perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id perbedaan …... · bab i pendahuluan a ... meskipun...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN REFLUKS GASTROESOFAGEAL PADA PASIEN
ASMA TERKONTROL DAN TIDAK TERKONTROL DI RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA.
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
AKRAM SALIHIN BIN SAPARAI
G 0007501
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Perbedaan Angka Kejadian Refluks Gastroesofageal pada
Pasien Asma Terkontrol dan Tidak Terkontrol di Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Moewardi Surakarta.
Akram Salihin bin Saparai, NIM : G0007501
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Pada Hari Jumaat, Tanggal 29 April 2011
Pembimbing Utama
Nama : Prof. Dr. Suradi, dr., Sp.P (K) MARS
NIP : 19470521 197609 1 001 ………………………….............
Pembimbing Pendamping
Nama : Tonang Dwi Ardyanto, dr., PhD
NIP : 19740507 200012 1 002 ………………………………….
Penguji Utama
Nama : Ana Rima S., dr., Sp.P
NIP : 19620502 198901 2 001 …………………………………
Anggota Penguji
Nama : Yuliana Heri S., dr.
NIP : 19800718 200604 2 001 ………………………………….
Surakarta, ...………………
Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS
Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr.,
Sp. PD-KR, FINASIM
NIP. 19660702 199802 2 001 NIP. 19481107 197310 1 003
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 29 April 2011
Nama:Akram Salihin bin Saparai NIM. : G 000 7515
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
ABSTRAK
AKRAM SALIHIN BIN SAPARAI, G0007501, 2011. Perbedaan Angka Kejadian Refluks Gastroesofageal pada Pasien Asma Terkontrol dan Tidak Terkontrol di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui adanya refluks gastroesofageal (GERD) pada penderita asma. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui perbedaan kejadian GERD pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol. Metode penelitian : Penelitian dengan pendekatan potong lintang ini melibatkan 34 pasien rawat inap dan rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi dalam kurun waktu antara bulan November 2010 hingga bulan Desember 2010. Pasien-pasien tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok asma terkontrol dan kelompok asma tidak terkontrol berdasarkan hasil diagnosis dokter. Penentuan adanya GERD pada pasien adalah dengan menanyakan kuesioner GerdQ. Hasil penelitian : Dari kuesioner GerdQ, GERD didapatkan pada 1 orang pasien (6,7%) dari 15 orang pasien asma terkontrol. Sedangkan dari 19 orang pasien asma tidak terkontrol, didapatkan GERD pada 12 orang pasien (63,2%). X2 = 11,327. Uji P = 0,001 < 0,05 menunjukkan hasil yang signifikan. Simpulan : Terdapat perbedaan kejadian GERD pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol.
Kata kunci : Asma, Refluks gastroesofageal., GERD
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRACT
AKRAM SALIHIN BIN SAPARAI, G0007501, 2011. The Differences in the Incidence of Gastroesophageal Reflux Among Controlled and Uncontrolled
Asthmatic Patients at Dr. Moewardi Hospital Surakarta.
Objective : To know the existence of gastroesophageal reflux (GERD) in asthmatic patient. This study is also to determine the differences in the incidence of GERD among controlled and uncontrolled asthmatic patients at Dr. Moewardi Hospital Surakarta. Methods : A cross sectional study, involved 34 inpatient and outpatient of asthmatic patients in Dr. Moewardi Hospital from November 2010 until December 2010. The patients then divided were into two groups which 15 patients were controlled asthmatic and 19 patients were uncontrolled asthmatic patients. Determination existence of GERD within patients was by questionnaire GerdQ. Results : By GerdQ questionnaire, GERD was found in 1 (6,7%) control asthmatic patients and 12 (63,2%) uncontrolled asthmatic patients. X2 = 11,327. P = 0,001 < 0,05 which means there are significant result. Conclusion : There are differences in the incidence of GERD among controlled and uncontrolled asthmatic patients.. Keywords : Gastroesophageal reflux, GERD, Asthma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat, dan limpahan kasih sayang sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “ Perbedaan Angka Kejadian Refluks Gastroesofageal pada Pasien Asma Terkontrol dan Tidak Terkontrol di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta”. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H.A.A. Subijanto, dr, MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Muthmainah, dr., M.Kes selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Prof. Dr. Suradi, dr., Sp.P (K) MARS., selaku Pembimbing Utama yang telah
memberikan bimbingan, saran, serta koreksi bagi penulis. 4. Tonang Dwi Ardyanto, dr., PHD., selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberikan bimbingan, saran, serta koreksi bagi penulis. 5. Ana Rima S., dr., Sp.P, selaku Penguji Utama yang telah memberikan nasihat,
saran, dan masukan dalam penulisan skripsi ini. 6. Yuliana Heri S., dr., selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan nasihat,
saran, dan masukan dalam penulisan skripsi ini. 7. Staf Bag. SMF Paru, Ruang Anggrek 2 dan Ruang Poli Paru di RSUD Dr.
Moewardi yang telah membantu pelaksanaan skripsi ini. 8. Abah dan emak yang selalu mendoakan penulis serta memberikan nasihat
motivasi. 9. Teman-teman penelitian, Sunarto dan Fariziyah serta teman-teman angkatan
2007. 10. Serta semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dikarenakan keterbatasan penulis, maka dari itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat tidak hanya bagi penulis pribadi tetapi juga bagi semua pihak.
Surakarta, April 2011
Akram Salihin bin Saparai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
DAFTAR ISI PRAKATA..................................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL.......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR....…………………………………………………….. x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................
B. Perumusan Masalah ..............................................................
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
D. Manfaat Penelitian ................................................................
1
4
4
4
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ..................................................................
1. GERD ...............................................................................
2. Asma ................................................................................
3. Hubungan antara refluks gastroesofageal dengan
frekuensi serangan asma ....................................................
4. GerdQ …………………………………………………..
B. Kerangka Pemikiran .............................................................
C. Hipotesis ...............................................................................
5
6
11
24
27
29
30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .....................................................................
B. Lokasi Penelitian ................................................
C. Subjek Penelitian ..................................................................
D. Teknik Sampling ..................................................................
E. Desain Penelitian ...................................................................
F. Identifikasi Variabel Penelitian ............................................
G. Definisi Operasional Variabel ...............................................
H. Cara Kerja .....……………......................................................
I. Teknik Analisis Data ..............................................................
31
31
31
32
33
33
34
39
40
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Data-data Penelitian ...............................................................
41
BAB V PEMBAHASAN ......................................................................... 45
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan .................................................................................
B. Saran ........................................................................................
52
52
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 53
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Klasifikasi Derajat Beratnya Asma
Klasifikasi Tingkat Kontrol Asma
Distribusi Subyek Menurut Jenis Kelamin pada Asma Terkontrol dan
Asma Tidak Terkontrol
Distribusi Subyek Menurut Umur pada Asma Terkontrol dan Asma
Tidak Terkontrol.
Distribusi Subyek Menurut Jenis Kelamin pada GERD Positif dan
GERD Negatif
Distribusi Subyek Menurut Umur pada GERD Positif dan GERD
Negatif
Cross tab antara Refluks Gastroesofageal dengan Tingkat Kontrol
Asma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Respons Inflamasi Sebagai Patofisiologi Asma.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Data Subyek Penelitian
Hasil Uji Statistik SPSS
Formulir Persetujuan
Kuesioner
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Asma merupakan kelainan saluran pernafasan kronis yang dilaporkan
adanya peningkatan prevalensi morbiditas dan mortalitas dalam 30 tahun
terakhir. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang melanda seluruh
dunia dengan perkiraan 300 juta individu yang terkena penyakit ini (Fauci et
al., 2008). Meskipun laporan prevalensi asma dilaporkan secara meluas pada
populasi yang berbeda, definisi asma yang masih kurang diterima secara
universal sehingga perbandingan prevalensi yang dilaporkan dari berbagai
belahan dunia yang dapat diandalkan masih meragukan. Meskipun demikian,
berdasarkan penerapan metode standar untuk mengukur prevalensi penyakit
asma dan gejala mengi pada anak-anak dan dewasa, dapat dilihat bahwa
prevalensi asma secara global berkisar antara 1% hingga 18% dari penduduk
di negara yang berbeda. Terdapat bukti bahwa prevalensi asma telah
meningkat di beberapa negara dan terus meningkat sementara di beberapa
negara lain sudah stabil. World Health Organization (WHO) memperkirakan
bahwa 15 juta orang hilang kemampuan untuk menjalani kehidupan normal
setiap tahun dikarenakan penyakit asma dan diperkirakan sebanyak 250 000
kematian terjadi setiap tahun di seluruh dunia akibat asma (GINA, 2006).
Di Negara-negara berkembang, kira-kira 10% orang dewasa dan 30%
anak-anak menderita asma (Braunwald et al., 2009) . Menurut hasil survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992, penyakit asma, bronkitis kronis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dan emfisema merupakan penyebab kematian no. 7 (Soemantri ES, 1997).
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi
penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4% (DAI, 2009). Diperkirakan
prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk Indonesia, artinya
saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia. Diagnosis atau evaluasi asma
pre terapi jarang dikerjakan sebagai dasar paket pengelolaan asma yang
sistematik. Pengelolaan asma yang belum menyeluruh sehingga terapi yang
diberikan belum tuntas dan umumnya hanya ditujukan untuk mengatasi gejala
asma (Dahlan Z, 2000).
