diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar...
TRANSCRIPT
PRAKTIK NGUKUT ANAK
PADA MASYARAKAT CIKATOMAS, CILOGRANG, LEBAK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
OLEH :
NIDA SRIWIDIYANTI
NIM : 11140440000116
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
v
ABSTRAK
Nida Sriwidiyanti. NIM 11140440000116. “PRAKTIK NGUKUT ANAK
PADA MASYARAKAT CIKATOMAS, CILOGRANG, LEBAK” Skripsi
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. (57 halaman dan 19 halaman
lampiran).
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan praktik ngukut anak pada masyarakat
Cikatomas, Cilograng, Lebak Banten. Studi ini termasuk penelitian kualitatif.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif-empiris dilihat dari segi
penyususnannya menggunakan metode kualitatif, yaitu untuk mengetahui
kedudukan anak angkat pada masyarakat Cikatomas serta kesesuaiannya dengan
hukum Islam dan hukum positif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode
dokumentasi, observasi, wawancara. Analisis yang digunakan pada penelitian ini
adalah analisis yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis, fokus
penelitian sesuai fakta dilapangan.
Anak angkat pada masyarakat Cikatomas memiliki aspek urgensi pada tiga
hal antara lain: Pertama faktor yang melatar belakangi terjadinya ngukut anak yaitu
faktor biologis, faktor kekeluargaan dan faktor penelantaran anak. Kedua,
perwalian anak angkat khususnya pada pernikahan anak perempuan dimana secara
hukum kewajiban perwalian terletak pada ayah kandung. Namun ayah kandung
sering kali tidak bersedia menjadi wali, sementara kerabat dekat juga tidak dapat
menjadi wali, sehingga perwalian diserahkan kepada wali hakim. Ketiga, kewarisan
anak angkat bahwa anak angkat sering kali mendapat bagian yang diberikan oleh
orang tua angkat selayaknya anak kandung.
Kata Kunci : Ngukut Anak, Kedudukan Anak Angkat, Perwalian,
Pembimbing : Nur Rohim Yunus, LLM
Daftar Pustaka : 1989 s.d. 2018
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
atas nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “PRAKTIK NGUKUT ANAK PADA MASYARAKAT CIKATOMAS,
CILOGRANG, LEBAK” secara baik. Sholawat serta salam semoga tercurahkan
kepada Baginda Nabi Muhammad saw. juga kepada keluarga, sahabat, dan umatnya
yang senantiasa mengikuti jejak dan langkah beliau sampai hari akhir nanti, amiin.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Strata Satu (S1) di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Maka dengan selesainya skripsi ini penulis telah berusaha
semaksimal mungkin meskipun masih banyak kekurangan karena keterbatasan
yang penulis miliki. Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan iringan do’a penulis
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Phil. H. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum;
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhshiyyah), Indra Rahmatullah, SH.I., M.H Sekretaris Prodi.
Terimakasih atas perhatian, pembinaan, arahan, serta bimbingan yang telah
diberikan selama ini.
4. Nur Rohim Yunus, LLM., Dosen Pembimbing Skripsi yang sangat
bijaksana, tulus dalam meluangkan waktunya, dan selalu memberikan
motivasi, arahan, bimbingan, koreksi, serta nasehat pada penulis sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
5. Dosen Pembimbing Akademik Dr. Ahmad Tholabi M.A. yang senantiasa
membimbing, menasihati, dan memberi arahan dari awal semester sampai
tahap skripsi.
6. Dosen Penguji skripsi Dr. K.H.A. Juaini Syukri, Lc. MA dan Dr. Ahmad
Tholabi Kharlie, SH. MH. MA telah memberi nasehat serta arahan sehingga
terselesaikannya skripsi ini sampai tahap akhir.
vii
7. Segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan bantuan kepada penulis berupa buku-buku dan referensi yang
penulis butuhkan.
8. Ayahanda dan Ibunda tercinta (Suwirta dan Suwarsih) yang selalu
mendoakan penulis, selalu mencurahkan kasih sayangnya untuk penulis
tanpa mengenal lelah. Kepada teh Iif Hanifah S.Pd dan aa Dede Firman
S.Pd, teh Lina Marlina S.Pd dan aa Kamal Mutamam S.Sos, adik penulis
Defrija Wildani Multadzam serta keponakanku Abidzar Ibnu Salam Firman
dan Agrata Fauzan Syakeel.
9. Bapak Jalaludin, S.Pd.I selaku sekretaris desa Cikatomas yang telah
memberikan banyak sekali sumber informasi dalam penulisan skripsi ini.
10. Masyarakat Cikatomas yang telah terbuka memberikan informasi untuk
penulis Bu Idoh Mamdiah dan Bu Imas Nurlatifah.
11. Keluarga MAN Bayah 2014, Iva Rustiana S.Ag.
12. Teman-teman seperjuangan Prodi Hukum Keluarga angkatan 2014.
Penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis. Semoga Allah SWT. membalas kebaikannya. Amiin yaa Robbal ‘alamin.
Ciputat, Oktober 2018
Nida Sriwidiyanti
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................... 6
D. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian ....................................................................... 6
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu........................................... 7
G. Metode Penelitian......................................................................... 9
H. Sistematika Penulisan.................................................................. 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ADOPSI ANAK ....................... 12
A. Teori Perwalian Terhadap Anak Angkat..................................... 12
1. Macam-Macam Perwalian ...................................................... 12
2. Orang yang Berhak Menjadi Wali .......................................... 14
3. Syarat-Syarat Wali ................................................................. 15
4. Berakhirnya Perwalian ........................................................... 16
B. Hifẕun Nasli dalam Maqâsid Syarî‘ah ........................................ 18
C. Teori Adopsi Anak ...................................................................... 23
BAB III PROFIL MASYARAKAT DESA CIKATOMAS, CILOGRANG,
LEBAK .............................................................................................. 30
A. Gambaran Umum dan Letak Geografis Desa Cikatomas ........... 30
B. Struktur Masyarakat Desa Cikatomas ......................................... 34
ix
C. Praktik Ngukut Anak di Desa Cikatomas ................................... 37
BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN DAN KESESUAIAN NGUKUT
ANAK DI DESA CIKATOMAS, CILOGRANG, LEBAK .......... 40
A. Kedudukan Anak Angkat pada Masyarakat Cikatomas.............. 40
B. Kesesuaian Ngukut Anak di Masyarakat Cikatomas terhadap
Hukum Islam dan Hukum Positif ................................................ 44
1. Kesesuaian Ngukut Anak terhadap Hukum Islam ................. 45
2. Kesesuaian Ngukut Anak terhadap Hukum Positif ................ 49
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 53
A. Kesimpulan ................................................................................. 53
B. Saran-saran .................................................................................. 54
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Pengangkatan Anak di Kecamatan Cilograng ......................... 30
Tabel 3.2 Luas Wilayah Menurut Penggunaan .................................................... 31
Tabel 3.3 Iklim ..................................................................................................... 33
Tabel 3.4 Jenis dan Kesuburan Tanah .................................................................. 33
Tabel 3.5 Sarana Peribadatan ............................................................................... 34
Tabel 3.6 Sarana Pendidikan ................................................................................ 35
Tabel 3.7 Mata Pencaharian ................................................................................. 37
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada saat seseorang tidak memperoleh anak, walaupun telah bertahun-tahun
menikah, sedangkan ia menginginkan mendapatkan anak, maka dalam keadaan
demikian seseorang dapat mengangkat anak orang lain sebagai anaknya tradisi ini
terjadi pada masyarakat Cikatomas, Cilograng, Lebak. praktik mengangkat anak
ini, lazim dikenal dengan istilah ngukut anak. Prilaku yang dilakukan dengan cara
menganggap anak orang lain sebagai anak sendiri baik dengan memutuskan
hubungan anak itu dengan orang tua kandungnya maupun tidak. praktik ini
meyakini bahwa dengan mengangkat anak orang lain, ia akan memperoleh anak
kandung, maka dianggaplah pengangkatan anak itu sebagai pancingan bagi
kelahiran seorang anak kandung. Bila hal ini terjadi, rasa sayangnya terhadap anak
angkat tidak akan berkurang melainkan ia akan tetap disayangi selaku anak
kandung yang lebih tua. Kemungkinan lain orang mengangkat anak karena anak-
anaknya yang ada hanyalah laki-laki atau perempuan semua, sedangkan ia
menginginkan yang sebaliknya. Dalam hal demikian orang melakukan tradisi
ngukut anak. Adakalanya lagi seorang sudah mempunyai anak akan tetapi masih
mau mengangkat anak orang lain dengan alasan karena kasih sayang pada anak
terlantar, atau hendak membantu orangtua anak dalam pendidikan dan kehidupan
anaknya.1
Adapun mengambil anak angkat, diartikan dengan menghubungkan
keturunan seorang anak dengan seorang bapak, baik anak itu sudah diketahui
keturunannya atau tidak diketahui. Bapak itu terus terang mengatakan, bahwa anak
itu adalah anak angkatnya, bukan anak kandungnya. Cara yang demikian itu sudah
berlaku di kalangan masyarakat pada zaman jahiliyah. Anak angkat disamakan
derajatnya dengan anak kandung. Kebiasaan itu telah terjadi pada masa permulaan
Islam. Kemudian Islam mengharamkan pengambilan anak angkat itu untuk selama-
lamanya, dan membatalkan perbuatan itu, dan juga menghapuskan pengambilan
1B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat
Hukumnya Dikemudian Hari (Jakarta: Rajawali, 1989, cet. Kedua) h. 43-44.
2
anak angkat itu sebagai salah satu cara untuk menetapkan seorang anak sebagai
anak keturunan dari seorang ayah. Pemberian hak anak angkat sebagai hak anak
kandung merupakan suatu perbuatan dusta dan merupakan kebohongan.2
Anak angkat dalam arti memelihara, mendidik dan mengasuh seseorang anak
orang lain adalah sangat dianjurkan dalam Islam. Tetapi penamaan anak angkat
tidak menjadikan seseorang menjadi mempunyai hubungan dengan orang lain
seperti yang terdapat dalam hubungan darah. Oleh karena itu, penamaan dan
penyebutan anak angkat tidak diakui dalam hukum Islam untuk dijadikan sebagai
dasar dan sebab waris, karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan
darah atau arhaam.3
Di desa Cikatomas dalam hal pengangkatan anak terdapat beberapa pasangan
suami istri yang benar-benar menginginkan anak, tetapi tak kunjung hamil, solusi
yang terbaik adalah mengangkat anak menjadi anak asuh mereka. Tanggapan
mereka mengenai anak angkat sama derajatnya dengan anak kandung karena
terlihat dengan tidak pernah membeda-bedakan antara anak kandung dan anak
angkat.4
Hukum keluarga (familierecht) dalam arti luas meliputi hukum perkawinan
dan hukum kewarisan. Lembaga pengangkatan anak merupakan bagian dari hukum
perkawinan, sehingga sepanjang pengangkatan anak itu dilakukan oleh mereka
yang beragama Islam atau memenuhi asas personalitas keIslaman, di Indonesia
pengangkatan anak menjadi kewenangan pengadilan agama. Pengangkatan anak
merupakan bagian dari bidang perkawinan dan sesuai ketentuan pasal 63 Undang-
Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menegaskan bahwa
bahwa pengadilan agama sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara
bidang perkawinan bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi
yang lainnya, maka kewenangan yang berkaitan dengan pengangkatan anak yang
dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam seharusnya menjadi kewenangan
pengadilan agama.
2Zakaria A Ahmad Al Bary. Ed, Ahkamul Aukadi Fil Ilsam. Penenjemah Chadidjah
Nasution. Hukum Anak-Anak dalam Islam,. 1977, h. 31-32. 3Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam Disertai dengan
Beberapa Beberapa Pengertian Umum Hukum Perkawinan Undang-Undang Perkawinan 1974
(Jakarta: UI-Press, 1986, cet. Kelima), h. 136. 4Imas Nur Latifah, Interview Pribadi, Cikatomas, 11 Mei 2018.
3
Lembaga pengangkatan anak sudah lazim dilakukan oleh masyarakat muslim
Indonesia. Kehadiran kompilasi hukum Islam yang merupakan kaidah-kaidah Islam
mengikuti eksistensi lembaga pengangkatan anak tersebut dengan mengaturnya
dalam ketentuan pasal Juncto pasal 209. Kebutuhan hukum orang-orang beragama
Islam untuk melakukan perbuatan hukum pengangkatan anak sesuai dengan
pandangan hidup dan kesadaran hukum masyarakat yaitu berdasarkan hukum Islam
yang seharusnya menjadi kewenangan pengadilan agama itu. Ditegaskan dalam
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 bahwa pengangkatan anak antara orang-
orang yang beragama Islam menjadi kewenangan pengadilan agama dan pengadilan
agama memberi ijin pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.5
Setiap manusia mempunyai keinginan untuk membentuk sebuah keluarga
yang dapat tercapai dengan dilaksanakan suatu perkawinan. Perkawinan untuk
membentuk sebuah keluarga, di Indonesia diatur dalam pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan “perkawinan ialah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, dan adanya hubungan yang erat
dengan keturunannya. Sebagai pelengkap dari sebuah keluarga adalah kelahiran
seorang anak. Kehadiran seorang anak merupakan kebahagiaan dan kesejahteraan
bagi seorang ibu maupun keluarganya karena anak merupakan buah perkawinan
dan sebagai landasan keturunan. Apabila suatu keluarga itu tidak karuniai seorang
anak, maka untuk melengkapi unsur keluarga itu atau untuk melanjutkan keturunan
dapat dilakukan suatu perbuatan Hukum yaitu dengan mengadopsi anak.6
Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian dari
adat kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia dan telah merambah dalam praktik
melalui lembaga peradilan agama, maka sebelum terbentuknya Undang-Undang
yang mengatur secara khusus, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden
No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal 171
huruf h, secara definitif disebutkan bahwa “Anak Angkat adalah anak yang dalam
hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
5Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: kencana, 2008,
cet Pertama) h. 59-61. 6Hikmatul Mahfiyah, “Pewarisan Terhadap Anak Angkat Sebagai Ahli Waris Tunggal
Menurut Hukum Adat Jawa” (Jember: Skripsi Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Universitas Jember 2016), h. 21.
