determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

89
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Epidemi HIV/AIDS sejak pertama kali ditemukan hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global 34 juta, jumlah kasus baru HIV 2,5 juta, jumlah kematian 1,7 juta, memenuhi syarat pengobatan 14,8 juta orang dan mendapatkan pengobatan ARV 8 juta orang pada tahun 2011. Secara global dengan adanya terapi antiretroviral (ARV), infeksi baru dan kematian sampai tahun 2011 dilaporkan menurun masing-masing sebesar 86% dan 18% namun hanya 50% yang baru mendapatkan terapi serta sebagian besar orang dewasa mengalami putus obat atau loss to follow up (LTFU), hal ini menunjukkan masih adanya kesenjangan dalam akses terapi ARV (UNAIDS 2012; UNAIDS, 2013b, 2013a). Data dari 18 negara menunjukkan bahwa rata-rata retensi untuk orang yang memakai ART menurun dari waktu ke waktu, dari sekitar 86% pada 12 bulan sampai 72% pada 60 bulan (UNAIDS, 2013a). Indonesia termasuk 12 negara di Asia Pasifik dengan peningkatan kasus HIV lebih dari 90% dari tahun 2001 sampai 2012 sebesar 2,6 kali dari sebelumnya (UNAIDS, 2013). Trend kejadian LTFU secara kumulatif di Indonesia mengalami peningkatan yaitu per Juni 2013 sebesar 15,74% menjadi 17,95% per Juni 2014. Provinsi Bali menduduki urutan kelima di Indonesia dari segi jumlah kasus HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2014). Laporan perkembangan HIV/AIDS triwulan II tahun 2014 mencatat 5802 odha yang pernah menerima terapi ARV di Provinsi Bali 1

Upload: phungcong

Post on 08-Dec-2016

239 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Epidemi HIV/AIDS sejak pertama kali ditemukan hingga saat ini masih

menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global

34 juta, jumlah kasus baru HIV 2,5 juta, jumlah kematian 1,7 juta, memenuhi syarat

pengobatan 14,8 juta orang dan mendapatkan pengobatan ARV 8 juta orang pada

tahun 2011. Secara global dengan adanya terapi antiretroviral (ARV), infeksi baru

dan kematian sampai tahun 2011 dilaporkan menurun masing-masing sebesar 86%

dan 18% namun hanya 50% yang baru mendapatkan terapi serta sebagian besar orang

dewasa mengalami putus obat atau loss to follow up (LTFU), hal ini menunjukkan

masih adanya kesenjangan dalam akses terapi ARV (UNAIDS 2012; UNAIDS,

2013b, 2013a). Data dari 18 negara menunjukkan bahwa rata-rata retensi untuk orang

yang memakai ART menurun dari waktu ke waktu, dari sekitar 86% pada 12 bulan

sampai 72% pada 60 bulan (UNAIDS, 2013a).

Indonesia termasuk 12 negara di Asia Pasifik dengan peningkatan kasus HIV

lebih dari 90% dari tahun 2001 sampai 2012 sebesar 2,6 kali dari sebelumnya

(UNAIDS, 2013). Trend kejadian LTFU secara kumulatif di Indonesia mengalami

peningkatan yaitu per Juni 2013 sebesar 15,74% menjadi 17,95% per Juni 2014.

Provinsi Bali menduduki urutan kelima di Indonesia dari segi jumlah kasus

HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2014). Laporan perkembangan HIV/AIDS triwulan II

tahun 2014 mencatat 5802 odha yang pernah menerima terapi ARV di Provinsi Bali

1

Page 2: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

2

dengan 3598 kasus masih terapi ARV, 1063 LTFU, 664 meninggal, 459 rujuk keluar

dan 18 diketahui menghentikan terapi ARV dengan persentase kejadian LTFU di Bali

per Juni 2014 yaitu 18,32% (1063/5802). Jumlah kumulatif AIDS di Bali sebesar

4261 kasus dengan Kota Denpasar jumlah tertinggi 2.113 (49,59%), kedua

Kabupaten Buleleng 593 (13,92%), dan ketiga Kabupaten Badung 550 (12,91%)

(Kemenkes RI, 2014). Tingkat konsistensi dan kepatuhan odha masih menjadi

masalah di Indonesia termasuk Bali dengan program penanggulangan HIV yang baik

tetapi hanya sedikit yang diketahui tentang determinan LTFU pengobatan HIV/AIDS.

World Health Organization (WHO) mempunyai ketentuan target LTFU dalam satu

tahun pertama pengobatan yaitu < 20% ( Bennett et al, 2006; Bekolo et al, 2013;).

Layanan terapi ARV di Bali terdapat di beberapa rumah sakit umum daerah

salah satunya RSUD Badung. RSUD Badung memiliki cakupan layanan yang luas

untuk wilayah Bali Selatan khususnya Kabupaten Badung dengan Klinik Bali Medika

sebagai satelitnya. Klinik Bali Medika merupakan klinik swasta dibawah Yayasan

Bali Peduli yang fokus pada layanan untuk kelompok LSL (lelaki seks lelaki) di

wilayah Kuta dan menyediakan layanan test HIV, terapi ARV gratis, buddy atau

pendampingan untuk odha dan alat pendukung kepatuhan (reminder tool). Jumlah

kumulatif pasien yang menerima ARV di RSUD Badung dan satelitnya dalam

laporan sampai Juli 2014 sebanyak 671 yang telah menerima terapi ARV, dengan 76

(11,3%) meninggal, 79 (11,8%) LTFU, 42 (6,3%) rujuk keluar yang tercatat dalam

rekam medis dan tersimpan di layanan VCT Sekar Jepun.

Page 3: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

3

Terapi ARV memerlukan kepatuhan berkelanjutan tingkat tinggi dan

monitoring untuk menekan replikasi virus, meningkatkan imunologi dan hasil klinis,

menurunkan risiko resistansi terhadap obat ARV, serta mengurangi risiko penularan

HIV (WHO, 2013). Persentase LTFU pada satu tahun pertama terapi ARV

merupakan indikator pendeteksian dini terjadinya resistensi obat dan keberhasilan

terapi ARV (Bennett et al, 2006; Kemenkes RI, 2011a). Pencatatan LTFU dilakukan

untuk kepentingan analisa kohort sebagai indikator bagi tim klinik, kabupaten dan

kota melihat seberapa baik program terapi ARV yang telah berjalan (Kemenkes RI,

2011c). Banyak orang tidak mengakses perawatan setelah diagnosis dan mengalami

LTFU selama pengobatan karena tidak adanya intervensi proaktif dan layanan

dukungan (UNAIDS, 2012a).

Tingginya tingkat LTFU meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien

dengan HIV dalam program perawatan dan pengobatan HIV (Mugisha et al, 2014).

Kematian adalah alasan paling umum dicatat untuk 233 (47,94%) dari yang

mengalami LTFU (Wubshet et al, 2013). LTFU meningkatkan risiko kematian pada

odha (Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Edwards et al, 2014; Odafe et al,

2012; Onoka et al, 2012; Somi et al, 2012). Insiden terjadinya LTFU pada pasien

yang menerima ARV bervariasi, dari beberapa penelitian di negara lain menunjukkan

bahwa semakin lama terapi ARV yang diterima maka insiden dan persentase LTFU

juga semakin besar (Odafe et al, 2012; Tran et al,2013; Kate et al, 2014; Mugisha et

al, 2014).

Page 4: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

4

Penelitian tentang LTFU pada odha yang menerima terapi ARV di Indonesia

masih sangat terbatas terutama pada fasilitas layanan pemerintah seperti rumah sakit.

Penelitian LTFU di Provinsi Bali pernah dilakukan di Yayasan Kerti Praja Bali tahun

2013 pada mayoritas perempuan pekerja seks dan berasal dari penduduk luar Bali

yang cenderung mobile, dengan kejadian LTFU sebesar 14,1% dan insiden LTFU

sebesar 5,15 per 100 person years. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan tahun

2012 menggunakan data TAHOD (Treat Asia HIV Observasional Database) dari 18

site di Asia-Pacific termasuk Bali namun hasil yang ditunjukkan bersifat agregat.

Penelitian di berbagai negara menunjukkan beberapa faktor determinan yang

berkaitan dengan kejadian LTFU seperti pendidikan ( Krishnan et al, 2011; Hassan et

al, 2012), pekerjaan (Alvarez-Uria et al, 2013; Kate et al, 2014), status pernikahan

(Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Mugisha et al, 2014), risiko penularan

HIV (Gerver et al, 2010), jarak dari tempat pelayanan kesehatan (Bekolo et al, 2013;

Hassan et al, 2012), kadar CD4 ( Gerver et al, 2010; Schöni-Affolter et al, 2011;

Onoka et al, 2012; Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Evans et al, 2014;

Mugisha et al, 2014;) dan stadium WHO (Odafe et al, 2012; Saka et al, 2013).

Namun masih ditemukan hasil yang tidak konsisten, dimana laki-laki (Evans et al,

2013; Mugisha et al, 2014; Odafe et al, 2012; Onoka et al, 2012; Tran et al, 2013;

Weigel et al, 2013) dan umur muda (Bekolo et al, 2013; Saka et al, 2013; Tran et al,

2013; Kate et al, 2014) lebih beresiko mengalami LTFU tetapi penelitian lain

menyebutkan perempuan (Saka et al., 2013) dan umur lebih tua (Sabapathy et al,

2012) yang lebih beresiko untuk LTFU. Hasil yang tidak konsisten juga ditemukan

Page 5: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

5

pada stadium klinis WHO karena sangat dipengaruhi oleh prilaku odha dalam

mencari layanan kesehatan (Hsiao et al, 2003; Berheto et al, 2014).

Penelitian secara longitudinal penting dilakukan untuk mengetahui

keberhasilan program terapi ARV yang telah berlangsung dengan indikator LTFU

pada setting fasilitas kesehatan yaitu rumah sakit pemerintah yang umumnya kurang

optimal untuk program penjangkauan (outreach) dibandingkan klinik swasta serta

sebagian besar populasi merupakan penduduk lokal. Penjangkauan yang baik sangat

menentukan kejadian LTFU pada pasien odha (Lamb et al, 2012). Melalui penelitian

ini diharapkan dapat teridentifikasi determinan LTFU pasien yang menerima ART

pada populasi umum di Bali yang selama ini belum pernah dilakukan. Penelitian ini

nantinya dapat memberikan kontribusi kepada praktisi dan pemegang program

terhadap monitoring dan evaluasi keberhasilan pengobatan ARV pasien odha

khususnya di rumah sakit pemerintah.

Page 6: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka pertanyaan dalam

penelitian ini terkait determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 2006-2014 yang meliputi:

1.2.1 Berapa median time kejadian loss to follow up pasien odha?

1.2.2 Berapa insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha?

1.2.3 Berapa median time kejadian loss to follow up pasien odha pada kebijakan

terapi ARV?

1.2.4 Berapa insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha pada kebijakan

terapi ARV?

1.2.5 Bagaimana kondisi klinis odha yang menerima terapi ARV saat akhir

pengamatan?

1.2.6 Apakah ada hubungan antara karakteristik sosiodemografi (umur, jenis

kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah, pengawas minum obat

(PMO), dan risiko penularan HIV) dengan loss to follow up?

1.2.7 Apakah ada hubungan antara karakteristik klinis (berat badan, kadar CD4,

kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium klinis, status fungsional,

status TB, dan jenis ARV (golongan NRTI dan NNRTI) dengan loss to follow

up?

1.2.8 Apakah ada hubungan antara karakteristik layanan (jenis tempat layanan dan

kebijakan terapi) dengan loss to follow up?

Page 7: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

7

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui kejadian dan determinan loss to follow up pasien odha yang

menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung tahun 2006-

2014.

1.3.2 Tujuan khusus

Penelitian loss to follow up pasien odha yang menerima terapi ARV di

layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung ini bertujuan untuk mengetahui sebagai

berikut:

1. Median time kejadian loss to follow up pasien odha.

2. Insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha.

3. Median time kejadian loss to follow up pasien odha berdasarkan kebijakan

terapi ARV.

4. Insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha berdasarkan kebijakan

terapi ARV.

5. Kondisi klinis odha yang menerima terapi ARV saat akhir pengamatan

6. Karakteristik sosiodemografi, layanan dan klinis pasien odha yang menerima

terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 2006-2014

yang meliputi a) umur, b) jenis kelamin, c) pendidikan, d) status bekerja, e)

status menikah, f) pengawas minum obat (PMO), g) risiko penularan HIV, h)

berat badan, i) kadar CD4, j) kadar haemoglobin, k) infeksi oportunistik, l)

Page 8: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

8

stadium klinis WHO, m) status fungsional, n) status TB, o) jenis ARV NRTI,

p) jenis ARV NNRTI, q) jenis tempat layanan, r) kebijakan terapi ARV.

7. Hubungan variabel karakteristik sosiodemografi (umur, jenis kelamin, status

bekerja, pendidikan, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko

penularan HIV), karakteristik klinis (berat badan, kadar CD4, kadar

haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status TB, golongan NRTI,

golongan NNRTI dan status fungsional) dan karakteristik layanan (jenis

tempat layanan dan kebijakan terapi ARV) dengan loss to follow up pada

pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD

Badung tahun 2006-2014.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Praktis

1. Bahan masukan dan monitoring keberhasilan layanan CST (care support

treatment) melalui indikator loss to follow up di layanan publik milik

pemerintah sehingga berguna untuk meningkatkan pemantauan dan

mengoptimalkan retensi dalam perawatan dan perbaikan program

selanjutnya.

2. Penelitian ini juga memberikan manfaat pada odha sebagai subyek dalam

terapi ARV untuk memiliki kesadaran dan pemahaman untuk meningkatkan

kepatuhan mereka dalam terapi sehingga kualitas hidup odha dapat

meningkat.

Page 9: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

9

1.4.2 Teoritis

Referensi dan acuan bagi penelitian selanjutnya terkait terapi ARV terutama

yang berhubungan dengan loss to follow up pada pasien odha.

Page 10: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan dan Tatalaksana Terapi ARV

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia telah diupayakan melalui berbagai

macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan

HIV/AIDS di Indonesia semuanya menuju pada paradigma zero new infection, zero

AIDS-related death dan zero discrimination meliputi pencegahan, perawatan,

dukungan dan pengobatan, mitigasi dampak, dan persiapan lingkungan yang kondusif

(Kemenkes RI, 2011b; KPAN, 2010). Salah satu pilar yang menjadi kunci

keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS adalah perawatan, dukungan dan

pengobatan dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV). Kepedulian pemerintah

Indonesia terhadap kondisi epidemi HIV/AIDS ditunjukkan melalui peningkatan

jumlah layanan PDP (perawatan, dukungan dan pengobatan) sampai tahun 2014 yaitu

454 terdiri dari 324 rumah sakit rujukan PDP dan 130 satelit (Kemenkes RI, 2014).

Tentunya kondisi ini akan sangat menunjang program pengobatan ARV sehingga

insiden HIV/AIDS dapat diturunkan.

Kebijakan pemberian terapi ARV terus mengalami perubahan seiring dengan

perkembangan bukti ilmiah dan ketersediaan layanan secara internasional. Semakin

dini odha terjangkau di layanan kesehatan untuk mengakses ARV, maka semakin

menurunkan risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun

menularkan infeksi HIV (Kemenkes RI , 2011b). Pedoman nasional pengobatan

antiretroviral di Indonesia terus diperbaharui secara periodik mengacu pada pedoman

9

Page 11: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

11

dan rekomendasi WHO sesuai dengan perkembangan bukti ilmiah berupa kajian

klinik dan penelitian observasional atas efikasi, efek samping obat serta pengalaman

pemakaian ARV oleh program di negara dengan keterbatasan sumber daya, seperti

obat dan biaya (Depkes, 2007).

Pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada odha bertujuan untuk menurunkan

angka kematian akibat AIDS, angka kesakitan, rawat inap dan meningkatkan kualitas

hidup odha berbagai stadium. Terapi ARV diberikan setelah melalui penilaian

stadium klinis, imunologi, dan virologi. Penentuan stadium klinis dan jumlah CD4

merupakan kondisi terpenting yang harus diketahui di awal sebelum memulai terapi.

Penanganan penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care), dukungan (support), dan

pengobatan (treatment). Sepuluh prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian

terapi ARV yaitu indikasi pengobatan, kombinasi obat, first chance (pemilihan obat

lini pertama yang diprioritaskan), kompleksitas, resisten, informasi, motivasi dan

compliance, monitoring, target pengobatan, dan studi (34).

Pasien yang sudah ditetapkan positif HIV/AIDS langkah selanjutnya adalah

pemeriksaan fisik lengkap dan laboratorium untuk mengidentifikasi infeksi

oportunistik, menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB,

skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk ibu hamil, pemeriksaan CD4 untuk

menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan ART, pemberian PPK

jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan (adherence), konseling

positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan

alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan lebih lanjut maka pasien dibagi menjadi

Page 12: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

12

tiga kelompok berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu memenuhi syarat

ARV, belum memenuhi syarat ARV dan ada kendala kepatuhan. Rekomendasi

selanjutnya, untuk pasien yang memenuhi syarat pemberian ARV bila tersedia

pemeriksaan CD4 berdasarkan kebijakan pedoman ARV tahun 2011 adalah

1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 > 350 sell/mm3

tanpa memandang stadium klinisnya

2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan

koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4

Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTI

(nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTI (non-nucleoside

reverse transcriptase inhibitors, misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin

dan nevirapin. Lini ke dua terdiri dari 2 NRTI dan boosted PIs (protease inhibitor)

yang diperkuat LPV/r (ritonavir). Penambahan (boosted) dengan ritonavir ini untuk

mengurangi dosis yang sangat tinggi dari PI. Pedoman pemberian terapi ARV di

Indonesia disusun sejak tahun 2007, terdapat perbedaan dengan pedoman terapi tahun

2011 yang saat ini dijadikan sebagai acuan. Berikut merupakan perbedaan pedoman

terapi antara keduanya:

Page 13: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

13

Tabel 2.1 Pedoman Terapi ARV di Indonesia

Populasi Target Pedoman Terapi ARV 2007 Pedoman Terapi

ARV 2011

Indikasi memulai terapi ARV

Odha tanpa gejala klinis

(stadium 1) dan belum

pernah mendapatkan

terapi ARV

CD4 ≤ 200 sel/mm3 CD4 ≤ 350 sel/mm

3

Odha dengan gejala

klinis dan belum pernah

memperoleh terapi ARV

Semua pasien dengan CD4 ≤

200 sel/mm3, stadium 3 dan 4,

berapapun jumlah CD4

Stadium klinis 2

bila CD4 ≤ 350

sel/mm3, stadium

klinis 3 dan 4 tanpa

melihat jumlah

CD4

Perempuan hamil

dengan HIV

Stadium 1 atau 2 dengan

CD4 < 200 sel/mm3, stadium

3 dan CD4 < 350 sel/mm3 dan

stadium 4, berapapun jumlah

CD4

Semua ibu hamil

berapapun jumlah

CD4 dan kondisi

stadium klinis

Odha dengan koinfeksi

TB yang belum pernah

menerima terapi ARV

Adanya gejala TB aktif dan

CD4 < 350 sel/mm3

Mulai terapi

berapapun jumlah

CD4

Odha dengan koinfeksi

Hepatitis B (HBV) yang

belum mendapatkan

terapi ARV

Tidak ada rekomendasi

khusus

Odha dengan

koinfeksi Hepatitis

B (kronis aktif) dan

berapapun junlah

CD4

Sumber : (Kemenkes RI , 2011b)

Data diri lengkap pasien akan dimasukkan ke dalam rekam medis dan register

terapi ARV ketika pasien HIV/AIDS memulai terapi. Setiap pasien akan teregistrasi

dalam nomor register nasional sesuai dengan kode registrasi rumah sakit. Pasien

datang ke klinik VCT tiap bulan sekali, dengan waktu yang sudah ditetapkan yang

tertera pada rekam medis dan diberikan persediaan obat ARV untuk persediaan bulan

selanjutnya. Hasil tatalaksana pada pasien HIV/AIDS dapat diklasifikasikan menjadi

Page 14: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

14

terapi ARV yang terkontrol, berhenti terapi, rujuk keluar, meninggal dunia dan loss

follow-up ( Kemenkes RI, 2011a ; Kemenkes RI, 2011b).

