dharma warnana pura dalem celuk ii

100
1 DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019 BAB I PENDAHULUAN Om awighnam astu namā śidyam. Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti mukti hitartwatam, prawaksyā tattwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanam, sirā ghranā stityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyam loka. Om nama dewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Ong kara pangabali puspanam. Prajā pasyā. nugrah akam, janowa papā wināsayā, dirgha pramanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugerahaneng hulun, muncaranākna ikang tattwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, katkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagadhitayā. sukham bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha. Sembah pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Ongkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugerahkanlah hamba atau ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bhuwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa, begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa pataka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugerahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam semesta.

Upload: [email protected]

Post on 03-Aug-2019

66 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

1

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

BAB I

PENDAHULUAN

Om awighnam astu namā śidyam.

Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti mukti hitartwatam, prawaksyā tattwam widayah, wişņu wangsā

pādāyā śiwanam, sirā ghranā stityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam,

satyam loka. Om nama dewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang mami. Ong kara pangabali puspanam. Prajā

pasyā. nugrah akam, janowa papā wināsayā, dirgha pramanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang Bhumi Patthi, hanugerahaneng hulun, muncaranākna ikang tattwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng

tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, katkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagadhitayā. sukham

bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.

Sembah pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami yang bergelar Ongkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugerahkanlah hamba atau ijinkan hamba

menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu dengan

Hyang Widhi, Om Bhur, Bhuwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa, begitu juga dengan seketurunan

hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa pataka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu,

sekarang dan yang akan datang, juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir bathin, anugerahkanlah hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan

untuk keluarga dan alam semesta.

Page 2: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

2

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Buku Dharma Warnana Pura Dalem Desa Adat Celuk disusun karena dorongan yang sangat kuat guna melakukan pencatatan tentang keberadaan Desa Adat Celuk dan Pura Dalem Desa Adat Celuk dari jaman ke jaman serta berbagai usaha masyarakat Adat Celuk menjaga kekuatan spiritual Desa Adat Celuk. Dharma Warnana, berasal dari kata Dharma yang berarti Kebenaran, Warna yang berarti fungsi utama dan Hana yang artinya Keberadaan atau Sejarah. Bila digabungkan menjadi "Sejarah beserta fungsi utama Pura Dalem Desa Adat Celuk yang mengandung kebenaran". Keberadaan Pura Dalem Celuk dan Desa Adat Celuk akan coba dipaparkan sesuai dengan jamannya, agar pembaca tidak tersesat dalam memahami sejarah keberadaan Pura Dalem dan Desa Adat Celuk, budaya, agama dan tata kehidupan dari waktu ke waktu hingga sekarang. Tantra Samuccaya memaparkan dengan sangat jelas bahwa semua pura yang dibangun di Bali, besar maupun kecil selalu dibangun di daerah yang dianggap mengandung kesucian. Sastra kuno ini kemungkinan yang mendasari konsep pembangunan pura-pura di Bali selalu dibangun di daerah-daerah mata air, di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, campuhan, di muara sungai, di puncak bukit atau gunung, lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa dan di kota-kota, atau tempat lain yang bisa menciptakan suasana bahagia bagi umat.

Departemen Agama Provinsi Bali pernah mendata pada tahun 2012, jumlah keseluruhan pura di Bali berjumlah 6.002 pelebahan, terdiri dari 4.356 Pura Kahyangan Tiga dan 723 pelebahan Pura Kahyangan Jagat dan tidak terhitung jumlahnya pura-pura Pemaksan, Swagina dan Paibon. Seorang ahli Purbakala yang bernama Bernet Kempers pernah melakukan penelitian terhadap pura-pura di Bali

Page 3: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

3

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

kemudian memberikan julukan fantastis Bali sebagai Land of One Thousand Temples, sehingga Bali menjadi satu-satunya tujuan wisata yang menggabungkan unsur alam, budaya, seni, ekonomi, sejarah menjadi satu kesatuan yang saling bertautan. Menurut konsep Hindu, pura adalah simbolis gunung, Tuhan, Para Dewa, dan roh suci leluhur dianggap bersemayam di puncak gunung, sehingga gunung dipandang sebagai tempat suci. Konsepsi masyarakat Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan atas pandangan bahwa alam ini tersusun menjadi tiga bagian yag disebut Triloka, yaitu alam bawah atau Bhur Loka, alam tengah atau Bwah Loka dan alam atas atau Swah Loka.

Dari banyaknya Pura yang ada di Bali, berdasarkan karakteristik atau fungsinya dapat di kelompokkan menjadi 4 jenis, yaitu sebagai berikut: Pura Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina dan Pura Kawitan. Pura Kahyangan Desa adalah Pura yang disungsung oleh Desa adat terdiri dari Kahyangan Tiga yakni: Pura Desa atau Bale Agung tempat memuja Hyang Widhi dalam prabhawanya sebagai Dewa Brahma dan Dewi Bhagawati berfungsi sebagai Utpeti atau Pencipta, Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Wisnu sebagai Pemelihara atau Sthiti serta Pura Dalem tempat pemuja Siwa sebagai Pralina.

Selain Pura Kahyangan Tiga, beberapa Desa Adat juga menyungsung pura-pura khusus yang mempunyai kaitan sangat erat dengan sejarah berdirinya Desa Adat. Dari uraian diatas, dapatlah disimpulkan Pura Dalem Celuk, Sukawati termasuk kedalam katagori Pura Kahyangan Desa, karena disungsung oleh Desa Adat dan berkaitan erat dengan sejarah berdirinya Desa Adat Celuk. Sebelum pembahasan tentang Pura Dalem Celuk, ada baiknya kita masuk dahulu

Page 4: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

4

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

dalam wawasan sejarah yang mencakup Pulau Bali secara keseluruhan, mulai dari terbentukannya jagat raya secara mithologi yang dipaparkan oleh lontar-lontar babad, bancangah, pariagem, pengeling-eling dan berbagai data lain yang ditulis secara tradisiaonal. Semua Sastra tradisional ini menyimpan berbagai kisah yang apabila diramu kedalam sebuah tulisan akan memperkaya cara berfikir kita tentang keberadaan Pulau Bali secara umum dan Desa Adat Celuk, keberadaan Pura Dalem Celuk serta tata kelola organisasi adat, kepercayaan, ekonomi, sosial dan budaya desa.

Page 5: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

5

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

BAB II

MITOLOGI DAN SEJARAH

II.1. Mitologi terbentuknya jagad raya

Diawali kisah seperti yang tertulis dalam sastra tua Babad Pasek, ketika alam masih kosong, saat belum ada matahari, bulan, bintang dan planet-planet, yang ada hanya Sang Hyang Embang yang maha tunggal, Beliau maha besar sehingga memenuhi alam raya, akan tetapi Beliau juga sangat kecil hingga tak terlihat. Pada masa itu segala sesuatu masih bersifat sempurna dan suci, karena tidak ada apa-apa selain Beliau yang Maha sempurna. Dimulai dengan saat terciptanya Sang Hyang Licin yang juga disebut Sang Hyang Eka Aksara, yakni Sang Hyang Ong Kara. Lewat semadi maha tinggi Sang Hyang Ong Kara, terciptalah Sang Hyang Purusa dan Predana, juga disebut dengan nama Sang Hyang Akasa dan Pritiwi, dikenal juga dengan sebutan Rwa Bhineda dan dalam aksara disebut dengan Sang Hyang Dwi Aksara, Ang dan Ah. Setelah Sang Hyang Purusa Predana membangun tapa semadi, terciptalah Sang Hyang Tri Purusa, yang terdiri dari Sang Hyang Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa, dalam wujud aksara Ang Ung Mang. Ketiga aksara ini dikenal dengan nama Sang Hyang Tri Aksara, juga sebagai lambang dari Sang Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara. Sang Hyang Tri Purusa beryoga, menciptakan alam dengan segala isinya, memelihara dan mengembalikannya ke asal atau memprelina. Setelah terciptanya jagat raya, beliau kembali mencipta sepasang benih laki-laki dan perempuan yang dikenal dengan Ardha Nareswari, diawali dengan prosesi penyucian kemudian dimasukkan kedalam buah kelapa, disucikan dengan mantra utama sehingga berwujud seperti seorang pertapa di lereng gunung Agung. Disanalah mereka

Page 6: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

6

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

kemudian melakukan tapa dengan menuja Bhatara Hyang Pasupati agar berkenan turun ke pulau Bali untuk menjadi junjungan dan pujaan di Pulau Bali. Awalnya di Bali hanya ada empat buah gunung, diantaranya, gunung Lempuyang di timur, Gunung Andakasa di selatan, gunung Batukaru di barat dan gunung Beratan di utara. Pulau Bali dan Lombok masih sunyi senyap, kedua pulau ini seakan-akan mengambang ditengah lautan, laksana perahu tanpa pengemudi, oleng kesana kemari tidak tentu arahnya, bergoyang dan kadang-kadang rapat menjadi satu. Keadaan pulau itu membuat Sang Hyang Pasupati merasa sangat kasihan. Untuk menyempurnakan keberadaan pulau Bali, Ida Bhatara Pasupati kemudian memotong puncak Gunung Semeru di Jawa Timur kemudian menancapkannya di Bali dan Lombok. Saat membawa potongan gunung Semeru, banyak bagian-bagiannya yang tercecer, bagian kecil dari potongan itu kemudian menjadi gunung Lebah, sedang bagian yang besar menjadi gunung Tolangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung. Dengan adanya tambahan dua gunung itu pulau Bali dan Lombok menjadi tidak oleng lagi. Menyusul kemudian turunnya para putra dari Hyang Pasupati ke pulau Bali, melakukan tapa dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan suci. Beliau kemudian dikenal dengan nama Hyang Sapta Bhatara.

II.2. Masa Kedatangan Para Rsi di Bali.

Pura Dalem Celuk yang berdiri di Desa Adat Celuk, Sukawati merupakan salah satu dari ribuan kahyangan yang ada di Bali. Pura Dalem Celuk memiliki sejarah panjang dalam pendirianya, dimulai dari masa penyebaran faham Siwa Buda di Bali pada kisaran tahun 800 Masehi. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya penguasa kerajaan Medang di Jawa Tengah mengutus seorang Rsi dari perguruan

Page 7: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

7

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Markandhya dan para pengikutnya untuk menyebarkan agama Hindu keseluruh Nusantara, Perjalanan Beliau dimulai pada bulan Oktober tahun 730 Masehi. Rsi yang dimaksud adalah Rsi Ing Markandhya yang kemudian dikenal di Bali dengan nama Rsi Markandhya. Perjalanan suci ini dimulai dari Gunung Wukir atau Damalung, berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di Purbalingga, menuju ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai Paralingga daerah Banyuwangi, berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang. Pada masa ini dikisahkan sebagian besar para pengikut Rsi Markadhya pada kedatangan yang pertama membangun kuwu-kuwu atau desa-desa kecil sepanjang tepian Sungai Ayung dan Sungai Wos, memanjang dari utara ke selatan, diperkirakan juga menghuni berbagai tempat di daerah Sekitar Celuk, walaupun pada saat itu kemungkinan belum bernama Celuk. Mereka menghuni wilayah tepian sungai yang membentang dari dari Bukit Kintamani hingga dataran rendah wilayah Sukawati. Kebudayaan para pengikut Rsi Ing Markandeya yang diperkirakan datang pada pertengahan abad ke 8 dan awal abad ke 9 Masehi menjadi pondasi budaya yang menjiwai kebudayaan spiritual wilayah Celuk dan sekitarnya. Ajaran suci Rsi Markandeya yang memuliakan Ida Sang Hyang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa disimbolkan dengan bentuk Lingga Semu (Lingga Alam) dan lingga bentuk yang dibuat dari kayu dan batu sebagai niasa dalam prosesi memuja. Sumber tinggalan arkeologi terdekat ditemukan di wilayah Subak Bunbunan Sukawati tahun 2014 pada sepetak tanah bekas tumbuhnya pohon beringin. Tinggalan itu berupa susunan batu berukuran 330 cm x 250 cm yang terbuat dari balok-balok batu padas, enam buah umpak (sejenis batu yang dipakai

Page 8: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

8

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

alas dari tiang bangunan). Ditengah-tengah struktur ditemukan Arca Ganesa dan Arca Perwujudan Umpak bangunan merupakan komponen bangunan yang digunakan sebagai penopang atau penyangga sebuah tiang rekonstruksi sederhana yang terbuat dari kayu ataupun bambu. berjumlah enam buah berbentuk selinder memanjang dengan lubang ditengahnya (tempat menancapkan tiang bangunan) menyebar pada beberapa sisi struktur susunan batu padas dengan keadaan setengah tertanam. ada dua buah umpak berukuran tinggi 72 cm berdiameter 33 cm dan tinggi 51 cm berdiameter 33 cm yang diletakkan di sebelah kanan arca Ganesha, ada dua buah berukuran 100 cm berdiameter 27 cm dan tinggi 73 cm berdiameter 33 cm yang diletakkan di sebalah kiri arca perwujudan, serta ada juga yang ditumpuk masing-masing memiliki ukuran tinggi 40 cm berdiameter 33 cm dan tinggi 40 cm berdiameter 50 cm diletakkan di antara arca Ganesha dan arca perwujudan. Arca Ganesha memiliki tinggi keseluruhan 49,5 cm, tinggi arca 45 cm, dan tinggi lapik 4,5 cm. Arca Ganesha dipahatkan sangat sederhana bersila atau sikapPadmasana di atas lapik polos tanpa hiasan, kain yang digunakan tidak tampak, tidak menggunakan perhiasan, tidak dipahatkan rambut maupun mahkota. Arca dipahatkan bertubuh manusia tambun berkepala gajah, perut buncit, bertangan dua ditekuk ke depan di atas paha, telapak tangan kiri memegang belalai, dan kanan memegang perut. Sementara arca perwujudan duduk bersikap dengan kedua telapak kaki bertemu atau sikap "Wirasana" di atas lapik berhiasan motif "Patra Kakul", badan arca tambun, perut buncit, memiliki dua tangan yang ditekuk ke depan di depan perut dengan kondisi

Page 9: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

9

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

tangan bagian pergelangan sampai jari arca sudah pecah, menggunakan gelang lengan pada kedua lengannya berbentuk polos, arca menggunakan mahkota "Jatamakuta" (rambut diikat menyerupai mahkota dengan menggunakan pita polos), bagian muka rata karena sudah pecah sangat parah sehingga mata, mulut, telinga, dan hidung hilang menyebabkan identitas arca untuk mengetahui tokoh siapa yang diwujudkan dalam bentuk arca sangat sulit untuk dikenali. Ukuran dari tinggi keseluruhan 51 cm, tinggi arca 42 cm, dan tinggi lapik 9 cm. Arca menggunakan kalung atau "Hara" pada bagian leher berbentuk segitiga bersusun, hiasan dan kain lainnya tidak dapat diamati karena sudah aus dan pecah. Arca bersandar pada "Stela" berbentuk persegi empat panjang bulat di atasnya dengan hias pilinan meleng- kung yang seolah-olahseperti bingkai mengelilingi arca. Fragmen yang dimaksud adalah beberapa kumpulan batu padas yang memiliki profil seperti fragmen bangunan dengan profil pelipit mistar atau pepalihan dengan empat undakan, yang paling bawah berukuran sama sisi 50 x 50 cm dan tinggi keseluruhan 20 cm.

Beberapa bagiannya sudah pecah dan hilang, sehingga tidak dapat dipastikan fragmen tersebut adalah lingga yoni atau bagian dari komponen bangunan lainnya. Fragmen-fragmen lainnya berupa dua buah pahatan batu padas berbentuk selinder dan 3 buah fragmen batu padas dangan lubang di atasnya. Diyakini oleh peneliti bahwa di daerah ini pernah ada sebuah bangunan suci kuno tempat memuja Ganesa dan arca perwujudan.Ganesha dalam mitologinya memiliki beberapa nama lain yaitu Ganapati, Wighna, Wibayaka, Stula, Hastimuka, Wakratunda, Ekadanta, dan Lambodara. Ganesha juga sering dianggap sebagai dewa pemurah, penyayang, pengasih, dan senantiasa membantu

Page 10: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

10

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

manusia untuk memperoleh kesuksesan dan keselamatan. Ganesha selalu dianggap sebagai pencipta sekaligus pengusir rintangan (wighnaraja) dan menghadirkan kesuksesan. Dari temuan diatas bisa disimpulkan bahwa seluruh komponen tinggalan arkeologi ini sudah difungsikan oleh msyarakat sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk memohon anugerah kesuburan, keamanan dan keselamatan. Diperkirakan pada periode Bali Kuno antara tahun 1100 hingga 1300 Masehi dengan salah ciri khas kepala arca mulai dihiasi dengan sejenis Makuta, berupa susunan kelopak bunga teretai sedemikian rupa. Keberadaan tinggalan ini menyiratkan bahwa disekitar situs berkembang dengan sangat baik kebudayaan yang dibawa oleh para pengikut Rsi Ing Markandeya hingga pada periode 9 sekte menurut DR.R Goris yang terdiri dari: Siwa Sidanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha atau Soghata, Brahma, Rsi, Sora dan Ganesa.

II.3.Masa Bali Kuno.

Data tertua tentang Bali berasal dari Pejeng berupa cap kecil dari tanah liat berukuran 2,5 cm yang dibuat pada abad ke 8 Masehi. Sebuah prasasti berangka tahun 882 Masehi tercatat yang paling tua, berisi perintah raja kepada rakyat untuk membuat pertapaan di bukit Kintamani, juga prasasti berangka tahun 911 Masehi khusus mengenai ijin kepada penduduk Terunyan untuk membangun tempat suci tempat memuja Bhatthara Da Tonta. Masa Bali Kuno menurut ilmuan DR. R Gorris adalah masa meliputi kurun waktu antara abad ke 8 sampai abad ke 14 Masehi. Masa ini dibagi menjadi 3 kurun waktu kekuasaan, antara lain:

Page 11: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

11

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

II.3.1. Masa kekuasaan dinasti Warmadewa.

Masa ini dimulai dari pemerintahan raja Sri Kesari Warmadewa pada tahun 914 Masehi hingga masa kekuasaan raja Sri Suradhipa yang berakhir di tahun 1119 Masehi. Prasasti Blanjong berangka tahun 914 Masehi adalah prasasti tertua yang menuliskan tentang kerajaan Bali Kuno, Shri Khesari Warmadewa di Singhadwala. Tahun 915 sampai 942 Masehi memerintah raja Shri Ugrasena yang mengeluarkan 9 buah prasasti tentang pajak. Antara tahun 955 hingga 967 Masehi Shri Aji Tabanendra Warmadewa dan Shri Subadrika Dharmadewi menjadi raja Bali. Raja Jayasingha Warmadewa memerintah di Bali antara tahun 968 hingga 975 Masehi, dalam pemerintahan beliau pemandian Tirtha Empul dibangun. Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa (975–983 Masehi). Pada tahun 983 Masehi muncul seorang raja wanita yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Pengganti Sri Wijaya Mahadewi adalah Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, yaitu Gunapriya Dharmapatni yang lebih dikenal sebagai Mahendradatta sampai dengan tahun 1011 Masehi. Raja Marakata memerintah dari tahun 1011 hingga 1022 Masehi dengan gelar Paduka Shri Dharmawangsa Wardana Marakatapangkaja Sthanottunggadewa. Menurut DR. R Gorris Mpu Kuturan turun ke Bali adalah pada masa ini karena diyakini bersamaan dengan masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. Para ahli sejarah sepakat bahwa Mpu Kuturan berhasil memfusikan ke-9 aliran ini menjadi 3 saja; yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa dengan Tri Murti sebagai konsepnya. Sehingga Masyarakat Bali sampai saat ini mengenal “Kahyangan Tiga” di tiap Desa dan pelinggih “Rong Telu” sebagai stana Brahma-Wisnu-Siwa, di tiap Rumah Tangga. Walaupun dalam pelaksanaanya di

Page 12: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

12

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

masyarakat secara bertahap baru bisa dilaksanakan dengan merata. Cikal bakal adanya Kayangan Tiga dan Desa Adat atau Pakraman di Bali diyakini sudah dikonsep sejak saat ini dan terus berlangsung hingga sekarang. Penelitian arkeologi mendapatkan temuan bahwa pada masa Bali Kuno belum dikenal nama pura, nama yang dipakai sebagai tempat suci oleh masyarakat adalah: Hyang atau Sang Hyang atau Parhyangan, Bhatara, Ulan, Dangudu atau Pangudwan, Partapān atau Patapan, Tirtha, Katyagan, dan Sambar. Pengganti Marakata adalah Anak Wungsu yang memerintah selama 28 tahun dari tahun 1049 hingga 1077 Masehi mengeluarkan 28 buah prasasti yang tersebar di wilayah Bali utara, tengah dan selatan. Raja Anak Wungsu berhasil membangun komplek percandian di Gunung Kawi, tempat beliau didharmakan setelah mangkat.

II.3.2. Masa kekuasaan dinasti Wangsa Jaya.

Masa ini dimulai dari pemerintahan raja Jayasakti di tahun 1133 sampai dengan akhir dinasti pada masa pemerintahan seorang ratu dari wangsa Jaya pada tahun 1284. Tahun 1133 hingga 1150 raja Jayasakti memerintah di Bali, karena Anak Wungsu tidak dikaruniai putra, sehingga permaisuri beliau dikenal dengan nama Bhatthari Mandul. Raja Jayapangus memerintah di Bali dari tahun 1177 hingga 1181 Masehi, memakai Kitab Manawakamandaka. Pada masa Bali kuno masyarakat mengandalkan pertanian sebagai sektor utama dalam kehidupannya disamping kerajinan perak dan emas, juga kerajinan patung dan lukisan. Golongan pedagang dikenal dengan nama Banigrama.

