diagnosis dan tatalaksana terkini inkontinensia urin pada wanita

14
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI INKONTINENSIA URIN PADA WANITA Dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K ABSTRAK Diag nosis dan tata laksana inkontinensia urin harus dilakukan den gan hati -hat i dan menyeluruh. Meski penyebabnya tampak jelas, tetapi inkontinensia urin juga dapat terjadi akibat kegagalan mekanisme sfingter , overaktivitas kandung kemih maupun otot detrusor. Diagnosis inkontin ensia urin tanpa komplikasi dapat dengan mudah ditegakkan dalam praktek sehari-hari. Pemeriksa an urodinamik dan sistoskop i dapat bermanfaat pada kasus yang kompleks, resisten terhadap pengobatan maupun berulang. Secara garis besar, inkontinensia urin dapat dibagi atas inkontinensia urin tipe stress, tipe urgensi atau tipe campuran. Terapi inkontinensia urin tipe stress difokuskan pada perbaikan fungsi kontinensia pada uretra, khususnya pada fungsi otot rangka di uret ra. Para digma pen gob atan terkini unt uk inko ntin ensi a urin tipe urgens i dip usat kan pad a tera pi farmakol ogik , yak ni memp erba iki ove rakt ivit as otot det rusor den gan obat-obat antimuskarinik. Terapi lainnya yang dimaksudkan untuk memperbaiki fungsi motorik dan sensorik saraf dapat dipakai untuk kasus-kasus yang membandel. Terapi inkontinensia urin tipe campuran perlu mempertimbangka n setiap komponen yang terdapat di dalamny a. Dengan dia gno sis yan g tep at, maka tera pi yan g efek tif pun dapat dib erika n untu k seba gia n bes ar pasien. Kata Kun!i" In#ontin$nsia urin, tip$ str$ss, tip$ ur%$nsi, tip$ !ampuran PENDA&ULUAN nkontinensia urin merupakan masalah yang biasa dihadapi dan mempengaruhi hampir dua pertiga populasi !anita. Prevalensi yang sebenarnya bisa saja lebih tinggi, karena pasien biasanya merasa malu untuk mengungkapkan masalahnya kepada dokter" diperkirakan hanya # dari $ !a nit a yang berus aha men ya mpa ika n kel uhannya pada dokte r dan berus aha mengobatinya. #  Diperkirakan, total biaya kesehatan tahunan untuk inkontinensia urin di %merika Serikat sebesar #&,' trilyun dollar %S. (  Selain mempen garuhi kualitas hidup, inkontinensia urin  juga menye babkan seju mlah komplika si seperti retens i urin, infeksi kronik sa luran kemih bag ian ba! ah dan refl uks vesi kour etra, yan g semuanya dap at mempeng aruh i kese hata n seca ra umum. %rtikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang penuntun diagnosis dan terapi terkini bagi para dokter untuk menangani inkontinensia urin pada !anita. 1 | Page

Upload: samsul-pop

Post on 17-Oct-2015

394 views

Category:

Documents


35 download

DESCRIPTION

Amir FauziInkontensia urin

TRANSCRIPT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI INKONTINENSIA URIN PADA WANITADr. Budi Iman Santoso, SpOG(K)

ABSTRAK

Diagnosis dan tatalaksana inkontinensia urin harus dilakukan dengan hati-hati dan menyeluruh. Meski penyebabnya tampak jelas, tetapi inkontinensia urin juga dapat terjadi akibat kegagalan mekanisme sfingter , overaktivitas kandung kemih maupun otot detrusor. Diagnosis inkontinensia urin tanpa komplikasi dapat dengan mudah ditegakkan dalam praktek sehari-hari. Pemeriksaan urodinamik dan sistoskopi dapat bermanfaat pada kasus yang kompleks, resisten terhadap pengobatan maupun berulang. Secara garis besar, inkontinensia urin dapat dibagi atas inkontinensia urin tipe stress, tipe urgensi atau tipe campuran. Terapi inkontinensia urin tipe stress difokuskan pada perbaikan fungsi kontinensia pada uretra, khususnya pada fungsi otot rangka di uretra. Paradigma pengobatan terkini untuk inkontinensia urin tipe urgensi dipusatkan pada terapi farmakologik, yakni memperbaiki overaktivitas otot detrusor dengan obat-obat antimuskarinik. Terapi lainnya yang dimaksudkan untuk memperbaiki fungsi motorik dan sensorik saraf dapat dipakai untuk kasus-kasus yang membandel. Terapi inkontinensia urin tipe campuran perlu mempertimbangkan setiap komponen yang terdapat di dalamnya. Dengan diagnosis yang tepat, maka terapi yang efektif pun dapat diberikan untuk sebagian besar pasien. Kata Kunci: Inkontinensia urin, tipe stress, tipe urgensi, tipe campuranPENDAHULUAN