Salah satu faktor meningkatnya prevalensi morbiditas asma adalah
penyakit komorbid asma yang tidak terdiagnosis dan tidak ditangani (NHLBI,
2007). Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) dan asma merupakan
penyakit yang sering didapatkan bersamaan (Isaac KM, 2009). GERD
merupakan suatu kondisi yang mana aliran balik asam lambung ke esofagus
akibat inkompetensi sawar pada batas esofagus dan lambung (Venes D.,
2009).
Kira-kira 45% hingga 89% penderita asma didapatkan GERD yang
mungkin disebabkan antara lain aspirasi asam lambung, refleks vagal dan
akibat sebagian pengobatan asma yang menyebabkan relaksasi otot sphincter
esofagus bagian bawah (Mahdi ADAH., 2008). Dalam satu penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
terhadap 109 pasien asma, didapatkan 77% mempunyai gejala heartburn dan
55% mempunyai gejala regurgitasi (Isaac KM, 2009).
Penelitian terhadap 69 anak yang menderita asma didapatkan 36
(52,2%) dari anak-anak tersebut mempunyai gejala GERD yaitu muntah
(40%), regurgitasi (30%), iritabilitas (14%), gangguan tidur (12%), heartburn
(5%), disfagia (5%), kegagalan untuk tumbuh kembang (3%) dan
hematemesis (2%). Sebanyak 20 anak didapatkan gejala GERD setelah
makan, 26 anak didapatkan gejala tersebut ketika berbaring telentang dan 24
anak didapatkan pH esofagus yang kurang 4 (Beatriz et al, 2007).
GERD merupakan salah satu faktor eksaserbasi pada pasien yang
asmanya sulit dikontrol (Legget JJ et al., 2005). Walaupun banyak penelitian
yang menghubungkaitkan asma dengan GERD telah dilakukan, namun masih
belum ada penelitian yang melihat akibat GERD pada tingkat kontrol asma
pada pasien asma.
Dari uraian di atas, peneliti perlu mengetahui apakah terdapat perbedaan
angka kejadian refluks gastroesofageal pada pasien asma terkontrol dan tidak
terkontrol.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
B. Perumusan Masalah
Apakah ada terdapat perbedaan angka kejadian refluks gastroesofageal
pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Penelitian dilakukan untuk mengetahui perbedaan angka kejadian
refluks gastroesofageal pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol
di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk melihat angka kejadian refluks gastroesofageal pada pasien
asma terkontrol.
b. Untuk melihat angka kejadian refluks gastroesofageal pada pasien
asma tidak terkontrol.
D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritik
Untuk ilmu pengetahuan, khususnya ilmu penyakit paru yaitu
membuktikan adanya perbedaan angka kejadian refluks gastroesofageal
pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
2. Aspek Aplikatif
Sebagai bahan pertimbangan upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif sehingga mengurangkan frekuensi serangan asma pada
penderita asma, khususnya yang berhubungan dengan refluks
gastroesofageal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. GERD
a. Definisi GERD
Refluks gastroesofageal (GER) atau penyakit refluks
gastroesofageal (GERD) ditujukan pada pasien yang mempunyai
gejala bersifat refluks yaitu heartburn dan regurgitasi tetapi tidak
semestinya dengan inflamasi esofageal (Axford JS, 2008).
Sebagian pasien dengan GERD didapatkan mempunyai
refluks esofagitis yaitu inflamasi pada mukosa distal esofagus yang
diakibatkan refluks dari isi lambung. Sebagian pasien yang lain pula
tidak ditemukan refluks esofagitis secara makroskopi setelah
dilakukan pemeriksaan endoskopi. Namun setelah dilakukan biopsi
didapatkan perubahan histologis yaitu inflamasi mukosa yang
dikarenakan refluks. Bagaimanapun sebagian besar dari pasien
dengan gejala GERD yang nyata didapatkan esofagus yang normal
secara makroskopis maupun mikroskopis (Axford JS, 2008).
b. Faktor Resiko GERD
1) Konsumsi alkohol
2) Merokok
3) Pengobatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
a) Aspirin dan OAINS – masih belum jelas apakah obat ini
merupakan faktor resiko yang bermakna pada GER.
b) Nitrat : menurunkan tonus LES
c) Antagonis kanal kalsium : menurunkan tonus LES
d) Alendronat : didapatkan > 1:2400 kasus terjadinya
esofagitis
e) Terapi replacement estrogen mungkin meningkatkan
faktor resiko.
4) Hiatus hernia.
5) Obesitas.
a) Obesitas sering dikaitkan dengan gejala GERD yang
parah.
b) Didapatkan resiko terjadinya GERD adalah 2,8 kali jika
IMT melebihi 30 pada populasi umum.
c) Resiko pada laki-laki 3,3 kali dan wanita 6,3 kali jika
didapatkan IMT melebihi 35.
(Domino FJ, 2009; Kaufman M, 2008)
c. Etiologi GERD.
1) Penurunan clearance esofagus.
a) Postur berbaring dan sklerosis sistemik.
2) Kerusakan mukosa esofagus secara langsung.
a) Alkohol, minuman panas, OAINS, asam dan empedu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
3) Penurunan tekanan sphincter esofagus bagian distal (LES).
a) Makanan berlemak, alkohol, kopi, merokok, obat
(antikolinergik, antasid yang terkandung kalsium, nitrat,
penghambat kanal kalsium) dan kehamilan.
4) Gangguan pada mekanisme antirefluks (selain fungsi LES)
a) Hiatus hernia dan Heller kardiotomi.
5) Peningkatan sekresi asam lambung.
a) Sindroma Zolinger-Elison dan merokok.
6) Peningkatan kandungan asam lambung.
a) Stenosis pilorus dan atonik lambung.
7) Refluks duodenogaster.
a) Gastrektomi parsial.
8) Peningkatan tekanan intra-abdominal
a) Obesitas, asites, pakaian yang ketat dan kehamilan.
(Domino FJ, 2009)
d. Patofisiologi GERD
Transien relaksasi dari Sphincter esofagus bagian bawah
(LES) merupakan penyebab utama refluks sama ada pada penderita
dengan esofagitis dan juga penderita yang tidak mempunyai
esofagitis. Menurut satu bukti terakhir, tidak ada beda frekuensi
terjadinya relaksasi transien antara penderita GERD dan juga kontrol,
namun didapatkan refluks asam lambung lebih sering terjadi pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
penderita GERD apabila berlaku relaksasi transien. Pada penderita
hiatal hernia pula, relaksasi transien bukan merupakan mekanisme
terjadinya GERD (Hay DW, 2007).
Refluks juga bisa dikarenakan peningkatan tekanan
intraabdominal yang melebihi tekanan LES secara tiba-tiba. Ini
merupakan salah satu penyebab paling sering terjadinya GERD pada
penderita esofagitis yang berat (Hay DW, 2007).
Hiatal hernia pula bisa menyebabkan GERD karena kelainan
anatomis yang menginterupsi fungsi normal dari LES sehingga
apabila terjadi peningkatan tekanan abdominal akibat batuk atau
inspirasi, pengaturan perbedaan gradien terganggu (Hay DW, 2007).
Keterlambatan pengosongan lambung juga merupakan salah
satu mekanisme GERD pada sebagian kecil penderita (Hay DW,
2007).
Pada sklerosis sistemik (skleroderma) yang progressif,
didapatkan gangguan clearance asam pada esofagus karena motilitas
distal esofagus yang buruk dan juga hipotensif pada esofagus (Hay
DW, 2007).
Refluks sering terjadi pada perokok karena terjadi kombinasi
penurunan tekanan LES pada saat istirahat dan peningkatan tekanan
intraabdominal secara tiba-tiba yang dikarenakan batuk dan inspirasi
yang dalam (Hay DW, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
e. Gejala GERD.
1) Heartburn (Sensasi terbakar pada retrosternal) merupakan
gejala tersering pada penderita.
2) Regurgitasi isi lambung yang biasanya terjadi pada saat
membungkuk atau telentang. Penderita biasanya akan
mengeluhkan gejala ini sebagai muntah. Namun gejala ini
harus dibedakan dari muntah jika tidak didapatkan gejala mual
yang biasanya mendahului muntah.
3) Disfagia yaitu sensasi seperti makanan melekat pada belakang
dada. Disfagia merupakan petunjuk yang sangat membantu
untuk mendiagnosa GERD pada penderita yang mengeluhkan
rasa nyeri pada epigaster atau rasa mual.
4) Odinofagia yaitu rasa nyeri pada saat menelan merupakan
gejala yang lebih jarang dari disfagia dan mungkin dikarenakan
infeksi atau esofagitis.
5) Serdawa merupakan salah satu gejala refluks tersering
walaupan pada pasien yang normal.
6) Mual.
7) Nyeri dada dengan atau tanpa gejala tipikal refluks yang lain.
Nyeri dada mungkin sulit dibedakan dengan nyeri dada karena
kelainan jantung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
8) Suara serak, tenggorokan terasa penuh dan batuk yang kronis
juga mempunyai hubungan dengan GERD.