II.3.3. Masa kekuasaan Kediri.

Raja Patih Makakasar Kebo Parud mengawali masa kekuasaan Kerajaan kediri di Bali pada tahun 1296 pada

Page 13: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

13

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

masa sebelum ditaklukan oleh kerajaan Singasari, Bali adalah wilayah yang merdeka dibawah kekuasaan Dinasti Warmadewa. Setelah berhasil menaklukan daerah Pamalayu dengan gemilang, Raja Kertanegara kemudian mengirim pasukan ke Bali pada tahun 1284, dipimpin oleh Ki Kebo Bungalan, Ki Kebo Anabrang, Ki Patih Nengah, Jaran Waha, Ki Arya Sidi dan Ki Amarajaya. Pasukan Singhasari mendarat di pantai timur Buleleng, sebagai kenang-kenangan pendaratan itu kemudian didirikan sebuah pura yang bernama Pura Pule Kerta Negara di Desa Kubutambahan. Penyerangan ini berhasil dengan baik, pulau Bali takluk dibawah Singhasari, raja Bali, Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyangning Hyang Adi Dewa Lancana dibawa sebagai tawanan ke Kerajaan Singasari. Berkat keberhasilan menundukkan Pulau Bali, Ki Kebo Bungalan yang pada tahun 1275 Masehi juga pernah diutus ke Jambi dalam Exspedisi Pamalayu, kini diangkat oleh Raja Kertanegara sebagai wakil pemerintahan Singhasari di Pulau Bali dengan gelar Rakrian Demung Sasabungalan. Karena Ki Kebo Bungalan sudah lanjut usia sehingga untuk melaksanakan tugas pemerintahan sehari harinya diserahkan kepada Putranya yang bernama Ki Kebo Parud. Keberadaan Kebo Parud sebagai penguasa di Bali dibuktikan dengan sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh Kebo Parud yang berangka tahun 1218 Saka. Selanjutnya terdapat prasasti lainnya yang menyebutkan nama Ida Ken Kanuruhan dan yang tidak memakai sapatha sebagaimana yang sering dijumpai dalam prasasti-prasasti di Bali pada umumnya. Kebo Parud juga mengeluarkan prasasti yang berangka tahun 1222 Saka. Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara sebagai seorang biksu yang gundul kini masih tersimpan di Tropen Museum Leiden Belanda. Daerah Bali Tengah dibagi menjadi 2

Page 14: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

14

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Sima, desa-desa di sebelah utara Campuan Ubud sampai dengan pegunungan Batur menjadi bagian dalam Sima Di-Hyang, sementara desa-desa kuno dari Campuan ke arah selatan masuk dalam Sima Di-Campuh. Penggabungan kedua Sima ini dikenal kemudian sebagai konsep Hulu Teben ciri khas pemerintahan Bali Kuno secara global yang membentuk budaya Bali Tengah menjadi sangat unik hingga sekarang. Wilayah Sukawati (Banturan) bagian selatan dan barat termasuk ke wilayah Sima Di-Campuh, walaupun tidak terlalu jauh letaknya dari batas Sima Campuan, sehingga budaya di Sukawati terbentuk dari pembauran budaya kedua Sima yang mempunyai sifat dasar sangat berbeda tetapi saling berkaitan satu dengan yang lainya. Pada tahun 1293 terjadi perubahan kekuasaan di Jawa Timur dimana Kerajaan Singhasari mengalami keruntuhan, Raja Kertanegara tewas akibat pemberontakan Jayakatwang. Raden Wijaya yang merupakan menantu dari Raja Kertanegara berhasil menumpas pemberontakan tersebut kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit, dan mengambil alih seluruh daerah kekuasaan kerajaan Singhasari termasuk Pulau Bali. Pada tahun 1296 Masehi, Sri Rajasa Jaya Wardana sebagai Raja Majapahit yang pertama, menunjuk Ki Kebo Parud sebagai wakil Majapahit di Pulau Bali dengan gelar Raja Patih. Ki Kebo Parud dengan restu dari Raja Majapahit melakukan penggantian beberapa pejabat penting yang sebelumnya menjabat pada pemerintahan Raja Adidewa Lancana dengan pejabat baru yang berasal dari Jawa Timur. Dengan banyaknya pejabat dari Jawa Timur yang diangkat Raja Patih Kebo Parud di Bali membuat budaya Jawa Timur yang secara tidak langsung diterapkan dalam kehidupan masyarakat berbaur dengan kehidupan sosial budaya Bali yang sudah mengakar sebelumnya.

Page 15: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

15

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Sri Astasura Ratna Bhumi Banten memerintah di Bali mulai tahun 1337 hingga 1343 Masehi berkedudukan di Bedulu membuat tatanan baru pada pemerintahanya. Wilayah Sima Di-Hyang dan Sima Di-Campuh yang dahulunya berlainan Hulu dijadikan satu wilayah kekuasaan Ki Walungsari dan Ki Walung Singkal di Taro. Penduduk wilayah ini bertugas utama sebagai pemelihara pura-pura kuno dan menjaga wilayah hutan perburuan raja yang membentang disepanjang aliran sungai Wos. Sebagian besar pura-pura tua itu difungsikan sebagai tempat penyebaran faham Siwa Buda dan Bhujangga. Tugas khusus ini membuat penduduk Sima mendapat kebebasan untuk tidak membayar pajak atau root. Pajak yang dibebaskan itu meliputi "root ing huma" atau pajak sawah basah, "root ing parlak" atau pajak sawah kering, "root ing mmal" atau tegalan dan "root ing kbwan" atau pajak ladang. Struktur organisasi Sima terdiri dari Hulu Sima disebut Basta, juru tulisnya disebut dengan nama Tayung dibantu oleh jabatan-jabatan yang lebih rendah seperti Hulu Lapu atau Kuncang, Kulapati atau Sadhyaguna Maghana, Gansar dan Rahit. Para Pang-Hulu inilah yang bertanggung jawab terhadap Simanya sekaligus sebagai penyambung keinginan penduduk Sima dengan Hulu Banwa. Pada setiap bulan Caitra, yaitu antara bulan Maret-April para Pang-Hulu Sima menghadap ke Hulu Taro untuk mempersembahkan "Root Ing Banyu" atau pajak sumber air sebesar 2 Masaka. Dalam urusan ritual di Prasada atau candi atau pura, Hulu Banwa selalu memohon petunjuk kepada Hulu-Guru di Giriya Air Gajah Bedulu, khusus untuk upacara-upacara yang bersifat sangat besar. Untuk upacara upakara yang bersifat kecil kebanyakan dipimpin oleh Hulu-Agem yang diangkat oleh penduduk Sima, atas persetujuan dari Demung. Penduduk Sima kebanyakan bermata

Page 16: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

16

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

pencaharian sebagai petani dan pedagang serta pengrajin alat-alat rumah tangga, seperti gerabah, alat-alat pertanian dan alat-alat pertukangan. Mereka menepati rumah-rumah panggung yang berjajar ditepian sungai dengan masing-masing kepala keluarga dikenal dengan nama Hulu-Bah yang paling berpengaruh di dalam satu keluarga besar penghuni rumah-rumah panggung tersebut. Seorang Hulu-Bah membawahi 10 hingga 20 jiwa, terdiri dari orang tua, paruh baya, remaja dan anak-anak. Pertanian di sekitar Sukawati yang menjadi bagian dari wilayah Sima Di-Campuh sudah berkembang dengan adanya pengangkatan pejabat kepala pengairan yang disebut "Makahaser", diperkirakan sebagai cikal-bakal jabatan Pekaseh atau Sedahan sekarang. Penduduk Sima membagi peruntukan tanah pertanian menjadi 2 jenis, yaitu lahan kering dan lahan basah. Banyak istilah yang dipakai untuk jenis-jenis tanah garapan yang merupakan tanah milik raja, antara lain Mmal atau Tegal, Huma adalah tanah yang dipakai sebagai tempat menanam padi gaga, Parlak atau ladang, Sawah, kebuan atau kebun dan Padang yang merupakan areal luas berupa tegal yang ditumbuhi rumput-rumput.

II.4. Masa akhir pemerintahan Bali Kuno.

Raja terakhir Dinasti Bali Aga adalah Shri Astasura Ratna Bhumi Banten yang naik tahta pada tahun 1337 dengan nama lain Shri Gajah Waktera dan Shri Tapahulung berpusat pemerintahan di Bedahulu dengan para mantri:

1.Krian Pasung Grigis jabatan Mangkubumi di Tengkulak

2.Ki Kebo Iwa jabatan Patih di Bedulu

Page 17: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

17

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

3.Ki Girikmana jabatan Menteri di Desa Loring Giri Ularan (Buleleng),

4.Ki Tambiak jabatan Menteri di desa Jimbaran,

5.Ki Tunjung Tutur jabatan Menteri di desa Tenganan,

6.Ki Buahan jabatan Menteri di desa Batur,

7.Ki Tunjung Biru jabatan Pertanda di desa Tianyar,

8.Ki Kopang jabatan Pertanda di desa Seraya,

9.Ki Walungsari jabatan Pertanda di desa Taro.

10.Ki Gudug Basur sebagai Tumenggung,

11.Ki Kalambang jabatan Demung,

12.Ki Kalagemet jabatan Tumenggung di Desa Tangkas,

13.Ki Buahan di Batur dan Ki Walung Singkal di Desa Taro

Dari berbagai analisa ahli Sejarah Bali Kuna, bisa diperkirakan bahwa daerah Celuk dan sekitarnya ada dalam kekuasaan Partanda Ki Walungsari dan Ki Walungsingkal yang berkedudukan di Taro, walaupun belum ada ditemukan tinggalan atau prasasti yang menyebutkan nama Celuk sebagai sebuah wilayah hunian atau kuwu atau desa.

II.5. Masa Kekuasaan Majapahit.

Masa Peralihan ini dimulai saat Kerajaan Majapahit berkembang dengan pesat di Jawa, Dyah Gitarja Bhre Kahuripan menggantikan Jayanegara pada tahun 1328

Page 18: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

18

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

hingga 1351 Masehi, didampingi oleh suaminya yang bernama Kertawardhana. Tahun 1334 Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi. Sang Ratu Majapahit mengerahkan 30.000 prajurit untuk menyerang Bali, dibagi menjadi 2 kekuatan, penyerangan dari utara dipimpin oleh Arya Damar, dari selatan dipimpin oleh Mapatih Gajah Mada, turut serta para Arya Jawa yang gagah dan sakti. Setelah digempur selama 7 bulan akhirnya Bali takluk kepada Majapahit pada tahun 1343 Masehi.

II.5.1. Masa Peralihan Kekuasaan.

Tahun 1344 Masehi, Sang Ratu Majapahit segera menugaskan Mpu Dwijaksara sebagai pemimpin sementara Bali, berkedudukan di Gelgel. Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong, dan Arya Belog ditempatkan sebagai pemimpin prajurit pengamanan di beberapa daerah Bali. Usaha penempatan pemimpin sementara dan para senapati di Bali ini tidak serta merta membuat Bali tenang, Kidung Bapancangah menceritakan berbagai pemberontakan orang-orang Aga terhadap pemerintahan sementara Majapahit, diantaranya: Pemberontakan Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur juga pemberontakan-pemberontakan lainya yang bersifat lebih kecil. Keadaan desa-desa yang menjadi wilayah Sima di Bali menjadi terbengkelai, walaupun penduduk masih menjalankan kegiatan mereka seperti biasa, bercocok tanam, berternak dan berdagang, tetapi kehidupan mereka secara pemerintahan tidak teratur. Tahun 1350 Masehi Ki Patih Ulung, Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan memutuskan untuk menghadap ke Majapahit melaporkan situasi di Bali dan memohon kepada Sang Ratu agar menunjuk seorang Raja untuk Bali.

Page 19: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

19

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

II.5.1. Masa Kekuasaan Samprangan.

Ida Ketut Kresna Kepakisan yang merupakan putera dari penasehat kerajaan Majapahit yang bernama Dang Hyang Soma Kepakisan ditunjuk oleh Ratu Majapahit agar turun ke Bali sebagai Adipati Bali. Beliau adalah seorang Brahmana utama yang sangat memahami isi tattwa agama dan sangat masyur pula tentang kebijaksanaannya. Pada tahun 1350 Masehi, Sri Kresna Kepakisan tiba di Pantai Lebih dengan berkendara sebuah kapal besar didampingi oleh banyak Arya Kediri dan Majapahit. Penduduk Bali kemudian mengenal beliau sebagai Dewa Tegal Besung atau Dewa Wahu Rawuh. Segera kemudian beliau membangun istana di Samprangan, Sri Nararya Kresna Kepakisan diangkat menjadi Patih Agung. Sri Kresna Kepakisan mempunyai 2 orang isteri, Ni Gusti Ayu Gajah Para dan Ni Gusti Ayu Kutawaringin, dari istri pertama beliau menurunkan 4 orang putra-putri, antara lain Dalem Wayan atau Dalem Samprangan, Dalem Dimadya atau Dalem Tarukan, putri bernama Dewa Ayu Wana yang meninggal remaja dan Dalem Ketut atau Dalem Ngulesir. Dari istri kedua, beliau mempunyai putra bernama I Dewa Tegalbesung. Perubahan besar terjadi pada masa ini, kedudukan dan wewenang para bangsawan Bali kuno digeser oleh para Arya dari Jawa, baik Arya yang sudah menetap lebih dahulu maupun Arya yang menyertai beliau datang ke Bali. Sehingga dalam masa pemerintahan beliau hampir seluruh wilayah Bali sudah ditempatkan para Arya sebagai petugas kerajaan Samprangan yang sangat setia kepada Sri Kresna Kepakisan sebagai wakil dari Majapahit di Bali. Para Arya itu antara lain:

1.Arya Kencengdi Tabanan,

2.Arya Kanuruhan di Tangkas,

Page 20: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

20

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

3.Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu,

4.Arya Dalancang di Kapal,

5.Arya Belog di Kaba Kaba,

6.Arya Pangalasan, Arya Manguri, Arya Gajah Para, Arya Getas di Toya Anyar,

7.Arya Tumenggung di Petemon,

8.Arya Kutawaringin di Toya Anyar,

9.Arya Beleteng di Pacung,

10.Arya Sentong di Carangsari,

11.Kriyan Punta di Mambal,

12.Arya Jerudeh di Tamukti,

13.Arya Sura Wang Bang Lasem di Sukahet,

14.Arya Wang Bang Mataram, tidak menetap atau berpindah-pindah,

15.Arya Melel Cengkrong di Jembrana,

16.Arya Pamacekan di Bondalem,

17.Si Tan Kober, Si Tan Kawur di Abiansemal dan

18.Si Tan Mundur di Cagahan.

Demikian banyak jumlah Arya yang disebar di seluruh Bali untuk mengamankan wilayah-wilayah pegunungan, terutama wilayah-wilayah yang berjarak jauh dari kotaraja Samprangan. Wilayah Sima Di-Hyang maupun Sima Di-Campuh kemudian menjadi wilayah kekuasaan Arya Sentong yang berkedudukan di Pacung, sementara setengah bagian selatan berada dalam wilayah kekuasaan Kryan Punta

Page 21: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

21

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

di Mambal. Wilayah seputar Celuk pada kurun waktu ini menjadi bagian dari kekuasaan Arya Sentong, sehingga terputuslah hubungan Sima di Bali tengah dengan Hulu Taro atau Hulu Mambal. Perubahan cara pemerintahan ini juga menimbulkan gejolak di desa-desa Aga yang tidak puas dengan cara pemerintahan Para Arya Jawa serentak melakukan pemberontakan, antara lain Desa Batur, Abang, Cempaga, Songan, Kedisan, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain. Gejolak desa-desa ini berhasil dipadamkan oleh pemerintah, konon setelah memohon petunjuk ke Majapahit dan Adipati Bali mendapat anugerah berupa simbol-simbol kerajaan, pakaian kebesaran dan keris pusaka yang bernama Ki Lobar. Raja merupakan pemegang otoritas politik tertinggi, didampingi oleh dewan penasehat raja yang bernama Pahem Narendra yang beranggotakan para kerabat raja yang dinilai sangat ahli dalam berbagai bidang. Dalam bidang keagamaan, raja dibantu oleh dewan pertimbangan yang bernama Dharma Dhyaksa terdiri dari 3 kelompok ajaran, Siwa Bodha dan Bhujangga atau Kasaiwan, Kasogatan dan Kabhujanggan. Dari sinilah muncul istilah Sang Trini yang diakui oleh kerajaan Samprangan sebagai guru jagat dan berhak sebagai pemimpin upacara-upacara besar di Bali untuk seterusnya.

II.5.2.Masa Kekuasaan Gelgel.

Sri Kresna Kepakisan berpulang ke alam Wisnuloka pada tahun 1373 Masehi, digantikan oleh putranya yang bernama Dalem Wayan atau Sri Agra Samprangan. Beliau melanjutkan pemerintahan ayahnya, tetapi karena dianggap tidak cakap dalam memimpin Bali, beberapa bangsawan kerajaan yang diprakarsai oleh Kyai Klapodyana kemudian

Page 22: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

22

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

membujuk Dalem Ketut Ngulesir menjadi raja dengan istana baru di Gelgel dengan nama Sweca Lingga Arsa Pura. Setelah abhiseka bergelar Sri Semara Kepakisan, Kyai Gusti Arya Petandakan diangkat menjadi Patih Agung menggantikan kedudukan ayahnya, Pangeran Nyuhaya yang sudah mangkat. Sri Semara Kepakisan yang berkuasa mulai dari tahun 1380 hingga 1460 Masehi pernah melaksanakan upacara penghormatan terhadap arwah para raja Bali Kuno di Pura Tegeh Kahuripan atau Pura Bukit Penulisan dan mendirikan Pura Dasar Bhuwana di Gelgel sehingga mampu menarik hati masyarakat Bali. Beliau juga tercatat sebagai satu-satunya penguasa Bali yang pernah menghadap ke Majapahit pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk.

II.5. Masa keemasan Bali.

Masa keemasan Bali berlangsung pada masa kekuasaan Dalem Waturenggong yang memerintah di Swecapura tahun 1460 hingga 1550 Masehi. Bali berdaulat penuh karena Majapahit mengalami keruntuhan. Bahkan Dalem Waturenggong berhasil menaklukkan kerajaan Pasuruwan, Blambangan, Lombok dan Sumbawa. Patih Agung Gelgel dijabat oleh Kryan Batanjeruk yang merupakan putra dari Kyai Petandakan. Kedatangan Dhang Hyang Nirartha sebagai Bhagawanta Gelgel pada masa ini membuat Bali semakin bersinar. Beliau yang memimpin upacara Eka Dasa Ludra di Besakih bersama dengan pendeta Buda Dang Hyang Astapaka. Dhang Hyang Nirartha menerapkan konsep Siwa Sidanta di Bali sebagai penyempurna Tri Murthi Paksa, dengan menambahkan jenis pelinggih Padmasana untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa. Konsep Siwa Sidantha ini diwarisi oleh penduduk Bali Hingga saat ini. Tahun 1552 Masehi, Dalem Waturenggong mangkat meninggalkan 2 putra yang masih

Page 23: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

23

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

sangat belia I Dewa Pamahyun atau Dalem Bekung dan I Dewa Anom Dimade atau Dhalem Sagening. Dalem Bekung yang masih sangat belia menjadi pelanjut tahta Gelgel dari tahun 1550 hingga tahun 1580 Masehi. Akan tetapi urusan pemerintahan dipegang oleh Kryan Batanjeruk beserta paman-pamanya. Karena keinginannya berkuasa sangat besar Kryan Batanjeruk melakukan pemberontakan bersama dengan I Dewa Anggungan, I Gusti Tohjiwa dan I Gusti Pandhe Basa yang merupakan putera dari pangeran Dauh Penulisan. Kyai Kebontubuh dan Kryan Manginte dari Kapal kemudian berhasil menumpas pemberontakan Kryan Batanjeruk yang tewas di Bungaya atau Jungutan pada tahun 1556 Masehi, ikut terbunuh I Gusti Tohjiwa. Sementara I Dewa Anggungan diturunkan kebangsawananya, I Gusti Pandhe Basa tewas kemudian pada pemberontakan berikutnya yaitu pada tahun 1578 Masehi. Karena merasa putus asa dalam mengatur negeri leluhurnya Dalem Bekung kemudian memutuskan untuk meninggalkan Gelgel dan membangun puri dan menetap di daerah Kapal. Tahun 1580 Masehi, Dhalem Sagening diangkat sebagai raja menggantikan kakaknya, jabatan patih agung dipegang oleh putra dari I Gusti Agung Manginte yang bernama I Gusti Agung Widia atau I Gusti Agung Maruti. Jabatan Demung dipegang oleh I Gusti Di Ler Pranawa. Dalem Sagening yang memerintah tahun 1580 hingga 1665 Masehi mempunyai banyak putra yang beliau tempatkan diberbagai daerah dengan jabatan Anglurah. Kembali dikisahkan kejadian di Swecapura Gelgel, setelah Dalem Sagening berpulang ke alam para Dewa karena usia, I Dewa Anom Pemahyun naik tahta menggantikan ayahnya, akan tetapi tidak begitu lama beliau kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama I Dewa Dimade, karena beliau sendiri

Page 24: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

24

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

memilih menyerahkan tahta Gelgel dengan memutuskan mengungsi dan berpuri di Purasi Karangasem. Dari Purasi beliau kemudian menuju Desa Temega bersama putranya yang bernama I Dewa Anom Pamahyun Dimade. I Dewa Dimade menjadi raja dengan waktu yang sangat singkat, akibat digulingkan oleh pemberontakan I Gusti Agung Maruti yang berhasil menduduki kraton Gelgel. Dalem Dimade mengungsi menuju Desa Guliang Bangli bersama dengan putranya yang bernama I Dewa Jambe. Pengungsian itu diiringi oleh rakyat sebanyak 300 orang, sementara I Dewa Pamayun sudah lebih dahulu berpuri di Tampaksiring. I Gusti Agung Maruti mengangkat diri menjadi pemimpin di Gelgel dengan masa berkuasa mulai dari tahun 1686 sampai dengan 1705 Masehi. Para Anglurah yang dulunya berada dalam kekuasaan Gelgel satu persatu kemudian melepaskan diri dan menyatakan diri berdaulat dan membangun Kerajaan sendiri di wilayahnya masing-masing. Selama pemerintahan Maruti muncul kerajaan-kerajaan baru seperti Mengwi, Gianyar, Klungkung dan Sukawati. Pada masa pemerintahan I Gusti Agung Maruti di Swecapura wilayah Celuk dan daerah-daerah sekitar Celuk masuk dalam wilayah kekuasaan Raja Mengwi. I Gusti Agung Maruti melarikan diri dari Gelgel setelah diserang oleh pasukan gabungan, Denbukit, Badung dan Singharsa dibawah pimpinan I Dewa Agung Jambe dan Anglurah Singharsa. Pelarian Patih Agung menuju Jimbaran, Badung, Kapal dan berakhir di Kuramas atau Keramas Gianyar. Nama Sima dan Banua mulai berubah menjadi Desa yang terdiri dari sub bagian yang lebih kecil dengan nama Banjar. Eksodus atau perpindahan penduduk selama kurun waktu ini terjadi dalam jumlah sangat banyak dan bersifat dinamis. Hal ini terjadi akibat dari penggerakan rakyat yang dilakukan oleh raja,

Page 25: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

25

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

bangsawan atau para pemuka masyarakat yang membuka wilayah baru untuk perluasan pemukiman. Khusus untuk wilayah desa-desa Bali Kuno, raja menempatkan satria atau Arya yang mempunyai kemampuan tinggi, serta yang utama mempunyai kaitan darah dengan para Arya Bali, sehingga kedatangan mereka bisa diterima sebagai anggota keluarga.