Hasil pemberian terapi ARV secara signifikan memberikan hasil yang baik

bagi pasien HIV/AIDS. Pemberian terapi ARV selama infeksi HIV akut memberikan

efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi simptomatik infeksi,

mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan cadangan respon imun yang spesifik

dan menurunkan jumlah virus dalam jangka waktu yang lama (UNAIDS, 2013a).

Terapi ARV diberikan seumur hidup karena HIV/AIDS sampai sekarang belum dapat

disembuhkan. Tujuan pemberian ARV adalah menjaga viral load dibawah 50

kopi/ml, dikatakan gagal terapi jika viral load mencapai 1000 kopi/ml (Kemenkes RI,

2011b). Keberhasilan terapi ARV memerlukan kepatuhan terapi bagi pasien

HIV/AIDS sehingga kepatuhan pasien harus selalu dipantau dan dievaluasi secara

teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh

ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi ARV (Kemenkes RI, 2011b; Lamb et al.,

2012; UNAIDS, 2013a).

2.2 Loss To Follow Up pada Odha

2.2.1 Prevalensi Loss To Follow Up

Jumlah insiden atau kasus baru HIV dan kematian secara global sudah

mengalami penurunan dengan adanya terapi ARV (UNAIDS, 2012). Kasus baru HIV

di Asia Pasifik selama tahun 2011 mencapai 350.000 dengan penurunan 26% sejak

tahun 2001 dan cakupan pengobatan mencapai 51% telah mengalami peningkatan

dari 46% sejak tahun 2009 (UNAIDS, 2013). Layanan pengobatan HIV sudah

Page 15: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

15

diperluas baik dari segi perencana dan pelaksana program, dan untuk selanjutnya

yang menjadi fokus perhatian adalah menutup kesenjangan dalam continum

perawatan HIV. Data yang tepat waktu dan akurat untuk setiap tahap cascade

pengobatan perlu dikumpulkan dan dianalisis agar dapat digunakan untuk mengkaji

manajemen program dan pengembangan intervensi yang ditargetkan untuk mencegah

LTFU pada seluruh cascade pengobatan (UNAIDS, 2012a).

Loss to follow up pada pasien yang menerima ART dapat mengakibatkan

konsekuensi serius seperti penghentian pengobatan, toksisitas obat, kegagalan

pengobatan karena ketidakpatuhan, dan resistensi obat (UNAIDS, 2013a). Cakupan

terapi ARV pada negara berpenghasilan rendah dan menengah terus meningkat

hingga mencapai 9,7 juta pada tahun 2012 namun continuum dari perawatannya

masih menjadi masalah yang menimbulkan persoalan baru seperti LTFU (UNAIDS,

2013a). Negara berpenghasilan tinggi dan rendah memiliki resiko LTFU yang

berbeda jika dilihat dari jumlah CD4 saat memulai ART dan kondisi ini menentukan

estimasi LTFU. Jumlah CD4 awal yang rendah merupakan resiko LTFU pada negara

penghasilan rendah seperti Zambia, sedangkan kondisi berbeda untuk negara

penghasilan tinggi seperti Switzerland bahwa jumlah CD4 yang tinggi lebih beresiko

untuk LTFU (Schöni-Affolter et al., 2011).

Penelitian dengan metode systematic review pada low and middle income

countries menunjukkan estimasi LTFU yaitu 7,6% -15,1% dan studi di Sub-Saharan

Afrika dengan metode yang sama bahwa pasien yang memenuhi syarat ART

mengalami LTFU 25%-54%, sedangkan penelitian yang dilakukan pada 93 site di

Page 16: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

16

Eropa memiliki insiden rate LTFU yang lebih kecil yaitu 3,72 per 100 person years.

Walaupun negara maju menunjukkan insiden rate yang lebih kecil namun

kemungkinan LTFU teridentifikasi meninggal sama untuk semua kategori negara

tersebut dan teridentifikasi telah meninggal sebesar 12%-87%, sehingga melacak

kembali status pasien yang LTFU perlu dilakukan. Sebagian besar pasien jika tidak

teridentifikasi meninggal akan kembali berkunjung setelah satu tahun LTFU untuk

melakukan pengukuran jumlah CD4 atau pengukuran viral load (Brinkhof et al.,

2009; Mcmahon et al., 2013; Mugglin et al.,2014; Mocroft et al., 2008). Penelitian

yang dilakukan pada 18 sites di Kawasan Asia Pasifik melalui data TAHOD (Treat

Asia HIV Observational Database) pada tahun 2012 ditemukan 21,4 % per tahun

kasus LTFU dari 3626 pasien (Zhou et al., 2012).

Kondisi yang paling sering terjadi bahwa LTFU dikaitkan dengan alasan

transfer ke program lain, masalah keuangan, meningkatkan atau memburuknya

kesehatan, sulit dilakukan pelacakan diantara pasien LTFU karena adanya pencatatan

nomor telepon dan alamat yang sering salah atau hilang (Brinkhof et al., 2009; Deribe

et al., 2008). Prevalensi LTFU di Indonesia sesuai laporan dari Kemenkes per

Agustus 2014 sebesar 17,95% (14.360 dari 81.518 yang pernah menerima ART)

meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu 15,75% (10.825 dari 65.311 yang pernah

menerima ART). Pasien yang LTFU masih kurang mendapatkan perhatian padahal

hampir 50% dari pasien LTFU teridentifikasi meninggal (Brinkhof et al., 2009;

Wubshet et al., 2013). Penelitian cross sectional analitik yang dilakukan di RSUP dr

Kariadi Semarang menunjukkan prevalensi loss to follow-up pada pasien HIV/AIDS

Page 17: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

17

sebesar 4,5% (Rosiana, 2014). Studi dan penelitian tentang kondisi LTFU di

Indonesia masih sangat terbatas terutama penelitian longitudinal.

2.2.2 Definisi Loss To Follow Up

Kriteria waktu penentuan loss to follow up merupakan indikator penting untuk

memonitor kelangsungan pengobatan ARV selain sebagai deteksi awal kemungkinan

terjadinya resistensi (Bennett et al., 2006). Istilah loss to follow up dalam beberapa

literature disingkat dengan LTFU (Chi et al., 2010; Chi et al., 2011; Krishnan et al.,

2011; Zhou et al., 2012). Program pengobatan ARV di Indonesia menetapkan LTFU,

jika pasien tidak berkunjung kembali 3 bulan atau lebih dari kunjungan terakhir.

Penentuan tanggal kunjungan terakhir di pelayanan tersebut sebagai waktu penetapan

LTFU (Kemenkes RI, 2011b). Penelitian di beberapa negara lain juga menentukan

jika pasien tidak datang kembali berkunjung lebih dari tiga bulan sebagai LTFU ( Chi

et al., 2010; Ochieng-Ooko et al., 2010; Onoka et al., 2012; Lamb et al., 2012;

Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013; Tran et al., 2013).

Penentuan cut off point ini berbeda dengan penentuan LTFU menggunakan TAHOD

(Treat ASIA HIV Observational Database) yaitu 180 hari (Zhou et al., 2012).

Perbedaan definisi LTFU dan pada periode pengamatan dapat berkontribusi

perbedaan taksiran tingkat LTFU (Fleishman et al., 2013)

Penelitian oleh Chi et al., tahun 2010 di Lusaka Zambia, menunjukkan kriteria

penentuan LTFU yang tepat (reasonable definition) adalah 56 hari atau ≥ 60 hari

dengan kesalahan klasifikasi sebesar 5,1% (95% CI; 4,8–5,3) dan memiliki

sensitivitas 84,1% (95% (CI):83,2- 85,0), spesifisitas 97,5% (95% CI; 97,3-97,7) (Chi

Page 18: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

18

et al., 2010). Sedangkan penelitian serupa juga dilakukan oleh Chi et al., tahun 2011

pada 111 fasilitas kesehatan di Afrika, Asia, dan America Latin tidak termasuk

Indonesia merekomendasikan cut off point LTFU yaitu ≥ 180 hari dengan kesalahan

klasifikasinya sebesar 1,2 % (95% CI 1,0%-1,5%). Kondisi ini menunjukkan masih

adanya ketidakkonsistenan penentuan LTFU yang akan berdampak pada sistem

monitoring dan evaluasi program ART secara global (Chi et al., 2011). Upaya

memonitor hal tersebut maka perlu standar untuk mengklasifikasi pasien sebagai

LTFU (Chi et al., 2011). Studi dengan metode systematic review menyebutkan bahwa

definisi LTFU berbeda pada setiap studi tetapi 52% dari penelitian kohort (28/54)

yang ditemukan pasien LTFU diklasifikasikan dalam waktu 3-4 bulan setelah kontak

terakhir mereka dengan klinik ART (McMahon et al., 2013).

Klasifikasi pasien sebagai LTFU bergantung pada definisi dengan basis

interval artinya pasien absen untuk berkunjung dalam interval tertentu setelah

kunjungan sebelumnya diklasifikasikan sebagai LTFU. Jika interval ini terlalu

pendek, meskipun banyak pasien akan akurat diidentifikasi sebagai LTFU akan ada

beberapa tingkat positif palsu yang tinggi dari pasien yang diklasifikasikan sebagai

LTFU. Sebaliknya, jika interval terlalu lama maka beberapa pasien yang benar-benar

LTFU akan diklasifikasi sebagai absen sehingga perlu menentukan standar definisi

LTFU untuk meminimalkan kesalahan klasifikasi pasien. Makadari itu diperlukan

penentuan definisi universal LTFU atau algoritma umum untuk menentukan cut off

LTFU dalam mengevaluasi program pengobatan ARV.

Page 19: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

19

2.2.3 Dampak Loss To Follow Up Terhadap Pemberian Terapi ARV

Pemberian terapi ARV pada odha memerlukan pencatatan dan monitoring

yang baik untuk menghindari terjadinya kegagalan terapi atau resistensi yang dapat

berdampak pada kematian. Persentase kejadian LTFU merupakan indikator awal

untuk mendeteksi potensi resistensi. WHO merekomendasikan target < 20 % untuk

kejadian LTFU pada satu tahun pertama odha yang menerima terapi ARV (Benetta et

al., 2008). Mengetahui kejadian LTFU pada odha yang menerima terapi ARV penting

karena ART tidak menyembuhkan infeksi HIV sehingga pasien harus mengambil

obat antiretroviral teratur selama sisa hidup mereka. Beberapa program ART

menunjukkan lebih dari sepertiga pasien mengalami LTFU dan mereka berhenti

datang untuk pengobatan dalam waktu tiga tahun memulai terapi, tentunya hal ini

mengancam keberhasilan program ART (Chi et al., 2011). Tingkat supresi virus yang

optimal terjadi bila 95% dari semua dosis obat ARV diminum, dan resiko kegagalan

terapi paling sering terjadi karena lupa minum obat (Kemenkes RI, 2011b). Tingkat

kepatuhan pengobatan yang rendah sangat menentukan terjadinya LTFU (Tran et al.,

2013).

Kondisi LTFU dan kematian merupakan dua kondisi yang saling berkaitan,

dimana odha dengan jumlah CD4 < 100 sel / mm3

dan ≥ 350 sel / mm3

yang tercatat

dalam status LTFU terdeteksi meninggal sebesar 22,9% dan 13,6%. (Schöni-Affolter

et al., 2011). Peningkatan resiko kematian terjadi pada odha dengan kondisi LTFU

karena resiko penghentian pengobatan sehingga LTFU ini menjadi salah satu

Page 20: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

20

masalah dalam pengobatan (Bekolo et al., 2013; Wubshet et al., 2013). Beberapa

penelitian juga menyebutkan bahwa LTFU meningkatkan risiko kematian pada odha

(Somi et al., 2012; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013;

Alvarez-Uria et al., 2013; Edwards et al., 2014).

2.3 Determinan yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang

menerima terapi ARV

Retensi pemakaian ARV dan kepatuhan terhadap pengobatan merupakan

penentu penting dari hasil jangka panjang pemberian terapi pada odha. LTFU pasien

saat pengobatan membahayakan kesehatan mereka sendiri dan keberhasilan jangka

panjang dari program ART (Tezera et al., 2014). Probabilitas LTFU berhubungan

dengan jangka waktu perawatan ART dimana proporsi yang lebih tinggi dari LTFU

tercatat dalam 6 bulan pertama setelah memulai ART dan umumnya kemungkinan

LTFU secara bertahap meningkat seiring dengan masa retensi lebih lama (Berheto et

al., 2014). Penelitian yang pernah dilakukan di negara lain menunjukkan beberapa

determinan yang berhubungan dengan LTFU pada pasien odha diantaranya yaitu:

2.3.1 Karakteristik Sosiodemografi

2.3.1.1 Umur

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur yang semakin muda lebih

berisiko untuk mengalami LTFU (Ochieng-Ooko et al., 2010; Krishnan et al., 2011;

Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Saka et al., 2013;

Tran et al., 2013; Weigel et al., 2013; Kate et al. 2014;). Penelitian di Ethiopia

menunjukkan bahwa remaja dua kali (HR=2,1; 95% CI: 1,3-3,4) dan orang dewasa

Page 21: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

21

1,4 kali (HR = 1,4; 95% CI:1,0-2,0) lebih mungkin menjadi LTFU daripada anak-

anak (Tezera et al., 2014).

Odha dalam kategori remaja cenderung menunjukkan ketidakdewasaan dalam

berpikir analitis dan kemungkinan ada tantangan tertentu yang terkait dengan

pubertas, stigma dan diskriminasi yang lebih besar serta tidak memiliki pengasuh

(berbeda dengan anak-anak) (Murphy et al., 2003). Selain itu usia muda cenderung

memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi (Krishnan et al., 2011). LTFU pada

pasien muda mungkin terkait dengan penolakan psikologis dari infeksi HIV dan

kecenderungan mencari perawatan lain (Roura et al., 2009). Penelitian di Myanmar

menyebutkan bahwa umur ≥ 40-80 tahun lebih berisiko mengalami LTFU (aHR=1.5;

95% CI 1,25 -1,94) (Sabapathy et al., 2012). Umur memiliki hubungan yang lemah

untuk dikaitkan dengan kejadian LTFU namun tetap masuk akal untuk diamati karena

kelompok usia termuda yang paling mungkin untuk mengalami LTFU terutama

kondisi tanpa gejala yang memicu ketidakpedulian mereka dalam perawatan (Bekolo

et al., 2013).

2.3.1.2 Jenis Kelamin

Studi menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan terhadap kejadian

LTFU. Laki-laki memiliki risiko LTFU lebih tinggi dari pada perempuan (Odafe et

al., 2012; Onoka et al., 2012; Evans et al., 2013; Tran et al., 2013; Weigel et al.,

2013; Mugisha et al., 2014). Periode selama dua tahun terapi ARV kejadian loss to

follow up pada laki-laki (AHR 1,4; 95% CI 1,2-1,7) lebih tinggi daripada perempuan

(AHR 1,3, 95%CI 1,1–1,5) (Mugisha et al., 2014). Namun dalam 6 bulan terapi ARV

Page 22: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

22

justru perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami LTFU dibandingkan

laki-laki (OR=1,8; 95%CI: 1,3-2,5) (Saka et al., 2013).

Laki-laki lebih berisiko mengalami LTFU karena mereka cenderung datang ke

pelayanan ketika sakit dan kurang bersedia untuk memberikan informasi secara detail

(Onoka et al., 2012). Informasi yang detail misalnya pencatatan nomor telepon akan

memudahkan dalam pelacakan dan pendeteksian keberlangsungan pengobatan ARV

(McMahon et al., 2013) Laki-laki memiliki variasi dalam mobilitas dan risiko tinggi

penyalahgunaan narkoba yang dapat mengganggu kepatuhan dalam terapi ARV

sehingga lebih memiliki kemungkinan untuk LTFU (Alvarez-Uria et al., 2013).

Kebanyakan pria dengan kecanduan narkoba mengalami toksisitas yang lebih tinggi

karena interaksi dengan obat ARV yang mengarah ke penghentian terapi (Gordillo et

al., 1999). Berbeda kondisinya pada perempuan yang lebih mungkin untuk datang ke

fasilitas layanan kesehatan dibandingkan pria untuk mendapat layanan reproduksi dan

pelayanan kesehatan anak (Odafe et al., 2012). Perempuan mungkin mencari

perawatan segera karena mereka adalah pengasuh utama dalam keluarga dan merasa

memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk tetap sehat (Ochieng-Ooko et al.,

2010). Laki-laki lebih cenderung mengalami LTFU jika memiliki penyakit stadium

lanjut, sedangkan perempuan lebih mungkin untuk LTFU jika jumlah CD4 mereka

tinggi, hal ini menunjukkan bahwa LTFU pada laki-laki kemungkinan terjadi karena

penyakit yang bertambah parah atau kematian (Ochieng-Ooko et al., 2010).

Page 23: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

23

2.3.1.3 Pendidikan

Odha yang berpendidikan lebih termotivasi untuk patuh dalam pengobatan

karena kemampuan mereka untuk memahami hasil laboratorium dan informasi ilmiah

baru tentang HIV dan pengobatan (Krishnan et al., 2011). Kondisi sebaliknya bahwa

mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah sulit untuk memahami pra

konseling yang meliputi informasi terhadap jalannya HIV infeksi, tujuan pengobatan,

risiko dan manfaat terapi, efek samping, resistensi dan kepatuhan yang kompleks.

Tingkat pendidikan yang rendah (aOR 3,80 95% CI 1,14-12,7; p=0,03) terkait dengan

penolakan pengobatan sehingga berkontribusi pada insiden LTFU (Karcher et al.,

2007). Kondisi ini didukung dengan penelitian di India menunjukkan bahwa buta

huruf meningkatkan kejadian LTFU (aHR 1,3; 95% CI 1,1- 1,6) (Alvarez et al.,

2013). Kejadian LTFU sebelum terapi ART meningkat pada pendidikan menengah

pertama (aHR 2,0; 95% CI 1,1–3,6; p< 0,05) (Hassan et al., 2012). Penelitian dengan

hasil serupa juga dilakukan oleh Honge et al., menunjukkan pasien odha yang tidak

sekolah beresiko mengalami LTFU namun memiliki hubungan yang tidak signifikan

(aHR 1,22; 95% CI 0,98- 1,52) (Hønge et al., 2013). Krishnan et al., dengan

menggunakan pendekatan lama pendidikan (ukuran tahun) bahwa pendidikan <16

tahun berhubungan secara signifikan mengalami LTFU. Semakin pendek lama

pendidikan yang ditempuh maka resiko LTFU juga semakin besar (Krishnan et al.,

2011). Orang dengan pendidikan rendah mungkin memiliki masalah yang berkaitan

dengan ketenagakerjaan seperti tidak memiliki waktu untuk istirahat dari pekerjaan

dan melakukan kunjungan klinik (Ross dan Adler dalam Krishnan et al., 2011).

