desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan ... · persoalan yang ditemukan dalam...
TRANSCRIPT
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu
Kajian kebijakan dan kelembagaan tidak dapat dipisahkan dengan kajian
desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aspek kelembagaan dalam
pengelolaan sumberdaya alam, tidak dapat dilepaskan dari instansi atau
departemen yang mengelola dan membawahi masing-masing sektor sumberdaya
alam. Berbagai ketentuan peraturan di bidang otonomi daerah maupun di bidang
konservasi sumberdaya alam dan ekosistem selama ini belum memberi ketegasan
dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus dilakukan oleh
berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah.
Dalam berbagai kasus pengelolaan sumberdaya alam persoalan yang
sering muncul adalah kegagalan pemerintah pusat membentuk mekanisme
pengelolaan sumberdaya alam yang efektif, hal ini dikarenakan adanya
disharmonisasi sistem hukum dalam hal kewenangan pengelolaan dan adanya
tumpang tindih kewenangan pengelolaan. Tumpang tindih yang terjadi umumnya
terjadi pada peraturan pusat dengan peraturan daerah dan berbagai kesalahan
persepsi dalam perumusan peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal.
Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir pada tahun 2007 mendapat
dukungan dari Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Namun, tidak serta merta undang-undang tersebut
dapat dioperasionalkan, karena dari sisi perundang-undangan, undang-undang ini
masih mengamanatkan dibentuknya Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan
Daerah (Perda) sebagai aturan pelaksanaannya. Hal ini memunculkan banyak
ketidakpastian aturan pengelolaan wilayah pesisir di tingkat daerah baik di tingkat
propinsi maupun di tingkatan kabupaten/kota.
Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir yang juga merupakan
penterjemahan terhadap semangat desentralisasi politik kenegaraan dengan
lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang selanjutnya mengalami
amandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah, akhirnya menuntut praktek pengelolaan yang tepat di tingkat daerah.
Pengaturan pengelolaan sumberaya pesisir yang diharapkan mampu memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dengan tetap mengedepankan
keberlanjutan sumberdaya pesisir yang tersedia, menjadi tantangan sekaligus
tanggung jawab bagi stakeholder di daerah.
Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa pada saat
pemerintahan sentralistik nampak tidak mampu menjalankan kebijakan untuk
pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) secara berkelanjutan dan berkeadilan,
banyak pihak berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan membawa
perubahan-perubahan mendasar, sehingga kebijakan dan kinerja pengelolaan
sumberdaya alam dapat diperbaiki. Hal ini terlihat dari aspek-aspek perbaikan
yang dijanjikan proses otonomi daerah yang dapat kita lihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Janji-janji Otonomi Daerah
Kesetaraan (equity)
Desentralisasi diyakini dapat membantu pengembangan kesetaraan melalui efisiensi penggunaan sumberdaya yang lebih besar dan adil serta distribusi manfaat dari aktivitas lokal secara demokratis
Efisiensi Efisiensi ekonomi dan managerial diyakini dapat ditingkat dengan : 1. Dalam setiap pengambilan keputusan dampak terhadap
masyarakat lokal senantiasa dapat diperhitungkan 2. Meningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan pengambilan
keputusan 3. Mengurangi biaya transaksi 4. Memberikan pelayanan yang berorientasi kebutuhan 5. Memobilisasi pengetahuan lokal 6. Mengembangkan koordinasi 7. Menyediakan sumberdaya
Sumber : Ribot (2002) dalam Kartodihardjo dan Jhamtani (2006)
Dalam upaya desentralisasi pengelolaan sumberaya pesisir pemerintah
Kabupaten Luwu merumuskan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat.
Kabupaten Luwu yang memiliki wilayah pesisir yang potensial dan strategis
untuk dikelola secara profesional guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat dan mendukung kelestarian lingkungan, perlindungan dan
pengawasan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, terencana dan berkelanjutan
yang melibatkan masyarakat dengan asas manfaat dan keadilan, merupakan tujuan
utama peraturan daerah ini di rumuskan.
Ada dua masalah penting yang juga menjadi kajian dalam penelitian ini
yaitu kapasitas lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar lembaga. Dalam hasil
wawancara dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu1
ditemukan bahwa dinas perikanan hanya memiliki 3 (tiga) orang tenaga penyuluh
lapangan, 1 (satu) orang tenaga pengawas yang masih memiliki skill yang terbatas
dan kemampuan teknis serta manajemen yang juga terbatas. Hal ini merupakan
gambaran kapasitas lembaga yang mengelola sumberdaya pesisir dan lingkungan
di Kabupaten Luwu. Selain itu, hubungan antara lembaga termasuk kolaborasi dan
koordinasi antar lembaga sangat penting dalam pengelolaan secara partisipatif,
dalam temuan lapangan hal ini masih sangat lemah. Keadaan ini mempengaruhi
kinerja dan menjadi kendala dalam implementasi otonomi daerah. Berikut hasil
narasi wawancara yang dilakukan dengan Kepala Bidang Pengembangan
Perikanan Tangkap dan Pesisir.
“Dalam memperoleh data dan informasi Dinas Perikanan dan Kelautan
memiliki kesulitan karena petugas pengawas perikanan yang bertugas di
Kabupaten luwu hanya terdiri dari 1 (satu) orang, selain itu untuk melakukan
penyuluhan pengelolaan sumberdaya pesisir petugas yang kami punya hanya 3
(tiga) orang dan 2 (dua) orang diantaranya hanya tamatan SMA”.
Dari hasil wawancara dengan pihak yang terkait pengelolaan sumberdaya
pesisir Kabupaten Luwu2, ditemukan bahwa lemahnya peran-peran kelembagaan
lokal terkait pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu disebabkan oleh
lemahnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia (SDM) dan kapasitas
kelembagaan utamanya masih minimnya peran dan fungsi kelembagaan-
kelembagaan lokal. Berikut kutipan hasil wawancara selanjutnya.
1Wawancara dilakukan dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap
dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan
Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.
2 Lanjutan wawancara dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan
Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan
Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.
“Hanya ada beberapa kelompok nelayan dan kelompok pembudidaya
selama ini yang aktif, itu pun banyak diantara mereka yang belum memiliki
kesadaran dalam membantu menjaga lingkungan, khususnya pembukaan kawasan
mangrove untuk tambak. LSM yang mendampingi masyarakat sebelumnya juga
sudah tidak aktif lagi setelah Perda tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut
disetujui di DPRD”
Menurut Wahyudin (2005), ciri pengelolaan sumberdaya alam secara
partisipatif adalah (1) transparansi dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti
berapa luas area yang dikelola atau dimanfaatkan, untuk kegiatan apa, bagaimana
cara dan mekanisme pengelolaan siapa yang mengelola, (2) pertanggung jawaban
pengelolaan kepada publik khususnya kepada stakeholder dalam pengelolaan
sumberdaya tersebut, yang dalam Peraturan Daerah semestinya telah diatur
sehingga pembagian kewenangan dan tanggung jawab kepada seluruh stakeholder
jelas dan menjadi hukum yang telah disepakati bersama.
Dalam peraturan daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat, tidak terdapat pengaturan
tentang kewenangan dan tanggung jawab dalam bab dan pasal peraturan daerah
tersebut. Keadaan ini menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya yang
berlebihan sehingga terjadi degradasi terumbuh karang dan hutan mangrove
secara massif yang mencapai tingkat kerusakan sampai 65 persen berikut data luas
tutupan dan kondisi terumbu karang Kabupaten Luwu. Adapun gambaran luas
tutupan dan kondisi terumbu karang di Kabupaten Luwu dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Luas Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang Kabupaten Luwu
No Kecamatan (di pesisir)
Luas Tutupan
(ha)
Persentase Luas Terumbu Karang (%)
Sangat Baik
Baik Sedang Rusak
1 Kabupaten Luwu 17.310 - 1.731
(10 %)
4.327
(25 %)
11.252
(65 %)
Keterangan : (-) = Data tidak tersedia Sumber : Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Luwu, 2010
Persoalan yang ditemukan dalam analisis substansi Peraturan Daerah
Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang
Berbasis Masyarakat di Kabupaten Luwu yaitu substansi perda yang masih
cenderung eksploitatif, proses perumusan Peraturan Daerah yang belum
partisipatif serta belum di jaminnya kepastian hak atas kekayaan sumberdaya alam
pesisir bagi masyarakat sejalan dengan pendapat Kartodihardjo dan Jhamtani
(2006), bahwa seluruh rangkaian sejarah serta ekonomi politik dibalik
pemanfaatan sumberdaya alam dari jaman kolonial sampai pelaksanaan otonomi
daerah menyisahkan sejumlah masalah mendasar sebagai berikut :
1. Keterbukaan pasar dan permintaan akan sumberdaya alam yang tinggi tanpa
disertai kepastian hak atas tanah dan kekayaan alam lain, terbukti
mengakibatkan pengurasan sumberdaya alam oleh berbagai pihak, baik secara
legal oleh yang mendapat ijin, maupun secara illegal oleh yang tidak
mendapat ijin.