Inkontinensia urin merupakan masalah yang biasa dihadapi dan mempengaruhi hampir dua pertiga populasi wanita. Prevalensi yang sebenarnya bisa saja lebih tinggi, karena pasien biasanya merasa malu untuk mengungkapkan masalahnya kepada dokter; diperkirakan hanya 1 dari 4 wanita yang berusaha menyampaikan keluhannya pada dokter dan berusaha mengobatinya.1 Diperkirakan, total biaya kesehatan tahunan untuk inkontinensia urin di Amerika Serikat sebesar 19,5 trilyun dollar AS.2 Selain mempengaruhi kualitas hidup, inkontinensia urin juga menyebabkan sejumlah komplikasi seperti retensi urin, infeksi kronik saluran kemih bagian bawah dan refluks vesikouretra, yang semuanya dapat mempengaruhi kesehatan secara umum. Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang penuntun diagnosis dan terapi terkini bagi para dokter untuk menangani inkontinensia urin pada wanita. DEFINISI Secara umum, inkontinensia urin berarti keluarnya urin tanpa disadari, menurut laporan seorang pasien.3 Menurut International Continence Society, batasan inkontinensia urin adalah keluhan berkemih tanpa disadari (involunter) yang menyebabkan masalah sosial dan higiene. IU dapat terjadi akibat gangguan fungsi saluran kemih bawah yang dipicu oleh sejumlah penyakit sehingga menyebabkan pasien berkemih pada situasi yang berbeda.4,5,6 Sedangkan overaktif kandung kemih (OKK) atau overactive bladder syndrome (OAB) didefinisikan sebagai urgensi dengan atau tanpa IU urgensi dan biasanya disertai oleh frekuensi dan nokturia sehingga IU urgensi disebut sebagai OAB basah. (lihat gambar 1). OAB yang terjadi tanpa IU urgensi disebut sebagai OAB kering. Kombinasi gejala ini menyokong gambaran urodinamik aktivitas detrusor yang berlebih atau sebagai dampak disfungsi uretrovesika.4

Gambar. 1. Spektrum definisi OAB. SUI: inkontinensia urin stress. UUI: inkontinensia urin urgensi. Mixed: inkontinensia urin tipe campuran

Berdasarkan sifat reversibilitasnya, IU dapat dibagi menjadi IU transien (IU akut) dan IU permanen (IU kronik) atau seringkali juga disebut sebagai established incontinence. IU transien adalah inkontinensia urin yang terjadi secara mendadak dan berlangsung sementara akibat kondisi yang bersifat akut (infeksi, penggunaan obat-obat baru, dsb), yang bila dibiarkan tidak diobati, maka akan menjadi IU persisten.7-10

Selain itu, IU juga dapat digolongkan menjadi IU urgensi, IU tipe stress, IU overflow, serta overactive bladder. Ada pula yang menggolongkan IU sebagai IU fungsional dan IU tipe campuran. Pengertian dan definisi singkat dari tipe-tipe IU dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Tipe-tipe Inkontinensia Urin

IU urgensi Kebocoran urin dalam jumlah besar yang tidak terkontrol (volume sedang hingga banyak) dan terjadi tidak terduga, termasuk saat tidur.