Page 24: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

24

2.3.1.4 Pekerjaan

Pekerjaan seringkali dikaitkan dengan penghasilan seseorang. Pasien

pengangguran memiliki kecenderungan 51% (HR 1.51, 95% CI: 1,34-2,00) menjadi

LTFU ( Kate et al., 2014). Beberapa studi menunjukkan pasien yang tidak memiliki

tempat tinggal atau homeless beresiko mengalami LTFU namun tidak memiliki

hubungan yang signifikan antara keduanya (Alvarez-Uria et al., 2013; Lebouche et

al., 2006). Sebagian besar odha memiliki retensi perawatan yang rendah dalam terapi

ARV akibat masalah keuangan yang dihadapi. Tingkat keberlangsungan hidup odha

ditentukan dari kepatuhan dan keberlanjutan pengobatan (Giordano et al., 2007)

2.3.1.5 Status Menikah

Pasien yang tidak memiliki pasangan dan bercerai (aHR 1,6, 95% CI 1,2- 2,3)

(Alvarez et al., 2013), rata-rata mengalami LTFU dibandingkan dengan pasien yang

telah menikah (Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Mugisha et al., 2014).

Mereka yang tanpa pasangan cenderung tidak memiliki dukungan sehingga lebih

mungkin terpengaruh secara negatif oleh stigma terkait HIV dan ini terbukti menjadi

penghalang untuk kepatuhan dan retensi dalam perawatan dan pengobatan (Merten

et al., 2010).

2.3.1.6 Pengawas Minum Obat (PMO)

PMO adalah orang yang membantu pengawasan minum obat odha untuk

menurunkan kejadian resistensi (Kemenkes RI, 2011a). Adanya pengawas minum

obat dan layanan penjangkauan di fasilitas kesehatan sangat berpengaruh terhadap

kejadian LTFU. Peran utama PMO adalah untuk membantu kepatuhan pasien dengan

Page 25: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

25

mungkin ikut terlibat menemani pasien ke klinik untuk kunjungan, mengambil obat,

dan memberikan bantuan untuk memastikan pasien mengambil obat yang tepat pada

waktu yang tepat, dengan cara yang benar (WHO, 2006). PMO tidak hanya

memberikan pengawasan tetapi juga mampu meningkatkan penerimaan diri

(acceptance) odha melalui dukungan psikologis dan psikososial yang diberikan

(Nasronudin, 2007). Penelitian di Sub Saharan tahun 2012 menunjukkan klinik

dengan layanan PMO dan penjangkauan yang tersedia memiliki tingkat LTFU lebih

rendah (aRR = 0,48, 95% CI: 0,25-0,92) (Lamb et al., 2012).

2.3.1.7 Risiko Penularan

Penelitian di Vietnam menunjukkan odha dengan IDU (injection drug user)

memiliki kecenderungan mengalami LTFU yang lebih besar (aHR=1,40 95% CI

1.25–1.89), hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Jepang (aHR= 1,544

95% CI 1,028-2,318; p = 0,036) bahkan resiko LTFU lebih tinggi pada kelompok

MSM ( man sex man) pengguna IDU dengan aHR=1,641 ( 95% CI 1,061-2,538 p=

0,026) (Nishijima et al., 2013;Tran et al., 2013). Odha dengan riwayat IDU lebih

mungkin untuk mengalami LTFU karena merasa memiliki stigma ganda dari internal

dan eksternal. Selain itu, kehadiran penyakit tambahan yang terkait dengan obat

suntik akan mengurangi waktu kunjungan untuk layanan ART karena ada

kemungkinan mereka perlu mendapatkan pelayanan kesehatan preventif dan kuratif

lainnya seperti terapi metadon, pertukaran jarum, atau pengobatan co-infeksi lain

(yaitu, hepatitis C, TB) (Nishijima et al., 2013). Ketergantungan dengan obat-obatan

tersebut dapat menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi jadwal pengobatan

Page 26: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

26

ART. Kelompok pengguna obat-obatan terlarang ini berhubungan dengan penyerapan

ART dan kepatuhan terhadap pengobatan yang lebih rendah (Wood et al., 2003).

Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada kelompok Afrika

bahwa perempuan heteroseksual lebih berisiko terjadi LTFU dengan OR = 2,22 (95%

CI 1,11-4,56), hal ini disebabkan oleh kondisi kehamilan mendapatkan terapi ARV

jangka pendek dan kondisi ini menyumbangkan 10% untuk kejadian LTFU pada

kelompok perempuan (Gerver et al., 2010). Penelitian di Jepang pada kelompok

MSM (man sex man) menunjukkan resiko LTFU lebih besar pada orientasi biseksual

(aOR 1,34 95% CI 0,85-2,12) dibandingkan dengan homoseksual (Tang et al., 2015).

Kelompok LSL orientasi homoseksual cenderung memiliki resiko LTFU

yang lebih rendah (OR 0,6 95% CI:0,5-0,7) dibandingkan dengan heteroseksual (OR

2.22, 95% CI:1,11-4,56) (Lebouche et al., 2006; Gerver et al., 2010; Lanoy et al.,

2006). Stigma yang masih tinggi di kalangan MSM (Graham et al., 2013) dapat

menurunkan retensi terhadap terapi ARV, namun dengan adanya jaringan sosial yang

kuat diantara populasi kunci ini, mampu menurunkan kejadian LTFU (Tang et al.,

2015).

2.3.2 Karakteristik Klinis

2.3.2.1 Berat Badan

Berat badan merupakan acuan yang biasa digunakan untuk menilai status gizi.

Odha yang memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi akan memiliki

kondisi kesehatan yang lebih baik sehingga odha dengan kondisi ini cenderung akan

mempertahankan terapi ARV karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV. Odha

Page 27: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

27

yang memulai terapi dengan berat badan kurang dari 45 kg lebih beresiko mengalami

kematian dan attrition. Kehilangan berat badan > 10% merupakan gejala umum yang

dialami saat terinfeksi HIV (Dalal et al., 2008). Kondisi kesehatan lainnya yang dapat

dijadikan ukuran selain berat badan adalah ukuran BMI (body mass index). BMI

(body mass index) ≤ 18,5 kg/m2 menunjukkan kondisi kesehatan yang kurang baik

sehingga dapat menurunkan kepercayaan pasien terhadap terapi sehingga

kemungkinan LTFU lebih besar (aHR 1.51; 95% CI 1,23-1,87), didukung juga

adanya oropharyngeal candidiasis dengan BMI yang rendah (HR 1,36 95% CI 1,02-

1,82) (Hønge et al., 2013; Evans et al., 2013). Sebaliknya kenaikan BMI setiap

unitnya menurunkan kejadian LTFU (aHR, 0.97; 95% CI 0,88–1,03) tetapi tidak

menunjukkan hubungan yang signifikan. Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang

menyatakan odha yang memiliki berat badan ≥ 60 kg memiliki risiko 76% lebih

rendah untuk mengalami LTFU dibandingkan odha dengan berat badan < 40 kg

(AHR 3.47 95% CI 1.02-11.83), mereka yang memiliki berat badan normal memiliki

kepercayaan terhadap pengobatan dan berusaha mempertahankan (Haile & Mekelle,

2014).

2.3.2.2 Jumlah CD4

Jumlah CD4 menjadi tolak ukur status kesehatan odha dan indikator

kegagalan imunologis dalam terapi ARV (Kemenkes RI, 2011a). Pemeriksaan CD4

melengkapi pemeriksaan klinis yang dapat memandu dalam menentukan waktu untuk

memulai pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV sebelum penyakitnya

berlanjut menjadi lebih parah. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi

Page 28: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

28

ARV (Depkes, 2007). Keputusan untuk memulai terapi ARV pada odha dewasa dan

remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Pemberian terapi ARV

akan meningkatkan jumlah CD4 dengan rata-rata peningkatan 50-100 sell/mm3/tahun

dengan monitoring setiap enam bulan. Odha yang mengalami penurunan CD4 secara

progresif tanpa ada penyakit atau kondisi medis lain selama terapi ARV merupakan

deteksi awal terjadinya kegagalan terapi secara imunologis (Kemenkes RI, 2011).

Penelitian di Zambia dan Switzerland pada pengamatan tiga setengah tahun

terapi menunjukkan persentase LTFU sebesar 29,3% pada pasien yang memulai ART

dengan jumlah CD4 < 100 sel / ml dan 15,4% untuk pasien yang mulai dengan ≥ 350

sel/mL (Schöni-Affolter et al., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan jumlah CD4

yang rendah (<100-200 cell/ml) meningkatkan risiko LTFU (Gerver et al., 2010;

Schöni-Affolter et al., 2011; Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Evans et

al., 2014). Tingkat kejadian LTFU cenderung menurun ketika sel CD4 meningkat

(Delphine et al., 2014). Setiap kenaikan 10% pada jumlah CD4 dikaitkan dengan

penurunan 2,8% angka kematian dalam satu tahun, termasuk LTFU sehingga

dukungan untuk memulai terapi dengan CD4 yang lebih tinggi akan mengurangi

resiko kematian diantara mereka yang LTFU (Fox et al., 2013).

Penelitian lain menyebutkan jumlah CD4 yang tinggi ≥ 200 cell/ml lebih

beresiko mengalami LTFU (Mugisha et al., 2014; Onoka et al., 2012; Somi et al.,

2012; Tran et al., 2013; Fleishman et al., 2013). Hal ini menunjukkan hasil yang

tidak konsisten antara hubungan kadar CD4 dengan kejadian LTFU. Orang yang

memiliki jumlah CD4 yang tinggi mungkin tidak merasa gejala infeksi HIV sehingga

Page 29: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

29

sangat mungkin untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan (Ochieng-Ooko et al.,

2010).

2.3.2.3 Kadar Haemoglobin

Pemantauan laboratoris pasien dalam terapi ARV salah satunya yaitu kadar

haemoglobin. Kadar haemoglobin adalah ukuran untuk menilai kondisi anemia.

Anemia merupakan efek samping yang dapat ditimbulkan akibat terapi seperti

pemberian zidovudin (AZT). Insiden rate kejadian anemia pada pengguna AZT yaitu

23,4 per 100 person years (Curkendall et al., 2007). Kadar haemoglobin yang normal

pada laki-laki yaitu >13 g/dl dan perempuan >12 g/dl (Zhou J, 2007). Kadar

hemoglobin rendah (p <0,001) (Zhou et al., 2012) dan hemoglobin < 8.0 g/dL (HR

1,64 95% CI 1,28 – 2,10) sebagai prediktor dari LTFU (Saka et al., 2013). Penelitian

Honge et al, pada klien yang belum memenuhi syarat pengobatan ARV justru

menunjukkan bahwa kadar haemoglobin rendah cenderung menyebabkan pasien

termotivasi untuk mematuhi terapi ARV karena merasa sakit meskipun jumlah CD4

lebih tinggi (Hønge et al., 2013).

2.3.2.4 Infeksi Oportunistik

Keadaan LTFU seringkali dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit yang

diderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengalami infeksi

oportunistik (IO) diawal pengobatan memiliki resiko untuk mengalami LTFU yaitu

HR (hazard ratio) 1,72 (0,47-1,82) dan OR (odds ratio) 2,3 (95% CI 1,5-3,1) (Saka et

al., 2013; Tran et al., 2013). Pasien dengan atau tanpa OC (oropharyngeal

candidiasis) meningkatkan risiko LTFU (HR 1,36 95% CI 1,02-1,82; HR 1,55 95%

Page 30: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

30

CI 1,30-1,85) (Evans et al., 2013). Infeksi oportunistik menunjukkan tingkat

keparahan penyakit sehingga cenderung untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan

tetapi kemungkinan mencari pengobatan alternatif (Wubshet et al., 2013). Adanya

infeksi oportunistik juga menunjukkan ADIs (AIDS-defining clinical illness) yang

juga memperberat kondisi klinis odha. Adanya riwayat ADIs meningkatkan resiko

LTFU 1,2 kali (95% CI 0,9-1,48) namun tidak bermakna secara statistik. (Krishnan et

al., 2011). Kriteria ADIs yang umumnya terjadi adalah tubercolosis (22.7%), PCP

(19.1%) and oesophageal candidiasis (16.2%) (Grabar et al., 2008). Data TAHOD

juga menyebutkan bahwa ADIs lebih banyak muncul pada 90 hari setelah pengobatan

ARV dengan insiden rate yaitu 26,1 per 100 person years (Zhou J, 2007).

2.3.2.5 Stadium Klinis WHO

Risiko loss to follow up lebih besar pada pasien yang mengalami penyakit

yang lebih berat (Cohen et al., 2013). Stadium klinis merupakan manifestasi klinis

penderita HIV/AIDS yang dibagi menjadi stadium I, II, III, dan IV. Pasien dengan

stadium II WHO (adjusted sHR 1,31 95% CI: 1,08 to 1,59) memiliki risiko lebih

tinggi LTFU dibandingkan dengan stadium I, III, dan IV (Odafe et al., 2012).

Penelitian oleh Saka et al, juga menunjukkan hasil yang sama bahwa pasien dengan

stadium II dan III berhubungan dengan LTFU (OR=1,7; 95%CI: 1,3-2,2) (Saka et

al., 2013). Kondisi ini terjadi karena odha yang telah menganggap diri mereka dalam

kondisi baik tidak perlu kembali melanjutkan ART (Odafe et al., 2012).

Odha yang telah memasuki stadium lanjut yang lebih tinggi cenderung tidak

percaya penyedia layanan kesehatan sehingga mereka lebih cenderung untuk

Page 31: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

31

menggunakan pengobatan komplementer dan alternatif atau complementer alternative

medicine (CAM) sebagai pengganti terapi HIV konvensional (Hsiao et al., 2003).

Petugas kesehatan hampir 90% tidak menyadari bahwa pasien mereka menggunakan

pengobatan alternatif dalam enam bulan terakhir, mereka menggunakan pengobatan

tersebut bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit (87,1%) dan praktek-praktek

spiritual atau doa untuk menghilangkan stres (77,6%). Kondisi ini berdampak pada

kunjungan ke klinik yang menurun (Peltzer et al., 2008). Hal ini kemungkinan yang

membuat mereka dalam kondisi LTFU. Hasil yang tidak konsisten ditemukan pada

variabel ini, dimana penelitian yang dilakukan oleh Berheto et al, bahwa stadium

klinis III sebagai faktor protektif dari LTFU (aHR= 0,6; CI 0,4-0,8, p=0,007) karena

pada stadium klinis III dan IV, odha cenderung mengalami peningkatan perilaku

dalam mencari layanan kesehatan akibat keparahan penyakit yang diderita (Berheto

et al., 2014).

2.3.2.6 Status Fungsional

Status fungsional pada odha dibedakan menjadi tiga yaitu status kerja,

ambulatory dan baring. Status kerja dikategorikan bila odha masih mampu bekerja

normal, pasien yang tidak mampu bekerja normal dan < 50% berbaring dikategorikan

memiliki status ambulatory, sedangkan pasien yang terus menerus (atau > 50%)

berbaring di tempat tidur di kategorikan status baring (Kemenkes RI, 2011a). Tujuan

utama dari ART salah satunya adalah untuk memberikan kesempatan bagi orang

untuk menjadi produktif dalam pekerjaan mereka dan kehidupan sehari-hari. Oleh

karena itu, ukuran produktivitas yaitu status fungsional dapat digunakan sebagai salah

Page 32: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

32

satu indikator keberhasilan program ART (WHO, 2006). Status fungsional yaitu

ambulatory juga meningkatkan risiko LTFU dengan adjusted sHR 1,25 (95% CI:

1,01 to 1,54)(Odafe et al., 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa status

fungsional ambulatory merupakan faktor protektif terhadap kejadian LTFU (aHR 0,4

95% CI 0,3-0,6 p=0,001).

2.3.3.7 Status TB

Karakteristik penyakit penyerta merupakan salah satu faktor

yangmempengaruhi kepatuhan pada odha. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit

lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum (Kemenkes RI,

2011a). TB merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada orang yang

hidup dengan HIV, termasuk ART (Berheto et al., 2014). Beberapa penelitian

menguraikan hubungan antara status TB yang diderita dengan risiko LTFU pada

odha. Penelitian di Vietnam menyatakan bahwa odha dengan status TB positif

memiliki risiko lebih tinggi mengalami LTFU (aHR=1,28 CI 1,05-1,72) (Tran et al.

2013). Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang menyatakan bahwa odha dengan

TB positif risiko tiga kali lebih besar mengalami LTFU akibat dari reaksi ganda

toksisitas yang ditimbulkan sehingga menurunkan kepercayaan mereka untuk berobat

(62). Penelitian dengan menggunakan data TAHOD bahwa odha dengan TB negatif

memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami LTFU namun menunjukkan

hubungan yang tidak signifikan (IRR=0,98 CI 0,87-1,12 p=0,801) (39). Studi berbeda

menyebutkan odha dengan TB positif yang mendapatkan terapi memiliki kondisi

Page 33: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

33

klinis yang lebih buruk sehingga meningkatkan kepatuhan mereka untuk berobat

(Berheto et al., 2014).

2.3.2.8 Regimen ARV

Regimen ARV terdiri dari nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)

dan non-nucleoside reverse transcriptase (NNRTI). Golongan yang termasuk

regimen NRTI yaitu zidovudine (AZT), stavudine (d4T), lamivudine (3TC),

didanosine (ddl), abacavir (ABC), tenofovir (TDF), dan emtricitabine (FTC).

Regimen NNRTI yaitu nevirapine dan efavirens selain itu juga terdapat regimen yang

termasuk lini kedua yaitu protease inhibitor (PI) seperti lopinavir atau ritonavir.

Regimen ARV terkait karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses

untuk mendapatkan ARV berdampak pada kepatuhan odha (Kemenkes RI, 2011a).

Penelitian di Cameroon menyebutkan penggunaan regimen NNRTI nevirapine

(NVP) menurunkan risiko LTFU secara siginifikan (aHR 0.75 CI0,57-0,99 p=0,04),

begitu juga pada penggunaan regimen NRTI stavudin (aHR 0,55 CI 0,42-0,71) dan

zidovudine (AZT) (aHR 0,59 CI 0,45-9,77) (Bekolo et a,l. 2013). Berbeda dengan

studi di Ethiopia menyatakan penggunaan AZT meningkatkan risiko LTFU menjadi

sebesar tiga kali dibandingkan regimen d4T (62).

