transkrip dialog radio judul: dialog kepemimpinan...
TRANSCRIPT
TRANSKRIP DIALOG RADIO
Judul: Dialog Kepemimpinan Nasional
“Membangun Budaya Malu”
Diselenggarakan atas kerjasama KHN dengan
Kantor Berita Radio (KBR) 68 H Jakarta
Tempat : Auditorium Binakarna Hotel Bidakara, Jakarta Selatan
Hari/Tanggal : Selasa, 10 Juni 2014
Waktu : Pukul 13.00-15.00 WIB
Narasumber :
1. Taufik Ismail(Budayawan)
2. Atmakusumah (Tokoh Pers Nasional )
3. Romo Benny Susetyo(Tokoh Agama)
4. Rocky Gerung(Pengamat Politik)
Keynote speaker : J.E.Sahetapy (Anggota KHN RI)
Host 1: Selamat siang Bapak dan Ibu, Kita berjumpa dalam Dialog Kepemimpinan
Nasional yang dipersembahkan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.
Diskusi ini disiarkan oleh 50 radio jaringan KBR 68H, dari Aceh sampai Papua. Saya
Dede Riani.
Host 2 : Dan juga saya Rizal Wijaya.
Host 1: Betul, kita menyapa pendengar yang ada di Aceh sampai Papua, dan
tentunya juga kepada Bapak dan Ibu yang ada di ruangan Binakarna, Hotel
Bidakara, untuk mengikuti Dialog Kepemimpinan Nasional, Membangun Budaya
Malu. Nah, sebelum kita memulai dialog kepemimpinan Nasional, Membangun
Budaya Malu, sekaligus peluncuran buku Ketua Komisi Hukum Nasional, Prof.
Dr.J.E.Sahetapy.
Host 2 : Ya, sekali lagi, sekaligus peluncuran buku Ketua Komisi Hukum Nasional,
Profesor Dr. J.E.Sahetapy. Kami Persilahkan keynote speaker, Ketua Komisi Hukum
Nasional, Profesor Dr. J.E.Sahetapy untuk segera maju ke panggng memberikan
pengantar diskusi pada siang hyari ini. Sekali lagi kepada Beliau, Bapak J.E.Sahetapy,
kami persilahkan.
Host 1: Profesor Dr. J.E.Sahetapy akan memberikan sambutan terkait dengan dialog
kepemimpinan nasional, silahkan Profesor.
J.E.Sahetapy : Para hadirin sekalian, yang saya hormati. Selamat siang, kepada saya
dinerikan kesempatan untuk membicarakan tentang membumikan budaya malu.
Saya sadar benar, bahwa tentu ada baik diantara hadirin maupun diantara anggota
masyarakata Indonesia, ada yang tidak sepakat tentang permasalahan budaya malu
ini. Oleh karena itu dalam rangka menyusun makalah ini, saya teringat kepada
sebuah ucapan dalam bahasa Inggris, yang dikemukakan oleh kita tidak kenal
orangnya, cukup disebut dengan anonyms, yaitu A way of seeing is a way of not
seeing. Sudah lama sekali hati nurani saya seperti dikejar-kejar untuk menulis
tentang budaya malu. Mengapa tentang budaya malu!? Jawabannya sederhana saja.
Bukankah korupsi yang sedemikian jahat dan seolah-olah tidak mengenal batas,
ruang dan waktu sudah begitu merajalela dewasa ini di segala aras kehidupan dan
di semua lapisan birokrasi pemerintahan di Indonesia. Fenomena ini berarti bahwa
rasa bersalah dan rasa malu seolah-olah tidak dikenal lagi dalam hati nurani orang-
orang yang terlibat korupsi di Indonesia. Jika Wakil Proklamator RI, Dr. Moh. Hatta
masih hidup, beliau akan mengatakan, nah benar kan: “Korupsi sudah membudaya!”
Namun, hati nurani saya, terlepas dari adanya Undang-undang Korupsi, tidak setuju
kalau dikatakan bahwa korupsi sudah membudaya meskipun ada ungkapan kolonial
bahwa “de uitzonderingen bevestigen de regel”, Arti bebas: “selalu ada pengecualian”.
Masih ada banyak (sekali) orang dari berbagai lapisan masyarakat yang tidak
sepakat atau setuju bahwa korupsi sudah membudaya. Dari segi kriminologi dan
viktimologi jelas tidak. Lalu saya teringat kepada tulisan Stanton Wheeler, seorang
Guru Besar Amerika yang sangat terkenal, dalam perspektif prisonisasi, kehidupan
di dalam penjara. Judul buku dan tahun saya lupa. Tetapi diceritakan bahwa di
Norwegia, salah satu negara Skandinavia, penjara Botsfengslet di kota Oslo, bila
pintu penjara dibuka, tidak ada narapidana yang melarikan diri. Sungguh
mengherankan dan menakjubkan! Dalam konteks teori saya “Sobural”, yaitu
akronim dari “skala nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural masyarakat,
seharusnya permasalahan korupsi ini harus di kupas dan ditelaah dari perspektif
budaya (malu).
Hati nurani mereka di lapisan bawah masyarakat masih bersih dan mereka
tidak setuju untuk melakukan korupsi, meskipun ada kesempatan untuk korupsi.
Mengapa!? Karena korupsi berarti pembusukan (Belanda : Verotten). Dan
pembusukan berarti bau busuk. Lagi pula Allah yang Rahmani dan Rahimi tidak
berkenan terhadap korupsi, sebab korupsi adalah perbuatan jahat. Dalam ungkapan
spiritual itu adalah dosa! Kalaupun ada tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh
ilmuwan dan para pejabat tinggi yang sudah disumpah sekalipun melakukan
korupsi, korupsi tetap haram dan dalam ungkapan spiritual tetap suatu dosa.
Mendahului uraian selanjutnya, yang melakukan korupsi karena hati
nuraninya sudah begitu tercemar sehingga tidak memiliki rasa bersalah dan malu,
baik terhadap atasan dan sesama manusia maupun terhadap Allah Sang Pencipta!
Korupsi sudah membungkam hati nuraninya sehingga ia bukan saja kehilangan rasa
bersalah, tetapi juga sudah hilang rasa malunya. Betapa parah sekali perbuatan
sedemikian. Bayangkan pembentuk undang-undang mengizinkan hakim memutus
perkara: “ Demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa”, padahal putusan
itu penuh dengan korupsi, tipu daya dan pemerasan. Seharusnya putusan
pengadilan harus diucapkan: “ Demi Keadilan berdasarkan Pancasila”, karena
Pancasila adalah “staatsfundamentaal norm” atau “ Weltanschauung”. Berkali-kali
sudah saya kemukakan itu sejak di zama pemerintahan Jendral Soeharto.
Anda bisa saksikan bagaimana para koruptor yang “ditangkap” KPK itu
meskipun perbuatan mereka belum mempunyai putusan hukum yang berkekuatan
hukum tetap, mereka terus tersenyum seolah-olah mereka tidak berdosa dan atau
bersalah, kecuali ada satu dua yang tidak. Bahkan dengan wajah tersenyum yang
bersangkutan masih mengangkat dua ibu jarinya atau tersenyum seolah-olah
berpesan jangan kuatir “saya tidak bersalah”. Meskipun Indonesia belum atau tidak
memiliki “Shame Culture” dan atau “ Guilt Culture”, saya anggap, terlepas dari
seharusnya ada sikap “praduga tak bersalah”, sikap yang demikian sulit dapat
ditolerir/dibenarkan.
Kalau Guit culture, contoh terakhir yang saya baca di majalah, salah satu
pembantu dari Presiden Jerman, itu karena hanya terlibat dalam penulisan tesis
dengan melakukan plagiat, langsung begitu terungkap mengundurkan diri. Di
Jepang, menteri karena minum terlalu banyak, menghadapi para wartawan dengan
mata kemerahan dan rambut agak awut-awutan, bicara. Besok ditulis di koran,
langsung mengundurkan diri. Di Indonesia, wah, sama sekali tidak. Biasanya orang
menjawab, ya betapa susah sekali, dan tidak ada rasa malu atau bersalah di
Republik kita ini.
Dibawah ini secara “arbitrair” saya akan kutip sebagian kecil saja dari berita-
berita yang mencerminkan bukan saja korupsi sudah merajalela, juga suatu keadaan
“anomie” baik dalam pengertian harfiah normlessness, artinya tidak ada hukum
lagi, dalam konteks penulisan istilah “anomie” oleh Durkheim (1952) maupun yang
kemudian diambil alih oleh Merton (1957).
Saya mau kutip, saya sebetulnya juga tidak tega untuk mengucap kalimat
pertama ini dihadapan Ibu-ibu yang hadir disini. Tapi saya harus sebutkan, karena
sudah terlalu! Siswi SMP di sekolah di Jakarta Pusat diperkosa, lalu direkam 6
teman sekolah di depan siswi-siswi lain (Jawa Pos, 18 Oktober 2013). Tidak ada
komentar dari Menteri yang bersangkutan. Saya pikir, mungkin karena mulutnya
penuh “sariawan”, sehingga dia tidak bisa komentar terhadap kasus ini. KPK tahan
mantan pejabat Kemenag (Koran Sindo, 26 Oktober 2013). Digerebek KPK F. tanpa
busana (Jawa Pos, 18 Mei 2013). 70 Persen pejabat Korup (Suara Pembaruan 08
Agustus 2012). Sudah 400 anak jadi korban pedofilia (Jawa Pos, 7 Mei 2014). 309
Kepala Daerah terjerat hukum (Media Indonesia 9 Oktober 2013). Anda percaya
atau tidak percaya bahwa keputusan hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang?
