digital 20351564 pr tiya yulia

Upload: anna-evie-anii

Post on 02-Nov-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

askep

TRANSCRIPT

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN

    KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN

    PADA IBU SM (87 TAHUN) DENGAN MASALAH

    HAMBATAN MOBILITAS FISIK DI WISMA CEMPAKA

    SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI CIBUBUR

    KARYA ILMIAH AKHIR

    TIYA YULIA

    1006823583

    FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

    PROGRAM STUDI PROFESI

    DEPOK JULI 2013

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN

    KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN

    PADA IBU SM (87 TAHUN) DENGAN MASALAH

    HAMBATAN MOBILITAS FISIK DI WISMA CEMPAKA

    SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI CIBUBUR

    KARYA ILMIAH AKHIR

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

    TIYA YULIA

    1006823583

    FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

    PROGRAM STUDI PROFESI

    DEPOK JULI 2013

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan

    kasih karunia-NYA, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini, guna

    memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners pada Fakultas Ilmu

    Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan

    bimbingan dari berbagai pihak, sulit bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah

    akhir ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

    (1) Ibu Dewi Irawati, MA, Ph.D., selaku dekan Fakultas Ilmu Keperawatan

    Universitas Indonesia

    (2) Ibu Riri Maria, SKp., MANP selaku koordiantor profesi keperawatan

    (3) Ibu Ns. Dwi Nurviyandari K.W., S.Kep., MN. selaku dosen pembimbing

    yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya

    dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini

    (4) Pihak manajemen Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur yang telah

    banyak membantu dalam usaha memperoleh data yang saya perlukan

    (5) Orang tua dan keluarga saya, yang selalu mendoakan dan meridhoi setiap

    langkah saya dalam mencapai cita dan harapan saya yang tinggi

    (6) Suami dan anak-anak saya tercinta yang telah memberikan dukungan moril

    dan materil sehingga saya bisa tetap melanjutkan program profesi

    keperawatan ini hingga akhir.

    (7) Teman-teman kelompok gerontik program profesi 2012 khususnya Wisma

    Cempaka STW KB (Kak Evi, Ruby, Sherly, Asty, Leli, Nindy, Dani, Betty)

    Cibubur yang telah memberikan bantuan dan pengertiannya sehingga saya

    bisa menyelesaikan karya ilmiah akhir ini tepat pada waktunya.

    Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala

    kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah ini membawa

    manfaat bagi pengembangan ilmu.

    Depok, Juli 2013

    Penulis

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • vi

    ABSTRAK

    Nama : Tiya Yulia

    Program studi : Program Profesi Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan

    Universitas Indonesia

    Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan

    Masyarakat Perkotaan Pada Ibu SM (87 tahun) dengan

    Masalah Hambatan Mobilitas Fisik di Wisma Cempaka

    Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur.

    Pada lansia terjadi perubahan semua sistem tubuh, diantaranya adalah sistem

    muskuloskeletal yang melibatkan otot, tulang, dan sendi yang sangat

    mempengaruhi mobilitas pada lansia itu sendiri. Dengan adanya proses penuaan

    maka mobilitas pada lansia mengalami hambatan. Latihan rentang gerak (ROM)

    merupakan salah satu latihan yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan

    mobilitas fisik pada lansia. Tujuan penulisan ini untuk memberikan gambaran

    analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan dengan

    masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia di Sasana Tresna Werdha Karya

    Bhakti Cibubur. Pihak pemberi layanan kesehatan lansia harus terus

    meningkatkan pelayanan berupa latihan rentang gerak secara teratur dan bertahap

    disertai dengan evaluasi yang berkelanjutan.

    Kata Kunci : Lansia, mobilitas, ROM

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • vii

    ABSTRACT

    Name : Tiya Yulia

    Study Programme : Profession Nursing Program Faculty of Nursing

    University of Indonesia

    Tittle : Practicing Analysis in Urban Community Health Nursing

    Clinic Occured in Mrs. SM (87 years) with Physical

    Mobility Impairment at Wisma Cempaka Sasana Tresna

    Werdha Karya Bhakti Cibubur

    On elderly occuring changes all body systems, including the musculosceletal

    syetem, that involves the muscles, bones, and joints are deeply influence the

    mobility in the elderly. As the aging process and the mobility of the elderly

    experience barriers. Range of motion (ROM) is one of the exercises that can be

    done to overcomed the obstacles of physical mobility in the elderly. The purpose

    of this writing is to provide and analysis of the practice of urban community

    health nursing clinics with physical mobility impairment on the elderly in Sasana

    Tresna Werdha Kaya Bhakti Cibubur. The elderly health care givers should be

    continue to improve with range of motion exercises regularly and gradually

    accompanied by continous evaluation.

    Keywords : Elderly, Mobility, ROM

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ ii

    HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii

    KATA PENGANTAR ................................................................................. iv

    HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

    ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ....................................... v

    ABSTRAK ................................................................................................. vi

    DAFTAR ISI .............................................................................................. viii

    DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................

    BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 4 1.3 Tujuan Penulisan .................................................................. 5

    1.3.1 Tujuan Umum .......................................................... 5

    1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................... 5

    1.4 Manfaat Penulisan ................................................................ 5 1.4.1 Manfaat bagi Instansi Pelayanan Keperawatan

    Kesehatan Lansia ................................................................... 5

    1.4.2 Manfaat bagi Institusi Pendidikan Keperawatan .......... 5

    1.4.3 Manfaat bagi Karya Ilmiah Selanjutnya ...................... 5

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 7

    2.1 Proses Penuaan ..................................................................... . 7

    2.2 Mobilisasi ............................................................................ 8

    2.2.1 Pengertian Mobilisasi ................................................ 8

    2.2.2 Jenis Mobilitas .......................................................... 9

    2.3 Hambatan Mobilitas Fisik .................................................... 9

    2.3.1 Tanda dan Gejala Hambatan Mobilitas Fisik ........... 10

    2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas.................................. 10

    2.5 Perubahan Sistem Muskuloskeletal Pada Lansia ................... 11

    2.5.1 Tulang ....................................................................... 11

    2.5.2 Otot ........................................................................... 11

    2.5.3 Sendi ......................................................................... 13

    2.5.4 Sistem Persyarafan .................................................... 13

    2.5.5 Jaringan Ikat .............................................................. 14

    2.6 Pengaruh Patologis Pada Mobilisasi...................................... 14

    2.7 Penatalaksanaan .................................................................... 16

    2.7.1 Rencana Asuhan keperawatan Pada Residen dengan

    Gangguan Sistem Muskuloskeletal ........................................ 16

    2.7.2 Intervensi Medis ........................................................ 19

    2.7.3 Intervensi Latihan Rentang Gerak Sendi (ROM) ........ 20

    2.8 Konsep Nursing Home.......................................................... 23

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA................................. 26

    3.1 Pengkajian ........................................................................... . 26

    3.1.1 Identitas Diri ................................................................ 26

    3.1.2 Aktifitas Sehari-hari .................................................... 26

    3.1.3 Hasil Pemeriksaan Fisik.............................................. 28

    3.2 Analisa Data ......................................................................... . 30

    3.3 Intervensi Keperawatan .......................................................... 31

    3.3.1 Hambatan Mobilitas Fisik .......................................... 31

    3.3.2 Gaya Hidup Kurang Gerak ......................................... 32

    3.3.3 Risiko Jatuh ................................................................ 33

    3.4 Implementasi Keperawatan .................................................... 34

    3.5 Evaluasi .................................................................................. 37

    BAB 4 ANALISIS SITUASI ................................................................... 40

    4.1 Profil Lahan Praktek ............................................................. . 40

    4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik ..... . 42

    4.3 Analisis Inovasi ROM bagi Lansia dengan Hambatan Mobilitas

    Fisik .................................................................................... . 43

    4.4 Alternatif Pemecahan Masalah ............................................. . 45

    BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 46

    5.1 Kesimpulan .......................................................................... . 46

    5.2 Saran ....................................................................................... 47

    DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1: Form Pengkajian Geriatric Depression Scale (GDS)

    Lampiran 2: Form PengkajianMini Mental State Examination (MMSE)

    Lampiran 3: Form Pengkajian Tingkat Kemandirian Indeks Katz

    Lampiran 4: Form Pengkajian Resiko Jatuh: Morse Fall Scale (MFS)

    Lampiran 5: Form Pengkajian Berg Balance Test (BBT)

    Lampiran 6: Form Rentang Pergerakan Sendi

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 1

    Universitas Indonesia

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Proses penuaan pada lansia diantaranya mengalami penurunan diberbagai sistem

    tubuh yang meliputi beberapa aspek baik biologis, fisiologis, psikososial, maupun

    spiritual merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multidimensial (Stanley

    & Beare, 2007). Salah satu penurunan tersebut adalah adanya kehilangan total

    massa tulang progresif yang menyebabkan kemungkinan adanya gangguan pada

    aktivitas fisik, perubahan hormonal dan reabsorpsi tulang aktual, terjadinya

    perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan dan kontraksi

    otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan relaksasi serta

    kerja fungsional. Pengaruh kehilangan tulang diantaranya tulang menjadi lemah,

    tulang belakang lebih lunak dan tertekan, tulang panjang kurang resisten untuk

    membungkuk (Lueckenotte dalam Potter & Perry, 2005). Selain itu, lansia

    mengalami perubahan status fungsional sekunder akibat perubahan status

    mobilisasi. Perubahan fisiologis ini bervariasi pada setiap lansia dan bukan proses

    patologis.

    Perubahan ini terjadi pada semua orang tetapi pada kecepatan yang berbeda dan

    tergantung keadaan dalam kehidupan. Pada usia 90-an, 32% wanita dan 17% laki-

    laki mengalami patah tulang panggul dan 12-20% meninggal karena komplikasi.

    Massa tulang menurun 10% dari massa puncak tulang pada usia 65 tahun dan

    20% pada usia 80 tahun. Pada wanita, kehilangan massa tulang lebih tinggi, kira-

    kira 15-20% pada usia 65 tahun dan 30% pada usia 80 tahun. Laki-laki kehilangan

    massa tulang sekitar 1% pertahun sesudah usia 50 tahun, sedangkan wanita mulai

    kehilangan massa tulang pada usia 30-an tahun, dengan laju penurunan 2-3%

    pertahun sesudah menopouse (Karim, 2002).