II.6. Masa Kekuasaan Mengwi.

I Dewa Agung Jambe atas restu dari kakak beliau kemudian membangun kerajaan baru di Klungkung dengan nama Smarapura yang selesai dibangun pada tahun 1710 Masehi. I Dewa Agung Jambe berkuasa mulai tahun 1705 sampai tahun 1775 Masehi, mempunyai 3 orang putra: Dewa Agung Dimade, Dewa Agung Anom Sirikan dan Dewa Agung Ketut Agung. Pada masa ini muncul beberapa kekuatan baru para Arya yang membentuk Negari kecil atau kerajaan kecil. Akibat dari penguasaan Gusti Agung terhadap kraton Gelgel. Salah satu Negari yang sangat kuat adalah Mengwi, Raja pertama Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu dikabarkan mendapatkan anugerah dari Ida Bhatara yang melinggih di Gunung Mangu dan berbekal banyak pusaka sakti membawa Mengwi menjadi penguasa wilayah yang sangat luas. Menurut Babad Kaba-kaba, sekitar tahun 1686 Masehi wilayah kekuasaan Mengwi meliputi Kaba-kaba, Marga batas barat sampai sungai Yeh Panah. Batas Selatan Sampai Bukit Jimbaran, termasuk Pura Luhur Uluwatu. Batas timur sampai Sungai Petanu, batas utara sampai Gunung Beratan. Bahkan Mengwi yang beribukota kerajaan bernama Kawyapura ini juga menguasai wilayah Blambangan di Jawa Timur. Banyak juga wilayah-wilayah lain di Bali yang menjadi daerah kekuasaan dari kerajaan Mengwi. Daerah sekitar Celuk memasuki babak baru, sebagai wilayah dari kerajaan Mengwi bagian timur. Tiga

Page 26: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

26

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Nagari kuat Mengwi, Buleleng dan Bangli berkembang dengan sangat pesat, masing-masing seperti tidak puas dengan wilayah yang sudah dimilikinya, setiap waktu selalu melakukan pelebaran wilayah perbatasan nagari lain,

sehingga tidak jarang sering terjadi gejolak di wilayah perbatasan antara nagari tersebut. Klungkung yang merupakan pawaris tunggal tahta Dalem Bali dengan kotaraja bernama Smarapura baru mulai berbenah, belum mampu mengatur dengan baik para raja Nagari yang sedang bertikai. Desa-desa di Bali tengah seperti Celuk yang mempunyai hutan yang sangat terbatas, sering menjadi arena

Page 27: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

27

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

pertempuran-pertempuran kecil laskar perbatasan ketiga Nagari itu hingga meluas sampai ketengah desa. Selama kurun waktu yang cukup lama daerah Sukawati dan sekitarnya menjadi seperti wilayah tanpa tuan atau pemilik. Angelurah dan Para Bangsawan Mengwi yang dikawal oleh laskar Batu-Bata seringkali melintasi wilayah ini untuk berburu hingga ke Tampaksiring. Angelurah Panji Sakti di Buleleng dikawal oleh laskar Teruna Guwak secara terang-terangan dan tanpa rasa khawatir melewatinya dalam perjalanan menuju ke Blahbatuh. Sementara Ratu dan Bangsawan Bangli dengan laskar Bintang Danu melintasi sambil menyanyi dan bersenda gurau. Ketiga Nagari ini menganggap bahwa gugusan bukit yang dikenal dengan nama Munduk Taro dan wilayah-wilayah sekitarnya ini sebagai bagian dari wilayah kekuasaan mereka. Situasi politik yang tidak menentu ini berakibat sangat buruk bagi penduduk Munduk Taro, Daerah bekas Sima Di-Hyang dan Sima Di-Campuh ini kurang mendapat perhatian dari ketiga Nagari, karena ketidakpastian status wilayah sebelum kuatnya pemerintahan I Dewa Agung di Klungkung. Dalam salah satu lontar hasil karya Pengawi Mengwi berjudul Peniti Krama Kawyapura, yang memuat uraian desa-desa dibawah kekuasaan Manca Mengwi tidak ditemukan penyebutan nama Desa Celuk, yang disebutkan justru nama-nama desa disekitar Tegallalang seperti Taro, Simpar, Kedisan, Tatag, Gentong, Kusarata, Plapah, Bunut, Ubud, Cebok, Pacek, Jungut, Banturan, Punduk, Nuabha serta dan beberapa nama desa lainnya. Ini membawa kemungkinan bahwa Celuk tidak termasuk wilayah kekuasaan Mengwi, atau menjadi wilayah Mengwi dengan nama yang berbeda, atau tertulis dalam karya sastra pengawi lain yang belum kami temukan dan kaji sebagai sumber. Semoga pada

Page 28: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

28

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

kesempatan yang lebih panjang nanti semua hal yang berkaitan dengan nama Penestanan bisa digali dan dikaji dengan lebih seksama.

II.7. Masa Kekuasaan Sukawati, Peliatan dan Ubud.

Pada sekitar tahun 1713 wilayah sebelah timur Sungai Ayung dipersembahkan oleh Raja Mengwi kepada I Dewa Agung Klungkung sebagai bukti Mengwi mengakui I Dewa Agung Klungkung sebagai penguasa Bali. Oleh I Dewa Agung Klungkung wilayah tersebut dianugerahkan kepada putra beliau yang bernama I Dewa Agung Anom yang kemudian mendirikan Kerajaan Sukawati dengan nama abhiseka Sri Aji Maha Sirikan, atau Sri Aji Wijaya Tanu atau dikenal oleh masyarakat sebagai Dhalem Sukawati. Dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas, Sungai Pekerisan sebagai batas wilayah timur, Pantai Gumicik sebagai batas selatan, Sungai Ayung sebagai batas barat, dan pegunungan Batur sebagai batas utara, seperti yang tertuang dalam pustaka Babad Timbul, Babad Durmanggala, Babad Dalem Sukawati dan babad-babad yang lain. Dalam memegang pemerintahan Sri Aji Wijaya Tanu didampingi oleh permaisuri beliau yang bernama Gusti Ayu Agung Ratu yang merupakan putri dari Ki Gusti Agung Angelurah Made Agung, penguasa Mengwi saat itu. Setelah sekian lama Sri Aji Wijaya Tanu menjadi raja di Timbul, adalah lahir putra-putra beliau, dari permaisuri lahir I Dewa Agung Jambe, I Dewa Agung Karna dan I Dewa Agung Mayun. Setelah Sri Aji Wijaya Tanu mangkat ke sunia loka, digantikan oleh putra beliau yang bernama I Dewa Agung Mayun pada tahun 1733 Masehi dengan gelar raja Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun. Kedua putra beliau yang lain memilih untuk menjalankan Dharma Kepanditan dan Nyukla

Page 29: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

29

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Brahmacari, Dewa Agung Jambe memutuskan berpuri di Geruwang atau Puri Guwang sekarang, sementara Dewa Agung Karna melaksanakan Dharma Brahma Cari di Puri Ketewel. Pada masa pemerintahan Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung Pamayun di Sukawati dari tahun 1733 sampai tahun 1757 Masehi, Dalem Agung Pamayun banyak memerintahkan penduduk kekuasaan Sukawati untuk membangun pura-pura juga memugar kembali pura-pura kuno yang sudah berdiri sebelum pemerintahan beliau. Banyak dana kerajaan yang juga dikeluarkan untuk menyelenggarakan upacara-upacara besar di berbagai pura wilayah kekuasaan Sukawati. Laporan politik dan budaya J. Moser tahun 1808 yang kemudian dibukukan memuat data-data tentang upaya pemerintahan raja-raja Bali pada kurun waktu 1740 sampai dengan 1800 Masehi dalam usaha membangun, memugar dan membuat upacara-upacara besar pada pura, puri, pasar, alun-alun dan tanah pekuburan. Ida Sri Dewa Agung Gede Pamayun menjadi raja yang sangat bijaksana di Sukawati, beliau menurunkan putra antara lain dua putra dari dampati Ida Sri Dewa Agung Istri Mengwi bernama: Ida Dewa Agung Gede Putra, putra keduanya bernama Ida Dewa Agung Made Putra. Ada juga putra-putri beliau yang lahir dari Penawing, antara lain: Ida Tjokorda Ngurah, Ida Tjokorda Karang, Ida Tjokorda Anom, Ida Tjokorda Tiyingan, Ida Tjokorda Tangkeban, Ida Tjokorda Ketut Segara, Ida Tjokorda Rai Lengeng, Ida Tjokorda Gunung dan seorang putri yang kemudian setelah dewasa diperisteri oleh Ida I Dewa Manggis Gredeg di Puri Gianyar. Setelah para putera beliau dewasa, tahta kerajaan Sukawati diserahkan kepada putra tertua yang bernama Ida Dewa Agung Gede Putra pada tahun 1757 Masehi. Ida Sri Dewa Agung Gede Pamayun kemudian memilih untuk menyepi di

Page 30: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

30

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Puri Petemon sampai mangkat, sehingga beliau dikenal dengan nama Dalem Petemon. Pada masa pemerintahan Ida Dewa Agung Gede Putra terjadi gejolak berkepanjangan antara beliau dengan adik kandungnya yang bernama Ida Dewa Agung Made Putra yang sempat membuat pertentangan diantara para pengikutnya sehingga kekuatan kerajaan menjadi terpecah menjadi dua bagian. Akibat pergolakan politik itu sampai-sampai Puri Sukawati pernah dikuasai oleh Ki Gusti Munang dari Puri Grenceng Badung yang ikut melakukan penyerangan ke Sukawati dari Arah selatan. Setelah sekian lama berseteru pada akhirnya kedua bersaudara bisa bersatu, mengumpulkan kekuatan lalu melakukan penyerangan dan berhasil mengusir I Gusti Munang dan para pengikutnya dari Sukawati dan mengembalikan kedudukan Ida Dewa Agung Gede Putra menjadi raja di Sukawati. Semua saudara dari raja Sukawati kemudian membangun puri di daerah-daerah kekuasaan Sukawati masing-masing mempunyai daerah dan pengikut. Pada Rabu Umanis wuku Kulantir tahun Saka 1737 atau tanggal 22 November 1815 terjadi gempa bumi pada menjelang tengah malam, karena kerasnya kekuatan gempa membuat beberapa pura dan bendungan rusak parah seperti yang diungkap oleh naskah kuno yang tersimpan di Puri Ayodya Singaraja. Laporan politik dan budaya J. Moser banyak menuliskan tentang berbagai kegiatan politik yang terjadi disekitar wilayah perkembangan kekuasaan Sukawati terutama sekali dengan kegiatan-kegiatan ritual yang diadakan, wiku yang menjadi pemimpin upacara dan undangan yang bersifat sangat khusus menandakan hirarki kekuasaan secara tak langsung. Pada masa Celuk termasuk kedalam barisan bukit wilayah Sima Di-Campuh. Dalam Ilikita Desa Pakraman Celuk dikisahkan tentang perjalanan

Page 31: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

31

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Jro Nyoman Karang Samping Jeruk, seorang ahli dalam bidang bendungan (Empelan) yang berasal dari Blahbatuh menjalankan perintah dari Jero Gede Ketewel untuk melaksanakan tugas membuat bendungan di aliran Sungai Wos. Dengan tujuan utama adalah menaikkan aliran sungai agar bisa mengairi lahan persawahan disekitarnya. Perjalanan beliau melewati wilayah Camengon dan Tangsub, pada sebuah daerah yang masih belum dihuni sekitar Cemengon dan Tangsub ini Jro Nyoman Karang Samping Jeruk memutuskan untuk membangun pondok tempat beliau beristirahat sambil merancang bendungan yang akan dibangun. tidak diceritakan berapa waktu beliau tinggal disana, semakin lama semakin banyak penduduk yang ikut bermukim diwilayah tempat tinggal Jro Nyoman Karang Samping Jeruk, para penduduk membangun pemukiman mereka merambah kearah barat, setelah terbentuk sebuah desa dikenal dengan nama Celuk Mantri. Dikisahkan kembali pada sekitar tahun 1661 hingga 1686 Masehi Kryan Patih Agung Maruti berhasil berkuasa di Gelgel setelah mengadakan pemberontakan dengan beberapa orang petinggi Gelgel yang tidak setia terhadap Dalem Gelgel. Pemberontakan ini memaksa Dalem dan keluarganya mengungsi ke Guliang Bangli. Dengan pemindahan kekuasaan kerajaan Gelgel yang tidak sewajarnya sewaktu itu di bawah pimpinan Kryan Agung Maruti tersebut, diceritakan banyak punggawa ataupun Manca di seluruh bagian wilayah Bali ingin melepaskan diri dari pemerintahan yang berpusat di Gelgel sewaktu itu dan membentuk kerajaan sendiri-sendiri. Para Arya dan penduduk banyak yang meninggalkan Gelgel dan bersembunyi di berbagai wilayah Bali. Diantara mereka adalah wangsa Arya Panasan, Arya Jelantik, Arya Pinatih, Pasek, Bandesa, Pasek Buitan,

Page 32: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

32

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Pasek Padang Subadra dan beberapa wangsa lainnya nyineb wangsa turut bermukim di wilayah Celuk Mantri Dengan semakin banyaknya penduduk yang bermukim diwilayah Celuk Mantri membuat wilayah itu maju dengan pesat, penduduk berhasil membangun sebuah wilayah yang tenang dan damai berkelimpahan sandang pangan dan papan. Secara pemerintahan desa, wilayah Celuk mantri pada masa itu berada dalam wilayah Desa Adat Sangsi dan Negara. Penduduk pendatang yang bermukim di Celuk Mantri bergabung dengan penduduk Sangsi dan Negara dalam upaya membangun Desa Adat. Sekian lama berlalu, banyak diantara wangsa yang menghuni Celuk Mantri membangun sanggar pemujaan kawitan berupa Panti Paibon dan Pedadian sebagai bukti rasa bakti kepada leluhurnya. Situasi aman dan damai terganggu dengan sebuah kejadian saat seorang warga Celuk Mantri yang tidak diperkenankan diupacara di Setra Gede Sangsi setalah meninggal (Salah Pati) akibat jatuh dari Pohon Juwet. Akibat dari peristiwa itu penduduk Celuk Mantri sepakat membangun Pura Dalem dan Setra baru dengan segala upacaranya untuk penduduk Celuk Mantri. Ada dikisahkan Jro Nyoman Karang Tambak yang merupakan salah satu putra dari Jro Nyoman Karang Samping Jeruk yang mengerahkan beberapa orang tetua desa yang dihormati untuk melaksanakan misi mengambil segenggam tanah di Setra Gede Sangsi untuk dipakai sarana mengawali pembangunan dan pura Dalem yang baru. Hal ini di dengar oleh penduduk Sangsi yang segera melaksanakan penjagaan yang rapat di areal Setra, Pura Dalem Sangsi hingga ke Bale Malang lengkap dengan senjata layaknya penduduk turun berperang. Mekel Dauh didaulat sebagai pengerah masa dengan tanda suara kentongan dengan sandi tertentu. Dalam usaha memperlancar misi, ada disebutkan

Page 33: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

33

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Dane Kaki Muning yang konon mampu menebar ilmu "Sasirep" dengan sarana "Yeh Kentel". Setelah semua siaga segera Dane Kaki Muning merapalkan ilmu Sasirepnya, tak berapa lama kemudian terasa seperti gempa, angin dengan lembut menerbangkan debu berisi mantra Sesirep ke arah barat laut hingga Setra, Pura Dalem dan Bale Malang. Akibat sesirep itu, semua penduduk Sangsi yang berjaga tertidur, sehingga tanpa halangan Jro Nyoman Karang Tambak berhasil mendapatkan "Jatu Tanah" pelinggih di utama mandala pura. "Daun Mundeh" dipakai sebagai pembungkus "Jatu Tanah" yang dibawa pulang. Keberhasilan dari Jro Nyoman Karang Tambak dalam misinya disambut oleh penduduk Celuk Mantri dengan sukacita lewat suara kentongan dan bedil. Dengan Jatu Tanah proses pembangunan Pura Dalem dan Setra Celuk Mantri dimulai dengan manggala undagi atau arsitek Dane Jro Nyoman Karang Tambak bersama para penghulu yang lain hingga selesai. Konon dikisahkan daun Mundeh bekas pembungkus "Tanah Jatu" yang dibuang setelah lama tumbuh menjadi pohon Mundeh dan hidup hingga sekarang di Jaba Sisi Pura Dalem Celuk. Daerah dimana penduduk yang meninggal Salah Pati jatuh dari pohon Juwet kini dikenal dengan nama Pitra, begitu juga Pura di tempat Dane Kaki Muning merapal mantra Sesirep dinamakan Pura Abuangin. Sekian lama waktu berlalu daerah Celuk Mantri dikenal oleh penduduk sebagai wilayah Celuk atau Desa Adat Celuk hingga sekarang. Ilikita ini diyakini sebagai sebuah kebenaran yang terjadi dimasa lampau oleh seluruh masyarakat Desa Adat Celuk. Penduduk Celuk yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani mengalami masa-masa sulit pada awal-awal abad 18 hingga pertengahan. Dimulai dengan Gagal panen yang terjadi

Page 34: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

34

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

akibat serangan hama tikus pada tahun 1862, setahun kemudian penyakit kolera dan cacar menyerang desa. Wabah kekurangan pangan dialami oleh masyarakat akibat gagal panen di tahun 1868 menyebabkan ratusan orang meninggal. Wabah Kolera dan Cacar menyerang sebagian besar penduduk hingga tahun 1885. Laporan Politik Van Eck dan Van Vlijmen menuliskan semua tentang wabah mengerikan seperti hantu yang menyerang desa-desa di Bali Tengah, termasuk Celuk. Belum lagi dengan terjadinya gempa bumi pada tahun 1888 Masehi yang mengguncang Bali membuat penderitaan masyarakat Bali pada tahap yang sangat memprihatinkan. Catatan penulis Belanda yang bernama A.M. Hocart menggambarkan situasi genting yang terjadi di wilayah ini sudah menepatkan keberadaan pura-pura tua dan pasraman serta petirtan menjadi sangat penting dalam sistem sosial kesejahteraan masyarakat. Pada bulan Mei 1891 laskar Ubud dibantu laskar Mengwi dan Batur menyerang dan menaklukan Negara, yang berhasil dibumi hanguskan Puri Negara rata dengan tanah, hal ini membuat desa-desa Negara dan sekitarnya mengakui kekuasaan Peliatan dan Ubud. Desa Adat Celuk yang terbentuk dari kesepakatan penduduk yang berbeda asal dan wangsa disebuah wilayah yang subur mengutamakan sektor pertanian sebagai sumber penghidupan penduduk pada awal berdirinya wilayah pemukiman. Pada dasarnya konsep bermasyarakat sosial di Desa Adat Celuk memiliki tujuan menguatkan spiritual penduduk dalam membangun kemakmuran ekonomi, seperti yang disuratkan oleh sastra suci Bhagawadgita,

"..........Bahwa dasar kemakmuran yang terbentuk dari keberhasilan pertanian, peternakan dan perdagangan

tidak mungkin terwujud tanpa adanya air...........".