Ketika diselidiki, di Jakarta 83.8 % percaya ; 69.2 % di Jayapura percaya. (Kompas,
10 Oktober 2005). Habis korupsi data sekolah malah dapat posisi (Forum Keadilan
01 September 2013). 60.000 dosen tidak layak (Seputar Indonesia, 4 September
2008). Advokat bagian dari Mafia Peradilan (Forum Keadilan 01 November 2013).
Transaksi miliaran pegawai Kementerian Pendidikan (Tempo, 13 Oktober 2013).
Kondisi Korupsi Meningkat 72% (Koran Sindo). Plagiat marak di kalangan Dosen
(Jawa Pos, 3 Oktober 2013). Produksi 1.600 Ijazah Palsu (Jawa Pos, 14 Juni 2012).
Kiai mesum akhirnya dibekuk terbukti setubuhi dua santriwati dan cabuli lima
korban. (Jawa Pos 20 Februari 2014). Nanti kalau makalah saya diperbanyak, disitu,
Anda lihat kutipan-kutipan dengan merujuk kepada koran atau majalah yang
bersangkutan.
Saya sama sekali tidak sepakat dengan pendapat seorang mantan pejabat
tinggi yang kini sedang naik daun bahwa “kejahatan korupsi itu virus”. Saya juga
agak heran. Kalau virus, mengapa hanya para pejabat, orang-orang berduit, para
penegak hukum yang dihinggapi oleh virus itu. Mengapa rakyat kecil tidak kena
virus itu!? Ada ungkapan kolonial “ hoe groter geest, hoe groter beest”, yang
berarti “makin beradab makin biadab” dan selanjutnya bahwa “het begin van alle
opvoeding is zelfopvoeding”, yang berarti bebas: “permulaan dari segala pendidikan
ialah mendidik diri sendiri (terlebih dulu). Menurut saya, ini yang terpenting,
mendidik diri sendiri terlebih dahulu, mulai dari RI1 sampai yang paling bawah.
Saya lalu teringat pada pepatah di SD/SR di zaman federal bahwa “Guru kencing
berdiri, murid kencing berlari”. Mungkin sekarang sudah tidak begitu lagi. Guru
kencing berdiri, murid kencing terbang, kira-kira begitu kalau saya nanti jadi guru
Bahasa Indonesia. Dan masih banyak pepatah yang ditanam di Sekolah
Dasar/Rakyat. Disamping itu ada pelajaran budi pekerti bukan pelajaran agama.
Hadirin, di usia saya 82 tahun, saya mencari teman-teman saya pada waktu
masih di Sekolah Rakyat. Saya kira sebagian besar sudah meninggal. Yang saya cari
di tingkatan SMA 2 Surabaya, saya baru ketemu satu, tidak terlibat dalam korupsi.
Kita tidak dapat pelajaran agama, Cuma daat pelajaran budi pekerti.
Kalau begitu, mengapa sampai keadaan korupsi dewasa ini seperti kanker
stadium 3!? Karena para pemimpin tidak beri contoh dan teladan, kecuali
“politik pencitraan” yang munafik (maaf!!!). Agama sebagai “obat mujarab”, dirusak
sendiri. Ada subkultur dari berbagai daerah yang pada hakekatnya kurang
mendukung, tetapi masih dibutuhkan penelitian. Banyak guru besar atau banyak
dosen yang mengajar hukum adat itu tidak mengetahui, bahwa Van Houven itu tidak
pernah datang ke Indonesia, tapi dia bisa menulis berjilid-jilid buku, terutama
tentang kondis hukum di Indonesia, hanya dari laporan para camat, bupati dari
jaman Hindia Belanda. Dahulu tidak ada polisi yang jaga bahan ujian dan ikut
campur dalam pelaksanaan. Malu harus ditanam dirumah oleh sang pendidik
utama: ibu. Dan saya, pada saat menulis ini, merasa sangat berhutang budi, kagum
terhadap Ibu saya yang mendidik dengan disiplin bersih. Saya tidak tulis di sini, tapi
saya mau jelaskan ketika saya dari sat poulau kecil yang tidak kelihatan di peta,
datang ke pulau Jawa hanya ada dua syarat yang diminta oleh Ibu saya, dan saya
harus tunduk. Dia mengatakan, “Kalau kamu tidak berpegang pada janjimu, kamu
akan lihat sikap saya. Yaitu 1. Tidak merokok. Jadi saya sampai tamat mahasiswa
memang tidak merokok. Kedua, tidak boleh punya pacar. Jadi memang saya selama
di SMA dan jadi mahasiswa tidak punya pacar. Di kemudian hari saya lihat-lihat
yang dulu saya agak kagum ternyata semuanya sudah gemuk, tidak ada punya
potongan lagi. Untung kata subkultur Jawa. Jadi, Malu harus ditanam dirumah oleh
sang pendidik utama: ibu. Oleh karena itu saya selalu bilang sama para murid saya,
laki-laki. Kalau cari sang istri jangan cari yang cantik, apalagi seperti selebritis
sekarang yang bisa dibeli dengan satu mobil. Jangan cari perempuan cantik! Lho?
Kok bisa? Harus cari yang mana? Cari yang manis. Kalau dalam bahasa belanda,
cantik dan manis itu ada bedanya. Orang kalau cantik itu beauty salon supaya tetap
kelihatan cantik, kalau perlu dengan operasi. Tapi kalau orang manis, tidak perlu,
akan tampak dari wajahnya dan dari tampilan hati nuraninya.
Kata Mahatma Gandhi: I learnt from my illiterate but wise mother, that all rights to
be deserved and preserved came from duty well done”. Kita semua tahu, siapa
Mahatma Gandhi, Ibunya hanya seorang buta huruf. Di sekolah hal itu dilanjutkan
dan di ”polish”. Seluruh sistem dan falsafah pendidikan kita harus “turun mesin”
atau “di-overhaul”; jangan diverpolitisir untuk kepentingan oknum dan golongan
tertentu, apalagi berdimensi sektarian.
Tidak ada maksud untuk menciptakan suatu teori yang holistik. Masih
dibutuhkan banyak penelitian namun langkah permulaan harus dimulai. Saya sadar
bahwa mengubah kultur ke arah “shame culture “dan “ guilt culture” membutuhkan
waktu dari generasi ke generasi dan itu tidak mudah. Pernah seorang Indian di
Amerika Selatan mengatakan dalam konteks ini bahwa harus ditanam suatu “mimpi
baru” (John Perkins, lupa tahun).Kita ini para pendidik harus menanam suatu mimpi
baru. Ibu-ibu harus menanam kepad anaknya, suatu mimpi baru tentang kejujuran,
tentang malu dan tentang rasa bersalah. Kalau Anda ragu-ragu terhadap ucapan ini,
baca buku John Pherkins. Saya tidak heran, John Perkins sudah tulis itu semua
tentang keadaan di Indonesia, kalau para pemimpin/pejabat tidak bisa dibeli
dengan uang, beli saja atau berikan saja dia perempuan cantik, semua nanti beres.
Saya lalu teringat kepada sekolah ibu saya, semacam Taman Siswa di zaman
kolonial karena ibu saya tidak mau kerja sama dengan Belanda. Harga yang harus
dibayar memang mahal. Tetapi disiplin dan etika yang ditanamkan dengan disiplin
baja, baru sadarkan saya dewasa ini, Orang hidup bukan karena melihat dan
mendengar saja, tetapi harus percaya. Kini kita harus mulai, sabar dan tabah. Pada
dasarnya makalah saya ini hanya ingin merangsang agar kita semua berpikir
bersama tentang hal bagaimana mulai “membumikan budaya malu”. Sebagai
mantan pendidik, saya teringat kata-kata bijak: “A man's feet must be planted in his
country, but his eyes should survey the world (Santayana)”. Saya heran, banyak
orang di sini senang melihat ke Amerika, kenapa tidak melihat ke negara-negara
Skandinavia, mereka makmur, hampir-hampir tidak ada kejahatan yang luarbinasa
seperti di Amerika Serikat. Kita harus banyak belajar dari negara-negara
Skandinavia.
Dan terhadap sesama pendidik saya selalu berpedoman pada: “Men kan niet
onderwijzen wat men weet; men kan niet onderwijzen wat men wil; men kan alleen
onderwijzen wat men is”, demikian Jean Jaures. (Orang tidak bisa mengajar apa saja
yang dia tahu; orang tidak bisa mengajar apa saja yang dia mau; orang hanya bisa
mengajar berdasarkan apa adanya dia). Inilah sebetulnya pekerjaan yang maha
besar untuk Menteri Pendidikan yang akan datang. Sebagai mantan pendidik, saya
betul-betul merasa prihatin terhadap generasi muda yang dewasa ini hidup dan
tumbuh untk menjadi pemimpin atau bangsa kita yaitu bangsa saya sendiri.
Terimakasih.
Host 1 : Ya, terimakasih kepada Prof. Dr. J.E.Sahetapy yang telah memberikan
pengantar diskusi Dialog Kepemimpinan Nasional, Membangun Budaya Malu. Kita
juga akan sapa kembali, pendengar yang menyimak siaran ini melalui KBR dia 50
radio jaringan KBR dari Aceh sampai Papua dan juga Bapak dan Ibu yang ada di
ruangan ini. Dan selanjutnya, diskusi akan dipandu oleh Moderator Vivi Zabkie. Tapi
sebelum kita memulai, kita akan mendengarkan profil Prof. J.E.Sahetapy sekaligus
pemutaran Flashnews terkait dengan rekomendasi yang dikeluarkan Komisi Hukum
Nasional.
