bab i inkontinensia urin

42
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki dan tanpa melihat frekuensi maupun jumlahnya, yang mana keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan, higienis bagi penderitanya ( Martin dan Frey, 2005 ). Inkontinensia urin pada dasarnya bukan konsekuensi normal dari proses penuaan, tetapi perubahan traktus urinarius yang berkaitan dengan penambahan usia merupakan faktor predisposisi bagi usia lanjut untuk mengalami Inkontinensia urin (Juniardi, 2008). Inkontinensia urin erat hubungannya dengan penurunan kualitas hidup pasien seperti isolasi sosial, kesendirian dan kesedihan, gangguan psikiatri seperti depresi; rasa malu yang mempengaruhi aktivitas sehari-hari; stigmatisasi; gangguan pada hubungan seksual; dan gangguan tidur. Hal tersebut dikarenakan banyak orang yang mengidap inkontinensia urin namun mereka merasa enggan untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan agar bisa mencegah bahkan mengobati inkontinensia urin tersebut agar tidak menjadi semakin parah. Inkontinensia urin sangat erat kaitannya dengan morbiditas fisik, fungsional dan psikologi maka upaya identifikasi dini penyebabnya menjadi sangat penting sebagai dasar tata laksana atau rujukan ke pusat kesehatan spesialistik (Wahyuni, 2010). 1.2 Tujuan Untuk mengetahui definisi dari penyakit inkontinensia urin Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit inkontinensia urin

Upload: liadewi-mustika-sari

Post on 19-Jan-2016

198 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Inkontinensia Urin

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu yang

tidak dikehendaki dan tanpa melihat frekuensi maupun jumlahnya, yang mana keadaan ini

dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan, higienis bagi penderitanya ( Martin

dan Frey, 2005 ). Inkontinensia urin pada dasarnya bukan konsekuensi normal dari proses

penuaan, tetapi perubahan traktus urinarius yang berkaitan dengan penambahan usia

merupakan faktor predisposisi bagi usia lanjut untuk mengalami Inkontinensia urin (Juniardi,

2008).

Inkontinensia urin erat hubungannya dengan penurunan kualitas hidup pasien

seperti isolasi sosial, kesendirian dan kesedihan, gangguan psikiatri seperti depresi; rasa

malu yang mempengaruhi aktivitas sehari-hari; stigmatisasi; gangguan pada hubungan

seksual; dan gangguan tidur. Hal tersebut dikarenakan banyak orang yang mengidap

inkontinensia urin namun mereka merasa enggan untuk berkonsultasi dengan tenaga

kesehatan agar bisa mencegah bahkan mengobati inkontinensia urin tersebut agar tidak

menjadi semakin parah. Inkontinensia urin sangat erat kaitannya dengan morbiditas fisik,

fungsional dan psikologi maka upaya identifikasi dini penyebabnya menjadi sangat penting

sebagai dasar tata laksana atau rujukan ke pusat kesehatan spesialistik (Wahyuni, 2010).

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui definisi dari penyakit inkontinensia urin

Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit inkontinensia urin

Untuk mengetahui etiologi dari penyakit inkontinensia urin

Untuk mengetahui faktor resiko dari penyakit inkontinensia urin

Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit inkontinensia urin

Untuk mengetahui manifestasi klinik dari penyakit inkontinensia urin

Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari penyakit inkontinensia urin

Untuk mengetahui penatalaksanaan dari penyakit inkontinensia urin

Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari penyakit inkontinensia urin

Page 2: BAB I Inkontinensia Urin

BAB II

TEORI DAN KONSEP

2.1 Definisi Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi

yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial. (Pranarka,

2006) Inkontinensia urin dapat terjadi karena kelainan dari saluran kemih itu sendiri maupun

kelainan neurologik.

Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin. Trauma

terhadap sfingter internal dan eksternal uretra dapat menyebabkan inkonstinensia urin

(Martini, 2006).

Inkontinensia urin adalah kebocoran urin involunter yang menimbulkan masalah.

Inkontinensia urin dapat bersifat permanen atau temporer serta kontinu maupun

intermitten (Potter dan Perry, 2009).

Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan

masalah higienis dan sosial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering dijumpai

pada orang usia lanjut dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti dekubitus,

jatuh, depresi, dan isolasi dari lingkungan sosial. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau

persisten. Inkontinensia urin yang bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau masalah

yang mendasari diatasi seperti infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik,

obat–obatan dan masalah psikologik. Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat pula

dikurangi dengan berbagai modalitas terapi (Martin dan Frey, 2005 dalam Devrisa Nova

2010).

Dapat disimpulkan bahwa inkontinensia urin adalah keluarnya urin secara tidak sadar

dan ketidakmampuan untuk mengontrol pengeluaran urin dikarenakan beberapa penyebab

seperti trauma pada sfingter, infeksi, disfungsi otot dasar panggul, obat-obatan dll.

Inkontinensia urine yang berkepanjangan menciptakan potensial gangguan pada kulit.

Urine yang berkontak dengan kulit dapat merusak/mengiritasi kulit karena sifat urin yang

asam. Klien yang menderita imobilisasi dan inkontinensia urine beresiko menderita ulkus

tekan. Inkontinensia urin yang dialami pasien dapat menimbulkan masalah citra tubuh dan

mengakibatkan hilangnya kemandirian. Selain itu, pasien juga mengalami gangguan rasa

nyaman yaitu pakaian yang basah karena urin akan menimbulkan bau dan rasa malu.

Akibatnya klien sering menghindari aktivitas sosial (Potter dan Perry, 2009).

Kelainan inkontinensia urine sendiri tidak mengancam jiwa penderita, tetapi

berpengaruh pada kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor distres psikologis dan faktor

Page 3: BAB I Inkontinensia Urin

sosial yang sulit diatasi. (Yunizaf, 1999 dalam Lina Herida, 2009). Inkontinensia urin yang

tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin

(Hariyati, 2000).

