difteri

Upload: melisacitra

Post on 10-Jan-2016

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

difteri

TRANSCRIPT

Difteri

Difteri pada Anak

Melisa Citra Ika Mulya

102013443

Kelompok F5

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

[email protected]

Rumusan Masalah

Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun mengeluh sesak nafas sejak 1 hari yang lalu

Hipotesis

Anak ini diduga menderita difteri karena adanya infeksi dari corynebacterium diphtheriae

Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara teliti, teratur, dan lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan diperoleh dari anamnesis untuk menegakkan diagnosis. Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis adalah identitas pribadi, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit sosial, dan riwayat pribadi.1

Pada kasus kali ini yaitu seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ibunya ke IGD RS karena sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan didahuluibatuk pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari yang lalu anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi pasien ternyata tidak lengkap. Dari kasus tersebut maka pertanyaan yang telah dijabarkan diatas harus ditanyakan agar dapat menentukan diagnosis yang tepat.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, yang pertama kali diperiksa adalah periksa keadaan umumnya, pada kasus ini keadaan umum sang pasien adalah sakit berat. Kemudian ditentukan juga kesadaran pasien yaitu adalah compos mentis pada kasus ini. Setelah itu diperiksa tanda-tanda vital sang pasien yang terdiri dari nadi yaitu 130/menit, suhu yaitu 400c, dan pernafasan yaitu 50x/menit. Kemudian setelah melakukan pemeriksaan diatas dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.1,2Pemeriksaan inspeksi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan melihat kelainan-kelainan yang mungkin saja dapat timbul pada pasien. Pada kasus ini didapatkan leher membesar dan tonsil membesar ditutupi dengan selaput putih keabu-abuan yang menyebar sampai ke dinding faring dan bila tonsil tersebut berusaha diangkat maka akan menyebabkan pendarahan pada tonsil.

Pemeriksaan palpasi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara menekan bagian tubuh pasien dengan menggunakan tangan kanan dan menggunakan jari ke 2, 3, dan 4 untuk mengetahui adanya rasa nyeri, perbesaran dari organ-organ, dan benjolan. Pada kasus ini, pemeriksaan palpasinya didapatkan leher teraba keras.

Pemeriksaan perkusi merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan cara mengetuk bagian tubuh pasien dengan menggunakan tangan kanan untuk mengetuk dan tangan kiri diletakkan sebagai dasar untuk mengetuk. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendengarkan bunyi seperti sonor, pekak, atau timpani.

Pemeriksaan auskultasi dilakukan dengan cara menaruh stetoskop untuk mendengarkan bunyi seperti bising usus, suara jantung, paru-paru, dan sebagainya. Pada kasus kali ini didapati adanya suara stridor. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penderita difteri adalah dengan menggunakan pewarnaan neisser akan ditemukan bakteri berbentuk batang gram positif tidak berspora. Selain itu dapat juga dilakukan kultur non selective atau dengan selective. Pada kultur non selective kita dapat menggunakan medium agar serum loeffler dan pada selective dapat digunakan media agar tinsdale yang kemudian akan terlihat koloni hitam atau kecoklatan yang berhalo dan pada medium agar tellurite akan membentuk warna hitam dan berfungsi untuk menghambat pertumbuhan flora normal traktus respiratorius. Dan untuk mendeteksi toksinnya dapat digunakan elekouchterlony test dengan teknik imunodifusi yaitu dengan cara akan terbentuk reaksi toksin dengan anti toksin kemudian akan terjadi ikatan.

Working Diagnosis

Difteri

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit yang disebabkan oleh basil gram positif corynebacterium diphteriae dan corynebacteria ulcerans yang ditandai oleh terbentuknya eksudat berbentuk membran pada tempat infeksi dan diikuti gejala umum yang ditimbulkan eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.

