarana lain di bidang social, ekonomi, politik dan budaya

(Supanto, 2007:2)

xiv

Berdasarkan kondisi di atas tentu perlu segera diambil langkah-

langkah yang tepat dalam mengantisipasi merebaknya banyaknya anak yang

terlibat dalam pelacuran. Perlu dibentuk suatu kebijakan daerah berupa

Peraturan Daerah sebagai upaya untuk mengurangi adanya kegiatan tersebut.

Keberadaan Peraturan Daerah kota Surakarta nomor 3 tahun 2006 tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial sebagai salah satu upaya yang

harus dilakukan baik oleh pemerintah kota Surakarta dan pemerintah daerah

lainnya untuk berusaha mengurangi adanya praktek prostitusi di Indonesia.

Pengaturan dalam KUHP yang merupakan induk hukum pidana

mengenai kegiatan prostitusi menyangkut germo (Pasal 296), mucikari (Pasal

506), dan perdagangan wanita (Pasal 297), tidak diatur mengenai pelacur dan

pelanggannya. Hal semacam ini sudah diatur semua dalam Peraturan Daerah

Kota Surakarta No. 3 Tahun 2006 sebagai tindak pidana eksploitasi seks

komersial (Pasal 3, Pasal 4 jo Pasal 31 s.d 35).

Dalam pelaksanaannya peraturan daerah ini memberikan sanksi pidana

kepada pelaku-pelaku tindak pidana eksploitasi seks komersial yang

merupakan bentuk pemanfaatan atau penggunaan seks untuk kepentingan

komoditi atau keuntungan baik untuk satu pihak atau kelompok, termasuk

diantaranya pelaku tindak pidana prostitusi. Dalam menjatuhkan sanksi pidana

atau hukuman pengadilan negeri dengan kitab undang-undang hukum pidana

atau peraturan daerah harus sesuai dengan tujuannya yaitu agar para pelaku

tindak pidana ini jera dan mereka tidak kembali lagi menjadi pelaku tindak

pidana prostitusi.

Meski dalam persidangan hanya menggunakan persidangan Tindak

Pidana Ringan namun diharapkan mampu mengurangi adanya praktek

prostitusi di kota Surakarta. Dengan hukuman kurungan yang tidak lebih dari

3 bulan diperlukan perhatian yang lebih untuk mengurangi tindak pidana

prostitusi di kota Surakarta, dengan adanya peraturan daerah kota Surakarta

nomor 3 tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial.

xv

Pengajuan perkara dan penjatuhan sanksi pidana merupakan salah satu

cara penanganan tindak pidana prostitusi melalui Pengadilan Negeri.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul; “PROSES PEMERIKSAAN TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA PROSTITUSI BERDASAR PERATURAN DAERAH

KOTA SURAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG

PENANGGULANGAN EKSPLOITASI SEKS KOMERSIAL DI

PENGADILAN NEGERI SURAKARTA”.

B. PERUMUSAN MASALAH

Untuk mempermudah pemahaman atas permasalahan yang dikaji dan

agar mempermudah penulisan dan lebih terarah pada permasalahan yang

dikaji maka perlu adanya perumusan masalah. Oleh karena itu penulis

mengemukakan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana

prostitusi berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3

tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial

di Pengadilan Negeri Surakarta?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan sanksi pidana

terhadap pelaku tindak pidana prostitusi berdasarkan Peraturan

Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial di Pengadilan Negeri

Surakarta?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui bagaimana proses pemeriksaan terhadap pelaku

tindak pidana prostitusi berdasarkan Peraturan Daerah Kota

Surakarta Nomor 3 tahun 2006 tentang Penanggulangan

Eksploitasi Seks Komersial Di Pengadilan Negeri Surakarta.

xvi

b. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam

menetapkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana prostitusi

berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006

tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial di Pengadilan

Negeri Surakarta.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan penulis tentang bagaimana proses

pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana prostitusi di Pengadilan

Negeri Surakarta.

b. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang bagaimana

pertimbangan hakim dalam memberikan sanksi pidana terhadap

pelaku tindak pidana prostitusi.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum acara

pidana khususnya dalam penanganan tindak pidana prostitusi.

b. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah bahan referensi serta

bahan masukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan dating.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran

bagi pihak terkait dalam penanganan tindak pidana prostitusi.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi

penilis dan masyarakat umum tentang penanganan tindak pidana

prostitusi.

E. METODE PENELITIAN

Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami

obyek yang akan menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang akan diteliti.

Metode dipilih dan digunakan untuk keserasian dengan obyek serta sejalan

dengan tujuan dan masalah yang diteliti.

xvii

Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara

seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-

lingkungan yang dihadapinya ( Soerjono Soekanto, 1986:6).

Dalam penelitian ini oleh penulis menggunakan metode-metode

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris,

dimana penulis tidak hanya berusaha mempelajari, pasal-pasal

perundangan, pandangan pendapat para ahli dan menguraikannya dalam

tulisannya, tetapi juga menggunakan bahan-bahan yang sifatnya normatif.

Dalam hal ini adalah Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun

2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial.

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, oleh penulis mengambil lokasi penelitian di

Pengadilan Negeri Surakarta, Perpustakaan Fakultas Hukum UNS, dan

Perpustakaan Pusat UNS.

3. Sifat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan adalah termasuk penelitian

deskriptif, yaitu penilitian hukum yang bersifat pemaparan dan bertujuan

unuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum

yang berlaku (Abdulkadir Muhammad,2004:50). Dalam hal ini mengenai

penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana prostitusi

berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006

Tentang Penanganan Eksploitasi Seks Komersial di Pengadilan Negeri

Surakarta.

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian

1. Jenis Data

xviii

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung di

lapangan. Data tersebut berupa wawancara dengan hakim

Pengadilan Negeri Surakarta.

b. Data Sekunder

Data ini antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian,

dan seterusnya (Soerjono Soekanto,1986:12). Dalam hal ini berupa

berkas-berkas perkara tindak pidana ringan mengenai prostitusi dan

putusan-putusan hakim pengadilan negeri surakarta, serta Peraturan

Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial.

2. Sumber Data

Berdasarkan jenis-jenis data diatas dalam penelitian ini dapat

dibagi menjadi dua sumber data, yaitu :

a. Sumber Data Prmer

Sumber data primer yaitu sumber data yang terkait

langsung permasalahan yang diteliti, dalam hal ini wawancara

terhadap hakim Pengadilan Negeri Surakarta yang memutus

perkara tindak pidana prostitusi.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data yang meliputi semua sumber data yang

mendukung sumber data primer antara lain peraturan perundangan-

undangan, dokumen-dokumen, laporan, hasil penelitian terdahulu,

buku-buku ilmiah dan sumber lain yang berhubungan dengan objek

penelitian ini. Yaitu berkas-berkas perkara dan peraturan daerah

yang berkaitan.

5. Teknik Pengumpulan Data

xix

Dalam melakukan penelitian, dibutuhkan kemampuan untuk

memilih, menyusun teknis, dan alat pengumpul data yang relevan. Karena

kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik serta alat pengumpul

data akan berpengaruh secara obyektif pada hasil penelitian.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Studi Lapangan

Merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara langsung ke lapangan, yaitu melakukan pengamatan langsung

terhadap objek yang akan diteliti, dalam hal ini penelitian akan

dilakukan dengan cara wawancara.

Wawancara merupakan teknik pengumpul data melalui proses

tanya jawab secara langsung dan lisan untuk memperoleh informasi

yang diperlukan. Dalam hal ini wawancara dilakukan kepada hakim

Pengadilan Negeri Surakarta yang menjatuhkan sanksi pidana terhadap

pelaku tindak pidana prostitusi.

b. Penelitian Kepustakaan

Metode ini digunakan dalam rangka untuk mendapatkan data

sekunder, yaitu dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari

dan mengutip dari literature, dokumen, sumber hukum, dan bahan

pustaka lainnya yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan yang

diteliti. Berupa berkas-berkas perkara tindak pidana ringan mengenai

prostitusi dan putusan-putusan hakim pengadilan negeri surakarta,

serta Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial.

c. Penelitian Cyber Media

Merupakan teknik pengumpulan data dimana penulis

menggunakan sarana internet, untuk menelusuri segala bentuk

informasi sehubungan dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu

terkait dengan penanganan tindak pidana prostitusi.

xx

6. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil

penelitian menjasi sebiah laporan, data yang diperoleh, dikerjakan, dan

dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat menyimpulkan persoalan

yang ada.

Dari semua data yang diperolah dikumpulkan, disusun, dijelaskan

kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitif.

Deskriptif karena penelitian ini bertolak pada identifikasi hukum dan

melihat efektifitas hukum yang terdapat di dalam masyarakat dari keadaan,

perilaku manusia dan gejala-gejala yang ada. Apakah hukum dengan

peraturan-peraturan yang ada, peraturan perundang-undangan atau

peraturan lainnya sudah berlaku dengan benar dan efektif dalam praktek di

masyarakat. Kualitatif karena sifat data dan penelitian adalah kualitatif.