2.2 Epidemiology

Di Indonesia, survey Inkontinensia urin yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian

Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo pada 208 orang usia

lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta (2002), mendapatkan angka kejadian

Inkontinensia urin tipe stress sebesar 32.2 %. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Poli

Geriatri RS Dr. Sardjito didapatkan angka prevalensi Inkontinensia urin sebesar 14.47 %

( Setiati dan Pramantara, 2007 dalam Devrisa Nova 2010).

Angka kejadian inkontinensia urin tidak dapat dideteksi secara pasti di Indonesia

tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian inkontinensia ternyata tinggi terutama

pada wanita dengan persalinan normal, persalinan yang lama, dan wanita yang sudah

melahirkan lebih dari satu kali. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan di

RSCM oleh Bajuadji (2004) untuk mengidentifikasi kejadian stress inkontinensia urin pada

ibu hamil, persalinan pervaginam dan persalinan perabdominal secara kohort-prospektif

periode Januari – Juni 2004. Penelitian ini menemukan bahwa angka kejadian stress

inkontinensia urin pada ibu hamil sebesar 37,1%, pada periode 6 minggu postpartum 34,1%

dari keseluruhan ibu yang melahirkan pervaginam dan perabdominal. Proporsi kejadian

inkontinensia urin lebih tinggi pada ibu dengan persalinan pervaginam (44,44%) daripada ibu

dengan persalinan pervaginam (15,5%). Responden yang mengalami inkontinensia urin pada

masa 3 bulan postpartum sebanyak 27,75%. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa

proporsi kejadian stress inkontinensia urin pada kehamilan lebih tinggi pada multipara

(64,96% ) dibandingkan primipara ( 7,09% ).

Inkontinensia urine lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Terdapat

banyak penelitian epidemiologis mengenai inkontinensia pada wanita, tetapi berbeda

dalam hal definisi, pengukuran inkontinensia, metodologi survei, dan pemilihan kohort

membuatnya sulit untuk melakukan perbandingan. Terdapat penelitian epidemiologis di

Amerika mengidentifikasi angka prevalensi sebesar 10-40% wanita tua yang mengalami

inkontinensia.

Hunskaar dan rekan (2005) meringkas data epidemiologis yang tersedia dan

menyimpulkan bahwa prevalensi inkontinensia urine pada wanita tua

Page 4: BAB I Inkontinensia Urin

mengalami peningkatan yang stabil (30% hingga 50%). Pada wanita tua inkontinensia yang s

ering terjadi adalah inkontinensia tipe campuran. Seperti yang telah disinggung diatas, resiko

inkontinensia urine meningkat seiring dengan peningkatan usia. Telah lama

dicurigai bahwa terdapat hubungan antara inkontinensia dengan menopause. Puncak preval

ensi inkontinensia adalah pada wanita yang telah menopause.

2.3 Etiologi

- Relaksasi dasar panggul (disfungsi)

- Infeksi

- Atrofi

- Obat-obatan

- Keluaran urine berlebihan

- Imobilitas (Geri Morgan & Carole Hamilton, 2009)

2.4 Faktor Resiko

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan

fungsi organ kemih, antara lain disebabkan melemahnya otot dasar panggul, kebiasaan

mengejan yang salah ataupun karena penurunan estrogen. Kelemahan otot dasar panggul

dapat terjadi karena kehamilan, setelah melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia

lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.

Kehamilan

Tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar

panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat

membuat otot otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan

penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya

inkontinensia urin.

Kadar hormon esterogen

Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia

menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot

pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urin.

Lansia

Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami

inkontinensia urin, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar

panggul. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Pada lansia

Page 5: BAB I Inkontinensia Urin

terjadi proses menua yang berdampak pada perubahan hampir seluruh organ tubuh

termasuk organ berkemih ang menyebabkan lansia mengalami inkontinensia urin.

Perubahan ini diantaranya melemahnya otot dasar panggul yang menjaga kandung

kemih dan pintu saluran kemih, timbulnya kontraksi abnormal pada kandung kemih

yang menimbulkan rangsangan berkemih sebelum waktunya dan meninggalkan sisa.

Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna menyebabkan urin di dalam

kandung kemih yang cukup banyak sehingga dengan pengisian sedikit saja sudah

merangsang untuk berkemih (Setiati, 2000).

Obesitas

Wanita dengan berat badan atau IMT yang tinggi memiliki peningkatan

resiko terjadinya inkontinensia urin. Ada beberapa alasan mekanik dan fisiologi

mengapa peningkatan IMT dikaitkan dengan inkontinensia urin. Semakin tinggi IMT

seseorang maka diikutii peningkatan tekanan intra abdomennya yang semakin

tinggi. Tentu saja peningkatan ini akan semakin menekan dasar panggul dan

mengurangi kemampuan pengendalian uretra dan kandung kemih. Pada keadaan ini

besarnya peningkatan tekanan intra abdomen mampu untuk menekan urin ke

uretra dengan sangat mudah. (Luber, 2004; Greer et al., 2008).

Resiko lain

Resiko Inkontinensia urin meningkat pada wanita dengan nilai indeks massa

tubuh yang lebih besar, riwayat histerektomi, infeksi urin, dan traumaperineal.

Penyebab Inkontinensia urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih

bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan

kemampuan / keinginan ke toilet (Martin dan Frey, 2005; Setiati dan Pramantara

2007).

2.5 Klasifikasi Inkontinensia Urin

Stress incontinence

Jenis inkontinensia ini paling sering terjadi pada wanita. Pengeluaran urin

secara tiba-tiba kurang dari 50 ml terjadi akibat meningkatnya tekanan

intraabdomen seperti pada saat batuk, bersin, berjalan, melompat dan gerakan-

gerakan lainnya. Inkontinensia ini mudah diatasi dengan kegel exercise. Stress

incontinence disebabkan karena kegagalan mekanisme sfingter untuk

mempertahankan penutupan jalan keluar urin selama proses pengisian kandung

Page 6: BAB I Inkontinensia Urin

kemih. Gangguan fungsi sfingter internal dapat terjadi akibat trauma dan jaringan

scar, atau atrofi uretra berat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya

stress incontinence adalah peningkatan usia yang menyebabkan otot dasar panggul

berdegenerasi dan mengalami perubahan struktur, kelemahan otot dasar panggul,

peningkatan tekanan intraabdominal berkaitan dengan obesitas, dan kehamilan.