9) Asma sering ditemukan mempunyai hubungan dengan GERD.
Kira-kira hampir setengah dari penderita asma mempunyai
gejala GERD dan 80% dari penderita asma didapatkan pH yang
abnormal.
(Hay DW, 2007)
2. Asma
a. Definisi Asma
Asma adalah suatu penyakit yang disebabkan inflamasi kronis
saluran pernafasan yang mana melibatkan peran pelbagai sel serta
elemen seluler. Inflamasi kronis ini berhubungan dengan
hiperaktivitas dari saluran pernafasan yang mengakibatkan episode
gejala mengi, sulit bernafas, sesak dada dan batuk yang berulang
yang biasanya terjadi pada malam hari atau dini hari. Gejala-gejala
tersebut pada umumnya disebabkan obstruksi aliran udara yang
meluas tetapi bervariasi yang biasanya reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan. (NHLBI, 2007)
b. Etiologi
1) Asma intrinsik : Terjadi pada penderita yang tidak mempunyai
riwayat keluarga dengan alergi. Ini mungkin disebabkan infeksi
pada saluran pernafasan atau stres psikologik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
2) Asma Ekstrinsik atau asma alergi : Dikarenakan paparan
terhadap alergen seperti debu, hewan dan bahan kimia pabrik.
3) Asma yang diinduksi latihan : Sering terjadi pada orang dewasa
muda. Bronkospasme terjadi setelah memulai latihan dan
keadaan ini membaik setelah berhenti.
4) Asma yang diinduksi obat : Biasanya berhubungan dengan
penggunaan obat OAINS, penghambat B adrenergik, dan
sulfat.
5) Didapatkan hubungan yang kuat antara gen ADAM 33 dengan
asma dan hiperaktivitas bronkus.
(Ferri FF, 2009; Fauci et al, 2008)
c. Patogenesis Asma.
Peristiwa seluler lokal pada jalan pernafasan memberi
pengaruh pada fungsi paru. Peningkatan resistensi jalan pernafasan
terjadi sebagai konsenkuensi dari inflamasi jalan pernafasan,
hiperaktivitas dari otot polos dan penyempitan lumen. Keadaan ini
bertambah buruk dengan adanya hipersekresi mukus dan stimulus
bronkokonstriktor tambahan. Persyarafan pada bronkus juga berperan
pada patogenesis asma. Batuk dan refleks bronkokonstriksi yang
diperantara efferens dari vagus sebagai respons dari stimulasi reseptor
iritasi pada bronkus. Neurotransmitter peptida juga memainkan peran.
Neuropeptida proinflamasi substans P dilepaskan dari serabut afferen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
yang tidak demyelinasi pada jalan pernafasan. Ini menginduksi
kontraksi otot polos dan pelepasan mediator dari sel mast. Vasoactive
intestinal peptide (VIP) merupakan neurotransmitter nonadrenergik
dan noncholinergik yang berfungsi sebagai bronkodilator sehingga
interupsi dari fungsi VIP bisa menyebabkan bronkokonstriksi
(McPhee et al., 2006).
Asma dibagi kepada dua penyebab yaitu ekstrinsik
(alergi) dan instrinsik tergantung kepada faktor pencetus. Asma
atopik dicetuskan oleh pelbagai agen persekitaran seperti debu,
serbuk, dan makanan. Penderita asma atopik biasanya mempunyai
riwayat keluarga yang menderita asma, eksema atopik dan hay fever.
Inflamasi akibat alergi yang ditandai dengan peningkatan
immunoglobulin E (IgE) dan peningkatan respons imun oleh sel T-
helper 2 (Th2) menyebabkan aktivasi sel mast, makrofag dan
mediator pro inflamasi lainnya pada saluran pernafasan. Akhir-akhir
ini, gen yang dilabel sebagai ADAM33 (merupakan disintegrin dan
metalloproteinase) dikenal pasti mempunyai peran pada
hipersensitivitas bronkus. Peningkatan aktivitas pensyarafan jalan
napas oleh nervus vagus terjadi akibat rangsangan iritasi atau
inflamasi. Hal ini menyebabkan refleks sentral seperti batuk, sekresi
mukus, regulasi vasomotor dan bronkokonstriksi yang bisa mencetus
timbulnya gejala-gejala asma. Faktor emosi dan perubahan kadar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
hormon juga bisa menyebabkan terjadinya gajala asma. Faktor emosi
menyebabkan bronkospasme lewat refleks vagal yang juga
merupakan peningkatan respons saluran pernafasan dengan
mekanisme non inflamasi (Rubin et al., 2008; Holgate ST et al.,
1998).
Bronkokonstriksi yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas
tipe I menyebakan gejala klinis bunyi mengi, takipneu dan dispneu.
Apabila keadaan ini berlangsung selama beberapa hari (status
asmatikus), maka hal ini akan menyebabkan kegagalan respiratorik
dan juga bisa menyebabkan kematian. Pelepasan histamin dan slow-
reacting substance of anaphylaxis (SRS-A) mengakibatkan terjadinya
bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskuler dan
hipersekresi mukus. Faktor kemotaksis eosinofil (ECF-A) pula
menarik eosinofil dalam jumlah yang banyak pada dinding bronkus
(Rubin et al., 2008).
d. Respons inflamasi pada patofisiologi asma.
Patofisiologi asma melibatkan hiperaktivitas dari jalan nafas
setelah terpapar satu atau lebih rangsangan iritasi. Stimulus yang
diketahui bisa menginduksi reaksi asma termasuk infeksi virus,
respon alergi terhadap debu, serbuk sari, tungau, atau bulu binatang
peliharaan, latihan, paparan dingin dan refluks gastroesofageal.
Iritabilitas dan hiperaktivitas saluran pernafasan diakibatkan reaksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
inflamasi dan bronkokonstriksi. Meskipun bronkokonstriksi atau
perasaan seperti saluran udara tersumbat mungkin merupakan gejala
pertama ketika serangan asma, itu merupakan reaksi inflamasi yang
akan menyebabkan penyakit asma menjadi lebih serius (Corwin EJ,
2008).
Hipotesis terjadinya hiperaktivitas saluran pernafasan pada
asma bronkial adalah karena respons inflamasi terhadap berbagai
stimulus. Setelah kontak dengan faktor iritasi, mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh makrofag aktif, sel mast, eosinofil, dan basofil
akan menginduksi bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, dan sekresi mukus. Selain itu, sel-sel inflamasi akan
melepaskan faktor kemotaksis sehingga memperhebat respons dari
saluran pernafasan. Inflamasi pada dinding bronkial yang juga dapat
menjejaskan sel epitelium serta merangsang ujung saraf dan
menyebabkan refleks vagal sehingga memperburuk bronkospasme
tersebut. Inflamasi pada saluran pernafasan akan menyebabkan
pelepasan asetilkolin dengan cara menghambat proses autoregulasi
oleh reseptor muskarinik kolinergik M2 yang seharusnya pada saluran
pernafasan yang normal reseptor ini menghambat pelepasan
asetilkolin (Corwin EJ, 2008; Holgate ST et al, 1998).
Banyak mediator inflamasi dan faktor kemotaktik yang
terlibat sehingga terjadi bronkospasme dan hipersekresi mukus pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
asma. Kontribusi relatif dari berbagai subtansi yang berbeda ini
mendorong tercetusnya serangan asma. Dari beberapa penelitian,
antara penyebab asma yang utama adalah karena inhalasi alergen.
(Corwin EJ, 2008).
Pada penderita yang tersensitisasi, alergen yang terinhilasi
bereaksi dengan sel Th2 dan antibodi IgE mengikat pada permukaan
sel mast yang menyelingi diantara sel epitelial pada mukosan
bronkial. Hal ini mengakibatkan ikatan antara IgE dengan sel mast
melepaskan mediator hipersensitivitas tipe I antaranya histamin,
bradikinin, leukotrin B4, prostaglandin D2, tromboksan A2, dan faktor
aktivasi platlet (PAF) serta sitokin seperti interleukin (IL)-4 dan IL-5.
Mediator inflamasi ini mengakibatkan kontraksi otot polos, sekresi
mukus dan peningkatan permeabilitas vaskular serta edema.
Walaupun efek yang akan terjadi reversibel, respons ini tetap
merupakan efek yang poten sehingga bisa menyebabkan obstruksi
saluran pernafasan. IL-5 menginduksi differensiasi eosinofil pada
sumsum tulang. Faktor kemotaktik pula menarik neutrofil, eosinofil
dan platlet ke dinding bronkial. Sebagai akibatnya, eosinofil
melepaskan leukotrin B4 dan PAF, sehingga memperburuk
bronkokonstriksi dan edema. Degranulasi dari eosinofil melepaskan
protein kationik eosinofil (ECP) dan protein dasar mayor (MBP) akan
mengganggu fungsi mukosiliar dan merusak sel epitelial pada lumen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
bronkus. Jejas pada sel epitelial ini dicuriga menstimulasi akhir
pensyarafan pada mukosa sehingga menyebabkan discharge autonom
yang menyumbang kepada penyempitan lumen dan sekresi mukosa.
