diagnosis penyebab mati meranggas pala di aceh...

61
LAPORAN AKHIR TAHUN PENELITIAN DISERTASI DOKTOR DIAGNOSIS PENYEBAB MATI MERANGGAS PALA DI ACEH SELATAN Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun Ir. Susanna, M.Si. 0030116801 Dibiayai oleh: Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Sesuai dengan Kontrak Penelitian Nomor: 105/SP2H/LT/DPRM/IV/2017 tanggal 3 April 2017 UNIVERSITAS SYIAH KUALA OKTOBER 2017

Upload: tranthu

Post on 08-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN AKHIR TAHUN

PENELITIAN DISERTASI DOKTOR

DIAGNOSIS PENYEBAB MATI MERANGGAS PALA

DI ACEH SELATAN

Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun

Ir. Susanna, M.Si. 0030116801

Dibiayai oleh:

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat

Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

Sesuai dengan Kontrak Penelitian

Nomor: 105/SP2H/LT/DPRM/IV/2017 tanggal 3 April 2017

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

OKTOBER 2017

ii

RINGKASAN

Mati meranggas tanaman pala di Aceh Selatan telah memusnahkan ribuan hektar

perkebunan rakyat selama 15 tahun terakhir. Penyakit tersebut menyerang dan

menimbulkan kematian baik pada tanaman tua, muda, maupun pembibitan. Sampai saat

ini penyebab penyakit tersebut masih diperdebatkan dan kajian ataupun publikasi tentang

penyebabnya belum ada. Pengelolaan penyakit yang baik harus dibekali dengan

pengetahuan tentang patogen penyebab, begitu juga pada kasus mati meranggas pada

tanaman pala yang terdapat di Aceh Selatan. Penelitian bertujuan untuk membuktikan

penyebab penyakit mati meranggas tanaman pala di Aceh Selatan. Identifikasi patogen

dilakukan berdasarkan gejala tanaman terserang di lapangan dan yang muncul dari hasil

uji Postulat Koch berikut hasil pengamatan makro dan mikroskopik isolat yang berasal

dari berbagai bagian tanaman pala yang terserang serta analisa tanah. Selain itu juga

dilakukan analisa molekuler biakan murni patogen. Bagian-bagian tanaman terserang

berikut tanah diambil dari beberapa lokasi penanaman pala di Aceh Selatan. Postulat

Koch dilakukan dengan menggunakan miselia biakan murni patogen. Penularan pada uji

postulat Koch dilakukan dengan cara menempelkan miselia pada bibit pala yang berumur

satu tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat genus cendawan patogen

(Botryodiplodia theobromae, Fusarium solani, Graphium euwallaceae., and Rigidoporus

microporus) dari enam cendawan yang berasosiasi dengan penyakit mati meranggas

sebagai penyebab penyakit. Namun, B. theobromae merupakan cendawan dominan yang

berasosiasi dengan penyakit mati meranggas pada tanaman pala di Aceh Selatan. Luaran

penelitian yang menjadi target adalah draf disertasi yang disetujui dan publikasi ilmiah

dalam jurnal internasional bereputasi tentang patogen penyebab penyakit mati meranggas

pada tanaman pala di Aceh Selatan.

iii

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah Subhanahuwata’ala,

karena dengan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Penelitian Disertasi Doktor dan

penulisannya yang berjudul “Diagnosis Penyebab Mati Meranggas Pala di Aceh Selatan”.

Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari disertasi penulis selama mengikuti

program doktoral (S3) di Institut Pertanian Bogor.

Selama melakukan penelitian banyak halangan dan rintangan yang penulis hadapi,

namun dengan kesabaran, kesungguhan dan keiklasan, akhirnya semua rintangan tersebut

dapat teratasi. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

Rektor Universitas Syiah Kuala dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala

yang telah member izin penulis untuk mengikuti program doktor (S3), Lembaga

Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Syiah Kuala yang telah memberi

kesempatan penulis melakukan Penelitian Disertasi Doktor pada Tahun 2017, Direktorat

Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan

Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah

membiayai penelitian disertasi doktor ini.

Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Staf

Pengajar pada Prodi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Unsyiah beserta tenaga

administrasi yang telah memberikan dukungan kepada penulis, Staf Pengajar Podi

Fitopatologi Departemen Proteksi Tanaman Institute Pertanian Bogor, Staf/Karyawan

Laboratorium Perlindungan Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bogor

yang telah memberikan fasilitas laboratorium, dan teman-teman seperjuangan sebagai

anggota Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Institut

Pertanian Bogor yang telah membantu dan mendukung penulis selama penelitian sampai

penulisan laporan.

Akhir kata semoga hasil penelitian yang tertuang dalam laporan Penelitian

Disertasi Doktor ini dapat bermanfaat bagi pencinta ilmu pengetahuan terutama bagi

pemerintah dan masyarakat Aceh selatan yang sedang mengalami permasalahan dalam

bidang penyakit tanaman pala.

Banda Aceh, Okrober 2017

Penulis

iv

DAFTAR ISI

RINGKASAN ii

PRAKATA iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN v

BAB 1 PENDAHULUAN 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Diagnosis Penyakit 4

2.2 Teknik DNA untuk Identifikasi Cendawan 4

2.3 Penyebab Penyakit 6

BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 10

3.1 Tujuan 10

3.2 Manfaat Penelitian 10

BAB 4 METODE PENELITIAN 11

4.1 Tempat dan waktu 11

4.2 Bahan dan Metode 12

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

5.1 Uji Postulat Koch 15

5.2 Identifikasi Morfologi dan Molekuler Patogen 17

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 19

6.1 Kesimpulan 21

6.2 Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 19

LAMPIRAN 23

v

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Sasaran, luaran, dan indikator capaian

kegiatan penelitian selama 2 tahun 11

Tabel 5.1 Asosiasi antar tanda dan gejala penyakit

pada pohon pala di Aceh Selatan 14 15

Tabel 5.2 Gejala yang ditimbulkan cendawan hasil isolasi 17

Tabel 5.3 Identifikasi cendawan patogen berdasarkan ITS

yang dibandingkan dengan data GenBank NCBI 20

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Hasil inokulasi buatan pada bibit tanaman pala; inokulasi

Botryodiplodia sp.(A); inokulasi Graphium sp. (B);

inokulasi Fusarium solani (C); inokulasi Rigidoporus sp. (D);

Tanpa patogen (K). 16

Gambar 5.2 Morfologi koloni pada medium PDA dan struktur mikroskopis

cendawan patogen asal pala. 18

Gambar 5.3 Visualisasi elektroforesis hasil PCR 4 isolat cendawan dengan

menggunakan primer ITS1 dan ITS4. M= Marker;

1. Botryodiplodia sp.; 2. Graphium sp.; 3. F. solani;

dan 4. Rigidoporus sp. 19

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Instrumen Penelitian 25

Lampiran 2 Personalia Tenaga Peneliti 31

Lampiran 3 Publikasi Ilmiah Internasional 36

Lampiran 4 Artkel Jurnal Internasional 38

1

BAB 1. PENDAHULUAN

Pala merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran penting

dalam perekonomian nasional, yang memberikan kontribusi besar dalam memenuhi

kebutuhan minyak atsiri dalam negeri maupun dunia yaitu minyak atsiri pala. Sebagai

negara pemasok pala terbesar di dunia, Indonesia berkontribusi sebesar 70% -75%,

sedangkan sisanya 20% berasal dari Grenada dan 5% dari Sri Lanka, Trinidad, dan

Tobago. Sebagai pasar dunia bagi komoditas pala adalah Amerika Serikat, Inggris, dan

Jerman (Hadad dan Firman 2003). Oleh karena itu, upaya pengembangan dan

peningkatan produktivitas pala terus dilakukan. Namun dalam pembudidayaan tanaman

tersebut tidak terlepas dari gangguan hama dan penyakit, sehingga tanaman pala yang

dikembangkan oleh rakyat dapat diserang oleh berbagai patogen. Kasus ini terjadi pada

tanaman pala di Kabupaten Aceh Selatan.

Kabupaten Aceh Selatan merupakan salah satu sentra produksi pala di Indonesia.

Produksi pala dari wilayah ini berkontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan pala

domestik maupun luar negeri. Luas area tanaman pala di Kabupaten Aceh Selatan pada

tahun 1994 mencapai 11 245 ha dengan rata-rata produktivitas buah pala utuh sebesar 8.2

ton/ha. Pada tahun 2003 luas arealnya menurun menjadi 9 843 ha, rata-rata total

produktivitasnya mengalami penurunan menjadi 1.1 ton/ha. Pada tahun 2014 nilai rata-

rata produktivitas pala Aceh semakin menurun menjadi 0.7 ton/ha (Dishutbun Kabupaten

Aceh Selatan, 2014). Umumnya perkebunan pala di Aceh Selatan adalah perkebunan

rakyat yang pengelolaan kebunnya kurang baik. Upaya peningkatan produksi pala

menciptakan pola tanam pala secara monokultur dengan pola dan jarak tanam (3 – 5 m)

yang tidak teratur. Kondisi tersebut menimbulkan ekosistem yang tidak seimbang,

sehingga ketersediaan makanan bagi hama dan penyakit cukup banyak.

Ketidakseimbangan ekosistem tersebut menyebabkan sering terjadi ledakan (outbreak)

hama dan penyakit. Banyak faktor yang menyebabkan menurunnya produktivitas

tanaman pala, antara lain: tehnik budidaya yang minimal, tanaman telah tua, juga

serangan hama dan penyakit yang akhir-akhir ini semakin meningkat dengan lingkungan

yang mendukung untuk infeksi menyebabkan penyakit terus berkembang. Sampai saat

ini beberapa cara pengendalian telah dilakukan, namun belum memperlihatkan hasil yang

signifikan.

2

Menurut laporan dinas kehutanan dan perkebunan Aceh Selatan, penyakit yang

lima belas tahun terakhir ini menyerang ribuan hektar perkebunan pala adalah mati

meranggas. Penyakit tersebut menyerang semua perkebunan pala yang ada di Aceh

Selatan sejak tahun 1998. Survey awal penulis menemukan dua macam gejala serangan,

yang pertama dimulai dengan layunya daun pada sebagian ranting, mengeriting, berwarna

kuning kemudian berubah menjadi coklat dan mengering yang sering diistilahkan mati

ranting (dieback). Kemudian berlanjut ke ranting-ranting dari satu cabang ke cabang

lainnya, mati secara bertahap, namun daun-daun tersebut masih tetap menggantung

selama beberapa minggu yang akhirnya gugur dan meranggas. Bila kulit kayu dikelupas

terlihat miselia cendawan, saat kambium disayat terlihat warna coklat kehitaman

(nekrotik). Selain itu ternyata pada tanaman tersebut juga terserang penggerek batang.

Pada akar, bila dibongkar terlihat hifa cendawan berwarna putih. Gejala yang kedua daun-

daun menguning berlanjut dari satu cabang ke cabang lain dan layu seluruhnya kemudian

daun gugur dan tanaman mati meranggas. Ketika pangkal batang dipotong melintang

terdapat lingkaran kambium berwarna coklat kehitaman. Akibat serangan penyakit ini

dapat menurunkan hasil sampai 70% (Harni et al., 2011). Penyakit tersebut menyerang

dan menimbulkan kematian baik pada tanaman di pembibitan, tanaman muda yang belum

dan telah menghasilkan, serta tanaman tua. Sampai tahun 2016 penyebab kematian

tanaman pala tersebut masih belum pasti dan diperdebatkan. Dikalangan petani penyakit

ini sudah sampai pada taraf meresahkan karena belum dapat dikendalikan dan kasus

serangannya cenderung bertambah luas. Pengetahuan mengenai patogen penyebab sangat

penting, terutama untuk penyakit-penyakit baru. Penyusunan strategi pengendalian yang

berkelanjutan biasanya harus didasarkan pada sifat patogen bersangkutan.