    Kehilangan massa tulang ini juga bervariasi terutama ditentukan oleh domisili

    lansia, dimana dari segi fisik, psikososial dan sosioekonomi keadaan lansia di kota

    tidak lebih baik dibandingkan lansia di desa. Lansia dengan banyak beraktifitas

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 2

    Universitas Indonesia

    fisik dan teratur berolah raga yang kebanyakan lansia tinggal di desa terbukti lebih

    sehat, kekuatan otot lebih terjaga. Dari segi penerimaan kehidupan dan

    penerimaan sosial terhadap lansia, kehidupan di desa masih bertahan pola-pola

    kehidupan kekerabatan yang menekankan pada keluarga luas maupun interaksi

    sosial yang intensif sehingga tidak terjadi pemisahan dan alienasi orang lanjut usia

    secara mencolok. Lansia menempati kedudukan sosial dalam menjalankan

    sejumlah peranan, serta mempunyai fungsi sosial tertentu dalam kehidupan

    masyarakat. Lansia yang sudah tidak mampu bekerja dan mengurus dirinya

    sendiri tetap diterima di lingkungan keluarga dan tidak diserahkan pada perawatan

    RS atau panti wreda secara penuh (Indriana, 2005).

    Tuntutan kehidupan masa kini, seperti kehidupan perkotaan menimbulkan

    pandangan tentang pentingnya kemandirian orang tua dari ketergantungan pada

    anak sehingga banyak orang tua yang tinggal terpisah dari anaknya. Sebagian

    masyarakat beranggapan bahwa lansia tidak lagi mempunyai peran atau fungsi

    apapun dalam masyarakat. Hal ini didasarkan pada kondisi lansia yang cenderung

    lemah, tidak dinamis, pelupa dan tidak dapat melakukan beberapa aktivitas tanpa

    bantuan orang lain (Indriana, 2005).

    Sasana tresna werda yang berarti tempat menyayangi/mencintai orang tua

    merupakan salah satu pemecahan masalah yang dihadapi kelompok usia lanjut di

    perkotaan dalam menapaki hari akhir kehidupannya yang bertujuan untuk

    mempertahankan identitas kepribadiannya, memberikan jaminan kehidupan secara

    wajar baik jaminan fisik, kesehatan maupun sosial psikologis. Sasana Tresna

    Werdha Karya Bakti Ria Pembangunan Cibubur tempat penulis praktik selama 7

    minggu, merupakan sasana yang menjadi pilihan banyak lansia dimana banyak

    sekali kegiatan dilakukan secara rutin diantaranya kegiatan senam relaksasi,

    senam bugar lansia dan kegiatan-kegiatan lainnya yang sangat bermanfaat

    khususnya bagi lansia yang mempunyai masalah dalam mobilitas fisik karena

    dilakukan secara berkelanjutan sehingga diharapkan otot lansia menjadi lebih

    kuat. Kegiatan-kegiatan tersebut diadakan bergantian dalam satu minggu sehingga

    lansia mempunyai kesempatan yang besar untuk mengikuti semua kegiatan tanpa

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 3

    Universitas Indonesia

    ada keluhan rasa lelah. Namun, kegiatan yang dilakukan tidak lama sehingga tetap

    diperlukan suatu latihan fisik yang harus dilakukan lansia diluar jam kegiatan

    sasana seperti waktu sore hari atau malam hari sebelum tidur.

    Salah satu penghuni sasana, Ibu S.M. (87 tahun) mengeluh tidak bisa berdiri

    secara mandiri dan harus berpegangan pada handrail sejak dilakukan operasi

    tulang femur dextra sekitar tahun 1998 dan 2008-an, dan selama di STW, dalam

    pemenuhan kebutuhan sehari-hari, residen dibantu oleh caregiver begitupun

    dalam mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan STW, residen sangat

    tergantung kepada caregiver. Selama ini, residen melakukan mobilitas dengan

    menggunakan kursi roda, walaupun sebenarnya residen mampu untuk melakukan

    aktifitas fisik seperti berjalan secara perlahan dan berdiri dengan berpegangan.

    Untuk itu diperlukan suatu arahan dan motivasi bagi residen dalam meningkatkan

    dan mempertahankan kekuatan fisik terutama otot yang residen miliki agar tidak

    adanya penurunan sehingga residen menjadi lebih mandiri dan berkualitas dalam

    menjalani kehidupan di sasana.

    Partisipasi lansia dalam aktivitas fisik yang teratur atau program latihan fisik yang

    terstruktur sangat disarankan dan mempunyai banyak manfaat. Perbaikan cara

    berjalan, keseimbangan, kapasitas fungsional tubuh secara umum, dan kesehatan

    tulang dapat diperoleh melalui latihan. Tulang, sendi dan otot saling terkait. Jika

    sendi tidak dapat digerakkan sesuai dengan ROM-nya maka gerakan menjadi

    terbatas sehingga fleksibilitas menjadi komponen esesnsial dari program latihan

    bagi lansia. Jika suatu sendi tidak digunakan, maka otot yang melintasi sendi akan

    memendek dan mengurangi ROM. Latihan fleksibilitas dapat meningkatkan

    kekuatan tendon dan ligamen, mempertahanakan kekuatan otot yang melintasi

    sendi, mengurangi nyeri pada kasus osteoartritis sehingga ROM bisa

    dipertahankan. Rentang sendi (ROM) yang memadai pada semua bagian tubuh

    sangat penting untuk mempertahankan fungsi muskuloskeletal, keseimbangan dan

    kelincahan pada lansia. Latihan fleksibilitas dirancang dengan melibatkan setiap

    sendi-sendi utama (panggul, punggung, bahu, lutut dan leher). Latihan

    fleksibilitas adalah aktivitas untuk membantu mempertahankan rentang gerak

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 4

    Universitas Indonesia

    sendi (ROM), yang diperlukan untuk mempertahankan aktivitas fisik dan tugas

    sehari-hari secara teratur (Depkes, 1995).

    Berdasarkan gambaran latar belakang di atas, dalam laporan ini penulis akan

    menggambarkan pengelolaan kasus Residen S.M. dengan masalah hambatan

    mobilitas fisik yang dilakukan selama 7 minggu dengan menerapkan konsep dan

    teori keperawatan gerontik melalui penerapan latihan fleksibilitas (ROM) secara

    rutin di Sasana Tresna Werdha YKB Ria Pembangunan, Cibubur.

    1.2. Rumusan Masalah

    Seiring dengan bertambahnya waktu dan usia, maka manusia akan mengalami

    penurunan pada semua fungsi tubuh, salah satunya kekuatan otot yang dapat

    digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Adanya penurunan pada

    kekuatan otot tadi dapat menyebabkan hambatan mobilitas fisik sehingga lansia

    harus tergantung kepada orang lain dan tidak adanya kemandirian dalam

    pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Lansia dengan kehidupan yang sehat dan

    kekuatan yang maksimal dalam melaksanakan berbagai aktivitas secara mandiri

    akan meningkatkan derajat kesehatan dan rasa percaya diri pada lansia itu sendiri,

    oleh karena itu kekuatan fisik pada lansia harus tetap ditingkatkan melalui latihan

    fisik dan ROM yang harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.

    1.3. Tujuan Penulisan

    1.3.1. Tujuan Umum :

    Memberikan gambaran analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat

    perkotaan pada Ibu S.M. dengan masalah hambatan mobilitas fisik selama 7

    minggu di Wisma Cempaka STW YKB Ria Pembangunan Cibubur.

    1.3.2. Tujuan Khusus :

    Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi :

    1. Menggambarkan profil pelayanan lansia di STW YKB Ria Pembangunan

    2. Menggambarkan latihan fisik dan ROM pada residen dalam mengatasi

    masalah hambatan mobilitas tinggi

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 5

    Universitas Indonesia

    3. Menggambarkan hasil pengkajian dari residen dengan masalah hambatan

    mobilitas fisik di Wisma Cempaka

    4. Menggambarkan diagnosis dan rencana asuhan keperawatan pada residen

    dengan hambatan mobilitas fisik di Wisma Cempaka

    5. Menggambarkan implementasi yang diberikan kepada residen dengan

    hambatan mobilitas tinggi

    6. Menggambarkan evaluasi hasil implementasi yang telah diberikan kepada

    residen

    1.4. Manfaat penulisan

    1.4.1. Manfaat bagi Instansi Pelayanan Keperawatan Kesehatan Lansia :

    Bagi semua pemberi pelayanan di STW YKB Ria Pembangunan dapat dijadikan

    sebagai tambahan pengetahuan baru dalam merawat dan menerapkan asuhan

    keperawatan pada lansia dengan pendekatan teori keperawatan gerontik dan

    diharapkan adanya peningkatan kualitas hidup dari lansia sehingga tercapai suatu

    kehidupan lansia yang sejahtera terutama dalam hal fisik dengan adanya

    peningkatan tingkat kemandirian lansia dan penurunan ketergantungan lansia baik

    pada caregiver ataupun pemberi pelayanan di STW YKB Ria Pembangunan.

    1.4.2. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan

    Dapat memberikan ide dan informasi data-data mengenai perkembangan lansia

    yang tinggal di sasana sehingga menjadi suatu pijakan dalam memberikan arahan

    pelaksanan asuhan keperawatan gerontik dan sebagai tambahan ilmu bagi penulis

    lainnya dalam hal permasalahan yang terjadi pada lansia dan penatalaksanaannya

    melalui pendekatan teori dan konsep keperawatan gerontik.

    1.4.3. Manfaat Bagi Karya Ilmiah Selanjutnya

    Dapat dijadikan data dasar dan tambahan informasi bagi peneliti dalam hal

    keadaan dan permasalahan lansia terutama kondisi fisik sehingga diharapkan

    dapat ditemukannya suatu metode dan tata laksana lain yang dapat diterapkan

    sebagai tambahan intervensi pada lansia dengan hambatan mobilitas fisik yang

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 6

    Universitas Indonesia

    pada akhirnya bertujuan pada peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup lansia

    tanpa adanya ketergantungan yang tinggi pada orang lain.

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 7

    Universitas Indonesia

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Proses Penuaan

    Masa dewasa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara usia 65 dan 75

    tahun. Jumlah kelompok usia ini meningkat drastis dan ahli demografi

    memperhitungkan peningkatan populasi lansia sehat terus meningkat sampai abad

    selanjutnya (Potter & Perry, 2005). Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO),

    usia lanjut meliputi: usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45 sampai

    59 tahun, usia lanjut (erderly) antara 60 sampai 74 tahun, usia tua (old) antata 75

    sampai 90 tahun dan usia sangat tua (veryold) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008).

    Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 yang termuat dalam Bab 1 Pasal

    1 Ayat 2, yang disebut usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60

    tahun ke atas, baik pria maupun wanita (Nugroho, 2008).

    Menua adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan

    untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya

    sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang

    diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus secara alamiah

    dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup (Bastaman,

    2000). Proses menua adalah proses sepanjang hidup, yang dimulai sejak

    permulaan kehidupan, sehingga merupakan proses alamiah yang berarti seseorang

    telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa, dan tua (Nugroho, 2008).