Host 1: Ya, itu kita sudah mendengarkan profil Prof. J.E.Sahetapy. Kemudian kita
akan jeda sejenak sebelum mulai yang akan dipandu Vivie Zabkie usia jeda berikut.
Tetaplah bersama kami.
Ya, kami persilahkan untuk para narasumber. Yang pertama adalah Budayawan
sekaligus tokoh muslim, Bapak Taufiq Ismail. Dan juga untuk langsung menuju
panggung, Ibu Vivi Zabkie silahkan menuju panggung selaku moderator.
Host 2: Ya, ini yang akan memandu acara dialog siang hari ini. Dan Mba Vivie Zabkie
ini adalah salah satu jurnalis senior KBR (Kantor Berita Radio)
Host 1: Betul, selain jurnalis, penyiar, presenter senior di KBR dan juga TV Tempo.
Kami persilahkan untuk narasumber untuk menuju kepanggung, Bapak Rocky
Gerung, Bapak Romo Benny, Bapak Taufiq Ismail. Nanti juga akan hadir perwakilan
dari KPK, Bapak Dedi Arrahim, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK.
Dan juga satu lagi yang sangat penting, ini adalah tokoh pers nasional, Bapak
Atmakusumah. Kami persilahkan, Bapak.
Host 2: Baiklah, dan kembali waktu kami persilahkan untuk Vivie Zabkie.
Moderator: Terimakasih Dede dan Rizal, Hadirin selamat siang! Selamat datang di
ruang Binakarna, Hotel Bidakara, tempat KBR dan juga KHN rutin menggelar
diskusi. Dan, biasanya kami juga rutin menyelenggrakan diskusi di hari Rabu di
Kantor Komisi Hukum Nasional. Terimakasih untuk Anda juga yang menyimak
kami melalui 50 radio jaringan KBR, Anda bisa bergabung juga dalam diskusi ini.
Baik, sebetulnya untuk diskusi selepan makan siang, tantangannya itu luar biasa ya.
Karena biasanya habis makan ngantuk, plus tadi malam kita baru selesai melihat ee
debat capres, jadi mungkin perbincangan sepanjang hari ini pasti agak sulit melepas
perbincangan dari soal membahs skornya berapa tadi malam? 2-0? Ada yang bilang
1-0? Dan juga agak berat jadi moderator, karena rupanya setiap pendengar diskusi
termask debat capres itu kritis-kritis. Moderatornya juga dikritik.
Baik, hari ini saya juga akan mengajak Anda, hadirin dan juga para pendengar
untuk berdiskusi mengenai budaya malu. Tadi kita sudah mendengar penmgantar
yang sangat mendalam dari Profesor Dr. J.E.Sahetapy tentang budaya malu. Ada
kekhawatiran yang luar biasa ya. Kita tentu tidak lupa melihat hasil pemilu legisltif
lalu. Beberapa mungkin terkejut ketika orang-orang yang punya” masalah”, mendaat
kritik luar bisa, ternyata dapat dengan mudah melenggang ke senayan karena
terpilih. Misalnya saya dari Dapil Jawa Barat, ketika melihat nama Aceng Fikri, saya
pikir gak mungkin kepilih dia, karena media sudah memberitakan bagaimana kritik
terhadap apa yang sudah dia lakukan, dan kritik dari di tengah masyarakat yang ia
pimpin, tapi nyatanya dia bisa terpilih menjadi anggota DPD dengan suara yang luar
biasa banyak juga. Jadi sebetulnya kita ini, orangnya permisif sekali nampaknya.
Orang sdah salah bisa melenggang dengan percaya diri tampil di depan publik.
Bahkan tidak malu-malu, misalnya sudah jelas melakukan korupsi, untuk tetap
tersenyum, melambaikan tangan. Bahkan ketika di sidang korupsinya pun
sepertinya kita tidak melihat ada rasa malu, orang telah melakukan kesalahan. Ada
aa dengan kita?
Nah, saya akan berbincang dengan beberapa narasumber, tadi MC sudah
mengenalkan . Saya sekali lagi ingin memperkenalkan mereka. Di seberang saya, ini
adalah Pak Atmakusumah, seorang tokoh pers yang juga Ketua Dewan Pers
Independen yang pertama dari Mei-Agustus 2003. Dalam perjalanannya, dia ini
panutan kami, para jurnalis. Dia sudah kerja menjadi jurnalis, penyiar radio juga di
ABC Melbourne. Dan juga pernah bekerja di radio Jerman. Disebelah saya, ada Pak
Taufik Ismail. Pak Taufik Ismail adalah penerima anugerah seni RI yang menulis
“Malu aku jadi orang Indonesia”, tahun 1999. Pendiri majalah sastra Horizon dan
juga Dewan Kesenian Jakarta. Dan, karya-karyanya sudah diterjemahkan dalam
berbagai bahasa, Arab, Inggris, Jepang, Jerman, Prancis dan sebagainya. Nah, satu
lagi adalah Romo Benny Susetyo, Pastor dan juga aktivis penggerak “Manusia
Merdeka” dan SETARA (Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan
Kepercayaan). Dan paling ujung adalah Mas Rocky Gerung, pengamat politik dari
Universitas Indonesia. Mas Rocky ini lulusan Universitas Indonesia gelarnya
Sarjana Sastra di UI dan kini mengajar di Departemen Filsafat Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Terimakasih.
Saya ingin ke Mas Rocky Gerung dulu, lalu Ke Pak Taufik, dan mungkin
semuanya. Tadi di pengantar saya sudah mengatakan, “Kita ini ada apa dengan kita?
Mengapa kita bisa melihat koruptor bisa berjalan tegak tanpa rasa malu, padahal
korupsi. Orang yang sudah sedemikian banyak masalahnya, yang sudah tersangka
korupsi bisa dengan percaya diri mencalonkan diri kembali. Ada apa Mas Rocky?
Rocky Gerung: Ada pembusukkan.
Moderator: Sesuai judul bukunya Prof Sahetapy ya?
Rocky Gerung: Iya memang itu yang terjadi. Saya suka dengan istilah “fermentasi”.
Di dalam ilmu kimia, fermentasi itu sebetulnya bagus karena sel-nya bernafas tanpa
oksigen. Jadi yang di produce energy, dalam fermentasi, energi yang di produksi.
Tetapi ada bagian buruk dari fermentasi. Kalau Anda salah angkat barang, lalu tiba-
tiba otot Anda kejang. Itu artinya asam laktat di produksi oleh proses fermentasi
maka sakit. Jadi kelihatannya begitu, bangsa ini ada fermentasi tetapi karena salah
latihan, akibatnya adalah kejang, eee..fraktur, gagal otot dst. Nah, otot bangsa ini
sebetulnya yang sedang membusuk dan betul tadi yang diucapkan oleh Prof.
Sahetapy, A way of seeing is a way of not seeing. Hal itu yang pararlel dengan apa
yang saudara moderator terangkan tadi, soal terpilihnya seseorang yang secara
moral caat, tetapi dia populer. Jadi sebetulnya a way of not seeing itu yang disuka
oleh masyarakat. Dengan kata lain, saya mau katakan. a way of not seeing adalah
hipokrasi. Hipokrasi itu penerintahan oleh kaum hipokrit yang kebanyakan asam
laktat dalam pikirannya. Nah, itu yang menghasilkan semacam sinisme kita pada
kehidupan. Jadi kala Anda secara cepat-cepat melihat para legislator kita dari udara,
itu seperti saya melihat tbuh-tubuh tanpa kepala. Tampa kepala artinya tanpa ada
desain public ethics dalam pikirannya. Kalau saya dengar Prof . Sahetapy di dalam
forum yang namanya ILC itu kelihatan Prof. Sahetapy ini surplus ethics sekaligs
surplus IQ, jadi EQ dan IQ nya tumbuh bagus. Sehingga dalam pikiran saya, kalau
seluruh IQ dan morals di forum yang dihadiri oleh para pejuang hukum itu, di forum
talkshow itu ditukar tambah dengan IQ dan EQ dari Pak Sahetapy, masih ada
kembaliannya ke Pak Sahetapy. Jadi itu memperlihatkan kalau kita sebetulnya
mengalami defisit habis-habisan didalam integritas. Karena itu, kita masuk di dalam
hipokrasi. Nah, kita tahu, yang terjadi sekarang adalah semacam paksaan untuk
menerima satu sistem yang disebut demokrasi. Padahal yang sebenarnya kita
hadapi bukan demokrasi tetapi semacam mayoritarianisme yang kehilangan akal
sehat. Anda lihat misalnya pertarungan politik hari-hari ini, itu seperti perintah
untuk kepung, serbu, kuasai, tikam, menang. Satu suasana homohominilupus di
dalam masyarakat primitif, itu berebut daging kekuasaan. Saya tidak melihat ada
satu pikiran yang menghasilkan debat bermutu untuk melihat visi Indonesia. Jadi
dua kubu ini sebetulnya tidak bertarung untuk memberi tafsir visi Indonesia tapi
bertarung untuk tidak sabar ingin mengendalikan kekuasaan. Jadi ini sebenarnya
adalah politik tubuh, tadi, bukan politik akal. Nah, kita ada di dalam jebakan itu.