Faktor-faktor ini akan menyebabkan leher kandung kemih dan uretra tidak tertutup

dengan baik. Stress inkontinensia disebabkan tekanan luar dari kandung kemih yang

melebihi tekanan penutupan sfingter uretra. Otot-otot detrusor vesika tidak aktif

atau tidak berkontraksi.

Pada saat persalinan otot-otot dan saraf-saraf pelvis mengalami stress dan

trauma karena mengalami peregangan dan tekanan selama proses keluarnya bayi.

Trauma pada saraf dan otot pelvis akan mengurangi kekuatan otot karena telah

mengalami regangan yang berlebih (Craven & Hirnle 200; Bajuadji ,2003). Hasil

penelitian Bajuadji (2003) menunjukkan angka kejadian stress inkontinensia pada

masa 6 minggu postpartum sebanyak 34,1 %. Faktor yang meningkatkan kejadian

stress inkontinensia pada masa 6 minggu postpartum adalah persalinan pervaginaan

dan ruptur perineum. Pada persalinan yang menggunakan forsep terjadi stress

inkontinensia urin pada masa 6 minggu postpartum sebesar 80 %.

Urge incontinence

Urge incontinence adalah ketidakmampuan kandung kemih menyimpan urin

dalam waktu yang lama sehingga terjadi pengeluaran urin tanpa disadari segera

setelah adanya keinginan besar untuk berkemih. Frekuensi berkemih lebih sering

(interval waktu berkemih kurang dari 2 jam). Keadaan ini disebabkan oleh

ketidakstabilan otot-otot detrusor, kelemahan otot-otot dasar pelvis yang dan

infeksi saluran kemih.

Pasien Inkontinensia dorongan (urge) mengeluh tidak dapat menahan

kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot

detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih

belum terpenuhi. Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan urgensi.

Inkontinensia tipe ini meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita (Purnomo,

2008). Istilah lain inkontinensia tipe ini adalah over aktivitas detrusor. Gejala klinis

yang timbul adalah keinginan berkemih yang mendadak dan terburu-buru.

Page 7: BAB I Inkontinensia Urin

Hal lain yang dapat mengakibatkan terjadinya Urge incontinence adalah

therapi diuretik, konsumsi makanan dan minuman yang mengandung kafein atau

alkohol, merokok dan peningkatan intake cairan (Craven & Hirnle, 2007). Urge

incontinence sering terjadi pada ibu postpartum karena adanya perubahan kapasitas

kandung kemih. Pada keadaan tidak hamil, kapasitas kandung kemih adalah 350 –

400 ml, sedangkan pada masa postpartum terjadi peningkatan akibat diuresis

menjadi 550 – 600 ml bahkan mencapai 1 liter (Demaria, 2005). Peningkatan

kapasitas kandung kemih dan produksi urin serta menurunnya sensistifitas otot

kandung kemih akibat edema pada masa postpartum akan menyebabkan

overdistensi pada kandung kemih.

Overdistensi kandung kemih merupakan salah satu penyebab terjadinya

urge incontinencia. Kondisi ini akan merangsang urin keluar tanpa disadari diluar

dari jadual berkemih (Craven & Hirnle, 2007). Menurut Pilliteri (2004), pada ibu

postpartum yang mengalami overdistensi kandung kemih akan mengalami residu

urin saat berkemih karena urin yang dikeluarkan saat berkemih hanya sebagian kecil.

Hal ini akan menambah overdistensi menjadi lebih serius. Bila kondisi ini terus

berlanjut akan menyebabkan gangguan permanen akibat kehilangan tonus otot

detrusor dan berakhir dengan inkontinensia permanen.

Reflex inkontinence

Keluarnya urine tanpa terkontrol dari kandung kemih yang sangat penuh,

dengan tekanan intravesikal lebih besar daripada tekanan penutupan uretra. Tidak

ada kontraksi atau aktifitas dari otot detrusor. Urine keluar dengan menetes terus

menerus. Jumlah urine yang keluar lebih banyak jika ada tekanan intraabdominal

yang menyebabkan tekanan pada kandung kemih yang sangat penuh seperti batuk,

bersin dan lain-lain. Keadaan ini kadang sulit dibedakan dengan retensio urine yang

kronis yang dikombinasi dengan overflow incontinence dan stress incontinence

(Ghetti, 2006 dalam Lina Herida, 2009).

Functional incontinence

Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami

pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan

inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa

Page 8: BAB I Inkontinensia Urin

bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk

mengeluarkan urin (Hidayat,2006).

Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran

kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif

berat yang menyebabkan pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi

(misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit

atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi (Smeltzer, 2001).

Total incontinence

Inkontinensia total adalah pengeluaran urin tanpa disadari yang terjadi

secara terus menerus.Kondisi ini dipengaruhi oleh kegagalan neurologi untuk

mencegah transmisi atau reflek yang mengindikasikan kandung kemih yang penuh.

Total incontinence dipengaruhi oleh adanya trauma atau penyakit yang

mempengaruhi nervus spinal cord dan kelainan anatomi seperti fistula (Kozier

et.al.,2003). Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi

neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma

atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati (Hidayat,

2006).

Overflow incontinence

Inkontinensia ini jarang terjadi pada wanita. Saat berkemih, urine tidak

dikeluarkan secara menyeluruh atau masih ada sisa urin sehingga kandung kemih

tidak pernah kosong. Inkontinensia ini sering menyebabkan infeksi kandung kemih.