IU tipe stressKebocoran urin dalam jumlah sedikit saat melakukan gerakan fisik (batuk, bersin, berolahraga)

Overactive bladderRasa urgensi dan frekuensi untuk berkemih, dengan atau tanpa inkontinensia urin tipe urgensi

Overflow incontinenceKebocoran urin dalam jumlah kecil akibat kandung kemih yang terlalu penuh

IU fungsional Kebocoran urin terjadi akibat gangguan kognitif atau gangguan fisik (misalnya akibat demensia atau stroke) atau hambatan lingkungan yang menyebabkan turunnya pengendalian berkemih.

IU tipe campuran (mixed incontinence)Merupakan kombinasi dari setiap jenis IU di atas. Kombinasi yang paling umum adalah tipe campuran inkontinensia tipe stress dan tipe urgensi atau tipe stress dan tipe fungsional.2

FAKTOR RISIKO

Beberapa kondisi penyakit dan obat-obatan yang dipakai juga dapat berkaitan dengan inkontinensia urin. Kenalilah faktor-faktor risiko yang ada agar dokter dapat segera melakukan pemeriksaan awal untuk skrining.

Sejumlah kondisi tertentu dalam diri pasien dapat menjadi faktor risiko inkontinensia urin, yaitu: usia lanjut, kehamilan sebelumnya, riwayat persalinan per vaginam dengan trauma persalinan (misalnya persalinan dengan alat seperti forseps dan vakum dan robekan perineum), jumlah anak yang banyak (lebih dari tiga), riwayat pembedahan panggul dan abdomen, obesitas, aktivitas fisik yang berat dan riwayat mengompol pada masa kanak-kanak.

Selain itu, penyakit dan penggunaan obat-obatan tertentu juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin (lihat tabel 2 dan tabel 3).

Tabel 2. Kondisi medis yang dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin

Gangguan fungsi neuromuskular atau integritas jaringan Paritas dan persalinan per vaginam

Pembedahan panggul sebelumnya

Gangguan fungsi saraf sensorik dan motorik

Diabetes melitus

Penyakit Neurologik

Parkinson

Cerebrovascular accident

Multiple sclerosis

Trauma medula spinalis

Defek kongenital Stressor abnormal (volume, tekanan)

Gagal jantung kongestif

Penyakit paru obstruktif akut

Gangguan kognisi dan kegagalan kontrol kandung kemih volunter

Demensia

Penyakit psikiatrik

Tabel 3. Obat-obat yang dapat mencetuskan inkontinensia urin

Diuretik Obat yang menurunkan tonus uretra

Alfa-bloker

Obat yang mencetuskan retensi urin dan inkontinensia tipe overflowImipramin, antipsikotik, obat parkinson, antihistamin, analgesik opioid, alfa simpatomimetik, beta-simpatomimetik dan antagonis kalsium

Obat dengan mekanisme sedasi

Analgesik opioid, psikotropika, antihistamin, hipnotik dan anxiolitik

DIAGNOSIS

Evaluasi dasar pada inkontinensia urin meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis kerja dan mengenali faktor-faktor perilaku dan riwayat pengobatan sebelumnya yang mungkin dapat memperparah inkontinensia urin

ANAMNESIS

Anamnesis terdiri atas penilaian tentang kondisi inkontinensia yang dialami, dampaknya dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Berdasarkan gejala dan tanda yang diderita pasien, dokter dapat membedakan jenis inkontinensia urin yang terjadi (lihat tabel 4). Penggunaan Kuesioner untuk Diagnosis Inkontinensia Urin (KDIU), seperti yang terlihat pada gambar 2, juga akan sangat membantu Tabel 4. Tipe-tipe Inkontinensia Urin

Tipe GejalaTanda

Stresskebocoran urin saat batuk, bersin, melompat, aktivitas fisikkebocoran urin dengan peningkatan tekanan intra abdomen (misalnya batuk)

Urgensiterjadi kebocoran urin disertai rasa urgensi pada saat menuju kamar mandikebocoran urin pada saat inhibisi kontraksi otot detrusor hilang

Campurankebocoran urin tipe stress dan disertai gejala urgensikebocoran urin saat peningktan tekanan intra-abdomen dan saat kotnraksi detrusor hilang

Gambar 2. Kuesioner untuk Diagnosis Inkontinensia UrinSetelah jenis inkontinensia urin dapat ditentukan, maka hal berikut ini perlu dilakukan: Perkirakan jumlah hilangnya urin rata-rata dalam satu hari (jumlah pakaian dalam yang diganti setiap hari, perlunya mengenakan pembalut di luar periode menstruasi, jenis dan jumlah pembalut yang dipakai setiap harinya);