    Salah satu teori menua yaitu teori biologis, yang mencoba untuk menjelaskan

    proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi dan struktur, pengembangan,

    panjang usia dan kematian. Perubahan-perubahan dalam tubuh termasuk

    perubahan molekular dan seluler dalam sistem organ utama dan kemampuan

    tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit. Teori biologis juga

    mencoba untuk menjelaskan mengapa orang mengalami penuaan dengan cara

    yang berbeda dari waktu ke waktu dan faktor apa yang mempengaruhi umur

    panjang, perlawanan terhadap organisme, dan kematian atau perubahan seluler

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 8

    Universitas Indonesia

    (Stanley & Beare 2007). Teori ini lebih menekankan pada perubahan kondisi

    tingkat struktural sel/organ tubuh, termasuk di dalamnya adalah pengaruh agen

    patologis. Fokus dari teori ini adalah mencari determinan-determinan yang

    menghambat proses penurunan fungsi organisme yang dalam konteks sistemik

    dapat mempengaruhi atau memberikan dampak terhadap organ/sistem tubuh

    lainnya dan berkembang sesuai dengan peningkatan usia kronologis (Hayflick,

    1997 dalam Mujahidullah, 2012). Diantara perubahan itu terdapat perubahan

    pada muskuloskeletal dimana pada lansia terjadi penurunan tinggi badan,

    redistribusi massa otot dan lemak subkutan, peningkatan porositas tulang, atrofi

    otot, pergerakan yang lambat, pengurangan kekuatan, dan kekakuan sendi-sendi

    (Stanley & Beare, 2007). Perubahan sistem muskuloskeletal merupakan hal yang

    wajar dan dialami oleh setiap lansia yang menyebabkan berbagai kondisi seperti

    perubahan penampilan, kelemahan, dan melambatnya pergerakan.

    2.2. Pengertian Mobilisasi

    Mobilisasi adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi

    seseorang. (Miller, 2012). Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk

    bergerak dengan bebas (Perry & Poter, 2005). Mobilitas merupakan salah satu

    aspek yang terpenting dalam fungsi fisiologis karena hal itu diperlukan untuk

    mempertahankan kemandirian (Miller, 2012). Aktivitas, mobilitas dan fleksibilitas

    merupakan bagian integral gaya hidup seseorang.

    Sistem dalam tubuh manusia dapat mempengaruhi sistem lain dan erat kaitannya

    dengan sistem muskuloskeletal karena tulang, sendi dan otot merupakan unsur

    pembentuk sistem mobilisasi (Miller, 2012). Mobilisasi mempunyai banyak

    tujuan, seperti mengekspresikan emosi dengan gerakan nonverbal, pertahanan

    diri, pemenuhan kebutuhan dasar, aktivitas hidup sehari-hari dan kegiatan

    rekreasi. Dalam mempertahankan mobilitas fisik secara optimal maka sistem

    saraf, otot, dan skeletal harus tetap utuh dan berfungsi dengan baik (Potter & Pery,

    2005).

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 9

    Universitas Indonesia

    2.2.1. Jenis Mobilitas

    Jenis mobilitas ada beberapa macam diantaranya (Carpenito, 2009) mobilitas

    penuh, mobilitas sebagian temporer dan mobilitas sebagian permanen. Mobilitas

    penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas

    sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari.

    Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk

    dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.

    Mobilitas sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan

    batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh

    gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai

    pada kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi. Mobilitas

    sebagian ini ada dua macam, mobilitas sebagian temporer, dimana kemampuan

    individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut

    dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal, seperti

    adanya dislokasi sendi dan tulang dan mobilitas sebagian permanen, yang

    merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya

    menetap. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang

    reversibel. Contoh hemiplegi karena stroke, paraplegi karena cedera tulang

    belakang.

    2.3. Hambatan Mobilitas Fisik

    Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keadaan ketika individu mengalami

    keterbatasan atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik, tetapi bukan

    imobilitas. Hambatan mobilitas fisik menggambarkan kondisi individu dengan

    keterbatasan penggunaan lengan atau tungkai atau keterbatasan kekuatan otot

    (Carpenito, 2009), sedangkan menurut NANDA (2012) bahwa hambatan

    mobilitas fisik merupakan keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau

    lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah.

    Pada lansia, hambatan mobilitas fisik sering terjadi berawal karena adanya suatu

    gejala atau penyakit pada tulang seperti osteoporosis hingga menyebabkan lansia

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 10

    Universitas Indonesia

    terjatuh dan timbulnya fraktur (Pujiastuti, 2003). Dtambahkan pula bahwa

    osteoporosis terjadi karena ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan

    pembentukan tulang. Sedangkan densitas mineral tulang berkurang sehingga

    tulang menjadi lebih keropos dan mudah patah walaupun dengan trauma minimal.

    Kondisi tersebut akan meningkatkan kemungkinan lansia mempunyai masalah

    dalam mobilitas fisiknya.

    2.3.1. Tanda dan Gejala Hambatan Mobilitas Fisik

    NANDA (2012), menyebutkan bahwa batasan karakteristik dari adanya hambatan

    mobilitas fisik diantaranya : penurunan waktu reaksi menyebabkan lansia akan

    mengalami perlambatan dalam merespon sesuatu, kesulitan membolak-balik

    posisi sehingga jika lansia telah berada pada posisi tertentu pada kursi roda maka

    akan terus dalam keadaan seperti itu, melakukan aktivitas lain sebagai pengganti

    pergerakan (misal dengan meningkatkan perhatian pada aktivitas orang lain),

    dipsnea setelah beraktivitas sehingga lansia cepat capek, perubahan cara berjalan,

    gerakan bergetar, keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik

    halus, keterbatasan rentang pergerakan sendi, tremor akibat pergerakan,

    ketidakstabilan postur yang mempengaruhi cara berjalan, pergerakan lambat,

    pergerakan tidak terkoordinasi. Faktor yang berhubungan penurunan ketahanan

    tubuh, penurunan kendali otot, penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot,

    disuse, kaku sendi.

    2.4. Faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas

    Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mobilitas pada lansia diantaranya gaya

    hidup, dimana hal ini merupakan kebiasaan sehari-hari yang berlangsung secara

    terus menerus dari usia muda sehingga akan menjadi suatu perilaku lansia dan

    pada akhirnya akan berdampak pada kemampuan mobilitas fisik, begitupun lansia

    yang mempunyai gaya hidup dengan tingkat aktivitas yang tinggi akan

    mempengaruhi kemampuan mobilitas fisiknya. Adanya proses penyakit/cedera

    mempengaruhi fungsi sistem tubuh seperti seseorang yang telah mengalami

    fraktur femur akan mengalami keterbatasan dalam ekstrimitas bagian bawah.

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 11

    Universitas Indonesia

    Osteoporosis juga merupakan suatu kondisi yang menyebabkan sulitnya lansia

    untuk bergerak karena adanya pengeroposan tulang sehingga tulang mudah patah

    Faktor kebudayaan juga dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas seseorang,

    jika aktifitas lansia terbiasa dengan berjalan jauh akan mempunyai kemampuan

    mobilitas yang kuat. Tingkat energi mempengaruhi kekuatan mobilitas, jika

    energi yang tersedia banyak, maka mobilitas dapat tinggi begitupun sebaliknya,

    mobilitas akan kecil jika tidak ada ketersediaan energi. Mobilitas juga sangat

    dipengaruhi oleh usia perkembangan seseorang dimana semakin besar usia dan

    perkembangan maka mobilitas juga akan menjadi tinggi.

    2.5. Perubahan Sistem Muskuloskeletal Pada Lansia

    Lansia mengalami perubahan pada anatomi dan fisiologi tubuhnya, yang

    menyebabkan penurunan fungsi sistem tubuh. Fungsi mobilisasi manusia

    dihubungkan pada tiga hal yakni tulang, otot dan persendian yang juga didukung

    oleh sistem saraf. Penurunan atau perubahan tersebut mempengaruhi kemampuan

    mobilisasi pada lansia (Kim et al, 1995 dalam Perry & Poter, 2005).

    2.5.1. Tulang

    Tulang menyediakan kerangka kerja untuk sistem muskuloskeletal dan bekerja

    sama dengan sistem otot untuk membuat suatu pergerakan (Exton-Smith, 1985,

    Riggs and Melton, 1986 dalam Miller 2012). Fungsi lain dari tulang adalah

    sebagai tempat penyimpanan kalsium, produksi sel-sel darah serta melindungi

    jaringan dan organ tubuh. Pertumbuhan tulang mencapai kematangan di masa

    dewasa awal. Proses penyerapan kalsium dari tulang untuk mempertahankan

    kalsium darah yang stabil dan penyimpanan kembali kalsium untuk membentuk

    tulang baru dikenal sebagai remodelling dan terjadi sepanjang rentang kehidupan

    manusia (Stanley & Beare, 2007).

    Perubahan yang berkaitan dengan proses menua yang mempengaruhi renovasi ini

    meliputi: peningkatan resorpsi tulang, penyerapan kalsium berkurang,

    peningkatan hormon paratiroid serum, gangguan regulasi aktivitas osteoblas,

    gangguan pembentukan tulang sekunder untuk mengurangi produksi osteoblas

    dari matrix tulang, dan penurunan jumlah sel sumsum karena untuk penggantian

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 12

    Universitas Indonesia

    sumsum dengan isi lemak, serta penurunan estrogen pada perempuan dan

    testosteron pada laki-laki. Faktor yang dapat mempengaruhi remodelling tulang

    dan biasa terjadi pada dewasa tua adalah hipertiroid, penurunan tingkat aktivitas,

    COPD, defisiensi kalsium dan vitamin D dan terapi medis seperti glukokortiroid

    dan anticonvulsant. (Exton-Smith, 1985, Riggs and Melton, 1986 dalam Miller

    2012).

    2.5.2. Otot

    Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah massa otot tubuh mengalami

    penurunan. Hilangnya lemak subkutan perifer cenderung untuk mempertajam

    kontur tubuh dan memperdalam cekungan di sekitar kelopak mata, aksila, bahu

    dan tulang rusuk. Tonjolan tulang (vertebrae, krista iliaka, tulang rusuk, skapula)

    menjadi bertambah. (Stanley & Beare, 2007).

    Kekuatan muskular mulai merosot sekitar usia 40 tahun, dengan suatu

    kemunduran yang dipercepat setelah usia 60 tahun. Perubahan gaya hidup dan

    penurunan penggunaan sistem neuromuskular adalah penyebab utama untuk

    kehilangan kekuatan otot. Kerusakan otot terjadi karena penurunan jumlah serabut

    otot dan atrofi secara umum pada organ dan jaringan tubuh. Regenerasi jaringan

    melambat dengan penambahan usia, dan jaringan atrofi digantikan oleh jaringan

    fibrosa. Perlambatan, pergerakan yang kurang aktif dihubungkan dengan

    perpanjangan waktu kontraksi otot, periode laten, dan periode relaksasi dari unit

    motor dalam jaringan otot (Stanley & Beare, 2007).