Sehingga kesimpulan yang dapat ditarik adalah merupakan hasil dari

interpretasi induktif.

Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis

interaktif “Interactive Model Of Analysis” adalah model analisis yang

memerlukan tiga komponen pokok yaitu reduksi data, sajian data serta

penarikan kesimpulan verifikasi. Selain itu dilakukan pula suatu proses

antara tahap-tahap tersebut sehingga yang terkumpul berhubungan satu

sama lain secara otomatis. (H.B. Sutopo,2002:95-96)

xxi

Bagan 1

Bagan Model Analisis Interaktif

F. Sistematika Penulisan Hukum

Guna memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika

penulisan hukum yang sesuai dengan turan penulisan hukum, maka

penulis dapat menguraikan sistematika penulisan hukum ini sebagai

berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini terdiri atas sub bab Latar Belakang,

Perumusan Masalah, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian,

Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pengumpulan Data

Sajian Data

Reduksi Data

Penarikan Simpulan/ Verifikasi

xxii

A. Kerangka Teori

Pada bab ini penulis berusaha menguraikan mengenai teori-

teori yang menjadi landasan dalam penulisan hukum ini yang

meliputi tindak pidana dan pemidanaan, prostitusi, dan Peraturan

Daerah Kota Surakarta no. 3 tahun 2006 tentang Penanggulangan

Eksploitasi Seks Komersial.

B. Kerangka Berfikir

Berisi alur pemikiran yang ditempuh penulis.

BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis mengungkapkan mengenai

bagaimana proses pemeriksaan perkara dan bagaimana

pertimbangan hakim dalam memutuskan sanksi pidana terhadap

pelaku tindak pidana prostitusi berdasarkan pada peraruran

daerah kota Surakarta no. 3 tahun 2006 Tentang Penanggulangan

Eksploitasi Seks Komersial Di Pengadilan Negeri Surakarta.

BAB IV: SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini merupakan penutup dari keseluruhan

penulisan skripsi. Dalam penutup ini penulis berusaha

mengambil kesimpulan dari hasil pembahasan dan kemudian

memberikan saran-saran.

xxiii

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

a. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana Dan Jenis Pidana

Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa hukum pidana

merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat

dijatuhkannya kepada pelaku. Hal demikian menempatkan hukum pidana

dalam pengertian hukum pidana materiil. Menurut Satochid Kartanegara

dalam bukunya Bambang Waluyo bahwa hukum pidana materiil berisikan

peraturan-peraturan tentang berikut ini .

1. Perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (strafbarfeiten)

misalnya

a. mengambil barang milik orang lain.

b. dengan sengaja merampas nyawa orang lain

2. Siapa-siapa yang dapat dihukum atau dengan perkataan

lain:mengatur pertanggungan jawab terhadap hukum pidana.

3. Hukuman apa saja yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang

atau juga disebut hukum penetentiair. (Bambang Waluyo, 2000 :

6)

Seorang ahli hukum lain memberikan pengertian luas terhadap

hukum pidana, misalnya Moeljatno seperti dikutip Bambang Waluyo

berpendapat bahwa hukum pidana adalah :

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi

yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut.

12

xxiv

b. Menentukan kapan dan dalam apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan

pidana sebagaimna yang telah diancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan pidana tersebut. (Bambang Waluyo, 2000 : 7)

Mengenai bentuk pidana yang dijatuhkan mengacu pada KUHP.

Namun untuk hukuman pidana khusus ada perluasan atau penambahan

bentuk atau jenis pidana tambahan di luar yang termaktub dalam KUHP.

Dalam pasal 10 KUHP telah diatur jenis-jenis pidana sebagai berikut :

a. pidana pokok meliputi :

1. pidana mati

2. pidana penjara

3. pidana kurungan

4. pidana denda.

b. pidana tambahan meliputi

1. pencabutan beberapa hak-hak tertentu;

2. perampasan barang-barang tertentu;

3. pengumuman putusan Hakim.

2. Pengertian Tindak Pidana Ringan Dan Tata Cara Pemeriksaannya

a. Pengertian Tindak Pidana Ringan

Yang dimaksud dengan tindak pidana ringan adalah tindak

pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 bulan atau

denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500,00 dan umumnya kasus

penghinaan, dengan pegecualian seperti yang ditentukan dalam pasal

205 KUHAP. (Darman Prinst, 1998 : 111).

Perkara ini diajukan tanpa surat dakwaan ke pengadilan tetapi

panitera mencatat dalam buku register, semua perkara yang

diterimanya atas perintah hakim yang bersangkutan; dengan memuat

nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,

agama, dan pekerjaan serta yang didakwakan kepadanya.

xxv

Dalam KUHAP tindak pidana ringan dirumuskan dalam pasal

205 yang isinya antara lain :

(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan

ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan

paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu

lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan lain

dalam Paragraf 2 Bagian ini.

(2) dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik

atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara

pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang

bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.

(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama

dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan

kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.

b. Tata Cara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan

Tata cara pemeriksaan tindak pidana ringan diatur dalam

KUHAP Pasal 206 sampai dengan Pasal 216 yaitu :

Pasal 206

Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili

perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.

Pasal 207

(1) a. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa

tentang hari, tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang

pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik,

selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan.

b. perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang

diterima harus segera disidangkan pada hari sidang itu juga.

(2) a. Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat

dalam buku register semua perkara yang diterimanya.

xxvi

b. dalam buku register dimuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau

tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan

pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya.

Pasal 208

Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak

mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim mengangap perlu.

Pasal 209

(1) putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan

selanjutnya oleh panitera dicatat dalam buku register serta

ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan dan panitera.

(2) berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam

pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita

acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.

Pasal 210

Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua, dan Bagian Ketiga

Bab ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan

dengan Paragraf ini. Paragraf 2 Acara Pemeriksaan Perkara

Pelanggaran Lalu Lintas Jalan.

Pasal 211

Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah

perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan

lalu lintas jalan.

Pasal 212

Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita

acara pemeriksaan, oleh karena itu catatan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a segera diserahkan kepada pengadilan

selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang berikutnya.

Pasal 213

Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya

di sidang.

xxvii

Pasal 214

(1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan

perkara dilanjutkan.

(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar

putusan segera disampaikan kepada terpidana.

(3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik

kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku

register.

(4) Dalam hal putusan dijatuhkan diluar hadirnya terdakwa dan

putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa

terdakwa dapat mengajukan perlawanan.

(5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah

kepada terdakwa, ia dapat melakukan perlawanan kepada pengadilan

yang menjatuhkan putusan tersebut.

(6) Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi

gugur.

(7) Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang

perlawanan itu hakim menetapkan hari sidang untuk memeriksa

kembali perkara.

(8) Jika putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana

sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), terhadap putusan tersebut

terdakwa dapat mengajukan banding.

Pasal 215

Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling

berhak, segera setelah putusan dijatuhkan jika terpidana telah

memenuhi isi amar putusan.

Pasal 216

Ketentuan dalam Pasal 210 ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu

tidak bertentangan dengan Paragraf ini.

Jadi dapat disimpulkan tindak pidana ringan adalah suatu tindak

pidana yang mempunyai dampak atau akibat yang tidak begitu besar

xxviii

oleh karena itu hukumannya pun tidak terlalu berat jika dibandingkan

dengan tindak pidana yang lain yang mana merupakan Perkara yang

diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan

dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan

penghinaan ringan.

b. Tinjauan Umum Tentang Prostitusi

1) Pengertian Prostitusi

a. Menurut Istilah

Pelacuran atau prostitusi berasal dari bahasa latin pro-stituere

atau pro-stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina,

melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan.

b. Menurut Beberapa Ahli

Menurut A.S Alam pelacuran adalah suatu perbuatan dimana

seorang perempuan menyerahkan dirinya untuk perhubungan

kelamin dengan jenis kelamin lain dengan mengharapkan bayaran,

baik berupa uang ataupun bentuk lainnya. (A.S.Alam.; 1984:14)

Dari batasan-batasan tersebutdapat disimpulkan beberapa unsur

untuk terjadinya pelacuran, yaitu:

(1) Adanya perbuatan yang berupa perhubungan kelamin campur

aduk antara laki-laki dan perempuan.

(2) Dari pihak perempuan biasanya disebut WTS (wanita tuna

susila), menyediakan diri kepada hampir setiap laki-laki yang

menginginkan hubungan kelamin dengannya.

(3) Adanya bayaran berupa uang atau bentuk lainnya yang

diberikan pihak laki-laki kepada WTS.

Menurut Kartini Kartono (2005:216) pengertian prostitusi

adalah sebagai berikut:

a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan

pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak

xxix

wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan

nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang

(promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi

seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri

(persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan,

kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk

memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan

pembayaran.

c. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang

menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara

seksual dengan mendapatkan upah.

c. Menurut Perda Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006

Menurut Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun

2006 pasal 1 ayat 20 Prostitusi adalah penggunaan orang dalam

kegiatan seksual dengan pembayaran atau dengan imbalan dalam

bentuk lain. Sedangkan dalam penjelasan pasal 4 yang dimaksud

pengertian Prostitusi termasuk diantaranya ajakan membujuk,

memikat orang lain dengan perkataan, isyarat, tanda-tanda atau

perbuatan lainnya yang maksudnya mengajak untuk melakukan

kegiatan seksual anak dan/atau dewasa, baik denan pasangan

sejenis maupun lawan jenis, dengan pwmbayaran atau imbalan

dalam bentuk lain.