2. Substansi Undang-undang maupun peraturan-perundangan lain, termasuk
Perpu, yang merupakan landasan kerja semua sektor cenderung bersifat
eksploitatif terhadap sumberdaya alam.
3. Tindakan eksploitasi sumberdaya alam secara illegal telah menjadi bagian dari
instrumen untuk memperoleh keadilan pemanfaatan sumberdaya alam bagi
sebagian masyarakat yang tinggal didalam dan di sekitar lokasi sumberdaya
alam.
4. Proses-proses politik terutama di lembaga legislatif, pusat maupun daerah,
cenderung mengarah pada kebijakan sumberdaya alam eksploitatif melalui
mobilisasi suara. Demokratisasi pengambilan keputusan terbukti belum
menghasilkan substansi keputusan yang mempertimbangkan arti penting
pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan.
Sedangkan menurut Rudyanto (2007), bahwa berbagai persoalan yang
masih menggantung dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu direspon dan
disikapi secara arif dan bijaksana. Untuk pelaksanaan otonomi daerah di masa
mendatang haruslah yang mampu meningkatkan pelayanan publik, kesejahteraan
warga dan mendorong kondisi dunia usaha yang kondusif bagi pengembangan
ekonomi lokal atau daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa hal
yang masih perlu disempurnakan antara lain:
1. Adanya keikhlasan pusat agar daerah memperoleh hak-haknya untuk
mengolah dan mengelola sumberdaya di daerahnya secara optimal.
2. Untuk mencegah disinsentif, pemerintah daerah perlu mengembangkan
strategi efisiensi dalam segala bidang (yang menjadi tolok ukur bukanlah
besarnya dana, tapi seberapa optimal pelayanan diberikan kepada masyarakat
sesuai dengan skala prioritas pembangunan daerahnya).
3. Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah, perlu dikembangkan ekonomi
lokal yang kuat dan secara sistemik akan mensinergikan potensi sumberdaya
lokal dengan basis kemitraan lintas aktor-aktor pembangunan (stakeholder).
4. Memperbaiki fundamental ekonomi nasional dengan memberi kesempatan
yang lebih luas kepada Usaha Kecil-Mikro (UKM) agar lebih berkembang
melalui kebijakan ekonomi yang tidak diskriminatif.
5. Memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam secara proporsional dan arif,
agar kekayaan (resources endowment) tersebut dapat dimanfaatkan secara
optimal dan lestari (green economic paradigm).
6. Mendorong agregasi permintaan masyarakat (public demand) terhadap
layanan publik dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan,
pembuatan dan pengawasan dari kebijakan pembangunan (ekonomi)
daerahnya.
7. Mendorong desentralisasi pembangunan daerah dan mendayagunakan
kelembagaan di daerah untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam
membuat produk hukum pembangunan di daerahnya.
8. Untuk memperkuat basis keuangan daerah, pemerintah daerah tidak harus
selalu menambah jenis pungutan.
9. Dalam era otonomi daerah ini, birokrat pemerintah daerah harus mampu
bertindak layaknya seorang entreprenuer dan Pemerintah Daerah sebagai
institusi harus juga mampu bertindak layaknya sebagai enterprise.
Dengan semangat otonomi daerah umumnya ditemukan dalam wawancara
dengan stakeholder bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi dalam
implementasi kebijakan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu antara lain : (1)
Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap kebijakan
otonomi daerah, (2) Belum tersedianya regulasi yang memadai sebagai pedoman
dan acuan implementasi otonomi daerah, (3) Keterbatasan kemampuan aparatur
pemerintahan di daerah dalam melaksanakan kewenangan daerah, (4)
Keterbatasan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai sendiri
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di
daerah, (5) Keterbatasan kemampuan daerah dalam mengembangkan dan
mengelola potensi daerah.
Substansi regulasi di atas banyak mengkonsentrasikan kewenangan pada
pemerintah pusat, sehingga mendorong tumbuhnya sikap merasa tidak memiliki
dari pemerintah daerah dan masyarakat lokal, menyebabkan pemanfaatan
sumberdaya pesisir tidak terkontrol. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya
pelanggaran yang terjadi, seperti kegiatan penangkapan dengan menggunakan
potas maupun pengambilan biota yang dilindungi, kegiatan pembukaan lahan
tambak baru atau eksploitasi hutan mangrove yang massif di hampir seluruh
kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Luwu. Salah satu temuan penelitian
setelah melakukan wawancara mendalam dengan pihak Dinas Keluatan dan
Perikanan Kabupaten Luwu3, ditemukan bahwa Pemerintah daerah dalam hal ini
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu masih memiliki keterbatasan
tenaga pengawas dalam melakukan pengawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir
yang hanya terdiri 3 (tiga) orang tenaga pengawas yang sekaligus berfungsi
sebagai tenaga penyuluh perikanan.
Selain itu, kelemahan dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya alam
pesisir juga di tunjukkan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(Bapedalda) khususnya Kepala Bidang Pengendalian AMDAL4 yang
menunjukkan lemahnya penegakan hukum terkait pengelolaan sumberdaya pesisir
3Wawancara dilakukan dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap
dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan
Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.
4 Wawancara dilakukan dengan Jahiriah Kepala Bidang Pengendalian AMDAL. Dilakukan pada hari
Rabu tanggal 6 Juli 2011 di kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(Bappedalda), Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.
oleh pihak swasta dan masyarakat. Dari wawancara mendalam ditemukan
informasi lemahnya penanganan dampak lingkungan yang hanya mengandalkan
laporan dari masyarakat. Berikut ini kutipan wawancara dengan pihak Bapedalda.
“Saat ini terjadi eksploitasi kawasan mangrove akibat pembukaan lahan
tambak untuk budidaya tambak rumput laut, tetapi kami tidak bias mengambil
tindakan selama belum ada aturan yang mengatur secara rinci batas
pemanfaatan hutan mangrove dari pemerintah dalam hal ini Bupati dan Dinas
Kelautan dan Perikanan. Selama ini untuk masalah pencemaran lingkungan
akibat penambangan atau aktivitas perusahaan kami biasanya menunggu laporan
masyarakat”.
Dalam wawancara dengan pihak Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda)5 ditemukan bahwa tingkat pelibatan masyarakat dan pihak
swasta dalam perumusan peraturan daerah masih sangat lemah. Selanjutnya secara
subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir yang Berbasis Masyarakat Kabupaten Luwu akan di kaji dengan melihat
persoalan pemberian kesempatan pada masyarakat lokal untuk melakukan usaha,
efisiensi ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir.
Selanjutnya kutipan hasil wawancara dengan pihak Bappeda.
“Perda ini diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan bersama-sama
dengan LSM KTNA, namun tidak melibatkan kelompok masyarakat nelayan atau
kelompok pembudidaya, selain itu pada prosesnya beberapa instansi terkait
seperti Bappedalda tidak terlibat secara aktif. Persoalan yang banyak terjadi saat
ini adalah potensi terjadinya abrasi di pemukiman pesisir jika tidak segera di
lakukan penguatan aturan perda ini. Terkait juga dengan masalah hulu, karena
sisa penebangan yang terbawa ke muara juga menyebabkan terjadi kerusakan
tanaman mangrove”.
Temuan dari wawancara di atas menunjukkan lemahnya koordinasi
instansi terkait pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Selain itu,
5Hasil wawancara dengan Zainal Arifin Bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah Pesisir
(Bappeda) Kabupaten Luwu . Dilakukan pada kamis tanggal 7 Juli 2009 di kantor Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.
saat ini telah terjadi degradasi lingkungan yang sangat tinggi khususnya pada
hutan mangrove. Pelibatan masyarakat dan pihak swasta dalam perumusan dan
perencanaan Perda tentang pengelolaan pesisir juga tidak dilakukan. Kenyataan
ini memerlukan kebijakan baru yang lebih mengedepankan pemberian
tanggungjawab kepada masyarakat dalam melakukan perlindungan sumberdaya
pesisir yang semestinya dilakukan dengan lebih dahulu memberikan ruang
keterlibatan dalam perencanaan, evaluasi dan monitoring sehingga masyarakat
lokal selain memiliki kesadaran juga memiliki rasa tanggungjawab.
5.2. Analisis Subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat
Penetapan peraturan Daerah (Perda) adalah suatu proses politik yang
secara umum melibatkan pihak eksekutif dan legislatif dan semestinya melibatkan
multipihak. Penyusunan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat yang dianalisis
dalam penelitian ini diinisiasi oleh pihak eksekutif melalui Dinas Perikanan dan
Kelautan6. Dalam prosesnya sampai di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) peraturan daerah ini hanya melibatkan satu kelompok Tani Nelayan
Tambak dan satu Lembaga Swadaya Masyarakat KTNA dari pihak diluar
pemerintahan.