Saya khawatir, kalau kita tidak punya semacam sebut saja prefora yang agak tinggi
untuk menerangkan keadaan ini, kita akan masuk ke dalam jebakan kebusdayaan,
yaitu kita akan menerima moral mayoritas, kita menerima paksaan myoritas dan
akal kita diselundupkan di dalam moral itu. Anda lihat bagaimana begitu banyak
kegembiraan menyaksikan suatu pertarungan politik di tv, tapi sebetulnya itu
pertarungan politik yang dangkal. Dan karena kita tidak punya alternatif, yang
dangkal pun dianggap sebagai substantif. Saya kira itu perkara kita hari ini.
Terimakasih
Moderator: Terimakasih mas Rocky Gerung, jadi kita masuk dalam jebakkan
budaya ya, moral mayoritas yang jadi patokan, iya kalau yang mayoritas ini baik, ya
kan? Pak Taufik, bagaimana Anda melihatnya? Apakah betul saat ini, masyarakat
kita ada kecenderungan hipokrit lalu juga permisif terhadap hal yang sebetulnya
sudah salah? Silahkan Pak.
Taufik Ismail : Pertama-tama saya berterimakasih diundang. Saya mengucapkan
selamat kepada Prof. Sahetapy untuk bukunya, fermentasi pembusukkan. Saya
menjawab apa yang Anda tanyakan itu dengan puisi.
Moderator: Ini yang kita suka dari Pak Taufik nih.
Taufik Ismail : Kembali pada apa yang disebutkan Pak Sahetapy dalam kata
pengantar tadi, kita tidak daat mengabaikan pendidikan. Puisi saya judulnya
“Mencari Sekolah yang mengajarkan Rasa Malu”
Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu
Seorang ibu membawa anaknya ke sekolah A
dia mengajukan permohonan
“Pak Guru, tolong anak saya diajari rasa malu,” katanya
Kemudian, jawab kepala sekolah
“Waaah, di sekolah kami tidak diajarkan rasa malu,”
“Loh, kenapa, pak?”
“Begini, Bu, ketika murid-murid nyontek, guru-guru kami pura-pura tidak tahu,”
“Ooooh…”
Ibu itu pergi, membawa anaknya ke sekolah B
dia menyebutkan permintaan yang serupa
“Buu, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya
Kemudian, jawab ibu kepala sekolah
“Waadduh, di sekolah kami tidak lagi diajarkan rasa malu,”
“Loh, bagaimana toh itu maksudnya, Bu Kepala Sekolah?”
“Begini, begini… Ketika UAN,
ada guru ditugaskan diam-diam,
kepada murid memberi jawaban ujian,”
“ooooo…”
Ibu yang gigih itu
ibu itu sangat gigih
dia membawa anaknya ke sekolah C
dia mengulang lagi permintaan itu juga
“Pak, pak, pak, pak, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya
Jawab kepala sekolah,
“Yaaaah, kok nggak tau sih ibu ini?
Di sekolah kami kan sudah lama sekali tidak diajarkan rasa malu,”
“Loh, bagaimana itu penjelasannya Pak Kepala Sekolah?”
“Walah, walaaah, sekolah kami sudah seratus persen lulusnya,
dan itu harus dicapai dengan segala cara,”
“Bagaimana itu caranya pak?”
“dee ngaan see gaa laa caa rraa…”
“ooooooooo…”
10 (sepuluh )”O”-nya itu..
***
Tiga Kali Potong
Di Republik Rakyat Cina koruptor dipotong leher
Di Arab Saudi koruptor dipotong tangan
Di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan
***
Dua Kali Mundur
Di Jepang, menteri merasa salah memang mundur
Di Indonesia, menteri jelas salah pantang mundur
Maaf dengan pengecualian satu orang, tadi Pak Sahetapy menyebut mengenai masalah di keluarga tidak ada yang merokok, betul Pak ya? Saya bersama kawan-kawan yang sangat risau terhadap bahaya asap rokok ini, yang di dalamnya juga terlibat tidak ada rasa malu dari pihak produsennya. Bergerak tapi belum mendapatkan hasil. Saya akan membacakan sebuah puisi mengenai asap rokok, erat kaitannya dengan hilangnya budaya malu.
Mari kita resapi makna angka perbandingan!
Di dalam sehari
45 orang mati karena narkoba
Di dalam sehari
62 orang mati kecelakaan lalu lintas
Di dalam sehari
1100 orang mati karena asap rokok
Setiap hari orang mati karena asap rokok di Indonesia
24 kali lebih besar ketimbang mati karrena narkoba
Waaah..besar sekali!
Lho! Tapi kok publik Cuma dipertakuti dengan bahaya narkoba,
Apa sebabnya?
Karena di sini iklan rokok paling bebas di dunia
Dan iklan-iklan itu dusta besar semua
Perusahaan rokok penindas petani tembakau kita
Dunia olahraga kita ditipu dengan rupiah
Ribuan juta dunia pendidikan dikelabui dengan beasiswa
Dunia kesenian dikecoh dengan bantuan pementasan
Dunia kesehatan diremuk 25 penyakit asap rokok
Dengan kejahatan adiksi yang dimanipulsi rapi
Perusahaan rokok Indonesia menolak ikut FCTC
Diseluruh dunia, Cuma tiga negara yang tidak ikut FCTC
Yang menolak pengaturan tembakau dengan segala cara
Hanya tiga
Salah satunya negara kita
Dan kemudian, ada dua negara lagi
Satu di afrika
Dan kini para pengusaha rokok di Indonesia
Termasuk 10 orang terkaya di jagat raya.
Penyogok, merteka penyogok paling raksasa
Ukuran dunia
Liat di Afrika sekarang
Terkekeh-kekeh, tertawa
Menjagal 1100 warga bangsa kita setiap harinya
Di ruangan ini,
Ketika bertemu tadi sampai sekarang,
Sudah 20 orang
Indonesia mati karena asap rokok
25 macam penyakitnya
Mereka terkekeh-kekeh tertawa
Menjagal 1100 warga bangsa kita
Setiap harinya
Setiap harinya para algojo berjas
Berdasi itu membunuh manusia berpuluh tahun lamanya
Dan selama ini kita biarkan saja
Jadi bagaimana?
Bagaimana?
Bagaimana kok sampai begini jadinya?
Mereka…mereka tidak kenal budaya malu
Di dalam diri
Di dalam susunan urat syarafnya
***
Terimakasih….
Moderator: Tepuk tangan untuk Pak Taufik Ismail. Luar biasa, lewat puisinya kita
bisa tahu ya. Saya jadi agak malu ketika mendengar puisi yang pertama tadi, karena
kita berhadapan langsung dengan peristiwa-peristiwa itu. Jangan-jangan kita
menjadi bagian dari orang-orang yang juga tidak memiliki budaya malu itu. Nah,
pada tahun 1977, Mochtar Lubis, Tokoh Pers Indonesia juga menyebutkan salah
satu ciri orang Indonesia itu hipokrit, munafik katanya. Ini dengan kekacauan moral
macam ini, mana yang benar. Apakah benar sampai sekarang ini seperti itu orang
Indonesia? Pak Atma, saya ingin bertanya pada Anda. Apakah betul sampai saat ini
orang Indonesia benar hipokrit juga munafik? Silahkan Pak Atma.
Atmakusumah : Ya, Mochtar Lubis sudah pernah mengingatkan bertahun-tahun
yang lampau. Ya, almarhum pernah mengatakan, orang Indonesia ini punya karakter
atau sifat yang buruk, gitu ya. Tapi, baiklah. Karena hari ini tadi disinggung masalah
sekolah, masalah murid oleh Pak Sahetapy, Pak Taufik Ismail tadi, saya kembali saja
dulu ke sekolah ya? Maksud saya begini, masalah kurangnya ditegakkan budaya
malu ini memang bukan hanya persoalan di Indonesia. Di Australia, selama
beberapa bulan atau tahun terakhir sedang terjadi pembahasan di kalangan para
guru yang mengamati bahwa menurut pengalaman mereka, kalau mengajarkan
kemahiran membaca, menulis, berhitung kepada anak-anak cukup dengan waktu
setengah atau satu tahun. Tapi untuk membangun karakter yang ideal, ternyata
memerlukan waktu sedikitnya 15 tahun. Itu berarti tidak cukup hanya di SD, SMP,
SMA saja, tapi juga dari taman kanak-kanak berarti. Jadi saya tadi diingatkan
mengenai budipekerti yang pernah dikembangkan oleh taman siswa puluhan tahun
yang silam. Saya rasa, harus diingatkan kepada para pengelola pendidikan, para
guru, pentingnya memberikan pendidikan moral, pendidikan karakter yang baik,
minimal dari taman kanak-kanak lah..
Moderator: Pak Atma, saya ingin Anda melanjutkan ulasan ini, tapi kita akan
mendengarkan kabar baru dulu, kita akan bergabung ke studio. Nanti kita akan
lanjutkan kembali perbincangan ini. Dan hadirin tetaplah bersama kami. Dan bagi
Anda yang mendengarkan kami lewat 50 radio jaringan KBR 68H, Anda juga boleh
bergabung dengan mengirimkan sms ke 081211181. Dan untuk Anda yang dari sini
juga bisa bergabung berdiskusi dengan narasumber. Kami segera kembali bersama
Anda sesaat lagi.
Moderator: Hadirin dan saudara yang menyimak kami melalui 50 radio jaringan
KBR, Anda bersama kami dalam diskusi Komisi Hukum Nasional, Membangun
Budaya Malu. Dan, kita akan menyambung lagi perbincangan dengan Pak
Atmakusumah, Tokoh pers. Tadi Pak Atma banyak menyinggung tentang
pentingnya pendidikan, ya Pak? Jadi itu harus dibangun dari dini. Mengapa harus
pendidikan Pak? Tadi Pak Sahetapy juga menyebut, mempertanyakan, tampaknya
pendidikan karakter atau budi pekerti nampaknya lebih bekerja dalam membentuk
karakter orang Indonesia ketimbang pendidikan agama, misalnya. Saya ingin
tanggapan dari Anda, Pak Atma.