(Ghetti, 2006 dalam Lina Herida, 2009)

Mixed incontinence

Inkontinensia ini merupakan kombinasi dua atau lebih jenis inkontinensia

urin. Biasanya paling sering adalah kombinasi urge incontinence dan stress

incontinence (Ghetti, 2006 dalam Lina Herida, 2009)

Transient incontinence

Inkontinensia ini merupakan pengeluaran urin yang sering dan dalam jarak

waktu pendek. Inkontinensia ini disebabkan oleh adanya infeksi dalam kandung

kemih. (Ghetti, 2006 dalam Lina Herida, 2009). Dalam beberapa sumber ada yang

Page 9: BAB I Inkontinensia Urin

mengklasifikasikan transient incontinence berdasarkan durasinya. Transient

Incontinence bersifat sementara dan biasanya hanya berdurasi singkat, sampai

faktor yang menimbulkan dihilangkan. Dialami oleh hampir separuh pasien di rumah

sakit dan pada sepertiga orang tua. Secara umum dihubungkan dengan masalah

medis, faktor lingkungan, dan terapi obat. Evaluasi pada pasien terhadap faktor yang

berhubungan dengan inkontinensia urin transien mampu mengembalikan

kemampuan pasien menahan kencing. Penyebab umum dari Inkontinensia Urin

Transien ini sering disingkat DIAPPERS, yaitu:

Delirium atau kebingungan - pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena

pengaruh obat atau operasi, kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan

dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium.

Infection – infeksi saluran kemih seperti cystitis dan urethritis dapat

menyebabkan iritasi kandung kemih, sehingga timbul frekuensi, disuria dan

urgensi yang menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai toilet untuk

berkemih.

Atrophic Uretritis atau Vaginitis – jaringan yang teriritasi dapat menyebabkan

timbulnya urgensi dan sangat berespon terhadap pemberian terapi estrogen.

Pharmaceuticals – karena obat-obatan, seperti terapi diuretik akan meningkatkan

pembebanan urin di kandung kemih.

Psychological Disorder – seperti stres, anxietas, dan depresi.

Excessive Urin Output – dapat karena intake cairan, diuretik, alkoholisme,

pengaruh kafein.

Restricted Mobility – penurunan kondisi fisik lain yang mengganggu mobilitas

untuk mencapai toilet.

Stool Impaction – pengaruh tekanan feses pada kondisi konstipasi akan

mengubah posisi kandung kemih dan menekan saraf. (Lusila Puri, 2010)

2.6 Manifestasi klinis

Inkontinensia urgensi : disfungsi neurologis, sistitis, obstruksi pintu keluar kandung

kemih

Inkontinsia stress : tonus otot panggul yang buruk, defisiensi sfingter uretra,

kongenital atau didapat, kelebihan berat badan

Inkontinensia campuran (mixed) : kombinasi gejala poin inkontinensia urgensi dan

stress

Page 10: BAB I Inkontinensia Urin

Inkontinensia overflow : Disfungsi neurologis, penyakit endokrin, penurunan

klenturan dinding kandung kemih, obstruksi pintu keluar kandung kemih (Gery

Morgan & Carole Hamilton, 2006)

Page 11: BAB I Inkontinensia Urin

2.7 Patofisiologi

Page 12: BAB I Inkontinensia Urin

2.8 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan ginekologi, harap diperhatikan adanya sistokel atau prolaps uteri pada

stadium lanjut. Penderita disuruh batuk, kemudian terlihat urin keluar dari uretra.

Perlu dilakukan pula penilaian urin sisa, bila urin sisa lebih dari 100 cc kemungkinan

penderita mengalami retensio urin, bila urin sisa kurang dari 50 cc, maka penderita

mengalami kelainan stres inkontinensia urin.

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Q Test

Bila terdapat penyimpangan-penyimpangan lebih dari 30o maka penderita

kemungkinan mengalami stres inkontinensia urin

2. Bony Test

Penekanan uretra dengan dua jari, bila kandung kemih terisi, penderita

disuruh batuk maka urin tidak akan keluar dari uretra sedangkan kalau tidak

ditekan urin akan keluar.

3. Pemeriksaan Pad Test

Penderita disuruh minum sebanyak 500 cc kemudian dalam waktu 30 menit

penderita disuruh naik tangga, jalan dan batuk-batuk. Lima belas menit

kemudian penderita disuruh duduk berdiri, duduk berdiri sebanyak 10 kali dan

batuk yang kuat serta mengambil barang yang jatuh di lantai. Enam puluh menit

setelah tes ini selesai (lama tes 60 menit). Pad ditimbang dengan hasil

kemungkinan:

a. Timbangan Pad bertambah 2 gram, ini berarti tidak ada stres

inkontinensia urin

b. Pad bertambah beratnya 2-10 gram disebut stres inkontinensia urin

derajat ringan

c. Pad bertambah 10-20 gram, ini berarti penderita mengalami stres

inkontinensia urin sedang

d. Pad bertambah beratnya 20-40 gram, ini berarti penderita mengalami

stres inkontinensia urin derajat berat.

e. Pad bertambah beratnya 40-50 gram, ini berarti penderita mengalami

stres inkontinensia urin derajat sangat berat.

4. Pemeriksaan Urodinamik

Pemeriksaan urodinamik dikerjakan hanya pada kasus-kasus yang diragukan

diagnostiknya atau terapi direncanakan operatif.

Page 13: BAB I Inkontinensia Urin

5. Sitoskopi

Dipakai untuk mennetukan adanya radang, tumor, struktur, perubahan

struktur vesika urinaria yang kianya dapat menimbulkan inkntinensia.

6. Urethrosistografi

Dapat memperlihatkan keadaan urethra, vesika urinaria, dan sudut antara

urethra dan vesica urinaria untuk memicu etiologi inkontinensia urin.

7. Sfingterometri

Menunjukkan bahwa tahanan dari muskulus rhabdosfingter lebih

tinggi daripada muskulus lissosfingter dengan memanfaatkan miografi.

8. USG : untuk melihat kelainan pada vesica urinaria

9. Foto konvensional : untuk melihat kelainan pada panggul.

2.9 Penatalaksanaan

Sejauh ini, penatalaksanaan inkontinensia urine terdiri atas tiga kategori utama,

yaitu terapi nonfarmakologis (intervensi perilaku), farmakologis,dan pembedahan. Di bawah

ini akan diuraikan penatalaksanaan inkontinensia urin.