Differential Diagnosis

Abses retrofaring

Abses retrofaring merupakan penyulit dari suatu faringitis bakteri. Dapat terjadi akibat adanya penyebaran dari suatu infeksi luka setelah suatu luka tembus pada faring bagian belakang. Gejala klinisnya adalah biasanya penderita memiliki riwayat nasofaringitis atau faringitis akut. Umumnya terdapat demam tinggi yang terjadi tiba-tiba disertai kesulitan menelan, tidak mau makan, nyeri tenggorokkan. Pernapasan semakin berat dan sulit serta sekresi yang dikeluarkan tertimbun di dalam mulut sehingga menyebabkan penderita terus menerus mengeluarkan liur akibat kesulitan menelan. Bisanya dengan mudah akan terlihat adanya penonjolan pada dinding belakang faring.

Abses peritonsiler

Merupakan penyakit yang jarang ditemukan pada anak-anak. Biasanya didahuli dengan serangan faringo tonsilitis akut. Biasanya penderita mengeluh mengenai nyeri tenggorokkan hebat, kesukaran dalam membuka mulut, dan seringkali penderita menolak untuk menelan dan berbicara.

Epidemiologi

Difteri tetap endemik di beberapa negara pada tahun 1970an dengan tingkat kejadian yang dilaporkan lebih dari 1,0 per juta penduduk di alaska, arizona, montana, new mexico, south dakota, dan washington. Sebagian besar infeksi ini dikaitkan dengan vaksinasi lengkap. Di amerika serikat, saat ini terjadi secara sporadis, sebagian besar terjadi di antara penduduk asli amerika, tunawisma, kelompok sosioekonomi rendah, dan pecandu alkohol.

Di amerika serikat sejak pengenalan dan meluasnya penggunaan toksoid difteri pada tahun 1920, difteri pernapasan telah terkontrol dengan baik, dengan kejadian sekitar 1000 kasus setiap tahunnya. Sebelum vaksinasi, terjadi 200.000 kasus terjadi setiap tahun.

Sejak tahun 1980 infeksi difteri pada orang yang diimunisasi telah menurun, meskipun ada orang yang diimunisasi, dapat terjadi infeksi kejadian penyakitnya menurun demikian juga keparahan penyakit. Orang yang belum pernah diimunisasi atau yang tidak lengkap diimunisasi merupakan kelompok yang beresiko infeksi. Di amerika serikat, kelompok ini terutama terdiri dari individu miskin dan kaum imigran. Infeksi yang disebabkan oleh corynebacterium non diphtherial yang dilaporkan umumnya berhubungan dengan alat-alat medis seperti kateter intravaskular, katup buatan.

Pada epidemi di latvia tahun 1993-2003, dilaporkan terdapat 1359 kasus difteri dengan 101 kematian. Jumlah kasus menurun dari 3,9 kasus per 100.000 kasus pada 2001 menjadi 1,12 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2003. Kasus yang terjadi umumnya pada orang dewasa yang tidak divaksinasi. Di inggris, pada tahun 1995-2002 dilaporkan 17 kasus difteri kulit.

Pada awal tahun 1990, organisasi kesehatan dunia melaporkan endemik difteri di beberapa bagian dunia. Angka kematian karena difteri berkisar antara 5-10% lebih tinggi sampai 20% pada anak-anak dengan usia kurang dari 5 tahun dan dewasa usia lebih dari 40 tahun. Imunisasi berpengaruh besar terhadap angka kematian. Sebagian besar kematian terjadi pada hari ke 3-4 karena asfiksia akibat infeksi membran faring atau karena miokarditis. Pada keadaan sepsis mortalitas mencapai 30-40%.

Predileksi ras untuk difteri telah dilaporkan, berdasarkan jenis kelamin. Tidak ada perbedaan kejadian difteri pada laki-laki dan perempuan. Difteri merupakan penyakit pada anak-anak, terutama pada usia kurang dari 12 tahun. Bayi rentan terhadap penyakit ini pada usia 6-12 bulan, setelah kekebalan yang berasal dari ibu berkurang. Setelah program vaksinasi, difteri pada anak menurun secara dramatis. Saat ini, kejadian difteri meningkat pada remaja dan usia 40 atau lebih tua. Hal ini berhubungan dengan status imunisasi yaitu imunisasi yang tidak lengkap, tidak pernah diimunisasi, vaksin tidak efektif, dan tidak respon terhadap vaksin, dan tidak menerima booster setelah vaksinasi sebelumnya. Menurut penelitian imunologi, seseorang harus memiliki tingkat antitoksin lebih besar 0,1 IU/mL untuk kekebalan yang optimal.