Odha yang menerima substitusi rejimen ARV selama masa perawatan lebih

berisiko LTFU (HR 5,2; 95% CI 3,6-7,3) sama dengan studi di India yang

melaporkan bahwa substitusi bisa menjadi faktor risiko untuk gagal ART (Alvarez-

Uria et al., 2013; Berheto et al., 2014). Mayoritas kasus substitusi rejimen disebabkan

oleh reaksi obat, pasien mungkin menjadi khawatir tentang efek samping dan

Page 34: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

34

efektivitas obat baru yang diberikan sehingga mereka memilih untuk mencari pilihan

pengobatan lainnya. Takut efek samping sebagai penyebab utama kegagalan atau

LTFU (Deribe et al., 2008). LTFU yang lebih besar dapat dikaitkan dengan

peningkatan toksisitas obat dimana pasien yang menerima rejimen PI (protease

inhibitor) yang substansial cenderung lebih mahal dari lini satu sehingga LTFU

mungkin terkait dengan ketersediaan obat atau keterjangkauan (Zhou et al., 2012).

2.3.3 Karakteristik Layanan

2.3.3.1 Entry Point

Mengidentifikasi entry point dalam perawatan HIV dan pemberian terapi

ARV merupakan salah satu informasi yang berguna untuk keberlangsungan program.

Entry point adalah jalur masuknya pasien pertama kali mendapatkan layanan HIV

yang meliputi layanan datang sendiri, LSM, jangkauan, praktik swasta, KIA

(kesehatan ibu dan anak), rawat jalan, rawat inap, lainnya (Kemenkes RI, 2011c).

Entry point mengacu pada bagaimana pasien tiba atau masuk ke layanan voluntary

and counseling test (VCT) dan mendapat layanan terapi termasuk yang dirujuk dari

(PMTCT,TB, IMS, dll), riwayat perawatan dan kesehatan lain saat mereka menerima

perawatan HIV. Informasi ini sangat membantu manager program sebagai indikator

dalam peningkatan pengawasan, keberlangsungan terapi, membantu rujukan pasien

yang tepat dan melibatkan jaringan berbasis masyarakat (WHO, 2006).

Pasien yang mendapatkan layanan HIV dan terapi ARV sebagian besar

melalui layanan TB, rawat jalan dan layanan VCT ( WHO, 2006; Hassan et al., 2012;

Mugisha et al., 2014). Pasien yang mengalami LTFU, 47,4% teridentifikasi pada

Page 35: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

35

entry point layanan TB (Alvarez-Uria et al., 2013). Pasien dengan entry point

melalui layanan VCT memiliki risiko LTFU lebih kecil dibandingkan entry point

yang lain (Crude OR 0.5 CI 0.3–0.9 p= 0.02) (Hassan et al., 2012).

2.3.3.2 Jenis Tempat Layanan

Penelitian di Nigeria Tenggara menunjukkan persentase LTFU di rumah sakit

pemerintah lebih tinggi daripada rumah sakit swasta yaitu 32,8% sedangkan di rumah

sakit swasta 11,0% (Onoka et al., 2012) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

tempat layanan berhubungan dengan LTFU, layanan di rumah sakit umum pusat

memiliki risiko LTFU yang lebih besar dibandingkan rumah sakit daerah dan klinik

swasta (Odafe et al., 2012; Saka et al., 2013; Weigel et al., 2013). Resiko LTFU pada

klinik NGO (Non Governmental Organization) (OR 1,1 95% CI 0,6-1,9) lebih rendah

dibandingkan klinik umum atau rumah sakit umum. Penggunaan klinik umum

mencerminkan status sosial ekonomi yang kurang sehingga cenderung mengalami

LTFU (Saka et al., 2013). Kondisi ini berkaitan dengan monitoring yang diberikan

pada pasien, dimana rumah sakit pusat memiliki jumlah pasien yang besar sehingga

lebih sulit untuk memonitoring pasien, selain petugas lapangan (outreach) yang

kurang memadai (Odafe et al., 2012). Program pengobatan antiretroviral perlu

meningkatkan proses dokumentasi dan mengembangkan dan menerapkan strategi

pelacakan (Onoka et al., 2012)

2.3.3.3 Status Rawat

Status rawat menunjukkan kondisi kesehatan odha. Status rawat dikategorikan

menjadi rawat jalan dan rawat inap, kondisi klinis yang memburuk membuat odha

Page 36: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

36

memerlukan perawatan yang lebih intensif dengan rawat inap di rumah sakit. Studi

oleh Fleishman et al., bahwa keberlangsungan pengobatan ARV dengan rawat jalan

menunjukkan retensi pengobatan hanya 20,4%, dan resiko LTFU mencapai 34,9%

(Fleishman et al., 2013).

2.3.3.4 Kebijakan Terapi ARV

Kebijakan terapi ARV merupakan pedoman yang digunakan untuk

menentukan kapan waktu memulai pengobatan dan cara memilih obat yang tepat.

Kebijakan terapi ARV terus mengalami perubahan secara periodik (Depkes, 2007;

Kemenkes RI, 2011a). Acuan yang digunakan untuk memulai terapi ARV adalah

jumlah CD4. Jika awal pengobatan tidak dianggap penting, maka monitoring

keberlanjutan dan perawatan serta retensi menjadi lebih sulit. Jika dilihat dari

efektivitas biaya dan jumlah CD4 saat memulai pengobatan di rangkaian sumber daya

terbatas seperti studi di Sub-Saharan menunjukkan bahwa memulai ART pada tiga

ambang jumlah CD4 (<200 sel/mm3, 200-350 sel/mm

3 dan >350 sel/mm

3), sebagian

besar efektif jika dimulai ketika jumlah CD4 <200 sel/mm3 dengan biaya tambahan

hidup yang lebih kecil yaitu US$54. Menunda pengobatan sampai <200 sel/mm3 akan

mengurangi biaya keseluruhan pengobatan, tetapi ini harus disesuaikan dengan

manfaat klinis terkait dengan terapi awal (Badri et al., 2006). Kondisi lain bahwa

inisiasi ARV pada CD4 ≥ 350 sel/mm3 memberikan keuntungan jangka panjang pada

kelangsungan hidup dan sangat efektif biaya (Walensky et al., 2010). Namun studi

terkait harapan hidup telah menemukan bahwa justru risiko kematian lebih besar dan

Page 37: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

37

harapan hidup rendah di antara orang-orang yang memulai ART pada akhir

perkembangan penyakit dengan CD4 ≤ 200 sel /mm3 (UNAIDS, 2013a).

Situasi dengan cakupan ART rendah, penerapan pedoman ART yang baru

perlu dirancang agar memulai ART lebih cepat untuk infeksi HIV (karena berbagai

alasan) sehingga mengurangi kesempatan untuk pengobatan pada odha dengan

jumlah CD4 yang sangat rendah atau penyakit lebih lanjut, terutama dalam sumber

daya yang terbatas. Kapan waktu sebaiknya mulai ART dan informasi penting bahwa

pengobatan infeksi HIV tidak mendesak, seringkali menimbulkan kebingungan antara

pasien dan penyedia layanan sehingga dapat membuat cascade buruk pada

pengobatan. Kepatuhan yang buruk terhadap ART dimulai pada jumlah CD4 > 250

sel/mm3, dengan alasan gejala klinis yang belum dirasakan (karena banyak odha

yang tidak bergejala di awal pengobatan) dan kurangnya dukungan sosial

berkontribusi ketidakpatuhan antara orang tersebut (Cohen et al., 2013). Akibatnya,

tampak bahwa pasien yang tidak mematuhi ART berada pada risiko yang lebih tinggi

mengalami LTFU. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa pasien yang sehat pada

awal pengobatan mengalami LTFU lebih sering daripada pasien yang sakit dimana

durasi rata-rata retensi 10 bulan untuk pasien dengan CD4 ≥ 350 cell/mm3 di awal

terapi sedangkan pada pasien dengan jumlah CD4 <200 sel / mm3 yaitu 24 bulan

(Ndiaye et al., 2009).

2.3.3.5 Jarak Tempat Tinggal dengan Layanan

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jarak menjadi prediktor kejadian

LTFU yaitu jarak (> 5 km vs <1 km: aHR=2,6 95% CI 1,9-3,7 dengan p <0,01)

Page 38: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

38

(Hassan et al., 2012) dan jarak ke klinik lebih dari 5 km (aHR = 1,25, 95% CI 1,00-

1,55) (Bekolo et al., 2013). Waktu tempuh lebih dari ≥ 1 jam ke tempat layanan ARV

juga berhubungan dengan LTFU (HR 1,11 (95% CI 1,04-1,19) (Ochieng-Ooko et al.,

2010). Hal ini kemungkinan bahwa orang yang hidup jauh dari fasilitas kesehatan

kurang memiliki akses terhadap perawatan kesehatan. Pasien lebih dekat dengan

berjalan kaki dari fasilitas kesehatan memiliki resiko LTFU yang lebih kecil (Bekolo

et al., 2013).

2.4 Kepatuhan Terapi ARV

WHO mendefinisikan kepatuhan pengobatan sebagai sejauh mana perilaku

seseorang mengambil obat, mengikuti diet dan atau melaksanakan perubahan gaya

hidup sesuai dengan yang telah disepakati rekomendasi dari penyedia layanan

kesehatan atas dasar kesadaran sendiri. Monitoring dan evaluasi kepatuhan pada

setiap kali kunjungan perlu dilakukan karena kegagalan terapi sering diakibatkan

ketidakpatuhan konsumsi ARV. Beberapa faktor yang berhubungan dengan sistem

penyediaan layanan kesehatan, obat dan orang yang mengambil obat ARV dapat

mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi ARV (WHO, 2013; Kemenkes RI, 2011a).

Faktor yang diprediksi berkaitan dengan kepatuhan diantaranya faktor

individu mencakup lupa dosis, berada jauh dari rumah, perubahan dalam rutinitas

sehari-hari, depresi atau penyakit lainnya, kurangnya kepentingan atau keinginan

untuk mengambil obat-obatan, dan bahan atau penggunaan alkohol. Obat atau

rejimen terkait efek samping, kompleksitas rejimen dosis, beban pil, dan pembatasan

diet. Faktor sistem kesehatan termasuk membutuhkan orang dengan HIV untuk

Page 39: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

39

mengunjungi pelayanan kesehatan, perjalanan jarak jauh untuk mencapai pelayanan

kesehatan, menanggung biaya langsung dan tidak langsung dari perawatan,

kurangnya informasi yang jelas atau instruksi pengobatan, pengetahuan yang terbatas

pada perjalanan infeksi dan pengobatan HIV merupakan prediktor terhadap

ketidakpatuhan (WHO, 2013). Penelitian cross-sectional pada 366 odha di Spanyol

bahwa faktor sosiodemografi dan psikologis mempengaruhi tingkat kepatuhan

terhadap ART. Secara keseluruhan, IDU dan individu yang lebih muda, depresi dan

kurangnya dukungan sosial cenderung memiliki kepatuhanyang kurang (Gordillo et

al., 1999).

Intervensi tingkat program untuk meningkatkan kepatuhan terhadap ART

meliputi menghindari memaksakan pembayaran pada perawatan, menggunakan

kombinasi dosis rejimen yang telah ditetap untuk ART, dan memperkuat sistem

manajemen persediaan obat untuk mendukung pengadaan dan memberikan obat ARV

dan mencegah kehabisan stok persediaan obat. Upaya untuk mendukung dan

memaksimalkan kepatuhan harus dimulai sebelum terapi ART. Mengembangkan

rencana kepatuhan dan pendidikan sebagai langkah pertama yang penting. Pendidikan

pasien diawal harus mencakup informasi dasar tentang HIV, obat ARV, efek

samping, mempersiapkan untuk pengobatan dan kepatuhan terhadap ART. Pesan

teks ponsel dapat dianggap sebagai alat pengingat (tools reminder) untuk

mempromosikan kepatuhan terhadap ART sebagai bagian dari paket intervensi

kepatuhan (WHO, 2013).

Page 40: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

40

Studi tentang kepatuhan di Sub Sahara-African tahun 2012 menunjukkan

bahwa klinik yang memiliki layanan dukungan kepatuhan, layanan konseling, dan

alat pemantau kepatuhan memiliki tingkat LTFU lebih rendah (Lamb et al., 2012).

Tingkat dukungan sosial secara independen terkait dengan kepatuhan dengan alat

ukur ”The Perceived Sosial Stigma” diperoleh beberapa dukungan sosial (p = 0,018)

dan dukungan sosial yang baik (score >71) (p = 0,039) meningkatkan kepatuhan

dibandingkan dengan dukungan sosial yang buruk (score < 60). Alasan untuk tidak

minum obat ART diantaranya yaitu lupa minum obat (67%), sibuk dengan sesuatu

yang lain (63%) dan tertidur di waktu pengobatan (60%) (Weaver et al., 2014).

Page 41: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

41

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Retensi odha dalam terapi ARV masih menjadi tantangan terbesar dalam

program HIV secara global maupun nasional sehingga berdampak pada kegagalan

terapi dan resistensi terhadap ARV. Menurunnya tingkat retensi ditunjukkan dengan

meningkatnya LTFU pada odha yang menerima terapi ARV pada tahun pertama

pengobatan. Resiko LTFU meningkat sejalan dengan lamanya terapi ARV, dan

berbagai determinan yang kemungkinan berhubungan dengan LTFU yang berkaitan

dengan kejenuhan dalam mengkonsumsi obat ARV mengingat terapi ini bersifat

seumur hidup.

Karakteristik sosiodemografi yaitu usia, jenis kelamin, status bekerja,

pendidikan, status pernikahan, pengawas minum obat, risiko penularan HIV dan

karakteristik klinis meliputi berat badan, jumlah CD4, kadar haemoglobin, infeksi

oportunistik, stadium WHO, dan status fungsional. Karakteristik layanan seperti jarak

tempat tinggal ke fasilitas layanan ARV, sarana dan prasarana yang tersedia di

layanan ARV, entry point dan jenis tempat pelayanan untuk memperoleh terapi ARV.

Karakteristik tersebut merupakan determinan yang memiliki hubungan dengan

kejadian LTFU pada odha yang menerima terapi ARV. Karakteristik sosiodemografi

berhubungan dengan LTFU karena terkait dukungan sosial dan psikologis odha

selama pengobatan. Odha yang tidak memiliki pasangan cenderung tidak memiliki

dukungan orang sehingga lebih mungkin terpengaruh secara negatif oleh stigma

41

Page 42: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

42

terkait HIV dan ini terbukti menjadi penghalang untuk kepatuhan dan retensi dalam

perawatan dan pengobatan. Seluruh aspek karakteristik tersebut merupakan faktor

penentu dari kejadian LTFU pada odha yang menerima ARV.

Umur muda seringkali juga dikaitkan dengan kondisi psikologis yang belum

stabil sehingga cenderung belum siap untuk menerima terapi, dan kondisi gejala yang

belum dirasakan memicu penundaan dan tidak datang kembali ke layanan. Selain

umur, jenis kelamin yaitu laki-laki juga berkontribusi terhadap kejadian LTFU

dimana mereka cenderung kurang peduli dengan kondisi kesehatan mereka sebelum

mengalami keluhan. Keadaan klinis pada odha berhubungan dengan kejadian LTFU,

pasien odha umumnya datang dalam kondisi stadium klinis yang tinggi sehingga akan

berpengaruh pada terapi ARV yang diberikan. Kadar CD4 merupakan clinical

diagnosis yang sering dijumpai berpengaruh terhadap LTFU. Demikian juga untuk

kadar haemoglobin yang normal akan menurunkan kejadian LTFU. Kondisi klinis

odha yang baik cenderung mengalami LTFU karena asumsi yang menganggap

dirinya sudah sembuh sehingga mengabaikan pengobatan ARV, sebaliknya kondisi

klinis yang buruk juga dapat memicu LTFU akibat kepercayaan mereka yang

menurun terhadap terapi dan berusaha untuk mencari alternatif pengobatan lain.

Namun tidak menutup kemungkinan odha dengan kondisi yang lebih buruk memiliki

kesadaran dan pengobatan yang lebih tinggi karena perasaan membutuhkan

pengobatan yang lebih intensif.

Page 43: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

43

Karakteristik Sosiodemografi

Karakteristik klinis

Karakteristik layanan

3.2 Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir yang telah disusun maka konsep penelitian dalam

penelitian ini yaitu:

a. Jumlah CD4

b. Kadar haemoglobin

c. Infeksi oportunistik

d. Stadium klinis WHO

e. Status fungsional

f. Berat badan

g. Status TB

h. Regimen ARV

i. Status rawat

Loss to follow up

Keterangan :

__________ Diteliti

- - - - - - - - - - Tidak diteliti

Gambar 3.1

Konsep Determinan Loss To Follow Up Pasien Odha yang Menerima Terapi ARV

a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Pendidikan

d. Status bekerja

e. Status menikah

f. Pengawas minum obat (PMO)

g. Risiko penularan HIV

Jarak tempat tinggal dengan layanan

penyedia ARV

a. Entry point

b. Jenis tempat layanan

c. Kebijakan terapi

Menerima terapi ARV

Kondisi klinis di akhir pengamatan

Page 44: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

44

3.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian

pada odha yang menerima terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung

tahun 2006-2014 sebagai berikut:

3.3.1 Ada hubungan antar umur dengan loss to follow up

3.3.2 Ada hubungan antara jenis kelamin dengan loss to follow up

3.3.3 Ada hubungan antara pendidikan dengan loss to follow up

3.3.4 Ada hubungan antara status bekerja dengan loss to follow up

3.3.5 Ada hubungan antara status menikah dengan loss to follow up

3.3.6 Ada hubungan antara pengawas minum obat (PMO) dengan loss to follow up

3.3.7 Ada hubungan antara risiko penularan HIV dengan loss to follow up

3.3.8 Ada hubungan antara berat badan dengan loss to follow up

3.3.9 Ada hubungan antara jumlah CD4 dengan loss to follow up

3.3.10 Ada hubungan antara kadar haemoglobin dengan loss to follow up

3.3.11 Ada hubungan antara infeksi oportunistik dengan loss to follow up

3.3.12 Ada hubungan antara stadium WHO dengan loss to follow up

3.3.13 Ada hubungan antara status fungsional dengan loss to follow up

3.3.14 Ada hubungan antara status TB dengan loss to follow up

3.3.15 Ada hubungan antara golongan NRTI dengan loss to follow up

3.3.16 Ada hubungan antara golongan NNRTI dengan loss to follow up

3.3.17 Ada hubungan antara jenis tempat layanan dengan loss to follow up

3.3.18 Ada hubungan antara kebijakan terapi dengan loss to follow up

Page 45: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

45

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal analitik dengan melakukan

analisis data sekunder secara retrospektif pada kohort pasien odha yang menerima

terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung periode tahun 2006-2014.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung pada

periode waktu Januari 2015-Maret 2015. Klinik VCT Sekar Jepun merupakan klinik

yang memberikan pelayanan terkait HIV/AIDS termasuk pemberian terapi ARV dan

pemeriksaan laboratorium yang berdiri sejak 22 Maret 2005. Sasaran layanan

diberikan kepada masyarakat umum, kelompok risiko dan menerima rujukan pasien

dari puskesmas, klinik, dan praktek swasta di wilayah Badung. Pemilihan RSUD

Badung sebagai tempat penelitian terkait dengan jumlah pasien HIV tertinggi ketiga

di Provinsi Bali dengan mayoritas pasien adalah masyarakat umum dan kelompok

LSL pada satelitnya yaitu Klinik Bali Medika (BMC). Pelaporan pasien ARV di

Klinik VCT Sekar Jepun mencakup dua satelit yaitu klinik Bali Medika dan RSUD

Negara terkait pelaporan dan distribusi obat ARV namun sejak April 2014 RSUD

Negara bukan menjadi satelit dari RSUD Badung. Pasien yang tercatat dari RSUD

Negara tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena data follow up yang tidak

memenuhi end point dari penelitian ini.

