dialog global antar agama.doc

57
AGAMA : ETIKA GLOBAL A. Etika Global Untuk memahami makna etika global, maka ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu pengertian etika dalam artian umum. Etika secara umum adalah membekali diri dengan akhlak yang mulia, sifat-sifat terpuji dalam bergaul dan berinteraksi dengan manusia, atau keadaan dan perlakuan yang baik dan apa yang bisa menjaga dari segala kesalahan, atau sifat yang bisa menjaga seseorang dari hal yang bisa menghinakannya. Etika ini berlaku pada manusia, tingkah laku, ilmu dan pengetahuan secara mutlak, atau apa yang berkaitan dengannya. Maka ada istilah etika sultan, etika menteri, etika kekuasaan, etika dunia dan agama, dan lain sebagainya. Jadi, bisa dikatakan disini bahwa kata ’etika’ menurut para pemikir terdahulu tidak hanya ditujukan pada komitmen pada akhlak saja, akan tetapi juga ditujukan pada komitmen terhadap syari’ah dan hukum, sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para penguasa yang berwenang, serta jalan yang harus ditempuh, kewajiban-kewajiban, hak-hak, dan lain-lain sebagainya. 1 Sedangkan istilah ”politik global” sama dengan istilah ”ekonomi global”, ”komunikasi global”, dan ”hankam global”, yang cendrung menekankan pada bumi 1 Zhafir Al-Qasimi, Nizham Al-hukumi Al-Islami wa Al-Hayat Ad-Dusturiyah, hlm. 423. 1

Upload: said37

Post on 14-Aug-2015

80 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

AGAMA : ETIKA GLOBAL

A. Etika Global

Untuk memahami makna etika global, maka ada baiknya dijelaskan terlebih

dahulu pengertian etika dalam artian umum. Etika secara umum adalah

membekali diri dengan akhlak yang mulia, sifat-sifat terpuji dalam bergaul dan

berinteraksi dengan manusia, atau keadaan dan perlakuan yang baik dan apa yang

bisa menjaga dari segala kesalahan, atau sifat yang bisa menjaga seseorang dari

hal yang bisa menghinakannya.

Etika ini berlaku pada manusia, tingkah laku, ilmu dan pengetahuan secara

mutlak, atau apa yang berkaitan dengannya. Maka ada istilah etika sultan, etika

menteri, etika kekuasaan, etika dunia dan agama, dan lain sebagainya. Jadi, bisa

dikatakan disini bahwa kata ’etika’ menurut para pemikir terdahulu tidak hanya

ditujukan pada komitmen pada akhlak saja, akan tetapi juga ditujukan pada

komitmen terhadap syari’ah dan hukum, sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para

penguasa yang berwenang, serta jalan yang harus ditempuh, kewajiban-kewajiban,

hak-hak, dan lain-lain sebagainya.1

Sedangkan istilah ”politik global” sama dengan istilah ”ekonomi global”,

”komunikasi global”, dan ”hankam global”, yang cendrung menekankan pada

bumi hunian manusia, dibanding dengan hubungan antar manusia, yang

menekankan istilah internasional, yang digunakan misalnya dalam istilah

hubungan internasional, atau politik internasional.2 Dunia dewasa ini sedang

diwarnai oleh global politics, global technology, global ekonomi, dan global

strategy. Bahkan bumi tempat kita berada pun tidak terlepas dari predikat global,

yakni global village.

Dalam konteks di atas, para pengamat memusatkan perhatiannya pada

dimensi-dimensi positif perkembangan desa global masa kini. Kenichi Ohmae,

seorang cendikiawan Jepang, melukiskan desa gelobal sebagai borderless world

1 Zhafir Al-Qasimi, Nizham Al-hukumi Al-Islami wa Al-Hayat Ad-Dusturiyah, hlm. 423.2 Solly Lubis, “Islam dan Globalisasi”, Makalah Pidato Orasi Ilmiah yang disampaikan

pada acara Wisuda Sarjana Fakultas Syari’ah, Tarbiyah dan Dakwah UISU Medan, 18 Desember 1993.

1

Page 2: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

(dunia tanpa batas) yang mengundang kerjasama besar antarbangsa, sekat-sekat

geografis, etnis, dan agama tidak menjadi rintangan.3

Meminjam ucapan Hans Kung, cendikiawan asal Jerman, tidak akan ada

suatu global order atau tatanan dunia yang sukses jika tidak dilengkapi dengan

global ethic (etika dunia). Untuk tujuan tersebut, pada tahun 1993 untuk pertama

kalinya dalam sejarah agama-agama, 6500 anggota Majelis Parlemen Agama-

Agama Dunia bertemu di Chicago, AS, untuk menciptakan Declaration Tiward a

Global Ethic; deklarasi menuju tercapainya suatu etika global. Deklarasi ini,

menurut pencetus-pencetusnya, sama halnya dengan deklarasi Hak-Hak Asasi

Manusia yang dicanagkan pada 1776 di Amerika yang merupakan langkah awal

menuju kehidupan moral bangsa. Deklarasi etika global ini pun menandai awal

dari usaha panjang untuk mengorientasikan penduduk dunia menuju sikap paling

pengertian, saling menghargai dan kerjasama.4

Deklarasi tersebut bertolak dari asumsi tentang dunia dan agama-agama yang

sudah berubah. Dunia telah menjadi satu, menjadi dunia yang polisentris, multi-

kultural dan multi-religius. Dalam konteks kehidupan dunia semacam ini maka

satu-satunya jalan bagi hubungan antar agama adalah persaudaraan antaragama.

Agama-agama yang memiliki nilai-nilai etik yang tinggi harus secara bersama-

sama melibatkan diri dalam dialog tentang berbagai persoalan kritis kehidupan

dan nasib umat manusia di masa depan. Niali-nilai etik yang bersumber dari

agama-agama itulah yang dijadikan sebagai dasar etika global, yakni sebuah

konsensus fundamental minimum berkaitan dengan nilai-nilai yang mengikat,

standar-standar yang tidak bisa diganggu gugat, dan sikap moral fundamental.

Jadi, etika politik dan kekuasaan melingkupi makna yang manusiawi dan

hukum menuju pemahaman kehambaan yang religius. Dengan demikian, Islam

mewujudkan hubungan antara kelebihan-kelebihan akhlak dan penghormatan

kepada hukum serta ketaatan pada syariah. Inilah impian paling utama dari

manusia. Demikianlah, etika politik dan kekuasaan digambarkan dalam bentuk

cermin yang komperhensif, di sana kita bisa melihat luhurnya hukum negara

dalam Islam, dan luasnya keutamaan etika dalam berinteraksi dengan manusia,

3 Baca; Alwi Sshihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 208-209.

4 Ibid.,

2

Page 3: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

kaum minoritas dan negara-negara lain, sesuai dengan ttingkatan negara Islam

yang berbeda-beda.

Sketsa singkat kehidupan Nabi saw dan karir selanjutnya dikemukakan

berdasar kisah-kisah naratif tradisional, meskipun pilihan materi tradisional

diseleksi, dan interpensi atas keseluruhan maknanya, secara umum merefleksikan

tujuan umum yaitu pada permasalahan integritas sosial dan politis dan pada

evolusi gerakan keagamaan di Madinah. Di sinilah awal lembaran baru dalam

kehidupan Nabi saw dan para pengikut beliau. Mereka tidak lagi satu kelompok

kecil, kelompok agama yang ditekan di Makkah; sekarang mereka merupak suatu

komunitas religio-politik orang beriman yang mendominasi oasis Madinah. Hijrah

Nabi Muhammad ke Madinah pada tahun 622 merupakan awal kehidupan panjang

Islam sebagai satu kekuatan politik, satu fakta yang disimbolisasikan oleh

pemilihan tahun tersebut sebagaiu tahun pertama era Islam.

Paling tidak ada dua alasan mengapa etika dialog global profetik ini menjadi

menarik untuk dibahas. Pertama, banyak orang, bahkan pemeluk Islam sendiri,

tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama dalam artian ibadah maghdoh, tapi

juga sebuah komunitas (ummat) tersendiri yang mempunyai pemahaman,

kepentingan dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam,

tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individual, dan lupa kalau Islam

juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran,

struktur, dan mampu melakukan aksi bersama.

Kedua, di Madinahlah terbentuknya Negara Islam (Daulah Islamiyah)

pertama dan telah diletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam.

Dalam waktu yang bersamaan Nabi adalah sebagai pemimpin agama dan kepala

negara. Karena itu, langkah politik Nabi mengorganisir penduduk Madinah, sering

secara benar ditunjuk titik permulaan berdirinya organisasi politik dalam sejarah

Islam dan ia dapat menjadi inspirasi etika global yang tak habis-habisnya

sepanjang masa dan dapat menjadi referensi untuk memformulasikan model

sebuah negara bercorak pluralistik pada masa kini dan kedepan.

Selama kira-kira sepuluh tahun (622-32), Nabi saw, mengkonsolidasi kontrol

beliau atas masyarakat kota yang beragam, dan beliau memperluas kekuasaan dan

pengaruh Madinah di Arab. Ketika kali pertama beliau datang, Madinah tetap

3

Page 4: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

penuh dengan permusuhan somuldring; antara dua suku Arab kota tersebut; antara

Muhajirin (orang-orang beriman yang bermigrasi ke Madinah dari Makkah atau

tempat lain) dan Anshar (para pengikut pertama Nabi Muhammad di Madinah,

yang meminta beliau dan para pengikut Makkah untuk memperoleh perlindungan

mereka), dan antara beberapa kelompok Yahudi Madinah dan orang-orang

beriman baru. Ketika beberapa orang Yahudi Madinah tampak hendak

mendukung Nabi Muhammad sebagai ramalan, dan dalam bebarapa hal

bekerjasama dengan musuh-musuh politik beliau (atau yang para pemimpinnya

lakukan), ditangani dengan keras serangkaian konfrontasi-diasingkan dengan

kejhilangan tanah mereka, diperbudak, atau dieksekusi, tergantung pada kasusnya.

Di luar Madinah lawan paling keras menentang usaha Nabi Muhammad untuk

memperluas pengaruh dan pesan beliau adalah penduduk kerabat beliau sendiri,

yaitu kaum Quraisy Makkah.5

Bukti historis tentang tugas-tugas yang beliau lakukan selama di Madinah,

perananya lebih luas, bukan hanya sebagai Rasul dan Pendakwah yang mengajak

manusia beriman kepada Allah dan sebagai pembimbing spiritual belaka,

melainkan juga melakukan tugas-tugas dan peran-peran soisal politik serta

memegang kekuasaan politik. Dalam kaitan ini, yang tersebut terakhir, akan

dibahas dari sudut pandang ilmu politik apakah beliau dapat disebut sebagai

kepala negara dan masyarakat yang beliau pimpin, atau dapat pula disebut sebagai

negara. Untuk pembuktian ilmiah ini perlu disinggung kembali peristiwa-

peristiwa yang membuat Nabi saw, mendapat pengakuan, baik dari orang-orang

Arab muslim Madinah maupun golongan lainnya menjadi pemimpin mereka.