2. Wanita Tuna Susila Atau Pekerja Seks Komersial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 2003),

kata wanita tuna susila berasal dari dua kata. Wanita dan Tuna

Susila, Wanita artinya Ibu, Perempuan, Gadis, atau Nyonya.

Sedangkan Tuna Susila artinya tanpa susila, perempuan jalang,

atau perempuan pelacur. Jadi berdasar dua arti kata tersebut dapat

ditarik kesimpulan Wanita Tuna Susila adalah perempuan atau

xxx

gadis, atau ibu yang tidak memiliki ssusila atau pelacur yang

menjajakan tubuhnya kepada orang lain.

Menurut peraturan Pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya

Tahun 1967 yang dikutip Kartini Kartono (2005: 214) ”Wanita

Tuna Susila atau Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah wanita

yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar

perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak”.

Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa PSK adalah:

a) Orang (biasanya perempuan), yang menyediakan diri

kepada banyak orang untuk mengadakan hubungan

kelamin;

b) Mengharapkan imbalan biasanya berupa uang.

Wanita Tuna Susila dikenal dengan nama lain wanita

pelacur, prostitusi, dan dalam istilah pers lebih dikenal dengan

nama pekerja seks komersial (PSK). Menurut Soedjono (1982:

112) ”Wanita pelacur adalah wanita yang menjual dirinya kepada

laki-laki (dengan menerima bayaran atas servis yang

diberikannya)”.

Selain dari istilah itu wanita pelacur dapat diartikan juga

prostitusi. Prostitusi berasal dari bahasa latin ”prostituere” yang

berarti menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau

menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum. Pelacuran

dapat diartikan sebagai penyerahan badan wanita dengan

pembayaran, kepada laki-laki guna pemuasan nafsu seksual orang-

orang itu. (Soedjono, 1982 : 122-123)

Ciri khas dari pelacur atau PSK (Kartini Kartono, 2005 :

239) adalah sebagai berikut:

a. Wanita, lawan pelacur adalah gigolo (pelacur pria, lonthe

laki-laki).

b. Cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah

maupun tubuhnya. Bisa merangsang selera seks kaum pria.

xxxi

c. Masih muda, 75% dari jumlah pelacur kota-kota ada

usianya di bawah 30 tahun. Yang terbanyak adalah 17-25

tahun. Pelacuran kelas rendahan dan menengah acap kali

memperkerjakan gadis pra puber usia 11-25 tahun yang

ditawarkan sebagai barang baru.

d. Pakaiannya sangat menyolok, beraneka warna, sering aneh-

aneh/ eksentrik untuk menarik perhatian kaum pria.

e. Menggunakan tehnik seksual yang mekanistis, cepat, tidak

hadir secara psikis (afwezig, absent minde), tanpa emosi

atau afeksi, tidak pernah bisa mencapai orgasme sangat

provokatif dalam bercoitus, dan biasanya dilakukan secara

kasar.

f. Bersifat sangat mobil, kerap berpindah-pindah dari satu

tempat ke tempat lain.

g. Pelacur-pelacur profesional dari kelas rendah dan

menengah kebanyakan berasal dari strata ekonomi dan

sosial rendah. Pada umumnya mempunyai ketrampilan/skill

khusus, dan kurang pendidikannya. Modalnya adalah

kecantikan dan kemudaannya. Pelacur amatir, disamping

bekerja buruh pabrik, restoran, bar, toko-toko sebagai

pelayan, dan di perusahaan-perusahaan sebagai sekretaris,

mereka menyempatkan diri beroperasi sebagai pelacur

tunggal atau wanita panggilan. Sedangkan pelacur kelas

tinggi (high class prostituees) pada umumnya

berpendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas,

atau lepasan akademi dan perguruan tinggi, yang beroperasi

secara amatir atau secara profesional. Mereka bertingkah

laku immoril karena didorong oleh motivasi-motivasi sosial

atau ekonomis.

h. 60-80% dari jumlah pelacur ini memiliki intelek yang

normal. Kurang dari 5% adalah mereka yang lemah

xxxii

ingatan (feeble minded). Selebihnya adalah mereka yang

ada pada garis batas, yang tidak menentu atau tidak jelas

derajat intelegensinya.

3. Bentuk Dan Kategori Pelacuran

Pelacuran terdapat beberapa tipe yang menentukan bagaimana

cara pelacur mendapatkan tamu dengan berbagai macam kegiatan.

Penggolongan pelacuran menurut A.S. Alam (1984 : 52-65) sebagai

berikut:

a. Pelacuran Jalanan

Tipe ini sering terlihat berdiri menenti tamu di

pinggir jalan tertentu terutama pada malam hari yang

dapat dikenal dengan mudah dari tingkah lakunya.

Yang umumnya berada di tempat remang-remang dan

memakai alat kosmetik yang berlebihan.

b. Pelacuran Panggilan.

Pelacuran ini biasanya melalui perantara seperti

germo atau mucikari. Tempat untuk mengadakan

hubungan selalu berubah biasanya di hotel atau rumah

peristirahatan di pegunungan.

c. Pelacuran Rumah Bordil

Pelacuran berbentuk bordil dapat dikategorikan ke

dalam tiga golongan, antara lain : Bordil yang terpencar

dan biasanya bercampur dengan perumahan penduduk,

rumah bordil yang terpusat di suatu tempat yang

biasanya merupakan suatu kompleks, bordil yang

terdapat di daerah khusus yang letaknya agak jauh dari

perumahan penduduk dan penempatannya ditunjuk

berdasar pemerintah daerah.

d. Pelacuran Terselubung

Tempat-tempat seperti kelab malam, panti pijat dan

salon kecantikan sebagai tempat pelacuran.

xxxiii

e. Pelacuran Amatir

Wanita yang melakukan pelacuran amatir biasanya

telah mempunyai profesi terhormat di masyarakat,

meskipun ekonominya relatif kuat namun karena

adanya keinginanuntuk menambah kekayaan menyeret

mereka untuk melakukan pelacuran.

Ada pula yang mengkategorikan pelacuran dengan kelas-kelas

seperti :

a) Pelacuran kelas rendahan (jalanan, bordil-bordil murahan)

b) Pelacuran menengah yang berada di bordil-bordil tertentu yang

cukup bersih dan pelayanan baik.

c) Pelacuran kelas tinggi biasanya para pelacur tinggal di rumah

sendiri (terselubung, tersembnyi) dan hanya menerima panggilan

dengan perantara yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan

bayarannya cukup mahal. (Soedjono, 1982 : 124)

Tiga kategori murah, menengah dan kelas atas. Hal ini ditentukan

dari mahal murahnya pelacur. Akhir-akhir ini bentuk-bentuk pelacuran

dapat dikatakan tambah lagi dengan adanya pelacuran tersembunyi

(terselubung) dalam bentuk-bentuk kerja jasa lainya yang sulit

dibuktikan, umpamanya pada tingkat murah adalah terselubung dalam

tingkat yang cukup tinggi tersembunyi di tempat-tempat pemandian

umum atau panti pijat tertentu di kota-kota besar.

4. Sebab-Sebab Pelacuran

Seperti halnya dengan bentuk-bentuk pelacuran yang semakin

kompleks wanita yang rela menjadi pelacur pun kompleks sekali,

faktor-faktor yang menyebabkan pelacuran sebagai berikut:

a. Faktor ekonomi, kemiskinan, ingin hidup mewah dan lain lain.

b. Faktor sosiologi : urbanisasi, keadilan sosial dan lain lain.

c. Faktor psikologis : rasa ingin balas dendam, malas kerja dan lain

lain. (Soedjono, 1982 : 125).

xxxiv

Dari faktor-faktor diatas jelas bahwa wanita tuna susila hidup

demikian ada yang terpaksa dan ada yang suka rela. Disamping adanya

penawaran dari diri si pelacur, ada pula permintaan yang tidak kurang

jumlahnya yaitu dari pihak laki-laki yang senang adanya pelacuran

karena dia menginginkan dan membutuhkan dengan mereka sebabnya

seperti takut kawin karena belum berpenghasilan, tidak puas dengan

kehidupan keluarganya, iseng dan lain-lain.

Dengan berbagai faktor penyuebab yang kompleks ini secara

langsung maupun tidak langsung akan memelihara tetap adanya

praktek prostitusi dari masa ke masa dimana-mana di muka bumi ini.

Jika dilihat dari bentuk pelacuran yang semakin kompleks dan sebab-

sebab yang semakin unik maka pelacuran menjadi langgeng.