Untuk memenuhi kadar ini dibutuhkan booster pada usia 11-12 tahun dan setiap 10 tahun sesudahnya. Booster toksoid, tanpa tetanus, disetujui untuk wanita hamil. Jika titer antitoksin mereka kurang dari 0,1 IU/mL.

Patogenesis

Kepadatan penduduk, higiene dan sanitasi yang buruk, mobilisasi, imunisasi tidak lengkap, fasilitas kesehatan yang kurang dan pasien immunocompromised, merupakan faktor resiko penularan penyakit ini. Manusia merupakan host utama dari infeksi ini, namun dilaporkan bahwa penyakit ini juga dapat menyerang ternak. Pasien yang terinfeksi dan karier dapat menularkan C. Difteri langsung melalui droplet pernapasan, dan sekret nasofaring dan secara tidak langsung melalui debu, baju, ataupun benda yang terkontaminasi. Pada difteri kulit, penyebarannya melalui kontak dengan eksudat dan sekret saluran pernapasan.

Bakteri biasanya memasuki tubuh melalui saluran pernapasan bagian atas, tapi dapat juga masuk melalui kulit, saluran genital, atau mata. Permukaan sel corynebacterium diphteriae memiliki 3 struktur pilus yang berbeda yaitu poros pilus utama dan 2 pili kecil. Kepekaan terhadap sel epitel pernapasan dapat sangat berkurang dengan menghalangi produksi dari dua pili kecil atau dengan menggunakan antibodi yang diarahkan terhadap mereka.

C. difteri dalam hidung atau mulut berkembang pada sel epitel mukosa saluran napas atas terutama pada tonsil, kadang-kadang ditemukan di kulit dan konjungtiva atau genital. Basil ini kemudian menghasilkan eksotoksin, yang dilepaskan oleh endosom, sehingga menyebabkan reaksi inflamasi lokal, selanjutnya terjadi kerusakkan jaringan dan nekrosis. Toksin terdiri dari 2 fragmen protein pembentuk. Fragmen B berikatan dengan reseptor pada permukaan sel pejamu yang rentan, dan sifat proteolitiknya memotong lapisan membran lipid, sehingga membantu fragmen A masuk ke dalam sel pejamu. Selanjutnya akan terjadi peradangan dan destruksi sel epitel yang akan diikuti nekrosis. Pada daerah nekrosis ini terbentuk fibrin, yang kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih, akibatnya terbentuk patchy exudate yang pada awalnya dapat terkelupas.

Pada keadaan lebih lanjut toksin yang diproduksi lebih banyak sehingga daerah nekrosis makin luas dan dalam sehingga terbentuk eksudat fibrosa (membran palsu) yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit, sel eritrosit yang berwarna abu-abu sampai hitam. Membran ini sulit terkelupas, kalau dipaksa akan menimbulkan perdarahan.

Pada umumnya infeksi C. Diphtheria tumbuh secara lokal dan menghasilkan racun yang menyebar secara homogen. Karakteristik membran difteri tebal, kasar, berwarna kelabu-biru atau putih dan terdiri dari bakteri, epitel nekrotik, makrofag, dan fibrin. Membran melekat pada dasar mukosa. Membran dapat menyebar ke bronkial, menyebabkan obstruksi saluran pernapasan dan dispneu.

Kekebalan karena vaksinasi akan berkurang dari waktu ke waktu, hal ini mengakibatkan peningkatan resiko tertular penyakit dari karrier, meskipun imunisasi sebelumnya lengkap. Dengan meluasnya cakupan vaksinasi, kasus strain penyakit invasif nontoksikogenik meningkat.

