askep gerontik inkontinensia urin

26
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup. Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran 1

Upload: safiah-xixs

Post on 19-Jan-2016

321 views

Category:

Documents


30 download

DESCRIPTION

askep gerontik

TRANSCRIPT

Page 1: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan

jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi

normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki

kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus

berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua

makhluk hidup.

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian

dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh

setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku

yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia

tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang

kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan

berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat

kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang  cukup sempit, proses  tersebut

tidak tertandingi.

Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya

tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh.

Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang

sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung

sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan

jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit

demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.

Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik

maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan

yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses

penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya

daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi  merupakan ancaman bagi

integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan

kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang

dicintai.

Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme

yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta 1

Page 2: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai

dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling

berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier

dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan

fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan

keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses

kemunduran.

Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,

khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah

dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang

normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan

tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman bagi

integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan

kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang

dicintai.

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering

ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar

antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat

di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat

inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.

Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang

dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu

atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu

yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi

merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta

dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak

yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah

terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat

menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera

ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati,

2000).

2

Page 3: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

1.2 RUMUSAN MASALAH

Fokus dalam penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan konsep dasar

dari inkontinensia urin yang terjadi pada lansia yaitu mulai dari apa definisi dari

inkontinensia urin, etiologi, bagaimana patofisiologinya, tanda dan gejala,

pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan bagaimana asuhan keperawatan pada

lansia dengan inkontinensia urin.

1.3 Tujuan

Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan

yang tepat untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan dapat menerapkannya

dalam praktek pemberian asuhan keperawatan kepada pasien.

1.4 MANFAATManfaat dari penulisan makalah yaitu :

1.4.1 Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang inkontinensia urin pada lansia mulai dari definisi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan.

1.4.2 Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang bagaimana gambaran asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia urin.

3

Page 4: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang

tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).

Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak

terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan

jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya (FKUI,

2006).

Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah

kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif

dan menimbulkan gangguan hygiene dan social.

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)

a. Inkontinensia Dorongan

Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang

mengalami pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan

yang kuat untuk berkemih.

b. Inkontinensia Total

Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami

pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.

c. Inkontinensia Stres

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin

kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.

d. Inkontinensia refleks

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin

yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume

kandung kemih mencapai jumlah tertentu.

4

Page 5: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

e. Inkontinensia fungsional

Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin

tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.

2.3 Etiologi

Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :

a. Poliuria, nokturia

b. Gagal jantung

c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.

d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :

1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan

efek akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar

panggul.

2) Perokok, Minum alkohol.

3) Obesitas

4) Infeksi saluran kemih (ISK)

2.4 Tanda dan Gejala

a. Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)

1) Inkontinensia Dorongan :

a) Sering miksi

b) Spasme kandung kemih

2) Inkontinensia total

a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.

b) Tidak ada distensi kandung kemih.

c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.

3) Inkontinensia stres

a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.

b) Adanya dorongan berkemih.

c) Sering miksi.

d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.

4) Inkontinensia refleks

a) Tidak dorongan untuk berkemih.

b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.

5

Page 6: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.

5) Inkontinensia fungsional

a) Adanya dorongan berkemih.

b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

2.5 Patofisiologi

Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:

1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria (Kandung

Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi

keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak

keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada otot

detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter ekternal relaksasi,yang membuka

uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses

ini.Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang

dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi

urine.Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi kandung

kemih tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi esterogen

menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan

penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia, 2006).

2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.

Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak

dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu

menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.

6

Page 7: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

2.6 woc

7

Page 8: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

2.7 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman&Waspadji

S, 2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat

mahal.Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisik.

Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin.

Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi

tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan

keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi

litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat

diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya

kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.

a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan

fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.Tes laboratorium tambahan

seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsiumglukosasitol.

b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini

digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia

urine dan tidak inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga inkontinensia

urine. Pencatatan  pola berkemih tersebut dilakukan selam 1-3 hari. Catatan

tersebut dapat digunakan untuk memantau respons terapi dan juga dapat dipakai

sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor pemicu.

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,

mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,

medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu

berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang

keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman

yang diminum.

b. Terapi non farmakologi

8

Page 9: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya

inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula

darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan

latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik

relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan

dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.Lansia dianjurkan

untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya

diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3

jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan

kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal

kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila

ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif

(berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar

panggul secara berulang-ulang.

Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan

cara :

Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian

pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali.

Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10

kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat

tertutup dengan baik.

c. Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik

seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada

inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk

meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik

agonis sepertiBethanecholataualfakolinergik antagonis sepertiprazosinuntuk stimulasi

kontraksi, danterapi diberikan secara singkat.

d. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,

bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia

tipeoverflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan

9

Page 10: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia

prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

e. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan

inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang

mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.

f.Pemantauan Asupan Cairan

Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan

rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak ada

kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan secara

tidak tepat untuk mencegah kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan

cairan sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi

cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan

setiap harinya tetap sama.

10

Page 11: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

BAB III

Konsep Asuhan Keperawatan

3.1 Pengkajian

Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan

klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :

1)   Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,

pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.

2)   Keluhan Utama

Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,

urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.

3)   Riwayat Penyakit Sekarang

Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha

yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.

4)   Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih) yang

berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.

5)  Riwayat Penyakit keluarga

Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang

menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang

menderita DM, Hipertensi.

6)   Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :

a)   B1 (breathing)

Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai

oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.

b)   B2 (blood)

Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah

c)   B3 (brain)

Kesadaran biasanya sadar penuh

d)   B4 (bladder)

Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat

karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih

11

Page 12: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

serta disertai keluarnya darah  apabila ada lesi pada bladder, pembesaran

daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat

berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang

kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik /

pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing / dapat juga di

luar waktu kencing.

e)   B5 (bowel)

Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan

abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan

palpasi pada ginjal.

f)   B6 (bone)

Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas

yang lain, adakah nyeri pada persendian.

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih

dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih

2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama.

3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine.

4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak

adekuat

3.3 Intervensi

1) Diagnosa 1

Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk

berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa

melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia

Kriteria Hasil :

Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional penatalaksanaan.

Intervensi :

1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.

R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi kandung kemih

12

Page 13: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari

R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis

3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah

direncanakan

R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urine

sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.

4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi dengan

posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada

kebocoran yang lebih dulu.

R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.

5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000 ml,

kecuali harus dibatasi.

R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.

6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan

perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi

inkonteninsia.

2) Diagnosa 2

Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang

lama.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat berkemih

dengan nyaman.

Kriteria Hasil :

Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak

adanya bakteri.

Intervensi :

1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien

inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.

R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.

13

Page 14: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari

(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan

setelah buang air besar.

R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan

naik ke saluran perkemihan.

3. Ikuti kewas padaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung,

pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang

terjadi (memberikan perawatan perianal, pengosongan kantung drainase urine,

penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan

kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.

R: Untuk mencegah kontaminasi silang.

4. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan

masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi

sesuai dengan kebutuhan.

R: Untuk mencegah stasis urine.

5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.

Tingkatkan masukan sari buah berri.

Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.

R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri

diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan

masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran

kemih.

3) Diagnosa 3

Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan integritas kulit

teratasi.

Kriteria Hasil :

Jumlah bakteri <100.000/ml.

Kulit periostomal tetap utuh.

Suhu 37° C.

Urine jernih dengan sedimen minimal.

14

Page 15: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

Intervensi :

1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.

R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang

diharapkan.

2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit

bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-

kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan

ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung

urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.

R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan

kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine

dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.

4) Diagnosa 4

Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak

adekuat

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan seimbang

Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg

Intervensi

1. Awasi TTV

R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular, khususnya

pada pasien dengan fungsi jantung buruk.

2. Catat pemasukan dan pengeluaran

R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan

resiko kelebihan cairan

3. Awasi berat jenis urine

R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine

4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam

R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang terbatas

dan menurunkan rasa haus

5. Timbang BB setiap hari

R: Untuk mengawasi status cairan

15

Page 16: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

3.4 Evaluasi

Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari adanya

kemampuan dalam :

a) Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai dengan

asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat, kompresi pada

kandung kemih atau kateter

b) Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering tanpa

inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.

c) Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak ditemukan

adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.

d) Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi

inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.

16

Page 17: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

17

Page 18: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

BAB IVPENUTUP

4.1 Kesimpulan

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan

mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis

inkontinensia urine yang utama yaitu inkontinensiastres, urgensi, luapan dan

fungsional. Penatalaksanaan konservatif dilakukanpada kasus inkompetem sfingter

uretra sebelum terapi bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen atau mental maka

pengobatan disesuaikan dengan faktor penyebab.

4.2 SaranAgar penderita inkontinensia urine tetap menjaga kebersihan diri agar terhindar

dari infeksi pada saluran kemih bagian bawah dan tetap menjaga keseimbangan intake

dan output cairan, agar tidak terjadi deficit volum cairan. 

18

Page 19: Askep Gerontik Inkontinensia Urin

DAFTAR PUSTAKA

Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1. Jakarta:

EGC.

Hidayah, a. Aziz Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan (Edisi 2). Jakarta:

Salemba Medika.

Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Stanley, Mickey dan Patricia G. Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2.

Jakarta: EGC

Syaifuddin. 2003. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC.

19