Rasulullah saw, untuk pertama kali mendapat pengakuan sebagai pemimpin

dari kelompok penduduk Madinah pada Bai’at Aqabat pertama (621 M) dan

Bai’at Aqabat kedua (622 M). Dalam ikrar Bai’at itu, selain pengakuan tersebut

dan keimanan kepada beliau sebagai Rasul Allah serta penerimaan Islam sebagai

agama mereka, terdapat juga pernyataan kesetiaan, ketaatan dan penyerahan

kekuasaan kepada beliau. Posisinya ini kemudian menjadi kuat setelah di

Madinah. Ini tampak dari langkah beliau yang mampu mengendalikan orang-

orang Muhajirin dan Anshar secara nyata dan efektif dengan mempersaudarakan

5 Baca; Philip k. Hitti, History of The Arabs; From The Earlies Times no the Present, Palgrave Macmilla, edisi revisi ke-10, New York, 2002, hlm. 139-150.

4

Page 5: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

mereka. Langkah inilah yang membawa kepada terbentuknyha komunitas Islam

untuk pertama kali. Dilihat dari sudut teori politik, ini menunjukkan bahwa beliau

memiliki ”kekuasaan sosial” di kalangan pengikutnya. Kekuasaan sosial adalah

”kemampuan mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan

tidak memberi perintah maupun secara tidak langsung dengan memanfaatkan

segala alat dan cara yang tersedia”.6

Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun pertama hijrah beliau

memperoleh pengakuan yang lebih luas di luar intern umat Islam, yaitu suku-suku

Yahudi dan sekutunya di Madinah. Ini ditandai dengan lahirnya perjanjian tertulis

(Piagam Madinah) antara orang-orang muslim muhajirin bersama Anshar dan

kaum Yahudi bersama sekutunya yang diprakarsai oleh Nabi. Dalam perjanjian

tertulis itu, Nabi diakui sebagai pemimpin tertinggi dan sebagai hukum bagi

penandatanganan piagam serta siapa saja yang bergabung dengan mereka. Dengan

adanya pengakuan itu, berarti kekuatan dan kekuasaan politik7 benar-benar telah

dimiliki oleh Nabi. Ini berarti beliau telah memperoleh keabsahan (legitimasi)

sebagai pemimpin masyarakat Madinah. Di bidang pertahanan dan keamanan

yang bertujuan menjalin hubungan antar pemeluk agama. Piagam menetapkan

bahwa di antara orang-orang mukmin dan kaum Yahudi mengadakan kerjasama

dan tolong menolong dalam menghadapi orang yang menyerang peserta perjanjian

(pasal 37). Kerjasama, tolong menolong atau saling bahu membahu merupakan

kewajiban semua warga dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan

terhadap kota Yatsrib (pasal 44). Di bidang belanja peperangan, bila ada musuh

yang menyerang Madinah yang menyebabkan mereka terlibat dalam peperangan,

Piagam Madinah menetapkan: Bahwa kaum Yahudi bersama-sama orang mukmin

bekerjasama dalam menanggung pembiayaan selama mereka mengadakan

peperangan bersama (pasal 24 dan 38). Di bidang kehidupan sosial, Piagam

menyatakan bahwa antara orang-orang Yahudi dan orang-orang mukmin saling

6 Robert M. Machiver, The Modern State, Oxford University Press, London, hlm. 87.7 Kekuasaan politik adalah “kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum

(pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri”. Kekuasaan itu disampingi untuk memperoleh ketaatan dari warga masyarakat juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan mempengaruhi tindakan aktivitas negara dibidang administratif. Lihat Mariyam Budihardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1989, hlm. 37.

5

Page 6: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

memberikan saran dan nasihat dan berbuat kebaikan tanpa perbuatan dosa (pasal

37).8

Demikian juga halnya pelaksanaan ”kontrak sosial” (perjanjian masyarakat),

peserta-pesertanya, bukan seluruh anggota masyarakat yang menetap disuatu

wilayah, tapi hanya antara individu-individu dari dua belah pihak yang saling

berhadapan yaitu antara anggota-anggota masyarakat yang sudah terbentuk dan

seorang atau sekelompok orang dari kelompok sosial lain. Thomas Hoobes juga

berpendapat bahwa perjanjian masyarakat diadakan oleh individu-individu untuk

membentuk suatu masyarakat politik atau Negara.9 Kesepakatan yang diperoleh

melalui perjanjian masyarakat menurut Jhon Locke, sekalipun kesepakatan

individu-individu lain mentaati persetujuan tersebut, teori ini tampaknya sejalan

dengan konsep ashobiyyatnya ibn Khaldun sekalipun ia tidak berbicara dalam

konteks kontra sosial.10

Berdasarkan teori-teori tersebut, maka baik peristiwa Bai’at Aqabat yang

diikuti oleh sekelompok orang Arab Madinah maupun mewujudkan perjanjian

tertulis yang mungkin pesertanya hanya wakil-wakil dari kelompok-kelompok

sosial (suku-suku), dapat disebut sebagai ”kontak sosial”. Kontrak sosial adalah

suatu teori yang mengajarkan bahwa kekuasaan politik diperoleh melalui

perjanjian masyarakat, artinya, kekuasaan politik bersumber dari rakyat dan

legitimasinya diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Dengan kata lain bahwa

dalam perjanjian masyarakat itu terjadi penyarahan kekuasaan oleh anggota

masyarakat kepada seseorang atau kepada lembaga.11

Dalam sejarah Islam peristiwa Bai’at Aqabat dan perjanjian tertulis yang

melahirkan Piagam Madinah, sebagai telah disebut, dapat diidentifikasi sebagai

praktek kontrak sosial. Karena dalam peristiwa-peristiwa itulah Nabi memperoleh

8 Baca; J. Sayuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah, Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 169-171.

9 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, bandung, 1980, hlm. 145.10 Ibn Khaldun berpendapat bahwa suatu ashabiyyat (soladiritas sosial) yang kuat akan

menguasai ashabiyyat-ashabiyyat lain yang tidak kuat dengan membuat perjanjian dan tunduk kepadanya, sehingga menjadi koalisi bagaikan ahabiyyat yang besar. Karena jika satu ashabiyyat telah memperoleh superioritas atas rakyat golongannya, maka ia akan mengendalikan rakyat ashabiyyat-ashabiyyat lain yang tidak ada hubungan apa-apa dengannya untuk bergabung dengan ashabiyyatnya atas dasar perjanjian. Lihat Ibn Khaldun, Muqaddimat, Dar al-Fikr, t.th,. hlm. 139-140. hal ini tampak dalam tindakan Nabi, setelah masyarakat Islam menjadi kuat soladiritass sosialnya (ashabiyyat) di Madinah, beliau menarik suku-suku lain untuk bergabung dengannya atas dasar perjanjian.11 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Barat, Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 79

6

Page 7: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

kekuasaan politik dan keabsahan untuk mengatur dan memimpin penduduk

Madinah. Menurut Fazlur Rahman, suatu negara atau pemerintahan dapat

dibentuk apabila sekelompok orang menyatakan kesediaan melaksanakan

kehendak dari Allah sebagai yang tercantum dalam wahyu-Nya.12 Pandangan ini

sejalan dengan teori kontrak sosial tersebut, bahwa suatu negara terbentuk apabila

terjadi perjanjian masyarakat sekalipun peserta-pesertanya sekelompok orang dari

pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.

Meski begitu, kita perlu memperoleh suatu pemahaman terhadap pemberian

predikat kepala negara kepada Nabi Muhammad dengan meninjaunya dari sudut

ilmu politik dan fakta-fakta historis mengenai peranan dan kebijaksanaan yang

beliau lakukan. Dalam kajian ilmu politik disebut bahwa tugas-tugas kepala

negara untuk mencapai tujuan negara antara lain membuat undang-undang dan

peraturan-peraturan serta melaksanakannya, menghukum orang yang salah,

meminta nasihat dan pertimbangan dari orang-orang yang dipandang cakap dan

mengetahui hal-hal tertentu.13 Dilaksanakannya tugas-tugas ini adalah untuk

mewujudkan tujuan negara, yaitu menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan

rakyat.

Rakyat (umat) bukan satuan politik yang bergerak berdasarkan ukuran-

ukuran yang murni rasional, tetapi bergerak berdasarkan kesadaran. Kesadaran

normatif, kesadaran akan kebenaran dan keadilan inilah yang mempunyai potensi

untuk bertentangan dengan kesadaran kelas. Al-haqqu min rabbikum (kebenaran

itu milik Tuhan kamu), berarti bahwa kebenaran bukan milik pemenang yang

berkuasa atas simbol-simbol, atau sebaliknya milik pecundang yang tersingkirkan,

tapi milik Tuhan.14

Tugas-tugas negara seperti tersebut di atas juga telah dilaksanakan oleh Nabi

saw. Beliau membuat undang-undang dalam bentuk tertulis, mempersatukan

penduduk madinah untuk mencegah konflik-konflik di antara mereka agar

terjamin ketertiban intern, menjamin kebebasan bagi semua golongan, mengatur

militer dan memimpin peperangan, melaksanakan hukuman bagi pelanggar

12 Fazlur Rahman, ”The Islamic Concet of State” dalam Joh J. Donohue and L. Esposito, (eds). Islam in Transition, Muslim Perspective, Oxford University Press, New York, 1982, hlm. 126.

13 G. S. Diponolo, Ilmu Negara, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta, 1975, hlm. 55.14 Kuntowijaya, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 46-47.

7

Page 8: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

hukum, menerima perutusan-perutusan Jazirah Arab, mengadakan perjanjian

damai dengan tetangga agar tgerjamin kemanan ekstren, mengelola pajak dan

zakat serta larangan riba di bidang ekonomi dan perdagangan untuk menjembatani

jurang pemisah antara golongan kaya dan miskin, membudayakan musyawarah,

menjadi hakam (arbiter) dalam menyelsaikan perbedaan pendapat dan perselisihan

dan menunjuk para sahabat untuk menjadi hakim di daerah-daerah luar Madinah

serta mendelegasikan tugas-tugas kepada para sahabat.

Karena itu, Watt menyebut Nabi Muhammad saw, sebagai seorang

negarawan dengan mengemukakan empat alasan. Pertama, Muhammad saw

memiliki bakat sebagai orang yang mampu melihat sesuatu sebelum terjadi karena

didukung wahyu dan kejeniusannya. Kedua, kearifannya sebagai negarawan

beliau tunjukkan dalam menerapkan struktur ajaran Al-Quran yang global secara

kongkret melalui kebijaksanaannya yang tepat. Ketiga, reformasinya di bidang

sosial yang berwawasan jauh dan ditunjang oleh strategi politiknya yang akurat.

Keempat, beliau mempunyai kemampuan sebagai administrator dan arif dalam

menunjuk para pembantunya untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi.15

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kehadiran Nabi Muhmamad saw dan ajarannya

merupakan jawaban atas situasi sosial, ekonomi, politik dan kultural yang ada.