45

Page 46: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

46

RSUD Badung juga didukung oleh pencatatan rekam medis yang lengkap dan

tersimpan rapi dalam lemari khusus di ruangan VCT sehingga lebih mudah untuk

diesktrak. Tenaga kesehatan yang mendukung layanan VCT Sekar Jepun meliputi

satu orang dokter sebagai ketua, satu orang dokter konsulen, empat orang konselor,

satu orang petugas laboratorium, satu orang petugas administrasi, dua orang manajer

case CST, dan satu orang pelaksana ART. Kualifikasi petugas perawatan HIV yaitu

petugas rutin di perawatan HIV, petugas untuk pelayanan ART, dan staf yang dilatih

untuk pencatatan dan pelaporan pasien ART.

Klinik Bali Medika berlokasi di Kuta, Badung merupakan klinik swasta

dibawah Yayasan Bali Peduli (YBP) yang berdiri sejak tahun 2011 dengan fokus

layanannya pada kelompok LSL. Klinik ini didukung oleh satu orang dokter (direktur

klinik), satu orang konselor, dua orang perawat sekaligus konselor dan dua orang

teknisi laboratorium. Layanan yang diberikan meliputi test HIV, test CD4, test IMS,

pemberian terapi ARV, terapi obat untuk IMS, penjangkauan, bantuan pendampingan

untuk pasien HIV positif yang menerima terapi, konseling dan kelompok dukungan

sebaya. Pelayanan di Klinik Bali Medika didukung juga dengan pemeriksaan CD4

yang praktis dan cepat melalui mesin CD4, bantuan dari para donatur. Prosedur

layanan yang berlangsung di klinik yaitu jika pasien terdeteksi HIV positif kemudian

akan dirujuk pada seorang pendamping atau buddy sehingga pasien siap untuk

menerima terapi. Pendamping ini memberikan dukungan kepada klien yang sifatnya

non medis terutama efek samping oleh karena obat. Layanan dilakukan sejak pukul

16.00-20.00 wita sehingga memungkinkan bagi pasien untuk berkunjung ke klinik

Page 47: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

47

sepulang kerja atau malam hari tanpa diketahui orang lain mengingat adanya stigma

yang masih tinggi di masyarakat. Standar layanan yang diterapkan di klinik ini sesuai

dengan rekomendasi WHO terkait layanan HIV dalam konteks epidemi terkonsentrasi

sehingga pada tahun 2012 klinik ini mendapatkan pengakuan dari TREAT ASIA,

WHO dan Depkes RI atas pelayanan swasta dengan pendekatan masyarakat dan

kolaborasi dengan dinas kesehatan provinsi setempat.

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi merupakan sejumlah subyek yang mempunyai karakteristik

tertentu. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh odha yang menerima

terapi ARV di Provinsi Bali. Populasi studi atau terjangkau yaitu seluruh odha yang

menerima terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 2006-

2014. Populasi penelitian dalam hal ini adalah seluruh pasien odha yang menerima

ART di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung periode waktu 2006-Juli 2014.

Jumlah populasi dalam penelitian hingga 31 Juli 2014 adalah 671 pasien.

4.3.1.1 Kriteria inklusi

Populasi ini dibatasi dalam kriteria inklusi yaitu pasien HIV/AIDS yang

menerima terapi ARV dengan melakukan kunjungan minimal dua kali dilihat dari

pertama kali minum ARV.

4.3.1.2 Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah ibu hamil, umur

<15 tahun, dan pasien satelit RSUD Negara. Pertimbangan ini dilakukan karena

Page 48: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

48

jumlah pasien usia <15 tahun dan ibu hamil yang terdaftar dalam register ARV dan

rekam medis di layanan VCT RSUD Badung sedikit sehingga mempengaruhi sebaran

data dalam analisis. Pasien RSUD Negara juga tidak diikutkan sebagai sampel

karena end point pengamatan yang tidak terpenuhi sampai Agustus 2014.

4.3.2 Teknik Sampling

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa kohort dari pasien odha

yang menerima ARV dalam periode tahun 2006-2014 yang tercatat dalam rekam

medis. Seluruh sampel yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan sebagai sampel

penelitian. Pemilihan ini dilakukan untuk tidak mengurangi kekuatan penelitian

akibat adanya data missing yang bisa ditemukan di rekam medis pasien namun data

missing tersebut tidak pada variabel yang sama pada setiap pasien. Pasien yang telah

memulai terapi ARV dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan sebagai

sampel.

Page 49: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

49

Prosedur seleksi sampel penelitian digambarkan pada gambar 4.1 dibawah ini

4.3.3 Jumlah dan Besar Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi studi. Besar sampel minimal pada penelitian ini menggunakan perhitungan

sampel untuk dua kelompok insiden rate. Perhitungan besar sampel yang digunakan

adalah sebagai berikut: (Lwanga, S. K.; Lemeshow, 1991)

2

21

2

2

2

1

)(

2)1((

k

kZkZn

Pasien HIV/AIDS RSUD

Badung (2006-Juli 2014)

871 orang

Pasien Terapi ARV

671 (77%)

Pasien Pra-ART

200 (23%)

Kriteria inklusi

575 (85,7%)

Pasien Satelit 234 (40,7%)

- Masih terapi ARV 182 (31,7%)

- Meninggal 5 (0,9%)

- LTFU 29 (5%)

- Rujuk keluar 18 (3,1%)

Pasien RSU Badung 341(59,3%)

- Masih terapi ARV 202 (35,1%)

- Meninggal 71 (12,3%)

- LTFU 59 (10,3%)

- Rujuk keluar 9 (1,6%)

Kriteria eksklusi :

- Kunjungan satu kali 74 (11,1%)

- Hamil 11 (1,6%)

- Umur < 15 tahun 2 (0,3%)

- Satelit RSUD Negara 9 (1,3%)

Total LTFU 15.3%

Gambar 4.1 Prosedur Seleksi Sampel Penelitian

Page 50: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

50

Berdasarkan perhitungan rumus tersebut dengan menggunakan α=5%,

β=90%, dan =0,18 yang didapat berdasarkan proporsi LTFU pasien HIV/AIDS

yang menjalani terapi di Indonesia maka jumlah sampel minimal yang diperoleh dari

HR hasil penelitian terdahulu yaitu :

Tabel 4.1

Perhitungan Besar Sampel Penelitian

Nama peneliti dan variabel Outcome HR λ 1 λ 2 n1=n2 2n

Berheto et al., 2014

Umur LTFU 2,1 0,38 0,18 44 88

CD4 < 200 sel/mm3 LTFU 1,7 0,31 0,18 77 154

Ndiaye et al., 2009

CD4 < 200 sel/mm3 LTFU 2,06 0,37 0,18 47 94

IDU (injecting drug use) LTFU 5,26 0,95 0,18 14 28

Lebouche et al., 2006

Umur LTFU 1,8 0,32 0,18 70 140

IDU (injecting drug use) LTFU 5,3 0,95 0,18 14 28

Pertimbangan pemilihan rumus besar sampel diatas adalah berdasarkan

kriteria pengamatan dan rekrutmen subyek penelitian pada penelitian kesintasan.

Penelitian ini akan dibatasi pada waktu tertentu yaitu 2006-2014, dan rekrutmen

subyek penelitian dilakukan saat awal menerima terapi ARV sebagai baseline (awal

pengamatan). Berdasarkan perhitungan besar sampel dengan beberapa variabel yang

Keterangan :

Zα = derivate baku alfa

Zβ= derivate baku beta

k = rasio kelompok tidak terpapar dengan kelompok terpapar di populasi

λ 2 = proporsi LTFU pada kelompok yang sudah diketahui (kelompok kontrol)

λ 1 = proporsi LTFU kelompok yang akan diuji

Page 51: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

51

paling banyak ditemukan memiliki hubungan dengan LTFU menunjukkan sampel

minimal yaitu 70 orang dengan asumsi pada kelompok LTFU (kelompok terpapar) 70

orang dan kelompok yang tidak LTFU (kelompok kontrol) 70 orang. Namun sampel

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh sampel yang memenuhi

kriteria inklusi yaitu sebanyak 575 pasien dengan 88 pasien yang termasuk dalam

LTFU sehingga jumlah sampel minimal sudah terpenuhi. Seluruh sampel digunakan

dengan pertimbangan penggunaan data sekunder untuk menghindari

ketidaklengkapan data yang tersedia sehingga perlu dipertimbangkan penggunaan

sampel yang lebih besar.

4.4 Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini dibagi menjadi variabel independen dan dependen.

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah loss to follow up pada pasien HIV

yang menjalani terapi ARV dengan event date-nya adalah tanggal kunjungan terakhir

pasien yang dinyatakan sebagai LTFU saat menjalani terapi ARV. Variabel

independent yaitu determinan yang terdiri dari karakteristik sosiodemografi, klinis,

dan layanan. Karakteristik sosiodemografi terdiri dari umur, jenis kelamin,

pendidikan, status bekerja, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko

penularan HIV. Karakteristik klinis meliputi berat badan, jumlah CD4, kadar

haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status fungsional, status

fungsional, jenis ARV NRTI, dan jenis ARV NNRTI. Karakteristik layanan meliputi

jenis tempat layanan dan kebijakan terapi.

Page 52: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

52

4.4.1 Definisi Operasional

Tabel 4.2

Definisi Operasional Penelitian dan Cara Pengukuran

Variabel Definisi Operasional Instrumen Skala Pengukuran Rencana Analisis

1 2 3 4 5

Variabel Independen

Umur Umur (dalam tahun) yang

tercatat di dalam rekam

medis dan register ARV

Formulir

pengumpulan

data

Interval (tahun) Umur dikelompokkan

sesuai sebaran data

Jenis kelamin Jenis kelamin yang tercatat

dalam rekam medis

Formulir

pengumpulan

data

Nominal

1.Perempuan

2. Laki-laki

Kategorikal:

0 = perempuan

1= laki-laki

9=missing

(Ochieng-Ooko et al.,

2010)

Pendidikan Jenis pendidikan yang

tercantum dalam rekam

medis

Formulir

pengumpulan

data

Ordinal

1. Tidak sekolah/

tidak lulus SD

2. SD

3. SMP

4. SMA

5. Perguruan Tinggi

Kategorikal:

0= pendidikan tinggi

(SMP, SMA, dan

PT)

1= pendidikan rendah

(SD dan Tidak

Sekolah)

9=missing

(Karcher et al., 2007;

Wubshet et al., 2013)

Status bekerja Status bekerja yang tercatat

dalam rekam medis saat

mulai terapi ARV

Formulir

pengumpulan

data

Nominal

1. Tidak bekerja

2. Bekerja

Kategorikal:

0=tidak bekerja

1= bekerja

9= missing

(Kate et al., 2014)

Status

menikah

Status pernikahan terakhir

yang tercatat dalam rekam

medis

Formulir

pengumpulan

data

Nominal

1. Belum menikah

2. Menikah

3. Janda/ Duda

Kategorikal:

0= menikah

1= belum

menikah/bercerai

9= missing

(Dalal et al., 2008)

Pengawas

minum obat

(PMO)

Orang yang tercatat sebagai

pengawas minum obat yang

tercatat dalam rekam medis

Formulir

pengumpulan

data

Nominal

1. Tidak ada

2. Ada

Kategorikal:

0= ada

1= tidak ada

9=missing

(Lamb et al., 2012)

Page 53: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

53

1 2 3 4 5

Risiko

penularan HIV

Risiko pertama kali saat

terpapar HIV/AIDS yang

tercatat dalam rekam medis

Formulir

pengumpulan

data

Nominal

1. Homoseksual

2. Heteroseksual

3. Biseksual

4. Perinatal

5. Transfusi darah

6. Napza suntik

7. Pasangan odha

Kategorikal

0=homoseksual

1=heteroseksual (suami

istri)

2=IDU

9= missing

(Nishijima et al., 2013;

Zhou et al., 2012)

Berat badan Berat badan saat pertama

kali menerima ARV yang

tercatat di dalam rekam

medis

Formulir

pengumpulan

data

Interval (kilogram) Berat badan

dikelompokkan sesuai

sebaran data

Infeksi

oportunistik

Infeksi oportunistik yang di

alami saat pertama kali

menggunakan ARV tercatat

dalam rekam medis

Formulir

pengumpulan

data

Nominal

1. Kandidiasis

2. Diare

3. Meningitis

Cryptoco-cal

4. Pneumonia

Pneumo-cyctis

5. Cytomega-lovirus

6. Penicilli-osis

7. Herpes zoster

8. Herpes simpleks

9. Toxoplas-mosis

10. Hepatitis

11. Lainnya

Kategorikal:

0 = tidak ada

1 = ada

9 = missing

(Saka et al., 2013; Tran et

al., 2013)

Stadium klinis

WHO

Stadium klinis sesuai standar

WHO saat pertama kali

menggunakan ARV yang

tercantum dalam rekam

medis

Formulir

pengumpulan

data

Ordinal

1. Stadium I

(Asimptomatik)

2. Stadium II

(Gejala ringan)

3. Stadium III

(Gejala sedang)

4. Stadium IV

(AIDS)

Stadium klinis sesuai

klasifikasi WHO

0= stadium 1&2

1= stadium 3&4

9=missing

(WHO, 2007)

Status

fungsional

Kondisi fungsional pasien

saat pertama kali

menggunakan ARV yang

tercantum dalam rekam

medis

Formulir

pengumpulan

data

Ordinal

1. Kerja

2. Ambulatori

3. Baring

Status fungsional

0=baring

1=ambulatory

2= kerja,

9=missing

(Odafe et al., 2012)

Jumlah CD4 Jumlah CD4 pertama kali

memulai ARV yang tercatat

dalam rekam medis

Formulir

pengumpulan

data

Interval (cell/mm3) Jumlah CD4

dikelompokkan sesuai

sebaran data

Page 54: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

54

1 2 3 4 5

Kadar

haemoglobin

Kadar haemoglobin pertama

kali menggunakan ARV

yang tercatat dalam rekam

medis

Formulir

pengumpulan

data

Interval (gr/dl)

Kadar haemoglobin

dikelompokkan sesuai

sebaran data

Status TB Diagnosa terkait penyakit

tuberculosis pertama kali

menggunakan ARV yang

tercatat dalam rekam medis

Formulir

pengumpulan

data

Ordinal Kategorikal:

0=TB positif

1=suspect&tidak TB

(62)

Golongan

NRTI

Jenis obat ARV NRTI

diperoleh saat pertama

pengobatan yang tercatat

dalam rekam medis

Formulir

pengumpulan

data

Nominal Kategorikal:

0=tenofovir

1=stavudin

2=zidovudine

Golongan

NNRTI

Jenis obat ARV NNRTI

diperoleh saat pertama

pengobatan yang tercatat

dalam rekam medis

Formulir

pengumpulan

data

Nominal Kategorikal:

0=efavirens

1=nevirapine

Jenis tempat

layanan

Tempat pasien menerima

terapi ARV yang dilihat

berdasarkan rumah sakit

utama (VCT Sekar Jepun)

dan satelit (Klinik Bali

Medika/BMC)

Formulir

pengumpulan

data

Nominal

1. Rumah sakit

utama

2. Satelit

Kategorikal:

0=BMC

1= RSUD Badung

9=missing

(Saka et al., 2013)

Kebijakan

terapi

Pedoman terapi ARV yang

digunakan sebagai acuan

untuk menentukan waktu

memulai terapi dengan

acuan kebijakan tahun 2007

dan kebijakan tahun 2011

Formulir

pengumpulan

data

Nominal:

1. Kebijakan tahun

2007 (Pedoman

CD4 ≤ 200 saat

mulai ARV)

2. Kebijakan tahun

2011(Pedoman

CD4 ≤ 350 saat

mulai ARV)

Kategorikal:

0=kebijakan sebelum

tahun 2011

1= kebijakan setelah

tahun 2011

9=missing

(Kemenkes RI, 2011b)

Kondisi klinis

akhir

Kondisi klinis yang meliputi

CD4, Hb, berat badan dan

stadium klinis WHO saat

terakhir kunjungan yang

tercatat di rekam medis

Formulir

pengumpulan

data

Interval Kondisi klinis akhir akan

dideskrispsikan dan

dikelompokkan sesuai

sebaran data yang

diperoleh

Status rawat Kondisi perawatan yang

selama menggunakan ARV

yang tercatat dalam rekam

medis

Formulir

pengumpulan

data

Nominal

1. Rawat jalan

2. Rawat inap

Analisa secara deskriptif

dikelompokkan menjadi

0= tidak rawat inap

1= rawat inap awal terapi

2=rawat inap selama

terapi

9= Missing

Page 55: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

55

1 2 3 4 5

Kepatuhan Kriteria kepatuhan yang

dipantau setiap bulan

berdasarkan jumlah obat

yang lupa diminum dan

tercatat dalam rekam medis

Formulir

pengumpulan

data

Nominal

1. >95% (≤ 3 dosis)

2. 80-95% (3-12

dosis)

3. <80% (≥12 dosis)

Analisa secara deskriptif

dikelompokkan menjadi

0=>95%

1=80-95%

2=<80%

9=missing (Kemenkes

RI, 2011b)

Variabel Dependen Loss to follow

up

Odha tidak melanjutkan

terapi ARV di Layanan VCT

Sekar Jepun RSUD Badung

lebih dari 3 bulan, atau putus

obat atau tidak diketahui

status penggunaan ARVnya

(Kemenkes RI, 2011b)

- Start point nya yaitu tanggal

saat pertama kali memulai

terapi ARV dan end pointnya

adalah tanggal odha kunjungan

terakhir (loss to follow up,

meninggal dan rujuk keluar)

-Sensor adalah odha yang

telah meninggal dan rujuk

keluar

Formulir

pengumpulan

data

Nominal

berdasarkan tanggal

LTFU pasien

Tanggal loss to follow up

pasien

0=tidak LTFU

1=LTFU

*Missing=data yang tercatat tidak lengkap

4.5 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien odha

yang menerima ART dan register ARV yang terdapat di layanan VCT Sekar Jepun

RSUD Badung. Instrumen yang digunakan yaitu formulir pengumpulan data yang

telah dirancang dan diuji sebelumnya untuk mengumpulkan data rekam medik.

Rekam medis yang diekstrak, digunakan sebagai sampel penelitian adalah pasien

yang menerima ART periode tahun 2006 – Juli 2014.

Page 56: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

56

4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder, yaitu data dari kohort odha

yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun 2006-

2014. Adapun data yang dikumpulkan adalah karakteristik sosiodemografi (umur,

jenis kelamin, pendidikan, statsu bekerja, status menikah, pengawas minum obat

(PMO), dan risiko penularan) dan karakteristik klinis (berat badan, jumlah CD4,

kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status fungsional,status TB,

golongan NRTI, dan golongan NNRTI), karaktersitik layanan (kebijakan terapi dan

tempat layanan), kondisi klinis di akhir pengamatan, kepatuhan, status rawat (pernah

atau tidak rawat inap) dan data loss to follow up, termasuk pula tanggal pertama kali

memulai terapi ARV dan tanggal kunjungan terakhir.

