dinamika dibalik kontroversi gelar khalifatullah.docx

13
DINAMIKA DIBALIK KONTROVERSI GELAR KHALIFATULLAH Oleh : Yoyok Tindyo Prasetyo dan Ummu ‘Ilmy PENDAHULUAN Kontroversi Masuknya gelar Khalifatullah Sri Sultan dalam Raperda Keistimewaan DIY kembali menuai kontroversi. Fraksi PDIP DPRD DIY, yang berhaluan nasionalis mempersoalkan upaya memasukkan gelar tersebut di Perdais. Mereka khawatir subtansi semacam itu justru jadi legitimasi homogenitas di DIY. Bahkan, PDI perjuangan akan lebih serius mengawal Perdais menjadi perda yang mensejahterakan dan mampu menjaga agar DIY benar-benar istimewa dengan berbhinneka. harianjogja.com, Senin(28/1/2013) Senada dengan PDIP, pernyataan Pengamat Politik J Kristiadi usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat Konsultasi dan Implementasi Undang-Undang Keistimewaan DIY No13/2012, di Gedung DPRD Jumat (1/2/2013), memandang gelar Khalifatullah Sultan tidak perlu dimasukkan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kestimewaan. Gelar ini selain rawan menimbulkan konflik kepentingan, juga sama saja menghilangkan kesempatan Sultan perempuan. Menurut Peneliti Center for Strategic of International Studies (CSIS) ini, gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah yang diperoleh dari berbagai literatur diartikan bahwa Sultan itu adalah pengatur Wakil Allah yang mengatur kehidupan beragama. Arti gelar ini rawan diinterpretasikan untuk homogenitas tertentu, dan memungkinkan akan member peluang memunculkan kekisruhan di dalam masyarakat. Ia menegaskan agar gelar Sri Sultan cukup Hamengku Buwono saja. Terlebih bila dikaitkan dengan perkembangan modernitas kesetaraan perempuan dan lak-laki, maka dengan dimasukan gelar tersebut akan menyulitkan Sultan dalam mewariskan tahtahnya pada anak perempuannya. Fakta Keraton Jogjakarta hendak di setting dengan melupakan sejarahnya sudah bukan hal baru lagi. Dua tahun yang lalu, di kantor Kepatihan Sri Sultan pernah menyampaikan kepada wartawan jika Keraton Yogyakarta sekarang bukan lagi merupakan suatu kekuatan politik, sehingga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan masyarakat. Termasuk dalam poses suksesi kepemimpinan. Sultan memiliki hak untuk melakukan perubahan. 1

Upload: tindyop

Post on 14-Aug-2015

114 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

makalah politik

TRANSCRIPT

Page 1: Dinamika Dibalik Kontroversi Gelar Khalifatullah.docx

DINAMIKA DIBALIK KONTROVERSIGELAR KHALIFATULLAH

Oleh : Yoyok Tindyo Prasetyo dan Ummu ‘Ilmy

PENDAHULUAN

Kontroversi Masuknya gelar Khalifatullah Sri Sultan dalam Raperda Keistimewaan DIY kembali menuai kontroversi. Fraksi PDIP DPRD DIY, yang berhaluan nasionalis mempersoalkan upaya memasukkan gelar tersebut di Perdais. Mereka khawatir subtansi semacam itu justru jadi legitimasi homogenitas di DIY. Bahkan, PDI perjuangan akan lebih serius mengawal Perdais menjadi perda yang mensejahterakan dan mampu menjaga agar DIY benar-benar istimewa dengan berbhinneka. harianjogja.com, Senin(28/1/2013)

Senada dengan PDIP, pernyataan Pengamat Politik J Kristiadi usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat Konsultasi dan Implementasi Undang-Undang Keistimewaan DIY No13/2012, di Gedung DPRD Jumat (1/2/2013), memandang gelar Khalifatullah Sultan tidak perlu dimasukkan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kestimewaan. Gelar ini selain rawan menimbulkan konflik kepentingan, juga sama saja menghilangkan kesempatan Sultan perempuan. Menurut Peneliti Center for Strategic of International Studies (CSIS) ini, gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah yang diperoleh dari berbagai literatur diartikan bahwa Sultan itu adalah pengatur Wakil Allah yang mengatur kehidupan beragama. Arti gelar ini rawan diinterpretasikan untuk homogenitas tertentu, dan memungkinkan akan member peluang memunculkan kekisruhan di dalam masyarakat. Ia menegaskan agar gelar Sri Sultan cukup Hamengku Buwono saja. Terlebih bila dikaitkan dengan perkembangan modernitas kesetaraan perempuan dan lak-laki, maka dengan dimasukan gelar tersebut akan menyulitkan Sultan dalam mewariskan tahtahnya pada anak perempuannya.