Lebih-lebih lagi, leukotrin B4 dan PAF merekrut lebih banyak
eosinofil dan sel efektor yang lain yang berjalan terus sehingga pada
akhirnya menyebabkan serangan asma (Gambar 1). Bukti terbaru
mengatakan bahwa aktivasi limfosit T juga menyebabkan respons
inflamasi melalui berbagai sitokin. Inflamasi alergi yang kronis
menyebabkan ekspresif sitokin Th2 yang berlebihan. Peningkatan
aktivitas sel Th2 mungkin disebabkan penurunan sel pengatur T yang
biasanya mengkambat sel Th2. Kemungkinan juga terjadi
peningkatan sel iNKT yang melepaskan sitokin Th2 dan Th1 dalam
jumlah yang besar. Inflamasi kronis menyebabkan perubahan
patologis pada saluran pernafasan yaitu hiperplasia otot polos,
peningkatan jumlah sel goblet, penebalan membran basalis dan
kehilangan silia pada epitel. Inflamasi kronis bisa menyebabkan
kerusakan jalan nafas yang persisten yaitu terjadi remodeling akibat
dari proses penyembuhan jalan nafas (Rubin et al., 2008; Castro M et
al., 2008; NHLBI, 2007; GINA, 2006).
Infeksi virus, alergi dan refluks mencetus respons
hipersensitivitas sehingga mengiritasi saluran pernafasan. Latihan
pula bisa mengiritasi saluran pernafasan karena volume udara yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
besar keluar dan masuk ke dalam paru dengan cepat. Ini karena
udara tersebut masih belum secara adekuat dihumidifikasi,
dihangatkan dan dibersihkan dari partikel asing.
Gambar 1 : Respons Inflamasi Sebagai Patofisiologi Asma (Chandrasoma P
et al., 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
e. Perubahan struktur saluran pernafasan pada penderita asma.
Akibat dari respons inflamasi, saluran pernafasan terjadi
beberapa perubahan struktur atau lebih dikenali sebagai remodelling
saluran pernafasan. Perubahan yang terjadi akibat keadaan asma yang
semakin memburuk bisa menyebabkan penyempitan saluran
pernafasan tersebut irreversibel. Antara perubahan struktur saluran
pernafasan adalah :
1) Fibrosis subepitelial terjadi hasil dari deposisi serabut kolagen
dan proteoglikan di bawah membran basalis dan ini dapat
dilihat pada semua penderita asma. Fibrosis juga terjadi pada
lapisan lainnya dari dinding saluran pernafasan dengan
didapatkan deposisi kolagen dan proteoglikan.
2) Penambahan otot polos pada saluran pernafasan terjadi akibat
dari hipertrofi dan hiperplasia yang menyebabkan penebalan
dinding saluran pernafasan. Keadaaan ini berhubungan dengan
keparahan penyakit dan disebabkan mediator inflamasi seperti
faktor pertumbuhan.
3) Proliferasi pembuluh darah pada dinding saluran pernafasan
terjadi akibat dari faktor pertumbuhan seperti faktor
pertumbuhan endotelial vaskuler (VEGF) sehingga
penyebankan penebalan dinding saluran pernafasan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
4) Hipersekresi mukus terjadi dikarenakan penambahan bilangan
sel goblet serta penambahan ukuran kelenjar submukosa pada
epitelium saluran pernafasan.
(GINA, 2006)
f. Penyempitan saluran pernafasan pada penderita asma.
Penyempitan saluran pernafasan merupakan jalur mekanisme
terakhir yang menyebabkan gejala dan perubahan fisiologis pada
penderita asma. Antara faktor yang berperan terhadap terjadinya
penyempitan lumen adalah :
1) Kontraksi otot polos sebagai respons terhadap pelbagai
mediator bronkokonstriktor dan neurotransmitter merupakan
mekanisme yang utama terjadinya penyempitan saluran
pernafasan. Biasanya keadaan ini reversibel dengan
pengobatan bronkodilator.
2) Edema pada saluran pernafasan yang dikarenakan peningkatan
kebocoran mikrovaskuler akibat respons terhadap mediator
inflamasi. Ini khususnya terjadi pada saat eksaserbasi asma.
3) Penebalan saluran pernafasan akibat dari remodeling pada
keadaan yang parah dan biasanya tidak reversibel sepenuhnya
dengan pengobatan yang ada sekarang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
4) Hipersekresi mukus bisa menyebabkan oklusi lumen
(sumbatan mukus). Ini diakibatkan dari peningkatan sekresi
mukus dan eksudat inflamasi.
(GINA, 2006)
g. Hiperaktivitas saluran pernafasan.
Hiperaktivitas saluran pernafasan merupakan kelainan
fungsional pada penyakit asma yang menyebabkan penyempitan
saluran pernafasan sebagai respons terhadap stimulus yang mungkin
pada orang normal tidak berbahaya. Akibat dari penyempitan saluran
pernafasan ini, terjadi limitasi aliran udara dan gejala intermiten.
Hiperaktivitas saluran pernafasan ini berhubungan dengan proses
inflamasi dan proses penyembuhan pada saluran pernafasan dan
biasanya reversibel parsial dengan pengobatan. Mekanismenya adalah
:
1) Kontraksi otot polos yang berlebihan sehingga menghasilkan
peningkatan volume dan atau peningkatan kontraktilitas pada
sel otot polos.
2) Kontraksi saluran pernafasan yang tidak teratur akibat dari
inflamasi pada dinding saluran pernafasan menyebabkan
penyempitan yang berlebihan serta kehilangan plateau
kontraksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
3) Penebalan dinding saluran pernafasan yang dikarenakan edema
dan perubahan struktur.
4) Syaraf sensoris mungkin tersensitisasi akibat dari inflamasi
yang menyebabkan bronkokonstriksi yang berlebihan sebagai
respons terhadap stimulus sensoris.
(GINA, 2006)
h. Diagnosis.
Diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang adalah dengan
menggunakan spirometri atau peak flow meter untuk melihat adanya
reversibilitas obstruksi saluran pernafasan. Penggunaan alat peak
flow meter untuk mengukur arus puncak ekspirasi mempunyai
batasan. Pengukuran dengan spirometri pula bisa mendapatkan
pengukuran yang lebih akurat. Indikator asma berdasarkan APE :
1) Peningkatan APE > 15% setelah inhalasi bronkodilator (agonis
β2 kerja pendek) atau setelah pemberian bronkodilator
ditambah kortikostereoid.
2) Variabilitas APE dapat ditentukan dengan mengukur APE
terendah (APE) dan APE tertinggi (12 jam kemudian). Variasi
nilai APE > 20% di antara dua pengukuran pada pasien yang
mendapatkan bronkodilator (10% pada pasien tidak
mendapatkan bronkodilator)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3) Penurunan APE > 15% setelah latihan.
(Dahlan Z, 2000)
i. Klasifikasi Asma.
Asma dapat diklasifikasikan menurut etiologi, derajat beratnya
asma dan tingkat kontrol asma (NHLBI, 2007).
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Beratnya Asma (GINA, 2006).
Derajat berat asma Gejala Gejala malam Fungsi paru
Intermiten Gejala < 1x seminggu
Eksaserbasi singkat
< 2x sebulan VEP2 atau APE >
80% prediksi.
Variabilitas APE <
20%
Persisten ringan Gejala > 1x seminggu
tetapi < 1x sehari
Eksaserbasi mungkin
mengganggu aktifitas
dan tidur.
> 2x sebulan VEP1 atau APE >
80% prediksi
Variabilitas APE
20-30%
Persisten sedang Gejala harian
Eksaserbasi mungkin
mengganggu aktifitas
dan tidur.
> 1x seminggu VEP1 atau APE <
60% - < 80%
prediksi
Variabilitas APE >
30%
Persisten berat Gejala harian.
Pembatasan aktivitas
fisik.
Sering terjadi
eksaserbasi.
Sering VEP1 atau APE <
60% prediksi.
Variabilitas APE >
30%
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Kontrol Asma (GINA, 2006).
Terkontrol Terkontrol
sebagian
Tidak terkontrol
Gejala siang hari < 2x/minggu > 2x/minggu > 2x/minggu
Pembatasan pada
aktivitas
Tidak ada Ada Ada
Gejala malam Tidak ada Ada Ada
Kebutuhan
pengobatan untuk
mengurangi gejala
< 2x/minggu > 2x/minggu > 2x/minggu
Faal paru Normal < 80% prediksi
atau personal best
< 80% prediksi
atau personal best
Eksaserbasi Tidak ada > 1x/tahun > 1x/satu atau
beberapa minggu.
3. Hubungan antara refluks gastroesofageal dengan frekuensi
serangan asma.
Beberapa peneliti mengusulkan mekanisme mengenai
patofisiologi terjadinya asma yang diinduksi GERD. Namun begitu,
mekanisme masih belum benar-benar difahami. Antara mekanisme
terjadinya asma yang diinduksi GERD adalah refleks vagal, peningkatan
aktivitas bronkus, mikroaspirasi dan modifikasi sistem imunitas (Isaac
KM, 2009).
Esofagus dan bronkus merupakan asal embrionik yang sama dan
keduanya diinervasi oleh nervus vagus (Isaac KM, 2009). Hal ini
menyebabkan asam yang terpapar pada esofagus bisa menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
gangguan reseptor pada esofagus sehingga menyebabkan refleks vagal.