Memang Islam datang untuk memurnikan tauhid disamping memperbaiki dan

memperbaharui tatanan sosial, ekonomi, dan politik demi terwujudnya masyarakat

yang beriman, bermoral, berbudaya dan berkeadilan sosial.

Bila di dalam negara Madinah dan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh Nabi

terdapat ketidaksamaan dengan negara dan tugas kepala negara di zaman modern

ini, itu karena perbedaan zaman dan model negara di zaman klasik berbeda dari

model negara di zaman modern. Negara yang ada di zaman Nabi boleh dikatakan

masih sederhana dan ia cocok zamannya, sesuai dengan situasi dan kondisi pada

waktu itu.

Satu gambaran penting dari ekspansi awal umat Islam adalah kualitasnya

sebagai satu gerakan agama, meskipun ini diwarnai oleh kehadiran negara. Para

khalifah dan para pengikutnya yang beriman, tentu saja, kepada pesan Nabi

Muhammad atas pentingnya mengakui keesaan Allah dan hidup dengan benar

15 W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman, Oxford University Press, Pres, London, 1969, hlm. 236-237.

8

Page 9: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

untuk persiapan hari kiamat yang semakin dekat. Mereka meyakini misinya

sebagai jihad, atau usaha militan untuk menghancurkan kejahatan dan ujntuk

meyebarkan pesan monoteisme dan kebenaran Nabi muhammad semakin jauh dan

luas. Namun usaha mereka tampaknya berusaha membuat masyarakat yang

mereka presentasikan, bukan untuk membuat mereka merubah agamanya

setidaknya tidak ketika mereka sudah merupakan penganut monoteisme, seperti

Kristen dan Yahudi. Karena inilah umat Islam mendapat penghargaan dari

masyarakat yang ditaklukkan karena secara umum membiarkan mereka beribadah

sebagaimana yang selalu mereka laksanakan.

Perkembangan dan kepesatan proses perluasan yang mengagumkan ini hanya

dapat dipahami ketika naturalis ekspansi yang terekspresi diakui. Hal ini

merupakan, yang pertama dan utama, ekspansi satu negara baru yang didasarkan

dipusatkan di Madinah. Elit pemerintah negara ini sebagian besar adalah para

penduduk Makkah, Madinah dan Thaif, yang memberi komando kepada tentara

yang semakin berkembang yang sebagian besar terdiri dari kaum nomaden

pastoral dari Arab Utara dan Tengah atau orang-orang gunung dari Yaman. Hal

ini bukan merupakan ekspansi kaum nomaden ataupun orang-orang gunung

tersebut. Kualitas ekspansi yang didukung negara terefeleksi dalam tindakan

signifikan perintah pusat untuk melakukan gerakan ekspansi oleh khalifah dan

(orang yang berada) di lingkarannya, yang tampak mengkoordinasikan strategi

diantara berbagai front, juga institusi birokratis yang dibangun selama masa

penaklukan-penaklukan awal.16

Pada saat itu, sangat memerlukan penataan dan pengendalian sosial secara

bijak dengan membuat undang-undang dan peraturan yang dapat menciptakan

rasa aman dan keadaan damai atas dasar keserasian dan keadilan dan dapat

diterima oleh semua golongan. Penataan dan pengendalian sosial dapat dilakukan

oleh seseorang terhadap kelompok lain, atau suatu kelompok terhadap kelompok

lain. Untuk mewujudkan masyarakat teratur diperlukan terciptanya rasa aman,

keadaan damai, keadilan yang menyeluruh, undang-undang dan siasat yang

berkaitan dengan pengaturan kerjasama antara kelompok-kelompok sosial untuk

16 Ibid.,

9

Page 10: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

menjamin kepentingan bersama, serta pemimpin yang berwibawa untuk

melaksanakannya.

Nabi saw tampaknya memahami benar bahwa masyarakat yang beliau hadapi

adalah masyarakat majemuk yang masing-masing golongan bersikap bermusuhan

terhadap golongan lain. Untuk itu, beliau melihat perlu adanya penataan dan

pengendalian sosial untuk mengatur hubungan-hubungan antar golongan dalam

kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama. Estimasi ini didasarkan pada

langkah beliau setelah tiba di Madinah.

Langkah pertama, begitu beliau bersama sahabat tiba di kota itu, adalah

membangun Masjid. Lembaga keagamaan dan sosial ini dari segi agama berfungsi

sebagai tempat beribadah kepada Allah swt dan dari segi sosial berfungsi sebagai

tempat mempererat hubungan dan ikatan di antara anggota jamaah Islam.17

Langkah beliau yang kedua ialah menciptakan persaudaraan nyata dan efektif

antara orang-orang Islam Makkah dan Madinah, yaitu setiap dua orang bersaudara

karena Allah. Persaudaraan ini dimaksudkan untuk mempererat persatuan di

antara sesama kaum muslimin dan untuk menghilangkan permusuhan lama di

kalangan mereka.

Persaudaraan tersebut bukan diikat oleh hubungan kabilah, melainkan ikatan

atas dasar akidah dan agama. Hal ini sejalan dengan sikap kaum muslimin

Madinah dalam Bai’at Aqabat Pertama dan Kedua, bahwa mereka telah

melepaskan hubungan mereka dengan kabilahnya dan mereka bersatu dalam

agama yang dibawa oleh Nabi saw persaudaraan yang dibentuk oleh Nabi itu

merupakan awal terbentuknya umat Islam untuk pertama kali, suatu miniatur

dunia Islam.

Jika langkah pertama dan kedua ditujukan khusus kepada konsolidasi umat

Islam, maka langkah beliau berikutnya ditujukan kepada seluruh penduduk

Madinah. Untuk ini beliau membuat perjanjian tertulis atau Piagam yang

menekankan pada persatuan yang erat dikalangan muslimin dan kaum Yahudi,

menjamin kebebasan bagi semua golongan, menekankan kerja sama dan

persamaan hak dan kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial politik

dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian dan menetapkan wewenang bagi

17 Ahamad Ibrahim Syarif, Daulat al-Rasul fi al-Madinat, Dar al-Bayan, Kuwait, 1972, hlm. 87.

10

Page 11: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

Nabi untuk menengahi dan memutuskan segala perbedaan pendapat dan

perselisihan yang timbul di antara mereka.

Langkah-langkah Nabi tersebut, telah menciptakan situasi baru dengan

menghilangkan atau memperkecil pertentangan-pertentangan di antara suku-suku.

Situasi ini pula yang diinginkan oleh penduduk Madinah, khususnya golongan

Arab, sehingga Nabi saw adalah orang yang dapat diterima, akseptabel oleh

mereka. Keberhasilan Nabi tersebut membuat posisi beliau sangat berbeda dari

ketika di Makkah, sekalipun beliau telah berdakwah selama kurang lebih 13 tahun

di kota kelahirannyaitu, namun beliau belum berhasil membentuk komunitas

Islam yang bebas dan merdeka, karena posisinya pada waktu itu sangat lemah dan

tidak mempunyai kekuatan politik untuk itu. Tapi, setelah di Madinah keadaannya

berubah. Beliau berhasil membentuk masyarakat Islam yang bebas dan merdeka

bersama komunitas lain, non-muslim, yang juga merupakan satu kesatuan dengan

umat Islam, untuk bekerja sama dalam berbagai aspek kehidupan sosial politik.18

Teori-teori politik tentang eksistensi masyarakat tersebut jelas mempunyai

signifikasi yang berkait dengan fakta historis kelompok-kelompok sosial Madinah

yang ditertibkan oleh Nabi saw dan sahabat menjadi satu masyarakat yang teratur.

Karena Piagam Madinah yang menjadi organ bagi Nabi membentuk persatuan dan

kesatuan penduduk kota itu, mengandung sejumlah undang-undang dan aturan

etika politik global untuk mengatur mereka dalam kehidupan bersama, bekerja

sama dan mengadakan hubungan-hubungan sosial. Atas dasar ini dapat ditegaskan

bahwa kelahiran Piagam Madinah telah mengubah eksistensi orang-orang

mukmin dan warga lainnya dari sekedar kumpulan manusia menjadi masyarakat

politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik

dalam wilayah Madinah sebagai tempat meraka hidup bersama, bekerja sama

dalam kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka yang bebas dari pengaruh dan

penguasaan masyarakat lain dan mampu mewujudkan kehendak mereka sendiri.

18 Michael H. Hart, berkesimpulan bahwa Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup politik. Dia tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen dan efektif. Kini empat belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar. Lebih lanjut lagi, Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu. Baca; Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah. Cet. 11, Pustaka Jaya, Jakarta, hlm. 29-33.

11

Page 12: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

Dengan demikian, perilaku politik yang dicontohkan oleh Nabi saw,

merupakan etika politik global dan sesuai dengan teori politik. Dalam ilmu

politik, ada tiga unsur utama yang inheren bagi suatu kumpulan manusia untuk

dapat disebut sebagai masyarakat yang sebenarnya atau masyarakat politik, yaitu

adanya wilayah tertentu yang mengikat mereka untuk hidup bersama dan bekerja

sama dengan rasa aman untuk mengembangkan sumber-sumber kehidupan

mereka dan mengamalkan ajaran agamanya, adanya kesadaran sosial untuk

bekerja sama dalam mencapai tujuan umum dan adanya otoritas politik yang legal

dalam masyarakat bersangkutan yang mampu memelihara perdamaian dan

memajukan masyarakat yang dibentuk itu. Otoritas ini dilengkapi dengan institusi

pereaturan yang berlaku bagi individu-individu dan setiap kelompok19 dilengkapi

dengan institusi peraturan, yaitu Piagam Madinah yang berlaku bagi individu-

individu dan setiap kelompok. Dengan demikian penduduk Madinah merupakan

satu umat dan masyarakat politik.

Abu Bakar dan Umat Islam menghadapi tantangan kedua. Meskipun kota

Madinah, Makkah dan Thaif dan kelompok-kelompok nomaden diantara kota-

kota tersebut sebagian besar sangat setia kepada Abu Bakar, banyak kelompok di

Arab yang pernah menyatakan ketaatannya kepada Nabi saw, mencoba

memutuskan ikatan politik dan keagamaan dengan Madinah ketika Nabi wafat.

Beberapa kelompok mengklaim bahwa mereka akan tetap menjadi Umat Islam

namun menyatakan bahwa mereka tidak berhutang zakat yang Nabi kumpulkan,

yang tetap dituntut pelaksanaannya oleh Abu Bakar. Kelompok lain tidak

memberikan jaminan bahwa mereka akan tetap menjadi umat Islam. Dalam kasus

lain para pemimpin agama muncul dengan klaim sebagai nabi (nabi palsu). Untuk

menghadapi ancaman-ancaman ini, Abu Bakar bertindak cepat dan tepat atas apa

yang biasanya disebut perang melawan kemurtadan atau riddah, dengan

mengirimkan tentara Islam. Pada tahun 634, pada akhir dua tahun seruan tersebut,

Abu Bakar dan umat Islam Membuat seluruh jazirah Arab berada dalam

kendalinya, membuka jalan untuk penaklukan-penaklukan lebih lanjut yang dalam

19 Lihat S.E. Finer, Comperative Goverenment, London, 1974, hlm. 24 dan Muhammad Thaha Badawi, Ushul Ulum al-Siyasat, Alexandria, 1967, hlm. 34-42 dan 118.