Page 35: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

35

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Pesan terselubung dari para leluhur untuk mengelola sumber air dengan baik tertuang dalam berbagai bentuk rangkaian pesan dan peninggalan dalam bentuk bendungan-bendungan, sumber air dan petirtan serta beji yang disakralkan. Sejarah terbentuknya Desa Adat Celuk sesuai dengan Ilikita dan keyakinan masyarakat menyiratkan bahwa adanya Desa Adat Celuk berawal dari usaha membangun bendungan untuk mengupayakan kemakmuran masyarakat dalam bidang pertanian. Desa Adat Celuk memiliki sumber air yang melimpah dan diatur peruntukannya bagi pertanian oleh 3 Subak, antara lain Subak Pemungkul, Subak Temoyang Kaja dan Subak Tangsub, yang mana sumber airnya mengalir dari Bendungan Panegara Sari Gunung Rata Lucuk yang dibangun di Banjar Negara Desa Adat Batuan.

II.8. Masa Peralihan Kekuasaan Belanda-Jepang.

Kekuasaan Belanda semakin bertambah kuat di Bali dengan diangkatnya Van Heutsz sebagai Residen Bali Lombok pada tahun 1905 yang kemudian membuat kebijakan di tahun 1909, dengan membagi wilayah Bali Selatan menjadi Divisi Administratif dibawah seorang Asisten Residen dan terdiri dari 6 sub wilayah, Karangasem, Bangli, Gianyar, Klungkung, Badung dan Tabanan, masing-masing dengan satu Controleur. Setiap daerah dipimpin oleh seorang Punggawa. Sebuah catatan kuno yang ditulis oleh H.U. van Stenis mengungkapkan tentang gempa dahsyat yang melanda Bali pada tanggal 21 Januari 1917, walaupun berlangsung kurang dari lima puluh detik, tetapi cukup mengakibatkan kehancuran rumah-rumah, pura, puri tak terhitung jumlahnya, banyak jalan, bendungan yang jebol. Gempa yang menelan korban mencapai lebih dari 1.350 orang ini juga merobohkan dan menghancurkan pura-pura di Celuk dan sekitarnya. Pura Dalem Celuk, Desa Adat Celuk

Page 36: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

36

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

juga menjadi salah satu dari sekian banyak pura yang rusak, walaupun tidak sangat parah kerusakan yang dialami, tetapi cukup memerlukan waktu yang panjang untuk memugarnya kembali. Disela-sela bencana yang terjadi di hampir seluruh wilayah Bali, Desa Celuk justru menemukan jati diri desa dengan pengembangan rintisan ekonomi yang menjadikan desa ini sangat maju kemudian, diawali pada kisaran tahun 1915, seorang warga Pande di Desa Celuk bernama Nang Gati mengembangkan kerajinan perak untuk keperluan yadnya disekitar Bali Tengah. Keahlian memande ini diwarisi dari ayah beliau yang bernama I Nyoman Klesir yang konon mendapatkan ilmu memande dari gurunya di Mengwi bernama Pan Sumpang. Sekian lama berjalan, hasil karya kerajinan perak masyarakat Celuk semakin beragam, tidak hanya berupa Bokoran, Sangku, Penastan dan danganan keris saja, tetapi merambah ke jenis-jenis perhiasan. Karya kerajinan perak masyarakat celuk sangat disukai oleh golongan bangsawan dari Puri Gianyar, Peliatan, Ubud, Sukawati, Sangsi dan puri-puri lain di Bali Tengah. Tahun 1935 kerajinan masyarakat Celuk semakin berkembang dengan semakin beragamnya bentuk kerajinan berbahan baku perak yang mempunyai ciri khas motif tumbuh-tumbuhan dan binatang. Pada dasarnya motif desain kerajinan perak ini dibagi menjadi 4 bagian antara lain: Motif Jejawanan yang merupakan komponen motif dari susunan Jawan yang berbentuk bola-bola berbagai ukuran. Yang kedua adalah motif Liman Paya berbentuk menyerupai sulur buah pare berbentuk gulungan mengkerucut, yang ketiga adalah motif buah Gonda, menyerupai bentuk buah Gonda yang ditata sedemikian rupa dalam berbagai ukuran. Yang keempat adalah motif Bun Jejawanan menyerupai sulur tunas pohon Pakisaji yang masih muda berbentuk

Page 37: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

37

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

memanjang dan melengkung pada ujungnya. Ciri khas motif kerajinan perak Celuk ini membawa perubahan yang besar terhadap perkembangan ekonomi desa. Hasil karya pengrajin perak Celuk sangat digemari oleh seluruh masyarakat Bali dan luar Bali bersamaan dengan terjadinya berbagai bencana di sebagian besar wilayah Bali. Tanggal 8 Desember 1941 meletus perang Pasifik, tentara Jepang menghancurkan pangkalan udara Pearl Harbour di kepulauan Hawai. Belanda dan sekutunya menyatakan perang melawan Jepang, Bali yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Hindia Belanda tentunya juga terimbas oleh peraturan-peraturan keadaan darurat perang. Masyarakat Celuk masih seperti biasa melaksanakan kegiatan sehari-harinya, diakibatkan sedikit sekali media yang menerangkan tentang peperangan yang sedang berkecamuk antara Jepang dan Sekutu. Bagian pasukan Kononklijk Nederlands Indisch Leger atau KNIL yang dibentuk di Bali dengan nama Prayoga yang terdiri dari 1000 orang direkrut dari pemuda-pemuda Bali yang cakap disebarkan di 4 tangsi: Buleleng, Karangasem, Badung dan Gianyar. Mereka yang ditugaskan untuk mempertahankan Bali dari serangan Jepang oleh Angkatan Darat Kerajaan Belanda dibantu oleh seluruh rakyat Bali. Tanggal 18 Februari 1942 Tentara Jepang mendarat di Sanur dengan jumlah yang sangat besar, setelah mengebom lapangan udara di Tuban terlebih dahulu. Tanggal 8 Maret 1942, Stasiun pemancar radio resmi Belanda, Nirom menyiarkan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada Jepang sekaligus mengakhiri perang Pasifik dan masa kekuasaan Belanda terhadap Bali. Pura Dalem Celuk dan pura-pura lain di Desa Adat Celuk yang sebelumnya mengalami kerusakan akibat gempa tidak bisa segera dipugar sebagaimana mestinya, karena situasi politik

Page 38: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

38

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

swapraja Gianyar yang tidak kondusif. Masih banyak bangunan Pelinggih yang rusak. Penduduk masih bingung dengan apa yang harus mereka lakukan berkaitan dengan pura-pura yang ada di wilayahnya. Situasi ini dipengaruhi oleh terkonsentrasinya para pemimpin swapraja dalam peralihan kekuasaan antara Hindia Belanda kepada Jepang. Para Punggawa dan Sedahan yang biasanya secara langsung memberi perintah untuk melakukan perbaikan pura, jalan atau bendungan tidak berani mengambil keputusan yang tegas, masih menunggu siatuasi politik menjadi tenang. Pemerintah militer Jepang mengakui kerajaan-kerajaan di Bali dengan membentuk badan Panitia kerajaan terdiri dari Punggawa, Sedahan Agung dan seorang wakil dari Raja yang digaji oleh pemerintah Jepang. Jepang menepatkan seorang wakilnya di masing-masing swapraja dengan nama Syutjo yang bertugas mengamati berbagai perkembangan di masing masing swapraja. Syutjo ini menggantikan kedudukan para Controleur pada jaman Hindia Belanda, menjadi pejabat setingkat Bupati. Jepang memulai pemerintahan tangan besinya di Bali dengan menebar Polisi Militer yang diberi nama Kempetai yang bertindak aktif tanpa pandang bulu. Selama pemerintahan Militer Jepang, keadaan Masyarakat Bali yang sudah sulit, menjadi semakin sulit, banyak tentara yang sewenang-wenang terhadap rakyat kecil, merampas, menyiksa dan menangkap masyarakat yang dianggap melawan Jepang. Perhatian terhadap fasilitas umum seperti bendungan, jalan, pasar dan pura sangat minim. Bendungan banyak yang jebol, jalan rusak, pasar sepi tidak terurus dan pura-pura terbengkelai. Hal ini juga berlangsung setelah kemerdekaan dan tahun-tahun awal pemerintahan Republik Indonesia.

Page 39: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

39

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

BAB III

DESA ADAT CELUK

WILAYAH, PENDUDUK DAN ORGANISASI ADAT

III.1. Wilayah dan Penduduk Desa Adat Celuk.

Suatu tempat untuk melakukan pertemuan baik bagi pengurus desa maupun bersama-sama warga desa. Untuk tempat pertemuan desa, warga desa atau Krama Desa memilih tempat di tengah-tengah dari wilayah pemukiman warga desa.

Peta Batas Wilayah Desa Adat Celuk

Pusat desa yang memiliki multi fungsi ini, berkembang menjadi Tempat suci yang disebut "Pura Desa atau Pura Bale Agung", sebagai tempat melakukan pertemuan. V.E Korn menggambarkan Pura ini sebagai "The Sacral Men's House". Desa Adat Celuk awalnya adalah bagian dari wilayah Desa Sangsi. Desa Adat Celuk adalah satu kesatuan

Page 40: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

40

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

dengan Banjar Adat dan Banjar Dinas, yang dibagi menjadi 6 Kesinoman. Wilayah Desa Adat Celuk mempunyai batas wilayah sebagai berikut, Batas wilayah timur Desa Adat Tangsub, batas wilayah selatan areal persawahan Subak Tangsub, batas wilayah barat Banjar

Peta Letak Pura Dalem Desa Adat Celuk

Tegaltamu, dan batas wilayah utara Desa Adat Apuan atau Tukad Wos. Secara Astronomis, Desa Celuk berada pada kordinat 08035.28. - 08036.27 Lintang Selatan dan 115015.57- 115016.57 Bujur Timur. Terletak di jarak 16 Km arah barat daya dari kota Gianyar. Menurut data Profile Desa, Luas wilayah Desa Celuk 2,28 M2, terdiri dari tanah Regosol Coklat Kekuningan, yang bahan induknya berasal dari Abu dan Tufavolkan Intermedier. Fisiografis Desa Celuk adalah daerah Fan Volkan dengan kontur wilayah landai dengan kemiringan lereng 0-2% dengan ketinggian 250 Meter Diatas Permukaan Laut atau MDPL. Secara

Page 41: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

41

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

admistrasi pemerintahan dinas, Celuk adalah salah satu dari 12 Desa di wilayah Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Warga Desa Adat Celuk sebagai mahluk sosial sangat menyadari bahwa hidup harus senantiasa didasari oleh rasa saling menghargai dan bertanggung jawab. Awig-awig Desa Adat dibuat untuk mengatur dengan jelas batasan hubungan antara kehidupan sosial masing-masing warga Desa Adat Celuk.

III.2. Organisasi Adat dan Dinas.

Para Juru Desa Adat dibentuk sebagai pemimpin Desa Adat dalam mengatur krama adat agar tidak sampai melanggar isi dari setiap sargah di Awig-awig Desa Adat Celuk. Para Juru Adat Celuk terdiri dari Para Juru Gede, antara lain: Saba dan Kertha Desa diatur oleh pengurus dengan Kelihan dijabat oleh I Wayan Ratim, Petajuh dijabat oleh I Wayan Suwetha dan Penyarikan juga Artharaksa dijabat oleh I Made Wira Widiana. Kerta Desa bertugas membantu prajuru Desa Adat Celuk dalam menyelesaikan perkara adat, sedangkan Sabha Desa bertugas membantu Prajuru Desa Adat Celuk dalam hal merencanakan dan menyelesaikan permasalahan di luar perkara adat. Badan ini sangat penting dalan struktur organisasi sebuah Desa Adat sebagai badan pertimbangan Desa Adat sekaligus sebagai perwakilan masyarakat Desa Adat yang mengakomodir segala macam permasalahan yang menyangkut adat. Desa Adat diatur dengan tegas Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 47 disebutkan “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan

Page 42: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

42

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak

Page 43: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

43

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

asal usul, dan / atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” diperkuat dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman Pasal 1 angka 4 dijelaskan tentang Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Bendesa Adat Celuk dijabat oleh Ir. Kadek Anom Asta Brata, dibantu oleh Artaraksa atau Bendahara I Komang Widiana, S.E. dan Penyarikan atau Penyarikan atau Sekretaris dijabat oleh I Kadek Mustika, SE. Para Juru Banjar Dinas dan Banjar Adat Celuk masing-masing: Kelihan Dinas dijabat oleh I Wayan Agus Suarnaya, S.Kom. Kelihan Adat dijabat oleh I Ketut Mataram, Artaraksa Banjar Adat dijabat oleh Ir. I Wayan Gede Antara, Penyarikan dijabat oleh Drs. I Made Suastika. Para Juru Banjar Adat dan Dinas Celuk bertugas untuk melayani keperluan administrasi Krama Banjar Celuk secara dinas maupun secara adat. Selain Pengurus Para Juru Pokok, Desa Adat Celuk juga menaungi organisasi adat antara lain:

III.2.1. Pecalang Desa Adat Celuk

Pecalang Desa Adat Celuk dengan jumlah 14 anggota, dengan Kelihan dijabat oleh I Ketut Jana, wakil kelihan dijabat oleh I Ketut Nurjana, Penyarikan atau Sekretaris. dijabat oleh Komang Arimasta dan Bendahara dijabat oleh Wayan Semara Bawa. Organisasi Adat ini bertugas sebagai Jagabaya Desa Adat. Kata Pecalang menurut ahli tafsir bahasa Bali dan Kawi berasal dari kata dasar “Calang” yang berasal dari kata “Celang” yang dapat diartikan sebagai

Page 44: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

44

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Waspada. Organisasi Adat ini diatur dengan jelas di Peraturan Daerah Provinsi Bali tahun 2001.

III.2.2. Seka Gong Desa Adat Celuk

Seka Gong Desa Adat Celuk beranggotakan 40 Anggota, dengan pengurus: I Wayan Bratayana sebagai Kelihan Seka Gong, I Made Sudirka Sebagai wakil kelihan. Seka Gong adalah lembaga atau kelompok sosial yang lebih kecil sifat, ruang lingkup dan keanggotaannya dari Desa Adat, Seka Gong merupakan kesatuan dari beberapa orang Krama Desa Adat yang menghimpun diri atas dasar kepentingan yang sama dalam kegiatannya yang menyangkut kepentingan Desa Adat maupun anggotanya.

III.2.3. Seka Pesantian Desa Adat Celuk

Fungsi dan peranan dari Desa Adat salah satunya adalah sebagai pembina, pengayom dan penuntun di bidang keagamaan, sebagai tempat pendidikan agama, pembinaan mental dan spiritual, upaya ini dilaksanakan di Desa Adat Celuk, salah satunya dengan membentuk Seka Santi Desa Adat Celuk dengan anggota 25 orang, I Ketut Kasna Ngantara sebagai ketua, Dra Ni Nyoman Ayu Triwidani, M.pd sebagai sekretaris dan Dra Ni Wayan Kasihani Sebagai bendahara. Seka Santi dianggap sangat penting sebagai wadah krama desa adat dalam membentuk karakter lewat nyanyian atau upaya mengenal dan memahami ajaran suci Weda melalui olah seni suara tradisional.

III.2.4. Pengenter Pemuspan dan Pengayah Penerangan

Pada setiap upacara nista madya uttama, Krama Desa Adat Celuk sudah menugaskan 3 orang krama sebagai pengenter pemuspan, Drs I Nyoman Rai Putra, I Nyoman Sucikra dan I

Page 45: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

45

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Ketut Sukada, sementara krama yang bertugas sebagai Pengayah penerangan terdiri dari 6 krama, antara lain: I Made Suana sebagai ketua, I Made Sukarja sebagai sekretaris dan I Made Rudita sebagai Bendahara, dengan anggota: I Wayan Ruma, I Wayan Suardana dan I Wayan Armadi.

III.2.5. PKK Banjar Celuk

PKK Banjar Celuk adalah organisasi kemsyarakatan yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan memiliki andil besar yang secara pragmatis mampu membantu masyarakat terutama dalam hal keluarga, perempuan, dan anak. Hal ini sejalan dengan nama PKK yang punya kepanjangan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga. Karena PKK adalah gerakan yang sifatnya pragmatis, sehingga tak lepas dari berbagai fungsi yang disematkan dalam 10 fungsi dasar dari PKK, antara lain: Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Gotong Royong, Pangan, Sandang, Perumahan serta Tatalaksana Rumah Tangga, Pendidikan serta Ketrampilan, Kesehatan, Pengembangan Kehidupan Berkoperasi, Kelestarian Lingkungan Hidup dan Perencanaan Sehat. PKK Desa Adat Celuk berjumlah 427 anggota dengan pengurus: Ketua dijabat oleh Ni Nyoman Sritamin sekretaris dijabat oleh Ni Wayan S. Mulyawati dan bendahara dijabat oleh Ni Wayan Kusniari.

III.2.6. Seka Deha Teruna atau Teruna Teruni Yowana Jaya

Desa Adat Celuk adalah kumpulan atau wadah organisasi sosial pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa

Page 46: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

46

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Adat Celuk yang bergerak dibidang kesejahteraan sosial. Beranggotakan 426 anggota dengan pengurus: Ketua dijabat oleh Kade Dody Alit Mudana, Wakil Ketua I dijabat oleh I Wayan Juni Natawijaya, Wakil Ketua II dijabat oleh Kadek Nadya Narita Galung, Sekretaris I dijabat oleh Ni Wayan Nanik Suryantini, Sekretaris II dijabat oleh I Kadek Suardipayana, Bendahara I dijabat oleh Ni Wayan Nia Arditya Sari dan Bendahara II dijabat oleh I Wayan Gede Tisna Prasetya. Keberadaan kelompok ini sebenarnya untuk memantapkan kegiatan sosial tanpa mengenal status masing-masing orang dalam masyarakat yang dihubungkan dengan adat istiadat Hindu di Desa Adat Celuk.

III.2.7. Lembaga Perkreditan Desa dan Koperasi Desa Adat Celuk

Upaya krama Desa Adat Celuk untuk memberdayaan ekonomi dilaksanakan dengan membangun 2 lembaga keuangan desa, LPD Desa Adat Celuk dengan jumlah karyawan sebanyak 13 orang, ketua LPD dijabat oleh I Wayan Gede Sumarata, S.H., Tata Usaha dijabat oleh I Wayan Gede Eka Budiarta, S.H dan Bendahara dijabat oleh I Wayan Badra, S.H. Sementara Koperasi Desa Adat mempunyai jumlah karyawan 4 orang dengan pengurus: Ketua Kadek Ganda Ismawan, Sekretaris I Made Megayasa dan Bendahara I Ketut Kasna Ngantara.

Page 47: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

47

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

BAB IV

PURA-PURA DI WILAYAH DESA ADAT CELUK

Ilmuan ternama DR. R. Goris memaparkan dalam tulisannya "Het Godsdienstig Karakter Der Balische Dorpsgemeenschap", atau "Karakter Religius dari Komunitas Desa Bali" bahwa ciri religius dari desa adat di Bali dibentuk oleh tiga unsur fundamental yaitu:

1. Sejumlah tempat suci desa atau Pura-Pura desa sebagai tempat pemujaan umat.

2. Susunan kepengurusan desa atau prajuru desa yang selalu dikaitkan dengan fungsi-fungsi sosial keagamaan.

3. Berbagai upacara seremonial atau upakara yang konsisten dilakukan oleh desa.

Seperti yang sudah diterangkan di Bab II Sejak awal, Maha Rsi Markadeya telah membuat pedoman pada masyarakat Bali bahwa di tempat utama desa seyogyanya dibangun tempat suci desa untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan desalah yang wajib mengurus tempat suci desa. Disebutkan tiga tempat secara khusus dalam sebuah Desa yakni:

IV.1. Pura atau Parahyangan Desa Adat Celuk.

Suatu tempat yang difungsikan untuk melakukan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan roh-roh leluhur pendiri desa. selalu diusahakan suatu tempat yang lebih tinggi dari desa. Tempat ini merujuk ke arah gunung atau kaja. Di sinilah kemudian dibuat tempat suci pusat atau asal yang difungsikan untuk memuju Tuhan dalam perwujudannya sebagai dewa pelindung alam dan para roh

Page 48: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

48

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

suci leluhur yang telah menjadi Dewa. Tempat suci inilah kemudian disebut "Pura Puseh", dan merupakan "tempat suci alam atau (Upper Worldly Temple).

IV.1.1. Pura Kayangan Desa Adat Celuk.

Secara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri dari dua kata yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan berasal dari kata hyang yang berarti suci mendapat awalan ka dan akhiran an, an menunjukkan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci, yaitu Pura Desa atau disebut pula Pura Bale Agung, Pura Puseh dan yang ketiga adalah Pura Dalem. Kahyangan Tiga merupakan salah satu unsur dari Trihita Karana yaitu unsur parhyangan dari setiap desa adat di Bali. Pada Kahyangan Tiga masyarakat desa memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk desa dan masyarakatnya. Unsur yang ke dua dan tiga dari Trihita Karana disebut dengan pelemahan dan pawongan. Dengan demikian maka di dalam mewujudkan rasa aman, tentram, sejahtera lahir batin dalam kehidupan desa adat berlandaskan tiga hubungan harmonis yaitu hubungan manusia dengan alam atau hubungan krama desa dengan wilayah desa adat, hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam desa adat dan hubungan krama desa dengan Hyang Widi sebagai pelindung. Inilah yang dinamakan Trihita Karana dalam desa adat di Bali. Dengan tercakupnya unsur ketuhanan dalam kehidupan desa adat di Bali, maka desa adat di Bali mencakup pula pengertian sosio-religius. Maka dari itu perpaduan antara adat dengan agama Hindu di Bali adalah erat sekali sehingga sulit memisahkan secara tegas unsur-unsur adat dengan unsur agama, karena adat-istiadat di Bali dijiwai oleh agama Hindu dan aktivitas agama Hindu didukung oleh adat istiadat di masyarakat. Mpu Kuturan di Bali pada awal abad 11, menata kayangan melalui konsep

Page 49: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

49

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

"Tri Murti" yakni paham teologis yang menjabarkan kemaha kuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk trinitas. Konsep ini kemudian diadopsi dalam pembangunan pura yang kemudian dikenal dengan nama Kayangan Tiga. Simbol-simbol kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diwujudkan dalam bentuk Arca Lingga Bhatara disungsung oleh warga Desa Celuk adalah Sesuwunan Ida Bhatara Ratu Gede dan Ida Bhatara Ratu Ayu. Tapakan Ida Bhatara Ratu Gede, Ida Bhatara Ratu Ayu, Ida Bhatara Ratu Segara dan Ida Bhatara Ratu Lingsir dihaturkan piodalan setiap Saniscara Kliwon Wayang dan Piodalan Nadi dihaturkan pada setiap 6 bulan Bali. Khusus apabila Tumpek Wayang bertepatan jatuhnya dengan Purnama Sasih Kadasa, Ida kehaturan piodalan Mapidudus Nyatur.