Fakta Keraton Jogjakarta hendak di setting dengan melupakan sejarahnya sudah bukan hal baru lagi. Dua tahun yang lalu, di kantor Kepatihan Sri Sultan pernah menyampaikan kepada wartawan jika Keraton Yogyakarta sekarang bukan lagi merupakan suatu kekuatan politik, sehingga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan masyarakat. Termasuk dalam poses suksesi kepemimpinan. Sultan memiliki hak untuk melakukan perubahan. (Kedaulatan Rakyat, 15/5/2010). Pernyataan ini muncul karena terpicu oleh pertanyaan tiga mahasiswa UGM yang bertanya tentang gender di Keraton.

Pada saat itu, pernyataan Sri Sultan ini menuai banyak kontraversi. Di mata aktivis gender, pernyataan Gubernur DIY ini banyak mendapat respons positif bahkan angin segar perjuangan. Terlebih, wacana sultan perempuan yang di gulirkan mereka mendapat tanggapan apik dari pihak akademisi. Mereka berpendapat bahwa pernyataan Sultan tersebut merupakan tantangan Keraton yang masih tradisional untuk melakukan reformasi seiring dengan massifnya nilai-nilai modernitas. Mereka mayoritas berpandangan Keraton dipimpin oleh Raja yang perempuan tidak jadi soal. Namun hal itu kembali lagi pada kebijakan internal Keraton. Sebagimana tanggapan dari Ahli hukum keraton, guru besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Sudikno, yang menyatakan bahwa dalam sejarah Keraton Yogyakarta belum ada sultan yang perempuan, sebab tidak

1

Page 2: Dinamika Dibalik Kontroversi Gelar Khalifatullah.docx

tercantum dalam paugeran. Namun, menurut dia, paugeran bersifat dinamis, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan ditentukan secara internal keraton. Sehingga sangat mungkin ada Sulthonah asal ditentukan oleh hasil musyawarah Keraton. Sementara itu, dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Bambang Purwoko berpendapat, senada, bahwa tidak perlu menggagas jenis kelamin raja berikutnya. Namun, jika keraton menghendaki tampilnya raja perempuan, yang harus dilakukan hanyalah mengubah paugeran yang ada. Beliau mengatakan jika Undang-undang dasar negara saja bisa diamandemen, tentulah paugeran juga bisa dengan mudah diubah. Hanya kitab suci agama yang seharusnya tidak boleh diubah-ubah.

Di dalam internal Keraton sendiri, pernyataan tersebut mendapatkan penolakan keras karena dinilai bertentangan dengan paugeran yang menyepakati bahwa Raja Keraton itu adalah seorang Sayidin Panitagama Khalifatullah. Dalam catatan sejarah tidak ada seorang Sultan dijabat seorang perempuan. Pihak keluarga Keraton yang diwakili oleh Gusti Yudhaningrat (adik Sri Sultan urutan ke 15 – 17 dari 22 urutan), menyatakan bahwa Keraton Yogyakarta termasuk dinasti kekhalifahan yang memposisikan sultan sebagai penerus Nabi dalam pemahaman agama Islam. Maka Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah penguasa Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat yanga menyandang gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping X (yang kurang lebih berarti: pemimpin yang menguasai dunia, komandan besar, pelayan Tuhan, tuan semua orang yang beragama). Begitu juga untuk sultan-sultan sesudahnya.

Pendapat pihak keluarga keraton didukung oleh beberapa budayawan Islam. Mereka menduga jika pernyataan tersebut merupakan wacana yang digulirkan Sultan itu untuk memuluskan langkah putri tertuanya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, untuk meneruskan takhta kepemimpinan Keraton. Meskipun pernyataan sultan pada saat itu menuai banyak kontoversi khususnya dari pihak keluarga Keraton sendiri, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kaum liberalis dan aktivis gender sudah melakukan gerakan nyata dan tertata.