Peraturan Daerah ini disusun atas dasar bahwa wilayah pesisir dan laut di
daerah Kabupaten Luwu merupakan kawasan yang sangat potensial dan strategis
untuk dikelola secara professional guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat pesisir. Selain itu Kabupaten Luwu yang berbatasan langsung dengan
Kawasan Teluk Bone penting untuk mendukung kelestarian, perlindungan dan
pengawasan wilayah pesisir dan laut, sehingga dibutuhkan suatu sistem
pengelolaan terpadu, terencana dan berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat
berlandaskan asas-asas manfaat dan keadilan. Pada Tabel 5 di bawah ini
6 Hasil wawancara dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan
Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan
Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.
menggambarkan tentang stakeholder yang terlibat dalam penyusunan Perda
tersebut.
Tabel 5. Tim Penyusun Naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat
Tim Penyusun Naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Instansi Pemerintah LSM-ORMAS
Dinas Perikanan dan Kelautan
Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda)
Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda)
Bagian Hukum Bagian Pemerintahan Bagian kelembagaan
masyarakat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kabid Fisik dan Prasarana Kasubid. Tata Ruang Kasubid Lingkungan Hidup Kabid Amdal Kadis Perikanan Kasubag. Peraturan
Perundang-undangan Lurah Perguruan Tinggi
LSM KTNA Kelompok Tani Nelayan Tambak
Sumber : Hasil Analisis, 2011
Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat merupakan peraturan yang dibuat
sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Daerah ini di sahkan pada bulan Maret
2007, dilakukan perumusan selama 2 (dua) tahun sejak tahun 2005, sedangkan
Undang-Undang tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau kecil disyahkan
pada bulan Juli 2007. Secara eksplisit peraturan daerah ini merujuk pada Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam peraturan daerah ini ditemukan bahwa tidak terdapat rujukan
terhadap Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002
tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu yang
sesungguhnya mengatur secara teknis pedoman untuk perencanaan wilaya pesisir
secara terpadu. Peraturan daerah ini terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 24 (dua
puluh empat) pasal yang akan di kaji selanjutnya terkait dukungan peraturan
daerah terhadap kesempatan masyarakat lokal untuk melakukan usaha, efisiensi
ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan pesisir. Proses peraturan daerah
No. 02 Tahun 2007 dimulai jauh sebelum kegiatan pengesahan peraturan daerah
ini dilakukan yaitu berkisar 2 (dua) tahun dengan melakukan studi terlebih dahulu
oleh Dinas Perikanan dan Keluatan yang bekerjasama dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) KTNA.
Definisi wilayah pesisir secara umum memberikan gambaran besar, betapa
kompleksitas aktivitas ekonomi dan ekologi terjadi pada wilayah ini.
Kompleksitas aktivitas ekonomi seperti perikanan, pariwisata, pemukiman,
perhubungan, dan sebagainya memberikan tekanan yang cukup besar terhadap
keberlanjutan ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun
dan terumbu karang. Tekanan yang demikian besar tersebut jika tidak dikelola
secara baik akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang terdapat di
wilayah pesisir.
5.2.1. Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Kesempatan Pemanfaatan Masyarakat Lokal dan Efisiensi Ekonomi
Menurut Carter (1996), mengemukakan bahwa konsep pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat memiliki
beberapa aspek positif yaitu (1) Mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, (2) Mampu merefleksikan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, (3) Mampu meningkatkan
manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (4) Mampu
meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis, (5) Responsif dan adaptif
terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal, (6) Mampu menumbuhkan
stabilitas dan komitmen, serta (7) Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola
secara berkelanjutan. Namun apakah konsep ini sudah menjiwai peraturan daerah
Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang
Berbasis Masyarakat selanjutnya dilakukan analisis substansi peraturan tersebut.
Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian
terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan pesisir.
Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Laut yang Berbasis Masyarakat diharapkan dapat memberikan peluang
pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian
lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Pada pasal 14 (empat belas) tentang
Pengembangan Ekonomi Masyarakat dalam peraturan daerah ini terdiri dari 3
(tiga) ayat yang hanya menekankan pada peran dan tanggungjawab pihak swasta,
pengembangan kapasitas pengetahuan dan keterampilan masyarakat serta peran
pemerintah daerah dalam mendorong kerjasama dengan lembaga keuangan untuk
memudahkan masyarakat memperoleh atau mengakses bantuan permodalan atau
penguatan modal operasional.
Secara substantif peraturan daerah ini belum memberikan tekanan pada
upaya mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan, merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang lebih
spesifik, usaha meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat
yang ada serta belum menggambarkan secara eksplisit aturan yang mendukung
efisiensi secara ekonomis. Selain itu peraturan daerah ini belum memberikan
motivasi terhadap masyarakat untuk mengelola sumberdaya pesisir secara
berkelanjutan.
Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan
jaminan pemerataan dan efektifitas dalam pengimplementasiannya adalah
pengelolaan berbasis masyarakat (community based management) yang menjadi
tema utama dalam peraturan daerah ini. Tetapi setelah melakukan pengkajian
secara subtantif peraturan ini belum memenuhi semangat yang memberikan pada
jaminan terhadap komunitas atau masyarakat yang memiliki adat istiadat, nilai-
nilai sosial dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat hal ini terbukti dengan belum
adanya pasal dalam isi peraturan daerah yang menunjukkan keberpihakan
terhadap beberapa wilayah pesisir yang telah dimanfaatkan masyarakat secara
alami sebagai daerah wisata contohnya di Kecamatan Larompong Selatan yang
saat ini di dimanfaatkan sebagai pelubahan angkutan laut dan Buntu Mata’bing
yang sebelumnya menjadi pusat aktivitas nelayan dalam melakukan penangkapan
ikan secara tradisional saat ini menjadi kawasan wisata pesisir Buntu Mata’bing.
Temuan ini sesuai dengan pendapat Satria (2009b), mengatakan bahwa
kebijakan pengembangan taman wisata telah banyak mengubah hak-hak
kepemilikan nelayan tradisional. Misalnya sebelumnya masyarakat memiliki hak-
hak atas sumberdaya itu dari hak akses hingga hak eksklusi, setelah keberdaan
taman wisata hak tersebut menjadi hilang. Selanjutnya dikatakan bahwa nelayan
merupakan kelompok sosial yang selama ini terpinggirkan, baik secara sosial,
ekonomi maupun politik. Hal ini merupakan kecenderungan di berbagai Negara
bukan hanya di Indonesia.
5.2.2. Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Partispasi Masyrakat dan Perlindungan Lingkungan Pesisir
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam lebih dikenal
dengan istilah Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) atau community based
management (CBM). Menurut Carter (1996), Community-Based Resource
Management (CBRM) didefinisikan sebagai suatu strategi untuk mencapai
pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan
mengenai pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan secara berkelanjutan di suatu
daerah berada ditangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut.
Dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung
jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang
dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan
dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi
kesejahteraannya.
Dari hasil analisis keterlibatan masyarakat dalam perumusan Peraturan
Daerah ini menunjukkan tingkat keterlibatan masyarakat yang sangat kecil hanya
mencapai 4.5 persen. Hal ini bertentangan dengan semangat pengelolaan
sumberdaya alam berbasis masyarakat yang semestinya diikuti oleh upaya
pelibatan dalam perumusan peraturan pengelolaan sumberdaya alam. Pada Bab
VII tentang Partispasi Masyarakat hanya terdiri atas 1 (satu) Pasal dan 6 (enam)
ayat yang secara subtantif menekankan pada tanggungjawab masyarakat atas
pelestarian hutan mangrove, terumbu karang dan biota lainnya. Selanjutnya pada
ayat lain menekankan pada tanggungjawab badan usaha dalam pelestarian
sumberdaya hutan mangrove dan terumbu karang. Peraturan daerah ini belum
mengatur definisi batas-batas pemanfataan sumberdaya pesisir, daerah
perlindungan sumberdaya pesisir dan belum melibatkan masyarakat dalam
dimensi perencanaan tapi lebih menekankan pada bagaimana tanggung jawab
masyarakat dalam pelaksanaan, serta pemanfaatan sumberdaya alam.
Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa ada dua argument
penting yang belum digunakan dalam pembaruan kebijakan: (1) Kepastian
mengenai hak penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumberdaya
lain, (2) Keberadaan dan peran kelembagaan masyarakat sebagai unsur penting
untuk mempertahankan daya dukung lingkungan. Walaupun ada prosedur
normatif untuk merumuskan atau memperbarui kebijakan dengan pertimbangan
hasil evaluasi kebijakan yang telah berjalan, namun evaluasi kebijakan itu sendiri
jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan.
Selanjutnya dalam peraturan daerah ini juga tidak ditemukan bab atau
pasal yang mengatur tentang upaya penanggulangan kerusakan lingkungan
pesisir. Dalam konsep pembangunan berbasis masyarakat, penanggulangan
kerusakan lingkungan pesisir diharapkan mampu menjawab persoalan yang terjadi
di suatu wilayah berdasarkan karakteristik sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia di wilayah tersebut. Dalam hal ini, suatu komunitas mempunyai hak
untuk dilibatkan atau bahkan mempunyai kewenangan secara langsung untuk
membuat sebuah perencanaan pengelolaan wilayahnya disesuaikan dengan
kapasitas dan daya dukung wilayah terhadap ragam aktivitas masyarakat di
sekitarnya.