IV.1.1.1. Pura Puseh (Gumi) dan Pura Penataran Desa Adat Celuk.

Kata Puseh adalah berasal dari kata Puser yang berarti pusat. Kata pusat di sini mengandung makna sebagai pusatnya kesejahteraan dunia yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi umat manusia, sehingga upacara-upacara yang berhubungan dengan kesuburan dunia dilaksanakan di Pura Puseh. Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara dari ciptaan Hyang Widhi dalam seni arca digambarkan dengan laksana atau ciri bertangan empat yang masing-masing memegang, cakra, sangka dan buah atau kuncup teratai. Wahana adalah Garuda, sedangkan saktinya adalah Dewi Sri atau Dewi Laksmi (Dewi Kebahagiaan). Pura Penataran Desa Adat Celuk terletak di barat daya Pura Dalem, menyatu dengan Pura Puseh Gumi dan Pura Desa Baleagung. Pada masa kerajaan Hindu di Bali, tempat suci kerajaan disebut "Pura Pamerajan". Pemerintah kerajaan memiliki dua tempat suci yakni: Pura Penataran sebagai pura kerajaan atau pura

Page 50: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

50

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

pemerintahan dan pura prasada (candi) sebagai tempat pemujaan bagi leluhur kerajaan. Dalam Pura Penataran, kesatuan kerajaan melakukan peringatan meminta berkah kemasyuran, perlindungan, kekuatan untuk memerintah yang kesemuanya dilaksanakan dengan cara-cara religius. Di dalam Pura Penataran yang disembah adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa penguasa wilayah, (bumi, tanah). Untuk lebih lengkapnya tentang Pura Penataran akan diulas dalam Buku Purana Desa Celuk kemudian. Piodalan di Pura Puseh (Gumi) dan Pura Penataran dilaksanakan pada setiap Purnama setelah Saniscara Kliwon Wayang (Tumpek Wayang).

IV.1.1.2. Pura Desa Baleagung Desa Adat Celuk.

Pura ini disebut dengan nama Pura Desa karena pura ini ditempatkan di pusat desa, menjadi tempat pusat kegiatan pelaksanaan upacara untuk kepentingan desa seperti upacara Ngusaba Desa, pasamuhan Ida Bhatara setelah upacara melis yang dilaksanakan sebelum upacara Panyepian. Disebut pula dengan nama Pura Bale Agung, yang kemungkinan diambil dari nama bangunan Bale Agung yang terdapat pada bagian halaman pertama dari pura ini. Dalam penataan Pura Desa itu, Pura Bale Agung difungsikan sebagai tempat pemujaan Tuhan pencipta atau Brahma dan Sakti-Nya yang bergelar Dewi Saraswati. Piodalan di Pura Desa, Pura Bale Agung dilaksanakan pada setiap Purnama setelah Saniscara Kliwon Wayang (Tumpek Wayang).

IV.1.1.3. Pura Dalem Desa Adat Celuk.

Pura Dalem difungsikan untuk melakukan penyucian terhadap roh, dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, Roh tidaklah secara serta merta menjadi suci setelah manusia mati karena masih dalam bentuk Pirata. Baru setelah

Page 51: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

51

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

dilakukan proses upacara penyucian di Pura Dalem rohnya akan menjadi suci dan terangkat dari alam bawah menuju alam atas. Pura Dalem Celuk terkesan sangat besar dan megah dalam ukuran semua pelinggihnya, tetapi senantiasa sederhana dalam disainnya. Pura ini mengalami perubahan arsitektur selama berabad-abad. Perubahan itu datang sebagai hasil dari paham Hindu yang secara perlahan-lahan disaring dari karajaan Hindu di Bali dari masa ke masa. Pura Dalem Celuk, Pura Mrajapati dan Setra Desa Adat Celuk mempunyai konsep dasar yang mengatur hubungan makna ketiga tempat itu yang berhubungan sangat erat dengan kekuasaan Dewa Siwa dan saktinya, Dewi Durga. Pura Prajapati Tempat Pemujaan Alam Kosmis Dari ketiga tempat suci itu, orang menghubungkan lagi dengan unsur-unsur bhuana agung yang juga ditemukan dalam bhuana alit. Hubungan unsur-unsur itu diatur oleh sistem kosmis melalui jaringan makna yang renik dan masyarakat terkurung di dalam jaringan makna itu membentuk aktivitas ritual umat Hindu di Desa Adat Celuk. Bila Pura Prajapati diyakini sebagai tempat pemujaan alam kosmis. Setra atau Pemuwunan atau tempat pembakaran mayat adalah tempat atau panggung transformasi seluruh kekuatan negatif dari yang tercipta dari murkanya Dewi Dewi Durga. Pura Dalem adalah stana Dewa Siwa yang berfungsi sebagai tempat penetralisir kekuatan positif dan negatif yang ditimbulkan di Prajapati maupun di Setra. Di Pura Mrajapati, menurut beberapa sumber lontar, adalah stana Bhatari Durga dengan tiga kekuatan beliau berupa Anggapati yang melambangkan nafsu di badan, Prajapati berarti Penguasa Setra Gandamayu dan Banaspati adalah sipat yang terbentuk dari unsur Gamang, Tonya, Memedi, Dete dan seluruh mahluk gaib yang tidak tampak. Piodalan di Pura Dalem Desa Adat Celuk

Page 52: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

52

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

jatuh pada setiap Tilem kedua sesudah Buda Kliwon Dunggulan (Galungan). Berkat kerja keras dan kesungguhan hati dari warga Desa Adat Celuk, tuntunan dari para sesepuh tetua dan manggala adat juga manggala dinas, dilandasi semangat gotong royong dan kebersamaan dalam usaha memugar Pelinggih-pelinggih, kini Pura Dalem Desa Adat Celuk yang terdiri dari tiga mandala ini hampir semua bangunan Pelinggihnya tergolong baru. Pemugaran yang dilaksanakan mulai tahun 1968 hingga tahun 2018 menjadikan Pura Dalem Desa Adat Celuk tampak megah dan indah. Bebaturan yang terbuat dari batu padas dan batu bata merah juga Batu-batu lahar yang dipenuhi dengan ornamen-ornamen magis kekinian. Bagian atasnya kebanyakan terbuat dari kayu-kayu pilihan yang juga penuh ornamen ukiran Bali yang mempesona serta gemerlap karena dilapisi cat emas. Pura Dalem Desa Adat Celuk pada dasarnya dibangun oleh masyarakat dari jaman ke jaman adalah untuk memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Beliau sebagai Dewa Siwa dan Saktinya yang menganugerahkan kekuatan, kemakmuran dan jalan kebaikan. Para ahli arsitektur tradisional kuno Bali yang tergabung dalam tim Peneliti Sejarah dan Babad Bali mengungkapkan Pura Dalem Desa Adat Celuk adalah metamorfosis dari prasada atau tempat memuja bagi para penganut Siwa yang kemudian berubah bentuk dan fungsi sesuai dengan jaman yang terus berkembang secara kebudayaan. Pada dasarnya Pura Dalem Desa Adat Celuk terdiri dari 3 pelebahan, yang masing-masing pelebahan dibatasi dengan tembok penyengker dan dihubungkan oleh Candi Bentar, Candi Kurung atau candi peletasan. Konsepsi Tri Mandala merupakan sebuah konsepsi arsitektur dalam

Page 53: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

53

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

konsep penataan area pura Dalem Desa Adat Celuk. tradisional yang sangat jelas diterapkan

Page 54: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

54

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Konsepsi ini pada dasarnya merupakan hasil perkawinan dua konsepsi tradisional yang berkarakter oposisi biner atau Rwa-Bhineda yaitu konsepsi dalam-luar dan konsepsi sakral dan profan. Tri Mandala atau konsepsi tiga area sebagai pedoman dalam pembagian area atau lahan kompleks pura menjadi tiga area atau tiga zona berdasarkan tingkat kesuciannya. Ketiga area tersebut masing-masing dikenal dengan nama Nista Mandala atau Jaba Sisi sebagai area terluar, Madya Mandala atau Jaba Tengah sebagai area peralihan atau area tengah, dan Utama Mandala atau Jeroan sebagai area paling tengah. Diantara ketiga mandala tersebut, area jaba sisi merupakan area yang dimaknai sebagai mandala yang bernilai paling kurang sakral, area jeroan diposisikan sebagai mandala yang paling disakralkan, sedangkan jaba tengah ditempatkan sebagai mandala peralihan yang memiliki tingkat kesakralan menengah. Pada setiap mandala dibangun pelinggih-pelinggih diantaranya:

1. Pelinggih Padmasana.

Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder terdiri dari dua kata yaitu :“Padma” artinya bunga teratai dan “Asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga. Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito, terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah. Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta

Page 55: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

55

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

(makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

2. Pelinggih Gedong Dalem,

Gedong ini difungsikan sebagai tempat atau stana Dewi Durgha yang merupakan sakti dari Dewa Brahma.

3. Pelinggih Gedong Kahyangan

Diperkirakan bahwa gedong ini difungsikan untuk memuja kebesaran Bhatari Durga beserta segala bentuk perwujudan Beliau, pada saat Murti Sakti.

4. Pelinggih Dasar.

Fungsi dari Pelinggih Dasar adalah sebagai tempat memuja kekuatan astral yang berasal dari perut bumi, para Gandarwa dan Naga yang menjadi landasan terbentuknya alam semesta.

5. Pelinggih Paku Aji.

Pelinggih ini belum bisa dipaparkan dengan dengan pasti tentang sejarah, etimologi atau fungsi pastinya.

6. Pelinggih Bale Peselang.

Fungsi Pelinggih Bale Peselang adalah tempat berlingganya Ida Bhatara Sami pada saat kehaturan Karya Agung setelah turun dari Pelinggih Paruman atau Pelinggih Bale Pepelik. Pada saai Ida Bhatara menuju Bale Peselang patut dengan lantaran kain putih, melangkahi Caru Titi Mamah dengan jan Tebu Ratu. Setelah Beliau berstana di Bale Peselang dihaturkan puja Siwa Stawa, Nawa Dewata Stawa, Siwa Samuha Stawa, Dwadasa Smara Stawa dan Pranamia Dewa. Menurut beberapa tattwa, di Pelinggih Peselang Beliau yang dipuja menciptakan alam semesta beserta segala isinya.

Page 56: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

56

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

7. Pelinggih Piyasan Surya.

Difungsikan sebagai tempat Tapakan Ida Bhatara-Bhatari berhias ketika upacara piodalan, sebelum wali dilaksanakan.

8. Pelinggih Bale Pengaruman.

Pengaruman berasal dari kata parum yang artinya pertemuan. Berangkat dari etimologi katanya, fungsi palinggih adalah sebagai tempat pertemuan para ista dewata (manifestsi Tuhan), ketika ada upacara yadnya, terutama upacara besar (wali ageng). Di palinggih tersebut para ista dewata dipuja dengan diberi persembahan (sesaji), dan dimohon menyaksikan jalannya upacara sekaligus cintakasih-Nya untuk memberikan keselamatan dan kesejahteraan.

9. Pelinggih Paingkupan.

Fungsinya sebagai tempat upakara ketika upacara piodalan dan pujawali. Terkadang para tukang banten sering menyinggung dengan ungkapan: Kudang panggung mekarya banten? Artinya: berapa panggung membikin banten? Pertanyaan tersebut juga dapat diartikan merujuk kepada tingkatan besar-kecilnya (ageng-alit) dari upacara yadnya yang dilaksanakan.

10. Pelinggih Piyasan.

Bale ini difungsikan sebagai tempat Ida Bhatara / Bhatari berhias ketika upacara Piodalan, sebelum upacara pemujaan (upacara Piodalan atau Pujawali) dilaksanakan. Bale ini juga biasa difungsikan sebagai tempat Ida Bhatara Sesuhunan, (Ida Ratu Gede, Ida Ratu Ayu, Ida Ratu Lingsir dan Ida Ratu Segara) melinggih. Disamping itu juga difungsikan sebagai tempat banten atau aturan aturan Krama Desa.

Page 57: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

57

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

11. Pelinggih Suwung Gamang.

Pelinggih ini difungsikan sebagai niasa atau lambang kekuasaan Ida Sang Hyang Widhi yang menguasai semua alam, baik yang nyata atau yang tidak nyata. Beliau juga berkuasa terhadap semua mahluk yang hidup di dua dunia tersebut. Sebagai salah satu upaya mengharmoniskan alam nyata dan astral di pelinggih ini dihaturan beberapa upacara yang disesuaikan dengan keperluan.

12. Pelinggih Ratu Ngurah Agung.

Ratu Ngurah Agung yang berstana di pelinggih ini sering dikenal dengan sebutan Bhatara Ngelurah atau sering disebut Pengelurah. Penglurang asal katanya "Lurah" yang artinya pembantu (pepatih), mendapat awalan pe dan sisipan ng, menjadi kata kerja, jadi pengelurah artinya bertugas menjadi pembantunya para dewa atau dewata (menjadi patihnya) pada setiap pura atau pamerajan. Bangunan ini merupakan palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga Kayangan. Dalam Penghayatan agama Immanent (sekala) Tugu Panglurah adalah palinggih para Lurah, iringan pengawal para Dewa Istadewata Hyang Widhi. Fungsinya adalah sebagai Pengawal Pribadi dari Ista Dewata Hyang Widhi. Selain itu makna pelinggih Panglurah ini adalah untuk menstanakan Sang Catur Sanak yang telah suci. Sang Hyang Atma yang telah suci berstana di palinggih pretisentana atau keturunannya yang masih hidup Palinggih Pangrurah ini merupakan manifesatsi dari Sang Hyang Widhi dengan Swabhawa “Bhuta Dewa” yang maksudnya setengah Dewa setengah Bhuta. Beliau memiliki fungsi sebagai penjaga para dewa, disamping itu sebagai juru bicara antara dewa, Dewata dengan manusia dengan umatnya.

Page 58: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

58

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Dengan kata lain Beliau sebagai penyampai dari sembah bhaktinya umat, dan penyampai anugrah dari para dewa.

13. Pelinggih Bale Pelik.

Pelinggih ini sangat penting dalam prosesi Mapurwa Daksina yang diiringi kidung-kidung Dharmagitha yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan Sattwam dan mengurangi kekuatan Rajas maupun Tamas di alam semesta dengan sarana upacara upakara.

14. Pawedan

Difungsikan sebagai tempat Pemangku memimpin upacara dengan melantunkan puja mantra.

15. Patung Ratu Rangda.

Patung ini mempertegas lagi bahwa Ida Bhatari Durga selain pada saat mamurti berwujud seram, juga Beliau berkuasa terhadap seluruh mahluk gaib yang dipercaya sebagian besar diyakini berwujud seram.

16. Pemedalan.

Berbentuk menyerupai Candi Bentar dibuat sebagai akses keluar masuk Uttama Mandala Pura dari Madya Mandala sehingga pemedek tidak memakai Candi Kurung sebagai pintu keluar masuk, agar bisa menjaga kesakralan dari Candi Kurung Pura.

17. Candi Pengapit.

Candi ini difungsikan oleh masyarakat Desa Adat sebagai akses dari jaba tengah ke jerowan atau dari madya mandala ke uttama mandala, khusus dalam rangkaian memundut berbagai piranti upakara upacara.

Page 59: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

59

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

18. Kori Agung.

Kori Agung merupakan lambang dari Gunung Mahameru yang berdasarkan beberapa sastra adalah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan terutama tentang ilmu pengetahuan suci keagamaan. Mahameru juga senantiasa memberikan berkah kemakmuran terhadap alam semesta beserta isinya. Candi Kurung atau gelung adalah sebuah konsep menyatunya alam pikiran kemanusiaan dengan alam kedewaan, sehingga membentuk Kuwung, Kurung, Gelung, Windu, dan Sunia. Diatas pintu berisi ukiran dengan nama Karang Boma yang diyakini sebagai sarana penetralisir sifat-sifat keraksasaan mengubahnya menjadi sifat ke-Dewaan. Keberadaan nilai pilosofi Boma dituangkan dalam Kekawin Bomantak. Karena penuh dengan pilosofi tinggi untuk menjaga kesakralanya, Kori Agung hanya dibuka pintunya saat upacara besar saja dan tidak sembarang orang yang bisa memakai Kori Agung sebagai akses keluar masuk uttama mandala.

19. Candi Pengapit.

Candi ini difungsikan oleh masyarakat Desa Adat sebagai akses dari jaba tengah ke jerowan atau dari madya mandala ke uttama mandala, khusus dalam rangkaian memundut berbagai piranti upakara upacara.

20. Bale Gong

Bale Gong dibangun di wilayah madya mandala bagian timur memanjang arah utara selatan, difungsikan sebagai tempat melantunkan tabuh gong dalam rangkaian pujawali.

Page 60: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

60

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

21. Pelinggih Yuti Srana.

Memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam perwujudan beliau sebagai Sang Kala Yuti Srana dan Kala Bherawa yang dalam berbagai tattwa disebutkan sebagai Raksasa Besar berwarna hitam yang mampu menghancurkan prosesi upacara apabila tidak dihaturkan saji yang pantas.

22. Pelinggih Kalika.

Merupakan salah satu dari sedahan pengapit Kori Agung dibangun disebelah kiri dari pintu Kori Agung. Memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam perwujudan beliau sebagai Sang Kalika. Sang Kalika atau Sang Kalika Maya adalah Sisya Sang Hyang Durga Birawi, penghuni Setra Gandamayu. Keberadaaannya di Sentra Ganda Mayu untuk menjaga keseimbangan setra. Diceritakan kalau ada manusia yang berbuat tidak sesuai dengan tata karma / swadarma-nya pun semisal ada manusia yang melakukan upacara yadnya tanpa didasari oleh rasa iklas dan suci, maka Sang Kalika Maya akan memberikan hukuman.

23. Pelinggih Hyang Api.

Kata Hyang Api berasal dari 2 kata yaitu: Hyang mempunyai arti Beliau yang dipuja dan dimuliakan, sementara kata Api mempunyai arti kata benda Api. Bila digabungkan kemungkinan besar bermakna Memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Api atau Panas atau Brahma. Adanya pemujaan pada Hyang Api diketahui dari prasasti-prasasti Bali Kuna. Hal ini juga mengingatkan kita pada upacara “Homa” yaitu pemujaan pada kekuatan api atau menggunakan sarana api, sehingga ada situs-situs yang ada abu sisa-sisa upacara pembakaran.

Page 61: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

61

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

24. Pelinggih Katak Nini.

Pelinggih ini belum bisa dipaparkan dengan dengan pasti tentang sejarah, etimologi atau fungsi pastinya.

25. Pelinggih Piyasan

Difungsikan sama dengan pelinggih Piyasan di uttama mandala pura.

26. Bale Penyanggra.

Bangunan ini berbentuk segi empat berada di sebelah barat di madya mandala, memiiki fungsi sebagai bangunan serbaguna, biasanya difungsikan untuk menyambut tamu, atau sebagai tempat rapat.

27. Bale Kulkul.

Bale Kulkul yaitu balai tempat kentongan (Pajenengan) di tempat suci. Bentuk bangunan tinggi menyerupai menara. Bangunan dibagi menjadi tiga secara vertical, yang terdiri atas bagian kaki bangunan (tepas), bagian tubuh (batur) dan bagian puncak (sari). Kedua Kentongan yang tergantung di bangunan ini hanya disuarakan pada saat piodalan atau hal-hal penting yang menyangkut tentang berbagai kegiatan di Pura Dalem Celuk saja. Merupakan linggih Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Iswara, dalam ilmu yoga yaitu Paratma yang ada di leher atau kerongkongan, yang berfungsi utama untuk mengeluarkan berbagai jenis suara.

28. Candi Bentar.

Candi ini adalah pintu masuk dari jaba sisi ke jaba tengah, candi bentar ini adalah salah satu bangunan kuno yang masih dipertahankan. Berbentuk gunung terbelah dua dimana kedua bangunan sama tinggi layaknya segitiga yang dibagi

Page 62: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

62

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

menjadi dua bagian. Bangunan ini melambangkan pecahnya Gunung Kailasa tempat Dewa Ciwa bertapa. Jika dilihat dari bentuknya yang terbelah dua maka Candi bentar melambangkan ardhacandra pada kedua bangunan tersebut yang sejiwa. bagian (kiri dan kanan) bangunan itu sebagai simbol rwa bhineda dalam kehidupan, yakni : Sifat positif dan negatif dalam aksara dengan aksara Ang dan Ah.

29. Pelinggih Apit Lawang.

Pelinggih Apit Lawang dibangun dikanan dan kiri dari Candi Bentar wilayah madya mandala sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi beliau sebagai Hyang Nadiswara.