4.6.2 Cara Pengumpulan Data

Langkah awal yang dilakukan sebelum ekstraksi data adalah permohonan ijin

kepada pihak RSUD Badung. Pertama yaitu membuat permohonan ijin untuk

pengambilan data dan melakukan penelitian di RSUD Badung. Kemudian mengurus

ijin penelitian di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik dan mengurus Ethical

Clearance di komisi etik Litbang FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Data

dikumpulkan dengan ekstraksi rekam medis masing-masing odha pengguna ARV

periode 2006 sampai dengan Juli 2014 di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung

yang memenuhi kriteria inklusi. Selanjutnya data pada formulir pengumpulan data

Page 57: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

57

yang masih dalam bentuk hard copy dibuat ke dalam bentuk soft copy (dalam bentuk

microsoft excel) untuk memudahkan analisis. Jaminan untuk menjaga kerahasiaan

data odha sebagai sampel maka dalam proses ekstraksi data dilaksanakan oleh

peneliti dengan mencantumkan nomor identitas atau nomor registrasi nasional tanpa

mencantumkan nama odha serta disimpan dalam file khusus yang bersifat rahasia.

4.6.3 Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Editing Data

Editing dilakukan untuk memastikan data yang diambil telah sesuai dengan

variabel dan tujuan penelitian. Formulir pengumpulan data telah terisi semua secara

konsisten dan relevan dan apabila ada data yang kurang lengkap dapat dilakukan

konfirmasi ke lapangan. Editing juga dilakukan pada data softcopy untuk

menghindari terjadinya kesalahan saat analisis data.

2. Coding Data

Pemberian kode dilakukan pada setiap data yang terkumpul guna keperluan

analisis statistik, untuk menghindari kemungkinan kesalahan. Pemberian kode

diberikan pada setiap indikator variabel.

Page 58: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

58

3. Entry data

Kegiatan memasukan data dan kode jawaban yang sudah terisi ke dalam

program computer. Data dari formulir dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam bentuk

microsoft excel yang selanjutnya dibuatkan data frame untuk format STATA SE 12.1

4. Cleaning data

Data yang telah masuk diperiksa kembali, digunakan untuk membersihkan

data dari kesalahan-kesalahan

4.7 Teknik Analisis Data

Analisis dalam penelitian ini menggunakan survival analysis yang bertujuan

untuk melihat lama waktu terjadinya LTFU pada setiap subyek yang tidak sama

menggunakan software STATA SE 12 . Makadari itu penelitian ini didapatkan nilai

insiden rate LTFU per 100 person years dan hazard ratio. Selain itu diperoleh

median time terjadinya LTFU dari awal tahun pasien menggunakan ARV sampai

akhir tahun pengamatan. Penelitian ini menggunakan analisa univariat, bivariat dan

mulitivariat.

4.7.1 Analisis univariat

Analisa univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap

variabel yang diteliti yaitu umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status

menikah, pengawas minum obat, risiko penularan HIV, infeksi oportunistik, jumlah

CD4, kadar haemoglobin, stadium klinis WHO, berat badan, status fungsional, status

TB, golongan NRTI, dan golongan NNRTI, jenis tempat layanan ARV, dan

Page 59: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

59

kebijakan pedoman ARV. Ringkasan statistik disajikan dalam bentuk distribusi

frekuensi yaitu proporsi atau mean untuk variabel dengan skala nominal dan ordinal,

mean (standar deviasi) atau median (IQR) untuk variabel kontinyu dengan skala

interval. Uji normalitas diperlukan pada variabel kontinyu untuk menentukan

penyajian distribusi frekuensi, jika ditribusi normal disajikan dalam bentuk mean

dan standar deviasi sedangkan distribusi tidak normal disajikan dalam bentuk median

dan IQR. Median time LTFU ditampilkan dalam nilai median dan inter IQR yang

menampilkan persentil ke 25% sampai 75% waktu LTFU. Kondisi klinis saat akhir

pengamatan, status rawat, entry point, dan kepatuhan juga dianalisa secara deskriptif

yang menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase.

Analisis univariat juga dilakukan dengan analisis survival untuk mengetahui

median time dan insiden rate terjadinya LTFU pada pasien HIV/AIDS dengan terapi

ARV. Namun nilai median hanya dapat dihitung apabila sekurangnya 50% pasien

yang menerima terapi ARV mengalami LTFU. Apabila kondisi ini tidak terpenuhi

maka nilai median ini dapat digantikan dengan quartile 1 survival yang artinya 25%

subyek mengalami event (loss to follow up). Hasil analisis juga digambarkan dalam

grafik Kaplan-Meier untuk menggambarkan lama waktu terjadinya LTFU (time to

event). Data missing menjadi sensor dalam analisis survival ini.

4.7.2 Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat signifikan hubungan antara variabel

independen yaitu umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah,

Page 60: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

60

pengawas minum obat, risiko penularan, infeksi oportunistik, jumlah CD4, kadar

haemoglobin, berat badan, stadium klinis WHO, status fungsional, status TB,

golongan NRTI dan golongan NNRTI, jenis tempat layanan ARV, dan kebijakan

terapi dengan variabel dependent yaitu LTFU. Hasilnya disajikan dalam bentuk

tabulasi silang. Survival analysis digunakan untuk menganalisis waktu terjadinya

LTFU. Variabel independen yang dibandingkan sesuai dengan pengkategorian untuk

melihat perbedaan antara dua kelompok. Dalam uji ini dihasilkan nilai p dan survival

rate yang digunakan untuk melihat kemaknaan perbedaan antar kelompok. Nilai

crude Hazard Ratio (HR), p spesifik, dan p dari crude HR dari setiap variabel

independen terhadap LTFU dilakukan dengan Cox Proportional Hazard Model

dengan tingkat kepercayaan 95%.

Nilai p untuk crude HR diperoleh dengan melakukan tes parm bila variabel

independen berskala nominal dengan tiga atau lebih kategori dan menggunakan test

for trend bila data berskala ordinal atau interval yang dikategorikan menjadi dua atau

lebih kategori. Nilai p untuk crude HR ini digunakan untuk melihat kemaknaan

variabel independen terhadap kejadian LTFU. Pada saat analisis untuk memperoleh p

crude untuk HR, data pasien yang missing dikeluarkan dari model analisis sehingga

data missing tidak mempengaruhi hasil analisis. Analisis memberikan makna

signifikan bila p untuk crude HR < 0.05. Nilai HR digunakan untuk melihat besarnya

pengaruh variabel independen terhadap LTFU. Bila HR >1 menunjukkan bahwa

variabel yang diteliti meningkatkan risiko LTFU, bila HR <1 menunjukkan bahwa

Page 61: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

61

variabel yang diteliti menurunkan risiko LTFU, bila HR=1 menunjukkan bahwa

variabel yang diteliti tidak berhubungan terhadap LTFU.

4.7.3 Analisis multivariat

Analisis mulitivariat dilakukan untuk melihat hubungan yang paling kuat dan

paling berpengaruh terhadap LTFU dari beberapa variabel yang memiliki hubungan

di analisa bivariat. Analisis Cox Regression digunakan untuk mengetahui besarnya

hubungan antara LTFU dengan variabel independen yang mempengaruhi secara

bersama-sama. Variabel dependen dimasukkan bersama-sama dengan variabel

independent. Uji kolinearitas dilakukan pada semua variabel yang masuk ke model.

Syarat variabel independen yang dimasukkan ke dalam model adalah variabel pada

analisis bivariat memiliki nilai p < 0,25. Sebelum masuk ke model multivariat,

dilakukan uji kolinearitas pada masing-masing variabel independen yang memenuhi

syarat untuk masuk ke model multivariat. Metode seleksi yang digunakan adalah

metode backward dimana satu persatu variabel yang tidak signifikan dikeluarkan dari

model sampai diperoleh model akhir.

Pada analisis ini diperoleh pengaruh antara variabel dependen dengan variabel

independen dilihat dari nilai Adjusted Hazard Ratio (AHR), nilai p spesifik, tingkat

kepercayaan 95% dikatakan signifikan jika nilai p < 0,05. Variabel dengan lebih dari

dua kategori, nilai p dari adjusted HR dihitung dengan testparm untuk skala nominal

dan test trend untuk skala ordinal. Ho ditolak bila p < 0,05 dan nilai HR ≠ 1 dengan

95% CI dari HR, dimana 1 berada di luar CI. HR <1 berarti variabel tersebut dapat

Page 62: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

62

menurunkan risiko untuk LTFU, HR >1 menunjukkan bahwa variabel tersebut dapat

meningkatkan risiko LTFU, sedangkan HR=1 berarti variabel tersebut tidak

berhubungan dengan LTFU.

Model akhir pada uji ini diperoleh AHR yang digunakan untuk melihat

besarnya pengaruh variabel independen terhadap kejadian LTFU pasien HIV/AIDS

dengan terapi ARV setelah dilakukan pengontrolan pada variabel lainnya. Uji

propotional hazard dilakukan pada model multivariat yang terakhir yang bertujuan

untuk mengecek proportional model yang dihasilkan dimana model dikatakan

proportional bila memiliki nilai p > 0,05.

Page 63: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

63

BAB V

HASIL PENELITIAN

Jumlah pasien dengan terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun sejak tahun

2006 sampai Juli 2014 yaitu 671 orang. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria

inklusi sebanyak 575 orang (85,7%) yang mendapatkan terapi dan minimal dua kali

kunjungan, sedangkan tidak memenuhi kriteria terdiri dari 74 orang dengan satu kali

kunjungan, 11 orang hamil, 2 orang umur < 15 tahun, dan 9 orang dari satelit RSUD

negara. Sampel juga merupakan pasien dari Klinik Bali Medika sebanyak 234 orang

(40,7% dari 575 pasien ARV yang memenuhi kriteria inklusi). Odha dalam

pengamatan yang mendapatkan terapi ARV rata-rata meningkat setiap tahunnya

dengan jumlah terbanyak di tahun 2013 sebanyak 188 (32,7%). Jumlah pasien yang

mendapatkan terapi ARV dari tahun 2006 sampai Juli 2014 digambarkan pada grafik

5.1.

Gambar 5.1

Jumlah Pasien dalam Pengamatan per tahun

(Juli)

63

Page 64: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

64

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Karakteristik subyek penelitian diuraikan berdasarkan karakteristik

sosiodemografi, klinis, dan layanan. Karakteristik sosiodemografi dan layanan

merupakan data pada awal pengamatan sedangkan karakteristik klinis disajikan data

awal dan akhir pengamatan. Deskripsi terkait karakteristik sampel disajikan dalam

bentuk tabel yang membandingkan LTFU pada setiap karakteristik yaitu pada Tabel

5.1.1, Tabel 5.1.2 dan Tabel 5.1.3

Tabel 5.1.1 Karakteristik Sosiodemografi pada Pasien LTFU dan Tidak LTFU

Karakteristik Sosiodemografi LTFU (N=88)

n(%)

Tidak LTFU (N=487)

n(%)

Total

n(%)

1 3 2 4

Umur Median (IQR)* 31 (26-37) 30 (26-38) 31(26-38)

Jenis kelamin

Perempuan 28 (31,8) 82 (16,8) 110 (19,1)

Laki-Laki 60 (68,2) 405 (83,2) 465 (80,9)

Pendidikan

Pendidikan tinggi 72 (81,8) 418 (85,8) 490 (85,2)

Pendidikan rendah 16 (18,2) 69 (14,2) 85 (14,8)

Status bekerja

Tidak bekerja 26 (29,5) 129 (26,5) 155 (27)

Bekerja 62 (70,5) 358 (73,5) 420 (73)

Status pernikahan

Menikah 16 (18,2) 149 (30,6) 165 (28,7)

Belum menikah 54 (61,4) 288 (59,1) 342 (59,5)

Missing 18 (20,4) 50 (10,3) 68 (11,8)

Risiko penularan

Homoseksual 30 (34,1) 204 (41,9) 234 (40,7)

Heteroseksual (suami istri) 56 (63,6) 270 (55,4) 326(56,7)

IDU 2 (2,3) 13 (2,7) 15(2,6)

PMO

Ya 38 (43,2) 203 (41,7) 241 (42)

Tidak 50 (56,8) 284 (58,3) 334(58)

Domisili tempat tinggal

Badung 44 (50) 250 (51,3 ) 294(51.1)

Luar Badung 44 (50) 237(48,7) 281(48.9)

*test normality spahiro-wilk tidak berdistribusi normal sehingga digunakan median (IQR)

Page 65: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

65

Odha yang menerima terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun pada Tabel

5.1.1 menunjukkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak pada odha yang tidak

mengalami LTFU (83,2%) dibandingkan dengan odha yang mengalami LTFU

(68,2%). Odha yang mengalami LTFU memiliki median umur 31 tahun sedangkan

pada odha yang tidak mengalami LTFU adalah 30 tahun. Odha dengan status bekerja

lebih banyak pada kelompok tidak LTFU (73,5%) dibandingkan kelompok LTFU

(70,5%). Melihat dari keberadaan PMO bahwa odha yang tidak memiliki PMO lebih

banyak pada odha tidak mengalami LTFU (58,3%) dibandingkan odha yang

mengalami LTFU (56,8%). Odha dengan status belum menikah lebih banyak pada

odha yang mengalami LTFU (61,4%) sedangkan odha yang tidak mengalami LTFU

sebanyak 59,1%. Risiko penularan secara heteroseksual (suami istri) lebih banyak

pada kelompok LTFU (63,6%) dibandingkan odha yang tidak mengalami LTFU

(55,4%). Melihat dari domisili tempat tinggal bahwa odha yang tinggal diluar

wilayah Badung lebih banyak pada odha yang mengalami LTFU (50%) dibandingkan

dengan odha yang tidak mengalami LTFU (48,7%).

Page 66: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

66

Tabel 5.1.2

Karakteristik Odha berdasarkan Layanan pada Pasien LTFU dan Tidak LTFU

Karakteristik Sosial LTFU

(N=88)

n(%)

Tidak LTFU

(N=487)

n(%)

Total

n(%)

1 3 2 4

Jenis tempat layanan

BMC 29 (12,4) 205 (87,6) 234 (100)

RSUD 59 (17,3) 282 (82,7) 341 (100)

Kebijakan Terapi*

Sebelum tahun 2011 33 (20,4) 129 (79,6) 162 (100)

Setelah tahun 2011 55 (13,3) 358 (86,7) 413(100)

Entry Point

Datang sendiri 11 (16,4) 56 (83,6) 67(100)

LSM & jangkauan 7 (11) 57 (89,1) 64(100)

Praktek swasta 21 (10,2) 185 (89,8) 206(100)

Rawat inap 14 (19,7) 57 (80,3) 71(100)

Rujukan RS/Puskesmas 12 (14,3) 72 (85,7) 84(100)

Rawat Jalan 23 (27,7) 60 (72,3) 83(100)

*Kebijakan ditetapkan tahun 2011 namun pelaksanaan di tahun 2012

Tabel 5.1.2 diatas menunjukkan dari total odha langsung berobat di BMC,

sebanyak 12,4% mengalami LTFU dan 87,6% tidak mengalami LTFU. Sebanyak

17,3% mengalami LTFU dan 82,7% tidak mengalami LTFU pada odha yang berobat

langsung di RSUD. Mayoritas pasien yang berkunjung ke Layanan VCT Sekar Jepun

merupakan heteroseksual dari pasangan suami istri sedangkan di Klinik Bali Medika

adalah komunitas LSL. Melihat dari penerapan kebijakan bahwa dari total odha pada

kebijakan sebelum tahun 2011 kejadian LTFU sebesar 20,4% sedangkan pada

kebijakan sesudah tahun 2011 sebesar 13,3%. Odha yang melalui entry point rawat

jalan sebanyak 27,7% pada kelompok LTFU.

Page 67: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

67

Tabel 5.1.3

Karakteristik Klinis Berdasarkan Status LTFU pada Awal dan Akhir Pengamatan

Karakteristik Klinis Awal Pengamatan Akhir Pengamatan

LTFU (N=88)

n(%)

Total

n(%)

LTFU (N=88)

n(%)

Total

n(%)

Infeksi Oportunistik

Tidak 46 (51,7) 309(53,7) 64 (73,6) 472 (83,7)

Ya 42 (48,3) 266(46,3) 23(26,40) 92 (16,3)

Stadium klinis

Stadium 1 & 2 46 (52,3) 307 (53,4) 44 (50) 298 (51,8)

Stadium 3&4 42(47,7) 268(46,6) 44 (50) 277 (48,2)

Status fungsional

Baring 5 (5,7) 43(7,5) 1 (1.1) 19 (3.3)

Ambulatory 27 (30,7) 145 (25,2) 18 (20.4) 66 (11.5)

Kerja 56 (63,6) 387 (67,3) 69 (78.4) 490 (85.22)

Jumlah CD4 Median (IQR) 122,5 (33-273,5) 128(26-296,5) 228 (50-325) 279(109,5-433)

Berat badan Median (IQR) 51 (46,5-59) 55 (47-61) 55 (48-61) 57(50-65)

Hb Median (IQR) 13,8 (11,8-15,2) 13,7(12-15,1) 14,3 (11,5-15,3) 14,2(12,7-15,4)

Regimen NRTI

Tenofovir (TDF) 27 (30,7) 246 (42,8) 37 (42) 330 (57,4)

Stavudin (d4T) 8 (9,1) 42 (7,3) 16 (18,2) 54 (9,4)

Zidovudine (AZT) 53 (60,2) 287 (49,9) 35 (39,8) 191 (33,2)

Regimen NNRTI

Efavirenz (EFV ) 30 (34,1) 284(49,4) 41(46,6) 354 (61,6)

Nevirapine (NVP) 58 (65,9) 291(50,6) 46 (52,3) 215 (37,4 )

Status TB

TB Positif 2 (2,3) 39 (6,8) 0 11 (2)

Suspect&Tidak TB 86 (97,7) 536 (93,2) 88 (100) 564 (98)

Status Rawat*

Tidak rawat inap - - 70 (79,5) 465 (80,8)

Rawat inap di awal - - 14 (16) 70 (12,2)

Rawat inap selama terapi - - 4 (4,5) 40 (7)

Kepatuhan*

>95% - - 56 (82,3) 443 (93,5)

80-95% - - 7 (10,3) 19 (4)

< 80% - - 5 (7,4) 12 (2,5)

Tabel 5.1.3 diatas menunjukkan bahwa odha yang menerima terapi di akhir

pengamatan memiliki kondisi klinis yang lebih baik sesudah mendapatkan terapi

ARV, dapat dilihat dari peningkatan persentase dan median pada berat badan, kadar

hemoglobin, jumlah CD4, stadium 1 dan 2, tidak ada infeksi oportunistik, status

fungsional kerja, dan tidak ada TB. Odha dengan LTFU juga menunjukkan kondisi

yang serupa bahwa pada akhir pengamatan lebih banyak yang memiliki status klinis

*pengamatan dalam proses perawatan atau terapi

Page 68: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

68

yang lebih baik dibandingkan awal pengobatan ARV kecuali pada stadium klinis

bahwa mereka yang mengalami LTFU di awal pengamatan lebih banyak pada

stadium 1 dan 2 (52,3%) dibandingkan stadium 3 dan 4 (47,7%) sedangkan pada

akhir pengamatan keempat stadium menunjukkan presentase yang sama.