    Perubahan terkait penuaan yang berefek pada otot meliputi berkurangnya serabut

    otot (jumlah dan ukuran) yang menyebabkan laju metabolik basal dan laju

    konsumsi oksigen maksimal berkurang sehingga Otot menjadi lebih mudah capek

    dan tidak mampu mempertahankan aktivitas serta kecepatan kontraksi akan

    melambat, tergantinya serabut otot dengan jaringan ikat atau lemak, dan rusaknya

    membran sel otot karena berkurangnya komponen cairan dan potassium di

    dalamnya. Semua aktivitas sehari-hari dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal

    dimana dikontrol oleh neuron. Perubahan otot karena proses menua diantarnya

    adalah akibat pemecahan protein, lansia mengalami kehilangan massa tubuh yang

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 13

    Universitas Indonesia

    membentuk sebagian otot. Semua perubahan diatas disebut kondisi sarkopenia,

    yaitu kehilangan massa otot, kekuatan dan daya tahan otot (Miller, 2012).

    2.5.3. Sendi

    Fungsi muskuloskeletal secara keseluruhan tergantung pada tulang, otot dan

    sendi, namun sendi adalah satu-satunya komponen yang jika digunakan secara

    terus menerus akan menunujukkan efek dan keausan bahkan pada massa dewasa

    awal. Namun, pada kenyataannya proses degeneratif yang mempengaruhi efisiensi

    fungsional sendi mulai terjadi sebelum skeletal matur Beberapa perubahan pada

    persendian seiring penuaan adalah berkurangnya viskositas cairan sinovial,

    degenerasi kolagen dan selelastin, pecahnya struktur fibrosa dalam jaringan

    penghubung, perubahan seluler kartilago karena selalu digunakan secara terus

    menerus, pembentukan jaringan scar dan kalsifikasi di persendian dan jaringan

    penghubung. serta adanya perubahan degenartif pada arteri kartilago menjadi

    retak, robek, dan permukaannya menipis. Akibat dari perubahan itu diantaranya

    adalah gangguan gerakan fleksi dan ekstensi, penurunan fleksibilitas struktur

    fibrosa, berkurangnya gerakan, adanya erosi tulang dan berkurangnya kemampuan

    jaringan ikat (Whitbourne, 1985 dalam Miller, 2012).

    Lansia yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi purin yang terlalu banyak juga

    akan menyebabkan hasil metabolisme asam urat menumpuk di persendian hingga

    bengkak dan terasa nyeri. Asam urat ini seharusnya dikeluarkan bersama urin dan

    feses namun ketika ginjal sudah mengalami penurunan fungsi, maka penumpukan

    asam urat akan bertambah parah (Mujahidullah, 2012).

    Secara umum, terdapat kemunduran kartilago sendi, sebagian besar terjadi pada

    sendi-sendi yang menahan berat, dan pembentukan tulang dipermukaan sendi.

    Komponen-komponen kapsul sendi pecah dan kolagen yang terdapat pada

    jaringan penyambung meningkat secara progresif yang jika tidak dipakai lagi,

    mungkin menyebabkan inflamasi, nyeri, penurunan mobilitas sendi dan

    deformitas (Stanley & Beare, 2012).

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 14

    Universitas Indonesia

    2.5.4. Sistem Persyarafan

    Mempertahankan keseimbangan pada posisi tegak merupakan suatu keterampilan

    yang kompleks pada sistem saraf yang dipengarui oleh proses penuaan. Perubahan

    kemampuan visual, penurunan refleks cepat, gangguan proprioception terutama

    pada wanita, dan berkurangnya sensasi getar dan sendi pada ekstrimitas bawah.

    Selain itu, proses penuaan pada kontrol postural meningkat pada goyangan tubuh,

    yang dapat mengukur gerakan tubuh ketika berdiri. Akhirnya karena proses

    penuaanterjadi reaksi yang lambat, berjalan lambat dan berkurangnya waktu

    respon terhadap stimulasi lingkungan. Para peneliti telah menemukan bahwa

    dewasa tua dapat belajar untuk mengkompensasi perubahan karena penuaan pada

    sistem saraf pusat untuk pencegahan jatuh (Doumas, Rapp, & Krampe, 2009

    dalam Miller, 2012).

    2.5.5. Jaringan Ikat

    Kelenturan merupakan salah satu komponen dari kebugaran. Jaringan ikat yang

    tidak fleksibel lebih mudah timbul trauma. Pada usia lanjut, dijumpai kehilangan

    sifat elastisitas dari jaringan ikat. Proses disuse dapat menyebabkan pengerutan

    dari jaringan ikat sehingga kurang mampu mengakomodasikan berbagai

    pergerakan. Karena menjadi tidak fleksibel maka kelompok usia lanjut ini kurang

    dapat mentoleransi berbagai pergerakan yang berpotensi membawa kecelakaan

    dan lebih mudah terjatuh. Pada orang dewasa muda, diperkirakan kelenturan,

    kekuatan otot, dan koordinasi merupakan bufer dari kemungkinan trauma,

    tetapi bufer ini jelas berkurang, bahkan hilang pada usia lanjut.

    2.6. Pengaruh Patologis Pada Mobilisasi

    Berjalan, baik di dalam atau di luar rumah, adalah suatu bentuk latihan yang

    sangat baik untuk lansia dan merupakan cara yang sederhana serta dapat

    dilakukan dengan mudah. Apapun aktivitas yang dipilih oleh lansia, hal tersebut

    harus dilakukan secara teratur dan bertahap (Stanley & Beare, 2007). Berjalan

    merupakan latihan yang dapat membantu kekuatan otot, membantu

    mempertahankan fleksibilitas sendi, juga baik untuk sistem peredaran darah dan

    sirkulasi (Ebersole, dalam Touhy dan Jett, 2010).

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 15

    Universitas Indonesia

    Istilah gaya berjalan digunakan untuk menggambarkan cara utama atau gaya

    ketika berjalan Siklus gaya berjalan dimulai dengan tumit mengangkat satu

    tungkai dan berlanjut dengan tumit mengangkat tungkai yang sama. Interval ini

    sama dengan 100% siklus gaya berjalan dan berlangsung 1 detik untuk

    kenyamanan berjalan. (Fish & Nielsen, 1993 dalam Potter & Pery, 2005).

    Gaya berjalan yang normal adalah menggerakkan ekstremitas atas dan bawah

    (kaki dan tangan) secara spontan dan rileks secara menyilang, yaitu langkah kaki

    dan tangan bergantian antara kanan dan kiri yang diikuti dengan kepala, leher dan

    badan yang tegak mengarah ke depan. Lansia sering kali mengalami perubahan

    gaya berjalan dari kondisi normal. Latihan berjalan juga dapat dilakukan pada

    area yang kecil terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan area yang lebih luas,

    dilakukan selama 10 hingga sampai 60 menit sebanyak 3-5 kali seminggu

    (Nurviyandari, 2011). Sedangkan menurut Perry & Potter (2005), menyebutkan

    bahwa postur jalan dengan kepala tegak; vertebrae servikal, thorakal, lumbal

    sejajar; pinggul dan lutut berada dalam keadaan fleksi yang sesuai dan lengan

    bebas mengayun bersama dengan kaki. penyakit atau trauma dapat mengurangi

    toleransi aktivitas, sehingga memerlukan bantuan dalam berjalan. Selain itu,

    kerusakan temporer dan permanen pada sistem muskuloskeletal dan saraf

    memerlukan penggunaan alat bantu untuk berjalan.

    Banyak kondisi patologis yang mempengaruhi kesejajaran tubuh dan mobilisasi.

    Kelainan postur yang didapat atau kongenital mempengaruhi efisiensi sistem

    muskuloskeletal, seperti kesejajaran tubuh, keseimbangan dan penampilan.

    Kelainan postur mengganggu kesejajaran dan mobilisasi atau keduanya. Diantara

    kelainan tubuh meliputi tortikolis yaitu mencondongkan kepala ke sisi yang sakit,

    dimana otot sternokleidomastoideus berkontraksi, lordosis yaitu kurva anterior

    pada spinal lumbal yang melengkung berlebihan, kifosis yaitu peningkatan

    kelengkungan pada kurva spinal torakal, kifolordosis yaitu kombinasi dari kifosis

    dan lordosis, skoliosis yaitu kurvatura spinal lateral, tinggi pinggul dan bahu tidak

    sama, kifoskoliosis yaitu tidak normalnya kurva spinal anteroposterior dan lateral,

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 16

    Universitas Indonesia

    displagia pinggul kongenital yaitu ketidakstabilan pinggul dengan keterbatasan

    abduksi pinggul dan kadang-kadang kontraktur adduksi.

    Kelainan postur yang lain, knok-knee yaitu kurva kaki yang masuk ke dalam

    sehingga lutut rapat jika seseorang berjalan, bowlegs yaitu satu atau dua kaki

    bengkok keluar pada lutut, clubfoot yaitu deviasi medial dan plantar-fleksi kaki

    (95%) dan deviasi lateral dan dorsofleksi (5%), footdrop yaitu plantarfleksi ;

    ketidakmampuan menekuk kaki karena kerusakan saraf peroneal dan pigeon-toes

    yaitu rotasi dalam kaki depan (Potter & Perry, 2005).

    Dengan mengkaji gaya berjalan residen memungkinkan perawat untuk membuat

    kesimpulan tentang keseimbangan, postur, keamanan dan kemampuan berjalan

    tanpa bantuan. Mekanika gaya berjalan manusia mengikuti kesesuaian sistem

    muskuloskeletal, saraf, dan otot dari tubuh manusia (Fish dan Nielson, 1993

    dalam Perry & Potter, 2005).

    2.7. Penatalaksanaan

    2.7.1. Rencana Asuhan Keperawatan pada Residen dengan gangguan sistem

    Muskuloskeletal

    Pengkajian mobilisasi lansia berfokus pada rentang gerak, gaya berjalan, latihan

    fisik, dan toleransi aktivitas serta kesejajaran tubuh. Sedangkan intervensi

    keperawatan yang dilakukan berfokus kepada upaya untuk memperbaiki fungsi

    tubuh dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Perencanaan intervensi terapeutik

    terhadap lansia yang bermasalah dengan mobilisasi sesuai dengan derajat risiko

    lansia, dan perencanaan bersifat individu disesuaikan perkembangan residen,

    tingkat kesehatan dan gaya hidup. Perencanaan perawatan juga termasuk

    pemahaman kebutuhan lansia untuk mempertahankan fungsi motorik dan

    kemandirian. Perawat dan residen bekerja sama membuat cara-cara untuk

    mempertahankan keterlibatan residen dalam asuhan keperawatan dan mencapai

    mobilisasi yang optimal dimana residen berada (Perry & Poter, 2005).