30. Pelinggih Apit Lawang.

Pelinggih Apit Lawang dibangun dikanan dan kiri dari Candi Bentar wilayah madya mandala sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi beliau sebagai Hyang Mahakala.

31. Pelinggih Mundeh.

Pelinggih ini adalah sebagai pengganti Pohon Mundeh yang telah roboh, pohon mundeh ini erat kaitannnya dengan sejarah Pura Dalem Dan Desa Adat Celuk. Dimana daun mundeh dipakai untuk menempatkan tanah Pura Dalem Sangsi yang merupakan salah satu prasyarat pendirian Pura Dalem Celuk.

32. Wantilan.

Adalah bangunan serba guna yang berada di jaba sisi, bangunan ini difungsikan untuk mengadakan pertemuan-pertemuan penting, tempat pertunjukan kesenian, tempat membuat sarana upacara dan lain lain.

Page 63: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

63

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

33. Pelinggih Padmasana Prajapati.

Pura Prajapati atau Mrajapati atau Rajapati adalah tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Beliau sebagai Prajapati dan Bhatari Durga di Hulun Setra. Tempat dimana para Preta melaksanakan kegiatan sebelum dipretista dengan upacara dan ritual yang pantas. Unsur-unsur yang menjiwai Panca Maha Bhuta dipuja dan disucikan disini juga seluruh kekuatan kosmis yang lahir dari Durga Murthi disucikan sehingga menjadi kekuatan alam yang bersifat baik. Salinan Lontar Anda Bhuwana juga menyebutkan bahwa Rajapati adalah Stana Bhatari Durgha dan Bhatara Pramesti Guru saat turun kedunia.

34. Pelinggih Piyasan Prajapati

Bangunan ini berfungsi hampir sama dengan Pelinggih Piyasan di Pura Dalem, hanya bentuknya saja agak lebih kecil.

35. Pohon Asem.

Menurut penuturan beberapa tetua desa, Pohon asem ini adalah pohon tua yang ada di area Pura Dalem Celuk, Sebelum dipindahkan, setra Desa Adat Celuk berlokasi dibawah pohon asem ini, dengan berbagai pertimbangan, hingga kini pohon asem disakralkan oleh penduduk dan disucikan pada setiap piodalan. Pementasan Calonarang selalu dilaksanakan disebelah barat dari tumbuhnya pohon asem.

36. Perantenan.

Perantenan adalah bangunan yang khusus difungsikan sebagai tempat memasak berbagai penganan sarana upacara dalam rangkaian piodalan, wali atau karya.

Page 64: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

64

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

37. Pelinggih Piyasan Beji.

Bangunan ini berfungsi hampir sama dengan Pelinggih Piyasan di Pura Dalem, hanya bentuknya saja agak lebih kecil.

38. Pelinggih Dugul Beji.

Pelinggih ini berhubungan dengan sumber air suci dan berfungsi sebagai tempat para dewata masucian (membersihkan diri).

39. Patung Kala Nadi.

Patung ini merupakan simbol dari kekuatan Sang Hyang Kala Nadi yang tiada lain adalah manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

30. Patung Kala Maya.

Patung ini merupakan simbol dari kekuatan Sang Hyang Kala Maya yang tiada lain adalah manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.Tatkala Turunnya Dewa Tri Murthi turun pula Sang Hyang Iswara dalam wujud Detya bernama Sang Kala Maya yang bertugas menguji keteguhan umat manusia dalam menjalani kehidupan semesta.

41. Dugul Bale Malang.

Pelinggih Dugul Bale Malang, difungsikan sebagai tempat menghaturkan upacara upakara yang berkaitan dengan prosesi upacara di berbagai kayangan di Desa Adat Celuk. Pelinggih ini juga difungsikan sebagai pengeling-eling atau pengingat Sejarah Desa berkaitan dengan Desa Adat Sangsi.

Page 65: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

65

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

42. Piyasan Bale Malang.

Berfungsi hampir sama dengan Pelinggih Piyasan di uttama mandala Pura Dalem Desa Adat Celuk, hanya bentuknya lebih kecil dan sederhana.

43. Bangunan Paud.

Bangunan ini khusus difungsikan sebagai ruang belajar mengajar untuk Pendidikan anak usia dini dari usia 2 sampai 5 tahun.

44. Pelinggih Beringin.

Pelinggih ini difungsikan untuk menghaturkan upacara upakara yang berkaitan dengan prosesi Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya, pada waktu Krama Desa memerlukan bagian dari pohon beringin untuk sarana upacara.

45. Kantor LPD.

Kantor Lembaga Perkreditan Desa di Desa Adat Celuk difungsikan sebagai tempat seluruh masyarakat dalam melaksanakan transaksi keungan, sebagai penabung atau mengajukan kredit.

46. Pasar Tenten.

Bangunan ini adalah bangunan berlantai 3, lantai 1 difungsikan sebagai pasar, yang dikelola oleh Banjar Adat Celuk difungsikan sebagai tempat masyarakat melakukan aktifitas transaksi jual beli berbagai kebutuhan pokok sehari-hari.

47. Pelinggih Ulun Pasar.

Dari beberapa sumber tradisional diperoleh data kata Melanting berasal dari kata "mel" yang berarti perhiasan dan

Page 66: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

66

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

"Anting" yang berarti Batu. Jika didefinisikan secara umum, Melanting berarti sebuah perhiasan yang terbuat dari zat bebatuan atau emas. difungsikan sebagai Pura Swagina bagi para pedagang dalam memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi beliau sebagai Dewi Melanting dan Bhatara Rambut Sedana.

48. Area Parkir.

Area parkir di pura dalem celuk ini cukup luas, difungsikan untuk menampung kendaraan para pemedek pada saat upacara, difungsikan juga sebagai area parkir pasar. Pada masa ngaben difungsikan sebagai tempat Bale Anyar.

49. Setra Adat Celuk.

Adalah tempat dikuburnya krama banjar adat yang meninggal, juga tempat melaksanakan upacara pengabenan kolektif setiap 3 tahun sekali, terkecuali untuk Wiku, Pemangku Khayangan Tiga dan Mangku Panti yang diupacarai langsung setelah meninggal sesuai dengan padewasan dan perarem Banjar. Dalam upacara seusai Ngeratep Sasuhunan Ida Bhatara, di lokasi setra dilaksanakan upacara menghaturkan Penyambleh.

40. Genah Prabot atau Garase.

Bangunan ini khusus difungsikan untuk tempat parkir truk sampah juga difungsikan sebagai tempat menyimpan peralatan milik Banjar dan Desa Adat Celuk.

51. Toilet Umum.

Bangunan ini terletak disebelah timur garase dibangun untuk toilet umum.

Page 67: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

67

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

52. Bak Sampah.

Tempat masyarakat mengumpulkan sampah sisa upacara, sebelum diangkut oleh truk sampah setiap harinya.

Sekian banyak Pelinggih, bangunan penunjang serta piranti yang terdapat dilingkungan Pura Dalem Adat Celuk, selalu dipelihara dan difungsikan sesuai dengan peruntukannya oleh seluruh krama Desa Adat Celuk.

IV.2. Pura Kawitan, Panti atau Paibon.

Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari pura milik warga atau pura klen. Dengan demikian maka pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut pura Dadya sehingga mereka disebut tunggal Dadya. Keluarga inti disebut juga keluarga batih atau Nuclear Family dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga besar atau extended family. Didalam rontal Siwàgama, disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat pura panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat palinggih Pretiwì dan setiap keluarga batih membuat palinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci. Di Desa Adat Celuk terdapat 18 Pura Kawitan, antara lain:

Page 68: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

68

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

1. Pura Ibuangin.

Pura Kawitan Ibuangin diemong oleh Wangsa Gaduh berjumlah 12 KK, dengan Pemangku: Jro Mangku Darsana Putra dan Jro Mangku Mustiari. Kelian Pura: I Wayan Adi Semara Putra, Wakil Kelian : I Ketut Arianta Odalan / Wali dilaksanakan pada setiap Budha Manis Medangsia.

2. Pura Pande.

Pura Pande diemong oleh Wangsa Pande Bratan berjumlah 32 KK, dengan Pemangku: Jro Mangku Wiasta dan Jro Mangku Luh Wistri. Kelian Pura: I Wayan Bratayana, Wakil Kelian: I Nyoman Sukrisna. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Budha Kliwon Gumbreg.

3. Pura Sanggar Agung.

Pura Sanggar Agung diemong oleh Wangsa Pasek Selat berjumlah 31 KK, dengan Pemangku: Jro Mangku Gria dan Jro Mangku Suati. Kelian Pura: I Wayan Santa, Wakil Kelian: I Kadek Parmasta. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Anggara Kasih Medangsia.

4. Pura Anggar Kasih.

Pura Anggar Kasih diemong oleh Wangsa Pasek Buitan berjumlah 11 KK, dengan Pemangku: Jro Mangku Suarsa dan Jro Mangku Masni. Kelian Pura: Komang Suarnawa, Wakil Kelian: I Nyoman Diana. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Anggara Kasih Prangbakat.

5. Pura Dalem Kedewatan.

Pura Dalem Kedewatan diemong oleh Wangsa Arya Wang Bang Pinatih berjumlah 23 KK dan Wangsa Batan Jeruk 10 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Artana dan Jro Mangku

Page 69: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

69

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Sariadi. Kelian Pura: Agus Dwi Ambita, Wakil Kelian: Kadek Pradnyana Dana. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Purnamaning Kasa Nemu Pasah.

6. Pura Budha Keling.

Pura Budha Keling diemong oleh Wangsa Pasek Buda Keling berjumlah 20 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Rasma dan Jro Mangku Kendriwati. Kelian Pura: I Wayan Budayadnya, Wakil Kelian: I Made Pastika. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Buda Kliwon Ugu.

7. Pura Budha Manis Dauh.

Pura Budha Manis Dauh diemong oleh Wangsa Arya Dauh Bale Agung berjumlah 14 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Sukerti. Kelian Pura: I Wayan Suparta, Wakil Kelian: I Wayan Gede Eka Budiarta, S.H. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Budha Manis Prangbakat.

8. Pura Budha Manis Penasan.

Pura Budha Manis Penasan diemong oleh Wangsa Penasan berjumlah 22 KK, Wangsa Arya Dauh Bale Agung 4 KK dan Wangsa Jelantik 15 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Asmarajaya dan Jro Mangku Sulasih. Kelian Pura: I Nyoman Wiradana, Wakil Kelian: Ketut Suparja. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Buda Manis Kulantir.

9. Pura Budha Kliwon Pagerwesi.

Pura Budha Kliwon Pagerwesi diemong oleh Wangsa Bandesa Manik Mas berjumlah 2 KK, dengan Pemangku: Jro Mangku Muliartha dan Jro Mangku Ary Suliastini. Kelian Pura: I Wayan Sudiarta, Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Budha Kliwon Pagerwesi.

Page 70: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

70

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

10. Pura Budha Kliwon Sinta.

Pura Budha Kliwon Sinta diemong oleh Wangsa Padang Subadra berjumlah 4 KK dan Wangsa Pasek Bandesa berjumlah 12 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Gejir dan Jro Mangku Rati. Kelian Pura: I Wayan Badra, S.H, Wakil Kelian: I Ketut Karmita. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Budha Kliwon Sinta.

11. Pura Budha Kliwon Wasan.

Pura Budha Kliwon Wasan diemong oleh Wangsa Wasan berjumlah 25 KK dan Wangsa Jelantik berjumlah 5 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Sukadana dan Jro Mangku Adnyani. Kelian Pura: I Made Wasanta, Wakil Kelian: I Wayan Karmana. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Budha Kliwon Pahang.

12. Pura Pejenengan Budha Cemeng.

Pura Pejenengan Budha Cemeng diemong oleh Wangsa Sri Karang Buncing berjumlah 70 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Kantra Yana dan Jro Mangku Pantiasih. Kelian Pura: I Ketut Pasna, Wakil Kelian: Wayan Karang Asmana. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Budha Cemeng Warigadean.

13. Pura Tambyak.

Pura Tambyak diemong oleh Wangsa Ken Tambyak berjumlah 13 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Sukadana dan Jro Mangku Atik. Kelian Pura: I Made Kencana, Wakil Kelian: Made Budiasa. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Buda Kliwon Pahang.

Page 71: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

71

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

14. Pura Madya.

Pura Madya diemong oleh Wangsa Pasek Bandesa berjumlah 12 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Sulastra dan Jro Mangku Nengah Karianti. Kelian Pura: I Wayan Subaya, Wakil Kelian: I Ketut Suryadana. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Anggar Kasih Kulantir.

15. Pura Budha Cemeng.

Pura Budha Cemeng diemong oleh Wangsa Pasek Bandesa berjumlah 20 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Sulastra dan Jro Mangku Nengah Karianti. Kelian Pura: I Wayan Trena Patra, Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Budha Cemeng Ukir.

16. Pura Santi.

Pura Santi diemong oleh Wangsa Pasek Bandesa berjumlah 5 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Landra dan Jro Mangku Antari. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Budha Manis Tambir.

17. Pura Madya.

Pura Madya diemong oleh Wangsa Sri Karang Buncing berjumlah 70 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Diarsa dan Jro Mangku Nurasti. Kelian Pura: Ketut Pasna, Wakil Kelian: Wayan Karang Asmana. Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Anggara Kasih Medangsia.

18. Pura Penyeneng.

Pura Penyeneng diemong oleh Wangsa Soroh Pasek Gelgel berjumlah 2 KK dengan Pemangku: Jro Mangku Sunarta dan Jro Mangku Dilewati. Kelian Pura: I Wayan Darsana Yasa,

Page 72: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

72

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Odalan atau Wali dilaksanakan pada setiap Budha Manis Medangsia.

19. Wangsa-wangsa Dengan Pura Kawitan diluar Desa Adat Celuk.

Selain Wangsa yang mengempon 18 Pura Kawitan diatas, masih ada 9 wangsa lagi yang memiliki pura Kawitan diluar dari wilayah Desa Adat Celuk, antara lain:

1. Wangsa Bandesa Manik Mas sejumlah 36 KK yang Ngempon Penataran Taman Sari Buda Manis Tangsub di Banjar Tangsub.

2. Wangsa Pemayun = 12 KK

3. Wangsa Tutuan = 2 KK

4. Wangsa Pulasari = 7 KK

5. Wangsa Pejeng = 3 KK

6. Wangsa Bujangga Waisnawa = 4 KK

7. Wangsa Brahmana Keniten (Giriya Selat) = 1 KK

8. Wangsa Brahmana Kemenuh Celuk = 1 KK

9. Wangsa Brahmana Budha Giriya Tegal = 1 KK

Demikian banyak jumlah penduduk warga Desa Adat Celuk yang berasal dari berbagai Wangsa atau garis keturunan bersatu dalam visi dan misi membangun Desa Adat Celuk sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.

Page 73: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

73

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

BAB V

UPACARA DAN UPAKARA

Yadnya sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Kata Yadnya berasal dari bahasa Sanskerta, “Yaj”, yang artinya memuja, mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci. Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan pengabdian tanpa pamrih. Yadnya sebagai amalan agama mengandung pengertian: Merupakan sistem pemujaan dalam kontak memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sebagai prinsip berkorban agar umat bersedia, rela dan menyadari bahwa berkorban itu sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup menuju hidup bahagia. Konsep agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan, dengan terwujudnya keseimbangan, berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di dunia. Untuk umat Hindu yang diidam-idamkan adalah terwujudnya keseimbangan antar manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Yang dikenal dengan Tri Hita Karana. Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan. Ada dua macam Panca Yadnya, yaitu: Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya dan Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan objek yang dituju, Yadnya ini disebut Panca Maha Yadnya.

V.1. Sastra Agama sebagai landasan Yadnya.

Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan obyek yang dituju. Dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 70. tersurat:

“Adhyapanam brahma Yajnah, Pitr yajnastu tarpanam, homo daivo balirbhaurto, nryajno ‘tithi pujanam.”

Selanjutnya dalam Manawa Dharmasastra III.72. bahwa’

Page 74: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

74

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

“Devatatithi bhrtyanam, pitrnamatmanasca yah, Na nirvapati pancanam, ucchwasanna sa jwati”.

Yang diartikan

”Tetapi ia yang tidak memberikan persembahan kepada kelima macam tadi yaitu para dewa, para tamunya, mereka

yang harus dipelihara, para leluhur dan ia sendiri, pada hakekatnya tidak hidup walaupun bernafas”

Bhagawadgitha III.4. menyebutkan

Na karmanam anarambhan, Naiskarmyam puruso snute Na ca sannyasanad eva, Siddhim samadhigacchati

Yang artinya

Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak hanya dengan melepaskan diri

dari pekerjaan orang akan mencapai kesempurnaannya

Dalam hal tersebut bahwa Karya Ngenteg Linggih, Tawur Agung, Mupuk Padagingan, Ngusabha Dalem Ring Pura Dalem Desa Adat Celuk merupakan wujud sradha Bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dimana seluruh komponen Krama ikut andil dalam pelaksanaannya. Karena sesungguhnyalah alam telah memberikan kepada kita semua untuk kita pelihara sehingga keselarasan akan terpelihara.

Setiap pelaksanaan Yadnya yang dilakukan oleh masyarakat Bali pada umumnya, memiliki dasar yang sangat kuat yang berdasarkan pada sastra agama. Pada Rg.veda X.90 yang memberikan ide pertama dilaksanakannya yadnya menyatakan bahwa:

Page 75: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

75

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Alam ini ada berdasarkan yadnya-Nya (Maha Purusa), dengan yadnya Dewa memelihara manusia & dengan

yadnya manusia memelihara Dewa

Ini berarti bahwa yang menjadi dasar adanya alam semesta beserta isinya ini adalah adanya yadnya Tuhan dalam

manifestasinya sebagai Maha Purusa.

Bhagavadgita III.11. menyatakan bahwa :

Para dewa akan memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan, karena itu manusia yang

mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas pemberian itu dengan yadnya pada hakekatnya dia

adalah pencuri

Juga dijelaskan dalam Bhagavadgitha III.14. bahwa;

Dari makanan, makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya

lahir dari pekerjaan

Sehingga dari keseluruhan perbuatan atau pekerjaan tersebut, lahirlah panca yadnya. Karena keterikatan dan

timbal balik yang terjadi maka adanya hutang yang harus dibayar, sehingga manusia yang terlahir kedunia sudah

berbekal hutang yang harus dibayar kepada orang tuanya, dan sebagainya. Maka adanya hutang tersebut yang disebut

dengan Tri Rna.

Hal ini termuat dalam kitab Manawa dharma-sastra VI.35 yang menyebutkan bahwa :

Pikiran (manah) yang ada dalam diri kita masing-masing baru dapat diarahkan pada kelepasan setelah

melunasi 3 hutang yang kita miliki

Page 76: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

76

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Jadi sebelum kita dapat melunasi hutang-hutang itu, kita tidak akan mencapai tujuan akhir agama Hindu yang disebut

Moksartham jagadhita ya ca iti dharma.

Semua sastra di atas mengajarkan kepada umat Hindu agar tidak jemu-jemu melaksanakan Yadnya yang pantas dan sesuai dengan kemampuan, yang paling penting didasari oleh rasa tulus dan ikhlas. Seperti halnya upacara-upacara besar, tentu memerlukan banyak piranti upacara juga jumlah krama yang mempunyai tugas dengan keahliannya masing-masing.

V.2. Karya Agung Dirghayusa Bhumi, Anggara Kliwon Kulantir sasih Kalima, tahun 1921 Saka, 16 Nopember 1999.

Setelah proses pembangunan dan renovasi Pura Dalem Desa Adat Celuk, Krama Desa Adat Celuk sudah melaksanakan Karya Agung Dirghayusa Bhumi dengan Puncak Karya tanggal 16 November 1999. Ida Pedanda Giriya Gede Kemenuh didaulat oleh krama Desa sebagai Manggalaning Yadnya, Ida Tjokorda Gede Agung Suyasa (Almarhum) sebagai Pengrajeg atau Manggalaning Karya. Sebagai Wiku Tapini Ida Pedanda Istri Giriya Kemenuh didampingi oleh Ida Pedanda Istri Giriya Kutri. Penasehat Ketua I Ketut Darma untuk berbagai urusan kedalam dan I Ketut Suarja untuk urusan keluar. Ketua dijabat oleh I Wayan Suweta sekaligus Bendesa Desa Adat Celuk, Sekretaris sekaligus Penyarikan Desa Adat I Nyoman Sumanthra dibantu oleh I Nyoman Widiana, Bendahara dijabat oleh I Nyoman Suru yang sekaligus menjabat sebagai Artaraksa Desa Adat Celuk, dibantu oleh I Ketut Bratayasa. Dalam urusan upacara dan upakara dilaksanakan oleh seluruh Krama Desa Adat Celuk, diarahkan oleh para Widya atau Dadukun

Page 77: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

77

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Banten, yang terdiri dari: Ida Pedanda Istri Geria Kemenuh, Ida Pedanda Istri Kutri, Ida Pedanda Istri Celuk, Ida Ayu Ari Ketewel, Ida Ayu Geria Tebesaya, Ida Ayu Kutri dan Ida Ayu Made Rai. Berkat kerja keras dan semangat yang tinggi, Karya Agung Dirghayusa Bhumi, Anggara Kliwon Kulantir sasih Kalima, tahun 1921 Saka, 16 Nopember 1999 di Pura Dalem Desa Adat Celuk bisa berjalan tanpa hambatan yang berarti.