Pengamatan secara keseluruhan menunjukkan terjadi peningkatan dalam

penggunaan golongan NRTI Tenofovir dan NNRTI Efavirens. Odha yang mengalami

LTFU di awal pengamatan lebih banyak mendapatkan terapi golongan NRTI

Zidovudin (60,2%) sedangkan di akhir pengamatan lebih banyak pada mereka yang

mendapatkan terapi NRTI Tenofovir (42%). Odha yang mengalami LTFU lebih

banyak pada penggunaan golongan NNRTI Nevirapine di awal pengamatan (65,9%)

dibandingkan di akhir pengamatan (52,3%). Selama proses terapi menunjukkan

bahwa odha yang mengalami LTFU lebih banyak pada kondisi tidak pernah rawat

inap dan tingkat kepatuhan > 95%.

5.2 Proporsi, Insiden rate dan Median Time LTFU

Jumlah odha yang mengalami LTFU di RSUD Badung sebanyak 88 orang

(15,3%) dan 487 orang (84,7%) tidak LTFU. Insiden rate LTFU di RSUD Badung

adalah 11,6 per 100 person years (CI 9,5-14,4 per 100 person years) dengan 50%

yang mengalami LTFU di tiga bulan pertama pengobatan ARV. Median time dalam

penelitian ini belum dapat dihitung karena jumlah sampel yang mengalami event

belum mencapai 50% dari total sampel yang diamati. LTFU time yang dapat

dianalisis adalah interquartile range (IQR) 25% yang mengalami LTFU pada 3,26

Page 69: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

69

tahun pengobatan. Insiden LTFU jika dilihat lebih spesifik berdasarkan penerapan

kebijakan bahwa pada kebijakan setelah tahun 2011 yang memulai terapi dengan

CD4 ≤ 350 cell/mm3 adalah 17,2 per 100 person years, sementara pada penerapan

kebijakan sebelum tahun 2011 yang memulai terapi dengan CD4 ≤ 200 cell/mm3

yaitu 7,6 per 100 person years. Survival time yang dapat dianalisis adalah

interquartile range (IQR) 25% yang mengalami LTFU pada 3,54 tahun pada

penerapan kebijakan CD4 ≤ 200 cell/mm3. Grafik Kaplan Meier digunakan untuk

menggambarkan LTFU sebagai berikut:

Analisis Kaplan Meier pada gambar 5.2.1 di atas menunjukkkan dari

keseluruhan odha yang menerima terapi ARV, 25% berisiko untuk mengalami LTFU

pada tiga tahun pertama terapi dan terlihat dari gambar kurva bahwa median time

untuk pengamatan tidak tercapai.

Gambar 5.2.1 Kaplan-Meier Loss to Follow Up

Page 70: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

70

Secara lebih spesifik median time untuk pengamatan LTFU ditunjukkan

pada gambar 5.2.2.

Grafik Kaplan-Meier pada gambar 5.2.2 menunjukkan median time pada odha

yang mengalami LTFU adalah 0,22 tahun (IQR= 0,09-0,84). Kondisi ini

menunjukkan bahwa dari 88 odha yang mengalami LTFU sebanyak 50% odha

mengalami LTFU terjadi di tiga bulan pertama pengobatan. Grafik Kaplan-Meier

gambar 5.2.3. digunakan untuk menggambarkan LTFU berdasarkan penerapan

kebijakan CD4.

Gambar 5.2.2 Kaplan-Meier Median Time odha yang mengalami LTFU

Kaplan-Meier Loss to Follow Up

Page 71: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

71

Grafik Kaplan Meier diatas menunjukkan bahwa perbedaan insiden rate

antara kedua kebijakan terjadi di 0,5-1 tahun pengamatan dan selanjutnya pada

pengamatan kebijakan setelah tahun 2011 lebih pendek dari kebijakan sebelum tahun

2011 sehingga masih diperlukan pengamatan yang lebih lanjut untuk memperoleh

survival time dan insiden rate kejadian LTFU pada kebijakan setelah tahun 2011.

5.3 Analisis Bivariat Determinan Loss to Follow Up pada Odha yang Menerima

Terapi ARV

Analisis bivariat dilakukan pada variabel umur, jenis kelamin, pendidikan,

status bekerja, status menikah, risiko penularan, pengawas minum obat (PMO), berat

badan, infeksi oportunistik, stadium klinis WHO, status fungsional, CD4, kadar

haemoglobin, jenis tempat layanan, kebijakan terapi, status TB, golongan NRTI dan

NNRTI sebagai determinan LTFU. Analisis hubungan determinan tersebut ditentukan

dengan nilai p, nilai HR dan 95% CI menggunakan Cox Proportional Hazard

Regression. Hasil analisis bivariat disajikan dalam Tabel 5.3.

Gambar 5.2.3

Grafik Kaplan Meier berdasarkan Kebijakan Terapi

Sebelum tahun 2011

Setelah tahun 2011

Page 72: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

72

Tabel 5.3

Analisis Bivariat Determinan Loss to Follow Up

Karakteristik Rate LTFUper 100 PY Analisis Bivariat

Loss Rate 95% CI Crude HR 95 % CI p p (g)

1 2 3 4 5 6 7 8

Umur 0,98 0,96-1,01 0,252

Jenis kelamin Perempuan 28 17,0 11,7-24,6 1,78 1,1-2,8 0,011*

Laki-Laki 60 10,2 7,9-13,1 1,00 (reff)

Pendidikan Pendiidkan tinggi 72 11,2 8,8-14,1 1,00 (ref)

Pendidikan rendah 16 14,3 8,8-23,4 1,43 0,83-2,45 0,198*

Status bekerja Tidak bekerja 26 8,2 5,6-12,1 1,00 (ref)

Bekerja 62 14,2 11-18,2 1,24 0,78-1,98 0,357

Status pernikahan Menikah 16 4,4 2,7-7,2 1,00 (ref)

Belum menikah 54 15,7 12-20,5 2,61 1,47-4,64 0,001*

Missing 18 39,1 24,6-62,1

Risiko penularan Homoseksual 30 19,9 13,9-28,5 1,00 (ref) 0,625

Heteroseksual (suami istri) 56 9,9 7,6-12,8 0,84 0,53-1,35 0,479

IDU 2 5,4 1,3-21,5 0,55 0,13-2,34 0,419

Risiko penularan Homoseksual 30 19,9 13,9-28,5 1,00 (ref) 0,638

Heteroseksual (suami istri) 56 9,9 7,6-12,8 0,89 0,54-1,38 0,638

PMO Ya 38 7,8 5,7-10,8 1,00 (ref)

Tidak 50 18,4 13,9-24,3 1,57 1,01-2,45 0,045*

Berat badan 0,98 0,96-1,002 0,09*

Infeksi oportunistik Tidak 46 18,3 13,7-24,4 1,00 (ref)

Ya 42 8,3 6,2-11,3 0,70 0,45-1,09 0,119*

Stadium klinis WHO Stadium 1 & 2 46 15,3 11,5-20,4 1,00 (ref)

Stadium 3&4 42 9,2 6,8-12,5 0,84 0,55-1,29 0,432

Status fungsional Baring 5 5,5 2,3-13,2 1,00 (ref) 0,674

Ambulatory 27 9,6 6.6-14.0 1,43 0,55-3,72 0,464

Kerja 56 14,6 11.2-18.9 1,52 0,60-3,84 0,377

Jumlah CD4 1,00 0,99-1,002 0,353

Hb 1.09 0,976-1,22 0,126*

Jenis tempat layanan BMC 29 19,2 13,3-27,6 1,00 (ref)

RSUD 59 9,8 7,5-12,6 0,91 0,57-1,5 0,704

Kebijakan Sebelum tahun 2011 33 7,6 5,3-10,7 1,00 (ref)

Sesudah tahun 2011 55 17,2 13,2-22,4 1,22 0,74-2,00 0,425

Status TB TB Positif 2 3,2 0,8-12,6 1,00 (ref)

Suspect & Tidak TB 86 12.4 10.1-15.4 3.54 0.87-14.4 0,077*

Golongan NRTI Tenofovir (TDF) 27 20,4 13,9-29,7 1,00 (ref) 0,987

Stavudin (d4T) 8 8,6 4,3-17,2 0,97 0,42-2,20 0,935

Zidovudine (AZT) 53 10 7,6-13,1 0,96 0,59-1,57 0,870

Golongan NNRTI Efavirenz (EFV ) 30 13,4 9,4-19,2 1,00 (ref)

Nelfinavir (NVP) 58 10,9 8,4-14,1 1,26 0,80-1,99 0,310

Analisis bivariat dari 18 variabel pada awal pengamatan hanya tiga variabel yaitu

jenis kelamin, status pernikahan dan pengawas minum obat (PMO) yang

berhubungan secara statistik. Odha yang tidak memiliki pasangan berisiko 2,6 kali

lebih besar mengalami LTFU dibandingkan odha yang memiliki pasangan (HR=2,61;

*p-value < 0,25

Page 73: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

73

95% CI 1,47-4,64, p=0,001). Perempuan 1,78 kali lebih beresiko untuk mengalami

LTFU dibandingkan dengan laki-laki (HR=1,78; 95% CI 1,1-2,8; p=0,01). Odha yang

tidak memiliki PMO 1,57 kali lebih berisiko dibandingkan dengan odha yang

memiliki PMO (HR=1,57; 95% CI 1,01-2,45; p=0.045). Selanjutnya odha dengan

status TB yaitu suspect TB dan tidak TB memiliki risiko 3,5 kali untuk LTFU namun

secara statistik tidak menunjukkan kemaknaan (p=0.07).

5.4 Analisis Multivariat Determinan Loss to Follow Up pada Odha

Analisis multivariat diperlukan untuk melihat hubungan yang paling kuat dan

berpengaruh terhadap LTFU dari beberapa variabel yang berhubungan pada analisis

bivariat. Variabel yang masuk dalam analisis multivariat adalah variabel yang

memiliki nilai p < 0,25 yaitu jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, pengawas

minum obat, berat badan, infeksi oportunistik, kadar hemoglobin dan status TB.

Sebelum melakukan analisis multivariat dilakukan uji kolinearitas untuk mengetahui

adanya efek multikolinearitas. Kolinearitas dapat diketahui apabila terdapat variabel

mempunyai angka koefisien korelasi lebih dari 0,6 (r>0,6), yang berarti ada korelasi

yang kuat antar variabel (Sugiyono, 2011). Pada analisis ini tidak terdapat variabel

yang mempunyai angka korelasi > 0,6 sehingga semua variabel kovariat yang

memenuhi p < 0,25 dapat diikutkan dalam analisis multivariat dengan hasil tercantum

pada lampiran 9.

Page 74: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

74

Tabel 5.4 Analisis Multivariat Determinan Loss To Follow Up

Karakteristik Adj.Haz.Ratio 95% CI p

Jenis kelamin

Perempuan 1,95 1,13-3,36 0,016*

Laki-laki 1,00 (reff)

Pendidikan

Pendidikan tinggi 1,00(ref)

Pendidikan rendah 1,19 0,52-2,68 0,668

Status pernikahan

Menikah 1,00(ref)

Belum menikah 3,04 1,69-5,47 0,001*

PMO

Ya 1,00(ref)

Tidak 1,1 0,51-2,13 0.893

Berat badan 0,97 0,95-1,00 0,117

Hb 1,10 0,95-1,28 0,211

IO (infeksi opportunistik)

Tidak 1,00(ref)

Ya 0,72 0,35-1.47 0,366

Status TB

TB Positif 1,00(ref)

Suspect&Tidak TB 2,3 0,54-9,96 0,252

*p-value < 0,05

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari delapan variabel yang memenuhi syarat

analisis multivariat dengan menggunakan metode backward diperoleh dua variabel

yang berhubungan dan signifikan secara statistik.Variabel tersebut yaitu jenis kelamin

dan status pernikahan. Odha yang tidak memiliki pasangan memiliki risiko 3,04 kali

lebih besar untuk mengalami LTFU dibandingkan odha yang memiliki pasangan

(aHR=3,04; 95% CI 1,69-5,47; p=0,001). Perempuan lebih berisiko 1,95 kali untuk

mengalami LTFU (aHR 1,95; 95% CI 1,13-3,36; p=0,016).

Page 75: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

75

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Besaran Masalah LTFU

Insiden rate odha yang mengalami LTFU dalam kurun waktu delapan tahun di

RSUD Badung sebesar 11,6 per 100 person years. Insiden rate ini lebih tinggi

dibandingkan dari penelitian sebelumnya di YKP yaitu 5,5 per 100 person years

dalam kurun waktu 10 tahun (Widyantini, 2014). Perbedaan ini tejadi karena

karakteristik odha dan layanan di kedua tempat layanan, dimana YKP sebagian besar

pasiennya merupakan kelompok PS (pekerja seks) yang didukung dengan program

outreach dan adanya kelompok dukungan sebaya. Klinik yang memiliki outreach

cenderung memiliki LTFU yang rendah (Lamb et al., 2012). Insiden dalam penelitian

ini lebih rendah jika dibandingkan dengan data TAHOD yang mencakup 18 site di

kawasan Asia Pasifik yaitu 21,4 per 100 PY, namun lebih tinggi jika dibandingkan

dnegan negara di Asia Tenggara seperti India (7,1 per 100 PY) dan Vietnam (8,9 per

100 PY) (Zhou et al., 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Tran et al., 2013). Demikian

juga jika membandingkan dengan negara maju cenderung yang memiliki insiden

yang lebih rendah seperti Perancis (4,3 per 100 person years) dan Eropa (3,272 per

100 person years) (Lebouche et al., 2006; Mocroft et al., 2008). Perbedaan ini juga

disebabkan oleh cut off yang berbeda dalam mendefinisikan LTFU yaitu satu tahun

dari kunjungan terakhir. Perbandingan dengan negara di Afrika dengan cut off yang

sama (≥ tiga bulan dari kunjungan terakhir) bahwa temuan insiden rate dalam

75

Page 76: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

76

penelitian ini lebih rendah yaitu 25,1 per 100 person years (Western Kenya)

(Ochieng-Ooko et al., 2010), 51,1 per 100 person years (Guinea Bissau) (Hønge et

al., 2013) dan 94,6 per 100 person years (Cameroon) (Bekolo et al., 2013).

Hasil penelitian ini menunjukkan median time secara keseluruhan tidak

tercapai karena sampel yang mengalami LTFU belum mencapai 50% sampai akhir

pengamatan. Pengamatan delapan tahun pada penelitian menemukan 25% sampel

yang bertahan dalam pengobatan dalam jangka waktu 3,26 tahun sampai akhirnya

LTFU. Penelitian ini juga menunjukkan waktu yang lebih cepat untuk terjadi LTFU

dibandingkan penelitian yang pernah dilakukan di YKP (25% IQR) yaitu 6 tahun

dengan insiden yang lebih kecil (Widyantini, 2013). Sejalan dengan sebuah studi

menyatakan beberapa program ART menunjukkan lebih dari sepertiga pasien

mengalami LTFU dan berhenti pengobatan dalam waktu tiga tahun memulai terapi

mengancam keberhasilan program ART (Chi et al., 2011). Melihat lebih spesifik

pada kelompok yang mengalami LTFU bahwa median time LTFU yaitu tiga bulan

artinya 50% kejadian LTFU terjadi pada tiga bulan pertama pengobatan. Sejalan

dengan temuan pada penelitian lain menunjukkan bahwa LTFU banyak terjadi pada

satu tahun pertama pengobatan baik pada tiga bulan dan enam bulan pertama

pengobatan, WHO juga merekomendasikan persentase LTFU pada satu tahun

pertama pengobatan sebagai indikator resistensi obat (Bennett et al., 2006; Odafe et

al. 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Mugisha et al. 2014). Penelitian ini juga

menemukan 9,21% (7/76) odha terdeteksi meninggal yang sebelumnya dinyatakan

Page 77: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

77

LTFU tercantum pada lampiran 15 tabel 2. Systematic review terkait pelacakan

kondisi odha yang mengalami LTFU menunjukkan estimasi kematian 6,6-10,5%

(McMahon et al., 2013), sejalan dengan penelitian di Malawi menyatakan bahwa dari

253 kejadian LTFU, 58% terdeteksi meninggal terhitung sejak tiga bulan dari terakhir

kunjungan (Yu et al., 2007). Risiko kematian tinggi pada odha yang mengalami

LTFU yaitu 1,8 kali (aOR 1,8 95% CI 1,2-2,7) dan 20 kali (aHR, 22,03; 95% CI:

20,05-24,21) (Weigel et al., 2 0 1 1 ; Cornell et al., 2 0 1 4 ). Kondisi ini

mengisyaratkan bahwa estimasi LTFU yang tinggi juga mengindikasikan tingkat

kematian yang tinggi (Brinkhof et al., 2009; Somi et al., 2012). Median time dalam

penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan penelitian di Ethiopia yaitu 9 bulan

(IQR 5-18 bulan) dalam pengamatan delapan tahun dengan insiden rate LTFU 8,8

per 1000 person month (Berheto et al., 2014) namun berbeda dengan median time di

Prancis Utara 11 bulan (IQR 5-25) dengan insiden yang lebih rendah (Ndiaye et al.,

2009). Hasil temuan yang berbeda dan bervariasi ini terjadi karena perbedaan definisi

LTFU yang digunakan, karakteristik odha, tingkat kepatuhan dan socialekonomi

negara. Systematic review menunjukkan bahwa socialekonomi negara diperkirakan

memiliki trend yang positif dengan tingkat kepatuhan dalam terapi ARV walaupun

hubungannya secara spesifik belum dapat dibuktikan (Peltzer & Pengpid, 2013).

Hasil uji strata kondisi klinis odha yang mengalami LTFU di awal dan akhir

pengamatan menunjukkan perbedaan yang bermakna pada jumlah CD4, infeksi

oportunistik, berat badan dan status fungsional yang dapat dilihat pada lampiran 13.

Page 78: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

78

Namun kondisi klinis tidak selalu menjadi jaminan kepatuhan odha dalam terapi

karena faktor prilaku dan individu memiliki peranan yang besar (Mbuagbaw et al.,

2012; Perrett & Biley 2013). Temuan ini menjadi catatan untuk monitoring program

pengobatan HIV ke depannnya bahwa pencegahan LTFU melalui konseling

kepatuhan dan informasi pengobatan perlu dilakukan kembali terutama pada odha di

tiga bulan pertama pengobatan sebagai masa kritis yang berpeluang terjadi LTFU.

Melihat lebih spesifik insiden rate LTFU berdasarkan penerapan kebijakan

bahwa kebijakan setelah tahun 2011 (17,2 per 100 person years) memiliki insiden

rate LTFU yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan sebelum tahun 2011 (7,6 per

100 person years) dengan risiko LTFU pada kebijakan setelah tahun 2011 yaitu 2.26

kali (CI 1,44-3,59) lebih besar dibandingkan dengan kebijakan sebelum tahun 2011

dan secara statistik bermakna dengan nilai p < 0.001 dengan hasil terlampir pada

lampiran 8 tabel 2. Temuan dalam penelitian ini melalui uji strata berdasarkan

penerapan kebijakan menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna kondisi klinis

di akhir pengamatan pada penerapan kebijakan setelah tahun 2011 yaitu ada tidaknya

infeksi oportunistik, CD4 dan berat badan yang dapat dilihat pada lampiran 12.