Laporan mengenai penyebab mati meranggas pada tanaman pala belum pernah

dipublikasikan, namun dari gejala yang terlihat dilapangan mirip dengan penyakit Elm

Belanda (Ducth Elm Disease) yang disebabkan oleh Ophiostoma novo-ulmi (Agrios,

2005), kanker batang cengkeh di Sulawesi yang disebabkan oleh Ceratocystis sp. (Van

Wyk et al., 2004), serangan Ceratocystis pirilliformis pada kayu putih di Australia

(Barnes et al., 2003), kanker batang yang disebabkan oleh Ceratosystis pada perkebunan

kopi, coklat, jeruk (Van Wyk et al., 2009), juga kayu putih di Venezuella (Van Wyk et

al., 2009). Serangan penyakit pada tanaman pala pernah terjadi di India yang dilaporkan

oleh Rahman et al. (1981) bahwa tanaman tersebut terserang penyakit akar disebabkan

oleh Cylindrocladium camelliae. Layu yang disebabkan oleh Ceratocystis merupakan

3

penyakit penting pada tanaman coklat di Amerika tengah dan Amerika Selatan

(Engelbrecht et al., 2007), pada Eucalyptus grandis di Afrika Selatan (Roux et al., 2004),

mangga di Oman dan Pakistan (Van Wyk, 2007; Fateh et al., 2006), juga spesies tanaman

hutan kayu putih dan akasia di Australia (Raux dan Wingfield 2009). Mamle dan Jolanda

(2015) menemukan Fusarium solani yang menyebabkan layu pada tanaman kapok randu

(Ceiba petandra) dan Botryosphaera sp. yang menyebabkan kanker batang pada kayu

putih di Ghana. Selanjutnya gejala serangan yang mirip dengan penyakit tersebut

diperlihatkan oleh tanaman yang terserang oleh patogen akar yang pernah dilaporkan oleh

Kaewchai et al. (2009), yang melakukan penelitian pada pertanaman karet di Thailand

Selatan dan di Sri Lanka (Madusha et al. 2013) yang disebabkan oleh R. microsporus,

juga pada tanaman akasia di Semenanjung Malaysia (Farid et al. 2007).

Berdasarkan uraian diatas ingin dilakukan serangkaian penelitian mengenai

penyebab mati meranggas pada tanaman pala di Kabupaten Aceh Selatan, identifikasi

patogen baik secara konvensional (postulat Koch) yang sering bergantung pada

identifikasi gejala penyakit, isolasi dan kultur dari organisme, juga deteksi dan

identifikasi cepat dengan teknik DNA secara molekuler. Hasil ini akan menjadi informasi

untuk mendapatkan teknik pengendalian yang tepat dalam mengendalikan penyakit yang

saat ini menjadi masalah besar pada tanaman pala di Aceh Selatan.

4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diagnosis Penyakit

Diagnosis merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi suatu penyakit tanaman

melalui gejala dan tanda penyakit yang khas, termasuk faktor-faktor lain yang

berhubungan dengan proses pembentukan penyakit tersebut. Gejala merupakan

karakteristik fisik dari penyakit yang diekspresikan oleh tanaman. Gejala dapat termasuk

layu, puru, kanker, busuk, nekrosis, klorosis, dan decline. Tanda adalah struktur nyata

dari patogen yang menyebabkan penyakit. Tanda dapat termasuk tubuh buah cendawan

(seperti mushroom atau piknidia), miselia, lendir bakteri, keberadaan nematode atau

serangga, atau adanya lubang-lubang serangga yang tertimbun oleh serbuk kayu.

Diagnosis penyakit yang benar diperlukan untuk merekomendasikan cara pengendalian

yang tepat dan harus dilakukan dalam suatu survey penyakit tanaman (Sinaga, 2003).

Agar hasil diagnosis akurat, diperlukan pembuktian dengan menggunakan postulat

Koch, sebagai berikut:

1. Patogen yang diduga harus selalu berasosiasi pada tanaman yang sakit.

2. Patogen tersebut harus dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai biakan murni.

3. Biakan murni tersebut jika diisolasikan ke tanaman sehat, harus menghasilkan

gejala dan tanda penyakit yang sama.

4. Bila penyebab penyakit di reisolasi dari tanaman yang diinokulasi tersebut, akan

dihasilkan biakan murni yang sama dengan penyebab yang diisolasi dari tanaman

sakit yang di diagnosis.

2.2 Teknik DNA untuk Identifikasi Cendawan

Teknik DNA merupakan alat yang berharga dalam mengidentifikasi cendawan,

yang sangat berguna untuk sarana penentuan identifikasi cendawan yang tidak

memproduksi tubuh buah, karakter taksonomi morfologi yang membentuk dasar deskripsi

spesies. Bila beberapa cendawan dapat tumbuh pada biakan dengan mudah dan

menghasilkan karakteristik fitur mikroskopik yang membantu dalam identifikasi

taksonomi, yang susah tumbuh dalam biakan atau ketika tumbuh pada biakan gagal

memproduksi fitur sebagai kunci perbedaan. Kebutuhan untuk identifikasi cepat, sebagai

aplikasi karantina dan biosekuriti dapat juga menggunakan teknik DNA.

5

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk identifikasi cendawan.

Pemilihan metode yang paling tepat tergantung pada aplikasi dan jumlah sampel. Namun,

dasar untuk semua metode adalah menggunakan penanda DNA untuk menghubungkan

cendawan yang belum diketahui untuk deskripsi secara penuh. Identifikasi berbagai

cendawan tergantung pada seperangkat specimen acuan yang telah diperiksa dan di

identifikasi dengan taksonomi mikologi. Metode untuk identifikasi DNA cendawan terdiri

dari: Southern blotting; PCR (polymerase chain reaction); PCR-RFLP (PCR restriction

fragment length polymorphism); RAPD (random amplified polymorphic DNA); T-RFLP

(terminal restriction fragment length polymorphism); Sekuensing DNA; dan microarrays.

Langkah pertama untuk metode ini adalah ekstraksi DNA dan purifikasi (Glen, 2006).

PCR dikembangkan pada tahun 1980-an dan memanfaatkan enzim DNA

polymerase termostabil dari bakteri tahan panas sehingga enzim dapat bertahan pada

siklus suhu yang diperlukan untuk PCR. PCR digunakan untuk mengkopi bagian kecil,

biasanya sampai 1 kbp dari genom DNA. Dua primer, sekitar 20 bp oligonukleotida,

dengan urutan basa komplementer terhadap fragmen kecil dari DNA target. Pemisahan

untaian DNA template diperlukan sebelum primer tersebut mengikat template, dan ini

dicapai dengan pemanasan campuran reaksi, kemudian didinginkan untuk mempromot

penempelan primer dan dipanaskan lagi untuk mencapai suhu optimum untuk DNA

polymerase terhadap perpanjangan primer, membuat komplemen reverse mengkopi

untaian DNA template (Yuwono, 2006).

Saat ini, metode yang paling cocok untuk mendeteksi/mengidentifikasi cendawan

adalah dengan menggunakan PCR dan sekuensing DNA, sebagai primer spesifik spesies

telah dikembangkan hanya untuk beberapa dari banyak spesies busuk akar atau busuk

pangkal. Taksonomi spesies polypore berasosiasi dengan busuk hati, busuk pangkal dan

busuk akar, dalam banyak kasus membutuhkan klarifikasi dan sekuensing DNA untuk

penyelesaian penentuan beberapa spesies. Menurut Toju et al., 2012, primer ITS (Internal

Transcibed Spacer) cocok digunakan dalam mengidentifikasi sampel lapangan untuk

cendawan dari kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes berbasiskan pada untaian

DNA dengan primer ITS 4 dan ITS 5. Wilayah ITS adalah studi yang berguna untuk

karakterisasi dalam cendawan karena empat alasan yaitu: 1) wilayah ITS yang relative

singkat (500 – 800 bp) dan dapat dengan mudah di amplifikasi dengan PCR

menggunakan primer tunggal universal; 2) multicopy dari rDNA membuat wilayah ITS

mudah di amplifikasi dari sampel DNA yang kecil atau encer; 3) wilayah ITS mungkin

6

sangat bervariasi antar spesies berbeda secara morfologi; dan 4) PCR menghasilkan

probe-probe spesies spesifik ITS dapat diproduksi secara cepat. Wilayah ITS ini telah

digunakan untuk karakterisasi, identifikasi, dan deteksi cendawan seperti R. microporus

yang diisolasi dari pertanaman karet di Thailand (Kaewchai et al. 2010), Ceratocystis

fimbriata pada Eucalyptus di Afrika Tengah (Raux et al. 2000), C. fimbriata pada family

Araceae di Hawaii (Thorpe et al. 2005), C. fimbriata yang menyerang Tectona grandis di

Brazil (Firmino et al. 2012), penyebab busuk buah dari Passiflora edulis di Brazil

(Firmino et al. 2013), C. fimbriata pada tanaman mango di Oman (Van Wyk et al. 2005),

C. larium pada Styrax benzoin di Indonesia (Van Wyk et al. 2009).

2.3 Penyebab Penyakit

Botryodiplodia theobromae

Cendawan ini termasuk filum Ascomycota (telemorf Botryosphaeria rhodinae).

Koloni tumbuh menyebar denga cepat, berwarna gelap kehitaman, konidia hialin pada

umur muda dan berubah coklat gelap pada umur tua bersekat satu yang sering disebut

binukleat, berbentuk elips, dan diproduksi pada piknidia askostroma. Piknidia

mengandung sel konidiogen yang berkembang secara parafisis. Konidia memiliki

dinding yang tebal dan berukuran 22,5 x 12,5 µm. Kondisi tumbuh yang optimum untuk

pertumbuhan B. theobromae pada media adalah pada suhu 280C (Ismail et al. 2012).

Cendawan ini memiliki kisaran inang lebih dari 280 spesies tanaman. Beberapa contoh

tanaman yang menjadi inang dari B. theobromae adalah jeruk, eukaliptus, mangga, kakao,

pinus, mimba, dan kacang mete.

Penetrasi B. theobromae ke dalam jaringan tanaman menggunakan enzim dan

toksin yang dihasilkan patogen. Enzim utama yang dihasilkan oleh cendawan ini adalah

β-glukosidase dan selulase. Enzim dimanfaatkan olah B. theobromae untuk melunakkan

jaringan batang tanaman inang sedangkan toksin dimanfaatkan untuk mematikan sel

tanaman. Toksin memengaruhi permeabilitas membrane sel dengan cara menonaktifkan

dan menghambat enzim tanaman atau menghentikan aktivitas enzim tanaman yang

terkait. Enzim dan toksin yang diproduksi oleh B. theobromae digunakan untuk

menembus titik infeksi yang berada pada epidermis dan sel parenkim pada korteks (Al-

Saadoon et al.2012).

Gejala yang timbul akibat infeksi B. theobromae bergantung pada jenis tanaman

dan kondisi iklim. Beberapa gejala yang dapat dtimbulkan adalah nekrotik pada batang

7

dan cabang, hawar, mati pucuk, pembusukan pada batang, umbi, dan akar (Shahbaz et al.

2009; Adandonon 2014). Menurut Latha et al. (2009), tanaman yang terinfeksi B.

theobromae mengalami penguningan dan kelayuan paa daun terutama daun-daun bagian

bawah. Daun-daun tersebut menghitam dan membusuk, diikuti pembusukan akar dan

kematian tanaman. Pembelahan akar dan batang yang terinfeksi menunjukkan perunahan

warna menjadi coklat kehitaman pada jaringan vaskuler. Gejala pada batang akan

muncul sekitar satu bulan setelah patogen melakukan inokulasi. Kondisi fisik yang cocok

untuk penyebaran dan perkembangan B. theobromae dari sumber inokulumnya adalah

kondisi kelembaban yang tinggi (RH di atas 80%, titik kritis 40%) terutama pada keadaan

curah hujan yang tinggi dan suhu yang hangat (25 - 30 oC, titik kritis 20

oC).

Fusarium Solani

F. solani memiliki koloni berwarna putih seperti kapas, namun dapat juga

berkembang menjadi warna pink atau violet seperti kebanyakan genus Fusarium. Koloni

floccose, menyebar, berlendir dan relatif. F. solani memiliki hifa udara yang

menghasilkan konidiofor lateral, dan cabang konidiofor yang terbentuk akan membentuk

monofialid tipis dan memanjang yang menhasilkan konidia. Konidia dari F. solani terdiri

dari dua jenis yaitu makrokonidia dan mikrokonidia. Makrokonidia berbentuk sedikit

melengkung dan hialin yang terdiri dari 3 - 5 septa. Mikrokonidia memiliki sel lebih

tebal, berbentuk oval atau silindris, hialin dan smooth serta tiak bersepta. Namun

mikrokonidia juga ada yang melengkung dan memiliki septa sampai 2. F. solani

membentuk klamidospora yang umumnya terjadi pada kondisi sub optimal.

Graphium sp.