V.3. Karya Ngenteg Linggih, Mapadagingan, Mapaingkup, Tawur Agung, Padudusan Agung Dan Ngusaba Dalem Anggara Kliwon Prangbakat, Sasih Kapat, 22 Oktober 2019

Selang beberapa bulan setelah Karya di Pura Dalem Celuk tahun 1999, pada Redite Umanis wuku Langkir (Umanis Kuningan) tanggal 13 Agustus 2000, sekitar pukul 11.00 siang terjadilah kebakaran di Pura Dalem Celuk, hampir semua pelinggih yang berbahan kayu dan beratap ijuk terbakar. Pasca kebakaran tersebut segera dilaksanakan pemugaran dan perbaikan terhadap pelinggih pelinggih yang ada di Pura Dalem. Selama kurun waktu pemugaran sekitar 2 tahun tersebut, piodalan di Pura Dalem hanya dilaksanakan oleh pemangku dan prajuru. Berdasarkan petunjuk dari Ida Pedanda Kemenuh, Krama Desa Adat Celuk sepakat untuk kembali menghaturkan Karya Agung karena akibat kebakaran, Ida Bhatara dianggap Mur" atau tidak berkenan berlingga di Pura Dalem sebelum diadakan upacara yang pantas. Menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan Karya Agung, Krama Desa atas perkenan Ida Pedanda segera melaksanakan Upacara Pamlepeh, sampai akhirnya disepakati untuk menghaturkan upacara Karya Agung Ngenteg Linggih, Mapadagingan, Mapaingkup, Tawur Agung, Padudusan Agung Dan Ngusaba Dalem Anggara

Page 78: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

78

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Kliwon Prangbakat, Sasih Kapat, 22 Oktober 2019. Dalam karya ini sekaligus juga ajang memohon waranugraha atau ijin dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, utamanya Ida Bhatara Bhatari yang berstana di Pura Dalem Celuk, agar diperkenankan mulai merubah Tegak Piodalan dari yang sebelumnya jatuh setiap 2 kali Tilem setelah Galungan menjadi setiap angara Kliwon Sasih prangbakat atau Anggarakasih Prangbakat. Prosesi upacara Karya Ngenteg Linggih, Mapadagingan, Mapaingkup, Tawur Agung, Padudusan Agung Dan Ngusaba Dalem dibagi menjadi beberapa bagian, dengan Ehedan Karya sebagai berikut:

V.3.1. Matur Piuning Karya Majaya-jaya

Pada Anggara Kliwon Wuku Medangsia, tanggal 13 Agustus 2019, Pukul 17.00 Wita dilaksanakan upacara Matur Piuning Karya Majaya-jaya di Pura Dalem dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana. Upacara ini bermakna menghaturkan permakluman kepada Ida Bhatara bahwa Krama Desa Celuk akan menghaturkan upacara Karya Ngenteg Linggih, Mapadagingan, Mapaingkup, Tawur Agung, Padudusan Agung Dan Ngusaba Dalem di Pura Dalem, Desa Pakraman Celuk, Anggara Kliwon Prangbakat, Sasih Kapat, 22 Oktober 2019. Sekaligus melaksanakan ritual penyucian kepada seluruh komponen masyarakat yang akan menjadi pengendali umat pada saat Karya Agung melalui acara Mejaya-jaya.

V.3.2. Marisudha Setra di Setra

Pada Anggara Kliwon Wuku Tambir, tanggal 17 Sept 2019, pukul 18.00 Wita, dilaksanakan upacara Marisudha Setra di Setra Adat Celuk dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana. Marisuda Setra atau Nyengker setra bertujuan menggelar banten sodaan khusus untuk sang pitara agar sang

Page 79: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

79

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

pitara yang belum diaben turut mendoakan, ngastiti bhakti agar jalannya Karya tanpa hambatan, juga bermakna memberikan upacara khusus agar sang pitara hanya berada di wewidangan setra. Prosesinya diawali menggelar upacara ngentas ditujukan kepada sawa yang belum diaben.

V.3.3. Caru Pangruak Nyukat genah, Nanceb Sanggar Tawang.

PadaSoma Umanis Wuku Medangkungan, tanggal 23 Sept 2019, pukul 09.00 Wita, dilaksanakan upacara Caru Pangruak Nyukat genah,Nanceb Sanggar Tawang di Pura Dalem dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana. Upacara ini bermakna Membersihkan areal upacara dari unsur-unsur negatip sehingga bisa ditentukan batas-batas wilayah suci tempat berlangsungnya upacara ditandai dengan mengawali rangkaian dengan mendirikan Sanggar Tawang.

V.3.4. Mlaspas Wewangunan dan Nunas Turta Pawangsuh / Pnyejer.

Pada Sukra, Kliwon Wuku Medangkungan, tanggal 27 Sept 2019, pukul 09.00 Wita, dilaksanakan upacara Mlaspas Wewangunan di Pura Dalem, dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana. dilanjutkan dengan acara Nunas tirta Pewangsuh atau Penyejer dipimpin oleh Pemangku di Tirta Empul, Mengening, Selukat, Dedari Ubud dan Sudamala. Mlaspas Wewangunan bermakna membersihkan seluruh bangunan yang berkaitan dengan acara upacara Karya Agung agar layak dipergunakan sebagai bangunan yadnya yang suci. Memohon Tirta Pewangsuh atau Penyejer bermakna memohon penyucian ke sumber air suci dengan harapan segala bentuk piranti yang dipakai untuk yadnya menjadi suci tanpa cacat.

Page 80: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

80

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

V.3.5. Negteg, Ngingsah, Nyangling, Nuasen Karya, Ngadegang Guru Dadi, Pangraksa Karya, Durga Maya, Sanggar Pangalang, Sunari, Panca Kerta, dll.

Pada Saniscara Umanis Wuku Medangkungan, tanggal 28 Sept 2019, pukul 09.00 Wita, dilaksanakan upacara Negteg, Ngingsah, Nyangling, Nuasen Karya, Ngadegang Guru Dadi, Pangraksa Karya, Durga Maya, Sanggar Pangalang, Sunari, Panca Kerta, di Pura Dalem Celuk dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana dan Ida Pedanda Wiku Tapini. Masih bermakna menyucikan semua piranti upakara terutama yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (Pala Wija) sekaligus dilaksanakan membangun sanggar-sanggar yang berkaitan dengan acara ritual Karya Agung.

V.3.6. Nunas Tirta Kahyangan Jagat.

Pada Redite Kliwon Wuku Medangkungan tanggal 29 September 2019, pukul 08.00 Wita dilaksanakan acara Nunas Tirta Kahyangan Jagat dipimpin oleh Jero Mangku, diantaranya: Pura Besakih, Batur, Lempuyang, Andakasa, Batukaru, Ulundanu, Uluwatu, Dalem Sidhakarya, Pasar Agung, Pucak Mangu, Goa Lawah, Pusering Jagat Pejeng dan Pura Manik Corong. Acara ini bermakna Memendak atau Nuhur Ida Bhatara yang berstana di pura-pura tersebut dalam wujud tirta untuk dihaturkan upacara di Pura Dalem Celuk pada rangkaian upacara Karya Agung.

V.3.7. Nanding Bagia Pula Kerti, Panyegjeg Jagat dan Padagingan.

Pada Coma Pwon Wuku Matal, tanggal 30 September 2019, pukul 09.00 Wita, dilaksanakan upacara Nanding Bagia Pula Kerti, Panyegjeg Jagat dan Padagingan di Pura Desa Celuk dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Tapini. Bagia Pula Kerti

Page 81: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

81

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Banten Bagia Pula-Kerti mengandung makna sesuai dengan namanya yaitu bagia artinya kebahagiaan; pula artinya menanam; kerti artinya perbuatan. Jadi arti keseluruhannya : kebahagiaan karena telah berhasil menanamkan perbuatan (suci). Sementara Upakara Penyegjeg Jagat bermakna simbolik permohonan kepada Ida Sang Hyang Widhi agar keyakinan dan kepercayaan masyarakat tidak goyah terhadap Dharma, sehingga mampu menciptakan ketenangan dalam dunia. Pedagingan yang terdiri dari berbagai unsur logam dan batu mulia memiliki makna sebagai singgasana Hyang Widhi dan berbeda isi serta bentuk antara satu pelinggih dengan pelinggih yang lain.

V.3.8. Mecaru Rsi Gana, Tawur Balik Sumpah. Mupuk Padagingan.

Pada Buda Kliwon Wuku Matal, tanggal 01 Oktober 2019, pukul 09.00 Wita, dilaksanakan upacara Nanding Bagia Pula Kerti, Panyegjeg Jagat dan Padagingan di Pura Kayangan Tiga Celuk dipimpin oleh Ida Pedanda Giri Putra Kemenuh, Ida Pedanda Wiku Yajamana, Ida Pedanda Buda Istri Tebesaya dan Ida Rsi Bujangga Batubulan. Pengertian Caru Rsi Gana adalah Caru, dalam bahasa Sansekerta berarti manis atau cantik. Sedangkan persepsi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali, caru adalah korban untuk kepentingan yang lebih besar. Suatu pengorbanan yang dilandasi itikad baik untuk kepentingan jagad, dan dapat dikatakan sebagai pengorbanan suci. Jadi, caru adalah pengorbanan suci untuk mewujudkan alam, lingkungan, serta kehidupan yang manis dalam arti harmonis, seimbang dan serasi sehingga menimbulkan rasa indah membahagiakan. Rsi Gana adalah nama Dewa yang disucikan dalam Agama Hindu. Dalam Lontar Siwa Gama diceritakan bahwa Dewa Gana juga disebut Ganesa. Mecaru

Page 82: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

82

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Rsi Gana adalah persembahan untuk menetralisir kekuatan alam yang dapat mengganggu areal pemujaan. Gana adalah putra Siwa dengan sakti-Nya Dewi Parwati yang berfungsi sebagai Dewa Pemusnah rintangan. Dalam dasa nama, Dewa Gana disebut juga Awigneswara. Caru Rsi Gana bukan caru yang dipersembahkan kepada Dewa Gana, tetapi Bhuta kala. Dewa Gana dimohon kehadiran serta anugerah-Nya untuk mengubah kekuatan Bhuta Kala, yang cenderung merusak, menjadi kekuatan welas asih, yang melindungi serta memberikan kebahagiaan. Tawur Balik Sumpah bertujuan meningkatkan dan mempermulia segala isi alam dari yang negatif agar menjadi positif untuk keseimbangan ekosistem. Menjaga kesuburan tanah dan memelihara binatang yang amat dibutuhkan dalam hidup ini adalah tujuan Tawur.

V.3.9. Mendak Ida Bhatara Pangrajeg di Pura Taman Pule Mas.

Pada Caniscara Pwon Wuku Matal, tanggal 05 Oktober 2019, pukul 08.00 Wita, dilaksanakan upacara Mendak Ida Bhatara Pangrajeg di Pura Taman Pule Mas, dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana. Upacara ini mengandung makna sangat dalam tentang prosesi sebuah upacara besar. Seluruh rangkaian upacara, piranti dan prosesi diadopsi dari sastra utama Widhi Sastra yang merupakan hasil dari konsep utama Siwa Sidhanta sebagai penyempurna konsep-konsep sebelumnya di Bali. Ajaran Siwa Sidhanta dikembangkan untuk pertama kalinya di Pasraman Ida Bhatara Dhang Hyang Nirartha di Taman Pule Mas, hal itulah yang mendasari dilaksanakannya upacara ini dilaksanakan di Pura Taman Pule Mas.

Page 83: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

83

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

V.3.10. Melaspas Bagia dan Mendak Bagia.

Pada Redite Wage Wuku Uye, tanggal 06 Oktober 2019, pukul 15.00 Wita, dilaksanakan upacara Melaspas dan Mendak Bagia di Pura Desa Celuk, dipimpin oleh Ida Pedanda Banjar Bucuan Desa Negara Batuan. Upacara ini mengandung makna menyucikan upakara Bagia agar hilang semua unsur-unsur yang kurang pantas apabila dipergunakan sebagai sarana upacara.

V.3.11. Matur Piuning ring Ida Bhatara jagi pacang Melasti ke Segara danIda Bhatara Ngredana

Pada Anggara Umanis Wuku Uye, tanggal 08 Oktober 2019, pukul 16.00 Wita, dilaksanakan upacara Matur Piuning ring Ida Bhatara jagi pacang Melasti ke Segara dan Ida Bhatara Ngredana di Pura Bale Agung Celuk, dipimpin oleh para Pemangku Kayangan. Bermakna memohon restu kepada Ida Bhatara untuk melaksanakan acara Melasti keesokan harinya

V.3.12. Makiyis atau Melasti.

Pada Sukra Wage Wuku Uye, tanggal 11 Oktober 2019, pukul 07.30 Wita, dilaksanakan upacara Makiyis atau Melasti di Segara dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana dan Ida Pedanda Budha Giriya Gunung Sari, Ubud. Melasti dalam sumber Lontar Sunarigama dan Sang Hyang Aji Swamandala yang dirumuskan dalam bahasa Jawa Kuno menyebutkan

”Melasti ngarania ngiring prewatek dewata angayutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana”.

Dari kutipan Lontar tersebut di atas, maka Melasti itu ada lima tujuannya yaitu:

Page 84: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

84

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

1.Ngiring prewatek dewata, ini artinya upacara melasti itu hendaknya didahului dengan memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dalam perjalanan melasti. Tujuannya adalah untuk dapat mengikuti tuntunan para dewa sebagai manifestasi Tuhan. Dengan mengikuti tuntunan Tuhan, manusia akan mendapatkan kekuatan suci untuk mengelola kehidupan di dunia ini.

2.Anganyutaken laraning jagat, artinya menghayutkan penderitaan masyarakat. Jadinya upacara melasti bertujuan untuk memotivasi umat secara ritual dan spiritual untuk melenyapkan penyakit-penyakit sosial. Penyakit sosial itu seperti kesenjangan antar kelompok, perumusuhan antar golongan, wabah penyakit yang menimpa masyarakat secara massal, dan lain-lain.

3.Papa kelesa, artinya melasti bertujuan menuntun umat agar menghilangkan kepapanannya secara individual. Ada lima klesa yang dapat membuat orang papa yaitu; Awidya : Kegelapan atau mabuk, Asmita : Egois, mementingkan diri sendiri, Raga : pengumbaran hawa nafsu, Dwesa : sifat pemarah dan pendendam, Adhiniwesa : rasa takut tanpa sebab, yang paling mengerikan rasa takut mati. Kelima hal itu disebut klesa yang harus dihilangkan agar seseorang jangan menderita.

4.Letuhing Bhuwana, artinya alam yang kotor, maksudnya upacara melasti bertujuan untuk meningkatkan umat Hindu agar mengembalikan kelestarian alam lingkungan atau dengan kata lain

Page 85: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

85

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

menghilangkan sifat-sifat manusia yang merusak alam lingkungan.

5. Ngamet sarining amerta ring telenging segara, artinya mengambil sari-sari kehidupan dari tengah lautan, ini berarti melasti mengandung muatan nilai-nilai kehidupan yang sangat universal. Upacara melasti ini memberikan tuntunan dalam wujud ritual sakral untuk membangun kehidupan spiritual untuk didayagunakan mengelola hidup yang seimbang lahir batin.

Pada pukul 18.00 Wita pada hari yang sama dilaksanakan upacara Ida Bhatara Pranamya sekembalinya dari prosesi Melasti dilaksanakan di Pura Dalem Celuk, dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Mas Gelumpang, Sukawati. Bermakna Krama Desa bersyukur telah sukses melaksanakan Melasti dan menghaturkan

V.3.13. Ngaturang Pakelem di Danu dan Gunung

Pada Redite Umanis Wuku Menail, tanggal 13 Oktober 2019, pukul 15. 30 Wita, dilaksanakan upacara Ngaturang Pakelem di Danu dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Ketewel Kemenuh. Pada pukul 22.00 Wita dilaksanakan upacara Ngaturang Pakelem di Gunung dipimpin oleh Ida Pedanda Putu Gunung. Upacara Mulang Pekelem dilaksanakan dengan tujuan memohon dan menjaga keharmonisan alam semesta. Pekelem sendiri berarti menenggelamkan sesajen (yadnya) di air; baik air laut, danau, atau kepundan gunung. Keyakinan terhadap keberadaan danau dan laut merupakan sumber air yang tentu amat penting bagi kehidupan manusia. Danau Batur dianggap memiliki kekuatan makrokosmos, Oleh karena itu, tempat ini dianggap sebagai lokasi yang

Page 86: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

86

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

sakral dan tepat untuk pelaksanaan upacara suci tersebut. Dalam Lontar Bhuana Kertih disebutkan bahwa tujuan dari upacara ini adalah untuk menghilangkan hama penyakit yang datang dari sumbernya, yaitu laut atau danau. Di samping itu, tujuan lainnya adalah untuk memohon kemakmuran dan kesuburan tanah pertanian dan memohon perlindungan dari ancaman bencana alam.

V.3.14. Mendak Ida Bhatara Katuran.

Pada Anggara Pwon Wuku Menail, tanggal 15 Oktober 2019, pukul 18. 00 Wita, dilaksanakan upacara Mendak Ida Bhatara Katuran di Pura-pura Penyungsungan Krama dipimpin oleh para Pemangku Kayangan Tiga. Upacara ini bermakna Memendak seluruh tapakan Ida Bhatara yang di muliakan di Pura-pura Penyungsungan Krama agar bersama-sama Nodya atau hadir dalam prosesi upacara agung di Pura Dalem Celuk.

V.3.15. Mapapada Tawur dan Memben Tawur.

Pada Budha Wage Wuku Menail, tanggal 16 Oktober 2019, pukul 06.30 Wita, dilaksanakan upacara Mepepada Tawur di Pura Dalem Celuk, dipimpin oleh Ida Pedanda Budha Lanang Batuan. Pada pukul 19.00 Wita dilaksanakan upacara Memben Tawur di Tempat prosesi Tawur. Mapepada berasal dari kata Pada. Pada sendiri pada dasarnya memiliki dua makna, yakni pada yang berarti sama dan pada yang berarti kaki. Dalam pengertianya sebagai persamaan, pada dapat diartikan sebagai penyamaan terhadap roh hewan yang akan digunakan untuk sarana upakara. “Dengan Mapepada diharapkan arwah dari hewan yang digunakan untuk upakara, ketika lahir kembali mengalami kenaikan tingkat atau tidak menjadi hewan kembali,” Pada pukul 19.00 Wita dilaksanakan upacara Pamemben atau menata

Page 87: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

87

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

sesajen yang akan dipersembahkan di tempatkan pada tempat yang telah ditentukan oleh Tapini (tukang sesajen). Begitu juga semua binatang yang telah disembelih, digunakan sebagai alas sesajen tawur. Secara sepiritual roh-roh binatang yang digunakan sebagai sarana Tawur Panca Bali Krama akan meningkat menjadi ciptaan Tuhan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Acara ini dipimpin oleh Ida Pedanda Bucuan Negara Batuan.

V.3.16. Piuning ring Utama Mandala, Tawur Agung dan Mepedanan.

Pada Wraspati Kliwon Wuku Menail, tanggal 17 Oktober 2019, pukul 07.30 Wita, dilaksanakan upacara Piuning ring Utama Mandala di Pura Dalem Celuk dipimpin oleh Ida Pedanda Giri Putra Kemenuh, dilanjutkan pada pukul 09.00 Wita dilaksanakan upacara Tawur Agung di Jaba Pura Dalem Celuk, dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana, Ida Pedanda Budha Istri Batuan. dan Rsi Bhujangga Batubulan. Di tempat Pedanan, dilaksanakan upacara Pedanan dipimpin oleh Ida Pedanda Wayahan Bun Giriya Sanur Pejeng. Tawur artinya membayar atau mengembalikan, yaitu mengembalikan sari-sari alam yang telah digunakan manusia. Sari-sari alam itu dikembalikan melalui upacara Tawur yang dipersembahkan kepada para Butha, dengan tujuan agar para Bhuta tidak mengganggu manusia sehingga bisa hidup secara harmonis. Filosofi Tawur adalah agar kita selalu ingat akan posisi dan jati diri kita, dan agar kita selalu menjaga keseimbangan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam lingkungan. Upacara Pedanan dilaksanakan dengan cara berjalan beramai-ramai merebut benda-benda di “Pedanan”. Merupakan lambang untuk melepaskan diri pribadi dari sifat-sifat yang tidak baik. Segala sifat tidak baik, itu disalurkan ke dalam upacara

Page 88: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

88

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

dengan benda-benda di Pedanan, diharapkan sifat-sifat yang negatif yang melekat pada diri pribadi masing-masing hilang lenyap sehingga manusia menjadi suci ikhlas, tidak serakah. Di samping itu ada unsur “Dana Punia” yang diberikan kepada masyarakat lain diluar krama Desa Celuk.

V.3.17. Mapapada Karya dan Ngaturang Yasa Kerti.

Pada Redite Pwon Wuku Prangbakat, tanggal 20 Oktober 2019, pukul 07.30 Wita, dilaksanakan upacara Mapapada Karya dan Ngaturang Yasa Kerti di Pura Dalem Celuk dipimpin oleh Ida Pedanda Giri Putra Kemenuh. Prosesi mepapada Karya dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat Celuk menjelang upacara Ngusaba dan bhakti Madewasraya. Tujuan dilaksanakan upacara Medewaseraya yakni untuk memohonkan kehadapan-Nya agar alam semesta beserta isinya dianugerahi kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan dunia. Makna dari proses Mepepada Karya ini pada intinya adalah sebagai wujud syukur umat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas anugerahnya yang diberikan kepada umatnya.

V.3.18. Mukyaning Karya Ngenteg Linggih, Mahingkup, Makebat Daun dan Mangun Ayu dan Mepeselang.