Nilailah seberapa besar gangguan yang ditimbulkan oleh inkontinensia urin tersebut bagi pasien (membatasinya dari aktivitas sosial, olah raga, dsb. Kecemasan bahwa gejala inkontinensia tersebut akan memburuk). Untuk menilai pengaruh inkontinensia urin terhadap kualitas hidup, gunakanlah kuesioner kualitas hidup seperti Contilife dan Ditrovie;

Cantumkanlah kapan dimulainya gejala, khususnya saat terjadi urgensi (seberapa sering hal itu terjadi, dan apakah ada kejadian mengompol saat masa kanak-kanak dulu);

Tanyakan riwayat obstetri, ginekologi dan pembedahan sebelumnya.

Cantumkan pemeriksaan maupun pengobatan yang pernah dilakukan seelumnya untuk mengobati inkontinensia;

Minta pasien untuk melengkapi catatan kegiatan harian berkemih (voiding diary) seperti yang terlihat pada gambar 3. Voiding diary akan membantu pasien untuk memperkirakan frekuensi inkontinensia tiap episode, dan situasi mengapa gejala tersebut timbul, serta membuat pasien sadar akan gejala tersebut. Buku harian itu sebaiknya dilengkapi pasien dalam waktu 2 sampai 3 hari, tidak perlu berurutan (misalnya, satu saat hari kerja dan yang lainnya pada saat akhir pekan).

Gambar 3. Contoh catatan harian kegiatan berkemih (urinary diary)

Setelah itu, nilailah kondisi yang dapat mencetuskan atau memperburuk inkontinenia urin yang terjadi dan kaitkan dengan faktor risiko yang mungkin ada pada pasien, misalnya:

Masalah-masalah saat berkemih, misalnya sering buang air kecil, disuria, hematuria (tumor saluran kemih), rasa terbakar saat kencing (infeksi saluran kemih)

Poliuria (diabetes, hiperkalsemia), nokturia (edema disebabkan karena gagal jantung kongestif);

Iritasi lokal atau nyeri saat berhubungan seks (vaginitis atrofi)

Masalah pencernaan (konstipasi atau bahkan impaksi feses)

Gangguan persarafan, misalnya disestesia, disfungsi sfingter ani

Masalah psikis seperti kebingungan, depresi, dan gangguan kognitif

Mobilitas yang menurunPemeriksaan Fisik

Untuk menilai kondisi pasien, maka dokter sebaiknya melakukan pemeriksaan diagnostik dasar dan lanjutan. Pemeriksaan diagnostik dasar meliputi:

Pemeriksaan saluran kemih dan kelamin. Pasien berbaring terlentang, dengan kondisi kandung kemih separuh penuh. Periksalah kemungkinan adanya prolaps organ panggul atau distensi kandung kemih. Pemeriksaan colok vagina dapat menilai kualitas dasar panggul dan kekuatan otot perineum Uji tekan batuk (cough stress test) untuk memeriksa adanya kebocoran urin. Pemeriksaan ini dapat memastikan diagnosis inkontinensia urin tipe stress. Uji ini sebaiknya dilakukan pada saat pasien berdiri dengan kondisi kandung kemih penuh agar dapat memaksimalkan kemungkinan terjadinya episode inkontinensia urin; pasien berdiri dan berusaha untuk batuk, sedangkan dokter mengamati kemungkinan kebocoran urin yang terjadi pada saat batuk (lihat gambar 4). Pemeriksaan sensitivitas perineum hanya bila dicurigai terdapat kelainan saraf

Gambar 4. Uji Tekan Batuk (Cough Stress Test)