Pola perencanaan pengelolaan seperti ini sering dikenal dengan sebutan
participatory management planning, dimana pola pendekatan perencanaan dari
bawah yang disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas menjadi
sinergi dalam pengimplementasiannya. Dalam hal ini prinsip-prinsip
pemberdayaan masyarakat menjadi hal penting yang semestinya dijadikan dasar
implementasi sebuah pengelolaan berbasis masyarakat.
Meminjam defenisi COREMAP-LIPI (1997) dalam Wahyudin (2005)
menyatakan bahwa tujuan umum penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir
berbasis masyarakat adalah mendorong peran serta masyarakat secara aktif dan
terlibat langsung dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan lokal untuk
menjamin dan menjaga kelestarian sumberdaya dan lingkungan, sehingga dapat
menjamin adanya pembangunan yang berkelanjutan.
Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan khusus penanggulangan kerusakan
lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat dilakukan untuk (1)
Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menanggulangi
kerusakan lingkungan, (2) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan
serta dalam pengembangan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan secara
terpadu yang sudah disetujui bersama, (3) Membantu masyarakat setempat
memilih dan mengembangkan aktivitas ekonomi yang lebih ramah lingkungan,
dan (4) Memberikan pelatihan mengenai sistem pelaksanaan dan pengawasan
upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis
masyarakat.
Hal di atas belum ditekankan dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis masyarakat
sehingga penting untuk segera dilakukan penyempurnaan Peraturan Daerah atau
merumuskan daerah perlindungan sumberdaya pesisir melalui Peraturan Bupati.
Selanjutnya dalam melakukan analisis stakeholder ditemukan beberapa hal terkait
persepsi, partisipasi masyarakat, relasi, kepentingan, pengaruh dan peta posisi
stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu yang
bertentang dengan semangat substansi peraturan daerah yang telah dianalisis
sebelumnya.
5.3. Analisis Stakeholder
Partisipasi masyarakat semakin diperhatikan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam setiap kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan,
sehingga para pengambil keputusan perlu memahami pihak-pihak yang
dipengaruhi oleh keputusan dan tindakan yang mereka ambil, dan yang memiliki
kekuasaan untuk mempengaruhi hasilnya, yaitu para stakeholder.
Mengidentifikasi stakeholder merupakan langkah awal dan penting dalam setiap
kegiatan partisipatif.
Dalam kebijakan, pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam,
analisis stakeholder digunakan sebagai pendekatan yang dapat memberdayakan
para stakeholder yang marjinal agar dapat mempengaruhi proses pengambilan
keputusan. Sedangkan dalam penelitian kebijakan, analisis stakeholder
merupakan suatu cara untuk menghasilkan informasi atas aktor-aktor yang relevan
dalam memahami perilaku, kepentingan, agenda, dan pengaruh mereka pada
proses pengambilan keputusan (Burgha and Varvasovsky, 2000).
Analisis stakeholder mencoba melihat persepsi, peran atau partisipasi dan
kepentingan masing-masing pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di
Kabupaten Luwu. Hasil tanggapan masyarakat yang disampaikan melalui jawaban
dari pertanyaan terstruktur dalam kuesioner yang terbagi dalam tujuh kelompok
masyarakat yaitu masyarakat Kecamatan Larompong, Larompong Selatan, Suli,
Belopa Utara, Ponrang, Bua dan Walenrang Timur yang masing – masing
responden berjumlah 30 orang ditiap kecamatan yang didasarkan pada mata
pencaharian sebagai nelayan.
5.3.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Kabupaten Luwu
Persepsi adalah suatu proses mental yang rumit dan melibatkan berbagai
kegiatan untuk menggolongkan stimulus yang masuk sehingga menghasilkan
tanggapan untuk memahami stimulus tersebut. Persepsi dapat terbentuk setelah
melalui berbagai kegiatan, yakni proses fisik (penginderaan), fisiologis
(pengiriman hasil penginderaan ke otak melalui saraf sensoris) dan psikologis
(ingatan, perhatian, proses internalisasi informasi di otak).
Ada beberapa hal yang mempengaruhi persepsi : (1) Pelaku persepsi, bila
seorang individu memandang pada suatu target dan mencoba menafsirkan apa
yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik
pribadi dari pelaku persepsi, antara lain sikap, motif atau kebutuhan individu,
suasana hati, pengalaman masa lalu, dan pengharapan. (2) Target yang akan
diamati, karakteristiknya dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan, (3) Situasi,
yaitu unsur-unsur dalam lingkungan sekitar dapat mempengaruhi persepsi.
Mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir
dalam penelitian ini diharapkan dapat memberiakan informasi tambahan dan
menilai tingkat pengetahuan masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir di
Kabupaten Luwu. Sumberdaya pesisir yang di maksud berbasis ekosistem
sehingga digolongkan kedalam tiga sumberdaya yaitu terumbu karang, hutan
mangrove dan padang lamun. Berikut persepsi masyarakat terhadap kondisi
terumbu karang, mangrove dan padang lamun Kawasan Teluk Bone Kabupaten
Luwu.
Gambar 5. Diagram Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Terumbu Karang,
Mangrove dan Padang Lamun Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Raya.
Sumber : Hasil analisis, 2011 Berdasarkan Gambar 5 di atas menunjukkan bahwa 53.0 persen dari
jumlah responden mengatakan bahwa tanaman mangrove telah mengalami
kerusakan, dan 20.1 persen menyatakan sangat rusak. Umumnya kerusakan ini
disebabkan oleh pembukaan lahan tambak rumput laut jenis Glacillaria Sp yang
dilakukan dihampir seluruh kecamatan pesisir Kabupaten Luwu. Selanjutnya 39.3
persen masyarakat menilai bahwa sumberdaya terumbu karang sudah rusak dan
21.2 persen menyatakan sangat rusak, hal ini sesuai dengan data yang ditemukan
dari Dinas Kelautan Perikanan yang menunjukkan tingkat kerusakan terumbu
karang mencapai 65 persen.
Dari wawancara dengan salah satu masyarakat atau nelayan7 ditemukan
informasi bahwa, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penggunaan alat
tangkap bom di wilayah terumbuh karang dan pemanfaatan terumbuh karang
sebagai fondasi bangunan untuk rumah penduduk. Hal ini berbeda dengan
persepsi masyarakat terhadap kondisi padang lamun dimana terdapat 50.0 persen
responden menyatakan baik dan 19.8 persen menyatakan sangat baik hal ini
disebabkan karena pemanfataan atas sumberdaya ini masih kurang oleh nelayan.
Data di atas menunjukkan nilai yang sesuai dengan data yang diperoleh
dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu yaitu Data Status
Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Luwu tahun 2010, yang menunjukkan nilai
sumberdaya terumbu karang yang masih baik hanya 1.731 ha atau 10 persen,
sedang 4.327 ha atau 25 persen dan11.252 ha atau 65 persen dinyatakan rusak.
Persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu
menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat secara sadar mengatahui bahwa
tingkat sumberdaya pesisir yang selama ini mereka manfaatkan telah mengalami
banyak kerusakan.
Kesadaran masyarakat ini, pada dasarnya memberikan peluang bagi
pelibatan masyarakat dalam upaya perlindungan dan pengendalian kerusakan
lingkungan jika dalam proses perencanaan masyarakat dilibatkan secara aktif.
Dengan pengetahuan masyarakat tentang kondisi kerusakan sumberdaya pesisir
jika dilibatkan dalam perumusan kebijakan atau perencanaan perlindungan
kawasan atau pengendalian kerusakan akan lingkungan masyarakat akan lebih
bertanggung jawab dalam pengelolaannya. Selain mengukur persepsi masyarakat
terhadap kondisi sumberdaya pesisir juga dilakukan analisis terhadap partisipasi
masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir.
5.3.2. Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir
Kabupaten Luwu
7 Hasil wawancara dengan Dawalang. Dilakukan pada tanggal 9 Juli 2011 di Dusun Biru, Kelurahan
Larompong, Kecamatan Larompong.
Partisipasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peran serta
masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir yaitu pemanfaatan terumbu
karang, hutan mangrove dan padang lamun. Pada dasarnya partisipasi dibedakan
menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang sifat
dimobilisasikan. Partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertaan dan
peran sertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi
yang dimobilisasikan memiliki arti keikutsertaan dan berperan serta atas dasar
pengaruh orang lain.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat yaitu
keadaan sosial masyarakat, kegiatan program pembangunan dan keadaan alam
sekitarnya. Keadaan sosial masyarakat meliputi pendidikan, pendapatan,
kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem sosial. Kegiatan program
pembangunan merupakan kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan oleh
pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan tindakan kebijaksanaan.