Berikut beberapa motif seseorang yang melatarbelakangi menjadi

seorang PSK (Kartini Kartono, 2005 : 245) :

a) Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk

menghindari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan

melalui jalan pintas.

b) Adanya nafsu abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan

keloyalan seks.

c) Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, ada pertimbangan-

pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan

hidupnya, khususnya untuk mendapatkan status sosial yang lebih

baik.

d) Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan,

ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah.

e) Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada

keinginan untuk melebihi ibu sendiri, kakak, teman putri, tante,

atau wanita mondain lainnya.

f) Rasa melit dan rasa ingin ytahu gadis-gadis cilik dan anak-anak

puber terhadap masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia

pelacuran oleh bujukan bandit-bandit seks.

xxxv

g) Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang

menekankan banyak tabu dan peraturan seks.

h) Pada masa kanak-kanak pernah melakukan relasi seks atau suka

hubungan seks sebelum perkawinan untuk sekedar iseng atau untuk

menikmati masa indah dikala muda.

i) Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan

patuh melayani kebutuhan-kebutuhan seks dari majikannya untuk

tetap mempertahankan pekerjaannya, dan lain lain.

Sedangkan sebab-sebab timbulnya prostitusi di pihak pria antara

lain ialah sebagai berikut :

1. Nafsu kelamin laki-laki untuk menyalurkan kebutuhan seks tanpa

suatu ikatan.

2. Rasa iseng dan ingin mendapatkan pengalaman relasi seks diluar

ikatan perkawinan.

3. Isteri sedang berhalangan haid, mengandung tua, atau lama sekali

mengidap penyakit, sehingga tidak mampu melakukan relasi seks

dengan suaminya.

4. Isteri menjadi gila.

5. Ditugaskan di tempat jauh, pindah kerja atau didetasir di tempat

lain, dan belum sempat atau tidak memboyong keluarganya, dll.

(Kartini Kartono, 2005 : 248)

Pelacuran menurut Simanjutak (1981 : 282-286) adalah soal

permintaan penawaran, yaitu :

1). Permintaan

a) posisi wanita yang terbelakang daripada pria sangat

mempengaruhi timbulnya pelacuran. Wanita sangat bergantung

pada pria, jika wanita merasa tidak tergantung pada pria dan

mempunyai hak yang sama, tidak ada pelacuran (zaman

matriarchaat) dewasa ini makin meningkat.

b) pada zaman sekarang faktor permintaan yang menyebabkan

timbulnya pelacuran bukan kerena wanita yang tergantung pada

xxxvi

pria atau karena orang yang tidak sanggup melangsungkan

perkawinan seperti pendapatnya Simanjutak tersebut, tetapi faktor

permintaannya lebih kepada mitos atau kepercayaan bahwa

berhubungan seks dengan anak-anak bisa membuat awet muda

yang juga dapat menciptakan pelacuran.

2) Penawaran

Ada wanita yang rela ”Menawarkan Diri” membahas ini

timbul teori-teori. Teori Lombroso : wanita pelacur adalah wanita

degenerasi yang karena keadaan jiwanya ditakdirkan bagi

pekerjaan ini. Teori ini (baik mengenai penjahat maupun pelacur)

pada umumnya tidak benar, sebab diantara wanita-wanita pelacur

terdapat wanita-wanita yang secara antropologis, psikologis dan

psikiatris tergolong terkemuka dalam masyarakat dan kebanyakan

wanita pelacur berasal dari kalangan rakyat jelata.

Faktor permintaan dan penawaran merupakan penyebab

meningkatnya prostitusi. Faktor penawaran dapat terlihat pada unsur-

unsur yang terkait dalam jaringan prostitusi misalnya pencari

perempuan calon pekerja seks komersial., penghubung konsumen

dengan pekerja seks komersial, mereka merupakan pihak yang

memanfaatkan prostitusi sebagai arena bisnis yang menguntungkan.

Disamping itu sebagian keluarga pekerja seks komersial juga

merupakan pihak yang membutuhkan biaya terutama mereka yang

berasal dari keluarga yang kondisi sosial ekonominya tergolong

menengah kebawah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pekerja

seks komersial merupakan tulang punggung keluarga untuk

meningkatkan taraf hidup keluarganya.

Menurut Bonger dalam bukunya Simanjutak (1981 : 284-285)

membagi sebab-sebab pelacuran atas kelompok-kelompok yang besar,

kelompok besar tersebut antara lain :

1) lingkungan yang immoral

xxxvii

jika tidak melacurkan diri sewaktu mudanya, ia takkan

pernah menjadi wanita pelacur.

2) keadaan tempat tinggal

karena keadaan tempat tinggal yang buruk maka anak-anak

dalam usia yang sangat muda belajar mengambil perbuatan-

perbuatan oleh karena itu pada malam hari bbanyak

berkeliaran di jalan-jalan.

3) pekerjaan kanak-kanak

bekerja di pabrik menjual kembang dan kosmetik, pelayan

di rumah makan (bunga rumah makan), pelayan / babu pada

keluarga, kebanyakan berasal dari dusun, tak mengenal

keadaan kota. Mereka merasa kehilangan keseimbangan,

merasa asing dan sepi dalam lingkungannya.

4) perdagangan budak-budak wanita

perdagangan wanita sangat meluas di seluruh dunia.

Dengan meluasnya industri seks di kota Indonesia maka

wanita-wanita desa serta ibu-ibu yang tak bersuami menjadi

resah penghidupannya. Dewasa ini di Indonesia telah

terjadi perdagangan wanita.

5) faktor-faktor ekonomis

wanita-wanita yang harus berdikari tanpa mata pencaharian

dapat jatuh ke dunia pelacuran, terutama wanita yang tidak

memiliki ketrampilan. Faktor yang lain yaitu upah yang

sangat rendah, dan keinginan untuk hidup mewah (lux).

Faktor yang menentukan adalah faktor individual, faktor

sosial dan faktor lingkungan.

Selain itu sebab-sebab timbulnya prostitusi juga dapat dipandang

dari hal-hal lain, yang dimulai dari dalam kehidupan berkeluarganya.

Misalnya seperti yang disebutkan dalam UU No. 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam

undang-undang tersebut pada pasal 5, yang menyebutkan bahwa

xxxviii

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga

terhadap orang dalam lingkup keluarga, dengan cara :

a. kekerasan fisik

b. kekerasan psikis

c. kekerasan seksual

d. penelantaran rumah tangga”.

Dari beberapa hal tersebut diatas dengan adanya kekerasan dalam

kehidupan keluarganya maka hal tersebut kadang membuat seseorang

mengalami trauma yang berlebih dan kemungkinan berdampak

seseorang itu lari dari kehidupan keluarganya dan merasakan

kehidupan atau hubungan dengan orang lain tanpa adanya ikatan yang

membatasi untuk bertindak sesuka hatinya.

Dengan adanya penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh

suaminya misalnya, seorang wanita terkadang tidak memiliki

ketrampilan tertentu dan memiliki pengetahuan yang kurang terkadang

memilih jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya, anak-

anaknya, serta keluarganya. Hal inilah yang terkadang menjadi sebuah

dilema kehidupan, disatu sisi orang tersebut mempunyai tanggung

jawab atau kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun untuk

memenuhi kebutuhan tersebut perlu bekerja dan pekerjaan tersebut

membutuhkan keahlian. Maka untuk mencapai jalan yang cepat dapat

ditempuh dengan cara menjual diri.

Dengan terjadinya kekerasan fisik, psikis, seksual dan

penelantaran rumah tangga dalam kehidupan rumah tangganya maka

dapat mengakibatkan seseorang mengalami trauma yang luar biasa.

Sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No. 23 Tahun 2004

pasal 44-49 semua aturan dalam berperilaku terhadap pasangannya

dalam kehidupan rumah tangga telah diatur, namun terkadang aturan

hanya ditulis saja pada kenyataannya terkadang realita pelaksanaan

peraturan itu sendiri jauh dari harapan. Dan pelanggaran-pelanggaran

terus terjadi.

xxxix

5. Akibat Pelacuran

Dalam kegiatan sehari-hari, pelacuran dapat merusak sendi-sendi

moral, hukum, kesehatan dan agama. Kerusakan akibat pelacuran pada

sendi moral seperti rusaknya keluarga dimana suami sering melupakan

tanggung jawabnya terhadap keluarga, sering terjadi aborsi,

berpengaruh buruk terhadap lingkungan dan lain-lain. Akibat

pelacuran dipandang dari segi hukum seperti merebaknya kriminalitas

dan biasanya berhubungan langsung dengan minum-minuman keras,

narkoba, pembunuhan dan lain-lain. Akibat lain dipandang dari segi

kesehatan, pelacuran dapat menimbulkan penyakit kulit dan kelamin.

Yang terakhir dari segi agama, pelacuran dapat memudarkan ketaatan

kepada tuhan Yang Maha Esa.

Akibat selengkapnya yang ditimbulkan pelacuran antara lain:

a. Menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin, kulit, dan

sejenisnya.

b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga.

c. Cenderung menciptakan kejahatan dalam berbagai variasinya

(tempat bekumpulnya bandit-bandit dan para penjahat).

d. Merusak sendi-sendi pendidikan, karena bertentangan dengan

norma agama, susila, dan hukum.