Graphium sp. merupakan genus cendawan dari family Microascaceae. Cendawan

ini termasuk cendawan patogen tumbuhan. Graphium sp. termasuk dalam grup

Hypomycetes dan memiliki sekitar 20 spesies. Cendawan ini terdapat di dalam tanah,

sisa-sisa tanaman, substrat berkayu, pupuk kandang, dan air tercemar. Struktur sporulasi

dari Graphium sp. membentuk sinema, yang terdiri dari ikatan konidifor seperti buket

bunga, memiliki konidia hialin yang dihasilkan dari annelida-annelida. Cendawan ini

menimbulkan warna kebiruan pada kayu-kayuan . fase sempurna dari Graphium sp. yang

telah ditemukan adalah Ceratocystis sp.

8

Rigidoporus microporus (sinonim: R. lignosus, Fomes lignosus)

Tubuh buah besar (lebar sampai 20 cm), relatif tipis, annual jarang perennial,

kasar, bergerombol, sering imbricate, permukaan atas konsentris berkerut, awalnya

orange berubah merah kemudian coklat, beludru samar-samar, halus, dan memudar,

permukaan bawah terang, orange berubah coklat, akhirnya memucat, pori-pori halus (6 -

9 per mm). Minomitik, hifa generative tipis atai berdinding tebal, dengan dinding silang

(septa), tanpa clam, hialin. Hymenium dengan sistidiol, basidiospora sub-globuse,

berdinding tipis, berwarna, halus, 3,5 - 4,5 x 3,5 - 4 µm. Tanda penyakit akar pohon yang

ditanam, putih, miselium bercabang dan busuk putih. Koloni cendawan di media PDA

(Potato Dextrose Agar) berwarna putih an tipis dengan hifa hialin, bersepta, tanpa clam

conection (Kaewchai et al. 2010). Menurut Liyanage (1997), R. microporus adalah

cendawan yang bersifat parasit fakultatif, artinya dapat hidup sebagai saprofit yang

kemudia menjadi parasit. R. microporus tidak dapat bertahan hidup apabila tidak ada

sumber makanan. Bila belum ada inang, cendawan ini bertahan di sisa-sisa tunggul.

Menurut Jayasuriya dan Thennakoon (2007), R. microporus (Sw.) diketahui sebagai

penyebab penyakit yang merugikan di perkebunan karet pada kebanyakan negara seperti

India, Indonesia, Malaysia, Srilanka, Thailand, Afrika Tengah, dan Afrika Barat.

Gejala serangan R. Microporus pada tanaman karet ditandai dengan adanya

perubahan warna daun. Daun berwarna hijau kusam, permukaan daun lebih tebal dari

yang normal. Setelah itu daun-daun menguning dan rontok. Pada pohon dewasa

gugurnya daun yang disertai dengan matinya ranting menyebabkan pohon mempunyai

mahkota yang jarang. Ada kalanya tanaman membentuk bunga/buah lebih awal. Pada

tanaman muda gejalanya mirip dengan tanaman yang mengalami kekeringan. Daun-daun

berwarna hijau kusam dan lebih tebal dari yang normal. Daun tersebut akhirnya menjadi

cokelat dan mengering. Pohon akhirnya tumbang dengan daun yang masih menggantung.

Ada kalanya pohon tiba-tiba tumbang tanpa menimbulkan gejala kematian tajuk, karena

akar tanaman telah busuk dan mati. Apabila leher akar tanaman yang terserang dibuka,

akan tampak rizomorf jamur berwarna putih, baik diakar tunggang ataupun di akar lateral.

Akar-akar tersebut akan busuk dan tanaman akan mati (Semangun, 2000).

Pada permukaan akar yang sakit terdapat benang-benang miselium cendawan

(Rizomorf) berwarna putih menjalar di sepanjang akar. Di sini benang-benang meluas

atau bercabang seperti jala. Pada ujungnya benang meluas seperti bulu, benang-benang

melekat erat pada permukaan akar. Kadang-kadang berwarna kekuningan, dalam tanah

9

merah tanahnya dapat kemerahan atau kecokelatan, kulit yang sakit akan busuk dan

warnanya cokelat. Kayu dari akar yang baru saja mati tetap keras, berwarna cokelat,

kadang-kadang agak keabu-abuan. Pada pembusukan yang lebih jauh, kayu berwarna

putih atau krem, tetapi padat dan kering, meskipun di tanah basah kayu yang terserang

dapat busuk dan hancur (Semangun, 2000). Serangan lebih lanjut penyakit akar putih

akan membentuk badan buah, berbentuk setengah lingkaran yang tumbuh pada pangkal

batang. Badan buah berwarna pink dengan tepi kuning mudah atau keputihan. Badan

buah berisi spora-spora cendawan yang akan berkembang dan keluar dari tubuh buah.

Spora tersebut akan berpencar dan menyerang tanaman karet yang masih sehat.

10

BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan penyebab penyakit mati meranggas

tanaman pala di Aceh Selatan.

3.2 Manfaat Penelitian

Mati meranggas merupakan penyakit yang telah menyerang ribuan hektar

tanaman pala di Kabupaten Aceh Selatan selama lima belas tahun terakhir. Penurunan

hasil produksi pala dapat mencapai 70% akibat serangan penyakit ini. Penyakit tersebut

menyerang dan menimbulkan kematian baik pada tanaman tua, muda, bahkan telah

dijumpai di pembibitan. Sampai saat ini penyebab kematian tanaman pala tersebut masih

belum pasti dan diperdebatkan. Dikalangan petani penyakit ini sudah sampai pada taraf

meresahkan karena belum dapat dikendalikan dan kasus serangannya cenderung

bertambah luas. Pengetahuan mengenai patogen penyebab sakit penting, terutama untuk

penyakit-penyakit baru. Penyusunan strategi pengendalian yang berkelanjutan biasanya

harus didasarkan pada sifat patogen bersangkutan. Pada kenyataannya sampai saat ini

memang belum ada metoda pengendalian yang dapat dilakukan untuk menghambat

perkembangan dan penyebaran patogen penyakit tersebut. Oleh karena itu perlu

dilakukan serangkaian penelitian untuk membuktikan penyebab penyakit mati meranggas

yg menyerang tanaman pala di Aceh Selatan, sehingga menjadi langkah awal dalam

menentukan tehnik pengendalian yang tepat dan bijaksana.

11

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu

Kegiatan survey kejadian penyakit dan pengambilan sampel bagian-bagian

tanaman pala yang terserang beserta tanahnya akan dilakukan di 6 kecamatan yang berada

di kabupaten Aceh Selatan. Isolasi dan peremajaan isolate akan dilakukan di laboratorium

Mikologi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian dengan teknik Postulat Koch

akan dilakukan di Rumah Kaca Cikabayan, Bogor. Identifikasi secara molekuler akan

dilakukan di laboratorium Virologi Tumbuhan. Institut Pertanian Bogor. Kegiatan

penelitian ini akan dimulai dari Januari – Desember 2017.

Tabel 4.1. Sasaran, luaran, dan indikator capaian kegiatan penelitian selama 2 tahun

No. Kegiatan Sasaran Luaran Indikator capaian

Kegiatan 1: Survey Lapangan

1 - Sejarah lahan

- Teknik budidaya di

lapangan

- Gejala dan kejadian

penyakit

- Pengumpulan data

iklim10 tahun

terakhir

Keadaan

lahan

sebelumnya,

cara

budidaya,

gejala

penyakit,

intensitas

serangan

Sejarah lahan,

teknik

budidaya, dan

iklim yang

mempengaruhi

epidemik

penyakit

Diperoleh informasi

tentang sejarah lahan

sebelumnya, teknik

budidaya yang

digunakan dan iklim

mikro selama 10

tahun terakhir

Kegiatan 2: Diagnosis Mati Meranggas Pala

2. - Uji Postulat Koch

- Identifikasi secara

Molekuler

Gejala yang

muncul

Patogen

teridentifikasi

Penyebab penyakit

diketahui

Kegiatan 3: Bioekologi pathogen

3. - Pengaruh suhu dan

pH media

- Asosiasi serangga –

patogen

- Sifat fisik dan

kimia tanah

- Faktor biologi

tanah

Pertumbuhan

koloni, jenis

serangga,

karakter

tanah, agens

antagonis

- Pola pertumbuhan

miselia patogen di

Media PDA

- Jenis serangga dan

cendawan

teridentifikasi

- Sifat fisik dan kimia

tanah diketahui

berpengaruh

- Agens hayati yang

berpotensi sebagai

pengendali

Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

perkembangan

penyakit

diketahui

12

Untuk mencapai tujuan penelitian Hibah Disertasi Doktor yang diusulkan,

pelaksanaan riset akan dibagi menjadi tiga tahapan kegiatan penelitian yang satu sama

lain saling terkait sebagai satu kesatuan yang utuh. Kegiatan yang diusulkan dalam Hibah

Disertasi Doktor adalah kegiatan 2.

4.2 Bahan dan Metode

Identifikasi dengan Teknik Postulat Koch

Identifikasi terhadap penyebab penyakit tanaman pala dilakukan berdasarkan

karakter morfologi. Pengamatan dilakukan terhadap spesimen gejala penyakit yang

diambil dari lapangan dan hasil isolasi pada media PDA. Pengamatan makromorfologi

dan mikroskopik dari tubuh buah menggunakan mikroskop stereo dan kompon.

Pengamatan mikroskopik juga dilakukan terhadap cendawan hasil isolasi dari media

biakan. Sampel tubuh buah patogen diambil dari bagian pangkal batang. Sebagian dari

lapisan himenium dibuka untuk melihat bentuk pilar, subikulum serta rizomorf. Untuk

bagian himenium dan pilar dari tubuh buah diambil menggunakan pinset dan diletakkan

pada gelas objek untuk digunakan dalam pengamatan secara mikroskopik. Pengamatan

mikroskopik ini menggunakan bantuan mikroskop, dimaksudkan untuk mengamati spora,

hifa pathogen, dan tubuh buah (askokarb), serta jalinan miselia pada pilar. Sampel tubuh

buah yang dijadikan objek pengamatan diambil dari beberapa tempat kebun pala di

Kabupaten Aceh Selatan seperti kecamatan Labuhan Haji Timur, Meukek, Sawang,

Samadua, Tapak Tuan, dan Pasie Raja.

Pengamatan mikroskopik juga dilakukan terhadap miselia hasil isolasi patogen

pada media PDA (Potato Dextrose Agar). Isolasi patogen dilakukan dari jaringan ranting,

batang, akar yang bergejala, bagian tubuh buah dan tanah sekitar akar. Sebelumnya

bagian-bagian tanaman pala tersebut dibersihkan dan dipotong-potong sepanjang 3 cm,

kemudian dilakukan sterilisasi permukaan dengan merendamnya dalam klorok 1%,

dilanjutkan dengan larutan alkohol 70% selama 3 menit. Setelah itu potongan bagian-

bagian tanaman pala tersebut dibilas menggunakan aquades steril dan dikeringkan

menggunakan kertas isap. Bagian-bagian tersebut kemudian diletakkan pada media PDA

dalam cawan petri. Inkubasi dilakukan dalam inkubator pada suhu 28 oC selama 3 hari.

Setiap jenis cendawan yang tumbuh di permukaan atau bagian tepi potongan sampel

13

bagian-bagian tanaman pala tersebut di reisolasi. Hasil reisolasi ini akan digunakan dalam

identifikasi. Identifikasi cendawan menggunakan Watanabe (2002), Streets (1980), dan

Leslie and Summerel (2006).

Selanjutnya isolasi juga dilakukan dari bagian tubuh buah (himenium dan pilar).

Potongan tubuh buah tersebut sebelum diisolasi terlebih dahulu direndam dalam larutan

klorok 1%, selanjutnya dalam alkohol 70% selama 2 menit dan dibilas dengan

merendamnya dalam aquades steril sambil diguncang. Untuk menumbuhkan patogen

digunakan media PDA. Inkubasi dilakukan dalam inkubator pada suhu 28 oC selama 3

hari. Isolasi juga dilakukan dari tanah sekitar perakaran dengan teknik pengenceran

berseri dan ditumbuhkan pada media PDA, kemudian diinkubasi dalam inkubator pada

suhu 28 oC selama 3 hari.

Jenis cendawan yang tumbuh dari hasil isolasi, baik dari jaringan ranting, batang,

akar, ataupun tubuh buah digunakan untuk melakukan postulat Koch mengikuti

Brathwaite (1981), dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. mengidentifikasi patogen

yang berasosiasi dengan gejala dari beberapa sampel, 2. melakukan isolasi terhadap

patogen, baik dari tubuh buah ataupun dari jaringan tanaman. Isolasi menggunakan media

PDA, 3. penularan pada tanaman sehat menggunakan patogen hasil isolasi. Gejala yang

terbentuk hasilnya sama dengan gejala di lapangan, dan 4. dilakukan reisolasi dari gejala

yang terbentuk, dan hasilnya sama seperti hasil isolasi pertama.