4
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan.
Pengangkatan anak yang memberi status anak angkat sama dengan anak
kandung juga terjadi pada zaman sebelum dan awal Islam. Tradisi ini pernah pula
dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebelum menerima kerasulannya. Kehadiran
syariat Islam yang ditegakan atas kebenaran dan kejujuran untuk membina
masyarakat dengan landasan yang murni dan wajar dalam mengatur susunan
keluarga berlandaskan hukum-hukum yang teliti secara tegas mengharamkan
tradisi tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surat al-Ahzab ayat 4, ayat
5, dan ayat 40.7 Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah Swt., bahkan
anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan
kekayaan harta benda lainnya. Anak sebagai amanah Allah harus senantiasa dijaga
dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
orang tua, keluarga, masyarakat pemerintah dan negara untuk memberikan
perlindungan terhadap anak angkat. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, telah lahir undang-undang nomor 23 tahun
2002 telah menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak upaya
perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin. Yakni sejak dari janin dalam
kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas tahun). Hal ini bertitik tolak
dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif.
Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum
perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang
berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-masing
7Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: kencana, 2008,
cet Pertama) h. 3.
5
daerah. Walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak tersebut belum diatur
secara khusus dalam undang-undang tersendiri.8
Salah satu dari tujuan perkawinan adalah untuk melestarikan keturunan,
dalam satu keluarga untuk mencapai keharmonisan dalam keluarga dengan adanya
kehadiran seorang anak, sehingga kedua pasangan suami istri akan berusaha untuk
mendapatkan keturunan.
Permasalahan pengangkatan anak yang sesuai dengan aturan di Indonesia
adalah pengangkatan anak yang ditetapkan di pengadilan agama bagi yang
beragama Islam. Penulis tertarik untuk meneliti bagaimana praktik ngukut anak
pada masyarakat Cikatomas, Cilograng, Lebak. Peneliti ingin mengumpulkan
informasi dari masyarakat serta ingin mengetahui secara mendalam praktik dan
penyebab orang melakukan pengangkatan anak di desa Cikatomas. Dari
permasalahan diatas, penulis mengajukan judul: “PRAKTIK NGUKUT ANAK
PADA MASYARAKAT CIKATOMAS, CILOGRANG, LEBAK”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang penulis uraikan di atas, maka penulis
mengidentifikasikan dalam bentuk pertanyaan:
Bagaimana prosedur melakukan pengangkatan anak di desa Cikatomas, Cilograng,
Lebak?
1. Apa faktor yang melatar belakangi terjadinya pengangkatan anak di desa
Cikatomas, Cilograng, Lebak?
2. Apa syarat yang harus dipenuhi dalam pengangkatan anak di desa
Cikatomas, Cilograng, Lebak?
3. Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak angkat?
4. Bagaimana praktik pengkatan anak di desa Cikatomas, Cilograng,
Lebak?
5. Bagaimana status hukum waris anak angkat?
6. Sudahkah orang tua angkat paham bahwa muslim jika ingin mengajukan
permohonan pengangkatan anak harus dilakukan di Pengadilan Agama?
8Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta:
Kencana, 2008, cet Pertama), h. 1-2.
6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan
terarah sesuai yang diharapkan. Di sini penulis hanya akan membahas pada tradisi
ngukut anak, kedudukan anak baik pada aspek perwalian dan kewarisan. Selain
pandangan pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tradisi ngukut anak
pada masyarakat Cikatomas, Cilograng, Lebak.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas maka penulis rumuskan dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut?
a. Bagaimana Praktik ngukut anak pada masyarakat Cikatomas, Cilograng,
Lebak?
b. Bagaimana kedudukan anak angkat di desa Cikatomas, Cilograng, Lebak?
c. Apakah praktik ngukut anak sesuai dengan hukum Islam dan hukum
positif?
D. Tujuan penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan diatas maka kegiatan
penelitian yang penulis lakukan ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui praktik ngukut anak pada masyarakat Cikatomas,
Cilograng, Lebak.
2. Untuk mengetahui kedudukan anak angkat pada masyarakat Cikatomas,
Cilograng, Lebak.
3. Untuk mengetahui praktik ngukut anak apakah sesuai dengan hukum Islam
dan hukum positif.
E. Manfaat penelitian
1. Manfaat penelitian secara teoritis adalah
a. Penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah khazanah keilmuan
bagi penulis dan masyarakat di desa Cikatomas, Cilograng, Lebak.
7
b. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembagan studi hukum
Islam dan hukum positif khususnya dalam permasalahan pengangkatan
anak.
c. Sebagai upaya penulis untuk memperoleh gelar strata satu (S1) dan
agar menambah khasanah keilmuan penulis dalam memahami
penngangkatan anak.
2. Manfaat penelitian secara praktis adalah:
a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para pihak yang
mempunyai kepentingan yang terkait dengan penelitian ini.
b. Menambah referensi data di perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Penelitian ini diharapkan akan menjadi pelengkap penelitian-penelitian
sebelumnya.
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk memudahkan penulis dan meyakinkan pembaca bahwa penulis tidak
melakukan plagiasi atau duplikasi, maka penulis menjabarkan review studi
terdahulu sebagai berikut:
1. Achri Yudha Prana Mulya, 106044101378 Al-Akhwal Syakhsiyah,
Fakulta Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan
skripsi yang berjudul “Status Hukum Waris Anak Angkat Menurut
Kompilasi Hukum Islam dan Penerapannya di Masyarakat Cinangka
Sawangan Depok. Dalam skripsi ini mengulas tentang bagaimana
penyelesaian kasus pengangkatan anak dan pembagian harta warisan di
masyarakat Cinangka Sawangan Kota Depok sesuai dengan Kompilasi
Hukum Islam.
2. M. Deby Sahdan Alfaizi, 1111044200023, Al-Akwal Asy-Syakhsiyah,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, dengan skripsi yang berjudul: Pengangkatan Anak
(Studi di Mayarakat Duren Tiga) dalam skripsi ini mengulas tentang
bagaimana pengangkatan anak keluarga pendatang dan asli di Duren Tiga,
8
dan juga untuk mengetahui akibat hukum dari tradisi pengangkatan anak
di Duren Tiga.
3. Eka Dita Martiana, 1110044100032, Konsentrasi Peradilan Agama
Program Studi Hukum Keluarga Islam, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan skripsi yang berjudul “Pengangkatan Anak
Bagi Warga Muslim di Pengadilan Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006” dalam skripsi ini difokuskan pada kajian peran Peradilan Umum
terhadap pengangkatan anak, serta di mana letak persinggungan
wewenang Peradilan Umum dengan Peradilan Agama terhadap
pengangkatan anak. Khususnya pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
4. Haris Barkah, 105044101372, Konsentrasi Akhwal syakhshiyyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan judul “Kewenangan Peradilan Agama dalam Penetapan
Pengangkatan Anak (Studi Krisis Terhadap Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia)” dalam skripsi ini
difokuskan pada batasan kewenangan pengadilan agama dalam bidang
penetapan pengangkatan anak
5. Zakia Al Farhani, 106043201358 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Proses
Pengangkatan Anak (Adopsi) dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus
Yayasan Siran Malik Pesantren Alfalah, Parung Benying), fokus skripsi
ini pada bagaimana proses pengangkatan anak di Yayasan Siran Malik dan
aplikasi hukum Islam di yayasan tersebut
Dari studi review terdahulu diatas jelas sekali perbedaan dengan skripsi yang
penulis tulis. Dalam skripsi yang penulis tulis lebih fokus pada pembahasan
mengenai praktik ngukut anak pada masyarakat Cikatomas, Cilograng, Lebak, serta
kedudukan anak kukut menurut hukum Islam dan hukum positif.
9
G. Metode Penelitian
Untuk mengetahui dan penjelasan mengenai adanya segala sesuatu yang
berhubungan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian
yang disebut metodologi penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan
menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan
penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa
sampai menyusun laporan. Penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis penelitian
Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
normatif empiris. Dilihat dari segi penyusunan penelitian ini menggunakan
metode kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu suatu analisis data dimana penulis
menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian yaitu keluarga-
keluarga yang mengangkat anak. Sumber data tersebut berupa;
a. Data primer
Wawancara secara mendalam dengan keluarga yang mengangkat anak
di Desa Cikatomas
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
studi kepustakaan, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
masalah yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah Alquran, Al-
Hadis, buku-buku ilmiah, undang-undang, KHI, Serta peraturan yang
erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan salah satu alat yang digunakan dalam
pengumpulan data pada penelitian kualitatif. Dokumentasi dapat berupa
catatan pribadi, buku harian, catatan kasus, foto dan lain sebagainya.9
9Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004, cet Kedua) h. 101.
10
b. Observasi untuk menentukan wilayah yang akan dilakukan penelitian
maka harus diobservasi terlebih dahulu dan untuk mendapatkan data
dari wilayah tersebut maka dapat dilakukan observasi.
c. Wawancara secara dilakukan terhadap pihak-pihak yang berkompeten
dalam penelitin ini diantaranya keluarga yang mengangkat anak pada
masyarakat Cikatomas yaitu:
Bapak Suwirta dan Ibu Suarsih, keluarga Ibu Anah, Keluarga Ibu
Mursih, Keluarga Ibu Emah, Keluarga Ibu Rodiah, Wawancara
dilakukan dengan tanya jawab langsung mengenai praktik
pengangkatan anak, perwalian anak angkat dan kewarisan anak angkat.
d. Studi pustaka dilakukan karena dengan mempelajari buku-buku
literatur, maka dapat menunjang terkumpulnya data-data yang
diperlukan.
3. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “pedoman
penulisan skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif yaitu riset yang
bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis, fokus penelitian
sesuai dengan fakta di lapangan.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan dalam skripsi ini, terdiri dari lima bab dengan
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama Pendahuluan berisi tentang Latar Belakang Masalah,
Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) terdahulu, Metode dan Teknik Penelitian,
Sistematika Penulisan
Bab kedua berisi tentang Pembahasan Tinjauan Umum Tentang Adopsi Anak
yang terdiri dari Teori Perwalian Terhadap Anak Angkat, Hifẕun Nasli dalam
Maqâsid Syarî‘ah, Teori Adopsi anak .
11
Bab ketiga Profil Masyarakat Desa Cikatomas, Cilograng, Lebak, berisi
tentang Gambaran Umum Desa Cikatomas dan Letak Geografisnya, Struktur
Masyarakat Desa Cikatomas, dan Praktik Ngukut Anak pada Masyarakat desa
Cikatomas, Cilograng, Lebak.
Bab keempat Analisis Kedudukan dan Kesesuaian Ngukut Anak di desa
Cikatomas, Cilograng, Lebak, berisi tentang Kedudukan Anak Angkat Pada
Masyarakat Cikatomas, dan Kesesuaian Ngukut Anak di Masyarakat Cikatomas
Lebak Banten terhadap Hukum Islam dan Hukum Positif.
Bab kelima Penutup berisi tentang Kesimpulan dan saran-saran.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ADOPSI ANAK
A. Teori Perwalian Terhadap Adopsi Anak
Istilah perwalian berasal dari bahasa Arab derivatif dari kata dasar, waliya,
wilâyah atau walâyah. Kata wilâyah atau walâyah mempunyai makna etimologis
lebih dari satu, diantaranya dengan makna, pertolongan, cinta, (mahabbah),
kekuasaan atau kemampuan (al-sulṯah) yang artinya kepemimpinan seseorang
terhadap sesuatu. Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka dapat dipahami
bahwa perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh atas
dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas ketidak
mampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik yang
berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya.1
Dalam pasal 1 Kompilasi Hukum Islam, bab I Ketentuan Umum huruf h
dikemukakan:
Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk
melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan
atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tua yang
masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Dengan demikian, wali adalah orang yang diberi kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum demi kepentingan anak yang tidak memiliki kedua
orang tua, atau karena kedua orang tuanya tidak cakap melakukan perbuatan
hukum.2
1. Macam-Macam Perwalian
Secara toeritis wilâyah dibagi menjadi dua, yaitu: wilâyah asliyyah, yaitu
kemampuan seseorang untuk bertindak sendiri karena ia telah cakap bertindak
hukum, dan wilâyah niyâbah yaitu kewenangan seseorang untuk bertindak hukum
atas nama orang yang diampunya. Wilâyah niyâbah juga terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu bersifat ikhtiyâriyyah (sukarela) dan yang bersifat ijbâriyyah
1Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta:
Kencana, 2008, cet. Pertama), h. 151. 2Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali pers, 2013, edisi
revisi, cet. pertama), h. 205.
13
(paksaan). Ulama mahzab Hanafiyah membedakan perwalian kepada tiga
kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al-walâyah al-nafs), perwalian terhadap
harta (al-wilâyah al-mâl), serta perwalian terhadap harta dan jiwa sekaligus (al-
wilâyah ‘ala nafs wa al-mâl ma‘a). Perwalian dalam pernikahan tergolong dalam
perwalian yang berhubungan dengan pengawasan terhadap urusan yang
berhubungan dengan masalah-masalah kekeluargaan, seperti perkawinan,
pemeliharaan, pendidikan dan nafkah anak yang berada ditangan ayah.3
Oleh sebab itu tidak sah pernikahan tanpa adanya wali. Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw:
بولي، عن عكرمة، عن ابن عباس، عن النبي صلى هللا عليه وسلم، قال: " ل نكاح إل 4والسلطان مول من ل مول له "
Artinya:
“Dari ‘Ikrimah, dari Ibn ‘Abbâs, Nabi Saw. bersabda: “Tidak sah
perkawinan tanpa adanya wali, dan hakim adalah wali bagi orang yang tidak
mempunyai wali”.