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 17

    Universitas Indonesia

    Stanley & Beare, (2007) menjelaskan bahwa pengkajian keperawatan

    muskuloskeletal memfokuskan pada bagaimana perubahan yang berhubungan

    dengan usia mempengaruhi status fungsional lansia dan hal-hal seperti : tinggi

    badan, berat badan, postur tubuh, dan gaya berjalan memberikan data dasar yang

    dapat mengindikasikan adanya kerusakan otot, obesitas atau edema ; aktivitas dan

    pola istirahat, dimana seseorang yang tidak pernah berolah raga atau

    diikutsertakan dalam aktivitas mungkin memiliki kesukaran dalam memulai suatu

    program latihan di usia lanjut, terutama jika aktivitas tersebut sulit atau

    menyakitkan. Pengkajan diet termasuk asupan kalsium dan vitamin D. Obesitas

    dan malnutrisi dapat memengaruhi mobilitas dan kekuatan otot. Pengobatan,

    termasuk obat-obatan yang dijual bebas.

    Lansia dengan riwayat penggunaan obat relaksan otot, agen antireumatik dapat

    menimbulkan kerusakan pada sistem muskuloskeletal ; kombinasi kemampuan,

    kekuatan dan keseimbangan menentukan kemampuan fungsional residen tersebut;

    cedera masa lalu (misalnya fraktur tulang pinggul) dapat mengindikasikan adanya

    suatu kondisi osteoporosis. Riwayat nyeri sendi, dan kekakuan dan kelemahan

    atau keletihan sering dihubungkan dengan adanya osteoartritis.

    Intervensi yang dilakukan kepada residen berupa pengkajian kekuatan otot secara

    berkala untuk dapat mengetahui intervensi apa yang akan dilakukan. Latihan

    rentang gerak bertujuan agar tercapai rentang gerak normal. Latihan rentang gerak

    yang dilakukan berupa rentang gerak aktif pada ekstremitas atas dan bawah. Hasil

    yang diharapkan dari tindakan rentang gerak adalah residen dapat

    mempertahankan rentang gerak pada sendi ekstremitas atas, residen dapat

    menunjukkan aktivitas perawatan diri secara mandiri atau minimal

    ketergantungan (Perry & Poter, 2005).

    Perawat membuat perencanaan intervensi terapeutik terhadap residen yang

    bermasalah kesejajaran tubuh dan mobilisasi yang aktual maupun risiko. Perawat

    merencanakan terapi sesuai dengan derajat risiko residen, dan perencanaan

    bersifat individu disesuaikan dengan perkembangan residen, tingkat kesehatan

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 18

    Universitas Indonesia

    dan gaya hidup. Perencanaan perawatan juga termasuk pemahaman kebutuhan

    residen untuk mempertahankan fungsi motorik dan kemandirian, perawat dan

    residen bekerja sama membuat cara-cara untuk mempertahankan keterlibatan

    residen dalam asuhan keperawatan dan mencapai kesejajaran tubuh dan mobilisasi

    yang optimal dimana residen berada.

    Rencana asuhan keperawatan didasari oleh satu atau lebih tujuan, yaitu :

    mempertahankan kesejajaran tubuh yang tepat, mencapai kembali kesejajaran

    tubuh yang tepat ataupun pada tingkat yang optimal, mengurangi ceddera pada

    sistem kulit dan muskuloskeletal dari ketidaktepatan mekanika atau kesejajaran,

    mencapai ROM penuh dan optimal, mencegah kontraktur, mempertahankan

    kepatenan jalan napas, mencapai ekspansi paru dan pertukaran gas optimal,

    memobilisasi sekresi jalan napas, mempertahankan fungsi kardioveskuler,

    meningkatkan toleransi aktivitas, mencapai pola eliminasi normal,

    mempertahankan pola tidur normal, mencapai sosialisasi, mencapai kemandirian

    penuh dalam aktivitas perawatan diri dan mencapai stimulasi fisik dan mental

    Perry& Poter, 2005).

    Untuk menjamin residen mendapatkan latihan yang rutin, perawat harus membuat

    jadwal pada waktu tertentu, mungkin bersamaan dengan aktivitas keperawatan

    lain, seperti saat memandikan residen. Hal ini memungkinkan perawat untuk

    mengkaji secara sistematik dan meningkatkan rentang gerak residen. Kecuali

    kontraindikasi, rencana keperawatan harus meliputi menggerakkan ekstremitas

    residen dengan rentang gerak penuh. Pergerakan dilakukan dengan lembut dan

    tidak menyebabkan nyeri. Perawat tidak memaksakan seni melebihi

    kemampuannya. Setiap gerakan diulang 5 kali setiap bagian (Perry & Poter,

    2005).

    Evaluasi hasil dan respon dari asuhan keperawatan, perawat mengukur efektifitas

    semua intervensinya. Tujuan dan kriteria hasil adalah kemampuan residen

    mempertahankan atau meningkatkan kesejajaran tubuh dan mpbilisasi sendi.

    Perawat mengevaluasi intervensi khusus yang diciptakan untuk mendukung

    kesejajaran tubuh, meningkatkan mobilisasi dan melindungi residen dari bahaya

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 19

    Universitas Indonesia

    imobilisasi. Dengan mempertahankan kesejajaran tubuh yang baik dan mobilisasi

    serta mencegah bahaya imobilisasi akan meningkatkan kemandirian dan

    mobilisasi secara menyeluruh. Residen yang mobilisasi sendinya tidak adekuat

    harus mendapat bantuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Perry & Poter,

    2005).

    2.7.2. Intervensi Medis

    Estrogen memainkan peran utama dalam memperhatikan integritas tulang pada

    wanita. Kehilangan unsur-unsur tulang terjadi bila kadar estrogen menurun.

    Kehilangan tulang bergantung estrogen terjadi secara cepat selama 5 sampai 10

    tahun setelah menopouse. Pria juga berhadapan dengan risiko mengalami

    kehilangan tulang karena kemunduran fungsi hormonal seiring dengan

    pertambahan usia. Laju penurunan kadar hormon pada pria ini tidak sedramatis

    daripada wanita (Stanley, Beare, 2007).

    Dalam dekade terakhir, penelitian telah menemukan bahwa terapi oral atau

    transdermal estrogen efektif dalam mencegah kehilangan tulang dan mengurangi

    insiden fraktur pada wanita postmenopouse. Wanita post menopouse yang

    mengkonsumsi estrogen secara oral selama 5 tahun atau lebih dapat mengurangi

    resiko fraktur 50% (National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin

    Disease, 1991 dalam Miller 2012). Estrogen sangat efektif untuk mencegah lebih

    lanjut kehilangan tulang pada pengoabatan lansia, namun akan lebih efektif jika

    digunakan pada awal periode menopouse. (Lindsay, 1987 dalam Miller 2012).

    Calcitonin telah disetujui oleh Food and Drug Administration tahun 1984 sebagai

    pengobatan osteoporosis, namun mengenai keefektifan penggunaan dalam jangka

    waktu yang lama masih belum diteliti lebih lanjut.

    Terapi lain seperti Sodium flouride merupakan terapi untuk menstimulasi

    pembentukan tulang baru, Calciriol dan biphosponate berpotensi untuk mencegah

    osteoporosis, juga untuk penggunaan jangka waktu yang lama masih belum ada

    penelitian lebih lanjut, dalam hal kalsium dan nutrisi, konsumsi kalsium 1500 mg

    perhari disarankan untuk lansia pria maupun wanita postmenopouse yang tidak

    mengkonsumsi estrogen. Seperti kalsium karbonat yang ditemukan di beberapa

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 20

    Universitas Indonesia

    antasida, merupakan sumber yang efektif dan murah dari kalsium elemental.

    Untuk vitamin yang lainnya seperti vitamin D, orang dewasa harus

    mengkonsumsi 400 IU vitamin D perhari, sedangkan ada batasan dalam

    mengkonsumsi vitamin A yakni, jika lebih dari 5000 IU perhari dapat

    mengganggu proses remodeling tulang (Miller, 2012).

    Untuk itu diperlukan suatu kedisiplinan dan keteraturan dalam mengkonsumsi

    setiap vitamin sesuai dengan kebutuhan dan dosis yang dianjurkan agar usaha

    untuk mempertahankan kesehatan fisik terutama lansia mudah terwujud dan

    kejadian adanya gangguan yang berhubungan dengan muskuloskeletal dapat

    dicegah atau diminimalkan.

    2.7.3. Intervensi Latihan Rentang Gerak Sendi (ROM)

    Aktifitas fisik yang dilakukan secara teratur, terprogram dengan dosis tertentu

    pada kelompok lanjut usia dengan tujuan mempertahankan kemampuan optimal

    dari sistem tubuh terutama kardiorespirasi dan sistem otot sebagai bentuk upaya

    promotive, preventif, kuratif dan rehabilitatif baik secara fisiologis, psikologis

    maupun sosial (Depkes, 2001). Dewasa lansia yang berolah raga secara teratur

    tidak kehilangan massa atau tonus otot dan tulang sebanyak dewasa lansia yang

    tidak aktif, serat otot berkurang ukurannya, dan kekuatan otot berkurang

    sebanding dengan penurunan massa otot. Wanita pasca menopouse memiliki laju

    demineralisasi tulang yang lebih besar daripada pria lansia (Perry & Potter, 2005).

    Manfaat olahraga pada lansia antara lain dapat memperpanjang usia, menyehatkan

    jantung, otot, dan tulang, membuat lansia lebih mandiri, mencegah obesitas,

    mengurangi kecemasan dan depresi, dan memperoleh kepercayaan diri yang lebih

    tinggi. Adapun prinsip dari latihan fisik yang dilakukan pada lansia adalah

    membantu agar tubuh tetap bergerak, meningkatkan daya tahan tubuh, mencegah

    cedera, dan memberi kontak psikologis. Penelitian yang dilakukan oleh Alan

    Gow, dari University of Edinburgh di Skotlandia menjelaskan bahwa orang yang

    berusia tujuh-puluhan dan ikut dalam banyak olah raga fisik termasuk berjalan

    kaki beberapa kali dalam satu pekan, memiliki sedikit penyusutan otak dan tanda

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 21

    Universitas Indonesia

    lain penuaan pada otak ketimbang mereka yang kurang aktif secara fisik. Hal ini

    sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Irwansyah (2011) yang menjelaskan

    bahwa adanya pengaruh latihan rentang gerak terhadap lingkup gerak sendi pada

    pasien pasca fraktur femur di RSU Muhammad Hoesin, Palembang.