12

Page 13: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

beberapa dekade kemudian, membuat umat Islam sebagai penguasa sebuah

kekaisaran yang besar.20

Khalifah memerintahkan serangkaian serangan ke wilayah Palestina dan

Syiria yang dikuasai Byzantium, tempat tinggal bagi banyak suku berbahasa Arab.

Serangan-serangan ini memperoleh reaksi defensif dari para penguasa Byzantium

di Syria, yang untuk melawannya beberapa peperangan dilaksanakan. Pada

akhirnya, kaisar Byzantium Heraklius mengirimkan tentara besar dari Anatolia

untuk melindungi Syria dari ancaman umat Islam, meskipun tidak berguna;

kekuatannya dihancurkan pada satu pertempuran di lembah Yarmuk pada tahun

636, sebagian besar daerah pedalaman maupun perkotaan di Syriadan Palestina

segera berada dalam kekuasaan umat Islam, kecauali beberapa kota Coastal

seperti Ascalon dan Tripoli, yang bertahan beberapa tahun lebih lama karana

Byzantium mensuplainya dari laut.21

Prinsip yang mendasar dalam sistem politik global pada masa Daulah

Islamiyah masa Nabi saw dan Khulafa Al-Rasyidin di Madinah adalah,

kedaulatan negara yang didasarkan pada etika agama, dan tidak satupun parlemen

yang mempunyai hak untuk melewati hukum atau undang-undang yang secara

tersirat atau tersurat bertentangan dengan perintah-perintah Tuhan. Karena itu,

etika politik global pada masa Nabi saw dan sahabat, menjamin penyeragaman

keadilan dan penyelamatan nasib negara dari tingkah orang-orang yang dapat

menggoyahkan stabilitasnya. Disamping, bahwa semua orang itu sama atau

sederajat di depan hukum, juga dalam pandangan Tuhan. Mereka mempunyai hak

politik yang sama. Hukum yang sama juga diberlakukan terhadap setiap hukum

atau undang-undang, sekalipun dialakukan oleh seorang khalifah, maka ia dapat

dihadapkan di depan pengadilan dan dihukum jika ternyata bersalah.

Hal lain yang menjadi nilai dasar politik global, bahwa jabatan secara umum,

termasuk di dalamnya kepala eksekutif, adalah sebagai amanah dari Tuhan dan

20 Baca; Syaikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawy, Sirah Sahabat; Keteladanan orang-orang di sekitar Nabi, Al-Kausar, Jakarta, 1998, hlm. 19-195. Dan baca; Muhammad bin Shalih Al-Utsmani, Politik Islam, Ta’liq Siyasah Syari’ah, Griya Ilmu, Jakarta, 2009, hlm. 334-336.

21 Pengorganisasian wilayah penduduk baru yang begitu luas, dan penerapan ketentuan masyarakat Arab primitif yang belum dikodifikasi terhadap tuntutan masyarakat cosmopolitan yang hidup dalam berbagai kondisi, menjadi tugas berat yang kini harus dihadapi oleh penguasa Islam. Umar adalah orang pertama yang menyadari persoalan ini. Beberapa contoh inovasi umar adalah bidang administrasi pemerintahan di wilayah-wilayah baru bisa berdiri dengan kuat yang dilandasi oleh teokrasi Islam. Lihat: Philip K. Hitti, Op. Cit, hlm. 210-212.

13

Page 14: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

orang-orang yang dipercayakan itu harus mempergunakan kekuasaan yang

dipergunakan kepadanya sebagai perintah Tuhan, dan harus dipergunakan untuk

kepentingan umat atau rakyat. Termasuk semua hal-hal yang bersifat umum, harus

ditetapkan memlalui musyawarah, setelah dimintakan pandangan-pandangan atau

pertimbangan-pertimbangan dari warga negara. Pada saat ini, Nabi dan para

sahabat berada dalam posisi kegungan moral yang prima. Dengan demikian

sampai batas-batas yang jauh, politik tetap berfungsi sebagai kendaraan moral

yang efektif, mencerminkan demokrasi yang otentik. Sehingga tidak

mengherankan kalau banyak penulis dan peminat mengedialisasikannya.

B. Daialog Esoteris Antaragama

Sejak abad ke 19 para ahli dalam studi agama menggunakan pendekatan

menurut disiplin ilmu masing-masing seperti pendekatan sosiologis, antropologis,

psikologis dan historis. Dengan kegiatan studi tentang agama-agama ini, maka

dikenal nama-nama para ahli seperti Edward Taylor (1832-1917), antropolog yang

menyatakan bahwa agama bermula dari kepercayaan tentang roh, spirit dan

anima, sehingga menjadi animisme; James Frazer (1854-1941) seorang sarjana

pengetahuan klasik mengatakan bahwa agama berkembang dari pengetahuan

tentang magi; Wilhelm Wundt (1832-1920) seorang ahli ilmu jiwa berpendapat

bahwa agama merupakan emisi yang diproyeksikan keluar kepada lingkungan;

Rudolf Otto (1869-1937) seorang ahli filsafat menyatakan bahwa pengakuan

terhadap yang suci (the sacred) adalah basis semua agama; Emile Durkheim

(1858-1917) seorang sosiolog menyatakan bahwa agama adalah salah satu cara

untuk memenuhi proses sosialisasi.22 Demikian antara lain para ahli barat yang

menaruh perhatian terhadap studi agama.

Hasil penelitian para ahli dan pandangan mereka tentang agama seperti

diuraikan di atas. Menimbulkan berbagai definisi agama menurut versi keahlian

masing-masing. Sekedar gambaran tentang defenisi yang dikemukakan oleh para

sosiolog bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, sikap-sikap emosional

yang dilakukan oleh sekelompok manusia untuk mengatasi masalah-masalah

penting dalam kehidupan manusia. Defenisi ini menggambarkan bahwa agama

22 Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, Columbia University Press, New York, 1966, hlm. 4.

14

Page 15: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

berfungsi sebagai problem solver (pemecah masalah) yang dihadapi oleh

penganut.

Pendekatan terhadap semua agama-agama dilingkungan akademik barat

banyak terperangkap kedalam suatu sistem disiplin keilmuan, sehingga agama

kehilangan makna hakikinya yang transendental, Mabda’ ilahiyah yang universal

dan berakibat terjadinya reduksionisme terhadap makna agama.

Sementara para ilmuwan di dunia Timur melakukan penelitian bukan untuk

objek studi dan diteliti semata, tetspi dipelajari untuk diterima sebagai keyakinan

dan diamalkan sebagai pedoman hidup. Pemikiran terhadap agama dilakukan oleh

orang timur dalam rangka memperkokoh keyakinan dan keimanan yang dianut.

Para ilmuwan tersebut antara lain;

Thaha Husein (1889-1973); yang mengatakan bahwa antara Islam dan

Kristen terdapat substansi yang sama, sebab pada esensinya Islam bukanlah

alternatif bagi Kristen melainkan pelengkapnya.23 Abdul Kalam Azad (1888-

1958); yang terkenal dengan istilah al-Din Wahid wa al-Syari’at Mukhtalifat, no

difference in Din, difference only in Shara’, agama tetap satu dan syariat berbeda-

beda.24 Fazlur Rahman (1919-1988); yang menyebutkan bahwa tema pokok Al-

Quran ada lima, yaitu Tuhan, manusia, alam semesta, wahyu dan eskatologis.

Dimana kelima tema pokok ini ada dalam setiap agama, terutama agama wahyu.25

Demikian juga Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986); yang cukup banyak

berperan dalam trialog tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam yang pada

dasarnya adalah satu rumpun yaitu Ibrahamik Religions.26 Sayyed Husein Nasr

(L.1933); yang mengatakan bahwa esensi spritualitas Islam, seperti yang

terungkap dalam Al-Quran adalah realitas prinsip tauhid (keesaan) yakni

mengenal Allah yang satu. Akan tetapi, Allah yang satu itu menciptakan umat

manusia dalam berbagai kecendrungan yang majemuk sehingga pengenalan akan

23 Thaha Husein, Mustaqbal al-Saqofat fi Mesihr, dalam Al-Majmu’at al-Kalimat li Muallafat al-Lubnany, Beirut, 1973, hlm. 33.

24 Abul Kalam Azad, The Turjuman Al-Quran, Vol I, terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Syed Abd al-Lathief, Hydrabad, 1981, hlm. 153-160.

25 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyuddin, Pustaka, Bandung, 1983.26 Ismail Raji al-Faruqi, “Islam and Christianity: Problems and Perspectives,” in The World

in the Third World, ed. James P. Cotter (Washington, DC: Corpus Books, 1968), pp. 159-81. and “Islam and Other Faiths,” and Historical Atlas of the Religions of the World (New York: MacMillan, 1975)

15

Page 16: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

Allah itu menubuh dalam berbagai ekspresi.27 Frithjof Schuon (lahir; 1907); ahli

perbandingan agama kontemporer dan salah satu pimpinan aliran filsafat perennial

(metafisika tradisional keagamaan) yang memperlihatkan Ilahi dalam segama

sesuatu, atau yang disebut dengan istilah esoteris.28

Dewasa ini semakin dirasakan secara meluas betapa sangat mendesaknya

untuk membangun dan mengembangkan apa yang bisa disebut dengan ’common

groud’ (asas bersama) atau basis teologi bersama bagi koeksistensi yang damai

antara para pemeluk agama yang berbeda. Sepanjang sejarah, umat manusia telah

mengalami serangkaian ketegangan, perang berdarah dan bahkan genosida, atau

setidaknya sikap indiferensi (ketidak-pedulian) dari suatu kelompok terhadap

kelompok lain, hanya semata karena secara ras, etnis dan agama adalah berbeda.

Padahal jika dihayati secara mendalam dan substansial sumber agama itu adalah

satu yaitu Yang Absolut. Memahami kondisi objektif tersebut, maka para ahli

mengkaji muatan agama dengan pendekatan esoteris.

Untuk mengembalikan agama-agama ke pusatnya, perlu diajukan pendekatan

alternatif yang bersifat universal dan konprehensif. Pendekatan tersebut berangkat

dari pandangan bahwa agama sebagai relitas universal yang transenden dan telah

dilakukan terhadap hal-hal yang fundamental metafisis sebagai relitas tertinggi

yang melampaui semua ketentuan dan batasan sebagai sesuatu yang absolut dan

tak terbatas.

Pendekatan alternatif tersebut di atas adalah pendekatan tradisional. Kata

tradisional ini bukan dalam arti adat atau kebiasaan, melainkan sebagai realitas

asal yang transenden, yang telah ada sejak azali dan akan selalu ada selamanya

dan manifestasinya dalam sejarah berupa agama dan juga filsafat, sains, seni dan

lain-lain. Paham tersebut adalah filsafat perennial.