Kerusakkan jaringan lokal menyebabkan toksin menyebar melalui aliran limpa dan hematogen ke organ lain, seperi miokardium, ginjal, dan sistem saraf. Strain nontoksikogenik cenderung menyebabkan infeksi ringan, tetapi dengan berjalannya program imunisasi dilaporkan kasus strain nontoksikogenik difter c dapat menyebabkan penyakit invasif.

Infeksi C. diphtheria ditandai dengan peradangan lokal, di saluran pernapasan bagian atas, dan berhubungan dengan toksin pada jantung dan penyakit saraf. Strain c. diphtheria terdiri dari gravis, intermedius, dan mitis. Semua strain menghasilkan toksin yang identik, strain gravis lebih virulen karena terbentuk toksin lebih cepat dan menguras pasokan besi lokal, sehingga produksi toksin awal lebih besar. Produksi racun dikodekan pada gen tox yang dilanjutkan oleh fag beta lisogenik. Ketika DNA fag terintegrasi ke materi genetik bakteri, bakteri akan meningkatkan kemampuan memproduksi toksin polipeptida.

Gen tox diatur oleh zat besi yang berikatan dengan corynebacterial repressor (DtxR). Dengan adanya besi ferro, kompleks DtxR-besi menempel pada operon gen tox, selanjutnya transkripsi terhambat, molekul DtxR dilepaskan dan gen tox di transkripsi.

Toksin adalah polipeptida tunggal yang terdiri dari domain (A) yang aktif, domain (B) yang berikatan, dan segmen hidrofobik yang dikenal sebagai domain T, yang membantu melepaskan bagian aktif dari polipeptida ke dalam sitoplasma. Pada sitosol, domain A mengkatalisis transfer molekul adenosin difosfat-ribosa sebagai faktor elongasi bertanggung jawab untuk sintesis protein, akibatnya terjadi kematian sel karena sintesis semua protein dalam sel terhambat. Pada tahun 1890, von behring dan kitasato menunjukkan bahwa dosis toksin sub-letal dapat menginduksi terbentuknya antibodi penetralisir terhadap racun, hal ini kemudian digunakan sebagai anti serum pasif untuk melindungi hewan terhadap kematian setelah infeksi.

Pada awal 1990 an, penggunaan panas dan formalin terbukti dapat membuat toksin tidak beracun. Ketika disuntikkan ke penerima, toksin dapat menginduksi antibodi. Pada tahun 1930an banyak negara barat mulai menggunakan program imunisasi toksoid ini.

Toksin dapat menyerang jantung, ginjal, dan saraf perifer. Pada jantung terjadi pembesaran karena miokarditis, ginjal membengkak karena perubahan jaringan interstisial. Pada saraf perifer motor dan serat sensorik terjadi perubahan degeneratif lemak dan disintergasi selubung meduler. Demikian juga sel-sel tanduk anterior dan kolom posterior medulla spinalis, dapat terjadi tanda-tanda perdarahan meningitis, dan ensefalitis. Kematian terutama disebabkan obstruksi pernapasan oleh membran atau efek toksik pada sistem jantung atau saraf.

Gejala Klinis

Onset gejala difteri umumnya memiliki masa inkubasi 2-5 hari. Gejala awalnya bersifat umum dan tidak spesifik, sering menyerupai infeksi virus pernapasan atas. Kelainan pernapasan dimulai dengan sakit tenggorokkan dan radang faring ringan. Pembentukkan pseudomembran lokal atau penggabungan dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pernapasan. Pseudomembran ini ditandai dengan pembentukkan lapisan abu-abu padat yang terdiri dari campuran sel-sel mati, fibrin, sel darah merah, leukosit, dan organisme.

Pembentukkan membran tebal adalah karakteristik untuk infeksi difteri pada faring posterior. Pelepasan membran akan menyebabkan perdarahan dan edema mukosa. Distribusi membran bervariasi dari daerah lokal sampai meluas ke trakeobronkial. Membran ini sangat menular, sehingga tindakan pencegahan harus dilakukan ketika memeriksa atau merawat pasien yang terinfeksi. Kombinasi adenopati mukosa leher dan pembengkakan limfe menyebabkan tampilan seperti buffalo humps pada pasien yang terinfeksi. Penyebab kematian yang paling sering adalah obstruksi jalan napas atau sesak napas berikut aspirasi pseudomembran.