    Latihan fisik pada lansia yang dapat dilakukan adalah Range of Motion (ROM)

    yaitu jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu

    dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, tranversal, dan frontal. Potongan sagital

    adalah garis yang melewati tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh

    menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi

    dan membagi tubuh menjadi bagian depan dan belakang. Potongan tranversal

    adalah garis horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah.

    Selain untuk menatasi keterbatasan gerak sendi, ROM juga dapat meningkatkan

    kekuatan otot, yang berarti bahwa latihan gerakan sendi yang memungkinkan

    terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakkan masing-

    masing persendiaannya sesuai gerakan normal baik secara aktif maupun pasif atau

    latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat

    kesempurnaan kemampuan menggerakkan persendian secara normal dan lengkap

    untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Pery, 2005). Penelitian

    yang dilakukan oleh Utami (2003) menjelaskan bahwa adanya pengaruh latihan

    ROM aktif terhadap kemampuan mobilisasi pada lansia dengan gangguan

    muskuloskeletal lebih baik dari sebelum dilakukan latihan ROM aktif.

    Mobilisasi sendi disetiap potongan dibatasi oleh ligamen, otot, dan konstruksi

    sendi. Beberapa gerakan sendi adalah spesifik untuk setiap potongan. Pada

    potongan sagital, gerakannya adalah fleksi dan ekstensi (jari-jari tangan dan siku)

    dan hiperekstensi (pinggul). Pada potongan frontal, gerakannya adalah abduksi

    dan adduksi (lengan dan tungkai) dan eversi dan inversi (kaki). Pada potongan

    tranversal, gerakannya adalah pronasi dan supinasi (tangan), rotasi internal dan

    eksternal (lutut), dan dorsofleksi dan plantarfleksi (kaki) (Perry & Poter, 2005).

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 22

    Universitas Indonesia

    Sebelum lansia memulai memulai program latihan, dianjurkan untuk melakukan

    pengkajian sebelum latihan, yang meliputi sedikitnya riwayat lengkap dan

    pemeriksaan fisik. Perhatikan juga penggunaan obat-obatan seperti obat

    antidiuretika, -Bloker, tranquilizer dan agen hipoglikemia. Lakukan juga

    evaluasi terhadap defisit sensori neurologis, ketajaman penglihatan, keseimbangan

    dan gaya berjalan. Tes toleransi terhadap aktivitas harus dilakukan sebelum

    seorang lansia terlibat dalam latihan tingkat sedang sampai berat, tetapi tes ini

    hanya sedikit memiliki kegunaan pada sebagian besar lansia yang berusia lebih

    dari 75 tahun.

    Tujuan ROM adalah untuk meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan

    kekuatan otot, mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan, mencegah

    kekakuan pada sendi, perangsang sirkulasi darah, dan mencegah kelainan bentuk,

    kekakuan dan kontraktur. Prinsip yang diterapkan dalam latihan ROM yaitu harus

    diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari, dilakukan perlahan

    dan berhati-hati sehingga tidak melelahkan residen, perhatikan tanda-tanda vital

    residen sebelum dilakukan latihan ROM, bagian tubuh yang dapat dilakukan

    latihan ROM meliputi leher, jari, lengan, siku, bahu, kaki, dan pergelangan kaki,

    dilakukan secara berurutan dan teratur mulai dari head to toe, jangan memegang

    sendi secara langsung,tapi pegang ekstremitas secara lembut pada bagian distal

    atau proksimal sendi. Bila perlu memegang sendi buatlah telapak tangan seperti

    mangkuk dan letakkan di bawah sendi, jangan memegang ekstremitas pada kuku

    kaki atau kuku tangan, bekerja mulai arah proksimal ke arah distal, tetap

    memperhatikan kebutuhan rasa aman dan nyaman residen (Perry & Poter, 2005).

    Jenis ROM terdiri dari dua jenis, ROM aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh

    pasien dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan

    membimbing pasien dalam melaksanakan gerakan sendiri secara mandiri dengan

    rentang gerak normal. Kekuatan otot pasien 75%, hal ini untuk melatih

    kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya

    secara aktif. Sendi yang digerakkan pada ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh

    dari kepala sampai ujung kaki oleh klien sendiri secaraaktif.

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 23

    Universitas Indonesia

    ROM pasif adalah energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain

    (perawat) atau mekanik. Kekuatan otot 50%. Indikasi latihan ROM pasif adalah

    pasien dengan keterbatasan mobilisasi , pasien tidak mampu melakukan beberapa

    atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total dan

    pasien dengan paralisis ekstremitas total (Suratun dkk, 2008), rentang ini berguna

    untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot

    pasien secara pasif. Sendi yang digerakkan pada ROM secara pasif ini adalah

    seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien

    tidak mampu melaksanakannya secara mandiri (Pujiastuti, dkk, 2003).

    2.8. Konsep Nursing Home

    Pelayanan perawatan kesehatan umum yang sering digunakan oleh populasi lansia

    diantaranya adalah nursing home, day care, respite care, dan perawatan jangka

    panjang. Perawatan kesehatan, penurunan sumber fisik dan manusia, dan

    peningkatan ketergantungan mungkin mengharuskan lansia untuk tinggal dalam

    fasilitas perawatan jangka panjang. Fasilitas tersebut memberikan asuhan

    keperawatan yang lama, perawatan medis, dan pelayanan personal atau

    psikososial. Nursing Home merupakan tempat yang lazim yang diberikan

    perawatan jangka panjang. Ketika orang memasuki pelayanan jangka panjang,

    mereka sering mangalami gangguan fungsional karena masalah fisik, masalah

    kognitif, dan masalah akut lainnya (Perry & Potter, 2005).

    Nursing Home adalah pelayanan yang ditujukan bagi residen yang mengalami

    penurunan fisiologis sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi

    kebutuhannaya (Wagner, 2008). Nursing home dapat diklasifikasikan dalam 2

    kelompok berdasarkan kesehatan : partial care dan total care, dimana residen

    memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi sebagian atau secara

    keseluruhan semua kebutuhannya. Pertumbuhan industri perawatan subakut dan

    managed care merupakan kekuatan pasar yang mengubah penampilan populasi

    rumah perawatan tradisional, meningkatkan jumlah residen jangka pendek. Secara

    khusus residen dengan total care bertempat tinggal di nursing home untuk periode

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 24

    Universitas Indonesia

    lebih dari 6 bulan dan menetap disana sampai meninggal. Mereka juga cenderung

    menua dan mengalami defisit kognitif serta kerusakan fungsi yang lebih besar

    (Potter & Perry, 2005).

    Seiring peningkatan harapan hidup, meningkat juga kemungkinan memasuki

    nursing home. Keputusan untuk memperoleh perawatan tersebut tidak dengan

    mudah dibuat, residen dan keluarga memerlukan banyak dukungan, selain itu,

    bantuan perawat diperlukan dalam menentukan fasilitas yang tepat. Jika mungkin,

    fasilitas harus dekat dengan rumah residen dan keluarga agar lebih mudah

    melakukan kunjungan (Potter & Perry, 2005).

    Sasana Tresna Werdha YKB RIA Pembangunan Cibubur merupakan tempat

    hunian residen yang menggabungkan sistem nursing home dengan perawatan

    jangka panjang, dimana terdapat pelayanan kepada residen baik yang mempunyai

    masalah fisiologis seperti hambatan mobilitas fisik dengan menggunakan kursi

    roda, gangguan fisik lainnya ataupun residen yang tidak ada masalah kesehatan.

    Di STW YKB Ria Pembangunan ini terdapat klinik pelayanan sepanjang waktu

    (24 jam) disertai dengan perawat profesional dan alat kesehatan yang memadai

    bagi residen yang mempunyai keluhan fisiknya. Pelayanan ini menjadi harapan

    bagi residen untuk memeriksakan lebih lanjut mengenai keluhan kesehatannya

    sehingga bisa menjadi perantara dalam pemeriksaan lebih lanjut ke rumah sakit

    yasebagai tempat rujukan. Disini juga terdapat pelayanan pendamping residen

    (caregiver) yang selalu melayani residen dengan ketergantungan secara fisik

    dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Dari caregiver dapat diketahui informasi

    mengenai kebiasaan-kebiasaan residen sehari-hari jika diperlukan pengawasan

    atau diperlukan/ tidaknya suatu pemeriksaan lebih lanjut. Di klinik juga terdapat

    ruang perawatan inap diperuntukkan bagi residen yang memerlukan pengawasan

    khusus dari perawat.

    Sesuai dengan perawatan jangka panjang, maka di STW ini, dilakukan kegiatan-

    kegiatan yang melibatkan semua residen baik mengenai penggunaan fisik seperti

    senam relaksasi, senam bugar lansia ataupaun kegiatan yang melibatkan kognitif

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 25

    Universitas Indonesia

    seperti menonton bersama, menyulam ataupaun bermain angklung bersama.

    Semua kegiatan tersebut dilakukan setiap hari secara bergiliran dan dalam waktu

    yang tidak terlalu lama sehingga residen terhindar dari rasa kelelahan.

    Modifikasi pelayanan jangka panjang dapat meningkatkan kesejahteraan residen

    diantaranya Adanya akses residen kepada layanan profesional, mengembangkan

    program yang mewakili residen maupun staf, mempertimbangkan fasilitas

    monokultur sesuai dengan populasi demografi, Mencoba mempekerjakan staf

    yang berbeda dengan residen. Di dalam pelayanan jangka panjang terdapat suatu

    dokumentasi yang dilakukan oleh perawat berlisensi walaupun tidak terlibat

    dalam pengaturan, dimana dokumentasi sangat diperlukan, bukan hanya untuk

    mendokumantasikan apa yang sudah dilakukan perawat namun sebagai bahan

    evaluasi keefektifan tindakan keperawatan dan sebagai sarana informasi antara

    satu shift dengan sfift berikutnya (Miller, 2012).

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 26

    Universitas Indonesia

    BAB 3

    LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

    3.1. Pengkajian

    3.1.1. Identitas Diri

    Ibu S.M. (87 tahun), berjenis kelamin perempuan, agama Islam, pernah bekerja

    sebagai guru privat Bahasa Perancis, anak pertama dari tiga bersaudara ini datang

    ke panti tahun 1998 karena merasa bingung akan tinggal bersama siapa karena

    saudara laki-lakinya sudah meninggal dan ingin tinggal bersama teman-teman

    sebayanya sehingga bisa berinteraksi dengan bebas. Saat ini residen menempati

    kamar C20 wisma Cempaka dengan ditemani oleh 2 caregiver yang saling

    bergantian siang dan malam.