Atmakusumah : Ya, pendidikan yang menuju pengembangan karakter yang baik
itu kan bisa berdasarkan macam-macam. Tentu saja berdasakan ajaran agama,
filosofi, ideologi. Nah, terhadap anak-anaka, agama memang merupakan pegangan
yang paling utama sebab itu dikembangkan sejak mereka masih kecil sebelum
mengenal ideologi, pandangan politik dan lainnya. Nah, masalahanya adalah karena
korupsi ini, kalau menurut pendapat saya, itu memang dari dulu. Sejak saya masih
kecil itu saya sudah mengamati di hubungan sosial antara masyarakat dan para
pejabat, para pengusaha dan pejabat. Pengusaha tentu berpegang pada ilmu
ekonomi yang mengajarkan kita harus mendapat keuntungan yang sebesar-
besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, begitu kan? Jadi apapun akan dilaukan
pengusaha agar mendapatkan transaksi bisnis atau ijin dari para pejabat. Lalu? Apa
boleh buat, mereka memberikan suap. Dan para pejabat, mereka merasa para
pengusaha kan mendapatkan keuntungan berkat ijin atau kebijakan pemerintah
yang dikelola oleh para pejabat kita mulai dari Camat, Bupati, Gubernur dan
seterusnya. Dan, karena para pengusaha ini dapat memperoleh kekayaandari
keuntungan bisnisnya, ya para penguasa politik atau para pemimpin pemerintahan
patut dong mendapat bagian dari itu. Jadi, pada masa lampau, terutama pada masa
orde baru utamanya, bahkan sejak pada msa orde lama, itu seolah-olah semacam
balas budi dari para pengusaha kepada para pejabat. Dan, pengusaha tidak merasa
kalau itu sebagai suap, dan para pejabat yang menerimanya juga tidak merasa itu
korupsi. Bahkan gratifikasi pun barangkali tidak. Tapi dianggap sebagai bals budi
kan? Kemudian hubungan antara masyarakat dengan kita dan para pemimpin, dari
dulu kita mengenal tradisi feodalisme. Dan, itu biasa kalau para pejabat pergi ke
daerah, apakah bupati ke daerah-daerah, biasa kalau mengharapkan entah
masyarakat, entah lurah, membawa oleh-oleh gitu kan? Jadi, hahhaa
Moderator: Ini sebenarnya budaya kita memang kebiasaan yang sudah terlalu lama
diterapkan sehingga jadi budaya? Atau seperti apa memang kita seperti itu sebagai
orang Indonesia?
Atmakusumah : Ya, ini sudah bukan hanya puluhan tahun ya, tapi sudah ratusan
tahun. Tentu saja barangkali dari masa kerajaan-kerajaan kita di Indonesia, masa
kerajaan majapahit, sriwijaya dan sebelumnya, gitu kan. Kita harus muli
mengembangkan pendidikan karakter ini ya tentu saja bukan hanya di sekolah, tapi
juga di kalangan masyarakat. Tapi kan pendidikan yang terstruktur, yang rutin dan
continue kan sekolah. Dan, kemudian, pers penting. Saya rasa, kebebasan pers yang
dirasakan pada msa reformasi selama kurang lebih 15 tahun terakhir, terutama
pada masa pemerintahan SBY, itu tampak sekali bahwa korupsi itu memang berada
dimana-mana. Dan yang menggembirakan adalah pers banyak menyiarkan tentang
kegiatan KPK, dan sekali-kali juga ada tindakan dari polisi dan Kejaksaan Agung
yang diberitakan. Bayangkan, kita kan tidak pernah mengalami pada masa lampau,
pemerintahan orde baru atau lama. Boleh dikatakan bahwa tiap hari ada berita
entah itu gubernur, entah itu bupati, entah itu mantan menteri yang diadili
setidaknya diperiksa, oleh KPK. Pada Masa Soharto pun, banyak tindakan-tindakan
penyelewengan kekuasaan, penyelewengan peraturan dan perundang-undangan
sebagaimana diberitakan sekarang. Tidak benar kalau dikatakan sekarang korupsi
marak. Dari dulu ya seperti ini. Hanya bedanya, seolah-olah ini marak karena
diberitakan pers. Oleh karena itu, saya selalu mengingatkan terutama wartawan
muda. Sejak awal ketika memilih untuk menjadi wartawan, mengembangkan profesi
jurnalistik, usahakan agar tidak menerima apa yang disebut ’amplop’. Sekalipun
‘amplop’ memang bukan suap. Tapi saya selalu mengingatkan kalau ’amplop’ itu
Anda terima rutin setiap bulan dari pengusaha umpamanya, atau dari pemimpin
pemerintahan, atau dri parpol. Dalama setahun dua tahun, namanya apa itu? Jadi
agar pers memberitakan fakta yang betul-betul untuk 4diketahui masyarakat
umum, sehingga publik mengetahui apa itu yang disebut penyalahgunaan
kekuasaan, wewenang dan apa akibatnya.
Moderator: Ya, baik. Tapi pers kita juga belakangan ini tidak malu-malu untuk tidak
independen di pilpres. Tapi nanti kalau kita bicara itu akan jadi diluar konteks kita.
Saya beralih
Atmakusumah : Saya rasa, kita mudah untuk melihat mana yang independen,
mana yang tidak. Bagi saya, tidak menjadi masalah karena mengumpulkan,
menyebarkan informasi atau pendapat adalah hak setiap warga. Biarkan media itu
seperti apa. Yang akan memberikan penilaian akhirnya kita juga, pembaca,
pendengar, penonton. Silahkan lihat, media yang tidak profesional, banyak yang
sudah mati. Yang hidup puluhan tahun, itu rata-rata media profesional.
Moderator: Baik, Pak Atma, terimakasih. Saya mau ke Romo Benny. Romo, orang
bilang kalau orang Indonesia ini religius. Tapi kemudian kita lihat orang korupsi
tidak malu. Orang lakukan tindak atau kesalahan di tengah masyarakat juga tidak
malu. Ada apa? Apakah orang Indonesia sudah tidak religius lagi? Karna kan agama
itu mengajarkan standar-standar moral yang sangat bagus
Romo Benny: Ya, inilah kalau agama itu hanya dia yakini, dia tidak menjadi …, ya
maka hipokrit itu terjadi. Nah, problem kita kan agama kan menjadi aksesori. Nah,
ketika agama menjadi aksesori, dia menjadi ritual tapi tidak mempengaruhi cara
berpikir, bertindak, bernalar seseorang. Maka belum tentu orang yang ‘saleh’ secara
individual punya keshalehan secara … Nah, problem kita akhir-ahir ini adalah cara
beragama kita yang formalisme dan ritualisme. Tapi aama tidak dibandingkan
dengan sikap hidup. Misalnya bangsa ini tidak punya rasa malu ketika tidak bisa
membedakan mana milik privat, mana milik publik. Pejabat, rumah dinas itu harta
privat, tapi di Indonesia yang publik diberitakan sehingga hilang rasa malu itu
karena menjadi yang wajar. Rasa malu hilang karena apa? Karena kita ada
persoalan-persoalan yang menganggap semua itu dianggap wajar. Rasa malu itu
terkait dengan hubungan bagaimana orang itu dihargai. Ketika orang itu memiliki
sikap prilaku yang mendahulukan karakter jujur. Di sini kan tidak. Karena orang
jujur selalu dianggap tidak beruntung. Jujur dianggap sesuatu yang membuat
penderitaan.
Moderator: Ya, sekarang kalau orang jujur. Hari gini kok jujur? Sepertinya menjadi
jujur itu hal yang salah.
Romo Benny: Ya, itu karena budaya kita memang tidak memungkinkan orang jujur
untuk memberikan ketauladanan. Karena publik lebih suka yang tidak juijur,
koruptor itu dijadikan tokoh. Dan, media dalam arti ini memang lebih bvanyak
menampilkan orang-orang tidak jujur mengisi nilai-nilai di publik kita. Maka kalau
kita lihat acara sinetron , itu kan menggambarkan hedonisme, konsumerisme, tapi
juga mengajarkan nilai ketidakjujuran. Dan ketidakjujuran dianggap wajar karena
bangsa ini tidak memiliki nilai habitus. Habitus itu suatu gugus insting mengenai
cara berpikir, bertinmdak, bernalar yang harus ditanamkan sejak anak-anak. Nah,
pendidikan nilai ini sekarang diabikan. Jadi tidak hanya serkolah, pendidikan nilai
itu ada pada keluarga. Maka dalam nilai-nilai hirarki keluarga itu jalan. Nilai
kejujuran, rasa malu, santun ditanamkan sejak anak kecil, maka dia punya
kebiasaan baik. Tapi karena nilai dalam keluarga itu tidak ditanamkan, maka
kebiasaan baik itu tidak menjadi acuan. Tapi nilai baik yang ditanamkan dalam
keluarga adalah bahwa seseorang itu berhasil karena kaya raya, seseorang berhasil
itu karena menduduki posisi penting. Maka, kalau kita mau jujur, kita ini hipokrit. Di
satu sisi, kita mengaggungkan moral, tapi di sisi lain kita sebenarnya mengabaikan
moral. Jadi memang itu kondisinya.