Penatalaksanaan Inkontinensia Urin Dengan Non Farmakologis

Terapi yang sebaiknya pertama kali dilakukan untuk mengatasi inkontinensia

urin adalah terapi nonfarmakologis sebelum menetapkan menggunakan terapi

farmakologis. Intervensi keperawatan yang bersifat independent yang dapat

dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin antara lain : behavioral oriented

seperti bladder training, kegel exercise dan pengaturan diit. Di bawah ini akan

diuraikan masing-masing intervensi nonfarmakologis, farmakologis dan

pembedahan (Kozier et.al.,2003; Ghetti, 2006).

Behavioral Oriented / Pengaturan Diet

Intervensi ini digunakan untuk mengatasi gejala ringan dari

inkontinensia stress. Mengurangi pemasukan cairan (tidak lebih dari 8 gelas

dalam 24 jam), dan menghindari makanan/minuman yang mempengaruhi

pola berkemih (seperti cafein, dan alkohol). Kafein dan alkohol bersifat

mengiritasi kandung kemih. Selain dapat mengiritasi otot kandung kemih

kafein juga bersifat diuretik dan akan meningkatkan frekuensi berkemih.

Selain itu alkohol akan menghambat hormon antidiuretik sehingga produksi

urin meningkat.

Page 14: BAB I Inkontinensia Urin

Menurut Ghetti (2006), makanan dan minuman dapat menyebabkan

inkontinensia seperti kafein (ditemukan dalam kopi,teh, soda, soft drink dan

coklat), dan alkohol. Dengan membatasi makanan dan minuman tersebut

dapat mengurangi inkontinensia. Hal yang sama disampaikan oleh Arya, et.al

(2000, dalam Howard, et.al. 2008) yang menyatakan bahwa penelitian

membuktikan bahwa inkontinensia urin dapat diatasi dengan mengurangi

konsumsi kafein.

Pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin

dan overactive bladder menunjukkan ada hubungan antara gejala

inkontinensia urin dengan konsumsi kafein sehingga pasien dengan

inkontinensia urin dan overactive bladder direkomendasikan untuk

mengurangi konsumsi kafein tidak lebih dari 200 mg/dl atau tidak lebih 2

gelas perhari. Howard, et al. (2008) juga menyatakan bahwa pasein dengan

urgency, frekuensi urin dan urge incontinence mengalami perbaikan setelah

menerapkan bladder training dan mengurangi konsumsi kafein.

Menurut Newman (2004, dalam Howard, et.al. 2008) kafein dan

alcohol yang terdapat dalam makanan dan minuman dapat menyebabkan

diuresis atau iritasi kandung kemih yang berkontribusi terhadap overactive

bladder dan gejala inkontinensia urin. Kiney (1999, dalam June Russells

Health Fact, 2005) menyatakan bahwa alkohol dapat menghambat sekresi

hormon oleh kelenjar pituitary sehingga pengeluaran urin menjadi

berlebihan dan frekuensi berkemih dapat meningkat. Alkohol dapat

mengganggu sistem saraf pada kandung kemih dan menurunkan sensitivitas

kandung kemih dan kadang kadang menyebabkan kandung kemih terlalu

aktif yang dapat menyebabkan urge incontinence.

Bladder Training

Bladder training adalah salah satu upaya untuk menangani

inkontinensia urin dengan cara mengembalikan fungsi kandung kemih yang

mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal (Australian

Government, Departement of Health And Ageing, 2003). Bladder training

umumnya digunakan untuk mengatasi stress incontinence, urge incontinence

dan mixed incontinence. Bladder training dilakukan dengan cara sebagai

berikut : Saat ada rangsangan ingin berkemih cobalah untuk mulai menahan

Page 15: BAB I Inkontinensia Urin

urin selama 5 menit, bila mampu menahan selama 5 menit tingkatkan

samapi 10 menit dan seterusnya sehingga jarak berkemih 2 –3 jam. Lakukan

bladder training 3 – 12 minggu (Ford Martin, 2002 dalam Lina Herdiana,

2009).

Kegel’s Exercise

Kegel adalah nama dari latihan untuk menguatkan otot dasar panggul.

Latihan Kegel merupakan suatu upaya untuk mencegah timbulnya

inkontinensia urin. Mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus otot

dapat terjadi karena adanya rangsangan sebagai dampak dari latihan. Otot

dapat dipandang sebagai suatu motor yang bekerja denga n jalan

mengubah energi imia menjadi tenaga mekanik berupa kontraksi dan

pergerakan untuk menggerakkan serat oto yang terletak pada interaksi aktin

dan miosin. Prosesinteraksi tersebut diaktifkan oleh ion kalsium dan

adenotrifosfat (ATP), yang kemudian dipecah menjadi adenodifosfat (ADP)

untuk memberikan energi bagi kontraksi otot detrusor. Cara latihan Kegel

adalah dengan melakukan kontraksi pada otot puboccygeus dan menahan

kontraksi tersebut dalam hitungan 10 detik, kemudian kontraksi dilepaskan.

Pada tahap awal bisa dimulai dengan menahan kontraksi selama 3 hingga 5

detik. Dengan melakukan secara bertahap otot ini semakin kuat, latihan ini

diulang 10 kali setelah itu mencoba berkemih dan menghentikan urin.

(Pujihidaya, 2010)

Penatalaksanaan Inkontinensia Urin Dengan Farmakologis

Therapi farmakologis digunakan jika behavioral oriented atau therapi lain

tidak memperbaiki kondisi inkontinensia urin. Terapi farmakologis umumnya

memakai obat-obatan dengan efektivitas dan efek samping yang berbeda. Obat-

obatan yang sering digunakan untuk mengatasi inkontinensia urin antara lain :

Antimuscarinic yang berfungsi untuk mencegah kontraksi dan pengosongan

kandung kemih sebelum mencapai volume yang dapat merangsang

mikturisi.

Alpha-adrenergic agonist seperti phenylpropanolamine dan

pseudoephedrine yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot

spingter

Page 16: BAB I Inkontinensia Urin

Imipramine, tricyclic antidepressant, bekerja hamper sama dengan obat

alpha-adrenergic.

Therapi estrogen dapat digunakan untuk mengatasi inkontinensia pada

wanita menopause. Estrogen berfungsi untuk meningkatkan tonus, dan

aliran darah ke otot spingter uretra.