SEJARAH GELAR ‘KHALIFATULLAH SAYYIDIN PANATAGAMA’

Sejarah gelar Khalifatullah Sayyidin Panatagama tidak bisa dipisahkan dari sejarah keberhasilan dakwah Walisongo. Awal sejarah walisongo adalah ketika para pedagang Gujarat menyampaikan kabar kondisi kerajaan Majapahit di Tanah Jawa sedang terjadi kemelut akibat perang Paregreg. Menurut Prof Hasanu Simon, rakyat Jawa yang semula kuat memegang teguh keyakinan Hindu, Budha dan Animisme mulai mencari dan terbuka terhadap keyakinan baru. Kabar ini ditangkap dengan cerdas oleh Sultan Muhammad I, Kholifah Daulah Turki Utsmani pada saat itu dengan mengirimkan juru-juru dakwah. Dalam kitab Kanzul ‘Ulum karangan Ibnu Batutah di tulis, Khalifah Muhammad I mengirim tim juru dakwah ke tanah Jawa secara bergenerasi. Generasi angkatan pertama beranggotakan 9 orang dengan pimpinan Maulana Malik Ibrahim. Tugas mereka bukan sekedar menyebarkan Islam ritual semata, akan tetapi mereka mengajarkan pula tentang tata pembangunan pertanian, tata pengaturan Negara dan pemerintahan, tata pertahanan dan keamanan, tata ekonomi, tata ketentraman dan tata kesehatan masyarakat, pengkaderan, dan mencari pengaruh diantara para penguasa dan bangsawan

2

Page 3: Dinamika Dibalik Kontroversi Gelar Khalifatullah.docx

Generasi Walisongo angkatan pertama dan angkatan kedua yang semuanya masih beranggotakan utusan langsung dari Daulah (Timur Tengah) berhasil dalam dakwah ini yakni menanamkan Islam murni bahkan mampu meraih hati masyarakat sekaligus menjadi rujukan bagi mereka. Mereka pun menjadi rujukan para trah bangsawan bahkan sampai bebesanan. Sebagai bukti nyata adalah Ibrahim Asmarakandi (Maulana Ibrahim dari Samarkand) menikah dengan Dewi Candrawulan, cucu dari raja Singosari dan melahirkan Ahmad ‘Ali Rahmatullah atau lebih di kenal dengan Raden Rahmat. Raden Rahmat yang kemudian dikenal dengan sunan Ampel kemudian menikah dengan putri Bupati Tuban. Putri Sunan Ampel ini kemudian menikah dengan putra ‘Jin Bun’ anak raja Majapahit terakhir, Brawijaya V yang kemudian lebih dikenal dengan Raden Patah, penguasa Islam pertama di Tanah Jawa. Beliau bergelar Shah Alam Akbar Sayidin Panatagama. ( tanpa Khalifatullah )

Perjalanan dakwah Walisongo dalam mengislamkan tanah Jawa ternyata tidak tuntas bahkan memunculkan wajah Islam sinkretis (sinkretisasi Islam Jawa) yang pengaruhnya kuat hingga sekarang. Islam sinkretis ini muncul ketika Kekhalifahan Turki Utsmani sudah tidak lagi mengirimkan duta dakwahnya, akan tetapi menumpukan pada keberhasilan kaderisasi juru dakwah sebelumnya. Khususnya mulai Walisongo angkatan VI, tujuh dari sembilan anggotanya adalah bangsawan pribumi seperti Sunan Kalijogo. Kondisi ini menjadikan warna pengembangan dakwah Islam di Jawa berubah. Memahami pandangan, Prof. Hasanu Simon, perubahan warna pengembangan dakwah terjadi akibat masih adanya pengaruh nilai-nilai tradisi Jawa pada pandangan para bangsawan tersebut (khususnya Sunan Kalijogo) dan dorongan mengislamkan Jawa secepat mungkin, sehingga mereka menggunakan pendekatan seni, sastra dan simbolisme dalam dakwah.

Sejak itulah Islam sinkretis muncul dan memberi bekas yang kuat hingga sekarang. Islam Sinkretis inilah awal persoalan dakwah di tanah Jawa. Islam sinkretis ini tidak hanya berakibat pada bentuk pemahaman Islam masyarakat yang tetap dangkal (penuh mistis, tahkayul), tetap rendah taraf dalam taraf berfikir, pemakaian symbol dan pemaknaan bahasa yang multi tafsir, berefek pada perkembangan politik dan pemerintahan Islam di Jawa bahkan membawa perseteruan yang panjang dan berujung pada perpecahan akibat perebutan kekuasaan.