Pemeriksaan volume sisa urin. Volume sisa urin diukur dalam waktu 10-15 menit pascakemih dengan melakukan kateterisasi sederhana atau dengan melakukan pemindaian kandung kemih (bladder scan). Pada inkontinensia urin tipe stress, pemeriksaan ini akan dapat menyingkirkan kemungkinan retensi urin pada pasien yang dicurigai mengalami retensio, yakni pada wanita dengan gejala neurologis atau pada pasien berusia lanjut dan pemeriksaan ini selalu dilakukan sebelum memberikan terapi pembedahan. Pada inkontinensia urin tipe urgensi, pemeriksaan ini hanya dilakukan sebelum memberikan obat antikolinergik dan hanya disarankan juga untuk pasien dengan kemungkinan retensio urin akibat gangguan saraf atau usia lanjut. Urinalisis. Para klinisi juga perlu mengirimkan pasien untuk pemeriksaan urinalisis sebagai skrining faktor intrinsik kandung kemih yang dapat menyebabkan terjadinya gejala inkontinensia urin, misalnya infeksi saluran kemih. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan sebelum sistoskopi atau pemeriksaan urodinamik. Pemeriksaan Diagnostik Lanjutan

Pemeriksaan berikut ini biasanya dicadangkan untuk situasi tertentu, yakni saat diagnosis tidak jelas, terapi konservatif gagal atau bila direncanakan terapi pembedahan.

Pemeriksaan berat lampin. Pemeriksaan berat lampin urin (pad weights) dapat bermanfaat ketika diagnosis inkontinensia tidak dapat ditegakkan secara obyektif di kamar praktek atau ketika gejala yang dilaporkan pasien tampaknya lebih berat daripada tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik atau pemeriksaan urodinamik. Pasien membungkus lampin urin yang telah dipakainya selama 1 hari penuh dengan kantung plastik kedap udara, dan kemudian beratnya ditimbang di kamar praktek dokter. Cara ini dipakai untuk mengukur banyaknya jumlah urin yang bocor.

Q-tip test. Pemeriksaan diagnostik ini hanya bermanfaat untuk menentukan terapi bedah yang terbaik dalam tatalaksana Inkontinensia urin. Pasien berbaring terlentang, dan alat Q-tip yang telah diberi pelumas dimasukkan ke dalam uretra, kemudian sudut dasar panggul diukur pada saat pasien beristirahat dan pada saat pasien melakukan kontraksi. Bila pada saat istirahat atau kontraksi ternyata sudut dasar panggul lebih dari 30 derajat, maka dapat ditegakkan diagnosis hipermobilitas uretra, dan terapi bedah yang mampu menyokong uretra dapat dilakukan. Bila tidak ada hipermobilitas maka terapi urethral bulking secara umum dapat dianggap sebagai terapi bedah terbaik Pemeriksaan urodinamik multi kanal . Pemeriksaan ini atau disebut juga dengan multi-channel urodynamics merupakan pemeriksaan standar baku emas untuk membedakan inkontinensia urin tipe stress dengan inkontinensia akibat aktivitas kandung kemih yang berlebihan (urge incontinence). Pemeriksaan urodinamik memungkinkan pemeriksaan tekanan di dalam uretra, kandung kemih dan abdomen dalam waktu yang bersamaan. Pemeriksaan ini juga membantu dokumentasi derajat keparahan stress inkontinensia urin, mengenali gangguan sfingter intrinsik sebagai penyebab SUI dan membantu evaluasi fungsi berkemih. Pemeriksaan urodinamik paling bermanfaat bagi wanita dengan gejala inkontinensia yang tidak jelas (tidak dapat digolongkan menjadi inkontinensia urin tipe stress atau tipe urgensi), dan pada wanita dengan gejala inkontinensia urin tipe campuran atau diduga mengalami gangguan sfingter intrinsik, pasien yang direncanakan akan mendapat terapi bedah dan/atau pasien yang dicurigai mengalami gangguan berkemih. Pengaruh pemeriksaan urodinamik dalam memperbaiki hasil terapi masih belum jelas. Pemeriksaan urodinamik biasanya hanya dianjurkan pada keadaan sebagai berikut: Bila diagnosis jenis inkontinensia urin masih belum jelas Bila inkontinensia urin tipe urgensi tidak membaik dengan pemberian antikolinergik Bila pembedahan disarankan sebagai terapi terbaik inkontinensia urin tipe stres Bila terdapat penyakit lainnya (misalnya masalah pengosongan kandung kemih, masalah volume residu urin pasca kemih, riwayat pembedahan untuk inkontinenisa urin sebelumnya, riwayat pembedahan pangggul, atau radiasi atau prolaps organ panggul derajat 3 atau 4, dan gangguan saraf Sistoskopi hanya disarankan bila dicurigai adanya tumor, misalnya pada pasien dengan gejala infeksi atau hematuria berulang Ultrasonografi saluran kemih bagian atas dan urografi intravena biasanya hanya dilakukan pada kasus-kasus yang rumit dan kompleksTATALAKSANA