Pembedahan

Tindakan pembedahan dilakukan bila penyebab inkontinensia sudah

teridentifikasi dengan tepat. Tujuan pembedahan adalah untuk menaikkan dan

menyokong leher kandung kemih agar dapat kembali ke posisi normalnya yaitu di

atas otot dasar pelvis.

Penatalaksanaan umum (lihat google book)

A. Kaji riwayat lngkap

1. Kaji gejala-gejala pasien

a. Urgensi

Tidak tertahankan

Frekuensi >7kali/hari

Pengeluaran urin dalam jumlah banyak

Bangun pada malam hari untuk berkemih

b. Inkontinensia Stress

Kebocoran urin selama aktivitas fisik

Jumlah urin yang keluar sedikit dsertai dengan inkontinensia

Kesulitan mencapai toilet tepat pada waktunya, mengikuti

desakan untuk berkemih

c. Inkontinensia kombinasi-Beberapa gejala, baik inkontinensia urgensi dan

stress yang telah dijelaskan sebelumnya

2. Dapatkan daftar riwayat obat-obatan lengkap yang pasien konsumsi, cari

daftar obat yang mungkin menyebabkan inkontinensia

Urgensi- diuretik dan kafein

Sering berkemih- diuretik

Retensi urine-antikolinergik, narkotik, antagonis alfa- dan beta-

adregenik dan penyekat-salurn kalsium

Inkontinensia overflow- antikolinergik dan penyekat saluran kalsium

Page 17: BAB I Inkontinensia Urin

Inkontinensia stress-antagonis alfa-adrenergik

3. Lakukan pemeriksaan fisik lengkap

Observasi gaya berjalan, afek dan status mental

Lakukan pemeriksaan ginekologi lengkap

- Periksa adanya lesi, massa, posisi dan ukuran serviks serta

uterus, tonus dasar panggul, pengerasan feses, dan keadaan

jaringan vagina

- Observasi tonus uretra

- Periksa Keutuhan saraf pudendal

2.10 Asuhan Keperawatan

Trigger

Seorang perempuan usia 66 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan

sering berkemih secara tiba-tiba dan tidak terkontrol ketika klien tertawa, batuk,

atau bersin. Keluhan tersebut dirasakannya sejak tiga bulan yang lalu. Klien merasa

tidak nyaman dan takut karena menganggap penyakitnya tidak kunjung sembuh.

Pasien memiliki riwayat penyakit jantung sehingga rutin mengkonsumsi obat-obatan

digoxin 1x0,125 mg dan furosemide 2x40 mg. Dari pemeriksaan fisik diketahui TB

144 cm, BB 70 kg, TD 140/90 mmHg, N 84x/menit, RR 20x/menit, S 36,8oC. Hasil

pemeriksaan penunjang sebagai berikut: Q-tip test diketahui penyimpangan >35o,

ureum 20 mg/dl, kreatinin 1 mg/dl. Saat ini perawat sedang menyusun asuhan

keperawatan pada klien.

Pengkajian

1. Identitas Klien

- Nama : Nyonya M

- Usia : 66 tahun

- Jenis kelamin : Perempuan

- Tanggal Pengkajian : 4 juni 2014

- Sumber informasi : Pasien

2. Status kesehatan klien saat ini

Page 18: BAB I Inkontinensia Urin

- Keluhan utama : Sering berkemih secara tiba-tiba dan tidak

terkontrol ketika klien tertawa, batuk, atau bersin.

- Lama keluhan : Keluhan dirasakan tiga bulan yang lalu

- Kualitas keluhan : -

- Faktor pencetus : Pada saat klien tertawa,batuk dan bersin

- Faktor pemberat : Adanya riwayat penyakit jantung

- Diagnosa medis : Inkontinensia urine

3. Riwayat kesehatan saat ini

Klien mengeluh sering berkemih secara tiba-tiba dan tidak terkontrol ketika

klien tertawa, batuk, atau bersin. Keluhan tersebut dirasakannya sejak tiga bulan

yang lalu. Klien merasa tidak nyaman dan takut karena menganggap penyakitnya

tidak kunjung sembuh.

4. Riwayat Kesehata Terdahulu

Pasien memiliki riwayat penyakit jantung sehingga rutin mengkonsumsi

obat-obatan digoxin 1x0,125 mg dan furosemide 2x40 mg.

5. Pemeriksaan Fisik

- Tinggi Badan : 144 cm

- Berat Badan : 70 kg

- Tekanan darah : 140/90 mmHg

- RR : 20x/menit

- Nadi : 84x/menit

- Suhu : 36,8oC

6. Hasil pemeriksaan penunjang

Q-tip test diketahui penyimpangan >35o, ureum 20 mg/dl, kreatinin 1 mg/dl.

7. Kesimpulan

Perlu pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut untuk pasien ini

Page 19: BAB I Inkontinensia Urin

Daftar Prioritas

No Daftar Prioritas TTD

1 Inkontinensia Urine Stres ditandai dengan melaporkan

rembesan involunter sedikit urin pada saat batuk, tertawa

dan bersin berhubungan dengan perubahan degeneratif

pada otot-otot pelvik dan adanya riwayat penyakit jantung

2 Gangguan rasa nyaman ditandai dengan melaporkan

perasaan tidak nyaman berhubungan dengan gejala terkait

penyakit ( sering berkemih secara tiba-tiba dan tidak

terkontrol pada waktu batuk, bersin dan tertawa) dan efek

samping terkait terapi (medikasi: furosemid dan digoxin)

3 Defisiensi pengetahuan berhubungan denga kurang

pajanan yg ditandai dengan pengungkapan masalah

Page 20: BAB I Inkontinensia Urin

ANALISA DATA 1

N

O

DATA ETIOLOGI MASALAH

1 DS :

- Klien mengeluh sering

berkemih secara tiba-

tiba dan tidak terkontrol

ketika klien tertawa,

batuk, atau bersin.

DO :

- Q-tip test diketahui

penyimpangan >35o

- ureum 20 mg/dl

- kreatinin 1 mg/dl.