Dampak yang paling fatal adalah dipindahkannya kekuasaan Islam di Demak Bintoro yang strategis karena akses kelautan, lebih steril dari budaya Jawa, ke wilayah pedalaman bekas bumi Mataram Hindu yang kuat memegang budaya Jawa dan jauh dari akses kelautan, yaitu Kesultanan Pajang. Akibatnya, kekuatan kekuasaan Islam Jawa lemah dari sisi pertahanan dan pendapatan. Di wilayah bekas bumi Mataram Hindu inilah Kesultanan Mataram Islam didirikan, cikal bakal kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dampak lanjut dari kondisi tersebut, pemerintahan Islam Jawa tidak mampu menghadapi kekuatan penjajah. Lebih dari itu, ketinggian iptek dan tsaqofah Barat yang dibawa penjajah, menjadikan banyak keluarga muslim ( terutama bangsawan ) yang melanjutkan pemahamana Islam sinkretisnya dengan menerima pandangan-pandangan baru yang diperkenalkan oleh penjajah. Tsaqofah Barat pertama kali diperkenalkan oleh HM Daendels yang menjadi Gubernur Jendral di Batavia 1803, di bawah kekuasaan Louis Bonaparte saudara Napoleon Bonaparte. Saat itu Belanda memang sedang dikuasai oleh Perancis. Persinggungan yang

3

Page 4: Dinamika Dibalik Kontroversi Gelar Khalifatullah.docx

terjadi adalah berbentuk ‘pengebirian’ peran para penguasa Mataram Islam dari aktifitas ekonomi masyarakat. Gagasan penjajah ini dikemudian hari oleh Karl Marx diberi nama Kapitalisme.

Gelar Sayyidin Panatagama merupakan gelar yang dimiliki oleh sultan-sultan Islam di tanah Jawa. Gelar ini pertama kali diberikan kepada Raden Patah atau Sultan Demak yang terpilih menjadi penguasa Islam pertama di tanah Jawa (Abad ke 15M). Penyebutan sultan diberikan oleh Walisongo untuk menunjukkan dan membedakan posisi pemimpin Islam dengan rakyat, tidak sama dengan posisi raja dengan rakyatnya. Raden Patah sendiri kemudian diberi gelar ‘Senopati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama/ Sultan Syah Alam Akbar/ Sultan Surya Alam’. Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.

Tambahan ‘Kalipatullah’ atau ‘Khalifatullah’ baru muncul pada sultan-sultan di Kesultanan Mataram Islam. Tambahan gelar tersebut pertamakali dipakai oleh pendiri Kesultanan Mataram, yaitu Danang Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Kalipatullah Tanah Jawa (Abad ke 16). Danang Sutawijaya yang dikenal pula dengan nama Panembahan Senopati dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Tambahan gelar Khalifatullah tidak ada kaitannya dengan Kekhalifahan Turki Utsmani. Penambahan kata Khalifatullah yang diartikan dengan wakil Tuhan hanya karena pengambilan makna semata, sebagaimana perkembangan Islam di saat itu yang sarat dengan seni, sastra bahasa, dan symbol. Gelar ini pun memberikan pengaruh keliru yakni menempatkan posisi penguasa sangat tinggi diatas rakyat. Bahkan, menurut Raja Ali Haji, pemikir politik Islam dari Kesultanan Riau, gelar Khalifatullah malah menjadikan gambaran kesultanan berubah menjadi kerajaan kembali yang posisinya sederajat dengan posisi kenabian (Mahdini, 2000, Etika Politik dalam pandangan Haji Ali, cet.I).

Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Mataram Islam mengalami kemajuan pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo. Akan tetapi pasca wafatnya Sultan Agung, Kesultanan Mataram Islam mengalami kemerosotan yang luar biasa. Akar kemerosotan tesebut terletak pada pertentangan dan perpecahan di dalam keluarga kesultanan sendiri yang kemudian dimanfaatkan oleh VOC. Puncak dari perpecahan terjadi pada tanggal 13 Februari 1755 dengan ditandatangani perjanjian Giyanti yang membagi Kesultanan Mataram Islam menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian Giyanti tersebut, dinyatakan bahwa Pangeran Mangkubhumi sebagai Sultan Pertama di Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Alaga Abdul Rokhman Sayyidin Panatagama Khalifatullah kaping I . Gelar tersebut menjadi gelar secara turun temurun pada setiap sultan di Kesultanan Jogjakarta.

Semua sultan Islam Jawa, baik pada masa Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, Kesultanan Mataram Islam, dan Kesultanan Yogyakarta belum pernah ada satupun yang di jabat oleh perempuan (shulthonah). Meskipun masih menggunakan sistem keturunan, akan tetapi jika tidak ada keturunan langsung maka kekuasaan jatuh kepada pihak lain seperti saudara laki-laki atau menantu.