Cendawan hasil isolasi dari jaringan kayu yang memperlihatkan kesamaan dengan

hasil isolasi dari tubuh buah digunakan sebagai sumber inokulum dalam postulat Koch.

Sumber inokulum yang digunakan pada postulat Koch berupa potongan miselia biakan

murni ukuran 1 cm2

yang diinokulasikan pada bagian akar bibit pala atau penempelan

miselia ke batang yang dilukai. Untuk pengujian menggunakan bibit pala yang berumur 1

tahun, masing-masing menggunakan 10 bibit untuk pengulangan. Pengamatan dilakukan

setiap hari sampai menunjukkan gejala penyakit.

Identifikasi Molekuler dengan ITS (Internal Transcribe Spacer)

Isolat cendawan yang didapat digunakan untuk identifikasi molekuler. Ekstraksi DNA

cendawan sebelumnya dibiakan pada media PDB (Potato Dextrose Broth) menggunakan

reagen nucleon PHYTOpure, dilanjutkan dengan amplifikasi PCR menggunakan primer ITS

1 dan ITS 4 (Harrington et al. 2000; Thorpe et al. 2005; Chungu et al. 2010). Untuk lebih

jelas dapat dilihat sebagai berikut:

14

a. Isolasi dan Amplifikasi DNA Cendawan

Ekstraksi DNA dilakukan berdasarkan pada metode Castillo et al. (1994) yang telah

dimodifikasi, yaitu dengan penambahan polyvinylpirolydone (PVP) pada bufer

ekstraksi CTAB dan natrium asetat pada tahap pengendapan DNA. Pelet yang di-

peroleh dicuci dengan 500 μL etanol 70%, dikeringkan, kemudian diresuspensi

dengan 100 μL bufer TE. Suspensi DNA disimpan pada –20 °C atau dapat langsung

digunakan untuk proses selanjutnya. Amplifikasi DNA cendawan menggunakan

pasangan primer ITS1 (5’ TCCGTAGG TGAACCTGCGG 3’) dan ITS4 (5’

TCCTCC GCTTATTGATATGC 3’). Reaksi PCR (volume 25 μL) terdiri atas 1 μL

DNA sampel dengan konsentrasi 25-50 ng μL-1; 18.8 μL air bebas nuklease; 2.5 μL

10x bufer PCR (10 mM KCl, 20 mM Tris HCl pH 8.8, 10 mM (NH4)2SO4, 2 mM

MgCl2, dan 0.1% Triton X-100) (Fermentas, USA); 0.5 μL dNTP 10 mM (Fermentas,

USA); masing-masing 1 μL primer ITS1 dan ITS4 dengan konsentrasi 10 μM; 0.2 μL

enzim Taq DNA polimerase rekombinan 5U μL-1 (Dream Taq DNA Polymerase

Fermentas, USA). Amplifikasi didahului dengan denaturasi awal selama 5 menit pada

94 °C, dilanjutkan sebanyak 35 siklus melalui tiga tahapan meliputi denaturasi selama

1 menit pada 94 °C, penempelan primer (annealing) selama 1 menit pada 55 °C,

sintesis selama 2 menit pada 72 °C, pada tahap akhir ditambah 10 menit pada 72 °C.

Analisis DNA hasil amplifikasi dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel

agarosa 1% dalam bufer Tris Boric EDTA (TBE 0.5x) dan visualisasi menggunakan

sinar UV (Sambrook dan Russel 2001; Barnes et al. 2003; Van Wyk et al. 2007; Van

Wyk et al. 2012).

b. Analisis Perunutan DNA

DNA hasil amplifikasi digunakan untuk tahapan perunutan DNA berdasarkan pada

metode dideoxy nucleotide chain termination (Macrogen Inc., Korea Selatan). Hasil

pe-runutan DNA selanjutnya disusun dengan program Bioedit dan dianalisis

menggunakan program BLASTN dengan memanfaatkan informasi dari Genbank

(http://www.ncbi.nlm.nih.gov).

15

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada tanaman pala terinfeksi di lapangan memerlihatkan gejala mati ranting, yaitu

layu pada sebagian ranting, mengering, kemudian menjalar dari satu cabang ke cabang

lainnya sampai keseluruhan bagian tanaman, selanjutnya daun menjadi kecoklatan,

mengeriting, dan menggantung yang akhirnya gugur sampai mati meranggas. Disisi lain

terdapat tanaman layu secara keseluruhan, menguning, mengering, gugur daun, dan mati.

Tabel 5.1 Asosiasi antar tanda dan gejala penyakit pada pohon pala di Aceh Selatan

Gejala

penyakit L MR DM D K PB R MM

L 1.000

MR -0.173**

1.000

DM -0.222**

0.717**

1.000

D 0.309**

0.394**

0.550**

1.000

K -0.320**

0.350** 0.581

** 0.719

** 1.000

PB -0.183**

0.401**

0.608**

0.797**

0.893**

1.000

R -0.094 -0.089 -0.142**

0.214**

0.247**

0.242**

1.000

MM -0.149**

-0.199**

-0.289**

0.376**

0.491**

0.469**

0.549**

1.000

** = berasosiasi sangat nyata, Layu (L), Mati ranting (MR), Daun menggantung (DM), Diskolorasi (D), Kanker (K),

Penggerek batang (PB), Rizomorf (R), Mati meranggas (M); n = 360 pohon

Berdasarkan pengamatan lapangan pada tanaman pala, diketahui bahwa setiap

gejala yang terjadi pada tanaman terinfeksi berasosiasi sangat nyata dengan mati

meranggas, baik secara positif maupun negatif. Gejala mati meranggas berasosiasi sangat

nyata dengan diskolorasi, kanker, penggerek, dan rizomorf. Sedangkan gejala-gejala yang

berasosiasi sangat nyata negatif berarti bila satu gejala muncul maka gejala lainnya tidak

ada, sebagai contoh apabila satu tanaman tersebut memerlihatkan gejala layu maka tidak

memerlihatkan gejala mati ranting, daun menggantung, kanker, penggerek, maupun mati

meranggas (Tabel 5.1).

5.1 Uji Postulat Koch

Berdasarkan uji Postulat Koch, diketahui ada empat jenis cendawan yang

memerlihatkan gejala sama, mulai dari terbentuknya kanker pada bagian bibit tanaman

yang diinokulasi, mati pucuk/ranting, daun menggantung sampai akhirnya mati

meranggas, dan saat batang dipotong secara melintang maupun disayat terlihat nekrosis

16

pada bagian pembuluh batang (Gambar 5.1). Hasil uji membuktikan bahwa cendawan A,

B, C, dan D merupakan cendawan penyebab penyakit (Tabel 5.1).

Gambar 5.1 Hasil inokulasi buatan pada bibit tanaman pala; inokulasi Botryodiplodia sp.(A); inokulasi

Graphium sp. (B); inokulasi Fusarium solani (C); inokulasi Rigidoporus sp. (D); Tanpa

patogen (K).

Gejala awal hasil inokulasi buatan adalah kanker dengan rata-rata masa inkubasi

tiga puluh dua hari. Gejala yang terbentuk ini awalnya tidak berkembang namun setelah

bibit mendapat perlakuan kekeringan, sebulan kemudian mulai muncul gejala mati pucuk

maupun cabang lalu menjalar ke seluruh bagian tanaman, berlanjut dengan daun

mengering, dan menggantung selama empat sampai delapan minggu, kemudian gugur,

17

dan tanaman mati meranggas. Sementara bibit tanaman pala yang diinokulasi dengan

isolat cendawan D tidak memerlihatkan gejala kanker tetapi gejala busuk akar karena

cendawan tersebut merupakan cendawan yang diisolasi dari bagian akar tanaman pala

yang memerlihatkan hifa (rizomorf) yang melilit bagian akar tanaman, namun gejala yang

terbentuk pada bagian atas tanaman memerlihatkan gejala yang sama dengan yang

disebabkan oleh cendawan uji lainnya.

Frekuensi cendawan saat diisolasi dari jaringan tanaman terserang asal tiga puluh

enam kebun sampel ternyata sangat bervariasi. Cendawan A yaitu Botryodiplodia sp.

adalah jenis cendawan yang paling dominan ditemukan , bahkan dapat ditemukan secara

murni dari hasil isolasi dengan teknik trapping (perangkap) spora langsung menggunakan

media MA dan PDA di sekitar tanaman terserang. Empat cendawan (A, B, C, dan D)

yang berasosiasi dengan tanaman mati meranggas positif pada semua tahapan postulat

Koch. Hal ini membuktikan keempat cendawan tersebut bisa menyebabkan gejala mati

meranggas. Namun cendawan A merupakan cendawan yang memiliki frekuensi isolasi

yang tertinggi yaitu 36/36 (100%). Sedangkan cendawan B, C, dan D frekuensinya lebih

rendah yaitu 4/36 (11%), 5/36 (13,9%), dan 2/36 (5%). Oleh karena itu dapat

disimpulkan bahwa penyebab mati meranggas tanaman pala adalah cendawan A

(Botryodiplodia sp.). Setelah reisolasi dari tanaman uji, empat cendawan menunjukkan

hasil yang sama dengan cendawan patogen hasil isolasi awal (Tabel 5.2).

Tabel 5.2 Gejala yang ditimbulkan cendawan hasil isolasi

No. Cendawan Hasil postulat Koch Hasil identifikasi

Frekuensi isolasi

Batang

(36)*

Ranting

(36)*

Akar

(36)*

1 A + Botryodilodia sp. 36 36 36

2 B + Graphium sp. 4 4 -

3 C + Fusarium solani 2 2 5

4 D + Rigidoporus sp. - - 2

5 E - Endomelanconiopsis sp. 1 - -

6 F - Clonotachys sp. 2 - - Keterangan : + = ada (positif pada semua tahapan postulat Koch) ; - = tidak ada ; * = angka dalam kurung

menunjukkan jumlah total sampel

5.2 Identifikasi Morfologi dan Molekuler Patogen

Cendawan yang berhasil diisolasi ada enam jenis, namun hanya empat isolat yang

patogenik. Keempat isolat tersebut memiliki karakteristik yang sesuai dengan genus pada

kunci identifikasi yang digunakan (Gambar 5.2).

18

Gambar 5.2 Morfologi koloni pada medium PDA dan struktur mikroskopis cendawan

patogen asal pala

Isolat A teridentifikasi sebagai Botryodiplodia sp. dengan koloni awal berwarna

putih dengan pertumbuhan sangat cepat, miselia aerial yang kemudian berubah menjadi

abu-abu pada hari keempat dan hari ketujuh berubah menjadi hitam, secara mikroskopis

cendawan memiliki hifa awal hialin yang berubah menjadi gelap, dapat membentuk

piknidia pada ±30 hari setelah isolasi dengan menghasilkan konidia muda hialin tidak

bersekat yang setelah tua berwarna coklat dengan sekat di bagian tengah. Isolat B

teridentifikasi sebagai Graphium sp. dengan koloni awal putih yang berubah menjadi abu-

abu, setelah berumur tujuh hari berubah menjadi hitam, memiliki ikatan konidiofor

membentuk sinema dan konidia yang dihasilkan berbentuk silindris. Isolat C

teridentifikasi sebagai F. solani yang membentuk koloni putih sampai krem dengan

miselium tipis. Kebanyakan isolat tidak berwarna pada agar, walaupun beberapa violet

19

atau coklat muda. Cendawan ini memiliki konidiofor panjang yang menghasilkan dua tipe

konidia yaitu makrokonidia yang relatif lebar (luas), lurus, ramping, melenkung, yang

terdiri dari 3 sampai 6 septa dengan ujung yang membulat, sedangkan mikrokonidia

berbentuk oval yang terdiri dari 0 sampai 1 septa yang diproduksi dari monofialid yang

panjang. Klamidospora diproduksi pada hifa, hialin, berbentuk bundar, oval dengan

dinding yang halus dan kasar. Pertumbuhan klamidospora cepat dan banyak (berlimpah)

yang berada pada bagian interkalar hifa atau ujung cabang lateral yang pendek, yang

terdiri dari satu atau berpasangan. Isolat D teridentifikasi sebagai Rigidoporus sp. karena

membentuk koloni putih tipis, dengan hifa hialin dan bercabang-cabang namun tidak

memiliki clam conection.