Sedangkan alam sekitar merupakan faktor fisik atau keadaan geografis daerah
yang ada pada lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat. Selain
memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan peran
serta masyarakat juga akan meningkatkan kemungkinan kesediaan masyarakat
untuk menerima keputusan serta membantu perlindungan hukum.
Menurut Hardjasoemantri (1993) bahwa perlu terpenuhi syarat-syarat
berikut agar peran serta masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna antara lain:
(1) Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan
mengumumkan rencana kegiatannya. (2) Informasi lintas batas (transfortier
information), mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang
dibuat manusia, maka ada kemungkinan kerusakan lingkungan di satu daerah akan
pula mempengaruhi daerah lain sehingga pertukaran informasi dan pengawasan
yang melibatkan daerah-daerah terkait menjadi penting, (3) Informasi tepat waktu
(timely information) suatu proses peran masyarakat yang efektif memerlukan
informasi yang sedini dan seteliti mungkin sebelum keputusan terakhir diambil.
sehingga masih adan kesempatan untuk mempertimbangkan dan mengusulkan
alternatif-alternatif pilihan, (4) Informasi yang lengkap dan menyeluruh
(comphrehensif information) walau isi dari suatu informasi akan berbeda
tergantung keperluan bentuk kegiatan yang direncanakan tetapi pada intinya
informasi itu haruslah menjabarkan rencana kegiatan secara rinci termasuk
alternati-alternatif lain yang dapat diambil, (5) Informasi yang dapat dipahami.
Seringkali pengambilan keputusan di bidang lingkungan meliputi masalah yang
rumit, kompleks dan bersifat teknis ilmiah, sehingga haruslah diusahakan
informasi tersebut mudah dipahami oleh masyarakat awam. Berikut ini tingkat
partispasi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kabupaten
Luwu (Gambar 6).
Gambar 6. Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir
Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu
Sumber : Hasil analisis, 2011
Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat
terhadap pemanfaatan terumbu karang sangat tinggi dimana ada 49.5 persen
responden yang menyatakan tinggi dan 28.1 persen yang menyatakan sangat
tinggi, sama halnya dengan pemanfaatan mangrove yang menunjukkan bahwa
46.7 persen yang mengatakan sangat tinggi dan 26.7 persen responden yang
menyatakan tinggi. Berbeda dengan sumberdaya padang lamun dimana 53.8
persen responden menyatakan rendah dan 20.0 persen menyatakan sedang.
Temuan ini menunjukkan bahwa dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 02
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis
Masyarakat tidak cukup memberikan penekanan pada upaya pengelolaan
sumberdaya pesisir berkelanjutan. Selain itu dapat pula disimpulkan bahwa
keberadaan peraturan daerah tersebut belum memiliki konstribusi terhadap
pengendalian kerusakan lingkungan.
5.3.3. Hubungan antar Persepsi dengan Partisipasi Masyarakat terhadap pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu
Dari hasil analisis persepsi masyarakat terhadap kondisi terumbuh karang
ditemukan bahwa tingkat kerusakan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu
mencapai 73.1 persen untuk terumbu karang dan hutan mangrove mencapai 60.5
persen. Kondisi ini sejalan dengan hasil analisis tingkat partisipasi masyarakat
terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang sangat tinggi mencapai 77.6
persen untuk pemanfaatan terumbuh karang dan 73.4 persen untuk tingkat
pemanfaatan masyarakat terhadap hutan mangrove. Hal ini menimbulkan
persoalan bagi keberlanjutan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu.
Dengan tingkat partisipasi yang sangat tinggi, masyarakat dan pihak
swasta perlu mendapat pendampingan dan pengawasan dari pihak pemerintah
daerah. Penggunaan alat tangkap yang merusak keberlanjutan sumberdaya
terumbu karang perlu untuk segera ditindaklanjuti dengan melakukan pengawasan
yang lebih intensif. Selain itu dengan berkurangnya area hutan mangrove akibat
pembukaan lahan tambak yang sangat massif maka pemerintah daerah seharusnya
mampu merumuskan aturan tentang pengendalian kerusakan lingkungan dan
penetapan kawasan lindung. Kesimpulan lain yang dapat ditarik dengan melihat
hasil analisis diatas yaitu keberadaan peraturan daerah yang mengatur tentang
pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu belum terlaksana secara baik
dan terdapat kesalahan pada tingkat penerapan.
5.3.4. Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat terhadap Peraturan
Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
yang Berbasis masyarakat maka dilakukan analisis terhadap persepsi masyarakat
terhadap perda tersebut. Analisis ini dilakukan dengan melakukan wawancara dan
kuesioner terhadap 210 (dua ratus sepuluh) masyarakat atau nelayan yang berada
di 7 (tujuh) kecamatan yang berbeda masing-masing 30 (tiga puluh) orang tiap
kecamatan. Dari wawancara mendalam dengan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) juga ditemukan bahwa keberdaan peraturan daerah
tersebut belum banyak diketahui masyarakat, bahkan di tingkat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sendiri peraturan ini belum pernah dilakukan
evaluasi terhadap penerapan dan pelaksanaannya di dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir. Gambar 7 berikut menunjukkan persepsi masyarakat terhadap
Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Laut yang Berbasis Masyarakat.
Gambar 7. Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Luwu
No. 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat.
Sumber : Hasil analisis, 2011
Gambar 7 di atas menunjukkan bahwa 77.6 persen responden tidak
mengetahui keberadaan peraturan daerah tersebut dan hanya 22.4 persen
responden yang mengatakan mengetahui. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa
keberadaan peraturan daerah tersebut belum diketahui oleh masyarakat. Dengan
tingginya ketidaktahuan masyarakat maka dapat pula diasumsikan bahwa
sosialisasi peraturan daerah tersebut tidak berjalan, dan sebelum peraturan ini
diterapkan tidak dilakukan penguatan terhadap posisi kelompok kelembagaan
masyarakat lokal dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten
Luwu.
Hasil analisis di atas sejalan dengan pendapat Kartodihardjo dan Jhamtani
(2006), bahwa ketika pemerintah melakukan pembaruan kebijakan, masyarakat
luas terutama yang langsung terkena dampak dari penerapan kebijakan tersebut,
sering tidak mengtahui karena tidak dilibatkan dalam proses pembaruan itu. Para
pembuat kebijakan pada umumnya hanya menggunakan sistem nilai dan
keyakinan mereka sendiri, atau mengundang msyarakat dalam proses pembaruan
kebijakan sebagai persyaratan partisipasi publik. Mereka memaknai hal itu
sebagai cara atau teknologi baru dalam pembuatan kebijakan, tanpa memahami
arti penting mengubah cara pandang menuju kesejajaran pemerintah-rakyat dalam
pembuatan keputusan sebagai landasan filosofis proses partisipasi tersebut.
Dikatakan pula bahwa kebijakan seharusnya dilaksanakan oleh birokrasi
pemerintah yang memang mampu melaksanakannya. Birokrasi di Indonesia
sebenarnya sudah memiliki pola modern, dan terdiri dari kumpulan putra-putri
terbaik bangsa. Namun, birokrasi yang cenderung mapan tidak dapat mengikuti
dinamika perkembangan yang pesat pada berbagai bidang diluar lingkungan
mereka. Birokrasi yang di masa lalu paling mengetahui bidangnya (well
informed), kini justru jauh tertinggal dari dunia usaha dan masyarakat yang
seharusnya mereka layani. Karena itu timbul kesan bahwa birokrasi berjalan
lamban dan cenderung mengutamakan prosedur daripada substansi. Birokrasi
tidak efisien dan tidak dapat diharapkan menghasilkan public goods dan public
services dengan harga dan kualitas bersaing jika dibandingkan dengan apa yang
dapat dilakuakan masyarakat (Kartasasmita 1996 dalam Kartodihardjo dan
Jhamtani 2006).
Dalam beberapa pendekatan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi
masyarakat secara penuh, maka masyarakat harus dipersiapkan secara sosial agar
dapat, (1) Mengutarakan aspirasi serta pengetahuan tradisional dan kearifannya
dalam menangani isu-isu lokal yang merupakan aturan-aturan yang harus
dipatuhi, (2) Mengetahui keuntungan dan kerugian yang akan didapat dari setiap
pilihan intervensi yang diusulkan yang dianggap dapat berfungsi sebagai jalan
keluar untuk menanggulangi persoalan lingkungan yang dihadapi, dan (3)
Berperanserta dalam perencanaan dan pengimplementasian sebuah kebijakan.
Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) bahwa pemerintah pada
dasarnya mendapat mandat dari negara untuk mengendalikan pengelolaan
sumberdaya alam dan bertanggung jawab atas pelestariannya. Namun mandat itu
mendapat pandangan dikalangan birokrasi bahwa kewenangan mereka merupakan
hak mutlak. Pandangan seperti ini sering terjadi dalam era otonomi daerah.
Akhirnya menyebabkan penyusunan Perda yang seharusnya melibatkan
multipihak yang memungkinkan pertukaran informasi yang lebih dalam dan dapat
mempengaruhi keputusan tidak terjadi.