Refleks vagal ini merupakan mekanisme GERD yang menginduksi
bronkokonstriksi (Harding SM, 2004). Sebuah penelitian membuktikan
esofagus yang terpapar asam bisa meningkatkan aktivitas bronkus bila
didapatkan 36% dari pasien asma didapatkan refluks asam yang
abnormal pada esofagus bagian distal (Kiljander TO, 2004).
Mikroaspirasi asam lambung ke dalam laring dan jalan
pernafasan bagian atas juga bisa menstimulasi aktivitas jalan pernafasan
sehingga menyebabkan peningkatan resistensi jalan pernafasan.
Mikroaspirasi asam lambung menyebabkan kerusakan epitelium pada
saluran pernafasan sehingga melepaskan sitokin dan molekul adhesi
yang bisa menyebabkan respons inflamasi (Harding SM, 2004). Di
samping itu, mikroaspirasi ke dalam paru bisa menyebabkan modifikasi
reaksi sistem imunitas terhadap alergen. Beberapa penelitian telah
dilakukan dengan membandingkan respons sistem imunitas terhadap
alergen antara mencit normal dengan mencit dengan asam lambung
dalam paru. Dari penelitian tersebut didapatkan mencit dengan diberikan
asam lambung ke dalam parunya mempunyai respons yang sama seperti
penderita asma yaitu dengan melepaskan sel Th2 (Isaac KM, 2009).
Aspirasi asam lambung menyebabkan luka bakar kimiawi sehingga
mencetus respons inflamasi akut .Jejas yang berat pada paru sering
ditemukan dengan pH kurang dari 2,5 namun dapat juga terjadi dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
pH yang lebih tinggi. Mediator proinflamasi seperti IL-6 dan TNF-α
meningkat dalam waktu satu jam dari aspirasi asam lambung. Mediator
proinflamasi lainnya seperti leukotrin B4, prostaglandin D3, Tromboksan
A2, IL-1, dan IL-8 juga turut terlibat (Hastrup et al., 2006). Peningkatan
IL-8 didapatkan lebih tinggi dibandingkan interleukin lain di dalam
patogenesis GERD. IL-8 adalah interleukin yang mempunyai aktivitas
kemotaksis terhadap neutrofil yang mempunyai peran dalam inflamasi
akut maupun kronis (Isomoto et al., 2007).
Banyak faktor pada penderita asma yang bisa menyebabkan
terjadinya GERD. Antara faktor predisposisinya adalah peningkatan
gradien tekanan, obstruksi jalan pernafasan dan pengobatan asma.
(Isaac KM, 2009)
Bila terjadi eksaserbasi asma, akan terjadi peningkatan tekanan
negatif pleura yang mana akan menyebabkan peningkatan tekanan pada
diafragma. Peningkatan tekanan diafragma yang melebihi tekanan
esofagus akan mengakibatkan refluks. (Isaac KM, 2009)
Obstruksi saluran pernafasan juga bisa menyebabkan penderita
asma terkena GERD yaitu dengan terjadinya relaksasi LES. Beberapa
penelitian mendapatkan obstruksi saluran pernafasan menyebabkan
peningkatan bilangan relaksasi LES secara bermakna. Bilangan
relaksasi LES akan berkurang apabila saluran pernafasan tersebut
membaik. (Isaac KM, 2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Pengobatan bronkodilator bisa menyebabkan penurunan tekanan
esofagus bagian distal yang mana memungkinkan terjadinya refluks.
Pada suatu penelitian didapatkan peningkatan bilangan refluks sebanyak
24% dan peningkatan gejala GERD sebanyak tiga kali lipat pada
penderita dengan pengobatan teofilin. Penelitian yang lain pula
mendapatkan efek relaksasi esofagus bagian distal pada pengobatan
albuterol nebulasi dibandingkan dengan plasebo. (Isaac KM, 2009)
4. GerdQ
GerdQ merupakan alat penilaian yang dikembangkan untuk
memudahkan dokter mengidentifikasi dan mengelola pasien dengan
penyakit refluks gastroesofageal. Pertanyaan-pertanyaan di kuesioner ini
berasal dari tiga jenis kuesioner yang sudah baku yaitu Reflux Disease
Questionnaire (RDQ), Gastrointestinal Symptom Rating Scale (GSRS)
dan Gastro-oesophageal reflux disease Impact Scale (GIS) (Jones R. et
al., 2009).
Kuesioner GerdQ akhir terdiri dari enam item yaitu empat
prediktor positif bagi GERD dan dua prediktor negatif (Jones R. et al.,
2009).
Empat prediktor positif terdiri dari: heartburn, regurgitasi,
gangguan tidur karena gejala refluks, dan penggunaan obat untuk
mengatasi gejala refluks gastroesofageal. Kedua prediktor negative di
kuesioner ini adalah nyeri epigastrium dan mual (Jones R. et al., 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Tiap pertanyaan di kuesioner ini menanyakan frekuensi yang
dirasakan selama seminggu terakhir kemudian skor 0 untuk 0 hari, skor
1 untuk 1 hari, skor 2 untuk 2 hingga 3 hari, dan skor 3 untuk 4 hingga 7
hari, sehingga menghasilkan total skor 0 hingga 18 (Jones R. et al.,
2009).
Dari hasil analisis ROC menunjukkan kuesioner ini mempunyai
sensitfitas sebesar 65% dan spesifitas sebesar 71% terhadap diagnosis
GERD. Pada nilai total skor 8 atau lebih, kemungkinan pasien memiliki
GERD adalah sebesar 80% (Jones R. et al., 2009).
Kuesioner GerdQ ini telah diuji kevalidannya ke atas 308 orang
pasien dalam suatu penelitian DIAMOND. Dari hasil penelitian tersebut
kuesioner GerdQ mempunyai tiga potensi untuk digunakan di dalam
praktek klinis yaitu (Jones R. et al., 2009):
a. GerdQ dapat digunakan untuk mendiagnosis GERD dengan akurasi
yang serupa dengan hasil diagnosis gastroenterologist.
b. GerdQ dapat digunakan untuk menentukan pengaruh penyakit
terhadap kehidupan pasien dan dapat membantu dalam pemilihan
pengobatan.
c. GerdQ dapat digunakan untuk mengukur respons terhadap
pengobatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
B. Kerangka pemikiran
1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
2. Penjelasan kerangka pemikiran :
1) GERD menyebabkan refluks yaitu aliran balik asam lambung
ke esofagus.
2) Asam lambung pada esofagus bisa menyebabkan gangguan
reseptor M2 yang terdapat di esofagus sehingga terjadi refleks
vagal.
3) Aspirasi asam lambung pula bisa menyebabkan respons
inflamasi dan juga kelainan respons sistem imun.
4) Asam lambung mengiritasi saluran pernafasan menyebabkan
reaksi inflamasi yang melibatkan IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-α.
5) Asam lambung pada paru pula bisa menyebabkan respons
sistem imun yang melibatkan sel Th2.
C. Hipotesis
Terdapat perbedaan angka kejadian refluks gastroesofageal pada pasien
asma terkontrol dan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan
pendekatan cross sectional.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rawat Jalan Poli Paru dan di Rawat Inap
Anggrek 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
C. Subjek Penelitian
1. Populasi
Penderita asma yang memeriksakan dirinya di Rawat Jalan Poli Paru
dan penderita asma di Rawat Inap Anggrek 2 RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.
2. Sampel penelitian
Penderita asma yang memeriksakan dirinya di Rawat Jalan Asma dan
penderita asma di Rawat Inap Anggrek 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta
dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi
1) Usia 14-65 tahun.
2) Bisa diajak berkomunikasi dan bisa menjawab pertanyaan.
3) Telah menandatangani Inform Consent.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
b. Kriteria eksklusi
1) Perokok aktif.
2) Pasien yang mempunyai riwayat dan atau sedang menderita
penyakit paru obstruktif selain asma seperti PPOK, tuberkulosis
paru, kanker paru dan penyakit paru kerja.
3) Pasien yang mempunyai riwayat dan atau sedang menderita
penyakit yang mempunyai gejala-gejala seperti GERD.
4) Tidak bersedia untuk ikut dalam penelitian.
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling. Besar
sampel pada penelitian diperoleh berdasarkan rumus :
n = (1,96)2 (0,054) (0,946)
(0,05)2
n= (3,8416) (0,051084)
0,0025
n = 78
Keterangan:
p : perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan pada populasi
yaitu 5,4 % (DAI, 2009).
Zα : nilai statistik Zα pada kurva normal standart pada tingkat kemaknaan,
yaitu 1,64 dengan α = 0,1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
q : 1-p yaitu 0,946
d : presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi, yaitu
5%.
Seharusnya jumlah sampel yang digunakan adalah 78 orang sehingga
total jumlah sampelnya adalah 156 orang. Namun penelitian ini, sampel
dibataskan dengan jumlah pasien yang datang ke Rawat Jalan Poli Paru dan
yang dirawat di Rawat Inap Anggrek 2 RSUD Moewardi Surakarta dalam
kurun waktu satu bulan.