    3.1.2. Aktifitas Sehari-hari

    Secara umum, kebiasaan residen sehari-hari setelah bangun tidur, langsung mandi

    dengan bantuan caregiver, sarapan pagi, berjemur bersama residen lainnya dan

    mengikuti kegiatan sasana yang telah dijadwalkan. Pada pola makan tidak teratur,

    3 x sehari, residen jarang menghabiskan makanan sampai 1 porsi, biasanya

    porsi atau kurang, terkadang tidak makan jika menu yang disajikan kurang cocok

    dengan selera residen dan pada akhirnya membeli di luar panti yang disiapkan

    oleh caregiver. Residen tidak mempunyai pantangan jenis makanan apapun dan

    tidak ada riwayat alergi terhadap makanan tertentu, residen hanya membatasi

    makanan yang bersantan.

    Ketika ditanyakan dan melihat langsung kebiasaan sehari-hari, residen tidak

    mempunyai pola minum yang baik dan tidak menentu, biasanya hanya 300 cc-

    an/hari. Ketika ditanyakan mengenai kebiasaan minumnya yang sedikit, residen

    mengungkapkan alasannya bahwa ia malas untuk BAK dan walaupun

    menggunakan pampers malas untuk menggantinya sehingga residen memilih

    untuk sedikit minum.

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 27

    Universitas Indonesia

    Residen mempunyai kebiasaan tidur secara teratur mulai pukul 20/21 dan bangun

    pukul 04, dan tidur siang selama 2 atau 3 jam setiap hari, residen tidur dengan

    menggunakan pampers. Residen mengaku kebutuhan tidurnya tercukupi dan tidak

    tampak mengantuk. Mandi dengan bantuan caregiver secara total meskipun

    residen mampu untuk melakukan gerak dan berpindah posisi. Residen tidak

    mempunyai keluhan terkait pola BAK, 3-4 x sehari dengan menggunakan

    pampers, dan BAB lancar 2 kali sehari, saat ini tidak ada keluhan konstipasi.

    Ibu S.M. termasuk orang yang senang keluar dengan penampilan yang sangat

    rapih dari kepala hingga ujung kaki, ia selalu main dibagian luar panti untuk

    sekedar berjemur atau melihat lalu lalang orang di jalan. Pemenuhan kebutuhan

    sehari-hari residen dibantu oleh caregiver yang bergantian antara siang dan

    malam. Residen selalu mengikuti semua kegiatan sasana dengan dibantu oleh

    caregiver. Selama 7 minggu penulis bersama residen, tidak terlihat ia keluar

    sasana untuk jalan-jalan sendiri ataupun dikunjungi dan diajak oleh keluarga

    residen untuk jalan-jalan ke suatu tempat, dan menurutnya bahwa berkumpul dan

    mengikuti semua kegiatan sasana merupakan suatu hiburan yang sangat

    membahagiakan sehingga tidak jenuh dan waktu yang terasa cepat berlalu.

    Dalam hal kondisi psikososial residen, dari hasil observasi dan wawancara

    menunjukkan bahwa residen tampak sehat dan selalu tersenyum jika disapa,

    mudah menjawab hampir semua pertanyaan yang diajukan penulis. Dari

    pengkajian MMSE (Mini Mental State Examination) didapatkan nilai 27 dengan

    interpretasi normal.

    Residen mudah tersinggung jika adanya ketidaksejalanan pikiran antara penulis

    dan residen, namun mudah untuk dibujuk kembali. Jika residen ditanya mengenai

    umur, maka residen sulit untuk menjawab, namun residen akan lebih mudah untuk

    menceritakan alasannya kenapa tidak menikah. Dari hasil wawancara, residen

    terlihat tidak mau dikalahkan oleh orang lain dalam hal apapun, residen terlihat

    sangat menutupi semua kelemahnnya. Dari hasil Geriatric Depression Scale

    (GDS) didapatkan nilai 9 yang berarti normal.

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 28

    Universitas Indonesia

    Residen mendapat dukungan penuh dari keponakan-keponakannya yang selalu

    mengunjunginya di panti. Residen mempunyai adik kandung yang tinggal di STW

    Karya Bhakti Cibubur namun di wisma yang berbeda dan terlihat rukun dan

    terkadang saling mengunjungi. Residen termasuk lansia yang tidak banyak

    berkomentar dan mencari masalah terhadap sesama penghuni wisma lainnya dan

    aktif mengikuti kegiatan sasana. Dalam hal spiritual, residen mengatakan selalu

    shalat 5 waktu dan terlihat mengikuti pengajian yang dilaksanakan STW Karya

    Bhakti.

    3.1.3. Hasil Pemeriksaan Fisik

    Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum residen tampak tidak sakit,

    kesadaran compos mentis, postur tubuh residen tampak kurus,tidak tinggi dan

    tidak bisa berdiri tegak, berkulit sawo matang. Pemeriksaan Tekanan Darah:

    130/80 mmHg, Nadi: 86x/mnt, Pernapasan: 20x/mnt, Suhu: 36,90, Tinggi Badan:

    149 cm, dengan BB: 40 kg, Lingkar Lengan atas: 20 cm, Indeks Masa Tubuh: 18.

    Dari hasil pemeriksaan Head to toe diperoleh data bahwa kepala : bentu bulat

    simetris, tidak terdapat lesi, rambut pendek, beruban selalu tertutup topi, tampak

    bersih , tidak tampak ketombe. Pengkajian mata : mata simetris, tidak

    menggunakan kaca mata, konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik, tidak

    ada serumen, tampak adanya kantung mata namun tidak berwarna kehitaman.

    Pemeriksaan hidung : posisi simetris, tidak ada pengeluaran sekret, tidak tampak

    adanya polip, fungsi penciuman baik.

    Pada pemeriksaan mulut : posisi simetris, mukosa tidak kering dan tidak ada

    stomatitis. Pada pemeriksaan telinga : posisi simetris antara kanan dan kiri, tidak

    ada keluhan nyeri pada telinga luar maupun dalam, tidak ada pengeluaran sekret,

    fungsi pendengaran baik, masih mampu mendengar semua pembicaraan dengan

    penulis. Pada leher, tidak ada pembesaran Kelenjar Getah Bening, tidak ada

    peningkatan vena jugularis, tidak ada nyeri tekan. Pada pemeriksaan dada : bentuk

    dada simetris, tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan, tidak ada kelainan.

    Pada pemeriksaan paru, residen tidak tampak sesak napas, didapatkan tactil

    fremitus antara toraks posterior dan anterior sama, terdengar bunyi resonance,

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 29

    Universitas Indonesia

    terdengar vesikuler, tidak terdengan wheezing ataupun ronchi. Pada jantung, tidak

    tampak adanya denyutan iktus kordis, didapatkan BJ I-II normla, gallop tidak

    ada,murmur tidak ada. Pada pemeriksaan abdomen bentuk simetris tidak ada

    kelainan, teraba supel tidak ada nyeri tekan. Pada sistem muskuloskeletal didapat

    data kekuatan otot kurang dibandingkan dengan bagian lain dan bernilai 4 pada

    semua ekstremitas, otot lengan teraba lembek, dan residen selalu duduk di kursi

    roda.

    Residen mengeluh tidak bisa berdiri lama dan jika berdiri harus berpegangan pada

    handrail dan tidak bisa berjalan dengan cepat. Residen mengatakan semua

    kebutuhannya dibantu oleh care giver, jika tidak maka residen tidak bisa

    melakukan apa-apa kecuali duduk di kursi roda atau tiduran di tempat tidur.

    Keluhan itu muncul setelah operasi tulang femur kedua kalinya pada tahun 2008-

    an dan sebelumnya pada tahun 1998 karena terjatuh dari kursi.

    Pada pengkajian tingkat kemandirian Indeks Katz didapatkan data bahwa pada

    aktivitas mandi, residen memerlukan bantuan lebih dari satu bagian tubuh, yaitu

    kepala bagian belakang jika dikeramas, bahu, pungung atas dan bawah, kaki serta

    telapak kaki dan jari kaki, tangan sebelah kanan perlu bantuan total oleh caregiver

    Pada aktivitas berpakaian perlu bantuan lebih dimana residen memerlukan

    bantuan ketika memasukkan lengan kanan dan kiri ke dalam baju dan

    meresletingkan bajunya. Pada aktivitas ke toilet perlu bantuan dalam eliminasi,

    baik dalam jalan menuju ke kamar mandi nya ataupun membuka pampers atau

    pakaian dalam tetap dibantu oleh caregiver. Pada aktivitas berpindah dari tempat

    tidur ke kursi roda atau sebaliknya memerlukan bantuan caregiver karena

    kekuatan kaki tidak maksimal sehingga memerlukan penopang untuk berjalan.

    Residen bisa mengontrol eliminasi baik urin maupun fekal walaupun

    menggunakan pampers namun jika akan BAK atau BAB residen memberi tahukan

    terlebih dahulu kepada caregiver, dan dalam hal kegiatan makan, residen bisa

    melakukan makan sendiri, dan makanan dan minuman telah dipersapkan terlebih

    dahulu oleh residen. Dari keadaan diatas dapat dihitung skor untuk tingkat

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 30

    Universitas Indonesia

    kemandirian bernilai 2 yang berarti bahwa residen mempunyai gangguan

    fungsional berat (ketergantungan tinggi).

    Pengkajian Resiko Jatuh : Morse Fall Scale (MFS) didapatkan nilai 40 dengan

    interpretasi hasil risiko jatuh rendah, dari Berg Balance Test (BBT) didapatkan

    nilai 16 dengan interpretasi hasil : Lansia memiliki resiko jatuh tinggi dan perlu

    menggunakan alat bantu jalan berupa kursi roda.

    3.2. Analisa Data

    Dari hasil pengkajian yang dilakukan kepada residen, maka didapatkan tiga

    masalah kesehatan yaitu hambatan mobilitas fisik, gaya hidup kurang gerak dan

    risiko jatuh (NANDA, 2012). Pada masalah pertama yaitu hambatan mobilitas

    fisik, didapatkan data subyektif diantaranya : Residen mengatakan bahwa ia

    mengalami kelemahan dan menggunakan kursi roda setelah dilakukan operasi

    femur beberapa tahun yang lalu, mengeluh tidak bisa berdiri lama dan jika berdiri

    harus berpegangan pada handrail sehingga tidak bisa berjalan dengan cepat.

    Pada data objektif tampak bahwa : kekuatan otot kurang bila dibandingkan

    dengan bagian lain, otot lengan teraba lembek, residen tampak selalu

    menggunakan kursi roda dalam posisi dan semua pemenuhan kebutuhan sehari-

    hari dibantu oleh caregiver, residen selalu mengikuti kegiatan STW terutama

    senam bugar lansia dan senam relaksasi. Kegiatan lain yang sering dilakukan oleh

    residen adalah berjemur atau hanya jalan-jalan tapi tetap dengan menggunakan

    kursi roda dan dibantu oleh caregiver, kurangnya keinginan yang tinggi dari

    residen untuk melakukan latihan atau melakukan gerak tanpa kursi roda,

    walaupun sebenarnya residen mempunyai kekuatan untuk berjalan dengan

    bantuan. Residen juga mempunyai caregiver 2 orang yang bergantian antara siang

    dan malam sehingga semua kebutuhan residen terpenuhi, tampak melambatnya

    pergerakan residen.