Nah, kembali selama kita tidak ada mengubah mentalitas feodal itu kita akan
seperti ini. Perubahan mentalitas feodal hanya bisa kalau kita mengalami
pencerahan. Pencerahan itu dimulai pada pendidikan dasar dimulai. Tapi kita lihat
pendidikan dasar kita gak serius. Selama guru jadi pawang dan mentor tiodak
menjadi rekan dan sahabat murid, maka guru tidak memberikan contoh
keteladanan, ya kita jangan harap pendidikan budi pekerti akan jalan. Mengapa
pendidikan budi pekerti itu berjalan? Karena guru itu tidak menjadi pawang
mentor, tapi guru itu menjadi orang tua kedua, maka anak-anak merasa guru bisa
dicontoh dan diteladani. Sekarang tidak. Karena apa? Kembali lagi, selama orientasi
pembangunan kita sifatnya matrealistis dan hedonistis itu menjadi cara kita
mengekspresikan kebudayaan, maka pendidikan nilai tidak pernah terjadi. Jadi
problemnya ketika kita mau pendidikan moral dimulai itu dari keteladanan.
Keteladanan dimulai dari diatas. Jadi budaya malu itu harus dibangun dari atas. Kalu
atasnya busuk ya bawahnya busuk. Kalau atasnya tidak punya budaya malu dan
tidak konsisten, ya orang akan meniru. Problem kita adalah , kita hari-hari ini
kekurangan stok orang-orang baik. Maka negeri ini diisi oleh orang-orang yang
tidak baik menghiasi wajah republik ini, dan mereka mendikte cara berpikir,
bertindak, bernalar kita. Maka ketika media hanya mengutip orang tidak baik dan
eksis, maka kita tidak ada nila. Nah kita krisis nilai itu.
Yang kedua yang ingin saya katakan, saatnya koalisi orang-orang baik itu tampil
mengisi publik untuk membuat contoh. Jadi harus ada contoh itu yang akhirnya
tepatri dalam memori ingatan kita. Selama tidak ada contoh ketauladanan ya kita
akan seperti ini terus. Jadi persoalannya adalah harus ada membongkar mindset
bahwa keberhasilan jangan hanya dinilai dari materi tapi harus dari karakter,
keteguhan, prinsip kejujuran, keadilan. Dan, nili-nilai itu yang harus dikedepankan
dibanding aksesori lain. Nah, problem kita, selama kita tidak pernah mengalami
revolusi kebudaaan dalam arti membangun sebuah habitus, gugus insting yang
mempengaruhi cara berpikir, bertingkahlaku dan ber-relasi, maka kita akan tetap
seperti ini. Jadi selama budaya kita feodal, dan reaktif, ya kita akan tetap seperti ini.
Jadi persoalan korupsi, manipulasi, kemerosotan moral itu sebenarnya ya kita tidal
pernah tercerahkan. Nah, bangsa yang tidak pernah tercerahkan akan masuk ke
dalam lingkaran kepedulian. Maka akan selalu menjadi reaktif dan tidak pernah
proaktif. Nah, bagaimana kita memutus sebuah proses ini? Yaitu dengan
membangun kembali ingatan kita akan bagaimana ingatan memori kebaikan itu
harus jadi suatu cara untuk memutusnya, yaitu lewat pendidikan dasar. Kalau kita
tidak membenahi pendidikan dasar, ya jangan harap kita akan membangun budaya
malu itu.
Moderator: Baik, Romo terimakasih banyak. Jadi semua sepakat, kita butuh
pendidikan dasar untuk mengubah sekarang yang sudah ‘kebolak-balik’. Nah, saya
menawarkan kepada hadirin di sini kalau ingin ikut berdiskusi boleh mengajukan
pertanyaan. Baik, sebelum ke sana, Anda yang mendengarkan kami di radio boleh
sms ke 08121118181. Setelah tadi kita sudah banyak berbicara tentang pentingnya
menanamkan pendidikan sejak dini mengenai budaya malu ini. Nanti kita bisa
singgung juga, tadi Romo melontarkan hal yang menarik tentang perlunya kita
melihat orang-orang baik tampil. Terkait dengan pilpres, nanti kita bisa cari apa
yang dibutuhkan negreri ini terkait dengan upaya kita untuk membangun budaya
malu. Saya ber kesempatan kepada floor. Sebutkan nama dan mohon ringkas,
silahkan.
Audience 1: Oke, terimakasih moderator. Perkenalkan nama saya Julius Ibrani dari
YLBHI. Saya ingin memberikan komentar sekaligus pertanyaan buat Prof. Sahetapy
dan narasumber di deoan. Sekilas saya baca buku ini bahas tentang rasa malu yang
ada kaitannya dengan moral dan etika publik. Ada kata “moral” dan “etika” di
depannya dan publik, karena kaitannya dengan dengan kepmimpinan lembaga
negara, pemerintahan, dan ada rakyat sebagai konstituennya. Dari dulu, dari
puluhan tulisan Prof Sahetapy di buku ini, saya melihat bahwa segala tindakan
kebijakan dari para pejabat negara itu nyaris semuanya gak punya moral dan etika,
dari lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif juga bertentangan dengan moral dan
etika publik sehingga kami melihat bahwa sebenarnya apa sih akar persoalan yang
menyebabkan itu? Karena ternyata bahwa pejabat publik ini bukanlah orang yang
mewakili jiwa dan raga yang mewakili jiwa dan raga publik tersebut. Mereka bukan
benar-benar datang dari cita-cita dan keinginan rakyat akan sebiuah lembagadan
pejabat publik yang betul-betul memperjuangkan kepentingan mereka. Ada tulisan
Prof . Sahetapy tentang Akil Mochtar, sebelum menjadi MK, kita tahu bertapa
rusaknya beliau, tapi beliau masuk juga. Begitu juga dengan yang lain. Kebijakan
legislatif tadi, Pak Taufik Ismail bicara tentang per-tembakau-an yang sebenarnya
sudah digagalkan di periode sebelumnya, tahun ini dinaikkan lagi yang ada RUU
Pertembakauan yang isinya legalisasi industri rokok. Di Kompas, beberapa hari
yang lalu, Direktur salah satu perusahan rokok menyatakan keberhasilan mereka
untuk menurunkan usia pengguna rokok sampai ke SMP, dan SD berkat iklan, betul
Pak Taufik Ismail. Dan keuntungan mereka naik 15 kali lipat. Ini semua
bertentangan dengan moral dan etika publik. Sampai kami juga menyampaikan
bahwa ternyata mereka-mereka yang duduk mengatasnamakan kepentingan publik
di lembaga publik ternyata datangnya tidak melalui pengawasan publik. Pak Rocky
berbicara tentang debat capres-cawapres yang tida bermutu, tidak substansial
dalam persoalan publik, betul. Kenapa? Karena lagi-lagi publik kehilangan porsinya.
Transparansi, partisipasinya untuk memberikan pandangan, persoalan lewat
lembaga negara. KPU menyatakan kalau dia tidak melakukan verifikasi faktual;
terhadap persyaratan administratif yang diberikan, salah satunya adalah
berkelakuan baik. Bagaimana bisa seorang pembantaian manusia di Papua, Timor-
timor dan lainnya berkelakuan baik, padahal dia dipecat dari lembaganya, namanya
prabowo. Nah, ini sebuah logika yang bertentangan dengan moral dan etika publik.
Sehingga menurut saya, mungkin ke depannya Prof. Sahetapy selain bicara rasa
malu juga bisa menyiarkan bagaimana publik punya porsi terhadap pengangkatan
pejabat publik, terhadap mereka-mereka yang mencalonkan diri untuk kepentingan
publik, supaya mereka benar-benar menjadi perwakilan dari jiwa dan raga publik.
Kami, YLBHI berencana untuk menggugat SK KPU yang menetapkan terkait
capres/cawapres sebagaimana kami menggugat SK SBY terkait dengan
pengangkatan Patrialis Akbar, yang tadi Pak Taufik Ismail bicarakan, memotong
masa hukuman 11 koruptor, lebih dari 60% masa hukumannya dan mengangkat
saudara-saudaranya di CPNS Kemenkumham dan yang lainnya termasuk Maria
Farida juga yang kita duga banyak terlibat.
Moderator : Baik.
Audience 1: Apakah ada peluang untuk itu Prof Sahetapy dan para narasumber di
depan?
Moderator: Terimakasih Julius Ibrani dari YLBHI. Tepuk tangan untuk
pertanyaanya. Kita tampung, satu lagi silahkan.
