defisiensi besi anemi 1
DESCRIPTION
anemiTRANSCRIPT
ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA IBU HAMIL
Abstrak
Anemia defisiensi besi (ADB) masih merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia. Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi antara lain berupa gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang terlambat, penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku. Oleh karena itu masalah ini memerlukan cara penanganan dan pencegahan yang tepat. Pemberian preparat besi secara selama 3-5 bulan. Mencari dan mengatasi penyebab merupakan hal yang penting untuk mencegah kekambuhan. Antisipasi harus di lakukan sejak pasien dalam stadium I (stadium deplesi besi) dan stadium II (stadium kekurangan besi). Dianjurkan pula untuk menunda jarak kehamilan minimal 2 tahun untuk mengurangi resiko defisiensi besi pada ibu hamil.Kata kunci : Anemia, Defisiensi besi,
Pendahuluan
Anemia Defisiensi Besi merupakan suatu polemik bagi kesehatan di indonesia yang
sering terjadi pada ibu hamil. Dimana Anemia defisiensi besi mengakibatkan terjadinya
berbagai disfungsi antara lain berupa penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang
terlambat, pada ibu dan janin yang sedang di kandung nya. Oleh karena itu masalah ini
memerlukan cara penanganan dan pencegahan yang tepat. Pemberian suplemen zat besi
untuk ibu hamil adalah salah satu tindakan kesehatan masyarakat yang paling banyak.
Sebagian besar dari perempuan di negara-negara industri dan berkembang mengalami
anemia selama kehamilan. Perkiraan dari laporan Organisasi Kesehatan Dunia bahwa dari
35% menjadi 75% (56% rata-rata) dari wanita hamil di negara berkembang, dan 18%
perempuan dari negara-negara industri mengalami anemia (Organisasi Kesehatan Dunia.
Prevalensi anemia pada wanita: tabulasi dari informasi yang tersedia. 2nd ed. Jenewa:
Organisasi Kesehatan Dunia, 1992)
Namun, banyak dari perempuan ini sudah mengalami anemia pada saat konsepsi,
dengan prevalensi diperkirakan anemia dari 43% pada wanita hamil di negara berkembang
dan 12% pada wanita di daerah maju (Organisasi Kesehatan Dunia. Prevalensi anemia pada
wanita: tabulasi dari informasi yang tersedia. 2nd ed. Jenewa: Organisasi Kesehatan Dunia,
1992).
Pembahasan
Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi dimana ibu dengan kadar nilai
hemoglobin di bawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin
kurang dari 10,5 gr% pada trimester dua, kurang dari kondisi hemoglobin normal.
Anemia defisiensi besi adalah anemia mikrositik hipokromik yang timbul akibat
kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk proses
eritropoesis berkurang. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya pembentukan hemoglobin
dalam darah. (Bakta 2006)
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang
ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang
rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun.
Dimana Besi sangat dibutuhkan pada ibu hamil yaitu sebanyak kurang lebih 1000mg
zat besi. Ini di butuhkan untuk perluasan sel darah merah, rahim, Janin dan plasenta, serta
sebagai ganti kehilangan darah saat melahirkan. Dimana kebutuhan zat besi ini meningkat
2mg sampai 10mg per hari.
Menurut Bakta, 2006 Bila di tinjau dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh, maka
Anemia defisiensi Besi di klasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu:
a. Iron depleted state yaitu cadangan besi menurun, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis
belum terganggu.
b. Iron deficient erythropoesis, yaitu cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk proses
eritripoesis sudah terganggu tetapi belum menunjukkan gejala anemia.
c. Iron deficiency anemia yaitu cadangan besi sudah kosong dan menunjukkan gejala – gejala
anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi selama
kehamilan yang mengalami peningkatan, serta gangguan absorbsi serta berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta, 2006).
Sebagian besar pola makan dan minum juga berpengaruh besar dalam Anemia
Defisiensi Besi: Minum teh atau kopi setelah makan dapat memhambat asupan zat besi dalam
tubuh. Obat antibiotik seperti tetrasiklin, obat nyeri lambung, dan obat penahan rasa nyeri
seperti obat rematik, juga menjadi penyebab terhambatnya asupan zat besi.