6. Penanggulangan Pelacuran

Prostitusi sebagai salah satu masalah sosial sejak sejarah

kehidupan manusia sampai sekarang dan selalu ada pada setiap tingkat

peradaban, perlu ditanggulangi dengan penuh kesungguhan. Usaha

yang sangat sukar, melalui proses dan waktu yang cukup panjang, dan

memerlukan pembiayaan yang cukup besar. Pada garis besarnya usaha

untuk mengatasi masalah tuna susila ini antara lain :

1. Usaha Yang Bersifat Preventif

Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-

kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain

berupa :

xl

a) penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan

atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran.

b) Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan

kerohanian untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-

nilai religius dan norma-norma kesusilaan.

c) Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan

rekreasi bagi anak-anak puber dan adolesens untuk

menyalurkan kelebihan energinya.

d) Memperluas lapangan kerja bagi wanita, disesuaikan

dengan kodrat dan bakatnya serta mendapatkan upah/ gaji

yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setiap

hari.

e) Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai

perkawinan dalam kehidupan keluarga.

f) Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha

penanggulangan pelacuran yang dilakukan oleh beberapa

instansi.

g) Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul,

gambar-gambar porno, film-film biru dan sarana lain yang

merangsang nafsu seks.

h) Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.

2. Usaha Yang Bersifat Represif Dan Kuratif

Usaha yang bersifat represif dan kuratif dimaksudkan sebagai

kegiatan untuk menekan (menghapuskan) dan usaha untuk

menyembuhkan para wanita dari pekerjaan sebagai pelacur dan

membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha-usaha tersebut antara

lain :

a) Melalui lokalisasi dengan cara melakukan pengawasan/kontrol

demi menjamin kesehatan dan keamanan para pekerja seks

komersial serta lingkungannya.

xli

b) Aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi melalui pendidikan moral

dan agama, latihan kerja dan pendidikan ketrampilan agar

mereka lebih kreatif dan produktif.

c) Pemberian suntikan dan pengobatan untuk menjamin kesehatan

para PSK dan lingkungannya.

d) Menyediakan lapangan baru bagi mereka yang bersedia

meninggalkan profesi pelacur.

e) Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur

dan masyarakat agar mau menerima kembali bekas PSK.

f) Mencarikan pasangan hidup yang permanen atau suami bagi para

wanita tuna susila untu membawa mereka ke jalan yang benar.

g) Mengikutsertakan bekas wanita tuna susila dalam usaha

transmigrasi dalam rangka pemerataan penduduk.

h) Pembinaan bagi para wanita tuna susila sesuai dengan bakat dan

minat masing-masing.(Kartini Kartono, 2005 : 266-267)

Usaha penanggulangan pelacuran dewasa ini dilakukan oleh

beberapa departemen dan alat penegak hukum. Usaha penanggulangan

pelacuran tidak menggunakan tindakan-tindakan kekerasan, secara

garis besar kebijaksanaan yang dilakukan aparatur pemerintah daerah

dengan :

a. Melarang pelacuran dengan peraturan yang diikuti dengan tindakan

razia-razia untuk menolong merehabilitasi yang masih dapat

ditolong dengan ditampung di tempat-tempat latihan kerja.

b. Mengadakan pencatatn bordil dan tempat-tempat lainnya dengan

maksud mengadakan pengawasan kesehatan dan mengurangi

jumlah pelacuran liar yang membahayakan.

c. Melokalisir dalam suatu tempat diluar kota dengan diikuti usaha-

usaha rehabilitasi mental dan pendidikan, agama, latihan kerja, dan

lain-lain dengan harapan nantinya setelah dinekali dengan

ketrampilan dan perbaikan karakter bisa kembali sebagai warga

yang baik, berkeluarga dan sebagainya. (Soedjono, 1982 : 128).

xlii

7. Faktor Penghambat Dan Pelancar Dalam Menertibkan Pekerja Seks

Komersial

Dalam penertiban wanita tuna susila ada faktor-faktor

penghambat yang perlu diperhatikan, menurut B. Simanjutak adalah

sebagai berikut:

a. Masalah keamanan. Dengan adanya penertiban ini berarti germo dan

orang-orang yang diuntungkan dengan adanya wanita tuna susila

yang berada di tempat-tempat praktek prostitusi merasa rugi,

sehingga terdapat adanya kebocoran informasi.

b. Finansial. Mencari dana guna mengadakan pembinaan setelah

diadakan penertiban, sehingga diperlukan kerjasama dengan instansi

lain yang menangani upaya pembinaan.

c. Agama. Latar belakang pendidikan agama juga menentukan faktor

atau alasan seseorang menjadi pelacur.

d. Penyaluran. Tujuan penyaluran pembinaan setelah diadakan

penertiban terhadap wanita tuna susila karena penyaluran ini pasti ke

instansi penanganan pembinaan dan ke masyarakat, tetapi tanggapan

masyarakat tetap tidak menguntungkan para wanita tuna susila. Para

wanita tuna susila yang tobat ini masih dianggap sebagai pelacur.

(1981 : 91-95)

Lebih lanjut Simanjutak mengemukakan mengenai faktor

pelancar dalam penertiban wanita tuna susila adalah sebagi berikut :

a. Perhatian Pemerintah. Bagaimanapun mulianya buah pikiran dan

konsep-konsep tidak ada artinya bila tidak diwajudkan. Untuk

mewujudkan ini pasti membutuhkan perhatian penguasa.

b. Penerimaan masyarakat setempat. Melihat yang dirazia adalah

wanita tuna susila, maka telah dapat dibayangkan sikap negtif

masyarakat.

c. Dedication of life dari petugas. Banyak orang menilai wanita tuna

susila sebagai sampah yang tidak ada gunanya memberi perhatian,

xliii

sehingga para wanita tuna susila banyak tetap menjadi pelacur

meskipun sudah dirazia. (1981 : 96-97).

B. Kerangka Pemikiran

Bagan 2

Kerangka pemikiran

Indonesia Negara Hukum

Peraturan Perundang-undangan

KUHP PERDA kota Surakarta no. 3 tahun 2006

Tindak Pidana Prostitusi

Penanganan Pengadilan Negeri

Sanksi pidana

Denda Kurungan

xliv

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas terlihat bahwa Indonesia

merupakan negara hukum terbukti dengan adanya peraturan perundang-undangan

yang mengatur kehidupan bermasyarakat di negara Indonesia. Dalam peraturan

perundang-undangan itu sendiri ada yang mengatur tentang tindak pidana yaitu

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan ada peraturan yang

dikeluarkan oleh tiap-tiap daerah (PERDA).

Dalam KUHP sendiri ada pasal yang mengatur tentang prostitusi demikian

juga peraturan daerah. Dalam hal ini Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial. Dalam

peraturan daerah ini juga mengatur mengenai tindak pidana prostitusi termasuk

juga penanganannya. Dalam penanganan terhadap pelaku tindak pidana prostitusi

dilakukan oleh Pengadilan Negeri Kota Surakarta.

Pada umumnya para pelaku tindak pidana ini disidangkan di Pengadilan

Negeri dan dijatuhi dengan pidana bervariasi berdasarkan peraturan yang berlaku.

Antara lain kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda. Setiap keputusan yang

dikeluarkan pengadilan mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri berdasarkan

kasus yang ada.

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana penanganan yang

dilakukan oleh Pengadilan Negeri Kota Surakarta terhadap pelaku tindak pidana

prostitusi dan bagaimana pertimbangan hakim yang memutuskan sanksi pidana

terhadap pelaku tindak pidana prostitusi di Kota Surakarta berdasarkan Peraturan

Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan

Eksploitasi Seks Komersial.

xlv

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Proses Pemeriksaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Prostitusi

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006

Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial Di Pengadilan

Negeri Surakarta

1. Deskripsi Kasus

Untuk lebih jelasnya penulis menyajikan data-data dari berkas-

berkas perkara mengenai tindak pidana prostitusi yang ada di pengadilan

negeri Surakarta.

a. Putusan Nomor 286/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

(1) Nama : SRI RAHAYU

(2) Umur : 33 tahun

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Potrojayan Rt 02 Rw IV Serengan Surakarta

Tindak Pidana Ringan yang dilakukan karena tingkah lakunya

menimbulkan anggapan bahwa ia melakukan kegiatan prostitusi baik

dengan sesama jenis atau lawan jenis, sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 31 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial. Yang berbunyi, barang

siapa karena tingkah lakunya menimbulkan anggapan bahwa ia

melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 4 dan

Pasal 5, dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan

dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah). 34

xlvi

Adapun unsur-unsur yang ada dalam Pasal 31 Peraturan Daerah

Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 adalah sebagai berikut :

1. barang siapa

2. karena tingkah lakunya menimbulkan anggapan bahwa ia

melakukan perbuatan yang dimaksud ketenuan Pasal 4 dan

Pasal 5

3. sanksi pidana kurungan 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling

banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

Pasal 4 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006

berbunyi,

(1) Setiap orang dilarang melakukan tindak pidana prostitusi baik

dengan pasangan sejenis dan/atau lawan jenis.

(2) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan prostitusi anak, baik

dengan pasangan sejenis dan/atau lawan jenis.