Dengan menggunakan pandangan kaum tradisional (perenialis), dalam

menghadapi pluralitas agama tidak terhenti pada bentuk, tetapi dilanjutkan sampai

pada esensi atau tidak terhenti pada fenomena, tetapi diteruskan sampai pada

nomena, karena semua yang ada terdiri dari lahir dan batin, bentuk dan rupa.

27 Sayyed Husein Nasr, Knowledge and the Sacred, terj. Suharsono, Intelegensi dan Spiritualitas Agama-Agama, Inisiasi Press, Jakarta, 2004.

28 Frithjof Schuon, The Transendent Unity of Religions, terj. Saafroedi Bahar, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.

16

Page 17: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

Keberadaan agama-agama yang majemuk ini ada satu realitas absolut yang

menjadi pengikat bersama pada tingkat transenden dari semua agama.

Artinya, dengan pendekatan filsafat perenialisme, agama-agama yang

dipeluk oleh manusia tidak mungkin menyebabkan timbulnya konflik sosial.

Sebab seperti dijelaskan Huston Smith (1918-1995), agama pada tingkat esoteric

atau common vision mempunyai kesatuan dan kesamaan gagasan dasar. Dimana

semua agama terikat oleh persamaan suatu realitas Absolut, Universal dan Azali

pada tingkat transenden.29 Dengan pendekatan filsafat perennial, Islam

memandang bahwa doktrin tentang ke-Esaan Tuhan tidak hanya menjadi milik

Islam sebagai agama, melainkan lebih merupakan inti dari setiap agama. Dengan

kata lain, agama-agama pada dasarnya lebih menegaskan doktrin ke-Esaan Tuhan

tersebut walau dengan menggunakan bahasa dan istilah yang berbeda.

Oleh karena itu, Islam menyeru seluruh umat beragama agar berpegang pada

titik persamaan tersebut, yakni keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hal ini dapat menjadi landasan teologis yang kokoh dalam membangun

kerukunan umat beragama. Orang muslim dapat berdampingan dengan orang non-

muslim atau sebaliknya dengan tetap memperhatikan dan menghormati rambu-

rambu agamanya masing-masing. Kesamaan pandang tersebut dapat

memperkokoh hubungan antara kelompok umat beragama yang ada di tengah

masyarakat bangsa.

Dalam kaitan ini kita memperhatikan perintah Allah kepada Nabi

Muhammad saw agar mengajak para ahli kitab untuk menuju ke titik persamaan,

yaitu menyembah Tuhan Yang Esa dan tidak mempersekutukan-Nya, seperti

tersebut dalam surat Ali Imran ayat 64;

Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat

(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak

kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan

29 Huston Smith, The Religions of Man, Sidney, New York, 1958, hlm. 18

17

Page 18: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain

sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah

kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang

berserah diri (kepada Allah)".30

Ayat tersebut di atas mengesankan adanya pengikat persamaan suatu realitas

absolut, universal dan azali pada tingkat transenden dari semua agama. Sejalan

dengan filsafat perennial, Islam memandang bahwa doktrin tentang al-tauhid

tidak hanya menjadi pesan milik Islam sebagai agama, melainkan lebih

merupakan inti dari nilai agama wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi-Nabi

merupakan penegasan mengenai doktrin tauhid yang menjadi inti semua agama,

meskipun menggunakan bahasa dan istilah yang berbeda-beda.

Di bawah heading ’kalimah sawa’ (pernyataan yang adil dan netral, atau

istilah yang sama) yang oleh Cak Nur diterjemahkan: ’pandangan yang sama’

yang bisa dijadikan sebagai ’titik temu’31 para pendekar pluralis dari kalangan

Islam di Indonesia mencoba mengembangkan paham ’persamaan agama’ ini

dalam konteks keindonesiaan. Cak Nur yang merupakan pionir dalam hal ini,

beranggapan bahwa ayat perintah menggunakan (mencari) kalimah sawa’

(QS.3:64) ini merupakan basis yang sangat kuat bagi umat Islam untuk

mengembangkan kesadaran dan sikap beragama yang pluralistic tanpa ada stigma

atau hambatan teologis dalam diri mereka.

Dalam Islam, ajaran untuk hidup bersama para penganut agama lain dalam

suatu komunitas mendapatkan landasan teologis berupa seruan untuk mengajak

seluruh umat beragama untuk sama-sama berpegang pada pokok pangkal

kebenaran universal yang tunggal yaitu keyakinan terhadap Ketuhanan Yang

Maha Esa atau Tauhid. Keyakinan ini menjadi titik temu common platform bagi

semua agama. Al-Quran meletakkan kreteria keselamatan bagi pemeluk agama

apapun dengan tiga butir kewajiban, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa

dan Kenabian, beriman kepada hari akhir dan beramal soleh. Mereka yang

30 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Krya Toha Putra, Semarang, 1995, hlm. 86.

31 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodrenan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992, hlm. 1xix.

18

Page 19: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

melaksanakan tiga macam kewajiban tersebut tidak perlu takut dan khawatir

karena akan mendapat pahala dari Allah. Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 62:

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang

Nasrani dan orang-orang Shabiin,, siapa saja diantara mereka yang benar-

benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka

akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada

mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.32

Dengan demikian kerukunan hidup umat beragama dan kesatuan mereka

mendapatkan landasan teologis yang kokoh, baik secara ritual maupun secara

sosial. Dengan uraian ini menjadi jelas bahwa Islam sebagai agama tidak

mempunyai keberatan dan hambatan dalam menghadapi pluralitas agama, karena

pluralisme itu sendiri itu juga telah menjadi sunnatullah yang harus diterima

sebagai kenyataan yang tidak perlu dihindari.

Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, kesatuan prinsip ajaran agama

tersebut ditemukan pada wilayah esoteris yang dipahami sebagai puncak perenial.

Pandangan perenial juga dipahami sebagai teologi esoteris yang memandang tidak

hanya satu jalan keselamatan yang murni tanpa meninggalkan wahyu, tetapi juga

jalan keselamatan lain sebagai riil. Keislaman menilai jalan lain diluar

keselamatannya menjadi prinsip yang diwujudkan dalam sikap normatif

kepercayaan Islam, yang tidak mesti ditutup lewat satu jalan. Justru

keanekaragaman agama dipandang tidak menghilangkan keislaman, akan tetapi

menggeser paradigma teologi dari posisi islamosentris ke teosentris. Dengan kata

lain kapling kebenaran agama yang bersifat ekslusif tidak bisa menyisihkan

kehendak Tuhan bagi hamba-Nya dalam rentang waktu historis selama hal itu

dikehendaki-Nya.33

32 Ibid., hlm 19. 33 Komaruddin Hidayat, “Agama Dan Masa Depan Indonesia”, dalam Agama dan Dialog:

Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999, hlm. 205.

19

Page 20: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

Namun inklisuvisme itu sendiri kenyataannya menimbulkan persoalan serius,

yang kemudian menjadi kelemahan dasar paradigmanya, yaitu paradigma yang

dibangun oleh teologi pluralisme yang masih bersifat terbatas, hanya memandang

agama-agama di luar kekeristenan dari sudut kekeristenan itu sendiri. Pengertian

agama hanya dipahami sebagai jalan keselamatan. Tentu pengertian seperti ini

mengakibatkan sikap totalitarian; semua agama dianggap memiliki pemahaman

yang sama, padahal tidak semua agama memiliki pemahaman yang sama. Di sini

kebenaran agama lain diukur menurut kriteria kebenaran agama Kristen.

Akibatnya citra agama Kristen dibangun sebagai agama superior sedangkan

agama lain dipandang inferior. Agama lain tidak berkesempatan memahami

dirinya sendiri sebagai agama yang memang unik. Yang satu lebih tinggi dari

yang lainnya atau yang satu dinilai terbaik, yang lain cukup dinilai baik saja. Hal

ini menghasilkan pandangan yang diskriminatif terhadap agama-agama.

Sementara itu, pandangan diskriminatif bagaimanapun juga bertolak belakang

dengan moralitas religius yang menjunjung keadilan.

Akibat kelemahan yang ditimbulkan oleh paradigma inklusivistik tersebut

muncullah esoterisme sebagai paradigma baru dalam dialog agama-agama.

Perspektif ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengakui seluruh kebenaran agama

itu tidak lain bersumber dari Allah sebagai realitas yang tertinggi atau ”Yang

Nyata” dan bukan semata-mata bersumber dari institusi keislaman, Kristen,

Yahudi atau agama-agama lainnya. Ini berarti pandangan kebenaran agama itu

dipusatkan kepada Tuhan bukan ke agama.

Peter Wilhem Schmidt (1868-1954) selaku teolog yang paling banyak

memiliki pengalaman hidup dengan agama-agama non-Kristen, mencoba

menjadikan pengalamannya itus ebagai titik tolak untuk mengembangkan idenya

mengenai pluralisme. Menurut Schmidt, secara teknis untuk membangun teologi

pluralistic diperlukan pemahaman terhadap tradisi agama-agama lain. Seorang

teolog harus menyadari bahwa ketika ia sedang berteologi, pembacanya tidak

sekedar dari kalangannya sendiri, boleh jadi ia berasal dari lingkup agama-agama

lain, seperti Islam, Hindu, atau Budha.34

34 Horald Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, Kanisus, Yogyakarta, 1994, hlm. 61.

20

Page 21: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

Dari Pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa bagi kaum pluralis problem

pluralitas agama itu sendiri dipandang sebagai hal negatif, dasar berpikir seperti

ini akan mengakibatkan kemajemukan agama yang sebenarnya memiliki

kebenaran partikuler dan unik menjadi terabaikan. Jadi, argumen yang dibangun

oleh pluralisme itu cendrung jatuh ke dalam relativisme agama, yang akan

menghilangkan karakteristik masing-masing agama, maka ia menjadi persoalan

yang harus dipecahkan. Cara memecahkannya tentu dengan berupaya menarik

garis persamaan (titik temu) menuju kepada transendensi agama-agama (esoteris

agama).

Walaupun substansi semua agama itu sama, tapi karena kehadiran substansi

selalu dibatasi oleh, dan fungsinya berkaitan dengan, bentuknya, maka walaupun

substansi setiap agama semua sama, tetapi secara eksoterik dan oprasional

sekaligus berbeda dari agama yang lain. Oleh karenanya setiap agama selalu

otentik untuk zamannya meskipun secara substansi kebenarannya bersifat

perennial, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Semua agama pernah hadir, entah

itu Yahudi, Kristen maupun Islam adalah otentik dan benar adanya, yang satu

tidak menghapus dan menggantikan yang lainnya. Jikapun dikatan Islam adalah

agama yang mutakhir yang mencakup atau meliputi ajaran agama sebelumnya,

maka pengertiannya adalah kebenaran Islam pada level substansinya.

Mengenai substansi agama-agama yang tidak bisa dibatalkan itu, karena

sifatnya yang perenial dan otentik, bisa dijelaskan dengan beberapa cara. Antara

lain ialah, kalau saja Tuhan hanya menyelamatkan orang-orang yang menganut

agama Kristen saja, misalnya, maka menurut nalar sehat mustahil beberapa abad

kehadiran agama Islam yang dengan cepat menyebar ke seluruh dunia.