Faktor Risiko (usia, jenis kelamin,

dan obesitas)

Kelemahan otot pelvis dan

struktur dasar penyokongnya

Terjadi gangguan fungsi pada

saluran kemih bagian bawah

ada aktivitas yang meningkatkan

tekanan intraabdomen seperti

(tertawa, bersin, batuk)

meningkatkan tekanan intravesikal

Melebihi tekanan penutupan

sphincter uretra

Terjadi inkontinensia urin tipe

stress

Inkontinensia Urine Stres

Page 21: BAB I Inkontinensia Urin

inkontinensia urin stress

ANALISA DATA 2

N

O

DATA ETIOLOGI MASALAH

Page 22: BAB I Inkontinensia Urin

2 DS :

- Klien mengeluh sering

berkemih secara tiba-

tiba dan tidak terkontrol

ketika klien tertawa,

batuk, atau bersin.

- Klien merasa tidak

nyaman

DO :

- Pasien tampak tidak

nyaman

Faktor Risiko (usia, jenis kelamin,

dan obesitas)

Kelemahan otot pelvis dan struktur

dasar penyokongnya

Terjadi gangguan fungsi pada

saluran kemih bagian bawah

ada aktivitas yang meningkatkan

tekanan intraabdomen seperti

(tertawa, bersin, batuk)

meningkatkan tekanan intravesikal

Melebihi tekanan penutupan

sphincter uretra

Sfingter uretra menjadi lemah ketika terdapat adnya aktivitas

(batuk, tertawa, bersin)

Buang air kecil menjadi tidak terkontrol

Gangguan Rasa Nyaman

Page 23: BAB I Inkontinensia Urin

Ketidaknyaman

Gangguan rasa nyaman

ANALISA DATA 3

N

O

DATA ETIOLOGI MASALAH

Page 24: BAB I Inkontinensia Urin

1 DS :

Klien takut dan menganggap

penyakinya tidak kunjung

semuh

DO : -

Faktor Risiko (usia, jenis kelamin,

dan obesitas)

Kelemahan otot pelvis dan struktur

dasar penyokongnya

Terjadi gangguan fungsi pada

saluran kemih bagian bawah

ada aktivitas yang meningkatkan

tekanan intraabdomen seperti

(tertawa, bersin, batuk)

Sfingter uretra menjadi lemah ketika terdapat adanya aktivitas

(batuk, tertawa, bersin)

Buang air kecil menjadi tidak terkontrol

Pasien bingung cara mengatasi penyakitnya dan takut akan

penyakitnya

Defisit Pengetahuan

Defisit pengetahuan

Page 25: BAB I Inkontinensia Urin

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan No. 1 :

Inkontinensia Urine Stres ditandai dengan melaporkan rembesan involunter sedikit urin pada saat

batuk, tertawa dan bersin berhubungan dengan perubahan degeneratif pada otot-otot pelvik ,

adanya riwayat penyakit jantung dan tekanan intraabdomen tingggi.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan selama 7x24 jam pasien dapat mengontrol pengeluaran urin.

Kriteria Hasil :

Mencapai skala NOC yang ditentukan

NOC : Urinary Continance and Symptom Severity

NO INDIKATOR 1 2 3 4 5

1

2

3

4

5

6

7

Rembesan urin dengan peningkatan tekanan abdominal

( seperti, batuk, tertawa, bersin )

Mengidentifikasi obat yang menganggu kontrol urine

Intensitas gejala

Frekuensi gejala

Gejala terus menerus

Berhubungan dg ketidaknyamanan

Berhubungan dengan ketakutan

V

V

V

V

V

V

V

V

Page 26: BAB I Inkontinensia Urin

Kriteria Penilaian :

1. Sangat berat

2. Berat

3. Sedang

4. Ringan

5. Tidak ada keluhan

NIC : Urinary Incontinance Care

1. Identifikasi penyebab multifaktor dari inkontinensia ( seperti output urin, pola buang air, fungsi

kognitif, masalah urin pre-existent, post residual cairan, dan obat – obatan)

2. Jaga privasi saat eliminasi

3. Jelaskan faktor penyebab dari masalah dan rasional untuk dilakukan

4. Monitori eliminasi urin seperti frekuensi, konsisten, bau, volume dan warna

5. Memodifikasi pakaian dan lingkungan untuk mempermudah akses menuju ke toilet

6. Berikan pakaian yg bersifat melindungi, jika dibutuhkan

7. Membersihkan area kulit genital secara reguler

8. Memberikan feedback yg positif untuk setiap pengurangan episode dari inkontinentia

9. Kurangi cairan dalam 2-3 jam sebelum tidur, jika diperlukan

10. Monitori efektivitas pembedahan, medis, obat dan terapi dari diri sendiri

11. Anjurkan untuk ke spesialis kontinensia urin, jika diperlukan

NIC : Pelvic Muscle Exercise

1. Menginstruksikan kepada pasien untuk mekontraksikan dan merelaksasikan otot-otot disekitar

uretra dan anus, hal ini digunakan untuk mengatur pergerakan urin

2. Menginstruksikan pasien untuk mencegah kontraksi abdomen, paha, pantat, menahan nafas

selama latihan

3. Menginstruksikan pasien untuk melakukan latihan tightening muscle (kontraksi-relaksasi otot),

dilakukan hingga 300 kontraksi setiap hari, menahan kontraksi selama 10 detikdan berelaksasi/

istirahat paling sedikit 10 detik antara setiap melakukan kontraksi.