Selanjutnya proses identifikasi secara molekuler dilakukan untuk mengonfirmasi

spesies cendawan yang teridentifikasi secara morfologi. Visualisasi hasil PCR

menunjukkan amplifikasi pita yang dilakukan menggunakan primer ITS1 dan ITS4

tampak sesuai harapan. Amplifikasi pita DNA yang terbentuk pada agarose mempunyai

ukuran sekitar ~ 500 - 650 bp (Gambar 5.3). Ukuran tersebut merupakan kelompok

cendawan.

Gambar 5.3 Visualisasi elektroforesis hasil PCR 4 isolat cendawan dengan menggunakan primer

ITS1 dan ITS4. M= Marker; 1. Botryodiplodia sp.; 2. Graphium sp.; 3. F. solani;

dan 4. Rigidoporus sp.

Menurut Toju et al. (2012), primer ITS cocok digunakan dalam mengidentifikasi

sampel lapangan dari cendawan kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes berbasiskan

pada untaian DNA. Namun, cendawan dari kelompok Deuteromycetes juga dapat

terdeteksi dengan primer ITS.

M 1 2 3 4

500 bp 650 bp

20

Tabel 5.4 Identifikasi cendawan patogen berdasarkan ITS yang dibandingkan dengan

data GenBank NCBI

Isolat Deskripsi No. Assesi Strain Query cover (%) Identity (%) E-value

A (LH) L. theobromae KM278132.1 NZD mf2 100 100 0.0

B (MK) G. euwallaceae KF54022.1 UCRFD97 100 100 0.0

C (TT) F. solani KU377470.1 C219 100 100 0.0

D (PR) R. microporus KM246744.1 RL 100 99 0.0

Patogen A, B, C, dan D yang diisolasi dari sampel tanaman pala teridentifikasi

sebagai B. theobromae (Syn. L. theobromae (Pat.) Griff & Maubl.), G. euwallaceae, F.

solani, dan R. microporus dengan karakterisasi query cover 100%, identity 99% - 100%

dan e-value 0.0 (Tabel 5.4).

M 1 2 3 4

21

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Empat Penyebab penyakit mati meranggas pohon pala di Aceh Selatan yang

teridentifikasi, yaitu Lasiodiplodia theobromae, Graphium euwallacea, Fusarium solani,

dan Rigidoporus microporus. Penyebab penyakit yang dominan adalah Botryodiplodia

theobromae Pat. (sinonim Lasiodiplodia theobromae (Patouillard) Griffon & Maubland).

6.2 Saran

Perlu penelitian lanjutan untuk melihat kisaran inang dari B. theobromae, dan

interaksi antara patogen dengan serangga hama

22

DAFTAR PUSTAKA

Adandonon A, Datinon B, Baimey J, Toffa J. 2014. First report of Lasiodiplodia

theobromae (Pat.) Griffon & Maubl. Causing root rot and collar rot disease of

Jatropha curcas L. in Benin. J Appl Biosci. 79(1):6873-6877.

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. 5th

. San Diego (US). New York. Academic Pr.

Al-Saadoon AH, Amen MKM, Al-Rubaie EMA. Histopathology of grapevine inoculated

with Lasiodiplodia theobromae. Basrah J of Agric Sci. 25(1):1-12.

Barnes I, Roux J, Wingfield BD, Dudzinski MJ, Old KM, Wingfield MJ. 2003.

Ceratocystis pirilliformis, a new species from Eucalyptus nitens in Australia.

Mycologia 95(5) : 865 – 871.

Brathwaite CWD. 1981. An Introduction to the Diagnosis of Plant Disease. Inter-Am Inst

Corp Agric San Jose (CR). Edit IICA

Castillo CO, Chalmers KJ, Waugh R, Powell W. 1994. Detection of genetic diversity and

selective gene in coffea using RAPD markers. Theor Appl Genet. 87(8):934-940.

doi: 10.1007/BF00225787.

Chungu D, Muimba-Kankolongo A, Wingfield MJ, Roux J. 2010. Identification of

fungal pathogens occurring in eucalypt and pine plantations in Zambia by

comparing DNA sequences. J. Forestry 83 (5) : 507 – 515.

Dishutbun Aceh Selatan. 2014. Dinas Perkebunan dan Kehutanan; Pedoman

Pengamatan dan Pengendalian Hama pada Tanaman Pala. Tapaktuan, Aceh

Selatan.

Engelbrecht CJ, Harrington TC, Alfenas A. 2007. Ceratocystis Wilt of Cacao – A

Disease of Increasing Importance. Phytopathology 97 : 1648 – 1649.

Faridh AM, Lee SS, Maziah Z, Rosli H, Norwati M. 2007. Root rot in tree spesies other

than Acacia. Di dalam: Potter K, Rimbawanto A, Beadle C, editor. Heart rot and

root rot in tropical Acacia plantations. Proceeding of a workshop help in

yokyakarta. 2007 February 7-9; Camberra, ACIAR. Proceeding 124 : 60 – 66.

Fateh FS, Kazmi MR, Ahmad I, Ashraf M. 2006. Ceratocystis fimbriata isolated from

vascular bundles of declining mango trees in Sindh, Pakistan. Pak. J. Bot. 38 (4) :

1257 – 1259.

Firmino AC, Novaes QS, Tozze HJ, Sobrinho GGR, Santos A, Bezerra JL, Furtado. 2013. First report of Ceratocystis fimbriata causing fruit-rot of Passiflora edulis in

Brazil. New Disease Reports 27 : 4.

Firmino AC, Tozze HJ, Furtado EL. 2012. First report of Ceratocystis fimbriata causing

wilt in Tectona grandis in Brazil. New Disease Reports 25 : 24.

23

Glen M. 2006. The use of DNA techniques to indentify fungi. Di dalam: Potter K,

Rimbawanto A, Beadle C, editor. Heart rot and root rot in tropical Acacia

plantations. Proceeding of a workshop help in yokyakarta. 2007 February 7-9;

Camberra, ACIAR. Proceeding 124 : 46 - 54.

Hadad EA, Firman C. 2003. Budidaya Pala. Balittro. Bogor (ID).

Harni R, Trisawa IM. 2011. Observasi dan identifikasi penyebab matinya pala di daerah

Aceh Selatan. Laporan Kerjasama Dinas Kehutanan dan Perkebunan dengan Balai

Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Sukabumi. 36 p

Harrington TC, Steimel J, Workneh F, Yang XB. 2000. Molecular identification of fungi

associated with vascular discoloration of soybean in the north central United

States. Plant Dis. 84 : 83 – 89.

Ismail AM. Cirvilleri G, Polizzi G, Crous PW, Groenewald JZ, Lombard L. 2012.

Lasiodiplodia species associated with dieback disease of mango (Mangifera

indica) in Egypt. Austral P Pathol. 41(2012):649-660. doi: 10.1007/s13313-012-

0163-1.

Kaewchai S, Kai Wang H, Lin FC, Hyde KD, Soytong K. 2009. Genetic Variation

among Isolates of Rigidoporus microporus causing White Root Disease of Rubber

Trees in Southern Thailand Revealed by ISSR Markers and Pathogenicity. African

Journal of Microbiology Research 3 (10) : 641 – 648.

Kaewchai S, Lin FC, Wang HK, Soytong K. 2010. Characterization of Rigidoporus

microporus isolated from rubber trees based ob morphology and ITS sequencing.

Journal of Agricultural Technology 6 (2) : 289 – 298.

Latha P, Prakasam V, Kamalakannan A, Gopalakrishnan C, Raguchander T, Paramathma

M, Samiyappan R. 2009. First report of Lasiodiplodia thebromae (Pat.) Griffon &

Maubl causing root rot and colar rot disease of physic nut (Jatropha curcas L.) in

India. Austral Plant Dis Notes. 2009(4):19-20.

Leslie JS, Summerel BA. 2006. The Fusarium Laboratory Mannual. 1st ed. Blackwell

Publishing. Ltd. (US): Iowa.

Liyanage A De S. 1997. Rubber. In Hillocks RJ, Walter JM, editor. Soil borne diseases

of tropical crops. Wallingford, UK, CAB International, 331–347.

Mamble AM, Jolanda R. 2015. Diseases of plantation forestry trees in Southern Ghana.

Int. J. Phytopathol. 04 (01) : 05-13

Rahman MU, Sankaran KV, Leelavathy KM, Zachariah S. 1981. Cylindrocladium Root

Rot of Nutmeg in South India. Plant Disease 65 : 514 – 515.

Roux J, Van Wyk M, Hatting H, Wingfield MJ. 2004. Ceratocystis species infecting stem

wounds on Eucalyptus grandis in South Africa. Plant Pathology 53 : 414 – 421.

24

Roux J, Wingfield MJ, Bouillet JP, Wingfield BD, Alfenas AC. 2000. A serious new

wilt disease of Eucalyptus caused by Ceratocystis fimbriata in Central Africa.

Path. 30: 175 – 184.

Roux J, Wingfield MJ. 2009. Ceratocystis species: emerging pathogens of non-native

plantation Eucalyptus and Acacia species. Southern Forests 71 (2) : 115 – 120.

Sambrook J, Russel DW. 2001. Molecular Cloning a Laboratory Manual. Ed ke-3. New

York (US): Cold Spring Harbor Laboratory Pr.

Sinaga MS. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Jakarta. Penebar Swadaya.

Shahbaz M, Iqbal Z, Saleem A, Anjum MA. 2009. Association of Lasiodiplodia

theobromae with different decline disorders in mango (Mangifera indica L.). Pak

J Bot. 41(1):259-368.

Streets RB. 1972. The Diagnosis of Plant Diseases: A Field and Laboratory Manual

Emphasizing The Most Practical Methode for Rapid Identification. The University

of Arizona Press. (US): Tuscon – Arizona.

Thorpe DJ, Harrington TC, Uchida JY. 2005. Pathogenicity, internal transcribed spacer-

rDNA variation, and human dispersal of Ceratocystis fimbriata on the family

Araceae. Phytopathology 95 : 316 – 323.

Toju H, Tanabe AS, Yamamoto S, Sato H. 2012. High-covarage ITS primers for the

DNA-based identification of Ascomycetes and Basidiomycetes in environmental

samples. Plos ONE 7(7) : 1-11.

Van Wyk M, Al Adawi AO, Khan IA, Deadman ML, AlJahwari AA, Wingfield BD,

Ploetz R, Wingfield MJ. 2007. Ceratocystis manginecans sp. nov., causal agent

of a destructive mango wilt disease in Oman and Pakistan. Fungal Diversity 27 :

213 – 230.

Van Wyk M, Al Adawi AO, Wingfield BD, Al-Subhi AM, Deadman ML, Wingfield MJ.

2005. DNA based characterization of Ceratocystis fimbriata isolates associated

with mango decline in Oman. Australastan Plant Pathology 34 : 587 – 590.

Van Wyk M, Roux J, Barnes I, Wingfield BD, Liew ECY, Assa B, Summerell BA,

Wingfield MJ. 2004. Ceratocystis polychrome sp. nov., a new species from

Syzygium aromaticum in Sulawesi. Studies in Mycology 50 : 273 – 282.

Van Wyk M, Wingfield BD, Mohali S, Wingfield MJ. 2009. Ceratocystis

fimbriatomima, a New Species in The C. fimbriata sensu lato Complex Isolated

from Eucalyptus Trees in Venezuela. Fungal Diversity 34 : 175 – 185.

Van Wyk M, Roux J, Nkuekam GK, Wingfield BD, Wingfield MJ. 2012. Ceratocystis

eucalypticola sp. nov. from Eucalyptus in South Africa and comparison to global

isolate from this tree. IMA fungus 3 (1) : 45 – 58.

25

Van Wyk M, Wingfield BD, Clegg PA, Wingfield MJ. 2009. Ceratocystis larium sp.

nov., a new species from Styrax benzoin wounds associated with incense

harvesting in Indonesia. Persoonia 22 : 75 – 82.

Van Wyk M, Wingfild BD, Marin M, Wingfild MJ. 2010. New Ceratocystis species

infecting coffee, cocoa, citrus, and native trees in Colombia. Fungal Diversity 40:

103-117.

Watanabe T. 1994. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morphologies of Cultured

Fungi and Key to Species. Lewis Publishers. (JP): Tokyo

Yuwono T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta: Penerbit

Andi.