    Pada masalah gaya hidup kurang gerak, data subyektif didapatkan data dari hasil

    wawancara yang dilakukan dengan salah satu caregiver mengatakan bahwa

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 31

    Universitas Indonesia

    residen termasuk orang yang malas untuk bergerak, seperti dia akan lebih memilih

    untuk duduk di kursi roda daripada latihan jalan, atau meminta tolong untuk

    mengambil barang-barang kecil yang diperlukan kepada caregiver daripada

    mengambilnya sendiri, menyatakan lebih menyukai aktifitas fisik rendah. Data

    objektif yang terlihat dari residen adalah selalu terlihatnya residen di kursi roda

    yang menunujukka ketidakbugaran fisik

    Masalah lain yang timbul adalah risiko jatuh dengan data subyektif meliputi :

    residen dengan usia 87 tahun mengatakan pernah mengalami jatuh beberapa tahun

    yang lalu serta dilakukan operasi femur, dan saat ini menggunakan kursi roda, jika

    berdiri harus berpegangan pada handrail serta tidak bisa berjalan dengan cepat.

    Hasil BBT mempunyai nila 16 dengan interpretasi hasil risiko jatuh tinggi dan

    perlu menggunakan alat bantu jalan berua kursi roda.

    3.3. Intervensi Keperawatan

    Setelah ditemukan masalah keperawatan, maka penulis menyusun asuhan

    keperawatan ketiga masalah tersebut dengan menggunakan referensi Doengoes,

    (2001); Kozier, et. al, (2010) dan NIC NOC (2012).

    3.3.1. Hambatan Mobilitas Fisik

    Rencana asuhan keperawatan yang dilakukan pada Ibu S.M. mempunyai tujuan

    umum yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan mobilitas fisik akan

    meningkat dengan tujuan khusus teridentifikasinya tingkat kekuatan otot dan

    kemampuan mobilitas fisik residen, residen dapat mendemonstrasikan tindakan-

    tindakan untuk meningkatkan mobilitas fisik dan mencegah kekakuan sendi,

    residen mampu melakukan latihan untuk meningkatkan kekuatan otot dan sendi

    dengan mandiri.

    Rencana tindakan pada residen yaitu kaji tingkat kekuatan otot residen secara

    berkala, lakukan evaluasi dan validasi keadaan residen saat ini, untuk menentukan

    intervensi yang sesuai untuk residen, dokumentasikan tingkat kekuatan otot

    residen untuk melihat perkembangan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 32

    Universitas Indonesia

    Diskusikan dengan residen tentang masalah kekakuan pada sendi dan otot yang

    dialami residen, untuk mengetahui secara jelas penyebab kekakuan pada pada

    sendi dan otot yang dialami. Diskusikan dengan residen aktivitas yang masih

    dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi residen dalam melakukan

    aktivitas. Diskusikan dengan residen mengenai perawatan yang telah dilakukan

    untuk mengurangi nyeri sendi, rasionalnya untuk mengetahui sejauh mana usaha

    residen menyelesaikan masalah. Anjurkan residen untuk berjemur pada pagi hari

    untuk mendapatkan penyinaran langsung dari matahari sebagai sumber vitamin D

    yang dapat meningkatkan kekuatan tulang dan sendi.

    Intervensi selanjutnya adalah ajarkan residen latihan rentang gerak pada semua

    ekstremitas yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan residen dalam

    mempertahankan dan meningkatkan kekuatan otot dan sendi serta meningkatkan

    sirkulasi. Anjurkan residen berlatih dengan menggunakan peralatan yang tersedia

    seperti latihan jongkok dan berdiri dengan menggunakan kursi serta meremas

    koran menjadi bola kertas. Tindakan ini bertujuan untuk meningktakan dan

    mempertahankan kekuatan otot dan sendi serta meningkatkan sirkulasi secara

    mandiri. Latih residen untuk melakukan perubahan posisi dari berbaring keduduk

    dan dari duduk keberdiri, untuk meningkatkan kemampuan residen melakukan

    aktivitas sehari-hari. Motivasi residen untuk berkonsultasi dengan medis jika

    kekakuan pada sendi dan otot semakin meningkat, dengan rasional bahwa terapi

    farmakologis untuk menguarangi kekakuan sendi dan otot.

    3.3.2. Gaya Hidup Kurang Gerak

    Pada diagnosa gaya hidup kurang gerak, mempunyai tujuan umum yaitu

    menunjukkan adanya toleransi aktivitas, dan pada tujuan khusus, residen akan

    mengatakan kesadaran tentang risiko gaya hidup kurang gerak, mendeskripsikan

    manfaat latihan fisik secara teratur, secara bertahap residen dapat meningkatkan

    kuantitas latihan fisik yang dilakukan, dapat meningkatkan ketahanan fisik saat

    latihan fisik, mengalami peningkatan kekuatan otot, dan mengalami peningkatan

    kekuatan sendi.

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 33

    Universitas Indonesia

    Intervensi yang dilakukan pada diagnosa gaya hidup kurang gerak antara lain :

    buat program dan memberi bantuan untuk aktivitas fisik, kognitif, sosial, dan

    spiritual tertentu untuk meningkatkan rentang, frekuensi atau durasi aktivitas

    individu, yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada residen untuk

    melakukan aktivitas gerak secara teratur. Fasilitasi aktivitas fisik tertentu untuk

    mempertahankan atau mencapai tingkat kebugaran dana kesehatan yang lebih

    tinggi, fasilitasi pelatihan otot sensitif secara teratur untuk mempertahankan atau

    meningkatkan kekuatan otot serta persiapkan residen untuk mencapai dan

    mempertahankan tingkat aktivitas yang diprogramkan yang bertujuan agar semua

    kegiatan yang sudah terprogram dapat dilaksanakan dan mempunyai hasil yang

    positif. Pada intervensi kolaborasi dapat dilakukan rujukan kepada ahli terapi fisik

    untuk latihan kondisi khusus, jika diperlukan.

    3.3.3. Risiko Jatuh

    Diagnosa resiko jatuh mempunyai tujuan umum yaitu tidak terjadinya jatuh

    dengan tujuan khusus diharapkan residen mampu meningkatkan pengetahuan

    residen tentang resiko jatuh, meningkatkan kekuatan otot dan yang menyebabkan

    resiko jatuh, untuk meningkatkan pengetahuan residen tentang resiko jatuh

    sehingga meningidentifikasi bersama residen lingkungan yang dapat

    meningkatkan kemungkinan jatuh, dengan rasional untuk meningkatkan

    kewaspadaan residen terhadap resiko jatuh.

    Diskusikan dengan residen pemilihan alas kaki yang tidak menyebabkan resiko

    jatuh, dengan rasional untuk melibatkan residen dalam memutuskan suatu pilihan

    meningkatkan hubungan saling percaya, demonstrasikan cara pengguanaan alat

    bantu jalan dan cara berpegangan pada handrail untuk mencegah jatuh dengan

    rasional untuk meningkatkan keterampilan residen dalam menggunakan alat bantu

    jalan. Motivasi residen untuk mengikuti senam di STW untuk meningkatkan

    kekuatan otot, motivasi residen untuk melakukan latihan ROM di kamar baik

    dalam keadaan berbaring atau duduk. Bekerjasama dengan caregiver dalam

    menciptakan lingkungan yang aman termasuk lantai kamar mandi yang tidak

    licin, bekerjasama dengan caregiver dalam merapikan kamar tidur, motivasi

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 34

    Universitas Indonesia

    residen untuk selalu menggunakan alas kaki untuk mencegah jatuh. Berkolaborasi

    dengan anggota tim kesehatan lain untuk meminimalkan efek samping obat yang

    dapat menyebabkan jatuh, rujuk ke ahli fisioterapi untuk latihan cara berjalan dan

    latihan fisik untuk memperbaiki mobilitas, keseimbangan dan kekuatan jika

    diperlukan.

    3.4. Implementasi Keperawatan

    Implementasi dilakukan terhadap residen S.M. selama 7 minggu dan dilakukan

    secara tidak teratur, dimana implementasi dilakukan tergantung ketersediaan dan

    kondisi fisik residen, juga adanya acara sasana seperti adanya tamu atau adanya

    peringatan hari ulang tahun, dsb, namun sebagian besar dilakukan pada pagi hari

    sekitar pukul 11-an atau pada sore hari sekitar pukul 16-an.

    Implementasi keperawatan terkait masalah hambatan mobilitas fisik dilakukan

    sebanyak 18 kali pertemuan dan sudah termasuk latihan gerak sendi ROM. Setiap

    pertemuan dibatasi sampai 30 menit namun sering melebihi waktu kontrak,

    dimana pada pertemuan minggu pertama masih membina hubungan saling

    percaya dengan residen dan mendiskusikan tentang tujuan umum yang ingin

    dicapai dalam interaksi selama 7 minggu ini.

    Intervensi yang dilakukan pada minggu pertama adalah bertujuan

    teridentifikasinya tingkat kekuatan otot dan kemampuan mobilitas fisik residen

    dengan cara mengkaji tingkat kekuatan otot residen secara berkala setiap hari.

    Dalam mengkaji tingkat kekuatan otot penulis menggunakan skala penilaian

    kekuatan otot 1-5 dan melakukan evaluasi dan validasi kekuatan otot tersebut

    secara terus menerus serta mendokumentasikannya.

    Dalam pertemuan selanjutnya, intervensi yang dilakukan penulis adalah

    mendiskusikan dengan residen tentang masalah kekakuan pada sendi dan otot

    yang dialami oleh residen, dengan menanyakan penyebab residen menggunakan

    kursi roda, kapan mulai menggunakan kursi roda serta kapan mengalami

    penurunan kekuatan terutama saat berjalan. Penulis juga mengkaji tentang

    Analisis praktik ..., Tiya Yulia, FIK UI, 2013

  • 35

    Universitas Indonesia

    aktivitas apa saja yang masih bisa dilakukan oleh residen, dalam hal ini penulis

    juga menanyakan langsung dengan caregiver yang menangani residen. Penulis

    juga menanyakan kepada residen dan caregiver tentang usaha yang telah

    dilakukan untuk mengurangi nyeri baik usaha secara mandiri maupun konsultasi

    ke dokter STW ataupun dokter yang biasa residen kunjungi.

    Intervensi selanjutnya yang dilakukan terhadap residen adalah melatih kekuatan

    otot dengan cara latihan gerak sendi (ROM) yang dilakukan secara bertahap dan