Sejalan dengan itu menurut Satria (2009b) bahwa salah satu persoalan yang
seringkali muncul dari setiap formulasi perundangan adalah siapa yang
diuntungkan. Dari sekian stakeholder nelayan merupakan pihak yang relatif tidak
mampu mengartikulasi aspirasi dan kepentingan sehingga dalam interaksi politik
proses pengambilan keputusan sangat potensial untuk dirugikan.
5.3.5. Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam perumusan Peraturan
Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat
Kegagalan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup
diakibatkan salah satunya oleh adanya kegagalan kebijakan (lack of policy)
sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat
menginternalisasi permasalahan lingkungan yang ada. Kegagalan kebijakan (lack
of policy) terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker
dalam menentukan kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat
dengan keberadaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan. Artinya bahwa,
pada kebijakan tersebut terjadi kesalahan asumsi yang menyebabkan lingkungan
hanya menjadi variabel minor. Padahal, dunia internasional saat ini selalu
mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti green
product, sanitary safety, dan sebagainya. Selain itu, proses penciptaan dan
penentuan kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan ini dilakukan dengan
minim sekali melibatkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat
sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi.
Peran pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan idealnya harus seimbang, terkoordinasi dan tersinkronisasi. Hal ini
penting dilakukan mengingat pemerintah mempunyai kewajiban untuk
memberikan pelayanan terhadap masyarakat, termasuk mendukung pengelolaan
sumberdaya dan lingkungan demi sebesar-besarnya kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga mempunyai tanggung
jawab dan turut berperan serta untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan
sumberdaya alam dan lingkungan. Gambar 8 menunjukkan tingkat keterlibatan
stakeholder dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Berbasis Masyarakat di Kabupaten Luwu.
Gambar 8. Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam Perumusan Peraturan Daerah
Nomor 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat.
Sumber : Hasil analisis, 2011
Dari gambar di atas menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
daerah (DPRD) memiliki tingkat keterlibatan paling tinggi yaitu 57.1 persen
sangat aktif, kemudian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 50.0 persen sangat
aktif, pemerintah daerah 33.3 persen sangat aktif dan 33.3 persen menunjukkan
aktif dan perguruan tinggi 50.0 persen. Diagram ini juga memperlihatkan tingkat
keterlibatan Masyarakat yang sangat rendah yang hanya mencapai 4.5 persen dan
Swasta yang tidak terlibat aktif dalam perumusan perda tersebut.
Rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat dalam perumusan peraturan
daerah tersebut di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya pelibatan masyarakat
belum dilakukan pada tingkat perumusan kebijakan, dan masyarakat masih
diposisiskan sebagai objek kebijakan. Kenyataan ini mengakibatkan secara nyata
partisipasi masyarakat terhadap pemahaman peraturan sangat rendah dan
tanggung jawab masyarakat terhadap upaya pembangunan dan pelestarian
sumberdaya menjadi sangat kecil. Dari data di atas juga dapat disimpulkan bahwa
Perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir masih memposisikan
masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi bukan subjek
dari pengelolaan sumberdaya pesisir.
Hasil analisis ini sejalan dengan pendapat Satria (2009b) yang menyatakan
bahwa salah satu cirri nelayan kecil (small scale fisher) adalah tidak adanya
kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan publik sehingga masyarakat atau
nelayan terus berada dalam posisi dependen dan marjinal. Terlihat bahwa faktor
kapital menjadi sangat dominan dalam menentukan posisi nelayan. Semakin besar
penguasaan kapital maka semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi
proses politik. Kekuatan ekonomi atau kapital mempunyai peran yang sangat
penting dan menentukan kehidupan politik, hukum dan sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa dalam mengkaji persoalan hukum
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut tidak terlepas dari peran stakeholder
yang beragam kepentingan, latar belakang sosial, status ekonomi,maupun sosial-
politik selalu menciptakan konflik kepentingan. Dari sekian stakeholder yang
beragam tersebut, nelayan merupakan pihak yang relatif tidak mampu
mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya sehingga dalam interaksi politik
proses pengambilan keputusan sangat potensial untuk dirugikan.
Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa Perda sebagaimana
juga undang-undang, merupakan produk politik. Dengan demikian aspek baik atau
buruk suatu perda mencerminkan kualitas dari suatu proses politik. Kualitas perda
ditentukan oleh perimbangan kekuatan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi
politik didalamnya. Selanjutnya dikatakan bahwa; (1) Perda sebagai naskah
hukum merupakan pengejawantahan dari policy narrative (uraian kebijakan) yang
dapat menjadi tidak berarti apabila posisi dan kekuatan pihak-pihak bergeser kea
rah yang berlawanan dari tujuan perumusan perda itu sendiri, (2) Perda
semestinya dianggap sebagai instrumen kebijakan dan bukan hasil kebijakan.
Inisiatif untuk menyusun Perda bukanlah akhir dari suatu tindakan, melainkan
proses antara untuk menentukan arah tujuan yang telah ditetapkan, (3) Kegiatan
perumusan kebijakan bukanlah penyusunan naskah Perda. Kegiatan penyusunan
naskah Perda adalah bagian kecil dari penguatan modal sosial yang tidak
senantiasa dapat ditentukan waktunya karena kan berevolusi sesuai dengan factor
ekonomi, sosial, budaya, maupun peran lembaga yang sangat kompleks.
5.3.6. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu
Dalam penelitian kebijakan, analisis stakeholder merupakan salah satu
cara untuk menghasilkan informasi tentang aktor yang relevan, memahami
perilaku mereka, kepentingan, agenda, dan pengaruhnya terhadap proses
pengambilan keputusan (Brugha dan Varvasovsky, 2000). Selain melihat tingkat
keterlibatan stakeholder dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya
pesisir, penelitian ini juga menganalisis tingkat kepentingan dan pengaruh
stakeholder terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kawasan Teluk Bone
Kabupaten Luwu. Gambar 9 berikut ini menunjukkan tingkat kepentingan dan
pengaruh stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu.
Gambar 9. Peta Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu
Sumber : Hasil analisis, 2011
Diagram ini menunjukkan bahwa stakeholder kunci (Key players) adalah
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) dan Swasta, yang merupakan stakeholder yang harus
dipersiapkan untuk menjadi aktif, karena mereka mempunyai kepentingan dan
pengaruh yang tinggi atas fenomena tertentu, Pemerintah Daerah Bagian Hukum
merupakan stakeholder yang sangat berpengaruh tetapi kepentingannya rendah
(Context setters). Bapedalda dan masyarakat atau nelayan (Subjects) adalah
stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah.
Meskipun mereka mendukung, mereka tidak memiliki kapasitas untuk
menimbulkan perubahan. Mereka mungkin menjadi berpengaruh dengan
membentuk aliansi dengan stakeholder lain. Mereka ini sering merupakan
stakeholder marjinal yang perlu diberdayakan. Sedangkan Lembaga Swadaya
masyarakat (LSM), Bagian Kelembagaan Masyarakat (BKM), Perguruan Tinggi
(PT) dan Bagian Pemerintahan (Crowd) merupakan stakeholder yang mempunyai
sedikit kepentingan dan pengaruh. Selanjutnya peta keterkaitan antara stakeholder
ditunjukkan pada Table 7.
Dari analisis Peta Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder
Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu pada Gambar 9
ditemukan bahwa posisi masyarakat yang sesungguhnya memiliki kepentingan
yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir masih dalam posisi subjek yang tidak
dapat mempengaruhi kebijakan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat
belum mendapat hak dan tanggung jawab atas pengelolaan sumberdaya pesisir di
Kabupaten Luwu. Masyarakat atau nelayan perlu untuk di posisikan bukan hanya
sebagai objek dalam pengelolaan sumberdaya pesisir melainkan juga menjadi
subjek dalam pengelolaan sumberdaya pesisir baik dari aspek pelibatan dalam
perencanaan maupun dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu.
Menurut Robbin 2004 dalam Satria (2009b) bahwa pendekatan yang
berpusat pada pelaku (actor oriented) berpijak pada politicised environment
memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara
terpisah dari konteks politik dan ekonomi sehingga masalah lingkungan bukanlah
masalah teknis pengelolaan semata. Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa
asumsi yang mendasari pendekatan aktor yaitu (1) Biaya dan manfaat yang terkait
dengan perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara tidak merata, (2)
Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya
ketimpangan ekonomi, (3) Dampak sosial-ekonomi yang bebeda dari perubahan
lingkungan tersebut juga memiliki implikasi politik dalam arti bahwa terjadi
perubahan kekuasaan dalam hubungansatu aktor dengan aktor yang lain. Table 6
menunjukkan relasi antara stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
Kabupaten Luwu.
Tabel 6. Relasi antara Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Kabupaten Luwu.