Audience 2: Selamat siang, saya Novi dari Pijar Lawfirm. Saya bersyukur ada di
tempat ini walaupun kebetulan, tapi saya yakin tidak ada yang kebetulan. Saya
hanya mencermati judul dialog, yaitu kepemimpinan dan budaya malu. Kalau
kepemimpinan, saya merasa di sini saya bukan siapa-siapa, mungkin orang tidak
kenal saya. Tapi bagaimana budaya malu tidak hanya jadi wacana di ruangan ini
saja. Kemudian bagaimana aplikasinya? Karena kalau bicara kepemimpinan, saya
merasa berhutang budi nantinya pas saya keluar, apa yang harus saya lakukan
supaya kehadiran saya di sini bisa membawa dampak di luar. Tapi saya bersyukur,
karena apa yang disampaikan oleh Prof. Sahetapy, paling tidak ada dua hal. Saya
bukan orang yang cantik tapi orang yang manis, Prof. Hahaha..Yang kedua, saya
adalah seorang ibu. Saya mungkin tidak bisa bicara kepada para pemimpin di luar
sana, saya juga tidak bisa bicara, kalau narasumber di depan bilang kita akan mulai
dari bidang pendidikan, saya juga tidak ada kekuatan untuk bicara di situ. Saya juga
mempertanyakan kalau budaya malu, apakah sama budaya malu yang kita kenal
2000 tahun yang lalu dengan yang sekarang sama? Karena Romo juga sudah bicara
kalau rasa malunya itu sudah dianggap sesuatu yang wajar dilakukan semua orang,
makanya orang-orang baik tampil di depan tv juga tidak malu, karena 4juga sudah
melakukan hal yang sama. Gitu ya? Jadi saya berpikir bahwa bagaimana caranya
orang-orang seperti saya yang sangat awam, bisa melakukan bagiannya untuk
mengembalikan budaya malu dalam nilai yang kita anggap benar. Saya tadi berpikir,
saya sempat berdiskusi di meja ini, budaya malu ini tolak ukurnya apa? Tetapi tadi
Prof. sudah sedikit menyinggung untuk balik kepada Romo bicara bahwa, agama itu
hanya dibatasan sesuatu yang praktis saja, bukan karakter atau moral, kemudian
Romo juga menyinggung sesuatu sebagai habitus baru. Saya berpikir bahwa be
duplicate multiply, jadi saya akan melakukan dari saya sendiri, be dulu. Saya akan
mengajarkan ke anak-anak saya, apa budaya malu yang saya yakini secara iman,
karena saya tidak melihat lagi apa yang dijadikan tolak ukur budaya malu. Jadi saya
balik lagi ke iman saya tentang malu itu apa. Prof. itu tadi bicara dengan dosa.
Kemudian, saya berharap anak-anak saya bisa me-multiply. Bersyukur nanti pada
suatu kesempatan, kalau anak-anak saya jadi pemimpin nasional, mereka bisa
melihat dari mama-nya, bagaimana mereka mengajarkan, seperti Prof. yang
diajarkan ibunya. Karena saya berpikir jangan sampai kita keluar dari ruangan ini,
dan kita hanya berbicara tentang retorika yang tinggi secara iostilah, tapi kita tidak
mengaplikasikan apapun di luar sana. Kita tidak perlu menunjuk birokrat atau
calon presiden tapi kita tidak mengeluarkan apa-apa.Kita lakukan bagian kita untuk
be dan duplicate lalu multiply . Terimakasih.
Moderator: Terimakasih, tepuk tangan untuk Mba Novi dari Pijar Lawfirm. Sebelum
menuju ke jeda, kita akan angkat telepon juga karena kita di dengar dari radio.
Untuk Pak Sumarlan, masih bersama kami? Mohon ringkas pertanyaanya.
Audience 3: Halo, selamat siang semuanya. Semalam kita dipertontonkan oleh
budaya tidak malu yaitu debat capres. Ketika ditanyakan mengenai HAM, lalu dia
naik pitam. Dia malah menyalahkan atasannya. Kita dipertontonkan oleh budaya
tidak malu dari cxalon kita. Apa jadinya bangsa ini? Sekarang gini, bangsa kita carut
marut, kita terlena dan lupa dengan apa yang telah dilakukan salah satu capres.
Bagaimana ada penculikan, apakah kita akan kebali ke side B? Ada apa dengan
bangsa ini?
Moderator: Terimakasih Pak Suharlan, Bapak-bapak Narasumber dan para hadirin,
kita akan mendengarkan pesan-pesan berikut ini lebih dahulu, dan kita akan
tanggapi pertanyaannya. Kami akan segera kembali bersama Anda, saudara, sesaat
lagi.
Moderator: Anda masih bersama kami dalam dialog hukum dari Komisi Hukum
Nasional, bersama saya Vivie Zabkie. Saat ini saya bersama dengan Sastrawan
sekaligus tokoh muslim, Taufik Ismail, Tokoh Agama, Romo Benny Susetyo,
Atmakusumah Astraatmaja Tokoh Pers Nasional, Pak Rocky Gerung, Pengamat
Politik dari Universitas Indonesia.
Nah, tadi kita sudah mendengarkan tiga pertanyaan, rupanya ada satu lagi
pertanyaan dari floor. Mohon ringkas, ya Bu.
Audience 4: Terimakasih, saya dari UPN Veteran Jakarta. Saya hanya ingin
menanggapi saja mengenai me,mbangun budaya malu itu kan termasuk dalam
moral ya. Pendidikan moral menurut saya dasarnya adalah dari keluarga, bisa dari
orang tua, nenek kakek, kerabat, lingkungan sosial, kemudian baru ke sekolah,
pendidikan formal. Dari situ juga, keteladanan harusnya dimulai dari keluarga. Jdai
menurut saya yang penting harus ditanamkan adalah pendidikan awal itu ada di
keluarga. Jadi kita tidak harus melihat ke sesuatu yang besar dahulu, tapi lihatlah
dari dasarnya. Karena menurut saya, malu itu kan bagian dari iman, jadi kita harus
mulai dari dasar, dari keluarga, baru ke pendidikan formal.
Moderator: Terimakasih Ibu. Jadi ada 3 pertanyaan, sebelum ke Prof. Sahetapy
karena tadi pertanyaan pertama untuk Prof. Saya ingin dengar dulu dari
narasumber. Saya ingin dengar dari Pak Rocky Gerung, tentang bagaimana publik
itu bisa punya porsi sehingga bisa memilih wakil yang bisa menyuarakan
kepentingan publik. Tampaknya ada perasaan walaupun kita sudah punya
pemilihan langsung, nampaknya mereka yang duduk itu bukan wakil yang kita
inginkan. Kemudian, kedua, apa yang bisa dilakukan kita sebagai pribadi walaupun
kita sudah tahu standar moral yang baik, tapi bagaimana menumbuhkan di
lingkunagn sekitar kita?
Rocky Gerung: Oke, terimakasih. Saya mau terangkan agak serius, soal yang amat
serius ini. Soal apakah saya memilih wakil atau tidak. Selalu ada gap antara elections
dan decision. Antara yang kita pilih dan yang diputuskan. Itu hal yang berelaku dari
operasi birokrasi. Birokrasi ingin efisiens, karena itu hasio election bisa 4 berbeda
dari hasil decision. Nah, hal yang penting sebetulnya adalah seorang anggota DPR
yang dipilih dari rakyat, dia harus paham dari awal bahwa dia adalah kacungnya
rakyat. Kacung, pesuruh, bahkan dia pengemis. Ketika dia kampanye, bahkan dia
mengemis suara. Jadi, dia adalah budaknya rakyat. Di kitab demokrasi bahkan
ditegaskan unsidus artinya anda adalah budak saya. Karena saya malas pergi ke
DPR, saya utus anda. Itu filosofinya. Jadi, kalau sekarang yang budak kemudian
berlagak tuan seytelah jadi anggota DPR, itu artinya dia gak mengerti public ethics.
Jadi dia sebetulnya tidak siap jadi anggota DPR. Karena menjadi anggota DPR
artinya melayani publik 24 jam. Kalau Anda ada di Canberra, parlemen Canberra itu
ada lampu diatasnya. Dan anggota parlemen terkahir yang keluar ruangan, dia mesti
matikan lampu itu. Kenapa? Karena seluruh kota diam. Bahwa misal sampai jam 3
pagi lampu masih menyala, artinya masih ada yang bekerja di situ untuk membuat
legislasi. Anda bandingkan anggota DPR kita, jam 10 sudah ada di Plaza Senayan.
Ngapain? Beli jas yang paling mahal, merk-nya Hugo Boss. Kenapa mesti Hugo Boss?
Karena menjadi kebanggan dimana menjadi anggota DPR, standar bajunya ADALAH
Hugo Boss. Harganya paling murah 40 juta. Jadi, budaya malu itu adalah akibat dari
tidak bekerjanya budaya martabat. Dignitas tidak ada.
Dia milih Hugo Boss. Nanti sorenya kita bisa ketemu dia disebuah talkshow. Lalu kita
bisa tahu kenapa dia beli Hugo Boss? Karena merk-nya di luar pun tidak dicopot.
Bayangkan! Mengkonsumsi kemewahan pun dia tidak tahu caranya, kalau label luar
ditaruh di situ supaya tidak kotor, orang lihat-lihat. Gagap kemewahan. Hanya ingin
memperlihatkan dia punya Hugo Boss, dia gak tahu itu aturannya adalah you copot
itu merk Hugo Boss supaya orang tidak tahu you beli Hugo Boss. Tapi bukan itu
soalnya. Kalau saya tanya sama dia, siapa itu Hugo Boss? Dia tidak tahu. Hugo Boss
adalah desainer Jerman. Kalau saya terangkan pada dia Hugo Boss adalah temannya
Hitler. Kalau anda lihat Hitler, pasukkan khusus Hitler itu kan keren banget kalau
lagi marching, nah itu dirancang oleh Hugo Boss. Karena Hugo Boss mengabdi pada
Hitler, karena Hitler memberi dia buruh murah yaitu tawanan perang. Jadi industri
Hugo Boss memperoleh keuntungan karena mempekerjakan buruh murah yang
adalah tawanan perang Hitler. Sekarang ada problem, dia memakai barang itu
tampa dia tahu genealogy politik dari Hugo Boss. Bahwa dia memakai barang yang di
dalamnya ada jejak HAM yang diingkari. Saya bisa maafin kalau soal itu dia gak tahu.