4

Page 5: Dinamika Dibalik Kontroversi Gelar Khalifatullah.docx

SINKRETISME JALAN MASUK SEKULER-KAPITALISME DI JAWA.

Sudah disebutkan sebelumnya bahwa kemunduran berfikir akibat Islam sinkretis menjadikan pemerintahan Islam Jawa tidak mampu menghadapi kekuatan VOC dan Belanda. Lebih dari itu, ketinggian iptek dan pengetahuan umum menjadikan banyak keluarga muslim bil khusus para priyayi (bangsawan) yang berfaham Islam sinkretis pada akhirnya menerima pandangan-pandangan baru yang dibawa penjajah. Kenyataan ini jelas tidak disia-siakan oleh penjajah untuk menyusun langkah-langkah jitu. Tulisan Van den Bosch pencipta cultuurstelsel (1833) :”menurut saya, dengan segala cara kita harus membuat para pemimpin pribumi bergantung pada kita…… Sedemikian rupa sehingga mereka lebih berbahagia berada dibawah pememerintahan kita daripada berada dibawah pemerintahan raja mereka”. menjadi bukti semua ini.

Diantara langkah serius penjajah adalah apa yang di bahasakan oleh Prof. Denys Lombard sebagai langkah pembaratan (cara berfikir berubah menjadi cara berfikir barat). Langkah langkah tersebut diawali dengan membentuk sekolah-sekolah khusus untuk para putra-putri priyayi (bangsawan). Hasil awalnya, mereka terpengaruh secara bahasa, busana dan tingkah laku, diikuti dengan mengunjungi Eropa, sekolah di Eropa dan bangga dengan Eropa (misalnya Raden Saleh Bustaman, Bapak Pelukis Indonesia, atau Sri Sultan HB IX ).

Langkah selanjutnya dari proses pembaratan yaitu terjadi dikalangan tentara dan akademisi. Proses pembaratan dikalangan tentara ditujukan untuk memunculkan jiwa nasionalis yang tinggi dalam perjuangan bangsa (saat itu) untuk melawan Jepang. Sedangkan pembaratan dikalangan akedemisi berawal dari para priyayi yang mengejar gelar doktorandus melalui universitas-universitas yang berkiblat ke Barat yang proses berdirinya direstui dan di sokong oleh Sultan HB IX. Dan pada akhirnya, berhasilah penjajah menjauhkan Islam dimulai dari kalangan priyayi dan menjadikan mereka menjadi muslim berpikiran sekuler-kapitalistik. Dalam perkembangannya, sifat universitas yang terbuka bagi rakyat menjadi jalan bagi akademisi untuk menjadi pengemban pemikiran sekuler-kapitalisme terutama saat mereka merancang system politik, ekonomi dan budaya. Sehingga wajar, pemberi komentar gelar Khalifatullah, dan Sulthonah adalah akademisi dan budayawan. Mereka kini terus getol berupanya menghapus semua jejak-jejak penerapan dan pengaruh Islam di tanah Jawa khususnya di Keraton Jogjakarta.

Dalam konteks dakwah apa yang terjadi adalah bahwa universitas-universitas terkemuka di Indonesia menjadi Kiyan Fikr [institusi pemikiran] bagi penyebaran Kapitalisme Modern dan sekaligus menjadi penjaga bagi Islam Sinkretis. Kerja pemikiran, politik hingga kebudayaan dilakukan sebagai wujud pengarusutamaan ide-ide tersebut. Kerja pemikiran misalnya dilakukan dengan mencarikan argumentasi ilmiah bagi proses Demokratisasi, Otonomi Daerah dan Anti Korupsi [ tiga isu utama liberalisasi politik ] atau kajian-kajian yang mendukung bagi keberadaan Islam sinkretis misalnya munculnya berbagai thesis dan dissertasi tentang Syekh Siti Jenar, icon utama Islam Sinkretis. Kerja politik dengan menduduki berbagai macam posisi pemerintahan untuk memastikan diimplementasikan gagasan-gagasan Barat melalui perundangan. Kerja kebudayaan misalnya digelarnya kethoprak tentang Syekh Siti Jenar oleh sebuah fakultas di sebuah universitas terkemuka,

5

Page 6: Dinamika Dibalik Kontroversi Gelar Khalifatullah.docx

dimana dalam kethoprak tersebut ditampakkan sekali kearifan Syekh Siti Jenar dan berangasnya Sunan Kudus [ panglima Raden Patah yang mengeksekusi Syekh Siti Jenar ).