Dalam menangani pasien dengan inkontinensia urin, para dokter perlu selalu mengingat untuk memulai terapi dengan mengenali perilaku-perilaku pasien yang dapat mencetuskan atau yang dapat memperparah gejala. Terapi non-bedah harus selalu dijelaskan terlebih dahulu dan pasien sebaiknya mencoba terapi non-bodah atau terapi dengan menggunakan obat dulu sebelum pasien dirujuk untuk terapi bedah.

Tatalaksana Inkontinensia Urin Tipe StressTerapi terpilih untuk inkontinensia urin tipe stres adalah latihan otot dasar panggul, yang kadang-kadang dikombinasikan dengan biofeedback atau stimulasi listrik. Latihan sejumlah teknik tampaknya lebih efektif daripada teknik tunggal saja. Latihan dapat dilakukan oleh ahli fisioterapi atau bidan. Latihan dasar panggul merupakan terapi lini pertama untuk inkontinensia urin tipe stres. Bila latihan ini dalam 10-20 sesi tidak memberikan hasil, pertimbangkan terapi lainnya.

Terapi untuk inkontinensia urin tipe stres meliputi modifikasi perilaku, terapi farmakologik dan terapi bedah. Modifikasi perilaku untuk pasien inkontinensia urin tipe stres adalah: 1) penggunaan inkontinensia pad; 2) batasi asupan cairan; 3) penurunan berat badan; 4) melatih waktu berkemih yang teratur; 5) menekan batuk. Terapi farmakologik yang biasa digunakan adalah Duloksetin, suatu inhibitor reuptake serotonin dan norepinefrin, yang biasanya dipakai sebagai antidepresan. Meski demikian efektivitas obat ini masih terbatas, dan efek sampingnya cukup signifikan. Penggunaan antikolinergik tidak direkomendasikan untuk inkontinensia urin tipe stres. Sedangkan terapi bedah meliputi: 1) Suspensi retropubik dari Burch dan Marshall-Marchetti Krantz; 2) Pubovaginal atau suburethral sling; 3)Mid-urethral sling; 4) Urethral bulking agents. Pasien perlu diinformasikan adanya berbagai jenis piluhan terapi dan mendiskusikan bersama dengan dokter mengenai terapi yang paling dianggap baik. Tatalaksana Inkontinensia Urin Tipe Urgensi

Terapi terpilih adalah latihan kandung kemih dengan didukung oleh terapi perilaku (membatasi asupan cairan, melatih frekuensi berkemih, melakukan pencatatan harian berkemih), latihan dasar panggul dan stimulasi listrik fungsional (untuk menghambat otot detrusor).

Obat antikolinergik juga dapat dipakai sebagai terapi lini pertama atau bila terapi perilaku telah gagal. Biasanya, obat diresepkan setelah diagnosis infeksi saluran kemih dan retensi urin dapat disingkirkan; atau bila pasien tidak mempunyai kontraindikasi terhadap obat antikolinergik maupun tidak menjalani terapi antikolinesterase. Terapi antikolinergik dapat dikombinasikan dengan terapi perilaku.

Antikolinergik yang direkomendasikan adalah oksibutinin, tolterodin atau trospium. Semuanya cukup efektif dan lebih baik dibanding plasebo untuk menghilangkan gejala inkontinensia urgensi (penurunan gejala sebesar 1 episode inkontinensia setiap 48 jam). Tolterodin dan trospium dapat ditoleransi lebih baik daripada oksibutinin.