ا امرأة نكحت بغي إذن ولييها فنكاحها عن عائشة أن رسول عليه وسلم قال أي الل صلى الل بطل فنكاحها بطل فنكاحها بطل فإن دخل با ف لها المهر با استحل من ف رجها فإن
5السلطان ول من ل ول له اشتجروا ف Artinya:
“Dari Aisyah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Setiap
perempuan yang dinikahi tanpa seizin walinya maka nikahnya batal,
nikahnya batal, nikahnya batal. Kalau ia dikumpuli (disetubuhi), maka
baginya mahar, karena suami telah menghalalkan farjinya jika ada
pertengkaran-pertengkaran, maka hakim adalah wali bagi orang yang tidak
mempunyai wali.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Arba‘ah kecuali Nasa’i dan hadis ini
dinilai shahih oleh Awanah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim.6
3Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 151-153. 4 Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm al-Hâfiẕ Abî ‘Abdillâh Ahmad ibn Hanbal (Riyadh:
Baît al-Afkâr al-Dauliyyah linnasyri wa al-Tauzî‘, 1998), nomor 2260, h. 215. 5 Abî ‘Îsâ Muhammad ibn ‘Îsâ ibn Sûrah al-Tirmidzî, Jâmi‘ al-Tirmidzî (Riyadh: Baît al-
Afkâr al-Dauliyyah, t.tahun), nomor 1102, h. 194. 6Mardani, Hadis Ahkam, (Jakarta: Rajawali pers, 2012, cet. pertama) h. 234-235.
14
Keberadaan wali nikah merupakan rukun. Oleh karena itu harus dipenuhi
beberapa syarat. Syarat wali adalah laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian
dan tidak terdapat halangan perwalian. Dalam pasal 20 KHI ayat (1) dirumuskan
sebagai berikut: “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil, dan baligh. Dalam
pelaksanaaannya, akad nikah atau ijab qabul, penyerahaannnya dilakukan oleh wali
mempelai perempuan atau yang mewakilinya, dan qabul (penerimaan) oleh
mempelai laki-laki.
Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang wali nikah secara
eksplisit. Hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan “perkawinan yang
dilangsungkan dimuka pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang, wali nikah
yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi
dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus
keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”. Jadi secara implisit bunyi pasal
diatas mengisyaratkan dengan jelas bahwa perkawinan yang tidak diikuti oleh wali,
maka perkawinannya batal atau dapat dibatalkan.7
2. Orang-Orang yang Berhak Menjadi Wali
Pada prinsipnya, seorang wali dalam wewenangnya harus senantiasa
berorientasi kepada pemeliharaan dan kemaslahatan orang yang ada dibawah
pengapuannya. Dalam menetapkan siapa yang berhak menjadi wali, ulama fiqh
membagi wali sesuai objek perwalian, seperti perwalian dalam masalah jiwa
(pribadi orang yang berada di bawah pengapuan). Dalam perspektif Syafiiyah
penetapan perwalian (khususnya wali nikah) diprioritaskan kepada kaum kerabat
yang bersangkutan, kemudian berpindah pada wala’ashabah (seperti anak-anak
saudara, anak paman) dan qaḏi (hakim). Dari kerabat yaitu, bapak, kakek, terus ke
atas, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah.
a. Ayah
b. Kakek
c. Saudara laki-laki kandung
d. Saudara laki-laki seayah
7Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 65.
15
e. Anak saudara laki-laki kandung/ seayah
f. Paman (saudara ayah) kandung
g. Paman s-eayah
h. Anak paman kandung/ seayah
Lebih jauh Mazhab Syafi‘iyah menegaskan bahwa urutan orang-orang yang
berhak menjadi wali adalah sama dengan hierarkies orang-orang yang berhak
hmenerima kewarisan. Dalam fikih konsep perwalian (khusunya wali nikah) pada
dasarnya mengikuti konsep ‘asabah, orang yang berhak menjadi wali adalah
mereka yang berasal dari garis keturunan laki-laki. Mulai dari ayah, kakek, saudara,
paman, keponakan, dan seterusnya.8
3. Syarat-Syarat Wali
Ulama fikih mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seseorang agar ia dapat dijadikan wali (sama dengan persyaratan wali dalam
hadhanah) bagi orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum. Syarat-syarat
dimaksud adalah:
a. Baligh dan berakal, serta cakap bertindak hukum. Oleh sebab itu anak
kecil, orang gila, orang mabuk, dan orang dungu tidak bisa ditunjuk
sebagai wali.
b. Agama wali sama dengan agama orang yang diampunya, karena perwalian
nonmuslim terhadap muslim adalah tidak sah.
c. Adil, dalam arti istiqamah dalam agamanya, berakhlak baik, dan
senantiasa memelihara kepribadiannya.
d. Wali mempunyai kemampuan untuk bertindak dan memelihara amanah,
karena perwalian itu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang
diampunya. Apabila oang itu lemah dalam memegang amanah, maka tidak
sah menjadi wali.
e. Wali senantiasa bertindak untuk kemaslahatan orang yang diampunya.
8Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 157-158.
16
4. Berakhirnya Perwalian
Untuk perwalian anak laki-laki akan berakhir menurut Mahzab Hanafi,
apabila anak kecil itu berumur 15 tahun dan terlihat tanda-tanda baligh-nya secara
alami dan cerdas. Adapun untuk anak kecil wanita, hak wilayah akan berakhir bagi
dirinya apabila ia kawin. Apabila ia belum kawin maka dia tetap berada dibawah
ampuan walinya sampai ia baligh dan mampu untuk berdiri sendiri. Namun ulama
Madzhab Hanafi tidak memeberikan batasan umur yang tegas terhadap anak
wanita. Menurut jumhur ulama seorang anak kecil laki-laki akan bebas dari
perwalian apabila anak itu baligh, berakal, dan cerdas. Untuk anak wanita, menurut
mereka, hak wilayah terhadap dirinya akan berakhir apabila ia kawin.9
Menurut ulama Syafi‘iyah, wali nikah dibedakan menjadi mujbir dan ghairu
mujbir. Wali mujbir adalah ayah, kakek dan terus ke atas, dan sayid/ majikan (bagi
budak). Sedang wali ghairu mujbir adalah ayah, kakek, dan golongan ahli waris
‘asabah. Adapun menurut ulama Hanabilah, urutan wali nikah adalah: ayah, orang
yang diwasiati ayah setelah meninggalnya, hakim, dan para kerabat dari golongan
'ashobah. Dari perbedaan pendapat ulama' di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, perwalian nikah dari golongan anak
lelaki harus terlebih dahulu diutamakan daripada dari golongan ayah. Sedangkan
menurut ulama' Hanabilah berpendapat kebalikannya, yaitu wali nikah dari
golongan ayah harus diutamakan daripada golongan anak. Lain lagi menurut ulama
Syafi‘iyah, yang dalam hal perwalian, golongan anak tidak mempunyai hak
menjadi wali. Di sisi lain, sebagian besar ulama (jumhur) berpendapat bahwa orang-
orang yang menjadi wali nikah adalah:
a. Ayah, kakek dan seterusnya;
b. Saudara laki-laki sekandung (seayah dan seibu) atau seayah;
c. Kemenakan laki-laki kadung atau seayah (anak laki-laki dari saudara laki-
laki kandung atau seayah);
d. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki sekandung atau seayah);
e. Saudara sepupu sekandung atau seayah (anak laki-laki paman kandung
atau seayah;
9Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam h. 169-170.
17
f. Sultan (penguasa tertinggi) yang disebut juga hakim (bukan qaḏi, hakim
pengadilan); kemudian,
g. Wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan, yang disebut wali
muhakkam
Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadi wali di atas,
dapat dibedakan adanya 3 macam wali nikah, yaitu:
a. Wali Nasab atau Kerabat
Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai
perempuan yang mempunyai hubungan darah dari jalur ayah (patrilinear).
Wali nasab tersebut adalah ayah, kakek, saudara laki-laki, paman dan
seterusnya. Wali nasab ini ada dua macam, Pertama, wali nasab yang
berhak memaksakan perkawinan dan menentukan dengan siapa seorang
perempuan mesti menikah, atau disebut wali nasab mujbir. Kedua, wali
nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa, atau disebut wali nasab
ghairu mujbir.
b. Wali Hakim
Wali yang hanya berhak menjadi wali apabila wali yang dekat tidak ada
atau tidak memenuhi syarat-syarat wali. Apabila wali yang lebih dekat
tidak ada di tempat, wali ini hanya dapat menjadi wali apabila mendapat
kuasa dari wali yang lebih dekat. Apabila pemberian kuasa tidak ada,
perwalian pindah kepada sultan (kepala negara) atau diberi kuasa oleh
kepala negara. Di Idonesia kepala negara adalah presiden yang telah
memberi kuasa kepada pembantunya, Menteri Agama yang juga telah
memberi kuasa kepada Pegawai Pencatat Nikah untuk bertindak sebagai
wali hakim. Maka wali hakim di sini bukanlah hakim pengadilan
c. Wali Muhakkam
Dalam keadaan tertentu, apabila wali nasab tidak dapat bertindak sebagai
wali karena tidak memenuhi syarat atau menolak, dan wali hakim pun
tidak bertindak sebagai wali nasab karena berbagai macam sebab, maka
18
wali nasab yang bersangkutan dapat mengangkat seseorang menjadi
walinya. Wali yang diangkat oleh mempelai itu disebut wali muhakkam.10
B. Hifẕun Nasli dalam Maqâsid Syarî‘ah
Nasab adalah keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik
karena hubungan ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek dan seterusnya), ke bawah
(anak, cucu, dan seterusnya) maupun ke samping, (saudara paman dan lain-lain)
Konsep nasab tidak hanya menyangkut masalah asal usul orang tua dan
kekerabatan, tetapi juga masalah status kekerabatan dan ikatan keturunan. Memang
anak mengambil nasab dari kedua belah pihak (ayah dan ibu) akan tetapi
penghubungan nasab kepada bapak tetap lebih dominan daripada kepada ibu.
Dalam semua mazhab hukum Islam makna paling utama dari nasab adalah
menyangkut sisi bapak, yang erat identitas hukum agamanya. Dalam doktrinal dan
hukum Islam nasab merupakan sesuatu yang sangat urgen, nasab merupakan nikmat
yang paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya,
sebagaimana firman dalam surat al-Furqan ayat 54:
(٥٤: ٢٥الفرقان/)ا ر ي د ق ك ب ر ان ك ا و ر ه ص و با س ن ه ل ع ج ا ف ر ش ب اء م ال ن م ق ل ي خ ذ ال و ه و Artinya:
“Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia
itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang
berasal dari perkawinan) dan adalah tuhanmu yang maha kuasa.” (Q.S. Al-
Furqân/25: 54)”
Nasab menjadi legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian
darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau
senggama syubhat (zina). Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi
hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak
tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan
demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan
nasab. Seperti hukum waris, pernikahan, perwalian dan lain sebagainya. Penetapan
nasab mempunyai dampak yang sangat besar terhadap individu, keluarga dan
10Fransisca Ismi Hidayah, “Diskursus Hukum Islam di Indonesia Tentang Perwalian
Perkawinan Anak Angka”, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, (Januari-Juni, 2014), h.74-75
19
masyarakat sehingga setiap individu berkewajiban merefleksikan dalam
masyarakat, dengan demikian di harapkan nasab (asal usul) nya menjadi jelas. Di
samping itu, dengan ketidak jelasnya nasab di khawatirkan akan terjadi perkawinan
dengan mahram. Untuk itulah Islam mengharamkan untuk menisbahkan nasab
seorang kepada orang lain yang bukan ayah kandungnya, dan sebaliknya.
Nikah merupakan jalan untuk menentukan dan menjaga asal usul (nasab)
seseorang. Dalam pengertian, nasab seseorang hanya bisa di nisbahkan kepada
kedua orang tuanya kalau ia di lahirkan dalam perkawinan yang sah.
Dari beberapa penjelasan diatas maka cara untuk menentukan nasab menurut
ulama fikih adalah sebagai berikut:
1. Melalui nikah sahih atau fasid
Ulama fikih sepakat bahwa nikah yang sah/fasid merupakan salah satu
cara hdalam menentukan nasab seorang anak kepada ayahnya, sekalipun
pernikahan dan kelahiran anak tidak didaftarkan secara resmi pada instansi
terkait.
2. Melalui pengakuan atau gugatan terhadap anak
Ulama fikih membedakan antara pengakuan terhadap anak dan pengakuan
terhadap selain anak, seperti saudara, paman, atau kakek. Jika seorang
lelaki mengakui bahwa seorang anak kecil yang telah baligh (menurut
jumhur ulama) atau mummayiz (menurut Mazhab Hanafi) mengakui
seorang lelaki adalah ayahnya, maka pengakuan itu dapat dibenarkan dan
anak dinasabkan kepada lelaki tersebut
Agama Islam sangat memperhatikan masalah nasab terhadap seorang anak
termasuk pemberian nasab kepada anak angkat yang notabene tidak memiliki
hubungan darah dengan keluarga angkatnya. Makanya Allah SWT melarang
pemalsuan nasab, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Ahzâb ayat
4-5 yang berbunyi:
لرجل من ق لبي ف جوفه وما جعل أزواجكم الالئي تظاهرون من هن أمهاتكم وما ما جعل الل ي قول الق وهو ي هدي السبيل دعوهم ( ا٤) جعل أدعياءكم أب ناءكم ذلكم ق ولكم بف واهكم والل
ين ومواليكم ولي س عليكم آلبئهم هو أقسط عند الل فإن ل ت علموا آبءهم فإخوانكم ف الدي
20
غفور ا رحيم ا ) : ٣٣)األحزاب/ (٥جناح فيما أخطأت به ولكن ما ت عمدت ق لوبكم وكان الل٥-٤(
Artinya:
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan
(yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka
sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada
dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya)” apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Al-Ahzâb/33: 4-5).