Sejalan dengan penelitian di Prancis oleh Ndiaye et al., bahwa rata-rata waktu

ketahanan terapi odha yang memulai terapi dengan CD4 ≥ 350 sel/mm3 yaitu 10

bulan, lebih rendah dari odha yang memulai dengan CD4 < 200 sel/mm3 yaitu 24

bulan (Ndiaye et al., 2009). LTFU lebih tinggi pada odha yang memulai terapi

dengan CD4 lebih besar dari 250 sel/mm3 karena alasan gejala klinis yang belum

Page 79: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

79

dirasakan diawal pengobatan sehingga kepatuhannya juga menurun (Cohen et al.,

2013). Temuan ini diperkuat dengan penelitian di Uganda menemukan median CD4

saat odha mengalami LTFU lebih tinggi (401 sel/mm3) dibandingkan ketika odha

tersebut datang kembali setelah mengalami LTFU (median CD4 205 sel/mm3

p<0,0001)(Alamo et al., 2013). Demikian juga dengan penelitian oleh Gabillard et

al., di Afrika (Benin, Burkina Faso, Cameroon, Cote d'Ivoire and Senegal) dan Asia

(Kamboja dan Laos) bahwa insiden rate LTFU lebih tinggi pada CD4 201-350

sel/mm3 (Gabillard et al., 2014).

Sebaliknya jika dikaitkan dengan harapan hidup, justru odha yang memulai

terapi CD4 lebih rendah (≤ 200 sel/mm3) memiliki risiko kematian yang lebih besar

(UNAIDS, 2013a). Sedangkan efektivitas dan ketahanan hidup odha yang memulai

terapi ≤ 350 sel/mm3 lebih tinggi mencapai 87% (Walensky et al., 2010). Sejalan

dengan penelitian oleh Fox et al. menemukan setiap kenaikan 10% CD4 dikaitkan

dengan penurunan 2,8% kematian, dan justru memulai terapi dengan CD4 yang lebih

tinggi akan mengurangi risiko kematian (Fox et al., 2013). Adanya temuan ini bukan

berarti menyimpulkan bahwa kebijakan setelah tahun 2011 lebih buruk melainkan

menjawab bahwa LTFU masih menjadi tantangan dan dilema dalam pengobatan

ARV sehingga diperlukan kontrol dan evaluasi kembali berupa pemberian informasi

atau konseling kepatuhan terutama di tiga bulan pengobatan. Penelusuran insiden rate

LTFU dan median time berdasarkan kebijakan terapi yang diterapkan di Indonesia

menjadi penting karena dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan

Page 80: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

80

evaluasi dari kebijakan yang telah diterapkan sehingga dapat berkontribusi pada

perbaikan pemberian terapi ARV ke depannya. Temuan ini minimal dapat menjadi

catatan untuk membantu memperbaiki sistem monitoring dan evaluasi dari penerapan

kebijakan tahun 2011 bahwa kedepannya upaya monitoring keberlanjutan terapi ARV

pada odha lebih ditingkatkan.

6.2 Faktor yang Menentukan Loss to Follow Up

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa determinan yang secara statistik

berhubungan dengan LTFU adalah jenis kelamin dan status pernikahan. Perempuan

memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami LTFU dalam penelitian ini. Analisis

lebih lanjut menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami LTFU dalam penelitian

ini 71,5% terjadi dalam tiga bulan sampai satu tahun pertama mulai ARV dapat

dilihat pada lampiran 15. Kondisi yang sama juga ditemukan pada penelitian oleh

Saka et al. bahwa perempuan 1,8 kali lebih besar mengalami LTFU dalam enam

bulan pertama pengobatan (Saka et al., 2013). Beberapa penelitian lain konsisten

menyebutkan laki-laki lebih beresiko mengalami LTFU (Evans et al., 2013; Mugisha

et al., 2014; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Tran et al., 2013; Weigel et al.,

2013). Perempuan pada penelitian ini merupakan ibu rumah tangga dari populasi

umum dan sebagian besar merupakan pasangan suami istri, dimana status HIV

perempuan baru diketahui setelah laki-laki atau suaminya ditest HIV terlebih dahulu

dan suami biasanya datang dalam kondisi klinis yang lebih buruk daripada istrinya.

Kondisi ini didukung dengan data yang menunjukkan bahwa laki-laki heteroseksual

Page 81: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

81

(dari pasangan suami istri) 83,18% memulai terapi pada stadium 3 dan 4.

Kemungkinan perempuan lebih berisiko mengalami LTFU karena laki-laki yang

lebih banyak mengalami kematian (86,84%) sehingga perempuan yang merupakan

pasangannya kehilangan dukungan dalam pengobatan. Ketidak pedulian keluarga dan

pasangan, pendidikan dan penghasilan yang rendah merupakan kondisi yang

meningkatkan risiko LTFU pada perempuan (Panditrao et al., 2011). Depresi dan

adanya efek samping obat menjadi penghambat perempuan untuk patuh dalam

pengobatan (Mirjam-colette et al., 2010). Sebuah studi menyatakan bahwa

perempuan (p<0,002) memiliki insiden 1,5 kali untuk tidak patuh dalam pengobatan

ARV karena perbedaan biologis, peran ganda yang dimiliki, akses terbatas ke

layanan kesehatan dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan

laki-laki (Bonolo et al., 2013). Kepatuhan yang rendah dalam pengobatan memiliki

risiko yang lebih tinggi untuk mengalami LTFU (Haile & Mekelle, 2014).

Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan yang lebih beresiko

mengalami LTFU memiliki hubungan signifikan dan berkontribusi untuk populasi

umum di RSUD Badung sesuai dengan uji strata berdasarkan jenis tempat layanan

yang dapat dilihat pada lampiran 10 tabel 2 dan lampiran 11. Perempuan di Asia

masih memiliki akses yang terbatas dalam pengobatan akibat ketidakadilan gender

yang masih melekat (UNAIDS, 2013b).Beban kerja ganda pada perempuan rumah

tangga di Bali membuat mereka memiliki sedikit waktu untuk pengobatan sehingga

kemungkinan memiliki kontribusi terhadap kejadian LTFU, namun kondisi ini belum

Page 82: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

82

dapat menjelaskan lebih lanjut keterkaitan perempuan dengan LTFU. Seluruh odha di

BMC merupakan laki-laki dari kelompok LSL sedangkan RSUD Badung sebagian

besar merupakan odha dari populasi umum. Faktor jenis tempat layanan

kemungkinan berkontribusi terhadap hasil yang diperoleh namun tidak dapat

dianalisis ke dalam model karena variabel ini menunjukkan tidak signifikan secara

statistik dan uji korelasi menunjukkan variabel ini memiliki korelasi yang kuat (0,6-

0,9) dengan delapan variabel lain yaitu status pernikahan, PMO, hemoglobin, infeksi

oportunistik, risiko penularan HIV, stadium klinis, status fungsional, dan CD4.

Odha dengan status belum menikah, janda dan duda dalam artian tidak

memiliki pasangan memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami LTFU. Uji

strata berdasarkan jenis tempat layanan juga menunjukkan status pernikahan

berkontribusi untuk populasi umum di RSUD Badung sesuai pada lampiran 10 tabel 2

dan lampiran 11. Hal ini menunjukkan bahwa pada pasangan odha di RSUD Badung

sekaligus merupakan PMO bagi mereka. Penelitian oleh Alvares et al. menemukan

kondisi yang sama, dimana odha dengan status belum menikah dan bercerai lebih

berisiko mengalami LTFU. Odha tanpa pasangan cenderung tidak memiliki dukungan

sehingga mudah terpengaruh stigma dan hal negatif yang menjadi penghalang

kepatuhan dalam terapi ARV (Merten et al., 2010; Alvarez-Uria et al., 2013).

Peranan pasangan secara tidak langsung berhubungan dengan LTFU, dimana

pasangan sebagai support mampu meningkatkan kepercayaan diri odha (Evangeli et

al., 2014), kepedulian pasangan dan keluarga juga berperan penting dalam pola

Page 83: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

83

pencarian pengobatan terutama pada perempuan (Myer et al., 2014), pada kelompok

LSL juga menunjukkan bahwa mereka lebih patuh ketika didampingi oleh pasangan

dibandingkan teman dan keluarga (Stumbo et al., 2013). Temuan ini juga didukung

dengan studi yang menyatakan tingkat kepatuhan odha yang memiliki dukungan dari

keluarga dan pasangan dua kali lebih besar (Ayele et al., 2010). Studi lain juga

mendukung bahwa peranan pasangan dan keluarga sangat penting untuk memberikan

dukungan psikologis dan sosial pada odha, dimana odha yang tidak memiliki

pasangan hampir dua kali berisiko lebih tinggi mempunyai kondisi klinis yang lebih

buruk (peningkatan stadium klinis WHO) dibandingkan pasien dengan status

menikah (Abyu et al., 2014). Keluarga dan pasangan memainkan peran penting

dalam mendukung pasien ART, mengingatkan mereka untuk minum obat,

meningkatkan rasa sosial kepada orang lain sehingga kepatuhan mereka terhadap

pengobatan meningkat (Weaver et al., 2014). Sesuai dengan teori adaptasi Roy pada

odha bahwa untuk mencapai respons adaptif positif dan mengembalikan optimisme

odha perlu melibatkan berbagai orang dan transformasi lingkungan (Perrett & Biley,

2013).

Adanya dukungan dan keterlibatan dari pasangan dan keluarga menjamin

keberlanjutan dari pengobatan (WHO, 2006). Peranan penting dari pasangan dan

keluarga sebagai orang terdekat yang diharapkan memberikan dukungan dan

perawatan (Kemenkes RI, 2011). Peranan pengawas minum obat sangat penting

dalam keberlanjutan terapi pada odha dan meningkatkan penerimaan diri odha

Page 84: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

84

melalui dukungan psikologis dan psikososial yang diberikan (Nasronudin, 2007).

Penelitian ini menunjukkan sebagian besar (66,39%) PMO merupakan pasangan dan

keluarga odha namun dalam penelitian ini menunjukkan PMO tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan LTFU. Uji strata berdasarkan jenis tempat layanan

terhadap variabel PMO menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap

kedua jenis tempat layanan. Berbeda dengan studi sebelumnya di YKP menunjukkan

PMO berperan dalam menurunkan risiko LTFU. Perbedaan hasil ini disebabkan

karena faktor jenis tempat layanan dan karakteristik odha yang berbeda dimana odha

di Klinik Bali Medika sebagian besar LSL tidak memiliki pasangan sebagai PMO

namun dalam pengobatannya didukung support group dan reminder tools. Klinik ini

memiliki reminder tools berupa email dan sms reminder yang menjadi pengingat bagi

odha untuk waktu pengambilan obat sehingga kondisi ini membantu petugas dalam

controling terapi odha dan melacak pasien yang mengalami LTFU.

Implikasi terhadap program pengobatan selanjutnya yaitu perlu dilakukan

evaluasi lebih lanjut peranan pasangan terdekat sebagai pendukung pengobatan dan

adanya monitoring terutama bagi odha yang tidak memiliki pasangan. Sejalan dengan

penelitian di enam negara Afrika dan Karibia yang menunjukkan bahwa konseling

(pasangan dan individual), peranan penjangkau atau relawan melakukan kunjungan

rumah dan adanya supervisi dari petugas kesehatan langsung mampu menurunkan

rata-rata kejadian LTFU hingga 13% (Etienne et al., 2010). Semakin kompleks

dukungan kepatuhan yang diberikan maka risiko LTFU juga dapat diturunkan.

Page 85: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

85

Penelitian ini menemukan bahwa umur tidak terbukti berhubungan dengan

LTFU dimana pada analisa bivariat menyatakan setiap peningkatan umur satu tahun

menurunkan risiko LTFU sebesar dua persen, sejalan dengan penelitian oleh Bekolo

et al., bahwa umur memiliki hubungan yang lemah untuk dikaitkan dengan LTFU

namun tetap masuk akal untuk diamati karena melihat dari tingkat kematangan emosi

seseorang (Bekolo et al., 2013). Demikian pula peneliti menemukan hasil yang tidak

signifikan pada jumlah CD4 maupun kebijakan terapi dengan dasar memulai terapi

dengan CD4 ≤ 350 sel/mm3 dan ≤ 200 sel/mm

3. Jumlah CD4 dalam beberapa

penelitian menyebutkan bahwa jumlah CD4 ≥ 200 sel/mm3 lebih beresiko mengalami

LTFU (Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Tran et al., 2013; Fleishman et al.,

2013 Mugisha et al., 2014). Namun beberapa penelitian menyatakan kondisi yang

berbeda dimana odha dengan jumlah CD4 yang rendah (<100-200 sel/mm3) yang

lebih beresiko mengalami LTFU (Gerver et al., 2010; Schöni-Affolter et al., 2011;

Alvarez-Uria et al.,2013; Bekolo et al., 2013; Evans et al., 2013). Peningkatan CD4

menunjukkan kesehatan yang membaik, dalam masa ini perlu adanya kontrol dan

konseling kembali terkait kepatuhan odha karena peluang untuk LTFU meningkat

dengan kondisi yang semakin sehat (Ndiaye et al., 2009). Kondisi ini menunjukkan

masih adanya temuan yang tidak konsisten terkait jumlah CD4 sehingga perlu

dilakukan penelitian yang lebih lanjut.

Secara deskriptif ditemukan tiga jenis infeksi oportunistik terbanyak yang

diamati saat awal dan akhir pengamatan yaitu candida, PCP (pneumonia

Page 86: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

86

pneumocystis) dan toxoplasmosis. Proporsi tertinggi odha yang mengalami infeksi

oportunistik di awal pengamatan terdapat di Layanan VCT Sekar Jepun yaitu

96,24%, hasil tercantum pada tabel 2 (lampiran 7). Hasil ini berbeda dengan

penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Togo, Vietnam dan Nothwest

Ethiopia dimana adanya infeksi oportunistik meningkatkan risiko LTFU karena

adanya kemungkinan untuk mencari pengobatan alternatif lain (Saka et al., 2013;

Tran et al., 2013; Wubshet et al., 2013). Penelitian lain menunjukkan bahwa odha

dengan ADI (aids defining illness) memiliki risiko yang lebih rendah untuk

mengalami LTFU karena masih merasa kurang sehat sehingga lebih rajin untuk

datang ke klinik mendapatkan pengobatan (Lanoy et al., 2006; Lebouche et al., 2006;

Mocroft et al., 2008; Ndiaye et al., 2009). Penelitian ini menunjukkan infeksi

oportunistik tidak memiliki hubungan dengan LTFU demikian pula pada variabel lain

seperti pendidikan, pekerjaan, PMO, risiko penularan HIV, jenis tempat layanan,

kebijakan terapi, infeksi oportunistik, berat badan, kadar haemoglobin, status

fungsional, stadium klinis, golongan NRTI, dan golongan NNRTI. Penelitian ini

menunjukkan bahwa kondisi klinis tidak terbuki berhubungan dengan LTFU

sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk karakteristik klinis odha

dikaitkan dengan LTFU karena masih ditemukan hasil yang tidak konsisten untuk

semua karakteristik klinis tersebut.

Page 87: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

87

6.3 Keterbatasan penelitian

Keterbatasan penelitian ini dapat dilihat dari segi validitas internal dan

eksternal. Keterbatasan penelitian secara internal yaitu tidak dapat mengkaji lebih

lanjut seberapa besar peranan pasangan dalam mengantisipasi LTFU karena

keterbatasan data prilaku dan sosial pada data sekunder. Penelitian ini juga terbatas

untuk mengumpulkan data tentang faktor-faktor lain yang memiliki hubungan dengan

kejadian LTFU, seperti informasi tentang prilaku pasien, dukungan dan kepedulian

keluarga dan kepatuhan terhadap pengobatan. Adanya kesalahan dalam pencatatan

dengan menggunakan data sekunder. Keterbatasan juga terdapat pada variabel jenis

infeksi oportunistik yang lebih spesifik untuk dikategori menjadi ADI dan non ADI

sehingga tidak dapat menggambarkan LTFU berdasarkan klasifikasi ini. Pengamatan

yang terlalu pendek untuk kebijakan setelah tahun 2011 keatas juga mempengaruhi

hasil yang diperoleh sehingga perlu pengamatan yang lebih panjang untuk variabel

ini.

Melihat dari segi validitas eksterna bahwa hasil temuan terkait LTFU odha

yang menerima terapi ARV hanya dilakukan pada satu RSUD di Provinsi Bali

sehingga hasil ini belum bisa digeneralisir ke seluruh populasi target yaitu pada odha

di seluruh Indonesia. Berbeda juga kondisinya jika diterapkan pada Kabupaten lain

di Bali karena karakteristik RSUD Badung berbeda dengan kabupaten dimana RSUD

Badung memiliki satelit layanan yang khusus memberikan layanan pada kelompok

LSL.

Page 88: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

88

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Insiden rate loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV adalah

11,6 per 100 person years. Median time menunjukkan 25% odha berisiko mengalami

LTFU dalam periode waktu 3,26 tahun dimana dari 25% yang mengalami LTFU,

sebagian besar terjadi dalam tiga bulan pertama terapi. Karakteristik sosiodemografi

di awal terapi yaitu odha yang berjenis kelamin perempuan dan odha yang tidak

memiliki pasangan terbukti sebagai determinaan LTFU pada odha yang menerima

terapi ARV di RSUD Badung. Sedangkan karakteristik klinis (berat badan, kadar

haemoglobin, status TB, infeksi oportunistik, status fungsional, stadium klinis,

jumlah CD4, golongan regimen NRTI dan golongan regimen NNRTI), karakteristik

layanan (jenis tempat layanan dan kebijakan terapi), serta variabel lain seperti umur,

pendidikan, keberadaaan pengawas minum obat, risiko penularan, dan pekerjaan

tidak terbukti secara statistik sebagai determinan LTFU.

7.2 Saran

1. Pemegang Program

Pertimbangan untuk peningkatan konseling kepatuhan kepada odha yang

menerima terapi ARV terutama mereka yang tidak memiliki pasangan dan

perempuan. Konseling kepatuhan secara individual, pasangan atau keluarga sebagai

pendukung pengobatan perlu dilakukan secara kontinyu untuk mempertahankan

88

Page 89: determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi

89

keberlanjutan pengobatan terutama odha dengan kondisi kesehatan yang mulai

membaik. Pencatatan yang benar dan lengkap terkait alamat dan nomor telepon

pasien serta pengkajian hubungan pasien dengan PMO merupakan bagian terpenting

dari pencatatan untuk keperluan pelacakan untuk ketidak hadiran pasien saat jadwal

kunjungan. Evaluasi dan monitoring terhadap pelacakan pasien yang mengalami

LTFU sebaiknya tetap dilakukan untuk memperbaiki keberlanjutan program.

2. Penelitian selanjutnya

Pengamatan kondisi LTFU dengan data primer dan penelitian kualitatif perlu

dilakukan sehingga dapat tergali lebih dalam alasan LTFU dan mengetahui seberapa

penting peranan dari pasangan untuk mengantisipasi LTFU, selain itu waktu

pengamatan dengan data sekunder juga perlu ditambah untuk mengetahui

keberhasilan terapi. Penelitian lebih lanjut untuk variabel yang berhubungan dengan

LTFU perlu dilakukan kembali untuk melihat konsistensinya terutama pada populasi

umum lainnya.