Dosis awal yang direkomendasikan adalah oksibutinin 2,5 mg, 3 kalil sehari, dosis ini dapat dinaikkan hingga 5 mg, 3 kali sehari hingga mencapai dosis efektif untuk individu tersebut. Efektivitas oksibutinin, tolterodin dan trospium tercapai setelah terapi selama 5-8 minggu. Bila efek samping terasa berat, maka gantilah dengan antikolinergik jenis lainnya. Pasien tetap perlu diawasi akan risiko terjadinya retensi urin, perhatikan adanya distensi kandung kemih, khususnya pada pasien usia lanjut atau pasien dengan faktor risiko yang berat.

Sejumlah antikolinergik golongan baru juga sudah mulai dipakai dalam terapi inkontinensia urin tipe urgensi dan overaktif kandung kemih (lihat Tabel 5)Bila terapi antikolinergik tidak efektif setelah penggunaan 1-2 bulan, ada dua alternatif yang dapat dilakukan:

1. Bila obat antikolinergik diresepkan setelah uji urodinamik, maka gunakanlah antikolinergik jenis lain. Bila masih gagal juga, rujuk ke spesialis dan pertimbangkan terapi bedah.

2. Bila antikolinergik diresepkan tanpa uji urodinamik sebelumnya, maka lakukanlah uji urodinamik terlebih dahulu dan kemudian rujuk ke spesialis.

Tabel 5. Profil Antimuskarinik Untuk Terapi Inkontinensia urin tipe Urgensi

OksibutininOksibutinin TDSTolterodinTrospiumSolifenasinDarifenasin

Struktur kimiaAmin tersierAmin tersierAmin tersierAmin KuarternerAmin tersierAmin tersier

EfikasiPerbandingan sulit dilakukan karena teknik uji klinik dan karakteristik pasien berbeda-beda. Efikasi atau efektivitas obat serupa pada semua antimuskarinik: 60-75% menurunkan episode inkontinensia urin tipe urgensi

Efek sampingMulut kering, konstipasiIritasi kulitMulut kering, konstipasiMulut kering, konstipasiMulut kering, konstipasiMulut kering, konstipasi

Dosis5, 10, atau 15 mg3,9 mg2 atau 4 mg20 mg5 atau 10 mg7,5 atau 15 mg

RegimenIR: 2-4x sehari

ER: 1x sehari2x seminggusekali sehari2 x sehari Sekali sehariSekali sehari

Waktu paruh13,2 jam (10mg)36 jam8,8 jam (metabolit aktif)12,2 + 3,2 jam45-68 jam12,43 jam

(7,5 mg)

12,05 jam

(15 mg)

Bioavailabilitas oral Buruk (2-15%)----Baik (75%)Buruk (10%)Baik (90%)Buruk

(15-20%)

MetabolismeMetabolisme ekstensif di hati melalui isoform CYP450,

CYP3A4 (utama),

CYP 2D6Tidak ada eliminasi lintas pertama, kemudian dimetabolisme ekstensif di hati melalui isoform CYP450 Metabolisme ekstensif di hati melalui isoform CYP450,

CYP 2D6 (utama),

CYP 3A4Sekresi tubulus ginjal aktif sebagai rute elilminasi utama; esterifikasi hepatik, bukan melalui CYP450Metabolisme ekstensif di hati melalui isoform CYP450

CYP3A4Metabolisme ekstensif di hati melalui isoform CYP450

CYP3A4 dan CYP2D6

Interaksi obat yang berkaitan dengan metabolisme obat Itrakonazol

Mikonazol

Makrolid (ertiromisin, klaritromisin)Itrakonazol

Mikonazol

Makrolid (ertiromisin, klaritromisin)Ketokonazol,

Itrakonazol,

Mikonazol,

Makrolid (eritromisin, klaritromisin),

Siklosporin

VinblastinTidak ada; eksresi tubulus ginjal aktif; tetapi hati-hati saat memberikan obat ini dengan digoksin dan metformin atau obat lain yang dapat berkompetisi degnan eksresi ginjal aktif Dosis jangan lebih dari 5 mg bila diberikan bersama ketokonazol atau inhibitor CYP3A4 lainnya (yakni nefazodon, fluvoksamin,l TCA)Flekainid, tioridazin, TCA;

jangan lebiih dari 7,5 mg bila diberikan bersama:

ketokonazol,

itrakonazol,

ritonavir,

nelfinavir

klaritromisin,

atau nefazodon

KontraindikasiRetensi urin; retensi gaster dan kondisi lain dengan penurunan motilitas saluran cerna yang berat; glaukoma sudut sempit; hipersensitivitas terhadap obat

TDS = Transdermal delivery system; IR= immediate release; ER=extended release; CYP=cythochrome P; TCA= tricyclic antidepressants.