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak
kandung, ini dipahami dari lafaz “wa mâ ja‘ala ad‘iyâ-akum abnâ-akum”.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir Qur’an al-
Aẕîm, di sana dijelaskan bahwasanya yang dimaksud dalam kalimat “wa mâ ja‘ala
ad‘iyâ-akum abnâ-akum” adalah bahwasannya anak angkat tidak bisa dinasabkan
kepada ayah (orang yang mengangkatnya). Kemudian dalam ayat itu juga
dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan
kepada bapak angkatnya.11
Para mufasir menyebutkan bahwa sebab-sebab diturunkannya ayat di atas
adalah suatu kisah yang unik. Zaid bin Haritsah, pada masa jahiliah tertawan
musuh, lalu Rasulullah SAW membelinya. Sesudah masa Islam, Haritsah (ayah
Zaid) datang ke Makkah, dan meminta kepada beliau agar menjual Zaid kepadanya
atau memerdekakannya. Rasulullah SAW berkata, “dia bebas dan boleh pergi
kemanapun dia suka”. Akan tetapi, Zaid tidak mau berpisah dengan Rasulullah
SAW. Ayahnya marah dan berkata, “wahai orang-orang Quraisy, mulai hari ini dan
seterusnya Zaid bukan anakku lagi. “Lalu, Rasulullah SAW, berkata, “dan
saksikanlah mulai sekarang dia menjadi anakku.”
11Mutasir, “Dampak Hukum Pengangkatan Anak pada Masyarakat Desa Terantang Kec.
Tambang Kabupaten Kampar ditinjau dari Hukum Islam,” Jurnal An-Nida, Vol. 41, No. 2,
(Desember 2007), h. 179-182
21
Kisah di atas dijawab oleh Al-Qur’an tentang tidak dapat dihapuskannya jati
diri genetis seorang anak dari ayahnya yang asli. Zaid bin Haritsah tetap menjadi
anak Haritsah, dan sesayang apapun Rasulullah SAW kepada Zaid, tetap tidak akan
mengubah keadaan nasabnya.12
Sedangkan mengenai pengangkatan anak, Sayyid Sabiq mengungkapkan
adanya dua istilah, yaitu:
1. Laqiṯ, artinya pemungutan anak yang belum dewasa yang tidak diketahui
nasab atau keturunannya. Dengan kata lain, pengambilan atau pemungutan
anak yang dalam keadaan terlantar, yang akibat dari pengambilan itu
tanggung jawab terhadap anak angkat adalah sama dengan tanggung jawab
terhadap anak kandung sendiri, baik dalam kelangsungan kehidupannya
maupun dalam pendidikannya, akan tetapi anak angkat tidak sampai
berkedudukan sebagaimana kedudukan anaknya sendiri.13 Hal ini untuk
menjaga kehormatan dan memuliakan kehidupan sang anak diantara
masyarakat dengan menisbahkannya. Ketika ditetapkan nasab nya, maka
harus ditetapkan juga hak-haknya sebagai seorang anak, baik berupa
nafkah, pendidikan, dan hak waris. Apabila tidak ada orang yang
mengakui anak tersebut sebagai anaknya, maka dia tetap berada ditangan
orang yang menemukannya. Orang tersebut menjadi walinya, dan
kewajibannya mendidik dan memberikan pengetahuan yang bermanfaat
supaya anak tersebut tidak menjadi beban bagi masyarakat. Sedangkan
nafkah menjadi kewajiban bait mal untuk membiayai hidupnya dan anak
itu ditangan (diasuh) orang yang menemukannya. Bertanggung jawab atas
semua yang dibutuhkan anak itu. ‘Umar bin Khaṯṯab berkata bagi yang
menemukan seorang anak (al-mutalaqiṯ): “kamu yang menjadi walinya,
dan kewajiban kami menafkahinya”. ‘Umar bin Khaṯṯab memberikan
bagian nafkah anak itu dari apa yang dibutuhkannya, dan memberikan
kepada walinya setiap bulan. Oleh karena itu, fuqaha menetapkan bahwa
jika yang menemukannya tidak baik perangainya, tidak bisa mendidiknya
12Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga (Bandung: Pustaka Setia, 2011, cet. Kesatu),
h. 274. 13Fransisca Ismi Hidayah, “Diskursus Hukum Islam di Indonesia Tentang Perwalian
Perkawinan Anak Angkat”, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, (Januari-Juni, 2014), h. 75.
22
dengan baik, atau tidak jujur atas apa yang diberikan untuk nafkah anak
itu, maka anak itu wajib diambil darinya dan penguasa berkewajiban untuk
memelihara dan mendidik anak tersebut.14
2. Tabannî, dalam bahasa Arab pengangkata anak dikenal dengan kata
Tabannî sama dengan ittakhadza ibna yang berarti mengambil anak, pada
saat islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW pengangkatan anak
telah menjadi tradisi di kalangan mayoritas masyarakat Arab yang dikenal
dengan istilah Tabannî yang berarti mengambil anak angkat, Rasulullah
sendiri mempunyai anak angkat yaitu: Zaid bin Haritsah pernah juga
dinikahkan oleh Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy namun akhirnya
bercerai. Dan Rasulullah sendiri diperintah oleh Allah menikah dengan
Zaiban binti Jahsy bekas istri anak angkatnya itu. Secara terminologis
Tabannî menurut Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak yang
dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya kemudian
anak itu dinasabkan kepada dirinya.15 Pengangkatan anak dalam
pengertian ini berakibat hukum pada putusnya hubungan nasab antara anak
angkat dan orang tua kandungnya, status anak angkat sama dengan status
anak kandung dan anak angkat dipanggil dengan nama ayah angkatnya,
serta berhak mewarisi.16 Islam sudah mengenal adopsi anak sejak zaman
Rasulullah SAW. Karena beliau juga mengangkat seorang anak, Zaid bin
Haritsah. Nasab anak adopsi dalam Islam tidak boleh dihilangkan.
Nasabnya tetap mengacu kepada ayah kandungnya. Zaid tidak disebut atau
dipanggil dengan Zaid bin Muhammad, tetapi Zaid bin Haritsah. jadi, anak
angkat dalam Islam tetaplah dinisbatkan kepada ayah kandungnya.
Sebagaiman firman Allah SWT. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 5
yang telah dikemukakan diatas.17
14Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam h. 195. 15Suharto, “Hak Waris Anak Angkat Menurut Hukum Islam di Indonesia” Studi Hukum
Islam, Vol. 1, No. 2, (Juli-Desember, 2014), h. 110. 16Mustofa Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga (Bandung: Pustaka Setia, 2011, cet.
Kesatu), h. 8. 17Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga (Bandung: Pustaka Setia, 2011, cet. Kesatu),
h. 275.
23
Islam mengharamkan Tabannî (pengangkatan anak) yang diakui sebagai anak
kandung, dan Islam menggugurkan segala hak yang biasa didapatkan anak angkat
dari Mutabannî (orang yang mengangkat anak).
bahwa ada dua bentuk pengangkatan anak (Tabannî) yang dipahami dalam
perspektif Hukum Islam yaitu:
a. Untuk pengangkatan anak (Tabannî) yang dilarang sebagaimana Tabannî
yang dipraktekkan oleh masyarakat Jahilliyah dan hukum perdata sekuler,
yang menjadikan anak angkat sebagai anak kandung dengansegala hak-
hak sebagai anak kandung, dan memutuskanhubungan hukum dengan
orang tua asalnya, kemudian menisbahkan ayah kandungnya kepada ayah
angkatnya.
b. Pengangkatan anak (Tabannî) yang dianjurkan, yaitu pengangkatan anak
yang didorong oleh motivasiberibadah kepada Allah SWT dengan
menanggung nafkahsehari-hari, biaya pendidikan, pemeliharaan, dan lain-
laintanpa harus memutuskan hubungan hukum denganorang tua
kandungnya, tidak menasabkan dengan orangtua angkatnya, tidak
menjadikannya sebagai anak kandung sendiri dengan segala hak-haknya.18
C. Teori Adopsi Anak
Ada beberapa istilah yang dikenal dalam pengangkatan anak di Indonesia.
Pengangkatan anak sering disebut dengan istilah adopsi yang berasal dari kata
adoptie dalam bahasa Belanda atau adoption dalam bahasa Inggris. Kata adopsi
berarti pengangkatan seorang anak seperti anak kandung atau anak sendiri.
Sedangkan dalam hukum adat, berkaitan dengan pengangkatan anak sering disebut
dengan istilah, misalnya mupu anak di Cirebon, ngukut anak di suku Sunda Jawa
Barat, nyentanayang di Bali, anak angkat di Batak Karo, meki anak di Minahasa,
ngukup anak di suku Dayak Manyan, dan mulang jurai di Rejang, anak akon di
Lombok Tengah, napuluku atau wenggga di Kabupaten Paniai Jayapura, dan anak
pulung di Singaraja. Istilah pengangkatan anak dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah Tabannî, yang artinya mengambil anak angkat atau menjadikannya
18 Jaya C. Manangin “Pengangkatan Anak (Adopsi) Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam”
Lex Privatium, Vol. IV, No. 5, (Juni, 2016), h. 55-56.
24
seseorang sebagai anak. Dari berbagai istilah yang ada tersebut, istilah dalam
bahasa Indonesia adalah “pengangkatan anak”. Istilah “pengangkatan anak”
digunakan dalam perundang-undangan republik Indonesia yang bermakna
perbuatan hukum mengangkat anak, istilah untuk yang diangkat disebut dengan
“anak angkat”, sedangkan istilah untuk orang tua yang mengangkat anak disebut
“orang tua angkat”. 19
Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma: “anak
angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat
dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan untuk kelangsungan
keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.20
Mahmud Syaltut mengemukakan dua bentuk pengangkatan anak:
Pertama mengambil anak orang lain untuk diasuh dan mendidik dengan
penuh perhatian dan kasih sayang tanpa disamakan dengan anak kandung. Cuma ia
diperlakukan oleh orangtua angkatnya sebagai anak sendiri.
Kedua mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan disamakan
dengan anak kandung, sehingga ia berhak memakai nama ayah angkatnya di
belakang namanya (nasab), dan mereka saling mewarisi dan mempunyai hak-hak
lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dengan ayah angkatnya.21
Secara hukum pengangkatan anak dalam bentuk pertama, tidak ada
perpindahan nasab dan saling mewarisi. Ia tetap bagian mahram keluarga asalnya
dengan segala akibat hukumnya. Jika ia melangsungkan perkawinan maka walinya
tetap ayah kandungnya. Pengangkatan anak dalam bentuk kedua telah terjadi
perpindahan nasab dan saling mewarisi. Jika ia melangsungkan perkawinan maka
yang menjadi walinya adalah ayah angkatnya. Setelah Q.S. al-Ahzâb/33: 45 turun,
maka islam tidak membolehkan lagi pengangkatan anak dalam bentuk kedua.22
Status dalam kewarisan Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa yang menjadi
19 Mustofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, cet. I (Jakarta: Kencana,
2008), h. 9-10. 20 Fadly Khairuzzadhi, "Pengangkonan dalam Pernikahan Beda Suku pada Mayarakat
Lampung Pepadun Studi di Kecamatan Padang Ratu Kabupaten Lampung Tengah (Jakarta: skripsi
Uin Syarif Hidayatullah Jakarta 2016), h.26, t.d 21 Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan prospek doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minang Kabau, cet. I (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 251. 22 Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan prospek doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minang Kabau, h. 254.
25
faktor saling mewarisi adalah karena hubungan kekerabatan dan perkawinan. Anak
angkat tidak termasuk kedalam kategori ini. Ini berarti antara anak angkat dengan
orang tua angkatnya tidak ada hubungan saling mewarisi. Hak saling mewarisi
hanya berlaku antara dia dengan orang tua kandungnya. Walaupun anak angkat
tidak berhak saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, namun islam tetap
membuka peluang baginya sebagai penerima wasiat atau hibah dari orang tua
angkatnya semasa orang tua angkatnya masih hidup.23
Pengangkatan anak merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan menjadi
bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut kepentingan orang-
perorangan dalam keluarga. Pengangkatan anak dalam staatblaad nomor 129 tahun
1917 menjadi hukum tertulis yang mengatur pengangkatan anak bagi kalangan
masyarakat Tionghoa, dan tidak berlaku bagi masyarakat Indonesia asli, maka bagi
masyarakat indonesia asli berlaku hukum adat yang termasuk didalamnya adalah
ketentuan hukum Islam, karena Staatblad nomor 129 tahun 1917 yang dikeluarkan
oleh pemerintah Hindia Belanda ini tidak sesuai dengan hukum Islam, maka yang
boleh mengangkat anak hanyalah orang-orang Tionghoa. Sebelum lahirnya UU
Nomor 35 Tahun 2014, sebenarnya telah lahir Undang-Undang nomor 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak. Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai
upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan
peningkatan kesejahteraan anak yang didalamnya juga mengatur tentang
pengangkatan anak. Pengertian anak angkat menurut undang-undang tersebut
adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua,
wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan
dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
Dalam pasal 39 ayat (2) diatur bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Kemudian
dalam ayar (3) diatur bahwa calon orangtua angkat harus seagama dengan agama
23 Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan prospek doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minang Kabau,
26
yang dianut oleh calon anak angkat. Namun demikian pada 3 oktober 2007, yaitu
melalui PP Nomor 54 Tahun 2007.24
Secara faktual pengadilan agama telah menjadi bagian dari masyarakat
muslim di Indonesia. Sebelum terbentuknya undang-Undang yang mengatur secara
khusus, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang
penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Pada Pasal 171 huruf h, secara definitif
disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan disebut beralih tanggung jawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Definisi anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut,25 jika
diperbandingkan dengan definisi anak angkat dalam Undang-Undang No. 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak, memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9
menyebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut,
kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan.
Menurut Hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan kalau
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua biologis dan keluarga.
2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian
juga orang tua angkat tidak berhak berkedudukan sebagai pewaris dari
anak angkatnya.
3. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya
secara langsung, kecuali sekedar sebagai tanda pengenal/alamat.