Sebaliknyha, jika kedatangan Islam, dengan kebenaran yang dibawanya,

meniscayakan seluruh manusia memeluk agama ini, maka sulit dijelaskan

mengapa Tuhan menutup hati umat pemeluk agama di luar Islam, yang jumlahnya

lebih besar ketimbang pemeluk Islam, sehingga tidak tertembus oleh pesan yang

dibawa Nabi Muhammad saw.

Melihat kenyataan tersebut, maka kesadaran adanya aspek substansi dan

bentuk, adanya wahyu tertulis, tercipta, dan terpatri dalam kalbu, akan membuka

banyak jalan alternative menuju jalan lurus, tanpa kita mengingkari adanya orang

21

Page 22: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

yang memang mengingkari agama ataupun yang menyimpang dari jalan yang

benar. Meminjam ungkapan Schoun:

Inwardly or in terms of substance, the claims that areligion makes are

absolute, but outwardly, or in terms of farms, and o on the level of human

contingency, the are necessarily relative.

Secara esoteris, atau dalam pengertian substansi, klaims ataupun

pernyhataan-pernyataan yang dibuat oleh semua agama bersifat mutlak.

Tetapi, secara eksoterik, atau dalam pengertian bentuk, atau pada tingkat

keberagaman manusiawi, pernyataan-pernyataan tersebut mau tidak mau

menjadi relatif.35

Dengan demikian, keberagaman hanya mengandalkan bentuk tidak

menjadikan satu-satunya sarana penyelamat. Ia masih diterima kebenarannya

sebatas merupakan derivasi spiritual dari substansi yang Absolut. Setiap bentuk

adalah terbatas, dan setiap agama pada dimensi eksoteriknya adalah suatu bentuk,

sedangkan sifat kemutlakan yang dimilikinya hanya dalam esensi hakiki dan

supraformalnya saja. Itulah sebabnya bahasa dan perilaku keberagamaan sangat

kaya dengan ungkapan simbolik, metaforis, analogi, dan semacamnya, yang

kesemuaannya itu menuntut penyikapan yang dalam akan makna dan pesan hakiki

yang ada dibaliknya. Contoh yang amat nyata adalah, jika orang ibadah haji untuk

menyembah bangunan ka’bah, maka ia telah terjatuh menjadi musyrik. Namun

demikian, nyatanya dalam shalat dan thawaf kita dianjurkan menundukkan kepala

di hadapan ka’bah. Di sinilah kita jumpai berbagai kesan paradoksal dalam bahasa

agama. Ini perlu ditegaskan karena fenomena agama yang muncul dipermukaan

biasanya melupakan makna hakikinya.

Padahal dalam sejarah Islam diceritakan bahwa Ibrahim ibn Adham, seorang

sufi, pernah mempunyai guru seorang pendeta Kristen, dan masing-masing

berpegang kepada agamya sendiri-sendiri. Kisah serupa dialami juga oleh Sayyid

Ali Hamdani, yang telah memainkan peranan menentukan dalam mengubah

Kashmir menjadi Islam, ketika mengenal Lalla Yogiswari, seorang Yigi wanita

cantik dari kalangan Hindu. Kalau orang suci itu saling menghormati satu sama

lain, meskipun berbeda agama, dan pada tingkat tertentu dapat saling berguru dan

35 Frithjof Schoum, Islam and The Perennial Philoshopy, Translated by J. Peter Hobson, World of Islam Festival Company Ltd, 1976, hlm. 16.

22

Page 23: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

mempengaruhi satu sama lain. Semua kisah itu menunjukkan jika seseorang telah

melewati dataran bentuk dan kemudian naik ke jenjang substansi maka jarak,

konflik dan eksluvisme keberagamaan menjadi hilang. Jadi, identitas, perbedaan,

konflik dan dinamika yang muncul dari eksoterisme agama adalah suatu

keniscayaan, meskipun pada dasarnya semua itu secara ontologis dan

epistimologis hanyalah bersifat relatif belaka.36

Misi para Nabi adalah monoteisme, baik pada agama yahudi, Kristen

maupun Islam, pada hakikatnya didasarkan pada konsepsi dogmatis tentang

keesaan Ilahi (al-tawhid, dalam istilah teknis Islam). Konsepsi itu dikatakan

bersifat dogmatis, berarti pernyataan tersebut bertujuan menunjukkan adanya

peyertaan sikap menolak pandangan lain. Tanpa sikap tersebut, yang merupakan

pembenaran bagi setiap dogma, tidak mungkin ada penerapan eksoteris. Dogma

itu bersifat terikat oleh batasan-batasan demi kelangsungan hidup bentuk-bentuk

eksoteris. Pembatasan itu pada dasarnya disebabkan oleh keterbatasan yang ada

dalam setiap sudut pandangan teologis. Dengan kata lain, sudut pandangan

teologis ditandai oleh saling menyalahkan dalam bidangnya sendiri pada setiap

kinsepsi yang ada.

Berbagai bentuk konsepsi itu memang saling bertentangan, karena dipahami

dari aspek bentuk dari masing-masing ajaran eksoteris agama, yang kemudian

menjadi bentuk sistem peribadatan. Namun dari segi ajaran metafisika atau

kerohanian murni, rumusan-rumusan yang kelihatannya saling bertentangan itu

sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain atau saling terkait satu sama

lain. Sebab, sumber ajaran itu pada hakikatnya adalah satu, yaitu yang Absolut.

Ini bahkan terbukti bukan hanya dari segi ajaran esoterime setiap agama,

melainkan juga dari segi kesejarahan, terutama bagi tiga agama besar yang biasa

disebut Abrahamic Religions.

Pada mulanya, agama-agama monoteisme itu merupakan cabang kelompok

agama orang-orang Semit, yang bersal dari Nabi Ibrahim, yang kemudian

berkembang lebih lanjut menjadi dua cabang, yakni dari keturunan Ismail dan

Ishak.37 Baru pada zaman Musa as, monoteisme itu mengambil bentuk Yahudi.

36 Ibid., hlm. 17. 37 Dalam sejarah diceritakan bahwa Nabi Ibrahim as, sampai usia lanjut dengan

pasangannya, Sara, tidak dikarunia keturunan. Dari Hajar (Budak berkulit hitam dari Ethopia) inilah Ibrahi dikarunia Ismail. Anehnya, ketika Ismail berusia 12 tahun, Sara juga hamil. Anak

23

Page 24: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

Pada saat agama Ibrahim mulai luntur dikalangan keturunan Ismail, Nabi Musalah

terpanggil mengembangkan monoteisme tersebut. Musa menghubungkan

monoteisme dengan Israel, yang kemudian musa menjadi pelindungnya. Adaptasi

yang dibawa Musa betapapun penting dan sesuai kehendak Ilahi, tapi tindakan

tersebut mengakibatkan adanya pembatasan dalam bentuk lahiriyah. Demikian

juga dengan kelahiran Isa al-Masih sebagai penerus misi kenabian membawa satu

pesan Ilahiyyah, namun sepeninggalnya terjadi pemahaman eksoteris yang cukup

menonjol di kalangan umat Kristen.

Dua wajah monoteisme Yahudi dan Kristen kemudian dirangkum oleh Islam

dengan meyelaraskan pertentangan tersebut dalam satu sintetis. Hal semacam

inilah yang akan menandai berakhirnya perkembangan dan perwujudan integral

monoteisme. Terhadap Yahudi, Islam memperteguh ajaran kasih dari Kristen, dan

terhadap Kristen, Islam memperteguh aspek legal (eksoterisme) Yahudi. Hal ini

didukung oleh fakta bahwa Islam mempertemukan dan merangkum dua

monoteisme tersebut, maka akan solid ketika keduanya diintegrasikan. Dalam

pandangan Frithjof Schuon persoalan ini digambarkan sebagai berikut :

Monoteism contained in Judaism and Christianity two great antagonistic

expressions which Islam, although itself necessarily antagonistic in ralation

to these two forms recapitulated in a certain manner by hamonizing the

Judaeo-Christian antagonisme in a synthesis that marked the term of the

development and integral realization of monotheism. That this was so is

confirmed by the simple fact that Islam is the third aspect of this religious

current; that is to say, it reprents the number 3, which is the number of

harmony, whereas the number 2 represents an alternative and is not therefore

self-sufficient being compelled either to reduce itself to unity through the

absorption of one of its terms by the other or to recreate this uniy by the

production of a new unity.38

Sara ini diberi nama Ishaq. Kedua putra Ibrahim diangkat Tuhan menjadi Nabi. Dari sinilah agama monoteisme berkembang dengan menampilkan dua wajah; keturunan Ismail dan Ishaq. Para Nabi yang kemudian, hampir seluruhnya selain Muhammad saw, adalah keturunan Ishaq. Sedang dari keturunan Ismail, hanya satu saja yang menjadi Nabi, yaitu Muhammad saw.

38 Frithjof Schoun, The Transcendent Unity, Op. Cit., hlm. 101-102.

24

Page 25: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

Disinilah Islam datang sebagai peneguh, pengkeritik dan sekaligus

penyempurna terhadap dua agama sebelumnya. Karenanya dengan lahirnya agama

Islam siklus perkembangan agama monoteisme berakhir, sebab Islam

menghadirkan kembali keseimbangan yang pertama kali terdapat pada

monoteisme Ibrahim. Keseimbangan dimaksud adalah keseimbangan antara

esoterisme dan eksoterisme. Adanya perbedaan antara esoterisme dan

eksoterisme, tidak berarti keduanya dipandang secara dikotomis dan dualistik,

melainkan menyatu, bagai dua sisi dari satu mata uang.

Dalam hal ini ada komentar dari Abdullah Yusuf Ali yang sangat menarik.

Menurutnya:

Perbantahan semata tidaklah berguna. Untuk mencapai maksud kita sebagai

pemegang sejati bendera Tuhan, kita harus menemukan berbagai landasan

bersama yang hakiki dari keimanan, sebagai dikatakan pada bagian terakhir

firman Allah (Q.S. Al-Ankabut:46), dan juga untuk menunjukkan kesopanan,

kelembutan, ketulusan, kesungguhan, dan keinginan kita yang sejati untuk

kenaikan orang lain, bahwa kita bukanlah orang sembarangan atau hanya

mencari tujuan-tujuan yang bersifat egois atau menjadi tanda tanya.39

Islam sebagaimana yang terkandung dalam Al-Quran telah menggagaskan

lima prinsip menyangkut titik temu agama-agama, yaitu: Prinsip pertama, Al-

Quran mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal karena Tuhan telah

mengutus rasul-rasul-Nya kepada seluruh umat manusia. Firman Allah :

Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk

menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di

antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada

pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka

berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan

orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).