Stakeholder Bappeda Bapedalda DKP Bagian Hukum
Bag. Pemerintahan
Bag.BKM
DPRD Swasta LSM PT Masy
/Nelayan
Bappeda RL RK RL RL RL RK RL RL RK TR
Bapedalda RL RK RL RL RL RL RL RL TR Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) RL RL RL RL RL RL RL RL
Bagian Hukum RL RK TR TR TR RL RB
Bagian Pemerintahan RL TR TR TR TR TR Bagian Kelembangaan Masyarakat (BKM) TR TR RK TR RL
DPRD RK RB RL RL
Swasta RB RL RL
LSM TR RL
Perguruan Tinggi (PT) RL
Masyarakat/Nelayan
Sumber : Hasil analisis, 2011 Keterangan : RK = Relasi Kuat RL = Relasi Lemah RB = Relasi Berlawanan TL = Tidak ada Relasi
Table 6 menggambarkan bahwa Bapeda, Dinas Kelautan dan Perikanan
(DKP), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Perguruan Tinggi
(PT)memiliki relasi kuat. Selain itu relasi kuat di tunjukkan pula pada hubungan
antara DPRD dan pihak Sawasta serta relasi kuat juga dapat dilihat pada antara
relasi antara Bagian Kelembagaan Masyarakat dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dalam hal ini LSM KTNA.
Selanjutnya relasi lemah dapat dilihat pada relasi antara BKM dengan
nelayan dan DPRD dengan nelayan hal ini menunjukkan bahwa fungsi pemerintah
daerah khususnya bagian kelembagaan masyarakat dan pengawasan DPRD belum
berjalan sebagaimana mestinya. Peta relasi antar stakeholder ini secara umum
menunjukkan bahwa posisi stakeholder dalam hal ini nelayan masih sangat lemah
dalam hal akses terhadap kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir di
kabupaten Luwu.
Menurut Nurmalasari (2008), bahwa ada dua pendekatan dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir yang berbasis masyarakat yaitu pendekatan
struktural dan pendekatan subyektif. Sasaran utama pendekatan struktural adalah
tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan sistem
kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut maupun komponen pendukung yang
terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek
struktural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk
dapat memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Selain itu, penataan struktur dan sistem hubungan sosial dan ekonomi
tersebut diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta
melindungi sumber daya alam dari ancaman yang datang baik dari dalam maupun
dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan
masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara terus
menerus menempatkan masyarakat pada posisi yang sulit. Pendekatan struktural
membutuhkan langkah-langkah strategi sebagai berikut :
1. Pengembangan aksesibilitas masyarakat pada sumberdaya alam. Aksesibilitas
masyarakat terhadap sumber daya alam adalah salah satu isu penting dalam
rangka membangun perekonomian masyarakat. Langkah tersebut diharapkan
dapat membantu masyarakat untuk dapat menikmati peluang pemanfaatan
sumber daya alam secara berkelanjutan (sustainable).
2. Pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap proses pengambilan
keputusan. Keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari
pengelolaan pesisir dan laut sangat tergantung pada ketepatan kebijakan yang
diambil. Kebijakan yang dikembangkan dengan melibatkan dan
memperhatikan kepentingan masyarakat dan menjamin keberhasilan
pengelolaan sumber daya alam dan wilayah. Keterlibatan masyarakat sangat
diperlukan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan
potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan yang berbasis pada
potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam
pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain itu juga memberikan
keuntungan ganda. Pertama, dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat
maka pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat sehingga akan
mempermudah proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi masyarakat
untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain itu yang
lebih penting lagi adalah adanya upaya untuk meningkatkan kepentingan
hakiki masyarakat yaitu kesejahteraan.
3. Peningkatan aksebilitas masyarakat terhadap informasi. Informasi merupakan
salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat pantai sebagai
bagian dari pengelolaan pesisir dan laut. Kesediaan informasi mengenai
potensi dan perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat
berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah
tersebut.
4. Pengembangan kapasitas kelembagaan. Untuk meningkatkan peran
masyarakat dalam perlindungan wilayah dan sumber daya alam, diperlukan
kelembagaan sosial, untuk mendorong peranan masyarakat secara kolektif.
Semangat kolektif akan mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk
melindungi wilayahnya dari kerusakan yang dapat mengancam perekonomian.
Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga sosial diharapkan
untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menjalankan fungsi manajemen
wilayah pesisir dan laut
5. Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat. Keberadaan sistem
pengawasan yang efektif merupakan syarat utama keberhasilan pengembangan
masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Sistem
pengawasan tersebut harus mampu menjalankan fungsinya dengan cara
memobilisasi semua unsur terkait. Salah satu pendekatan yang efektif adalah
pengembangan sistem pengawasan berbasis pada masyarakat. Sistem
pengawasan yang berbasis pada masyarakat adalah suatu sistem yang
dilandasi oleh kepentingan, potensi dan peranan masyarakat lokal. Untuk itu,
sistem pengawasan yang berbasis pada masyarakat tersebut selain
memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut mengawasi sumber daya
alam dan wilayah tempat mereka tinggal dan mencari makan, juga
memperkuat rasa kebersamaan masyarakat dalam mengembangkan potensi
daerahnya. Hal ini dapat dilakukan melalui lembaga sosial masyarakat pantai
(nelayan).
6. Pengembangan jaringan pendukung. Pengembangan koordinasi tersebut
mencakup pembentukan sistem jaringan manajemen yang dapat saling
membantu. Koordinasi melibatkan seluruh unsur terkait (stakeholder), baik
jaringan pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha.
Selanjutnya pendekatan subyektif (non struktural) adalah pendekatan
yang menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk
berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi
bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya
dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam
disekitarnya.
Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal
dalam pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk
berbuat sesuatu demi melindungi sumberdaya alam. Pengetahuan dan
keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya
penanggulangan masalah kerusakan sumberdaya alam tetapi juga hal-hal yang
berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat
dengan usaha ekonomi alternatif sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain
yaitu : (1) Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan, (2) Pengembangan
keterampilan masyarakat, (3) Pengembangan kapasitas masyarakat, (4)
Pengembangan kualitas diri, (5) Peningkatan motivasi masyarakat untuk
berperanserta (6) Penggalian & pengembangan nilai tradisional masyarakat.
5.3.7. Hubungan Antar Kepentingan dan Pengetahuan dengan Relasi
Stakeholder Pada analisis sebelumnya telah di gambarkan stakeholder yang memiliki
tingkat kepentingan yang tinggi dan dibuktikan pada analisis yang lain tentang
relasi antara stakeholder memiliki tingkat relasi yang kuat. Tingginya tingkat
kepentingan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bappeda, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dan Swasta, serta tingginya relasi stakeholder ini
memunjulkan berbagai permasalahan antara lain semakin lemahnya posisi
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
Permasalahan lain yang juga ditemukan adalah lemahnya relasi antara
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) dan Swasta dengan masyarakat atau nelayan. Hal ini
menunjukkan bahwa posisi nelayan dalam kebijakan dan pengelolaan sumberdaya
pesisir masih sangat marginal sehingga semangat partisipatif dan pelibatan
masyarakat sebenarnya belum terlaksana.
5.4. Arahan Kebijakan
Uraian analisis diatas menunjukkan bahwa terdapat kegagalan pengelolaan
sumberdaya alam pesisir di Kabupaten Luwu, hal ini disebabkan oleh, Pertama
adanya kegagalan kebijakan (lack of policy) yang merupakan bagian dari
kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan
sumberdaya pesisir yang ada. Kegagalan kebijakan (lack of policy) terindikasi
terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker dalam menentukan
kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberlanjutan
sumberdaya alam pesisir dan lingkungannya.
Kedua adanya kegagalan masyarakat (lack of community) sebagai bagian
dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan
mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat (lack of
community) terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat
menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, disamping kurangnya
kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan pressure kepada pihak-
pihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan melindungi
lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk
bargaining position masyarakat sebagai pengelola lokal dan pemanfaat
sumberdaya alam pesisir dan lingkungan.
Ketiga adanya kegagalan pemerintah daerah (lack of local government)
sebagai bagian kegagalan pelaku pengelolaan regional yang diakibatkan oleh
kurangnya perhatian pemerintah dalam menanggapi persoalan lingkungan.
Kegagalan pemerintah daerah (lack of local government) terjadi akibat kurangnya
kepedulian pemerintah untuk mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan
yang dihadapi secara menyeluruh dengan melibatkan segenap stakeholder.
Menurut Khartodiharjo dan Jhamtani (2006), bahwa ada lima masalah
pokok yang menghambat perubahan pengelolaan sumberdaya alam menjadi
pengelolaan yang lebih adil dan berkelanjutan yaitu; Pertama nilai-nilai yang
dianut. Perkembangan politik pemerintahan setelah pelaksanaan otonomi daerah
pada tahun 2011, juga tidak mengalami perubahan mendasar dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Kompromi-kompromi politik yang dilakukan diberbagai
tingkatan masih berakhir dengan satu akibat yang pasti, yaitu peningkatan
eksploitasi sumberdaya alam.