KONSTRUKSI AGENDA : DESINKRETISASI, ANTI NEO-SINKRETISASI, DAN REISLAMISASI

Jelaslah bahwa persoalan penting dakwah di Jogjakarta bukan sekedar member komentar tentang kontroversi gelar Khalifatullah saja. Apalagi memang tidak tepat, gelar Khalifatullah Sayyidin Panatagama disematkan pada Sri Sultan HB X dengan posisi beliau hanya sebagai gubernur Jogjakarta saja [Sultan Yogya sebelum bergabung dengan NKRI posisinya adalah kepala Negara]. Termasuk persoalan sulthonah pun adalah bagian dari bentuk skenario (persoalan cabang) yang dirancang untuk menghabisi Islam di Jawa. Persoalan terpenting dakwah di Jogja dan Jawa bagian selatan justru pada masih adanya sisa pengaruh Islam sinkretis di kalangan masyarakat bawah, kuat dan rapinya skenario serta strategi barat-sekuler dalam menjauhkan Islam dari dinamika Jogjakarta khususnya melalui para akademisi dan budayawan. Bila kapitalisme disuntikkan sejak 1803, maka sinkretisme sudah dijalankan ratusan tahun sebelumnya.

Festival Seni tahun Biennale 2012 yang digarap oleh para seniman Jogja di bawah pimpinan Butet Kertarajasa secara terang-terangan mengopinikan bahwa akar Jogja adalah Hindu. Hal tersebut disimbolisasi dengan maskot prajurit Kraton yang bergandengan tangan dengan orang India, dan digelarnya tari India secara massal di perempatan Kantor Pos Jogja. Dan, bukan menjadi rahasia lagi, UGM sebagai universitas unggulan, adalah yang terbanyak menghasilkan para pemikir dan perancang perundang-undangan pesanan barat.

Menghadapi tantangan dakwah yang berat tersebut, maka dibutuhkan skenario yang lebih fokus, rapih untuk mengeliminasi pengaruh dan pemahaman Islam sinkretis di tengah masyarakat sekaligus penyebaran kapitalisme yang di gulirkan terus menerus oleh para akademisi dan para budayawan. Tanpa membersihkan pengaruh Islam Sinkretis, maka yang akan terjadi seperti menginstall program baru pada komputer yang telah terjangkiti virus. Bisa beresiko pada gagalnya program baru yang akan install, atau melemahkan/melambatkan kinerja komputer hingga mematikan/merusakkan komputer. Selain itu, perlu berfikir keras terkait uslub dan wasilah dakwah syariah dan khilafah sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Sedangkan peran pengemban tentunya tidak boleh lagi berdiam diri tanpa mengambil peran dakwah. Perlu ada optimalisasi pemikiran dan fokus gerak bersama dari semua pengemban dakwah di Jogjakarta untuk menangkis beragam bentuk skenario yang masih sangat mungkin dirancang untuk menghalangi dan memberatkan dakwah syariah dan khilafah.

Upaya mengembalikan keluhuran/kemurnian Islam [ mangun luhuring Islam ing tanah Jawi sedaya ] sebenarnya sudah pernah dilakukan, yaitu salah satunya melalui perjuangan Pangeran Diponegoro dan pendukungnya. Banyak bukti sejarah yang terungkap tentang hal itu baik melalui biografi beliau yang berjudul Babad Diponegoro atau dokumen-dokumen pemerintah Belanda masa itu. Salah satunya adalah gelar yang dipilih oleh Diponegoro adalah Sultan Ngabdul Hamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifatul Rasulilllah in Tanah Jawa. Perhatikan bahwa Diponegoro memilih gelar Khalifatul Rasulilllah dari pada Khalifatullah, hal ini menurut Team Museum Radya Pustaka adalah koreksi atas makna Khalifatullah pada gelar raja-raja Mataram Islam. Hanya saja perjuangan beliau yang lebih berupa perjuangan militer tidak memberi waktu dan

6

Page 7: Dinamika Dibalik Kontroversi Gelar Khalifatullah.docx

kesempatan untuk melakukan desinkretisasi pemikiran dan kurang tingginya pemahaman Islam yang berkembang disaat itu berdampak pada kesalahan strategi hingga perpecahan.