26

LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Penelitian

Form Questioner

Kecamatan : Tanggal wawancara :

Desa : Tempat wawancara :

Pewawancara : Waktu wawancara :

Karakteristik petani

1. Nama :

2. Umur :

3. Pendidikan :

Tidak sekolah

SD

SMP

SMU

Perguruan Tinggi 4. Pekerjaan utama :

5. Pekerjaan sampingan :

6. Pengalaman usaha pala

< 5 tahun

> 5 – 10 tahun

> 10 – 15 tahun

> 15 – 20 tahun

> 20 tahun

Keadaan lahan

7. Topografi lahan

Datar

Berlereng

Berbukit

Lainnya …………………

8. Sejarah lahan

Tanaman yang ditanam sebelum pala adalah ………………….

Lama penanaman tanaman tersebut …………………..

Budidaya Pala

9. Asal bibit

bibit sendiri

Beli dari perusahaan pembibitan

Instansi pemerintah

Beli dari petani lain

Lainnya …………………… 10. Bila melakukan pembibitan sendiri, cara penyiapan bibit:

27

Secara generative dengan biji

Lainnya …………………… 11. Umur bibit yang ditanam :

12. Umur tanaman saat ini :

< 2 tahun

2 – 5 tahun

5 – 10 tahun

> 10 tahun 13. Luas lahan :

14. Jumlah pohon pala yang ada :

15. Pola tanam :

monokultur

Tumpang sari

Lainnya ………………………..

16. Pemeliharaan:

a. Pemupukan

Jenis pupuk Frekwensi/tahun Waktu pemupukan Dosis

Urea

TSP

KCL

NPK

Ca

b. Jenis gulma yang tumbuh :

c. Pengendalian gulma

Cara pengendalian Frekwensi/tahun Waktu Jenis alat/kimia

Mekanik

Herbisida

17. Gulma yang telah dibersihkan diletakkan di :

sekitar pohon

dibakar

dibuat pupuk kompos

Lainnya …………………………. 18. Apakan tanaman pala bapak/ibu terserang penyakit mati meranggas?

Ya Tidak

19. Sejak kapan tanaman bapak/ibu terserang penyakit tersebut ……………….

20. Berapa banyak pohon yang terserang ………………

21. Menurut bapak/ibu berapa persen kerusakan akibat penyakit tersebut?

< 10% > 25 – 50%

10 – 25% > 50%

22. Apakah serangan penyakit mati meranggas tersebut mengganggu pertumbuhan

23. Apakah serangan penyakit mati meranggas pada tanaman pala bapak/ibu telah

menyebabkan kematian ?

28

24. Berapa persen kematian tanaman pala bapak/ibu sampai saat ini?

< 10% > 25 – 50%

10 – 25% > 50%

25. Berapa persen kerugian ekonomi akibat serangan penyakit tersebut?

< 10% > 25 – 50%

10 – 25% > 50%

26. Apakah bapak/ibu melakukan pengendalian terhadap penyakit tersebut?

Ya Tidak

27. Pengendalian yang telah dilakukan

a. …………………

b. …………………………

c. ………………………….

d. …………………………

e. ………………………….

28. Jenis pestisida yang digunakan

Jenis/nama pestisida Frekwensi/tahun Waktu Dosis/takaran

29. Bagaimana hasilnya setelah pengendalian dilakukan?

Tidak ada pengaruh

Dapat mengurangi serangan penyakit

Lainnya …………………

30. Apa harapan bapak/ibu ke depan terkait dengan masalah yang dihadapi saat ini?

a. ……………………………

b. ……………………………

c. ……………………………

d. …………………………...

29

1 Survey lapangan di salah satu kebun petani di Kabupaten Aceh selatan

2 Isolat-isolat murni hasil isolasi dari bagian-bagian tanaman pala terserang

30

3 Teknik isolasi cendawan dari bagian tanaman pala terserang penyakit

Postulat Koch: Inokulasi Cendawan

4 Perlakuan postulat Koch pada bibit tanaman pala 1 tahun

31

5 Hasil pengujian postulat Koch

Isolasi DNA : Column based methods (teknik molekuler)

hifa homogenisasi + lisis bufer Inkubasi 60oC Ambil supernatan

+ binding buffer binding DNA

+ washing buffer I

+ washing buffer II

pengeringan resuspensi DNA

- Tahap Pretreatment

- Tahap Isolasi

6 Teknik molekuler untuk identifikasi cendawan

32

Lampran 2. Personalia Tenaga Peneliti

I. IDENTITAS DIRI

1.1 Nama Lengkap (dengan gelar) Ir. Susanna, M.Si.

1.2 Jabatan Fungsional Lektor Kepala

1.3 NIP/NIDN 196811301994032001 / 0030116801

1.4 Tempat dan Tanggal Lahir Langsa, 30 November 1968

1.5 Alamat Rumah Jl. Mesjid Inayatullah no.5, Kp. Cimanggis RT

03/01, Mekarwangi, Tanah Sereal, Bogor

1.6 Nomor Telepon/Faks 02517539210

1.7 Nomor HP 085261251136

1.8 Alamat Kantor Fakultas Pertanian Unsyiah

1.9 Nomor Telepon/Faks 0651-51977 Ps. 4245

1.10 Alamat e-mail [email protected]

1.11 Lulusan yang Telah Dihasilkan S-1= 31 orang S-2= - orang

S-3= - orang

1.12 Mata Kuliah yang Diampu 1. Botani

2. Mikrobiologi Pertanian

3. Organisme Pengganggu Tanaman

4. Pengelolaan Organisme Penganggu

Tanaman

5. Pengendalian Hayati dan Pengelolaan

Habitat

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

S-1 S-2 S-3

Nama PT Universitas Syiah Kuala IPB- Bogor

Bidang Ilmu Penyakit Tanaman Fitopatologi

Tahun Masuk-Lulus 1987 - 1992 1996 - 2000

Judul Tugas Akhir Pengujian Ekstrak Daun

Sirih terhadap Jamur

Colletotrichum capsici In

Vitro

Analisis Introduksi

Mikroorganisme

Antagonis untuk

Pengendalian Hayati

Penyakit layu

(Fusarium oxysporum

f.sp. cubense) pada

Pisang

Nama Pembimbing/

Promotor

1. Ir. Azwir Mirin

2. Ir. Helmi A.Gani

1. Dr. Ir. Meity

Sinaga, M.Sc.

2. Dr. Ir. Sientje

Mandang Sumarau,

M.Sc.

3. Prof. Dr. Ir. Ahmad

Surkati, M.Sc.

33

III. PENGALAMAN PENELITIAN

No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan

Sumber Jumlah (Juta Rp)

1.

1992

Pengujian Ekstrak Daun Sirih

terhadap Jamur Colletotrichum

capsici In Vitro.

Mandiri

2.500.000

2.

2000

Analisis Introduksi

Mikroorganisme Antagonis untuk

Pengendalian Hayati Penyakit

layu (Fusarium oxysporum f.sp.

cubense) pada Pisang

Mandiri

7.500.000

3.

2006

Analisis Introduksi Trichoderma

harzianum dan Pupuk Bokhasi

untuk Pengendalian Layu

Sklerotium pada Tanaman

Kedelai

PDM

10.000.000,-

4. 2008 Aplikasi Urine Sapi sebagai

Biofungisida Pyricularia oryzae

pada Tanaman Padi

PDM

10.000.000,-

5.

2008

Pengendalian Biologi Layu

Sklerotium pada Tanaman

Kedelai dengan Pseudomonas

fluorescens dan Trichoderma

harzianum pada Waktu Berbeda

PDM

10.000.000,-

6.

2009

Aplikasi Pupuk Hayati dan Pupuk

Kandang untuk Pengendalian

Hama Lalat Bibit (Ophiomyia

phaseoli) pada Tanaman Kedelai.

PDM

15.000.000,-

7.

2009

Keragaman dan Kesesuaian Inang

Jamur Endofitik yang Berasosiasi

pada Area Daun Tanaman Kakao

di Aceh

Hibah

Kompetitif

150.000.000,-

8. 2011 Peran Cendawan Trichoderma

virens dalam Merangsang

Perkecambahan benih dan

Hubungannya dengan

Peningkatan Auksin

PDM

15.000.000,-

9. 2011 Keanekaragaman Fungi Tanah

Per-kebunan Kopi Arabika dan

Potensinya sebagai Pengendali

Hayati Penyakit Busuk Akar Kopi

di Kabupaten Bener Meriah

Hibah

Bersaing

44.000.000,-

IV. PENGALAMAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

No. Tahun Judul Pengabdian Kepada

Masyarakat

Pendanaan

Sumber Jumlah (Rp)

1. 1996 Pembinaan sistem manajemen pada DPP 2.500.000,-

34

pesantren terpadu di Desa Ulee Lhee

2. 1996 Pembinaan petani dalam

pengembangan tanaman kacang tanah

(Arachis hypogea L.) pada lahan

sawah tadah hujan di Desa Tungkop

Kecamatan Darussalam Kabupaten

Aceh besar

DPP 2.500.000,-

3. 2005 Tehnik aplikasi insektisida Fipronil

pada padi sawah di Desa Lambitra

Kecamatan Darussalam

DPP 3.000.000,-

4. 2007 Pengenalan dan Pembuatan

Pestisida Organik untuk

Pengendalian Penyakit-Penyakit

pada tanaman Padi

IPTEKS 7.500.000,-

5. 2008 Pemanfaatan Pestisida Nabati untuk

Pengendalian Penyakit pada

Tanaman Sayuran

IPTEKS

7.500.000,-

6. 2009 Pemanfaatan Ekstrak Nimba

sebagai Pengendali Hama ulat

Grayak pada Tanaman Sawi

IPTEKS

7.500.000,-

7.

2010 Potensi Pemanfaatan Trichoderma

harzianum dan Kascing untuk

Pengendalian Penyakit Layu pada

Budidaya Tanaman Tomat di Desa

Tanjong Selamat Kecamatan

Darussalam Aceh Besar

IbM

48.000.000,-

8. 2010 Penerapan Metode Pengendalian

Hama Terpadu pada Budidaya

Tanaman Cabai di Desa Lambaro

Seubun Kecamatan Lhok Nga

Kabupaten Aceh Besar

IbM

50.000.000,-

V. PENGALAMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH

No. Tahun Judul Artikel Ilmiah Volume/

Nomor

Nama Jurnal

1.

2005

Analisis inroduksi Cendawan Antagonis

untuk Pengendalian Hayati Penyakit layu

(Fusarium oxysporum f.sp. cubense) pada

Pisang

11/2

Agrista

2.

2006

Pemanfaatan Bakteri Antagonis sebagai

Agen Biokontrol Penyakit Layu (Fusarium

oxsysporum f.sp. cubense) pada Tanaman

Pisang.

2/2

Floratek

3.

2007

Analisis Introduksi Trichoderma harzianum

dan Pupuk Bokhasi untuk Pengendalian

Layu Skelrotium Pada Tanaman Kedelqai

Varietas Lokal.

11/2

Agrista

35

4. 2008 Aplikasi Urine Sapi sebagai Biofungisida Pyricularia oryzae pada Tanaman Padi.

1/1 Rona Lingkungan

Hidup

5.

2008

Kompatibilitas Spodoptera litura Nuclear

Polyhedrosis Virus (SlNPV) dengan Ekstrak

Gadung Racun (Dioscorea hispida Denst)

terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura

Fab.

12/2

Agrista

6.

2009

Pemanfaatan Kascing untuk Menghambat

Perkembangan Fusarium oxysporum pada

Tanaman Tomat

13/3

Agrista

7.

2010

Aplikasi Pupuk Hayati dan Pupuk Kandang

untuk Pengendalian Hama Lalat Bibit

(Ophiomyia phaseoli) pada Tanaman

Kedelai.

5/2

Floratek

8.

2010

Dosis dan Frekuensi Kascing untuk

Pengendalian Penyakit Layu Fusarium pada

Tanaman Tomat

5/2

Floratek

9.

2010

Kemampuan Fungi Mikoriza Arbuskula

(FMA) dalam Menekan Perkembangan

Colletotricum capsici Penyebab Antraknosa

pada Cabai Merah (Capsicum annum L.)

12/2

Penelitian

Universitas

Jambi

(Seri Sains)

10. 2010 Detected and Characterize the Endophytic

Fungal Associated on Leaf Area Cacao

(Theobroma cacao L) Tree in East Aceh

Proceeding

ISHSFS

11. 2011 Pengaruh Dosis Fungi Mikoriza Arbuscular

(FMA) dan Trichoderma virens untuk

Mengendalikan Sclerotium rolfsii pada

Tanaman kedelai

4/2

Rona

Lingkungan

Hidup

Semua data yang saya isi dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai

ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya. Demikian biodata

ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan

Hibah Penelitian Disertasi Doktor Tahun Anggaran 2017.