(3) Setiap orang dilarang menjadi pengirim, penerima, perantara,

dan/atau pembeli jasa dalam kegiatan dimaksud ayat (1) dan (2).

(4) Setiap orang dilarang meyediakan tempat-tempat untuk melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2).

Sedangkan Pasal 5 Peraturan Daerah Kota Surakarta nomor 3 tahun

2006 berbunyi,

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan Perdagangan Orang

Untuk Tujuan Seksual.

(2) Setiap orang dilarang menjadi pengirim, penerima, perantara

dan/atau pembeli jasa dalam kegiatan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1).

xlvii

(3) Setiap orang dilarang menyediakan tempat-tempat untuk

melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1).

Saksi-saksi adalah :

1). HARY SUBOWO, umur 56 tahun, Agama Islam, Pekerjaan

Polri, D.a Polsektabes Banjarsari Surakarta.

2). HERI JOKO, umur 40 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Polri, D.a

Polsektabes Banjarsari Surakarta.

Mereka menerangkan bahwa benar pada hari senin tanggal 8 oktober

2007 sekira pukul 02.00 wib ketika sedang bertugas melaksanakan

Operasi Pekat (penyakit masyarakat) di wilayah hukum Polsektabes

Banjarsari Surakarta, telah mendapati adanya terdakwa sedang berada di

sekitar RRI Surakarta Kel. Kestalan Banjarsari Surakarta sedang

melakukan kegiatan prostitusi (menjajakan diri) kemudian diamankan

dan atas pertanyaan penyidik (pemeriksa) tersangka mengakui

kesalahannya.

Setelah hakim menyimpulkan pada hari sidang yang sama hakim

menjatuhkan putusan yang isinya sebagai berikut :

MENGADILI

1) Menyatakan terdakwa yang identitasnya seperti tersebut di atas

bersalah melakukan tindak pidana prostitusi.

2) Menghukum terdakwa dengan hukuman kurungan 10 (sepuluh)

hari dengan masa percobaan 1 (satu) bulan.

3) Menghukum pula untuk membayar biaya perkara sebesar Rp

1.000,- (Seribu rupiah).

b. Putusan Nomor 287/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

xlviii

(1) Nama : SRI PENI

(2) Umur : 35 tahun

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Minapadi Rt 06 Rw IX Nusukan Surakarta.

Tindak Pidana Ringan yang dilakukan karena tingkah lakunya

menimbulkan anggapan bahwa ia melakukan kegiatan prostitusi baik

dengan sesama jenis atau lawan jenis, sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 31 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial.

Saksi-saksi adalah :

1). HARY SUBOWO, umur 56 tahun, Agama Islam, Pekerjaan

Polri, D.a Polsektabes Banjarsari Surakarta.

2). HERI JOKO, umur 40 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Polri, D.a

Polsektabes Banjarsari Surakarta.

Mereka menerangkan bahwa benar pada hari senin tanggal 8 oktober

2007 sekira pukul 02.00 wib ketika sedang bertugas melaksanakan

Operasi Pekat (penyakit masyarakat) di wilayah hukum Polsektabes

Banjarsari Surakarta, telah mendapati adanya terdakwa sedang berada di

sekitar RRI Surakarta Kel. Kestalan Banjarsari Surakarta sedang

melakukan kegiatan prostitusi (menjajakan diri) kemudian diamankan

dan atas pertanyaan penyidik (pemeriksa) tersangka mengakui

kesalahannya.

Setelah hakim menyimpulkan pada hari sidang yang sama hakim

menjatuhkan putusan yang isinya sebagai berikut :

MENGADILI

xlix

1) Menyatakan terdakwa yang identitasnya seperti tersebut di atas

bersalah melakukan tindak pidana prostitusi.

2) Menghukum terdakwa dengan hukuman kurungan 10 (sepuluh)

hari dengan masa percobaan 1 (satu) bulan.

3) Menghukum pula untuk membayar biaya perkara sebesar Rp

1.000,- (Seribu rupiah).

c. Putusan Nomor 288/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

(1) Nama : SUMIRAH

(2) Umur : 47 tahun

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Karangwaluh Rt 04 Rw III Kec. Sampung Kab

Ponorogo Jatim.

Tindak Pidana Ringan yang dilakukan karena tingkah lakunya

menimbulkan anggapan bahwa ia melakukan kegiatan prostitusi baik

dengan sesama jenis atau lawan jenis, sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 31 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial.

Saksi-saksi adalah :

1). HARY SUBOWO, umur 56 tahun, Agama Islam, Pekerjaan

Polri, D.a Polsektabes Banjarsari Surakarta.

2). HERI JOKO, umur 40 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Polri, D.a

Polsektabes Banjarsari Surakarta.

Mereka menerangkan bahwa benar pada hari senin tanggal 8 oktober

2007 sekira pukul 02.00 wib ketika sedang bertugas melaksanakan

l

Operasi Pekat (penyakit masyarakat) di wilayah hukum Polsektabes

Banjarsari Surakarta, telah mendapati adanya terdakwa sedang berada di

sekitar RRI Surakarta Kel. Kestalan Banjarsari Surakarta sedang

melakukan kegiatan prostitusi (menjajakan diri) kemudian diamankan

dan atas pertanyaan penyidik (pemeriksa) tersangka mengakui

kesalahannya.

Setelah hakim menyimpulkan pada hari sidang yang sama hakim

menjatuhkan putusan yang isinya sebagai berikut :

MENGADILI

1) Menyatakan terdakwa yang identitasnya seperti tersebut di atas

bersalah melakukan tindak pidana prostitusi.

2) Menghukum terdakwa dengan hukuman kurungan 10 (sepuluh)

hari dengan masa percobaan 1 (satu) bulan.

3) menghukum pula untuk membayar biaya perkara sebesar Rp

1.000,- (Seribu rupiah).

Sedangkan putusan-putusan yang lain adalah :

d. Putusan Nomor 289/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

(1) Nama : DEWI

(2) Umur : 28 tahun

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Andong Rt 04 Rw IX Kel Andong Boyolali.

e. Putusan Nomor 290/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

li

(1) Nama : SRI SUWARNI

(2) Umur : 33 tahun

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Dugdang Rt 03 Rw XI Jeruk Miri Kabupaten

Sragen.

f. Putusan Nomor 291/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

(1) Nama : KRISTIN

(2) Umur : 24 tahun

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Kupang Raya Rt 02 Rw IV Surabaya.

Dalam putusan-putusan tersebut dakwaan yang disampaikan adalah

sama dan putusan yang ditetapkan hakim juga sama yaitu :

1) Menyatakan terdakwa yang identitasnya seperti tersebut di atas

bersalah melakukan tindak pidana prostitusi.

2) Menghukum terdakwa dengan hukuman kurungan 10 (sepuluh)

hari dengan masa percobaan 1 (satu) bulan.

3) menghukum pula untuk membayar biaya perkara sebesar Rp

1.000,- (Seribu rupiah).

2. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial.

Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial tindak pidana prostitusi

diatur dalam BAB III Pasal 4 yang bunyinya yaitu :

lii

(1) Setiap orang dilarang melakukan tindak pidana prostitusi baik

dengan pasangan sejenis dan/atau lawan jenis.

(2) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan prostitusi anak, baik

dengan pasangan sejenis dan/atau lawan jenis.

(3) Setiap orang dilarang menjadi pengirim, penerima, perantara,

dan/atau pembeli jasa dalam kegiatan dimaksud ayat (1) dan

(2).

(4) Setiap orang dilarang meyediakan tempat-tempat untuk

melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dan (2).

Dalam penjelasannya Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan prostitusi dalam pasal ini

adalah termasuk ajakan membujuk, memikat orang lain dengan perkataan,

isyarat, tanda-tanda atau perbuatan lainnya yang maksudnya mengajak

untuk melakukan kegiatan seksual anak dan/atau dewasa, baik dengan

pasangan sejenis dan/atau lawan jenis, dengan pembayaran atau imbalan

dalam bentuk lain

Sedangkan yang dimaksud dengan tempat-tempat untuk melakukan

prostitusi adalah hotel, losmen, salon, tempat-tempat hiburan, rumah kos,

tempat penginapan yang lain dan rumah penduduk, termasuk tempat

penampungan pekerja yang ditujukan untuk kegiatan eksploitasi seksual.

Berkaitan dengan sanksi yang menjadi ancaman pidana diatur dalam

pasal 31 sampai dengan pasal 35 dengan pidana kurungan paling lama 3

(tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 ( lima puluh juta

rupiah). Atau dengan pemberatan-pemberatan yang diatur lebih lanjut.

Sedangkan khusus untuk pembeli jasa seks dikenakan sanksi pidana

kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00

liii

apabila tertangkap tangan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

pasal 4 ayat (3) dan (4) dan pasal 5 ayat (2) dan (3).

3. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dengan

mempelajari berkas-berkas perkara yang ada baik berita acara pemeriksaan

ataupun putusan-putusan yang diperoleh penulis bahwa tindak pidana

prostitusi termasuk dalam tindak pidana ringan sehingga dalam

pemeriksaannya menggunakan acara pemeriksaan cepat. Sesuai dengan

apa yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

Proses pemeriksaan yang dilakukan pada dasarnya sangat sederhana

karena menggunakan pemeriksaan acara cepat. Setelah pelaku ditangkap

maka langsung dibuat berita acara pemeriksaan oleh kepolisian, kemudian

berita acara yang sudah dibuat diajukan ke pengadilan untuk disidangkan

tanpa melalui kejaksaan, kemudian pengadilan melaksanakan siding dan

memberi putusan.

Dari proses tersebut dapat dikemukakan tahapan pemeriksaan

perkara adalah sebagai berikut :

1. Penangkapan

2. Pemeriksaan oleh penyidik

3. Persidangan pengadilan

4. Putusan pengadilan.

Ketentuan-ketentuan dalam pemeriksaan acara biasa tetap berlaku

dengan pengecualian tertentu. Adapun hal-hal dalam pemeriksaan tindak

pidana ringan adalah sebagai berikut :

liv

(a) Penyidik langsung menghadapkan terdakwa beserta barang

bukti, saksi, ahli, dan atau juru bahasa ke pengadilan atas kuasa

penuntut umum. Dalam penjelasan dikatakan bahwa atas kuasa

berarti demi hukum (Pasal 205 ayat (2) KUHAP).

(b) Pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat

pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana

perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding (Pasal

205 ayat (3) KUHAP). Ini berarti jika dijatuhkan pidana

penjara atau kurungan, maka terpidana tidak dapat minta

banding.

(c) Saksi dalam pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucap

sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu (Pasal

208).

(d) Berita acara pemeriksaan tidak dibuat, kecuali jika dalam

pemeriksaan tersebut ternyata ada hal-hal yang tidak sesuai

dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat penyidik. (Pasal

209 ayat (2) KUHAP).(Andi Hamzah, 2002:241)

Sebagaimana dalam berkas-berkas perkara yang telah disebutkan

sebelumnya, bahwa dalam setiap proses pemeriksaan terhadap terdakwa

dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat. Di mana penyidik melakukan

pemeriksaan terhadap tersangka yang kemudian dibuat berita acara

pemeriksaan yang sekaligus dapat digunakan sebagai tuntutan. Dalam

berita acara yang dibuat oleh penyidik kepolisian memuat :

1. Identitas penyidik

2. Identitas tersangka

3. Tindak pidana yang dilakukan dan pasal yang dilanggar

lv

4. Panggilan menghadap sidang

5. Identitas saksi

6. Keterangan saksi

Kemudian setelah berkas acara pemeriksaan dibuat oleh kepolisian

langsung berkas tersebut diajukan ke pengadilan untuk dilakukan proses

persidangan. Dalam pengajuan berkas pemeriksaan tersebut tanpa melalui

kejaksaan terlebih dahulu karena seperti yang telah dikemukakan di muka,

bahwa dalam proses pemeriksaan acara cepat seperti yang tercantum

dalam pasal 205 ayat (2) KUHAP Penyidik langsung menghadapkan

terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli, dan atau juru bahasa ke

pengadilan atas kuasa penuntut umum.

Adapun dalam berkas acara prostitusi yang dikemukakan diatas

memuat :

1. Penyidik adalah penyidik dari kepolisian

2. Tersangka adalah pelaku tindak pidana prostitusi dalam hal ini

adalah pekerja seks komersial

3. Tindak pidana yang dilakukan adalah prostitusi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 31 peraturan daerah kota Surakarta

nomor 3 tahun 2006

4. Pemberitahuan untuk menghadap sidang

5. Saksi adalah petugas kepolisian yang melakukan penangkapan

terhadap pelaku tidak pidana prostitusi tersebut

6. Keterangan saksi berdasar apa yang ada dan berdasar

pengakuan dari tersangka.

lvi

Setelah berkas diterima pengadilan maka perkara tersebut harus

disidangkan pada hari itu juga. Perkara yang masuk dicatat dalam buku

register perkara yang memuat nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir,

jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, tempat tinggal, agama dan

pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya. Pengadilan

mengadili dengan hakim tunggal. Saksi-saksi yang memberikan

keterangan adalah mereka petugas kepolisian yang menangkap, dan tidak

dilakukan pengambilan sumpah di pengadilan. Putusan dicatat oleh hakim

dalam daftar catatan perkara dan selanjutnya dicatat dalam buku register

serta ditanda tangani oleh hakim dan panitera.

Dalam peraturan daerah kota Surakarta nomor 3 tahun 2006 Pasal 31

sampai dengan Pasal 35, sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

prostitusi ada dua macam yaitu pidana kurungan dan pidana denda. Pidana

kurungan maksimal 3 bulan sedangkan denda maksimal 50 juta rupiah.

Dalam pelaksanaannya pidana kurunga dilaksanakan oleh lembaga

pemasyarakatan Surakarta, sedangkan denda melalui kejaksaan yang uang

denda tersebut masuk kas negara.

Menurut keterangan hakim pengadilan negeri Surakarta sanksi

pidana dalam peraturan daerah kota Surakarta nomor 3 tahun 2006 dapat

mengakomodir tujuan utamanya untuk mengurangi kegiatan prostitusi di

Surakarta. Dengan bukti bahwa jarang pelaku tindak pidana prostitusi

yang disidangkan untuk kedua kali, ini menunjukkan bahwa sanksi pidana

yang ada dalam peraturan daerah kota Surakarta nomor 3 tahun 2006

memberi pengaruh yang cukup besar dalam penanggulangan tindak pidana

prostitusi yang ada di kota Surakarta. (wawancara tanggal 15 januari 2008)

Selain dari pelaku tindak pidana prostitusi yang biasanya hanya

pekerja seks komersial (PSK), pihak-pihak lain yang terkait dengan pidana

prostitusi juga pernah disidangkan antara lain para mucikari dan germo

yang menjadi perantara antara para PSK dan pengguna jasanya. Namun

lvii

selama peraturan daerah kota surakarta nomor 3 tahun 2006 berlaku belum

ada pengguna jasa seksual komersial yang disidangkan di pengadilan.

(wawancara tanggal 15 januari 2008)

B. Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Sanksi Pidana Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Prostitusi Berdasarkan Peraturan Daerah Kota

Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi

Seks Komersial Di Pengadilan Negeri Surakarta

1. Putusan Hakim

a. Putusan Nomor 286/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

(1) Nama : SRI RAHAYU

(2) Umur : 33 tahun

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Potrojayan Rt 02 Rw IV Serengan Surakarta

Dalam perkara ini hakim yang memimpin sidang memutuskan :

1) Menyatakan terdakwa yang identitasnya seperti tersebut di atas

bersalah melakukan tindak pidana prostitusi.

2) Menghukum terdakwa dengan hukuman kurungan 10 (sepuluh)

hari dengan masa percobaan 1 (satu) bulan.

3) Menghukum pula untuk membayar biaya perkara sebesar Rp

1.000,- (Seribu rupiah).

b. Putusan Nomor 287/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

(1) Nama : SRI PENI

(2) Umur : 35 tahun

lviii

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Minapadi Rt 06 Rw IX Nusukan Surakarta.

c. Putusan Nomor 288/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

(1) Nama : SUMIRAH

(2) Umur : 47 tahun

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Karangwaluh Rt 04 Rw III Kec. Sampung Kab

Ponorogo Jatim.

d. Putusan Nomor 289/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

(1) Nama : DEWI

(2) Umur : 28 tahun

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Andong Rt 04 Rw IX Kel Andong Boyolali.

e. Putusan Nomor 290/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

(1) Nama : SRI SUWARNI

(2) Umur : 33 tahun

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Dugdang Rt 03 Rw XI Jeruk Miri Kabupaten

Sragen.

f. Putusan Nomor 291/TPR/2007/PN. Ska.

Adalah putusan tindak pidana ringan dengan terdakwa :

(1) Nama : KRISTIN

lix

(2) Umur : 24 tahun

(3) Pekerjaan : Swasta

(4) Alamat : Kp. Kupang Raya Rt 02 Rw IV Surabaya.

Dalam putusan-putusan tersebut putusan yang ditetapkan hakim juga

sama yaitu :

1) Menyatakan terdakwa yang identitasnya seperti tersebut di atas

bersalah melakukan tindak pidana prostitusi.

2) Menghukum terdakwa dengan hukuman kurungan 10 (sepuluh)

hari dengan masa percobaan 1 (satu) bulan.

3) menghukum pula untuk membayar biaya perkara sebesar Rp

1.000,- (Seribu rupiah).

2. Pertimbangan Hakim

Mengenai kriteria pertimbangan hakim dalam menetapkan sanksi

pidana terhadap pelaku tindak pidana prostitusi tidak diatur secara pasti

dalam undang-undang namun semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan

hakim yang memeriksa perkara tersebut. Dalam setiap perkara yang

diperiksa dapat dipastikan pertimbangan hakim dalam memutuskan sanksi

yang dijatuhkan kepada pelaku dapat dipastikan berbeda.