Prinsip kedua, Al-Quran mengajarkan pandangan tentang kesatuan

nubuwwat (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Firman Allah :

39 Abdullah Yusuf Ali, Tarjamat Ma’any Al-Quran al-Karim ila al-Lughat al-Injiliziyyat, Vol. 2, al-Islamiyah, hlm. 1041.

25

Page 26: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang

satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.(Q.S. Al-Anbiya: 92)

Prinsip ketiga, Al-Quran menegaskan bahwa agama yang dibawa Nabi

Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya

yang secara geneologis dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Firman

Allah :

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah

diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu

dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu:

Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat

berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.

Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi

petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).(Q.S. Asy-

Syura: 13).

Prinsip keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang

baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (ahl

al-Kitab). Firman Allah:

Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara

yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara

mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab)

yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami

dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri".

(Q.S. Al-Ankabut: 46)

Prinsip kelima, dari prinsip di atas semua membawa akibat yang sangat logis

yaitu tidak boleh ada paksaan dalam agama. Firman Allah :

Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di

muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia

supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?(Q.S. Yunus:

99)

26

Page 27: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

Dari lima prinsip di atas jelaslah bahwa secara esoteris semua agama itu

sama tidak bertentangan dengan Al-Quran, sedangkan perbedaan dalam bidang

eksoteris dan manhaj, seyogiannya tidak harus membawa pada pertentangan dan

perselisihan, sehingga mengganggu keharmonisan hidup antar umat beragama.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa esoterisme, yang secara interistik

memang sudah dengan sendirinya bersifat universal dan karenanya sangat

terbuka, meniscayakan pluralitas eksistensi agama. Pluralitas eksistensi agama,

yang kita sebut kemudian sebagai eksoterisme agama, karenanya tidaklah serta

merta dianggap sebagai suatu kesesatan yang terkutuk, melainkan sebagiannya

merupakan keharusan penjelmaan historis dari esensi agama yang bersifat

esoterik. Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap

agama, walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkusnya

yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan,

kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke

permukaan. Semestinya konflik tersebut tidak terjadi, ketika ia memahami puncak

keabadian yang universal dari masing-masing agama. Semoga akidah terjamin,

kerukunan terjalin.

C. Hubungan Antaragama dalam Al-Quran

Kajian hubungan antaragama sudah lama menjadi wacana di Indonesia dan

sudah waktunya untuk diimplimentasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara yang dikenal sangat heterogen. Kenapa demikian, karena studi ini

sangat strategis dan kontributif dalam mewujudkan keharmonisan interaksi sosial

dan kerukunan antarumat beragama untuk memperdayakan potensi dan kualitas

anak bangsa tidak hanya pada skala global, keberagaman umat manusia juga

terjadi di tingkat regional, lokal atau diwilayah yang lebih sempit lagi. Sebab

kemajemukan atau pluralistik bukanlah keunikan suatu masyarakat atau bangsa

tertentu. Namun dalam kenyataannya, tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-

benar tunggal ’unitery’ tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya. Semestinya

Al-Quran sebagai kitab suci universal ’ramatan li al-’alamin’ mampu menjawab

27

Page 28: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

berbagai problematika bani Adam dalam upaya mengeksiskan kekhalifahannya di

permukaan bumi ini, termasuk tentang hubungan antaragama.

Untuk mengkaji hubungan antaragama, paling tidak ada tiga aspek hubungan

yang dapat dipahami sebagai pirantinya. Pertama, hubungan secara generis yaitu

hubungan antaragama dilihat dari aspek kesatuan rumpun keturunan para Nabi.

Kedua, sosiologis yaitu melihat aspek interaksi sosial kemasyarakatan yang terjadi

sepanjang sejarah anak manusia dalam konteks misi kemanusiaan. Ketiga,

hubungan secara teologis yaitu membahas tentang dimensi ajaran kitab suci yang

paling mendasar tentang kesatuan agama, yang dikenal dengan istilah esoteris

atau puncak piramit titik temu agama. Penulis memfokuskan kajian ini pada

pendekatan ketiga, kendatipun tidak menapikan pendekatan lain.

Sebelum membahas lebih jauh tentang hubungan antaragama, agaknya perlu

juga dinukilkan tentang agama apa saja yang disebut di dalam Al-Quran. Setelah

menelusuri ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Quran dengan menggunakan

kitab; Mu’jam, al-Mufahras li Alfazd Al-Quran Al-Karim,40 maka dikemukakanlah

sebutan Islam, Yahudi, Nasrani, Sobi’in dan Majusi dengan berbagai derivasinya.

Di samping kata ahlul kitab, millah, hanif, musyrik, kafir, munafik, zalim dan

lainnya sebagai penunjukkan terhadap suatu sifat dan perilaku manusia sepanjang

sejarah. Kata Islam dengan berbagai derivasinya ditemukan di ratusan tempat

dalam Al-Quran. Kata Yahudi ditemudkan di 11 tempat, Nasrani sebanayk 15

tempat, Sobi’in sebanyak 2 tempat dan Majusi 1 tempat di dalam Al-Quran.

Sebagaimana yang telah penulis utarakan dipendahuluan bahwa yang

menjadi fokus kajian ini bukan simbol agama atau mengkaji makna الديـــن

karena tema itu sudah dibahas oleh penyaji terdahulu, tetapi tulisan ini lebih

kepada kesatuan keyakinan dan misi universal dalam bingkai teologis, yang oleh

Al-Quran diungkapkan dengan istilah كلـمـة jadi سـواء bukan makna agama

ansich. Oleh karena itu terlebih dahulu penulis akan menghimpun ayat-ayat yang

berkaitan dengan topik pembahasan yaitu tentang hubungan antaragama,

diklafikasi sesuai waktu dan tempat turunnya, (Makkiyah dan Madaniyah), sebab

40 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Mu’jam, al-Mufahras li Alfazd Al-Quran Al-Karim, Nur Asia, Indonesia, t.th.

28

Page 29: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

turunnya ayat jika ada dan kemudian akan dikemukakan istinbath dengan

dukungan pendapat para mufassirin dan pakar dalam disiplin ilmu terkait.41

a. Hubungan Secara Teologis

Cukup banyak ayat Al-Quran yang mengungkapkan tentang hubungan

antaragama dalam berbagai dimensi, khususnya dimensi teologis. Misalnya, ayat

yang turun di Makkah menyangkut konsepsi Al-Quran tentang kesatuan

nubuwwat (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Firman Allah :

Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang

satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku.(Q.S. Al-Anbiyaa’: 92)

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa agama umat manusia di dunia ini pada

dasarnya sama yaitu mentauhidkan Allah, penyerahan diri adalah agama semua

komunitas. Artinya kesatuan agama itu sama dalam pokok-pokok kepercayaan

dan syariatnya, sebagaimana telah diberikan kepada para nabi, tetapi sebagian

mereka telah berpecah belah dan menukar ayat-ayat Allah dengan hawa nafsu dan

kemauannya sendiri.42 Sementara itu, Muhammad Ali Ash-Shabuny mengatakan

bahwa yang dimaksudkan oleh ayat di atas adalah agama kalian adalah agama

yang satu. Artinya, agama tauhid dan penyerahan diri, millah umat manusia ini

semestinya harus dipelihara sesuai dengan batas-batasnya dan dengan

memperhatikan hak-haknya.43 Ini suatu bukti bahwa agama seluruh para Nabi dan

Rasul adalah sama, jika mereka beriman kepada Nabi Musa as, atau Nabi Isa al-

Masih seyogianya mereka menganut agama yang sama dengan umat Nabi

Muhammad saw. Sebab, masing-masing mereka diutus dengan membawa risalah

tauhid. Mereka bertemu pada pangkalnya, kendatipun mereka berbeda dalam

cabangnya, tergantung pda kondisi umat dan masanya.

41 Baca; Mustofa Muslim, Mabahis fi at-Tafsir al-Maudhu’i, Dar al-Qolam, Damsyik, Dar al-Syamsiyah, Beirut, 1421 H/2000.

42 Ibnu Katsir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy, Bina Ilmu, surabaya, ttp, hlm. 332.

43 Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Quran; Tafsir Tematik Surat Al-Kahfi Al-Mukminun, terj. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2001, hlm. 278.

29

Page 30: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

Kemudian ayat 99 surat Yunus yang diturunkan di Makkah, agaknya juga

menarik dijadikan sample dalam memahami hubungan antar agama. Yang mana,

jika Allah berkehendak semua orang di permukaan bumi ini akan beriman

semuanya, demikian juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan

agama merupakan keinginan Allah, dan kita harus menghargai keinginan tersebut.

Firman Allah :

Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di

muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia

supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?(Q.S. Yunus:

99)

Bagi penulis, ayat ini menjelaskan tentang penyerahan Allah kepada manusia

untuk melakukan pilihan imannya, agar iman mereka tumbuh bedasarkan

keridhaan dan pilihan, bukan paksaan. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia

dapat memaksa semua manusia beriman, tunduk dan patuh. Sekiranya Allah

menghendaki, tak ada orang yang ingkar dan kufur. Karena toh sejak dalam

kandungan dari Bani Adam ini, baik yang beribukan Muslim, Narani, Yahudi,

maupun ateis, anak itukan sudah tauhid, berjanji dan bersaksi kepada Allah (Q.S.

Al-Aa’raf: 172).

Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Muhammad Ali Ash-Shabuny,

bahwa ayat ini secara jelas menyerahkan masalah iman kepada pilihan manusia.

Ini yang disebut ulama dengan istilah al-juz’ul ikhtiyaary, yang karenanya ada

pahala dan siksa. Allah mempunyai kehendak dan hamba juga mempunyai hak.

Tidak kalian berkehendak melainkan Allah juga berkehendak. Allah mempunyai

hak cipta dan hamba mempunyai hak perbuatan.44

Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa sekiranya Allah menghendaki atau

berkenan, kemauan bebas yang terbatas yang selama ini sudah diberikan kepada

manusia itu, tidak diberikan, maka dengan kemahakuasaan-Nya Ia akan membuat

semua umat manusiasama; semua mereka beriman. Tetapi iman yang demikian

tidak akan menentukan pahala apa-apa kepada mereka. Dalam kenyataan dunia

44 Muhammad Ali Ash-Shabuny, Ibid., hlm. 394.

30

Page 31: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

ini, manusia telah dianugrahi bermacam-macam kemampuan dan kecerdasan,

sehingga dengan demikian mereka akan berjuang dan berusaha keras, dan

menempatkan dirinya sesuai dengan kehendak Tuhan. Di sini iman akan menjadi

suatu prestasi moral, dan iman akan dipertahankan agar tidak menjadi satu dosa.45

Dari dua ayat di atas nyatalah bahwa metode dakwah yang dilakukan

Rasulullah saw yang berkaitan dengan hubungan antaragama di Makkah, sarat

dengan penguatan iman dan penyeruan kesatuan agama para Nabi sebagai titik

temu yang hakiki. Oleh karena itu orang briman tidak boleh marah jika

berhadapan dengan orang yang berbeda keimanannya dengan kita, dan yang

terutama sekali dari semua itu ia harus dapat menahan diri dari godaan melakukan

kekerasan, misalnya memaksakan iman kepada orang lain dengan paksaan fisik,

atau dengan paksaan lain, seperti tekanan sosial, membujuk dengan harta atau

kedudukan, atau mengambil manfaat cara lain yang dibuat-buat. Mereka harus

berusaha dengan jalan rohani, dan biarlah Tuhan yang menentukan sesuai dengan

kehendak-Nya.