Saya gak bisa maafin kalau dia gak tahu Hugo yang lain. Hugo Saves misalnya, atau
Hugo Grogeus yang merupakan Bapak hukum internasional. Dia kan anggota
parlemen yang seharusnya lebih paham hukum. Jadi kita lihat ada etik yang gak
bekerja di situ. Kebanggan sebagai anggota DPR tidak difasilitasi dengan
pengetahuan ethics yang memadai. Itu yang menyebabkan ada disparitas antara
election dengan decission. Dengan dia pakai Hugo Boss merasa adalah tuan, jadi yang
tadinya tuan, saya sebagai pemilih, berubah jadi pesuruhnya.
Kemudian, perlu dsiterangkan Anda sebagai anggota DPR itu watch dog. Dia bilang
iya saya watch dog . Tahu gak arti watch dog? Anjing penjaga. Jadi Anda adalah
anjing penjaga saya untuk menggongongi pemerintah, bukan Anda menggonggongi
saya, itu namanya watch dog. Jadi kita bisa tahu bertapa pengetahuan mereka yang
membuat legislasi sebetulnya pengetahuan yang di supply dari luar oleh semacam
kebanggan untuk mencari posisi dalam kekuasaan. Defisit itulah yang kita alami
sekarang, sehingga kita tahu bahwa DPR dalah sarang ular, bukan sarang manusia.
Itu yang terjadi. Kita maki-maki DPR, tapi kita tetap memilih orang yang tidak tahu
recordnya. Haha
Yang kedua, tadi soal pertanyaan, apa yang harus dilakukan oleh Ibu tadi.
Sebetulnya itu pertanyaan yang menggetirkan, karena untuk melakukan hal yang
sederhana pun, kita harus datang di dalam para forum para pakar. Itu bagaimana
caranya supaya budaya malu diinvestasikan dalam kehidupan sehari-hari dan
kehidupan publik? Tadi saya katakan bahwa malu itu akibat dari kepemilikan saya
tentang dignitas. Saya hanya mungkin malu kalau saya punya dignitas. Harkat saya
itu tidak bisa saya korupsi. Karena itu satu-satunya milik saya untuk menyatakan
bahwa saya adalah manusia. Nah, itu yang tidak kita miliki. Dignitas dari sastrawan
adalah memelihara humanity. Dignitas dari jurnalis adalah memelihara publicity.
Dignitas dari seorang ilmuwan adalah memelihara integrity. Jadi dignitas itu yang
mesti kita ucapkan setiap hari di dalam diri kita dan ke publik. Jadi seandainya kita
bisa ucapkan hari ini kalau dignitas itu yang harus kita bangunkan, karena dia tidur
dalam kenikmatan material. Ini adalah pemberontakan dari seseorang. Mau gak
keluar dari zona aman sehingga kita bisa betul-betul menciptakan the real public of
integrity. Terimakasih.
Moderator: Baik, terimakasih mas Rocky. Jadi kita tidak malu miosalnya untuk
jujur, padahal orang lain tidak jujur dan kita dianggap salah. Harus berani untuk
menegakkan apa yang kita yakini. Saya ingin ke narasumber lainnya untuk
menanggapi empat pertanyaan tadi, tapi mohon ringkas-ringkas. Pak Taufik Ismail
bisa lebih dulu, silahkan Pak.
Taufik Ismail: Untuk menjawab itu perkenankan saya menceritakan pengalaman
berikut ini. Cucu-cucu saya berkali-kali bertanya. Mereka sudah mulai membaca
surat kabar, terutama melihat tv. Bagaimana pemilihan legislasi itu hiruk pikuknya.
Kemudian, baru dua hari pemilihan berlangsung, sudah masuk pengaduan 200
kecurangan. 200 kecurangan pada waktu dua hari. Dan pada hari ini, 200
kecurangan itu jumlahnya 700. Kemudian, cucu saya juga berkata Datuk-datuk, “Apa
itu money politics?” Saya jelaskan dan kemudian Oooo begitu, jadi orang menjadi
anggota DPR itu harus dia membayar pemilihnya?” Itu yang terjadi. Kemudian cucu
saya juga bertanya, kok ada pembakaran mobil, pembakaran rumah, dst. Kalau saya
berbicara dengan anak saya itu jauh lebih mudah. Anak saya umur 40 tahun-an. Tapi
dengan cucu, saya sukar bicara. Akan tetapi dengan cucu, saya sampaikanlah pada
dia contoh-contoh. Jadi supaya dia tahu bahwa bangsanya ini sebenarnya 65 tahun
yang lalu adalah bangsa yang jujur. Pemilu-nya tidak ada persengkataan, itu 59
tahun yang lalu. Tidak ada sogok-sogokan. Tidak ada perkelahian apalagi bunuh-
bunuhan. Betul di Pekalongan, saya waktu itu kelas 2 SMA, saya sudah ikut dalam
pemilu pertama. Kalau arak-arakan PKI lewat di jalan dan kemudian dari arah yang
berlawanan Partai Islam, mereka berteriak-teriak, mereka mengacung-acungkan
tinju, tetapi tidak berkelahi, tidak tusuk-tusukkan, tidak bakar-bakaran. Hal ini pada
pemilu yang kedua juga berubah. Karakter semacam ini saya sampaikan ke cucu
saya, supaya dia tahu Kakek-kakeknya dulu itu adalah bagian dari bangsa yang jujur,
santun , tidak menyogok pemili, akan tetapi ini berubah. Kemudian ada rasa malu
yang besar. Ada rasa santun yang merupakan bentuk akhlak yang mulia dari bangsa
ini. Kalau lihat, di sebelah kelurahan saya. Kelurahan saya namanya kelurahan
sugihwaras. Itu ada seorang anak muda umurnya 30-an. Pekerjaanya menjual batik
dan balekat. Punya kepemimpinan, kelihatanya berbakat untuk menjadi pemimpin
bangsa . Akan tetapi kemudian, ikut pemilu. Dan pada suatu hari orang-orang di
kampung kami datang, “Le jadilah kamu pemimpin ke Jakarta, perjuangkan kami”.
Nah, kamu kan Cuma makelar batik dan tenun. Kamu tidak miskin, tetapi uangmu
juga tidak banyak. Kemudian dia mengeluarkan bungkusan. Apa isinya? Uang
urunan dari kami sekampung, mudah-mudahan kamu jadi pemimpin, ini untuk
kamu pergi ke Jakarta. Ini saya ceritakan ke cucu saya. Dan mereka terkejut. Lho,
Datuk, kok ada orang semacam itu , kok sekarang malah terbalik, menyogok. Nah,
itulah ada yang terbalik sekarang ini. Kau, umurmu masih belasan tahun, ubah ini.
Aku malu, aku sebagai bangsa Indonesia malu. Karena apa? Datuk–mu sudah
berusaha merubah mental itu tidak berhasil. Datuk malu. Kau jangan malu nantinya.
Terimakasih.
Moderator: Baik, terimakasih Pak Taufik Ismail. Kita tepuk tangan. Barangkali ini
sudah banyak menjawab banyak pertanyaan tadi, bagaimana itu bisa kita lakukan.
Nah, karena waktu untuk kita sangat ringkas. Saya langsung ke Pak Sahetapy untuk
memberikan tanggapan tentang apa yang sudah kita bincangkan siang ini. Silahkan
Pak Sahetapy.
J.E.Sahetapy : Terimakasih kepada semua yang telah menyampaikan pendapatnya.
Saya sadar betul bahwa maaf kalau pake ungkapan kolonial yang artinya, begitu
banyak kepala, begitu banyak pendapat. Bagi saya, yang penting adalah mulai dari
hari ini , ada kesadaran tentang bagaimana membangun budaya malu. Saya teringat
kepada sebuah buku yang belum selesai saya baca yaitu, the frog in the cattle, katak
dalam panci, dia tidak sadar kalau api itu menyala di bawah, dia mau meloncat tapi
sudah terlambat. Lihat saja di Indonesia, ada pejabat tinggi yang tidak malu
memakai barang katanya imitasi atau palsu. Pers juga seperti orang bodoh, tidak
kasih komentar panjang lebar. Barang palsu itu dibuang, kalau itu hanya imitasi.
Bayangkan kalau pejabat tinggi bisa pakai barang palsu tanpa rasa malu. Hanya itu
aja. Saya pikir, kalau orang muda itu jangan pake bahasa preforistik. Kalau kita
terlambat menyelamatkan bangsa ini. Saya khawatir, kalau kita tidak dijajah
kembali secara ekonomi, kita akan kembali dijajah secara budaya. Saya berharap
pendapat saya benar atau tidak, diterima atau tidak. Merangsang kita untuk
terutama Bapak-bapak di sana untuk berpikir kembali. Terutama kepada Pak Atma,
sebetulnya pers sekaranglah yang menentukan arah kemana Indonesia akan
berjalan, menuju surga atau neraka. Untuk memakai ungkapan yang paling
sederhana.
Moderator: Terimakasih untuk Pak Sahetapy. Bapak-bapak narasumber
terimakasih untuk waktunya dan diskusinya. Mohon maaf kalau dibagian akhir Pak
Atma dan Romo Benny tidak kebagian. Dan juga untuk floor kita yang tadi ingin
menjaukan pertanyaan atau komentar, mohon maaf waktu kita sangat terbatas.
Dengan demikian, berakhir sudah diskusi kita, Membangun Budaya Malu dalam
rangka peluncuran buku Prof. Sahetapy, Fermentasi Pembusukkan. Dan juga
perayaan ulang tahun beliau yang ke-82. Dengan demikian saya ingin menutup
diskusi ini. Salam dan selamat sore.