Pasien dengan difteri pada umumnya datang dengan keluhan demam dan kadang menggigil, malaise, sakit tenggorokan, sakit kepala, limfadenopati saluran pernapasan dan pembentukkan pseudomembran, suara serak, disfagia, dispnea, stridor, mengi, dan batuk.

Difteri pernapasan cepat berlanjut menjadi gagal pernapasan karena obstruksi jalan napas atau aspirasi dari pseudomembran ke trakeobronkial. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesulitan bernapas, takikardi, dan pucat. Pada saluran pernapasan ditemukan pseudomembran yang mempunyai karakteristik seperti mukosa membran edema, hiperemis dengan epitel yang nekrosis, biasanya berbentuk berkelompok, tebal, fibrinous, dan berwarna abu-abu kecoklatan yang terdiri dari leukosit, eritrosit sel epitel saluran napas yang mati, dan mudah berdarah bila dilepas dari dasarnya.

Membran ini biasanya ditemukan di palatum, faring, epiglotis, laring, trakea, sampai daerah trakeobronkus. Pada pemeriksaan leher ditemukan edema tonsil, uvula, daerah submandibular, dan lehar bagian depan, diikuti dengan gejala suara parau, stridor, dan bisa ditemukan pembesaran kelenjar getah bening servikalis anterior. Miokarditis bisa terjadi pada 65% dari penderita difteri, dan 10-25% diantaranya mengalami disfungsi miokard dengan manifestasi klinis berupa takikardi, suara jantung melemah, irama jantung mendua, dan aritmia. Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan tanda-tanda miokarditis berupa low voltage, depresi segmen ST, gelombang T terbalik dan tanda-tanda blok mulai dari pemanjangan interval PR sampai blok AV total. Penyembuhan miokarditis sampai sempurna membutuhkan waktu kurang lebih 3 bulan.

Kelainan sistem saraf bisa terjadi pada 75% penderita difteri berat. Saat timbulnya kalinan ini bervariasi tergantung kepada jumlah toksin yang diproduksi dan cepat / lambatnya pemberian anti toksin. Biasanya terjadi paralisis secara bilateral, motorik lebih dominan dari sensorik. Daerah yang pertama kali terkena adalah palatum. Umumnya terjadi pada minggu kedua sampai dengan ke delapan setelah terinfeksi, ditandai dengan gejala-gejala suara, kesulitan menelan, dan regurgitasi cairan ke rongga hidung sewaktu menelan.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan gerakan palatum berkurang, paralisis otot mata yang menimbulkan penglihatan ganda, kesukaran akomodasi, dan strabismus internal, serta paralisis nervus frenikus yang dapat menimbulkan paralisis diafragma. Selanjutnya dapat terjadi paralisis ekstremitas inferior disertai kehilangan refleks tendon dan peningkatan kadar protein cairan cerebrospinal, sehingga secara klinis sukar dibedakan dengan sindroma guillain barre.

Organ tubuh lain yag munkin terlibat adalah mukosa membran saluran urogenital, saluran cerna dan konjungtiva. Perdarahan pada konjungtiva dan disolusi kornea juga bisa terjadi. Bisa juga terjadi nekrosis pada ginjal, hati, dan kelenjar adrenal. Pada kasus-kasus berat yang terjadi secara sporadik, dapat timbul artritis, osteomyelitis, dan abses limpa yang tidak jarang menimbulkan bakteremia dan sepsis.