Pada Anggara Kliwon Wuku Prangbakat, tanggal 22 Oktober 2019, pukul 09.00 Wita, dilaksanakan upacara Mukyaning Karya Ngenteg Linggih, Mahingkup, Makebat Daun dan Mangun Ayu dan Mepeselang di Pura Dalem Celuk dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana, Ida Pedanda Budha Gunung Sari, Br. Laplapan Ubud, Ida Pedanda Siwa Giri Putra Kemenuh, Ida Pedanda Babakan Bitra, Ida Pedanda Lanang Giriya Delodan dan Ida Pedanda Istri Giriya Baleran. Ngenteg Linggih merupakan rangkaian upacara paling akhir dari pelaksanaan upacara Pamungkah.

Page 89: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

89

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Secara etimologis, Ngenteg Linggih (Menetap Linggih) berarti menobatkan atau mensthanakan. Jadi Ngenteg Linggih adalah upacara Penobatan atau Mensthanakan Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada pelinggih yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat, terutama saat segala kegiatan upacara di Pura Dalem Celuk dilangsungkan. Sesuai dengan sebutan “Makebat Daun” berarti membentangkan sehelai daun. Upacara Makebat Daun ini harus dilakukan bersamaan dengan rangkaian upacara Pemelaspas dan Ngenteg Linggih. Inilah puncak proses penyucian pembangunan Pura setelah pemugaran dengan unsur-unsur dan struktur pelinggih. Untuk betah tinggal (Enteg Melinggih) setelah upacara Melaspas patut dipersiapkan sehelai tikar ataupun alas. Inilah puncak hakekat daun itu sehingga Pura sebagai Isthana Hyang Widhi Wasa, dalam manifestasi-Nya, menjadi utuh. Upacara Ida Bhatara Tedun ke Peselang adalah Yasa Petemon Hyang Widhi dalam Prabawa Semara Ratih, untuk menciptakan dunia ini dengan segenap prabawa-Nya. Upacara ini sebagai wujud cinta kasih Hyang Widhi Wasa dengan segala bentuk jenis ciptaan-Nya, yang menyebabkan manusia hidup dengan makmur dan sejahtera. Dewa Semara Ratih (Kamajaya-Kamaratih) dipujakan dengan warna yang serba Kuning sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Juga upacara ini menyimpulkan bhakti disambut asih dari Hyang Widhi Wasa sebagai jiwa seluruh alam dan sebagai sumber kehidupan di Tri Bhuana ini. Jiwa kita ini pun adalah pinjaman dari Hyang Widhi Wasa Upacara “Mapeselang” ini adalah lambang bertemunya Hyang Widhi Wasa dengan umat manusia, melimpahkan karunia-Nya berupa cinta kasih. Cinta kasih Hyang Widhi Wasa kepada umat-Nya telah terbukti dalam bentuk Pencipta

Page 90: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

90

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

dunia beserta isinya, dengan kekuatan-kekuatan sucinya mengatur dunia ini. Beliau menciptakan : gunung, laut, danau, hutan, sawah, ladang, matahari, segala materi yang berharga serta semuanya merupakan kekuatan kehidupan manusia. Inilah bentuk cinta kasih Tuhan untuk umat manusia. Dalam upacara “Mapeselang” Ida Sang Hyang Widhi diwujudkan dalam wujud Purusa Predana sebagai Dewa Semara Ratih, lambang dewa Cinta kasih. Pada Pukul 11.00 Wita dilaksanakan upacara Mejejiwan di Pura Dalem Celuk, dipimpin oleh Ida Pedanda Siwa Wanasari Kemenuh dan Ida Pedanda Budha Lanang Batuan.

V.3.19. Penganyaran 1

Pada Budha Umanis Wuku Prangbakat, tanggal 23 Oktober 2019, pukul 18.00 Wita, dilaksanakan upacara Penganyaran 1 di Pura Dalem Celuk dipimpin oleh Ida Pedanda Pacung Batuan. Upacara Nganyarin adalah persembahan setiap hari (penyabran) selama Ida Bhatara-Bhatari nyejer. Persembahan bhakti penganyar merupakan persembahan yang baru (anyar).

V.3.20. Penganyaran 2, Melayagin.

Pada Sukra Pwon Wuku Prangbakat, tanggal 24 Oktober 2019, pukul 18.00 Wita, dilaksanakan upacara Penganyaran 2 dan Melayagin di Pura Dalem Celuk dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Tegeh Batuan.

V.3.21. Penganyaran 3, Ngelemekin.

Pada Saniscara Pahing Wuku Prangbakat, tanggal 25 Oktober 2019, pukul 18.00 Wita, dilaksanakan upacara Penganyaran 3 dan Ngelemekin di Pura Dalem Celuk dan Pura Prajapati dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana. Ngelemekin atau Ngeremekin berarti menghancurkan.

Page 91: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

91

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Upacara ngeremekin berarti menghancurkan sisa-sisa upacara, berupa sampah (lulu), terutama sisa persembahan Tawur Agung. Selain kegiatan itu, juga ada persembahan bhakti pengeremek selaku upacara atur piuning bahwa rangkaian upacara pokok telah berakhir.

V.3.22. Penganyaran 4 dan Nyenukin.

Pada Redite Pwon Wuku Prangbakat, tanggal 26 Oktober 2019, pukul 15.00 Wita, dilaksanakan upacara Penganyaran 4 dan Nyenukin di Pura Dalem Celuk dan Pura Prajapati dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana dan Ida Ida Pedanda Budha. Gunung Sari Br.Laplapan Ubud. Upacara Nyenuk dilaksanakan di Pura Dalem Sangsi dipimpin oleh Ida Pedanda Buda Istri Batuan dan Ida Pedanda Siwa Istri Kutri. Nyenuk mempunyai simbol bahwa Dewata Nawa Sangha dan Para Rsi Langit juga para Widyadara-widyadari turun dari Kayangan ikut menyukseskan karya di Pura Dalem Celuk.

V.3.23. Penganyaran 5 dan Nyuyukin.

Pada Redite Wage Wuku Bala, tanggal 27 Oktober 2019, pukul 18.00 Wita, dilaksanakan upacara Penganyaran 5 dan Nyuyukin di Pura Dalem Celuk dan Pura Prajapati dipimpin oleh Ida Pedanda Giriya Mas Gelumpang.

V.3.24. Penganyaran 6

Pada Redite Wage Wuku Bala, tanggal 27 Oktober 2019, pukul 18.00 Wita, dilaksanakan upacara Penganyaran 6 di Pura Dalem Celuk dan Pura Prajapati dipimpin oleh Ida Pedanda Siwa Geriya Tegeh Kawan Batuan.

Page 92: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

92

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

V.3.25. Penganyaran 7

Pada Anggara Umanis Wuku Bala, tanggal 29 Oktober 2019, pukul 18.00 Wita, dilaksanakan upacara Penganyaran 7 di Pura Dalem Celuk dan Pura Prajapati dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana.

V.3.26. Penganyaran 8.

Pada Budha Pahing Wuku Bala, tanggal 30 Oktober 2019, pukul 18.00 Wita, dilaksanakan upacara Penganyaran 8 di Pura Dalem Celuk dan Pura Prajapati dipimpin oleh Ida Pedanda Giri Putra Kemenuh.

V.3.27. Penganyaran 9.

Pada Sukra Kliwon Wuku Bala, tanggal 1 November 2019, pukul 18.00 Wita, dilaksanakan upacara Penganyaran 9 dan Ngusaba Dalem di Pura Dalem Celuk dan Pura Prajapati serta Setra Desa Adat Celuk dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana dan Ida Pedanda Giri Putra Kemenuh. Upacara ngusabha adalah salah satu bentuk upacara yadnya sebagai media yang sakral untuk menanamkan nilai-nilai hidup. Beryadnya kepada Tuhan, alam dan sesama manusia seperti kepada orang tua atau leluhur, kepada anak-anak maupun kepada para Wiku adalah tanggung jawab sebagai mahluk cuiptaan Tuhan. Upacara ngusabha sesungguhnya upacara melasti yang bersifat khusus. Misalnya, Ngusaba Nini adalah Ngusaba yang khusus untuk memuja Dewi Sri sebagai Bhatara Nini, Dewanya padi. Dalam Lontar Widhisastra, Ngusabha Nini untuk Negtegan Toya. Sedangkan Ngusabha Desa dalam Lontar Dewa Tattwa dan Lontar Usana Dewa bertujuan untuk "kapagehang bayun bhumi". Ada juga yang menyebutkan "negtegan bayun tanah atau pertiwi". Upacara ngusaba diuraikan juga dalam

Page 93: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

93

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

beberapa sumber pustaka Lontar seperti Lontar Siwagama, Widhisastra, Sri Purana, Dharma Pemaculan dll. Ngusabha ini selalu didahului oleh berkumpulan tapakan Ida Bhatara dari berbagai Pura yang ada di Desa Celuk dihaturkan upacara upakara yang diatur secara khusus dalam lontar Pengusaban. Esensinya dari karya Ngusaba adalah memohon kekuatan agar manusia sadar menjaga kemurnian dan hemat dalam menggunakan air. Jika sampai kekurangan air, maka berbagai kehidupan di bumi kini akan terganggu terutama masyarakat yang hidup dari hasil pertanian. Yadnya secara niskala dalam wujud ritual agama yang sakral dan secara sekala dalam wujud nyata dengan tidak merusak air dan sumber-sumbernya dan menyatukan umat di Desa Adat Celuk untuk bersama-sama "Negtegang Bayun Bhumi Atau Tanah". Ngusabha esensinya membangun kebersamaan untuk memuja ibu pertiwi membangun spiritualitas dengan ditindak lanjuti memelihara kesuburan tanah. Tujuan utama Upacara Ngusabha adalah untuk memohon kesuburan pertanian, tegaknya pemerintahan dan damainya dunia. Hal itu disebutkan dalam Lontar Dewa Tattwa.

V.3.28. Rsi Bhojana Penganyaran10 dan Mudalang Ida Bhatara Pangrajeg

Pada Saniscara Umanis Wuku Bala, tanggal 02 November 2019, pukul 09.00 Wita, dilaksanakan upacara Rsi Bhojana di Pura Dalem Celuk, dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana, Ida Pedanda Giri Putra Kemenuh dan seluruh Wiku yang muput pada upacara karya di Pura Dalem Celuk. pukul 18.00 Wita dilaksanakan upacara Penganyaran ke 10 di Pura Dalem dan Prajapati Celuk, dilanjutkan dengan acara Mudalang Ida Bhatara Pengrajeg ke Pura Taman Pule Mas dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana. Rsi Bhojana

Page 94: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

94

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

bermakna ucapan terimakasih kepada semua Wiku yang telah memimpin upacara selama prosesi Karya Agung.

V.3.29. Nglemekin, Nyidha Karya, Nuwek Bagia, Nyineb dan Matingkeb.

Pada Redite Pahing Wuku Ugu, tanggal 03 November 2019, pukul 07.00 Wita, dilaksanakan upacara Nglemekin, Nyidha Kary, Nuwek Bagia, Nyineb dan Matingkeb di Pura Dalem dan Prajapati Celuk, dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana dan Ida Pedanda Giri Putra Kemenuh.

V.3.30. Nyegara Gunung, Meajar-ajar.

Pada Budha Kliwon Wuku Ugu, tanggal 06 November 2019, pukul 07.00 Wita, dilaksanakan upacara Nyegara Gunung, Meajar-ajar di Pura Goalawah, dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana dan Ida Pedanda Giri Putra Kemenuh. Nyegara Gunung adalah keseimbangan natural spiritual yang berorientasi kepada gunung dan lautan, luan-teben, sekala-niskala, suci-tidak suci, Rwa-Bhineda dan sebagainya, sebagaimana yang disebutkan "Nyegara Gunung" sebagai konsep tata ruang adiluhung. Nyegara Gunung adalah filosofi Bali bahwa antara laut (segara) dan gunung adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Oleh karena itu, setiap tindakan di gunung akan berdampak pada laut, demikian pula sebaliknya. Simbolis dari konsep "Nyegara Gunung" oleh para wiku, para leluhur, para wikan dan orang-orang arif bijaksana sering diistilahkan dengan pertemuan Lingga dan Yoni. Di tempat-tempat seperti inilah orang-orang suci melakukan yoga semadi. Karena diyakini bahwa vibrasi dari tempat tersebut akan memancarkan "aura" keagungNya. Gunung adalah sumber penghidupan dari mahluk tumbuh-tumbuhan binatang dan manusia. Sedangkan lautan mengelilingi daratan memenuhi hampir seluruh permukaan

Page 95: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

95

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Bumi. Di dalam filosofi pendakian menuju puncak pencerahan rohani, dimana usaha manusia untuk menjadi semakin dekat dengan-Nya sering diistilahkan dengan memutar Gunung sampai kepuncak-nya. Setelah sampai di puncak turun lagi untuk menyelami kedalaman lautan samudera sampai ke dasarnya. Bagi seorang "Bakta/Margi" (peminat kehidupan rohani), mereka tidak puas hanya mengecap atau mengejar ilmu pengetahuan rohani saja. Setidaknya mereka ingin merasakan kehadiran-Nya. Gunung sebagai perwujudan "Lingga" adalah tempat bersemayamnya "Dewa Siwa". Sedangkan Lautan sebagai perwujudan "Yoni" adalah tempat bersemayam saktinya Siwa. Lingga Yoni adalah simbolis Purusa Pradana (Laki-laki dan perempuan).

V.3.31. Ngeruak Setra

Pada Wraspati Umanis Wuku Ugu, tanggal 07 November 2019, pukul 18.00 Wita, dilaksanakan upacara Ngeruak Setra di Pura Dalem Celuk, dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana dan Ida Pedanda Giri Putra Kemenuh. Bermakna mengembalikan seperti semula fungsi dari setra Adat Celuk.

V.3.32. Asasih Pitung Rahina Karya.

Pada Anggara Pahing Wuku Watugunung, tanggal 03 Desember 2019, pukul 18.00 Wita, dilaksanakan upacara Asasih Pitung Rahina Karya di Pura Dalem Celuk, dipimpin oleh Ida Pedanda Wiku Yajamana dan Ida Pedanda Giri Putra Kemenuh.

Setelah selesai dilaksanakannya upacara Meajar-ajar dan asasih pitung rahina, maka selesailah seluruh rangkaian upacara Karya Karya Ngenteg Linggih, Tawur Agung, Mupuk Padagingan, Ngusabha Dalem di Pura Dalem Desa

Page 96: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

96

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

Adat Celuk, Sukawati, Gianyar.

V.4. Yasa Kerti

Dalam usaha mensukseskan rangkaian upacara dan upakara yang dilaksanakan, Krama Desa Adat Celuk sepakat melaksanakan berbagai Yasa Kerti, dengan mengutamakan perbuatan, perkataan dan pemikiran yang penuh dengan kesucian. Yasa Kerti dalam hal perbuatan yang baik dituangkan dalam butir sebagai berikut :

1. Semua warga Desa Adat Celuk saat memasuki areal suci Pura agar selalu memakai pakaian adat yang pantas, juga diwajibkan memakai ikat kepala, baik laki-laki maupun wanita.

2. Bagi warga Desa Adat Celuk yang mempunyai cacat kelahiran diharapkan tidak ikut dalam ayah-ayah nanding upakara Suci, Catur dan upakara lain yang dihaturkan di Sanggar, untuk menghaturkan ayah-ayah yang lain dan muspa tidak ada larangan.

3. Yang dianggap Cuntaka menurut sastra agama adalah anak yang lahir tanpa orang tua yang syah dilarang memasuki wilayah Pura.

4. Semua perbuatan yang disengaja bertujuan untuk menggagalkan rangkaian upacara agar dijauhkan.

5. Apabila ada Kematian di salah satu anggota keluarga warga Desa Adat, terhitung mulai dari dilaksanakannya upacara Pengalang Sasih sampai selesai Dudonan Karya Agung, agar melaksanakan kegiatan tersebut tanpa suara kentongan.

6. Apabila yang meninggal tersebut seperti Sulinggih, Pemangku dan orang-orang yang disucikan oleh

Page 97: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

97

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

warga Desa agar dititip terlebih dahulu tidak boleh dipendem (tidak diupacara).

7. Apabila kematian yang boleh dipendem, agar prosesi dilaksanakan setelah matahari tenggelam dengan upacara seperti biasa.

8. Bagi Krama yang mengikuti prosesi upacara Kelayu-sekaran dianggap Cuntaka. Cuntaka satu rumah dihitung sampai selesai, sesudah 12 hari, dan atau sudah selesai melaksanakan upacara mepegat.

9. Panumbak Pangapit terkena cuntaka selama 3 hari. Para Juru Desa dan Dinas tidak terkena cuntaka.

10. Apabila ada warga Desa Pakraman yang melahirkan, terkena cuntaka 42 hari bagi yang wanita dan bagi yang laki-laki terkena cuntaka sampai kepus puser bayi.

11. Apabila ada salah satu krama yang keguguran kandungan, kena cuntaka selama 42 hari, suami istri.

Demikian ketentuan Yasa Kerti yang disepakati oleh warga Desa Adat Celuk dalam rangka menyambut Karya Agung yang dilaksanakan. Karena Yadnya mempunyai tujuan yang sangat mulia, antara lain: sebagai sarana untuk menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran Weda yang bersifat sangat rahasia. Karena dengan yadnya semua ajaran Weda dituangkan dalam bentuk upakara, upacara, tattwa, etika dan susila. Yadnya bertujuan sebagai Pembentuk jiwa umat yang kuat dalam menghadapi kehidupan, sehingga menambah kwalitas spiritual umat yang bermuara kepada konsep keikhlasan hakiki. sifat ini akan mampu membentuk masyarakat yang jagaditha di dunia. Yadnya bertujuan sebagai alat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi,

Page 98: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

98

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

mengungkapkan rasa syukur yang besar kepada Beliau atas semua anugerah yang sudah dilimpahkanNya.

Yadnya bertujuan sebagai komponen terpenting dalam usaha manusia menciptakan keseimbangan Tri Hita Karana. Karena kedamaian dan kesejahteraan hanya akan tercipta apabila ketiga komponen Tri Hita Karana seimbang dan harmonis. Yadnya bertujuan sebagai sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan penebusan dosa, permohonan maaf penuh ketulusan dibuktikan oleh manusia dengan nirwrethi dan prawrethi. dan yadnya bertujuan sebagai barometer pendidikan agama yang bersifat sangat praktis, karena seluruh komponen yadnya dibuat dengan cipta yang mengedepankan praktek berdasarkan teori-teori keagamaan. Dari sekian banyak usaha pikiran, perkataan dan perbuatan yang dilaksanakan dalam rangka mensukseskan Karya Agung ini diharapkan semua bertumpu pada keikhlasan memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam seluruh manifestasi Beliau. Karena salah satu tujuan dari yadnya itu adalah menciptakan keharmonisan alam semesta beserta seluruh penghuninya.

Page 99: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

99

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

BAB VI

PENUTUP

Pada hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat Hindu lewat berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugerah Beliau, memuja dan mensucikan Pelinggih Arcana Widhi, membangun dan memperbaiki Pelinggih Kahyangan, menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial religius masyarakat setempat, adalah sebagian kecil bentuk Sradha Bakti terhadap Keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Membuat kesadaran yang maha tinggi bahwa segala sesuatu yang ada di muka dunia ini adalah berkat ciptaanNya, berkat pemeliharaanNya, dan terakhir hanya Beliaulah yang mempunyai kekuasaan melebur. Konsep-konsep tersebut sudah terpatri dalam jiwa setiap masyarakat Hindu di Bali.

Semua Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya warga Desa Adat Celuk merupakan salah satu jalan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, harmonis dengan manusia sekeliling dan harmonis dengan alam lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruhan bagian dari konsep Tri Hita Karana tersebut dipakai sebagai dasar kehidupan di Desa Adat Celuk. Hal ini diperkuat dengan adanya Kahyangan Puseh, Dalem dan Bale Agung atau Kahyangan Tiga juga kahyangan-kahyangan lain yang bersifat khusus. Wilayah Desa Adat bagian Uttama Mandalanya terdiri dari Kahyangan Tiga dan kahyangan-kahyangan lainnya sebagai wilayah yang disakralkan oleh penduduk, dipakai sebagai tempat melaksanakan prosesi upacara keagamaan. Madya Mandala adalah wilayah pemukiman, yaitu wilayah yang berada diantara sakral dan

Page 100: Dharma warnana Pura Dalem Celuk II

100

DHARMA WARNANA PURA DALEM CELUK. IDA BAGUS BAJRA.YDK-Bali.05.2019

profan, karena menjadi tempat penduduk atau masyarakat beraktivitas rumah tangga. Nista Mandala adalah wilayah Pekarangan, Sawah, Tegalan, Teba dan sebagainya, merupakan wilayah profan tempat masyarakat melakukan aktivitas pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya.

Pura atau Parahyangan sebagai suatu wadah pelaksanaan berbagai ajaran suci Agama Hindu Bali dan perkembangan berbagai kebudayaan Bali, serta berperanan aktif sebagai penyaring bagi masuknya kebudayaan asing. Oleh karena itu Pura di Bali adalah merupakan salah satu kekuatan utama masyarakat yang menjadi benteng terakhir dari gerusan budaya luar yang menyerbu Bali. Pura menjadi tempat yang paling damai untuk mencapai keharmonisan dan kesejukan jiwa dan badan. Di Pura semua rangkaian spirit dan ritual bergabung menjadi satu kesatuan yang bersama-sama membentuk jiwa dan badan masyarakat Bali menjadi siap menghadapi jaman yang semakin tua.

Giriya Gunung Payangan 20 Juni 2019