24Fadly Khairuzzadhi, "Pengangkonan dalam Pernikahan Beda Suku pada Mayarakat
Lampung Pepadun Studi di Kecamatan Padang Ratu Kabupaten Lampung Tengah” 25Haedah Faraz, “Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam”, Jurnal Dinamika Hukum,
Vol. 9, No. 2, (Mei 2009), h. 155.
27
4. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya.26
Pasal 209 ayat (2) KHI menyatakan bahwa anak angkat hanya berhak
mendapat wasiat wajibah, sebanyak-banyak sepertiga dari harta warisan. Lembaga
wasiat wajibah merupakan bagian dari kajian wasiat pada umumnya. Persoalan
wasiat wajibah sangat relevan dengan kajian hukum pengangkatan anak (Tabannî)
dalam Hukum Islam, karena salah satu akibat dari peristiwa hukum pengangkatan
anak adalah timbulnya hak wasiat wajibah antara anak angkat dan orang tua
angkatnya.27
Seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa yang menjadi faktor saling
mewarisi adalah karena hubungan kekerabatan dan perkawinan. Antara anak angkat
dan kedua orang tua angkatnya tidak ada hubungan saling mewarisi. Hak saling
mewarisi hanya berlaku antara dia dengan orang tua kandungnya. Namun Islam
tetap membuka peluang baginya sebagai penerima wasiat atau hibah dari orang tua
angkatnya semasa orang tua angkatnya masih hidup.28
Untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak, ada beberapa syarat
yang diajukan pemohon, yaitu sebagai berikut:
1. Syarat dan bentuk surat permohonan yang diajukan;
2. Isi surat permohonan, yang didalamnya disebutkan dasar (motif) yang
mendorong diajukannya permohonan atau pengesahan pengangkatan anak
tersebut. Juga harus menunjukan bahwa permohonan pengesahan
/pengangkatan anak dilakukan, terutama untuk kepentingan si anak yang
bersangkutan, dan digambarkan kemungkinan hari depan si anak setelah
terjadi pengesahan anak.29
Syarat anak yang akan diangkat menurut Pasal 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan anak meliputi hal-hal
sebagai berikut:
26Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, cet. IV (Jakarta: Sinar
Grafika, t.tahun), h. 54. 27Kompilasi Hukum Islam 28Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan prospek doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minang Kabau, h. 251-252. 29Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, cet. I (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 276.
28
1. Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak;
dan
d. Memerlukan perlindungan khusus
2. Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Anak belum berusia 6 (enam) tahun merupakan priorotas utama;
b. Sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada
alasan mendesak; dan
c. Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapan belas) tahun, sepanjang tidak memerlukan perlindungan
khusus.
3. Syarat calon orangtua angkat harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima
puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak;
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. telah mengasuh calion anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak
izin pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin materi dan/atau keoala instansi sosial;
29
Dalam proses pengangkatan disamping harus memenuhi syarat dalam
peraturan perundang-undangan, pengangkatan anak harus didasarkan pada
penetapan pengadilan. Semenjak tanggal 30 Maret 2006, UU No. 7 Tahun 1989
diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dengan mencakup 42 perubahan. Dalam Pasal
49, kewenangan pengadilan agama ditambah dengan perkara zakat, infak dan
ekonomi syariah. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006
huruf (a) telah merinci perkara apa saja yang dimaksud dengan perkawinan pada
angka (20) terdapat penambahan perkara pengangkatan anak berdasarkan hukum
Islam. Dalam pasal yang sama disebutkan 11 kegiatan usaha yang termasuk dalam
perkara ekonomi syariah. Dari uraian singkat tersebut diatas dapat diambil
pengertian bahwa setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 3 tahun 2006
tentang perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang pengadilan agama.
Hal ini sesuai pula dengan asas personalitas keislaman. Dari sinilah legalitas anak
angkat yang telah mendapat penetapan dari pengadilan agama bagi orang Islam
semakin jelas dan pasti.30
30Suharto, “Hak Waris Anak Angkat Menurut Hukum Islam di Indonesia” Jurnal Studi
Hukum Islam, Vol. 1, No.2, (Juli-Desember, 2014), h. 116-117.
30
BAB III
PROFIL MASYARAKAT DESA CIKATOMAS LEBAK, CILOGRANG,
LEBAK
A. Gambaran Umum dan Letak Geografis Desa Cikatomas
Desa Cikatomas adalah salah satu desa di kecamatan Cilograng Kabupaten
Lebak provinsi banten dengan orbitrase jarak ke kecamatan 3 km, lama jarak
tempuh dengan kendaraan bermotor ¼ jam. Jarak ke kabupaten/kota 160 km, lama
jarak tempuh dengan kendaraan bermotor 3,5 jam. Jarak ke provinsi 250 km lama
jarak tempuh dengan kendaraan bermotor 5,5 jam.
Desa Cikatomas dengan batas wilayah sebelah utara desa/Desa Mekarsari
kecamatan Cilograng, batas wilayah sebelah selatan desa/Desa Lebak Tipar
kecamatan Cilograng, batas wilayah sebelah timur desa/Desa Cikatomas kecamatan
Cikatomas dan sebelah barat desa/Desa Darmasari kecamatan Bayah. Kantor Desa
Cikatomas terletak di Jl. Raya Bayah Cibareno Km. 20 Cikondang-Cikatomas.
Berdasarkan angka pengangkatan anak tahun 2017 yang dilansir kecamatan
Cilograng menunjukan secara agregat jumlah pengangkatan anak di kecamatan
Cilograng tahun 2017 mencapai 64 kasus. Dari jumlah tersebut (64 kasus) angka
paling tinggi teridentifikasi di desa Giri Mukti mencapai 11 orang dan paling rendah
desa Gunung Batu 3 orang. Adapun desa Cikatomas berada di posisi ketiga dengan
angka mencapai 9 kasus. Berdasarkan data tersebut desa Cikatomas masuk dalam
kelompok desa dengan jumlah kasus pengangkatan anak paling banyak. Meski
demikian, berdasarkan informasi dari berbagai pihak kemungkinan masih terdapat
kasus-kasus pengangkatan anak lain yang belum terhimpun dan tercatat secara
resmi oleh pemerintah kecamatan Cilograng.
Tabel 3.1 Jumlah Pengangkatan Anak di Kecamatan Cilograng
No Nama Desa Jumlah Pengangkatan Anak
1 Cilograng 5 orang
2 Cikatomas 9 orang
3 Cijengkol 10 orang
4 Lebak Tipar 3 orang
31
5 Pasir Bungur 7 orang
6 Cibareno 2 orang
7 Cikamunding 6 orang
8 Giri Mukti 11 orang
9 Cirendeu 8 orang
10 Gunung Batu 3 orang
Jumlah 64 orang
Sumber: Kantor Desa Desa Cikatomas Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak
Provinsi Banten
Tabel 3.2 Luas Wilayah Menurut Penggunaan
Luas pemukiman 540 ha/m2
Luas persawahan 330 ha/m2
Luas perkebunan 600 ha/m2
Luas kuburan 8 ha/m2
Luas pekarangan 62 ha/m2
Luas taman -Ha/m2
Perkanton 0,60 ha/m2
Luas prasarana umum lainnya 065 ha/m2
Total luas 1541,25 ha/m2
Tanah lawah
sawah irigasi teknis 200 ha/m2
Sawah irigasi ½ teknis 50 ha/m2
Sawah tadah hujan -ha/m2
Sawah pasang surut -ha/m2
Total luas 936,8 ha/m2
Tanah kering
Tegal/ladang 651 ha/m2
Pemukiman 30 ha/m2
Pekarangan 6,80 ha/m2
32
Total luas 936,8 ha/m2
Tanah perkebunan
Tanah perkebunan rakyat 500 ha/m2
Tanah perkebunan Negara -ha/m2
Tanah perkebunan swasta -ha/m2
Tanah perkebunan perorangan 20,5 ha/m2
Total luas 520,5 ha/m2
Tanah fasilitas umum
Kas/Desa/Desa 0,30 ha/m2
a. Tanah bangkok -ha/m2
b. Tanah titi sara -ha/m2
c. Kebun desa -ha/m2
d. Sawah desa -ha/m2
lapangan olahraga 1,374 ha/m2
perkantoran pemerintah 1,4714 ha/m2
Ruang publik/taman kota -ha/m2
Tempat pemakaman desa/umum 4,5 ha/m2
Bangunan sekolah/perguruan
tinggi
400 ha/m2
Pertokoan -ha/m2
Fasilitas pasar 1 ha/m2
Terminal -ha/m2
Jalan 10.000 ha/m2
Daerah tangkapan air -ha/m2
Usaha perikanan -ha/m2
Sutet/aliran listrik tegangan tinggi -ha/m2
Total luas 10.900 ha/m2
Tanah Hutan
33
Hutan lindung -ha/m2
Hutan produksi
a. Hutan produksi tetap -ha/m2
b. Hutan terbatas 300 ha/m2
Total luas 300 ha/m2
Sumber: Kantor Desa Desa Cikatomas Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak
Provinsi Banten
Tabel 3.3 Iklim
Curah hujan 1.000/4.500 mm
Jumlah bulan hujan 7 bulan
Kelembapan Sedang
Suhu rata-rata harian 18-35 derajat celcius
Tinggi tempat permukaan laut 500-600
Sumber: Kantor Desa Desa Cikatomas Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak
Provinsi Banten
Tabel 3.4 Jenis dan Kesuburan Tanah
Warna tanah (sebagian besar) Merah
Tekstur tanah Lampungan
Tingkat kemiringan tanah 30 derajat
Lahan kritis 5.000 ha/m2
Lahan terlantar -ha/m2
Tingkat erosi tanah
Luas tanah erosi ringan 200 ha/m2
Luas tanah erosi sedang -ha/m2
Luas tanah erosi berat 500 ha/m2
Luas tanah yang tidak ada erosi 700/m2
Sumber: Kantor Desa Desa Cikatomas Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak
Provinsi Banten.
34
B. Struktur Masyarakat Desa Cikatomas
Perkembangan kependudukan Desa Cikatomas tahun 2016 berjumlah 4.444
dan pada tahun 2017 adalah 4.436 orang, penduduk perempuan mencapai 2.141
orang dan penduduk laki-laki mencapai 2.295 orang, mayoritas penduduk
menganut agama Islam dengan jumlah perempuan mencapai 2.141 orang dan
penduduk laki-laki mencapai 2.2950 orang, dengan jumlah kartu keluarga 1.366
KK dengan kepadatan penduduk 6,5 per km. Etnis penduduk desa Cikatomas
adalah suku sunda, adat istiadat di desa cikatomas yang masih aktif adalah adat
istiadat dalam perkawinan, dan adat istiadat yang pernah ada yaitu: adat istiadat
dalam kelahiran anak, adat istiadat dalam pengelolaan hutan, adat istiadat dalam
tanah pertanian, adat istiadat dalam menjauhkan bala penyakit dan bencana alam,
adat istiadat dalam memulihkan hubungan antara alam semesta dengan manusia dan
lingkungannya, adat istiadat dalam penanggulangan kemiskinan bagi keluarga tidak
mampu/ fakir miskin/ terlantar.
Mayoritas penduduk laki- laki tamat SD/sederajat mencapai 780 orang, tamat
SMP 398 orang, tamat SMA 199 orang, tamat S1/sederajat 21 orang, tamat
S2/sederajat 2 orang dan mayoritas penduduk perempuan tamat SD/sederajat
mencapai 796 orang, tamat SMP 380 orang, tamat SMA 198 orang, tamat
S1/sederajat 14 orang, tamat S2/sederajat 1 orang. Sebagian besar penduduk
masyarakat Cikatomas berpropesi sebagai petani dan buruh tani PNS 16 orang laki-
laki dan 9 orang perempuan, pedagang keliling 8 orang laki-laki dan 5 orang
perempuan, montir 1 orang laki-laki, bidan swasta 2 orang perempuan, perawat
swasta 1 orang, pembantu rumah tangga 8 orang, pensiun 6 orang laki-laki dan 4
orang perempuan, pengusaha kecil dan menengah 25 orang laki-laki dan 15 orang
perempuan, dosen swasta 2 orang laki-laki, arsitektur 2 orang laki-laki dan 1 orang
perempuan, suku kampung terlatih 2 orang perempuan, seniman/artis 1 orang
perempuan, karyawan perusahaaan swasta 5 orang laki-laki.
Luas wilayah desa Cikatomas sangat luas, banyak lahan disekitar pekarangan
tidak dimanfaatkan, banyak lahan tidur milik masyarakat tidak dimanfaatkan,
jumlah petani pada musim gagal tanam/ panen yang pasrah dan tidak mencari
pekerjaan lain dan banyak penduduk yang mencari pekerjaan di kota besar lainnya.
35
Peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pelestarian hasil
pembangunan masyarakat turut berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan
fisik di desa dan Desa, juga penduduk yang terlibat dalam pelaksaan proyek padat
karya oleh pengelola proyek yang ditunjuk pemerintah desa/Desa atau
kabupatenn/kota dan adanya gotong royong dalam menolong keluarga tidak mampu
dan fakir miskin di desa dan Desa.
Adapun kondisi sosial budaya masyarakat Cikatomas meliputi:
1. Pendidikan
2. Mata pencaharian
3. Kualitas keagamaan
Pembagian wilayah administrasi dan bidang pemerintahan Desa cikatomas
menjadi 13 Kampung 13 RT 19 RW dipimpin oleh seorang Kepala Desa dan
sekretaris.