Pada difteri nasal anterior keluhan dan gejala terjadi secara perlahan-lahan dan terselubung, dimulai dengan serangan serangan seperti gejala common cold, diikuti oleh produksi nasal discharge, yang bersifat serosanguineu, kemudian menjadi purulen disertai krusta sehingga terjadi ekskoriasi pada lubang hidung dan bibir atas. Membran bisa terbentuk pada salah satu atau kedua rongga hidung. Absorpsi toksin kedalam sirkulasi darah terjadi secara perlahan-lahan dalam jumlah yang kecil, sehingga miokarditis dan paralisis jarang terjadi. Tipe difteri ini sangat berbahaya bagi masyarakat karena sangat infektif, sedangkan gejala-gejala ringan sehingga kadang-kadang tidak terdiagnosis.

Pada keadaan berat, terutama pada pada difteri fausial, terlihat pasien gaduh gelisah, pucat, mulut terbuka, tidak mau minum dan makan, pembesaran kelenjar getah bening leher, priodontitis, pembengkakan jaringan lunak daerah leher, sehingga menyerupai leher sapi jantan (bullneck), nadi cepat, tekanan darah menurun, reflek tendon melemah, paralisis palatum, napas cepat dan dangkal, sianosis, dan berakhir dengan kematian karena sumbatan saluran napas atau kegagalan jantung.

Etiologi

Penyebab penyakit difteri adalah oleh corynebacterium diphtheria. Basil ini termasuk kuman batang gram positif pleomorfik tersusun berpasangan, tidak bergerak, tidak bentuk spora, aerobik, dan dapat memproduksi eksotoksin. Bentuknya seperti palu, diameternya 0,1-1 mm dan panjangnya beberapa mm.

Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti medium loeffler, tellurite, fermentasi glukosa, dan agar tindale. Pada medium loefller, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni kecil, granular, berwarna hitam dan dilingkari warna abu-abu coklat.

Menurut bentuk, besar dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin yaitu pada jenis gravis koloninya besar, kasar, ireguler, warna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit. Pada mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit. Dan pada intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam ditengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.

Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravis adalah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini dapat memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.

Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk gravis atau intermediate yang tidak virulen pada manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi nontoksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag.

Penatalaksanaan

Pengobatan difteri harus segera dimulai meskipun uji konfirmasi belum selesai karena mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Perawatan yang diberikan pada pasien yang terkena difteri adalah mengisolasi semua kasus dan dilakukan tindakan pencegahan universal dari risiko penularan melalui droplet serta membatasi jumlah kontak, istirahat di tempat tidur minimal 2-3 minggu, dan makan makanan lunak atau cair bergantung pada keadaan penderita, kebersihan jalan napas, dan pembersihan lendir.

Pemeriksaan EKG secara serial 2-3 kali seminggu selama 46 minggu untuk menegakkan diagnosis miokarditis secara dini. Bila terjadi miokarditis harus istirahat total ditempat tidur selama 1 minggu. Mobilisasi secara bertahap baru boleh dilakukan bila tanda-tanda miokarditis secara klinis dan EKG menghilang.

Bila terjadi paralisis maka dapat dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi aktif bila keadaan sudah membaik. Paralisis palatum dan faring dapat menimbulkan aspirasi sehingga dianjurkan pemberian makanan cair melalui selang lambung. Bila terjadi obstruksi laring maka secepat mungkin harus dilakukan tracheostomy. Pengobatan khusus bertujuan untuk menetralisir toksin yang dihasilkan basil difteri dan membunuh basil difteri yang memproduksi toksin.

Antitoksin diberikan sedini mungkin begitu diagnosis ditegakkan, tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Dosis tergantung kepada jenis difterinya dan tidak dipengaruhi oleh umur pasien. Pada difteri nasal / fausial yang ringan diberikan 20.000 - 40.000 U, secara intravena dalam waktu 60 menit. Pada difteri fausial sedang diberikan 40.000 - 60.000 U secara intravena. Dan pada difteri berat diberikan 80.000 - 120.000 U secara intravena.

Pemberian antitoksin harus didahului dengan uji sensitivitas, karena antitoksin dibuat dari serum kuda. Apabila uji sensitivitas positif maka diberikan secara desensitisasi dengan interval 20 menit. Bila tidak ada reaksi, maka sisanya diberikan secara intravena secara perlahan lahan.