E. Desain Penelitian
F. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas : Refluks Gastroesofageal
2. Variabel Terikat : Tingkat Kontrol Asma
Populasi
Sampel
Asma terkontrol Asma tidak terkontrol
Kuesioner GerdQ Kuesioner GerdQ
Analisis data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
3. Variabel Luar
a. Terkendali : Umur, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit
paru obstruktif lainnya dan riwayat penyakit yang mempunyai gejala-
gejala seperti GERD.
b. Tidak terkendali : Alergen, genetik dan faktor psikis.
G. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas
Refluks gastroesofageal adalah suatu kondisi yang mana terjadi refluks
asam dari lambung ke dalam esofagus atau saluran pernafasan tanpa
diakibatkan inflamasi esofageal. Keadaan ini menyebabkan gejala seperti
heartburn dan regurgitasi. Kuesioner yang digunakan yaitu kuesioner GerdQ
mempunyai sensitifitas 65% dan spesifisitas 71% terhadap diagnosis GERD
(Jones R et al., 2009).
a. Alat ukur : Kuesioner GerdQ
b. Hasil : Mempunyai refluks gastroesofageal jika nilai > 8
c. Skala pengukuran : Skala nominal
2. Variabel Terikat
Tingkat kontrol asma merupakan keadaan kontrolnya manifestasi
klinis penyakit asma yang terdiri dari gejala siang hari, pembatasan pada
aktivitas, gejala malam hari, kebutuhan pengobatan untuk mengurangi gejala,
faal paru dan eksaserbasi. Klasifikasi ini dibagi kepada asma terkontrol, asma
terkontrol sebagian dan asma tidak terkontrol. Namun dalam penelitian ini,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
apabila ditemukan asma terkontrol sebagian, pasien diklasifikasikan sebagai
asma tidak terkontrol (GINA, 2006).
b. Alat ukur : Hasil diagnosis dokter
c. Hasil
1) Asma terkontrol
2) Asma tidak terkontrol
d. Skala pengukuran : Skala ordinal
3. Variabel luar terkendali
a. Umur
Subyek penelitian adalah dewasa yang berusia antara 14 – 65 tahun.
1) Alat ukur : Kuesioner
2) Hasil : Variabel ini dibagikan kepada 3 kelompok
a) Kelompok umur 21 – 35 tahun.
b) Kelompok umur 36 – 50 tahun.
c) Kelompok umur 51 – 65 tahun.
3) Skala pengukuran : Skala ordinal
b. Perokok aktif
Perokok adalah orang yang merokok lebih dari 100 sigaret
sepanjang hidupnya dan pada saat ini masih merokok atau telah berhenti
berhenti merokok kurang dari satu tahun (Kang et al., 2003). Pada
penelitian ini digunakan sampel yang tidak merokok aktif.
1) Alat ukur : kuesioner
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
2) Hasil : perokok aktif dan bukan perokok aktif
3) Skala pengukuran : nominal
c. Riwayat penyakit paru dan atau sedang menderita penyakit paru sekarang
yang menyebabkan obstruksi saluran nafas, misalnya PPOK, tuberculosis
paru, kanker paru dan penyakit paru kerja.
1) Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Kelompok penyakit paru yang progresif, melemahkan
dan berpotensi fatal yang mana terjadi peningkatan resistensi
aliran udaran, perpanjangan fase ekspirasi respirasi dan
hilangnya elastisitas paru. Termasuk PPOK adalah bronchitis
kronis dan emfisema. (Ferri FF., 2009)
2) Tuberculosis paru (TB Paru).
Tuberculosis paru merupakan penyakit paru yang
terinfeksi basil Micobacterium tuberculosis. (Ferri FF., 2009)
3) Kanker paru
Kanker paru merupakan semua penyakit keganasan di
paru mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri
maupun keganasan dari luar paru (Venes D., 2009).
4) Penyakit paru akibat kerja
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh partikel,
uap, gas atau kabut berbahaya yang menyebabkan penyempitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
saluran pernafasan atau kerusakan paru bila terinhalasi selama
bekerja (Venes D., 2009).
Sampel yang diambil dalam penelitian adalah yang tidak pernah
menderita penyakit paru tersebut.
1) Alat ukur : kuesioner
2) Skala pengukuran : nominal
d. Riwayat penyakit dan atau sedang menderita penyakit yang mempunyai
gejala-gejala seperti GERD.
1) Akalasia
Akalasia adalah kelainan motilitas pada esophagus
yang disebabkan relaksasi LES yang tidak sempurna dan juga
kelainan peristalsis otot polos esophagus (Ferri FF., 2009).
2) Ulkus peptikum
Ulkus peptikum merupakan ulkus pada gaster atau
deudenum yang bias menyebabkan ketidakseimbangan antara
faktor pelindung mukosa dengan faktor iritasi mukosa (Ferri
FF., 2009).
3) Skleroderma
Kelainan jaringan pengikat yang ditandai dengan
penebalan dan fibrosis pada kulit dan organ dalaman. Penyakit
ini bias menyebabkan dismotilitas esophagus yang bias
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
mengakibatkan gejala heartburn, disfagia dan odinofagia (Ferri
FF., 2009).
4) Striktura esophagus
Merupakan penyempitan atau konstriksi pada lumen
esofagus yang penyebabnya bisa konginetal atau didapatkan
(Ferri FF., 2009).
5) Angina
Merupakan perasaan dada seperti ditekan atau tertindih
yang menyebar ke punggung, leher atau lengan kiri yang
dicetuskan oleh tekanan perasaan, kosumsi makanan, hawa
dingin atau merokok; dan dapat dilegakan dengan istirahat atau
nitrat. Keadaan ini merupakan gejala akibat dari kebutuhan
oksigen miokard yang tidak mencukupi yang biasanya
dikarenakan aterosklerosis pada arteri koronaria atau spasme
arteri koronaria (Domino FJ., 2009).
Sampel yang diambil dalam penelitian adalah yang tidak pernah
menderita penyakit paru tersebut..
1) Alat ukur : kuesioner
2) Skala pengukuran : nominal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
H. Cara Kerja
1. Pasien Asma Rawat Jalan Poli Paru
a. Meminta izin dari petugas Rawat Jalan Poli Paru untuk melakukan
penelitian.
b. Meminta bantuan petugas Rawat Jalan Poli Paru untuk identifikasi pasien
asma yang datang di poli tersebut.
c. Menjelaskan maksud tujuan penelitian kepada pasien.
d. Bila pasien sudah setuju, pasien diminta menandatangani inform consent.
e. Melihat catatan kesehatan pasien.
f. Pasien diklasifikasikan menurut tingkat kontrol asma yaitu asma
terkontrol dan asma tidak terkontrol berdasarkan diagnosis yang telah
ditentukan oleh Dokter Bagian Paru RSUD Dr. Moewardi.
g. Pasien diminta mengisi kuesioner.
2. Pasien Asma di Rawat Inap Anggrek 2
a. Meminta izin petugas di Rawat Inap Anggrek 2 untuk melakukan
penelitian
b. Mencari data pasien asma di dalam buku mondok.
c. Menemui pasien asma tersebut dan menjelaskan maksud tujuan penelitian
kepada pasien.
d. Bila pasien sudah setuju, pasien diminta menandatangani inform consent.
e. Pasien diklasifikasikan tingkat kontrol asma menurut diagnosis dokter.
f. Pasien diminta mengisi kuesioner.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
I. Teknik dan Analisis Data Statistik
Data yang diperoleh pada penelitian ini guna menguji hipotesis yang
diajukan akan dianalisis dengan menggunakan uji Chi Square.
Setelah didapatkan data dari penelitian yang dilakukan, maka data
akan diolah dengan bantuan perangkat lunak Statistical Product and Service
Solution (SPSS) 17 for Windows.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Data-data Penelitian
Pengumpulan data penelitian dilakukan tanggal 20 November 2010 sampai
dengan tanggal 19 Desember 2010. Data primer dikumpulkan dengan melakukan
wawancara terhadap responden, sedangkan data sekunder diambil dari catatan medik
penderita.
Data untuk kelompok kasus dan kontrol bersumber dari pasien asma di Rawat
Inap Anggrek 2 dan pasien rawat jalan yang berkunjung ke Poli Asma RSUD. Dr,
Moewardi selama periode penelitian.
Pada penelitian ini, pengelompokan tingkat kontrol asma penderita adalah
asma terkontrol dan asma tidak terkontrol. Apabila ditemukan asma tidak terkontrol
sebagian, penderita dikelompokkan sebagai asma tidak terkontrol.
Tabel 3 : Distribusi Subyek Menurut Jenis Kelamin pada Asma Terkontrol
dan Asma Tidak Terkontrol.
Asma terkontrol
n (%)
Asma tidak terkontrol
n (%)
Jumlah
n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 6 (40%) 7 (36,8%) 13 (38,2%)
Perempuan 9 (60%) 12 (63,2%) 21 (61,8%)
Jumlah 15 19 34
Tabel 3 terlihat jumlah penderita asma keseluruhan terbanyak pada
perempuan, sebesar 21 orang pasien (61,8%). Begitu juga pada asma terkontrol dan
asma tidak terkontrol, subyek terbanyak adalah perempuan sebesar 9 orang pasien
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
(60%) dan 12 orang pasien (63,2%). Hasil tabulasi silang tabel di atas
memperlihatkan tidak ada frekuensi harapan yang bernilai kurang dari lima (<5),
berarti hasil analisis menggunakan Chi Square memenuhi syarat. Dengan uji Chi
Square diperoleh nilai p = 0,851 > 0,05 yang berarti tidak signifikan.