Banda Aceh, Oktober 2017

Hormat saya,

Ir. Susanna, M.Si.

NIP. 196811301994032001

Susanna Hasan <[email protected]>

[WJST] Submission Acknowledgement1 pesan

Editor of Walailak J Sci & Tech <[email protected]> 7 September 2017 14.47Kepada: Susanna Hasan <[email protected]>

Dear Professor Susanna Hasan:

Thank you for submitting the manuscript, "DIAGNOSIS OF DIEBACK DISEASE OFTHE NUTMEG TREE IN ACEH SELATAN" to Walailak Journal of Science andTechnology (WJST). With the online journal management system that we areusing, you will be able to track its progress through the editorial processby logging in to the journal web site:

Manuscript URL: http://wjst.wu.ac.th/index.php/wjst/author/submission/4379Username: terataikami

If you have any questions, please contact me. Thank you for considering thisjournal as a venue for your work and hope you will enjoy publishing in thisjournal, and look forward to receiving articles from you in future.

PS. We encourage authors to submit the names of 5-7 referees suitable toreview the work to aid in the peer review process.

Editor of Walailak J Sci & TechWalailak Journal of Science and Technology (WJST)2014 SCImago Journal Rank (SJR): 0.207________________________________________________________________________Walailak Journal of Science and Technology (WJST)http://wjst.wu.ac.th2015 SCImago Journal Rank (SCOPUS): 0.199 (Q2)

Gmail - [WJST] Submission Acknowledgement https://mail.google.com/mail/u/0/?ui=2&ik=4951de0b96&jsver=9hi...

1 of 1 18/09/2017 20:57

Active Submissions http://wjst.wu.ac.th/index.php/wjst/author

1 of 2 18/09/2017 21:01

Active Submissions http://wjst.wu.ac.th/index.php/wjst/author

2 of 2 18/09/2017 21:01

http://wjst.wu.ac.th What are types of article? (MiniReview, Article)

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx): xxx-xxx.

DIAGNOSIS OF DIEBACK DISEASE OF THE NUTMEG TREE IN

ACEH SELATAN

Susanna*, Meity S. Sinaga

**, Suryo Wiyono**, Hermanu Triwidodo

**

*Studi Program of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Syiah Kuala University, Banda Aceh, Aceh

**Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Bogor Agriculture University

(*Corresponding author’s e-mail: [email protected])

Received: xxx, Revised: xxx, Accepted: xxx (Times New Roman, 10 pt, Italic)

Running title

Diagnosis of Dieback Diesease of The Nutmeg Tree

Abstract

Effective control disease measures require a great deal of knowledge about the pathogen, which is

also applied to dieback disease of the nutmeg tree in Aceh Selatan District. The objectives of this study

were to identify the causal agent of dieback disease on the nutmeg plantation and to assess the effect of

drought stress on the development of dieback disease. Pathogen identification was carried out by

observing the symptoms of infected plants, morphological characters of the isolated pathogens, Koch’s

postulates, as well as molecular analysis and pure pathogen cultures. The samples were taken from an

infected part of the nutmeg plant (twigs, stems, and roots) in six subdistricts at the center of the nutmeg

plantation in Aceh Selatan. Koch's postulate used the mycelia of pathogens on one-year-old nutmeg

seedlings. Drought stress was simulated everyday and then once every two weeks, to be able to study the

effect of drought stress on dieback. The results showed that there were four genera of fungal pathogens

(Botryodiplodia theobromae, Fusarium solani, Graphium euwallaceae, and Rigidoporus microporus) out

of six fungi associated with dieback disease. However, B. Theobromae Pat. turned out to be the dominant

fungi associated with dieback on the nutmeg tree in Aceh Selatan. Drought stress was proven to be a

predisposing factor for explaining this problem epidemic in Aceh Selatan.

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

2

Keywords: Drought stress, Koch’s postulates, pathogen, Botryodiplodia theobromae

Introduction

Nutmeg (Myristica fragrans) is an important plantation commodity for increasing Indonesia’s

foreign exchange and the livelihood of Indonesian society in general. As the world's largest nutmeg

supplier, Indonesia contributes 70% -75%, while the remaining 20% comes from Grenada and 5% from

Sri Lanka, Trinidad and Tobago. The most significant users of nutmeg products are the United States,

Britain, and Germany [4].

Aceh Selatan District is one of the centers of nutmeg production in Indonesia. The nutmeg

production of this region contributes greatly to the fulfillment of domestic and foreign nutmeg needs. The

area of nutmeg plantations in Aceh Selatan District in 1994 reached 11,245 ha with an average

productivity of whole nutmeg of 8.2 ton/ha. In 2003 the total area had decreased to 9,843 ha and the

average total productivity decreased to 1.1 tons/ha. In 2014, the average value of Aceh nutmeg

productivity had decreased to 0.7 tons/ha [3].

One of the factors that cause the declining productivity of nutmeg plants in Aceh Selatan is the so-

called ‘die-back’ disease. Cases of this disease continue to spread throughout the nutmeg production

centers in Aceh Selatan district. This has led to a production decline up to 70% [5]. Until 2016, the cause

of the disease was not known for certain. Symptoms of die-back disease appear as necrosis of leaves,

stems, branches, and twigs in the form of die-back that occur gradually and eventually result in complete

die-back. Pathogens can attack and cause death in Nutmeg plants from the nursery stage, young plants

that are not yet or already in production, or old ones [2, 6, 7].

The development of this disease may have been affected by prolonged drought impacts in

Indonesia's land areas and, at the same time, changes in the ratio between the length of the dry and rainy

seasons. This phenomenon has a negative impact on the agricultural sector, especially in terms of setting

the planting time and also causing the explosion of pest and plant diseases. The district of Aceh Selatan is

located in the West/South coast area, which is predicted to be affected by drought caused by the dipole

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

3

mode phenomenon [1]. In some cases, drought conditions will have an impact on the disease by making

the environment more or less favorable for infection, disease progression or disease spread. On the other

hand, drought exacerbates the damage caused by disease in drought-affected plants.

Knowledge of the cause of the disease and the trigger factor of its development is needed to develop

its control strategy. An understanding of the pathogens, as well as the factors driving the occurrence of

the epidemic, is not yet complete. Therefore, a research programme has been conducted to identify the

cause of the disease and to find out the effect of drought stress on die-back disease on the nutmeg tree in

Aceh Selatan.

Materials and methods

Research was conducted at Laboratorium Mikologi Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB,

Laboratorium Perlindungan Hutan, PusLitbang Hutan Bogor, and in the experimental grounds at Kp.

Cimanggis, Bogor, from September 2015–September 2016.

Disease Diagnosis and Identification of the Disease Cause

Infected plant samples (twigs, stems and roots) were taken from thirty six nutmeg plantations in six

sub-districts (Labuhan Haji Timur, Meukek, Sawang, Samadua, Tapaktuan and Pasie Raja) in Aceh

Selatan. Samples were taken from plant tissues (stems, twigs, and roots) showing symptoms of die-back,

leaf yellowing and necrosis. The samples of plant parts were surface sterilized, isolated, and incubated on

PDA media for three days at room temperature. The pathogen that grows is isolated and purified on the

PDA, then used to perform Koch’s postulates. Koch’s postulates were also performed on year-old

Myristica fragrans nutmeg seedlings. Inoculation was achieved by attaching cultures to stems or roots

that have been injured and then wrapped with sterile cotton. Each treatment uses five nutmeg seedlings.

Observations were made daily on the development of symptoms in seedlings.

Identification of pathogenic morphology refers to Street [12]; Leslie and Summerrel [9]; and

Watanabe [15]. Molecular identification refers to Sambrook and Russell [11]. The amplification product

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

4

produced was sent to Bioneer (Korea) to rank the nucleotides. The DNA sequence was identified using

BLAST and the data was compared with the NCBI GenBank data.

Drought Relation with Disease Occurrence

The association of drought with disease occurrence was analyzed based on rainfall data in Aceh

Selatan during the last fifteen years. Climate data was obtained from local BMKG and disease data for six

years was obtained from the Plantation General Directorate. Simulation of artificial drought stress was

achieved in the laboratory by watering once every two weeks, compared with daily watering. Artificial

inoculation uses pathogens detected in previous studies on one-year-old plant seedlings. Observations

were made daily; the observed variables were the latent period and the development of symptoms on

nutmeg seedlings. The water content of the soil was also measured during the treatment.

Results and discussion

Infected nutmeg plants in the field usually show initial symptoms of dieback, i.e. dried and withered

leaves on some twigs, which then spread from one branch to another until the whole part of the plant is

affected. The leaves become brownish, curling, and hanging and eventually fall. However there are plants

that wilt as a whole, showing yellowing, drying, falling leaves, and ultimately complete death.

Based on field observations on nutmeg plant, it is known that every symptom that occurs in infected

plants is clearly associated with die-back, either positively or negatively. Symptoms of die-back are

clearly associated with leaf discoloration, cancer, borers, and fungal rhizomorphs. The associated

symptoms are clearly exclusive, thus if one symptom occurs, the other symptoms are absent, for example

if one of these plants show wilting symptoms it does not show other symptoms of dieback, such as leaves

hanging, cancer, stem borers, or leaf loss (Table 1).

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

5

Table 1 Association of diseases signs and symptoms on the nutmeg trees in Aceh Selatan

Symptoms

of the

disease

W D LH D C SB R DL

W 1.000

D -0.173**

1.000

LH -0.222**

0.717**

1.000

D 0.309**

0.394**

0.550**

1.000

C -0.320**

0.350** 0.581

** 0.719

** 1.000

SB -0.183**

0.401**

0.608**

0.797**

0.893**

1.000

R -0.094 -0.089 -0.142**

0.214**

0.247**

0.242**

1.000

DL -0.149**

-0.199**

-0.289**

0.376**

0.491**

0.469**

0.549**

1.000 ** = Associate very real, Wilt (W), Dieback (D), Leaves hanging (LH), Discoloration (D), Cancer (C), Stem Borer

(SB), Rizomorph (R), Dieback and Leaf loss (DL); n = 360 trees

Koch Postulates, Morphological and Molecular Identification of Pathogens

Based on the Koch Postulate test, it has been observed that there are four types of fungus that show

the same symptoms, ranging from the formation of cancer in the seeds of inoculated plants, dead

shoots/twigs, hanging leaves until dieback, and when the stems are cut transversely or slashed, necrosis is

seen in its vessels (Figure 1). The test results prove that the fungi A, B, C, and D are the disease-causing

fungi (Table 2).

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

6

Infection of seedlings Cancer/root rot Discoloration/rot

Figure 1 Results of artificial inoculation of the nutmeg seedlings; Inoculation of Botryodiplodia

sp. (A); Inoculation of Graphium sp. (B); inoculation of Fusarium solani (C); Inoculation of Rigidoporus sp. (D); Without pathogens (K).

The initial symptom of artificial inoculation is cancer, with an average incubation period of thirty-

two days. The symptoms formed were initially not developed but after the seeds received drought

treatment, a month later symptoms of died shoots and twigs began to appear and then spread to all parts

of the plant, continued with the drying leaves, which were left hanging for four to eight weeks, then died,

and the plant suffered full dieback. The seeds of nutmeg plants inoculated with isolates of fungus D did

not show symptoms of cancer but displayed root rot symptoms because the pathogen was a fungus

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

7

isolated from the root parts of the nutmeg plant, showing the fungal hyphae (rhizomorph) that wrapped

around the root parts of the plant, but the symptoms formed on the upper parts of the plant showing

similar symptoms to those caused by other fungus tests.

Table 2 Symptoms of an isolated fungus

No. Fungus Result of postulat

Koch Result of identification

Frequency of isolates

Stem

(36)*

Twig

(36)*

Root

(36)*

1 A + Botryodilodia sp. 36 36 36

2 B + Graphium sp. 4 4 -

3 C + Fusarium solani 2 2 5

4 D + Rigidoporus sp. - - 2

5 E - Endomelanconiopsis sp. 1 - -

6 F - Clonotachys sp. 2 - -

Description: + = exists (positive at all stages of Koch postulate); - = none; * = The numbers in brackets

indicate the total number of samples

The frequency of the fungus when isolated from stricken plant tissue from thirty six sample sites

was very variable. Botryodiplodia sp. is the most dominant type of fungus found; it can even be found by

the direct spore trapping technique using MA and PDA media around the stricken plants. Four fungi (A,

B, C, and D) found in association with dieback plants give positive results at all stages of Koch

postulates. This proves that all four fungi can cause die-back symptoms. After the re-isolation of the test

plant, the four fungi showed similar results to the initially isolated pathogenic fungi (Table 2).