Untuk perkara-perkara yang telah disebutkan di atas dimana dalam

setiap putusannya sama yaitu kurungan 10 (sepuluh) hari dengan masa

percobaan satu bulan, pertimbangan-pertimbangan hakim menurut hasil

wawancara yang dilakukan antara lain :

1. Bahwa terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana prostitusi

dalam hal ini sebagai pekerja seks komersial.

lx

Hal ini dapat dilihat dalam berkas acara pemeriksaan yang dibuat

kepolisian. Bahwa pada saat tertangkap terdakwa sedang

menunggu pelanggan di sekitaran RRI Surakarta yang telah dikenal

masyarakat sekitar sebagai tempat mangkal para pekerja seks

komersial. Dan terdakwa mengakui kebenaran hal itu. Sehingga

hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana

prostitusi sebagai pekerja seks komersial.

2. Bahwa terdakwa baru pertama kali diajukan ke persidangan.

Hal ini diketahui dari data yang ada dalam buku register perkara

bahwa terdakwa memang belum perhah diajukan ke persidangan

pengadilan sebelumnya, sehingga hal ini dapat sedikit

memperingan hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa.

3. Bahwa hakim menganggap pantas diberikan hukuman percobaan

Pertimbangan ini berdasar pada pertimbangan pribadi hakim yang

menganggap terdakwa baru pertama kali dan masih pantas untuk

dilakukan hukuman percobaan. Namun apabila memang sudah

beberapa kali atau sudah pernah disidangkan sebelumnya bukan

tidak mungkin akan dijatuhi hukuman kurungan.

Dari hasil wawancara diketahui bahwa hakim-hakim yang pernah

memutus perkara sejenis menganggap bahwa hukuman yang dijatuhkan

kepada para pelaku tindak pidana prostitusi khususnya para pekerja seks

komersial haruslah bersifat pembinaan agar tidak kembali lagi ke

pekerjaan yang sebelumnya sebagai pekerja seks komersial. Karena

hukum pidana bukanlah pembalasan dari perbuatan yang dilakukan.

Pidana haruslah memenuhi rasa kemanusiaan yang ada. (wawancara

tanggal 15 januari 2008)

lxi

Dalam perkara-perkara yang lain pun pertimbangan hakim juga

tidak bisa ditentukan. Dalam setiap kasus setiap hakim mempunyai

pertimbangan sendiri-sendiri. Namun pada dasarnya setiap pertimbangan

hakim mempunyai dasar-dasar yang melatarbelakangi kenapa hakim

menjatuhkan putusan tersebut. Dasar-dasar pertimbangan itu antara lain :

1. Keterangan berdasarkan atas berita acara pemeriksaan yang

dikeluarkan kepolisian.

2. Perkara merupakan acara tindak pidana ringan sehingga harus

dengan putusan singkat.

3. Sudah berapa kali terdakwa diajukan ke persidangan

sebelumnya.

4. Mempertimbangkan perbuatan yang dilakukan pantaskah untuk

dijatuhi hukuman tersebut.

5. Hukuman bukan pembalasan.

6. Hukuman yang dijatuhkan haruslah bersifat pembinaan agar

pelaku tidak kembali melakukannya lagi.

Dari dasar-dasar pertimbangan tersebut hakim menggunakan

kebijaksanaannya dalam menentukan hukuman kepada pelaku. Selain dari

pertimbagan-pertimbangan yang disebutkan diatas sebaiknya hakim juga

mempertimbangkan mengenai latar belakang pelaku melakukan tindak

pidana prostitusi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa setiap

pertimbangan hakim berdasar pada penilaian dan kebijaksanaan hakim

yang memutus perkara tersebut. Dalam hal ini hakim sangat

memperhatikan apakah putusan yang dijatuhkan akan mampu memberi

perubahan terhadap terdakwa pada khususnya dan terhadap pelaku tindak

lxii

pidana prostitusi yang lain pada umumnya. Karena hal ini sangat

berpengaruh terhadap prostitusi yang ada di kota Surakarta sendiri.

Sehingga setiap hakim harus benar-benar memperhatikan setiap putusan

yang dikeluarkan.

Setiap atau sanksi yang dijatuhkan harus bisa memenuhi tujuan

dari peraturan daerah kota Surakarta nomor 3 tahun 2006. menurut data

yang ada kaputusan atau sanksi yang pernah dijatuhkan dirasakan sudah

memberi pengaruh yang cukup baik dan bisa mengakomodir tujuan dari

peraturan daerah kota Surakarta nomor 3 tahun 2006. Hal itu dikatakan

karena berdasar perkara yang masuk ke pengadilan kebanyakan pelaku

yang disidangkan adalah mereka yang belum pernah disidangkan

sebelumnya. Sehingga setiap penilaian dan kebijaksanaan hakim yang

terdahulu dapat menjadi rujukan hakim-hakim yang selanjutnya dalam

menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana prostitusi.

lxiii

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Setelah apa yang diuraikan oleh penulis dalam bab sebelumnya yang

merupakan pembahasan dari permasalahan yang ada yaitu, Bagaimana proses

pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana prostitusi dan Bagaimana

pertimbangan hakim dalam menetapkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak

pidana prostitusi berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun

2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial di Pengadilan

Negeri Surakarta. Dari pembahasan permasalahan tersebut dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

1. Proses Pemeriksaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Prostitusi di

Pengadilan Negeri Surakarta.

Dari penelitian di pengadilan negeri Surakarta diketahui bahwa

proses pemeriksaan perkara dilakukan dengan proses acara cepat dengan

tahapan :

1. Penangkapan

2. Pemeriksaan oleh penyidik

3. Persidangan pengadilan

4. Putusan pengadilan.

Adapun hal-hal dalam pemeriksaan tindak pidana ringan adalah

sebagai berikut :

52

lxiv

(a) Penyidik langsung menghadapkan terdakwa beserta barang

bukti, saksi, ahli, dan atau juru bahasa ke pengadilan atas kuasa

penuntut umum. Dalam penjelasan dikatakan bahwa atas kuasa

berarti demi hukum (Pasal 205 ayat (2) KUHAP).

(b) Pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat

pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana

perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding (Pasal

205 ayat (3) KUHAP). Ini berarti jika dijatuhkan pidana

penjara atau kurungan, maka terpidana tidak dapat minta

banding.

(c) Saksi dalam pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucap

sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu (Pasal

208). Berita acara pemeriksaan tidak dibuat, kecuali jika dalam

pemeriksaan tersebut ternyata ada hal-hal yang tidak sesuai

dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat penyidik. (Pasal

209 ayat (2) KUHAP).

2. Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Sanksi Pidana Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Prostitusi

Dari penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri Surakarta

diketahui hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam

memutuskan perkara tindak pidana prostitusi yang telah dikemukakan

antara lain :

1. Keterangan berdasarkan atas berita acara pemeriksaan yang

dikeluarkan kepolisian.

2. Perkara merupakan acara tindak pidana ringan sehingga harus

dengan putusan singkat.

3. terdakwa baru pertama kali diajukan ke persidangan.

lxv

4. Mempertimbangkan perbuatan yang dilakukan masih pantas

untuk dijatuhi hukuman percobaan.

5. Hukuman yang dijatuhkan haruslah bersifat pembinaan agar

pelaku tidak kembali melakukannya lagi.

B. SARAN

Berdasarkan penelitian diatas maka penulis mengemukakan saran sebagai

berikut ;

1. Untuk memberi rasa keadilan bagi pelaku tindak pidana prostitusi

hendaknya hakim juga mempertimbangkan mengenai latar belakang

pelaku melakukan tindak pidana prostitusi.

2. Untuk lebih memperhatikan sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada

pelaku berdasarkan pertimbangan yang ada. Agar sanksi tersebut

memberikan efek yang baik terhadap pelaku dan bisa kembali lagi ke

masyarakat.

3. Untuk lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat agar praktek-

prektek kegiatan prostitusi bisa dikurangi.

4. Kepada pemerintah daerah kota Surakarta untuk lebih memperhatikan

pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006

Tetang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial. Agar bisa

mewujudkan tujuannya untuk bisa mencegah, membatasi dan

mengurangi adanya kegiataan eksploitasi seks komersial.

lxvi

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung:Citra

Aditya Bakti

A.S. Alam. 1984. Pelacuran Dan Pemerasan. Bandung : Alumni.

Bambang Waluyo. 2000 Pidana Dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika

Darman Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta : Djambatan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta : Balai Pustaka

Hari Sasangka Dan Lily Rosita. Komentar Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana. Bandung : Mandar Maju

H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret

University Press.

Kartini Kartono. 2005. Patologi sosial Jilid I. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Moeljatno. 2002. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Gahalia Indonesia

Simanjuntak. 1981. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. Bandung :

Tarsito

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soedjono Dirjo Sisworo. 1982. Pathologi Sosial. Bandung : Alumni

Supanto. 2007. "Penanggulangan Pekerja Seks Komersial”. Makalah.

Disampaikan Pada Seminar Antara Realita Dan Keinginan Pekerja Seks

Komersial pada tanggal 26 mei 2007 di Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta

UU No. 8 tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan

Eksploitasi Seks Komersial