Untuk mempermudah melihat fasilitas umum sarana lembaga
kemasyarakatan yang ada di Desa Cikatomas antara yaitu sarana peribadatan,
sarana olahraga, sarana kesehatan, saran pendidikan, ptasarana energi dan
penerangan, prasaran dan sarana kebersihan dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 3.5 Sarana Peribadatan
Sarana Jumlah
Masjid 14 buah
Mushola 11 buah
Gereja kristen protestan -buah
Gereja katholik -buah
Wihara -buah
Pura -buah
Klenteng -buah
Sumber: Kantor Desa Desa Cikatomas Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak
Provinsi Banten
Tabel 3.6 Sarana Pendidikan
Sarana Jumlah
Gedung SMA/sederajat 1 buah
36
Gedung SMP/sederajat 1 buah
Gedung SD/sederajat 4 buah
Gedung TK 2 buah
Gedung Tempat Bermain Anak 3 buah
Jumlah Lembaga Pendidikan Agama 5 buah
Jumlah Perpustakaan Keliling 1 buah
Perpustakaan desa/Desa 1 buah
Taman baca 4 buah
Sumber: Kantor Desa Desa Cikatomas Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak
Provinsi Banten
Tabel 3.7 Mata Pencaharian
Jenis pekerjaan Laki-laki Perempuan
Petani 299 orang 51 orang
Buruh tani 300 orang 49 orang
Pegawai Negri Sipil 16 orang 9 orang
Pedagang keliling 8 orang 5 orang
Montir 1 orang -orang
Bidan swasta -orang 2 orang
Perawat swasta -orang 1 orang
Pembantu rumah tangga -orang 8 orang
Pensiun PNS 6 orang 4 orang
Pengusaha kecil dan menengah 25 orang 15 orang
Dukun kampung terlatih -orang 2 orang
Dosen swasta 2 orang -orang
Arsitektur 2 orang -orang
Seniman/artis -orang 1 orang
Karyawan perusahaan swasta 5 orang -orang
Sumber: Kantor Desa Desa Cikatomas Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak
Provinsi Banten
37
C. Praktik Ngukut Anak di Desa Cikatomas
Di daerah Banten dikenal dengan pengangkatan anak, hanya tidak
dikecamatan Malingping (Kabupatrn Lebak) istilahnya bermacam-macam:
umpanyanya di desa Cisimeut (kecamatan Leuwidamar), kecamatan Bayah, desa
Guradog (Kecamatan Maja), kecamatan Bajangmanik, kecamatan Muncang adalah
“anak pulung” atau “anak kukut” dan dikecamatan kasemen, Pontang dan Keramat
Watu (Kabupaten Serang) disebut “anak pupun” disamping itu dikenal pula Istilah
“anak pungut” yang tidak ada bedanya dengan istilah “anak pulung”.1
Di desa Cikatomas tidak ada suatu upacara tertentu yang harus dilakukan
dalam proses ngukut anak karena pada umumnya orang ngukut anak dari keluarga
terdekat dan juga anak orang lain. Tidak ada ketentuan khusus harus ngukut anak
laki-laki, sebab di desa Cikatomas ada juga yang ngukut anak perempuan. Tidak
ada ketentuan jumlah banyaknya seseorang ngukut anak itu tergantung kemampuan
dan kesediaan orang tua angkat.
Masyarakat di desa Cikatomas memiliki rasa kekeluargaan yang satu dengan
yang lainnya sangat erat, sehingga dalam hal pengangkatan anak mereka tak pernah
membeda-bedakan anak angkat dengan anak kandung bagi mereka anak angkat
sama derajatnya dengan anak kandung dalam hal pengurusan anak. Sikap mereka
terhadap perwalian anak angkat kalau anak tersebut tidak diketahui asal-usul
keluarganya maka ayah angkat sah untuk menjadi wali nikah. Akan tetapi kalau
anak tersebut diketahui asal-muasal darimana maka yang sah menikahkan anak
tersebut adalah wali nasab akan tetapi kalau wali nisab tidak ada baru jalan terakhir
memakai wali hakim, untuk kewarisan anak angkat di sesuaikan dengan ekonomi
keluarga itu sendiri. Yang pasti mereka khususnya masyarakat Cikatomas selalu
bertanya pada orang yang mengerti tentang hukum contohnya bertanya ke Ustadz-
Ustadz yang lebih paham tentang hal mawaris agar mereka tidak berbuat tidak adil,
jadi anak angkat itu menrima haknya dengan semestinya.2
Secara prosedur pengangkatan anak yang bisa dilakukan itu diadakan
semacam permohonan dari instansi kalangan bawah misal RT RW Desa kecamatan
1Bastian tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat di Kemudian
Hari, cet. II (Jakarta: Rajawali,1989), h. 58. 2Imas Nur Latifah, Interview Pribadi, Cikatomas, 11 Mei 2018.
38
kabupaten bahkan yang lebih tinggi lagi seperti langsung kepada instansi sosial
yang berhak menangani masalah ini dan meliputi persyaratan diantaranya:
a. Surat pernyataan anak dari orang tua/wali kepada instansi terkait
b. Surat pernyataan dari instansi kepada orang tua angkat
c. Surat keterangan persetujuan pengangktan anak dari keluarga suami istri
calon orang tua angkat
d. Surat kena lahir yang diterbitkan oleh desa untuk calon orang tua angkat
e. Surat nikah calon orang tua angkat
f. Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari dokter
g. Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan dokter yang
menangani bidang tersebut
h. Surat keterangan pengkasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja3
Menurut Hasballah Thaib ada beberapa alasan seseorang untuk melakukan
pengangkatan anak diantaranya:
a. Untuk menghikangkan rasa kesunyian diri atau kehidupan keluarga dalam
suatu rumah tangga yang telah dibina bertahun-tahun tanpa kehadiran
seorang anak.
b. Untuk melanjutkan garis keturunan terutama sekali bangsa yang menganut
sistem pengabdian kepada leluhur (vor ouder verering)
c. Karena niat baik untuk memeligara dan mendidik anak anak yang terlantar
menderita, miskin, dan sebagainya, dalam hal ini dengan tidak
memutuskan hubungan biologi dengan orang tua kandungnya.
d. Untuk mencari tenaga kerja atau membantu dalam melaksanakan
pekerjaan rutin yang bersifat ekstern maupun intern.
e. Untuk mencapai dan mencari tempat bergantung hidup dihari tua kelak.
f. Untuk memberikan kepuasa bathiniah bagi keluarga yang sangat
membutuhkan kehadiran seorang anak dari kehidupan rumah tangga dan
seluruh keluarganya.4
3Jalaludin, Interview Pribadi, Cikatomas, 9 Mei 2018. 4M. Hasballah Thaib, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqh Islam, (Jakarta: Fakultas
Tarbiyah Universitas Darmawangsa, 1995), h.109.
39
Dari lima (5) informan yang diwawancarai pengangkatan yang dilakukan
yang sesuai dengan kacamata agama ialah pasangan suami istri bapak Suwirta dan
ibu Suwarsih maksud dari kacamata agama ini ialah mereka mengangkat anak
hanya seorang anak laki-laki, tidak memutus hubungan nasab dengan orang tua
kandungnya bahkan bersama-sama mengurus anak demi kesejahteraan hidup si
anak sama seperti pengangktan anak yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yaitu
anak angkat tidak sama dengan anak kandung.
Empat (4) keluarga lain yaitu yaitu keluarga ibu Anah, Ibu Mursih, Ibu
Rodiah, dan Ibu Emah pengangkatan anak yang dilakukannya mengikuti kebiasaan
kebiasaan latar belakang daerah yaitu kebutuhan akan memiliki anak sehingga ia
mengangkat anak dengan mancing anak, menurut kebiasaan adat Sunda mancing
anak itu yaitu mengangkat anak orang lain atau dari kerabat dekat dengan tujuan
agar ia dapat memperoleh anak contohnya wawancara dengan bu Emah ia telah
menikah bertahun-tahun dengan suaminya namun tak kunjung mempunyai anak
sehingga ia memutuskan untuk mancing anak yaitu dengan mengangkat anak orang
lain dirawat dibesarkan, di khitankan, di sekolahkan dan sampai anak angkatnya
menikah sampai suaminya meninggal dan anak angkatnya memperoleh waris dari
harta peninggalan suaminya. Kemudian ibu Mursih dikarenakan suaminya mandul
ia mengangkat anak berjenis kelamin perempuan, ia merawat anak angkatnya dari
masih baru lahir, dibesarkan selayaknya anak kandung, dikhitankan, disekolahkan
dan sampai anak perempuannya menikah.
40
BAB 1V
ANALISIS KEDUDUKAN DAN KESESUAIAN NGUKUT ANAK DI DESA
CIKATOMAS, CILOGRANG, LEBAK
A. Kedudukan Anak Angkat pada Masyarakat Cikatomas
Pengangkatan anak pada masyarakat Cikatomas berdasarkan hasil
wawancara dengan keluarga yang mengangkat anak, bahwa yang melatar belakangi
mereka mengangkat anak karena faktor biologis, kekeluargaan dan penelantaran
anak. Masyarakat Cikatomas menganggap bahwa ngukut anak bisa sebagai
pancingan agar segera memiliki anak. Sebagaimana data yang diperoleh oleh
penulis data wawancara kepada masyarakat Cikatomas, bahwa faktor-faktor ngukut
anak adalah sebagai berikut:
a. Faktor biologis yaitu dikarenakan kemandulan dan sudah bertahun tahun
menikah namun tak kunjung mempunyai anak sehingga pasangan tersebut
ingin ngukut anak.1
b. Faktor kekeluargaan yang dimaksudkan adalah mengangkat anak dari
kerabat dekat dikarenakan orang tua kandung sudah tak sanggup
membiayai anaknya sehingga orang tua kandung rela anaknya
dipulungkan atau di adopsi oleh orang lain.2
c. Faktor penelantaran anak dikarenakan orang Ibu kandung anak angkat itu
meninggal sehingga anaknya terlantar tidak ada yang merawat dan
akhirnya di kukut sebagai anak dan diangkat dijadikan anak.3
Keluarga ibu Mursih, ibu Anah dan Ibu Erod keluarga yang mengangkat anak
mengakui anak angkat tercatat dalam akta kelahiran sesuai dengan keluarga orang
tua angkat, menurut pengakuannya pencantuman “bin” nya pun dinasabkan kepada
orang tua angkat, ibu Mursih beranggapan karena orang tua kandungnya telah
menyerahkan pemeliharaan anak kepadanya, hubungan anak angkat dengan orang
tua kandung berjarak bahkan ada yang putus hubungan karena orang tua kandung
1 Mursih, keluarga yang mengadopsi anak, Interview Pribadi, Cikatomas, 6 Mei 2018. 2 Suwarsih, keluarga yang mengadopsi anak, Interview Pribadi, Cikatomas, 6 Mei 2018. 3 Anah, keluarga yang mengadopsi anak, Interview Pribadi, Cikatomas, 5 Mei 2018.
41
tidak pernah menanyakan kabar maupun menjenguk anak-anaknya dan diharapkan
agar orang tua kandung tidak kembali mengambil anak angkatnya.
Namun berbeda dengan keluarga dari bapak suwirta dan keluarga dari ibu
emah bahwa ia mengangkat anak dari kerabat dekatnya hubungan anak angkat
dengan orang tua kandung tidak berjarak, saling mengawasi. Hanya saja tempat
tinggal dan biaya sehari-hari ditanggung orang tua angkat orang. Orang tua angkat
telah menjelaskan pada anak angkatnya setelah dewasa bahwa ia bukanlah anak
kandungnya.
Secara legal pengangkatan anak dilakukan berdasarkan pengadilan agama,
dan secara tidak legal yaitu adopsi yang dilakukan antar orang tua angkat dan orang
tua kandung. Perubahan yang terjadi dari adopsi anak adalah berpindahnya
tanggung jawab pemeliharaan anak angkat dari orang tua kandung kepada orang
tua angkat.
Dalam Islam perbuatan hukum pengangkatan anak tidak berakibat
berubahnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orangtua kandungnya.
Begitu pula dengan hubungan hukumnya dengan orang tua angkatnya hanyalah
sebatas peralihan pemeliharaan, pengasuhan, bantuan pendidikan, pemenuhan
kebutuhan hidup dan lainnya dari orang tua kandung si anak kepada orang tua
angkatnya. Hal ini dilakukan hanya semata-mata untuk kemaslahatan dan kebajikan
si anak.4
Keluarga Ibu Mursih, Ibu Anah, Ibu Emah dan Ibu Rodiah mengakui anak
angkat tercatat dalam akta kelahiran sesuai dengan keluarga orangtua angkat
dengan membuat perjanjian dengan orang tua kandung tidak di depan notaris.
Menurut hemat penulis sebaiknya keluarga yang mengangkat anak harus
membuat permohonan pengangkatan anak di pengadilan agama.
Dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang. Bila akta kelahiran tersebut tidak ada maka pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemerikasaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat atas dasar
ketentuan pengadilan tersebut maka instansi pencatatan kelahiran yang ada dalam
4M. Anshari, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 121.
42
daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
Sedangkan perwalian anak angkat menurut Hilman Hadikusuma memberikan
pendapat bahwa pengangkatan anak dilakukan karena alasan-alasan sebagai
berikut5:
1. Karena tidak mempunyai anak
2. Karena belas kasihan terhadap anak tersebut, disebabkan orangtua si anak
tidak mampu memberikan nafkah kepada anaknya.
3. Karena bekas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak
mempunyai orang tua
4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki. Maka diangkatlah seorang anak
perempuan atau sebaliknya
5. Sebagai pemancing untuk mendapatkan anak kandung
6. Untuk menambah jumlah anggota keluarganya
7. Dengan maksud si anak anak mendapatkan pendidikan yang layak
8. Karena faktor kepercayaan, yakni untuk mengambil berkah atau tuah bagi
orang tua demi untuk kehidupan yang lebih baik.
9. Untuk menyambung keturunan
10. Adanya hubungan keluarga
11. Diharapkan anak angkat dapat menolong di hari tua, dan menyambung
keturunan bagi yang tidak mendapatkan keturunan
12. Adanya rasa kasihan terhadap nasib anak tersebut
13. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan
14. Karena anak kandung sakit maka diangkatlah anak orang lain demi
keselamatan anak kandung tersebut
Perwalian anak angkat kadang tidak jelas, contoh waktu masih masa sekolah
seorang ibu angkat dan bapak angkat yang berperan, begitu juga dalam perwalian
waktu pernikahan. karena seharusnya bila sudah tidak ada wali nasab maka harus
ditangani wali hakim tetapi disini kadang bapak angkat yang mewakilkan.6 Kalau
5Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bhakti 1990), h.