Tabel 4 : Distribusi Subyek Menurut Umur pada Asma Terkontrol dan Asma
Tidak Terkontrol.
Asma terkontrol Asma tidak terkontrol Jumlah
Umur
21 - 35 1 (6,7%) 5 (26,3%) 6 (17,6%)
36 - 50 9 (60%) 10 (55,9%) 19 (55,9%)
51 - 65 5 (33,3%) 4 (21,1%) 9 (26,5%)
Jumlah 15 19 34
Tabel 4 menunjukkan keseluruhan subyek terbanyak pada umur 36 – 50
tahun, sebesar 19 orang pasien (55,9%). Pada asma terkontrol dan asma tidak
terkontrol, penderita terbanyak pada umur 36 – 50 tahun juga yaitu sebesar 9 orang
pasien (60%) dan 10 orang pasien (55,9%). Hasil tabulasi silang tabel di atas
memperlihatkan terdapat frekuensi harapan yang bernilai kurang dari lima (<5),
berarti hasil analisis menggunakan chi-square tidak memenuhi syarat. Uji
Kolmogorov Smirnov diperoleh nilai p = 0.903 > 0.05 yang berarti tidak signifikan.
Tabel 5 : Distribusi Subyek Menurut Jenis Kelamin pada GERD Positif dan
GERD Negatif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
GERD +
n (%)
GERD –
n (%)
Jumlah
n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 5 (38,5%) 8 (38,1%) 13 (38,2%)
Perempuan 8 (61,5%) 13 (61,9%) 21 (61,8%)
Jumlah 13 21 34
Tabel 5 terlihat jumlah subyek yang didapatkan positif GERD terbanyak pada
perempuan yaitu sebesar 8 orang pasien (61,5%) sedangkan laki-laki sebesar 5 orang
pasien (38,5%). Jumlah subyek yang positif GERD adalah sebanyak 13 orang pasien
dari keseluruhan 34 orang pasien subyek. Hasil tabulasi silang di atas menunjukkan
terdapat satu frekuensi harapan yang bernilai kurang dari lima (<5), berarti tidak
layak untuk uji Chi Square. Uji Fisher didapatkan nilai kemaknaan adalah 1,000
untuk 2-sided dan 0,631 untuk 1-sided. Hasil dai uji Fisher ini didapatkan nilai p >
0,05 yang berarti tidak signifikan.
Tabel 6 : Distribusi Subyek Menurut Umur pada GERD Positif dan GERD
Negatif.
GERD +
n (%)
GERD –
n (%)
Jumlah
n (%)
Umur
21 - 35 3 (23,1%) 3 (14,3%) 6 (17,6%)
36 - 50 8 (61,5%) 11 (52,4%) 19 (55,9%)
51 - 65 2 (15,4%) 7 (33,3% 9 (26,5%)
Jumlah 13 21 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Tabel 6 terlihat subyek yang didapatkan positif GERD terbanyak pada umur
36 – 50 tahun yaitu sebesar 8 orang pasien (61,5%). Subyek berusia 21 – 35 tahun
yang positif GERD sebesar 3 orang pasien (23,1%) sedangkan subyek berusia 51 – 65
tahun yang positif GERD sebanyak 2 orang pasien (15,4%). Hasil tabulasi silang di
atas menunjukkan terdapat satu frekuensi harapan yang bernilai kurang dari lima
(<5), berarti tidak layak untuk uji Chi Square. Uji Hasil uji Kolmogrov-Smirnov
menunjukkan nilai p = 0,958 > 0,005 yang berarti tidak signifikan.
Tabel 7 : Cross tab antara Refluks Gastroesofageal dengan Tingkat Kontrol
Asma.
Asma terkontrol Asma tidak terkontrol Jumlah
Refluks gastroesofageal
Positif 1 12 13
Negatif 14 7 21
Jumlah 15 19 34
Dari tabel 7 didapatkan 1 orang pasien (6,7%) dari 14 orang pasien asma
terkontrol adalah positif GERD. Sedangkan 12 orang pasien (63,2%) dari 19 orang
pasien asma tidak terkontrol adalah positif GERD. Ini menunjukkan, GERD positif
lebih banyak ditemukan pada pasien asma tidak terkontrol. Keseluruhan pasien asma
yang didapatkan positif GERD adalah sebanyak 13 orang pasien (38,2%). Dari hasil
tabulasi silang pada tabel di atas, hasil uji Chi Square menunjukkan X2= 11,327, nilai
p = 0,001. Kerana nilai P < 0,05, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
perbedaan bermakna angka kejadian GERD pada asma terkontrol dan asma tidak
terkontrol. Uji Lambda mendapatkan bahwa besar korelasi adalah 0,467 yang
menunjukkan bahwa korelasinya cukup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
BAB V
PEMBAHASAN
Sejak Sir William Osler menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara GERD
dengan serangan asma pada tahun 1892 dengan mengatakan serangan asma yang
hebat mungkin diinduksi oleh beban yang berat pada lambung atau kerana konsumsi
suatu makanan tertentu, banyak penelitian telah dilakukan sehingga prevalensi GERD
pada pasien asma diestimasi sebesar 34% - 89%. Namun masih belum ada penelitian
yang melihat perbedaan angka kejadian GERD pada asma terkontrol dan asma tidak
terkontrol (Isaac KM, 2009). Asma terkontrol merupakan tujuan dari pengobatan
asma sehingga penelitian ini dilaksanakan untuk melihat apakah GERD bisa
menginterupsi keberhasilan pengobatan asma (GINA, 2006).
Dari hasil penelitian ini, didapatkan distribusi pasien berdasarkan jenis
kelamin pada keseluruhan subyek adalah laki-laki sebanyak 13 orang pasien (38,2%)
dan perempuan 21 orang pasien (61,8%). Hasil ini sesuai dengan data epidemiologi
asma di Carolina Utara yang mendapatkan prevalensi seumur hidup penyakit asma
adalah 12,3% pada perempuan dan 9,5% pada laki-laki (N.C. DHHS, 2007). Menurut
umur pula, didapatkan penderita asma terbanyak pada rentang umur 36 – 50 tahun.
Dari hasil uji statistik, menunjukkan hasil dari karekteristik pasien asma ini tidak
signifikan.
Dari keseluruhan subyek, didapatkan pasien yang menderita GERD terbanyak
pada perempuan yaitu sebanyak 8 orang pasien (61,5%) sedangkan laki-laki 5 orang
pasien (38,5%). Ini sesuai dengan hasil penelitian ke atas 260 000 penduduk di
Finland yang didapatkan rasio penderita GERD laki-laki banding perempuan adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
1:1,3. (Johnson DA, 2010) Menurut usia pula, pasien yang menderita GERD
terbanyak pada usia 36 – 50 tahun.. Kedua-dua distribusi jenis kelamin dan umur ini,
setelah dilakukan uji statistik didapatkan hasil yang tidak signifikan.
Penelitian potong lintang yang dilakukan selama satu bulan di RSUD Dr.
Moewardi ini menggunakan kuesioner GerdQ yang hanya melihat pada gejala-gejala
GERD. Gejala yang ditanyakan di kuesioner tersebut adalah heartburn, regurgitasi
dan gangguan tidur yang dikarenakan dua gejala tersebut. Selain itu ditanyakan
penggunaan obat untuk melegakan dari gejala GERD. Dari hasil kuesioner yang
mempunyai sensitifitas 65% dan spesifisitas 71% ini, bila dilihat hasilnya pada tiap
kelompok didapatkan GERD positif pada 1 orang pasien (6,7%) dari 15 orang pasien
asma terkontrol dan 12 orang pasien (63,2%) dari 19 orang pasien asma tidak
terkontrol. Jumlah GERD positif pada keseluruhan sampel adalah 13 orang pasien
(38,2%) dari 34 orang pasien.
Penulis membandingkan hasil penelitian ini dengan empat buah penelitian
lainnya untuk mencari hubungkait antara GERD dengan frekuensi serangan asma.
Penelitian yang pertama adalah penelitian dengan melakukan monitor pH esofagus
pada satu setengah dekade terakhir, ditemukan GERD sebanyak 32% dari 105 pasien
asma. Penelitian pada tahun-tahun sebelumnya juga mendapatkan satu pertiga
penderita asma menderita GERD dengan pemeriksaan monitor pH esofagus
(Kiljander T.O. et al., 2004). Penelitian kedua adalah dengan monitor pH esofagus
pada pasien asma yang tidak didapatkan gejala-gejala GERD. Dari penelitian
tersebut, didapatkan 62% dari 26 pasien asma positif GERD walaupun tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
didapatkan gejala-gejala dari penyakit tersebut (Hardin , 2000). Penelitian ketiga
yaitu penelitian yang dilakukan keatas penderita asma, ditemukan gejala GERD pada
47 orang pasien (52%) dari 90 orang pasien. Namun hanya 51% dari 47 orang pasien
tersebut positif GERD dengan monitor pH esofagus. (Kiljander TO, 2004). Penelitan
yang keempat pula penelitian yang menguji hubungan antara GERD dengan asma
yang sulit dikontrol. Penelitian tersebut dilakukan ke atas pasien yang responsif
terhadap pengobatan asma dan pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan
asma. Pemeriksaan monitor pH esofagus ke atas 34 orang pasien bagi tiap kelompok
tersebut mendapatkan GERD pada 70,6% pasien yang responsif terhadap pengobatan
asma dan 79,4% pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan asma. Namun
didapatkan 9,6% dari pasien yang positif GERD adalah asimtomatik dari gejala
GERD (Legget JJ et al., 2005).