Demikian pula di masa setelahnya, upaya desinkretisasi juga telah dilakukan oleh sebuah organisasi Islam besar yang lahir di Yogyakarta. Namun pada akhirnya fokusnya lebih pada counter atas persoalan cabang yaitu pendidikan dan tidak berupa sebuah siraul fikr [ pergolakan pemikiran ] sehingga tidak berhasil dalam menyelesaikan proyek desinkretisasi tersebut. Bahkan karena juga menyasar pada wilyah praktek ritual, sering bersitegang dengan organisasi Islam besar lainnya.

Beberapa isu penting agenda desinkretisasi yang mungkin dijalankan antara lain :

1. Mengungkap jati diri ‘Jawa’ itu sebenarnya apa dan yang mana ? 2. Mengungkap proyek-proyek rehinduisasi dan rebudhaisasi ( dengan menggali candi-candi) adalah

proyek penjajah yang berusaha mengangkat kembali sesuatu yang sebenarnya sudah ratusan tahun dilupakan orang Jawa.

3. Mematahkan secara masif mitos Nyi Roro Kidul, terutama bahwa ‘ia’ adalah obyek khayalan yang digunakan Mataram Islam untuk mengalihkan marja ritual dari Walisongo ke wilayah selatan.

4. Mengungkap bahwa generasi muda Jawa sekarang mayoritas sudah mulai meninggalkan berbagai macam ritual dan mitos adat Jawa dengan memilih aktifitas yang lebih rasional

5. Membangun opini bahwa kerja dakwah Walisongo belum tuntas dan membutuhkan pihak-pihak yang mau melanjutkan dakwah yang belum selesai tersebut.

Adapun Anti Neo-Sinkretisasi adalah mencegah kaum muslimin dan khususnya pengemban dakwah tidak mengulang sinkretisasi yang dahulu dimotori oleh Sunan Kalijaga. Pertanyaannya, apakah Neo-Sinkretisasi tersebut mungkin terjadi ? Jawabannya adalah mungkin. Mengapa ? Karena sinkretisasi adalah fenomena kebudayaan dan bukan kebijakan politik negara langsung. Dimana pengemban dakwah Islam mengambil uslub-uslub kebudayaan yang berasal/lahir dari agama lain, karena uslub-uslub tersebut masih mengitari kehidupan masyarakat, menjadi kebiasaan masyarakat. Satu hal yang perlu dicatat bahwa sinkretisasi di masa lalu dilakukan dengan niatan baik untuk mempercepat dakwah namun berakibat fatal di masa setelahnya. Bila demikian maka Neo Sinkretisasi bisa terjadi kembali, yaitu ketika pengemban dakwah Islam dengan niatan yang baik pula mengambil kebiasaan masyarakat (kebudayaan) padahal kebudayaan tersebut lahir dari ‘agama’ yang lain dan agama yang lain dimaksud adalah Kapitalisme, bukan lagi Hindu ataupun Budha.

Pertanyaan berikutnya apakah Kapitalisme mendorong kebudayaan baru dan bila ya bentuknya apa ? Beberapa pemikir dan pengamat kebudayaan Kapitalisme, seperti Jean Boudrillard, Paul Virrillo yang hidup di Eropa maupun Yasraf Amir Pilliang yang hidup di Indonesia, telah melakukan banyak kajian dan menyimpulkan bahwa kebudayaan sebagai yang lahir dari Kapitalisasi sangatlah khas dan bentuknya dapat dikenali. Terdapat

7

Page 8: Dinamika Dibalik Kontroversi Gelar Khalifatullah.docx

paling tidak tiga bentuk, pertama Imagologi (pengandalan pada pencitraan), kedua Dromologi (gandrung pada kecepatan) dan ketiga Libidonomic ( perilaku konsumtif yang bertumpu pada hasrat).

Contoh Imagologi misalnya berusaha membangun citra elite dan tinggi dengan menyelenggarakan kegiatan dakwah di hotel-hotel berbintang, bahkan saat temanya adalah kemiskinan. Padahal perintah agama ini adalah memakmurkan mesjid bukan hotel. Atau seorang individu pengemban dakwah yang menggunakan berbagai macam auxiliary devices untuk menopang kelemahan dalam menyampaikan gagasan di depan forum. Dalam konteks politik, pencitraan akan berdampak pada tidak sampainya gagasan-gagasan ideologis, karena merasa sudah cukup dengan citra yang terbentuk pada media.