61. 6Idoh Mamdiah, Interview Pribadi, Cikatomas, 9 Mei 2018.
43
menurut secara hukum selain dari ayah kandung atau kerabat dekat tidak dilakukan
perwalian kalupun harus itu langsung secara wali hakim7
Menurut pengakuan keluarga yang mengangkat anak setelah anak angkat
perempuan telah dewasa dan kemudian memutuskan untuk menikah orang tua
angkat telah berusaha mecari orang tua kandungnya, namun orang tua kandungnya
tidak bersedia menjadikan wali dalam pernikahan anaknya sehingga digantikan
oleh orang tua angkatnya atau dengan wali hakim untuk menggantikan wali nasab
tidak dapat menghadiri/ tidak bersedia menjadi wali. Dalam fikih munakahat
tercantum 3 kelompok orang yang berhak menjadi wali, yaitu wali nasab, wali
mu’thiq dan wali hakim.
Menurut kompilasi Hukum Islam wali sedapat-dapatnya diambil dari
keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil,
jujur dan berkelakuan baik.
Di masyarakat Cikatomas tentang waris untuk anak angkat disamakan dengan
anak kandung jadi tidak ada perbedaan, padahal untuk pembagian harta dengan
pembagian harta seharusnya untuk anak angkat bukan dari kewarisan melainkan
dari pemberian yang lainnya, contoh hibah wasiat wajibah.8
Keluarga ibu Emah setelah suaminya meninggal, karena ia tidak mempunyai
anak maka peninggalan harta warisan dari pewaris jatuh pada Ibu Emah dan pada
Andi anak angkatnya.9 Begitu juga dengan keluarga ibu Mursih setelah suaminya
meninggal, maka peninggalan harta warisan dari pewaris jatuh pada Ibu Mursih dan
pada ibu Ayi anak angkatnya.10 Menurut pengakuan Ibu Rodiyah setelah suaminya
meninggal, maka peninggalan harta warisan dari pewaris dibagi rata anak kandung
dengan anak angkatnya.11 Keluarga ibu Anah setelah suaminya meninggal
peninggalan harta warisan dari pewaris dibagi pada ahli waris sedangkan anak
angkat tidak mendapatkan bagian dari warisan.12 Keluarga bapak Suwirta dan Ibu
Suwarsih sudah mengetahui bahwa 1/3 merupakan bagian maksimal untuk anak
7Jalaludin, Sekertaris Desa Cikatomas, Interview Pribadi, Cikatomas, 9 Mei 2018. 8Idoh Mamdiah, Interview Pribadi, Cikatomas, 9 Mei 2018. 9Emah, keluarga yang ngukut anak, Interview Pribadi, Cikatomas, 6 Mei 2018. 10Mursih, keluarga yang ngukut anak, Interview Pribadi, Cikatomas, 6 Mei 2018. 11Rodiah, keluarga yang ngukut anak, Interview Pribadi, Cikatomas, 6 Mei 2018. 12Anah, keluarga yang ngukut anak, Interview Pribadi, Cikatomas, 5 Mei 2018.
44
angkat namun karena bapak suwirta masih hidup jadi anak angkat belum dibagi
waris namun telah diberi hibah.13
Secara hukum anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua
angkatnya tetapi layaknya di desa Cikatomas selalu ada bagian yang diberikan oleh
orang tua angkat dan sama dengan anak kandung.14
Dari Uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kedudukan anak
kukut pada masyarakat Cikatomas memiliki aspek urgensi pada tiga hal:
1. Faktor yang melatar belakangi terjadinya ngukut anak yaitu faktor
biologis, faktor kekeluargaan dan faktor penelantaran anak.
2. Perwalian anak kukut khususnya pada pernikahan anak perempuan pada
masyarakat Cikatomas secara hukum harus ayah kandung, kerabat dekat
tidak dapat menjadi wali, harus dengan wali hakim.
3. Kewarisan anak kukut bahwa anak angkat sering mendapat bagian yang
diberikan oleh orang tua angkat selayaknya anak kandung.
B. Kesesuaian Ngukut Anak di Masyarakat Cikatomas terhadap Hukum
Islam dan Hukum Positif
Ngukut anak merupakan suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
kekuasaan orang tua kandung terhadap orang tua angkat dalam hal pemeliharan.
Adopsi anak yang dilakukan oleh masyarakat Cikatomas berbeda-beda motif ada
yang sesuai dengan hukum Islam ada pula yang menurut tradisi setempat, sehingga
dengan adanya tradisi didalamnya, maka ngukut anak di Cikatomas memiliki ciri
khas dan berimplikasi hukum. Mengadopsi anak dianggap perlu dan menjadi suatu
jalan untuk membantu anak-anak yang terlantar terutama bagi pasangan yang tidak
mempunyai anak.15
Dari lima (5) informan yang diwawancarai hanya 2 keluarga yang
mengangkat anak yang sesuai dengan hukum Islam yaitu bapak Suwirta dan ibu
Anah. Kemudian 3 keluarga yang lain yaitu ibu mursih, ibu Emah dan Ibu Rodiah
mengangkat anak dengan mengikuti kebiasaan-kebiasaan setempat. Maksud dari
kesesuaian hukum islam yaitu tidak memperlakukan anak angkat sebagaimana anak
13Suwarsih, keluarga yang ngukut anak, Interview Pribadi, Cikatomas, 7 Mei 2018. 14Jalaludin, Sekertaris Desa di Cikatomas, Interview Pribadi, Cikatomas, 9 Mei 2018. 15Mursih, keluarga yang ngukut anak, Interview Pribadi, Cikatomas, 6 Mei 2018.
45
kandung contohnya anak angkat tidak menggunakan nama orang tua angkatnya,
anak angkat tidak mendapatkan warisan melainkan anak kukut mendapatkan wasiat
wajibah maksimal 1/3 bagian, kemudian orang tua angkat tidak berhak menjadi
wali dalam pernikahan anak angkat perempuan, dan maksud dari tradisi ngukut
anak menurut kebiasaan-kebiasaan latar belakang daerah contohnya wawancara
dengan ibu Emah yang telah bertahun-tahun tidak memiliki anak menurut
kebiasaan adat Sunda ngukut anak yaitu memelihara atau mengangkat anak dari
kerabat dekat maupun jauh untuk dijadikan sebagai anak guna mancing anak agar
kelak ia dapat mendapatkan momongan, namun yang tidak sesuai dengan hukum
islam yaitu anak angkat menggunakan nama orang tua angkat, memutus hubungan
dengan orang tua kandung dan anak angkat mendapatkan waris.
1. Kesesuaian Ngukut Anak terhadap Hukum Islam
Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orangtua biologis dan keluarga.
b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkatnya
melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian
juga orang tua tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.
c. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya
secara langsung kecuali cuma sebagai tanda pengenal atau alamat.
d. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya.16
Ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak
menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang
anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Berdasarkan prinsip dasar termaksud, maka hukum Islam tidak
melarang memberikan berbagai bentuk bantuan atau jaminan penghidupanoleh
orang tua angkat terhadap anak angkatnya, antara lain berupa:
16M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 59
46
a. Pemberian hibah kepada anak angkat untuk bekal hidupnya di kemudian
hari;
b. Pemberian wasiat kepada anak angkat dengan ketentuan tidak lebih dari
1/3 (sepertiga) harta kekayaan orang tua angkat yang kelak akan
diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak. Ketentuan Pasal 209
Kompilasi Hukum Islam telah mengatur bahwa orang tua angkat yang
tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah dari harta warisan anak
angkatnya, demikian sebaliknya terhadap anak angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah dari harta warisan orang tua
angkatnya.17
Sistem hukum tentang masalah adopsi di Indonesia apabila dikaitkan dengan
proses adopsi anak melalui putusan pengadilan agama masih terjadi ketidak
sinkronan, baik dalam pelaksanaannya maupun akibat hukum atau kedudukan anak
setelah anak di angkat anak oleh orang tua angkat. Dalam pelaksanaannya, sistem
hukum yang berlaku tidak ada pengaturan yang secara khusus mengatur tata cara
pelaksanaan adopsi anak yang dilakukan secara langsung tanpa melalui putusan
pengadilan, hanya dalam hukum adat di daerah masing-masing yang mengatur
tentang pelaksanaan adopsi anak tersebut.
Dalam Hukum Islam lebih tegas dijelaskan, bahwa pengangkatan seorang
anak dengan pengertian menjadikannya anak kandung di dalam segala hal, tidak
dibenarkan. Dalam hal ini terdapat larangan pada status pengangkatan anak yang
menjadi anak kandung sendiri, dengan menempati status yang persis sama dalam
segala hal. Dalam Hukum Islam ada indikasi tidak menerima lembaga adopsi ini,
dalam artian persamaan status anak angkat dengan anak kandung.18
Penetapan nasab mempunyai dampak yang sangat besar terhadap individu,
keluarga dan masyarakat sehingga setiap individu berkewajiban mereflesikannya
dalam masyarakat, dengan demikian diharapkan nasab (asal-usul) nya menjadi
jelas. Disamping itu, dengan ketidakjelasan nasab dikhawatirkan anak terjadi
perkawinan dengan mahram. Untuk itulah Islam mengharamkan untuk
17Jaya C. Manangin “Pengangkatan Anak (Adopsi) Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam”
Lex Privatium, Vol. IV, No. 5 (Juni, 2016), h. 53 18Muhammad Heriawan, “Pengangkatan Anak Secara Langsung dalam Perspektif
Perlindungan Anak” e jurnal katalogis, Vol. 5¸ No. 5, (Mei 2017) h. 177.
47
menisbahkan nasab seseorang kepada orang lain yang bukan ayah kandungnya, dan
sebaliknya.19
Status anak angkat menurut hukum Islam tidak sama dengan anak kandung,
anak angkat dipanggil dengan nama ayah kandung atau orang tua kandungnya.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzâb ayat 4 anak angkat
harus tetap dipanggil dengan ayah kandung.
لرجل من ق لبي ف جوفه وما ج أمههاتكم وما عل أزواجكم الالئي تظاهرون من هنه ما جعل الله ي السهبيل اهكم والله ي قول القه وهو ي هد أدعياءكم أب ناءكم ذلكم ق ولكم بف و جعل
(٤: ٣٣)األحزاب/
Artinya:
“Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan
Dia tidak menjadikan isrti-istri yang kamu dzihar itu sebagai ibumu, dan Dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. Yang
demikian itu hanyalah perkataan dimulut saja, dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukan jalan yang lurus”. (Q.S. Al-Ahzâb/33: 4).
Islam melarang menasabkan anak angkat dengan ayah angkatnya.20
ليس من رجل ادهعى »عن أب ذر رضي الله عنه، أنهه سع النهبه صلهى هللا عليه وسلهم، ي قول: 21«ادهعى ق وما ليس له فيهم، ف لي ت ب وهأ مقعده من النهار إله كفر، ومن -وهو ي علمه -لغي أبيه
Artinya:
Dari Abu Dzar r.a bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW. Bersabda:
“tidak seorangpun mengakui (membanggakan diri) kepada orang yang
bukan bapak yang sebenarnya, sedangkan ia mengetahui benar bahwa
orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barang siapa yang
telah melakukan hal itu maka bukan dari golongan kami (kalangan kaum
muslimin), dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api
neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Akibat hukumnya tidak memutuskan hubungan nasab, selain tidak dapat
menjadi wali nikah bagi anak perempuan dan tidak dapat mengubah hak saling
mewarisi dengan orang tua kandungnya. Penjagaan nasab ini penting, karena bila
19Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, cet. I
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 178. 20 Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h.36. 21 Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ‘îl al-Bukhârî, Sahîh Al-Bukhârî (Beirut: Dâr
ibn Katsîr liṯṯabâ‘ah wa al-Nasyri wa al-Tauzî‘, 2002) nomor hadits 3508, h. 867. Lihat juga Imâm
al-Hâfidz Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyaḏ: Dâr
Ṯayyibah linnasyri wa al-Tauzî‘, 2006), nomor hadits 61/112, h. 47.
48
dilanggar akan berakibat pada rusaknya tatanan kehidupan yang berkaitan dengan
penjagaan nasab (hifẕun nasli) dalam maqâsid syarî’ah.
Demikian pula dalam hubungan mahram anak angkat tetap bukan sebagai
mahram orang tua angkatnya. Dalam hal kewarisan anak angkat bukan sebagai ahli
waris, tetapi anak angkat dapat menerima wasiat yang kemudian dalam kompilasi
hukum Islam diatur bahwa antara anak angkat dengan orangtua angkat atau
sebaliknya terjadi hubungan wasiat wajibah sebagaimana ketentuan pasal 209
Kompilasi Hukum Islam.22
Ketentuan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur bahwa
orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah dari harta
warisan anak angkatnya, demikian sebaliknya terhadap anak angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah dari harta warisan orang tua angkatnya.
Jumlah wasiat wajibah itu maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta warisan.23
Menurut Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal bagian waris untuk anak
angkat atau sebaliknya orang tua angkat mendapatkan waris dari harta anak angkat,
bagian waris untuk anak angkat yang sesuai dengan hukum islam adalah dikenal
dengan bagian wasiat wajibah, menurut KHI pasal 209 baik ayat (1) dan (2)
menyebutkan bahwa orang tua atau anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta orang tua atau anak angkat.
Menurut hemat penulis seharusnya bagi masyarakat Cikatomas dalam ngukut
anak harus memperhatikan ketentuan-ketentuan ngukut anak sebagaimana yang
dijelaskan diatas bahwa tidak memperlakukan anak angkat sebagaimana anak
kandung dalam hal tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandung,
anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkatnya dan tidak
boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung. Yang menjadi
catatan penting bahwa dalam hal ngukut anak, pengangkatan anak dibolehkan asal
tidak bertentangan dengan nash Al-Quran dan Al-hadits.
22Mustofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, cet. I (Jakarta: Kencana,
2008), h. 22. 23Mustofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 145.