Menurut Bakta (2006), Gejala khas Anemia defisiensi besi yang tidak dijumpai pada
anemia jenis lain antara lain adalah :
Koilonycia: kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris – garis vertikal dan menjadi
cekung seperti sendok.
Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang.
Stomatitis angularis: adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan.
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil mempunyai Dampak bervariasi dari
keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus,
partus imatur atau prematur dan gangguan pada janin dismaturitas, mikrosomi, BBLR,
kematian perinatal. Anemia juga menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel
tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Mengingat besarnya dampak buruk dari
anemia defisiensi zat besi pada wanita hamil dan janin, oleh karena itu perlu kiranya
perhatian yang cukup.
Pengobatan anemia biasanya dengan pemberian tambahan zat besi. Sebagian besar tablet zat
besi mengandung ferosulfat, besi glukonat atau suatu polisakarida. Tablet besi akan diserap
dengan maksimal jika diminum 30 menit sebelum makan. Biasanya ferro sulfat 320 mg
(setara dengan 60 mg zat besi) diberikan 2 kali sehari bagi semua ibu hamil. Jika Hb 9 gr%
atau kurang dari pada salah satu kunjungan, tingkatkan tablet zat besi menjadi 3 kali 1
tablet/hari sampai akhir masa kehamilannya ditujukan untuk mengembalikan kadar
hemoglobin dan persediaan besi di dalam tubuh ke keadaan normal. Kemampuan usus untuk
menyerap zat besi adalah terbatas, karena itu pemberian zat besi dalam dosis yang lebih besar
adalah sia-sia dan kemungkinan akan menybabkan gangguan pencernaan dan sembelit. Zat
besi hampir selalu menyebabkan tinja menjadi berwarna hitam, dan ini adalah efek samping
yang normal dan tidak berbahaya. Hindari makanan yang menghambat absorpsi besi (teh,
susu murni, kuning telur, serat) dan obat seperti antasida dan kloramfenikol. Banyak minum
untuk mencegah terjadinya konstipasi (efek samping pemberian preparat besi)
Kebijakan program KIA di Indonesia saat ini menetapkan bahwa pemberian tablet Fe
(320 mg Fe sulfat dan 0,5 mg asam folat) untuk semua ibu hamil sebanyak 1 kali 1 tablet
selama 90 hari. Jumlah tersebut mencukupi kebutuhan tambahan zat besi selama kehamilan,
yaitu 100 mg.
Pengobatan melalui suntikan baru diperlukan apabila penderita tidak tahan akan zat besi per
oral dan adanya gangguan penyerapan, untuk penyakit saluran pencernaan atau masa
kehamilannya tua. Adanya malabsorbsi Membutuhkan kenaikan kadar besi yang cepat (pada
pasien yang menjalani dialisis yang memerlukan eritropoetin). Intoleransi terhadap
pemberian preparat besi oral, ini dibutuhkan jika sudah tidak bisa lagi dilakukan pengobatan
oral. Untuk menegakan diagnosa Anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan anamnesa.
Hasil anamnesa didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang dan
keluhan mual muntah lebih hebat pada hamil muda. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb
dapat dilakukan dengan menggunakan alat Sachli, dilakukan minimal 2 kali selama
kehamilan yaitu trimester I dan III.
Anemia dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dengan asupan zat
besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Seperti misalnya pemberian Kandungan
besi dalam ASI lebih rendah dibandingkan dengan susu sapi tetapi
penyerapan/bioavailabilitasnya lebih tinggi (50%). Oleh karena itu pemberian ASI ekslusif
perlu digalakkan dengan pemberian suplementasi besi dan makanan tambahan sesuai usia.