Kedua, masalah argumen dalam pembaruan kebijakan. Ada dua argumen
penting yang belum digunakan dalam pembaruan kebijakan, (1) Kepastian
mengenai hak penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumberdaya
alam lain, (2) Keberadaan dan peran kelembagaan masyarakat sebagai unsur
penting dalam mempertahankan daya dukung lingkungan. Ketiga, ketika
pemerintah melakukan pembaruan kebijakan, masyarakat luas, terutama yang
langsung terkena dampak dari penerapan kebijakan tersebut, sering tidak
mengetahui karena tidak dilibatkan dalam proses pembaruan itu.
Keempat, Kebijakan seharusnya dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah
yang mampu melaksanakannya dan Kelima, bagaimanapun juga kebijakan harus
mendapat dukungan politik, yaitu mendapat kesepakatan atau menang dan
memperoleh suara berdasarkan aturan-aturan perwakilan yang telah ditetapkan.
Namun hal sebaliknya bisa terjadi, kesepakatan yang berjalan berdasarkan aturan
perwakilan sering melahirkan kebijakan yang substansinya justru bertentangan
dengan tujuan-tujuan konservasi maupun keadilan pemanfaatan sumberdaya alam.
Tabel 7 menunjukkan masalah pengelolaan sumberdaya pesisir Kawasan Teluk
Bone Kabupaten Luwu.
Tabel 7. Rumusan Masalah Pengelolan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk
Bone Kabupaten Luwu Masalah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu
Objek Masalah Indikator Masalah
Masalah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Objek Masalah Indikator Masalah
1. Kapasitas Lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar lembaga.
Kekurangan tenaga (SDM) Skill yang terbatas baik kemampuan teknis dan
manajemen. Hubungan kerjasama kelembagaan yang masih lemah
baik antara pusat-daerah maupun sesama lemabaga pemerintah daerah
2. Peran Kelembagaan Lokal
Kelembagaan masyarakat lokal memiliki posisi yang sangat lemah.
Pelibatan kelembagaan lokal tidak dilakukan 3. Hak dan akses terhadap sumberdaya
pesisir
Belum ada definisi batas- batas yang jelas terhadap SDA Pesisir.
Hak dan tanggung jawab masyarakat tidak di atur secara jelas.
Masyarakat masih dalam posisi marjinal.
4. Substansi Peratun Daerah (Perda)
Proses pelibatan masyarakat dalam perumusan sangat minim.
Tidak ada sosialisasi kepada masyarakat. Belum terlaksana di lapangan. Belum terdapat substansi peraturan dan kebijakan yang
mengatur perlindungan dan pengendalian kerusakan lingkungan
5. Persoalan stakeholder
Persepsi kerusakan SDA pesisir sangat tinggi. Partisipasi masyarakat terhadap SDA pesisir tinggi dan
cenderung tidak terkontrol. Terjadi konflik Pemanfaatan SDA pesisir khususnya
lahan tambak dan konflik pemanfaatan lahan dengan pemerintah.
Relasi yang lemah antara stakeholder lain dengan masyarakat menyebabkan masyarakat nelayan tetap marjinal.
Sumber : Hasil Analisis, 2011
Dari permasalahan di atas untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya
alam yang memberikan akses yang lebih luas terkait kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam pesisir, terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam berbasis
masyarakat yang berkeadilan dan keberlanjutan, adanya perbaikan peraturan
perundangan ditingkat lokal termasuk pembenahan proses-proses administrasi,
pelaksanaan program dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kawasan Teluk
Bone Kabupaten Luwu maka berikut ini tabel arahan kebijakan pengelolaan
sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.
Tabel 8. Rekomendasi Tindakan Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di
Kabupaten Luwu. Substansi Tingkat Tindakan
Kebijakan Penyempurnaan Peraturan Daerah
Langkah Kolektif Langkah Operasional
Hak dan Akses Masyarakat Lokal Terhadap SDA Pesisir diatur lebih jelas
Peraturan Daerah secara tegas mengatur tentang distribusi dan kepastian hak dan akses terhadap SDA pesisir secara adil
Penyamaan persepsi antar stakeholder dalam pengelolaan SDA Pesisir
Pengawasan terhadap pemanfaatan SDA pesisir
Perda seharusnya memuat secara detail pengaturan kawasan lindung dan pengendalian kerusakan lingkunagn
Peraturan Daerah diterjemahkan secara teknis kedalam Peraturan Bupati
Koordinasi program antar lembaga
Penetapan zona kawasan lindung SDA pesisir
Evaluasi dan Pengawasan kinerja Pengelolaan SDA Pesisir diatur melalui kebijakan
Sosialisasi Peraturan Daerah sebaiknya dilakukan melalui kelembagaan lokal
Perumusan Kawasan lindung SDA Pesisir
Pengendalian kerusakan SDA Pesisir
Kapasitas Lembaga dan Hubungan antar Lembaga sebaiknya segera ditingkatkan
Penguatan Koordinasi antara Eksekutif dan Legislatif daerah dalam penjabaran Peraturan Daerah
Perumusan batas-batas hak dan tanggung jawab stakeholder atas SDA pesisir
Penetapan daya dukung wilayah pesisir
Kebijakan RTRW dan kebijakan pengelolaan SDA pesisir harus sejalan
Keterbukaan informasi terhadap semua stakeholder dalam proses penyempurnaan Peraturan Daerah
Perumusan model komunikasi yang efektif lintas institusi Pemerintah Daerah dalam pengendalian dampak kerusakan lingkungan
Pelaksanaan transparansi, akuntabilitas dan partisipasi seluruh stakeholder pemerintah daerah
Sumber : Hasil Analisis, 2011 Dari arahan kebijakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa depan
pengelolaan sumberdaya Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu sangat
dipengaruhi oleh kebijakan daerah dan peraturan daerah, serta peran stakeholder
dalam hal ini pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan multipihak. Pengelolaan
sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu semestinya benar-benar mengaflikasikan arti
sesungguhnya dari pembangunan dan pengelolaan berbasis masyarakat.
Melibatkan lembaga masyarakat, kelompok nelayan dan kelompok pembudidaya,
dari semua tahapan pengelolaan dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi memberikan tempat bagi masyarakat lokal.
Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kawasan Teluk Bone
Kabupaten Luwu dari hasil analisis isi Peraturan Daerah dan analisis stakeholder
menunjukkan bahwa beberapa masalah pengelolaan sumberdaya pesisir
diantaranya adalah : 1) Kapasitas Lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar
lembaga yang masih sangat lemah, 2) Peran kelembagaan lokal yang pelibatan
dan posisinya dalam analisis stakeholder masih sangat lemah, 3) Substansi
Peraturan Daerah yang belum mengatur tentang penetapan kawasan konservasi,
pengendalian kerusakan lingkungan, dan tidak melibatkan unsur masyarakat,
kelembagaan masyarakat, dan swasta dalam perencanaan, perumusan dan
penetapannya menunjukkan bahwa peraturan daerah ini perlu untuk segera
dilakukan pengkajian ulang, dan ke 4) Persoalan Stakeholder yang menunjukkan
persepsi kerusakan yang sangat tinggi, partipasi pemanfaatan yang juga tinggi,
konflik pemanfaatan lahan yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat serta
relasi yang lemah antara masyarakat dengan stakeholder lain menunjukkan posisi
nelayan masih terpinggirkan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di
Kabupaten Luwu.
Berbagai persoalan yang tergambarkan dari hasil analisis yang dilakukan
dalam penelitian ini melahirkan arahan kebijakan yang mengedepankan pada
penyempurnaan Peraturan Daerah agar secara substantif dapat menjamin
kepastian hak dan akses terhadap sumberdaya pesisir bagi masyarakat, secara
teknis mampu diturunkan dalam kebijakan atau peraturan Bupati, hasil dari
penyempurnaan peraturan daerah sebaiknya disertai dengan sosialisasi melalui
lembaga masyarakat, penguatan koordinasi antara eksekutif, legislatif,
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan swasta dalam penyempurnaan
Peraturan Daerah. Langkah kolektif yang dapat dilakukan dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu di masa yang akan datang adalah
penyamaan persepsi antar stakeholder dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir,
perumusan batas-batas hak dan tanggungjawab seluruh stakeholder terhadap
sumberdaya pesisir, perumusan kawasan lindung sumberdaya pesisir, dan
koordinasi program antar lembaga yang terkait langsung pengelolaan sumberdaya
pesisir.
Untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya pesisir yang secara langsung
dapat dirasakan oleh masyarakat atau nelayan maka arahan kebijakan
merumuskan langkah operasional antara lain: 1) Pemerintah bersama-sama
seluruh stakeholder melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya
pesisir, menetapkan zona kawasan lindung, 2) Penetapan daya dukung wilayah
pesisir saat ini yang selanjutnya di sosialisasikan kepada masyarakat, 3)
Melakukan upaya pengendalian terhadap kerusakan lingkungan dan 4) Pemerintah
melakukan pelaksanaan transparansi, akuntabilitas dan meningkatkan partisipasi
seluruh stakeholder pemerintah daerah.
BAB VI