Berkenaan dengan tema hubungan antaragama, Al-Quran senantiasa

mengingatkan pembacanya bahwa agama pada esensinya adalah satu dan sama

sepanjang sejarah manusia. Allah tidak pernah memaksudkan keterputusan total,

perubahan ataupun penggantian atas agama-Nya dengan kedatangan nabi-nabi

baru. Akan tetapi, setiap nabi menekankan keesaan tuhan dan esensi agama.

Sebenarnya, esensi wahyu-wahyu Allah senantiasa sama, sebagaimanayang

difirmankan dalam surat Al-Anbiya’ ayat 25: ”Dan Kami tidaklah mengutus

seorang rasulpun sebelum kamu, kecuali; kami wahyukan kepadanya

bahwasannya tiada Tuhan melainkan Aku, sebab itu sembahlah Aku.”

Al-Quran lebih lanjut menyatakan bahwa dengan kesatuan esensi agama-

agama nabi-yang juga diistilahkan sebagai esoteris agama-manusia akan memiliki

kesamaan satu kebenaran sebagai Din al-Fitrah46(nama umum semua agama yang

45 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran, Text, Translation and Commentary, Amana Corp. Brentwood, Maryland USA, 1983, hlm. 510.

46 Istilah fitrah berarti kecendrungan alami atau tabiat manusiawi (Natural Disposition or Human Nature). Kata ini tersebut sekali dalam Al-Quran (Q.S. 30:30). Konotasi istilah fitrah di sini adalah kemampuan intuitif manusia yang dibawa sejak lahir dalam merasakan keberadaan dan keesaan Allah. Menurut mufassirin, semua manusia telah dikaruniai fitrah akan keberadaan-Nya sebagai Tuhan, dan pencipta sejak tingkatan keberadaan ruh. Untuk lebih detailnya, lihat; Abu Ja’far Muhammad at-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, diedit oleh Mahmud Shakir, 30 jilid, Dar Ihya al-Turath al-’Arabi, Beirut, 2001, jilid 9, hlm. 132-141 dan jilid 2, hlm. 47-48.

31

Page 32: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

haq bagi Allah). Jadi, sebenarnya manusia itu adalah satu ikatan dalam satu

komunitas (ummah wahidah). Oleh karena itu, Islam menyeru seluruh umat

beragama agar berpegang pada titik persamaan tersebut, yakni keyakinan terhadap

Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dapat menjadi landasan teologis yang kokoh

dalam membangun kerukunan umat bereagama. Orang muslim dapat

berdampingan dengan orang non-muslim atau sebaliknya dengan tetap

memperhatikan dan menghormati rambu-rambu agamanya masing-masing.

Kesamaan pandang tersebut dapat memperkokoh hubungan antara kelompok umat

beragama yang ada di tengah masyarakat bangsa.

Dalam kaitan ini kita perhatikan perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw

yaitu ayat Madaniyah, mengajak para ahli kitab untuk menuju ke titik persamaan,

yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak mempersekutukan-Nya,

seruan pada kesatuan itu kembali diseru oleh Allah, sebagaimana firmannya:

Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada

suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara

Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan

tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak

(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai

Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah

kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-

orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Q.S. Al-Imran: 64)

Ayat tersebut di atas membuktikan adanya pengikat persamaan suatu realitas

absolut, universal dan azali pada tingkat transenden dari semua agama. Sejalan

dengan filsafat perennial, Islam memandang bahwa doktrin tentang al-tauhid

tidak hanya menjadi pesan milik Islam sebagai agama, melainkan lebih

merupakan inti dari nilai agama wahyu Tuhan yang diturunkan kepada nabi-nabi

32

Page 33: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

merupakan penegasan mengenai doktrin tauhid yang menjadi inti semua agama,

meskipun menggunakan bahasa dan istilah yang berbeda-beda.47

Di bawah heading ’kalimah sawa’ (pernyataan yang adil dan netral) atau

’pandangan yang sama’ yang bisa dijadikan sebagai ’titik temu’ para pendekar

pluralis dari kalangan Islam di Indonesia mencoba mngembangkan paham

’persamaan agama’ ini dalam konteks keindonesiaan. Penulis bereanggapan

bahwa ayat perintah menggunakan (mencari) kalimah sawa’ (Q.S. 3: 64) ini

merupakan basis yang sangat kuat bagi umat Islam untuk mengembangkan

kesadaran dan sikap beragama yang pluralistik tanpa ada stigma atau hambatan

teologis dalam diri mereka.

Selanjutnya, Al-Quran menganulir soal hubungan antaragama dalam dimensi

sosial kemasyarakatan, dimana antara dua kelompok umat beragama saling

menghargai dan menghormatan kebenaran yang dimiliki oleh agama yang dianut

oleh umatnya, dan yang dekat persahabatannya dengan umat Islam. Sebagaimana

firman Allah swt :

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras

permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah

orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan

Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat

persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah

orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini orang

Nasrani". yang demikian itu disebabkan karena di antara

mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta

dan rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak

menymbongkan diri. (Q.S. Al-Maidah: 82)

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Nasrani Habsyah, ketika

orang-orang muslim hijrah kesana. Ketika para pendeta dan rahib mendengar

47 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghy, terj. Toha Putra, Semarang, 1986, hlm. 321.

33

Page 34: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

ayat-ayat Al-Quran, dan mereka yakin bahwa itu adalah kalam Allah Yang Maha

Pengasih, mereka pun menangis hingga membasahi jenggot. Seketika kitu mereka

meyatakan taubat dan iman. Ayat ini sama sekali tidak bersinggungan dengan

orang-orang Nasrani pada zaman sekarang.48

Artinya bukan saja mereka menyebut diri orang Kristen, tetapi orang Kristen

yang benar-benar jujur. Mereka dapat memahami kebenaran orang Islam, seperti

yang dilakukan oleh kaum Nasrani Abisenia tempat kaum Muslimin hijrah ketika

di Makkah terjadi penindasan. Mereka itulah yang berkata; ”Memang benar kami

orang-orang Nasrani, tetapi kamu dapat memahami pandangan tuan-tuan dan

kami pun mengetahui tuan-tuan adalah orang-orang yang baik.” mereka itu Islam

dalam hati, apapun yang mungkin tampak dari luar.

b. Hubungan Sosial Kemasyarakatan

Ajaran dasar Islam bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Segala kajian dan

pemikiran yang dinisbatkan kepada Islam, haruslah mengacu kepada landasan

pokok yang dua itu. Al-Quran mengakui pluralitas agama dan hubungan sosial

kemasyarakatan antaragama. Agama yang banyak tersebut dikategorikan menjadi

dua, yaitu Islam dan selain islam (Q.S. Al-imran: 85). Sedangkan selain Islam

terdiri dari agama-agama yang serumpun dengan Islam, yang dikenal juga dengan

agama-agama wahyu (Yahudi dan Nasrani) dan agama-agama non wahyu. Islam

sendiri adalah agama wahyu, naka kategori lain dapat menjadi agama-agama

wahyu (Yahudi, Nasrani dan Islam) serta agama non wahyu yang jumlahnya sulit

disebutkan dengan angka. Agama wahyu dikenal juga dengan agama samawi atau

agama langit, sedangkan agama-agama non wahyu disebut juga dengan agama

ardhi atau agama bumi.

Menurut Al-quran semua agama yang diturunkan Allah kepada para Nabi

atau Rasul-Nya disebut Islam. Oleh karena itu, semua agama samawi itu,

termasuk Yahudi dan Nasrani, pada hakikatnya adalah Islam. Pengakuan beberapa

nabi yang diriwayatkan Al-Quran membuktikan teori ini. Nuh pernah menyatakan

pada kumnya. ”Jika kamu berpaling aku tidak pernah meminta upah sedikitpun

48 Jalaluddin As-Sayuthi, Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul, terj. Darul Ihya, Indonesia, 1986, hlm. 226.

34

Page 35: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

dari kamu, upahku tidak lain hanya dari Allah belaka, dan aku diperintahkan

suapaya aku menjadi orang-orang muslim’. (Q.S. Yunus: 72).

Dengan demikian, Islam adalah satu-satunya agama wahyu sepanjang masa,

untuk seluruh persada bumi dan manusia. Namun Al-Quran juga tidak

mengingkari eksistensi agama-agama lain. Al-quran mengajarkan agar dibinanya

rasa saling menghargai dan menghormati, jangan sampai terjadi paksa memaksa

antara satu sama lain. Hal ini jelas sekali ditegaskan dalam pesan-pean Al-Quran.

Jika demikian persoalan dalam prinsip pliralisme dan hubungan sosial

kemasyarakatan antarumat beragama, lebih-lebih lagi demikian itu pula

persoalannya dengan prinsip toleransi. Ada banyak indikasi bahwa masyarakat

memahaminya hanya secara sepintas lalu, sehingga toleransi menjadi seperti tidak

lebih daripada persoalan prosedural, perosalan tata cara pergaulan yang enak

antara berbagai kelompok yang berbeda-beda. Padahal persoalan toleransi adalah

persoalan, prinsip tidak sekedar prosedur.

Toleransi adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu.

Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang enak antara berbagai

kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau

manfaat dari pelaksanaan suara ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu

adalah sekunder nilainya, sedangkan yang primer ialah ajaran yang benar itu

sendiri. Maka sebagai yang primer, toleransi antarumat beragama harus kita

laksanakan dan mewjudkan dalam masyarakat sekalipun untuk kelompok tertentu,

bisa jadi untuk diri kita sendiri pelaksanaan toleransi secara konsekuen itu

mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang enak. Hal ini sebanding dengan ajran

Al-Quran tentang keadilan yang harus tetap kita laksanakan sekalipun

menyangkut pihak yang kita benci dan membenci kita. (Q.S. Al-Maidah: 8)

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang

selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.

dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong

kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat

35

Page 36: DIALOG GLOBAL ANTAR AGAMA.doc

kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S. Al-Maidah: 8).

Logika pandangan ini ialah, bahwa akibat tidak enak pelaksanaan suatu

kebenaran hanya terjadi dalam dimensi terbatas, berjangka pendek. Sedangkan

kebaikan yang dihasilkan oleh pelaksanaan suatu kebenaran selalu berdimensi

sangat luas, berjangka panjang bahkan abadi, sama halnya dengan akibat buruk,

pelanggaran terhadap kebenaran itu yang berjangka panjang, mungkin abadi.

Artinya hubungan antaragama dalam konteks sosial kemasyarakatan harus dijaga

dan saling menghormati satu sama lain, apalagi yang menyangkut masalah misi

kemanusiaan, seperti kemiskinan, kebodohan dan kemelaratan umat manusia, di

antara umat beragama harus dapat saling menelong dan bahu membahu dalam

penanggulangannnya.

36