Contoh Dromologi adalah keinginan untuk segera mendapatkan hasil dalam waktu yang singkat dan jumlah yang besar. Proses permenungan menjadi fase yang diabaikan. Yang diharapkan adalah segera mendapatkan dan segera menghasilkan. Gagasan-gagasan pemikiran Islam yang seharusnya melalui tahapan kontemplasi agar mutajassad dalam pemikiran dan perasaan, dipacu, diperas dan dikemas dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jika perlu disokong oleh suara sound system yang menggelegar dan pembicara yang berteriak memekik lantang, bukan dengan argumentasi yang membangun pola fikir dan pembicara yang yang berbicara ahsan. Salah satu uslub Kapitalisme yang sangat digemari dalam frame dromologi ini adalah apa yang awalnya disebut dengan Achievement Motivation Training yang dikenalkan oleh Dale Carnegie tahung 1940 untuk menopang salah satu uslub transaksi dalam Kapitalisme yang dikenal dengan istilah Multilevel Level Marketing.

Adapun contoh Libidonomic dalam dakwah adalah pemanfaatan jejaring untuk kepentingan finansial pihak-pihak tertentu. Berulang-kali terdengar (digerakan dakwah manapun) adanya oknum-oknum yang memanfaatkan budaya tsiqah pada pimpinan untuk mengeruk keuntungan finansial. Baik secara terang-terangan, seperti mengumpulkan iming-iming investasi sulapan, maupun secara halus semacam penerbitan buku demi keuntungan bukan demi kecerdasan. Kalau perlu nama shahabat Abdurrahman bin Auf Ra diseret sebagai landasan argumentasi historis. Libidonomic ini akan menjangkiti para pelaku dakwah saat keinginan terhadap materi melebihi kebutuhan yang seharusnya dipenuhi. Rayuan manis kenikmatan Kapitalisme pada akhirnya akan menggerus militansi, menghambat peningkatan kompetensi dan mengacaukan penempatan prioritas aktivitas diri.

Pada akhirnya, bila dampak Islam Sinkretis masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai dan neo sinktretisasi menjadi ancaman baru yang tidak disadari, maka proyek-proyek reIslamisasi [Istinafil Hayatil Islam] akan menghadapi dua jenis tantangan kebudayaan yang terus menghadang. Disinilah kemudian kerja-kerja pemikiran menjadi tuntutan dan perhatian dibanding aktivitas hingar-bingar. Mengapa ? Karena re Islamisasi disamping dari sudut pandang politik bermakna tathbiq ahkamul Islam, namun dari sisi kebudayaan reIslamisasi bermakna menyematkan identitas baru (meskipun dari sumber yang lama) pada masyarakat yang sudah lama mengalami kegalaua dan kegamangan identitas. Jelas itu kerja pemikiran.

Wallahu ‘alam bishshowab Panatagama, Bantul, Maret 2013

8

Page 9: Dinamika Dibalik Kontroversi Gelar Khalifatullah.docx

DAFTAR BACAAN

Moertono,S, Negara dan Usaha Bina-negara di Jawa Masa Lampau, Yayasan Obor Indonesia, 1985

Moedjanto,G, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Kanisius,1987

Adas, Michael, Ratu Adil Tokoh dan gerakan Melinarian Menetang Kolonialisme Eropa, Rajawali Press,

1988

Graaf, HJD, Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung, Grafitipress, 1990

Alfian,TI, Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, Gadjah Mada University Press, 1992

Ricklefs, MC, War, Culture and Economy in Java 1677-1726, Allen and Unwin Pty Ltd, 1993

Ambari, HM, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Logos, 1998

Hutomo, SS, Sinkretisme Jawa Islam, Yayasan bentang Budaya, 2001

Djamhari, SA, Strategi Menaklukan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830, Komunitas Bambu, 2003

Pilliang, YA, Transpolitika Dinamika Politik di dalam Era Virtual, Jalasutra, 2005

Ricklefs, MC, Mystic Synthesis in Java, Eastbridge, 2006

Ricklefs, MC, Polarising Javanese Society, National University Singapore, 2007

Simon, H, Misteri Syekh Siti Jenar Peran Walisongo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa, 2008

Lombard, D, Nusa Jawa Silang Budaya, Gramedia, 2008

Tjandrasasmita,U, Arkeologi Islam Nusantara, KPG, 2009

Syahid, A, Pemikiran Politik dan Tendensi Kuasa Raja Ali Haji, Depag RI, 2009

Ricklefs, MC, Islamisation and Its Opponents in Java c1930 to the present, National University Singapore,

2012

Carey, P, Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, KPG, 2012

Haq, MZ, Nasionalisme Religius Kasultanan Mataram, Kreasi Wacana, 2012

9