Page 27: BAB I Inkontinensia Urin

4. Menginformasikan kepada pasien untuk melakukan latihan tersebut secara efektif selama 6-12

minggu

5. Memberikan masukan yang positif selama latihan

6. Ajarkan kepada klien untuk memonitor respon latihan selama percobaan menghentikan laju

urin seringkali tidak lebih sejak dari seminggu

7. Menyediakan intruksi intervensi (tindakan) tertulis dan merekomendasikan jumlah pengulangan

8. Mendiskusikan catatan sehari-hari tentang kontinensi dengan pasien untukbantuan

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN 2

Diagnosa Keperawatan No. 2 :

Gangguan rasa nyaman ditandai dengan melaporkan perasaan tidak nyaman dan takut

berhubungan dengan gejala terkait penyakit ( sering berkemih secara tiba-tiba dan tidak terkontrol

pada waktu batuk, bersin dan tertawa) dan efek samping terkait terapi (medikasi: furosemid dan

digoxin)

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan dalam waktu 7x24 jam klien tidak mengalami gangguan rasa nyaman lagi

Kriteria Hasil : Mencapai skala NOC yg ditentukan

NOC : Comfort Status Physical

NO INDIKATOR 1 2 3 4 5

1

2

3

Inkontinensia urin

Keadaan fisik menjadi baik

pakaian yang nyaman

V

V

V

Page 28: BAB I Inkontinensia Urin

Kriteria Penilaian :

6. Sangat berat

7. Berat

8. Sedang

9. Ringan

10. Tidak ada keluhan

NIC: Environment Management Comfort

1. Berdiskusi dengan pasien dan keluarga dengan tujuan untuk menentukan pengelolaan lingkungan

dan kenyamanan optimal

2. menyediakan lingkungan yang aman dan bersih

3. menentukan sumber ketidaknyamanan, seperti pakaian basah, posisi tabung, perban konstriktif,

keriput seprei, dan iritasi lingkungan pasien

4. posisikan yang nyaman untuk memfasilitasi kenyamanan

memfasilitasi cara untuk menjaga kenyamanan kebersihan individu (berganti pakaian, menggunakan

popok)

Page 29: BAB I Inkontinensia Urin

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN 3

Diagnosa Keperawatan No. 3 :

Defisiensi pengetahuan berhubungan denga kurang pajanan yg ditandai dengan pengungkapan

masalah

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan dalam waktu 4x24 jam defisiensi pengetahuan klien dapat

teratasi

Kriteria Hasil : Mencapai skala NOC yg ditentukan

NOC : Knowledge : Disease Process

NO INDIKATOR 1 2 3 4 5

1

2

3

4

Proses penyakit secara spesifik

Faktor penyebab dan faktor yg berkontribusi

Efek dari penyakit

Faktor resiko

V

V

V

V

Page 30: BAB I Inkontinensia Urin

5

6

7

Tanda dan gejala penyakit

Strategi untuk meminimalkan perkembangan penyakit

Komplikasi penyakit yg berpotensi terjadi

V

V

V

V

Kriteria Penilaian :

1. Sangat berat

2. Berat

3. Sedang

4. Ringan

5. Tidak ada keluhan

NIC: Teaching : Disease Process

1. menilai tingkat pengetahuan pasien berhubungan dengan proses penyakitnya

2. mengidentifikasi kemungkinan penyebab penyakitnya

3. menggambarkan tanda-tanda dan gejala dari penyakitnya secara umum

4. menggambarkan proses penyakit secara spesifik

5. mendiskusikan pilihan terapi / pengobatan yang akan diberikan

6. menggali pengetahuan pasien tentang kondisinya

7. menjelaskan rasional dari manajemen / terapi / pengobatan yang direkomendasikan

8. menggambarkan kemungkinan komplikasi kronis yang dapat terjadi

Page 31: BAB I Inkontinensia Urin

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin tanpa disadari, dalam jumlah dan

frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial.

Data epidemiologis yang tersedia dan menyimpulkan bahwa prevalensi inkontinensia urine

pada wanita tua mengalami peningkatan yang stabil.

Faktor yang beresiko terkena inkontinensia urin adalah kehamilan, kekurangan

kadar estrogen, lansia, obesitas dan faktor lain (gangguan di saluran kemih bagian bawah,

efek obat-obatan). Klasifikasi inkontinnsia urin adalah inkontinensia stress, reflex, urge

(dorongan), overflow, fungtional. Pada kasus yang ada, pasien mengalami inkontinensia urin

stress yang mana asuhan keperawatan yang diambil adalah eliminasi urin stress, gangguan

rasa nyaman dan defisiensi pengetahuan. Intervensi yang diberikan meliputi pelatihan otot

Page 32: BAB I Inkontinensia Urin

panggul, perawatan inkontinensia urin, Memanagement lingkungan disekita klien dan

memberikan informasi kepada klien mengenai penyakitnya. Dalam penatalaksanaan

inkontinensia utin terdapat 3 tindakan yang dilakukan farmakologis, non farmakologis dan

pembedahan.

3.2 Saran

Mudah-mudahan makalalah ini bermanfaat dan ada penelitian lanjut mengenai

inkontinesia urin karena sumber mengenai penyakit ini sedikit susah dicari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bajuadji, H.S.( 2004 ). Stress inkontinensia urin pasca persalinan Tesis Fakultas

Kedokteran, Universitas Indonesia.

http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=107391&loka si

2. Pinem, Lina Herida. 2009. Efektifitas “Paket Latihan Mandiri” terhadap

Pencegahan Inkontinensia Urin pada ibu Post Partum di Bogor. Jakarta: Fakultas

Ilmu Keperawatan Kekhususan Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia

3. Sinaga, A Fransisca. 2009. Pengaruh Blader Traning Terhadap Minimalisasi

Inkontinensia Urin Paska Kateterisasi Di RSUP Haji Adam Malik Medan. Medan: FK

USU

4. Kozier, Erb. 2003. Buku ajar keperawatan klinis. Jakarta : EGC

5. Fernandes, Devrisa Nova. 2010. Hubungan Antara Inkontinensia Urin Dengan Derajat

Depresi Pada Wanita Usia Lanjut. Surakarta: FK Universitas Sebelas Maret

Page 33: BAB I Inkontinensia Urin

6. Jayani, Dwi Puri Lusilah. 2010. Hubungan Kelebihan Berat Badan Dengn

Inkontinensia Urin Pada Wanita di Wilayah Surakarta. Surakarta: FK Universitas

Sebelas Maret

7. Potter & Perry. 2009. Fundamental of Nursing edisi 7. Jakarta: Salemba Medika

8. Morgan G, Hamilton C. 2009. Practice guidelines for obstetrics and gynecology 2nd

Ed. Jakarta : EGC

9. Vitriana. Evaluasi dan manajemen medis inkontinensia urin. Bagian Ilmu Kedokteran

Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD, 2002.