Zat besi dapat diperoleh dengan cara mengonsumsi daging (terutama daging merah) seperti
sapi. Zat besi juga dapat ditemukan pada sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam dan
kangkung, buncis, kacang polong, serta kacang kacangan. Perlu diperhatikan bahwa zat besi
yang terdapat pada daging lebih mudah diserap tubuh daripada zat besi pada sayuran atau
pada makanan olahan seperti sereal yang diperkuat dengan zat besi. konsumsi zat besi dan
mengoptimalkan penyerapan dengan meminimalkan inhibitor dan memaksimalkan enhancer
mungkin berharga untuk pencegahan sekunder besi. Anemia juga bisa dicegah dengan
mengatur jarak kehamilan atau kelahiran bayi. Makin sering seorang wanita mengalami
kehamilan dan melahirkan, akan makin banyak kehilangan zat besi dan menjadi makin
anemis. Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap kehamilan akan menguras
persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya. Oleh
karena itu, perlu di upayakan agar jarak antar kehamilan tidak terlalu pendek, minimal lebih
dari 2 tahun. Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan skrining untuk anemia
sedini mungkin dan pada sekitar 28 minggu kehamilan.
KESIMPULAN
Ulasan ini menunjukkan bahwa efek samping anemia ibu dan kekurangan zat besi
pada saat kehamilan dapat menyebabkan dampak buruk. Dampak tersebut termasuk yang
menyebabkan pada kematian ibu, morbiditas, dan kesejahteraan, dan kesehatan bayi dan
perkembangan serta kelahiran prematur dan berat lahir rendah berikutnya. Akan tetapi
anemia defisiensi besi ini dapat di cegah dengan makanan bergizi seimbang dengan asupan
zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh serta pemberian Fe 1 kali setiap hari
selama 90 hari serta dengan menunda jarak kehamilan pada ibu di karenakan jika kehamilan
tidak tertunda selama dua tahun maka kebutuhan zat besi akan menurun secara derastis di
karenakan kebutuhan yang diperlukan cukup banyak.
Daftar Pustaka
American Academy of Pediatrics. Iron deficiency. In: Pediatric Nutrition Handbook, Fourth Edition. ElkGrove Village, IL: American Academy of Pediatrics, 1998.
Bakta, I M. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
Brreymann C. Iron supplementation during pregnancy. Fetal & Maternal Med Rev 2002; 13(1);1-29
Hercberg G, Galan P, Preziosi P, et al. Consequences of iron deficiency in pregnant women. Clin Drug Invest 2000; 19 Suppl. 1:1-7
Hemminki E, Merilainen J. Long term follow-up of mothers and their infants in a randomized trial on iron prophylaxis during pregnancy. Am J Obstet Gynecol. 1995;173(1):205-209.
Idjradinata P, Pollitt E. Reversal of developmental delays in iron-deficient anemic infants treated with iron. Lancet. 1993;341:1-4.
Klebanoff MA, Shiono PH, Selby JV, et al. Anemia and spontaneous preterm birth. Am J Obstet Gynecol. 1991; 164:59-63
Lindsay H Allen. Anemia and iron deficiency: effects on pregnancy outcome. The American Journal of Clinical Nutrition 2000 vol. 71 no. 5 1280s-1284s
Mahomed K. Iron supplementation in pregnancy [Systematic Review].The Cochrane Database of Systematic Reviews. 2000, Issue 1. Art. No.: CD000117.
Markum HA. Diagnostik dan penanggulangan anemia defisiensi. Dalam: Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI I; 1982, Jakarta: IKA FKUI, 1982. h. 5-13.
Morley R, Abbotta R, Fairweather-Taitc S, MacFadyend U, Stephensone T, Lucasa A. Iron fortified follow on formula from 9 to 18 months improves iron status but not development or growth: a randomised trial. Arch Dis Child.1999;81:247-252.
Nestel P, et al. Anemia, iron deficiency and iron deficiency anemia. International Nutritional Anemia Consultative Group 2002, Mar. Avaiable
Prophylaxis. Guide to Clinical Preventive Services, Second Edition. Baltimore: Willliams and Wilkins, 1996.
Schwartz WJ, Thurnak GR. Iron deficiency anemia in pregnancy. Clin Obstet Gyn. 1995; 38(3):443 -53s
U. S. Preventive Services Task Force. Screening for Iron Deficiency Anemia-Including Iron DOI:10.1002/14651858.CD000117. (http://www.mrw.interscience.wiley.com/cochrane/clsysrev/articles/CD000117/frame.html) di akses 19 mei 2013 pukul 16.45 wib
WHO. Prevalensi anemia pada wanita: tabulasi dari informasi yang tersedia. 2nd ed. Jenewa: Organisasi Kesehatan Dunia, 1992