Bila dibandingkan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelum ini,
hasil penelitian ini dari keseluruhan subyek atau hanya dari pasien asma tidak
terkontrol didapatkan pasien asma dengan GERD positif masih di dalam prevalensi
penelitian-penelitian sebelumnya yaitu antara 34% - 89%. Sedangkan kelompok
pasien asma terkontrol yang positif GERD pula hanya didapatkan sebanyak 6,7%.
Dari hasil penelitian ini, dapat dinyatakan bahwa penelitan-penelitian yang dilakukan
sebelum ini kemungkinan dilakukan pada pasien asma terkontrol dan asma tidak
terkontrol dengan jumlah sampel kedua kelompok yang seimbang. Pada hasil dengan
prevalensi yang lebih tinggi pula, dapat dinyatakan bahwa jumlah subyek dari
penelitian tersebut adalah mayoritas pasien asma tidak terkontrol. Pada penelitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
yang keempat di atas, kelompok yang responsif terhadap pengobatan asma juga
dinyatakan oleh peneliti bahwa pasien-pasien dari kelompok tersebut tidak dapat
dipastikan apakah asmanya terkontrol atau tidak (Legget JJ et al., 2005). Hasil GERD
positif sebesar 70,6% pada pasien tersebut, dapat dinyatakan kemungkinan sebagian
besar pasien tersebut adalah pasien asma tidak terkontrol.
Dari hasil penelitian ini, pasien dikategorikan sebagai positif GERD hanya
dari gejala-gejala GERD dengan menggunakan kuesioner GerdQ. Bila dibandingkan
dengan penelitian-penelitian sebelum ini, terdapat dua kemungkinan. Pertama, pasien
asma dengan gejala GERD kemungkinan pada pemeriksaan monitor pH esofagus
didapatkan negatif GERD. Kedua, pasien yang tidak mempunyai gejala-gejala GERD
kemungkinan akan didapatkan positif GERD jika dilakukan pemeriksaan monitor pH
esofagus. Hal ini memungkinkan prevalensi GERD pada pasien asma dalam
penelitian ini lebih tinggi walaupun GERD didefinisikan sebagai gejala bersifat
refluks yaitu heartburn dan regurgitasi walaupun tanpa inflamasi esofageal (Axford,
2008). Namun bila tidak didapatkan gejala heartburn atau regurgitasi, kelainan ini
bisa disebut sebagai silent GERD (Johnson DA, 2010).
Walaupun GERD lebih banyak ditemukan pada pasien asma tidak terkontrol,
tidak dapat diketahui apakah GERD yang menyebabkan keadaan asma bertambah
parah atau kelainan asma pada pasien yang menyebabkan timbulnya GERD. GERD
bisa menyebabkan keadaan asma menjadi bertambah buruk akibat dari mikroaspirasi
asam lambung yang seterusnya mencetuskan reaksi inflamasi. Selain itu, iritasi asam
lambung pada esofagus bisa menyebabkan terjadinya rangsangan refleks vagal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Sedangkan asma bisa menyebabkan timbulnya GERD dikarenakan perubahan
tekanan pada paru, inkompetensi LES dan juga pengobatan asma. Episode gejala
batuk dan mengi pada pasien asma bisa menyebabkan penurunan kompetensi LES
dan peningkatan tekanan negatif intrathoraks sehingga bisa menyebabkan terjadinya
refluks. Pada eksaserbasi asma juga merupakan penyebab peningkatan tekanan
negatif intrathoraks (Isaac KM, 2009). Selain itu, obstruksi saluran pernafasan
sebagai manifestasi dari penyakit asma juga bisa menyebabkan terjadinya relaksasi
LES. Pada pengobatan asma pula, penggunaan obat bronkodilator memungkinkan
terjadinya relaksasi LES (Isaac KM, 2009). Pada saat menanyakan kuesioner pada
pasien, rata-rata pasien menyatakan bahwa tidak jelas apakah gejala GERD dirasakan
dahulu sebelum penyakit asma memberat ataupun sebaliknya. Hanya 3 orang dari
pasien yang positif GERD menyatakan gejala GERD muncul dahulu sebelum
penyakit asma memberat. Selain itu, masih banyak faktor pemberat penyakit asma
yang tidak bisa dikenal pasti di dalam penelitian ini seperti meminum obat asma tidak
mengikut aturan, cara penggunaan inhaler yang tidak benar dan penggunaan obat
asma yang tidak optimal seperti menurut aturan praktis klinis pada kasus asma tidak
terkontrol (GINA, 2006; NHLBI, 2007).
Rata-rata pasien yang didapatkan gejala GERD meminum obat antasid untuk
melegakan gejala GERD. Tetapi terdapat juga pasien yang minum obat ranitidin
untuk mengatasi gejala GERD yaitu sebanyak 3 orang pasien. Salah satu dari pasien
yang mengambil obat ranitidin tersebut adalah pasien asma terkontrol. Namun begitu,
terdapat beberapa subyek yang positif GERD tidak mengkosumsi obat untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
mengatasi gejala GERD. Untuk mengatasi GERD, obat penghambat pompa proton
seperti esomeprazol, omeprazol, lansoprazol dan pantoprazol merupakan obat yang
aman, toleransi dan paling efektif. Obat penghambat reseptor H2 seperti nizatidin,
famotidin, ranitidin dan cimetidin juga dapat mengatasi GERD tetapi kurang efektif
dari obat jenis penghambat pompa proton. Sedangkan obat antasid yang kebanyakan
digunakan pasien di dalam penelitian ini hanya dapat melegakan gejala ringan dari
GERD. Agen prokinetik yaitu obat metaclopramid hanya diindikasikan bila obat dari
jenis penghambat pompa proton kurang efektif.
Selain penanganan GERD dengan obat, perubahan gaya hidup juga perlu
dilakukan pada pasien asma yang didapatkan GERD. Makanan dan pengambilan obat
yang bisa memberatkan gejala GERD harus dicegah. Konsumsi makanan yang
berasam bisa menimbulkan gejala GERD. Makanan yang tinggi lemak pula dapat
melambatkan pengosongan lambung. Selain itu minuman beralkohol, berkafein dan
berkarbonat dapat menurunkan tekanan LES sehingga harus dicegah. Pasien harus
menjauhkan daripada mengkonsumsi makanan tiga jam sebelum tidur selain tidak
berbaring dua jam setelah mengkonsumsi makanan. Ketika tidur, posisi tubuh badan
atas harus ditinggikan sedikit dari normalnya. Perubahan gaya hidup yang lainnya
adalah seperti penurunan berat badan, tidak merokok dan minum alkohol.
Terdapat beberapa kelebihan dari penelitian ini, antara lain dapat melihat pola
GERD pada pasien asma terkontrol dan pasien asma tidak terkontrol. Penggunaan
kuesioner GerdQ pada tiap kali anamnesis pasien juga dapat membantu dalam
mendiagnosis GERD pada pasien asma.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Kekurangan penelitan ini ialah tidak dapat mengeliminasi penyebab-penyebab
selain GERD yang menyebabkan serangan asma pada pasien memberat seperti
perokok pasif, iklim, alergen, konsumsi obat-obatan dan stress psikologis. Hal ini
menyebabkan tidak dapat membuat kesimpulan bahwa GERD pada pasien yang
menyebabkan asma pada pasien memberat. Selain itu jumlah sampel penelitian ini
kurang dari yang seharusnya. Menurut rules of thumb pula, seharusnya jumlah
sampel bagi tiap kelompok paling minimal seharusnya 30 sampel sehingga hasil dari
penelitian ini tidak bisa dikatakan valid. Kekurangan lainnya adalah penelitian ini
hanya menggunakan kuesioner GerdQ yang hanya melihat pada gejala GERD
sehingga tidak menginklusi pasien yang berkemungkinan positif GERD jika
dilakukan monitor pH esofagus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dalam penelitian ini, hasil uji Chi Square diperoleh X2 = 11,327. Uji P =
0,001 < 0,05 yang berarti hasil adalah signifikan. Ini bermakna terdapat
perbedaan angka kejadian refluks gastroesofageal (GERD) pada pasien asma
terkontrol dan tidak terkontrol di RSUD DR. Moewardi Surakarta.
B. Saran
1. Dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih banyak dengan
memperhatikan variabel-variabel luar yang merupakan faktor pemberat asma.
2. Untuk mengurangi bias dalam penelitian epidemiologi, diagnosis GERD
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan biomarker yaitu pemeriksaan monitor
pH esofagus atau biopsi esofagus.
3. Terdapat beberapa pasien yang lupa mengeluhkan gejala GERD ketika
pemeriksaan. Untuk mengatasi hal ini, kuesioner GerdQ dapat digunakan oleh
dokter tiap kali melakukan anamnesis pada pasien asma.