Dapat juga diberikan antibiotik yaitu antara lain penisilin secara intramuskular 2 kali sehari selama 14 hari, eritromisin 2 gram per hari secara peroral dengan dosis terbagi 4 kali sehari, dan preparat lain yang bisa diberikan adalah amoksisilin, rifampisin, dan klindamisin.

Komplikasi

Timbulnya komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan sebagai berikut yaitu karena adanya virulensi basil difteri, luas membran yang terbentuk, jumlah toksin yang diproduksi oleh bakteri, dan waktu antara timbulnya penyakit sampai pemberian anti toksin. Komplikasi yang mungkin timbul antara lain adalah karena adanya pembentukkan pseudomembran atau aspirasi dapat menimbulkan kegagalan pernapasan, edema jaringan dan nekrosis, miokarditis, dilatasi jantung dan kegagalan pompa, aneurisma mikotik, endokarditis, gangguan irama, blok jantung, disosiasi atrioventrikular, disritmia, pneumonia bakterial sekunder, disfungsi saraf kranial, neuropati perifer, kelumpuhan total, neuritis optik, septikemia / syok, artritis septik, osteomielitis, dan kematian.

Pencegahan

Pencegahan yang paling baik adalah dengan vaksinasi sesuai dengan anjuran inisiatif global pertusis yaitu kelompok kerja yang mempunyai tugas menjalankan imunisasi global dan pencegahan penyakit pada bayi, remaja, dan dewasa untuk difteri, pertusis, dan tetanus. Bentuk toksoid difteri ada 4 macam yaitu DTaP, Tdap, DT, dan Td. Untuk vaksinasi pada anak digunakan DTaP dan dewasa digunakan Tdap. Vaksin ini merupakan difteri dalam bentuk toksoid yang dikombinasikan dengan pertusis dan vaksin tetanus. DTaP diberikan pada umur 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. DT adalah vaksin difteri dan tetanus yang diberikan pada anak-anak, remaja, dan dewasa diberikan sebagai booster setiap 10 tahun atau ketika telah terjadi paparan.

Pada orang yang kontak erat dengan penderita difteri terutama yang tidak pernah atau tidak sempurna mendapat imunisasi aktif, dianjurkan pemberian booster dan melengkapi pemberian vaksin. Selanjutnya diberi kemoprofilaksis berupa penisilin procain 600.000 unit intramuskuler/hari atau eritromicin 40 mg/ kgBB/ hari selama 7-10 hari. Bila pengawasan tidak bisa dilakukan diberikan antitoksin 10.000 unit intramuskular, kemudian 2 minggu setelah pengobatan dilakukan kultur untuk memastikan eradikasi c. Diphtheria.

Prognosis

Secara umum angka kematian penderita difteri 5-10% dimana kematian tertinggi terjadi pada penderita yang tidak mendapat imunisasi lengkap dan pasien yang mempunyai kelainan sistemik. Pada difteri dengan keterlibatan jantung prognosis sangat buruk, terutama bila disertai blok atrioventrikuler dan blok berkas cabang dengan angka kematian mencapai 60-90%. Pada keadaan sepsis tingkat kematian 30-40%.

Tingkat kematian yang tinggi disebabkan oleh difteri jenis gravis/invasif, bullneck diphtheria. Jenis ini mempunyai angka kematian mencapai 50%. Difteri laring lebih cepat menyebabkan obstruksi saluran napas, bila pertolongan tidak cepat dan pengawasan tidak ketat dapat menimbulkan kematian mendadak. Keterlambatan pengobatan meningkatkan angka kematian menjadi 20 kali lipat, penyebab kematian terbanyak adalah miokarditis. Angka kematian yang tinggi terjadi pada umur kurang dari 5 tahun dan lebih dari 40 tahun. Di indonesia angka kematian penderita difteri di 29 rumah sakit tahun 1969-1970 adalah 11,3%.

Kesimpulan

Hipotesis diterima, anak ini menderita diferi karena adanya pseudomembran yang mudah berdarah dan karena adanya riwayat imunisasi yang tidak lengkap.

Daftar Pustaka