49
2. Kesesuaian Ngukut Anak terhadap Hukum Positif
Ngukut anak atau dalam bahasa Indonesia adalah pengangkatan anak yang
dilakukan oleh sepasang suami istri dengan tujuan agar ia dapat memperoleh anak
dan diperlakukan sebagaimana anak kandung yang dilakukan oleh masyarakat
Cikatomas.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 dijelaskan bahwasanya:
Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan anak angkat adalah
anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan agama.
Pengangkatan anak atau anak angkat adalah anak yang kekuasaan haknya
dialihkan dari kekuasaan keluarga orang tua kandung, wali yang sah, yang
bertanggung jawab atas perwatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut,
kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan. Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk
merawat, mendidik dan membesarkan anak angkat berdasarkan ketentuan
perundang-undangan dan berdasarkan ketentuan hukum adat.
Pengangkatan anak bertujuan untuk merawat mendidik dan membesarkan
anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan terhadap
anak dengan dilakasanakan menurut kebiasaan adat setempat atau menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Calon orang tua angkat harus
seagama dengan anak angkat. Namun jika asal usul anak angkat tidak diketahui
kejelasannya maka agama anak angkat disamakan dengan agama mayoritas
penduduk setempat. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan anak angkat
dengan orang tua kandungnya.
Pengangkatan anak merupakan peristiwa penting untuk dicatat dalam register
pencatatan sipil. Pencatatan pengangkatan anak diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pengaturan ini terdapat pada bagian kedelapan, yaitu mengenai Pencatatan
Pengangkatan Anak, Pengakuan Anak dan Pengesahan Anak. Adapun mengenai
Pengangkatan Anak diatur sebagai berikut:
50
1. Pencatatan Pengangkatan Anak di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia diatur dalam Pasal 47 sebagai berikut:
a) Pencatatan pengangkatan anak dilaksanakan berdasarkan penetapan
pengadilan di tempat tinggal pemohon.
b) Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pasa ayat (1)
wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi pelaksana yang
menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran paling lambat 30 (tiga puluh hari)
hari setelah diterimanya salinan penetapan pengadilan oleh penduduk.
c) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), pejabat
pencatatan sipil membuat catatan pinggir pada Register Akta Kelahiran
dan Kutipan Akta Kelahiran.
Pada Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa pengangkatan anak hanya dapat
dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan
hukum adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan telah
mengalami kemajuan dibandingkan keberadaan pengangkatan anak sebelumnya.
Ketentuan pengangkatan anak tidak mengenal diskriminasi laki-laki atau
perempuan bagi calon orang tua angkat maupun calon anak angkat. Pengaturan
lembaga pengangkatan anak merupakan upaya agar setiap anak mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,
baik fisik, mental maupun sosial, dan berahlak mulia. Ada beberapa hal penting
mengenai pengaturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan yang patut
diketengahkan yaitu:
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pengngkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dan orang tua kandungnya.
3. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat. Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama
anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
51
4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
5. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya dengan memerhatikan
kesiapan anak yang bersangkutan.
6. Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
tergadap pelaksanaan pengangkatan anak.24
Perwalian terhadap anak angkat dapat dikaji dari aspek definisi anak angkat
sebagaimana diatur Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa “anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut
kedalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan”
Bertitik tolak dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa perwalian terhadap
anak angkat telah beralih dari orang tua kandungnya kepada orang tua angkatnya.
Jadi orang tua angkat memiliki hak dan bertanggung jawab terhadap perwalian anak
angkatnya, termasuk perwalian terhadap harta kekayaan. Oleh karena itu apabila
anak angkat telah dewasa, maka orang tua nagkatnya wajib memberikan
pertanggung jawaban atas pengelolaan harta kekayaan anak angkat tersebut.25
Pasal 33 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak
menyatakan bahwa:
1. Dalam hal orang tua dan keluarga anak tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 26,
seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk
sebagai wali dari anak yang bersangkutan
2. Untuk menjadi wali dari anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalu penetapan pengadilan
3. Wali yang ditunjuk sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus
memiliki kesamaan dengan agama yang dianut anak.
24 Mustofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 17-18. 25Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 224.
52
4. Wali sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab
terhadap diri anak dan wajib mengelola harta milik anak yang
bersangkutan untuk terbaik bagi anak.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Dari pemaparan menurut peraturan pemerintah Nomor 54 tahun 2007 dan
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 penulis berkesimpulan bahwa
pengangkatan anak di Indonesia adalah sah hukumnya dan telah diatur dalam
Undang-Undang.
Menurut hemat penulis seharusnya bagi masyarakat Cikatomas dalam
mengangkat anak harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku yaitu sesuai dengan tata cara pengangkatan anak yang diatur dalam
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak yang didukung
oleh Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007. Sebagai warga negara yang baik agar
terciptanya ketertiban hukum dan anak yang di angkat sah dimata hukum maka
pengangkatan anak dilakukan harus sesuai dengan prosedur peraturan yang berlaku.
53
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan:
1. Ngukut anak tujuannya memperlakukan anak dalam segi kecintaan dan kasih
sayang, pemberian nafkah, pendidikan dan memperlakukan anak angkat
selayaknya anak kandung.
2. Adapun berdasarkan data hasil penelitan yang diperoleh maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa ngukut anak di Cikatomas memiliki aspek urgensi dalam
tiga hal yaitu faktor yang melatar belakangi terjadinya ngukut anak, kedudukan
anak angkat, kesesuaian terhadap hukum Islam dan hukum positif.
Faktor yang melatar belakangi terjadinya ngukut anak ada tiga faktor
Pertama, faktor biologis dikarenakan orang tua angkat sudah bertahun-tahun
tidak memiliki anak (mandul) namun menginginkan memiliki anak, atau di sebut
juga dengan mancing anak. Kedua, faktor kekeluargaan yaitu memelihara atau
mengangkat anak dari kerabat dekaht untuk membantu orang tua kandung anak
itu dalam pendidikan dan kehidupan anaknya. Adapula mengangkat anak karena
anaknya yang ada hanyalah perempuan saja sedang ia menginginkan anak laki-
laki dalam hal demikian orang mengukut anak. Ketiga, faktor penelantaran anak
dikarenakan orang tua kandung anak angkat itu meninggal sehingga anaknya
terlantar tidak ada yang merawat dan akhirnya di urus sebagai anak dan diangkat
dijadikan anak. Adakalanya seseorang sudah mempunyai anak namun masih
mau ngukut anak orang lain dengan alasan karena kasih sayang terhadap anak
terlantar namun diperlakukan selayaknya anak kandung. Perwalian anak angkat
khususnya pada pernikahan anak perempuan pada masyarakat Cikatomas secara
hukum harus ayah kandung, kerabat dekat tidak dapat menjadi wali, harus
dengan wali hakim.
Adapun mengenai kewarisan anak angkat bahwa anak angkat sering
mendapat bagian yang diberikan oleh orang tua angkat selayaknya anak
kandung.
54
3. Kesesuaian menurut hukum Islam dan hukum positif Ngukut anak merupakan
suatu perbuatan hukum yang mengalihkan kekuasaan orang tua kandung
terhadap orang tua angkat dalam hal pemeliharan. Ngukut anak yang dilakukan
oleh masyarakat Cikatomas berbeda-beda motif ada yang sesuai denga hukum
Islam ada pula yang menurut adat kebiasaan setempat.
Kesesuaian hukum Islam yaitu: sebagian masyarakat Cikatomas yang
Ngukut anak tidak memperlakukan anak angkat sebagaimana anak kandung,
contohnya anak angkat tidak menggunakan nama-nama orang tua angkatnya,
anak angkat tidak mendapatkan warisan melainkan anak angkat mendapatkan
wasiat wajibah maksimal 1/3 bagian, kemudian orang tua angkat tidak berhak
menjadi wali dalam pernikahan anak angkat perempuan. Namun yang tidak
sesuai dengan hukum islam yaitu anak angkat menggunakan nama orang tua
angkat, memutus hubungan dengan orang tua kandung dan anak angkat
mendapatkan waris.
Adapun kesesuian ngukut anak dengan hukum positif terlihat pada
pengangkatan anak yang bertujuan untuk merawat, mendidik dan membesarkan
anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak
dengan dilakasanakan menurut kebiasaan adat setempat atau menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, selain calon orang tua angkat harus seagama
dengan anak angkat. Adapun ketidaksesuaian dengan hukum positif yaitu
pengangkatan anak yang dilakukan masyarakat Cikatomas tidak berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan agama sehingga tidak memiliki landasan
hukumnya yang jelas.
B. Saran-Saran
1. Bagi masyarakat Cikatomas yang hendak melakukan pengangkatan anak
harusnya mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai
dengan hukum Islam serta tidak memutus hubungan anak angkat dengan orang
tua kandungnya.
2. Hendaknya pemerintah melakukan sosialisasi melalui perangkat desa tentang
pengangkatan, anak agar masyarakat yang hendak melakukan pengangkatan
55
anak dapat mengajukan permohonan yang sah kepada pengadilan agama supaya
mendapat perlindungan hukum khususnya mengenai kejelasan perwalian.
3. Kepada akademisi tokoh agama dan mahasiswa jurusan Hukum Islam
khususnya mampu mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai
pengangkatan anak.
56
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya, Depag RI
Alam, Andi Syamsu dan M Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
Jakarta: Kencana, 2008
Anshari, M. Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015
al-Bukhârî, Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ‘îl. Sahîh Al-Bukhârî. Beirut:
Dâr ibn Katsîr liṯṯabâ‘ah wa al-Nasyri wa al-Tauzî‘, 2002
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bhakti
1990
Hanbal, Ahmad ibn. Musnad al-Imâm al-Hâfiẕ Abî ‘Abdillâh Ahmad ibn Hanbal.
Riyadh: Baît al-Afkâr al-Dauliyyah linnasyri wa al-Tauzî‘, 1998
Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2011
Mardani, Hadis Ahkam, Jakarta: Rajawali pers, 2012
Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta: kencana,
2008
al-Naisâbûrî, Imâm al-Hâfidz Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî.
Sahîh Muslim. Riyaḏ: Dâr Ṯayyibah linnasyri wa al-Tauzî‘, 2006
Rofik, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali pers, 2013
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,
cet.II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004
Tafal, B Bastian, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat
Hukumnya Dikemudian Hari, cet II. Jakarta: Rajawali, 1989
Al-Tirmidzî, Abî ‘Îsâ Muhammad ibn ‘Îsâ ibn Sûrah. Jâmi‘ al-Tirmidzî. Riyadh:
Baît al-Afkâr al-Dauliyyah, t.tahun Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan prospek doktrin Islam dan Adat
dalam Masyarakat Matrilineal Minang Kabau, Jakarta: Rajawali Pers,
2011
Thaib, M. Hasballah, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqh Islam, Jakarta:
Fakultas Tarbiyah Universitas Darmawangsa, 1995
Zaini, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, cet. IV. Jakarta:
Sinar Grafika
Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 209 Kompilasi hukum Islam
Pada pasal 171 Kompilasi hukum Islam
57
Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak
Jurnal Ilmiah
Faraz, Haedah, “Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam”. Jurnal Dinamika
Hukum, Vol. 9, No.2, (2009)
Heriawan, Muhammad, “Pengangkatan Anak Secara Langsung dalam Perspektif
Perlindungan Anak”. E-jurnal katalogis, Vol. 5, No.5, (2017)
Hidayah, Fransisca Ismi, “Diskursus Hukum Islam di Indonesia Tentang Perwalian
Perkawinan Anak Angkat”.Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 1,
(2014)
Mutasir, “Dampak Hukum Pengangkatan Anak pada Masyarakat Desa Terantang
Kec. Tambang Kabupaten Kampar ditinjau dari Hukum Islam”. Jurnal An-
Nida, Vol.41, No. 2,(2007)
Manangin, Jaya C. “Pengangkatan Anak (Adopsi) Ditinjau dari Perspektif Hukum
Islam”. Jurnal Lex Priva Junitium, Vol.IV, No. 5, (2016)
Suharto, “Hak Waris Anak Angkat Menurut Hukum Islam di Indonesia”. Jurnal
Studi Hukum Islam, Vol. 1, No.2, (2014).
Skripsi
Khairuzzadhi, Fadly,"Pengangkonan dalam Pernikahan Beda Suku pada
Mayarakat Lampung Pepadun Studi di Kecamatan Padang Ratu
Kabupaten Lampung Tengah.” Skripsi S1 Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016.
Mahfiyah, Hikmatul, “Pewarisan Terhadap Anak Angkat Sebagai Ahli Waris
Tunggal Menurut Hukum Adat Jaw.” Skripsi Kementrian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Universitas Jember, 2016.
Wawancara
Interview Pribadi dengan Anah, keluarga yang ngukut anak, Cikatomas, 5 Mei
2018.
Interview Pribadi dengan Mursih, keluarga yang ngukut anak, Cikatomas, 6 Mei
2018.
Interview Pribadi dengan Rodiah, keluarga yang ngukut anak, Cikatomas, 6 Mei
2018.
Interview Pribadi dengan Emah, keluarga yang ngukut anak, Cikatomas, 6 Mei
2018.
58
Interview Pribadi dengan Suwarsih, keluarga yang ngukut anak, Cikatomas, 7 Mei
2018.
Interview Pribadi dengan Jalaludin, Sekertaris Desa di Cikatomas, 9 Mei 2018.
Interview Pribadi dengan Idoh Mamdiah, Cikatomas, 9 Mei 2018.
Interview Pribadi dengan Imas Nur Latifah, Cikatomas, 11 Mei 2018.
LAMPIRAN
Gambar 1 : Foto dengan Sekretaris Desa Cikatomas, Bapak Jalaludin, S.Pd.I
Gambar 2 : Foto dengan Ibu Anah (keluarga yang ngukut anak)
LAMPIRAN DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 3: Foto dengan Ibu Mursih (keluarga yang ngukut anak)
Gambar 4: Foto dengan Ibu Emah (keluarga yang ngukut anak)
Gambar 5 : Foto dengan Ibu Rodiah (keluarga yang ngukut anak)
Gambar 6 : Foto dengan Ibu Suwarsih (keluarga yang ngukut anak)