The isolated fungi were from six genera but only four isolates were pathogenic. Isolate A was

identified as Botryodiplodia sp., with white early colonies and very rapid growth of aerial mycelia, which

then turn gray on the fourth day and turn black on the seventh day. Microscopically the fungus has a

hyaline as initial hyphae that turns dark, can form pycnidia within ± 30 days after isolation by producing a

not insulated young hyaline conidia that later show a color change to brown, with partition in the center.

Isolate B is identified as Graphium sp. with white early colonies turning gray, and after seven days

turning black. This fungus has a conidiophore bond forming synema and conidia produced in cylindrical

form. Isolate C was identified as F. solani that forms a white colony with thin mycelium, has a long

conidiophore which produces two types of conidia, i.e. microconidia with either a partition or not; and

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

8

macroconidia with a partition between two and four, hyaline chlamydospores that are formed on the

intercalary or hyphae tip. Isolate D was identified as Rigidoporus sp. because it forms a thin white colony,

with hyaline hyphae and branches but does not have clam connection. The four isolates have

characteristics corresponding to the genus on the identification keys used (Figure 2).

Fungi Colony Conidiophore Conidia

Figure 2 Morphology of colonies on PDA medium and microscopic structure of pathogenic fungi

from nutmeg.

Furthermore, the molecular identification process was performed to confirm the morphologically

identified fungal species. Visualization of PCR results showed that band amplification performed using

primers ITS1 and ITS4 looked as expected. Amplification of DNA bands formed on agarose has a size of

about ~ 500-650 bp (Figure 3). The size corresponds to a group of fungi.

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

9

Figure 3 Electrophoresis visualization of PCR results of 4 fungi isolates using primary ITS1 and ITS4.

M = Marker; 1. Botryodiplodia sp .; 2. Graphium sp .; 3. F. solani; and 4. Rigidoporus sp.

According to Toju et al. [14], primary ITS is suitable for identifying field samples from the

Ascomycetes and Basidiomycetes fungi based on DNA strands. However, the fungus of the

Deuteromycetes group can also be detected with the primary ITS.

Pathogens A, B, C, and D, which were isolated from nutmeg samples, were identified as

Botryodiplodia theobromae (syn. Lasiodiplodia theobromae), Graphium euwallaceae, Fusarium solani,

and Rigidoporus microporus with 100% query cover characterization, 99% -100% identity and e-value

0.0 (Table 3).

Table 3 Identification of pathogenic fungi based on ITS compared with NCBI GenBank data

Isolate Description No. Assesion Strain Query cover

(%)

Identity

(%) E-value

A (LH) L. theobromae KM278132.1 NZD mf2 100 100 0.0

B (MK) G. euwallaceae KF54022.1 UCRFD97 100 100 0.0

C (TT) F. solani KU377470.1 C219 100 100 0.0

D (PR) R. microporus KM246744.1 RL 100 99 0.0

Description: - = is being re-sequenced

The Effect of Drought Stress on Dieback and Leaf Loss

What is important in understanding the epidemic of this disease is what triggers the epidemic.

Climatic data over the past fifteen years indicates that rainfall in South Aceh district has declined by as

much as 50.5% (Figure 4).

M 1 2 3 4

500 bp 650 bp

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

10

Figure 4 Graph of rainfall and rainy days for 15 years in Aceh Selatan District

Figure 5 Graph of area of nutmeg plant that died

for 6 years in Aceh Selatan District

Based on observations over the past six years, the area of nutmeg plants that have suffered dieback

disease in Aceh Selatan has increased from 2010 to 2015 (Figure 5). As this is associated with the much

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

Rai

ny

day

s (d

ays/

year

)

Rai

nfa

ll (m

m/y

ear)

Years

R (mm/year) RD(days/year)

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

9000

Aff

ecte

d a

rea (

ha)

AA/ha

Years

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

11

reduced rainfall that has occurred in Aceh Selatan district, the increased incidence of the dieback disease

in the field may be explained by the drought effect.

The impact of the drought phenomenon on nutmeg plants can be shown by providing very different

watering treatment. Experiments with drought simulations indicate the differences on initial time of the

emergence of each of the symptoms. Watering every two weeks (simulated drought conditions) shows

symptoms that appear more quickly and severely when compared with daily watering. In the daily

watering scheme only non-spreading cancer symptoms appear. The incision on the stem shows that the

xylem discoloration formed is more prominent in seedlings treated with drought stress, whereas in the

nutmeg plants seedlings that are watered every day the xylem discoloration is not well developed (Table 4

and Figure 6).

Table 4 Influence of watering on the development of die-back disease in nutmeg seedlings

Watering Isolate

The

begining of

cancer (dai)

The begining

of dieback

(dai)

Leaves hanging

(dai)

Dieback and

leaf loss (dai)

Length of

discoloration

(cm)

Everyday

Kontrol 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

B. theobromae 32.60 - - - 2.50

Graphium sp. 34.80 - - - 2.24

F. solani 35.00 - - - 2.64

Rigidoporus sp - - - - x

Once every two weeks

Kontrol 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

B. theobromae 29.60 59.40 121.40 155.00 8.86

Graphium sp. 33.00 63.75 (1/5) 125.00 (1/5) 155.75 (1/5) 4.28

F. solani 33.00 63.30 (1/5) 127.00 (1/5) 159.00 (1/5) 2.80

Rigidoporus sp - 66.00 (1/5) 125.00 (1/5) 157.00 (1/5) x

Description: - = not showing symptoms until the end of observation; x = root rot; dai = days after

inoculation

The development of plant roots is generally influenced by the balance between water, air, and soil

solidity. Good soil conditions support optimal growth of roots. A lack of water causes the soil structure to

harden so that it inhibits the development and function of the roots in absorbing nutrients and water. This

certainly has an impact on stunted plant growth, and increased root exudation resulting in weaker plants

[16]. When plants have already been weakened by drought, the risk and impact of infection by pathogens

will be even greater.

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

12

Symptoms of discoloration on the longitudinal incision of the stem Treatments

Figure 6 Symptoms of discoloration due to the effects of drought stress

Watering every two weeks, as a simulation of drought stress, induces very dry soil conditions at

about 25% of field capacity. This condition causes the plant to be severely stressed and weakened. The

district of Aceh Selatan has experienced a serious decline in rainfall over the last fifteen years. This is

likely to cause the plants to become stressed and thus more vulnerable to attack by pathogens. As a result

the occurrence of dieback disease has increased. For certain diseases such as stem and root rot, the

intensity of the attack is strongly influenced by the drought stress factor: the drier the condition is, the

higher disease’s intensity [7, 8, 13].

Drought affects the biochemical balance and concentration of many components in plant tissues,

including nitrogen compounds such as amino acids and nitrates; osmolites such as sugars and inorganic

ions; and chemical alleles, such as cyanogenic glycosides, terpenoids, and alkaloids. The increasing

concentration of these compounds may result in inhibition of plant growth, photosynthesis, and nutrient

uptake, so plants become more vulnerable to attack by pathogenic organisms. Additional important

factors for determining disease severity under dry conditions are pathogen status, plant part, and water

stress intensity [7].

Conclusions

The cause of die-back disease of nutmeg trees in South Aceh is Botryodiplodia theobromae Pat.

(syn. Lasiodiplodia theobromae (Patouillard) Griffon & Maubland). The epidemic of the die-back disease

Without pathogens on watering every two

weeks

Watering every two weeks

Watering everyday

Without pathogen on watering everyday

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

13

began from 2003. The dramatic decline of rainfall over the last fifteen years is a factor in triggering the

dieback epidemic of nutmeg trees. The lower the rainfall is, the more likely the disease to happen.

Acknowledgements

The authors are grateful to the Ministry of Research, Technology and High Education, Indonesia for

their financial to conduct this research work.

References

[1] [BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2017. Informasi Perubahan Iklim.

Stasiun Klimatologi Kelas IV Aceh Besar. Aceh (ID).

[2] Corcobado T, Cubera E, Juarez E, Moreno G, Solla A. 2014. Drought events determine

performance of Quercus ilex seedlings and increase their susceptibility to Phytophthora cinnamomi.

Agric. For. Meteor. 1 (8): 192 – 193.

[3] [Dishutbun] Dinas Kehutanan dan Perkebunan. 2014. Pedoman Pengamatan dan Pengendalian

Hama pada Tanaman Pala. Tapaktuan, Aceh Selatan.

[4] [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2016. Statistik Perkebunan Indonesia 2016. Jakarta

(ID). Dirjenbun Indonesia.

[5] Hadad EA, Firman C. 2003. Budidaya Pala. Balittro. Bogor (ID).

[6] Harni R, dan Trisawa IM. 2011. Observasi dan identifikasi penyebab matinya pala di daerah Aceh

Selatan. Laporan Kerjasama Dinas Kehutanan dan Perkebunan dengan Balai Penelitian Tanaman

Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Sukabumi.

[7] Jactel H, Petit J, Loustau ML, Delzon S, Piou D, Battisti A, and Koricheva J. 2012. Drought effects

on damage by forest insects and pathogens: a meta – analysis. Global Change Biol. 18: 267–276.

DOI: 10.1111/j.1365-2486.2011.02512.x

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

14

[8] Kolb TE, Fettig CJ, Ayres MP, Bentz BJ, Hicke JA, Mathiasen R, Stewart JE, and Weed AS. 2016.

Observed and anticipated impacts of drought on forest insects and disease in the United States. For.

Ecol. and Management 380: 321 – 334.

[9] Leslie JS. and Summerel BA. 2006. The Fusarium Laboratory Mannual. 1st ed. Blackwell

Publishing. Ltd. (US): Iowa.

[10] Lipiec J, Doussan C, Nosalewicz A, and Kondracka K. 2013. Effect of drought and heat stress on

plant growth and yield: a review. Int. Agrophys. 27: 463 – 477. DOI: 10.2478/intag-2013-0017

[11] Sambrook J. and Russel DW. 2001. Molecular Cloning a Laboratory Manual. 3th ed. Cold Spring

Harbor Laboratory Pr. (US): New York.

[12] Streets RB. 1972. The Diagnosis of Plant Diseases: A Field and Laboratory Manual Emphasizing

The Most Practical Methode for Rapid Identification. The University of Arizona Press. (US):

Tuscon – Arizona

[13] Sturrock RN, Frankel SJ, Brown AV, Hennon PE, Kliejunas JT, Lewis KJ, Worrall JJ, and Woods

AJ. 2011. Climate change and forest diseases. Plant Pathol. 60:133 - 149. Doi: 10.1111/j.1365-

3059.2010.02406.x

[14] Toju H, Tanabe AS, Yamamoto S, and Sato H. 2012. High-covarage ITS primers for the DNA-

based identification of Ascomycetes and Basidiomycetes in environmental samples. Plos. ONE 7(7)

: 1-11.

[15] Watanabe T. 1994. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morphologies of Cultured Fungi and

Key to Species. Lewis Publishers. (JP): Tokyo

[16] Whitmore AP. and Whalley WR. 2009. Physical effects of soil drying on roots and crop growth. J.

Exp. Bot. 60 (10): 2845 – 2857.

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

15

Names of 5-9 referees

1. Dr. Evi Toding Tondok, S.P., M.Sc.Agr., Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, e-mail: [email protected]

2. Dr. Ir. Kikin Hamzah M., M.Sc., Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut

Pertanian Bogor, Jawa Barat , e-mail: [email protected]

3. Prof. Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc., Departemen Proteksi Tanaman Pertanian institute

Pertanian Bogor, Jawa Barat, e-mail: [email protected]

4. Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, M.S., Departemen Proteksi Tanaman Institut

Pertanian Bogor, Jawa Barat, e-mail: [email protected]

5. Thomas E. Kolb., School of Forestry, Northern Arizona University, flagstaff, AZ, United States,

e-mail: [email protected]

6. Matthew P. Ayres, Department of Biological Sciences, Dartmounth College, Hanover, NH,

United States, e-mail: [email protected]

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

16

Diagnosis of Dieback Disease of The Nutmeg Tree Susanna, Meity S.Sinaga, Suryo Wiyono, and Hermanu Triwidodo

http://wjst.wu.ac.th

Walailak J Sci & Tech 2016; 13(xx)

17