Tatalaksana untuk Inkontinensia Urin tipe Campuran Terapi lini pertama adalah latihan otot dasar panggul, yang dikombinasikan dengan stimulasi listrik, biofeedback atau terapi perilaku (yakni latihan otot kandung kemih) tergantung gejala manakah yang paling mengganggu bagi pasien, dan/ atau terapi antikolinergik.

Bila gejala tidak mereda setelah 10-20 sesi latihan dasar panggul dan/atau setelah terapi antikolinergik setelah 5-8 minggu, lakukan uji urodinamik dan rujuk ke spesialils.

KESIMPULAN

Inkontinensia urin merupakan masalah yang umum terjadi pada wanita. Sayangnya, sebagian besar wanita tidak berobat. Oleh karena itu, klinisi perlu menanyakan ada tidaknya gejala inkontinensia urin pada setiap pasien wanita.

Evaluasi klinis sederhana dapat dilakukan, salah satunya dengan algoritma yang ditunjukkan pada gambar 5.

Gambar 5. Algoritma Penatalaksanaan Inkontinensia Urin

Setelah evaluasi klinis yang sederhana dan diagnosis ditegakkan, maka terapi perilaku dan terapi non-bedah dapat dilakukan hanya berdasarkan gejala. Pendekatan terapi inkontinensia konvensional ini dapat secara signifikan memperbaiki gejala hingga 70%. Dengan cara ini, para klinisi di tingkat layanan kesehatan primer dapat mengatasi sebagian besar gejala inkontinensia pada wanita, dan memberikan rujukan hanya bila pendekatan yang dicoba ternyata gagal. Terapi bedah dapat efektif pada wanita dengan tanda inkontinensia urin tipe stres yang jelas dan pada pasien yang terapi perilaku dan non-bedahnya gagal. DAFTAR PUSTAKA1. Nygaard IE, Heit M. Stress urinary incontinence. Obstet Gynecol 2004;104:607-20.

2. Hu TW, Wagner TH, Bentkover JD, et al. Costs of urinary incontinence and overactive bladder in the United States: a comparative study. Urology 2004;63:461-5.3. Anaes. Management of female urinary incontinence in general practice. Clinical practice guidelines. May 2003. P. 1-13

4. National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). Urinary Incontinence : The Management of Urinary Incontinence in Woman. Didapatkan dari URL : http://www.nice.org.uk. Diunduh pada tanggal 10 Februari 2008 5. Holroyd-Leduc JM, Straus SE. Management of Urinary Incontinence in Women : Scientific Review. JAMA 2004;291(8):986-56. Scottisg Intercollegiate Guidelines Network. Management of Urinary Incontinence in Primary Care : A National Clinical Guideline. Edisi pertama. Edinburgh : SIGN 2004. Didapatkan dari URL : http://www.sign.ac.uk. Diunduh pada tanggal 10 Februari 2008 7. American Family Physician. Urinary Incontinence in Women. Diunduh November 2008 dari www.aafp.org/afp/980600ap/weiss.html

8. Lui PD. Urinary Incontinence. Diunduh November 2008 dari www.merck.com/mmpe/sec17ch2286html.

9. DuBeau CE. Urinary Incontinence. Diunduh November 2008 dari www.americangeriatrics.org/staging/products/ui/incon5.m.htm. 10. Bolz M. Urinary Incontinence Assessment in Older Adults Part I Transient Urinary Incontinence. Hartford Institute for Geriatric Nursing 2007;11.1:1-2

11. Mariappan P, Alhasso A, Ballantyne Z, et al. Duloxetine, a serotonin and noradrenaline reuptake inhibitor (SNRI) for the treatment of stress urinary incontinence: a systematic review. Eur Urol 2007;51:67-741 | Page